bab ii landasan teori dan model penelitian · 2017. 4. 1. · 15 bab ii kajian pustaka, konsep,...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian tentang seni kriya sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik dalam
bentuk penelitian yang dimuat dalam jurnal, majalah, maupun buku-buku teks.
Secara umum penelitian yang dilakukan lebih banyak mengkaji seni kriya
berdasarkan teks rupa, bentuk dan fungsi, serta keragaman produk seni kriya
berdasarkan perkembangan selera zamannya. Berdasarkan pengamatan yang telah
dilakukan, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para ahli belum ada
yang mengkaji tentang seni kriya terutama menyangkut industrialisasi sebagai
dampak perkembangan teknologi pada era globalisasi dan permintaan konsumen
terhadap seni kriya. Kajian tentang industrialisasi seni kriya merupakan kajian
yang menarik untuk dipahami lebih jauh, karena sebagai karya seni rupa banyak
faktor yang memengaruhi munculnya berbagai produk seni kriya. Di sini bukan
saja dapat dikaji dari teks rupanya, akan tetapi juga tentang konteksnya, karena
karya seni kriya adalah produk sosial.
Keanekaragaman seni kriya sebagai karya seni rupa dari waktu ke waktu
lebih-lebih di era posmodernisme senantiasa mengundang kajian yang tiada
hentinya. Melihat seni kriya saat ini tidak lagi mengacu pada bentuk yang
mengikuti fungsi (form follows function), melainkan tergantung dari keinginan
atau selera penikmatnya. Di samping itu tidak semua karya seni kriya sebagai
karya fungsional yang lebih menekankannya pada kerajinan (craft). Sekarang
16
banyak seni kriya yang non fungsional dan menjadi karya seni murni (art). Hal ini
juga akibat perkembangan seni kriya pada era posmodern yang menjadi
perbincangan antara karya seni atau kerajinan (art and craft). Hal ini juga
dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga
produk seni kriya semakin banyak mendapat pengaruh dari produk-produk luar.
Fenomena ini menjadi semakin menarik, dan untuk mengkaji seni kriya secara
berkelanjutan. Kajian pustaka ini dilakukan untuk memosisikan temuan penelitian
pada ilmu yang sudah ada, dan juga menghindari terjadinya duplikasi terhadap
penelitian yang akan dilakukan. Adapun hasil kajian pustaka yang telah dilakukan
dalam konteks penelitian ini, adalah sebagai berikut.
Penelitian seni kriya yang menarik untuk dikaji adalah penelitian yang
dilakukan oleh Suryana (2008) yang berjudul “Kajian Kriya Kontemporer Bali
Studi Kasus Kerajinan Patung Pop Art di Desa Tegallalang”. Dalam penelitian ini
dikaji tentang munculnya seni kriya kontemporer sebagai warna baru dalam
perkembangan seni kriya tradisional yang ada di Desa Tegallalang. Pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan estetis dalam mengkaji nilai-nilai estetika seni
kriya yang menyangkut motif, warna, dan ragam hiasnya, serta pendekatan sejarah
dalam mengkaji perkembangannya. Persamaan dengan penelitian yang akan
dilakukan, sama-sama mengambil topik seni kriya di Tegallalang. Perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan teori-teori kritis,
sedangkan kajian yang dilakukan selain tentang teks rupa seni kriya juga dikaji
tentang konteksnya. Pentingnya dilakukan kajian terhadap penelitian Suryana
17
(2008) paling tidak dapat diperoleh informasi tentang seni kriya kontemporer di
Tegallalang.
Suda (1999) meneliti “Keterlibatan Anak-anak Usia Sekolah dalam
Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga, Studi Kasus Tentang Pendayagunaan
Pekerja Anak-anak Di Desa Kedisan, Tegallalang, Gianyar”. Dalam penelitian ini
dikaji tentang keterlibatan anak-anak pada usia sekolah sebagai tenaga kerja
dalam pembuatan produk industri kecil dan industri menengah. Keterlibatan anak-
anak sebagai tenaga kerja berdampak pada keluarga, sekolah dan masyarakat.
Anak-anak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebaliknya pada sekolah berpengaruh terhadap interaksi belajar mengajar,
sedangkan pada masyarakat bergesernya sistem gotong royong (tolong
menolong), berkembangnya moneterisasi desa, dan memudarnya nilai-nilai
kebersamaan. Kesamaan penelitian Suda dengan penelitian yang akan dilakukan
sama-sama mengambil objek di wilayah Tegallalang. Perbedaannya pada
penelitian Suda penekanannya pada anak-anak sebagai tenaga kerja (perajin),
sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, mencermati berbagai komponen
yang terlibat dalam industri kerajinan/kriya.
Penelitian seni kriya dilakukan oleh Arimbawa (2011) dengan judul
“Perkembangan dan Motivasi Penciptaan Produk Kriya di Bali”. Dalam penelitian
ini dibahas tentang perkembangan dan motivasi produk kriya di Bali sebelum
mendapat pengaruh kebudayaan Hindu, kemudian perkembangan dan motivasi
penciptaan produk kriya di Bali setelah mendapat pengaruh kebudayaan Hindu
(pengaruh dari India dan Majapahit).Penelitian itu juga membahas perkembangan
18
dan motivasi penciptaan produk kriya di Bali pada masa kolonial, serta
perkembangan dan motivasi penciptaan produk kriya di Bali pada era
kemerdekaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama mengkaji
seni kriya, sedangkan perbedaannya, penelitian yang akan dilakukan
menggunakan pendekatan kajian budaya. Berata (2009) dalam penelitiannya
dengan judul “Perkembangan Seni Kerajinan Kayu di Desa Petulu Gianyar Bali
(Kajian Estetika dan Sosial Kultural)”. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan seni kerajinan di Desa Petulu,
perkembangan bentuk dan fungsi seni kerajinan Desa Petulu, serta dampak
perkembangan kerajinan kayu Desa Petulu. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang dilakukan adalah adanya perubahan pada pembuatan seni kriya
saat ini di Petulu dan di Tegallalang. Perbedaannya, Berata mengkaji seni kriya
dari bentuk dan funginya, sedangkan penelitian yang dilakukan mengkaji peran
pemangku kepentingan dalam perkembangan seni kriya. Berdasarkan penelitian
ini setidaknya dapat membantu pemahaman tentang seni kriya secara historis dan
perkembangan seni kriya secara sosiokultural masyarakat pendukungnya.
Hasil penelitian Sila (2006), tentang “Cili dan Perkembangannya sebagai
Seni Kerajinan Cenderamata (Souvenir) dalam Menunjang Pariwisata di Bali
(Tinjauan Bentuk dan Fungsinya).” Dalam penelitian ini dibahas tentang Cili
sebagai karya seni kriya dalam perkembangannya sebagai barang cinderamata
dalam menunjang pariwisata di Bali. Pendekatan yang digunakan adalah pen-
dekatan estetika,sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan
19
kajian budaya melalui teori-teori kritis. Sementara itu Budhyani (2006) mengkaji
pengembangan kerajinan uang kepeng yang berjudul “Potensi Pengrajin Wanita
dalam Pengembangan Kerajinan Uang Kepeng Di Kawasan Pariwisata Ubud
Bali”. Dalam penelitian ini dikaji mengenai keterlibatan kaum perempuan dalam
menekuni pekerjaan sebagai pengrajin uang kepeng untuk menghasilkan produk
seni kriya dari uang kepeng sebagai penunjang kawasan wisata Ubud.
Keterlibatan para perempuan pada usia produktif sebagai pengrajin uang kepeng
dan tingkat pendidikan yang mereka selesaikan menjadikan produk kerajinan dari
uang kepeng sangat beragam. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan adalah sama- sama mengkaji keterlibatan perempuan pembuat seni
kriya dalam kaitannya dengan pariwisata. Perbedaannya pada pendekatan yang
dilakukan adalah menggunakan pendekatan kajian budaya. Melalui kajian yang
dilakukan setidaknya diperoleh keragaman bentuk dan fungsi seni kriya dalam
menunjang pariwisata di Bali.
Selain hasil penelitian, kajian juga dilakukan terhadap artikel tentang seni
kriya yang dimuat dalam Jurnal Prasi Volume 3 Nomor 5 Januari-Juni 2005, yang
ditulis oleh Gustami dengan judul “Masa Depan Seni Kriya di Tengah Arus
Postmodernisme.” Dalam artikel ini dibahas mengenai posisi seni kriya tradisi
sebagai bentuk jati diri dan identitas budaya bangsa. Keunikan seni tradisional
diharapkan menjadi daya tarik bagi konsumen. Dalam era Postmodern ini seni-
seni tradisi dapat berkembang menjadi seni kontemporer. Namun dibalik itu
dengan perkembangan teknologi sekarang ini proses produksi seni kriya
berlangsung secara mekanis dan menghasilkan produk massa. Seni dengan
20
produksi massa telah kehilangan spirit, ruh, dan jiwa kemanusiaan yang
menyentuh hati nurani. Persamaan tulisan ini dengan penelitian yang akan
dilakukan adalah sama-sama mengkaji tentang seni kriya kontemporer.
Perbedaannya pada artikel Gustami kajian masih bersifat umum, sedangkan pene-
litian akan dilakukan kajiannya lebih mendalam terhadap seni kriya kontemporer
yang berkembang di Tegallalang.
