btls fraktur femur 1
TRANSCRIPT
TIM BANTUAN MEDIS110
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT
MAKASSAR, 15 DESEMBER 2012
BASIC TRAUMA LIFE SUPPORT
FRAKTUR FEMUR
OLEH
1. MUH. HUSRANG
2. SRI PRATIWI BAHARUDDIN
3. DEWI KUMALASARI PRATIWI
ADVISOR
1. WAHYUNI SAMANDASARI, S. KED
2. KHAIRUNNISA, S. KED
DIBAWAKAN DALAM RANGKA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ANGGOTA II
TIM BANTUAN MEDIS 110 FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
I.2 ETIOLOGI
I.3 EPIDEMIOLOGI
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
III. INITIAL ASESSMENT
III.1. PRIMARY SURVEY
III.1.1. AIRWAY
a. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI
b. PEMERIKSAAN
c. PERMASALAHAN
d. PENANGANAN
III.1.2. BREATHING
a. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI
b. PEMERIKSAAN
c. PERMASALAHAN
d. PENANGANAN
III.1.3. CIRCULATION
a. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI
b. PEMERIKSAAN
c. PERMASALAHAN
d. PENANGANAN
III.2. SECONDARY SURVEY
III.3. INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI
a. RESUSITASI YANG BERHASIL
b. RESUSITASI YANG TIDAK BERHASIL
III.4. ALGORITMA INITIAL ASESSMENT
IV. DIAGNOSIS/TERAPI/PENANGANAN
V. KOMPLIKASI
VI. KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh
kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah,
otot dan persarafan.1
Fraktur terjadi jika tulang dikenai tekanan yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung, puntiran
(twisting), atau pukulan pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada
kecelakaan jalan raya. Femur merupakan tulang terbesar dalam tubuh dan batang
femur pada orang dewasa sangat kuat. Dengan demikian, trauma langsung yang
keras, seperti yang dapat dialami pada kecelakaan lalu lintas.2
Fraktur femur mempunyai pengaruh sosial ekonomi yang penting.
Dengan bertambahnya usia, angka kejadian fraktur femur meningkat secara
eksponensial. Meskipun dapat dipulihkan dengan operasi, biaya penanganan fraktur
femur masih menjadi masalah karena relative mahal. Sampai saat ini insiden fraktur
femur masih tinggi dan masih tetap menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Pada
orang-orang tua, fraktur intrakapsular sering disebabkan oleh trauma yang tidak berat
(energi ringan), seperti akibat terpeleset. Akan tetapi, pada orang-orang muda, fraktur
intrakapsular biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat (energi besar), dan
seringkali disertai oleh cedera pada daerah yang lainnya serta meningkatkan
kemungkinan terjadinya avaskular nekrosis dan non union.
Walaupun penatalaksanaan di bidang orthopaedi dan geriatri
telah berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu tahun pasca trauma masih tetap
tinggi, berkisar antara 10-20%. Sehingga keinginan untuk mengembangkan
penanganan fraktur ini masih tetap tinggi. Reduksi anatomi, kompresi fraktur dan
fiksasi internal yang kaku digunakan untuk membantu meningkatkan proses
penyembuhan fraktur, akan tetapi jika suplai darah ke kaput femur tidak dikontrol
dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya avaskular
nekrosis.
Penyebab fraktur femur yaitu trauma langsung dan trauma tak langsung.
Trauma langsung dikarenakan biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras.Trauma Tak
langsug disebabkan gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena
kepala femur terikat kuat dengan ligament di dalam acetabulum oleh ligament
iliofemoral dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur di daerah collum femur. Pada
dewasa muda apabila terjadi fraktur intrakapsuler (collum femur) berarti traumanya
cukup hebat. Sedang kebanyakan pada fraktur collum ini (intrakapsuler), kebanyakan
terjadi pada wanita tua (60 tahun keatas) dimana tulangnya sudah mengalami
osteoporotic. Trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh kepleset
di kamar mandi).
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI FEMUR
II. 1. ANATOMI FEMUR
Tulang femur adalah tulang terpanjang yang ada d tubuh kita. Tulang ini
memiliki karakteristik yaitu:
o Artikularis kapsul femoralis dengan acetabulum pada tulang panggul. Dia
terpisah dengan collum femoris dan bentuknya bulat, halus dan di tutupi
dengan tulang rawan sendi. Konfigurasi ini memungkinkan area pergerakan
yang bebas. Bagian caput mengarah ke medial, ke atas dan kedepan
acetabulum. Fovea adalah lekukan ditengah caput, dimana ligamentum teres
menempel. Collum femur membentuk sudut 1250 dengan corpus femur.
Pengurangan dan pelebaran sudut yang patologis masing-masing disebut
deformitas coxae vara dan coxae valga.
o Corpus femur menentukan panjang tulang. Pada bagian ujung diatasnya
terdapat trochanter major dan pada bagian postero medialnya terdapat
trochanter minor. Bagian anteriornya yang kasar yaitu line trochanteric
membatasi pertemuan antara corpus dan collum. Linea aspera adalah tonjolan
yang berjalan secara longitudinal sepanjang permukaan posterior femur, yang
terbagi, pada bagian bawah menjadi garis-garis suprakondilar.
o Ujung bawah femur terdiri dari condilus femoral, medial dan lateral femur
epicondilus medial. Bagian tersebut menunjang permukaan persendian dengan
tibia pada sendi lutut. Lateral epycondilus lebih menonjol dari media
epycondilus, hal ini untuk mencegah pergeseran lateral dari patella. Kondilus-
kondilus itu dipisahkan bagian posteriornya dengan sebuah intercondylar
notch untuk berartikulasi dengan bagian posterior patella. (Omar Faiz, David
Moffat. Anatomi At Glance. Cardiff University, 2002. Page 93)
Gambar 1. Anatomi femur(Dikutip dari kepustakaan :
(Putz, R.,Pabst. R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi 22. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran. Hal 276-278)
BAB III
INITIAL ASSESMENT
Triage adalah upaya yang digunakan untuk memilah-milah penderita menurut
kagawatan dan kedaruratannya untuk keperluan kecepatan dan efisiensi penanganan,
terutama apabila jumlah penderita lebih banyak dari tenaga dan sarana pelayanan
yang tersedia.
a. Penderita gawat (emergent), yaitu penderita yang memerlukan pertolongan
langsung tanpa menunda suatu apapun.
b. Penderita cukup gawat (urgent), yaitu penderita yang memerlukan pertolongan
segera tetapi bila masih ada penderita gawat dan tidak cukup tenaga dan sarana,
masih bisa ditunda untuk ditangani tetapi dalam waktu yang tidak lama.
c. Penderita kurang gawat, yaitu penderita yang bila situasi dan kondisi
memungkinkan, masih dapat ditunda pertolongannya.
d. Penderita dalam keadaan darurat, bisa gawat maupun cukup gawat atau kurang
gawat, dan bisa pula penderita yang tidak ada gangguan kardiovaskuler.
