01-bab 1 saksi nikah

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ikatan perkawinan tidak menjamin bahwa sebuah keluarga akan mendapatkan kebahagiaan. Adakalanya perkawinan memicu pertengkaran antara suami isteri karena berbagai sebab dan alasan. Perkawinan terkadang berakhir dengan perceraian atau putusnya ikatan perkawinan. Karena itu, perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata hubungan kontrak sehingga perlu diatur dengan persyaratan dan rukun tertentu yang harus dipenuhi agar tujuan disyariatkannya pernikahan dapat tercapai. Dalam sebuah pernikahan, hadirnya dua orang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi. 1 Karena aqad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang saksi . Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting keberadaannya. Karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. 2 Juga supaya suami 1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan , (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 52. 2 Drs. H. Anshoruddin, SH, MA., Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 32. 1

Upload: kabbone

Post on 24-Nov-2015

48 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

MAKALAH; saksi nikah 1

TRANSCRIPT

AL-MUTAZILAH

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahIkatan perkawinan tidak menjamin bahwa sebuah keluarga akan mendapatkan kebahagiaan. Adakalanya perkawinan memicu pertengkaran antara suami isteri karena berbagai sebab dan alasan. Perkawinan terkadang berakhir dengan perceraian atau putusnya ikatan perkawinan. Karena itu, perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata hubungan kontrak sehingga perlu diatur dengan persyaratan dan rukun tertentu yang harus dipenuhi agar tujuan disyariatkannya pernikahan dapat tercapai. Dalam sebuah pernikahan, hadirnya dua orang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi. Karena aqad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang saksi. Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting keberadaannya. Karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Dalam dinamika fiqh, terhadap persoalan persaksian nikah terdapat beberapa perbendaan pendapat. Di kalangan jumhur ulama, pemikiran tersebut didasarkan pada perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu> (cabang), baik mengenai ibadah, muamalah, dan lain-lain. Sehubungan dengan persaksian dalam akad nikah ada perbedaan pemikiran terhadap hukum menyaksikan akad nikah, syarat-syarat saksi dan waktu penyaksian. Menurut mazhab Syafiiyah, Hambali dan Hanafi, persaksian nikah merupakan syarat sah sebuah aqad nikah. Berbeda dengan mazhab Maliki yang mewajibkan adanya pengumuman pernikahan. Dengan demikian, jika terjadi akad nikah secara rahasia dan disyaratkan itu diumumkan, maka pernikahan tersebut menjadi batal. Dalam hal ini, menurut Hanafi, Syafii, dan Hambali, syarat tidak diumumkan tidak merusak pernikahan tersebut asalkan akad nikah disaksikan oleh dua orang saksi.

Inilah pandangan tentang persyaratan saksi yang umum ditemui dalam kitab-kitab fikih, terutama dikalangan Mazhab Syafiiyyah. Berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku dewasa ini, seperti di Indonesia, ketentuan ini bahkan diberlakukan sangat ketat, selalu mengsyaratkan jumlah, agama, jenis kelamin, status merdeka atau budak, dan kualitas-kualitas yang lain. Karenanya, persoalan saksi nikah di Indonesia telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Buku I yang membahas regulasi seputar Hukum Perkawinan di Indonesia. Makalah ini akan memfokuskan pembahasan pada masalah kedudukan saksi nikah menurut fuqaha dalam perkembangan fikih sedangkan dalam dinamika fikih di Indonesia, persoalan saksi nikah mengacu pada pembahasan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Makalah ini juga akan menyinggung kedudukan kehadiran saksi nikah yang sangat urgen pada sah atau tidaknya sebuah aqad nikah. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis akan membahas hal-hal berkaitan dengan topik tersebut, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengertian, dasar hukum dan urgensi saksi nikah?2. Bagaimanakah persaksian nikah menurut Ulama Fuqaha>?3. Bagaimanakah persaksian nikah menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?C. Kerangka TeoriBila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik berbagai peristiwa masa lampau. Sebab, sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu dan tempat kejadian. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan Inti ajaran Islam adalah memelihara dien, nafs (jiwa) nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal). Sehingga, kerusakan terhadap salah satunya harus dihindarkanC. Tujuan PenelitianBila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik berbagai peristiwa masa lampau. Sebab, sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu dan tempat kejadian. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sII. SEJARAH TIMBUL ALIRAN MUTAZILAH

