laporan skenario 1 appendisitis mdp
DESCRIPTION
ApendisitisTRANSCRIPT
BLOK MDP LAPORAN PBL
(September 2015)
Radang Akut dan Kronik
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Tutor :
dr.Farah Ch. Noya, MHPEd
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015
KelompokPenyusun: Kelompok 3
NamaKetua : Gabriela S. Maitimu 2014-83-016
Sekretaris I : Yitkel Naomi Hetharie 2013-83-020
Sekretaris II : Nazliah Awwaliah R. Syarbin 2014-83-029
Anggota
Muhammad Panser Sotja 2011-83-021
Muhammad Siraj Uluputty 2013-83-001
Nazihan Safitri Alkatiri 2014-83-003
Fauzia Olan 2014-83-027
Fendy Felex Maatitawaer 2014-83-030
Tatiana Dasmasela 2014-83-047
Vallery Betascha Anakotta 2014-83-039
Dewi Rizky Gayatri Hehanussa 2014-83-045
Fazri Muhaimin 2014-83-061
Kata Pengantar
Puji syukur kami naikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, laporan ini dapat kami selesaikan.
Laporan ini berisi hasil diskusi kelompok kami mengenai skenario “Radang Akut
dan Kronik” yang telah dibahas pada PBL Tutorial pertama dan kedua.
Dalam penyelesaian laporan ini, banyak pihak yang telah turut terlibat. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Farah Ch. Noya,MHPEd selaku tutor yang telah mendampingi dan
mengarahkan kami selama diskusi PBL berlangsung.
2. Anggota PBL kelompok tiga yang selalu bekerja sama dengan baik.
Kami menyadari sungguh, bahwa pembuatan isi laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan isi laporan kami depannya.
Ambon, Oktober 2015
Kelompok Tiga
DAFTAR ISI
Kelompok Penyusun ............................................................. i
Kata Pengantar ............................................................. ii
Daftar Isi ............................................................. iii
Daftar Gambar ............................................................. iv
Daftar Tabel ............................................................. v
Bab I Pendahuluan ............................................................. 1
1.1 Permasalahan
a. Step 1 ............................................................. 2
b. Step 2 ............................................................. 2
1.2 Pemecahan Masalah
a. Step 3 ............................................................. 3
b. Step 4 (Mind mapping) ............................................................. 6
c. Step 5 ............................................................. 8
Bab II Pembahasan Learning Objective (Step 7) ............................................ 8
2.1 Patofisiologi Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut ............................9
2.2 Etiologi dan faktor resiko terjadinya Apendisitis
Kronik Eksaserbasi Akut .............................................................27
2.3 Patofisiologi demam dan muntah pada Apendisitis
Kronik Eksaserbasi Akut .............................................................32
2.4 Patofisiologi nyeri .............................................................39
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan .............................................................56
Daftar Pustaka .............................................................58
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proyeksi caecum dan appendix vermiformis di dinding abdomen
ventral .............................................................9
Gambar 2. Komponen-komponen dari respons terhadap inflamasi akut dan
kronik; sirkulasi sel dan protein, sel pembuluh darah serta sel dan
protein dari matriks ekstraselular...................................................
13
Gambar 3. Manifestasi lokal dari peradangan akut
dibandingkan dengan normal .......................................................15
Gambar 4. Sebab-sebab peradangan akut.......................................................17
Gambar 5. Inflamasi akut dan inflamasi kronik .............................................18
Gambar 6. Mula-mula appendisitis akut tampil sebagai
nyeri periumbilikus .............................................................26
Gambar 7. Kista Entamoeba histolityca (12-15μm).......................................28
Gambar 8. Trofozoit Entamoeba histolityca (10-20 μm)................................28
Gambar 9. Mekanisme muntah .............................................................34
Gambar 10. Mekanisme demam .............................................................36
Gambar 11. Terjadinya demam .............................................................38
Gambar 12. Mekanisme Nyeri .............................................................41
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Metabolisme asam arakhidonat........................................................21
Bagan 2. Perubahan patofisiologi utama yang terjadi obstruksi usus yang
menyebabkan nyeri .........................................................40
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Inflamasi akut .............................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Permasalahan
Skenario 1 “Radang Akut dan Kronik”
Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu, pasien ini juga
mengeluh muntah berulang dan demam. Riwayat penyakitnya menunjukan bahwa
pasien pernah menderita usus buntu tahun lalu dengan gejala yang sama. Pada
pemeriksaan, terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen dan teraba
hangat. Pemeriksaan tanda vital pasien tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 100
kali/menit, pernapasan 24 kali per menit dan suhu 39,5℃. Diagnosisnya
Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut.
STEP 1
(Identifikasi Kata Sukar)
Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut adalah peradangan pada appendix
vermiformis yang ditandai dengan penebalan fibrotik dinding appendix dan nyeri
di abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih akibat
peradangan akut sebelumnya.1
(Identifikasi Kata Kunci)
1. Laki-laki berusia 45 tahun
2. Nyeri perut kanan bawah
3. Pasien pernah mengalami usus buntu
4. Muntah dan demam yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu
5. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen
6. Hasil pemeriksaan vital didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg,
denyut nadi 100 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, dan suhu tubuh
39,5℃
7. Diagnosis apendisitis kronis dan akut
STEP 2 (Identifikasi Masalah)
1. Apa saja penyebab dan faktor resiko dari apendisitis?
2. Bagaimana hubungan antara apendisitis yang dirasakan pasien dengan
hasil pemeriksaan vitalnya serta riwayat penyakit usus buntu
sebelumnya?
3. Apa yang menyebabkan pasien tersebut didiagnosis menderita
apendisitis kronik eksaserbasi akut?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya apendisitis?
5. Apa saja perbedaan antara apendisitis akut dan kronik?
6. Mengapa apendisitis yang terjadi pada tahun lalu bisa terjadi kembali?
7. Bagaimana mekanisme nyeri secara umum?
8. Apa yang menjadi penyebab rasa hangat pada kuadran kanan bawah
abdomen? Jika penyebabnya adalah inflamasi, bagaimana mekanisme
terjadinya inflamasi tersebut?
9. Bagaimana mekanisme terjadinya demam?
10. Organ apa saja yang terdapat di kuadran kanan bawah abdomen?
11. Gejala umum apa saja yang bisa terjadi pada penderita apendisitis
selain yang terdapat dalam skenario?
1.2 Pemecahan Masalah
STEP 3 (Menjawab Identifikasi Masalah)
1. Penyebab terjadinya apendisitis bisa disebabkan karena penyumbatan
di usus buntu, adanya mikroorganisme asing, atau makanan yang
terkontaminasi dengan bakteri seperti Entamoeba histolityca. Faktor
resiko apendisitis diantaranya diet rendah serat yang berakibat
memudahkan terbentuknya fekalit yang akihirnya akan menyumbat
lumen appendix.
2. Hubungan antara apendisitis kronik eksaserbasi akut dengan hasil
pemeriksaan vital dan riwayat penyakit usus buntu pasien adalah
demam yang ditandai dengan suhu tubuh pasien 39,5℃ adalah
merupakan salah satu mekanisme kompensasi tubuh akibat
vasodilatasi pembuluh darah yang disebabkan oleh pelepasan
neurotransmitter bradikinin atau histamin yang menyebabkan jantung
bekerja secara cepat. Selain itu, apendisitis tersebut terjadi mungkin
akibat penanganan apendisitis sebelumnya yang tidak tuntas sehingga
menyebabkan bertambah parahnya penyakit apendisitis pasien
tersebut.
3. Penyebabnya adalah tidak ada penanganan yang baik ketika terjadi
apedisitis eksraserbasi akut dengan baik sehingga terjadi apendisitis
kronik. Didiagnosis apendisitis kronik eksaserbasi akut karena terdapat
nyeri tekan di kanan bawah abdomen.
4. Apendisitis obstruksi pada lumen apendiks disebabkan karena
hiperplasia pada jaringan submukosa limfoid, sekresi mukus pada
lumen appendix yang berlebihan menyebabkan peyumbatan dan
distensi pada lumen appendix, dimana apendisitis ini menyebabkan
iskemik jaringan pada jaringan dan perforasi.
5. Apendisitis adalah peradangan pada appendix vermiformis.
Apendisitis kronik terjadi akibat peradangan akut sebelumnya dan
berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Perbedaan antara
apendisitis akut dan apendisitis kronik adalah kalau apendisitis akut
ditandai dengan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen dengan
nyeri lokal dan nyeri alih serta spasme otot polos yang ada di atasnya
yang berlangsung secara cepat dan jangka waktu yang pendek.
Sedangkan apendisitis kronik terjadi akibat peradangan akut
sebelumnya dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, serta
terjadi penebalan fibrotik dinding appendix dan terdapat nyeri kronik
atau berulang di daerah appendix tanpa ada peradangan akut.
6. Karena terapi pasien mungkin belum tutas sepenuhnya sehingga rasa
nyeri yang masih dirasakan pasien tersebut lebih terasa dari sebelumnya
saat pasien menderita apendisitis kronik eksaserbasi akut.
7. Ketika inflamasi terjadi misalnya diakibatkan oleh masuknya benda
asing atau sumber eksogen lainnya maupun akibat flora normal tubuh
yang berubah sifatnya menjadi patogen yang menyerang sel atau
jaringan tubuh, maka tubuh terjadi perubahan permeabilitas pembuluh
darah dengan melebarkan pembuluh darah atau vasodilatasi.
Vasodilatasi tersebut terjadi akibat pelepasan neurotransmitter seperti
bradikinin, atau histamin, ataupun prostaglandin oleh neuron. Dimana
bradikinin dan histamin merupakan beberapa contoh neurotransmitter
yang memicu terjadinya nyeri. Sehingga pada kuadran kanan bawah
abdomen penderita apendisitis, merasakan nyeri tekan.
8. Seperti yang telah dijelaskan pada nomor 8, bahwa salah satu
penyebab apendisitis adalah inflamasi oleh bakteri patogen. Rasa
hangat yang dirasakan oleh pasien adalah mekanisme kompensasi
tubuh terhadap inflamasi dimana ini dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan vital suhu tubuh pasien tersebut adalah 39,5℃. Tubuh
melakukan vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah yang terjadi
akibat pelepasan neurotransmitter seperti bradikinin dan histamin yang
ternyata juga merupakan pemicu terjadinya nyeri. Penyebab apendisitis
adalah hiperplasia pada jaringan submukosa limfoid dan sekresi mukus
pada lumen appendix yang berlebih yang menyebabkan jaringan
mengalami iskemia. Mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan
inflamasi tersebut adalah salah satunya perlawanan dari makrofag
dengan memfagosit benda asing atau bakteri penyebab apendisitis
tersebut. Makrofag pergi menuju agen infeksius di appendix
vermiformis yang mengalami inflamasi atau kemotaksis dengan
gerakan ameboidnya dan melakukan diapedesis atau keluar melalui
dinding pembuluh untuk selanjutnya memfagosit agen infeksius seperti
bakteri Entamoeba histolityca.
