(1) lapsus_dm tipe ii dan fraktur(1)
DESCRIPTION
FisioterapiTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN FISIOTERAPI TERHADAP GANGGUAN AKTIVITAS
FUNGSIONAL AKIBAT FRAKTUR INTERTROKHANTER FEMUR
POST OP ORIF DENGAN KOMPLIKASI DM TYPE II
OLEH:
NURLINDA NUR
M. AKBAR JAILANI
IDIAWATI NURLIM
YUDI HARDIANTO
HARVINA MUKRIM
NURUL ISTIQAMAH
PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
Dibacakan Tanggal 31 Mei 2013
Di R. Pertemuan PATKLIN RSWS
BAGIAN : PATOLOGI KLINIK RS WS
PERIODE: 20-31 MEI 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi diabetes mellitus di indonesia kurang lebih 1,5 % atau sejumlah
2,5 juta penderita dan hampir seluruhnya adalah DM tipe 2 (NIDDM). Dampak
dramatis dari diabetes mellitus terhadap kesehatan seseorang sangatlah kompleks.
Diabetes mellitus dan penyakit turunannya telah menjadi ancaman serius. Penyakit ini
membunuh 3,8 juta orang per tahun dan dalam setiap 10 detik seorang penderita akan
meninggal karena sebab-sebab yang terkait dengan diabetes.
Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus adalah resiko terjadinya fraktur
patologis yang terjadi akibat adanya kelemahan dari densitas tulang. NIDDM
menyebabkan hipokalsemia yang akan menimbulkan peningkatan hormon
paratiroid (resorbsi tulang akan meningkat).
Pada penderita diabetes mellitus, kapasitas fagositosis berkurang yang
menyebabkan tidak efisiennya pembunuhan kuman sehingga penderita mudah
terserang infeksi yang serius. Pada dasarnya penderita diabetes mellitus lebih
mudah mengalami infeksi, sehingga healing proses fraktur dan luka akibat insici
akan berbeda pada pasien dengan DM dan pasien bukan DM.
Hasil pemeriksaan laboraturium selain digunakan untuk menegakkan
diagnosis juga menjadi pertimbangan penting oleh fisioterapi dalam menyusun
desain dosis exercise.
1
BAB II
KAJIAN TEORI
A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi Fisiologi os. Femur
Femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh
meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Femur
ke proksimal membentuk articulatio coxae, dimana caput femur akan
berhubungan dengan acetabulum. Gerakan yang akan terjadi adalah fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal. Sedangkan
femur ke distal berhubungan dengan patella membentuk articulatio genu,
dimana gerakan yang mungkin terjadi adalah fleksi dan ekstensi lutut.
Caput femoris menganjur ke arah craniomedial dan agak ke ventral
sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari
sebuah caput femoris, collum femoris dan dua trochanter (trochanter mayor
dan trochanter minor). Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut
(115˚-140˚) terhadap poros panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi
dengan umur dan jenis kelamin. Meski demikian memungkinkan daya gerak
femur pada articulatio coxae yang lebih besar, keadaan ini juga melimpahkan
beban yang cukup besar pada collum femoris. Corpus femoris berbentuk
lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur berakhir
menjadi dua condylus yaitu condylus medialis dan condylus lateralis yang
melengkung bagaikan ulir. Femur mengadakan persendian dengan tiga tulang,
yaitu tulang coxae, tulang tibia dan patella.
Sistem Otot
Untuk gerakan fleksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot iliacus
dan otot psoas mayor. Untuk gerakan ekstensinya dilakukan oleh otot gluteus
maximus dan hamstrings (biceps femoris, semitendinosus,
semimembranosus). Gerakan abduksi pada articulatio coxae dilakukan oleh
otot gluteus medius, gluteus minimus dan otot pembantu tensor fascialata.
Gerakan adduksi pada articulatio coxae terjadi melalui otot adductor magnus,
adductor brevis, pectineus dan gracilis. Untuk gerakan rotasi internal pada
2
articulatio coxae terjadi melalui otot gluteus minimus, gluteus medius, tensor
fasciae latae, sedangkan gerakan rotasi eksternal dilakukan oleh otot
obturatorius externus, obturatorius internus, quadratus femoris, piriformis,
gemellus superior, gemellus inferior, gluteus maximus.
Sistem Sendi
1. Articulatio coxae
Terbentuk diantara caput femoris tulang femur dan acetabulum os coxae
yang berbentuk mangkuk, permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal
kuda dan terbuka di bagian bawah pada incisura acetabuli. Jenis sinovial
“Ball and Socket” (Richard,1998). Gerakan yang terjadi pada articulatio
coxae adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi
eksternal.
2. Articulatio genu
Sendi sinovial jenis engsel yang memungkinkan sedikit gerak rotasi
sewaktu berada dalam sikap fleksi. Articulatio genu secara mekanis
bersifat tidak stabil karena bentuk permukaannya yang datar. Untuk
kekuatan articulatio genu tergantung pada ligamentum yang mengikat
femur pada tibia. Gerakan yang dapat dilakukan pada sendi ini adalah
fleksi-ekstensi, yang mana terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis
3
tranversal. Luas gerak sendi untuk gerakan fleksi berkisar antara 130˚ –
140˚, sedangkan untuk gerakan ekstensi nilainya 0o, apabila nilainya
berkisar antara 5o – 10o maka terjadi hyperekstensi, tetapi masih dalam
batas normal.
2. Anatomi Fisiologi Pankreas
Pankreas merupakan sebuah kelenjar yang terletak di antara duodenum
(usus dua belas jari) dengan limpa dan berada di belakang perut dengan
panjang sekitar 15 cm. Pankreas terdiri dari 2 jenis jaringan utama, yakni:
1. Asini, yang menyekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum
2. Pulau-pulau langerhans, yang langsung menyekresikan insulin bersama
glukosa ke dalam darah.
Gambar 2. Anatomi Pankreas
Pankreas manusia memiliki 1 sampai 2 juta pulau-pulau langerhans,
setiap pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 milimeter dan tersusun
mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat penampungan
hormon yang disekresikan oleh sel-sel tersebut. Pulau langerhans mengandung
3 jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta, yang dapat dibedakan satu
sama lain melalui ciri mofologi dan pewarnaannya.
Sel beta, yang kira-kira mencakup 60% dari semua sel pulau
langerhans, terutama berada di bagian tengah dari setiap pulau langerhans dan
menyekresikan insulin dan amilin. Sel alfa, yang kira-kira mencakup 25% dari
4
semua sel pulau langerhans, menyekresikan glukagon. Dan sel delta, yang
kira-kira mencakup 10% dari semua sel pulau langerhans, menyekresikan
somatostatin. Selain itu masih terdapat satu jenis sel lain yang desebut sel PP,
terdapat dalam jumlah kecil di pulau langerhans dan menyekresikan hormon
yang masih diragukan fungsinya yakni polipeptida pankreas.
