04530006
DESCRIPTION
dsTRANSCRIPT
-
55
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini dijelaskan tentang hasil-hasil penelitian dan pembahasan
meliputi, preparasi sampel, analisa kadar air, analisa total keasaman, ekstraksi
senyawa aktif dengan corong pisah, uji antibakteri, uji fitokimia senyawa yang
aktif dengan uji reagen.
4.1 Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah madu Sumbawa.
Sebanyak 150 ml sampel, disaring dengan menggunakan penyaring teh. Fungsi
dari penyaringan madu ini sendiri adalah untuk membersikan madu dari ampas
kotoran atau koloni madu.
4.2 Karakteristik Madu Sumbawa
4.2.1 Analisis Kadar Air
Faktor yang mempengaruhi mutu madu salah satunya adalah kadar air,
kadar air dalam madu secara tidak langsung biasanya diukur dari berat jenisnya.
Jika kadar air dalam madu tinggi, maka madu akan mengalami fermentasi
(Winarno 1982). Terjadinya fermentasi terutama karena aktivitas mikroorganisme
atau ragi yang memang secara normal terdapat dalam madu, dan bila kadar air
madu tersebut meningkat, ragi menjadi aktif dan berkembang biak, sehingga
-
56
terbentuk alkohol yaitu perubahan gula sederhana menjadi etanol (Winarno,
1982). Akibatnya, madu akan mengalami perubahan rasa, sedangkan madu
dengan kadar air yang rendah, madu tersebut aman terhadap serangan ragi dan
fermentasi.
Jumlah kadar air berbanding terbalik dengan kadar gula reduksi, apabila
kadar air madu rendah maka kadar gula reduksi akan tinggi. Madu yang telah
matang mengandung air yang rendah yaitu 17% dan mempunyai kadar gulah buah
(fruktosa) yang tinggi. Kadar air yang rendah akan menjaga madu dari kerusakan
untuk jangka waktu yang relatif lama tetapi keadaannya masih baik. Secara umum
madu mengandung berbagai gula reduksi bila disimpan terlalu lama akan
mengalami perubahanm(Sihombing, 1997).
Penetapan kandungan air pada penelitian ini dilakukan dengan cara
pengovenan. Umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan
bahan dalam oven pada suhu 105-110 oC selama 3 jam atau sampai diperoleh
berat konstan (Winarno,2002: 10). Sebagaimana dalam penelitian ini untuk
mendapatkan berat konstan dilakukan dengan pengeringan sampel dalam oven
pada suhu 100-105 0C selama 5 jam. Setiap 30 menit dilanjutkan dengan
pendinginan di dalam desikator selama 10 menit sampai diperoleh berat konstan
yang menunjukkan kandungan air di dalam bahan sudah teruapkan secara
maksimal.
Data perhitungan sampel air madu dapat dilihat pada lampiran 3. Hasil
perhitungan kadar air madu Sumbawa adalah 14,92 %. Bila dilihat dari standar
-
57
mutu madu menurut SNI-0156-77 untuk kadar air maksimal madu 22 %, maka
madu Sumbawa sudah memenuhi standar kualitas madu yang ditetapkan.
Kadar air madu sumbawa yang rendah ini, ini bisa juga disebabkan oleh
kondisi nektar tanaman di wilayah tersebut, faktor geografis sumbawa yang kering
dan panas membuat kandungan air di dalam madu menjadi rendah. Kadar air yang
rendah pada madu sangat penting karena menurut Suliyanto (1996) jika madu
mempunyai kadar air lebih dari 20 % maka madu mudah rusak dan timbul jamur.
Jika kadar air lebih dari 25 % madu mudah terfermentasi hingga terbentuk gas
CO2 dan alkohol, sehingga madu terasa asam.
Kondisi penyimpanan berpengaruh terhadap kadar air madu, hal ini
disebabkan karena madu merupakan produk yang sangat higroskopsi, sehingga
apabila madu disimpan dalam kondisi lingkungan yang lembab akan
mengakibatkan kenaikan kadar air yang selanjutnya akan mendukung
perkembangan mikroba (Sanz et. al. 1994).
