filipejoaomuamalay.files.wordpress.com viewsecara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari...

127
1. APA YANG SEBENARNYA DIMAKSUD DENGAN “PEMBANGUNAN”? Setiap orang bisa saja mengartikan istilah pembangunan secara berbeda sesuai dengan seleranya sendiri, sehingga pada akhirnya definisi tentang pembangunan pun sedemikian banyak dan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sebelum kita membicarakan lebih jauh mengenai pembangunan, kita perlu memastikan dahulu definisi atau perspektif inti atas makna dasarnya. Tanpa adanya suat perspektif dan kriteria yang dapat kita sepakati bersama, maka kita tidak akan bisa mengetahui negara mana saja yang telah mengalami pembangunan secara pesat, dan negara mana yang tidak. 1

Upload: dangque

Post on 12-May-2018

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1. APA YANG SEBENARNYA DIMAKSUD DENGAN

“PEMBANGUNAN”?

Setiap orang bisa saja mengartikan istilah

pembangunan secara berbeda sesuai dengan seleranya

sendiri, sehingga pada akhirnya definisi tentang

pembangunan pun sedemikian banyak dan berbeda satu

sama lain. Oleh karena itu, sebelum kita membicarakan

lebih jauh mengenai pembangunan, kita perlu memastikan

dahulu definisi atau perspektif inti atas makna dasarnya.

Tanpa adanya suat perspektif dan kriteria yang dapat kita

sepakati bersama, maka kita tidak akan bisa mengetahui

negara mana saja yang telah mengalami pembangunan

secara pesat, dan negara mana yang tidak.

Ada dua pendekatan mengenai pengertian

pembangunan yaitu :

1.1. Pendekatan atas dasar ukuran-ukuran ekonomi

tradisional.

1.2. Pendekatan atas pendangan baru ekonomi

pembangunan.

1

1.1.1. Ukuran-ukuran Ekonomi Tradisional

Menurut pengertian akademis ilmu ekonomi

yang ketat, istilah pembangunan (Development)

secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari

sebuah perekonomian nasional yang– kondisi-kondisi

ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam

kurun waktu cukup lama–untuk menciptakan dan

mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan

nasional bruto atau GNP (gross national product)-

nya pada tingkat, katakanlah 5 persen atau 7 persen,

atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memang

memungkinkan. [Ukuran lain yang mirip dengan

GNP, yakni yang dikenal dengan istilah produk

domestik bruto atau GDP (gross domestik bruto) sama

seringnya digunakan]. Indeks ekonomi lainnya yang

juga sering digunakan untuk mengukur tingkat

kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan

pendapatan per kapita (income per capita) atau

GNP per kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur

kemampuan suatu negara untuk memperbesar

outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada

tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkatan dan

2

laju pertumbuhan GNP per kapita “riil” (yakni sama

dengan pertumbuhan GNP per kapita dalam satuan

moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) merupakan

tolak ukur ekonomis suatu bangsa. Berdasarkan tolak

ukur tersebut, maka kita akan dimungkinkan untuk

mengetahui seberapa banyak barang dan jasa-jasa riil

yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk

melakukan kegiatan konsumsi dan investasi.

Pembangunan ekonomi pada masa lampau juga

sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur

produksi dan penyerapan sumber daya (employment)

yang diupayakan secara terencana. Biasanya dalam

proses tersebut peranan sektor pertanian akan

menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya

sektor-sektor manufaktur dan jasa-jasa yang secara

sengaja senantiasa diupayakan agar terus berkembang.

Oleh karena itu, strategi pembangunan biasanya

berfokus pada upaya untuk menciptakan

industrialisasi secara besar-besaran sehingga

kadangkala mengorbankan kepentingan pembangunan

sektor pertanian dan daerah pedesaan pada umumnya

yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Jelaslah

3

bahwa penerapan tolak ukur pembangunan yang

murni bersifat ekonomis tersebut, agar lebih akurat

dan bermanfaat, harus didukung pula oleh indikator-

indikator sosial (social indicators) non ekonomis.

Contoh indikator sosial itu antara lain adalah tidak

melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan

kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan

akan perumahan, dan sebagainya. Dari sekian banyak

upaya untuk menciptakan indikator-indikator sosial

yang berbobot guna mendampingi indikator GNP per

kapita, yang paling menonjol adalah upaya PBB yang

kemudian berhasil menciptakan indeks

pembangunan manusia (HDI–Human Development

Index).

Secara umum, sebelum tahun 1970-an,

pembangunan semata-mata dipandang sebagai

fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan

pembangunan di suatu negara hanya diukur

berdasarkan tingkat pertumbuhan GNP, baik secara

keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan

menetes dengan sendiri sehingga menciptakan

lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi

4

yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai

kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi

hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara

lebih merata. Itulah yang secara luas dikenal sebagai

prinsip “efek penetasan ke bawah” (trickle down

effect). Dengan demikian, tingkat pertumbuhan

ekonomi merupakan unsur yang paling diutamakan

sehingga masalah-masalah lain seperti soal

kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi

pendapatan, acap kali dinomorduakan.

1.1.2. Pandangan Baru Ekonomi Pembangunan

Pengalaman pada dasawarsa 1950-an dan

1960-an, ketika banyak di antara negara-negara Dunia

Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi namun gagal memperbaiki taraf

hidup sebagian besar penduduknya, menunjukkan

bahwa ada sesuatu yang salah dalam definisi

pembangunan yang dianut selama ini. Semakin lama

semakin banyak ekonom dan perumus kebijakan yang

meragukan ketepatan dan keampuhan “tolak ukur

GNP” sebagai indikator tunggal atas terciptanya

5

kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan.

Mereka mulai mempertimbangkan untuk mengubah

strategi guna mengatasi secara langsung berbagai

masalah mendesak seperti tingkat kemiskinan absolut

yang semakin parah, ketimpangan pendapatan yang

semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang

terus melonjak. Singkatnya, selama dasawarsa 1970-

an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.

Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari

usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi

menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-

tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan

tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan

pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam

konteks perekonomian yang terus berkembang.

Penggantian atau penyesuaian definisi pertumbuhan

yang kini lebih didasarkan pada konsep “Redistribusi

kemakmuran” itu merupakan slogan yang populer

pada masa itu. Dalam konteks ini Profesor Dudly

Seers mengajukan serangkaian pertanyaan mendasar

mengenai makna pembangunan, yang kemudian

6

berkembang menjadi definisi baru pembangunan

sebagai berikut:

Pertanyaan-pertanyaan mengenai pembangunan

suatu negara yang harus dilakukan adalah: Apa

yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara

itu? Bagaimana dengan tingkat penganggurannya?

Adakah perubahan-perubahan berarti yang

berlangsung atas penanggulangan masalah

ketimpangan pendapatan? Jika ketiga permasalahan

tersebut selama periode tertentu sedikit banyak telah

teratasi, maka tidak diragukan lagi bahwa periode

tersebut memang merupakan periode pembangunan

bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika

satu, dua, atau bahkan semua dari ketiga persoalan

mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka

negara itu tidak bisa dikatakan telah mengalami

proses pembangunan yang positif, meskipun

barangkali selama kurun waktu tersebut pendapatan

per kapitanya mengalami peningkatan hingga dua

kali lipat.

7

Bahkan Bank Dunia sendiri, yang selama

dasawarsa 1980-an begitu mengagung-agungkan

pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama

pembangunan, telah menyadari kekeliruan dan

bergabung dengan para pengamat di atas dalam

mengambil perspektif yang lebih luas mengenai

tujuan dan makna dasar pembangunan. Dalam salah

satu publikasi resminya, yakni World Development

Report, yang terbit pada tahun 1991, Bank Dunia

melontarkan pernyataan tegas bahwasanya:

Tantangan utama pembangunan... adalah

memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di

negara-negara yang paling miskin, kualitas hidup

yang lebih baik memang mensyaratkan adanya

pendapatan yang lebih tinggi––namun yang

dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih

tinggi itu hanya merupakan salah satu dari sekian

banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal lain

yang tidak kalah pentingnya yang juga harus

diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang

lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan

nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan

8

kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan,

pemerataan kebebasan individual, dan penyegaran

kehidupan budaya.

Dengan demikian, pembangunan harus

dipandang sebagai suatu proses multi-dimensional

yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-

institusi nasional, di samping tetap mengejar

akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan

ketimpangan pendapatan, serta pengentasan

kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu

harus mencerminkan perubahan total suatu

masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara

keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman

kebutuhan dasar dan keinginan individual, maupun

kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya,

untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan

yang serba “lebih baik”, secara material maupun

spiritual.

9

2. Tiga Nilai Inti Pembangunan

Dapatkah kita mendefinisikan atau

mengkonseptualisasikan istilah pembangunan secara

luas sebagai suatu proses perbaikan yang

berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu

sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan

yang “lebih baik” atau “lebih manusiawi”? Ini

memang tidak mudah. Bentuk nyata atau unsur-unsur

dari “kehidupan yang serba lebih baik” itu sendiri

masih menjadi pertanyaan besar. Perdebatan

mengenai soal tersebut bahkan sudah sama tuanya

dengan ilmu filsafat dan peradaban manusia. Guna

mendapatkan jawaban yang benar-benar memuaskan,

kita perlu mengadakan reevaluasi secara periodik dan

menyegarkannya sesuai dengan kondisi-kondisi

lingkungan masyarakat dunia yang terus-menerus

berubah. Jawaban yang layak bagi negara-negara

Dunia Ketiga pada dasawarsa terakhir pada abad ke-

20 ini memang tidak harus sama dengan jawaban

yang telah dilontarkan pada dekade-dekade

sebelumnya. Namun saya sendiri setuju dengan

pendapat Profesor Goulet dan tokoh-tokoh lainnya

10

yang mengatakan bahwa paling tidak ada tiga

komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan

basis konseptual dan pedoman praktis untuk

memahami pembangunan yang paling hakiki. Ketiga

komponen dasar tersebut adalah kecukupan

(sustenance), jati diri (self-esteem), serta kebebasan

(freedom); ketiga hal inilah yang merupakan tujuan

pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan

masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya

berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-

kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang

terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk)

di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang

jaman. Sekarang mari kita bahas ketiganya secara

mendalam satu demi satu.

