bab ii landasan teori dan model penelitian · 2017. 4. 1. · 15 bab ii kajian pustaka, konsep,...

43
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik dalam bentuk penelitian yang dimuat dalam jurnal, majalah, maupun buku-buku teks. Secara umum penelitian yang dilakukan lebih banyak mengkaji seni kriya berdasarkan teks rupa, bentuk dan fungsi, serta keragaman produk seni kriya berdasarkan perkembangan selera zamannya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para ahli belum ada yang mengkaji tentang seni kriya terutama menyangkut industrialisasi sebagai dampak perkembangan teknologi pada era globalisasi dan permintaan konsumen terhadap seni kriya. Kajian tentang industrialisasi seni kriya merupakan kajian yang menarik untuk dipahami lebih jauh, karena sebagai karya seni rupa banyak faktor yang memengaruhi munculnya berbagai produk seni kriya. Di sini bukan saja dapat dikaji dari teks rupanya, akan tetapi juga tentang konteksnya, karena karya seni kriya adalah produk sosial. Keanekaragaman seni kriya sebagai karya seni rupa dari waktu ke waktu lebih-lebih di era posmodernisme senantiasa mengundang kajian yang tiada hentinya. Melihat seni kriya saat ini tidak lagi mengacu pada bentuk yang mengikuti fungsi (form follows function), melainkan tergantung dari keinginan atau selera penikmatnya. Di samping itu tidak semua karya seni kriya sebagai karya fungsional yang lebih menekankannya pada kerajinan (craft). Sekarang

Upload: others

Post on 16-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian tentang seni kriya sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik dalam

bentuk penelitian yang dimuat dalam jurnal, majalah, maupun buku-buku teks.

Secara umum penelitian yang dilakukan lebih banyak mengkaji seni kriya

berdasarkan teks rupa, bentuk dan fungsi, serta keragaman produk seni kriya

berdasarkan perkembangan selera zamannya. Berdasarkan pengamatan yang telah

dilakukan, dari berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para ahli belum ada

yang mengkaji tentang seni kriya terutama menyangkut industrialisasi sebagai

dampak perkembangan teknologi pada era globalisasi dan permintaan konsumen

terhadap seni kriya. Kajian tentang industrialisasi seni kriya merupakan kajian

yang menarik untuk dipahami lebih jauh, karena sebagai karya seni rupa banyak

faktor yang memengaruhi munculnya berbagai produk seni kriya. Di sini bukan

saja dapat dikaji dari teks rupanya, akan tetapi juga tentang konteksnya, karena

karya seni kriya adalah produk sosial.

Keanekaragaman seni kriya sebagai karya seni rupa dari waktu ke waktu

lebih-lebih di era posmodernisme senantiasa mengundang kajian yang tiada

hentinya. Melihat seni kriya saat ini tidak lagi mengacu pada bentuk yang

mengikuti fungsi (form follows function), melainkan tergantung dari keinginan

atau selera penikmatnya. Di samping itu tidak semua karya seni kriya sebagai

karya fungsional yang lebih menekankannya pada kerajinan (craft). Sekarang

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

16

banyak seni kriya yang non fungsional dan menjadi karya seni murni (art). Hal ini

juga akibat perkembangan seni kriya pada era posmodern yang menjadi

perbincangan antara karya seni atau kerajinan (art and craft). Hal ini juga

dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga

produk seni kriya semakin banyak mendapat pengaruh dari produk-produk luar.

Fenomena ini menjadi semakin menarik, dan untuk mengkaji seni kriya secara

berkelanjutan. Kajian pustaka ini dilakukan untuk memosisikan temuan penelitian

pada ilmu yang sudah ada, dan juga menghindari terjadinya duplikasi terhadap

penelitian yang akan dilakukan. Adapun hasil kajian pustaka yang telah dilakukan

dalam konteks penelitian ini, adalah sebagai berikut.

Penelitian seni kriya yang menarik untuk dikaji adalah penelitian yang

dilakukan oleh Suryana (2008) yang berjudul “Kajian Kriya Kontemporer Bali

Studi Kasus Kerajinan Patung Pop Art di Desa Tegallalang”. Dalam penelitian ini

dikaji tentang munculnya seni kriya kontemporer sebagai warna baru dalam

perkembangan seni kriya tradisional yang ada di Desa Tegallalang. Pendekatan

yang dilakukan adalah pendekatan estetis dalam mengkaji nilai-nilai estetika seni

kriya yang menyangkut motif, warna, dan ragam hiasnya, serta pendekatan sejarah

dalam mengkaji perkembangannya. Persamaan dengan penelitian yang akan

dilakukan, sama-sama mengambil topik seni kriya di Tegallalang. Perbedaan

dengan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan teori-teori kritis,

sedangkan kajian yang dilakukan selain tentang teks rupa seni kriya juga dikaji

tentang konteksnya. Pentingnya dilakukan kajian terhadap penelitian Suryana

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

17

(2008) paling tidak dapat diperoleh informasi tentang seni kriya kontemporer di

Tegallalang.

Suda (1999) meneliti “Keterlibatan Anak-anak Usia Sekolah dalam

Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga, Studi Kasus Tentang Pendayagunaan

Pekerja Anak-anak Di Desa Kedisan, Tegallalang, Gianyar”. Dalam penelitian ini

dikaji tentang keterlibatan anak-anak pada usia sekolah sebagai tenaga kerja

dalam pembuatan produk industri kecil dan industri menengah. Keterlibatan anak-

anak sebagai tenaga kerja berdampak pada keluarga, sekolah dan masyarakat.

Anak-anak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sebaliknya pada sekolah berpengaruh terhadap interaksi belajar mengajar,

sedangkan pada masyarakat bergesernya sistem gotong royong (tolong

menolong), berkembangnya moneterisasi desa, dan memudarnya nilai-nilai

kebersamaan. Kesamaan penelitian Suda dengan penelitian yang akan dilakukan

sama-sama mengambil objek di wilayah Tegallalang. Perbedaannya pada

penelitian Suda penekanannya pada anak-anak sebagai tenaga kerja (perajin),

sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, mencermati berbagai komponen

yang terlibat dalam industri kerajinan/kriya.

Penelitian seni kriya dilakukan oleh Arimbawa (2011) dengan judul

“Perkembangan dan Motivasi Penciptaan Produk Kriya di Bali”. Dalam penelitian

ini dibahas tentang perkembangan dan motivasi produk kriya di Bali sebelum

mendapat pengaruh kebudayaan Hindu, kemudian perkembangan dan motivasi

penciptaan produk kriya di Bali setelah mendapat pengaruh kebudayaan Hindu

(pengaruh dari India dan Majapahit).Penelitian itu juga membahas perkembangan

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

18

dan motivasi penciptaan produk kriya di Bali pada masa kolonial, serta

perkembangan dan motivasi penciptaan produk kriya di Bali pada era

kemerdekaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama mengkaji

seni kriya, sedangkan perbedaannya, penelitian yang akan dilakukan

menggunakan pendekatan kajian budaya. Berata (2009) dalam penelitiannya

dengan judul “Perkembangan Seni Kerajinan Kayu di Desa Petulu Gianyar Bali

(Kajian Estetika dan Sosial Kultural)”. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap perkembangan seni kerajinan di Desa Petulu,

perkembangan bentuk dan fungsi seni kerajinan Desa Petulu, serta dampak

perkembangan kerajinan kayu Desa Petulu. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian yang dilakukan adalah adanya perubahan pada pembuatan seni kriya

saat ini di Petulu dan di Tegallalang. Perbedaannya, Berata mengkaji seni kriya

dari bentuk dan funginya, sedangkan penelitian yang dilakukan mengkaji peran

pemangku kepentingan dalam perkembangan seni kriya. Berdasarkan penelitian

ini setidaknya dapat membantu pemahaman tentang seni kriya secara historis dan

perkembangan seni kriya secara sosiokultural masyarakat pendukungnya.

Hasil penelitian Sila (2006), tentang “Cili dan Perkembangannya sebagai

Seni Kerajinan Cenderamata (Souvenir) dalam Menunjang Pariwisata di Bali

(Tinjauan Bentuk dan Fungsinya).” Dalam penelitian ini dibahas tentang Cili

sebagai karya seni kriya dalam perkembangannya sebagai barang cinderamata

dalam menunjang pariwisata di Bali. Pendekatan yang digunakan adalah pen-

dekatan estetika,sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

19

kajian budaya melalui teori-teori kritis. Sementara itu Budhyani (2006) mengkaji

pengembangan kerajinan uang kepeng yang berjudul “Potensi Pengrajin Wanita

dalam Pengembangan Kerajinan Uang Kepeng Di Kawasan Pariwisata Ubud

Bali”. Dalam penelitian ini dikaji mengenai keterlibatan kaum perempuan dalam

menekuni pekerjaan sebagai pengrajin uang kepeng untuk menghasilkan produk

seni kriya dari uang kepeng sebagai penunjang kawasan wisata Ubud.

Keterlibatan para perempuan pada usia produktif sebagai pengrajin uang kepeng

dan tingkat pendidikan yang mereka selesaikan menjadikan produk kerajinan dari

uang kepeng sangat beragam. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan adalah sama- sama mengkaji keterlibatan perempuan pembuat seni

kriya dalam kaitannya dengan pariwisata. Perbedaannya pada pendekatan yang

dilakukan adalah menggunakan pendekatan kajian budaya. Melalui kajian yang

dilakukan setidaknya diperoleh keragaman bentuk dan fungsi seni kriya dalam

menunjang pariwisata di Bali.

