03. gabungan lampiran pu nk 2008 edit sabtu pu rapbn 2008.pdfmasyarakat, peningkatan kegiatan ......

44
L A M P I R A N

Upload: trinhanh

Post on 09-May-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

L A M P I R A N

-L.1 -

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai growth with equity dan pertumbuhan yang berkualitas yang dapat menurunkan angka kemiskinan dan menyerap tenaga kerja, dapat kami jelaskan sebagai berikut.

Kinerja perekonomian Indonesia yang digambarkan oleh perkembangan PDB menunjukkan adanya perbaikan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan PDB pada kuartal I dan II 2007 yang masing-masing mencapai 5,97 persen dan 6,28 persen, sehingga pertumbuhan selama semester I 2007 sebesar 6,1 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil pencapaian tersebut, bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2007 dan 2008 masing-masing sebesar 6,3 persen dan 6,8 persen dapat tercapai. Dilihat dari sumber-sumbernya, pertumbuhan ekonomi tahun 2008 akan didukung oleh kenaikan konsumsi masyarakat, peningkatan kegiatan investasi, dan terus membaiknya kinerja perdagangan luar negeri. Peningkatan daya beli masyarakat terkait dengan kenaikan gaji PNS/TNI/Polri, upah minimum provinsi, dan pendapatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri (workers’ remmitance), serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan konsumsi. Seiring dengan makin kondusifnya iklim investasi, meningkatnya konsumsi masyarakat, dan rendahnya tingkat suku bunga, investasi diperkirakan akan meningkat. Peningkatan ini diharapakan mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi para angkatan kerja yang tersedia, sehingga tingkat pengangguran dapat ditekan. Penciptaan dan perluasan lapangan kerja ini pada akhirnya akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya dapat menekan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kinerja ekspor diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan. Selain terkait dengan kondisi ekonomi global yang cukup kondusif, optimisme membaiknya kinerja ekspor juga didukung oleh peningkatan harga komoditas, perbaikan daya saing, dan upaya untuk terus melakukan diversifikasi pasar dan komoditas ekspor.

Sementara itu, dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh peningkatan di semua sektor. Pertumbuhan yang tinggi berasal dari sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Selama tahun 2008 sektor pertanian diperkirakan meningkat sebesar 3,7 persen, lebih tinggi dibanding perkiraan pertumbuhan tahun 2007.

Sebagaimana tanggapan Fraksi Partai Damai Sejahtera dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pada prinsipnya Pemerintah sependapat bahwa kestabilan nilai tukar Rupiah memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, Pemerintah telah meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia sebagai langkah antisipasi dalam menjaga volatilitas nilai tukar Rupiah. Melalui harmonisasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil diharapkan dapat tercipta iklim yang kondusif untuk mengantisipasi krisis di sektor keuangan, menjaga

-L.2 -

kestabilan nilai tukar Rupiah, menjaga inflasi, dan menjaga stabilitas pasar SUN.

Selanjutnya dalam rangka menjaga pertumbuhan yang berkesinambungan, Pemerintah telah menempuh langkah-langkah untuk pengamanan pembiayaan APBN. Sementara itu, untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, pengawasan terhadap arus masuk dan keluar dana terus ditingkatkan untuk memantau perkembangan kondisi likuiditas. Selanjutnya untuk memperkuat fundamental cadangan devisa, perbaikan iklim investasi akan terus dilakukan melalui percepatan pembangunan berbagai infrastruktur sehingga arus masuk modal asing (Foreign Direct Investment -FDI) dan ekspor meningkat. Melalui berbagai kebijakan tersebut diharapkan cadangan devisa meningkat dan stabilitas sektor keuangan terjaga.

Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai asumsi SBI 3 bulan dalam RAPBN 2008 ditetapkan sebesar 7,5 persen lebih rendah daripada asumsi SBI 3 bulan dalam RAPBN-P 2007 yang sebesar 8 persen, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dalam menetapkan asumsi suku bunga SBI 3 bulan, Pemerintah telah mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi dan akan saling berkaitan seperti inflasi dan nilai tukar. Inflasi pada bulan Juli sebesar 0,72 persen, sehingga inflasi kumulatif selama Januari – Juli 2008 sebesar 2,81 persen. Memperhatikan hal tersebut serta perkiraan inflasi lima bulan ke depan, Pemerintah optimis bahwa sasaran inflasi tahun 2007 sebesar 5 persen ±1 persen dapat terpenuhi. Melalui perbaikan arus distribusi barang dan kestabilan nilai tukar Rupiah ditopang oleh kecukupan cadangan devisa, maka sasaran inflasi tahun 2008 sebesar 5 persen ±1 persen akan dapat dijaga. Memperhatikan berbagai hal tersebut di atas, Pemerintah menimbang masih tersedia cukup ruang bagi penurunan suku bunga SBI 3 bulan yang saat ini telah berada pada level 7,83 persen. Penurunan suku bunga ini diharapkan dapat mendorong kegiatan sektor riil.

Berkenaan dengan pertanyaan maupun tanggapan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, serta Fraksi Partai Golongan Karya terkait dengan asumsi makro harga minyak ICP tahun 2008 dapat dijelaskan bahwa harga minyak mentah ICP tahun 2008 adalah sebesar US$60 per barel, atau sama dengan perkiraan realisasi harga minyak ICP tahun 2007. Dalam penentuan harga minyak internasional, Pemerintah telah mempertimbangkan berbagai faktor baik dari sisi fundamental maupun non fundamental yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan harga minyak internasional. Dari sisi fundamental, meskipun konsumsi minyak dunia dalam tahun 2008 diperkirakan tetap meningkat terutama permintaan yang berasal dari Cina dan India, namun peningkatan produksi minyak serta meningkatnya spare kapasitas produksi minyak dunia, terutama di negara-negara OPEC khususnya Arab Saudi, dalam tahun 2008 diperkirakan dapat mengerem laju kenaikan harga minyak internasional, sehingga secara rata-rata harga minyak internasional diperkirakan relatif stabil, sama dengan harga minyak dalam tahun 2007. Selain itu, harga minyak internasional yang sudah relatif tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini juga telah memicu upaya pengembangan energi terbarukan dan penghematan energi

-L.3 -

yang mempengaruhi baik permintaan maupun pasokan minyak dunia. Namun demikian, Pemerintah menyadari penentuan harga minyak memang sangat sulit diprediksi. Dalam situasi pasar minyak internasional seperti sekarang ini dimana faktor spekulasi harga minyak dalam pasar minyak internasional juga turut berperan dalam penentuan harga minyak internasional, penentuan harga minyak menjadi hal yang tidak mudah dilakukan.

Pemerintah selalu berhati-hati dan mempertimbangkan secara mendalam dari berbagai aspek dalam penetapan harga minyak serta berupaya menetapkan harga minyak dalam tingkat yang serealistis mungkin sesuai dengan kondisi pasar minyak dunia. Pemerintah juga memperhatikan pendapat para ahli sebelum memutuskan harga minyak ICP. Penetapan harga minyak yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dengan kondisi pasar minyak dunia yang sedang dan akan terjadi bukan saja akan menjadi tidak realistis namun juga akan menyebabkan perhitungan dalam APBN baik dari sisi penerimaan negara maupun belanja negara menjadi tidak realistis pula.

Kenaikan harga minyak yang terjadi akhir-akhir ini diperkirakan hanya bersifat sementara sebagai dampak keputusan OPEC untuk tidak menambah pasokannya di pasar minyak dunia saat ini sehingga pasar minyak dunia menjadi ketat. Selain itu, penutupan/tidak beroperasinya reaktor nuklir pembangkit listrik di Jepang akibat gempa bumi yang terjadi beberapa waktu yang lalu juga mempengaruhi harga minyak internasional. Namun demikian, kecenderungan kenaikan harga minyak yang ada tersebut tidak dapat dijadikan patokan bahwa harga minyak akan terus meningkat. Sebagai ilustrasi, pengalaman historis dalam tahun 2006 yang lalu menunjukkan harga minyak mentah internasional meningkat pada awal-awal tahun sampai pertengahan tahun, namun harga minyak terus cenderung menurun memasuki triwulan III 2006 sampai akhir tahun 2006. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah memperkirakan harga minyak ICP akan mencapai US$60 per barel dalam tahun 2008, atau sama dengan perkiraan realisasi harga minyak ICP tahun 2007. Namun demikian, Pemerintah terbuka untuk membahas secara lebih detil dan mendalam harga minyak ICP untuk mendapatkan angka yang dipandang paling realistis dan paling menguntungkan bagi perekonomian nasional bila hal itu diperlukan.

Mengenai sumbangan sektor perbankan dalam pertumbuhan investasi pada tahun 2008 sebagaimana tanggapan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera serta pernyataan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Amanat Nasional, dapat kami jelaskan sebagai berikut.

Laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen di tahun 2008 dapat dicapai dengan melalui pertumbuhan komponen-komponen pendukungnya, termasuk laju pertumbuhan investasi riil sekitar 15 persen. Pertumbuhan investasi tersebut didasarkan pada proyeksi perkembangan sumber-sumber investasi, seperti belanja modal pemerintah, belanja modal BUMN, proyek infrastruktur, laba ditahan sektor swasta, kredit perbankan, pasar modal, serta arus modal asing, terutama dalam bentuk FDI.

Sumber investasi dari sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya dalam RAPBN 2008 diperkirakan sebesar 16 persen yang meliputi kredit

-L.4 -

perbankan dan sektor keuangan lainnya, seperti asuransi dan leasing. Sumber pendanaan dari sektor perbankan sendiri diperkirakan berada pada kisaran 12 persen - 13 persen, atau tumbuh sekitar 24 persen - 25 persen sebagaimana telah diperkirakan oleh Bank Indonesia. Peningkatan kredit perbankan tersebut, sejalan dengan membaiknya kepercayaan perbankan dan fungsi intermediasi perbankan.

Selanjutnya, untuk lebih mendorong peningkatan investasi, Pemerintah terus melakukan perbaikan iklim investasi melalui berbagai paket kebijakan seperti efisiensi birokrasi, antara lain penyederhanaan perizinan, percepatan pelaksanaan pembangunan infrastruktur, dan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Melalui berbagai kebijakan tersebut, pertumbuhan investasi sebesar 15,53 persen tahun 2008 dapat dicapai.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai banyaknya dana yang mengendap disektor perbankan, masih rendahnya pengucuran kredit untuk sektor riil, dan penurunan inflasi yang tidak diikuti oleh penurunan suku bunga, kiranya dapat kami jelaskan sebagai berikut. Sejalan dengan menurunnya inflasi, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dari 9,75 persen pada akhir tahun 2006 menjadi 8,25 persen pada Agustus 2007. Penurunan suku bunga ini telah direspon oleh penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, namun penyesuaiannya memerlukan waktu (time lag) yang berbeda-beda. Pada umumnya penurunan suku bunga BI Rate langsung diikuti oleh penurunan suku bunga deposito, sedangkan untuk suku bunga kredit, penurunannya memerlukan waktu sekitar 3 – 6 bulan. Hal ini dikarenakan bank berupaya untuk memelihara spread positif dan cenderung konservatif dalam mengambil risiko dibandingkan pada masa sebelum krisis. Sebagai gambaran pada bulan Mei 2007 suku bunga deposito 1 bulan mengalami penurunan, yaitu dari 8,96 persen pada akhir tahun 2006 menjadi 7,59 persen pada bulan Mei 2007. Sedangkan suku bunga kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi pada bulan Mei 2007 masing-masing mencapai 14,16 persen, 14,06 persen, dan 17,09 persen, lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun 2006 yang masing-masing sebesar 15,10 persen, 15,07 persen, dan 17,09 persen. Adapun pertumbuhan kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi pada bulan Mei masing-masing mencapai 16,62 persen (y-o-y), 16,62 persen (y-o-y), dan 17,4 persen (y-o-y). Pertumbuhan kredit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum krisis yang mencapai diatas 20 persen (y-o-y). Selain itu, masih rendahnya jumlah kredit yang disalurkan juga disebabkan oleh belum pulihnya kegiatan dunia usaha, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya jumlah kredit yang telah disetujui, namun belum dimanfatkan/belum ditarik (undisbursment loan). Hal ini menunjukkan bahwa debitur belum mampu menyerap dana yang tersedia, sehingga penurunan suku bunga belum tentu dapat mendorong peningkatan kredit.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai langkah-langkah dalam menyelesaikan permasalahan atas terjadinya tragedi lumpur panas di Sidoarjo dan peran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam penyelesaian ganti rugi

-L.5 -

lahan dan bangunan yang terkena lumpur panas, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:

• Pemerintah sejak awal telah mengupayakan dan tidak tinggal diam dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian permasalahan atas terjadinya tragedi lumpur panas di Sidoarjo, yaitu dengan:

1. Melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 membentuk BPLS, yang terdiri Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana yang bertugas: (i) menangani upaya penanggulangan semburan lumpur; (ii) menangani luapan lumpur; dan (iii) menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil. Dengan demikian, Pemerintah tidak dapat membiarkan rakyat terus menderita dan secepatnya meringankan penderitaan rakyat dengan penuh kesungguhan.

2. Mengalokasikan dana pada RAPBN-P TA 2007 sebesar Rp500 miliar untuk BPLS yang akan digunakan untuk realokasi jalan arteri segmen Porong-Gempol, pengadaaan/pembebasan tanah untuk kanalisasi, pengadaan pompa banjir, operasi pompa lumpur, penanganan/perbaikan prasarana umum/perbaikan rumah penduduk akibat luapan lumpur, dan lain-lain.

• Sedangkan upaya mengoptimalkan peran BPLS yaitu dilaksanakan dengan melakukan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik pada tataran dengan Presiden RI, Dewan Pengarah (Menteri Pekerjaan Umum selaku ketua serta Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan menteri-menteri lain selaku anggota), maupun dengan stakeholders terkait. Pemerintah juga terus berupaya bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk mengatasi semburan lumpur agar tidak terus meluas.

• Pemerintah juga menaruh perhatian dalam penyelesaian ganti rugi lahan dan bangunan yang terkena lumpur panas, dimana proses penyelesaian jual beli lahan dan bangunan sebesar 20 persen untuk tahap awal, telah berjalan. Pemerintah akan memastikan pembayaran sisanya akan dilakukan sesuai ketetapan yang disepakati dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.

• Dalam Perpres tersebut telah disepakati pembagian kewajiban pendanaan antara PT Lapindo Brantas dengan APBN atau sumber dana lainnya, dengan menetapkan peta terdampak. Salah satu kesepakatan tersebut menyatakan bahwa pembelian lahan dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur sesuai dengan peta area terdampak 22 Maret 2007 menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas. Jangka waktu pelunasan ditetapkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun.