2.a. Kecukupan: Kemampuan untuk Memenuhi

Kebutuhan-kebutuhan Dasar

Apa yang dimaksud dengan “kecukupan” di

sini bukan hanya menyangkut makanan

melainkan mewakili semua hal yang merupakan

kebutuhan dasar manusia secara fisik. Semua

orang pasti punya kebutuhan dasar. Apa yang

11

disebut sebagai kebutuhan dasar adalah segala

sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan

menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan

dasar ini meliputi pangan, sandang, papan,

kesehatan, dan keamanan. Jika satu saja dari

sekian banyak kebutuhan dasar ini tidak

dipenuhi, maka muncullah kondisi

“keterbelakangan absolut”. Fungsi dasar dari

semua kegiatan ekonomi pada hakekatnya adalah

untuk menyediakan sebanyak mungkin perangkat

dan bekal guna menghindari segala kesengsaraan

dan ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh

kekurangan pangan, sandang, papan, kesehatan,

dan keamanan. Atas dasar itulah kita bisa

menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan

ekonomi itu merupakan prasyarat bagi

membaiknya kualitas kehidupan. Tanpa adanya

kemajuan ekonomi secara berkesinambungan,

maka realisasi potensi manusia, baik di tingkat

individu maupun masyarakat, tidak mungkin

berlangsung. Setiap orang harus “memiliki

kecukupan untuk mendapatkan lebih”. Dengan

12

demikian, kenaikan pendapatan per kapita,

pengentasan kemiskinan absolut, penambahan

lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan,

merupakan hal-hal yang harus ada (necessary

conditions) bagi pembangunan, tapi tidak akan

memadai tanpa adanya faktor-faktor positif yang

lainnya (not sufficient conditions).

Cara lain untuk mengungkapkan hal yang

sama dapat kita temukan pada laporan PBB,

Human Development Report terbitan tahun 1994.

Pada bab pembukaan, laporan ini secara tegas

menyatakan bahwa:

Semua manusia lahir dengan membawa potensi

kapabilitas tertentu. Tujuan pembangunan

adalah menciptakan suatu lingkungan yang

memungkinkan setiap orang mengembangkan

kapabilitas itu, dan kesempatannya harus

senantiasa dipupuk dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Pondasi nyata bagi

pembangunan manusia adalah universalisme

pengakuan atas hidup setiap manusia....

kekayaan itu penting bagi kehidupan manusia.

13

Namun jika semua perhatian dicurahkan ke hal

itu, maka ini adalah suatu kekeliruan. Ada dua

alasan pokok. Pertama, akumulasi kekayaan

tidak menjamin tersedia atau terpenuhinya

pilihan-pilihan yang terpenting bagi manusia...

Kedua, pilihan-pilihan manusia itu sendiri jauh

lebih luas dari sekedar kekayaan.

2.b. Jati Diri: Menjadi Manusia Seutuhnya

Komponen universal yang kedua dari

kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya

dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk

menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas

dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan

seterusnya. Semuanya itu terangkum dalam satu

istilah, yakni jati diri (self-esteem). Mungkin

Anda dan setiap orang punya istilah sendiri untuk

itu; entah kepribadian, sosok utuh, identitas, dan

sebagainya. Apa pun istilah yang Anda sukai

tidak menjadi masalah, karena semua itu

mengacu kepada makna yang sama. Pencarian

jati diri ini sama sekali bukan suatu urusan yang

14

sepele, karena jati diri itu sendiri bukan hal yang

sepele. Sekali jati diri Anda hilang, maka Anda

telah kehilangan segala-galanya. Penyebaran

“nilai-nilai modern” yang bersumber dari negara

berkembang. Kontak dengan masyarakat lain

yang secara budaya di banyak negara

berkembang. Kontak dengan masyarakat lain

yang secara ekonomis atau teknologis lebih maju

acap kali mengakibatkan definisi dan batasan

mengenai baik-buruk atau benar-salah menjadi

kabur. Ini dikarenakan kesejahteraan nasional

muncul sebagai berhala baru. Kemakmuran

materiil lambat laun dianggap sebagai suatu

ukuran kelayakan universal, dan dinobatkan

menjadi landasan penilaian atas segala sesuatu.

Derasnya serbuan nilai-nilai Barat yang

mengagungkan materi telah mengikis jati diri

masyarakat di banyak negara berkembang.

Banyak bangsa yang tiba-tiba saja merasa dirinya

kecil atau tidak berarti hanya karena mereka

tidak memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi

setinggi bangsa-bangsa lain. Selanjutnya, yang

15

dianggap hebat adalah yang punya kemajuan

ekonomi dan teknologi modern, sehingga

masyarakat Dunia Ketiga pun berlomba-lomba

mengejarnya, dan tanpa disadari mereka telah

kehilangan jati dirinya. Mari kita kutip lagi

penuturan Profesor Goulet:

Unsur yang relevan di sini adalah, bahwasanya

keterbelakangan itu merupakan nasib buruk

sebagian besar penduduk dunia. Seandainya

saja jati diri mereka tidak hanya dinilai atau

didasarkan pada prestasi-prestasi materiil,

maka mereka pasti tidak merasa miskin atau

sengsara, terlepas dari seperti apa kondisi

ekonomi mereka. Sebaliknya, jika kesejahteraan

ekonomi terlanjur diyakini sebagai syarat

mutlak untuk mencapai kehidupan yang serba

lebih baik, maka mereka yang “terbelakang”

selamanya akan merasa papa, sengsara dan

tidak berharga... Dewasa ini Dunia Ketiga

tengah giat mengupayakan pembangunan untuk

meraih kembali jati diri yang sempat

tercampakkan sebagai akibat adanya atribut

16

“keterbelakangan” yang memalukan itu...

Pembangunan itu harus diabsahkan sebagai

suatu tujuan karena hal itu merupakan kunci

untuk meraih sesuatu yang amat sangat penting,

dan itu bukan kekayaan, melainkan jati diri.

2.c. Kebebasan Dari Sikap Menghamba:

Kemampuan Untuk Memilih

Nilai universal yang ketiga dan terakhir

yang harus terkandung dalam makna

pembangunan adalah konsep kemerdekaan

manusia. Kemerdekaan atau kebebasan di sini

hendaknya diartikan secara luas sebagai

kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak

diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil

dalam kehidupan ini. Sekali saja kita terjebak,

maka kita akan terpuruk dan semakin lama kita

akan terjerat semakin dalam. Sekali saja kita

menjadi budak materi, maka sederet

kecenderungan negatif, mulai dari sikap acuh tak

acuh terhadap lingkungan sekitar, sikap

mementingkan diri sendiri kalau perlu dengan

17

mengorbankan kepentingan orang lain, dan

seterusnya, akan meracuni diri kita. Kebebasan di

sini juga harus diartikan sebagai kebebasan

terhadap ajaran-ajaran yang dogmatis. Jika kita

memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya

kita mampu berpikir jernih dan menilai segala

sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran sehat, dan

hati nurani kita sendiri. Kebebasan juga meliputi

kemampuan individual atau masyarakat untuk

memilih satu atau sebagian dari sekian banyak

pilihan yang tersedia. Dengan adanya kebebasan,

kita tidak semata-mata dipilih, melainkan kitalah

yang akan memilih. W. Arthur Lewis bermaksud

menekankan hubungan antara pertumbuhan

ekonomi dan kebebasan dari sikap menghamba

tatkala ia mengatakan bahwa “buah terbesar yang

dihasilkan pertumbuhan ekonomi bukanlah

tambahan kekayaan, melainkan tambahan

pilihan”. Kekayaan itu sendiri pada hakekatnya

dicari dan dikejar-kejar karena kekayaan itu

memungkinkan seseorang untuk memperoleh

kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan

18

alam dan fisik yang ada di sekitarnya (yakni

melalui produksi pangan, sandang, dan papan);

bila Anda kaya, kemampuan Anda untuk

mengendalikan segala sesuatu jelas lebih besar

dibandingkan dengan bila Anda miskin. Manfaat

inti yang terkandung dalam penguasaan yang

lebih besar itu adalah kebebasan untuk memilih,

misalnya untuk memilih merasakan kenikmatan

yang lebih besar dan bervariasi, untuk memiliki

lebih banyak barang dan jasa, atau sebaliknya

untuk menafikan arti penting semua produk

materiil itu dan berpaling ke pemenuhan

kepuasan batin. Jika Anda kaya, Anda bebas

memilih sesuatu dengan kebutuhan dan

keinginan Anda. Konsep kebebasan manusia juga

melingkupi segenap komponen yang terkandung

di dalam konsep kebebasan politik, termasuk

juga keamanan diri pribadi, kepastian hukum,

kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik, dan

persamaan kesempatan. Di samping itu, masih

banyak lagi komponen lainnya yang termaktub di

dalam konsep kebebasan manusia. Perlu dicatat

19

bahwa sebagian kisah sukses di bidang ekonomi

selama dekade 1970-an dan 1980-an–yang diraih

oleh Arab Saudi, Cili, Korea Selatan, Malaysia,

Singapura, Thailand, Indonesia, Turki, Cina, dan

sejumlah negara lainnya–ternyata secara umum

tidak dibarengi dengan prestasi yang setara

dengan kriteria Indeks Kebebasan Manusia

(Human Freedom Index) yang disusun oleh

Program Pembangunan PBB (UNDP, United

Nations Development Program).

3. Tiga Tujuan Inti Pembangunan

Dapat kita simpulkan bahwa pembangunan

merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad

suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin–

melalui serangkaian kombinasi proses sosial,

ekonomi, dan institusional–demi mencapai kehidupan

yang serba lebih baik. Apa pun komponen spesifik

atas “kehidupan yang serba lebih baik” itu, bertolak

dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di

semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga

tujuan inti sebagai berikut:

20

3.1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan

distribusi berbagai macam barang kebutuhan

hidup yang pokok–seperti pangan, sandang,

papan, kesehatan, dan perlindungan.