Selain hasil penelitian, kajian juga dilakukan terhadap artikel tentang seni

kriya yang dimuat dalam Jurnal Prasi Volume 3 Nomor 5 Januari-Juni 2005, yang

ditulis oleh Gustami dengan judul “Masa Depan Seni Kriya di Tengah Arus

Postmodernisme.” Dalam artikel ini dibahas mengenai posisi seni kriya tradisi

sebagai bentuk jati diri dan identitas budaya bangsa. Keunikan seni tradisional

diharapkan menjadi daya tarik bagi konsumen. Dalam era Postmodern ini seni-

seni tradisi dapat berkembang menjadi seni kontemporer. Namun dibalik itu

dengan perkembangan teknologi sekarang ini proses produksi seni kriya

berlangsung secara mekanis dan menghasilkan produk massa. Seni dengan

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

20

produksi massa telah kehilangan spirit, ruh, dan jiwa kemanusiaan yang

menyentuh hati nurani. Persamaan tulisan ini dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah sama-sama mengkaji tentang seni kriya kontemporer.

Perbedaannya pada artikel Gustami kajian masih bersifat umum, sedangkan pene-

litian akan dilakukan kajiannya lebih mendalam terhadap seni kriya kontemporer

yang berkembang di Tegallalang.

Artikel lain ditulis oleh Supir yang dimuat dalam Jurnal Prasi Volu- me 3

Nomor 6 Juli-Desember 2005 yang berjudul “Aplikasi Form Follows Function

dalam Seni Kriya Indonesia”. Dalam tulisan ini dibahas tentang berbagai produk

seni kriya yang berkembang di lingkungan masyarakat yang bisa dilihat dari

bentuk, bahan, dan teknik pembuatan. Ditinjau dari kegunaannya, seni kriya di

Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan upacara

keagamaan dan adat, (2) untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam memenuhi

kehidupan masyarakat sehari-hari, dan (3) sebagai hiasan atau sebagai elemen

estetis. Dalam setiap penciptaan produk seni kriya perajin telah mempertim-

ngkan aspek-aspek bentuk yang mengikuti fungsinya. Persamaan dengan pene-

litian yang akan dilakukan adalah sama-sama tentang seni kriya yang berkembang

di masyarakat. Perbedaan kajian yang dilakukan, pada artikel Supir mengkaji

tentang seni kriya yang mengikuti kaidah-kaidah seni kriya modern yaitu bentuk

mengikuti fungsi, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan tidak lagi

mengacu pada prinsip-prisip seni kriya yang berorientasi bentuk mengikuti fungsi.

Kajian lain dilakukan terhadap tulisan Gustami (1991) dalam Pidato

Ilmiah pada Dies Natalis Ketujuh Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

21

berjudul “Seni Kriya Indonesia: Dilema Pembinaan dan Pengembangannya.” Pada

tulisannya Gustami membahas keberadaan seni kriya dalam tradisi besar yang

berkembang di lingkungan tembok keraton sebagai Budaya Agung dan tradisi

kecil sebagai budaya alit yang berkembang di luar tembok keraton, terjadinya

dikotomi sosial dalam kelahiran seni kriya. Di sini terjadi perbedaan yang sangat

mencolok dalam memproduksi maupun mengonsumsi produk kriya antara kaum

bangsawan dengan rakyat jelata hal ini mirip dengan perdebatan art and craft

yang terjadi di Eropa. Dalam perkembangannya saat ini bahwa modernisasi telah

membuat produk kriya menjadi produk industri yang dapat menghasilkan barang

dengan cepat dalam jumlah yang banyak dan tidak dapat dipungkiri dapat

berpengaruh terhadap eksistensi seni kriya. Persamaan kajian Gustami dengan

penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama mengkaji seni kriya sebagai

produk industri. Perbedaannya Gustami mengkaji ada perbedaan produk seni

kriya yang dibuat di lingkungan keraton dan oleh rakyat biasa, sehingga

menimbulkan dilema yang mana mau dikembangkan, sedangkan penelitian yang

akan dilakukan mengkaji tentang produk kriya yang berkembang saat ini tidak

membedakan seni kriya tinggi atau rendah, dan pihak-pihak yang berperan

sehingga muncul produk-produk seni kriya seperti sekarang ini.

Kajian buku teks dilakukan terhadap tulisan Lodra (2012) dalam buku

yang berjudul Kriya Tradisional Dalam Cengkraman Kapitalis. Buku ini

merupakan sebuah disertasi dari Kajian Budaya dengan menggunakan teori

praktik, dekonstruksi, dan teori diskursus kekuasaan/pengetahuan. Dalam buku ini

dibahas tentang bagaimana perajin tradisional yang membuat benda-benda

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

22

kerajinan secara komunal dalam suatu kelompok masyarakat yang sudah berjalan

secara turun-temurun tidak memikirkan bahwa apa yang mereka kerjakan

termasuk dalam pembuatan desain, dianggap bukan sebagai desain milik mereka.

Kaum kapitalis mempunyai modal yang besar, pengetahuan yang tinggi, memiliki

kekuasaan mengklaim bahwa desain yang diciptakan oleh perajin yang

berlatarbelakang budaya Bali, dengan desain yang bernuansa Bali dianggap

menjiplak dari desain yang dimiliki oleh kaum kapitalis. Persamaan tulisan Lodra

dengan penelitian yang akan dilakukan adalah adanya kekuasaan kapitalis

terhadap keberadaan seni kriya di Bali. Perbedaannya kalau Lodra lebih menitik

beratkan pada HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) untuk melindungi karya

perajin, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan mengkaji tentang adanya

permainan kekuasaan (kapitalis dengan modalnya) yang memunculkan peming-

giran dan resistensi yang berpengaruh pada produk kriya saat ini.

Buku teks lain ditulis oleh Udiana N.P. (2013) yang berjudul Garuda Bali:

Perspektif Cultural Studies. Buku ini diterbitkan dari sebuah disertasi Kajian

Budaya. Isi buku ini yang ditonjolkan adalah bentuk dan motif garuda serta

maknanya dalam kebudayaan Bali. Teori yang digunakan adalah teori posmodern

(estetika postmodern) dalam memahami estetika simbol garuda dalam kebudayaan

klasik, modern, dan postmodern. Aspek lain yang dimunculkan adalah

perkembangan garuda sebagai komoditas budaya tanpa meninggalkan nilai

estetisnya. Saat ini patung garuda banyak diproduksi di daerah Pakudui,

Tegallalang. Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah garuda

sebagai salah satu objek seni kriya yang diproduksi di daerah Tegallalang. Teori

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

23

yang digunakan salah satunya sama-sama menggunakan teori estetika posmodern

dalam mengkaji bentuk produknya. Perbedaannya, penelitian Udiyana fokus pada

satu bentuk garuda saja, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan objeknya

lebih banyak sesuai dengan jenis produk seni kriya yang berkembang di

Tegallalang saat ini.

Buku teks lain yang ditulis Gustami (2000) yang berjudul Seni Kerajin-

an Mebel Ukir Jepara (Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin), dengan

menggunakan pendekatan bentuk, fungsi, dan makna, yang dianalisis dengan

menggunakan teori antropologis-etnografis, estetika, dan historis. Buku ini

membahas produk-produk seni ukir Jepara seperti: mebeler, hiasan pintu masuk

dan jendela yang disebut gebyog, dan barang-barang souvenir atau cinderamata

yang berkembang dengan pesat. Pewarisan tradisi dari generasi tua kepada

generasi muda menjadi perhatian yang serius dalam memelihara kelangsungan

hidup seni kerajinan Jepara. Selain itu dapat diamati bahwa seni mebel ukir Jepara

menyebar ke seluruh pelosok daerah di Indonesia termasuk Bali dan dapat

menguasai pasar secara nasional. Dengan demikian perajin dapat mempertahan-

kan nilai-nilai tradisional yang menjadi warisan seni budaya Jepara. Persamaan

tulisan Gustami dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama mengkaji

tentang seni kriya. Perbedaannya, kajian Gustami begitu kuatnya nilai-nilai

tradisional pada seni kriya Jepara dan bisa menyebar ke seluruh pelosok

Indonesia, sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengkaji begitu pesatnya

perkembangan seni kriya di Bali umumnya dan Tegallalang khususnya, sehingga

seni kriya tradisional menjadi semakin sedikit atau terpinggirkan.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

24

Di dalam buku Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita

(1991) yang disunting oleh Soedarso SP., Gustami menulis “Dampak Modernisasi

terhadap Seni Kriya di Indonesia.” Dalam tulisan ini dibahas tentang para seniman

tradisional di masa lampau yang melaksanakan tugasnya dilandasi oleh jiwa

pengabdian kepada ‘dewa raja’ atau bangsawan, dewasa ini semakin bergeser

perhatiannya dan berpaling ke hal-hal yang bersifat material. Mereka cenderung

mengabdi kepada permintaan pasar yang memberikan kepuasan lahiriah. Oleh

karena itu kecenderungan seni masa kini khususnya seni kriya mengarah kepada

suguhan yang diperdagangkan, bahkan lebih lanjut dimanfaatkan sebagai salah

satu jenis komoditi ekspor. Persamaan kajian Gustami dengan penelitian yang

akan dilakukan adalah sama-sama melihat perubahan yang terjadi pada proses

pembuatan seni kriya. Seni kriya tradisional dalam prosesnya dilandasi oleh

kebersamaan, sedangkan seni kriya modern sudah mengarah pada proses

individual. Perbedaannya, kalau Gustami mengkaji secara umum di Indonesia,

sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih fokus pada daerah Tegallalang.

