12 bab ii 1. ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak … · 2016-04-03 · bab ii kajian...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian konsep diri
Menurut Agustiani (2006) konsep diri merupakan gambaran yang
dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-
pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri
bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman
yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu
ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari. Hal serupa tentang
konsep diri menurut Rakhmat (2009) adalah suatu gambaran dan penilaian
tentang diri kita.
Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri
seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Calhoun dan Acoccela (1990)
konsep dir merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek
pengalaman baik itu pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu.
Pendapat lain tentang konsep diri menurut Burns (1993) adalah suatu
gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan, orang-orang lain
berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita
12
13
inginkan. Sedangkan Centi (1993) mengemukakan konsep diri (self
concept) adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari
bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa
tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi
manusia sebagaimana kita harapkan.
Selanjutnya Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2009)
menjelaskan ada lima ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri yang
positif dan negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah,
pertama, yakin mampu mengatasi masalah. Kedua, merasa setara dengan
orang lain. Ketiga, menerima pujian tanpa rasa malu. Keempat, menyadari
bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku
yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. Kelima, mampu memperbaiki
dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek yang tidak disenanginya
dan berusaha mengubahnya. Sedangkan ciri-ciri individu dengan konsep
diri yang negatif ialah peka terhadap kritikan, responsif terhadap pujian,
bersikap hiperkritis terhadap orang lain, cenderung merasa tidak disenangi
oleh orang lain, dan pesimis terhadap kompetisi.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa
tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan
pandangan atau gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya baik
secara fisik maupun psikologis yang dibentuk melalui pengalaman-
pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan.
14
2. Aspek-aspek konsep diri
Menurut Fitts (dalam Agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam
dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut :
a. Dimensi internal
Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan
internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang
dilakukan individu yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap
dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini
terdiri dari tiga bentuk :
1). Diri identitas (identity self)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada
konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “Siapakah saya?”
Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-
simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu
yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan
membangun identitasnya.
2). Diri pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah
lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang
dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan
diri identitas.
15
3). Diri penerimaan atau penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan
evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator)
antara diri identitas dan diri pelaku. Diri penilai menentukan
kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang
menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan
menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan
akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada
dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri
yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis.
Ketiga bagian internal ini mempunyai peranan yang berbeda-
beda, namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu
diri yang utuh dan menyeluruh.
b. Dimensi eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui
hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta
hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang
luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi,
agama, dan sebagainya. Namun dimensi yang dikemukakan oleh
Fitts (dalam Agustiani, 2006) adalah dimensi eksternal yang bersifat
umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:
16
1). Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan
dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang
mengenai kesehatan diri, penampilan (cantik, jelek, menarik,
tidak menarik)dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk,
kurus).
2). Diri etik moral (moral-ethic self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya
dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini
menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan
Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan
nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik
dan buruk.
3). Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang
tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh
kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi
dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap
pribadinya.
4). Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan harga diri seseorang
dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini
menunjukkan sejauh mana seseorang merasa adekuat terhadap
17
dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun
fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
5). Diri sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi
dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
Bagian-bagian internal dan eksternal tersebut saling berinteraksi satu
sama lain, sehingga dari tiga dimensi internal dan lima dimensi eksternal
akan diperoleh lima belas kombinasi yaitu identitas fisik, identitas moral-
etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku
fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga,
tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan
pribadi, penerimaan keluarga, penerimaan sosial.
Berdasarkan uraian aspek-aspek konsep diri di atas maka dapat
disimpulkan bahwa konsep diri meliputi aspek identitas fisik, identitas
moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah
laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku
keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik,
penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, penerimaan sosial.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Menurut Fitts (dalam Agustiani, 2006), konsep diri seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan
perasaan positif dan perasaan berharga.
18
b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain.
c. Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi
yang sebenarnya.
Menurut Stuart & Sudden (dalam Kusuma, 2009), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu :
a. Teori perkembangan
Konsep diri terus berkembang secara bertahap sejak seseorang
dilahirkan, seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan
orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri
yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan
eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan
tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan
interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri
sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi
potensi yang nyata.
b. Significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat)
Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang
lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara
pandangan diri merupakan interpretasi diri pandangan orang lain
terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja
dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh
orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh
budaya dan sosialisasi.
