05.2-bab-2147(1)
TRANSCRIPT
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
, , 1. Obat Psikotropika
Obat psikotropika ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi
h g s i fisik psikis, kelakuan atau pengalaman ( WHO, 1966). Sebenarnya
psikotropika baru dikenalkan sejak lahinzya suatu cabang ilmu farmakologi
yakni psikofarmakologi, yang khusus mempelajari psikofarmaka dan
psikotropik. Psikofofannaka dan psikotropik. Psikofat sejak ditemukannya
alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati
kelainan psikiatnk. Berbeda dengan antibiotik, pengobatan dengan
psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan atas pengetahuan
empirik. Hal ini dapat dipahami karena, karena patofisiologi penyakit jiwa
belum jelas. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga
lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik
(Santoso dan Wiria, 1995).
Pedoman yang dianggap perlu diperhatikan dalam penggunaan obat
psikotropika menurut Hollistrik ( Wibisana, 1986 ) yaitu :
1. Obat psikotropika tidak menyembuhkan, melainkan hanya meringankan
gejala dan umumnya bersifat simtomatik.
2. Indikasi untuk obat neuroleptik adalah gangguan jiwa berat dan buku
untuk pengobatan kondisi gangguan mental ringan yang dapat diobati
dengan obat yang lebih sederhana.
3. Dalam memberikan obat psikotropika memadai pengguna beberapa
macam obat saja secara benar lebih bermanfaat daripada menggunakan
beberapa macam obat yang kurang memadai.
4. Kebanyakan obat psikotropika memadai mempunyai masa kerja yang
sama, sehingga sebenamya lebih menguntungkan bila diberikan dalam
bentuk dosis tunggal bila dosis optimal sudah didapat.
5. Pengobatan hendaknya dari dosis kecil untuk menghindari terjadinya efek
sarnping dan memberrkan fleksibilitas dalam menentukan dosis optimum.
6. Lamanya tergantung pada keadaan penyakitnya
7. Beberapa golongan obat ini justru dapat menambah keadaan gangguan
obat yang mempunyai efek sedatif.
8. Banyak obat dapat mencetuskan gejala psikiatri baik dalam penggunaan
terapetik maupun dalam ha1 penggunaan.
Ketentuan peresepan berdasarkan Undang - undang No. 5 Tahun
1997 ( Joenoes-Zarnan, 2002 ) yang mengatur kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika yang berada dibawah pengawasan internasional, yaitu
yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Psikotropika digolongkan menjadi :
a Psikotropika golongan I
Adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, hanya
diberikan khusus untuk penelitian serta potensinya amat kuat
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Termasuk obat
psikotropika golongan I adalah Brolamf&amh, Etisiklida (PEC),
Methatirnona, Psilosin.
b. Psikotropika golongan 11
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat menimbulkan sindrom ketergantungan
apalagi diberikan dalam jangka waktu yang lama. Contoh antara
lain Amfetamin, Fenobilina, Metakualin, Zipepprol, Secobarbital.
c. Psikotropika golongan I11
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh Butalbital,
Pentazosina, Amobarbital, Pentobarbital, Glutetimide.
d. Psikotropika golongan IV
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan, serta
mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan sindrom
ketergantungan. Obat Golongan IV ini sering diresepkan oleh
dokter umum maupun oleh dokter spesialis. Sebagian besar obat ini
adalah depresan sistem saraf pusat (SSP) Contoh antara lain
Alprazolom, aminorex, Brotizolam, Etinomat, Bromazepam,
diazepam, Meprobamate. Peresepannya hanya untuk short term
therapy misalnya tidak boleh digunakan lebih dari satu minggu
untuk tiap resep. Bila sesudah satu rninggu ada indikasi untuk
meneruskan maka dapat diberikan resep untuk satu minggu. Jadi
setiap kali resep jumlah obat yang diberikan hendaknya tidak boleh
diberikan satu minggu pemakaian.
Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat
manusia obat psikotropika dapat dikelompokkan menjadi :
I . Depresant
Yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf
pusat (Psikotropika Go1 4), contohnya antara lain :. Sedatin 1 Pil BK,
Rohypnol, Magadon, Valium, Mandrak (MX).
2. Stimulant
Yaitu yang bekerja mengaktikan kerja susunan s a d pusat, contohnya
amphetamine, yang terdapat dalam kandungan Ecstasi.
3. Hallusinogen
Yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan
contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, rnicraline.
Disamping itu psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari
Narkotika dan mahal harganya. Penggunaan psikotropika biasanya
dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral, sehingga
menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika.