4.2.2. Total Keasaman
Kualitas madu dapat juga dilihat dari keasamannya. Pada umunya madu
memiliki yang rasa sedikit asam. Data perhitungan total keasaman madu dapat
dilihat di lampiran 3. Total keasaman madu sumbawa adalah 46 mek/ kg,
sedangkan pH madu sumbawa 5. Jika dikaitkan dengan SNI yang menetapkan
total keasaman madu maksimal 50 ekivalen maka madu sumbawa memenuhi
standar SNI, sedangkan standar SNI untuk pH madu maksimal 3-5 jadi total
keasaman pada madu Sumbawa dan pH madu Sumbawa normal. Selain itu
-
58
keasaman madu juga dapat berasal dari asam-asam yang terdapat dalam tepung
sari. Menurut ( Winarno (1981) komposisi kimia tepung sari dari berbagai jenis
bunga mengandung asam nikotin, asam formiat, dan asam malat. Handiwiyanto
(1982) menambahkan bahwa mikroorganisme seperti khamir atau yeast akan
mengubah madu menjadi asam.
Nilai pH madu sumbawa sebesar 5, menurut Tarboush et al., (1993), nilai
pH madu bervariasi antara 3,2 samapai dengan 6,1. Livie (1960) melaporkan
sebagai mana yang dikutip oleh Sanz et al. (1994), bahwa pH yang rendah akan
menghasilkan unsur antimikroba dari aktivitas enzim sehingga menyebabkan
kestabilan madu terhadap pertumbuhan bakteri.
Menurut Koot (1980) dalam Budiwijono (2002) asam di dalam madu yang
paling utama adalah asam glukoma, piroglutamat, piruvat asam alfa ketoglutarat.
Kandungan asam dalam madu sangat berperan dalam pembentukan citra rasa
asam dan kestabilan jumlah mikroorganisme. Kandungan asam yang tinggi akan
meningkatkan rasa asam madu dan merangsang terjadinya fermentasi oleh bakteri
maupun mikroba lain.
Menurut Koot (1980) kadar asam yang meningkat pada madu diduga
disebabkan oleh fermentasi dan aktivitas enzym. Madu dengan kandungan gula
yang rendah sangat mudah sekali mengalami fermentasi. Pada proses fermentasi
ini glukosa dipecah menjadi etanol dan karbondioksida, kemudian alkohol
mengalami reaksi lagi dan berubah menjadi asam asetat. Peningkatan asam dalam
madu juga terjadi akibat aktivitas enzym glukosa oksidase yang akan
meningkatkan kandungan asam glukonat yang diubah dari glukosa.
-
59
4.3 Ekstraksi Madu dengan menggunakan Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi madu menggunakan ekstraksi cair-cair merupakan peristiwa
pemindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh pelarut
sehingga terjadi larutan zat aktif dalam pelarut. Pada saat pencampuran terjadi
perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media
pembawa) dan masuk kedalam pelarut kedua (media ekstraksi). Dalam penelitian
ini digunakan dua pelarut yang berbeda kepolarannya yaitu pelarut potreleum eter
dan aseton, tujuan dari menggunakan dua pelarut yang memiliki kepolaran
berbeda agar semua senyawa aktif yang terdapat pada madu yang bersifat non
polar maupun polar dapat ditarik semua oleh pelarut tergantung tingkat
kepolaranya. Senyawa aktif yang non polar dapat ditarik oleh pelarut petroleum
eter, sedangkan pelarut aseton dapat menarik senyawa aktif yang terdapat pada
madu yang bersifat polar. Hasil ekstraksi dari madu Sumbawa dapat dilihat pada
tabel 4.3
Tabel 4.3 Hasil Ekstraksi Cair-Cair Madu Sumbawa
Jenis pelarut Fasa organik Fasa air/ residu Petroleum eter Krem agak
mengental Cairan berwarna
orange Aseton Krem keputihan dan
agak mengental Cairan berwarna
orange
Pada ekstrak madu dengan pelarut petroleum eter terjadi pemisahan dan
terbentuk 2 fasa dan terdapat sedikit busa, warna pelarut berubah menjadi agak
-
60
keruh dan warna madu tetap orange keemasan. Pelarut petroleum eter sudah
menarik zat aktif yang terdapat di dalam madu, yaitu dapat dilihat dengan adanya
perubahan warna pelarut yang semula bening, berubah menjadi keruh. Sedangkan
pada proses pemisahan dengan menggunakan pelarut aseton terjadi dua fasa,
dimana warna pelarut bening dan memiliki banyak busa atau buih sedangkan
warna madu tetap orange keemasan.
Untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut dilakukan pemisahan dengan
corong pisah, dimana sampel madu pada masing-masing pelarut petroleum eter
dengan aseton dimasukan dalam corong pisah selama 12 jam, agar ekstrak madu
dan pelarut dapat terpisah secara sempurna. Fasa organik dibagian atas, sedangkan
residu madu di bawah. Setelah itu residu dan ekstrak madu dikeluarkan dari
corong pisah dan masing-masing ditampung dengan beker glass,ekstrak dan
residu dimasukan dalam desikator vakum untuk menguapkan larutan yang
terdapat pada residu dan ekstrak, dan selanjutnya digunakan untuk uji aktivitas
antibakteri dan selanjutnya dilakukan untuk uji golongan senyawa aktif alkaloid
dan flavonoid pada ekstrak madu.
4.4. Uji aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak madu dilakukan terhadap bakteri S.
aureus (gram positif) dan E. coli (gram negatif) secara in vitro menggunakan
metode difusi cakram. Terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri
-
61
menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri uji. Zona
penghambatan bakteri dinyatakan dalam milimeter (mm) yang diukur dari
diameter zona bening yang terbentuk (diameter sumuran terhitung). Semakin luas
zona bening menunjukkan semakin tinggi aktivitas antibakteri madu.
Diameter zona bening di sekitar cakram yang berisi ekstrak diukur dan
dibandingkan dengan diameter zona bening di sekitar cakram yang berisi kontrol
positif (penisilin dan streptomisin) dan kontrol negatif (aseton dan petroleum
eter). Apabila diameter zona bening ekstrak lebih besar dibandingkan diameter
zona bening kontrol positif, maka ekstrak sangat efektif sebagai antibakteri.
Namun apabila zona bening ekstrak lebih kecil dibandingkan diameter zona
bening kontrol positif, maka ekstrak masih kurang efektif sebagai antibakteri,
sehingga dimungkinkan dengan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi ekstrak akan
seefektif kontrol positif. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk memastikan
bahwa diameter zona hambat ekstrak yang dihasilkan bukan pengaruh dari
pelarut, tetapi murni dari senyawa aktif dalam ekstrak tersebut. Hasil uji aktivitas
antibakteri pada madu sumbawa dapat dilihat pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Hasil Uji Aktifitas Antibakteri Madu Sumbawa
Cakram (perlakuan) Diameter zona hambat (mm)
Stapylococuus aureus (+)
Eschericia Coli (-)
Madu 5% 7,28 7,93 10 % 7,35 7,88 25% 7,77 7,63
-
62
50 % 7,83 6,70 Residu aseton 5 % 5,73 7,23 10 % 7,32 6,75 25 % 6,90 7,17 50 % 6,86 7,70 Res.Petroleum eter 5 % 6,53 6,70 10 % 7,43 6,78 25 % 7,75 6,42 50 % 8,02 7,05 Fasa Organik Aseton
5% 7,23 7,20 10% 7,26 7,23 25% 7,33 7,32 50% 8,08 7,33 Fasa organik petroleum eter 5 % 7,32 7,17 10 % 6,93 6,70 25 % 6,91 6,75 50 % 6,53 8,22 Aseton 0 0 Petroleum eter 0 0 Penicilin 25 g/ml 7,63 7,58 Streptomisin 6,25 g/ml 36,73 21,83
Berdasarkan hasil tabel 4.4 zona hambat paling besar adalah pada ekstrak
petroleum eter dan aseton dimana zona hambat dari ekstrak petroleum eter 50 %
dengan zona hambatan 8,22 mm pada bakteri Eschericia coli sedangkan pada
ekstrak aseton 50 % zona hambatnya 8,08 mm pada bakteri Stapylococus aureus,
pada residu petroleum eter 50 % zona hambatnya 8,02 mm pada bakteri
Stapylococuus aureus, sedangkan pada madu dan residu madu zona hambat
terendah terdapat pada residu aseton 5 % dengan zona hambat 5,73 mm pada
bakteri Stapylococus aureus, sedangkan pada madu zona hambat terendah pada
-
63
konsentrasi 50 % pada bakteri Eschericia coli. Zona untuk uji antibakteri pada
kontrol negatif dan positif pada kontrol negatif asseton dan petroleum eter zona
hambatnya 0 sedangkan pada penisilin pada bakteri Eschericia coli zona
hambatnya 7,58 mm, streptomisin 36,73 mm pada bakteri Stapylococus aureus.