19
c. Self perception (persepsi diri sendiri)
Merupakan persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya,
serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu.
Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman
yang positif. Sehingga konsep diri merupakan aspek yang kritikal
dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang
positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan penguasaan
lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari
hubungan individu dan sosial yang terganggu.
Berdasarkan uraian di atas maka faktor yang mempengaruhi konsep
diri seseorang antara lain : adanya perkembangan, pengalaman,
kompetensi dan persepsi terhadap diri.
4. Perkembangan konsep diri
Konsep diri yang ada pada individu merupakan hasil dari proses
belajar yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia, tidak
terbentuk secara instan. Menurut Symond (dalam Agustiani, 2006)
persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat lahir, tetapi mulai
berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif.
Diri (self) berkembang ketika individu merasakan bahwa dirinya terpisah
dan berbeda dari orang lain. Pada usia 6-7 tahun, batas-batas dari diri
individu mulai menjadi lebih jelas sebagai hasil dari eksplorasi dan
pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Selama periode awal kehidupan,
20
konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang diri sendiri.
Kemudian dengan bertambahnya usia, pandangan tentang diri ini menjadi
lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan
orang lain Taylor, dkk (dalam Agustiani, 2006). Remaja yang masih muda
mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, namun
bagi orang tua ia tetap masih seorang anak-anak. Walaupun
ketidaktergantungan dari orang dewasa masih belum mungkin terjadi
dalam beberapa tahun, remaja mulai terarah pada pengaturan tingkah laku
sendiri (Agustiani, 2006).
Dalam perspektif belajar sosial tentang perubahan perilaku remaja,
Bandura (dalam Yusuf, 2010) berpendapat bahwa proses kognitif yang
mengantarai perubahan tingkah laku dipengaruhi oleh pengalaman yang
mengarahkan untuk menuntaskan tugas-tugas. Mekanisme sosial yang
memfasilitasi harapan-harapan pribadi meliputi empat sumber pokok yang
berpengaruh, yaitu: pengembangan keterampilan yang kondusif bagi
perubahan tingkah laku, pengalaman yang beragam, persuasi verbal
(sugesti dan teguran), penciptaan situasi yang dapat mengurangi dorongan
emosional, yang mempunyai nilai-nilai informatis bagi kompetensi
pribadi. Dalam perkembangan emosional, masa remaja merupakan puncak
perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-
organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan dan
dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan
keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada masa
21
usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang
sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau
situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental, sedangkan
remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya (Yusuf, 2010).
Apabila remaja dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang
aspek-aspek pokok identitas dirinya, seperti fisik, kemampuan intelektual,
emosi, sikap, dan nilai-nilai, maka seorang remaja siap untuk berfungsi
dalam pergaulannya yang sehat baik dengan teman sebaya, keluarga atau
masyarakat dewasa tanpa dibebani oleh perasaan cemas atau frustasi
(Yusuf, 2010).
Menurut Hurlock (dalam Yulianto, 2009) perubahan perkembangan
dalam konsep diri individu bersumber dari kemampuan individual yang
semakin baik, untuk memahami pandangan orang lain dan untuk
mengkonseptualisasikan pikiran dan perasaan, serta adanya perbandingan
sosial yang semakin luas seiring dengan perkembangan individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri berkembang
berdasarkan proses belajar dari pengalaman hidupnya, bukan faktor
bawaan dari lahir.
B. Somatisasi
1. Pengertian somatisasi
Sindroma ini secara historis menurut DSM IV (dalam Tomb, 2003)
disebut histeria atau Sindroma Briquet’s, telah diperbaiki dalam beberapa
tahun terakhir dan dapat sama atau beda dengan diagnosis histeria yang
22
biasanya pasien mempunyai sejumlah gejala fisik yang samar dan dramatis
yang secara khas melibatkan beberapa sistem organ antara lain: semua tipe
gejala konversi termasuk neurologik, nyeri yang samar dan tidak dapat
didefinisikan, problem menstruasi atau seksual, kesulitan sistem
pencernaan, kandung kemih dan kelamin dan jantung dan paru-paru,
pergantian status kesadaran yang sulit ditandai. Gangguan somatisasi
melibatkan fokus yang ekstrim dan berlangsung lama pada berbagai gejala
fisik majemuk yang tidak memiliki penyebab medis yang jelas (Durand,
2006).
