laporan skenario 1 appendisitis mdp

104
BLOK MDP LAPORAN PBL (September 2015) Radang Akut dan Kronik Disusun Oleh : Kelompok 3 Tutor : dr.Farah Ch. Noya, MHPEd

Upload: chindy

Post on 02-Feb-2016

58 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Apendisitis

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

BLOK MDP LAPORAN PBL

(September 2015)

Radang Akut dan Kronik

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Tutor :

dr.Farah Ch. Noya, MHPEd

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2015

Page 2: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

KelompokPenyusun: Kelompok 3

NamaKetua : Gabriela S. Maitimu 2014-83-016

Sekretaris I : Yitkel Naomi Hetharie 2013-83-020

Sekretaris II : Nazliah Awwaliah R. Syarbin 2014-83-029

Anggota

Muhammad Panser Sotja 2011-83-021

Muhammad Siraj Uluputty 2013-83-001

Nazihan Safitri Alkatiri 2014-83-003

Fauzia Olan 2014-83-027

Fendy Felex Maatitawaer 2014-83-030

Tatiana Dasmasela 2014-83-047

Vallery Betascha Anakotta 2014-83-039

Dewi Rizky Gayatri Hehanussa 2014-83-045

Fazri Muhaimin 2014-83-061

Kata Pengantar

Page 3: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Puji syukur kami naikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, laporan ini dapat kami selesaikan.

Laporan ini berisi hasil diskusi kelompok kami mengenai skenario “Radang Akut

dan Kronik” yang telah dibahas pada PBL Tutorial pertama dan kedua.

Dalam penyelesaian laporan ini, banyak pihak yang telah turut terlibat. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr. Farah Ch. Noya,MHPEd selaku tutor yang telah mendampingi dan

mengarahkan kami selama diskusi PBL berlangsung.

2. Anggota PBL kelompok tiga yang selalu bekerja sama dengan baik.

Kami menyadari sungguh, bahwa pembuatan isi laporan ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami

perlukan untuk perbaikan isi laporan kami depannya.

Ambon, Oktober 2015

Kelompok Tiga

Page 4: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

DAFTAR ISI

Kelompok Penyusun ............................................................. i

Kata Pengantar ............................................................. ii

Daftar Isi ............................................................. iii

Daftar Gambar ............................................................. iv

Daftar Tabel ............................................................. v

Bab I Pendahuluan ............................................................. 1

1.1 Permasalahan

a. Step 1 ............................................................. 2

b. Step 2 ............................................................. 2

1.2 Pemecahan Masalah

a. Step 3 ............................................................. 3

b. Step 4 (Mind mapping) ............................................................. 6

c. Step 5 ............................................................. 8

Bab II Pembahasan Learning Objective (Step 7) ............................................ 8

2.1 Patofisiologi Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut ............................9

2.2 Etiologi dan faktor resiko terjadinya Apendisitis

Kronik Eksaserbasi Akut .............................................................27

2.3 Patofisiologi demam dan muntah pada Apendisitis

Kronik Eksaserbasi Akut .............................................................32

2.4 Patofisiologi nyeri .............................................................39

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan .............................................................56

Daftar Pustaka .............................................................58

Page 5: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proyeksi caecum dan appendix vermiformis di dinding abdomen

ventral .............................................................9

Gambar 2. Komponen-komponen dari respons terhadap inflamasi akut dan

kronik; sirkulasi sel dan protein, sel pembuluh darah serta sel dan

protein dari matriks ekstraselular...................................................

13

Gambar 3. Manifestasi lokal dari peradangan akut

dibandingkan dengan normal .......................................................15

Gambar 4. Sebab-sebab peradangan akut.......................................................17

Gambar 5. Inflamasi akut dan inflamasi kronik .............................................18

Gambar 6. Mula-mula appendisitis akut tampil sebagai

nyeri periumbilikus .............................................................26

Gambar 7. Kista Entamoeba histolityca (12-15μm).......................................28

Gambar 8. Trofozoit Entamoeba histolityca (10-20 μm)................................28

Gambar 9. Mekanisme muntah .............................................................34

Gambar 10. Mekanisme demam .............................................................36

Gambar 11. Terjadinya demam .............................................................38

Gambar 12. Mekanisme Nyeri .............................................................41

Page 6: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Metabolisme asam arakhidonat........................................................21

Bagan 2. Perubahan patofisiologi utama yang terjadi obstruksi usus yang

menyebabkan nyeri .........................................................40

Page 7: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Inflamasi akut .............................................................16

Page 8: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan

Skenario 1 “Radang Akut dan Kronik”

Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan

nyeri perut kanan bawah yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu, pasien ini juga

mengeluh muntah berulang dan demam. Riwayat penyakitnya menunjukan bahwa

pasien pernah menderita usus buntu tahun lalu dengan gejala yang sama. Pada

pemeriksaan, terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen dan teraba

hangat. Pemeriksaan tanda vital pasien tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 100

kali/menit, pernapasan 24 kali per menit dan suhu 39,5℃. Diagnosisnya

Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut.

Page 9: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

STEP 1

(Identifikasi Kata Sukar)

Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut adalah peradangan pada appendix

vermiformis yang ditandai dengan penebalan fibrotik dinding appendix dan nyeri

di abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih akibat

peradangan akut sebelumnya.1

(Identifikasi Kata Kunci)

1. Laki-laki berusia 45 tahun

2. Nyeri perut kanan bawah

3. Pasien pernah mengalami usus buntu

4. Muntah dan demam yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu

5. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen

6. Hasil pemeriksaan vital didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg,

denyut nadi 100 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, dan suhu tubuh

39,5℃

7. Diagnosis apendisitis kronis dan akut

STEP 2 (Identifikasi Masalah)

1. Apa saja penyebab dan faktor resiko dari apendisitis?

2. Bagaimana hubungan antara apendisitis yang dirasakan pasien dengan

hasil pemeriksaan vitalnya serta riwayat penyakit usus buntu

sebelumnya?

3. Apa yang menyebabkan pasien tersebut didiagnosis menderita

apendisitis kronik eksaserbasi akut?

4. Bagaimana mekanisme terjadinya apendisitis?

5. Apa saja perbedaan antara apendisitis akut dan kronik?

6. Mengapa apendisitis yang terjadi pada tahun lalu bisa terjadi kembali?

7. Bagaimana mekanisme nyeri secara umum?

Page 10: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

8. Apa yang menjadi penyebab rasa hangat pada kuadran kanan bawah

abdomen? Jika penyebabnya adalah inflamasi, bagaimana mekanisme

terjadinya inflamasi tersebut?

9. Bagaimana mekanisme terjadinya demam?

10. Organ apa saja yang terdapat di kuadran kanan bawah abdomen?

11. Gejala umum apa saja yang bisa terjadi pada penderita apendisitis

selain yang terdapat dalam skenario?

1.2 Pemecahan Masalah

STEP 3 (Menjawab Identifikasi Masalah)

1. Penyebab terjadinya apendisitis bisa disebabkan karena penyumbatan

di usus buntu, adanya mikroorganisme asing, atau makanan yang

terkontaminasi dengan bakteri seperti Entamoeba histolityca. Faktor

resiko apendisitis diantaranya diet rendah serat yang berakibat

memudahkan terbentuknya fekalit yang akihirnya akan menyumbat

lumen appendix.

2. Hubungan antara apendisitis kronik eksaserbasi akut dengan hasil

pemeriksaan vital dan riwayat penyakit usus buntu pasien adalah

demam yang ditandai dengan suhu tubuh pasien 39,5℃ adalah

merupakan salah satu mekanisme kompensasi tubuh akibat

vasodilatasi pembuluh darah yang disebabkan oleh pelepasan

neurotransmitter bradikinin atau histamin yang menyebabkan jantung

bekerja secara cepat. Selain itu, apendisitis tersebut terjadi mungkin

akibat penanganan apendisitis sebelumnya yang tidak tuntas sehingga

menyebabkan bertambah parahnya penyakit apendisitis pasien

tersebut.

3. Penyebabnya adalah tidak ada penanganan yang baik ketika terjadi

apedisitis eksraserbasi akut dengan baik sehingga terjadi apendisitis

kronik. Didiagnosis apendisitis kronik eksaserbasi akut karena terdapat

nyeri tekan di kanan bawah abdomen.

Page 11: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

4. Apendisitis obstruksi pada lumen apendiks disebabkan karena

hiperplasia pada jaringan submukosa limfoid, sekresi mukus pada

lumen appendix yang berlebihan menyebabkan peyumbatan dan

distensi pada lumen appendix, dimana apendisitis ini menyebabkan

iskemik jaringan pada jaringan dan perforasi.

5. Apendisitis adalah peradangan pada appendix vermiformis.

Apendisitis kronik terjadi akibat peradangan akut sebelumnya dan

berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Perbedaan antara

apendisitis akut dan apendisitis kronik adalah kalau apendisitis akut

ditandai dengan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen dengan

nyeri lokal dan nyeri alih serta spasme otot polos yang ada di atasnya

yang berlangsung secara cepat dan jangka waktu yang pendek.

Sedangkan apendisitis kronik terjadi akibat peradangan akut

sebelumnya dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, serta

terjadi penebalan fibrotik dinding appendix dan terdapat nyeri kronik

atau berulang di daerah appendix tanpa ada peradangan akut.

6. Karena terapi pasien mungkin belum tutas sepenuhnya sehingga rasa

nyeri yang masih dirasakan pasien tersebut lebih terasa dari sebelumnya

saat pasien menderita apendisitis kronik eksaserbasi akut.

7. Ketika inflamasi terjadi misalnya diakibatkan oleh masuknya benda

asing atau sumber eksogen lainnya maupun akibat flora normal tubuh

yang berubah sifatnya menjadi patogen yang menyerang sel atau

jaringan tubuh, maka tubuh terjadi perubahan permeabilitas pembuluh

darah dengan melebarkan pembuluh darah atau vasodilatasi.

Vasodilatasi tersebut terjadi akibat pelepasan neurotransmitter seperti

bradikinin, atau histamin, ataupun prostaglandin oleh neuron. Dimana

bradikinin dan histamin merupakan beberapa contoh neurotransmitter

yang memicu terjadinya nyeri. Sehingga pada kuadran kanan bawah

abdomen penderita apendisitis, merasakan nyeri tekan.

8. Seperti yang telah dijelaskan pada nomor 8, bahwa salah satu

penyebab apendisitis adalah inflamasi oleh bakteri patogen. Rasa

Page 12: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

hangat yang dirasakan oleh pasien adalah mekanisme kompensasi

tubuh terhadap inflamasi dimana ini dibuktikan dengan hasil

pemeriksaan vital suhu tubuh pasien tersebut adalah 39,5℃. Tubuh

melakukan vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah yang terjadi

akibat pelepasan neurotransmitter seperti bradikinin dan histamin yang

ternyata juga merupakan pemicu terjadinya nyeri. Penyebab apendisitis

adalah hiperplasia pada jaringan submukosa limfoid dan sekresi mukus

pada lumen appendix yang berlebih yang menyebabkan jaringan

mengalami iskemia. Mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan

inflamasi tersebut adalah salah satunya perlawanan dari makrofag

dengan memfagosit benda asing atau bakteri penyebab apendisitis

tersebut. Makrofag pergi menuju agen infeksius di appendix

vermiformis yang mengalami inflamasi atau kemotaksis dengan

gerakan ameboidnya dan melakukan diapedesis atau keluar melalui

dinding pembuluh untuk selanjutnya memfagosit agen infeksius seperti

bakteri Entamoeba histolityca.

