11 bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna
untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai pemberdayaan keterampilan
vokasional bagi anak tunarungu telah dilakukan oleh peneliti atau penulis-penulis
sebelumnya. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan diketahui bahwa
tulisan dalam bentuk buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian yang terkait dengan
pemberdayaan keterampilan bagi anak tunarungu sebagai sasaran penelitian
secara khusus belum ada.
Kajian yang mendekati penelitian ini adalah kajian I Gusti Made Bagiadi
(2006) dalam tulisannya “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Penyandang
Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (Perspektif Kajian Budaya)”.
Penelitian tersebut membahas pemberdayaan penyandang cacat yang
diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan
peranan pemerintah dalam mendukung pemberdayaan untuk mencapai
kesejahteraan. Dalam penelitian I Gusti Made Bagiadi (2006:176) disimpulkan
bahwa meskipun ada sedikit kendala, baik sifatnya internal maupun eksternal,
secara umum pemberdayaan KUBE penyandang cacat ditemukan dua di antaranya
tergolong maju, satu berkembang dan sisanya tumbuh. Faktor yang menyebabkan
belum semua KUBE penyandang cacat maju adalah di satu sisi belum ada
12
kesungguhan KUBE penyandang cacat itu sendiri terutama keaktifan pengurusnya
dalam menjalankan organisasi. Sebaliknya di sisi lain adanya kelemahan dalam
pengembangan bakat kewirausahaan mereka sendiri.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada hal yang diberdayakan.
Dalam penelitian Bagiadi yang diberdayakan adalah KUBE yang terbentuk
berdasarkan keterampilan yang dimiliki anggotanya. Tujuan pembentukannya
adalah untuk berproduksi dalam mencapai kesejahteraan. Sebaliknya penelitian
yang dilaksanakan oleh peneliti adalah anak tunarungu yang di didik melalui
pendidikan keterampilan vokasional di sekolah sehingga mempunyai bekal untuk
hidup mandiri di masyarakat, sedangkan persamaannya adalah sama-sama
membahas pemberdayaan penyandang cacat.
Selanjutnya Encep Kasroni (2003:6) dalam tulisannya dengan judul
“Mencari Format Menuju Keberdayaan Ekonomi Penyandang Cacat”. Penelitian
ini membahas keberdayaan ekonomi penyandang cacat dari berbagai jenis
kecacatan melalui koperasi, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah
pemberdayaan keterampilan vokasional melalui sekolah. Persamaan dengan
penelitian tersebut adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang
cacat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “koperasi” merupakan salah satu
alternatif yang dapat dipakai untuk memberdayakan ekonomi penyandang cacat.
Sebagai uji coba atau dapat dijalankan pembentukan kelompok swadaya
penyandang cacat (KSP) beranggotakan 5--10 orang penyandang cacat dari
berbagai jenis kecacatan dan dibentuk berdasarkan kesamaan usaha atau
13
berdasarkan kedekatan domisili yang memungkinkan terbentuknya KSP dalam
keragaman usaha.
Selanjutnya, penelitian yang ditulis oleh I Wayan Nurija (2008) dengan
judul “Pemberdayaan Pengangguran Melalui Pelatihan Kewirausahaan Tenaga
Kerja Pemuda Mandiri Profesional dan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik di Kota
Denpasar”. Penelitian ini membahas pemberdayaan pemuda pengangguran yang
ada di kota Denpasar melalui pelatihan kewirausahaan dan pemagangan. Hasil
penelitian itu menunjukkan bahwa berdasarkan status kepemilikan usaha 80,33%
tkpmp/tkmt mengelola usaha milik sendiri dengan modal milik keluarga.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yaitu penelitian tersebut
memberdayakan pengangguran melalui pelatihan kewirausahaan dan
pemagangan. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah anak
tunarungu yang di didik keterampilan vokasional melalui proses pembelajaran.
Persamaannya, yaitu sama-sama meneliti tentang pemberdayaan.
