elearning.uui.ac.id · web viewpuji syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, yang telah...
TRANSCRIPT
ASUHAN KEBIDANAN PADA BBLR DI DALAM INKUBATOR DENGAN KOMPLIKASI
IKTERUS DI
SUSUN
Oleh :
NAMA : Liza Rozanna
NIM : 181010510096
NAMA DOSEN : Chairannisa Anwar, SST
UNIVERSITAS U’BUDIYAH INDONESIAFAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI D-IV KEBIDANANBANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan. Makalah Ini disusun sebagai tugas mata kuliah Praktik Klinik
Kebidanan 1 dengan judul “Asuhan Kebidanan Pada BBLR Di Dalam Inkubator
Dengan Komplikasi Ikterus.”
Tentu banyak kekurangan yang masih luput dari pencermatan kami, semata-mata
kekurangmampuan kami dalam hal bahasa ataupun penguasaan materi. Kritik,
masukan, dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh kami demi
perbaikan makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun semoga bermanfaat bagi semua.
Banda Aceh, 18 Mei 2019
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar......................................................................................
Daftar Isi................................................................................................
BAB I Pendahuluan..............................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................
B. Tujuan......................................................................................
C. Manfaat....................................................................................
BAB II Tinjauan teori...........................................................................
A. Definisi BBLR.........................................................................
B. Etiologi.....................................................................................
C. Permasalahan Pada BBLR.......................................................
D. Patofisiologi.............................................................................
E. Manifestasi Klinis Pada BBLR................................................
F. Penatalaksanaan BBLR............................................................
G. Hiperbilirubin...........................................................................
H. Tinjauan Asuhan Kebidanan....................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................
B. Saran........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan dari Millenium Development Goal’s adalah menurunkan angka
kematian bayi (MDG’s, 2003). Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah
kematian bayi (0-11 bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu
tahun. AKB menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal,
status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan program KIA dan KB, serta kondisi
lingkungan dan sosial ekonomi (Dinkes Jawa Tengah, 2012).
AKB di Indonesia pada tahun 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup
(SDKI, 2012). AKB di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 10,75/1000
kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi di Jawa Tengah diantaranya masalah
pada neonatal seperti afiksi (sesak napas saat lahir), bayi lahir dengan berat badan
rendah serta infeksi neonatus, sedangkan AKB di Kota Salatiga pada tahun 2012
mencapai 7,14 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Jawa Tengah, 2012).
Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang
bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction)
(Pudjiadti, 2010).
Bayi baru lahir dengan berat kurang dari 2500gr mempunyai permasalahan yang
lebih serius untuk segera mendapatkan perawatan dan pengawasan secara intensif.
Hal ini dikarenakan kondisi fisik bayi yang masih sangat lemah, alat-alat
pernafasan belum berfungsi sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan
BBLR sangatlah rentan untuk terjangkitnya suatu infeksi dan penyakit (Manuaba,
2007).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa persentase balita (0-59 bulan)
dengan BBLR sebesar 10,2%. Masalah pada bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) terutama pada prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ
pada bayi tersebut. Bayi berat lahir rendah mempunyai kecenderungan ke arah
4
peningkatan terjadinya infeksi dan mudah terserang komplikasi. Masalah pada
BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf
pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, termoregulasi (Profil
Kesehatan Indonesia, 2013). Masalah yang sering timbul sebagai penyulit BBLR
adalah hipotermia, hipoglikemia, hiperbilirubinemia, infeksi atau sepsis dan
gangguan minum (Depkes RI, 2005).
Bayi berat lahir rendah merupakan masalah penting dalam pengelolaannya karena
mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi, kesukaran
mengatur nafas tubuh sehingga mudah untuk menderita hipotermia. Selain itu
bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mudah terserang komplikasi
tertentu seperti ikterus, hipoglikemia yang dapat menyebabkan kematian.
Kelompok bayi berat lahir rendah yang dapat diistilahkan dengan kelompok
resiko tinggi karena pada bayi berat lahir rendah menunjukan angka kematian dan
kesakitan yang lebih tinggi dengan berat bayi lahir cukup (Manuaba, 2007).
