pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/nomor-2/iptek...

110
ISSN 1907-4263 E-ISSN 2541-5158 Volume 11 Nomor 2 2016 DAFTAR ISI Pemuliaan Padi Gogo untuk Adaptif Lahan Kering ......................... 95 Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo dan Suwarno Pembentukan Varietas Padi Sawah Dataran Tinggi Toleran Cekaman Suhu Rendah .................................................................. 107 Cucu Gunarsih, Nafisah, dan Trias Sitaresmi Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri: Perakitan dan Penyebaran di Sentra Produksi ....................................................... 119 Rina Hapsari Wening, Untung Susanto, dan Satoto Peran Senyawa Metabolisme Sekunder Tanaman Padi terhadap Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens) ............................................. 127 Eko Hari Iswanto, R. Heru Praptana, dan Agus Guswara Fusarium spp. pada Tanaman Jagung dan Pengendaliannya dengan Memanfaatkan Mikroba Endofit .......................................... 133 Suriani dan Amran Muis Interaksi Bakteri Antagonis dan Tanaman: Ketahanan Terinduksi pada Tanaman Jagung .................................................................... 143 Nurasiah Djaenuddin Peranan Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Kedelai dan Ubi Kayu pada Lahan Kering Masam ....................................... 149 Siti Muzaiyanah dan Subandi Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Aneka Kacang dan Umbi ................................................................. 159 Sumartini Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Aneka Kacang sebagai Respon Cekaman Biotik ...................................... 167 Sulistiyo Dwi Setyorini dan Eriyanto Yusnawan Ketahanan Terimbas Tanaman Kacang-kacangan terhadap Penyakit ............................................................................................ 175 Alfi Inayati Pengantar Pengembangan padi pada lahan kering suboptimal dan dataran tinggi dihadapkan pada beberapa kendala. Pada lahan kering suboptimal, misalnya, masalah utama yang ditemui adalah rendahnya kesuburan tanah, sementara pada lahan kering dataran tinggi adalah cekaman suhu rendah. Tulisan tentang pemuliaan padi gogo dan padi dataran tinggi yang diterbitkan dalam Iptek Tanaman Pangan nomor ini terkait upaya perakitan varietas unggul yang adaptif pada lahan kering suboptimal dan lahan kering dataran tinggi. Kemudian diikuti oleh tulisan yang membahas upaya pengendalian hama wereng cokelat dan penyakit hawar daun bakteri. Untuk komoditas jagung, dua tulisan membahas pengendalian penyakit Fusarium dan bakteri antagonis. Peranan bahan organik pada tanah masam untuk produksi kedelai dan ubi kayu, serta biopestisida untuk pengendalian hama dan penyakit utama tanaman aneka kacang dan umbi juga menjadi informasi penting yang mengisi Iptek Tanaman Pangan nomor ini. Tulisan ilmiah sekunder yang juga menarik dibaca adalah kandungan metabolit sekunder pada tanaman aneka kacang dan ketahanan tanaman terhadap penyakit utama. Redaksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Indonesia Iptek Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah review hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI, dan BATAN. Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di buletin ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Upload: tranphuc

Post on 13-Aug-2019

307 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

ISSN 1907-4263E-ISSN 2541-5158

Volume 11 Nomor 2 2016

DAFTAR ISI

Pemuliaan Padi Gogo untuk Adaptif Lahan Kering ......................... 95Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo dan Suwarno

Pembentukan Varietas Padi Sawah Dataran Tinggi ToleranCekaman Suhu Rendah .................................................................. 107Cucu Gunarsih, Nafisah, dan Trias Sitaresmi

Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri: Perakitan danPenyebaran di Sentra Produksi ....................................................... 119Rina Hapsari Wening, Untung Susanto, dan Satoto

Peran Senyawa Metabolisme Sekunder Tanaman Padi terhadapWereng Cokelat (Nilaparvata lugens) ............................................. 127Eko Hari Iswanto, R. Heru Praptana, dan Agus Guswara

Fusarium spp. pada Tanaman Jagung dan Pengendaliannyadengan Memanfaatkan Mikroba Endofit .......................................... 133Suriani dan Amran Muis

Interaksi Bakteri Antagonis dan Tanaman: Ketahanan Terinduksipada Tanaman Jagung .................................................................... 143Nurasiah Djaenuddin

Peranan Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Kedelaidan Ubi Kayu pada Lahan Kering Masam....................................... 149Siti Muzaiyanah dan Subandi

Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit TanamanAneka Kacang dan Umbi ................................................................. 159Sumartini

Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman AnekaKacang sebagai Respon Cekaman Biotik ...................................... 167Sulistiyo Dwi Setyorini dan Eriyanto Yusnawan

Ketahanan Terimbas Tanaman Kacang-kacangan terhadapPenyakit ............................................................................................ 175Alfi Inayati

Pengantar

Pengembangan padi pada lahan keringsuboptimal dan dataran tinggi dihadapkanpada beberapa kendala. Pada lahankering suboptimal, misalnya, masalahutama yang ditemui adalah rendahnyakesuburan tanah, sementara pada lahankering dataran tinggi adalah cekamansuhu rendah.

Tulisan tentang pemuliaan padi gogodan padi dataran tinggi yang diterbitkandalam Iptek Tanaman Pangan nomor initerkait upaya perakitan varietas unggulyang adaptif pada lahan kering suboptimaldan lahan kering dataran tinggi. Kemudiandiikuti oleh tulisan yang membahas upayapengendalian hama wereng cokelat danpenyakit hawar daun bakteri.

Untuk komoditas jagung, dua tulisanmembahas pengendalian penyakitFusarium dan bakteri antagonis. Perananbahan organik pada tanah masam untukproduksi kedelai dan ubi kayu, sertabiopestisida untuk pengendalian hama danpenyakit utama tanaman aneka kacang danumbi juga menjadi informasi penting yangmengisi Iptek Tanaman Pangan nomor ini.

Tulisan ilmiah sekunder yang jugamenarik dibaca adalah kandunganmetabolit sekunder pada tanaman anekakacang dan ketahanan tanaman terhadappenyakit utama.

Redaksi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman PanganBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Bogor, Indonesia

Iptek Tanaman Pangan merupakanpublikasi yang memuat makalah reviewhasil penelitian tanaman pangan (padi danpalawija).

Redaksi mengutamakan makalahdari peneliti lingkup Puslitbang TanamanPangan dan menerima makalah darisemua institusi penelitian tanamanpangan lainnya di Indonesia, termasukperguruan tinggi, LIPI, dan BATAN.Makalah review yang dikirimkanhendaknya sudah mendapat persetujuandari pimpinan instansi masing-masing.

Ketentuan penulisan makalah untukdapat dimuat di buletin ini tertera dalam"Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Page 2: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id
Page 3: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

95

Pemuliaan Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering

Rice Improvement for Upland AreasAris Hairmansis, Yullianida, Supartopo, dan Suwarno

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 25 November 2016, dan disetujui diterbitkan 1 Desember 2016

ABSTRACT

Upland area in Indonesia has a great potential for rice production. However, only a small portion of thepotential upland area has been utilized for rice cultivation with very low productivity. The availability of newtechnologies in rice management is very important to increase rice production in this marginal area. Improvedrice variety is among the most important technologies which has to be introduced to the farmers in uplandareas. Upland rice breeding program aims to develop improved rice varieties which are tolerant to diverseabiotic stresses including soil acidity, nutrient deficiency, aluminium toxicity, drought, low light intensity andlow temperature. Another important trait in upland rice breeding program is the resistance to blast diseasewhich is the most devastating disease in humid upland area. The increase in genetic diversity of improvedrice varieties to blast disease is the key to control the disease. A significant number of improved upland ricevarieties have been developed through the breeding program in Indonesian Agency for Agricultural Researchand Development. The future challenge in the development of upland rice is the delivery of the high-qualityseeds of improved rice varieties to the farmers due to the lack of support from formal seed system in uplandareas. Until now upland rice areas are still dominated by traditional varieties and modern varieties which arenot developed for upland area but their seeds available in market. Community Based Seed System hasbeen initiated to be implemented in upland area to overcome the problem. Through a strong support frombreeding program and proper seed system it is expected the potency of upland rice in Indonesia could bemaximized to support the sustainability of rice production in the country.Keywords: Upland rice, breeding, abiotic stress, biotic stress, seed system.

ABSTRAK

Lahan kering di Indonesia potensial sebagai lumbung padi. Namun hingga saat ini baru sebagian kecillahan kering yang telah dimanfaatkan untuk budi daya padi gogo dengan produktivitas masih di bawah padisawah. Untuk meningkatkan produksi padi gogo dibutuhkan inovasi teknologi yang adaptif terhadap berbagaicekaman lingkungan pada lahan kering. Varietas unggul menjadi salah satu teknologi penting dalamsistem produksi padi pada lahan kering. Program pemuliaan padi gogo diarahkan untuk merakit varietasunggul yang toleran terhadap berbagai cekaman abiotik seperti kemasaman tanah, defisiensi hara,keracunan aluminium, kekeringan, intensitas cahaya rendah dan suhu rendah. Selain itu pemuliaan padigogo juga diarahkan pada perbaikan ketahanan varietas terhadap penyakit blas. Peningkatan keragamangenetik varietas unggul dalam hal ketahanan terhadap blas menjadi kunci pengendalian penyakit pentingtersebut. Sejumlah varietas unggul baru padi gogo yang adaptif terhadap berbagai cekaman lingkungandan memiliki ketahanan terhadap blas yang beragam telah dihasilkan melalui program pemuliaan.Tantangan berikut yang harus dihadapi dalam pengembangan varietas unggul tersebut adalah ketersediaanbenih bermutu di tingkat petani yang masih sangat rendah disebabkan minimnya dukungan sistemperbenihan formal. Hingga saat ini pertanaman padi gogo masih didominasi oleh varietas lokal dan varietasunggul bukan untuk lahan kering namun benihnya tersedia di pasar. Untuk memecahkan permasalahantersebut telah diinisiasi pengembangan sistem perbenihan berbasis komunal. Dengan dukungan programpemuliaan dan sistem perbenihan yang kuat diharapkan potensi lahan kering dapat dimaksimalkan untukmendukung keberlanjutan produksi beras nasional.Kata kunci: Padi gogo, pemuliaan, cekaman abiotik, cekaman biotik, sistem perbenihan.

Page 4: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

96

PENDAHULUAN

Padi gogo adalah padi yang dibudidayakan pada lahankering. Produktivitas padi gogo pada tahun 2013 rata-rata3,3 t/ha, di bawah produktivitas padi sawah yang mencapai5,3 t /ha (Kementan 2014). Rendahnya hasil padi gogodisebabkan oleh masalah fisik dan biologis pada lahankering. Masalah fisik yang umum dijumpai pada lahankering antara lain kekeringan, kemasaman tanah,keracunan Al dan kesuburan tanah yang rendah (Fagi etal. 2004, Toha et al. 2009, Toha 2012, Rochayati danDariah 2012). Pada lahan kering dataran tinggi, suhurendah menjadi faktor utama yang membatasipengembangan padi gogo (Shrestha et al. 2012,Sipaseuth et al. 2007). Faktor penghambat biologis utamapenanaman padi gogo adalah penyakit blas yang dapatmenyebabkan penurunan hasil, bahkan dapatmengakibatkan puso (Santoso et al. 2007, Sudir et al.2014).

Hingga saat ini pertanaman padi gogo masihdidominasi oleh varietas lokal dengan produktivitas yangrendah (Suwarno et al. 2009, Wahyuni et al. 2006, Toha2012). Padi gogo masih dibudidayakan secara subsistendengan input rendah (Toha 2012). Berbagai inovasiteknologi padi gogo telah dikembangkan oleh BadanLitbang Pertanian, baik berupa varietas unggul maupunteknologi budi daya untuk meningkatkan produksi (Tohaet al. 2008). Melalui program pemuliaan tanaman, telahdilepas sejumlah varietas unggul padi gogo untukmengatasi berbagai masalah fisik dan biologis pada lahankering. Kendati penggunaan varietas unggul potensialmeningkatkan produktivitas padi gogo, tingkat adopsinyaoleh petani masih rendah. Hal ini menjadi tantangan dalampengembangan gogo. Makalah ini membahas potensilahan kering untuk produksi padi, arah pemuliaan padigogo, kemajuan yang telah dicapai, permasalahan yangdihadapi dan strategi pengembangannya ke depan.

POTENSI LAHAN KERING UNTUKPENGEMBANGAN PADI

Areal padi gogo tersebar di seluruh propinsi di Indonesiadan umumnya menempati lahan-lahan marginal. Total areapadi gogo pada tahun 2014 sekitar 1,129 juta ha. Limapropinsi dengan panen padi gogo terluas adalah JawaTimur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Tengah danNusa Tenggara Timur (Tabel 1). Sumarno dan Hidayat(2007) mengestimasi peluang penambahan luas areal padigogo hingga menjadi 3,5 juta ha dengan memanfaatkanpadang alang-alang di Sumatera dan hutan sekunder diSulawesi dan NTB.

Berdasarkan ketersedian air dan kesuburan tanahnya,terdapat empat tipe lahan kering yaitu: 1) lahan denganmusim pertanaman panjang (5-12 bulan) dan subur; 2)lahan dengan musim pertanaman panjang dan tidak subur;3) lahan dengan musim pertanaman pendek (kurang dari4 bulan) dan subur; 4) lahan dengan musim pertanamanpendek dan tidak subur (Fagi et al. 2004). Sebagian besar(92%) pertanaman padi gogo di Indonesia dibudidayakandi daerah dengan bulan basah yang panjang (5-12 bulan)(Fagi et al. 2004, Toha et al. 2009). Pertanaman padigogo dapat dijumpai pada dataran rendah dan datarantinggi (di atas 700 mdpl).

Selain sebagai tanaman utama dengan polamonokultur, padi gogo dapat dibudidayakan secaratumpang sari dengan tanaman perkebunan dan hutantanaman industri (Toha et al. 2009). Padi ditanam di sela-sela tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, kelapadalam, karet, dan cokelat, dan hutan tanaman industriseperti jati, akasia dan meranti. Selain itu padi gogo jugapotensial ditanam di sela-sela tanaman hortikulturatahunan seperti jeruk dan durian. Pada ekosistem tersebutpadi gogo dapat ditanam di sela-sela tanaman utamasampai naungannya mencapai 50% (Sopandie et al.2005). Toha et al. (2009) mengestimasi luas lahanperkebunan dan HTI yang potensial untuk pengembanganpadi gogo mencapai 2 juta ha per tahun.

PERMASALAHAN BUDI DAYA PADI GOGO

Produktivitas padi gogo berkisar dari yang terendah 1.93t/ha di Kalimantan Barat sampai tertinggi 4.48 t/ha diJawa Barat (Tabel 1). Rendahnya produktivitas padi gogodisebabkan oleh masalah abiotik, biotik dan sosialekonomi pada lahan kering. Masalah abiotik utama padalahan kering antara lain kemasaman tanah dan keracunanaluminium, kesuburan tanah yang rendah, kekeringan,naungan dan suhu dingin. Masalah biotik utama padapertanaman padi gogo adalah penyakit blas.

Defisiensi Hara, Kemasaman Tanah danKeracunan Aluminium

Sekitar 80% areal lahan kering yang dimanfaatkan untukproduksi padi gogo tergolong tidak subur (Toha et al. 2009).Tingkat kesuburan tanah yang rendah ini antara laindisebabkan oleh reaksi fisiko-kimia yang berlangsungdalam kondisi aerobik dan oksidatif yang menyebabkankemasaman tanah dan ketidaktersediaan unsur hara bagitanaman (Fagi et al. 2004). Unsur hara yang sering tidaktersedia pada lahan kering adalah fosfor (P), besi (Fe),kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan seng (Zn) (Dobermanand Fairhust 2000, Fagi et al. 2004).

Page 5: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

97

Di antara hara penting yang tidak tersedia pada lahankering adalah P. Defisiensi P dapat mengganggupertumbuhan dan hasil tanaman padi (Doberman andFairhust 2000, Ismail et al. 2007, Vinod and Heuer 2012).Kekurangan hara P menjadi masalah serius karenamerupakan unsur hara esensial dan berperan pentingdalam penyimpanan dan transfer energi sertapemeliharaan integritas membran tanaman. Tanamankekurangan P tumbuh kerdil dengan warna daun hijautua, perkembangan akar tertekan, dan jumlah anakansedikit (Doberman and Fairhurst 2000).

Masalah utama lain yang terjadi pada lahan keringadalah kemasaman tanah yang tinggi, yang disebabkanoleh tercucinya basa-basa tanah akibat curah hujan yang

tinggi (Rochayati dan Dariah 2012). Tingkat kemasamanberagam antartipe tanah. Tanah Podsolik Merah Kuning(PMK) bereaksi masam dan memiliki tingkat keracunanaluminium tinggi yang mempengaruhi pertumbuhantanaman padi (Kochian et al. 2004). Keracunanaluminium terjadi jika kejenuhan Al lebih dari 30%, pHtanah kurang dari 5,0 dan kandungan Al di tanah lebihdari 1-2 mg Al/l (Doberman and Fairhurst 2000). Gejalaumum yang ditunjukkan oleh tanaman yang mengalamikeracunan aluminium adalah terhambatnya pertumbuhanakar, klorosis pada helaian daun sehingga daun menjadiberwarna oranye kekuningan, dan tanaman tumbuh kerdil(Doberman and Fairhurst 2000).

Tabel 1. Luas panen dan produktivitas padi gogo per provinsi di Indonesia pada tahun 2012-2014.

2012 2013 2014Propinsi

Luas panen Produktivitas Luas panen Produktivitas Luas panen Produktivitas(ha) (t/ha) (ha) (t/ha) (ha) (t/ha)

Jawa Timur 137338 5,09 139205 4,75 138337 4,42Jawa Barat 125844 4,12 131436 4,14 124934 4,48Kalimantan Barat 107632 1,91 103972 1,88 95399 1,93Jawa Tengah 74754 4,29 80207 4,21 83638 4,23Nusa Tenggara Timur 63708 2,62 65352 2,24 74614 2,19Sumatera Selatan 81015 2,69 81263 2,96 65307 2,51Nusa Tenggara Barat 56688 3,78 55217 4,07 62108 3,42Kalimantan Tengah 83054 2,24 77822 2,28 55979 2,30Kalimantan Selatan 47518 3,14 46446 3,12 50836 3,12Lampung 64630 2,98 53611 3,07 47981 3,12Daerah Istimewa Yogyakarta 43567 4,79 44719 4,48 43236 4,64Sumatera Utara 50792 3,21 45624 3,43 40594 3,46Sulawesi Selatan 15871 3,89 31059 3,83 38263 3,09Kalimantan Timur 49125 2,57 29285 2,78 28930 2,77Banten 28768 3,34 37330 3,44 24764 3,33Jambi 24926 3,02 23902 3,13 24268 3,19Riau 26366 2,23 20722 2,23 20975 2,30Sulawesi Utara 14378 2,42 13560 2,52 19503 2,61Bengkulu 16317 1,91 11295 2,19 15417 2,16Kalimantan Utara 0 0,00 14271 2,27 12100 2,38Sumatera Barat 8893 3,23 8610 3,07 11694 2,82Aceh 6374 2,47 7728 2,47 9547 2,51Maluku Utara 4153 2,31 4421 2,64 6881 2,71Sulawesi Tenggara 9986 2,88 10243 3,14 6858 3,15Sulawesi Tengah 7171 2,57 6898 2,94 5959 2,62Sulawesi Barat 7191 2,91 6841 1,91 5921 3,31Kepulauan Bangka Belitung 3730 1,81 4203 1,87 5521 1,98Gorontalo 38 3,16 2029 2,80 4699 2,36Papua 1198 3,25 2773 3,20 3612 3,36Maluku 1477 2,45 1929 2,61 1182 3,09Papua Barat 1158 2,72 729 2,63 592 2,64Bali 653 2,07 547 2,03 221 2,24Kepulauan Riau 5 2,20 0 - 0 -

Total 1164318 1163249 1129870

Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian, https://aplikasi,pertanian,go,id/bdsp/newdata,asp

Page 6: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

98

Kekeringan

Kekeringan menjadi masalah utama budi daya padi gogodi wilayah dengan periode musim hujan yang pendek. DiIndonesia luas lahan kering tipe tersebut sekitar 8% darikeseluruhan lahan kering (Fagi et al. 2004). Meskipunluas areal padi gogo yang rawan kekeringan tidak terlalubesar, namun ke depan diperkirakan semakin meluasakibat perubahan iklim global (Sutrisno et al. 2012).Fenomena El Nino yang semakin sering terjadi yangberdampak terhadap kekeringan (Irawan 2013).

Stres kekeringan merupakan masalah yang sangatkompleks dan pengaruhnya berbeda antarstadia tanaman,antarmusim, dan antarlokasi (Li and Xu 2007). Cekamankekeringan pada fase reproduktif seperti saat primordia,pembungaan, dan pengisian gabah berpengaruh lebihbesar terhadap penurunan hasil padi.

Suhu rendah

Cekaman suhu rendah menjadi masalah utama dalampengembangan padi gogo di dataran tinggi (Shrestha etal. 2012, Sipaseuth et al. 2007). Diperkirakan terdapatsekitar 2,07 juta ha lahan kering di dataran tinggi(Abdulrachman et al. 2008) yang potensial untukpengembangan tanaman pangan. Temperatur udara yangterlalu rendah pada fase vegetatif dapat mengganggupertumbuhan padi (Andaya and Mackill 2003) dan padafase reproduktif dapat menyebabkan kegagalan pengisiangabah atau sterilitas (Shimono et al. 2007, Ye et al. 2010).

Intensitas cahaya rendah

Masalah naungan atau intensitas cahaya yang rendahmenjadi pembatas utama dalam budi daya padi gogosebagai tanaman sela di antara tanaman tahunan.Intensitas cahaya yang rendah dapat mengganggu prosesmetabolisme tanaman, menurunkan laju fotosintesis danbiomas tanaman (Sopandie et al. 2003, Qi-Hua et al.2014, Wang et al. 2015). Selain menurunkan hasil gabah,intensitas cahaya rendah diduga dapat menurunkan mutugabah seperti meningkatkan butir berkapur pada beras(Qi-Hua et al. 2014).

Penyakit blas

Penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia griseamenjadi masalah biotik utama dalam pengembangan padigogo khususnya pada lahan kering dengan periode musimpertanaman yang panjang. Penyakit ini dapat merusaktanaman pada semua stadia tumbuh tanaman, mulai darifase bibit, vegetatif sampai fase reproduktif (Sudir et al.2014). Pada fase vegetatif, penyakit blas umumnya

menginfeksi bagian daun yang disebut blas daun,sedangkan pada fase reproduktif menginfeksi bagianpangkal malai yang disebut blas leher. Kerugian akibatpenyakit blas bervariasi dari ringan hingga gagal panenatau puso, bergantung pada virulensi patogen, varietas yangditanam, dan karakteristik lingkungan, khususnyakelembaban udara. Patogen blas memiliki banyak varianras dan sangat dinamis serta mudah beradaptasi padalingkungan tumbuh yang baru. Akibatnya, varietas padi yangsemua tahan blas menjadi patah ketahanannya dalambeberapa musim tanam (Suwarno et al. 2001b, Santosoet al. 2007, Cruz et al. 2009, Sudir et al. 2014).

PEMULIAAN PADI GOGO

Kompleksitas permasalahan abiotik dan biotik yangmenghambat peningkatan produksi padi gogo dapat diatasidengan teknologi budi daya yang tepat. Penggunaanvarietas unggul yang adaptif pada lahan kering merupakanteknologi utama yang menentukan keberhasilan budi dayapadi gogo. Untuk mendapatkan varietas unggul padi gogoyang adaptif terhadap cekaman abiotik dan biotik padalahan kering dibutuhkan sumber gen dengan sifat-sifatpenting, seperti toleransi terhadap cekaman lingkungan,sifat unggul agronomi dan sifat unggul mutu beras. Sumber-sumber sifat penting tersebut dikombinasikan melaluiteknik pemuliaan tanaman, diseleksi, dan dievaluasisehingga menjadi varietas unggul baru.

Sumber Sifat Penting untuk Perbaikan Padi Gogo

Beragam sumber genetik digunakan dalam upayaperbaikan padi gogo. Sifat-sifat penting seperti toleransiterhadap cekaman abiotik dan biotik, sifat agronomi danmutu beras, sebagian besar dapat diperoleh dari genepool padi Oryza sativa yang dapat berupa varietas lokal,galur elit, varietas unggul, dan galur introduksi (Tabel 2).Dengan pemanfaatan bioteknologi, sifat-sifat pentingtersebut juga dapat diperoleh dari kerabat liar padi danbahkan dari luar gene pool padi.

Metode Pemuliaan Padi Gogo

Pemuliaan padi gogo dilakukan secara konvensional danbantuan bioteknologi seperti penanda molekuler(Prasetiyono et al. 2008, Mulyaningsih et al. 2010a),penggunaan haploid ganda (Herawati et al. 2009) danrekayasa genetika (Mulyaningsih et al. 2010b). Selainitu, teknik mutasi juga berpeluang digunakan untukperbaikan sifat padi gogo (Lestari et al. 2010, Benny 2016).Perakitan varietas padi gogo umumnya diawali denganpersilangan untuk menggabungkan sifat-sifat penting kedalam satu populasi. Populasi tersebut selanjutnya

Page 7: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

99

Tabel 2. Sifat penting sumber genetik padi gogo.

Sifat penting Sumber genetik

Toleran kekeringan Salumpikit, Inpago LIPIGO 1, Inpago LIPIGO 2, Inpago LIPIGO 4, B11593F-MR-48, Ramces, Selegreng, Dular,Gajah Mungkur, Tarajo, Kainat. NERICA 4

Toleran keracunan Al IR60080-23, ITA131, B11923F-MR-35-5, B11604E-TB-2-10-10, B12154D-MR-22-8, B12838E-TB-9-11,B11423G-MR-1, B12497E-MR-45, Batutegi, Danau Gaung, Grogol

Toleran naungan B11604E-MR-2-4, B12165D-MR-8-6, B12151D-MR-53, Jatiluhur, C22, Seratus Malam, IR26Toleran suhu rendah Sigambiri Merah, Sigambiri Putih, Srintil, Padi Mandailing, SarinahTahan blas Klemas, Asahan, Gampai, Cenggong, Progol, IRBLkp-K60-IRBLta2-Re, IRBLz5-R, IRBLi-F5, IRBLkh-K3Mutu beras baik HSPR, Basmati, Siam Mutiara, Siam Rukut, Siam SabaAromatik Sintanur, Pandawangi, Mentik WangiKetan Lusi, Ciasem, TDK 1-Sub1-MR-1-2Beras merah Inpago 7, Inpari 24 GabusanPotensi hasil tinggi Batutegi, Inpago 4, Inpago 8, Memberamo, Cimelati, Fatmawati, Gilirang,Vigor Ciherang, Mekongga, Logawa

Sumber: Hairmansis et al. (2015c)

diseleksi, dievaluasi, dan diuji daya adaptasinya hinggadiperoleh galur harapan yang siap diusulkan untuk dilepasmenjadi varietas unggul (Gambar 1).

Perbaikan Beberapa Sifat Penting Padi Gogo

Permasalahan yang terjadi pada lahan kering bersifatspesifik dan berbeda dengan lahan sawah, antara lainpenyakit blas, keracunan Al, dan kekeringan. Penyakitblas menjadi masalah utama pada padi gogo karenacendawan penyebab penyakit ini sangat dinamis dan

dapat berubah dalam waktu cepat. Sejumlah genketahanan terhadap blas telah teridentifikasi dan galur-galur monogenik yang membawa gen ketahanan terhadapblas telah dikembangkan sebagai varietas diferensial(Tsunematsu et al. 2000, Telebanco-Yanoria et al. 2008).Sejumlah varietas lokal Indonesia juga diketahui dapatmenjadi sumber penting ketahanan terhadap blas (Amiret al. 2001).

Masalah utama dalam perakitan varietas gogo adalahketahanannya yang cepat patah terhadap penyakit blas,hanya dalam beberapa musim tanam (Suwarno et al.2009). Oleh karenanya perbaikan ketahanan padi terhadapblas perlu menggunakan lebih beragam sumber genetik.Untuk gen-gen yang telah terkarakterisasi, introduksi genbaru dapat dirakit secara efisien menggunakan metodesilang balik dengan bantuan marka molekuler (Suwarnoet al. 2001a, Divya et al. 2014). Kombinasi beberapa genketahanan dalam satu varietas (gene pyramiding)berpeluang meningkatkan durabilitas ketahanan paditerhadap blas (Koide et al. 2010). Suwarno et al. (2009)mengajukan konsep paket varietas dalam pengendalianpenyakit blas. Paket varietas padi gogo tersebut terdiriatas beberapa varietas dengan pola ketahanan terhadapblas yang beragam untuk ditanam di suatu kawasan gunamengantisipasi perubahan ras blas.

Perbaikan toleransi terhadap keracunan Al menjadisalah satu prioritas dalam pemuliaan padi gogo.Keragaman toleransi plasma nutfah padi terhadapkeracunan Al telah diinformasikan dalam banyak literatur(Wirnas et al. 2002, Famoso et al. 2011, Shu et al. 2015).Seleksi terhadap galur padi gogo yang toleran cekamanAl pada fase vegetatif dapat dilakukan secara efisienmenggunakan larutan hara (Lubis et al. 2007). Namunseleksi secara langsung terhadap sifat padi gogo padalahan masam dinilai lebih efektif untuk mendapatkanvarietas padi gogo yang toleran aluminium (Yullianida et

Persilangan

F1

Seleksi Bastarpopulasi (F2-F6)

Seleksi Pedigree (F7-F8)

Observasi dayahasil

Uji Daya HasilPendahuluan

Uji Daya HasilLanjutan

PelepasanVarietas

Dilakukan di lahankering

Skrin

ing

keta

hana

nan

terh

adap

ceka

man

abio

tik, b

iotik

dan

mut

ube

ras

Dilakukan di lahansawah

Uji Multilokasi

Gambar 1. Proses pemuliaan padi gogo mulai dari persilanganhingga pelepasan varietas.

Page 8: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

100

al. 2015). Teridentifikasinya sejumlah QTL yangmengendalikan sifat toleran aluminium pada padiberpeluang dimanfaatkan dalam program pemuliaanmenggunakan bantuan penanda molekuler (Nguyen et al.2001, Famoso et al. 2011).

Upaya perbaikan toleransi tanaman padi terhadapkekeringan telah banyak dilakukan, baik secarakonvensional (Bernier et al. 2008) maupun denganbantuan bioteknologi seperti marka molekuler (Steele etal. 2006, Bernier et al. 2008), kultur jaringan (Lestari danMariska 2006), dan rekayasa genetik (Gaudin et al. 2013).Meskipun telah banyak dilaporkan sifat-sifat morfologi ataufisiologi yang berperan dalam toleransi tanaman paditerhadap kekeringan, seleksi secara langsung terhadapsifat hasil padi gogo lebih efektif untuk mendapatkanvarietas toleran kekeringan. Penggunaan marka molekuleryang terpaut QTL dengan pengaruh yang besar terhadaptoleransi kekeringan pada padi potensial dimanfaatkandalam membantu perbaikan sifat ini (Bernier et al. 2008).

Pendekatan Seleksi Varietas Partisipatif dalamPerakitan Varietas

Salah satu permasalahan dalam pengembangan varietasunggul adalah rendahnya tingkat adopsi oleh petani. Halini dapat disebabkan antara lain oleh keragaman preferensipetani atau ketidaksesuaian antara pilihan pemulia danpreferensi petani. Pendekatan seleksi varietas secarapartisipatif (Participatory Varietal Selection = PVS) yangdiintegrasikan ke dalam pemuliaan tanaman dapatmengakomodasi preferensi petani terhadap varietas padigogo (Atlin et al. 2002, Hairmansis et al. 2008, Hairmansiset al. 2015a, Hairmansis et al. 2015b). Dalam PVS, petanidilibatkan untuk menyeleksi galur-galur hasil pemuliaanpada generasi lanjut. Dari sejumlah PVS yang telahdilakukan terlihat bahwa preferensi petani terhadap suatugalur sangat beragam, baik dalam satu wilayah maupunantarwilayah (Atlin et al. 2002, Hairmansis et al. 2008,Hairmansis et al. 2015a, Hairmansis et al. 2015b,Hairmansis et al. 2015d). Galur-galur yang terseleksimelalui PVS diharapkan dapat lebih mudah diadopsi petani.

STATUS PEMULIAAN PADI GOGO DANARAH PENELITIAN KE DEPAN

Program pemuliaan padi gogo di Indonesia dilakukan olehberbagai lembaga penelitian, antara lain Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga AtomNasional (BATAN), dan perguruan tinggi seperti InstitutPertanian Bogor (IPB), Universitas Jenderal Soedirman(Unsoed), dan Universitas Mataram. Dalam kurun waktu

2000-2015 Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan12 varietas unggul baru padi gogo (Tabel 3). Dari 12 varietastersebut, delapan varietas di antaranya dilepas setelahtahun 2010 melalui Program Konsorsium Padi Nasionalyang melibatkan Badan Litbang Pertanian, PerguruanTinggi, dan Lembaga Penelitian Non- Departemen sepertiLIPI dan BATAN. Melalui program konsorsium tersebut,perguruan tinggi yang memiliki program pemuliaan padigogo seperti Universitas Jenderal Soedirman danUniversitas Mataram juga telah menghasilkan varietasunggul padi gogo. Demikian juga LIPI telah berhasilmelepas varietas unggul padi gogo Inpago Lipigo 1, InpagoLipigo 2, dan Inpago Lipigo 4.

Ketahanan blas dan toleransi terhadap keracunan Almerupakan dua sifat penting yang harus dimiliki olehvarietas unggul padi gogo. Sebagian besar arealpertanaman padi gogo di Indonesia tergolong daerahdengan musim hujan yang panjang dengan tingkatkemasaman tanah yang tinggi. Pada Tabel 3 terlihat hampirsemua varietas padi gogo yang dilepas memilikiketahanan terhadap beragam ras blas dan toleranterhadap keracunan Al. Varietas Inpago 5, Inpago 8, Inpago9, dan Inpago 10 toleran terhadap kekeringan sehinggapengembangannya dapat direkomendasikan pada wilayahdengan musim hujan yang pendek.

Dari segi mutu berasnya, varietas unggul padi gogobaru umumnya bertekstur sedang sampai pulen denganbentuk yang beragam, dari bulat sampai ramping. Keduakarakter mutu tersebut menjadi penentu utamapenerimaan suatu varietas di samping rendemen dankebeningan. Sebagian besar konsumen di Indonesiamenyukai beras bertekstur pulen, hanya di SumateraBarat dan sebagian Kalimantan yang penduduknya lebihmenyukai beras bertekstur pera. Perbaikan varietas padigogo masih diperlukan, terutama untuk meningkatkanrendemen beras giling karena hingga sebagian besarvarietas yang dilepas masih memiliki rendemen berasgiling yang lebih rendah dibandingkan dengan padi sawahvarietas seperti Ciherang yang menjadi salah satu patokanmutu beras di pasar.

Hingga saat ini belum ada varietas unggul padi gogountuk lahan kering dataran tinggi di atas 700 m dpl.,padahal potensi lahan yang tersedia cukup luas. Olehkarena itu, sejak tahun 2011 dimulai program perakitanvarietas unggul padi gogo untuk dataran tinggi. Dariprogram tersebut teridentifikasi sejumlah galur yangpotensial dikembangkan pada lahan kering dataran tinggi(Hairmansis et al. 2015d). Beberapa galur potensial saatini sedang diuji multilokasi sebelum dilepas menjadivarietas unggul.Hingga saat ini terdapat beberapa galurpadi gogo dataran tinggi yang menunjukkan performa yangbaik sampai ketinggian lokasi sekitar 900 m dpl. Pada

Page 9: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

101

Tabe

l 3. K

arak

teris

tik v

arie

tas

ungg

ul p

adi g

ogo

yang

dile

pas

Bad

an L

itban

g P

erta

nian

dal

am p

erio

de 2

000-

2015

.

Pot

ensi

Rat

a-ra

taVa

rieta

sN

omor

gal

urP

ersi

lang

anTa

hun

Um

urA

milo

saTe

kstu

rB

entu

kha

sil

hasi

lS

ifat u

nggu

ldi

lepa

s(h

ari)

(%)

nas

iga

bah

(t/h

a)(t

/ha)

Dan

au G

aung

TB16

5E-T

B-1

2A

RC

1037

2/B

6135

/20

0111

0-11

624

,0S

edan

gPa

njan

g5,

53,

4Ta

han

blas

, aga

k to

lera

n A

l,W

ay R

arem

seda

ngto

lera

n Fe

, ber

eaks

i mod

erat

terh

adap

kek

erin

gan

Bat

uteg

iTB

154E

-TB-

2B

6876

B-M

R-1

0/20

0111

2-12

022

,3Pu

len

Bula

t6,

03,

0Ta

han

blas

, aga

k to

lera

n A

l,B

6128

B-T

B-1

5se

dang

bere

aksi

mod

erat

ter

hada

pke

kerin

gan

Situ

Pat

engg

ang

BP

1153

C-9

-12

Kar

tuna

/TB

47H

-MR

-10

2003

110-

120

24,0

Sed

ang

Aga

k ge

muk

6,0

4,6

Taha

n bl

as, a

rom

atik

Situ

Bag

endi

tS

4325

D-1

-2-3

-1B

atur

/ 2*

S28

23-7

2003

110-

120

22,0

Pule

nPa

njan

g6,

04,

0A

gak

taha

n bl

as, a

gak

taha

nD

-8-1

-Ara

mpi

ngha

war

dau

n ba

kter

iIn

pago

4TB

490C

-TB

-1-2

-1B

atut

egi/C

igeu

lis/

2010

124

21,9

Pule

nR

ampi

ng6,

14,

1Ta

han

blas

, tol

eran

Al

Cih

eran

gIn

pago

5B

1133

8F-T

B-2

6TB

177E

-TB

-28-

D-3

/20

1011

818

,0S

anga

tR

ampi

ng6,

24,

0Ta

han

blas

, aga

k to

lera

n A

l,B

1038

4E-M

R-1

-8-3

//pu

len

tole

ran

keke

ringa

nIR

6008

0-23

///TB

177E

-TB

-28-

D-3

/B

1038

6E-K

N-3

6-2/

/B

L245

Inpa

go 6

IR30

176-

B-2

-MR

-1IR

AM21

65/N

C12

8120

1011

322

,0Pu

len

Ram

ping

5,8

3,9

Taha

n bl

as, a

gak

tole

ran

Al

Inpa

go 7

B124

98E-

MR

-1IR

6888

86/B

P68/

2011

114

20,3

Pule

nS

edan

g7,

44,

8Ta

han

blas

, ber

as m

erah

Sle

gren

g//M

anin

jau/

Asa

han

Inpa

go 8

TB40

9B-T

B-1

4-3

Cira

ta/T

B17

720

1211

922

,3Pu

len

Panj

ang

8,1

5,2

Taha

n bl

as, a

gak

tole

ran

Al,

tole

ran

keke

ringa

nIn

pago

9B1

2151

D-M

R-4

UPL

RI/I

RAT

1320

1210

922

,3S

edan

gB

ulat

bes

ar8,

44,

6Ta

han

blas

, tol

eran

Al,

agak

tole

ran

keke

ringa

nIn

pago

10

B11

579E

-MR

-7-1

-1TB

154E

/ IR

AT14

4/20

1411

525

,0S

edan

gS

edan

g7,

34,

0Ta

han

blas

, aga

k to

lera

n A

l,IR

AT37

9ag

ak to

lera

n ke

kerin

gan

Inpa

go 1

1B1

2151

D-M

R-1

1U

PLR

I/IR

AT15

2015

111

21,3

Sed

ang

Bul

at b

esar

6,0

4,1

Taha

n bl

as, m

oder

at te

rhad

apke

kerin

gan

Page 10: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

102

TANTANGAN PENGEMBANGAN PADI GOGODAN STRATEGI PEMECAHAN

Permasalahan utama dalam pengembangan padi gogoadalah terbatasnya benih yang tersedia di pasar (Nugrahaet al. 1997, Wahyuni et al. 2006). Usahatani padi gogosebagian besar masih bersifat subsisten, yangmenyebabkan keengganan produsen atau penangkaruntuk memproduksi benih varietas unggul padi gogo. Olehkarena itu, petani di lahan kering terus berulang menanambenih padi lokal yang mereka produksi sendiri ataumembeli benih varietas unggul padi sawah yang tersediadi pasar. Jalan keluar permasalahan ketersediaan benihvarietas unggul padi gogo di tingkat petani, dapat melaluisistem perbenihan informal berbasis komunal (CommunityBased Seed System) (Cruz et al. 2009, Manzanilla et al.2013). Melalui sistem tersebut petani atau kelompok tanidibina untuk mampu menghasilkan benih varietas unggulpadi gogo dari pertanaman mereka sendiri.

Tantangan lain pengembangan padi gogo adalahketahanan varietas yang mudah patah terhadap penyakitblas, hanya dalam beberapa musim tanam (Suwarno etal. 2009). Hal tersebut disebabkan oleh tingginyavariabilitas patogen blas di lapang dan kemampuanpatogen untuk melakukan rekombinasi membentuk rasyang baru (Ziegler 1998, Santoso et al. 2007, Sudir et al.2014). Hal ini diduga menjadi salah satu penyebabbertahannya populasi padi lokal yang memiliki ketahananstabil terhadap blas. Koleksi padi gogo lokal di Lampungmengindikasikan bahwa dalam satu populasi ditemukankeragaman yang tinggi (Suwarno et al. 2009).

Untuk meningkatkan stabilitas ketahanan varietas padigogo terhadap penyakit blas perlu memanfaatkansebanyak mungkin gen ketahanan dalam perbaikanvarietas. Penggabungan beberapa gen ketahanan dalamsatu varietas diharapkan dapat meningkatkan stabilitasketahanan terhadap blas. Selain itu distribusi beragamvarietas unggul dengan ketahanan terhadap blas yangberbeda di satu wilayah dapat menjadi strategi pentinguntuk menekan kehilangan hasil akibat penyakit blas,sekaligus meningkatkan stabilitas ketahanan varietasunggul (Suwarno et al. 2009). Usaha tersebut dapatdikomplementasikan dengan sistem perbenihan berbasiskomunal, di mana petani dalam suatu wilayah diarahkanuntuk menanam lebih beragam varietas unggul dan salingbertukar benih dari varietas yang berbeda di antara mereka.Untuk mendukung strategi tersebut dibutuhkanketersediaan varietas unggul tahan blas yang lebihberagam.

Pengembangan padi gogo memberikan peluang bagiupaya peningkatan produksi beras nasional.Kecenderungan penurunan luas lahan sawah irigasi juga

elevasi yang lebih tinggi (di atas 1.000 m dpl.), penampilangalur-galur elit pemuliaan masih di bawah varietas lokalyang adaptif seperti Sigambiri Putih dari Sumatera Utara.Untuk itu program pemuliaan padi gogo dataran tinggisaat ini diarahkan untuk mendapatkan galur padi gogoyang lebih adaptif pada lahan kering dataran tinggi di atas1.000 m dpl. Hasil persilangan varietas unggul denganvarietas lokal Sigambiri Putih saat ini dalam proses seleksigenerasi awal sampai menengah dan diharapkan mampuberadaptasi pada lahan kering dengan elevasi di atas1.000 m.

Pengembangan padi gogo selain mengarah kedataran tinggi juga potensial dibudidayakan sebagaitanaman sela karena potensi lahannya yang cukup luas.Oleh karenanya sifat toleran naungan menjadi salah satusifat penting yang menjadi sasaran program pemuliaanpadi gogo. Pada tahun 1994 Badan Litbang Pertanianmelepas varietas Jatiluhur yang toleran naungan(Puslitbangtan 2009). Namun varietas tersebut kurangberkembang di petani. Hal ini diduga karena mutu nasinyayang kurang baik dan ketahanannya terhadap penyakitblas sudah menurun. Pemuliaan padi gogo juga diarahkanuntuk mendapatkan varietas yang toleran naungan, tahanblas, dan memiliki mutu beras yang baik. Persilangandilakukan dengan memanfaatkan donor-donor tolerannaungan untuk digabungkan dengan sifat penting lainseperti ketahanan terhadap blas, toleransi terhadapkekeringan, keracunan aluminium, dan mutu beras.Seleksi dilakukan dengan metode bastar populasi danpedigree. Skrining naungan dilakukan secara artificial dibawah paranet dan secara alami di bawah tegakan pohonkelapa. Dari program seleksi tersebut telah diperolehbeberapa galur harapan yang akan diuji di beberapa lokasisebagai syarat pelepasan (Tabel 4).

Tabel 4. Galur harapan padi gogo toleran naungan yang akan diujimultilokasi pada MH 2015-2016.

Tinggi Jumlah UmurGalur dan varietas tanaman anakan panenpembanding (cm) (batang) (hari)

B13636G-TB-8-WN-1 118,00 7,67 102B12168D-MR-38-1-6-TB-1 122,00 10,33 112B11579E-MR-7-1-1 134,33 6,33 112B12154D-MR-10 114,00 4,00 103B12492C-MR-21-2-1 113,67 6,67 102B12159D-MR-40-1 130,67 5,67 103B12056F-TB-1-64-6 128,67 8,67 103B10580E-KN-28-1-1 98,33 7,33 106B13655E-TB-13 102,33 9,00 102B11579E-MR-7-1-1-1 (ungu) 100,33 9,67 102B11930F-TB-2 95,33 5,67 103B12825E-TB-2-4 88,67 10,00 103

Sumber: BB Padi (2015)

Page 11: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

103

dapat menjadi faktor pendorong bagi pengembangan lahankering sebagai lumbung padi nasional. Dukungan programpemuliaan padi gogo untuk merakit varietas unggul yangadaptif terhadap berbagai cekaman lingkungan danperbaikan sistem perbenihan dapat menjadi katalis dalampeningkatkan produksi padi pada lahan kering.

Perbaikan varietas padi gogo melalui programpemuliaan perlu terus diupayakan agar varietas unggulyang dihasilkan lebih sesuai dengan kebutuhan pasar danmemiliki daya adaptasi yang lebih baik pada lahan kering.Peningkatan kapabilitas program pemuliaan dapatditingkatkan dengan memperkuat kerja sama penelitianantarlembaga penelitian pemuliaan di dalam dan luarnegeri. Selain itu, pemuliaan berbasis molekuler juga perlulebih dipertajam untuk meningkatkan efisiensi danpresisinya.

KESIMPULAN

Lahan kering di Indonesia berpotensi besar mendukungupaya peningkatan produksi beras nasional, sehinggaperlu didukung oleh tersedianya varietas unggul padi yangadaptif pada lahan kering. Upaya perbaikan sifat padi gogodihadapkan kepada tantangan yang lebih berat karenaadanya keragaman sifat fisik, klimatik dan ekobiologislahan kering. Pemuliaan dengan target agroekologi spesifiklebih berpeluang berhasil mendapatkan varietas unggulyang adaptif. Teknik pemuliaan shuttle breeding danfarmers’ participatory breeding dinilai lebih sesuai.

Sifat-sifat yang perlu diprioritaskan dalam pemuliaanpadi gogo antara lain tahan penyakit blas, tolerankekeringan, toleran keracunan aluminium, dan tolerannaungan. Adopsi varietas unggul padi gogo oleh petaniditentukan oleh ketersediaan benih bermutu di tingkatpetani. Dalam hal ini diperlukan dukungan sistemperbenihan yang kuat untuk keberlanjutan produksi padipada lahan kering.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategidan teknologi pengelolaan lahan kering mendukungpengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian27(2):43-49.

Amir, M., A. Nasution, Santoso, and B. Courtosis. 2001.Pathogenecity of four blast races isolated from IR64.In: Kardin, M.K., I. Prasadja, and M. Syam. Upland RiceResearch in Indonesia Current Status and FutureDirection. Central Research Institute for Food Crops.Bogor. p.47-54.

Andaya, V. and D. Mackill. 2003. Mapping of QTLs associatedwith cold tolerance during the vegetative stage in rice.J. Exp. Bot. 54:2579-2585.

Atlin, G.N., T. Paris, B. Linquist, S. Phengchang, K.Chongyikangutor, A. Singh, V.N. Singh, J.L. Dwivedi, S.Pandey, P. Cenas, M. Laza, P.K. Sinha, N.P. Mandal,and Suwarno. 2002. Integrating conventional andparticipatory crop improvement in rainfed rice. In:Witcombe, J, L.B. Parr, and G.N. Atlin (Eds.). Breedingrainfed rice for drought-prone environments: integratingconventional and participatory plant breeding for Southand Southeast Asia. Proceedings of a DFID PlantSciences Research Programme/IRRI Conference, 11-15 March 2002, IRRI, Los Baños, Laguna, Philippines.Bangor and Manila: Department for InternationalDevelopment (DfID) Plant Sciences ResearchProgramme, Centre for Arid Zone Studies, andInternational Rice Research Institute. pp 36-39.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi). 2015.Kemajuan perakitan varietas padi gogo tolerannaungan. Dalam: Laporan Bulanan Balai BesarPenelitian Tanaman Padi Mei 2015. Balai BesarPenelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 23p.

Benny, W.R. 2016. Perbaikan genetik tinggi dan umurtanaman padi beras hitam lokal Sumatera Baratmelalui mutasi induksi dengan iradiasi sinar gamma.Disertasi. Universitas Andalas.

Bernier, J., G.N. Atlin, R. Serraj, A. Kumar, and D. Spaner.2008. Breeding upland rice for drought resistance.Journal of the Science of Food and Agriculture88(6):927-939.

Cruz, C.V., N. Castilla, S. Suwarno, E. Hondrade, R.Hondrade, T. Paris, and F. Elazegui. 2009. Ricedisease management in the uplands of Indonesia andthe Philippines. In: Haefele, S.M. and A.M. Ismail (Eds.).Natural resource management for proverty reductionand environmental sustainability in fragile rice-basedsystems. Limited Proceedings 15: 10-18. IRRI. Manila.Philippines.

Divya, B., S. Robin, R. Rabindra, S. Senthil, M. Raveendran,and A.J. Joel. 2014. Marker assisted backcrossbreeding approach to improve blast resistance in Indianrice (Oryza sativa) variety ADT43. Euphytica 200(1):61-77.

Doberman, A. and T. Fairhust. 2000. Rice nutrient disordersand nutrient management. Potash and PhosphateInstitute of Canada and International Rice ResearchInstitute. Manila. p.191.

Fagi, A.M., H.M. Toha, dan J.S. Baharsyah. 2004. Potensipadi gogo dalam swasembada beras. Dalam:Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Eds.).Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian. Jakarta. p.347-372.

Famoso, A.N., K. Zhao, R.T. Clark, C.W. Tung, M.H. Wright,C. Bustamante, L.V. Kochian, and S.R. McCouch. 2011.Genetic architecture of aluminum tolerance in rice(Oryza sativa) determined through genome-wide

Page 12: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

104

association analysis and QTL mapping. PLoS Genet.7(8):1002221.

Gaudin, A.C., A. Henry, A.H. Sparks, and I.H. Slamet-Loedin.2013. Taking transgenic rice drought screening to thefield. Journal Experimental Botany 64:109–117.

Hairmansis, A., A. Jamil, and Suwarno. 2015a. Participatoryapproaches in varietal improvement of upland rice inIndonesia. In: Zaini, Z., I.A. Rumanti, D.W. Soegondo,and Y. Kato. International Proceedings of UnfavorableRice Land Securing National Rice Production inIndonesia. Indonesian Center for Food CropsResearch and Development. pp.63-71.

Hairmansis, A., Supartopo, dan Suwarno. 2015b. Seleksivarietas partisipatif terhadap galur-galur elit padi gogodi lahan petani. Jurnal Ilmu Pertanian 18(2):61-68.

Hairmansis, A., Supartopo, Yullianida, Sunaryo, Warsono,Sukirman, dan Suwarno. 2015c. Pemanfaatan plasmanutfah padi (Oryza sativa) untuk perbaikan sifat padigogo. Dalam: Setyawan, A.D., Sugiyarto, A. Pitoyo, U.E.Hernawan, dan A. Widiastuti. (Eds.). Prosiding SeminarNasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia.Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Surakarta. p.14-18.

Hairmansis, A., Supartopo, Yullianida, Warsono, D.Manzanilla, C.V. Cruz, A. Jamil, and Suwarno. 2015d.Upland rice breeding lines adaptable to high elevationareas and selected through participatory approaches.Paper presented in SABRAO 13th Conggress andInternational Conference, 14-16 September 2015,Bogor.

Hairmansis, A., B. Kustianto, E. Lubis, and Suwarno. 2008.Increasing genetic diversity through participatoryvarietal selection of upland rice in Lampung. PenelitianPertanian Tanaman Pangan 27(1):9-12.

Herawati, R., B.S. Purwoko, and I.S. Dewi. 2009. Keragamangenetik dan karakter agronomi galur haploid gandapadi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kulturantera. Jurnal Agronomi Indonesia 37(2):87-94.

Irawan, B. 2013. Dampak El Nino dan La Nina terhadapproduksi padi dan palawija. Dalam: Soeparno, H., E.Pasandaran, M. Syarwani, A. Dariah, S.M. Pasaribu,N.S. Saad. (Eds.). Politik Pembangunan PertanianMenghadapi Perubahan Iklim. IAARD Press. Jakarta.p.29-51.

Ismail, A.M., S. Heuer, M.J. Thomson, and M. Wissuwa. 2007.Genetic and genomic approaches to develop ricegermplasm for problem soils. Plant Molecular Biology65:547-570.

Kementrian Pertanian (Kementan). 2014. Statistik pertanian2014. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.Kementrian Pertanian. Jakarta. 348p.

Kochian, L.V., O.A. Hoekenga, and M.A. Pineros. 2004. Howdo crop plants tolerate acid soils? Mechanisms ofAluminum tolerance and Phosphorous efficiency. Annu.Rev. Plant Biol. 55:459-493.

Koide, Y., A. Kawasaki, M.J. Telebanco Yanoria, A.Hairmansis, N.T.M. Nguyet, J. Bigirimana, D. Fujita, N.Kobayashi, and Y. Fukuta. 2010. Development ofpyramided lines with two resistance genes, Pish andPib, for blast disease (Magnaporthe oryzae B. Couch)in rice (Oryza sativa L.). Plant Breeding 129(6): 670-675.

Lestari, E.G. dan I. Mariska. 2006. Identifikasi somaklon padiGajah Mungkur, Towuti, dan IR 64 tahan kekeringanmenggunakan polyethylene glycol. Buletin Agronomi34(2):71-78.

Lestari, E.G., I.S. Dewi, R. Yunita, and D. Sukmadjaya. 2010.Induksi mutasi dan keragaman somaklonal untukmeningkatkan ketahanan penyakit blas daun padapadi Fatmawati. Bul. Plasma Nutfah 16(2):96-102.

Li, Z.K. J.L. and Xu. 2007. Breeding for drought and salttolerant rice (Oryza sativa L.): progress andperspectives. In: Jenks et al. (Eds.). Advances inMolecular Breeding Toward Drought and Salt TolerantCrops, Springer, Dordrecht, The Netherlands. pp.531-564.

Lubis, E., R. Hermanasari, Sunaryo, A. Santika, dan E.Suparman E. 2007. Toleransi galur padi gogo terhadapcekaman abiotik. Dalam: Suprihatno, B., A.A. Darajat,H. Suhart, H.M. Toha, A. Setiyono, Suprihanto, dan A.S.Yahya. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil PenelitianPadi Menunjang P2BN. Buku 2. BBPadi, Sukamandi.pp.725-732.

Manzanilla, D.O., J.D. Janiya, dan D.E. Johnson. 2013.Membangun sistem perbenihan berbasismasyarakat. Terjemahan. Zaini, Z., Hermanto, dan D.Wurjandari. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. Bogor. 234p.

Mulyaningsih, E.S., H. Aswidinnoor, D. Sopandie, P.B.Ouwerkerk, dan I.H.S. Loedin, 2010b. Transformasipadi indica kultivar Batutegi dan Kasalath dengan genregulator HD-Zip untuk perakitan varietas tolerankekeringan. Jurnal Agronomi Indonesia 38(1):1-7.

Mulyaningsih, E.S., H. Aswidinnoor, D. Sopandie, B.F. Pieter,and I.H.S.L. Ouwerkerk. 2010a. Toleransi genotipe padigogo dengan marka QTL 12.1 terhadap kekeringan.Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(2):72-81.

Nguyen, V.T., M.D. Burow, H.T. Nguyen, V. Le, T.D. Le, andA.H. Paterson. 2001. Molecular mapping of genesconferring aluminum tolerance in rice (Oryza sativaL.). Theoritical and Applied Genetics 102:1002-1010.

Nugraha, U.S., S. Wahyuni, T.S. Kadir, dan B. Nuryanto. 1997.Cara pengelolaan benih padi gogo di tingkat petanidan mutu benih yang dihasilkan. Prosiding KonggresNasional XIV dan Seminar Ilmiah PerhimpunanFitopatologi Indonesia, Palembang, 27-29 Oktober1997. p.647-651.

Prasetiyono, J., H. Aswidinnoor, S. Moeljopawiro, D.Sopandie, and M. Bustamam. 2008. Identifikasi markapolimorfik untuk pemuliaan padi toleran defisiensifosfor. Jurnal AgroBiogen 4(2):51-58.

Page 13: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Hairmansis et al.: Padi Gogo Adaptif pada Lahan Kering Suboptimal

105

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan(Puslibangtan). 2009. Deskripsi Varietas Unggul Padi1943-2009. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. Bogor. 220p.

Qi-hua, L., W. Xiu, C. Bo-cong, M. Jia-qing, and G. Jie. 2014.Effects of low light on agronomic and physiologicalcharacteristics of rice including grain yield and quality.Rice Science 21(5):243-251.

Rochayati, S. dan A. Dariah. 2012. Pengembangan lahankering masam: Peluang, tantangan dan strategi, sertateknologi pengelolaan. Dalam: Dariah, A., B. Kartiwa,N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Sarwani, H. Soeparno,dan E. Pasandaran. (Eds.) Prospek Pertanian LahanKering dalam Mendukung Ketahanan Pangan.Balitbangtan. Jakarta. p.187-204.

Santoso, A. Nasution, D.W. Utami, I. Hanarida, A.D.Ambarwati, S. Moeljopawiro, and D. Tharreau. 2007.Variasi genetik dan spektrum virulensi patogen blaspada padi asal Jawa Barat dan Sumatera. JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(8):150-155.

Shimono, H., M. Okada, E. Kanda, and I. Arakawa. 2007.Low temperature-induced sterility in rice: Evidence forthe effects of temperature before panicle initiation. FieldCrops Res. 101:221-231.

Shrestha, S., F. Asch, J. Dusserre, A. Ramanantsoanirina,and H. Brueck. 2012. Climate effects on yieldcomponents as affected by genotypic responses tovariable environmental conditions in upland ricesystems at different altitudes. Field Crops Res.134:216-228.

Shu, C., J. Wu, G. Shi, L. Lou, J. Deng, J. Wan, and Q. Cai.2015. Different aluminum tolerance among Indica,Japonica and hybrid rice varieties. Rice Science22(3):123-131.

Sipaseuth, J. Basnayake, S. Fukai, T. Farrell, M.Senthonghae, Sengkeo, S. Phamixay, B. Linquist, andM. Chanphengsay. 2007. Opportunities to increasingdry season rice productivity in low temperature affectedareas. Field Crops Res. 102:87-97.

Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti,dan Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadapnaungan. Hayati 10(2):71-75.

Steele, K.A., A.H. Price, H.E. Shashidhar, and J.R. Witcombe,2006. Marker-assisted selection to introgress rice QTLscontrolling root traits into an Indian upland rice variety.Theoretical and Applied Genetics 112(2):208-221.

Sudir, A. Nasution, Santoso, dan B. Nuryanto. 2014. Penyakitblas Pyricularia grisea pada tanaman padi dan strategipengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan 9(2):85-96.

Sumarno dan J.R. Hidayat. 2007. Perluasan areal padi gogosebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangannasional. Iptek Tanaman Pangan 2(1):26-40.

