11 bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan

25
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu telah dilakukan oleh peneliti atau penulis-penulis sebelumnya. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan diketahui bahwa tulisan dalam bentuk buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian yang terkait dengan pemberdayaan keterampilan bagi anak tunarungu sebagai sasaran penelitian secara khusus belum ada. Kajian yang mendekati penelitian ini adalah kajian I Gusti Made Bagiadi (2006) dalam tulisannya “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (Perspektif Kajian Budaya)”. Penelitian tersebut membahas pemberdayaan penyandang cacat yang diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan peranan pemerintah dalam mendukung pemberdayaan untuk mencapai kesejahteraan. Dalam penelitian I Gusti Made Bagiadi (2006:176) disimpulkan bahwa meskipun ada sedikit kendala, baik sifatnya internal maupun eksternal, secara umum pemberdayaan KUBE penyandang cacat ditemukan dua di antaranya tergolong maju, satu berkembang dan sisanya tumbuh. Faktor yang menyebabkan belum semua KUBE penyandang cacat maju adalah di satu sisi belum ada

Upload: dinhquynh

Post on 10-Dec-2016

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna

untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai pemberdayaan keterampilan

vokasional bagi anak tunarungu telah dilakukan oleh peneliti atau penulis-penulis

sebelumnya. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan diketahui bahwa

tulisan dalam bentuk buku, karya ilmiah, dan hasil penelitian yang terkait dengan

pemberdayaan keterampilan bagi anak tunarungu sebagai sasaran penelitian

secara khusus belum ada.

Kajian yang mendekati penelitian ini adalah kajian I Gusti Made Bagiadi

(2006) dalam tulisannya “Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama Penyandang

Cacat di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (Perspektif Kajian Budaya)”.

Penelitian tersebut membahas pemberdayaan penyandang cacat yang

diorganisasikan melalui KUBE berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan

peranan pemerintah dalam mendukung pemberdayaan untuk mencapai

kesejahteraan. Dalam penelitian I Gusti Made Bagiadi (2006:176) disimpulkan

bahwa meskipun ada sedikit kendala, baik sifatnya internal maupun eksternal,

secara umum pemberdayaan KUBE penyandang cacat ditemukan dua di antaranya

tergolong maju, satu berkembang dan sisanya tumbuh. Faktor yang menyebabkan

belum semua KUBE penyandang cacat maju adalah di satu sisi belum ada

Page 2: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

12

kesungguhan KUBE penyandang cacat itu sendiri terutama keaktifan pengurusnya

dalam menjalankan organisasi. Sebaliknya di sisi lain adanya kelemahan dalam

pengembangan bakat kewirausahaan mereka sendiri.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada hal yang diberdayakan.

Dalam penelitian Bagiadi yang diberdayakan adalah KUBE yang terbentuk

berdasarkan keterampilan yang dimiliki anggotanya. Tujuan pembentukannya

adalah untuk berproduksi dalam mencapai kesejahteraan. Sebaliknya penelitian

yang dilaksanakan oleh peneliti adalah anak tunarungu yang di didik melalui

pendidikan keterampilan vokasional di sekolah sehingga mempunyai bekal untuk

hidup mandiri di masyarakat, sedangkan persamaannya adalah sama-sama

membahas pemberdayaan penyandang cacat.

Selanjutnya Encep Kasroni (2003:6) dalam tulisannya dengan judul

“Mencari Format Menuju Keberdayaan Ekonomi Penyandang Cacat”. Penelitian

ini membahas keberdayaan ekonomi penyandang cacat dari berbagai jenis

kecacatan melalui koperasi, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah

pemberdayaan keterampilan vokasional melalui sekolah. Persamaan dengan

penelitian tersebut adalah sama-sama membahas pemberdayaan penyandang

cacat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “koperasi” merupakan salah satu

alternatif yang dapat dipakai untuk memberdayakan ekonomi penyandang cacat.

Sebagai uji coba atau dapat dijalankan pembentukan kelompok swadaya

penyandang cacat (KSP) beranggotakan 5--10 orang penyandang cacat dari

berbagai jenis kecacatan dan dibentuk berdasarkan kesamaan usaha atau

Page 3: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

13

berdasarkan kedekatan domisili yang memungkinkan terbentuknya KSP dalam

keragaman usaha.