B. Tujuan
Mampu melakukan manajemen asuhan kebidanan pada kasus BBLR dengan
ikterus
a. Mengetahui pengertian, etiologi, dan tanda dari BBLR.
b. Mengetahui penatalaksanaan BBLR pada neonatus sesuai 7 langkah
Varney, yaitu:
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data bayi dengan BBLR.
2. Mahasiswa mampu melakukan interpretasi data, mangkaji masalah,
serta menentukan kebutuhan pada bayi dengan BBLR.
3. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa potensial pada bayi
dengan BBLR.
4. Mahasiswa mampu melakukan antisipasi tindakan segera pada bayi
BBLR.
5. Mahasiswa mampu merencanakan asuhan yang akan diberikan
pada bayi BBLR.
6. Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan
asuhan yang telah direncanakan.
5
7. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi sesuai dengan asuhan yang
telah diberikan.
C. Manfaat
1. Bagi Instansi Rumah Sakit
Menambah suasana belajar dengan melakukan asuhan secara
langsung pada pesien dengan tetap memperhatikan Standart Operasional
Prosedur
2. Bagi Institusi Universitas Ubudiyah Indonesia
Untuk menambah referensi bacaan mahasiswa dan evaluasi
pembelajaran pratikum di lapangan
3. Bagi Mahasiswa
a. Meningkatkan kemampuan untuk membandingkan teori dengan
praktik lapangan
b. Dapat mengetahui asuhan yang dilakukan pada bayi dengan BBLR
c. Dapat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar pengalaman
praktik di lapangan.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. BBLR
1. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang masa gestasi (Prawiroharjo, 2010). Menurut Manuaba
(2007), BBLR merupakan bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram terjadi
karena umur kehamilan kurang dari 37 minggu, berat badan lebih rendah dengan
semestinya sekalipun umur kehamilan cukup atau karena kombinasi keduanya.
WHO (World Health Organiztion) menyatakan BBLR merupakan bayi (neonatus)
yang lahir dengan memiliki berat badan kurang dari 2500 gram atau sampai
dengan 2499 gram (Hidayat, 2005).
2. Klasifikasi BBLR
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati,
2010) :
a. Menurut harapan hidupnya
1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram.
2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-
1500 gram.
3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang
dari 1000 gram.
b. Menurut masa gestasinya
1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau
biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan
(NKB-SMK).
2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi
7
pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
B. Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang
lain adalah umur, paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,
kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya
BBLR (IDAI, 2004). Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah
(Proverawati dan Ismawati, 2010).
a. Faktor ibu
1) Penyakit
a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan
antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual,
hipertensi, HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.
c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
2) Ibu
a) Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah kehamilan pada usia
<20 tahun atau >35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1
tahun).
c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
3) Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
b) Aktivitas fisik yang berlebihan
c) Perkawinan yang tidak sah
b. Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi sitomegali,
rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
c. Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solusio plasenta,
sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
8
d. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena
radiasi, serta terpapar zat beracun.
C. Permasalahan pada BBLR
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang
banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil
(Surasmi, dkk, 2005). Menurut Prawirohardjo (2010), masalah yang terjadi pada
BBLR yaitu:
1) Suhu tubuh
a) Pusat pengatur napas tubuh masih belum sempurna
b) Otot bayi masih lemah
c) Kemampuan metabolisme panas masih rendah sehingga bayi dengan
BBLR perlu diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan panas
badan dan dapat dipertahankan sekitar 36,50C-37,50C.
d) Lemak kulit dan lemak coklat kurang sehingga cepat kehilangan panas
tubuh.
2) Pernafasan
a) Pusat pengatur pernafasan belum sempurna
b) Otot pernafasan dan tulang iga lemah
c) Surfaktan paru-paru masih kurang sehingga perkembangannya tidak
sempurna
d) Dapat disertai penyakit : penyakit hialin membran, mudah infeksi
paru-paru, gagal pernafasan
3) Alat pencernaan makanan
a) Penyerapan makanan masih lemah atau kurang baik karena fungsi
pencernaannya belum berfungsi sempurna
b) Mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan aspirasi
pneumonia
c) Aktivasi otot pencernaan makanan masih belum sempurna sehingga
pengosongan lambung berkurang
4) Hepar yang belum matang
9
Mudah menimbulkan gangguan pemecahan hiperbilirubin sehingga mudah terjadi
hiperbilirubinemi (kuning) sampai menyebabkan ikterus.