Berdasarkan penggunaan kl- psikotmpik dibagi menjadi 4
golongan, yaitu (1) antipsikosis (major trankuilizer, neuroleptik);
(2) antimietas (antineurosis, minor tranquilizer) (3) antidepresan, dan
(4) psikotogenik (psikotornimetik, psikodisleptik, halusinogenik)
(Ingram et all, 1995).
w Antipsikotika disebut neuroleptika atau major tranquilizers yang
bekerja sebagai antipsikotis dan sedatif adalah obat-obat yang dapat menekan
fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi urnum,
seperti berpikir dan kelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi
dan agresi dan dapat pula menghdangkan atau mengurangi gangguan jiwa,
seperti impian d m pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku
yang tidak normal. Oleh karena itu, antipsikotdca terutama digunakan pada
psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit pada pasien, misahya
penyakit skizofienia ( "gla") dan mania. Minor tranquilizers adalah
anksiolitika yang digunakan pada gangguan kecemasan dan pada gangguan
tidur, seperti hipnotika. Contoh antara lain chlorpromazine, Haloperidol,
Trifluoperazine ( Tjay dan Rahardja, 2002 ).
Penggolongan antipsikotdca, biasanya dibagi dalam dua golongan
besar, yakni obat typis atau klasik clan obat atypis.
a. Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positit pada
umumnya dibagi ddam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut :
1) Derifat fenotiazin : klorpromazin, levomepromazin, dan triflupromazin
(siqui1)-thioridazin dan periciazin-perfenazin dan flufenazin-perazin
(Taxilan), trifluoperazin, proklorperazin ( stemetil ), dan Thietilperazin
Derivat thioxanten : klorprotixen (Truxal) dan mklopentixol
2) Derifat butirofenon : haloperidol, bromperidol, pipamperon.
3) Derifat buitlpiperidin : pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.
b. Antipsikotika atypis
Obat-obat atypis ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan
quetiapin (Seroquel) bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif
yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Lagipula efek sampingnya
lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.
Obat atypis yang kini sedang diselidiki secara klinis adalah oliperidon dan
ziprasidon (Tjay dan Raharja, 2002).
Obat antipsikosis mempunyai beberapa sinonim, antara lain
Neuroleptik dan Tranquilizer mayor. Dalam membicarakan obat anti psikosis,
yang menjadi obat acuan adalah klorpromazin (CPZ).
Tabel I. Sedian obat antipsikosis clan dosis anjuran
I No. 1 Nama Generik I Dosis Aniuran
2. 3 4.. 5. 6.. 7 8. 9. 10. 11.
Haloperidol 1 5-15 mglhari;50 mg/2-4 minggu 1 Perfenazin 1 12 -24 mg/han Flufenazin
pp
Flufenazin dekanoat
Sumber : Mansjoer, 1999.
Levomepromazin Tioridazin Sulpirid Pimozid Risperidon Trifluoperazin
10 -15 mg~han 25 mg/ 2-4 minggu
-
25 -50 mg/hari 151 -600 mg/hari 300 -600 mg/hari
,1-4mg/haT-i 2-6 mg/hari 10 -15 mg/hari
, Antiansietas terutama berguna untuk pengobatan simtomatik
penyakit psikoneurosis dan berguna untuk pengobatan sebagai obat tambahan
pada terapi penyakit simtomatik yang didasari ansietas (perasam cemas)
dan ketegangan mental. Penggunaan antiansietas dosis tinggi jangka lama,
dapat menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik. Dibandingkan dengan
sedatif yang sudah lama dikenal, antiansietas tidak begitu banyak
menimbulkan kantuk. Contoh antara lain diazepam, bromazepam
(Santoso dan Wiria, 1995).
7~ Antidepresi ialah obat untuk mengatasi depresi mental. Obat ini
terbukti dapat men&langkan atau mengurangi depresi yang timbul pada
beberapa jenis skizofi-enia. Antidepresi tidak dapat memperbaiki gejala
skizofienia lain, bahkan dapat memperbaiki gangguan pikiran yang
merupakan dasar penyakit ini. Perbaikan depresi ditandai dengan perbakan
dam perasaan, bertambahnya aktivitas fisik dan kewaspadaan mental, nafsu
makan dan pola tidur yang lebih baik dan berkurangnya p h a n morbid.
Contoh antara lain amitriptilin (Santoso dan Wiria, 1995).
Psikotogenik ialah obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah
laku, disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir dan perubahan dam
perasaan jadi dapat menimbulkan psikosis. Istilah psikotogenik ini munglun
paling cocok untuk golongan obat yang dahulu disebut psikotomimebk,
artinya obat yang menimbulkan keadaan mirip Psikosis, kadang-kadang obat
ini disebut obat halusinogenik yang berarti obat yang menimbulkan
halusinasi. Contoh antara lain Meskalin, dietilamid lisergad dan marihuana
atau ganja (Santoso dan Wiria, 1995).
, I . Obat-obat yang Potensial Timbul Interabsi Obat
'lC Interaksi obat merupakan suatu peristiwa di mana suatu aksi obat
di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara besamaan.