3.2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya

berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga

meliputi penambahan penyediaan lapangan

kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta

peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural

dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak

hanya untuk memperbaiki kesejahteraan

materiil, melainkan juga menumbuhkan jati diri

pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

3.3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial

bagi setiap individu serta bangsa secara

keseluruhan, yakni dengan membebaskan

mereka dari belitan sikap menghamba dan

ketergantungan, bukan hanya terhadap orang

atau negara bangsa lain, namun juga terhadap

setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan

nilai-nilai kemanusiaan mereka.

21

Moeljarto Tjokrowinoto dalam Konsep dan Isue

Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa,

pembangunan, sebagai planned societal change,

bukanlah konsep yang netral, bukanlah konsep yang

bebas nilai (Value-Free). Pembangunan adalah suat

konsep yang “sarat nilai” atau “value loaded”. Artinya,

pembangunan terkait dengan apa yang dianggap

baik/buruk menurut pengalaman sejarah suat bangsa.

Dengan demikian, konsep pembangunan bersifat

culture specific. Artinya:n pembangunan dapat

didefinisikan secara berbeda oleh 2 negara yang

lingkungan budayanya berbeda. Sebagai contoh,

pembangunan menurut Birma yang ingin mendirikan

Sosialisme Birma dengan membatasi hubungannya

dengan negara lain dan amat berorientasi ke dalam,

berbeda dengan pembangunan menurut Singapura yang

ingin mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-

tingginya dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi

investasi asing.

Pembangunan juga bersifat time spesifik, artinya,

dalam suatu negara pun pembangunan dapat

didefinisikan secara berbeda dalam kurun waktu yang

22

berbeda. Contoh: Pembangunan menurut Orde Lama

(yang menekankan pada pembangunan politik),

berbeda dengan konsep pembangunan menurut Orde

Baru yang menekankan pada pembangunan ekonomi.

Pembangunan di Iran pada pemerintahan Shah Iran,

berbeda dengan pembangunan Iran semasa

pemerintahan Khomeini. Karena itu sukar

mendefinisikan pembangunan yang berlaku umum.

Salah satu definisi pembangunan yang bebas

nilai karena sifatnya yang inklusif, dikemukakan oleh

Saul M. Kata :

“Development is a major societal change from one

state of national being to another, more valued, state.

It involves to complex of mutually related Economic,

social and political change”.

Artinya :

“Pembangunan adalah pergeseran dari satu kondisi

nasional yang satu (one state of national being)

menuju ke kondisi nasional yang lain, yang

dipandang lebih baik (more valued), tetapi apa yang

23

disebut more valued (lebih baik/lebih berharga),

berbeda dari satu negara ke negara lain (culture

specific) atau dari satu periode ke periode lain (time

specific ) ”.

Definisi pembangunan lain, yang bersifat value-

free dikemukakan oleh Todaro (1977) sebagai berikut :

“Development is a multidimensional process

involving the reorganizations and reorientation of

entire Economic and social system. In addition to

improvement of income and output it typically

involve radical, changes in institusional, social and

administrative structures as well as in populer

attitudes and, in many cases, even custome and

beliefs”.

Artinya:

“Pembangunan adalah suatu proses

multidimensional yang menyangkut reorganisasi dan

reorientasi sistem ekonomi dan sistem sosial sebagai

24

keseluruhan. Di samping peningkatan pendapatan

dan output, pembangunan menyangkut pula

perubahan radikal struktur kelembagaan, struktur

sosial serta struktur administratif serta perubahan

sikap, adat kebiasaan serta kepercayaan”.

25

2. BEBERAPA PARADIGMA PPEMBANGUNAN

2.1. PARADIGMA PERTUMBUHAN

Paradigma pertumbuhan ini menguasai

pemikiran tentang pembangunan setelah PD II, sampai

pada tahun 1960-an. Ciri-ciri paradigma ini adalah :

(i) Meng-interpretasikan pembangunan sebagai

identik dengan pembangunan ekonomi.

(ii) Tolak ukur pembangunan adalah pertumbuhan

ekonomi. Bahkan PBB dalam Dasa Warsa

Pembangunan I (Development Decade I), yaitu

tahun 1960-1970 – menetapkan bahwa

pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun untuk

jangka waktu yang lama, dipandang sebagai tolak

ukur keberhasilan pembangunan.

(iii) Pertumbuhan ekonomi ini adalah fungsi saving

strategi inventasi dalam capital – output ratio

(artinya, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh

faktor saving, strategi inventasi, dan capital –

output ratio).

(iv) Peranan pemerintah dalam pembangunan menurut

Paradigma Pertumbuhan adalah memperbesar

saving (misalnya dengan perpajakan , memperbesar

26

ekspor non-migas, bantuan luar negeri, dan

sebagainya), dan memperkecil capital output ratio,

artinya meng-efisienkan proses produksi (misalnya:

dengan deregulasi, waskat, dan sebagainya).

(v) Menurut paradigma ini, ketimpangan merupakan

kebutuhan sosial (social necessity) dan karenanya

dapat dibenarkan. Ketimpangan akan menjadi

productive base bagi pertumbuhan, karena dengan

ketimpangan, golongan karya akan dapat

melakukan saving untuk investasi.

(vi) Hal ini tidak berarti paradigma pertumbuhan tidak

memperhatikan kemiskinan. Akan tetapi

kemiskinan diharapkan dapat dipecahkan melalui

Trickle Down Efeect (efek tetesan) – artinya dari

hasil sampingan pertumbuhan itu sendiri.

Contoh :

Membangun pabrik besar buruhnya dapat

gajih gajihnya dibelanjakan di warung makan

penjual warung membelanjakan uangnya untuk

beli sayur dari orang desa.

27

Demikian secaara singkat pokok-pokok pikiran

Paradigma Pertumbuhan. Sekarang kita bicarakan

pendapat pakar yang dapat kita golongkan dalam

Paradigma Pertumbuhan :

(a) Paradigma Pentahapan

(b) Paradigma Pertumbuhan Berimbang

(c) Paradigma Pertumbuhan Tidak Berimbang

2.a. Paradigma Pentahapan

Paradigma yang dikemukakan ole Rotow ini

merupakan pandangan seorang economic historian

tentang pertumbuhan ekonomi. Dan teori ini lahir

saat-saat negara-negara baru memerlukan conceptual

aparatus untuk menganalisis proses pertumbuhan

ekonomi pada masyarakat agraris yang salah satu

cirinya adalah tidak adanya sektor modern.

Menurut Rostow, proses transisi dari under

development (keterbelakangan) menuju development

(pembangunan) dapat digambarkan sebagai

serangkaian tahap-tahap yang akan dilalui oleh semua

negara.

28

Karenanya, teori Rostow sering disebut sebagai :

the stages theori (teori tahap-tahap) atau

linear theory karena berpendapat bahwa

semua masyarakat akan melalui tahap-tahap

tertentu. Setiap teori yang berpendapat bahwa

semua masyarakat/negara akan melalui tahap

yang sama, disebut teori linear. Contoh: Teori

Karl Marx, Teori Organski.

Secara rinci Teori Rostow dapat digambarkan sebagai

berikut:

Menurut Rostow, setiap masyarakat akan

berkembang melalui jalur yang sama; karenanya

setiap masyarakat dapat diklasifikasikan ke

dalam salah satu dari 5 tahap perkembangan

masyarakat tadi.

Tahap-tahap tadi adalah :Traditional - - - - >Precondition - - - - >Take - off - - - -

- >

society for take- off

(masyarakar (prakondisi untuk (tinggal landas)

tradisional) tinggal landas)

- - - > Self- sustaining - - - - >Drive to - - - - > High mass

29

Growth (self maturity

Consumption

Propeling growth) (dorongan menuju (konsumsi

(melaju dengan kematangan/ masal yang

Kekuatan sendiri) kemantaban) berlimpah)

Semua negara akan melalui tahap-tahap ini.

Rostow menggambarkan secara rinci

karakteristik dari setiap tahap tadi :

(a)Masyarakat Tradisional

(i) Struktur masyarakat berkembang di dalam

fungsi produksi yang amat terbatas.

(ii) Menggunakan sebagian besar dari sumber-

subernya untuk bertani.

(iii) Kekuasaan politik terletak di daerah, yaitu

pada penguasaan-penguasaan tanah.

(b)Masyarakat dalam tahap Pre-condition for

Take-off mempersiapkan tinggal landas)

(i) Masyarakat mulai membangun social

overhead capital (infrastruktur) : rel

kereta api, pelabuhan-pelabuhan, jalan,

30

sebagian besar investasi intuk social

overhead capital.

(ii) Pergeseran masyarakat agraris ke

perdagangan dan munufaktur.

(iii) 75% tenaga kerja masih di sektor

pertanian.

(iv) Pergeseran dari orientasi politik, ekonomi

dan sosial lokal, ke orientasi nasional.

(v) Angka kelahiran mulai menurun.

(vi) Pergeseran dari spoil system ke merit

system.

(vii) Pertanian menghasilkan produk lebih

banyak untuk memberi makan sektor

urban.

(viii) Surplus produksi sektor agraris akan

dialihkan ke sektor modern.

(c)Take-off (Tinggal Landas)

(i) Tingkat investasi diukur sebagai proporsi

pendapatan nasional harus meningkat 5-

10%.

31

(ii) Adanya pertumbuhan satu atau beberapa

cabang industri dalam sektor munufaktur

yang cukup tinggi sehingga menjadi

leading sector.

(iii) Tumbuhnya secara cepat, kerangka

politik, sosial dan institusional yang

mendorong tumbuhnya dinamika di sektor

modern.

Pengertian bahwa tinggal landas hakekatnya

adalah proses transformasi jangka panjang dan

bekesinambungan yang menyangkut semua bidang

pembangunan. Secara lebih rinci ciri-ciri proses

transformasi tersebut digambarkan sebagai berikut.