Buku teks lain Haryanto (1991) dalam buku yang berjudul Seni Kriya

Wayang Kulit. Dalam buku ini dibahas tentang wayang sebagai warisan budaya

Indonesia yang sangat penting penekanannya pada segi simbolik, filosofis, dan

pedagogik. Dalam seni kriya, tema-tema pewayangan terdapat pada bangunan

candi di Jawa dan pura di Bali berbentuk relief yang diukir pada batu maupun

kayu, di samping itu wayang banyak dijumpai terbuat dari kulit. Sebagai karya

seni kriya tradisional bahwa wayang dalam proses pengerjaannya sangat didukung

oleh keterampilan kekriyaan dari seorang perajin dengan mengikuti pakem-pakem

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

25

yang sudah ada. Perbedaan kajian Haryanto dengan penelitian yang dilakukan

adalah kalau Haryanto membahas nilai-nilai tradisional yang dilatarbelakangi oleh

filosofis dan pedagogik dalam memahami produk seni kriya wayang kulit. Pada

penelitian yang akan dilakukan lebih banyak mencermati fenomena yang terjadi

saat ini. Kajian Haryanto dapat menambah pemahaman tentang norma-norma atau

pakem yang harus diperhatikan dalam membuat seni kriya tradisional khususnya

seni kriya pada wayang kulit.

Purnata (1977) dalam buku yang berjudul Sekitar Perkembangan Seni

Rupa Di Balimembahas seni kriya atau seni kerajinan. Seni kriya yang

berkembang di Bali pada hakekatnya selalu berkaitan dengan kegiatan keagamaan

dan adat. Sebagai karya seni tradisional seni kriya banyak dihasilkan oleh

masyarakat pedesaan secara turun-temurun. Sebagai karya komunal masyarakat

pengerjaannya dilakukan secara kolektif dan perwujudannya digunakan untuk

kepentingan upacara agama Hindu. Sejak kedatangan orang Barat (orang asing)

yang berkunjung ke Bali sebagai wisatawan, maka produksi seni kriya lebih

banyak berorientasi pada barang dagangan untuk kepentingan bisnis yang

diproduksi secara massal. Persamaan kajian Purnata dengan penelitian yang

dilakukan adalah sama-sama melihat bahwa munculnya seni kriya di Bali

dilatarbelakangi oleh kepentingan agama Hindu. Perbedaannya dengan penelitian

yang dilakukan lebih kepada pembahasan seni kriya saat ini. Kajian Purnata dapat

memberikan pemahaman tentang perkembangan seni kriya dari zaman Hindu

sampai pada seni kriya dengan berorientasi pada nilai ekonomisnya.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

26

Picard (2006) dalam buku yang berjudul Bali Pariwisata Budaya dan

Budaya Pariwisata membahas seni kerajinan atau seni kriya. Membuat produk

seni kriya merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat seiring dengan

perkembangan pariwisata dan menyempitnya lahan pertanian di Bali.

Berkembangnya pariwisata di Bali menjadi suatu kenyataan bahwa perajin

semata-mata bekerja untuk kepentingan pasaran wisata. Bahkan dalam

memproduksi barang banyak perajin menghadapi masalah modal karena bahan

baku (kayu) yang digunakan harganya semakin mahal dan jenis-jenis kayu

tertentu harus didatangkan dari Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Kadang-kadang

mereka mengalami kesulitan dalam pemasaran atau berhubungan langsung

dengan wisatawan, sehingga mereka menjadi tergantung dengan pemilik modal

atau kapital. Persamaan kajian Picard dengan penelitian yang dilakukan adalah

sama-sama membahas seni kriya dibuat oleh masyarakat untuk keperluan

pariwisata. Perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan pengkajiannya terhadap

pihak-pihak yang bermain untuk memproleh keuntungan dalam produksi seni

kriya dalam perkembangan pariwisata saat ini.

Holt (2000) dalam buku yang berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni

Di Indonesia (terjemahan Soedarsono). Secaraumum mengamati perkembangan

seni di Indonesia, Holt membahas secara khusus pada Bab 7 tentang “Seni Plastis

Bali: Tradisi Dalam Perubahan”. Dalam pembahasannya yang berkaitan dengan

seni kriya adalah telah ditemukan seni ornamental yang mewah dengan teknik

pahatan atau ukiran dengan teknik kekriyaan yang unggul pada bangunan pura

serta bangunan istana yang penempatannya pada gerbang-gerbang, dinding-

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

27

dinding, yang dibuat dari batu padas dan kayu. Dalam proses perkembangannya

seni kriya di Bali banyak produk kriya dibuat sebagai cenderamata (souvenir).

Untuk mempertahankan kualitasnya para pengrajin sangat memperhatikan segi

kekriyaannya. Kajian Holt dapat memberikan pemahaman bagaimana membuat

seni kriya yang berkualitas dengan teknik kekriyaan yang tinggi. Berbeda dengan

penelitian yang dilakukan, bahwa saat ini produk-produk seni kriya banyak yang

dikerjakan tanpa penguasaan teknik kekriyaan, karena saat ini produk kriya dibuat

dengan menggunakan mesin.

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan seperti tersebut di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan serta perkembangan seni kriya di

Indonesia dan Bali pada khususnya saat ini sangat dipengaruhi oleh pariwisata.

Sebagai produk budaya, seni kriya di Bali tentu tidak bisa lepas dari akar budaya

Bali yang sudah menjadi tradisi masyarakatnya. Hal yang tidak kalah menariknya

munculnya industrialisasi terkait dengan industri pariwisata tentu saja orientasi

para perajin lebih banyak pada penciptaan produk yang banyak disukai oleh para

konsumen dalam hal ini para wisatawan. Pembuatan produk secara massal dalam

memenuhi permintaan dari konsumen dengan waktu yang terbatas, maka sistem

yang diterapkan oleh perajin adalah sistem industri dengan menggunakan

peralatan mesin produksi untuk menghasilkan produk massal. Dalam proses

seperti ini tentu saja nilai-nilai tradisi yang dimiliki oleh masyarakat lama-lama

menjadi termarjinalkan dengan adanya sistem produk dari mesin. Proses

pembuatan produk kriya secara tradisional memakan waktu yang lama dan

keahlian yang dimiliki oleh perajin betul-betul dari proses awal sampai akhir.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

28

Proses pembuatan produk seni kriya saat ini menggunakan sistem industri

sehingga terjadi proses spesislisasi pekerjaan.

2.2 Konsep

Judul Disertasi ini adalah “Industrialisasi Seni Kriya pada Era Globalisasi

di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali”. Berkaitan dengan hal ini perlu

diberikan penjelasan yang dapat memperkuat pemahaman konsep dan menghin-

dari terjadinya perbedaan pandangan. Adapun konsep-konsep yang dijelaskan

dalam disertasi ini,antara lain Industrialisasi, Seni Kriya, dan Globalisasi.

2.2.1Industrialisasi

Industrialisasi berdasarkan uraian Abercrombie, dkk., ( 2010: 277-278)

adalah:

mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengikutipenerapan sumber-sumber tenaga yang tidak hidup untuk memekanisasiproduksi. Industrialisasi pada awalnya berupa produksi di pabrik,kemudian menyebar ke wilayah pertanian dan jasa. Dibandingkan denganorganisasi pra-industri, proses ini telah melibatkan pembagian kerja(Division of Labour); hubungan produksi (Relations of Production) sosialyang baru antara pemilik modal, manajer, dan pekerja; urbanisasi(Urbanization) dan pemusatan industri dan populasi secara geografis; danperubahan dalam struktur pekerjaan. Awalnya berkembang dalamperekonomian kapitalis, industrialisasi sekarang melampaui sistemekonomi mana pun.

Kuntowijoyo (1991: 171-184) sebagaimana dikutip oleh Basundoro (2001:

133) menyatakan industrialisasi bukanlah suatu perjalanan sejarah yang unlinear

dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, tetapi merupakan suatu evolusi

yang multilinear. Menurutnya, tidak setiap masyarakat akan mengalami proses

yang sama, kecepatan yang sama, atau akibat yang sama. Berdasarkan beberapa

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

29

konsep di atas, industrialisasi dalam seni kriya terkait dengan penelitian ini,

bahwa pembuatan produk-produk seni kriya yang dilakukan oleh perajin di

Tegallalang, Gianyar, Bali menggunakan tenaga mesin untuk menghasilkan

produk massal dengan waktu yang singkat dan melalui sistem pembagian kerja.

Dalam industrialisasi seni kriya proses pembuatan produk secara tradisional

diadaptasi menggunakan mesin. Industrialisasi disini juga terkait dengan industri

pariwisata, sehingga produk-produk kerajinan yang dihasilkan oleh perajin adalah

untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

Industrialisasi seni kriya yang terjadi di Tegallalang, Gianyar, Bali

melibatkanperan dan permainan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan atau

stakeholder untuk mendapatkan kekuasaan.Menurut Abercrombie, dkk. (2010),

stakeholder society (masyarakat pemangku kepentingan) untuk menjelaskan

sebuah masyarakat yang tidak menderita baik karena keburukan ekonomi pasar

bebas maupun sosialisme birokratis. Ekonomi pasar bebas menciptakan

ketimpangan, sementara sosialisme birokratis menyekap kebebasan. Solusinya

adalah sebuah masyarakat yang mengakui kepentingan, hak dan tanggung jawab

seluruh populasi dan setiap kelompok yang turut menjadi saka guru masyarakat

tersebut (Abercrombie, dkk., 2010: 551).

Berkaitan hal tersebut pemangku kepentingan atau stakeholder yang

dimaksud dalam disertasi ini adalah pihak-pihak yang berperan yang membuat

aturan atau regulasi untuk mendapatkan kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya

di Tegallalang. Adapun pihak-pihak tersebut adalah keluarga sebagai perajin dan

pemilik art shop, desa adat, desa dinas, pemerintah kabupaten dan pemerintah

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

30

provinsi, perajin, pemasok bahan baku, lembaga keuangan formal dan informal,

dan konsumen mancanegara/luar negeri.

2.2.2 Seni Kriya

Seni kriya atau seni kerajinan adalah suatu cabang seni rupa yang

dipandang lebih mengutamakan keterampilan tangan daripada bentuk ekspresi

(Feildman, 1967: 114). Seni kriya dalam proses kerjanya sangat memerlukan

keahlian kekriyaan (craftmanship) yang tinggi seperti ukir, keramik, anyam dan

sebagainya (Susanto, 2011: 231). Seni kriya sebagai produk budaya masyarakat

telah berjalan sepanjang zaman dalam menunjang kebutuhan hidup masyarakat.

Gustami (2000: 12) menyatakan, bahwa konsep kriya dapat ditafsirkan sebagai

padanan dari crafts atau kerajinan. Kriya sebagai cabang seni lebih mengutama-

kan keterampilan tangan daripada aspek ekspresinya. Istilah kriya sering juga

dikaitkan dengan applied art atau seni terapan dengan ciri-ciri khususnya yang

didasarkan pada tujuan-tujuan fungsional dan dekoratif, seperti perabot rumah

tangga (mebeler), dekorasi/ukiran pada seni bangunan sebagai hiasan dinding, dan

produk-produk cinderamata. Perwujudan karya seni kriya lebih didukung oleh

penguasaan keterampilan teknis yang tinggi. Sejalan dengan itu Kusnadi (1983:

44) berpendapat bahwa kriya dilahirkan oleh sifat rajin manusia dalam arti

terampil dalam mengerjakan sesuatu. Terampil ini didapat dari ketekunan dalam

keterampilan teknik atau memperdalam keahlian seseorang untuk menghasilkan

barang yang berkualitas.

Saat ini konsep seni kriya sudah mengalami pergeseran. Proses pembuatan

produk seni kriya pada era globalisasi sepenuhnya mengandalkan keterampilan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

31

tangan dan ketekunan (craftsmanship) seperti konsep yang dikemukakan oleh para

ahli tersebut di atas. Kalau perajin tradisional dahulu mengerjakan/membuat seni

kriya mereka dituntut keterampilannya dan ketekunan proses mulai dari membuat

sket, kemudian proses pengerjaan (menggunakan alat-alat manual/tradisional),

sampai proses finishing (mereka bekerja dari awal sampai akhir), sehingga

menghasilkan sebuah produk-produk tradisional. Dalam industrialisasi seni kriya

saat ini, proses pembuatan barang-barang seni kriya lebih banyak menggunakan

sistem kerja mesin untuk efisiensi kerja, bahkan disini terjadi spesialisasi

kerja.Akibatnya perajin tidak lagi dituntut keahlian dari awal sampai akhir, dan

produk dibuat secara massal untuk memenuhi selera pasar.

2.2.3 Globalisasi

Menurut Robertson (1992) dalam Barker (2004: 113; Barker, 2005: 149),

konsep globalisasi menunjukkan terjadinya penyempitan dunia secara intensif dan

meningkatkan kesadaran kita terhadap dunia, yaitu meningkatnya koneksi global

dan pemahaman kita mengenainya. “Penyempitan dunia” ini dapat dipahami

dalam konteks institusi modernitas, sedangkan “meningkatnya intensitas

kesadaran tentang dunia” secara lebih baik dilihat dalam konteks kultural.

Istilah globalisasi ini mengacu pada proses di mana dunia dianggap

menjadi suatu ruang global; globalisasi dapat dilihat sebagai kompresi ruang.

Pada tahun 1960, dalam kajian budaya dan media massa, McLuhan memper-

kenalkan ungkapan ‘desa global’ untuk menggambarkan bagaimana dunia

menyusut sebagai hasil dari teknologi baru di bidang komunikasi. Meskipun tidak

ada definisi baku mengenai globalisasi, dapat dicatat adanya komponen penting,

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

32

seperti (1) adanya pertumbuhan pesat dalam kesalingterkaitan budaya, komoditas,

informasi dan masyarakat melintasi ruang dan waktu; (2) adanya perkembangan

teknologi dan sistem informasi untuk memadatkan ruang dan waktu; (3) difusi

perilaku, praktik dan kode standar untuk memproses arus informasi, uang,

komoditas dan orang-orang; (4) munculnya sistem yang mendukung,

mengendalikan, mengawasi atau menolak globalisasi; dan (5) munculnya tipe

kesadaran yang mengenali, mendukung, merayakan atau mengkritik proses global

seperti kosmopolitanisme (Abercrombie, dkk., 2010: 235).

Globalisasi menurut Suyanto (2013: 158) adalah penyebaran praktik,

relasi, kesadaran dan organisasi ke berbagai penjuru dunia, yang telah melahirkan

transformasi dalam berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dari segi ekonomi,

kekuatan ekonomi negara maju dan pengaruhnya yang dominan acap kali

menjadikan negara sedang berkembang tak ubahnya seperti pangsa pasar dan

ladang persemaian bagi berbagai kepentingan perusahaan multinasional. Jika di

masa lalu penjajahan dilakukan melalui invasi kolonial, maka di era post-modern

penjajahan dilakukan melalui penguasaan dan monopoli pasar yang makin

mengglobal oleh kekuatan kapitalisme. Dalam konteks ini, menurut Wibowo

(2007: 28) budaya global yang didominasi oleh kapitalisme ternyata banyak

menciptakan ketidakadilan. Dalam konteks penelitian ini, konsep globalisasi

dipahami sebagai penyebaran produk seni kriya yang semakin cepat melalui

teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seni kriya menjadi komoditas di

bawah kekuatan kapitalisme. Hal ini ditandai dengan munculnya produk-produk

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

33

seni kriya yang bersifat global, dan unsur-unsur lokal atau disebut dengan istilah

glokalisasi.

2.3 Landasan Teori

Berdasarkan pada objek yang dikaji ada beberapa teori yang dijadikan

landasan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Teori yang digunakan,

antara lainpertama, teori globalisasi yang akan digunakan untuk mengungkap

terjadinya industrialisasi seni kriya. Kedua, teori praktik Bourdieu, dan ketiga

teori relasi kuasa Bourdieu dan Foucault untuk mengkaji para pemangku

kepentingan yang berperan dalam industrialisasi seni kriya. Keempat, teori

estetika postmodernisme digunakan untuk mengkaji implikasi industrialisasi

terhadap perajin dan benda-benda seni kriya yang ditampilkannya.

2.3.1 Teori Globalisasi

Teori globalisasi (Robinson, 2007) muncul akibat serangkaian perkem-

bangan di dalam teori sosial, terutama reaksi menentang beberapa perspektif

sebelumnya, seperti teori modernisasi. Globalisasi sendiri merupakan sebuah

proyek penyeragaman melalui jaringan informasi dan komunikasi yang

melahirkan pencitraan-pencitraan (Abdilah S., 2002: 8). Karakteristik teori itu

yang paling menentukan adalah bias Barat yang ada padanya.Keunggulan yang

ditujukan pada kemajuan di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat dan

gagasan bahwa negara-negara lain di dunia tidak memiliki pilihan selain semakin

menjadi seperti Barat (Ritzer, 2012: 976). Fase globalisasi pertama jelas diatur

terutama oleh ekspansi Barat. Tak ada peradaban lain yang mampu memberikan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

34

pengaruh pervasif pada dunia sebesar Barat, atau membentuknya menurut

bayangan Barat. Namun tidak seperti penaklukan budaya, perluasan melalui

sistem abstrak pada dasarnya tidak terpusat, karena perluasan ini menembus

hubungan organis dengan tempat pijakan tradisi (Giddens, 2003: 74).

Dalam globalisasi ini maka arus informasi, dengan berbagai pesan maupun

ideologi di dalamnya, secara cepat masuk dari negara-negara pusat ke negara-

negara pinggiran (termasuk Indonesia) terutama di kota-kota metropolitan,

berlanjut ke kota-kota kecil, dan ke pelosok-pelosok desa. Karena itu, tidak

berlebihan jika Giddens (2003: 7) menganggap keliru bahwa globalisasi hanya

berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti tatanan keuangan dunia. Globalisasi

bukan sekadar soal apa yang ada “di luar sana”, terpisah, dan jauh dari orang per

orang. Menurut Giddens, globalisasi juga merupakan fenomena “di sini” yang

memengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang sangat intim dan bersifat pribadi.

Appadurai (1993: 296) sebagaimana dikutip oleh Ardika (2007: 14;

Barker, 2004: 117) menyatakan bahwa kebudayaan global (global cultural flow)

dapat diketahui dengan memerhatikan hubungan antara lima komponen ciri-ciri

kebudayaan global, yang diistilahkannya dengan (a) ethnoskapes, (b)

technoscapes, (c) mediascapes, finanscapes, dan (e) ideoscapes. Ethnoscapes

adalah perpindahan penduduk atau orang dari suatu negara ke negara lain seperti

wisatawan, imigran, pengungsi dan tenaga kerja yang menjadi ciri dari

kebudayaan global. Technoscapes atau arus teknologi kini mengalir dengan

kecepatan tinggi dan tidak mengenal batas negara. Mediascapes mengacu kepada

media yang dapat menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

35

Finanscapesadalah aspek finansial atau uang yang sulit diprediksi dalam era

globalisasi, sedangkan ideoscapes adalah komponen yang terkait dengan masalah

politik, seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan, dan hak

seseorang.

Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang

menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat

(Abdullah, 2007: 169). Globalisasi berdasarkan analisis Appadurai terdiri atas

beberapa dimensi seperti: kultural, ekonomi, politik, dan institusional. Untuk

setiap jenis analisis, perbedaan mendasar adalah apakah kita melihat semakin

meningkatnya homoginitas atau hitroginitas. Pada titik ekstremnya, globalisasi

budaya dapat dipandang sebagai ekspansi berbagai aturan dan praktik umum yang

transnasional (homoginitas) atau-pun sebagai proses yang di dalamnya banyak

unsur budaya lokal dan global yang berinteraksi untuk melahirkan semacam

pastische atau percampuran, yang mengarah pada terwujudnya beragam panduan

budaya (heteroginitas). Tren yang mengarah pada homoginitas sering kali

disamakan dengan penjajahan budaya, pengaruh sebuah kebudayaan tertentu pada

sejumlah besar kebudayaan lainnya (Ritzer, 2012: 976-977).

Analisis Appadurai dalam konteks penelitian ini adalah dalam globalisasi

ada kecenderungan terjadinya percampuran budaya melalui

ethnoscapeyaitukedatangan orang luar (asing) sebagai wisatawan dengan

membawa karya budayanya sendiri yang dipesan atau dikerjakan oleh perajin di

Tegallalang melalui berbagai jenis produk seni kriya.Dalam pencampuran tersebut

sehingga memunculkan budaya global-lokal, atau lokal-global. Budaya global

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

36

yang diproduksi atas permintaan wisatawan (pemilik modal/kapitalis) dapat

memberikan dampak perbedaan posisi dalam penciptaan produk budaya yaitu

posisi atas dan bawah (ordinat dan subordinat), atau terjadi dominasi dari budaya

global.

Menurut Plummer (2013: 67) kapitalisme membawa tiga ciri khusus:

pertama, individu swasta yang menguasai sumber-sumber kemakmuran; kedua,

uang diinvestasikan dengan tujuan untuk Memeroleh keuntungan; ketiga, pasar

terbuka dan bebas yang beroperasi dengan intervensi negara yang sangat minim.

Selanjutnya kapitalisme menurut Robert Lekachman dan Borin van Loon (2008:

3) yang dikutip oleh Suyanto (2013: 80), antara lain: (1) modal adalah bagian dari

kekayaan karya manusia dan bisa diproduksi berulang kali; (2) di bawah sistem

kapitalisme, suatu perlengkapan modal masyarakat, alat-alat produksinya dimiliki

oleh segelintir individu yang memiliki hal legal untuk menggunakan hak miliknya

guna meraup keuntungan pribadi; (3) kapitalisme bergantung kepada sistem pasar,

yang menentukan distribusi, mengalokasikan sumber daya-sumber daya dan

menetapkan tingkat-tingkat pendapatan, gaji, biaya sewa, dan keuntungan dari

kelas-kelas sosial yang berbeda.

Globalisasi melalui teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi saat

ini membuat perajin di Tegallalang banyak berhubungan dengan dunia luar

(global).Berdasarkan teori Appadurai adanya penyebaran limaskapesdisini ada

interaksi antara masyarakat global dan masyarakat lokal atau kolaborasi antara

produk global dan produk seni kriya lokal dengan pemanfaatan teknologi yang

dibuat oleh perajin dalam mengikuti selera pasar. Para perajin memproduksi

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

37

barang secara massal (disebut dengan fordisme) dan berdasarkan permintaan pasar

yang dikendalikan oleh pemilik modal (kapitalis) untuk memeroleh keuntungan,

sehingga seni kriya menjadi komoditas industri. Pada titik inilah terjadi apa yang

disebut Adorno sebagai proses industri budaya (Hidayat, 2012: 120). Perajin

dalam memproduksi seni kriya selalu berorientasi pada permintaan pasar yang

dikonstruksi olek kaum kapitalis. Dalam praktik ini kapitalis mengamankan/

melanggengkan posisinya sebagai pemilik modal yang dapat mengatur perajin

untuk memenuhi apa yang diinginkan.

2.3.2 Teori Praktik

Teori praktik yang bersumber dari pemikiran Pierre Bourdieu digunakan

untuk mengungkap praktik-praktik sosial dalam keterlibatan subjek dalam proses

konstruksi budaya yang bertalian erat dengan habitus. Habitus adalah konsep

yang dikembangkan oleh Bourdieu untuk memahami sumber-sumber budaya

terhadap subjektivitas dari para aktor sosial. Habitus (Suyanto, dan M. Khusuma

Amal, 2010: 430; Takwin, 2009: 114) adalah struktur kognitif sebagai hasil

pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, dan pendidikan yang

menghubungkan individu dan realitas sosial. Sejalan dengan itu habitus (Ritzer,

2012: 897) sebagai “struktur mental dan kognitif” yang digunakan aktor untuk

menghadapi kehidupan sosial. Habitus diindikasikan sebagai skema-skema dan

melalui skema-skema itu individu memersepsi, memahami, menghargai, serta

mengevaluasi realitas sosial dan mendasari ranah (Harker, dkk, 1990: xviii;

Suyanto, dan M. Khusuma Amal, 2010: 430-431).

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

38

Ranah (field) menurut Bourdieu adalah ruang dan kesempatan yang

melingkupi kehidupan manusia. Dalam ranah ini terjadi pertarungan oleh para

aktor dalam perebutan berbagai bentuk modal untuk dominasi (Edkins, 2010:

141). Modal menurut Bourdieu mempunyai definisi yang sangat luas dan

mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan signifikansi

secara kultural. Sesuai dengan hal itulah, Bourdieu sebagaimana ditulis oleh

Jenkins (2013: 123-124) lebih lanjut dirumuskan ke dalam bahasa matematis

(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Artinya habitus yang dikalikan dengan

berbagai modal yang dimiliki, dalam suatu ranah tertentu akan menghasilkan

suatu produk berupa praktik sosial. Menurut Bourdieu rumus ini mengganti setiap

relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan

ranah yang melibatkan modal.

Berdasarkan pengertian habitus dan field, pemahaman terhadap interaksi

struktur objektif dan struktur subjektif serta mekanisme kerjanya pada diri

manusia dan kehidupan sosial, Bourdieu mengajukan penjelasan tentang doxa

yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial

dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan

yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam praktik

kongkritnya, doxa tampil melalui pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja

diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu tanpa dipikir atau ditimbang

lebih dahulu (Harker, 1990: xxi)

Melalui habitus Bourdieu, ditunjukkan bahwa praktik sosial bukan hanya

dipahami sebagai pola pengambilan keputusan yang bersifat individu atau praktik

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

39

sosial sebagai hasil dari struktur supra-individual, tetapi adalah hasil dari

internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibatinkan dan

diwujudkan. Oleh karena itu, habitus bisa diandaikan sebagai mekanisme

pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dalam diri aktor (Fashri, 2007: 88).

Dalam praktik ini, habitus akan membimbing aktor untuk memahami, menilai,

mengapresiasi tindakan mereka pada skema atau pola yang dipancarkan dunia

sosial. Skema ini diperoleh dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan

individu-individu lain maupun lingkungan di mana dia berada.

Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk

sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan,

habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di

masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang

yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal

merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi

di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal

khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Harker, 1990: xx).

Menurut Bourdieu praktik memiliki ekonomi jika melibatkan benda-benda

atau material maupun simbolis yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu

yang layak dicari. Dalam praktik sosial dialektika antara struktur dan agen

memegang peranan yang sama penting dalam perubahan kehidupan sosial.

Menurut Giddens (2011: 19) dalam teori strukturasi, struktur dan agen merupakan

dualitas yang saling mendukung dalam tindakan dari para pelaku. Berkaitan

dengan teori strukturasi, ada perbedaan antara agen dan aktor didalam

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

40

memproduksi struktur sosial. Agen memiliki tindakan yang lebih aktif dan agresif

dalam memproduksi struktur sosial berdasarkan tindakan dan mereka

memproduksi posisi kelas subordinat (Barker, 2004: 185-186). Aktor dalam

proses bertindak ditentukan oleh kekuatan dari penguasa, sehingga sangat

tergantung kepada penguasa yang mendominasi dalam tindakannya.

Dalam masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi ini

tergantung pada situasi, sumber daya (kapital), dan strategi pelaku. Pemetaan

hubungan-hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan

komposisi kapital tersebut. Menurut Bourdieu, kapital tidak hanya bisa berupa

pengumpulan uang dan materi, melainkan bisa berupa pengumpulan usaha.

Menurut Fashri (2007,98-99) dalam ranah sosial ada empat jenis modal sebagai

berikut.

Pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah,buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang denganmudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasike generasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhankualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formalmaupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lainkemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-bendabudaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasilpendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosialmenunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu ataukelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.Dan keempat, modal simbolik segala bentuk prestise, status, otoritas danlegitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.

Berkaitan dengan hal tersebut dalam industrialisasi seni kriya di

Tegallalang, kapital-kapital tersebut dimanfaatkan oleh masing-masing pemangku

kepentingan memainkan peran dalam upaya untuk mencari kekuasaan yang

dilakukan dalam suatu “arena”. Arena menunjukkan tempat pertarungan kekuatan,

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

41

tempat perjuangan untuk mempertahankan atau mengubah struktur hubungan-

hubungan kekuasaan. Setiap arena memiliki aturan main yang khas dan

pertaruhannya tersendiri. Arena merupakan sistem atau lingkup terstruktur posisi-

posisi di mana para pelaku bersaing atau berjuang. Pertaruhannya ialah memiliki

atau akumulasi kapital. Kapital didistribusikan secara tidak merata, ada yang

mendominasi dan yang didominasi. Strategi pelaku tergantung dari posisinya

dalam arti kepemilikan kapital. Setiap arena terkait dengan habitus yang khas.