Artikel lain ditulis oleh Supir yang dimuat dalam Jurnal Prasi Volu- me 3
Nomor 6 Juli-Desember 2005 yang berjudul “Aplikasi Form Follows Function
dalam Seni Kriya Indonesia”. Dalam tulisan ini dibahas tentang berbagai produk
seni kriya yang berkembang di lingkungan masyarakat yang bisa dilihat dari
bentuk, bahan, dan teknik pembuatan. Ditinjau dari kegunaannya, seni kriya di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan upacara
keagamaan dan adat, (2) untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam memenuhi
kehidupan masyarakat sehari-hari, dan (3) sebagai hiasan atau sebagai elemen
estetis. Dalam setiap penciptaan produk seni kriya perajin telah mempertim-
ngkan aspek-aspek bentuk yang mengikuti fungsinya. Persamaan dengan pene-
litian yang akan dilakukan adalah sama-sama tentang seni kriya yang berkembang
di masyarakat. Perbedaan kajian yang dilakukan, pada artikel Supir mengkaji
tentang seni kriya yang mengikuti kaidah-kaidah seni kriya modern yaitu bentuk
mengikuti fungsi, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan tidak lagi
mengacu pada prinsip-prisip seni kriya yang berorientasi bentuk mengikuti fungsi.
Kajian lain dilakukan terhadap tulisan Gustami (1991) dalam Pidato
Ilmiah pada Dies Natalis Ketujuh Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang
21
berjudul “Seni Kriya Indonesia: Dilema Pembinaan dan Pengembangannya.” Pada
tulisannya Gustami membahas keberadaan seni kriya dalam tradisi besar yang
berkembang di lingkungan tembok keraton sebagai Budaya Agung dan tradisi
kecil sebagai budaya alit yang berkembang di luar tembok keraton, terjadinya
dikotomi sosial dalam kelahiran seni kriya. Di sini terjadi perbedaan yang sangat
mencolok dalam memproduksi maupun mengonsumsi produk kriya antara kaum
bangsawan dengan rakyat jelata hal ini mirip dengan perdebatan art and craft
yang terjadi di Eropa. Dalam perkembangannya saat ini bahwa modernisasi telah
membuat produk kriya menjadi produk industri yang dapat menghasilkan barang
dengan cepat dalam jumlah yang banyak dan tidak dapat dipungkiri dapat
berpengaruh terhadap eksistensi seni kriya. Persamaan kajian Gustami dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama mengkaji seni kriya sebagai
produk industri. Perbedaannya Gustami mengkaji ada perbedaan produk seni
kriya yang dibuat di lingkungan keraton dan oleh rakyat biasa, sehingga
menimbulkan dilema yang mana mau dikembangkan, sedangkan penelitian yang
akan dilakukan mengkaji tentang produk kriya yang berkembang saat ini tidak
membedakan seni kriya tinggi atau rendah, dan pihak-pihak yang berperan
sehingga muncul produk-produk seni kriya seperti sekarang ini.
Kajian buku teks dilakukan terhadap tulisan Lodra (2012) dalam buku
yang berjudul Kriya Tradisional Dalam Cengkraman Kapitalis. Buku ini
merupakan sebuah disertasi dari Kajian Budaya dengan menggunakan teori
praktik, dekonstruksi, dan teori diskursus kekuasaan/pengetahuan. Dalam buku ini
dibahas tentang bagaimana perajin tradisional yang membuat benda-benda
22
kerajinan secara komunal dalam suatu kelompok masyarakat yang sudah berjalan
secara turun-temurun tidak memikirkan bahwa apa yang mereka kerjakan
termasuk dalam pembuatan desain, dianggap bukan sebagai desain milik mereka.
Kaum kapitalis mempunyai modal yang besar, pengetahuan yang tinggi, memiliki
kekuasaan mengklaim bahwa desain yang diciptakan oleh perajin yang
berlatarbelakang budaya Bali, dengan desain yang bernuansa Bali dianggap
menjiplak dari desain yang dimiliki oleh kaum kapitalis. Persamaan tulisan Lodra
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah adanya kekuasaan kapitalis
terhadap keberadaan seni kriya di Bali. Perbedaannya kalau Lodra lebih menitik
beratkan pada HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) untuk melindungi karya
perajin, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan mengkaji tentang adanya
permainan kekuasaan (kapitalis dengan modalnya) yang memunculkan peming-
giran dan resistensi yang berpengaruh pada produk kriya saat ini.
Buku teks lain ditulis oleh Udiana N.P. (2013) yang berjudul Garuda Bali:
Perspektif Cultural Studies. Buku ini diterbitkan dari sebuah disertasi Kajian
Budaya. Isi buku ini yang ditonjolkan adalah bentuk dan motif garuda serta
maknanya dalam kebudayaan Bali. Teori yang digunakan adalah teori posmodern
(estetika postmodern) dalam memahami estetika simbol garuda dalam kebudayaan
klasik, modern, dan postmodern. Aspek lain yang dimunculkan adalah
perkembangan garuda sebagai komoditas budaya tanpa meninggalkan nilai
estetisnya. Saat ini patung garuda banyak diproduksi di daerah Pakudui,
Tegallalang. Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah garuda
sebagai salah satu objek seni kriya yang diproduksi di daerah Tegallalang. Teori
23
yang digunakan salah satunya sama-sama menggunakan teori estetika posmodern
dalam mengkaji bentuk produknya. Perbedaannya, penelitian Udiyana fokus pada
satu bentuk garuda saja, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan objeknya
lebih banyak sesuai dengan jenis produk seni kriya yang berkembang di
Tegallalang saat ini.
Buku teks lain yang ditulis Gustami (2000) yang berjudul Seni Kerajin-
an Mebel Ukir Jepara (Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin), dengan
menggunakan pendekatan bentuk, fungsi, dan makna, yang dianalisis dengan
menggunakan teori antropologis-etnografis, estetika, dan historis. Buku ini
membahas produk-produk seni ukir Jepara seperti: mebeler, hiasan pintu masuk
dan jendela yang disebut gebyog, dan barang-barang souvenir atau cinderamata
yang berkembang dengan pesat. Pewarisan tradisi dari generasi tua kepada
generasi muda menjadi perhatian yang serius dalam memelihara kelangsungan
hidup seni kerajinan Jepara. Selain itu dapat diamati bahwa seni mebel ukir Jepara
menyebar ke seluruh pelosok daerah di Indonesia termasuk Bali dan dapat
menguasai pasar secara nasional. Dengan demikian perajin dapat mempertahan-
kan nilai-nilai tradisional yang menjadi warisan seni budaya Jepara. Persamaan
tulisan Gustami dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama mengkaji
tentang seni kriya. Perbedaannya, kajian Gustami begitu kuatnya nilai-nilai
tradisional pada seni kriya Jepara dan bisa menyebar ke seluruh pelosok
Indonesia, sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengkaji begitu pesatnya
perkembangan seni kriya di Bali umumnya dan Tegallalang khususnya, sehingga
seni kriya tradisional menjadi semakin sedikit atau terpinggirkan.
24
Di dalam buku Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita
(1991) yang disunting oleh Soedarso SP., Gustami menulis “Dampak Modernisasi
terhadap Seni Kriya di Indonesia.” Dalam tulisan ini dibahas tentang para seniman
tradisional di masa lampau yang melaksanakan tugasnya dilandasi oleh jiwa
pengabdian kepada ‘dewa raja’ atau bangsawan, dewasa ini semakin bergeser
perhatiannya dan berpaling ke hal-hal yang bersifat material. Mereka cenderung
mengabdi kepada permintaan pasar yang memberikan kepuasan lahiriah. Oleh
karena itu kecenderungan seni masa kini khususnya seni kriya mengarah kepada
suguhan yang diperdagangkan, bahkan lebih lanjut dimanfaatkan sebagai salah
satu jenis komoditi ekspor. Persamaan kajian Gustami dengan penelitian yang
akan dilakukan adalah sama-sama melihat perubahan yang terjadi pada proses
pembuatan seni kriya. Seni kriya tradisional dalam prosesnya dilandasi oleh
kebersamaan, sedangkan seni kriya modern sudah mengarah pada proses
individual. Perbedaannya, kalau Gustami mengkaji secara umum di Indonesia,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih fokus pada daerah Tegallalang.
Buku teks lain Haryanto (1991) dalam buku yang berjudul Seni Kriya
Wayang Kulit. Dalam buku ini dibahas tentang wayang sebagai warisan budaya
Indonesia yang sangat penting penekanannya pada segi simbolik, filosofis, dan
pedagogik. Dalam seni kriya, tema-tema pewayangan terdapat pada bangunan
candi di Jawa dan pura di Bali berbentuk relief yang diukir pada batu maupun
kayu, di samping itu wayang banyak dijumpai terbuat dari kulit. Sebagai karya
seni kriya tradisional bahwa wayang dalam proses pengerjaannya sangat didukung
oleh keterampilan kekriyaan dari seorang perajin dengan mengikuti pakem-pakem
25
yang sudah ada. Perbedaan kajian Haryanto dengan penelitian yang dilakukan
adalah kalau Haryanto membahas nilai-nilai tradisional yang dilatarbelakangi oleh
filosofis dan pedagogik dalam memahami produk seni kriya wayang kulit. Pada
penelitian yang akan dilakukan lebih banyak mencermati fenomena yang terjadi
saat ini. Kajian Haryanto dapat menambah pemahaman tentang norma-norma atau
pakem yang harus diperhatikan dalam membuat seni kriya tradisional khususnya
seni kriya pada wayang kulit.