Sutrisno, N., M. Sarwani, dan E. Pasandaran. 2012.Memperkuat kemampuan pertanian lahan keringdalam menghadapi perubahan iklim. Dalam: Dariah,A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Sarwani,H. Soeparno, dan E. Pasandaran. (Eds.) Prospek

Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung KetahananPangan. Balitbangtan. Jakarta. p.123-142.

Suwarno, E. Lubis, and E. Soenarjo. 2001a. Breeding ofupland rice in Indonesia. In: Kardin, M.K., I. Prasadja,dan M. Syam. Upland Rice Research in IndonesiaCurrent Status and Future Direction. Central ResearchInstitute for Food Crops. Bogor. p.1-6.

Suwarno, E. Lubis, and E. Soenarjo. 2001b. Breeding uplandrice for resistance to blast in Indonesia. In: Kardin,M.K., I. Prasadja, dan M. Syam. Upland Rice Researchin Indonesia Current Status and Future Direction.Central Research Institute for Food Crops. Bogor. p.7-14.

Suwarno, E. Lubis, A. Hairmansis, and Santoso. 2009.Development of a package of 20 varieties for blastmanagement on upland rice. In: Wang, G.L. and B.Valent (Eds.). Advaces in genetics, genomics andcontrol of rice blast disease. Springer Science +Business B.V. p.347-357.

Telebanco-Yanoria, M. J., T. Imbe, H. Kato, H. Tsunematsu,L.A. Ebron, C.M. Vera Cruz, N. Kobayashi, and Y. Fukuta.Y. (2008) A set of standard differential blast isolates(Magnaporthe grisea (Hebert) Barr.) from thePhilippines for rice (Oryza sativa L.) resistance. JARQ42:23-34.

Toha, H.M. 2012. Pengembangan padi gogo mengatasirawan pangan wilayah marginal. Dalam: Dariah A., B.Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra, M. Sarwani, H.Soeparno, dan E. Pasandaran (Eds.). ProspekPertanian Lahan Kering dalam Mendukung KetahananPangan. Balitbangtan. Jakarta. p.143-163.

Toha, H.M., K. Pirngadi, K. Permadi, dan A.M. Fagi. 2009.Meningkatkan dan memantapkan produktivitas danproduksi padi gogo. Dalam: Daradjat, A.A., A. Setyono,A.K. Makarim, A. Hasanuddin (Eds.). Padi InovasiTenologi Produksi Buku 2. LIPI Press. Jakarta.

Toha, H.M., Suwarno, M.Y. Samaullah, A. Guswara, dan T.S.Kadir. 2008. Petunjuk teknis lapang pengelolaantanaman terpadu padi gogo. Balitbangtan. Jakarta.

Tsunematsu, H., M.J.T. Yanoria, L.A. Ebron, N. Hayashi, I.Ando, H. Kato, T. Imbe, and G.S. Khush. 2000.Development of monogenic lines of rice for blastresistance. Breeding Science 50:229-234.

Vinod, K.K. and S. Heuer. 2012. Approaches towardsnitrogen- and phosphorus-efficient rice. AoB Plants2012: pls028; doi:10.1093/aobpla/pls028

Wahyuni, S., T.S. Kadir , dan U.S. Nugraha. 2006. Hasil danmutu benih padi gogo pada lingkungan tumbuhberbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan25(1):30-37.

Wang, L., F. Deng, and W.J. Ren. 2015. Shading tolerancein rice is related to better light harvesting and useefficiency and grain filling rate during grain filling period.Field Crops Research 180:54-62.

Page 14: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

106

Wirnas, D., A. Makmur, D. Sopandie, dan H. Aswidinnoor.2002. Evaluasi ketenggangan galur padi gogoterhadap cekaman Aluminium dan efisiensipenggunaan hara kalium. Buletin Agronomi 30(2):39-44.

Ye, C., S. Fukai, I.D. Godwin, H. Koh, R. Reinke, Y. Zhou, C.Lambrides, W. Jiang, P. Snell, and E. Redoña. 2010. AQTL controlling low temperature induced spikeletsterility at booting stage in rice. Euphytica 176:291-301.

Yullianida, A. Hairmansis, Supartopo, dan Suwarno. 2015.Korelasi tingkat toleransi galur-galur padi gogoterhadap keracunan aluminium hasil skrining di rumahkaca dengan keragaan tanaman di lahan keringmasam. Makalah disampaikan dalam SeminarNasional Padi. BB Padi, Sukamandi, 6 Agustus 2015.

Ziegler, R.S. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea.Ann. Phytopathology 36:249-275.

Page 15: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

107

Pembentukan Varietas Padi Sawah Dataran TinggiToleran Cekaman Suhu Rendah

Development of High-elevation Rice VarietiesTolerant to Low Temperature

Cucu Gunarsih*, Nafisah, dan Trias Sitaresmi

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 19 Februari 2016, direvisi 30 September 2016, dan disetujui diterbitkan 23 November 2016

ABSTRACT

Low temperature becomes major constrain for rice production in high elevation. This condition causeslosses because of grain filling problem. Sub-species of japonica have a low temperature tolerance, which isbetter than indica. Indica subspecies are most grown widely in Indonesia. Low temperature tolerance is animportant character, because it is one of issue that needs more attention on plant breeding program.Indonesia local varieties with low temperature tolerance are Sarinah, Pulu ‘Mandoti, Pinjan and Lambau.Indonesian Center for Rice Research released a number of varieties tolerant to low temperature (for > 700m asl) and early maturity, namely Batang Piaman, Inpari 26, Inpari 27 and Inpari 28 Kerinci. Developingirrigated rice varieties for low temperature tolerant by utilizing local varieties, introduction, crossbreedingand biotechnology provides opportunities to obtain low temperature tolerant varieties. In developing improvedvarieties for high elevation, it is recommended to use genetic materials with good seed vigor, moderate plantheight, well exerted panicle, uniformity in flowering, and high fertility. Developing of new varieties tolerant tolow temperature through conventional breeding approach requires longer time. However, conventionalbreeding has an important role in producing tolerant varieties, although physiological mechanism of thetolerance is not much known. Therefore, molecular genetics and biotechnology as more advanced approachare needed for supporting rice breeding program for abiotic stresses.

Keywords: Rice, japonica, indica, low temperature.

ABSTRAK

Cekaman suhu rendah menjadi masalah utama bagi pertumbuhan tanaman padi di dataran tinggi. Genotipedari subspesies japonica memiliki tingkat toleransi suhu rendah lebih baik dibandingkan dengan genotipedari subspesies indica. Padi yang banyak ditanam di Indonesia adalah genotipe subspecies indica. Toleransitanaman padi terhadap suhu rendah merupakan karakter yang penting, yang perlu mendapatkan perhatiankhusus dalam pemuliaan tanaman pada dataran tinggi. Varietas lokal yang toleran suhu rendah diantaranyaSarinah, Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah melepas beberapavarietas unggul yang sesuai untuk ekosistem dataran tinggi (>700 m dpl), yaitu Batang Piaman, Inpari 26,Inpari 27 dan Inpari 28 Kerinci. Pemuliaan padi sawah untuk memperoleh genotipe toleran suhu rendahdianjurkan untuk lebih diintensifkan dengan cara memanfaatkan varietas lokal, varietas introduksi,pembuatan persilangan dan pemanfaatan bioteknologi agar meningkatkan peluang diperolehnya varietastoleran suhu rendah. Dalam pembentukan varietas unggul padi sawah dataran tinggi disarankan padakarakter vigor bibit baik, tinggi tanaman sedang, eksersi malai sempurna, pembungaan seragam, danfertilitas malai tinggi. Varietas padi yang toleran cekaman suhu rendah dan berdaya hasil tinggi akanmenguntungkan petani. Penelitian dasar tentang proses fisiologi toleran suhu rendah telah banyakdilakukan dan dapat dimanfaatkan dalam penyusunan program pemuliaan padi toleran suhu rendah lebihlanjut.

Kata kunci: Padi, japonica, indica, suhu rendah.

Page 16: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

108

PENDAHULUAN

Padi sawah dataran tinggi (>700 m dpl) berperan pentingsebagai sumber pasokan pangan beras bagi daerahpegunungan yang terisolasi. Luas areal pertanaman padidataran tinggi 14% dari total luas areal pertanamannasional dengan produktivitas yang rendah, 0,9-2,0 t/ha(Harahap 1979). Sekitar 1 juta hektar lahan sawah diIndonesia berada pada daerah dengan ketinggian di atas500 m dpl. Ekosistem tersebut tersebar di daerahpegunungan Bukit Barisan di Sumatera, dan di perbukitanJawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara,dan Papua. Rendahnya produktivitas padi di dataran tinggidisebabkan oleh penggunaan varietas lokal yang lebihtoleran suhu rendah. Padi yang ditanam di dataran tinggiumumnya varietas lokal yang berumur dalam (5-6 bulan)dan produktivitas rendah.

Beberapa varietas lokal padi dataran tinggi yang toleranterhadap cekaman suhu rendah dan adaptif dengan pupuknitrogen dosis rendah adalah Pulu’ Mandoti, Pinjan danLambau (Limbongan et al. 2009). Kelemahan ketigavarietas lokal tersebut yaitu berumur panjang danproduksinya rendah. Di dataran tinggi Garut, sejak tahun1995 varietas lokal Sarinah menggeser kedudukanvarietas Ciherang dan IR 64 (Dianawati dan Sujikno 2015).Sarinah merupakan salah satu varietas lokal yangdiputihkan pada tahun 2006 dan direkomendasikan untukditanam di dataran sedang sampai ketinggian 800 m dpl(Suprihatno et al. 2010). Varietas unggul lokal tersebutditerima petani, namun memiliki kelemahan, antara laintidak tahan terhadap hama dan penyakit. Kelemahan iniperlu diperbaiki dengan harapan memiliki sifat yang lebihbaik dan disukai petani (Daradjat et al. 2012)

Salah satu strategi pengembangan padi sawah datarantinggi adalah tesedianya varietas unggul toleran suhu rendah(Limbongan, 2008). Pemupukan padi di dataran tinggiumumnya dengan dosis rendah. Oleh karena itu, varietasunggul dataran tinggi harus mampu efisien menyerap unsurhara pada kondisi lingkungan pertumbuhan yangbercekaman. Pemuliaan padi dataran tinggi diharapkanmenghasilkan varietas unggul yang adaptif dengan masukanrendah dan spesifik lokasi (Limbongan et al. 2011).

Persilangan interspesifik dan intergenerik denganmemanfaatkan subspesies toleran suhu rendah seringterkendala oleh faktor sterilitas tanaman F1. Tulisan inimembahas pembentukan varietas padi toleran suhu rendah.

TOLERANSI SUHU RENDAH SUBSPECIESINDICA DAN JAPONICA

Padi yang dibudidayakan terdiri dari dua subspecies yaituindica dan japonica. Subspesies indica ditanam di wilayah

Asia, Afrika dan Amerika Latin dan memasok sekitar 80%produksi padi dunia. Subspesies japonica ditanam diwilayah subtropis dan dataran tinggi di Asia, wilayahEropa, Amerika Latin, Amerika Utara dan KepulauanOceania (Mackill and Lei 1997). Di dataran tinggi Cina,Jepang dan Korea, padi japonica lebih banyak ditanamdan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan padiindica. Cekaman suhu dingin pada fase reproduktifmembatasi produksi padi japonica di wilayah temperate,menghambat pertumbuhan vegetatif dan pembungaan,mengurangi fertilitas malai, dan mempengaruhi kualitasgabah (Suh et al. 2010).

Subspesies indica beradaptasi lebih baik di lingkungantropis seperti India, China dan Indonesia, sedangkansubspesies japonica pada wilayah beriklim temperateseperti Jepang, Korea dan Jawa (Takahashi 1984).Beberapa studi mengungkapkan bahwa genotipe japonicamemiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman suhudingin dibandingkan indica pada fase perkecambahan (Lee2001, Mertz et al. 2009), fase vegetatif dan reproduktif(Mackill and Lei 1997).

Wang et al. (2012) melaporkan bahwa pada perlakuansuhu rendah selama 7 hari saat fase bunting, beberapasubspesies japonica yang berasal dari Korea lebih toleransuhu rendah dibandingkan yang berasal dari Rusia danCina. Cekaman suhu rendah selama 7 hari pada fasereproduktif menyebabkan malai utama menjadi lebihpendek dibandingkan dengan kondisi normal.

Purohit dan Majumder (2009) memperoleh 10 galurterbaik berdasarkan seleksi indeks yang dilakukanterhadap galur-galur turunan tiga jalur persilangan (threeway cross) antara subspecies indica, japonica, dan widecompatible variety (WCV). Seleksi bertujuan untukmenggabungkan karakter berbunga awal (early heading)dengan potensi hasil tinggi. Seleksi dilakukan berdasarkanindeks gabungan antara hasil gabah dengan karaktertinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah bulir permalai, dan bobot 100 butir gabah.

PENGARUH CEKAMAN SUHU RENDAHTERHADAP PERTUMBUHAN PADI

Lahan dataran tinggi (ketinggian di atas 700 m di ataspermukaan laut) memiliki ciri khusus seperti suhu yanglebih rendah dari 20oC. Cekaman suhu rendah padatanaman padi sering terjadi di dataran tinggi.Puslitbangtanak (2000) melaporkan luas lahan basah didataran tinggi (>700m dpl) 1,3 juta ha, tetapi hanya sekitar500.000 ha yang produktif, tersebar di Jawa, Sumatera,Sulawesi, dan Papua (Widjono dan Syam 1982).

Page 17: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

109

Cekaman suhu rendah mempengaruhi proses fisiologitanaman padi dan berdampak negatif terhadap prosesmetabolisme dan produksi gabah. Di Australia, hasil padipada suhu rendah berkisar antara 0,5–2,5 t/ha (Sing etal. 2005). Di Jepang Utara, penurunan hasil padi terjadi diwilayah Tohoku, yang merupakan salah satu sentraproduksi padi yang terdingin di dunia (Shimono et al. 2007).Di Brazil, tanaman padi mengalami kerusakan akibat suhurendah, terjadi di Rio Grande do Sul, yaitu negara bagianpaling selatan, di mana produksi padi indica menyumbanglebih 60% dari total produksi negara nasional Brazil (daCruz et al. 2013).

Cekaman suhu rendah dapat berpengaruh negatifterhadap tanaman padi selama fase perkecambahan, fasepertumbuhan vegetatif, dan fase reproduktif (da Cruz etal. 2013). Dampak suhu rendah terhadap pertumbuhanpadi antara lain menghambat pertumbuhan bibit yangmenyebabkan diskolorasi daun (daun menguning), jumlahanakan sedikit, memperlambat waktu pembungaan,eksersi malai tidak normal, meningkatkan sterilitas malai,pematangan malai tidak teratur, dan menurunkan hasil(Sanghera et al. 2011, Sanghera et al. 2008).

Menurut da Cruz dan Milach (2000), gejala kerusakantanaman padi akibat suhu rendah adalah terlambat danrendahnya persentase perkecambahan. Pada fasevegetatif, daun menguning, postur tanaman lebih pendek,dan berkurangnya jumlah anakan. Jika cekaman suhurendah bertepatan dengan fase reproduktif akan terjadikehampaan spikelet, eksersi malai kurang sempurna, danterjadi aborsi spikelet (Satake and Hayase 1970).Kehampaan spikelet disebabkan oleh polen mengalamiaborsi pada saat mikrosporogenesis, di mana polenterbentuk pada fase bunting (Mackill et al. 1996).Cekaman suhu rendah juga dapat menyebabkan anthesisabnormal, seperti terhentinya perkembangan anther, polentidak masak, tidak munculnya antera dari spikelet,terbentuknya sebagian atau tidak ada anther, tersisanyapolen di lokus antera, sedikit atau tidak adanya polen,dan gagalnya polen berkecambah pada saat mencapaistigma (Ito et al. 1970). Selama fase pengisian biji,cekaman suhu rendah menyebabkan terlambat dan tidakselesainya pemasakan biji (Ye et al. 2009).

Kepekaan spikelet terhadap cekaman suhu bervariasiantarstadia pertumbuhan reproduktif. Kepekaan palingekstrim terjadi pada fase pembentukan mikrospora muda,yaitu pada saat pembelahan sel aktif yang terjadi 10-12hari sebelum berbunga. Kepekaan kehampaan spikeletmenurun dengan berlanjutnya pertumbuhan tanaman(Satake and Hayase 1970).

Shinada et al. ( 2013) melaporkan bahwa peningkatantoleransi terhadap suhu rendah pada fase fertilisasi/

pembuahan sangat penting dalam program pemuliaantanaman padi pada agroekosistem dataran tinggi. Fasepembuahan diawali dari polen yg matang sampaiselesainya pembuahan yang sangat sensitif terhadapsuhu yang tidak sesuai. Varietas lokal Hokaido yang palingbanyak ditanam di wilayah utara Jepang menunjukkantingkat toleransi yang tinggi terhadapsuhu rendah padafase pembuahan (CTF). Hasil pengamatan menunjukkanadanya perbedaan dalam perkecambahan danpemanjangan polen yang disebabkan oleh cekaman suhurendah.

Jena et al. (2010) melaporkan toleransi tanaman paditerhadap suhu rendah berhubungan dengan fertilitas malai,namun tidak berkaitan dengan gen-gen yangmengendalikan panjang batang dan umur berbunga.Toleransi tanaman terhadap suhu rendah merupakankarakter yang sangat kompleks, yang melibatkan banyakjalur/lintasan metabolisme yang berbeda pada berbagaibagian sel (Hannah et al. 2005).

Toleransi tanaman terhadap cekaman suhu rendahtidak dikendalikan oleh gen sitoplasma, tetapi oleh gen-gen kromosomal yang terdapat dalam inti (Shimono etal. 2001). Heritabilitas sifat toleransi terhadap cekamansuhu rendah sangat tinggi pada generasi awal, sehinggatoleransi terhadap cekaman suhu rendah dikontrol olehgen-gen dominan dengan pengaruh additif (Shimono etal. 2007). Studi lain menunjukkan bahwa secara genetikkarakter toleransi suhu rendah bersifat kompleks dandikendalikan oleh gen poligenik, namun mekanisme gendalam mengendalikan karakter toleransi belum terlalu jelas(Snape et al. 1997).

Respon beberapa genotipe padi sawah terhadappemupukan nitrogen di dataran tinggi Sulawesi Selatan(1500 m dpl) dengan rata-rata suhu 180C menunjukkanbahwa pada kondisi cekaman suhu rendah, pemberiannitrogen, genotipe dan interaksi nitrogen x genotipeberpengaruh nyata terhadap fertilitas polen, jumlah gabahisi, dan bobot gabah isi per malai. Di bawah cekamansuhu rendah terjadi penurunan hasil gabah yangdiakibatkan oleh penambahan nitrogen. Terdapat korelasipositif yang nyata antara karakter pertumbuhan (fertilitaspolen, panjang daun bendera, dan umur berbunga) dengankomponen hasil gabah (jumlah anakan, jumlah gabah permalai, dan bobot 1.000 butir) (Limbongan et al. 2009).

Menurut Sanghera et al. (2011), tanaman yang toleransuhu rendah memiliki akumulasi klorofil yang meningkat,berkurangnya sensitivitas terhadap fotosintesis,perkecambahan yang meningkat, dan peningkatan fertilitaspolen dan jumlah gabah isi per malai.

Page 18: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

110

PEMULIAAN TANAMAN PADITOLERAN SUHU RENDAH

Dalam perakitan varietas padi dataran tinggi disarankanmempertimbangkan vigor bibit yang baik, tinggi tanamansedang, eksersi malai sempurna, pembungaan seragam,dan fertilitas malai tinggi (Ronduen and Dumlan 1979).Atas dasar kriteria tersebut teridentifikasi galur unggulyang berasal dari Indonesia (Kn1b-361-8-6), lebih baikdibandingkan dengan sejumlah galur yang dievaluasi.Galur tersebut memiliki vigor bibit yang sangat baik, umurpanen 162 hari, tinggi tanaman sedang (107 cm), jumlahanakan sedang (12 anakan/rumpun), dan potensi hasiltinggi (7,5 t/ha).

Program pemuliaan padi nasional banyakmemanfaatkan varietas lokal sebagai donor gen sifat mutuberas baik (rasa nasi, aromatik), ketahanan terhadaphama dan penyakit utama (wereng cokelat, hawar daunbakteri, tungro) dan toleran terhadap cekaman abiotikseperti suhu rendah, salinitas, kemasaman tanah, dangenangan (Silitonga 2004). Terdapat empat aksesi plasmanutfah padi yang teridentifikasi toleran terhadap cekamansuhu rendah, yaitu Silewah, Pratao, Progal, danLengkuwang (Daradjat et al. 2009a).

Saito et al. (2001) melaporkan bahwa padi Silewah,Lambayque 1 dan Padi Lobou Alumbis telah digunakandalam program pemuliaan padi japonica untuk wilayahtemperate dan memiliki toleransi suhu rendah. IRRIbekerja sama dengan South Korea’s Rural DevelopmentAdministration telah menghasilkan galur toleran suhurendah, yaitu IR66160-121-4-4-2 (Jena et al. 2010). Galurtersebut berasal dari persilangan varietas Jimbrug asalIndonesia (japonica tropis) dengan varietas Shen-Nung89-366 asal China Utara (temperate) (IRRI 1986). Pada tahun1974-1977, IRRI juga telah menyeleksi genotipe toleransuhu dingin, dari 17.680 aksesi koleksi bank plasmanutfah. Satake dan Toriyama (1979) telah menguji sifattoleransi terhadap suhu rendah pada fase bunting danmenunjukkan padi japonica tropis Silewah dan LabouAlumbis toleran suhu rendah. Varietas tersebutdiintrogresikan ke dalam galur-galur elit hasil pemuliaanasal Jepang dengan teknik silang balik, sehingga diperolehvarietas Norin-PL8 dan Hokkai-PL9 yang toleran suhudingin.

Di Indonesia, program pemuliaan padi untuk datarantinggi menggunakan kriteria seleksi yang sama telahdilakukan sejak tahun 1968. Dari kegiatan tersebut telahdilepas varietas Adil, Makmur, Gemar, Batang Agam, danBatang Ombilin (Tabel 1). Varietas-varietas tersebut tidakberkembang luas di masyarakat karena tidak tahan hamawereng batang cokelat (BPH), dan tektur nasinya pera.Varietas tersebut hanya berkembang di Sumatera Baratyang bebas dari BPH dan konsumennya menyukai beras

berteksur pera (Daradjat et al. 2012). Selain itu, dibeberapa daerah petani memilih varietas padi yangberumur lebih genjah agar dapat menanam dua kali dalamsatu tahun (Harahap 1979).

Daradjat et al. (2010) melaporkan bahwa programpertukaran plasma nutfah internasional melalui INGERtelah diindentifikasi galur RCPL3-6-KN-B, SKUAT-2-KN-B, SKAU-339-KN-B. SKAU-337-KN-B, CHINA 1039-KN-B, K39-96-1-1-1-2-KN-B, dan RUTTST85B-5-2-2-2-0-Jmemiliki karakteristik umur berbunga genjah danseragam, eksersi malai sempurna, dan fertilitas malaitinggi. Namun salah satu kelemahan dari galur-galurtersebut adalah rentan terhadap penyakit blas.

Beberapa varietas unggul pagi gogo seperti Limboto,Danau Gaung, Situ Patenggang, dan Batutegi diketahuitahan penyakit blas. Sejumlah padi japonica juga yangmembawa gen ketahanan Fukunishiki (Piz+sh), C104PKT (Pi3), K3 (Pikh), C101 LAC (Pi1+1b+33), Ou 244(Piz), K60 (Pikp), Zenith Acc32558 (Pia+z), C101 A51(Pi2=z5) dan Pi no4 (Pita2) yang bersifat tahan terhadapbeberapa isolat asal Indonesia (Santoso et al. 2007).Utami et al. (2006), melaporkan bahwa padi lokal varietasSibau menunjukkan ketahanan pada penyakit blas daunras 041, 033, 073, 133 dan 173 di rumah kaca danketahanannya konsisten di daerah endemik blasCikembar Sukabumi. Semua bahan pemuliaan tersebuttelah digunakan sebagai sumber gen ketahanan dalamperakitan varietas tahan blas (Daradjat et al. 2010).

Sebagian besar padi sawah dataran tinggi yangditanam petani adalah varietas lokal berumur lebih dari165 hari, dan hanya ditanam sekali dalam setahun,walaupun telah tersedia varietas berumur sedang (115-125 hari) yang berpotensi hasil tinggi (Batang Piaman,Batang Lembang, dan Sarinah). Kelemahan varietasunggul pada saat terjadi cekaman suhu rendah adalahfertilitas malai lebih rendah dibandingkan dengan varietaslokal berumur dalam.

Uji adaptasi galur-galur padi di dataran tinggi (>700m dpl) di sentra produksi padi sawah memperoleh enamgalur berumur genjah, toleran terhadap suhu rendah, danberdaya hasil lebih tinggi dibandingkan dengan varietas

Tabel 1. Varietas unggul padi sawah dataran tinggi, yangmenggunakan tetua varietas lokal sebagai donor gen.

Varietas Persilangan Tahun dilepas

Gemar Jerak/PB 8 1976Batang Agam Sirendah Merah/IR2153-153-1-4 1981Batang Ombilin Kuning Galung/IR2061-714-3-8-7 1984

Sumber: Daradjat et al. (2009a) dan Data Base Plasma Nutfah BBPadi (2016).

Page 19: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

111

Hasil pengujian menunjukkan Inpari 16 dan Inpari 24memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tigavarietas unggul lainnya, masing-masing 7,71 t/ha dan 7,50t/ha GKP. Terdapat selisih produktivitas 2,8-5,71 t/hadibandingkan dengan varietas lokal. Hal inimengindikasikan beberapa varietas unggul berpotensidikembangkan di beberapa sentra padi sawah datarantinggi di Indonesia.

Di Cina, padi hibrida FY7206 tahan blas, beradaptasiluas, dan hasil tinggi. Hasil penelitian menggunakanartificial climate chamber menunjukkan FY7206 toleransuhu rendah pada fase bunting dan pembungaan. Bahkanpada suhu 100C, FY7206 memiliki toleransi terhadap suhurendah pada fase pembibitan. Hasil qRT-PCRmenunjukkan ekspresi gen Ctb 1 (toleran terhadap suhurendah) pada FY7206 relatif tinggi (Xie et al. 2016).

METODE SKREENING TERHADAPCEKAMAN SUHU RENDAH

Beberapa metode skrining genotipe padi terhadap suhurendah dengan suhu yang terkontrol, pada fasepertumbuhan yang berbeda-beda dijelaskan pada Tabel2. Pertumbuhan di bawah kondisi suhu yang terkendali

Batang Piaman (Daradjat et al. 2009b, Gunarsih et al.2011). Dari pertanaman observasi galur-galur mutan padisawah dataran tinggi diperoleh 22 galur (M

5) yang memiliki

tipe tanaman baik, umur lebih genjah, eksersi malaisempurna, fertilitas malai tinggi, dan produktivitas lebihtinggi dari rata-rata hasil galur-galur yang diuji (Gunarsihet al. 2010). BB Padi pada tahun 2012 telah melepasgalur BARKAT (K78-13)-KN-B, 87025-TR973-3-1-1-KN-B,dan RUTTST85B-5-2-2-2-0-J sebagai varietas unggul padisawah dataran tinggi dengan nama INPARI 26, INPARI27, dan INPARI 28 Kerinci (Daradjat et al. 2012).

Zen (2012) melaporkan hasil penelitian di lima lokasipengujian padi sawah dataran tinggi di Indonesia, semuakarakter yang diamati (tinggi tanaman, jumlah anakanproduktif, umur 50% berbunga, jumlah gabah per malai,jumlah gabah bernas per malai, bobot 1.000 butir danhasil) mempunyai nilai duga heritabilitas tinggi, nilaikemajuan genetik dan koefisien variasi genetik yang relatifbesar, kecuali bobot 1.000 butir. Berdasarkan nilaiparameter genetik tersebut, untuk meningkatkan efisiensiseleksi dapat dilakukan pada generasi awal. Saidah etal. (2015) juga melaporkan bahwa hasil uji adaptasi limavarietas unggul padi di dataran Poso Sulawesi Tengah,(1.108 m dpl), yaitu Inpari 16, Inpari 23, Inpari 24, Inpari27, Inpari 28 dan dua varietas lokal (Superwin dan Kamba).

Tabel 2. Metode skrining dan karakter yang dievaluasi pada stadia pertumbuhan yang berbeda untuk menyeleksi toleransi tanaman paditerhadap cekaman suhu dingin.

Stadia pertumbuhan Metode skrining Karakter yang dievaluasi

Perkecambahan 10,15,20, dan 250C selama 3-30 hari Laju perkecambahan (tonjolan radikula)tergantung suhu170C selama 7 hari Jumlah benih yang berkecambah dan laju

perkecambahan130C-150C selama 7 hari Persentase kecambah150C selama 10 hari Panjang koleoptil150C selama 6 hari Laju perkecambahan

Vegetatif 100C selama 3, 5, dan 9 hari Tingkat kelangsungan hidup selama 10 hari setelahperlakuan suhu dingin

Perlakuan suhu dingin pada suhu Pertumbuhan dan diskolorisasi120/100C (hari/malam) selama 10 harisetelah berdaun tiga90C selama 8, 14,16, dan 18 hari Skala visual (1-9)

40C selama 6 hari pada fase gelap Laju daya pulih (survive) setelah 14 hari pemulihan6-100C selama 7 hari Persentase daya pulih

Reproduktif 120C pada fase mikrospore muda Persentase fertilitasselama 3-5 hari170C selama 7 hari pada fase antesis Persentase fertilitasAir dingin (kedalaman 20 cm) pada Persentase fertilitassuhu 19,40C dari fase primordial sampaipenyelesaian keluarnya malai170C pada fase bunting selama 10 hari Persentase fertilitas

Sumber: da Cruz et al. (2013)

Page 20: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

112

memiliki keakuratan dari segi waktu dan tingkat keparahancekaman, namun memungkinkan hilangnya sejumlahgenotipe dalam pengujian. Untuk mengantisipasi haltersebut, beberapa program pemuliaan tanaman padimenerapkan seleksi menggunakan air dengan suhu dingindi bawah kondisi lapang, untuk memudahkan dalammengevaluasi banyak genotipe yang berbeda (Snell etal. 2008).

Keberhasilan teknik skrining menggunakan air yangbersuhu dingin telah dilakukan di beberapa kebunpercobaan di Jepang (Nagano 1998) dan Korea (Lee 2001).da Cruz et al. (2013) melaporkan bahwa metode seleksiyang baik untuk mengevaluasi toleransi terhadap suhudingin dalam populasi yang bersegregasi adalahmenggunakan suhu udara atau suhu air yang terkendali.Di beberapa wilayah suhu rendah yang sangat parah danmusim tanam sangat pendek, pemuliaan tanaman untuktoleransi suhu rendah diarahkan melalui seleksi tidaklangsung, dengan memilih tanaman yang paling tinggidan berumur genjah. Ye et al. (2009) melaporkan adanyakorelasi sifat toleransi suhu rendah dengan fasepertumbuhan tanaman. Genotipe yang lebih toleran suhurendah memiliki laju perkecambahan yang tinggi dantanaman yang vigor pada saat cekaman suhu rendahterjadi pada fase bunting dan masa pembungaan.

da Cruz et al. (2013) menjelaskan beberapa analisisfisiologi untuk mempelajari toleransi terhadap cekamansuhu dingin pada fase bibit dan fase bunting (Gambar 1).Metode pengujian toleransi terhadap cekaman suhu dinginyang berhubungan dengan fase bibit diantaranya adalahanalisis flouresen, gas exchange evaluation, ROS, antioxidant enzyme, ascorbate concentration, fatty acidscomposition in thylacoid membranes, lipid peroxidation,carbohydrate fructan and proline content, analisisproteomic. Metode pengujian yang terkait dengan fasereproduktif adalah viabilitas polen, fertilitas spikelet, dankandungan gula dalam antera. Gambar 1 menjelaskanmetode yang digunakan untuk mengamati kerusakan dantoleransi tanaman padi akibat cekaman suhu rendah yangberkaitan dengan organ-organ tanaman yang dianalisis(akar, daun, dan malai). Metode dilakukan secaradestruktif dan tidak didestruktif pada akar, daun, dan malai.

Telah teridentifikasi gen-gen QTL yang berhubungandengan karakter toleransi cekaman suhu dingin melaluiRFLP, microsatelit/SSR. QTL tersebut dikelompokkansesuai dengan fase pertumbuhan, yaitu QTL yangberhubungan pada fase perkecambahan, yang fasevegetatif, dan fase reproduktif (Tabel 3).

Gambar 1. Beberapa peubah yang digunakan untuk menguji toleransi tanaman padi terhadap suhu rendah.Sumber: da Cruz et al. (2013).

Page 21: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

113

Tab

el 3

. Q

TL

– Q

TL

yan

g b

erh

ub

un

ga

n d

en

ga

n t

ole

ran

si t

erh

ad

ap

ce

kam

an

su

hu

din

gin

(S

um

be

r:

da

Cru

z e

t a

l. 2

01

3).

Va

ria

sito

lera

nsi

Gen

Fa

seK

om

bin

asi

pe

rsila

ng

an

Lo

kasi

suh

u r

en

da

hp

uta

tive

Ka

rakt

er

yan

g d

iuji

pe

rtu

mb

uh

an

kro

mo

som

yg b

isa

dije

lask

an

(pro

tein

(Na

ma

QT

L)

(%)

dik

od

eka

n)

Per

keca

mba

han

Jap

on

ica

Nip

po

nb

are

x4

(q

LTG

-4-1

)1

5.0

Os0

3g

01

03

30

0T

ing

kat p

erk

eca

mb

ah

an

15

0C

ind

ica

Ka

sala

th(f

un

gsi

nya

be

lum

Va

rie

tas

tem

pe

rate

3 (

qLT

G-3

-1)

35

.1 d

ike

tah

ui)

Tin

gka

t pe

rke

cam

ba

ha

n 1

50C

jap

on

ica

Ita

lica

Liv

orn

o x

Ha

yam

asa

ri

3 (

qLT

G-3

-2)

17

.4

Ve

ge

tati

fJa

po

nic

a y

an

g t

ole

ran

4(q

CT

S4

-1)

20

.8

Tole

ran

su

hu

re

nd

ah

se

cara

um

um

suh

u r

en

da

h (

M-2

D2

) x

6 (

qC

TS

6-1

)1

5.3

To

lera

n s

uh

u r

en

da

h s

eca

ra u

mu

mIn

dic

a y

an

g p

eka

su

hu

12

(qC

TS

12

a)1

40

.6

Tole

ran

la

yu y

an

g d

ise

ba

bka

n s

uh

u r

en

da

h

ren

da

h (

IR5

0)

12

(qC

TS

12

b)1

41

.7

Tole

ran

ne

kro

sis

yg d

iind

uks

i su

hu

re

nd

ah

qCT

S12

1

OsG

ST

Z1

(glu

tath

ion

e5

-tra

nsf

era

se),

O

sGS

TZ

2(m

ale

yla

ceto

ace

tate

iso

me

rase

)

Ve

ge

tatif

Ja

po

nic

a L

em

on

i x11

(αS

CT

-11

)2

9.8

K

em

am

pu

an

be

rta

ha

n h

idu

p s

ete

lah

Ind

ica

teq

ing

13

ha

ri p

ad

a s

uh

u 1

00C

Jap

on

ica

ya

ng

to

lera

n2

(αC

TS

-2)

27

.4

Ke

ma

mp

ua

n b

ert

ah

an

hid

up

se

tela

hsu

hu

re

nd

ah

7 h

ari

pa

da

su

hu

6-1

00C

(AA

V0

02

86

3)

x In

dic

aya

ng

pe

ka s

uh

u r

en

da

h(Z

he

nsh

an

97

B)

Jap

on

ica

Asa

min

ori

x

1 (

αCS

T-1

)2

4.5

K

em

am

pu

an

be

rta

ha

n h

idu

p s

ete

lah

Indi

ca IR

247

ha

ri p

ad

a s

uh

u 6

0C

Pa

di l

iar

tole

ran

su

hu

11 (

qC

tss1

1)

40

.0O

s11

g0

61

59

00

Ke

ma

mp

ua

n b

ert

ah

an

hid

up

se

tela

hre

nd

ah

W1

94

3(N

B-A

RC

do

ma

in),

6 h

ari

pa

da

su

hu

40C

(Ory

za r

ufip

og

on

) x

Os1

1g

06

115

60

0In

dic

a y

an

g p

eka

su

hu

ren

da

h G

ua

ng

-lu

-al

4(G

LA

4)

Re

pro

du

ktif

Jap

on

ica

02

42

B

x1

(S

te1

)3

2.1

F

ert

ilita

s m

ala

iIn

dic

a 3

03

71

(S

te2

)1

9.4

12

(Ste

3)

16

.9N

ori

n-P

LB

to

lera

n s

uh

u4

(C

tb-1

)-

Ctb

1 (

F-b

ox

pro

tein

)P

an

jan

g a

nte

rare

nd

ah

x

Kir

ara

39

7p

eka

su

hu

re

nd

ah

Re

pro

du

ktif

Ko

shih

ika

ri J

ap

on

ika

7 (

qC

T-7

)2

2.1

F

ert

ilita

s m

ala

iya

ng

to

lera

n s

uh

u1

(q

CL

-1)

31

.1P

an

jan

g b

ata

ng

(cm

)re

nd

ah

x A

kih

ika

ri3

(q

HD

-3-2

)1

5.5

Um

ur

be

rbu

ng

a (

ha

ri)

Jap

on

ika

ya

ng

pe

ka6

(q

HD

-6)

50

.5su

hu

re

nd

ah

Page 22: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

114

Tab

el 3

. L

an

juta

n.

Va

ria

sito

lera

nsi

Gen

Fa

seK

om

bin

asi

pe

rsila

ng

an

Lo

kasi

suh

u r

en

da

hp

uta

tive

Ka

rakt

er

yan

g d

iuji

pe

rtu

mb

uh

an

kro

mo

som

yg b

isa

dije

lask

an

(pro

tein

(Na

ma

QT

L)

(%)

dik

od

eka

n)

Jap

on

ica

M-2

02

x2

(q

CT

B2

a)

16

.8

Fe

rtili

tas

ma

lai

Indi

ca IR

503

(q

CT

B3

)1

6.5

Va

rie

tas

Ja

po

nic

a7

(q

RC

T7

)2

0.6

F

ert

ilita

s m

ala

iK

un

min

gxi

ao

ba

igu

xTo

wa

da

Ho

kka

i-P

L9

tole

ran

8 (

qC

TB

8)

26

.6M

on

od

eh

ydro

a-

Fe

rtili

tas

be

nih

suh

u r

en

da

h

xsc

orb

ate

Ho

kka

i28

7 p

eka

su

hu

red

uct

ase

(M

DA

R)

ren

da

hK

un

min

gxi

ao

ba

lgu

10

(q

CT

B-1

0-2

)1

5.0

F

ert

ilita

s m

ala

i(K

MX

BG

) Ja

po

nic

aya

ng

to

lera

n s

uh

ure

nd

ah

L

ijia

ng

he

lgu

tole

ran

10

(q

LTS

PK

ST

10

.1)

20

.5

Fe

rtili

tas

ma

lai

suh

u r

en

da

h

x R

eiz

iqp

eka

su

hu

re

nd

ah

Z

L1

92

9-4

to

lera

n s

uh

u7

(q

CT

B7

)2

1.0

Os0

7g

05

76

10

01

3 k

ara

kte

r ya

ng

te

rka

it to

lera

nsi

ren

da

h x

To

wa

da

da

n O

s07

g0

57

65

00

suh

u r

en

da

hja

po

nic

a y

an

g p

eka

(in

do

le-3

ace

tic a

cid

-su

hu

re

nd

ah

am

ino

syn

the

tase

s),

Os0

7g

05

75

80

0 d

an

Os0

7g

05

77

30

0(g

luca

n e

nd

o-1

,3

-be

ta-g

luco

sid

ase

),O

s07

g0

57

74

00

(ub

iqu

itin

-co

nju

ga

ting

en

zym

e E

2)

Ja

po

nic

a T

R2

21

83

x2

(Q

TL

2.1

)1

6.7

F

ert

ilita

s m

ala

iIn

dic

a D

asa

no

yeo

8 (

QT

L 8

.1)

24

.81

0 (

QT

L 1

0.1

)2

2.9

U

kei 8

40

To

lera

n s

uh

u3

(q

LTB

3)

24

.4O

s03

g0

79

07

00

Fe

rtili

tas

be

nih

ren

da

h x

Hito

me

bo

re(p

uta

tive

ald

eh

yde

oxi

da

se)

Su

mb

er:

da

Cru

z e

t a

l. (2

01

3)

Page 23: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

115

KESIMPULAN

Cekaman suhu rendah merupakan masalah utama padapertumbuhan padi yang menyebabkan kehilangan hasilpanen. Subspesies japonica mempunyai tingkat toleransiyang lebih baik terhadap cekaman suhu rendahdibandingkan subspesies indica, baik pada faseperkecambahan maupun fase reproduktif. Pengaruh suhurendah terhadap tanaman padi antara lain menghambatpertumbuhan bibit, menyebabkan diskolorasi daun,pertumbuhan anakan terhambat, memperlambat waktupembungaan, menyebabkan eksersi malai tidak normal,meningkatkan sterilitas malai, pematangan malai tidakteratur, dan menurunkan hasil gabah.

Program perakitan padi sawah toleran suhu rendahdengan cara memanfaatkan varietas lokal sebagai donorgen dan persilangan, dibarengi penerapan bioteknologidiperkirakan meningkatkan peluang diperolehnya varietastoleran suhu rendah. Terdapat beberapa metode skrininguntuk mengevaluasi toleransi cekaman suhu rendah padabeberapa stadia pertumbuhan. Metode seleksi yang baikuntuk menguji toleransi tanaman padi terhadap cekamansuhu rendah untuk populasi bersegregasi adalahmenggunakan suhu udara atau suhu air rendah yangterkendali. Untuk mempelajari toleransi tanaman paditerhadap cekaman suhu dingin dapat digunakan analisisfisiologi pada fase bibit dan fase bunting. Telahdikelompokkan gen QTL yang berhubungan dengankarakter toleransi suhu rendah sesuai dengan fasepertumbuhannya.

Penelitian dasar tentang toleransi tanaman paditerhadap suhu rendah di luar negeri sudah tersedia dandapat diaplikasikan untuk pemuliaan terapan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnyaatas bimbingan dan arahan penelitian pembentukanvarietas padi sawah untuk agroekosistem dataran tinggikepada Dr Aan A. Daradjat, dan terima kasih atasdukungan pembiayaan penelitian dari DIPA BB Padi tahunanggaran 2009-2011.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, A.A., T. Sil itonga, dan Nafisah. 2009a.Ketersediaan plasma nutfah untuk perbaikan varietaspadi. p.1-27. Diunduh dari Bbpadi_2009_itp_01.pdf

Daradjat, A.A., B. Suprihatno, Nafisah, C. Gunarsih, dan T.Sitaresmi. 2009b. Uji daya hasil galur-galur genjah(105-124 HSS) yang toleran suhu rendah (-210C).

Laporan Akhir Tahun. Balai Besar Penelitian TanamanPadi. (Tidak dipublikasikan).

Daradjat, A.A, A. Gani, T.S. Kadir, Z. Susanti, dan C. Gunarsih.2010. Identifikasi galur-galur unggul padi sawahberumur genjah (104-124 hss), dan berpotensi hasiltinggi ( ± 6 t/ha), di sejumlah ekosistem dataran tinggi(>900 m dpl). Laporan Akhir Program Insentif RisetTerapan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.Sukamandi. Hlm.1-19.

Daradjat, A.A., Nafisah, C. Gunarsih, T. Sitaresmi, dan E.S.Pramudyawardani. 2012. Usulan pelepasan varietaspadi sawah dataran tinggi 700-1100 m dpl. ProposalPelepasan Varietas Baru. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. Sukamandi. [Tidak dipublikasikan].

da Cruz R.P, Sperotto R. A., D. Cargnelutti, J.M. Adamski,T.de FreitasTerra, and J.P. Fett. 2013. Avoiding damageand achieving cold tolerance in rice plants. Food andEnergy Security 2(2): 96-119.

da Cruz, R.P., and S.C.K. Milach. 2000. Breeding for coldtolerance in irrigated rice. Ciencia Rural 30:909-917.

Dianawati, M. dan E. Sujitno. 2015. Kajian berbagai varietasunggul terhadap serangan wereng batang cokelat danproduksi padi di lahan sawah kabupaten Garut, JawaBarat. Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv. Indon. 1(4):868-873.

Gunarsih, C, S. Zen, dan J. Hendri. 2011. Evaluasi dayahasil galur-galur padi sawah dataran tinggi. ProsidingSeminar Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia.“Pemanfaatan plasmanutfah lokal untuk perakitan jenisunggul dalam menghadapi perubahan iklim danmencapai ketahanan pangan. Fakultas PertanianUnand, Padang 9 Desember 2011. p.53-58.

Gunarsih, C., A.A. Daradjat, B. Suprihatno, dan T. Sitaresmi.2010. Evaluasi daya hasil galur-galur padi sawahdataran tinggi (>700 m dpl), berumur genjah (105-124HSS), dan toleran suhu rendah (<21OC) . Laporan AkhirTahun. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.[Tidakdipublikasikan].

Hannah M.A, Heyer A.G, Hincha D.K. 2005.A global survey ofgene regulation during cold acclimation in Arabidopsisthaliana. PloS. Genet. 1(2):0179-0196.

Harahap, Z. 1979. Rice improvement for cold tolerance inIndonesia. In. Report of a Rice Cold ToleranceWorkshop. IRRI, Los Banos. pp.53-60.

IRRI [International Rice Research Institute]. 1986. RiceGenetics. Proceedings of the International Rice GeneticSymposium. Manila, Philipines.

Ito, N., H. Hayase, T. Satake, and I. Nishiyama. 1970. Malesterility caused by cooling treatment at the meiotic stagein rice plants. III. Male abnormalities at anthesis. Proc.Crop Sci. Soc. Jpn. 39:60-64.

Jena, K.K., S.M. Kim, J.P. Suh, and Y.G. Kim. 2010.Development of cold-tolerant breeding lines using QTLanalysis in rice. Second Africa Rice Congress, Bamako,Mali, 22-26 March 2010: Innovation and Partnershipsto Realize Africa’s Rice Potential. p: 1.7.1-1.7.9.

Page 24: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

116

Limbongan, Y.L., B.S. Purwoko, Trikoesoemaningtyas, danH. Aswidinnoor. 2009. Respon genotipe padi sawahterhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi. J.Agron. Indonesia 37(3):175-182.

Limbongan, Y.L. 2008. Analisis genetik dan seleksi genotipeunggul padi sawah (Oryza sativa L.) untuk adaptasipada ekosistem dataran tinggi. Disertasi. SekolahPasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lee, M.H. 2001. Low temperature tolerance in rice: theKorean experience. pp. 109-117. In S. Fukai and J.Basnayake, eds. Increased lowland rice production inthe Mekong Region. Proceedings of an internationalworkshop, Vientiane, Laos, 30 October to 2 November2000. Australian Center for International AgriculturalResearch, Canberra, Australia.

Mackill DJ and Lei X. 1997. Genetic variation for traits relatedto temperate adaptation of rice cultivars. Crop Science37: 1340-1346.

Mackill, D. J., W. R. Coffman, and D. P. Garrity. 1996. P. 242 inRainfed lowland rice improvement. International RiceResearch Institute, Manila.

Mertz, L. M., F. A. Henning, R. C. Soares, R. F. Baldiga, F. B.Peske, and D. M. Moraes. 2009. Physiological changesin rice seeds exposed to cold in the germination phase.Rev. Bras. Sement. 31:254-262.

Nagano, K. 1998. Development of new breeding techniquesfor cold tolerance and breeding of new rice cultivarswith highly cold tolerance, Hitomebore and Jyoudeki.Pp. 143-148 in Proceedings of International Workshopon Breeding and Biotechnology for EnvironmentalStress in Rice, Sapporo, Japan.

Purohit S, Majumder MK. 2009. Selection of High YieldingRice Variety from a Cold Tolerant Three-Way Rice (Oryzasativa L.) Cross Involving Indica, japonica and WideCompatible Variety. Middle-East Journal of ScientificResearch 4(1):28-31.

Puslitbangtanak. [Pusat Penelitian dan PengembanganTanah dan agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya tanahEkplorasi Indonesia skala 1:1.000.000.Puslitbangtanak. Bogor.

Ronduen, A., and R. Dumlan. 1979. Low temperatureproblems and research activities in the Philippines.Pp. 69-75. In. Report of a rice cold tolerance workshop.IRRI, Los Banos.

Saidah, Irwan S.P, Abdi N. 2015. Adaptasi beberapa varietasunggul padi di dataran tinggi Lore Utara KabupatenPoso Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy BiodivIndon 1(7): 1670-1673.

Saito, K., K. Miura, K. Nagano, Y. Hayano-Saito, H. Araki, andA. Kato. 2001. Identification of two closely linkedquantitative trait loci for cold tolerance on chromosome4 of rice and their association with anther length. Theor.Appl. Genet. 103:862-868.

Sanghera G.S, Wani, S.H, Hussain W, Singh N.B. 2011.Engineering cold stress tolerance in crop plants.Current Genomics, 12: 30-43.

Sanghera, G.S, Wani, S.H. 2008. Innovative approaches toenhance genetic potential of rice for higher productivityunder temperate conditions of Kashmir. J. Plant Sci.Res., 24: 99-113.

Santoso, Nasution A, Utami DW, Hanarida I, Ambarwati AD,Moeljopawiro S, Tharrearu D. 2007. Variasi genetik danspektrum virulensi patogen blas pada padi asal JawaBarat dan Sumatera. Penelitian Pertanian TanamanPangan 26(3): 150-155.

Sasaki. 1982. Effect of a low temperature on severalcharacteristics of rice seedlings. Jpn J. Crop Sci.70(2):226-233.

Satake T, dan Hayase H. 1970. Male sterility caused bycooling treatment at the young microspore stage inrice plants. V. Estimation of pollen developmental stageand the most sensitive stage to coolness. Proc CropSci Soc Jpn. 39:468-473.

Satake T, dan Toriyama K. 1979. Two extremely cool tolerantvarieties. Int Rice Res Newsl 4(2):9-10.

Shimono, H.T., Hasegawa, K. Iwama. 2001. Quantitativeexpression of developmental processes as a functionof water temperature in rice (Oryza sativa L.) under acool climate. J. Fac. Agric. Hokkaido Univ. 70:29-40.

Shimono, H., M. Okada, E. Kanda, and I. Arakawa. 2007.Low temperature-induced sterility in rice: evidence forthe effects of temperature before panicle initiation. FieldCrops Res. 101:221-231.

Shinada H, Iwata N, Sato T, Fujino K. 2013. Genetical andmorphological characterization of cold tolerance atfertilization stage in rice. Breeding Science 63: 197-204.

Silitonga, TS. 2004. Pengelolaan dan pemanfaatan plasmanutfah padi di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 10(2):56-71.

Singh, R. P., J. P. Brennan, T. Farrell, R. Williams, R. Reinke,L. Lewin. 2005. Economic analysis of breeding forimproved cold tolerance in rice in Australia. Aust.Agribus. Rev. 13:1-9.

Snape, J.W, Semokhoskii, A, Fish, Sarma, R.N, Quarrie,S.A,Galiba. G, Sutka, J. 1997. Mapping frost toleranceloci in wheat and comparative mapping with othercereals. Acta Agron. Hungar. 45: 265-270.

Snell, P., D. Johnston, and R. Ford. 2008. Cold tolerant ricevarieties – a matter of need for Australia. IRECFarmers’Newslett. 177:4-5.

Suh JP, Jeung JU, Lee JI, Choi YH, Yea JD, Virk PS, MackillDJ and Jena KK. 2010. Identification and analysis ofQTLs controlling cold tolerance at the reproductivestage and validation of effective QTLs in cold tolerantgenotypes of rice (Oryza sativa L.). Theoretical andApplied Genetics 120(5): 985-995.

Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SE, Suprihanto,Setyono A, Indrasari SD, Wardana IP, Sembiring H.2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar PenelitianTanaman Padi. Hal 1-105.

Page 25: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Gunarsih et al.: Padi Sawah Toleran Suhu Rendah

117

Takahashi, N. 1984. Differentiation of ecotypes in Oryzasativa L. Pp. 31-67 in N. Takahashi and S. Tsunoda,eds. Biology of rice. Japan Science Society, Tokyo,Japan.

Utami DW, Aswidinnoor H, Moeljopawiro S, Hanarida I,Reflinur. 2006. Pewarisan ketahanan penyakit blas(Pyricularia grisea Sacc.) pada persilangan padi IR64dengan Oriza rufipogon Griff. Hayati 13(3): 107-112.

Wang J, Lin X, Sun Q, Jena KK. 2013. Evaluation of coldtolerance for japonica rice varieties from differentcountry. Adv. J. Food Sci. Technol., 5(1): 54-56.

Widjono, A., dan M. Syam. 1982. Penelitian Pemuliaan Padi.Pusat Penelit ian dan Pengembangan TanamanPangan. Bogor. 148p.

Xie H, Jiang J, Zheng Y, Zhu Y, Wu F, Luo X, Cai Q, Zhang J,Xie H. 2016. Development of hybrid rice variety FY7206with blast resistance gene Pid3 and cold tolerancegene Ctb1. Rice Science, 23(5):266-273.

Ye, H., H. Du, N. Tang, X. Li, and L. Xiong. 2009. Identificationand expression profiling analysis of TIFY family genesinvolved in stress and phytohormone responses in rice.Plant Mol. Biol. 71:291-305.

Zen S. 2012. Parameter genetik padi sawah dataran tinggi.Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 12 (3):196-201.

Page 26: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

118

Page 27: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Wening et al.: Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri

119

Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri:Perakitan dan Penyebaran di Sentra Produksi

Developed Bacterial Leaf Blight Resistant Rice Variety:Its Breeding and Adoption in the Production Center Areas

Rina Hapsari Wening*, Untung Susanto, dan Satoto

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 14 Maret 2016, direvisi 24 November 2016, dan disetujui diterbitkan 25 November 2016

ABSTRACT

Bacterial leaf blight or BLB (Xanthomnas oryzae pv. oryzae or Xoo) is one of the main diseases in rice-producing countries, including Indonesia. Development of resistant varieties is an effective approach to bedone in endemic areas of BLB. Breeding program for bacterial leaf blight resistant varieties could beeffective by utilizing bioassay technique screening, selection in endemic areas, and MAS technique. Theresistant varieties to be grown in some regions should have considered the composition of Xoo. Severalresistant varieties have been released and those varieties can be recommended for endemic areas of BLBwith a specific composition.

Keywords: Rice, breeding, bacterial leaf blight, resistant varieties.

ABSTRAK

Hawar daun bakteri atau HDB (Xanthomonas oryzae pv. oryzae atau Xoo) merupakan penyakit pentingtanaman padi di negara penghasil padi, termasuk di Indonesia. Penggunaan varietas tahan dinilai efektifpengendalian HDB di daerah endemik. Pemuliaan tanaman padi tahan hawar daun bakteri akan efektif jikamenggunakan seleksi dengan teknik bioassay, seleksi di daerah endemik, dan teknik MAS. Pemilihanvarietas tahan pada suatu wilayah harus mempertimbangkan komposisi HDB di wilayah tersebut. Beberapavarietas unggul padi telah dilepas dan dapat direkomendasikan untuk wilayah endemik HDB dengankomposisi HDB tertentu.

Kata kunci: Padi, pemuliaan, hawar daun bakteri, varietas tahan.

PENDAHULUAN

Sejak tahun 80an, penyakit hawar daun bakteri (HDB)dilaporkan sebagai salah satu penyakit utama padi dinegara penghasil padi, termasuk di Indonesia (Suparyonoet al. 2004). Penyakit ini disebabkan oleh bakteriXanthomnas oryzae pv. oryzae (Xoo). Perbedaan virulensiantarisolat bakteri pathogen Xanthomonas oryzae pv.oryzae merupakan manifestasi kedinamisan perubahaninteraksi antara inang dan patogen (Utami et al. 2011).

Perubahan iklim juga menyebabkan patotipe bakteritersebut terus bertambah yang berdampak terhadap

ketahanan tanaman padi di lapangan. Pemuliaan tanamanpadi untuk memperoleh sifat tahan HDB perlu terusdilakukan seiring dengan perkembangan patotipepatogen.

Penggunaan varietas tahan dinilai sebagai cara yangefektif mengendalikan HDB di daerah endemik. Pemilihanvarietas yang didasarkan pada komposisi patotipe HDBdi wilayah target lebih efektif sebagai komponenpengendalian (Sudir et al. 2012). Makalah ini membahassebaran HDB di Indonesia, mekanisme perakitan varietas,dan varietas unggul padi tahan HDB yang telah dilepas.

Page 28: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

120

AKIBAT PENYAKIT HDB TERHADAPPRODUKSI PADI

Penyakit HDB dapat merusak tanaman padi pada semuafase pertumbuhan, mulai dari persemaian hinggamenjelang panen. Dua gejala khas yang muncul yaitukresek dan hawar. Kresek yaitu gejala yang timbul padafase vegetatif, sedangkan gejala hawar timbul pada fasegeneratif. Baik gejala kresek maupun hawarmenyebabkan daun berwarna kecokelatan, kelabu,melipat atau menggulung dan akhirnya daun mengering.Kerusakan pada daun mengakibatkan kemampuanfotosintesis tanaman berkurang dan proses pengisiangabah terganggu, sehingga gabah tidak terisi penuh ataubahkan hampa (Sudir dan Sutaryo 2011). Pada tahun 2003,luas serangan HDB di Indonesia 25.403 ha, dan padatahun 2004 meningkat menjadi 37.229 ha. Dalam periode1998-2002 rata-rata areal tanaman padi yang tertular HDB34.128,6 ha dengan luas tanaman puso 60,4 ha (Damaniket al. 2013). Pada tahun 2010, luas serangan HDB diIndonesia mencapai 110.248 ha, 12 ha di antaranya puso(Triny et al. 2009). Tingkat serangan parah HDB terjadi diJawa Barat seluas 40.486 ha, Jawa Tengah 30.029 ha,Jawa Timur 23.504 ha, Banten 3.745 ha, dan SulawesiTenggara 2.678 ha (Ditlin 2011).

Infeksi HDB pada fase awal vegetatif dapatmenyebabkan tanaman puso, sedangkan pada fasegeneratif menyebabkan pengisian gabah kurang sempurnadengan kehilangan hasil 50% (Shen and Ronald 2002).Di Jepang, kehilangan hasil padi akibat penyakit iniberkisar antara 20-50%. Di daerah tropis, kerusakantanaman padi akibat HDB lebih besar daripada daerahsubtropis (Khaeruni 2001). Di India, kerugian hasil akibatpenyakit HDB dapat mencapai 65% (Nayak et al. 2008).

Ambang kerusakan tanaman padi akibat penyakitHDB berkisar antara 20-30% pada dua minggu sebelumpanen. Setiap kenaikan 10% intensitas HDB dari ambang

kerusakan menyebabkan kehilangan hasil gabahmeningkat 5-7% (Susanto dan Sudir 2012).

SEBARAN PATOTIPEXanthomnas oryzae pv. oryzae

Patotipe adalah sinonim dari strain, form, variant, pathovar,dan ras, yaitu subpopulasi patogen yang semua anggotaindividunya mempunyai virulensi yang berbeda dalam satujenis penyakit dan masing-masing memiliki kemampuanyang sama sebagai parasit (Sudir et al. 2012). Patotipeditentukan berdasarkan reaksi atau virulensinya terhadapsatu set varietas diferensial tertentu (Mew 1989,Suparyono et al. 2003). Patotipe X. oryzae tidak dapatdibedakan berdasarkan morfologi maupun gejala yangditimbulkan (Suparyono et al. 2003).