Selain memiliki fungsi pencernaan, pankreas juga memiliki peran yang
sangat penting untuk pengaturan metabolisme glukosa, lipid, dan protein
secara normal, yaitu dengan mensekresi hormon insulin dan glukagon.
Hormon Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke
dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan
hormon glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme
dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial
perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama pada otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan
semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa
didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya
belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga
pada mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan
translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke
intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme.
Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula
aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya
5
resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi
terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Gambar 3. Transportasi Glukosa
B. Fraktur Intertrokhanter Femur
Definisi
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang, dikarenakan
trauma langsung, trauma tidak langsung, faktor tekanan atau kelelahan dan faktor
patologik. Pada kasus ini terjadi pada intertrokhanter femur.
Open Reduction Internal Fixation
Apabila diartikan dari masing-masing kata adalah sebagai berikut; Open
berasal dari bahasa Inggris yang berarti buka, membuka, terbuka, Reduction
berasal dari bahasa Inggris yang berarti koreksi patah tulang, Internal berasal dari
bahasa Inggris yang berarti dalam, Fixation berasal dari bahasa Inggris yang
berarti keadaan ditetapkannya dalam satu kedudukan yang tidak dapat berubah .
Jadi dapat disimpulkan sebagai koreksi patah tulang dengan jalan membuka dan
memasang suatu alat yang dapat membuat fragmen tulang tidak dapat bergerak.
Plate and Screw
Plate berarti struktur pipih atau lapisan. Screw berarti silinder padat. Plate
and screw berarti suatu alat untuk fiksasi internal yang berbentuk struktur pipih
yang disertai alat berbentuk silinder padat untuk memfiksasi daerah yang
mengalami perpatahan.
6
Etiologi
Menurut etiologinya fraktur dapat disebabkan oleh : (a) trauma yang
terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, (b) karena tekanan pada
tulang sehingga tulang mengalami kelelahan, (c) karena penyakit pada tulang atau
faktor patologik. Oedem, nyeri, gangguan lingkup gerak sendi, penurunan
kekuatan otot dan gangguan aktivitas berjalan disebabkan adanya luka fraktur dan
luka bekas operasi.
Patologi
Pada kasus fraktur intertrokhanter femur, tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki posisi fragmen adalah dengan reduksi secara terbuka atau dengan
tindakan operasi. Pada tindakan operasi akan dilakukan incisi pada tungkai atas
bagian lateral dan pemasangan plate and screw untuk mendekatkan ujung fragmen
dan untuk fiksasi. Dengan adanya tindakan operasi ini, maka akan terjadi
kerusakan jaringan lunak. Tindakan operasi akan menyebabkan reaksi radang,
pembuluh darah vasodilatasi sehingga permeabilitas dinding akan meningkat.
Dengan meningkatnya permeabilitas dinding maka cairan eksudat keluar
dan meningkatkan tekanan pada jaringan interstitial. Kumpulan cairan eksudat
akan mengakibatkan oedem. Oedem akan menekan nociceptor sehingga akan
timbul nyeri. Apabila terasa nyeri, biasanya pasien enggan untuk bergerak,
sehingga dapat menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi. Apabila hal ini
dibiarkan terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi
penurunan kekuatan otot sehingga aktivitas fungsional pasien juga akan menurun
khususnya aktivitas jalan. Namun secara fisiologis, tulang mempunyai
kemampuan untuk menyambung sendiri setelah patah tulang. Proses
penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah
(1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3) lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi
medis yang menyertainya.
7
Healing Proses Fraktur
1. Hematoma (2-3 minggu setelah fraktur)
Pembuluh darah robek, darah keluar sehingga terbentuk kumpulan
darah di sekitar dan di dalam tempat yang mengalami fraktur. Tulang pada
ujung fragmen yang tidak mendapat pasokan darah, akan mati sepanjang satu
atau dua millimeter.
2. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam canalis medullaris yang
terkoyak. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan yang kaya sel, yang
menghubungkan ujung fragmen fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-
lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu.
3. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, callus bervaskular masih lunak,
penuh dengan sel berbentuk kumparan yang aktif. Tulang spongiosa
membentuk callus bila kedua ujung fragmen berdekatan, sedangkan tulang
kortikal dapat membentuk callus walaupun kedua ujung fragmen tidak
berdekatan. Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus
pada fraktur tulang panjang. Setelah dua minggu endapan kalsium telah cukup
terdapat pada callus yang dapat dilihat pada foto sinar-X dan diraba dengan
palpasi. Callus yang mengalami kalsifikasi ini secara lambat diubah menjadi
8
‘anyaman tulang’ longgar terbuka yang membuat ujung tulang menjadi
melekat dan mencegah pergerakan ke samping satu sama lain.
4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklast (sel yang meresorpsi tulang) dan osteoblast
(sel yang membentuk tulang) berlanjut, tulang baru akan berubah menjadi
tulang lamellar (berlapis-lapis). Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur
dan dekat di belakangnya osteoblast mengisi celah-celah yang tersisa di antara
fragmen dengan tulang yang baru.
5. Remodelling
Tulang yang fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang
padat. Selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar
ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya
tinggi: dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk
normalnya.
Proses penyembuhan tulang ada 3 fase, yaitu :
a. Fase Inflamasi : adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak.
b. Fase Reparatif : fase yang ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim
pluripotensial.
c. Fase Remodelling : fase terakhir dan terlama, dimana union telah lengkap
maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang
meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis.
