kemampuan biofilter sponge class demospongiae … · dan total suspended solid sponge tergantung...

63
1 KEMAMPUAN BIOFILTER SPONGE CLASS DEMOSPONGIAE DENGAN BERBAGAI BENTUK PERTUMBUHAN TERHADAP KEKERUHAN DAN TOTAL SUSPENDED SOLID SKRIPSI OLEH : MARINI SOEID DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: hoangthien

Post on 08-Mar-2019

252 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1

KEMAMPUAN BIOFILTER SPONGE CLASS DEMOSPONGIAE

DENGAN BERBAGAI BENTUK PERTUMBUHAN TERHADAP

KEKERUHAN DAN TOTAL SUSPENDED SOLID

SKRIPSI

OLEH :

MARINI SOEID

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

2

ABSTRAK

MARINI SOEID. Kemampuan Biofilter Sponge Class Demospongiae dengan

Berbagai Bentuk Pertumbuhan Terhadap Kekeruhan dan Total Suspended Solid.

Dibimbing oleh ABDUL HARIS dan SYAFIUDDIN

Sponge merupakan hewan invertebrata dari filum porifera yang hidup menetap

dan menyaring apa yang ada dikolom perairan. Sponge memiliki berbagai

macam bentuk pertumbuhan diantaranya massive, branching dan submassive.

Pada setiap bentuk pertumbuhan diindikasikan memiliki kemampuan menyaring

yang berbeda-beda, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan menyaring (biofilter) kekeruhan

dan Total Suspended Solid sponge tergantung pada bentuk pertumbuhan

(Massive, Submassive dan Bercabang). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September %u2013 Oktober 2016. Pengambilan sponge di Perairan Pulau

Barranglompo, pengujian dilakukan di Hatchery Marine Station Universitas

Hasanuddin, Pulau Barranglompo dan pengukuran parameter kualitas air

dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Departemen Ilmu Kelautan,

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Proses

aklimatisasi perlu dilakukan untuk mengadaptasikan sponge sebelum diberikan

perlakuan. Setiap akuarium diisi dengan air laut yang telah dicampur dengan

sedimen sebanyak 0,17 mg/l. Setiap bentuk pertumbuhan sponge dimasukkan

kedalam akuarium dengan volume tubuh yang sama yaitu 500 cm3 dan melihat

kemampuan menyaringnya selama 10 jam dan 24 jam. Sampel air setelah itu

diambil pada masing-masing akuarium untuk diukur parameter kekeruhan, Total

Suspended Solid dan Bahan Organik Total. Hasil penelitian menunjukkan pada

waktu 10 jam dan 24 jam sponge dengan bentuk pertumbuhan submassive

menyaring lebih banyak partikel yang ada dikolom air dibandingkan bentuk

pertumbuhan massive dan branching, sedangkan sponge dengan bentuk

pertumbuhan branching mengalami stres dan kematian setelah menyaring

selama 24 jam.

Kata Kunci : Bentuk Pertumbuhan, Biofilter, Sedimen, Sponge

i

KEMAMPUAN BIOFILTER SPONGE CLASS DEMOSPONGIAE

DENGAN BERBAGAI BENTUK PERTUMBUHAN TERHADAP

KEKERUHAN DAN TOTAL SUSPENDED SOLID

Oleh :

MARINI SOEID

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

pada

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017

ii

iii

RIWAYAT HIDUP

Marini Soeid dilahirkan pada tanggal 06 Desember

1994 di Balikpapan, Kalimantan Timur. Anak kedua

dari empat bersaudara, Putri pasangan Bapak Ir.

Syahrir Soeid. dan Ibunda R.A. Seni Wiristrisandini.

Pada tahun 2000 penulis memulai pendidikan formal di

Sekolah Dasar Kartika XX-I (2000-2006), setelah itu

melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Kartika XX-I

Makassar (2006-2009), kemudian Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas

di SMA Kartika XX-1 Makassar pada tahun 2009 dan selesai pada tahun 2012.

Penulis diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan pada tahun 2012 melalui Jalur

Undangan SBMPTN.

Selama menjadi Mahasiswa, penulis pernah menjadi assisten pada praktikum

Ikhtiologi Laut, Oseanografi Kimia, dan Pencemaran Laut. dibidang

Keorganisasian, penulis pernah menjadi Anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu

Kelautan Fakultas llmu Kelautan dan Perikanan periode 2012-2014.

Penulis melakukan rangkaian tugas akhir yaitu Praktek Kerja Lapang di

Direktorat Pengawasan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan (Kementerian

Pusat), Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut & Pesisir

BALITBANG KP dan Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar, serta

melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Gelombang 92 Tematik Gorontalo, di

Desa Sigaso, Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Gorontalo Dan melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Biofilter Sponge

Class Demospongiae dengan Berbagai Bentuk Pertumbuhan Terhadap

Kekeruhan dan Total Suspended Solid “ pada tahun 2016.

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT, karena atas berkah dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kemampuan

Biofilter Sponge Class Demospongiae dengan Berbagai Bentuk Pertumbuhan

Terhadap Kekeruhan dan Total Suspended Solid” sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana dari departemen Ilmu Kelautan.

Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kesulitan, dan

hambatan mulai dari pengumpulan literatur, pengerjaan di lapangan, pengerjaan

sampel sampai pada pengolahan data maupun proses penulisan. Namun dengan

penuh semangat dan kerja keras serta ketekunan sebagai mahasiswa,

Alhamdulillah akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Hal tersebut tidak terlepas

dari berbagai pihak yang telah membantu, memberi kritik dan saran yang sangat

bermanfaat dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Ir. Syahrir Soeid dan Ibunda R.A. Seni

Wiristrisandini yang selama ini telah mencurahkan waktu dan tenaganya

untuk memberikan semangat, motivasi serta dukungan, baik itu materi dan

non-materi ketika penulis menempuh pendidikan.

2. Kakak dan adik-adik saya Syarafina Ramlah, Almh. Nisrina Soeid dan

Muhammad Rizal Soeid yang selalu memberikan motivasi dan dukungan.

3. Bapak Prof.Dr.Ir.Abdul Haris, M.Si selaku Penasehat Akademik dan

Pembimbing Utama yang telah memberi saran, membantu serta senantiasa

mengarahkan dan memberikan masukan dalam menyelesaikan tulisan ini

v

dengan sangat sabar. Serta Bapak Dr.Ir.Syafiuddin, M.Si selaku

pembimbing anggota yang juga senantiasa mengarahkan dan memberikan

masukan dalam menyelesaikan tulisan ini.

4. Bapak Prof.Dr.ir. Chair Rani, M.Si, Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc dan ibu

Dr.Ir. Arniati Massinai, M.Si selaku penguji yang telah memberikan kritik

dan saran yang sangat membangun dalam penulisan skripsi ini.

5. Saudara – saudara seperjuanganku Fismatman Ruli, Andi Adi

Zulkarnaen, Andiyari, Minawati, Nurjyrana, Muhammad Sadik, Sufardin,

Nasdwiana, Andi Sompa, Nurul Fitri Hayati, Jumiati, Asriel, Iriansyah,

Andi Rian Dika, Muh. Syukri, Abdul Waris, Febry Ramadhani Bakri,

Rover Manaba atas semua bantuan, dukungan dan doanya. Serta teman-

teman “IK ANDALAS” yang lain

6. Sahabat-sahabat tercinta Ayu Nirwana L., Sri Anriani, Nur fadillah,

Khaerunissa, Nurul Fajratullah, yang selalu memberikan semangat dan

motivasi agar segera menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Teman – Teman KKN Rina Afriliyanti, Zikrini Alwi, Hadi Tryadi, Akbar

Maulana, Asnawir, Riyan Abdillah T dan kru sigaso lainnya atas bantuan,

dukungan dan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan permohonan maaf atas segala kesalahan dan

kekhilafan yang pernah penulis lakukan. Penulis berharap bahwa apa yang

disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan. Dan semoga segalanya dapat berberkah serta bernilai Ibadah di

sisi-Nya. Aamiin Yarobbal Alamiin.

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN.................................. Error! Bookmark not defined.

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ iii

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. iv

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan ......................................................................... 3 C. Ruang Lingkup .................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4

A. Deskripsi dan Klasifikasi Sponge Class Demospongiae .................. 4 B. Morfologi dan Anatomi ........................................................................ 7 C. Pertumbuhan ..................................................................................... 10 D. Makanan, Cara Makan, dan Proses Pencernaan ............................. 11 E. Pengaruh Sedimen Terhadap Sponge ............................................. 13

III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 16

A. Waktu dan Tempat ............................................................................. 16 B. Alat dan Bahan .................................................................................. 16 C. Prosedur Penelitian ........................................................................... 17 D. Analisis Data ...................................................................................... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 22

A. Kemampuan Menyaring Sponge ...................................................... 22 B. Kualitas Air ........................................................................................ 28 C. Bahan Organik Total (BOT) ............................................................... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 32

A. Kesimpulan ........................................................................................ 32 B. Saran .................................................................................................. 32

vii

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Parameter Kualitas Air ......................................................................................... 28

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Morfologi Sponge Forcepia sp. (sumber: NAFO Area) ................................ 5

2. Morfologi Sponge Clathria sp. (http://www.spongeguide.org/) ..................... 6

3. Morfologi Sponge Stylotella sp. (Jackson, 2010) ......................................... 7

4. Bagian Organ Sponge (Vacelet, 2008). ....................................................... 9

5. Tipe Morfologi Sponge (Haris, dkk., 2012) .................................................. 9

6. Tata Letak Wadah Penelitian .................................................................... 18

7. Perubahan Jumlah Konsentrasi Kekeruhan Setelah Sponge Menyaring

Selama 10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik

Merupakan Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan

Sponge) .................................................................................................... 23

8. Perubahan Jumlah Konsentrasi Larutan Tersuspensi Setelah Sponge

Menyaring Selama 10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik

Merupakan Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan

Sponge) .................................................................................................... 23

9. Ukuran Diameter, Luas dan Jumlah Oscula Pada Berbagai Bentuk

Pertumbuhan Sponge ............................................................................... 27

10. Perubahan Jumlah Konsentrasi BOT Setelah Sponge Menyaring Selama

10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik Merupakan

Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan Sponge) .......... 29

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Hasil Pengukuran Sampel Air 10 Jam dan Sampel Air 24 Jam ......... 39

2. Hasil Uji Analisis (One Way Anova) Perbedaan Kemampuan Biofilter

Bentuk Pertumbuhan Sponge setelah 10 jam ........................................... 40

3. Hasil Uji Analisis (One Way Anova) Perbedaan Menyaring Bentuk

Pertumbuhan Sponge Setelah 24 Jam ..................................................... 42

4. Proses Preparasi Sedimen ........................................................................ 45

5. Proses Persiapan Akuarium ...................................................................... 45

6. Proses Pengambilan Sponge .................................................................... 46

7. Proses Aklimatisasi Sponge ...................................................................... 46

8. Pemberian Perlakuan Bentuk Pertumbuhan Sponge ................................. 47

9. Pengukuran Sampel Air ............................................................................ 49

10. Data Hasil Pengukuran Diameter dan Jumlah Osculum Sponge ............. 50

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sponge merupakan organisme laut invertebrata yang berasal dari filum

porifera. Porifera merupakan salah satu hewan primitif yang hidup menetap

(sedentaire) dan bersifat non selective filter feeder (menyaring apa yang ada).

