case appendisitis dr.okky
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
APPENDISITIS
Pembimbing :
Letkol Laut (K) Dr. Okky Partakusumah, SpB
Disusun Oleh :
Genni Putrianti
030.07.097
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
Periode 4 November 2013 – 11 Januari 2014
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Genni putrianti
NIM : 030.07.097
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah FK Universitas
Trisakti
Kasus : Appendisitis
Pembimbing : Letkol Laut (K) Dr. Okky Partakusumah, SpB
Jakarta, Desember 2013
Pembimbing
Letkol Laut (K) Dr. Okky Partakusumah, SpB
BAB I
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN
DEPARTEMEN BEDAH
RSAL Dr.MINTOHARDJO
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Sukma Ayu
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 13 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jakarta
Pekerjaan : pelajar
No Rekam Medis : 002349
Tgl masuk Rumah Sakit : 20 November 2013
Ruang : Bintan
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 November 2013 , pukul : 13.00
WIB.
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak dua minggu yang lalu
Keluhan Tambahan : Demam, mual, muntah, nyeri, pusing dan nafsu makan menurun
Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang ke Poli Bedah Rumah Sakit Mintohardjo tanggal 14 November 2013 pukul 11.00
dengan keluhan utama nyeri pada perut bagian kanan bawah sejak 2 minggu SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus, yang awalnya nyeri menyeluruh pada perut, lama-lama makin hebat
dan tajam pada perut bagian bawah kanan. Selain nyeri OS juga mengeluh mual dan muntah,
muntah nya sebanyak 4x berisi cairan yang bercampur makanan. OS juga mengatakan
ada demam dan pusing. Warna kencing nya agak kecoklatan dan tidak berpasir.
Sebelum ke Poli Bedah RSAL, OS sempat pergi ke klinik dekat rumah lalu diberi obat
ranitidin, parasetamol dan obat maag (os lupa nama obatnya), sempat merasa nyeri perutnya
membaik tetapi kemudian kambuh lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama: Tidak ada
• Riwayat alergi obat : Tidak ada
• Riwayat sakit kencing manis : Tidak ada
• Riwayat asma : Tidak ada
• Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
• Riwayat Hipertensi : Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama: Tidak ada
• Riwayat alergi obat : Tidak ada
• Riwayat sakit kencing manis : Tidak ada
• Riwayat asma : Tidak ada
• Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
Riwayat Kebiasaan
Os mengaku sedikit sekali minum air setiap harinya selain itu os juga jarang mengkonsumsi
sayur dan buah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 20 November 2013, pukul 13:00 WIB
• Keadaan Umum :
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Status gizi : kesan gizi baik
• Tanda – tanda vital :
Tekanan darah: 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,8 °C
RR : 20 x/menit
A. Status Generalis
• KULIT
Warna : Sawo matang, ikterik (-), hiperpigmentasi, hipopigmentasi (-)
Rambut : Tumbuh rambut di permukaan kulit
Turgor : Baik
Suhu raba : Hangat
• KEPALA
Ekspresi : Ekspresif
Simetri wajah : Simetris
Nyeri tekan sinus : Tidak terdapat nyeri tekan sinus
Pertumbuhan rambut : Distribusi merata
Pembuluh darah : Tidak terdapat pelebaran pembuluh darah
Deformitas : Tidak terdapat defomitas
• MATA
Bentuk normal, kedudukan kedua bola mata simetris, palpebra superior et inferior tidak
udem, conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat, isokor, refleks
cahaya (+/+)
• HIDUNG
Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, secret (-/-), krepitasi tidak ada
• TELINGA
Bentuk normal, liang telinga lapang, secret (-/-), serumen (-/-)
• MULUT DAN TENGGOROKAN
Bentuk normal, perioral sianosis (-), bibir tidak kering, lidah tidak kotor, faring tidak
hiperemis, tonsil tidak membesar T1-T1 tenang.
• LEHER
Tekanan vena jugularis: normal, 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Trakea : di tengah
• KELENJAR GETAH BENING
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB di leher
Aksilla : Tidak terdapat pembesaran KGB di aksilla
Inguinal : Tidak terdapat pembesaran KGB di inguinal
• THORAX
Paru – paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam statis dan dinamis, retraksi suprasternal(-)
Palpasi : Gerak simetris, vocal fremitus (+/+) sama kuat
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : tampak pulsasi iktus cordis 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Palpasi : iktus cordis teraba pada ICS V, 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III, IV, V linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS V, 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
• ABDOMEN
Inspeksi : Agak membuncit, jaringan parut (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, NT (+)
Perkusi : timpani (+)
• EKSTREMITAS
Bentuk normal, deformitas (-), udem (-), akral hangat (+) pada ke empat ekstremitas.