5) Ginjal yang belum matang
Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme dan air masih belum
sempurna sehingga mudah terjadi oedema.
6) Perdarahan dalam otak
a) Karena mengalami gangguan pernafasan sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan dalam otak
b) Pembuluh darah bayi prematur masih rapuh dan mudah pecah
c) Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan menyebabkan
kematian bayi.
d) Pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga mempermudah
terjadi perdarahan dan nekrosis.
7) Gangguan Immunologik
Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya kadar Ig E.Tabel Penilaian klinis kemungkinan komplikasi pada BBLR
Anamnesa Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang
Kemungkinan diagnosa
Bayi terpapar dengan suhu lingkungan yang rendahWaktu timbulnya kurang 2 hari
Menangis lemahKurang aktifMalas minumKulit teraba dinginKulit mengeras kemerahanFrekuensi jantung kurang 100x/menitNapas pelan dan dalm
Suhu tubuh kurang dari 36,50C
Hipotermi
Kejang timbul saat lahir sampai dengan hari ke 3Riwayat ibu diabetes
Kejang, tremor, letargi atau tidak sadar
Kadar glukosa darah kurang 45 mg/dL (2,6 mmol/L)
Hipoglikemia
Ikterik (kuning) timbul saat lahir sampai dengan hari keBerlangsung
Kulit, konjungvitas berwarna kuning pucat
Ikterus/ hiperbilirubinemia
10
lebih dari 3 mingguRiwayat infeksi maternalRiwayat ibu pengguna obatRiwayat ikterus pada bayi lahir sebelumnyaIbu tidak dapat atau berhasil menyusuiMalas atau tidak mau minumWaktu timbul sejak lahir
Bayi kelihatan bugar Kenaikkan berat bayi kurang 20 gram /hari selama 3 hari
Masalah pemberian minum
Ibu demam sebelum dan selama persalinanKetuban pecah diniPersalinan dengan tindakan
Bila ditemukan beberapa temuan ganda:- Bayi malas minum- Demam tinggi atau
hipotermi
Laboraturium darah:Jumlah leukosit- Lekositosis
atau lekopenia, trombositopenia
Infeksi atau curiga sepsis
Timbul asfiksia pada saat lahirBayi mals minumTimbul pada saat lahir sampai 28 hari
Bayi letargi/ kurang aktifGangguan napasKulit ikterusSklerema atau skleredemaKejang
Gambaran darah tepi (bila tersedia fasilitas)
Bayi KMK atau lebih bulanAir ketuban bercampur mekoniumLahir dengan riwayat asfiksia
Lahir dengan asfiksiaAir ketuban bercampur dengan mekoniumTali pust berwarna kuning kehijauan
Pemeriksaan radiologi dada (bila tersedia)
Sindroma aspirasi mekonium
D. Patofisiologi pada BBLR
Patofisiologi terjadinya BBLR bergantung terhadap faktor-faktor yang berkaitan
dengan prematuritas dan IUGR. Sangat susah untuk memisahkan secara tegas
11
antara faktor-faktor yang berkaitan dengan IUGR dan menyebabkan terjadinya
BBLR (Rachma, 2005).
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yamg
lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,
kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya
BBLR (Rachma, 2005).