Selanjutnya, penelitian yang ditulis oleh I Wayan Nurija (2008) dengan

judul “Pemberdayaan Pengangguran Melalui Pelatihan Kewirausahaan Tenaga

Kerja Pemuda Mandiri Profesional dan Tenaga Kerja Mandiri Terdidik di Kota

Denpasar”. Penelitian ini membahas pemberdayaan pemuda pengangguran yang

ada di kota Denpasar melalui pelatihan kewirausahaan dan pemagangan. Hasil

penelitian itu menunjukkan bahwa berdasarkan status kepemilikan usaha 80,33%

tkpmp/tkmt mengelola usaha milik sendiri dengan modal milik keluarga.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yaitu penelitian tersebut

memberdayakan pengangguran melalui pelatihan kewirausahaan dan

pemagangan. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah anak

tunarungu yang di didik keterampilan vokasional melalui proses pembelajaran.

Persamaannya, yaitu sama-sama meneliti tentang pemberdayaan.

Leli Rahayu (2008) dalam penelitiannya dengan judul “Pemberdayaan

Kelompok Usaha Bersama Keluarga Miskin di Kecamatan Denpasar Barat Kota

Denpasar: Sebuah Kajian Budaya”. Penelitiannya membahas kelompok usaha

bersama keluarga miskin dengan pemberian bantuan berupa sapi beserta

pengembangannya (pembuatan pupuk kandang). Penelitian tersebut

menyimpulkan walaupun pemberdayaan sudah dilaksanakan secara maksimal,

belum semua keluarga miskin berhasil, hanya separo yang bisa berhasil

meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sedangkan sebagian lagi belum

berhasil. Di pihak lain penelitian yang dilaksanakan penulis membahas

Page 4: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

14

pemberdayaan anak tunarungu melalui sekolah dengan pendidikan dan pelatihan

keterampilan vokasional. Persamaannya adalah sama-sama membahas

pemberdayaan. Hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang telah diuraikan,

sangat diperlukan sebagai bahan pembanding bahwa penelitian yang dilakukan

belum pernah dibahasnya secara khusus.

Selanjutnya buku yang ditulis oleh Sunyoto Usman (2010) dengan judul

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat membahas transformasi sosial dan

pemberdayaan masyarakat, problema masyarakat modern, Islam dan perubahan

sosial, modernisasi dan masalah lingkungan hidup. Buku tersebut sebagai

referensi tentang pemberdayaan yang penulis lakukan.

Berbagai karya yang telah diuraikan di atas, baik berupa karya ilmiah

maupun dalam bentuk buku, belum menunukkan adanya kajian yang mendalam

terkait dengan pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu. Oleh

karena lebih banyak perbedaan, maka menunjukkan keaslian penelitian ini dan

diharapkan kajian-kajian yang telah dibukukan di atas dapat mendukung

penelitian yang penulis laksanakan.

2.2 Konsep

Konsep dalam penelitian ini adalah (1) pemberdayaan keterampilan

vokasional, (2) anak tunarungu, dan (3) Sekolah Luar Biasa Bagian B. Setiap

konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Page 5: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

15

2.2.1 Pemberdayaan keterampilan vokasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:242) kata

pemberdayaaan memiliki arti cara atau proses, perbuatan memberdayakan.

Sebagai sebuah proses, maka pemberdayaan adalah upaya terus-menerus dengan

berbagai terobosan sampai tercipta masyarakat yang berdaya, yakni memiliki

kemampuan dan kekuatan dalam menghadapi berbagai hal.

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),

berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karena itu, ide

utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan (Suharto,

2005:57). Menurut Ife dan Tesoriero (2008:510/ dalam wordpress com),

pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosakata,

pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

demi masa depan mereka sendiri. Selain itu, untuk berpartisipasi dan

memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa

pemberdayaan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat untuk

mandiri, dapat mengendalikan masa depannya, bahkan dapat memengaruhi orang

lain.

Bookman dan Morgen (1988:4) mengemukakan bahwa pemberdayaan

sebagai konsep yang sedang populer mengacu pada usaha menumbuhkan

keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke

atas, serta memberikan psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya.

Suharto (2005:58) mengatakan pemberdayaan menunjuk pada kemampuan

orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki

Page 6: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

16

kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga

mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti tidak saja bebas

mengemukakan pendapat, tetapi juga bebas dari kelaparan, kebodohan, dan

kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka

dapat meningkatkan pendapatannya dan memeroleh barang-barang dan jasa-jasa

yang mereka perlukan, dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan

keputusan-keputusan yang memengaruhi mereka.

