bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan …€¦ · 18 bab ii kajian pustaka, konsep,...
TRANSCRIPT
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Corporate Governance Governance (GCG)
Istilah Corporate governance menjadi topik yang kerap dibahas dalam
beberapa kurun waktu terakhir akibat adanya fenomena krisis global Amerika
Serikat yang disinyalir menjadi titik awal dari kegagalan manajemen perusahaan.
Corporate governance atau tata kelola perusahaan mengacu pada seperangkat
aturan, lembaga dan praktik dengan meminimalkan biaya agensi serta selisih yang
diminimalkan biaya agensi sehingga dapat diperoleh keseimbangan antara output
sosial dan output perusahaan (Ararat dan Ugur, 2001; Toplu, Esra, 2011).
Corporate governance ini melibatkan serangkaian hubungan antara agensi, pemilih
saham serta pemangku kebijakan (OECD, 2015). Corporate governance juga
merupakan pendekatan yang mengacu pada tanggung jawab publik terhadap
manajemen bisnis yang mengemas pengelolaan antara masyarakat dan elemen
organisasi perusahaan. Bentuk corporate governance tertuang dalam beberapa
elemen meliputi akuntabilitas, responsibilitas, independensi, transparansi dan
keadilan. Elemen-elemen tersebut jika diselaraskan akan mencapai titik
optimalisalisasi dan keberlanjutan suatu perusahaan (Toplu, Esra 2011).
Dalam suatu perusahaan tidak terlepas dari adanya konflik agensi yang
muncul akibat adanya gap kepentingan antara agensi dan pemilik modal. Corporate
governance ini muncul untuk meminimalisir serta meminimkan biaya agensi akibat
19
adanya penurunan harga saham yang dimiliki oleh pemegang saham. Keberadaan
corporate governance ini dapat mengurangi kerugian dan risiko yang terjadi
melalui pengelolaan keuangan dan modal. Birgham dan Dave (2014) memaparkan
bahwa corporate governance ini dapat didefinisikan sebagai seperangkan atau
himpunan hukum, aturan, dan perosedur yang dapat mempengaruhi pengoperasian
perusahaan dan keputusan yang ditentukan oleh pemangku kebijakan (manajer atau
pimpinan). Dua bentuk kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi resiko dan
meningkatkan kinerja perusahaan. Pertama kebijakan untuk mengurangi resiko
dengan ancaman pemecatan bagi manajer yang tidak mampu memaksimalkan nilai
sumber daya yang telah dipercayakan. Kedua, melalui kompensasi atau insentif
kepada manajer yang mampu memberikan kontribusi positif kepada kinerja
perusahaan.
Kebijakan corporate governance ini memiliki peran penting dalam mencapai
tujuan ekonomi yang lebih masive dan lebih luas sehingga dapat diperoleh
keberlanjutan dan keberlangsung usaha yang baik. Bentuk masukan dari corporate
governance ini berkaitan dengan kepercayaan investor, pembentukan modal dan
alokasi modal sehingga dapat diperoleh tujuan pengelolaan modal yang sesuai
dengan visi misi usaha. Kualitas corporate governance ini mempengaruhi biaya
perusahaan untuk mengakses pertumbuhan modal serta memperoleh kepercayaan
investor. Corporate governance yang baik akan meningkatkan keyakinan para
pemegang sahan dan pemangku kebijakan bahwa hak-hak mereka telah dilindungi
dan keberlangsungan investasi dan modal mereka dapat terjamin. Selain itu, adanya
corporate governance yang baik juga dapat meminimalisir biaya modal dan
20
memfasilitasi akses ke pasar modal, hal ini sangat penting dengan adanya
liberalisasi pasar modal global saat ini.
Kerangka kerja dari corporate governance harus menunjukkan transparansi
serta akuntabilitas yang adil sehingga akan dicapai alokasi sumber daya dan kinerja
usaha yang optimal serta efisien. Dalam pengelolaan perusahaan terdapat ketentuan
internal dan eksternal yang harus terkontrol dengan baik, ketentuan internal tersebut
memiliki empat komponen penting meliputi pemantauan kedisplinan oleh dewan
direksi; ketentuan penghargaan dan peraturan yang memengaruhi pengambilalihan;
rencana kompensasi; pemilihan struktur modal dan sistem kontrol akuntansi.
Sementara ketentuan eksternal mencakup hubungan perusahaan dengan lingkungan
luar seperti pengaturan lingkungan; persaingan di pasar produk, media serta
legitimasi.
1) Pemantauan kedisplinan oleh dewan direksi
Dalam konteks ini, pemegang saham merupakan pemilik perusahaan yang
memilih dewan direksi sebagai agensi untuk memantau dan mendisplinkan kinerja
jajaran manajemen perusahaan agar tetap pada koridor utama sesuai visi misi
perusahaan dan bertindak untuk kepentingan pemegang saham. Ketika terjadi
penyelewengan atau perbedaan antara tujuan dan kinerja perusahaan, maka dewan
direksi berhak mendisplinkan manajemen. Bentuk pendisiplinan tersebut berupa
ancaman pemberhentian atau dapat berupa pengurangan kompensasi.
Namun pada beberapa kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang
mengakibatkan terpuruknya ekonomi Amerika Serikat yang berdampak besar pada
perekonomia global ini dilatarbelakangi oleh kinerja dewan direksi yang gagal
21
memegang kepentingan pemiliki saham. Ini menjadi titik awal konflik yang terjadi
antara agensi dan pemilik saham. Adanya konflik kepentingan pada masing-masing
elemen perusahaan (pemegang saham, dewan direksi dan manajemen) sehingga
memunculkan ketidakpastian dan kurang optimalnya kinerja perusahaan.
2) Evaluasi Kinerja
Pengambilan alihan akibat konflik ini biasanya terjadi ketika manajer tikak
mampu memaksimalkan potensi keuntungan dari sumber daya yang menjadi
tanggungjawabnya. Sehingga perusahaan akan melakukan evaluasi dan
kemungkinan akan dilakukan pergantian posisi karena dimungkinkan akan sulit
untuk memperbaiki kinerjanya. Adanya diagram alur yang tidak jelas atau
menyimpang dalam aliran pemegang dan pembeli saham mengakibatkan
munculnya masalah yang kompleks sehingga perlu adanya evaluasi kinerja dewan
direksi dan manajemen yang bersangkutan.
3) Menggunakan kompensasi untuk menyelaraskan manajerial dan
kepentingan pemegang saham. Kompensasi atau bonus yang diberikan ini sebagai
bentuk apresiasi perusahaan terhadap kinerja direksi, manajerial dan elemen-
elemen lainnya dalam mencapai kinerja positif bagi perusahaan. Kompensasi atau
insentif ini berbasis stok baik dalam bentuk hibah atau opsi saham hibah lainnya.