B. Status Lokalis Regio Abdomen Kuadran Kanan Bawah
• Inspeksi : agak membuncit
• Palpasi : Nyeri tekan (+) titik Mc Burney, Nyeri lepas (+) titik Mc
Burney, Rovsing sign (+), Blumberg sign (+)
• Auskultasi : Bising usus normal
• Perkusi : Timpani
• Rectal Toucher : tidak dapat dinilai (pasien menolak)
C. Pemeriksaan Tambahan
• Psoas sign (+)
• Obturator sign (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah, tanggal 14 November 2013
• Leukosit : 9000 (5000-10000 uL)
• Eritrosit : 4,42 (4,2-6,2juta/mm3)
• Hemoglobin : 12.2 (12-14 g/dL)
• Hematokrit : 38 ( 38-46%)
• Trombosit : 412000 (150-400 ribu/mm3) *
• LED (Laju Endap Darah) : 50(<20 u/L) *
2. Pemeriksaan Gula, tanggal 20 November 2013:
Glukosa Sewaktu : 95 (˂200mo%)
Pemeriksaan Hematologi
Masa perdarahan/bleeding time : 3 menit (1-6 menit)
Masa pembekuan/clotting time : 12’30” (10-16 menit)
3. Pemeriksaan Urine Lengkap, tanggal 14 November 2013
• Warna : Kuning jernih
• Blood/Eritrosit : - (-/Negatif)
• Glukosa : - (-/Negatif)
• Leukosit : - (-/Negatif)
• Bilirubin : - (-/Negatif)
• Ketone : - (-/Negatif)
• Berat jenis : 1.010 (1.003-1.031)
• PH : 6.5 (4.5-8.5)
• Protein : - (Negatif)
• Urobilinogen : 3.5 (Positif)
• Nitrit : -
• Sedimen :
o Eritrosit/LPB : +/0-1(+/0-1/LPB)
o Leukosit/LPB : +/0-1(+/0-5/LPB)
o Epitel : + (Positif)
o Bakteri : - (Negatif)
o Silinder : - (Negatif)
o Kristal : - (Negatif)
4. Pemeriksaan Foto Thoraks, 14 November 2013
Jenis foto : Foto thoraks PA
Deskripsi : Jantung tidak membesar, corakan bronchovaskuler normal, tidak tampak
bercak-bercak kesuraman, sinus costofrenikus dan diafragma baik, kostae dan tulanh-tulang
baik
Kesan : Jantung dan paru-paru normal
5. Pemeriksaan USG Abdomen, 14 November 2013
Hasil : Pada abdomen kanan bawah pada letak MC Burney nyeri tekan dengan Probe (+). Tak
tampak gambaran target sign.
Kesan : tak tampak kelainan pada organ abdomen. Apendicitis masih mungkin
6. Appendicogram 19 November 2013
Hasil : barium tidak masuk dalam lumen appendix
Kesan : appendicitis
V. RESUME
A. Anamnesis
Pasien perempuan umur 14 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2
minggu SMRS, mual, muntah, pusing dan sedikit merasa nyeri saat berkemih
B. Pemeriksaan Fisik
• Status Generalisata : dalam batas normal
• Status Lokalis : nyeri tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas titik Mc Burney (+),
Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Bising usus normal
• Pemeriksaan Tambahan : psoas sign (+), obturator sign (+)
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap, tanggal 14 November 2013:
• Thrombosit :412000 (150-400 ribu/mm3) *
• LED (Laju Endap Darah) : 50 (<20 u/L) *
Pemeriksaan Gula, tanggal 20 November 2013:
Glukosa Sewaktu : 95 (˂200mo%)
VI. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Kronis
VII. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif Medikamentosa
- Tirah baring
- IVFD RL 20 tetes permenit
- Ceftriaxone 2 x1 gr
- Profenid supp 2 x 1
2. Non Medikamentosa
- Tindakan Operatif berupa Apendektomi
- Puasa sampai sadar penuh atau platus
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDICIT
PENDAHULUAN
Apendicitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan
memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendicitis
akut yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk
itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan
diagnosis tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium.
Insiden apendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi
diantara kasus-kasus kegawatan darurat, seperti juga halnya dinegara barat. Walaupun begitu
diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit ditegakkan. Pada beberapa keadaan
apendicitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari apendicitis akut gejala
dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah diberi antibiotika. Dengan pemeriksaan
yang cermat dan teliti resiko kesalahan diagnosis pada apendisitis akut sekitar 15-20%.
Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari
mengingat wanita terutama yang masih sangat muda sering timbul gangguan yang mirip
apendicitis akut.
Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan
menggunakan sarana diagnosis penunjang seperti: foto polos abdomen, pemeriksaan barium
enema, laparoskopi dan ultrasonografi.
Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan
laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalam mendiagnosis
apendicitis akut, serta berapa akurasi, sensitifitas dan spesifitas dari tanda, gejala dan
pemeriksaan laboratorium sederhana tersebut dan untuk memudahkan dokter dalam
mengambil keputusan.
