document16

Upload: muhammad-harmen-reza-siregar

Post on 07-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

translate

TRANSCRIPT

Pada permulaan abad ke-21, tingginya angka kematian ibu masih merupakan suatu kekhawatiran yang hebat. Di Uttar Pradesh angka kematian ibu adalah 707/100.000 kelahiran hidup, teringgi di India. Terlebih lagi, mortalitas ibu hanyalah puncak dari gunung es morbiditas ibu karena setiap kematian ibu terdapat lebih dari seratus wanita dengan morbiditas. Dua belas persen kematian ibu di India disebabkan oleh aborsi septik. Kebijakan Populasi Nasional 2000 yang disiapkan oleh kementrian kesehatan keluarga mengakui bahwa aborsi yang tidak aman adalah faktor kunci tingginya angka kematian ibu di Pradesh.Angka mortalitas setelah terminasi kehamilan volunter adalah 0,6/100.000. di India, bahkan setelah 35 tahun legalisasi aborsi hanya 10% dari seluruh perkiraan jumlah aborsi yang terdaftar atau legal. Aborsi septik adalah hasil dari aborsi yang tidak aman yang didefinisikan sebagai prosedur terminasi kehamilan yang dilakukan oleh oknum yang tidak memiliki kemampuan yang cukup atau dilakukan di lingkungan yang tidak memenuhi standar medis atau keduanya (definisi WHO).Penelitian ini mengkaji kasus-kasus aborsi septik di rumah sakit pendidikan tersier di Uttar Pradesh, untuk menemukan resultan dari mortalitas dan morbiditas ibu dengan fokus khusus kepada berbagai faktor yang berperan dan hal-hal yang diperlukan bagi terlaksananya aborsi yang aman.METODEPenelitian kohort retrospektif ini dilaksanakan dari 1 Mei 2003 sampai 30 April 2004 di pusat kesehatan tersier kami. Total 122 kasus sepsis pasca tindakan aborsi terdaftar selama periode ini. Kasus-kasus tersebut dikaji untuk faktor demografis, gambaran klnis, manajemen, komplikas, mortalitas dan morbiditas ibu, dan intervensi pembedahan. Data dikumpulkan dari pendaftaran, ruang bersalin, ruangan, rujukan dan surat kematian ibu.Aborsi septik adalah infeksi uterus dan struktur di sekitarnya pasca pelaksanaan aborsi. Sepsis umum dijumpai setelah pelaksanaan aborsi ilegal, dengan gambaran temperatur > 100,4 F, sekret vagina yang banyak atau purulen, nyeri dan nyeri tekan abdomen, dan riwayat intervensi yang tidak aman.Untuk kepentingan klinis dan praktis, temuan dua atau lebih dari kriteria di atas sudah bisa dianggap sebuah kasus aborsi septik.Gradasi InfeksiSetelah mempertimbangkan seluruh tanda dan pemeriksaan yang tergantung keparahan infeksi, pasien-pasien kemudian dikategorikan dalam empat stadium. Infeksi yang terlokalisir pada uterus dianggap dalam stadium I (40,2%) sedangkan infeksi yang menyebar ke pelvis dan abdomen tanpa tanda-tanda sepsis umum dikategorikan dalam stadium II (30,3%). Pasien dengan septisemia dengan bukti klinis infeksi seperti demam, hipotermia, takikardia, takipnea, dan bukti perfusi organ yang inadekuat dimasukkan dalam stadium III (12,3%) sedangkan infeksi stadium IV (17,2%) terjadi pada pasien dengan syok septik dan septisemia dengan penurunan tekanan darah sistolik sampai 90 mmHg selama lebih dari satu jam walau dengan infus cairan yang adekuat.HASILTerdapat total 5003 rawatan kehamilan dan masalah terkait, yang dimana 352 (7,04%) adalah aborsi (untuk seluruh jenis aborsi). Seratus dua puluh dua wanita mengalami aborsi septik pasca tindakan aborsi yang tidak aman memberi insidensi 34,66% (122/352) yaitu 2,44% dari total rawatan. Usia rata-rata adalah 30,3 tahun (rentang 17 45). Kelompok usia terbanyak berada pada 20-30 tahun (48,2%).Kebanyakan kasus berasal dari status sosioekonomi rendah dan 113 (92,62%) berasal dari pedesaan. Terdapat 7 (5,74%) primigravida, dan 115 (94,26%) multigravida dimana 36,62% (42/115) adalah grande multipara (paritas 4 atau lebih). Pada 90% kasus persalinan sebelumnya dilakukan di rumah dan 4 (3,28%) wanita memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Dua adalah janda dan tiga belum menikah.Kebanyakan wanita memilih untuk melakukan terminasi kehamilan karena mereka tidak mau memiliki anak