Pada penderita tidak sadar, tindakan awal yang seharusnya dinilai adalah
memastikan tingkat kesadarannya. Resiko-resiko yang potensial seperti adanya benda
berbahaya,kondisi lingkungan yang tidak stabil seharusnya dipertimbangkan agar
tidak memperburuk keadaan penderita. Penilaian tingkat kesadaran ini harus
dilakukan dengan cepat dan tidak perlu mendalam, yaitu dengan klasifikasi AVPU:
A : Alert yang berartisadar penuh yang ditunjukkan dengan membuka mata
spontan, menjawab pertanyaan dengan benardan menggerakkan bagian
tubuh sebagaimana diperintahkan.
V : Voice yang berarti korbanberespon setelah diberikan rangsangan suara.
P : Pain yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan nyeri.
U : Unresponsive yang berarti korban tidak berespon sama sekali.
Selain itu tingkat kesadaran dapat pula diukur berdasarkan skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale), sebagai berikut :
REAKSI NILAI
E : Mata terbuka
Spontan
Mengikuti perintah
Bereaksi terhadap rangsang nyeri
Tak ada reaksi terhadap rangsang
(nyeri)
4
3
2
1
M : Respon Motorik
Mengikuti perintah/bertujuan
Menepis rangsangan
Gerakan menghindar nyeri
Gerakan fleksi (dekortikasi)
Gerakan ekstensi (deserebrasi)
Tak ada gerakan sama sekali
6
5
4
3
2
1
V : Respon Verbal
Berorientasi baik
Disorientasi/bingung
Tidak sesuai/satu kata saja
Tidak mengerti/suara saja
Tidak ada suara sama sekali
5
4
3
2
1
Nilai tertinggi: E + M + V = 13-15 (responsiveness)
Nilai sedang: E + M + V = 9-12 (coma sedang)
Nilai terendah: E + M + V = 3-8 (coma berat)
III. 1. Primary survey
III.1.1.Airway
a. Anatomi Fisiologi Sistem Respirasi
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang
dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²)
yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh
melalui paru.
1. Anatomi
Organ-organ yang termasuk dalam saluran pernapasan terdiri dari:
Saluran Nafas Bagian Atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
- Dihangatkan
- Disaring
- Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir
respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied ciliated columnar
epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus
kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh
bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi
melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang
berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu
dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke Faring
(pharynx).
b. Faring (pharynx)
Faring terbagi menjadi:
Nasofaring berhubungan dengan cavum nasi.
Orofaring berhubungan dengan cavum oris.
Laringofaring berhubungan dengan larynx (terjadi
persilangan antara aliran udara dan aliran makanan).
Saluran Nafas Bagian Bawah
a. Laring
Pada sistem pernapasan larynx berfungsi untuk mencegah
benda asing baik padat maupun cair masuk ke dalam trachea
dan menghasilkan suara oleh plika vokalis. Laring dibentuk
oleh enam kartilago, tiga yang berpasangan (Cartilago
arythenoidea, cartilago corniculata dan cartilago cuneiforme)
dan tiga yang tidak berpasangan (Cartilago thyroidea, cartilago
crycoidea, cartilago epiglotica).
b. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm,
berdiameter ± 2,5 cm. berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti
huruf C membuka ke dorsal dan ditutupi oleh jaringan ikat.
Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic
menempel pada dinding depan oesophagus.
c. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri.
Tempat percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih
pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea. Bronchus kanan
bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochus
kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
2. Fisiologi
Mekanisme Pernafasan terbagi dalam 3 proses, Agar terjadi
pertukaran sejumlah gas untuk metabolisme tubuh diperlukan usaha
keras pernafasan yang tergantung pada:
Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk-keluar
paru secara berkala ke dalam alveolus. Ventilasi secara mekanis
dilakukan dengan mengubah secara berselang-seling arah gradien
tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui
ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-
otot inspirasi terutama diaphragma yang berganti-ganti, secara
tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflesi periodik paru
dengan secara berkala mengembang kempiskan rongga thorax,
dengan paru secara resesif mengikuti gerakannya. Karena
kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, maka inspirasi
merupakan proses aktif dan ekspirasi merupakan proses pasif.
Difusi
Difusi merupakan tahap pertukaran O2 di alveolus dan
CO2 dikapiler paru. Gas O2 yang berasal dari udara yang kita
hirup dari atmosfer yang masuk ke saluran nafas karena adanya
perbedaan tekanan dan CO2 yang berasal dari kapiler paru yang
dibawa oleh darah. Gas CO2 ini diperoleh dari sisa-sisa
metabolisme dari sel-sel yang ada ditubuh kita. Jadi, gas O2 dari
paru-paru (alveolus) akan bertukar dengan gas CO2 dari jaringan
dimana O2 akan dibawa ke jantung kembali untuk diedarkan ke
seluruh tubuh dan CO2 akan dibawah keluar tubuh melalui paru-
paru.
Transport
Proses ini adalah proses penyebaran O2 dari paru yang
dibawa oleh darah (Eritrosit/Hb) ke jantung. Transport dilakukan
dengan mengikuti proses sirkulasi sistemik/besar. O2 ini akan
diberikan ke sel-sel yang memerlukan untuk menghasilkan ATP
(energi) dalam melanjutkan kehidupannya dalam tubuh.
3. Pemeriksaan
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas. Ini
meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan napas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur rahang bawah
atau rahang atas, fraktur batang tenggorok. Usaha untuk membebaskan
airway harus melindungi tulang leher. Dalam hal ini dapat dilakukan
chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian ulang
terhadap airway harus tetap dilakukan.
Penilaian jalan nafas dilakukan dengan cara look, listen and feel.
Look (Lihat):
1. Lihat adanya retraksi dan penggunaan oto-otot bantu nafas
tambahan, pernapasan cuping hidung, retraksi trakea, retraksi
thorax
2. Lihat gerakan dada atau perut, apakah mengembang atau tidak.
3. Lihat apakah penderita mengalami agitasi sehingga lidah jatuh ke
belakang atau penurunan kesadaran
Listen (Dengar):
1. Dengarkan bunyi pernapasan
2. Dengarkan adanya bunyi atau suara tambahan seperti mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound,
stridor)
Feel (Rasa):
1. Rasakan apakah ada hembusan udara ekspirasi atau tidak, dengan
menggunakan pipi.
2. Ada tidaknya getaran di leher sewaktu bernafas.
4. Permasalahan
Permasalahan yang dapat menyebabkan gangguan pada jalan
napas yaitu:
1. Sumbatan total : sumbatan total dapat terjadi karena makanan atau
benda asing yang mengganjal atau menghalangi jalan napas.
Keadaan ini sering disebut tersedak (chocking), mendengkur
(snoring), berkumur (gargling), stridor (crowing), nafas cuping
hidung (flarings of the nostril).
2. Sumbatan parsial : sumbatan parsial atau sebagian disebabkan
karena lidah jatuh ke belakang pada korban tidak sadar,
perdarahan atau banyaknya sekret dan edema larynx yang masih
proses (belum terjadi edema total). Pada saat korban tidak sadar
dan berbaring terlentang, gaya gravitasi akan membuat dagu jatuh
ke belakang. Mulut akan terbuka tetapi jalan napas cenderung
tertutup. Dalam keadaan tidak sadar otot menjadi rileks dan lidah
jatuh kearah dinding belakang mulut. Ini akan menutupi jalan
napas sehingga udara tidak dapat masuk dan keluar dari atau ke
paru-paru.