Definisi Appendicitis
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feses), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi
karena parasite seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichura dan Enterobius
vermicularis. Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50%
ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan
limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.[1]
Epidemologi
Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Appendicitis menyerang 7-
9% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat dan paling sering ditemukan pada umur 10-
19 tahun walaupun secara jelas dapat juga terlihat baik pada pasien yang lebih muda maupun
yang lebih tua. Insiden appendicitis di Amerika Serikat sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang
per tahun. Insiden dari appendicitis adalah lebih rendah pada negara dengan budaya konsumsi
makanan tinggi serat. Serat makanan dianggap mengurangi kekentalan feses, mengurangi
bowel transit time dan mengurangi pembentukan fekalit, yang dapat menyebabkan obstruksi
lumen apendiks. Meskipun peningkatan penggunaan ultrasonografi, computed tomography
(CT), dan laparoskopi, tingkat kesalahan diagnosis apendicitis tetap konstan (15,3%), seperti
memiliki tingkat ruptur appendiks. Persentase kasus salah didiagnosis apendic secara
signifikan lebih tinggi pada wanita dari pada pria (22,2 vs 9,3%). Tingkat appendektomi
negatif untuk wanita usia reproduksi adalah 23,2%, dengan tingkat tertinggi pada wanita
berusia 40 hingga 49 tahun. Tingkat appendektomi negatif tertinggi dilaporkan untuk wanita>
80 tahun.[2]
Keseluruhan angka kematian dari appendicitis yang berkisar antara 0,2- 0,8% lebih
banyak diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit itu sendiri daripada intervensi bedah.
Angka kematian meningkat diatas 20% pada pasien yang usianya lebih dari 70 tahun,
biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada
pasien kurang dari 18 tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan
diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang mencolok pada
angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.[3]
Anatomi dan fisiologi
Appendik adalah derivate dari midgut bersamaan dengan ileum dan asending colon.
Caecum pertama kali terlihat pada minggu ke 5 kehamilan dengan appendik pertama muncul
sekitar minggu ke 8 kehamilan. Appendiks awalnya muncul di apex caecum kemudian secara
bertahap berputar lebih ke medial dan menuju kearah katup ileocecal. Selama
perkembangannya, serangkaian rotasi akan berakhir dengan cecum terfiksasi di quadran
kanan bawah. Karena lubang appendiceal terdapat pada pertemuan antara taenia caecal, maka
lokasi akhir dari appendik ditentukan oleh lokasi dari caecum.[3]
Appendik pada orang dewasa memiliki variasi panjang antara 2- 22 cm tetapi
rata-rata panjangnya 9 cm. Walaupun pangkal dari apendik secara konsisten ditemukan
diantara pertemuan taenia di dasar caecum, ujungnya dapat ditemukan di berbagai lokasi. [5]
Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada regio abdomen kanan bawah di
titik McBurney. Titik McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaca anterior
superior (SIAS) kanan ke umbilicus. Titik sepertiga lateral garis ini merupakan tempat
pangkal apendiks. Dasar apendiks muncul dari sisi posteromedial caecum dimana tiga taenia
coli bertemu. Posisi apendik sangat bervariasi, sehingga kemungkinan sulit untuk
menentukan posisi normal apendiks. Macam – macam posisi apendiks (Helmut, 1988) :
1. Posisi retrocecal kira-kira 65%.
2. Posisi pelvic : apendiks tergantung menyilang linea terminal masuk ke
pelvis minor, tipe desenden 31 %.
3. Posisi paracolica : apendiks terletak horizontal di belakang sekum 2%.
4. Posisi preileal : apendiks didepan ujung akhir ileum 1%.
5. Posisi post ileal : appendiks dibelakang ujung akhir ileum 1%.[1]
Gambar 1 : posisi appendiks (Helmut Leonhardt 1988)
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang
caecum, dibelakang colon ascenden atau ditepi lateral colon ascenden. Gejala apendiks
tergantung dari letak apendiksnya.[1]
Perdarahan appendik berasal dari a.appendikular yang merupakan cabang dari a.caecalis
posterior yang berasal dari a.ileocolica cabang dari a.mesenterica superior. A. caecalis
posterior berjalan menuju appendiks didalam mesoappendix. V.appendicular mengalirkan
darahnya ke vena caecalis posterior menuju v.mesenterica superior. Saraf-saraf berasal dari
cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus
superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari appendix berjalan
bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebrae thoracica X. [2]
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Jaringan
limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah lahir yang terletak
pada tunika submukosa, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami
atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.[1]
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran
cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.[1]
Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya appendisitis akut.
Fekalit adalah penyebab paling sering terjadinya obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang
menyebabkan erosi mukosa seperti E. histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan
adanya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% kasus appendisitis akut sederhana,
65% kasus adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus
adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur.[1]
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan serat diperkirakan
menurunkan viskositas dari feses, menurunkan waktu transit di usus, dan melunakkan
formasi dari fekalit. Konstipasi akan menaikkan tekanan intracaecal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
colon. [1]
Populasi bakteri pada appendiks yang normal mirip dengan yang dari usus besar yang
normal. Flora usus buntu tetap konstan sepanjang hidup dengan pengecualian Porphyromonas
gingivalis. Bakteri ini terlihat hanya pada dewasa. Bakteri dikultur dalam kasus appendicitis
karena itu serupa dengan yang terlihat pada infeksi usus lain seperti diverticulitis. Organisme
utama terlihat dalam Appendiks normal, apendisitis akut, dan apendicitis perforasi adalah
Escherichia coli dan Bacteroides fragilis. Namun, berbagai macam bakteri anaerob, fakultatif
dan mikobakteri dapat hadir. Apendicitis adalah infeksi polimikroba, dengan beberapa seri
melaporkan budaya sampai 14 organisme yang berbeda pada pasien dengan perforasi.