9. Mekanisme terjadinya demam adalah diawali dengan inflamasi akibat

benda asing penyebab patogen (eksogen) atau flora normal yang

bersifat patogen (endogen), kemudian timbul perlawanan dari sistem

pertahanan tubuh salah satunya adalah makrofag pergi ke tempat

inflamasi dan memfagosit agen infeksius seperti bakteri Entamoeba

histolityca, timbul kompensasi tubuh yaitu dengan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah melalui pelepasan neurotransmitter

vasodilator seperti bradikinin dan histamin yang juga merupakan

pemicu terjadinya nyeri pada bagian kuadran kanan bawah abdomen.

Akibat lain dari terjadinya vasodilatasi ini adalah meningkatnya suhu

tubuh, sehingga menyebabkan pasien demam.

10. Organ yang berada pada kuadran kanan bawah abdomen adalah

caecum, appendix vermiformis, colon ascendens, dan ileum

terminalis.

Page 13: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

11. Gejala umum yang terjadi pada penderita apendisitis kronik

eksaserbasi akut adalah nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah

abdomen yang bersifat lokal, ada nyeri alih, spasme otot pada organ

yang ada diatasnya, terjadi penebalan fibrotik dinding appendix

vermiformis, dan nyeri kronik atau berulang di daerah appendix atau

bagian kuadran kanan bawah abdomen.

STEP 4 (Mind Mapping)

Akibat pelepasan neurotransmitter

pemicu nyeri seperti bradikinin

dan histamin

1. Vasodilatasi akibat neurotransmitter bradikinin dan histamin

2. Kemotaksis makrofag menuju agen infeksius dengan gerakan ameboidnya dan selanjutnya melakukan diapedesis

Muntah berulangDemam dengan suhu tubuh 39,5℃

Nyeri tekan pada kuadran kanan

bawah abdomen

Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut

Terapi atau penanganan apendisitis sebelumnya

yang belum tutas

Page 14: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Mind Mapping Radang Akut dan Kronik

STEP 5 (Learning Objective)

1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi Apendisitis Kronik

Eksaserbasi Akut

2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko terjadinya

Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut

3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi demam dan muntah pada

Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut

4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi nyeri

STEP 6 (Belajar Mandiri)

(Hasil belajar mandiri akan dibahas pada step 7 yaitu jawaban atas learning

objektif)

STEP 7 (Diskusi dan Presentasi Hasil Belajar Mandiri)

Jawaban Atas Learning Objectives

Page 15: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi apendisitis kronik

eksaserbasi akut

Appendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang

mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Appendiks

vermiformis merupakan sisa apeks caecum yang belum diketahui

fungsinya pada manusia. Panjang appendiks vermiformis bervariasi dari 3-

5 inchi (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan posteromedial

Gambar 1. Proyeksi caecum dan appendix vermiformis di dinding abdomen ventral2

Sumber: Paulsen F,Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ dalam.Ed.23.Jilid 2.Jakarta:EGC,2012.h.93

Page 16: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

caecum, sekitar 1 inchi (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Bagian

appendiks vermiformis lainnya bebas. Appendiks vermiformis diliputi

seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah

mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang

pendek, mesoappendix. Mesoappendix berisi arteri, vena appendicularis

dan saraf-saraf. Appendiks vermiformis terletak di regio iliaca dextra dan

berproyeksi ke titik McBurney (transisi antara sepertiga lateral dan dua

pertiga medial pada garis yang menghubungkan umbilicus dengan spina

iliaca anterior superior). Lokasi ujung appendix vermiformis lebih

bervariasi dan berproyeksi ke titik Lanz (transisi antara sepertiga kanan

dan dua pertiga kiri pada garis yang menghubungkan kedua spina iliaca

anterior superior. Diagnosis apendisitis sering tidak mudah ditegakkan

karena nyeri abdomen kanan bawah juga dapat disebabkan oleh enteritis

atau pada perempuan, karena peradangan ovarium atau tuba uterina. Oleh

sebab itu, nyeri yang diinduksi dengan menekan dan melepaskan (nyeri

tekan rebound) tangan di atas titik McBurney atau Lanz merupakan tanda

pembeda penting.3,4

Posisi ujung appendiks vermiformis yang umum, ujung appendiks

vermiformis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat

berikut ini adalah: (1) tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan

dengan dinding pelvis dextra; (2) melengkung di belakang caecum; (3)

menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum, (4) di depan atau di

belakang pars terminalis ileum. Posisi (1) dan (2) merupakan posisi yang

sering ditemukan. 3

Vaskularisasi appendiks vermiformis adalah arteri appendicularis dan

vena appendicularis. Arteri appendicularis merupakan cabang dari A.

caecalis posterior. Arteri ini berjalan menuju ujung appendiks vermiformis

di dalam mesoappendix. Vena appendicularis mengalirkan darahnya ke

vena caecalis posterior. Aliran limfe appendiks vermiformis adalah ke satu

atau dua nodi yang terletak di dalam mesoappendix dan dari sini dialirkan

ke nodi mesenterica superior. Innervasi appendiks vermiformis berasal

Page 17: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari

plexus mesentericus superior. Serabut saraf aferen yang mengantarkan

sinyal rasa nyeri visceral dari appendiks vermiformis berjalan bersama

saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra Thoracalis

X.3

Appendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat

tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau

benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang

akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis

bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan nyeri abdomen atas atau

menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di

kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya appendiks yang

terinflamasi berisi pus. Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus

meningkat menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut

apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan

terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren yang disebut

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan terjadi

apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum

dan usus berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu

massa lokal yang dsebut infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks

dapat menjadi abses atau menghilang.4,5,6

2.1.1 Predisposisi appendiks vermiformis mengalami infeksi

Faktor-faktor di bawah ini berperan sebagai penyebab rentannya

appendiks vermiformis terhadap infeksi:3

1) Ukuran appendiks vermiformis yang panjang, sempit, berujung

buntu, hal ini mempermudah stasis isi intestinum crassum

2) Di dalam dinding appendiks vermiformis banyak terdapat jaringan

limfoid

Page 18: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

3) Lumen appendiks vermiformis mempunyai kecendrungan untuk

mengalami obstruksi oleh isi intestinum yang mengeras (enterolith),

yang mengakibatkan stagnasi isi yang ada di dalamnya.

2.1.2 Predisposisi Appendiks Vermiformis Mengalami Perforasi

Appendiks vermiformis disuplai oleh arteri yang mengecil dan

panjang yang tidak beranastomosis dengan arteri lainnya. Ujung buntu

appendiks vermiformis didarahi oleh cabang-cabang terminal

appendicularis. Pembengkakan yang disebabkan oleh peradangan pada

dinding appendiks vermiformis menekan pembuluh darah yang

mendarahinya dan sering mengakibatkan trombosis arteri apendicularis.

Keadaan ini sering mengakibatkan nekrosis atau gangren dinding

appendiks vermiformis, disertai perforasi. Perforasi appendix atau

transmigrasi bakteri melalui appendix vermiformis yang meradang

mengakibatkan infeksi cavitas peritoneal. Nyeri visceral dari appendiks

vermiformis ditimbulkan oleh karena distensi lumen appendix atau spasme

otot polos dindingnya, berjalan di dalam serabut saraf yang mengikuti

saraf simpatis plexus mesentericus superior dan nervus splanchnicus minor

ke medulla spinalis (segmen Thoracalis X). Nyeri alih yang tidak jelas

dirasakan di regio umbilicalis (dermatom T10). Kemudian bila proses

peradangan mengenai peritoneum parietale, nyeri somatik yang hebat

merupakan gejala utama dan dapat dilokalisasi di kuadran kanan bawah.3

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan

dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga karena adanya

obstruksi lumen, yang biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang

terutama disebabkan oleh serat). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus

mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi.

Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebabkan terjadinya oklusi

arteri terminalis (end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan

berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan

perforasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa ulserasi mukosa

berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan

Page 19: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

lumen. Penyebab ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang

diperkirakan disebabkan oleh virus. Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang

paling diperkirakan adalah Yersinia enterocolitica (penjelasan selanjutnya

di halaman 29).4,5,6

2.1.3 Inflamasi

Inflamasi adalah respons perlindungan diri yang melibatkan sel host,

pembuluh darah, protein dan mediator lain yang masuk akibat dari adanya

luka atau jejas sel, sama halnya seperti nekrosis sel dan jaringan,

merupakan hasil bentukan dari penyebab awalnya. Inflamasi atau radang

kemudian akan membuat proses pemulihan dan perbaikan pada daerah

yang mengalami cedera. Tanpa adanya inflamasi, infeksi tidak dapat

diperiksa dan luka tak akan sembuh.6

Inflamasi dapat menjadi akut maupun kronik. Inflamasi akut biasanya

berlangsung cepat dan dengan durasi pendek mulai dari beberapa menit

sampai beberapa hari dan akan menimbulkan akumulasi dari cairan dan

protein plasma. Inflamasi kronik berbeda dengan inflamasi akut, dimana

inflamasi kronik akan berlangsung lebih lama, dan dapat mencapat

bertahun-tahun dan dibedakan berdasarkan influx dari limfosit dan

makrofag dengan asiosasi oleh proliferasi vaskular dan jaringan ikat

(fibrosis).6

Page 20: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Inflamasi disebabkan karena adanya mediator kimia yang diproduksi

sel host dalam merespons stimulus luka. Pada saat mikroba masuk pada

jaringan sehat maupun pada jaringan yang mengalami luka, kehadirannya

akan membuat infeksi ataupun kerusakan yang dirasakan oleh sel residen

lain, makrofag, tetapi juga sel dendrite, sel mast dan tipe sel lain. Sel –sel

ini akan mensekresi molekul (sitokin dan mediator lain) yang dapat men-

induksi dan meregulasi respons peradangan. Mediator inflamasi diproduksi

juga oleh protein plasma yang akan bereaksi dengan mikroba atau jaringan

luka. Beberapa dari mediator ini akan menggunakan plasma serta merekrut

sejumlah leukosit pada bagian tempat agen tersebut berada. Perekrutan

leukosit diaktivasi dan mereka akan memakan agen tersebut dengan cara

fagositosis. Sebagai efek sampingnya pengaktivan leukosit akan merusak

jaringan normal host. 6

2.1.3.1 Manifestasi eksternal respons peradangan

Bakteri masuk melewati kulit yang terluka sampai kedalam tubuh.

Mikroba yang berasal dari luar tersebut akan menyebabkan bengkak dan

Gambar 2.Komponen-komponen dari respons terhadap inflamasi akut dan kronik; sirkulasi sel dan protein, sel pembuluh darah serta sel dan protein dari matriks

ekstraselular6

Sumber: Robbins. Basic Pathology. 9th editions. Elsevier Saunders,2013

Page 21: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

kemerahan pada bagian yang mengalami luka, reaksi ini oleh tubuh

biasanya disebut sebagai reaksi peradangan atau respons peradangan.