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding
posterior faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul
pada pasien yang tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi
tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi.
2. Retraksi trakea
3. Fraktur servikal
4. Penanganan
Jika tidak terdapat trauma leher dan kepala maka dilakukan
manuver head tilt and chin lift serta manuver jaw thrust yang akan
diuraikan dibawah.
Manuver Head tilt-Chin lift
Untuk melakukan manuver ini, satu tangan diletakkan pada
dahi penderita lalu tekan lalu tekan kebelakang dengan telapak tangan
sehingga kepala menengadah ke belakang. Untuk melengkapi manuver
ini jari-jari tangan lain diletakkan dibawah tulang rahang bawah dekat
dagu. Angkat rahang keatas hingga dagu kedepan dan gigi hampir
tertutup. Manuver ini menopang rahang dan membantu menarik kepala
ke belakang. Jangan menekan terlalu dalam pada jaringan lunak
dibawah dagu karena dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Jangan
menggunakan ibu jari untuk mengangkat dagu. Buka mulut pernderita
untuk mempermudah pernapasan spontan.
Jika gigi penderita goyang, Head tilt-Chin lift dapat
mempermudah benda tersebut masuk kedalam mulut. Gigi tersebut
sebaiknya dicabut jika tidak dapat dipertahankan lagi.
Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera
kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan
tehnik ini adalah :
1. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling
dekat dengan dahi korban).
2. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi
kearah belakang.
3. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang
dari dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari
telunjuk dan diletakkan dibawah dagu.
4. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan
samapi mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan
terlalu menengadahkan kepala.
5. Pertahankan posisi ini.
Gambar 3:
Manuver Jaw Thrust
Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun
tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai
untuk korban dengan cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk
melakukan tehnik ini adalah :
1. Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua
sisi kepala korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.
2. Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban
anak-anak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut
rahang.
3. Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah
korban keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.
4. Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik
bibir bagian bawah dengan kedua ibu jari.
Gambar 4:
Hal lain yang perlu diperlu diperhatikan adalah adanya
benda asing pada jalan napas. Ada 3 manuver yang dianjurkan untuk
dilakukan jika didapatkan benda asing pada jalan napas tersebut, yaitu
tepukan pada punggug (back blow), tekanan pada dada (Chest thrust),
dan tekanan pada abdomen (abdominal thrust).
Pembebasan jalan nafas akibat obstuksi antara lain:
Cross finger
Untuk memeriksa jalan napas terutama dalam mulut, dapat
dilakukan teknik dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang
disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.
Gambar 5:
Finger sweep
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda
asing pada rongga mulut belakang atau hipofarynx seperti gumpalan
darah, muntahan, benda asing lainnya, sehingga hembusan nafas
hilang.
Gambar 6:
Tepukan pada punggung (Back blow)
1. Rangkul korban dari belakang
2. Satu lengan menahan tubuh, lengan yang lain melakukan back
blow
3. Pertahankan korban jangan sampai tersungkur
4. Berikan pukulan atau hentakan keras lima kali dengan
menggunakan telapak tangan pada daerah diantara tulang scapula
di punggung
5. Usahakan benda asing dapat keluar
Gambar 7:
Tekanan pada dada (Chest thrust) dan Tekanan pada perut
(Abdominal thrust)Pada posisi berdiri atau dudukPenolong harus
berdiri dibelakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua
lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi
jempol tangan kepalan pada perut atau dada korban sedikit diatas pusat
dan dibawah ujung tulang sternum, ataupun pada pertengahan
sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan
kepalan tangan keperut maupun ke dada dengan hentakan cepat keatas.
Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.
Tekanan pada dada (Chest thrust)
Gambar 8:
Tekanan pada perut (Abdominal thrust)
Gambar 9:
III.1.2 Breathing (Pernafasan)
A. Anatomi Fisiologi Sistem Respirasi
Paru-Paru
Paru-paru adalah organ yang elastic berbentuk seperti kerucut
dan berisi udara, terletak dalam rongga thorax. Paru kanan memiliki tiga
lobus dan apru kiri memiliki dua lobus. Setiap paru memiliki sebuah apex
yang mencapai bagian atas iga pertama dan beratasan dengan arteri
subclavia, basis pulmo terletak diatas diaphragma, sebuah permukaan
(facies) mediastinalis (medial) yang terpisah dari paru lain dari
mediastinum, dan permukaan kostal berbatasan dengan kosta.
Permukaan mediastinalis memiliki hilus (akar), tempat masuk
dan keluarnya pembuluh darah bronkus pulmonalis, dan bronkhiolus dari
paru. Paru-paru memiliki pembungkus yang disebut pleura. Pleura terbagi
dua yaitu pleura parietalis yang melekat pada dinding thorax dan pleura
visceralis yang melekat di paru-paru.
Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.
Membran alveolar :
- Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli
- Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan
surfactant.
- Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang
saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran
darah dalam rongga endotel
- Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit
serum.
Aliran pertukaran gas
Proses pertukaran gas berlangsung sebagai berikut: alveoli epitel alveoli, membran
dasar, endotel kapiler, plasma, eitrosit, membran, sitoplasma eritrosit, molekul
hemoglobin.
Surfactant
Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal surfactant
ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu ekspirasi, sehingga kolaps
alveoli dapat dihindari.
b. Pemeriksaan
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada, dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat.
Untuk menilai adanya pernapasan, maka telinga didekatkan pada hidung dan
mulut penderita sambil menjaga jalan napas tetap terbuka. Kemudian pada saat yang
sama mengamati dada penderita dengan cara:
Look/Melihat : naik turunnya permukaan dada penderita
Listen/Dengar : adanya hembusan udara
Feel/Rasa : adanya aliran udara.
Prosedur evaluasi ini harus tidak lebih dari 10 detik.
Gambar 10:
b. Permasalahan
1. Jalan napas. Adanya sumbatan pada jalan napas akan mengganggu ventilasi
dan oksigenasi
2. Paru. Kelainan di paru seperti radang aspirasi, atelektasis, edema contusio
dapat menyebabkan gangguan napas.
3. Rongga pleura. Normalnya rongga pleura kosong dan bertekanan negatif.
Adanya udara, cairan dan darah akan meningkatkan tekanan rongga pleura
sehingga paru dapat terdesak dan timbul gangguan napas.
4. Dinding dada. Patah tulang iga yang multiple maupun segmental akan
menyebabkan nyeri pada saat inspirasi dan terjadi fail chest sehingga terjadi
hipoventilasi sampai atelektasis.
5. Otot napas. Bila terdapat kelumpuhan otot-otot pernapasan akan mengganggu
ventilasi dan adanya peningkatan tekanan intraabdominal akan menghambat
gerak diafragma
6. Syaraf
7. Jantung. Kelainan jantung seperti infark miocard, gagal jantung, dan angina
pectoris.
c. Penanganan
Penderita diletakkan pada posisi pemulihan (recovery position) agar
penapasan dan sirkulasi tetap terjaga.
