1 bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah peribahasa

40
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang digunakan sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir manusia. Pada hakikatnya, peribahasa merupakan pengejawantahan dari penggunaan bahasa yang memiliki suatu kekhasan tertentu, yakni mampu menunjukkan identitas antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Hal tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Sibarani (2004:61) yang menyatakan bahwa setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa (termasuk bahasa yang dipakai dalam peribahasa) dapat menentukan sifat atau ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, Depdikbud (1993:755) mendefinisikan peribahasa sebagai ungkapan atau kalimat- kalimat ringkas dan padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku yang menjadi salah satu gudang kebijaksanaan lokal (local wisdom) bagi suatu masyarakat. Adapun perumpamaan merupakan salah satu bagian dari peribahasa. Kridalaksana (2009:193) mendefinisikan bahwa perumpamaan merupakan peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud (sesuatu yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu yang diungkapkan). Ditambahkan olehnya bahwa dalam pembentukan sebuah perumpamaan dapat memakai kata seperti, ibarat, bagai, atau tidak memakai kata-kata tersebut. Oleh karena itu,

Upload: vuongtruc

Post on 30-Dec-2016

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang digunakan

sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir

manusia. Pada hakikatnya, peribahasa merupakan pengejawantahan dari

penggunaan bahasa yang memiliki suatu kekhasan tertentu, yakni mampu

menunjukkan identitas antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Hal

tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Sibarani (2004:61) yang

menyatakan bahwa setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu

bahasa (termasuk bahasa yang dipakai dalam peribahasa) dapat menentukan sifat

atau ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Sejalan dengan hal tersebut,

Depdikbud (1993:755) mendefinisikan peribahasa sebagai ungkapan atau kalimat-

kalimat ringkas dan padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat,

prinsip hidup atau aturan tingkah laku yang menjadi salah satu gudang

kebijaksanaan lokal (local wisdom) bagi suatu masyarakat.

Adapun perumpamaan merupakan salah satu bagian dari peribahasa.

Kridalaksana (2009:193) mendefinisikan bahwa perumpamaan merupakan

peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud (sesuatu yang

tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu yang diungkapkan). Ditambahkan

olehnya bahwa dalam pembentukan sebuah perumpamaan dapat memakai kata

seperti, ibarat, bagai, atau tidak memakai kata-kata tersebut. Oleh karena itu,

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

2

perumpamaan merupakan salah satu cakupan dari peribahasa yang khusus

berisikan tentang perbandingan satu hal dengan hal lain yang dapat menggunakan

kata pembanding atau tidak menggunakan kata pembanding.

Salah satu hal yang menarik dari peribahasa dan perumpamaan adalah

penggunaan nama hewan di dalamnya. Dunia hewan sebagai salah satu entitas

makhluk hidup memiliki suatu kedekatan tersendiri dengan kehidupan manusia.

Hubungan yang terjadi antara manusia dengan hewan membuat seseorang dapat

mengenali lebih dekat kebiasaan-kebiasaan dari masing-masing hewan. Kövecses

(2002:124) menyatakan bahwa banyak dari perilaku manusia yang dipahami

melalui penyerupaan atas perilaku hewan. Dari pernyataan tersebut dapat

diperoleh informasi bahwa hewan merupakan suatu piranti khusus yang

digunakan untuk memahami aspek-aspek kehidupan manusia.

Fenomena lain dari keunikan penggunaan nama hewan dalam peribahasa

adalah adanya hasil penelitian oleh Krikmann (2007) dalam (Ho-Abdullah,

2011:126) yang menyimpulkan bahwa penggunaan nama hewan dapat ditemui

dalam peribahasa dari semua bahasa di dunia ini. Krikmann (2007) dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa tanpa melihat perbedaan kondisi geografis,

bahasa, dan budaya, penggunaan nama hewan yang paling kerap ditemukan dalam

peribahasa adalah hewan yang dapat diternak dan hewan yang jinak. Senada

dengan hal tersebut, dalam perumpamaan juga didapati penggunaan nama hewan

sebagai sarana perbandingan atau pengibaratan antara satu hal dengan hal lain.

Kedekatan hubungan hewan secara verbal juga dapat ditemukan dalam

perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab, yang dalam istilah bahasa Arab

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

3

disebut األمثال „al-amṡāl‟. Berikut adalah ditampilkan contoh keberagaman jenis

hewan yang muncul di dalamnya.

الكلب كلب و لو طّوقته ذهبا (1)

alkalbu kalbun wa lau ṭawwaqtahū żahaban anjing itu anjing meskipun dikalungi emas

„anjing itu tetap berupa anjing sekalipun engkau beri kalung emas‟ (Ma‟lūf,

2002:1006)

عنه الحمر اذا جرى المذكى حسرت (4) iżā jarā al-mużakkī ḥasarat „anhu al-ḥumuru

apabila telah berlari kuda pacuan kalah darinya beberapa keledai

„apabila kuda pacuan sudah berlari, maka semua keledai akan merasa kalah‟

(Ma‟lūf, 2002:977)

نملة أجمع من (2)

ajma‟u min namlatin

banyak mengumpulkan semut

„lebih pandai menghimpun daripada semut‟ (Ma‟lūf, 2002:977)

أبصر من نسر (3)

abṣaru min nisrin

banyak melihat burung elang

„lebih tajam penglihatannya daripada burung elang‟ (Ma‟lūf, 2002:973)

الحبارى أسلح من (5)

aslaḥu min al- ḥubārā

banyak mengeluarkan kotoran burung hubara

„lebih banyak tahinya daripada burung ḥubarā‟ (Ma‟lūf, 2002:992)

أشهر من األبلق (6)

asyharu min al-ablaqi

banyak terkenal kuda ablaq

„lebih tersohor daripada kuda ablaq‟ (Ma‟lūf, 2002:995)

حمام مكة من آمن (7)

āmana min ḥamāmi makkata

banyak tentram burung merpati Makkah

„lebih tenteram daripada burung merpati Makkah‟ (Ma‟lūf, 2002:972)

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

4

Dari beberapa contoh di atas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa, (1)

sejalan dengan penelitian Krikmann, amṡāl juga menggunakan nama hewan di

dalamnya, (2) amṡāl memiliki keberagaman penyebutan nama hewan, (3) terdapat

nama-nama hewan yang hanya dapat ditunjukkan dengan menggunakan leksikon

dalam bahasa Arab. Penjelasan dari kesimpulan awal tersebut ditunjukkan oleh

amṡāl (1) di atas yang menggunakan nama hewan kalbun „anjing‟, amṡāl (2) yang

menggunakan nama namlatun „semut‟, amṡāl (3) yang menggunakan nama nisrun

„burung elang‟, amṡāl (4) yang menggunakan nama ḥumurun „keledai (pl)‟ dan

al-mużakkī „kuda pacuan‟, amṡāl (5) yang menggunakan nama ḥubārā „burung

hubara‟, amṡāl (6) yang menggunakan nama ablaq „kuda ablaq‟, dan amṡāl (7)

yang menggunakan nama ḥamāmu makkata „burung merpati Makkah‟.

Keberagaman penggunaan nama-nama hewan dalam al-amṡāl di atas tidak

serta merta hanya digunakan begitu saja, tetapi penggunaan nama hewan tersebut

erat hubungannya dengan keadaan geografis serta sosial-budaya masyarakat

penggunaanya. Fenomena tersebut dikarenakan peribahasa telah dikenal sebagai

sebuah rangkaian kata-kata yang mengandung kearifan lokal, seperti isu sosial,

budaya, etika, serta filosofi suatu masyarakat penggunanya. Penyebutan nama

hewan anjing, semut, dan keledai mungkin telah digunakan dalam sebagian

perumpamaan dan peribahasa bahasa di dunia (Ho-Abdullah, 2011:126). Akan

tetapi, penyebutan hewan burung ḥubara, kuda ablaq, dan burung dara Makkah

dimungkinkan hanya terjadi dalam bahasa Arab. Hal tersebut dikarenakan adanya

suatu keterkaitan emosional tersendiri dengan masyarakat pengguna bahasa

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

5

tersebut serta keadaan geografis dari wilayah di mana perumpamaan dan

peribahasa tersebut muncul.

Fenomena di atas berbanding lurus dengan pernyataan Danandjaja

(1994:21-28) yang menyatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk

foklor yang merupakan intisari dari pengalaman suatu masyarakat penutur bahasa.