Pengertian-pengertian mengenai pemberdayaan tersebut menunjukkan

bahwa pada prinsipnya pemberdayaan bukan merupakan suatu program atau

kegiatan yang berdiri sendiri. Pemberdayaan merujuk pada serangkaian kegiatan

yang bertujuan untuk memperbaiki lebih dari satu aspek pada diri dan kehidupan

seseorang atau sekelompok orang agar mampu melakukan tindakan-tindakan yang

diperlukan untuk membuat kehidupannya lebih baik dan sejahtera. Untuk

mencapai kesejahteraan, diperlukan motivasi yang tinggi pada diri setiap

individu.

Secara sederhana, tujuan pemberdayaan adalah membuat

sesuatu/seseorang memiliki daya. Adi (2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan

dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi,

pendidikan, atau kesehatan”. Suharto (2005:60) berpendapat bahwa tujuan utama

pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok

lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya

persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh

Page 7: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

17

struktur sosial yang tidak adil. Untuk itu Suharto mengategorikan kelompok

lemah.

Ada beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah

atau tidak berdaya, meliputi.

1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender

maupun etnis.

2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja,

penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

3. Kelompok lemah secara personal, yakni yang mengalami masalah pribadi

dan keluarga.

Apabila merujuk pada pemikiran Suharto (2005:60) di atas mengenai

kelompok lemah dan ketidakberdayaan, maka salah satu dari kelompok

rentan dan lemah itu adalah anak tunarungu.

Pendidikan keterampilan, atau yang disebut pendidikan vokasi

(vokasional), saat ini menjadi alternatif pembelajaran yang diyakini mampu

menjadi solusi dalam mengurangi jumlah pengangguran. Hal itu disebabkan oleh

konsep pendidikan lebih menitikberatkan pada keterampilan (skill), dirancang

dengan kurikulum yang mengasah keterampilan, disiplin, dan konsep pesertanya

tentang pekerjaan dan kewirausahaan. Program pendidikan vokasional,

diharapkan dapat menjembatani lulusan SLB dengan dunia kerja dan kebutuhan

pasar serta kualifikasi lulusan pendidikan vokasi dapat diperhitungkan di pasaran.

Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem

pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan

Page 8: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

18

khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain peserta

didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan

kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan

kecakapan hidup merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik

di lembaga pendidikan dan masyarakat juga dunia kerja.

Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum

dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Di

samping itu, juga pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek

dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di

wilayahnya.

Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memampukan

anak tunarungu menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif, dan tangguh.

Kecakapan Hidup (life skills) atau keterampilan vokasional merupakan salah satu

standar isi yang menjadi pokok dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan

sehingga setiap sekolah diharapkan dan dimungkinkan untuk menerapkan standar

isi ini. Menurut Mulyani Sumantri (2004 http://klipingut.wordpress.com/

2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswa-sma-dan-ma/), tujuan khusus

pembelajaran life skills adalah seperti di bawah ini.

1. Menyajikan kecakapan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai

teknik yang memadai bagi siswa.

2. Mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan masyarakat masa

kini dan memenuhi kebutuhan pada masa datang.

Page 9: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

19

3. Mengembangkan kemampuan membantu diri dan kecakapan hidup agar

setiap siswa dapat mandiri.

4. Memperluas pengetahuan dan kesadaran siswa mengenai sumber-sumber

dalam masyarakat.

5. Mengembangkan kecakapan akademik yang mendukung kemandirian

setiap siswa.

6. Mengembangkan kecakapan pravokasional dan vokasional dengan

memfasilitasi latihan kerja dan pengalaman bekerja di masyarakat.

7. Mengembangkan kecakapan untuk memanfaatkan waktu senggang dan

melakukan rekreasi.

8. Mengembangkan kecakapan memecahkan masalah untuk membantu siswa

melakukan pengambilan keputusan masa kini dan pada masa depan.