Inflamasi dikarakteristikkan menjadi quintet yakni, bengkak (tumor),

kemerahan (rubor), panas (calor), nyeri (dolor) dan disfungsi dari organ

yang terkena (functio laesa). Ketika inflamasi terjadi pembuluh kapiler dan

beberapa sel jaringan akan robek dan merilis histamine dan kinin. Hal ini

akan menyebabkan pembuluh kapiler untuk berdilatasi, semakin

permeabel dan meloloskan cairan kedalam jaringan tersebut. Dilatasi dan

lolosnya cairan kedalam jaringan akan menyebabkan pembengkakkan,

kemerahan dan panas. Pembengkakan dan stimulasi pada ujung saraf oleh

kinin akan menyebabkan nyeri. Jika pada tempat luka tersebut sudah

mengalami kerusakan sebelumnya. Maka akan menyebabkan adanya

cairan serosa dan menimbulkan inflamasi atau radang misalnya setelah

operasi. Ini merupakan kombinasi akumulasi cairan dari plasma, limpa,

dan cairan interstitial, yang akan menyisip pada sel atau jaringan yang

rusak. Jika terjadi akumulasi cairan serosa yang banyak, berbentuk sebuah

masa maka akan disebut sebagai seroma.6

2.1.3.2 Peradangan akut

Terjadinya peradangan akut disebabkan oleh karena adanya distribusi

dari leukosit dan protein plasma pada daerah yang mengalami luka. Pada

saat leukosit berada pada tempat tersebut maka ia akan menginvasi dan

memulai proses pencernaan dan penghancuran terhadap jaringan nekrosis.

Inflamasi akut mempunyai dua komponen besar: 6

a. Perubahan vaskular; alterasi di dalam pembuluh darah akan

menimbulkan meningkatnya aliran darah (vasodilatasi) dan merubah

dinding pembuluh untuk mengizinkan plasma protein untuk

meninggalkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas pembuluh). Sebagai

tambahan sel endotel akan aktif, dan meningkatkan adhesi terhadap

leukosit dan migasi leukosit melalui dinding pembuluh.

b. Keadaan selular; emigrasi leukosit dari sirkulasi dan akumulasi dalam

lokasi fokus luka (cellular recuitment), diikuti oleh aktivasi leukosit,

Page 22: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

mampu mengeleminasi agen luar. Leukosit yang berperan penting

dalam inflamasi akut adalah neutrofil.

2.1.3.3 Stimulus untuk Inflamasi Akut6

a. Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan sebagian besar

penyebab dan dibutuhkan tindakan medis terhadap penanganannya.

b. Trauma dan berbagai agen fisik maupun kimia (thermal injury, seperti

luka bakar atau frostbite, radiasi, toxin yang berasal dari reaksi kimia)

melukai sel host dan membuat reaksi inflamasi.

c. Nekrosis jaringan, termasuk iskemia (infark miokardium) dan luka fisik

serta kimia.

d. Benda asing (splinter, kotoran, jahitan)

e. Reaksi Imun (dikatakan pula sebagai reaksi hipersensivitas) perlawanan

terhadap substansi ataupun sel itu sendiri. Dikarenakan stimulus dari

Gambar 3. Manifestasi lokal dari peradangan akut, dibandingkan dengan normal. (1) Dilatasi vaskuler dan peningkatan aliran darah (menyebabkan erythema and

panas), (2) extravasasi dan deposisi oleh cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi leukosit dan akumulasi pada bagian luka6

Sumber: Robbins. Basic Pathology.9th editions.Elsevier Saunders,2013

Page 23: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

peradangan ini sering akan berespons untuk tidak mengeliminasi atau

menghindari, seperti reaksi yang timbul pada peradangan kronik.

AksiMediator Sumber Kebocoran

vaskularKemotaksis Lainnya

Histamin dan serotonin

Sel mast dan platelet

+ -

Bradikinin Substrat plasma + - Nyeri C3a Protein plasma

melalui hepar+ - Fragmen opsonin (C3b)

C5a Makrofag + + Adhesi leukosit,aktivasiProstaglandin Sel mast,dari

membran fosfolipid

Mediator lain

- Vasodilatasi,nyeri,demam

Leukotrine B4 Leukosit - + Adhesi leukosit,aktivasiLeukotrine C4,

D4, E4

Leukosit,sel mast + - Vasokonstriksi,bronchokonstriksi

Metabolit oksigen

Leukosit + - Kerusakan endotel dan jaringan

PAF Leukosit,sel mast + + Bronchokonstriksi,pemberi-an leukosit

IL-1 dan TNF Makrofag,lainnya - + Reaksi fase akut,aktivasi endotel

Kemokin-kemokin

Leukosit,lainnya - + Aktivasi leukosit

NO (Nitric Oxide)

Makrofag,endotel + + Vasodilatasi,sitotoksik

Tabel 1. Inflamasi akut6

Sumber: Robbins. Basic Pathology. 9th editions. Elsevier Saunders, 2013,

Gambar 4. Sebab-sebab peradangan akut. 8

Sumber: Baratawidjaja K.G. Imunologi dasar. Ed.5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2002.h.314-325.

Page 24: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

2.1.3.4 Peradangan kronik

Peradangan kronik merupakan peradangan dengan jangka lama

(berminggu-minggu sampai bertahun-tahun) dimana berasal dari

peradanagn sebelumnya, luka jaringan, sering karena fibrosis, dan

berkembang secara simultan. 6

Peradangan kronik dikarakteristikkan menjadi beberapa tahapan reaksi:

a. Infiltrasi dengan sel mononuclear, termasuk makrofage, limfosit dan sel

plasma.

b. Kerusakan jaringan, sebagian besar disebabkan oleh produk sel radang.

c. Perbaikan, membuat proliferasi pembuluh darah baru dan fibrosis.

Inflamasi akut mungkin dapat berkembang menjadi inflamsi kronik

jika respons akut tidak dapat diselesaikan, dikarenakan oleh persistensi

dari agen luka atau karena gangguan dengan proses penyembuhan

normalnya. 6

Peradangan kronik dapat berkembang pesat bila, (1) terjadinya

persistensi infeksi oleh mikroba yang sulit untuk di eliminasi, (2) penyakit

mediator imun peradangan atau reaksi hipersensivitas yang disebabkan

oleh karena inefektif dan ketidakmampuan pengaktifan sistem imun yang

perlu disadari tentang pentingnya masalah kesehatan, (3) paparan dari agen

potensial beracun, dan (4) tahap bentuk pertengahan dari peradangan

kronik yang dapat menyebabkan patogenesis berbagai penyakit yang tidak

dengan konvensional dianggap sebagai penyakit inflamasi. 6

Page 25: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Jika bahan tinja yang mengeras tersangkut di apendiks maka sirkulasi

normal dan sekresi mukus di tempat tersebut dapat terganggu. Perlambatan

ini menyebabkan peradangan apendiks, atau apendisitis. Apendiks yang

meradang sering membengkak dan terisi oleh pus, dan jaringan dapat mati

akibat gangguan sirkulasi lokal. Jika tidak diangkat dengan pembedahan

maka apendiks yang sakit dapat pecah, menumpahkan isinya yang penuh

kuman ke dalam rongga abdomen.7

2.1.3.5 Mekanisme inflamasi

Tahap pertama adalah produksi faktor-faktor kimia vasoaktif oleh sel

rusak di area cedera. Faktor-faktor ini meliputi histamine (dari sel mast),

serotonin (dari trombosit), derivatif asam arakhidonat (leukotrien,

Gambar 5. Inflamasi akut dan inflamasi kronik6

Sumber: Robbins, Basic Pathology, 9th editions, Elsevier Saunders 2013

Page 26: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

prostaglandin, dan tromboksan), dan kinin (protein plasma teraktivasi).

faktor-faktor ini mengakibatkan efek berikut:7

a. Vasodilatasi atau pelebaran diameter pembuluh darah pada area yang

rusak meningkatkan aliran darah dan menyebabkan kemerahan

(eritema), nyeri berdenyut, dan panas.

b. Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan hilangnya cairan dan

pembuluh kedalam ruang intraselular. Akumulasi cairan dalam jaringan

menyebabkan pembengkakan, atau edema.

c. Pembatasan area cedera terjadi akibat lepasnya fibrinogen dan plasma

kedalam jaringan. Fibrinogen diubah menjadi fibrin untuk membentuk

bekuan yang akan mengisolasi lokasi yang rusak dari jaringan yang

masih utuh.

Tahap kedua dalam kemotaksis (gerakan fagosit ke area cedera),

terjadi dalam satu jam setelah permulaan proses inflamasi, antara lain:7

a. Marginasi adalah perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding

endothelial kapiler pada area yang rusak.

b. Diapedesis adalah migrasi fagosit melalui dinding kapiler menuju area

cedera yang pertama kali sampai yang rusak adalah neutrofil: monosit

menyusul kedalam jaringan dan menajadi makrofag.

c. Fagositosis agens berbahaya terjadi pada area cedera

Neutrofil dan makrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah

menelan sejumlah besar mikroorganisme. Leukosit mati, sel jaringan

mati, dan berbagai jenis cairan tubuh membentuk pus yang terus

membentuk sampai infeksi teratasi. Pus bergerak menuju permukaan

tubuh untuk untuk diuraikan atau menuju rongga internal yang pada

akhirnya akan dihancurkan dan diabsorbsi tubuh.

d. Abses atau granuloma akan terbentuk jika respons inflamasi tidak dapat

mengatasi cedera atau invasi. Abses adalah kantong pus terbatas yang

dikelilingi jaringan terinflamasi. Abses ini biasanya tidak terurai secara

spontan dan harus dikeluarkan. Granuloma biasanya terjadi akibat

proses inflamasi kronik dalam merespons iritasi berulang. Granuloma

Page 27: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

merupakan akumulasi sel-sel fagositik dan mikroorganisme yang

dikelilingi kapsula fibrosa.

e. Pemulihan melalui regenerasi jaringan atau pembentukan jaringan parut

merupakan tahap akhir proses inflamasi.

Pada regenerasi jaringan, sel-sel sehat dalam jaringan yang terkena

akan membelah secara mitosis untuk berproliferasi dan mengembalikan

massa jaringan.7

Pembentukan jaringan parut oleh firbroblas adalah respons alternatif

terhadap regenerasi jaringan.jaringan parut mengganti jaringan asli yang

rusak.7

Sifat jaringan yang rusak dan luasnya area cedera akan menentukan

apakah akan terjadi regenerasi atau pembentukan jaringan parut. Kulit

memiliki kemampuan yang tinggi untuk melakukan regenerasi lengkap

kecuali jika cedera terlalu dalam atau luas.7

Efek sistemik inflamasi meliputi demam dan leukositosis, antara lain:6,7

a. Demam atau suhu tubuh tinggi yang abnormal dapat terjadi dalam

kaitannya dengan inflamasi.

Pirogen eksogen (pencetus demam) yang dilepaskan bakteri dan

Pirogen endogen yang dilepas berbagai leukosit, bekerja pada

hipotalamus untuk mengatur kembali kendali termoregulator normal ke

suhu yang lebih tinggi. Penyesuaian tubuh terhadap peningkatan suhu

meliputi vasokontriksi untuk mengurangi panas yang hilang, menggigil

dan gemetar untuk meningkatkan panas tubuh, dan peningkatan laju

metabolik.akibatnya adalah peningkatan suhu tubuh. Demam akan

mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang, dan kendali

termoregulator normal tercapai.

b. Leukositosis (peningkatan jumlah leukosit dalam darah) terjadi akibat

peningkatan kebutuhan jumlah sel darah putih tambahan dan

peningkatan produksi sel tersebut dalam sumsum tulang.

