1. prinsip kesejagatan

12
PRINSIP PENDIDIKAN KESEJAGATAN UNESCO DALAM APLIKASINYA DI INDONESIA A. Pendahuluan Abad milinium saat ini telah merubah berbagai aspek dan tatanan hidup kehidupan masyarakat dunia. Globalisasi menjadi ciri utama dalam era milinium ini, yang menyebabkan keterbukaan, kesejagatan, dimana batas negara tidak penting lagi. Mengikuti kecenderungan global, terutama kecenderungan di negara-negara maju, perekonomian Indonesia dewasa ini juga sedang memasuki era ekonomi kreatif, yaitu suatu era perekonomian yang sangat mengandalkan produk-produk industri kreatif. Negara-negara maju, seperti Jepang, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, telah cukup lama mendapat sumbangan devisa yang sangat besar dari industri yang terkait erat dengan kebutuhan budaya dan gaya hidup masyarakat perkotaan (urban) tersebut (Herfanda, 2013). Kemajuan tersebut juga memberikan ekses negatif seperti menurunnya nilai-nilai agama dan bertambah nilai-nilai materialisme, hedonisme, dan lain-lain . Dalam bayangan seperti itu seharusnya diperlukan keadaan masyarakat yang siap untuk mengarungi globalisasi. Pendidikan juga menjadi salah satu aspek yang terkena imbas dari era globalisasi ini. Sehingga setiap negara di dunia,

Upload: ed

Post on 10-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

pendidikan

TRANSCRIPT

Page 1: 1. Prinsip Kesejagatan

PRINSIP PENDIDIKAN KESEJAGATAN UNESCO DALAM APLIKASINYA

DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Abad milinium saat ini telah merubah berbagai aspek dan tatanan hidup kehidupan

masyarakat dunia. Globalisasi menjadi ciri utama dalam era milinium ini, yang menyebabkan

keterbukaan, kesejagatan, dimana batas negara tidak penting lagi.

Mengikuti kecenderungan global, terutama kecenderungan di negara-negara

maju, perekonomian Indonesia dewasa ini juga sedang memasuki era ekonomi kreatif, yaitu

suatu era perekonomian yang sangat mengandalkan produk-produk industri kreatif. Negara-

negara maju, seperti Jepang, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, telah cukup lama mendapat

sumbangan devisa yang sangat besar dari industri yang terkait erat dengan kebutuhan budaya dan

gaya hidup masyarakat perkotaan (urban) tersebut (Herfanda, 2013).

Kemajuan tersebut juga memberikan ekses negatif seperti menurunnya nilai-nilai

agama dan bertambah nilai-nilai materialisme, hedonisme, dan lain-lain. Dalam bayangan

seperti itu seharusnya diperlukan keadaan masyarakat yang siap untuk mengarungi

globalisasi.

Pendidikan juga menjadi salah satu aspek yang terkena imbas dari era globalisasi ini.

Sehingga setiap negara di dunia, berusaha meningkatkan berbagai aspek kehidupan agar tidak

tertinggal dengan negara-negara lain yang sudah maju, tak terkecuali Indonesia.

Perubahan kehidupan yang tidak bisa dielakkan dan pendidikan yang harus ditata

sebagai pengarah, UNESCO sebagai salah satu badan organisasi dunia yang berkiprah dalam

bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya telah meneliti perubahan kehidupan itu

semua dan mengantisipasinya melalui perubahan visi atau cara pandang pendidikan yang

dituangkan dalam sebuah buku; Belajar: Harta Karun di Dalamnya, Laporan UNESCO

dari Komisi Internasional tentang Pendidikan di Abad XXI. Yaitu pilar-pilar pendidikan

dengan learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together (Mahjuro,

2007).

Page 2: 1. Prinsip Kesejagatan

B. Pilar-pilar Pendidikan Rekomendasi UNESCO

Dalam Delors (1996), pilar-pilar pendidikan menurut United Nations Educational,

Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sebagai berikut:

a. Learning to know

Secara harfiah atau terminologis makna dari learning to know adalah belajar

untuk mengetahui. Pada dasarnya kegiatan belajar apapun maksud tujuannya adalah

mengetahui bahan-bahan yang dipelajari agar seseorang mempunyai banyak informasi

yang kelak berguna.