Waktu Yang terjadi
Awal (0-4 hari) o Tulang fraktur
o Fase akut inflamasi dimulai, pecahnya pembuluh darah
terjadi hematoma
5-7 hari o Hematoma hilang
o Osteoblast muncul membantu pembetukan benang-
9
benang fibrin
7 hari-4 minggu o Osteoblast membentuk callus halus
4 minggu o Pembentukan callus kasar
o Reabsorbsi osteoclast merusak jaringan
6-10 minggu o Sirkulasi terbentuk kembali
12-16 minggu\ o Fase remodelling
o Fase continue
Lebih dari 12 minggu o Tulang cukup kuat untuk menerima beban normal
Tanda dan Gejala
Menurut Appley dikatakan tanda dan gejala pasca operasi fraktur adalah :
(a) oedem di sekitar daerah fraktur, (b) rasa nyeri dikarenakan luka fraktur dan
luka bekas operasi dan ada oedem di dekat daerah fraktur, (c) keterbatasan gerak
sendi lutut, (d) penurunan kekuatan otot, (e) gangguan aktifitas fungsional
tungkai, (f) bila di foto Roentgen akan terlihat garis fraktur.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat timbul pasca operasi fraktur adalah :
a) Infeksi
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam daerah
fraktur dan karena fiksasi internal yang di pasang di dalam tubuh pasien
mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan operasi
yang buruk.
b) Nekrosis avaskular
Ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia terjadi selama
beberapa jam pertama setelah fraktur (Appley,1995).
c) Deep Venous Trombosis ( DVT )
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Di
Indonesia insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Penyebab utama Deep
Venous Thrombosis pada pasien pembedahan adalah hiperkoagulabilitas
darah, terutama akibat aktivasi faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh
jaringan yang rusak. Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti imobilisasi
10
yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan
trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.
Prognosis
Penderita fraktur femur setelah operasi pemasangan fiksasi internal dengan
plate and screw bila tanpa komplikasi dan mendapat layanan fisioterapi yang
cepat, tepat dan adekuat diharapkan kapasitas fisik dan kemampuan
fungsionalnya.
C. Diabetes Mellitus (DM) Tipe II dan Keterkaitannya dengan Fraktur
Intertrokhanter Femur
Definisi
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan 90% dari kasus diabetes mellitus yang
dikenal sebagai NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Pada
diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer dan
disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk mengkompensasi insulin. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin relatif. Gejala minimal dan kegemukan sering berhubungan
dengan kondisi ini yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa
normal, rendah, maupun tinggi sehingga penderita tidak tergantung pada
pemberian insulin. 6 pagi, 12 siang, 6 sore, 10 malam
Proses Metabolisme pada Pasien dengan DM Tipe II
Pada orang dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel-sel
beta (ß) pulau Langerhans pankreas setelah makan (postprandial), dan mengirim
sinyal ke jaringan sensitif terhadap insulin dalam tubuh (misalnya, otot, adiposa)
untuk menyerap glukosa. Hal ini akan menurunkan kadar glukosa darah. Sel-sel
beta mengurangi output insulin saat kadar glukosa darah turun, dengan akibat
glukosa darah dijaga pada sekitar 5 mmol / L (mM) (90 mg / dL). Pada orang
dengan resistensi insulin, kadar normal insulin tidak memiliki efek yang sama
pada sel-sel otot dan adiposa, dengan hasil kadar glukosa tetap lebih tinggi dari
biasanya. Untuk mengkompensasi hal ini, pankreas dalam individu resistensi
insulin dirangsang untuk melepaskan lebih banyak insulin. Tingkat insulin yang
11
tinggi memiliki efek tambahan yang menyebabkan efek biologis lebih lanjut ke
seluruh tubuh.
Jenis yang paling umum dari resistensi insulin dikaitkan dengan kumpulan
gejala yang dikenal sebagai sindrom metabolik. Resistensi insulin dapat
berkembang menjadi diabetes melitus tipe 2 (NIDDM). Hal ini sering terlihat
sebagai hiperglikemia postprandial, ketika ß-sel pankreas tidak mampu
memproduksi cukup insulin untuk menjaga kadar gula darah normal (euglikemia).
Ketidakmampuan sel-ß untuk menghasilkan insulin yang cukup dalam kondisi
hiperglikemia adalah apa yang menjadi ciri khas transisi dari resistensi insulin
untuk diabetes melitus tipe 2.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada
penderita toleransi glukosa terganggu. Keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin
yang berlebihan, dan keadaan glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi Diabetes tipe II.
Pada DM type 2 diakibatkan karna rusaknya reseptor insulin, insulin
beredar dengan jumlah normal, sel beta pankreas pun masih mampu untuk
memproduksi insulin secara normal.
Monosakarida yang merupakan hasil pencernaan karbohidrat di dalam
usus, dimana 80% merupakan glukosa, sedangkan galaktosa dan fruktosa
mewakili masing masing 10%. Glukosa langsung bisa masuk ke aliran sirkulasi
darah, di dalam darah terdapat hormon insulin yang jumlahnya normal akan tetapi
sel reseptor tidak bisa menangkap insulin secara baik, sehingga glukosa di darah
tidak bisa dibawa ke sel sel tubuh dengan baik. Reseptor sel yang menerima
insulin mengalami kerusakan, sehingga glukosa yang dibawa insulin untuk diubah
menjadi glikogen juga rendah/ sedikit. Proses glikogenesis juga menurun, sel sel
tubuh mengalami kelaparan, ini menyebabkan gejala polifagia pada DM.
Lalu proses selanjutnya, adalah terjadi peningkatan glikogenolisis dimana
pemecahan glikogen menjadi glukosa dalam sel meningkat karena tubuh kita
membutuhkan energi, sehingga berapapun glikogen yang ada di sel akan dipecah
terus menerus untuk mencukupi energi. Akibat jumlah glikogen yang minimal
12
didalam sel tubuh, maka glukosa yang dihasilkan juga rendah , asam piruvat yang
dihasilkan juga rendah, ATP yang diproduksi pun juga sedikit, akibatnya menjadi
lemas. Glukoneogenesis meningkat, karena persediaan glukosa rendah maka akan
merangsang zat zat seperti lemak dan vitamin untuk dipecah dalam menghasikan
energi.
Gangguan Muskuloskeletal Pada DM Tipe II
Gangguan muskuloskeletal dipandang sebagai manifestasi salah satu
bentuk komplikasi kronik pada Diabetes Mellitus. Beberapa mekanisme
patogenesis diduga terlibat pada komplikasi muskuloskeletal (tulang, sendi dan
jaringan lunak) pada penderita diabetes mellitus baik itu yang spesifik terjadi pada
jaringan lunak maupun non spesifik seperti pada komplikasi kronis diabetes
melitus yang lain.
Perubahan morfologi yang diikuti dengan gangguan fungsi dari jaringan
lunak pada ekstremitas bukan hanya disebabkan oleh intra dan ekstra seluler
dalam fascia aponeurosis, tendon dan sarung tendon, tetapi juga didalam jaringan
periartikuler yang lain seperti kulit dan jaringan lunak yang lebih dalam.
Glikosilasi kolagen dan protein-protein lain dalam jaringan menyebabkan
perubahan konfigurasi molekul-molekul dan bahan-bahan fisik yang terkandung
didalamnya. Meskipun glikosilasi non enzimatik dari protein pada awalnya
reversibel, hasilnya dapat disusun menjadi produk yang stabil (AGEs = advanced
glycosylation and product) dan ireversibel pada penderita diabetes mellitus yang
lama dengan kontrol metabolik yang jelek.
