appendisitis akut
DESCRIPTION
bedahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix
merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut
kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah
bagi kesehatan. Peradangan akut apendix atau apendisitis acuta menyebabkan
komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Apendisitis
merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis dapat
mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia
sekolah. 1,2
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang
dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. Sekitar 7 % dari populasi akan
mendapatkan apendisitis dalam Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 10-30
tahun. Apendisitis akut adalah kasus bedah akut abdomen yang merupakan indikasi
paling sering untuk segera dilakukan tindakan bedah dimana lebih dari 250.000 pasien
dioperasi dengan suspek apendisitis di United State setiap tahun.1
Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan syok. 2,3
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari apendisitis akut yang terjadi bila
Apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum
dan/atau lekuk usus halus.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Appendisitis adalah peradangan pada appendisits verniformis atau peradangan infeksi
pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah 1. Apendisitis
akut merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.2
2.2 Anatomi, Fisiologi, Dan Embriologi Appendix
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat
padaminggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix
berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat
dengan Plicaileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi.
Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan
dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi
Caecum. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit
kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia
tersebut.2,3
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang
dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi
penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren. Gambaran histologi
Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia
15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya
mengalami obliterasi pada orang dewasa.1,2,3
2
Gambar 2.1. Appendix vermicularis 1
AnatomiAppendiks merupakan organ yang berbentuk tabung. Panjang Appendix
pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata panjang 6-9 cm.
Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum,
ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar 2. Variasi
lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum)
65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di
depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%.2,3
Gambar 2.2. Variasi lokasi Appendix vermicularis. 1
3
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Appendiks menghasilkan lendir 1-2
ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi
virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.3
2.3 Epidemiologi
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari
satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. Sekitar 7 % dari populasi akan
mendapatkan apendisitis dalam Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 10-30
tahun. Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di Negara- Negara Barat.
Namun dalam tiga- empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
menu sehari-hari. Apendisitis akut adalah kasus bedah akut abdomen yang merupakan
indikasi paling sering untuk segera dilakukan tindakan bedah dimana lebih dari 250.000
pasien dioperasi dengan suspek apendisitis di United State setiap tahun. 1,2
2.4 Etiologi dan patofisilogi.
2.4.1 Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Apendisitis akut. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendik, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Apendisitis
akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendik. Penyebab yang lebih jarang
adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering
4
pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris
vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
sepertimeasles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Apendisitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat
tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Apendisitis. 3,4
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus Apendisitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Apendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Apendisitis acuta
gangrenosa dengan perforasi.4
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix
normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan
intraluminal. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah
epigastrium.3,4
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,
muntah,dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix
dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke
RLQ.4
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan
suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
5
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas ante mesenterik. Di awal
proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Apendisitis,
khususnya pada anak-anak. 3
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul didermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut,dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendix yang mengalami
obstruksi merupakan tempat yang baik bagi perkembang biakan bakteri. Seiring dengan
peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi
oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal
Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran system
vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix,
infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan
nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik McBurney’s.
Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. 1,2,3
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietal sebelum terjadi
perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi
di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau
Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Apendisitis dapat menyebabkan nyeri saat
6
berkemih,atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi Appendix akan menyebabkan
terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan
progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap
perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6
C, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak
memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir
penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.3,4
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering di-
jumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.3
2.4.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis
anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang
normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika
pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Apendisitis
acuta ke Apendisitis gangrenosa dan Apendisitis perforata. Apendisitis
merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis
bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.3,4
Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada
Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri
ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,
Apendisitis acuta dan Apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes
7
fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria
dapat ditemukan.3,4
Tabel 2.1. Organisme yang ditemukan pada Apendisitis acuta.2
Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-)
Eschericia coli
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella sp.
Coccus Gr (+)
Streptococcus anginosus
Streptococcus sp.
Enteococcus sp.
Batang Gram (-)
Bacteroides fragilis
Basteroides sp.
Fusobacterium sp.
Batang gram (-)
Clostridium sp.
Coccus gram (+)
Peptostreptococcus sp.