9. Mekanisme terjadinya demam adalah diawali dengan inflamasi akibat
benda asing penyebab patogen (eksogen) atau flora normal yang
bersifat patogen (endogen), kemudian timbul perlawanan dari sistem
pertahanan tubuh salah satunya adalah makrofag pergi ke tempat
inflamasi dan memfagosit agen infeksius seperti bakteri Entamoeba
histolityca, timbul kompensasi tubuh yaitu dengan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui pelepasan neurotransmitter
vasodilator seperti bradikinin dan histamin yang juga merupakan
pemicu terjadinya nyeri pada bagian kuadran kanan bawah abdomen.
Akibat lain dari terjadinya vasodilatasi ini adalah meningkatnya suhu
tubuh, sehingga menyebabkan pasien demam.
10. Organ yang berada pada kuadran kanan bawah abdomen adalah
caecum, appendix vermiformis, colon ascendens, dan ileum
terminalis.
11. Gejala umum yang terjadi pada penderita apendisitis kronik
eksaserbasi akut adalah nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah
abdomen yang bersifat lokal, ada nyeri alih, spasme otot pada organ
yang ada diatasnya, terjadi penebalan fibrotik dinding appendix
vermiformis, dan nyeri kronik atau berulang di daerah appendix atau
bagian kuadran kanan bawah abdomen.
STEP 4 (Mind Mapping)
Akibat pelepasan neurotransmitter
pemicu nyeri seperti bradikinin
dan histamin
1. Vasodilatasi akibat neurotransmitter bradikinin dan histamin
2. Kemotaksis makrofag menuju agen infeksius dengan gerakan ameboidnya dan selanjutnya melakukan diapedesis
Muntah berulangDemam dengan suhu tubuh 39,5℃
Nyeri tekan pada kuadran kanan
bawah abdomen
Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
Terapi atau penanganan apendisitis sebelumnya
yang belum tutas
Mind Mapping Radang Akut dan Kronik
STEP 5 (Learning Objective)
1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi Apendisitis Kronik
Eksaserbasi Akut
2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko terjadinya
Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi demam dan muntah pada
Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi nyeri
STEP 6 (Belajar Mandiri)
(Hasil belajar mandiri akan dibahas pada step 7 yaitu jawaban atas learning
objektif)
STEP 7 (Diskusi dan Presentasi Hasil Belajar Mandiri)
Jawaban Atas Learning Objectives
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi apendisitis kronik
eksaserbasi akut
Appendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang
mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Appendiks
vermiformis merupakan sisa apeks caecum yang belum diketahui
fungsinya pada manusia. Panjang appendiks vermiformis bervariasi dari 3-
5 inchi (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan posteromedial
Gambar 1. Proyeksi caecum dan appendix vermiformis di dinding abdomen ventral2
Sumber: Paulsen F,Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ dalam.Ed.23.Jilid 2.Jakarta:EGC,2012.h.93
caecum, sekitar 1 inchi (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Bagian
appendiks vermiformis lainnya bebas. Appendiks vermiformis diliputi
seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang
pendek, mesoappendix. Mesoappendix berisi arteri, vena appendicularis
dan saraf-saraf. Appendiks vermiformis terletak di regio iliaca dextra dan
berproyeksi ke titik McBurney (transisi antara sepertiga lateral dan dua
pertiga medial pada garis yang menghubungkan umbilicus dengan spina
iliaca anterior superior). Lokasi ujung appendix vermiformis lebih
bervariasi dan berproyeksi ke titik Lanz (transisi antara sepertiga kanan
dan dua pertiga kiri pada garis yang menghubungkan kedua spina iliaca
anterior superior. Diagnosis apendisitis sering tidak mudah ditegakkan
karena nyeri abdomen kanan bawah juga dapat disebabkan oleh enteritis
atau pada perempuan, karena peradangan ovarium atau tuba uterina. Oleh
sebab itu, nyeri yang diinduksi dengan menekan dan melepaskan (nyeri
tekan rebound) tangan di atas titik McBurney atau Lanz merupakan tanda
pembeda penting.3,4
Posisi ujung appendiks vermiformis yang umum, ujung appendiks
vermiformis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat
berikut ini adalah: (1) tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan
dengan dinding pelvis dextra; (2) melengkung di belakang caecum; (3)
menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum, (4) di depan atau di
belakang pars terminalis ileum. Posisi (1) dan (2) merupakan posisi yang
sering ditemukan. 3
Vaskularisasi appendiks vermiformis adalah arteri appendicularis dan
vena appendicularis. Arteri appendicularis merupakan cabang dari A.
caecalis posterior. Arteri ini berjalan menuju ujung appendiks vermiformis
di dalam mesoappendix. Vena appendicularis mengalirkan darahnya ke
vena caecalis posterior. Aliran limfe appendiks vermiformis adalah ke satu
atau dua nodi yang terletak di dalam mesoappendix dan dari sini dialirkan
ke nodi mesenterica superior. Innervasi appendiks vermiformis berasal
dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari
plexus mesentericus superior. Serabut saraf aferen yang mengantarkan
sinyal rasa nyeri visceral dari appendiks vermiformis berjalan bersama
saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra Thoracalis
X.3
Appendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat
tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau
benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan nyeri abdomen atas atau
menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di
kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya appendiks yang
terinflamasi berisi pus. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren yang disebut
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan terjadi
apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum
dan usus berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang dsebut infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks
dapat menjadi abses atau menghilang.4,5,6
2.1.1 Predisposisi appendiks vermiformis mengalami infeksi
Faktor-faktor di bawah ini berperan sebagai penyebab rentannya
appendiks vermiformis terhadap infeksi:3
1) Ukuran appendiks vermiformis yang panjang, sempit, berujung
buntu, hal ini mempermudah stasis isi intestinum crassum
2) Di dalam dinding appendiks vermiformis banyak terdapat jaringan
limfoid
3) Lumen appendiks vermiformis mempunyai kecendrungan untuk
mengalami obstruksi oleh isi intestinum yang mengeras (enterolith),
yang mengakibatkan stagnasi isi yang ada di dalamnya.
2.1.2 Predisposisi Appendiks Vermiformis Mengalami Perforasi
Appendiks vermiformis disuplai oleh arteri yang mengecil dan
panjang yang tidak beranastomosis dengan arteri lainnya. Ujung buntu
appendiks vermiformis didarahi oleh cabang-cabang terminal
appendicularis. Pembengkakan yang disebabkan oleh peradangan pada
dinding appendiks vermiformis menekan pembuluh darah yang
mendarahinya dan sering mengakibatkan trombosis arteri apendicularis.
Keadaan ini sering mengakibatkan nekrosis atau gangren dinding
appendiks vermiformis, disertai perforasi. Perforasi appendix atau
transmigrasi bakteri melalui appendix vermiformis yang meradang
mengakibatkan infeksi cavitas peritoneal. Nyeri visceral dari appendiks
vermiformis ditimbulkan oleh karena distensi lumen appendix atau spasme
otot polos dindingnya, berjalan di dalam serabut saraf yang mengikuti
saraf simpatis plexus mesentericus superior dan nervus splanchnicus minor
ke medulla spinalis (segmen Thoracalis X). Nyeri alih yang tidak jelas
dirasakan di regio umbilicalis (dermatom T10). Kemudian bila proses
peradangan mengenai peritoneum parietale, nyeri somatik yang hebat
merupakan gejala utama dan dapat dilokalisasi di kuadran kanan bawah.3
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga karena adanya
obstruksi lumen, yang biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang
terutama disebabkan oleh serat). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus
mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi.
Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebabkan terjadinya oklusi
arteri terminalis (end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan
berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan
perforasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ulserasi mukosa
berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan
lumen. Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang
diperkirakan disebabkan oleh virus. Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang
paling diperkirakan adalah Yersinia enterocolitica (penjelasan selanjutnya
di halaman 29).4,5,6
2.1.3 Inflamasi
Inflamasi adalah respons perlindungan diri yang melibatkan sel host,
pembuluh darah, protein dan mediator lain yang masuk akibat dari adanya
luka atau jejas sel, sama halnya seperti nekrosis sel dan jaringan,
merupakan hasil bentukan dari penyebab awalnya. Inflamasi atau radang
kemudian akan membuat proses pemulihan dan perbaikan pada daerah
yang mengalami cedera. Tanpa adanya inflamasi, infeksi tidak dapat
diperiksa dan luka tak akan sembuh.6
Inflamasi dapat menjadi akut maupun kronik. Inflamasi akut biasanya
berlangsung cepat dan dengan durasi pendek mulai dari beberapa menit
sampai beberapa hari dan akan menimbulkan akumulasi dari cairan dan
protein plasma. Inflamasi kronik berbeda dengan inflamasi akut, dimana
inflamasi kronik akan berlangsung lebih lama, dan dapat mencapat
bertahun-tahun dan dibedakan berdasarkan influx dari limfosit dan
makrofag dengan asiosasi oleh proliferasi vaskular dan jaringan ikat
(fibrosis).6
Inflamasi disebabkan karena adanya mediator kimia yang diproduksi
sel host dalam merespons stimulus luka. Pada saat mikroba masuk pada
jaringan sehat maupun pada jaringan yang mengalami luka, kehadirannya
akan membuat infeksi ataupun kerusakan yang dirasakan oleh sel residen
lain, makrofag, tetapi juga sel dendrite, sel mast dan tipe sel lain. Sel –sel
ini akan mensekresi molekul (sitokin dan mediator lain) yang dapat men-
induksi dan meregulasi respons peradangan. Mediator inflamasi diproduksi
juga oleh protein plasma yang akan bereaksi dengan mikroba atau jaringan
luka. Beberapa dari mediator ini akan menggunakan plasma serta merekrut
sejumlah leukosit pada bagian tempat agen tersebut berada. Perekrutan
leukosit diaktivasi dan mereka akan memakan agen tersebut dengan cara
fagositosis. Sebagai efek sampingnya pengaktivan leukosit akan merusak
jaringan normal host. 6
2.1.3.1 Manifestasi eksternal respons peradangan
Bakteri masuk melewati kulit yang terluka sampai kedalam tubuh.
Mikroba yang berasal dari luar tersebut akan menyebabkan bengkak dan
Gambar 2.Komponen-komponen dari respons terhadap inflamasi akut dan kronik; sirkulasi sel dan protein, sel pembuluh darah serta sel dan protein dari matriks
ekstraselular6
Sumber: Robbins. Basic Pathology. 9th editions. Elsevier Saunders,2013
kemerahan pada bagian yang mengalami luka, reaksi ini oleh tubuh
biasanya disebut sebagai reaksi peradangan atau respons peradangan.