1. Penderita ditempatkan pada posisi yang hampir mendekati lateral penuh
dengan mempertahankan kepala agar cairan dapat mengalir dengan bebas
2. Posisi penderita dalam keadaan stabil
3. Mencegah terjadinya penekanan pada dada yang dapat mengganggu
pernapasan
4. Harus sedapat mungkin mengembalikan posisi penderita dengan mudah dan
aman dengan mempertimbangkan kemungkinan trauma servikal
5. Observasi dan penilaian jalan nafas harus dapat dilakukan sebaik mungkin
6. Posisi itu sendiri tidak menyebabkan trauma pada penderita
7. Jika penderita tetap berada pada recovery position selama lebih dari 30 menit,
penderita dibalik kesisi yang berlawanan.
8. Cara memberikan bantuan pernapasan:
a. Mulut ke mulut
Napas buatan dari mulut ke mulut harus dilakukan dengan cepat, efektif untuk
memberikan oksigen dan ventilasi kepada penderita. Udara pernapasan yang
dihembuskan berisi cukup oksigen untuk memenuhi kebutuhan penderita.
Untuk memberikan napas buatan, jalan napas penderita dibuka kemudian
lubang hidung ditutup. Rapatkan mulut penolong dengan penderita. Telapak
tangan diletakkan diatas kepala penderita dan hidung dipijit dengan ibu jari
dan jari telunjuk. Pijitan ini untuk mencegah udaramelewati hidung penderita.
Tarik napas dalam dan mulut dirapatkan mengelilingi mulit penderit,
sehingga tidak ada kebocoran udara. Nafas buatan diberikan dengan lambat
setiap 2 detik, dengan memastikan adanya pengembangan dada penderita pada
setiap hembusan napas.pemberian napas kira-kira 10-12 kali per menit (1 kali
pernapasan setiap 4-5 detik).
b. Mulut ke hidung
Metode ventilasi dari mulut ke hidung dianjurkan bila tidak mungkin
melakukan ventilasi melalui mulut penderita, mulut tidak dapat dibuka
(trismus), luka berat pada mulut sehingga sulit merapatkan mulut penolong
dengan mulut penderita.
Setelah melakukan head tilt-chin lift, mulut penderita di tutup. Kemudian
mulut penolong dirapatkan mengelilingi hidung penderita lalu nafas
dihembuskan kedalam hidungnya. Setelah itu bibir dilepaskan dari hidung
penderita untuk membiarkan terjadinya pengeluaran udara secara pasif.
Mungkin perlu untuk membuka mulut penderita secara intermitten dan
memisahkan bibirnya dengan ibu jari tangan untuk memudahkan pengeluaran
udara secara bebas, hal ini penting jika terdapat obstruksi parsial dari hidung.
c. Mulut ke stoma
Stoma trakea adalah pembukaan permanen pada permukaan depan leher yang
dibuat mulai dari permukaan kulit hingga ke dalam trakea. Tube trakeostomi
harus tetap terbuka, baik untuk ventilasi spontan atau nafas buatan darurat.
Jika tube ini tidak terbuka dan tidak dapat dibersihkan dari obstruksi atau
sekret, tube dilepas dan ganti. Jika tidak ada tube cadangan dan tube pertama
terjadi sumbatan maka napas buatan dilakukan langsung pasa stoma tanpa
adanya tube. Jika ada udara yang lolos secara signifikan melalui hidung dan
mulut penderita selama ventilasi melalui trakeostomi, mulut dan hidung
penderita ditutup atau dipasang sungkup secara ketat. Udara yang lolos dapat
dikurangi jika dapat dilakukan ventilasi melalui tube trakeostomi dengan
mengembangkan cuff pada tube.
d. Jalan nafas Orofaringeal
Orofaringeal tube (Guedel) saluran udara melengkung perangkat
plastik yang membantu pemeliharaan dari saluran udara yang memadai pada
pasien tidak sadar dengan menjaga jalan napas yang jelas dan di lidah
tempat.saluran udara orofaringeal dengan sendirinya tidak menggantikan
manajemen jalan nafas yang benar praktek-praktek dan hanya harus dianggap
sebagai alat untuk membantu dalam pengelolaan suatu saluran nafas pasien.
Orofaringeal disisipkan kedalam mulut dibalik lidah, yaitu dengan
menyisipkan airway oral secara terbalik, sehingga bagian yang cekung
mengarah ke cranial, sampai didaerah palatum molle. Pada titik ini, alat
diputar 180 derajat sehingga bagian yang sekung mengarah ke caudal.
e. Jalan napas Naso-faringeal
Berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks
lembut. Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa
hidung pipa diolesi dengan jelly.
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih
memberikan respon, airway nasofaringeal lebih baik daripada airway
orofaringeal karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway,
hentikan dan coba melalui hidung satunya. Bila ujung dari pipa nasofaring
bisa tampak diorofaring posterior, alat ini dapat menjadi sarana yang aman
untuk pemasangan pipa nasogastric dengan penderita patah tulang wajah.
III.1.3. Circulation (Sirkulasi)
a. Anatomi Fisiologi Sistem Cardiovascular
Anatomi Jantung
Jantung adalah suatu organ muscular yang berbentuk conus
sebesar kepalan tangan. Bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada
diantara kedua pulmo. Dibungkus oleh suatu selaput yang disebut
pericardium dan menempati mediastinum medium. Letak jantung
sedemikian rupa sehingga puncaknya (apex cordis)menghadap kearah
caudo-ventral kiri.
Dinding jantug terdiri atas tiga lapisan sebagai berikut:
a. Lapisan superficial disebut epicardium
b. Lapisan intermedia adalah myocardium
c. Lapisan profunda dibentuk oleh endocardium
Lokalisasi jantung
Proyeksi jantung pada dinding ventral thorax adalah sebagai berikut:
Tepi kiri jantung disebelah cranial berada pada tepi caudal pars cartilaginis
costa II sinister, yaitu 1 cm disebelah lateral tepi sternum.
Tepi kiri disebelah caudal berada pada ruang intercostal 5, yaitu kira-kira 9
cm disebelah kiri linea mediana atau 2 cm disebelah medial linea
medioclavicularis sinistra.
Tepi kanan disebelah cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa
III dextra, kira-kira 1cm dari tepi lateral sternum.
Tepi kanan disebelah caudal berada pada pars cartilaginis costa VI dextra,
kira-kira 1cm dilateral sternum.
Gambar 11:
Saat inspirasi Saat ekspirasi
Bagian-bagian jantung
Atrium dexter
Bentuknya agak lebih besar daripada yang sinistrum, tetapi
dindingnya justru lebih tipis. Terdiri dari dua bagian yaitu: sinus venarum
dan auricula dextra.
Auricula dextra
Merupakan suatu kantong yang terletak diantara vena cava
superior dan ventriculus dexter.
Didalam atrium dextrum bermuara:
Vena cava superior
Vena cava inferior
Sinus coronarius
Septum atriorum merupakan dinding dorsal dari atrium dextrum. Pada septum
ini terdapat suatu cekungan yang disebut fossa ovalis yang merupakan degenerasi dari
foramen ovale.
