06-warta sponge

11
1 Sponge: Biota laut penghasil senyawa bioaktif yang potensial Ifah Munifah, Thamrin Wikanta dan M. Nursid Laboratorium Bioteknologi Kelautan Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial-Ekonomi Kelautan dan Perikanan Pendahuluan Sejak konferensi Biochemistry and Pharmacology derived from Marine Organisms pada 1960 maka mengemuka istilah Drugs from The Sea. Sejak saat itu evaluasi farmakologi terhadap metabolit sekunder dari laut telah menjadi objek utama dalam bidang riset produk bahan alam laut (Scheuer, 1990). Produk bahan alam laut dapat digolongkan dalam: (1) sumber biokimia yang mudah didapatkan dalam jumlah besar dan dapat dikonversi menjadi produk dengan nilai jual lebih tinggi; (2) senyawa bioaktif yang meliputi: senyawa anti-mikroba, senyawa aktif fisiologis, senyawa aktif farmakologis, dan senyawa sitotoksik dan anti- tumor; dan (3) toksin laut (Kobayashi dan Satari, 1999). Prioritas riset dan pengembangan untuk produk bahan alam melibatkan kegiatan: (1) pencarian senyawa aktif yang dapat berguna sebagai anti-kanker, anti- viral, anti-degenerasi, anti-mikroba, dan pestisida. Biota yang potensial untuk hal ini adalah sponge, koral lunak, moluska, echinodermata, dll.; (2) teknologi produksi untuk mengembangkan dan memperbaiki produk alam yang sudah dikenal secara komersial, misalnya: polisakarida, skualen, kondroitin, omega-3, dan lain-lain (Nontji, 1999). Anggota dari filum Porifera yang terkenal dengan sebutan sponges sangat beragam dan melimpah di kepulauan Indonesia. Telah banyak dilaporkan bahwa sponges sangat potensial sebagai penghasil produk alami laut dalam bidang farmasi (Mayer ,1999; Munro et al., 1987; Faulkner, 2000). Organisme laut dalam hidupnya sangat tergantung kepada faktor lingkungan yang sering sekali menjadi faktor pembatas kehidupannya, seperti: cahaya, nutrisi, oksigen, dan pesaing (kompetitor). Dalam rangka mempertahankan kehidupannya, organisme ini melakukan serangkaian mekanisme adaptasi secara morfologis, anatomis, fisiologis dan kemis. Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh sponges secara ekologis dapat dipandang sebagai salah

Upload: ifah-munifah

Post on 06-Jun-2015

3.426 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

This article is about marine sponge

TRANSCRIPT

Page 1: 06-Warta Sponge

1

Sponge: Biota laut penghasil senyawa bioaktif yang potensial

Ifah Munifah, Thamrin Wikanta dan M. Nursid

Laboratorium Bioteknologi Kelautan

Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial-Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Pendahuluan

Sejak konferensi Biochemistry and Pharmacology derived from Marine

Organisms pada 1960 maka mengemuka istilah Drugs from The Sea. Sejak saat itu

evaluasi farmakologi terhadap metabolit sekunder dari laut telah menjadi objek utama

dalam bidang riset produk bahan alam laut (Scheuer, 1990).

Produk bahan alam laut dapat digolongkan dalam: (1) sumber biokimia yang

mudah didapatkan dalam jumlah besar dan dapat dikonversi menjadi produk dengan

nilai jual lebih tinggi; (2) senyawa bioaktif yang meliputi: senyawa anti-mikroba,

senyawa aktif fisiologis, senyawa aktif farmakologis, dan senyawa sitotoksik dan anti-

tumor; dan (3) toksin laut (Kobayashi dan Satari, 1999).

Prioritas riset dan pengembangan untuk produk bahan alam melibatkan

kegiatan: (1) pencarian senyawa aktif yang dapat berguna sebagai anti-kanker, anti-

viral, anti-degenerasi, anti-mikroba, dan pestisida. Biota yang potensial untuk hal ini

adalah sponge, koral lunak, moluska, echinodermata, dll.; (2) teknologi produksi

untuk mengembangkan dan memperbaiki produk alam yang sudah dikenal secara

komersial, misalnya: polisakarida, skualen, kondroitin, omega-3, dan lain-lain (Nontji,

1999).