Inflamasi dikarakteristikkan menjadi quintet yakni, bengkak (tumor),
kemerahan (rubor), panas (calor), nyeri (dolor) dan disfungsi dari organ
yang terkena (functio laesa). Ketika inflamasi terjadi pembuluh kapiler dan
beberapa sel jaringan akan robek dan merilis histamine dan kinin. Hal ini
akan menyebabkan pembuluh kapiler untuk berdilatasi, semakin
permeabel dan meloloskan cairan kedalam jaringan tersebut. Dilatasi dan
lolosnya cairan kedalam jaringan akan menyebabkan pembengkakkan,
kemerahan dan panas. Pembengkakan dan stimulasi pada ujung saraf oleh
kinin akan menyebabkan nyeri. Jika pada tempat luka tersebut sudah
mengalami kerusakan sebelumnya. Maka akan menyebabkan adanya
cairan serosa dan menimbulkan inflamasi atau radang misalnya setelah
operasi. Ini merupakan kombinasi akumulasi cairan dari plasma, limpa,
dan cairan interstitial, yang akan menyisip pada sel atau jaringan yang
rusak. Jika terjadi akumulasi cairan serosa yang banyak, berbentuk sebuah
masa maka akan disebut sebagai seroma.6
2.1.3.2 Peradangan akut
Terjadinya peradangan akut disebabkan oleh karena adanya distribusi
dari leukosit dan protein plasma pada daerah yang mengalami luka. Pada
saat leukosit berada pada tempat tersebut maka ia akan menginvasi dan
memulai proses pencernaan dan penghancuran terhadap jaringan nekrosis.
Inflamasi akut mempunyai dua komponen besar: 6
a. Perubahan vaskular; alterasi di dalam pembuluh darah akan
menimbulkan meningkatnya aliran darah (vasodilatasi) dan merubah
dinding pembuluh untuk mengizinkan plasma protein untuk
meninggalkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas pembuluh). Sebagai
tambahan sel endotel akan aktif, dan meningkatkan adhesi terhadap
leukosit dan migasi leukosit melalui dinding pembuluh.
b. Keadaan selular; emigrasi leukosit dari sirkulasi dan akumulasi dalam
lokasi fokus luka (cellular recuitment), diikuti oleh aktivasi leukosit,
mampu mengeleminasi agen luar. Leukosit yang berperan penting
dalam inflamasi akut adalah neutrofil.
2.1.3.3 Stimulus untuk Inflamasi Akut6
a. Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan sebagian besar
penyebab dan dibutuhkan tindakan medis terhadap penanganannya.
b. Trauma dan berbagai agen fisik maupun kimia (thermal injury, seperti
luka bakar atau frostbite, radiasi, toxin yang berasal dari reaksi kimia)
melukai sel host dan membuat reaksi inflamasi.
c. Nekrosis jaringan, termasuk iskemia (infark miokardium) dan luka fisik
serta kimia.
d. Benda asing (splinter, kotoran, jahitan)
e. Reaksi Imun (dikatakan pula sebagai reaksi hipersensivitas) perlawanan
terhadap substansi ataupun sel itu sendiri. Dikarenakan stimulus dari
Gambar 3. Manifestasi lokal dari peradangan akut, dibandingkan dengan normal. (1) Dilatasi vaskuler dan peningkatan aliran darah (menyebabkan erythema and
panas), (2) extravasasi dan deposisi oleh cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi leukosit dan akumulasi pada bagian luka6
Sumber: Robbins. Basic Pathology.9th editions.Elsevier Saunders,2013
peradangan ini sering akan berespons untuk tidak mengeliminasi atau
menghindari, seperti reaksi yang timbul pada peradangan kronik.
AksiMediator Sumber Kebocoran
vaskularKemotaksis Lainnya
Histamin dan serotonin
Sel mast dan platelet
+ -
Bradikinin Substrat plasma + - Nyeri C3a Protein plasma
melalui hepar+ - Fragmen opsonin (C3b)
C5a Makrofag + + Adhesi leukosit,aktivasiProstaglandin Sel mast,dari
membran fosfolipid
Mediator lain
- Vasodilatasi,nyeri,demam
Leukotrine B4 Leukosit - + Adhesi leukosit,aktivasiLeukotrine C4,
D4, E4
Leukosit,sel mast + - Vasokonstriksi,bronchokonstriksi
Metabolit oksigen
Leukosit + - Kerusakan endotel dan jaringan
PAF Leukosit,sel mast + + Bronchokonstriksi,pemberi-an leukosit
IL-1 dan TNF Makrofag,lainnya - + Reaksi fase akut,aktivasi endotel
Kemokin-kemokin
Leukosit,lainnya - + Aktivasi leukosit
NO (Nitric Oxide)
Makrofag,endotel + + Vasodilatasi,sitotoksik
Tabel 1. Inflamasi akut6
Sumber: Robbins. Basic Pathology. 9th editions. Elsevier Saunders, 2013,
Gambar 4. Sebab-sebab peradangan akut. 8
Sumber: Baratawidjaja K.G. Imunologi dasar. Ed.5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2002.h.314-325.
2.1.3.4 Peradangan kronik
Peradangan kronik merupakan peradangan dengan jangka lama
(berminggu-minggu sampai bertahun-tahun) dimana berasal dari
peradanagn sebelumnya, luka jaringan, sering karena fibrosis, dan
berkembang secara simultan. 6
Peradangan kronik dikarakteristikkan menjadi beberapa tahapan reaksi:
a. Infiltrasi dengan sel mononuclear, termasuk makrofage, limfosit dan sel
plasma.
b. Kerusakan jaringan, sebagian besar disebabkan oleh produk sel radang.
c. Perbaikan, membuat proliferasi pembuluh darah baru dan fibrosis.
Inflamasi akut mungkin dapat berkembang menjadi inflamsi kronik
jika respons akut tidak dapat diselesaikan, dikarenakan oleh persistensi
dari agen luka atau karena gangguan dengan proses penyembuhan
normalnya. 6
Peradangan kronik dapat berkembang pesat bila, (1) terjadinya
persistensi infeksi oleh mikroba yang sulit untuk di eliminasi, (2) penyakit
mediator imun peradangan atau reaksi hipersensivitas yang disebabkan
oleh karena inefektif dan ketidakmampuan pengaktifan sistem imun yang
perlu disadari tentang pentingnya masalah kesehatan, (3) paparan dari agen
potensial beracun, dan (4) tahap bentuk pertengahan dari peradangan
kronik yang dapat menyebabkan patogenesis berbagai penyakit yang tidak
dengan konvensional dianggap sebagai penyakit inflamasi. 6
Jika bahan tinja yang mengeras tersangkut di apendiks maka sirkulasi
normal dan sekresi mukus di tempat tersebut dapat terganggu. Perlambatan
ini menyebabkan peradangan apendiks, atau apendisitis. Apendiks yang
meradang sering membengkak dan terisi oleh pus, dan jaringan dapat mati
akibat gangguan sirkulasi lokal. Jika tidak diangkat dengan pembedahan
maka apendiks yang sakit dapat pecah, menumpahkan isinya yang penuh
kuman ke dalam rongga abdomen.7
2.1.3.5 Mekanisme inflamasi
Tahap pertama adalah produksi faktor-faktor kimia vasoaktif oleh sel
rusak di area cedera. Faktor-faktor ini meliputi histamine (dari sel mast),
serotonin (dari trombosit), derivatif asam arakhidonat (leukotrien,
Gambar 5. Inflamasi akut dan inflamasi kronik6
Sumber: Robbins, Basic Pathology, 9th editions, Elsevier Saunders 2013
prostaglandin, dan tromboksan), dan kinin (protein plasma teraktivasi).
faktor-faktor ini mengakibatkan efek berikut:7
a. Vasodilatasi atau pelebaran diameter pembuluh darah pada area yang
rusak meningkatkan aliran darah dan menyebabkan kemerahan
(eritema), nyeri berdenyut, dan panas.
b. Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan hilangnya cairan dan
pembuluh kedalam ruang intraselular. Akumulasi cairan dalam jaringan
menyebabkan pembengkakan, atau edema.
c. Pembatasan area cedera terjadi akibat lepasnya fibrinogen dan plasma
kedalam jaringan. Fibrinogen diubah menjadi fibrin untuk membentuk
bekuan yang akan mengisolasi lokasi yang rusak dari jaringan yang
masih utuh.
Tahap kedua dalam kemotaksis (gerakan fagosit ke area cedera),
terjadi dalam satu jam setelah permulaan proses inflamasi, antara lain:7
a. Marginasi adalah perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding
endothelial kapiler pada area yang rusak.
b. Diapedesis adalah migrasi fagosit melalui dinding kapiler menuju area
cedera yang pertama kali sampai yang rusak adalah neutrofil: monosit
menyusul kedalam jaringan dan menajadi makrofag.
c. Fagositosis agens berbahaya terjadi pada area cedera
Neutrofil dan makrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah
menelan sejumlah besar mikroorganisme. Leukosit mati, sel jaringan
mati, dan berbagai jenis cairan tubuh membentuk pus yang terus
membentuk sampai infeksi teratasi. Pus bergerak menuju permukaan
tubuh untuk untuk diuraikan atau menuju rongga internal yang pada
akhirnya akan dihancurkan dan diabsorbsi tubuh.
d. Abses atau granuloma akan terbentuk jika respons inflamasi tidak dapat
mengatasi cedera atau invasi. Abses adalah kantong pus terbatas yang
dikelilingi jaringan terinflamasi. Abses ini biasanya tidak terurai secara
spontan dan harus dikeluarkan. Granuloma biasanya terjadi akibat
proses inflamasi kronik dalam merespons iritasi berulang. Granuloma
merupakan akumulasi sel-sel fagositik dan mikroorganisme yang
dikelilingi kapsula fibrosa.
e. Pemulihan melalui regenerasi jaringan atau pembentukan jaringan parut
merupakan tahap akhir proses inflamasi.
Pada regenerasi jaringan, sel-sel sehat dalam jaringan yang terkena
akan membelah secara mitosis untuk berproliferasi dan mengembalikan
massa jaringan.7
Pembentukan jaringan parut oleh firbroblas adalah respons alternatif
terhadap regenerasi jaringan.jaringan parut mengganti jaringan asli yang
rusak.7
Sifat jaringan yang rusak dan luasnya area cedera akan menentukan
apakah akan terjadi regenerasi atau pembentukan jaringan parut. Kulit
memiliki kemampuan yang tinggi untuk melakukan regenerasi lengkap
kecuali jika cedera terlalu dalam atau luas.7
Efek sistemik inflamasi meliputi demam dan leukositosis, antara lain:6,7
a. Demam atau suhu tubuh tinggi yang abnormal dapat terjadi dalam
kaitannya dengan inflamasi.
Pirogen eksogen (pencetus demam) yang dilepaskan bakteri dan
Pirogen endogen yang dilepas berbagai leukosit, bekerja pada
hipotalamus untuk mengatur kembali kendali termoregulator normal ke
suhu yang lebih tinggi. Penyesuaian tubuh terhadap peningkatan suhu
meliputi vasokontriksi untuk mengurangi panas yang hilang, menggigil
dan gemetar untuk meningkatkan panas tubuh, dan peningkatan laju
metabolik.akibatnya adalah peningkatan suhu tubuh. Demam akan
mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang, dan kendali
termoregulator normal tercapai.
b. Leukositosis (peningkatan jumlah leukosit dalam darah) terjadi akibat
peningkatan kebutuhan jumlah sel darah putih tambahan dan
peningkatan produksi sel tersebut dalam sumsum tulang.