Keterampilan vokasional merupakan pembelajaran yang menitikberatkan

pada penggabungan antara teori dan praktik dengan tujuan mempersiapkan peserta

didik agar terampil di bidang tertentu (sesuai dengan bakat, minat, dan potensi

yang dimilik setiap anak) agar dapat berkompetensi dalam dunia kerja, dunia

usaha, dan dunia industri. Keterampilan vokasional memberikan kesempatan

peserta didik untuk terlibat dalam pengalaman apresiasi dan kreasi untuk

menghasilkan suatu karya yang bermanfaat bagi peserta didik. Aktivitas

pembelajaran memberikan bekal kepada peserta didik agar adaptif, kreatif dan

inovatif melalui pengalaman belajar yang menekankan pada aktivitas fisik dan

aktivitas mental. Orientasi pembelajaran keterampilan vokasional adalah

memfasilitasi pengalaman emosi, intelektual, fisik, persepsi, sosial, estetika,

Page 10: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

20

artistik dan kreativitas peserta didik dengan melakukan aktivitas apresiasi dan

kreasi terhadap berbagai produk.

Muara akhir sekaligus tujuan dari keberhasilan penyelenggaraan pendidikan

tinggi adalah terserapnya peserta didik ke pasar tenaga kerja selepas

menyelesaikan studinya. Pendidikan keterampilan atau yang disebut pula sebagai

pendidikan vokasional, saat ini diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi

angka pengangguran. Hal itu disebabkan oleh konsep pendidikannya lebih

mengandalkan skill atau keterampilan dan bertujuan melahirkan sumber daya

manusia yang berkualitas, terampil, memiliki disiplin tinggi, dan berjiwa

kewirausahawan. Menurut Puskur Depdiknas (2007

http://klipingut.wordpress.com/2009/12/03/keterampilan-vokasional-bagi-siswa-

sma-dan-ma/), keterampilan vokasional merupakan keterampilan membuat sebuah

produk yang berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di

masyarakat.

Bekal keterampilan vokasional seorang siswa diharapkan dapat digunakan

untuk memeroleh pekerjaan sesuai dengan bidang yang diminatinya. Misalnya,

kemampuan mencetak batako dapat digunakan sebagai modal kemampuan untuk

mendirikan usaha sendiri atau kemampuan menjahit dapat dijadikan modal

kemampuan untuk bekerja pada industri garmen. Keterampilan vokasional terdiri

atas dua bagian, yaitu keterampilan vokasional dasar (basic vocational skill) dan

keterampilan vokasional khusus (occupational skill). Keterampilan vokasional

dasar mencakup, antara lain melakukan gerak dasar, menggunakan alat sederhana,

menghasilkan teknologi sederhana berdasarkan aspek taat asas, presisi, akurasi,

Page 11: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

21

dan tepat waktu yang mengarah pada perilaku produktif. Keterampilan vokasional

khusus berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu.

Berdasarkan defenisi di atas, peserta didik diarahkan pada penguasaan

keterampilan vokasional khusus sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan yang

sesuai dengan bidangnya atau membuka usaha sendiri.

2.2.2 Anak tunarungu

Menurut Daniel F.Hallahan dan J.H.Kauffman dalam Pemanarian Somad

(1996:26), tunarungu adalah suatu istilah umum yang digunakan bagi mereka

yang mengalami kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan

mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli

dan kurang dengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan

mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran

baik memakai maupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sebaliknya, orang

kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu

mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses

informasi bahasa melalui pendengaran.

Selanjutnya menurut Sardjono (1995:8), tunarungu adalah anak yang

kehilangan pendengaran sejak lahir atau yang kehilangan pendengaran sebelum

belajar bicara atau kehilangan pendengaran pada saaat anak mulai belajar bicara

karena suatu gangguan pendengaran, suara, dan bahasa seolah-olah hilang.

Menurut Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung

(1988) dalam Pemanarian Somad (1996:27) mengemukakan bahwa “tunarungu

Page 12: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

22

dapat diartikan suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan

seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indra

pendengaran”.

Dari beberapa batasan tentang pengertian tunarungu yang telah

dikemukakan oleh para ahli di atas diketahui bahwa anak tunarungu adalah

seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian

maupun keseluruhan dari fungsi pendengarannya sehingga pendenggarannya tidak

dapat berfungsi sebagaimana mestinya walaupun telah menggunakan alat bantu

dengar. Dengan demikian, individu tersebut memerlukan pelayanan dan

pendidikan secara khusus agar dapat mencapai perkembangan seoptimal mungkin.

Orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat

berbicara, yaitu mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau

tidak jelas artikulasinya, bahkan tidak berbicara sama sekali, dapat dikatakan

mereka berisyarat.