E. Manifestasi Klinis pada BBLR
Manifestasi klinis yang terdapat pada bayi dengan berat badan lahir rendah adalah
sebagai berikut (Surasmi, dkk, 2005:
a. Prematuritas murni
- BB <2500 gr, PB <45 cm, LK <33 cm, LD <30cm
- Massa gestasi <37 minggu
- Kepala lebih bessar daripada badan , kulit tipis, transpara, mengkilap,
dan licin
- Lanugo (bulu-bulu halus) banyak terdapat terutama pada daerah dahi,
pelipis, telingan dan lengan, lemak subkutan kurang, ubun-ubun dan
sutura lebar
- Genetalia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup
oleh labia mayora, pada laki-laki testis belum turun
- Tulang rawan telinga belum sempurna, rajah tangan belum sempurna
- Pembuluh darah kulit banyak terlihat, peristaltik usus dapat terlihat
- Rambut tipis, halus, teranyam, puting susu belum terbentuk dengan
baik
- Bayi kecil, posisi masih posisi fetal, pergerakkan kurang dan lemah
- Bayi tidur, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering
mengalami apnea, otot masih hipotonik
- Reflek tonus leher lemah, reflek menghisap, menelan, dan batuk
belum sempurna
b. Dismaturitas
- Kulit terselubung vernik caseosa tipis/tidak ada
- Kulit pucat bernoda mekonium, kuning, keriput, tipis
12
- Jaringan lemak di bawah kulit tipis, bayi tampak gesit, aktif dan kuat
- Tali pusat berwarna kuning kehijauan
F. Penatalaksanaan BBLR
Menurut Depkes RI (2005), setiap menemukan BBLR dilakukan manajemen
umum sebagai berikut:
- Stabilisasi suhu, jaga bayi tetap hangat
- Jaga patensi jalan napas
- Nilai segara kondisi bayi tentang tanda vital, meliputi penafasan, denyut
jantung, warna kulit, aktifitas.
- Bila bayi mengalami gangguan napas, kelola gangguan napas.
- Bila bayi mengalami kejang, berikan anti konvulsan.
- Bila bayi dehidrasi, berikan cairan rehidrasi secara IV
- Kelola bayi sesuai dengan kondisi spesifik atau komplikasinya
Dengan memperhatikan gambaran klinis dan berbagai kemungkinan yang dapat
terjadi pada bayi BBLR, maka perawatan dan pengawasanya harus dilakukan
dengan intensif. Pengawasan yang harus dilakukan pada bayi dengan BBLR
diantaranya:
a. Pengaturan suhu
Hipotermi disebabkan oleh permukaan tubuh bayi yang lebih luas disbanding
dengan berat badan. Cara mempertahankan suhu antara lain (Sholeh, 2005) :
1) Kangaroo mother care atau kontak kulit dengan kulit antara bayi
dengan ibunya. Jika ibu tidak ada, dapat dilakukan oleh orang lain
sebagai penggantinya
2) Pemancar panas (dengan membungkus bayi dan memasang lampu
didekat tempat tidur bayi). Menurut saifudin 2011) beri lampu 60 watt
dengan jarak 60cm dari bayi
3) Ruangan yang hangat
4) InkubatorTabel suhu inkubator
Berat bayi Suhu incubator (0C) menurut umur350C 340C 330C 320C
<1500 gr 1-10 hari 11 hari- 3 3- 5 minggu >5 minggu
13
minggu1500-2000 gr 1- 10 hari 11 hari – 4
minggu>4 minngu
2100-2500 gr 1-2 hari 3 hari- 3 minngu
>3 minggu
>2500 gr 1- 2 hari >2hariBila jenis inkubatornya berdinding tunggal, naikkan suhu incubator 10C setiap perbedaan suhu 70C
antara suhu ruang dan suhu incubator
Tabel: Cara menghangatkan bayi (Depkes RI, 2005)
CARA PETUNJUK PENGGUNAANKontak kulit - Untuk semua bayi
- Tempelkan kulit atau permukaan kulit bayi langsung pada permukaan kulit ibu, misalnya dengan merangkul, menempelkan pada payudara atau meneteki
- Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat, atau menghangatkan bayi hipotermi (32-36,40C) apabila cara lain tidak mungkin dilakukan.
