kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian ii.pdfkajian pustaka, konsep, landasan...
TRANSCRIPT
13
BAB IIKAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
DTW Tanah Lot tidak saja ramai dikunjungi wisatawan, tetapi juga
banyak diteliti oleh para sarjana. Dalam sepuluh tahun terakhir, setidaknya ada
lima penelitian tentang Tanah Lot, seperti yang dilakukan oleh Laksmi (2015),
Citra (2012), Dewi (2012), Putra dan Pitana (2010), dan Sujana (2009). Penelitian
mereka memiliki fokus yang beragam, tetapi mampu saling melengkapi dalam
usaha pembaca dan para peneliti untuk mengetahui perkembangan DTW Tanah
Lot belakangan ini. Sebagian besar penelitian tersebut dilakukan pada saat DTW
Tanah Lot masih dikelola oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, pihak swasta,
dan masyarakat. Berbeda dengan penelitian tersebut, tesis ini menganalisis
perubahan manajemen pengelolaan DTW Tanah Lot sejak diambil alih bulan
November 2011 dari tiga pihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) menjadi dua
pihak saja (masyarakat dan pemerintah daerah) karena belum lama terjadi,
dampak perubahan manajemen ini belum ada yang meneliti.
Dari penelitian Laksmi (2015) yang mengkaji tentang pergulatan
pengelolaan DTW Warisan Budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan
Kediri, Tabanan ada tigal hal yang dapat dinyatakan sebagai temuan penelitian.
Pertama, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya Tanah Lot merupakan
pertarungan para pihak untuk memperebutkan modal melalui pergulatan sistem
pengelolaan, kedudukan manajer operasional, kepemilikan warisan budaya, dan
14
kekuasaan. Kedua, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya Tanah Lot
merupakan upaya mempertahankan ideologi yang dianut para pihak, yaitu
ideologi kapitalisme, pariwisata, dan Tri Hita Karana (THK) yang didominasi
oleh ideologi kapitalisme. Ketiga, pergulatan pengelolaan DTW warisan budaya
Tanah Lot merupakan peta makna yang melahirkan masyarakat komunikatif.
Penelitian Laksmi (2015) memiliki kesamaan dengan penelitian ini yang
terletak pada pihak-pihak yang terlibat dalam pergulatan pengelolaan DTW Tanah
Lot, sehingga mengakibatkan adanya perubahan pengelola DTW Tanah Lot.
Namun, perbedaannya penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot yang berdampak
terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban.
Dalam penelitiannya, Citra (2012) meneliti tentang kemitraan dalam
pengembangan ekowisata Tanah Lot. Penelitian Citra membahas tentang pihak-
pihak yang berperan dalam pengembangan ekowisata Tanah Lot, bentuk
kemitraan yang dilandasi atas kepemilikan tanah dan sistem kontrak. Kesimpulan
penelitian Citra adalah pihak yang berperan dalam pengembangan ekowisata
Tanah Lot, yaitu pemerintah daerah, Desa Dinas Beraban, Desa Adat Beraban,
pelaku usaha wisata, polisi pariwisata, dan dinas perhubungan. Terdapat empat
bentuk kemitraan yang dilandasi oleh status kepemilikan tanah dan program
kegiatan serta tenaga yang digunakan diantaranya, yaitu kontrak kelola, kontrak
sewa, hak guna bangunan (HGB) dan kontrak konsesi. Bentuk kemitraan kontrak
kelola, HGB, dan kontrak konsesi berkontribusi tinggi dalam pengembangan
15
ekowisata, sedangkan bentuk kemitraan kontrak sewa berkontribusi sedang dalam
pengembangan ekowisata Tanah Lot.
Kesamaan penelitian Citra (2012) dan penelitian ini adalah membahas
tentang pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, namun
perbedaannya terletak pada pemikiran Citra tentang kemitraan dalam pengelolaan
DTW Tanah Lot tidak melibatkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Tabanan karena secara operasional sehari-hari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Tabanan tidak terlibat. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Tabanan berperan dalam hal suprastruktur, misalnya promosi pariwisata,
sedangkan pada penelitian ini, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Tabanan merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pengelolaan yang
berbentuk badan pengelola dari tahap perencanaan sampai dengan pengawasan.
Dalam penelitiannya, Dewi (2012) mengkaji tentang partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat Desa Beraban dalam pengelolaan DTW Tanah Lot.