lagi. Walaupun kebanyakan dari mereka sadar akan tindakan aborsi, 78% tidak menyadari bahwa tindakan aborsi dapat dianggap legal atau ilegal dan ketersediaan dari jasa aborsi oleh pemerintah. Enam puluh dua persen dari wanita tersebut memiliki pengetahuan tentang kontrasepsi tetapi hanya tujuh (5,74%) yang pernah menggunakannya.Tabel 1 menunjukkan usia gestasi dilakukannya aborsi dan oknum pelaksananya. Tiga aborsi dilakukan oleh dai (bidan tidak terlatih) bahkan setelah 20 minggu. Aborsi dilakukan paling banyak pada usia gestasi 6-8 minggu. Metode yang paling sering digunakan adalah instrumentasi (68%), diikuti oleh obat-obatan transvagnal, sejenis batang yang dimasukkan dari vagina, dan obat-obatan termasuk produk herbal yang diberikan secara oral. Satu wanita menderita nekrosis uterus dan peritonitis akibat penggunaan bahan kimia dalam terminasi.Demam, nyeri abdomen, perdarahan vagina, dan sekret berbau adalah gejala yang paling sering ditemui, dua puluh enam (21,31%) wanita dirawat dalam lima hari sejak pelaksanaan aborsi, 28 (22,95%) dalam 6 sampai 10 hari dan 32 (26,22%) dalam 11-15 hari. Tiga (2,45%) wanita datang ke rumah sakit dua bulan setelah pelaksanaan dengan keluhan demam, distensi abdomen dan penurunan jumlah urin.Tabel 2 memperlihatkan bahwa 49 (40,2%) wanita memiliki infeksi stadium I. anemia merupakan kondisi yang paling sering berhubungan dengan kasus dengan 21 (17,21%) wanita memiliki Hb 10 g/dL. Kultur dan uji sensitifitas apusan vagina menunjukkan bahwa organisme terbanyak adalah E.coli (57,81%) diikuti oleh Klebsiella (29,69%). Organisme lainnya adalah Staphylococcus aureus (4,69%), Pseudomonas (3,13%), streptococcus B hemolitikus (3,13%) dan Acinobacter (1,56%). Tiga puluh sembilan wanita adalah tuberkuler dan kemungkinan mendapatkan tindakan tuberkuler yang tidak perlu yang berujung pada infeksi sekunder. Seluruhnya merespon terapi antituberkuler.Antibiotik spektrum luas, perfusi adekuat, dan tindakan pendukung lainnya diberikan sebagai terapi lini pertama. Transfusi darah atau komponennya diperllukan pada 68 (55,7%) pasien, evakuasi dilakukan pada 76 pasien. Kolpotomi dan kuldosintesis diperlukan pada 13 pasien. Laparotomi eksplorasi yang diikuti drainase pus diperlukan pada 21 pasien. Dari 19 pasien yang mengalami perforasi uterus, 17 menjalani histerektomi, dan dua menjalani perbaikan uterus. Lima pasien menderita perforasi usus dan memerlukan ileostomi atau reseksi anastomosis; satu menderita fistula fekal . infus steroid dan dopamin dosis tinggi diperlukan pada 38 wanita. Delapan wanita juga memerlukan infus adrenalin (0,04 0,4 mg/kg/menit). Delapan belas wanita manajemen lanjutan di departemen lain seperti bedah dan penyakit dalam. Tabel 3 menunjukkan komplikasi yang terjadi.Tabel 2 menunjukkan durasi rawat inap yang dihubungkan dengan gradasi sepsis. Durasi rata-rata adalah 93 hari (rentang 45 menit sampau 45 hari). Angka kasus kemarian adalah 26 /112 (21,3%). Jumlah seluruh kematian ibu di rumah sakit kami selama periode ini adalah 112 dari seluruh rawatan obstetri. Aborsi septik sebagai penyebab kematian terdapat pada 26/112 (23,31%) kasus. 46,15 (12/26) dari kematian akibat aborsi septik terjadi dalam kurun wakti 24 jam pertama rawatan. Sebelasnya berada dalam infeksi stadium IV dengan syok septik.DISKUSIPenelitian kami menunjukkan sejauh mana masalah ini dan akibat buruknya terhadap kesehatan wanita. Fakta bahwa wanita lebih memilih aborsi yang tidak aman walau dengan segala risikonya menunjukkan kurangnya cara yang efektif dan diteruma dalam menghindari kehamilan atau membatasi jumlah keluarga. Tidak beruntung mengingat bahwa bahkan setelah semua usaha legalisasi terminasi kehamilan selama tiga dekade angka mortalitas dan morbiditas akibat aborsi septik tidak menurun secara signifikan.Kebanyakan wanita yang terlibat dalam aborsi yang tidak aman merupakan multipara dan tidak mau memiliki anak lagi, yang bertolak belakang dengan sumber dari negara Barat dimana kebanyakan kasus merupakan primigravida berusia