Bootzin, Acocella, dan Alloy (dalam Rini, 2009) mendefinisikan
somatisasi sebagai jumlah keluhan fisik yang telah menetap selama
beberapa tahun dan menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis
tetapi tidak ada dasar fisik yang dapat ditemukan.
Gangguan somatisasi merupakan tipe gangguan somatoform yang
melibatkan berbagai keluhan yang munculnya berulang-ulang, yang tidak
dapat dijelaskan oleh penyebab fisik apapun, Nevid (2005).
Jadi gangguan somatisasi merupakan gangguan fisik yang dialami
individu, namun tidak memiliki dasar fisik yang jelas dan terjadi berulang-
ulang dan dapat terjadi sejak usia remaja.
2. Penyebab somatisasi
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi
diduga terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan
somatisasi yakni :
23
a. Faktor Psikososial
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab
gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai sutu tipe komunikasi
sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh:
mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan
emosi (sebagai contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk
mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh:
nyeri pada usus seseorang). Beberapa pasien dengan gangguan
somatisasi berasal dari rumah yang tidak setabil dan telah mengalami
penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga
terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.
b. Faktor Biologis
Ditemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan
somatisasi dan adanya penurunan metabolisme suatu zat tertentu di
otak depan dan bagian otak besar. Selain itu diduga terdapat regulasi
abnormal sistem sitokin (hormon pertumbuhan) yang mungkin
menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan
somatisasi,(www.abnormalanxiety.blogspot.com).
Katon dkk (dalam Durand, 2006) menunjukkan bahwa gangguan
somatisasi terjadi pada sebuah kontinum. Orang-orang dengan sedikit
gejala yang asalnya tidak dapat dijelaskan mungkin mengalami stres dan
hendaya yang cukup memenuhi batasan untuk dianggap memiliki
24
gangguan. Selain sejumlah keluhan somatis, individu mungkin juga
memiliki keluhan psikologis, biasanya berupa gangguan kecemasan atau
gangguan suasana perasaan, Adler et.al. (dalam Durand, 2006). Meskipun
gejala-gejalanya bisa datang dan pergi, gangguan somatisasi dan perilaku
mengambil peran sedikit sakit menyertainya dapat berlanjut hingga tua.
Menurut Kirmayer (dalam Nevid, 2005) gangguan somatisasi
biasanya bermula pada masa remaja atau dewasa muda dan tampaknya
merupakan gangguan yang kronis atau bahkan berlangsung sepanjang
hidup. Menurut Swartz (dalam Nevid, 2005) gangguan ini biasanya
muncul dalam konteks gangguan psikologis lain, terutama gangguan
kecemasan dan gangguan depresi.
Menurut Kaplan (1991) somatisasi merupakan suatu mekanisme
pertahanan yang sering digunakan individu untuk menghindari diri dari
permasalahan karena tidak mau menerima teguran ataupun hukuman. Hal
ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri
dan tidak berpengaruh pada orang lain. Somatisasi merupakan perilaku
yang dipelajari sehingga pendorong-pendorong lingkungan untuk
mempertahankan perilaku sakit yang abnormal. Teori yang ada yaitu
teori belajar, terjadi karena individu belajar untuk mensomatisasikan
dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan akan perhatian
dari keluarga dan orang lain.
Dari beberapa penyebab tersebut di atas dapat disimpulkan gangguan
somatisasi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: faktor
25
psikososial, faktor biologis, adanya stres kehidupan, adanya kecemasan
dan adanya faktor belajar.
3. Kriteria gangguan somatisasi
Kriteria gangguan somatisasi berdasarkan DSM IV:
a. Riwayat banyak keluhan fisik yang mulai muncul sebelum usia 30
tahun, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan
gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan dan menyebabkan
individu mencari penanganan untuk mengatasi masalah.
b. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan.
Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlebihan (misalnya:
kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual). Riwayat sekurangnya dua
gejala gastrointestinal selain dari nyeri (misalnya: mual, kembung,
muntah selain dari kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
berbagai jenis makanan). Riwayat sekurangnya satu gejala seksual
atau reproduksi selain dari nyeri (misalnya: indiferensi seksual,
disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur,
perdaraahan menstruasi yang berlebih, muntah selain masa
kehamilan). Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
(gejala konversi seperti gangguaan koordinasi atau keseimbangan,
26
kelumpuhan, sulit menelan, retensi urin, hilangnya sensasi sentuh
atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, gejala
disosiatif seperti amnesia atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
c. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti
pada gangguan buatan atau pura-pura).
Dalam Carpenito (2000), gangguan somatisasi memiliki beberapa
kriteria diagnosa keperawatan, yaitu :
a. Kerusakan interaksi sosial yang berhubungan dengan efek dari
keluhan somatik multipel pada hubungan.
b. Ketidakefektifan coping individu yang berhubungan dengan
ketakutan yang tidak realistis, depresi yang berhubungan dengan
keyakinan akan tidak mendapat perawatan yang sesuai atau cukup
dari orang lain.
c. Ketidakefektifan coping keluarga yang berhubungan dengan sifat
kronis dari penyakit.
d. Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan kerusakan penilaian dan
gangguan pikiran.
e. Kurangnya perawatan diri yang berhubungan dengan apatis
f. Gangguan konsep diri yang berhubungan dengan perasaan tidak
berharga dan kurangnya batasan ego.
g. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program
terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan
27
tentang kondisi, terapi farmakologis, keterampilan okupasi,
perawatan tindak lanjut.
Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III (dalam
Maslim, 2001):
a. Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan
adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
b. Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan
keluhan-keluhannya.
c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga,
yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari
perilakunya.
Dari beberapa uraian di atas, beberapa kriteria gangguan somatisasi
antara lain: keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya
berdasarkan kondisi umum medis, ketidakefektifan coping individu yang
berhubungan dengan ketakutan yang tidak realistis, gangguan konsep diri
yang berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan kurangnya batasan
ego dan lain sebagainya.
4. Penanganan Somatisasi
Untuk menangani kasus gangguan somatisasi ini lebih
menitikberatkan pada pemberian keyakinan, mengurangi stres, dan
terutama mengurangi frekuensi perilaku mencari bantuan. Perhatian
28
terapeutik lainnya diarahkan pada usaha mengurangi konsekuensi suportif
yang berhubungan dengan orang-orang yang signifikan bagi penderita
yang hanya berdasarkan gejala-gejala fisiknya saja. Metode yang lebih
tepat untuk berinteraksi dengan orang lain ditekankan. Dewasa ini dokter-
dokter keluarga dilatih tentang cara menangani pasien-pasien ini dengan
lebih baik dengan menggunakan sebagian prinsip-prinsip tersebut, Garcia
dkk (dalam Durand, 2006).
Temuan yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa baik penanganan
kogitif-behavioral yang lebih terstruktur (Allen et.al.) maupun obat-obat
antidepresan (Menza et.al) telah memperlihatkan hasil yang menjanjikan
tetapi belum diteliti secara terkontrol (dalam Durand, 2006).
Dari beberapa uraian penanganan somatisasi di atas, dapat
disimpulkan bahwa penanganan kasus somatisasi dapat dilakukan dengan
beberapa hal antara lain: lebih menitikberatkan pada pemberian keyakinan,
mengurangi stres, dan terutama mengurangi frekuensi perilaku mencari
bantuan dan terapi kognitif behavioral.