Adapun maksud subtansinya adalah mengetahui yang tidak sebatas memiliki

materi informasi yang sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya

dengan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah diberikan akan

tetapi kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya.

b. Learning to do

Learning to do (belajar bertindak/berbuat/berkarya) erat hubungannya dengan belajar

mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Adapun maksud UNESCO dari

learning to do adalah bagaimana pendidikan mengajarkan perserta didik untuk

mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya dan mengarahkan pada kemampuan

profesional terhadap dunia pekerjaan di masa depannya.

Belajar ini merupakan konsekuensi logis dari learning to know, yang berarti bahwa

pendidikan melalui proses belajar mengajarnya tidak sekedar transfer knowledge

(memberi ilmu pengetahuan) kepada peserta didik tapi diarahkan pada semangat berbuat,

semangat mengamalkan ilmu dan semangat-semangat lain yang searah dengan bertindak

sesuai ilmu yang didapatnya.

c. Learning to be

Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses pemahaman

terhadap kebutuhan dan jati diri. Pendidikan melalui proses pembelajaran juga harus

mengarahkan peserta didik pada penemuan jati dirinya yang utuh, sehingga mempunyai

pijakan kuat dalam bertindak dan tidak mudah terbawa arus, yang pada akhirnya

Page 3: 1. Prinsip Kesejagatan

menjadi manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan

seimbang baik intelektual, emosi, sosial, fisik, moral maupun religiusitas.

Dalam konteks yang seperti demikian, peserta didik hendaknya diberdayakan untuk

berpikir mandiri dan kritis, membuat keputusan sendiri dalam rangka menentukan apa

yang harus dilaksanakannya di dalam berbagai konteks kehidupan.

d. Learning to live together

Learning to live together (belajar hidup bersama) merupakan pilar terakhir yang

mempunyai arti belajar untuk hidup bersama, bermasyarakat dan bersosial. Bahwa

kenyataan kehidupan di dunia ini adalah pluralisme, majemuk dan beraneka ragam baik

ras, agama, etnik dan sekte sehingga tidak mungkin mengajarkan anak untuk hidup sendiri

atau untuk diri sendiri karena bagaimanapun juga seseorang butuh orang lain, sehingga

jenis belajar ini adalah mengajarkan untuk dapat bersosial dan bermanfaat di

lingkungannya.

Dalam kehidupan yang berwarna ini, tiap kelompok memiliki latar belakang

pendidikan, kebudayaan, tradisi dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa

bekerja sama dan hidup rukun, maka anak harus banyak belajar hidup bersama

being sociable (berusaha membina kehidupan bersama).

Dalam laporannya, UNESCO mengungkapkan bahwa jenis belajar ini merupakan

salah satu persoalan yang besar dalam pendidikan dewasa ini, karena atmosfer

persaingan, perselisihan atau pertengakaran begitu kental sehingga sering terjadi chaos

hanya karena masalah-masalah sepele yang pada akhirnya manusia lebih memilih

egonya sendiri dari pada kepentingan hidup bersama.

C. Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Sehubungan dengan itu sejak awal tahun 2001 telah ada upaya perubahan dari kurikulum

1994 (Suplemen 1999) menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Perubahan tersebut

didasarkan pada analisis tentang permasalahan model dan pelaksanaan kurikulum 1994 serta

berdasarkan tuntutan, tantangan dan kebutuhan baru yang berkaitan dengan reformasi, otonomi

daerah, desentralisasi pendidikan dan amanat pendidikan bagi semua (education for all) dari

UNESCO (Hamida, 2008).

Page 4: 1. Prinsip Kesejagatan

Kurikulum baru tersebut, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang telah dikembangkan

dan sekarang tengah diimplementasikan pada dasarnya memiliki

karakteristik yaitu; berbasis kompetensi dasar bukan materi pelajaran, bertumpu

pada pembentukan kemampuan yang dibutuhkan siswa bukan penerusan materi

pelajaran, berpusat pada pembelajar, berpendekatan terpadu, bersifat diversifikatif, pluralistis,

dan multikultural, bermuatan empat pilar pendidikan kesejagatan, dan berwawasan serta

bermuatan manajemen berbasis sekolah (Hamida, 2008).