Proses pemberdayaan masyarakat Desa Pakraman Beraban dilihat dari empat
bentuk, yaitu pemberdayaan ekonomi, psikologis, sosial, dan politik. Proses
pemberdayaan ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat Desa Pakraman
Beraban dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan di DTW Tanah Lot. Salah
satu kesimpulan Dewi adalah sebagai berikut:
Partisipasi masyarakat Desa Beraban dalam pengelolaan DTW Tanah Lotdimulai sejak tahun 2000 sampai dengan 2011. Keterlibatan masyarakatdalam pembangunan dan pengelolaan pariwisata merupakan salah satuimplementasi dari pariwisata berbasis masyarakat. Bentuk keterlibatanmasyarakat Desa Pakraman Beraban berupa partisipasi aktif dan pasif.
16
Kajian Dewi (2012), mengarah tentang partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot di Desa Pakraman Beraban,
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Partisipasi masyarakat Desa Pakraman
Beraban secara aktif dilakukan oleh masyarakat yang langsung terlibat dalam
pengelolaan DTW Tanah Lot setiap harinya sebagai karyawan dari manajemen
operasional, sedangkan partisipasi pasif dilakukan oleh berbagai lapisan
masyarakat Desa Pakraman Beraban dalam kegiatan yang dibuat oleh pihak
manajemen operasional dalam memajukan DTW Tanah Lot. Proses
pemberdayaan ini bertujuan untuk membantu masyarakat dalam merencanakan,
mengelola, mengambil keputusan, dan mengawasi jalannya pembangunan
pariwisata di DTW Tanah Lot.
Penelitian Dewi (2012) memiliki kesamaan dengan penelitian ini yang
terletak pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
sebagai salah satu penerapan dari pariwisata berbasis masyarakat. Namun,
perbedaannya adalah penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang tidak
hanya melihat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat selaku pihak yang
terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, tetapi juga melihat dampak yang
diperoleh oleh masyarakat Desa Pakraman Beraban dengan adanya perubahan
pengelola DTW Tanah Lot.
Dari penelitian Putra dan Pitana (2010) yang mengkaji tentang pariwisata
pro-rakyat. Penelitian ini membahas tentang perkembangan ringkas DTW Tanah
Lot, langkah-langkah yang ditempuh masyarakat untuk ikut terlibat dalam
17
pengelolaan, dan model pengelolaan DTW Tanah Lot serta manfaatnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Salah satu pemikiran yang dapat diambil adalah:
Sistem pengelolaan oleh masyarakat untuk DTW Tanah Lot layakdipertahankan karena memberikan hasil positif dan jaminan akan kelestarianDTW Tanah Lot serta sistem ini dapat diadopsi sebagai sistem pengelolaanDTW di tempat lain sebagai sistem pengelolaan yang pro-rakyat.
Pendapat Putra dan Pitana (2010) benar adanya. Pengelolaan oleh
masyarakat perlu dipertahankan karena bertolak dari kenyataan bahwa masyarakat
mampu dan berhasil mengelola DTW di daerahnya, buktinya sejak dikelola penuh
oleh masyarakat, jumlah kunjungan dan pendapatan meningkat. Selain itu,
peningkatan infrastruktur, penataan kawasan, perbaikan fasilitas, dan peningkatan
promosi juga dilakukan. Pantaslah kalau masyarakat diberikan kepercayaan dan
didorong untuk membuat DTW Tanah Lot menjadi DTW berkelanjutan.
Kesamaan penelitian Putra dan Pitana (2010) dengan penelitian ini adalah
pembahasan tentang keterlibatan masyarakat dan manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan DTW Tanah Lot. Perbedaannya adalah penelitian ini lebih terfokus
pada perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya terhadap masyarakat
Desa Pakraman Beraban di Kabupaten Tabanan, sehingga dapat dilihat bentuk
keterlibatan masyarakat dan manfaat yang diperoleh masyarakat Desa Pakraman
Beraban pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga pihak dan dua pihak serta
upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW berkelanjutan.
Penelitian oleh Sujana (2009) tentang persepsi wisatawan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot. Penelitian
Sujana melihat bagaimana persepsi wisatawan terhadap DTW Tanah Lot dan
18
menilai urutan variabel persepsi dari wisatawan mancanegara dan domestik ketika
berkunjung ke DTW Tanah Lot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persepsi
wisatawan mancanegara dan nusantara terhadap DTW Tanah Lot adalah baik.
Kajian lainnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan
ke DTW Tanah Lot ditemukan 13 faktor yang terbentuk dari 28 variabel. Dari
ketigabelas faktor yang didapatkan, ditemukan faktor dominan yang berperan
pada kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot, yaitu nilai sejarah (history),
keunikan pura, promosi, dan matahari tenggelam (sunset).