Adanya bukti bahwa merokok meningkatkan prevalensi dari gangguan
muskuloskeletal pada diabetes melitus menunjukan hipoksia sebagai faktor
patogenesis. Merokok meningkatkan kejadian resistensi insulin dan kadar insulin
menjadi lebih tinngi sehingga insulin dan faktor stimulasi pertumbuhan (GSF)
yang lain mungkin berperanan pada perubahan periartikuler.
Mekanisme lain yang mungkin berperanan pada komplikasi ekstra
artikuler pada diabetes mellitus adalah akumulasi sorbitol dalam jaringan melalui
jalur polyol. Akumulasi sorbitol oleh karena kenaikan osmosis menyebabkan
peningkatan hidrasi dan pembengkakan kolagen dan struktur yang lain. Hal ini
terbukti dengan pengobatan menggunakan inhibitor aldose reductase untuk
13
menurunkan kadar sorbitol dapat memberikan efek yang menguntungkan
(perbaikan) pada penderita diabetes mellitus dengan keterbatasan lingkup gerak
sendi. Neuropati juga ikut berperanan pada terjadinya komplikasi gangguan
muskuloskeletal penderita diabetes melitus. Hal ini dapat dibuktikan pada terapi
dengan inhibitor aldose redukstase dapat memperbaiki fungsi saraf pada penderita
diabetes melitus dengan komplikasi gangguan muskuloskeletal dengan neuropati
diabetik. Sindroma terowongan karpal terjadi pada penderita diabetes melitus
karena neuropati.
Prediposisi genetik juga diduga berperanan pada kejadian gangguan
muskuloskeletal pada penderita diabetes melitus. Status HLA berbeda antara
penderita diabetes mellitus tipe 1 atau diabetes mellitus tipe 2 dengan gangguan
muskuloskeletal. Wanita diabetik premenopause sedikit lebih mudah terserang
daripada pria diabetik. Belum ada pengaruh yang jelas dari proteksi hormonal
terhadap gangguan muskuloskeletal. Kerja manual yang berat dan pekerjaan
dengan alat-alat yang bergetar dapat menyebabkan lesi jaringan dan berperanan
pada gangguan muskuloskeletal terutama pada kelainan tangan. Lesi proliferasi
jaringan lunak yang mengenai fascia palmar, jaringan periartikuler (Keterbatasan
lingkup gerak sendi), sarung tendon dan kulit diduga berhubungan dengan
komplikasi jangka panjang DM. Hal ini karena abnormalitas jaringan lunak
membran basal. Pada kondisi ini glikosilasi end production (AGEs) yang dibentuk
dari reaksi non enzimatik glukosa dengan protein (glikasi) terbentuk secara
progresif, menyebabkan dehidrasi dan kondensasi jaringan AGEs adalah pigmen
fluorescen kuning kecoklatan dan kecepatan pembentukannya diatur oleh
konsentrasi ambilan glukosa. AGEs merangsang monosit dan makrofag yang
kemudian melepaskan sitokin inflamasi yang mengatur degradasi dan
pembentukan kembali material seperti dengan penggatian komponen jaringan
lunak baru. Reseptor protein AGEs juga dapat ditemukan pada se-sel lain
misalnya sel otot polos dan sel endotel.
Mekanisme Terjadinya Gangguan Muskuloskeletal pada DM Tipe II
Pada diabetes mellitus tipe 2 terjadi resistensi insulin. Fungsi dari insulin
itu sendiri adalah sebagai “kunci atau pintu masuk” dari darah ke dalam sel. Oleh
sebab itu terjadi penurunan pemakaian glukosa oleh sel karena glukosa yang
14
beredar di darah tidak bisa masuk ke dalam sel sehingga darah mendapat asupan
glukosa dalam jumlah yang banyak atau disebut hyperglikemia. Urin mempunyai
komposisi darah sehingga dalam komposisi urin banyak mengandung glukosa
yang disebut glukosaria. Urin yang mengandung banyak glukosa akan berubah
menjadi kental oleh karena adanya tekanan akibat dari hipoosmotik dan
hiperoosmotik pada urin.
Tekanan hipoosmotik dan hiperosmotik ini mengakibatkan dehidrasi.
Didalam darah terdapat komposisi cairan lebih banyak daripada komposisi cairan
darah akan tetapi jika tekanan pada hipoosmotik dan hiperosmotik terus
berlangsung maka cairan dari darah akan terus menurun yang mengakibatkan
hemokonsentrasi. Jika cairan dalam darah sudah menjadi kental maka
keseimbangan darah menjadi terganggu (trombosis). Trombosis ini menyebabkan
penyempitan pada pembuluh darah atau disebut dengan aterosklerosis.
Aterosklerosis dapat terjadi pada pembuluh darah besar maupun pembuluh darah
kecil. Dengan adanya aterosklerosis menyebabkan berkurangnya asupan darah
yang masuk ke dalam organ-organ yang dialiri oleh darah tersebut sehingga dapat
terjadi komplikasi diabetes mellitus tipe 2 dan dari komplikasi ini dapat
menyebabkan gangguan muskuloskeletal.
Fraktur Patologis Pada DM Tipe II
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di
dalam tulang. Menurunnya kepadatan tulang seringkali mempunyai kaitan dengan
diabetes mellitus . Sehubungan dengan kejadian ini, perlu diketahui bahwa insulin
dan regulasi diabetes mellitus mempunyai pengaruh pada metabolisme tulang,
antara lain insulin meningkatkan uptake asam amino dan sintesis kolagen oleh sel
tulang, yang penting untuk formasi tulang oleh osteoblast. Regulasi jelek diabetes
mellitus menyebabkan hipokalsemia yang akan menimbulkan peningkatan
hormon paratiroid (resorbsi tulang akan meningkat). Regulasi jelek diabetes
mellitus juga mengganggu metabolisme vitamin D3 dengan kemungkinan
menurunnya absorbsi kalsium di usus. Selain itu juga akan merangsang makrofag
untuk sintesis beberapa sitokin yang akan meningkatkanresorbsi tulang. Semua
pengaruh diabetes mellitus pada tulang inilah yang menyebabkan adanya
hubungan antara diabetes mellitus dengan penurunan kepadatan tulang.