Kemudian diterapkannya Kurikulum 2013 (Kutilas) di seluruh jenjang pendidikan, mulai

SD, SMP, SMA/SMK atau yang sederajat. Dalam Kutilas, salah yang menjadi ruhnya adalah

pembelajaran dengan menggunakan pendidikan saintifik, yang kemudian dikenal dengan 5 M

(mengamati, menanya, mencoba, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan) (Permendikbud,

2013)

D. Penjaminan mutu pendidikan di Indonesia

Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan

strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut adalah terwujudnya sistem

pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga

negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan

serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses

pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana

dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu

membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari

prinsip ini

adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma

pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran

pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta

didik. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan , dewasa ini paradigma tersebut telah bergeser

menuju paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik

Page 5: 1. Prinsip Kesejagatan

untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma baru tersebut,

diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan

kriteria minimal sebagai pedoman, yang saat ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional

pendidikan.

Menurut permendikbud (2013), tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah untuk

menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1)

standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga

kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar

pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.

Menurut Muhardi (2012), implementasi pilar-pilar pendidikan hasil rekomendasi

UNESCO, maka pendidikan di Indonesia perlu peningkatan dan pengembangan mutu, sebagai

berikut :

a. Learning to know

Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas

pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat

perencanaan secara seksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan

memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam

pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap

dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar.

Guru bisa dikatakan unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi

individunya dan tidak banyak bergantung pada orang lain.

Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu

berperan sebagai berikut:

(1) Guru sebagai sumber belajar

(2) Guru sebagai fasilitator

(3) Guru sebagai pengelola

(4) Guru sebagai demonstrator

(5) Guru sebagai pembimbing

(6) Guru sebagai mediator

(7) Guru sebagai evaluator

Page 6: 1. Prinsip Kesejagatan

b. Learning to do

Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk

mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do”

dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang

untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah

kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.

Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan

berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi

menjadi dua yaitu:

1) Lingkungan sosial

Yang termasuk dalam lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-

teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan social yang lebih

banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.

2) Lingkungan nonsosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya,

rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-

faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

c. Learning to be

Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar

memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk

hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari

proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika dalam Muhardi, 2012). Menjadi diri sendiri

diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai

dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil,

sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal dalam Muhardi

(2012) yaitu:

1) Motivasi

Page 7: 1. Prinsip Kesejagatan

2) Sikap

3) Minat

4) Kebiasaan belajar

5) Konsep diri

d. Learning to live together

Penerapan pembelajaran social models mengkombinasi antara belajar (learning) dan

masyarakat (society). Kedudukannya ke arah pengajaran dengan prilaku yang kooperatif

(cooperative behavior) menstimulasi tidak hanya secara sosial tapi juga intelektual, dan

karenanya tugas interaksi social dapat di desain untuk meningkatkan studi akademik.

Sesuai dengan penekanan dan titik beratnya aplikasi model ini adalah untuk

mengembangkan kecakapan individu pelajar dalam berhubungan dengan orang lain atau

masyarakat. Individu siswa dalam hal ini dihadapkan oleh guru dalam situasi yang demokratis

didorong untuk berperilaku produktif dalam bermasyarakat. Salah satu model yang

mengutamakan interaksi antara siswa dalam situasi demokratis adalah model mengajar role

playing (Muhardi, 2012).

Daftar Rujukan

Mahjuro, Khijron. 2007. Pilar-Pilar Pendidikan Rekomendasi UNESCO Dalam Perspektif

Pendidikan Islam. Skripsi tidak dipublikasikan. Semarang: IAIN Walisongo.

Herfanda, Ahmadun Yosi. 2013. Makalah pelengkap untuk Kongres Bahasa Indonesia. Tidak

dipublikasikan.

Hamida, Layli. 2008. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7,

No. 3, Des 2008: 146-153. Jurnal dipublikasikan. Surabaya: UNAIR.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Muhardi. 2012. Aktualisasi dan Aplikasi Empat Pilar Pendidikan UNESCO. Makalah tidak

dipublikasikan. Padang: Pascasarjana Universitas Negeri Padang.

Page 8: 1. Prinsip Kesejagatan

Delor, Jacques et al. 1996. Learning: The Terasure Within. Report to UNESCO of the

International Commission on Education for the Twenty-first Century. France: UNESCO

Publishing.

Page 9: 1. Prinsip Kesejagatan