Adapun penelitian Sujana (2009) memiliki kesamaan lokasi dengan
penelitian ini, yaitu DTW Tanah Lot. Namun, perbedaannya terletak pada subjek
yang dijadikan informan penelitian. Pada penelitian ini yang dijadikan objek
penelitian adalah masyarakat Desa Pakraman Beraban dan pihak-pihak yang
terlibat dalam pengelolaan DTW Tanah Lot, sedangkan pada penelitian Sujana
(2009), objek penelitiannya adalah wisatawan yang berkunjung ke DTW Tanah
Lot.
2.2 Konsep
Dalam suatu penelitian perlu penegasan batasan pengertian operasional
dari setiap konsep yang terdapat baik dalam judul penelitian, rumusan masalah
penelitian, atau dalam tujuan penelitian. Pemberian definisi atau batasan
operasional suatu istilah berguna sebagai sarana komunikasi agar tidak terjadi
salah tafsir dan juga mempermudah dalam proses penelitian. Adapun konsep yang
19
digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan kawasan, daya tarik
wisata, dan manajemen komunitas.
2.2.1 Pengelolaan Kawasan
Konsep pengelolaan kawasan dalam hal ini adalah pengelolaan kawasan
pariwisata. Pengertian kawasan pariwisata diungkapkan oleh seorang ahli, yaitu
Inskeep (1991:77) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas
dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi atau relaksasi, pendalaman suatu
pengalaman atau kesehatan).
Pengelolaan kawasan dapat diartikan sebagai proses peran serta sumber
daya manusia secara berkesinambungan dan sistematis dalam pengalokasian dan
pemanfaatan sumber daya alam untuk membawa kawasan pada kondisi yang lebih
baik pada masa yang akan datang dan memecahkan masalah kawasan pada saat
ini. Dimensi pengelolaan kawasan, yaitu partisipasi masyarakat, kelembagaan,
infrastruktur, keterlibatan swasta, transportasi, sumber daya manusia, peraturan
dan kebijakan, pengelolaan lahan, peluang pekerjaan, kemitraan masyarakat,
pemerintah dan swasta, keuangan, dan manajemen promosi.
Jadi, pengelolaan kawasan dapat diartikan sebagai suatu proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian keputusan tentang pemanfaatan
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan.
Pengelolaan kawasan harus menjalankan kebijakan yang paling menguntungkan
bagi daerah dan wilayahnya serta memperhatikan dimensi pengelolaan kawasan.
20
2.2.2 Daya Tarik Wisata
Konsep daya tarik wisata yang dulunya dikenal dengan istilah objek dan
daya tarik wisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Berikut pengertian
daya tarik wisata, menurut Marpaung (2002:41) mengemukakan bahwa daya tarik
wisata sebagai suatu bentukan dan atau aktivitas yang berhubungan yang dapat
menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau
tempat tertentu.
Daya tarik wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni
budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya
tarik untuk dikunjungi wisatawan (Soenarno, 2002:322).
Suwantoro (2004:19) menyatakan bahwa daya tarik wisata merupakan
potensi yang menjadi penarik kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa daya
tarik wisata adalah sesuatu yang memiliki potensi dan dapat dilihat, dirasakan
serta dinikmati oleh manusia, sehingga menimbulkan daya tarik bagi wisatawan
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia.
2.2.3 Manajemen Komunitas
Manajemen komunitas merupakan paradigma alternatif terhadap
kegagalan paradigma birokratis yang dianggap menciptakan ketergantungan
masyarakat pedesaan terhadap birokrasi. Partisipasi yang menyertai paradigma
birokratis dimaknai sebagai mobilisasi atau dukungan rakyat terhadap rencana
pemerintah.
21
Dalam pengoperasian pengelolaan manajemen komunitas mengacu kepada
tiga alasan mendasar yang dikemukakan oleh Korten (dalam Moeljarto,
1995:124), yaitu sebagai berikut:
a. Variasi antar daerah (local variety), di mana setiap daerah tidak dapat
diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri
yang membedakannya (local genius and local knowledge), sehingga sistem
pengelolaannya akan berbeda serta masyarakat setempat sebagai pemilik
daerah adalah pihak yang paling mengenal dan mengetahui situasi daerahnya.
b. Adanya sumber daya lokal (local resources) yang secara tradisional dikuasai
oleh masyarakat setempat, karena merekalah yang lebih mengetahui
bagaimana cara mengelola sumber daya lokal tersebut yang bersumber dari
pengalaman generasi ke generasi.
c. Tanggung jawab lokal (local accountability), bahwa pengelolaan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena
kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka.