15
Infeksi dan Kesulitan Regenerasi pada Penderita Diabetes
Penyakit diabetes mellitus sangat erat hubungannya dengan turunnya
kekebalan tubuh terhadap suatu infeksi. Pada penderita diabetes mellitus kadar
glukosa dalam darah tinggi, sehingga merupakan media yang cocok bagi
perkembangan kuman pada daerah luka tersebut. Dalam susunan darah , kapasitas
fagositosis berkurang yang menyebabkan tidak efisiennya pembunuhan kuman
sehingga penderita mudah terserang infeksi yang serius. Pada dasarnya penderita
diabetes mellitus lebih mudah mengalami infeksi, sehingga tindakan sekecil
apapun yang melukai organ atau jaringan dapat menimbulkan resiko infeksi. Hal
ini diakibatkan oleh ganngguan terhadap mekanisme pertahanan imun.
Beberapa factor yang memudahkan terjadinya infeksi :
1. Faktor metabolik
a. glikogen dihati menurun
b. dehidrasi sering terjadi pada penderita diabetes mellitus sebagai akibat dari
hiperglikemia dan poliurea.
2. Faktor imunologik:
a. Sifat fagositosis dari leukosit menurun.
b. Pembentukan antibodi menurun
c. Turunnya daya tahan tubuh.
3. Faktor angiopati diabetika:
a. Mikroangiopati – diabetika, yaitu : angiopati yang terjadi pada kapiler dan
arteriol. Disfungsi endotel dan agregasi trombosit yang meningkat
merupakan penyebabnya.
b. Makroangiopati – diabetika, yaitu: penebalan basement membrane,
pengendapan fibrin pada dinding pembuluh darah dan hilangnyaelastisitas
dinding arteri, karena terjadinya proses sclerosis pada arteriolnya,
sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah arteriol. Elastisitas
pembuluh darah hilang dan penebalan berupa priliferasi, hialinisasi
menyebabkan pembulu darah menjadi kaku dan mudah pecah, timbullah
kebocoran. Kebocoran ini mengakibatkan keluarnya protein dan butir –
butir darah yang berakibat menurunnya pertahanan jaringan setempat
karena keluarnya butir – butir darah seperti leukosit dan berkurangnya
16
pasokan nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga menghambat
penyembuhan luka.
4. Faktor neuropati –diabetika , menyebabkan turunnya reflek saraf otonom,
sensorik dan motorik, sehingga timbul rasa parestesi, panas mukosa mulut
kering dan gerak – gerak otot jadi lamban.
Kesulitan regenerasi dan mudahnya infeksi pada penderita dibetes mellitus
disebabkan terjadinya kelainan pada membrane basalis, antara lain:
berkurangnya multiplikasi fibroblast, menurunnya kapasitas sintesa kolagen,
meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis, turunnya kadar GAG
(glycoaminoglycans) di membrane basalis yang penting untuk mengatur
metabolisme lipoprotein dan karena kadarnya menurun maka akanmudah
timbul pengendapan lipoprotein di jaringan. Berkurangnya multiplikasi
fibroblast mengakibatkan terhambatnya jaringan granulasi dan menurunnya
kemampuan daya regenerasi jaringan .
Pada diabetes mellitus sering terjadi gangguan terhadap pertahanan
imun yang mengakibatkan sifat fagositosis dari luekosit menurun,
pembentukan antibody menurun sehingga daya tahan tubuh menurun.Apabila
komplikasi kronik terjadi pada penderita diabetes mellitus akan mengalami
ganngguan kualitas pembuluh darah yang dikenal sebagai Angiopati diabetika.
Elastisitas dinding pembuluh darah hilang dan penebalan berupa proliferasi,
hialinisasi menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku dan mudah pecah,
timbullah kebocoran. Kebocoran ini mengakibatkan keluarnya protein dan
butir – butir darah yang berakibat menurunnya pertahanan jaringan setempat
karena keluarnya butir – butir darah seperti luekosit dan berkurangnya
pasokan nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga menghambat penyembuhan.
Faktor neuropati diabetika menyebabkan turunnya refleks otonom sehingga
tidak ada kemampuan untuk vasokonstriksi dari pembuluh darah maupun
kapiler.
Kesulitan regenerasi dan mudahnya infeksi pada penderita dibetes
mellitus disebabkan terjadinya kelainan pada membrane basalis, antara lain:
berkurangnya multiplikasi fibroblast, menurunnya kapasitas sintesa kolagen,
meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis ,turunnya kadar GAG
(glycoaminoglycans) di membrane basalis yang penting untuk mengatur
17
metabolisme lipoprotein dan karena kadarnya menurun maka akanmudah
timbul pengendapan lipoprotein di jaringan. Berkurangnya multiplikasi
fibroblast mengakibatkan terhambatnya jaringan granulasi dan menurunnya
kemampuan daya regenerasi jaringan.
D. Teknologi Intervensi Fisioterapi pada Kondisi Fraktur dengan Komplikasi
DM
Teknologi Fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi
latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif
maupun pasif.
1. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa
gerakan pada sendi (Kisner, 1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan
perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi
menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat
mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat
berkurang.
2. Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive movement ada 2,
yaitu :
a. Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien
sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan
dihentikan.
b. Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak
sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun
di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu
menahan rasa nyeri.
3. Active Movement
18
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh
pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat
menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak
mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk
tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan
mempertahankan mobilitas sendi.
Active Movement terdiri dari :
a. Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan
sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang
maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup
gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi
gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis
sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi
propioseptif.
c. Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh
pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang
diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat
meningkatkan kekuatan otot.
4. Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot
kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut.
Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan
untuk meningkatkan lingkup gerak sendi (Kisner,1996).
5. Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat
kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang
penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan
dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight
bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau
19
menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik
swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait,
three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar
dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.
Pemberian latihan pada kondisi fraktur dengan komplikasi DM perlu
diperhatikan zona latihan. Zona latihan yang diberikan kepada pasien adalah
zona latihan optimal, yang disesuaikan dengan kemampuan pasien (tingkat
kelelahan). Zona latihan optimal ditentukan dengan cara memberikan latihan
awal kepada pasien (aktif), kemudian fisioterapis menentukan pada repetisi
keberapa pasien merasakan lelah. Jumlah repetisi tersebut ditentukan sebagai
zona latihan maksimal, sedangkan zona latihan optimal diambil dari 70% dari
zona latihan maksimal.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
Data Umum Pasien
Nama : Tn.AM
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : BTN.Hamsi Blok O/7
Agama : Kristen
Pekerjaan : Wiraswasta
Diagnosa medis : Fraktur Patologis Intertrokhanter Femur Dextra post
ORIF DHS (Dinamic Hip Screw)
Tanggal Masuk RS: 07 Mei 2013
Tanggal Operasi : 11 Mei 2013
Tanggal Pem FT : 22 Mei 2013
Vital Sign
Tekanan Darah : 140/70 mmHg
Denyut Nadi : 80 kali/menit
Suhu Tubuh : 37,4°C
Pernafasan : 28 kali/menit
Assessment Fisioterapi
o Chief of complaint
Keterbatasan gerak pada tungkai kanan.