Apabila hasil (Tabel 4.4) dikaitkan dengan ketentuan kekuatan antibakteri
yang dikemukakan oleh David Stout (2005), maka kekuatan antibakteri yang
terkandung dalam ekstrak aseton, petroleum eter masuk dalam kategori sedang
(masuk dalam kisaran 10 mm). Hal ini diduga karena kandungan senyawa yang
berpotensi sebagai antibakteri pada ekstrak tersebut sudah cukup banyak,
sehingga cukup mampu untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Gambar 4.1.Zona Hambat Madu Sumbawa Pada Bakteri Stapylococuus aureus
-
64
Gambar 4.2. Zona hambat madu Sumbawa pada bakteri Eschericia coli
Dari hasil tabel 4.4 dan gambar 4.1 dan gambar 4.2 menunjukkan bahwa
zona hambat dari ekstrak aseton dan petroleum eter memiliki zona hambat lebih
baik dibanding madu dan residu madu, karena pada konsentrasi 50 % ekstrak
aseton madu memiliki zona hambat yang paling tinggi. Zona hambat ekstrak
aseton 8,08 mm pada bakteri Stapylococus aureus, sedangkan zona hambat
ekstrak petroleum eter 8,22 mm pada bakteri Eschericia coli, sedangkan pada
residu madu dan madu asli zona hambat paling rendah terendah terdapat pada
residu aseton 5 % dengan zona hambat 5,73 mm pada bakteri Stapylococus
aureus, sedangkan pada madu zona hambat terendah pada konsentrasi 50 % pada
bakteri Eschericia coli. Secara garis besar penelitian ini dapat disimpulkan
semakin tinggi konsentrasi madu Sumbawa maka aktivitas antimikroba madu
sumbawa semakin tinggi dengan melihat menurunnya pertumbuhan bakteri.
-
65
Pada ekstrak madu dengan aseton dan petroleum eter yang dianalisa
dengan uji fitokimia, ditemukan adanya komponen flavonoid. Mekanisme aksi
dari molekul ini belum diketahui, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa
interaksi antara derivat fenolik dengan protein pada membran sel menyebabkan
rusaknya struktur membrane sel (Davis, 1981 dan Freemen, 1980). Senyawa fenol
masuk ke dalam sel bakteri melewati dinding sel bakteri dan membran sitoplasma,
di dalam sel bakteri, senyawa fenol menyebabkan penggumpalan (denaturasi)
protein penyusun protoplasma sehingga dalam keadaan demikian metabolisme
menjadi inaktif, dan pertumbuhan bakteri menjadi terhambat (Dwidjoseputro,
1989).
Derivat fenol yang mempunyai gugus cincin o pada struktur molekulnya,
mempunyai aktivitas antibakteri lebih tinggi. Gugus pada cincin dapat
meningkatkan polaritas grup fenolik-OH dan juga membuat molekul lebih
hidrifobik. Hal ini diduga menyebapkan molekul lebih berpotensi sebagai
antibakteri (Davis, 1981).
Madu mempunyai potensi antibakteri yang jauh lebih rendah dibandingkan
dengan ekstrak madu karena dalam konsentrasi yang sama kadar substansi
antibakteri pada madu jauh lebih sedikit dari pada yang terkandung dalam ekstrak
madu.