Patotipe III adalah kelompok isolat bakteri Xoo yangmemiliki virulensi tinggi terhadap varietas padi diferensialyang memiliki gen tahan Xa1 dan Xa12 (Kogyoku) danvarietas diferensial dengan gen tahan Xa-3 dan Xa-2(Tetep), tetapi virulensinya rendah terhadap varietas padidiferensial yang memiliki gen tahan Xa-3 dan Xa-12 (WaseAikoku), serta varietas padi diferensial yang memilikigabungan gen tahan Xa-1, Xa-2, dan Xa-12 (Java 14).Kelompok isolat patotipe IV terdiri atas isolat-isolat Xooyang memiliki virulensi tinggi terhadap semua varietasdiferensial (Kogyoku, Tetep, Wase Aikoku, dan Java 14).Kelompok isolat patotipe VIII memiliki virulensi tinggiterhadap varietas padi diferensial yang memiliki gen tahanXa1 dan Xa12 (Kogyoku), varietas padi diferensial dengangen tahan Xa-3 dan Xa-2 (Tetep), serta varietas padidiferensial yang memiliki gen tahan Xa-3 dan Xa-12 (WaseAikoku), tetapi virulensinya rendah terhadap varietas padidiferensial yang memiliki gabungan gen tahan Xa-1, Xa-2, dan Xa-12 (Java 14) (Tabel 1). Dengan demikian patotipeXoo yang memiliki tingkat virulensi paling tinggi adalahpatotipe IV.

Tabel 1. Reaksi padi varietas diferensial terhadap patogen Xoo.

Reaksi ketahanan terhadap bakteri Xoo patotipeVarietas Gen tahan

I II III IV V VI VII VIII

Kinmaze tidak ada R R R R R T R RKogyoku Xa-1, Xa-kg T R R R T T R RWase Aikoku Xa-3 (Xa-w) T T R R T R R RTetep Xa-1, Xa-2 T T T R R T T RJava 14 Xa-1, Xa-2, dan Xa-kg T T T R T T R T

R = rentan, keparahan penyakit >11%. T = tahan, keparahan penyakit < 11%.Sumber: Suparyono et al. (2003).

Page 29: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Wening et al.: Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri

121

Informasi komposisi patotipe hawar daun bakteripenting untuk diketahui mengingat populasi patogentersebut selalu berubah. Di Indonesia terdapat 12 patotipeXoo yang sebaran dan dominasinya mudah berubah,dipengaruhi oleh varietas padi yang ditanam, musimtanam, dan lingkungan (Kadir et al. 2009). Terdapat tigapatotipe Xoo yang dominan di sentra produksi padi diJawa, yaitu patotipe III, IV, dan VIII dengan komposisidan dominasi yang bervariasi (Sudir et al. 2009). Padatahun 2009 dan 2010, sebaran patotipe Xoo di Jawa Baratadalah 54% patotipe III, 20% patotipe IV, dan 26% patotipeVIII. Di Jawa Tengah 50% patotipe III, 21% patotipe IV,dan 29% patotipe VIII. Di D.I. Yogyakarta, 33% patotipeIII, 21% patotipe IV, dan 50% patotipe VIII. Di Jawa Timur24% patotipe III, 34% patotipe IV, dan 42% patotipe VIII.Dengan demikian Jawa Barat dan Jawa Tengah didominasioleh Xoo patotipe III, sedangkan di D.I. Yogyakarta danJawa Timur didominasi oleh patotipe VIII (Sudir 2012).

Sentra produksi beras Provinsi Sulawesi Selatan padatahun 2011di didominasi oleh patotipe III, kecuali Marospatotipe IV (Yuliani et al. 2012). Pada tahun 2012, HDBdi Sumatera Selatan terdiri atas patotipe III, IV, dan VIIIdengan komposisi sebaran yang beragam antarlokasi.Patotipe III dominan di Kabupaten OKI, OKUT, OKU, danLahat. Patotipe IV dominan di Kapubaten Muara Enimdan patotipe VIII di Kabupaten Banyuasin, berimbangdengan patotipe III dan IV (Sudir et al, 2013).

Pemantauan pergeseran patotipe dan pencariansumber ketahanan baru harus terus dilakukan untukmenunjang program pemuliaan padi tahan HDB yangberkesinambungan (Hifni dan Kardin 1998). Perludilakukan perluasan gene pool terhadap varietas-varietaspadi budi daya, antara lain dengan mengintroduksi sifat-sifat tahan HDB yang dibutuhkan, dari galur atau varietasyang diduga mempunyai gen-gen ketahanan.

MEKANISME PERAKITAN VARIETAS TAHAN HDB

Informasi mengenai struktur populasi dan karakteristikvirulensi patogen diperlukan untuk menyusun programpemuliaan tanaman padi tahan HDB (Shanti and Shenoy2005). Bertitik tolak dari komposisi dan dominasi patotipeXoo di Indonesia, evaluasi galur maupun perakitan varietaspadi sebaiknya ditujukan untuk memperoleh galur atauvarietas yang tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII,sehingga diperoleh sifat tahan HDB yang efektif.

BB Padi memiliki galur isogenik yang berasal dariIRRI. Gen-gen Xa yang terkandung dalam galur isogeniksecara spesifik efektif untuk pengelolaan HDB di beberapanegara (Loan et al. 2006 dalam Yuliani et al. 2015). Galur-

galur isogenik seperti IRBB 55, IRBB 60, dan IRBB 61mengandung kombinasi gen berturut-turut (xa13 + Xa21),(Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21) dan (Xa4 + xa5 + Xa7) (Vera2002). Pengujian galur-galur tersebut membantu dalampenyusunan strategi pemuliaan untuk merakit varietaspadi tahan HDB yang memiliki spektrum luas.

BB Padi memiliki mandat khusus merakit varietastahan HDB spektrum luas. Galur-galur yang memilikiketahanan terhadap beberapa patotipe maupun spesifikpatotipe telah dibentuk melalui penumpukan ataupiramiding gen-gen pengendali ketahanan HDB. MenurutTasliah (2012), piramiding gen-gen Xa merupakan carauntuk mendapatkan genotipe padi yang memilikiketahanan terhadap HDB yang lebih awet.

Perbaikan varietas populer dengan memasukkan satuatau beberapa gen ketahanan terhadap HDB akanmemberikan ketahanan spektrum luas pada varietastersebut. Dalam proses pemuliaannya dilakukan seleksimelalui teknik bioassay, seleksi di daerah endemik danatau memanfaatkan MAS. Dengan penelitian tersebutsecara efektif dan efisien dapat dibentuk varietas paditahan HDB spektrum luas yang bertahan lama di lapang.

Teknik bioassay mampu memastikan individu materipemuliaan tahan terhadap strain tertentu. Seleksi didaerah endemik memastikan materi pemuliaan mampubertahan pada komposisi Xoo di daerah tersebut. Markamolekuler dapat memverifikasi bahwa gen target berupagen spesifik pengendali ketahanan terhadap HDB telahada pada kondisi homosigot dalam genom individu materipemuliaan, sehingga stabil diturunkan pada generasiselanjutnya.

Galur-galur yang memiliki ketahanan berbedaterhadap sejumlah strain patogen HDB dan mempunyailatar belakang genetik beragam, perlu dikembangkan lebihlanjut menjadi calon varietas. Evaluasi daya hasil dankeragaan gen ketahanan HDB pada berbagai agroekologiberguna untuk mengetahui potensi genotipe.

PEMANFAATAN MAS DALAM PEMULIAANPADI TAHAN HDB

Molekuler Assisted Selection (MAS) dapat diaplikasikanpada proses seleksi untuk mendeteksi gen-gen ketahananHDB. MAS dapat diaplikasikan jika genotipe padi memilikigen ketahanan yang telah diketahui marka spesifiknya.Aplikasi MAS apabila berfungsi secara akurat, dapatmempercepat seleksi dan memberikan keyakinan bahwaindividu yang diseleksi betul-betul membawa gen yangditargetkan. Akan tetapi hasil seleksi berdasarkan MAStetap harus diuji secara empiris terhadap patotipe HDBdi lapangan.

Page 30: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

122

Hingga saat ini telah diidentifikasi lebih dari 30 genketahanan terhadap HDB yang terdiri atas Xa1 sampaidengan xa32 (Lin et al. 1996, Zhang et al. 1998, Khushand Angeles 1999, Chen et al. 2002, Tan et al. 2004).Sidik jari DNA dan analisis keragaman patotipe HDB jugatelah dilakukan di beberapa negara (Yashitola et al. 1997,Singh et al. 2001).

Introgresi empat gen tahan HDB Xa4, xa5, xa13, danXa21 telah berhasil dilakukan ke dalam beberapa varietasdan tetua hibrida seperti KMR3, PRR78, IR58025B, Pusa6B dan Mahsuri. Mahsuri merupakan varietas populer diIndia yang toleran terhadap keracunan Fe, sehinggaintrogresi gen Xa menambah keunggulan varietas Mahsuri.Introgresi gen Xa dilakukan melalui MAS terhadap materibackcross-breeding, dimana IRBB60 sebagai tetua donormengandung gen Xa4, xa5, xa13, dan Xa21. Marka yangdigunakan adalah marka STS (sequence-tagged-site)yaitu Npb 181, RG 136, dan pTA 248 yang terkait dengangen ketahanan Xa4, xa13, dan Xa21, dan marka SSRyaitu RM 122 yang terkait dengan gen ketahanan xa5(Shanti et al. 2010).

Flanking set marka SSR yaitu RM122/RM159 padagalur hasil persilangan RD6/P0489 dan RD6/JaoHomNindengan IR62266 (xa5) untuk mengintrogresikan gen Xa.Piramiding gen-gen telah berhasil diperoleh dan salah satugalurnya adalah BC2F2:3 2-8-2-36 (Pinta et al. 2013).

Phuc et al. (2005) melaporkan bahwa MAS sangatakurat membentuk varietas tahan HDB menggunakanmarka SSR, yaitu RM144 dan RM122 yang terkait dengangen ketahanan Xa3 dan xa13, serta marka STS yaitu

RG136 yang terkait dengan gen ketahanan xa5. Beberapamarka dapat digunakan untuk seleksi populasi tanaman(Susanto et al. 2013). Beberapa marka terkait ketahananHDB tertera pada Tabel 2.

VARIETAS UNGGUL PADI TAHAN HDB

Patogen HDB mampu membentuk patotipe baru yang lebihvirulen, sehingga sifat ketahanan varietas dapatterpatahkan (Suparyono et al. 2004, Sudir dan Suprihatno2006, Sudir et al. 2009). Oleh karena itu, penanamanvarietas tahan harus disesuaikan dengan patotipe yangada (Suparyono et al. 2004, Sudir et al. 2009). Pergiliranvarietas dan diversifikasi gen perlu diterapkan untukmemutus siklus hidup patotipe HDB di lapangan.

Beberapa varietas padi tahan HDB telah dilepas sejaktahun 1953 hingga 1994, namun penggolongan varietastahan belum dikategorikan berdasarkan patotipe HDB.Penggolongan varietas tahan berdasarkan patotipe HDBbaru dilakukan sejak tahun 1995.

Varietas Padi Sawah Tahan HDB

Sejak tahun 2000 telah dilepas 65 varietas unggulpadi yang termasuk tahan dan agak tahan terhadappenyakit HDB. Dari 65 varietas tersebut, terdapat delapanvarietas yang tahan maupun agak tahan terhadap tigapatotipe HDB, 24 varietas tahan dan agak tahan terhadapdua patotipe HDB, dan 33 varietas tahan dan agak tahanterhadap satu patotipe HDB (Tabel 3).

Tabel 2. Marka terkait gen ketahanan terhadap HDB yang dapat digunakan pada seleksi MAS pada padi.

Marka Kromosom Gen terpaut Direksi Sequens Sumber

RM122 5 xa5 Forward 5’GAGTCGATGTAATGTCATCAGTGCC3’ Phinta 2013Reverse 3’GAAGGAGGTATCGCTTTGTTGGAC5’

RM159 5 xa5 Forward GGGGCACTGGCAAGGGTGAAGG Phinta 2013Reverse GCTTGTGCTTCTCTCTCTCTCTCTCTCTC

RM144 11 Forward TGCCCTGGCGCAAATTTGATCC Phinta 2013Reverse GCTAGAGGAGATCAGATGGTAGTGCATG

STS Xa21 Forward CGATCGGTATAACAGCAAAACReverse ATAGCAACTGATTGCTTGG

RM20589 6 Xa7 Forward CATGTATTGTGTGCACGTACCGReverse ACCTTCTTGGGCCTTTCTTGG

Xa4-RT1F Forward ATCGATCGATCTTCACGAGGReverse TGCTATAAAAGGCATTCGGG

RG136 8 xa5 Forward TCCCAGAAAGCTACTACAGC Nguyen 2004Reverse GCAGACTCCAGTTTGACTTC

RM21 11 Forward ACAGTATTCCGTAGGCACGG Nguyen 2004Reverse GCTCCATGAGGGTGGTAGAG

RM164 5 Forward TCTTGCCCGTCACTGCAGATATCC Nguyen 2004 Reverse GCAGCCCTAATGCTACAATTCTTC

Page 31: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Wening et al.: Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri

123

Varietas yang tahan terhadap ketiga patotipe HDB,baik patotipe III, IV, dan VIII, adalah Angke, Ciujung,Conde, Inpari 1, Inpari 6 Jete, dan Inpari 17 (Suprihatnoet al. 2010 dan Jamil et al. 2016). Karakter morfologimaupun agronomi dari keenam varietas tersebut dapatdilihat pada Tabel 4. Selain itu, varietas Inpari 11, 25 OpakJaya, 31, 32, dan 33 tahan terhadap HDB patotipe II namunagak tahan patotipe IV dan VIII (Jamil et al. 2016).

Varietas yang tahan terhadap dua patotipe HDB yaitupatotipe III dan IV adalah Ciherang, Cimelati, Sunggal,Setail, dan Ciasem. Selain itu varietas Konawe dan Singkiljuga tahan terhadap HDB patotipe III dan lebih tahanterhadap HDB patotipe IV dibandingkan dengan IR64.

Pembanding yang digunakan adalah IR64 karena banyakditanam petani. Varietas IR64 kemudian diketahui rentanHDB, baik patotipe III dan VIII, namun agak tahan patotipeIV (Suprihatno et al. 2010).

Varietas yang tahan terhadap satu patotipe HDBsebanyak 33 varietas yang terdiri atas 13 varietas tahanpatotipe III, satu varietas tahan patotipe IV, 11 varietasagak tahan patotipe III, lima varietas agak tahan patotipeIV, dan tiga varietas agak tahan patotipe VIII (Tabel 3).

Varietas Ciherang semula memiliki sifat ketahananterhadap patotipe III dan IV (Suprihatno et al. 2010), namunseiring dengan berjalannya waktu berubah menjadi rentan.Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan Rachmawati

HDBNo Nama varietas Tahun

III IV VIII dilepas

Tahan dan agak tahan terhadap tiga patotipe HDB1 Angke T T T 20012 Ciujung T T T 20013 Conde T T T 20014 Inpari 1 T T T 20085 Inpari 6 Jete T T T 20086 Inpari 17 T T T 20117 Inpari 11 T AT AT 20108 Inpari 25 Opak jaya T AT AT 20129 Inpari 31 T AT AT 201310 Inpari 32 T AT AT 2013

Tahan dan agak tahan terhadap dua patotipe HDB1 Ciherang T T 20002 Cimelati T T R 20013 Sunggal T T 20024 Setail T T R 20035 Ciasem T T R 20066 Konawe T >T 20017 Singkil T >T 20018 Meraoke T AT 20019 Woyla T AT 200110 Diah Suci T AT 200311 Kahayan T AT 200312 Winongo T AT 200313 Fatmawati T AT R 200314 Gilirang T AT R 200315 Mayang T AT 200416 Yuwono T AT 200417 Inpari 18 T AT R 201118 Inpari 19 T AT R 201119 Inpari 23 Bantul T AT R 201220 Inpari 24 Gabusan T AT R 201221 Situ bagendit AT AT 200322 Inpari 4 AT AT AR 200823 Inpari 7 Lanrang AT AT AR 200924 Inpari 33 T AR AT 201325 Inpari 37 AT AT AR 2014

HDBNo Nama varietas Tahun

III IV VIII dilepas

Tahan dan agak tahan terhadap satu patotipe HDB1 Sintanur T R R 20012 Wera T 20013 Logawa T 20034 Pepe T 20035 Inpari 16 Pasundan T AR AR 20116 Inpari 20 T AR AR 20117 Inpari sidenuk T AR AR 20118 Inpari 21 Batipuah T AR AR 20129 Inpari 26 T AR AR 201210 Inpari 27 T AR AR 201211 Inpari 28 kerinci T AR AR 201212 Inpari 22 T R R 201213 Cigeulis T 200314 Cisantana AT R 200015 Inpari 2 AT AR AR 200816 Inpari 3 AT AR AR 200817 Inpari 5 Merawu AT AR AR 200818 Inpari 10 Laeya AT AR 200919 Inpari 8 AT AR AR 200920 Inpari 9 Elo AT AR AR 200921 Inpari 15 Parahyangan AT AR AR 201122 Inpari 14 Pakuan AT R AR 201123 Inpari 34 AT R AR 201424 Inpari 35 AT R AR 201425 Mekongga AT 200426 Cibogo AT 200327 Ciapus AT R 200328 Aek Sibundong AT 200629 Inpari 36 R AT R 201430 Tukad Balian AT 200031 Tukad Petanu AT 200032 Tukad Unda AT 2000

Keterangan: sangat tahan (ST) = tingkat keparahan 0-5%;tahan (T) = tingkat keparahan >1-6%, agak tahan(AT) = tingkat keparahan >6-12%, agak rentan(AR)=tingkat keparahan >13- 25%, rentan(R)= tingkat keparahan >26-50%, sangat rentan(SR) = tingkat keparahan >51-100%.Sumber: Suprihatno et al. 2010, Jamil et al. 2016).

Tabel 3. Varietas padi sawah inbrida dan ketahanannya terhadap HDB.

Page 32: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

124

(2009) bahwa varietas Ciherang memiliki sifat sangatrentan HDB dengan tingkat keparahan 66-91%. Hal inimenandakan bahwa gen tahan pada Ciherang mulaiterpatahkan oleh perubahan patotipe HDB.

Berdasarkan tabulasi varietas yang telah dilepas sejaktahun 2000 hingga 2014, penyuluh maupun petani dapatmemilih varietas yang dapat ditanam sesuai denganagroekosistem dan sebaran patotipe HDB di tiap wilayah.Pada wilayah yang didominasi oleh patotipe III, seperti diJawa Barat dan Jawa Tengah serta sebagian kabupatendi Sumatera Selatan, dianjurkan penanaman varietas yangtahan HDB patotipe III, seperti Inpari 16, Inpari 20, InpariSidenuk, Inpari 21 Batipuah, Inpari 22, Inpari 26, Inpari27. Pada dataran tinggi dapat dianjurkan penanamanvarietas Inpari 28. Pada wilayah yang dominan patotipeIV seperti di Kabupaten Muara Enim dapat dianjurkanmenanam varietas Cigeulis. Sedangkan pada daerah yangdominan patotipe VIII seperti di DIY, Jawa Timur danBanyuasin (Sumsel) dapat dianjurkan menanam varietasyang memiliki ketahanan terhadap ketiga patotipe, sepertiAngke, Conde, Ciujung, Inpari 1, Inpari 6, dan Inpari 17.Varietas tersebut juga dapat dianjurkan untuk ditanam didaerah yang dominan patotipe III maupun IV.

Padi Hibrida Tahan HDB

Sejak tahun 2004 telah dilepas sembilan varietas padihibrida yang tahan terhadap HDB (Tabel 4), tujuhdiantaranya tahan HDB patotipe II dan dua varietas tahanHDB patotipe IV dan VIII. Varietas yang tahan terhadapHDB patotipe III adalah Hipa 9, 10, 11, 12, 13, 14, danHIPA Jatim 2 (Jamil et al. 2016). Varietas tersebut cocokditanam di daerah yang dominan patotipe III seperti diJawa Barat. Varietas yang tahan HDB patotipe IV danVIII adalah HIPA 3 dan 4, cocok ditanam di Jawa Tengahdan jawa Timur yang dominan patotipe VIII. Penanamanvarietas berdasarkan patotipe dominan adakalanya sulitdiimplementasikan karena tidak tersedianya benih ataupetani tidak menyukai karakter varietas tahan yangtersedia.

Padi Rawa Tahan HDB

Sumatera Selatan memiliki komposisi HDB yangberagam. Beberapa varietas padi rawa yang tahanterhadap HDB dapat dilihat pada Tabel 5.

SEBARAN ADOPSI VARIETAS TAHANHAWAR DAUN BAKTERI

Varietas tahan HDB telah berkembang di berbagai daerahdi Indonesia. Pada tahun 2012-2013, benih varietas Angke

ditanam di Sulawesi Tengah pada luasan 173 ha. Benihvarietas Conde ditanam di Jateng 5.145 ha, Jatim 441ha, dan Sulawesi Tengah 75 ha. Benih varietas Ciujungditanam di Lampung 30 ha. Benih varietas Inpari 1berkembang di 23 provinsi, terluas di Jawa Barat 20.438ha dan Jawa Tengah 12.053 ha. Benih varietas Inpari 6Jete berkembang di 17 provinsi di Indonesia, terluas diJawa Timur 4.835 ha. Benih varietas Inpari 11 berkembangdi Lampung 962 ha, Banten 21 ha, Kalimantan Tengah 5ha, Kalimantan Selatan 3.581 ha, Maluku 122 ha, danPapua Barat 141 ha. Benih Inpari 17 hanya diadopsi diKalimantan Selatan seluas 14 ha (Direktorat BenihTanaman Pangan 2015).

Penanaman varietas tahan HDB diharapkan dapatmeningkatkan produksi padi, terutama di daerah endemis.Di Jawa Tengah yang merupakan daerah endemis HDB,penggunaan varietas tahan diperkirakan memilikikontribusi nyata dalam peningkatan produksi padi dari9,39 juta ton pada tahun 2011 menjadi 10,23 juta ton padatahun 2012, dan 10,34 juta ton pada tahun 2013 denganluas lahan sawah yang relatif tetap, yaitu 960.768 ha pada2011, 962.471 ha pada 2012, dan 960.970 ha pada 2013(BPS 2016).

Tabel 4. Padi hibrida dan ketahanannya terhadap HDB.

HDBNama varietas Tahun

III IV VIII dilepas

Hipa 3 AT AT 2004Hipa 4 AT AT 2004Hipa 10 AT AR 2010Hipa 11 AT AR 2010Hipa 9 AT AR 2010Hipa 12 SBU AT R 2011Hipa 13 AT AR 2011Hipa 14 SBU AT R 2011Hipa Jatim 2 AT R R 2011

Sumber: Jamil et al. (2016).

Tabel 5. Padi rawa dan ketahanannya terhadap HDB.

HDBNama varietas Tahun

III IV VIII dilepas

Inpara 1 T 2008Inpara 2 T 2008Inpara 4 T T 2010Inpara 5 T T 2010Inpara 6 AT 2010

Sumber: Jamil et al. (2016).

Page 33: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Wening et al.: Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri

125

Nayak, D., M.L. Shanti, L.K. Bose, U.D. Singh, and P. Nayak.2008. Pathogenicity association in Xanthomonasoryzae pv. oryzae the causal organism of rice bacterialblight disease. Asian Research Publishing Network(ARPN) and Biol. Sciance:12-27.

Pinta, W., T. Toojinda, P. Thummabenjapone, and J.Sanitchon. 2013. Pyramiding of blast and bacterial leafblight resistance genes into rice cultivar RD6 usingmarker assisted selection. African Journal ofBiotechnology 12(28):4432-4438.

Phuc, N.V., N.T. Lang, and B.C. Buu. 2005. STS andmicrosatellite marker-assisted selection for bacterialblight resistance in rice, Oryza sativa L. OmonRice13:18-25.

Rachmawati, A.Y. 2009. Pengaruh perlakuanmatriconditioning pluas bakterisida sintesis ataunabati untuk mengendalikan hawar daun bakteri(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terbawa benih sertameningkatkan viabilitas dan vigor benih padi (Oryzasativa L.). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/11464. Diakses tanggal 22 Nopember 2016.

Shanti, M.L. and V.V. Shenoy. 2005. Evaluation of resistancegenes and their pyramids against rice bacterial leafblight pathogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Oryza42:169-173.

Shanti, M.L., V.V. Shenoy, G.L. Devi, V.M. Kumar, P. Premalatha,G.N. Kumar, H.E. Shashidhar, U.B. Zehr, and W.H.Freeman. 2010. Marker-assisted breeding forresistance to bacterial leaf blight in popular cultivar andparental lines of hybrid rice. Journal of Plant Pathology92(9):495-501.

Shen, Y. and P. Rhonald. 2002. Molecular determinants ofdisease and resistance in interaction of Xanthomonasoryzae pv. oryzae and rice. J. Microbe and Infection4(13):1361-1367.

Singh, S., J.S. Sidhu, N. Huang, Y. Vikal, Z. Li, D.S. Bra, H.S.Dhaliwal, and G.S. Khush. 2001. Pyramiding threebacterial blight resistance genes (xa5, xa13 and Xa21)using marker-assisted selection into indica rice cultivarPR106.Theoritical and Applied Genetics 102:011-1015.

Sudir dan Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strainXanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakithawar daun bakteri pada tanaman padi. JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2):100-115.

Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipeXanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakitpenyakit hawar daun bakteri di sentra produksi padi diJawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan28(3):131-138.

Sudir dan B. Sutaryo. 2011. Reaksi padi hibrida terhadappenyakit hawar daun bakteri dan hubungannya denganhasil gabah. Jurnal Penelitian Pertanian TanamanPangan 30(2):88-94.

Sudir, B. Nuryanto, dan T.S. Kadir. 2012. Epidemiologi,patotipe, dan strategi pengendalian penyakit hawardaun bakteri pada tanaman padi. Iptek TanamanPangan 7(2):79-87.

KESIMPULAN

Penanaman varietas padi di suatu wilayah perlumempertimbangkan patotipe HDB yang dominan.Beberapa varietas dengan ketahanan terhadap patotipetertentu telah tersedia. Dalam perakitan varietas tahanHDB, seleksi di daerah endemik dibantu teknik MASdapat digunakan agar lebih efektif. Meskipun demikian,seleksi di lapangan tidak dapat ditinggalkan dan menjadipembuktian akhir.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat Statistik.680p.

Chen, H., S. Wang, and Q. Zhang. 2002. New gene forbacterial blight resistance in rice located onchromosome 12 identified from Minghui 63, an eliterestorer line. Phytopahtology 92:750-754.

Damanik, S.M., I. Pinem, dan Y. Pengestiningsih. 2013. Ujiefikasi hayati terhadap penyakit hawar daun bakteri(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) pada beberapavarietas padi sawah. Jurnal Online Agroteknologi1(4):1402-1412.

Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura.2015. Laporan tahunan Direktorat PerbenihanTanaman Pangan dan Hortikultura. Data tidakdipublikasikan.

Ditlin (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2011.Laporan Tahunan 2010 Direktorat PerlindunganTanaman Pangan. Dirjen Tanaman Pangan.Kementerian Pertanian, Jakarta.

Jamil, A., Satoto, P. Sasmita, A. Guswara, dan Suharna. 2016.Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian. KementerianPertanian. 84p.

Kadir, T.S., Y. Suryadi, Sudir, dan M. Machmud. 2009. Penyakitbakteri padi dan cara pengendaliannya. dalam BukuPadi: Inovasi Teknologi Produksi. Daradjat, A.A., A.Setiono, A.K. Makarim, dan A. Hasanuddin (Eds.). BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian danPengembangan. Kementerian Pertanian, Sukamandi.

Khaeruni, A. 2001. Penyakit hawar daun bakteri pada padi:masalah dan upaya pemecahannya. IPB Press. Bogor.

Khush, G.S. and E.R. Angeles. 1999. A new gene forresistance to race 6 of bacterial blight in rice, Oryzasativa L. Rice Genetics Newsletter 16:92-93.

Lin, X.H., D.P. Zhang, Y.F. Xie, H.P. Gao, and Q. Zhang. 1996.Identifying and mapping a new gene for bacterial blightresistance in rice based on RFLP markers.Phytopathology 86:1156-1159.

Mew, T.W. 1989. An overview of the world bacterial leaf blightsituation. In p 7-12. Bacterial blight of rice. IRRI. ManilaPhilippines.

Page 34: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

126

Sudir. 2012. Peta Penyebaran Patotipe Xanthomonas oryzaepv. oryzae. Penyebab penyakit hawar daun bakteri padidi daerah sentra produksi padi di Jawa. ProsidingSeminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011. p.109-120.

Sudir, Y.A. Yogi, dan Syahri. 2013. Komposisi dan sebaranpatotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae di sentraproduksi padi di Sumatera Selatan. Penelit ianPertanian Tanaman Pangan 32(2):98-108.

Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipepatogen hawar daun bakteri pada tanaman padistadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian22(1):45-50.

Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profileof Xanthomoas campestris pv. oryzae, isolates fromthe rice ecosystem in Java. Indonesian Jurnal ofAgricultural Science 5(2):63-69.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki SE.,Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, I.P. Wardana,dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi. BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi. Badal LitbangPertanian. Departemen Pertanian. 109p.

Susanto, U. , T.S. Kadir, P. Sasmita, R.H. Wening, N. Yunani,N.A. Rohmah, A. Imamuddin, Warsa, Meru, L. Murdiani,Irmantoro, U. Barokah, dan D. Heryanto. 2013.Pembentukan varietas padi tahan hawar daun bakterispektrum luas, bermutu baik, dan berdaya hasil tinggi.Laporan Akhir Tahun ROPP DIPA 2012. Balai BesarPenelitian Tanaman Padi.

Susanto, U. dan Sudir. 2012. Ketahanan genotipe paditerhadap Xanthomonas oryzae pv. Oryzae patotipe III,

IV, dan VIII. Jurnal Penelitian Pertanian TanamanPangan 31(2):108-116.

Tan, G.X., X. Ren, Q.M. Weng, Z.Y. Shi, L.L. Zhu, He and.2004. Mapping of a new resistance gene to bacterialblight in rice line introgressed from Oryza officinalis.Acta Genetica Sinica 431:724-729.

Tasliah. 2012. Gen ketahanan tanaman padi terhadapbakteri hawar daun (Xanthomonas oryzae pv. oryzae).Jurnal Litbang Pertanian 31(3):103-112.

Utami, D.W., T.S. Kadir, S. Yuriah. 2011. Faktor virulensiAvrBs3/PthA pada ras III, ras IV, ras VIII, dan IXO93-068patogen hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv.oryzae). Jurnal AgroBiogen 7(1):1-8.

Vera, C. and Casiana. 2002. Breeding for rice disease. RiceBreeding Course. IRRI. Los Banos. Phillipines.

Yashitola, J., D. Krishnaveni, A.P.K. Reddy, and R.V. Sonti.1997. Genetic diversity within the population ofXanthomonas oryzae pv. oryzae in India.Phytopathology 87:760-765.

Yuliani, D., A. Faizal, dan Sudir. 2012. Identifikasi patotipeXanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab hawardaun bakteri padi di daerah sentra produksi adi diProvinsi Sulawesi Selatan. Prosiding SeminarNasional Hasil Penelitian Tanaman Padi 2011. p.121-130.

Zhang, Q., S.C. Lin, B.Y. Zho, C.L. Wang, W.C. Yang, Y.L.Zhou, D.Y. Li, C.B. Chen, and L.H. Zhu. 1998.Identification and tagging a new gene for resistance tobacterial blight (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) fromO. rufipogon. Rice Genetics Newsletter 15:138-142.

Page 35: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iswanto et al.: Peran Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Padi terhadap Wereng Cokelat

127

Peran Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Padi terhadapKetahanan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens)

Role Rice Secondary Metabolites to Brown Planthopper(Nilaparvata lugens) Resistance

Eko Hari Iswanto*1, R. Heru Praptana2 dan Agus Guswara1

1Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJalan Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail: [email protected] Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Jalan Merdeka No. 147 Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Naskah diterima 25 Februari 2016, direvisi 25 November 2016, dan disetujui diterbitkan 30 November 2016

ABSTRACT

Resistance character to brown planthopper (BPH) is one of the main component of farmers’ interest in ricecultivation, because its utilization is convenient, inexpensive and environmental friendly, and, therefore, thetechnology is rapidly used by farmers in brown planthopper management. Rice resistance to BPH is relatedwith plant secondary metabolite compounds. Oxalic acid, tricin, schaftoside, isoschaftoside and apigenin-C-glycosides have effect to BPH as deterrence, antifeeding and toxicosis. Concentration of those secondarymetaboilite is higher in resistant variety than susceptible variety. Every variety has different component andcomposition of secondary metabolite. With specific plant secondary metabolite as marker, selection prosescould be easier and faster in resistance genotype detection in a breeding program.

Keywords: Rice, resistan variety, secondary metabolite, genotype detection.

ABSTRAK

Sifat tahan varietas terhadap wereng cokelat merupakan komponen penting dalam budi daya padi sawah,karena pemanfaatan teknologinya mudah, murah dan ramah lingkungan sehingga cepat diadopsi petani.Ketahanan varietas berkorelasi dengan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat padatanaman. Senyawa asam oksalat, tricin, schaftoside, isoschaftoside dan apigenin-C-glycosides berfungsisebagai penolak (detterence), penghambat makan (antifeeding) atau bersifat racun (toxicosis) terhadapwereng cokelat. Kandungan senyawa-senyawa tersebut lebih tinggi pada varietas tahan dibanding varietasrentan. Setiap varietas mempunyai komposisi dan kandungan senyawa yang berbeda-beda. Denganmengetahui kandungan senyawa metabolit spesifik sebagai penanda, proses seleksi menjadi lebih mudahdan cepat untuk mendeteksi genotipe tahan pada program pemuliaan.

Kata kunci: Padi, varietas tahan, metabolit sekunder, deteksi genotipe.

PENDAHULUAN

Wereng cokelat, merupakan hama penting tanaman padikarena serangannya mampu mengakibatkan puso,menularkan penyakit kerdil hampa (ragged stunt) dankerdil rumput (grassy stunt) pada tanaman musimberikutnya (Cabauatan et al. 2009). Varietas tahan menjadipilihan untuk pengendalian serangga hama tersebut,

karena efektif menurunkan populasi dan menjadi salahsatu komponen pengendalian hama terpadu (Savary etal. 2012, Baehaki et al. 2011). Varietas tahan mempunyaiketerbatasan karena wereng cokelat dapat membentukbiotipe baru, yaitu populasi yang mampu beradaptasi padavarietas yang sebelumnya tahan (Cruz et al. 2011). Salahsatu tantangan bagi pemulia tanaman adalah merakitvarietas yang produksinya tinggi dan mempunyai

Page 36: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

128

ketahanan yang lebih awet (durable resistance) dengancara menggabungkan lebih dari dua gen ketahanan, baikgen utama maupun gen minor, yang diharapkan mampumenghambat pembentukan biotipe baru wereng cokelat(Iswanto et al. 2015).

Mekanisme ketahanan varietas terhadap werengcokelat secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaituantixenosis, antibiosis, dan toleran. Antixenosismerupakan mekanisme ketahanan tanaman untukmenjerakan atau mereduksi koloni serangga. Antibiosis,ketahanan yang bekerja setelah serangga berkoloni dantelah memakan cairan tanaman. Antibiosis menurunkanpopulasi secara kumulatif dengan menurunkan dayareproduksi, lamanya waktu reproduksi, dan kematiannimfa. Toleran, secara genetik tanaman mampumentoleransi hama dengan kehilangan hasil minimal(Smith 1989). Secara genetik, ketahanan dibagi menjadidua, yaitu ketahanan vertikal dan horisontal. Ketahananvertikal dikendalikan oleh gen mayor atau oligogen yangmudah dipatahkan, sedangkan ketahanan horisontal olehpolygenik atau beberapa gen minor, masing-masingmenyumbang sedikit ketahanan sehingga bersifat lebihstabil (Panda and Kush 1995).

Wereng cokelat akan memilih dan lebih menyukaivarietas rentan dibanding varietas tahan. Wereng cokelatmempunyai kesulitan dalam menghisap cairan floem padavarietas tahan (Seo et al. 2010). Hasil penelitian Jungdan Im (2005) menunjukkan bahwa kandungan glukosa,fruktosa, dan sukrosa pada embun madu (honeydew)wereng cokelat yang diberi pakan varietas tahan lebihrendah daripada varietas rentan, walaupun kandungan gulapada phloem kedua varietas tidak berbeda. Senyawa hasilmetabolisme sekunder diduga menjadi faktor utama yangberperan penting dalam ketahanan tanaman terhadapserangga hama dan hal tersebut membedakan varietastahan dengan varietas rentan (Zhao et al. 2004). Metabolitsekunder merupakan senyawa metabolisme yang tidakesensial bagi pertumbuhan tanaman, ditemukan dalambentuk yang unik atau berbeda pada setiap varietas.Senyawa ini tidak selalu diproduksi, hanya pada saatdibutuhkan atau pada fase tanaman tertentu. Komponendan kandungan senyawa metabolis sekunder berkorelasidengan ketahanan tanaman (Zhao et al. 2005). Senyawaini juga berfungsi sebagai sinyal kimia dalam ekosistemdan sebagai antibiosis terhadap serangga dan patogen(Kong et al. 2002). Senyawa volatile (mudah menguap)juga berperan menentukan respon tanaman terhadapserangga. Saxena dan Okech (1985) mengekstraksenyawa volatile beberapa varietas padi dengan ketahananberbeda yang diaplikasikan pada varietas rentan (TN1).Hasilnya diketahui bahwa ekstrak dari tanaman tahannyata menurunkan waktu tinggal induk dan aktivitasmakan wereng cokelat, serta meningkatkan kematian

induk dan nimfa. Hal yang sama juga dilaporkan olehVelusamy et al. (1990) yang mengaplikasikan ekstraktanaman tahan Oryza officinalis.

Selain senyawa kimia, sifat morfologi permukaantanaman, seperti bulu tanaman (trichome), dapat menjadifaktor pendukung ketahanan varietas terhadap seranggahama (Woodhead and Padgham 1988). Sifat tersebutsecara langsung menggangu perkembangan serangga,seperti pada proses peletakan telur, makan, dankolonisasi. Dari hasil penelitian Astuti et al. (2012)diketahui bahwa bulu tanaman varietas tahan berbedadengan varietas rentan. Bulu pada varietas tahan tumbuhlebih rapat, lebih banyak dan atau lebih besar/panjang.Jumlah bulu tidak berkorelasi dengan tingkat ketahanan.

Pada makalah ini diuraikan jenis dan penggolongan,peran, dan fungsi senyawa metabolit sekunder tanamanpadi terhadap wereng cokelat.

PENGGOLONGAN DAN PERAN SENYAWAMETABOLIT SEKUNDER

Keragaman genetik antarvarietas mengakibatkanterdapatnya keanekaragaman senyawa kimia yangterkandung dalam varietas tanaman. Setiap varietastanaman padi mempunyai keanekaragaman, kandungan,dan komposisi senyawa kimia, terutama metabolitsekunder. Kandungan dan komposisi senyawa tersebutdapat menjadi ciri khas dan keunggulan suatu varietas.Berbagai hasil penelitian menunjukkan varietas tahanwereng mempunyai kandungan senyawa yang berfungsisebagai ketahanan terhadap serangga (Yoshihara et al.1980, Stevenson et al. 1996, Bing et al. 2007).

Senyawa metabolit sekunder dapat dibagi menjaditiga golongan utama berdasarkan jalur biosintesis(biosynthesis pathway), yaitu terpenoid, flavonoid, dansenyawa yang mengandung nitrogen (Irchaiya et al.2015). Golongan terpenoid merupakan golongan besar,salah satu fungsinya terhadap serangga adalah sebagaiatraktan dan antimakan (antifeedant). Golongan flavonoidbanyak terlibat dalam berbagai proses seperti proteksiterhadap ultraviolet, pigmentasi, dan ketahanan terhadappenyakit. Golongan ketiga senyawa yang mengandungnitrogen sebagian besar merupakan senyawa alkaloid.

Berdasarkan fungsi atau cara kerjanya, senyawametabolit sekunder dibagi menjadi dua golongan (Kogan1994). Golongan pertama, yaitu allomones yang secaraumum berfungsi sebagai pertahanan tanaman terhadapserangga hama. Pada golongan ini, senyawa dibagimenjadi beberapa golongan lagi yaitu penolak serangga(repelen), mempercepat pergerakan (locomotor excitans),penghambat makan (suppressants), mencegah makan

Page 37: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iswanto et al.: Peran Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Padi terhadap Wereng Cokelat

129

(deterrents), dan toksik (pengganggu saraf danpernafasan). Golongan kedua, yaitu kairomones,merupakan senyawa yang berfungsi menarik seranggasehingga dapat menemukan inangnya. Senyawa yangtermasuk kairomones yaitu attractan (mengorientasikanmenuju inang), arrestant (memperlambat ataumenghentikan pergerakan), dan excitans (memperolehmenusuk atau oviposisi). Varietas tahan mempunyaikandungan senyawa allomones lebih banyak, yang secaraumum bersifat menghambat perkembangan seranggahama.

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunderpenting pada tanaman yang berfungsi sebagai penolak(detterent), penghambat makan (antifeeding) dan bersifatracun (toxicosis) bagi serangga (Xu 2001). Ketahananvarietas terhadap hama wereng berasosiasi dengankomposisi senyawa pada floem dan senyawa kimia padapermukaan tanaman dan respon induksi terhadapserangan wereng (Horgan 2009). Senyawa metabolit padavarietas tahan berperan sebagai penghambatperkembangan wereng, terutama melalui aktivitas makan(Tabel 1). Senyawa metabolit utama termasuk aspariginedan phytosterols berpengaruh terhadap perilaku werengcokelat dalam mencari inang. Kandungan asparigine yangtinggi dan phytosterols yang rendah dapat menarikserangga (Shigematsu et al. 1982).

Senyawa metabolit sekunder yang bersifat racunberperan penting pada ketahanan varietas, seperti asamoksalat pada padi varietas Mudgo (Bph1) yangmenghambat aktivitas makan wereng cokelat (Yoshiharaet al. 1980). Bing et al. (2007) mengisolasi senyawaflavonoid 5,7,4’-trihydroxy-3’,5’-dimethoxyflavone (tricin)dari varietas IR36 yang mempunyai gen bph2. Senyawatricin mampu menurunkan kemampuan makan nimfa danpeletakan telur induk wereng cokelat. Zhang et al. (2015)melakukan penelitian menggunakan Electrical Penetration

Graph (EGP) untuk mengetahui pengaruh tricin terhadapwereng cokelat. Senyawa tricin mengganggu perilakumakan wereng cokelat dengan cara meningkatkan durasipenusukan stilet dan menghambat penghisapan cairan.Senyawa tricin termasuk golongan flavonoid yang terdapatpada batang, daun, dan sekam padi.

Jaringan pengangkut floem varietas tahan RathuHeenati (Bph3), BG300, dan BG379/2 mempunyaikandungan schaftoside, isoschaftoside, dan apigenin-C-glycosides yang lebih tinggi daripada varietas rentanBG380 dan BG94/1. Kandungan total ketiga senyawatersebut pada varietas Rathu Heenati, BG300, BG379/2,BG380 dan BG94/1 berturut-turut sekitar 210, 260, 270,100 dan 90 μg/g (Stevenson et al. 1996). Hasil penelitianGrayer et al. (1994) menggunakan High PerformanceLiquid Chromatography (HPLC) mengidentifikasischaftoside, isoschaftoside, dan 5,7,4’-apigenin-C-glycosides pada floem varietas tahan. Kandunganglycoside paling tinggi terdapat pada varietas tahan IR62,dengan perbandingan 1,4 kali dari TN1 dan 1,3 kali dariIR22. Kandungan schaftoside dan isoschaftoside terlalurendah untuk dikalkulasi secara akurat, tetapi trend-nyaseperti glycoside, kandungannya lebih banyak pada IR62.Schaftoside berfungsi sebagai penghambat makan ataubersifat toksik langsung terhadap serangga. Senyawa inimenjadi faktor penting bagi ketahanan suatu varietas(Stevenson et al. 1996). Berbagai penelitian menunjukkankandungan tiga senyawa flavonoid tersebut pada varietastahan lebih tinggi dibanding varietas rentan. Selain itu,kandungan beta-sitosterol dan stigmasterol lebih banyakpada varietas tahan dibanding varietas rentan (Tabel 2).Beta-sitosterol mempunyai efek penghambat makanwereng cokelat (Shigematsu et al. 1982). Wereng cokelatyang diberi pakan larutan gula yang mengandung p-coumaroylputrescine atau feruloylputrescine mempunyaitingkat mortalitas lebih tinggi dibanding pakan larutan gula(Alamgir 2016).

Asam oksalat juga salah satu senyawa yang berfungsisebagai penghambat pengisapan cairan floem olehwereng cokelat, sedangkan asam amino asparagin dansukrosa sebagai stimulan makan wereng cokelat.Kandungan asam oksalat varietas tahan IR74, Inpari 13,dan PTB33 lebih tinggi dibanding varietas rentan TN1,sedangkan kandungan sukrosa lebih tinggi pada varietasrentan dibanding varietas tahan (Tabel 2).

SENYAWA METABOLIT SEKUNDERSEBAGAI INDIKATOR VARIETAS TAHAN

Kandungan dan kombinasi senyawa metabolit sekunderpada setiap varietas berbeda-beda. Senyawa-senyawatersebut menjadi mekanisme pertahanan tanaman

Tabel 1. Senyawa metabolit sekunder pada varietas tahan danfungsinya terhadap wereng cokelat.

Senyawa Fungsi Varietas denganmetabolit gen ketahanan

Asparagine Stimulan makan wereng Bph 1Asam oksalat Menghambat aktivitas Bph 1

makan dan bersifat racunPhytosterol Menghambat makan Bph 1Tricin Menurunkan kemampuan bph 2

makan, menghambatpengisapan cairan floem

Schaftoside Menghambat makan dan Bph 3bersifat toksik

Senyawa volatile menurunkan waktu tinggal Bph 1, bph 2,induk dan aktifitas makan Bph 3, Bph 4wereng

Page 38: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

130

terhadap gangguan serangga herbivora (Chen 2008, Louet al. 2015). Secara tidak langsung, tanaman yangterserang wereng cokelat mengeluarkan senyawa volatileyang mengundang musuh alami berupa parasitoid telur,Anagrus nilaparvatae (Lou et al. 2005). Varietas tahanmempunyai kombinasi dan kandungan senyawa metabolittertentu yang mirip dengan varietas tahan lainnya.Misalnya, varietas yang mempunyai kandungan tricin,schaftoside, dan asam oksalat yang tinggi akanmempunyai ketahanan terhadap wereng cokelat.Perakitan varietas tahan wereng dan pengujian ketahanansecara konvensional memakan waktu lama. Dengandiketahuinya kandungan senyawa metabolit sekunderyang bersifat spesifik sebagai penanda (marker) sifattahan, pengujian menjadi mudah dan cepat, dalammendeteksi ketahanan pada suatu varietas (Kong et al.2002). Hasil penelitian Yang et al. (2011) yang membuatdan memvalidasi model antara ketahanan varietas dengansenyawa metabolit sekunder diketahui bahwa ketahananberkorelasi nyata dengan kombinasi beberapa senyawametabolit. Persamaan regresi dari skor ketahanan (Y)dan metabolit sekunder (X) terhadap wereng cokelatpopulasi China (Model A) adalah:

Y = 5.3578-0.0302X2+0.0577X5-0.0312X6-0.3293X7-0.0182X11-0.1014X12+ 0.2470X13+ 0.1264X14+0.0352X15-0.0179X16+0.3858X17-0.1212X20

Persamaan regresi terhadap wereng cokelat populasiBangladesh (model B) adalah:

Y = 2.1873+0.2204X1+0.0564X2-0.0478X5+0.0411X6-0.2642X7-0.0779X8+0.1110X10-0.1836X12-0.1053X13+0.1014X14+0.0517X15-0.0137X16-0.7197X17.

Dari 20 senyawa yang diuji, puncak 2, 5, 6, 7, 11, 12,13, 14, 15, 16, 17 dan 20 mempunyai efek ketahananterhadap wereng cokelat populasi China, sedangkanpuncak 1, 2, 5, 6, 7, 8, 10, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17mempunyai efek ketahanan terhadap populasiBangladesh. Puncak 4, 5, 6 dan 8 merupakan phenoldengan rantai aliphatic panjang, puncak 10, 11 dan 12merupakan flavone, serta puncak 14 dan 15 asamhydroxamic. Persamaan regresi tersebut digunakan untukmemprediksi skor ketahanan 72 varietas, kemudiandibandingkan dengan skor pengujian. Tingkat kesesuaianskor simulasi model A dan model B dengan skor pengujianberturut-turut mencapai 94,34% dan 90,14% denganhubungan korelasi positif (Gambar 1). Hasil tersebutmengindikasikan bahwa ketahanan varietas dapat didugadengan cara mengetahui senyawa metabolit pada varietastersebut.

Ketahanan varietas terhadap wereng merupakan hasilkerja beberapa senyawa metabolit dengan kontribusimasing-masing senyawa bervariasi. Perakitan varietastahan menggunakan senyawa metabolit sebagai penandadapat menjadi alternatif dalam mendeteksi ketahanangalur hasil persilangan dalam jumlah banyak dengan caramudah dan cepat. Jumlah galur yang dihasilkan daribanyak persilangan sangat banyak sehingga tidak dapatdilakukan pengujian semua bila menggunakan metodeskrining fenotipe secara in vivo terhadap wereng cokelat.Padahal semakin banyak galur yang diuji semakin besarpeluang untuk mendapatkan galur yang sesuai dengantujuan persilangan. Pada generasi F6, dimana semuagalur sudah stabil dapat dilakukan pendugaan ketahananberdasarkan kandungan metabolit sekunder untukmengetahui galur-galur yang mempunyai ketahananterhadap wereng cokelat.

Tabel 2. Kadar sukrosa, asam oksalat, dan sterols pada berbagai varietas tanaman padi.

Kadar sukrosa Kadar oksalat Kandungan KandunganVarietas (ppm/200 mg bobot (ppm/1 g bobot ß-sitosterol stigmasterol

basah sampel)a basah sampel)a (ng/μl) (ng/μl)

TN1 0,42 ± 0,01 a 1,05 ± 0,00 g ~ ~IR26 0,39 ± 0,01 b 1,17 ± 0,00 e ~ ~IR42 0,36 ± 0,00 c 1,32 ± 0,01 b ~ ~IR64 0,33 ± 0,01 d 1,30 ± 0,01 c ~ ~IR74 0,36 ± 0,01 c 1,28 ± 0,01 d ~ ~PTB33 0,26 ± 0,01 f 1,34 ± 0,01 a ~ ~Inpari 13 0,30 ± 0,01 e 1,13 ± 0,01 f ~ ~80R ~ ~ 1,8; 2,2; 3,0 *; 0,9; 1,074S ~ ~ 0,3; 0,7; 0,8 *; 0,4; 0,3

aAngka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT,*tidak dapat ditentukan, ~ tidak dilakukan pengujian.Sumber: Rahmini et al. (2012), Shigematsu et al. (1982).

Page 39: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iswanto et al.: Peran Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Padi terhadap Wereng Cokelat

131

KESIMPULAN

Ketahanan suatu varietas terhadap padi wereng cokelatberkorelasi dengan kandungan senyawa metabolitsekunder yang terdapat pada tanaman. Senyawa asamoksalat, tricin, schaftoside, isoschaftoside, dan apigenin-C-glycosides berfungsi sebagai penolak (detterence),penghambat makan (antifeeding), dan bersifat racun(toxicosis) bagi serangga wereng cokelat. Kandungansenyawa-senyawa tersebut lebih tinggi pada varietastahan dibanding varietas rentan. Perakitan varietas tahandan pengujian ketahanan dapat dilakukan berdasarkankandungan senyawa metabolit spesifik yang dijadikansebagai penanda, menjadikan proses lebih mudah dancepat dalam mendeteksi sifat tahan, sehingga dapatmembantu pemulia dalam merakit varietas tahan werengcokelat.

DAFTAR PUSTAKA

Alamgir, K.M., Y. Hojo, J.T. Christeller, K. Fukumoto, R. Isshiki,T. Shinya, I.T. Baldwin and I. Galis. 2016. Systematicanalysis of rice (Oryza sativa) metabolic responses toherbivory. Plant, Cell & Environment 39(2):453-466.

Astuti, Supriyadi, dan Supriyono. 2012. Karakterisasi fenotipkultivar padi tahan dan rentan wereng coklat,Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delpachidae).Jurnal Entomologi Indonesia 9(2):57-63.

Baehaki, SE, A. Kartohardjono, dan D. Munawar. 2011. Peranvarietas tahan dalam menurunkan populasi werengcoklat biotipe 4 pada tanaman padi. Jurnal PenelitianPertanian 30(3):145-153.

Bing, L., D. Hongxia, Z. Maoxin, X. Di, and W. Jingshu. 2007.Potential resistance of tricin in rice against brownplanthopper Nilaparvata lugens (Stal). Acta Ecol. Sin.27:1300-1307.

Gambar 1. Hubungan skor pengujian dengan skor simulasi pada model A dan model B.Sumber: Yang et al. (2011).

Page 40: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

132

Cabauatan, P.Q., R.C Cabunagan, and I.R. Choi. 2009. Riceviruses transmitted by the brown planthopperNilaparvata lugens Stal. In: Planthoppers: new threatsto the sustainability of intensive rice production systemsin Asia. International Rice Research Institute. LosBanos, Philippines. p.357-368.

Chen, M.S. 2008. Inducible direct plant defense against insectherbivore: A Review. Insect Science 15(2):101-114.

Cruz, A.P., A. Arida, K.L. Heong, and F.G. Horgan. 2011. Aspectof brown planthopper adaptation to resistant ricevarieties with the Bph3 gene. Entomol. Exp. Appl.141(3):245-257.

Grayer, R.J., J.B. Harborne, and Kimmins. 1994. Phenolicsin rice phloem sap as sucking deterrens to the brownplanthopper, Nilaparvata lugens. Acta Horticulturae381:691-694.

Horgan, F.G. 2009. Mechanisms of resistance: a major gapin understanding planthopper-rice interactions. In:Planthoppers: New Threats to the Sustainability ofIntensive Rice Production Systems in Asia, pp. 281-302. Heong, K.L. and B. Hardy (Eds.). International RiceResearch Institute, Los Banos, Philippines. 281-302pp.

Irchaiya, D., A. Kumar, A. Yadav, N. Gupta, S. Kumar, G. Nikhil,K. Santosh, Y. Vinay, A. Prakash, and H. Gurjar. 2015.Metabolite in plant and its classification. Worl Journal ofPharmacy and Pharmaceutical Sciences 4(1):287-305.

Iswanto, E.H., U. Susanto, dan A. Jamil. 2015.Perkembangan dan tantangan perakitan varietastahan dalam pengendalian wereng cokelat diIndonesia. Jurnal Penelitian dan PengembanganPertanian 34(4):187-193.

Jung, J.K. and D.K. Im. 2005. Feeding inhibition on brownplanthopper, Nilaparvata lugens (Homoptera:Delpachidae) on a resistant rice variety. J. Asia-Pac.Entomol. 8: 301-308.

Kogan, M. 1994. Plant resistance in pest management. In:Metcalf and Luckmann (Eds.). Introduction to insectpest management. 3rd edition. A Wiley-IntersciencePublication. 73-128p.

Kong, C., X. Xu, F. Hu, B. Ling, and Z. Tan. 2002. Usingspecific secondary metabolismes as markers toevaluate allelophatic potential of rice varieties andindividual plant. Chinese Sci. Bull. 47(10):839-843.

Lou, Y.G., M.H. Du, T.C.J. Turlings, J.A. Cheng, and W.F. Shan.2005. Exogenous application of jasmonic acid inducedvolatile emissions in rice and enhanced parasitism ofNilaparvata lugens eggs by Anagrus nilaparvatae.Journal of Chemical Ecology 31(9):1985-2002.

Lou, Y.G., L. Hu, and J. Li. 2015. Herbivore-induced defensesin rice and their potential application in rice planthoppermanagement. In: K.L. Heong, J. Cheng,and M.M.Escalada. Rice Planthopper: Ecology, management,socio-economic and policy. Springer. ZhejiangUniversity Press. 91-116p.

Panda, N. and G.S. Kush. 1995. Host plant resistance toinsects. CAB International.431p.

Rahmini, P. Hidayat, E.S. Ratna, I.W. Winasa, dan S.Manuwoto. 2012. Respons biologi wereng batangcoklat terhadap biokimia tanaman padi. JurnalPenelitian Pertanian 31(2):117-123.

Savary, S., F. Horgan, L. Willocquet, and K.L. Heong. 2012. Areview of principles for sustainable pest managementin rice. Crop Protection 32:54-63.

Saxena, R.C. and S.H. Okech. 1985. Role of plant volatilesin resistance of selected rice varieties to brownplanthopper, Nilaparvata lugens (Stal)(Homoptera:Delpachidae). J. Chem. Ecol. 11:1601-1616.

Seo, B.Y., J.K. Jung, B.R. Choi, H.M. Park, S.W. Lee, and B.H.Lee. 2010. Survival rate and stylet penetration behaviorof current Korean populationsof the brown planthopper,Nilaparvata lugens, on resistant rice varieties. Journalof Asia-Pasific Entomology 13:1-7.

Shigematsu, Y., N. Murofushi, K. Ito, C. Kaneda, S. Kawabe,and N. Takahashi. 1982. Sterols and asparagine in therice plant, endogenous factors related to resistanceagainst brown planthopper (Nilaparvata lugens). Agric.Biol. Chem. 46:2877-2879.

Smith, C.M. 1989. Plant resistance to insects: A fundamentalapproach. John Wiley & Sons.286p.

Stevenson, P.C., F.M. Kimmins, R.J. Grayer, and S.Raveendranath. 1996. Schaftosides from rice phloemas feeding inhibitors and resistance factors to brownplanthopper, Nilaparvata lugens. Entomol. Exp. Appl.80:246-249.

Velusamy, R., B. Thayumanavan, S. Sadasivam, and S.Jayaraj. 1990. Effect of steam distilate extract ofresistant wild rice Oryza officinalis on behavior of brownplanthopper, Nilaparvata lugens (Stal)(Homoptera:Delpachidae). J. Chem. Ecol. 16:809-817.

Woodhead, S. and D.E.Padgham. 1988. The effect of plantsurface characteristics on resistance of rice to thebrown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol. Exp.Appl. 47:15-22.

Xu, H.H. 2001. Insecticide plant and botanical insecticide.Beijing: Chinese Agriculture Press. 284-309p.

Yang, L., G.W. Liang, F.K. Huang, L. Zeng, and B. Lin. 2011.Correlation of resistance to Nilaparvata lugens Stal withsecondary metabolisme s of rice plants. African Journalof Agriculture Research 6(8): 1972-1982.

Yoshihara, T., K. Sogawa, M.D. Pathak, B.O. Juliano, and S.Sakamura. 1980. Oxalic acid as a sucking inhibitor ofthe brown planthopper in rice (Delpachidae,Homoptera). Entomol. Exp. Appl. 27:149-155.

Zhang, Z., B. Cui, and Y. Zhang. 2015. Electrical penetrationgraphs indicate that tricin is a key secondarymetabolisme of rice, inhibiting phloem feeding ofbrown planthopper, Nilaparvata lugens. Entomol. Exp.Appl. 156(1):14-27.

Zhao, Y., F.K. Huang, X.L. Tong, B. Ling, and X.F. Pang. 2004.Secondary compounds in rice resistan variety toNilaparvata lugens. Chinesse J. App. Ecol. 15(11):2161-2164.

Zhao, Y., F.K. Huang, X.L. Tong, and X.F. Pang. 2005. HPLCanalysis of rice variety resistance to different biotype ofNilaparvata lugens. J. South. China Agric Univ. 26(2):53-56.