Kangoroo Mother Care (KMC)
- Untuk menstabilkan bayi dengan berat badan <2500 gr, terutama direkomendasikan untuk perawatan berkelanjutan bayi dengan berat badan <1800 gr
- Tidak untuk bayi yang sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)
- Tidak untuk ibu yang menderita penyakit berat yang tidak dapat merawat bayinya
- Pada ibu yang sedang sakit, dapat dilakukan oleh keluarga (pengganti ibu)
Pemancar panas - Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat badan 1500 gr atau lebih
- Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan tindakan, atau menghangatkan kembali bayi hipotermi
Lampu penghangat
- Bila tidak tersedia pemancar panas, dapat digunakan lampu pijar maksimal 60 watt dengan jarak 60 cm
Inkubator - Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1500 gr yang tidak dapat dilakukan KMC
- Untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)Boks - Bila tidak tersedia inkubator, dapat digunakan boks
pengahangat dengan menggunakan lampu pijar maksimal 60 watt sebagai sumber panas
Ruangan hangat - Untuk merawat bayi dengan berat <2500 gr yang tidak memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur pengobatan
- Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat)
14
b. Nutrisi
Bayi BBLR reflek hisap, telan, dan batuk bellum sempurna, kapasitas lambung
masih sedikit, daya enzim pencernaan terutama lipase masih kurang. Disamping
kebutuhan protein 3-5 gram per hari dan tinggi kalori (110 kal/kg/hari), agar berat
badan bertambah sebaik-baiknya. Pemberian minuman pada umur 3 jam agar bayi
tidak hipoglikemia dan hiperbillirubinemia (Winkjosastro, 2008). Apabila bayi
mendapatkan ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara:
- Perikasa apakah bayi puas setelah menysu
- Catat jumlah urine setiap bayi kencing untuk menilai kecukupan
minum (minimal 6x sehari)
- Periksa pada saat ibu meneteki, apabila satu payudara dihisap, Asi
menetes dari payudara yang lain.
Apabila bayi memerlukan cairan IV, maka:
- Berikan cairan IV selama 24 jam pertama,
- Mulai berikan minum peroral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi
stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila ibu dan bayi menunjukkan
tanda-tanda siap untuk menyusu,
- Apabila bayi mengalami masalah lain, maka perikan ASI peras
melalui pipa lambung atau dengan pipet,
- Berikan cairan IV dan ASI sesuai dengan umur bayi,
- Berikan minum 8x dalam 24 jam (misal 3 jam sekali), apabila bayi
telah mendapat minum 160ml/kg berat badan per hari tetapi masih
tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum,
- Biarkan bayi menyusu apabila keadaan bay sudah stabil dan bayi
menunjukkan keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu dengan
baik (Depkes RI, 2005).
Tabel rekomendasi kebutuhan cairan untuk BBLR (Yushananta, 2007) :
Tipe tempat
tidur
Berat Badan (gram)
600-800 801-1000 1001-1500 1501-2000
Radiant 120 cc 90 cc 15 cc 65 cc
15
Incubator 90 cc 75 cc 65 cc 55 cc
Lain-lain 70 cc 55 cc 50 c
c. Perlindungan terhadap infeksi
Bayi BBLR mudah sekali terkena infeksi. Oleh karena itu upaya preventif sudah
didahulukan sejak pengawasan antenatal, sehingga tidak terjadi persalinan BBLR,
dan pada masa post natal, yaitu jika keadaan ibu dan bayi mengizinkan, maka bayi
dirawat bersama ibu dan diberi ASI. Untuk mencegah terjadinya infeksi maka :
1) Pisahkan antara bayi yang terkena infeksi dengan bayi yang tidak
terkena infeksi
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi
3) Membersihkan tempat tidu bayi segera setelah tidak dipakai lagi
(paling lama seorang bayi memakai tempat tidur selama 1 minggu
untuk kemudian dibersihkan dengan cairan antiseptik.
4) Membersihkan ruangan pada waktu-waktu tertentu
5) Setiap bayi mempunyai perlengkapan sendiri
6) Jika mungkin, bayi dimandikan di tempat tidur masing masing dengan
perlengkapan sendiri
7) Petugas di bangsal bayi, harus memakai pakaian yang telah disediakan
8) Petugas yang menderita penyalit menular (infeksi saluran nafas, diare,
konjungtivitis, dll) dilarang merawat bayi.