Kernunman terjadi reaksinya peristiwa interaksi obat harus selalu
dipertimbangkan dalam klinik pada waktu dua atau lebih diberikan
bersamaan atau hampi bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa
pengaruh yang merugkau, beberapa interaksi justru Qambil madhatnya
dalam praktek pengobatan ( Suryawati, 1995 ).
w Interaksi obat adalah pemberian dua atau lebih obat pada waktu
bersamaan atau harnpir bersamaan yang dapat mengubah efek obat Iainnya
sehingga kerja obat yang di ubah dapat menjadi lebih kuat atau kurang
aktif Akibat yang tidak dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada dua
k e r n w a n , yakni meningkatnya efek toksik atau efek samping obat
atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan ( Anonim, 2000 ).
c Intemksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau
terjadinay interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga dapat
dilakukan optimalisasi ( Suryawati, 1995 ).
& Faktor- faktor penderita yang berpengaruh terhadap interaksi obat
yaitu umur penderita, faktor fannakogenetik penderita, penyakit yang
sedang diderita, fungsi hati penderita, penyakit yang diderita, , fungsi
ginjal, kadar protein dalam darah, Ph urine penderita dan interaksi dengan
makanan atau minuman ( Joenoes- Zaman, 2002 ).
Kombinasi antipsikotik dengan antipsikotik lain mengakibatkan
potensiasi efek samping obat dan tidak ada bukt~ lebih efektif sehingga
tidak ada efek sinergis antara dua obat antipsikotik ( Maslim, 2001).
Namun banyak ditemukan kombinasi tersebut seperti chlorpromazine
dengan haloperidol yang umumnya digunakan dokter untuk membuat
penderita menjadi lebih tenang dan mnghdangkan gejala psikotik seperti
waham dan halusinasi sedang kombinasi chlorpromazine dan
tifluoperazine digunakan untuk menenangkan penderita dan
men&langkan gejala psikotik negatif seperti menutup diri dan berdiam
diri (Dhale dan Zanubia, 2003 ).-
4 Kombinasi ~ b a t antipsikotik dengan antiparkinson yang paling
banyak diperkirakan menimbulkan efek samping dari antiparkinson
meningkat tetapi kadar plasma ditmmkan dimana efek samping dari
antiparkinson antara lain : mulut kering, gangguan saluran pencernaan,
pusing, penglihatan kabur, retensi urin walaupun jarang terjadi, takikardia,
hipersensitivitas, gugup, pada dosis tinggi pada pasien yang peka dapat
mengalami bingung, eksitasi, gangguan jiwa (Anonim, 2000).
Kombinasi antipsikotik dengan antidepresan menimbulkan kadar
plasma dm efek parkinson atau efek muskarinik meningkat
( Anonim, 2000), mengurangi kecepatan ekskresi dari tisiklik, terjadi efek
antikolinergk, dapat menyebabkan eksitasi Sistem Saraf Pusat dan
hipertensi serta terjadi depresi berlebihan atau kerusakan h g s i bila
suatu antipsikotka digunakan bersamaan dengan depresan susunan saraf
pusat lain@& Akibatnya : mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan
kesadaran mental. Pada kasus berat terjadi gangguan peredaran darah dan
fUngsi pernapasan yang menyebabkan koma dan kematian. Oleh karena itu
dokter harus memantau pasien dengan cermat dan mengatur takaran obat
agar efek penekanan yang berlebihan dapat dikurangi sesedikit mungkm.
( Harkness, 1989 Y ~ o n t o h penggunaan kombinasi obat antipsikotik
dengan antidepresan trisiklik ( amitriptilin ) akan terjadi efek samping
antikolinergrk meningkat sehingga harus berhati-hati terhadap pasien
dengan penyakit jantung ( Maslim, 200 1
Kombinasi antipsikotik dan antkonvulsan terjadi ambang
konvulsan menurun atau efek antikonvulsan dapat berkurang dimana obat
antikonvulsan digunakan untuk mencegah kejang pada gangguan ayan
akibatnya gangguan mungkm tidak terkendali dengan baik dalam a d
serangan kejang meningkat karena itu dosis antkonvulsan harus lebih
besar ( Maslim, 2001). Oleh karena kedua obat adalah depresan susunan
saraf pusat, mungkm terjadi penekanan yang berlebihan di sertai gejala
mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental
Contohnya pada penggunaan kombinasi Diphenilhydantoin dengan
Chlorpromazine ( Harkness, 1989 ).
Kombinasi antiparkinson dengan antidepresan dapat
dimunglankan terjadi peningkatan efek antimuskarinik trisiklik.
Contohnya pada kombinasi trihexyphenidil dengan amitriptilin
( Anonim, 2000 ).
,Kombinasi antipsikotik dengan antianxietas terjadi efek sedasi
meningkat dan bermanfaat untuk kasus dengan gejala agitasi dan gaduh
gelisah yang sangat hebat ( Maslim, 200 1 ). Contoh penggunaan diazepam
dengan haloperidol dan dalam beberapa kasus biasanya dikombinasi juga
dengan jenis lain tergantung gejala yang menyertai dan diagnosis dokter.