Anggota dari filum Porifera yang terkenal dengan sebutan sponges sangat

beragam dan melimpah di kepulauan Indonesia. Telah banyak dilaporkan bahwa

sponges sangat potensial sebagai penghasil produk alami laut dalam bidang farmasi

(Mayer ,1999; Munro et al., 1987; Faulkner, 2000). Organisme laut dalam hidupnya

sangat tergantung kepada faktor lingkungan yang sering sekali menjadi faktor

pembatas kehidupannya, seperti: cahaya, nutrisi, oksigen, dan pesaing (kompetitor).

Dalam rangka mempertahankan kehidupannya, organisme ini melakukan serangkaian

mekanisme adaptasi secara morfologis, anatomis, fisiologis dan kemis. Senyawa

bioaktif yang dihasilkan oleh sponges secara ekologis dapat dipandang sebagai salah

Page 2: 06-Warta Sponge

2

satu cara dari organisme ini untuk mempertahankan diri dari predator dan mengurangi

resiko akibat ekspose radiasi sinar matahari.

Apakah Sponge?

Sponge adalah biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder,

menghisap air dan bahan-bahan lain disekelilingnya melalui pori-pori (ostia)

kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui saluran (channel) dan

dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula). Sponge termasuk hewan laut

dalam filum porifera yang berarti memiliki pori-pori dan saluran. Melalui pori-pori

dan saluran-saluran inilah air diserap oleh sel khusus yang dinamakan sel leher, yang

dalam banyak hal menyerupai cambuk. Jenis sel ini dinamakan koanosit (choanocyte;

yunani=choane: cerobong, kytos=berongga). Filum hewan ini lebih banyak dikenal

sebagai sponge, yakni hewan multiseluler (bersel banyak) yang primitif, mungkin

berasal dari jaman paleozoik sekitar 1,6 milyar tahun yang lalu (Romimohtarto dan

Juwana , 2001; Cetkovic dan Lada, 2003).

Keterangan: A = struktur dinding tubuh sponge B = Koloni Leucosolenia C = Flagella tumbuh dari inti Leucosolenia Complicata D = Flagella bebas dan inti di dasar, pada Clanthrina Coriacea

1. Lapisan dermal 2. Amebosit 3. Epitelium 4. Jeli 5. Spikula 6. Skleroblas 7. Pori 8. Porosit 9. Selapis sel-sel leher 10. Gamul 11. Oskulum

Gambar 1.Bentuk dan struktur dinding tubuh sponge (Romimohtarto & Juwana, 2001)

Sebagian besar sponge hidup di laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di

air tawar. Diperkirakan terdapat sekitar 5000 jenis sponge yang berbeda, dengan

sebaran yang sangat luas. Bentuk dan ukuran sponge sangat beragam, beberapa jenis

berbentuk cabang-cabang seperti pohon, lainnya dapat berbentuk seperti sarung tinju,

cawan, pipa, atau kubah. Ukuran sponge juga beragam mulai dari jenis berukuran

kecil yang berdiameter 3 cm sampai yang berukuran 0,9 m dengan ketebalan

Page 3: 06-Warta Sponge

3

bervariasi dan bisa mencapai 30,5-50 cm. Jenis sponge tertentu nampak memiliki bulu

getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya. Banyak sponge berwarna

putih, abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, orange, merah atau hijau, tergantung

pada jenis simbion yang hidup bersamanya. Sponge yang berwarna hijau biasanya

disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat di

dalamnya (Proksch, 1999).

a b c Gambar 2. Contoh beberapa jenis sponge dari Karimun Jawa

a. Sponges belum teridentifikasi, b. Callyspongia sp. dan c. Amphimedon sp.