Dari segi tingkat perkembangan dan struktur

ekonomi, proses tersebut meliputi antara lain:

Peningkatan pendapatan nyata per jiwa yang cukup

tinggi desertai dengan pembagiannya yang makin

merata;

Peranan sektor industri yang makin dominan

sebagai penggerak utama laju pembangunan;

32

Keterkaitan dan keterpaduan antara sektor, terutama

antara sektor pertanian dan industri, antara kegiatan

serta antara wilayah yang makin mantap, sehingga

memperkokoh ketahanan nasional.

Dari segi pemanfaatan sumber daya yang

dimiliki bangsa, proses tersebut meliputi antara lain:

Peningkatan mutu sumber daya manusia yang

dicerminkan antara lain oleh adanya peningkatan

kesehatan dan kecerdasn rakyat;

Partisipasi aktif yang makin luas oleh rakyat di

berbagai bidang pembangunan;

Pemanfaatan sumber alam yang makin rasioanal,

efisien dan berwawasan jangka panjang.

Dari segi kelembagaan (dalam arti luas), tahap

tinggal landas diwarnai oleh berkembangnya lembaga-

lembaga di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial,

budaya dan pertahanan keamana yang semakin efektif

menjalankan fungsinya dan makin peka terhadap

tuntutan pembangunan.

33

Dari segi ideologis, mental dan spiritual,

masyarakat Indonesia yang tinggal landas diwarnai

oleh :

Penghayatan dan pengamalan Pancasila yang

meresap, mendalam dan mengakar dalam

kehidupan sehari-hari;

Kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa yang makin mantap dan

serasi

Apabila kita menelaah lebih jauh mengenai

proses transformasi yang digambarkan tadi, maka ada 2

hal penting tersirat di dalamnya yang perlu kita garis

bawahi.

Dua hal penting ini adalah sebagai berikut:

Pertama, esensi dari proses tinggal landas adalah

terjadinya percepatan pembangunan yang mempunyai

sifat khusus, yaitu percepatan pembangunan yang

bersumber dari peningkatan produktivitas dan efisiensi

secara menyeluruh. Jadi, dalam proses tinggal landas

terkandung pengertian adanya tranformasi kualitatif di

berbagai bidang. Yang terjadi, atau yang kita harapkan

34

terjadi, bukan hanya indikator-indikator ekonomi yang

menjadi lebih besar atau lebih banyak, tetapi juga harus

menjadi lebih ‘baik’ dan lebih tingkatnya secara

kualitatif. Jadi sebagai misal, yang kita harapkan bukan

hanya peningkatan produksi tetapi peningkatan

produktivitas; bukan hanya efektivitas tetapi efisiensi;

bukan hanya peningkatan investasi tetapi investasi

yang semakin produktif; bukan hanya langkah-langkah

yang berupa replikasi dari apa yang telah ada tetapi

inovasi dan terobosan-terobosan baru. Penekanan pada

aspek kualitatif dari pembangunan ini tentunya harus

tercemin dengan jelas dalam program-program dan

langkah-langkah kebijaksanaan di bidang kita masing-

masing.

Ciri kedua yang ingin saya garis bawahi adalah

bahwa proses tersebut harus dapat mempertahankan

momentumnya sendiri atau bersifat “self sustaining”.

Ini adalah satu tafsiran pengertian dari asas “tumbuh

dengan kekuatan sendiri”. Konotasi lain dari ciri “self

sustaining” ini adalah bahwa proses tersebut harus

semakin merupakan interaksi dinamis dari sumber-

sumber pembangunan yang berasal dari dalam negeri.

35

Ini antara lain berarti bahwa sumber-sumber

pembiayaan dalam negeri harus diusahakan meningkat

cepat dan makin domain, bahan-bahan mentah hasil

dari dalam negeri harus semakin menjadi andalan

utama bagi kegiatan-kegiatan produksi, tenaga-tenaga

terampil dalam negeri harus semakin berperan dalam

kegiatan-kegiatan produksi dan sebagainya.

Proses transformasi tersebut selanjutnya akan

diikuti oleh terjadinya perubahan struktur ekonomi.

Sektor industri akan merupakan ‘leading sector’

karena, dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain,

sektor ini akan mengalami peningkatan produktivitas

dan efisiensi paling cepat melalui penerapan teknologi

yang lebih produktif. Sumbangan sektor industri dalam

produksi nasional semakin meningkat dan sumber daya

ekonomi yang digunakan di dalam sektor ini juga

semakin meningkat. Jadi, perubahan struktur produksi

nasional diikuti oleh adanya pergeseran pola

pemanfaatan sumber daya, baik sumber alam, sumber

daya modal maupun sumber daya manusia, yaitu dari

sektor-sektor lain ke sektor industri. Di dalam masing-

masing sektor itu sendiri juga akan terjadi pergeseran,

36

yaitu dari kegiatan-kegiatan dengan produktivitas

rendah ke kegiatan-kegiatan dengan produktivitas

tinggi.

2.b. Paradigma Pertumbuhan Berimbang

Salah satu variant lain dari paradigma

pertumbuhan adalah Paradigma Pertumbuhan

Berimbang (Balanced Growth). Paradigma ini lahir

dari pemikiran Rosenstein Rodan dan Ragnar Nurkse.

Paradigma ini menentang upaya pembangunan yang

bersifat gradualisme dan inkrementalisme.

Gradualisme dan inkrementalisme dalam proses

pembangunan tidak akan dapat membawa suatu

bangsa ke tataran hidup lebih tinggi.

Dasar pemikirannya adalah bahwa hubungan

fungsional antara kekuatan-kekuatan yang mendorong

atau menghambat pembangunan penuh dengan

discontinuities dan lumps. Suatu dorongan besar (big

push) diperlukan untuk mengatasi inertia dalam

ekonomi yang stagnant agar dapat mengatasi stagnasi

ekonomi. Karena paradigma Balanced Growth ini

37

juga disebut “Teori Dorongan Besar” (Big Push

Theory).

Teori Dorongan Besar ini sebenarnya

mensadarkan diri pada konsep ekonomi klasik, yaitu

konsep external economies. Externalitier menyangkut

baik manfaat maupun kerugian yang berakumulaasi

pada masyarakat atau bagian daripadanya yang tidak

jatuh pada investor yang lama. Konsep yang berasal

dari static theory ini kemudiam mereka terapkan pada

teori pembangunan.

Pada tahun 1943 Rosenstein Rodan telah

mengkonstatasikan bahwa hambatan pembangunan

adalah kendala-kendala yang berasal dari mekanisme

pasar, limitation imposed by market. Untuk mengatasi

limitasi tadi Rodan menggunakan konsep

externalities, yaitu:

(a) Hal tidak dapat dipisah-pisahkannya suplai social

overhead capital / infrastruktur (lumpiness of

capital). Social oeverhead capital (seperti

pembangkit tenaga listrik, jalan, jembatan,

transportasi, komunikasi), adalah bersifat

38

indispensable dan mengakibatkan external

economies. Ivestasi dalam infrastruktur atau social

everhead capital mempunyai minimal industrial

mix, long gestation period dan minimum

durability;

(b) Hal tidak dapat dipisah-pisahkannya permintaan

(indivisibility of demand). Pengambilan keputusan

untuk mengadakan investasi adalah

interdependent. Karenanya investasi yang berdiri

sendiri akan mempunyai resiko yang tinggi.

Berdasarkan atas asumsi tersebut, Rosenstein Rodan

menarik kesimpulan bahwa harus ada critical

minimum effort atau upaya minimum kritis untuk

dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu

melalui investasi simultant di berbagai sektor atau

kegiatan ekonomi.

Pandangan Rosenstein Rodan ini paralel dengan

pandangan Ragnar Nurkse. Nurkse melihat kegagalan

pembangunan di banyak negara disebabkan karena

mereka terperangkap dalam lingkaran setan

keterbelakangan (vicious circle of underdevelopment)

yang divisualisasikan dalam gambaran di bawah ini.39

Pendapatan Rendah

Kemampuan Menabung Rendah

Produktivitas Rendah

Kapital Kurang

Gambar 2

Lingkaran Setan Kemiskinan

Pendapatan yang rendah merefleksikan

produktivitas yang rendah yang disebabkan oleh

kurangnya modal. Dan kurangnya modal ini disebakan

oleh kemampuan menabung yang rendah. Dan

lingkaran setan inipun beerlanjut.

Untuk mengatasi hal ini tidak dapat dipecahkan

malalui keputusan-keputusan individual secara

terpisah-pisah. Karena Nurkse mengusulkan:

40

“A frontal attack . . . a wave of capital investement

in a number of different industries ( =

balanced growth) is necessary to break vicious

circle of poverty.”

(“Suatu serangan frontal . . . gelombang investasi

di dalam sejumlah industri yang beraneka ragam

(pertumbuhan) adalah perlu untuk dapat

memutuskan lingkaran setan kemiskinan ini.”)

Dengan kata lain, investasi kapital secara sinkronis

pada beraneka ragam industri yang dapat memperluas

pasar merupakan tindakan essensial untuk mengatasi

lingkaran kemiskinan tadi.

2.c. Paradigma Pertumbuhan Tidak Berimbang

(Unbalaced Growth Paradigma)

Paradigma ini dicetuskan oleh Albert O.

Hirschman dalam bukunya The Strategy of Economic

Development (New Haven, 1958). Hirschman tidak

menolak pandangan paradigma pertumbuhan

berimbang bahwa diperlukan dorongan besar (big

41

push) untuk dapat memutuskan rantai kemiskinan tadi

dalam bentuk investasi kapital secara simultan di

berbagai industri. Tetapi masalahnya justru kurangnya

modal tadilah yang menghambat pembangunan di

negara berkembang. Kemampuan untuk

menginvestasikan merupakan hambatan di banyak

negara berkemabang. Kemampuan untuk melakukan

investasi ini akan timbul dan meningkat melalui

praktek. Dan intensitas praktek ini akan tergantung

pada sektor ekonomi modern yang justru merupakan

hal yang langka di banyak negara berkembang. Karena

dia sependapat dengan Singer yang mengesahkan

bahwa:

“. . . the aplication of balanced growth theory

requires a huge amount of precisely those

abilitities which we have identified as likely to be

very limited in supply in less developed

countries.”