Patogenesis
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop obstruction, dan
produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa appendiks menyebabkan distensi.
Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya 0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL
meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60 cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi
saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan
merata pada mid-abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa
seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi mukosa yang
terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat. Distensi yang besar ini
biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan meningkatnya tekanan dalam
rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar. Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran
masuk arteriola tetap sehingga menghasilkan pembesaran dan kongesti. Bila sekresi mukus
terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan
ini disebut dengan apendicitis supuratif akut. Proses inflamasi ini akan mengenai lapisan
serosa appendiks sampai peritoneum parietalis.
Hal ini dikarakteristikan dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan
bawah, dan terjadi dalam 24 – 48 jam pertama.[2,3]
Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh akibat
kerusakan aliran darah. Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya invasi bakteri. Karena
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan reaksi inflamsi (edem), dapat menyebabkan
appendiks menjadi semakin edem dan iskemi. Nekrosis dari dinding appendiks dapat
menyebabkan translokasi dari bakteri. Hal ini yang disebut sebagai appendisitis gangrenosa.
Bila tidak ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebut akan pecah (appendisitis
perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.[2]
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periappendikular yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses (appendiceal abses) yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular
akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat.[1]
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu
ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi
akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut).[1]
Diagram
Sumber : Sjamsuhidajat,
1997
Diagram 2. Perjalanan Alami Appendicitis Akut
Sumber : Sjamsuhidajat,
1997
Diagnosis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan
fisik. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium, foto polos abdomen, USG ataupun CT-Scan
Anamnesis
Nyeri perut merupakan gejala utama radang usus buntu akut. Secara klasik, nyeri
pada awalnya difus terpusat di epigastrium lebih rendah atau daerah pusar, ini cukup parah,
dan stabil, kadang-kadang dengan kram intermiten bersamaan terjadi . Setelah periode yang
bervariasi dari 1 sampai 12 jam, tapi biasanya dalam waktu 4 sampai 6 jam, nyeri
melokalisasi ke kuadran kanan bawah. Urutan sakit klasik, meskipun biasa, tidak berubah-
Appendicitis gangrenosa
Appendicitis supurativa
Appendicitis dengan
Nekrosis setempat
Appendicitis flegmonosa
Appendicitis mukosa
Sembuh
Perforasi
ubah. Pada beberapa pasien, rasa sakit usus buntu dimulai di kuadran kanan bawah dan
menetap di sana. Variasi lokasi anatomi apendiks untuk banyak variasi dalam kedudukan
utama dari fase somatik dari rasa sakit. Misalnya, usus buntu yang panjang dengan ujung
meradang di kuadran kiri bawah menyebabkan rasa sakit di daerah itu. Sebuah appendix
retrocecal dapat menyebabkan terutama pinggul atau sakit punggung, tanda nyeri perut kanan
bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Bila terdapat rangsangan
peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Rasa nyeri
lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas
mayor yang menegang dari dorsal. Bila pelvic appendiks sakit terutama suprapubik, dan bila
appendix terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi
lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya., dan
appendix retroileal, nyeri testis, mungkin dari iritasi pada arteri spermatika dan ureter.
Malrotasi usus juga bertanggung jawab untuk pola nyeri membingungkan. Komponen viseral
adalah di lokasi normal, tapi komponen somatik dirasakan di bagian perut bagian mana
sekum telah ditangkap saat terjadi rotasi.[3]
Anoreksia hampir selalu menyertai radang usus buntu. Hal ini begitu konstan
bahwa hasil pemeriksaan itu harus dipertanyakan jika pasien tidak anorectic. Meskipun
muntah terjadi pada hampir 75% pasien, ini bukan menonjol atau berkepanjangan, dan
kebanyakan pasien muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah disebabkan oleh stimulasi
saraf dan adanya ileus.[2]
Kebanyakan pasien memberikan sejarah awal kesulitan membuang air besar
sebelum timbulnya sakit perut, dan merasa bahwa buang air besar bisa meredakan nyeri perut
. Diare terjadi pada beberapa pasien, bagaimanapun, terutama anak-anak, sehingga pola
fungsi usus adalah nilai diferensial sedikit untuk diagnostik. Urutan munculnya gejala
memiliki arti besar untuk diagnosis diferensial. Pada> 95% pasien dengan apendisitis akut,
anoreksia adalah gejala pertama, diikuti dengan nyeri perut, yang diikuti, pada gilirannya,
dengan muntah-muntah (jika muntah terjadi). Jika muntah mendahului timbulnya rasa sakit,
diagnosis usus buntu harus dipertanyakan. [1]
Appendicitis juga dapat disertai dengan demam ringan, dengan suhu sekitar 37,5 -
38,5.[1] Jika appendix pecah, nyeri perut menjadi intens dan lebih menyebar, dengan
meningkat kejang otot, dan ada peningkatan simultan dalam denyut jantung, dengan kenaikan
suhu sampai 39 ° C sampai 40 ° C. Pada saat ini, pasien tampak sangat sakit, dan itu menjadi
jelas bahwa situasi klinis memburuk.[4]
Tabel 2. Prevalence of Common Signs and Symptoms of Appendicitis[2]
Sign or symptom Frequency (%)
Abdominal pain 99 to 100
Right lower quadrant pain or tenderness 96
Anorexia 24 to 99
Nausea 62 to 90
Low-grade fever 67 to 69
Vomiting 32 to 75
Pain migration from periumbilical area to the right lower quadrant 50
Rebound tenderness 26
Right lower quadrant guarding 21
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik.