Biasanya menurut dokter diazepam diikutsertakan pada penderita yang
masih merasa cemas walaupun telah diberikan antipsikotik
( Dhale d m Zambia, 2003 ).
Kombinasi antianxietas dan CNS depressants dapat terjadi efek
sedasi dan penekanan pusat napas, resiko timbulnya kesalahan
pernapasan. Seperti obat diazepam dengan amitriptilin akibatnya
amitriptilin memperpanjang waktu pengosongan lambung sehingga dapat
memperlambat absorbsi obat ( Setyawati A., 1995 ).
Kombinasi antianxietas dan antipsikosis dapat bermanfaat efek
klinis dari benzodiazepin ( diazepam ) mengurangi kebutuhan dosis
neuroleptika, sehingga resiko efek samping neuroleptika berkurang.
Contoh penggunaan kombinasi Carbamazepine clan Haloperidol akan
mengakibatkan Carbamazepine berpengaruh menurunkan kadar atau efek
dari haloperidol ( Kaplan dan Sadock, 1994 ) A
3. Gangguan kejiwaan
Ada tiga pernbagian utama klasifikasi penyAt psikiatri berkaitan
dengan gangguan kejiwaan yang digunakan yaitu :
1. Dibagi menjadi dua kelainan mental / jiwa utama, yaitu penyakit
mental dan cacat mental ( defisiensi, subnormalitas). Cacat mental
suatu keadan yang mencakup difisit intelektual dan telah ada sejak
lahir atau pada usia dini. Penyakit mental secara tidak langsung
kesehatan sebelumnya : kelainan yang berkembang atau kelainan
yang bermanifestasi kemudian dalam kehidupan. Pembagian ini
sangat tua dan telah diteguhkan oleh perundang-undangan dan oleh
penggunaan rumah sakit yang terpisah bagi penyakit mental dan cacat
mental.
2. Penyakit mental 1 jiwa secara prinsip dibagi dalam psikoneorosis dan
psikosis. Kategori ini sesuai dengan pendapat awam tentang
"kecemasan" dan "kegdaan". Psikoneurosis merupakan keadaan
lazim yang gejalanya dapat dipahami d m dapat diempati, seperti
neorosis ansietas, fobia, histeria, neurosis pasca traumatik, neurosis
depresi. Psikosis merupakan penyakit yang gejalanya h a n g dapat
dipahami dan tidak diempati serta pasien sering kehilangan kontak
dengan realitas. Pembedaan ini bermanfaat walaupun kasar d m
mempunyai perkecualian.
3. Istilah hgsional dan organik menunjukkan etiologi penyakit dan
digunakan untuk membagi psikosis. Psikosis hgsional berarti ada
gangguan fungsi, tanpa kelainan patologi yang dapat dibuktikan,
contoh psikosis hgsional afektif : psikosis manik-depresif (depresi
atau mania) dan skizofienia : paranoid, hebefienik, katatonik,
simpleks. Diagnosis penyakit hgsional seharusnya bersandar atas
penemuan gejala psikologi dan tidak melulu atas penyingkiran
gambaran fisik. Psikosis orgaruk ( psikosis simtomatik )
mempunyai lesi yang dapat diperlihatkan atau diduga ada, misal
tumor, perubahan vaskular, faktor infeksi, toksik traumatik atau
congenital ( Ingram et all, 1995 ).
.3.1. Psikosis
Yang dimaksud dengan psikosis adalah penyalut kejiwaan pikiran
dan kejiwaan, yang menyebabkan perubahan sb-uktur kehidupan
kesekuruhan ; pasien bersangkutan akan berubah kepribadiannya yang
terlihat dengan adanya fase-fase atau tahap-tahap tertentu. Psikosis ini
dapat dibedakan dari gangguan psikis lainnya dengan melihat gejala yang
terjadi atau kadang-kadang dengan melihat pola fase-fase tersebut.
Psikosis dibedakan atas psikosis eksogen yang disebabkan pengaruh
patologi pada tubuh dan psikosis endogen yang penyebabnya sampai saat
ini tidak diketahui, tetapi kemunglunan besar disebabkan gangguan
metabolisme otak. Psikosis eksogen antara lain dapat disebabkan oleh
trauma otak, tumor otak, ensefalitis, keracunan, perubahan arterioklerotis
atau penyakit endokrin. Termasuk pada psikosis endogen adalah
skizofienia dan psikosis maniak-depresif ( Mutschler, 1991).
.3.2. Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah untuk sekelompok psikosis dengan
berbagai gangguan kepribadian disertai adanya perubahan yang khas dari
cara berpikir, perasaan, dan hubungmya dengan lingkungan.
Kemunglunan terjadinya penyakit ini 1% dan tidak tergantung pada ras
maupun lingkungan budaya seseorang ( Mutschler, 1991).
