06_09_2015_009_e24d4c7c19231b8d667204efca2b8585

1
IWAN J KURNIAWAN S AMBIL mengambil sebuah alat tiupnya berupa suling, Guntur Sitohang, 79, lang- sung meniup perlahan. Tu- buhnya mulai tak kuat menahan langkah sehingga ia pun berjalan menggunakan tongkat. Opung (kakek) asal Sumatra Utara itu merupakan salah satu musikus yang setia pada nilai-nilai tradisi. Ia bersama keluarga besarnya di tepian Danau Toba masih meles- tarikan musik khas setempat yang disebut gondang batak. Ia lakukan agar warisan itu tak hilang. “Gondang selalu kami tampilkan di berbagai acara adat, bergantung pada saat suasana apa dimainkan. Kalau acara kematian, ya musik (irama) yang sedih. Begitu pula kalau acara pernikahan, haruslah gembira,” tutur Opung Guntur saat berbincang di kawasan Cikini, Ja- karta. Tidak hanya Opung Guntur yang sering bolak-balik Medan-Jakarta untuk mementaskan seni tradisi suku Batak Toba itu. Para perantau yang tinggal di Jakarta pun tidak melupakan akar rumput kesenian daerah untuk ditampilkan di tanah perantauan. Keunikan gondang pun membuat sutradara Kris Aditya, misalnya, mengangkat lewat drama musikal berjudul Gondang Kemerdekaan, Agustus lalu. Kris pun menggan- deng penyanyi Judika Nalon Abadi Sihotang. Judika mengaku senang. Ia bisa ikut mengangkat budaya leluhurnya. Keberadaan gondang sebagai ensambel musik khas orang Batak memiliki makna. Itu berarti menun- jukkan satu bagian, baik kelompok kekerabatan, tingkat usia, maupun orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu, terutama yang se- dang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung. Berdasarkan data yang dihimpun, gondang sering diidentikkan de- ngan alat musik tradisi. Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, meliputi gondang saba- ngunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Kedua jenis ensam- bel musik itu menjadi ciri khas musik tradisi di Ba- tak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis en- sambel terse- but hampir tidak memi- liki perbeda- an. Masyara- kat menyaji- kan pada upacara yang berkaitan dengan religi, adat, dan sere- monial lainnya. Sebutan gondang dalam pengertian kom posisi menun- jukkan arti. Itu seba- gai sebuah kompo- sisi dari lagu (judul lagu secara individu). Biasa juga menunjuk- kan kumpulan dari be- berapa lagu/repertoar. Masing-masing dapat di- mainkan pada upacara yang berbeda. Itu bisa disa- jikan pula pada upacara un- tuk menari hingga upacara kematian. Misalnya, gondang Si Bunga Jambu dan gondang Si Boru Mauliate. Kata si bunga jambu, si boru mauliate, dan malim merujuk pada komposisi lagu. Ini juga meru- pakan judul dari lagu itu sendiri. Berbeda dengan gondang Samba dan gondang Elekelek (lae-lae) mes- kipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi. Na- mun, kata itu memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gon- dang tersebut. Artinya, ada bebera- pa komposisi yang bisa dikategori- kan pada satu keluarga gondang. Pada sebuah acara pernikahan di Pematang Siantar, misalnya, warga di sana masih menggunakan jasa musikus-musikus tradisional. Me- reka tampil untuk memberikan suguhan gondang bagi para tetamu yang hadir. Seorang rekanan, Nikson Imanuel Sihombing, 34, pernah menggu- nakan layan- an ke- lompok gon- dang sekitar Rp10 juta per malam. “Itu budaya di sini sehingga perlu untuk me- nyemarakkan acara nikahan,” ki- sahnya. Mendengar alunan musik gon- dang sabangunan memberikan suasana yang semangat. Alat musik itu terdiri atas taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal, dan hesek. Gondang dalam suatu acara upa- cara biasanya disajikan lewat be- berapa repertoar. Pendahuluannya disebut gondang mula-mula (awal). Lalu, pemberkatan yang di- sebut gondang pasu-pasu (tengah), dan penutup yang disebut gondang hasatan (a- khir). Ketiga bagian gondang inilah yang