Karena gejala yang tidak khas tadi, sering appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada bayi, 80 – 90% appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang berusia
lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak jarang terlambat didiagnosis.
Akibatnya lebih dari setengah penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.[1]
Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan imunosupresan,
pasien yang menerima transplantasi organ, pasien dengan HIV, pasien dengan diabetes
melitus, pasien yang mengidap kanker atau yang sedang menerima kemoterapi, dan pada
pasien-pasien yang obesitas, gejala yang dirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum. [1]
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital minimal berubah pada appendicitis tanpa komplikasi. Elevasi suhu
jarang> 1 ° C (1,8 ° F) dan denyut nadi normal atau sedikit lebih tinggi. Perubahan besarnya
lebih besar biasanya menunjukkan bahwa komplikasi yang telah terjadi atau diagnosis lain
harus dipertimbangkan.[3,4]
a. Inspeksi : Pada appendicitis akut biasanya ditemukan distensi perut
b. Palpasi : pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa nyeri
(nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri lepas Mc
Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa
nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk
appendicitis kronis tipe Reccurent/Interval Appendicitis terdapat nyeri di titik Mc Burney
tetapi tidak ada defans muscular sedangkan untuk yang tipe Reccurent Appendicular Colic
ditemukan nyeri tekan di apendiks.[1]
c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan (gambar 2). Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.[3]
Gambar 2. Pemeriksaan Psoas Sign[2]
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang, kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendicitis pelvika
Gambar 3. Pemeriksaan Obturator Sign[2]
d. Pemeriksaan colok dubur : jika daerah infeksi dapat dicapai saat dilakukan pemeriksaan
ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9 sampai jam 12 (gambar 3). Maka
kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada appendicitis pelvika
kunci diagnosis adalah nyeri terbatas pada saat dilakukan colok dubur.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
appendicitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih
sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada
perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip appendicitis.
Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau
penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendicitis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan
setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa
meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.
Tabel 3. Common Signs of Acute Appendicitis [2]
Sign Description
McBurney
sign
Localized right lower quadrant pain or guarding on palpation of the
abdomen (the single most important sign)
Psoas sign Pain on hyperextension of right thigh (often indicates
retroperitoneal retrocecal appendix)
Obturator
sign
Pain on internal rotation of right thigh (pelvic appendix)
Rovsing sign
Blumberg
Sign
Pain in the right lower quadrant with palpation of the left lower
quadrant
Pain in the right lower quadrant with palpation slowly and deeply
over a viscus and then suddenly releasing the palpating hand
(rebound tenderness) of the left lower quadrant
Dunphy’s
sign
Increased pain in the right lower quadrant with coughing
Hip flexion Patient maintains hip flexion with knees drawn up for comfort
Other
peritoneal
signs
Rebound tenderness, hyperesthesia of the skin in the right lower
quadrant
Tabel 4. Kelainan patologi pada appendicitis [1]
Kelainan patologi Gejala dan tanda
Peradangan awal Kurang enak ulu hati, mungkin kolik
Appendicitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan
otonomik)
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual, dan muntah
Appendicitis komplit / radang
peritoneum parietal appendiks
Rangsangan peritoneum lokal
(somatik), nyeri pada gerak aktif dan
pasif, defans muskular lokal
Radang jaringan yang menempel pada
appendiks
Genitalia interna, ureter, m. Psoas,
vesica urinaria, rectum
Appendicitis gangrenosa Demam, takikardi, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskular seluruh
perut
Pendindingan :
Tidak berhasil
Berhasil
Abses
Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,
toksik
Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Demam remiten, KU toksik, keluhan
dan tanda setempat
Sumber : Sjamsuhidajat, 1997
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 – 18.000 / mm3)
yang didominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) dimana
terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendicitis dan
appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit > 18.000 / mm3 meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa abses.[3,4]
Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis adalah C-
reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di
hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6 – 12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada
umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya
mencapai 50 – 87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.
Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kemih
sebagai sumber infeksi. Meskipun beberapa sel darah putih
atau merah dapat hadir dari iritasi saluran kemih atau
kandung kemih sebagai akibat dari apendiks meradang,
bakteriuria dalam spesimen urin yang diperoleh melalui
kateter umumnya tidak terlihat pada apendisitis akut. [3,4]
b. Foto polos abdomen
Radiografi polos (Gambar 4) tidak spesifik, umumnya tidak efektif untuk biaya,
dan dapat menyesatkan dalam situasi tertentu. Dalam kurang dari 5 persen pasien, suatu
fecalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis akut dapat terlihat
abnormal ”gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat
mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan
densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free
air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi
tertentu misalnya, perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun demikian,
foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi
pasien dengan nyeri abdomen yang akut. [5]
Gambar 4. Plain radiographic image of the abdomen revealing an appendicolith (arrow) in
the right lower quadrant
c. Ultrasonografi
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis. Tekniknya
tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan
dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi.