Sebagai bagian dari peribahasa, perumpamaan juga di dalamnya merupakan

intisari dari pengalaman hidup masyarakatnya yang tercermin dalam

perbandingan-perbandingan antara satu hal dengan hal yang lain. Oleh karena itu,

hal yang hendak ditunjukkan dari pernyataan tersebut adalah adanya hubungan

atau relasi antara bahasa dengan latar belakang pengalaman masyarakat penutur

suatu bahasa. Evidensi lain dari kekhasan penggunaan nama hewan yang

tercermin dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab adalah seperti contoh di

bawah ini:

إذا جاء أجل البعير حام حول البئر (8)

iżā jāa ajalu al-ba‟īri ḥāma ḥaulal bi‟ri

jika telah datang kematian unta berputar-putar sekeliling sumur

„jika ajal unta tersebebut telah tiba, ia berputar-putar sekeliling sumur‟ (Ma‟lūf,

2002:975)

ال ناقتي فى هذا وال جملى (9) lā nāqatī fī hāżā wa lā jamalī

tidak ada unta (ku) di dalam ini tidak ada unta (ku)

„di sini tidak ada untaku, baik yang betina maupun jantan‟ (Ma‟lūf, 2002:1011)

الجمل من جوفه يجترّ (10)

al-jamalu min jaufihi yajtarru

unta itu memamah biak dari perutnya

„unta itu memamah biak dari perutnya sendiri‟ (Ma‟lūf, 2002:977)

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

6

Perumpamaan dan peribahasa di atas menggunakan beberapa leksikon

dalam penyebutan nama hewan „unta‟, yakni (8) البعير „al-ba‟īru‟ (9) الناقة „an-

nāqatu‟ (10) الجمل „al-jamalu‟. Dalam budaya masyarakat Arab, leksikon-leksikon

tersebut memiliki komponen makna yang berbeda (Anis, 1972:63). Dalam bahasa

Indonesia, penyebutan leksikon tersebut hanya dikenal kata unta saja, adapun

dalam bahasa Inggris disebut camel. Leksikon-leksikon tersebut tidak dapat

ditemukan dalam perumpamaan dan peribahasa Indonesia karena masyarakat

Indonesia tidak mempunyai kedekatan yang khusus terhadap unta serta bukan

hewan yang dianggap penting dalam budaya masyarakat Indonesia. Begitu juga

dalam perumpamaan dan peribahasa Inggris, leksikon-leksikon tersebut juga tidak

akan ditemukan. Oleh karena itu, contoh-contoh tersebut di atas juga

menunjukkan bukti adanya hal-hal lain di luar aspek kebahasaan yang berkaitan

dengan penggunaan nama hewan dalam sebuah perumpamaan dan peribahasa.

Dalam kaitannya dengan aspek makna, peribahasa merupakan representasi

dari penggunaan makna figuratif (Pateda, 2001:108). Abrams (2009:118-121)

mengungkapkan bahwa makna figuratif dapat terdiri atas, simile (perbandingan),

metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Bahasa figuratif atau kiasan

merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan

dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan

(rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus

(Abrams, 2009:118). Penyimpangan makna dalam kaitannya dengan makna

figuratif tersebut dapat menggunakan berbagai macam hal, dalam kaitannya

dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan nama hewan.

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

7

Beberapa persoalan yang timbul dari penggunaan nama hewan tersebut

adalah interpretasi dari masing-masing penggunaan nama hewan dalam

perumpaman dan peribahasa tersebut. Lakoff dan Turner (1989:193-194)

menyatakan bahwa interpretasi terhadap citraan nama hewan dapat dilihat melalui

penggunaan metafora yang disandarkan pada budaya masyarakat terkait. Oleh

karena itu, maka dapat dikatakan bahwa interpretasi atas penggunaan suatu nama

hewan berkaitan erat dengan masyarakat pengguna suatu bahasa yang terbingkai

dalam metafora yang dalam hal ini merupakan salah satu pengejawantahan atas

pemanfaatan makna figuratif.

Di antara interpretasi penggunaan nama hewan yang disimpulkan oleh

Lakoff dan Turner (1989:194) tersebut adalah singa diidentikkan sebagai hewan

yang berani dan mulia; rubah sebagai hewan yang cerdik; serigala sebagai hewan

yang kejam dan pembunuh; gorila sebagai hewan yang cenderung gaduh dan

buas. Persoalan yang timbul dari interpretasi tersebut adalah apakah interpretasi

tersebut berlaku juga dalam perumpamaan dan peribahasa Arab, mengingat bahwa

penentuan interpretasi berkaitan erat dengan aspek budaya dari penuturnya. Hal

lain yang muncul dari makna figuratif nama hewan adalah acuan dari penggunaan

nama hewan tersebut, mengingat makna figuratif merupakan makna yang tidak

sebenarnya atau makna kiasan. Adapun acuan yang dimaksud adalah unsur-unsur

luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa (Kridalaksana, 2009:208). Berikut

adalah contoh gambaran kondisi makna figuratif penggunaan nama hewan:

أبطأ من غراب نوح (11)

abṭau min gurābi nūhin

banyak lambat burung gagak Nuh

„lebih lambat daripada burung gagaknya Nuh‟ (Ma‟lūf, 2002:973)

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

8

Contoh (11) di atas menunjukkan adanya penggunaan nama burung gagak

Nuh. Secara literal, burung gagak merupakan salah satu spesies burung dari jenis

omnivora. Akan tetapi, penggunaan nama burung gagak pada contoh (11) tidak

dihubungkan lagi dengan makna literal tersebut, namun hendak dihubungkan

dengan orang yang tidak cekatan atau bersikap lamban. Oleh karena itu, makna

figuratif pada peribahasa (11) tersebut hendak digunakan untuk menggambarkan

pada sebuah perilaku tidak baik, yakni tidak cekatan. Munculnya makna figuratif

tersebut diilhami dari adanya sejarah, yakni kisah nabi Nuh yang membuat sebuah

kapal sebagai tempat berlindung di saat sebelum terjadinya banjir dan topan. Ia

mengumpulkan seluruh manusia dan binatang untuk naik ke atas kapal tersebut.

Akan tetapi, burung gagak merupakan binatang yang datang paling akhir. Dengan

adanya latar sejarah tersebut, maka hal yang menjadi acuan dari burung gagak

dalam peribahasa (11) tersebut adalah penggambaran seseorang yang berperilaku

tidak cekatan atau lamban dalam mengerjakan suatu hal.

Tindak lanjut dari interpretasi serta penelusuran terhadap acuan yang

muncul dari nama hewan dalam peribahasa tersebut akan mengundang pada suatu

fungsi tertentu, yakni fungsi penggunaan peribahasa. Hal tersebut mengingat

Meider (2004:3) yang menyatakan bahwa dalam sebuah peribahasa terkandung

nilai-nilai kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan tradisional suatu

kelompok masyarakat. Oleh karena itu, melalui interpretasi dan penelusuran

terhadap hal yang diacu dari penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan

peribahasa diasumsikan akan mampu menemukan fungsi penggunaan

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

9

perumpamaan dan peribahasa sebagai salah satu piranti komunikasi antar

manusia.

Dari pemaparan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian terkait

dengan penggunaan nama hewan, interpretasi penggunaan nama hewan,

penelusuran acuan dari penggunaan makna figuratif nama hewan serta fungsi

penggunaan perumpamaan dan peribahasa yang di dalamnya terdapat penggunaan

nama-nama hewan. Selain itu perlu juga dipaparkan secara singkat keadaan

geografis, biogeografis, serta sosial-budaya masyarakat Arab sebagai pemahaman

awal atas penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa

Arab.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja nama-nama hewan yang digunakan dalam perumpamaan dan

peribahasa bahasa Arab dan mengapa nama-nama hewan tersebut

digunakan?

2. Bagaimana interpretasi dan makna yang muncul dari penggunaan nama-

nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab?

3. Bagaimana fungsi dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang

menggunakan nama-nama hewan di dalamnya?

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

10

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memaparkan, mengklasifikasikan, dan menunjukkan nama-nama hewan

yang digunakan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab serta

menjelaskan hal-hal lain yang menyebabkan penggunaan nama-nama

hewan tersebut, seperti keadaan geografis, biogeografis, serta sosial-

budaya masyarakat Arab.