Leli Rahayu (2008) dalam penelitiannya dengan judul “Pemberdayaan
Kelompok Usaha Bersama Keluarga Miskin di Kecamatan Denpasar Barat Kota
Denpasar: Sebuah Kajian Budaya”. Penelitiannya membahas kelompok usaha
bersama keluarga miskin dengan pemberian bantuan berupa sapi beserta
pengembangannya (pembuatan pupuk kandang). Penelitian tersebut
menyimpulkan walaupun pemberdayaan sudah dilaksanakan secara maksimal,
belum semua keluarga miskin berhasil, hanya separo yang bisa berhasil
meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sedangkan sebagian lagi belum
berhasil. Di pihak lain penelitian yang dilaksanakan penulis membahas
14
pemberdayaan anak tunarungu melalui sekolah dengan pendidikan dan pelatihan
keterampilan vokasional. Persamaannya adalah sama-sama membahas
pemberdayaan. Hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang telah diuraikan,
sangat diperlukan sebagai bahan pembanding bahwa penelitian yang dilakukan
belum pernah dibahasnya secara khusus.
Selanjutnya buku yang ditulis oleh Sunyoto Usman (2010) dengan judul
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat membahas transformasi sosial dan
pemberdayaan masyarakat, problema masyarakat modern, Islam dan perubahan
sosial, modernisasi dan masalah lingkungan hidup. Buku tersebut sebagai
referensi tentang pemberdayaan yang penulis lakukan.
Berbagai karya yang telah diuraikan di atas, baik berupa karya ilmiah
maupun dalam bentuk buku, belum menunukkan adanya kajian yang mendalam
terkait dengan pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu. Oleh
karena lebih banyak perbedaan, maka menunjukkan keaslian penelitian ini dan
diharapkan kajian-kajian yang telah dibukukan di atas dapat mendukung
penelitian yang penulis laksanakan.
2.2 Konsep
Konsep dalam penelitian ini adalah (1) pemberdayaan keterampilan
vokasional, (2) anak tunarungu, dan (3) Sekolah Luar Biasa Bagian B. Setiap
konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
15
2.2.1 Pemberdayaan keterampilan vokasional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:242) kata
pemberdayaaan memiliki arti cara atau proses, perbuatan memberdayakan.
Sebagai sebuah proses, maka pemberdayaan adalah upaya terus-menerus dengan
berbagai terobosan sampai tercipta masyarakat yang berdaya, yakni memiliki
kemampuan dan kekuatan dalam menghadapi berbagai hal.
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karena itu, ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan (Suharto,
2005:57). Menurut Ife dan Tesoriero (2008:510/ dalam wordpress com),
pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosakata,
pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
demi masa depan mereka sendiri. Selain itu, untuk berpartisipasi dan
memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa
pemberdayaan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat untuk
mandiri, dapat mengendalikan masa depannya, bahkan dapat memengaruhi orang
lain.
Bookman dan Morgen (1988:4) mengemukakan bahwa pemberdayaan
sebagai konsep yang sedang populer mengacu pada usaha menumbuhkan
keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke
atas, serta memberikan psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya.
Suharto (2005:58) mengatakan pemberdayaan menunjuk pada kemampuan
orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki
16
kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga
mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti tidak saja bebas
mengemukakan pendapat, tetapi juga bebas dari kelaparan, kebodohan, dan
kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka
dapat meningkatkan pendapatannya dan memeroleh barang-barang dan jasa-jasa
yang mereka perlukan, dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang memengaruhi mereka.
Pengertian-pengertian mengenai pemberdayaan tersebut menunjukkan
bahwa pada prinsipnya pemberdayaan bukan merupakan suatu program atau
kegiatan yang berdiri sendiri. Pemberdayaan merujuk pada serangkaian kegiatan
yang bertujuan untuk memperbaiki lebih dari satu aspek pada diri dan kehidupan
seseorang atau sekelompok orang agar mampu melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk membuat kehidupannya lebih baik dan sejahtera. Untuk
mencapai kesejahteraan, diperlukan motivasi yang tinggi pada diri setiap
individu.