Page 41: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Suriani dan Muis: Pengendalian Fusarium spp. pada Tanaman Jagung

133

Fusarium pada Tanaman Jagung dan Pengendaliannyadengan Memanfaatkan Mikroba Endofit

Fusarium spp. on Maize and Its Control with UtilizingEndophytic Microbes

Suriani* dan Amran Muis

Balai Penelitian Tanaman SerealiaJl. Dr. Ratulangi No. 274, Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 13 Mei 2016, direvisi 12 November 2016, dan disetujui diterbitkan 29 November 2016

ABSTRACT

Endophytic microbes reside in the tissue of living plant. They can be isolated from the root, stems and leaveof plant. Utilization of endophytic microbes for biological control of plant pathogens has been applied forsome times. The ability to compete for space and nutrients and antibiotic production are the two mainconsiderations for the use of endhopytic microbes as biological control to plant pathogens. Several speciesof endophytic microbes isolated from maize either from the class of fungi, bacteria or actinomycetes includeTrichoderma spp., PenIicillium sp., Bacillus spp., dan Altenaria alternata. The microbes have been reportedby some researchers to be effectively suppressing the development of pathogens Fusarium spp. whichcauses stem rot, cobs and grain maize. Endophytic microbes have a good prospect to be developed asmaize disease control because they are affordable and environmentally friendly.

Keywords: Endophytic, microbial, Fusarium spp., maize.

ABSTRAK

Mikroba endofit tumbuh dan berkembang dalam jaringan tanaman dan dapat ditemukan pada bagian akar,batang dan daun. Pemanfaatan mikroba endofit sebagai agens pengendali hayati patogen tanaman telahlama diterapkan. Kemampuan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi, memproduksi senyawa antibiotikmenjadi hal mendasar dalam penggunaan mikroba endofit sebagai agens hayati pengendali patogentanaman. Beberapa spesies mikroba endofit yang ditemukan pada tanaman jagung dari golongancendawan, bakteri maupun actinomycetes di antaranya Trichoderma spp., PenIicillium sp., Bacillus spp.,dan Altenaria alternata. Mikroba tersebut telah dilaporkan oleh beberapa peneliti akan keefektifannya dalammenekan perkembangan patogen Fusarium spp. yang menyebabkan busuk batang, tongkol dan biji jagung.Dengan demikian, mikroba endofit memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai salah satu komponenpengendalian penyakit tanaman jagung yang murah dan ramah lingkungan.

Kata kunci: Endofit, mikroba, Fusarium spp., jagung.

PENDAHULUAN

Fusarium spp. merupakan salah satu patogen penyebabpenyakit penting pada tanaman jagung yang dapatditularkan melalui benih dan tanah. Patogen inimenyebabkan pembusukan pada batang, tongkol, danbiji jagung. Beberapa spesies Fusarium yang ditemukanmerusak pada tanaman jagung di antaranya F. oxysforum,

F. verticillioides dan F. polidonogeum. Mardinus (1989)dalam Pakki (2005) mengidentifikasi pada biji jagung diSumatera Barat terdapat spesies F. verticillioides.

Infeksi Fusarium spp. dapat menurunkan kualitas dankuantitas produksi jagung. Pakki dan Mas’ud (2005)melaporkan di 14 kabupaten penghasil jagung di KawasanTimur Indonesia Timur terdapat spesies F. verticilloides

Page 42: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

134

yang menjadi penyebab rendahnya kualitas biji dan nilaijual jagung. Kontaminasi cendawan ini pada bijimempengaruhi kualitas dan menentukan nilai jual jagungdi tingkat petani. Makin tinggi kontaminasi F. verticilloides,makin rendah nilai jual jagung. Lebih lanjut Eller et al.(2008) melaporkan infeksi F. verticilloides pada tanamanjagung menyebabkan kehilangan hasil hingga 1,8 t/ha.

Selain menurunkan mutu jagung secara morfologi,infeksi F. verticillioides memiliki kemampuanmemproduksi mikotoksin (Djaenuddin dan Muis 2013).Beberapa jenis toksin yang diproduksi F. verticillioides diantaranya asam fusarat, fusarin, giberilin, moniliformin danfumonisin. Khusus pada biji jagung, cendawan iniditemukan memproduksi asam fumonisin yang berkorelasidengan biomasa patogen. Fumonisin yang diproduksi F.verticilloides dan F. proliferatum sindrom dengan penyakithewan (Nayaka et al. 2009). Selain kedua spesiesFusarium spp. tersebut, F. oxysforum dan F. polidogeumjuga dilaporkan menimbulkan kerugian yang cukup besarpada pertanaman jagung. Oleh karena itu, Fusarium spp.pada tanaman jagung harus dicegah. PengendalianFusarium spp. cukup sulit karena cendawan ini merupakanpatogen tular tanah, memiliki kemampuan bertahan dalamtanah selama bertahun-tahun meskipun kondisilingkungan tidak menguntungkan dan tanpa tanamaninang masih dapat berkembang dengan cara membentukspora bertahan seperti klamidospora (Sudantha 2010).

Upaya pengendalian yang telah dilakukan selama inidi antaranya penggunaan varietas tahan, eradikasi, danaplikasi pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimiamampu menurunkan serangan Fusarium spp., namunterdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan,salah satunya tidak jaminan keamanan produk yangmenjadi tuntutan konsumen saat ini. Residu pestisidakimia yang melekat pada produk pertanian dapat menjadiindikator penurunan kualitas produk sehingga harga lebihrendah. Dengan demikian, perlu adanya inovasipengendalian yang tepat, murah, dan aman bagikesehatan manusia.

Salah satu teknik pengendalian berbasis ramahlingkungan yang dikembangkan saat ini yaknipemanfaatan mikroorganisme antagonis. Mikroba endofitmerupakan mikroorganisme yang berasosiasi denganjaringan tanaman dan tidak memberikan dampak negatifterhadap tanaman. Mikroba tersebut ditemukan sebagianbesar dari golongan cendawan yang menghasilkansenyawa metabolit sekunder yang bersifat antimikroba(Strobel 2003). Beberapa jenis mikroorganisme yangpernah diisolasi dari pertanaman jagung dan berpotensisebagai agens hayati terhadap patogen tanaman diantaranya Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. (Saylendraand Firnia 2013a, Anggraeni 2013, Amin 2013).

Tulisan ini menguraikan peran Fusarium spp. sebagaipatogen pada tanaman jagung, pengaruh mikotoxinterhadap manusia dan ternak, serta kemungkinanpemanfaatan mikroba endofit sebagai agens hayatipengendali penyakit Fusarium spp.

FUSARIUM SEBAGAI PATOGEN TANAMAN

Beberapa spesies Fusarium yang ditemukan merusaktanaman jagung di antaranya F. verticillioides, F.gramineratum, F. proliferatum dan F. subglutinans yangmenyebabkan pembusukan pada tongkol dan batang.Spesies F. verticillioides umum ditemukan sebagaipenyebab busuk tongkol jagung. Spesies Fusariummampu bertahan hidup pada sisa pertanaman jagungsebagai miselium atau struktur hidup lainnya. F.graminearum menghasilkan klamidiospora yang dapatbertahan lama, sedangkan F. verticillioides dapatmeghasilkan hifa menebal yang memiliki kemampuanbertahan hidup (Sutton 1982, Nyvall and Kommedahl 1968dalam Munkvold 2003). Penyebaran konidia atau sporaFusarium dapat terjadi melalui percikan air atau udara.Mikrokonidia dari F. verticillioides, F. subglutinans, danF. proliferatum umumnya tersebar di udara. Makrokonidiajuga berperan dalam penularan penyakit namun tidaksepenting mikrokonidia.

Gejala penularan Fusarium spp. ditemukan padatongkol dan batang jagung. Permukaan biji jagung yangterinfeksi berwarna merah muda hingga cokelat,terkadang tumbuh miselium berwarna merah muda. Jikabiji tersebut ditumbuhkan maka perkembangan akar dankecambahnya lebih lambat (Suriani et al. 2015).Infeksioleh cendawan ini terjadi melalui lubang dan celah padapericarp atau luka bekas serangga. Serangan hamapenggerek batang jagung biasanya berkorelasi positifdengan tingkat penularan Fusarium spp. Larva penggerekbatang menyebabkan kerusakan pada batang dan tongkolsehingga memicu perkembangan Fusarium spp. Hal initerjadi melalui dua tahapan. Pertama, larva penggerekbatang dapat membawa spora Fusarium spp. daripermukaan tanaman ke biji rusak atau interior batang.Kedua, meskipun spora Fusarium spp.tidak langsungterikut masuk ke dalam biji atau interior batang, namundapat berkembang pada jaringan yang rusak akibatgerekan larva yang masuk ke dalam tanaman (Czemboret al. 2015).

Di Indonesia, varietas jagung yang agak tahan sampaitahan terhadap Fusarium spp. belum banyak dilaporkan(Pakki 2016). Namun Wakman dan Kontong (2003)melaporkan bahwa jagung hibrida varietas Bisi-1, 2, 3, 4,5, dan 6, Pioneer 4, 8, 9, 11, 12, dan 14, serta jagungbersari bebas Gumarang, Bisma, Semar-9, dan Palakka

Page 43: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Suriani dan Muis: Pengendalian Fusarium spp. pada Tanaman Jagung

135

tergolong tahan terhadap Fusarium spp. Untuk menjagakualitas biji maka petani mengeringkan jagung yang telahdipanen hingga kadar air terendah.

Infeksi tanaman oleh Fusarium spp. tidak hanyaberpengaruh terhadap penurunan produksi namun jugakontaminasi mikotoksin yang diproduksi Fusarium spp.Mikotoksin yang diproduksi oleh setiap spesies Fusariumspp. berbeda-beda, F. graminearum memproduksideoxynivalenol (DON), nivalenol (BIS) dan zearalenon(ZEA), F. verticillioides menghasilkan fumonisin (FUM)B1 dan B2 serta moniliformin (MON) (Czembor et al.2015). Mikotoksin tersebut dapat terakumulasi dalam bijitanaman sehingga menyebabkan berbagai macampenyakit terhadap manusia. Kehadiran toksin fumonisindi Afrika bagian selatan menyebabkan tingginya tingkatkanker esofagus di wilayah tersebut (Nayaka et al. 2009).Penyakit lain yang bisa dimunculkan pada manusia akibatkontaminasi produk makanan oleh mikotoxin yangdiproduksi Fusarium spp. ialah penyakit sendi, arthritis,aleukia beracun dan kanker esofagus (Bath andMiller,1991). Batas maksimun kandungan mikotoksin padatanaman yang layak dikomsumsi manusia tertera padaTabel 1.

Selain berbahaya bagi kesehatan manusia,mikotoksin yang diproduksi oleh Fusarium spp. jugamempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewanternak. Fumonisin bersifat sangat toksik terhadap kudadan keledai yang menyebabkan nekrosis di otak(leucoencephalomalacia = LEM). Selain itu, fumonisin B1juga bersifat toksik pada sistem saraf pusat, hati,pankreas, ginjal dan saluran pernapasan pada beberapaspesies hewan lainnya (Widiastuti. 2006). Lebih lanjutdikemukakan bahwa mikotoksin tidak hanyamembahayakan kesehatan hewan, tetapi jugamenimbulkan residu pada produk hewan seperti daging,

telur dan susu yang dapat membahayakan kesehatankonsumen.

MIKROBA ENDOFIT TANAMAN JAGUNG

Mikroba endofit didefenisikan sebagai mikroorganismeyang selama siklus hidupnya berada dalam jaringantanaman dan dapat membentuk koloni tanpamenimbulkan kerusakan pada tanaman tersebut (Strobeland Daisy 2003). Mikroorganisme tersebut dapat diekstrakdari bagian tanaman seperti akar, biji, ranting, batang dandaun. Proses masuknya mikroba endofit ke dalamjaringan tanaman melalui dua cara, yakni secara langsungyang ditandai oleh masuknya mikroba endofit ke dalamjaringan pembuluh tanaman dan diturunkan melalui biji.Secara tidak langsung, mikroba endofit hanya menginfeksibagian eksternal yaitu pada bagian pembungaan (Bacon1985 dalam Pratiwi 2015).

Sehubungan dengan pengaruh mikroba endofitterhadap tanaman yang dapat menginduksi ketahanantanaman terhadap serangan OPT, maka beberapa penelititertarik melakukan eksplorasi dan pengujian efektivitasmikroba endofit sebagai agensi pengendali hayati,termasuk eksplorasi dari tanaman jagung. Saylendra danFirnia (2013a) menemukan dua genus bakteri padaperakaran jagung yang diidentifikasi, Bacillus sp. danPseudomonas sp. (Gambar 1).

Amin (2013) telah melakukan eksplorasi mikrobaendofit dari tanaman jagung dan menemukan 63 isolatcendawan endofit dari perakaran varietas pulut lokalSulawesi Selatan. Hasil identifikasi menunjukkan isolattersebut terdiri atas enam genera, yakni Trichoderma sp.,Fusarium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp.,Penicillium sp. dan Botryodiplodia sp.

Tabel 1. Batas maksimun micotoksin dari Fusarium spp. yang layak dikomsumsi (Commission regulation (EC) No. 1126/2007).

Deoxynivalenol Zearalenone FumonisinsProduk (DON) (ZEA) (FUM B

1 + FUM B

2)

(μg/kg) (μg/kg) (μg/kg)

Jagung yang telah diproses kecuali dengan hasil proses penggilingan basah 1.750 350 4.000Jagung untuk komsumsi manusia secara langsung 780 100 1.000Makanan ringan berbasis jagung dan sarapan sereal jagung 500 100 800Proses makanan olahan berbasis sereal untuk konsumsi bayi dan anak-anak 200 20 200Penggilingan jagung dengan ukuran partikel >500 mikron termasuk dalam CN 750 200 1.4001103 13 atau 1103 20 40 dan produk jagung giling lainnya dengan ukuranpartikel >500 mikron tidak digunakan untuk konsumsi manusia secara langsungPenggilingan jagung dengan ukuran partikel >500 mikron termasuk dalam CN 1.250 300 2.0001102 20 dan produk jagung giling lainnya dengan ukuran partikel >500 mikrontidak digunakan untuk konsumsi manusia secara langsungOlahan minyak jagung 400

Sumber: Czembor et al. (2015).

Page 44: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

136

Selain bakteri dan cendawan juga ditemukanactinomycetes dalam jaringan tanaman jagung.Actinomycetes yang umumnya ditemukan pada rizosfermaupun jaringan tanaman tergolong genus Streptomyces.Actinomycetes berperan dalam melindungi tanamandimana produksi metabolit sekundernya dapatmempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi tanaman. Araujoet al. (2000) menemukan 53 isolat Actinomycetes yangdiisolasi dari akar dan daun jagung. Amin (2013)menemukan beberapa jenis Actinomycetes pada endofittanaman jagung pulut lokal Sulawesi Selatan. JenisActinomycetes yang ditemukan oleh Araujo et al (2000)berasal dari genus Microbispora dan Streptomyces denganjumlah isolat terbanyak pada bagian daun (Tabel 2).

Interaksi Mikroba Endofit dan Fusarium spp.

Induksi ketahanan tanaman adalah fenomenapeningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogenakibat rangsangan. Ketahanan ini merupakanperlindungan tanaman yang didasari pada mekanismeketahanan yang dirangsang oleh perubahan metabolit.Kompetisi terjadi karena patogen dan endofit menempatiruang ekologis yang sama. Misalnya bakteri endofit akanberkaitan erat dengan kepadatan bakteri, tingkatkolonisasi, dan lokasi bakteri dalam kaitannya dengantempat makan patogen (Harni et al. 2012).

Efektivitas penghambatan mikroba endofit golongancendawan terhadap Fusarium spp. secara in vitro telahdibuktikan oleh Orole dan Adejumo (2009). Penelitianmenunjukkan bahwa dari lima cendawan endofit yangdiisolasi dari perakaran jagung menghambatperkembangan penyakit damping off jagung akibat infeksiFusarium spp. Cendawan endofit Alternaria alternatamenunjukkan penghambatan tertinggi, 53-80% (Gambar2). Penelitian lain yang dilakukan Bacon dan Hinton (2002)dengan mengisolasi mikroba endofit dari biji jagung asal

Gambar 1. Koloni bakteri endofit asal perakaran jagung dari kelompok Bacillus sp. (a) dan Pseudomonas sp. (b) (Sumber: Saylendra danFirnia 2013a).

Tabel 2. Genus dan jumlah isolat actinomycetes endofit daritanaman jagung.

Jumlah IsolatGenus

Daun Akar

Microbiospora 21 12Streptomyces 3 3Total 31 22

Sumber: Araujo et al. (2000).

Italy bagian utara mendapatkan satu strain Bacillusmajovensis yang efektif menekan perkembangan F.verticilloides hingga > 18 mm secara in vitro.

Sementara itu, Mousa et al. (2015) melakukan ujipenghambatan beberapa strain bakteri endofit yangdiisolasi dari 14 genotipe jagung liar, tradisional danmodern di Amerika dan Meksico terhadap F. graminearum.Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 215 bakteriendofit yang diisolasi terdapat empat strain yang efektifmenekan pertumbuhan miselium F. graminearum.Keempat strain bakteri tersebut yakni strain ID6 (diisolasidari genotipe Zea diploperensis), 4G12 dan 4G4 (diisolasidari genotipe Zea parviglumis), dan 3H9 (diisolasi darigenotipe Zea mays spp. mays dan Pioner 3751 hybrida).Hasil pengujian dengan metode duel culture menunjukkanstrain ID6 memiliki persentase penghambatan terbesar(Gambar 3).

Keempat strain bakteri tersebut selain menghambatpertumbuhan miselium F. graminearum, juga mampumenghambat beberapa spesies patogen lainnya. PadaTabel 3 terlihat strain 1D6 dan 4G4 memiliki kemampuanmenghambat 20 spesies patogen, sementara 4G12mampu menekan 19 spesies patogen. Hal inimenunjukkan bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman

Page 45: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Suriani dan Muis: Pengendalian Fusarium spp. pada Tanaman Jagung

137

Gambar 2. Tingkat keparahan penyakit damping off jagung setelah diinokulasikan mikroba endofit dan patogen.(Sumber: Orale and Adejumo 2009).

jagung tidak hanya berperan mengendalikan patogentanaman jagung tapi juga memiliki kemampuan menekanpatogen yang menginfeksi tanaman lainnya.

Fusarium spp. tidak hanya mampau menginfeksitanaman jagung, tetapi juga beberapa penyakit pentingpada tanaman pangan lainnya dan hortikultura. Padatanaman vanili, patogen ini menyebabkan penyakit busukbatang. Sudantha dan Abadi (2011) melakukan pengujiandengan memanfaatkan beberapa mikroba endofitTrichoderma yang merupakan isolat lokal Nusa TenggaraBarat untuk menekan perkembangan F. oxysporum f. sp.vanilillae. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tiga jenisisolat Trichoderma spp. memiliki persentase penghambatanyang tinggi yakni Trichoderma sp. ENDO-01 (T. viride)dengan nilai 45,2%, Trichoderma sp. ENDO-02 (T. koningii)dengan nilai 44,4%, dan Trichoderma sp. ENDO-04 (T.polysporum) dengan nilai 45,2% (Gambar 4).

Efektivitas mikroba endofit terhadap F. oxysporumpada tanaman pisang telah dibuktikan oleh Marwan et al.(2011) dan Hutabalian et al. (2015). Marwan et al. (2011)menemukan empat isolat endofit (EAL15, EKK10, EKK20,EKK22) pada perakaran pisang yang mampu menekankejadian penyakit darah yang disebabkan oleh F.oxysforum. Keempat isolat tersebut mampu menekanpenyakit darah pada pisang 66,7%-83,3%. Sementara

Gambar 3. Kuantifikasi penghambatan empat strain bakteri endofitdan dua kontrol pestisida, amfoterisin B dan nistatin(pada masing-masing konsentrasi 5 dan 10 mg/ml)terhadap pertumbuhan F. graminearum secara in vitro(Asterisk hitam menunjukkan persentase penghambatanstrain bakteri berbeda nyata dengan pestisida Nistatinpada p ≤ 0,05. Asterisk hijau menunjukkan persentasepenghambatan strain bakteri berbeda nyata denganpestisida Amfoterisin pada p ≤ 0,05). (Sumber: Mousaet al. 2015).

Penghambatan pertumbuhan F.graminearum secara in vitro

Dia

me

ter

zon

a h

am

ba

tan

(m

m)

10

0F. verticillioides

Tin

gka

t ke

para

han

pen

yaki

t(%

)

Mikroorganisme penyebab penyakit

20

30

40

50

60

70

80

90

F. pallidoroseumF. oxysporium Cladosporium herbarum

Beauveria bassiana

Alternaria alternata Trichoderma koningiiAcremonium strictum

Pherna sp.Kontrol

Page 46: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

138

Mekanisme Pengendalian

Mekanisme pengendalian mikroba endofit terhadapperkembangan patogen terjadi melalui kompetisi danpelepasan metabolit sekunder. Interaksi antara cendawanendofit dengan F. oxysforum menyebabkan hifa F.oxysforum menjadi jernih karena isi sel patogendimanfaatkan oleh jamur endofit sebagai nutrisi(Nurzannah et al. 2014). Lebih lanjut Sunarwati dan Yoza(2010) menyatakan bahwa interaksi hifa patogen danantagonis ditandai oleh berubahnya warna hifa patogenmenjadi jernih dan kosong karena isi sel dimanfaatkanoleh biokontrol sebagai nutrisi. Selain itu, cendawanendofit dapat menyebabkan hifa patogen mengkerut,seperti yang ditemukan oleh Kurnia et al. (2014). Interaksiantara keduanya terinci dapat dilihat pada Gambar 5.

Selain bentuk interaksi tersebut, hifa jamur endofitjuga mengait hifa patogen. Hal ini dilakukan sebelumberpenetrasi masuk ke dalam hifa patogen danmenghancurkan miselium patogen. Terjadi perubahanbentuk pada hifa patogen menjadi spiral dan melengkungtidak beraturan dan mengalami pemendekan (Nurzannahet al. 2014). Penicillium sp. memiliki kemampuan terbaikdalam menghambat pertumbuhan F. oxysforum dengantingkat keparahan penyakit 2,78% dan tinggi tanaman29,4 cm pada saat diaplikasikan bersama F. oxysforumdi rumah kaca.

Tabel 3. Pengaruh empat strain bakteri endofit tanaman jagung terhadap pertumbuhan beberapa patogen tanaman secara in vitro.

Mean diameter of inhibition zone with each endophite (mm)Target fumgal species

Nystatin Amphotericin 1D6 3H9 4G12 4g4(10 μg/ml) (5 μg/ml)

Alternaria alternata 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 3,0 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0 4,5 ± 0,2*# 5,0 ± 0,0*#Alternaria arborescens 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 5,5 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0 5,5 ± 0,2*# 5,0 ± 0,2*#Aspergillus flavus 2,0 ± 0,2 0,0 ± 0,0 5,5 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0* 3,5 ± 0,2*# 4,0 ± 0,0*#Aspergillus niger 0,0 ± 0,0 2,0 ± 0,0 6,5 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0 # 5,0 ± 0,0*# 7,0 ± 1,0*#Bionectria ochroleuca 2,0 ± 0,2 0,5 ± 0,2 5,5 ± 0,2*# 3,5 ± 0,3*# 6,0 ± 0,2*# 6,5 ± 0,2*#Davidiella tassiana 1,5 ± 0,2 0,5 ± 0,3 5,0 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0*# 4,5 ± 0,7*# 5,0 ± 0,0*#Diplodia pinea 2,5 ± 0,2 3,0 ± 0,2 6,5 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0*# 5,5 ± 0,2*# 6,0 ± 0,0*#Diplodia seriata 3,0 ± 0,2 2,0 ± 0,2 3,0 ± 0,2# 0,0 ± 0,0*# 0,0 ± 0,0*# 1,5 ± 0,2*#Epicoccum nigrum 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 1,5 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0 4,0 ± 0,0*# 3,0 ± 0,2*#Fusarium avenaceum (isolate 1) 2,5 ± 0,3 3,0 ± 0,6 7,0 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0*# 4,5 ± 0,2*# 3,0 ± 0,2*Fusarium graminearum 1,5 ± 1,6 0,0 ± 0,0 6,5 ± 0,3*# 3,0 ± 0,2*# 6,0 ± 0,4*# 5,0 ± 0,5*#Fusarium lateritium 0,0 ± 0,0 1,0 ± 0,2 1,5 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0 # 4,0 ± 0,5*# 5,5 ± 0,3*#Fusarium sporotrichioides 1,0 ± 0,2 1,0 ± 0,2 4,0 ± 0,0*# 0,0 ± 0,0*# 5,5 ± 0,7*# 4,0 ± 0,0*#Fusarium avenaceum (isolate 2) 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 3,5 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0 2,0 ± 0,0*# 6,5 ± 0,2*#Nigrospora oryzae 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 6,0 ± 0,4*# 0,0 ± 0,0 4,0 ± 0,5*# 3 ± 0,2*#Nigrospora sphaerica 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 6,0 ± 0,6*# 0,0 ± 0,0 6,0 ± 0,2*# 3,5 ± 0,0*#Paraconiothyrium brasiliense 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 5,0 ± 0,3*# 0,0 ± 0,0 4,0 ± 0,0*# 4,0 ± 0,0*#Penicillium afellutanum 3,0 ± 0,2 3,0 ± 0,2 6,0 ± 0,6*# 0,0 ± 0,0*# 2,0 ± 0,5*# 5,0 ± 0,2*#Penicillium expansum 2,0 ± 0,2 5,0 ± 0,2 3,0 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0*# 4,0 ± 0,0*# 5,5 ± 0,5*#Penicillium olsonii 1,5 ± 0,3 3,5 ± 0,3 1,0 ± 0,2*# 0,0 ± 0,0*# 1,5 ± 0,2 # 3,0 ± 0,6*#Rosellinia corticium 2,0 ± 0,2 4,5 ± 0,3 7,0 ± 0,6*# 0,0 ± 0,0*# 3,0 ± 0,2*# 7,0 ± 0,2*#

Angka yang diikuti tanda bintang menunjukkan perlakuan yang berbeda nyata dengan perlakuan Nystatin pada p ≤ 0,05.Angka yang diikuti tanda tagar berbeda nyata dengan perlakuan amphotericin B pada p ≤ 0,05. (Sumber: Mousa et al. 2015).

Gambar 4. Rata-rata persentase hambatan pertumbuhan jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang beroposisi langsungdengan beberapa jamur endofit Trichoderma spp. isolatlokal NTB (Sumber: Sudantha dan Abadi 2011).

45

ENDO-01(T. viride)

Ham

bat

anp

ertu

mb

uhan

jam

urF

usar

ium

(%)

45,5

Jamur Endof it Trichoderma spp.

c

44

44,5

43

43,5

42

42,5

c

ab

bc

a

ENDO-04(T. polysporum)

ENDO-02(T. koningii)

ENDO-03(T.longibrachiatum)

ENDO-05(T.pseudokoningii)

Hutabalian et al. (2015) mengisolasi beberapa jeniscendawan endofit dari tiga bagian tanaman pisang barangandi Medan, yakni akar, batang dan daun serta pengujianantagonis cendawan-cendawan tersebut terhadap F.oxysforum. Hasil penelitian menunjukkan tingkat hambatantertinggi terhadap F. oxysforum terdapat pada perlakuanjamur Pullularia sp. yang merupakan cendawan endofit yangdiisolasi dari akar pisang. Secara terinci tingkatpenghambatan jamur endofit pisang terhadap F. oxysforumdapat dilihat pada Tabel 4.

Page 47: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Suriani dan Muis: Pengendalian Fusarium spp. pada Tanaman Jagung

139

Dolakatabadi et al. (2012) mengemukakan bahwajamur endofit membentuk kait di sekitar hifa patogensebelum melakukan penetrasi, dan kadang-kadanglangsung masuk. Mekanisme kerja senyawa antimikrobadalam melawan patogen dengan cara merusak dindingsel, menganggu metabolisme sel mikroba, menghambatsintesis sel mikroba, menganggu permeabilitas membransel mikroba, menghambat sintesis protein dan asamnukleat sel mikroba. Selain mampu menekanpertumbuhan patogen, beberapa mikroba endofit tanamanjagung memiliki kemampuan merangsang pertumbuhantanaman. Saylendra dan Firnia (2013b) menemukancendawan Nigrospora sp. dari perakaran jagung yangberpotensi memacu pertumbuhan tanaman.

PROSPEK PENGENDAIAN FUSARIUMDENGAN MIKROBA ENDOFIT

Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversitasmemiliki potensi untuk eksplorasi dan pemanfaatan endofitsebagai agensi pengendali patogen yang ramahlingkungan. Tanaman mengandung beragam mikrobaendofit yang menghasilkan senyawa bioaktif ataumetabolit sekunder yang diduga akibat koevolusi atautransfer genetik (genetic recombination) dari tanamaninang ke mikroba endofit (Tan and Zou 2001). Beberapakajian terhadap mikroba endofit terbukti memiliki potensiekonomi yang cukup tinggi, baik sebagai bahan bakuobat, maupun penghasil senyawa bioaktif lain yangbermanfaat di bidang pertanian.

Tabel 4. Tingkat hambatan pemberian jamur endofit terhadap F. oxysforum di laboratorium.

Tingkat hambatanPerlakuan

1 HSI 2 HSI 3 HSI 4 HSI 5 HSI 6 HSI 7 HSI

Cephalosporium sp. + Foc 3,703 12,637 25,203 ab 36,487 ab 41,893 b 47,500 a 51,397 aPullaria sp. + Foc 0,000 14,567 36,667 a 43,767 a 51,803 a 57,287 a 60,577 aAspergillus sp. + Foc 0,000 9,393 9,393 cd 3,333 d 0,000 d 5,127 c 5,127 cPeinicilium sp. + Foc 8,463 6,060 5,553 d 5,127 d 0,000 d 4,440 c 4,303 cTrichoderma sp. + Foc 9,523 5,553 26,087 ab 31,140 bc 47,770 ab 45,430 a 50,557 aHormiscium sp. + Foc 11,107 22,167 22,167 bc 22,167 c 22,167 c 22,167 b 22,167 b

Angka selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak Duncan pada taraf 5%.Sumber: Hutabalian et al. (2015).

Gambar 5. Interaksi antara jamur endofit dan F. oxysforum (A) dan (B) hifa patogen berwarna transparan(400x). (C) hifa patogen menjadi mengeriting (400x). (D) hifa endofit melilit hifa patogen (400x).(E) hifa endofit menjerat hifa patogen (400x). (Keterangan: a. hifa patogen, b. hifa endofit)(Kurnia et al. 2014).

 

Page 48: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

140

Stierle et al. (1995) mengemukakan bahwapemanfaatan mikroba endofit dalam memproduksisenyawa aktif memiliki kelebihan di antaranya: 1) lebihcepat menghasilkan dengan mutu yang seragam; (2) dapatdiproduksi dalam skala besar: (3) kemungkinan diperolehkomponen bioaktif baru dengan memberikan kondisi yangberbeda. Sebagai contoh, Bacillus spp. yang diintroduksidari akar jagung memiliki beberapa keunggulandibandingkan dengan mikroba lainnya, di antaranyakemampuan merangsang pertumbuhan danperkembangan tanaman, memproduksi beberapa jenisantibiotik yang efektif mengendalikan beberapa patogendan mudah diformulasikan dalam bentuk cair maupunpadat karena mampu bertahan pada kondisi ekstrim.Keberadaan endospora pada spesies Bacillus spp.memudahkan formulasi bakteri tersebut.

Namun sampai saat ini belum ada laporan tentangjenis mikroba endofit jagung yang dikomersialkan.Sementara isolat Trichoderma yang diisolasi dari rhizosperjagung telah dipatenkan dan dikomersialkan dengan merkdagang Bio Triba (Anonim 2015). Akan tetapi, aplikasimikroba endofit untuk pengendalian penyakit jagungmemiliki beberapa kelebihan dibandingkan denganpestisida kimia. Selain agens pengendali hayati, mikrobaendofit juga dapat menginduksi ketahanan tanaman yangdikenal sebagai induced systemic resistance (ISR).Mekanisme mikroba endofit dalam menginduksiketahanan adalah dengan mengkolonisasi jaringantanaman sehingga menstimulasi tanaman meningkatkanproduksi senyawa metabolit berupa enzim peroksidaseyang berperan untuk ketahanan tanaman (Harni andIbrahim 2011). Selain itu, mikroba endofit dari tanamanjagung juga menghasilkan hormon IAA yang membantuperkecambahan tanaman (Khairani 2009).

KESIMPULAN

Patogen Fusarium spp. dapat menurunkan produktivitasjagung hingga 1,8 t/ha dan menghasilkan mikotoksin yangberbahaya manusia dan hewan. Mikroba endofit yangdiintroduksi dari bagian tanaman jagung berperan sebagaiagens hayati dengan mengintroduksi ketahanan tanamandan beberapa di antaranya memproduksi hormonperangsang tumbuh tanaman.

Beberapa jenis mikroba endofit efektif menekanperkembangan Fusarium spp. hingga 80% di antaranyaA. alternata, B. majovensis, dan 4 strain bakteri ID6, 4G12,4G4 dan 3H9, Trichoderma spp., dan Penicillium spp.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, N. 2013. Diversity of endophytic fungi from root ofMaize var. Pulut (waxy corn local variety of SouthSulawesi, Indonesia). International Journal CurrentMicrobiology Applied Sciences 2(8): 148-154.

Anonim. 2015. Artikel Meori-agro. http://www.meori-agro.co.id. [10 Juli 2016].

Anggareni, M. 2013. Isolasi dan identifikasi bakteri endofitdiazotrof pada tanaman jagung (Zea mays L). Skripsi.Universitas Airlangga, Surabaya. http://adln.lib.unair.ac.id [31 Desember 2015].

Araujo, J.M.D., A.C.D. Silva, and J.L. Azevedo. 2000. Isolationof endophytic actinomycetes from roots and leaves ofmaize (Zea mays L.). Brazilian Archives of Biology andTechnology 43(4).

Bacon, C.W. and D.M. Hinton. 2002. Endophytic andbiological control potential of Bacillus mojavensis.Biological Control 23: 274-284.

Bath, R.V. and J.D. Miller. 1991. Mycotoxins and food supply.Food Nutr. Agric. 1:27-31.

Czembor, E., J. Adamczyk, K. Posta, E. Oldenburg, and S.Schurch. 2015. Prevention of ear rots due to Fusariumspp on maize and mycotoxin accumulation. FromScience to Field Maize Case Study-Guide Number 3.www.endure-network.eu[11 Desember 2015].

Djaenuddin, N. dan A. Muis. 2013. Uji patogenitas Fusariummoniliforme Sheldon pada jagung. Prosiding SeminarNasional Serealia:438-442.

Dolakatabadi, H.K., E.M. Goltapeh, N. Mohammadi, M.Rabiey, N. Rohani, and Varma. 2012. Biocontrolpotential of root endophytic fungi dan Trichodermaspecies againts Fusarium wilt of lentil under in vitroand greenhouse condition. Agriculture ScienceTechnology 14:407-420.

Eller, M.S., L.A. Robertson, G.A. Payne, and J.B. Holland.2008. Grain yield and Fusarium ear rot of maize hybridsdeveloped from lines with varying levels of resistance.Maydica 53:231-237.

Harni, R. dan Ibrahim. 2011. Potensi bankteri endofitmenginduksi ketahanan tanaman lada terhadapinfeksi Meloidogyne incognita. J. Littri 17(3):118-123.

Harni, R., Supramana, M.S. Sinaga, Giyanto, dan Supriadi.2012. Mekanisme bakteri endofit mengendalikannematoda Pratylenchus brachyurus pada tanamannilam. Buletin Littro 23(1):102-114.

Hutabalian, M., M.I. Pinem, dan S. Oemry. 2015. Ujiantagonisme beberapa jamur saprofit dan endofit daritanaman pisang terhadap Fusarium oxysforum f.sp.cubens di laboratorium. Jurnal Online Agroteknologi3(2):687-695.

Khairani, G. 2009. Isolasi dan uji kemampuan bakteri endofitpenghasil hormon IAA (Indole Acetic Acid) dari akartanaman jagung (Zea mays L.). Skripsi. UniversitasSumatera Utara. 50pp.

Page 49: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Suriani dan Muis: Pengendalian Fusarium spp. pada Tanaman Jagung

141

Kurnia, A.T., M. I. Pinem, dan S. Oemry. 2014. Penggunaanjamur endofit untuk mengendalikan Fusariumoxysforum f.sp. capsici dan Alternaria solani secara invitro. Jurnal online Agroteknologi 2(4):1596-1606.

Marwan, H., M.S. Sinaga, Giyanto, dan A.A. Nawangsih. 2011.Isolasi dan seleksi bakteri endofit untuk pengendalianpenyakit darah pada tanaman pisang. J. HPT Tropika11(2):113-121.

Mousa, W.K., C.R. Shearer, V.L. Rios, T. Zhou, and A.N.Raizada. 2015. Bacterial endophytes from wild maizesuppress Fusarium graminearum in modern maizeand inhibit mycotoxin accumulation. Fronters in PlantScience 6(805): 1-19.

Munkvold, G.P. 2003. Epidemiology of Fusarium diseaseand their mycotoxins in maize ears. European Journalof Plant Pathology 109: 705-713.

Nayaka, S. Chandra, U. Shankar, C. Arakere, Reddy,Munagala, Niranjana, Siddapura, H.S. Prakas, Setty,and Huntrike. 2009. Control of Fusraium verticilloides,couse of ear rot of maize, by Pseudomonasflourescens. Pest Management Science. IndianAcademy of Science 65(7): 769-775.

Nurzannah, S.E. Lisnawita, dan D. Bakti. 2014. Potensi jamurendofit asal cabai sebagai agens hayati untukmengendalikan layu Fusarium (Fusarium oxysforum)pada cabai dan interaksinya. Jurnal OnlineAgroekoteknologi 2(3): 1230-1238.

Orole, O.O. and T.O. Adejumo. 2009. Activity of fungalendophytes against four maize wilt pathogens. AfricanJournal of Microbiology Research 3(12): 969-973.

Pakki, S. 2005. Patogen tular benih Fusarium sp. danAspergillus sp. pada jagung serta pengendaliannya.Prosiding Seminar Nasional Jagung Tahun 2005.p.588-598.

Pakki, S. 2016. Cemaran mikotoksin, bioekologi patogenFusarium verticilloides dan upaya pengendaliannyapada jagung. Junal Penelitian dan PengembanganPertanian 35(1): 11-16.

Pakki, S. dan S. Mas’ud. 2005. Inventarisasi dan identifikasipatogen cendawan yang menginfeksi benih jagung.prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEIdan PFI XVI Komda SulSel.

Pratiwi, B.E. 2015. Isolasi dan skrining fitokimia bakteriendofit dari daun rambutan (Nephelium lappaceumL.) yang berpotensi sebagai antibakteri. Skripsi. UINSyarif Hidayatullah Jakarta. 81pp.

Saylendra, A. dan D. Firnia. 2013a. Bacillus sp. danPseudomonas sp. asal endofit akaryang berpotensi

sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Jurnal IlmuPertanian dan Perikanan 2(1): 19-27.

Saylendra, A. dan D. Firnia. 2013b. Potensi cendawan endofitperakaran jagung sebagai pemicu pertumbuhantanaman. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan 2(2):135-140.

Stierle, A., G. Strobel, D. Stierle, P. Grothaus, and G. Bignami.1995. The search for a taxol-producing microorganismamong the endophytic fungi of the Pacific yew, Taxusbrevifolia. J. Nat. Prod. 58(9):1315-1324.

Strobel, G.A. and B. Daisy. 2003. Bioprospecting for microbialendophytes and their natural products. Microbiol. Mol.Biol. 67(4):491-502.

Sudantha, I.M. 2010. Pengujian beberapa jenis jamur endofitdan saprofit Trichoderma spp. terhadap penyakit layufusarium pada tanaman kedelai. Jurnal Agroteksos20(2): 90-102.

Sudantha, I.M dan A.L. Abadi. 2011. Uji efektivitas beberapajenis jamur endofit Trichoderma spp isolat lokal NTBterhadap jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillaepenyebab penyakit busuk batang pada bibit vanili. CropAgro 4(2): 64-73.

Sunarwati, D. dan R. Yoza, 2010. Kemampuan Trichodermadan Penicillium dalam menghambat pertumbuhancendawan penyebab penyakit busuk akar durian(Phytophthora palmivora) secara in vitro. ProsidingSeminar Nasional Program dan StrategiPengembangan Buah Nusantara. Solok 10 Nopember2010. http://balitbu.litbang.pertanian.go.id [30Desember 2015]: 176-189.

Suriani, A. Muis, dan Aminah. 2015. Efektivitas 8 formulasiBacillus subtil is dalam menekan pertumbuhanFusarium moniliforme secara in vitro. ProsidingSeminar Nasional Serealia 2015. p.428-435.

Sutton, J.C. 1982. Epidemiology of wheat head blight andmaize ear rot caused by Fusarium graminearum.Canadian Journal Plant Pathology 4(2):195-209.

Tan, R.X. and W.X. Zou. 2001. Endhophytes: a rich source offunctional metabolites. Natural Product Reports18:448-459.

Wakman, W. dan Kantong. 2003. Identifikasi ketahananvarietas/galur jagung dari berbagai sumber yangberbeda terhadap penyakit busuk batang. Hasilpenelitian Hama dan Penyakit. Balai PenelitianTanaman Jagung dan Serealia Lain, Maros. p.20-29.

Widiastuti, R. 2006. Mikotoksin: pengaruh terhadapkesehatan ternak dan residunya dalam produk ternakserta pengendaliannya. Wartazoa 16(3):116-127.

Page 50: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

142

Page 51: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Djaenuddin: Bakteri Antagonis dan Tanaman Jagung

143

Interaksi Bakteri Antagonis dengan Tanaman: KetahananTerinduksi pada Tanaman Jagung

Interactions of Antagonistic Bacteria and Plants:With Induced Systemic Resistance on Maize

Nurasiah Djaenuddin*

Balai Penelitian Tanaman SerealiaJl. Dr. Ratulangi No. 274, Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 29 November 2016, dan disetujui diterbitkan 5 Desember 2016

ABSTRACT

Biological control against soil-borne pathogens is an option to reduce disease activity by pathogens throughone or more resistance mechanisms. In the last two decades, interest in biological control usage against soilborne plant pathogens has increased because this approach can control disease not only solely, but canalso be combined with other strategic control. Colonization of plant roots is an important step for soil bornepathogens and beneficial bacteria (bacterial antagonists and rhizobacteria). Colonization patterns indicatethat rhizobacteria act as a biocontrol agent or as a growth promoter bacteria formation of microcolonies.Microcolonies are used as the media for bacteria to interact one with another in order to effectively coincidewith the root exudates. Elicitation or the process of adding elicitor (chemical compounds) in the plant cell isaimed to induce and enhance the establishment of secondary metabolites, initially shown by Pseudomonasspp. and other gram-negative bacteria. Some strains of the species Bacillus subtilis, B. cereus and B.pumilus elicit significantly the incidence or severity of various diseases in a variety of host plants. Elicitationof systemic induced resistance by these strains is shown in experiments in the greenhouse or in the field onmaize, rice, tomatoes, watermelon, and cucumber. Elicitation by Bacillus spp. wasreported to establishinduced systemic resistance mechanisms in plants affected by leaf spot fungus and bacteria, viruses,nematodes, damping off and blight disease. With the advancement of this knowledge, one can explorestrains of bacterial species efficiently use as advantageous agents in biological control strategy.Keywords: Induced resistance, antagonistic bacteria, biocontrol, maize.

ABSTRAK

Pengendalian secara biologi terhadap patogen tular tanah dilakukan untuk menurunkan aktivitas penyakitoleh patogen melalui satu atau lebih mekanisme. Dalam dua dekade terakhir perhatian pada pengendaliansecara biologi terhadap patogen tanaman tular tanah meningkat, karena dapat memberikan manfaatpengendalian terhadap penyakit, tidak hanya satu cara, namun dipadukan dengan pengendalian strategislainnya. Kolonisasi akar tanaman adalah langkah penting untuk bakteri patogen tular tanah dan bakteri yangmenguntungkan (bakteri antagonis dan rizobakteria). Pola kolonisasi menunjukkan rizobakteria bertindaksebagai agens biokontrol atau bakteri pemacu pertumbuhan terbentuknya mikrokoloni. Mikrokoloni digunakansebagai tempat bagi bakteri untuk berinteraksi satu sama lain agar terkoordinasi lebih baik dengan eksudatakar. Elisitasi atau proses penambahan elisitor (senyawa kimia) pada sel tumbuhan ditujukan untukmenginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder, awalnya ditunjukkan oleh Pseudomonasspp. dan bakteri gram negatif lainnya. Beberapa strains dari spesies Bacillus subtilis, B. cereus, dan B.pumilus mengelisitasi secara signifikan kejadian atau keparahan berbagai penyakit pada tanaman jagung,padi, dan hortikultura. Elisitasi dari ketahanan terinduksi sistemik oleh strain tersebut ditunjukkan padapercobaan di rumah kaca dan lapang pada jagung, padi, tomat, semangka, dan mentimun. Elisitasi olehBacillus spp. membentuk mekanisme ketahanan sistemik terinduksi pada tanaman yang tertular penyakitbercak daun cendawan dan bakteri, virus, nematode, mati kecambah, dan penyakit hawar. Berdasarkanpemahaman pengetahuan ini maka terdapat peluang eksplorasi strains spesies bakteri yang efisien sebagaipendekatan dalam pengendalian secara biologi.Kata kunci: Ketahanan terinduksi, bakteri antagonis, biokontrol, jagung.

Page 52: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

144

PENDAHULUAN

Mikroorganisme menyukai tanah yang sehat dan eksudatakar untuk pertumbuhan dan multiplikasi di permukaanakar tanaman. Hubungan simbiotik antara bakteri dantanaman di daerah rizosfer diistilahkan sebagai PlantGrowth Promoting Rhizobacteria (PGPR), yangdidefinisikan sebagai bakteri pada akar/rizozfer yangmemberikan efek menguntungkan untuk pertumbuhan danperkembangan tanaman (Choudhary and Johri 2009).Tanaman memiliki mekanisme pertahanan diri yang dapatdiaktifkan dalam menanggapi tekanan biotik (patogen danparasit) pada berbagai tingkatan, mulai dari virusmikroskopis hingga serangga fitofag. Kecepatan respontanaman sangat penting dalam menentukan perbedaancara mengatasi tekanan biotik (Choudhary et al. 2007).

Ketahanan terinduksi diartikan sebagai prosesketahanan aktif yang bergantung pada penghalang fisikatau kimia tanaman inang, yang diaktifkan oleh agensiabiotik atau abiotik (agens penginduksi), yang dapatmelindungi tanaman dari infeksi patogen tanah. Ketahanandapat diinduksi secara lokal maupun sistemik (Soesanto2008).

Ketahanan terinduksi berkembang setelah tanamandiinokulasi dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen,nonpatogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat,asam kloroetil fosfonat) (Choudhary et al. 2008). MenurutKoumutsi et al. (2007), berdasarkan ekspresi gejala padabagian tanaman dapat dibedakan dua ketahananterinduksi, yaitu induksi ketahanan lokal dan induksiketahanan sistemik.

Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagaiperlindungan secara biologi pada tanaman target. Induksiresistensi menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatursistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasimekanisme resistensi alami yang dimiliki tanaman inang(Zhang et al. 2007).

Mikroba yang bersifat menguntungkan bagi tanaman,seperti rizobakteri dari kelompok Pseudomonas spp.,dapat berfungsi sebagai penyubur, sarana pengendalihayati patogen tanaman, dan meningkatkan ketahanantanaman (induced systemic resistance (ISR) (McMilan2007). Makalah ini membahas interaksi antara bakteriantagonis dengan tanaman yang menyebabkan timbulnyamekanisme ketahanan terinduksi terhadap patogenpenyakit dan pertumbuhan tanaman jagung.

BAKTERI ANTAGONIS DAN KETAHANANTERINDUKSI SISTEMIK TANAMAN

Keberadaan dan Penyebaran

Beberapa mikroba yang menyelimuti perakaran tanamansehat diketahui sebagai pelindung dari patogen layu.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa isolat bakterilebih banyak diperoleh dari bahan organik dibandingkandari rizosfer. Tanah yang sehat bukan hanya subur danbanyak mengandung bahan yang menunjang kesehatantanaman, tetapi juga mampu menyediakan lingkunganyang cocok bagi mikroba tanah, sehingga tanaman dapatterlindungi dari patogen tanah (Nion and Toyota 2008).

Kemampuan bakteri, khususnya aktinomycetes yangbersifat parasit dan mampu menurunkan spora cendawanpatogen tanaman, memperlihatkan awal yang baik. Kitintidak hanya berperan penting pada mekanisme pertahanantanaman, tetapi juga pada proses mikoparasit cendawan(Chen et al. 2006).

Bakteri Antagonis dan Kesehatan Tanaman

Mikroba antagonis dapat berfungsi sebagai agenspengendali patogen melalui mekanisme kompetisi,antibiosis, parasitisme atau ketahanan terinduksi.Penggunaan bakteri antagonis untuk meningkatkan hasilpanen dan melindungi tanaman dari organismepengganggu tanaman (OPT) merupakan pendekatan yangmenjanjikan dalam sistem pertanian modern (Kuswinanti2014). Perlakuan benih menggunakan formula bakteriantagonis B. subtilis BR23 (Muis and Quimio 2006) dapatmengendalikan penyakit hawar pelepah dan upih daunRhizoctonia solani pada tanaman jagung dan jugameningkatkan hasil panen dibandingkan denganpenggunaan fungisida sintetik.

Hasil penelitian Handini dan Nawangsih (2014)menunjukkan B. subtilis merupakan bakteri yangmengkolonisasi akar tanaman dan dapat memacupertumbuhan. Dikemukakan oleh Kamilova et al. (2006)bahwa hasil biosintesis Indole Acetic Acid (IAA) oleh B.amyloliquefaciens FZB42 memiliki kemampuanmeningkatkan pertumbuhan tanaman denganpenggunaan kombinasi analisis kimia dan genetik.Namun, kemampuan ini bergantung pada triptofan yangmerupakan salah satu senyawa utama dalam beberapaeksudat tanaman.

Mekanisme Kerja Ketahanan Terinduksi

Apabila mekanisme pertahanan tanaman digerakkan olehrangsangan karena infeksi patogen tanaman, makakejadian penyakit dapat dikurangi. Ketahanan terinduksi

Page 53: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Djaenuddin: Bakteri Antagonis dan Tanaman Jagung

145

bukan ketahanan tanaman yang sebelumnya tidakmempunyai ketahanan, tetapi pengaktifan mekanismeketahanan laten melalui inokulasi patogen atau mikroba(Soesanto 2008).

Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukandengan pemanfaatan bakteri antagonis, yang berdampakterhadap ketahanan tanaman dari gangguan patogen.Pertahanan tanaman dapat dilakukan secara fisik dankimia (Chen et al. 2007). Hasil penelitian Hoerussalam etal. (2013) menyimpulkan bahwa elisitor Bio1, Bio2, Abio1,dan Abio2 dapat menginduksi ketahanan tanaman jagungterhadap penyakit bulai (Gambar 1). Hal ini dapat dilihatdari rendahnya kejadian penyakit pada perlakuan Bio1dan Bio2 yang mengindikasikan bahwa kedua elisitortersebut berperan dalam mekanisme ketahanan terimbas.

P. fluorescens tidak hanya dapat menghasilkanpigmen pioverdin dan atau fenazin, tetapi juga dapatmenekan populasi patogen dengan cara melindungi akardari patogen dengan mengkolonisasi akar, menghasilkansenyawa kimia berupa antimikroba dan antibiotik, danberkompetisi dalam penyerapan Fe2+ (Couillerot et al.2009).

Peran Senyawa Volatil pada KetahananTerinduksi

Ketahanan terinduksi sistemik merupakan mekanismeyang efektif pada kondisi lapang dan menyediakanmekanisme alami pengendalian hayati penyakit tanaman.Penginduksian ketahanan secara Systemic AcquiredResistance (SAR) dihubungkan dengan asam salisilat.Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan daya pertahanantanaman yang melibatkan ketahanan terinduksi sistemik,yang berhubungan dengan peningkatan senyawapenghambat patogen tanaman, seperti fitoaleksin(Soesanto 2008). Penelitian Luna et al. (2012) jugamengindikasikan bahwa ketahanan terinduksi melalui jalurSAR dapat diwariskan secara epigenetik, gen ketahananmenjadi aktif pada keturunan arabidopsis yang induknyatelah diberi perlakuan, sehingga keturunannya lebih tahanterhadap patogen Hyaloperonospora arabidopsis. Hasilpenelitian Ariawan et al. (2015) menunjukkan bahwaperlakuan rizobakteri sangat nyata (P<0,01) menghambatpertumbuhan jamur Fusarium sp. (Gambar 2). Adanyarizobakteri Aeromonas hydrophila mampu menghambatpertumbuhan koloni jamur Fusarium sp. secara in vitro.

Gambar 1. Kejadian penyakit pada enam galur jagung.Sumber: Hoerussalam et al. (2013).

Gambar 2. Koloni jamur Fusarium sp. pada pengamatan 5 HSI (hari setelah inkubasi).(a) Koloni Jamur Fusarium sp. Kontrol; (b) Koloni Jamur Fusarium sp. dengan perlakuan rizobakteri A. hydrophila isolatKtBlt2. (1) A. hydrophila; (2) Jamur FusariumSumber: Ariawan et al. (2015).

Page 54: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

146

ekosistem pertanian dalam menunjang keberlanjutansistem produksi pertanian.

Beberapa justifikasi penggunaan bakteri antagonisuntuk mengatasi masalah penyakit tanaman jagung,menurut Soesanto (2009), di antaranya ketidakmampuanfungisida sintetis. Hal ini kemungkinan disebabkan olehpatogen telah resisten terhadap jenis fungisida sintetik yangselalu digunakan, atau patogen target mampu membentukstruktur istirahat, sehingga sulit dikendalikan denganfungisida sintetis. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Muiset al. (2015b), bahwa aplikasi gabungan antara formula B.subtilis TM4 dan 0,5% gum arabic sebagai perlakuan benih,dapat menekan cendawan R. solani in vivo dengan tingkatpenularan hanya 2,7%, lebih rendah di antara perlakuanfungisida sintetik dan tidak berdampak negatif terhadapdaya tumbuh jagung (Tabel 1).

Di dunia pertanian memungkinkan timbulnya polusi,terutama yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimia,baik pestisida maupun pupuk atau hormon yang tidakbijaksana atau terus menerus. Kemungkinan ini perludiantisipasi dengan mengurangi penggunaan pestisidaatau bahan kimia sintetis dengan menggiatkanpenggunaan agensia hayati, khususnya untukmengendalikan patogen tanaman, sehingga sistemproduksi tanaman dapat berkelanjutan.

Meskipun harga pestisida terjangkau oleh petani,tetapi bila diterapkan dalam skala luas tetap menambahbiaya produksi. Apabila tanaman diperlakukan denganagensia hayati untuk mencegah timbulnya penyakittanaman, mulai sejak perlakuan benih, awal tanam, hinggaawal berbunga, maka masalah penyakit tanaman dapatdicegah, khususnya pada tanaman di tanah yang sudahtercemar patogen.

Ketersediaan bakteri antagonis yang melimpah di alam,masing-masing daerah mempunyai kekhususan agensiahayati sendiri. Mikroba beradaptasi dan membutuhkan

Pada rizobakteri A. hydrophila isolat KtBlt2, mekanismepenghambatannya terhadap patogen melalui produksiantibiotik, toksin, kompetisi ruang dan nutrisi,menghasilkan siderofor, enzim kitinase, dan HCN(Fernando et al. 2005 dalam Ariawan et al. 2015).

Bakteri antagonis dapat menginduksi resistensitanaman terhadap patogen dengan cara mengaktifkanlintasan sinyal dan melibatkan hormon asam jasmoik danetilen tanaman. Selain itu bakteri antagonis khususnyarizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman(Van Loon 2000 dalam Nurhayati 2011).

Ketahanan tanaman juga dapat diinduksi dengan caramenginokulasi dengan mikroba nonpatogenik danperlakuan kimia tertentu. Ketahanan sistemik terinduksipada berbagai tanaman yang disebabkan oleh agenspenginduksi mikroba maupun senyawa kimia ditunjukkanoleh peningkatan kandungan senyawa tertentu, sepertienzim β-1.3.glukanase, kitinase, β-1.4 glukosidase,citonase, peroksidase, fenol, dan asam salisilat (Wei etal. 1996 dalam Widnyana et al. 2014). Sadoma et al.(2011) melaporkan pengendalian hayati denganmenggunakan agensia hayati tunggal atau kombinasidapat menekan perkembangan penyakit bulai pada jagungyang disebabkan oleh cendawan Peronosclerosporasorghi.

Hubungan Biofertilizer Bakteri Antagonis denganKetahanan Sistemik

Akibat adanya penginduksi adalah berkurangnyaintensitas penyakit tanaman dibandingkan dengan tanpainokulasi penginduksi. Penggunaan Pseudomonas yangdipilih untuk mendukung kemampuan pertumbuhantanaman (PGPR) memperlihatkan ketahanan sistemikterinduksi dalam tanaman (Soesanto 2008). Makarewiczet al. (2006) melaporkan bahwa biofertilisasi yang terjadiadalah akibat enzim fitase yang dikeluarkan dalamkondisi keterbatasan fosfat pada kolonisasi akar yangdapat berkontribusi pada pertumbuhan tanaman akibatpeningkatan aktivitas strains B. amyloliquefaciens FZB.

PEMANFAATAN BAKTERI ANTAGONIS PADATANAMAN JAGUNG DI INDONESIA

Banyak kasus penyakit tanaman yang belum dapatdiatasi sampai sekarang, selalu ada pada setiap musimtanam, serta dijumpai pada semua jenis tanamantermasuk jagung. Oleh karena itu, munculnyapengendalian hayati yang salah satunya menggunakanmikroba bakteri antagonis perlu diapresiasi dandimasyarakatkan, untuk mendukung keseimbangan

Tabel 1. Daya tumbuh dan tingkat infeksi R. solani pada tanamanjagung yang mendapat beberapa perlakuan.

Daya TingkatPerlakuan tumbuh R. solani

(%) (%)

Seed treatment dengan larutan Bacillus 98,7 3,4b

Seed treatment larutan Bacillus+0,5% gum 99,3 2,7ab

Seed treatment dengan fungisida nordox 99,3 5,4bc

Seed treatment dengan fungisida metalaxyl 98,7 7,4c

Seed treatment dengan nordox + metalaxyl 99,3 8,1c

Kontrol positif (inokulasi R. solani) 98,7 18,9d

Kontrol negatif (tanpa inokulasi) 98,7 0,0a

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata menurut uji Duncan 5%Sumber: Muis et al. (2015b).

Page 55: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Djaenuddin: Bakteri Antagonis dan Tanaman Jagung

147

kondisi ekologi dan iklim tersendiri. Hal ini dibuktikan olehEliza et al. (2007) yang melaporkan bahwa populasi bakteriendofit pada perakaran tanaman famili Graminae lebihbanyak ditemukan pada akar sorgum (Tabel 2).

Mekanisme penghambatan yang terjadi oleh adanyabakteri antagonis juga ditentukan oleh metabolit sekunderyang dihasilkan. B. subtilis TM4 diduga menghasilkansenyawa antibiotik sehingga efektif mengendalikancendawan R. solani (penyebab penyakit hawar pelepahdan upih daun jagung) secara in vitro dengan jarakpenolakan 1,0 cm untuk mekanisme penekananantagonis. B. subtilis BNt8 efektif untuk mengendalikancendawan F. moniliforme (penyebab penyakit busukbatang dan busuk tongkol jagung) secara in vitro denganjarak penolakan 3,7 cm untuk mekanisme penekananantagonis, dan penekanan secara antibiosis efektif untukR. solani dengan pertumbuhan miselia 3,5 cm (Tabel 3).

Adanya peluang pemanfaatan mikrobia antagonisakan memberikan teknologi yang lebih aman dalampengendalian patogen secara hayati, sehingga produksipertanian lebih aman dan sehat guna mendukungketahanan pangan secara berkelanjutan (Soesanto 2009).

KESIMPULAN

Bakteri antagonis dapat menimbulkan reaksi mekanismeketahanan terinduksi pada tanaman jagung sehinggamengurangi keparahan penyakit oleh berbagai patogen.Bakteri antagonis pada spesies yang sama juga dapatmeningkatkan pertumbuhan tanaman. Bakteri antagonismampu memproduksi senyawa metabolit sekundersehingga menyebabkan timbulnya mekanisme ketahananterinduksi pada tanaman.