Terhambat dan terbunuhnya Eschericia coli dan Stapylococcus aureus
oleh residu madu disini diduga adalah disebapkan karena pekatnya residu madu.
Perbedaan antara residu madu dan ekstrak madu adalah bahwa pada residu madu
tidak terkandung substansi antibakteri yang terlarut kedalam pelarut petroleum
-
66
eter dan aseton. Tapi tidak berarti substansi antibakteri pada madu yang diuji
terlarut pada pelarut petroleum eter dan aseton. Dalam residu madu itu sendiri bisa
jadi masih mengandung substansi antibakteri lain yang tidak larut dalam
petroleum eter dan aseton, tapi bisa juga daya antibakteri residu madu disebapkan
faktor-faktor selain substansi antibakteri madu. Residu madu juga mempunyai
viskositas yang lebih tinggi karena sebelum diujikan pada bakteri Eschericia coli
dan Stapylococcus aureus dievaporasi dengan desikator vakum untuk
menghilangkan kandungan aseton dan petroleum eter yang masih tersisa di dalam
residu. Proses ini akan menurunkan kandungan airnya sehingga lebih sedikit air
yag tersisa untuk kehidupan mikroorganisme (McCarthy, 1995).
Pada penelitian ini, madu sumbawa bisa menghambat pertumbuhan bakteri
Stapylococcus aureus dan Eschericia coli pada konsentrasi 5 %. Kepekaan
bakteri terhadap madu dihubungkan dengan komposisi lengkap dari madu,
misalnya konsentrassi gula yang tinggi, keasaman dan adanya pollen (Franco,
1954). Menurut Mundo et. al (2004), ada beberapa faktor yang menyebabkan
madu memiliki aktivitas antibakteri, antara lain keasaman, tekanan osmotik, dan
hidrogen peroksida. Komponen tambahan pada madu seperti asam aromatik dan
komponen fenol juga berperan dalam aktivitas antibakteri. Taormina et. al (2001)
juga menjelaskan faktor nonperoksida juga berperan dalam aktivitas antibakteri
madu. Komponen seperti lisozim, asam fenolik dan flavonoid juga terdapat dalam
madu. Komponen fenolik lainnya pada nektar juga memiliki aktivitas antioksidan.
Antioksidan fenolik diketahui dapat untuk menghambat bakteri gram positif dan
gram negatif.
-
67
Konsentrasi gula yang tinggi pada madu Sumbawa yang menyebabkan
timbulnya daya antimikrobial hal ini berkaitan dengan banyaknya pengunaan
larutan madu untuk penanganan luka. Hal yang berkaitan dengan penanganan luka
ini berhubungan dengan faktor lain di luar madu selain komponen antimikrobial
yang ada di dalam madu dimana kadar gula yang tinggi pada madu menimbulkan
viskositas yang tinggi sehingga bisa merupakan barier infeksi pada luka, selain itu
kadar gula yang tinggi menjamin suplai gula untuk leokosit dan makrofag (Molan,
2001)
Madu telah lama dikenal mampu membunuh bakteri. White dan Subbers
(1963) dalam Jeffrey (1997) melaporkan bahwa hidrogen peroksida yang
dihasilkan oleh glukosa oksidase madu dapat menjadi komponen penghambat
melawan bakteri. Glukosa oksidase dikeluarkan dari kelenjar hipofaring lebah ke
dalam nektar untuk membantu pembentukan madu dari nektar. Tetapi, telah
diketahui bahwa sejumlah bakteri dapat menghasilkan katalase yang akan
mengeliminasi hidrogen peroksida. Meskipun demikian, katalase aktif dengan
konsentrasi hidrogen peroksida yang tinggi. Bakteri dari golongan Pseudomonas
merupakan bakteri yang bersifat katalase positif (Kusnandar dkk., 2003). Oleh
sebab itu, dalam kasus ini penghambatan yang dihasilkan oleh madu terhadap
kedua bakteri uji ini kecil kemungkinan yang disebabkan oleh adanya hidrogen
peroksida. Faktor keasaman, efek osmotik dan senyawa fenol dalam madu lebih
berperan.