Menurut Ahmad Amin, istilah Mutazilah sudah dikenal sejak kurang lebih 100 tahun sebelum Hasan al-Basri. Istilah ini digunakan untuk para sahabat yang memisahkan diri atau netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat pada perang Jamal yaitu perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubayr melawan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Akan tetapi, latar belakang munculnya Mutazilah sebagai aliran teologi bersamaan dengan hangatnya diskursus tentang dosa besar dan pembuat dosa besar, yang terjadi pada abad kedua Hijriah.

Salah satu ulama besar yang terlibat dalam diskursus tersebut adalah Hasan al-Bashri (692-728 M) sebagai guru dan Washil bin Atha (699-748 M) sebagai murid. Dalam suatu kesempatan, muncullah pertanyaan; bagaimana status orang mumin yang berbuat dosa? Sebelum sang guru (Hasan al-Bashri) menjawab, maka tiba-tiba sang murid (Washil bin Atha) menjawab : pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir. Kemudian ia meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya. Aksi inilah yang menimbulkan lahirnya Mutazilah yang pada awalnya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dilontarkan oleh golongan Khawarij dan Murjiah.

Nama Mutazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata yang berarti mengasingkan diri. Menurut suatu riwayat, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri setelah melihat Washil bin Atha memisahkan diri dari majelis gurunya. Beliau berkata : Washil sudah melarikan diri dari kita (Itazala an-na). Karena itu, orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mutazilah, yakni mengasingkan diri dari majelis pengajian Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murjiah dan Khawarij.

Seorang orientalis Itali yakni C.A. Nallino memiliki pendapat yang serupa dengan Ahmad Amin. Ia berpendapat bahwa nama Mutazilah sebenarnya tidak mengandung arti memisahkan diri dari umat Islam lainnya, namun nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang Usman, Ali, Muawiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murjiah yang memandang mereka tetap mukmin.

Menurut Ahmad Amin yang dikutip oleh Ahmad Hanafi, berpendapat bahwa yang mula-mula memberikan nama Mutazilah adalah orang-orang Yahudi. Seperti diketahui, sepulang mereka dari tawanan di Siria (Perang Meccabea melawan Antiochus IV, raja Siria, abad IV atau III sebelum lahir Isa) timbul di antara mereka golongan Yahudi Pharisee yang artinya memisahkan diri. Maksud sebutan ini tepat sekali dipakai untuk orang-orang Mutazilah. Selain itu pula pendapat golongan Yahudi Pharisee mirip dengan golongan Mutazilah, yakni semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakannya. Namun, pendapat ini dianggap kurang tepat, karena motif berdirinya golongan Pharisee berlainan dengan motif berdirinya golongan Mutazilah.Dengan munculnya Mutazilah ini, umat Islam telah mengalami perkembangan pesat bersamaan dengan kian meluasnya wilayah kekuasaannya sehingga menyebabkan terjadinya persentuhan dengan kebudayaan luar yang lebih dahulu maju seperti Bizantium, Persia dan Yunani. Ini menjadikan Mutazilah banyak menggunakan filsafat Yunani dalam landasan mereka, oleh karena mereka menemukan keserasiannya dengan kecenderungan pikirannya. Di sisi lain mereka juga mempergunakan filsafat Yunani untuk mengalahkan filosof dan pihak luar yang berusaha untuk meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan argumentasi logika. Langkah yang ditempuh oleh Mutazilah telah memberikan keuntungan kepada umat Islam karena mereka akan cepat memahami agama dengan pemahaman yang sempurna sebab menguraikan hakekat atau inti dari ajaran agama itu sendiri, dan sesuai dengan kenyataan dan berdasarkan pikiran manusia. Ini berarti bahwa Mutazilah telah berjasa besar terhadap perkembangan agama Islam karena mampu memperkenalkan bahwa dalam Islam terdapat filsafat yang lebih hebat dari filsafat Yunani dan Persia, sehingga menunjukkan bahwa Islam selalu siap dengan perkembangan zaman dalam berbagai segi.