Menanggapi harapan Fraksi Partai Demokrat mengenai penegakan supremasi hukum dan penanganan kasus yang belum terselesaikan seperti kasus BLBI dan pelanggaran HAM lainnya, dapat disampaikan bahwa Pemerintah sependapat mengenai pentingnya penegakan supremasi hukum dan menghindari korupsi dan penyelewengan. Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah memberi amanat

-L.6 -

kepada KPK untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK) secara profesional, intensif, dan berkesimbungan. KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK yang: (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam kurun waktu tiga tahun, jumlah perkara TPK yang ditangani KPK mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Tahun Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Inkracht

2004 23 2 2 0

2005 29 19 17 5

2006 36 28 22 15

2007* 54 22 21 18

* Data s.d. akhir Juli 2007

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 069/PUU-II/2004, KPK hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk. Sedangkan kasus-kasus BLBI tempus delictie-nya adalah sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sehingga berdasarkan putusan MK tersebut KPK tidak berwenang menangani kasus-kasus BLBI.

Upaya penanganan korupsi ini tidak hanya dilakukan di tingkat pusat saja akan tetapi juga melalui instruksi jaksa agung kepada seluruh jajaran aparat Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri untuk memberi prioritas penanganan terhadap kasus korupsi. Penanganan terhadap kasus korupsi dilakukan dengan tidak pandang bulu termasuk terhadap kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi termasuk juga kasus yang terkait dengan BLBI.

Mengenai pelanggaran HAM lainnya, dapat disampaikan bahwa penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM berat terus dilakukan antara lain dengan telah dibentuknya Pengadilan ad hoc HAM untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang masih belum sampai pada tahap pemeriksaan pengadilan karena terbentur kepada persyaratan adanya persetujuan DPR untuk pembentukan Pengadilan ad hoc HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Menanggapi permintaan Fraksi Partai Bintang Reformasi mengenai ajakan kepada masyarakat untuk bersikap pro-aktif dalam mengawasi pelaksanaan dana-dana yang bersumber dari APBN dan perlunya pengawasan dari DPR, BPK, serta institusi penegakan hukum seperti Kejaksaan dan KPK perlu diefektifkan terhadap pengelolaan keuangan negara, serta menanggapi

-L.7 -

permintaan Fraksi Partai Golongan Karya mengenai penertiban rekening liar dapat kami sampaikan berikut. Upaya pemberantasan korupsi di lingkungan Pemerintah dilakukan sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang harus dilakukan oleh masing-masing instansi.

Dalam rangka penertiban rekening liar, Departemen Keuangan telah melakukan langkah-langkah penertiban rekening-rekening liar yang berada pada tiap Kementerian/Lembaga sebagai salah satu upaya pencegahan tindakan korupsi dengan membentuk Tim Penertiban Rekening Pemerintah, sampai dengan tanggal 15 Agustus 2007 telah berhasil menemukan 5.587 rekening yang disetujui keberadaannya karena sah menurut peraturan untuk mendukung kegiatan operasional K/L, 526 rekening sudah/segera ditutup karena tidak cukup alasan untuk mempertahankan keberadaannya, dan 494 rekening di Departemen Keuangan yang masih dalam proses klarifikasi.

Menanggapi masukan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai beberapa kasus besar yang mengarah pada penggelapan pajak serta berindikasi tindak pidana di bidang perpajakan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Hingga saat ini terdapat beberapa kasus yang sedang dilakukan penyidikan, baik dilakukan di Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sejak Januari 2007 sampai dengan sekarang, dua kasus sudah divonis pengadilan yaitu di Medan dan Jambi. Saat ini, terdapat empat kasus yang sedang dalam proses penuntutan di pengadilan yaitu tiga kasus di Medan dan satu kasus di Jakarta. Selain itu terdapat empat kasus yang masih dalam tahap penyidikan, serta satu kasus yang akan segera diterbitkan surat perintah penyidikan. Kerjasama penyidikan juga dilakukan dengan instansi penegak hukum lainnya, seperti Polri, Kejaksaan dan KPK.

Terkait dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai masih banyaknya loopholes yang memungkinkan terjadinya manipulasi penerimaan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah bersama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), dimana dalam salah satu pasalnya mengatur bahwa Pegawai Pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak (WP) untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 368 KUHP. Demikian juga kepada Pegawai Pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sanksi dan penegakan hukum dalam peraturan perundangan tersebut diharapkan akan dapat meminimalkan kebocoran dan penyelewengan dalam mengumpulkan sumber-sumber penerimaan negara.

Mengenai masukan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar Pemerintah meningkatkan kemampuan bagi aparatnya untuk mendeteksi

-L.8 -

kebenaran setiap Surat Pemberitahuan (SPT) WP, dapat disampaikan bahwa SPT adalah sarana pelaporan bagi WP yang memuat semua kegiatan/transaksi WP dan keterkaitan transaksi tersebut dengan WP lainnya. Untuk menguji kebenaran pelaporan transaksi yang disampaikan WP melalui SPT, dikembangkan suatu aplikasi yang disebut Optimalisasi Pemanfaatan Data Perpajakan (OPDP), yang membuat uji silang (cross-check) laporan satu WP dengan WP lainnya yang melakukan transaksi terkait dengan WP tersebut. Aplikasi ini mempermudah dan mempercepat penyelidikan terhadap WP yang pelaporan SPT-nya diindikasikan tidak benar atau bermasalah. Uji silang ini mencakup seluruh jenis pajak seperti PPh Badan atau Orang Pribadi (OP), PPN, PPh Pemotongan/Pemungutan (Pot/Put). Hal ini dilakukan dengan mempergunakan Data Perpajakan Nasional yang merupakan kumpulan data perpajakan dari seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Data tersebut meliputi data SPT antara lain SPT Tahunan PPh Badan/OP, SPT Masa PPN, dan SPT Masa PPh Pot/Put, Faktur Pajak, Bukti Potong PPh, Pemegang Saham/Pengurus Perusahaan, Hutang Piutang antar Perusahaan, harta, serta data pembayaran pajak.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar dapat membuat terobosan dan melakukan inovasi pembayaran pajak, seperti melalui fasilitas elektronik guna mengurangi tatap muka antara pemungut pajak dengan pembayar pajak. Terkait dengan hal itu, Pemerintah telah menerapkan praktek good governance melalui pengurangan tatap muka dengan WP dengan diperkenalkannya e-registration, e-filling, dan e-SPT bahkan dalam pemeriksaan pun sudah dapat diterapkan pemeriksaan dengan korespondensi.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Damai Sejahtera bahwa peningkatan penerimaan perpajakan dilakukan melalui ekstensifikasi pajak dilaksanakan secara proporsional dan berkeadilan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dapat kami jelaskan sebagai berikut. Program ekstensifikasi pada dasarnya hanya membantu WP memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) agar terhindar dari sanksi termasuk sanksi pidana sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU KUP yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang di bayar. Dengan demikian, apabila program ekstensifikasi nantinya menambah pendapatan negara semata-mata karena dampak positif yang ditimbulkan. Program ekstensifikasi sudah dimulai sejak 2007 dan akan terus dilakukan pada tahun 2008 dengan tidak hanya mendatangi basis WP di mal dan apartemen, tapi juga di perusahaan-perusahaan termasuk kantor-kantor Pemerintah.

Menanggapi padangan Fraksi Partai Demokrat bahwa kenaikan penerimaan pajak dan tax ratio-nya tahun 2008 belum maksimal sehingga perlu ditingkatkan melalui perbaikan adminsitrasi dan pelayanan pajak, penerapan undang-undang perpajakan yang baru, serta ekstensifikasi dan

-L.9 -

intensifikasi perpajakan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan perpajakan dengan melakukan modernisasi administrasi perpajakan, intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Intensifikasi perpajakan dilakukan dengan cara mapping WP, pengawasan khusus terhadap 200 WP terbesar penentu penerimaan di setiap KPP, optimalisasi pemanfaatan data perpajakan, non-filler activation, penggalian sektor tertentu, dan pemeriksaan pajak. Hal-hal tersebut perlu kami jelaskan sebagai berikut:

a. Mapping WP

Mapping WP berarti pengelompokan WP menurut subyek, obyek, sektor/subsektor, wilayah/lokasi usaha, grup/cabang, dan kelompok lain sesuai kebutuhan/keunggulan yang terdapat di masing-masing unit kantor. Tujuan dari mapping WP ini adalah untuk mendapatkan gambaran umum potensi pajak di wilayah kerja masing-masing kantor/unit WP yang akan digunakan sebagai alat analisis dalam rangka optimalisasi pelayanan, pengawasan, dan penggalian potensi penerimaan pajak. Hasil dari mapping ini adalah peningkatan penerimaan pajak dan perbaikan administrasi WP. Pada tahun 2008, seluruh KPP direncanakan telah selesai membuat mapping terhadap WP yang terdaftar di wilayahnya masing-masing.

b. Pengawasan khusus terhadap 200 WP terbesar penentu penerimaan di setiap KPP

Pengawasan atas kepatuhan WP terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak, diprioritaskan terhadap WP yang masuk ke sektor dominan dan WP yang terindikasi kasus dengan nilai yang besar (sesuai kondisi pada masing-masing KPP). Pada tahun 2008, seluruh KPP direncanakan selesai membuat profil 200 WP terbesar secara bertahap mulai dari lapisan 50 WP terbesar untuk dilakukan penelitian lebih mendalam sehingga bisa diketahui benchmark–nya. Bilamana diketahui bahwa WP yang diuji tersebut tidak sesuai benchmark, maka dilakukan penelitian lebih lanjut sampai dengan pemeriksaan maupun penyidikan.

c. Optimalisasi Pemanfaatan Data Perpajakan (OPDP)

OPDP dilakukan dengan membuat uji silang (cross-check) laporan satu WP dengan WP lainnya yang melakukan transaksi terkait dengan WP tersebut.

d. Nonfillers Activation

Untuk WP nonfiller, telah dibuatkan program aplikasi untuk mengetahui WP yang tidak lagi melaporkan SPT-nya tetapi ternyata masih aktif melakukan transaksi bisnis. Terhadap WP ini akan diawali dengan himbauan untuk memasukan SPT dan melakukan pembayaran pajak sebagaimana mestinya.

e. Penggalian Sektor Tertentu

Terhadap WP tertentu terutama sektor usaha yang mengalami pertumbuhan (booming) misalnya pengusaha di bidang kelapa sawit setelah dianalisis dengan cara membandingkan tax turn over ratio (TTOR) standar dengan

-L.10 -

TTOR aktual dari individual pada sektor tersebut, jika diketahui bahwa TTOR-nya dibawah TTOR standar, maka akan dilaksanakan program counseling dan klarifikasi dengan meminta WP secara sukarela membetulkan SPT serta membayar pajak yang masih kurang atau belum dibayar.

f. Pemeriksaan pajak

Kegiatan pemeriksaan adalah merupakan langkah terakhir dari kegiatan intensifikasi. Untuk tahun 2008 lebih ditekankan pada kegiatan intensifikasi yang bersifat persuasif sehingga diharapkan WP secara sukarela (voluntary compliance) mau membetulkan sendiri SPT dan membayar sendiri pajak yang masih kurang atau belum dibayar.

Pemeriksaan dibidang ekspor impor dilakukan melalui kerja sama dengan DJBC terhadap yang diindikasikan terlibat dalam kegiatan ekspor fiktif atau penyelundupan. Kerja sama juga dilakukan dengan BPKP dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap WP yang terdaftar pada Kanwil DJP WP Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang memperoleh fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mendesak memerangi kejahatan korporasi dengan modus menghindari pajak dapat dijelaskan sebagai berikut. Terhadap hal itu telah dilakukan modernisasi Kantor Pusat DJP dengan membentuk Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus yang menangani kejahatan korporasi yang dilakukan oleh WP dengan modus tertentu seperti transfer pricing, under invoicing, dan modus lainnya.

Menanggapi pertanyaan dan pandangan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tentang target penerimaan PNBP 2008 yang menurun sehingga Pemerintah perlu meningkatkan penerimaan PNBP 2008 dengan melakukan upaya-upaya untuk mengoptimalkan Sumber Daya Alam (SDA) dan menggalakkan upaya pemberantasan illegal fishing serta illegal logging, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut.

Turunnya target penerimaan PNBP tahun 2008 bila dibandingkan dengan penerimaan PNBP pada RAPBN-P 2007 terutama disebabkan oleh: (i) tidak adanya surplus BI seperti yang terdapat dalam RAPBN-P tahun 2007; (ii) adanya pembayaran dividen interim PT Pertamina dan PT Telkom di tahun 2007 yang seharusnya dibayar di tahun 2008; dan (iii) berkurangnya peneriman PNBP lainnya.

Untuk mencapai target penerimaan PNBP tahun 2008 tersebut, beberapa langkah yang dilakukan Pemerintah antara lain: (i) melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan cara mengintensifkan pemungutan, penagihan, penyetoran, dan pelaporan PNBP; (ii) melakukan penyempurnaan Peraturan Pemerintah (PP) oleh masing-masing kementerian/lembaga agar seluruh pungutan yang terdapat pada masing-masing kementerian/lembaga

-L.11 -

ditetapkan dalam peraturan pemerintah; dan (iii) melakukan evaluasi terhadap besaran tarif PNBP.

Pemerintah sependapat dengan masukan anggota Dewan mengenai perlu dilakukan upaya-upaya dalam mengoptimalkan penerimaaan SDA dan menggalakkan upaya pemberantasan illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining.

Dalam upaya untuk menanggulangi illegal unregulated and unreported (IUU) fishing, Pemerintah telah melakukan beberapa program/kegiatan antara lain: (i) perbaikan pelayanan perizinan, melalui penyederhanaan proses perizinan, mengganti bentuk dan format perijinan usaha penangkapan ikan, serta mempersiapkan proses perijinan satu atap; (ii) mengurangi jumlah kapal perikanan berbendera asing secara bertahap melalui Billateral Arrangement; (iii) mensyaratkan kapal asing yang akan melakukan operasi di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) untuk membangun industri pengolahan dalam negeri; (iv) meningkatkan kerjasama operasi pengawasan di laut antarinstansi TNI-AL, POLRI, Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas); (v) meningkatkan koordinasi antara POLRI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung dalam rangka penegakan hukum di laut; (vi) menerapkan teknologi Vessel Monitoring System (sistem pemantauan kapal) dengan sasaran kapal perikanan Indonesia dengan ukuran lebih besar dari 100 GT dan seluruh kapal perikanan asing; dan (vi) pencabutan izin usaha penangkapan bagi kapal penangkap yang izinnya bermasalah.

Selanjutnya, di samping berbagai program/kegiatan tersebut, Pemerintah secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan penerimaan sektor perikanan dengan beberapa kebijakan antara lain penyesuaian terhadap tarif-tarif atas jenis PNBP kelautan dan perikanan melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang meliputi pungutan perikanan, penerimaan jasa pendidikan/pelatihan, penerimaan jasa riset, penerimaan jasa karantina ikan, penerimaan sewa gedung/bangunan serta penerimaan lainnya. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan dari pungutan perikanan akan disusun RPP Pungutan Perikanan untuk kapal-kapal asing yang diijinkan beroperasi di ZEEI.