Purnata (1977) dalam buku yang berjudul Sekitar Perkembangan Seni
Rupa Di Balimembahas seni kriya atau seni kerajinan. Seni kriya yang
berkembang di Bali pada hakekatnya selalu berkaitan dengan kegiatan keagamaan
dan adat. Sebagai karya seni tradisional seni kriya banyak dihasilkan oleh
masyarakat pedesaan secara turun-temurun. Sebagai karya komunal masyarakat
pengerjaannya dilakukan secara kolektif dan perwujudannya digunakan untuk
kepentingan upacara agama Hindu. Sejak kedatangan orang Barat (orang asing)
yang berkunjung ke Bali sebagai wisatawan, maka produksi seni kriya lebih
banyak berorientasi pada barang dagangan untuk kepentingan bisnis yang
diproduksi secara massal. Persamaan kajian Purnata dengan penelitian yang
dilakukan adalah sama-sama melihat bahwa munculnya seni kriya di Bali
dilatarbelakangi oleh kepentingan agama Hindu. Perbedaannya dengan penelitian
yang dilakukan lebih kepada pembahasan seni kriya saat ini. Kajian Purnata dapat
memberikan pemahaman tentang perkembangan seni kriya dari zaman Hindu
sampai pada seni kriya dengan berorientasi pada nilai ekonomisnya.
26
Picard (2006) dalam buku yang berjudul Bali Pariwisata Budaya dan
Budaya Pariwisata membahas seni kerajinan atau seni kriya. Membuat produk
seni kriya merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat seiring dengan
perkembangan pariwisata dan menyempitnya lahan pertanian di Bali.
Berkembangnya pariwisata di Bali menjadi suatu kenyataan bahwa perajin
semata-mata bekerja untuk kepentingan pasaran wisata. Bahkan dalam
memproduksi barang banyak perajin menghadapi masalah modal karena bahan
baku (kayu) yang digunakan harganya semakin mahal dan jenis-jenis kayu
tertentu harus didatangkan dari Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Kadang-kadang
mereka mengalami kesulitan dalam pemasaran atau berhubungan langsung
dengan wisatawan, sehingga mereka menjadi tergantung dengan pemilik modal
atau kapital. Persamaan kajian Picard dengan penelitian yang dilakukan adalah
sama-sama membahas seni kriya dibuat oleh masyarakat untuk keperluan
pariwisata. Perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan pengkajiannya terhadap
pihak-pihak yang bermain untuk memproleh keuntungan dalam produksi seni
kriya dalam perkembangan pariwisata saat ini.
Holt (2000) dalam buku yang berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni
Di Indonesia (terjemahan Soedarsono). Secaraumum mengamati perkembangan
seni di Indonesia, Holt membahas secara khusus pada Bab 7 tentang “Seni Plastis
Bali: Tradisi Dalam Perubahan”. Dalam pembahasannya yang berkaitan dengan
seni kriya adalah telah ditemukan seni ornamental yang mewah dengan teknik
pahatan atau ukiran dengan teknik kekriyaan yang unggul pada bangunan pura
serta bangunan istana yang penempatannya pada gerbang-gerbang, dinding-
27
dinding, yang dibuat dari batu padas dan kayu. Dalam proses perkembangannya
seni kriya di Bali banyak produk kriya dibuat sebagai cenderamata (souvenir).
Untuk mempertahankan kualitasnya para pengrajin sangat memperhatikan segi
kekriyaannya. Kajian Holt dapat memberikan pemahaman bagaimana membuat
seni kriya yang berkualitas dengan teknik kekriyaan yang tinggi. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan, bahwa saat ini produk-produk seni kriya banyak yang
dikerjakan tanpa penguasaan teknik kekriyaan, karena saat ini produk kriya dibuat
dengan menggunakan mesin.
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan seperti tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan serta perkembangan seni kriya di
Indonesia dan Bali pada khususnya saat ini sangat dipengaruhi oleh pariwisata.
Sebagai produk budaya, seni kriya di Bali tentu tidak bisa lepas dari akar budaya
Bali yang sudah menjadi tradisi masyarakatnya. Hal yang tidak kalah menariknya
munculnya industrialisasi terkait dengan industri pariwisata tentu saja orientasi
para perajin lebih banyak pada penciptaan produk yang banyak disukai oleh para
konsumen dalam hal ini para wisatawan. Pembuatan produk secara massal dalam
memenuhi permintaan dari konsumen dengan waktu yang terbatas, maka sistem
yang diterapkan oleh perajin adalah sistem industri dengan menggunakan
peralatan mesin produksi untuk menghasilkan produk massal. Dalam proses
seperti ini tentu saja nilai-nilai tradisi yang dimiliki oleh masyarakat lama-lama
menjadi termarjinalkan dengan adanya sistem produk dari mesin. Proses
pembuatan produk kriya secara tradisional memakan waktu yang lama dan
keahlian yang dimiliki oleh perajin betul-betul dari proses awal sampai akhir.
28
Proses pembuatan produk seni kriya saat ini menggunakan sistem industri
sehingga terjadi proses spesislisasi pekerjaan.
2.2 Konsep
Judul Disertasi ini adalah “Industrialisasi Seni Kriya pada Era Globalisasi
di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali”. Berkaitan dengan hal ini perlu
diberikan penjelasan yang dapat memperkuat pemahaman konsep dan menghin-
dari terjadinya perbedaan pandangan. Adapun konsep-konsep yang dijelaskan
dalam disertasi ini,antara lain Industrialisasi, Seni Kriya, dan Globalisasi.
2.2.1Industrialisasi
Industrialisasi berdasarkan uraian Abercrombie, dkk., ( 2010: 277-278)
adalah:
mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengikutipenerapan sumber-sumber tenaga yang tidak hidup untuk memekanisasiproduksi. Industrialisasi pada awalnya berupa produksi di pabrik,kemudian menyebar ke wilayah pertanian dan jasa. Dibandingkan denganorganisasi pra-industri, proses ini telah melibatkan pembagian kerja(Division of Labour); hubungan produksi (Relations of Production) sosialyang baru antara pemilik modal, manajer, dan pekerja; urbanisasi(Urbanization) dan pemusatan industri dan populasi secara geografis; danperubahan dalam struktur pekerjaan. Awalnya berkembang dalamperekonomian kapitalis, industrialisasi sekarang melampaui sistemekonomi mana pun.
Kuntowijoyo (1991: 171-184) sebagaimana dikutip oleh Basundoro (2001:
133) menyatakan industrialisasi bukanlah suatu perjalanan sejarah yang unlinear
dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, tetapi merupakan suatu evolusi
yang multilinear. Menurutnya, tidak setiap masyarakat akan mengalami proses
yang sama, kecepatan yang sama, atau akibat yang sama. Berdasarkan beberapa
29
konsep di atas, industrialisasi dalam seni kriya terkait dengan penelitian ini,
bahwa pembuatan produk-produk seni kriya yang dilakukan oleh perajin di
Tegallalang, Gianyar, Bali menggunakan tenaga mesin untuk menghasilkan
produk massal dengan waktu yang singkat dan melalui sistem pembagian kerja.
Dalam industrialisasi seni kriya proses pembuatan produk secara tradisional
diadaptasi menggunakan mesin. Industrialisasi disini juga terkait dengan industri
pariwisata, sehingga produk-produk kerajinan yang dihasilkan oleh perajin adalah
untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Industrialisasi seni kriya yang terjadi di Tegallalang, Gianyar, Bali
melibatkanperan dan permainan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan atau
stakeholder untuk mendapatkan kekuasaan.Menurut Abercrombie, dkk. (2010),
stakeholder society (masyarakat pemangku kepentingan) untuk menjelaskan
sebuah masyarakat yang tidak menderita baik karena keburukan ekonomi pasar
bebas maupun sosialisme birokratis. Ekonomi pasar bebas menciptakan
ketimpangan, sementara sosialisme birokratis menyekap kebebasan. Solusinya
adalah sebuah masyarakat yang mengakui kepentingan, hak dan tanggung jawab
seluruh populasi dan setiap kelompok yang turut menjadi saka guru masyarakat
tersebut (Abercrombie, dkk., 2010: 551).
Berkaitan hal tersebut pemangku kepentingan atau stakeholder yang
dimaksud dalam disertasi ini adalah pihak-pihak yang berperan yang membuat
aturan atau regulasi untuk mendapatkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya
di Tegallalang. Adapun pihak-pihak tersebut adalah keluarga sebagai perajin dan
pemilik art shop, desa adat, desa dinas, pemerintah kabupaten dan pemerintah
30
provinsi, perajin, pemasok bahan baku, lembaga keuangan formal dan informal,
dan konsumen mancanegara/luar negeri.
2.2.2 Seni Kriya
Seni kriya atau seni kerajinan adalah suatu cabang seni rupa yang
dipandang lebih mengutamakan keterampilan tangan daripada bentuk ekspresi
(Feildman, 1967: 114). Seni kriya dalam proses kerjanya sangat memerlukan
keahlian kekriyaan (craftmanship) yang tinggi seperti ukir, keramik, anyam dan
sebagainya (Susanto, 2011: 231). Seni kriya sebagai produk budaya masyarakat
telah berjalan sepanjang zaman dalam menunjang kebutuhan hidup masyarakat.