Sponge tampak sebagai hewan sederhana, tidak memiliki jaringan, otot maupun

jaringan saraf serta organ dalam (Subagio dan Aunurohim, 2013). Class

demospongiae adalah kelompok sponge yang paling dominan di antara porifera

masa kini, tersebar luas di alam dan jenis maupun jumlah hewannya sangat

banyak. Ada sekitar 6.000 jenis Demospongiae yaitu 85% dari semua porifera

yang masih ada. Sebagian besar demospongiae adalah jenis laut namun

beberapa famili tinggal di air tawar di semua benua kecuali Antartika (Haris,

2013).

Sponge dari Class Demospongiae bersifat sessile atau menetap dan

merupakan organisme bentik. Namun, larvanya memiliki flagela dan mampu

berenang bebas. Semua sponge dari kelas ini adalah filter feeder, hidup dari

bakteri dan organisme kecil lainnya. Air mengantar partikel-partikel makanan

masuk melalui pori-pori luar koanosit menangkap sebagian besar makanan yang

masuk namun pinocytes dan amoebocytes juga dapat mencerna makanan

(Hickman, 1990).

Sponge memiliki sistem saluran air (aquaferous). Melalui ostium inilah air

dan makanan berupa bahan-bahan tersususpensi dan terlarut dihisap dan

disaring oleh sel-sel choanocytes yang memiliki bulu getar (sel-sel collar),

kemudian air tersebut keluar melalui oskulum (Amir dan Budiyanto, 1996). Selain

untuk mencari makanan, sistem saluran airnya juga berfungsi untuk respirasi dan

reproduksi (Simpson, 1984).

2

Sponge merupakan komponen penting pada ekosistem bentik diseluruh

dunia dan sebagai pemakan suspensi yang dipengaruhi oleh perubahan pada

tingkat sedimen. Meskipun demikian, sedikit yang diketahui mengenai cara

sponge menanggapi perubahan dalam pengendapan dan sedimen tersuspensi.

Sponge dipengaruhi oleh sedimen dalam berbagai cara, kebanyakan studi

mengatakan bahwa sponge mampu mentolerir pada lingkungan tersedimentasi

(Bell et al., 2015).

Sponge adalah pemberi suspensi dan memperoleh mayoritas makanan

dan nutrisi dari penyaringan kolom airnya, meskipun banyak spesies tropis juga

mengandalkan fotosintesis simbion. Spons didominasi memakan partikel kurang

dari 5 µm, terutama cyanobacteria dan heterotrofik bakteri (Pile et al., 1996),

yang ukurannya sama dengan partikel sedimen kecil (Bakus, 1968;. Bannister et

al, 2012). Telah terbukti bahwa beberapa yang hidup di dasar lunak spesies

sponge sangat tahan terhadap sedimentasi (Ilan dan Abelson, 1995), dan dalam

beberapa kasus sedimentasi sebenarnya telah terbukti berkorelasi dengan

peningkatan keanekaragaman sponge (Bell dan Barnes, 2000).

Sponge memiliki manfaat lain, yakni digunakan sebagai indikator biologi

untuk pemantauan pencemaran laut, indikator dalam interaksi komunitas dan

sebagai hewan bernilai ekonomis untuk hiasan akuarium laut (Suparno, 2005).

Sponge memiliki ukuran, bentuk dan warna yang sangat beragam antara

spesiesnya. Beberapa sponge ada yang berukuran kecil sekecil butiran beras

sampai berukuran besar dengan ukuran panjang lebih dari 1,2 meter. Dalam

pertumbuhannya, bentuk luar sponge sangat bervariasi. Bentuk luar ini dapat

berupa tabung, pengebor, merambat, massive, jari, bola, semi bola, bercabang-

cabang, tugu dan sebagainya (Fitrianto, 2009).

Bentuk pertumbuhan Class Demospongiae diduga bisa mempengaruhi

kemampuan menyaringnya. Maka dari itu dilakukanlah penelitian ini guna

3

mengetahui hubungan antara (kemampuan biofilter berbagai bentuk

pertumbuhan sponge Class Demospongiae) terhadap kekeruhan dan Total

Suspended Solid.

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan menyaring

(biofilter) kekeruhan dan Total Suspended Solid sponge tergantung pada bentuk

pertumbuhan (Massive, Submassive dan Bercabang).

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi

untuk diaplikasikan pada sistem budidaya laut, akuarium laut dan tempat-tempat

pembenihan biota laut.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi aklimatisasi sponge, pengukuran

kekeruhan dan Total Suspended Solid. Untuk mengetahui homogenitas

lingkungan hewan ini dilakukan pengukuran parameter lingkungan berupa suhu,

salinitas dan bahan organik total (BOT).

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi dan Klasifikasi Sponge Class Demospongiae

Sponge termasuk hewan metazoa multiseluler yang tergolong ke dalam

Filum Porifera. Porifera berasal dari kata Pori = pori-pori, Fera/Faro = memiliki

(Ahmad dan Suryati, 1996). Filum Porifera terdiri dari tiga kelas yaitu : Calcarea,

Demospongiae dan Hexactinellida (Haywood dan Wells, 1989; Sara, 1992; Amir

dan Budiyanto, 1996; Rachmaniar, 1997; Romimohtarto dan Juwana, 1999).

Sedangkan menurut Pechenik (1991) dalam Haris (2013), Filum Porifera terdiri

dari empat class yaitu: Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida dan

Sclerospongia.

Hampir 75 % jenis sponge yang dijumpai di laut adalah kelas Demospongia.

Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula “triaxon” (spikula kelas

Hexactinellida), tetapi spikulanya berbentuk “monoaxon”, ”teraxon” yang

mengandung silikat. Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak

mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin

saja, contohnya Cliona sp dan Spongia sp. (Kozloff, 1990).

Anggota dari Demospongiae berbentuk asimestris. Demospongiae tumbuh

pada berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 meter. Mereka

dapat membentuk krusta tipis, benjolan, pertumbuhan seperti jari, atau bentuk

guci. Butiran pigmen pada sel amoebocytes sering membuat anggota kelas ini

berwarna cerah, seperti kuning terang, oranye, merah, ungu dan hijau. Tingkatan

organisasi merupakan petunjuk yang dapat diandalkan untuk mengetahui

hubungan filogenetik pada Kelas Demospongiae. Namun, diantara dari Filum

Porifera, sulit untuk membedakan hubungan evolusioner. Organisme tidak selalu

berhubungan dengan filogeni misalnya pada struktur leukonoid telah berevolusi

secara independen beberapa kali (Hickman, 1990).

5

Demospongiae bersifat sessile atau menetap dan merupakan organisme

bentik. Namun, larvanya memiliki flagela dan mampu berenang bebas. Semua

sponge dari kelas ini adalah filter feeder, hidup dari bakteri dan organisme kecil

lainnya. Air mengantar partikel-partikel makanan masuk melalui pori-pori luar

koanosit menangkap sebagian besar makanan yang masuk namun pinocytes

dan amoebocytes juga dapat mencerna makanan (Hickman, 1990).

1. Forcepia sp.

Sponge dari genus forcepia ini memiliki lapisan pada tubuhnya tidak utuh

dan pada bagian dasarnya tebal. Tubuh sponge ini sedikit elastis tapi mudah

rapuh. Pada bagian permukaannya “kasar” dan memiliki beberapa lubang oscula

di atas permukaan tubuhnya. Ukuran tubuhnya hingga 18 cm.. Memiliki warna

kecoklatan, abu-abu dan putih kekuningan. Hidup di daerah berpasir dan ditutupi

batu kerikil kecil (NAFO area, 2011). Diameter osculanya hingga 2 mm

(Bowerbank, 1875).

Gambar 1. Morfologi Sponge Forcepia sp. (sumber: NAFO Area)

Klasifikasi dari Forcepia sp. (http://www.marinespecies.org/)

Kingdom : Animalia

Phylum : Porifera

Class : Demospongiae

Order : Poecilosclerida

Family : Coelosphaeridae

Genus : Forcepia

6

2. Clathria sp.

Sponge dari genus clathria memiliki bentuk tubuh bercabang dan tipis

dengan ukuran holotype 5 x 8 x 1-2 mm dan paratipe yang lebih kecil. Sponge ini

melekat pada karang mati dan sesekali pada sebagian cabangnya terbentuk

tegak, namun cenderung mengikuti arah menjadi berliku-liku. Memiliki diameter

cabang 2-5 mm dan panjang yang bervariasi dari 2 hingga 14 cm. Tubuhnya

berwarna kuning-orange atau orange-merah. Permukaan tubuhnya kasar. Oscula

pada tubuhnya sedikit dengan diameter 1 mm, tetapi pada bagian

percabangannya memiliki pola veinal (van Soest, 2009).

Gambar 2. Morfologi Sponge Clathria sp. (http://www.spongeguide.org/)

Klasifikasi Clathria sp. (http://www.marinespecies.org/)

Kingdom : Animalia

Phylum : Porifera

Class : Demospongiae

Order : Poecilosclerida

Family : Microcionidae

Genus : Clathria

7

3. Stylotella sp.

Stylotella memiliki bentuk tubuh seperti jari dengan panjang bisa mencapai 4

cm. Ketika oscula sepenuhnya terbuka akan membentuk bulatan yang terlihat

seperti cerobong. Diameter osculanya sekitar 4,5 mm (Parker,1910). Tubuhnya

berwarna kuning-orange. Stylotella ditemukan di daerah reef flat pada kedalaman

2, 4, dan 9 m dengan kondisi perairan yang cukup jernih (Haedar et al., 2016).

