komang4d1.files.wordpress.com file · web viewkebijakan ekologi dan lingkungan di indonesia...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN EKOLOGI DAN LINGKUNGAN
DI INDONESIA
(Kelembagaan lingkungan Hidup di Indonesia)
OLEH:
Komang Adi Kurniawan Saputra
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
KEBIJAKAN EKOLOGI DAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
(Kelembagaan Lingkungan Hidup di Indonesia)
Abstraksi
Pemerintah terus mengupayakan adanya keseimbangan antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup. Salah satu upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan para pelaku ekonomi di pasar. Efektivitas kelembagaan lingkungan hidup dapat dilihat dari kinerja instansi pemerintah dan LSM, perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan, serta program yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Saat ini, banyak kegiatan/usaha yang berhadapan dengan masalah lingkungan karena tuntutan dari masyarakat. Masalah lingkungan juga dapat mempengaruhi kinerja suatu perusahaan dalam berbagai aktivitas bisnisnya. Akuntansi dan Audit lingkungan merupakan bentuk dari kepedulian kegiatan/usaha dalam menghadapi permasalahan lingkungan. Akuntansi lingkungan merupakan biaya lingkungan yang dimasukkan kedalam praktik akuntansi perusahaan yang harus dipikul sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan. Sedangkan Audit lingkungan merupakan alat teknis manajemen yang mencakup evaluasi secara sistematik, berkala dan obyektif dengan tujuan mengawasi pelaksanaan upaya penegendalian dampak lingkungan dan mengkaji penataan kebijakan perusahaan terhadap peraturan lingkungan. Dalam perkembangannya, pemerintah mewajibkan AMDAL pada setiap kegiatan/usaha sebelum mereka melakukan aktivitasnya. Tetapi dalam melakukan audit lingkungan masih belum ada suatu keharusan, sehingga sampai saat ini masih menjadi suatu perdebatan. Hal ini tentunya suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat karena dampak lingkungan tidak hanya dipikul oleh badan kegiatan/usaha, tetapi dirasakan bersama masyarakat.
1. Pendahuluan
Pembangunan disamping dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik juga
mengandung resiko karena dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Untuk meminimalkan terjadinya pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan
adanya keseimbangan antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup.
Peningkatan kegiatan ekonomi melalui sektor industrialisasi tidak boleh merusak sektor lain,
misalnya pembangunan pembangkit listrik tidak boleh merusak lahan pertanian. Konsep
Keselarasan antara pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup sering disebut
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan akhir-akhir ini lebih dikenal dengan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara umum pembangunan
berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Tidak merusak lingkungan hidup yang dihuni manusia
- Dilaksanakan dengan kebijakan yang terpadu dan menyeluruh
- Memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang
Pemerintah Indonesia sudah mulai memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup sejak
tahun 1972. Pada tahun tersebut Pemerintah Indonesia menyongsong Konfrensi Lingkungan
Hidup Sedunia I yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972. Tetapi
pada saat itu Pemerintah Indonesia belum mengenal lembaga khusus yang menangani
masalah lingkungan hidup.
Konferensi Stockholm mulai berupaya melibatkan seluruh pemerintah di dunia dalam
proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup, mempersatukan pendapat dan
kepedulian negara maju dan berkembang untuk menyelamatkan bumi, menggalakkan
partsispasi masyarakat serta mengembangkan pembangunan dengan memperhatikan
lingkungan hidup. Sebagai tindak lanjut dari konfrensi tersebut, berdasarkan Keputusan
Presiden (Keppres) No.16/1972 Pemerintah Indonesia membentuk panitia antar departemen
yang disebut dengan panitia Perumus dan Perencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang
Lingkungan Hidup. Program kebijakan lingkungan hidup tertuang dalam butir 10 GBHN
1973-1978 dan Bab 4 Repelita II. Keberdaaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan
hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat
pusat maupun di daerah lebih terjamin. Pada tahun 1975 dikeluarkan Keppres No.27/1975
yang merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam
dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan
penawaran, serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang
serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut.
Penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Lingkungan Hidup dimulai pada tahun
1976 disertai persiapan pembentukan kelompok kerja hukum dan aparatur dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kemudian menjadi Undang Undang (UU)
No.4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan
adanya UU ini kesadaran masyarakat Indonesia akan arti penting untuk memelihara
lingkungan hidup mulai tumbuh. Untuk menindaklanjuti undang-undang tersebut kemudian
ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No.29/1986 tentang Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) yang merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap proyek
yang diperkirakan memiliki dampak penting diharuskan melakukan studi AMDAL. Pada
tahun 1997 Pemerintah Indonesia telah memperbaharui UU No.4/1982 dengan UU
No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan Keppres No.23/1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) yang bertugas melaksanakan pemantauan dan pengendalian kegiatan-kegiatan
pembangunan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Kemudian sejalan dengan
perkembangan masalah pengelolaan lingkungan hidup, pembentukan Bapedal diperbaharui
dengan Keppres No.77/1994, dan kemudian diperbaharui lagi dengan Keppres No.196/1998
dan Keppres No.10/2000. Melalui Keppres No.2/2002 telah ditetapkan Perubahan Keppres
No.101/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Menteri Negara serta Keppres No.4/2002 telah ditetapkan Perubahan atas Keppres
No.108/2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Menteri Negara.
Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan
bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan
umum perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan terencana memadukan
sumber daya ke dalam proses pembangunan sehingga menjamin kemampuan, kesejahteraan
dan mutu hidup generasi kini dan mendatang. Pendayagunaan sumber daya alam serta
pengelolaan lingkungan yang efektif dapat dipantau dan ditinggkatkan manfaatnya bila suatu
usaha atau kegiatan memiliki sistem administrasi pembangunan yang mendokumentasikan
secara sistematis, berkala dan objektif dari setiap kegiatan yang dilakukannya. Instrumen
yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja perusahaan dan mengukur ketaatan
pelaksanaan kegiatan pembangunan terhadap semua peraturan lingkungan yang berlaku di
Indonesia dicanangkan pada tahun 1994 oleh Pemerintah Indonesia melalui Audit
Lingkungan.
Di indonesia, audit lingkungan baru dikenalkan pada tahun 1990-an. Audit lingkungan
ini disarankan untuk dilaksanakan karena masih banyak perusahaan industri yang limbahnya
mencemari lingkungan walaupun perusahaan tersebut mempunyai dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sebagai bagian
dari dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan sebagai pedoman
melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan disekitar perusahaan tersebut.
Isu-isu lingkungan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi performa
ekonomi suatu usaha/kegiatan maupun organisasi. Peningkatan kebijakan lingkungan usaha
dan informasi keuntungan bagi investor maupun pelaku bisnis berdasarkan perlindungan
lingkungan produk, merupakan salah satu contoh yang bisa diketengahkan saat ini. Dampak
finansial dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan,
seringkali salah dalam perhitungannya akibat adanya hidden cost maupun overhead cost
apabila menggunakan metode perhitungan konvensional.
Konsep akuntansi lingkungan sebenarnya sudah mulai berkembang sejak 1970-an di
Eropa. Akibat tekanan lembaga-lembaga bukan pemerintah dan meningkatnya kesadaran
lingkungan di kalangan masyarakat yang mendesak agar perusahaan-perusahaan menerapkan
pengelolaan lingkungan, bukan hanya kegiatan bisnis saja.
Pada pertengahan tahun 1990-an the Internasional Accounting Standards Commitee
(IASC) mengembangkan konsep tentang prinsip-prinsip akuntansi internasional. Termasuk di
dalamnya mengembangkan akuntansi lingkungan dan audit hak-hak azasi manusia.
Kemudian standar industri semakin berkembang dan auditor/accreditor profesional seperti
the American Institute of Certified Public Auditors (AICPA) mengeluarkan prinsip-prinsip
universal tentang environmental audits.
Dalam pendekatan pengelolaan kualitas lingkungan, audit lingkungan hanya merupakan
salah satu alat pengelolaan lingkungan. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Nigara Lingkungan Hidup telah mengeluarkan Keputusan Nomor KEP-42/MENLH/11/1994
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Gaung audit lingkungan mulai menggema ketika WALHI (Wahana Lingkungan Hidup)
berpendapat bahwa sistem AMDAL yang ada sepatutnya dilengkapi dengan audit
lingkungan. Namun kenyataanya masih sangat sulit melihat terjadinya proses audit
lingkungan terhadap pelaku usaha. Hal ini dikarenakan tidak adanya kewajiban pelaku usaha
untuk melakukan audit lingkungan, yang ada hanyalah kesukarelaan.
2. Lingkungan Hidup
2.1. Pengertian Lingkungan Hidup
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 mengenai pengelolaan
lingkungan hidup pasal 1 ayat 1, lingkungan hidup adalah kesatuan ruangan dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Banyak pakar atau ahli lingkungan hidup tidak membedakan secara tegas antara
pengertian “lingkungan” dan “lingkungan hidup”, baik dalam pengertian sehari-hari maupun
dalam forum ilmiah. Namun yang secara umum digunakan adalah, bahwa istilah “lingkungan
(environment)” dianggap lebih luas daripada istilah “lingkungan hidup (life environment)”.