o History :
Pasien masuk RS dengan Fraktur pada intertrokhanter femur bagian dextra
akibat terpeleset di kamar mandi. Pasien menjalani operasi pemasangan
Dinamic Srew Hip pada tanggal 11 Mei 2013. Setelah operasi hingga
pemeriksaan fisioterapi dilakukan, pasien mengeluh masih belum bisa
menggerakan tungkainya, akaibat luka insisi yang masih terasa sakit. Pasien
21
juga mengeluhkan tidak dapat duduk lama karena sakit pada punggung bawah
dan mengeluhkan susah tidur pada malam hari. Riwayat penyakit dahulu
hipertensi (+) dan DM (+). Pasien sudah menjalani foto x-ray sebelum dan
sesudah operasi dan terlihat adanya pemasangan screw pada os femur kanan.
o Asymetric Position
Inspeksi statis
- Pasien berbaring di tempat tidur dengan kedua tungkai lurus ke depan.
- Asimetris thoraks
- Terpasang infus
- Regio femur terlihat ada perban.
- Saat perban dilepas maka terlihat luka insisi telah mengering
- Kesadaran pasien baik dan kooperatif.
Inspeksi dinamis
- Pasien mampu duduk sendiri dari posisi baring tapi masih kesulitan.
- Pasien mampu menggerakkan ankle dan phalangs bagian dextra.
- Pasien tidak mengalami kesulitan dalam menggerakkan tungkai
sinistranya.
- Pasien tidak mampu menggerakan knee dan hip joint dextra
Pemeriksaan gerak dasar
REGIOGERAKAN
AKTIF PASIF TIMT
HIP
Dextra:Untuk Semua gerakan
terbatas TerbatasTdk dilakukan (masih mgg 1)
Sinistra:Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
KNEE
Dextra:Untuk Semua gerakan
terbatas TerbatasTdk dilakukan (masih mgg 1)
Sinistra:Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
22
REGIOGERAKAN
AKTIF PASIF TIMT
ANKLE
Dextra:Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
Sinistra:Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
FOOT
Dextra Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
Sinistra Untuk Semua gerakan
Normal Normal Normal
Palpasi
- Odem : -
- Kontur kulit: DBN
- Tonus : hipertonus
o Restricted
- ROM : Keterbatasan dalam menggerakkan extremitas inferior dextra
secara aktif maupun pasif
- ADL : keterbatasan aktivitas mandi, berjalan, transferring dan
mobilisasi
o Tissue impairment :
- Muskulotendinogen : Kelemahan otot exremitas inferior dextra
- Osteoatrogen : stiffnes knee joint
o Spesific test :
Geriatric Depression Scale
No Pertanyaan
1 Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ? Ya Tidak
2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan
minat atau kesenangan anda? Ya Tidak
3 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Ya Tidak
23
4 Apakah anda sering merasa bosan? Ya Tidak
No Pertanyaan
5 Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap
saat? Ya Tidak
6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi pada anda? Ya Tidak
7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar
hidup anda? Ya Tidak
8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya Ya Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal dirumah daripada
keluar dan mengerjakan sesuatu yang baru? Ya Tidak
10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah
dengan daya ingat anda dibanding kebanyakan orang? Ya Tidak
11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini
menyenangkan?Ya Tidak
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan
anda saat ini? Ya Tidak
13 Apakah anda merasa anda penuh semangat? Ya Tidak
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan? Ya Tidak
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya daripada anda?Ya Tidak
Skor Penilaian:
- Setiap jawaban Ya, diberikan 1 skor. Skor > 5 dikategorikan
Depresi.
Pemeriksaan VAS
- Nyeri statis : 5,5
- Nyeri dinamik:6,5
Pengembangan Thoraks
- Bentuk dada normal
- Ekspansi thoraks
24
Upper : 2 cm (Normal: 2-3 cm)
Middle : 2 cm (Normal: 3-4 cm)
Lower : 3 cm (Normal: 5-7 cm)
- Pengembangan dada : asimetris
Tes sensasi
- Tajam tumpul: normal
- Halus kasar : normal
Tes ROM :
Region Dextra Sinistra
Hip S .10˚ - .0° .5°F .5° .0° .10°
S:120˚-0-20˚F:20˚-0-45˚
Knee S : 45˚-0-5˚ S:135˚-0-10˚
Ankle S:45˚-0˚-20˚ S:45˚-0-20˚
MMT :
NO MMT Grup Otot Dextra Sinistra
1 Hip
fleksi / ekstensi
Abd / add
Ekso / endo
1
1
1
5
5
5
2 Knee Fleksi / ekstensi 1 5
3 AnkleDorso / plantar
Inversi/eversi
4
4
5
5
4 Phalangs Fleksi/ekstensi 5 5
Tes circumfrentia:
Nama pemeriksaanBagian pemeriksaan
dextra sinistra
Test panjang tungkai 80 cm 81 cm
Lingakar otot:
Tungkai atas 35 cm 35 cm
25
Tungkai bawah 23 cm 23 cm
Leg leght tes : kontraktur gastroknemius
Index Katz (Ketergantungan ADL)
ADL
KetergantunganDapat
mengerjakan sendiri
Sebagian/pada bagian tertentu
dibantu
Sebagian besar/seluruhnya
dibantu
Mandi
Dressing
Ke Toilet
Transfer
Bladder n Bowel
Makan
Klasifikasi hasil pemeriksaan :
A : Mandiri, utk 6 fungsi
B : Mandiri, utk 5 fungsi
C : Mandiri, kecuali utk mandi & 1 fungsi lain
D : Mandiri, kecuali utk mandi, berpakaian & 1 fungsi lain
E : Mandiri, kecuali Mandi, berpakaian, ke toilet & 1 fungsi lain
F : Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, transfer, & 1 fungsi lain.
Interpretasi: Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, transfer, & 1
fungsi lain.