Gustami (2000: 12) menyatakan, bahwa konsep kriya dapat ditafsirkan sebagai
padanan dari crafts atau kerajinan. Kriya sebagai cabang seni lebih mengutama-
kan keterampilan tangan daripada aspek ekspresinya. Istilah kriya sering juga
dikaitkan dengan applied art atau seni terapan dengan ciri-ciri khususnya yang
didasarkan pada tujuan-tujuan fungsional dan dekoratif, seperti perabot rumah
tangga (mebeler), dekorasi/ukiran pada seni bangunan sebagai hiasan dinding, dan
produk-produk cinderamata. Perwujudan karya seni kriya lebih didukung oleh
penguasaan keterampilan teknis yang tinggi. Sejalan dengan itu Kusnadi (1983:
44) berpendapat bahwa kriya dilahirkan oleh sifat rajin manusia dalam arti
terampil dalam mengerjakan sesuatu. Terampil ini didapat dari ketekunan dalam
keterampilan teknik atau memperdalam keahlian seseorang untuk menghasilkan
barang yang berkualitas.
Saat ini konsep seni kriya sudah mengalami pergeseran. Proses pembuatan
produk seni kriya pada era globalisasi sepenuhnya mengandalkan keterampilan
31
tangan dan ketekunan (craftsmanship) seperti konsep yang dikemukakan oleh para
ahli tersebut di atas. Kalau perajin tradisional dahulu mengerjakan/membuat seni
kriya mereka dituntut keterampilannya dan ketekunan proses mulai dari membuat
sket, kemudian proses pengerjaan (menggunakan alat-alat manual/tradisional),
sampai proses finishing (mereka bekerja dari awal sampai akhir), sehingga
menghasilkan sebuah produk-produk tradisional. Dalam industrialisasi seni kriya
saat ini, proses pembuatan barang-barang seni kriya lebih banyak menggunakan
sistem kerja mesin untuk efisiensi kerja, bahkan disini terjadi spesialisasi
kerja.Akibatnya perajin tidak lagi dituntut keahlian dari awal sampai akhir, dan
produk dibuat secara massal untuk memenuhi selera pasar.
2.2.3 Globalisasi
Menurut Robertson (1992) dalam Barker (2004: 113; Barker, 2005: 149),
konsep globalisasi menunjukkan terjadinya penyempitan dunia secara intensif dan
meningkatkan kesadaran kita terhadap dunia, yaitu meningkatnya koneksi global
dan pemahaman kita mengenainya. “Penyempitan dunia” ini dapat dipahami
dalam konteks institusi modernitas, sedangkan “meningkatnya intensitas
kesadaran tentang dunia” secara lebih baik dilihat dalam konteks kultural.
Istilah globalisasi ini mengacu pada proses di mana dunia dianggap
menjadi suatu ruang global; globalisasi dapat dilihat sebagai kompresi ruang.
Pada tahun 1960, dalam kajian budaya dan media massa, McLuhan memper-
kenalkan ungkapan ‘desa global’ untuk menggambarkan bagaimana dunia
menyusut sebagai hasil dari teknologi baru di bidang komunikasi. Meskipun tidak
ada definisi baku mengenai globalisasi, dapat dicatat adanya komponen penting,
32
seperti (1) adanya pertumbuhan pesat dalam kesalingterkaitan budaya, komoditas,
informasi dan masyarakat melintasi ruang dan waktu; (2) adanya perkembangan
teknologi dan sistem informasi untuk memadatkan ruang dan waktu; (3) difusi
perilaku, praktik dan kode standar untuk memproses arus informasi, uang,
komoditas dan orang-orang; (4) munculnya sistem yang mendukung,
mengendalikan, mengawasi atau menolak globalisasi; dan (5) munculnya tipe
kesadaran yang mengenali, mendukung, merayakan atau mengkritik proses global
seperti kosmopolitanisme (Abercrombie, dkk., 2010: 235).
Globalisasi menurut Suyanto (2013: 158) adalah penyebaran praktik,
relasi, kesadaran dan organisasi ke berbagai penjuru dunia, yang telah melahirkan
transformasi dalam berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dari segi ekonomi,
kekuatan ekonomi negara maju dan pengaruhnya yang dominan acap kali
menjadikan negara sedang berkembang tak ubahnya seperti pangsa pasar dan
ladang persemaian bagi berbagai kepentingan perusahaan multinasional. Jika di
masa lalu penjajahan dilakukan melalui invasi kolonial, maka di era post-modern
penjajahan dilakukan melalui penguasaan dan monopoli pasar yang makin
mengglobal oleh kekuatan kapitalisme. Dalam konteks ini, menurut Wibowo
(2007: 28) budaya global yang didominasi oleh kapitalisme ternyata banyak
menciptakan ketidakadilan. Dalam konteks penelitian ini, konsep globalisasi
dipahami sebagai penyebaran produk seni kriya yang semakin cepat melalui
teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seni kriya menjadi komoditas di
bawah kekuatan kapitalisme. Hal ini ditandai dengan munculnya produk-produk
33
seni kriya yang bersifat global, dan unsur-unsur lokal atau disebut dengan istilah
glokalisasi.
2.3 Landasan Teori
Berdasarkan pada objek yang dikaji ada beberapa teori yang dijadikan
landasan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Teori yang digunakan,
antara lainpertama, teori globalisasi yang akan digunakan untuk mengungkap
terjadinya industrialisasi seni kriya. Kedua, teori praktik Bourdieu, dan ketiga
teori relasi kuasa Bourdieu dan Foucault untuk mengkaji para pemangku
kepentingan yang berperan dalam industrialisasi seni kriya. Keempat, teori
estetika postmodernisme digunakan untuk mengkaji implikasi industrialisasi
terhadap perajin dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya.
2.3.1 Teori Globalisasi
Teori globalisasi (Robinson, 2007) muncul akibat serangkaian perkem-
bangan di dalam teori sosial, terutama reaksi menentang beberapa perspektif
sebelumnya, seperti teori modernisasi. Globalisasi sendiri merupakan sebuah
proyek penyeragaman melalui jaringan informasi dan komunikasi yang
melahirkan pencitraan-pencitraan (Abdilah S., 2002: 8). Karakteristik teori itu
yang paling menentukan adalah bias Barat yang ada padanya.Keunggulan yang
ditujukan pada kemajuan di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat dan
gagasan bahwa negara-negara lain di dunia tidak memiliki pilihan selain semakin
menjadi seperti Barat (Ritzer, 2012: 976). Fase globalisasi pertama jelas diatur
terutama oleh ekspansi Barat. Tak ada peradaban lain yang mampu memberikan
34
pengaruh pervasif pada dunia sebesar Barat, atau membentuknya menurut
bayangan Barat. Namun tidak seperti penaklukan budaya, perluasan melalui
sistem abstrak pada dasarnya tidak terpusat, karena perluasan ini menembus
hubungan organis dengan tempat pijakan tradisi (Giddens, 2003: 74).
Dalam globalisasi ini maka arus informasi, dengan berbagai pesan maupun
ideologi di dalamnya, secara cepat masuk dari negara-negara pusat ke negara-
negara pinggiran (termasuk Indonesia) terutama di kota-kota metropolitan,
berlanjut ke kota-kota kecil, dan ke pelosok-pelosok desa. Karena itu, tidak
berlebihan jika Giddens (2003: 7) menganggap keliru bahwa globalisasi hanya
berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti tatanan keuangan dunia. Globalisasi
bukan sekadar soal apa yang ada “di luar sana”, terpisah, dan jauh dari orang per
orang. Menurut Giddens, globalisasi juga merupakan fenomena “di sini” yang
memengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang sangat intim dan bersifat pribadi.
Appadurai (1993: 296) sebagaimana dikutip oleh Ardika (2007: 14;
Barker, 2004: 117) menyatakan bahwa kebudayaan global (global cultural flow)
dapat diketahui dengan memerhatikan hubungan antara lima komponen ciri-ciri
kebudayaan global, yang diistilahkannya dengan (a) ethnoskapes, (b)
technoscapes, (c) mediascapes, finanscapes, dan (e) ideoscapes. Ethnoscapes
adalah perpindahan penduduk atau orang dari suatu negara ke negara lain seperti
wisatawan, imigran, pengungsi dan tenaga kerja yang menjadi ciri dari
kebudayaan global. Technoscapes atau arus teknologi kini mengalir dengan
kecepatan tinggi dan tidak mengenal batas negara. Mediascapes mengacu kepada
media yang dapat menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia.
35
Finanscapesadalah aspek finansial atau uang yang sulit diprediksi dalam era
globalisasi, sedangkan ideoscapes adalah komponen yang terkait dengan masalah
politik, seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan, dan hak
seseorang.
Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang
menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat
(Abdullah, 2007: 169). Globalisasi berdasarkan analisis Appadurai terdiri atas
beberapa dimensi seperti: kultural, ekonomi, politik, dan institusional. Untuk
setiap jenis analisis, perbedaan mendasar adalah apakah kita melihat semakin
meningkatnya homoginitas atau hitroginitas. Pada titik ekstremnya, globalisasi
budaya dapat dipandang sebagai ekspansi berbagai aturan dan praktik umum yang
transnasional (homoginitas) atau-pun sebagai proses yang di dalamnya banyak
unsur budaya lokal dan global yang berinteraksi untuk melahirkan semacam
pastische atau percampuran, yang mengarah pada terwujudnya beragam panduan
budaya (heteroginitas). Tren yang mengarah pada homoginitas sering kali
disamakan dengan penjajahan budaya, pengaruh sebuah kebudayaan tertentu pada
sejumlah besar kebudayaan lainnya (Ritzer, 2012: 976-977).