2.1.4 Metabolisme Asam Arakhidonat

Cedera (inflamasi)

Page 28: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Diaktifkan enzim fosfolipase

Fosfolipid

Asam Arakhidonat

Endoperoksidase Asam hidroperoksi dan asam

hidroksi-lemak

Tromboksan A2 Prostaglandin Leukotrien (Leukotrien A4,B4,

(PGE2.PGF,PGI, zat-zat anafilaksis,atau LTC4,

Prostasiklin,PGI2) LTD4)

Asam arakhidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon

polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam

linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai

komponen fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat dilepaskan dari

fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi

mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti

C5a. Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari

dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur

siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakhidonat (disebut

juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi.37

Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2),

PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap

Jalur siklooksigenase Jalur lipoksigenase

Bagan 1. Metabolisme asam arakhidonat 9

Sumber: Price S.Wilson LM.Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.Ed.6.Volume 1.Jakarta:EGC,2005.h.62

Page 29: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang

spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi

aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan

tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase

sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi

trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium

kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki

prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator

dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit

utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan

PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema.

Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi. 9

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk

bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim

metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya

memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-

hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam

arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-

hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah

menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE

adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4

merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari

neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi,

bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. 5

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis

menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk

lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit

dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai

aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi

dan antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya

Page 30: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi

perlekatan monosit. 5

2.1.5 Manifestasi Klinik Appendisitis

Pada awal timbul apendisitis belum ada keluhan yang menetap.

Keluhan biasanya akan dimulai dengan nyeri pada daerah umbilikus yang

akan disertai dengan muntah. Dalam beberapa jam kurang lebih 2-12 jam

nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah ke titik McBurney, mulai

menetap dan diperberat saat berjalan ataupun batuk. Terdapat juga keluhan

lain seperti mailase, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang

diare. Nyeri pada pasien dengan appendisitis juga bergantung pada letak

dari appendiks pasien tersebut.9

Bila letak appendiks retrosekal diluar rongga perut, karena letaknya

terlindung caecum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas

dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi

kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot psoas major

yang mengang dari dorsal. 9

Appendiks yang letaknya di rongga pelvis, bila meradang, dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga

peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.

Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosa sehingga tidak

ditangani pada waktunya dan dapat menyebabkan komplikasi. Berdasarkan

penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis appendisitis: 9

Tanda awal 9

a) Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikalis disertai mual dan

muntah.

b) Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukan tanda rangsangan

perotoneum lokal di titik McBurney yaitu nyeri tekan, nyeri lepas, dan

Page 31: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

defens muskular. Nyeri rangsangan peritoneum yang tidak langsung

yaitu nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (rowsing), nyeri kanan bawah

bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (blumberg), nyeri kanan bawah

bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,

mengedan.

2.1.5.1 Jenis - Jenis Appendisitis.

Appendisitis adalah penyakit abdomen akut yang tersering ditangani

oleh dokter bedah. Walaupun entitas diagnosis ini menonjol, diagnosis

banding harus mencangkup hampir semua proses akut yang dapat terjadi di

dalam rongga abdomen. Appendisitis dapat pula diklasifikasi dalam

beberapa bagian sesuai dengan perjalanan penyakitnya, yaitu: appendisitis

akut, appendisitis infiltrat, appendisitis perforasi, appendisitis abses, dan

appendisitis kronik.11,12,13,14

A. Appendisitis akut

Appendisitis akut merupakan suatu radang yang timbul secara mendadak

pada appendiks dan yang paling sering ditemui dalam beberapa kasus

appendisitis. Pasien appendisitis akut tampil dengan nyeri abdomen serta

lokasi nyeri tergantung atas stadium penyakit dan lokasi appendiks

vermiformis. Appendisitis khas tampil dengan riwayat nyeri epigastrium

atau periunbilikus tumpul samar-samar yang disertai oleh anoreksia 90%,

mual 80%, muntah 65%. Appendisitis akut juga dikelompokan dalam

beberapa bagian sesuai dengan peradangan yang terjadi seperti berikut: 11,12,13,14

1) Appendisitis akut sederhana (Cataral Appendicitis)

Proses peradangan yang baru terjadi di mukosa dan sub mukosa

menyebabkan obstruksi, yang pada 50% hingga 80% kasus biasanya

dalam bentuk tumor, fekalit, dan yang lebih jarang yaitu batu empedu,

tumor, atau gumpalan cacing (Oxyuriasis vermicularis). 11,12,13,14

Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe,

menyebabkan mukosa appendiks jadi menebal, terjadi edema, dan

Page 32: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

kemerahan. Karena appendiks vermiformis dan usus halus mempunyai

persarafan yang sama, maka mula-mula nyeri visera diterima sebagai

nyeri tumpul samar-samar dalam area periumbilikus. Gejala diawali

dengan rasa nyeri di area periumbilikus, mual, muntah, anoreksia,

malaise, dan demam ringan. 11,12,13,14

2) Appendisitis akut purulenta (Supurative Appendicitis)

Ditandai oleh peningkatan lebih lanjut tekanan intralumen, obstruksi

vena, iskemia fokal dan iritasi serosi. Bila tunika serosa appendiks yang

meradang dekat dengan peritoneum paritonalis, maka pasien mengalami

perpindahan nyeri periumbilikus ke kuadran kanan bawah. Nyeri

somatik terlokalisasi baik, ini menunjukan ancaman penyediaan aliran

darah arteri dan iskemia menyebabkan infark kecil sepanjang batas

plexus mesenterica superior di sekitar appendix. 11,12,13,14

Ditandai dengan rangsangan peritoneum local seperti nyeri tekan, nyeri

lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri terjadi pada

seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. 11,12,13,14

3) Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-

tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.

Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah

kehitaman. 11,12,13,14

Stadium appendisitis gangrenosa ini disertai dengan peningkatan

ekstravasasi bakteri dan kontaminasi lokalisasi cavitas peritonealis.

Progresivitas menyebabkan perforasi dan massa periapendiks lokalisata

atau peritonitis generalisata. 11,12,13,14

Page 33: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

B. Appendisitis infiltrat

Appendisitis infiltrat merupakan proses peradangan appendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus, dan peritoneum

disekitarnya sehingga membentuk massa. Massa yang terbentuk

biasanya muncul pada hari ke-4 sejak masa peradangan. 11,12,13,14

C. Appendisitis perforasi

Appendisitis perforasi terjadi karena pecahnya appendiks yang sudah

gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga

terjadi peritonitis umur. Pada dinging apendiks tampak daerah perforasi

yang dikelilingi oleh jaringan nekrotik. 11,12,13,14

D. Appendisitis abses

Appendisitis abses terjadi karena adanya kumpulan pus yang terletak di

area peri-apendikular (fossa iliaca dextra) yang merupakan akibat

lanjutan dari appendisitis perforasi. 11,12,13,14

Gambar 6. Mula-mula appendisitis akut tampil sebagai nyeri periumbilikus.

Sumber: Sjamsuhidajat de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC,2012.h.755-62.

Page 34: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

E. Apendisitis kronik

Gejala appendisitis kronik sedikit mirip dengan sakit asam lambung

dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar umbilicus dan

terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa

mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke

perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis

akut. 11,12,13,14

2.2 Mahasiswa/i mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko

terjadinya apendisitis kronik eksaserbasi akut

Secara umum, appendisitis merupakan proses peradangan atau

inflamasi pada appendiks. Etiologi utamanya yaitu terjadinya obstruksi

lumen appendiks diikuti dengan kongesti vascular, inflamasi dan edema.

Penyebab dari obstruksi ini umumnya berupa:15

a) Fekalit. Pada 30-35% kasus (paling sering terjadi pada orang dewasa)

b) Benda Asing. Dengan angka kejadian sekitar 4% (misalnya biji buah-

buahan, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang, kalkuli)

c) Inflamasi. Pada 50-60% kasus (terjadi hyperplasia jaringan limfoid

submukosa). Angka kejadian ini merupakan etiologi yang paling sering

pada anak-anak dan remaja.

d) Neoplasma. Dengan angka 1% (karsinoid, penyakit metastasis,

karsinoma).

e) Batu empedu (kolelitiasis). Batu empedu ini ketika memasuki

duodenum dan mencapai ileum terminalis dan caecum akan

menyebabkan obstruksi lumen appendix.

Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen

appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus

disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing

askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga

dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa appendiks karena

parasit seperti E. histolytica.16

Page 35: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.

Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang beraktibat timbulnya

sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman

flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya

appendisitis.16

2.2.1 Patogenesis Entamoeba histolityca (E. histolityca)17

Gambar 7. Kista Entamoeba histolityca (12-15μm)17

Sumber: Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz,Melnick,dan Adelberg.Ed.25.Jakarta:EGC,2012.h.701

Gambar 8. Trofozoit Entamoeba histolityca (10-20 μm)17

Sumber: Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz,Melnick,dan Adelberg.Ed.25.Jakarta:EGC,2012.h.701

Page 36: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Kista E. histolityca hanya dijumpai di dalam lumen kolon dan feses

yang berbentuk baik atau seperti bubur;ukuran kista beragam mulai dari 10

hingga 20 μm (Gambar 7). Kista mengandung akuola glikogen dan badan

kromatoid (massa ribonukleoprotein) dengan ciri khas ujung yang

membulat (berbeda dengan patahan kromatoidal pada kista E. coli yang

sedang berkembang). Trofozoit ameboid merupakan satu-satunya bentuk

yang dijumpai di jaringan (Gambar 8). Sitoplasma memiliki 2 zona, yaitu

batas luar hialin dan regio dalam granular yang mengandung sel darah

merah (patognomonik), tetapi biasanya tidak mengandung bakteri.

Membran nukleus dibatasi oleh granular kromatin yang halus dan teratur

dengan satu jisim kecil letak sentral (endosom atau kariosom).17

Penyakit timbul ketika trofozoit E. histolityca menginvasi epitel usus

dan membentuk ulkus diskret dengan bagian tengah sebesar ujung jarum

dan tepi meninggi; dari ulkus inilah mukus, sel nekrotik, dan ameba

keluar. Trofozoit berkembang biak dan berkumpul di atas mukosa

muskularis, sering menyebar ke samping. Ameba yang terus berkembang

biak menyebar dengan cepat ke arah lateral, menembus ke bawah mukosa,

dan menghasilkan ulkus “berbentuk botol-labu” (“flash-shaped”) yang

khas pada amebiasis primer;ujung pintu masuk yang kecil, menuju leher

yang sempit menembus mukosa ke dalam area nekrotik yang meluas di

dalam submukosa. Saat ini invasi bakteri biasanya belum terjadi, reaksi

seluler terbatas, dan kerusakan disebabkan ole nekrosis litik. Penyebaran

yang selanjutnya terjadi dapat menyatukan koloni-koloni ameba,

membentuk area besar di bawah permukaan mukosa. Trofozoit dapat

menembus lapisan otot dan terkadang menembus serosa, menyebabkan

perforasi ke rongga peritoneum. Pembesaran area nekrotik yang

selanjutnya terjadi menyebabkan perubahan makroskopik ulkus, yang

dapat membentuk tepi yang tidak rata dan menggantung, invasi bakteri

sekunder, dan akumulasi leukosit neutrofil. Lesi sekunder pada usus dapat

timbul sebagai perluasan lesi primer (biasanya di caecum, appendiks

vermiformis, atau pars proksimal colon ascendens). Organisme ini dapat

Page 37: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

menyebar ke katup ileosekal dan ileum terminalis sehingga menimbulkan

infeksi kronik. Colon sigmoideum dan rectum merupakan tempat yang

paling sering untuk lesi selanjutnya. Massa inflamantorik atau

granulomatoik amebik mirip-tumor (ameboma) dapat terbentuk di dinding

usus, kadang-kadang tumbuh cukup besar sehingga menyumbat lumen. 17

2.2.2 Patogenesis Yersinia enterocolitica (Y. enterocolitica)

Yersinia enterocolitica adalah batang gram negatif yang tidak

memfermentasi laktosa serta urease positif dan oksidase negatif. Yersinia

enterocolitica ditemukan pada saluran pencernaan hewan yang dapat

menyebabkan penyakit dan dapat ditularkan ke manusia, yang dapat

menimbulkan gejala klinis. Yersinia enterocolitica dapat menghasilkan

enterotoksin yang stabil terhadap panas, tetapi peran toksin ini pada diare

yang apat disebabkan infeksi belum diketahui dengan jelas. Y.

enterocolitica diisolasi dari hewan pengerat dan hewan peliharaan (mis.