Hal-hal atau segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia sebagai pribadi atau di dalam
proses pergaulan hidup, biasanya disebut lingkungan (Soemartono, 1996). Pada dasarnya
lingkungan dibagi menjadi tiga kelompok dasar, yaitu:
1. Lingkungan Fisik (Physical Environment) yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang
berbentuk benda mati, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air dan lain-lain.
2. Lingkungan Biologis (Biological Environment) yaitu segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusianya sendiri, seperti
binatang-binatang dari yang besar sampai yang paling kecil dan tumbuh-tumbuhan dari
yang terbesar sampai terkecil.
3. Lingkungan Sosial (Social Environment) yaitu manusia-manusia lain yang ada
disekitarnya, seperti tetangga-tetangga, teman-teman, bahkan orang lain yang belum
dikenal.
Namun demikian, baik lingkungan fisik, biologis, maupun lingkungan sosial selalu
mengalami perubahan-perubahan; agar lingkungan tersebut dapat mempertahankan
kehidupannya secara serasi, maka manusia melakukan penyesuaian diri atau adaptasi
terhadap perubahan-perubahan itu. Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam
faktor, yaitu (Soemartono, 1996):
1. Jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut.
2. Hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup.
3. Kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup.
4. Faktor nonmaterial, yaitu keadaan, suhu, cahaya, energi, dan kebisingan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain. Jadi lingkungan hidup harus diartikan luas, yaitu tidak hanya lingkungan fisik dan
biologi, tetapi juga lingkungan ekonomis, sosial dan budaya. Soemartono (1996)
mendefinisikan lingkungan hidup sebagai “ruang” di mana baik makhluk hidup maupun tak
hidup berada dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi baik secara fisik maupun nonfisik,
sehingga mempengaruhi kelangsungan kehidupan makhluk hidup tersebut, khususnya
manusia.
Dalam kaitannya dengan konsep lingkungan ini, maka penjelasan tentang mutu
lingkungan adalah relevan dan sangat penting, karena mutu lingkungan merupakan pedoman
untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan. Pembahasan tentang lingkungan pada
dasarnya adalah pembahasan tentang mutu lingkungan. Mutu lingkungan dapat diartikan
sebagai kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan mutu hidup. Makin tinggi derajat mutu
hidup dalam suatu lingkungan tertentu, makin tinggi pula derajat mutu lingkungan tersebut
dan sebaliknya. Karena mutu hidup tergantung pada derajat pemenuhan kebutuhan dasar,
mutu lingkungan dapat diartikan sebagai derajat pemenuhan kebutuhan dasar dalam kondisi
lingkungan tersebut. Makin tinggi kebutuhan dasar tersebut, makin tinggi pula mutu
lingkungan dan sebaliknya.
2.2 Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pendekatan pengelolaan lingkungan
dilakukan dengan menata sistem pengelolaannya. Sebab berbicara mengenai pengelolaan,
sangat berkaitan dengan pendekatan manajemen. Pendekatan manajemen bertumpu pada
kemampuan menata sistem yang berada dalam sistem tersebut. Pendekatan manajemen
lingkungan mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya, sehingga
pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan sebuah pendekatan yang lazim disebut
dengan “ramah lingkungan”. Otto Soemarwoto mengatakan bahwa mengubah sikap dan
kelakuan terhadap lingkungan hidup bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada dasarnya usaha
itu dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut (Supriadi, 2005):
a. Instrumen Pengaturan dan Pengawasan
Tujuannya adalah untuk mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan
hidup. Pemerintah membuat peraturan dan mengawasi kepatuhan pelaksanaannya.
Ketidakpatuhan dikenakan sanksi denda dan/atau kerugian. Sistem pengelolaan
lingkungan hidup ini disebut Command-And-Control (CAC). Pada dasarnya CAC berusaha
menekan egoisme dan mendorong orang untuk berkelakuan lebih ramah lingkungan
dengan ancaman sanksi tindakan hukum.
b. Instrumen Ekonomi
Tujuannya adalah untuk mengubah nilai untung relatif terhadap rugi bagi pelaku, dengan
memberikan insentif-disinsentif ekonomi. Insentif-disinsentif itu mencakup instrument
pasar. Instrument insentif-disinsentif itu menghasilkan untung-rugi berupa uang, jadi
bersifat tangible. Pertimbangan tangible merupakan dorongan yang kuat untuk melakukan
pro lingkungan hidup dan hambatan untuk anti lingkungan hidup. Dengan instrumen
ekonomi, sistem nilai pelaku terhadap lingkungan sebenarnya tidak berubah. Dia bersikap
dan berlaku lebih ramah lingkungan hidup karena dia mendapatkan keuntungan ekonomi,
bukan karena dia lebih mencintai lingkungan hidup.
c. Instrumen Persuasif
Dengan instrumen persuasif, yaitu mendorong masyarakat secara persuasif, bukan
paksaan. Tujuannya ialah mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup
kea rah memperbesar untung relatif terhadap rugi. Dalam kondisi ini proses pengambilan
keputusan pelaku didorong untuk mengubah prioritas pilihan yang lebih menguntungkan
lingkungan hidup dan masyarakat. Persepsi untung rugi itu bersifat tangible maupun
intangible. Instrumen ini terdiri atas pendidikan, latihan, penyebaran informasi melalui
media cetak dan elektronik serta ceramah umum dan dakwah agama. Yang terakhir ini
bertujuan untuk membangkitkan rasa kewajiban moral dan etika dalam proses menentukan
pilihan. Tujuan jangka panjang instrumen persuasif ialah agar nilai-nilai yang diajarkan
dapat diinternalkan oleh para pelaku sehingga mengakibatkan perubahan permanen pada
kelakuan terhadap lingkungan hidup, kemudian kelakuan itu membudaya.
2.3 Strategi Pengelolaan Lingkungan
Menurut Sulistyowati, 2009, pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan didasarkan
pada pendekatan “carrying capacity approach”, akibat terbatasnya dukungan lingkungan
alamiah untuk menetralisir pencemaran yang terus meningkat, makanya upaya untuk
mengendalikan pencemaran berubah dari “end of pipe treatment” menjadi “pollution
prevention” dimana pelaku industri dituntut untuk melakukan peran aktif dalam pengelolaan
lingkungan, bahkan dengan meningkatnya kesadaran industri akan pentingnya pengelolaan
lingkungan, mereka bertindak proaktif didalam mengupayakan pengendalian pencemaran
untuk menghasilkan suatu produk yang aman dan ramah lingkungan, dimana salah satu
pendekatan tersebut adalah konsep “greening business”.
Greening Business Management adalah strategi pengelolaan lingkungan yang terpadu
yang meliputi pengembangan struktur organisasi, sistem, dan budidaya dalam suatu
kompetensi hijau dengan cara menerapkan dan mentaati seluruh peraturan tentang
pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan bahan baku, pengelolaan limbah, penggunaan
sumber daya alam yang efektif, penggunaan teknologi produksi yang menhasilkan limbah
minimal serta menerapkan komitmen kesadaran lingkungan bagi seluruh karyawan dalam
organisasinya. Berdasarkan pengalaman dari beberapa industri, maka ada 4 alasan yang
menjadi penyebab industri harus meletakkan masalah lingkungan sebagai aspek yang penting
dalam usahanya, yaitu:
a. Lingkungan dan efisiensi
Dengan adanya kesadaran bahwa sumber daya alam (materi dan energi) sangat
terbatas, maka apapun juga harus dilakukan untuk mengurangi penggunaannya. Oleh
sebab itu industri harus mengupayakan daur ulang dan melakukan efisiensi dalam
penggunaan setiap material dan energi dalam proses produksinya, yang mana hal
tersebut mempunyai implikasi pada pengurangan biaya produksi.
b. Image lingkungan
Mempunyai sikap positif terhadap lingkungan merupakan suatu hal yang baik untuk
dapat menumbuhkan image yang selanjutnya untuk memperbesar market share.
Memperluas pasar dengan greening image akan tercapai apabila konsumen telah
bernuansa hijau pula.
c. Lingkungan dan peluang pasar
Dengan adanya tuntutan pasar terhadap pelaku bisnis dan dunia usaha dalam hal
Sistem Manajemen Lingkungan (SML), yang selanjutnya dikembangkan menjadi
pemberian sertifikasi ISO 14001, maka hal ini memberikan dampak positif bagi dunia
usaha.
d. Ketaatan terhadap peraturan lingkungan
Meskipun law enforcement pemerintah masih lemah, namun demikian apabila terjadi
pelanggaran dalam pengelolaan lingkungan ataupun adanya pengaduan masyarakat
akibat dampak dari suatu aktivitas industri, maka akan berdampak negatif terhadap
reputasi industri tersebut. Selain itu, organisasi lingkungan lokal dan internasioanal
akan bereaksi keras apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan lingkungan. Oleh
sebab itu, ketaatan terhadap setiap peraturan lingkungan secara proaktif sangat
dianjurkan agar peluang untuk memperluas pasar dan sasaran dari bidang usaha tidak
terganggu. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa bisnis hijau adalah trend saat
ini, yang mana untuk mencapai hal tersebut harus ada interaksi antar ekonomi dan
ekologi, hal ini disebabkan karena adanya dampak sumber daya alam dan sumber
daya manusia dari setiap aspek dari suatu aktivitas perusahaan industri. Untuk
mencapai tujuannya, maka suatu perusahaan harus menciptakan sistem input, proses,
dan output yang terintegrasi sehingga memungkinkan tercapainya suatu perusahaan
hijau secara komprehensif.