Ventriculus dexter
Pada facies externadibatasi oleh sulcus coronariusdisebelah kanan, sulcus
logitudinalis anterior disebelah kiri dan disebelah cranial oleh conus arteriosus
(pangkal arteri pulmonalis).
Pada facies interior terdapat bangunan seperti berikut:
a. Ostium atrioventriculare dextrum, berbentuk oval dengan diameter 4 cm.
Diperlengkapi 3 buah valvula, disebut valvula tricuspidalis yang membuka
kearah ventriculus. Disini melekat chordae tendineae difiksir pada
m.papillaris sehingga mencegah terdorongnya valvula kearah atrium
(menghalangi aliran kembali pada waktu systole.)
b. Chordae tendineae adalah jaringan ikat penguat, berjumlah sekitar 20 buah
dengan ukuran panjang dan tebal yang berbeda-beda. Melekat pada ujung dan
tepi cuspis dan faciesvalvula yang menghadap kearah ventriculus.
c. Trabeculae carneae merupakan tonjolan serabut-serabut otot pada dinding
ventriculus yang tampak tidak beraturan.
d. M. Papillaris adalah otot yang menonjol, berbentuk bulat atau konus, pada
ujungnya melekat corda tendineae.
e. Ostium truncy pulmonalis, letaknya detak pada septum interventriculorum,
disebelah kranial kiri dari ostium atrio ventriculare dextrum diperlengkapi
oleh valvula truncy pulmonalis, terdiri dari valvula semilunaris anterior,
valvula semilunaris sinister dan valvula semilunaris dexter. Funsi valvula
untuk mencegah darah mengalir kembali masuk kedalam ventrikulus.
Gambar 12:
Atrium sinistrum
Bentuk lebih kecil dari pada atrium dextrum, tetapi mempunyai dinding yang
lebih tebal. Disini bermuara vena pulmonalis sinister dan vena pulmonalis dexter.
Auricula sinistra
Merupakan bagian dari atrium sinistrum, bentuknya lebih panjang, lebih sempit dan
lebih melengkung dari pada auricula dextra.
Ventriculus sinister
Mempunyai bentuk yang lebih panjang dan lebih kerucut dari pada
ventriculus dexter. Unjungnya membentuk apex cordis, dan mempunyai dinding yang
tiga kali lebih tebal dari pada dinding ventriculus dexter. Pada ventriculus sinister
terdapat pangkal dari aorta. Ventriculus sinister dipisahkan dari ventriculus dexter
oleh septum interventriculorum.
Gambar 13:
Gambar 14:
Gambar 15:
Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan perikardium, di
mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan fibrosa, bersifat sangat keras dan bersentuhan langsung dengan bagian
dinding dalam sternum rongga yang melindungi jantung ketika jantung
mengalami overdistention
2. Lapisan parietal yaitu bagian dalam dari dinding lapisan fibrosa
3. Lapisan visceral, lapisan pericardium yang bersentuhan dengan lapisan luar dari
otot jantung atau epicardium
Lapisan otot jantung
lapisan otot jantung terbagi menjadi 3 yaitu :
Epikardium,yaitu bagian luar otot jantung atau pericardium visceral
Miokardium, yaitu jaringan utama otot jantung yang bertanggung jawab atas
kemampuan kontraksi jantung.
Endokardium, yaitu lapisan tipis bagian dalam otot jantung atau lapisan tipis
endotel sel.
Gambar 16:
Pembuluh Darah Besar Jantung
Ada beberapa pembuluh besar yang perlu anda ketahui, yaitu:
Vena cava superior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian
atas diafragma menuju atrium kanan.
Vena cava inferior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian
bawah diafragma ke atrium kanan.
Sinus Coronary, yaitu vena besar di jantung yang membawa darah kotor dari
jantung sendiri.
Pulmonary Trunk,yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah kotor
dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
Arteri Pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa
darah kotor dari pulmonary trunk ke kedua paru-paru.
Vena pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa
darah bersih dari kedua paru-paru ke atrium kiri.
Assending Aorta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah bersih
dari ventrikel kiri ke arkus aorta ke cabangnya yang bertanggung jawab
dengan organ tubuh bagian atas.
Desending Aorta,yaitu bagian aorta yang membawa darah bersih dan
bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian bawah.
Sirkulasi Paru dan Sistemik
Atrium kanan menerima darah yang kurang akan oksigen dari:
Vena kava superior
Vena kava inferior
Sinus Coronarius
Dari atrium kanan, darah akan dipompakan ke ventrikel kanan melewati katup
trikuspid. Dari ventrikel kanan, darah dipompakan ke paru-paru untuk mendapatkan
oksigen melewati:
Katup pulmonal
Pulmonal trunk
Empat arteri pulmonalis, 2 ke paru-paru kanan dan 2 ke paru-paru kiri
Darah yang kaya akan oksigen dari paru-paru akan di alirkan kembali ke jantung
melalui 4 vena pulmonalis (2 dari paru-paru kanan dan 2 dari paru-paru kiri) menuju
atrium kiri. Dari atrium kiri darah akan dipompakan ke ventrikel kiri melewati katup
biskupid atau katup mitral. Dari ventrikel kiri darah akan di pompakan ke seluruh
tubuh termasuk jantung (melalui sinus valsava) sendiri melewati katup aorta. Dari
seluruh tubuh,darah balik lagi ke jantung melewati vena kava superior,vena kava
inferior dan sinus koronarius menuju atrium kanan. Secara umum, siklus jantung
dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Sistole atau kontraksi jantung
Diastole atau relaksasi atau ekspansi jantung
Secara spesific, siklus jantung dibagi menjadi 5 fase yaitu :
1. Fase Ventrikel Filling
2. Fase Atrial Contraction
3. Fase Isovolumetric Contraction
4. Fase Ejection
5. Fase Isovolumetric Relaxation
A. Fase Ventrikel Filling
Sesaat setelah kedua atrium menerima darah dari masing-masing cabangnya,
dengan demikian akan menyebabkan tekanan di kedua atrium naik melebihi tekanan
di kedua ventrikel. Keadaan ini akan menyebabkan terbukanya katup atrioventrikular,
sehingga darah secara pasif mengalir ke kedua ventrikel secara cepat karena pada saat
ini kedua ventrikel dalam keadaan relaksasi/diastolic sampai dengan aliran darah
pelan seiring dengan bertambahnya tekanan di kedua ventrikel. Proses ini dinamakan
dengan pengisian ventrikel atau ventrikel filling. Perlu anda ketahui bahwa 60%
sampai 90 % total volume darah di kedua ventrikel berasal dari pengisian ventrikel
secara pasif. Dan 10% sampai 40% berasal dari kontraksi kedua atrium.
B. Fase Atrial Contraction
Seiring dengan aktifitas listrik jantung yang menyebabkan kontraksi kedua
atrium, dimana setelah terjadi pengisian ventrikel secara pasif, disusul pengisian
ventrikel secara aktif yaitu dengan adanya kontraksi atrium yang memompakan darah
ke ventrikel atau yang kita kenal dengan "atrial kick". Dalam grafik EKG akan
terekam gelombang P. Proses pengisian ventrikel secara keseluruhan tidak
mengeluarkan suara, kecuali terjadi patologi pada jantung yaitu bunyi jantung 3 atau
cardiac murmur.
C. Fase Isovolumetric Contraction
Pada fase ini, tekanan di kedua ventrikel berada pada puncak tertinggi tekanan
yang melebihi tekanan di kedua atrium dan sirkulasi sistemik maupun sirkulasi
pulmonal. Bersamaan dengan kejadian ini, terjadi aktivitas listrik jantung di ventrikel
yang terekam pada EKG yaitu komplek QRS atau depolarisasi ventrikel.
Keadaan kedua ventrikel ini akan menyebabkan darah mengalir balik ke
atrium yang menyebabkan penutupan katup atrioventrikuler untuk mencegah aliran
balik darah tersebut. Penutupan katup atrioventrikuler akan mengeluarkan bunyi
jantung satu (S1) atau sistolic. Periode waktu antara penutupan katup AV sampai
sebelum pembukaan katup semilunar dimana volume darah di kedua ventrikel tidak
berubah dan semua katup dalam keadaan tertutup, proses ini dinamakan dengan fase
isovolumetrik contraction.
D. Fase Ejection
Seiring dengan besarnya tekanan di ventrikel dan proses depolarisasi ventrikel
akan menyebabkan kontraksi kedua ventrikel membuka katup semilunar dan
memompa darah dengan cepat melalui cabangnya masing-masing. Pembukaan katup
semilunar tidak mengeluarkan bunyi. Bersamaan dengan kontraksi ventrikel, kedua
atrium akan di isi oleh masing-masing cabangnya
E.Fase Isovolumetric Relaxation
Setelah kedua ventrikel memompakan darah, maka tekanan di kedua ventrikel
menurun atau relaksasi sementara tekanan di sirkulasi sistemik dan sirkulasi
pulmonal meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan aliran darah balik ke kedua
ventrikel, untuk itu katup semilunar akan menutup untuk mencegah aliran darah balik
ke ventrikel. Penutupan katup semilunar akan mengeluarkan bunyi jantung dua (S2)
atau diastolic. Proses relaksasi ventrikel akan terekam dalam EKG dengan gelombang
T, pada saat ini juga aliran darah ke arteri koroner terjadi. Aliran balik dari sirkulasi
sistemik dan pulmonal ke ventrikel juga di tandai dengan adanya "dicrotic notch".
1. Total volume darah yang terisi setelah fase pengisian ventrikel secara pasip
maupun aktif ( fase ventrikel filling dan fase atrial contraction) disebut dengan
End Diastolic Volume (EDV)
2. Total EDV di ventrikel kiri (LVEDV) sekitar 120ml.
3. Total sisa volume darah di ventrikel kiri setelah kontraksi/sistolic disebut End
SystolicVolume (ESV) sekitar 50 ml.
4. Perbedaan volume darah di ventrikel kiri antara EDV dengan ESV adalah 70
ml atau yang dikenal dengan stroke volume. (EDV-ESV= Stroke volume)
(120-50= 70)
b. Pemeriksaan
Sirkulasi dan kontrol perdarahan meliputi:
Volume darah dan Cardiac Output
Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu:
1. Tingkat Kesadaran
zBila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran.
2. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
3. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar yaitu a.carotis atau a.femoralis, untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama.nadi yang tidak cepat,kuat dan teratur
merupakan tanda yang normo-volemia. Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang
lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia.
Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan petanda
diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan
Perdarahan eksternal (perdarahan yang nampak) dihentikan dengan penekanan
pada luka. Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan
dalam rongga thorax, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-
peritoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus
dada/perut.
c. Permasalahan
Perdarahan merupakan sebab utama kematian dan harus segera dilakukan
tindakan secara tepat dan cepat.
Tanda- tanda henti jantung adalah:
Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakhialis pada bayi).
Henti nafas atau megap- megap.
Terlihat seperti mati.
Warna kulit pucat sampai kelabu.
Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis
sesering mungkin merupakan tanda utama henti jantung.
Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak
teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar
diperlukan pada keadaan sangat gawat.
d. Penanganan
1. Pasien sadar
a. Posisi syok
Angkat kedua tungkai setinggi kurang lebih 45 derajat, hal ini bertujuan
untuk mengalirkan darah ke organ sentral (Jantung dan Otak).
b. Menghentikan perdarahan
1. Tekan sumber perdarahan
2. Tekankan jari pada arteri proksimal dari luka
3. Bebat tekan pada daerah yang luka
4. Pasang tampon sub fasia (gauza pack)
2. Pasien tidak sadar
Penanganan yang dilakukan adalah RKP (Resusitasi Kardio-Pulmonal)
AHA merekomendasikan kompresi dilakukan dengan perbandingan 30 : 2
untuk satu penyelamatan dan segala bentuk penyelamatan termasuk bayi baru lahir
hingga dewasa. Rekomendasi ini diberikan atas dasar penyelamatan yang maksimal
sesuai kebutuhan tubuh akan oksigen.
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest / tepat ditengah-tengah
dada (lihat : Gambar 1)
3. Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar (lihat : Gambar 2)
4. Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul
(hip joint)
5. Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (lihat : Gambar 3)
6. Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal
7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan
menghitung dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
Satu Dua Tiga Empat SATU
Satu Dua Tiga Empat DUA
Satu Dua Tiga Empat TIGA
Satu Dua Tiga Empat EMPAT
Satu Dua Tiga Empat LIMA
Satu Dua Tiga Empat ENAM
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi dada
luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan
sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang
sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan episternum. Tangan
penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus
dan kedua bahu tepat diatas sternum korban, penolong memberikan tekanan ventrikel
ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4 sampai 5 cm.
Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat
dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Bila ada
satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100 kali/ menit) harus diikuti
dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus
ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi).
Jadi 15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada
2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100
kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh penolong
kedua sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60
kompresi dada dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal
dalam 5 detik.
Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama. Bila dilakkan
dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100
mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak
boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal,
transportasi naik turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan
ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien. Periksa apakah denyut
karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut
: Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan
ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi
dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa apakah sudah
timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya.
III.2. SECONDARY SURVEY
Secondary surver dimaksudkan untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang
diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut, ada empat (4R), yaitu :
1. Recognition, diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dari
anamnesis, pemeriksaaan fisik, dan radiologi. Pada awalnya perlu
diperhatikan :
- Lokalisasi fraktur
- Bentuk fraktur
- Menentukan teknik yang sesuai untuk pengibatan
- Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2. Reduction : reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima. Posisi yang baik adalah aligment yang sempurna.
3. Retention : imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas funsional semaksimal mungkin.
III.3. INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI
a. Resusitasi Berhasil
Keberhasilan RJP mengacu pada RJP yang benar bukan daya tahan
korban. Keefektifan RJP tergantung:
1. Naik turunnya dada dengan setiap napas penyelamatan
2. Denyut nadi kembali teratur
3. Penderita sadar kembali (dapat bernapas dan denyut nadi teraba kembali)
b. Resusitasi yang tidak berhasil
1. Henti jantung terjadi lebih lama dari 30 menit (dengan atau tanpa RJP)
2. Dokter menyuruh untuk berhenti
3. Terlalu kehabisan tenaga untuk melanjutkan
4. Keadaan menjadi tidak aman
5. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi
spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30
menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum.
6. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung
jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
7. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebelumnya).
8. Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir
dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah
atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).
IV. DIAGNOSIS/TERAPI/PENANGANAN
FRAKTUR COLLUM FEMUR
Klasifikasi fraktur collum femur
Fraktur intrakapsuler
Fraktur ekstrakapsuler
Fraktur intrakapsuler (collum femur)
Mekanisme fraktur
Fraktur intrakapsuler ini (collum femur) dapat disebabkan oleh trauma langsung dan
trauma tak langsung.
Pada umumnya dikepustakaan pembagian klasifikasi fraktur collum femur
berdasarkan :
a) Berdsarkan lokasi anatomi di bagi menjadi 3:
Fraktur subcapital
Fraktur transcervical
Fraktur basis collum femur
b) Berdasarkan arah garis patah dibagi menurut Pauwel:
Tipe I sudut 30’
Tipe II sudut 50’
Tipe III sudut 70’
c) Dislokasi
Garden I : incomplete ( impacted)
Garden II : fraktur collum femur tanpa dislokasi
Garden III : fraktur collum femur dengan sebagian dislokasi
Garden IV : fraktur collum femur dan dislokasi total
Pemeriksaan Fisik
Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat. Pada
penderita tua biasanya trauma ringan seperti terpleset hingga terjungkal.penderita
sulit berdiri akibat rasa nyeri yang hebat, posisi panggul dalam keadaan flexi dan
eksorotasi, tungkai yang cedera memendek. Pada palpasi sering di temukan adanya
hematoma di panggul. Pada tipe impacted, pasien biasanya masih dapat berjalan
disertai rasa sakit yang hebat.
Pemeriksaan Radiologi
Proyeksi anteroposterior dan lateral kadang dibutuhkan axial. Pada
anteroposterior kadang tak jelas ditemukan adanya fraktur ( pada kasus impacted).
Maka perlu pemeriksaan proyeksi axial
Penanggulangan
- Impacted fraktur
Pada fraktur, collum femur yang benar-benar impacted dan stabil. Maka
penderita masih dapat berjalan selama beberapa hari. Gejala ringan, sakit sedikit
pada daerah panggul. Kalau impactednya cukup kuat penderita dirawat 3-4
minggu kemudian diperbolehkan berobat jalan dengan memakai tongkat selama
8 minggu. Bila pada foto impectednya kurang kuat ditakutkan terjadi
disimpacted, penderita dianjurkan untuk operasi dipasang internal fixation.
Operasi yang dikerjakan biasanya dengan multi pin teknik percutaneus.
- Dislokasi fraktur collum femur
Penderita dirawat di Rumah Sakit, tungkai yang sakit dilakukan pemasangan
penarikan kulit (skin traction) dengan Buck-extention. Dalam waktu 24 – 48 jam
dilakukan tindakan reposisi, yang dilanjutkan dengan pemasangan internal
fixasion. Reposisi yang dilakukan dicoba dulu dengan reposisi tertutup dengan
salah satu cara yaitu: menurut leadbetter. Penderita terlentang dimeja operasi.
Memfiksir pelvis kemudian lutut dan coxae dibuat flexi 90
FRAKTUR BATANG FEMUR (DEWASA)
1. MEKANISME TRAUMA
Daerah tulang-tulang ini sering mengalami fraktur. Biasanya terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Fraktur pada daerah ini dapat
menimbulkan pendarahan yang cukup banyak, yang mengakibatkan penderita shock.
2. KLASIFIKASI FRAKTUR BATANG FEMUR
Salah satu klasifikasi fraktur batang dibagi berdasarkan adanya luka yang
berhubungan dengan daerah yang patah, hal ini dibagi atas:
A. Fraktur femur terbuka
Ketentuan terbuka bila terdapat hubungan antara patah tulang dengan dunia
luar. Fraktur terbuka ini dibagi atas tiga derajat:
I. Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka
kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragment tulang dari dalam
menembus keluar.
II. Derajat II : Lukanya lebih besar ( >1cm) luka ini disebabkan
karena benturan benda dari luar.
III. Derajat III: Luka > derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak
yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah).
Pada umumnya bentuk penanggulangan fraktur terbuka, dilakukan tindakan
debridement sebaik-baiknya kemudian penggulangan untuk tulang sendiri dilakukan
seperti penanggulangan fraktur tertutup.
a. Pemeriksaan klinik
Daerah paha yang tulangnya patah sangat membengkak, ditemukan tanda
functiolaesa (tungkai bawah tidak dapat diangkat). Nyeri tekan, nyeri gerak.
Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau angulasi anterior rotasi.
Tungkai bawah, ditemukan adanya pemendekan tungkai pada fraktur 1/3
tengah femur, pada pemeriksaan harus di perhatikan pula kemungkinan
adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya ligament dari daerah lutut.
Kecuali itu juga diperiksa keadaan saraf sciatica dan arteri dorsalis pedis.
b. Penanganan
Pada fraktur tertutup nutuk sementara dilakukan skin teraksi dengan metode
buck extension. Atau dilakukan dulu pemakaain Thomas splint,tungkai
ditraksi dengan keadaan extensi.tujuannya untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah kerusakan yang lebih lanjut.
o Pada penanganan non operatif dilakukan skeletal traksi. Yang sering
digunakan ialah method perkin dan method balance skeletal traction
FRAKTUR BATANG FEMUR (ANAK-ANAK)
Pada anak-anak sering juga mengalami fraktur femur. Penyebab terbanyaknya
adalah ialah jatuh waktu bermain di rumah atau disekolah, diagnose mudah
ditegakkan.
Penanggulanagan:
Umumnya dengan terapi non operatif akan menyambung dengan baik.
Perpendekan kurang dari 2 cm masih bisa di terima karena perpendekan ini akan
sama panjangnya dengan tungkai yang normal. Hal ini di mungkinkan karena anak-
anak daya remodeling masih tinggi. Penanggulan non operasi dengan traksi kuli anak
berumur dibawah 3 tahun.
Traksi kulit-Bryant traksi:
Anak tidur terlentang di tempat itdur, kedua tungkai dipasang traksi kulit,
kemudian kedua tungkainya di tegakkan ke atas, ditarik dengan tali yang di beri
beban 1-2 kg, sampai kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat tidur.
Komplikasi pemakaian Bryant traksi:
Terjadinya ischemic paralysis. Hal ini disebabkan karena terganggunya aliran darah
pada tungkai yang di tinggikan.
Anak umur 3-13 tahun:
Dilakukan pemasangan Rusell traksi, untuk traksi ini diperlukan :
- Frame
- Katrol
- Tali
- Plester
-
Anak tidur terlentang dipasang plaster dari batas lulut. Di pasang sling di daerah
poplitea, sling dihubungkan dengan tali, dimana tali tersebut dihubungkan dengan
beban penarik.
Rawat setelah 4 minggu di traksi, callus sudah terbentuk tetapi belum kuat benar.
Traksi dilepas kemudian dipasang gips hemispica.