Domba, sapi, anjing, babi, dan kucing) serta air yang terkontaminasi

makanan, minuman, atau media infeksi lain. 17

Inokulum 108 – 109 yersenia harus memasuki saluran cerna untuk

menimbulkan infeksi. Selama periode inkubasi 4-7 hari, Y. enterocolitica

memperbanyak diri pada mukosa usus, terutama ileum. Ini menyebabkan

inflamasi dan ulserasi, serta leukosit tampak pada feses. Proses ini dapat

meluas ke kelenjar limfe mesesnterikus, serta yang jarang terjadi,

bakteremia. Gejala awal mencakup demam, nyeri abdomen, serta diare.

Diare bervariasi dari cair hingga berdarah serta mungkin disebabkan oleh

enterotoksin atau invasi pada mukosa. Pada saat itu, nyeri abdomen yang

hebat dan berlokasi di kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis. 17

2.2.3 Hiperplasia jaringan limfoid submukosa

Pada kebanyakan penelitian, hiperplasia folikel limfoid cenderung

lebih banyak pada appendicitis kronik. Peneliti menduga hal ini terjadi

karena pada appendicitis kronik terjadi proses peradangan yang bersifat

menahun sehingga merangsang folikel limfoid yang kita ketahui sebagai

komponen pertahanan tubuh untuk mengalami hiperplasia secara berahap

Page 38: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

seiring dengan proses peradangan yang terjadi. Hiperplasia folikel limfoid

merupakan respon tubuh sebagai perlawanan terhadap proses inflamasi

yang diakibatkan oleh appendicitis. Namun, tidak semua jenis appendicitis

justru mengalami atrofi dan lapisan submukosa digantikan oleh jaringan

fibrosa dan jaringan lemak. Hiperplasia folikel limfoid juga bisa

ditemukan pada appendicitis akut karena hiperplasia folikel limfoid ini

merupakan salah satu penyebab obstruksi pada appendicitis akut.38

Adapun paramater yang selama ini banyak diteliti adalah hubungan

usia dengan folikel limfoid pada apendiks normal dimana apendiks pada

anak-anak mengandung lebih banyak folikel limfoid dibandingkan dengan

apendiks pada orang dewasa. 38

Dari beberapa penelitian, ditemukan bahwa hiperplasia folikel limfoid

dialami oleh 28,2% pasien laki-laki dan 42,6% pasin perempuan. Disini

terlihat bahwa hiperplasia folikel limfoid cenderung lebih banyak terjadi

pada perempuan, tetapi hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti

pada keadaan ini. Studi mengenai hal ini pun belum banyak dilakukan,

sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan

apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan hiperplasia folikel

limfoid serta faktor dan mekanisme apa saja yang berperan. 38

2.2.4 Faktor resiko terjadinya apendisitis kronik eksaserbasi akut

1. Faktor sumbatan10,19

faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis

(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan

oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena stasis

fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya

sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh

fekalit dapat ditemukan pada bermacam-macam apendisitis akut

diantaranya: fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus

sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa

ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.

Page 39: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

2. Faktor bakteri10,19

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada

apendisitis akut. Adanya fekalit dalam lumen appendix yang telah

terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi

peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendix, pada kultur

didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragilis dan E.coli, lalu Splanchnicus, lactobacillus,

Pseudomonas, Bacteriode splanicus. Sedangkan bakteri yang

menyebabkan perforasi adalah bakteri anaerob sebesar 96% dan

aerob kurangn dari 10%.

3. Kecenderungan familiar10,19

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter

dari organ, appendix yang terlalu panjang, vaskuarisasi yang tidak

baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga

dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama

dengan diet rendah serat dan dapat memudahkan terjadinya fekalit

dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4. Faktor ras dan diet10,19

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan

seharo-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah

serat mempuenyai resiko lebih tinggi dari negara dengan pola

makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya

memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,

memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.3 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi demam dan muntah

pada apendisitis kronik eksaserbasi akut

2.3.1 Mekanisme muntah

Muntah merupakan suatu cara dari traktus gastrointestinal untuk

membersihkan dirinya sendiri ketika mengalami distensi maupun iritasi.

Pusat muntah terletak di medulla oblongata, diantaranya dicapai melalui

Page 40: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

kemoreseptor pada area postrema dibawah ventrikel keempat atau zona

pencetus kemoreseptor (CTZ), tempat sawar darah otak kurang rapat.19

Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari

faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf

kemudian ditransmisikan baik oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh

saraf simpatis ke berbagai nukleus yang tersebar di batang otak yang

disebut sebagai pusat muntah. Dari sini, impuls-impuls motorik yang

menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah

melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus

gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus

yang lebih bawah, dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot

abdomen. 19

Ketika pusat muntah dirangsang, maka akan timbul perilaku muntah.

Beberapa efek yang akan terjadi adalah: 19

1. Bernapas dalam

2. Naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus

bagian atas agar terbuka

3. Penutupan glottis untuk mencegah aliran muntah memasuki paru

4. Pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior

Setelah itu akan terjadi kontraksi diafragma yang kuat ke arah bawah

dan bersamaan dengan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan

ini akan memeras perut diantara diafragma dan otot-otot abdomen,

sehingga akan membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang

tinggi. Akhirnya, sfingter esophagus bagian bawah berelaksasi sehingga

membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. 19

Jadi, dapat disimpulkan bahwa aksi muntah berasal dari suatu kerja

memeras dari otot-otot abdomen bersamaan dengan kontraksi bersama-

Page 41: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

sama dinding lambung dan permukaan sfingter esophagus sehingga isi

lambung dapat dikeluarkan. 19

Mual dan muntah merupakan gejala dan tanda yang sering menyertai

gangguan gastrointestinal, demikian juga dengan penyakit-penyakit lain.

Beberapa teori mengenai penyebab muntah dan mual telah berkembang,

tetapi tidak ada kesepakatan mengenai penyebab atau terpi definitif. Mual

dan muntah dapat dianggap sebagai suatu fenomena yang terjadi dalam

tiga stadium. Tiga stadium tersebut diantaranya mual, retching (gerakan

serta suara sebelum muntah), serta muntah.9

Stadium pertama; Mual. Dapat dijelaskan sebagai perasaan yang

sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium, sering

menyebabkan muntah.Terdapat berbagai perubahan aktivitas saluran cerna

Gambar 9. Mekanisme muntah19

Sumber: Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran.Ed.11.Irawati,et al,alih bahasa;Rachman LY,editor bahasa Indonesia. Jakarta:EGC,2007.h.865

Page 42: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

yang berkaitan dengan mual, seperti meningkatnya salivasi, menurunnya

tonus lambung, dan peristaltik.Peningkatan tonus duodenum dan jejenum

menyebabkan terjadinya refluks isi duodenum ke lambung. Gejala dan

tanda mual seringkali adalah pucat, meningkatnya salivasi, hendak

muntah, berkeringat, dan takikardia.9

Retching adalah suatu involunter untuk muntah, seringkali menyertai mual

dan terjadi sebelum muntah, terdiri atas gerakan pernapasan spasmodik

melawan glotis dan gerakan inspirasi dinding dada dan diafragma.

Kontraksi otot abdomen saat eksipirasi mengendalikan gerakan inspirasi.

Pilorus dan antrum distal berkontraksi saat fundus berelaksasi.9

Muntah didefinisikan sebagai suatu refleks yang menyebabkan

dorongan ekspulsi isi lambung atau usus, atau keduanya ke mulut. Pusat

muntah menerima masukan dari korteks serebral, organ vestibular, daerah

pemacu kemoreseptor (Chemoreseptor trigger zone, CTZ), dan serabut

afferen, termasuk dari sistem gastrointestinal. Muntah terjadi akibat

rangsangan pada pusat muntah, yang terletak di daerah postrema medulla

oblongata di dasar ventrikel keempat. Muntah dapat dirangsang melalui

jalur aferen oleh rangsangan nervus vagus dan simpatis atau oleh

rangsangan emetik yang menimbulkan muntah dengan aktivasi CTZ.

Selanjutnya jalur eferen menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya

gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal, dan pernapasan yang

terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang menyertai, disebut

muntah. Pusat muntah secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan

pernapasan, sehingga pada waktu muntah sering terjadi hipersalivasi dan

gerakan pernapasan.9

Muntah dianggap penting karena dapat menjadi indikator berbagai

keadaan, seperti obstruksi usus, infeksi, nyeri, penyakit metabolik,

kehamilan, penyakit labirin dan vestibular, substansi emetik eksogen

seperti racun, uremia tau gagal ginjal, penyakit radiasi, kondisi psikologis,

migren, infark miokard, dan sinkop sirkulatorik. Mual dan muntah dapat

terjadi kaibat banyak jenis penyakit sehingga penting untuk membedakan

Page 43: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

antar gejala-gejala yang khas. Gejala yang timbul dalam beberapa jam atau

hari dapat menunjukan adanya infeksi akut, penyakit peradangan, atau

kehamilan. Mual dan muntah yang telah berlangsung selama beberapa

minggu dapat menunjukan adanya penyebab obstruktif, karsinogenik, atau

psikogenik. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah waktu mual dan

muntah, kaitan dengan makanan, isi dan bau muntah, dan gejala yang

terkait seperti nyeri, penurunan berat badan, demam, menstruasi, massa

abdomen, ikterik, sakit kepala, dan faktor-faktor lain yang dapat

mempengaruhi penegakan diagnosis dan pengobatannya. Mual dan muntah

juga dapat berpengaruh pada perubahan cairan dan elektrolit dalam tubuh.9

2.3.2 Mekanisme demam

Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau

peradangan. Sebagai respons terhadap masuknya mikroba, sel-sel fagositik

tertentu (makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai

pirogen endogen yang, selain efek-efeknya dalam melawan infeksi,

Gambar 10. Mekanisme demam18

Sumber: Sibernagl S,Lang F.Teks dan atlas berwarna patofisiologi.Jakarta:EGC,2006.h.21

Page 44: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan

patokan termostat. Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di tingkat

yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Jika,

sebagian contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi

102oF (38,9oC), maka hipotalamus mendeteksi bahwa suhu normal

prademam terlalu dingin sehingga bagian otak ini memicu mekanisme-

mekanisme respons dingin untuk meningkatkan suhu menjadi 102oF.

Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi panas

segera meningkat, dan mendorong vasokonstriksi kulit untuk segera

mengurangi pengeluaran panas. Kedua tindakan ini mendorong suhu naik

dan menyebabkan menggigil yang sering terjadi pada permulaan demam.