2.1.4 Metabolisme Asam Arakhidonat
Cedera (inflamasi)
Diaktifkan enzim fosfolipase
Fosfolipid
Asam Arakhidonat
Endoperoksidase Asam hidroperoksi dan asam
hidroksi-lemak
Tromboksan A2 Prostaglandin Leukotrien (Leukotrien A4,B4,
(PGE2.PGF,PGI, zat-zat anafilaksis,atau LTC4,
Prostasiklin,PGI2) LTD4)
Asam arakhidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon
polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam
linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai
komponen fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat dilepaskan dari
fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi
mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti
C5a. Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari
dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur
siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakhidonat (disebut
juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi.37
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2),
PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap
Jalur siklooksigenase Jalur lipoksigenase
Bagan 1. Metabolisme asam arakhidonat 9
Sumber: Price S.Wilson LM.Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.Ed.6.Volume 1.Jakarta:EGC,2005.h.62
produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang
spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi
aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan
tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase
sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi
trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium
kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki
prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator
dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit
utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan
PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema.
Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi. 9
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk
bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim
metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya
memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-
hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam
arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-
hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah
menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE
adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4
merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari
neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi,
bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. 5
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis
menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk
lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit
dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai
aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi
dan antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya
menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi
perlekatan monosit. 5
2.1.5 Manifestasi Klinik Appendisitis
Pada awal timbul apendisitis belum ada keluhan yang menetap.
Keluhan biasanya akan dimulai dengan nyeri pada daerah umbilikus yang
akan disertai dengan muntah. Dalam beberapa jam kurang lebih 2-12 jam
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah ke titik McBurney, mulai
menetap dan diperberat saat berjalan ataupun batuk. Terdapat juga keluhan
lain seperti mailase, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang
diare. Nyeri pada pasien dengan appendisitis juga bergantung pada letak
dari appendiks pasien tersebut.9
Bila letak appendiks retrosekal diluar rongga perut, karena letaknya
terlindung caecum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi
kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot psoas major
yang mengang dari dorsal. 9
Appendiks yang letaknya di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosa sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan dapat menyebabkan komplikasi. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis appendisitis: 9
Tanda awal 9
a) Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikalis disertai mual dan
muntah.
b) Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukan tanda rangsangan
perotoneum lokal di titik McBurney yaitu nyeri tekan, nyeri lepas, dan
defens muskular. Nyeri rangsangan peritoneum yang tidak langsung
yaitu nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (rowsing), nyeri kanan bawah
bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (blumberg), nyeri kanan bawah
bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan.
2.1.5.1 Jenis - Jenis Appendisitis.
Appendisitis adalah penyakit abdomen akut yang tersering ditangani
oleh dokter bedah. Walaupun entitas diagnosis ini menonjol, diagnosis
banding harus mencangkup hampir semua proses akut yang dapat terjadi di
dalam rongga abdomen. Appendisitis dapat pula diklasifikasi dalam
beberapa bagian sesuai dengan perjalanan penyakitnya, yaitu: appendisitis
akut, appendisitis infiltrat, appendisitis perforasi, appendisitis abses, dan
appendisitis kronik.11,12,13,14
A. Appendisitis akut
Appendisitis akut merupakan suatu radang yang timbul secara mendadak
pada appendiks dan yang paling sering ditemui dalam beberapa kasus
appendisitis. Pasien appendisitis akut tampil dengan nyeri abdomen serta
lokasi nyeri tergantung atas stadium penyakit dan lokasi appendiks
vermiformis. Appendisitis khas tampil dengan riwayat nyeri epigastrium
atau periunbilikus tumpul samar-samar yang disertai oleh anoreksia 90%,
mual 80%, muntah 65%. Appendisitis akut juga dikelompokan dalam
beberapa bagian sesuai dengan peradangan yang terjadi seperti berikut: 11,12,13,14
1) Appendisitis akut sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan yang baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
menyebabkan obstruksi, yang pada 50% hingga 80% kasus biasanya
dalam bentuk tumor, fekalit, dan yang lebih jarang yaitu batu empedu,
tumor, atau gumpalan cacing (Oxyuriasis vermicularis). 11,12,13,14
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe,
menyebabkan mukosa appendiks jadi menebal, terjadi edema, dan
kemerahan. Karena appendiks vermiformis dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama, maka mula-mula nyeri visera diterima sebagai
nyeri tumpul samar-samar dalam area periumbilikus. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di area periumbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. 11,12,13,14
2) Appendisitis akut purulenta (Supurative Appendicitis)
Ditandai oleh peningkatan lebih lanjut tekanan intralumen, obstruksi
vena, iskemia fokal dan iritasi serosi. Bila tunika serosa appendiks yang
meradang dekat dengan peritoneum paritonalis, maka pasien mengalami
perpindahan nyeri periumbilikus ke kuadran kanan bawah. Nyeri
somatik terlokalisasi baik, ini menunjukan ancaman penyediaan aliran
darah arteri dan iskemia menyebabkan infark kecil sepanjang batas
plexus mesenterica superior di sekitar appendix. 11,12,13,14
Ditandai dengan rangsangan peritoneum local seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. 11,12,13,14
3) Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. 11,12,13,14
Stadium appendisitis gangrenosa ini disertai dengan peningkatan
ekstravasasi bakteri dan kontaminasi lokalisasi cavitas peritonealis.
Progresivitas menyebabkan perforasi dan massa periapendiks lokalisata
atau peritonitis generalisata. 11,12,13,14
B. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat merupakan proses peradangan appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus, dan peritoneum
disekitarnya sehingga membentuk massa. Massa yang terbentuk
biasanya muncul pada hari ke-4 sejak masa peradangan. 11,12,13,14
C. Appendisitis perforasi
Appendisitis perforasi terjadi karena pecahnya appendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umur. Pada dinging apendiks tampak daerah perforasi
yang dikelilingi oleh jaringan nekrotik. 11,12,13,14
D. Appendisitis abses
Appendisitis abses terjadi karena adanya kumpulan pus yang terletak di
area peri-apendikular (fossa iliaca dextra) yang merupakan akibat
lanjutan dari appendisitis perforasi. 11,12,13,14
Gambar 6. Mula-mula appendisitis akut tampil sebagai nyeri periumbilikus.
Sumber: Sjamsuhidajat de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC,2012.h.755-62.
E. Apendisitis kronik
Gejala appendisitis kronik sedikit mirip dengan sakit asam lambung
dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar umbilicus dan
terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa
mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke
perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis
akut. 11,12,13,14
2.2 Mahasiswa/i mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko
terjadinya apendisitis kronik eksaserbasi akut
Secara umum, appendisitis merupakan proses peradangan atau
inflamasi pada appendiks. Etiologi utamanya yaitu terjadinya obstruksi
lumen appendiks diikuti dengan kongesti vascular, inflamasi dan edema.
Penyebab dari obstruksi ini umumnya berupa:15
a) Fekalit. Pada 30-35% kasus (paling sering terjadi pada orang dewasa)
b) Benda Asing. Dengan angka kejadian sekitar 4% (misalnya biji buah-
buahan, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang, kalkuli)
c) Inflamasi. Pada 50-60% kasus (terjadi hyperplasia jaringan limfoid
submukosa). Angka kejadian ini merupakan etiologi yang paling sering
pada anak-anak dan remaja.
d) Neoplasma. Dengan angka 1% (karsinoid, penyakit metastasis,
karsinoma).
e) Batu empedu (kolelitiasis). Batu empedu ini ketika memasuki
duodenum dan mencapai ileum terminalis dan caecum akan
menyebabkan obstruksi lumen appendix.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa appendiks karena
parasit seperti E. histolytica.16
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang beraktibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
appendisitis.16
2.2.1 Patogenesis Entamoeba histolityca (E. histolityca)17
Gambar 7. Kista Entamoeba histolityca (12-15μm)17
Sumber: Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz,Melnick,dan Adelberg.Ed.25.Jakarta:EGC,2012.h.701
Gambar 8. Trofozoit Entamoeba histolityca (10-20 μm)17
Sumber: Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz,Melnick,dan Adelberg.Ed.25.Jakarta:EGC,2012.h.701
Kista E. histolityca hanya dijumpai di dalam lumen kolon dan feses
yang berbentuk baik atau seperti bubur;ukuran kista beragam mulai dari 10
hingga 20 μm (Gambar 7). Kista mengandung akuola glikogen dan badan
kromatoid (massa ribonukleoprotein) dengan ciri khas ujung yang
membulat (berbeda dengan patahan kromatoidal pada kista E. coli yang
sedang berkembang). Trofozoit ameboid merupakan satu-satunya bentuk
yang dijumpai di jaringan (Gambar 8). Sitoplasma memiliki 2 zona, yaitu
batas luar hialin dan regio dalam granular yang mengandung sel darah
merah (patognomonik), tetapi biasanya tidak mengandung bakteri.
Membran nukleus dibatasi oleh granular kromatin yang halus dan teratur
dengan satu jisim kecil letak sentral (endosom atau kariosom).17
Penyakit timbul ketika trofozoit E. histolityca menginvasi epitel usus
dan membentuk ulkus diskret dengan bagian tengah sebesar ujung jarum
dan tepi meninggi; dari ulkus inilah mukus, sel nekrotik, dan ameba
keluar. Trofozoit berkembang biak dan berkumpul di atas mukosa
muskularis, sering menyebar ke samping. Ameba yang terus berkembang
biak menyebar dengan cepat ke arah lateral, menembus ke bawah mukosa,
dan menghasilkan ulkus “berbentuk botol-labu” (“flash-shaped”) yang
khas pada amebiasis primer;ujung pintu masuk yang kecil, menuju leher
yang sempit menembus mukosa ke dalam area nekrotik yang meluas di
dalam submukosa. Saat ini invasi bakteri biasanya belum terjadi, reaksi
seluler terbatas, dan kerusakan disebabkan ole nekrosis litik. Penyebaran
yang selanjutnya terjadi dapat menyatukan koloni-koloni ameba,
membentuk area besar di bawah permukaan mukosa. Trofozoit dapat
menembus lapisan otot dan terkadang menembus serosa, menyebabkan
perforasi ke rongga peritoneum. Pembesaran area nekrotik yang
selanjutnya terjadi menyebabkan perubahan makroskopik ulkus, yang
dapat membentuk tepi yang tidak rata dan menggantung, invasi bakteri
sekunder, dan akumulasi leukosit neutrofil. Lesi sekunder pada usus dapat
timbul sebagai perluasan lesi primer (biasanya di caecum, appendiks
vermiformis, atau pars proksimal colon ascendens). Organisme ini dapat
menyebar ke katup ileosekal dan ileum terminalis sehingga menimbulkan
infeksi kronik. Colon sigmoideum dan rectum merupakan tempat yang
paling sering untuk lesi selanjutnya. Massa inflamantorik atau
granulomatoik amebik mirip-tumor (ameboma) dapat terbentuk di dinding
usus, kadang-kadang tumbuh cukup besar sehingga menyumbat lumen. 17
2.2.2 Patogenesis Yersinia enterocolitica (Y. enterocolitica)
Yersinia enterocolitica adalah batang gram negatif yang tidak
memfermentasi laktosa serta urease positif dan oksidase negatif. Yersinia
enterocolitica ditemukan pada saluran pencernaan hewan yang dapat
menyebabkan penyakit dan dapat ditularkan ke manusia, yang dapat
menimbulkan gejala klinis. Yersinia enterocolitica dapat menghasilkan
enterotoksin yang stabil terhadap panas, tetapi peran toksin ini pada diare
yang apat disebabkan infeksi belum diketahui dengan jelas. Y.
enterocolitica diisolasi dari hewan pengerat dan hewan peliharaan (mis.