Adapun keuntungan dari bisnis hijau adalah sebagai berikut:
- Mengurangi biaya operasi dengan mengefisienkan eksploitasi sumber daya alam
- Menciptakan keunggulan bersaing dan dapat memepertahankan kesetiaan pelanggan
- Dapat menciptakan strategi lingkungan yang unik
- Membantu perusahaan melakukan ekspansi ke pasar global
- Meningkatkan image perusahaan dan hubungan baik dengan masyarakat
- Memperkecil resiko lingkungan jangka panjang yang berkaitan dengan kerusakan sumber
daya alam, koservasi energi dan penegendalian pencemaran serta pengelolaan limbah
- Memberikan keuntungan bagi ekosistem dan komunitas dimana perusahaan itu beroperasi
- Jika dipandang dari sudut etika merupakan sesuatu yang sangat diinginkan dan tidak dapat
dihindari
- Menjadikan perusahaan selangkah lebih maju dalam mentaati peraturan lingkungan.
3. Kelembagaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Kelembagaan dapat dilihat dari instansi pemerintah dan LSM, perangkat hukum, dan
peraturan perundang-undangan, serta program-programyang dijalankan pemerintah dalam
rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan
berkelanjutan.
3.1 Perangkat Hukum
Perangkat hukum yang berhubungan dengan lingkungan hidup mengacu pada UU
No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No.2/2002 tentang pengalihan
tugas, fungsi dan kewenangan Bapedal ke Menteri Negara dan Lingkungan Hidup, serta
Keppres No.4/2002 tentang unit organisasi dan tugas eselon I Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Dalam melaksanakan tugasnya Menteri Negara Lingkungan Hidup dibantu oleh:
a. Sekretariat Menteri Negara
b. Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup
c. Deputi Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan
d. Deputi Bidang Pengembangan Peran Masyarakat
e. Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi
f. Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Non Institusi
g. Deputi Bidang Kelestarian Lingkungan
h. Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup
i. Staf Ahli Bidang Lingkungan Global
j. Staf Ahli Bidang Hukum Lingkungan
k. Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Lingkungan
l. Staf Ahli Bidang Sosial Budaya
Diasamping memuat wewenang Pemarintah dalam mengatur kebijakan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, UU No.23/1997 juga berisi persyaratan penaatan,
penyelesaian sengketa, penyidikan, dan ketentuan pidana. Persyaratan penaatan lingkungan
hidup dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
- Perijinan
Setiap kegiatan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup
wajib memiliki analisis dampak lingkungan untuk memperoleh ijin melakukan
kegiatan tersebut. Ijin diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Pengawasan
Menteri mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan atas ketentuan
yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan lingkungan hidup. Untuk
melakukan pengawasan tersebut Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang.
- Sanksi Administrasi
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintah
terhadap penanggung jawab kegiatan yang melanggar perundang-undangan
lingkungan hidup. Wewenang ini dapat diserahkan kepada Bupati/Walikota Madya/
Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
- Audit Lingkungan
Pemerintah mendorong penanggung jawab kegiatan/usaha untuk melakukan audit
lingkungan hidup.
Isi dari UU Lingkungan Hidup yang penting lainnya adalah:
- Bila terjadi sengketa lingkungan hidup, maka dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
- Untuk lebih meningkatkan penegakan hukum, selain penyidik Pejabat Polisi, Pejabat
Pegawai Sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.
- Bila terjadi tindak pidana yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup maka diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling
banyak lima ratus juta rupiah.
3.2 Lembaga
Berdasarkan UU No.23/1997 tidak secara eksplisit menyatakan struktur organisasi yang
menangani lingkungan hidup. Kementrian Negara Lingkungan Hidup bertugas merumuskan
dan melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, juga mengkoordinasi
kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan lingkingna
hidup. Berdasarkan Keppres No.2 /2002 maka tugas dan wewenang Bapedal dialihkan ke
Kementrian Negara Lingkungn Hidup sehinnga struktur organisasinya mengalami perubahan
sesuai Keppres No.4/2002. Sedangkan Bapelda masih tetap dipertahankan bentuknya seperti
semula. Disamping instansi pemerintah masih ada LSM dan Pusat Studi Lingkungan (PSL)
yang ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3.2.1 Instansi Pemerintah
Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang ada saat ini semula bernama
Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang
dibentuk tahun 1978. Fungsi kementerian seperti saat ini yaitu menyusun kebijaksanaan
pelestarian lingkungan hidup dan mengkoordinasikan pelaksanaannya. Pada awal
kegiatannya digunakan pendekatan advocacy yaitu usaha difokuskan kepada peningkatan
kesadaran berlingkungan hidup dan pengembangan sarana-sarana dasar pelestarian
lingkungan hidup. Pada tahun 1988 mulai tahapan berikutnya yaitu accountability atau
pertanggung jawaban. Dalam kerangka accountability ini maka dibentuk Bapedal dan
mengembangkan kelembagaan serta meningkatkan penataan, baik melalui pendekatan hukum
maupun melalui instrumen kebijakan alternatif. Kelanjutan dari tahap ini adalah
mengembangkan berbagai produk hukum yang operasional, membentuk Bapedal Wilayah
dan kemudian mendororng dibentuknya Bapedal Daerah. Dimensi baru dalam pelestarian
lingkungan muncul pada tahun 1999 yaitu dimensi environmental ethics yaitu antara lain
keterbukaan dan peningkatan peran serta serta masyarakat dengan intensitas yang lebih
tinggi dalam mekanisme usaha pelestarian lingkungan hidup. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, Pemerintah Daerah tetap mempertahankan Bapedalda agar memiliki
kemampuan koordinasi antar unit dalam Pemerintah Daerah.
3.2.2 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM adalah organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan
sendiri dan berminat serta bergerak dalam bidang kemasyarakatan tertentu, misalnya
lingkungan hidup. Berdasarkan Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(KPLH), LSM sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota
masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, KPLH
memberikan arti yang besar terhadap peran LSM, baik sebagai pencetus gagasan, motivator,
pemantau penggerak dan pelaksana berbagai kegiatan masyarakat di bidang pengelolaan
lingkungan hidup. LSM ini ada yang bergiat dalam lingkungan hidup yang spesifik, ada pula
yang menangani banyak bidang. Penyebaran LSM tersebut dapat dikatakan sudah merata ke
seluruh pelosok tanah air. Hal ini menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya
pengelolaan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan telah berkembang dan
semakin luas.
3.2.3 Pusat Studi Lapangan
Tahun 1979 dibentuk PSL yang tersebar di berbagai perguruan tinggi. PSL merupakan
alat perluasan kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup di bidang penelitian, pelatihan
dan pengelolaan lingkungan di daerah. Berkaitan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas
permasalahan lingkungan dan peningkatan kebutuhan keahlian dalam lingkup yang luas,
maka PSL diharapkan dapat sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan dan pelayanan,
baik untuk sektor privat maupun umum. Meskipun secara struktural tetap dibawah dan
bertanggung jawab pada perguruan tinggi masing-masing, PSL memiliki peran yang sangat
besar dalam pendidikan lingkungan hidup di daerah. Hampir semua pendidikan AMDAL
dilakukan PSL. Kursus-kursus AMDAL di PSL di berbagai perguruan tinggi di Indonesia
mulai diselenggarakan tahun 1982.
3.3 Program Pemerintah
3.3.1 AMDAL
Sejak diundangkannya UU No.4 tahun 1982, pelaku pembangunan dan masyarakat
tidak dapat lagi menghindar dari pertimbangan aspek lingkungan hidup dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan. Sebagai tindak lanjut UU tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) yang mengatur bahwa setiap usaha/kegiatan pembangunan yang diperkirakan
mempunyai dampak besar dan penting perlu dilakukan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Ketentuan tersebut dituangkan dalam PP No.29 Tahun 1993. Pada
tahun 1990 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.23 Tahun 1990 tentang
Pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
AMDAL adalah singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam
Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
disebutkan bagwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk
pengambilan keputusan suatu usaha/kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha/kegiatan.
AMDAL sendiri merupakan suatu kajian menegenai dampak positif dan negatif dari
suatu rencana kegiatan/proyek yang dipakai pemerintah dalam memutuskan apakah suatu
kegiatan/proyek layak atau tidak layak lingkungan. Kajian dampak positif dan negatif
tersebut biasanya disusun dengan memepertimbangkan aspek fisisk, kimia, biologi, sosial-
ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat.