2.2.3 Sekolah Luar Biasa Bagian B

Sekolah Luar Biasa Bagian B adalah lembaga pendidikan bagi peserta

didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena mengalami gangguan pendengaran dan komunikasi. Selain itu, pendidikan

luar biasa juga berarti pembelajaran yang dirancang khususnya untuk memenuhi

kebutuhan yang unik dari anak berkebutuhan khusus. Secara singkat pendidikan

luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi

kebutuhan unik dari individu/siswa dalam menyongsong kehidupan pada masa

depan.

Page 13: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

23

Pendidikan Luar Biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu

sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk

mencapai potensinya secara maksimal. Dalam satu unit SLB biasanya terdapat

berbagai jenjang pendidikan mulai dari TKLB, SDLB, SMPLB, hingga SMALB.

Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak

yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran.

Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu, sekolah

juga merupakan tempat proses pembudayaan dan pembentukan karakter serta

sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri terjun ke dalam masyarakat.

Para ahli sejarah pendidikan menggambarkan mulainya pendidikan luar

biasa pada akhir abad kedelapan belas atau awal abad kesembilan belas. Di

Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda

masuk ke Indonesia, (1596--1942) mereka memperkenalkan sistem persekolahan

dengan orientasi barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat

dibuka lembaga–lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak

tunanetra dan tunagrahita tahun 1927 dan untuk tunarunggu tahun 1930.

Keduanya berlokasi di kota Bandung.

Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI

mengundangkan yang pertama mengenai pendidikan khususnya mengenai anak-

anak yang mempunyai kelainan fisik atau mental. Undang-undang itu

menyebutkan bahwa pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan

khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak

tersebut pasal 8 yang berisi semua anak-anak yang sudah berumur enam tahun

Page 14: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

24

berhak dan sudah berumur delapan tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya

enam tahun.

Berlakunya undang-undang tersebut, menyebabkan sekolah-sekolah baru

muncul yang khusus bagi anak-anak penyandang cacat, termasuk untuk anak

tunadaksa dan tunalaras. Sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB).

Berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk tiap-tiap kategori

kecacatan SLB itu dikelompokkan menjadi sebagai berikut.

1. SLB bagian A untuk anak tunanetra ( buta/low vision )

2. SLB bagian B untuk anak tunarungu (tuli/kurang dengar)

3. SLB bagian C untuk anak tunagrahita (IQ di bawah rata-rata)

4. SLB bagian D untuk anak tunadaksa (cacat fisik)

5. SLB bagian E untuk anak tunalaras (anak nakal)

6. SLB bagian F untuk anak cacat ganda (lebih dari satu kecacatan)

Pasal-pasal yang melandasi pendidikan luar biasa, bahwa seluruh warga

Negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai

hak yang sama untuk memeroleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945

pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “tiap–tiap warga negara berhak mendapat

pengajaran”. Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang

tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-

anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut.

Page 15: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

25

1. Bab 1 pasal 1 (18) wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang

harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah

dan pemerintah daerah. .

2. Bab II pasal 4 (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis

berdasarkan HAM, agama, kultural dan kemajemukan bangsa.

3. Bab IV pasal 5 (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memeroleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual maupun sosial berhak memeroleh

pendidikan khusus.

4. Bab V pasal 12 (1) huruf b mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

5. Bab VI bagian kesebelas tentang pendidikan khusus, pasal 32 (1)

pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam

mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,

social, atau memiliki potensi kecerdasan.

2.2.4 Definisi operasional

Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu adalah

upaya yang dilakukan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan dalam

membangun daya, potensi peserta didik dengan mendorong, memotivasi, dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya

mengembangkannya. Pemberdayaan anak tunarungu dimaksudkan untuk

meningkatkan sumber daya manusia, memperkuat potensi peserta didik melalui

pendidikan keterampilan dan pelayanan sosial dengan menerapkan prinsip

Page 16: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

26

kegotongroyongan, kebersamaan, keswadayaan, dan partisipasi. Selain itu,

memberikan dan meningkatkan motivasi untuk maju dari ketidakberdayaan

sehingga ia mampu hidup mandiri dan dapat bekerja, terlebih dapat menciptakan

lapangan pekerjaan di masyarakat. Setiap peserta didik memiliki potensi yang

berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya dengan mengenali,

memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya,

memotivasi dan mendorong untuk berprestasi. Dengan demikian, dapat dikatakan

memperkuat potensi yang dimiliki peserta didik. Indikator upaya pemberdayaan

anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri Tabanan ini dalam

pelaksanaannya melalui beberapa tahapan yaitu (1) pelatihan keterampilan, (2)

pendidikan dan evaluasi, dan (3) promosi.