Analisis Appadurai dalam konteks penelitian ini adalah dalam globalisasi
ada kecenderungan terjadinya percampuran budaya melalui
ethnoscapeyaitukedatangan orang luar (asing) sebagai wisatawan dengan
membawa karya budayanya sendiri yang dipesan atau dikerjakan oleh perajin di
Tegallalang melalui berbagai jenis produk seni kriya.Dalam pencampuran tersebut
sehingga memunculkan budaya global-lokal, atau lokal-global. Budaya global
36
yang diproduksi atas permintaan wisatawan (pemilik modal/kapitalis) dapat
memberikan dampak perbedaan posisi dalam penciptaan produk budaya yaitu
posisi atas dan bawah (ordinat dan subordinat), atau terjadi dominasi dari budaya
global.
Menurut Plummer (2013: 67) kapitalisme membawa tiga ciri khusus:
pertama, individu swasta yang menguasai sumber-sumber kemakmuran; kedua,
uang diinvestasikan dengan tujuan untuk Memeroleh keuntungan; ketiga, pasar
terbuka dan bebas yang beroperasi dengan intervensi negara yang sangat minim.
Selanjutnya kapitalisme menurut Robert Lekachman dan Borin van Loon (2008:
3) yang dikutip oleh Suyanto (2013: 80), antara lain: (1) modal adalah bagian dari
kekayaan karya manusia dan bisa diproduksi berulang kali; (2) di bawah sistem
kapitalisme, suatu perlengkapan modal masyarakat, alat-alat produksinya dimiliki
oleh segelintir individu yang memiliki hal legal untuk menggunakan hak miliknya
guna meraup keuntungan pribadi; (3) kapitalisme bergantung kepada sistem pasar,
yang menentukan distribusi, mengalokasikan sumber daya-sumber daya dan
menetapkan tingkat-tingkat pendapatan, gaji, biaya sewa, dan keuntungan dari
kelas-kelas sosial yang berbeda.
Globalisasi melalui teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi saat
ini membuat perajin di Tegallalang banyak berhubungan dengan dunia luar
(global).Berdasarkan teori Appadurai adanya penyebaran limaskapesdisini ada
interaksi antara masyarakat global dan masyarakat lokal atau kolaborasi antara
produk global dan produk seni kriya lokal dengan pemanfaatan teknologi yang
dibuat oleh perajin dalam mengikuti selera pasar. Para perajin memproduksi
37
barang secara massal (disebut dengan fordisme) dan berdasarkan permintaan pasar
yang dikendalikan oleh pemilik modal (kapitalis) untuk memeroleh keuntungan,
sehingga seni kriya menjadi komoditas industri. Pada titik inilah terjadi apa yang
disebut Adorno sebagai proses industri budaya (Hidayat, 2012: 120). Perajin
dalam memproduksi seni kriya selalu berorientasi pada permintaan pasar yang
dikonstruksi olek kaum kapitalis. Dalam praktik ini kapitalis mengamankan/
melanggengkan posisinya sebagai pemilik modal yang dapat mengatur perajin
untuk memenuhi apa yang diinginkan.
2.3.2 Teori Praktik
Teori praktik yang bersumber dari pemikiran Pierre Bourdieu digunakan
untuk mengungkap praktik-praktik sosial dalam keterlibatan subjek dalam proses
konstruksi budaya yang bertalian erat dengan habitus. Habitus adalah konsep
yang dikembangkan oleh Bourdieu untuk memahami sumber-sumber budaya
terhadap subjektivitas dari para aktor sosial. Habitus (Suyanto, dan M. Khusuma
Amal, 2010: 430; Takwin, 2009: 114) adalah struktur kognitif sebagai hasil
pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, dan pendidikan yang
menghubungkan individu dan realitas sosial. Sejalan dengan itu habitus (Ritzer,
2012: 897) sebagai “struktur mental dan kognitif” yang digunakan aktor untuk
menghadapi kehidupan sosial. Habitus diindikasikan sebagai skema-skema dan
melalui skema-skema itu individu memersepsi, memahami, menghargai, serta
mengevaluasi realitas sosial dan mendasari ranah (Harker, dkk, 1990: xviii;
Suyanto, dan M. Khusuma Amal, 2010: 430-431).
38
Ranah (field) menurut Bourdieu adalah ruang dan kesempatan yang
melingkupi kehidupan manusia. Dalam ranah ini terjadi pertarungan oleh para
aktor dalam perebutan berbagai bentuk modal untuk dominasi (Edkins, 2010:
141). Modal menurut Bourdieu mempunyai definisi yang sangat luas dan
mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan signifikansi
secara kultural. Sesuai dengan hal itulah, Bourdieu sebagaimana ditulis oleh
Jenkins (2013: 123-124) lebih lanjut dirumuskan ke dalam bahasa matematis
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Artinya habitus yang dikalikan dengan
berbagai modal yang dimiliki, dalam suatu ranah tertentu akan menghasilkan
suatu produk berupa praktik sosial. Menurut Bourdieu rumus ini mengganti setiap
relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan
ranah yang melibatkan modal.
Berdasarkan pengertian habitus dan field, pemahaman terhadap interaksi
struktur objektif dan struktur subjektif serta mekanisme kerjanya pada diri
manusia dan kehidupan sosial, Bourdieu mengajukan penjelasan tentang doxa
yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial
dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan
yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam praktik
kongkritnya, doxa tampil melalui pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja
diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu tanpa dipikir atau ditimbang
lebih dahulu (Harker, 1990: xxi)
Melalui habitus Bourdieu, ditunjukkan bahwa praktik sosial bukan hanya
dipahami sebagai pola pengambilan keputusan yang bersifat individu atau praktik
39
sosial sebagai hasil dari struktur supra-individual, tetapi adalah hasil dari
internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibatinkan dan
diwujudkan. Oleh karena itu, habitus bisa diandaikan sebagai mekanisme
pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dalam diri aktor (Fashri, 2007: 88).
Dalam praktik ini, habitus akan membimbing aktor untuk memahami, menilai,
mengapresiasi tindakan mereka pada skema atau pola yang dipancarkan dunia
sosial. Skema ini diperoleh dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan
individu-individu lain maupun lingkungan di mana dia berada.
Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk
sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan,
habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di
masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang
yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi
di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal
khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Harker, 1990: xx).
Menurut Bourdieu praktik memiliki ekonomi jika melibatkan benda-benda
atau material maupun simbolis yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu
yang layak dicari. Dalam praktik sosial dialektika antara struktur dan agen
memegang peranan yang sama penting dalam perubahan kehidupan sosial.
Menurut Giddens (2011: 19) dalam teori strukturasi, struktur dan agen merupakan
dualitas yang saling mendukung dalam tindakan dari para pelaku. Berkaitan
dengan teori strukturasi, ada perbedaan antara agen dan aktor didalam
40
memproduksi struktur sosial. Agen memiliki tindakan yang lebih aktif dan agresif
dalam memproduksi struktur sosial berdasarkan tindakan dan mereka
memproduksi posisi kelas subordinat (Barker, 2004: 185-186). Aktor dalam
proses bertindak ditentukan oleh kekuatan dari penguasa, sehingga sangat
tergantung kepada penguasa yang mendominasi dalam tindakannya.
Dalam masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi ini
tergantung pada situasi, sumber daya (kapital), dan strategi pelaku. Pemetaan
hubungan-hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan
komposisi kapital tersebut. Menurut Bourdieu, kapital tidak hanya bisa berupa
pengumpulan uang dan materi, melainkan bisa berupa pengumpulan usaha.
Menurut Fashri (2007,98-99) dalam ranah sosial ada empat jenis modal sebagai
berikut.
Pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah,buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang denganmudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasike generasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhankualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formalmaupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lainkemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-bendabudaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasilpendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosialmenunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu ataukelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.Dan keempat, modal simbolik segala bentuk prestise, status, otoritas danlegitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam industrialisasi seni kriya di
Tegallalang, kapital-kapital tersebut dimanfaatkan oleh masing-masing pemangku
kepentingan memainkan peran dalam upaya untuk mencari kekuasaan yang
dilakukan dalam suatu “arena”. Arena menunjukkan tempat pertarungan kekuatan,
41
tempat perjuangan untuk mempertahankan atau mengubah struktur hubungan-
hubungan kekuasaan. Setiap arena memiliki aturan main yang khas dan
pertaruhannya tersendiri. Arena merupakan sistem atau lingkup terstruktur posisi-
posisi di mana para pelaku bersaing atau berjuang. Pertaruhannya ialah memiliki
atau akumulasi kapital. Kapital didistribusikan secara tidak merata, ada yang
mendominasi dan yang didominasi. Strategi pelaku tergantung dari posisinya
dalam arti kepemilikan kapital. Setiap arena terkait dengan habitus yang khas.
Setiap pelaku di arena ditandai oleh lintasan sosial, habitus dan posisi dalam arena
(Haryatmoko, 2010: 18).