Salah satu bentuk pengelolaan yang partisipatif dalam manajemen
komunitas adalah dengan menerapkan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan
demikian dalam pandangan Hausler (2003:3), pariwisata berbasis masyarakat
merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada
masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun
tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan
pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalui
kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari
22
kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Hal tersebut sebagai
wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali
mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata.
Sementara itu, Yaman & Mohd (2004: 584-587) menggarisbawahi
beberapa kunci pengaturan pembangunan pariwisata dengan pendekatan
pariwisata berbasis masyarakat, yaitu sebagai berikut:
a. Adanya dukungan pemerintah
Pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan dukungan struktur yang
multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Pendekatan pariwisata berbasis
masyarakat berorientasi pada manusia yang mendukung pembagian keuntungan
dan manfaat yang adil serta mendukung pengentasan kemiskinan dengan
mendorong pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga sumber daya alam
dan budaya. Pemerintah akan berfungsi sebagai fasilitator, koordinator atau badan
penasehat sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan.
b. Partisipasi dari stakeholder
Pariwisata berbasis masyarakat dideskripsikan sebagai variasi aktivitas
yang meningkatkan dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi
dan sosial masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya
melindungi dalam hal memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan masyarakat.
Pariwisata berbasis masyarakat secara umum bertujuan untuk penganekaragaman
industri, peningkatan ruang lingkup partisipasi yang lebih luas termasuk
partisipasi dalam sektor informal, hak, dan hubungan langsung atau tidak
langsung dari sektor lainnya. Pariwisata berperan dalam pembangunan internal
23
dan mendorong pembangunan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa
dan sebagainya.
c. Pembagian keuntungan yang adil
Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan langsung yang diterima
masyarakat yang memiliki usaha di sektor pariwisata, tetapi juga keuntungan tidak
langsung yang dapat dinikmati masyarakat yang tidak memiliki usaha.
Keuntungan tidak langsung yang diterima masyarakat dari kegiatan pariwisata
jauh lebih luas, antara lain berupa proyek pembangunan yang dapat dibiayai dari
hasil penerimaan pariwisata.
d. Penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan
Salah satu kekuatan manajemen komunitas adalah ketergantungan yang
besar pada sumber daya alam dan budaya setempat. Di mana aset tersebut dimiliki
dan dikelola oleh seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun
kelompok, termasuk yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Hal itu dapat
menumbuhkan kepedulian, penghargaan diri sendiri, dan kebanggaan pada
seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, sumber daya yang ada menjadi
lebih meningkat nilai, harga, dan menjadi alasan mengapa pengunjung ingin
datang ke daerah tujuan wisata.
e. Penguatan institusi lokal
Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah pedesaan sulit diatur
oleh lembaga yang ada. Hal ini penting untuk melibatkan komite dengan anggota
berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengatur hubungan antara
masyarakat, sumber daya, dan pengunjung. Hal ini jelas membutuhkan
24
pengelolaan kelembagaan yang ada di sana. Cara paling baik adalah membentuk
lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima semua anggota masyarakat.
Penguatan kelembagaan bisa dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan
individu dengan ketrampilan kerja yang diperlukan (teknik, manajerial,
komunikasi, pengalaman kewirausahaan, dan pengalaman organisasi). Penguatan
kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan komite manajemen.
f. Keterkaitan antara level regional dan nasional
Komunitas lokal sering kurang mendapat akses langsung dengan pasar
nasional atau internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa manfaat
pariwisata tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Perantara yang
menghubungkan antara aktifitas pariwisata dengan masyarakat dan wisatawan
justru memetik keuntungan lebih banyak.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan tiga landasan teori, yaitu teori dampak
pariwisata, pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan siklus hidup destinasi
wisata. Masing-masing landasan teori ini dijelaskan secara ringkas dan
kegunaannya dalam penelitian ini.
2.3.1 Teori Dampak Pariwisata
Teori dampak pariwisata adalah teori tentang pengaruh atau akibat dari
adanya pariwisata. Suatu destinasi pariwisata yang dikelola tentu memiliki
dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini dikemukakan oleh Gee (1989)
yang mengatakan bahwa adanya dampak atau pengaruh yang positif maupun
25
negatif karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang
meningkat.
Membahas tentang dampak pariwisata, Dickman (1992) memberikan
ilustrasi tentang dampak pariwisata sebagai konsekuensi dari sebuah kegiatan
yang terus berkembang, maka secara umum menimbulkan berbagai dampak baik
positif maupun negatif sebagaimana yang terjadi sebagai dampak fisik, sosial
budaya, dan ekonomi.
Menurut Mill (2000:168), menyatakan bahwa pariwisata dapat
memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah dan
dapat menaikkan taraf hidup melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke
kawasan tersebut. Apabila dilakukan dengan benar dan tepat, maka pariwisata
dapat memaksimalkan keuntungan dan dapat meminimalkan permasalahan.