2.3 Landasan Teori

Dalam penelitian ini diaplikasikan teori-teori secara eklektik dan diuraikan

sebagai berikut.

2.3.1 Teori Pemberdayaan

Ketimpangan struktur kekuasaan yang berlangsung selama ini, ketika

masyarakat haus akan kebutuhan untuk mendapat kekuasaan dalam mengatur diri

mereka sendiri merupakan sesuatu yang harus diatasi dan pemberdayaan muncul

sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur tersebut. Dalam konteks tersebut

Ife (1995:182) menjelaskan bahwa pemberdayaan tentang pengetahuan dan

keterampilan kepada orang-orang untuk menentukan diri mereka sendiri pada

masa mendatang dan untuk berprestasi dalam menghadapi kehidupan masyarakat

Page 17: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

27

itu sendiri. Pemberdayaan yang dimaksud adalah memberikan pengetahuan dan

pelatihan keterampilan untuk anak tunarungu sehingga dapat hidup mandiri di

masyarakat.

Selanjutnya Erwidodo (1999:15) mengatakan bahwa keberpihakan yang

bersifat pemberdayaan yang diberikan kepada pelaku ekonomi lemah, khususnya

di pedesaan bisa efektif kalau kondisi mekanisme pasar bekerja dengan baik dan

memadainya kemampuan bisnis (kewirausahaan) dari pelaku ekonomi lemah

tersebut. Pemberdayaan anak tunarungu dimaksudkan agar anak tunarungu

memeroleh keterampilan, mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga bisa

mandiri serta meningkatkan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun

sumber daya kesejahteraan sosial. Usaha pemberdayaan ini harus dilakukan secara

berkesinambungan dan terus-menerus. Shaardlow dalam Adi (2003:54)

menjelaskan bahwa pemberdayaan pada intinya bagaimana individu, kelompok,

ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan

mengusahakan untuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

Pada prinsipnya individu dapat menentukan pilihannya dalam mengatasi

permasalahan yang dihadapi. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia dalam hal

ini anak tunarungu memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dalam upaya

memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu Pertama,

menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap

manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,

Page 18: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

28

tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena jika demikian, akan

sudah punah.

Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan

mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat

potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Langkah-langkah lebih

positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana sangat diperlukan

meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan

(input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang

akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan tidak hanya meliputi

penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Upaya

menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,

dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.

Demikian pula pembaruan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke

dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.

Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,

pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung

pula arti melindungi. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang

lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.

Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup interaksi, karena hal itu justru

akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Upaya melindungi

dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,

serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat tidak

Page 19: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

29

membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program

pemberian (charity). Hal itu terjadi karena pada dasarnya setiap apa yang

dihasilkan harus dari usaha sendiri. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah

memandirikan masyarakat, memampukan dan membangun kemampuan untuk

memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

Teori pemberdayaan digunakan penulis dalam penelitian ini untuk

mengulas bentuk pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu

lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Bisa Bagian B Negeri

Kabupaten Tabanan.

2.3.2 Teori motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat

menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu

kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi

intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Pentingnya dorongan

yang berasal dari dalam diri seseorang bagi perbaikan diri dan perbaikan

lingkungan dikemukakan oleh McClelland (1961:34) bahwa kegagalan

pembangunan sebuah masyarakat disebabkan 0leh warga masyarakat tersebut

tidak memiliki motivasi untuk berprestasi. Anak tunarungu bersifat pasrah dan

menerima nasib apa adanya tanpa perlawanan.

Oleh karena itu, agar pembangunan (dalam hal ini adalah pemberdayaan

keterampilan vokasional bagi anak tunarungu) berhasil, sikap anak tunarungu

harus diubah dan didorong untuk memiliki motivasi. Seberapa kuat motivasi yang

dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang

Page 20: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

30

ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan

lainnya.

Berkaitan dengan motivasi, Stoner (1996:134) menyatakan bahwa

motivasi sebagai suatu manajemen untuk memengaruhi tingkah laku manusia

berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan orang bergerak.

Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri (daya pendorong) seseorang

untuk mencapai tujuan. Teori motivasi memfokuskan pada pertanyaan mengapa

perilaku individu terjadi? Jawabannya adalah (1) kebutuhan-kebutuhan, motif-

motif, atau dorongan-dorongan yang mendorong, menekan, memacu dan

menguatkan individu untuk melakukan kegiatan, (2) hubungan-hubungan individu

dengan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan, mendorong, dan memengaruhi

untuk melakukan suatu kegiatan (Handoko,1986:158).