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Apendisitis perforata dan
non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, sering kali
pasien telah mengalami perbaikan. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien
dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat –obatan atau penyakit lain dan
pasien yang mengalami abscess setelah terapi Apendisitis. Perlindungan antibiotik
terbatas 24-48 jam pada kasus Apendisitis non perforata. Pada Apendisitis perforata,
antibiotik diberikan 7- 10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak
demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal
dan transperitoneal masih kontroversi.2,3
2.4.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene
Pada tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan kandungan
serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi tertentu
pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering
pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan
8
makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet
rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang
mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.2,3
2.5 Klasifikasi Apendisitis 2,3
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
Apendisitis akut
Apendisitis kronik
Klasifikasi apendisitis berdasarkan klinikopatologis antara lain:
2.5.1. Apendisitis Akut.
a. Apendisitis akut sederhana (cataral apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b.Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada
di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema,hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif danpasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
9
c. Apendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu,
hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2.5.2. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2.5.3. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah(pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
2.5.4. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2.5.5.Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik danmikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami
fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa,
muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
10
2.6. Manifestasi klinis 1,2,3
Apendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai
adanya massa periapendikular. Gejala Apendisitis akut antara lain:
a. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau
dikuadran kanan bawah atau merupakan gejala-gejala pertama. Gejala ini ditemui pada
hampir semua (100%) penderita. Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat,
dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit
demi sedikit menghilang kemudian beralih kekuadran bawah kanan. Rasa nyeri
menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.
b. Gejala muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan kelanjutan dari rasa
sakit yang timbul permulaan, hal ini terjadi pada 59.3% penderita. Gejala rasa mual pula
terjadi pada 46.7 % penderita.
c. Anoreksia terjadi pada 56.2% penderita.
d. Demam tidak tinggi (kurang dari 38⁰C) juga ditemui pada 21.8% penderita, kekakuan
otot, dan konstipasi.
e. Apendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa lebih
tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
f. Nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal.
Suatu studi yang dilakukan rumah sakit umum Buckinghamshire, United Kingdom
telah membutikan bahwa nyeri perut yang bertambah sewaktu melalui ‘speed bumps’
dalam perjalanan ke rumah sakit juga dapat mengarah ke diagnosis apendisitis akut.
Nyeri sewaktu melalui ‘speed bumps’ dalam perjalanan, membantu dalam diagnosa
apendisitis akut dengan nilai sensitivitas 97%, namun spesifisitasnya rendah yaitu 30%.
Menifestasi klinis ini dikatakan mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan menifestasi klinis lain yang digunakan untuk menbuat diagnosa apendisitis akut.
Perbandingan antara menifestasi klinis adalah seperti yang ditunjukkan di table 2.
11
Table 2.2 Kinerja diagnostik (dengan CI 95%) rasa sakit atas ‘speed bumps’
gundukan kecepatan dibandingkan dengan variabel lainnya dalam diagnostik
klinis untuk apensitis akut.2
2.7 Diagnosis 4,5,6
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan untuk menyinkirkan
diagnosis lain.
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Apendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di
perut kanan bawah.
2) Auskultasi : peristaltik usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
3) Palpasi : nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans
muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Jika sudah terbentuk
abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat membendung daerah
apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed
12
dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka
massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.
4) Perkusi : perkusi di bagian abdomen didapatkan nyeri ketot positif.
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasanya ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal beberapa
manuver diagnostic.
a) Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada perut kuadran kiri
(LLQ) abdomen menghasilkan sakit disebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
b) Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot
psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau
abses.
c) Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian digerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada caraini menunjukan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
d) Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri
di RLQ)
e) Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
f) Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk
g) Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis.
h) Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
i) Dunphy sign: nyeri ketika batuk.
13
2.7.2 Skor Alvarado
Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado.
Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.
Tabel 2.3 Skor Alvarado.
The Modified Alvarado Score SkorGejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke
perut kanan bawah1
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5 ° C 1
Pemeriksaan Lab Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10
Interpretasi dari Modified Alvarado Score: 1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut 8-10 : pasti apendisitis akut
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan
nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Penyakit
infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium
merupakan alat bantu diagnosis. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil
laboratorium nilai leukosit dan neutrophil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil
yang karakteristik.