Secara sonografi, appendiks diidentifikasi sebagai ”blind end”, tanpa peristaltik usus.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akut adalah adanya noncompressible
appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,
interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal.
Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi
penyakit lapisan struktur dinding appendix) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan
kehilangan keliling dari layer submukosan
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese
hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus,
penyakit radang panggul, dan endometriosis Sedangkan false (-) didapat pada appendiks.[5]
Gambar 5. Transverse ultrasound image of the right lower quadrant of the abdomen revealing
a thick-walled, noncompressible tubular structure (an inflamed appendix) with a shadowing
appendicolith (arrow) [5]
d. Computerized Tomography
CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada
abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis. Appendiks normal akan terlihat
sebagai struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan
kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat
pada 25% populasi.[3]
Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila didapatkan
appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan
abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar > 5 – 7 mm. Sedangkan yang
termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan, edem, dan
phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau edem terlihat sebagai perkaburan dari lemak
mesenterium (”dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak
pada kuadran kanan bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami
penanganan gejala klinis yang telat (48 – 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi
phlegmon atau abses. Fekalit dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalit bukan
patognomonik adanya appendicitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan
penebalan dari caecum.[3]
Kekurangan dari CT termasuk mungkin iodinasi-kontras-media alergi, pasien
ketidaknyamanan dari pemberian media kontras (terutama jika media kontras rektal
digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil.[3]
Gambar 6. Axial computed tomographic image of an inflamed appendix filled with fluid and
an appendicolith
Gambar 7. Axial computed tomographic image of pericecal inflammatory changes (arrow)
and mild free fluid in a patient with ruptured acute appendicitis.
Gambar 8. Axial computed tomographic image of an inflamed appendix with an
appendicolith (arrow) and associated periappendiceal and pericecal free fluid.
Table 5. Comparison of Ultrasonography and CT in Suspected Appendicitis
Category Ultrasonography CT
Accuracy 71% to 97% 93% to 98%
Sensitivity 85% to 90% 87% to 100%
Specificity 47% to 96% 95% to 99%
Negative
predictive
value
76% 95%
Patient types Pregnant women and women
of childbearing age, children
All types; avoid in pregnant
women
Approximate
cost*
$250 $750
Advantages Easily available, noninvasive,
no radiation, rapid, no
preparation needed, ability to
diagnose other sources of pain
(especially gynecologic
disorders)
More accurate, better
identification of phlegmon and
abscess, may complement
ultrasonography when results are
suboptimal, better ability to
detect normal appendix
Disadvantages Operator dependent, not as
accurate as CT, difficult with
large body habitus, cannot rule
out appendicitis if negative
Radiation exposure, patient
discomfort/risk if contrast media
used, cost
appendix is not apparent
e. Barium Enema (Apendikogram)
Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek apendisitis akut sebab
pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat
masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema
diindikasikan untuk apendisitis kronis. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian
kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan
diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk
dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling
dengan indentasi dari caecum menunjukan adanya appendicitis kronis. Hal ini menunjukkan
adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus.
Barium enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang
dicurigai menderita appendicitis akut.[2]
Gambar 9. Filling defect appendicitis
II.6.4. Scoring Appendisitis
Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis, maka telah
disusun sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian secara retrospektif oleh
Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi gejala-gejala (nyeri yang berpindah dari
periumbilikal ke perut kanan bawah, mual dan penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri
tekan pada perut kanan bawah, nyeri lepas, dan demam), dan pemeriksaan laboratorium
(leukositosis dan pergeseran ke kiri).[3]
a. Alvarado Score [3]
Symptoms
Migratory right iliac fossa pain 1 point
Anorexia 1 point
Nausea and vomiting 1 point
Signs
Right iliac fossa tenderness 2 points
Rebound tenderness 1 point
Fever 1 point
Laboratory
Leucocytosis 2 points
Shift to left (segmented neutrophils) 1 point
Total score 10 points
> 7 : strongly acute appendicitis.
5-6 : moderate acute appedndicitis
<5 : negative appendicitis or chronic appendicitis
b. Ohmann Score [3]
Low : ≤ 5, Moderate : 6 – 11, High : 12 – 13
c. Eskelinen Score [3]
≥ 55 : appendisitis akut
d. Skoring appendicitis pada anak-anak
Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini meliputi 9 variabel
untuk menilai appendisitis akut:
1. Gender (laki-laki 2 points, perempuan 0 point)
2. Intensitas nyeri (berat 2 points, sedang or moderate 0 point)
3. Perpindahan dari nyeri (ya 4 points, tidak 0 point)
4. Nyeri pada kuadran perut kanan bawah (RLQ) (ya 4 points, tidak 0 point)
5. Muntah (ya 2 points, tidak 0 point)
6. Suhu badan (≥37.5°C 3 points, <37.5°C 0 point)
7. Guarding (ya 4 points, tidak 0 point)
8. Bising usus (absent atau meningkat 4 points, normal 0 point)
9. Rebound tenderness (ya 7 points, tidak 0 point)
Apendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimum 32. Dan nilai ini
digunakan untuk mendiagnosa ada atau tidaknya appendisitis akut.