biasa ma- syarakat Batak Toba sebut de- ngan istilah Si Pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Keberadaan mu- sik tak terlepas dari upacara. Bahkan, gon- dang pun memi- liki hubungan erat dengan Sang Khalik. Pargongsi Para pemain instrumen-in- strumen yang tergabung da- lam komunitas gondang disebut pargongsi . Biasanya, orang Batak Toba tertarik mendengar alunan suara gon- dang karena keunikan suara. Na- mun, tidak semua orang mampu memainkan alat-alat tersebut, apa- lagi mencapai tahap pargongsi. Opung Guntur mengaku un- tuk menjadi pargongsi tidaklah mu dah. Syarat-syarat tertentu harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargongsi. “Syarat-syarat tersebut, antara lain, seseorang harus mendapat talenta, yaitu dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta),” akunya. Melalui proses belajar, seseorang dapat menjadi pargongsi plus ta- lenta yang diberikan Mulajadi Na Bolon. Meski melalui proses belajar, jika tidak diberikan pengetahuan kepada seseorang, ia tidak menjadi pargongsi yang pandai. “Rendah hati dan tekun belajar menjadi kunci utama menjadi pargongsi,” sambung Opung Guntur. Umumnya, yang menjadi seorang pargongsi ialah laki-laki. Alasan utama, laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mu- lajadi Na Bolon. Laki-laki lebih ba- nyak memiliki kebebasan daripada perempuan. Pasalnya, para par- gongsi sering diundang memainkan gondang ke berbagai daerah, ter- utama dalam suatu upacara adat. Dalam konteks sosial, pargongsi mendapat perlakuan yang khu- sus. Prinsip stratifikasi yang ber- hubung an dengan kedudukan pargongsi masih bisa ditemukan berdasarkan pangkat dan jabatan. Seorang pargongsi mempunyai pe- ngetahuan tentang aturan-aturan adat. Keberadaan mereka sangat penting guna menunjang suatu upacara. Lewat instrumen gondang khas Batak Toba, ada nilai-nilai sosial dan religius yang tertanam erat. Opung Guntur pun kerap memain- kan lagu-lagu bertema religius dan sekuler. Baginya, warisan leluhur harus dipertahankan selamanya. “Kalau rindu mainlah gondang ka- rena ini warisan yang sudah lama ada di tanah kami,” pungkasnya. (M-2) miweekend @mediaindonesia.com Gondang Pengobat Rindu Masyarakat Batak Toba selalu menyajikan ensambel gondang untuk mengiringi prosesi manortor. Kesenian tradisi tersebut selalu disajikan pada berbagai upacara adat hingga drama. Bertanam Luka di Ladang Duka kita pernah berdua di sini, dahulu menatap biru langit dan bening danau Toba lewat bola mata kita yang kecil berbaring di antara belukar dan pepohon pinus yang mengurat dan mengakari bukit ini kita pernah bercanda di sini, dahulu melantun sesayup kidung Senandung Rindu dari tuter motor bus Sanggul Mas melintas jauh di bawah sana di jalan aspal berkelok-kelok kelingking kita mengait di sini, dahulu di antara bunga semak dan derai tawa menenun mimpi pada desau angin danau tak hirau helai langsing kering dedaun pinus menggelayut manja di gerai rambut kekasih, pulanglah sekali meski mungkin kita tak bersama lagi lihat dengan bola mata yang lebih besar kini apa yang mereka lakukan sesuka-suka hati pada kita, pada kenangan kita mereka bertanam di atas luka menyiraminya dengan air mata kami menyubur jadi borok bernanah lalu mereka mengolahnya di pabrik menjadi bubur kertas peradaban baru mereka berladang di atas duka kami bertanam perih di mata berbunga amarah dan kertap gigi lalu mereka mengolahnya di pabrik menjadi bubur kertas peradaban baru katanya, aku harus diam karena mereka sedang membangun dunia karena mereka sedang sibuk mencukur hutan dan gunung kita 2015 Rindu Toba Untuk: Erland Sibuea sejenak di persimpangan itu kita berhenti, berdiam menangguk hangat pagi angin danau masih tawarkan semilir gigil embun semalam pun masih berpeluk putri malu enggan pergi meski mentari kian meninggi mari, kataku, berdirilah di