Secara sederhana, tujuan pemberdayaan adalah membuat
sesuatu/seseorang memiliki daya. Adi (2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan
dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi,
pendidikan, atau kesehatan”. Suharto (2005:60) berpendapat bahwa tujuan utama
pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok
lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya
persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh
17
struktur sosial yang tidak adil. Untuk itu Suharto mengategorikan kelompok
lemah.
Ada beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah
atau tidak berdaya, meliputi.
1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender
maupun etnis.
2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja,
penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
3. Kelompok lemah secara personal, yakni yang mengalami masalah pribadi
dan keluarga.
Apabila merujuk pada pemikiran Suharto (2005:60) di atas mengenai
kelompok lemah dan ketidakberdayaan, maka salah satu dari kelompok
rentan dan lemah itu adalah anak tunarungu.
Pendidikan keterampilan, atau yang disebut pendidikan vokasi
(vokasional), saat ini menjadi alternatif pembelajaran yang diyakini mampu
menjadi solusi dalam mengurangi jumlah pengangguran. Hal itu disebabkan oleh
konsep pendidikan lebih menitikberatkan pada keterampilan (skill), dirancang
dengan kurikulum yang mengasah keterampilan, disiplin, dan konsep pesertanya
tentang pekerjaan dan kewirausahaan. Program pendidikan vokasional,
diharapkan dapat menjembatani lulusan SLB dengan dunia kerja dan kebutuhan
pasar serta kualifikasi lulusan pendidikan vokasi dapat diperhitungkan di pasaran.
Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem
pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan
18
khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain peserta
didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan
kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan
kecakapan hidup merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik
di lembaga pendidikan dan masyarakat juga dunia kerja.
Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum
dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Di
samping itu, juga pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek
dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di
wilayahnya.
Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memampukan
anak tunarungu menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif, dan tangguh.
Kecakapan Hidup (life skills) atau keterampilan vokasional merupakan salah satu
standar isi yang menjadi pokok dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
sehingga setiap sekolah diharapkan dan dimungkinkan untuk menerapkan standar
isi ini. Menurut Mulyani Sumantri (2004 http://klipingut.wordpress.com/
2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswa-sma-dan-ma/), tujuan khusus
pembelajaran life skills adalah seperti di bawah ini.
1. Menyajikan kecakapan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai
teknik yang memadai bagi siswa.
2. Mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan masyarakat masa
kini dan memenuhi kebutuhan pada masa datang.
19
3. Mengembangkan kemampuan membantu diri dan kecakapan hidup agar
setiap siswa dapat mandiri.
4. Memperluas pengetahuan dan kesadaran siswa mengenai sumber-sumber
dalam masyarakat.
5. Mengembangkan kecakapan akademik yang mendukung kemandirian
setiap siswa.
6. Mengembangkan kecakapan pravokasional dan vokasional dengan
memfasilitasi latihan kerja dan pengalaman bekerja di masyarakat.
7. Mengembangkan kecakapan untuk memanfaatkan waktu senggang dan
melakukan rekreasi.
8. Mengembangkan kecakapan memecahkan masalah untuk membantu siswa
melakukan pengambilan keputusan masa kini dan pada masa depan.
Keterampilan vokasional merupakan pembelajaran yang menitikberatkan
pada penggabungan antara teori dan praktik dengan tujuan mempersiapkan peserta
didik agar terampil di bidang tertentu (sesuai dengan bakat, minat, dan potensi
yang dimilik setiap anak) agar dapat berkompetensi dalam dunia kerja, dunia
usaha, dan dunia industri. Keterampilan vokasional memberikan kesempatan
peserta didik untuk terlibat dalam pengalaman apresiasi dan kreasi untuk
menghasilkan suatu karya yang bermanfaat bagi peserta didik. Aktivitas
pembelajaran memberikan bekal kepada peserta didik agar adaptif, kreatif dan
inovatif melalui pengalaman belajar yang menekankan pada aktivitas fisik dan
aktivitas mental. Orientasi pembelajaran keterampilan vokasional adalah
memfasilitasi pengalaman emosi, intelektual, fisik, persepsi, sosial, estetika,
20
artistik dan kreativitas peserta didik dengan melakukan aktivitas apresiasi dan
kreasi terhadap berbagai produk.