(“. . .penerapan teori pertumbuhan berimbang

mensyaratkan adanya kemampuan yang amat

besar yang telah kita identifikasikan sebagai

42

sesuatu yang amat terbatas adanya di negara

berkembang”).

Karena itu dia mengusulkan adanya big push tidak

secara simultan di sejumlah besar industri, akan tetapi

di beberapa cabang industri yang dipilih secara

strategis tadi. Dengan asumsi bahwa pembangunan

berproses melalui difusi pertumbuhan dari leading

sector dalam ekonomi suatu negara menuju ke leading

sector, dari industri satu ke industri yang lain, dia

mengusulkan investasi pada industri-industri yang

bersifat strategis, yaitu industri-industri yang

mempunyai keterkaitan kebelakang (backward linkage)

dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang

optimal. Hirschman sampai pada konklusi bahwa

industri-industri yang berada di tengah-tengah proses

atau mata rantai produk akan cenderung mempunyai

jumlah keterkaitan yang optimal.

43

2.2.PARADIGMA KESEHJATERAAN (WELFARE

PARADIGM)

Beberapa dari paradigma pertumbuhan yang

menfokuskan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi

sebagaimana diukur dengan tolak ukur yang bersifat

agregat, paradigma kesehjateraan menekan pada

peningkatan kesejateraan rakyat. Akan tetapi yang

dimaksud dengan kesehjateraan itu sendiri, nampak

tidak ada kesamaan pendapat diantara para pakar.

Karenanya, di dalam kategori paradigma kesehjateraan

itu tercakup paradigma atau sub-paradigma yang

bervariasi, antara lain: (a) Wawasan Indikator Sosial;

(b) Pedekatan Kebutuhan Pokok; (c) Wawasan

Redistribusi dengan Pertumbuhan.

2.2.a. Wawasan Indikator Sosial

Wawasan ini lahir karena ketidakpuasan para

pakar terhadap paradigma pertumbuhan. Paradigma

pertumbuhan dipandang tidak dapat mengungkapkan

apa yang dialami sebagian besar penduduk yang masih

44

berada di bawah garis kemiskinan. Indikator-indikator

yang dipergunakan oleh paradigma pertumbuhan,

seperti angka pertumbuhan ekonomi atau pendapatan

per kapita, tidak dapat merefleksikan apa yang dialami

kaum miskin.

Wawasan indikator sosial sebenarnya tidak

menolak indikator-indikator yang dipergunakan oleh

paradigma pertumbuhan. Wawasan ini hanya ingin

melengkapi economic accounting tadi dengan social

accounting. Indikator sosial ini sangat penting karena

akan memberi kemungkinan bagi suatu negara untuk

memantau apa yang telah dicapai pembangunan

nasional suatu negara bagi rakyatnya, melalui

pemantauan kecenderungan kesehjateraan baik jangka

pendek, maupun jangka panjang. Objek yang dipantau

Wawasan Indikator Sosial adalah kesehjateraan,

meskipun teminologi yang digunaka bervariasi, seperti

welfare, well- being, atau happines.

Akan tetapi apa yang tecakup dalam konsep

welfare atau well- being tadi dapat bervariasi antara

negara yang satu dengan negara yang lain, antara pakar

yang satu dengan pakar yang lain. Overseas

45

Development Council, misalnya, memperkenalkan

ukuran kesehjateraan yang disebut PQLI (Pysical

Quality of Life Index) yang mencakup: (i) angka

kematian bayi (Infant Mortality Rate); (ii) harapan

hidup pada bayi berumur satu tahun (life expectancy at

age one); (iii) tingkat kemampuan membaca dan

menulis (basic literacy ) (Morris, 1979).

Wawasan indikator sosial inipun menampakkan

pengaruh di Indonesia. Hal ini tercermin dari

dirumuskannya Indikator Sosical di Indonesia pada

tahun 1974 yang mencakup 10 komponen dari 15

indikator (Hendra Esmara, 1986, pp. 392-385).

Komponen tersebut mencakup: (i) Kependudukan,

termasuk Keluarga Berencana dan Transmigrasi; (ii)

Kesehatan; (iii) Gizi; (iv) Tenaga Kerja dan Koperasi;

(v) Pendidikan dan Kebudayaan; (vi) Kesehjateraan

Sosial; (vii) Perumahan; (viii) Keamana dan Ketertiban

Masyarakat; (ix) Agama; dan (x) Umum.

Di dalam perkembangannya, indikator Sosial

Indonesia tadi kemudian dirubah menjadi Indikator

Kesehjateraan Rakyat (IKR). Perubahan ini merupakan

hasil dari Lokakarya Indikator Sosial yang

46

diselenggarakan pada bulan April 1980 di Jakarta.

Indikator Kesehjatera Rakyat ini mencakup 6

komponen dan 83 indikator. Komponen tersebut

adalah: (i) Penduduk, Keluarga Berencana dan

Migrasi; (ii) Pendidikan dan Sosial Budaya; (iii)

Kesehatan, Gizi dan Pengeluarkan/Konsumsi Rumah

Tangga; (iv) Angkatan kerja; (v) Keamana dan

Ketertiban Masyarakat; dan (vi) Perumahan dan

Lingkungan Hidup.

Baik cakupan komponen maupun indikator-

indikator sosial amat bervariasi dari negara yang satu

dengan negara yang lain, dari waktu yang satu ke

waktu yang lain.

2.2.b. Pendekatan Kebutuhan Pokok

Sebagaimana Wawasan Indikator Sosial,

Pendekatan Kebutuhan Pokok atau Basic Needs

Approach (BNA) atau Strategi Kebutuhan Pokok atau

Basic Needsn Strategy (BNS) ini merupakan reaksi

terhadap kegagalan paradigma pembangunan di dalam

meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Strategi

47

pembangunan yang dikenal dengan model

pertumbuhan tadi, diterapkan dalam konteks struktur

politik dan sistem ekonomi internsional yang timpang

dan berat sebelah, dipandang telah gagal menjangkau

rakyat miskin yang merupakan proporsi terbesar di

banyak negara-negara berkembang. Kelompok miskin

telah makin tertinggal dalam gerak laju pembangunan

nasional di negara-negara tadi. Laporan bank Dunia

yang dimuat dalam Word Development, misalnya, pada

tahun 1978 telah meramalkan pada tahun 2000 nanti,

penduduk dunia yang secara absolut berada di bawah

garis kemiskinan akan berjumlah 600 juta jiwa, dan

540 juta jiwa diantara berasal dari negara-negara

berkembang.

Dengan latar belakang kegagalan pembangunan

menjangkau kelompok miskin dan memecahkan

masalah kemiskinan, dicetuskan Pendekatan

Kebutuhan Pokok oleh Barrilocke Foundation di

Argentina, pada tahun 1974. Mereka sampai pada

kesimpulan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok secara

merata bagi setiap manusia merupakan prasyarat bagi

peningkatan mutu kehidupan.

48

Sebagai konsep, Pendekatan Kebutuhan Pokok

ini telah menguasai pemikiran para negarawan dan para

pakar di sekitar tahun 1960an, meskipun sebagai acuan

kebijaksanaan baru mendapatkan perhatian luas

sesudah pertengahan dasawarsa 1970an.

Pada tahun 1959, misalnya, Bung Hatta dalam

pidatonya di Kongres Iktan Sarjana Ekonomi Indonesia

(ISEI) telah menegaskan perlunya pemenuhan

kebutuhan pokok untuk mewujudkan keadilan sosial.

Demikian pula Gunnar Myrdal dalam bukunya yang

terkenal Asian Drama (1968) juga telah menegaskan:

“Agar sasaran pembangunan yang berupa

realisasi potensi kepribadian manusia dan

tercapai, maka syarat minimum untuk memenuhi

kebutuhan pokok harus terlebih dulu dipenuhi”

Myrdal berpendapat bahwa kebutuhan pokok

merupakan kebutuhan mutlak (absolute necessity) yang

harus dipenuhi.

Akan tetapi, barulah pada tahun 1976, dalam

konperensi Internasional Labor Organization (ILO) di

Geneva yang dikenal dengan The World Employment

49

Conference, ide kebutuhan pokok tadi muncul kembali

sebagai pokok bahasan yang mendapatkan perhatian

luas. Di dalam konperensi tadi Richard Jolly

mengemukakan pokok pikiran baru tentang kebutuhan

pokok dalam makalahnya yang berjudul: “World

Employment Conference: The Enthronement of Basic

Needs”. Makalah tadi mengilhami pemikiran ILO

tentang kebutuhan pokok. Konperensi ILO tadi pada

akhirnya berkesimpulan bahwa:

(i) Konsep Kebutuhan Pokok mencakup 2 hal, yaitu:

(a) konsumsi minimum untuk keluarga, seperti

sandang, papan, pendidikan, kesehatan; dan (b)

pelayanan negara (public services) untuk

komunitas pada umumnya, seperti sumber air

bersih, transportasi, listrik, dan sebagainya;

(ii) Konsep kebutuhan pokok merupakan konsep

yang country-specific dalam arti bahwa ukuran-

ukuran kebutuhan pokok antara negara satu

dengan negara yang lain tidak sama;

(iii) Konsep kebutuhan pokok merupakan konsep

yang dinamis. Artinya, ukuran tentang kebutuhan

50

pokok dalam satu negara pun bisa berbeda antara

period yang satu dengan yang lain;

(iv) Kebutuhan pokok tidak boleh diartikan sebagai

sekedar pemenuhan kebutuhan subsistensi;

(v) Dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok tadi

perlu didorong partisipasi masyarakat; dan

(vi) Untuk memenuhi kebutuhan pokok tadi, perlu

didorong pertumbuhan ekonomi nasional.

2.2.c. Redistribusi dengan Pertumbuhan

Paradigma Redistribusi dangan Pertumbuhan

atau Redistribution with Growth ini dipelopori ole

Hollis Chenery. Chenery mengakui, baik kekuatan

maupun kelemahan pradigma pertumbuhan. Di satu

pihak dia menyadari pentingnya pertumbuhan

ekonomi bagi negara-negara berkembang pada

khususnya dan negara-negara pada umumnya, aka

tetapi di lain pihak dia juga melihat juga melihat

kecenderungan pertumbuhan ekonomi dalam

menimbulkan ketimpangan sosial. Pertumbuhan

ekonomi telah mengakibatkan konsentrasi kekuasaan

dan kekayaan pada beberapa negara maju dan pada

51

golongan masyarakat dari pelapis atas, dan

marginalisasi negara-negara berkembang dan

golongan miskin dalam masyarakat.