Di dalam arena, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang
tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlihat di dalam kompetisi
yang memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam
arena bersangkutan. Di arena ekonomi misalnya, agen-agen saling bersaing demi
modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan menggunakan
akumulasi modal ekonomi. Namun kepentingan dan sumber daya yang
dipertaruhkan di dalam arena tidak selalu berbentuk materi, dan kompetisi di
antara agen-agen tidak selalu didasarkan pada kalkulasi secara sadar. Di dalam
arena kultural, kompetisi seringkali berkaitan dengan otoritas yang inheren di
dalam pengakuan, konsekrasi dan prestise (Bourdieu, 2012: xviii-xix).
Dalam industrialisasi seni kriya di Tegallalang, dimana terjadi arena
pertarungan yang dilakukan oleh para aktor maupun agen untuk merebut
kekuasaan. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah komunitas lokal sebagai
tenaga kerja (perajin) yang memproduksi seni kriya selalu meningkatkan
42
potensinya dengan modal yang dimiliki agar produknya dapat memenuhi tuntutan
pasar. Pengusaha pemilik art shopsebagai agen yang memasok barang-barang seni
kriya bermain dengan modal ekonominya untuk Memeroleh keuntungan dengan
menekan perajin untuk mendapatkan produk murah. Yang sangat penting adalah
pemerintah sebagai pemegang regulasi yang menentukan kebijakan dalam
perlindungan produk seni kriya, perajin yang memiliki kuasa untuk menciptakan
produk seni kriya sesuai dengan keinginannya, pemasok bahan baku yang
menyuplai bahan baku, lembaga formal dan informal yang memberi bantuan dana,
dan konsumen mancanegara yang memesan produk kerajinan berperan dalam
pertarungan ini. Kondisi seperti ini menurut Bourdieu (2011: 99) akan terus
berulang dan dalam arena terjadi pertarungan demi pertarungan. Apa yang
diperjuangkan adalah perjuangan demi pengakuan.
Menurut Weber (1978) kekuasaan merupakan kesempatan seseorang untuk
mewujudkan keinginannya, bahkan sampai melawan rintangan dari orang lain,
dan melihat kekuasaan sebagai kondisi utama yang dibentuk oleh kelas sosial dan
status. Kekuasaan tidak dapat tercapai karena ketidakberdayaan datang dari
kekurangan sumber daya, wewenang, status dan harga diri yang dimiliki. Untuk
mendapatkan kekuasaan sumber daya yang paling jelas adalah modal atau
kekayaan atau sumber daya ekonomi. Kekuasaan merupakan masalah orang
dengan kekuatan yang biasanya memiliki akses terhadap sumber daya. Namun
lebih dari itu, kekuasaan merupakan sumber kemenangan (Plummer, 2013: 227).
Bourdieu (1998) sebagaimana ditulis oleh Haryatmoko (lihat
Basis2003:13) melihat dominasi dalam lingkup hubungan-hubungan yang tidak
43
setara, dan lingkup sosial itu banyak, tidak tunggal. Ia mengasumsikan bahwa
dalam semua perkembangan masyarakat ada yang didominasi dan mendominasi.
Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kemungkinan dan ketidaklanggengan
dominasi. Kelompok dominan memiliki kemampuan memaksakan, memengaruhi,
dan melakukan pembatasan pada level pikiran mapun perilaku orang atau
kelompok lain, sehingga yang terdominasi tunduk, dalam arti mengikuti budaya
pihak dominan. Walaupun demikian perlu dicatat bahwa adanya pihak yang
mendominasi tersebut karena adanya legitimasi dari terdominasi yang menjadi
landasan otoritas atau legalitas bagi yang mendominasi dan proses dominasi
tersebut dilakukan secara anggun, bukan dengan kekerasan. Dengan demikian,
bagi Bourdieu dalam Haryatmoko (2003: 8) mekanisme dominasi tidak sekedar
dilihat sebagai akibat dari luar, namun juga dilihat sebagai akibat dari yang
dibatinkan (habitus). Pandangan seperti ini mengandaikan bahwa dominasi bukan
saja karena adanya kemampuan pihak lain (struktur) dalam memaksa dan
Memengaruhi, namun juga karena ‘persetujuan’ dan penerimaan dari pelaku
(agen), jadi tetap ada proses pilah pilih dari agen. Hal ini konsisten dengan
pandangan Bourdieu yaitu adanya relasi dialektikal antara struktur dan agen,
sebagai upayanya untuk mengatasi persoalan antara kedua elemen tersebut.
Pandangan mengenai relasi dialektikal struktur-agen dalam persoalan
dominasi tersebut dikaji lebih lanjut mengenai posisi struktur dan agen dalam
relasi kuasa. Pandangan Bourdieu yang ditulis oleh Miller dan Branson (1987:
215) melihat bahwa individu sebenarnya bersifat aktif, karenanya ia bukan
sekedar dapat dipengaruhi oleh struktur yang ada di lingkungannya, namun ia juga
44
aktif memengaruhi struktur yang ada atau setidak-tidaknya melakukan tindakan
yang dianggap tidak biasa di lingkungan budayanya dan tindakan yang
disesuaikan dengan kepentingannya. Dengan kata lain Bourdieu (1984) melihat
faktor subjektif individu penting dalam relasinya dengan struktur (objektif),
struktur subjektif individu (agen) dengan struktur objektif berinterelasi dan
berinterdependensi. Tindakan sebagai praktik sosial adalah kegiatan reflektif dan
reproduktif antara ide (kultural atau interpretasi subjektif) dan realitas sosial
(struktural atau gejala objektif) (Ismail, 2012: 184)
2.3.3 Teori Relasi Kuasa
Relasi kuasa dalam pandangan Bourdieu (Harker, et.al, 1990; Haryatmoko
dalam Basis, 2003), melibatkan kepentingan dari para pelaku dan menunjukkan
permainan yang di dalamnya ada perjuangan tanpa henti untuk mengubah,
Memeroleh posisi baru, memperbaiki dan memperkokoh posisi. Kuasa
dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup sosial yang jamak, bukan saja dalam
bidang ekonomi danpolitik, namun juga dalam bidang lain, seperti budaya,
pendidikan, dan keagamaan. Kuasa beroperasi melalui jalinan relasi atau berbagai
tindakan yang kompleks antarposisi yang bersifat dinamis dan produktif.
Dalam bahasa Foucault (2002) pada dasarnya kuasa bukan merupakan
pelestarian dan reproduksi hubungan –hubungan ekonomi, namun merupakan
suatu hubungan kekuatan. Kuasa tidak dimiliki, namun dipraktekkan dalam suatu
ruang lingkup sosial yang di dalamnya terdapat banyak posisi yang secara
strategis saling berelasi dan terus mengalami pergeseran dan perubahan (dinamis).
Kuasa bersifat produktif karena melalui pelaksanaannya para pelaku Memeroleh
45
pengetahuan dan pemahaman baru yang berguna bagi dirinya, sehingga
memungkinkan terjadinya konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan dan tindakan
pelaku (Ismail, 2012: 177).
Mengacu pemikiran Bourdieu dan Foucault tentang relasi kuasa dalam
kaitan dengan industrialisasi seni kriya di Tegallalang, para pemangku
kepentingan memainkan kuasanya melalui modal-modal yang dimiliki, seperti
modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi. Pemilik modal yang lebih besar
mendominasi pemilik modal yang kecil. Disini ada pertarungan memainkan
modal baik di dalam arena budaya maupun kelas (yang dominan versus fraksi-
fraksi yang didominasi di dalam kelas yang dominan). Akan tetapi, jantung
budaya terletak di dalam sistem kelas, dan perjuangan kultural di antara para
perajin dan pemilik modal (kapitalis) adalah suatu cerminan perjuangan yang
tidak berkesudahan di antara pecahan-pecahan kelas dominan. Perlawanan-
perlawanan di dalam struktur kelaslah yang mengkondisikan perlawanan-
perlawanan di bidang selera dan di dalam habitus. Meskipun Bourdieu
menganggap kelas sosial itu sangat penting, dia menolak mereduksinya menjadi
sekedar masalah-masalah ekonomi atau hubungan-hubungan produksi tetap
melihat kelas juga didefinisikan oleh habitus.
Untuk mempertahankan dominasi strategi lain yang digunakan pelaku
adalah dengan cara mendiskreditkan atau mentransformasikan jenis modal yang
menjadi kekuatan pihak lain, termasuk juga dominasi melalui wacana. Sebab
dominasi wacana, yang merupakan bentuk kekerasan simbolik, menentukan
dalam pendefinisian kelompok dan penentuan budaya yang sah atau tidak sah
46
(Haryatmoko, 2003: 12).Biasanya pihak lain akan melakukan pembalikan wacana.
Dalam konteks kajian ini, strategi negosiasi digunakan oleh para pihak untuk
mendominasi wacana stereotip sekaligus ada pembalikan stereotip.
Jika dalam permainan terjadi kompetisi antarpemain untuk memenangkan
pertandingan, dalam suatu arena terdapat ajang pertarungan antarindividu,
kelompok, atau institusi dengan menggunakan strategi tertentu. Tujuannya adalah
mempertahankan, dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal
dalam kaitannya dengan hierarki kekuasaan. Merujuk Bourdieu, sebagaimana
dikutip oleh Fashri, (2007: 102) strategi yang dipakai para perlaku bersandarkan
pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang
sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan, strategi diarahkan kepada upaya
melestarikan dan mempertahankan status quo. Sementara mereka yang didominasi
berikhtiar mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-posisinya sehingga
terjadi kenaikan jenjang sosial. Jadi, kesempatan untuk menang atau kalah
bergantung pada penguasaan para pelaku atas modal dan posisi yang mereka
tempati dalam struktur kekuasaan. Mereka yang berkuasa ingin selalu berada di
pusat untuk mempertahankan kekuasaannya, yang terpinggirkan selalu melakukan
perlawanan dan resistensi. Praktik-praktik seperti ini muncul dalam perebutan
kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya, sehingga ada permainan modal yang
terjadi di sini untuk mempertahankan kekuasaan.