Sponge dan makanannya

Saluran yang terdapat pada sponge bertindak seperti halnya sistem sirkulasi

pada hewan tingkat tinggi yang merupakan pelengkap untuk menarik makanan ke

dalam tubuh dan untuk mengangkut zat buangan keluar dari tubuh. Karena hal inilah

maka sponge termasuk pada hewan pemakan dengan cara menyaring (filter feeder). Ia

memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti

bakteri dan mikroalga yang masuk melalui pori-pori (Proksch et al,. 2002). Arus air

yang masuk melalui sistem saluran dari sponge diakibatkan oleh cambuk koanosit

yang bergerak terus menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik

disebelah maupun di dalam sel leher. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang

keluar dari dalam sel leher. Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain

kemudian diedarkan dalam batas-batas tertentu oleh sel-sel amuba yang berkeliaran di

dalam lapisan tengah sponge (McConnaughey, 1970).

Penting bagi sponge untuk hidup di dalam air yang bersirkulasi, karenanya

sponge ditemukan dalam air yang jernih, bukan yang keruh. Arus air yang lewat

melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh sponge, maka penting agar air

yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini sudah tidak

Page 4: 06-Warta Sponge

4

berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang

beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Gambar 3. Salah satu jenis sponge dari Karimun Jawa

Sponge dan pertahanan dirinya

Sponge tumbuh melekat pada terumbu karang dan dasar laut. Binatang lunak

dengan variasi warna, bentuk, dan ukuran ini tidak dapat berpindah seperti halnya

ikan dan binatang laut lainnya. Untuk mempertahankan diri dari predator, sponge

memiliki senjata perisai berupa senyawa kimia membentuk metabolit sekunder, yang

ditakuti dan dihindari predator karena beracun. Sesuai dengan fungsinya untuk

melindungi diri dari predator, senyawa ini bersifat toksik dan berkhasiat juga sebagai

antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (McConnaughey, 1970).

Dengan struktur tubuh yang penuh dengan pori dipermukaan dan terhubung

dengan kanal-kanal dan rongga ke bagian dalam, sponge menyaring 10.000 galon air

laut per jam untuk memasukkan makanan dan oksigen serta mengeluarkan makanan

dan CO2. Dalam peyaringan tersebut, ribuan sampai jutaan mikroba terperangkap.

Apabila konsentrasi mikroba sangat besar maka sponge akan terkena infeksi dan sakit,

oleh karena itu perlu memproduksi senyawa kimia yang mampu melumpuhkan

mikroba yang terperangkap. Mikroba yang resisten terhadap senyawa kimia tersebut

akan bertahan dan hidup bersimbiosis di dalam tubuh sponge. Senyawa kimia yang

merupakan metabolit sekunder tersebut dirancang untuk melawan pertumbuhan sel

yang sangat cepat, mirip ciri-ciri pertumbuhan sel kanker (Cetkovic dan Lada, 2003).

Faktor Lingkungan terhadap Senyawa Bioaktif yang Dihasilkan Sponge

Kehidupan biota laut tidak terlepas dengan faktor abiotik yang

melingkupinya. Bahan metabolit primer maupun sekunder yang dihasilkan oleh

Page 5: 06-Warta Sponge

5

sponges merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar baik lingkungan biotik

maupun abiotik. Sponge mentoleransi mikroorganisme yang masuk ke dalam pori-

porinya karena mikroorganisme menyediakan sumber makanan atau produk metabolit

tertentu yang bermanfaat untuk sponge (Guyot, 2000; Faulkner, 2000).

Semua mikroorganisme yang ditemukan berasosiasi dalam sponge host

didefinisikan sebagai asosiasi mikroorganisme. Mikroba-mikroba ini dalam waktu

yang bersamaan ada didalam sponge yaitu mikroba yang tumbuh secara permanen di

dalamnya. Jadi, istilah simbion ini digunakan untuk mikroorganisme yang selalu

ditemukan dalam asosiasinya pada hosting spesies yang sama, tetapi tidak berarti

bahwa simbion tersebut secara khusus hanya ada dalam sponge tertentu.