Untuk mengatasi kecenderungan negatif tadi dia

mengusulkan penekanan perhatian baik pada

pertumbuhan maupun redistribusi dari hasil

pembangunan melalui paradigma Redistribution with

Growth. Inti dari pendapatanya adalah saran bagi

negara-negara kaya untuk mentransfer 2 persen dari

GNP nya per tahun kepada negara-negara miskin;

demikian pula dia juga mengusulkan transfer of

resources dari pelapisan atas ke pelapisan bawah,

misalnya melalui sistem perpajakan progresif.

Pendapat Chenery tadi tidak lepas dari kritik-

kritik yang tajam. Kritik pertama menekankan pada

sukarnya di dalam praktek melaksanakan saran

tersebut. Sebagai bukti, usul Komisi Willy Brandt

yang di bentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

menyarankan pada negara-negara untuk mentransfer 1

persen dari pendapat nasionalnya (yang terdiri dari 0,7

persen dari sektor pemerintah dan 0,3 persen dari

sektor swasta) ternyata tidak dapat dilaksanakan.

52

Apalagi kalau transfer tadi sebesar 2 persen dari

pendapat nasional mereka. Kritik kedua, didasarkan

pada hasil simulasi dengan mengandaikan kalau usul

Chenery tadi benar-benar dilaksanakan. Suatu

simulasi yang mengandaikan negara-negara maju

benar-benar mentransfer 2 persen dari pendapatan

nasionalnya ke negara terbelakang menunjukan bahwa

setelah 25 tahun transfer tadi, maka tingkat konsumsi

negara-negara miskin hanya akan naik dengan US $ 1,

-per tahun.

Karena banyak pengkritik berpendapat bahwa

pembagian kekuasaan dan kekayaan yang adil hanya

akan terlaksana dengan transformasi struktural yang

menyeluruh.

53

2.3.PARADIGMA NEO EKONOMI

Di dalam perkembangan pemikiran tentang

pembangunan makin disadari bahwa kelemahan utama

paradigma perutumbuhan adalah ketidakpuasannya

pada permasalahan dasar who gets, how much, of what.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, paradigma

demi paradigma lahir untuk mengkoreksi kelamahan

tadi. Paradigma Neo – Ekonomi masih memberi

perhatian pada nilai-nilai ekonomi, akan tetapi

menginterpretasikan nilai-nilai ekonomi tadi secara

lain, tidak sekedar dari tolak ukur agregat seperti

pertumbuhan ekonomi pendapatan per kapita.

Pendukung paradigma ini berpendapat bahwa hanyalah

kalau tolak ukur keberhasilan pembangunan tadi

didisaggregasikan, maka nasib golongan miskin akan

dapat muncul sebagai fokus perhatian.

Salah seorang tokoh Paradigma Neo – Ekonomi.

Ini adalah Dudley Seers, Rektor Univesitas Sussex. Dia

dan para tokoh Paradigma Neo – Ekonomi lain

berpendapat bahwa pengalaman pembanguna tahun

1950an dan 1960an menunjukkan bahwa, meskipun

banyak negara-negara berkembang yang berhasil

54

mencapai target pertumbuhan ekonominya sebesar

lebih dari 5 persen per tahun, sebagaimana oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan tetapi nasib

sebagian terbesar rakyat miskin tidak mengalami

perbaikan. Karena itu mereka menghendaki

dethronement of GNP sebagai tolak ukur

pembangunan, dan meredefinisikan kembali paradigma

pertumbuhan (Todaro, 1977, p. 61).

“In short, economic development was redefined

in terms of the reducation of elimination of

proverty, inequality, and unemployment within

the context of a groowing economy”

(“Dengan singkat, pembangunan ekonomi

didefinisikan kembali di dalam pengertian

pemberantasan atau penurunan kemiskinan,

ketimpangan, dan pengangguran, di dalam

konteks pertumbuhan ekonomi”)

55

Dengan demikian, tolak ukur keberhasilan

pembangunan harus didisagregasikan menjadi tiga

pertanyaan pokok:

a. Apa yang tejadi dengan kemiskinan,

b. Apa yang terjadi dengan ketimpangan, dan

c. Apa yang tejadi dengan penganguran.

Apabila di sesuatu negara tadi kemiskinan,

ketimpangan dan pengangguran mengalami penurunan

yang substansial, maka negara tadi berhasil

membangun.

Paradigma ini merupakan reaksi terhadap

paradigma ekonomi murni/ paradigma pertumbuhan

yang cenderung menggunakan indikator ekonomi yang

berifat aggregate (tidak dirinci), saperti angka

pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita.

Angka pertumbuhan ekonomi dan pendapatan

per kapita ini tidak mengungkap nasib kaum miskin di

sana, tidak mengungkap ketimpangan yang terjadi di

suatu negara.

Contoh:

56

Pertumbuhan ekonnomi Indonesia yang

mencapai rata-rata 7% -8% per tahun sampai

tahun 1980, tidak dapat menunjukkan berapa

jumlah kaum miskin, apakah jumlahnya

meningkat atau tidak. Ekonomi dapat tumbuh

tunggi tetapi ketimpangan tetap tinggi.

Pendapatan per kapita (keseluruhan pendapatan

nasional: jumlah penduduk) Indonesia telah

mencapai US$ 550 - - - - - > Ini menempatkan

Indonesia dari “negara berpenghasilan rendah”

ke “negara berpenghasilan menengah” (meskipun

termasuk negara berpenghasilan menengah yang

terendah). Tetapi ini juga tidak mengungkap

apakah pembagian merata. Misanya :

Negara P Negara Q

(Y) = Pendapatan Nasional Pendapatan Nasional

10 10

Penduduk 5 Penduduk 5

57

Negara P Negara Q

Y = 10 Y = 10

A B C D E A B C D E

2 2 2 2 2 4 3 1 1 1

Jadi baik ditinjau dari segi pendapatan nasional

maupun pendapatan per kapita keadaan negara P

dan negara Q sama, tetapi pemerataan

pendapatanya bisa amat berbeda.

Kedua negara tadi pendapatan nasionalnya

sama, pendapatan per kapita sama, tetapi tingkat

pemerataannya amat berbeda.

Jadi indikator ekonomi “pertumbuhan ekonomi”

atau “pendapatan per kapita” tidak dapat menunjukkan

kehidupan kaum miskin di sesuatu negara. Karena itu,

kaum pengikut paradigma Neo-Ekonomi, mengusulkan

indikator ekonomi baru, yaitu indikator ekonomi yang

di disaggregated (dirinci).

58

Mahbud Ul Haq menyimak bahwa pada tahun

1960an negara-negara berkembang mengambil

keputusan penting:

(i) Mereka menjadikan Negara-Negara Barat sebagai

model/citra masyarakat yang ingin mereka

wujudkan, yaitu masyarakat yang mempunyai

tingkat hidup tinggi. Karena mereka berusaha

mengejar pertumbuhan GNP yang setinggi-

tingginya dan berharap mencapai pendapatan per

kapita lebih dari US$ 1.000. Keinginan meniru

gaya hidup negara lain ini disebut Demonstration

Effect.

(ii) Dalam mengejar pertumbuhan GNP yang setinggi-

tingginya tadi, mereka menerapkan sistem ekonomi

campuran (mixed economy), yaitu berusaha untuk

menggabungkan unsur-unsur yang baik dari sistem

kapitalisme liberalisme dan sistem sosialisme.

Upaya menggabungkan 2 sistem ini disebut Fusion

Effect.

(iii) Mereka berusaha mewujudkan masyarakat yang

dicita-citakan tadi dalam waktu yang sesingkat-

59

singkatnya. Apa yang oleh negara Barat dicapai

dalam ratusan tahun, ingin dicapai dalam beberapa

puluh tahun saja. Keinginan mewujudkan

masyarakat yang dicita-citakan tadi dalam waktu

yang sesingkat-singkatnya disebut Compression

Effect.

(iv) Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang

setinggi-tingginya tadi mereka menggantungkan

diri pada bantuan asing. Dengan pertumbuhan

ekonomi yang setinggi-tingginya tadi mereka

berharap dapat memberantas kemiskinan melalui

Trickle Down Effect (Efek tetesan).

Akan tetapi ternyata upaya mengejar ketinggalan

dari negara maju tadi merupakan catching-up fallaacy

(upaya mengejar yang palsu). Sebab :

(a) Perbedaan dalam angka pertumbuhan ekonomi

antara negara maju dan negara berkembang, dan

perbedaan dalam besaran (magnitude) GNP –

menyebabkan sukar sekali mengejar ketinggalan

dari negara Barat.

Contoh:

60

5% (pertumbuhan

AS 5%

Indonesia GNP Negara

Berkembang

Misalnya : sama tumbuh dengan 5%

(b) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu disertai dengan pemberantasan kemiskinan melalui Trickle Down Effect - - - > Hal ini sangat tergantung pada struktur pertumbuhan itu sendiri.Contoh: Kalau pertumbuhan ekonomi yang tinggi tadi dacapai dengan produksi senjata atau produksi barang lux, jelas tidak akan menimbulkan manfaat bagi kaum miskin. Jadi “it is not merely a question of how much is produced, but also what is produced, and how it is distriibuted”.

(c) Karena negara-negara miskin biasanya mempunyai sistem distribusi yang jelek, dan karena institusi yang menciptakan pertumbuhan tidak netral, akan tetapi cenderung mengacu pada kepentingan golongan atas maka distribusi pendapatan cenderung tidak merata.