Pemberian insentif atau konpensasi ini didasarkan pada faktor operasi jangka
pendek misalkan karena adanya pertumbuhan labar saham perusahaan selama 1
tahun, atau kinerja jangka menengah seperti pertumbuhan laba saham perusahaan
selama 3 tahun. Kompensasi berbasis saham seringkali dalam bentuk opsi. Secara
teori, opsi saham harus menyelaraskan kepentingan manajer dengan kepentingan
22
pemegang saham, serta dapat mempengaruhi manajer untuk berperilaku dengan
cara memaksimalkan nilai perusasahaan. Dalam praktiknya, ada dua alasan yang
mendasari hal tersebut tidak selalu tercapai dengan baik. Pertama, adanya unsur
semacam moral hazard yang ada dalam kompleks alur saham sehingga
memungkinkan terjadi penyimbangan harga saham yang akan berakibat pada
keterpurukan perusahaan dalam jangka panjang. Kedua, pemalsuan laporan
keuangan marak dilakukan pada tahun 2000an yang dilakukan oleh beberapa
eksekutif memberikan dampak negatif bagi kinerja saham perusahaan. Jatuhnya
harga saham ini meningkatkan hilangnya kepercayaan investor yang enggan masuk
perusahaan yang berakibat pada terancamnya kebangkrutan.
4) Pemilihan struktur modal dan kontrol sistem akuntansi. Keputusan struktur
modal dapat mempengaruhi perilaku manajerial seperti adanya peningkatan level
utang sehingga memungkinan kebangkrutan terjadi. Sehingga ancaman
kebangkrutan ini mengakibatkan perubahan perilaku manajerial. Sehingga dalam
hal ini perlu adanya kontrol sistem akuntansi sebagai salah satu bentuk dari
corporate governance melalui akuntabilitas secara konvensional. Dari ini dapat
diketahui bagaimana kinerja arus saham dan modal perusahaan serta dapat
terdeteksi kemungkinan penyelewengan yang merugikan perusahaan.
Dari keempat komponen ketentuan internal tersebut, terdapat ketentuan eksternal
yang meliputi lingkungan diluar perusahaan sebagai berikut:
1. Lingkungan regulasi dan hukum. Lingkungan regulasi / hukum termasuk
lembaga yang mengatur keuangan pasar. Dalam praktiknya, denda atau
hukuman yang dikenaikan kepada perusahaan yang melakukan penyelewangan
23
keuangan relatif kecil namun dapat berdampak pada reputasi perusahaan
sehingga memengaruhi nilai perusahaan. Lingkungan regulasi atau hukum juga
mencakup hukum dan sistem hukum di bawah lokasi perusahaan. Ini sangat
bervariasi dari satu negara ke negar lain. Beberapa studi menunjukkan bahwa
perusahaan yang berlokasi di negara-negara dengan perlindungan hukum yang
kuat bagi investor dan tata kelola perusahaan yang lebih kuat yang tercermin
dari akses yang lebih baik pada pasar keuangan, biaya ekuitas yang lebih
rendah, peningkatan likuiditas pasar, dan non sistematik pada volalitas
pengembalian saham.
2. Persaingan di Pasar Produk. Tingkat persaingan di pasar produk perusahaan
berdampak pada perusahaannya pemerintahan. Dalam perusahaan atau industri
besar yang memiliki banyak persaingan tidak mentoleransi adanya kinerja
CEO yang buruk sehingga kemungkinan terjadinya pergantian CEO leboh
rentan terjadi di industri yang memiliki kompetitif tinggi.
3. Media dan Litigasi. Tata kelola perusahaan, terutama kompensasi, adalah topik
hangat di media sehingga media dapat memiliki dampak positif dengan
menemukan atau melaporkan masalah perusahaan.
Bentuk corporate governance ini tidak hanya diterapkan pada perusahaan atau
organisasi yang memiliki tujuan utama keuntungan, namun juga dapat diterapkan
pada organisasi yang berorientasi pada tujuan kesejahteraan sosial untuk menjaga
keberlangsungan organisasi. Beberapa studi empiris telah banyak melakukan
penelitian terkait dengan corporate governance baik dalam organisasi berbasis
profit maupun non profit. Seperti studi empiris yang dilakukan oleh Griffen, et al.
24
(2014) dengan menyoroti kinerja perusahaan dalam menciptakan transparansi
untuk melihat kinerja corporate governance Dalam studinya menunjukkan bahwa
unsur budaya nasional memberikan pengaruh yang positif dalam menciptakan
transparansi perusahaan. Sementara Llopis, et al (2014) menyoroti bahwa etika dan
budaya pengelola perusahaan yang dapat memengaruhi kinerja perusahaan.
Sehingga dalam konteks ini, subjek pengelola menjadi kunci utama dalam
mencipatakan good corporate governance. Studi empiris yang dilakukan oleh
Mosunova (2014) memamaprkan bahwa akuntabilitas merupakan komponen
penting dalam terciptanya tata kelola perusahaan yang baik. Akuntabilitas disini
dijabarkan secara kompleks tidak hanya meliputi pelaporan akuntansi secara
konvensional terkait keuangan perusahaan, namun juga moralitas pengelola
menjadi hal utama dalam mencipatakan akuntabilitas yang baik dalam suatu
organisasi atau perusahaan.
2.1.2 Akuntabilitas Organisasi Nirlaba
Pada dasarnya operasi NFPO (Not For Profit Organization) adalah bagian
penting dari setiap komunitas yang memberikan manfaat bagi anggota komunitas
dan terbentuk dari berbagai ukuran (CPA Australian, 2011). Operasi pada
komunitas ini berlandaskan prinsip kesejahteraan yang didasarkan pada penerimaan
hibah, sumbangan, penggalang dana dan penerimaan dana dari sumber utama. Pada
beberapa kasus, NFPO dilengkapi dengan aktifitas perdagangan dengan
manajemen keuangan yang baik serta memberikan kepastian tentang keberlanjutan
dan tujuan organisasi dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Meskipun
profitabilitas bukanlah tujuan inti dari NFPO, perlu untuk memastikan bahwa
25
NFPO berkelanjutan, bermodal dan didanai dengan baik serta ada kepastian
keberlanjutan yang didasarkan pada penyumbang utama. Hal ini yang menuntut
mereka harus memiliki arus kas yang mendukung operasi dan berkontribusi untuk
mencapai tujuan sehingga manajemen keuangannya juga menjadi hal penting
terutama pada arus kas. Penerapan manajemen keuangan yang baik pada NFPO
akan memberikan tujuan strategis dengan cara yang sehat secara finansial serta
memberikan pada kepastian layanan bernilai sosial secara finansial yang sehat.