Hintung Leukosit
14
Hintung leukosit adalah menghintung jumlah leukosit per milimeterkubik
atau microliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem
pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroosganisme atau jaringan asing,
sehingga hintung jumlah leukosit merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal
dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000 –
30.000/ul. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000-
38.000 /ul. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21
tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500-11.000/ul. Pada keadaan basal
jumlah leukosit pada orang dewasa antara 5000-10.000/ul. Jumlah leukosit
meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari
11.000/ul.
Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik.
Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan
emosi, kejang, takikardi paroksismal, partus dan haid. Leukositosis patologik
pula dijumpai pada proses infeksi atau radang akut. Peningkatan leukosit juga
bisa disebabkan oleh obat-obatan, misalnya : aspirin, prokainmid, allopurinol,
kalium yodida, sulfonamide, heparin, digitalis, epinefrin, dan antibiotika
terutama ampicillin, eritromisin, tetracycline, vancomisin dan streptomisin.
Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis
11.000-14.000/mm3 dengan pemeriksaan hinting jenis menunjukan pergeseran
ke kiri hamper 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.00/mm3 maka umumnya
sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Kombinasi antara kenaikan angka
leukosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnose apendisitis akut. Tes laboratorium untuk apendisitis bersifat kurang
spesifik, sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konformasi
penegakan diagnosa. Jumlah leukosit untuk apendisitis akut adalah
>10.000/mm, sehingga gambaran leukositosis dengan peningkatan granulosit
dipakai sebagai pedoman untuk apendisitis akut. Kontrovesinya adalah beberapa
15
penderita dengan apendisitis akut, memiliki jumlah leukosit dan granulosit tetap
normal.
2.7.4 pemeriksaan radiologis
a) Foto polos abdomen - dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik
meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. perselubungan mungkin
terlihat ´ileal atau caecal ileus´ gambaran garis permukaan air-udara disekum atau
ileum. Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
b) USG abdomen- USG abdomen mempunyai peran definitive dalam mendiagnosa
apendisitis akut dan mengurangi angka kejadian laparotomy negatif. USG dilakukan
khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada
pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran
apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm) dan memberi gambaran ‘target sign’.
Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, diverticulum meckel’s, endometriosis dan pelvic Inflammatory
Disease(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG. Secara keseluruhan
USG abdomen mempunyai spesifisitas 88.09% dan sensitivitas 91.37% dalam
mendiagnosa apendisitis.
3) CT Scan - Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG.
Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari
6mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik. Pasien-
pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-
scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostic. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”. Walaupun CT scan dapat
membatu mendiagnosa apendisitis lebih akurat dari USG dan mengurangi kejadian
apendektomy negative, pada anak-anak dan dewasa muda, paparan radiasi CT scan
menjadi perhatian khusus. Menurut suatu studi yang dilakukan di Korea pada tahun
2011, membuktikan bahwa pengunaan CT scan ‘Low Dose’ dosis rendah yaitu 116
mGy.cm setanding kepentingannya dengan ‘Standar Dose’ dosis standar yaitu 521
mGy.cm. Didapatkan hasil appendektomi negative pada penggunaan CT scan dosis
16
rendah adalah 3.5% dan CT scan dosis standar adalah 3.2 %. Maka penggunaan CT
scan dosis rendah sebagai pemeriksaan radiologis lini pertama pada penderita suspek
apendisitis dapat berguna dalam mengurangi appendektomi negatif dan juga
mengurangi jumlah paparan radiasi.
4) Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy - merupakan pemeriksaan awal
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon. Tetapi untuk apendisitis
akut pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan
rupture apendiks.
5) Laparoskopi – dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostic
dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga
dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat
bermanfaat pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostic biasanya
dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.
Gambar 2.3: inflamasi apendik dengan Gambar 2.4: Pembesaran tubular. 6
apendik ‘target sign’.6
Gambar 2.5: Perforasi apendik.6
17
Tabel 2.4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut.6
Pemeriksaan Kriteria Diagnostik Evidence
Foto polos Tidak ada tidak ada peran dalam diagnosis apendisitis akut, namun dapat menunjukkan adanya fekolit pada beberapa kasus.