Kerena itu Mahbub Ul Haq megusulkan agar negara-negara berkembang menerapkan gaya pembangunan (style od development) yang lain, yang

61

GNP Negara Maju

tidak semata-mata mengejar pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Gaya pembangunan tadi harus lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dan tidak meniru gaya pembangunan negara-negara Barat. Gaya pembangunan baru yang diusulkan tadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Sasaran utamanya haruslah 40-50% penduduk termiskin. Kebutuhan pokok golongan ini harus mendapat perhatian utama. Orientasi produksi dan distribusi haruslah kebutuhan minimum kelompok sasaran ini, dan bukan permintaan pasar (market demand) yang cenderung merefleksikan permintaan yang didukung oleh daya beli yang efektif;

b. Perluasan kesempatan kerja harus menjadi tujuan utama pembangunan, karena kesempatan kerja ini akan mempengaruhi distribusi pendapatan dan hasil pembangunan;

c. Ketergantungan kepada negara asing haruslah dikurangi, dan kemandirian haruslah mendapat perhatian yang utama;

d. Pemerintah pendapatan harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Pemeataan pendapatan yang efektif akan menghilangkan kemiskinan relatif sebagai suatu fenomena sosial yang socially defined.

2.4.PARADIGMA DEPENDENSI

62

Perkembangan pemikiran tentang pembangunan

agaknya mencapai tahap beyond conventional wisdom

(yang monfokuskan perhatian pada pertumbuhan

ekonomi, kesehjateraan, atau pemerataan) dan

menjangkau domain nilai pembangunan yang baru,

yaitu “leberation” atau “independensi”. Paradigma

pembangunan baru ini disebut paradigma Dependencia,

atau paradigma strukturalis-internasionalis, atau

paradigma Neo-marxist, atau paradigma political

economy. Meskipun akar historis paradigma ini

bersumber sebagian pada pemikiran Karl Marx di abad

yang lalu, namun momentum perkembangannya baru

teradi sesudah peroses deklonisasi pasca Perang Dunia

II, pada waktu negara-negara baru mempersoalkan

model masyarakat yang ingin diwujudkan. Secara lebih

khusus, agaknya paradigma dependencia merupakan

wawasan pembanguna yang dipilih oleh negara-negara

Amerika Latin, pada waktu mereka mempersoalkan

model pambangunan yang tepat bagi negaranya.

Paradigma Dependencia ini mengalami proses

kristalisasi melalui beberapa konverensi regional

seperti Economic Commission for Latin Amerika

63

(ECLA), dan juga konperensi para ekonom America

Latin di Mexiko (1965) yang menghasilkan

Declaration of Latin American Economists (Gunder

Frank & Bonilla, 1972, pp. 305-320).

Konfigurasi kelahiran paradigma dependensi di

Amerrika Latin inilah agaknya yang mewarnai alur

pikiran paradigma ini, Paradigma dependensi lahir

sebagai hasil konvergensi dua tradisi intelektual, yaitu

tradisi Marxist (Marxisme Klasik, Marxisme-

Leninisme dan neo-Marxist) dan tradisi strukturalis

Amerika Latin yang mengkristal di dalam diskusi

Economic Commission for Latin America (ECLA).

Berbeda dengan Marxisme Klasik yang

menfleksikan wawasan Eurocentric, neo-Marxist lebih

menfokuskan perhatian pada masalah keterbelakangan

(underdevelopment) dan mengexpresikan wawasan

Dunia Ketiga (Hette, 191, p. 82). Perbedaan antara

alur-pikir Marxisme Klasik dengan alur pikir neo-

Marxist yang menjadi landasan peradigma dependencia

tadi adalah sebagai berikut (Foster Carter, 1974):

64

(i) Marxisme Klasik melihat imperialisme pada posisi

sentral, sedangkan neo-Marxist melihat

imperialisme dari sudut pandang periphery;

(ii) Analisis klas Marxisme Klasik bertumpu pada

pengalaman Eropa dan menekankan misi

emansipasi kaum proletar industri, sedangkan neo-

Merxist memberi perhatian pula pada potensi

revolusioner kaum petani;

(iii) Marxisme Klasik menekankan pada peranan

deterministik kondisi obyektif, sedangkan neo-

Marxist melihat kemungkinan adanya peranan

faktor subyektif dalam menimbulakan suatu

revolusi;

(iv) Merxisme Klasik memandang kosep “kelangkaan”

(scarcity) sebagai invensi borjuis untuk memberi

dasar legitimasi ketimpangan ekonomi. Neo-

Marxist mengintedrasikan kesadaran lingkungan

pada pandangan tentang pembangunan.

Dengan demikian, para pemikir paradigma

dependencia berusaha menerapkan melalui modifikasi

tradisi Marxisme Klasik yang biasa pada

Eurocentrisme untuk memahami realitas di negara-

65

negara berkembang. Unsur baru yang diintegrasikan

dalam tradisi tadi adalah kolonialisme, kekuatan yang

repulsif tetapi progresif, yang ikut berperan dalam

menumbuhkan kapitalisme di negara-negara

terbelakang.

66

2.5.PARADIGMA PEMBANGUNAN YANG

BERKEMANUSIAAN

Pembangunan merupakan anugrah bagi rakyat

apabila berhasil meningkatkan kualitas kehidupan

mereka. Namun, pembangunan bisa menjadi bencana

bila tidak mencakup seluruh aspek kehidupan

masyarakat secara berimbang. Rasa keadilan sosial

yang terkoyak akibat kesenjangan yang tinggi

merupakan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat

mengoyak stabilitas sosial. Pengertian pembangunan

tidak sebatas pertumbuhan ekonomi saja, namun

mencakup hal-hal lebih luas seperti kemajuan pranata

sosial, demokrasi, kemanusiaan, lingkungan hidup,

serta nilai-nilai budaya dan peradaban.

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998,

pernah menyatakan sesuatu yang sangat berbeda

tentang pembangunan. Menurut Sen, pembangunan

bukan sebuah proses yang dingin dan menakutkan

dengan mengorbankan darah, keringat, serta air mata.

Pembangunan, menurut Sen, adalah sesuatu yang

sebenarnya “bersahabat”. Pembangunan seharusnya

merupakan proses yang menfasilitasi manusia untuk

67

mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan

pilihannya (development as a process of expanding the

real freedoms that people enjoy).

Asumsi pemikiran Amrtya Sen, bila setiap

manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka

kontribusinya untuk kesehjateraan bersama juga akan

maksimal. Dengan demikian, kemakmuran sebuah

bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang

berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab

langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, dan

keterbelakangan adalah karena ketiadaan akses. Akibat

keterbatasan akses, pilihan manusia menjadi terbatas –

bahkan tak ada – untuk mengembangkan

kehidupannya. Manusia hanya menjalankan apa yang

“terpaksa” dapat dilakukan, bukan apa yang

“seharusnya” bisa dilakukan. Dengan demikian,

potensi dan kontribusi manusia dalam mengembangkan

kesehjateraan hidup bersama menjadi terhambat dan

lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah

terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi

dan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), dan

transparasi serta adanya jaring pengaman sosial.

68

Selama ini kita terlena oleh sekian banyak janji

bahwa paradigma pro-growth kelak akan

memakmurkan semua anggota masyarakat melalui

proses trickle-down. Namun, kini, tokoh arus-utama

Proses Emil Salim mengakui bahwa pertumbuhan

ekonomi tidak serta-merta menciptakan lapangan kerja

dan menambah lapangan usaha, apalagi menanggulangi

kemiskinan. Profesor Boediono yang sekarang

menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia pun

mengakui bahwa pertumbuhan tidak otomatis dapat

mengurangi kemiskinan.

Pelajaran yang sapantasnya dipetik dari keyataan

getir “kemiskinan dalam kemerdekaan” ini adalah kita

perlu meninggalkan paradigma pembangunan trickle-

down yang memang tidak-manusiawi. Paradigma ini

menghalalkan penyitaan sebagian besar hasil

pembangunan oleh mereka yang telah mapan dan

menyisakan sebagian kecil hasil pembangunaan

“diteteskan” kepada mayoritas rakyat. Paradigma lama

hanya mungkin dilakukan dalam keadaan rakyat tidak

berdaya. Dengan kata lain, kemiskinan rakyat bersifat

69

struktural dan ini ditandai oleh penyebaran kekayaan

dan kekuasaan yang sangat tidak merata!

Kenyataan ini mendesak kita untuk mengubah

paradigma pembangunan agar benar-benar pro-poor.

Rakyat miskin adalah pihak yang paling memahami

keadaan mereka sendiri, dan karenanya lebih tepat

memosisikan rakyat sebagai pelaku utama

pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di

bawah naungan pemerintah kabupaten/kota. Langkah

paling efektif dalam membangun landasan bagi

Manusia Indonesia yang Mandiri adalah dengan

mendahulukan keadilan atau growth through equity

melaluim pembagian lahan Negara untuk rakyat,

pengucuran kredit untuk pengusaha kecil, dan

pengalihan sebagian saham korporasi untuk karyawan.

Mazhab yang mengutamakan kemanusiaan dan

paradigma people-driven yang menganjurkan agar

semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang

dibangun, teknologi yang dirakit dan diambil alih,

ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan

rakyat. Semua bermuara pada pemulihan harkat dan

martabat seluruh rakyat. Belandaskan paradigma ini,

70

kita mencoba mengenali sejumlah kendala yang

menghadang melalui diskursus serta dengan warga

miskin dan bersama-sama merakit tangga yang dapat

digunakan untuk melepaskan diri dari kendala tersebut.

Anak tangganya, berdasarkan urutan pembangunan

bangsa yang benar, yaitu KB, mencakupi kebutuhan

pangan dan gizi, pelayanan kesehatan yang

menjangkau semua anggota masyarakat, pendidikan

yang menjawab tantangan lokal, serta infrastruktur dan

kelembagaan yang mensenyawakan perekonomian

rakyat dengan perekonomian korporasi.

Memang, tidak mudah mendapatkan komitmen

yang sungguh-sungguh untuk mencapai sasaran

pambangunan dan penanggulangan kemiskinan.

Komitmen seperti itu hanya dapat dibangun

berlandaskan solidaritas terhadap sesama dan

keberpihakan kepada yang terpinggirkan. Ia tidak hadir

dengan sendirinya, tetapi biasanya akan muncul

diinspirasikan oleh lingkungan sekitar mulai dari orang

tua, guru, pemimpin formal, sampai tokoh masyarakat.