Nilai batas untuk apendisitis akut adalah ≥21 kemungkinan besar appendisitis
akut.
Jika nilainya ≤15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah. [3]
Diagnosa Banding
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis karena penyakit lain
yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis, diantaranya:
Gastroenteritis ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis
kurangmenonjol dibandingkan dengan appendisitis akut,
Limfadenitis mesenterika, biasanya didahului oleh entertitis atau
gastroenteritis.Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan
nyeri tekan perut.
Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
positif untuk rumple lead, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat.
Infeksi panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus.Infeksi panggul pada wanita biasanya diserai keputihan dan infeksi urin.
Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikannyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada
tanda radangdan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai
pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok
hipovolemik.
Divertikulosis meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendisitis akut
dansering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendisitis akut
sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum
mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendicitis retrocaecal Nyeri menajalar ke labia, skrotum, penis, hematuria dan
terjadi demam atau leukositosis. Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau
batu ginjal kanan). Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah kanan
dan piuria.
Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan
perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri
yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang
ditemui, dapat terjadi apendicitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena
karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang
menyerupai appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat
ditemukan tinja dengan test guaiac yang positif, anemia, riwayat penurunan berat
badan, perubahan kronis dari pola defekasi.[1,3,5]
Penatalaksanaan
a. Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendicitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang
mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali
pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah dilewati
namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan
antibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut. Bila massa abses
telah terbentuk di sekitar apendiks maka basis dari sekum akan sulit untuk ditemukan, selain
itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.
Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik sudah jelas adalah appendektomi.
Penundaan tindakan bedah sambil dilakukan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Terapi dengan antibiotik saja tidak cukup karena appendicitis adalah suatu
obstruksi bukan hanya peradangan, dan lumen yang terobstruksi tidak akan sembuh hanya
dengan antibiotik.
Indikasi untuk appendektomi adalah appendicitis akut, appendicitis infiltrat dalam
stadium tenang, appendicitis kronis, dan appendicitis perforata. Pada appendicitis perforata
dilakukan segera dengan laparatomi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendicitis sudah dapat
ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus dipantau dengan
ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan jumlah pengeluaran
urine. Penatalaksanaan pasien dengan apendicitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah.
Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan
bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif
menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada
pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien
apendicitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendicitis
perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui
CT-scan pada absesnya. [5]
b. Persiapan pre-operasi
The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum
pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk
apendicitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendicitis perforasi. Penggantian
cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang
utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendicitis dengan perforasi.
1. Cairan intravena ; cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus diganti
segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau
kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan venacentral. Balance cairan harus
diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi
hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.
Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik : antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal
leukosit.Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitist perforasi.
[5]
c. Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan
secara tradisional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai penelitian
yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan laparoskopi.
Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai
komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk
dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat
kembali bekerja lebih awal.[5]
Tabel 6. Advantages of laparotomy versus laparoscopy approaches to appendectomy
Laparotomy
Shorter time in operating room
Lesser cost of operation
Overall lesser cost of hospital stay
Possitively less risk of intraabdominal
abcess in perforated cases
Laparoscopy
Diagnosis of other conditions
Decreased wound infection
Minimal decrease in hospital stay
Possible decrease in time for convalescence
and return to work or normal activity
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran
inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai
ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding caecum. Kegagalan dalam mengangkat
seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko terjadinya apendicitis
rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka
penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis rekuren meski
terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi secara
aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses, sebuah
closed suction drain dapat diletakan ke dalam kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaat
untuk mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-
materi tersebut kedalam kavum peritoneum.
d. Pasca Operasi
Kasus-kasus apendiictis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan
segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam. Pemberian
antibiotic dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin dikerjakan pada
pasien apendicitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis,
pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi.[5]
e. Operasi Apendektomi
Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai keuntungan dan
kerugian.
a. Insisi menurut Mc Burney (grid incision atau muscle splitting incision ).
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina
iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik
McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah
secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum
parietal(mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk
meluksasisekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih
kelabu/putih, mempunyai haustrae dan teania koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah
dan tidak mempunyai haustrae atau teania koli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga
taeniacoli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi
benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh,
dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebihcepat.
Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama.
Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara tajam. [5]
Teknik apendektomi Mc Burney :
1. Pasien berbaring terlentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian lakukan
tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding perut
dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut-turut M.oblikus abdominis
eksternus, m.abdominis internus, samapai tampak peritonium (Gambar 9)
3. Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi (Gambar 10)
4. Sekum dan apendiks diluksasi keluar (Gambar 11)
5.Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari apeks kearah basis
(Gambar 12)
6. Semua perdarahan dirawat.
7. Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian
dijahit dengan catgut
8. Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut
9. Puntung apendiks diolesi betadine
10. Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
Mesoapendiks diikat dengan sutera (Gambar 14)
11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya,
semua perdarahan dirawat.
12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
13. Sebelum ditutup, peritonium dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk
memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic cat gut dan otot-
otot dikembalikan (Gambar 15).
14. Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub kutis dengan cat gut dan
akhirnya kulit dengan sutera.
15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa streril.
Gambar 10. Insisi Mc.Burney
Gambar 11. Insisi peritoneumGambar 12.caekum dan appendiks diluksasi keluar
Gambar 13. Pembebasan Mesoappendiks
Gambar 14. tabac sac mengelilingi basis apendiks dan dijahit dengan catgut kemudian
pemotongan appendiks
Gambar 15. Penyimpulan jahitan tabac sac dan mesoapendiks diikat dengan sutera
Gambar 16. Penjahitan luka operasi
b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung
menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum.
Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana, dan mudah.
Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan,
lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih
banyak, masa istirahat pasca bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang
terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.[5]
c. Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra
secaravertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik ini dapat
dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat
diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini tidak langsung mengarah
ke apendiks atau caecum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan
untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan lebih banyak.[5]
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa
massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, caecum, dan lekuk usus halus.[1]
Massa appendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan/lekuk usus halus. Pada massa periappendikuler yang
pendinginannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikuler yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyakit
tersebut. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.[1]
Pasien dewasa dengan massa periappendikuler yang mengalami demam, dianjurkan
untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotika sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit
normal. Penderita boleh pulang dan appendictomy efektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.[1]
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa,
serta bertambahnya angka leukosit.[1]
Appendiktomy direncanakan pada infiltrat periappendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotika kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan appendiktomy. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara
konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainage saja dan appendiktomy dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses dapat dipertimbangkan
membatalkan tindakan bedah Adanya fekalit dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil)
dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi
appendiks. Dilaporkan insiden perforasi 60% pada penderita diatas usia 60 tahun. Faktor
yang mempengaruhi tingginya insiden perforasi pada orangtua adalah gejalanya samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa penyempitan lumen dan
arteriosclerosis. Insiden tinggi pada anak disebabkan pleh dinding appendiks yang masih
tipis, anak kurang komunikatif, sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.[1]
Perbaiki keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob dan pemasangan pipa nasogastric perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yag panjang supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat
secara mudah, begitu pula pembersiha kantung nanah. Akhir-akhir ini mulai banyak
dilaporkan pengelolaan appendicitis perforasi secara laparoskopi appendiktomy.
Keuntungannya lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena ada
kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan penyalir subfacia,
kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi.[1]
a. Appendicitis rekurens
Diagnosis appendicitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kiri kanan bawah yang mendorong dilakukan appendictomy, dan hasil
patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan appendicitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
Incidens appendicitis rekurens adalah 10% dari spesimen appendictomi yang diperiksa secara
patologik. Pada appendicitis recurens biasanya dilakukan appendictomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.[1]
b. Appendicitis kronis
Diagnosis appendicitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat ;
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara
makroskopik dan mikroskopik dan keluhan menghilang setelah appendictomi. Kriteria
mikroskopik appendicitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan
parsial atau total lumen appendiks, adanya jaringan parut atau ulkus lama di mukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens appendicitis kronik antara 1-5%.[1]
c. Mukolel Appendiks
Mukokel appendiks adalah dilatasi kistik dari appendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal appendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi
lumen steril, musin akan tertimbun tanpa terinfeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat
disebabkan oleh kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi,
akan timbul tanda appendicitis akut. Pengobatan dengan appendiktomi.[1]
Prognosis
Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat appendicitis di
Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada tahun 1939 menjadi 0,2 per
100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh karena diagnosis dini dan penatalaksanaan
yang baik, adanya antibiotik yang baik, cairan intravena, tersedianya darah dan terapi yang
tepat sebelum terjadinya perforasi. Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka
kematian akibat appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua
dengan komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi dbandingkan
dengan orang muda tanpa perforasi.[3]
Mortalitas pada appendicitis adalah karena keterlambatan diagnosis dan umur pasien.
Mortalitas 1% jika appendisitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orang tua,
kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik dengan
diagnosa dini sebelum ruptur dan pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
2. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC.
2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles of Surgery 9ed ebook. New
York: McGraw-Hills.
3. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. dan Richard J. Andrassy. 2004. Appendix on Chapter
47 in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New York: Saunders.
4. Snell RS.Anatomi Klinis Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.2006
5. Dudley H.A.F. Apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi
11. Gajah Mada Unv Press.1992. hal 441-452
6. Appendectomy. [Internet] [cited April 2011] Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Appendectomy
7. Vermiform Appendix. [Internet] [cited April 2011] Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/vermiform_appendix
8. Bewes P. Appendicitis. [Internet] April 2003. [cited April 2011] E-Talc
Issue 3. Available from:
http://web.squ.edu.om/med-Lib/MED_CD/E_CDs/health
%2520development/html/clients/beweshtml/bewes_01.htm
9. Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta : Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000