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan suatu informasi yang dituangkan dalam
bentuk laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan wadah penyampaian informasi tentang
bagaimana organisasi beroperasi secara finansial. Lapoan berupa informasi
tersebut dapat dianalisis untuk menunjukkan area kekuatan dan kelemahan
keuangan. Laporan keuangan tersbut akan memuat kinerja organisasi dan
memungkinkan manajemen serta pemangku kepentingan lainnya untuk melihat
kekuatan dan kelemahan dengan memberikan ringkasan tertulis dari kegiatan
keuangan pada suatu periode tertentu. Hal ini sangat penting untuk NFPO karena
memungkinkan untuk menunjukkan kelayakan layanan yang disediakan, sehingga
mendorong dukungan masyarakat dan pemerintah untuk kelanjutan dan keberadaan
organisasi terkait. Komponen aset merupakan hal utama yang dibutuhkan untuk
pengoperasian suatu organisasi baik dalam bentuk aset lancar maupun aset tetap.
Secara keseluruhan pada NFPO, aset akan dipenuhi dari dana hibah, penggalangan
dana, donasi, aktifitas perdagangan serta dapat berupa pinjaman (CPA, 2012).
Terdapat tiga laporan yang mencatat informasi pada laporan keuangan antara lain:
26
1) Neraca (pernyataan posisi keuangan)
2) Penghasilan dan pengeluaran (laporan laba rugi atau pernyataan kinerja
keuangan)
3) Pernyataan arus kas (pernyataan tanda terima dan pembayaran).
Manajemen keuangan nirlaba atau non profit merupakan sistem manajerial
keuangan yang tidak mengutamakan keuntungan atau profit seperti manajemen
keuangan pada umumnya diperusahaan yang selalu didominasi oleh keuntungan
pemegang saham. Pada organisasi nirlaba (non profit) tujuan utama untuk
menyediakan beberapa kebutuhan secara sosial dan berkelanjutan sehingga konsep
profit sudah bergeser pada ranah kesejahteraan masyarkat (Carstensen, 2011).
Orientasi keuntungan yang bergeser menjadi orientasi kesejahteraan sosial ini tidak
memiliki fleksibilitas keuangan sehingga tergantung pada penyediaan sumber daya
yang tidak terlibat pada transkasi pertukaran profit sehingga penyedia diarahkan
pada layanan barang dan jasa sehingga muaranya pada sistem non profit.
Manajemen ini harus ditekankan pada penatagunaan sumber daya yang akan
disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan penganggaran sebagai bentuk
pertanggungjawaban. Pada laporan keuangan organiasi nirlaba ini lebih ditekankan
pada moral sosial untuk menuangkan tanggungjawab sosial sehingga bentuk
pertanggungjawaban berupa numerik belum mampu menggambarkan secara
gamblang akuntabilitas pada organisasi nirlaba ini. Pada sisi akuntabilitas
konvensional, pada umumnya alur keluar masuk kas tidak dapat diprediksi dengan
baik karena organisasi bergantung pada pendapatan penyedia sumber daya yang
tidak berharap untuk menerima layanan yang disediakan (Crastensen, 2011).
27
Berdasarkan konsep nirlaba, tujuan utama manajemen keuangan adalah untu
memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan harga saham
perusahaan yang melibatkan pemaksimalan laba yang disesuaikan dengan risiko
melalui peningkatan pendapatan atau mengurangi biaya, atau keduanya (Zietlow,
et al., 2007). Namun dalam konteks Non Profit Organization (NPO) atau biasa
disebut organisasi non laba, yang tidak ada pemegang saham, memiliki tujuan
memberikan layanan kepada masyaraakat secara umum yang membutuhkan (Jody,
1996). Krug dan Weinberg (2004), menggambarkan tujuan manajemen keuangan
untuk NPO untuk memastikan bahwa pendapatan dapat dipertahankan sambil
memberikan tujuan yang penting dan bermanfaat.
Pada studi empiris Copeland (1996) menyatakan bahwa NPO yang didanai
penyumbang memiliki tujuan utama pemaksimalan utilitas penyumbang, yaitu
untuk memastikan bahwa sumber daya yang disediakan oleh donor dimanfaatkan
dengan cara seefisien mungkin. Studi empiris berbeda ditunjukkan oleh Zietlow
dkk. (2007) yang dilakukan di Amerika Serikat melalui penggunaan 288 sampel
pada tahun 1992 dan 1994. Studi empiris menemukan bahwa 38,5% menyatakan
bahwa 'break-even' adalah tujuan keuangan utama mereka dengan 20,5% untuk
memaksimalkan pendapatan bersih, 11,8% untuk meminimalkan biaya akibat
munculnya kekhawatiran masa depan, sebesar 8,6% untuk menghindari resiko dan
memaksimalkan donasi sebesar 6,9%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan
utama NPO didominasi oleh keberlanjutan masa depan dan meminimasi defisit
dibandingkan memaksimalkan keuntungan. Perbedaan mendasar ini mungkin juga
28
menghasilkan perbedaan dalam praktek manajemen keuangan dalam pengaturan
NPO (Strydom dan Stephen, 2014).
Secara umum, manajemen keuangan dibagi menjadi tiga kategori inti, yaitu
struktur modal, penganggaran modal dan manajemen keuangan jangka pendek
(juga disebut sebagai manajemen modal kerja). Namun untuk NPO lebih
menekankan pada sumber eksternal dan pendapatan sendiri untuk pendanaan. Disisi
lain NPO juga tidak memiliki pemegang saham dalam organisasinya karena hanya
mengandalkan pendanaan sendiri dan eksternal, hal ini yang menjadikan modal
struktur pada NPO tidak menjadi komponen ekuitas substansial sehingga relevansi
teoritis terkait struktur modal pada NPO sangat terbatas. Berbeda dengan struktur
modal, sistem penganggaran modal ini melibatkan komitemen sumber daya yang
luas pada periode yang panjang sehingga hal ini memberikan kontribusi terhadap
keberlanjutan NPO (Gaertner, 1982). Sementara manajemen keuangan jangka
pendek untuk NPO melibatkan keputusan yang mempengaruhi aset dan kewajiban
saat ini, biasanya melibatkan uang tunai, arus masuk dan arus keluar yang terjadi
dalam periode kisaran 12 tahun yang akan datang dengan melibatkan manajemen
kas, persediaan dan piutang. Mayoritas NPO mengalami permasalahan manajemen
persediaan dan piutang karena kedunya cenderung tidak sigfinikan.