sini dengarkan lenguh panjang kerbau bunting derai air sungai bening pecah di batu gelinding roda pedati di atas pematang berlomba sarat beban ke hari pekan anak-anak pamuro bernyanyi mengusir pipit bersama cericau burung sitapi-tapi denting hasapi dan seruling puput padi di antara gegas langkah ceria para petani :musim harus segera dipetik ladang dituai di perhentian itu kita bersimpang waktu sumurut melambat lalu diam seperti jam mati milik ompungku mendiang dedaun gugur melayang enggan menari beronggok saja kering semata kaki sebab semua itu hanya mimpi rindu-rindu kau tebar kering dan mati terbakar di hutan gundul tenggelam di danau cemar mereka yang digadang-gadang mereka yang diusung tinggi-tinggi ternyata lanteung belaka 2015 September Kita September ke-tigapuluh enam bersamamu, perempuanku bicara kita makin keras sebab pendengaran kita mulai berkurang September ke-tigapuluh enam cucu kita dua aku tetap glagah sedang kau bening kian telaga tigapuluh enam tahun pertama kita serasa baru kemarin kau bersandar di bahuku lalu bilang: Kau buat aku saja! 2015 Menatapmu dari Keterasingan dari sudut keterasinganku di kaki gunung Soputan Minahasa aku tegak menatap Indonesia dan aku melihat mulut-mulut besar menganga berbau busuk dan terus saja menebar petaka angka-angka menjijikkan di kepala setiap mereka tambah kurang bagi-bagi dan perkalian ganda menggeliat bergerumpal bagai ulat bangkai dari kaki gunung Soputan menatap Indonesia ular besar yang sibuk menggigiti tubuh sendiri derai atap seng di deras hujan aku terjaga 2014 Kampret dan Bunga Itu! Sebentang kenang tentang kita telah kupendam pada ziarah silam. Itu kau tahu. Jika di berulang- ulang malam masih saja kuhirup wajahmu hingga kandas di ampas kopi dasar cangkirku, itu mungkin memalukan. Tapi itu urusanku. Biarkan saja. Aku memang merinduimu di sebarang sunyi. Aku mungkin menghasut bibirku untuk selalu gigil bergetar bisikkan namamu. Tapi kampret yang titipkan seputik bunga di depan jendela kamarmu, mawar putih itu, bukan milikku. Berani sumpah. Sungguh bukan urusanku. Buang saja. 2013/2015 Kau dan Aku di dinding papan lapuk belakang dapur pernah kutuliskan nama kita dengan kapur di papan paling bawah sebab aku tak mampu naik lebih tinggi untuk menuliskannya di atas namamu, namaku lalu huruf-huruf itu berlompatan menari-nari menjelma larik-larik angan yang kita tenun menjadi ingin berubah jadi mimpi dan doa-doa yang kita tangkup dalam genggam kecil kita yang mendesah dari bibir kita yang lugu suatu hari kau ingin menjadi gajah dan aku beruang lalu kita bertengkar siapa yang lebih kuat lain hari kau ingin singa dan aku harimau dan kita bertengkar siapa lebih berani tetapi ketika kau ingin jadi bakmi dan aku soto kita tak sempat bertengkar malah ingin bertukar tak berani bersikukuh mana lebih nikmat sebab dua-duanya terlalu ajaib untuk kita dua kemewahan yang boleh kita cicipi hanya ketika ‘beruntung’ mendadak sakit berbagai peristiwa menghadang langkah membuat kita tumbuh berbeda tak lagi kita soalkan siapa bertubuh lebih tinggi siapa lebih gemuk dibesarkan dari dapur ibu yang sama dari periuk belanga dan lelah ibu yang sama dengan doa yang dilangitkan ibu yang sama dari garis yang sama lalu kita berangkat menyongsong angin ke negeri jauh tetapi arus ombak badai dan halang rintang membuat kita tiba di akhir yang berbeda. salamku, saudaraku jika nanti aku ziarah lagi di tiap helai bunga yang kutabur akan kutuliskan lagi namamu dan namaku. 2015 Saut Poltak Tambunan, pengarang. Lahir di Balige, Sumatra Utara, 28 Agustus 1952. Menulis sastra modern (novel, cerpen, dan puisi) sejak 70-an. Menjadi kurator pada Ubud Writers and Readers Festival 2012. Ia merupakan pengarang Batak pertama yang menerima Hadiah Sastra Rancage 2015. PUISI SAUT POLTAK TAMBUNAN MINGGU, 6 SEPTEMBER 2015 9 K HAZANAH EBET