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan
kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan, dan dapat mengalubatkan
kendala sosial, emosional, dan kognitif ( Pengenalan, pengetahuan, daya
membedakan; Lat, cognitus = dikenali ). Akan tetapi, ada pula banyak
varian lain yang h a n g serius. Skizofienia adalah penyebab terpenting
gangguan psikotis, dimana periode psikotis, diselingi periode 'normal'
saat pasien bisa berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara
menyelinap, adakalanya juga dengan mendadak. Pada pria, biasanya
timbd antara usia 15-25 tahun, jarang diatas 30 tahun, sedangkan pada
wanita antara 25-35 tahun (Tjay dan Rahardja, 2002).
Penyebabnya masih belum diketahui, munglun berkaitan dengan
terganggunya keseimbangan sistem kimiawi rumit diotak. Dewasa ini
hanya ditetapkan adanya faktor kehmman dengan faktor lingkungan
sebagai pemeran penting. Menurut suatu teori, infeksi virus selama
perkembangan janin pada kehamilan telah menghambat pertumbuhan
antara lain neuron dopamine kebagian-bagian tertentu dari otak
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Skizofienia tidak dapat disembuhkan, penanganannya bersifat
simtomatis, yakni menghalau gejala-gejalanya dan kemudian mencegah
kambuhnya lagi. Selain itu rehabilitasi psikososialnya sangat penting
untuk reintegrasi pasien dalam masyarakat. Dewasa ini para ilmiawan
sepaham bahwa penanganan skizofienia paling efektif terdiri atas
kombinasi dari farmakoterapi bersama psikoterapi, termasuk terapi
kelakuan kognitif yang juga disebut "terapi bicara". Dokterfpsikiater
berusaha membangun hubungan baik dengan pasiennya dan memperoleh
kepercayaan mereka, juga mencoba mengatasi problema psilcis mereka,
serta memberikan petunjuk bagaimana menghadapi masalah
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama
klorpromazin bila diperlukan efek sedatif, trifluoperazin bila sedasi tidak
dikehendaki atau pimozida jika pasien justru perlu diaktinCan. Efek
antipsikotik baru menjadi nyata setelah terapi 2-3 minggu. Bila sesudah masa
latensi, obat-obat tersebut kurang efektif, perlu dicoba obat-obat lain dari
kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat digunakan sebagai profilakse
untuk mencegah kambuhnya penyakit. Thioridazin berguna pada lansia untuk
mengurangi GEP ( Gejala Ekstra Piramidal ) dan gejala antikolinergis. Obat-
obat klasik terutama untuk meniadakan simtom positif dan efehya bsaru
nampak setelah beberapa bulan (Tjay dan Raharqia, 2002).
Ketepatan diagnosis diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kekeliruan diagnosis
akan mengakibatkan kekeliruan dalam memilih obat yang diperlukan.
Ketepatan indikasi berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat
diberikan pada suatu kasus tertentu. Ketepatan jenis obat berkaitan dengan
pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan manfaat,
kearnanan, harga, dan mutu sebagai acuan dapat digunakan buku pedoman
pengobatan. Ketepatan informasi menyangkut informasi cara penggunaan obat,
efek samping obat, dan cara penanggulangannya serta pengaruh kepatuhan
pasien terhadap hasil pengobatan. Ketepatan penilaian diperlukan terhadap
kontra indikasi, pengaruh faktor konstitusi, penyakit penyerta, dan riwayat
alergi. Ketepatan tindak lanjut memerlukan informasi mengenai kesembuhan
dan berkuraugnya gejala penyakit, keperluan untuk rneru.uk, timbulnya
efek samping dan sebagainya ( Sastramiharja, 1997).
4. Rumah Sakit
Rurnah sakit merupakan suatu sarana upaya kesehatan, yang
menyelenggarakan kegiatau pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di
rumah sakit merupakan kegiatan pelayanan berupa pelayanan rawat jalan,
rawat nginap clan gawat b a t yang mencakup pelayanan medis maupun
penunjangnya. Di samping itu, maka rumah sakit tertentu dapat dimanfaatkan
bagi pendidikan tenaga kesehatan maupun penelitian ( Soekanto, 1989 ).
Berdasarkan bentuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan,
maka dapat dibedakan antara rumah sak~t umum dengan rumah salut khusus.
Rumah sakit umum merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan semua jenis penyalut dari yang bersifat dasar sampai dengan
subspesialistis. Kalau suatu rumah sakit hanya menyelenggarakan pelayanan
kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin tertentu, maka
lembaga itu merupakan rumah sakit khusus ( Soekanto, 1989 ).
Suatu rumah salut dapat dimiliki d m diselenggarakan oleh
pemerintah atau swasta. Rumah sakit pemerintah dimiliki oleh Departemen
Kesehatan, Pemerintah, ABRI atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Suatu rumah sakit swasta munglun dimiliki dan diselenggarakan oleh suatu
yayasan atau badan hukurn yang bersifat sosial. Pada pokoknya
penyelenggaraan rumah sakit harus mendapat izin dari Menteri Kesehatan
( Soekanto, 1989 ).
Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis
pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam
yaitu RS Pemerintah ( RS Pusat, RS Propinsi, RS Kabupaten ), RS BUMNI
ABRI, dan RS Swasta yang menggunakan dana investasi dari sumber dalam
negeri ( PMDN ) dan sumber luar negeri (PMA). Jenis RS yang kedua adalah
RS Umum, RS Jiwa, RS Khusus ( mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, dan
kanker dsb ), RS Kelas C, dm RS Kelas D. Pada akhir PELITA VII,
pemerintah akan meningkatkan status semua RS Kabupaten Dari kelas D
menjadi kelas C. Kelas RS juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang
tersedia. Untuk RS kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas dan sub-
spesialistik. RS kelas B mempunyai pelayanan minimal 4 spesialistik dasar
( bedah, penyakit dalam, kebidanan dan anak ). Di RS kelas D terdapat
pelayanan medis dasar (Muninjaya, 1999).
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No. 134lSWIV178
th.1978 tentang susunan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum di
Indonesia antara lain disebutkan:
Pasal 1. : Rumah Sakit Umum adalah organisasi dilingkungan Departemen
Kesehatan yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Dirjen Yan Medik.
Pasal 2. : Rumah Sakit Umum mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
kesehatan (caring) dan penyembuhan (curing ) penderita serta
pemulihan keadaan cacat badm dan jiwa (Rehabilitation).
Pasal 3 : Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Rumah Sakit mempunyai
fimgsi : a Melaksanakan Usaha pelayanan me&
b. Melaksanakan usaha rehabilitasi medik
c. Usaha pencegahan komplikasi penyakit dan
peningkatan pemulihan kesehatan.
d. Melaksanakan usaha perawatan
e. Melaksanakan usaha pendidikan dan latihan medis dan
paramedis.
f Melaksanakan sistem rujukan
g. Sebagai tempat penelitian.
Pasal4 : a. Rumah Sakit Umum yang dimaksud dalam keputusan ini adalah
RS. kelas A, kelas B dan kelas C.
b. Rumah Sakit Umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan
pelayanan kesehatan yang spesialistk dan sub spesialis yang
luas.
c. Rumah Sakit Umum kelas B adalah RSU yang melaksanakan
pelayanan kesehatan spesialistik yang luas.
d. Rumah Sakit Umum kelas C adalah RSU yang melaksanakan
pelayanan kesehatan yang spesialistik paling sedikit 4 spesialis
dasar yaitu Penyakit Dalam, Penyakit Bedah, Penyakit
Kebidanan / Kandungan dan Kesehatan Anak
(Muninjaya, 1999).
Batasan-batasan rumah sakit:
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis
profesional yang terorganisir serta sarana kedoktem yang permanen
menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang
berkesinambungan atau diagnosis serta pengobatan peyakit yang diderita oleh
pasien (American Hospital Association cit Azwar, 1996).
Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan
menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk
mahasiswa kedoktem, perawat, dm berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya
diselenggarakan (Wolper dan Pena cit Azwar, 1996).
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh
dokter terhadap pasiennya berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya.
Upaya tersebut ditempuh melalui suatu tahapan prosedur tertentu yang disebut
standar operating prosedur (SOP) yaitu terdiri dari anamnesis, pemeriksaan,
penegakan dosis, pengobatan d m tindakan selanjutnya
( Sastramihardja, 1997 ).
Beberapa pilihan terapi yang ada adalah terapi obat, pembedahan,
pengobatan psikiatri, radiasi, terapi fisik dan pendidikan kesehatan, konseling,
konsultasi lanjutan atau tidak diberi terapi. Dari pilihan tersebut terapi obat
paling banyak dipilih (Sastramihardja, 1997).
. 5. Rekam medik ( medical record )
Rekam medik rumah sakit (RMRS) merupakan komponen penting
dalam pelaksanaan kegiatan manajemen Rumah Sakit. RMRS hams mampu
menyajikan informasi lengkap tentang proses pelayanan medis dan kesehatan
di Rumah Sakit, baik di masa lalu, masa kini maupun perkiraan dimasa datang
tentang apa yang terjadi. Aspek hukum peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) tentang pengisian dapat memberikan sanksi hukum bagi rumah
sakit ( RS ) atau petugas kesehatan yang melalaikan, d m berbuat khilaf lain
dalam pengisian lembar - lembar Rekam medik (RM). Ada dua kelompok
data RMRS di sebuah Rumah Sakit yaitu kelompok data medik dan data
m u m Dalam memberikan obat psikotropika memadai pengguna beberapa
macam obat saja secara benar lebih bermanfaat daripada menggunakan
beberapa macam obat yang h a n g memadai.