Ultrasonografi Aperistaltik dan stuktur dengan sensitivity 86% : spesifisiti 81% non-compressible dengan diameter >6mm
Computed Indentifikasi apendik yang dengan sensitivity 94% dan spesifisiti 95%Tomography abnormal atau apendikolit yang dalam diagnosis apendisitis akut.Scanning terkalsifikasi bersamaan inflamasi periappendiceal
Magnetic Belum dikonfirmasi disarankan pada kasus yang bermasalah Resonance Imaging dalam penggunaan alat yang beradiasi seperti ibu hamil.
2.8. Diagnosa Banding7,8
Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin.
a) Pada anak-anak balita - intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Apendisitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Apendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal.
Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.
b) Pada anak-anak usia sekolah - gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada
gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, tetapi tidak
dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga
18
dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai apendisitis. Pada
infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
c) Pada pria dewasa muda - Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda
adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya.
d) Pada wanita usia muda - Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia muda lebih
banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory
disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral
dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila
terjadi ruptur ataupun torsi.
e) Pada usia lanjut - Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis.
Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari
traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat
daripada apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan
apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua,
pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
Selain dari itu beberapa diagnosis banding apendisitis akut yang perlu dipikirkan,
antara lain: Kolitis ditandai dengan feses bercampur darah, nyeri tajam pada perut
bagian bawah, demam dan tenesmus. Obstruksi usus biasanya nyeri timbul perlahan-
lahan di daerah epigastrium. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi
abdomen dan timpani, terdengar metalic sound pada auskultasi. Kelainan bidang urologi
seperti batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut
menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering
ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.
19
2.9. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks dilindungi oleh omentum
dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas
omentum dan gulungan usus halus, kemudian akan dilapisi oleh jaringan granulasi dan
biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak
dapat membentuk suatu pertahanan maka penderita dapat mengalami peritonitis umum,
masa yang terbentuk tadi akan terisi nanah yang semula berjumlah sedikit akan tetapi
dengan segera menjadi abses yang jelas batasnya.7,8
Apabila penderita ditemukan lewat sekitar 48 jam, maka segera dilakukan
appendektomi untuk membuang apendiks yang mungkin gangren akan tetapi
mempunyai perlekatan yang longar pada massa periapendikular, bila massa
periapendikular telah menjadi lebih terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi
berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.8
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.9
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada
demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.8,9
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
20
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. Pada periapendikular infiltrat,
dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukanakan lebih sulit dan
perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut.8
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau
puntanpa peritonitis umum.8
Ada laporan sesekali pengobatan konservatif dilakukan dengan antibiotik pada
apendisitis akut. Pengobatan dengan antibiotik mengakibatkan rasa sakit berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan pada yang dilakukan tindakan apendektomi.
Namun, ada risiko kekambuhan dalam kasus apendisitis akut. Pengamatan aktif telah
menghasilkan tingkat apendektomi negatif yang rendah secara kosisten tanpa kenaikan
tingkat perforasi. Terapi konservatif dikatakan berhasil dalam 82,3% kasus, gagal dalam
11,4 kasus, dan dimana kekambuhannya 7,3%.8,9
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Terapi konservatif
pada periapendikular infiltrat antara lain:9
a. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi
b. Diet lunak bubur saring
c. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob.
Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.7,8,9
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya
48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
21
harus dipertimbangkan appendiktomi. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.8,9
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang:8,9
a. LED
b. Jumlah lekosit
c. Massa periapendikular
Massa Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
a. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan
aksiler)
2) Sudah tidak terdapat tanda – tanda apendisitis.
3) Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
4) Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
a. Bila LED telah menurun kurang dari 40
b. Tidak didapatkan leukositosis
c. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil
lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa:
a. Apakah penderita sudah bed rest total
22
b. Pemberian makanan penderita
c. Pemakaian antibiotik penderita
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
Tabel 2.5. Durasi pemberian antibiotik dan analgesic.8
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat
menyebabkan timbulnya abses lokal atau pun suatu peritonitis generalisata. 9,10
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 9,10
a. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh.
b. Suhu tubuh naik tinggi sekali.
c. Nadi semakin cepat.
d. Defance Muskular yang menyeluruh
e. Bising usus berkurang
f. Perut distended
23
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
a. Pelvic Abscess
b. Subphrenic absess
c. Intra peritoneal abses lokal.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
2.11. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orang
tua. Kematian biasanya berasal dari sepsis emboli paru atau aspirasi; prognosis
membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.9,10
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis.
Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan
predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi
peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu
bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat
terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi
pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.9,10
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak
diangkat. 9,10
24
BAB III
PENUTUP
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan. Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Apendisitis akut, ini diikuti
oleh penyebab lain seperti infeksi, diet dan hygiene. Apendisitis akut dibagikan kepada
tiga jenis yaitu apendisitis akut sederhana, apendisitis akut supurative, dan apendisitis
akut gangrenosa. Apendisitis infiltrate, abses, perforasi dan apendisitis kronis dapat
terdadi akibat fase lanjutan dari apendisitis akut. Gejala apendisitis yang ditemui pada
semua penderita adalah rasa nyeri pada abdomen atau kuadran bawah kanan, gejala lain
yang sering ditemui adalah mual, muntah, anoreksia dan demam yang tidak tinggi. Ada
studi yang membuktikan bahwa nyeri perut yang bertambah sewaktu melalui ‘speed
bumps’ dalam perjalanan ke rumah sakit juga dapat mengarah ke diagnosis apendisitis
akut. Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan untuk menyinkirkan
diagnosis lain. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik seperti Rovsing’s
sign, Psoas sign, obturator sign, Blumberg’s sign dan nyeri pada pemeriksaan rektal
toocher. Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor
Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.
Interpretasi dari Modified Alvarado Score adalah, 1-4 : sangat mungkin bukan
apendisitis akut, 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut, 8-10 : pasti apendisitis akut.
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan
nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien
dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrophil akan
meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Pemeriksaan radiologis,
USG abdomen mempunyai peran definitive dalam mendiagnosa apendisitis akut dan
mengurangi angka kejadian laparotomy negative. Pada CT Scan khususnya apendiceal
CT, lebih akurat dibanding USG. Bagi Penatalaksanaan apendisitis akut pula,
pembedahan diindikasikan bila diagnose apendisitis telah ditegakkan. Penundaan
apendektomi yang lama dengan memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses dan
25
perforasi. Namun ada studi mengatakan bagi apendisitis non komplikata, terapi
konservatif memberikan hasil yang baik. Komplikasi yang paling sering ditemukan
adalah perforasi. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal atau pun suatu
peritonitis generalisata. Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang
dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. D J Humes and J Simpson, Acute appendicitis, Clinical review , BMJ Vol 333
2008, Pg 530-534, Nottingham.UK.
2. Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier.
2010. Surgery 28:11. p544-548.
3. Appendicitis [updated September 2010; cited April 2011]. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Appendicitis. (accessed : 2013, March 14).
4. H F Ashdown, N D’ Souza, R J Stevens, Pain over speed bumps in diagnosis of
acute appendicitis: diagnostic accuracy study, BMJ 2012 : 345, Pg 1-7, UK.
5. Y H Kim, S Y Kim, Y J Lee, K P Kim. Low-Dose Abdominal Ct For Evaluating
Suspected Appendicitis. The New England Journal of Medicine. April 26, 2012.
6. B R. Toorenvliet, F Wiersma, R F R. Bakker, P J. Breslau, Routine Ultrasound
and Limited Computed Tomography for the Diagnosis of Acute Appendicitis,
World J Surg (2010) 34:2278–2285
7. L F Premanand, P S Aithala, C George, H B Suresh, D Acharya,
Ultrasonography Is Still A Useful Diagnostic Tool In Acute Appendicitis.
Journal Of Clinical And Diagnostic Research,2009 October [cited: 2009 October
5]; 3:1731-1736.
8. G R Paudel, C S Agrawal, R regmi. Conservative Treatment in Acute
Appendicitis. JNMA, Vol 49, No.4, October – December 2010. Nepal.
9. J T. Hamdi Is There a Place for Conservative Treatment of Acute Appendicitis?
Vol. 17 No. 1, pp: 11-17 (2010 A.D. / 1431 A.H.)
10. A Saber, A Mohammad, G M. Ellabban, Patient Safety in Delayed Diagnosis of
Acute Appendicitis, Surgical Science, 2011, 2, 318-321August 2011, Ismailia,
Egypt.
27