1. appendisitis (ok)
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN DENGAN APPENDISITIS KRONIS DI RUANG OK
RSUD ABDOER RAHEM SITUBONDO
Disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan NersStase Keperawatan Medikal Bedah
oleh:Rizka Annisa Hanif, S. Kep.
NIM 082311101067
PROGRAM PENDIDIKAN NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2013
LANDASAN TEORI1. Pengertian
Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendiks, yang merupakan saluran
tersembunyi yang memanjang dari bagian depan sekum (Lewis, 2000, hal 1150).
Appendicitis adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
(Brunner and Suddarth, 2002, hal 1997). Appendicitis adalah peradangan pada appendiks
vermiformis yang letaknya dekat katup sfingter diantara ileum (usus halus) dan sekum
(usus besar). (Barbara, hal 1091).
2. Etiologi
Penyebab utamanya adalah obstruksi atau penyumbatan yang disebabkan oleh:
a. Fekalit (massa faeses yang padat) akibat konsumsi makanan rendah serat.
a. Cacing/parasit
b. Infeksi virus: E. coli, streptococcus
c. Sebab lain: misal: tumor, batu
d. Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya
e. Hiperplasia limfoid.
3. Patofisiologi
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh fekalit,
benda asing, tumor, infeksi virus, hiperplasia limfoid dan striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya. Appendik mengeluarkan cairan yang berupa sekret mukus, akibat
obstruksi/penyumbatan lumen tersebut menyebabkan mukus akan terhambat. Makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga mengakibatkan pelebaran appendiks, resistensi selaput lendir
berkurang sehingga mengakibatkan mudah infeksi dan dari penyumbatan ini lama
kelamaan akan menyebabkan terjadinya peradangan pada appendik dengan tanda dan
gejala nyeri pada titik Mc. Burney, spasme otot, mual, muntah dan menyebabkan nafsu
makan menurun, hipertermi dan leukositosis. Bila sekresi mukus terus berlanjut, akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal, tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendicitis akut focalis yang ditandai oleh nyeri
epigastrik. Jika berlangsung terus akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah
dan bakteri akan menembus dinding.
Peningkatan tekanan intraluminal akan mengakibatkan oklusi end arteri
appendikularis sehingga aliran darah tidak dapat mencapai appendik menjadi hipoksia
lama kelamaan menjadi iskemia akibat trombosis vena intramural, lama kelamaan menjadi
nekrosis yang akhirnya menjadi gangren dimana mukosa edema dan terlepas sehingga
berbentuk tukak. Dinding appendik ini akan menipis, rapuh dan pecah akan terjadi
appendicitis perforasi. Bila semua proses di atas hingga timbul masa lokal yang disebut
infiltrat appendikularis. Peradangan appendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang menurun memudahkan terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini terjadi dalam 24-
36 jam. Bila proses ini berjalan lambat organ-organ di sekitar ileum terminalis, sekum dan
omentum akan membentuk dinding mengitari appendiks sehingga berbentuk abses yang
terlokalisasi.
4. Tanda dan Gejala
a. Nyeri epigastrik dan regioumbilikal (hiperperistaltik akibat obstruksi)
b. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah
dan hilangnya nafsu makan (anoreksi)
c. Nyeri tekan local pada titik mc.burney
d. Nyeri tekan lepas
e. Malaise
f. Konstipasi dan diare
5. Kemungkinan Komplikasi yang Muncul
a. Perforasi
Akibat keterlambatan penanganannya menyebabkan perforasi, mengakibatkan
peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi
seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan peristaltic usus
menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
b. Peritonitis
Akibat penyebaraninfeksi Dario apendikstitis, bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum akan timbul peritonitis generalisata, sehingga aktifitas peristaltic berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit
hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, oliguria, gangguan sirkulasi
sampai syok. Gejala ; deman, lekositas, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang,
akaku, nyeri tekan, bunyi usus menghilang 9Sylvia, 2006).
c. Masa periapendikuler
Apabila apendiksitis gangrenosa/mikoperforasi ditutupi pendidingan oleh omentum
terbentuk pada hari ke-4, ditandai dengan suhu tinggi, terdapat tanda peritonitis,
lekositosis.
6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
a. Anamnesa
1) Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke titik mc.burney)
2) Mual, muntah, anoreksia (oleh karena nyeri visceral)
3) Panas (tanda infeksi akut), karena kuman yang menetap di dinding usus
4) Obstipasi, tanda lain bedan lemah, nafsu makan turun, tampak sakity, menghindakan
pergerakan di perut terasa nyeri.
b. Pemeriksaan fisik
1) Status generalis
a) Tampak kesakitan (karakteristik nyeri : respon, skala, lokasi, frekuensi, dll)
b) Demam (>37,7 °C)
2) Status lokalis : kuadran kanan bawah
1) Titik MC. Burney : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), rangsangan peritoneum, nyeri
ketok (+).