9) Kulit dan tali pusat harus dibersihkan sebaik baiknya
10) Pengunjung hanya boleh melihat bayi dari belakang kaca
d. Penimbangan berat badan
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dengan erat
kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan
harus dilakukan dengan tepat (Saifuddin, 2009). Bayi dengan BBLR akan
kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama. Bayi dengan berat lahir >1500
gr dapat kehilangan berat badan sampai 10%. Berat lahir biasanya tercapai
kembali dalam 14 hari kecuali apabila terjadi komplikasi. Untuk itu perlu
16
dilakukan penimbangan berat badan bayi setiap hari untuk mengetahui
penambahan atau pengurangan berat badan bayi dan dapat disesuaikan dengan
pemberian cairan atau ASI (Depkes RI, 2005).
G. Hiperbilirubin
1. Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2010). Hiperbillirubin ialah suatu keadaan
dimana kadar billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo,
2012). Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa
dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2005).
Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl
(Prawirohardjo, 2012). Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama,
biasanya disebabkan peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis)
karena pada periode ini hepar jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL.
Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin
empat kali lipat (Sukani, 2008).
Pada hiperbilirubinemia fisiologis, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi
>2 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu
biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL pada umur 3 hari, dan akan
mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi
akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada umur 5 hari (Ardakani, 2011).
2. Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
a. Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta
tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena
ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
17
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus
cukup bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
b. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan
3) Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik (Arief ZR, 2009)
3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi:
a) Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
18
4) Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
5) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain
(Hassan et al, 2005).
4. Patofisiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam
jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga
akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar
2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray, et al, 2009).
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus,
nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel
IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi,
kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan
opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis
yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi,
gangguan bicara dan retardasi mental.
5. Manifestasi klinis
19
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin
indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda
atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna
kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada
ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat (normal)
c) Kadar bilirubin total <12mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f) Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Prawirohardjo, 2012).
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur <36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar proses patologis (Prawirohardjo, 2012)
6. Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian
ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar
(Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
20
hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan
dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya (Mansjoer, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer (Depkes RI, 2005)
Derajat
Ikterus
Daerah Ikterus Perkiraan kadar bilirubin
I Daerah kepala dan leher 5,0 mg%II Sampai badan atas 9,0 mg%III Sampai badan bawah hingga
tungkai11,4 mg%
IV Sampai daerah lengan, kaki bawah, lutut
12,4 mg%
V Sampai daerah telapak tangan dan kaki
16,0 mg%
Tabel 2.1 Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Etika et al, 2006).
7. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi
yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et al, 2006).
21
8. Penatalaksanaan Hiperbilirubin
Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi
pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar. Strategi
pencegahan hiperbirubinemia:
a. Pencegahan primer
1) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali
per hari untuk beberapa hari pertama.
2) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan sekunder
1) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan
rhesus serta penyaringanserum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
- Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibodi direk (test coombs), golongan
darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi.
- Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk
dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali
pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar RS dan
tindak lanjut yang memadai.
2) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi,
tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam (Etika et al, 2006).
c. Evaluasi laboratorium
1) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang
mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.
2) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus
yang berlebihan.
22
3) Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur
bayi dalam jam (Mansjoer, 2007).
d. Penyebab kuning
1) Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi
harus dilakukan analisis dan kultur urin
2) Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus
dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk
mengidentifikasi adanya kolestatis.
3) Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukanevaluasi tambahan
mencari penyebab kolestatis.
4) Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus
yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau asal
geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau
pada bayi dengan respon fototerapi buruk (Mansjoer, 2007).
e. Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat.
f. Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI
1) Observasi semua feses awal bayi, pertimbangkan untuk
merangsang pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam
2) Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.
3) Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif
dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang
jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.
4) Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti.
5) Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan
pola menyusui
6) Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberian
minum, rangsang pengeluaran atau produksi ASI dengan cara
memompa, dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang
dikeluarkan AAP.
23
7) Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu
upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari
atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi
sebelumnya terkena kuning (Mansjoer, 2007).