Gambar 3. Morfologi Sponge Stylotella sp. (Jackson, 2010)

Klasifikasi Stylotella sp. (http://www.marinespecies.org)

Kingdom : Animalia

Phylum : Porifera

Class : Demospongiae

Order : Halichondrida

Family : Axinellidae

Genus : Stylotella

B. Morfologi dan Anatomi

Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan

biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan

berombak besar cenderung mengalami pertumbuhan yang pendek atau juga

merambat. Sebaliknya spesimen dan jenis yang sama pada lingkungan yang

terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang,

8

pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam,

spons cenderung memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar

sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan

jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal.

Sponge memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenis, beberapa

sponge juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar

tubuhnya. Sponge yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya

dengan sponge sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah. Warna sponge

tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya (misalnya

berwarna ungu dan merah jambu). Mikrosimbion sponge umumnya adalah

Cyanopytha (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagella atau

zooxanthella) (Amir dan Budiyanto, 1996).

Pada dasarnya dinding tubuh porifera terdiri atas tiga lapisan, (Suwignyo,

dkk., 2005) yaitu:

1. Pinococyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi

tubuh bagian dalam. Bagian sel pinacocyte dapat berkontraksi atau berkerut,

sehingga seluruh tubuh hewan dapat sedikit membesar atau mengecil.

2. Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan

tulang dan sel amebocyte yang mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk

pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme,

membuat spikula, serat sponge dan membuat sel reproduktif.

3. Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk

choanocyte agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung yang

lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi

kelopak dari fibril. Getaran flagel pada lapisan choanocyte menghasilkan arus air

di dalam spongocoel ke arah osculum, sedangkan fibril berfungsi sebagai alat

penangkap makanan. Gambar organ sponge dapat dilihat pada Gambar 4.

9

Gambar 4. Bagian Organ Sponge (Vacelet, 2008).

Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh porifera

dibagi menjadi tiga tipe, (Suwignyo, dkk., 2005) yaitu:

(a) Asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, menyerupai vas bunga atau

jambangan kecil. Pori-pori atau lubang merupakan saluran pada sel porocyte

yang berbentuk tabung, memanjang dari permukaan tubuh sampai spongocoel

(b) Syconoid, lipatan-lipatan dinding tubuh secara horizontal, sehingga potongan

melintangnya seperti jari-jari

(c) Leuconoid, tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi. Gambar tipe

morfologi sponge dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tipe Morfologi Sponge (Haris, dkk., 2012)

10

C. Pertumbuhan

1. Bentuk-bentuk Pertumbuhan

Sponge hidup dan tumbuh dengan cara melekat atau menempel pada

beberapa benda keras bawah laut seperti karang, bebatuan dan karang. Spons

memiliki banyak perbedaan yang sangat beragam antara spesiesnya dalam hal

ukuran, bentuk dan warna. Beberapa spons ada yang berukuran kecil sekecil

butiran beras sampai berukuran besar dengan ukuran panjang lebih dari empat

kaki. Dalam pertumbuhannya, bentuk luar sponge sangat bervariasi. Bentuk luar

ini dapat berupa tabung, massive, jari, bola, semi bola, bercabang-cabang, tugu

dan sebagainya (Fitrianto, 2009).

Bentuk luar sponge laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan

biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan

berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau merambat. Sebaliknya

spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau perairan

yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan

tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, sponge cenderung memiliki tubuh yang

lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan yang lebih stabil apabila

dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal

(Bergquist, 1978; Amir dan Budiyanto, 1996). Selain dipengaruhi oleh faktor

lingkungannya, morfologi sponge juga dipengaruhi oleh predator, kompetisi, serta

ketersediaan cahaya. Pada perairan yang kaya akan nutrien spons mengalami

pertumbuhan yang lebih cepat, secara umum makin banyak kandungan partikel

makanan di dalam air yang mengelilingi sponge, makin cepat sponge akan

tumbuh (Fitrianto, 2009).

2. Pertumbuhan mutlak dan Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan koloni sponge dapat berbeda satu sama lainnya karena

dipengaruhi oleh perbedaan spesies, umur dan koloni. Koloni yang kecil atau

11

muda cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan koloni dengan pertumbuhan

masive. Perbedaan kecepatan pertumbuhan diduga karena adanya perbedaan

antara kerangka dan jaringan sponge. Selain itu, ketersediaan energi awal yang

terkandung dalam setiap potongan benih juga mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan. Parameter-parameter kualitas perairan yang membatasi

pertumbuhan sponge antara lain cahaya, tingkat kecerahan, suhu, ombak,

kekeruhan, sedimen dan kecepatan arus yang juga memberikan pengaruh

terhadap pertumbuhan sponge (van Soest dan Verseveldt, 1987 dalam

Suharyanto, 2003).

D. Makanan, Cara Makan, dan Proses Pencernaan

Sponge adalah hewan peyaring (filter feeder) yang menetap di dasar

perairan. Sponge memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik,

hidup atau tidak, seperti bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-

pori (ostia) yang terbuka dalam air, dan dibawa ke dalam rongga lambung atau

ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari sponge

diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus.

Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah maupun di dalam

sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini

pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang keluar dari dalam

sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan

diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang terdapat di lapisan

tengah. Penting bagi sponge untuk hidup dalam air bersirkulasi, karena hewan ini

ditemukan dalam air yang jernih, bukannya air yang keruh. Karena arus air yang

lewat melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh sponge, maka

penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena

air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah

nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 1999).

12

Sponge dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh

hewan-hewan laut lainnya (Bergquist, 1978). Partikel yang berukuran antara 2 –

5 m (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes,

yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel

yang berukuran antara 0.1. – 1.5 m (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh

flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars)

menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes, di mana

partikel makanan tersebut dimasukkan secara fagositosis atau pinositosis.

Sponge juga dapat mengambil dalam jumlah yang signifikan bahan organik

terlarut (dissolved organic matter, DOM) secara pinositosis dari dalam air pada

sistem saluran (Brusca dan Brusca, 1990). Menurut penelitian Reiswig (1976)

dalam Brusca dan Brusca (1990) 80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis

spons Jamaika, dan 20 % adalah bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al.

(1999) jenis ultraplankton yang dimakan oleh sponge pada umumnya adalah

jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus spp, Synechococcus- tipe

cyanobakteri, dan picoeukaryotes autotropik Choanocytes pada tubuh sponge

jumlahnya relatif besar. Menurut Schmidt (1970) dalam Brusca dan Brusca

(1990), jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600/mm3

tubuh sponge. Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali

dari volume tubuhnya per hari. Sponge yang lebih kompleks, tipe leuconoid

mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter

kubik (Brusca dan Brusca, 1990).

Tubuh sponge terdiri dari saluran air yang luas dan berongga. Sebuah

lapisan sel (choanocytes), lapisan permukaan pada rongga padat, membuat arus

air searah yang membawa oksigen dan partikel makanan serta menghilangkan

limbah (Jørgensen, 1966 dalam Yahel et al., 2003). Sponge menyaring volume

13

air sebesar (60 sampai 900 kali volume tubuhnya per jam) (Yahel et al., 2003).

Dalam lingkungannya di laut dan air tawar mereka menyaring makanan pokok

makroinvertebrata (Pile et al,. 1997; Richter et al., 2001; Scheffers 2005 dalam

Yahel et al., 2003).

Sponge mampu menyaring volume air yang besar dan dengan demikian

dapat melepaskan makanan dengan jumlah besar (Reiswig 1971; Pile et al

1996;. Ribes et al 1999 dalam Duckworth, 2006). Sponge menangkap partikel

makanan dengan memompa air laut ke dalam sistem saluran internalnya. Air

masuk melalui pori-pori incurrent atau ostia melewati rongga choanocyte

flagellated yang mendorong arus air. Air keluar dari sponge melalui pori-pori

excurrent atau oscula. partikel makanan ditangkap oleh choanocytes atau ditelan

melalui fagositosis oleh pinacocytes yang melapisi saluran ostia (Reiswig, 1971;

Weissenfels, 1992 dalam Duckworth, 2006).

Partikel makanan yang biasa ditangkap dapat berlangsung pada tiga lokasi

fungsional dalam tubuh sponge. Partikel berukuran besar ( >50 µm) yang tidak

dapat masuk ke dalam ostia akan ditangkap dipermukaan oleh pinacocytes

epitel. Partikel yang lebih kecil (<50 µm) dapat masuk kedalam ostia dan

ditangkap oleh pinacocytes yang melapisi saluran dinding. Untuk partikel terkecil

(<5 µm) sering ditangkap oleh choanocytes didalam choanocyte chambers.

Setelah ditangkap oleh pinacocytes dan choanocytes, partikel makanan tersebut

dicerna dengan cara dilewatkan ke sel mesohyl oleh transcytosis (Pile et al.,

1996)

E. Pengaruh Sedimen Terhadap Sponge

Sponge merupakan pemakan suspensi dan mendapatkan sebagian besar

makanan dan nutrisi dari penyaringan kolom air, meskipun banyak spesies tropis

juga bergantung pada fotosintesis simbion. Sponge sebagian besar memakan

14

partikel yang berukuran kurang dari 5 µm, khususnya cyanobacteria dan

heterotrof bakteri (Pile et al., 1996), yang serupa ukurannya dengan partikel

sedimentasi kecil (Bakus, 1968. Bannister et al., 2012). Namun, sedimentasi

diperkirakan memiliki dampak negatif pada spons. Seperti sedimen dapat

mempengaruhi spons dalam beberapa cara: (1) melalui pencernaan partikel

halus secara langsung, yang dapat memblokir atau menyumbat halus

penyaringan apparatus dan berdampak melalui proses-proses fisiologis, (2)

melalui pembersihan permukaan luar oleh partikel-partikel sedimen yang lebih

besar, (3) meningkatkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi cahaya, yang

akan berdampak pada spesies yang membutuhkan fotosintesis dan (4)

mencegah larva yang menetap dalam mencapai substrat yang cocok jika

tertutupi pada pengendapan sedimen (Bell et al,. 2015).