Keberadaan dan fungsi bakteri antagonis dalam tanahmerupakan langkah awal dalam pengelolaan penyakitpada tanah supresif. Untuk itu, karakter tanah yangbersifat supresif perlu diketahui, seperti struktur dankomposisi tanah sebagai salah satu strategi pengendalianpatogen tular tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Ariawan, I.W.G., D.N. Suprapta, dan N.W. Suniti. 2013.Pemanfaatan Aeromonas hydrophila untukmengendalikan penyakit layu Fusarium pada beberapavarietas sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench).E-J. Agroekotekno Tropika 4(2):81-92.

Chen, X-H., J. Vater, J. Piel, P. Franke, R. Scholz, and K.Schneider. 2006. Structural and functionalcharacterization of three polyketide synthase geneclusters in Bacillus amyloliquefaciens FZB 42. J.Bacteriol. 188:4024-36.

Chen, X-H., A. Koumoutsi, R. Scholz, A. Eisenrech, K.Schneider, dan I. Schneider. 2007. Comparativeanalysis of the complete genome sequence of the plantgrowth promoting Bacillus amyloliquefaciens FZB 42.Nat. Biotechnol. 25:1007-14.

Choudary, D.K., A. Prakash, and B.N. Johri. 2007. Inducedsystemic resistance (ISR) in plants: mechanism ofaction. Indian J. Microbiol. 47:289-97.

Choudary, D.K., B.N. Johri, and A. Prakash. 2008. Volatilesas priming agent that initiate plant growth and defenseresponses. Curr. Sci. 94 595-604.

Choudhary, D.K. and B.N. Johri. 2009. Interactions of Bacillusspp. and plants-with special reference to inducedsystemic resistance (ISR). J. Microbial. 164:493-513.

Couillerot, O., C.P. Combaret, J.C. Mellado, and Y.M. Loccoz.2009. Pseudomonas fluorescens and closely-relatedfluorescent pseuodomonads as biocontrol agents ofsoil-borne phytopathogens. Lett. Appl. Microbiol.48:505-512.

Eliza, A. Munif, I. Djatnika, dan Widodo. 2007. Karakterfisiologis dan peranan antibiosis bakteri perakarangraminae terhadap fusarium dan pemacupertumbuhan tanaman pisang. J. Hort. 17(2):150-160.

Handini Z.V.T. dan A.A. Nawangsih. 2014. Keefektifan bakteriendofit dan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan

Tabel 3. Daya antagonistik beberapa strain Bacillus spp. terhadappatogen R. solani dan F. moniliforme.

Jarak penolakan (cm) cendawanPerlakuan Mekanisme

R. solani F. moniliforme penekanan

TM4 1,0 2,0 AntagonisBNt8 1,0 3,7 AntagonisJA5 0,7 0,0 AntagonisBJ6 0,7 0,7 Antagonis

Pertumbuhan miselia (cm)

TM4 4,4 4,4 AntibiosisBNt8 3,5 4,2 AntibiosisJA5 3,7 4,1 AntibiosisBJ6 4,6 4,1 Antibiosis

Sumber: Muis et al. (2015a).

Tabel 2. Populasi bakteri pada perakaran beberapa tanamanGraminae.

Kerapatan populasi bakteriJenis tanaman graminae (Log cfu/bobot basah akar)

Rizosfer Endofit

Rumput gajah 8,12 3,60Jagung 7,64 3,80Padi gogo 7,40 3,71Sorgum 7,42 4,02

Sumber: Eliza et al. (2007).

Page 56: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

148

tanaman dalam menekan penyakit layu bakteri padaTomat. J. Fitopatol. Indones. 10(2):61-67.

Hoerussalam, A. Purwantoro, dan A. Khaeruni. 2013. Induksiketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadappenyakit bulai melalui seed treatment sertapewarisannya pada generasi S1. Ilmu Pertanian16(2):42-59.

Kamilova, F., L.V. Kravchenko, A.I. Shaposhnikov, T. Azarova,N. Makarova, and B. Lugtenberg. 2006. Organic acids,sugars, and L-tryptophane in exudates of vegetablesgrowing on stonewool and their effects on activities ofrhizosphere bacteria. Mol. Plant-Microbe Interact.19:250-6.

Koumoutsi, A., X-H. Chen, J. Vater, and R. Borriss. 2007.DegU and YczE positively regulate the synthesis ofBacillomycin D by Bacillus amyloliquefaciens FZB42.Appl. Environ. Microbiol. 73:6953-64.

Kuswinanti, T., Baharuddin, dan S. Sukmawati. 2014.Efektivitas isolat bakteri dari rizosfer dan bahan organikterhadap Ralstonia solanacearum dan Fusariumoxysporum pada tanaman kentang. J. FitopatologiIndonesia 10(2):68-72.

Luna, E., J.A.B. Toby, M.R. Roberts, V. Flors, and J. Ton. 2012.Next-generation systemic acquired resistance. PlantPhysiology 158:844-853.

Makarewicz, O., S. Dubrac, T. Msadek, and R. Borriss. 2006.Dual role of the PhoP~P response regulator: Bacillusamyloliquefaciens FBZ45 phytase gene transcriptionis directed by positive and negative interaction with thephy C promoter. J. Bacteriol. 188:6953-65.

McMilan, S. 2007. Promoting growth with PGPR. TheCanadian Organic Grower. Soil Foodweb Canada Ltd.Soil Biology Lab. &Learning Centre. p. 32-34.

Muis, A. and A.J. Quimio. 2006. Biological control of bandedleaf and sheath blight disease (Rhizoctonia solaniKuhn) in corn with formulated Bacillus subtilis BR23.Indon. J. of Agric. Sci. 7(1):1-7.

Muis, A., N. Djaenuddin, dan N. Nonci. 2015a. Uji virulensibeberapa isolat bakteri antagonis putative Bacillus

subtilis (Ehrenberg) Cohn sebagai agensia pengendalihayati penyakit tanaman jagung. Buletin PenelitianTanaman Serealia 1(1):8-15.

Muis, A., N. Djaenuddin, dan N. Nonci. 2015b. Evaluasi limajenis inner carrier dan formulasi Bacillus subtilis untukpengendalian hawar pelepah jagung. J. HPT Tropika15(2):164-169.

Nion, Y.A. and K. Toyota. 2008. Suppresion of bacteria wiltand fusarium wilt by a Burkholderia nodosa strainisolated from Kalimantan soils, Indonesia. MicrobesEnviron. 23(2):134-141.

Nurhayati. 2011. Penggunaan jamur dan bakteri dalampengendalian penyakit tanaman secara hayati yangramah lingkungan. Prosiding Semirata Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat. p.316-321.

Sadoma, M.T., A.B.B. El-Sayed, and S.M. El-Moghazy. 2011.Biological control of downey mildew disease of maizecaused by Peronosclerospora sorghi using certainbiocontrol agents alone or in combination. J. Agric. Res.Kafer El-Sheikh Univ. 37(1):1-11.

Soesanto, L. 2008. Pengantar pengendalian hayati penyakittanaman, suplemen ke gulma dan nematoda. RajawaliPers. 573p.

Soesanto, L. 2009. Pengendalian hayati patogen tanaman:peluang dan tantangan dalam menunjang ketahananpangan berkelanjutan. Pidato Pengukuhan JabatanGuru Besar Pada Fakultas Pertanian UniversitasJenderal Soedirman. Departemen PendidikanNasional, Universitas Jenderal Soedirman.

Widnyana, I.K., N.P. Pandawani, dan N.I.GAG.E. Martiningsih.2014. Uji aplikasi bakteri Pseudomonas alcaligenesisterhadap kandungan asam salisilat dan total fenoldalam upaya menekan penyakit layu fusarium padatanaman tomat. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Unmas, Bali. p.414-419.

Zhang, Z., Q. Li, Z. Li, P.E. Staswick, M. Wang, and Y. Zhu.2007. Dual regulation role of GH3.5 in salicylic acidand auxin signaling during Arabidopsis-Pseudomonassyringae interaction. Plant Physiol. 145:450-64.

Page 57: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Muzaiyanah dan Subandi: Bahan Organik pada Kedelai dan Ubi Kayu

149

Peranan Bahan Organik dalam PeningkatanProduksi Kedelai dan Ubi Kayu pada Lahan Kering Masam

The Role of Organic Matter for Increasing Soybean and CassavaProduction on Dry Soil Acid Land

Siti Muzaiyanah* dan Subandi

Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbianJalan Raya Kendalpayak KM 8 Kotak Pos 66 Malang 65101

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 10 Desember 2016, dan disetujui diterbitkan 13 Desember 2016

ABSTRACT

Increased production of soybean and cassava can be reached by alternatively extending cultivation tosuboptimal land, such as upland acid soil, where amelioration of organic material is an attempt to improvesoil fertility. The sources of organic material can be obtained from the agricultural and non-agriculturalwaste, such as: compost and manure. Organic materials are not only beneficial for improving the chemical,physical, physico-chemical and biological soil characters, but also capable of supporting plant growth toproduce higher yields in soybean and cassava.

Keywords: Soybean, cassava, organic materials, upland acid soil.

ABSTRAK

Usaha peningkatan produksi kedelai dan ubi kayu dapat ditempuh dengan ekstensifikasi ke lahan keringmasam. Pemberian ameliorasi bahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah. Sumber bahanorganik dapat diperoleh dari limbah pertanian dan nonpertanian, di antaranya kompos dan pupuk kandang.Selain memperbaiki sifat kimia, fisika, fisiko-kimia dan biologi tanah, pemberian bahan organik jugamenunjang fase vegetatif tanaman dan meningkatkan hasil kedelai dan ubi kayu di lahan kering masam.

Kata kunci: Kedelai, ubi kayu, bahan organik, lahan kering masam.

PENDAHULUAN

Salah satu upaya strategis dalam peningkatan produksikedelai menuju swasembada dengan produksi 2,8 jutaton, adalah melalui perluasan areal tanam, mengingatfluktuasi produksi nasional selama ini sangat terkait eratdengan fluktusi areal panen (Subandi 2007), dan dalamkurun waktu enam tahun terakhir (tahun 2009-2015) luaspanen kedelai hanya 493-723 ribu hektar denganproduktivitas rendah, 1,2-1,3 t/ha (BPS 2011). Berdasarkanperhitungan, untuk mencapai swasembada kedelai,produktivitas nasional perlu ditingkatkan menjadi 1,4-1,5t/ha pada areal panen 2,0 juta ha. Perluasan area dapatdilakukan dengan memanfaatkan lahan marginal sepertilahan kering, lahan kering masam, dan lahan salin. Potensi

lahan kering masam di Indonesia untuk pengembangantanaman pangan diperkirakan 18,5 juta hektar, yangsebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, danPapua (Mulyani 2006).

Tanaman pangan yang banyak ditanam pada lahankering masam adalah ubi kayu (khususnya di Sumateradan Kalimantan) yang pada umumnya diusahakan secaramonokultur. Selain sebagai areal pertanaman ubi kayu,lahan kering masam dapat dimanfaatkan untuk perluasanareal tanam kedelai, baik secara monokultur maupuntumpangsari dengan komoditas lain seperti dengan ubikayu. Dibandingkan dengan ubi kayu monokultur, kedelaitumpangsari dengan ubi kayu mendatangkan beberapakeuntungan, antara lain meningkatkan produktivitas lahan,penganekaragaman hasil panen sehingga mengurangi

Page 58: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

150

risiko gagal panen, petani ubi kayu cepat memperolehhasil panen (kedelai), dan keuntungan ekonomi usahatanimeningkat (Subandi et al. 2011, Harsono 2010).

Lahan kering masam tergolong kurang atau tidaksubur untuk usaha pertanian tanaman pangan karenasecara umum tanahnya bereaksi masam yangmenyebabkan meningkatnya kelarutan unsur Al, Fe, danMn (terutama Al) hingga mencapai taraf yang bersifatmeracun terhadap tanaman dan menghambatpertumbuhan tanaman; miskin unsur hara esensial;struktur tanah tidak berkembang baik dan mudah tererosi;populasi/aktivitas mikroba yang berperan dalampenyediaan hara tanaman rendah; dan kemampuanmenyimpan air dan menahan hara rendah sehingga tanahcepat kering dan hara potensial mudah hilang tercuci(leaching). Oleh karena itu, upaya penting yang perludilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah dankeberlanjutan usahatani pada lahan kering masam adalahmemanfaatkan dan mengoptimalkan pengelolaan bahanorganik tanah.

TINGKAT KESUBURAN LAHANKERING MASAM

Agar tanaman dapat tumbuh baik dan memberikan hasilpanen tinggi, penanaman kedelai dan ubi kayu pada lahankering masam perlu dibarengi dengan upaya perbaikankesuburan tanah. Lahan kering masam mempunyai pHrendah yang mengakibatkan kandungan Al, Fe, dan Mnterlarut tinggi, sehingga meracuni tanaman, miskin haraesensial makro dan mikro, serta bahan organik(Sudaryono et al. 2011a). Tanah Ultisol (Podsolik MerahKuning) memiliki kejenuhan Al-dapat ditukar (Keje Al-dd)relatif rendah (< 20%), namun secara umum tinggi (20-70%), sehingga mengganggu pertumbuhan tanamankedelai, yang mempunyai batas kritis toleransi terhadap

kejenuhan Al 20% (Arya 1990). Sifat kimia tanah lahankering masam dari beberapa daerah/lokasi tertera padaTabel 1.

Penggunaan lahan secara terus menerus untukusahatani tanaman semusim cepat menurunkankandungan bahan organik tanah, yang laju penurunannyadipengaruhi oleh tekstur tanah. Makin kasar tekstur tanahmakin cepat penurunan bahan organik tanah, yang dapatmencapai rata-rata 2,0%/tahun (Bationo et al. 2006).

Populasi mikroba pada lahan kering masamumumnya rendah, berkisar antara 57 x 103-29 x 104 cfu/g tanah (Prihastuti et al. 2006). Pada lahan kering masamyang belum pernah ditanami kedelai, secara alamiahtanaman kedelai membentuk bintil akar sedikit sehinggakurang efektif menambat N

2-udara. Populasi rhizobium

tanah Ultisol di Lampung Tengah sangat rendah, yakni5,8x104 cfu/g dan 6,5x101 di Lampung Timur (Soedarjo etal. 2007). Untuk meningkatkan kesuburan lahan keringmasam, populasi mikroba yang berperan dalampenyediaan hara dalam tanah harus ditingkatkan.

Fraksi liat (clay) tanah pada lahan kering masamumumnya didominasi oleh kaolinit, oksida, dan hidroksidaFe dan Al, liat beraktivitas rendah, sehingga KapasitasTukar Kation (KTK) rendah dan daya menyimpan lengastanah juga rendah (Uehara and Gillman 1981). KTK- efektifdari lima contoh tanah dari Sukadana (Lampung Timur)hanya berkisar antara 2,69-4,49 me/100 g. KTK yangrendah juga sebagai akibat dan kandungan bahan organiktanah yang rendah.

Varietas kedelai toleran lahan masam merupakankomponen teknologi yang diperlukan untuk menanganimasalah kemasaman lahan. Karakter anatomis tanamanyang responsif terhadap cekaman Al adalah akar. Varietasadaptif lahan masam memiliki akar yang dapatberkembang dengan baik, yang ditunjukkan oleh bobot

Tabel 1. Sifat kimia tanah lapisan atas/lapis olah lahan kering masam di beberapa daerah.

Parameter Sajiraa) Natarb) Pekalonganc) Bumi Nabung Lampung Timure)

dan Rumbiad)

pH-H2O 4,30 5,50 4,60 3,80-4,05 4,60

C-organik (%) 3,70 1,62 1,28 1,19-2,30 1,39N (%) 0,17 0,07 0,05 0.03-0,09 0,08P

2O

5 tersedia (ppm) 0,25 15,20 11,10 2,91-26,10 6,27

K-dd (me/100 g) 0,28 0,18 0,16 0,06-0,11 0,06Na-dd (me/100 g) - 0,07 0,03 0,10-0,17 -Ca-dd (me/100 g) 1,18 3,85 0,99 0,49-1,29 1,85Mg-dd (me/100 g) 0,60 3,20 1,20 0,27-0,48 0,51Al-dd (me/100 g) 3,57 0,44 1,86 0,68-3,19 0,80H-dd (me/100 g) - - - 0,03-0,86 0,20Kejenuhan Al (%) 63,41 5,68 43,87 22,82-55,23 23,39

Sumber: a)Banten (Sudarman 1987), b)Lampung Selatan (Rajit et al. 2011), c)Lampung Timur (Rajit et al. 2011),d)Lampung Tengah, dari 12 lokasi (Sudaryono et al. 2011a), e)Harsono (2010).

Page 59: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Muzaiyanah dan Subandi: Bahan Organik pada Kedelai dan Ubi Kayu

151

akar kering yang normal dengan pertumbuhan visual yangjuga normal (Sudrajat 2010). Efisiensi pemanfaatan harapada varietas adaptif terjadi dalam proses absorbsi,reduksi, translokasi, dan redistribusi hara (Blum 1996).Varietas kedelai adaptif lahan masam antara lain adalahRatai, Sibayak, Nanti, Tanggamus, dan Seulawah(Sudrajat 2010).

Peningkatkan pH tanah masam dapat dilakukandengan pemberian kapur. Pada tanah dengan teksturkasar, kebutuhan kapur untuk meningkatkan pH lebihsedikit daripada tanah bertekstur halus. Tanah berteksturhalus mempunyai permukaan spesifik yang luas, sehinggasemakin tinggi daya sangga tanah terhadap penambahanlarutan basa semakin sedikit perubahan pH (Mariana2013). Pupuk hayati Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan P tersediapada lahan masam, dengan cara melarutkan P yangterfiksasi melalui aktivitas enzim fosfatase (Khairuna etal. 2015). Pemberian bahan ameliorasi dan pupuk organikditambah pupuk anorganik merupakan kunci dalammemperbaiki tingkat kesuburan lahan kering masam.

PERANAN BAHAN ORGANIK TANAH

Bahan organik tanah memegang peranan penting dalammeningkatkan dan mempertahankan kesuburan kimia,fisika dan fisiko-kimia serta biologi tanah, yang akanmenentukan produktivitas tanaman dan keberlanjutanpenggunaan lahan untuk pertanian (Ding et al. 2002).Kandungan bahan organik tanah yang cukup sangatpenting bagi tanaman pada lahan kering masam.

Sifat Kimia Tanah

Bahan organik tanah dalam mempengaruhi kesuburankimia tanah lahan kering masam melalui dua fungsipenting, yakni (a) menurunkan unsur Al terlarut danmeningkatkan pH, dan (b) sebagai sumber hara esentialmakro dan mikro. Haynes dan Mokolobate (2001)melaporkan bahwa dari dekomposisi bahan organik tanahakan dihasilkan: (a) asam humat dan fulfat, yakni

kompleks senyawa organik dengan bobot molekul tinggitersusun oleh polimer fenolat (phenolic polymers), dan(b) asam organik dengan bobot molekul rendah, diantaranya asam format, asetat, propionat, butirat, laktat,oksalat, dan citrat. Sebagian besar (70-80%) BOT padatanah mineral berupa bahan humat. Kadar asam organikdalam larutan tanah umumnya rendah, 1-5 mM, namunpada daerah perakaran (rhizosphere) dapat lebih tinggi(Stevenson and Vance 1989). Peningkatan kadar asamorganik dalam tanah diperoleh pada tanah yang diberipupuk kandang (Iyamuremye et al. 1996). Hasil penelitianTakata et al. (2011) juga menunjukkan bahwa pemberiankotoran sapi dan residu tanaman meningkatkan kadarasam organik dalam larutan tanah (Tabel 2).

Asam humat, fulfat, dan asam organik hasildekomposisi bahan organik dalam tanah menurunkankadar Al-terlarut melalui mekanisme pengikatan Al-monomer (Al3+) dalam bentuk kompleks kelat yang stabil(stable chelate complex). Pada media larutan,penambahan asam fulvat setara 40 mg C/l nyatamenurunkan Al-monomer, dan Al-monomer menjadi tidakterdeteksi pada pemberian asam fulvat (dari ekstrak daunE. camaldulensis) setara 120 mg C/l, sehinggameningkatkan pertumbuhan akar (Tabel 3).

Pemberian bahan organik ke dalam tanahmeningkatkan pH tanah. Haynes dan Mokolobate (2001)mengulas sejumlah hasil penelitian terkait hal ini.Peningkatan pH tanah akibat pemberian bahan organikadalah melalui mekanisme sebagai berikut:

(1) Oksidasi asam organik. Material tanaman umumnyalebih banyak mengandung cation daripada anionanorganik, dan kelebihan kation tersebut diimbangioleh pembentukan asam organik. Dalam prosesdekomposisi bahan organik, oksidasi asam organikakan menggunakan proton (H+) dan menghasilkan OH-,sehingga akan menaikkan pH tanah.

(2) Decarboksilasi asam organik. Dekarboksilasi asamorganik membutuhkan proton dan melepaskan CO

2,

melalui reaksi: R-CO-COO- + H+ → RCHO + CO2,

proses ini akan menaikkan pH tanah.

Tabel 2. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap jumlah asam organik dalam tanah.

Asam organik (μmol/kg tanah)Perlakuan bahan organik

Format Asetat Laktat Malat Citrat

Tanpa bahan organik 2,78 Sr a) 0,95 0,34 Tt b)

Pupuk kandang* 2,83 Sr 2,36 0,60 SrResidu tanaman** 4,71 Sr 0,79 0,69 Sr

* Pupuk kandang sapi (15 t/ha/th). ** Residu tanaman gandum a) Sr: Sangat sedikit. b) Tt: Tidak terbaca.Sumber: Takata et al. (2011).

Page 60: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

152

membentuk struktur tanah. Pemberian pupuk kandangmendorong pembentukan makro agregat daripada mikroagregat tanah (Jian-bing et al. 2013), yang akanmemperbaiki aerasi dan drainase, sehingga lebih sesuaibagi pertumbuhan akar.

Fisiko-kimia Tanah

Peran penting bahan organik terhadap sifat fisiko-kimiatanah adalah peningkatkan Kapasitas tukar kation tanah(KTK). Lahan kering masam pada umumnya mempunyaiKTK rendah, sehingga diperlukan penambahan bahanorganik untuk menaikkan KTK tanah. Penambahan jerami10 t/ha, azolla 10 t/ha, dan enceng gondok 10 t/ha,meningkatkan KTK dari 16,94 me/100 g menjadi masing-masing 17,77 me/100 g; 17,67 me/100 g, dan 17,72 me/100 g (Rahardjo 2000).

Biologi Tanah

Aktivitas mikrobia tanah menjadi salah satu indikatorkesuburan biologi tanah. Walupun biomas mikrobia hanyamerupakan sebagian kecil dari bobot bahan organik dalamtanah, namun sangat berperan dalam proses pelepasan/penyediaan unsur hara, sehingga mendorong penyerapanunsur hara oleh tanaman (Onwonga et al. 2010). NitrogenBiomass Mikrobia (Microbial Biomass Nitrogen) atau NBMdan Karbon Biomass Mikrobia (Microbial Biomass Carbon)atau KBM merupakan dua indikator untuk mengetahuiaktivitas mikrobia dalam tanah. Pemberian bahanorganik ke dalam tanah meningkatkan kandungankarbon (C), nitrogen (N) dan juga meningkatkan NBMdan KBM (Tabel 5).

SUMBER BAHAN ORGANIK

Sumber bahan organik tanah berasal dari limbah pertaniandan nonpertanian, yang diberikan secara langsung atausetelah melalui proses dekomposisi oleh mikrobia berupakompos, pupuk kandang, pupuk hijau, limbah pertanian/

(3) Ammoniasi N-organik. Dalam proses ammoniasi N-organik dihasilkan ion OH- dengan reaksi: N-organik→ NH

4+ + OH- sehingga menaikkan pH, namun

peningkatan pH melalui reaksi ini tidak berlangsunglama, sebab NH

4+ akan mengalami nitrifikasi.

(4) Adsorpsi spesifik molekul organik. Bahan humat danasam organik akan teradsorpsi secara spesisifik olehhidroksida Al dan Fe. Dalam proses ini dilepaskanOH- sehingga menaikkan pH.

(5) Reduksi oksida dan/atau hidroksida Mn dan Fe.Reduksi senyawa tersebut menghasilkan OH-

sehingga berkonstribusi terhadap peningkatan pHtanah. Penambahan bahan organik meningkatkansuasana reduksi dalam tanah.

(6) Penurunan Al3+ dalam larutan tanah. Pengikatan ataukelasi Al3+ dalam larutan tanah oleh bahan/asamhumat, fulvat, dan asam organik yang lain menaikkanpH tanah.

Hara tanaman yang diperoleh dari pemberian bahanorganik tanah bergantung jenis dan jumlah bahan organikyang diberikan. Secara umum bahan organik berupajaringan tanaman yang berasal dari pupuk kandangmengandung semua unsur hara yang diperlukantanaman. Bahan organik merupakan sumber hara yangsesuai untuk lahan kering masam yang secara umumtanahnya miskin unsur hara makro dan mikro.

Sifat Fisika Tanah

Sifat fisika tanah yang menentukan pertumbuhan tanamanadalah struktur tanah. Stabilitas dan ukuran partikel/agregrat yang menentukan volume dan imbangan porimakro (> 250 μm) dan pori mikro (< 250 μm) menentukanaerasi dan kemampuan tanah mengikat/menyimpanlengas tanah dan pergerakan air (Tabel 4), yangmempengaruhi pertumbuhan tanaman. Bahan organikdalam tanah diperlukan sebagai sumber energi mikrobadan mikrofauna untuk menghasilkan senyawa organik,yang diperlukan dalam proses agregasi partikel

Tabel 3. Pengaruh pemberian asam fulvat terhadap kadar Al-monomer dalam larutan tanah yang mengandung 30 μmMAldan panjang akar jagung.

Asam fulvat Total Al Monomer-Al Panjang akar(mg C/l) (30 μM) (30 μM) (cm)

0 27,3 18,6 0,6340 27,7 2,7 1,29120 30,2 Tt* 1,46360 32,8 Tt 1,10

* Tt: Tidak terbacaSumber: (Harper et al. 1995)

Tabel 4. Klasifikasi ukuran dan fungsi pori tanah berikut partikelyang berasosiasi.

Diameter pori Fungsi pori Diameter partikel(μm) (μm)

< 0,2 Mengikat air < 20,2-2,5 Menyimpan air tersedia 2-250

untuk tanaman2,5-100 Pergerakan air secara 250-1.000

kapiler dan aerasi> 100 Aerasi, drainase, > 1.000

pertumbuhan akar

Sumber: Oades (1984)

Page 61: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Muzaiyanah dan Subandi: Bahan Organik pada Kedelai dan Ubi Kayu

153

sisa hasil panen (jerami padi, brangkasan kedelai, kacangtanah, jagung, ubi kayu), dan limbah industri yangmenggunakan bahan baku produk pertanian. Kandunganunsur hara bahan organik relatif rendah, seperti terlihatpada Tabel 6 dan Tabel 7.

Limbah panen pertanian berupa biomas kacang tanah,kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar lebih kaya hara N daripadalimbah panen jagung (Tabel 6). Dibandingkan denganpupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, kambing, babi, dankuda), kotoran ayam lebih banyak mengandung hara N,P, dan K dengan nilai C/N-ratio paling rendah (Tabel 7dan 8).

Bahan organik dengan rasio C/N yang tinggimenurunkan ketersediaan fosfat, pH tanah, danmeningkatkan kelarutan Fe2+ (Fahmi et al. 2009). Bahanorganik dengan rasio C/N 28 dapat menghasilkan komposdengan karakteristik fisik yang baik (sesuai dengan SNI19-7030-2004). Kompos yang dihasilkan mempunyai rasioC/N 17,7 dengan kandungan hara N-total 0,98%, C-organik17,90 %, K-tersedia 22,092 ppm, dan P-tersedia 568 ppm(Pramaswari et al. 2011).

Kompos mempunyai kandungan hara makro, mikro,ZPT dan asam-asam organik yang baik, jika berintegrasidengan mikrobia dan fauna tanah sebagai dekomposeryang tepat. Cacing tanah Lumbricus rubellus mampumendekomposisi bahan organik dengan unsur makro danasam humat lebih tinggi dibanding menggunakan Effective

microorganism-4 (EM-4) dan Trichoderma harzianum.Enzim selulose yang dimiliki cacing dapat mengurai bahanorganik meskipun kandungan selulosanya tinggi (Yeliantiet al. 2009). Effective Microorganism 4 (EM-4) adalahkultur campuran dari berbagai mikroorganisme yangmenguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. EM4mengandung Lactobacillus sp dan sebagian kecil bakterifotosintetik, Streptomyces sp., dan ragi (Manuputty 2012).Limbah tomat berpotensi mempercepat prosesterbentuknya kompos organik, membutuhkan waktupengomposan lebih cepat (40-47 hari) dibandingmenggunakan EM-4 (50-55 hari) (Anif et al. 2007).

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAPHASIL KEDELAI DI LAHAN MASAM

Pemberian kompos pada dapat meningkatkan tinggitanaman, jumlah bunga, jumlah polong, jumlah bintil akar,bobot kering brangkasan, bobot kering akar, kandunganprotein dan lemak biji kedelai (Hanum 2013). Padatanaman kedelai di polybag berisi tanah masam yangdipupuk kompos jerami padi (10 g) + pupuk kandang sapi(33 g) per polibag tumbuh normal dengan tinggi tanaman181 cm, jumlah bunga 42 kuntum, jumlah polong 35 buah,bobot basah tanaman 31 g, dan bobot kering tanaman 9g (Herfyany et al. 2013). Kompos meningkatkan aktivitasnitrogenase pada akar kedelai, yang berakibat asam

Tabel 5. Pengaruh pemberian kapur, pupuk kandang, dan hara N+P terhadap NBM dan KBM tanah lapisan 0-15 cm yang diamati pada tigafase pertumbuhan jagung.

NBM (μg N/g tanah) KBM (μg C/g tanah)Perlakuan*)

Seedling Tasseling Masak Seedling Tasseling Masak

Kontrol 28,00 18,30 23,50 179,20 131,70 183,50Kapur 29,80 20,90 26,20 202,60 156,80 214,50Pupuk kandang 53,84 37,80 45,00 382,30 290,70 382,80NP 50,02 31,70 40,54 260,20 190,30 272,70

*) Kontrol: tidak diberi apapun; kapur: 2,5 CaCO3 t/ha, pupuk kandang dari kotoran kambing 5,0 t/ha,

NP: Urea 50 kg+75 kg Triple Superphosphate/ha.Sumber: Onwonga et al. (2010).

Tabel 6. Komposisi hara dalam jaringan tanaman jagung, kacang tanah, kedelai, dan ubi jalar.

Kandungan hara (%)Jaringan tanaman

N P K Ca Mg

Jagung manis** 1,05 1,01 0,18 1,98 0,53Kacang tanah* 4,59 0,25 2,03 1,24 0,37Kedelai* 5,55 0,34 2,41 0,88 0,37Ubi jalar* 3,76 0,38 4,01 0,78 0,68

Sumber: *) Tan dalam (Setyorini et al. (2006); **) Surtinah (2013)

Page 62: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

154

organik mengkelat Al dalam jumlah tinggi (2,8 μmol/jam/bintil/tanaman) sehingga mengurangi racun Al, dankebutuhan tanaman akan unsur nitrogen tercukupi(Triadiati et al. 2013). Kandungan fosfor pada komposblotong dapat meningkatkan kandungan lemak dan proteinbiji kedelai (Hanum 2013).

Pupuk organik dibutuhkan dalam jumlah yang tinggi,yaitu 20 t/ha (Refliaty et al. 2011). Kombinasi pupukanorganik dan pupuk organik dapat meningkatkan hasilkedelai, dibanding hanya dipupuk anorganik. Pemberianpupuk 50% dari 22,5 kg N+67,5 kg P

2O

5+30 kg K

2O

dikombinasi dengan bahan organik meningkatkan jumlahbiji 58% dan hasil 54%. Penggunaan pupuk organikmeningkatkan jumlah biji 59% dan hasil biji 58% dibandingperlakuan pemupukan anorganik dengan dosis 22,5 kgN, 67,5 kg P

2O

5, 30 kg K

2O (Indrayani dan Umar 2011).

Bahan organik dikombinasikan dengan dolomitmeningkatkan hasil kedelai hingga 76% (Sudaryono etal. 2011b). Titik optimum sinergisme positif dolomit danpupuk kandang dicapai pada takaran 300 kg/ha dolomitdan 500 kg/ha pupuk kandang. Kombinasi pemberiandolomit di atas 300 kg/ha dengan pupuk kandang di atas500 kg/ha tidak meningkatkan hasil kedelai di lahan keringmasam Ultisol. Pemberian pupuk anorganik P secaratunggal justru tidak memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan dan hasil kedelai (Sudaryono et al. 2011b,Hanum 2013).

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAPHASIL UBI KAYU DI LAHAN MASAM

Perbaikan sifat fisik tanah berpengaruh nyata terhadapperakaran ubi kayu, dengan korelasi antara total panjangakar dan bobot isi tanah r= -0,7 dan meningkatkan hasilumbi, dengan korelasi antara total panjang akar dan bobotumbi segar r = 0,7. Pupuk anorganik hanya mampumeningkatkan porositas tanah 0,95%, sedangkankompos 10 t/ha menurunkan bobot isi tanah hingga 9,3%dan meningkatkan porositas tanah hingga 9,4% dibandingtanpa pupuk. Perbaikan sifat fisik tanah terus meningkatpada tahun kedua (Prasetyo et al. 2014).

Pemberian pupuk kandang meningkatkan kandunganhara P dan Mg pada batang ubi kayu umur empat bulan.Pemberian pupuk kandang kotoran sapi 10 t/hameningkatkan kandungan hara P 1,8% lebih tinggidibanding pupuk anorganik NPK 400 kg/ha (1,5% P).Pemberian pupuk kandang kotoran ayam 10 t/hameningkatkan kandungan hara Mg 0,55% pada batangubi kayu, lebih besar dibanding pemberian pupuk

Tabel 7. Kadar hara beberapa kotoran padat ternak dalam kondisi segar.

Kadar unsur hara (%)Jenis kotoran ternak

N P2O

5K

2O CaO C/N

Kotoran sapi 0,30 0,20 0,15 0,20 20-25Kotoran kerbau 0,25 0,18 0,17 0,40 25-28Kotoran kambing 0,70 0,40 0,25 0,40 20-25Kotoran ayam 1,50 1,30 0,80 4,00 9-11Kotoran babi 0,50 0,40 0,40 0,07 19-20Kotoran kuda 0,50 0,25 0,30 0,20 24

Sumber: Lingga (1991) dalam Hartatik dan Widowati (2006)

Tabel 8. Kadar hara kotoran sapi, kambing serta ayam dalam kondisi segar dan setelah dikomposkan.

Kadar unsur hara (%)Jenis kotoran ternak

C N P K C/N

Bahan segar- Kotoran sapi 63,44 1,53 0,67 0,70 41,46- Kotoran kambing 46,51 1,41 0,54 0,75 32,98- Kotoran ayam 42,18 1,50 1,97 0,68 28,12Kompos- Kotoran sapi - 2,34 1,08 0,69 16,8- Kotoran kambing - 1,85 1,14 2,49 11,3- Kotoran ayam - 1,70 2,12 1,45 10,8

Sumber: Tim Balitnak dalam Hartatik dan Widowati (2006)

Page 63: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Muzaiyanah dan Subandi: Bahan Organik pada Kedelai dan Ubi Kayu

155

anorganik NPK 400 kg/ha (0,52% Mg) (Odedina et al.2012).

Penambahan bahan organik yang dikombinasikandengan pupuk anorganik memberikan hasil umbi lebihtinggi dibanding hanya menggunakan bahan organik ataupupuk anorganik (Ayoola and Makinde 2007, Prasetyo etal. 2014). Tumewu et al. (2015) melaporkan bahwapemupukan 20 t/ha bokashi kotoran sapi memberikanhasil umbi tidak berbeda nyata dengan pemupukan 250kg NPK/ha + 150 kg urea/ha. Kombinasi pupuk (urea300 kg/ha+ pupuk kandang 5 ton/ha) menghasilkanpanjang dan bobot kering akar 215% dibanding tanpapupuk, sehingga bobot umbi meningkat 265,3% dibandingtanpa pupuk (Prasetyo et al. 2014). Pemberian pupukorganik kotoran unggas+kompos sampah kota (1:1) 5 t/ha pada tanaman ubi kayu yang ditumpang sarikandengan jagung di Nigeria memberikan hasil yang tidakberbeda dengan pemupukan 400 kg/ha NPK, tetapiberbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk. Pada tahunpertama, pemberian pupuk organik menghasilkan 10,01t/ha dan pada tahun kedua 11,48 t/ha. Pemberian pupukanorganik menghasilkan 10,34 t/ha pada tahun pertamadan 12,43 t/ha pada tahun kedua. Kombinasi antarakeduanya menghasilkan 8,83 t/ha pada tahun pertamadan 12,40 t/ha pada tahun kedua. Perlakuan kontrol hanyamenghasilkan 6,26 t/ha pada tahun pertama dan 7,90 t/ha pada tahun kedua (Ayoola and Makinde 2007).Meningkatnya hasil ubi kayu pada tahun kedua karenawaktu yang diperlukan untuk dekomposisi bahan organikcenderung lebih lama.

Di Ogbomoso Nigeria, pemberian kotoran unggas 6,3t/ha meningkatkan hasil ubi kayu, lebih tinggi dibandingpemberian pupuk anorganik 120 N + 80 P + 50 K kg/hapada pertanaman tumpang sari ubi kayu varietas OkoIyawo dengan merica. Hasil umbi 25 t/ha dan 24,3 t/hapada tahun pertama dan kedua. Pemberian pupukanorganik 120 N + 80 P + 50 K kg/ha menghasilkan umbiberturut-turut 21,7 t/ha dan 20,3 t/ha pada tahun pertamadan kedua. Sedangkan kombinasi antara pupuk anorganik60 N + 40 P + 25 K kg/ha (separuh dosis) dengan kotoranunggas 3,15 t/ha (separuh dosis) memberikan hasil 22,9t/ha umbi pada tahun pertama dan 21,2 t/ha tahun kedua(Adeola et al. 2011).

KESIMPULAN

Pemberian bahan organik memperbaiki kesuburan kimia,sifat fisiko-kimia dan biologi tanah masam,sehingga lebihsesuai untuk budi daya tanaman semusim. Penambahanbahan organik selain pemupukan anorganik di lahanmasam meningkatkan hasil kedelai dan ubi kayudibandingkan hanya menggunakan pupuk anorganik.

DAFTAR PUSTAKA

Adeola, R.G., H. Tijani-Eniola, and E.A. Makinde. 2011.Ameliorate the effects of poultry manure and NPKfertilizer on the performance of pepper pelay croppedwith two cassava varieties. Global Journal of ScienceFrontier Research 11(9):6-13.

Anif, S., T. Rahayu, dan M. Faatih. 2007. Pemanfaatan limbahtomat sebagai pengganti Em-4 pada prosespengomposan sampah organik. Jurnal PenelitianSains & Teknologi 8(2):119-143.

Arya, L.M. 1990. Properties and processes in upland acidsoils in Sumatra and their management for cropproduction. Winrock Intl. Inst. of Agri. Dev., Raleigh.

Ayoola, O.T. and E.A. Makinde. 2007. Complementary organicand inorganic fertilizer application: Influence on growthand yield of cassava/maize/melon intercrop with arelayed cowpea. Australian Journal of Basic and AppliedSciences 1(3):187-192.

Bationo, A., J. Kihara, B. Vanlauwe, B. Waswa, and J. Kimetu.2006. Soil organic carbon dynamics, functions andmanagement in West African agro-ecosystems.Agricultural Systems Journal. 13p.

Blum, A. 1996. Crop responses to drought and theinterpretation of adaptation. Plant Growth Reg. 20:135-148.

Ding, G., J.M. Novak, D. Amarasiriwardena, P.G. Hunt, and B.Xing. 2002. Soil organic matter characteristics asaffected by tillage management. Soil Science Societyof America Journal 66:421-429.

Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B.H. Purwanto. 2009.Kelarutan fosfat dan ferro pada tanah sulfat masamyang diberi bahan organik jerami padi. J. Tanah Trop.14(2):119-125.

Hanum, C. 2013. Pertumbuhan, hasil, dan mutu biji kedelaidengan pemberian pupuk organik dan fosfor. J. Agron.Indonesia 41(3):209-214.

Harper, S.M., D.G. Edwards, G.L. Kerven, and C.J. Asher.1995. Effects of organic acid fractions extracted fromEucalyptus camaldulensis leaves on root elongationof maize (Zea mays) in the presence and absence ofaluminium. Plant Soil 171:189-192.

Harsono, A. 2010. Efektivitas multiisolat iletrisoy padatanaman kedelai di lahan masam Ultisol. Agritek 19:1-7.

Hartatik, W. dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk kandang. p.59-82. Dalam: Simanungkalit, R.D.M., et al. (Eds.). Pupukorganik dan pupuk hayati. Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian. Badan LitbangPertanian.

Haynes, R.J. and M.S. Mokolobate. 2001. Amelioration of Altoxicity and P deficiency in acid soils by additions oforganic residues: A critical review of the phenomenonand the mechanisms involved. Nutr. Cycl. Agroecosyst.59:47-63.

Page 64: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

156

Herfyany, E., Mukarlina, dan R. Linda. 2013. Pertumbuhantanaman kedelai Glycine max (L.) Merril) pada mediatanah gambut yang diberi abu jerami padi dan pupukkandang sapi. Protobiont. 2(2):107-111.

Indrayani, L. dan S. Umar. 2011. Pengaruh pemupukan N,P, K dan bahan organik terhadap pertumbuhan danhasil kedelai di kahan sulfat masam bergambut.Agrista 15(3).

Iyamuremye, F., R.P. Dick, and J. Baham. 1996. Organicamendments and phosphorus dynamics: 1.Phosphorus Chemistry and Sorption. Soil Sci. 161:426-435.

Jian-bing, Z., Y. Jing-song, Y. Rong-jiang, Y. Shi-peng, L. Fu-rong, and H. Xiao-jing. 2013. The effects of farmyardmanure and mulch on soil physical properties in areclaimed coastal tidal flat salt-affected soil. Journalof Integrative Agriculture. Advanced Online Publication.14p.

Khairuna, Syafruddin, dan Marlina. 2015. Pengaruh fungimikoriza arbuskular dan kompos pada tanamankedelai terhadap sifat kimia tanah. J. Floratek 10:1-9.

Manuputty, M.C., A. Jacob, dan J.P. Haumahu. 2012. Pengaruheffective inoculant promi dan Em4 terhadap lajudekomposisi dan kualitas kompos dari sampah KotaAmbon. Agrologia 1(2):143-151.

Mariana, Z.T. 2013. Kebutuhan kapur pada tanah berteksturhalus dan aasar di lahan kering masam di KalimantanSelatan. Jurnal Agroscientise 20(2):56-60.

Mulyani, A. 2006. Potensi lahan kering masam untukpengembangan pertanian. Warta Penelitian danPengembangan Pertanian 28(2):16-17.

Oades, J.M. 1984. Soil organic matter and structural stability:mechanisms and implications for management. Plantand Soil Journal 76(1-3):319-337.

Odedina, S.A., J.N. Odedina, S.O. Ojeniyi, and F. Akinlana.2012. Effect of different organic nutrient sources andtwo NPK rates on the performance and nutrientcontents of a newly released cassava variety. Journalof Life Sciences 6. p.1003-1007.

Onwonga, R.N., J.J. Lelei, and B.B. Mochoge. 2010. Mineralnitrogen and microbial biomass dynamics underdifferent acid soil management practices for maizeproduction. Journal of Agricultural Science (2):16-30.

Pramaswari, I.A.A., I.W.B. Suyasa, dan A.A.B. Putra. 2011.Kombinasi bahan organik (rasio C:N) padapengolahan lumpur (sludge) limbah pencelupan.Jurnal Kimia 5(1):64-71.

Prasetyo, A., W.H. Utomo. dan E. Listyorini. 2014. Hubungansifat fisik tanah, perakaran dan hasil ubi kayu tahunkedua pada Alfisol Jatikerto akibat pemberian pupukorganik dan anorganik (NPK). Jurnal Tanah danSumberdaya Lahan 1(1):27-38.

Prihastuti, Sudaryono, dan T. Wardani. 2006. Kajianmikrobiologis pada lahan kering masam, Lampung.Agritek 14(5):10-25.

Radjit, B.S., N. Saleh, dan S.D. Song. 2011. Pengaruh pupukmiracle sweet (MS-35) terhadap hasil umbi ubikayu dilahan Ultisol Lampung, p.67-80. Dalam: Masganti etal. (Eds.). Pendampingan Inovasi Pertanian SpesifikLokasi di Provinsi Lampung Tahun 2011. ProsidingSeminar. BPTP Lampung.

Rahardjo. 2000. Pengaruh macam sumber bahan organikdan pupuk urea tablet terhadap karakteristik kimiatanah. Mapeta 2(5):28-33.

Refliaty, G. Tampubolon, dan Hendriansyah. 2011. Pengaruhpemberian kompos sisa biogas Kotoran sapiterhadap perbaikan beberapa sifat fisik Ultisol danhasil kedelai (Glycine max (L.) Merill). J. Hidrolitan2(3):103-114.

Setyorini, D., R. Saraswati, dan E.K. Anwar. 2006. Pupukorganik dan pupuk hayati: Kompos http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/juknis/pupuk%20organik.pdf

Soedarjo, M., Prihastuti, Suryantini, D. Sucahyono, dan A.Harsono. 2007. Teknologi perakitan pupuk hayati padatanaman kacang-kacangan di lahan kering masam.Laporan Akhir 2007. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Stevenson, F.J. and G.F. Vance. 1989. Naturally occurringaluminium – organic complexes. In: Sposito, G. (eds.).The Environmental Chemistry of Aluminium. pp. 117-146. CRC Press, Boca Raton.

Subandi. 2007. Teknologi produksi dan strategipengembangan kedelai pada lahan kering masam.Iptek Tanaman Pangan 2(1):12-25.

Subandi, A. Harsono, H. Kuntyastuti, dan N. Prasetyawati.2011. Evaluasi kelayakan teknis dan sosial ekonomispenggunaan pupuk organik kaya hara untuk kedelaidan kacang tanah pada lahan kering. Laporan AkhirKegiatan Ristek 2011. Balitkabi.

Sudarman, S. 1987. Kajian pengaruh pemberian kapur padatanah Ultisol atas kelakuan kalium dan agihanaluminium. Tesis Doktor, Universitas Gadjah Mada.305p.

Sudaryono, Prihastuti, dan A. Wijanarko. 2011a. Eksplorasipotensi kesuburan dan kesesuaian lahan di wilayahkecamatan Bumi Nabung dan Rumbia, LampungTengah untuk pengembangan tanaman kedelai, p.160-170. Dalam: Masganti et al.(Eds.). PendampinganInovasi Pertanian Spesifik Lokasi di Provinsi LampungTahun 2011. Prosiding Seminar. BPTP Lampung.

Sudaryono, A. Wijanarko, dan Suyamto. 2011b. Efektivitaskombinasi amelioran dan pupuk kandang dalammeningkatkan hasil kedelai pada tanah Ultisol. JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(1):43-51.

Sudrajat, D. 2010. Identifikasi karakter morfofisiologi kedelaiadaptif lahan masam. Jurnal Penelitian PertanianTerapan 10(2):103-110.

Surtinah. 2013. Pengujian kandungan unsur hara dalamkompos yang berasal dari serasah tanaman jagungmanis (Zea mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian11(1):16-25.

Page 65: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Muzaiyanah dan Subandi: Bahan Organik pada Kedelai dan Ubi Kayu

157

Takata, Y., M. Tani, T. Kato, and M. Koike. 2011. Effects ofland use and long-termorganic matter application onlow-molecular-weight organic acids in an Andisol.Journal of Soil Science and EnvironmentalManagement 2(10):292-298.

Triadiati, N.R. Mubarik, dan Y. Ramasita. 2013. Responpertumbunan tanaman kedelai terhadapBradyrhizobium japonicum toleran masam danpemberian pupuk di panah masam. J. Agron. Indonesia41(1):24-31.

Tumewu, P., C.P. Paruntu, dan T. D. Sondakh. 2015. Hasilubikayu (Mannihot esculenta Crantz.) terhadapperbedaan jenis pupuk. Jurnal LPPM Bidang Sainsdan Teknologi 2(2):16-27.

Yelianti, U., Kasli, M. Kasim, dan E.F. Husin. 2009. Kualitaspupuk organik hasil dekomposisi beberapa bahanorganik dengan dekomposernya. Jurnal Akta Agrosia12(1):1-7.

Page 66: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

158

Page 67: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Sumartini: Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Aneka Kacang dan Umbi

159

Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan PenyakitTanaman Aneka Kacang dan Umbi

Biopesticides to Control Pests and Diseases onLegumes and Tuber Crops

Sumartini*

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl Raya Kendalpayak, Km8, Malang, Jawa Timur, Indonesia

*E-mail: [email protected]. HP. 08155555771.

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 25 November 2016, dan disetujui diterbitkan 2 Desember 2016

ABSTRACT

Several types of pests and diseases in food crops must be controlled. Biopesticides use is one componentof pest and disease control in an Integrated Pest Management (IPM). Biopesticides in Indonesia are still lesspopular, many people misinterpret biopesticides as organic farming, although many options of biopesticidesare already available. Many botanical pesticides made from extract material herbs or spices are widelyavailable and very popular, such as, galangal, neem and ginger. Since the effectiveness of biopesticidescan not reach a hundred percent, it is advised to use them only for preventive purposes. Preparingbiopesticides requires certain skills, therefore, farmers need to be supervised to be able to producebiopesticides by themselves. If many farmers already apply biopesticides in farming, the environment willless be polluted by toxic substances for humans. The paper reviews the effectiveness, application, constrains,benefits, and opportunities, as well as its development in Indonesia.

Keywords: Natural pesticides, biopesticides, food crops.

ABSTRAK

Beberapa jenis hama dan penyakit pada tanaman pangan harus dikendalikan. Biopestisida merupakansalah satu komponen pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Di Indonesia biopestisida masihkurang populer, pengetahuan tentang biopestisida disamakan dengan pertanian organik, padahal teknologisudah banyak tersedia. Pestisida nabati banyak dibuat dari ektrak bahan jamu-jamuan atau rempah-rempah yang banyak tersedia seperti lengkuas, mimba, dan jahe. Efektivitas penggunaan biopestisdatidak bisa 100%, karena itu sangat baik untuk tujuan preventif. Penyediaan biopestisida memerlukanketerampilan khusus, sehingga perlu pelatihan sebagai pembekalan untuk usaha kemandirian, dalam halini banyak petani yang belum tahu sehingga masih diperlukan SL-PHT. Jika banyak petani yang sudahmenerapkan biopestisida dalam usahataninya, maka lingkungan tidak akan tercemar oleh bahan-bahanberacun. Tulisan ini mengulas definisi dan efektivitas biopestisida yang sudah digunakan masyarakat,serta kendala dan keuntungannya dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman.

Kata kunci: Biopestisida nabati, biopestisida hayati, tanaman pangan.

Page 68: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

160

PENDAHULUAN

Dalam usahatani tanaman pangan di Indonesia terdapatbeberapa hambatan, antara lain serangan hama danpatogen penyebab penyakit atau sering disebutorganisme pengganggu tanaman (OPT). Jenis hama yangmenyerang tanaman pangan terutama (1) wereng cokelat(Nilaparvata lugens ) pada padi, (2) penggerek tongkoldan batang pada jagung, (3) kutu kebul dan ulat grayakpada kedelai. Penyakit utama tanaman pangan adalah(1) bercak daun yang disebabkan oleh cendawanPyricularia oryzae pada padi, (2) penyakit bulai yangdisebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydispada jagung, (3) penyakit karat yang disebabkan olehcendawan Phakopsora pachyrhizi dan beberapa macampenyakit virus (Mosaic virus, Cowpea Mild Mottle Virus)pada kedelai, (4) penyakit layu yang disebabkan olehbeberapa cendawan terbawa tanah (soil-borne) sepertiSclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Fusarium sp.penyakit bercak daun (Cercosporidium personatum atauC. arachidicola), dan penyakit karat (Uromyces phaseoli)pada kacang tanah, (5) penyakit embun tepung (Erysiphepolygoni) dan bercak daun (Cercospora cruenta) padakacang hijau (Semangun 2004). Hama juga dapat menjadivektor virus. Sebagai contoh kutu kebul (Bemisia tabaci),merupakan vektor CMMV (Cucumber Mild Motle Virus)yang sangat merusak tanaman kedelai.

Serangan hama dan patogen mengakibatkanterjadinya kehilangan hasil panen dan menurunkankualitas hasil, sehingga perlu dikendalikan. Salah satucara pengendalian hama dan penyakit tanaman panganadalah dengan aplikasi pestisida. Penggunaan pestisidakimiawi untuk pengendalian OPT masih banyak dilakukan.Cara ini disukai petani karena serangan hama dan penyakitdapat cepat diatasi. Namun pemberian pestisida kimiadapat menimbulkan resistensi terhadap hama danpenyakit, berkembang hama atau penyakit baru(resurgensi), dan mencemari lingkungan. Hasil penelitianKaryadi et al. (2011) menunjukkan pada lahan pertanamanbawang merah yang diberi tujuh macam pestisida diKendal, Jawa Tengah, terdapat kandungan logam berattimbal (Pb). Selisih kandungan Pb dalam tanah sesudahdan sebelum panen mencapai 43.000 mg Pb/ha. yangmencemari lingkungan tanah. Aplikasi pestisida kimiajuga mengganggu kesehatan manusia pada saatmengaplikasikan dan residu pestisida pada hasil panenmengganggu kesehatan konsumen. Dewasa ini telahberkembang biopestisida yang ramah lingkungan.Biopestisida mudah terdegradasi oleh sinar matahari dantercuci tanah (Schumann and D’Arcy, 2012), tidakmenimbulkan biotipe atau ras baru hama dan penyakitserta tidak menimbulkan resistensi (Kardinan 2004).Tulisan ini mengulas definisi, efektivitas, dan biopestisida

yang sudah digunakan petani, kendala, dan keuntunganpenggunaan biopestisida untuk pengendalian hama danpenyakit tanaman.

BIOPESTISIDA

Dalam pertanian modern, hama dan penyakit tanamanharus dikendalikan secara terpadu. Biopestisidamerupakan salah satu komponen dalam pengelolaanhama dan penyakit. Biopestisida didefinisikan sebagaibahan yang berasal dari mahluk hidup (tanaman, hewanatau mikroorganisme) yang berkhasiat menghambatpertumbuhan dan perkembangan atau mematikan hamaatau organisme penyebab penyakit. Schumann andD’Arcy (2012) mendefinisikan biopestisida sebagaisenyawa organik dan mikrobia antagonis yangmenghambat atau membunuh hama dan penyakittanaman. Biopestisida memiliki senyawa organik yangmudah terdegradasi di alam. Namun di Indonesia jarangdijumpai tanaman yang berkhasiat menghambat ataumematikan hama dan penyakit tanaman. Penggunaanbiopestisida kurang disukai petani karena efektivitasnyarelatif tidak secepat pestisida kimia. Biopestisida cocokuntuk pencegahan sebelum terjadi serangan hama danpenyakit (preventif bukan kuratif) pada tanaman.

Beberapa tanaman mengandung senyawa tertentuyang dapat dimanfaatkan sebagai antimikrobia, seperticengkeh, mimba, lengkuas, bawang merah, dan lerak.Beberapa mikroba diketahui berperan antagonistikterhadap patogen seperti Trichoderma spp.,Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus spp. Efektivitasdari masing-masing bahan nabati dan hayati sebagaibiopestisida bergantung kepada jenis penyakit sasarandan faktor lingkungan.

EFEKTIVITAS BIOPESTISIDA NABATI

Penelitian bahan nabati di Indonesia dipelopori oleh BalaiPeneltian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor. Padatahun 1992, para peneliti menemukan bahwa minyakcengkeh dapat menekan perkembangan patogen terbawatanah, antara lain Fusarium oxysporum, dan Rhizoctoniasolani (Tombe et al. 1992). Tepung dan minyak bungacengkeh dapat menghambat pertumbuhan cendawanPhytophtora capsici, P. palmivora, P. lignosus, danSclerotium rolfsii (Manohara et al. 1993). Efektivitasbiopestisida bervariasi, bergantung pada jenis dan dosis.Penggunaan biopestisida diharapkan mempunyaiefektivitas lebih dari 50%.

Di India, dari 25 jenis tanaman yang berkhasiatsebagai anticendawan, delapan di antaranya efektif

Page 69: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Sumartini: Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Aneka Kacang dan Umbi

161

menekan pertumbuhan cendawan Aspergillus spesies A.candidus, A. columnaris, A. flavipes, A. flavus, A.fumigatus, A. niger, A. ochraceus, and A. tamarii . Delapanjenis tanaman tersebut adalah Acacia nilotica, Achraszapota, Datura stramonium, Emblica officinalis,Eucalyptus globules, Lawsonia inermis, Mimusops elengi,Peltophorum pterocarpum, Polyalthia longifolia, Prosopisjuliflora, Punica granatum, dan Sygigium cumini.Dilaporkan pula bahwa A. flavus sangat peka terhadappelarut ekstrak. Di antara pelarut yang digunakan, metanollebih efektif sebagai pelarut bahan nabati daripada etanol,petrolium eter, benzene, dan kloroform (Satish et al. 2007).

Biji tanaman lerak banyak digunakan sebagai bahanpencuci pakaian (pakaian baju batik), peralatan dapur,dan hewan peliharaan. Senyawa aktif ini juga berpotensidigunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahanaktif lerak yaitu senyawa saponin, alkaloid, ateroid, dantriperten masing-masing 12%, 1%, 0,036%, dan 0,029%(Tommy 2009). Ekstrak buah lerak juga berfungsi sebagaisurfaktan nabati dan perekat (Chandra et al. 2012).

Menurut Sumartini (2014a), campuran minyakcengkeh dan ekstrak biji mimba dengan perbandingan60% dan 40% dapat menekan intensitas penyakit karatpada kedelai hingga 45%, polong isi meningkat 37%, danmencegah kehilangan hasil 20%. Campuran minyakcengkeh, ekstrak biji mimba, dan lerak (10%) denganperbandingan 50:30:20 hanya mampu menekan intensitaspenyakit karat hingga 24% dan menekan kehilangan hasilhingga 12%.

Ekstrak biji mimba selain digunakan untuk membunuhserangga hama juga sering digunakan sebagaipenghambat perkembangan penyakit tanaman, sepertipada sesame untuk menghambat perkembangan penyakitpascapanen yang disebabkan oleh cendawan Moniliafructicola, Penicillium expansum, Trichothesium roseum,Alternaria alternate (Wang et al. 2010). Ekstrak biji mimbajuga dapat menghambat perkembangan cendawanAspergillus flavus penghasil aflatoksin (Krishnamurthy and

Shashikala 2006). Biji kacang tanah dapat terinfeksi olehAspergillus niger (Porter et al. 1984). Menurut Erturk(2006), A. niger merupakan cendawan terbawa benih,pertumbuhan dan perkembangannya dapat dihambat olehektrak Lauros nobilis, Dianthus cariophillum, Juniperusoxycedrus, dan Coluten arborescens.

Daun padi dapat terinfeksi oleh cendawan Alternaria(Dellavella et al. 2011). Pertumbuhan dan perkembangancendawan tersebut dapat dihambat dengan ekstrak Salviaclarea, Salvia officinalis, dan Rosmerin officinalis. PadaTabel 1 disajikan tanaman, senyawa aktif, patogen targetdan efektivitasnya sebagai pestisida nabati.