C. Program Akselerasi
Akselerasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti:
percepatan, peningkatan kecepatan, laju perubahan kecepatan. Beberapa
kriteria sebagai persyaratan seorang siswa dapat diterima di kelas akselerasi
sebagai berikut: 1.) Persyaratan Akademis, yang diperoleh dari skor rata-rata
nilai Rapor, Nilai Ujian Nasional, serta Tes Kemampuan Akademis dengan
29
nilai sekurang-kurangnya 8,00. 2.) Persyaratan Psikologis, yang diperoleh dari
hasil pemeriksaaan psikologis meliputi tes kemampuan tes kemampuan
intelektual umum, tes kreativitas, dan keterikatan pada tugas. Peserta yang
lulus tes psikologi adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual
umum dengan kategori jenius (IQ ≥ 140) atau mereka yang memiliki
kemampuan intelektual umum dengan kategori cerdas (IQ ≥ 125) yang
ditunjang oleh kreativitas dan keterikatan terhadap tugas dalam kategori di
atas rata-rata. 3.) Informasi data subyektif, yaitu nominasi yang diperoleh dari
diri sendiri (self nomination), teman sebaya (peer nomination), orang tua
(parent nomination), dan guru (teacher nomination) sebagai hasil dari
pengamatan dari sejumlah ciri-ciri keberbakatan. 4.) Kesehatan fisik, yang
ditunjang dengan surat keterangan sehat dari dokter. 5.) Kesediaan calon siswa
dan persetujuan orang tua.
Menurut Ahmadi (2011) waktu yang digunakan untuk menyelesaikan
program belajar bagi siswa akselerasi atau yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa lebih cepat dibandingkan dengan siswa reguler. Pada
satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD), dari 6 (enam) tahun dapat dipercepat
menjadi 5 (lima) tahun. Sedangkan pada satuan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masing-
masing dari 3 (tiga) tahun dapat dipercepat menjadi 2 (dua) tahun (Ahmadi,
2011).
30
Persyaratan peserta program akselerasi menurut Widyastomo (dalam
Listyorini 2007) ditentukan berdasarkan nilai raport, nilai Ujian Akhir
Nasional, dan atau hasil tes prestasi akademik di atas rata-rata populasi siswa.
Menurut Widyastomo (dalam Listyorini 2007) Beberapa modifikasi
kurikulum dalam program akselerasi antara lain :
1. Modifikasi alokasi waktu
Waktu yang digunakan disesuaikan dengan kecepatan belajar siswa,
misalnya materi dalam kurikulum reguler selama 6 jam, maka untuk
kelas akselerasi dapat dimodifikasi menjadi 4 jam, satu semester menjadi
4 bulan, tiga tahun menjadi dua tahun, dan sebagainya.
2. Modifikasi isi atau materi
Modifikasi isi atau materi dipilih materi yang esensial
3. Modifikasi proses belajar mengajar
Modifikasi proses belajar mengajar yang dapat dilakukan antara lain,
mengembangkan proses berfikir tingkat tingi, yang meliputi analisis,
sintesis, evaluasi, dan problem solving; menggunakan pendekatan
student centered; mendorong kemandirian; lebih terbuka (divergent);
memberikan kesempatan mobilitas tinggi; menerapkan pembelajaran
kompetitif seimbang dengan kooperatif; dan disesuaikan dengan tipe
belajar siswa (visual, auditoris, kinestesis).
4. Modifikasi sarana-prasarana
Modifikasi sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan penyediaan
laboratorium dan alat-alat yang lengkap; penyediaan sumber belajar
31
yang memadai seperti: buku paket, buku pelengkap, buku referensi, buku
bacaan, majalah, koran, modul, lembar kerja, kaset video, VCD, CD-
ROOM, dan sebagainya; penyediaan media pembelajaran seperti radio,
cassete recorder, TV, OHP, wirelles, slide projector, LD/ LCD/ VCD/
DVD player, dan sebagainya; serta adanya sarana Information
Technology (IT), jaringan internet, dan lain-lain.
5. Modifikasi lingkungan belajar
Lingkungan belajar dibuat kondusif, serta ada sudut baca (perpustakaan
kelas).
6. Modifikasi pengelolaan kelas
Modifikasi pengelolaan kelas memungkinkan untuk dilaksanakannya
pembelajaran.
D. Kerangka Berpikir
Persaingan yang semakin tajam sebagai dampak globalisasi dan
perkembangan ilmu dan teknologi mendorong individu melakukan usaha
peningkatan mutu dan menciptakan keunggulan kompetitif yang bisa
menjamin kelangsungan hidup. Individu dituntut lebih banyak menciptakan
keunggulan kompetitif melalui peningkatan pengetahuan (knowledge),
pengalaman (experience), dan keahlian (skill). Namun, pada kenyataannya
seringkali terlihat bahwa individu atau kelompok individu secara tidak
langsung, sadar atau tidak, pada umumnya menunjukkan ciri-ciri kepribadian
yang tidak sesuai dengan tuntutan tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh
32
benturan-benturan, ketegangan, tekanan atau penyesuaian dirinya yang kurang
harmonis dengan lingkungan yang kemudian mempengaruhi tingkah laku
individu tersebut apabila ada tuntutan-tuntutan pada seseorang yang dirasakan
menekan, membebani atau melebihi daya penyesuaian yang dimiliki individu
Wijono (dalam Rini, 2009).
Untuk mencapai standar yang terbaik tentunya diperlukan sesuatu yang
ekstra baik pikiran maupun tenaga. Menurut Selye (dalam Mc. Quade 1991)
manusia terus berkembang, namun persoalannya manusia terus berkembang
pesat tetapi tubuh kita berkembang dengan sangat lamban. Manusia selalu
mengira tubuhnya selalu bekerja secara intelijen tetapi sebenarnya tidak.
Menurut Mc.Quade (1991) stres pada umumnya timbul karena pikiran
dan tubuh bersama-sama membuat suatu kesalahan yang sama, yang
disebabkan oleh aksi dan reaksi fisiologis. Reaksi-reaksi fisik ini lebih terjadi
karena adanya faktor psikologis. Individu yang tidak siap secara psikologis
dalam menghadapi stresor tersebut akan menghindarkan diri dari situasi
tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk menghindari adalah dengan
melakukan somatisasi. Menurut Ford (dalam Rini, 2009) dengan melakukan
somatisasi, maka seseorang akan memperoleh status sakit beserta semua hak
dan kewajiban yang melekat pada peran sakit tersebut dan terbebas dari
berbagai kegiatan yang menuntut tanggung jawabnya.
Konsep diri yang positif sangat diperlukan bagi subjek. Sebab dengan
konsep diri yang positif seorang individu akan memahami dan tahu betul
tentang dirinya dan dapat melakukan evaluasi yang positif dan dapat
33
menerima keberadaan orang lain. Namun apabila seorang individu konsep
dirinya negatif maka akan memandang dirinya tidak teratur, mengembangkan
perasaan tidak mampu dan rendah diri Hurlock (dalam Yulianto, 2009). Hal
tersebut yang dapat menjadikan seorang individu tidak dapat mengatasi stresor
sehari-hari dan akhirnya dapat timbul gangguan somatisasi tadi.
Konsep diri merupakan hal yang sangat penting untuk ada dalam diri
seseorang. Karena sebisa mungkin seseorang bertingkah laku sesuai dengan
konsep dirinya. Bila subjek menganggap dirinya orang yang rajin, maka ia
akan berusaha mengikuti setiap pelajaran dengan baik sehingga akan
memperoleh nilai akademis yang baik. Namun apabila subjek menganggap
dirinya tidak mampu mengikuti proses belajar dengan baik maka ia pun sulit
untuk mengikuti suatu proses pembelajaran. Sehingga semua tugas-tugas
sekolah akan dianggap beban, hal inilah yang akan menjadi stresor dalam
kehidupannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengaruh konsep diri terhadap
kecenderungan somatisasi dapat ditunjukkan dalam skema kerangka
pemikiran sebagai berikut :
34
Gambar 1. Kerangka Berpikir
E. Hipotesis
Berdasarkan teori di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sementara
bahwa ada pengaruh konsep diri terhadap kecenderungan somatisasi pada
peserta didik akselerasi di SMP N 1 Purwokerto (RSBI). Adanya pola
hubungan yang negatif antara konsep diri dengan kecenderungan somatisasi
pada peserta didik akselerasi di SMP N 1 Purwokerto (RSBI). Semakin positif
konsep diri maka semakin ringan somatisasi.
Peserta didik
Akselerasi Konsep diri negatif:
Menilai diri secara negatif, tugas
dianggap beban
Konsep diri positif: Menilai diri secara
positif, menganggap tugas
bukan beban
Gangguan somatisasi ringan
Ganggguan somatisasi berat