Karena merasa dingin maka yang bersangkutan memakai selimut sebagai

mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan

menahan panas tubuh. Setelah suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur

sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan

patokan yang lebih tinggi. Karena itu, terjadinya demam sebagai respons

terhadap infeksi adalah tujuan yang disengaja dan bukan disebabkan oleh

kerusakan mekanisme termoregulasi. Meskipun makna fisiologi demam

belum jelas namun banyak pakar kedokteran percaya bahwa peningkatan

suhu tubuh bermanfaat dalam mengatasi infeksi. Demam memperkuat

respons paradangan dan mungkin menghambat perkembangan bakteri.18

Selama demam, pirogen endogen meningkatkan titik patokan

hipotalamus dengan memicu pelepasan lokal prostaglandin, yaitu mediator

kimiawi lokal yang berkerja langsung pada hipotalamus. Aspirin

mengurangi demam dengan menghambat sintesis prostaglandin. Aspirin

tidak menurunkan suhu pada orang yang tidak demam karena tanpa

adanya pirogen endogen maka hipotalamus tidak terdapat prostaglandin

dalam jumlah bermakna.18

Mekanisme molekular yang pasti tentang hilangnya demam secara

alami belum diketaui, meskipun hal ini diperkirakan karena berkurangnya

pengeluaran pirogen atau sintesis prostaglandin. Ketika titik patokan

Page 45: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

hipotalamus kembali ke normal, suhu pada 102oF (dalam contoh ini)

menjadi terlalu tinggi. Mekanisme-mekanisme respons panas diaktifkan

untuk mendinginkan tubuh. Terjadi vasodilatasi kulit dan pengeluaran

keringat. Yang bersangkutan merasa panas dan membuka semua penutup

tambahan. Pengaktifan mekanisme pengeluaran panas oleh hipotalamus ini

menurunkan suhu ke normal.18

2.4 Mahasiswa/i mampu menjelaskan patofisiologi nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial.[2]

Rangsangan nyeri di terima oleh nosiseptor di kulit dan viscera, yang

Gambar 11. Terjadinya demam 6

Sumber: Sherwood L.Human physiology from cell to system.p.656

Page 46: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

dipicu oleh rangsangan tidak berbahaya dengan intensitas tinggi

(peregangan, suhu) serta oleh lesi jaringan.10

Terdapat kemiripan proses patofisiologis yang terjadi setelah obstruksi

usus, tanpa memandang penyebab obstruksi yang disebabkan oleh mekanis

atau fungsional, perbedaan utamanya adalah pada obstruksi paralitik,

peristaltik dihambat sejak awal, sedangkan pada obstruksi mekanis,

awalnya peristaltic diperkuat, kemudian timbul intermiten, dan akhirnya

menghilang.10

Dinding usus yang terletak disebelah proksimal dari segmen yang

tersumbat secara progresif akan teregang oleh penimbunan cairan dan gas

(70% dari udara yang tertelan) dalam lumen. Distensi berat pada dinding

usus akan mengurangi pengaliran air dan natrium ke darah. Sekitar 8 liter

cairan disekresi keadalam saluran cerna setiap hari, sehingga tidak adanya

absorbsi yang dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.

Muntah dan penyedotan setelah dimulainya pengobatan merupakan

penyebab utama kehilangan cairan dan elektrolit. Pengaruh kehilangan inj

adalah pengerutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok–

hipotensi, berkurangnya perfusi jaringan serta asidosis metabolik.

Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan

timbunya lingkaran setan penurunanabsorbsi cairan dan peningkatan

sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan adalah iskemia dan

peregangan dan peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh nekrosis

yang dapt menyebabkan nyeri.10

Obstruksi usus

Akumulasi gas dan cairan intralumen di sebelah proksimal dari letak obstruksi

Page 47: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Sel yang nekrotik akan melepaskan K+ dan protein intrasel.

Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan mendepolarisasi nosiseptor,

sedangkan protein dan pada keadaan tertentu, organisme yang

menginfiltrasi dapat menyebabkan inflamasi. Akibatnya, mediator-

mediator penyebab nyeri akan di lepaskan. Leukotriene, prostalglandin E2

DistensiProliferasi bakteri yang berlangsung

cepat

Tekanan intralumen naik dan dipertahankan

Iskemia dinding usus

Kehilangan cairan menuju ruang peritoneum

Pelepasan bakteri dan toksin dari usus yang nekrotik ke

dalam peritoneum dan sirkulasi sistemik

Peritonitis septikemia

Kehilangan H2O dan elektrolit

Penurunan volume ECF

Syok hipovolemik

Nyeri

Bagan 2. Perubahan patofisiologi utama yang terjadi obstruksi usus yang menyebabkan nyeri

Sumber: Price S.A, Wilson L M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 6.Jakarta:EGC, 2013

Page 48: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

dan juga histamine akan mensensitisasi nosiseptor sehingga rangsangan,

baik yang kurang berbahaya maupun berada di ambang bawah bahaya

dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau aldonia).10

Lesi jaringan akan mengaktifkan pembekuan darah sehingga

melepaskan bradikinin dan serotonin. Jika terdapat penyumbatan

pembuluh darah, maka akan terjadi iskemia dan penimbunan K+ dan H+

ekstrasel yang diakibatkan semakin mengaktifkan nosiseptor yang yang

telah tersensitasi. Mediator histamine, bradikinin dan prostalglandin E2

memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas vaskuler.Hal

ini menyebabkan edema lokal, peningkatan tekanan jaringan dan

perangsangan nosiseptor. Perangsangan nosiseptor melepaskan substansi

peptide P (SP) dan peptide yang berhubungan dengan gen kalsitonin

(CGRP), yang meningkatkan respons inflamasi dan menyababkan

vasodilatasi serta meningkatnya permeabilitas vaskuler.10

Derajat nyeri sangat bervariasi, keadaan ini sangat disebabkan oleh

kemampuan otak kita untuk menekan besarnya sinyal nyeri yang masuk ke

Gambar 12. Mekanisme NyeriSumber: Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. New York:Thieme,

2000

Page 49: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

dalam bagian sistem saraf dan mengaktifkan pengaturan rasa nyeri disebut

dengan system analgesia. Sistem ini terdiri atas 3 komponen utama yaitu:10

Area periakuaduktus grisea dan periventricular dari dari

mesensefallon dan bagian atas pons yang mengelilingi akuaduktus sylvii

dan bagian ventrikel ketiga dan keempat.10

Nucleus rafe magnus yang merupakan nucleus tipis di garis tengah

yang terletak dibawah pons dan bagian atas medulla oblongata dan nucleus

retikularis gigantoselularis yang terletak dibagian sebelah lateral dari

medulla berfungsi untuk sinyal urutan kedua dijalarkan kebawah kolumna

dorsalateralis dibagian medulla spinalis menuju kebagian pusat nyeri.10

Kompleks penghambat rasa nyeri dibagian dalam radiks dorsalis

medulla spinalis. Berfungsi untuk sinyal analgesia dapat menghambat

sinyal rasa nyeri sebelum dipancarkan ke otak.10

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,

transmisi, modulasi, dan persepsi:5,6,7

a. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu

aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini

dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di

seluruh jalur nyeri.

b. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh

proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di

celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron

berikutnya

c. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini

dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai

ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi

(peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

d. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai

korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya

diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri

tersebut.

Page 50: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulus nociceptor oleh

stimulus noxious pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan

stimulasi nosiseptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan diubah

menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor.

Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron

susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama

transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke konus

dorsalis medula spinalis, pada konu dorsalis ini neuron aferen primer

bersinap dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron

tersebut akan naik ke atas di medula spinalis menuju batang otak dan

talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus dengan

pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respons persepsi dan

afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptiptif

tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa

terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses medulasi sinyal yang

mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang

paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses

terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke otak dan

menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.6

Mekanisme nyeri khususnya pada sindrom jebakan karena adanya

jebakan atau jepitan pada saraf sehingga mengganggu konduktivitas saraf.

Maka timbul gejala neurologist seperti nyeri dan parestesia. Perasaan nyeri

tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi

reseptor nyeri aferent primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di

medulla spinalis dan batang otak, sel-sel di traktus ascenden, sel-sel saraf

di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam reseptor

nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-sendi,

otot-otot dan alat-alat dalam pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda

menghasilkan kuatitas nyeri tertentu. Sel-sel saraf nyeri pada kornu

dorsalis medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut mengatur

pengaktifan sel-sel traktus ascenden. Sel-sel saraf dari traktus

Page 51: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

spinothalamicus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan

traktus lainnya lebih berperan pada pengaktifan system kontrol desenden

atau pada timbulnya mekanisme motivasi-afektif. Nyeri berawal dari

reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh Reseptor nyeri ini

menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang

menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak. 6        

Kadang ketika sampai di medula spinalis, sinyal ini menyebabkan

terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera dikirim

kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan

terjadinya kontraksi otot. Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada

setiap bagian tubuh Karena itu, sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis

dan lokasi dari cedera yang terjadi. Otak tidak dapat menentukan sumber

yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung

dirasakan di daerah yang lebih luas. Nyeri yang dirasakan di beberapa

daerah tubuh tidak secara pasti mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri

bisa berpindah ke daerah lain (referred pain). Referred pain terjadi karena

sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke dalam jalur saraf

yang sama ke medula spinalis dan otak Fenomena nyeri timbul karena

adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai stimuli

mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke

system saraf pusat yang dipacu oleh gangguan oleh jepitan tersebut yang

berdasarkan patofisiologinya nyeri ini tergolong dalam nyeri neuropatik,

yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor

yakni sensor elemen yang dapat mengirim signal ke CNS akan hal–hal yang

berpotensial membahayakan. Sangat banyak dalam tubuh manusia, serabut-

serabut afferentnya terdiri dari: 6   

1. A delta fibres, yaitu serabut saraf dengan selaput myelin yang tipis.

2. C fibres, serabut saraf tanpa myelin. 

Nociceptor sangat peka tehadap rangsang kimia (chemical stimuli).

Pada tubuh kita terdapat “algesic chemical” substance seperti:

Page 52: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Bradykinine, potassium ion, sorotonin, prostaglandin dan lain-lain.

Subtansi P, suatu neuropeptide yang dilepas dan ujung-ujung saraf tepi

nosiseptif tipe C, mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi local,

ekstravasasi plasma. Phenomena ini disebut sebagai “neurogenic

inflammation” yang pada keadaan lajut menghasilkan noxious/chemical

stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit hypertonus otot dapat

menyebabkan rasa sakit. Pada umumnya otot-otot yang terlibat adalah

“postural system”. Nosiseptif stimulus diterima oleh serabut-serabut

afferent ke spinal cord, menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat

“spinal motor reflexes”. Nosiseptif stimuli ini dapat dijumpai di beberapa

tempat seperti kulit visceral organ, bahkan otot sendiri. Reflek ini sendiri

sebenarnya bermanfaat bagi tubuh kita, misalnya “withdrawal reflex”

merupakan mekanisme survival dari organisme. kontraksi-kontraksi tadi

dapat meningkatkan rasa sakit, melalui nosiseptor di dalam otot dan

tendon. Makin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi, makin kuat

reflek aktifitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini akan meningkatkan rasa

sakit, sehingga menimbulkan keadaan “vicious circle”, kondisi ini akan

diperburuk lagi dengan adanya ischemia local, sebagai akibat dari kontrksi

otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat

sebagai akibat dari disregulasi. 6   

2.4.1 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

2.4.1.1 Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Apendisitis:21,22,23

a. Inspeksi

Inspeksi pada apendisitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik

dan terlihat distensi perut.21,22,23

b. Palpasi

Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa

nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut

Page 53: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

kanan bawah merupakan kunci diagnosa apendisitis. Pada penekanan

perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang

disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri

bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang

disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). 21,22,23

c. Pemeriksaan Rectum

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan letak

appendiks apabila letaknya sulit diketahui.Jika saat dilakukan

pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang

meradang terletak di daerah pelvic. 21,22,23

d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang.Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat

hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,

kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang

menempel di M.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan

menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan

endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang

meradang kontak dengan M.obturator internus yang merupakan dinding

panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. 21,22,23

2.4.1.2 Pemeriksaan penunjang pada pasien apendisitis, antara lain:

a. Laboratorium21,22,23

1. Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah, akan didapatkan leukositosis pada

kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan

komplikasi. Pada appendikular infiltrat, LED akan meningkat. 21,22,23

2. Pemeriksaan Urin

Page 54: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit

dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam

menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih

atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama

dengan appendisitis. 21,22,23

b. Radiologis21,22,23

1. Foto Polos Abdomen

Pada apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi

komplikasi (misalnya peritonitis) diantaranya tampak: scoliosis ke

kanan, psoas shadow tak tampak, dan 5 % dari penderita

menunjukkan fekalith radioopak. 21,22,23

2. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan

pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai

adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan

diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan

sebagainya. 21,22,23

3. Barium Enema

Barium enema merupakan suatu pemeriksaan X-Ray dengan

memasukkan barium ke colon melalui anus.Pemeriksaan ini dapat

menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada

jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis

banding. 21,22,23

Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut

memperlihatkan tidak adanya pengisian appendix dan efk massa

pada tepi medial serta inferior dari caecum, pengisian lengkap dari

appendix menyingkirkan appendisitis. 21,22,23

4. CT-Scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis.Selain itu juga

dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi

abses. 21,22,23

Page 55: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

5. Laparoscopi

Laparoscopi merupakan suatu tindakan dengan menggunakan

kamera fiberoptic yang dimasukkan ke dalam abdomen, appendix

dapat divisualisasikan secara langsung.Teknik ini dilakukan di

bawah pengaruh anastesi umum.Bila pada saat melakukan tindakan

ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga

dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix. 21,22,23

6. Pemeriksaan Colok Dubur

Pada pemeriksaan colok dubur ini, akan didapatkan nyeri kuadran

dextra pada arah jam 9-12. Pada apendisitis pelvica akan

didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. 21,22,23

2.4.2 Penanganan untuk mengurangi keluhan muntah,nyeri, dan demam

2.4.2.1 Penanganan muntah

Beberapa teori mengenai penyebab muntah telah banyak berkembang

tetapi sampai sekarang tidak ada kesepakatan mengenai penyebab atau

terapi yang defenitif. Penanganan pada pasien muntah dapat digolongkan

menjadi dua bagian yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi

dimana penjelasan mengenai terapi farmakologi disini akan dibahas hanya

secara umum.10

Sebelum melihat terapi non farmakologi dan farmakologi pada

muntah dapat dilihat terlebih dahulu prinsip-prinsip umum dari

penatalaksanaan pada muntah sebagai berikut:26,27

Seringkali mual dan muntah berkaitan dengan suatu infeksi usus yang

dapat sembuh sendiri atau kebanyakan makan atau minum alkohol.

Keadaan-keadaan ini tidak memerlukan pengobatan spesifik. Mual dan

muntah yang menetap dihubungkan dengan stasis lambung. Stasis

lambung menyebabkan perlambatan absorpsi dari emetik-emetik atau

obat-obat lain yang diberikan secara per-oral, ini merupakan salah satu

sebab mengapa anti-emetik diberikan per-injeksi. Bila muntah menetap,

maka obat-obatan yang diberikan melalui oral akan hilang percuma jika

pasien muntah.26,27

Page 56: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa harus

diobati secara tepat. Cairan intravena harus diberikan pada kasus-kasus

yang mengalami dehidrasi, yaitu cairan garam isotonik dengan tambahan

kalium.Kasus-kasus mual dan muntah akibat pemberian obat dapat diatasi

dengan memberikan obat tersebut bersama makanan atau dengan

pemberian anti-emetik seperti metoklopramid secara teratur.26,27

Retching yaitu muntah tanpa isi yang dikeluarkan, lebih mengganggu

daripada itusendiri. Keadaan ini dapat diatasi dengan memberikan sedikit

cairan, air garam, atau susu, dalam interval yang teratur. Antasid efektif

pada mual menetap yang diinduksi oleh obat, karena dapat meningkatkan

laju pengosongan lambung. Semua pasien yang mendapat anti-emetik

harus diperingatkan akan kemungkinanterjadinya sedasi. Pasien-pasien ini

harus diingatkan untuk berhati-hati jika mengemudi, menjalankan

peralatan yang berbahaya dan lain-lain.26,27

Pada kasus-kasus mual dan muntah yang berat dan menetap,

pengalaman klinismenunjukkan bahwa pemberian kombinasi anti-emetik

cukup efektif. Hal ini agaknya disebabkan oleh fakta bahwa anti-emetik

tersebut bekerja pada reseptor yang berbeda. Pasien-pasien dengan

penyebab muntah yang bersifat mekanik, seringkali tidak berespons

terhadap anti-emetik. Fenotiazin tidak berguna dalam mengobati

mabuk perjalanan, sementara obat-obatan anti-kolinergik dan anti-histamin

tampaknya dapat berefek.26,27

a. Terapi Non-Farmakologi26,27

1. Pasien dengan keluhan ringan, mungkin berkaitan dengan konsumsi

makanan dan minuman, dianjurkan menghindari masuknya makanan.

2. Istirahatkan perut, tapi tetap mengkonsumsi cairan untuk mencegah

terjadinya dehidrasi. Konsumsilah cairan ‘bersih’ seperti air, minuman

olah raga, agar-agar dalam kurun waktu 24 jam. Kemudian jika sudah

mereda, dapat dilanjutkan mengkonsumsi makanan lembut.

3. Walaupun penting untuk mengkonsumsi cairan, tak kalah penting

mengatur jumlah cairan yang masuk. Jangan terlalu banyak. Coba untuk

Page 57: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

mengkonsumsi cairan sedikit demi sedikit, dengan jarak 10-15 menit.

Mungkin dengan begitu perut dapat mentolerir asupan cairan yang

masuk.

4. Menghindari produk yang mengandung susu selama 24-48 jam selama

mual dan muntah.  Enzim yang membantu mencerna susu terletak

dalam dinding sel perut, dengan muntah, ada kemungkinan besar tubuh

kita tidak toleran pada laktosa yang terkandung dalam susu.

b. Terapi Farmakologi26,27

Obat anti emetic atau anti mual bebas dan dengan resep paling umum

direkomendasikan untuk mengobati mual muntah. Untuk pasien yang

bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai dan efektif dapat

dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat menggunakan obat

oral atau obat oral tidak sesuai. Pada pasien tersebut disarankan

penggunaan obat secara rectal atau parenteral. Beberapa obat-obat

antiemetic yaitu diantaranya promethazine, domperidon,

metoclopramide, dan ondasetron.

2.4.2.2 Penanganan nyeri26-36

Nyeri merupakan keluhan utama yang dirasakan pada seseorang

dengan penyebab dan gejala beraneka ragam, lokasi, kualitas, durasi rasa

nyeri, frekuensi, sifat serta gejala penyertanya yang membuat seseorang

datang mencari pertolongan dokter. Nyeri juga merupakan gejala utama

berbagai penyakit dan gejala tambahan banyak keadaan atau kelainan lain

serta sangat mempengaruhi kualitas hidup dan status fungsional seseorang

dalam kehidupan seehari-hari. Secara umum nyeri dibagi menjadi nyeri

akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya ditimbulkan oleh penyebab

yang jelas, dan dapat diatasi dengan cepat dan tepat, serta memberi respon

yang baik terhadap penatalaksanaan sederhana. Namun nyeri kronik

merupakan nyeri yang berasal dari nyeri akut yang tidak tertangani dengan

baik dan sangat sulit serta dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga

penatalaksanaannya memerlukan pendekatan yang sangat khusus. Secara

umum penatalaksanaan nyeri yang konservatif terbagi atas intervensi

Page 58: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

farmakologi, berupa obat-obatan analgesik, analgetika-opioid dan

analgetik-adjuvan serta intervensi modalitas fisik. Bidang kedokteran fisik

dan rehabilitasi menggunakan berbagai modalitas fisik yang memberikan

efek therapeutik dalam jaringan. Modalitas fisik yang digunakan dalam

program terapi nyeri dapat dibagi menjadi: 26-36

a. Mekanikal: tekanan dan vibrasi, vibrasi mekanikal, konduksi panas

dan dingin.

b. Elektrikal: aliran listrik yang merangsang kontraksi otot,

transcutaneous nerve stimulation, interferential therapy, shortwave

therapy.

c. Radiation: microwave, infra-red, laser, ultra-violet.

d. Biofeedback.

e. Therapeutic exercises.

Penatalaksaan rasa nyeri seringkali memerlukan anti- konvulsan

(karbamesepin, gabapentin), lidokain topikal 5% atau obat anti-depresan.

Golongan anti-depresan trisiklik seperti amitriptilin, nortriptilin dan

desipramin. Amitritilin dan nortriptilin merupakan obat analgesik yang

efektif untuk mengobati rasa nyeri neuropatik. Selain anti – depresan, obat

analgesik juga merupakan strategi yang paling banyak digunakan. Obat-

obat yang digunakan adalah golongan asetaminofen, aspirin, COX-2

inhibitors dan opioid. 26-36

2.4.2.3 Penanganan demam

Apabila terjadi infeksi pada appendix sehingga terjadi apendisitis,

maka akan ditemukan gejala – gejala seperti demam, muntah, nyeri pada

abdomen bagian kanan bawah. Demam biasanya ringan, dengan suhu

sekitar 37,5-38,5°C. Apabila terjadi perubahan suhu yang signifikan dari

biasanya menunjukkan bahwa terjadi komplikasi atau perforasi atau

diagnosis lain harus dipertimbangkan. Perforasi apendiks vermikularis

akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam

tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang

Page 59: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan,

dan perut menjadi tegang dan kembung adanya abses apendikuler terlihat

dengan penonjolan di perut kanan bawah juga peristalsis usus dapat

menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. 26-36

Demam merupakan suatu pengaturan tubuh jika terjadi

infeksi. Mekanisme pengaturan suhu tubuh secara normal dipertahankan

pada rentang yang sempit, walaupun terpapar suhu lingkungan yang

bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi sepanjang hari, 0,50C

dibawah normal pada pagi hari dan 0,50C diatas normal pada malam hari.

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara

produksi panas dan kehilangan panas. 26-36

Produksi panas tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas

fisik.Kehilangan panas terjadi melalui radiasi, evaporasi, konduksi dan

konveksi. Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus selalu diatur

pada set point sekitar 370C, setelah informasi tentang suhu diolah di

hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas

sesuai dengan perubahan set point. 26-36

Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produksi panas dan

mengurangi pengeluaran panas.Bila hipotalamus posterior menerima

informasi suhu luar lebih rendah dari suhu tubuh maka pembentukan panas

ditambah dengan meningkatkan metabolisme dan aktivitas otot rangka

dalam bentuk menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan

vasokontriksi kulit dan pengurangan produksi keringat sehingga suhu

tubuh tetap dipertahankan tetap. 26-36

Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan

panas. Bila hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi

dari suhu tubuh maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi

kulit dan menambah produksi keringat. 26-36

Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set point.