Sedimen melalui pengendapan atau suspensi dapat mempengaruhi sponge

melalui sejumlah mekanisme. Sifat dan tingkatan untuk sedimen yang dapat

memiliki efek yang merugikan pada sponge tidak hanya bergantung pada jumlah

sedimen tetapi juga ukuran partikel dan mineralogi (Bannister et al., 2012).

Ukuran butiran dari pasir berkisar (> 63 µm), lumpur halus (4-16 µm) dan tanah

liat (< 4 µm) (Leeder, 1982). Mineralogi bergantung pada asal mula sedimen,

baik biogenik secara langsung, hydrogenic maupun lithogenic (Biscaye, 1965).

Dampak tersebut dapat secara bebas dibagi menjadi efek-efek yang berakibat

langsung kepada konsentrasi suspensi sedimen yang lebih tinggi atau

pengendapan sedimen dan dampak-dampak secara tidak langsung.

Penyumbatan inhalant canals dan sistem aquiferous oleh suspensi sedimen

adalah kemungkinan dampak utama secara langsung (Gerrodette dan Flechsig,

1979; Tompkins-MacDonald dan Leys, 2008 in Bell et al., 2015). Sponge

menyaring makanan dengan sedikit kontrol selektif atas asupan penyaringannya

(Reiswig, 1971a in Bell et al., 2015), dan karena itu sangat rentan terhadap

15

penyumbatan, terutama oleh sedimen halus (Bannister et al., 2012). Makanan

tersuspensi adalah sumber utama nutrisi bagi kebanyakan sponge, sehingga

penyumbatan dapat memiliki konsekuensi serius bagi proses biologis sponge

dan mengakibatkan penurunan efisiensi makanan (Reiswig, 1971a; Gerrodette

dan Flechsig, 1979 in Bell et al., 2015). Penyumbatan oleh deposit endapan yang

besar juga dapat menyumbat filtrasi ostia dari sponge tersebut (Ilan dan Abelson,

1995)

16

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2016.

Pengambilan sampel sponge di Perairan Pulau Barranglompo dan pengujian

dilakukan di Hatchery Marine Station Universitas Hasanuddin, Pulau

Barranglompo, sedangkan pengukuran sampel air dilakukan di Laboratorium

Oseanografi Kimia, Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan, Universitas Hasanuddin.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat selam untuk membantu

dalam pengambilan sponge di dasar perairan, akuarium berfungsi sebagai

wadah penguji, pisau digunakan untuk memotong sponge, aerator berfungsi

sebagai panambahan udara/oksigen dalam air, bak besar untuk proses

aklimatisasi, cool box sebagai tempat penyimpanan sponge ketika pengangkutan

dari lokasi ke hatchery, termometer untuk mengukur suhu air laut, hand-

refractometer untuk mengukur salinitas air laut, turbidimeter untuk mengukur

kekeruhan air, beaker glass 1000 ml digunakan sebagai wadah, gelas ukur 1000

ml digunakan untuk mengukur volume sampel air, gelas ukur plastik 2000 ml

untuk mengukur volume sponge, erlenmeyer sebagai wadah larutan, gelas ukur

10 ml untuk mengukur volume larutan, vakum pamp untuk menyaring sampel air,

botol sampel 1 liter untuk menyimpan sampel air, hot plate untuk memanaskan

larutan, buret tetes untuk titrasi, tiang statif sebagai alat penyanggah buret tetes,

oven untuk mengeringkan bahan, desikator untuk menghilangkan kadar air dari

suatu bahan pada kertas saring, timbangan analitik untuk menimbang, sieve net

17

digunakan untuk mengayak sedimen dan caliper berfungsi sebagai alat ukur

diameter oscula sponge.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sponge sebagai hewan

uji yang diberi perlakuan, sedimen tanah liat, air laut dan kertas saring Whattman

G/FC, KMnO4, H2SO4, Natrium Oksalat.

C. Prosedur Penelitian

1. Tahap Awal

Tahap awal dalam penelitian ini mencakup persiapan dan pengumpulan

literatur yang berkaitan dengan tema kajian serta melakukan konsultasi dengan

pembimbing terkait dengan penelitian.

2. Pengambilan Sedimen

Pengambilan sedimen dilakukan di area pembuatan batu bata Kabupaten

Gowa dengan menggunakan skop. Kemudian menumbuk sedimen

menggunakan cawan petri, setelah itu dilakukan pengayakan dengan

menggunakan sieve net yang telah tersusun secara berurutan dengan ukuran 2

mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm, 0,063 mm dan < 0,063 mm. Kemudian

mengambil sedimen yang berukuran paling kecil yaitu < 0.063 mm untuk

digunakan sebagai bahan penelitian. Menurut Bergquist (1978), sponge dapat

menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut

lainnya. Partikel dengan ukuran antara 2 – 5 m (protozoa, ultraplankton,

detritus organik) dan 0.1. – 1.5 m (bakteri, molekul organik).

3. Tahap Persiapan Akuarium

Dalam penelitian ini menggunakan 9 buah akuarium dengan ukuran 30 x

40 x 50 cm. Akuarium yang digunakan dibersihkan terlebih dahulu.

Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan tiga perlakuan bentuk pertumbuhan sponge yaitu (A) Massive, (B)

18

Brancing, (C) submassive dan setiap perlakukan dilakukan 3 kali pengulangan.

Berikut adalah tata letak wadah penelitian pada (Gambar 6).

C2 B2 A2

B1 C1 A3

A1 B3 C3

Gambar 6. Tata Letak Wadah Penelitian

4. Hewan Uji

Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Barranglompo dengan

kedalaman antara 3-7 meter. Sponge yang diambil memiliki bentuk pertumbuhan

yang berbeda. Jenis sponge yang digunakan pada penelitian ini adalah Stylotella

sp. untuk bentuk pertumbuhan submassive, Clathria sp. untuk bentuk

pertumbuhan branching dan Forcepia sp. untuk bentuk pertumbuhan massive.

Selanjutnya memotong sponge dengan menggunakan pisau, kemudian disimpan

didalam coolbox yang berisi air laut. Pada saat pengambilan sampel juga

dilakukan pengukuran parameter lingkungan yaitu suhu dan salinitas secara in

situ.

5. Proses Aklimatisasi

Setelah sponge diambil dari perairan, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu

selama 2-3 hari untuk mengadaptasikan sponge sebelum diberikan perlakuan.

Pertama-tama mengisi bak besar dengan air laut dan diberi aerasi untuk

menyuplai oksigen. Kemudian memasukkan sponge secara perlahan ke dalam

bak. Selama proses aklimatisasi air laut tetap dialirkan ke dalam bak dengan

menggunakan selang untuk mempertahankan kualitas air. Pada saat proses

aklimatisasi sponge tetap diberikan pakan berupa Nannochloropsis sp.

19

6. Pemberian Perlakuan Sponge

Pertama-tama membuat media air dengan konsentrasi TSS sebesar 0,17

mg/L dengan menambahkan 30 mg sedimen kedalam 180 liter air laut pada

wadah besar. Kemudian mengambil sampel air tersebut untuk diukur nilai

kekeruhan, TSS dan BOT sebagai nilai awal untuk kesembilan akuarium. Setelah

itu masing-masing akuarium diisi air laut tersebut sebanyak 15 liter dan diberi

aerasi untuk menyuplai oksigen di dalam akuarium. Memasukkan hewan uji ke

dalam akuarium dengan volume tubuh yang sama yaitu 500 cm3. Untuk

mengetahui kemampuan menyaring dari ketiga bentuk pertumbuhan sponge

dilakukan pengamatan selama 10 jam dan 24 jam. Setelah itu mengambil sampel

air pada masing-masing akuarium dan disimpan dalam botol sampel untuk diukur

nilai akhir dari kekeruhan, total suspended solid dan bahan organik total.

7. Pengukuran Parameter

Parameter utama yang diukur adalah sebagai berikut:

a. Kekeruhan

Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan cara mengambil sampel air pada

botol sampel, kemudian sampel air ditempatkan pada beaker glass dan dianalisis

menggunakan alat turbidimeter. Sampel air yang diukur adalah sampel air

sebelum diberi perlakuan sponge untuk mewakili nilai awal dan sampel air

setelah dimasukkan sponge. Untuk menentukan perubahan jumlah konsentrasi,

nilai awal kekeruhan dikurangi dengan nilai akhir kekeruhan.

b. Total Suspended Solid (TSS)

pengukuran TSS dilakukan dengan cara mengambil sampel air lalu

memasukkannya kedalam beaker glass sebanyak 600 ml. Kemudian sampel air

disaring menggunakan vakum pamp dan kertas saring Whattman No. 41 yang

sebelumnya telah dioven dengan suhu 105 oC selama satu jam dan didinginkan

dalam desikator selama 30 menit. Setelah air sampel disaring, kertas saring

20

dioven kembali selama 2 jam dengan suhu 105o C. Kemudian kertas saring

ditimbang menggunakan timbangan analitik. Sampel air yang diukur adalah

sampel air sebelum diberi perlakuan sponge untuk mewakili nilai awal dan

sampel air setelah dimasukkan sponge. Untuk menentukan perubahan jumlah

konsentrasi TSS, nilai awal TSS dikurangi dengan nilai akhir TSS.

c. Bahan Organik Total (BOT)

Penentuan kadar bahan organik total dalam air laut dilakukan dengan cara

mengukur 50 ml air sampel lalu memasukkannya ke dalam erlenmeyer. Setelah

itu menambahkan sebanyak 9,5 ml KMnO4 langsung dari buret dan

menambahkan 10 ml H2SO4 (1:4). Lalu memanaskan larutan sampai suhu 70-

80°C kemudian mengangkat larutan dan membiarkan hingga suhunya turun

menjadi 60-70°C. Setelah itu menambahkan Natrium Oksalat 0,01 N secara

perlahan hingga larutan tidak berwarna dan mentitrasi dengan KMnO4 0,01 N

sampai larutan berubah warna menjadi merah jambu/pink. Mencatat ml KmnO4

yang digunakan.

Kadar Bahan Organik Total dalam sampel dapat dihitung menggunakan

rumus sebagai berikut :

BOT (mg/L) = ((x-y)x 31,6 x 0,01 x 1000)/(mL contoh)

Keterangan

x = ml KMnO4 untuk sampel.

y = ml KMnO4 untuk aquades (larutan blanko).

31,6 = Seperlima dari BM KMnO4, karena tiap mol KMnO4 melepaskan 5

oksigen dalam reaksi ini.