Muara akhir sekaligus tujuan dari keberhasilan penyelenggaraan pendidikan
tinggi adalah terserapnya peserta didik ke pasar tenaga kerja selepas
menyelesaikan studinya. Pendidikan keterampilan atau yang disebut pula sebagai
pendidikan vokasional, saat ini diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi
angka pengangguran. Hal itu disebabkan oleh konsep pendidikannya lebih
mengandalkan skill atau keterampilan dan bertujuan melahirkan sumber daya
manusia yang berkualitas, terampil, memiliki disiplin tinggi, dan berjiwa
kewirausahawan. Menurut Puskur Depdiknas (2007
http://klipingut.wordpress.com/2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswa-
sma-dan-ma/), keterampilan vokasional merupakan keterampilan membuat sebuah
produk yang berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat.
Bekal keterampilan vokasional seorang siswa diharapkan dapat digunakan
untuk memeroleh pekerjaan sesuai dengan bidang yang diminatinya. Misalnya,
kemampuan mencetak batako dapat digunakan sebagai modal kemampuan untuk
mendirikan usaha sendiri atau kemampuan menjahit dapat dijadikan modal
kemampuan untuk bekerja pada industri garmen. Keterampilan vokasional terdiri
atas dua bagian, yaitu keterampilan vokasional dasar (basic vocational skill) dan
keterampilan vokasional khusus (occupational skill). Keterampilan vokasional
dasar mencakup, antara lain melakukan gerak dasar, menggunakan alat sederhana,
menghasilkan teknologi sederhana berdasarkan aspek taat asas, presisi, akurasi,
21
dan tepat waktu yang mengarah pada perilaku produktif. Keterampilan vokasional
khusus berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu.
Berdasarkan defenisi di atas, peserta didik diarahkan pada penguasaan
keterampilan vokasional khusus sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan yang
sesuai dengan bidangnya atau membuka usaha sendiri.
2.2.2 Anak tunarungu
Menurut Daniel F.Hallahan dan J.H.Kauffman dalam Pemanarian Somad
(1996:26), tunarungu adalah suatu istilah umum yang digunakan bagi mereka
yang mengalami kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan
mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli
dan kurang dengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan
mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran
baik memakai maupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sebaliknya, orang
kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu
mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses
informasi bahasa melalui pendengaran.
Selanjutnya menurut Sardjono (1995:8), tunarungu adalah anak yang
kehilangan pendengaran sejak lahir atau yang kehilangan pendengaran sebelum
belajar bicara atau kehilangan pendengaran pada saaat anak mulai belajar bicara
karena suatu gangguan pendengaran, suara, dan bahasa seolah-olah hilang.
Menurut Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung
(1988) dalam Pemanarian Somad (1996:27) mengemukakan bahwa “tunarungu
22
dapat diartikan suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indra
pendengaran”.
Dari beberapa batasan tentang pengertian tunarungu yang telah
dikemukakan oleh para ahli di atas diketahui bahwa anak tunarungu adalah
seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian
maupun keseluruhan dari fungsi pendengarannya sehingga pendenggarannya tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya walaupun telah menggunakan alat bantu
dengar. Dengan demikian, individu tersebut memerlukan pelayanan dan
pendidikan secara khusus agar dapat mencapai perkembangan seoptimal mungkin.
Orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat
berbicara, yaitu mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau
tidak jelas artikulasinya, bahkan tidak berbicara sama sekali, dapat dikatakan
mereka berisyarat.
2.2.3 Sekolah Luar Biasa Bagian B
Sekolah Luar Biasa Bagian B adalah lembaga pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena mengalami gangguan pendengaran dan komunikasi. Selain itu, pendidikan
luar biasa juga berarti pembelajaran yang dirancang khususnya untuk memenuhi
kebutuhan yang unik dari anak berkebutuhan khusus. Secara singkat pendidikan
luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi
kebutuhan unik dari individu/siswa dalam menyongsong kehidupan pada masa
depan.
23
Pendidikan Luar Biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu
sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk
mencapai potensinya secara maksimal. Dalam satu unit SLB biasanya terdapat
berbagai jenjang pendidikan mulai dari TKLB, SDLB, SMPLB, hingga SMALB.
Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak
yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran.
Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu, sekolah
juga merupakan tempat proses pembudayaan dan pembentukan karakter serta
sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri terjun ke dalam masyarakat.
Para ahli sejarah pendidikan menggambarkan mulainya pendidikan luar
biasa pada akhir abad kedelapan belas atau awal abad kesembilan belas. Di
Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda
masuk ke Indonesia, (1596--1942) mereka memperkenalkan sistem persekolahan
dengan orientasi barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat
dibuka lembaga–lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak
tunanetra dan tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarunggu tahun 1930.
Keduanya berlokasi di kota Bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI
mengundangkan yang pertama mengenai pendidikan khususnya mengenai anak-
anak yang mempunyai kelainan fisik atau mental. Undang-undang itu
menyebutkan bahwa pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan
khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak
tersebut pasal 8 yang berisi semua anak-anak yang sudah berumur enam tahun
24
berhak dan sudah berumur delapan tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya
enam tahun.
Berlakunya undang-undang tersebut, menyebabkan sekolah-sekolah baru
muncul yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak
tunadaksa dan tunalaras. Sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB).
Berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk tiap-tiap kategori
kecacatan SLB itu dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
1. SLB bagian A untuk anak tunanetra ( buta/low vision )
2. SLB bagian B untuk anak tunarungu (tuli/kurang dengar)
3. SLB bagian C untuk anak tunagrahita (IQ di bawah rata-rata)
4. SLB bagian D untuk anak tunadaksa (cacat fisik)
5. SLB bagian E untuk anak tunalaras (anak nakal)
6. SLB bagian F untuk anak cacat ganda (lebih dari satu kecacatan)
Pasal-pasal yang melandasi pendidikan luar biasa, bahwa seluruh warga
Negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai
hak yang sama untuk memeroleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945
pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “tiap–tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran”. Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang
tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-
anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut.
25
1. Bab 1 pasal 1 (18) wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang
harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah. .
2. Bab II pasal 4 (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis
berdasarkan HAM, agama, kultural dan kemajemukan bangsa.
3. Bab IV pasal 5 (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memeroleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual maupun sosial berhak memeroleh
pendidikan khusus.
4. Bab V pasal 12 (1) huruf b mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
5. Bab VI bagian kesebelas tentang pendidikan khusus, pasal 32 (1)
pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
social, atau memiliki potensi kecerdasan.
2.2.4 Definisi operasional
Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu adalah
upaya yang dilakukan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan dalam
membangun daya, potensi peserta didik dengan mendorong, memotivasi, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
mengembangkannya. Pemberdayaan anak tunarungu dimaksudkan untuk
meningkatkan sumber daya manusia, memperkuat potensi peserta didik melalui
pendidikan keterampilan dan pelayanan sosial dengan menerapkan prinsip
26
kegotongroyongan, kebersamaan, keswadayaan, dan partisipasi. Selain itu,
memberikan dan meningkatkan motivasi untuk maju dari ketidakberdayaan
sehingga ia mampu hidup mandiri dan dapat bekerja, terlebih dapat menciptakan
lapangan pekerjaan di masyarakat. Setiap peserta didik memiliki potensi yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya dengan mengenali,
memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya,
memotivasi dan mendorong untuk berprestasi. Dengan demikian, dapat dikatakan
memperkuat potensi yang dimiliki peserta didik. Indikator upaya pemberdayaan
anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri Tabanan ini dalam
pelaksanaannya melalui beberapa tahapan yaitu (1) pelatihan keterampilan, (2)
pendidikan dan evaluasi, dan (3) promosi.
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini diaplikasikan teori-teori secara eklektik dan diuraikan
sebagai berikut.
2.3.1 Teori Pemberdayaan
Ketimpangan struktur kekuasaan yang berlangsung selama ini, ketika
masyarakat haus akan kebutuhan untuk mendapat kekuasaan dalam mengatur diri
mereka sendiri merupakan sesuatu yang harus diatasi dan pemberdayaan muncul
sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur tersebut. Dalam konteks tersebut
Ife (1995:182) menjelaskan bahwa pemberdayaan tentang pengetahuan dan
keterampilan kepada orang-orang untuk menentukan diri mereka sendiri pada
masa mendatang dan untuk berprestasi dalam menghadapi kehidupan masyarakat
27
itu sendiri. Pemberdayaan yang dimaksud adalah memberikan pengetahuan dan
pelatihan keterampilan untuk anak tunarungu sehingga dapat hidup mandiri di
masyarakat.
Selanjutnya Erwidodo (1999:15) mengatakan bahwa keberpihakan yang
bersifat pemberdayaan yang diberikan kepada pelaku ekonomi lemah, khususnya
di pedesaan bisa efektif kalau kondisi mekanisme pasar bekerja dengan baik dan
memadainya kemampuan bisnis (kewirausahaan) dari pelaku ekonomi lemah
tersebut. Pemberdayaan anak tunarungu dimaksudkan agar anak tunarungu
memeroleh keterampilan, mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga bisa
mandiri serta meningkatkan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya kesejahteraan sosial. Usaha pemberdayaan ini harus dilakukan secara
berkesinambungan dan terus-menerus. Shaardlow dalam Adi (2003:54)
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada intinya bagaimana individu, kelompok,
ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan untuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Pada prinsipnya individu dapat menentukan pilihannya dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia dalam hal
ini anak tunarungu memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu Pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
28
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena jika demikian, akan
sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Langkah-langkah lebih
positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana sangat diperlukan
meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang
akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan tidak hanya meliputi
penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Upaya
menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Demikian pula pembaruan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.
Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,
pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung
pula arti melindungi. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang
lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup interaksi, karena hal itu justru
akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Upaya melindungi
dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,
serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat tidak
29
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program
pemberian (charity). Hal itu terjadi karena pada dasarnya setiap apa yang
dihasilkan harus dari usaha sendiri. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat, memampukan dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
Teori pemberdayaan digunakan penulis dalam penelitian ini untuk
mengulas bentuk pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu
lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Bisa Bagian B Negeri
Kabupaten Tabanan.
2.3.2 Teori motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Pentingnya dorongan
yang berasal dari dalam diri seseorang bagi perbaikan diri dan perbaikan
lingkungan dikemukakan oleh McClelland (1961:34) bahwa kegagalan
pembangunan sebuah masyarakat disebabkan 0leh warga masyarakat tersebut
tidak memiliki motivasi untuk berprestasi. Anak tunarungu bersifat pasrah dan
menerima nasib apa adanya tanpa perlawanan.
Oleh karena itu, agar pembangunan (dalam hal ini adalah pemberdayaan
keterampilan vokasional bagi anak tunarungu) berhasil, sikap anak tunarungu
harus diubah dan didorong untuk memiliki motivasi. Seberapa kuat motivasi yang
dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
30
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan
lainnya.
Berkaitan dengan motivasi, Stoner (1996:134) menyatakan bahwa
motivasi sebagai suatu manajemen untuk memengaruhi tingkah laku manusia
berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan orang bergerak.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri (daya pendorong) seseorang
untuk mencapai tujuan. Teori motivasi memfokuskan pada pertanyaan mengapa
perilaku individu terjadi? Jawabannya adalah (1) kebutuhan-kebutuhan, motif-
motif, atau dorongan-dorongan yang mendorong, menekan, memacu dan
menguatkan individu untuk melakukan kegiatan, (2) hubungan-hubungan individu
dengan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan, mendorong, dan memengaruhi
untuk melakukan suatu kegiatan (Handoko,1986:158).
Mengacu pada pandangan di atas, teori ini digunakan untuk memberikan
dorongan pada peserta didik dan pendidik dalam mengatasi kendala-kendala
dalam program pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu.
2.3.3 Teori dekonstruksi
Menurut Kutha Ratna (2005:250), kata dekonstruksi berakar dari
de+constructio (Latin). Pada umumnya prefiks “de” berarti ke bawah,
pengurangan, atau terlepas dari. Selanjutnya, “constructio” berarti bentuk,
susunan, menyusun, atau mengatur. Dalam pandangannya mengatakan bahwa
dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas
bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang baku. Dalam teori kontemporer,
dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran,
31
penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti
semula.
Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya kegiatan dilakukan
secara terus-menerus untuk mengurangi intensitas oposisi biner sehingga unsur
yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Sebaliknya, unsur-
unsur semula selalu terlupakan, terdegradasikan, dan termarginalisasikan yang
dalam hal ini seperti kelompok minoritas, kelompok lemah, kaum perempuan,
tokoh-tokoh komplementer, kawasan kumuh, pejalan kaki, dan sebagainya yang
dapat diberikan perhatian memadai, bahkan secara seimbang dan proporsional.
Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan keberadaan studi kultural di
Indonesia, baik secara teori maupun metode, pemanfaatan teori dekonstruksi dan
posstrukturalisme pada umumnya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Sama seperti
teori-teori lain, dekonstruksi sudah ada di depan kita sehingga tidak mungkin
untuk menolaknya. Masalahnya adalah bagaimana teori diaplikasikan dan
dimanfaatkan sehingga tidak mengorbankan hakikat objek. Teori
posstrukturalisme sendiri sudah mengalami evaluasi selama berabad-abad
sehingga dengan sendirinya juga sudah melihat kelemahan-kelemahan teori
terdahulu. Di samping itu, sebuah teori lahir sesudah lahirnya gejala baru ternyata
tidak terdeteksi oleh teori terdahulu. Teori posstrukturalisme ternyata telah
melihat adanya stagnasi dalam strukturalisme dan varian-variannya.
Inti teori dekonstruksi Derridean pada dasarnya adalah perbedaan
(diffrence), sehingga akan disebut sebagai teori perbedaan. Oleh karena itu, maka
dekonstruksi disebut sebagai ciri utama teori pos-strukturalisme.
32
Multikulturalisme, misalnya dalam teori kontemporer dianggap sebagai ciri
utama. Menurut Spivak (dalam Agger, 2003:140), perbedaan manusia lebih
penting daripada persamaan. Menurut Derrida, interpretasi tidak bisa berhasil
untuk memecahkan persoalan makna sebab interpretasi sebagaimana dimaksud
oleh para filsuf dan teologi, kemudian diintroduksi oleh Gadamer (120--121).
Tujuannya, yakni untuk menemukan makna yang benar atau sebaliknya. Menurut
Derrida, makna benar tidak mungkin atau tidak perlu dicapai sebab semua teks
mendekonstruksi dirinya sendiri sebagaimana makna secara harfiah, textum/textus
diartikan sebagai “tenunan, jaringan, atau susunan”.
Dalam kaitannya dengan ciri-ciri perbaikan bahwa aspek-aspek yang
diperbaiki adalah yang berhubungan dengan keberadaan manusia pascamodern.
Masyarakat kontemporer sadar bahwa modernisme melalui zaman pencerahan
dengan memanfaatkan kemampuan rasio, yakni telah melahirkan revolusi dalam
bidang sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan umat
manusia. Dalam bidang sosial politik telah terjadi perubahan besar dengan
lahirnya demokrasi dan kebebasan berpikir dalam segala bidang. Dalam bidang
ekonomi telah terjadi peningkatan pendapatan negara sebagai akibat
ditemukannya sumber-sumber energi alam, peningkatan teknologi pertanian,
kelautan, kehutanan, pariwisata, dan sebagainya.
Satu masalah yang belum dipertimbangkan, justru merupakan akibat
kemajuan peradaban manusia itu, dalam hal ini disebut sebagai dampak negatif,
yakni eksploitasi tanpa batas sehingga terjadi pembalikan total proposisi “sains
untuk manusia” menjadi “manusia untuk sains”. Penggusuran, perombakan
33
monumen bersejarah, degradasi seni dan seniman, alih fungsi pertanian dan
kawasan wisata untuk keperluan pabrik dan sebagainya, yakni merupakan
sejumlah akibat negatif strukturalisme. Dekonstruksi memandang sains sebagai
“alat” melaluinya harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Sains bukanlah
subjek dalam pengertian bahwa sains secara bebas membawa manusia ke dalam
perangkap.