Penatalaksanaan hiperbilirubun bisa dilakukan dengan cara:
a. Mengatasi hiperbilirubinemia secara farmakologi
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini
bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat dipercepat.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila
diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.Albumin dapat
diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat
keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang
diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa
perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca-tranfusi tukar (Etika et al, 2006).
b. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa
bayi – bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih
cepat menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang
mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh
sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa
24
disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai
pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan. Bila fototerapi
menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti
molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang samad
engan molekul obat yang terikat pada reseptor (Etika et al, 2006).
c. Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu rangkaian tindakan mengeluarkan darah pasien dan
memasukkan darah donor untuk mengurangi kadar serum bilirubin atau kadar
hematokrit yang tinggi atau mengurangi kosentrasi toksin-toksin dalam aliran
darah pasien. Pada hiperbilirubin tranfusi tukar dilakukan untuk menghindari
terjadinya kern ikterus. Indikasi transfuse tukar : jika setelah menjalani fototerapi
tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20mg/dL
atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfuse darah. Dikhawatirkan kelebihan
bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah
yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan seperti keterbelakangan mental, dan gangguan motorik serta
bicara. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar
dengan darah lain (Mansjoer, 2007).
H. Tinjauan Asuhan Kebidanan
1. Manajemen Kebidanan
Buku 50 tahun IBI, 2007, Manajemen Kebidanan adalah pendekatan yang
digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara
sistematis mulai dari pengkajian, analisis data, diagnosis kebidanan, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
Manejemen kebidanan adalah suatu metode proses berpikir yang logis dan
sistematis. Istilah manejemen kebidanan digunakan untuk memberikan bentuk
khusus dari proses yang dilakukan oleh bidan di dalam suatu asuhan atau
25
pelayanan kebidanan (DepKes, 2003). Asuhan kebidanan pada bayi dengan
BBLR ini merupakan manajemen kebidanan yang terdiri dari tujuh langkah yang
dikembangkan oleh Varney dan didokumentasikan dalam bentuk Varner dan
SOAP.
2. Langkah-langkah asuhan kebianan menurut Varney (1997)
Proses manajemen terdiri dari 7 (tujuh) langkah yang berurutan dimana setiap
langkah disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data
dasar yang berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk suatu
kerangka lengkap yang dapat diaplikasikan dalam situasi apapun. Akan tetapi,
setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah-langkah yang lebih rinci dan
ini bisa berubah sesuai dengan kebutuhan klien. Ketujuh langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Langkah I (pertama) : Pengumpulan Data Dasar
Pada langkah pertama ini dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua
data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap yaitu :
1. Riwayat kesehatan
2. Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhannya
3. Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya
4. Meninjau data laboratorium dan membandingkannya dengan hasil
studi
b. Langkah II (kedua) : Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap masalah atau
diagnose dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data
yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan kemudian
diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa yang spesifik.
c. Langkah III (ketiga) : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah
Potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnose potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Langkah
ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil
26
mengamati klien bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnose/masalah
potensial ini benar-benar terjadi.
d. Langkah IV (empat) : Identifikasi Kebutuhan yang Memerlukan
Penanganan Segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan/atau untuk
dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain
sesuai dengan kondisi klien.
e. Langkah V (kelima) : Merencanakan Asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh, ditentukan oleh langkah-
langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen terhadap
masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi, pada langkah ini
informasi/data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi.
f. Langkah VI (keenam) : Melaksanakan Perencanaan
Pada langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan
pada langkah ke 5 dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini bisa
dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian
lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak
melakukannya sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan
pelaksanaannya (misalnya: memastikan agar langkah-langkah tersebut benar-
benar terlaksana). Dalam situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter, untuk
menangani klien yang mengalami komplikasi.
g. Langkah VII (terakhir) : Evaluasi
Pada langkah ke VII ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah
terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di dalam
masalah dan diagnosa.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan urain pembahasan asuhan kebidanan pada BBLR, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pengkajian secara menyeluruh telah dilakukan pada BBLR dengan
komplikasi ikhterus dikarenakan usia kehamilan < 37minggu
(premature). Berat badan lahir 1750gr.