2) Defens muskuler (+), pada m.rectus abdominalis
3) Rousing sign (+), pada penekanan perut bagian kontra Mc.Burney (Kiri), terasa
nyeri di MC. Burney karena tekanan tekanan merangsang peristaltic usus dan juga
udara dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakkan peritoneum sekitar
apendiks yang sedang meradang sehingga terasa nyeri
4) Psoas sign (+), app retroperitoneal, pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan
ditahan. Pasien diminta mengangkat kaki, terjadi nyeri dikuadran kanan bawah
5) Terjadi peritonitis umum (perforasi), bila nyeri di seluruh abdomen, pekak hati
menghilang, bising usus menurun.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
2) Hb, Hct normal
3) AL meningkat (leukositosis, >10.000/mm3)
4) LED meningkat (pada appendicitis infiltrate)
5) Urine penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal
6) Radiologi (appendicogram)
7) Rontgen abdomen tidak banyak membantu, kecuali sudah mengalami peritonitis,
namun kadang kala ditemukan gambaran sebagai berikut :
8) Adanya sedikit fluid level, karena adanya udara dan cairan
9) Adanya fekolit (sumbatan)
10) Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma
7. Penatalaksanaan
Pada apendikstitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi apendiks, dalam
waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di observasi, istirahat posisi fowler, antibiotic,
makanan yang tidak merangsang peristaltic, jika terjadi perforasi diberikan dram di perut
kanan bawah.
a. Preoperative : dirawat diberikan antibiotic, kompres untuk menurunkan suhu penderita,
tirah baring dan dipuasakan
b. Operatif : apendiktomi cito (app akuty, abses dan perforasi), appendictomi elektif
(app.kronik)
c. Post operatif : 1 hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit. Hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari
ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.
d. Terapi konservatif
1) Bedrest dengan posisi terlentang, kepala ditinggikan 18-20 inchi, kaki diberi bantal
dan lutut di tekuk
2) Diet lunak (cair)
3) Kompres dingin pada daerah Mc. Burney
4) Antibiotika massif : metronidazole
8. Pathway
9. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi, kerusakan jaringan karena nutrisi
Idiopatik, makanan tak teratur, kerja fisik yang keras
Massa keras feses
Obstruksi lumen
Suplay aliran darah menurun, mukosa terkikis
Peradangan pada apendiks
Perforasi, abses, peritonitis nyeri distensi abdomen
Apendiktomi pembatasan intake cairan menekan gaster
Insisi bedah kecemasan peningakatan produksi hcl
Nyeri resiko terjadi infeksi mual muntah
resiko volume cairan berkurang
b. Resiko kekurangan volume cairan b.d pemasukan cairan tidak adekuat (mual muntah)
c. Resiko infeksi b.d rupture/ perforasi pada apendiks
10. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi, kerusakan jaringan karena nutrisi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam nyeri hilang
(berkurang)
kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol
2) Tampak rileks, mampu beristirahat dengan nyaman
3) Skala nyeri 0-3
4) Nadi normal 60-100 kali/menit, RR normal 16-24 kali/menit
Intervensi :
1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya, skala 0-10
R/ mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindakannya
2) Observasi tanda-tanda vital
R/ perunahan tanda vital dapat menunjukksn terjadinya peningkatan nyeri
3) Mempertahankan istirahat dengan posisi semifowler
R/ menghilangkan ketegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang
4) Dorong ambulasi dini
R/ meningkatkan normalisasi fungsi organ, merangsang peristaltic dan kelancaran
flatus
5) Berikan aktivitas hiburan
R/ mengalihkan pasien dari rasa nyaman
6) Anjurkan dan ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
R/ mengurangi ketegangan dapat mengurangi nyeri
7) Kolaborasi pemberian antibiotic
R/ terapi medis dapat menunjang penurunan nyeri
b. Resiko kekurangan volume cairan b.d pemasukan cairan tidak adekuat (mual muntah)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam volume cairan
tubuh adekuat
Kriteria hasil ;
1) Membrane mukosa lembab
2) Tirgor kulit baik
3) TTV stabil (TD : 120/80 mmHg, N = 60-100 x/i, RR = 16-24 x/I, suhu: 36-37 °C)
4) Intake = output
5) CRT < 2 detik
Intervensi keperawatan :
1) Kaji TTV
R/ Mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler
2) Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan pengisian kapiler
R/ indikator ketidakadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3) Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus
R/ indikator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan peroral
4) Kaji dan catat intake dan output cairan secara teliti, termasuk urine output, catat
warna urine/ konsentrasi dan jenis
R/ penurunan output urine pekat dan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/
kebutuhan peningkatan cairan
5) Berikan cairan peroral/parenteral sesuai anjuran dan lanjutkan dengan diet sesuai
toleransi.
R/ menurunkan iritasi gaster dan muntah serta meminimalkan kehilangan cairan
c. Resiko infeksi b.d rupture/ perforasi pada apendiks
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x 24 jam infeksi dapat
diminimalkan.
Kriteria hasil :
1) TTV stabil (TD : 120/80 mmHg, N = 60-100 x/i, RR = 16-24 x/I, suhu: 36-37 °C)
2) Peningkatan penyembuhan luka
3) Leukositosis normal
4) Tidak ada drainase purulen, eritema, dan demam.
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji TTV
R/ mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindakannya
2) Lakukan pencucian tangan dengan baik, perawatan luka aseptic
R/ perubahan tanda vital dapat menunjukkan terjadinya peningkatan nyeri
3) Lihat luka balutan, catat karakteristik drainase (bila ada) adanya eritema
R/ Memberikan deteksi dari terjadinya proses infeksi
4) Dorong ambulasi
R/ meningkatkan normalisasi fungsi organ, merangsang peristaltic dan kelancaran
flatus
5) Berikan informasi pada keluarga tentang penyakit pasien dan perawatannya
R/ Membantu kemajuan kesembuhan, memberikan dukungan emosi dan menurunkan
ansietas
6) Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi
R/ terapi medikasi menurunkan penyebaran dan pertumbuhan infeksi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.
Tujuan : Toleransi aktivitas
Kriteria Hasil : Klien dapat bergerak tanpa pembatasan, Tidak berhati-hati dalam
bergerak.
Intervensi :
1) Catat respon emosi terhadap mobilitas.
R/ Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.
2) Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.
R/ Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan.
3) Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.
R/ Memperbaiki mekanika tubuh.
4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.
R/ Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, EM. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Manjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 Edisi 3. Jakarta ; Media Aesculapius
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa oleh Andry Hartono dkk. Edisi VIII. Vol.3. 2002. Jakarta: EGC