2.3.4 Teori Estetika Posmodernisme
Teori posmodernisme dikategorikan sebagai relativis karena menurut
penganut teori ini yang berperan sesungguhnya adalah narasi kecil atau subjek
47
(individual), dan tidak ada kebenaran tunggal. Suyanto, dan M. Khusna Amal
(2010: 444) menyatakan, postmodernisme adalah sebuah wacana yang dibangun
oleh pluralitas ideologi. Secara etika, teori posmodern dikategorikan sebagai
nihilis, sebab dalam teori ini tidak dikenal adanya penilaian absolut. Secara
estetika, teori postmodernis dikategorikan sebagai trivial, artinya segala
sesuatunya diwarnai dekonstruksi-dekonstruksi karena dianggap tidak
mengandung makna. Meminjam pernyataan Hidayat (2012: 44) posmodernisme
merupakan fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat pasca-
industri, masyarakat komputer, masyarakat konsumen, masyarakat tontonan atau
masyarakat tanda.
Di lain pihak, pemunculan (isu) posmodernisme merupakan implikasi
logis dari terjadinya pergeseran dan peralihan dalam masyarakat secara mendasar.
Menurut Piliang (1999: 2), munculnya gejala posmodernisme dilatarbelakangi
oleh terjadinya peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri
dan dari kebudayaan modern menuju posmodern. Peralihan dari masyarakat
industri menuju masyarakat pos-industri telah Memengaruhi pemahaman
masyarakat atas makna-makna yang dimuat dalam objek (seni). Berikut
ditampilkan tabel perbedaan antara kondisi masyarakat modern dengan
masyarakat posmodern seperti di bawah ini.
48
Tabel 2.1Perbedaan antara Kondisi Masyarakat Modern dengan Masyarakat Posmodern
No. Kondisi Masyarakat Modern Kondisi Masyarakat Posmodern1. Fokus pada produksi dan peran
produksiFokus pada konsumsi
2. Produksi dan organisasi industri Produksi dan organisasi posindustri3. Institusi memiliki akar yang jelas
(foundotionalism)Institusi mengambang (rizhomatik)
4. Struktur-struktur kelas danpersekutuan
Hierarki yang kompleks
5. Gaya hidup dan pekerjaan yangstabil serta karir berjenjang
Pekerjaan episodik, berpindah-pindah,lateral, dan sampingan
6. Kebudayaan massa Kebudayaan mozaik, sub-kultural danmulticultural
7. Identitas/subjektivitas yang stabil Identitas bersifat situasional, beragam,dan cair
8. Pengkotak-kotakan dan politiknasional yang terorganisasi
Politik global yang berorientasi isu dan“pemimpi” (serba mungkin)
9. Fokus nasional Fokus lokal-globalSumber: Lubis, 2014: 10.
Dalam wacana posmodern ini (Santoso, 2012: 322) gagasan mengenai
objek sebagai salah satu bentuk representasi dan gagasan mengenai makna-makna
ideologis objek itu sendiri, secara umum telah mengalami pergeseran. Objek masa
lalu berdasarkan religi, magis, mitos yang dikaitkan dengan upaya kemajuan dan
transformasi, sedangkan masa kini pada masyarakat konsumer. Objek-objek
didefinisikan kembali dengan kode-kode baru, dengan bahasa estetik yang baru,
dan makna-makna yang baru pula. Untuk itu berikut ditampilkan tabel ciri-ciri
masa posmodernisme seperti di bawah ini.
49
Tabel 2.2Ciri yang Mendasari Masa Posmodernitas
Ciri-CiriPosmodernitas
Keterangan
Globalisasi Bangsa dan wilayah semakin terhubung satu dengan yang lainsehingga mengaburkan perbedaan antarbangsa dan wilayahmaju dengan bangsa dan wilayah terbelakang.
Lokalitas Kecenderungan global berdampak langsung pada lingkunganlokal sehingga memungkinkan kita untuk memahamidinamika global dengan mempelajari manifestasi lokal.
Akhir dari akhir sejarah Posmodernitas adalah satu tahap sejarah yang terputus dengangaris halus perkembangan evolusioner kapitalis.
Kematian individu Diri atau subjek telah menjadi lahan pertarungan tanpa batasantara dirinya dan dunia luar.
Mode informasi Cara produksi dalam terminologi marxis kini tidak lagirelevan dibandingkan dengan apa yang disebut Max Poster(1990) sebagai mode informasi, yaitu cara masyarakatposmodern mengorganisasi serta menyebarkan informasi danhiburan.
Simulasi Masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra danwacana yang cepat dan keras (terutama lewat iklan)menggantikan pengalaman manusia atas realitas.
Perbedaan danpenundaan dalambahasa
Bahasa dan tulisan bersifat licin, satu media ambigu yangmengaburkan pemahaman yang jelas menjadi tidak pastisehingga perlu dilakukan dekonstruksi teks (Derrida, 1976).
Kematian polaritasanalisis
Polaritas tradisional tidak lagi layak karena beragamnyapluralitas posisi subjek manusia.
Gerakan sosial baru Muncul berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosialprogresif yang menuntut teori perubahan sosial baru.
Kritik atas narasi besar Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah sosialyang dikatakan manusia sendiri pada level kehidupan danperjuangan mereka di tingkat lokal.
Ke-liyan-an (Otherness) Munculnya perbedaan bukan karena marginalisasi dansubordinasi.
Sumber: Ben Agger (2003), dalam Suyanto, dan M. Khusna Amal (2010: 452)
Berdasarkan tabel di atas, dalam era posmodern masyarakat semakin
tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana. Jean Baudrillard pemikir
posmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan kebudayaan dalam
masyarakat kontemporer, mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang
terjadi dalam struktur masyarakat Barat yang disebutnya sebagai masyarakat
simulasi dan hiperealitas (Hidayat, 2012: 51). Dalam era posmodern, prinsip
50
simulasi menjadi panglima, di mana reproduksi (dengan teknologi informasi,
komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara
permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi
manusia. Menurut Haryatmoko (2010: 23) simulasi dewasa ini bukan lagi cermin
atau representasi, tapi pembangkitan melalui model riil tanpa asal-usul atau
realitas. Jadi yang berlangsung bukan representasi yang real, namun penciptaan
yang hiperreal.
Dunia hiperealitas tanda sekarang ini tidak lagi merujuk pada segala
sesuatu, di mana perbedaan antara yang nyata dan yang imajiner tidak ada lagi, di
mana “realitas serta merta terkontaminasi oleh simulacrum” (Ritzer, 2010: 169).
Simulakra berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi
yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Revolusi industri, di satu
sisi telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. Namun
di sisi lain, Revolusi Industri juga menimbulkan ekses-ekses negatif bagi
kebudayaan. Logika produksi, yang menjadi prinsip simulakra yang telah
mendorong perkembangan teknologi mekanik sebagai sistem produksi massa
(Hidayat, 2012: 76-77).
Di era Posmodern, (Sachari, 2002: 8) estetika kembali menjadi bahan
kupasan yang luas sebagai bagian dari kajian filsafat nilai. Hal itu karena
penampaknya semakin teraga dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang
tengah dihadapi berbagai bangsa di dunia. Tumbuhnya subbudaya baru yang
meluas, serta spirit multikulturalisme menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam
wacana estetik, karena tidak ada lagi Timur-Barat, Atas-Bawah, Lokal-Global,
51
Kontekstual-Universal, Makna-Instan, Realitas-Simulasi, Kelembutan-Horor,
ataupun Tradisional-Modern. Semuanya masuk ke dalam percaturan Postruk-
turalisme. Dalam situasi tersebut, dunia estetika kembali memosisikan diri dalam
situasi “chaos” dan “anomaly”. Tidak ada lagi nilai-nilai, makna, kebenaran, dan
keindahan yang absolut. Estetika mengalami kondisi kebuntuan paradigma,
karena tatanan kebudayaan yang bernilai telah mengalami perubahan yang
substansial. Bingkai falsafahnya mengalami ‘retakan-retakan’ yang kian
membesar.
Pada seni posmodern didasari oleh postrukturalisme karena tidak terikat
oleh struktur yang berlaku pada era sebelumnya. Berdasarkan gagasan Foucault
tentang pengetahuan dan kekuasaan (Ritzer, 2012: 1043) para perajin memiliki
pengetahuan dan kekuasaan dalam pembuatan karya-karya seni kriya.Pembuatan
karya-karya seni kriya di Tegallalang pada era posmodern menunjukkan
perbedaan yang cukup tajam dibandingkan dengan karya-karya seni kriya
tradisional. Pada estetika tradisional pola-pola karya seni kriya mengacu pada
norma-norma yang telah berjalan secara turun temurun. Hal tersebut dapat diamati
dari karya-karya seni kriya generasi pramodern menciptakan patung garuda, dan
patung-patung perwujudan sesuai dengan tradisi yang ada. Pada estetika
posmodern para perajin sudah berani beralih pada penciptaan estetika yang tidak
lazim dan menyimpang dari tradisi yang berlangsung di masyarakat.