Mengacu pada pandangan di atas, teori ini digunakan untuk memberikan

dorongan pada peserta didik dan pendidik dalam mengatasi kendala-kendala

dalam program pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu.

2.3.3 Teori dekonstruksi

Menurut Kutha Ratna (2005:250), kata dekonstruksi berakar dari

de+constructio (Latin). Pada umumnya prefiks “de” berarti ke bawah,

pengurangan, atau terlepas dari. Selanjutnya, “constructio” berarti bentuk,

susunan, menyusun, atau mengatur. Dalam pandangannya mengatakan bahwa

dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas

bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang baku. Dalam teori kontemporer,

dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran,

Page 21: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

31

penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti

semula.

Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya kegiatan dilakukan

secara terus-menerus untuk mengurangi intensitas oposisi biner sehingga unsur

yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Sebaliknya, unsur-

unsur semula selalu terlupakan, terdegradasikan, dan termarginalisasikan yang

dalam hal ini seperti kelompok minoritas, kelompok lemah, kaum perempuan,

tokoh-tokoh komplementer, kawasan kumuh, pejalan kaki, dan sebagainya yang

dapat diberikan perhatian memadai, bahkan secara seimbang dan proporsional.

Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan keberadaan studi kultural di

Indonesia, baik secara teori maupun metode, pemanfaatan teori dekonstruksi dan

posstrukturalisme pada umumnya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Sama seperti

teori-teori lain, dekonstruksi sudah ada di depan kita sehingga tidak mungkin

untuk menolaknya. Masalahnya adalah bagaimana teori diaplikasikan dan

dimanfaatkan sehingga tidak mengorbankan hakikat objek. Teori

posstrukturalisme sendiri sudah mengalami evaluasi selama berabad-abad

sehingga dengan sendirinya juga sudah melihat kelemahan-kelemahan teori

terdahulu. Di samping itu, sebuah teori lahir sesudah lahirnya gejala baru ternyata

tidak terdeteksi oleh teori terdahulu. Teori posstrukturalisme ternyata telah

melihat adanya stagnasi dalam strukturalisme dan varian-variannya.

Inti teori dekonstruksi Derridean pada dasarnya adalah perbedaan

(diffrence), sehingga akan disebut sebagai teori perbedaan. Oleh karena itu, maka

dekonstruksi disebut sebagai ciri utama teori pos-strukturalisme.

Page 22: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

32

Multikulturalisme, misalnya dalam teori kontemporer dianggap sebagai ciri

utama. Menurut Spivak (dalam Agger, 2003:140), perbedaan manusia lebih

penting daripada persamaan. Menurut Derrida, interpretasi tidak bisa berhasil

untuk memecahkan persoalan makna sebab interpretasi sebagaimana dimaksud

oleh para filsuf dan teologi, kemudian diintroduksi oleh Gadamer (120--121).

Tujuannya, yakni untuk menemukan makna yang benar atau sebaliknya. Menurut

Derrida, makna benar tidak mungkin atau tidak perlu dicapai sebab semua teks

mendekonstruksi dirinya sendiri sebagaimana makna secara harfiah, textum/textus

diartikan sebagai “tenunan, jaringan, atau susunan”.

Dalam kaitannya dengan ciri-ciri perbaikan bahwa aspek-aspek yang

diperbaiki adalah yang berhubungan dengan keberadaan manusia pascamodern.

Masyarakat kontemporer sadar bahwa modernisme melalui zaman pencerahan

dengan memanfaatkan kemampuan rasio, yakni telah melahirkan revolusi dalam

bidang sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan umat

manusia. Dalam bidang sosial politik telah terjadi perubahan besar dengan

lahirnya demokrasi dan kebebasan berpikir dalam segala bidang. Dalam bidang

ekonomi telah terjadi peningkatan pendapatan negara sebagai akibat

ditemukannya sumber-sumber energi alam, peningkatan teknologi pertanian,

kelautan, kehutanan, pariwisata, dan sebagainya.