2. Menjelaskan interpretasi dan acuan-acuan apa saja yang muncul dari

penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa

bahasa Arab.

3. Menjelaskan fungsi dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang

menggunakan nama-nama hewan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat yang besar, baik dari ranah

teoretis maupun praktis. Dalam ranah teoretis, pertama, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan sumbangan referensi dalam khazanah kajian semantik kognitif,

terlebih dengan data utama bahasa Arab. Kedua, penelitian ini kiranya bermanfaat

untuk membuka cakrawala serta memotivasi tumbuhnya kajian-kajian yang

serupa sehingga mampu digunakan sebagai media untuk mengembangkan disiplin

ilmu linguistik dengan objek bahasa Arab.

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai pegangan hidup

atau pengontrol sikap dan perilaku sehari-hari mengingat peribahasa merupakan

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

11

suatu fakta kebahasaan yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal, seperti

kedermawaan, keberanian, kebaikan, persaudaraan, dan sebagainya. Selain itu,

penelitian ini juga dapat membantu masyarakat secara umum untuk lebih

mengetahui dan memahami perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang di

dalamnya menggunakan nama-nama hewan sebagai wahana pembelajaran dan

sumber pengetahuan. Hal tersebut sangat berguna untuk mengatasi atau

menghindari kemungkinan adanya salah tafsir dan perbedaan persepsi saat

berkomunikasi atau berinteraksi dengan penutur bahasa Arab.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tentang makna figuratif penggunaan nama-

nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Abrams

(2009:118-121) telah mengungkapkan bahwa makna figuratif dapat terdiri atas,

simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Akan

tetapi, yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini hanya simile

(perbandingan) dan metafora saja. Hal tersebut karena simile (perbandingan) dan

metafora merupakan gaya bahasa yang paling banyak dimanfaatkan dalam makna

figuratif pengunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa

Arab. Pada dasarnya, simile dan metafora diciptakan berdasarkan atas adanya

persamaan (similarity) antara dua satuan atau dua term, dalam hal ini term yang

pertama adalah nama hewan yang selanjutnya bertindak sebagai pembanding

sedangkan term yang kedua adalah hal lain yang diacu dari penggunaan nama

hewan itu sendiri yang selanjutnya bertindak sebagai pebanding. Adapun

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

12

perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang akan diteliti diambil dari buku

yang berjudul “Farā‟id al-Adāb” karya Ma‟lūf (2002) yang telah dipersatukan

olehnya dalam kamus “al-Munjid”. Oleh karena itu, jika dimungkinkan terdapat

perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang tidak termaktub dalam buku

tersebut, maka tidak menjadi bahasan dalam penelitian ini.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan tentang pengunaan nama hewan dan ungkapan

figuratif ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumya, baik dalam bentuk

buku, jurnal maupun penelitian. Berikut disajikan penelitian yang mempunyai

relevansi terhadap penelitian ini:

“„Farm‟ Animal Metaphors in Malay and Arabic Figuratif Expressions:

Implications for Language Learning” karya Rashid dkk (2012) dalam

International Journal of Applied Linguistics & English Literature. Jurnal tersebut

meneliti tentang metafora hewan yang digunakan dalam ungkapan figuratif dalam

bahasa Malaysia dan Arab. Ungkapan figuratif yang digunakan sebagai data

adalah peribahasa dan idiom dalam bahasa Malaysia dan Arab yang menggunakan

nama hewan tertentu, yakni sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Analisis

menekankan pada aspek konotasi yang timbul dari penggunaan nama hewan.

Hasil analisis menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan konotasi yang

timbul dari penggunaan nama hewan tersebut. Perbedaan tersebut sebagai akibat

dari perbedaan budaya antara dua negara tersebut. Hasil dari penelitian tersebut

dapat digunakan sebagai masukan dalam pembelajaran bahasa, terlebih dalam

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

13

kasus metafora dalam ungkapan figuratif bagi penutur asing dari kedua bahasa

tersebut.

Rohman (2009) dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Bentuk dan

Makna dalam Peribahasa Arab”. Pembahasan Rohman dalam tesisnya tersebut

lebih fokus dan mendalam pada analisis bentuk daripada analisis makna karena

analisis makna dalam tesis tersebut hanya sampai pada penunjukan alat yang

dimanfaatkan sebagai metafora, yakni dapat melalui ranah perdagangan, pertanian

dan perkebunan, peternakan atau kehewanan, peperangan, dan alam semesta.

Ranah-ranah tersebut dilihat dari penggunaan unsur-unsur leksikal dalam

peribahasa Arab. Adapun analisis bentuk dalam tesis tersebut telah dilakukan

secara lebih mendalam. Analisis bentuk tersebut menyimpulkan bahwa peribahasa

Arab tersebut dapat terbentuk dari beberapa tataran kebahasan, yakni frase,

klausa, dan kalimat. Masing-masing tataran kebahasaan tersebut mempunyai

variasi dalam pembentukan peribahasa Arab.

Marfu‟ah (2006) dalam bentuk tesis dalam judul “Penerjemahan

Peribahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia Serta Implikasinya Bagi Pembelajar

(Studi Analitis Buku Peribahasa Arab Terjemahan Muh. Abdai Rathomy)”.

Penelitian tersebut lebih menyoroti sistem penerjemahan sehingga dalam

penelitian tersebut dilakukan untuk, (1) mengetahui karakteristik bagaimana sang

penerjemah (Rathomy) menerjemahkan peribahasa-peribahasa tersebut ke dalam

bahasa Indonesia, (2) mengetahui tema yang terkandung dalam peribahasa, (3)

mengetahui bagaimana mencari padanan peribahasa Arab di dalam bahasa

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

14

Indonesia, (4) mengetahui impliasinya bagi pembelajar, khususnya pembelajar

terjemah.

Rathomy (1982) yang telah menulis buku dengan judul “Peribahasa

Bahasa Arab”. Buku tersebut merupakan hasil penerjemahan dari kitab “Farāidul

„Adāb” karya Louis Ma‟lūf. Rathomy dalam buku tersebut telah melakukan

penerjemahan peribahasa-peribahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Buku tersebut

dapat dikatakan sebagai oase di tengah padang pasir bagi pengkaji peribahasa,

terlebih peribahasa Arab. Hal tersebut dikarenakan kehadiran buku tersebut

merupakan usaha awal yang baik dalam rangka penerjemahan peribahasa dari

bahasa Arab ke bahasa Indonesia meskipun penerjemahan yang dilakukan belum

sampai pada pembongkaran atas makna interpretasi dari peribahasa-peribahasa

Arab tersebut.

“Mahfuzhat, Bunga Rampai Peribahasa Arab”, karya Syaifuddin dan

Ubaey (2011). Buku tersebut merupakan buku yang banyak diajarkan di dalam

dunia pesantren. Isi dari buku tersebut tidak sepenuhnya berisikan peribahasa

Arab, namun juga terdapat di dalamnya adagium, ayat al-Qur‟an, hadiṡ, bait-bait

hikmah, serta nasihat-nasihat ulama dan para pujanga Arab yang telah disertai

dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Kandungan isi dari buku tersebut

tentang hal-hal universal yang positif, ajaran-ajaran serta nilai luhur kemanusiaan

dan keagungan sang pencipta. Sebagian besar bentuk kalimat yang ada di

dalamnya digunakan untuk mengajarkan tatanan, gaya bahasa, dan susunan-

susunan kalimat (uslūb) yang indah sehingga banyak ditemukan ungkapan

metaforis di dalamnya.

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

15

“Analisis Kognitif Semantik Peribahasa Melayu Bersumberkan Anjing

(Canis Familiaris)” karya Ho-Abdullah (2011) dalam GEMA Online Journal of

Language Studies. Jurnal tersebut meneliti terkait dengan adanya pemanfaatan

metafora dan metonimi yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Melayu.

Semantik kognitif yang digunakan sebagai teori dalam penelitian tersebut

berfungsi untuk menggali latar belakang budaya berdasarkan pengalaman yang

dialami oleh suatu masyarakat penutur bahasa sehingga mampu mencerminkan

kebudayaan yang dimilikinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa binatang anjing

dalam peribahasa Melayu diidentikkan sebagai citraan bagi orang yang lemah,

hina, jahat, serta tidak berilmu. Penulis memaparkan bahwa hal tersebut berbeda

dengan pengidentikan pada bahasa Inggris yang mencitrakan binatang anjing

sebagai orang yang taat dan setia.