Proses penganggaran dan pengelolaan kas dan aset lain merupakan dua
bidang penting dalam manajerial nirlaba sehingga keduanya menjadi komponen
yang difokuskan. Fokus ini ditentukan oleh penatagunaan secara menyeluruh pada
kewajiban organisasi yang menerima dana dari masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang dirasa perlu. Sehingga hal ini menjadi tantangan untuk
29
organisasi nirlaba dalam melacak arus keuangan secara detail mengingat
keterbataan dana yang harus dibukukan secara detail sebagai bentuk
pertanggungjawaban.
2.1.3 Konsep Triple Bottom Line (TBL)
Konsep Triple Bottom Line (TBL) ini merupakan suatu konsep akuntabilitas
yang didasarkan pada pelaporan akuntansi bisnis sebagai suatu informasi yang
akuntabel dan transparan. John Elkington pada 1990 seorang konsultan bisnis
menciptakan istilah TBL untuk mendeskripsikan suatu hubungan ekonom,
lingkungan dan nilai sosial dari investasi yang kemungkinan di masa yang akan
datang akan bertambah melampaui garis keuangan perusahaan (Elkington, 1997).
Konsep ini memberikan implikasi bahwa suatu organisasi atau perusahaan harus
memprioritaskan kepentingan semua stakeholder yang memperoleh dampak dari
aktifitas daripada pemilik saham yang mengarah pada konteks keberlangsungan
(Felisia, 2014). Fokus utama dalam konsep TBL ini terdiri dari unsur sosial,
lingkungan dan ekonomi (Jackson, et al. 2011). Pelaporan ini didasarkan pada
prinsip bahwa perusahaan atau organisasi harus beroperasi untuk konsentrasi pada
efek total dari tindakan yang telah dilakukan baik positif maupun negatif (Wang
dan Lin, 2007).
TBL pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan sosial, ekologi dan
ekonomi untuk mencapai keberlangsungan operasional suatu organisasi sehingga
dapat terjaga dan tidak merugikan pihak lain serta menyajikan informasi terkait isu-
isu keberlanjutan usaha. Konsep TBL memberikan dampak terhadap peningkatan
harapan (Ho dan Taylor, 2007) untuk menjaga keberlangsungan suatu organisasi
30
atau perusahaan melalui kerja sama yang baik antar komponen sosial, lingkungan
dan ekonomi demi mencapai kesepakatan bersama (Jackson, et al. 2011).
Pendekatan TBL ini bertujuan untuk menilai aset-aset dan leverage dengan lebih
akurat dan transparan sehingga modal dapat digunakan secara lebih efektif dan
efisien (Hammer dan Pivo, 2016). Selain itu, dalam memanggapi efek liberalisasi
dan globalisasi saat ini, konsep ini juga mendukung pembangunan berkelanjutan
yang menjadi visi ekonomi global melalui integrasi ekologi dan sosial.
Konsep TBL ini telah menjangkau berbagai sudut bidang pembangunan
ekonomi termasuk bisnis, perencanaan, keuangan, dan real estat yang terbukti dari
munculnya berbagai literature secara teoritis dan empiris. Selain itu aktifitas-
aktifitas praktis yang memunculkan eksistensi dari konsep TBL itu sendiri
(Hammer dan Pivo, 2016). TBL mengacu pada nilai ekonomi, lingkungan, dan
sosial dari investasi dan terkait dengan konsep pengembangan berkelanjutan.
Konsep ini berputar pada keseimbangan keseimbangan antara profitabilitas,
tanggung jawab sosial dan kesadaran lingkungan dan perusahaan harus berada pada
posisi yang menguntungkan (Atu, et al. 2013). Pada keseimpulannya, konsep TBL
ini fokus pada penjagaan stabilitas dan keseimbangan antara 3 komponen utama
dalam suatu organisasi yaitu komponen sosial, lingkungan dan ekonomi sehingga
keberlanjutannya dapat terus terjada dalam suatu organisasi (Atu, et al. 2013 dan
Alhaddi, 2015).
Beberapa studi empiris juga telah mengkaji penerapan konsep TBL
terhadap keberlanjutan suatu organisasi dan perusahaan. Kajian dari studi Fauzi, et
al (2010) bahwa konsep TBL ini digunakan sebagai pengukuran performa
31
perusahaan pada kinerja sosial, keuangan dan pengelolaan lingkungan. Studi Poots
(2004) yang menyoroti kasus terkait dengan TBL menyimpulkan bahwa konsep ini
membantu dalam mengukur risiko dalam manajemen baik dari sisi keuangan,
pendidikan, serta kondisi lingkungan untuk membangun suatu keberlanjutan usaha
yang efektif dan efisien dimasa yang akan datang. Konsep ini sangat penting
diterapkan terlebih pada ranah organisasi yang bersifat sosial seperti penerapan
pada manajemen sektor publik dimana sasaran yang dituju yaitu kesejahteraan
masyarakat seperti kajian empiris Ajiake (2015).
2.1.4 Konsep Modal Sosial
Modal sosial adalah konsep yang mencakup semua unsur norma dan
jaringan sosial sebagai media kerjasama antara individu dan
di antara kelompok individu (Putnam, 1993, Grafton, 2005; Nunko, 2017). Konsep
tersebut tertanam kuat dalam proses dan jalinan sosial yang melibatkan perasaan,
dan unsur batin lain sehingga tercipta kolaborasi kerja sama yang sesuai dengan
tujuan pembangunan. Modal sosial adalah suatu fenomena yang terjadi dalam suatu
kelompok dan individu yang berada pada tingkat kepercayaan, kohesi serta
kesepakatan tertentu pada lingkup tujuan yang dirumuskan bersama dalam
mengelola berbagai sumber daya (Nunko, 2017; Crona, Gelcich, & Bodin, 2017).
Modal sosial ini menjadi elemen penting bagi suatu lembaga atau organisasi karena
mampu menciptakan konsep kinerja yang inklusif sehingga dapat mengintegrasi
semua lini dalam satu tujuan (Abbey, Tomlinson, & Branston, 2016; Putnam, 1993;
Sacchetti & Sugden, 2003; Nunko, 2017). Menurut Narayan, (1999), modal sosial
didefinisikan sebagai norma dan hubungan sosial yang tertanam dalam struktur
32
sosial masyarakat yang memungkinkan orang untuk berkoordinasi baik dalam
bentuk tindakan dan perkataan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Beberapa pandangan lain memaparkan secara umum pengertian modal sosial
(sosial capital) seperti Olajide (2013), modal sosial adalah suatu konsep jaringan
hubungan sosial yang dicirikan oleh norma-norma kepercayaan dan timbal balik.