Domba, sapi, anjing, babi, dan kucing) serta air yang terkontaminasi
makanan, minuman, atau media infeksi lain. 17
Inokulum 108 – 109 yersenia harus memasuki saluran cerna untuk
menimbulkan infeksi. Selama periode inkubasi 4-7 hari, Y. enterocolitica
memperbanyak diri pada mukosa usus, terutama ileum. Ini menyebabkan
inflamasi dan ulserasi, serta leukosit tampak pada feses. Proses ini dapat
meluas ke kelenjar limfe mesesnterikus, serta yang jarang terjadi,
bakteremia. Gejala awal mencakup demam, nyeri abdomen, serta diare.
Diare bervariasi dari cair hingga berdarah serta mungkin disebabkan oleh
enterotoksin atau invasi pada mukosa. Pada saat itu, nyeri abdomen yang
hebat dan berlokasi di kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis. 17
2.2.3 Hiperplasia jaringan limfoid submukosa
Pada kebanyakan penelitian, hiperplasia folikel limfoid cenderung
lebih banyak pada appendicitis kronik. Peneliti menduga hal ini terjadi
karena pada appendicitis kronik terjadi proses peradangan yang bersifat
menahun sehingga merangsang folikel limfoid yang kita ketahui sebagai
komponen pertahanan tubuh untuk mengalami hiperplasia secara berahap
seiring dengan proses peradangan yang terjadi. Hiperplasia folikel limfoid
merupakan respon tubuh sebagai perlawanan terhadap proses inflamasi
yang diakibatkan oleh appendicitis. Namun, tidak semua jenis appendicitis
justru mengalami atrofi dan lapisan submukosa digantikan oleh jaringan
fibrosa dan jaringan lemak. Hiperplasia folikel limfoid juga bisa
ditemukan pada appendicitis akut karena hiperplasia folikel limfoid ini
merupakan salah satu penyebab obstruksi pada appendicitis akut.38
Adapun paramater yang selama ini banyak diteliti adalah hubungan
usia dengan folikel limfoid pada apendiks normal dimana apendiks pada
anak-anak mengandung lebih banyak folikel limfoid dibandingkan dengan
apendiks pada orang dewasa. 38
Dari beberapa penelitian, ditemukan bahwa hiperplasia folikel limfoid
dialami oleh 28,2% pasien laki-laki dan 42,6% pasin perempuan. Disini
terlihat bahwa hiperplasia folikel limfoid cenderung lebih banyak terjadi
pada perempuan, tetapi hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti
pada keadaan ini. Studi mengenai hal ini pun belum banyak dilakukan,
sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan
apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan hiperplasia folikel
limfoid serta faktor dan mekanisme apa saja yang berperan. 38
2.2.4 Faktor resiko terjadinya apendisitis kronik eksaserbasi akut
1. Faktor sumbatan10,19
faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan
oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena stasis
fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh
fekalit dapat ditemukan pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya: fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus
sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa
ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
2. Faktor bakteri10,19
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalit dalam lumen appendix yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendix, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, lalu Splanchnicus, lactobacillus,
Pseudomonas, Bacteriode splanicus. Sedangkan bakteri yang
menyebabkan perforasi adalah bakteri anaerob sebesar 96% dan
aerob kurangn dari 10%.
3. Kecenderungan familiar10,19
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ, appendix yang terlalu panjang, vaskuarisasi yang tidak
baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dan dapat memudahkan terjadinya fekalit
dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet10,19
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
seharo-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah
serat mempuenyai resiko lebih tinggi dari negara dengan pola
makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya
memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,
memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
2.3 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi demam dan muntah
pada apendisitis kronik eksaserbasi akut
2.3.1 Mekanisme muntah
Muntah merupakan suatu cara dari traktus gastrointestinal untuk
membersihkan dirinya sendiri ketika mengalami distensi maupun iritasi.
Pusat muntah terletak di medulla oblongata, diantaranya dicapai melalui
kemoreseptor pada area postrema dibawah ventrikel keempat atau zona
pencetus kemoreseptor (CTZ), tempat sawar darah otak kurang rapat.19
Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari
faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf
kemudian ditransmisikan baik oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh
saraf simpatis ke berbagai nukleus yang tersebar di batang otak yang
disebut sebagai pusat muntah. Dari sini, impuls-impuls motorik yang
menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah
melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus
gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus
yang lebih bawah, dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot
abdomen. 19
Ketika pusat muntah dirangsang, maka akan timbul perilaku muntah.
Beberapa efek yang akan terjadi adalah: 19
1. Bernapas dalam
2. Naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus
bagian atas agar terbuka
3. Penutupan glottis untuk mencegah aliran muntah memasuki paru
4. Pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior
Setelah itu akan terjadi kontraksi diafragma yang kuat ke arah bawah
dan bersamaan dengan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan
ini akan memeras perut diantara diafragma dan otot-otot abdomen,
sehingga akan membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang
tinggi. Akhirnya, sfingter esophagus bagian bawah berelaksasi sehingga
membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. 19
Jadi, dapat disimpulkan bahwa aksi muntah berasal dari suatu kerja
memeras dari otot-otot abdomen bersamaan dengan kontraksi bersama-
sama dinding lambung dan permukaan sfingter esophagus sehingga isi
lambung dapat dikeluarkan. 19
Mual dan muntah merupakan gejala dan tanda yang sering menyertai
gangguan gastrointestinal, demikian juga dengan penyakit-penyakit lain.
Beberapa teori mengenai penyebab muntah dan mual telah berkembang,
tetapi tidak ada kesepakatan mengenai penyebab atau terpi definitif. Mual
dan muntah dapat dianggap sebagai suatu fenomena yang terjadi dalam
tiga stadium. Tiga stadium tersebut diantaranya mual, retching (gerakan
serta suara sebelum muntah), serta muntah.9
Stadium pertama; Mual. Dapat dijelaskan sebagai perasaan yang
sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium, sering
menyebabkan muntah.Terdapat berbagai perubahan aktivitas saluran cerna
Gambar 9. Mekanisme muntah19
Sumber: Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran.Ed.11.Irawati,et al,alih bahasa;Rachman LY,editor bahasa Indonesia. Jakarta:EGC,2007.h.865
yang berkaitan dengan mual, seperti meningkatnya salivasi, menurunnya
tonus lambung, dan peristaltik.Peningkatan tonus duodenum dan jejenum
menyebabkan terjadinya refluks isi duodenum ke lambung. Gejala dan
tanda mual seringkali adalah pucat, meningkatnya salivasi, hendak
muntah, berkeringat, dan takikardia.9
Retching adalah suatu involunter untuk muntah, seringkali menyertai mual
dan terjadi sebelum muntah, terdiri atas gerakan pernapasan spasmodik
melawan glotis dan gerakan inspirasi dinding dada dan diafragma.
Kontraksi otot abdomen saat eksipirasi mengendalikan gerakan inspirasi.
Pilorus dan antrum distal berkontraksi saat fundus berelaksasi.9
Muntah didefinisikan sebagai suatu refleks yang menyebabkan
dorongan ekspulsi isi lambung atau usus, atau keduanya ke mulut. Pusat
muntah menerima masukan dari korteks serebral, organ vestibular, daerah
pemacu kemoreseptor (Chemoreseptor trigger zone, CTZ), dan serabut
afferen, termasuk dari sistem gastrointestinal. Muntah terjadi akibat
rangsangan pada pusat muntah, yang terletak di daerah postrema medulla
oblongata di dasar ventrikel keempat. Muntah dapat dirangsang melalui
jalur aferen oleh rangsangan nervus vagus dan simpatis atau oleh
rangsangan emetik yang menimbulkan muntah dengan aktivasi CTZ.
Selanjutnya jalur eferen menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya
gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal, dan pernapasan yang
terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang menyertai, disebut
muntah. Pusat muntah secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan
pernapasan, sehingga pada waktu muntah sering terjadi hipersalivasi dan
gerakan pernapasan.9
Muntah dianggap penting karena dapat menjadi indikator berbagai
keadaan, seperti obstruksi usus, infeksi, nyeri, penyakit metabolik,
kehamilan, penyakit labirin dan vestibular, substansi emetik eksogen
seperti racun, uremia tau gagal ginjal, penyakit radiasi, kondisi psikologis,
migren, infark miokard, dan sinkop sirkulatorik. Mual dan muntah dapat
terjadi kaibat banyak jenis penyakit sehingga penting untuk membedakan
antar gejala-gejala yang khas. Gejala yang timbul dalam beberapa jam atau
hari dapat menunjukan adanya infeksi akut, penyakit peradangan, atau
kehamilan. Mual dan muntah yang telah berlangsung selama beberapa
minggu dapat menunjukan adanya penyebab obstruktif, karsinogenik, atau
psikogenik. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah waktu mual dan
muntah, kaitan dengan makanan, isi dan bau muntah, dan gejala yang
terkait seperti nyeri, penurunan berat badan, demam, menstruasi, massa
abdomen, ikterik, sakit kepala, dan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi penegakan diagnosis dan pengobatannya. Mual dan muntah
juga dapat berpengaruh pada perubahan cairan dan elektrolit dalam tubuh.9
2.3.2 Mekanisme demam
Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau
peradangan. Sebagai respons terhadap masuknya mikroba, sel-sel fagositik
tertentu (makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai
pirogen endogen yang, selain efek-efeknya dalam melawan infeksi,
Gambar 10. Mekanisme demam18
Sumber: Sibernagl S,Lang F.Teks dan atlas berwarna patofisiologi.Jakarta:EGC,2006.h.21
bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan
patokan termostat. Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di tingkat
yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Jika,
sebagian contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi
102oF (38,9oC), maka hipotalamus mendeteksi bahwa suhu normal
prademam terlalu dingin sehingga bagian otak ini memicu mekanisme-
mekanisme respons dingin untuk meningkatkan suhu menjadi 102oF.
Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas
segera meningkat, dan mendorong vasokonstriksi kulit untuk segera
mengurangi pengeluaran panas. Kedua tindakan ini mendorong suhu naik
dan menyebabkan menggigil yang sering terjadi pada permulaan demam.