4.5. Uji Fitokimia dengan reagen
-
68
Uji fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan golongan senyawa aktif
pada tanaman maupun madu, sehingga dapat diketahui senyawa yang terdapat di
dalamnya. Biasanya uji golongan senyawa aktif dilakukan dalam tabung dengan
dengan jumlah sampel relatif sedikit. Uji fitokimia dalam penelitian ini dilakukan
dengan uji reagen.
Tabel 4.5 Hasil Uji Golongan Senyawa Aktif Madu Sumbawa
Senyawa aktif
Aseton Pengamatan (warna)
Petroleum eter
Pengamatan (warna)
Alkaloid ++ Jingga bening
+++ Jingga dan mengental
Flavonoid ++ Kuning sedikit keruh
++ Kuning sedikit keruh
Keterangan tanda +++: terkandung senyawa/ warna keruh tanda + + : terkandung senyawa/ warna bening
Hasil dari uji fitokimia pada madu Sumbawa dapat dilihat pada tabel 4.5.
Uji fitokimia dilakukan terhadap golongan senyawa alkaloid dan flavonoid, kedua
ekstrak aseton dan petroleum eter yang berbeda kepolaran sehingga uji fitokimia
dilakukan terhadap kedua ekstrak ini.
4.5.1. Alkaloid
Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dapat diperoleh
dengan menggunakan pereaksi Dragendorf (Kalium tetraiodobismutat). Alkaloid
akan membentuk warna jingga akibat reaksi dengan HCl dan reagen Dragendorf
(Vogel, 1990 ).
-
69
Bi(NO3)3.5H2O + 3KI BiI3 + 3KNO3 + 5H2O BiI3 + KI + K+
NH
+ BiI4-
N
N+ 3HI+ KI+K+
NBi3
Kompleks logam dengan alkaloid (endapan jingga)
Gambar 4.3 Reaksi dugaan antara Alkaloid dengan Pereaksi Dragendorff (Sumaryanto, 2009)
Hasil uji alkaloid dari ekstrak madu pada pelarut aseton dan petroleum eter
terdapat endapan yang berwarna jingga ketika direaksikan dengan reagen
Dragendrof dan mayer ini menunjukan bahwa ekstrak madu pada aseton dan
petroleum eter terdapat alkaloid.
4.5.2. Flavonoid
Uji flavonoid dilakukan dengan mengambil sedikit sampel, dilarutkan
dengan metanol 50 % panas kemudian ditambah logam Mg dan HCl pekat.
Penambahan HCl pekat dalam uji flavonoid digunakan untuk menghidrolisis
flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil
akan tergantikan oleh H+ dari asam karena sifatnya yang elektrofilik. Glikosida
berupa gula yang biasa dijumpai yaitu glukosa, galaktosa dan ramnosa. serbuk Mg
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah atau jingga.
-
70
Ekstrak madu yang mengandung golongan senyawa flavonoid pada pelarut
aseton dan petroleum eter menghasilkan warna kuning dan agak keruh. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak madu pada aseton dan petroleum eter terdapat
flavonoid.
O
O
OH
HO
HO
+ HCl
O glukosil
O
O
O
HO
HO
O
O
O
OH
HO
HO
OH
+ serbuk Mg
Mg
. Merah/ jingga Gambar 4.7 Reaksi dugaan antara flavonoid dengan serbuk Mg dan HCl pekat
(Hidayat, 2004).
Senyawa alkaloid dan flavonoid pada madu yang dapat diekstrak dengan
pelarut petroleum eter dan aseton menunjukkan sifat-sifat antibakteri. Mekanisme
aksi dari molekul ini belum diketahui, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa
interaksi antara derivat fenolik dengan protein pada membran sel menyebabkan
rusaknya struktur membrane sel (Davis, 1981 dan Freemen, 1980). Senyawa fenol
masuk ke dalam sel bakteri melewati dinding sel bakteri dan membran sitoplasma,
-
71
di dalam sel bakteri, senyawa fenol menyebabkan penggumpalan (denaturasi)
protein penyusun protoplasma sehingga dalam keadaan demikian metabolisme
menjadi inaktif, dan pertumbuhan bakteri menjadi terhambat (Dwidjoseputro,
1989).