0,01 = normalitas KMnO4

Selain itu ada pula parameter pendukung yang diukur yaitu:

d. Suhu

21

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Prosedur

pengukuran suhu dilakukan dengan cara mencelupkan termometer ke dalam

kolom perairan selama beberapa detik kemudian membaca dan mencatat

skalanya dengan pembacaan secara vertikal.

e. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan hand-refractometer.

Prosedur pengukuran salinitas dilakukan dengan cara membersihkan

handrefractometer terlebih dahulu dengan tissue kemudian meteteskan air

sampel pada bagian kaca prisma, selanjutnya membaca skala dengan

mengarahkan hand-refractometer ke cahaya.

D. Analisis Data

Untuk mengetahui perbedaan kemampuan menyaring dari ketiga bentuk

pertumbuhan sponge dilakukan analisis ragam One Way Anova dengan

menggunakan program SPSS versi 16.0. Apabila terdapat perbedaan antara

ketiga bentuk pertumbuhan, maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Sedangkan

parameter lingkungan berupa suhu dan salinitas dianalisis secara deskriptif.

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kemampuan Menyaring Sponge

Berdasarkan hasil pengukuran sampel air pada perlakuan 10 jam untuk

penyaringan tingkat kekeruhan didapatkan bentuk pertumbuhan sponge

submassive menyaring sebanyak 16,20 NTU, branching 13,49 NTU dan massive

11,62 NTU (Gambar 7). Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 2) ketiga

bentuk pertumbuhan tersebut tidak berbeda nyata pada (P > 0,05). Berdasarkan

data tersebut ketiga bentuk pertumbuhan masih mampu menyaring partikel-

partikel yang ada dalam kolom air selama 10 jam. Sehingga tidak ada perbedaan

kemampuan menyaring dari ketiga bentuk pertumbuhan tersebut. Seperti yang

diketahui sponge menyaring partikel terkecil seperti mikroalga, bakteri dan

detritus serta partikel organik yang ada dalam perairan sebagai makanannya.

Begitu pula dengan sedimen halus yang mengandung partikel tersuspensi yang

dapat dijadikan sumber makanan bagi sponge. Sesuai dengan pernyataan Pile et

al. (1996) sponge merupakan pemakan suspensi dan mendapatkan sebagian

besar makanan dan nutrisi dari penyaringan kolom air dan sebagian besar

memakan partikel berukuran kurang dari 5 µm (seperti cyanobacteria dan

heterotrof bakteri).

Hasil pengukuran sampel air pada perlakuan 10 jam penyaringan total

suspended solid didapatkan bentuk pertumbuhan sponge submassive menyaring

54.169 mg/L diikuti dengan bentuk pertumbuhan braching 47.608 mg/L dan

terendah pada bentuk pertumbuhan massive 39.038 mg/L (Gambar 8).

Berdasarkan hasil analisis ragam ketiga bentuk pertumbuhan tersebut tidak

signifikan pada (P > 0,05) (Lampiran 2). Jumlah padatan tersuspensi total (TSS)

yang disaring pada setiap bentuk pertumbuhan selama 10 jam sesuai dengan

hasil penyaringan kekeruhan, hal ini disebabkan karena TSS dan kekeruhan

23

memiliki hubungan yang erat, sesuai dengan pendapat Tarigan dan Edward

(2003), umumnya tingkat kekeruhan sangat dipengaruhi oleh kandungan zat

padat suspensi. Apabila nilai kekeruhan menurun, maka nilai TSS juga menurun,

dengan tingkat signifikansi berkisar antara 20 – 43 % antara penurunan

kekeruhan dengan TSS.

Gambar 7. Perubahan Jumlah Konsentrasi Kekeruhan Setelah Sponge

Menyaring Selama 10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik Merupakan Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan Sponge)

Gambar 8. Perubahan Jumlah Konsentrasi Larutan Tersuspensi Setelah

Sponge Menyaring Selama 10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik Merupakan Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan Sponge)

Berdasarkan hasil pengukuran sampel air pada perlakuan 24 jam untuk

penyaringan tingkat kekeruhan didapatkan bentuk pertumbuhan sponge

11.628.34

13.49

2.57

16.20

20.39

-5.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

10 24

Pe

rub

ahan

Ko

nse

ntr

asi K

eke

ruh

an

(NTU

)

Waktu Pengamatan

Masive

Branching

Submasive

a

a

bns

39.038

55.169

47.608

15.865

54.169 53.515

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

10 24

Pe

rub

ahan

Ko

nse

ntr

asi T

SS (

mg/

L)

Waktu Pengamatan

Massive

Branching

Submassive

aa

b

ns

24

submassive menyaring 20,39 NTU, Massive menyaring sebanyak 8,34 NTU dan

Branching menyaring paling sedikit yaitu 2,57 NTU (Gambar 7). Hasil analisis

ragam menunjukkan (Lampiran 3) ketiga bentuk pertumbuhan tersebut berbeda

nyata pada (P<0,05). Hasil uji lanjut Tukey memperlihatkan bahwa bentuk

pertumbuhan submassive berbeda nyata dengan bentuk pertumbuhan massive

dan branching sedangkan bentuk pertumbuhan massive dan branching

menunjukkan tidak adanya perbedaan (P<0,05)

Data tersebut menunjukkan bahwa setelah menyaring selama 24 jam

bentuk pertumbuhan submassive masih mampu menyaring dengan baik

dibandingkan bentuk pertumbuhan massive yang mengalami penurunan dalam

menyaring dan branching yang mengalami stres serta kematian. Hal ini

disebabkan karena setiap jenis sponge mempunyai kemampuan berbeda dalam

mentolerir atau beradaptasi terhadap sedimen atau kekeruhan. Menurut Riisgard

et al. (1993), perbedaan ini mungkin mencerminkan adaptasi yang berbeda

dalam bentuk kapasitas menyaring sponge yang terkait dengan efisiensi

penyimpanan terhadap ukuran partikel makanan dan konsentrasi partikel

makanan tersuspensi.

Air yang terlalu keruh atau sedimen yang berlebih dapat membuat sponge

menjadi stres dan sedimen tersebut dapat menyumbat lubang ostianya sehingga

sponge susah menyaring makanan dan partikel-partikel yang ada dalam kolom

air. Partikel tersuspensi juga dapat mengakibatkan pengendapan yang dapat

menyumbat lubang ostia sponge, seperti pada bentuk pertumbuhan branching

yang mengalami stres dan kematian setelah 24 jam menyaring, hal tersebut

ditandai dengan rontoknya rambut-rambut pada tubuhnya, warna tubuhnya

menjadi orange gelap dan tubuhnya yang berlendir serta air pada bak uji menjadi

warna keruh pucat. Seperti pernyataan Bickford (1996), bahwa partikel

tersuspensi dapat meningkatkan sedimentasi, dimana bahan-bahan dari

25

sedimentasi dapat meningkatkan tingkat endapan sehingga dapat mengubur

atau menyumbat spesies bercabang. Bell et al. (2015) juga menyatakan, sponge

saat ini tidak cukup dipelajari sehubungan dengan dampak stres terhadap

sedimen tetapi dianggap sangat rentan. Hal ini dikarenakan beberapa dari

mereka tumbuh lambat dan berumur panjang, dan sebagai hewan penyaring

mereka bergantung pada konsentrasi tertentu dan kualitas dari partikel

tersuspensi dalam air dan memungkinkan beresiko menyumbat.

Menurut Ilan dan Abelson (1995) bahwa beberapa spesies yang hidup di

dasar sangat tahan terhadap sedimentasi. Meskipun demikian, sedimentasi

diperkirakan memiliki dampak negatif pada sponge. Seperti sedimen dapat

mempengaruhi sponge melalui pencernaan partikel halus secara langsung yang

dapat memblokir atau menyumbat ostia dan sistem saluran air (aqeouferous)

serta berdampak melalui proses-proses fisiologis (Bakus, 1968). Sponge

merupakan hewan penyaring yang sedikit selektif dalam menyaring makanan

(Reiswig, 1971a dalam Bell et al. 2015), dan karena itu sangat rentan terhadap

penyumbatan, terutama oleh sedimen halus (Bannister et al. 2012). Makanan

suspensi adalah sumber utama nutrisi bagi kebanyakan sponge, sehingga

penyumbatan dapat memiliki konsekuensi serius bagi proses biologis sponge

dan mengakibatkan penurunan dalam efisiensi makanan (Reiswig, 1971a;

Gerrodette dan Flechsig, 1979 dalam Bell et al. 2015). Penyumbatan oleh

deposit endapan yang besar juga dapat menyumbat filtrasi ostia dari sponge

tersebut (Ilan dan Abelson, 1995). Penyumbatan juga dapat mematikan untuk

beberapa fauna laut yang kecil (Peterson, 1985) dan telah terbukti menimbulkan

sebagian kematian setidaknya pada beberapa spesies sponge (Wulff, 1997).

Begitu pula pada bentuk pertumbuhan massive yang mengalami

penurunan dalam kemampuan menyaring, akan tetapi masih bisa mentolerir

26

sedimen dalam media air tersebut. Dalam penelitian Reiswig (1971) dalam Bell et

al. (2015) menunjukkan adanya pengurangan aktivitas penyaringan dalam

merespon kekeruhan dan sedimentasi pada beberapa spesies yang turun

sebesar 37% dari kapasitas normal dan penyebabnya diduga karena adanya

penyumbatan pada bagian-bagian yang tidak sesuai dengan ukuran partikel

yang tersaring.

Hasil pengukuran sampel air pada perlakuan 24 jam untuk penyaringan

total suspended solid pada bentuk pertumbuhan sponge massive yaitu 55,169

mg/L, submassive 53.515 mg/L dan branching 15.865 mg/L (Gambar 8). Dan

hasil analisis ragam menunjukkan ketiga bentuk pertumbuhan tersebut signifikan

/ berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Tukey memperlihatkan

bahwa bentuk pertumbuhan branching berbeda nyata dengan bentuk

pertumbuhan massive dan submassive (p<0,05), sedangkan bentuk

pertumbuhan massive tidak berbeda nyata dengan bentuk pertumbuhan

submassive.