Suatu rencana kegiatan dapat dinyatakan tidak layak lingkungan, jika berdasarkan hasil
kajian AMDAL, dampak negatif yang ditimbulkannya tidak dapat ditanggulangi oleh
teknologi yang tersedia. Demikian juga, jika biaya yang diperlukan untuk menanggulangi
dampak negatif lebih besar daripada manfaat dari dampak positif yang ditimbulkan, maka
rencana kegiatan tersebut dinyatakan tidak layak lingkungan. Suatu rencana kegiatan yang
diputuskan tidak layak lingkungan tidak dapat dilanjutkan pembangunannya. Bentuk hasil
kajian AMDAL berupa dokumen AMDAL yang terdiri dari 5 (lima) dokumen, yaitu:
1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KAANDAL)
2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
5. Dokumen Ringkasan Eksekutif
Tiga dokumen (ANDAL, RKL, dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh
Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah usaha/kegiatan
tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasi untuk diberi ijin
atau tidak.
3.3.1.1. Manfaat AMDAL
AMDAL bermanfaat untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan agar
layak secara lingkungan. Dengan AMDAL, suatu rencana usaha/kegiatan pembangunan
diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan hidup,
dan mengembangkan dampak positif, sehingga sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan (sustainable). Selain itu, manfaat AMDAL lainnya adalah memberi masukan
untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha/kegiatan serta memberi masukan
untuk rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dan memberi informasi kepada
masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha/kegiatan.
3.3.1.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam AMDAL
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses AMDAL adalah:
- Pemerintah
Pemerintah berkewajiban memberikan keputusan apakah suatu rencana kegiatan layak
atau tidak layak lingkungan. Keputusan kelayakan lingkungan ini dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan rakyat dan kesesuaian dengan kebijakan pembangunan yang
berkelanjutan.
- Pemrakarsa
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana
usaha dan atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Pemrakarsa inilah yang berkewajiban
melaksanakan kajian AMDAL.
- Masyarakat yang berkepentingan
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh oleh segala
bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
kedekatan jarak tinggal dengan rencana kegiatan/usaha, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan faktor pengaruh nilai-nilai
atau norma yang dipercaya.
3.3.2 Bumi Lestari
Kegiatan ini difokuskan pada upaya-upaya untuk mengendalikan dan menanggulangi
masalah lingkungan global yang telah mengancam bumi sebagai sistem penopang kehidupan
(life support system). Masalah global yang dimaksud adalah penipisan ozon, gas, rumah kaca,
dan perairan internasional. Masalah tersebut ditangani dengan merumuskan, mengkoordinasi
dan memantau pelaksanaan kebijakan sektoral, keruangan dan daerah. Kegiatan-kegiatan
yang masuk dalam program ini sebagai contoh adalah: kebijakan Mekanisme Pembangunan
Bersih (clean development mechanism – CDM); penghapusan penggunaan unsur-unsur
penyebab penipisan ozon (ozone depleted substance); kebijakan perlindungan pencemaran
dan kerusakan perairan internasional.
Masalah lingkungan yang terkait dengan perubahan tataguna lahan, kerusakan
keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan emisi gas rumah kaca.
Masalah tersebut perlu ditangani secara lintas sektoral, bahkan lintas negara dan melibatkan
banyak pihak. Kelestarian bumi yang diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia akan
sangat ditentukan oleh penanganan masalah lingkungan domestik di setiap negara. Sehingga
kerjasama internasional dalam masalah lingkungan menjadi sangat penting. Berkaitan dengan
hal diatas, maka perlu suatu koordinasi dan fasilitas guna mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan selain meningkatkan kemitraan global. Untuk mendukung tercapainya
koordinasi, perlu suatu rumusan kebijakan dan perangkat kelembagaan yang efektif untuk
melaksanakan komitmen nasional dan internasional dalam kaitannya dengan perlindungan
atmosfer dan keanekaragaman hayati.
3.3.3 Sumber Daya Alam lestari
Kegiatan ini difokuskan pada upaya-upaya untuk mencegah, mengendalikan dan
memulihkan kerusakan sumber daya hutan, lahan, air dan keanekaragaman hayati, serta
upaya untuk siaga dan tanggap terhadap keadaan darurat karena kerusakan lingkungan skala
luas (kebakaran hutan). Kegiatan ini yang termasuk dalam program ini sebagai contoh
adalah:
- Penataan/perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam untuk mencegah
percepatan kerusakan sumber daya alam.
- Pengembangan hukum agraria untuk pengakuan hak masyarakat adat dalam
penguasaan sumber daya alam.
- Penegakan hukum terhadap penyebab kerusakan sumber daya alam
- Perlindungan keselamatan hayati
- Penyebarluasan penerapan perangkat manajemen untuk pengelolaan lestari sumber
daya alam (misalnya: ekolabel dan analisis daur hidup)
- Pengembangan prosedur dan sarana siaga dan tanggap darurat terhadap kebakaran
hutan
3.3.4 Program Kali Bersih
Prokasih merupakan program kegiatan untuk meningkatkan kualitas air sungai sampai
memenuhi baku mutu air sesuai peruntukannya, yang dilakukan dengan cara dan kegiatan
mengurangi beban pencemaran limbah yang masuk ke badan sungai. Program ini dimulai
sejak tahun 1988 dan masih dilanjutkan hingga saat ini. Pada bulan april 1992, Prokasih
mendapat penghargaan dari America Society Of Environmental di bidang manajemen.
Manajemen Prokasih telah direkomendasikan oleh berbagai pihak di luar negeri untuk model
percontohan dalam kegiatan pengendalian pencemaran sungai. Program ini juga telah
menghasilkan baku mutu dan peruntukan air sungai dan baku mutu limbah cair dari kegiatan
industri.
3.3.5 Pantai Lestari
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai 81.000 km.
Pantai merupakan kekayaan alam yang memiliki fungsi penting bagi alam itu sendiri dan bagi
pembangunan untuk kesejahteraan manusia. Funsi pantai tersebut perlu dilestarikan agar
dapat menunjang pembangunan secara berkelanjutan. Program Pantai Lestari yang
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.KEP-45/MENLH/11/1996 adalah
untuk melestarikan fungsi lingkungan pesisir guna menunjang pembangunan berkelanjutan
untuk kesejahteraan manusia. Selain itu program ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi
contoh atau acuan yang nyata dalam pengelolaan lingkungan pesisir yang dapat dilakukan
masyarakat Indonesia. Program ini terdiri atas tiga paket program kerja yaitu:
- Pantai Wisata Bersih (pada kawasan pariwisata)
- Bandar Indah (pada kawasan pelabuhan)
- Taman Lestari (pada kawasan terumbu karang dan mangrove)
3.3.6 Program Langit Biru
Program Langit Biru merupakan program untuk pengendalian pencemaran udara.
Program ini difokuskan kepada sumber pencemar dari industri dan kendaraan bermotor
karena keduanya memberikan kontribusi terbesar dalam pencemaran udara. Kedua sumber
tersebut memiliki klasifikasi yang berbeda dalam sifat gerakan sumbernya, sehingga dalam
pelaksanaan pengendalian pencemaran udara menggunakan pendekatan yang berbeda pula.
Berdasarkan sifat gerakan sumber pencemar maka pelaksanaan program ini dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Pengendalian pencemaran udara dari kegiatan sumber titik bergerak (industri), yaitu
dengan menyadarkan dunia industri untuk menyediakan prasarana dan sarana
pengendalian pencemaran udara serta menurunkan beban pencemar dalam jangka
waktu yang telah ditentukan.
- Pengendalian pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak (kendaraan bermotor),
yaitu sedikit demi sedikit mengurangi produksi bensin yang mengandung timbal (Pb),
menetapkan baku mutu emisi gas buang dari kendaraan bermotor, dan melakukan
diversifikasi energi dengan menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG) dan Liquid
Petroleum Gas (LPG).
- Pengendalian pencemaran udara dari sumber-sumber gangguan (kebisingan, getaran,
kebauan).
3.3.7 Kalpataru
Kalpataru adalah penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup yang diberikan
oleh Pemerintah Indonesia. Penghargaan ini diberikan pada perorangan atau kelompok
masyarakat yang telah menunjukkan kepeloporannya dalam melestarikan fungsi lingkungan
dan memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya pemeliharaan fungsi ekosistem. Penghargaan
diberikan setiap tahun bertepatan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia setiap tanggal 5 Juni
oleh Presiden. Penghargaan ini bertujuan untuk merangsang dan memotivasi peran aktif
masyarakat dalam melestarikan fungsi lingkungan dalam bentuk pengabdianya masing-
masing. Melalui pemberian penghargaan ini diharapkan bisa mengangkat kepeloporan dan
keteladanan serta mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Penghargaan ini sudah
dimulai sejak tahun 1981 dengan empat kategori penghargaan, yaitu: Perintis Lingkungan,
Pengabdi Lingkungan, Penyelamat Lingkungan dan Pembina Lingkungan.
4. Akuntansi Lingkungan
4.1 Pengertian Akuntansi Lingkungan
Menurut Tony Djogo (2006), akuntansi lingkungan (Environmental Accounting) atau EA
adalah istilah yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (Environmental Cost)
ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintahan. Biaya lingkungan adalah
dampak (impact) baik moneter maupun non moneter yang harus dipikul sebagai akibat dari
kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan.