Dalam upaya pemberantasan illegal logging, Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan intensitas kejahatan kehutanan yang diantaranya meliputi: (i) larangan ekspor log; (ii) peningkatan pelaksanaan operasi rutin Wanalaga dan Wanabahari; (iii) penertiban industri pengolahan kayu dan eksportir produk kayu olahan; (iv) pembinaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan; serta (v) penggalangan dukungan masyarakat internasional. Berbagai upaya dan kegiatan tersebut dilakukan secara simultan dan terus-menerus dari tahun ke tahun.

Seiring dengan upaya-upaya tersebut, Pemerintah telah menetapkan pemberantasan illegal logging sebagai salah satu kebijakan prioritas yang harus ditangani dengan serius. Sejak tahun 2001, Pemerintah telah melaksanakan operasi Wanalaga dan Wahanabahari, untuk memberantas illegal logging serta penyelundupan hasil hutan. Sedangkan kerja sama antarinstansi Pemerintah

-L.12 -

antara lain Kejaksaan Agung dengan Departemen Kehakiman dan HAM juga telah dilakukan untuk penanganan proses yustisi dan penegakan hukum terhadap kegiatan illegal logging dan peredaran hasil hutan illegal.

Untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan yang semakin parah serta dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, Pemerintah menetapkan kebijakan soft landing, dengan tujuan antara lain: (i) mengurangi jumlah tebangan kayu secara bertahap sebagai bentuk pengurangan tekanan terhadap hutan alam yang tersisa; (ii) mendukung pemulihan kembali hutan alam yang rusak; serta (iii) mewujudkan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari. Dengan demikian kebijakan soft landing akan mengarah pada selective moratorium logging, yang berarti bahwa hutan produksi dengan potensi rendah tidak diperkenankan lagi dilakukan kegiatan logging guna memberi kesempatan bagi hutan untuk bernapas dan tumbuh menjadi hutan produktif kembali.

Sementara itu, upaya Pemerintah dalam mengatasi illegal mining (penambangan tanpa ijin) antara lain: (i) membentuk Tim Koordinasi Penangggulangan Pertambangan Tanpa Ijin; (ii) pemberian kepastian hukum melalui penyempurnaan peraturan perundangan di bidang pertambangan umum dan jaminan keamanan melalui kerjasama antara TNI dan POLRI; serta (iii) optimalisasi produksi mineral dan batubara.

Selanjutnya, menanggapi pertanyaan dan pandangan anggota Dewan yang terhormat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, dan Fraksi Partai Golongan Karya mengenai penurunan penerimaan Bagian Pemerintah atas laba BUMN dan perlunya mengoptimalkan penerimaan negara dari Bagian Pemerintah atas laba BUMN, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut.

Dalam RAPBN 2008, sebagaimana kami jelaskan di atas, target penerimaan yang berasal dari Bagian Pemerintah atas laba BUMN (dividen) direncanakan mencapai Rp20,4 triliun. Jumlah ini berarti menunjukkan adanya penurunan sebesar Rp1,2 triliun atau 5,4 persen bila dibandingkan dengan rencana penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN yang dianggarkan dalam RAPBN-P tahun 2007 sebesar Rp21,6 triliun. Penurunan tersebut terjadi antara lain karena adanya pembayaran dividen interim PT Pertamina dan PT Telkom di tahun 2007 yang seharusnya dibayar di tahun 2008. Dengan pembayaran dividen interim tersebut menyebabkan target penerimaan dividen tahun anggaran 2008 menjadi berkurang.

Adapun upaya-upaya yang akan ditempuh Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari Bagian Pemerintah atas laba BUMN antara lain: (i) mengatur persentase Bagian Pemerintah atas laba BUMN; (ii) menerapkan prinsip-prinsip korporasi terhadap BUMN yang menjalankan kewajiban Public Service Obligation (PSO); (iii) melakukan langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi; (iv) penambahan penyertaan modal negara; (v) BUMN laba difokuskan untuk penyehatan perusahaan dengan mengoptimalisasi investasi (Capital Expenditure); dan (vi) BUMN laba dengan akumulasi rugi tidak dimintakan dividen untuk disetorkan ke kas negara.

-L.13 -

Kebijakan utama yang diambil oleh Pemerintah dalam meningkatkan kinerja BUMN difokuskan pada profitisasi, restrukturisasi, dan privatisasi. Melalui restrukturisasi (baik keuangan maupun organisasi) diharapkan BUMN lebih berdaya guna dalam mengoptimalkan peranannya dan mampu memberikan kontribusi yang lebih optimal terhadap perekonomian nasional bukan hanya berupa penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN (dividen) saja, akan tetapi juga memiliki andil yang cukup besar terhadap penerimaan perpajakan, penerimaan hasil privatisasi, program kemitraan dan bina lingkungan, pengeluaran operasional (operational expenditures/opex), pengeluaran investasi (capital expenditures/capex) BUMN, dan kontribusinya terhadap perkembangan pasar modal.

Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai PNBP dari sektor pendidikan, kiranya dapat kami sampaikan bahwa sejalan dengan Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 antara lain disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Sebagai ketentuan lebih lanjut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang mengatur bahwa setiap pungutan harus ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP mengatur antara lain jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sektor Pendidikan meliputi: (i) penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan; (ii) penerimaan dari karcis tanda masuk museum; (iii) penerimaan dari kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; (iv) penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; serta (v) penerimaan dari sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga pemerintahan, atau lembaga nonpemerintah.

Sementara itu, dalam Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Selanjutnya, dalam Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur antara lain sebagai berikut :

Ayat (2): Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara/Daerah pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.

Ayat (3): Penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.

Mengacu pada ketentuan di atas dan agar sejalan dengan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka sumbangan masyarakat dari sektor pendidikan merupakan pendapatan negara, dimana penerimaan dan pengeluarannya harus dicatat dan melalui mekanisme APBN.

-L.14 -

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Bintang Reformasi mengenai alokasi anggaran untuk usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) dapat dijelaskan sebagai berikut. Keberadaan dan peran UKM memberikan kontribusi nyata dalam penyerapan tenaga kerja, maupun kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 53,28 persen. Oleh karena itu, Pemerintah tetap memberikan perhatian terhadap peran penting dan strategis UKM. Dalam tahun 2008, Kementerian Negara Koperasi dan UKM direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,1 triliun. Alokasi anggaran tersebut difokuskan untuk pengembangan dan pemberdayaan UMKM dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, penyediaan lapangan kerja yang lebih luas, dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin. Namun demikian, perlu disampaikan bahwa pengembangan UMKM tidak hanya dilakukan melalui anggaran Kementerian UMKM, tetapi juga melalui lembaga yang lain. Sebagai contoh, untuk penjaminan kredit, disalurkan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Perum Sarana Usaha dan Askrindo sebesar Rp1,45 triliun pada tahun 2007 untuk memperkuat modal kedua BUMN tersebut agar mampu memperluas jangkauan pemberian pelayanan penjaminan kredit kepada UMKM. Di samping itu, melalui koordinasi Kantor Menko Koordinator Perekonomian, dilaksanakan paket kebijakan pemberdayaan UMKM yang meliputi peningkatan UMKM pada sumber pembiayaan, peningkatan kualitas SDM dan mobilitas tenaga kerja, peningkatan peluang pasar produk UMKM, dan regulatory reform.

Selain itu, anggaran untuk pemberdayaan UMKM secara nasional juga dialokasikan melalui dana sektoral yang dilakukan oleh berbagai instansi, seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Keuangan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dana APBN selain diperuntukkan dalam bentuk bantuan langsung, juga diperuntukkan sebagai stimulan untuk UMKM dalam mengakses sumber pendanaan yang lebih besar dari lembaga keuangan.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Damai Sejahtera, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa terkait dengan reformasi birokrasi dan rencana kenaikan gaji aparatur negara dan pensiunan dalam tahun anggaran 2008, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat ini, proses reformasi birokrasi telah dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mewujudkan aparatur negara yang netral, profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Reformasi birokrasi meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks yang dilakukan secara menyeluruh, bertahap, sistematis, dan berkesinambungan, melalui langkah-langkah antara lain, penataan kelembagaan/organisasi, efisiensi ketatalaksanaan, peningkatan akuntabilitas aparatur, peningkatan sistem pengawasan, dan peningkatan kualitas pelayanan publik, serta penataan kepegawaian/SDM aparatur. Berbagai langkah dan upaya untuk melakukan reformasi birokrasi tersebut bukan sekedar wacana, namun telah, sedang dan akan terus ditindaklanjuti secara bertahap. Walaupun

-L.15 -

demikian, untuk memperoleh hasil yang signifikan, reformasi birokrasi masih memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan keterlibatan semua komponen bangsa, serta dukungan anggaran yang saling terkait. Langkah penataan kelembagaan dan efisiensi ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui penataan kelembagaan pemerintah pusat, penataan kelembagaan pemerintah daerah, dan upaya penyempurnaan sistem dan prosedur penyelenggaraan manajemen dan administrasi negara guna terciptanya efisiensi dan efektivitas tata hubungan kerja dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peningkatan akuntabilitas dan sistem pengawasan aparatur, diantaranya dilakukan dengan mendorong perangkat pemerintahan pusat dan daerah dalam mempertanggungjawabkan kinerja pelaksanaan penggunaan sumber daya organisasi pemerintahan, serta upaya mengoptimalkan pelaksanaan pengawasan penanggulangan dan pemberantasan KKN di instansi pemerintah pusat dan daerah, melalui langkah bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan tindakan nyata, sistematik dan menyeluruh. Sedangkan peningkatan kualitas pelayanan publik, antara lain dilakukan dengan mewujudkan manajemen pelayanan prima, dalam pengertian produk pelayanan yang cepat, tepat, pasti, efisien, transparan, akuntabel, serta menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib bagi masyarakat. Untuk mempercepat perwujudan pelayanan publik prima, telah ditetapkan berbagai instansi/Pemerintah Daerah sebagai best practic yang hasilnya cukup baik. Selain itu, dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, serta untuk meminimalkan kesenjangan antara pelayanan dengan tuntutan publik, dilakukan penajaman/penyempurnaan standar operating procedur (SOP) pada seluruh jenis pelayanan, baik pelayanan kepada publik maupun antarinstansi. Dengan adanya SOP diharapkan pelayanan dapat lebih transparan, akuntabel, dan masyarakat dapat ikut mengawasi, apabila terjadi penyimpangan atas layanan yang dijanjikan.

Sementara itu, penataan kepegawaian/SDM aparatur diupayakan melalui penerapan sistem manajemen kepegawaian berbasis kinerja atau berorientasi kepada sistem merit. Sesuai dengan arah kebijakan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kebijakan penyelenggaraan negara antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara. Hal ini, antara lain dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan pegawai merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung terciptanya aparatur negara yang profesional, netral, jujur, dan akuntabel, serta bebas dari KKN. Oleh sebab itu, pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan sistem kepegawaian dengan melakukan berbagai kegiatan, yang salah satunya pengembangan sistem penggajian melalui analisis jabatan guna menentukan bobot dan nilai jabatan yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja, dan pengembangan sistem pensiun yang dapat meningkatkan kesejahteraan PNS, baik semasa aktif maupun di masa purna tugas. Sebagai langkah awal, mengikuti langkah-langkah penataan organisasi yang telah dilakukan, dalam tahun anggaran 2008, pemerintah merencanakan untuk secara bertahap melakukan perbaikan remunerasi PNS melalui upaya perbaikan

-L.16 -

dalam dimensi “kesejahteraan” untuk mencapai target pembaharuan birokrasi. Sesuai dengan kandungan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, perbaikan gaji PNS secara bertahap diarahkan untuk dapat menunjang kesejahteraan aparatur dalam memenuhi kebutuhan hidup diri PNS dan keluarganya secara layak, dapat memberikan dampak peningkatan profesionalisme yang ditunjukkan dengan kualitas kinerja yang baik (good performance), dapat memberikan dampak pengembangan masa depan yang baik, melalui penjenjangan karier yang didasarkan atas pertimbangan prestasi kerja, dan dapat mencegah berkembangnya potensi KKN. Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemerintah sependapat dengan Dewan Yang Terhormat mengenai perlunya upaya kenaikan gaji aparatur negara dan pensiunan dilakukan bersamaan dengan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparatur negara melalui upaya reformasi birokrasi. Dengan demikian, diharapkan kenaikan gaji tersebut bukan hanya bermakna untuk meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan PNS saja, tetapi juga dapat mewujudkan birokrasi yang bersih, efisien, efektif, profesional, dan kompetitif sebagai prasyarat terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat yang bebas KKN.

Menanggapi pendapat Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai perlunya Pemerintah secepatnya mengimplementasikan pembangunan infrastruktur secara baik, dan memperbaiki iklim investasi, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan Anggota Dewan yang terhormat, bahwa pembangunan infrastruktur harus diimplementasikan dengan baik. Sejalan dengan itu, Pemerintah bertekad untuk semakin fokus dalam menggunakan kebijakan fiskal untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur yang strategis bagi perekonomian, yang meliputi antara lain infrastruktur sumber daya air, transportasi, kelistrikan dan telekomunikasi, energi, serta perumahan dan permukiman.

Oleh karena itu, dalam tahun 2008 disediakan anggaran untuk percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi sebesar Rp46,7 triliun. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk mendukung upaya-upaya: (i) peningkatan pelayanan infrastruktur sesuai dengan standar pelayanan minimal; (ii) peningkatan daya saing sektor riil; (iii) peningkatan investasi proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh swasta melalui skim kerjasama antara Pemerintah dan swasta; (iv) peningkatan produksi migas dan produk final migas; (v) percepatan pelaksanaan upaya diversifikasi energi melalui pemanfaatan gas bumi, batu bara, dan energi baru/terbarukan; (vi) peningkatan efisiensi pemanfaatan energi; (vii) pemboran air tanah; (viii) inventarisasi geologi lingkungan; dan (ix) inventarisasi geologi teknik.

Di samping itu, untuk meningkatkan investasi dan ekspor yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi, Pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan iklim investasi secara berkesinambungan. Hal ini, karena dalam hal kemudahan berusaha, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekawasan. Berdasarkan laporan “Doing Business 2007” dari International Financial Corporation, Bank Dunia, Indonesia tercatat pada peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan

-L.17 -

berusaha. Sementara itu, walaupun waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia telah menurun dari 151 hari menjadi 97 hari, namun rentang waktu tersebut masih lebih lama dibandingkan dengan Singapura yang hanya memerlukan waktu 6 hari, Thailand 33 hari, Malaysia 30 hari, dan Vietnam 50 hari.

Dalam tahun 2008, upaya untuk memperbaiki iklim investasi agar semakin kondusif akan terus dilakukan dengan mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat investasi, yang dilakukan bersama oleh semua pemangku kepentingan. Peningkatan investasi dan ekspor didorong melalui: (i) peningkatan daya tarik investasi baik di dalam maupun di luar negeri; (ii) mengurangi hambatan prosedur perijinan, administrasi perpajakan, dan kepabeanan; (iii) meningkatkan kepastian hukum, termasuk terhadap peraturan-peraturan daerah yang menghambat; serta (iv) meningkatkan diversifikasi pasar ekspor dan mendorong komoditi nonmigas yang bernilai tambah tinggi. Perhatian juga diberikan pada upaya peningkatan investasi dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi pertambangan. Daya saing industri manufaktur ditingkatkan, antara lain dengan pengembangan kawasan industri khusus, fasilitas industri hilir komoditi primer, restrukturisasi permesinan serta penggunaan produksi dalam negeri. Investasi juga akan didorong dengan meningkatkan produktifitas dan akses UKM pada sumber daya produktivitas.