Efawati (2013) dalam bentuk tesis yang berjudul “Figuratif dalam Bahasa

Madura (Analisis Semantik)”. Tesis tersebut membahas tentang makna figuratif

dalam peribahasa Madura. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa peribahasa

Madura memanfaatkan beberapa cara dalam penyampaian makna figuratifnya,

yakni metafora, simile, dan personifikasi. Penggunaan makna figuratif tersebut

memiliki relasi hubungan dari budaya lokal masyarakat Madura, seperti carok,

karapan sapi, dan tanèyan lanjhâng.

Arianto (2013) yang melakukan penelitian tentang metafora dalam

tesisnya yang berjudul “Metafora dalam Pusi Imam Syafi‟i”. Penelitian tersebut

merumuskan bahwa puisi sebagai hasil rekaman dan interpretasi pengalaman

manusia banyak diungkapkan dengan menggunakan bahasa kiasan, salah satunya

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

16

menggunakan sarana metafora. Dari 130 syair puisi dalam “Diwān al-Imām asy-

Syafi‟ī” terdapat beberapa jenis metafora yang digunakan. Berdasarkan unsur

pembandingnya terdapat metafora yang berupa berupa metafora keadaan (being),

metafora kosmos (cosmos), metafora tenaga (energy), metafora permukaan bumi

(terrestrial), metafora benda mati (object), metafora tumbuhan (living), dan

metafora binatang (animate). Berdasarkan bentuk kebahasaan, unsur pembanding

dalam metafora tersebut berupa kata, frasa, dan klausa. Penelitian tersebut juga

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara metafora yang digunakan dalam

puisi tersebut dengan budaya Arab. Perbedaan budaya membawa suatu konsep

pemaknaan yang berbeda pada suatu kata. Akan tetapi, tidak jarang juga memiliki

konsep pemaknaan yang sama dikarenakan adanya kegiatan-kegiatan seperti

pertukaran pelajar atau pengetahuan-pengetahuan dari pihak luar yang masuk ke

dalam dunia Arab. Oleh karena itu, dengan adanya hubungan antara metafora

dengan budaya Arab, unsur pembanding yang sering muncul adalah menggunakan

beberapa hal yang familiar dengan kehidupan sehari-hari bangsa Arab, seperti api,

air, cahaya, matahari, dan lain sebagainya.

Annas (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Metafora dalam

Kumpulan Puisi Leaves of Grass Karya Walt Whitman”. Penelitian tersebut

merupakan penelitian yang terkait dengan penggunaan makna figuratif, yakni

metafora. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap metafora dalam puisi

tersebut terdiri dari tenor, vehicle dan ground. Adapun yang paling banyak

digunakan adalah vehicle. Berdasarkan medan semantiknya, metafora dalam puisi

tersebut terdiri atas metafora being, cosmos, energy, substance, terrestrial,

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

17

objective, living, animate, dan human. Penggunaan metafora dalam puisi-puisi

tersebut muncul berdasarkan pada inspirasi yang berasal dari pengalaman,

perasaan, dan suasana hati yang dimiliki Walt Whitman pada masa kehidupannya.

Metafora yang digunakan olehnya juga dipengaruhi oleh kisah-kisah spiritual

bangsa India. Penggunaan metafora yang terdapat pada kumpulan pusi tersebut

memiliki bebrapa fungsi, yakni menyatakan pujian, kebahagian, kesedihan, rasa

takut, ungkapan rasa syukur, nasihat, serta menyatakan hujatan.

Sari (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora pada Lagu-lagu

Spiritual Negro (The Negro Spirituals)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

metafora yang digunakan dalam lagu-lagu tersebut memiliki ciri khusus, yaitu

kaum Black American (BA) sering menggunakan vehicle manusia (human

metaphor). Pemakain vehicle manusia ini terkait dengan pemahaman

antrophormic yaitu bahwa Tuhan, setan, dan malaikat dimengerti dalam bentuk

manusia. Ciri khsuus yang lain yaitu kaum BA sering menggunakan vehicle setan

untuk menyebut kaum White American (WA) yang merupakan master atau

majikan mereka. Berdasarkan medan semantik terdapat 8 jenis metafora, yakni

metafora being, cosmos, energy, terrestrial, objective, tumbuhan, binatang serta

manusia. Metafora yang sering digunakan adalah metafora manusia. Penelitian

tersebut juga menunjukkan hubungan antara penciptaan metafora pada lagu-lagu

spiritual dengan budaya kaum BA. Terkait dengan fungsi, metafora-metafora

yang muncul berfungsi untuk mengungkapkan perasaan para budak BA, yang

meliputi kesedihan, kemarahan, ketaatan kepada Tuhan, keputusasaan serta

metafora yang berfungsi untuk menunjukkan harapan.

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

18

Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian

terkait dengan penggunaan nama-nama hewan dalam perupamaan dan peribahasa

bahasa Arab perlu dilakukan lebih lanjut. Dilihat dari segi objek penelitian,

penelitian ini memiliki kekhasan khusus, yakni bertemakan nama hewan

(zoology). Nama hewan yang akan diteliti adalah semua nama hewan dalam

perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab sehingga akan mampu menampilkan

nama-nama hewan apa saja yang menjadi ciri khas di dalam penggunaannya.

Selain itu, sumber data yang digunakan dalam peribahasa ini menyatu dalam

kamus al-Munjid yang memiliki wilayah pendistribusian yang sangat luas

sehingga penelitiannya pun menjadi hal yang menarik dan penting adanya.

1.7 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini akan dikemukakan secara komprehensif dasar-

dasar teoretis yang berhubungan dengan penelitian terkait.

1.7.1 Semantik Kognitif

Semantik merupakan suatu disiplin keilmuan yang mempelajari tentang

makna dari suatu lambang kebahasaan. Semantik sebagai bagian dari teori ilmu

bahasa (linguistik) telah mengalami berbagai perkembangan di dalamnya, salah

satunya adalah munculnya aliran semantik kognitif. Semantik kognitif merupakan

salah satu perkembangan dalam bidang semantik yang dimulai dari tahun 1980-an

(Geeraert, 2010:182). Teori tersebut merupakan teori yang muncul untuk

mematahkan teori semantik kebenaran (truth-conditional semantics). Hal tersebut

tampak pada pernyataan Sweetser (1990:4) yang menyatakan bahwa “By viewing

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

19

meaning as the relationship between words and the world, truth-conditional

semantics eliminates cognitive organization from the linguistic system”.

Geeraert (2010:182) mendefinisikan semantik sebagai suatu disiplin

keilmuan yang mempelajari makna sebagai bagian dari bingkai kognisi manusia

secara luas. Adapun Saeed (1999:299) menyatakan bahwa semantik kognitif

adalah pendekatan dalam semantik yang memandang makna bahasa sebagai

bagian dari persoalan mental. Oleh karena itu, dari definisi-definisi tersebut dapat

dikatakan bahwa semantik kognitif memandang makna sebagai hasil kognisi

manusia sehingga penelitiannya pun lebih diarahkan pada bagaimana kognisi

manusia dalam mengkonseptualisasikan makna. Tindak lanjut dari definisi

tersebut hendak memposisikan semantik kognitif sebagai suatu alat yang dapat

digunakan untuk mengungkap dan mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk

kebahasaan yang didalamnya diperlukan suatu kerja kognisi dalam menganalisis

maknanya. Honeck (1997:1) mengatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu

bentuk kebahasaan yang kompleks sehingga memerlukan sentuhan cognitive

science untuk memahami atau menganalisisnya lebih dalam.

1.7.2 Perumpamaan dan Peribahasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi peribahasa

merupakan kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya

mengkiaskan maksud tertentu seperti keadaan seseorang atau yang mengenai

kelakuan atau perbuatan tentang diri orang lain serta di dalamnya berisi ungkapan

atau kalimat ringkas dan padat yang berupa perbandingan, perumpamaan, nasehat,

prinsip hidup, dan aturan tingkah laku (KBBI, 2008:1055). Adapun Kridalaksana,

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

20

salah satu pakar ahli dalam ilmu bahasa mendefinisikan peribahasa sebagai

kalimat atau penggalam kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan

fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk

penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat,

pengajaran atau pedoman hidup (Kridalaksana, 2009:189). Ditambahkan oleh

Kridalaksana bahwa peribahasa mencakup di dalamnya terdapat bidal, pepatah,

perumpamaan, ibarat, dan pameo.

Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun

dari maksud (sesuatu hal yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu hal

diungkapkan) yang dapat menggunakan kata pembanding seperti, ibarat, bagai,

macam, dan lainnya atau tidak menggunakan kata-kata pembanding tersebut.

Dicontohkan olehnya perumpamaan misalnya, seperti katak dalam tempurung,

dan ibarat bunga: sedap dipandang, layu dibuang.

Honeck (1997:71) mengungkapkan bahwa istilah peribahasa seringkali

dikacaukan dengan idiom. Secara konseptual dua istilah tersebut memiliki

perbedaan namun keduanya memiliki suatu titik kemiripan yang hampir sama,

yakni secara semantis keduanya mengalami penyimpangan makna dari unsur-

unsur pembentuknya. Penyimpangan makna pada idiom tidak dapat secara

langsung ditelusur dari makna masing-masing kata yang menjadi unsur-unsur

pembentuknya. Akan tetapi, penyimpangan makna pada peribahasa dapat

ditelusur melalui skema metaforikal, yakni dengan menelusur unsur pembanding

(vehicle), unsur pebanding (tenor), dan kesamaan antara unsur pembanding dan

unsur pebanding (ground) (Honect, 1997:71-23).

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

21

Peribahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah proverb, yang

merupakan turunan dari bahasa Latin proverbium yang mengandung arti kata-kata

konkrit dan sederhana yang dikenal secara berulang-ulang untuk mengungkapkan

suatu kebenaran berdasarkan logika umum sebagai metafora yaitu pengungkapan

berupa perbandingan analogis untuk mengungkapkan gambaran tentang perilaku

seseorang atau sesuatu yang dianggap kurang cocok dalam lingkungan

masyarakat. Peribahasa menggambarkan hukum dasar dari tingkah laku dan

umumnya berlaku sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Peribahasa

merupakan motto sebagai cambuk atau pengingat bagi manusia yang melakukan

perbuatan yang dianggap melanggar adat ataupun budaya di lingkungannya. Ilmu

yang mempelajari peribahasa disebut paremiology (www.aip-iap.org/en).

Adapun dalam bahasa Arab dikenal kata maṡal atau al-amṡāl. Kata

tersebut merupakan padanan yang mendekati istilah perumpamaan dan peribahasa

dalam istilah linguistik Arab. Pakar linguistik Arab, Zulhaim (1982:21)

memberikan contoh istilah tersebut dalam beberapa bahasa yang masih tergolong

dalam rumpun semitik. Dalam bahasa Arab, peribahasa disebut „maṡal‟. Dalam

bahasa Ibriyah disebut „masal‟. Dalam bahasa Aramiah disebut „matlā‟. Dalam

bahasa Habsyiah disebut „mesel‟ dan dalam bahasa Akadiah disebut „meslum‟.

Menurut Zulhaim bahwa maṡal memiliki pengertian al- miṡlu wan naẓīru

(persamaan atau keserupaan). Terkait dengan bentuk kebahasaan, peribahasa Arab

dapat terbentuk dari satuan kebahasaan yang berupa frasa, klausa, dan kalimat.

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

22

1.7.3 Makna Figuratif

Makna figuratif merupakan kandungan makna yang terdapat dalam suatu

ungkapan figuratif (figurative expression), seperti halnya dalam peribahasa.

Makna kiasan (figurative meaning, transferred meaning) merupakan pemakaian

satuan kebahasaan dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh adalah

„mahkota wanita‟. Satuan kebahasaan yang berupa frasa tersebut tidak dimaknai

sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya yang

merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau

permata namun frasa tersebut dimaknai sebagai „rambut wanita‟. Abrams

(2009:118) mengatakan bahwa “figurative language is a deviation from what

speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or

sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect”. „Bahasa

figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan

sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna,

dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek

tertentu atau makna khusus‟.

Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (2009:118-121) dapat muncul

dalam bentuk simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan

personifikasi. Grothe (2008:9) mengatakan bahwa secara etimologi metafora

berasal dari bahasa Yunani „meta‟ berarti „over‟, „beyond‟ dan „pherein‟ yang

berarti „to transfer‟. Wahab (1986:11) mendefinisikan bahwa metafora

merupakan ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari

lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh

Page 23: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

23

lambang maupun makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan tersebut.

Adapun Kridalaksana (2009:152) dalam Kamus Linguistik menjelaskan bahwa

metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain

berdasarkan kiasan atau persamaan, misalnya „kaki gunung‟ dan „catatan kaki‟

yang dianalogikan dengan kaki manusia. Oleh karena itu, dari etimologi dan

defnisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metafora memiliki suatu peran

untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari makna aslinya dengan

cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada sesuatu hal yang lain

(transfer makna).

Teori metafora linguistik berpandangan bahwa suatu metafora harus terdiri

dari tiga elemen dasar, yaitu tenor, vehicle, dan ground. Berikut adalah penjelasan

Taylor (2003:135) terkait tiga elemen dasar metafora tersebut:

1. Tenor atau target domain (pebanding) adalah konsep atau obyek yang

dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, atau

dibandingkan. Target domain juga disebut sebagai reseptor.

2. Vehicle atau source domain (pembanding) adalah konsep yang

mendeskripsikan atau mengkiaskan atau melambangkan tenor atau

target domain. Source domain juga disebut sebagai „pendonor‟. Dalam

arti ini vehicle atau source domain adalah lambang atau kiasan itu

sendiri.

3. Ground (sense atau persamaan) adalah relasi persamaan antara tenor

atau target domain dan vehicle atau source domain. Relasi persamaan

ini dapat berupa persamaan obyektif seperti bentuk, sifat, atau

Page 24: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

24

kombinasi di antaranya, persamaan emotif, persaman konsep, fungsi

dan persamaan sosial budaya.

Konsep metafora di atas sering disandingkan dengan simile karena adanya

konsep perbandingan antara satu hal dengan hal lain. Metafora dan simile

merupakan dua bentuk gaya bahasa kiasan perbandingan atau perumpamaan

namun keduanya memiliki perbedaan. Simile berasal dari bahasa Latin „similis‟

yang berarti „like‟ atau „seperti‟. Simile didefinisikan sebagai bahasa kiasan yang

membandingkan suatu hal dengan hal lain (suatu benda dengan benda lain)

dengan mempergunakan kata-kata pembanding, di antaranya seperti, sebagai,

bagai, bak, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya

(Grothe, 2008:12-13).

Menurut Rose (1958:14) metafora berbeda dengan simile karena kedua hal

tersebut memiliki formula yang berbeda. Simile memiliki formula “A is like B”,

sedangkan metafora memiliki formula “A is B” sehingga formula simile akan

menunjukkan bahwa “A is not B” karena A hanya seperti B, sedangkan formula

metafora adalah A adalah B. Oleh karena itu, pada metafora, B dapat

menggantikan A sedangkan pada simile B tidak dapat menggantikan A. Hal inilah

yang menunjukkan bahwa metafora berbeda dengan simile.

Adapun kaitannya dengan metonimi, metonimi merupakan suatu gaya

bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena

mempunyai pertalian makna yang sangat dekat (Keraf, 1992:141-142). Kata

metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta yang berarti „menunjukkan

perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dalam lingkup yang lebih luas,

Page 25: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

25

sinekdoke merupakan bagian dari metonimi (Lakoff dan Johnson, 1980:36; Keraf,

1992:142). Sinekdoke didefinisikan sebagai penyebutan sebagian dengan maksud

untuk keseluruhan. Sinekdoke sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pars prototo dan

totum proparte. Pars prototo merupakan pengungkapan sebagian dari objek untuk

menunjukkan keseluruhan objek. Adapun totum proparte merupakan

pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Keraf,

1992:142).

Parera (2004:121) mengatakan bahwa dalam metonimia terdapat suatu

hubungan kedekatan antarmakna. Hal tersebut berbeda dengan dengan metafora

yang mengungkapkan adanya hubungan kesamaan antarmakna. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa metonimia digunakan untuk melihat makna dari segi

kedekatan antarmakna sedangkan metafora digunakan untuk melihat makna dari

segi kesamaan antarmakna. Lebih lanjut Parera (2004:121-122) mengelompokkan

metonimi bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan

relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi

penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.