Menurut Mathew dan Parrerra (1996), akuntansi lingkungan sebagai informasi sosial
digunakan untuk memberikan gambaran bentuk komprehensif akuntansi yang memasukkan
extrenalities ke dalam rekening perusahaan seperti informasi tenaga kerja, produk, dan
pencemaran lingkungan. Dalam hal ini, pencemaran dan limbah produksi merupakan salah
satu contoh dampak negatif dari operasional perusahaan yang memerlukan sistem akuntansi
lingkungan sebagai kontrol terhadap tanggung jawab perusahaan sebab pengelolaan limbah
yang dilakukan oleh perusahaan memerlukan pengidentifikasian, pengukuran, penyajian,
pengungkapan, dan pelaporan biaya pengelolaan limbah dari hasil kegiatan operasional
perusahaan.
Akuntansi (accounting) dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang menyediakan
informasi yang biasanya bersifat kuantitatif dan disajikan dalam suatu keuangan, untuk
pengambilan keputusan, perencanaan, pengendalian sumberdaya, operasi, menilai prestasi
lembaga atau perusahaan dan pelaporan keuangan pada investor, kreditor dan instansi yang
berwenang dalam melakukan pengawasanatau pemeriksaan keuangan dan memberikan
laporan kepada masyarakat. Akuntansi merupakan kegiatan yang profesional, karena itu para
profesional akuntan biasanya dibayar untuk melakukan auditing (pemeriksaan oleh akuntan).
4.2 Hubungan Akuntansi dengan Lingkungan
Akuntansi lingkungan hidup adalah metodologi untuk menilai biaya dan manfaat dari
sebuah kegiatan lingkungan untuk mengurangi dampak lingkungan. Hasil dari akuntansi ini
digunakan oleh para pimpinan perusahaan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan
perbaikan lingkungan.
Pada pertengahan tahun 1990-an ketika istilah environmental accounting belum banyak
dikenal hanya beberapa perusahaan saja yang menerapkannya, mula-mula dengan
mengungkapkan masalah lingkungan. Hal ini berkaitan dengan keterbukaan perusahaan
untuk mengungkapkan informasi lingkungan sebagai dampak dari aktivitas industri atau
bisnis mereka. Namun kemudian jumlah perusahaan yang menerapkan environmental
accounting meningkat. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya the environmental
accounting guideline yang diterbitkan oleh the Environmental Agency yang berubah menjadi
Ministry of Environmental (MOE) pada mei 2000. Kemudian draft ini diperbaiki lagi pada
maret tahun 2002 sebagai Petunjuk Pelaksanaan Akuntansi Lingkungan edisi 2002
(Environmental Accounting Guidelines, 2002 edition).
Banyak perusahaan industri dan jasa di dunia yang kini menerapkan akuntansi
lingkungan. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan dengan
melakukan penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya (environmental cost) dan
manfaat atau efek (economic benefit). Akuntansi lingkungan diterapkan oleh berbagai
perusahaan untuk menghasilkan penilaian kuantitatif tentang biaya dan efek perlindungan
lingkungan (environmental protection).
4.3 Tujuan Penerapan Akuntansi lingkungan
Ada beberapa tujuan dikembangkannya akuntansi lingkungan : (1) Akuntansi lingkungan
merupakan sebuah alat manajemen lingkungan, (2) Akuntansi lingkungan sebagai alat
komunikasi masyarakat.
Sebagai alat manajemen lingkungan, akuntansi lingkungan digunakan untuk menilai
keefektifan kegiatan konservasi berdasarkan ringkasan dan klasifikasi biaya konservasi
lingkungan. Data akuntansi lingkungan juga digunakan untuk menentukan biaya fasilitas
pengelolaan lingkungan, biaya konservasi lingkungan keseluruhan dan juga investasi yang
diperlukan untuk kegiatan pengelolaan lingkungan. Selain itu, akuntansi lingkungan juga
digunakan untuk menilai tingkat keluaran dan capaian tiap tahun untuk menjamin perbaikan
kinerja lingkungan yang harus berlangsung terus menerus.
Sebagai alat komunikasi dengan publik, akuntansi lingkungan digunakan untuk
menyampaikan dampak negatif lingkungan, kegiatan konservasi lingkungan dan hasilnya
kepada publik. Tanggapan dan pandangan terhadap akuntansi lingkungan dari para pihak,
pelanggan dan masyarakat digunakan sebagai umpan balik untuk merubah pendekatan
perusahaan dalam pelestarian atau pengelolaan lingkungan.
Bannet dan James (1998) memberikan beberapa cakupan area dalam memahami
akuntansi lingkungan, yaitu:
1. Mengintegrasikan lingkungan ke dalam kepentingan pengeluaran modal
2. Memahami dan mengelola biaya lingkungan
3. Membuat skema minimisasi limbah
4. Memahami dan mengelola life cycle costs
5. Mengukur performa lingkungan
6. Melibatkan akuntan manajemen dalam formulasi strategi lingkungan berkaitan
dengan akuntansi manajemen dan evaluasi kinerja
4.4 Akuntansi Lingkungan di Indonesia
Tidak banyak informasi atau diskusi yang berkaitan dengan akuntansi lingkungan
sebagai salah satu istilah atau sistem penilaian lingkungan khusus. Suatu langkah yang dirilis
oleh Kementrian Lingkungan Hidup dengan Bank Indonesia yang tercantum dalam nota
kesepahaman (MoU) antara KLH dan BI yang ditandatangani pada tahun 2005. Kesepakatan
ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia nomor 7/2/PBI/2005 tentang
penetapan peringkat kualitas aktiva bagi bank umum. Peraturan tersebut mengatur tentang
aktiva produktif untuk kredit termasuk pada kualitas kredit. Aspek lingkungan hidup menjadi
salah satu faktor di dalam penilaian kredit itu. BI sepakat menggunakan proper (perangkat
penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) KLH dalam
menilai kelayakan kredit (Tempo Interaktif, 8 April 2005).
Penilaian tingkat kinerja perusahaan (Proper) terkait dengan lingkungan hidup yang
menjadi program tahunan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk penilaian tanggung
jawab perusahaan terhadap lingkungan, dampak lingkungan, yang dapat berpengaruh pada
penentuan kualitas kredit perusahaan, kelayakan perusahaan dan sebagainya. Hasil penelitian
ini disampaikan ke Bank atau kreditor lainnya. Proper diatur dalam Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 27/MenLH/2002. Misalnya Bank sebagai debitur dapat menurunkan
kredit bagi perusahaan berperingkat buruk. Jika tidak layak dari sudut lingkungan hidup
karena kinerja buruk maka perusahaan bisa saja tidak diijinkan untuk mendapatkan kredit.
Ada juga dengan pemberian sistem ISO. Dengan sistem ISO perusahaan yang punya
komitmen untuk kemudian memperbaiki kinerja terhadap lingkungan yang baik dapat
diberikan sertifikat ISO sedangkan perusahaan yang buruk tidak akan mendapatkan ISO
tersebut. Perusahaan masih terus bisa melakukan operasi bisnisnya namun dengan proper
perusahaan bisa tidak tidak bisa diberi ijin operasi atau tidak mendapatkan kredit dari bank.
5. Audit Lingkungan
5.1 Pengertian Audit Lingkungan
United States Environmental Protection Agency (U.S EPA) mendefinisikan audit
lingkungan sebagai suatu pemeriksaan yang sistematis, terdokumentasi, periodik dan objektif
berdasarkan aturan yang ada terhadap fasilitas operasi dan praktek yang berkaitan dengan
pentaatan kebutuhan lingkungan (Anon, 1996).
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1994, audit
lingkungan adalah suatu alat pengolahan yang meliputi evaluasi secara sistematik,
terdokumentasikan, periodik dan objektif tentang kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan
peralatan dengan tujuan memfasilitasi pengendalian dampak lingkungandan pengkajian
pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap Peraturan Perundang-undangan tentang
pengelolaan lingkungan hidup (BAPEDAL, 1995)
Audit lingkungan merupakan bagian kecil dari sistem pengelolaan lingkungan secara
keseluruhan. Pengawasan yang dikelola dapat berupa audit terhadap sistem pengelolaan itu
sendiri. Dari audit lingkungan dapat diketahui apakah semua langkah yang diperlukan dalam
melaksanakan sistem pengelolaan lingkungan telah dijalankan dengan baik atau tidak,
sehingga dapat diberikan rekomendasi yang diperlukan berdasarkan temuan yang ada untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem pengelolaan lingkungan (Tardan, dkk, 1998)
5.2 Fungsi Audit Lingkungan
Fungsi audit lingkungan adalah (BAPEDAL, 1995):
- Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha/kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan lingkungan, misalnya: standar emisi udara, limbah cair, dan standar operasi
lainnya.
- Dokumen suatu usaha/kegiatan tentang pelaksanaan Standar Operasi Prosedur (SOP)
pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tanggap darurat, pemantauan
dan pelaporan serta rencana perubahan pada proses dan peraturan.
- Jaminan untuk menghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan laingkungan.