Hubungan sponge dan simbionnya dapat dikategorikan sebagai obligatory

mutualism, yaitu simbion yang berperan penting pada metabolisme inangnya, dan

juga dikategorikan sebagai facultative mutualism yaitu simbion yang memberikan

manfaat pada inangnya, dan tidak dapat hidup tanpa adanya simbion. Ada juga

dikategorikan sebagai commensalism yaitu bahwa kehadiran simbion tersebut tidak

memberikan manfaat ataupun kerugian pada inangnya. Dalam beberapa kategori di

atas dapat dikatakan pula bahwa sponge memberikan perlindungan (sheltered) pada

mikroorganisme tersebut. Adapula simbion dalam katagori epibionts dan

endosymbionts. Epibionts yaitu mikroorganisme yang tinggal di permukaan sponge,

sedangkan endosymbionts adalah mikroorganisme baik yang tinggal pada sponge

mesohyl ataupun yang berada di dalam sel sponge.

Simbion sponge juga mempengaruhi metabolisme nitrogen dan oksigen dalam

hosting (sponge). Wilkinson dalam Osinga et al., (2001) menyatakan adanya

kehadiran bakteri nitrogen dalam sponge indo-pacific coral reef. Pada saat lingkungan

sekitar tempat sponge hidup kurang nitrogen, maka untuk memenuhi kebutuhan

nitrogen tersebut dipenuhi melalui fiksasi nitrogen yang esensial agar sponge dapat

aktif berfotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat. Wilkinson telah mengukur

konsumsi oksigen pada 10 jenis sponge The Great Barrier Reef yang diantaranya

terdiri dari simbion cyanobacteri. Sejumlah 6 spesies diantaranya memperlihatkan

bahwa produksi utama oksigen fotosintesis oleh simbion lebih besar dari total

respirasi sponge-simbion. Sponge akan mengkonsumsi sebagian produksi utama ini

dan terkadang langsung dicerna oleh simbion dalam bentuk metabolit yang

merupakan hasil ekskresi, seperti glikogen atau gliserol. Diperkirakan 80% total

Page 6: 06-Warta Sponge

6

energi yang diperlukan sponge Phyllospongia lamellosa diproduksi oleh simbion

phototropiknya.

Peranan lain dari simbion baik autotropik maupun heterotropik adalah

memproduksi senyawa kimia potensial seperti antibiotik, antifungi, antifeedant, dan

antifouling. Wilkinson dalam Osinga et al., (2001) juga memberikan contoh

dihasilkannya senyawa antimikrobial berupa polybrominasi bifenileter oleh bakteri

cyanobacteria Oscillatoria Spongelia yang bersimbion dengan sponge Indopacific

jenis Dysidea Herbacea dan diperkirakan bahwa brominasi bifenileter tersebut

diproduksi untuk menjaga jaringan sponge bebas dari jenis bakteri lain yang

merugikan.

Dari beberapa fakta diketahui bahwa sponge terdiri dari endosymbiosis

mikroorganisme, dan simbion ini terkontribusi secara total pada biomassa sponge. Hal

ini memberikan asumsi bahwa banyak produk sponge mungkin diproduksi oleh

mikroorganisme yang berasosiasi dengan sponge, akan tetapi banyak juga literatur

lain yang menyatakan bahwa ada beberapa senyawa yang diproduksi oleh sel sponge

itu sendiri (Garson, 1992; dalam Osinga, 2001).

Adapun asosiasi sponge dengan mikroorganisme, baik mikroorganisme

phototropik (alga, cyanobacteria) dan mikroorganisme heterotropik (eubacteria,

archea, protista, dan fungi) sering ditemukan pada jaringan dalam sponge (Osinga et

al., 2001).

Prospektif Senyawa Bioaktif Sponge

Sponge kaya akan senyawa sitotoksik yang melebihi biota laut lainnya

maupun biota darat. Dalam suatu proses skrining masal senyawa sitotoksik dari

bahan alam oleh NCI (National Cancer Institute) Amerika, ternyata >10% dari

semua jenis sponge yang diobservasi bersifat aktif. Senyawa dari sponge yang aktif

terhadap sel kanker manusia secara in vitro tak selalu bersifat aktif secara in vivo

terhadap model pada tikus. Bahan alam dari sponge juga penting sebagai struktur

induk untuk pengembangan bahan baru obat anti-inflamasi atau dapat juga digunakan

sebagai alat untuk analisis mekanisme pengendalian regulasi intra-seluler (Proksch,

1999).