Senada dengan pemaparan makna figuratif di atas, peribahasa dilihat dari

sifatnya merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang di dalamnya sarat akan

penggunaan makna figuratif, sebagai contoh peribahasa seperti air jatuh di daun

talas. Peribahasa tersebut mengandung makna kias yang hendak menggambarkan

seseorang yang tidak berpendirian teguh. Makna kias dari peribahasa tersebut

dapat ditelusur melalui skema metaforika, yakni menemukan kesamaan antara

unsur pembanding dengan unsur pebandingnya. Peribahasa tersebut

Page 26: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

26

menyerupakan air yang jatuh di atas daun talas seperti halnya seseorang yang

tidak berpendirian teguh. Keadaan air di atas daun talas tersebut tidak ada yang

dapat tertahan dan segera dengan mudah jatuh ke tanah. Begitupun juga dengan

seseorang yang berpendirian tidak teguh akan mempunyai keserupaan keadaan

sebagaimana air tersebut, yakni tidak mempunyai kekuatan yang teguh atau tidak

memiliki suatu keyakinan atas sesuatu hal. Begitupun juga dengan peribahasa ada

gula ada semut. Kata „gula‟ dan „semut‟ dalam peribahasa tersebut

mengambarkan kejadian atau fenomena yang dapat saling melingkapi antara satu

dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu yang sifatnya baik dan

serasi. Oleh karena itu, peribahasa tersebut mengandung kiasan bahwa di mana

ada tempat yang menghasilkan keuntungan, maka akan dihampiri banyak orang.

1.7.4 GCMT (Great Change Metaphor Theory)

GCMT merupakan pandangan lain dari teori metafora yang telah

dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. GCMT merupakan perkembangan dari teori

metafora konseptual yang memandang bahwa metafora memiliki dua ranah

konseptual dimana salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan dengan

domain lain. Dua ranah tersebut adalah target domain, yakni hal yang dijelaskan

atau dimengerti dengan source domain dan source domain, yaitu hal yang

menjelaskan target domain (Kövesces, 2002:4). Metafora konseptual tersebut

merupakan metafora kognitif yang dikembangkan oleh para pakar linguis kognitif

ketika terbit buku Metaphor We Live By yang ditulis oleh Lakoff dan Johnson

(1980). Dalam buku karangannya tersebut, Lakoff dan Johnson (1980:4-7)

mengajukan hipotesis bahwa metafora digunakan untuk menayangkan peta

Page 27: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

27

kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding, sehingga

menyebabkan pembanding terikat dalam pengalaman fisik spasial melalui ranah

pebanding. Hasilnya adalah adanya skema-skema yang menengahi di antara

tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif, begitu juga

dalam ranah pembandingnya. Dalam pandangan ini, satu skema metaforis

merupakan satu representasi mental yang mengikat struktur konseptual

(intelektual) dari ranah abstrak ke dalam ranah inderawi yang lebih fisikal. Satu

konseptual metafora yang dicontohkannya adalah ARGUMENT IS WAR.

Metafora tersebut merupakan suatu usaha pemetaan antara ranah sumber, yakni

„argument‟ dan ranah sasaran, yakni „war‟. Ranah sumber selalu bersifat fisik atau

konkret, sedangkan ranah sasaran terlihat lebih abstrak. Metafora konseptual

ARGUMENT IS WAR tersebut hendak memberikan gambaran WAR yang dinilai

lebih abstrak dibandingkan dengan ARGUMENT yang dinilai lebih kongkrit dan

terkonsep. Konsep perang (war) melalui metafora tersebut bukan berarti adu fisik,

namun lebih mengarah pada adu verbal (argument).

Terkait dengan GCMT, pada dasarnya GCMT sendiri tidak dapat

dilepaskan dari konsep dasar metafora Lakoff dan Johnson di atas. Selain

hadirnya ranah pembanding dan ranah pebanding, skema yang ditawarkan oleh

GCMT sebagai suatu pendekatan terhadap peribahasa adalah dengan memasukkan

adanya konsep moral, budaya, serta konteks pemakaiannya dalam

mengkonseptualisasikan metafora (Honect, 1997:147). Oleh karena itu, secara

terperinci konsep peribahasa dalam ranah GCMT dapat dipetakan dalam empat

konsep di bawah ini, yaitu:

Page 28: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

28

1. The great chain of being

Lakoff dan Turner (1989:166) meyakini bahwa dalam konsep the great

chain of being setiap makhluk hidup memiliki suatu hierarki tertentu. Hal tersebut

mencakup manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, serta sifat-sifat yang

mengikuti dari bentuk-bentuk tersebut, seperti cara pikir, perilaku, naluri, fungsi

biologis serta atribut-atribut fisik lainnya. Bentuk atau benda yang menempati

hierarki tertinggi pasti menjadi model untuk tingkat yang lebih rendahnya, bukan

sebaliknya. Sebagai contoh adalah perilaku atau sifat manusia yang diserupakan

dengan hewan, bukan perilaku atau sifat hewan yang diserupakan dengan

manusia. Dalam peribahasa Arab misalnya dicontohkan asyja‟u min laiṡin „lebih

berani daripada singa‟ (Ma‟lūf, 2002:1010). Dalam hierarki rantaian makhluk

hidup, hewan lebih rendah daripada manusia. Oleh karena itu, sifat yang dimiliki

oleh manusia, dalam konteks peribahasa tersebut adalah keberanian dijadikan

suatu model tertentu yang bersumber dari hewan singa. Sehingga menurut konsep

the great chain of being hal tersebut tidak dapat dirubah bahwa „singa adalah

manusia yang pemberani‟ namun konsep yang dibentuk harus „manusia yang

pemberani adalah singa‟.

2. The nature of things

Dalam konsep the nature of things tersebut (Lakoff dan Turner, 1989:169-

170) menjelaskan bahwa berbagai bentuk rangkaian makhluk hidup atau benda

memiliki suatu esensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Esensi

tersebut itulah yang menentukan bagaimana makhluk hidup atau suatu benda

berperilaku atau difungsikan. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada suatu

Page 29: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

29

benda akan menentukan bagaimana cara benda tersebut berperilaku. Sebagai

contoh adalah „serigala‟. Serigala merupakan hewan karnivora dan liar. Atribut-

atribut itulah yang kiranya akan menentukan perilaku-perilaku dari serigala, yakni

dapat memburu binatang lain, ganas, menakutkan, dan lain segalanya.

3. The generic is specific

Konsep the generic is specific merupakan suatu konsep dimana

metafora berusaha memetakan bahwa sesuatu yang dianggap spesifik

tersebut merupakan representasi dari sesuatu yang bersifat umum dalam

rangka untuk dijadikan sebagai ranah sumber (Lakoff dan Turner,

1998:162-165). Oleh karena itu, maka ranah target hanya akan dapat

diketahui dengan memahami aspek-aspek yang ada di dalam ranah

sumbernya. Misalnya adalah peribahasa Arab asyharu min al-ablaqi

„lebih terkenal daripada kuda ablaq‟ (Ma‟lūf, 2002:995). Kuda ablaq

dalam peribahasa tersebut ditetapkan sebagai ranah sumber karena di

dalamnya mengandung suatu konsep yang sifatnya spesifik, yakni yang

kuda yang memiliki kulit belang, bercak-bercak, atau berbintik yang

terdiri dari dua warna, yakni hitam dan putih. Konsep yang ada dalam

kuda tersebut hendak digunakan sebagai perantara pemahaman atas ranah

sumbernya, yakni menggambarkan keadaan seseorang yang dianggap

terkenal atau termasyhur.

4. The communicative maxim of quantity

The communicative maxim of quantity hendak menjelaskan bahwa

dengan menggunakan skema metafora dalam sebuah tuturan atau tulisan,

Page 30: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

30

maka diharapkan pada pembicara atau penulis untuk memberikan

seinformatif mungkin keterangan-keterangan yang diperlukan untuk

tujuan tertentu dan tidak memberikan keterangan yang berlebihan dari apa

yang diperlukan (Lakoff dan Turner, 1989:171). Oleh karena itu,

penggunaan peribahasa dalam suatu tuturan atau tulisan hendaknya juga

mentaati asas sebagaimana prinsip the communicative maxim of quantity

tersebut.