Inti dari modal sosial adalah hubungan sosial yang berkualitas yang dapat dideteksi
melalui kapasitas kelompok secara bersama sama memecahkan masalah secara
kolektif dengan koordinasi yang baik sehingga mencapai hasil yang saling
menguntungkan. Sederhananya, modal sosial dapat dipaham sebagai proses
tindakan sosial yang bersifat kolektif dengan koordinasi dan terarah untuk
mencapai berbagai macam hasil dari skala sosial yang berbeda beda.
Sementara menurut Bourdieu (1986) modal sosial adalah jumlah dari sumber
daya, aktual atau virtual, yang diperoleh kepada individu atau kelompok
berdasarkan memiliki jaringan yang tahan lama dari hubungan yang kurang lebih
dilembagakan dari kenalan dan pengakuan timbal balik. Coleman (1988)
mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya bahwa modal sosial merupakan
beragam entitas yang berbeda dan memiliki dua karakteristik umum yang terdiri
dari beberapa aspek struktur sosial dan memfasilitasi tindakan dan perilaku individu
dalam struktur komunitasnya. Defini lain oleh Putnam (1993) bahwa modal sosial
sebagai fitur organisasi sosial, sebagai jaringan, norma, dan kepercayaan yang
memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk manfaat timbal balik. Point pertama,
Putnam (1993) menghubungkan modal sosial ke tingkat kolektif meso seperti
asosiasi, komunitas, dan wilayah. Kedua, Putnam (1993) menyajikan modal sosial
33
sebagai solusi atas keraguan dari tindakan kolektif. Ketiga, Putnam menerapkan
modal sosial sebagai kerangka kerja untuk mempelajari kinerja lembaga, seperti
pemerintah daerah. Secara umum kerangka dan analisis penerapan modal sosial
dalam menejemen kolektif suatu permasalahan berguna sebagai jaringan, grup
pengguna dan struktur modal sosial baik secara formal ataupun informal, selain itu
juga sebagai norma atau aturan dan infromasi bagi suatu komunitas (Uphoff, 2000;
Pretty, 2002).
Konsep modal sosial Putnam (1996) berfokus pada fitur kehidupan sosial
yang memungkinkan peserta untuk bertindak bersama secara lebih efektif untuk
mengejar tujuan bersama. Sementara Coleman memeriksa penerapan modal sosial
untuk memfasilitasi akumulasi modal manusia secara khuusus. Putnam
menerapkan konsep pada skala sosiologis dan geografis yang lebih luas dari modal
sosial yang mendorong norma timbal balik yang kuat dan pada gilirannya menjadi
bahan penguat terciptanya kepercayaan sosial.
Maskell (2000) berpendapat bahwa modal sosial mengacu pada nilai dan
keyakinan yang dibagikan oleh warga dalam lingkup sehari-hari mereka yang
memberi makna dan memberikan desain untuk semua jenis aturan. Namun
munculnya modal sosial ini tidak secara sengaja muncul karena terciptanya sebagai
akibat dari akumulasi dari proses interaksi dan pembelajaran yang terjadi secara
alami dilingkungan masyarakat. Modal sosial ini diakumulasikan sebagai
konsekuensi yang tidak diharapkan dan bahkan tak terduga dari kegiatan ekonomi
saat individu melakukan interaksi di lingkungan kerja dan berbagai lingkungan
yang muncul akibat interaksi sosial.
34
Modal sosial memiliki beberapa atribut kunci yang membentuk kesimpulan
atau inti umum (Chou, 2006). Pertama, modal sosial adalah suatu modal sebagai
akumulasi saham berbagai aliran sehingga modal sosial memiliki nilai lebih dan
tidak hanya sekedar organisasi sosial namun memiliki kelebihan dan keunikan
sehingga memiliki kekuatan dalam mencapai tujuannya. Kedua, modal sosial sering
meningkatkan output dengan meningkatkan produktivitas sumber daya lain, seperti
sebagai modal manusia dan fisik. Ketiga, Modal sosial mungkin ada pada tiga
tingkatan yang terdiri dari tingkat mikro (dalam jaringan) perorangan atau rumah
tangga dan menciptakan eksternalitas dari adanya interaksi tersebut baik
eksternalitas negatif ataupun positif. Model dalam pembentukan modal sosial
terdiri dari; Model pertama, modal sosial yang dibangun dan interaksi atau
hubungan antara lingkungan internal terdekat seperti keluarga, kerabat, teman,
tetangga dan rekan kerja. Model kedua, model sosial menjadi mediator atau
perantara dalam membangun kepercayaan kolektif antar individu atau komunitas
yang membantu dalam pengembangan keuangan.
Sementara analisis modal sosial dalam tingkatan meso memberikan perluasan
modal sosial secara vertikal dan horizontal pada perilaku diantara entitas lain.
Sementara ikatan atau hubungan yang terintegrasi terjadi dalam suatu kelompok
dan memfasilitasi interaksi dan tindakan kolektif di dalamnya, menghubungkan
hubungan, memperkuat hubungan antara kelompok dan organisasi lainnya.
Kapasitas dan fungsi kunci modal sosial yaitu untuk memanfaatkan sumber daya,
ide, dan informasi dari lembaga formal di luar masyarakat, terutama negara
(Woolcock, 2002).
35
Secara lebih luas, modal sosial mencakup lingkungan sosial politik yang
membentuk sebuah struktur sosial dimana didalamnya memungkinkan tercipta dan
berkembangnya suatu aturan dan norma norma sosial yang menjadi pedoman bagi
suatu komunitas (Chou, 2006). Dalam konteks ini, modal sosial menjadi sebagaian
dari dimensi makro dengan integrasi hubungan dan struktur institutisional yang
formal seperti rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, dan kebebasan sipil
dan politik. Pada tingkatan ini, modal sosial dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi sebagai hasil interaksi antara jenis modal sosial yang memiliki struktur
sosial yang berbeda. Grootaert dan Van-Bastelaer (2002) menyebutkan bahwa
modal sosial struktural memfasilitasi akumulasi informasi dan pengambilan
keputusan melalui peran jaringan sosial yang didasarkan pada norma-norma atau
prosedur yang ada. Modal sosial kognitif mengacu pada aturan, norma, nilai,
kepercayaan, sikap dan keyakinan, serta merupakan konsep yang lebih subjektif
dan tidak berwujud. Modal sosial pertama sebagai modal institusional dan yang
kedua sebagai relasional modal. (Krishna, 2000).