Data tersebut menunjukkan terdapat perbedaan jumlah TSS yang

tersaring oleh sponge selama 24 jam dengan nilai kekeruhan 24 jam. Dimana

nilai kekeruhan pada massive menurun tapi jumlah TSS meningkat dan nilai

kekeruhan pada submassive meningkat tapi jumlah TSS menurun. Namun hal

tersebut tidak mempengaruhi apapun, sesuai pernyataan Widigdo (2001), bahwa

perubahan atau naik turunnya nilai TSS tidak selalu diikuti oleh naik turunnya

nilai kekeruhan secara linier. Hal ini dapat dijelaskan karena bahan-bahan yang

menyebabkan kekeruhan perairan dapat terdiri atas berbagai bahan yang sifat

dan beratnya berbeda sehingga tidak terlalu tergambarkan dalam bobot residu

TSS yang sebanding.

Banyaknya partikel tersuspensi yang disaring oleh sponge berasal dari

sedimen halus. Sedimen halus tersebut mengandung bahan organik dan

27

unorganik yang dapat dijadikan sebagai sumber makanan untuk sponge. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan Leys (2013), bahwa kekeruhan di kolom air

(karena adanya partikulat di kolom air) menghasilkan bahan organik dan

anorganik. Ostroumov (2003) juga menyatakan, tersedianya makanan pada

hewan penyaring di kolom air merupakan rangkaian kesatuan dari karbon

organik detrital yang keduanya merupakan bentuk dari karbon organik partikulat.

Gambar 9. Ukuran Diameter, Luas dan Jumlah Oscula Pada Berbagai

Bentuk Pertumbuhan Sponge

Pada Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa perbedaan bentuk

pertumbuhan sponge memiliki diameter, jumlah dan luas oscula yang berbeda-

beda. Pada bentuk pertumbuhan massive (Forcepia sp.) memiliki diameter

osculum 0,30 cm2 dengan jumlah oscula 20 buah dan luas osculum 0,07 cm2.

Bentuk pertumbuhan branching (Clathria sp.) memiliki diameter osculum 0,15

cm2 dengan jumlah oscula 23 buah dan luas osculum 0,02 cm2. Sedangkan

bentuk pertumbuhan submassive (Stylotella sp.) memiliki diameter osculum yang

besar yaitu 0,38 cm2 dengan jumlah oscula 12 buah dan luas osculum 0,11 cm2.

Berdasarkan data tersebut bentuk pertumbuhan submassive memiliki

jumlah osculum sedikit dibandingkan bentuk pertumbuhan branching dan

massive yang memiliki jumlah osculum lebih banyak. Akan tetapi diameter dan

0.30

0.15

0.38

0.07 0.020.11

20

23

12

0

5

10

15

20

25

30

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

Massive Branching SubmassiveJu

mla

h O

scu

la

Dia

me

ter

osc

ulu

m (

cm)

Luas

To

tal O

scu

lum

(cm

2)

Bentuk Pertumbuhan Sponge

Diameter Oscula

Luas Oscula

Jumlah Oscula

28

luas oscula yang dimiliki bentuk pertumbuhan submassive lebih besar sehingga

lebih banyak menyaring air dengan jumlah besar dibandingkan dengan bentuk

pertumbuhan branching dan massive yang diameter dan luas osculanya lebih

kecil. Menurut Bowerbank (1875) sponge forcepia sp. memiliki diameter oscula

hingga 2 mm dengan bentuk pertumbuhan massive, sponge clathria sp. memiliki

bentuk pertumbuhan bercabang dengan diameter oscula 1 mm (Van soest,

2009), dan stylotella sp. memiliki ukuran diameter oscula sekitar 4,5 mm dengan

bentuk pertumbuhan submassive (Parker, 1910).

B. Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam

pemeliharaan sponge didalam akuarium. Hasil penelitian menunjukkan kualitas

air dalam akuarium masih berada pada batas kisaran normal untuk kehidupan

sponge. Berikut Tabel kualitas air yaitu:

Tabel 1. Parameter Kualitas Air

No. Parameter Kisaran

1 Suhu 27 – 29,5 oC

2 Salinitas 30 – 33 ppt

Hasil pengukuran suhu air laut didalam akuarium yaitu berkisar 27 – 29,5

oC. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu tersebut masih menunjang

kehidupan dan pertumbuhan sponge, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Zairion (1992) kisaran suhu yang layak bagi lingkungan hidup sponge laut

berkisar antara 24 – 30 oC.

Kadar salinitas air laut didalam akuarium berkisar 30 – 33 ppt. Menurut

Samidjan (1993), bahwa sponge dapat mentolerir salinitas minimal 22 ppt dan

salinitas optinum berkisar antara 30 – 33 ppt serta batas maksimal salinitas air

laut yang dapat ditolerir untuk kehidupan sponge laut sekitar 34 ppt.

29

C. Bahan Organik Total (BOT)

Berdasarkan hasil pengukuran sampel air setelah 10 jam sponge

menyaring, bentuk pertumbuhan submassive menghasilkan bahan organik total

(BOT) sebanyak 26,75 mg/L, branching 19,8 mg/L dan massive 10,07 mg/L

(Gambar 10). Jumlah BOT dalam media air sebelumnya adalah 8,12 mg/L.

Berdasarkan hasil analisis ragam ketiga bentuk pertumbuhan sponge signifikan

atau berbeda nyata (p<0,05). Hasil dari uji lanjut Tukey memperlihatkan bentuk

pertumbuhan submassive berbeda dengan bentuk pertumbuhan massive

(p<0,05), sedangkan bentuk pertumbuhan branching tidak berbeda nyata dengan

bentuk pertumbuhan submassive dan massive (p>0,05) (Lampiran 2).

Hasil pengukuran sampel air dalam waktu 24 jam bahan organik total

yang dihasilkan pada bentuk pertumbuhan Submassive adalah sebanyak 33,07

mg/L, Branching 25,28 mg/L dan Massive 13,69 mg/L (Gambar 10). Berdasarkan

hasil analisis ragam diperoleh nilai signifikan (p<0,05). Hasil uji lanjut

menunjukan bentuk pertumbuhan submassive berbeda nyata dengan bentuk

pertumbuhan massive (p<0,05), namun bentuk pertumbuhan branching tidak

berbeda nyata dengan bentuk pertumbuhan massive dan submassive (p>0.05)

(Lampiran 3).

Gambar 10. Perubahan Jumlah Konsentrasi BOT Setelah Sponge

Menyaring Selama 10 Jam dan 24 Jam (Huruf Yang Berbeda Di atas Grafik Merupakan Perbedaan Yang Nyata Pada α 5% Bentuk Pertumbuhan Sponge)

10.0713.6919.80

25.2826.75 33.07

05

1015202530354045

10 24

BO

T (m

g/L)

Waktu Pengamatan

Masive

Branching

Submasivea

bc

a

b

c

30

Meningkatnya bahan organik total pada setiap bak uji dihasilkan dari sisa

ekskresi yang dikeluarkan atau dari jaringan pada tubuh sponge. Hal ini sesuai

pernyataan Witte et al. (1997), terdapat bahan organik yang dihasilkan dari

eksresi sponge. Limbah organik yang dibuang terdiri dari bahan dentrital baik

yang dicerna maupun yang tidak dicerna. Reiswig (1990) dan Yahel et al. (2007)

menyatakan, studi di NE Pacific fjord yang membandingkan antara air yang

disaring (diambil) dengan air yang dikeluarkan (diekskresikan) oleh sponge

menunjukkan hingga 99% melepaskan bakteri terkecil dan melimpah. Menurut

Yahel et al. (2003), sponge mengandung sejumlah besar bakteri simbiotik di

dalam jaringan mereka, sponge mengambil karbon organik terlarut yang diduga

“makanan” dari simbionnya yang pada akhirnya memberikan nutrisi pada

sponge. Menurut schÖnberg (2015), tubuh sponge adalah material komposit

yang terbuat dari jaringan, organik (spongin) dan kerangka anorganik (spikula).

Menurut Alexander (2015), bahwa sponge juga memberikan jumlah tertinggi

(sekitar 60%) dari karbon organik dan nitrogen total yang terkadung dalam

jaringannya.

Dalam waktu 10 dan 24 jam bentuk pertumbuhan submassive lebih

banyak menghasilkan bahan organik total karena banyaknya partikel tersuspensi

yang disaring sebagai makanannya, yang kemudian sisa-sisa makanan tersebut

dibuang melalui oskulum. Menurut Maldonado et al. (2012), Sponge adalah

pengumpan suspensi luar biasa yang melepaskan bahan organik dengan jumlah

besar melalui air yang lewat dari tubuhnya. Banyak penelitian telah menunjukkan

bahwa kemampuan sponge untuk melepaskan jumlah besar senyawa organik

terlarut dan anorganik mungkin berhubungan dengan photoautotrophy dan

chemoautotrophy proses yang dimediasi oleh komunitas mikroba sponge terkait.

Bahan organik total juga dihasilkan dari proses penguraian organisme yang telah

mati oleh bakteri, seperti pada bentuk pertumbuhan braching yang mengalami

31

kematian setelah 24 jam menyaring. Namun bahan organik yang dihasilkan di

dalam bak uji meningkat. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses

penguraian oleh bakteri. Sesuai pernyataan Mulya (2002) menyatakan ada dua

mekanisme penguraian organisme mati yaitu secara autolisis dan bakterial. Di

alam kedua mekanisme ini bekerja secara bersamaan. Tingkat penguraian

tergantung pada kondisi kematian serta sampai tersedianya enzim dan bakteri

yang diperlukan. Reaksi penguraian terjadi karena adanya enzim di dalam sel

dan hasilnya selanjutnya akan dilepaskan ke dalam badan perairan.

32

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa:

1. Kemampuan biofilter dari ketiga bentuk pertumbuhan sponge setelah 10

jam tidak memiliki perbedaan dalam menyaring kekeruhan dan Total

Suspended Solid (TSS).

2. Kemampuan biofilter dari ketiga bentuk pertumbuhan sponge setelah 24

jam memiliki perbedaan dalam menyaring kekeruhan dan TSS. Sponge

dengan bentuk pertumbuhan submassive memiliki kemampuan

menyaring yang berbeda dengan bentuk pertumbuhan massive dan

branching, sedangkan bentuk pertumbuhan massive tidak memiliki

perbedaan dalam menyaring dengan bentuk pertumbuhan branching.

Penyaringan TSS sponge dengan bentuk pertumbuhan massive dan

submassive memiliki perbedaan kemampuan menyaring dengan bentuk

pertumbuhan branching, sedangkan bentuk pertumbuhan massive tidak

terdapat perbedaan dalam menyaring dengan bentuk pertumbuhan

submassive.