Di samping itu, Pemerintah juga menyadari perlunya perbaikan dalam proses perencanaan penganggaran belanja modal kementerian/lembaga yang dikaitkan dengan barang milik negara. Proses tersebut masih memerlukan waktu, terkait dengan kesiapan sistem, SDM, tata kerja, dan database barang milik negara yang handal dan selalu up to date. Saat ini, Pemerintah sudah mulai merintis ke arah tersebut dengan melakukan penertiban aset pada kementerian/lembaga dan membangun sistem informasi yang terkait dengan barang milik negara, sehingga diperoleh database yang reliable, up to date, dan transparan.

Dengan demikian, pada saat proses pengajuan anggaran belanja modal kementerian/lembaga, sudah dapat diuji perlu tidaknya alokasi tersebut, mengingat dengan terbangunnya sistem informasi barang milik negara sudah dapat diketahui jumlah aset masing-masing kementerian/lembaga, dan berapa kebutuhan riilnya.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Demokrat yang menyatakan bahwa prioritas dalam RKP dapat diimplementasikan secara tepat, dengan mempertimbangkan isu-isu penting seperti pembangunan rusunawa dan rusunami, dan masalah penanggulangan kemiskinan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Prioritas dan tema pembangunan tahunan dalam RKP disusun dengan mempertimbangkan kemajuan pembangunan yang telah dicapai, serta berbagai masalah dan tantangan pokok yang dihadapi dan harus dipecahkan pada tahun yang bersangkutan.

Dalam RKP tahun 2008, sebagai tahun keempat pelaksanaan RPJM tahun 2004-2009, tema pembangunan nasional yang ditetapkan adalah “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi untuk Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran”. Sesuai dengan tema dalam RKP tersebut, maka dalam RKP

-L.18 -

2008 ditetapkan delapan prioritas pembangunan nasional. Kedelapan prioritas pembangunan nasional tersebut adalah: (1) peningkatan investasi, ekspor, dan kesempatan kerja; (2) revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, dan pembangunan perdesaan; (3) percepatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan energi; (4) peningkatan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan; (5) peningkatan efektivitas penanggulangan kemiskinan; (6) pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi; (7) penguatan kemampuan pertahanan dan pemantapan keamanan dalam negeri; dan (8) penanganan bencana, pengurangan risiko bencana, dan peningkatan penanggulangan flu burung.

Sesuai dengan prioritas yang terdapat dalam RKP tersebut, Pemerintah mempunyai perhatian yang besar dalam rangka meningkatkan aksesibilitas masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak. Bagi masyarakat yang belum mampu membeli rumah, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan penyediaan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Pada tahun 2008, direncanakan pembangunan Rusunawa sebanyak 121 twin bloc (11.616 unit). Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (2007) yang hanya membangun sebanyak 57 twin bloc.

Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang akan membeli rumah, Pemerintah menyediakan fasilitas subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) untuk pemilikan rumah sederhana sehat (RSH). Dalam pembangunan Rusunami, Pemerintah memberikan fasilitasi dalam rangka mendorong investasi swasta dalam pembangunan rumah sederhana milik di kawasan perkotaan. Untuk mempercepat pembangunan rumah susun di kawasan perkotaan, Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan.

Selain itu, dalam tahun 2008 Pemerintah juga menyediakan dana untuk penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, yang diantaranya dialokasikan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Program Pengembangan Kecamatan (PNPM-PPK). Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja yang merupakan gerakan nasional pembangunan berbasis masyarakat yang menjadi kerangka kebijakan, serta acuan dan pedoman bagi pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat, dalam rangka penanggulangan kemiskinan.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Damai Sejahtera dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mengantisipasi perubahan anggaran berbasis kinerja dan berdimensi jangka menengah, serta mengelola anggaran tersebut untuk kesejahteraan rakyat, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan dan penganggaran merupakan suatu kesatuan proses berkesinambungan yang saling melengkapi. Sistem penganggaran merupakan strategi Pemerintah untuk menterjemahkan kebijakan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional ke dalam strategi pembiayaan pembangunan. Sistem penganggaran yang efektif

-L.19 -

akan menjamin terselenggaranya kehidupan bernegara yang optimal dari sisi pengerahan sumber daya pendanaan, baik pengelolaan penerimaan negara, efektivitas kebijakan pengeluaran, maupun efisiensi pemenuhan kebutuhan pembiayaan penganggaran. Untuk memenuhi tuntutan akan pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), penyelenggaraan sistem penganggaran dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

a. Penganggaran terpadu (Unified Budgeting), yaitu penyusunan anggaran yang dilakukan secara terintegrasi antarprogram/kegiatan dan jenis belanja pada kementerian negara/lembaga beserta seluruh satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya;

b. Penganggaran berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), yaitu penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran (output) dan hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut;

c. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework), yaitu perencanaan penganggaran yang memperhitungkan kebutuhan anggaran dengan perspektif lebih dari satu tahun.

Sistem penganggaran yang dilaksanakan harus dapat menjamin: (i) tersedianya pendanaan bagi program-program pemerintah secara berkesinambungan (sustainable), yang dialokasikan berdasarkan jenis belanja secara efektif dan efisien, baik yang bersifat komitmen maupun bersifat kebijakan yang sesuai dengan skala prioritas dengan target/sasaran yang jelas dan terukur; dan (ii) akuntabilitas dalam mencapai target dan sasaran program, serta dalam menggunakan sumber daya, yang tercermin dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang akuntabel. Saat ini, Pemerintah sudah mulai menjalankan anggaran berbasis kinerja dan sistem penganggaran jangka menengah, dalam rangka mendorong upaya pemerintah untuk mendisiplinkan kebijakan pengeluarannya, menjamin keberlangsungan kebijakan fiskal, meningkatkan transparansi kebijakan pengeluaran, akuntabilitas kebijakan, dan prediksi kebutuhan pendanaan beberapa tahun ke depan.

Penerapan anggaran berbasis kinerja, memerlukan lingkungan yang mendukung sebagaimana ditunjukkan dari pengalaman negara-negara lain diantaranya: (i) adanya mekanisme pengalokasian anggaran Pemerintah dan Parlemen berdasarkan output; (ii) kewenangan dan pertanggungjawaban yang jelas antara pimpinan kementerian/lembaga/satker; (iii) adanya sistem audit keuangan dan audit kinerja serta sistem peradilan yang efektif; dan (iv) adanya dukungan yang konsisten dari Pemerintah dan Parlemen terhadap budaya yang berorientasi kinerja.

Sementara itu, dalam rangka pengelolaan anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat, setiap kementerian/lembaga dituntut untuk tidak semata-mata mengandalkan pada jumlah kenaikan anggaran, tetapi lebih kepada upaya untuk mengoptimalkan anggaran yang tersedia, melalui: Pertama,

-L.20 -

mengalokasikan anggaran pada prioritas-prioritas pembangunan. Dengan arah kebijakan ini, ada kementerian/lembaga yang memperoleh kenaikan besar, ada yang kenaikannya kecil, bahkan ada pula yang tetap atau menurun. Kedua, melakukan efisiensi belanja, yaitu dengan meminimalkan belanja yang tidak langsung terarah kepada masyarakat (khususnya belanja barang) menjadi belanja yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (yang pada umumnya belanja modal dan bantuan sosial).

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah bahwa dengan langkah tersebut, telah dimulai upaya untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih baik pada kita semua, agar anggaran yang terbatas dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, tidak dapat hanya dilakukan dalam sekejap, tetapi akan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, yang terpenting adalah sudah dimulai dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah. Sebagai mitra kerja Pemerintah, DPR tentu juga akan sangat berperan melalui hak budget dan pengawasannya, agar upaya meningkatkan kualitas belanja publik dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi perihal perlunya pengawasan secara ketat terhadap penggunaan alokasi dana bantuan sosial yang direncanakan meningkat secara tajam, agar sampai di masyarakat sesuai dengan peruntukan, dapat disampaikan bahwa pada prinsipnya Pemerintah sependapat dengan pandangan Anggota Dewan Yang Terhormat. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah senantiasa melibatkan masyarakat dalam penyaluran dana bantuan sosial, seperti pihak Komite Sekolah untuk penyaluran dana BOS, dan pelibatan masyarakat desa dalam monitoring dan evaluasi kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.

Peningkatan alokasi bantuan sosial dalam jumlah yang besar tersebut telah sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan tahun 2008, meskipun jumlah penduduk miskin telah dapat dikurangi dari 17,75 persen pada bulan Maret 2006, menjadi 16,58 persen pada bulan Maret 2007. Demikian juga angka pengangguran telah dapat dikurangi dari 10,4 persen pada Februari 2006, menjadi 9,8 persen pada bulan Februari 2007, namun tentunya tingginya angka kemiskinan dan pengangguran tersebut, masih menjadi keprihatinan kita bersama. Oleh karena itu, anggaran bantuan sosial yang cukup memadai masih diperlukan, terutama untuk membantu penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan unit ekonomi menengah, peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan, serta perluasan cakupan program-program pemberdayaan masyarakat.

Berkenaan dengan pandangan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Bintang Reformasi, agar sasaran program kerja Pemerintah dalam RAPBN 2008 benar-benar difokuskan pada berbagai bidang prioritas seperti penanggulangan masalah kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan akses masyarakat terhadap kesehatan dan pendidikan, ketahanan pangan, kinerja investasi dan ekspor, serta kebutuhan infrastruktur yang memadai, tanpa mengabaikan program-program pembangunan yang lain, dapat disampaikan bahwa Pemerintah sepakat dengan pandangan tersebut.

-L.21 -

Dalam mengalokasikan dana ke kementerian/lembaga, Pemerintah selalu mendasarkan pada prioritas pembangunan yang telah ditetapkan.

Keberpihakan Pemerintah pada bidang-bidang prioritas tersebut, antara lain terlihat pada perkembangan alokasi dana fungsi pendidikan, fungsi kesehatan dan fungsi ekonomi dalam kurun waktu 2005-2008. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008. Sementara itu, anggaran fungsi kesehatan pada tahun 2006 mencapai Rp12,2 triliun, meningkat menjadi Rp16,1 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008. Sedangkan anggaran fungsi ekonomi pada tahun 2006 mencapai Rp38,3 triliun, meningkat menjadi Rp47,8 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,0 triliun pada tahun 2008.

Menanggapi pendapat Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tentang kurangnya keberpihakan anggaran terhadap sektor prioritas, kiranya dapat dijelaskan bahwa dalam merancang postur APBN, tentunya Pemerintah harus terlebih dahulu menyisihkan anggaran untuk kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, seperti pembayaran gaji pegawai dan pembayaran bunga utang. Ke depan, dengan arah penurunan rasio pinjaman terhadap PDB, maka beban pembayaran bunga utang diharapkan juga akan dapat diturunkan.

Setelah kewajiban-kewajiban pemerintah dipenuhi, baru dilakukan alokasi anggaran sesuai prioritas pembangunan, yang mencerminkan arah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan, meningkatkan pelayanan dasar dan pemerataan, serta menyediakan alokasi untuk membiayai kegiatan prioritas kelompok kementerian/lembaga pendukung utama untuk kedua kelompok prioritas tersebut. Dapat disampaikan pula, bahwa keterkaitan antara berbagai kegiatan prioritas sangat erat. Sebagai contoh, untuk melihat alokasi bagi sektor pertanian, tentu tidak hanya pada subfungsi pertanian, perikanan, kehutanan, dan kelautan saja, tetapi juga pada subfungsi pengairan dan juga subfungsi transportasi, karena keduanya mempunyai kaitan erat dengan pengembangan pertanian.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional terkait dengan masalah pertahanan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah menyadari bahwa terbatasnya kemampuan peralatan pertahanan baik secara kuantitas maupun kualitas, khususnya alat utama sistem senjata (alutsista) TNI menjadikan belum optimalnya kemampuan pertahanan negara. Kurang memadainya kondisi dan jumlah alutsista, sarana dan prasarana, serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan anggota TNI merupakan permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme TNI. Meskipun belum memenuhi kebutuhan minimal, namun upaya peningkatan kemampuan pertahanan melalui kebijakan, strategi, dan perencanaan pertahanan telah mengarah kepada pembentukan minimum essential force. Disamping itu, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kesejahteraan anggota TNI.

-L.22 -

Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran industri pertahanan nasional dalam memenuhi kebutuhan alutsista TNI terus diupayakan, mengingat terbatasnya keuangan negara. Pemanfaatan produk-produk peralatan militer dalam negeri secara optimal akan semakin meningkatkan kualitas riset dan pengembangan teknologi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas produk-produk militer dalam negeri.

Meskipun Pemerintah belum dapat memenuhi kebutuhan anggaran pembangunan pertahanan, namun secara bertahap alokasi anggaran fungsi pertahanan meningkat setiap tahunnya, yaitu dari sebesar Rp32,6 triliun pada tahun 2007 dan direncanakan menjadi sebesar Rp33,7 triliun atau meningkat 3,4 persen dalam tahun 2008. Anggaran tersebut akan diprioritaskan untuk pengadaan dan perbaikan/pemeliharaan/penggantian alutsista TNI, perkuatan kemampuan pertahanan di wilayah perbatasan, serta pemberdayaan industri pertahanan nasional dalam upaya meningkatkan kekuatan dan kemampuan alutsista TNI, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap alutsista produk luar negeri.