Secara konseptual, peran hubungan sosial dalam suatu pembangunan
merupakan representatif penting dari pendekatan empiris sebelumnya sehingga
memiliki implikasi penting dalam penentuan kebijakan (Woolcock dan Narayan,
1999). Beberapa studi empiris pada 1990an memberikan sajian empiris yang
kontradiktif terhadap teori modal sosial dan implikasi peran hubungan sosial
Indonesia dengan pembangunan. Dalam kurun waktu 1950-1960a berbagai studi
empiris bahkan menunjukkan hasil kontradiktif bahwa hubungan sosial dan cara
hidup yang tradisional menjadi penghambat pembangunan. Sehingga Moore (1997:
289) memperoleh catatan kesimpulan yang fokus pada domain bahwa hubungan
36
sosial sebagai penghambat pembangunan menyimpulkan bahwa untuk
meminimalisir dan mereduksi hal tersebut serta merubah peran modal sosial
menjadi bekal pembangunan maka harus mengeliminasi komponen-komponen
pelengkap seperti filsafat kuno, cara pandang dan pola hidup kuno, institusi sosial
lama harus dirubah; ikatan kasta, keyakinan dan ras harus meledak; dan sejumlah
besar orang yang tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan harus memiliki
harapan untuk kehidupan yang lebih nyaman (Escobar 1995: 3).
Kemudian konsep modal sosial diturunkan pada ide-ide terbaru dengan
mengintegrasikan kerangka mikro dan makro (Woolcock ,1998 dan Narayan,
1999). Konsep tersebut dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa ruang
lingkup mikro ini merupakan keterikatan pada hubungan sosial pada ikatan intra
komunitas dan ekstra komunitas. Sementara untuk ruang lingkup makro, mengacu
pada keterikatan hubungan negara dengan masyarakat dengan level kapasitas
organisasi yang lebih luas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep Woolcok
(1998) menekankan pada keterkaitan intra komunitas, luar komunitas dan
hubungan antara komunitas dengan institusi induk yaitu negara. Ilustrasi konsep
modal sosial dari Woolcok (1998) disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Konsep Modal Sosial dalam Ide Makro dan Mikro
Sumber: Woolcok dan Narayan (2000)
Terdapat dua dimensi penting dalam modal sosial pada tingkat komunitas atau
organisasi yang terdiri dari ikatan intra komunitas/organisasi yang kuat sehingga
37
terjadi interaksi yang mendukung pada setiap elemen dalam komunitas. Kedua
adanya jaringan atau ikatan dengan ekstra komunitas sebagai jembatan atau
mediator untuk membangun hubungan antara komunitas/ organisasi atau dunia luar.
Keduanya ini merupakan dimensi modal sosial yang harus melekat dalam suatu
komunitas. Modal sosial di masyarakat secara umum terdapat banyak karakteristik
dan kelompok. Beugelsdijk dan Smulders (2009) dan Knack dan Keefer (1997)
memproksi modal sosial dengan kepadatan kegiatan asosiasi, atau dengan kata lain
keanggotaan rata-rata per kapita dari sebuah asosiasi termasuk dari organisasi
masyarakat seperti organisasi agama, pendidikan, kegiatan budaya, dan kelompok
masyarakat lainnya yang bersifat sosial.
Modal sosial dapat menggambarkan luas dan sifat hubungan orang-orang
dengan orang lain, hubungan orang-orang dengan komunitas mereka, dan
hubungan antara orang-orang dan berbagai layanan, lembaga, dan sistem. Ini
merupakan konsep yang dapat digunakan untuk memahami hubungan antara
komunitas atau lembaga (Olajide, 2013). Konsep modal sosial secara langsung
terkait dengan konsep yang lebih luas seperti kohesi sosial, demokrasi,
kesejahteraan ekonomi dan keberlanjutan. Hal ini yang menjadi daya tarik kajian
sosial terlebih bagi para pengamat, analis sosial serta akademisi untuk mendapatkan
kajian empiris dalam perumusan dan implikasi kebijakan permsalahan sosial. Yang
terbaru saat ini bahwa konsep ini telah diadopsi dan dikembangkan dalam berbagai
pengembangan kapasitas dan strategi pengembangan masyarakat, baik secara
nasional maupun internasional. Hal ini menjadikan pengkayaan pada kajian sosial
38
serta dapat berkontribusi dalam membangun dan mereduksi masalah-masalah
sosial.
Berdasarkan hubungan antara pelaku atau aktor yang berada pada level yang
berbeda, modal sosial telah disajikan sebagai bonding, bridging, dan lingking
(Olijade, 2013). Menurut Woolcock dan Sweetser (2002) menyebutkan bahwa
ikatan modal sosial mengacu pada koneksi ke orang-orang seperti keluarga dan
ekkerabatan yang menjembatani dan konektor baik dalam intra maupun ekstra
komunitas sehingga mencapai sasaran yang diharapkan. Selain itu, modal sosial
juga sebagai konektor secara vertikal ke lembaga formal sehingga ikatan modal
sosial menjadi suatu hubungan yang homogen maupun heterogen dalam komunitas
maupun lintas komunitas baik dalam lembaga formal ataupun informal (Woolcock,
2001; Mayoux, 2001; ONS, 2001; Field, 2003). Pada ujungnya, ikatan ini akan
menjadi mediator modal sosial untuk mencapai resonansi dengan gagasan
Granovetter (1983).
Dalam pembangunan ekonomi, terdapat 4 perspektif pada modal sosial
(Woolcok dan Narayan, 2000) yang terdiri dari:
1. Perspektif Komutarian
Pandangan komunitarian ini menyamakan modal sosial dengan organisasi
tingkat lokal seperti asosiasi, klub, dan kelompok sipil. Pengukuran modal
sosial ini melalui kuantitas kepadatan kelompok dalam suatu komunitas
tertentu sehingga ketika kuantitasnya tinggi diasumsikan bahwa modal
sosial lebih baik dan kehadirannya memberikan kontribusi positif bagi
kesejahteraan masyarakat. Perspektif ini telah memberikan kontribusi
39
penting bagi analisis sosial terlebih pada masalah kemiskinan dengan
menekankan sentralitas ikatan sosial dalam membantu orang miskin
mengelola risiko dan kerentan.
2. Perspektif Jaringan
Pandangan ini menekankan pentingnya asosiasi vertikal maupun horizontal
antar individu serta hubungan di dalam maupun diluar entitas lain seperti
kelompokn komunitas atau organisasi. Pandangan ini menekankan pada
cara ikatan antar komunitas dalam berinteraksi dengan lintasan sosial.
Hubungan horizontal ini dapat dijadikan dasar untuk mengejar kepentingan-
kepentingan dalam lingkup sempit.