Masyarakat setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya
pengelolaan DTW, karena masyarakat setempat mau tidak mau terlibat langsung
dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kepariwisataan di daerah tersebut.
Misalnya, bertindak sebagai tuan rumah yang ramah, penyelanggara atraksi wisata
dan budaya khusus (tarian adat, upacara-upacara agama, ritual, dan lain-lain),
produsen cindera mata yang memiliki kekhasan dari DTW tersebut dan turut
menjaga keamanan lingkungan sekitar, sehingga membuat wisatawan yakin,
tenang, dan aman selama mereka berada di DTW tersebut. Akan tetapi, apabila
suatu DTW tidak dikelola dan ditangani dengan baik atau tidak direncanakan
dengan matang, maka dapat memberikan dampak terhadap kerusakan fisik, sosial
26
budaya, dan ekonomi. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu
dipertanyakan, positif untuk siapa dan negatif untuk siapa (Pitana, 1999).
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa dampak pariwisata itu
tergantung pada bagaimana stakeholder yang terkait mengelola DTW tersebut.
Apabila pengelolaannya dilakukan dengan baik dan benar, maka dampak yang
ditimbulkan adalah dampak positif, tetapi apabila pengelolaannya tidak dilakukan
dengan perencanaan yang matang, maka dampak yang ditimbulkan adalah
dampak negatif. Hal ini tergantung dari siapa yang melakukan dan menilainya,
artinya positif buat siapa dan negatif buat siapa.
Lebih lanjut, Mill (2000) membedakan dampak pariwisata sebagai berikut:
1. Dampak kondisi fisik
Dampak ini lebih melihat kondisi lingkungan fisik akibat adanya
pengembangan pariwisata. Dampak yang ditimbulkan dari pengembangan
pariwisata terhadap kondisi fisik, yaitu sebagai berikut:
a. Dampak positif
Secara teori, dampak pariwisata terhadap kondisi fisik adalah
terpeliharanya kebersihan alam lingkungan untuk menarik datangnya wisatawan
dan terjaganya keistimewaan lingkungan, seperti hutan-hutan, pantai serta
pemandangan alam.
b. Dampak negatif
Adapun dampak negatif pariwisata terhadap kondisi fisik adalah
lingkungan yang rusak, seperti meningkatnya kadar polusi baik air, udara, suara
dan kemacetan lalu lintas, pembukaan hutan untuk ladang luas, lokasi perumahan,
27
jalan, parkir, dan hilangnya suasana alam karena hilangnya area hutan, kehidupan
satwa liar, dan kesejukan udara.
2. Dampak sosial budaya
Dampak ini seringkali disoroti sebagai dampak negatif dari perkembangan
pariwisata, padahal sebenarnya pariwisata juga membawa dampak positif dalam
segi sosial dan budaya. Adapun dampak positif dan negatif, yaitu sebagai berikut:
a. Dampak positif
Dampak positif pariwisata terhadap sosial budaya adalah terpeliharanya
bangunan-bangunan yang menyimpan nilai-nilai budaya dan tempat-tempat yang
bersejarah, terpeliharanya kebudayaan tradisional, seni, tarian, adat-istiadat dan
cara berpakaian.
b. Dampak negatif
Adapun dampak negatif pariwisata terhadap sosial budaya adalah rusaknya
kebudayaan dan tempat-tempat bersejarah karena ulah manusia, komersialisasi
budaya, meningkatnya kriminalitas, konsumerisme masyarakat lokal, dan
prostitusi, terkikisnya nilai-nilai budaya dan norma-norma masyarakat karena
interaksi dengan masyarakat asing.
3. Dampak ekonomi
Secara ringkas, kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak di bidang
ekonomi khususnya mengenai seperti di bawah ini:
28
a. Dampak positif
Dampak positif pariwisata terhadap ekonomi seperti terbukanya lapangan
pekerjaan baru, meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat,
meningkatkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing, membantu
menanggung beban pembangunan sarana dan prasarana setempat, dan
meningkatkan kemampuan manajerial dan keterampilan masyarakat yang memacu
kegiatan ekonomi lainnya.
b. Dampak negatif
Selain dampak positif, dampak negatif pariwisata terhadap ekonomi seperti
meningkatkan biaya pembangunan sarana dan prasarana, meningkatkan harga
barang-barang lokal dan bahan pokok, peningkatan yang sangat tinggi tetapi
hanya musiman, sehingga pendapatan masyarakat naik dan turun, dan
mengalirnya uang keluar negeri karena konsumen menuntut barang-barang impor
untuk bahan konsumsi tertentu.