Sehubungan dengan lebih rendahnya rencana alokasi anggaran Departemen Pertahanan tahun 2008 bila dibandingkan dengan alokasi tahun sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa hal upaya meningkatkan kualitas belanja publik dilakukan melalui dua cara, yaitu pertama, alokasi pada prioritas, dimana sebagai salah satu prioritas pembangunan, anggaran fungsi pertahanan ditingkatkan (seperti dikemukakan di atas) dan kedua, efisiensi dalam rangka peningkatan kualitas belanja itu sendiri yang dilakukan bagi seluruh kementerian/lembaga. Dalam hal ini, sebagian kementerian/lembaga mengalami penghematan untuk direalokasi kepada dukungan infrastruktur dalam upaya percepatan pertumbuhan. Untuk Departemen Pertahanan, jumlah exercise awal, yang sesuai dengan alokasi pada prioritas, kenaikan anggaran tahun 2008 dibandingkan dengan RAPBN-P 2007 adalah Rp4,3 triliun, sedangkan dalam exercise kedua untuk efisiensi belanja, terjadi penghematan untuk Departemen Pertahanan sebesar Rp200 miliar. Dengan demikian, dalam keseluruhan exercise RAPBN 2008 untuk Departemen Pertahanan masih naik Rp4,1 triliun dibandingkan dengan perkiraan realisasi dalam RAPBN-P 2007. Dari segi besarannya, anggaran Departemen Pertahanan masih cukup signifikan dibandingkan dengan kementerian/lembaga yang lain. Di tahun 2008, anggaran Dephan menduduki urutan tiga besar setelah Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Pekerjaan Umum. Angka-angka tersebut kiranya mencerminkan pentingnya anggaran pertahanan, tentu dalam konteks prioritas nasional secara keseluruhan dan juga ketersediaan anggaran. Terkait dengan penghematan pada belanja barang tidak mengikat pada Departemen Pertahanan tahun 2008, akan diarahkan pada efisiensi kegiatan Pendidikan Pertama (Dikma) dan Werving.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi bahwa apakah cukup efektif pelaksanaan dari program-program yang merupakan prioritas pembangunan seperti peningkatan kesempatan kerja, peningkatan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan serta peningkatan efektifitas penanggulangan kemiskinan, Pemerintah menyadari bahwa pelaksanaan program-program prioritas tersebut memang masih masih banyak

-L.23 -

menghadapi kendala di lapangan, seperti: (i) rendahnya kualitas dan kompetensi tenaga kerja Indonesia; (ii) pemerataan pembangunan yang belum menyebar secara merata di daerah perdesaan; (iii) kemampuan masyarakat miskin untuk menjangkau pelayanan dan fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum, sanitasi dan transportasi yang masih terbatas; serta (iv) harga bahan kebutuhan pokok terutama beras yang cenderung berfluktuasi, sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat miskin

Berkaitan dengan hal tersebut, maka disamping meningkatkan alokasi anggaran untuk program-program penanggulangan kemiskinan, Pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan efektifitas program-program penanggulangan kemiskinan tersebut, antara lain melalui upaya: (i) menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok; (ii) mengembangkan kegiatan ekonomi yang berpihak pada rakyat miskin; (iii) menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; (iv) meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar terutama pada daerah tertinggal dan terisolasi; serta (v) membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.

Menanggapi keprihatinan Fraksi Kebangkitan Bangsa tentang kualitas dan pemerataan pendidikan yang masih rendah, penyerapan anggaran yang belum maksimal, serta tidak adanya kemajuan dalam sistem pengelolaan serta pengawasan anggaran, dapat dijelaskan sebagai berikut. Berkaitan dengan kualitas dan pemerataan pendidikan, Pemerintah telah berhasil meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, yang tercermin antara lain dari peningkatan APM SD/MI dari 94,12 persen pada tahun 2004, menjadi 94,30 persen pada tahun 2005, dan 94,73 persen pada tahun 2006. Sementara itu APK SMP/MTs, meningkat dari 81,22 persen pada tahun 2004, menjadi 85,22 persen pada tahun 2005, dan manjadi 88,68 persen pada tahun 2006. Sejalan dengan itu, disparitas APK SD/MI antara kabupaten dan kota juga telah menurun dari 2,49 persen pada tahun 2004, menjadi 2,43 persen pada tahun 2006. Demikian juga dengan disparitas APK SMP/MTs, menurun dari 25,14 persen pada tahun 2004, menjadi 23,44 persen pada tahun 2006.

Diakui bahwa masih ada kesenjangan kualitas pendidikan, baik antarsatuan pendidikan maupun antardaerah. Namun demikian, dengan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, kualitas pendidikan secara bertahap terus meningkat. Hal ini, antara lain tercermin dari peningkatan nilai rata-rata Ujian Nasional (UN), perolehan medali emas di berbagai olimpiade/kompetisi matematika, sains, dan olah raga, masuknya beberapa program studi dan perguruan tinggi ke dalam peringkat 500 besar dunia, bahkan 100 besar dunia, serta diakuinya kualitas layanan pendidikan Universitas Terbuka oleh International Council on Distance Education (ICDE).

Sementara itu, penyerapan anggaran pendidikan nampak antara lain pada penyerapan anggaran Departemen Pendidikan Nasional, yang meningkat dari 85,6 persen pada tahun 2005, menjadi 91,8 persen pada tahun 2006.

Selanjutnya, dalam hal penguatan tata kelola dan akuntabilitas, serta peningkatan pengelolaan anggaran, Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

-L.24 -

1. Menerapkan Sistem dan Prosedur Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Instansi (SAI)

2. Menertibkan rekening-rekening di seluruh satuan kerja di lingkungan Depdiknas

3. Menata Barang Milik Negara (BMN) sesuai Peraturan Menteri Keuangan: 59/PMK.06/2005 yang dilakukan bersama dengan BPKP (Kementrian pertama yang mempunyai Daftar Inventaris BMN yg didasarkan atas penilaian oleh BPKP)

4. Mengembangkan SIM Kepegawaian 5. Menata Arsip bekerjasama dengan Pusat Arsip Nasional 6. Mengembangkan Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) berbasis TIK

untuk e-administration, khususnya pengembangan Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Pokok Sekolah Nasional.

7. Meningkatkan Sistem Manajemen Organisasi dan kinerja pelayanan publik (Proses sertifikasi ISO bagi unit-unit kerja).

Terkait dengan Ujian Nasional (UN) tahun 2008, dapat disampaikan bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pelaksanaan UN, termasuk UN SD merupakan bagian dari upaya pemetaan, sekaligus peningkatan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Upaya ini merupakan aktualisasi dari pilar kebijakan peningkatan mutu pendidikan yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Depdiknas 2005-2009. Saat ini, BSNP sedang merumuskan skema penyelenggaraan UN SD 2008 yang tidak menghambat penuntasan wajib belajar sembilan tahun, dan sekaligus memperhatikan keragaman kondisi pelayanan pendidikan antardaerah. Apabila skema penyelenggaraan UN SD 2008 telah selesai disusun oleh BSNP, Pemerintah akan mengkomunikasikan hal itu dengan Komisi X DPR RI.

Sementara itu, berkaitan dengan program sertifikasi dapat dijelaskan bahwa Program sertifikasi guru telah menjadi komitmen pemerintah, dan akan dimulai pada tahun 2007, seiring dengan terbitnya peraturan perundang-undangan terkait. Untuk itu, telah disusun program dan sasaran yang jelas dan terukur, serta telah dialokasikan anggarannya pada APBN 2007. Perguruan Tinggi pelaksana program tersebut juga telah ditetapkan. Dengan demikian, pemerintah optimis program tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

Sedangkan mengenai pengangkatan tenaga guru honorer dan pegawai tidak tetap (PTT) menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), kiranya dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan harapan dan usulan anggota Dewan Yang Terhormat untuk mengangkat tenaga guru honorer dan PTT menjadi CPNS, mengingat tenaga-tenaga tersebut mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun demikian, mengingat bahwa tenaga honorer tersebut jumlahnya relatif banyak dan sangat bervariatif, baik tingkat pendidikan dan umurnya maupun jenis jabatannya, maka penanganannya perlu dilakukan secara arif, hati-hati, cermat, obyektif dan memenuhi rasa keadilan, serta memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun

-L.25 -

demikian, mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara, pengangkatan tenaga honorer tersebut menjadi CPNS akan dilakukan secara bertahap, dan melalui seleksi yang rasional, sehingga diharapkan dapat mendukung penciptaan aparatur negara yang profesional, netral, jujur, akuntabel, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Upaya Pemerintah untuk menangani masalah tenaga honorer pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan untuk menata manajemen sumber daya aparatur. Sebab tenaga honorer yang keberadaannya sudah demikian lama di lingkungan instansi pemerintah, terutama yang menangani tugas-tugas pelayanan dasar kepada masyarakat, pada hakekatnya tenaga, pikiran dan kemampuannya dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, alangkah tidak adilnya apabila mereka tidak memiliki kejelasan masa depan, karier, kesejahteraan, dan hak-hak lainnya. Apabila hal tersebut tidak mendapat perhatian dan penanganan yang serius, konsisten, dan penuh rasa tanggung jawab, dikhawatirkan akan menjadi permasalahan yang sangat mengganggu dalam manajemen PNS dan penyelenggaraan pemerintahan di masa mendatang. Berdasarkan atas pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas, pengangkatan guru honorer dan PTT menjadi CPNS telah menjadi komitmen Pemerintah, dan untuk itu, bersama Pemerintah Daerah telah dilakukan langkah-langkah pelaksanaannya.

Selanjutnya mengenai pandangan bahwa anggaran BOS banyak yang tidak tepat sasaran, dapat disampaikan bahwa hasil penelitian beberapa lembaga independen menunjukkan bahwa program pemberian BOS cukup efektif untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, menurunkan angka putus sekolah (drop out), serta mengurangi pungutan yang dilakukan oleh sekolah. Meskipun demikian, besaran dana BOS belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah, terutama sekolah yang berada di daerah perkotaan, sekolah swasta, dan sekolah unggulan. Pemerintah sependapat, bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan penyediaan BOS, perlu diperkuat sistem pengawasan dengan melibatkan para pemangku kebijakan pendidikan.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Damai Sejahtera, berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan guru dan dosen, kiranya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah sependapat dan menghargai perhatian dari Anggota Dewan yang terhormat untuk selalu melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan guru dan dosen pada khususnya, dan pegawai negeri pada umumnya, mengingat adanya tuntutan profesionalisme, serta adanya kenaikan kebutuhan pokok yang terus mengalami peningkatan.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, dalam tahun 2008, Pemerintah merencanakan untuk memberikan kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13, sebagaimana yang berlaku pada pegawai negeri lainnya. Selain itu, kepada guru dan dosen juga telah diberikan tambahan penghasilan berupa tunjangan tenaga kependidikan dan penghasilan lain, sesuai dengan peraturan perundangan. Selain hal-hal tersebut, dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada saat ini, Pemerintah sedang menyusun RPP tentang Guru, dan RPP tentang

-L.26 -

Dosen, yang mengatur antara lain mengenai pemberian tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan berbagai kebijakan tersebut, diharapkan kesejahteraan para guru dan dosen dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya dapat mewujudkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab.

Menanggapi pendapat Fraksi Kebangkitan Bangsa terkait dengan TKI/TKW di Malaysia dan Arab Saudi, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kejadian tersebut, dan senantiasa berupaya agar hal serupa tidak terulang kembali di masa mendatang. Kegiatan perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia/Badan Hukum Indonesia di luar negeri, termasuk Tenaga Kerja Indonesia merupakan salah satu kegiatan prioritas dalam RKP 2008. Selama ini, Pemerintah senantiasa melakukan penyempurnaan regulasi ketenagakerjaan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan buruh/karyawan, serta dalam rangka perbaikan iklim investasi yang kondusif melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Dalam upaya meningkatkan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah telah melaksanakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, yang ditempuh dengan membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dan melakukan penyederhanaan birokrasi pelayanan penempatan dan perlindungan TKI, sejak rekruitmen TKI sampai pelayanan kepulangan ke daerah asal.

Terkait dengan beberapa kasus TKI di luar negeri belakangan ini, Pemerintah melalui Perwakilan RI di luar negeri telah melakukan berbagai upaya, antara lain penanganan terhadap dua Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang meninggal, dan dua TKW yang dirawat di rumah sakit di Riyadh, Arab Saudi. Disamping itu, Perwakilan RI di luar negeri juga telah menangani TKW yang disiksa majikan di Kuala Lumpur, Malaysia.

KBRI Riyadh telah melakukan koordinasi dengan pihak terkait di Arab Saudi, antara lain dengan pihak kepolisian, rumah sakit, kementerian luar negeri, dan departemen perburuhan setempat sehubungan dengan meninggalnya dua TKW, yaitu Siti Tarwiyah asal Ngawi, Jawa Timur; dan Susmiyati asal Pati, Jawa Tengah, serta penyiksaan terhadap dua TKW lain, yaitu Rumini asal Pandeglang, Banten, dan Tari asal Karawang. Dalam hal ini, KBRI Riyadh dan Departemen Luar Negeri telah memberikan bantuan hukum, termasuk penyediaan penasehat hukum, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial terhadap empat TKW tersebut, serta mengirimkan nota diplomatik ke Pemerintah Arab Saudi untuk membantu agar hak-hak dasar dan hak-hak perburuhan para TKW tersebut dapat dipenuhi. Pemerintah juga memfasilitasi komunikasi kepada keluarga mereka di tanah air untuk mengadakan

-L.27 -

pembicaraan langsung melalui telepon kepada dua TKW yang masih dirawat di rumah sakit setempat.

Sehubungan dengan meninggalnya Kunarsih, TKW yang dianiaya majikannya, KBRI Kuala Lumpur telah melakukan koordinasi dengan pihak terkait di Malaysia, antara lain dengan pihak kementerian luar negeri, kepolisian, dan kementerian perburuhan Malaysia. Bantuan juga telah diberikan kepada Parsiti, TKW yang mencoba lari dari rumah majikannya karena tidak tahan dengan kekerasan yang dilakukan majikannya. Jenazah Kunarsih sudah diserahkan kepada keluarganya. Untuk diketahui, Kunarsih dikirim oleh agen pernyalur tenaga kerja perorangan. Majikan korban saat ini sudah ditahan polisi setempat. Dewasa ini, KBRI Kuala Lumpur sedang mengupayakan asuransi dari pihak Malaysia atas hak-hak korban sebagai tenaga kerja yang bekerja di Malaysia.

Sebagai tambahan informasi, dalam tahun 2007 telah diselesaikan klaim asuransi bagi keluarga TKI yang meninggal di Timur Tengah sebanyak 37 TKI, dengan total asuransi yang diserahkan sebesar US$140.000,-; serta telah dicairkannya deposito dari Perusahaan Asuransi UCI karena tidak bertanggungjawab membayar klaim asuransi bagi TKI yang mengalami musibah di luar negeri, dan telah dibayarkan kepada 21 keluarga ahli waris dengan nominal US$84.000,-. Selain itu, selama tahun 2007 telah dilakukan mediasi dan advokasi terhadap 424 kasus TKI, dimana sebanyak 374 kasus telah selesai, dan 50 kasus sisanya masih dalam proses penyelesaian.

Sementara itu, terkait dengan isu deportasi TKI/TKW dari Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, Pemerintah melalui KBRI, Depnakertrans, dan BNP2TKI, telah melakukan langkah-langkah koordinasi dengan instansi terkait di Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab dalam upaya penundaan deportasi dan pemutihan kepada TKI yang bekerja di Saudi Arabia. Untuk Uni Emirat Arab, deportasi tidak jadi dilakukan, hanya dipulangkan secara bertahap, sehingga kasusnya teratasi secara bertahap.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Golongan Karya mengenai peningkatan anggaran untuk infrastruktur yang diharapkan akan diprioritaskan untuk penyelesaian jalan-jalan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dan melanjutkan program pembangunan infrastruktur perdesaan yang akan menjadi pendorong revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Beberapa kementerian/lembaga sesuai dengan prioritas pembangunan dalam RKP 2008 diberikan anggaran cukup besar sesuai tugas pokok dan fungsinya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kementerian/lembaga tersebut diantaranya adalah Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Perhubungan. Alokasi anggaran Departemen Pekerjaan Umum dalam RAPBN 2008 sebesar Rp35,6 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 33 program kerja, diantaranya adalah program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan, yang diantaranya digunakan untuk membiayai kegiatan pokok, antara lain peningkatan pembangunan jalan lintas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sepanjang 3.642 km dengan alokasi anggaran Rp6.450,5 miliar, dan

-L.28 -

peningkatan kondisi jalan di jalur lintas timur Sumatera dan Pantura Jawa sepanjang 949,2 km dengan alokasi anggaran Rp2.068,7 miliar.