- Bukti keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dalam
dokumen AMDAL, yang berguna dalam penyempurnaan proses AMDAL.
- Upaya perbaikan penggunaan sumber daya melalui penghematan penggunaan bahan,
minimisasi limbah dan identifikasi kemungkinan proses daur ulang.
- Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu
dilaksanakan oleh suatu usaha/kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan,
misalnya pembangunan yang berkelanjuatan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan
sumber daya.
5.3 Manfaat Audit Lingkungan
Berikut ini merupakan beberapa manfaat perusahaan/organisasi dalam menjalankan audit
lingkungan (BAPEDAL, 1995; Hadiwiardjo, 1997):
- Mengidentifikasi risiko lingkungan
- Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan atau upaya
penyempurnaan rencana yang ada.
- Menghindari kerugian finansial seperti penutupan/pemberhentian suatu usaha atau
kegiatan oleh pemerintah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan
pemantauan lingkungan yang tidak baik.
- Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau terhadap
pimpinanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses
peradilan
- Meningkatkan kepedulian pimpinan/penanggung jawab dan staf suatu badan
usaha/kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab
lingkungan.
- Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya konservasi energi, dan
pengurangan pemakaian ulang dan daur ulang limbah.
- Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keperluan usaha atau kegiatan yang
bersangkutan, atau bagi keperluan kelompok pemerhati lingkungan, pemerintah dan
media masa.
- Menyediakan informasi yang memadai bagi kepentingan usaha/kegiatan asuransi,
lembaga keuangan, dan pemegang saham.
Keberhasilan pelaksanaan audit lingkungan sangat ditentukan oleh komitmen dan
dukungan pemilik atau pimpinan perusahaan dengan memberikan kebebasan bagi pelaksana
audit untuk mengkaji hal yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak pada lingkungan
(BAPEDAL, 1995)
5.4 Tujuan Audit Lingkungan
Sama halnya dengan audit keuangan yang diperlukan untuk mengidentifikasi ada
tidaknya kebocoran dalam pengelolaan keuangan suatu perusahaan, audit lingkungan
diperlukan untuk memberikan data bagi pihak eksekutif dalam mengevaluasi afektifitas
sistem pengelolaan lingkungan yang diterapkan oleh perusahaan. Tujuan utamanya adalah
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan memastikan agar kegiatan
operasional perusahaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum lingkunan yang berlaku.
5.5 Ruang Lingkup Audit Lingkungan
Ruang lingkup audit lingkungan menjelaskan tentang tujuan dan batas audit dalam
faktor-faktor seperti lokasi fisik dan kegiatan organisasi sesuai dengan laporan. Ruang
lingkup audit ditentukan oleh klien dan pimpinan auditor. Pihak yang diaudit harus juga ikut
berkonsultasi dalam menentukan ruang lingkup audit.
Beberapa perubahan yang memungkinkan dalam cakupan audit memerlukan persetujuan
klien dan pimpinan auditor. Sumber yang berkenaan dengan audit harus sesuai dengan
cakupan yang diinginkan (Anon, 1996).
Aspek yang dikaji dalam audit lingkungan adalah:
a. Aspek teknologi, sebagai upaya untuk mengidentifikasi resiko dan meminimalisasi
dampak kegiatan terhadap lingkungan, pengembangan pendekatan preventif dan
penyelesaian masalah pada sumber dampak
b. Aspek manajemen dan organisasi pelaksanaan kegiatan sebagai uapaya peningkatan
efektifitas dan kinerja manajemen dalam mengatasi masalah lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja.
c. Aspek administrasi sebagai upaya untuk peningkatan dan pemanfaatan informasi yang
dapat dipercaya serta penyempurnaan pengawasan internal terhadap informasi yang
berkaitan dengan aspek lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja.
5.6 Peranan Audit Lingkungan Dalam Pembangunan
Adapun beberapa peranan audit lingkungan dalam pembangunan adalah:
1. Audit lingkungan merupakan perangkat manajemen dalam pengelolaan lingkungan
2. Audit lingkungan merupakan upaya peningkatan ketaatan suatu usaha atau kegiatan
terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan
3. Audit lingkungan dapat dijadikan bukti keabsahan rekomendasi AMDAL dan alat
penyempurnaan dokumen AMDAL
4. Audit lingkungan merupakan upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilakukan
atau yang perlu dilaksanakan oleh usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan
lingkungan.
5.7 Perbedaan Audit Lingkungan dengan AMDAL
Satu-satunya instrumen lingkungan yang bisa dijadikan sebagai alat kajian untuk
kegiatan yang sudah berjalan adalah audit lingkungan yang ditetapkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No.42 Tahun 1994. Audit lingkungan merupakan suatu alat manajemen
yang meliputi evaluasi secara sistematik, periodik, terdokumentasi dengan tujuan untuk
memfasilitasi kontrol manajemen terhadap upaya pengendalian dampak lingkungan. Berbeda
dengan AMDAL yang bersifat wajib dan dilakukan pada tahap perencanaan, audit
lingkungan adalah bersifat suka rela (voluntary) dan diterapkan pada saat kegiatan/proyek
telah berjalan. Spirit audit lingkungan adalah menumbuhkan kesadaran para pemrakarsa
kegiatan/proyek bahwa pengelolaan lingkungan itu merupakan suatu kebutuhan dan bukan
semata-mata memetuhi peraturan.
Perbedaan antara audit lingkungan dan AMDAL dapat disajikan dalam tabel berikut ini:
AMDAL Audit Lingkungan
- Kegiatan belum ada - Kegiatan sudah berjalan
- Dibuat hanya satu kali- Potensi dampak lingkungan secara
luas (cakupan luas, waktu jangka panjang)
- Dasar hukum PP No.27/1999- Bersifat wajib (mandatory)- Bersifat terbuka (dipresentasikan di
komisi AMDAL)
- Dibuat berkali-kali (1-4 tahun)- Masalah (dampak) sedang dihadapi
(cakupan terbatas pada masalah yang dihadapi)
- Dasar hukum Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42/MENLH/1994
- Bersifat suka rela- Bersifat rahasia (internal perusahaan)
5.8 Audit Lingkungan di Indonesia
Audit lingkungan merupakan hal baru di indonesia. Hal ini terjadi karena langkanya
tenaga auditor lingkungan. Audit lingkungan di Indonesia ditangani oleh BAPEDAL (Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan).
Dalam perkembangan lebih lanjut, BAPEDAL sangat berminat untuk mengembangkan
audit lingkungan sebagai salah satu alat pengelolaan lingkungan di Indonesia. Sepanjang
tahun 1994 ide tentang audit lingkungan terus dimatangkan dengan mengundang pihak
terkait. Sayangnya perdebatan tentang audit lingkungan masih berpijak pada audit lingkungan
yang biasa diterapkan di negara barat, yaitu sebagai alat manajemen yang lemah segi
penegakannya. Berbeda dengan visi WALHI bahwa audit lingkungan adalah alat pendukung
agar RKL dan RPL dapat dilaksanakan. Sehingga dapat dipahami para praktisi dan pembuat
studi AMDAL banyak yang pesimis akan kegunaan audit lingkungan. Masalah utamanya
adalah bagaimana rekomendasi – rekomendasi AMDAL dapat diterapkan sehingga yang
diperlukan adalah pengawasan dan penegakan agar hasil studi AMDAL dapat dilaksanakan
oleh pemrakarsa. Jika masalah penegakan tidak dapat diselesaikan, maka audit lingkungan
dipandang hanya sebagai tambahan pekerjaan dan biaya tanpa kejelasan makna perlindungan
lingkungan.
Keluarnya SK. Menteri Negara Lingkungan Hidup No.Kep-42/Menlh/11/94 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan telah menegaskan sikap pemerintah dan
mengakhiri perdebatan apakah audit lingkungan bersifat sukerela atau kewajiban. Serat
keputusan tersebut menyebutkan bahwa audit lingkungan dalah sukarela dan dengan ruang
lingkup yang fleksibel. Jelas hal ini sangat memerlukan niat baik dari pemrakarsa audit
lingkungan.
6 Kasus-kasus Lingkungan Hidup
Masalah lingkungan hidup masih dinilai sebagai isu yang kurang penting, karena sering
kali setelah ada pengambilan keputusan justru tidak ada tindak lanjutnya atau ditinggalkan.
Pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam cenderung diarahkan kepada
kepentingan investasi dan selalu dipahami sebagai economic sense dan tidak dapat dipahami
sebagai ecological and sustainable sense. Dengan paradigma tersebut maka dapat dipahami
bahwa kualitas lingkungan hidup akan terus menurun dari waktu ke waktu.