Demikianlah teori dekonstruksi telah menjadi salah satu teori utama yang
dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kebudayaan kontemporer,
khususnya dalam kerangka studi kultural. Dengan kata lain, sebagai ciri khas
posstrukturalisme, dekonstruksi melalui cara kerjanya dikenal dengan
“membongkar”, yang dianggap sebagai salah satu metode yang paling tepat untuk
memahami pluralisme budaya. Apabila benar bahwa manusia kritis merupakan
masa untuk membangun kembali (moment of construction), sesuai dengan
pendapat Gramsci (2000:173), maka pembongkaran harus diikuti oleh
pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara baru
sehingga memeroleh temuan-temuan baru secara praktis dan nyata.
Teori dekonstruksi digunakan penulis dalam penelitian ini untuk melihat
dampak serta makna yang terkait dengan upaya pemberdayaan keterampilan
vokasional bagi anak tunarungu lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah
Luar Bisa Bagian B Negeri Kabupaten Tabanan.
34
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini menganalisis pemberdayaan keterampilan bagi anak
tunarungu pada Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan di Kabupaten
Tabanan. Pemberdayaan ini dilakukan oleh sekolah, pemerintah, dan masyarakat
dengan tujuan membuat agar mampu di samping memandirikan anak tunarungu
agar dapat mengembangkan diri melalui potensi yang dimiliki untuk mencapai
kemajuan yang pada akhirnya meningkatkan harkat dan martabatnya di
masyarakat. Selanjutnya untuk lebih memahami permasalahan yang dibahas
dengan konsep dan teori yang digunakan, maka dapat digambarkan dengan suatu
model penelitian seperti gambar berikut.
Model Penelitian
Keterangan tanda
Menyatakan hubungan searah
Menyatakan hubungan timbal balik
Pemerintah Sekolah LuarBiasa
Bentuk upayasekolah
Kendala-kendaladan cara mengatasi
Dampak danmakna
- Sumber biaya
- Peraturan
- Kurikulum
- Puskesmas
- Komite Sekolah
- Panti
Upaya sekolah dalampemberdayaan keterampilanvokasional bagi anaktunarungu pada sekolah LuarBiasa bagian B NegeriTabanan di KabupatenTabanan
35
Penjelasan Model
Kesejahteraan sosial anak tunarungu bersifat kompleks, maka upaya
pemberdayaan yang dilaksanakan harus bersifat sinergis, berkesinambungan dan
komprehensif dengan mengikutsertakan berbagai instansi terkait, baik instansi
pemerintah, maupun lembaga sosial masyarakat seperti komite sekolah, panti, dan
lembaga lain yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial dalam suatu
jaringan kerja pada seluruh tataran mulai dari tingkat daerah hingga nasional.
Kurikulum KTSP tahun 2006 dan pasal 3 UU RI No. 20, Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah merupakan
landasan diadakannya upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak
tunarungu yang diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri
Tabanan. Hal itu dilakukan memerhatikan potensi daerah dan potensi peserta
didik sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki agar anak mempunyai bekal
keterampilan untuk kehidupan pada masa mendatang dan dapat hidup mandiri di
tengah masyarakat. Disamping, itu kondisi anak yang tunarungu tidak
memungkinkan untuk mengandalkan kemampuan akademisnya sehingga
memberikan keterampilan vokasional lebih diprioritaskan demi tercapainya
kesejahteraan . Peranan pemerintah sebagai ujung tombak di bidang pembiayaan,
aturan, dan pelayanan sosial sangat penting dalam upaya pemberdayaan yang
dilaksanakan.
Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional akan ditinjau melalui
paradigma budaya yang mengacu pada dimensi bentuk, kendala-kendala, dampak,
dan makna.