Sementara itu, alokasi anggaran Departemen Perhubungan dalam RAPBN 2008 mencapai Rp16,2 triliun, yang digunakan untuk melaksanakan 25 program kerja, diantaranya adalah program peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana kereta api, yang antara lain meliputi peningkatan jalan KA sepanjang 377,53 km, dan peningkatan 48 jembatan KA di Jawa dan Sumatera dengan alokasi anggaran Rp479,5 miliar, pembangunan jalur ganda Serpong-Rangkasbitung sepanjang 11,5 km dengan alokasi anggaran Rp173,9 miliar, pembangunan jalur ganda Tegal-Pekalongan 22,7 km dengan alokasi anggaran Rp396,5 miliar, pembangunan jalur ganda Cirebon-Kroya 19,43 km dengan alokasi anggaran Rp204,0 miliar, dan pembangunan jalur ganda lintas Duri-Tangerang 7,7 km dengan alokasi anggaran Rp112,0 miliar.

Sementara itu, Program revitalisasi pertanian dan pembangunan infrastruktur perdesaan yang merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional harus didukung infrastruktur yang memadai, khususnya pertanian lahan basah (irigasi), pendukung pemasaran pasca produksi (jalan), dan pemenuhan kebutuhan dasar petani dan keluarganya. Program ini diharapkan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui perbaikan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan infrastruktur perdesaan dan diharapkan mampu menjadi salah satu pendorong pengembangan ekonomi lokal di perdesaan. Pemerintah menyadari bahwa pada saat ini, keberadaan dan kondisi infrastruktur pertanian dan perdesaan, secara kuantitas maupun kualitas, masih kurang memadai. Kurang memadainya sarana/infrastuktur pertanian dan perdesaan ini, terutama terdapat di daerah Timur Indonesia dan juga di wilayah-wilayah yang terpencil, dimana akses pembangunan masih sangat terbatas.

Anggaran PNPM tahun 2008 diarahkan penggunaannya untuk sekitar 15.000 desa tertinggal yang sampai akhir tahun 2007 ini belum menikmati PKPS-BBM bidang Infrastruktur Perdesaan. Berkaitan dengan hal tersebut, alokasi dana PNPM yang semula dianggarkan sekitar Rp6,4 triliun, bertambah menjadi sekitar Rp7,0 triliun sebagai akibat dari penggabungan alokasi dana program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP), sebesar Rp550 miliar. Adapun alokasi per desa sebesar Rp250 juta per desa.

Selain alokasi dana PPIP yang disalurkan melalui Departemen Pekerjaan Umum tersebut, pada tahun 2008 Departemen Pertanian juga telah merencanakan alokasi anggaran untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian di perdesaan sebesar Rp1,2 triliun. Infrastruktur pertanian yang akan dibangun dan diperbaiki, antara lain adalah jaringan irigasi desa dan tingkat usaha tani 145.000 ha, Tata Air Mikro (TAM) 30.000 ha, jalan usaha tani dan jalan produksi 500 km, cetak sawah dan pendampingan seluas 24.000 ha pada 35 kabupaten, embung 200 unit, irigasi tanah dangkal 500 unit, jalan usaha tani 200 km, perluasan areal hortikultura 5.000 ha, dan padang penggembalaan 5.000 ha. Berbagai kegiatan tersebut akan dilaksanakan menyebar di seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, dengan penekanan pada daerah-daerah miskin dan tertinggal di luar Jawa.

-L.29 -

Namun demikian, Pemerintah akan melakukan koordinasi dengan DPR untuk mengawal alokasi anggaran tersebut agar dapat digunakan sesuai dengan arah dan tujuannya, yaitu sebagai stimulasi terhadap program-program yang lebih berpihak pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.

Menanggapai pandangan Fraksi Partai Golongan Karya tentang perlunya fokus pengalokasian anggaran pada penuntasan wajib belajar sembilan tahun, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam RKP tahun 2008, upaya penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu dari empat fokus utama yang diusulkan Pemerintah dalam rangka peningkatan akses dan kualitas pendidikan. Upaya akselerasi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata dan bermutu tersebut, dilaksanakan antara lain melalui: (i) melanjutkan penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs, Pesantren Salafiyah dan satuan pendidikan non Islam setara SD dan SMP; (ii) penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang pendidikan dasar; (iii) pengadaan buku pelajaran SD/MI/SDLB dan SMP/MTs melalui BOS buku; dan (iv) penyelenggaraan pendidikan alternatif untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak-anak yang tidak dapat mengikuti pendidikan reguler, melalui penyelenggaran Paket A setara SD dan Paket B setara SMP.

Dalam tiga tahun terakhir, alokasi anggaran pendidikan untuk program penuntasan wajib belajar sembilan tahun terus meningkat. Pada tahun 2005 anggaran program tersebut mencapai Rp11,3 triliun (41,8 persen dari anggaran Depdiknas), kemudian meningkat menjadi Rp19,9 triliun (45,2 persen) pada tahun 2007. Dalam RAPBN 2008, anggaran Departemen Pendidikan Nasional untuk program tersebut direncanakan sebesar Rp23,7 triliun atau 49,2 persen dari keseluruhan anggaran Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun juga dialokasikan melalui Departemen Agama, dengan alokasi anggaran yang juga terus meningkat. Pada tahun 2005 anggaran program tersebut mencapai Rp2,3 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp3,2 triliun pada tahun 2007. Dalam RAPBN 2008, anggaran Departemen Agama untuk program tersebut direncanakan sebesar Rp3,6 triliun. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah terhadap penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai masih rendahnya akses masyarakat miskin terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan dan lingkungan yang sehat, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah menyadari bahwa rendahnya akses masyarakat miskin terhadap berbagai fasilitas dasar tersebut, terutama disebabkan oleh masih rendahnya cakupan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Bantuan sosial kepada masyarakat miskin, pelayanan bantuan kepada masyarakat rentan (penyandang cacat, lanjut usia, dan yatim piatu), dan cakupan jaminan sosial bagi rumah tangga miskin masih belum memadai. Keseluruhan masalah-masalah tersebut akan ditangani secara sungguh sungguh dalam tahun 2008 dengan program-program pembangunan yang lebih terintegrasi.

-L.30 -

Sementara itu, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selain dipengaruhi oleh kesehatan, juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pendapatan perkapita. Dengan demikian, upaya peningkatan IPM selain dilakukan melalui peningkatan pembangunan kesehatan, juga harus dibarengi dengan upaya peningkatan pembangunan pendidikan dan pendapatan perkapita.

Khusus mengenai kondisi status/derajat kesehatan dan keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan kesehatan, antara lain dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, biologis maupun sosial ekonomi, perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, serta kondisi pelayanan kesehatan.

Berkenaan dengan pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional bahwa Pemerintah tidak serius dalam menjalankan program prioritas revitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir sangat serius dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memajukan sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan. Hasil dari upaya yang serius tersebut, antara lain ditandai dengan membaiknya pertumbuhan sektor pertanian secara luas, yang didukung oleh terjaganya ketersediaan pangan nasional. Produksi padi pada tahun 2005 mencapai 54,2 juta ton GKG, meningkat menjadi 54,4 juta ton GKG pada tahun 2006. PDB Perkebunan pada tahun 2005 tumbuh sebesar 2,5 persen, meningkat menjadi 3,2 persen pada tahun 2006. Demikian pula, PDB Perikanan pada tahun 2005 tumbuh sebesar 5,4 persen, meningkat menjadi sebesar 6,0 persen pada tahun 2006.

Dalam pelaksanaan program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kelautan) tahun 2008, telah dicanangkan pokok-pokok kegiatan: (i) peningkatan ketahanan pangan; (ii) pengembangan agribisnis; (iii) peningkatan kesejahteraan petani; (iv) pengembangan sumberdaya hutan; dan (v) pemanfaatan potensi sumber daya hutan. Berkaitan dengan pelaksanaan program RPPK tersebut, Pemerintah pada tahun 2008 antara lain akan melakukan upaya untuk: (i) memperkuat produksi pangan dalam negeri; (ii) memperbaiki distribusi dan sistem tata niaga pangan; (iii) meningkatkan produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap; (iv) meningkatkan produksi hasil hutan tanaman industri dan non kayu; dan (v) memberikan bantuan benih pertanian berupa padi non hibrida, benih padi hibrida, benih jagung serta benih kedelai.

Berkenaan dengan pendapat Fraksi Kebangkitan Bangsa mengenai RAPBN Tahun 2008 yang terkesan bagi-bagi anggaran ke departemen, dan hampir setiap departemen mempunyai program pemberdayaan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pada dasarnya upaya peningkatan kualitas belanja publik dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, alokasi anggaran sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan. Dalam konteks ini, sesuai dengan tema pembangunan tahun 2008, “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi untuk Mengurangi Kemiskinan dan Pengangguran”, maka alokasi anggaran untuk beberapa departemen yang melaksanakan prioritas pembangunan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan alokasi anggaran tahun 2007, seperti Departemen Dalam Negeri naik 58,6 persen, Departemen Pekerjaan Umum naik 47,2 persen, dan Departemen Perhubungan

-L.31 -

naik 55,2 persen. Sementara itu, dibandingkan dengan alokasi anggaran tahun 2007, maka rata-rata kenaikan anggaran departemen pada RAPBN 2008 adalah sebesar 10,7 persen, dan departemen yang mengalami kenaikan tertinggi adalah Departemen Dalam Negeri sebesar 58,6 persen. Hal ini sekaligus untuk mengoreksi pendapat Fraksi Kebangkitan Bangsa yang menyatakan bahwa ada departemen yang anggarannya naik tiga kali lipat, dan kenaikan rata-rata yang mencapai 40 persen.

Kedua, efisiensi belanja pada program-program yang bukan merupakan prioritas pembangunan. Dalam konteks ini, beberapa departemen justru mengalami penurunan anggaran, seperti Lembaga Sandi Negara sebesar 61,6 persen, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 45,2 persen, serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebesar 18,9 persen.

Selanjutnya, mengenai program pemberdayaan masyarakat, dapat disampaikan bahwa memang benar hampir semua departemen mempunyai program pemberdayaan masyarakat, yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing departemen, seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, lingkungan hidup, pertanian dan berbagai bidang lainnya. Meskipun demikian, program pemberdayaan masyarakat tersebut tidak bersifat tumpang tindih, namun Pemerintah menyadari bahwa diperlukan koordinasi dan keterpaduan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang ada di berbagai departemen tersebut. Oleh karena itu, mulai tahun 2007 Pemerintah memperkenalkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan program-program pemberdayaan masyarakat yang ada di berbagai departemen tersebut.

Menanggapi pandangan Fraksi Kebangkitan Bangsa mengenai belum mampunya anggaran pro poor menjawab kebutuhan dasar dan sosial masyarakat miskin, karena hanya merupakan program instan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya Pemerintah memahami kepedulian Fraksi Kebangkitan Bangsa atas efektivitas berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan yang terkesan instan. Pada awalnya Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) yang diluncurkan pada tahun 2005, bertujuan untuk menjaga agar kemampuan masyarakat miskin dalam menikmati pelayanan kesehatan dan pendidikan tidak menurun sebagai akibat dikuranginya subsidi BBM pada tahun itu. Selain itu, Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga diluncurkan untuk meredam penurunan daya beli akibat kebijakan pengurangan subsidi tersebut. Pada penghujung tahun 2005 hingga kuartal pertama 2006, Pemerintah telah melakukan kajian cepat atas efektivitas seluruh Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) dan menemukan banyak hal yang perlu segera diperbaiki. Temuan tersebut menyangkut banyak aspek, seperti penentuan sasaran, verifikasi calon penerima bantuan, mekanisme sosialisasi ke berbagai pihak, mekanisme penerbitan Kartu Penerima Program (baik BLT maupun Askeskin), penyaluran dana, pelayanan di tingkat pusat pelayanan kesehatan, efektivitas pengelolaan kegiatan, efektivitas pengaduan masyarakat, kualitas prasarana dan sarana yang

-L.32 -

dibangun (khusus untuk Infrastruktur Perdesaan), keterlibatan masyarakat dalam kegiatan, monitoring dan evaluasi, dan sebagainya.

Berbagai temuan tersebut langsung diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pada tahun 2006, seperti misalnya yang terjadi pada pembayaran kedua BLT pada Januari 2006 dan seterusnya, penetapan Rumah Tangga Miskin bagi program Askeskin, dan Unit Pengaduan Masyarakat yang lebih operasional dalam penyaluran BOS. Berbagai perbaikan ini terus dilakukan untuk pelaksanaan program pada tahun 2007. Perbaikan-perbaikan ini telah dilaporkan kepada masing-masing Komisi di DPR. Tanpa persetujuan DPR, mustahil bagi Pemerintah untuk tetap dapat melanjutkan program-program tersebut.

Khusus untuk Bantuan Tunai Bersyarat (yang sekarang bernama Program Keluarga Harapan atau PKH), Pemerintah membutuhkan waktu sekitar 12 bulan untuk perencanaan kegiatan, sebelum program dimulai pada tahun anggaran 2007. Khusus untuk PKH, hasil dari program ini memang belum dapat dilihat pada saat ini, karena penyaluran dana ke masyarakat baru mulai dilakukan di Gorontalo pada akhir bulan Juli yang lalu. Pada saat inipun, Pemerintah telah mulai melakukan kajian cepat untuk mengevaluasi efektivitas PKH dari segi desain kegiatan, untuk dapat segera dilakukan perbaikan di titik-titik yang menjadi kelemahan program, sebelum Pemerintah bersama-sama dengan DPR memutuskan untuk memperluas cakupan pelaksanaan program pada tahun-tahun mendatang.

Menanggapi pandangan Fraksi Kebangkitan Bangsa agar Pemerintah lebih fokus dan cepat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit, melakukan perbaikan gizi terutama bagi masyarakat di daerah terpelosok dan terpencil, serta memberi pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit dengan lebih cepat dan nondiskriminatif, Pemerintah sependapat dengan pandangan tersebut. Pemerintah berpandangan bahwa pembangunan kesehatan merupakan suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, dalam mendukung percepatan pembangunan nasional.