2. Interpretasi data telah ditentukan, yaitu BBLR dengan masalah ikterus
dan menyusu belum adekuat. Kebutuhan yang diberikan yaitu cukupi
kebutuhan bayi dengan ASI, latihan menyusu, dan kaji reflek sucking,
serta lanjutkan terapi sesuai dengan advice dr. Sp.A
3. Diagnosa potensial yang terjadi pada BBLR adalah hiperbilirubin
4. Tindakan segera yang dilakukan pada BBLR dengan ikterus adalah
kolaborasi dengan dokter Sp.A untuk dilakukan fototerapy
5. Perencanaan asuhan secara menyeluruh dan tepat sudah dilakukan
kepada Bayi ny. N mulai dari megobservasi KU dan TTV setiap 3 jam,
28
mengkaji reflek sucking, pemenuhan nutrisi, mengajarkan KMC,
sampai melaksanakan advice dokter untuk dilakukan fototerapy
6. Pelaksanaan asuhan kebidanan pada BBLR dengan komplikasi
ikhterus telah dilakukan dengan hasil bayi telah di obesrvasi KU dan
TTV,hingga melakukan fototerapy selama 12 jam mulai dari jam
19.00-07.00 WIB
7. Evaluasi asuhan kebidanan yang diberikan kepada BBLR dengan
icterus telah dilakukan dengan hasil tindakan yang dilakukan sudah
tepat dan kondisi bayi membaik, hasil evaluasi terakhir S= 36,70C, N=
101 x/menit, R= 47 x/menit, kuning sudah menghilang.
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pemberian asuhan
kebidanan pada BBLR beserta komplikasinya
2. Bagi Universitas Ubudiyah Indonesia
Universitas Ubudiyah Indonesia diharapkan mampu membekali pengetahuan yang
lebih kompleks lagi mengenai asuhan kebidanan patologi, khususnya pada bayi
beserta komplikasi yang menyertainya.
3. Bagi Instalasi Rumah Sakit
Instalasi Rumah Sakit diharapkan semakin meningkat pelayanan kesehatan
terhadap bayi baik yang beresiko mengalami komplikasi maupun yang tidak
beresiko.
29
DAFTAR PUSTAKA
Sukadi, A, 2008, Hiperbilirubinemia, Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, Buku Ajar Neonatologi Edisi 1, IDAI, Jakarta
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik M.S, Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus, Diunduh dari : www.pediatrik.com/pkb/20060220-js9. Diakses tgl 10
Maret 2015
Wiknjosastro, H, 2008, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta
Saifuddin AB, 2009, Pelanyanan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka,
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
Martin CR, Cloherty JP, 2004 Neonatal Hipernilirubinemia, Dalam: Cloherty Jp,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal Care Edisi ke -5,
Lippincolt Williams & Wilkins, Philadelphia
Ardakani SB, Dana VG, Ziaee V, Ashtiani AH, Djavid GE, Alijani M, 2011,
Bilirubin/Albumin Ratio For Predicting Acute Bilirubin-Induced Neurologic
Dysfunction, Iran J Pediatr
30
Kemenkes RI, 2011, Buku Paduan Pelatih Manajemen BBLR untuk Bidan dan
Perawat, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta
Depkes RI, 2005, Pelatihan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri Neonatal
Esensial Dasar - Buku Acuan, DepKes RI, Jakarta
DinKes Jateng, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012, DinKes
Jateng, Semarang
Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003,
Millennium Development Goals (Mdgs)
Manuaba, IBG, 2007, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta
Kemenkes RI, 2014, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, Kemenkes RI,
Jakarta
Prawiroharjo, 2010, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta
Pudjiadti Antonius, H, Hegar Badrul, dkk, 2010, Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Indonesia, IDAI, Jakarta
Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S, 2010, BBLR : Berat Badab Lahir
Rendah, Nuha Medika, Yogyakarta
Surasmi A, Handayani S, Kusuma H, 2005, Perawatan Bayi Resiko Tinggi, EGC,
Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2007, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3, Medica
Aesculpalus, FKUI, Jakarta
Yushananta, 2007, Perawatan Bayi Risiko Tinggi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
ZR, Arief, Weni Kristiyana Sari. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak.
Nuha Medika, Yogyakarta
Hassan, R. 2005, Ilmu Kesehatan Anak Jilid, Infomedika, Jakarta
31