Upload: puji-ermanto

Post on 09-Feb-2016

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

06_09_2015_009_e24d4c7c19231b8d667204efca2b8585

TRANSCRIPT

Page 1: 06_09_2015_009_e24d4c7c19231b8d667204efca2b8585

IWAN J KURNIAWAN

SAMBIL mengambil sebuah alat tiupnya berupa su ling, Guntur Sitohang, 79, lang-sung meniup perlahan. Tu-

buhnya mulai tak kuat menahan langkah sehingga ia pun berjalan meng gunakan tongkat.

Opung (kakek) asal Sumatra Utara itu merupakan salah satu musikus yang setia pada nilai-nilai tradisi. Ia bersama keluarga besarnya di tepian Danau Toba masih meles-tarikan musik khas setempat yang disebut gondang batak. Ia lakukan agar warisan itu tak hilang.

“Gondang selalu kami tampilkan di berbagai acara adat, bergantung pada saat suasana apa dimainkan. Kalau acara kematian, ya musik (irama) yang sedih. Begitu pula kalau acara pernikahan, haruslah gembira,” tutur Opung Gun tur saat berbincang di kawasan Cikini, Ja-karta.

Tidak hanya Opung Guntur yang sering bolak-balik Medan-Jakarta untuk mementaskan seni tradisi suku Batak Toba itu. Para perantau yang tinggal di Jakarta pun tidak melupakan akar rumput kesenian daerah untuk ditampilkan di tanah perantauan.

Keunikan gondang pun membuat sutradara Kris Aditya, misalnya, mengangkat lewat drama musikal berjudul Gondang Kemerdekaan, Agustus lalu. Kris pun menggan-deng penyanyi Judika Nalon Abadi Sihotang. Judika mengaku senang. Ia bisa ikut mengangkat budaya le luhurnya.

Keberadaan gondang sebagai en sambel musik khas orang Batak memiliki makna. Itu berarti menun-jukkan satu bagian, baik kelompok kekerabatan, tingkat usia, maupun orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu, terutama yang se-

dang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung.

Berdasarkan data yang dihimpun, gondang sering diidentikkan de-ngan alat musik tradisi. Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, meliputi gondang saba-ngunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan).

Kedua jenis ensam-bel musik itu menjadi ciri khas musik tradisi di Ba-tak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis en-sambel terse-but hampir tidak memi-liki perbeda-an. Masyara-kat menyaj i -kan pada upacara yang berkaitan dengan religi, adat, dan sere-monial lainnya.

Sebutan gondang dalam pengertian kom posisi menun-jukkan arti. Itu seba-gai sebuah kompo-sisi dari lagu (judul lagu secara individu). Biasa juga menunjuk-kan kumpulan dari be-berapa lagu/repertoar. Masing-masing dapat di-mainkan pada upacara yang berbeda. Itu bisa disa-jikan pula pada upacara un-tuk menari hingga upacara kematian.

Misalnya, gondang Si Bunga Jambu dan gondang Si Boru Mauliate. Kata si bunga jambu, si boru mauliate, dan malim merujuk pada komposisi lagu. Ini juga meru-pakan judul dari lagu itu sendiri.

Berbeda dengan gondang Samba dan gondang Elekelek (lae-lae) mes-

kipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi. Na-mun, kata itu memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gon-dang tersebut. Artinya, ada bebera-pa komposisi yang bisa dikategori-

kan pada satu keluarga gondang.

Pada sebuah acara pernikahan di Pematang Siantar, misalnya, warga di sana masih menggunakan jasa musikus-musikus tradisional. Me-

reka tampil untuk memberikan su guhan gondang bagi para tetamu yang hadir.

Seorang rekanan, Nikson Imanuel Sihombing, 34, pernah menggu-

nakan layan-

a n ke-

lompok gon-dang sekitar Rp10

ju ta per malam. “Itu budaya di sini sehingga perlu untuk me-nyemarakkan acara nikahan,” ki-sahnya.

Mendengar alunan musik gon-

dang sabangunan memberikan suasana yang semangat. Alat musik itu terdiri atas taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal, dan hesek.

Gondang dalam suatu acara upa-cara biasanya disajikan lewat be-berapa repertoar. Pendahuluannya disebut gondang mula-mula (awal).

Lalu, pemberkatan yang di-sebut gondang pasu-pasu (te ngah), dan penutup yang disebut gondang hasatan (a-

khir).Ketiga bagian

gondang inilah yang biasa ma-syarakat Batak

Toba sebut de-ngan istilah Si Pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Keberadaan mu-sik tak terlepas dari upacara. Bahkan , gon-dang pun memi-liki hubungan e r a t d e n g a n Sang Khalik.

PargongsiPara pemain

instrumen-in-strumen yang tergabung da-

l a m ko m u n i t a s gondang disebut

pargongsi. Biasanya, orang Batak Toba tertarik

mendengar alunan suara gon-dang karena keunikan suara. Na-mun, tidak se mua orang mampu memainkan alat-alat tersebut, apa-lagi mencapai tahap pargongsi.

Opung Guntur mengaku un-tuk menjadi pargongsi tidaklah mu dah. Syarat-syarat tertentu ha rus dipenuhi seseorang untuk

dapat menjadi seorang pargongsi. “Syarat-syarat tersebut, antara lain, seseorang harus mendapat talenta, yaitu dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta),” akunya.

Melalui proses belajar, seseorang dapat menjadi pargongsi plus ta-lenta yang diberikan Mulajadi Na Bolon. Meski melalui proses belajar, jika tidak diberikan pengetahuan kepada seseorang, ia tidak menjadi pargongsi yang pandai. “Rendah ha ti dan tekun belajar menjadi kun ci utama menjadi pargongsi,” sam bung Opung Guntur.

Umumnya, yang menjadi seorang pargongsi ialah laki-laki. Alasan utama, laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mu-lajadi Na Bolon. Laki-laki lebih ba-nyak memiliki kebebasan daripada perempuan. Pasalnya, para par-gongsi sering diundang memainkan gondang ke berbagai daerah, ter-utama dalam suatu upacara adat.

Dalam konteks sosial, pargongsi mendapat perlakuan yang khu-sus. Prinsip stratifikasi yang ber-hubung an dengan kedudukan par gongsi ma sih bisa ditemukan berdasarkan pangkat dan jabatan. Seorang par gongsi mempunyai pe-ngetahuan tentang aturan-aturan adat. Keberadaan mereka sangat penting guna menunjang suatu upacara.

Lewat instrumen gondang khas Batak Toba, ada nilai-nilai sosial dan religius yang tertanam erat. Opung Guntur pun kerap me main-kan lagu-lagu bertema religius dan sekuler. Baginya, warisan leluhur harus di pertahankan selamanya. “Kalau rin du mainlah gondang ka-rena ini warisan yang sudah lama ada di ta nah kami,” pungkasnya. (M-2)

[email protected]

Gondang Pengobat RinduMasyarakat Batak Toba selalu menyajikan ensambel gondang untuk mengiringi prosesi manortor. Kesenian tradisi tersebut selalu disajikan pada berbagai upacara adat hingga drama.

Bertanam Luka di Ladang Duka

kita pernah berdua di sini, dahulu menatap biru langit dan bening danau Toba lewat bola mata kita yang kecil berbaring di antara belukar dan pepohon pinus yang mengurat dan mengakari bukit ini

kita pernah bercanda di sini, dahulu melantun sesayup kidung Senandung Rindu dari tuter motor bus Sanggul Mas melintas jauh di bawah sana di jalan aspal berkelok-kelok

kelingking kita mengait di sini, dahulu di antara bunga semak dan derai tawa menenun mimpi pada desau angin danau tak hirau helai langsing kering dedaun pinus menggelayut manja di gerai rambut

kekasih, pulanglah sekali meski mungkin kita tak bersama lagi lihat dengan bola mata yang lebih besar kini apa yang mereka lakukan sesuka-suka hati pada kita, pada kenangan kita

mereka bertanam di atas luka menyiraminya dengan air mata kami menyubur jadi borok bernanah lalu mereka mengolahnya di pabrik menjadi bubur kertas peradaban baru

mereka berladang di atas duka kami bertanam perih di mata berbunga amarah dan kertap gigi lalu mereka mengolahnya di pabrik menjadi bubur kertas peradaban baru

katanya, aku harus diam karena mereka sedang membangun dunia karena mereka sedang sibuk mencukur hutan dan gunung kita