Dengan demikian, golongan Mutazilah pertama mempunyai corak politik. Dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan oleh Washil bin Atha, juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Usman, Ali dan Muawiyah. Perbedaan di antara keduanya adalah Mutazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikirannya.Untuk mengetahui asal-usul Mutazilah sebenarnya memang sulit, berbagai pendapat diajukan belum ada kata sepakat. Yang jelas nama Mutazilah sebagai aliran rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Washil bin Atha dan Hasan al-Basri di Basrah.

Selanjutnya siapa yang memberikan nama Mutazilah kepada Washil dan pengikut-pengikutnya tidak jelas pula. Ada yang mengatakan golongan lawannya yang memberikan nama Mutazilah, tetapi kalau dikembalikan kepada ucapan-ucapan kaum Mutazilah sendiri akan dijumpai keterangan yang dapat memberikan kesimpulan bahwa mereka sendiri senang dipanggil Ahl al-Adl wa al-Tauhid; golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan keesaan murni.

Asumsi-asumsi di atas, memberikan indikasi bahwa telah terjadi polemik di kalangan ilmuan tentang sejarah timbulnya aliran Mutazilah. Ada kalangan yang megaitkan dengan peristiwa pertikaian politik dan ada yang mengaitkan dengan peristiwa Washil bin Atha dengan Hasan al-Bashri. Olehnya itu, dalam pandangan penulis, Mutazilah harus dilihat dari dua sudut tinjauan, yaitu Mutazilah sebagai gerakan atau sikap politik dan Mutazilah sebagai paham teologi.

III. MENGENAL WASHIL BIN ATHA DAN AJARANNYA

Washil bin Atha dilahirkan pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal pada tahun 131 H di Bashrah. Washil bin Atha dinamakan juga Abu Huzayfah dan diberi gelar al-Gazzal. Washil bin Atha adalah merupakan seorang pemikir Islam peletak dasar Mutalilah yang merupakan salah satu aliran theology.

Ia banyak menimba ilmu dari ulama salaf dan tabiin di kota Madinah. Di kota Madinah ia belajar dan mengkaji al-Quran dan hadis sehingga dapat mengembangkan dirinya, kefasihannya dalam berbahasa menyebabkannya ahli di bidang puisi dan sastra dan mempunyai kemampuan berdebat. Hal ini dibuktikan sewaktu ia mengkaji Islam di bawah asuhan ulama ia seringkali memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Seiring dengan hal itu pula ia, sering kali tidak sejalan dengan pandagan gurunya, terutama masalah iman dan kufur. Ia tidak puas terhadap pengetahuan yang diperoleh di Madinah sehingga mengembara di kota Bashrah.

Washil bin Atha adalah murid yang cerdas dan berani mengemukakan pendapatnya kepada siapapun sekalipun di hadapan gurunya (Hasan al-Bashri) dan akhirnya berpisah dengan gurunya karena berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar lalu membentuk aliran baru yakni Mutazilah yang beliau sendiri pemimpin utamanya.

Sejak berpisah dengan gurunya (Hasan al-Bashri) ia membentuk pengajian sendiri. Madrasah ini dibinanya dengan sungguh-sungguh dan telah menelorkan kader-kader yang siap dikirim ke daerah-daerah untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan ajaran Mutaziah, sekaligus menjadi bukti betapa gigihnya Washil bin Atha sekalipun mendapat hambatan di tengah-tengah masyarakat awam, karena sulit menerima ajaran yang bersifat rasional. Namun tatkala memperoleh dukungan dari kalangan intelektual dan terutama pada masa pemerintahan al-Makmun penguasa Abbasiyah (198-218) dan dinyatakan bahwa Mutazilah adalah aliran teologi resmi negara. Namun kemudian dihapus oleh Khalifah Al-Mutawakkil karena dianggap pahamnya melemah dengan berkembangnya paham Asy-ariyah.

Ajaran Washil bin Atha, pada garis besarnya ada tiga, yakni;

1.al-Manzilah bayn al-Manzilatayn; posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurutnya, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai disebut kaum khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai dikatakan Murjiah, tetapi fasiq yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin dalam pendapat Washil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besarnya, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang seperti ini, kalau meninggal dunia tanpa tobat, akan kekal dalam neraka; hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan yang diterima oleh orang kafir. Dengan demikian ia berada dalam posisi menengah. Fazlur Rahman mengistilahkannya dengan kedudukan di tengah-tengah. Menurutnya ini merupakan gerakan baru untuk nama teknis Mutazilah yakni netralis.

2. Meniadakan sifat Tuhan; yang menurutnya bahwa sifat Tuhan tidak ada, karena Tuhan itu Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Mengetahui. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat maka dalam diri Tuhan terdapat unsur-unsur yang banyak yaitu unsur-unsur disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat kepada zat. Olehnya itu, untuk mengatasi paham syirik, Washil menyatakan Tuhan tidak mempunyai sifat, bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan tetapi melalui zat-Nya.

3. Kebebasan berbuat; yang menurutnya bahwa tidak mungkin Tuhan menghendaki sesuatu yang bertentangan dengan perintahnya; manusialah yang mewujudkan perbuatannya yang baik atau yang buruk dan dari perbuatannya ini, ia memperoleh balasan. Dengan kata lain, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan. Artinya, kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan haruslah kehendak dan daya manusia itu sendiri, hal ini bertujuan untuk mempertahankan kemahaadilan Tuhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa dengan akal manusia mampu berfikir serta mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia itu sendiri.

Demikian tiga pemikiran Washil bin Atha yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya seperti Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H) yang berpendapat bahwa manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban, meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. selanjutnya ia membawa faham al-Salah wa al-Ashal, yaitu Tuhan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk maslahat manusia. Kemudian apa yang dimaksud dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafy al-sifat) dijelaskan lebih lanjut oleh Abu al-Huzail. Pemberian sifat kepada Tuhan akan membawa faham syirik atau politeisme, karena dengan demikian yang bersifat qadim (tidak bermula) akan banyak. Untuk memelihara murninya tauhid atau kemahaesaan Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi Tuhan. Sebagaimana kata Abu al-Huzail, Tuhan berkuasa melalui kekuasaan dan kekuasaan itu adalah esensinya ( ). Kemudian al-Nazzam (185-221), menonjolkan faham keadilan Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk zalim. Perbuatan zalim timbul hanya dari yang mempunyai cacat, dan Tuhan maha sempurna tidak mempunyai cacat. Dari Tuhan timbul hanya perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya al-Nazzam mengatakan bahwa Kalam Allah atau sabda Tuhan tidak qadim, tetapi diciptakan. Dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang kemudian mengembangkan pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya seperti ; al-Jahiz (W. 256 H), al-Jubbai (W. 295 H), Abu Hasyim (W. 321 H), al-Murdad (W. 226 H), al-Khayyat (W. 300 H) dan lain-lain. Kesemuanya membawa pemikiran-pemikiran rasional dalam membahas teologi mereka. IV. AL-USHUL AL-KHAMSAHPokok ajaran Mutazilah dalam Ilmu Teologi disebut al-Ushul al-Khamsah. Kata al-Ushul Al-Khamsah terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan khamsa. Ushul adalah bentuk jamak dari ashl ( ) berarti akar yang dapat disinonimkan dengan : yang berarti dasar, asas, pondamen. Sedangkan kata khamsah () bentuk muannats artinya lima. Jadi al-Ushul al-Khamsah adalah lima prinsip dasar aliran Mutazilah yang mereka perpegangi. Berangkat dari permasalahan pembuat dosa besar, pendapat mereka berkembang kepada masalah-masalah lain yang berbeda dengan pendapat golongan lainnya terutama dalam masalah al- Tauhid, al-Adl, al-Wad wa al-Waid, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-Amru bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Mungkar. Kelima permasalahan ini oleh golongan Mutazilah dijadikan ajaran pokok mereka yang terkenal dengan al-Ushul al-Khamsah yang oleh Harun Nasution dipakai istilah Panca Mutazilah. Seorang dapat mengklaim dirinya sebagai penganut Mutazilah jika ia meyakini doktrin Mutazilah tentang lima persolan, yakni ;

1. Al-Tauhid

Bagi Mutazilah perinsip tauhid adalah doktrin terpenting sebab secara tegas menekankan ke Esaan Allah sehingga dari perinsip ini lahir :

a.Peniadaan sifat Tuhan, jika Tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat, sementara yang qadim hanyalah Allah. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat oleh kaum Mutazilah. Tuhan bagi mereka tetap Mahatahu, Mahakuasa, Mahamendegar, Mahamelihat dan sebagainya, tetapi semuanya ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan, atau dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan.

b. Al-Quran adalah makhluk, olehnya itu ia bersifat baru tidak qadim. Mereka meyakini bahwa Al-Quran adalah makhluk dan merupakan kalam Tuhan. Pokok pikiran mereka adalah, bahwa jika Al-Quran menjadi kata yang tidak diciptakan, akan bersifat paralel kepada Tuhan dan itu merupakan syirik.

c. Tuhan tidak dapat dilihat di hari kemudian secara lahiriah. Mereka memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata kepala diakhirat membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah Swt. dengan makhluk. Karena menurut mereka, ruyah (pandangan) adalah kontak sinar antara yang melihat dengan yang dilihat. Suatu pandangan atau penglihatan itu bisa terjadi jika ada tempat/media. Dan penglihatan pasti berhubungan dengan benda nyata (maujud). Sementara Allah Swt. tidaklah demikian. Oleh sebab itu mereka mengatakan mustahil terjadi pada Allah. d. Menolak sifat yang mengandung kesan penjasmanian Tuhan. Tuhan tidak bersifat materi dan tidak layak mempunyai sifat jasmani. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, demikian pendapat Jahm. Karena menurutnya hal itu akan membawa kepada anthropomorphisme (menggambarkan Tuhan hampir menyerupai makhluknya), yang dalam istilah Arab disebut al-tajassum atau al-tasybih. Sehingga menurut mereka, ayat yang memberi kesan penjasmanian Tuhan harus di-takwil-kan, misalnya tangan diartikan kekuasaan, muka diartikan esensi, mata diartikan pengetahuan.Salah satu contoh ayat anthropomorphisme yang diinterpretasi oleh Mutazilah ialah firman Allah Swt. :

(((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((( ((( Terjemahnya : (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy. (QS. Thaahaa [20] : 5).

2. Al-AdlMutazilah berpendapat bahwa Allah Maha adil dan wajib berbuat adil. Tiada takdir buta tanpa ikhtiar manusia. Tuhan tidak mengendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan sebaliknya bisa meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena kodrat yang dijadikan Tuhan kepada diri mereka. Dan Ia tidak melarang kecuali terhadap apa yang tidak dikehendaki-Nya. Ia hanya mengusai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu terhadap keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.Nampaknya kaum Mutazilah menentang paham Jabariyah, sebab tidak sesuai dengan paham keadilan Tuhan. Olehnya itu kaum Mutazilah mengambil paham Qadariyah, sebab menurut mereka paham inilah yang dianggap sesuai dengan paham keadilan Tuhan.

3. Al-Wad wa al-WaidDalam soal janji dan ancaman terdapat paham kewajiban terhadap Tuhan. Tuhan wajib memberi pahala kepada orang yang taat dan berbuat baik sebagaimana telah dijanjikan-Nya, dan merupakan keharusan bagi-Nya untuk memberi hukuman kepada orang yang jahat dan durhaka sebagaimana telah diancamkan-Nya. Dalam Al-Quran, Tuhan menjanjikan hal yang demikian, tidak adil kalau Tuhan memasukan orang yang berbuat baik ke dalam neraka atau memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam surga. Jika Tuhan tidak menepati janji dan ancamannya berarti Tuhan berdusta. Karena sumber laporan itu adalah Allah sendiri. Seperti yang dapat kita lihat di dalam Al-Quran berikut :(((((( ((((((((((( ((((( ((((((( ((((

Terjemahnya : dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka berada dalam neraka (QS. Al-Infitar [82] : 14).

((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((((( ((((((( ((( ((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((( ((((((( (((Terjemahnya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah [99] : 7-8).

4. Al-Manzila Bayn al-ManzilataynSatu statemen yang jelas mengenai posisi Mutazilah disampaikan oleh Al-Khayyat. Hal ini dikaitkan dengan konsepsi Mutazilah mengenai al-manzila bayn al-manzilatayn. Di mana Khawarij mengatakan bahwa seorang yang berdosa besar bukanlah orang yang beriman (kafir), Hasan Al- Bashri mengatakan bahwa seorang yang berdosa besar adalah seorang hypokrit (Munafiq) dan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut adalah orang yang beriman (mumin), sementara itu Mutazilah berpendapat bahwa orang tersebut bukan mukmin, kafir atau munafiq, akan tetapi ia berada pada posisi tengah.

5. Al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Munkar.Dalam prinsip ini Mutazilah menolak teokrasi dan menegaskan tabiat moral dan sosial. Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban bukan saja oleh kaum Mutazilah, tetapi juga oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaanya terletak dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini kaum Khawarij memandang perlu untuk menggunakan kekerasan, tetapi kaum Mutazilah berpendapat bahwa kalau bisa dengan penjelasan dan kekerasan. Dalam persoalan politik sekalipun prinsip al-amr bi al-maruf wa al-nahy an al-munkar tetap dilaksanakan. Mereka melakukan perlawanan atau pemberontakan terhadap pemerintahan yang menyimpang dari keadilan, karena hal ini menurut mereka adalah wajib. Sejarah menunjukkan betapa hebatnya golongan Mutazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiy, yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsipnya.

Ajaran-ajaran Mutazilah yang diuraikan di atas mencerminkan bentuk rasionalisme, yang tidak menentang dan menolak agama serta tidak percaya kepada kebenaran dan keabsahan wahyu. Bahkan dengan ajaran-ajaran Mutazilah yang rasionalisme tersebut tetap tunduk dan menyesuaikan diri dengan kebenaran wahyu.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :1. Mutazilah harus dilihat dalam dua perspektif, yakni Mutazilah sebagai gerakan atau sikap politik dan Mutazilah sebagai paham teologi. Mutazilah sebagai gerakan atau sikap politik muncul ketika terjadi pertikaian politik antara Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Mutazilah sebagai paham teologi muncul pada abad kedua Hijriah yang berangkat dari pertanyaan tentang pelaku dosa besar.

2. Washil bin Atha adalah tokoh yang mempelopori lahirnya Mutazilah sebagai aliran teologi. Ajaran yang dikemukakannya terdiri atas tiga hal yakni, al-Manzila bayn al-Manzilatayn, meniadakan sifat Tuhan; dan bebebasan berbuat bagi manusia.

3. Nama Mutazilah bukanlah ciptaan orang-orang Mutazilah sendiri, tetapi penamaan itu diberikan oleh orang lain. Orang Mutazilah menamakan dirinya sebagai al-Ahl Adl wa al-Tauhid. Teologi Mutazilah adalah sebuah hasil ijitihad yang patut dihargai tidaklah harus diperdebatkan lebih jauh, keberanian intelektual dengan penggunaan akal sebagai paradigma adalah hasanah yang sangat berharga dan relevan dengan konteks kekinian.

4. Pokok ajaran Mutazilah dalam Ilmu Teologi disebut al-Ushul al-Khamsah merupakan lima prinsip dasar yang mereka perpegangi, yakni : al- Tauhid, al-Adl, al-Wad wa al-Waid, al-Manzilah bain al-Manzilatayn dan al-Amru bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Mungkar.DAFTAR PUSTAKAA. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989.

-------, Pengantar Theology Islam, Jakarta : Djayamurni, 1967.

A. Syalabi, Prof. Dr., Attarikhul Islami Walhadharatul Islamiyah, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhta Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief, dengan judul, Sejarah dan Kebidayaan islam, Cet.X; Jakarta : PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003.

Abu Zahrah, Imam Muhammad, Prof. Dr., Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Cet. I; Jakarta Selatan : Logos; Publishing House, 1996.

Abul Ala al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqis dengan judul, Khilafah dan Kerajaan, Cet.VI; Bandung : Mizan, 1996.

Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia- Arab Arab-Indonesia Al-Bisri,Cet. I; Surabaya : Pustaka Progressif, 1999.Ahmad Amin, Dhuha Islam, Juz III,Cet. VIII; Kairo : Maktabah an-Nahdat al-Misriyyah, 1973.-------, Fajr al-Islam, Cet. XI; t.tp., 1975.Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam),Cet.VI; Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988.

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Cet. II ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan/Penafsiran al-Quran, 1971.

Fazlur Rahman, Islam, Cet.II ; Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1992.Harun Nasution Prof. Dr., Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. V: Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 1985.-------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, Cet. I; Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1987.

-------, Teologi Islam (Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan),Cet. II; Jakarta : Universitas Indonesia, 1972.

-------, Teologi Islam, Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986.

Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan Judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet.I, Ed.I; Yogyakarta : Kota Kembang, 1989.

http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/ (Februari 5, 2009@9:46) Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Alquran, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Kasim Yahiji, Drs. H., M.Ag, Pendidikan Islam dalam Pandangan : Qadariyah, Jabariyah dan Asyariyah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Ifrani, (Pencerahan Unutk Peradaban) Edisi 1 Juni 2008.

Mahmud al-Basyisyis, Al-Firaq al-Islamiyah, Cet. I; Mesir: al-Rahmaniyah, t.th.

Mahmud Yunus, H. Prof. Dr., Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972. Masudul Hasan Prof., History Of Islam (Classical Period 571-1258 C.E), T.Cet.; Delhi : Adam Publisher & Distributers, Shandor Market, Citli.

Ruwaifi bin Sulaiman, Sejarah Munculnya Mutazilah. http://mufaqqih.multiply.com/journal/item/14. 27 Oktober 2009.

Sunarji Dahri Tiam, Prof. Dr., Berkenalan dengan Filsafat Islam, Cet.I; Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2001.

Tim Penerjemah Mizan, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, diterjemahkan dari History of Islamic Philosophy, Cet. I; Bandung : Mizan, 2003.

Tim Penyusun Ensiklopedia Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cet. III; Bekasi : PT. Delta Pamungkas, 1997.

Tim Penyusun, Encyclopedia of Religion, t.Cet ; New York : The United States of America, 1995.

Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology : A semantical Analysis of Iman and Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam : Analisis Simantik Iman dan Islam, Cet.I; Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994.

W.Montgomery Watt, The Formative Periodof Islamic Thought, diterjemahkan oleh Sukoyo, et.al dengan judul, Studi Islam Klasik : Wacana Kritik Sejarah, Cet. I; Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1999.AL-MUTAZILAH(Sejarah Timbul, Washil bin Atha dan Ajaran-AjarannyaSerta Al-Ushul Al-Khamsah)

Makalah Revisi telah Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam Semester I Program Pascasarjana UIN Alauddin MakassarTahun Akademik 2009/2010Oleh :

ABDURAHIM RIDUANGDosen/Pemandu :

Prof. Dr. Qasim Mathar, MA

Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.Ag.PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDINMAKASSAR2010KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita semu. Dan shalawat dan salam semoga tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Saw.

Makalah dengan judul MUTAZILAH (Sejarah Timbul, Washil bin Atha dan Ajaran-Ajarannya serta Al-Ushul Al-Khamsah) kami sajikan sebagai wujud penyelesaian amanah dan tanggung jawab sebagai Mahasiswa dengan tujuan dapat mengantar para pembaca memenuhi hasrat dan kebutuhan akan pengetahuan sekilas dan sangat terbatas.

Kami menyadari

1

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 52.

Drs. H. Anshoruddin, SH, MA., Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 32.

Muhamamad Yu>suf Mu>sa, Ahka>m Ahwa>l asy-Syakshiyyah fi al-Fiqh al-Isla>mi, (Cet. II; Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi, 1956), h. 7.

Lia Aliyah al-Himmah,Kesaksian Perempuan:Benarkah Separuh Laki-Laki?,(Jakarta: Rahima, 2008), h. 17.

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991; Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), h. 2.

Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Cet. XI; t.tp., 1975), h. 290. Lihat pula, Prof. Dr. Harun Nasution, op.cit, h.40.

Ibid.

Lihat Frof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Cet. I; Jakarta Selatan : Logos; Publishing House, 1996), h. 149.

Prof. Drr. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972), h. 44.

Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dengan Judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Cet.I, Ed.I; Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), h. 195.

Lihat, HYPERLINK "http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/" http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/ (Februari 5, 2009@9:46)

Prof. Dr. Harun Nasution, loc. cit. Lihat Pula, HYPERLINK "http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/" http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok/

Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam),(Cet.VI; Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h. 40.

Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Alquran (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 5.

Tim Penyusun, Encyclopedia of Religion, (t.Cet ; New York : The United States of America, 1995). h. 220.

Prof. Dr. Harun Nasution, op.cit. h. 38.

Harun Nasution, Teologi Islam (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 42.

Mahmud al-Basyisyis, Al-Firaq al-Islamiyah (Cet. I; Meir: al-Rahmaniyah, t.th.), h.15.

Theology terdiri dari kat Theos artinya Tuhan dan Logos yang berarti Ilmu, jadi Theology adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia, berdasarkan kebenaran wahyu, berdasarkan akal murni, Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta : Djayamurni, 1967), h. 11-12.

Mahmud al-Basyisyis, loc.cit.

Tim Penyusun Ensiklopedia Nasional Indonesia, loc.cit.

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 7.

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Cet. II ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 292.

Drs. H. Kasim Yahiji, M.Ag, Pendidikan Islam dalam Pandangan : Qadariyah, Jabariyah dan Asyariyah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Ifrani, (Pencerahan Unutk Peradaban) Edisi 1 Juni 2008, h. 31.

Prof. Dr. Harun Nasution, op.cit. h. 43.

Fazlur Rahman, Islam, (Cet.II ; Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1992), h. 137.

Ibid.

Ibid.

Prof. Dr. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, (Cet. I; Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1987), h. 65.

Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. V: Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press, 1985), h. 38 - 39.

Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia- Arab Arab-Indonesia Al-Bisri,(Cet. I; Surabaya : Pustaka Progressif, 1999), h.11.

Ibid, h. 605.

Ibid, h. 176.

Ahmad Amin, Dhuha Islam, Juz III (Cet. VIII; Kairo : Maktabah an-Nahdat al-Misriyyah,1973), h. 22.

Prof. Dr. Harun Nasution, op.cit. h. 45.

Prof. Dr. Sunarji Dahri Tiam, Berkenalan dengan Filsafat Islam, (Cet.I; Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2001). h. 65-66. Bandingkan dengan, Prof. Dr. A. Syalabi, Attarikhul Islami Walhadharatul Islamiyah, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhta Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief, dengan judul, Sejarah dan Kebidayaan islam, (Cet.X; Jakarta : PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003), h.309.

Prof. Masudul Hasan, History Of Islam (Classical Period 571-1258 C.E), (T.Cet.; Delhi : Adam Publisher & Distributers, Shandor Market, Citli), h.649.

Lihat, Ruwaifi bin Sulaiman, loc.cit.

Lihat, Prof. Dr. Harun Nasution, op.cit., h. 44

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan/Penafsiran al-Quran, 1971), h.476.

Lihat, Prof. Dr. Sunarji Dahri Tiam, op.cit, h.66-67. Lihat juga, Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam),op.cit. h.47-48.

Tim Penerjemah Mizan, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, diterjemahkan dari History of Islamic Philosophy, (Cet. I; Bandung : Mizan, 2003), h. 152.

Departemen Agama RI, op.cit, h.1033.

Ibid, h.1087.

W.Montgomery Watt, The Formative Periodof Islamic Thought, diterjemahkan oleh Sukoyo, et.al dengan judul, Studi Islam Klasik : Wacana Kritik Sejarah, (Cet. I; Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 165. Lihat pula, Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology : A semantical Analysis of Iman and Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam : Analisis Simantik Iman dan Islam, (Cet.I; Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 53.

Prof. Dr. Sunarji Dahri Tiam, op.cit.h. 69.

Abul Ala al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqis dengan judul, Khilafah dan Kerajaan, (Cet.VI; Bandung : Mizan, 1996), h. 282.

Ahmad Hanafi, MA, op.cit., h.50.