Setiap pelaku di arena ditandai oleh lintasan sosial, habitus dan posisi dalam arena

(Haryatmoko, 2010: 18).

Di dalam arena, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang

tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlihat di dalam kompetisi

yang memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam

arena bersangkutan. Di arena ekonomi misalnya, agen-agen saling bersaing demi

modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan menggunakan

akumulasi modal ekonomi. Namun kepentingan dan sumber daya yang

dipertaruhkan di dalam arena tidak selalu berbentuk materi, dan kompetisi di

antara agen-agen tidak selalu didasarkan pada kalkulasi secara sadar. Di dalam

arena kultural, kompetisi seringkali berkaitan dengan otoritas yang inheren di

dalam pengakuan, konsekrasi dan prestise (Bourdieu, 2012: xviii-xix).

Dalam industrialisasi seni kriya di Tegallalang, dimana terjadi arena

pertarungan yang dilakukan oleh para aktor maupun agen untuk merebut

kekuasaan. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah komunitas lokal sebagai

tenaga kerja (perajin) yang memproduksi seni kriya selalu meningkatkan

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

42

potensinya dengan modal yang dimiliki agar produknya dapat memenuhi tuntutan

pasar. Pengusaha pemilik art shopsebagai agen yang memasok barang-barang seni

kriya bermain dengan modal ekonominya untuk Memeroleh keuntungan dengan

menekan perajin untuk mendapatkan produk murah. Yang sangat penting adalah

pemerintah sebagai pemegang regulasi yang menentukan kebijakan dalam

perlindungan produk seni kriya, perajin yang memiliki kuasa untuk menciptakan

produk seni kriya sesuai dengan keinginannya, pemasok bahan baku yang

menyuplai bahan baku, lembaga formal dan informal yang memberi bantuan dana,

dan konsumen mancanegara yang memesan produk kerajinan berperan dalam

pertarungan ini. Kondisi seperti ini menurut Bourdieu (2011: 99) akan terus

berulang dan dalam arena terjadi pertarungan demi pertarungan. Apa yang

diperjuangkan adalah perjuangan demi pengakuan.

Menurut Weber (1978) kekuasaan merupakan kesempatan seseorang untuk

mewujudkan keinginannya, bahkan sampai melawan rintangan dari orang lain,

dan melihat kekuasaan sebagai kondisi utama yang dibentuk oleh kelas sosial dan

status. Kekuasaan tidak dapat tercapai karena ketidakberdayaan datang dari

kekurangan sumber daya, wewenang, status dan harga diri yang dimiliki. Untuk

mendapatkan kekuasaan sumber daya yang paling jelas adalah modal atau

kekayaan atau sumber daya ekonomi. Kekuasaan merupakan masalah orang

dengan kekuatan yang biasanya memiliki akses terhadap sumber daya. Namun

lebih dari itu, kekuasaan merupakan sumber kemenangan (Plummer, 2013: 227).

Bourdieu (1998) sebagaimana ditulis oleh Haryatmoko (lihat

Basis2003:13) melihat dominasi dalam lingkup hubungan-hubungan yang tidak

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

43

setara, dan lingkup sosial itu banyak, tidak tunggal. Ia mengasumsikan bahwa

dalam semua perkembangan masyarakat ada yang didominasi dan mendominasi.

Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kemungkinan dan ketidaklanggengan

dominasi. Kelompok dominan memiliki kemampuan memaksakan, memengaruhi,

dan melakukan pembatasan pada level pikiran mapun perilaku orang atau

kelompok lain, sehingga yang terdominasi tunduk, dalam arti mengikuti budaya

pihak dominan. Walaupun demikian perlu dicatat bahwa adanya pihak yang

mendominasi tersebut karena adanya legitimasi dari terdominasi yang menjadi

landasan otoritas atau legalitas bagi yang mendominasi dan proses dominasi

tersebut dilakukan secara anggun, bukan dengan kekerasan. Dengan demikian,

bagi Bourdieu dalam Haryatmoko (2003: 8) mekanisme dominasi tidak sekedar

dilihat sebagai akibat dari luar, namun juga dilihat sebagai akibat dari yang

dibatinkan (habitus). Pandangan seperti ini mengandaikan bahwa dominasi bukan

saja karena adanya kemampuan pihak lain (struktur) dalam memaksa dan

Memengaruhi, namun juga karena ‘persetujuan’ dan penerimaan dari pelaku

(agen), jadi tetap ada proses pilah pilih dari agen. Hal ini konsisten dengan

pandangan Bourdieu yaitu adanya relasi dialektikal antara struktur dan agen,

sebagai upayanya untuk mengatasi persoalan antara kedua elemen tersebut.

Pandangan mengenai relasi dialektikal struktur-agen dalam persoalan

dominasi tersebut dikaji lebih lanjut mengenai posisi struktur dan agen dalam

relasi kuasa. Pandangan Bourdieu yang ditulis oleh Miller dan Branson (1987:

215) melihat bahwa individu sebenarnya bersifat aktif, karenanya ia bukan

sekedar dapat dipengaruhi oleh struktur yang ada di lingkungannya, namun ia juga

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

44

aktif memengaruhi struktur yang ada atau setidak-tidaknya melakukan tindakan

yang dianggap tidak biasa di lingkungan budayanya dan tindakan yang

disesuaikan dengan kepentingannya. Dengan kata lain Bourdieu (1984) melihat

faktor subjektif individu penting dalam relasinya dengan struktur (objektif),

struktur subjektif individu (agen) dengan struktur objektif berinterelasi dan

berinterdependensi. Tindakan sebagai praktik sosial adalah kegiatan reflektif dan

reproduktif antara ide (kultural atau interpretasi subjektif) dan realitas sosial

(struktural atau gejala objektif) (Ismail, 2012: 184)

2.3.3 Teori Relasi Kuasa

Relasi kuasa dalam pandangan Bourdieu (Harker, et.al, 1990; Haryatmoko

dalam Basis, 2003), melibatkan kepentingan dari para pelaku dan menunjukkan

permainan yang di dalamnya ada perjuangan tanpa henti untuk mengubah,

Memeroleh posisi baru, memperbaiki dan memperkokoh posisi. Kuasa

dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup sosial yang jamak, bukan saja dalam

bidang ekonomi danpolitik, namun juga dalam bidang lain, seperti budaya,

pendidikan, dan keagamaan. Kuasa beroperasi melalui jalinan relasi atau berbagai

tindakan yang kompleks antarposisi yang bersifat dinamis dan produktif.

Dalam bahasa Foucault (2002) pada dasarnya kuasa bukan merupakan

pelestarian dan reproduksi hubungan –hubungan ekonomi, namun merupakan

suatu hubungan kekuatan. Kuasa tidak dimiliki, namun dipraktekkan dalam suatu

ruang lingkup sosial yang di dalamnya terdapat banyak posisi yang secara

strategis saling berelasi dan terus mengalami pergeseran dan perubahan (dinamis).

Kuasa bersifat produktif karena melalui pelaksanaannya para pelaku Memeroleh

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

45

pengetahuan dan pemahaman baru yang berguna bagi dirinya, sehingga

memungkinkan terjadinya konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan dan tindakan

pelaku (Ismail, 2012: 177).

Mengacu pemikiran Bourdieu dan Foucault tentang relasi kuasa dalam

kaitan dengan industrialisasi seni kriya di Tegallalang, para pemangku

kepentingan memainkan kuasanya melalui modal-modal yang dimiliki, seperti

modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi. Pemilik modal yang lebih besar

mendominasi pemilik modal yang kecil. Disini ada pertarungan memainkan

modal baik di dalam arena budaya maupun kelas (yang dominan versus fraksi-

fraksi yang didominasi di dalam kelas yang dominan). Akan tetapi, jantung

budaya terletak di dalam sistem kelas, dan perjuangan kultural di antara para

perajin dan pemilik modal (kapitalis) adalah suatu cerminan perjuangan yang

tidak berkesudahan di antara pecahan-pecahan kelas dominan. Perlawanan-

perlawanan di dalam struktur kelaslah yang mengkondisikan perlawanan-

perlawanan di bidang selera dan di dalam habitus. Meskipun Bourdieu

menganggap kelas sosial itu sangat penting, dia menolak mereduksinya menjadi

sekedar masalah-masalah ekonomi atau hubungan-hubungan produksi tetap

melihat kelas juga didefinisikan oleh habitus.

Untuk mempertahankan dominasi strategi lain yang digunakan pelaku

adalah dengan cara mendiskreditkan atau mentransformasikan jenis modal yang

menjadi kekuatan pihak lain, termasuk juga dominasi melalui wacana. Sebab

dominasi wacana, yang merupakan bentuk kekerasan simbolik, menentukan

dalam pendefinisian kelompok dan penentuan budaya yang sah atau tidak sah

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

46

(Haryatmoko, 2003: 12).Biasanya pihak lain akan melakukan pembalikan wacana.

Dalam konteks kajian ini, strategi negosiasi digunakan oleh para pihak untuk

mendominasi wacana stereotip sekaligus ada pembalikan stereotip.