FRAKTUR SUPRACONDYLER FEMUR
Didaerah lutut terdapat banyak otot-otot yang yang perlu diketahui yang
menyebabkan pada fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi
dislokasi ke posterior. Hal ini disebabkan karena danya tarika dari otot-otot
gastrocnemeus, Hmastring dan Quadricep. Karena kerja otot-otot tersebut terkadang
menyulitkan penanggulangan fraktur supracondyler ini baik operatif maupun non
peratif. Biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan karena trauma langsung,
kerena kecepatan tinggi (tabrakan sepeda motor). Terjadi gaya axial dan sress vagus
dan disertai gaya rotasi.
Klasifikasi :
- Undiplaced impacted
- Displaced
- Comminutive
Pemeriksaan fisik:
Riwayat rauma berat ditemukan pembengkakan lutut dan deformitas lutut.
Radiologi:
Proyeksi anteroposterior dan lateral.
Penanggulangan:
Non operatif: Ttraksi: dilakukan sekeletal traksi dengan sistema balance
traksi. Untuk mengatasi dislokasi posterior fragmen distal femur dibawah lutut
diganjal dengan bahan lunak supaya lutunya mengadakan flrksi. Traksi dipertahankan
sampai terjadi callus 8-12 minggu. Komplikasi: kekakuan sendi
Operatif: dilakukan open reduksi, dipasang internal fiksasi. Keuntungan
operasi sendi dapat di tegakkan lebih bebas dan masa perawatan penderita lebih
pendek. Alat untuk fiksasi yang di gunakan condylar plate Ao.
FRAKTUR INTERCONDYLAIR
Biasanya fraktur intracondular diikut oleh fraktur supracondular,sehingga
sering bentuknya terjadi T fraktur atau Y fraktur.
Tanda klinis:
Hampir sama dengan tanda-tanda fraktur supracondyler femur, yaitu adanya
pembengkakan daerah lutut dan deformitas. Gerakan patella terhambat, di temukan
dengan jelas adanya krepitasi.
Pemeriksaan radiologi:
Proyeksi anteroposterior dan proyeksi lateral.
Penanggulangan:
Tujuan utama dalam penanggulangan fraktur intraarticular/intracondylar
adalah membentuk permukaan sendi seanatomis mungkin. Bila terjadi undisplaced
dapat dilakukan penanggulangan dengan skeletal traksi, kalau tidak berhasil
kedudukan fragmen tetap masih displaced dilakuakan tindakan open reduksi dan
pemasangan internal fiksasi. Internal fiksasi yang biasa dipakai: condylar blade Ao
atau sliding compression screw.
Komplikasi:
- Kelakuan sendi (ankylosis)
- Infeksi
- Malunion
- Non union
FRAKTUR CONDYLER FEMUR
Fraktur condyler femur lebih jarang dibandingkan femur lebih jarang
dibandingkan fraktur supracondyler femur dan intracondyler femur. Mekanisme
traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan
tekanan pada sumbu femur ke atas.
Klasifikasi:
- Undiplaced
- Displaced
- Bicondylar
- Coronal
Pemeriksaan fisik:
- Trauma berat
- Lutut haemarthoris
- Tampak deformitas varus pada kulit
- Krepitasi jelas dirasa.
Pemeriksaan radiologi:
Proyeksi anteroposterior dan proyeksi lateral.
TRAKSI EKSTREMITAS BAWAH
1. Traksi Kulit Buck’s Extension
a. Tunjuan utama penggunaan adalah untuk mengurangi spasme otot-otot
sekitar.
b. Jangan gunakan traksi ini untuk kelainan-kelainan pada tulang punggung.
c. Kuasai sebagian rotasi dengan meletakkan tungkai di atas bantal dan
dengan penggunaan kantong-kantong pasir pada sisi lateral dan medial
(seperlunya)
2. Traksi Hamilton-Russell
a. Dapat digunakan untuk patah tulang panggula atau femur, terutama pada
anak-anak dengan berat badan dari +20 kg sampai 30 kg patokan lain adalah
usia.
b. Dapat digunkan dengan pemasangan traksi kulit atau dalam keadaan tertentu
(terpaksa) dengan pin lewat tibia distal.
c. Gunakan juga sling di bawah paha pada distal bagian posterior untuk
mencegah penakan terhadap fossa popliteal.
d. Tali diikatkan pada sling dan pertama melewati suatu kerekan (katrol) di atas
kepala kemudian baru ke suatu kerekan (katrol) pada kaki tempat tidur baru
ke suatu katrol pada papan telapak kaki yang melekat pada batang pemisah
dan melalui kerekan keempat beban.
e. Traksu berubah beban tarikannya dengan memindahkan katrol, katrol kea rah
kaki tempat tidur(beban bertambah)
f. Traksi berlawanan didapat dengan meninggikan kaki penderita.
3. Traksi Split Russel’s
a. Indikasi sama
b. Menggunakan 2 katrol/kerekan
4. Kesatuan Traksi Charmley
a. Berguna untuk penggunaan traksi pada tungkai bawah, dan sangat sianjurkan
penggunaannya.
b. Dengan menggunakan pin atau wire pada proksimal tibia kemudian pin atau
wire diliputi oleh gips tungkai pendek (incorporated in short leg cast)
c. Kegunaan:
- Kaki dan pergelangan kaki dapat dipertahankan dalam posisi fungsional.
- Karena tungkai dalam gips tidak ada tekanan pada otot betis atau nervus
peroneus
- Gerakan pada pin atau wire sedikit sekali
5. Traksi Skeletal Balance-Suspension
a. Melalukan traksi langsung pada tibia atau femur melalui pin atau wire
b. Tungkai diletakkan pada suatu Thomas Splint dengan atau tanpa suatu
Pearson Attachment.
c. Pearson Attachment memungkinkan gerakan pada sendi lutut, sehingga
berguna untuk mencegah kekakuan sendi lutut.
d. Dengan menggunakan kerekan-kerekan pada Thomas Splint, keseluruhan
tungkai dapat mengambang bebas, dengan traksi pada tempat patah tetap
berjalan.
e. Dapat digunakan kesatuan traksi Charnley baik untuk Balanced-suspension
maupun traksi skeletal terpaku (fixed skeletal traction)
6. Traksi Skeletal Terpaku (Fixed Skeletal Traction)
a. Digunakan untuk patah tulang femur sambil menunggu tindakan terapi tetap,
berupa fiksasi interna atau untuk pengangkutan ke rumah sakit rujukan yang
letaknya agak jauh.
b. Gunakan :
- Bilamana karena kedudukan buruk, diperlukan anestesi umum atau
regional.
- Kesatuan traksi Charmley’
- Thomas Splint dengan lingkaran penuh (full ring) yang lebih luas lebih
kurang 5 cm dari lingkaran paha proksimal (edema)
- Gunakan kain tebal (semacam terpal) untuk menahan tungkai pada Thomas
Splint .
- Gunakan padding/ala tebal tetapi lunak (handuk dilipat) di bawah tempat
patah tulang.
- Sling di bawah gips kesatuan Charnley
- Terutama usahakan keseringan.
Daftar pustaka:
Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnosis. Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal
31-34, 46-49.