1. Data medik
Data medik dihasilkan sebagai kewajiban pihak pelaksana
pelayanan medis ( termasuk residen ), para medis, dan ahli kesehatan yang
lain ( paramedis keperawatan dan paramedis non keperawatan ). Mereka akan
mendokumentasikan semua hasil pemeriksaan dan pengobatan pasien dengan
menggunakan alat perekam tertentu baik secara manual maupun dengan
komputer. Jenis rekamannya disebut rekam medik dan kesehatan Petunjuk
teknis RMRS sudah tersusun tahun 1992 dan diedarkan ke seluruh jajaran
organisasi Rumah Sakit di Indonesia. Ada dua jenis RMRS :
a. Rekam medlk untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat darurat
yang berisi tentaug identitas pasien, hasil anamneis ( keluhan utama,
riwayat sekarang, riwayat penyakit yang diderita, riwayat keluarga
tentaug penyakit yang mungkm diturunkan atau yang dapat ditularkan
diantara keluarga), hasil pemeriksaan : ( fisik, laboratorium, pemeriksaan
khusus lainnya), Diagnostik kerja, dan Pengobatan / Tindakan. Pencatatan
data ini hams di isi selambat-lambatnya 1 kali 24 jam setelah pasien
diperiksa.
b. Isi Rekam medik untuk pasien rawat inap. Hampir sama dengan isi rekam
medis untuk pasien rawat jalan kecuali beberapa hal seperti : persetujuan
pengobatan / tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan dan tenaga
kesehatan lainnya, catatau observasi klinik, hasil pengobatan, resuma
akhir dan evaluasi pengobatan.
sekitar tahun 1923 sudah menerapkannya disini, akan tetapi masih bersifat
masal. Beberapa tahun kemudian Direktur RS. Jiwa Prof. Dr. Soeroyo
Magelang berikutnya Doketer J. C. Van Andel, menyempurnakan dengan
sistem Terapi Kerja Individual yang disesuaikan dengan paisen serta kondisi
Indonesia
RS. Jiwa Prof. dr. Soeroyo Magelang adalah Rumah Sakit Jiwa
Pemerintah yang bernaung dibawah Depertemen Kesehatan RI.
Menurut konsep Tri Upaya Bina Jiwa maka pelayanan Kesehatan
di Rumah Sakit Jiwa merupakan perpaduan Wtas tim yang terdiri dari
Psikiater dokter, Psikolog, Perawat, dan Pernbimbing Sosial dan ditunjang
unsur - unsur pendukung lainnya dalam bidang Administrasi.
Jangkauan Pelayanan .
I. Pelayanan di dalam Rumah Sakit Jiwa (Intramural)
Dibagi dalam 7 unit Pelayanan Fungsional (UPF)
1. UPF Kesehatan jiwa masyarakat
2. UPF Rawat Jalan Terpadu
3. UPF Gangguan Mental Organik
4. UPF Anak d m Remaja
5. UPF Dewasa dan Lanjut Usia
6. UPF Elektromedik
7. UPF Rehabilitasi
29
IL Instalasi
1. Instalasi Laboratorium
2. Instalasi Apotik
3. Instalasi Gizi
III.Pelayanan diiuar Rumah Sakit Jiwa (Extramural)
Ada beberapa kegiatan, yaitu :
1. Integrasi Kesehatan Jiwa di Puskesmas dan RSU
2. Penyuluhan kesehatran Jiwa
3. Kunjungan Rumah
4. Kerjasama dengan Instasi lain, misal :
a Dengan Kqolisian dan Dinas Sosial
b. Dalam bidang pendidikan dengan sekolah; Akademi Perawat,
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Fakultas Psikologi,
dll.
7. Standar Diagnosa dan Terapi Gangguan Jiwa di RSJP Magelang
.7. 1. Gmgguan Jiwa dengan gejala Skizofienia, Gangguan Psikotik dan
Gangguan Sluzoafektif
a. Pemeriksaan Penunjang : Evaluasi Kepribadian / masalah Psikososial
dan lingkungan, Brain Mapping, Pemeriksaan lain sesuai dengan
kebutuhan diagnostik
b. Konsultasi : Spesialis terkait
c. Perawatan Di Rumah Sakit : bila ada gawat psikiatrik
d. Terapi :
d. 1. Kondisi akut :
d. 1.1. Bila diperlukan obat parenteral :
1). Haloperidol 5 - 20 mg ivlim, dapat diulang tiap 2 jam sampai
mencapai dosis 100 mg 1 hari, atau
2). Chlorpromazine, 50 - 100 mg im, hati -hati terhadap efek
hipotensinya, dapat diulang setiap sesudah 1 jam. Apabila
diperlukan sedasi yang cepat dapat dipakai diazepam 5 - 10 mg
iv, dapat diulang setiap 15 menit
7. 2. Episode Depresif Berat dengan gejala Psikotik
a. Perneriksaan Penunjang : Evaluasi Kepribadianlmasalah Psikososial dan
lkkww
b. Konsultasi : Spesialis terkait
c. Perawatan Di Rumah Sakit : Rawat inap bila membahayakan diri sendiri
dan lingkungan.
d. Terapi :
d. 1. Farmakoterapi
Untuk Episode ringan dan sedang diberikan antidepresan :
d. 1. 1. Trisiklik
1) .Amittriptihe ( laroxyl), dosis awal75 mg, dibagi 3,maksimal300
mg/hari, hati-hati pada orangtua.