EFEKTIVITAS BIOPESTISIDA HAYATI

Pengendalian penyakit dengan cendawan antagonissudah lama diketahui. Elad et al. (1980) melaporkanbahwa Trichoderma harzianum efektif menekanpertumbuhan cendawan penyebab layu pada medium,rumah kaca, maupun lapangan (Sclerotium rolfsii danRhizoctonia solani) pada buncis, tomat, dan kapas. Yantiet al. (2013) mendapatkan dua isolat bakteri rizobakteridari perakaran kedelai (P12Rz2.1 dan P14Rz1.1) danmerupakan isolat terbaik dalam meningkatkanpertumbuhan dan hasil kedelai dengan efektivitas 20,62%dan 20,47%. Enam isolat bakteri endofit menunjukkanpenghambatan pertumbuhan Sclerotium sp. in vitro. Duaisolat potensial LN1 (Gram positif) dan LN2 (Gram negatif)yang digunakan untuk uji lanjut menunjukkan kemampuanyang lebih besar dalam menurunkan rebah kecambah.Kedua isolat tersebut mampu menekan perkembanganserangan Sclerotium sp., dan meningkatkan tinggi, jumlahdaun, dan bobot kering kecambah.

Perlakuan benih kedelai dengan Pseudomonasfluorocenst dapat menurunkan populasi patogen terbawatanah (Bacillus japonicum dan Pseudomonassolanacearum) dan meningkatkan hasil panen dan setara

Tabel 1. Tanaman, bahan aktif, patogen target dan efektivitas penghambatannya terhadap hama dan patogen tanaman aneka kacang danumbi.

Nama pestisida nabati Senyawa aktif Nama patogen/hama Tanaman inang Penghambatan (%)

Cengkeh (Syzygium aromaticum) Eugenol Phakopsora pachyrhizi Kedelai 60 (Sumartini 2010)Mimba (Azadirachta indica) Azadirachtin, salamin, Erysiphe polygoni Kacang hijau 70 (Sumartini 2011)

miliantriolLengkuas (Alpinia galanga) Sineol, pipena, kamfor, Cercospora canescens Kacang hijau 60 (Sumartini 2012)

metil sinamatBawang merah (Allium cepa) Dialil disulfida, alil sistein, Sphaceloma batatas Ubi jalar 80 (Sumartini 2014b)

metil sisteinBiji mimba+biji srikaya Riptortus linearis Kedelai 40 (Wahyuni 2011)(Azadirachta indica + Annonaindica)

Page 70: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

162

menginformasikan sifat sinergisme produk yangdibuatnya. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasandan penyuluhan penggunaan pestisida kepada pengguna.Penggunaan biopestisida prospektif namun sampai saatini masih jalan di tempat karena beberapa faktor belumdilakukan sebagaimana semestinya. Pada Tabel 2dikemukakan contoh pengendalian hama dan penyakitmenggunakan musuh alami.

Cara kerja beberapa macam insektisida dalammenghambat atau mematikan hama adalah sebagaiberikut: (1) merusak perkembangan telur, larva, dan pupadari serangga hama; (2) menggganggu komunikasiserangga hama; (3) menyebabkan serangga hamamenolak makan; (4) menghambat reproduksi seranggahama betina; (5) mengurangi nafsu makan serangga hama;(6) memblokir kemampuan makan serangga hama; dan(7) mengusir serangga hama (Anonim 2015). Cara kerjafungisida nabati adalah menghancurkan (melisis) dindingsel patogen. Cara kerja fungisida hayati adalah sebagaiberikut: (1) kompetisi: patogen tidak mendapatkanruangan atau makanan; (2) antibiosis: mikroorganismeantagonis mengeluarkan senyawa yang berfungsimenghambat pertumbuhan atau perkembangan patogen;dan (3) hiperparasit: mikroorganisme antagonis menghisapsenyawa yang ada di dalam patogen.

BIOPESTISIDA YANG SUDAHDIGUNAKAN PETANI

Petani di Indonesia sebenarnya sudah sejak lamamenggunakan biopestisida, sebelum mengenal pestisidasintetik. Namun keterbatasan publikasi maka laporantentang hal tersebut tidak diketahui. Akhir-akhir ini banyakdipraktekkan pertanian organik oleh beberapa kelompoktani di Indonesia, biopestisida termasuk di dalamnya.Pertanian organik umumnya menggunakan pupuk komposatau humus dan pestisida nabati atau hayati.

dengan perlakuan fungisida berbahan aktif carboxin(Mishra et al. 2014).

Hasil penelitian menunjukkan cendawan B. bassianabersifat ovisidal karena toksik dan mampu menginfeksitelur kepik hijau, baik telur yang baru diletakkan maupuntelur berumur enam hari. Akibat infeksi tersebut, telur yangtidak menetas mencapai 96%. Semakin muda umur telurkepik hijau, semakin rentan terhadap B. bassiana. Telurkepik hijau yang terinfeksi B. bassiana menjadi terlambatmenetas selama tiga hari. Cendawan B. bassiana jugatoksik terhadap semua stadia nimfa kepik hijau, terutamanimfa I dan II dengan mortalitas 69-96%. Nimfa III, IV, Vdan imago kepik hijau lebih toleran terhadap B. bassianadibandingkan dengan nimfa I dan II. Untuk menekanperkembangan populasi kepik hijau dianjurkanmengaplikasikan cendawan B. bassiana pada stadia teluratau nimfa stadia awal (Prayogo 2013).

Biopestisida hayati dan nabati ternyata mampubersinergi. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Prayoga(2011), bahwa kombinasi insektisida nabati serbuk daunpacar cina (Aglaia odorata), serbuk biji srikaya (Annonasquamosa), dan serbuk biji jarak (Jatropha curcas) dengancendawan entomopatogen Lecanicillium lecaniimeningkatkan efikasi pengendalian telur kepik cokelatdibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Insektisidaserbuk biji srikaya (Annona squamosa) maupun serbukbiji jarak (Jatropha curcas) yang dikombinasikan denganL. lecanii lebih sinergis dibandingkan dengan kombinasiinsektisida serbuk daun Aglaia dengan L. lecanii dalammengendalikan telur kepik cokelat. Dosis insektisidanabati 50 g/l lebih tepat dikombinasikan dengan L. lecaniiuntuk mengendalikan telur kepik cokelat.

Supriadi (2013) telah mereview dan berkesimpulanbahwa hasil-hasil penelitian kompatibilitas beragam jenispestisida (nabati, hayati, dan sintetis) menunjukkanpotensi yang cukup baik untuk mengoptimalkanpenggunaannya sekaligus meminimalkan penggunaanpestisida sintetis. Perusahaan pestisida diharapkan dapat

Tabel 2. Nama agen pengendali, nama target hama/penyakit, dan nama patogen sasaran.

Agen pengendali Target hama/penyakit Nama ilmiah Tanaman inang Sumber

Pseudomonas fluorescens Busuk akar dan batang Sclerotium rolfsii kacang tanah Ganesan danGnanamanickam 1987

Simplicillium lanosoniveum Karat daun Phakopsora pachyrhizi kedelai Ward et al. 2012

Trichoderma harzianum Layu Sclerotium rolfsii, kedelai Elad et al. 1980.R. solani

Lecanicillium lecanii Kepik cokelat Riptortus linearis kedelai Prayogo 2011

Beauveria brassiana Kepik hijau Nezara viridula kedelai Prayogo 2013

NPV Ulat grayak Spodoptera exigua Kedelai Khatab 2013

Page 71: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Sumartini: Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Aneka Kacang dan Umbi

163

Dalam pengendalian hama atau penyakit denganpestisida nabati, petani biasanya mencampurkanbeberapa ekstrak tanaman yang bermanfaat menghambatperkembangan atau mematikan hama atau penyakit,umumnya tidak diketahui efektivitasnya, dan jarang sekalidigunakan secara tunggal, misalnya ekstrak biji srikayasaja. Petani bisa mencampur 3-4 macam bahan nabati,bahkan sampai enam macam. Hal ini mungkindimaksudkan supaya dapat mematikan atau menghambatberbagai macam hama atau penyakit sekaligus. Selainitu, cara ini mungkin disebabkan oleh keterbatasanpengetahuan petani tentang efektivitas masing-masingekstrak nabati. Pengendalian hama atau penyakit secarahayati jarang digunakan petani, sehingga tidak diketahuiefektivitasnya. Hanya kelompok-kelompok tertentu yangmempunyai isolat murninya, kemudian diperbanyaksendiri oleh petani, dalam hal ini rentan kontaminasi,sehingga efektivitasnya diragukan.

Ketersediaan biopestisida di pasaran (toko pertanian)lebih terbatas, dibandingkan dengan pestisida sintetik.Hal ini berkaitan dengan beberapa kelemahanbiopestisida, antara lain memerlukan ruangan yang relatiflebih besar dan tidak tahan disimpan lama. Petani diIndonesia umumnya membuat pestisida nabati sendiri,tidak membeli di toko pertanian, dan bahan-bahan yangdigunakan tersedia di lingkungan sekitarnya. Pestisidahayati diperoleh dari institusi pemerintah lingkupKementerian Pertanian (Dinas Pertanian Kabupaten, BalaiProteksi Tanaman) dalam bentuk larutan siap semprot,atau masih perlu pengenceran.

KENDALA, KEUNTUNGAN, DAN PELUANGPENGGUNAAN BIOPESTISIDA

Biopestisida berbentuk ekstrak dari bagian tanaman,bukan sintesis senyawa aktifnya sehingga membutuhkanvolume yang besar sehingga kurang praktis dalamtransportasi. Efektivitas biofungisida tidak bisa sama denganfungisida kimia. Keuntungan penggunaan biopestisidaadalah ramah lingkungan karena senyawa-senyawa yangterkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumannand D’Arcy 2012). Biopestisida tidak menimbulkanresistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan ras-ras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racunpada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatanpengguna (petani) dan konsumen.

Biopestisida berpeluang dikembangkan di Indonesiakarena terdapat beragam tanaman dan mikroorganismeyang dapat digunakan sebagai bahan baku. Supayabiopestisida tersedia dari waktu ke waktu makapenanaman tanaman penghasil bahan nabati sampai

menjadi bahan baku harus terus menerus dilakukan, ataupembiakan massal suatu predator, cendawanentomopatogen (B. bassiana, L. lecanii), atau antagonispenyebab penyakit (Trichoderma sp.), terutama di sentraproduksi tanaman pangan. Supaya mudah didapatkanpetani, maka biopestisida harus tersebar hingga ke desadan mendapat pengawasan dari pihak kompeten.

PENGEMBANGAN BIOPESTISIDA DI INDONESIA

Dalam pengembangan bioinsektisida terdapat 10 faktoryang menjadi pertimbangan, yaitu ketersediaan bahanbaku, efektivitas bahan nabati yang memenuhi syaratteknologi aplikasi, industri pestisida nabati, distribusi,transportasi, dan kemasan, sumber daya manusia,kelembagaan, kontribusi dalam PHT, daya saing, sosial,budaya, dan ekonomi. Pengembangan biopestisidahendaknya mengarah pada tiga aspek, yaitu teknologi,kelembagaan, dan agribisnis (Sitepu et al. 1999). Faktorpertama dan kedua sudah banyak diketahui dari hasil-hasil penelitian di dalam negeri. Faktor sumber dayamanusia dapat diatasi dengan melatih petani ataukelompok tani agar mempunyai keterampilanmemperbanyak biopestisida. Faktor kelembagaan harusberasal dari pemerintah. Apabila faktor kelembagaansudah terbangun, maka faktor-faktor lain akanmengikutinya. Pemerintah hendaknya bisa memberiwadah pengembangan bisnis biopestisida bersama-samaprogram lain (seperti program PHT yang sudah berjalan)oleh petani dengan pendampingan.

Penerapan biopestisida di tingkat petani belummeluas seperti yang diharapkan, hanya beberapa petaniyang telah menggunakan. Sebagai contoh, seorangprodusen biopesitida di Kab. Pasuruan, pada awalnyahanya memproduksi predator hama wereng, setelahberlangsung 10 tahun dikembangkan beberapa jenisbiopestisida, dan akhir-akhir ini mengembangkan pupukhayati. Pengalaman ini dapat dikembangkan lebih secaraluas di sentra produksi tanaman pangan di Indonesia.

KESIMPULAN

Biopestisida efektif menekan pertumbuhan danperkembangan hama dan penyakit tanaman, baik ditingkat laboratorium maupun lapangan, namun tidakberdasarkan ambang kendali seperti pestisida anorganik.

Pengembangan biopestisida membutuhkan dukungandari berbagai pihak supaya dapat digunakan danmenguntungkan petani sebagai pengguna serta bebas daripencemaran yang berasal dari pestisda kimiawi.

Page 72: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

164

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Tanjung palas. http://www.tanjungpalas.com/2015/06/makalah-pestisida-nabati-kunyit.html. [27Desember 2015].

Chandra, I.K., Y.H. Ju, A. Ayucitra, and Ismadji. 2012. Evansblue removal waste water by rarasaponin-e.International Journal of Environment Science andTechnology. http://link.springer.com/articel/10.1007/s13762-012-0114-y. [8April 2014].

Dellavella, P.D., A. Crabera, D. Alem, L. Patricia, F. Ferreira,and M.D. Rizza. 2011. Antifungal actifities of medicinalplant extract against Phytopathogenic fungus Alternariaspp. Chilean Journal of Agricultural Research 71(2).

Elad, Y., I. Chet, and J. Katan. 1980. Trichoderma harzianum:A biocontrol agent effective against Sclerotium rolfsiiand Rhizocionia solani. Phytopathology 70:119-121.

Erturk, O. 2006. Antibacterial and antifungal activity ofethanolic extract from eleven spice plants. BiologiaBratislava 61(3):275-278.

Ganesan, P. and S.S. Gnanamanickam. 1987. Biologicalcontrol of Sclerotium rolfsii in peanut by inoculationwith Pseudomonas fluorescens. Soil Biology andBiochemestry 19(1):35-38.

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi.Penebar Swadaya. Jakarta, 80p.

Karyadi, K., S. Syafrudin, dan Danny S. 2011. Akumulasilogam berat timbal (PB) sebagai residu pestisida padalahan pertanian (Studi kasus pada lahan pertanianbawang merah di kecamatan Gemuh Kab. Kendal).Abstrak. Jurnal Ilmu Lingkungan 9(1). Univ.Diponegoro. Semarang.

Krishnamurthy, Y.L. and J. Shashikala. 2006. Inhibition ofaflatoxin B1 production of Aspergillus flavus isolatedfrom soybean seeds by certain natural plant product.J. Applied Microbiology 43:469-474.

Manohara, D., D. Wahyuno, and Sukamto. 1993. Pengaruhtepung dan minyak cengkeh terhadap Phytophtora,Rigidoporus, dan Sclerotium. p.203-207. Dalam:Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam RangkaPemanfaatan Pestisida Nabati.

Mishra, G., N. Kumar, K. Giri, S. Pandey, and R. Kumar. 2014.Effect of fungicides and bioagents number ofmicroorganisms in soil and yield of soybean (Glycinemax). Jurnal Bioscience Nusantara 6(1):45-48.

Porter, D.M., D.H. Smith, and R.R. Kabana. 1984.Compendium of peanut diseases. The AmericanPhytopathological Society. USA. 73p.

Prayogo, Y. 2011. Sinergisme cendawan entomopatogenLecanicium lecanii dengan insektisida nabati untukmeningkatkan efikasi pengendalian telur kepik cokelatRiptortus linearis pada kedelai. Jurnal Hama danPenyakit Tanaman Tropika 11(2):116-117.

Prayogo, Y. 2013. Patogenesitas cendawan entomopatogenBeauveria bassiana (Deuteromycotina,Hyphomycetes) pada berbagai stadi kepik hijau(Nezara viridula L.). Jurnal Hama dan PenyakitTanaman Tropika 13(1):75-86.

Satish, S., D.C. Mohana, M.P. Ranhavendra, and K.A.Raveesha, K.A. 2007. Antifungal activity of some plantextracts against important seed borne pathogens ofAspergillus sp. Journal of Agricultural Technology 3(1):109-119.

Schumann, G.L. and Gleora J.D’ Arcy. 2012. Hungry planet,stories of plantd. The American PhytopathologicalSociety. St Paul, Minnesota, USA. 294 p.

Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit tanaman pangan diIndonesia. Gadjah Mada University Press. 449p.

Sitepu, D., A Kardinan, dan A. Asman. 1999. Hasil penelitian,dan peluang penggunaan pestisida nabati.Pengembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat9(2):25-33.

Sumartini. 2010. Penyakit karat pada kedelai danpengendaliaanya yang ramah lingkungan. JurnalPenelitian dan Pengembangan Pertanian 29(3): 107-112.

Sumartini. 2011. Potensi bahan nabati cengkeh, lengkuasdan mimba untuk pengendalian penyakit pada kedelaidan kacang hijau. Dalam: Tombe, M., I.W. Laba, M. Wilis,R. Balfas, T. Lestari, M., dan Dono W. (Eds.). SeminarNasional Pestisida Nabati IV. p.29-40. Jakarta 15Oktober 2011. Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik. Bogor.

Sumartini. 2012. Efektivitas ekstrak lengkuas untukpengendalian penyakit bercak daun (Cercosporacanescens) pada kacang hijau. Dalam: Suwarto, H.Purwiyatno, dan R. Syaiful (Eds). Prosiding seminarnasional peran pertanian dalam menunjang ketahananpangan dan energi untuk memperkuat ekonominasional berbasis sumber daya lokal. p.161-171.Fakultas Pertanian, Univ. Jenderal Sudirman.Purwokerto.

Sumartini. 2014. Efficacy of onion (Allium cepa) extract as abiofungicide control scab disease (Sphacelomabatatas) of sweet potato. Journal of Biology andAgriculture Scince 2(4):397-402.

Sumartini. 2016. Efikasi campuran minyak cengkeh danekstrak biji mimba untuk pengendalian penyakit karat(Phakopsora pachyrhizi) pada kedelai (Glycine max).Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 16(1):82-89.

Supriadi. 2013. Optimasi pemanfaatan beragam jenispestisida untuk mengendalikan hama dan penyakittanaman. Jurnal Penelitian dan PengembanganPertanian 32(1):1-9.

Tombe, M., K. Kobayashi, Ma’mun, Triantoro, dan Sukamto.1992. Eugenol dan daun cengkeh untuk pengendalianpenyakit tanaman industri. Makalah disampaikan pada

Page 73: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Sumartini: Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Aneka Kacang dan Umbi

165

Seminar Review Hasil penelitian Tanaman Rempahdan Obat. Bogor. 8p.

Tommy. 2009. Lerak/klerak/sapindus rarak, http://sapinduslerak,wordpress,com [12 April 2012].

Wang, J., J. Li, J. Cao, and W. Jiang. 2010. Antifungal activitiesof neem (Azadirachta indica) seed kernel extract onpostharvest diseases in fruit. African Journal ofMicrobiology Research 4(11): 1100-1114.

Ward, N.A., C.L. Robertson, A.K. Chanda, and R.W.Schneider. 2012. Effect of Simplicillium lanosovineumon Phakopsora pachyrhizi, the soybean rust pathogen,and its use as biological control agent. PhytopathologyJournal 102: 749-760.

Yanti, Y., H. Trimurti, Z. Resti, dan S. Dewi. 2013. Penapisanisolat rizobakter dari perakaran tanaman kedelai yangsehat untuk pegendalian penyakit pustul bakteri(Xanthomonas axenopodis pv. glycines). Jurnal Hamadan Penyakit Tropika 13(1): 24-34.

Page 74: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

166

Page 75: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Setyorini dan Yusnawan: Kandungan Metabolit Sekunder pada Aneka Kacang

167

Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder TanamanAneka Kacang sebagai Respon Cekaman Biotik

The Increase of Secondary Metabolite in Legumesas a Response of Biotic Stress

Sulistiyo Dwi Setyorini* dan Eriyanto Yusnawan

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJalan Raya Kendalpayak KM-8 Malang, Jawa Timur, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 30 November 2016, dan disetujui diterbitkan 5 Desember 2016

ABSTRACT

Secondary metabolites are not considered as essential compounds for plant growth. The increase ofsecondary metabolites produced by plants is only expressed in certain situations. These compounds areunique and different for each species. Various types of plants, including legume crops are able to producesecondary metabolites in certain situations. Plants produce secondary metabolites as a defense mechanismto stresses, both biotic and abiotic stresses. Biotic stresses that occur on plants can be caused by pests,diseases or weeds. For human, secondary metabolites can be toxic or beneficial compounds depending onthe type of compound formed. Secondary metabolites have been used as a medicine, pesticide and becomematerials for cosmetic production. Legumes can produce secondary metabolite compounds that act asantioxidant for human, so it is necessary to improve these expression. One of the efforts is the use of elicitors.The combination of the elicitors and time of application can be used to improve the production of plantsecondary metabolites.

Keywords: Biotic stress, elicitor, legumes, secondary metabolite.

ABSTRAK

Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa tidak esensial bagi pertumbuhan tanaman. Senyawametabolit sekunder dihasilkan dalam jumlah berlebih oleh tanaman pada keadaan tertentu. Senyawa iniunik dan berbeda pada setiap spesies. Berbagai jenis tanaman mampu menghasilkan senyawa metabolitsekunder pada keadaan tertentu, termasuk tanaman aneka kacang. Tanaman menghasilkan senyawametabolit sekunder sebagai mekanisme pertahanan dari cekaman, biotik maupun abiotik. Cekaman biotikpada tanaman disebabkan oleh hama, penyakit, dan gulma. Bagi manusia, senyawa metabolit sekunderdapat bersifat racun atau zat yang menguntungkan, bergantung pada jenis senyawa yang terbentuk. Senyawametabolit sekunder yang bermanfaat telah digunakan sebagai obat, pestisida, dan bahan baku kosmetik.Tanaman aneka kacang mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang bersifat antioksidanbagi manusia, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan ekspresi tersebut. Salah satunya adalahdengan menambahkan elisitor. Kombinasi jenis dan waktu pemberian elisitor dapat meningkatkan metabolitsekunder.

Kata kunci: Metabolit sekunder, aneka kacang, cekaman, biotik.

Page 76: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

168

PENDAHULUAN

Tanaman memiliki dua jenis senyawa metabolit, yaitumetabolit primer dan sekunder. Metabolit primer digunakantanaman untuk pertumbuhan, sedangkan metabolitsekunder tidak berperan secara langsung untukpertumbuhan tanaman. Metabolit sekunder diproduksitanaman dalam jumlah tertentu pada kondisi tercekam.Contoh metabolit sekunder di antaranya adalah antibiotik,pigmen, toksin, efektor kompetisi ekologi dan simbiosis,feromon, inhibitor enzim, agen immunomodulasi, reseptorantagonis dan agonis, pestisida, agen antitumor, danpromotor pertumbuhan hewan dan tumbuhan (Nofiani 2008).

Setiap jenis senyawa metabolit sekunder memilikifungsi yang berbeda. Senyawa ini tidak berperan pentinguntuk kelangsungan hidup tanaman, tetapi memberibeberapa keuntungan. Metabolit sekunder berfungsisebagai mekanisme pertahanan tanaman, baik daricekaman biotik maupun abiotik. Selain sebagaimekanisme pertahanan, senyawa ini juga berfungsisebagai atraktan. Senyawa metabolit sekunder tertentudapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai antioksidanatau bahan baku obat.

Produksi metabolit sekunder dipicu oleh cekamanpada tanaman (Einhellig 1996). Peningkatan radiasi dansuhu udara yang rendah mempengaruhi metabolitsekunder (Korner 1999 dalam Christian 2010, Bilger etal. 2007). Cekaman biotik juga berperan dalam aktivitasmetabolisme tanaman.

Senyawa metabolit sekunder dapat dihasilkan olehberbagai jenis tanaman, termasuk aneka kacang. Kedelai,kacang hijau, kacang tanah, dan kacang potensial lainseperti kacang tunggak dan gude telah teridentifikasimemiliki kandungan fenolik antioksidan (Dewi 2010,Ginting et al. 2009, Kim et al. 2013, Sobolev 2006).Tanaman aneka kacang memiliki peran penting sebagaisumber pangan. Dengan adanya kandungan antioksidan,tanaman aneka kacang menjadi sumber panganfungsional yang potensial untuk dikembangkan. Makalahini mengulas tentang manfaat metabolit sekunder bagitanaman maupun manusia, pengaruh cekaman biotikterhadap produksi metabolit sekunder sertapengembangannya pada tanaman aneka kacang.

METABOLIT SEKUNDER PADATANAMAN

Tanaman menghasilkan beragam senyawa organik,sebagian besar tidak berperan secara langsung terhadappertumbuhan dan perkembangan tanaman. Metabolitdiklasifikasikan menjadi dua, yaitu metabolit primer danmetabolit sekunder. Metabolit primer yang dibentuk dalam

jumlah terbatas merupakan faktor penting untukpertumbuhan dan kehidupan mahluk hidup. Metabolitsekunder tidak digunakan tanaman untuk pertumbuhandan diproduksi lebih banyak pada saat tanaman dalamkondisi stres (Nofiani 2008). Senyawa ini diproduksisecara terbatas pada kelompok taksonomi tertentu(Croteau et al. 2000).

Tanaman berevolusi dengan berbagai cara untuk dapatbertahan hidup dari berbagai cekaman, salah satunyadengan memproduksi senyawa metabolit sekunder yangbersifat racun. Metabolit beracun umumnya terakumulasidalam vakuola, rongga ekstraseluler trikoma, ataudisekresikan ekstra sel. Glikosilasi merupakan modifikasipenting yang terjadi pada berbagai senyawa metabolitsekunder. Berdasarkan asal biosintesisnya, produkmetabolit alami tanaman dapat dibagi menjadi tigakelompok utama, yaitu terpenoid, alkaloid, danfenilpropanoid serta kelompok senyawa fenolikantioksidan (Croteau et al. 2000).

Terdapat dua kelompok sumber antioksidan, yaituantioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasilsintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidanhasil ekstraksi bahan alami atau yang terkandung dalambahan alami). Antioksidan alami berasal dari senyawafenolik seperti golongan flavonoid. Flavonoid adalahgolongan metabolit sekunder yang dihasilkan olehtanaman (Saija et al. 1995). Senyawa ini dapat menjadiracun bagi organisme lain, yang bekerja denganmengganggu fungsi protein sel. Beberapa metabolitberinteraksi dengan molekul yang memiliki fungsi selulermendasar, seperti DNA dan protein yang terlibat dalampembelahan sel (Sirikantaramas et al. 2008). Nofiani(2008) menyebutkan bahwa pembentukan metabolitsekunder diatur oleh nutrisi, penurunan kecepatanpertumbuhan, feedback control, inaktivasi enzim, daninduksi enzim.

METABOLIT SEKUNDER PADATANAMAN ANEKA KACANG

Seiring dengan perkembangan jaman, kedelai dewasaini tidak hanya digunakan sebagai sumber protein, tetapijuga berperan sebagai pangan fungsional yang dapatmencegah penyakit degenerative, seperti penuaan dini,jantung koroner, dan hipertensi. Beragamnya penggunaankedelai menjadi pemicu peningkatan konsumsi komoditasini (Ginting et al. 2009). Beberapa antikarsinogen padakedelai, termasuk asam fenolat, flavonoid, danisoflavonoid, juga telah diidentifikasi (Taie 2008, Xu andChang 2008). Salah satu senyawa bioaktif utama yangterdapat pada kedelai dan bersifat sebagai antioksidanadalah isoflavon (Saija et al. 1995).

Page 77: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Setyorini dan Yusnawan: Kandungan Metabolit Sekunder pada Aneka Kacang

169

Hasil penelitian Kim et al. (2013) menyebutkan bahwa30 jenis senyawa fenolik, termasuk 11 flavonoid, 16 asamfenolik, pirogalol, resveratrol dan vanili, terdeteksi dalamsampel kacang hijau, di antaranya asam caffeic, asamgalat, hesperetin, asam homogentisat, dan kadar asamm-coumaric. Tiga genotipe kacang tanah yang berbedamenghasilkan fitoaleksin stilbene dan asam fenolat yangsama. Hal yang paling menarik dalam penelitian ini adalahgetah kacang tanah menghasilkan konsentrasi stilbenoidyang sangat tinggi (Sobolev 2006).

Senyawa metabolit sekunder juga ditemukan padaberbagai jenis kacang lain. Kacang tunggak dan kacanggude juga memiliki kandungan fenolik dan antioksidan,meskipun tidak setara dengan kedelai (Dewi 2010,Yulistian et al. 2015). Kacang tunggak mengandungsejumlah senyawa dari golongan fenolik (asam galat, asamferulat, dan asam p-kumarat) serta flavonoid dari kelasflavonol (kuersetin dan mirsetin) dan antosianidin (sianidindan delfinidin) yang dapat dimanfaatkan sebagaiantioksidan untuk menangkal radikal bebas (Ningsih2007). Kandungan fenolat dan tanin juga ditemukan padabiji Cicer arietinum (kacang arab) dan Pisum sativum (kapri)(Nithiyanantham 2012).

MEKANISME PRODUKSI METABOLITSEKUNDER

Metabolit sekunder hanya dijumpai pada satu spesiesatau sekelompok spesies tertentu, sedangkan metabolitprimer (asam amino, nukelotida, gula, lipid) dijumpaihampir pada semua tumbuhan. Metabolit sekundermerupakan hasil samping atau hasil antara darimetabolisme primer. Secara umum metabolit sekunderterbagi dalam tiga kelompok, yaitu terpen, senyawa fenolikdan produk sekunder yang mengandung nitrogen (Gambar1) (Taiz and Zeiger 2002). Pengelompokan tersebutberdasarkan jalur pembentukan masing-masing senyawa.

Mariska (2013) menyebutkan produksi metabolitsekunder berbeda dengan metabolit primer. Produksisenyawa metabolit sekunder terjadi melalui jalur di luarbiosintesis karbohidrat dan protein. Terdapat tiga jalurutama dalam proses pembentukan metabolit sekunder,yaitu jalur asam malonat, asam mevalonat, dan asamshikimat.

Senyawa metabolit sekunder dari golongan fenolikdiperoleh dari phenylalanin melalui eliminasi molekulammonia dari asam sinamat. Reaksi ini dikatalis olehphenylalanine ammonia lyase (PAL), enzim yang palingbanyak diteliti pada metabolit sekunder tumbuhan.Phenylalanin berada pada titik percabangan antarametabolisme primer dan sekunder, sehingga reaksi inimerupakan tahap penting pada pembentukan banyaksenyawa fenolik (Lincoln and Eduardo 2002).

Biosintesis terpen dapat terjadi melalui dua jalur, yaitulintasan asam mevalonat dan jalur methylerythritolphosphate (MEP) (Lincoln and Eduardo 2002). Biosintesisterpenoid pada tumbuhan melalui jalur deoksiselulosa.Jalur biosintesis terpenoid diawali dengan pembentukanisopentenil piropospat (IPP) atau diametilalil piropospat(DMAPP), yaitu isopren yang mengikat dua buah fosfatlalu bergabung menjadi satu dengan yang lain dari ujunghingga pangkal membentuk monoterpen, seskuiterpen,diterpen, triterpen dan seterusnya.

Isoprene merupakan unit pembangun terpenoid, namunbukan sebagai material paling awal. Isoprene harusmengikat fosfat karena meskipun DMAPP dan IPPmemiliki ikatan ganda, elektron tidak terlalu aktif untukdapat bereaksi dengan molekul sejenis (Saifudin 2014).

Gambar 1. Jalur utama biosintesis metabolit sekunder danhubungannya dengan metabolisme primer.Sumber: Lincoln dan Zeiger (2002)

Tabel 1. Jalur pembentukan metabolit sekunder dan jenis senyawayang dihasilkan.

Jalur pembentukan Senyawa metabolit sekunder yangmetabolit sekunder dihasilkan

Jalur asam malonat Asam lemak (laurat, miristat, palmitat,stearat, oleat, linoleat, linolenic),gliserida, poliasetilen, fosfolipida, danglikolipida

Jalur asam mevalonat Essential oil, squalent, monoterpenoid,Menthol, korosinoid, streoid, terpenoid,sapogenin, geraniol, ABA, dan ga3

Jalur asam sikhimat Asam sinamat, fenol asam benzoic,lignin, koumarin, tanin, asam aminobenzoic dan quinon

Sumber: Mariska (2013)

Page 78: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

170

Tanaman yang mampu menghasilkan senyawametabolit sekunder berpotensi dijadikan sebagai sumbergen tahan terhadap hama atau penyakit tertentu, sertaberpeluang dikembangkan sebagai biopestisida (Croteauet al. 2000, Leiss et al. 2011). Ekstrak fenolik dari tanamantahan menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhanpada Sclerotinia ascospores yang lebih kuat daripadatanaman rentan (Prats et al. 2003). Kadar tanin yang tinggipada kedelai varietas Mutiara menyebabkan tanaman lebihtahan terhadap serangan lalat bibit Ophiomyia phaseoli(Muliani 2013).

Penelitian Rubiyo dan Amariya (2013) menyebutkanbahwa kakao klon tahan mempunyai kandungan senyawafenolat yang lebih tinggi daripada klon moderat dan rentanpascainfeksi. Namun, Lygin et al. (2009) tidakmenemukan peran yang signifikan dari kuersetin dankamferol sebagai senyawa yang melindungi tanamankedelai dari penyakit karat. Hal ini dapat dilihat darikenaikan senyawa ini tidak berkorelasi dengan ketahanankarat. Meskipun demikian, secara umum senyawametabolit sekunder bermanfaat bagi tanaman, namunmanfaat tersebut bergantung pada jenis bahan aktifnya.

Manfaat Metabolit Sekunder bagi Manusia

Selain memberikan manfaat bagi tanaman, senyawametabolit sekunder tertentu juga dapat bermanfaat bagimanusia. Pemanfaatannya berbeda-beda, bergantungpada jenis senyawa yang ada. Fenilpropanoid yangdikandung beberapa tanaman memberikan aroma danrasa, sehingga dapat digunakan dalam industri makanandan minuman. Sebagai contoh adalah senyawa capsaicindalam paprika merah, piperinoids pada lada hitam,sinamat pada kayu manis, dan gingerol pada jahe (Croteauet al. 2000).

Beberapa jenis matabolit sekunder bersifat antikankerseperti camptothecin, paclitaxel, vinkristin, danpodophyllotoxin (Sirikantaramas et al. 2008). Metabolitsekunder juga bersifat anti-inflamasi dan antimikroba(Epifano 2007). Vinblastin dan vincristine yang diproduksidari bunga tapak dara (Catharanthus roseus) merupakanalkaloid untuk obat leukemia (Mariska 2013).

Flavonoid yang mengandung gugus flavon, flavanon,katekin, dan antosianin dalam struktur molekulnyamempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Flavonoidberfungsi meredam radikal bebas seperti superoksidayang dihasilkan dari reaksi enzim xantin oksidase.Isoflavon berperan sebagai antioksidan primer. Selainbekerja sebagai antioksidan, flavonoid juga dapat berfungsisebagai antiaterosklerosis, antitrombogenik, anti-inflamasi, antitumor, antivirus dan antiosteoporosis(Simanjuntak 2012).

Salah satu contoh senyawa turunan dari golongan terpenadalah senyawa azadirachtin, yang sering dimanfaatkansebagai biopestisida. Meskipun biosintesis azadirachtinbelum dapat ditentukan secara lengkap dan pasti, tetapisecara umum biosintesisnya dapat ditelusuri pada prosespembentukan triterpenoid melalui lintasan asetat mevalonatdengan prekursor utama berupa skualen (Samsudin 2011).

MANFAAT METABOLIT SEKUNDER

Manfaat Metabolit Sekunder bagi Tanaman

Fungsi senyawa metabolit sekunder banyak yang belumdiketahui. (Croteau et al. 2000). Mariska (2013)menyebutkan bahwa senyawa metabolit sekunder padatanaman memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagaiatraktan (menarik serangga penyerbuk), melindungi daristress lingkungan, pelindung dari serangan hama/penyakit(fitoaleksin), pelindung dari sinar ultra violet, sebagai zatpengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanamanlain (alelopati). Metabolit sekunder terutama berfungsiuntuk ketahanan terhadap predator dan patogen (Croteauet al. 2000, Leiss et al. 2011).

Tanaman memiliki mekanisme yang berbeda untukmenghilangkan atau memodifikasi senyawa beracun, diantaranya: ekskresi senyawa beracun ke bagianekstraseluler, mengisolasi senyawa beracun ke vakuola,biosintesis senyawa beracun dalam bagian ekstraselulerdan modifikasi senyawa beracun ke dalam bentuk tidakaktif (Sirikantaramas et al. 2008).

Senyawa alkaloid berfungsi melindungi tanaman dariberbagai hewan herbivora. Tanin, lignin, flavonoid, danbeberapa senyawa fenolik sederhana juga berfungsisebagai pertahanan terhadap herbivora dan patogen.Selain itu, lignin berfungsi memperkuat dinding selmekanis, dan banyak pigmen flavonoid yang berperansebagai penarik bagi penyerbuk dan penyebar biji.Beberapa senyawa fenolik memiliki aktivitas alelopati dandapat mempengaruhi serta merugikan tanaman yangtumbuh berdampingan (Croteau et al. 2000, Junaedi etal. 2006, Mariska 2013).Metabolit primer tertentu jugamemiliki peran dalam alelopati, seperti asam palmitat danstearat, tetapi umumnya senyawa alelopati termasuk kedalam golongan metabolit sekunder.

Ada beberapa hipotesis tentang fungsi metabolitsekunder bagi penghasil metabolit sekunder, misalnyadalam mempertahankan hidup dari infeksi bakteri, fungi,insekta, dan hewan melalui produksi antibiotik(Gudbjarnason 1999). Metabolit sekunder juga berperandalam memperbaiki kehidupan mikroba penghasilmetabolit pada saat berkompetisi dengan spesies lain(Tabarez 2005).

Page 79: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Setyorini dan Yusnawan: Kandungan Metabolit Sekunder pada Aneka Kacang

171

CEKAMAN BIOTIK PADA TANAMAN

Umumnya cekaman biotik maupun abiotik pada tanamancenderung meningkatkan produksi senyawa metabolitsekunder (Einhellig 1996). Ketersediaan nutrisi yangterbatas pada mikroba laut menyebabkan penggunaankarbon dalam metabolisme selular tidak digunakan untukpertumbuhan sel, melainkan untuk produksi metabolitsekunder (Nofiani 2008). Biosintesis metabolit sekunderseperti antibiotik juga dipengaruhi oleh ketersediaan fosfat(Martin 2004).

Pada saat tanaman berinteraksi dengan patogen,hama atau cekaman biotik dan abiotik, tanaman akanmengaktifkan berbagai mekanisme pertahanan, termasukinduksi biosintesis metabolit sekunder. Salah satunyaadalah pembentukan fitoaleksin sebagai responhipersensitif dan penebalan lignin yang terbentuk padadinding sel sebagai pertahanan mekanik (Vasconsueloand Baoland 2007, Namdeo 2007). Flavonoid salahsatunya berfungsi melindungi tanaman dari berbagaicekaman biotik maupun abiotik (Pourcel et al. 2007).Senyawa lain yang dihasilkan akibat adanya cekamanbiotik dan abiotk adalah asam absisat (Atkinson andUrwin 2012), dan etilen (Dreher and Callis 2007), dan asamjasmonat pada tumbuhan tingkat tinggi (Creelman andMullet 1995).

Infeksi patogen dapat memicu produksi metabolitsekunder. Induksi mekanisme ketahanan tanaman olehstrain Trichoderma yang berbeda terbukti mampumeningkatkan produksi metabolit sekunder dalamkaitannya dengan pertahanan kimiawi pada tanaman,seperti pengaktifan pembentukan enzim yang terlibatbiosintesis fitoaleksin atau dalam respon terhadapcekaman oksidatif (Harman 2000, Vinale et al. 2008,Yedidia 2003).

Peningkatan metabolit sekunder tanaman juga terjadikarena infeksi Phakopsora pachyrhizi. Hasil penelitianLygin et al. (2009) menunjukkan terjadi akumulasipeningkatan isoflavonoid genistein dan daidzein di hampirsemua daun kedelai setelah terinfeksi P. pachyrhizi(Gambar 2 dan 3). Hal ini membuktikan patogen tanamanmampu memacu peningkatan pembentukan metabolitsekunder.

PENINGKATAN SENYAWA METABOLITSEKUNDER DENGAN ELISITOR

Elisitor adalah senyawa yang mampu menginduksipembentukan senyawa tertentu sebagai responpertahanan tanaman (Angelova et al. 2006). Elisitor jugadidefinisikan sebagai zat yang ketika diintroduksikandalam konsentrasi kecil pada sistem sel hidup, dapat

meningkatkan biosintesis senyawa tertentu (Radman2003). Elisitor dapat dianggap sebagai molekul yangmengaktifkan sinyal transduksi dan menyebabkan aktivasidan ekspresi gen yang terkait dengan biosintesis senyawametabolit sekunder (Zhao et al. 2005).

Elisitor dapat memicu respon fisiologis, morfologis,dan akumulasi fitoaleksin (Namdeo 2007). Elisitor jugadapat merangsang sistem pertahanan antioksidan seltumbuhan (De Gara et al. 2003). Elisitor dapat digunakanuntuk meningkatkan sintesis matabolit sekunder tanaman(Angelova et al. 2006, Yu et al. 2002). Elisitasipembentukan metabolit sekunder pada kultur jaringantanaman dapat dilakukan dengan menggunakan molekulbiotik atau abiotik. Ion logam dan senyawa anorganiktermasuk sebagai elisitor abiotik, sedangkan elisitor biotikberasal dari jamur, bakteri atau herbivora (Nambeo 2007).

Banyak senyawa yang telah diidentifikasi dapatmeningkatkan produksi metabolit sekunder, yang dapatdimanfaatkan dalam budi daya tanaman. Secara umum,elisitor diklasifikasikan berdasarkan asal dan struktur

Gambar 2. Konsentrasi genistein pada daun kedelai dari genotipeyang berbeda yang diinokulasi dan tidak diinokulasi(kontrol) Phakopsora pachyrhizi (1 dan 3 minggusetelah inokulasi)Sumber: Lygin et al. (2009)

Gambar 3. Konsentrasi daidzein pada daun kedelai dari genotipeyang berbeda yang diinokulasi dan tidak diinokulasi(kontrol) Phakopsora pachyrhizi (1 dan 3 minggusetelah inokulasi)Sumber: Lygin et al. (2009)

Page 80: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

172

molekulnya. Keberhasilan proses elisitasi bergantungpada interaksi elisitor-tanaman. Elisitor dapat berupabiotik atau abiotik. Elisitor biotik berasal dari patogen atautanaman itu sendiri, kadang-kadang disebut elisitorendogen (Vasconsuelo et al. 2007). Terdapat duakelompok elisitor berdasarkan interaksi antara tanamandengan elisitor, yaitu ‘elisitor umum’ yang mampu memicurespon pertahanan pada tanaman inang dan noninang,dan ‘elisitor khusus’ yang menginduksi respon yangmengarah ke resistensi terhadap penyakit yang hanyaterjadi pada inang tertentu (Staskawicz 1995,Vasconsuelo et al. 2007).

Kultur sel sambiloto dapat menghasilkan senyawabioaktif andrografolid. Hasil uji kandungan andrografolidmenunjukkan bahwa penambahan asam jasmonik 10 ìMmeningkatkan kandungan andrografolid terbesar, yaitu 1,8kali lipat perlakuan kontrol (Habibah 2009). Kadarkomponen fenolik dan aktivitas antioksidan kunir putihyang telah dilakukan blanching meningkat secara nyatadibanding kunir putih segar yang diekstrak dengan enamjenis pelarut (Pujimulyani et al. 2010).

Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi diperoleh dariekstrak kedelai dengan perlakuan pelukaan dan elisitor,dibandingkan dengan ekstrak kontrol tanpa pelukaan.Selain itu, ekstrak kedelai dengan perlakuan pelukaandan elisitor menunjukkan kandungan fenolik dan isoflavonyang lebih tinggi (Bou’e 2008). Hasil penelitian Keng etal. (2010) menunjukkan elisitor tertentu mempengaruhibiomassa sel dan produksi alkaloid dari Eurycomalongifolia (Tabel 2).

Informasi tentang jenis, konsentrasi, dan waktuaplikasi elisitor masih terbatas. Konsentrasi elisitormerupakan salah satu faktor yang menentukan kandunganmetabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi.Pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitordengan jumlah tertentu, sehingga untuk meningkatkankandungan katarantin diperlukan konsentrasi elisitor yangoptimum. Kontak antara elisitor dan reseptor memerlukanwaktu yang optimum hingga dihasilkan metabolit sekunderyang optimum. Waktu elisitasi menggambarkan lamanyasel melangsungkan jalur metabolit sekunder hinggaterbentuknya suatu produk (Buitelaar et al. 1991). Oleh

Tabel 2. Pengaruh elisitor yang berbeda ditambah ke dalam media cair MSBs terhadap biomassa sel dan produksi 9-hydroxycanthin-6-satudan 9-methoxycxanthin-6-satu dari sel E.longifolia (13 hari setelah dikulturkan).

Konsentrasi elisitor Bobot segar sel (g) Bobot kering sel (g) % w/w of 9- % w/w of 9-(mg/L) (n=6) (n=6) hydroxycanthin-6-one hydroxycanthin-6-one

Chitosan0 1,47 ± 0,18 0,14 ± 0,03 0,08 ± 0,05 0, 08 ± 0,04

10 0,56 ± 0,04 0,06 ± 0,01 0,39 ± 0,02 —25 0,88 ± 0,30 0,07 ± 0,02 0,34 ± 0,01 —50 1,70 ± 0,28 0,17 ± 0,03 0,28 ± 0,04 —

100 2,83 ± 0,25 0,26 ± 0,03 0,25 ± 0,01 —150 1,07 ± 0,32 0,07 ± 0,01 0,44 ± 0,07 —

NaH2PO40 0,66 ± 0,03 0,07 ± 0,01 0,08 ± 0,02 0,08 ± 0,012 3,10 ± 0,44 0,22 ± 0,05 0,34 ± 0,01 0,94 ± 0,005 1,20 ± 0,35 0,18 ± 0,02 0,08 ± 0,01 0,06 ± 0,01

10 1,29 ± 0,55 0,11 ± 0,02 0,40 ± 0,11 0,16 ± 0,0415 1,56 ± 0,48 0,13 ± 0,03 0,39 ± 0,01 0,10 ± 0,0220 1,53 ± 0,17 0,13 ± 0,02 0,75 ± 0,06 0,41 ± 0,02

Na2CO30 0,50 ± 0,01 0,05 ± 0,00 0,11 ± 0,02 0,12 ± 0,022 0,50 ± 0,01 0,05 ± 0,01 0,17 ± 0,02 0,22 ± 0,024 0,46 ± 0,04 0,04 ± 0,01 0,31 ± 0,02 0,24 ± 0,116 0,57 ± 0,02 0,05 ± 0,00 0,32 ± 0,01 0,27 ± 0,068 0,60 ± 0,01 0,06 ± 0,00 0,23 ± 0,00 0,12 ± 0,01

10 0,43 ± 0,07 0,04 ± 0,00 0,31 ± 0,02 0,24 ± 0,07

Polyvynylpirrolidone0 0,50 ± 0,01 0,05 ± 0,00 0,10 ± 0,01 0,11 ± 0,03

10 0,44 ± 0,01 0,04 ± 0,00 0,28 ± 0,01 0,31 ± 0,01100 0,37 ± 0,01 0,03 ± 0,00 0,38 ± 0,01 0,22 ± 0,01500 0,43 ± 0,02 0,04 ± 0,00 0,55 ± 0,04 0,28 ± 0,02

1000 0,48 ± 0,01 0,04 ± 0,00 0,26 ± 0,04 0,03 ± 0,011500 0,43 ± 0,01 0,04 ± 0,00 0,50 ± 0,00 0,14 ± 0,02

Sumber: Keng et al. (2010)

Page 81: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Setyorini dan Yusnawan: Kandungan Metabolit Sekunder pada Aneka Kacang

173

karena itu, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjuttentang jenis, konsentrasi, dan waktu aplikasi elisitor yangtepat pada tanaman aneka kacang, sehingga upaya untukmeningkatkan produksi metabolit sekunder pada tanamandapat dilakukan secara optimal.

KESIMPULAN

Senyawa metabolit sekunder seperti fenol, isoflavon, danasam fenolat terdapat pada kedelai, kacang hijau, kacangtanah, gude, dan kacang tunggak. Senyawa tersebutdapat berperan sebagai antioksidan, antikanker danantiaging, sehingga tanaman aneka kacang berpotensisebagai pangan fungsional.

Peningkatan produksi metabolit sekunder padatanaman dapat dilakukan dengan aplikasi elisitor. Elisitordapat berupa elisitor biotik mapun abiotik. Terbatasnyainformasi yang berkaitan dengan jenis elisitor yang sesuaiuntuk tanaman aneka kacang memberikan peluang bagipenelitian yang lebih dalam. Selain itu juga diperlukanpenelitian konsentrasi dan waktu aplikasi elisitor yangtepat, sehingga dapat mengoptimalkan produksi metabolitsekunder tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Angelova, Z., S. Georgiev, and W. Roos. 2006. Elicitation ofplants. Biotechnol. & Biotechnol. Eq. 20(2):72-83.

Atkinson, N.J. and P.E. Urwin. 2012. The interaction of plantbiotic and abiotic stresses: fom genes to the field.Journal of Experimental Botany 63(10): 3523-3544.

Bilger, W., M. Rolland, and L. Nybakken. 2007. UV screeningin higher plants induced by low temperature in theabsence of UV-B radiation. Photochem. Photobiol. Sci.6:190-195.

Bou´e, S.M., F.F. Shih, B.Y. Shih, K.W. Daigle, C.H. Carter-Wientjes, and T.E. Cleveland. 2008. Effect of bioticelicitors on enrichment of antioxidant properties andinduced isoflavones in soybean. Journal of FoodScience 73(4):43-49.

Buitelaar, R.M., M.T. Cesario, and J. Tramper. 1991.Strategies to improve the production of secondarymetabolites with plant cell Cultures: A literature review.Journal of Biotechnology 1:5-45.

Christian, Z. 2010. Altitudinal variation of secondarymetabolites in flowering heads of the asteraceae:Trends and causes. Phytochem. Rev. 9:197-203.

Creelman, R.A. and J.E. Mullet. 1995. Jasmonic aciddistribution and action in plants: Regulation duringdevelopment and response to biotic and abiotic stress.Proc. Natl. Acad. Sci. 92: 4114-4119. USA.

Croteau, R., T.M. Kutchan, and N.G. Lewis. 2000. Naturalproducts (secondary metabolites). Biochemistry &Molecular Biology of Plants 24:1250-1318.

De Gara, L., M. De Pinto, and F. Tommasi. 2003. Theantioxidant systems reactive oxygen species duringplant-pathogen interaction. Plant Physiol. Biochem. 41:863-870.

Dewi, I.W.. 2010. Karakteristik sensoris, nilai gizi danaktivitas antioksidan tempe kacang gude (Cajanuscajan (L.) Millsp.) dan tempe kacang tunggak (Vignaunguiculata (L.) Walp.) dengan berbagai variasi waktufermentasi. Fakultas Pertanian Universitas SebelasMaret Surakarta. Skripsi.

Dreher, K. and J. Callis. 2007. Ubiquitin, hormones andbiotic stress in plants. Annals. of Botany 99:787-822.

Einhellig, F.A. 1996. Interactions involving allelopathy incropping systems. Agronomy 88: 886-893.

Epifano, F., G. Salvatore, M. Luigi, and C. Massimo. 2007.Chemistry and pharmacology of oxyprenylatedsecondary plant metabolites. Phytochemistry 68:939-953.

Ginting, E., S.S. Antarlina, dan S. Widowati. 2009. Varietasunggul kedelai untuk bahan baku industri pangan.Jurnal Litbang Pertanian 28(3):79-87.

Gudbjarnason, S. 1999. Bioactive marine natural product.Rit Fiskideilar 16: 107-110.

Habibah, N.A. 2009. Efektivitas penambahan elisitor asamjasmonik dalam peningkatan sintesis senyawa bioaktifandrografolid pada kultur Suspensi sel sambiloto.Biosaintifika 1(1):11-18.

Harman, G.E. 2000. Myths and dogmas of biocontrol: Changesin perceptions derived from research on Trichodermaharzianum T-22. Plant Dissease 84:377-393.

Junaedi, A., M.M. Chozin, dan K.K. Ho. 2006. Perkembanganterkini kajian alelopati. Jurnal Hayati 2:79-84.

Keng, C.L., W.A. Sze, and B. Arvind. 2010. Elicitation effecton cell biomass and production of alkaloids in cellsuspension culture of the topical rree Eurycomalongifolia. Journal of the Costa Rican DistanceEducation University 2(2):239-244.

Kim, Jae-Kwang, Kim Eun-Hye, Lee Oh-Kyu, Park Soo-Yun,Lee Bumky, Kim Seung-Hyun, Park Inmyoung andChung Il-Min. 2013. Variation and correlation analysisof phenolic compoundsin mungbean (Vigna radiataL.) varieties. Food Chemistry 141:2988-2997.

Leiss, K.A., Y.H. Choi, R. Verpoorte, and G.L.K. Peter. 2011.An overview of NMR-based metabolomics to identifysecondary plant compounds involved in host plantresistance. Phytochem Rev. 10:205-216.

Lygin Anatoly V., Li Suxian, Vittal Ramya, Widholm Jack M.,Hartman Glen L., and Lozovaya Vera V. 2009. Theimportance of phenolic metabolism to limit the growthof Phakopsora pachyrhizi. Phytopathology 99(12):1412-1420.

Page 82: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

174

Mariska, I. 2013. Metabolit sekunder: Jalur pembentukandan kegunaannya. http://biogen.litbang.pertanian.go.id/. Diakses tanggal 21 Desember 2015.

Martin, J.F. 2004 Phosphate control of the biosynthesis ofantibiotics and other secondary metabolites ismediated by the PhoR-PhoP system: an unfinishedstory. J. Bacteriol. 186(16):5197-5201.

Muliani, Y. 2013. Karakter biokimia tanaman kedelai yangberperan dalam resistensi terhadap lalat bibitOphiomyia phaseoli Tryon. CEFARS: Jurnal Agribisnisdan Pengembangan Wilayah 4(2):31-39.

Namdeo, A.G. 2007. Review article: plant cell elicitation forproduction of secondary metabolites. PharmacognosyReviews 1(1):69-79.

Ningsih, W. 2007. Evaluasi senyawa fenolik (asam ferulatdan asam p-Kumarat) pada biji, kecambah, dan tempekacang tunggak (Vigna unguiculata). FakultasTeknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Nithiyanantham, S., S. Subramanian, and S. Perumal. 2012.Total phenolic content and antioxidant activity of twodifferent solvent extracts from raw and processedlegumes, Cicer arietinum L. and Pisum sativum L.Journal of Food Composition and Analysis 27:52-60.

Nofiani, R. 2008. Artikel ulas balik: Urgensi dan mekanismebiosintesis metabolit sekunder mikroba laut. JurnalNatur Indonesia 10(2):120-125.

Pourcel, L., J.M. Routaboul, V. Cheynier, L. Lepiniec, and I.Debeaujon. 2007. Flavonoid oxidation in plants: frombiochemical properties to physiological functions.Trends Plant Sci. 12:29-36.

Prats, E., M.E. Bazzalo, A. Le´on, and J.V. Jorr´ýn. 2003.Accumulation of soluble phenolic compounds insunflower capitula correlates with resistance toSclerotinia sclerotiorum. Euphytica 132:321–329.

Pujimulyani, D., S. Raharjo, Y. Marsono, dan U. Santoso.2010. Aktivitas antioksidan dan kadar senyawa fenolikpada kunir putih (Curcuma mangga Val.) segar dansetelah blanching. Agritech. 30 (2):68-74.

Radman, R., T. Saez, C. Bucke, and T. Keshavarz. 2003.Elicitation of plant and microbial systems. Biotechnol.Appl. Biochem. 37:91-102.

Rubiyo dan W. Amaria. 2013. Ketahanan tanaman kakaoterhadap penyakit busuk buah (Phytophthorapalmivora Butl.). Perspektif 12(1):23-36.

Saifudin, A. 2014. Senyawa alam metabolit sekunder: Teori,konsep, dan teknik pemurnian. Deepublish, Sleman,Yoyakarta. 113p.

Saija, A., M. Scalese, M. Lanza, D. Marzullo, F. Bonina, and F.Castelli. 1995. Flavonoids as antioxidant agents:importance of their interaction with biomembranes.Free Radic. Biol. & Med. 19(4):481-486.

Samsudin. 2011. Biosintesa dan Cara Kerja Azadirachtinsebagai Bahan Aktif Insektisida Nabati. ProsidingSeminar Nasional Pesnab IV:61-70.

Simanjuntak, K. 2012. Peran antioksidan flavonoid dalammeningkatkan kesehatan. Bina Widya 23(3):135-140.

Sirikantaramas, S., M. Yamazaki, K. Saito. 2008.Mechanisms of resistance to self-produced toxicsecondary metabolites in plants. Phytochem. Rev.7:467-477.

Sobolev, V.S., B.W. Horn, T.L. Potter, S.T. Deyrup, and J.B.Gloer. 2006. Production of stilbenoids and phenolicacids by the peanut plant at early stages of growth. J.Agric. Food Chem. 54:3505-3511.

Staskawicz, B.J., F.M. Ausubel, B.J. Baker, J.G. Ellis, and J.D.Jones. 1995. Molecular genetics of plant diseaseresistance. Science 268:661-667.

Tabarez, M.R. 2005. Discovery of the new antimicrobialcompound 7-o-malonyl macrolactin a dissertation vander gemeinsamen Naturwissenschaftlichen Fakultat.Jerman: Universitat Carolo-Wilhelmina.

Taie, H.A.A., R. El-Mergawi, and S. Radwan. 2008.Isoflavonoids, flavonoids, phenolic acids profiles andantioxidant activity of soybean seeds as affected byorganic and bioorganic fertilization. American-EurasianJ. Agric. & Environ. Sci. 4(2):207-213.

Taiz, L. and Zeiger, E. 2002. Plant physiology. 3rd ed. SinauerAssociates, Sunderland, Tyne and Wear, England:690p.

Vasconsuelo, A. and R. Boland. 2007. Molecular aspects ofthe early stages of elicitation of secondary metabolitesin plants. Plant Science 172:861-875.

Vinale, F., K. Sivasithamparam, E.L. Ghisalberti, R. Marra,M.J. Barbetti, H. Li, S.L. Woo, M. Lorito. 2008. A novelrole for Trichoderma secondary metabolites in theinteractions with plants. Physiological and MolecularPlant Pathology 72:80-86.

Xu, B. and S.K.C. Chang. 2008. Total phenolics, phenolicacids, isoflavones, and anthocyanins and antioxidantproperties of yellow and black soybeans as affected bythermal processing. Agric. Food Chem. 56:7165-7175.

Yedidia, I., M. Shoresh, Z. Kerem, N. Benhamou, Y. Kapulnik,and I. Chet. 2003. Concomitant induction of systemicresistance to Pseudomonas syringae pv. lachrymansin cucumber by Trichoderma asperellum (T-203) andaccumulation of phytoalexins. Appl. Environ. Microbiol.69:7343-7353.

Yu, L-J., L. Wen-Zhi, Q. Wen-Min, and X. Hui-Bi. 2002. Highstable production of taxol in elicited synchronouscultures of Taxus chinensis cells. Process Biochem.38(2): 207-210.

Yulistian, D.P., E.P. Utomo, S.M. Ulfa, and E. Yusnawan. 2015.Studi pengaruh jenis pelarut terhadap hasil isolasi dankadar senyawa fenolik dalam biji kacang tunggak(Vigna unguiculata (L.) Walp) sebagai antioksidankimia. Student Journal 1(1):819-825.

Zhao, J., L. Davis, and R. Verpoorte. 2005. Elicitor signaltransduction leading to production of plant secondarymetabolites. Biotechnol. Adv. 23:283-333.