Dalam RKP tahun 2008, pembangunan kesehatan diprioritaskan pada: (i) peningkatan akses, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, melalui pelayanan bagi penduduk miskin di kelas III Rumah Sakit, pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya, dan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar; (ii) peningkatan ketersediaan tenaga medis dan paramedis, terutama untuk pelayanan kesehatan dasar di daerah terpencil dan tertinggal, melalui pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya, serta rumah sakit kabupaten/kota dan daerah bencana; (iii) pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, melalui penanggulangan penyakit menular, peningkatan surveilans, penemuan dan tatalaksana kasus; (iv) penanggulangan penyakit flu burung dan kesiapsiagaan pandemi influenza melalui penyusunan dan pelaksanaan surveilans, penanganan pasien/penderita flu burung, penyediaan obat flu burung, sarana dan prasarana penanganan kasus di rumah sakit; (v) penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan

-L.33 -

anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi masyarakat, dan peningkatan surveilans gizi; dan (vi) peningkatan ketersediaan obat generik esensial, pengawasan obat, makanan dan keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, peningkatan pengawasan obat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA), pengadaan sarana dan prasarana BPOM dan peningkatan SDM.

Sementara itu, berkaitan dengan keterlambatan dalam penyaluran dana bagi program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) di Puskesmas dan rumah sakit, dapat disampaikan bahwa Pemerintah secara bertahap telah berupaya untuk mengambil langkah-langkah perbaikan/penyempurnaan, antara lain melalui: (i) perbaikan mekanisme dan tatacara penyaluran dana Askeskin langsung ke Puskesmas; (ii) perbaikan mekanisme dan tatacara klaim ke PT Askes; (iii) peningkatan alokasi dana pelayanan kesehatan di rumah sakit; dan (iv) peningkatan koordinasi lintas sektor dan peran serta aktif seluruh pihak terkait terutama dalam kegiatan sosialisasi, serta pembinaan dan pengawasan mulai dari tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Bintang Reformasi tentang rendahnya target pengurangan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin, dapat disampaikan bahwa pengurangan penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh stabilitas harga bahan pokok, dan efektivitas program-progam penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2008, sebagaimana dilakukan selama ini, Pemerintah tetap mengupayakan stabilitas harga bahan pokok, terutama yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat miskin, seperti beras dan minyak tanah, melalui antara lain penyediaan cadangan beras, stabilisasi harga komoditas primer, Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP), dan berbagai jenis subsidi. Sementara itu, program-program pembangunan yang diupayakan secara langsung untuk mengentaskan kemiskinan baru efektif dimulai pada tahun 2007, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Mengingat berbagai keterbatasan tersebut, sementara kemiskinan merupakan permasalahan yang bersifat multidimensi, maka pengurangan penduduk miskin yang ditetapkan dalam RAPBN 2008 belum dapat setinggi yang kita harapkan. Melalui berbagai evaluasi yang telah dirancang, dampak pelaksanaan berbagai program yang secara konsisten diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan dapat dilihat setidaknya dalam waktu dua tahun mendatang.

Menanggapi pendapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan agar Pemerintah merombak diskriminasi pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah dengan meniadakan sistem kelas, kiranya dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut. Sesuai dengan Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, Pemerintah secara bertahap dan berkelanjutan terus berupaya untuk meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara layak. Selanjutnya, dalam Rencana Kerja

-L.34 -

Pemerintah (RKP) Tahun 2008, khususnya Bab 27 tentang Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan yang Lebih Berkualitas, secara jelas dinyatakan bahwa kegiatan pokok yang direncanakan pada tahun 2008 yang berkaitan dengan peningkatan fasilitas kesehatan, antara lain adalah: (i) Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana Puskesmas dan Jaringannya (Program Upaya Kesehatan Masyarakat); dan (ii) Peningkatan fasilitas sarana kesehatan rujukan (Program Upaya Kesehatan Perorangan).

Dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah, Pemerintah secara bertahap dan berkelanjutan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pemberian pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit umum daerah. Upaya tersebut, antara lain ditempuh melalui kegiatan akreditasi terhadap rumah sakit. Diharapkan dengan adanya akreditasi tersebut, maka seluruh rumah sakit umum daerah dapat memberikan pelayanan kesehatan/medik yang berkualitas sesuai dengan standar medis dan memberikan pelayanan kesehatan/medik non diskriminatif kepada seluruh lapisan masyarakat. Adapun yang membedakan kelas pada rumah sakit adalah pada fasilitas kamar yang tersedia, bukan pada standar pelayanan medis yang diberikan. Jadi walaupun berbeda kelas, pelayanan medis yang diterima tetap sama sesuai standar. Dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit yang sesuai dengan permintaan (demand), Pemerintah telah memberikan kesempatan dan keleluasaan bagi masyarakat yang mampu untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat itu sendiri.

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Damai Sejahtera, agar penurunan subsidi tersebut tidak berdampak pada kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, dapat kiranya disampaikan hal-hal sebagai berikut. Khusus mengenai subsidi energi (listrik dan BBM), Pemerintah menganggap perlu untuk meletakkan subsidi pada proporsi yang tepat. Subsidi energi lambat laun akan dikurangi dan harga energi yang berlaku akan mendekati nilai keekonomiannya. Ada dua hal yang akan dituju dengan pengurangan subsidi, yaitu: pertama, dengan mendekati harga keekonomiannya, maka anggapan energi murah dan berlimpah tidak akan berlaku lagi. Dengan demikian perilaku konsumsi energi juga akan berubah menjadi lebih hemat dan efisien. Sasaran kedua adalah subsidi yang semula diberikan untuk komoditas (listrik dan BBM) yang dimanfaatkan, baik oleh masyarakat mampu maupun tidak mampu, akan dialihkan untuk diberikan pada masyarakat yang benar-benar membutuhkan (targeted). Dengan demikian pemberian subsidi lebih terarah dan tepat sasaran pada golongan masyarakat yang membutuhkan. Sebelum sampai pada penerapan harga energi yang mendekati harga keekonomiannya, perlu dilakukan efisiensi dalam penyediaan energi, baik dari sisi pengambilan, pengolahan, maupun distribusinya. Dengan efisiensi yang tinggi, diharapkan harga keekonomian energi akan menjadi tidak terlalu tinggi, sehingga tidak memberikan beban tambahan kepada masyarakat.

-L.35 -

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mengenai banyaknya pungutan daerah yang berorientasi kepada peningkatan PAD sehingga mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi dan menghambat investasi, serta memperlemah kelembagaan investasi di daerah, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah dapat membatalkan perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Berkaitan dengan itu, sampai dengan bulan Maret 2006 telah dibatalkan sebanyak 505 perda pajak daerah dan retribusi daerah yang bermasalah. Jumlah ini bertambah menjadi 700 perda pada bulan Agustus 2007, dan kemungkinan akan terus bertambah, mengingat saat ini terdapat sekitar 620 perda dalam proses penerbitan keputusan pembatalannya.

Disadari bahwa banyaknya pungutan yang bermasalah tersebut tidak terlepas dari adanya kebijakan pemberian kewenangan/peluang yang lebih luas kepada daerah untuk menciptakan jenis pajak daerah dan retribusi daerah baru selain yang ditetapkan dalam undang-undang. Meskipun kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang untuk pungutan baru tersebut sangat ketat, namun hal tersebut cenderung kurang diperhatikan oleh daerah, karena tidak adanya sanksi bagi daerah yang menerbitkan perda pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum.

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, pada tanggal 8 Juni 2007, Presiden telah menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang salah satu programnya adalah percepatan peninjauan terhadap perda-perda yang menghambat investasi. Menindaklanjuti Inpres tersebut, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan telah membentuk tim bersama yang mempunyai tugas utama melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah yang menghambat investasi.

Untuk jangka panjang, dalam rangka mengatasi persoalan banyaknya Perda-Perda yang bermasalah, khususnya terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah, maka Pemerintah telah menyiapkan penyempurnaan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, yang dituangkan dalam Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang saat ini sedang dibahas di DPR. Dalam RUU tersebut diatur bahwa hanya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-undang yang dapat dipungut oleh daerah (closed-list). Di samping itu, bagi daerah yang melanggar akan dikenakan sanksi berupa penundaan/pemotongan dana perimbangan.

Melalui langkah-langkah tersebut di atas, pemerintah berharap, persoalan mengenai perda-perda pajak daerah dan retribusi daerah yang bermasalah dapat diatasi atau paling tidak dapat diminimalisasi.

Menanggapi saran Fraksi Partai Demokrat agar dilakukan percepatan penyelesaian penyusunan draft RUU tentang Pemilu Presiden dan

-L.36 -

Wakil Presiden, RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, RUU tentang Partai Politik, serta RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka mempersiapkan lebih baik pelaksanaan pemilu tahun 2009, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah telah menyampaikan empat paket Rancangan UU Bidang Politik kepada Pimpinan DPR RI sesuai dengan surat Bapak Presiden RI nomor R-27/Pres/05/2007 tanggal 25 Mei 2007. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, telah dibentuk dua Pansus RUU, yaitu: (i) Pansus RUU tentang Partai Politik dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan (ii) Pansus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam perkembangan selanjutnya telah dilakukan beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut:

1. Rapat Dengar Pendapat antara Pemerintah dengan Pansus RUU Pemilu dan dengan Pansus RUU Parpol.

2. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai elemen masyarakat antara lain dengan DPD-RI, kaum perempuan, LSM.

3. Melakukan kunjungan ke daerah dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat.

Pada bulan Nopember 2007, diharapkan paket RUU Bidang Politik tersebut dapat ditetapkan menjadi undang-undang.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi mengenai usulan untuk tidak dimasukkannya DBH sebagai faktor pengurang DAU, dapat kiranya dijelaskan bahwa Pemerintah tetap berupaya untuk melaksanakan amanat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Formula dan perhitungan DAU (termasuk indeks variabel) berdasarkan UU tersebut berlaku sejak perhitungan DAU tahun 2006.

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tersebut juga mengamanatkan bahwa setiap kebutuhan pendanaan diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Sementara itu, kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil (DBH). Dengan demikian, DBH merupakan salah satu variabel kapasitas fiskal dalam formula DAU, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan penghapusan DBH dalam formula DAU. Di samping itu, penghapusan DBH dari formula DAU selain tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, juga dapat berdampak pada semakin tingginya tingkat kesenjangan antara daerah yang kaya potensi hasil SDA dengan daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, atau yang memiliki keterbatasan potensi SDA.

-L.37 -

Selanjutnya, menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pemerataan keuangan yang semakin sulit diwujudkan karena adanya politik penyesuaian, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah secara bersungguh-sungguh terus berupaya untuk memperbaiki tingkat pemerataan alokasi DAU antardaerah melalui pengukuran lndeks Williamson dan Koefisien Variasi, yang diharapkan semakin mengecil dari tahun ke tahun, sehingga tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin diperkecil. Evaluasi tingkat pemerataan tersebut sudah melalui tiga tahapan dalam proses pengalokasian DAU, yaitu: (i) tahapan akademis dengan Tim Universitas untuk perumusan formula DAU; (ii) tahapan administratif hasil formulasi DAU oleh tim universitas yang disampaikan kepada Pemerintah dan disosialisasikan di DPOD; dan (iii) tahapan politis yang dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dan DPR. Pemerintah menyadari bahwa koefisien pemerataan tersebut bukanlah satu-satunya parameter dalam pengukuran pemerataan antardaerah, namun cukup efektif dalam rangka evaluasi tingkat ekualisasi antardaerah dari tahun ke tahun. Bila hasilnya kurang optimal, maka dapat diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor eksternal, di luar formulasi DAU.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya pemerataan dalam tiga tahun terakhir antara lain disebabkan oleh political adjustment, untuk mengakomodasi tuntutan daerah kepada DPR-RI dan Pemerintah, yang diantaranya menghasilkan kebijakan sebagai berikut:

• Diberlakukannya hold harmless, untuk menutup penurunan DAU dibandingkan tahun sebelumnya, termasuk bagi beberapa daerah yang kaya potensi DBH pajak dan DBH SDA, sehingga mengurangi optimalisasi formula DAU dalam meningkatkan ekualisasi.

• Modifikasi pembobotan pada sisi kapasitas fiskal, terutama pada DBH pajak dan SDA, dengan memberikan discounted factor masing-masing sebesar 75 persen dan 50 persen, sehingga berdampak pada tingkat penyebaran alokasi DAU yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, yang relatif lebih memiliki keunggulan dari aspek finansial dan ekonomi, sedangkan pada daerah-daerah marjinal dan memiliki potensi yang terbatas, tidak memperoleh kenaikan DAU secara optimal.

Sementara itu, menanggapi keinginan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar total DAU nasional dapat mencapai Rp185,8 triliun, berarti akan meningkatkan persentase DAU terhadap PDN neto menjadi 27,5 persen. Dari aspek legalitas, hal tersebut dimungkinkan. Namun, mengingat kondisi kemampuan keuangan negara yang masih sangat terbatas walaupun dilakukan optimalisasi pemanfaatan pendapatan dan pengelolaan defisit, pada RAPBN 2008 Pemerintah mengusulkan besaran DAU tahun 2008 adalah sebesar Rp176,6 triliun.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Damai Sejahtera mengenai ditempatkannya DAU dan DAK sebagai dana SBI, terlebih dahulu dapat disampaikan beberapa hal yang diduga mendorong daerah untuk menyimpan dananya di perbankan atau bahkan di dalam SBI, antara lain yaitu:

-L.38 -

1. Penetapan Perda tentang APBD yang tidak tepat waktu.

Menurut ketentuan, Perda APBD sudah harus ditetapkan pada akhir bulan November. Namun pada kenyataannya, penetapan APBD tersebut mengalami keterlambatan hingga semester I. Hal ini menyebabkan daya serap APBD yang rendah sampai dengan akhir semester I.

2. Keterlambatan dalam melaksanaan proses pengadaan.

Penetapan APBD yang sudah terlambat, tidak segera ditindaklanjuti dengan proses pengadaan barang/jasa, sehingga pelaksanaan kegiatan melewati satu tahun anggaran. Hal ini berakibat pada sisa anggaran pada akhir tahun anggaran.

Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah bertekad untuk memperbaiki keadaan yang menyebabkan rendahnya penyerapan APBD dan menumpuknya sisa anggaran di kas daerah, antara lain dengan:

1. Sosialisasi kepada daerah mengenai pentingnya penetapan Perda APBD tepat waktu, agar kegiatan ekonomi di daerah sudah dimulai sejak awal tahun anggaran;

2. Mengingatkan/menegur daerah secara tertulis untuk segera menyampaikan perda APBD;

3. Menerapkan sanksi kepada daerah yang menyampaikan APBD melebihi waktu yang ditentukan. Sanksi tersebut berupa penundaan pembayaran DAU sebesar 25 persen dari DAU (di luar besaran alokasi dasar).

Selanjutnya, dapat diinformasikan bahwa dalam tahun anggaran 2007, upaya Pemerintah untuk mempercepat penetapan Perda APBD cukup membuahkan hasil. Hal ini terbukti bahwa setelah Pemerintah mengenakan sanksi penangguhan pembayaran DAU kepada 5 daerah yang terlambat menetapkan perda APBD-nya, maka secara bertahap sebagian besar APBD sudah ditetapkan sampai dengan bulan Mei 2007, dan hingga pada bulan Juni 2007 seluruh APBD dari 33 provinsi dan 434 kabupaten/kota sudah ditetapkan Perda-nya.