Infeksi bakteri menimbulkan demam karena endotoksin bakteri

merangsang sel PMN untuk membuat pyrogen endogen yaitu interleukin-

Page 60: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

1, interleukin 6 atau tumor nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di

hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase membentuk

protaglandin selanjutnya prostaglandin meningkatkan set point

hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti oleh pelepasan

cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan suhu

tubuh dan mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang

mengancam jiwa. 26-36

Penanganan demam dapat dilakukan secara nonfarmakoterapi maupun

farmakoterapi, antara lain: 26-36

a. Non-farmakoterapi

Biasanya mengatasi demam ringan dapat dilakukan antara lain

dengan banyak minum air putih, kompres dengan es, alkohol di

daerah lipatan tubuh, permukaan tubuh, menggunakan pakain yang

tipis.

b. Farmakoterapi

Obat penurun demam atau antipiretik hanya dianjurkan digunakan

jika dengan cara terapi non-farmakoterapi demam tidak dapat diatasi,

obat penurun demam yang dapat digunakan adalah parasetamol dan

asetosal. Kedua obat ini selain mempunyai efek penurunan demam

juga mempunyai efek pereda nyeri yang setara. Obat penurun

demam hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati

penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit. Penderita

demam harus dikonsultasikan dengan dokter atau unit pelanyan

kesehatan apabila demam berlanjut lebih dari 2 hari dengan suhu

yang lebih dari 37,5 0C, demam disertai gejala lain seperti kaku

kuduk, pingsan, bitnik merah pada kulit, nyeri hebat, mata kuning,

diare hebat, kejang dan menggigil. 26-36

Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya

panas.Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus.Pada keadaan

demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal

oleh obat mirip-aspirin. Karena berdasarkan penilitian bahwa peningkalan

Page 61: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan suatu zat pyrogen

endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (lL-1) Yang memacu pelepasan

prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu

pyrogen dan endogen terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke

ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip-

aspirin menekan elek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis

prostaglandin. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin

tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti

latihan fisik. 26-36

Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan

hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini

memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai

antipiretik karena bersilfat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu

lama. 26-36

Derivat para amino fenol yaitu lenasetin dan asetaminofen yang

biasanya disebut parasetmol merupakan metabolit fenasetin dengan efek

antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1993. Efek

antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. 26-36

Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.Keduanya

menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan

efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasinya sangat lemah, oleh

karena itu parasetamol dan lenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.

Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek

Iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,

demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. 26-36

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg

atau sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat

sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.Dosis

parasetamol untuk dewasa 300 mg - 1 g per kali. Dengan maksimum 4 g

per hari yaitu untuk anak 6-12 tahun yaitu 150-300 mg/kali, dengan

Page 62: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun yaitu 60-120 mg/kati dan bayi

di bawah 1 tahun yaitu 60 mg/kati; pada keduanya diberikan maksimum 6

kali/sehari. 26-36

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi, kami menyimpulkan bahwa bapak ini

menderita apendisitis kronik eksaserbasi akut. Sesuai denga riwayat

sebelumnya yang mengatakan bahwa bapak tersebut pernah menderita

apendisitis akut, maka apendisitis kronik yang terjadi akibat apendisitis

akut yang mungkin tidak diterapi dengan baik ataupun bapak tersebut tidak

mengikuti saran dokter sebelumnya untuk memperbanyak diet tinggi serat.

Apendisitis disebabkan oleh hiperplasia limfoid akibat peradangan yang

menahun, fekalit akibat diet rendah serat, oleh E.histolytica yang bisa

membuat perforasi yang akan mengakibatkan inflamasi pada peritoneum

dan menyebabkan apendisitis kronik, Y. enterocolitica yang berkembang

dalam ileum dan menyebabkan mukosa appendix bertambah banyak

sehingga memperparah apendisitis akut, dan juga benda asing seperti

cacing, biji-bijian, serta batu empedu. Semua penyebab yang telah

disebutkan sebelumnya menyebabkan obstruksi pada appendix yang

menyebabkan apendisitis akut meninkat menjadi apendisitis kronik. Nyeri

pada kuadran kanan bawah merupakan salah satu tanda gejala awal

apendisitis namun dapat juga disebabkan karena enteritis. Oleh sebab itu,

nyeri yang diinduksi dengan menekan dan melepaskan (nyeri tekan

rebound) tangan di atas titik McBurney atau Lanz merupakan tanda

pembeda penting. Nyeri visceral dari appendiks vermiformis ditimbulkan

oleh karena distensi lumen appendix atau spasme otot polos dindingnya.

Page 63: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

Selain itu, nyeri alih yang dirasakan oleh penderita apendistis biasanya

pada bagian epigastrium atau umbilikus di titik McBurney. Demam

dengan suhu 39,5℃ yang dirasakan pasien merupakan suatu kompensasi

tubuh akibat inflamasi yang terjadi. Dengan adanya demam bisa

membantu tubuh untuk membunuh agen infeksius sehingga diharapkan

dapat mengurangi inflamasi. Rasa hangat yang dirasakan pada bagian

kuadran kanan bawah mengidentifikasikan kalau di bagian tersebut telah

terjadi peradangan. Muntah berulang yang dialami pasien merupakan suatu

cara dari traktus gastrointestinal untuk membersihkan dirinya sendiri

ketika mengalami distensi maupun iritasi. Ketika terjadi obstruksi

appendix, maka akan terjadi peningkatan tekanan intralumen proksimal,

inilah yang kita sebut dengan gerakan antiperistaltik. Gerakan

antiperistaltik ini akan mendorong isi usus ke bagian proksimal, selain itu

ada impuls saraf motorik kranialis yang akan membantu mengeluarkan isi

usus keluar dengan cara mengkontraksikan otot-otot abdomen, bernapas

dalam, menaiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter

esophagus bagian atas agar terbuka, menutup glottis untuk mencegah

aliran muntah memasuki paru, dan mengangkat palatum molle untuk

menutupi nares posterior.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland W A Newman. Kamus kedokteran Dorland. Ed.31. Elseria R

Neary, alih bahasa; Mahode Albertus A, editor bahasa Indonesia.

Jakarta:EGC,2010. h.137,138,766.

2. Paulsen F,Waschke J. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ

dalam.Ed.23.Jilid 2.Jakarta:EGC,2012.

Page 64: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

3. Snell, RS. Anatomi Sistem Klinis Berdasarkan Sistem. Ed. 21.

Sugiharto L, penerjemah; Suwahjo A, Liestyawan YA, editor. Jakarta:

EGC,2011.

4. Ellis, H. Clinical Anatomy a Revision and Applied Anatomy for

Clinical Students. Ed. 11. Black well: Australia; 2006.

5. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. NewYork:

Thieme; 2000.

6. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed. 6. Pendit BU,

penerjemah; Yesdelita N, editor. Jakarta: EGC; 2011.

7. Kumar V,Abbas AK,Aster JC.Buku ajar patologi Robbins.Ed.9.Nasar

IM,Cornain S,editor edisi bahasa Indonesia.Singapura:Elsevier

Saunders,2015.

8. Sloane Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk pemula. Jakarta:EGC,2003.

9. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.

10. Price S.A, Wilson L M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit. Ed. 6. Hartanto H, editor. Jakarta: EGC; 2013.

11. Vinay K, Ramzy S, Cotran, Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi.

Ed. 7. Vol.2. Jakarta: EGC; 2007.

12. John A. Morris JR, Jhon L, Sawyers MD. Buku Ajar Bedah Bagian I,

Abdomen Akuta. EGC; 2008.

13. Silen W. Cope’s Early Diagnosis of the Acute Abdomen. Ed. 16.

London. Oxford University Press; 1983.

14. Weleh CE, Malt RA. Abdominal Surgery, Parts I, II,and III. 1983.

15. Saputra L. Intisari Ilmu Penyakit Dalam Disertai Contoh Kasus Klinis.

Edisi 1. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher; 2010

16. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 3. Jakarta:

EGC; 2012.

17. Brooks GF,et al.Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, dan

Adelberg. Ed.25. Jakarta:EGC,2012

Page 65: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

18. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. NewYork:

Thieme; 2000.

19. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran.Ed.11. Irawati,et

al, alih bahasa; Rachman LY, editor bahasa Indonesia.

Jakarta:EGC,2007

20. Rina Ningsih W. Fisiologi nyeri. [Internet]. [Cited on 2015 September

21]. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/4/Chapter

%20II.pdf

21. Burndside, WJ. ADAMS Diagnosis Fisik. Ed. 17. Lukmanto H,

penerjemah. Jakarta: EGC; 1995.

22. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:

Erlangga; 2005.

23. Boon, Nicholas A, Walker B. Davidson’s principles and practice

of medicine. Ed. 20. Elsevier; 2006.

24. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Qlintang S,

penerjemah; Dany F, Jaya PD, editor. Jakarta: EGC; 2010.

25. Walsh T D. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi.Jakarta: EGC,1997.

26. Neal M J. At Glance Farmakologi Medis.Ed.5. Jakarta : Erlangga,

2006.

27. Moeliono M. A, dr, SpRM. Physical Modalities in the Mnagement of

Pain.

28. Bandung, 1 November 2008. Available from:

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/04/physical_modaliti

es_in_the_management_of_pain.pdf

29. Kasrana. S,Kusumaratna R.K. Penatalaksanaan rasa nyeri pada lanjut

usia. Bagian Ilmu Penyakit Saraf dan Bagian Ilmu Kedokteran

Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Maret 2006.

Available from:

http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Prof-harko.pdf

Page 66: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP

30. BarryLC,GillTM,KernsRD,ReidMC.Indicationofpain-

reductionstrategiesusedbycommunity-

dwellingolderpersons.JGerontol2005;60A:1569-75. Available from:

http://biomedgerontology.oxfordjournals.org/content/60/12/1569.full

31. Mekanisme demam.Available from :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter

%20II.pdf

32. Mekenisme demam. Available from :

http://eprints.undip.ac.id/44874/3/

Siti_Hardiyanti_Sibuea_22010110110069_Bab2KTI.pdf

33. Swartz MH, Saunders WB. Text book of physical diagnosis;history and

examination international edition. Philadelphia, 1989.

34. Nizet, Vinci RJ, Lovejoy FH. Fever In Children. Pediatr Rev. 1994

(15); 127-34.

35. Obat Penurun Demam. Available from :

http://www2.pom.go.id/public/publikasi/kompendia/menu/

berkas_pdf/penurun%20demam.pdf .

36. Ganiswarna GS. Farmakologi dan terapi. Ed 4th. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

37. Porth CM. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. Ed 7.

Lippincott Williams & Wilkins, 2005.

38. Wijaya Ade. S09093fk-Hubungan antara analisis.pdf. [Internet]. [Cited

on 2015 October 26]. Available from: http://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=

0CB0QFjAAahUKEwiWxImP4-HIAhVIpZQKHSS1BNo&url=http

%3A%2F%2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F123437-

S09093fk-Hubungan%2520antara-

Analisis.pdf&usg=AFQjCNEjtiACxEPY-XmIFHIO9J_jPnYfpg

Page 67: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP
Page 68: Laporan Skenario 1 Appendisitis MDP