Hasil pembacaan foto x-ray dan MRI :
Terlihat adanya pemasangan DHS (Dinamic Hip Screw)
26
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
No Pemeriksaan Nilai Rujukan SatuanTanggal
7/5/13 9/5/13 11/5/13 16/5/13 24/5/131 Hematologi
WBC 4.00 – 10.0 10^3/µl 7.91 17.11RBC 4.00 – 6.00 10^6/µl 3.87 3.33HGB 12.0 – 16.0 g/dL 12.5 10.8HCT 37.0 – 48.0 % 37.6 32.7MCV 80.0 – 97.0 fL 97.2 98.2MCH 26.5 – 33.5 pg 32.3 32.4MCHC 31.5 – 35.0 g/dL 33.2 33.0PLT 150 – 400 10^3/µl 595 + 417 +NEUT 52.0 – 75.0 % 67.6 87.1LYMPH 20.0 – 40.0 % 22.3 6.6MONO 2.00 – 8.00 % 8.5 5.7EO 1.00 – 3.00 % 1.1 0.4BASO 0.00 – 0.10 % 0.5 0.2
2 Kimia KlinikGDS 140 mg/dL 289 81 290 228GDP 110 mg/dLGD2PP mg/dL 181Profil Lipid:
Kolesterol 200 mg/dL 210
HDL >55 mg/dL 59LDL <130 mg/dL 120Trigliserida 200 mg/dL 61Fungsi Hati:Ureum 10-50 mg/dL 25Kreatinin <13 mg/dL 0,6SGOT <38 mg/dL 37SGPT <41 mg/dL 48Elektrolit:Natrium 136 – 145 mEq/L 140Kalium 3.5 – 5.1 mEq/L 4,83Klorida 97 – 111 mEq/L 105
3. ImunologiHBSAg Negatif Negatif
Keterangan :
: Nilai Normal : Nilai Meningkat
1
Diagnosa Fisioterapi
Gangguan gerak fungsional extremitas inferior dextra akibat fraktur
intertrokhanter Femur dextra post orif DHS(Dinamic Hip Screw)due to pathologi
1 minggu yang lalu
Problem Fisioterapi
o Problematik Primer
Keterbatasan gerak pada tungkai kanan
o Problematik Sekunder
- Penurunan rasa percaya diri (RPD)
- Gangguan pengembangan thoraks
- Kontraktur gastroknemeus
- Kelemahan otot-otot hip joint, knee dan ankle joint
- Stiffness knee joint
- Keterbatasan ROM Hip dan knee joint
o Problematik Kompleks
Gangguan ADL : keterbatasan aktivitas mandi, berjalan, transferring
dan mobilisasi
BAB IV
PEMBAHASAN
a. Pertimbangan Hematologi terhadap Exercise
Pada fase penyembuhan fraktur yang normal, hari kelima setelah
dilakukan operasi penyambungan tulang yang fraktur memasuki fase
proliferasi yang ditandai dengan hilangnya inflamasi yang berganti menjadi
pembentukan benang-benang fibrin yang akan menjadi callus. Nutrisi yang
lebih banyak dari sirkulasi sangat dibutuhkan oleh sel-sel osteogenik yang
berpoliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksternal serta pada
daerah endosteum membentuk kalus internal sebagai aktifitas seluler.
Untuk melancarkan sistem sirkulasi pada pasien fraktur, fisioterapi
menggunakan modalitas heating yang terdiri atas:
1. Infra Red / SWD dengan arus Continue Elektro Magnetik (CEM)
Efek fisiologis panas terhadap pembuluh darah akan menyebabkan
efek vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan
metabolisme yang sangat dibutuhkan untuk penyembuhan fraktur.
Efek samping dari modalitas ini adalah setelah pemberian akan
meningkatkan inflamasi jaringan setempat yang ditandai dengan
leukositosis.
2. SWD dengan arus Intermitten Elektro Magnetik (IEM)
Arus IEM, menggunakan efek terapeutik untuk meningkatkan
metabolisme jaringan, sehingga tidak terjadi proses inflamasi pada
jaringan setempat.
Pada pasien Tn. AM, pada hari ke 5 setelah operasi, jumlah WBC dan
Neutrofil pada pasien meningkat dari nilai normal yang menunjukkan bahwa
proses inflamasi masih terjadi pada daerah yang fraktur. Ketika diberikan
heating dengan menggunakan Infra Red/CEM maka akan semakin
meningkatkan jumlah WBC dan Neutrofil dalam darah. Oleh karena itu, pada
pasien fraktur dengan peningkatan jumlah WBC, maka modalitas fisioterapi
yang digunakan adalah arus Intermitten Elektro Magnetik (IEM).
1
b. Pertimbangan Kimia Darah dalam pemberian Exercise pasien Fraktur
Pada proses penyembuhan fraktur, zona latihan dalam pemberian
excercise dengan beban yang cukup akan merangsang metabolisme untuk
memenuhi kebutuhan energi saat diberikan latihan. Namun bila exercise yang
diberikan terlalu banyak, maka tubuh akan merespon dengan meningkatkan
metabolisme untuk memenuhi kebutuhan energi.
Pada pasien Tn. AM, nilai GDS dan GD2PP meningkat dari nilai normal
yang menunjukkan bahwa terjadi hiperglikemia dalam pembuluh darah,
sedangkan glukosa yang masuk ke dalam jaringan otot sedikit. Namun
berdasarkan assesment, pasien mendapatkan suntikan insulin yang terkontrol.
Oleh sebab itu dalam pemberian exercise, fisioterapi memberikan exercise
dengan dosis yang optimal untuk menghindari kelelahan akibat metabolisme
yang tidak mampu mencukupi kebutuhan energi tubuh. Dosis yang diberikan
fisioterapi yakni intensitas (beban) latihan yang diberikan adalah 70% dari
dosis maksimal latihan.
Hasil pemeriksaan profil lipid, juga menjadi pertimbangan besarnya
exercise yang akan dilakukan. Pada pasien dengan DM yang tidak terkontrol
sering dijumpai peningkatan profil lipid. Peningkatan kadar lemak darah
dapat menimbulkan risiko penyakit arteri koronaria atau penyakit
kardiovaskuler. Peningkatan kadar kolesterol (hiperkolesterolemia)
menyebabkan penumpukan kerak lemak di arteri koroner (arteriosklerosis)
dan risiko penyakit jantung (infark miokardial). Kolesterol LDL yang tinggi
dan kolesterol HDL yang rendah merupakan risiko penyakit aterosklerosis.
Sebaliknya, kolesterol LDL yang rendah dan kolesterol HDL tinggi dapat
menurunkan risiko penyakit arteri koronaria. Exercise yang berlebihan pada
pasien dengan aterosklerosis akan meimbulkan risiko iskemia pada jantung.
Pada pasien Tn. AM, profil lipid menunjukkan tidak ada gangguan berupa
aterosklerosis, sehingga exercise dapat diberikan dengan dosis optimal hingga
maksimal.
Pertimbangan elektrolit pada pasien juga akan mempengaruhi pemberian
dosis exercise. Pada pasien diabetes sering disertai dengan gangguan ginjal
yang menyebabkan retensi natrium sehingga pasien menjadi Hiponatremia.