Teori dampak pariwisata digunakan sebagai pendekatan terhadap rumusan
masalah tentang dampak perubahan pengelola DTW Tanah Lot terhadap
masyarakat Desa Pakraman Beraban Kabupaten Tabanan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran mengenai dampak yang terjadi dalam hubungannya
dengan aktivitas pariwisata di DTW Tanah Lot sebagai akibat adanya perubahan
pengelola yang tentunya mempengaruhi arah kebijakan pengelolaan DTW Tanah
Lot.
29
2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Menurut Cronin (dalam Sharpley, 2000:1), pembangunan pariwisata
berkelanjutan merupakan pembangunan yang terfokus pada dua hal, yaitu
keberlanjutan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi di satu sisi dan lainnya
mempertimbangkan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan
berkelanjutan yang lebih luas. Stabler & Goodall (dalam Sharpley, 2000:1),
menyatakan pembangunan pariwisata berkelanjutan harus konsisten atau sejalan
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Prinsip-prinsip yang ditetapkan pemerintah Republik Indonesia tentang
pembangunan pariwisata berkelanjutan (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995)
adalah 1) partisipasi, 2) keikutsertaan para pelaku (stakeholder involvement), 3)
kepemilikan lokal, 4) penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, 5) mewadahi
tujuan-tujuan masyarakat, 6) daya dukung, 7) monitor dan evaluasi, 8)
akuntabilitas, 9) pelatihan, 10) promosi.
Pariwisata berkelanjutan adalah hubungan triangulasi yang seimbang
antara daerah tujuan wisata (host areas) dengan habitat dan manusianya di mana
tidak ada satupun stakehorder dapat merusak keseimbangan (Sharpley, 2000:8).
Pendapat yang hampir sama disampaikan Muller (1997:29) yang mengusulkan
istilah The Magic Pentagon yang merupakan keseimbangan antara elemen
pariwisata, di mana tidak ada satu faktor atau stakeholder yang mendominasi. The
Magic Pentagon meliputi ekonomi sehat, kesejahteraan masyarakat lokal, tidak
mengubah alam, budaya sehat, dan kepuasan wisatawan. Sasaran dari
30
pembangunan pariwisata berkelanjutan ini adalah kelima isu tersebut diberikan
porsi atau perlakuan yang sama untuk memperoleh keseimbangan.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diimplementasikan ke dalam
berbagai tingkatan nasional, regional atau pada level kawasan. Pendekatan
pariwisata berkelanjutan dalam konteks wawasan baru, pengembangan sektor
pariwisata dituntut untuk mengarah pada terwujudnya tahapan pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang mensyaratkan ketaatan pada:
a. Prinsip pengembangan yang berpihak pada keseimbangan aspek pelestarian
dan pengembangan serta berorientasi ke depan (jangka panjang).
b. Penekanan nilai manfaat yang besar bagi masyarakat setempat.
c. Prinsip pengelolaan aset atau sumber daya yang tidak merusak, namun
berkelanjutan untuk jangka panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi.
d. Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup,
dan masyarakat lokal. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan
yang terjadi akibat kegiatan pengembangan pariwisata.
e. Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih
peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup.
Teori pembangunan pariwisata berkelanjutan ini digunakan untuk
membahas rumusan masalah mengenai terjadinya perubahan pengelola DTW
Tanah Lot dan upaya pengelola baru dalam mewujudkan Tanah Lot sebagai DTW
yang berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk menilai apakah prinsip-prinsip
pembangunan pariwisata berkelanjutan sudah diterapkan dalam pengelolaan DTW
Tanah Lot oleh pengelola baru.
31
2.3.3 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata
Selain teori pembangunan pariwisata berkelanjutan, juga digunakan teori
siklus hidup destinasi wisata (Butler, 1980). Teori ini digunakan untuk melihat
perkembangan DTW Tanah Lot dari tahun ke tahun. Pada prinsipnya, siklus ini
meliputi lima urutan atau tahapan perkembangan pariwisata dari sebuah destinasi
wisata dan dua tahap berikutnya merupakan prediksi yang akan terjadi. Berikut
lima tahapan perkembangan destinasi wisata dan dua tahap prediksi dari teori
siklus hidup destinasi wisata:
1. Penemuan (exploration)
Tahap ini menggambarkan bahwa sebuah destinasi wisata baru ditemukan
baik oleh wisatawan maupun pelaku wisata, dan pemerintah. Jumlah wisatawan
hanya terbatas pada wisatawan yang senang berpetualang mencari tempat-tempat
baru, melihat pemandangan alam dan budaya, dan belum terkena dampak
pariwisata. Akses dan fasilitas pada daerah ini belum tersedia, hanya terbatas
fasilitas lokal yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat, daerah ini biasanya
hanya sebagai tempat transit bagi para wisatawan. Namun, sudah ada interaksi
antara masyarakat lokal dengan wisatawan.