Dari empat konsep terkait di atas, maka pendekatan GCMT terhadap

interpretasi peribahasa dapat digambarkan melalui diagram di bawah ini.

Disalin dari figure 4.2 Diagram of the great chain metaphor theory (Honeck, 1997:152)

1.6.4.1 Jenis-jenis metafora

Pembagian jenis metafora menurut Wahab (1990:126-129) menjelaskan

bahwa secara umum terdapat dua kategori pembagian metafora, yakni metafora

universal dan metafora kultural. Metafora universal adalah metafora yang

mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagain besar budaya di dunia, baik

CONTEXT

KNOWLEDGE

Conceptual

Metaphor

Folk Theories

Moral Precepts

Frame Semantics

Great Chain

Nature of Things

Etc

PROVERB

Specific

schema

Generic

schema

PROVERB

Generic is

specific

metaphor

PRAGMATIC

PRINCIPLES

Instantiation

Interpretation

Page 31: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

31

lambang kias maupun makna yang dimaksudkan. Adapun yang dimaksud dengan

metafora kultural adalah metafora yang antara lambang dan maknanya dalam

medan semantik yang terbatas pada satu budaya saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa metafora universal didasarkan pada

keyakinan bahwa semua bahasa memiliki sejumlah sifat yang sama dan mampu

menampilkan contoh skema organisasi yang sifatnya mendasar, sedangkan

metafora kultural adalah berdasarkan keyakinan pada kenyataan bahwa penutur

satu bahasa mempunyai pengalaman fisik dan pengalaman kultural yang tidak

dimiliki oleh penutur dari budaya yang berbeda. Dengan demikian, kriteria yang

dipakai untuk menentukan metafora yang terikat pada budaya juga terbatas pada

lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur suatu

bahasa. Senada dengan pandangan terkait metafora kultural tersebut, Kövesces

(2005:1) menyatakan bahwa “a set of shared understandings that characterize

smaller or larger groups of people”

Hal tersebut juga berlaku untuk metafora bahasa Arab. Metafora bahasa

Arab sangat terikat dengan budaya Arab. Kriteria yang dipakai untuk menentukan

metafora ini terikat pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dari

penutur asli bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa

mencerminkan konseptualisasi dan penafsiran manusia terhadap dunianya.

Pandangan kolektif suatu masyarakat terhadap kehidupan di sekitarnya akan

membawa dalam satu konvensi komunikasi tersendiri.

Terkait dengan jenis, Haley (1980:139-154) dalam buku Linguistics

Perspective on Literature membagi metafora ke dalam sembilan jenis berdasarkan

Page 32: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

32

medan semantik pembandingnya. Pembagian tersebut juga termaktub dalam

Wahab (1990:127-128), yakni:

1. Metafora ke-adaan (being) yaitu metafora yang meliputi hal-hal abstrak,

seperti kebenaran dan kasih.

2. Metafora kosmos (cosmos) yaitu metafora yang meliputi benda-benda

kosmos, misalnya bulan dan matahari. Prediksi benda-benda kosmos ini

adalah menempati ruang, berada di sebuah ruang.

3. Metafora tenaga (energetic) yaitu metafora dengan medan makna semantik

hal-hal yang memiliki kekuatan angin, cahaya, api, dengan prediksi dapat

bergerak.

4. Metafora substansi (substance) yaitu metafora yang meliputi macam-

macam gas dengan prediksinya dapat memberi kelembaban, bau, tekanan,

dan sebaliknya

5. Metafora permukaan bumi (terrestrial) metafora yang meliputi hal-hal

yang terikat atau terbentang di permukaan bumi, misalnya sungai, hutan,

gunung, laut, dan sebagainya.

6. Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda

yang tidak bernyawa, misalnya meja, buku, kursi, gelas dan sebagainya.

7. Metafora gravitas (gravity) adalah metafora yang berhubungan dengan

segala sesuatu yang jatuh karena pengaruh gravitasi bumi atau berat

badan, seperti tenggelam, jatuh, dan sebagainya.

8. Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan

makhluk yang dapat berfikir dan memiliki akal.

Page 33: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

33

9. Metafora binatang (animate) adalah metafora yang berhubungan dengan

makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan sebagainya

seperti kuda, burung, kucing, harimau, dan sebagainya.

10. Metafora tumbuhan (living) yaitu metafora yang berhubungan dengan

seluruh jenis tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, padi dan sebagainya.

1.7.5 Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

Dalam kehidupan manusia, baik dalam posisi sebagai makhluk individual

maupun makhluk sosial, keberadaan bahasa merupakan suatu hal yang amat

sangat penting dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Mengapa demikian? Pertama, dalam posisi sebagai makhluk hidup, bahasa

ditempatkan sebagai sarana untuk mengungkapan segala perasaan yang terlintas

dalam benak manusia, baik perasaan gembira, senang, susah, sedih, gelisah,

ataupun perasaan-perasaan lainnya yang dialami serta untuk mengungkapkan

kehendak, ide-ide atau gagasan-gagasan yang muncul dalam pikirannya. Dengan

kata lain, melalui sarana bahasa manusia dalam tataran sebagai makhluk hidup

menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kedua,

sebagai makhluk sosial, tentu manusia akan melakukan kontak atau hubungan

dengan anggota-anggota masyarakat yang lain. dan alat yang paling efektif untuk

mengkomunikasikan segala perasaan, kehendak, keinginan gagasan ataupun

pikiran-pikiran seseorang kepada anggota masyarakat yang lain adalah bahasa.

Melalui wadah kebahasaanlah segala bentuk komunikasi sosial maupun aktivitas

kerjasama antaranggota masyarakat dapat terrealisasi dengan baik dan lancar.

Dengan demikian, kehadiran bahasa benar-benar sangat diperlukan dalam

Page 34: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

34

kehidupan seseorang baik kehidupan yang bersifat individu maupun sebagai

makhluk sosial. Pateda (1987:4) menyatakan bahwa bahasa menempati posisi

yang fundamental sebagai alat untuk mengadakan interaksi dan bekerja sama

dengan anggota masyarakat yang lain. Tanpa bahasa dapat dipastikan bahwa

segala bentuk komunikasi di dunia ini tidak akan berjalan dengan efektif, bahkan

akan „berhenti‟. Manurut Poedjosoedarmo (2001:171) komunikasi adalah proses

menyampaikan maksud. Komunikasi juga bisa diartikan sebagai proses

pertukaran informasi antara individu melalui simbol, tanda, atau tingkah laku

umum (Chaer dan Agustina, 1995:7).

Di samping itu, melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat

diidentifikasi, dibentuk dan dikembangkan serta dapat diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Alisyahbana

(1979) dalam Sibarani (2004:61) bahwa bahasa termasuk bagian dari kebudayaan.

Oleh karena itu, setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa

menentukan sifat atau ciri-ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Dalam

kajian sosiolinguistik, kita ketahui bahwa pengenalan identitas seseorang dapat

dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam yang digunakan dalam percakapan

terutama percakapan dengan orang atau kelompok lain (Sumarsono, 2004:146).

Sejalan dengan pemikiran Alisyahbana, Jabiri (1991:15) mengemukakan bahwa

bahasa selain fungsi utamanya sebagai alat komunikasi dan sarana berfikir, juga

merupakan wadah yang membatasi dan mempengaruhi ruang lingkup cara

pandang dan pemikiran penutur dan penggunanya.

Page 35: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

35

Seorang tokoh linguistik dan antropologi Amerika, Franz Boas (1858-

1945) mengemukakan bahwa bahasa merupakan cerminan dari kehidupan mental

penuturnya. Pandangan Boaz tersebut kemudian dikuatkan kembali oleh para

generasinya yaitu Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-

1941) dengan hipotesisnya yang terkenal yaitu “Sapir-Whorf Hipotesis”.

Hipotesis ini menghasilkan dua pemikiran penting yaitu teori relativitas yang

menyatakan bahwa setiap kebudayaan akan mempersepsikan dunia dengan cara

yang berbeda-beda dan semua perbedaan persepsi ini akan tampak (terkodekan)

dalam bahasa. Kedua adalah teori determinisme yang menyatakan bahwa di

samping persepsi kita terhadap dunia yang akan mempengaruhi bahasa kita,

bahasa kita juga dapat dipengaruhi cara berpikir kita, jadi ada semacam hubungan

timbal balik yang sama kuat antara pikiran dengan bahasa, bahkan menurut teori

ini, bahasa merupakan kerangka dari sebuah pemikiran sehingga seseorang akan

sangat sulit untuk berpikir di luar kerangka itu (Thomas dan Warering, 2007:37-

38).

Hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan ialah bahwa bahasa,

sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya bagi kebudayaan yang

menjadi wadahnya. Hal ini penting untuk diketahui bahwa bahasa berbeda dalam

suatu kebudayaan tertentu, sehingga mengerti suatu bahasa tertentu memerlukan

sedikit banyak pengertian tentang kebudayaannya. Artinya, bahwa makna suatu

bahasa dapat dipahami berdasarkan konteks budayanya bahkan dengan

memahami kebudayaannya dengan tepat juga akan memeperlancar suatu bentuk

komunikasi, begitu pula sebaliknya (Sibarani, 2004:88). Oleh karena itu,

Page 36: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

36

Gumperz dan Hymes dalam Purwoko (2008:6) mempertegas kembali mengenai

hubungan antara bahasa dan budaya, yaitu bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan

dari budaya pendukungnya dan dari para penutur yang menggunakannya sebagai

media komunikasi. Maka dari itu, pengertian „komunikasi‟ selalu dimaksudkan

pula untuk menandai ide atau penggunaan bahasa oleh para penuturnya ketika

mereka sedang bicara.

Oleh karena itu, dari pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa

pembahasan terkait dengan makna figuratif nama hewan dalam peribahasa Arab

menitikberatkan pada teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) yang kemudian

disempurnakan dengan great chain metaphor theory (Lakoff dan Johnson (1989)

sebagai salah perspektif lain dalam pengkajian peribahasa melalui anjungan

semantik kognitif.

1.8 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Alwasilah

(2005:51-52) menjelaskan bahwa tujuan dari linguistik deskriptif adalah

mendeskripsikan fakta-fakta penggunaan bahasa apa adanya secara sinkronik dan

tidak melibatkan perkembangan secara diakronik. Selain itu, deskriptif

menyarankan yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada

atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya

sehingga dihasilkan perian bahasa yang sama dengan potret atau berupa paparan

yang apa adanya (Sudaryanto, 1986:62). Sedangkan istilah kualitatif didefinisikan

sebagai penelitian yang temuan-temuan datanya tidak diperoleh dengan

Page 37: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

37

menggunakan prosedur statistik atau alat kuantifikasi lain. Penelitian kualitatif

diyakini dapat meneliti beberapa penelitian, yakni kehidupan sosial, karya sastra,

sains, dan lain sebagainya (Alwasilah, 2005:51:52).

Dalam melakukan suatu penelitian bahasa, ada tiga tahapan strategi secara

berurutan yang harus dilalui oleh seorang peneliti, yaitu tahap penyediaan data,

analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5). Berikut

dipaparkan rincian metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini.

1.8.1 Tahap Penjaringan Data

Tahap penjaringan data merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh

peneliti sebagai upaya peneliti dalam menyediakan data yang secukupnya untuk

suatu kepentingan analisis (Sudaryanto, 1993:5-6). Untuk mendapatkan data yang

dimaksud, peneliti melakukan pengamatan yang mendalam terhadap penggunaan

perumpamaan dan peribahasa dalam Ma‟lūf (2002) yang berjudul “Farāidul

„Adāb”. Buku tersebut digunakan sebagai sumber data yang utama dalam proses

penjaringan data. Data yang diperoleh dari sumber data tersebut menunjukkan

adanya variasi data yang mendukung penelitian ini sehingga tidak diperlukan

sumber data yang lainnya. Adapun pengamatan seperti yang dimaksud di atas

menurut Sudaryanto (1993:133) disepadankan dengan metode simak, yakni

melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa. Metode simak tersebut

diikuti dengan sebuah teknik, yakni teknik simak bebas libat cakap. Teknik

tersebut dimaksudkan karena peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut dalam

menentukan pembentukan dan pemunculan data, kecuali hanya sebagai pemerhati

terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan di luar

Page 38: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

38

dirinya (Kesuma, 2007:44). Teknik lanjutan yang dilakukan peneliti untuk

memperoleh data adalah dengan mencatat, mengkategorisasikan dan

mengklasifikasikan calon data. Realisasi dari metode dan teknik yang digunakan

sebagai upaya penjaringan data tersebut adalah diperolehnya data yang berupa

perumpamaan dan peribahasa Arab, baik yang berbentuk frasa, klausa, maupun

kalimat yang mengandung nama hewan di dalamnya yang selanjutnya akan

dianalisis sesuai dengan teori-teori yang disampaikan di dalam landasan teori.

1.8.2 Tahap Analisis Data

Tahap analisis data pada penelitian ini akan dilakukan sejalan dengan

prinsip atau karakteristik penelitian kualitatif, yakni analisis didasarkan pada

analisis induktif. Analisis induktif ini dimaksudkan bahwa analisis pada penelitian

tidak akan membuktikan apakah suatu hipotesis itu benar atau salah, melainkan

menyusun simpulan yang berdasarkan objek dan teori (Sutopo, 2006:105).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode padan

merupakan metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan

tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti

(Sudaryanto, 1993:13; Kesuma, 2007:47). Sebagai upaya dalam mencari

penggunaan nama hewan, peneliti akan memanfaatkan kemampuan bahasa Arab

serta intuisi kebahasaan yang dimiliki oleh peneliti sehingga penggunaan nama

hewan dalam perumpamaan dan peribahasa Arab dapat diketahui. Setelah nama-

nama hewan tersebut diketahui kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelas

hewan menurut keilmuan biologi. Pada tahap selanjutnya, yakni proses analisis

secara mendalam dilakukan dengan metode interpretasi atau penafsiran. Hal

Page 39: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

39

tersebut dilakukan untuk menggali lebih dalam kaitan antara penggunaan nama

hewan dalam perumpamaan dan peribahasa Arab dengan sesuatu hal lain yang

melingkupinya, seperti sosial budaya masyarakat Arab. Sebagai pendukung

metode interpretasi peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber

penutur asli bahasa Arab. Wawancara yang dimaksud dibatasi apabila data yang

berupa perumpamaan dan peribahasa telah dapat diketahui interpretasinya. Selain

itu, proses analisis data juga didukung dengan pembacaan atas buku-buku yang

mengkaji tentang budaya Arab sehingga interpretasi dari penggunaan nama hewan

dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab dapat diketahui aspek semantik

kognitifnya secara tepat.

1.8.3 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dalam

penelitian ini. Tahap ini dilakukan setelah semua data dianalisis sesuai dengan

teori dan metode yang relevan. Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini

disajikan dengan cara deskriptif berdasarkan kerangka analisis dan rumusan

masalah yang telah ditetapkan. Deskripsi disajikan melalui kata-kata biasa disertai

dengan contoh-contoh yang relevan sehingga menghasilkan informasi yang detail

dan lengkap (Sudaryanto, 1993:145; Kesuma, 2007:71). Adapun terkait dengan

perepresentasian data nama hewan dalam bab II, perepresentasian nama hewan

menggunakan asas ketercakupan, yakni akan ditampilkan berdasarkan leksikon-

leksikon yang digunakan. Oleh karena itu, apabila terdapat beberapa

perumpamaan dan peribahasa yang menggunakan leksikon nama hewan yang

Page 40: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peribahasa

40

sama, maka akan ditampilkan satu perumpamaan atau peribahasa saja sebagai

representasi dari penggunaan leksikon nama hewan tersebut.

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas enam bab. Bab I merupakan bagian pendahuluan

yang akan menguraikan tentang latar belakang masalahan, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II

merupakan analisis rumusan masalah pertama, yakni menganalisis nama-nama

hewan yang digunakan atau muncul di dalam perumpamaan dan peribahasa Arab

dan menjelaskan penyebab dari penggunaan nama-nama hewan tersebut. Bab III

merupakan analisis rumusan masalah dua, yakni menganalisis interpretasi dan

makna yang muncul dari penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan

peribahasa bahasa Arab. Bab V merupakan analisis rumusan masalah ketiga,

yakni menganalisis fungsi dari perumpamaan dan peribahasa yang menggunakan

nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Bab V

merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran.