bida88.files.wordpress.com file · web viewsecara konstitusional, ... undang-undang nomor 4 tahun...
TRANSCRIPT
1
INTEGRASI PENDIDIKAN ISLAMDALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
MAKALAH
(REVISI)Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Sejarah Sosial dan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Hanun Asrohah, M.Ag
Oleh:
ABIDATUL MUTAWADLI’AHNIM : F1.3.2.12.168
KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
B. SKB Tiga Menteri 1975
C. Analisis UU Sisdiknas 2003 dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Islam
D. Fungsi Pendidikan Keagamaan dalam Sisdiknas
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Secara konstitusional, Indonesia ditetapkan sebagai negara yang
berdasarkan kepada agama. Artinya bahwa negara Indonesia melindungi dan
menghargai kehidupan beragama warga Indonesia.
Berdasarkan tinjauan sosial kultural, Indonesia adalah negara beragama
yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial budaya bangsa
sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama, sehingga kehidupan
beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sistem pendidikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan
Islam. Pendidikan agama di Indonesia tidak bisa diabaikan dalam
penyelenggaraan pendidikan Nasional karena merupakan modal dasar dalam
pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi Nasional untuk
pembangunan fisik meteriil bangsa Indonesia.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari
semangat reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor
penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama,
adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional
dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya
kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan
menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Oleh karena itu, Untuk
menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis memasukkan
pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Salah satu kebijakan Kementrian Agama terhadap madrasah yang cukup
mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri 1975,
yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama tentang Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah pada tahun 1975.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan Nasional, SKB tiga Menteri tahun 1975 dan Analisis UU Sisdiknas
2003 dan implikasinya terhadap pendidikan Islam dan Fungsi pendidikan
keagamaan dalam Sisdiknas.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Salah satu problem pendidikan Islam adalah masalah integrasi
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Secara implisit, problem
ini termasuk dalam problem dikotomi ilmu pengetahuan.
Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah
timbulnya kesenjangan antara sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum. Dalam buku Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,
Kertanegara mengomentari hal itu sebagai berikut:
“Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi.” 1
Oleh karena itu, integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional merupakan bagian dari problem-problem tersebut. Pendekatan yang
dilakukan hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu, Kementerian
Agama secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Orientasi usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi
umat Islam agar pendidikan agama bisa diajarkan di sekolah-sekolah dan
adanya pengembangan madrasah. Secara spesifik, usaha ini ditangani oleh
bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya
pengajaran agama di sekolah-sekolah, disamping itu juga mengakui sekolah
agama (madrasah) sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan
Tap MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian pelajaran agama pada
semua tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan 1 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Artasy
Mizan, 2005), 22-23.
5
tinggi, di samping itu pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Kementrian Agama.
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama,
pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Caracter
Building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan
agama masing-masing. Akhirnya, Tap MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang
Asas Tunggal yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, lebih memantapkan usaha
masuknya lembaga pendidikan keagamaan (pesantren dan madrasah) dalam
kerangka sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, lebih memantapkan
pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan
nasional. 2
Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat
oleh pemerintah yang tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut
merupakan persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang
tentang satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional, sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal 31 UUD 1945. Dengan disahkannya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih
dikukuhkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (juga tentang Sistem
Pendidikan Nasional), usaha integrasi pendidikan Islam ke dalam Sistem
Pendidikan Nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap.
Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun
2003 pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia
mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah
satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif
yang harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat
menyeluruh (integral-holistik). Gagasan integrasi nilai-nilai Islami dan umum
2 Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2007), 204-213.
6
ini bukanlah sebuah wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan
sebuah kebutuhan mendesak yang harus dijalankan sebagai pedoman
pendidikan yang ada, mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi oleh
dualisme yang kental antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum/sekuler
yang menyebabkan dikotomi ilmu. Bukti nyata dari kebutuhan adalah adanya
panduan dan model integrasi ilmu ini ditunjukan dengan diselenggarakannya
berbagai seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, sampai pada
kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan integrasi madrasah ke dalam
sistem pendidikan nasional, madrasah mengalami perubahan sekolah agama
menjadi sekolah umum bercirikan khas Islam. Pengintegrasian madrasah ke
dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan titik puncaknya pada awal
2000, setelah Presiden RI ke 4 K.H. Abdurrahman Wahid yang mengubah
struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Berdasarkan Hal itu
Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem
pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama. Inilah yang
diharapkan dan mengakhiri dikotomi pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Pentingnya integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka
normatif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
diungkapkan Ali Asraf bahwa tujuan pendidikan Islam:
Pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan
mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks
kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik dengan berbagai
kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis,
kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan
nasional. Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk
menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan
peradaban Islam di atas semua kebudayaan lain. Keempat, memperbaiki
dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif
dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar
dan yang salah. Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar
7
berpikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak
pada hipotesis dan berbagai konsep pengetahuan yang
dituntut. Keenam, mengembangkan, dan memperdalam kemampuan
komunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa latin (Asing).3
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa pendidikan nasional
berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi
warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya
adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-
urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan
bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter
peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah Islam, melainkan justru nilai-nilai
dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme
pendidikan) tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang
menyebutkan,
“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler,
namun perlu dipahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang
sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan
sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan 3 Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, 267-274.
8
manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap
lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus
memarjinalkan peranan Tuhan.
B. SKB Tiga Menteri 1975
Bersamaan dengan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum,
perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terjadi sejak
badan pekerja komite nasional Indonesia pusat (BP KNIP) di masa setelah
kemerdekaan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 desember 1945 yang
isinya menganjurkan bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar
pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan
ditingkatkan. Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal
kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa
keputusan BP KNIP ini tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika
Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 , UU
No.12 Tahun 1945) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak
dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah
(umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat
pengakuan dari Mentri agama dianggap telah memnuhi kewajiban belajar.
Reaksi terhadap sikap pemerintah yang diskriminatif ini menjadi lebih
keras dengan keluarnya keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian
diperkuat dengan intruksi Presiden No. 15 tahun 1974. Kepres dan inpres ini
isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan
nasional.
Pada tanggal 24 maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Menteri Dalam Negeri). SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi
memberikan pengakuan eksistensi madrasah dan di sisi lain memberikan
kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem
pendidikan nasional yang integratif.
Dengan SKB tersebut, ditetapkan hal-hal berikut:
9
1) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah
sekolah umum setingkat.
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih
atas.
3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.4
Dengan adanya SKB Tiga Menteri tahun 1975, maka kurikulum
madrasah yang semula memasukkan pelajaran agama 70% dan pelajaran
umum 30% berubah menjadi 30% untuk pelajaran agama dan pelajaran umum
menjadi 70%.
Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama (integrasi madrasah
dalam sisdiknas secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No.2 Tahun 1989,
dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan
kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam.
Perjuangan untuk memasukkan madrasah dengan fokus utama
pengajaran agama dalam sistem sisdiknas baru berhasil setelah
diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam undang-undang ini
diakui kehadiran keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping
pendidikan umum, kejuruan, akademik, vokasi, dan khusus ( pasal 15). Dalam
pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum
yang berciri khas Islam . MI, MTs, MA dan MA kejuruan sudah dimasukkan
dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan
keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30.5
Berikut ini tabel mengenai perkembangan madrasah sejak tahun 1950;
Madrasah Tertinggal dan ditinggalTahun 1950-1989 (39 tahun) Tahun1989-2003 (14 tahun) madrasah
4 Muwardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Dirjen. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, Jakarta, 2000), 15.5 Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (paradigma baru), (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005), 62-67
10
madrasah terdiskriminasi diakui dalam sisdiknas, tetapi masih
dalam ketertinggalan
Tahun 1975-1989 (14 tahun), melalui
SKB 3 Menteri 1975, madrasah
diakui, akan tetapi keberadaan
madrasah tetap tertinggal dan belum
masuk Sistem Pendidikan Nasional
Upaya untuk memacu ketertinggalan
dalam bidang studi umum dengan
meminta bantuan atau pinjaman luar
dari ADB (Asean Development Bank)
pada tahun 1994
Pendidikan keagamaan yang berupa madrasah tercantum dalam Peraturan
Pemerintah pasal 11 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi: 1. Peserta didik pada
pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau
bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. 2. Hasil pendidikan
keagamaan non formal dan atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil
pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh
pemerintah dan atau pemerintah daerah. 3. Peserta didik pendidikan
keagamaan formal, non formal, informal yang memperoleh ijazah sederajat
pendidikan formal umum atau kejuruan dapat melanjut ke jenjang berikutnya
pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
C. Analisis UU Sisdiknas dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam
Peraturan perundang-undangan RI yang paling banyak membicarakan
pendidikan adalah Unadang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sebab undang-
undang ini bisa disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan
pendidikan. Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya
segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari prasekolah
sampai dengan pendidikan tinggi ditentukan dalam Undang-Undang ini.6
6 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, 45.
11
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan diberlakukan
pada tanggal 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut
memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal dan akomodatif dalam
mengatur sistem pendidikan di Indonesia, termasuk sistem pendidikan Islam.
Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan disebutkan dalam Bab II, pasal 1
bahwa :
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Secara konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-
nilai yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur,
dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah menerimanya,
karena hakikat kedua dasar tersebut secara filosofis merupakan bagian
dari filsafat Islam, artinya seluruh kandungan isi dan maknanya tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan tercerminkan dalam ajaran
Islam. Oleh karena itu, kedua dasar tersebut harus diterjemahkan dan
ditafsirkan secara Islami, dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai
Islami ke dalam seluruh kandungan isi dan makna kedua dasar
tersebut. Dengan demikian, setiap penyelenggaraan negara termasuk
penyelenggaraan satuan pendidikan akan terisi oleh nilai-nilai ajaran
Islam. Sedangkan hakikat fungsi pendidikan nasional yang ditetapkan
dalam Pasal 2, yaitu :
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kalimat ini sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan luas.
Di mana bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dibangun atas tiga
pilar. Pertama, memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai
aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu
pengetahuan dan teknologi, maupun aspek agama. Kedua, memiliki
12
watak kepribadian yang luhur dan anggun, patriotis dan nasionalis,
serta watak bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga,
memiliki peradaban yang humanis religius, serta kewibawaan yang
tinggi, sehingga bangsa-bangsa lain tidak memperlakukan dan
mengintervensi bangsa Indonesia sekehendaknya.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah menuntut terwujudnya
suasana belajar dan proses pembelajaran yang Islami, kondusif,
harmonis, dan penuh dialogis. Proses pembelajaran yang seperti ini
akan mendorong peserta didik untuk secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan iman, kedalaman ilmu, dan
ketrampilan profesional, sehingga dapat bertanggung jawab dalam
mengemban tugas hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai
khalifatullah fil ardhi.
2) Prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam Bab III, pasal 4:
“Pendidikan diselenggarakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; prinsip satu kesatuan yang sistemik; prinsip pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik; prinsip keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik; prinsip pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung; prinsip pemberdayaan semua komponen masyarakat”.
Prinsip penyelenggaraan pendidikan yang seperti ini menunjukkan
prinsip yang holistik (menyeluruh), terbuka dan akomodatif dari
berbagai aspirasi atau tuntutan masyarakat akan pentingnya
pendidikan bagi anak bangsa. Aksentuasi prinsip-prinsip tersebut
terletak pada penyelenggaraan pendidikan yang demokratis,
berkeadilan, desentralisasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pendidikan yang seperti ini akan memberikan kebebasan dalam
berfikir dan berkreasi positif bagi anak didik, serta terbuka bagi
masyarakat.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah menuntut agar dalam
penyelenggaraan satuan pendidikan Islam diletakkan pada prinsip
13
berwawasan semesta, demokratis, keterpaduan yang sistemik,
pembudayaan dan pemberdayaan, uswatun hasanah, dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Dari prinsip-prinsip inilah akan melahirkan
paradigma baru dalam pendidikan Islam.
3) Hak dan Kewajiban dalam Bab IV, pasal 5:
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.
Konsep ini lebih menekankan pada pemerataan pendidikan bagi setiap
warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada
indikasi bahwa permasalahan menonjol yang dihadapi pendidikan
nasional (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2)
masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) masih
lemahnya manajemen pendidikan. Implikasinya terhadap pendidikan
Islam menuntut agar pendidikan Islam ke depan dapat meningkatkan
pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan, serta manajemen
pendidikan bagi warga negara dalam memperoleh pendidikan.
4) Peserta didik ditetapkan dalam Bab V, pasal 12 bahwa setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
“Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”, dan “mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya”.
Bab ini menekankan arti pentingnya pendidikan agama bagi peserta
didik yang sesuai dengan agama yang dianutnya, karena bertujuan
untuk melindungi akidah agama dalam rangka meningkatkan
keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal
ini sebagai realisasi dari Pancasila, terutama sila pertama dan Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 3.
5) Bentuk penyelenggaraan pendidikan dalam Bab VI dijelaskan secara
rinci mengenai jalur, jenjang dan jenis pendidikan pada pasal 13
disebutkan :
14
“Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”, dan “diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh”.
Berbagai kebijakan pemerintah yang relatif bagi pengembangan
pendidikan Islam tersebut kurang dapat diimplementasikan dengan
baik. Hal ini disebabkan belum diselesaikannya persoalan mendasar
yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, terutama madrasah dan
pesantren; yaitu: Pertama, telah terjadi dualisme dalam sistem
pendidikan nasional. Bukan saja antar lembaga pendidikan di bawah
Kemenag dengan lembaga di bawah Mendikbud, tetapi juga dengan
lembaga-lembaga pendidikan di bawah departemen lainnya. Kedua,
kualifikasi dan kompetensi tenaga pengajar pada lembaga pendidikan
madrasah dan pesantren masih rendah. Sering terjadi seorang
guru/ustadz harus mengajar bidang studi yang sama walaupun bukan
keahliannya atau bahkan pengangkatan guru tidak memperhatikan
kualifikasi ijazah yang dimilikinya.
Ketiga, terjadi dikotomi keilmuan di kalangan siswa, madrasah dan
pesantren. Dikotomi ini tidak terlepas dari persepsi ulama dan para
pengelola pendidikan Islam terhadap ilmu-ilmu umum. Kurangnya
penghargaan terhadap ilmu-ilmu umum ini masih dijumpai sampai
sekarang, meski jumlahnya sudah semakin kecil. Keempat, kondisi
lingkungan persekolahan dalam mengimplementasikan pendidikan
yang bersifat non-akademik relatif rendah. Lingkungan masyarakat
kita, selama ini memaknai pendidikan secara reduktif, yakni sebatas
aktivitas pembelajaran kognisi saja. Sehingga ketika muncul gagasan
pendidikan non-akademik, masyarakat kurang mendukungnya.
Kondisi ini terjadi karena di lembaga-lembaga sekolah tidak dapat
menterjemahkan konsep-konsep metodologi pada tataran sekolah.
6) Standar Nasional Pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam Bab IX,
pasal 35:
15
“Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah setiap
penyelenggaraan satuan pendidikan, harus mengacu kepada standar
nasional pendidikan tersebut, sehingga dapat secara kompetitif dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.
7) Kurikulum sebagaimana ditetapkan dalam Bab X pasal 36, 37, 38
yang intinya:
“Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”.
Pengembangan kurikulum yang ditetapkan ini, dalam rangka
membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai
dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan
Islam dituntut untuk mampu mengembangkan kurikulum, selain
mengacu pada standar nasional pendidikan, juga harus mengacu pada
keragaman kultur, dan potensi lingkungan daerah, sebagai bentuk
pengembangan kurikulum muatan lokal dengan mengorientasikan
pada peningkatan keimanan dan ketakwaan.7
8) Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada pasal 40 ayat 2, yaitu: “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban; Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”.
Konsep yang ideal ini jika dapat diaplikasikan dalam setiap
penyelenggaraan satuan pendidikan Islam, maka akan terwujud
akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju
7 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003), 9-27.
16
keunggulan, dan pada gilirannya akan mewujudkan kemajuan suatu
bangsa dan negara.
9) Sarana dan Prasarana Pendidikan ditetapkan dalam Bab XII pasal 45
ayat 1 dijelaskan bahwa:
“Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
Pasal ini menekankan pentingnya sarana dan prasarana dalam satuan
pendidikan, sebab tanpa didukung adanya sarana dan prasarana yang
relevan, maka pendidikan tidak akan berjalan secara efektif.
10) Pendanaan Pendidikan lebih diarahkan pada pasal 46 ayat 1 yang
menetapkan:
“Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat”.
Dan pasal 47 ayat a dan 2, yakni :
“Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan berkelanjutan, dan Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Jika hal ini dapat diwujudkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah,
maka akan dapat membantu benar dalam suksesnya pendidikan di
Indonesia.
D. Fungsi Pendidikan Keagamaan (Madrasah) Dalam Sistem Pendidikan
Nasional
Adapun gambaran tentang peranan madrasah adalah sebagai berikut:
1) Madrasah telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan
berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, serta
17
kemampuannya untuk memasuki pelosok daerah terpencil disamping
kemampuannya untuk tetap tumbuh dan berkembang di daerah perkotaan
yang modern dan sangat maju.
2) Madrasah sebagian besar adalah perguruan swasta yang berkemampuan
tinggi untuk berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan
pendidikan. Dengan perkataan lain, madrasah dan pondok pesantren telah
menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang di atas
kemampuan kekuatan sendiri, dengan memobilisasi sumber daya yang
tersedia di masyarakat pendukungnya.
3) Madrasah memiliki ciri khas sebagai pusat pendidikan, pengembangan dari
penyebaraan agama Islam, diharapkan dan telah membuktikan diri dapat
menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas dan potensial untuk
menjadi pendidik, khususnya di bidang pendidikan agama Islam.
4) Madrasah memiliki potensi yang cukup besar untuk bersama-sama satuan
pendidikan lainnya di dalam sistem pendidikan nasional untuk menuntaskan
wajib belajar tingkat SLTP dan pelaksana pendidikan dasar 9 tahun. Atas
dasar inilah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah merupakan
lembaga pendidikan dasar.8
BAB III
KESIMPULAN
Pentingnya integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka
normatif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam antara lain:
8 Hasbullah, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 178-181.
18
Pertama, mengembangkan wawasan spiritual, Kedua, membekali anak didik
dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan.
Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk
menghargai komparatif kebudayaan dan peradaban Islam,
Keempat, memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif,
Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara
logis Keenam, mengembangkan, dan memperdalam kemampuan komunikasi
dalam bahasa tulis dan bahasa latin (Asing).
SKB tiga menteri 1975 merupakan model solusi yang di satu sisi
memberikan pengakuan eksistensi madrasah dan di sisi lain memberikan
kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem
pendidikan nasional yang integratif.
UU Sisdiknas sangat berpengaruh terhadap kemajua perkembangan
pendidikan Islam karena dengan adanya UU sisdiknas menuntut agar dalam
penyelenggaraan satuan pendidikan Islam diletakkan pada prinsip berwawasan
semesta, demokratis, keterpaduan yang sistemik, pembudayaan dan
pemberdayaan, uswatun hasanah, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Adapun gambaran tentang fungsi madrasah dalam Sisdiknas adalah:
Madrasah telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang
dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, sebagian besar adalah perguruan
swasta yang berkemampuan tinggi untuk berswakarsa dan berswakarya dalam
menyelenggarakan pendidikan. Madrasah memiliki ciri khas sebagai pusat
pendidikan, memiliki potensi yang cukup besar untuk bersama-sama satuan
pendidikan lainnya di dalam sistem pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
19
Ali M dan Luluk Y. R., 2004, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita.
Depag RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (paradigma baru), Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Islam.
Hasbullah, 2009, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Made Pidarta, 2007, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyadhi Kertanegara, 2005, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Artasy Mizan
Muwardi Sutedjo, 2000, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Dirjen. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka.
Muzayyin Arifin, 2007, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2003, Yogyakarta: Media Wacana Press.