2. Keterlibatan (involvement)
Tahap ini merupakan tahap kedua yang ditandai dengan adanya
peningkatan kedatangan wisatawan, mereka mulai memperpanjang waktu
berkunjung dengan lebih lama untuk tinggal di daerah tersebut. Masyarakat lokal
yang mengetahui tentang pariwisata, mulai menyediakan fasilitas dan pelayanan
yang diperlukan wisatawan. Adanya atraksi-atraksi kecil yang disediakan dengan
32
mengenakan sedikit biaya bagi para penikmatnya, sehingga mulai tampak ada
promosi yang dilakukan untuk menarik minat wisatawan.
3. Pembangunan (development)
Tahapan ini menunjukkan bahwa wisatawan telah mendatangi destinasi
wisata dengan jumlah yang besar hingga melebihi jumlah masyarakat lokal.
Dalam tahap ini, para investor mulai memberi perhatian untuk menyediakan
fasilitas yang sesuai dengan perkembangan, sehingga dapat mengubah penampilan
dari destinasi wisata tersebut. Pada tahap ini pula biasanya mulai terlihat adanya
kerusakan pada destinasi wisata dan fasilitas yang ada akibat dari peningkatan
jumlah kunjungan, sehingga diperlukan suatu perencanaan regional dan nasional
serta pengawasan yang terpadu.
4. Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini pariwisata sudah mendominasi perkembangan ekonomi
suatu destinasi wisata. Daerah ini sudah memiliki jaringan yang luas atau
internasional. Jumlah kunjungan tetap naik meskipun melebihi jumlah masyarakat
lokal, tetapi tingkat pertumbuhannya menurun. Jumlah wisatawan yang terus
meningkat mengakibatkan pasar pariwisata mulai diminati oleh orang-orang yang
ingin berbisnis di daerah tersebut sampai mereka hidup dan tinggal di daerah
tersebut untuk meningkatkan bisnisnya dalam industri pariwisata.
5. Stagnasi (stagnation)
Tahap ini jumlah kunjungan sudah mencapai puncaknya dan destinasi
wisata sudah tidak lagi terkenal. Para pelaku bisnis pariwisata di daerah tersebut
mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki dengan
33
mengharapkan wisatawan yang telah datang sebelumnya akan datang kembali ke
daerah tersebut. Dengan banyaknya fasilitas yang ada, maka mulai tampak
persaingan harga oleh para pelaku bisnis pariwisata. Pada tahap ini sudah mulai
muncul masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan.
6. Penurunan (decline)
Tahap ini merupakan tahap penurunan di mana wisatawan mulai beralih
dan tertarik mengunjungi daerah yang baru atau daerah pesaing lain yang
memiliki DTW yang sama ataupun mirip. Banyak fasilitas pariwisata beralih
fungsi untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pariwisata, sehingga
semakin tidak menarik untuk dikunjungi. Dalam tahap ini, biasanya pemerintah,
pelaku usaha, dan masyarakat melakukan peremajaan.
7. Peremajaaan (rejuvenation)
Tahap ketujuh merupakan tahap di mana terjadi perubahan menuju suatu
perbaikan dan peremajaan. Peremajaan dapat dilakukan dengan cara melakukan
inovasi dalam rangka pengembangan produk baru, pasar baru ataupun saluran
distribusi baru, sehingga dapat memposisikan kembali destinasi tersebut di dunia
pariwisata. Ada lima hal yang mungkin terjadi setelah peremajaan, yaitu sebagai
berikut (Gambar 2.1):
A. Peremajaan
B. Orientasi ulang
C. Stagnan
D. Penurunan
E. Penurunan drastis
34
Telah ada diskusi terbaru tentang keakuratan siklus hidup destinasi wisata
dalam mengilustrasikan tahap pengembangan dan apakah perlu ada tambahan
tahapan yang ditambahkan ke dalam siklus. Agarwal (1994; 1997; 1999; 2002)
telah menyelidiki aspek ini lebih dari yang lain dan kontribusinya ini telah
didukung (Priestley dan Mundet 1998; Knowles dan Curtis 1999; Smith 2002).
Agarwal berpendapat untuk menyisipkan tambahan tahap dalam
memperhitungkan serangkaian upaya restrukturisasi yang diresmikan sebelum
penurunan di tahap ini yang disebut sebagai reorientasi. Tahap ini harus
ditambahkan antara stagnasi dan tahap pasca stagnasi siklus hidup destinasi wisata
untuk mewakili upaya restrukturisasi (Agarwal, 2006:214-215).
