01 isi - international political environment gbe
DESCRIPTION
GBETRANSCRIPT
I. Pendahuluan
Suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan makro perusahaan, yang terdiri dari
kondisi ekonomi umum, tekanan global, tekanan sosial, faktor-faktor teknologi, faktor-
faktor politik/regulasi/legal, lingkungan alam dan demografi (Thompson et al, 2012). Salah
satu dari lingkungan makro tersebut adalah faktor-faktor politik pada suatu wilayah
tertentu, dimana dampak positif akan tercipta bagi perusahaan jika lingkungan politik
kondusif, dan sebaliknya kondisi politik tidak kondusif maka akan berdampak negatif pada
perusahaan berupa timbulnya ketidakpastian.
Tidak terbatas lingkungan politik dalam negeri, politik luar negeri juga mendapat
perhatian penting seiring dengan era globalisasi. Isu politik luar negeri yang sedang
memanas pada industri penerbangan Indonesia adalah adanya ASEAN Open Sky Policy.
(Sudiro et al, 2010) ASEAN Open Sky Policy merupakan kebijakan untuk membuka
wilayah udara antar sesama anggota negara ASEAN. Singkat kata, ini tidak lain
merupakan bentuk liberalisasi angkutan udara yang telah menjadi komitmen kepala negara
masing-masing negara anggota dalam Bali Concord II yang dideklarasikan pada KTT
(Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN tahun 2003.
Dilansir dari neraca.co.id tanggal 26 September 2015, seiring dimulainya Masyarakat
Ekonomi ASEAN, Indonesia segera menghadapi ASEAN Open Sky yang resmi berlaku
pada 2015 ini. Pokok tujuan ASEAN Open Sky adalah untuk membuka wilayah udara
antar sesama anggota negara ASEAN. Setelah diberlakukan, ASEAN Open Sky akan
membebaskan maskapai, pengelola bandar udara, pengatur penerbangan di darat (ground
handling), hingga pengatur lalu lintas penerbangan untuk bebas berusaha dan berekspansi.
Kebijakan ini disinyalir akan memberikan kondisi yang kondusif pada industri
penerbangan. Industri ini akan semakin kondusif karena membuka potensi perluasan
pangsa pasar, tidak hanya merajai pangsa pasar domestik tetapi juga pangsa pasar ASEAN.
Namun, apakah benar jika kebijakan tersebut benar-benar hanya memberikan dampak
positif mengingat kebijakan liberalisasi tersebut selayaknya free market competition yang
mana yang terkuat akan memenangkan persaingan?
Oleh karenanya, melihat kebijakan ASEAN Open Sky yang akan segera
dilaksanakan dan diprediksi memberikan dampak yang cukup signifikan dalam industri
penerbangan Indonesia, dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut ancaman dan
hambatan yang akan dihadapi perusahaan-perusahaan di industri penerbangan Indonesia.
II. Pembahasan
(Yuniar, 2013) Kepadatan bandara telah terjadi selama belasan tahun terakhir.
Setelah ada deregulasi penerbangan tahun 2000. Dengan adanya deregulasi tersebut,
investor mendapat kemudahan untuk menjalankan bisnis penerbangan. Sejak itu,
penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier-LCC) mulai bermunculan. Sebelumnya,
masyarakat hanya mengenal Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, Bouraq, dan
Mandala Airlines. Deregulasi itu mendorong kemunculan maskapai-maskapai baru, antara
lain Adam Air, Kartika Airlines, Jatayu Airlines, Bayu Indonesia Air, dan Bali Air. Sejak
lahirnya maskapai-maskapai berbiaya rendah itu, terjadi tren peningkatan jumlah
penumpang yang luar biasa.
Gambar 2.1. Pertumbuhan Penumpang/Maskapai/Pesawat di Indonesia
(Olavia, 2013) Hal itu tak terlepas dari Indonesia yang merupakan negara kepulauan
dengan sekitar 17.000 pulau yang tersebar sepanjang khatulistiwa. Tak heran, transportasi
udara menjadi andalan di Indonesia. Tak pelak kompetisi antar maskapai pun berlangsung
sengit. Banyak pihak menilai persaingan untuk merebut penumpang di Tanah Air saat ini
sudah cukup baik. Operator pun mengaku tidak gentar menghadapi aksi ekspansi yang
dilakukan maskapai lainnya. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
tambang emas bagi maskapai di negara dengan populasi terpadat nomor empat di dunia ini.
Bisnis penerbangan pun terus melaju seiring pertumbuhan ekonomi nasional yang masih
bertahan di atas 6 persen. Kementerian Perhubungan mencatat ada 420 rute yang belum
diterbangi maskapai nasional. Dari 670 rute yang tersedia, baru 250 rute yang diterbangi.