3. Perspektif Institusional
Pandangan institusional berpendapat bahwa vitalitas jaringan pada
komunitas dan masyarakat sipil sebagian besar merupakan produk dari
institusional politik, hukum, dan lingkungan. Pada perspektif komutarian
dan jaringa, umumnya menggunakan modal sosial sebagai variabel
independen, namun pada perspektif instutional, modal sosial bertindak
sebagai variabel dependen. Pandangan ini berpendapat bahwa kapasitas
kelompok sosial dalam bertindak dalam kepentingan kolektifnya sangat
bergantung pada kualitas lembaga lembaga formal yang ada. Dapat
disimpulkan bahwa kinerja suatu komunitas, organisasi, lembaga atau
negara ini bergantung pada koherensi internal yang ada dalam kelompok
mereka sendiri, kredibilitas, kompetensi serta akuntabilitas eksternal yang
harus dipaparkan sebagai wujud dari transparansi kinerja.
40
4. Perspektif Sinergi
Perspektif ini muncul sebagai akibat dari hasil karya-karya yang terintegrasi
dari jaringan dan kelembagaan. Perspektif ini mendorong perkembangan
sinergisitas pada aliansi profesionalis yang mengalami dinamika setiap
periodenya. Selain itu juga sebagai bentuk sinergisitas antara birokrasi dan
masyarakat sipil yang berada dalam lingkungan atau komunitas tersebut.
2.1.5 KonsepTrust (Kepercayaan) dalam Akuntabilitas
Kepercayaan telah muncul sebagai masalah penting dalam akuntabilitas bisnis
karena masyarakat telah menjadi kritis tentang nilai bisnis dalam beberapa tahun
terakhir. Menurut Glover (1995), menyebutkan bahwa interaksi komersial
diselidiki dan berusaha dideteksi secara lanjut dan kritis karena kebanyakan orang
menemukan moralitas pasar tidak memiliki korelasi dengan perilaku masyarakat.
Teori kepercayaan ini muncul akibat dari dinamika perilaku manusia yang tidak
dapat diprediksi secara berkelanjutan sehingga unsur kepercayaan anta agen juga
kemungkinan besar akan mengalami pergeseran pula. Teori kepercayaan untuk
hubungan bisnis ini muncul sebagai harapan bahwa tindakan agen dalam suatu
komunitas, organisasi atau institusi akan lebih banyak memberikan keuntungan
daripada kerugian (Gambetta, 1988). Kepercayaan ini menjadi salah satu instrumen
penting dalam mekanisme pasar sehingga akan menciptakan keseimbangan yang
diharapkan (Bhati, 2015). Teori kepercayaan ini memainkan peran penting dalam
suatu organisasi karena dianggap dapat menata dan mengarahkan perilaku agen
sehingga tatanan masyaraakat akan berfungsi lebih baik. Ericson (1968)
41
menganggap bahwa kepercayaan sebagai pusat unsur kepribadian yang sehat yang
secara sendirinya akan menciptakan keselarasan yang mengarah pada norma-norma
kebaikan.
Hill (2006) menganggap bahwa kepercayaan sebagai hal yang penting pada
sistem sosial sebagai pondasi dari berjalannya hubungan sosial masyarakat.
Munculnya kepercayaan baik secara vertikal dan horizontal ini dipercaya akan
mereduksi konflik yang terjadi akibat adanya saling kecurigaan, selain itu juga
dapat meningkatkan kinerja individu karena rasa percaya serta meningkatkan
komitment yang akan membawa pada peningkatan kinerja. Kepercayaan
memainkan peran penting dalam organisasi karena dianggap perlu untuk individu
dan masyarakat sehingga kehidupan dapat berjalan dengan baik. Ericson (1968)
menganggap kepercayaan sebagai pusat dari unsur kepribadian yang sehat.
Arrow (1974) menganggap bahwa kepercayaan sebagai hal yang penting pada
sistem sosial sebagai pondasi dari berjalannya hubungan sosial masyarakat.
Munculnya kepercayaan baik secara vertikal dan horizontal ini dipercaya akan
mereduksi konflik yang terjadi akibat adanya saling kecurigaan, selain itu juga
dapat meningkatkan kinerja individu karena rasa percaya serta meningkatkan
komitment yang akan membawa pada peningkatan kinerja (Zaheer, McEvily and
Perrone, 1996; McAllister, 1995; Ring dan Vandeven, 1994; (Kim dan Mauborgne,
1993). Selain itu kepercayaan mampu meningkatkan kinerja individu yang akan
bermuara pada peningkatan kinerja organisasi atau lembaga yang menaungi
individu. Beberapa studi empiris memaparkan bahwa kepercayaan dapat
42
meningkatkan promosi kerja sama antar organisasi dan meningkatkan komitmen
manajerial perusahaan (Bhati, 2015).
Konsep dan kunci dari teori kepercayaan sosial direkonstruksi atas dasar
teoritis dan praktik implementasi sosial masyarakat serta beberapa sejumlah
konteks akademis yang berhubungan secara langsung. Beberapa bentuk konsep
kepercayaan antara lain konsep kepercayaan dasar, kepercayaan interpersonal,
kepercayaan pribadi, kepercayaan antar pribadi umum dan kepercayaan antar
pribadi pada lingkup internal. Kepercayaan dapat didefinissikan sebagai suatu
fenomena sosial yang bersifat universal dan merupakan kapasitas sosial yang
diperoleh dari proses sosial. Beberapa ciri kepercayaan antara lain kepercayaan
dasar atau keamanan ontologis (Giddens 1990) merupakan kepercayaan yang
memiliki keterikatan kuat. Ketidak-percayaan diri sendiri, kecemasan, agresi
berlebihan dan karakter yang mencurigakan cenderung berakar pada kepercayaan
dasar. Kepercayaan interpersonal berkembang di atas fondasi kepercayaan dasar,
kapasitas untuk bergantung pada diri sendiri, orang lain dan dunia, dalam fase
sosialisasi berikutnya, dengan mengintegrasikan dimensi normatif dari aturan
hubungan sosial sebagai bentuk implementasi hakikat manusia sebagai makhluk
sosial atau homo sociologicus (Seligman 1997).
Kepercayaan interpersonal tertentu dicontohkan sebagai masyarakat
kekeluargaan (Putnam 1993) yang memaparkan bahwa hubungan dengan keluarga
dan kerabat didefinisikan oleh kesetiaan yang kuat, hampir tanpa syarat, sedangkan
dalam hubungannya dengan non-kerabat, norma kerja sama tidak menuntut
kejujuran, kepercayaan atau solidaritas dan pasti. Sementara masyarakat dengan
43
tingkat kepercayaan yang rendah dan sempit biasanya menunjukkan
ketidakpercayaan pada kelompok tertentu dan biasanya menunjukkan rasa
ketidakpercayaan yang tinggi pada individu diluar kelompok mereka sehingga
unsur primordialisme sangat kuat (Füzér, 2016).