2
Pada pasien dengan hiponatremia akan meningkatkan tekanan darah sehingga
diperlukan desain dosis yang exercise yang berbeda. begitupula pada pasien
dengan gangguan keseimbangan kalium. Kalium sangat berperan dalam
kontraksi otot dan sistem saraf. Pasien dengan hiperkalemia akan
menyebabkan gangguan irama jantung sedangkan pada pasien dengan
hipokalemia akan merasa cepat lelah sehingga dosis exercise yang diberikan
juga berbeda.
Fungsi pemeriksaan elektrolit pada fisioterapi juga terkait dengan
pemberian modalitas heating. Pengaruh rangsangan panas yang dibawa di
ujung-ujung syaraf sensoris dapat mengaktifkan kelenjar keringat.
Pengeluaran keringat dapat menggangu keseimbangan elektrolit tubuh. Bila
pemberian heating diberikan pada pasien yang keseimbangan elektrolitnya
sudah mengalami gangguan, maka akan semakin diperparah oleh pemberian
heating. Biasanya pada pasien yang akan diberikan modalitas heating
diberikan makanan yang mengandung NaCl.
c. Pertimbangan Imunologi pada pemberian Exercise
Pemeriksaan HbsAg penting dilakukan untuk mencegah risiko penularan
virus hepatitis B dari pasien kepada petugas kesehatan. Dalam pemberian
excercise fisioterapi akan melakukan kontak fisik secara langsung dengan
pasien. Oleh sebab itu, fisioterapi harus berhati-hati agar tidak membuat
perlukaan pada jaringan tubuh pasien. Begitu pula dengan pasien yang
mempunyai luka dengan hasil HbsAg positif sebab akan menimbulkan risiko
transmisi virus dan bakteri yang lebih besar.
Adapun zona latihan optimal yang diberikan pada pasien Tn. AM sebagai berikut:
Problem Ft Modalitas Ft Dosis
Penurunan RPD Komunikasi Terapeutik F: 2x sehari
I: pasien fokus
T: wawancara
T: ± 2 menit
3
Meningkatkan
pengembangan paru
Breathing exercise F: 3x sehari
I: 2x8 hitungan
T: BE+Mobilisasi thoraks
Diafragma breathing
Abdominal breathing
T: 3 menit
Mengurangi Nyeri,
meningkatkan sirkulasi
dan relaksasi otot
Muscle setting exercise F: 3x sehari
I: 3x8 hitungan
T: Static Contraction
T: 24 sekon
Stiffness Joint Exercise therapy F: 3x sehari
I: 3x8 hitungan
T: PROMEX, dan AROMEX
sesuai kemampuan pasien
T: 24 sekon
Kelemahan otot pada
Hip,knee dan ankle
joint
Exercise therapy F: setiap hari
I: 3x8 hitungan
T: free active movement &
resisted active movement
T: 24 sekon
Kontraktur
m.gastroknemius
Exercise F: setiap hari
I: 3x8 hitungan
T: stretching pasif
T: 24 sekon
Mencegah decubitus Posisioning F: setiap hari
I: 1 x 2 jam
T: miki dan terlentang
T: setiap 2 jam
Mencegah Oedem Elevasi F: setiap hari
I: 1x24 jam
T: elevasi tungkai dengan
bantal/handuk
4
T: Setiap waktu
Memelihara kekuatan
otot dan ROM pada
tungkai yang sehat
Exercise therapy F: setiap hari
I: 3x8 hitungan
T: AROMEX,PROMEX,
Strengthening Exc, Stretching
exc.
T: 24 sekon
Gangguan ADL Exercise therphy F: setiap hari
I: 3x8 hitungan
T: sit training,mobilisasi miki
T: 24 sekon
EVALUASI
PROBLEMATIKPARAME
TER
EVALUASI
INTERPRETASI
PRE TEST
POST TEST
23/05 23/05 24/05 25/05Rasa percaya diri Geriatric
Depression Scale
7 5 4 4 percaya diri membaik
Nyeri VAS Nyeri statis:5,5Dinamik:6,5
Nyeri statis:5,5Dinamik6,5
Nyeri statis:5,5Dinamik6,5
Nyeri statis:4,3Dinamik5
Sedikit terjadi penurunan nyeri
Gangguan pengembangan
Midline U : 2 cmM: 2 cmL : 3 cm
U : 2 cmM: 2 cmL : 3 cm
U : 2 cmM: 2 cmL : 3 cm
U : 2 cmM: 2 cmL : 3 cm
Masih ada gangguan
Stiffnes/keterbatasaan ROM
goniometer HipS: 10˚-0˚-5˚F:5˚-0˚-10˚KneeS:45˚-0˚-5˚
HipS:10˚-0˚-5˚F:5˚-0˚-10˚KneeS: 45˚-0˚-5˚
HipS: 15˚-0˚-5˚F:10˚-0˚-20˚KneeS: 45˚-0˚-5˚
HipS: 30˚-0˚-10˚F:10˚-0˚-20˚KneeS:60˚-0˚-5˚
Sedikit Terjadi peningkatan ROM
Kelemahan otot Hip jointFleksi/Ekst: 1Abd/
Hip jointFleksi/Ekst: 1
Hip jointFleksi/Ekst: 1
Hip jointFleksi/Ekst: 1
Belum ada peningkatan signifikan
5
Add:1 Ekso/Endo:1Knee Fleksi/Ekst:1AnkleDF/PF:4Eversi/inversi:4PlantarFleksi / ekst:1
Abd/Add:1 Ekso/Endo:1Knee Fleksi/Ekst:1AnkleDF/PF:4Eversi/inversi:4PlantarFleksi / ekst:1
Abd/Add:1 Ekso/Endo:1Knee Fleksi/Ekst:1AnkleDF/PF:4Eversi/inversi:4PlantarFleksi / ekst:1
Abd/Add:1 Ekso/Endo:1Knee Fleksi/Ekst:1AnkleDF/PF:4Eversi/inversi:4PlantarFleksi / ekst:1
Kontraktur gastrok nemius
Leg lght tes + + + ± Kontraktur berkurang
Gangguan ADL Indeks katz F F F F Belum ada peningkatan
DAFTAR PUSTAKA
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Anatomi Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta:
EGC.
6
Manaf, Asman. Insulin : Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Online.
http://repository.unand.ac.id/96/1/INSULIN__MEKANISME_SEKRESI_
DAN_ASPEK_METABOLISME.doc. diakses pada tanggal 26 Mei 2013.
Sebo, Maria Aurelia Pede. 2011. Efektivitas Mobilisasi Dini dalam Mencegah
Kontraktur pada Pasien Post Operasi ORIF. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”
Jakarta.
7