Selain berasal dari dana Pemda yang disimpan di SBI, kemungkinan lain yang terjadi adalah bahwa BPD sebagai bank penempatan rekening kas umum daerah melalui mekanisme perbankan menempatkan dananya di SBI. Dengan menempatkan dana pemda di BPD, pemerintah daerah memperoleh jasa giro. Guna menghindari mengendapnya dana APBD pada bank persepsi, Departemen Dalam Negeri telah mempercepat penerbitan pedoman penyusunan APBD tahun 2008 dengan harapan proses penyusunan dan penetapan APBD akan terlaksana secara tepat waktu, sehingga dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah dapat dimanfaatkan sesegera mungkin di awal tahun anggaran. Kalau hal ini dapat berjalan dengan baik maka pembelian SBI yang sumber dananya diperkirakan dari APBD akan semakin kecil.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai belum adanya perubahan struktur ekonomi masyarakat daerah yang menerima dana otonomi khusus, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

-L.39 -

Sejak tahun 2002, dana otonomi khusus dialokasikan kepada Provinsi Papua sebagai pelaksanaan amanat Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2004 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, setara 2 persen dari total DAU nasional. Besaran dana otonomi khusus tersebut dari tahun ke tahun selalu meningkat, sejalan dengan peningkatan pendapatan dalam negeri neto sebagai dasar penetapan DAU. Pada RAPBN 2008, Provinsi Papua direncanakan menerima dana otonomi khusus sebesar Rp3,5 triliun, terutama untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, dan dana tambahan otonomi khusus sebesar Rp1,0 triliun terutama untuk pendanaan infrastruktur, antara lain pembangunan jalan, pelabuhan laut, pelabuhan penyeberangan, dan bandara. Provinsi NAD mulai tahun 2008 juga direncanakan menerima dana otonomi khusus sebesar Rp3,5 triliun, sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otonomi khusus Provinsi NAD terutama ditujukan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Dalam rangka mendorong perubahan struktur ekonomi masyarakat daerah Papua, Pemerintah memandang perlu untuk mendorong percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan menetapkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, agar kegiatan kementerian/lembaga yang didanai dari belanja pemerintah pusat dapat bersinergi lebih optimal dengan kegiatan yang didanai dari APBD (termasuk dari dana perimbangan), serta kegiatan yang didanai dari dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur. Disamping itu, agar pemanfaatan dana Otsus pada tahun-tahun mendatang semakin sesuai dengan sasaran, Pemerintah akan berupaya mengoptimalkan monitoring dan evaluasi penggunaan dana baik melalui perencanaan anggaran maupun pelaksanaannya di daerah.

Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tersebut, mulai tahun 2008 Pemerintah telah menyusun rencana induk pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang terdiri dari lima kebijakan percepatan (The New Deals), meliputi: (i) pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; (ii) peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan; (iii) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (iv) peningkatan infrastruktur dasar sektor pekerjaan umum dan perhubungan; serta (v) perlakuan khusus bagi pengembangan kualitas SDM putra-putri Papua.

Selanjutnya berdasarkan The New Deals tersebut, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menjabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang lebih realistis dan terinci menurut lokasi kegiatan. Kegiatan tersebut dituangkan ke dalam matriks, agar masing-masing kegiatan terlihat jelas sumber pendanaannya, apakah dari APBD prov/kab/kota termasuk dana perimbangan (DBH, DAU, dan DAK), dana otonomi khusus dan dana tambahan insfrastruktur, dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan, atau dana-dana yang sah lainnya.

Dengan dirumuskannya The New Deals, diharapkan dana otonomi khusus dapat memberikan manfaat yang lebih optimal bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.

-L.40 -

Sehubungan dengan catatan yang diberikan oleh Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi mengenai tambahan utang negara untuk membiayai RAPBN-P 2007 dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Dalam RAPBN-P 2007 penerimaan negara mengalami penurunan dari Rp723,1 triliun (19,1 persen terhadap PDB) menjadi Rp684,5 triliun (18,0 persen terhadap PDB), terutama akibat perubahan asumsi harga minyak, lifting, dan nilai tukar yang berdampak pada perkiraan realisasi penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selanjutnya belanja negara diperkirakan akan mengalami penurunan dari Rp763,6 triliun (20,2 persen terhadap PDB) menjadi Rp746,4 triliun (19,6 persen terhadap PDB), terutama karena perubahan asumsi dan realokasi anggaran. Sebagai akibat dari penurunan penerimaan negara yang lebih besar daripada penurunan belanja negara, defisit RAPBN-P 2007 mengalami peningkatan dari semula Rp40,5 triliun (1,1 persen terhadap PDB) menjadi Rp62,0 triliun (1,6 persen terhadap PDB).

• Peningkatan defisit tersebut membawa konsekuensi pada perubahan kebutuhan pembiayaan defisit yang harus dicari dari sumber-sumber yang tersedia. Dari serangkaian alternatif sumber pembiayaan defisit yang tersedia, pembiayaan yang berasal dari komponen non-utang sudah maksimal dan tidak mungkin ditingkatkan lagi, sehingga satu-satunya alternatif yang masih terbuka adalah melalui utang. Dalam hal ini, utang yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah utang dalam bentuk tunai yang tidak mengikat pada kegiatan tertentu (pinjaman proyek) yang bersumber dari penerbitan surat berharga. Agar tidak meningkatkan risiko terutama risiko nilai tukar, penerbitan surat berharga tersebut direncanakan seluruhnya bersumber dari pasar dalam negeri.

Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai peran investor asing dalam pasar Surat Berharga Negara, dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Indonesia menganut sistem devisa bebas. Dengan sistem devisa bebas ini, investor asing memiliki keleluasaan untuk menempatkan dananya dan menarik dananya di Indonesia, baik di pasar keuangan maupun penanaman modal langsung. Pasar keuangan Indonesia (pasar uang, saham, dan obligasi) bersifat terbuka dan tidak membatasi investor untuk menempatkan dananya, sehingga kondisi makroekonomi dan fundamental sosial, politik, keamanan, dan kepastian hukum Indonesia sebagai pertimbangan bagi investor asing dalam melakukan penempatan dananya.

Peran atau partisipasi investor asing bagi pasar keuangan di Indonesia masih diperlukan, mengingat pasar keuangan domestik masih dalam tahap pengembangan. Peran investor asing di pasar keuangan domestik akan meningkatkan aktifitas dan likuiditas pasar. Selain itu, masuknya modal asing akan turut memperkuat cadangan devisa Indonesia.

Per akhir Juli 2007, porsi kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara mencapai 17,46 persen dari total outstanding Surat Berharga Negara yang dapat diperdagangkan. Sebagian besar investor asing yang memiliki Surat

-L.41 -

Berharga Negara merupakan investor yang bersifat buy-and-hold, yang artinya investor yang cukup resilient terhadap gejolak fluktuasi pasar.

Untuk menjaga ketertarikan investor asing di pasar Surat Berharga Negara, Pemerintah telah melakukan berbagai tindakan yang diperlukan, antara lain bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk berkoordinasi dalam menyusun kebijakan fiskal dan moneter, memberikan peran kepada otoritas pasar modal untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap para pelaku pasar Surat Berharga Negara, dan menciptakan infrastruktur pasar, seperti sistem dealer utama (primary-dealership system), pasar derivatif, dan sistem kliring serta setelmen.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Bintang Reformasi mengenai beban cicilan pokok dan bunga, dapat kami sampaikan bahwa pada dasarnya tren beban pembayaran bunga utang memiliki kecenderungan menurun. Sebagai gambaran perbandingan, perkiraan rasio pembayaran bunga dibanding belanja negara pada tahun 2007 adalah sebesar 11,2 persen, yang telah jauh menurun dibandingkan pada tahun 2002 yang sebesar 27,2 persen. Sementara itu, pelunasan utang jatuh tempo pada dasarnya dilakukan dengan me-refinance dengan utang yang baru. Beban bunga dan pelunasan utang tersebut akan berkurang apabila APBN mengalami surplus yang selanjutnya digunakan untuk melunasi utang.

Dalam pengelolaan utang, pemerintah memperhitungkan cost and risk analysis, yang tercermin dalam tujuan pengelolaan utang yaitu meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah, antara lain, melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. mempertahankan stabilitas ekonomi makro; 2. mendorong pertumbuhan ekonomi; 3. melakukan restrukturisasi dan reprofiling utang untuk mengurangi risiko

refinancing; 4. melanjutkan konsolidasi fiskal; 5. mendukung pengembangan pasar Surat Berharga Negara.

Menanggapi saran dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar Pemerintah memilih alternatif pembiayaan yang paling efisien dalam menutup defisit anggaran dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pinjaman yang berasal dari lembaga multilateral saat ini rata-rata tingkat bunganya berdasarkan LIBOR (LIBOR based loan), sedangkan pinjaman dalam bentuk development assistance (concessional loan) dengan tingkat bunga rendah semakin mengecil porsinya, seiring dengan membaiknya indikator-indikator ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, dari pinjaman program (development program loan 3) yang diterima sebesar USD600,0 juta dari World Bank bersumber dari concessional loan sebesar USD70,0 juta dengan tingkat bunga 0,75 persen per tahun, sedangkan sisanya sebesar USD530,0 juta diterima dalam bentuk LIBOR based loan dengan effective cost sekitar 5,962 persen per tahun. Sementara itu, effective cost dari Surat Berharga Negara dalam valuta asing dengan jangka waktu yang sama diperkirakan sebesar 6,273 persen per tahun.

-L.42 -

Membaiknya indikator-indikator ekonomi Indonesia pada dasarnya akan mendukung perbaikan sovereign rating dan country risk classification Indonesia. Selanjutnya, perbaikan sovereign rating akan berdampak pada penurunan biaya bunga utang Surat Berharga Negara dalam valuta asing, sedangkan country risk classification akan menurunkan insurance premium yang menjadi beban dalam fasilitas kredit ekspor.

Dapat kami sampaikan, bahwa pinjaman yang bersifat concessional yang berasal dari sumber bilateral biasanya bersifat tied aid yang walaupun murah, tetapi memiliki banyak kepentingan lender dalam perjanjiannya. Selain itu, pinjaman luar negeri memiliki risiko terhadap perubahan nilai tukar (currency risk), sehingga apabila nilai tukar Rupiah melemah terhadap valuta asing, maka beban utang semakin besar. Currency risk ini tidak tercermin dalam besaran tingkat bunga pinjaman.

Dengan demikian, pinjaman yang bersumber dari dalam negeri, dalam hal ini Surat Berharga Negara, merupakan pilihan sumber pembiayaan yang relatif murah, karena terhindar dari currency risk. Hal ini seiring dengan strategi pengelolaan utang yang memfokuskan pembiayaan dalam Rupiah dan meningkatkan kemandirian dalam mencari sumber pembiayaan.

Dalam pengelolaan portofolio dan risiko Surat Berharga Negara, Pemerintah melakukan pengembangan pasar sekunder Surat Berharga Negara yang dilakukan, antara lain, melalui:

1. melakukan diversifikasi instrumen;

2. mengembangkan pasar derivatif;

3. membentuk sistem dealer utama (primary-dealership system) yang berfungsi juga sebagai market maker;

4. meningkatkan koordinasi antar otoritas pengawas pasar, seperti Bank Indonesia, BAPEPAM-LK, dan self regulatory organization;

5. mengembangkan sarana penunjang transparansi perdagangan, termasuk juga integrasi sistem perdagangan, kliring dan setelmen.

Pengembangan pasar Surat Berharga Negara ini akan membuat pasar menjadi semakin aktif, deep dan likuid, sehingga akan semakin memudahkan Pemerintah dalam melakukan pengelolaan portofolio dan risiko. Sehingga tujuan pengelolaan utang untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali dapat terwujud.

Menanggapi saran dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar Pemerintah mengeluarkan zero coupon bond dengan tenor waktu yang panjang dan segera menyelesaikan perundang-undangan tentang SBSN (sukuk) dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dalam kerangka pengembangan pasar Surat Berharga Negara, Pemerintah juga melakukan diversifikasi instrumen yang diharapkan akan menambah basis investor dan menambah likuiditas pasar. Saat ini, Pemerintah telah menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara yang bersifat zero coupon atau bersifat diskonto dengan jangka waktu 12 bulan dan telah menjadi acuan (benchmark) untuk jangka waktu tersebut. Pemerintah akan menerbitkan zero

-L.43 -

coupon bond dengan jangka waktu yang lebih panjang setelah dilakukan analisa terhadap cost and risk instrumen ini agar tidak terjadi fiscal distress, serta memperhatikan permintaan pasar (market demand).

Pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Februari 2007, yang saat ini masih dalam pembahasan antara Pemerintah dengan Komisi XI DPR-RI.

Sehubungan dengan catatan yang diberikan oleh Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi mengenai transparansi hibah dan pemanfaatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada prinsipnya hibah merupakan segala bentuk penerimaan negara yang diberikan oleh pemberi hibah baik dalam bentuk tunai (cash) dan/atau barang/jasa (in-kind), yang tidak perlu dibayar kembali.

Hibah tersebut oleh pemberi hibah dapat diberikan langsung pada penerima hibah, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah (non governmental organization, NGO). Selama ini belum ada aturan yang mewajibkan penerima hibah untuk melaporkan kepada negara mengenai jumlah, sumber dan peruntukan hibah. Namun demikian, untuk hibah yang oleh pemberi hibah dipersyaratkan untuk mendapat pengakuan negara, dan/atau memperoleh biaya operasional dan pemeliharaan dari APBN dalam hal hibah dalam bentuk barang, dan/atau hibah yang memerlukan adanya fasilitas bebas pajak dan bea masuk maka diwajibkan kepada penerima hibah untuk melaporkan kepada negara.

Dalam hal hibah dilaporkan kepada negara, maka harus disampaikan jumlah, sumber, dan peruntukkannya untuk selanjutnya diterbitkan nomor register dan dokumen pengesahannya. Seluruh hibah yang mempunyai nomor register dan diterima oleh kementerian/lembaga atau pemerintahan, akan diadministrasikan dalam APBN, sedangkan hibah yang memiliki nomor register namun tidak diterimakan kepada K/L atau pemerintahan hanya akan dicatat dalam sistem registrasi hibah.

Hingga saat ini tidak semua penerima hibah melaporkan jumlah, sumber dan peruntukan hibah yang diterima karena berbagai alasan, seperti tidak diperlukan adanya fasilitas perpajakan atau kepabeanan, tidak diperlukan alokasi APBN untuk operasional dan pemeliharaan, pemberi hibah tidak mempersyaratkan untuk dilaporkan kepada negara, atau tidak adanya informasi dari pemberi hibah mengenai nilai hibah yang diberikan (misalnya hibah dalam bentuk pelatihan/training, atau hibah dalam bentuk pendidikan)

Seluruh realisasi hibah yang diterima dan dicantumkan dalam APBN pada akhir tahun akan dilaporkan sebagai dokumen publik dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).