Rekonstruksi teori kepercayaan sosial dengan tingkat kepercayaan sempit dan
rendah akan menimbulkan ketidakpercayaan yang tinggi terhadap individu lain
terutama individu diluar kelompoknya sehingga akan berdampak pada kepercayaan
antar pribadi dan kepercayaan institusional. Sementara kepercayaan interpersonal
yang menyeluruh akan mendominasi kepercayaan masyaraakat dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi ini menunjukkan kepercayaan antar pribadi dalam suatu
lembagaan atau institusi (Putnam 1995, 1999). Berikut jenis modal sosial serta
jenis dan sumber kepercayaan yang mendasarinya.
Tabel 2.1
Jenis Modal Sosial dan Jenis serta Sumber Kepercayaan
Bonding Social Capital Bridging Social
Capital
Linking Social
Capital
Bentuk
kepercayaan
Kepercayaan
Interpersonal
Kepercayaan
Interpersonal Umum
Kepercayaan
Institusional dan
Interpersonal
Sumber
Kepercayaan
1. Kepercayaan dasar
2. Sosialisasi tidak
langsung (teman,
kerabat, keluarga).
3. Norma masyarakat
1. Kebiasaan kebdayaan
2. Sosialisasi tidak
langsung (Sekolah
dan tempat kerja).
3. Pengelaman
berkelompok
4. Pengajaran formal
5. Pekerjaan kelompok
1. Sosialisasi langsung
2. Pengalaman dengan
operability institusi,
sistem
3. Sosialisasi politik
44
Norma-
Norma
Kerjasama,
Sumber
Kepercayaan
1. Altruisme
2. Komitmen orang tua
3. Lampiran anak
4. Delitasi kemitraan
5. Kesetiaan pertemanan
6. Kekeluargaan,
kekeluargaan, agama,
kesetiaan komunitas
etnis
7. Timbal balik
1. Kepercayaan
2. Kejujuran
3. Keandalan
4. Reputasi baik
5. Niat baik
6. Pengakuan
7. Timbal balik
Aturan legal sebagai
berikut:
1. Kompetensi
2. Keahlian
3. Tanggung jawab
4. Prestise
5. Menghormati otoritas
6. Menghormati tradisi
7. Ekuitas
Ciri-Ciri
Kepribadian
1. Percaya diri
2. Mengatasi keterampilan
3. Tegas
4. Keterikatan, komitmen
1. Kejujuran
2. Toleransi
3. Sopan santun
4. Kesabaran
5. Kapasitas untuk
kerjasam
6. Sociability spontan
7. Otonomi moral
1. Integritas
2. Kredibilitas
3. Kompetensi subjektif
Sumber: (Füzér, 2016)
2.2 Kerangka Berpikir
Implementasi manajemen keuangan dan akuntabilitas merupakan praktik
yang penting dilaksanakan oleh suatu organisasi baik yang bersifat bisnis maupun
non-profit. Problematika manajemen keuangan serta akuntabilitas yang terjadi
dalam organisasi pada dasarnya timbul karena adanya keinginan untuk
mementingkan diri sendiri (perilaku opportunistic) dan tidak memberikan
informasi yang seharusnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Hal tersebut
juga terjadi pada organisasi yang bersifat non laba yaitu subak. Subak adalah suatu
masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang
merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah.
45
Studi Sutawan et al (1986) menyebutkan peran penting gatra religious
dalam sistem irigasi subak. Kajian gatra religious tersebut ditunjukkan dengan
adanya satu atau lebih pura Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai
manifestasi Tuhan selaku Dewi kesuburan), disamping adanya sanggah pecatu
(bangunan suci) yang ditempatkan disekitar bangunan sadap (intake) pada setiap
blok/komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra religious pada sistem
irigasi subak merupakan cerminan konsep Tri Hita Karana (THK) yang pada
hakekatnya terdiri dari parhyangan, palemahan, dan pawongan.
Gatra parhyangan oleh Sutawan et al (1986) ditunjukkan dengan adanya
pura pada wilayah subak dan pada setiap komplek/blok pemilikan sawah petani,
gatra palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap
subak, dan gatra pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang
disesuaikan dengan kebutuhan setempat, adanya anggota subak, pengurus subak,
dan pimpinan subak yang umumnya dipilih dari anggota yang memiliki
kemampuan spiritual.
Sementara itu, kajian-kajian yang lain yang menelaah sistem irigasi subak
secara tidak utuh sebagai sistem sosio-teknis-religius yang sesuai dengan prinsip
masyarakat hukum adat yang berlandaskan THK masih tampak dilaksanakan.
Misalnya, kajian yang cendrung lebih difokuskan pada masalah organisasi, dan
sarana yang dimiliki sistem subak untuk mengelola air irigasi, yang antara lain
dilakukan oleh Geetz (1980), Teken (1988), Samudra (1993). Sudira (1999)
mengatakan bahwa sistem irigasi yang disebutkan hanya memiliki gatra fisik dan
sosial sebetulnya tidak salah, namun tidak lengkap. Meskipun demikian, tampaknya
46
dapat disebutkan bahwa kajian tentang sistem irigasi subak yang tidak mengkaji
dari gatra sosio-teknik-religius terkesan menyederhanakan masalah, maka kajian
kurang lengkap, dan tercermin kurangnya pemahaman tentang konsep teknologi
serta peluang transformasi sistem irigasi subak sebagai suatu teknologi yang
sepadan.
Praktik akuntabilitas dalam organisasi nirlaba bukan hanya didasarkan
pada tujuan bisnis semata namun lebih bersifat pada tujuan yang memiliki nilai
instrinsik spiritual dan nilai dalam membangun modal sosial. Eksistensi subak
sebagai salah satu organisasi yang bersifat sosial memiliki prinsip yang didasarkan
pada hubungan antar manusia (pawongan), hubungan manusia kepada Tuhan
sebagai pencipta (parahyangan) dan hubungan manusia dengan lingkungannya
(palemahan) yang terintegrasi dalam setiap kegiatan pengelolaan organisasi.
47
Gambar 2.2
Kerangka Berpikir Penelitian
Organisasi Sosial (Nirlaba)
Subak Jatiluwih Kabupaten Tabanan
Praktik Akuntabilitas
Praktik Akuntabilitas
Konvensional
Integrasi Akuntabilitas
berbasis Tri Hita Karana (Kearifan Lokal)
Integrasi Akuntabilitas dengan Spiritual
Capital
Integrasi Akuntabilitas dengan Social
Capital (Bonding, Bridging, Linking)
Integrasi Akuntabilitas dengan
sustainability lingkungan
1. Kepercayaan (Trust)
2. Jaringan (Network)
3. Norma
Eksistensi Subak Jatiluwih
Berbasis Sosio-Teknis-Religius