Gambar 2.2 Statistik Pilot di Indonesia
Pemerintah melalui pusat pengembanagan Sumber Daya Manusia Perhubungan
Udara, kementerian perhubungan terus berupaya meningkatkan kebutuhan pilot. Berbagai
program pendidikan, kerjasama dan akreditasi diberikan untuk mengembangkan kulitas
dan kuantitas para calon penerbang. Seiring dengan meningkatnya maskapai penerbangan
di dalam negeri, pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan dan kualitas pilot dengan
membuka sekolah penerbangan di Banyuwangi guna mendukung sekolah penrbangan yang
beradadi tangerang. Langkah ini merupakan terobosan, mengingat lebih dari 60 tahun
pemerintah hanya memiliki satu sekolah tinggi penerbangan yaitu di Tangerang, yang
berdiri 1952 sementara kebutuhan sumber daya pilot terus meningkat. Kebutuhan Pilot di
Indonesia membutuhkan 800 pilot per tahun, tetapi di Indonesia sekarang ini hanya
tersedia 400-500 pilot per tahun.
Gambar 2.3 Jumlah Sekolah Penerbangan
Disamping itu kebutuhan Personil ATC (Air Traffic Control) sangat mendesak,
Indonesia membutuhkan sedikitnya 3000 personel tenaga teknisi pengatur arus lalu lintas
udara (air traffic control/ATC) hingga 4 tahun kedepan. Penambahan personel ATC
tersebut dalam upaya menyamakan pelayanan pemanduan lalu lintas udara Indonesia
dengan Australia dan Singapura. Dengan jumlah ATC yang memadai, diharapkan kualitas
pelayanan penerbangan Indonesia akan mampu menyamai personil ATC di negara-negara
lain. Saat ini personil ATC di Indonesia umumnya belum memiliki kompetensi yang sama
sehingga diperlukan pelatihan tambahan guna meningkatkan kualifikasi. Selain menambah
jumlah personil, kualitas sumber daya manusia yang ada harus segera diperbaiki.
Kemampuan sumber daya manusia harus ditingktakan, seperti yang di Angkasa Pura I dan
II yang perlu disamakan, baik dari tingkat gaji maupun kompensasi dan yang terpenting
ialah meningkatkan ketrampilan dan kemampuan seluruh personel.
Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga ahli dibidang perawatan pesawat. Dalam
setahun diperkirakan institusi pendiidkan di Indonesia hanya mampu mencetak 600 orang
tenga ahli di bidang perawatan pesawat. Saat ini jumlah keseluruhan teknisi dan tenaga ahli
perawatan pesawat di Indonesia diperkirakan dibawah tiga ribu orang, padahal kebutuhan
industri perawatan pesawat untuk lima tahun ke depan diperkirakan mencapai enam ribu
orang. Potensi peningkatan pasar perawatan pesawat di Indonesia sangat besar karena
pertumbuhan bisnis penerbangan rata rata mencapai 20 persen pertahun. Aircraft
Maintenance Shop Asosiation (IAMSA) mendorong pemerintah memperbanyak institusi
pendidikan yang mampu mencetak teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat terbang.
Selain hal hal tersebut, bandara merupakan faktor penting dalam terlaksananya
industri penerbangan. Jumlah bandara di Indonesia yang berfasilitas baik sangat minim.
Padahal semakin tahun semakin bertambah jumlah penumpang untuk berpergian dari satu
kota ke kota lain di Indonesia. Di dalam dunia penerbangan, semua kegiatan telah diatur
dengan cermat dan akurat berupa ketentuan, regulasi, dan aturan yang sangat ketat, sebagai
contoh keputusan yang diambil untuk mengatasi delay di bandara jakarta ialah membuka
kembali bandara Halim Perdan kusuma sebagai bandara komersil karena ketidakmampuan
bandara soekarno-hatta menampung jumlah penumpang. Hal ini dapat di lihat dalam tabel
berikut :
Gambar 2.4 Keadaan Bandara Soekarno-Hatta
ASEAN Open Sky Policy merupakan kebijakan untuk membuka wilayah udara antar
sesama anggota negara ASEAN. Singkat kata tidak lain merupakan bentuk liberalisasi
angkutan udara yang telah menjadi komitmen kepala negara masing masing negara
anggota dalam Bali Concord II yang dideklarasikan dalam KTT ASEAN tahun 2003.
Dalam Bali Concord II disebutkan cita-cita terbentuknya ASEAN Economic
Comunity 2020 dengan angkutan udara menjadi salh satu dari 12 sektor yang akan
diintegrasikan pada tahun 2010. Kekuatan dari negara-negara ASEAN ini hasil dari segera
dipersatukan layaknya Eropa dan Uni Eropa-nya untuk menghadapi tantangan dan
persaingan dari negara besar Asia, seperti Cina dan India.
Untuk penerbangan sendiri, tahap tahap menuju ke arah sana mulia dilakukan. Tahun
2008 pembatasan untuk penerbangan antar ibukota negaraASEAN dihapus. Menyusul
kemudian hak angkut kargo pada tahun 2009 dan diikuti hak angkut penumpang tahun
2010 dengan puncaknya ASEAN Single Aviation Market Tahun 2015 yang tertuang dalam
The ASEAN Air Transport Working Group.
Kebijakan Open sky policy bagi negara negara ASEAN masih belum bisa diterima,
karena kondisi tiap-tiap negara berbeda. Ada yang sangat maju dan sebaliknya beberapa
negara masih dalam tahap membangun bahkan ada yang belum siap sama sekali.
Kerjasama bisa menjadi timpang dan akan erakibat kelak satu pihak yang kuat akan
memangsa yang lemah. Misalnya saja negara Singapura telah melakukan open sky policy
dari tahun 1960-an. Dimana maskapai asal eropa, asia dan bahkan amerika serikat bebas
terbang dari dan ke singapura. Maklum negara kecil yang memiliki luas kurang dari
provinsi jawa barat ini tak mungkin mengandalkan pasar domestik saja. Karena itulah
singapura membangun Changi sebagai bandara internasional dan bercita cita menajdikanya
hub (bandara poros/pusat) dan negara-negara anggota ASEAN sebagai spoke-nya. ATC
bandara Changi juga mampu melayani lalu lintas udara di wilayah Asia Tenggara termasuk
di wilayah udara Indonesia. Dari sisi maskapai Singapura lebih unggul dari sisi kualitas
dan kuantitas sebagai contoh Singapore Airlines merupakan flag air yang didukung
langsung oleh pemerintah Singapura. Begitu pula Malaysia dengan Air Asia nya yang
terkenal dengan penerbangan Low Cost Carrier telah melakukan ekspansi ke negara-negara
tetangga. Ekspansi ekspansi tersebut cukup membuat ketar-ketir negara ASEAN lain
termasuk Indonesia.
III. Kesimpulan
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan meliputi ketersedian bandara yang
mendukung aktivitas internasional, kualitas maskapai penerbangan hingga kualitas pilotnya
sendiri. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam mengahadi kebijakan open
sky policy agar maskapai di Indonesia siap bersaing dengan maskapai Asing dari negara
ASEAN.
Pada era keterbukaan seperti ini oen sky policy adalah pintu utama untuk
meningkatkan prestasi penerabangan di industri internasional. Semua maskapai harus
berbenah dengan meningkatkan kualitas setara dengan maskapai di ASEAN. Open Sky
policy merupakan peluang Indonesia agar industri pesawat terbang menjadi kompetitif
dengan bantuan pemerintah sebagai regulator agar pelayanan penerbangan tetap berpegang
pada keamanan dan keselamatan penerbangan.
Daftar Pustaka
Anonim.2013. Perusahaan Penerbangan di Indonesia Kekurangan Pilot. Diakses dari :
http://ekbis.sindonews.com/read/811615/34/perusahaan-penerbangan-di-indonesia-
kekurangan-pilot-1385724006. [Diakses : 1 Oktober 2015]
Hakim, Chappy.2015. Tinjuan Industri Penerbangan di Indonesia. Diakses dari : http://www.cse-
aviation.biz/wp-content/upload. [Diakses : 1 Oktober 2015]
Sudiro, Edi.2010. Asean Open Sky, Siapakah Indonesia? Diakses dari :
http://tabloidaviasi.com/liputan-utama/asean-open-sky-siapkah-indonesia. [Diakses 1
Oktober 2015]
Tejo, Amir.2014. Indonesia Kekurangan Teknisi Pesawat. Diakses dari :
http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/04/29/090574091. [Diakses : 1 Oktober 2015]
Thompson, Arthur A., Margaret A. Peteraf, John E. Gamble, A.J. Strictland III, 2012, Crafting
and Executing Strategy : The Quest for Competitive Advantage – Concepts and Cases,
Global Edition, McGraw Hill, New York.
Olavia, Lona.2013. Industri Penerbangan yang Kian Kompetitif. Diakses dari :
http://www.beritasatu.com/fokus/106479. [Diakses : 1 Oktober 2015]
Yuniar, Maria.2013. Deregulasi Penerbangan Picu Kepadatan Bandara. Diakses dari :
http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/09/18/090514430/deregulasi-penerbangan-picu-
kepadatan-bandara. [Diakses : 1 Oktober 2015]