Page 83: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

175

Ketahanan Terimbas Tanaman Kacang-kacangan terhadap Penyakit

Induced Disease Resistance in Legumes

Alfi Inayati*

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 27 November 2016, dan disetujui diterbitkan 29 November 2016

ABSTRACT

Legumes have an important role especially as a source of nutrition, important in maintaining soil quality, andas animal feed. Although the production and the needs for legumes continues to rise, the productivityespecially at the farm level is still low. This is mainly due to pests and diseases infections and also the soilinfertility effects. Yield losses due to pests and diseases is quite high up to 80%. Induced resistance is oneeffort to control the disease and improve the growth quality of legumes. Various elicitors (biotic and abiotic)and induced mechanisms have been tested and reported to give promising results. Induced resistance wasreported to increase the resistance of leguminous plants against pathogen infection such as fungi, bacteria,and viruses that are transmitted through soil, seed-borne, and from the surface of the leaves, such as:Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Fusarium sp, Aspergillus flavus, Cercosporidium personatum,Xanthomonas axonopodis, peanut mottle virus, and soybeant stunt virus. Recently, the use of inducedresistance in Indonesia is very limited. The use of Trichoderma sp, non-pathogenic Fusarium, andPseudomonas fluoroscent as biocontrol agents has been started although in a limited numbers. In thefuture, induced resistance will become one component that is important in controlling the disease in anintegrated pest management.

Keywords: Elicitor, abiotic biotic, induced resistance, legumes.

ABSTRAK

Tanaman kacang-kacangan mempunyai peran penting sebagai sumber gizi, menjaga kualitas tanah, danpakan ternak. Produktivitasnya di tingkat petani masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain oleh seranganhama dan penyakit dan pengaruh keharaan. Kehilangan hasil akibat hama dan penyakit cukup tinggi,mencapai 80%. Ketahanan terimbas merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyakit danmeningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman kacang-kacangan. Beragam elisitor (biotik dan abiotik) sertamekanisme pengimbasan telah diuji dan memberikan hasil yang menggembirakan. Ketahanan terimbasmampu meningkatkan ketahanan tanaman kacang-kacangan terhadap infeksi patogen berupa jamur,bakteri, dan virus yang ditularkan melaui tanah, terbawa benih, maupun yang terdapat di permukaan daun,di antaranya Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Fusarium sp., Aspergillus flavus, Cercosporidiumpersonatum, Xanthomonas axonopodis, Peanut mottle virus, dan soybeant stunt virus. Namun demikian,pemanfaatannya di Indonesia sangat sedikit. Mikroorganisme seperti jamur Trichoderma sp., jamur fusariumnonpatogenik, dan bakteri Pseudomonas fluoroscent mulai dimanfaatkan sebagai agens pengendalianpenyakit secara biologi meskipun masih terbatas. Di masa datang, ketahanan terimbas akan menjadisalah satu komponen penting dalam pengendalian penyakit secara terpadu.

Kata kunci: Elisitor, abiotik, biotik, ketahanan terimbas, kacang-kacangan.

Page 84: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

176

PENDAHULUAN

Tanaman kacang-kacangan berperan penting bagikelangsungan sistem pertanian untuk memenuhikebutuhan pangan. Akidobe dan Meredia (2011)menyebutkan kacang-kacangan merupakan tanamanideal untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunanyaitu mengurangi angka kemiskinan, meningkatkankesehatan dan gizi masyarakat, serta meningkatkanketahanan ekosistem. Tanaman kacang-kacanganberperan penting dalam menjaga kesuburan tanah gunamenjamin keberlangsungan sistem pertanian yang ideal.

Tanaman kacang-kacangan umumnya mempunyainisbah C:N rendah sehingga sisa tanaman mudahmelepas N dan meningkatkan kesuburan tanah(Nursyamsi dan Setyorini 2009). Dibandingkan denganserealia seperti gandum, jagung, dan padi, tanamankacang-kacangan membutuhkan bahan organik dari tanahyang lebih rendah dan dosis pupuk yang lebih rendahsehingga dapat ditanam di lahan marginal (Akidobe andMeredia 2011). Beberapa tanaman kacang-kacanganseperti kacang tanah juga mampu mengikat Al pada tanah-tanah masam sehingga dapat dimanfaatkan untukkomoditas lainnya dan dapat menekan perkembanganpatogen penyakit terbawa tanah (soil borne) sepertiFusarium sp. (McGarth 2012).

Kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau merupakansumber protein yang murah, rendah lemak, kaya vitaminB (terutama asam folat, zat besi, kalsium, danmagnesium), tinggi karbohidrat kompleks dengan indeksglikemik rendah, kaya serat, dan mengandung fitonutrienseperti isoflavon, lignin, dan protease yang dilaporkanmengurangi risiko kanker (Lin and Lai 2006). Tidak hanyauntuk manusia, kacang-kacangan juga dimanfaatkansebagai pakan bernilai tinggi yang mampu meningkatkanpendapatan petani (Nemecek et al. 2008).

Produktivitas tanaman kacang-kacangan di tingkatpetani masih rendah. Di tingkat penelitian, produktivitaskedelai dan kacang tanah mencapai lebih dari 2 t/ha dankacang hijau di atas 1,5 t/ha, sementara di tingkat petanihanya 1,2-1,4 t/ha untuk kedelai dan kacang tanah dan0,8-1,2 t/ha untuk kacang hijau. Rendahnya produktivitaskacang-kacangan di tingkat petani disebabkan antara lainkarena penerapan teknik budidaya yang kurang tepat,serangan hama dan penyakit, dan pengaruh keharaankarena budidaya tanaman kacang-kacangan umumnyadilakukan setelah tanam padi atau pada lahan-lahanmarginal.

Penyakit daun merupakan penyebab utamamenurunnya hasil tanaman kacang-kacangan (Johansenet al. 1994). Penyakit daun seperti karat yang disebabkanjamur Phakopsora pachirhizy, downy mildew (Peronospora

manchuria), penyakit pustul bakteri Xanthomonasaxonopodis pv glycines dan penyakit belang kacang tanah(Peanut Strive Potivirus) merupakan penyakit penting danmenjadi pembatas peningkatan hasil kedelai di sentraproduksi (Balitkabi 2005). Kehilangan hasil akibat penyakitkarat mencapai 80% bahkan lebih, bergantung padakondisi lingkungan dan varietas yang ditanam (Coker etal. 2010). Penyakit busuk kecambah yang disebabkanoleh Phytium sp., busuk akar oleh Rhizoctonia solani,hawar batang dan layu oleh Sclerotium rolfsii yangmerupakan penyakit tular tanah juga dikategorikansebagai penyakit utama tanaman kedelai di Indonesiadengan intensitas serangan di atas 14% (Balitkabi 2005).Di Amerika penyakit busuk akar dan layu menyebabkankehilangan hasil yang cukup besar, berkisar antara 9.651–152.152 ton (Whrater and Koenning 2006). Tidak hanyapada tanaman kedelai, penyakit busuk yang disebabkanoleh jamur Rhizoctonia solani dan penyakit layu olehSclerotium rolfsii juga menjadi masalah penting padatanaman kacang tanah dan kacang hijau (Le et al. 2012).

Pengendalian penyakit yang ramah lingkunganmenjadi isu penting dalam mengurangi penggunaan bahankimia yang terbukti berdampak buruk bagi lingkungan danmahluk hidup. Berbagai cara pengendalian penyakit daundan tular tanah pada tanaman kacang-kacangan telahdilakukan, dimulai dari perlakuan benih dan penggunaanbenih sehat bebas patogen untuk membatasi masuknyapatogen ke lahan dan melindungi tanaman pada awalpertumbuhan (Jegathambigai et al. 2009, Taylor et al.1991), hingga kultur teknis seperti pengaturan waktutanam dan memperlebar jarak tanam (Coker et al. 2010),pengolahan tanah dan rotasi tanaman (Ratulangi 2004,Gil et al. 2008, Eastburn 2010). Pemanfaatan bahan nabatiseperti minyak cengkeh sebagai fungisida dapat menekanintensitas penularan penyakit karat 50-93% (Sumartini2010). Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma mampumenghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii pada pengujianlaboratorium dengan efektivitas 70% (Hardaningsih 2011).Trichoderma juga dilaporkan mampu mengendalikanjamur F. oxysporum f.sp. adzuki dan P. arrhenomanespada kedelai (John et al. 2010).

Pengendalian penyakit menggunakan varietas tahanmerupakan cara yang efektif dan ramah lingkungan.Varietas tahan penyakit diperoleh dengan beberapa cara;di antaranya melalui persilangan dengan varietas yangmempunyai sifat tahan (Cherif et al. 2007) dan penyisipangen tahan (Heyten et al. 2010). Namun, upaya pemuliaantanaman untuk menghasilkan varietas tahan relatif sulitdan membutuhkan waktu yang lama. Seringkali gen tahanterikat (linkage) dengan gen produksi rendah danketahanan dapat hilang atau berkurang akibat berubahnyaras patogen (Vanderplank 1984). Dengan kondisi sepertiini, upaya pemuliaan ketahanan varietas melalui

Page 85: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

177

persilangan perlu didukung oleh informasi susunan genpada genotipe yang akan dijadikan tetua, sehingga hasilyang akan diperoleh akan lebih sesuai dengan tujuan yangakan dicapai.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkanvarietas tahan penyakit adalah dengan pengimbasanketahanan (induce resistance). Tulisan ini memuattinjauan ketahanan terimbas pada tanaman kacang-kacangan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahananterhadap penyakit.

KETAHANAN TERIMBAS

Konsep ketahanan terimbas pertama kali dikemukakanoleh Ray dan Beuverie pada tahun 1901. Namun penelitianintensif Kuch (2001) dianggap memberikan penjelasanlengkap tentang ketahanan terimbas (Edvera 2004).Konsep ketahanan terimbas berasal dari teori bahwasecara alamiah setiap tanaman memiliki kemampuanuntuk bertahan terhadap patogen. Teori gene for gene(Floor 1971) menyebutkan bahwa setiap gen patogenitasyang terdapat pada patogen mempunyai hubungan dengangen ketahanan yang ada pada tanaman inang. Hubunganantara inang dan patogen bersifat dinamis meskipun terjadiperubahan pada tanaman. Dengan memperhatikan halini maka upaya untuk mengekspresikan ketahananterhadap cekaman pada tanaman sangat mungkindilakukan.

Ketahanan terimbas didefinisikan sebagai peningkatanekspresi dan atau stimulasi pertahanan alami yang dimilikitanaman oleh agens biotik maupun abiotik untukmenangkal serangan patogen (Ryals et al. 1994,Hamerschmidt and Kuch 1995, Edvera 2004). Dapatdisimpulkan bahwa ketahanan terimbas berasal dariketahanan alami yang dimiliki tanaman, namun masihbersifat laten, lemah, bahkan tidak muncul dan akanterekspresi jika ada aksi dari agens pengimbas.

Peneliti lain menyebut ketahanan terimbas sebagaiketahanan perolehan (acquired resistance) (van Loon etal. 2008) dan ada juga yang menyebutnya sebagaiimunisasi (immunization) (Kuch 1983). Pemakaian istilahimunisasi dalam beberapa hal kurang tepat karena prosesketahanan terimbas pada tanaman berbeda dengan prosesimunisasi pada hewan maupun manusia. Pada imunisasiterjadi proteksi silang dari strain virus lemah untukmenghalangi virus yang ganas dari strain yang sama ataudari strain yang sekerabat dan imunisasi dengan strainlemah juga menghasilkan antibodi spesifik, sedangkanketahanan terimbas bersifat nonspesifik. Ketahananterimbas sebenarnya memunculkan potensi ketahananyang dimiliki tanaman untuk menghentikan perkembangan

patogen. Untuk memicu munculnya ketahanan alamitersebut diperlukan agens pengimbas (inducer, elisitor).

Agens pengimbas, disebut juga elisitor atau induser,merupakan molekul yang mampu menstimulasi danmengaktifkan respon ketahanan tanaman. Berdasarkankemampuannya untuk memacu respon ketahanan, elisitordibagi menjadi dua kelompok, yaitu elisitor yang bersifatumum (general elicitors) dan spesifik (race specificelicitors). Elisitor umum mampu memicu responketahanan pada tanaman inang maupun bukan inang(Nürnberger 1999, Boller and Felix 2009). Sedangkanelisitor spesifik hanya mengimbas ketahanan tanamantertentu (Angelova et al. 2006). Sebagian besar elisitorbersifat umum karena mekanisme ketahanan tanamanpada umumnya melalui mekanisme yang sama, diantaranya melalui penghalang yang bersifat fisik sepertipenebalan dinding sel melalui lignifikasi. Salah satu contohelisitor spesifik adalah TMV dan Avr gen yang hanyamengimbas ketahanan pada tanaman tomat, danSyringolids- acyl glycosides hanya mengimbas ketahanankedelai (Lancioni 2008).

Elisitor dapat berasal dari bakteri, jamur, maupun virusdan bahan-bahan yang dihasilkan olehnya seperti polimerkarbohidrat, protein, lemak, dan mikotoksin yang dikenalsebagai elisitor biotik (Larroque et al. 2013, Walters etal. 2013). Selain itu, terdapat pula elisitor abiotik sepertisinar UV, ion-ion dari logam maupun komponen ataubahan kimia yang dapat berperan sebagai hormon maupunmolekul-molekul pengkode ketahanan pada tanaman(Lancioni 2008, Larroque et al. 2013). Hingga saat ini telahditemukan lebih dari 60 elisitor, baik yang bersifat biotikmaupun abiotik, yang mampu mengimbas ketahanantanaman terhadap patogen maupun melindungi dariserangan hama (Tabel 1 dan Tabel 2).

Elisitor biotik maupun abiotik bekerja mengaktifkanberagam enzim yang berhubungan dengan mekanismepertahanan tanaman terhadap patogen. Jenis pertahanantanaman yang diaktifkan berbeda, bergantung padaelisitor yang digunakan sehingga penentuan jenis elisitoryang digunakan dan informasi mekanisme ketahananterhadap suatu patogen sangat diperlukan untuk menjaminkeberhasilan pengimbasan ketahanan. Elisitor yang samadigunakan pada patogen yang sama namun padatanaman yang berbeda dapat memberikan dampak yangberbeda.

MEKANISME PENGIMBASAN KETAHANANTANAMAN TERHADAP PENYAKIT

Bentuk pertahanan alami tanaman terhadap patogen dapatbersifat pasif, yang berarti terdapat pada tanaman pada

Page 86: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

178

konsentrasi yang tepat sehingga patogen tidak bisamasuk, berkembang, dan menyebar, misalnya adanyalapisan lilin, cutin, phenolic glycosides, phenols,quinones, steroid dan terpenoid. Bentuk lain daripertahanan tanaman bersifat dinamis sepertimeningkatnya konsentrasi enzim-enzim pertahanansetelah terjadinya infeksi oleh patogen seperti fitoaleksin,radikal bebas (reactive oxygen species = ROS), kalsium,silikon dan silikat, peroksidase, hidroksiprolin,glikoprotein, tionin, kitinase, β-1,3-glukanase,ribonuklease, proteases, callose, lignin, lipoxygenase dan

phospholipase (Heil and Bostock 2002, Lancioni 2008,Abd-Monaim 2011, Abd-Monaim et al. 2012). Padaketahanan terimbas, bentuk pertahanan yang dihasilkandari pengimbasan ketahanan bervariasi, bergantung padabentuk pertahanan alami yang dimiliki tanaman, baikbersifat pasif maupun dinamis, misalnya meningkatkankonsentrasi lapisan lilin dan chutin atau meningkatkankonsentrasi enzim-enzim pertahanan seperti fitoaleksindan lainnya.

Sistem pertahanan tanaman terdiri atas dua lapis.Lapisan pertama dikenal sebagai ketahanan basal (bassalimmunity) yang merupakan fase pengenalan tanamanterhadap molekul patogen. Lapisan kedua merespon faktorvirulensi dari patogen dengan adanya gen tahan (gen R)yang dimiliki tanaman (Dangl and Jones 2001, Lee et al.2009). Ketika terinfeksi patogen, reaksi pertama tanamanadalah berupaya untuk mengenali “benda asing” tersebutmelalui molekul pengenal pola patogen (pathpgenassociated molecular-pattern = PAMP). Pada ketahananterimbas, elisitor berperan mengenali kemudianmengaktifkan mekanisme ketahanan tanaman sepertimenginduksi peningkatan aktifitas ROS, deposisi enzimkalose, dan ekspresi gen-gen tahan tanpa menimbulkankematian jaringan (Boller and Felix 2009). Selanjutnya,patogen berupaya menghindari tekanan dari respontanaman dengan meningkatkan virulensinya. Sesuaidengan teori gene for gene maka gen tahan dan R proteinpada tanaman juga berupaya menekan gen virulen padapatogen. Mekanisme seperti ini disebut model zig-zag,di mana elisitor PAMP bertindak sebagai pendorongreaksi pertahanan tanaman dari patogen yang menginfeksi(Edvera 2004, Zipfel and Robatzek. 2010).

Ketahanan terimbas memiliki beberapa ciri yangmembedakannya dengan mekanisme ketahanan lainnyauntuk menurunkan tingkat keparahan penyakit, yaitu: 1)

Tabel 1. Sumber elisitor biotik pengimbas ketahanan tanaman terhadap patogen.

No. Sumber Nama elisitor

1. Tanaman dan bahan yang Oligogalacturonida, ekstrak Fallopia japonica, Burdock (Arctium sp),dihasilkan dari tanaman Carrageenas dari alga, Fucans (polisakarida dari rumput laut), Ulvans (ekstrak

dari rumput laut Ulva sp), Laminarin (glukan/polisakarida dari alga cokelat)2. Jamur, ekstrak dari jamur, dan Trichoderma sp, Mycorhiza, Jamur-jamur rizosfer, Penicillium sp, Fusarium sp.

bahan yang dihasilkannya 1-3, 1-6 β-glucans, chitosan, Chitin, Ergosterol, xylanases, peptaibol, golongancerato-platanin, Cerebroides, glikoprotein dan glikopeptida toksin (harpins,flagellin, victorin), Mycotoxins (misal: fumonisin B1), fitoalkexin

3. Oomycetes • CBEL (dari Phytoptora parasitica)• Cryptogein (Phythoptora cryptogea)• Eicosapentaenoic acid (EPA) dari rumput laut• PEP-13 (dari Phytopthora sojae) dan INF1 (dari Phytopthora infestans

4. Bakteri • Pseudomonas fluorescens spp., Bacillus sp., Streptomyces sp.• Harpin, Lipopeptida, Dimethylsulfide, Pseudobactin, flagellin

5. Virus TMV

Tabel 2. Elisitor abiotik pengimbas ketahanan terhadap patogen.

No. Nama elisitor

1. potassium dan sodium phosphates, ferric chloride, silica2. glycine, glutamic acid, α-aminobutyric acid, α-

aminobutyric acid, γ-aminobutyric acid,3. α-aminoisobutyric acid, D-phenylalanine, D-alanine and

DL tryptophan4. salicylic acid, m-hydroxybenzoic acid, p-hydroxybenzoic

acid, phloroglucinol, gallic acid,methyl salicilate5. isovanillic acid, vanillic acid, protocatecheic acid,

syringinc acid, 1,3,5 benzene tricarboxylic acid6. D-galacturonic acid, D-glucuroinic acid, glycollate, oxalic

acid, polyacrylic acid, benzoic acid7. Oleic acid, linoleic acid, linolenic acid, arachdonic acid,

eicosapentaenoic acid8. Paraquat, aciûuorfen, sodium chlorate, nitric oxide,

reactive oxygen species9. jasmonic acid, methyl jasmonate, ethylene, humic acid

(HA)10. ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA), riboûavin,

thiamin, sacharin11. dodecyl DL-alanine and dodecyl-L-valine12. metal complexes (cobalt, iron and copper)13. 2,6-dichloroisonicotinic acid (INA),14. b-aminobutyric acid (BABA)15. potassium dan sodium phosphates, ferric chloride, silica

Page 87: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

179

mutasi genetik yang tinggi yang kemungkinan lebih cepatkehilangan resistensinya dibanding patogen yang hanyabereproduksi secara seksual atau aseksual saja(McDonal and Linde 2002).

Demikian juga ketahanan terimbas, beberapapenelitian menyebutkan permasalahan dengan ketahananterimbas terutama menyangkut konsistensi dan durability-nya ketika diaplikasikan di lapangan. Konsistensi dandurability ketahanan terimbas yang dilaporkan banyakdipengaruhi oleh jenis, cara aplikasi dan dosis elisitor,perbedaan spesies dan varietas tanaman yang diimbas,fase pertumbuhan tanaman ketika induksi dilakukan,tingkat infeksi patogen, perbedaan patogen yang menjadisasaran, dan iklim (Gozzo and Faoro 2013, Hoerusalamet al. 2013). Sebagai contoh, efektivitas elisitor BTH untukmengendalikan penyakit embun tepung bervariasi,bergantung pada waktu aplikasi (Satdnik 1999). MenurutNayar (1996), induksi ketahanan menggunakan P.fluorescens dapat bertahan hingga 60 hari jikadiaplikasikan sebagai seed treatment. Persistensinyamenjadi lebih rendah apabila aplikasi dilakukan melaluiperendaman akar dan penyemprotan daun, masing-masing 30 dan 15 hari.

Berkembangnya pengetahuan tentang ketahananterimbas berpengaruh pula terhadap penelitianpengendalian hama dan penyakit tanaman. Penelitiansetelah tahun 2007 melaporkan bahwa ketahanan terimbasmelalui jalur asam salisilat (SA) dengan melibatkan genNPR1 dan KYP dapat diwariskan secara epigenetik (Lunaet al. 2012, Luna et al. 2014). Memperhatikan hal ini,pemilihan elisitor yang tepat sangat diperlukan untukmendapatkan ketahanan tanaman yang bersifat tahanlama dan dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

PENGIMBASAN KETAHANAN PADATANAMAN KACANG-KACANGAN

Penelitian pengimbasan ketahanan untuk mengendalikanpenyakit telah banyak dilakukan namun belum ada laporanpemanfaatannya pada tanaman kacang-kacangan diIndonesia. Beragam elisitor dan mekanisme pengimbasantelah banyak diuji dan dapat menekan perkembanganpenyakit dan meningkatkan ketahanan tanaman kacang-kacangan (Tabel 3). Pengimbas biotik yang telahdigunakan pada tanaman kedelai antara lain jamurTrichoderma aureoviride untuk ketahanan terhadap jamurS. rolfsii (Dong-mei et al. 2010), T. viride untuk ketahananterhadap jamur F. oxysporum f.sp. adzuki dan P.arrhenomanes (John et al. 2010), T. harzianum untukpengendalian busuk akar dan bercak daun Alternariaalternata (Abd-El-Kareem 2007). Agens biotik lainnya yangbanyak digunakan dalam pengimbasan ketahanan adalah

tidak adanya pengaruh toksin dari elisitor terhadappatogen, 2) didahului dengan aktifnya zat penghambatkhusus seperti aktinomisin D (AMD), yang memengaruhigen tahan pada tanaman, 3) terdapat jarak waktu antaradimulainya pengimbasan dan terbentuknya sistemketahanan dalam tanaman, 4) ketahanan bersifat umum,dan umumnya sistemik, dan 5) dipengaruhi oleh genotipetanaman (Steiner and Schonbeck 1995). Berdasarkan hal-hal tersebut terlihat peranan elisitor yang tepat sangatpenting untuk merangsang dan memacu munculnyareaksi ketahanan tanaman yang tepat untukmengendalikan patogen.

Salah satu contoh ketahanan terimbas adalahpengendalian penyakit menggunakan bakteriPseudomonas fluorescent. Bakteri ini salah satumikroorgamisme yang mampu menghasilkan zat pemicupertumbuhan tanaman sekaligus menekanperkembangan penyakit-penyakit terbawa tanah.Mekanisme penekanan penyakit oleh bakteri ini terdiridari kompetisi zat besi dengan patogen, antibiosis,produksi enzim litik, dan ketahanan terimbas. Bakker etal. (2003) menjelaskan, pada pengendalian patogendengan bakteri Pf, antibiosis akan berperan pertama kalimenekan populasi dan melemahkan patogen, selanjutnyapopulasi patogen yang lemah ini dikonfrontasi sehinggamemicu munculnya reaksi ketahanan tanaman. Antibiosisdan ketahanan terimbas merupakan dua mekanismepenekanan patogen yang berbeda. Ketahanan terimbasyang dipicu oleh bakteri Pseudomonas akan lebih jelasketika bakteri ini dan patogen diinokulasikan padatanaman, namun pada bagian yang berbeda, misalnyabakteri di daerah perakaran dan patogen pada daun(Bakker et al. 2007). Mekanisme serupa juga ditemukanpada pengendalian penyakit menggunakan elisitor biotikberupa mikroorganisme yang hidup di perakaran sepertibakteri Bacillus, jamur Trichoderma, dan jamur Micorrhiza(Pieterse et al. 2014).

Ketahanan tanaman terhadap suatu patogen dapatberubah karena beberapa hal. McDonald (2014)menyebutkan hilangnya ketahanan tanaman terhadappatogen disebabkan karena patogen mengalami evolusiyang menyebabkan terjadinya perubahan genetik.Perubahan genetik dipengaruhi oleh mutasi, kepadatanpopulasi, rekombinasi, dan cara budi daya yang samadalam waktu yang lama. Selain itu, perubahan iklim globaldilaporkan juga dapat menyebabkan berubahnya interaksitanaman dengan patogen, berubahnya keseimbanganmikroorganisme di permukaan tanah, dan berubahnyaketahanan tanaman terhadap patogen tertentu, yangberpengaruh pada pola epidemiologi penyakit di suatudaerah (Pautasso 2012). Patogen-patogen yang bisabereproduksi, baik seksual dan aseksual, mempunyaipopulasi yang besar, dan memiliki potensi perubahan dan

Page 88: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

180

Tabel 3. Aplikasi ketahanan terimbas pada tanaman kacang-kacangan, elisitor yang digunakan, dan pengaruhnya pada tanaman

Tanaman Penyakit/patogen Jenis Elisitor Efek Referensi

Kedelai Penyakit layu Trichoderma Menurunkan intensitas serangan John et al. 2010(Fusarium penyakit layu, meningkatkanoxysporum f. sp. pertumbuhan tanamanadzuki dan (peningkatan bobot basah dan kering),Pythium dan hasil bijiarrhenomanes)

Jamur-jamur Mempercepat pertumbuhan tanaman Shivvana et al. 1995rizosfer daripertanamanzoysiagrass danTrichoderma sp.

Virus kerdil kedelai Bakteri Meningkatkan pertumbuhan tanaman, Khalimi dan Suprapta(Soybean Stunt Pseudomonas mengurangi kejadian penyakit SSV, dan 2011Virus) aeruginosa meningkatkan aktivitas enzim peroksidasePustul bakteri Bacillus Mengurangi jumlah bercak dan keparahan Prathuangwong dan(Xanthomonas amyloliquefaciens penyakit, meningkatkan kandungan total Buensanteai 2007axonopodis) (seed treatment) fenol, dan enzim-enzim untuk ketahanan

seperti phenylalanine ammonia lyase (PAL),peroxidases (PO) dan 1,3-β-glucanases

Penyakit karat Sacharin Menurunkan intesitas penyakit, Srivastava et al. 2011(Phakopsora meningkatkan bobot brangkasan tanamanpachyrhizi)Layu Benzothiadiazole Menurunkan secara signifikan layu dan Abd. Monaim et al.(F.oxyporum) (BTH), Humic Acid rebah kecambah serta meningkatkan 2012rebah kecambah (HA) kualitas pertumbuhan tanamanBusuk charcoal Vitamin B Mengurangi busuk, meningkatkan jumlah Abd. Monaim 2011(Marcophomina (riboflavin dan nodule, dan meningkatkan kualitasphaseoli), rebah thiamin) pertumbuhan tanamankecambah, busukakarBusuk batang Benzothiadiazole Mengurangi kejadian penyakit kanker Nafie dan Mazen 2008coklat batang, meningkatkan perkecambahan,(Phialophora pigmen fotosíntesis, lignin, phenolics dangregata) flavanoid. Meningktakan PPL, PO,

menurunkan aktivitas katalaseBusuk batang β-glucan dan chitin Meningkatkan aktivitas dan akumulasi Montesano et al. 2003Phytopthora dan oligomerase dari fitoaleksinPhytium Phytopthora dan

PhytiumAntracnosa Bakteri Mengaktifkan reaksi hipersensitif Sandhu et al. 2009(Colletotrichum Pseudomonastrancatum) siringe pv. GlycineaP. megasperma Etilen pada Meningkatkan aktivitas 1,3β endoglukan, Yoshikawa et al. 1990f. sp. glycinea hipokotil kedelai meningkatkan konsentrasi akumulasi

glyceolinP. sojae BTH, 1- Mengimbas ketahanan kedelai terhadap Sugano et al. 2012(busuk akar dan aminocyclopropane- P. sojaebusuk batang) 1-carboxylic acid

(ACC)Kacang Busuk Trichoderma Menginduksi terbentuknya enzim-enzim Gajera et al. 2011,tanah (Aspergillus viride pertahanan seperti PAL, PO, dan chitinase Gajera et al. 2015

niger)Busuk akar T.harzianum Mengurangai kejadian penyakit busuk akar, Sreedevi et al. 2011(Macrophomina meningkatkan level enzim peroksidase, PAL,phaseolina) PO, dan total fenolBusuk tajuk Bakteri Bacillus Meningkatkan aktivitas enzim lipoxygenase Sailaja et al. 1998(A.niger) subtilis (LOX), hydroperoxyoctadecadienoic acid

(13-HPODE) and dan 13-hydroperoxyoctadecatrienoic acid (13-HPOTrE) yang mampumenghambat pertumbuhan Aspergillus niger

Page 89: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

181

Tabel 3. Lanjutan.

Tanaman Penyakit/patogen Jenis Elisitor Efek Referensi

Busuk arang Bakteri Mengurangi serangan penyakit busuk arang, Shweta et al. 2008(hitam) (P.fluorescens-Pf) meningkatkan produksi enzim siderophores,(Macrophomina indole acetic acid, dan hydrocyanic acid, danphaseolina) meningkatkan kemampuan menyerap fosfat

dan sebagi pemacu pertumbuhan

Bercak daun Bakteri P. Mengurangi serangan penyakitpenyakit Sailaja 1998(Cercosporidium fluorescens secara signifikan, meningkatkan aktivitaspersonatum enzim PAL, total fenol, dan enzim lektik

Busuk arang Bakteri Mengurangi serangan penyakit busuk arang, Shweta et al. 2008(hitam) (P.fluorescens-Pf) meningkatkan produksi enzim siderophores,(Macrophomina indole acetic acid, dan hydrocyanic acid, danphaseolina) meningkatkan kemampuan menyerap fosfat

dan sebagi pemacu pertumbuhan

Bercak daun Bakteri P. Mengurangi serangan penyakitpenyakit Sailaja 1998(Cercosporidium fluorescens secara signifikan, meningkatkan aktivitaspersonatum enzim PAL, total fenol, dan enzim lektik

Hawar (S. rolfsii), S. rolfsii, A.flavus, Mengurangi penyakit, meningkatkan enzim Nandini 2011dan kontaminasi dan A. parasiticus yang memacu ketahanan seperti POX,PAL,aflatoksin β-1,3 glucanase.

S. rolfsii Pyraclostrobin Meningkatkan aktivitas enzim PAL, PO, Amin et al. 2015(Fungisida) β-1,3 glucanase, nitrate dan nitrit reductase

serta parameter biokimia lainnya sepertitotal phenol, total protein, total karbohidratdan total klorophyll

Leaf spot Fungisida, Mengurangi kejadian penyakit Zhang et al. 2001Chlorothalonil,DL-β-amino-n-butyricacid (BABA),

Peanut mottle Sodium Mengimbas ketahanan terhadap infeksi Kobeasy et al. 2011virus (PeMV) nitroprusside (SNP), PeMV, meningkatkan pigmen fotosintesis

Salicylic acid (SA) dan aktivitas enzim peroxidase (POD),ascorbate peroxidase (APX), catalase(CAT), superoxide dismutase (SOD) danphenylalanine ammonia lyase (PAL) sertameningkatkan kualitas kandungan proteindan minyak biji

Kacang Bercak daun Enzim hidrolase Meningktakan aktivitas enzim glucanase, Koche and Choudharyhijau (C. canescens) chitinase and PAL. 2012.

Busuk batang Ethephon Meningktakan aktivitas enzim peroksidase Arora and Bajaj 1985(R. solani) (2-chloroethyl

phosphonic acid)

Busuk akar Plant Growth(Thanatephorus Promotor Mengurangi intensitas penyakit, meningkatkan Sunar et al. 2013cucumer) Rhyzobacteria biomasa, meningktakan aktivitas enzim PAL,

(PGPR) Bacillus PO, β-1,3-glucanase, dan khitinasealtitudinis

Busuk akar Bakteri Menghambat pertumbuhan jamur M. Adhilakshmi et al.(M.phaseolina,) Streptomyces sp. phaseolina, dan meningkatkan aktivitas 2014

enzim PO and PPO

Page 90: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

182

bakteri kelompok Bacillus, Pseudomonas dan Rhizobiumserta jamur Fusarium sp yang bersifat non patogenik danbukan inang. Agens ini dilaporkan mengimbas ketahanantanaman kacang-kacangan terhadap F. oxysporum,Botrytis cinera, Uromyces ciceris-arientini, dan S. rolfsii(Cherif et al. 2007).

Beragam mekanisme pengimbasan ketahanantanaman kacang-kacangan terhadap penyakit daun dantular tanah juga telah banyak dilaporkan, di antaranyaketahanan tanaman yang berasosiasi denganpeningkatan akumulasi fitoaleksin. Fitoaleksin yangterdapat pada kedelai adalah gliseolin yang berpengaruhterhadap ketahanan kedelai terhadap Pseudomonassyringae pv. glycinea dan Phytophthora megasperma(Hammerschmidt 1999). Gliseolin yang dihasilkan kedelaijuga mempunyai aktivitas antifungal untuk mengendalikanAspergillus ochraceus, Penicillium digitatum dan F.culmorum (Kramer et al. 1984). Aktivitas enzim terkaitdengan ketahanan seperti peroksidase (PO), polyphenoloxidase (PPO), pheniylalanine ammonia lyase (PAL), danprotein terkait patogenesis (PR) seperti khitinasemeningkat pada tanaman yang diimbas ketahanannya(Abd-Monaim 2011, Abd-Monaim et al. 2012, Taie et al.2008). Hal ini sesuai dengan penelitian Ammajamma(2005) yang menunjukkan varietas kedelai yang tahanmemiliki kandungan klorofil lebih banyak, aktivitas PALdan tyrosin ammonia lyase (TAL) lebih tinggi dibandingvarietas rentan. Protein lain seperti medicarpin, maakin,pallic, cinnamic, ferulic, dan chlorogenic acid dilaporkansebagai antifungi yang mampu menghambatpatogenisitas Fusarium yang muncul akibat ketahanantanaman terimbas (Cherif et al. 2007).

Di Indonesia, penelitian tentang ketahanan terimbasterutama untuk tanaman kacang-kacangan masih sedikit.Pemanfaatan mikroorganisme seperti jamur Trichodermasp., jamur Fusarium nonpatogenik, dan bakteri P.fluoroscent sebagai agens pengendalian penyakit secarabiologi telah banyak dilaporkan, namun masih terbataspada perannya untuk menekan perkembangan patogendan mengurangi intensitas keparahan penyakit. Penelitianmendalam tentang mikroorganisme tersebut belumbanyak dilaporkan sehingga perlu dilakukan. Kondisi iklimtropis Indonesia juga memungkinkan berkembangnyaberagam mikroorganisme yang berpotensi sebagai elisitorbiotik, baik dari kelompok jamur maupun bakteri untukmengimbas ketahanan.

Penerapan ketahanan terimbas pada pertanian kedepan dinilai prospektif dikaitkan dengan isu pertanianramah lingkungan untuk mengurangi penggunaanpestisida dan pupuk kimia berlebihan. Tantangan aplikasiketahanan terimbas dengan memanfaatkan elisitor biotikmaupun abiotik adalah rendahnya kemampuan

mengendalikan hama dan penyakit dibandingkan denganaplikasi pestisida kimia meskipun ketahanan terimbasmampu menekan kejadian penyakit 20-85% (Walters etal. 2013). Selain itu, aplikasi ketahanan terimbas dilapangan juga dipengaruhi oleh banyak hal termasuklingkungan, genotipe tanaman, nutrisi tanah, dan durabilitipada tanaman yang bervariasi, yang membuat ketahananterimbas tidak menjadi pilihan utama petani untukmengendalikan hama dan penyakit.

Ketahanan terimbas yang terintegrasi denganpengelolaan tanaman dan teknik pengendalian penyakitlainnya merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukanuntuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hama danpenyakit tanaman yang ramah lingkungan. Salah satucontoh, perlakuan benih dengan elisitor biotik, misalnyaTrichoderma, dapat melindungi tanaman dari patogenpada fase perkecambahan dan mengurangi inokulum awalpatogen. Hal ini bermanfaat mengurangi pemakaianfungisida kimia ketika terjadi infeksi patogen pada faseselanjutnya.

KESIMPULAN

Ketahanan terimbas mampu meningkatkan ketahanantanaman kacang-kacangan terhadap infeksi patogenberupa jamur, bakteri, dan virus yang ditularkan melauitanah, terbawa benih, maupun yang terdapat di permukaandaun, di antaranya Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani,Fusarium sp., Aspergillus flavus, Cercosporidiumpersonatum, C. Canescens, Aspergillus niger, P.megasperma f.sp., glycinea. P. sojae, Xanthomonasaxonopodis, Peanut mottle virus, dan soybeant stunt virus.

Ketahanan terimbas untuk mengendalikan penyakitdan meningkatkan kualitas pertumbuhan tanamankacang-kacangan perlu mendapat perhatian dari parapeneliti karena potensi agens hayati yang dapat berperansebagai elisitor sangat besar dan merupakan salah satukomponen teknologi PHT yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Abd-El-Kareem, F. 2007. Induced resistance in bean plantsagainst root rot and Alternaria leaf spot diseases usingbiotic and abiotic inducer under field conditions. Res.J. of Agric. and Bio. Sci. 3(6):767-774.

Abdel-Monaim, M.F. 2011. Role of riboflavin and thiamine ininduced resistance against charcoal rot disease ofsoybean. African Journal of Biotechnology 10(5):10842-10855.

Abdel-Monaim, M.F., M.E. Ismail, and K.M. Morsy. 2012.Induction of systemic resistance in soybean plantsagainst Fusarium wilts disease by seed treatment with

Page 91: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

183

benzothiadiazole and humic acid. African Journal ofBiotechnology 1(10):2454-2465.

Adhilakshmi, M., V. Paranidharan, D. Balachandar, K.Ganesamurthy, and R. Velazhahan. 2014. Suppressionof root rot of mungbean (Vigna radiata L.) byStreptomyces sp. is associated with induction ofperoxidase and polyphenol oxidase. Archives ofPhytopathology and Plant Protection 47(5).

Akidobe, S. and M. Meredia. 2011. Global and regional trendsin production, trade and consumption of food legumecrops. Department of Agricultural,

Amin, D., S.S.M. Jampala, and D. Patel. 2015. Inducedsystemic resistance in groundnut by foliar applicationof Headline (Pyraclostrobin 20% WG). Archives ofPhytopathology and Plant Protection 48(7):578-587.

Ammajamma, R. 2005. Factor resistance to soybean rustcaused by Phakopsora pachyrizhi Syd. Thesis forMaster of Science. Dept of Plant Pathology. Collage ofAgriculture. Dharwad University of Agriculture andScience. 73p.

Angelova, Z., S. Georgiev, and W. Roos. 2006. Elicitation ofplants. Biotechnol. & Biotechnol. Eq. 20:72-83.

Arora, Y.K. and K.L. Bajaj. 1985. Peroxidase and polyphenoloxidase associated with induced resistance of mungbean to Rhizoctonia solani Kuhn. Journal ofPhytopathology 114:325–331.

Bakker, P.A.H.M., C.M.J. Pieterse, L.C. van Loon. 2007.Induced systemic resistance by fluorescentPseudomonas spp. Phytopathology 97:239-243.

Bakker, P.A.H.M., L.X. Ran, C.M.J. Pieterse, and L.C. van Loon.2003. Understanding the involvement of inducedsystemic resistance in rhizobacteria-mediatedbiocontrol of plant disease. Can. J. PlantPathol. 25:5-9.

Balitkabi . 2005. Hama dan penyakit tanaman kedelaipenting dan potensi agensia hayati di Jawa Timur. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/id/kedelai/ [diunduh 30Januari 2012].

Boller, T. and G. Felix. 2009. A renaissance of elicitors:perception of microbe-associated molecular patternsand danger signals by pattern-recognition receptors.Annual Rev. of Plant Biology. 60:379-406.

Cherif, M., A. Arfaoui, and A. Rhaiem. 2007. Phenoliccompounds and their role in bio-control and resistanceof chikpea to fungal patogenic attacks. Rev. Article.Tounisian J. of Plant Protec. 2(1):7-20.

Coker, C., K. Hurst, T. Kirkpatrick, J. Rupe, C. Tingle, and M.Trent. 2010. Asian soybean rust. Univ. of Arkansas.2010. http://www.uaex.edu/Other_Areas/publications/PDF/FSA-7531.pdf [diunduh 30 Januari 2012].

Dangl, J.L. and J.D. Jones. 2001. Plant patogens andintegrated defence responses to infection. Nature411:826–833.

Dong-mai, S., L. Zhi-wei, C. Li, X. Cui-qiang, C. Qi-qiang,and S. Xiao-ji. 2010. Preliminary study on inducedresistance by Trichoderma aureoviride and its multiple

microbe on soybean Sclerotinia sclerotiorum. SoybeanSci. Abstr. http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTotal-DDKX201001025.htm [diunduh 1 Pebruari 2012]

Eastburn. 2010. Managing disease by managing soils. http://www.extension.org/pages/18638/managing-disease-by-managing-soils. [diunduh 1 Pebruari 2012]

Edvera, A. 2004. A novel strategy for plant protection: Inducedresistance. J. of Cell and Molecullar Biol. 3:61-69.

Gajera, H.P., D.D. Savaliya, S.V. Patel, and B.A. Golakiya.2015. Trichoderma viride induces patogenesis relateddefense response against rot patogen infection ingroundnut (Arachis hypogaea L.). Infect. Genet. Evol.34:314-315.

Gejera, H., K. Rakholiya, and D. Vakharia. 2011. Bioefficacyof Trichoderma isolates against Aspergillus niger vanTieghem inciting collar rot in groundnut (Arachishypogaea L.). Journal of Plant Protection Research51(3):240-247.

Gil, S.V., R. Haro, C. Oddino, M. Kearney, M. Zuza, A. Marinelli,and G.J. March. 2008. Crop management practice inthe control of peanut disease caused by soilbornefungi. Crop Protection 27(1):1-9.

Gozzo, F. and F. Faoro. 2013. Systemic acquired resistance(50 years after discovery): moving from the lab to thefield. J. Agric. Food Chem. 61(51):12473-91.

Hammerschmidt, R. 1999. Phytoalexins: What have welearned after 60 years? Ann. Rev. Phytopathol. 37:285-306.

Hammerschmidt, R. and J. Kuch. 1995. Induced resistanceto disease in plants. Kluwer Academic Publisher.Dordrecht. The Netherland.

Hardaningsih. 2011. Jenis penyakit kedelai dan efektivitasjamur antagonis yang berasal dari Kalimantan Selatanterhadap Sclerotium rolfsii di laboratorium. SuaraPerlind. Tanam. 1(5):23-28.

Heil, M. And R.M. Bostock. 2002. Induced systemicresistance (ISR) against patogens in context of inducedplant defences. Ann. Bot. 89(5):503-512.

Hoerusalam, A. Purwanto, dan A. Khaeruni. 2013. Induksiketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadappenyakit bulai melalui seed treatment sertapewarisannya pada generasi S1. Ilmu Pertanian16(2):42-59.

Hyten, D.L., I.Y. Choi, Q. Song, J.E. Specht, T.E. Carter, andR.C. Shoemaker. 2010. A high density integratedgenetic linkage map of soybean and the developmentof a 1536 universal soy linkage panel for quantitativetrait locus mapping. Crop Sci. 50(3):960–8.

Jegathambigai, V., R.S. Wilson, and R.L.C. Wijesundera.2009. Trichoderma as a seed treatment to controlHelminthosporium leaf spot disease ofCrhysalidocarpus lutescens. World J. of Agric. Sci.5(6):720-728.

Johansen, C., B. Baldev, J.B. Brouwer, W. Erskine, W.A.Jermyn, L. Li-Juan, B.A. Malik, A. Ahad Miah, and S.N.Silim. 1994. Biotic and abiotic stresses constraining

Page 92: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

184

productivity of cool season food legumes in Asia, Africaand Oceania. Current Plant Science and Biotech. inAgr. 19:175-194.

John, R.P., R.D. Tyagi, D. Prevost, S.K. Brar, S. Pouleur, andR.Y. Surampalli. 2010. Mycoparasitic Trichodermaviride as biocontrol agent against Fusarium oxysporumf.sp. adzuki and Pythium arrhenomanes and as agrowth promoter of soybean. Crop Protection 29:1542-1459.

Khamili, S. 2011. Induction of plant resistance againstsoybean stunt virus using some formulation ofPseudomonas aeroginosa. J. ISSAAS 17(1):98-105.

Kobeasy,M.I., H.S. El-Beltagi, M.A. El-Shazly, and E.A.H.Khattab. 2011. Induction of resistance in Arachishypogaea L. against peanut mottle virus by nitric oxideand salicylic acid.. Physiological and Molecular PlantPathology 76:2:112-118.

Koche, D. and A. Choudhary. 2012. Induction of hydrolasesand phenylalanine ammonia-lyase by pathogenderived elicitors in mungbean (Vigna radiata L.).Electronic Journal of Biology 8:11–14.

Kramer, R.P., H. Hindorf, H. Chandra, J.J. Kallange, and F.Zilliken. 1984. Antifungal activity of soybean and chikpeaisoflavones and their reduced deivatives.Phytochemistry 23(0):2203-2205.

Kuch, J .1983. Induced systemic resistance in plants todiseases caused by fungi and bacteria. In: Bailey, J.A.and B.J. Deverall (Eds.). The Dynamics of Host Defence(pp.191–221). Academic Press Australia, North Ryde,NSW 2113.

Kuch, J. 2001. Concepts and direction of induced systemicresistance in plants and its application. Eur. J. PlantPathol. 107:7-12.

Lancioni, P. 2008. Studies on biotik and abiotikelicitorsinducing defense responses in tomato. Thesis.Università di Bologna. 125p.

Larroque, M., E. Belmas, T. Martinez, S. Vergnes, N. Ladouce,C. Lafitte, E. Gaulin, B. Dumas. 2013. Patogen-associated molecular pattern-triggered immunity andresistance to the root patogen Phytophthora parasiticain Arabidopsis. Journal of Experimental Botany.64(12):3615–3625.

Le, C.N., R. Mendes, M. Kruijt, and J.M. Raaijmakers. 2012.Genetic and phenotypic diversity of Sclerotium rolfsii ingroundnut fields in Central Vietnam. Plant Disease96:389-397.

Lee, S.W., S.W. Han, M. Sririyanum, C.J. Park, Y.S. Seo, andP.C. Ronald. 2009. A type I-secreted, sulfated peptidetriggers XA21-mediated innate immunity. Science326:850–853.

Lin, P.Y. and M.H. Lai. 2006, Bioactive compounds inlegumes and their germinated products. J. Agric. FoodChem. 54:3807"3814.

Luna, E., A. López, J. Kooiman, and J. Ton. 2014. Role ofNPR1 and KYP in long-lasting induced resistance byâ-aminobutyric acid.. Front Plant Sci. 5:184.

Luna, E. and J. On. 2012. The epigenetic machinerycontrolling transgenerational systemic acquiredresistance. Plant Signaling & Behavior. LandesBioscience 7(6): 615-618.

McDonald, B.A. 2014. Using dynamic diversity to achievedurable disease resistance in agricultural ecosystems.Tropical Plant Pathology 39(3):191-196.

McDonald, B.A. and C. Linde. 2002. Patogen populationgenetics, evolutionary potential, and durableresistance. Annual Review of Phytopathology 40:349-379.

McGarth, M.T. 2012. Managing plant diseases with croprotation. www.sare.org [diakses 12 Desember 2015].

Meena, B., V. Ramamoorthy, T. Marimuthu, and R.Velazhahan. 2000. Pseudomonas fluorescensmediated systemic resistance against late leaf spot ofgroundnut. Journal of Mycology and Plant Pathology30(2):151-158.

Montesano, M., G. Brader, and E.T. Palva. 2003. Patogenderived elicitors: searching for receptors in plants. Mol.Plant Pathol. 4(1):73-79.

Nafie, E. and M.M. Mazen. 2008. Chemical-inducedresistance against brown stem rot in soybean: Theeffect of benzothiadiazole. Journal of Applied SciencesResearch 4(12):2046-2064.

Nandini. 2011. Induction of systemic acquired resistanceSAR) in Arachis hypogaea L. (groundnut) by Sclerotiumrolfsii, Aspergillus flavus, and A. parasiticus derivedelicitors. Thesis. Department of Biosciences, SardarPatel University, Vallabh Vidyanagar, Gujarat, India.

Nayar, K. 1996. Development and evaluation of abiopesticide formulation for control of foliar disease ofrice. Ph.D. Thesis, TNAU, Coimbatore, India, p.223.Nematology 38:173-180.

Nemecek, T., J.S. von Richthofen, G. Dubois, P. Casta, R.Charles, and H. Pahl. 2008. Environmental impacts ofintroducing grain legumes into European crop rotations.Europian Journal of Agronomy 28(3):380-393.

Nürnberger, T. 1999. Signal perception in plant patogendefense. Cell. Mol. Life Sci. 55:167-182.

Nursyamsi, D. dan D. Setryorini. 2009. Ketersediaan P tanah-tanah netral dan alkalin. Jurnal Tanah dan Iklim 30:25-37.

Pautasso, M., T.F. Döring, M. Garbelotto, L. Pellis, and M.J.Jeger. 2012. Impacts of climate change on plantdiseases:opinions and trends. Eur. J. Plant Pathol. 19p.

Pieterse, C.M.J., C. amioudis, R.L. Beresden, D.M. Weller,S.C.M. Van Wees, and P.A.H.M. Bakker. 2014. Inducedsystemic resitance by beneficial microbes. Ann. Rev.of Phytopathology 52: 347-375.

Prathuangwong, S. and N. Buensanteai. 2007. Bacillusamyloliquefaciens induced systemic resistanceagainst bacterial pustule patogen with increasedphenols, phenylalanine ammonia lyase, peroxidasesand 1,3-â-glucanases in soybean plants. Acta

Page 93: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Inayati: Ketahanan Kacang-kacangan terhadap Penyakit

185

Phytopathologica et Entomologica Hungarica 42(2):3321-330.

Ratulangi, M.M. 2004. Pengendalian penyakit layusklerotium pada tanaman kedelai dengan solarisasitanah. Eugenia 10(1):1-7.

Ryals, J.A., S. Uknes S., and E. Ward. 1994. Systemicacquired resistance. Plant Physiol. 104: 1109-1112.

Sailaja, P.R., A.R. Podile, and P. Reddanna. 1998. Biocontrolstrain of Bacillus subtil is AF 1 rapidly induceslipoxygenase in groundnut (Arachis hypogaea L.)compared to crown rot patogen Aspergillus niger.European Journal of Plant Pathology 104(2):125-132.

Sandhu, D., I.M. Tasma, R. Frasch, and M.K. Bhattacharyya.2009. Systemic acquired resistance in soybean isregulated by two proteins, Orthologous to ArabidopsisNPR1. BMC Plant Biology 9:105.

Satdnik. 1999. Induction of resistance in wheat by abenzothiadiazole derivative against the powderymildew (Blumeria graminis f. sp. tritici) practicalaspects and mechanisms of action. Dissertation.Universitat Hohenheim. Institut fur Phytomedizin. VerlagUlrich E. Grauer. Stuttgart. 117 pp.

Shivanna, M.B., M.S. Meera, K. Kageyama, and Hyakumachi.1995. Influence of zoysiagrass rhizosphere fungalisolates on growth and yield of soybean plants.Mycoscience 36(1): 25-30.

Shweta, B., D.K. Maheshwari, R.C. Dubey, D.S. Arora, V.K.Bajpai, and S.C. Kang. 2008. Beneficial effects offluorescent pseudomonads on seed germination,growth promotion, and suppression of charcoal rot ingroundnut (Arachis hypogea L.). J. Microbiol.Biotechnol. 18(9):1578-1583.

Sreedevi, B., M.C. Dev, and D.V.R. Saigopal. 2011. Inductionof defense enzymes in Trichoderma harzianum treatedgroundnut plants against Macrophomina phaseolina.Journal of Biological Control 25:1.

Srivastava, P., S. George, J.J. Marois, D.L. Wright, and D.R.Walker. 2011. Saccharin-induced systemic acquiredresistance against rust (Phakopsora pachyrhizi)infection in soybean: Effects on growth anddevelopment. Crop Protection 30(6):726-732.

Steiner, U. and F. Schonbeck. 1995. Induced diseaseresistance in monocots. In: Hammerschmidt, R. andJ. Kuc. (Eds.). Induced resistance to disease in plants:developments in plant pathology. Dordrech: KluwerAcademic Pub. p.235-270.

Sugano, S, T. Sugimoto, H. Takatsuji, and C.J. Jiang. 2012.Induction of resistance to Phytothora sojae in soybean(Glycine max) by salicylic acid and ethylene. PlantPathology 65(5):1048-1056.

Sumartini. 2010. Penyakit karat pada kedelai dan carapengendaliannya yang ramah lingkungan. J. LitbangPertanian 29(3):107-112.

Sunar, K., P. Dey, U. Chakraborty, and B. Chakraborty. 2013.Biocontrol efûcacy and plant growth promoting activityof Bacillus altitudinis isolated from Darjeeling hills,India. J. Basic Microbiol. 55:91-104.

Taie, H.A.A., R. El-Mergawi, and S. Radwan. 2008.Isoflavonoids, flavonoids, phenolic acids profiles andantioxidant activity of soybean seed as affacted byorganic and bioorganic fertilization. American-EurasianJ. Agric. & Environ. Sci. 4(2):207-213.

Taylor, A.G., T.G. Min T.G., G.E. Harman, and X. Jin. 1991.Liquid formulation for the application of biological seedtreatments of Trichorema harzianum. Biol. Cont.1(1):16-22.

Van Loon, L.C., P.A.H.M. Bakker, W.H.W. van der Heidjdt, D.Wendenhenne, and A. Pugin. 2008. Early responsesof tobacco suspension cells to rhizobacterial elicitorsof induced systemic resistance. Mol. Plant-Microbe Inter.(21):1609-1621.

Vanderplank, J.E. 1984. Disease resistance in plants. 2nd

ed. Academic Pres Orlando. San Diego.191p.

Walters, D.L., J. Ratsep, and N.D. Havis. 2013. Controllingcrop diseases using induced resistance: challengesfor the future. Journal of Experimental Botany. 18p.

Wrather, J.A. and S.R. Koenning. 2006. Estimates of diseaseeffects on soybean yields in the United States 2003 to2005. The Journal of Nematology 38(2): 173-180.

Yoshikawa, M., Y. Takeuchi, and O. Horino. 1990. Amechanism for ethylene-induced disease resistaneinsoybean: enhanced synthesis of elicitor-releasingfactor, â-1,3, endoglucanase. Physiological andMolecular Plant Pathology 37(5):367-376.

Zhang, S., M.S. Reddy, N.K. Burelle, L.W. Wells, S.P.Nightengale, and J.W. Kloepper. 2001. Lack of inducedsystemic resistance in peanut to late leaf spot diseaseby plant growth-promoting rhizobacteria and chemicalelicitors. Plant Disease 85(8):879-884.

Zipfel, C. and S. Robatzek. 2010. Patogen-associatedmolecular pattern-triggered immunity: Veni, Vidi…?Plant Physiology 154(2):551-554.

Page 94: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2 2016

186

Page 95: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

187

Sujinah, Ali Jamil (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi)

Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap Cekaman Kekeringandan Varietas Toleran

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 1-7

Kekeringan memiliki dampak luas terhadap pertanian, sepertipenurunan produktivitas dan produksi pangan, terutama padi,mengganggu ketahanan pangan dan stabilitas perekonomian padasuatu wilayah hingga tingkat nasional. Cekaman kekeringan semakinsering terjadi seiring dengan cepatnya perubahan iklim global.Respon tanaman padi terhadap cekaman kekeringan diawali denganrespon fisiologis berupa pengurangan laju transpirasi untukpenghematan air dengan cara menutup stomata dan memperkecilluas permukaan daun dengan penggulungan daun. Namun masing-masing berakibat kepada terhambatnya pertukaran gas CO2 danO2 dari jaringan tanaman ke atmosfir, dan memperkecil tangkapanradiasi surya, yang keduanya berakibat terhadap penurunanfotosintesis. Hal ini akan mempengaruhi morfologi tanaman, sepertiukuran tajuk berkurang karena jumlah daun, anakan dan anakanproduktif per rumpunnya berkurang, luas daun menurun, umurpembungaan dan umur tanaman memanjang. Perubahan morfologisinipun berdampak terhadap perubahan proses fisiologis lanjutan,sehingga terjadi saling pengaruh antarkeduanya. Perubahan-perubahan tersebut diekspresikan tanaman berupa polapertumbuhan tanaman yang pada akhirnya berpengaruh terhadappenurunan bobot biomasa, besarnya hasil dan komponen hasiltanaman. Besarnya pengaruh tersebut selain bergantung padakeparahan cekaman, namun juga oleh varietas/galur yang memilikiperbedaan daya adaptasi dan mekanisme toleransi terhadapcekaman kekeringan.

(Penulis)

Kata kunci: Kekeringan, padi, fisiologis, morfologis, ketahanan.

Eko Hari Iswanto, Rahmini, Bambang Nuryanto, Yuliantoro Baliadi(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi)

Antisipasi Ledakan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens) denganPenerapan Teknik Pengendalian Hama Terpadu Biointensif

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 9-17

Hama wereng cokelat menjadi ancaman produksi padi di wilayahpersawahan Pantai Utara (Pantura) Jawa. Varietas tahan dijadikanpilihan utama untuk menanggulangi serangan, namun demikian,varietas tahan mempunyai keterbatasan karena wereng cokelatdapat beradaptasi membentuk biotipe baru. Pengendalian HamaTerpadu (PHT) konvensional bersifat reaktif terhadap seranganhama, dan sering tetap mengandalkan insektisida. PHT biointensifbersifat tindakan proaktif dan merupakan konsep pengendalianberdasarkan pemahaman ekologi, termasuk tanam serempak, waktusemai/tanam berdasarkan hasil monitoring serangga hamamenggunakan lampu perangkap, dan pengaturan pola rotasi tanam.Tanam serempak dan semai/tanam pada waktu yang tepat efektifmengurangi populasi hama di awal pertanaman. Aplikasi insektisidasebagai langkah terakhir dalam pengendalian wereng cokelat harusrasional dan sesuai anjuran berdasarkan hasil pengamatan intensif.

Pengendalian wereng cokelat tidak dapat diselesaikan hanyamenggunakan teknologi tetapi juga perlu peran aktif petani sebagaipengguna teknologi dan dengan dukungan pemerintah.

(Penulis)

Kata kunci: Padi, wereng cokelat, pengendalian, PHT biointensif.