Priestley dan Mundet (1998) juga membahas kebutuhan untuk tahap
tambahan dalam siklus pasca tahap stagnasi dan rekonstruksi tertentu, sepanjang
garis yang sangat mirip dengan Agarwal. Pendapat ini muncul karena tidak ada
bukti seperti penurunan dan kenaikan tingkat kunjungan sebelum timbulnya tahap
peremajaan atau penurunan terus-menerus setelah periode stagnasi. Keberlanjutan
dapat dicapai, mungkin sebagai akibat dari reorientasi yang hasilnya akan menjadi
kelanjutan dari perkembangan yang relatif datar atau hanya sangat sedikit
peningkatan dari stagnasi untuk masa depan dan jangka panjang. Penurunan dan
kenaikan tingkat kunjungan berikutnya akan tergantung pada kecepatan
keberhasilan atau kegagalan promosi, penerimaan pasar, orientasi ulang, dan
penawaran baru oleh destinasi wisata. Pada gambar 2.1 disajikan siklus hidup
destinasi wisata Butler:
35
Gambar 2.1Siklus Hidup Destinasi Wisata (Sumber: Butler, 1980)
Teori siklus hidup destinasi wisata digunakan dalam memberikan
gambaran pada saat DTW Tanah Lot dikelola oleh pihak swasta, tiga pihak, dan
dua pihak. Teori ini juga digunakan sebagai pendekatan setiap pengelola dalam
menentukan arah pengembangan DTW Tanah Lot yang disesuaikan dengan
indikator pembangunan pariwisata berkelanjutan.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian diterapkan sebagai dasar dalam pengembangan berbagai
konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini, serta hubungannya dengan
masalah yang telah dirumuskan. Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan
informasi terkait perubahan pengelola DTW Tanah Lot yang dipicu oleh adanya
paradigma pariwisata berbasis masyarakat, yaitu pada saat dikelola oleh pihak
swasta (CV Ari Jasa Wisata) dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1999.
36
Selanjutnya, pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal pada tahun 2000
sampai 2011 di mana DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga pihak, yaitu Desa
Pakraman Beraban, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan pihak swasta (CV Ari
Jasa Wisata). Namun, pada tahun 2012 sampai saat ini, pengelolaan DTW Tanah
Lot hanya melibatkan dua pihak, yaitu Desa Pakraman Beraban dan Pemerintah
Kabupaten Tabanan.
Terjadinya perubahan pengelola DTW Tanah Lot tentunya membawa
dampak terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban. Dampak yang timbul
dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga aspek
ini memiliki ukuran yang digunakan sebagai indikator dalam menjawab dampak
yang ditimbulkan. Indikator dari setiap aspek yang ada ditentukan dengan
memahami konsep dan membandingkan landasan teori yang digunakan. Penelitian
ini menggunakan konsep pengelolaan kawasan, daya tarik wisata, dan manajemen
komunitas, sedangkan landasan teori yang digunakan, yaitu teori dampak
pariwisata, pembangunan pariwisata berkelanjutan, dan siklus hidup destinasi
wisata.
Setelah mengetahui perubahan pengelola DTW Tanah Lot dan dampaknya
terhadap masyarakat Desa Pakraman Beraban, diharapkan pengelola baru mampu
menghasilkan suatu upaya dalam mewujudkan Tanah Lot Sebagai DTW yang
berkelanjutan. Upaya yang dilakukan oleh pengelola baru dibandingkan dengan
teori dan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pada gambar 2.2
disajikan gambar model penelitian, yaitu sebagai berikut:
37
Keterangan:
Hubungan satu arah
Hubungan dua arah
Gambar 2.2Model Penelitian
Pengelolaan DTW TanahLot
Konsep1. Pengelolaan
Kawasan2. Daya Tarik Wisata3. Manajemen
Komunitas
Dampak PerubahanPengelola
Teori1. Dampak Pariwisata2. Pembangunan
PariwisataBerkelanjutan
3. Siklus HidupDestinasi Wisata
Pengelolaan olehmasyarakat, swasta,
dan pemerintah daerah
Kondisi Fisik Sosial Budaya Ekonomi
Upaya Mewujudkan TanahLot Sebagai DTW
Berkelanjutan
Rekomendasi
Terjadinya PerubahanPengelola DTW Tanah Lot
Pengelolaan olehswasta
Pengelolaan olehmasyarakat dan
pemerintah daerah
Paradigma PariwisataBerbasis Masyarakat