Solidaritas dan keberpihakan akan tumbuh-subur bila

dibina dan dipupuk sejak awal melalui keteladanan

71

dalam kebijakan yang didorong oleh kemampuan

melintasi kepentingan diri sendiri yang lahir dari hati

nurani.

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (United Nation Development

Programme/UNDP) mengidentifikasikan

Pembangunan Inklusif (PI) sebagai pembangunan

ekonomi yang melibatkan dan mengikutsertakan semua

warga negara. Bukan hanya mereka yang berbakat,

kaya, cerdas, sehat, berkemampuan lebih baik atau

berkedudukan tinggi saja, tetapi mereka yang kurang

beruntung juga berhak menikmati manfaat

pembangunan. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang

tinggi jangan sampai mengabaikan kemiskinan dan

menafikan ketimpangan yang justru akan melahirkan

dan “mematangkan” frustasi sosial di kalangan

masyarakat bawah.

Dengan rumusan lain PI dapat digambarkan ciri

sebagai berikut: (a) pertumbuhan ekonomi merupakan

sasaran penting, tetapi bukan tujuan; (b) pertumbuhan

ekonomi merupakan sasaran untuk tujuan kemakmuran

bersama semua orang dan warga negara, baik laki-laki

72

maupun perempuan serta kaya miskin; (c)

pertumbuhan ekonomi dan kebijakan publik dapat

berbuat banyak dalam mengurangi kemiskinan dan

ketimpangan; (d) kebijakan dan intuisi sosial non-

ekonomi. Dengan kata lain, intuisi jaminan sosial, tata

pemerintahan/kualitas pemerintah memiliki kedudukan

sama penting dengan kebijakan ekonomi (moneter dan

fisika)

73

3. UKURAN, DATA KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Debat mengenai pengertian dan ukuran kemiskinan

di Indonesia umumnya dianggap selesai setelah hadirnya

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK)

dan pendataan.

Tabel 1. Indikator Kemiskinan versi Badan Pusat Statistik

(BPS)

Parameter Satuan

1. PendapatanRp 167.000/bulan/orang atau Rp

5.500/hari/orang

2. RumahKurang dari 8m2, lantai tanah/bambu;

dinding bambu/ rumbia3. Jamban/Toilet Tidak Ada4. Penerangan Lampu teplok (minyak), tanpa listrik5. Sumber air Sumur/air hujan6. Bahan bakar

memasakKayu/minyak tanah

7. Makan Maksimal dua kali/hari

8. KonsumsiDaging/ayam/susu sebanyak 1 kali

seminggu9. Asupan Kalori 2.100/hari10.Pakaian Membeli 1 pasang/tahun

11.Kesehatan Tidak sanggup membayar biaya

74

pengobatan Puskesmas 12.Pendidikan

tertinggiSekolah Dasar (SD)

13.Sumber

penghasilan kepala

rumah tangga

Kurang dari (<) Rp. 600.000,-/bulan

14.Tabungan Tidak ada

tunggal yang dilakukan Badan Pusan Statistik (BPS).

Disebut dalam SNPK bahwa kemiskinan adalah kondisi di

mana seorang atau sekelompok orang, baik laki-laki

maupun perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya

secara layak untuk menempuh dan mengembangkan

kehidupan bermatabat. BPS menyiapkan 14 indikator

untuk mengukur kemiskinan.

Walaupun demikian, ukuran dan data kemiskinan

versi BPS kerap memunculkan sejumlah masalah.

Pertama, adanya senjang pemahaman dan perhitungan data

antara pemerintah pusat dan pemeritah daerah yang

berdampak pada penentuan target pelayanan. Kedua, data

kemiskinan menganduk dimensi ekonomi-politik. Bila

menggunakan kriteria kinerja daerah, pemerintah daerah

cenderung mengecilkan angka kemiskinan bahkan akan

75

berang bila dituding memiliki angka kemiskinan tinggi.

Namun, bila ingin mendapatkan bantuan dana sebesar-

besarnya, pemerintah daerah kerap menggelembungkan

angka kemiskinan.

Ketiga, banyak rumah tangga berada di garis batas

kemiskinan nasional. Tak pelak, banyak penduduk

tergolong tidak miskin, tetapi rentan terhadap kemiskinan.

Keempat, mengingat luas dan beragamnya wilayah

Indonesia, perbedaan antardaerah menjadi ciri mendasar

kemiskinan di Indonesia. Namun, pengukuran kemiskinan

yang seragam dan sentralistik tentu tidak bisa menjawab

keragaman daerah dan wilayah Indonesia. Kelima, ukuaran

kemiskinan didasarkan pada pengeluaran atau pendapatan,

sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang

sebenarnya. Banyak orang mungkin miskin dari segi

pendapatan dan dikatagorikan sebagai miskin berdasarkan

kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya

indikator pembangunan manusia.

Keenam, data BPS yang bersifat makro hanya dapat

menghasilkan angka perkiraan jumlah dan persentase

penduduk miskin, namun tidak dapat menujukkan siapa

dan di mana lokasi penduduk miskin. Karena itu, BPS

76

selalu merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk

melakukan analisis lebih mendalam dan mikro tentang apa,

siapa, dan bagaimana kemiskinan lokal. Ketujuh, data

kemiskinan berbanding terbalik dengan data Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan komposit

dari indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Seharusnya ada hubungan langsung antara angka

kemiskinan dan IPM. Jika IPM tinggi, angka kemiskinan

seharusnya rendah. Sebaliknya jika angka kemiskinan

tinggi, angka IPM seharusnya menjadi rendah. Namun

yang terjadi di Indonesia tidak seperti itu. Misalnya, angka

kemiskinan Kabupaten Badung sangat tinggi mencapi 40

persen, sedangkan angka kemiskinan Jembrana sangat

rendah sekitar 5-6 persen. Namun, IPM Kabupaten Badung

tampak lebih tinggi dibandingkan IPM Jembrana.

Kedelapan, ada semacam dilema di antara angka

kemiskinan dengan alokasi anggaran. Sesuai dengan

prinsip afirmasi dan keadilan, anggaran yang dialokasikan

pemerintah pusat untuk menanggulangi kemiskinan tentu

mempehatikan besaran angka kemiskinan setiap daerah.

Semakin besar angka kemiskinan sebuah daerah, anggaran

yang dialokasikan untuk daerah itupun seharusnya semakin

77

besar. Di suati sisi, daerah cenderung gusar bila dituding

memiliki angka kemiskinan tinggi, namun di sisi lain

cenderung menggelembungkan angka kemiskinan demi

memperoleh alokasi anggaran yang lebih besar. Selain

mengkritik pendekatan dilematis seperti itu, Jembrana

mengusulkan agar pemerintah pusat memberikan insetif

lebih besar kepada daerah yang berhasil mempercepat

pengurangan angka kemiskinan berupa, misalnya,

pengurangan atau penghapusan dana pendamping (cost

sharing) dari dana program yang dialokasikan pemerintah

pusat ke pemerintah daerah. Akan tetapi, sampai sekarang

pemerintah pusat tidak mengabulkan usulan Jembrana itu.

Kesembilan, pemerintah menggunakan dan memakai

data kemiskinan berdasarkan kriteria dan temuan agregat

Bada Pusat Statistik, sementara daerah cenderung resistan

terhadap data yang dikeluarkan BPS, yang membuat angka

kemiskinan versi pusat dan versi daerah berbeda. Beberapa

daerah mengklaim telah membuat data dan peta

kemiskinan masing-masing per rumah tangga dan bahkan

per individu (by name). Kesenjangan pendapat seperti ini

menyulitkan delivery system program antikemiskinan dari

pusat ke daerah, desa, dan kelompok sasaran. Pemerintah

78

daerah sendiri cenderung menolak dan enggan

menjalankan tugas pembantuan dari pusat dalam program

penanggulangan kemiskinan bila metode dan data yang

digunakan berasal dari pusat.

Berbagai masalah tersebut kemudian direspons

pemerintah pusat. BPS mualai “membumikan” data makro

menjadi data mikro dengan melakukan pendataan keluarga

miskin by name dan bu address. Daerah pun juga bisa

“menyisiati” pendataan kemiskinan bukan dengan sensus

mendalam, tetapi bisa dengan cara sortir. Para petugas

menyisir dari rumah ke rumah. Bila menemuka rumah

tembok atau permanen, petugas akan melewatinya begitu

saja tanpa harus melihat apa yang terjadi di rumah itu.

Rumah tangga sepeti itu biasanya akan diberi predikat

tidak miskin. Tatkala melihat rumah yang kurang layak,

sang petugas berhenti dan masuk ke rumah itu. Namun,

saat di dalam rumah ada televisi atau sebuah motor, si

petugas menganggap tidak perlu lagi melakukan sensus

dan memasukkan keluarga tersebut dalam kelompok “tidak

miskin”. Petugas akan melakukan sensus lebih mendalam

bila menemukan rumah tidak layak dan tidak memiliki

aset; dia menetapkan keluarga itu sebagai keluarga miskin.

79

Kemiskinan bersifat multidimensional. Karena iru,

penanggulangan kemiskinan harus mempertimbangkan

dimensi ketidakberdayaan karena kemelaratan yang akut,

dimensi ketimpangan struktural, dan kemandekan

perekonomian yang megancam kesehjateraan semua

pelaku ekonomi. Pada dimensi pertama, orang miskin

hanya bisa keluar dari kemiskinan bila negara atau pihak

lain memberi pertolongan (charity) dengan jaminan sosial

dan pelayanan publik yang murah. Pada dimensi kedua,

orang miskin dapat keluar dari jerat kemiskinan jika semua

hambatan struktural “dibereskan”, sehingga mereka

memiliki akses pada berbagai kebutuhan dasar, memiliki

kesempatan kerja, dan bekerja keras untuk bisa lebih

mandiri. Pada dimensi ketiga, perlu adanya pertumbuhan

ekonomi melalui investasi sehingga terbangun sektor

produksi dan sektor ekonomi yang kuat, muncul hubungan

sinergis antara usaha skala kecil, menengah, dan besar,

serta terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.

80