Baehaki S.E, Nugraha Budi Eka Irianto, Surachmad W. Widodo (PupukIndonesia Holding Company, Jakarta)

Rekayasa Ekologi dalam Perspektif Pengelolaan Tanaman PadiTerpadu

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 19-34

Rekayasa ekologi merupakan bentuk pelayanan ekologi untukrestorasi agroekosistem supaya seluruh faktor kendali mampubekerja secara alami, menuju kehidupan yang berkelanjutan.Rekayasa ekologi dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT)memberikan pelayanan ekologi dengan memberdayakan varietaspadi, nutrisi, irigasi, pengendalian hama, dan gulma. Pengelolaanvarietas terpadu adalah bentuk pelayanan ekologi untukmeningkatkan stabilitas biodiversitas genotipe melalui perakitanvarietas tahan yang dilengkapi dengan karakter fungsional yangdiaplikasikan sebagai pertanaman mozaik varietas. Pengelolaannutrisi tanaman terpadu adalah bentuk pelayanan ekologi untukmeningkatkan kinerja bakteri pelarut fosfat, bakteri pelarut kalium,bakteri pelarut sulfur dalam bahan organik sebagai mediator sertabahan dasar pupuk anorganik sebagai starter. Pengelolaan hamaterpadu adalah bentuk pelayanan ekologi melalui dinamika-interaktifantara tanaman-hama-musuh alami berdasar SIPALAPA,ROPALAPA, pengkayaan parasitoid dan predator, tanamanperangkap dan lampu perangkap. Penggunaan lampu perangkapuntuk penentuan ambang ekonomi, strategi pengendalian, danmembantu musuh alami saat kerjanya melebihi batas kemampuan.Pengelolaan air terpadu memberi pelayanan dalam pengaturan airsecara langsung atau pengaturan kelembaban relatif dan suhusecara tidak langsung dalam penyediaan lingkungan yang cocokbagi musuh alami dan mikroba tanah. Pengelolaan pestisida terpadumenggunakan insektisida selektif pada daerah target serangan hamauntuk melayani musuh alami yang bekerja melebihi beban.

(Penulis)

Kata kunci: Rekayasa ekologi, PTT, pelayanan agroekosistem,restorasi.

Runik Dyah Purwaningrahayu (Balai Penelitian Tanaman AnekaKacang dan Umbi, Malang)

Karakter Morfofisiologi dan Agronomi Kedelai Toleran Salinitas

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 35-48

Varietas kedelai toleran salinitas lebih ekonomis untuk mengantisipasimeluasnya areal lahan dengan cekaman salinitas. Lahan pertaniandi beberapa tempat di Indonesia telah mengalami peningkatansalinitas akibat pencemaran air irigasi, pemupukan berlebihan, intrusiair laut, dan kekeringan. Salah satu cara yang murah dan mudah

IPTEK Tanaman Pangan

Volume 11, 2016

Keterangan diberikan tanpa dipungut biaya, Lembar abstrak ini dapat di-copy tanpa izin penerbit/penulis

187-1

Page 96: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

188

untuk mengatasi masalah salinitas adalah menanam varietas toleran.Untuk mendapatkan varietas kedelai toleran salinitas diperlukanpengetahuan karakter morfofisiologi dan agronomis yang menjadiindikator toleransi genotipe kedelai terhadap cekaman salinitas.Peneliti mengklasifikasikan genotipe kedelai menurut toleransinyaterhadap cekaman salinitas menjadi genotipe peka/sensitif, sedang,dan toleran, berdasarkan karakter seperti persentase tumbuh,kelangsungan hidup tanaman, tingkat keracunan garam secaravisual, kadar K+, Na+ dan Cl- jaringan tanaman, kadar prolin, tingkatkebocoran elektrolit tanaman, kadar air tanaman, biomasa tanamanserta hasil biji atau penurunan hasil biji. Genotipe kedelai yang mamputumbuh dan menghasilkan biji dengan baik pada kadar salinitastanah di atas 5 dS/m berpotensi menjadi varietas toleran salinitas.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, salinitas, toleran, morfofisiologi, agronomis.

Sri Ayu Dwi Lestari (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang danUmbi, Malang)

Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organikpada Tanaman Kedelai

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 49-55

Paitan merupakan gulma tahunan yang dapat digunakan sebagaipupuk organik untuk tanaman pangan. Bobot biomassanya mencapai9-11 t/ha bahan basah selama musim kemarau dan 14-18 t/ha padamusim hujan. Sebagai sumber pupuk N, P, K bagi tanaman, paitanmengandung 3,50-4,00% N, 0,35-0,38% P, 3,50-4,10% K, 0,59%Ca, dan 0,27% Mg. Biomassa paitan dapat dimanfaatkan sebagaipupuk hijau, mulsa, atau kompos untuk meningkatkan kesuburanfisika dan biologi tanah. Daun maupun batang paitan yang dijadikanpupuk organik meningkatkan pertumbuhan dan hasil biji kedelai.Pemberian biomass paitan sebelum benih ditanam dapat menekanpertumbuhan benih kedelai karena paitan bersifat alelopati terhadapbenih. Oleh karena itu pemberian biomassa paitan segar disarankansetelah benih tumbuh, 3-4 minggu setelah tanam.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, pupuk organik, paitan.

Ratri Tri Hapsari (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang danUmbi, Malang); Selly Salma (Balai Penelitian Tanah), Eni Widajati,Maryati Sari (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB)

Peranan Methylobacterium spp. dalam Meningkatkan danMempertahankan Vigor Benih Kedelai

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 57-66

Kedelai dapat berfungsi sebagai pangan fungsional dan sumberprotein penting dalam menu makan di Indonesia. Faktor penentudalam peningkatan hasil kedelai adalah penggunaan benih bermututinggi. Faktor pembatas penyediaan benih kedelai di daerah tropisadalah kemunduran mutu benih yang berlangsung cepat selamapenyimpanan. Benih bermutu tinggi dicirikan oleh vigor yang tinggi,yang dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu vigor kekuatan tumbuhdan vigor daya simpan. Vigor kekuatan tumbuh mengindikasikanvigor benih pada kondisi alam suboptimum, sedangkan vigor dayasimpan adalah kemampuan benih untuk disimpan dalam kondisisuboptimal. Perlakuan benih menggunakan “mikroba bermanfaat”dapat melindungi tanaman pada tahap pembibitan atau persemaian,hingga selama siklus hidup tanaman. Methylobacterium spp. dapathidup pada senyawa berkarbon tunggal (C1) dari tanaman, yaitumetanol (CH3OH) atau metilamina (CH3NH2) sebagai sumber karbon.Methylobacterium spp. dapat memproduksi IAA, GA3 dantranszeatin, serta dapat memproduksi PQQ dan tokoferol. Tokoferol

merupakan zat antioksidan yang dapat membatasi oksidasi lipidnonenzimatik benih selama penyimpanan, perkecambahan, danperkembangan awal bibit. Methylobacterium spp. dapat digunakanuntuk meningkatkan perkecambahan benih kedelai dengan carainokulasi benih atau dengan imbibisi benih, sedangkan untukmempertahankan daya simpan benih kedelai dapat digunakan teknikpelapisan benih yang diintegrasikan dengan Methylobacterium spp.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, benih, vigor, Methylobacterium spp., pelapisanbenih.

Pratanti Haksiwi Putri (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang danUmbi, Malang)

Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 67-76

Salinitas pada umumnya bersumber pada kadar garam yang terlarutdalam tanah atau air tanah. Salinitas dapat didefinisikan sebagaikondisi tanah dengan EC > 4 dS/m (setara dengan 40 mM NaCl),tekanan osmotik 0,2 MPa, dan exchangeable sodium percentage(ESP) < 15. Salinitas dapat terjadi pada lahan kering iklim kering danlahan rawa pasang surut yang berada di dekat pantai. Luas lahansalin semakin bertambah akibat degradasi lahan pada lahan optimal.Kombinasi pemupukan yang berlebih, sistem pengairan yang burukdan perubahan iklim merupakan beberapa faktor penyebab salinitas.Hal ini menyebabkan salinitas menjadi isu penting dalampengembangan pertanian saat ini dan yang akan datang. Penelitianterkait evaluasi ketahanan kedelai terhadap salinitas telah banyakdilakukan, namun, masih terdapat inkonsistensi respon genotipekedelai terhadap cekaman salinitas. Makalah ini bertujuan untukmereview metode penapisan kedelai toleran salinitas untukmemperoleh metode yang tepat. Penapisan kedelai toleran salinitasperlu dilakukan pada seluruh fase pertumbuhan untuk melihatkonsistensi ketahanan genotipe terhadap salinitas. Hal-hal yangharus diperhatikan dalam penapisan kedelai toleran salinitas adalah(1) kontrol DHL secara berkala, (2) pemilihan variabel pengamatanyang berkorelasi langsung dengan karakter toleran salinitas, (3) ujipendahuluan untuk menentukan batas kritis salinitas genotipe bahanuji dan (4) melakukan penapisan molekuler untuk mereduksi jumlahgenotipe uji apabila jumlah genotipe sangat banyak. Kegiatan tetapdilanjutkan dengan penapisan fisiologis mengingat fenotipemerupakan hasil interaksi antara genotipe dengan lingkungan.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, salinitas, toleran, penapisan.

Apri Sulistyo (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Ubi)

Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 77-84

Kutu kebul adalah hama pengisap daun dan merupakan salah satuhama utama kedelai. Nimfa dan imago kutu kebul diketahui sebagaistadia yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung maupuntidak langsung. Pengendalian secara kimiawi belum memberikanhasil yang memuaskan, bahkan berdampak negatif terhadaplingkungan, merusak agens hayati potensial dan menyebabkanresistensi kutu kebul terhadap senyawa kimia. Salah satu teknikpengendalian hama yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaanhama terpadu (PHT) adalah penggunaan varietas tahan. Tahapankrusial dalam perakitan varietas tahan adalah seleksi ketahanan.Aspek yang perlu diperhatikan dalam seleksi ketahanan adalahmekanisme ketahanan dan karakteristik agronomi genotipe tahan.Mekanisme ketahanan kedelai terhadap kutu kebul dapat berupa

188-2

Page 97: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

189

antixenosis fisik, antara lain melalui trikoma daun dan ketebalandaun. Berdasarkan mekanisme ketahanan antixenosis, seleksiketahanan dilakukan berdasarkan jumlah infestasi kutu kebul (telur,nimfa, pupa, dan imago) per satuan luas daun. Selain antixenosis,mekanisme ketahanan antibiosis juga terjadi pada kedelai. Seleksiketahanan berdasarkan mekanisme antibiosis dilakukan denganmemperhatikan siklus hidup kutu kebul, mulai dari telur yang menetasmenjadi nimfa, kemudian berkembang menjadi pupa hingga menjadiimago dewasa. Gejala ketahanan antibiosis pada kedelai terhadapkutu kebul dapat berupa siklus hidup yang cepat, jumlah telur yangmenetas menjadi nimfa sedikit, periode nimfa yang panjang, dankegagalan imago keluar dari pupa. Seleksi ketahanan berdasarkanmekanisme toleransi dapat dilakukan dengan memperhatikanpenurunan hasil atau intensitas kerusakan pada saat terjadiserangan kutu kebul. Di Indonesia, program perakitan varietaskedelai tahan kutu kebul dapat diarahkan ke mekanisme toleransidengan menggunakan parameter intensitas kerusakan daun sebagaikriteria seleksi.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, kutu kebul, antixenosis, antibiosis, toleransi,kriteria seleksi.

Soenartiningsih, M. Aqil, N.N. Andayani (Balai Penelitian TanamanSerealia, Maros)

Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan KontaminasiMikotoksin pada Jagung

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 85-93

Cendawan tular tanah, Fusarium sp., merupakan penyakit utamapada tanaman jagung, terutama pada musim hujan. Cendawan inimenyebabkan penyakit busuk batang, busuk tongkol, dan busukbiji. Gejala serangan: daun mendadak layu dan mengering, pangkalbatang berubah warna menjadi cokelat kekuningan, dan apabilacendawan mencapai tongkol atau bij i akan menyebabkanpembusukan biji. Spesies cendawan Fusarium yang dapatmenginfeksi tanaman jagung adalah F. moniliforme (verticillioides),F.oxysporum, F. proliferatum, F. solani, F. equeseti, dan F.graminearum. Mikotoksin cendawan tular tanah Fusarium sp.bersifat toksik pada manusia dan hewan, berupa senyawaZearalenon, Fomonisin, Trikotezen (Deoksinivalenol, toksin T2) danMoniliformen. Infeksi Fusarium dan kontaminasi mikotoksin padatanaman jagung harus dikendalikan sejak awal melalui beberapatahapan, mencakup pengelolaan tanaman secara optimal,penggunaan varietas tahan, pengendalian penyakit fusarium secarakimiawi dan hayati, penanganan panen dan penangananpascapanen secara baik, dengan perhatian pada penekanansenyawa mikotoksin pada biji.

(Penulis)

Kata kunci: Jagung, cendawan Fusarium, mikotoksin, pengendalian.

Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo, Suwarno (Balai BesarPenelitian Tanaman Padi)

Pemuliaan Padi Gogo Adaptasi pada Lahan Kering Pemuliaan PadiGogo Adaptasi pada Lahan Kering

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 95-106

Lahan kering di Indonesia potensial sebagai lumbung padi. Namunhingga saat ini baru sebagian kecil lahan kering yang telahdimanfaatkan untuk budi daya padi gogo dengan produktivitas masihdi bawah padi sawah. Untuk meningkatkan produksi padi gogo

dibutuhkan inovasi teknologi yang adaptif terhadap berbagaicekaman lingkungan pada lahan kering. Varietas unggul menjadisalah satu teknologi penting dalam sistem produksi padi pada lahankering. Program pemuliaan padi gogo diarahkan untuk merakitvarietas unggul yang toleran terhadap berbagai cekaman abiotikseperti kemasaman tanah, defisiensi hara, keracunan aluminium,kekeringan, intensitas cahaya rendah dan suhu rendah. Selain itupemuliaan padi gogo juga diarahkan pada perbaikan ketahananvarietas terhadap penyakit blas. Peningkatan keragaman genetikvarietas unggul dalam hal ketahanan terhadap blas menjadi kuncipengendalian penyakit penting tersebut. Sejumlah varietas unggulbaru padi gogo yang adaptif terhadap berbagai cekaman lingkungandan memiliki ketahanan terhadap blas yang beragam telah dihasilkanmelalui program pemuliaan. Tantangan berikut yang harus dihadapidalam pengembangan varietas unggul tersebut adalah ketersediaanbenih bermutu di tingkat petani yang masih sangat rendah minimnyadukungan sistem perbenihan formal. Hingga saat ini pertanamanpadi gogo masih didominasi oleh varietas lokal dan varietas unggulbukan untuk lahan kering namun benihnya tersedia di pasar. Untukmemecahkan permasalahan tersebut telah diinisiasi pengembangansistem perbenihan berbasis komunal. Dengan dukungan programpemuliaan dan sistem perbenihan yang kuat diharapkan potensilahan kering dapat dimaksimalkan untuk mendukung keberlanjutanproduksi beras nasional.

(Penulis)

Kata kunci: Padi gogo, pemuliaan, cekaman abiotik, cekaman biotik,sistem perbenihan.

Cucu Gunarsih, Nafisah, Trias Sitaresmi (Balai Besar PenelitianTanaman Padi)

Pembentukan Varietas Padi Sawah Dataran Tinggi Toleran CekamanSuhu Rendah

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 107-117

Cekaman suhu rendah menjadi masalah utama bagi pertumbuhantanaman padi di dataran tinggi. Genotipe dari subspesies japonicamemiliki tingkat toleransi suhu rendah lebih baik dibandingkan dengangenotipe dari subspesies indica. Padi yang banyak ditanam diIndonesia adalah genotipe subspecies indica. Toleransi tanamanpadi terhadap suhu rendah merupakan karakter yang penting, yangperlu mendapatkan perhatian khusus dalam pemuliaan tanaman padadataran tinggi. Varietas lokal yang toleran suhu rendah diantaranyaSarinah, Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau. Balai Besar PenelitianTanaman Padi telah melepas beberapa varietas unggul yang sesuaiuntuk ekosistem dataran tinggi (>700 m dpl), yaitu Batang Piaman,Inpari 26, Inpari 27 dan Inpari 28 Kerinci. Pemuliaan padi sawahuntuk memperoleh genotipe toleran suhu rendah dianjurkan untuklebih diintensifkan dengan cara memanfaatkan varietas lokal,varietas introduksi, pembuatan persilangan dan pemanfaatanbioteknologi agar meningkatkan peluang diperolehnya varietastoleran suhu rendah. Dalam pembentukan varietas unggul padisawah dataran tinggi disarankan pada karakter vigor bibit baik,tinggi tanaman sedang, eksersi malai sempurna, pembungaanseragam, dan fertilitas malai tinggi. Varietas padi yang tolerancekaman suhu rendah dan berdaya hasil tinggi akan menguntungkanpetani. Penelitian dasar tentang proses fisiologi toleran suhu rendahtelah banyak dilakukan dan dapat dimanfaatkan dalam penyusunanprogram pemuliaan padi toleran suhu rendah lebih lanjut.

(Penulis)

Kata kunci: Padi, japonica, indica, suhu rendah.

189-3

Page 98: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

190

Rina Hapsari Wening, Untung Susanto, Satoto (Balai Besar PenelitianTanaman Padi)

Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri: Perakitan danPenyebaran di Sentra Produksi

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 119-126

Hawar daun bakteri atau HDB (Xanthomonas oryzae pv. oryzaeatau Xoo) merupakan penyakit penting tanaman padi di negarapenghasil padi, termasuk di Indonesia. Penggunaan varietas tahandinilai efektif pengendalian HDB di daerah endemik. Pemuliaantanaman padi tahan hawar daun bakteri akan efektif j ikamenggunakan seleksi dengan teknik bioassay, seleksi di daerahendemik, dan teknik MAS. Pemilihan varietas tahan pada suatuwilayah harus mempertimbangkan komposisi HDB di wilayahtersebut. Beberapa varietas unggul padi telah dilepas dan dapatdirekomendasikan untuk wilayah endemik HDB dengan komposisiHDB tertentu.

(Penulis)

Kata kunci: Padi, pemuliaan, hawar daun bakteri, varietas tahan.

Eko Hari Iswanto, Agus Guswara (Balai Besar Penelitian TanamanPadi); R. Heru Praptana (Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan)

Peran Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman Padi terhadapKetahanan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens)

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 127-132

Sifat tahan varietas terhadap wereng cokelat merupakan komponenpenting dalam budi daya padi sawah, karena pemanfaatanteknologinya mudah, murah dan ramah lingkungan sehingga cepatdiadopsi petani. Ketahanan varietas berkorelasi dengan kandungansenyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman.Senyawa asam oksalat, tricin, schaftoside, isoschaftoside danapigenin-C-glycosides berfungsi sebagai penolak (detterence),penghambat makan (antifeeding) atau bersifat racun (toxicosis)terhadap wereng cokelat. Kandungan senyawa-senyawa tersebutlebih tinggi pada varietas tahan dibanding varietas rentan. Setiapvarietas mempunyai komposisi dan kandungan senyawa yangberbeda-beda. Dengan mengetahui kandungan senyawa metabolitspesifik sebagai penanda, proses seleksi menjadi lebih mudah dancepat untuk mendeteksi genotipe tahan pada program pemuliaan.

(Penulis)

Kata kunci: Padi, varietas tahan, metabolit sekunder, deteksi genotipe.

Suriani, Amran Muis (Balai Penelitian Tanaman Serealia)

Fusarium pada Tanaman Jagung dan Pengendaliannya denganMemanfaatkan Mikroba Endofit

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 133-141

Mikroba endofit tumbuh dan berkembang dalam jaringan tanamandan dapat ditemukan pada bagian akar, batang dan daun.Pemanfaatan mikroba endofit sebagai agens pengendali hayatipatogen tanaman telah lama diterapkan. Kemampuan berkompetisidalam ruang dan nutrisi, memproduksi senyawa antibiotik menjadihal mendasar dalam penggunaan mikroba endofit sebagai agenshayati pengendali patogen tanaman. Beberapa spesies mikrobaendofit yang ditemukan pada tanaman jagung dari golongancendawan, bakteri maupun actinomycetes di antaranyaTrichoderma spp., PenIicillium sp., Bacillus spp., dan Altenariaalternata. Mikroba tersebut telah dilaporkan oleh beberapa penelitiakan keefektifannya dalam menekan perkembangan patogen

Fusarium spp. yang menyebabkan busuk batang, tongkol dan bijijagung. Dengan demikian, mikroba endofit memiliki prospek untukdikembangkan sebagai salah satu komponen pengendalian penyakittanaman jagung yang murah dan ramah lingkungan.

(Penulis)

Kata kunci: Endofit, mikroba, Fusarium spp., jagung.

Nurasiah Djaenuddin (Balai Penelitian Tanaman Serealia)

Interaksi Bakteri Antagonis dengan Tanaman: Ketahanan Terinduksipada Tanaman Jagung

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 143-148

Pengendalian secara biologi terhadap patogen tular tanah dilakukanuntuk menurunkan aktivitas penyakit oleh patogen melalui satu ataulebih mekanisme. Dalam dua dekade terakhir perhatian padapengendalian secara biologi terhadap patogen tanaman tular tanahmeningkat, karena dapat memberikan manfaat pengendalianterhadap penyakit, tidak hanya satu cara, namun dipadukan denganpengendalian strategis lainnya. Kolonisasi akar tanaman adalahlangkah penting untuk bakteri patogen tular tanah dan bakteri yangmenguntungkan (bakteri antagonis dan rizobakteria). Pola kolonisasimenunjukkan rizobakteria bertindak sebagai agens biokontrol ataubakteri pemacu pertumbuhan terbentuknya mikrokoloni. Mikrokolonidigunakan sebagai tempat bagi bakteri untuk berinteraksi satu samalain agar terkoordinasi lebih baik dengan eksudat akar. Elisitasi atauproses penambahan elisitor (senyawa kimia) pada sel tumbuhanditujukan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukanmetabolit sekunder, awalnya ditunjukkan oleh Pseudomonas spp.dan bakteri gram negatif lainnya. Beberapa strains dari spesiesBacillus subtilis, B. cereus, dan B. pumilus mengelisitasi secarasignifikan kejadian atau keparahan berbagai penyakit pada tanamanjagung, padi, dan hortikultura. Elisitasi dari ketahanan terinduksisistemik oleh strain tersebut ditunjukkan pada percobaan di rumahkaca dan lapang pada jagung, padi, tomat, semangka, dan mentimun.Elisitasi oleh Bacillus spp. membentuk mekanisme ketahanansistemik terinduksi pada tanaman yang tertular penyakit bercakdaun cendawan dan bakteri, virus, nematode, mati kecambah, danpenyakit hawar. Berdasarkan pemahaman pengetahuan ini makaterdapat peluang eksplorasi strains spesies bakteri yang efisiensebagai pendekatan dalam pengendalian secara biologi.

(Penulis)

Kata kunci: Ketahanan terinduksi, bakteri antagonis, biokontrol,jagung.

Siti Muzaiyanah, Subandi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacangdan Umbi, Malang)

Peranan Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Kedelai danUbi Kayu pada Lahan Kering Masam

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 149-157

Usaha peningkatan produksi kedelai dan ubi kayu dapat ditempuhdengan ekstensifikasi ke lahan kering masam. Pemberian ameliorasibahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah. Sumberbahan organik dapat diperoleh dari l imbah pertanian dannonpertanian, di antaranya kompos dan pupuk kandang. Selainmemperbaiki sifat kimia, fisika, fisiko-kimia dan biologi tanah,pemberian bahan organik juga menunjang fase vegetatif tanamandan meningkatkan hasil kedelai dan ubi kayu di lahan kering masam.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, ubi kayu, bahan organik, lahan kering masam.

190-4

Page 99: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

191

Sumartini (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi)

Biopesticides to Control Pests and Diseases on Legumes and TuberCrops

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 159-165

Beberapa jenis hama dan penyakit pada tanaman pangan harusdikendalikan. Biopestisida merupakan salah satu komponenpengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Di Indonesiabiopestisida masih kurang populer, pengetahuan tentang biopestisidadisamakan dengan pertanian organik, padahal teknologi sudahbanyak tersedia. Pestisida nabati banyak dibuat dari ektrak bahanjamu-jamuan atau rempah-rempah yang banyak tersedia sepertilengkuas, mimba, dan jahe. Efektivitas penggunaan biopestisda tidakbisa 100%, karena itu sangat baik untuk tujuan preventif. Penyediaanbiopestisida memerlukan keterampilan khusus, sehingga perlupelatihan sebagai pembekalan untuk usaha kemandirian, dalam halini banyak petani yang belum tahu sehingga masih diperlukan SL-PHT. Jika banyak petani yang sudah menerapkan biopestisida dalamusahataninya, maka lingkungan tidak akan tercemar oleh bahan-bahan beracun. Tulisan ini mengulas definisi dan efektivitasbiopestisida yang sudah digunakan masyarakat, serta kendala dankeuntungannya dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman.

(Penulis)

Kata kunci: biopestisida nabati, biopestisida hayati, tanaman pangan.

Sulistiyo Dwi Setyorini, Eriyanto Yusnawan (Balai PenelitianTanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang)

Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Aneka Kacangsebagai Respon Cekaman Biotik

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 167-174

Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa tidak esensialbagi pertumbuhan tanaman. Senyawa metabolit sekunder dihasilkandalam jumlah berlebih oleh tanaman pada keadaan tertentu. Senyawaini unik dan berbeda pada setiap spesies. Berbagai jenis tanamanmampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder pada keadaantertentu, termasuk tanaman aneka kacang. Tanaman menghasilkansenyawa metabolit sekunder sebagai mekanisme pertahanan daricekaman, biotik maupun abiotik. Cekaman biotik pada tanamandisebabkan oleh hama, penyakit, dan gulma. Bagi manusia, senyawametabolit sekunder dapat bersifat racun atau zat yangmenguntungkan, bergantung pada jenis senyawa yang terbentuk.

Senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat telah digunakansebagai obat, pestisida, dan bahan baku kosmetik. Tanaman anekakacang mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder yangbersifat antioksidan bagi manusia, sehingga diperlukan upaya untukmeningkatkan ekspresi tersebut. Salah satunya adalah denganmenambahkan elisitor. Kombinasi jenis dan waktu pemberian elisitordapat meningkatkan metabolit sekunder.

(Penulis)

Kata kunci: Metabolit sekunder, aneka kacang, cekaman, biotik

Alfi Inayati (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi,Malang)

Ketahanan Terimbas Tanaman Kacang-kacangan terhadap Penyakit

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 175-185

Tanaman kacang-kacangan mempunyai peran penting sebagaisumber gizi, menjaga kualitas tanah, dan pakan ternak.Produktivitasnya di tingkat petani masih rendah. Hal ini disebabkanantara lain oleh serangan hama dan penyakit dan pengaruhkeharaan. Kehilangan hasil akibat hama dan penyakit cukup tinggi,mencapai 80%. Ketahanan terimbas merupakan salah satu upayauntuk mengendalikan penyakit dan meningkatkan kualitaspertumbuhan tanaman kacang-kacangan. Beragam elisitor (biotikdan abiotik) serta mekanisme pengimbasan telah diuji danmemberikan hasil yang menggembirakan. Ketahanan terimbasmampu meningkatkan ketahanan tanaman kacang-kacanganterhadap infeksi patogen berupa jamur, bakteri, dan virus yangditularkan melaui tanah, terbawa benih, maupun yang terdapat dipermukaan daun, di antaranya Sclerotium rolfsii, Rhizoctoniasolani, Fusarium sp., Aspergil lus flavus , Cercosporidiumpersonatum, Xanthomonas axonopodis, Peanut mottle virus, dansoybeant stunt virus. Namun demikian, pemanfaatannya di Indonesiasangat sedikit. Mikroorganisme seperti jamur Trichoderma sp., jamurfusarium nonpatogenik, dan bakteri Pseudomonas fluoroscent mulaidimanfaatkan sebagai agens pengendalian penyakit secara biologimeskipun masih terbatas. Di masa datang, ketahanan terimbas akanmenjadi salah satu komponen penting dalam pengendalian penyakitsecara terpadu.

(Penulis)

Kata kunci: Elisitor, abiotik, biotik, ketahanan terimbas, kacang-kacangan.

191-5

Page 100: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

192

IPTEK Tanaman Pangan

Volume 11, 2016

The description given are free terms. This abstract sheets may be reproduced without permission of charge

Sujinah, Ali Jamil (Indonesian Center for Rice Research)

Mechanism Response of Rice Under Drought Stress and TolerantVarieties

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 1-7

IDrought has wide impact on agriculture such as reduced riceproductivity and production, impacted on food security andeconomical stability in the region as well as at national level. Droughtstress problem would become more frequent in relation withaccelerated global climate changes. Response of rice crop to waterstress begins with physiological process disturbance in the plant,such as reducing transpiration rate by means of stomata closureand reducing leaf surface area or leaf rolling. Each action maycause reducing CO2 and O2 gas exchanges to the atmosphere,and reduce solar radiation interception. Both condition may decreasephotosynthetic process on the leaves. This physiological responsesmay affect plant morphology such as reducing canopy size due todecreasing leaf number and leaf area per hill, reducing number oftotal and productive tillers per hill, delaying flowering and grainmaturing. Changes in this crop morphology also have impact onfurther crop physiological processes. Therefore, there are inter-affects between physiological processes and crop morphology.The changes of the processes and condition cause the changesof crop growth pattern, and finally decrease biomass weight, yieldcomponents and grain yield. The degree of declining depending onthe drought stress level and also on the rice genotype which havedifferent adaptability and tolerance mechanism to drought stress.

(Author)

Keywords: Drought, rice, physiologic, morphologic, tolerance.

Eko Hari Iswanto, Rahmini, Bambang Nuryanto, Yuliantoro Baliadi(Indonesian Center for Rice Research)

Anticipation of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens) outbreakthrough Biointensive Integrated Pest Management

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 9-17

Brown planthopper (BPH) threatens rice production in the northernJava area. Resistance rice to BPH is the most preferred method tocontrol this pest. However, brown planthopper could adapt to itshost and break the resistant gene, to form a new biotype.Conventional IPM is usually reactive, still depending on the use ofinsecticide, whereas biointensive-IPM is a proactive actions, basedon an ecological understanding, including synchronize plantingtimes, seeding and planting time are determined based on the resultsof pest monitoring using light trap, and management of croppingpattern. Synchronized planting and appropriate planting time reducespopulation of brown planthoppers effectively on the early plantingstage. Insecticide application if ever needed, is the last option to beapplied for controlling the pest, which has to be applied rationallyas recommended. Controlling brown planthoppers also requiresthe active role of farmers with the government support.

(Author)

Keywords: Rice, brown planthopper, pest management,biointensive-IPM.

192-1

Baehaki S.E, Nugraha Budi Eka Irianto, Surachmad W. Widodo (PupukIndonesia Holding Company, Jakarta)

Ecological Engeneering on Integrated Crop Management Perspective

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 19-34

Ecological engineering is a form of ecological services for the agro-ecosystem restoration in order the whole control factors worknaturally, toward to sustainable of life. Ecological engineering inintegrated crop management (ICM) provides ecological services toempowering rice varieties, nutrition, irrigation, pest, and weedcontrol. Integrated varieties management is a form of ecologicalservices to improve the ecological stability of genotypes biodiversitythrough the assembly of resistant varieties that equipped with afunctional character to be applied as a mosaic varieties. Integratednutrition management is a form of ecological services to improvethe performance of the phosphate solubilizing bacteria (PSB),potassium solubilizing bacteria (KSB), and sulfur oxidizing bacteriain an organic fertilizer as a mediator and the basic material ofinorganic fertilizer as a starter. Integrated pest management is aform of ecological services through dynamics interactive betweenplant-pest-natural enemies based SIPALAPA, ROPALAPA,enrichment parasitoids and predators, plant traps and light traps.The use of light traps to determine the economic threshold, controlstrategies, and help the natural enemies when it works exceed thelimits. Integrated water management to provide services in theregulation of water directly or regulation of relative humidity andtemperature indirectly in providing a suitable environment for naturalenemies and soil microbes. Integrated pest management usesselective insecticides to the area of target pests to serve the naturalenemies that work over load.

(Author)

Keywords: Ecological engineering, ICM, agro-ecosystem services,restoration.

Runik Dyah Purwaningrahayu (Indonesian Legumes and TuberCrops Research Institute)

Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain inIndonesia

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 35-48

Salt tolerant cultivar of soybean is considered more economical toanticipate the spread of land salinity. Increased salinity in agriculturallands occurred in several places in Indonesia, resulted from thecontamination of irrigation water, excessive uses of fertilizers, seawater intrusion and drought stress. To breed the salt tolerantsoybean cultivars required knowledge of specific morpho-physiological and agronomical characters which can be used asan indicator of soybean genotypes tolerance to salinity stress.Researchers classified soybeans according to their degree oftolerance to salinity stress, namely sensitive, moderate, andtolerance based on plant characters such as: emergency ability,growth and survival rate, the degree of toxicity due to salt, K+, Na+and Cl- concentration in plant tissues, prolines accumulation,electrolyte leakage rates, water content of plant, plant biomassand seed yield or reduced seed yield. Soybean genotypes which

Page 101: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

193193-2

could grow and produce seed in soil with the salinity levels ofabove 5 dS/m is considered as having potential for the tolerantvarieties.

(Author)

Keywords: Soybean, salt tolerance, morpho-physiological,agronomical.

Sri Ayu Dwi Lestari (Indonesian Legumes and Tuber CropsResearch Institute)

The Advantage of Using ‘Paitan’ as Organic Manure for Soybean

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 49-55

Paitan is an annual weed which can be used as organic manurefor crops. The yield of biomass is about 9-11 t/ha during the dryseason and 14-18 t/ha during the rainy season. As a source of N,P, K nutrients for plants, paitan contains 3.50-4.00% N, 0.35-0.38%P, 3.50-4.10% K, 0.59% Ca, and 0.27% Mg. Biomass of paitan canbe used as a green manure, mulch, or compost to improve physicaland biological soil fertility. The leaves and stems used as organicmanure can improve the growth and yield of soybean. Applicationof paitan biomass before the seed planted, however, may suppressthe growth of soybean seed due to its alelopatic effect to seedling.Therefore, application of fresh paitan biomass is suggested afterthe seeds germinate, at 3-4 weeks after planting.

(Author)

Keywords: Soybean, organic manure, paitan.

Ratri Tri Hapsari (Indonesian Legumes and Tuber Crops ResearchInstitute); Selly Salma (Indonesian Soil Research Institute), EniWidajati, Maryati Sari (Department Agronomy and Horticulture,Faculty of Agriculture, IPB)

The Role of Methylobacterium spp. for Improving and MaintainingSoybean Seed Vigor

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 57-66

Soybean is considered as a functional food, due to its status assource of protein in Indonesia dietary. The soybean seeds determinethe quality of soybean products through a better crop in the farm.Factor limiting the supply of soybean seeds in the tropics is therapid deterioration of seed germination during storage, therebyreduces the availability of high quality of seed. Seed vigor is dividedinto two categories, namely the seed growth strength vigor andlongevity seed vigor. Seed growth strength vigor indicates thegrowing strength in a suboptimum condition, while seed longevityvigor is the ability of seed lot to be stored in a suboptimum condition.Seed treatment uses beneficial microbes can protect plants in thenursery stage, and during the plant life cycle. Methylobacteriumspp can live in a single-carbon compounds of the plant, such asmetanol (CH3OH) or methylamine (CH3NH2) as a carbon source.Methylobacterium spp can produce IAA, GA3 and transzeatin.Methylobacterium spp can produce PQQ and tocopherol, one ofthe antioxidants that limit the nonenzimatic lipid oxidation duringseed storage, germination and early seedling development.Methylobacterium spp can be used to improve the germination ofsoybean seed through seed inoculation, while maintaining soybeanseed longevity can be obtained by coating the seed withMethylobacterium spp.

(Author)

Keywords: Soybean, seed, vigor, Methylobacterium spp., seedcoating.

Pratanti Haksiwi Putri (Indonesian Legumes and Tuber CropsResearch Institute)

Screening Method for Salinity Tolerance in Soybeans

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 67-76

Soil salinity is due to the dissolved salt in the soil or groundwater.Salinity can be defined as the condition of the soil with EC > 4 dS/m(equivalent to 40 mM NaCl), the osmotic pressure of 0.2 MPa, and theexchangeable sodium percentage (ESP) of <15. Salinity occurs ondry land dry climate and on tidal swamp land near the beach. Salineland area is increasing as a result of land degradation due to variouscauses. The combination of excessive fertilization, poor irrigationsystems and climate change are some of the factors causing salinity.This causes salinity becomes an important issue in the developmentof agriculture today and in the future. Research on evaluation ofsoybean resistant to salinity had been done, however, there weresome inconsistence results. This paper aimed to review the methodof screening for salinity tolerance of soybean, to obtain an appropriatemethod. Screening for saline-tolerant soybean genotypes need tobe done on the entire growth phases of plant, to see the consistencyof genotypic resistance to salinity. Things to be considered inscreening salinity tolerant in soybean including (1) controlling DHLperiodically, (2) the selection of observed variables correlated directlywith the saline-tolerant characters, (3) a preliminary test to determinethe critical limits of salinity tolerance and (4) to perform molecularscreening to reduce the amount of the genotype if the number is toomany. The activities should be continued with its physiologicalscreening, to avoid the false result due to the phenotype andgenotypes-environment interaction.

(Author)

Keywords: Soybean, salinity, tolerance, screening.

Apri Sulistyo (Indonesian Legumes and Tuber Crops ResearchInstitute)

Prospect of Resistant Varieties on the Control of Whitefly inGroundnut

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 77-84

Whitefly (Bemisia tabaci Genn.) is a leaf-sucking insect and is amajor pest on soybean. Nymphs and adults of whitefly are insectstages that cause damage directly or indirectly on the host plant.Chemical control to the pest has not produced satisfactorily results,and even has given a negative impact on the environment, damagingthe efficacy of biological agents, and causing resistance to chemicalcompounds on whitefly. Pest control techniques based on IntegratedPest Management (IPM) is using the resistant varieties. Selectioncriteria for resistance to pest are needed based on the resistancemechanism and agronomic characteristic of resistant genotypes.Soybean resistant mechanism to whitefly could be through physicalantixenosis, such as through the leaf trichomes and leaf thickness.Based on antixenosis mechanism, selection for resistance is doneby counting the number of whitefly infestation (eggs, nymphs, pupas,adults) per leaf area. Antibiosis mechanism was selected byobserving the life cycle of whitefly, including the duration of thehatching eggs into nymphs, the development of the nymph into pupa,and the adult insect emergence. Selection of resistant soybean basedon tolerance mechanisms was done by observing the decrease ingrain yield due to whitefly attacks. Soybean breeding to obtainvarieties resistant to whiteflies in Indonesia could use the mechanismof tolerance based on leaf damage intensity, as selection criteria.

(Author)

Keywords: Soybean, whitefly, antixenosis, antibiosis, tolerance,selection criteria.

Page 102: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

194194-3

Soenartiningsih, M. Aqil, N.N. Andayani (Indonesian CerealsResearch Institute)

Strategy for Controling Fusarium sp. and Mycotoxin Contaminationin Corn

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 85-93

Soil borne fungus Fusarium sp., is a major cause of disease incorn, especially during the rainy season, which causes stem rotdisease, ear rot and rotten seeds. The disease symptoms includesudden wilting of leaves, drying stem turns brown in color, and if itreached the ear the seeds will decay. Several species of Fusariumfungus could attack maize, namely F. moniliforme (verticillioides), F.oxysporum, F. proliferatum, F. solani, F. equeseti, F. graminearum.Some soil borne fungal mycotoxins produced by Fusarium sp. aretoxic to human and animals such as Zearalenon, Fomonisin,Trikotezen (Deoksinivalenol, Toxin T2) and Moniliformen. Strategyto suppress the infection of Fusarium causing the mycotoxincontamination in maize requires actions, beginning from planting tillharvest taking into account several stages of crop management,disease management, use of resistant varieties, disease controlusing chemical and biological fungicide followed by properlyhandling the harvest and post-harvest materials and emphasizingthe avoidance compound of mycotoxins in the grains.

(Author)

Keywords: Corn, Fusarium fungus, mycotoxin, control.

Aris Hairmansis, Yullianida, Supartopo, Suwarno (Indonesian Centerfor Rice Research)

Rice Improvement for Upland Areas

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 95-106

Upland area in Indonesia has a great potential for rice production.However, only a small portion of the potential upland area has beenutilized for rice cultivation with very low productivity. The availabilityof new technologies in rice management is very important toincrease rice production in this marginal area. Improved rice varietyis among the most important technologies which has to be introducedto the farmers in upland areas. Upland rice breeding program aimsto develop improved rice varieties which are tolerant to diverseabiotic stresses including soil acidity, nutrient deficiency, aluminiumtoxicity, drought, low light intensity and low temperature. Anotherimportant trait in upland rice breeding program is the resistance toblast disease which is the most devastating disease in humid uplandarea. The increase in genetic diversity of improved rice varieties toblast disease is the key to control the disease. A significant numberof improved upland rice varieties have been developed through thebreeding program in Indonesian Agency for Agricultural Researchand Development. The future challenge in the development of uplandrice is the delivery of the high-quality seeds of improved ricevarieties to the farmers due to the lack of support from formal seedsystem in upland areas. Until now upland rice areas are stilldominated by traditional varieties and modern varieties which arenot developed for upland area but their seeds available in market.Community Based Seed Bank System has been initiated to beimplemented in upland area to overcome the problem. Through astrong support from breeding program and proper seed system it isexpected the potency of upland rice in Indonesia could be maximizedto support the sustainability of rice production in the country.

(Author)

Keywords: Upland rice, breeding, abiotic stress, biotic stress, seedsystem.

Cucu Gunarsih, Nafisah, Trias Sitaresmi (Indonesian Center forRice Research)

Development of High-elevation Rice Varieties Tolerant to LowTemperature

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 107-117

Low temperature becomes a major constrain for rice production inhigh elevation. This condition causes losses because of grain fillingproblem. Sub-species of japonica have a low temperature tolerance,which is better than indica. Indica subspecies are most grownwidely in Indonesia. Low temperature tolerance is an importantcharacter, because it is one of issue that needs more attention onplant breeding program. Indonesia local varieties with lowtemperature tolerance are Sarinah, Pulu ‘Mandoti, Pinjan andLambau. Indonesian Center for Rice Research released a numberof varieties tolerant to low temperature (for > 700 m asl) and earlymaturity, namely Batang Piaman, Inpari 26, Inpari 27 and Inpari 28Kerinci. Developing irrigated rice varieties for low temperaturetolerant by utilizing local varieties, introduction, crossbreeding andbiotechnology provides opportunities to obtain low temperaturetolerant varieties. In developing improved varieties for high elevation,it is recommended to use genetic materials with good seed vigor,moderate plant height, well exerted panicle, uniformity in flowering,and high fertility. Developing of new varieties tolerant to lowtemperature through conventional breeding approach requireslonger time. However, conventional breeding has an important rolein producing tolerant varieties, although physiological mechanismof the tolerance is not much known. Therefore, molecular geneticsand biotechnology as more advanced approach are needed forsupporting rice breeding program for abiotic stresses.

(Author)

Keywords: Rice, japonica, indica, low temperature.

Rina Hapsari Wening, Untung Susanto, Satoto (Indonesian Centerfor Rice Research)

Developed Bacterial Leaf Blight Resistant Rice Variety: Its Breedingand Adoption in the Production Center Areas

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 119-126

Bacterial leaf blight or BLB (Xanthomnas oryzae pv. oryzae or Xoo)is one of the main diseases in rice-producing countries, includingIndonesia. Development of resistant varieties is an effectiveapproach to be done in endemic areas of BLB. Breeding programfor bacterial leaf blight resistant varieties could be effective byutilizing bioassay technique screening, selection in endemic areas,and MAS technique. The resistant varieties to be grown in someregions should have considered the composition of Xoo. Severalresistant varieties have been released and those varieties can berecommended for endemic areas of BLB with a specificcomposition.

(Author)

Keywords: Rice, breeding, bacterial leaf blight, resistant varieties.

Eko Hari Iswanto, Agus Guswara (Indonesian Center for RiceResearch); R. Heru Praptana (Indonesian Center for Food CropsResearch and Development)

Role Rice Secondary Metabolites to Brown Planthopper (Nilaparvatalugens) Resistance

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 127-132

Resistance character to brown planthopper (BPH) is one of themain component of farmers’ interest in rice cultivation, because its

Page 103: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

195

utilization is convenient, inexpensive and environmental friendly,and, therefore, the technology is rapidly used by farmers in brownplanthopper management. Rice resistance to BPH is related withplant secondary metabolite compounds. Oxalic acid, tricin,schaftoside, isoschaftoside and apigenin-C-glycosides have effectto BPH as deterrence, antifeeding and toxicosis. Concentration ofthose secondary metaboilite is higher in resistant variety thansusceptible variety. Every variety has different component andcomposition of secondary metabolite. With specific plant secondarymetabolite as marker, selection proses could be easier and fasterin resistance genotype detection in a breeding program.

(Author)

Keywords: Rice, resistan variety, secondary metabolite, genotypedetection.

Suriani, Amran Muis (Indonesian Cereals Research Institute)

Fusarium spp. on Maize and Its Control with Utilizing EndophyticMicrobes

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 133-141

Endophytic microbes reside in the tissue of living plant. They canbe isolated from the root, stems and leave of plant. Utilization ofendophytic microbes for biological control of plant pathogens hasbeen applied for some times. The ability to compete for space andnutrients and antibiotic production are the two main considerationsfor the use of endhopytic microbes as biological control to plantpathogens. Several species of endophytic microbes isolated frommaize either from the class of fungi, bacteria or actinomycetesinclude Trichoderma spp., PenIicillium sp., Bacillus spp., danAltenaria alternata. The microbes have been reported by someresearchers to be effectively suppressing the development ofpathogens Fusarium spp. which causes stem rot, cobs and grainmaize. Endophytic microbes have a good prospect to be developedas maize disease control because they are affordable andenvironmentally friendly.

(Author)

Keywords: Endophytic, microbial, Fusarium spp., maize.

Nurasiah Djaenuddin (Indonesian Cereals Research Institute)

Interactions of Antagonistic Bacteria and Plants: With InducedSystemic Resistance on Maize

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 143-148

Biological control against soil-borne pathogens is an option to reducedisease activity by pathogens through one or more resistancemechanisms. In the last two decades, interest in biological controlusage against soil borne plant pathogens has increased becausethis approach can control disease not only solely, but can also becombined with other strategic control. Colonization of plant roots isan important step for soil borne pathogens and beneficial bacteria(bacterial antagonists and rhizobacteria). Colonization patternsindicate that rhizobacteria act as a biocontrol agent or as a growthpromoter bacteria formation of microcolonies. Microcolonies areused as the media for bacteria to interact one with another in orderto effectively coincide with the root exudates. Elicitation or theprocess of adding elicitor (chemical compounds) in the plant cell isaimed to induce and enhance the establishment of secondarymetabolites, initially shown by Pseudomonas spp. and other gram-

negative bacteria. Some strains of the species Bacillus subtilis, B.cereus and B. pumilus elicit significantly the incidence or severityof various diseases in a variety of host plants. Elicitation of systemicinduced resistance by these strains is shown in experiments in thegreenhouse or in the field on maize, rice, tomatoes, watermelon,and cucumber. Elicitation by Bacillus spp. wasreported to establishinduced systemic resistance mechanisms in plants affected byleaf spot fungus and bacteria, viruses, nematodes, damping offand blight disease. With the advancement of this knowledge, onecan explore strains of bacterial species efficiently use asadvantageous agents in biological control strategy.

(Author)

Keywords: Induced resistance, antagonistic bacteria, biocontrol,maize.

Siti Muzaiyanah, Subandi (Indonesian Legumes and Tuber CropsResearch Institute)

The Role of Organic Matter for Increasing Soybean and CassavaProduction on Dry Soil Acid Land

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 149-157

Increased production of soybean and cassava can be reached byalternatively extending cultivation to suboptimal land, such as uplandacid soil, where amelioration of organic material is an attempt toimprove soil fertility. The sources of organic material can be obtainedfrom the agricultural and non-agricultural waste, such as: compostand manure. Organic materials are not only beneficial for improvingthe chemical, physical, physico-chemical and biological soilcharacters, but also capable of supporting plant growth to producehigher yields in soybean and cassava.

(Author)

Keywords: Soybean, cassava, organic materials, upland acid soil.

Sumartini (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute)

Biopesticides to Control Pests and Diseases on Legumes and TuberCrops

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 159-165

Several types of pests and diseases in food crops must becontrolled. Biopesticides use is one component of pest and diseasecontrol in an Integrated Pest Management (IPM). Biopesticides inIndonesia are still less popular, many people misinterpretbiopesticides as organic farming, although many options ofbiopesticides are already available. Many botanical pesticides madefrom extract material herbs or spices are widely available and verypopular, such as, galangal, neem and ginger. Since the effectivenessof biopesticides can not reach a hundred percent, it is advised touse them only for preventive purposes. Preparing biopesticidesrequires certain skills, therefore, farmers need to be supervised tobe able to produce biopesticides by themselves. If many farmersalready apply biopesticides in farming, the environment will less bepolluted by toxic substances for humans. The paper reviews theeffectiveness, application, constrains, benefits, and opportunities,as well as its development in Indonesia.

(Author)

Keywords: Natural pesticides, biopesticides, food crops.

195-4

Page 104: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

196

Sulistiyo Dwi Setyorini, Eriyanto Yusnawan (Indonesian Legumesand Tuber Crops Research Institute)

The Increase of Secondary Metabolite in Legumes as a Responseof Biotic Stress

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 2, hal. 167-174

Secondary metabolites are not considered as essential compoundsfor plant growth. The increase of secondary metabolites producedby plants is only expressed in certain situations. These compoundsare unique and different for each species. Various types of plants,including legume crops are able to produce secondary metabolitesin certain situations. Plants produce secondary metabolites as adefense mechanism to stresses, both biotic and abiotic stresses.Biotic stresses that occur on plants can be caused by pests,diseases or weeds. For human, secondary metabolites can betoxic or beneficial compounds depending on the type of compoundformed. Secondary metabolites have been used as a medicine,pesticide and become materials for cosmetic production. Legumescan produce secondary metabolite compounds that act asantioxidant for human, so it is necessary to improve theseexpression. One of the efforts is the use of elicitors. The combinationof the elicitors and time of application can be used to improve theproduction of plant secondary metabolites.

(Author)

Keywords: Biotic stress, elicitor, legumes, secondary metabolite,

Alfi Inayati (Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute)

Induced Disease Resistance in Legumes

Iptek Tanaman Pangan 2016, vol. 11 no. 1, hal. 175-185

Legumes have an important role especially as a source of nutrition,important in maintaining soil quality, and as animal feed. Althoughthe production and the needs for legumes continues to rise, theproductivity especially at the farm level is still low. This is mainlydue to pests and diseases infections and also the soil infertilityeffects. Yield losses due to pests and diseases is quite high up to80%. Induced resistance is one effort to control the disease andimprove the growth quality of legumes. Various elicitors (biotic andabiotic) and induced mechanisms have been tested and reportedto give promising results. Induced resistance was reported toincrease the resistance of leguminous plants against pathogeninfection such as fungi, bacteria, and viruses that are transmittedthrough soil, seed-borne, and from the surface of the leaves, suchas: Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Fusarium sp, Aspergillusflavus, Cercosporidium personatum, Xanthomonas axonopodis,peanut mottle virus, and soybeant stunt virus. Recently, the use ofinduced resistance in Indonesia is very limited. The use ofTrichoderma sp, non-pathogenic Fusarium, and Pseudomonasfluoroscent as biocontrol agents has been started although in alimited numbers. In the future, induced resistance will become onecomponent that is important in controlling the disease in an integratedpest management.

(Author)

Keywords: Elicitor, abiotic biotic, induced resistance, legumes

196-5

Page 105: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

197197-1

IPTEK Tanaman Pangan

Volume 11, 2016

Indeks Penulis

Agus Guswara 127Alfi Inayati 175Ali Jamil 1Amran Muis 133Apri Sulistyo 77Aris Hairmansis 95Baehaki S.E. 19Bambang Nuryanto 9Cucu Gunarsih 107Eko Hari Iswanto 9,127Eni Widajati 57Eriyanto Yusnawan 167M. Aqil 85Maryati Sari 57N.N. Andayani 85Nafisah 107Nugraha Budi Eka Irianto 19Nurasiah Djaenuddin 143Pratanti Haksiwi Putri 67R. Heru Praptana 127Rahmini 9

Ratri Tri Hapsari 57Rina Hapsari Wening 119Runik Dyah Purwaningrahayu 35Satoto 119Selly Salma 57Siti Muzaiyanah 149Soenartiningsih 85Sri Ayu Dwi Lestari 49Subandi 149Sujinah 1Sulistiyo Dwi Setyorini 167Sumartini 159Supartopo 95Surachmad W. Widodo 19Suriani 133Suwarno 95Trias Sitaresmi 107Untung Susanto 119Yuliantoro Baliadi 9Yullianida 95

Page 106: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

198

IPTEK Tanaman Pangan

Volume 11, 2016

Antisipasi Ledakan Wereng Cokelat (Nilaparvatalugens) dengan Penerapan TeknikPengendalian Hama Terpadu Biointensif 9

Biopestisida untuk Pengendalian Hama danPenyakit Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 159

Fusarium spp. pada Tanaman Jagung danPengendaliannya dengan MemanfaatkanMikroba Endofit 133

Interaksi Bakteri Antagonis dan Tanaman:Ketahanan Terinduksi pada Tanaman Jagung 143

Karakter Morfofisiologi dan Agronomi KedelaiToleran Salinitas 35

Ketahanan Terimbas Tanaman Kacang-kacanganterhadap Penyakit 175

Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelaiterhadap Kutu Kebul 77

Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadapCekaman Kekeringan dan Varietas Toleran 1

Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas 67

Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia)sebagai Pupuk Organik pada TanamanKedelai 49

Pembentukan Varietas Padi Sawah DataranTinggi Toleran Cekaman Suhu Rendah 107

Pemuliaan Padi Gogo untuk Adaptif LahanKering 95

Peningkatan Kandungan Metabolit SekunderTanaman Aneka Kacang sebagai ResponCekaman Biotik 167

Peran Senyawa Metabolisme SekunderTanaman Padi terhadap Wereng Cokelat(Nilaparvata lugens) 127

Peranan Bahan Organik dalam PeningkatanProduksi Kedelai dan Ubi Kayu pada LahanKering Masam 149

Peranan Methylobacterium spp. dalamMeningkatkan dan Mempertahankan VigorBenih Kedelai 57

Rekayasa Ekologi dalam Perspektif PengelolaanTanaman Padi Terpadu 19

Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp.dan Kontaminasi Mikotoksin pada Jagung 85

Varietas Unggul Padi Tahan Hawar Daun Bakteri:Perakitan dan Penyebaran di Sentra Produksi 119

Indeks Judul

198-1

Page 107: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

199

Aneka kacang 167, 175abiotik 175biotik 167, 175

Jagung 85, 133, 143bakteri 143Fusarium 87, 133mikotoksin 85pengendalian. 85

Kedelai 35, 49, 57, 67, 77, 149,agronomi 35antibiosis 77benih 57kutu kebul 77morfofisiologi 35paitan 49pelapisan 57pupuk organik 49salinitas 35, 67seleksi 77

Padi 1, 9, 107, 119, 127,abiotik 95benih 95

IPTEK Tanaman Pangan

Volume 11, 2016

Indeks Subjek

biointensif 9fisiologis 1genotipe 127hawar daun bakteri 119indica 107japonica 107morfologis 1,padi gogo 95pemuliaan 95, 119suhu rendah 107toleran kekeringan 1varietas tahan 119, 127wereng cokelat 9

Tanaman terpadu 19rekayasa ekologi 19agroekosistem 19gambut 19

Ubi kayu 149bahan organik 149lahan kering masam 149biopestisida 159

199-1

Page 108: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

200

Page 109: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

SUMARNO: PELESTARIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI

201

Petunjuk bagi Penulis

KETENTUAN UMUM

• Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atauanalisis dari sejumlah referensi hasil penelitianmenjadi gagasan baru untuk dapat memberikanpemecahan masalah pertanian tanaman pangan.

• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasaInggris. Untuk memudahkan penelaahan oleh redaksidan mitra bestari, naskah diketik satu setengah spasimenggunakan huruf (font) arial 12 pt. Naskah dikirimke Dewan Redaksi Iptek Tanaman Pangan dan harusmendapat persetujuan dari pimpinan instansi penulis,dengan alamat: Jalan Merdeka No. 147 Bogor, 16111atau lewat email: [email protected].

• Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernahditerbitkan di media publikasi lain.

• Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentukprint out atau melalui email ke alamatwww.pangan.litbang.pertanian.go.id.

• Redaksi akan mengirimkan form isian “pernyataanetika penulisan” kepada penulis yang naskahnyamemenuhi syarat untuk diproses di keredaksian. Formtersebut diisi dan ditandatangani penulis di atasmaterai, kemudian dikirimkan kembali kepada redaksiuntuk didokumentasikan.

• Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhakmenerima satu buletin asli dan cetak lepas 10eksemplar.

STANDAR PENULISAN

• Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasiuntuk Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran.Bidang ketik berjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepi kanan, atas, dan bawah.

• Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial denganukuran font 12 untuk teks dan 10-11 untuk Tabel danLampiran.

• Naskah diketik dalam program Microsoft Word.

• Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis,instansi, alamat lengkap (termasuk nomor telepon(HP), faks, dan email kalau ada), abstrak,pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan, ucapanterima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka.

SISTEMATIKA PENULISAN

• Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yangmencerminkan isi naskah, usahakan tidak lebih dari12 kata.

• Nama Penulis: ditulis tanpa gelar dan sesuai denganpencantuman untuk pustaka,

• Nama Lembaga/Instansi: disertai dengan alamatlengkap.

• Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris,merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata,dan dituangkan dalam satu paragraf.

• Kata Kunci (Keyword): maksimum lima kata.• Pendahuluan: menggambarkan latar belakang,

tujuan, sasaran dan pustaka yang mendukung.

• Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahassecara jelas pokok bahasan dengan mengacu kepadatujuan penulisan.

• Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansipokok bahasan.

• Ucapan Terima Kasih (kalau ada).

• Daftar Pustaka:a. Menggunakan minimal 25 referensi yang terbit

dalam 10 tahun terakhir dengan proporsi minimal60% dari jurnal ilmiah primer.

b. Pengutipan pustaka dari internet hanyadiperbolehkan dari sumber yang dapat dipercayaseperti jurnal ilmiah dari instansi pemerintah atauswasta.

c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah,disusun alfabetis dan tahun terbit. Di belakangtahun, baik dalam teks maupun di daftar pustakadapat dibubuhi huruf kecil (a, b, c) jika penulisyang sama menulis lebih dari satu artikel dalamtahun yang sama. Nama penulis yang lebih daridua orang, di dalam kutipan teks menggunakanet al. setelah penulis pertama. Di Daftar Pustaka,semua penulis harus ditulis sesuai dengan kaidahpenulisan pustaka.

• Beberapa contoh penulisan sumber rujukan:

BukuSyam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan

kedelai. Bogor: Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan. 317 p.

Page 110: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-2/IPTEK Vol. 11(2).pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

202

Jurnal

Wahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuknitrogen pada padi sawah dengan metode baganwarna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):156-161.

Artikel dalam buku

Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Arealpertanaman dan sistem produksi kedelai diIndonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi danPengembangan. Bogor: Puslitbang TanamanPangan. p. 135-144.

Prosiding

Sembiring, H. dan Wasito. 2004. Peluangpengembangan sistem integrasi padi-ternak dalampemberdayaan kelompok tani untuk meningkatkankualitas lahan dan pendapatan petani di SumateraUtara. Prosiding Seminar Nasional SistemIntegrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli2004. Bogor: Puslitbang Peternakan - BPTP Bali-CASREN. p. 104-115.

Tesis/disertasi

Koesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanankedelai terhadap aluminium. Tesis. Univ. GajahMada. Yogyakarta. 127 p.

Internet

Mutert, E.W. 2008. Plant nutrient balances in Asianand Pasific regions. The consequences foragricultural production. http://www.agnet. org/library/eb/415. [Diakses 5 Oktober 2010].

CARA PENULISAN

• Tabel

a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial denganjarak 1 spasi dan ukuran font 10-11.

b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yangmenggunakan huruf kapital, diletakkan di atasTabel, dan diberi nomor urut dengan angka Arab.

c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi danukuran font 9-10, ditulis di bawah Tabel.

• Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipeArial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11,diletakkan di bawah Gambar atau Grafik berupakalimat singkat dan jelas. Hanya kata pertama yangmenggunakan huruf kapital dan diberi nomor urutsesuai dengan letaknya.

• Satuan ukuran: memakai sistem internasional,misalnya cm, g, kg, ton, t/ha

• Penulisan angka desimal: dalam bahasaIndonesia dipisahkan dengan koma (,) dan dalambahasa Inggris dengan titik (.).