Masih banyak masalah lingkungan hidup yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Banyak perusahaan yang sudah secara umum melakukan pencemaran atau merusakkan
lingkungan tetapi belum mendapat tindakan yang nyata. Hal ini dapat disebabkan diantaranya
oleh: perangkat hukum yang masih lemah, kewibawaan aparat penegak hukum yang kurang,
dan terjadinya konflik antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan sosial dan
lingkungan hidup. Beberapa contoh dari kasus perusakan lingkungan hidup di Indonesia
adalah:
1. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT Galuh Cempaka
September 2008 kejahatan lingkungan yang telah di lakukan oleh PT Galuh Cempaka
yang merupakan sebuah perusahaan tambang patungan antara PT ANTAM 20 % dan
Perusahaan asing BDI Mining Corp. 80 % sudah nampak jelas. Dalam beberapa tahun
belakangan ini pencemaran maupun dampak pertambangan Galuh Cempaka telah merusak
dan mengganggu aktivitas pertanian masyarakat di Desa Palam, Guntung Manggis dan
Cempaka. Material pasir pun sebagai sisa dari aktivitas pertambangan intan dijual dengan
ketidakjelasan hasilnya.
Terkait dengan PT Galuh Cempaka yang ada di Kalsel, menurut organisasi
nonpemerintah yang fokus pada persoalan lingkungan ini, perusahaan tersebut telah
melakukan kejahatan lingkungan, yaitu sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke
aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang banyak.
"Perbaikan sistem pengolahan air limbah (Sispal) yang dilakukan oleh PT Galuh Cempaka
adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, dan itu memang sudah
termasuk dalam dokumen AMDAL yang telah mereka buat sendiri, dan itu tidak
menghilangkan kasus kejahatan lingkungan yang telah dilakukan PT Galuh Cempaka
Menurut Walhi Kalsel, salah satu alat bukti terjadinya kejahatan lingkungannya adalah
hasil penelitian tim gabungan Pemerintah Kota Banjarbaru dan Pemerintah Provinsi Kalsel,
melalui Bappedalda, yang mengakibatkan tingkat keasaman air sungai (ph) mencapai 2,97,
sedangkan Peraturan Gubernur (Pergub) Kalsel mencantumkan ph normal senilai 6 hingga 9.
Selain itu, PT Galuh juga membuang limbah timbal mencapai 0,84, padahal sesuai Pergub
Kalsel hanya dibolehkan 0,1. "Ini tentu saja bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup No
23 Tahun 1997 Bab VI tentang Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup Pasal 20 ayat 1
"Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media
lingkungan hidup," ujar Hegar menjelaskan. Juga dengan KUHP Pasal 202 ayat (1) Barang
siapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam
perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan
orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
(matabuana.com).
2. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT Adaro Indonesia
Pada Bulan oktober 2009 Pencemaran sungai Balangan terjadi justru tidak lama setelah
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) RI memberikan penghargaan peringkat HIJAU
kepada PT. ADARO Indonesia dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPPER) Tahun 2009.
Sungai Balangan, merupakan sungai besar yang membelah kabupaten Balangan dimana
bagian hilirnya sampai wilayah Amuntai (Hulu Sungai Utara), Negara (Hulu Sungai
Selatan), Margasari (Tapin) hingga ke Muara Sungai Barito – Banjarmasin. Sungai
yang menjadi urat nadi masyarakat, khususnya kabupaten Balangan dan Amuntai ini sejak
Sabtu (24/10) secara fisik telah berubah warna menjadi coklat kehitaman. Ini membuktikan
bahwa sungai tersebut telah tercemar sebagai dampak dari aktivitas pertambangan batubara
PT ADARO Indonesia. Hal ini juga secara langsung diakui oleh pihak perusahaan melalui
Manager External Relationnya Yunizar Andriansyah.
Berdasarkan informasi dan pantauan WALHI Kalsel di lapangan, beberapa dampak
langsung yang telah dirasakan masyarakat antara lain;
- Ribuan warga di 4 Kecamatan Kabupaten Balangan yakni Kecamatan Paringin, Juai,
Paringin Utara dan Kecamatan Lampihong saat ini tidak bisa mengakses langsung air
sungai Balangan untuk keperluan sehari-hari. Demikian juga yang dialami masyarakat
di 4 Kecamatan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Amuntai Tengah, Babirik,
Sei Pandan dan Banjang).
- Terancamnya sumber ekonomi para petambak ikan di sepanjang sungai Balangan
yang sebagian besar menggunakan jala apung. Bahkan menurut laporan ikan-ikan
yang mereka budidayakan sudah ada yang mulai mati.
- Terganggunya operasional PDAM di Balangan dan Amuntai hingga terhentinya
layanan distribusi air bersih ke warga selama 3 hari. Keruhnya sungai Balangan ini
juga menyebabkan biaya tinggi bagi PDAM dalam memproduksi air bersihnya.
- Warga yang terpaksa memanfaatkan sungai Balangan untuk keperluan sehari-hari
sudah ada yang mengalami gatalgatal. Belum ada laporan dari warga yang menderita
penyakit seperti diare dll, namun apabila ini terus berlangsung tentunya sangat
berbahaya buat masyarakat khususnya pada balita yang rentan akan penyakit.
Tercemarnya sungai Balangan ini juga telah menuai protes dari sejumlah masyarakat.
Pada hari Senin (26/10) dimana masyarakat Paringin – Kabupaten Balangan
melakukan aksi di depan DPRD Balangan. Kemudian pada hari rabunya giliran masyarakat
Amuntai – Kabupaten Hulu Sungai Utara berbondong-bondong mendatangi kantor
PT ADARO Indonesia di Dahai – Paringin. WALHI Kalsel juga mendapat info
bahwa gabungan masyarakat Amuntai dan Balangan akan melakukan aksi besar-besaran
apabila pemerintah dan instansi terkait lamban menangani kasus ini.
WALHI Kalsel sangat prihatin dan menyayangkan pencemaran sungai Balangan ini
justru terjadi tidak lama setelah Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) RI memberikan
penghargaan kepada PT. ADARO Indonesia dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan HIdup (PROPPER) Tahun 2009 dengan
peringkat HIJAU. Artinya ADARO dalam hal ini telah 2 kali mendapat predikat terbaik
dalam pengelolaan lingkungan hidup seluruh perusahaan di Indonesia dari KLH setelah
tahun 2008 yang lalu memperoleh penghargaan yang sama.
Sebagai bentuk tanggung jawab atas terjadinya pencemaran di Sungai Balangan ini, maka
dengan ini WALHI Kalsel meminta kepada KLH untuk;
1. Mencabut predikat HIJAU yang selama ini diberikan kepada PT ADARO Indonesia
dan selanjutnya KLH harus meninjau kembali proyek PROPPER yang selama ini
hanya lebih banyak digunakan sebagai green wash perusahaan dan cenderung abai
terhadap ancaman penderitaan rakyat. PROPPER juga sarat dengan kepentingan dan
membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang (korupsi) oleh pejabat KLH.
2. Mendesak KAPOLDA Kalsel agar segera melakukan penyelidikan atas kejahatan
lingkungan yang telah dilakukan PT ADARO Indonesia.
3. Meninjau ulang AMDAL PT. ADARO Indonesia, karena WALHI Kalsel menganggap
AMDAL tersebut telah gagal dalam menjawab problem pengelolaan lingkungan hidup
perusahaan. Selanjutnya memberi sanksi kepada pembuat AMDAL beserta Komisi
AMDALnya.
4. Menuntut kepada PT ADARO Indonesia secepatnya merehabilitasi sungai Balangan
yang telah tercemar dan harus bertanggung jawab kepada masyarakat serta pihak-
pihak selama ini telah dirugikan.
3. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT Asl Shipyard Batam
Pada tanggal 23 Pebruari 2010 Anggota Komisi II DPRD Provinsi Kepri, Suryani
mengatakan, perairan laut di Provinsi Kepri saat ini semakin terancam kehidupan biotanya
karena wilayah hidup mereka telah dicemari oleh limbah industri dan limbah buangan atau
sampah yang banyak dilakukan kapal asing. “Banyaknya perusahaan yang telah mencemari
lingkungan di laut kepri menandakan pengawasan yang dilakukan Bapedalda Batam sangat
lemah sehingga Walikota mesti memeriksa pejabat terkait,” katanya, Selasa (23/2).
Salah satu perusahaan yang diduga telah melakukan pencemaran lingkungan adalah
perusahaan galangan kapal PT Asl Shipyard Batam yang berlokasi di Tanjung Uncang.
Perusahaan itu telah melakukan pencemaran di perairan sekitar tanjung uncang akibat
kegiatan produksi dan pembuangan limbah oli bekas ke laut dari hasil perbaikan kapal yang
dilakukan perusahaan itu.
Limbah oli itu, sangat jelas terlihat di dasar laut berupa sludge oil yang telah mencemari
laut di Tanjung Uncang, Akibatnya, nelayan di sekitar daerah itu sudah lama tidak melaut
lagi karena hasil tangkapannya terus menyusut akhirnya mereka berganti profesi menjadi
pencari besi di dasar laut.
Menurut Suryani, berdasarkan undang Undang Lingkungan, perusahaan tersebut bisa
dikenakan sangsi dan dijerat hukum karena telah melakukan pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu, Suryani mendesak pemerintah daerah melalui instansi berwenang melakukan
penyelidikan terhadap kasus tersebut.