Satu masalah yang belum dipertimbangkan, justru merupakan akibat

kemajuan peradaban manusia itu, dalam hal ini disebut sebagai dampak negatif,

yakni eksploitasi tanpa batas sehingga terjadi pembalikan total proposisi “sains

untuk manusia” menjadi “manusia untuk sains”. Penggusuran, perombakan

Page 23: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

33

monumen bersejarah, degradasi seni dan seniman, alih fungsi pertanian dan

kawasan wisata untuk keperluan pabrik dan sebagainya, yakni merupakan

sejumlah akibat negatif strukturalisme. Dekonstruksi memandang sains sebagai

“alat” melaluinya harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Sains bukanlah

subjek dalam pengertian bahwa sains secara bebas membawa manusia ke dalam

perangkap.

Demikianlah teori dekonstruksi telah menjadi salah satu teori utama yang

dimanfaatkan untuk menganalisis gejala-gejala kebudayaan kontemporer,

khususnya dalam kerangka studi kultural. Dengan kata lain, sebagai ciri khas

posstrukturalisme, dekonstruksi melalui cara kerjanya dikenal dengan

“membongkar”, yang dianggap sebagai salah satu metode yang paling tepat untuk

memahami pluralisme budaya. Apabila benar bahwa manusia kritis merupakan

masa untuk membangun kembali (moment of construction), sesuai dengan

pendapat Gramsci (2000:173), maka pembongkaran harus diikuti oleh

pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara baru

sehingga memeroleh temuan-temuan baru secara praktis dan nyata.

Teori dekonstruksi digunakan penulis dalam penelitian ini untuk melihat

dampak serta makna yang terkait dengan upaya pemberdayaan keterampilan

vokasional bagi anak tunarungu lewat lembaga pendidikan, yakni melalui Sekolah

Luar Bisa Bagian B Negeri Kabupaten Tabanan.

Page 24: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

34

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini menganalisis pemberdayaan keterampilan bagi anak

tunarungu pada Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan di Kabupaten

Tabanan. Pemberdayaan ini dilakukan oleh sekolah, pemerintah, dan masyarakat

dengan tujuan membuat agar mampu di samping memandirikan anak tunarungu

agar dapat mengembangkan diri melalui potensi yang dimiliki untuk mencapai

kemajuan yang pada akhirnya meningkatkan harkat dan martabatnya di

masyarakat. Selanjutnya untuk lebih memahami permasalahan yang dibahas

dengan konsep dan teori yang digunakan, maka dapat digambarkan dengan suatu

model penelitian seperti gambar berikut.

Model Penelitian

Keterangan tanda

Menyatakan hubungan searah

Menyatakan hubungan timbal balik

Pemerintah Sekolah LuarBiasa

Bentuk upayasekolah

Kendala-kendaladan cara mengatasi

Dampak danmakna

- Sumber biaya

- Peraturan

- Kurikulum

- Puskesmas

- Komite Sekolah

- Panti

Upaya sekolah dalampemberdayaan keterampilanvokasional bagi anaktunarungu pada sekolah LuarBiasa bagian B NegeriTabanan di KabupatenTabanan

Page 25: 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

35

Penjelasan Model

Kesejahteraan sosial anak tunarungu bersifat kompleks, maka upaya

pemberdayaan yang dilaksanakan harus bersifat sinergis, berkesinambungan dan

komprehensif dengan mengikutsertakan berbagai instansi terkait, baik instansi

pemerintah, maupun lembaga sosial masyarakat seperti komite sekolah, panti, dan

lembaga lain yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial dalam suatu

jaringan kerja pada seluruh tataran mulai dari tingkat daerah hingga nasional.

Kurikulum KTSP tahun 2006 dan pasal 3 UU RI No. 20, Tahun 2003

tentang sistem pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah merupakan

landasan diadakannya upaya pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak

tunarungu yang diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri

Tabanan. Hal itu dilakukan memerhatikan potensi daerah dan potensi peserta

didik sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki agar anak mempunyai bekal

keterampilan untuk kehidupan pada masa mendatang dan dapat hidup mandiri di

tengah masyarakat. Disamping, itu kondisi anak yang tunarungu tidak

memungkinkan untuk mengandalkan kemampuan akademisnya sehingga

memberikan keterampilan vokasional lebih diprioritaskan demi tercapainya

kesejahteraan . Peranan pemerintah sebagai ujung tombak di bidang pembiayaan,

aturan, dan pelayanan sosial sangat penting dalam upaya pemberdayaan yang

dilaksanakan.

Upaya pemberdayaan keterampilan vokasional akan ditinjau melalui

paradigma budaya yang mengacu pada dimensi bentuk, kendala-kendala, dampak,

dan makna.