Karena merasa dingin maka yang bersangkutan memakai selimut sebagai
mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan
menahan panas tubuh. Setelah suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur
sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan
patokan yang lebih tinggi. Karena itu, terjadinya demam sebagai respons
terhadap infeksi adalah tujuan yang disengaja dan bukan disebabkan oleh
kerusakan mekanisme termoregulasi. Meskipun makna fisiologi demam
belum jelas namun banyak pakar kedokteran percaya bahwa peningkatan
suhu tubuh bermanfaat dalam mengatasi infeksi. Demam memperkuat
respons paradangan dan mungkin menghambat perkembangan bakteri.18
Selama demam, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
hipotalamus dengan memicu pelepasan lokal prostaglandin, yaitu mediator
kimiawi lokal yang berkerja langsung pada hipotalamus. Aspirin
mengurangi demam dengan menghambat sintesis prostaglandin. Aspirin
tidak menurunkan suhu pada orang yang tidak demam karena tanpa
adanya pirogen endogen maka hipotalamus tidak terdapat prostaglandin
dalam jumlah bermakna.18
Mekanisme molekular yang pasti tentang hilangnya demam secara
alami belum diketaui, meskipun hal ini diperkirakan karena berkurangnya
pengeluaran pirogen atau sintesis prostaglandin. Ketika titik patokan
hipotalamus kembali ke normal, suhu pada 102oF (dalam contoh ini)
menjadi terlalu tinggi. Mekanisme-mekanisme respons panas diaktifkan
untuk mendinginkan tubuh. Terjadi vasodilatasi kulit dan pengeluaran
keringat. Yang bersangkutan merasa panas dan membuka semua penutup
tambahan. Pengaktifan mekanisme pengeluaran panas oleh hipotalamus ini
menurunkan suhu ke normal.18
2.4 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial.[2]
Rangsangan nyeri di terima oleh nosiseptor di kulit dan viscera, yang
Gambar 11. Terjadinya demam 6
Sumber: Sherwood L.Human physiology from cell to system.p.656
dipicu oleh rangsangan tidak berbahaya dengan intensitas tinggi
(peregangan, suhu) serta oleh lesi jaringan.10
Terdapat kemiripan proses patofisiologis yang terjadi setelah obstruksi
usus, tanpa memandang penyebab obstruksi yang disebabkan oleh mekanis
atau fungsional, perbedaan utamanya adalah pada obstruksi paralitik,
peristaltik dihambat sejak awal, sedangkan pada obstruksi mekanis,
awalnya peristaltic diperkuat, kemudian timbul intermiten, dan akhirnya
menghilang.10
Dinding usus yang terletak disebelah proksimal dari segmen yang
tersumbat secara progresif akan teregang oleh penimbunan cairan dan gas
(70% dari udara yang tertelan) dalam lumen. Distensi berat pada dinding
usus akan mengurangi pengaliran air dan natrium ke darah. Sekitar 8 liter
cairan disekresi keadalam saluran cerna setiap hari, sehingga tidak adanya
absorbsi yang dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan setelah dimulainya pengobatan merupakan
penyebab utama kehilangan cairan dan elektrolit. Pengaruh kehilangan inj
adalah pengerutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok–
hipotensi, berkurangnya perfusi jaringan serta asidosis metabolik.
Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan
timbunya lingkaran setan penurunanabsorbsi cairan dan peningkatan
sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan adalah iskemia dan
peregangan dan peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh nekrosis
yang dapt menyebabkan nyeri.10
Obstruksi usus
Akumulasi gas dan cairan intralumen di sebelah proksimal dari letak obstruksi
Sel yang nekrotik akan melepaskan K+ dan protein intrasel.
Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan mendepolarisasi nosiseptor,
sedangkan protein dan pada keadaan tertentu, organisme yang
menginfiltrasi dapat menyebabkan inflamasi. Akibatnya, mediator-
mediator penyebab nyeri akan di lepaskan. Leukotriene, prostalglandin E2
DistensiProliferasi bakteri yang berlangsung
cepat
Tekanan intralumen naik dan dipertahankan
Iskemia dinding usus
Kehilangan cairan menuju ruang peritoneum
Pelepasan bakteri dan toksin dari usus yang nekrotik ke
dalam peritoneum dan sirkulasi sistemik
Peritonitis septikemia
Kehilangan H2O dan elektrolit
Penurunan volume ECF
Syok hipovolemik
Nyeri
Bagan 2. Perubahan patofisiologi utama yang terjadi obstruksi usus yang menyebabkan nyeri
Sumber: Price S.A, Wilson L M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 6.Jakarta:EGC, 2013
dan juga histamine akan mensensitisasi nosiseptor sehingga rangsangan,
baik yang kurang berbahaya maupun berada di ambang bawah bahaya
dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau aldonia).10
Lesi jaringan akan mengaktifkan pembekuan darah sehingga
melepaskan bradikinin dan serotonin. Jika terdapat penyumbatan
pembuluh darah, maka akan terjadi iskemia dan penimbunan K+ dan H+
ekstrasel yang diakibatkan semakin mengaktifkan nosiseptor yang yang
telah tersensitasi. Mediator histamine, bradikinin dan prostalglandin E2
memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas vaskuler.Hal
ini menyebabkan edema lokal, peningkatan tekanan jaringan dan
perangsangan nosiseptor. Perangsangan nosiseptor melepaskan substansi
peptide P (SP) dan peptide yang berhubungan dengan gen kalsitonin
(CGRP), yang meningkatkan respons inflamasi dan menyababkan
vasodilatasi serta meningkatnya permeabilitas vaskuler.10
Derajat nyeri sangat bervariasi, keadaan ini sangat disebabkan oleh
kemampuan otak kita untuk menekan besarnya sinyal nyeri yang masuk ke
Gambar 12. Mekanisme NyeriSumber: Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. New York:Thieme,
2000
dalam bagian sistem saraf dan mengaktifkan pengaturan rasa nyeri disebut
dengan system analgesia. Sistem ini terdiri atas 3 komponen utama yaitu:10
Area periakuaduktus grisea dan periventricular dari dari
mesensefallon dan bagian atas pons yang mengelilingi akuaduktus sylvii
dan bagian ventrikel ketiga dan keempat.10
Nucleus rafe magnus yang merupakan nucleus tipis di garis tengah
yang terletak dibawah pons dan bagian atas medulla oblongata dan nucleus
retikularis gigantoselularis yang terletak dibagian sebelah lateral dari
medulla berfungsi untuk sinyal urutan kedua dijalarkan kebawah kolumna
dorsalateralis dibagian medulla spinalis menuju kebagian pusat nyeri.10
Kompleks penghambat rasa nyeri dibagian dalam radiks dorsalis
medulla spinalis. Berfungsi untuk sinyal analgesia dapat menghambat
sinyal rasa nyeri sebelum dipancarkan ke otak.10
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi:5,6,7
a. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu
aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini
dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di
seluruh jalur nyeri.
b. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh
proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di
celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron
berikutnya
c. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini
dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai
ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi
(peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
d. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai
korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya
diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri
tersebut.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulus nociceptor oleh
stimulus noxious pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan
stimulasi nosiseptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan diubah
menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor.
Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron
susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama
transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke konus
dorsalis medula spinalis, pada konu dorsalis ini neuron aferen primer
bersinap dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron
tersebut akan naik ke atas di medula spinalis menuju batang otak dan
talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus dengan
pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respons persepsi dan
afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptiptif
tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa
terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses medulasi sinyal yang
mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang
paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses
terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke otak dan
menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.6
Mekanisme nyeri khususnya pada sindrom jebakan karena adanya
jebakan atau jepitan pada saraf sehingga mengganggu konduktivitas saraf.
Maka timbul gejala neurologist seperti nyeri dan parestesia. Perasaan nyeri
tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi
reseptor nyeri aferent primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di
medulla spinalis dan batang otak, sel-sel di traktus ascenden, sel-sel saraf
di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam reseptor
nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-sendi,
otot-otot dan alat-alat dalam pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda
menghasilkan kuatitas nyeri tertentu. Sel-sel saraf nyeri pada kornu
dorsalis medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut mengatur
pengaktifan sel-sel traktus ascenden. Sel-sel saraf dari traktus
spinothalamicus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan
traktus lainnya lebih berperan pada pengaktifan system kontrol desenden
atau pada timbulnya mekanisme motivasi-afektif. Nyeri berawal dari
reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh Reseptor nyeri ini
menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang
menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak. 6
Kadang ketika sampai di medula spinalis, sinyal ini menyebabkan
terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera dikirim
kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan
terjadinya kontraksi otot. Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada
setiap bagian tubuh Karena itu, sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis
dan lokasi dari cedera yang terjadi. Otak tidak dapat menentukan sumber
yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung
dirasakan di daerah yang lebih luas. Nyeri yang dirasakan di beberapa
daerah tubuh tidak secara pasti mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri
bisa berpindah ke daerah lain (referred pain). Referred pain terjadi karena
sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke dalam jalur saraf
yang sama ke medula spinalis dan otak Fenomena nyeri timbul karena
adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai stimuli
mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke
system saraf pusat yang dipacu oleh gangguan oleh jepitan tersebut yang
berdasarkan patofisiologinya nyeri ini tergolong dalam nyeri neuropatik,
yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor
yakni sensor elemen yang dapat mengirim signal ke CNS akan hal–hal yang
berpotensial membahayakan. Sangat banyak dalam tubuh manusia, serabut-
serabut afferentnya terdiri dari: 6
1. A delta fibres, yaitu serabut saraf dengan selaput myelin yang tipis.
2. C fibres, serabut saraf tanpa myelin.
Nociceptor sangat peka tehadap rangsang kimia (chemical stimuli).
Pada tubuh kita terdapat “algesic chemical” substance seperti:
Bradykinine, potassium ion, sorotonin, prostaglandin dan lain-lain.
Subtansi P, suatu neuropeptide yang dilepas dan ujung-ujung saraf tepi
nosiseptif tipe C, mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi local,
ekstravasasi plasma. Phenomena ini disebut sebagai “neurogenic
inflammation” yang pada keadaan lajut menghasilkan noxious/chemical
stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit hypertonus otot dapat
menyebabkan rasa sakit. Pada umumnya otot-otot yang terlibat adalah
“postural system”. Nosiseptif stimulus diterima oleh serabut-serabut
afferent ke spinal cord, menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat
“spinal motor reflexes”. Nosiseptif stimuli ini dapat dijumpai di beberapa
tempat seperti kulit visceral organ, bahkan otot sendiri. Reflek ini sendiri
sebenarnya bermanfaat bagi tubuh kita, misalnya “withdrawal reflex”
merupakan mekanisme survival dari organisme. kontraksi-kontraksi tadi
dapat meningkatkan rasa sakit, melalui nosiseptor di dalam otot dan
tendon. Makin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi, makin kuat
reflek aktifitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini akan meningkatkan rasa
sakit, sehingga menimbulkan keadaan “vicious circle”, kondisi ini akan
diperburuk lagi dengan adanya ischemia local, sebagai akibat dari kontrksi
otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat
sebagai akibat dari disregulasi. 6
2.4.1 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
2.4.1.1 Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Apendisitis:21,22,23
a. Inspeksi
Inspeksi pada apendisitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik
dan terlihat distensi perut.21,22,23
b. Palpasi
Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa
nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosa apendisitis. Pada penekanan
perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri
bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). 21,22,23
c. Pemeriksaan Rectum
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan letak
appendiks apabila letaknya sulit diketahui.Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang
meradang terletak di daerah pelvic. 21,22,23
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang.Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di M.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang
meradang kontak dengan M.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. 21,22,23
2.4.1.2 Pemeriksaan penunjang pada pasien apendisitis, antara lain:
a. Laboratorium21,22,23
1. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah, akan didapatkan leukositosis pada
kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi. Pada appendikular infiltrat, LED akan meningkat. 21,22,23
2. Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit
dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis. 21,22,23
b. Radiologis21,22,23
1. Foto Polos Abdomen
Pada apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi
komplikasi (misalnya peritonitis) diantaranya tampak: scoliosis ke
kanan, psoas shadow tak tampak, dan 5 % dari penderita
menunjukkan fekalith radioopak. 21,22,23
2. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai
adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya. 21,22,23
3. Barium Enema
Barium enema merupakan suatu pemeriksaan X-Ray dengan
memasukkan barium ke colon melalui anus.Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding. 21,22,23
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut
memperlihatkan tidak adanya pengisian appendix dan efk massa
pada tepi medial serta inferior dari caecum, pengisian lengkap dari
appendix menyingkirkan appendisitis. 21,22,23
4. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis.Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi
abses. 21,22,23
5. Laparoscopi
Laparoscopi merupakan suatu tindakan dengan menggunakan
kamera fiberoptic yang dimasukkan ke dalam abdomen, appendix
dapat divisualisasikan secara langsung.Teknik ini dilakukan di
bawah pengaruh anastesi umum.Bila pada saat melakukan tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix. 21,22,23
6. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada pemeriksaan colok dubur ini, akan didapatkan nyeri kuadran
dextra pada arah jam 9-12. Pada apendisitis pelvica akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. 21,22,23
2.4.2 Penanganan untuk mengurangi keluhan muntah,nyeri, dan demam
2.4.2.1 Penanganan muntah
Beberapa teori mengenai penyebab muntah telah banyak berkembang
tetapi sampai sekarang tidak ada kesepakatan mengenai penyebab atau
terapi yang defenitif. Penanganan pada pasien muntah dapat digolongkan
menjadi dua bagian yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi
dimana penjelasan mengenai terapi farmakologi disini akan dibahas hanya
secara umum.10
Sebelum melihat terapi non farmakologi dan farmakologi pada
muntah dapat dilihat terlebih dahulu prinsip-prinsip umum dari
penatalaksanaan pada muntah sebagai berikut:26,27
Seringkali mual dan muntah berkaitan dengan suatu infeksi usus yang
dapat sembuh sendiri atau kebanyakan makan atau minum alkohol.
Keadaan-keadaan ini tidak memerlukan pengobatan spesifik. Mual dan
muntah yang menetap dihubungkan dengan stasis lambung. Stasis
lambung menyebabkan perlambatan absorpsi dari emetik-emetik atau
obat-obat lain yang diberikan secara per-oral, ini merupakan salah satu
sebab mengapa anti-emetik diberikan per-injeksi. Bila muntah menetap,
maka obat-obatan yang diberikan melalui oral akan hilang percuma jika
pasien muntah.26,27
Dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa harus
diobati secara tepat. Cairan intravena harus diberikan pada kasus-kasus
yang mengalami dehidrasi, yaitu cairan garam isotonik dengan tambahan
kalium.Kasus-kasus mual dan muntah akibat pemberian obat dapat diatasi
dengan memberikan obat tersebut bersama makanan atau dengan
pemberian anti-emetik seperti metoklopramid secara teratur.26,27
Retching yaitu muntah tanpa isi yang dikeluarkan, lebih mengganggu
daripada itusendiri. Keadaan ini dapat diatasi dengan memberikan sedikit
cairan, air garam, atau susu, dalam interval yang teratur. Antasid efektif
pada mual menetap yang diinduksi oleh obat, karena dapat meningkatkan
laju pengosongan lambung. Semua pasien yang mendapat anti-emetik
harus diperingatkan akan kemungkinanterjadinya sedasi. Pasien-pasien ini
harus diingatkan untuk berhati-hati jika mengemudi, menjalankan
peralatan yang berbahaya dan lain-lain.26,27
Pada kasus-kasus mual dan muntah yang berat dan menetap,
pengalaman klinismenunjukkan bahwa pemberian kombinasi anti-emetik
cukup efektif. Hal ini agaknya disebabkan oleh fakta bahwa anti-emetik
tersebut bekerja pada reseptor yang berbeda. Pasien-pasien dengan
penyebab muntah yang bersifat mekanik, seringkali tidak berespons
terhadap anti-emetik. Fenotiazin tidak berguna dalam mengobati
mabuk perjalanan, sementara obat-obatan anti-kolinergik dan anti-histamin
tampaknya dapat berefek.26,27
a. Terapi Non-Farmakologi26,27
1. Pasien dengan keluhan ringan, mungkin berkaitan dengan konsumsi
makanan dan minuman, dianjurkan menghindari masuknya makanan.
2. Istirahatkan perut, tapi tetap mengkonsumsi cairan untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Konsumsilah cairan ‘bersih’ seperti air, minuman
olah raga, agar-agar dalam kurun waktu 24 jam. Kemudian jika sudah
mereda, dapat dilanjutkan mengkonsumsi makanan lembut.
3. Walaupun penting untuk mengkonsumsi cairan, tak kalah penting
mengatur jumlah cairan yang masuk. Jangan terlalu banyak. Coba untuk
mengkonsumsi cairan sedikit demi sedikit, dengan jarak 10-15 menit.
Mungkin dengan begitu perut dapat mentolerir asupan cairan yang
masuk.
4. Menghindari produk yang mengandung susu selama 24-48 jam selama
mual dan muntah. Enzim yang membantu mencerna susu terletak
dalam dinding sel perut, dengan muntah, ada kemungkinan besar tubuh
kita tidak toleran pada laktosa yang terkandung dalam susu.
b. Terapi Farmakologi26,27
Obat anti emetic atau anti mual bebas dan dengan resep paling umum
direkomendasikan untuk mengobati mual muntah. Untuk pasien yang
bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai dan efektif dapat
dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat menggunakan obat
oral atau obat oral tidak sesuai. Pada pasien tersebut disarankan
penggunaan obat secara rectal atau parenteral. Beberapa obat-obat
antiemetic yaitu diantaranya promethazine, domperidon,
metoclopramide, dan ondasetron.
2.4.2.2 Penanganan nyeri26-36
Nyeri merupakan keluhan utama yang dirasakan pada seseorang
dengan penyebab dan gejala beraneka ragam, lokasi, kualitas, durasi rasa
nyeri, frekuensi, sifat serta gejala penyertanya yang membuat seseorang
datang mencari pertolongan dokter. Nyeri juga merupakan gejala utama
berbagai penyakit dan gejala tambahan banyak keadaan atau kelainan lain
serta sangat mempengaruhi kualitas hidup dan status fungsional seseorang
dalam kehidupan seehari-hari. Secara umum nyeri dibagi menjadi nyeri
akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya ditimbulkan oleh penyebab
yang jelas, dan dapat diatasi dengan cepat dan tepat, serta memberi respon
yang baik terhadap penatalaksanaan sederhana. Namun nyeri kronik
merupakan nyeri yang berasal dari nyeri akut yang tidak tertangani dengan
baik dan sangat sulit serta dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga
penatalaksanaannya memerlukan pendekatan yang sangat khusus. Secara
umum penatalaksanaan nyeri yang konservatif terbagi atas intervensi
farmakologi, berupa obat-obatan analgesik, analgetika-opioid dan
analgetik-adjuvan serta intervensi modalitas fisik. Bidang kedokteran fisik
dan rehabilitasi menggunakan berbagai modalitas fisik yang memberikan
efek therapeutik dalam jaringan. Modalitas fisik yang digunakan dalam
program terapi nyeri dapat dibagi menjadi: 26-36
a. Mekanikal: tekanan dan vibrasi, vibrasi mekanikal, konduksi panas
dan dingin.
b. Elektrikal: aliran listrik yang merangsang kontraksi otot,
transcutaneous nerve stimulation, interferential therapy, shortwave
therapy.
c. Radiation: microwave, infra-red, laser, ultra-violet.
d. Biofeedback.
e. Therapeutic exercises.
Penatalaksaan rasa nyeri seringkali memerlukan anti- konvulsan
(karbamesepin, gabapentin), lidokain topikal 5% atau obat anti-depresan.
Golongan anti-depresan trisiklik seperti amitriptilin, nortriptilin dan
desipramin. Amitritilin dan nortriptilin merupakan obat analgesik yang
efektif untuk mengobati rasa nyeri neuropatik. Selain anti – depresan, obat
analgesik juga merupakan strategi yang paling banyak digunakan. Obat-
obat yang digunakan adalah golongan asetaminofen, aspirin, COX-2
inhibitors dan opioid. 26-36
2.4.2.3 Penanganan demam
Apabila terjadi infeksi pada appendix sehingga terjadi apendisitis,
maka akan ditemukan gejala – gejala seperti demam, muntah, nyeri pada
abdomen bagian kanan bawah. Demam biasanya ringan, dengan suhu
sekitar 37,5-38,5°C. Apabila terjadi perubahan suhu yang signifikan dari
biasanya menunjukkan bahwa terjadi komplikasi atau perforasi atau
diagnosis lain harus dipertimbangkan. Perforasi apendiks vermikularis
akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang
meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan,
dan perut menjadi tegang dan kembung adanya abses apendikuler terlihat
dengan penonjolan di perut kanan bawah juga peristalsis usus dapat
menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. 26-36
Demam merupakan suatu pengaturan tubuh jika terjadi
infeksi. Mekanisme pengaturan suhu tubuh secara normal dipertahankan
pada rentang yang sempit, walaupun terpapar suhu lingkungan yang
bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi sepanjang hari, 0,50C
dibawah normal pada pagi hari dan 0,50C diatas normal pada malam hari.
Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara
produksi panas dan kehilangan panas. 26-36
Produksi panas tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas
fisik.Kehilangan panas terjadi melalui radiasi, evaporasi, konduksi dan
konveksi. Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus selalu diatur
pada set point sekitar 370C, setelah informasi tentang suhu diolah di
hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas
sesuai dengan perubahan set point. 26-36
Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produksi panas dan
mengurangi pengeluaran panas.Bila hipotalamus posterior menerima
informasi suhu luar lebih rendah dari suhu tubuh maka pembentukan panas
ditambah dengan meningkatkan metabolisme dan aktivitas otot rangka
dalam bentuk menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan
vasokontriksi kulit dan pengurangan produksi keringat sehingga suhu
tubuh tetap dipertahankan tetap. 26-36
Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan
panas. Bila hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi
dari suhu tubuh maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi
kulit dan menambah produksi keringat. 26-36
Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set point.