B. Saran

Kemampuan menyaring sponge dengan bentuk Pertumbuhan

submassive dapat diaplikasikan pada sistem budidaya laut, akuarium laut dan

tempat-tempat pembenihan biota laut.

33

DAFTAR PUSTAKA

Amir, I. 1992. Fauna spons (Porifera) dari terumbu karang genteng besar, Pulau-Pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia. 24 : 41-54.

Amir, I., A. Budiyanto, 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana 1996; 21 (2): 15 – 31.

Bakus, G., 1968. Sedimentation and benthic invertebrates of Fanning Island, central Pacific. Mar. Geol. 6, 45–51.

Bannister, R., Battershill, C., De Nys, R., 2012. Suspended sediment grain size and mineralogy across the continental shelf of the Great Barrier Reef: impacts on the physiology of a coral reef sponge. Cont. Shelf Res. 32, 86–95.

Bell, JJ., DK, Barnes., 2000a. A sponge diversity centre within a marine ‘island’. Anonymous Island, Ocean and Deep-Sea Biology. Springer, pp. 55–64.

Bell, J., D. Smith, D.Hannan, A.Haris, and L. Thomas, 2013. Isolation and characterisation of twelve polymorphic microsatellite markers for Xestospongia spp. and their use for confirming species identity. Conservation Genet Resour. Published online: 09 August 2013

Bell, J., D. Smith, D.Hannan, A.Haris, J. Jompa, and L. Thomas, 2014. Resilience to Disturbance Despite Limited Dispersal and Self-Recruitment in Tropical Barrel Sponges: Implications for Conservation and Management. PLOS ONE | www.plosone.org. March 2014 | Volume 9 | Issue 3 | e91635

Bell, J., McGrath E., Biggerstaff, A., Bates, T., Bennett, H., Marlow, J., Shaffer, M., 2015. Sediment Impact on Marine Sponges. Marine Pollution Bulletin 94

Bergquist, P. R. 1978. Sponss. Hutchinson. London.

Bickford GP (1996) The effects of sewage organic matter on biogeochemical processes within mid-shelf sediments offshore Sydney, Australia. Mar Pollut Bull 33:168–181

Biscaye, P.E., 1965. Mineralogy and sedimentation of recent deep-sea clay in the Atlantic Ocean and adjacent seas and oceans. Geol. Soc. Am. Bull. 76, 803–832.

Bowerbank, J.S., 1875. Contributions to a general history of the Spongiadae. Proc. Zool. Soc. London, 1875: 281 - 296.

Brümmer, F. & M. Nickel. 2003. Sustainable use of marine resources: cultivation of sponges. Prog. Mol. Subcell. Biol.37:143-162. doi: 10.1007/978-3-642-55519-0_6

Brusca, R. C. dan G. J. Brusca. 1990. Invertebrates. Hal 181-207. Sinauer Associates Inc. Publishers Sunderland. Massachusetts.

34

Duckworth, A.R., dkk. 2006. Retention efficiencies of the coral reef sponges Aplysina lacunosa, Callyspongia vaginalis and Niphates digitalis determined by Coulter counter and plate culture analysis. Jurnal. Division of Biomedical Marine Research, Harbor Branch Oceanographic Institution, 5600 US 1 North, Fort Pierce, FL 34946, USA

Fitrianto, N. E. 2009. Laju Pertumbuhan dan Sintasan Spons Aaptos aaptos Di Kolam Buatan Terkontrol. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK. Institut Pertanian Bogor

Göbel Y. 1993. Gibt es Unterschiede in den Größenspektren der von verschiedenen Schwammarten aufgenommenen Partikel? Diploma thesis, Intitute for Marine Science, Christian-Albrechts-University Kiel

Haedar., B. Sadarun, D. Palupi Ratna, 2016. Potensi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spons di Perairan Pulau Saponda Laut Kabupaten Konawe. Program Studi Ilmu Kelautan, FPIK, Universitas Halu Oleo. Kendari.

Haris A, 2013. Sponge : Biologi dan Ekologi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan – Universitas Hasanuddin, Makassar.

Haywood, M. dan Wells. 1989. Manual of Marine Invertebrates. Published by Salamander Books Limited. London, New York. Hlm 10 – 13.

Hooper, J.N.A, 2002. Sponguide : Guide to Sponge Collection and Identification. Queensland Museum, PO Box 3300, South Brisbane, QLD, 4101, Australia

Ilan, M., A. Abelson, 1995. The life of a sponge in a sandy lagoon. Biol. Bull. 189, 363–369.

Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton & Zooplankton. Penerbit Kanisius. Hal 49-51.

Kozloff, E. N. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. Hlm 73-92.

Leys, Sally P. 2013. Effects od Sediments on Glass Sponges (Porifera, Hexactinellida) and Projected Effects on Glass Sponge Reefs. Department of Biological Sciences. University of Alberta. Edmonton.

Maldonado, M., M. Ribes, F.C. Van Duyl. 2012. Nutrient Fluxes Through Sponges: Biology, Budgets, And Ecological Implications. Advances in Marine Biology 62, 118-122

Mulya, M.B. 2002. Bahan Organik Terlarut Dan Tidak Terlarut Dalam Air Laut. FMIPA, Jurusan Biologi. Universitas Sumatera Utara

Osinga, R., D.Redeker, P.B. De Beukelaer, R.H., 1999. Wijffels Measurement of Sponge Growth by Projected body area and Underwater Weight. Di dalam: Hooper JNA, editor. Proceedings of the 5th International Sponge Symposium; Brisbane, 30 June 1999. Queensland: Memoir of the Queensland Museum 44: hlm 419 - 426.

35

Ostroumov, S.A., 2003. Studying effects of some surfactants and detergents on filter-feeding bivalves. Hydrobiologia 500, 341–344.

Parker, G.H., 1910. The Reactions of Sponges with a Consideration of The Origin of The Nervous System. Professor of Zoölogy in Harvard University.

Peterson, CH., 1985. Patterns of lagoonal bivalve mortality after heavy sedimentation and their paleoecological significance. Paleobiology, 139–153.

Pile, A., Patterson, M., Witman, J., 1996. In situ grazing on plankton <10 lm by the boreal sponge Mycale lingua. Mar. Ecol. Prog. Ser. 141, 95–102.

Rachmaniar, R. 1997. Potensi Spons Asala Kepulauan Spermonde Sebagai Anti Mikroba. Seminar Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang 2-3 Desembe 1997.

Reiswig, H.M., 1974.Water transport, respiration and energetics of three tropical marine sponges. J. Exp. Marine Biol. Ecol. 14, 231–249.

Riisgard, H.U., S., Thomassen, H., Jakobsen, Weeks, J.M., Larsen, P.S., 1993. Suspension feeding in marine sponges Halichondria panicea and Haliclona urceolus: effects of temperature on filtration rate and energy cost of pumping. Marine Ecol. Progr. Ser. 96, 177–188.

Romihmohtarto, K., S. Juwana, 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan OseanologiLIPI.. hlm 115 – 128.

Samidjan, I. 1993. Peranan Simbiosis Mutualisme Antara Anemon Laut (Stichodctyla gigantean) dan Ikan Klon (Amphiprion percula) terhadap kelansungan hidup dan pertumbuhannya. Thesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 184 hal.

Sara, M. 1992. Porifera. Di dalam: K. G. Adiyodi, dan R. G. Adiyodi (ed.). Reproductive Biology of Invertebrates. Volume V. Sexual differentiation and Behavuior. John Wiley & Sons Chisester, New York, Brisbaane, Toronto, Singapore. hlm 1 – 29.

Schönberg, C.H.L. 2015. Happy Relationships between Marine Sponges and Sediments – a Review and Some Observations from Australia. Australian Institute of Marine Science, Oceans Institute. University of Western Australia.

Setiono, Heryoso., WS., Gunawan, E., Wibowo, 2005. Studi Penggunaan Sponge Sebagai Biofilter Dalam Budidaya Udang: Suatu Pendekatan Yang Ramah Lingkungan Dalam Penanganan Penyakit Pada Budidaya Udang. FPIK. Universitas Diponegoro.

Simpson, T.L., 1984. The Cell Biology of Sponge. New York: Springer – Verlag. hlm 662.

36

Subagio, B., I. dan Aunurohim. 2013. Struktur Komunitas Spons Laut (Porifera) di Pantai Pasir Putih, Situbondo. Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya

Suharyanto, 2003. Beberapa Aspek Biologi Sponge (Auletta Sp.) di Perairan Pulau Barranglompo Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. (9)1: 61-66.

Suparno, 2005. Kajian Bioaktif Spons Laut (Forifera: Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia Dalam Di Bidang Farmasi. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPs 7002) : IPB

Suryati, E., dan T. Ahmad., 1996. Peluang Pemanfaatan Bioaktif Spons untuk Bakterisida. Temu Ilmiah Veteriner, Maret. Bogor.

Suwignyo, S., W., Bambang, W., Yusli dan K., Majariana. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tarigan, M.S dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) Di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Van Soest, R.W.M., J.C. Braekman, 1989. Chemosystematics of Porifera: A Review. Di dalam: Hooper JNA, editor. Proceedings of the 5th International Sponge Symposium; Brisbane, 30 June 1999. Queensland: Memoir of the Queensland Museum 44: hlm 569 - 589.

Van Soest, R.W.M., 2009. New sciophilous sponges from the Caribbean (Porifera: Demospongiae). University of Amsterdam

Widigdo, B. 2001. Manajemen Sumberdaya Perairan. Bahan Kuliah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Witte, U., T., Brattegard, G., Graf, dan B., Springer. 1997. Particle capture and deposition by deep-sea sponges from the Norwegian-Greenland Sea. Marine Ecology Progress Series 154, 241–252.

Wulff, J.L., 1997. Mutualisms among species of coral reef sponges. Ecology 78, 146–159.

Yahel G., D.I.E., Medrano, S.P., Leys. 2006. Size independent selective filtration of ultraplankton by hexactinellid glass sponges. Jurnal. Department of Zoology, Oregon State University, Corvallis, Oregon 97331-2914, USA

Zairion, 1992. Distribusi dan Preferensi Habitat Komunitas Udang Penaeida Muda Pada Beberapa Muara sungai Di Pantai Utara Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. hal 73.