Toksisitas merupakan indikator yang sangat berguna dalam kaitannya dengan

aktivitas biologi. Toksisitas memberikan arahan yang penting terhadap adanya

Page 7: 06-Warta Sponge

7

senyawa aktif secara farmakologi dan senyawa anti-mikroba. Serangkaian zat aktif

fisiologi dari binatang laut, khususnya dari invertebrata (binatang yang tak memiliki

sistem pertahanan tubuh secara fisik), yang telah melalui pengujian meliputi: anti-

mikroba, anti-viral, anti-tumor, anti-hipertensi, stimulan pertumbuhan, zat

neurotoksik, dan lain-lain (Halevy, 1990).

Skrining sitotoksisitas menggunakan hewan atau sel lestari kanker manusia

seringkali dilakukan sebagai tahap awal dalam upaya pencarian obat baru anti-tumor.

Penggunaan sel lestari seringkali menghadapi kendala bagi laboratorium yang tak

memiliki peralatan memadai, maka ada alternatif lain untuk sistem uji sel, yaitu

menggunakan embryo bulu babi (sea urchin embryo), seperti sel kanker, tampak

memiliki sensitivitas obat yang selektif. Dua metoda pengujian lainnya yang lazim

digunakan untuk menskrining bioaktivitas senyawa, yaitu; ”crown-gall potato disc

(CGPD)” dan ”brine shrimp lethality test (BSLT)”. Crown-gall adalah penyakit

kanker tanaman yang diinduksi oleh bakteri ”Agrobacterium tumefaciens” (Munro et

al., 1987). Hasil penggunaan metoda BSLT dibandingkan dengan penggunaan sel

lestari menunjukkan bahwa metoda BSLT memberikan hasil yang dapat dipercaya

(reliable), cepat, tak mahal, dan baik sebagai metoda umum yang dapat diterapkan di

laboratorium (in house) (Meyer et al., 1982).

Riset pencarian senyawa bioaktif (bahan obat) dari biota laut sponge telah

dilakukan oleh berbagai negara di dunia, dewasa ini berbagai senyawa (isolat) dari

sponge telah melalui berbagai fase pengujian menggunakan sel lestari hingga telah

dapat diketahui mekanisme kerja dari senyawa tersebut, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa senyawa bioaktif dari biota laut sponge yang telah diketahui mekanisme kerjanya (Mayer, 1999).

No. Jenis Senyawa Nama Senyawa Mekanisme Kerja Molekul Negara

1. Terpene Agosterol A Multidrug resistence reversal Jepang

2. Peptide Jasplakinolide Promosi Polimerisasi Tubulin USA

3. Imidazole Naamidine A Inhibisi Epidermal Growth Factor USA

Disamping itu, terdapat beberapa senyawa (isolat) yang telah didapatkan dan telah

melalui fase pengujian tetapi belum diketahui tentang mekanisme kerjanya, seperti

terlihat pada Tabel 2 berikut ini.

.

Page 8: 06-Warta Sponge

8

Tabel 2. Beberapa senyawa bioaktif dari biota laut sponge yang belum diketahui mekanisme kerjanya (Mayer, 1999).

No. Jenis Senyawa Nama Senyawa Jenis Sel Lestari Uji Negara

1. Alkaloid Agelastatin Tak Dilaporkan USA

2. Terpene Bolinaquinone Manusia USA, Philippines

3. Sterol Crellastatin Manusia Italy, France

4. Alkaloid Haliclonacyclamines Murine Australia

5. Terpene Scalarane Murine, Manusia Japan

6. Terpene Sesterstatins Murine USA

Pengembangan Riset Senyawa Bioaktif

Program pencarian obat telah diarahkan pada pengujian terhadap jaringan

secara in vitro atau uji berdasarkan sel untuk menjaring senyawa sintetik atau ekstrak

dari produk alam yang bersifat relevan secara farmasetikal. Riset dalam bidang

biologi molekuler selama dua dekade terakhir menghasilkan perkembangan yang

sangat pesat dalam upaya mengungkap tentang berbagai kasus penyakit pada tingkat

molekuler atau gen. Contohnya, dewasa ini telah banyak didokumentasikan tentang

adanya perbedaan genetik antara sel kanker dan sel normal (Andersen dan Williams,

2000).

Sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, kini telah dikembangkan

teknologi robot yang dirancang untuk skrining senyawa kimia. Gabungan antara

teknologi robot dengan skrining obat berdasarkan target molekuler menghasilkan

suatu paradigma baru dalam skrining obat yang dikenal dengan istilah high-

throughput screening (HTS). HTS adalah suatu proses dimana sangat banyak jenis

senyawa dapat diuji secara otomatis aktivitasnya sebagai inhibitor atau aktivator

terhadap target molekul tertentu, seperti: reseptor permukaan sel atau enzim

metabolik. Uji hayati (bioassay) menggunakan program HTS adalah skrining in vitro

terhadap enzim atau reseptor yang telah dimurnikan, atau uji berdasarkan sel

menggunakan sel-sel eukariotik atau mikroorganisme yang telah direkayasa. Peranan

utama dari HTS adalah mengidentifikasi struktur senyawa induk (lead compound)

yang dapat bekerja terhadap target molekuler dari obat tertentu dan memberikan arah

untuk optimisasi hubungan struktur dengan aktivitasnya (Andersen dan Williams,

2000).

Page 9: 06-Warta Sponge

9

Riset Bioaktif dari Sponge di Perairan Indonesia

Biota laut daerah tropis merupakan sumber alam yang kaya akan senyawa

bioaktif. Pencarian bahan obat dari laut menghasilkan beberapa temuan baru yang

menginspirasikan bahwa laut adalah sumber bahan obat yang potensial. Dikemukakan

oleh Jadulco (2002) bahwa sponge dari Indonesia, Jaspis splendens, menghasilkan

senyawa-senyawa bioaktif yang memiliki aktifitas antiproliferasi. Disamping itu, para

peneliti bioteknologi kelautan Jepang, seperti Namikoshi menyimpulkan bahwa

distribusi fungi laut yang hidup bersimbiosis dengan sponge cukup besar, dengan

sebaran 82,7% sponge yang hidup di perairan pulau Palau, dan 98% sponge yang

hidup di perairan pulau Bunaken (Widjhati et al., 2004).

Menurut Lik Tong Ten et al. (2000) simbiosis sponge Sigmadocia symbiotica

dengan alga merah Ceratodictyon spongiosum dari perairan pulau Biaro Indonesia,

menghasilkan senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder siklik heptapeptida yang

bersifat toksik terhadap Artemia salina (uji BSLT). Hasil-hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa biota laut sponge memiliki potensi signifikan sebagai sumber

senyawa bioaktif yang dapat dikembangkan lebih jauh menjadi komoditi yang bernilai

ekonomi tinggi.

Kelompok peneliti bioteknologi di Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial

Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, kini sedang

aktif melakukan proses ekstraksi dan isolasi senyawa aktif dari berbagai jenis

makroalga dan sponge serta uji-uji bioaktivitasnya sebagai anti-bakteri, anti-oksidan,

toksisitas terhadap Artemia salina dan sitotoksisitas sebagai anti-kanker terhadap

beberapa jenis sel lestari (cell line). Saat ini koleksi sponge yang telah dimiliki sekitar

60 jenis dari perairan Karimunjawa, 140 jenis dari perairan pulau Bonerate-Sulawesi

Selatan, 18 jenis dari perairan Binuangeun-Banten Selatan, dan 2 jenis dari pantai

Selatan Yogyakarta. Berikutnya, sekitar 150 jenis sponge didapatkan dari perairan P.

Nias dan P. Mentawai. Semua sampel tersebut diambil dari berbagai kondisi lokasi

perairan (habitat) dan dari berbagai kedalaman.

Kesimpulan

1. Sponge merupakan hewan invertebrata primitif, merupakan filum porifera

yang hidup bersimbion dengan beberapa mikroorganisme, memiliki bentuk,

ukuran, dan struktur yang beraneka ragam.

Page 10: 06-Warta Sponge

10

2. Metabolit sponge untuk tujuan farmakologi, telah banyak dikaji oleh beberapa

peneliti yang kesemuanya telah menyimpulkan bahwa biota laut khususnya

sponge memiliki potensi sebagai sumber obat dan beberapa senyawa kimia

(isolat) yang diproduksi oleh sponge diketahui memiliki aktifitas sebagai

antikanker setelah melalui beberapa fase pengujian sebelum diproduksi secara

masal dan dipasarkan kepada masyarakat pengguna.