2). Imipramine ( lofianil ) dosis = amitrptiline
3). Clomipramine ( anafianil ) dosis awal 75 mg dibagi 2, maksimal
250 mg/hari
4). Amineptin ( survector ), 200 mg/hari
d. 1.2. Tetrasiklik
1). Maprotilin ( ludiomil ), dosis awal75 mg dibagi 3,maksimal 225 mg/hari
2). Mianserine ( tolvon ). 10 - 60 mg, 2x/hari
d. 1.3. Monoaminoxide (MAO) Inhibitor :
1). Moclobemide ( aurorix ), 300 -600 mg, 2Xmari
d. 1.4. Triazolopyridine :
l).Trozadone ( trazone ) dosis awal50 mg lx/hari dapat dinaikkan 2-3x
50 mg, dosis terapeutik 300-400 mg
d. 1. 5. Selective Seronine Reuptake Inhibitor ( SSFU ) :
1). Sertaline ( zoloft ), dosis awal50 mg/hari,
maksimal200 mg/hari 1 kali
2). Paroxetine ( serovet ), dosis awal20 mg, maks 50 mg.hari.
3). Flufoxetine HCl ( prozac ) dosis awal20 mg, maks 80 mg/hari
Dalam memberikan antidepresant trisiklik dan tetrasiklik hati-hati
terhadap penderita penyakit jantung ( myocard infact b e penyembuhan,
merupakan Kontra Indkasi ) dan usia lanjut.
7. 3. Psikoterapi
Terapi individu, Terapi kognitif, Terapi tingkah laku, Terapi
keluarga, Terapi interpersonal. Untuk episode yang berat dapat diberikan :
1). Neuroleptik : yang mempunyai sedasi ringan,
misalnya : Haloperidol 10 -30 mg, 2x/hari
2). Electro Convldlsiv Therapy ( Terapi kejang listrik) : Terutama ada
pikiran bunuh diri
B. Landasan Teori
Rumah Sakit Jiwa Prof. dr, Soeroyo Magelang yang merupakan
Rumah Sakit tertua mempunyai jangkauan yang luas, sehingga kasus yang
ditemui cukup beragam mulai dari penyakit jiwa yang ringan sampai terberat
baik di instalasi rawat jalan maupun instalasi rawat hap. Berdasarkan bagian
informasi kasus peyakit gangguan jiwa banyak ditemukan yang membutuhkan
obat psikotropika yang bekerja atau mempengasuhi fungsi psikis, kelakuan
atau pengalaman.
Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan
dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih
buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan
berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak
jarang bahkan menimbulkan kernatian. Obat Psikotropika banyak digunakan
dalam pengobatan gangguan jiwa seperti skizofrenia, gangguan psikohk,
gangguan skizoafektif dan gangguan kejiwaan lainnya.. Obat ini dapat
menekan fungsi-fungsi psikis tertentu, meredakan emosi, agresi, dan dapat
menghllangkan atau mengurangi gangguan jiwa serta perilaku yang tidak
normal. Umumnya obat psikotropika ini tidak menyembuhkan, melainkan
hanya meringankan gejala d m besifat simtomatik
( berdasarkan gejala yang timbul ) karma sampai saat ini penyebab fungsional
masih belum diketahui dengan jelas.
Terapi somatik dan psikoterapi pada keadaan tertentu telah
dilakukan tetapi penyakit masih menetap atau term berulang maka diperlukan
pertimbangan penggunaan psikofmaka / psikotropika. Obat-obatau ini
bekerja pada gangguan psikosomatk dengan mempeng& afek 1 perasaan
dan emosi serta fungsi vegetatif dan sebagai suatu usaha untuk mengobati atau
mengoreksi perilaku, pikiran atau moodkeinginan yang mengalami gangguan
akibat perubahan zat kimia atau cara fisik lahmya
Obat antipsikotk atipikal bekerja menghambat reseptor dopamine
maupun serotonin dalam otak sehingga mampu mengontrol gejala positif
maupun negatif dimana obat ini memberi hasil yang lebih bak, dapat
mengurangi gejala, mengatasi berbagai aspek gangguan kognitif, tingkat
kualitas hidup lebih baik, menurunkan perawatan di nunah sakit, dan memberi
respons lebih dari 60 persen pada kasus resisten
1 .- Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola
penggunaan obat psikotropika pada penyakit gangguan kejiwaan di instalasi
rawat inap dengan membandingkan pada standar diagnosa dan terapi gangguan
jiwa di RSJ Prof dr. Soeroyo Magelang serta staudar pelayanan medis RSUP
dr. Sarjito sebagai pelengkap.