Sponge Identification Guide NAFO Area . 2011. (online)

http://dk.vintage.nanoq.gl/Emner/Erhverv/Erhvervsomraader/Fiskeri/Fiskerilicens

kontrollen/~/media/FD8E7CFCCF50439DBCEFE193437D9439.ashx (diakses 24

Januari 2017)

37

http://www.marinespecies.org/ (diakses 24 Januari 2017)

http://www.spongeguide.org/speciesinfo.php?species=57 (diakses 24 Januari

2017)

Larry L. Jackson. 2010. (online)

http://www.ljaxphotos.com/photoGalleries/index/sponges/page:4 (diakses 24

Januari 2017)

38

LAMPIRAN

39

Lampiran 1. Data Hasil Pengukuran Sampel Air 10 Jam dan Sampel Air 24 Jam

40

Lampiran 2. Hasil Uji Analisis (One Way Anova) Perbedaan Kemampuan Biofilter Bentuk Pertumbuhan Sponge setelah 10 jam

Descriptives

N Mean

Std.

Deviatio

n

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minim

um

Maxim

um

Lower

Bound

Upper

Bound

Kekeru

han

Masive 3

11,62

33 2,57948

1,489

27 5,2155 18,0311 8,77 13,79

Branchi

ng 3

13,49

00 2,63501

1,521

33 6,9443 20,0357 11,86 16,53

Submas

sive 3

16,20

33 1,15110

,6645

9 13,3438 19,0628 14,99 17,28

Total 9

13,77

22 2,77640

,9254

7 11,6381 15,9064 8,77 17,28

BOT Masive 3

10,07

33 2,22028

1,281

88 4,5579 15,5888 8,21 12,53

Branchi

ng 3

19,80

00 7,64746

4,415

26 ,8027 38,7973 13,90 28,44

Submas

sive 3

28,85

67 5,87450

3,391

64 14,2636 43,4497 24,01 35,39

Total 9

19,57

67 9,52163

3,173

88 12,2577 26,8956 8,21 35,39

TSS Masive 3

39,03

77

10,0989

40

5,830

626

13,9505

1

64,1248

2

28,81

3

49,00

6

Branchi

ng 3

47,60

80

19,7917

51

1,142

677 -1,55744

96,7734

4

30,96

0

69,49

1

Submas

sive 3

54,16

87

11,9376

45

6,892

203

24,5139

1

83,8234

2

45,55

8

67,79

6

Total 9

46,93

81

14,2208

42

4,740

281

36,0070

0

57,8692

2

28,81

3

69,49

1

ANOVA

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

41

Kekeruha

n

Between

Groups 31,823 2 15,912 3,199 ,113

Within

Groups 29,844 6 4,974

Total 61,667 8

BOT Between

Groups 529,445 2 264,722 8,110 ,020

Within

Groups 195,846 6 32,641

Total 725,291 8

TSS Between

Groups 345,440 2 172,720 ,814 ,486

Within

Groups 1272,419 6 212,070

Total 1617,859 8

Multiple Comparisons

BOT

Tukey HSD

(I)

BentukPertumbuhan

(J)

BentukPertumbuhan

Mean

Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence

Interval

Lower

Bound

Upper

Bound

Masive Branching -9,72667 5,20463 ,227

-

25,6959 6,2426

Submassive -

16,67667* 5,20463 ,042

-

32,6459 -,7074

Branching Masive 9,72667 5,20463 ,227 -6,2426 25,6959

Submassive -6,95000 5,20463 ,428

-

22,9192 9,0192

Submassive Masive 16,67667* 5,20463 ,042 ,7074 32,6459

Branching 6,95000 5,20463 ,428 -9,0192 22,9192

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Lampiran 2 (Lanjutan)...

42

Lampiran 3. Hasil Uji Analisis (One Way Anova) Perbedaan Menyaring Bentuk Pertumbuhan Sponge Setelah 24 Jam

Descriptives

N Mean

Std.

Deviatio

n

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minim

um

Maxim

um

Lower

Bound

Upper

Bound

Kekeru

han

Masive 3

8,343

3 1,73636

1,002

49 4,0300 12,6567 6,41 9,77

Branchi

ng 3

2,570

0 4,02720

2,325

10 -7,4341 12,5741 -,80 7,03

Submas

sive 3

20,39

33 3,13283

1,808

74 12,6109 28,1757 16,78 22,35

Total 9

10,43

56 8,32392

2,774

64 4,0372 16,8339 -,80 22,35

TSS Masive 3

55,16

90

13,7997

7

7,967

30 20,8885 89,4495 40,68 68,15

Branchi

ng 3

15,86

53

17,3626

0

10,02

430 -27,2658 58,9964 ,00 34,41

Submas

sive 3

53,51

47

13,4821

5

7,783

92 20,0231 87,0062 39,77 66,72

Total 9

41,51

63

23,2172

1

7,739

07 23,6700 59,3627 ,00 68,15

BOT Masive 3

13,69

00 2,39439

1,382

40 7,7420 19,6380 12,00 16,43

Branchi

ng 3

25,28

00 8,91702

5,148

24 3,1289 47,4311 17,06 34,76

Submas

sive 3

33,07

00 8,12711

4,692

19 12,8811 53,2589 27,17 42,34

Total 9

24,01

33

10,4474

2

3,482

47 15,9827 32,0439 12,00 42,34

ANOVA

Sum of

Squares df

Mean

Square F

Sig

.

43

Kekeruh

an

Between Groups 496,205 2

248,10

3 25,623

,00

1

Within Groups 58,096 6 9,683

Total 554,301 8

TSS Between Groups 2964,987 2

1482,4

94 6,602

,03

0

Within Groups 1347,324 6

224,55

4

Total 4312,311 8

BOT Between Groups 570,597 2

285,29

8 5,657

,04

2

Within Groups 302,592 6 50,432

Total 873,189 8

Multiple Comparisons

Tukey HSD

Depend

ent

Variable

(I)

BentukPertumb

uhan

(J)

BentukPertumb

uhan

Mean

Differen

ce (I-J)

Std.

Error Sig.

95%

Confidence

Interval

Lower

Boun

d

Upper

Boun

d

Kekeruh

an

Masive Branching 5,7733

3

2,5406

9 ,136

-

2,022

2

13,56

89

Submassive -

12,050

00*

2,5406

9 ,008

-

19,84

55

-

4,254

5

Branching Masive -

5,7733

3

2,5406

9 ,136

-

13,56

89

2,022

2

Submassive -

17,823

33*

2,5406

9 ,001

-

25,61

89

-

10,02

78

Submassive Masive 12,050

00*

2,5406

9 ,008

4,254

5

19,84

55

Lampiran 3 (Lanjutan)...

44

Branching 17,823

33*

2,5406

9 ,001

10,02

78

25,61

89

TSS Masive Branching 39,303

67*

12,235

30 ,042

1,762

4

76,84

49

Submassive 1,6543

3

12,235

30 ,990

-

35,88

69

39,19

56

Branching Masive -

39,303

67*

12,235

30 ,042

-

76,84

49

-

1,762

4

Submassive -

37,649

33*

12,235

30 ,049

-

75,19

06

-,1081

Submassive Masive -

1,6543

3

12,235

30 ,990

-

39,19

56

35,88

69

Branching 37,649

33*

12,235

30 ,049 ,1081

75,19

06

BOT Masive Branching -

11,590

00

5,7983

9 ,193

-

29,38

11

6,201

1

Submassive -

19,380

00*

5,7983

9 ,036

-

37,17

11

-

1,588

9

Branching Masive 11,590

00

5,7983

9 ,193

-

6,201

1

29,38

11

Submassive -

7,7900

0

5,7983

9 ,425

-

25,58

11

10,00

11

Submassive Masive 19,380

00*

5,7983

9 ,036

1,588

9

37,17

11

Branching 7,7900

0

5,7983

9 ,425

-

10,00

11

25,58

11

The mean difference is significant at the 0,05 level

Lampiran 3 (Lanjutan)...

45

Lampiran 4. Proses Preparasi Sedimen

a. Penumbukan Sedimen b. Pengayakan Sedimen

Lampiran 5. Proses Persiapan Akuarium

a. Pembersihan Akuarium

b. Susunan Akuarium / Wadah Uji

46

Lampiran 6. Proses Pengambilan Sponge

Lampiran 7. Proses Aklimatisasi Sponge

47

Lampiran 8. Pemberian Perlakuan Bentuk Pertumbuhan Sponge

a. Pelarutan Sedimen dengan Air Laut

b. Pengisian Air Laut Keruh ke Masing-masing Akuarium

c. Pengukuran Volume Sponge

48

Lampiran 8 (Lanjutan)....

d. Ketiga Bentuk Pertumbuhan Dimasukkan ke dalam Masing-masing Akuarium

e. Kondisi Air di Akuarium Setelah 10 Jam

49

f. Kondisi Air di Akuarium Setelah 24 Jam

g. Pengambilan Sampel Air

Lampiran 9. Pengukuran Sampel Air

a. Pengukuran Kekeruhan

50

Lampiran 9 (Lanjutan)...

b. Pengukuran Total Suspended Solid (TSS)

c. Pengukuran Bahan Organik Total (BOT)

Lampiran 10. Data Hasil Pengukuran Diameter dan Jumlah Osculum Sponge

Massive

Diameter Osculum (cm) Luas Osculum (cm) Jumlah Oscula

Ulangan I

0,42 0,14

25 0,27 0,06

0,29 0,07

Ulangan II

0,26 0,05

20 0,32 0,08

0,29 0,07

Ulangan III

0,31 0,08

14 0,24 0,05

0,32 0,08

Rata-rata 0,30 0,07 20

51

Lampiran 10 (Lanjutan)...

Branching

Diameter Oscula (cm) Luas Oscula

(cm) Jumlah Osculum

Ulangan I

0,18 0,03

27 0,12 0,01

0,16 0,02

Ulangan II

0,16 0,02

23 0,12 0,01

0,16 0,02

Ulangan III

0,18 0,03

19 0,13 0,01

0,15 0,02

Rata-rata 0,15 0,02 23

Submassive

Diameter Oscula (cm)

Luas Oscula (cm)

Jumlah Osculum

Ulangan I

0,40 0,13

20 0,35 0,10

0,35 0,10

Ulangan II

0,48 0,18

9 0,39 0,12

0,36 0,10

Ulangan III

0,36 0,10

7 0,40 0,13

0,32 0,08

Rata-rata 0,38 0,11 12