4.6 Analisa Hasil Penelitian Dalam Prespektif Islam
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa madu
dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan dikarenakan terdapat senyawa
flavonoid dan alkaloid. Mekanisme aksi dari molekul ini belum diketahui, tetapi
banyak bukti menunjukkan bahwa interaksi antara derivat fenolik dengan protein
pada membran sel menyebabkan rusaknya struktur membrane sel (Davis, 1981
dan Freemen, 1980). Senyawa fenol masuk kedalam sel bakteri melewati dinding
sel bakteri dan membran sitoplasma, di dalam sel bakteri, senyawa fenol
menyebabkan penggumpalan (denaturasi) protein penyusun protoplasma sehingga
dalam keadaan demikian metabolisme menjadi inaktif, dan pertumbuhan bakteri
menjadi terhambat (Dwidjoseputro, 1989). Penelitian ini zona hambat antibakteri
dari ekstrak aseton 50 % dapat menghambat bakteri Stapylococus aureus pada
zona hambat 8,08 mm, sedangkan ekstrak petroleum eter 50 % pada bakteri
Escericia coli dengan zona hambat 8,22 mm.
Didalam tafsir Shihab dijelaskan bahwa didalam perut lebah keluar sejenis
minuman yang sangat lezat yaitu madu, didalamnya yakni pada madu itu terdapat
obat penyembuh bagi manusia walaupun kembang yang dimakanya ada yang
bermanfaat dan ada yang berbahaya bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
-
72
demikian itu benar-benar terdapat tanda kekuasaan dan kebesaran Allah bagi
orang-orang yang berpikir.
Lebah dijadikan sebagai nama surat di dalam Al Quran, yaitu surat ke-16
(An Nahl). Penggunaan nama tersebut menunjukkan bahwa lebah mempunyai
banyak keajaiban, hikmah, manfaat dan rahasia dalam penciptaannya. Selain
menghasilkan madu, lebah juga menghasilkan royal jelli, polen, propolis, lilin
(wax), sengat (venom) dan membantu penyerbukan tanaman (polinator).
Allah telah menciptakan segala sesuatu yang ada pada alam semesta tidak
lain adalah banyak hikmah dan manfaatnya. Terutama kita sebagai salah satu
mahluk yang di berikan akal dan pikiran supaya manusia benar-benar dapat
memanfaatkan dan mengambil hikmah dari ciptaaNya. Kesembuhan penyakit
yang diderita manusia tergantung dari doa dan proses penyembuhannya.
Rasulullah bersabda, sebaik-baik obat adalah Alquran, karena tergantung
manusia bagaimana mendekatkan diri pada Allah melalui Alquran disertai denga
usaha dalam memperoleh obat tersebut.Sebagai mana firman Allah dalam surat
An-Nahl:69
O ?. e . Nt yW9 $# 5 =$$ s 7 7 n/ u W9 4 l s . $ y / ># u #=tF u 9 r& !$ x $ =j9 3 ) y7 9s Z t U 5 s) j9 t 3x tG t
Artinya: Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl: 69)
-
73
Allah menciptakan suatu penyakit, dan Allah telah memberikan obatnya.
Dalam sabda Nabi menyebutkan Allah tidak menurunkan penyakit melainkan dia
menurunkan pula obatnya karena ilmunya dan tidak tahu karena kebodohanya,
sekarang tergantung manusia bagaimana berfikir, bersikap dan bertindak. Akan
tetapi kadang ilmu yang dimiliki manusia tidak dapat menjangkau, kecuali apabila
kita mendapat petunjuk-Nya. Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah tidak ada
yang sia-sia, semua mengadung makna dan manfaat. Allah menciptakan manusia
dan memuliakanya sebagai mahluk yang paling istimewa. Oleh karena itu dengan
akal dan pikiran diharapkan manusia dapat hidup seimbang dunia dan akhirat,
sehat jasmani rohani dengan cara memanfaatkan apa yang ada (bahan alam) dan
mencari rahasia yang terkandung di dalamnya.