Jika dalam permainan terjadi kompetisi antarpemain untuk memenangkan

pertandingan, dalam suatu arena terdapat ajang pertarungan antarindividu,

kelompok, atau institusi dengan menggunakan strategi tertentu. Tujuannya adalah

mempertahankan, dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal

dalam kaitannya dengan hierarki kekuasaan. Merujuk Bourdieu, sebagaimana

dikutip oleh Fashri, (2007: 102) strategi yang dipakai para perlaku bersandarkan

pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang

sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan, strategi diarahkan kepada upaya

melestarikan dan mempertahankan status quo. Sementara mereka yang didominasi

berikhtiar mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-posisinya sehingga

terjadi kenaikan jenjang sosial. Jadi, kesempatan untuk menang atau kalah

bergantung pada penguasaan para pelaku atas modal dan posisi yang mereka

tempati dalam struktur kekuasaan. Mereka yang berkuasa ingin selalu berada di

pusat untuk mempertahankan kekuasaannya, yang terpinggirkan selalu melakukan

perlawanan dan resistensi. Praktik-praktik seperti ini muncul dalam perebutan

kekuasaan dalam industrialisasi seni kriya, sehingga ada permainan modal yang

terjadi di sini untuk mempertahankan kekuasaan.

2.3.4 Teori Estetika Posmodernisme

Teori posmodernisme dikategorikan sebagai relativis karena menurut

penganut teori ini yang berperan sesungguhnya adalah narasi kecil atau subjek

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

47

(individual), dan tidak ada kebenaran tunggal. Suyanto, dan M. Khusna Amal

(2010: 444) menyatakan, postmodernisme adalah sebuah wacana yang dibangun

oleh pluralitas ideologi. Secara etika, teori posmodern dikategorikan sebagai

nihilis, sebab dalam teori ini tidak dikenal adanya penilaian absolut. Secara

estetika, teori postmodernis dikategorikan sebagai trivial, artinya segala

sesuatunya diwarnai dekonstruksi-dekonstruksi karena dianggap tidak

mengandung makna. Meminjam pernyataan Hidayat (2012: 44) posmodernisme

merupakan fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat pasca-

industri, masyarakat komputer, masyarakat konsumen, masyarakat tontonan atau

masyarakat tanda.

Di lain pihak, pemunculan (isu) posmodernisme merupakan implikasi

logis dari terjadinya pergeseran dan peralihan dalam masyarakat secara mendasar.

Menurut Piliang (1999: 2), munculnya gejala posmodernisme dilatarbelakangi

oleh terjadinya peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri

dan dari kebudayaan modern menuju posmodern. Peralihan dari masyarakat

industri menuju masyarakat pos-industri telah Memengaruhi pemahaman

masyarakat atas makna-makna yang dimuat dalam objek (seni). Berikut

ditampilkan tabel perbedaan antara kondisi masyarakat modern dengan

masyarakat posmodern seperti di bawah ini.

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

48

Tabel 2.1Perbedaan antara Kondisi Masyarakat Modern dengan Masyarakat Posmodern

No. Kondisi Masyarakat Modern Kondisi Masyarakat Posmodern1. Fokus pada produksi dan peran

produksiFokus pada konsumsi

2. Produksi dan organisasi industri Produksi dan organisasi posindustri3. Institusi memiliki akar yang jelas

(foundotionalism)Institusi mengambang (rizhomatik)

4. Struktur-struktur kelas danpersekutuan

Hierarki yang kompleks

5. Gaya hidup dan pekerjaan yangstabil serta karir berjenjang

Pekerjaan episodik, berpindah-pindah,lateral, dan sampingan

6. Kebudayaan massa Kebudayaan mozaik, sub-kultural danmulticultural

7. Identitas/subjektivitas yang stabil Identitas bersifat situasional, beragam,dan cair

8. Pengkotak-kotakan dan politiknasional yang terorganisasi

Politik global yang berorientasi isu dan“pemimpi” (serba mungkin)

9. Fokus nasional Fokus lokal-globalSumber: Lubis, 2014: 10.

Dalam wacana posmodern ini (Santoso, 2012: 322) gagasan mengenai

objek sebagai salah satu bentuk representasi dan gagasan mengenai makna-makna

ideologis objek itu sendiri, secara umum telah mengalami pergeseran. Objek masa

lalu berdasarkan religi, magis, mitos yang dikaitkan dengan upaya kemajuan dan

transformasi, sedangkan masa kini pada masyarakat konsumer. Objek-objek

didefinisikan kembali dengan kode-kode baru, dengan bahasa estetik yang baru,

dan makna-makna yang baru pula. Untuk itu berikut ditampilkan tabel ciri-ciri

masa posmodernisme seperti di bawah ini.

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

49

Tabel 2.2Ciri yang Mendasari Masa Posmodernitas

Ciri-CiriPosmodernitas

Keterangan

Globalisasi Bangsa dan wilayah semakin terhubung satu dengan yang lainsehingga mengaburkan perbedaan antarbangsa dan wilayahmaju dengan bangsa dan wilayah terbelakang.

Lokalitas Kecenderungan global berdampak langsung pada lingkunganlokal sehingga memungkinkan kita untuk memahamidinamika global dengan mempelajari manifestasi lokal.

Akhir dari akhir sejarah Posmodernitas adalah satu tahap sejarah yang terputus dengangaris halus perkembangan evolusioner kapitalis.

Kematian individu Diri atau subjek telah menjadi lahan pertarungan tanpa batasantara dirinya dan dunia luar.

Mode informasi Cara produksi dalam terminologi marxis kini tidak lagirelevan dibandingkan dengan apa yang disebut Max Poster(1990) sebagai mode informasi, yaitu cara masyarakatposmodern mengorganisasi serta menyebarkan informasi danhiburan.

Simulasi Masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra danwacana yang cepat dan keras (terutama lewat iklan)menggantikan pengalaman manusia atas realitas.

Perbedaan danpenundaan dalambahasa

Bahasa dan tulisan bersifat licin, satu media ambigu yangmengaburkan pemahaman yang jelas menjadi tidak pastisehingga perlu dilakukan dekonstruksi teks (Derrida, 1976).

Kematian polaritasanalisis

Polaritas tradisional tidak lagi layak karena beragamnyapluralitas posisi subjek manusia.

Gerakan sosial baru Muncul berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosialprogresif yang menuntut teori perubahan sosial baru.

Kritik atas narasi besar Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah sosialyang dikatakan manusia sendiri pada level kehidupan danperjuangan mereka di tingkat lokal.

Ke-liyan-an (Otherness) Munculnya perbedaan bukan karena marginalisasi dansubordinasi.

Sumber: Ben Agger (2003), dalam Suyanto, dan M. Khusna Amal (2010: 452)

Berdasarkan tabel di atas, dalam era posmodern masyarakat semakin

tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana. Jean Baudrillard pemikir

posmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan kebudayaan dalam

masyarakat kontemporer, mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang

terjadi dalam struktur masyarakat Barat yang disebutnya sebagai masyarakat

simulasi dan hiperealitas (Hidayat, 2012: 51). Dalam era posmodern, prinsip

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

50

simulasi menjadi panglima, di mana reproduksi (dengan teknologi informasi,

komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara

permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi

manusia. Menurut Haryatmoko (2010: 23) simulasi dewasa ini bukan lagi cermin

atau representasi, tapi pembangkitan melalui model riil tanpa asal-usul atau

realitas. Jadi yang berlangsung bukan representasi yang real, namun penciptaan

yang hiperreal.

Dunia hiperealitas tanda sekarang ini tidak lagi merujuk pada segala

sesuatu, di mana perbedaan antara yang nyata dan yang imajiner tidak ada lagi, di

mana “realitas serta merta terkontaminasi oleh simulacrum” (Ritzer, 2010: 169).

Simulakra berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi

yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Revolusi industri, di satu

sisi telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. Namun

di sisi lain, Revolusi Industri juga menimbulkan ekses-ekses negatif bagi

kebudayaan. Logika produksi, yang menjadi prinsip simulakra yang telah

mendorong perkembangan teknologi mekanik sebagai sistem produksi massa

(Hidayat, 2012: 76-77).

Di era Posmodern, (Sachari, 2002: 8) estetika kembali menjadi bahan

kupasan yang luas sebagai bagian dari kajian filsafat nilai. Hal itu karena

penampaknya semakin teraga dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang

tengah dihadapi berbagai bangsa di dunia. Tumbuhnya subbudaya baru yang

meluas, serta spirit multikulturalisme menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam

wacana estetik, karena tidak ada lagi Timur-Barat, Atas-Bawah, Lokal-Global,

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

51

Kontekstual-Universal, Makna-Instan, Realitas-Simulasi, Kelembutan-Horor,

ataupun Tradisional-Modern. Semuanya masuk ke dalam percaturan Postruk-

turalisme. Dalam situasi tersebut, dunia estetika kembali memosisikan diri dalam

situasi “chaos” dan “anomaly”. Tidak ada lagi nilai-nilai, makna, kebenaran, dan

keindahan yang absolut. Estetika mengalami kondisi kebuntuan paradigma,

karena tatanan kebudayaan yang bernilai telah mengalami perubahan yang

substansial. Bingkai falsafahnya mengalami ‘retakan-retakan’ yang kian

membesar.

Pada seni posmodern didasari oleh postrukturalisme karena tidak terikat

oleh struktur yang berlaku pada era sebelumnya. Berdasarkan gagasan Foucault

tentang pengetahuan dan kekuasaan (Ritzer, 2012: 1043) para perajin memiliki

pengetahuan dan kekuasaan dalam pembuatan karya-karya seni kriya.Pembuatan

karya-karya seni kriya di Tegallalang pada era posmodern menunjukkan

perbedaan yang cukup tajam dibandingkan dengan karya-karya seni kriya

tradisional. Pada estetika tradisional pola-pola karya seni kriya mengacu pada

norma-norma yang telah berjalan secara turun temurun. Hal tersebut dapat diamati

dari karya-karya seni kriya generasi pramodern menciptakan patung garuda, dan

patung-patung perwujudan sesuai dengan tradisi yang ada. Pada estetika

posmodern para perajin sudah berani beralih pada penciptaan estetika yang tidak

lazim dan menyimpang dari tradisi yang berlangsung di masyarakat.