Para pelaku estetis dan pemikir estetika masa kini, secara tidak langsung
telah memberi “tanda budaya” dan menggiring kognisi sosial masyarakat ke arah
dunia yang retak-retak tersebut. Masyarakat tidak lagi perduli dengan nilai-nilai,
52
norma-norma, kapatutan, kebaikan ataupun kearifan. Pelipatan dan percepatannya
berlangsung bertubi-tubi, terutama sejak media tayang elektronika mengalami
kemajuan, baik dalam gagas lunak maupun operasional. Situasi tersebut
mempercepat proses keruntuhan nilai konvensional yang semakin mendasar
karena apa pun yang dilakukan untuk mengguncang peradaban dapat disahkan
sebagai karya estetik, seperti pembajakan, despiritualisasi, dehumanisasi, sampai
demoralisasi (Sachari, 2002: 8-9). Untuk memahami hal itu berikut ditampilkan
wacana utama estetika pada era pramodern, modern, dan posmodern seperti tabel
di bawah ini.
Tabel 2.3Wacana Utama Estetika di Era Pramodern, Modern dan Posmodern
Wacana estetikapramodern
Wacana estetika modern Wacana estetikapostmodern
Idealisme Rasionalisme PostrukturalismeMitologis Realisme Global-LokalMimesis Humanisme Universal IntertekstualImitasi Simbolisme PospositivismeKatarsis Strukturalisme HiperealitasTranseden Semiotik PoskolonialEstetika Pencerahan Fenomenologi Oposisi BinerTeleologisme Eko-estetik DekonstruksiRetatifisme Kompleksitas PluralismeSubjetifisme Etnosentris Lintas BudayaPositivisme Budaya Komoditas ChaosSumber: Sachari, 2002: 9.
Berdasarkan tabel di atas, wacana estetika era pramodern, modern, dan
posmodern berdasarkan pada ideologi masing-masing. Dalam wacana estetika
posmodern tidak terjadi lagi sekat-sekat budaya Global-Lokal, sehingga dapat
menyatu dan secara visual muncul menjadi Glokalisasi. Glokalisasi sebagai proses
munculnya suatu kebudayaan dimana kebudayaan global dan lokal saling
53
membangun. Robertson (1992) yang ditulis oleh Barker (2004: 120) mengatakan
banyak hal yang dipandang bersifat lokal, dan disepadankan dengan global,
sebagai hasil dari proses translokal. Robertson mengadopsi konsep glokalisasi,
yang berasal dari istilah pemasaran, untuk mengekspresikan produksi lokal secara
global dan lokalisasi global (Abercrombie, dkk. 2010: 239). Tomlinsen (1999)
yang dikutip Ritzer (2012: 976) menyatakan bahwa interaksi pasar global dengan
pasar lokal menyebabkan terciptanya pasar “glokal” yang mengintegrasikan
tuntutan pasar global dengan realitas pasar lokal. Kecenderungan kapitalisme
konsumen global masa kini mendorong ketiadaan batas kebutuhan/keinginan di
mana celah pasar, standarisasi, dan kenikmatan dari transformasi identitas secara
konstan memunculkan heterogenitas.
Percampuran budaya sebagai akibat dari globalisasi dan produksi, di luar
penyatuan global dan lokal, muncul budaya hibrida yang tidak bisa direduksi
sebagai budaya lokal maupun global. Penyatuan proses global dengan realitas
lokal untuk memproduksi bentuk-bentuk hibrida yang baru dan khas
mengindikasikan heterogenisasi budaya. Hibridisasi sebuah pandangan yang
sangat positif terhadap globalisasi sebagai proses yang sangat kreatif yang darinya
muncul berbagai realitas budaya baru dan terus berlanjut, dengan heterogenitas
pada tempat yang berbeda (Ritzer, 2012: 999). Pieterse berpendapat bahwa
hibridisasi struktural, yang memperluas cakupan pilihan organisasional bagi
masyarakat, dan hibridisasi kultural, yang meliputi pembukaan ‘komunitas
terbayang’ adalah tanda-tanda semakin meningkatnya persilangan sekat. Namun,
mereka tidak menunjukkan terhapusnya sekat hingga mengakui perbedaan dan
54
kesamaan budaya (Barker, 2004: 208). Dalam globalisasi ada pula peniruan
budaya dengan melakukan resistensi dengan cara mimikri. Menurut Bhaba (2006:
122-123), mimikri adalah strategi perubahan, peraturan, dengan memvisuali-
sasikan kekuatan. Mereka yang terpinggirkan menciptakan produk-produk budaya
tanpa memikirkan baik- buruk atau menyimpang dari pakem yang ada.
Munculnya budaya global dan lokal menjadi bentuk estetika baru pada
karya seni kriya yang berkembang dalam masyarakat. Dalam wacana estetika
seni modern, sebuah karya disebut otentik bila menyiratkan adanya kemunculan
sesuatu yang baru dan keterputusannya dengan yang lama (Piliang, 2003: 195).
Kehendak untuk selalu baru, tampil menawan dan berbeda dalam wacana budaya
massa mendapatkan jawabannya dengan mekanisme daur-ulang fashion (Hidayat,
2012: 120). Namun, wacana semacam ini sebenarnya bukanlah satu bentuk
kemajuan, sebab fashion senantiasa berubah, berganti-ganti, berputar dan tidak
menambah apa-apa pada nilai seorang individu. Dengan kata lain, wacana fashion
adalah kemajuan semu. Dalam pandangan Adorno yang dikutip Srinati (1995: 6),
seni posmodern kini tengah terseret dalam mekanisme fashion. Dengan model
daur-ulang fashion, maka seni dapat diproduksi secara massal dan kontinu sesuai
kehendak produsen. Segala bentuk seni, bahkan budaya, menjadi komoditas
industri, sehingga apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya.
Pengembaraan estetika ke masa lalu ini pulalah yang menjadi tawaran seni
postmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumen akan kebaruan,
penampilan, dan fashion. Dalam dialog dengan masa lalu ini, setidaknya terdapat
tiga model wacana seni posmodern yang dominan, yakni model dialogisme dan
55
interkestualitas, model perversitas dan abnormalitas serta simulasi dan hiperealitas
(Piliang, 2003: 235).
Kecenderungan khas yang biasa diasosiasikan posmodernisme (Suyanto,
dan M. Khusna Amal 2010: 448; Sugiharto, 1996: 25-26) seni posmodern
memiliki ciri-ciri yang berbeda dari seni modernisme, yakni hilangnya batas
antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi antara budaya tinggi
dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya
kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni,
serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan.
56
2.4 Model Penelitian
Gambar 2.1
Keterangan
: panah saling berhubungan
: panah menunjukkan pengaruh
Seni Kriya
PengaruhTradisional Bali
Konstruksi Seni Kriyadi KecamatanTegallalang
PengaruhGlobalisasi
Industrialisasi Seni Kriyapada Era Globalisasi diKecamatan Tegallalang,
Gianyar, Bali
Alasan TerjadinyaIndustrialisasi Seni
Kriya pada EraGlobalisasi di
KecamatanTegallalang,Gianyar, Bali
Peran PemangkuKepentingan dalamIndustrialisasi Seni
Kriya pada EraGlobalisasi di
Kecamatan Tegallalang,Gianyar, Bali
ImplikasiIndustrialisasi SeniKriya pada Perajin
Setempat danBenda-benda Seni
Kriya yangDitampilkannya
Teori Globalisasi Teori Praktik dan TeoriRelasi Kuasa
Teori EstetikaPosmodern
Temuan Penelitian
57
Industrialisasi pada seni kriya karena adanya sentuhan teknologi modern
atau mekanisasi dalam proses penciptaan produk seni kriya, sehingga seni kriya
tidak lagi sebuah masterpiece, namun telah tereproduksi menjadi produk massal.
Kekhasan seni kriya sebagai karya tradisi yang menjadi milik masyarakat
tradisional mulai bergeser menjadi produk modernisme, bahkan posmodernisme,
sehingga menjadi produk seni kriya kontemporer. Iwan Saidi (2008) globalisasi
dan kepesatan sains dan teknologi, terutama teknologi informasi, gagasan-
gagasan baru datang dari berbagai belahan bumi lain, terutama Barat,
menyebabkan berbagai hal menjadi tumpang tindih. Demikian pula halnya dengan
produk-produk seni kriya yang diproduksi oleh perajin di Bali menjadi tidak
menentu (Saidi, 2008: 9).
Pesatnya perkembangan seni kriya di Bali pada umumnya dan di
Tegallalang khususnya dampak dari globalisasi dan perkembangan pariwisata
yang membutuhkan barang-barang seni kriya sebagai cinderamata (souvenir) dan
perdagangan. Perkembangan seperti ini menyebabkan para permangku
kepentingan memainkan modal-modal (modal budaya, modal sosial, dan modal
ekonomi) untuk mendapatkan keuntungan. Persaingan menjadi sangat ketat untuk
menempatkan posisi nyaman dan strategis. Orang yang memiliki modal akan
menempatkan dirinya pada posisi yang aman dan senteral, sedangkan yang tidak
memiliki modal berada pada posisi pinggiran dan selalu berusaha untuk mencari
posisi yang lebih baik. Adanya posisi ordinat bagi pemilik modal dan subordinat
yang tidak memiliki modal membuka peluang adanya praktik-praktik kuasa,
resistensi dan perlawanan yang tampak pada kasus industrialisasi seni kriya.