Daftar Pustaka Andersen, R. J. and Williams, D. E. 2000. Pharmaceuticals from the Sea. In: Hester,

R. E. and Harrison, R. M. (Eds.). Chemistry in the Marine Environment. Environmental Science and Technology, No. 13. The Royal Society of Chemistry. Cambridge, UK. 25p.

Cetkovic, H. and Lada, L.B. 2003. HMGB2 ProteIn from The Marine Sponge

Suberites Domuncula, Journal of Food Technol. Biotechnol. 41 (4): 361-365. Faulkner, D.J. 2000. Marine Natural Products. Nat. Prod. Rep. 17:7-55 Guyot, M. 2000. Intricate Aspects of sponge Chemistry. Zoosystema. 22 (2) :

419:431. Halevy, S. 1990. Drug from Sea. In: B. H. Nga and Y. K. Lee (Eds). Microbiology

Aplications in Food Biotechnology. Elsevier Sci. Publ. Ltd., London. p. 123-134.

Jadulco, R. C. 2002, Isolation and Structure Elucidation of Bioactive Secondary

Metabolites from Marine Sponges and Sponge-derived Fungi, Dissertation of Doktorgrades, University of Wuerzburg. 176p.

Kobayashi, M. And R. R. Satari. 1999. Overview of Marine Natural Product

Chemistry. In: S. Soemodihardjo, R. R. Satari, and S. Saono (Eds.). Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998. p. 23-32.

Lik Tong Ten, Williamson, R. T., and Gerwick, W. H. 2000. Cis, cis- and trans, trans-

Ceratospongamide, New Bioactive Cyclic Heptapeptides from the Indonesian Red Alga Ceratodictyon Spongium and Syimbiotic Sponge Sigmadocia Symbiotica, J. Org. Chem, 65 : 419-425.

Mayer, A. M. S. 1999. Marine Pharmacology in 1998 : Antitumor and Cytotoxic

Compounds. The Pharmacologist. 41 (4): 159-164. --- McConnaughey, B.H. 1970. Introduction to Marine Biology, C.V. Mosby Company,

Tokyo, Japan. p.190-192.

Page 11: 06-Warta Sponge

11

Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobsen, L. B., Nichols, D. E., McLaugglin, J. L. 1982. Brine Shrimp: A convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Medica 45 : p.31-34.

Munro, M. H. G., Luibrand, R. T., and Blunt, J. W. 1987. The Search for Antiviral

and Anticancer Compounds from Marine Organisms. In: Scheuer, P. J.. Bioorganic Marine Chemistry. Vol. 1. Springer-Verlag, Berlin. p. 94-165.

Nontji, A. 1999. Indonesian Potential in Developing Marine Biotechnology. In: S.

Soemodihardjo, R. R. Satari, and S. Saono (Eds.). Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998. p. 13-22.

Osinga, R., Armstrong Evelyn, Burges J.G., Hoffman, F., Reitner, J., and Kindel, G.S.

2001. Hydrobiologia, 461 : 55-62 Proksch, P. 1999. Pharmacologically Active Natural Product from Marine

Invertebrates and Associated Microorganisms. In: S. Soemodihardjo, R. R. Satari, and S. Saono (Eds.). Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998. p. 33-40.

Proksch, P., Edrada, R., and Ebel, R. 2002. Drugs from the Sea: Current Status and

Microbiological Implications, J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 59: 125-134 Romimohtarto, K., dan Sri Juwana. 2001. Biota laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota

Laut, Djambatan, Jakarta. p. 114-126. Scheuer. 1990. Some Marine Ecological Phenomena: Chemical Basis and Biomedical

Potential. Science 248: 173 – 177. Widjhati, R., Supriyono, A., dan Subintoro. 2004. Pengembangan Senyawa Bioaktif

dari Biota Laut (Review Kegiatan Penelitian Biota Laut di BPPT). Forum Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 25 Maret 2004. 13p.