Para pelaku estetis dan pemikir estetika masa kini, secara tidak langsung

telah memberi “tanda budaya” dan menggiring kognisi sosial masyarakat ke arah

dunia yang retak-retak tersebut. Masyarakat tidak lagi perduli dengan nilai-nilai,

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

52

norma-norma, kapatutan, kebaikan ataupun kearifan. Pelipatan dan percepatannya

berlangsung bertubi-tubi, terutama sejak media tayang elektronika mengalami

kemajuan, baik dalam gagas lunak maupun operasional. Situasi tersebut

mempercepat proses keruntuhan nilai konvensional yang semakin mendasar

karena apa pun yang dilakukan untuk mengguncang peradaban dapat disahkan

sebagai karya estetik, seperti pembajakan, despiritualisasi, dehumanisasi, sampai

demoralisasi (Sachari, 2002: 8-9). Untuk memahami hal itu berikut ditampilkan

wacana utama estetika pada era pramodern, modern, dan posmodern seperti tabel

di bawah ini.

Tabel 2.3Wacana Utama Estetika di Era Pramodern, Modern dan Posmodern

Wacana estetikapramodern

Wacana estetika modern Wacana estetikapostmodern

Idealisme Rasionalisme PostrukturalismeMitologis Realisme Global-LokalMimesis Humanisme Universal IntertekstualImitasi Simbolisme PospositivismeKatarsis Strukturalisme HiperealitasTranseden Semiotik PoskolonialEstetika Pencerahan Fenomenologi Oposisi BinerTeleologisme Eko-estetik DekonstruksiRetatifisme Kompleksitas PluralismeSubjetifisme Etnosentris Lintas BudayaPositivisme Budaya Komoditas ChaosSumber: Sachari, 2002: 9.

Berdasarkan tabel di atas, wacana estetika era pramodern, modern, dan

posmodern berdasarkan pada ideologi masing-masing. Dalam wacana estetika

posmodern tidak terjadi lagi sekat-sekat budaya Global-Lokal, sehingga dapat

menyatu dan secara visual muncul menjadi Glokalisasi. Glokalisasi sebagai proses

munculnya suatu kebudayaan dimana kebudayaan global dan lokal saling

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

53

membangun. Robertson (1992) yang ditulis oleh Barker (2004: 120) mengatakan

banyak hal yang dipandang bersifat lokal, dan disepadankan dengan global,

sebagai hasil dari proses translokal. Robertson mengadopsi konsep glokalisasi,

yang berasal dari istilah pemasaran, untuk mengekspresikan produksi lokal secara

global dan lokalisasi global (Abercrombie, dkk. 2010: 239). Tomlinsen (1999)

yang dikutip Ritzer (2012: 976) menyatakan bahwa interaksi pasar global dengan

pasar lokal menyebabkan terciptanya pasar “glokal” yang mengintegrasikan

tuntutan pasar global dengan realitas pasar lokal. Kecenderungan kapitalisme

konsumen global masa kini mendorong ketiadaan batas kebutuhan/keinginan di

mana celah pasar, standarisasi, dan kenikmatan dari transformasi identitas secara

konstan memunculkan heterogenitas.

Percampuran budaya sebagai akibat dari globalisasi dan produksi, di luar

penyatuan global dan lokal, muncul budaya hibrida yang tidak bisa direduksi

sebagai budaya lokal maupun global. Penyatuan proses global dengan realitas

lokal untuk memproduksi bentuk-bentuk hibrida yang baru dan khas

mengindikasikan heterogenisasi budaya. Hibridisasi sebuah pandangan yang

sangat positif terhadap globalisasi sebagai proses yang sangat kreatif yang darinya

muncul berbagai realitas budaya baru dan terus berlanjut, dengan heterogenitas

pada tempat yang berbeda (Ritzer, 2012: 999). Pieterse berpendapat bahwa

hibridisasi struktural, yang memperluas cakupan pilihan organisasional bagi

masyarakat, dan hibridisasi kultural, yang meliputi pembukaan ‘komunitas

terbayang’ adalah tanda-tanda semakin meningkatnya persilangan sekat. Namun,

mereka tidak menunjukkan terhapusnya sekat hingga mengakui perbedaan dan

Page 40: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

54

kesamaan budaya (Barker, 2004: 208). Dalam globalisasi ada pula peniruan

budaya dengan melakukan resistensi dengan cara mimikri. Menurut Bhaba (2006:

122-123), mimikri adalah strategi perubahan, peraturan, dengan memvisuali-

sasikan kekuatan. Mereka yang terpinggirkan menciptakan produk-produk budaya

tanpa memikirkan baik- buruk atau menyimpang dari pakem yang ada.

Munculnya budaya global dan lokal menjadi bentuk estetika baru pada

karya seni kriya yang berkembang dalam masyarakat. Dalam wacana estetika

seni modern, sebuah karya disebut otentik bila menyiratkan adanya kemunculan

sesuatu yang baru dan keterputusannya dengan yang lama (Piliang, 2003: 195).

Kehendak untuk selalu baru, tampil menawan dan berbeda dalam wacana budaya

massa mendapatkan jawabannya dengan mekanisme daur-ulang fashion (Hidayat,

2012: 120). Namun, wacana semacam ini sebenarnya bukanlah satu bentuk

kemajuan, sebab fashion senantiasa berubah, berganti-ganti, berputar dan tidak

menambah apa-apa pada nilai seorang individu. Dengan kata lain, wacana fashion

adalah kemajuan semu. Dalam pandangan Adorno yang dikutip Srinati (1995: 6),

seni posmodern kini tengah terseret dalam mekanisme fashion. Dengan model

daur-ulang fashion, maka seni dapat diproduksi secara massal dan kontinu sesuai

kehendak produsen. Segala bentuk seni, bahkan budaya, menjadi komoditas

industri, sehingga apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya.

Pengembaraan estetika ke masa lalu ini pulalah yang menjadi tawaran seni

postmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumen akan kebaruan,

penampilan, dan fashion. Dalam dialog dengan masa lalu ini, setidaknya terdapat

tiga model wacana seni posmodern yang dominan, yakni model dialogisme dan

Page 41: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

55

interkestualitas, model perversitas dan abnormalitas serta simulasi dan hiperealitas

(Piliang, 2003: 235).

Kecenderungan khas yang biasa diasosiasikan posmodernisme (Suyanto,

dan M. Khusna Amal 2010: 448; Sugiharto, 1996: 25-26) seni posmodern

memiliki ciri-ciri yang berbeda dari seni modernisme, yakni hilangnya batas

antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi antara budaya tinggi

dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya

kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni,

serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan.

Page 42: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

56

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.1

Keterangan

: panah saling berhubungan

: panah menunjukkan pengaruh

Seni Kriya

PengaruhTradisional Bali

Konstruksi Seni Kriyadi KecamatanTegallalang

PengaruhGlobalisasi

Industrialisasi Seni Kriyapada Era Globalisasi diKecamatan Tegallalang,

Gianyar, Bali

Alasan TerjadinyaIndustrialisasi Seni

Kriya pada EraGlobalisasi di

KecamatanTegallalang,Gianyar, Bali

Peran PemangkuKepentingan dalamIndustrialisasi Seni

Kriya pada EraGlobalisasi di

Kecamatan Tegallalang,Gianyar, Bali

ImplikasiIndustrialisasi SeniKriya pada Perajin

Setempat danBenda-benda Seni

Kriya yangDitampilkannya

Teori Globalisasi Teori Praktik dan TeoriRelasi Kuasa

Teori EstetikaPosmodern

Temuan Penelitian

Page 43: BAB II LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN · 2017. 4. 1. · 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang seni kriya sebenarnya

57

Industrialisasi pada seni kriya karena adanya sentuhan teknologi modern

atau mekanisasi dalam proses penciptaan produk seni kriya, sehingga seni kriya

tidak lagi sebuah masterpiece, namun telah tereproduksi menjadi produk massal.

Kekhasan seni kriya sebagai karya tradisi yang menjadi milik masyarakat

tradisional mulai bergeser menjadi produk modernisme, bahkan posmodernisme,

sehingga menjadi produk seni kriya kontemporer. Iwan Saidi (2008) globalisasi

dan kepesatan sains dan teknologi, terutama teknologi informasi, gagasan-

gagasan baru datang dari berbagai belahan bumi lain, terutama Barat,

menyebabkan berbagai hal menjadi tumpang tindih. Demikian pula halnya dengan

produk-produk seni kriya yang diproduksi oleh perajin di Bali menjadi tidak

menentu (Saidi, 2008: 9).

Pesatnya perkembangan seni kriya di Bali pada umumnya dan di

Tegallalang khususnya dampak dari globalisasi dan perkembangan pariwisata

yang membutuhkan barang-barang seni kriya sebagai cinderamata (souvenir) dan

perdagangan. Perkembangan seperti ini menyebabkan para permangku

kepentingan memainkan modal-modal (modal budaya, modal sosial, dan modal

ekonomi) untuk mendapatkan keuntungan. Persaingan menjadi sangat ketat untuk

menempatkan posisi nyaman dan strategis. Orang yang memiliki modal akan

menempatkan dirinya pada posisi yang aman dan senteral, sedangkan yang tidak

memiliki modal berada pada posisi pinggiran dan selalu berusaha untuk mencari

posisi yang lebih baik. Adanya posisi ordinat bagi pemilik modal dan subordinat

yang tidak memiliki modal membuka peluang adanya praktik-praktik kuasa,

resistensi dan perlawanan yang tampak pada kasus industrialisasi seni kriya.