2015

Rindu Toba Untuk: Erland Sibuea

sejenak di persimpangan itu kita berhenti, berdiam menangguk hangat pagi angin danau masih tawarkan semilir gigil embun semalam pun masih berpeluk putri malu enggan pergi meski mentari kian meninggi

mari, kataku, berdirilah di sini dengarkan lenguh panjang kerbau bunting derai air sungai bening pecah di batu gelinding roda pedati di atas pematang berlomba sarat beban ke hari pekan

anak-anak pamuro bernyanyi mengusir pipit bersama cericau burung sitapi-tapi denting hasapi dan seruling puput padi di antara gegas langkah ceria para petani :musim harus segera dipetik ladang dituai

di perhentian itu kita bersimpang waktu sumurut melambat lalu diam seperti jam mati milik ompungku mendiang dedaun gugur melayang enggan menari beronggok saja kering semata kaki sebab semua itu hanya mimpi

rindu-rindu kau tebar kering dan mati terbakar di hutan gundul tenggelam di danau cemar mereka yang digadang-gadang mereka yang diusung tinggi-tinggi ternyata lanteung belaka

2015

September Kita

September ke-tigapuluh enam bersamamu, perempuanku bicara kita makin keras sebab pendengaran kita mulai berkurang

September ke-tigapuluh enam cucu kita dua aku tetap glagah sedang kau bening kian telaga

tigapuluh enam tahun pertama kita serasa baru kemarin kau bersandar di bahuku lalu bilang: Kau buat aku saja!

2015

Menatapmu dari Keterasingan dari sudut keterasinganku di kaki gunung Soputan Minahasa aku tegak menatap Indonesia dan aku melihat mulut-mulut besar menganga berbau busuk dan terus saja menebar petaka angka-angka menjijikkan di kepala setiap mereka tambah kurang bagi-bagi dan perkalian ganda menggeliat bergerumpal bagai ulat bangkai

dari kaki gunung Soputan menatap Indonesia ular besar yang sibuk menggigiti tubuh sendiri derai atap seng di deras hujan aku terjaga

2014

Kampret dan Bunga Itu! Sebentang kenang tentang kita telah kupendam pada ziarah silam. Itu kau tahu. Jika di berulang-ulang malam masih saja kuhirup wajahmu hingga kandas di ampas kopi dasar cangkirku, itu mungkin memalukan. Tapi itu urusanku. Biarkan saja.

Aku memang merinduimu di sebarang sunyi. Aku mungkin menghasut bibirku untuk selalu gigil bergetar bisikkan namamu. Tapi kampret yang titipkan seputik bunga di depan jendela kamarmu, mawar putih itu, bukan milikku. Berani sumpah. Sungguh bukan urusanku. Buang saja.

2013/2015

Kau dan Aku

di dinding papan lapuk belakang dapur pernah kutuliskan nama kita dengan kapur di papan paling bawah sebab aku tak mampu naik lebih tinggi untuk menuliskannya di atas namamu, namaku lalu huruf-huruf itu berlompatan menari-nari menjelma larik-larik angan yang kita tenun menjadi ingin berubah jadi mimpi dan doa-doa yang kita tangkup dalam genggam kecil kita yang mendesah dari bibir kita yang lugu

suatu hari kau ingin menjadi gajah dan aku beruang lalu kita bertengkar siapa yang lebih kuat lain hari kau ingin singa dan aku harimau dan kita bertengkar siapa lebih berani tetapi ketika kau ingin jadi bakmi dan aku soto kita tak sempat bertengkar malah ingin bertukar tak berani bersikukuh mana lebih nikmat sebab dua-duanya terlalu ajaib untuk kita dua kemewahan yang boleh kita cicipi hanya ketika ‘beruntung’ mendadak sakit

berbagai peristiwa menghadang langkah membuat kita tumbuh berbeda tak lagi kita soalkan siapa bertubuh lebih tinggi siapa lebih gemuk dibesarkan dari dapur ibu yang sama dari periuk belanga dan lelah ibu yang sama dengan doa yang dilangitkan ibu yang sama dari garis yang sama lalu kita berangkat menyongsong angin ke negeri jauh tetapi arus ombak badai dan halang rintang membuat kita tiba di akhir yang berbeda.

salamku, saudaraku jika nanti aku ziarah lagi di tiap helai bunga yang kutabur akan kutuliskan lagi namamu dan namaku.

2015

Saut Poltak Tambunan, pengarang. Lahir di Balige, Sumatra Utara, 28 Agustus 1952. Menulis sastra modern (novel, cerpen, dan puisi) sejak 70-an. Menjadi kurator pada Ubud Writers and Readers Festival 2012. Ia merupakan pengarang Batak pertama yang menerima Hadiah Sastra Rancage 2015.

PUISI

SAUT POLTAK TAMBUNAN

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2015 9KHAZANAH

EBET