Infeksi bakteri menimbulkan demam karena endotoksin bakteri
merangsang sel PMN untuk membuat pyrogen endogen yaitu interleukin-
1, interleukin 6 atau tumor nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di
hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase membentuk
protaglandin selanjutnya prostaglandin meningkatkan set point
hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti oleh pelepasan
cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan suhu
tubuh dan mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang
mengancam jiwa. 26-36
Penanganan demam dapat dilakukan secara nonfarmakoterapi maupun
farmakoterapi, antara lain: 26-36
a. Non-farmakoterapi
Biasanya mengatasi demam ringan dapat dilakukan antara lain
dengan banyak minum air putih, kompres dengan es, alkohol di
daerah lipatan tubuh, permukaan tubuh, menggunakan pakain yang
tipis.
b. Farmakoterapi
Obat penurun demam atau antipiretik hanya dianjurkan digunakan
jika dengan cara terapi non-farmakoterapi demam tidak dapat diatasi,
obat penurun demam yang dapat digunakan adalah parasetamol dan
asetosal. Kedua obat ini selain mempunyai efek penurunan demam
juga mempunyai efek pereda nyeri yang setara. Obat penurun
demam hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati
penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit. Penderita
demam harus dikonsultasikan dengan dokter atau unit pelanyan
kesehatan apabila demam berlanjut lebih dari 2 hari dengan suhu
yang lebih dari 37,5 0C, demam disertai gejala lain seperti kaku
kuduk, pingsan, bitnik merah pada kulit, nyeri hebat, mata kuning,
diare hebat, kejang dan menggigil. 26-36
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya
panas.Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus.Pada keadaan
demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal
oleh obat mirip-aspirin. Karena berdasarkan penilitian bahwa peningkalan
suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pyrogen
endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (lL-1) Yang memacu pelepasan
prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu
pyrogen dan endogen terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke
ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip-
aspirin menekan elek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis
prostaglandin. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin
tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti
latihan fisik. 26-36
Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan
hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini
memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai
antipiretik karena bersilfat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu
lama. 26-36
Derivat para amino fenol yaitu lenasetin dan asetaminofen yang
biasanya disebut parasetmol merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1993. Efek
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. 26-36
Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasinya sangat lemah, oleh
karena itu parasetamol dan lenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek
Iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,
demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. 26-36
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg
atau sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg - 1 g per kali. Dengan maksimum 4 g
per hari yaitu untuk anak 6-12 tahun yaitu 150-300 mg/kali, dengan
maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun yaitu 60-120 mg/kati dan bayi
di bawah 1 tahun yaitu 60 mg/kati; pada keduanya diberikan maksimum 6
kali/sehari. 26-36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi, kami menyimpulkan bahwa bapak ini
menderita apendisitis kronik eksaserbasi akut. Sesuai denga riwayat
sebelumnya yang mengatakan bahwa bapak tersebut pernah menderita
apendisitis akut, maka apendisitis kronik yang terjadi akibat apendisitis
akut yang mungkin tidak diterapi dengan baik ataupun bapak tersebut tidak
mengikuti saran dokter sebelumnya untuk memperbanyak diet tinggi serat.
Apendisitis disebabkan oleh hiperplasia limfoid akibat peradangan yang
menahun, fekalit akibat diet rendah serat, oleh E.histolytica yang bisa
membuat perforasi yang akan mengakibatkan inflamasi pada peritoneum
dan menyebabkan apendisitis kronik, Y. enterocolitica yang berkembang
dalam ileum dan menyebabkan mukosa appendix bertambah banyak
sehingga memperparah apendisitis akut, dan juga benda asing seperti
cacing, biji-bijian, serta batu empedu. Semua penyebab yang telah
disebutkan sebelumnya menyebabkan obstruksi pada appendix yang
menyebabkan apendisitis akut meninkat menjadi apendisitis kronik. Nyeri
pada kuadran kanan bawah merupakan salah satu tanda gejala awal
apendisitis namun dapat juga disebabkan karena enteritis. Oleh sebab itu,
nyeri yang diinduksi dengan menekan dan melepaskan (nyeri tekan
rebound) tangan di atas titik McBurney atau Lanz merupakan tanda
pembeda penting. Nyeri visceral dari appendiks vermiformis ditimbulkan
oleh karena distensi lumen appendix atau spasme otot polos dindingnya.
Selain itu, nyeri alih yang dirasakan oleh penderita apendistis biasanya
pada bagian epigastrium atau umbilikus di titik McBurney. Demam
dengan suhu 39,5℃ yang dirasakan pasien merupakan suatu kompensasi
tubuh akibat inflamasi yang terjadi. Dengan adanya demam bisa
membantu tubuh untuk membunuh agen infeksius sehingga diharapkan
dapat mengurangi inflamasi. Rasa hangat yang dirasakan pada bagian
kuadran kanan bawah mengidentifikasikan kalau di bagian tersebut telah
terjadi peradangan. Muntah berulang yang dialami pasien merupakan suatu
cara dari traktus gastrointestinal untuk membersihkan dirinya sendiri
ketika mengalami distensi maupun iritasi. Ketika terjadi obstruksi
appendix, maka akan terjadi peningkatan tekanan intralumen proksimal,
inilah yang kita sebut dengan gerakan antiperistaltik. Gerakan
antiperistaltik ini akan mendorong isi usus ke bagian proksimal, selain itu
ada impuls saraf motorik kranialis yang akan membantu mengeluarkan isi
usus keluar dengan cara mengkontraksikan otot-otot abdomen, bernapas
dalam, menaiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter
esophagus bagian atas agar terbuka, menutup glottis untuk mencegah
aliran muntah memasuki paru, dan mengangkat palatum molle untuk
menutupi nares posterior.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland W A Newman. Kamus kedokteran Dorland. Ed.31. Elseria R
Neary, alih bahasa; Mahode Albertus A, editor bahasa Indonesia.
Jakarta:EGC,2010. h.137,138,766.
2. Paulsen F,Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ
dalam.Ed.23.Jilid 2.Jakarta:EGC,2012.
3. Snell, RS. Anatomi Sistem Klinis Berdasarkan Sistem. Ed. 21.
Sugiharto L, penerjemah; Suwahjo A, Liestyawan YA, editor. Jakarta:
EGC,2011.
4. Ellis, H. Clinical Anatomy a Revision and Applied Anatomy for
Clinical Students. Ed. 11. Black well: Australia; 2006.
5. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. NewYork:
Thieme; 2000.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed. 6. Pendit BU,
penerjemah; Yesdelita N, editor. Jakarta: EGC; 2011.
7. Kumar V,Abbas AK,Aster JC.Buku ajar patologi Robbins.Ed.9.Nasar
IM,Cornain S,editor edisi bahasa Indonesia.Singapura:Elsevier
Saunders,2015.
8. Sloane Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Jakarta:EGC,2003.
9. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
10. Price S.A, Wilson L M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Ed. 6. Hartanto H, editor. Jakarta: EGC; 2013.
11. Vinay K, Ramzy S, Cotran, Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi.
Ed. 7. Vol.2. Jakarta: EGC; 2007.
12. John A. Morris JR, Jhon L, Sawyers MD. Buku Ajar Bedah Bagian I,
Abdomen Akuta. EGC; 2008.
13. Silen W. Cope’s Early Diagnosis of the Acute Abdomen. Ed. 16.
London. Oxford University Press; 1983.
14. Weleh CE, Malt RA. Abdominal Surgery, Parts I, II,and III. 1983.
15. Saputra L. Intisari Ilmu Penyakit Dalam Disertai Contoh Kasus Klinis.
Edisi 1. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher; 2010
16. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 3. Jakarta:
EGC; 2012.
17. Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, dan
Adelberg. Ed.25. Jakarta:EGC,2012
18. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. NewYork:
Thieme; 2000.
19. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran.Ed.11. Irawati,et
al, alih bahasa; Rachman LY, editor bahasa Indonesia.
Jakarta:EGC,2007
20. Rina Ningsih W. Fisiologi nyeri. [Internet]. [Cited on 2015 September
21]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/4/Chapter
%20II.pdf
21. Burndside, WJ. ADAMS Diagnosis Fisik. Ed. 17. Lukmanto H,
penerjemah. Jakarta: EGC; 1995.
22. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Erlangga; 2005.
23. Boon, Nicholas A, Walker B. Davidson’s principles and practice
of medicine. Ed. 20. Elsevier; 2006.
24. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Qlintang S,
penerjemah; Dany F, Jaya PD, editor. Jakarta: EGC; 2010.
25. Walsh T D. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi.Jakarta: EGC,1997.
26. Neal M J. At Glance Farmakologi Medis.Ed.5. Jakarta : Erlangga,
2006.
27. Moeliono M. A, dr, SpRM. Physical Modalities in the Mnagement of
Pain.
28. Bandung, 1 November 2008. Available from:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/04/physical_modaliti
es_in_the_management_of_pain.pdf
29. Kasrana. S,Kusumaratna R.K. Penatalaksanaan rasa nyeri pada lanjut
usia. Bagian Ilmu Penyakit Saraf dan Bagian Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Maret 2006.
Available from:
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Prof-harko.pdf
30. BarryLC,GillTM,KernsRD,ReidMC.Indicationofpain-
reductionstrategiesusedbycommunity-
dwellingolderpersons.JGerontol2005;60A:1569-75. Available from:
http://biomedgerontology.oxfordjournals.org/content/60/12/1569.full
31. Mekanisme demam.Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter
%20II.pdf
32. Mekenisme demam. Available from :
http://eprints.undip.ac.id/44874/3/
Siti_Hardiyanti_Sibuea_22010110110069_Bab2KTI.pdf
33. Swartz MH, Saunders WB. Text book of physical diagnosis;history and
examination international edition. Philadelphia, 1989.
34. Nizet, Vinci RJ, Lovejoy FH. Fever In Children. Pediatr Rev. 1994
(15); 127-34.
35. Obat Penurun Demam. Available from :
http://www2.pom.go.id/public/publikasi/kompendia/menu/
berkas_pdf/penurun%20demam.pdf .
36. Ganiswarna GS. Farmakologi dan terapi. Ed 4th. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
37. Porth CM. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. Ed 7.
Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
38. Wijaya Ade. S09093fk-Hubungan antara analisis.pdf. [Internet]. [Cited
on 2015 October 26]. Available from: http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=
0CB0QFjAAahUKEwiWxImP4-HIAhVIpZQKHSS1BNo&url=http
%3A%2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F123437-
S09093fk-Hubungan%2520antara-
Analisis.pdf&usg=AFQjCNEjtiACxEPY-XmIFHIO9J_jPnYfpg