Suryani menilai kinerja aparat pemerintah khususnya Bapedalda di Kota Batam sangat
lemah itu terlihat dari banyaknya kasus pencemaran lingkungan. Hal itu menunjukan
pengawasan yang dilakukan sangat lemah. Oleh karena itu, dia minta Walikota Batam segera
memeriksa kinerja Bapedalda Kota Batam. Sementara itu, Kepala Bapedalda Kota Batam
Dendi Purnomo mengatakan, pihaknya mengakui memang pengawasan yang dilakukan
masih lemah karena minimnya personil dan anggaran. Saat ini saja, jumlah pengawasan
lingkungan sekitar 12 orang untuk mengawasi sekitar 747 perusahaan di seluruh Batam,
sehingga sulit terjangkau seluruhnya.
Terkait dengan aktivitas PT Asl Shipyard Batam yang telah mencemari lingkungan
menurut Dendi pihaknya akan melakukan penyelaman di dasar laut sekitar tanjung uncang
untuk membuktikan adanya limbah sludge oil di laut tersebut, bila ternyata terbukti maka
perusahaan itu bisa kena sangsi. Sangsi yang paling ekstrem kata dia adalah ditutupnya
perusahaan tersebut.
Menurut Dendi, pencemaran lingkungan tidak bisa dihindari karena aktivitas industri
yang semakin marak di Batam, meski demikian pihaknya juga tidak mentolelir bila limbah
yang dihasilkan dari aktivitas itu mencemari lingkungan, untuk itu pihaknya telah
mewajibkan kepada setiap perusahaan untuk mengolah terlebih dahulu limbahnya sebelum
dibuang ke laut (AgusSalim.com).
4. Kasus pencemaran lingkungan oleh PT. Maligi Permata Industrial Estate
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2010 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup didayagunakan berbagai ketentuan hukum baik hukum
administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Penegakan hukum pidana lingkungan
selain dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga dilakukan oleh
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang kewenangannya diatur
dalam Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2010 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada tanggal 22 Maret dan 29 Maret 2010 tim Kementerian Negara Lingkungan Hidup
melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap PT. Maligi Permata Industrial Estate.
Dari hasil pulbaket diketahui bahwa perusahaan telah melakukan pembuangan/dumping
limbah B3 dari proses IPAL sebanyak ± 2500 m3 yang ditempatkan pada 22 bak
penampungan di lokasi sekitar IPAL perusahaan. Pembuangan/dumping limbah sludge IPAL
yang dilakukan oleh PT. Maligi Permata Industri Estate diduga telah dilakukan sejak tahun
1996 hingga saat ini.
PT. Maligi Permata Industri Estate adalah perusahaan yang melakukan pengelolaan
Kawasan International Industry City (KIIC) – Karawang sejak tahun 1996, mengelola ± 74%
perusahaan yang terdiri dari berbagai jenis kegiatan antara lain chemicals, textile knitting,
elctrocnic components hingga car spare part (AgusSalim.com).
Kasus-kasus pencemaran lingkungan yang terjadi, semuanya berkaitan dengan
masalah etika. Masalah moral dan perilaku manusia. Terutama berkaitan dengan kerakusan
dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam mengeksploitasi alam.
Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan
fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan
tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari
etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam
pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap
berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekadar alat pemuas manusia. Cara pandang
seperti ini melahirkan sikap dan perilaku kapitalistik yang eksploitatif tanpa kepedulian sama
sekali terhadap alam. Perilaku manusia yang ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari
beberapa fakta berikut (Muhammadun,2008):
1. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi proses peradilan.
Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi salah satu contoh. Hingga setahun lebih
kasus yang menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses peradilannya
belum jelas.
2. Mafia peradilan dan tekanan pemodal. Keraf (2002) mengatakan bahwa perusahaan-
perusahaan asing multinasional banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus
menggunakan superioritas ekonomi dan politik untuk melindungi kepentingan
bisnisnya di negara-negara sedang berkembang.
3. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan kelicikan. Diijinkannya 13
perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan
model pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak pertambangan hanya
berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun
2004, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU Nomor 5/1990
tentang Konservasi Sumberdaya alam dan Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menyadari berbagai permasalahan lingkungan di atas, beberapa alternatif solusi yang
dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut (Muhammadun,2008):
1. Perubahan cara pandang terhadap alam secara filosofis dan radikal. Disadari bahwa etika
antroposentrisme dan kapitalisme telah menjadikan alam hanya sekedar alat pemuas,
hanya sekedar obyek eksploitasi manusia. Dan ternyata hal ini menimbulkan kerusakan.
Oleh karena itu dalam buku Etika Lingkungan, Keraf (2002) menuntut adanya perubahan
radikal dalam masyarakat modern. Etika Antroposentrisme harus diubah menjadi etika
biosentrisme dan bahkan etika ekosentrisme. Namun etika baru ini tidak bisa
direalisasikan manusia modern yang masih ‘’tercemari’’ paradigma lama yang
antroposentris. Sehingga perlu perubahan mendasar dan diaktualisasikan dalam wujud
gerakan bersama membangun kultur baru yang ecosophy.
2. Politik lingkungan yang dilandasi etika lingkungan. Komitmen politik global yang telah
disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti dengan paradigma
keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma pembangunan
berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika developmentalisme
yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan.
3. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
4. Penegakan hukum lingkungan. Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting
yang perlu dibahas tersendiri. Undang-undang Sumberdaya Air, Undang-undang
Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dan lain sebagainya, semestinya ditinjau kembali
untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila substansi
peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak pro
rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam mematuhi
peraturan perundang-undangan tersebut.
Konsep etika lingkungan yang dilandasi aspek spiritualitas sebagai koreksi
fundamental kesalahan kapitalisme dan developmentalisme harus diaktualisasi secara
komprehensip baik pada tataran individu, publik maupun negara. Diharapkan langkah ini
akan memberi secercah harapan bagi upaya penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan.
KESIMPULAN
Kelembagaan Lingkungan Hidup saat ini sudah cukup berkembang dan kesadaran
berlingkungan juga meningkat dan meluas namun masih bersifat pasif karena hanya
berkembang di daerah-daerah tertentu. Penataan hukum juga masih tetap lemah, sedangkan
instrumen alternatif untuk menjerat perusahaan yang merusak lingkungan hidup juga belum
dapat dilaksanakan. Kepentingan-kepentingan lingkungan hidup hanya diperjuangkan oleh
kelompok kecil kelas menengah dengan hampir tanpa ada kekuatan politik. Oleh karena itu,
perlu pembenahan kelembagaan sehingga pengelolaan lingkungan hidup dapat mempunyai
kekuatan politik serta dapat tercipta mekanisme yang lebih menyuarakan aspirasi masyarakat.
Kementrian Lingkungan Hidup mendorong agar industri secara suka rela melakukan
audit lingkungan, untuk itu perlu diberikan suatu insentif dan keuntungan tertentu yang
berkaitan dengan tindakan penegakan hukum. Karena terbatasnya wewenang Bapedal, dan
fakta bahwa tindakan penegakan hukum berkaitan dengan instansi lain (kepolisian dan
kejaksaan), maka jelas bahwa peraturan hukum yang mengatur soal pelaksanaan audit
lingkungan tidak bisa diwujudkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
atau Kepala Bapedal, kecuali jika yang hendak diatur hanyalah persoalan teknis yang
berkaitan dengan pelaksanaan audit lingkungan. Untuk melindungi kepentingan masyarakat
luas, harus diatur pula hak masyarakat untuk memiliki akses terhadap laporan hasil audit. Hal
ini perlu dilakukan agar terdapat keseimbangan dan pengawasan dari masyarakat terhadap
kebijaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Jika setelah
mempertimbangkan jenis dan tingkat pelanggaran serta itikad pelanggar, masyarakat merasa
tidak puas dengan kebijaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, maka
masyarakat dapat melakukan tindakan penegakan hukum sendiri lewat gugatan perdata.
REFERENSI
Anon. 1996. Guiddelines for Environmental Auditing Generale Principles. ISO, Geneve Switzerland.
Bapedal. 1995. Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian Dampak Lingkungan Seri IV KEPMEN LH No.Kep-42/MEN LH/1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan. Bapedal, Jakarta.
Hadiwiardjo, Bambang H. ISO 14001-Panduan Penerpaan Sistem Manajemen Lingkungan. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.
International Standards Organisation (ISO) 14000. 2005. Sistem Manajemen Lingkungan -Spesifikasi dengan Panduan Penggunaan
Rusmana, Oman. 2003. Sikap dan Niat Akuntan terhadap Internalisasi Informasi Lingkungan dalam Sistem Akuntansi Perusahaan. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi VI di Surabaya, 16-17 Oktober 2003.
Soemarno. 2004. Pendekatan Ekologi-Ekonomi Dalam Pengembangan Sumberdaya Hutan.
Suparmoko, M. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis, BPFE-Yogyakarta.
Supriadi. 2005. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Syahrudin. 2004. Perlakuan Akuntansi Biaya Pelestarian Lingkungan sebagai Biaya Sosial dan Pelaporannya dalam Laporan Keuangan Perusahaan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UMM. 2004
Tardan, M. Agus M, dkk. Audit Lingkungan. Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Tony Djogo. 2006. Akuntansi Lingkungan. Makalah 7 Pebruari 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Soemartono, Gatot P. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika