pengantar -...

100
ISSN 1907-4263 Volume 11 Nomor 1 2016 DAFTAR ISI Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap Cekaman Kekeringan dan Varietas Toleran ........................................................................ 1 Sujinah dan Ali Jamil Antisipasi Ledakan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens) dengan Penerapan Teknik Pengendalian Hama Terpadu Biointensif ......... 9 Eko Hari Iswanto, Rahmini, Bambang Nuryanto, dan Yuliantoro Baliadi Rekayasa Ekologi dalam Perspektif Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu ............................................................................................. 19 Baehaki S.E, Nugraha Budi Eka Irianto, dan Surachmad W. Widodo Karakter Morfofisiologi dan Agronomi Kedelai Toleran Salinitas .... 35 Runik Dyah Purwaningrahayu Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai .................................................................... 49 Sri Ayu Dwi Lestari Peranan Methylobacterium spp. dalam Meningkatkan dan Mempertahankan Vigor Benih Kedelai ............................................ 57 Ratri Tri Hapsari, Selly Salma, Eni Widajati, dan Maryati Sari Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas ................................. 67 Pratanti Haksiwi Putri Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul ................................................................................................ 77 Apri Sulistyo Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin pada Jagung .................................................................. 85 Soenartiningsih, M. Aqil, dan N.N. Andayani Pengantar Kekeringan tidak jarang mengancam produksi padi. Penanaman varietas toleran dapat memperkecil risiko kegagalan panen. Hal ini dapat dilihat dari tulisan mekanisme respon varietas toleran terhadap kekeringan. Tulisan lain yang berkaitan dengan padi membahas antisipasi ledakan hama wereng cokelat, dan rekayasa ekologi pengelolaan tanaman terpadu. Tulisan berikutnya membahas karakter kedelai toleran salinitas, paitan ( Tithonia diversifolia ) sebagai pupuk organik pada tanaman kedelai, peranan Methylobacterium dalam meningkatkan vigor benih kedelai, metode penapisan kedelai toleran salinitas, dan kriteria seleksi ketahanan kedelai terhadap kutu kebul. Untuk komoditas jagung dibahas strategi pengendalian cendawan Fusarium sp. dan kontaminasi mikotoksin. Redaksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Indonesia Iptek Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah review hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI, dan BATAN. Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di buletin ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Upload: lydung

Post on 17-Aug-2019

259 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

ISSN 1907-4263

Volume 11 Nomor 1 2016

DAFTAR ISI

Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap Cekaman Kekeringandan Varietas Toleran ........................................................................ 1Sujinah dan Ali Jamil

Antisipasi Ledakan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens) denganPenerapan Teknik Pengendalian Hama Terpadu Biointensif ......... 9Eko Hari Iswanto, Rahmini, Bambang Nuryanto, dan YuliantoroBaliadi

Rekayasa Ekologi dalam Perspektif Pengelolaan Tanaman PadiTerpadu ............................................................................................. 19Baehaki S.E, Nugraha Budi Eka Irianto, dan Surachmad W. Widodo

Karakter Morfofisiologi dan Agronomi Kedelai Toleran Salinitas .... 35Runik Dyah Purwaningrahayu

Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organikpada Tanaman Kedelai .................................................................... 49Sri Ayu Dwi Lestari

Peranan Methylobacterium spp. dalam Meningkatkan danMempertahankan Vigor Benih Kedelai ............................................ 57Ratri Tri Hapsari, Selly Salma, Eni Widajati, dan Maryati Sari

Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas ................................. 67Pratanti Haksiwi Putri

Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelai terhadap KutuKebul ................................................................................................ 77Apri Sulistyo

Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan KontaminasiMikotoksin pada Jagung .................................................................. 85Soenartiningsih, M. Aqil, dan N.N. Andayani

Pengantar

Kekeringan tidak jarang mengancamproduksi padi. Penanaman varietastoleran dapat memperkecil risikokegagalan panen. Hal ini dapat dilihat daritulisan mekanisme respon varietas toleranterhadap kekeringan. Tulisan lain yangberkaitan dengan padi membahasantisipasi ledakan hama wereng cokelat,dan rekayasa ekologi pengelolaantanaman terpadu.

Tulisan berikutnya membahaskarakter kedelai toleran salinitas, paitan(Tithonia diversifolia) sebagai pupukorganik pada tanaman kedelai, perananMethylobacterium dalam meningkatkanvigor benih kedelai, metode penapisankedelai toleran salinitas, dan kriteriaseleksi ketahanan kedelai terhadap kutukebul.

Untuk komoditas jagung dibahasstrategi pengendalian cendawanFusarium sp. dan kontaminasi mikotoksin.

Redaksi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman PanganBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Bogor, Indonesia

Iptek Tanaman Pangan merupakanpublikasi yang memuat makalah reviewhasil penelitian tanaman pangan (padi danpalawija).

Redaksi mengutamakan makalahdari peneliti lingkup Puslitbang TanamanPangan dan menerima makalah darisemua institusi penelitian tanamanpangan lainnya di Indonesia, termasukperguruan tinggi, LIPI, dan BATAN.Makalah review yang dikirimkanhendaknya sudah mendapat persetujuandari pimpinan instansi masing-masing.

Ketentuan penulisan makalah untukdapat dimuat di buletin ini tertera dalam"Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Page 2: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan
Page 3: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sujinah dan Jamil: Respon Varietas Toleran terhadap Kekeringan

1

Mekanisme Respon Tanaman Padi terhadap CekamanKekeringan dan Varietas Toleran

Mechanism Response of Rice Under Drought Stressand Tolerant Varieties

Sujinah dan Ali Jamil

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 19 Juni 2015, direvisi 18 Mei 2016, dan disetujui diterbitkan 23 Mei 2016

ABSTRACT

Drought has wide impact on agriculture such as reduced rice productivity and production, impacted on foodsecurity and economical stability in the region as well as at national level. Drought stress problem wouldbecome more frequent in relation with accelerated global climate changes. Response of rice crop to waterstress begins with physiological process disturbance in the plant, such as reducing transpiration rate bymeans of stomata closure and reducing leaf surface area or leaf rolling. Each action may cause reducingCO

2 and O

2 gas exchanges to the atmosphere, and reduce solar radiation interception. Both condition may

decrease photosynthetic process on the leaves. This physiological responses may affect plant morphologysuch as reducing canopy size due to decreasing leaf number and leaf area per hill, reducing number of totaland productive tillers per hill, delaying flowering and grain maturing. Changes in this crop morphology alsohave impact on further crop physiological processes. Therefore, there are inter-affects between physiologicalprocesses and crop morphology. The changes of the processes and condition cause the changes of cropgrowth pattern, and finally decrease biomass weight, yield components and grain yield. The degree ofdeclining depending on the drought stress level and also on the rice genotype which have different adaptabilityand tolerance mechanism to drought stress.

Keywords: Drought, rice, physiologic, morphologic, tolerance.

ABSTRAK

Kekeringan memiliki dampak luas terhadap pertanian, seperti penurunan produktivitas dan produksi pangan,terutama padi, mengganggu ketahanan pangan dan stabilitas perekonomian pada suatu wilayah hinggatingkat nasional. Cekaman kekeringan semakin sering terjadi seiring dengan cepatnya perubahan iklimglobal. Respon tanaman padi terhadap cekaman kekeringan diawali dengan respon fisiologis berupapengurangan laju transpirasi untuk penghematan air dengan cara menutup stomata dan memperkecilluas permukaan daun dengan penggulungan daun. Namun masing-masing berakibat kepada terhambatnyapertukaran gas CO

2 dan O

2 dari jaringan tanaman ke atmosfir, dan memperkecil tangkapan radiasi surya,

yang keduanya berakibat terhadap penurunan fotosintesis. Hal ini akan mempengaruhi morfologi tanaman,seperti ukuran tajuk berkurang karena jumlah daun, anakan dan anakan produktif per rumpunnya berkurang,luas daun menurun, umur pembungaan dan umur tanaman memanjang. Perubahan morfologis inipunberdampak terhadap perubahan proses fisiologis lanjutan, sehingga terjadi saling pengaruh antarkeduanya.Perubahan-perubahan tersebut diekspresikan tanaman berupa pola pertumbuhan tanaman yang padaakhirnya berpengaruh terhadap penurunan bobot biomasa, besarnya hasil dan komponen hasil tanaman.Besarnya pengaruh tersebut selain bergantung pada keparahan cekaman, namun juga oleh varietas/galuryang memiliki perbedaan daya adaptasi dan mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Kata kunci: Kekeringan, padi, fisiologis, morfologis, ketahanan.

Page 4: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

2

PENDAHULUAN

Kekeringan merupakan persoalan yang berdampak luasdi bidang pertanian, seperti penurunan produksi panganyang akan mengganggu ketahanan pangan dan stabilitasperekonomian nasional. Kekeringan adalah keadaankekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masayang panjang. Kondisi ini disebabkan oleh rendahnyacurah hujan secara terus-menerus, atau tanpa hujan dalamperiode yang panjang. Musim kemarau panjang,misalnya, dapat menyebabkan kekeringan, karenacadangan air tanah habis akibat penguapan(evaporasi), transpirasi, atau penggunaan lain olehmanusia secara terus menerus.

Perubahan iklim menjadi salah satu penyebabterjadinya kekeringan yang dapat mengurangi hasil dankualitas hasil padi yang rentan kekurangan air (Tao et al.2006). Kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlahcurah hujan di bawah normal pada satu musim. Kejadianini adalah indikasi pertama terjadinya kekeringan yangdisebut kekeringan meteorologis. Selanjutnya adalahberkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah, yangdisebut kekeringan hidrologis. Kekeringan hidrologismenyebabkan kandungan air tanah berkurang sehinggatidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.Kondisi ini disebut kekeringan pertanian.

Kekeringan dalam bidang pertanian adalah kekeringanyang terjadi di lahan pertanian yang sedang dibudidayakandengan tanaman padi, jagung, kedelai, dan lain-lain.Kekurangan air pada tanaman terjadi karena ketersediaanair tidak memenuhi kebutuhan tanaman danevapotranspirasi yang berlebihan atau kombinasikeduanya. Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadapkekeringan cukup bervariasi antarwilayah, terutama dibeberapa wilayah di Sumatera dan Jawa. Dari 5,14 jutaha lahan sawah, 74 ribu ha di antaranya sangat rentandan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan.Kekeringan yang lebih luas terjadi pada tahun-tahun ElNino, dimana luas pertanaman padi yang mengalamikekeringan pada periode 1989-2006 lebih dari 2.000 haper kabupaten, antara lain di Pantai Utara Jawa Barat,terutama di Indramayu, sebagian Pantai Utara NangroeAceh Darussalam, Lampung, Kalimantan Timur, SulawesiBarat, Kalimantan Selatan, dan Lombok (Balitbangtan2011).

Air merupakan faktor penting dalam sistem budi dayapadi. Tingginya kebutuhan air tanaman padi ini sering

dihadapkan pada permasalahan kekeringan akibat faktoriklim dan persaingan penggunaan air antarsektor (Boumanet al. 2007). Kekeringan berdampak serius terhadappertumbuhan tanaman padi, terutama pada fase generatif(Akram et al. 2013), yang dapat mengurangi hasil padidan kualitas gabah (Tao et al. 2006). Tingkat intensitaskekeringan pada tanaman dibagi menjadi empat, yaitu:(1) ringan, apabila tingkat kerusakan < 25%; (2) sedang,apabila tingkat kerusakan ≥ 25-50%, (3) berat, apabilatingkat kerusakan ≥ 50-85%, dan (4) puso, apabila tingkatkerusakan ≥ 85%. Tulisan ini membahas mekanismeterjadinya kekeringan, respon tanaman padi terhadapcekaman kekeringan, dan varietas toleran.

RESPON TANAMAN TERHADAPKEKERINGAN

Respon tanaman terhadap kekeringan berawal dari responsecara fisiologis yang merupakan serangkaian prosesdalam tanaman, yang diikuti oleh perubahan secaramorfologis baik, sebagai mekanisme ketahanan tanamanmaupun dampak dari proses akibat cekaman kekeringan.Perubahan morfologis juga berdampak terhadap perubahanproses fisiologis lanjutan, sehingga terjadi saling pengaruhantarkeduanya. Perubahan-perubahan tersebutdiekspresikan tanaman dalam bentuk pola pertumbuhanyang pada berpengaruh terhadap bobot biomasa, hasil dankomponen hasil tanaman (Gambar 2).

Kekeringanmeteorologis

Kekeringanhidrologis

Kekeringanpertanian

Gambar 1. Tingkatan terjadinya kekeringan.Gambar 2. Respon umum tanaman padi terhadap cekaman

kekeringan.

Arah pengaruh Pengaruh lanjutan/akhir

Cekaman kekeringan

Pertumbuhan

MorfologisFisiologis

Menurunkanpertumbuhan (tinggitanaman, jumlah anakan), bobot biomasa, dankualitas komponen hasil

▪Penggulungan daun

▪ Mengubah partisi asimilat

▪ Mengurangi luas daun

▪ Menurunkan tekanan turgor▪ Kerusakan membran dan

protein▪ Meningkatkan hormon ABA▪ Difusi CO2 dan fotosintesis

terhambat

HASIL & KUALITAS HASIL

Page 5: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sujinah dan Jamil: Respon Varietas Toleran terhadap Kekeringan

3

Tanaman padi sangat sensitif terhadap cekamankekeringan. Kekurangan air akan mengganggu banyakfungsi seluler dalam tanaman dan berdampak negatifterhadap pertumbuhan dan reproduksi tanaman (Bray2001). Respon tanaman padi terhadap cekamankekeringan bergantung pada tingkat keparahankekeringan, waktu (fase tumbuh) terjadinya kekeringan(Kadir 2011), dan genotipe (Castillo et al. 2006).

Tanaman merespon kekurangan air denganmengurangi laju transpirasi untuk penghematan air.Kekurangan air pada daun akan menyebabkan sel-seltanaman kehilangan turgor. Mekanisme yang dapatmemperlambat laju transpirasi atau menurunkan dampakkehilangan air adalah dengan cara menutup stomata, danmemperkecil luas permukaan daun dengan penggulungandaun (Fischer and Fukai 2003). Namun, penutupanstomata akan menghambat proses pertukaran CO

2 dan

O2 dari jaringan tanaman dengan atmosfer (Liu et al. 2004),

sedangkan memperkecil luas permukaan daun akanmemperkecil tangkapan radiasi surya, yang keduanyaberdampak terhadap penurunan volume fotosintesis.

Kekurangan air bagi tanaman juga merangsangpeningkatan sintesis dan pembebasan asam absisat darisel-sel mesofil daun. Hormon ini pada membran selmembantu mempertahankan stomata tetap tertutup.Hormon ABA juga mempercepat penuaan danpengguguran daun.

Respon tanaman padi terhadap kekeringan sulitdipisahkan (Gambar 2), namun untuk beberapa hal dapatdibedakan menjadi respon fisiologis, morfologis, sertapertumbuhan dan hasil.

Respon Fisiologis

Menurut Akram et al. (2013), kekeringan menyebabkanlaju fotosintesis menurun secara signifikan pada semuatahap pertumbuhan. Kekeringan yang terjadi pada faseinisiasi malai menurunkan volume fotosintesis sebesar30,69% dan pada fase anthesis 28%. Perubahan fisiologisyang terjadi akibat kekeringan adalah terjadinyapenurunan PAR (Photo synthetically active radiation), lajufotosintesis, tingkat transpirasi, konduktansi stomata, dandegradasi pigmen. Inisiasi malai merupakan fase palingpenting terjadinya perubahan fisiologis. Kekeringan padafase inisiasi malai menyebabkan terganggunya prosesbiokimia, fisiologis, dan penurunan aktivitas enzimatik dandegradasi pigmen klorofil. Karakter fisiologis yangberhubungan dengan ketahanan tanaman terhadapcekaman kekeringan adalah penurunan transpirasi denganmengurangi jumlah stomata dan meningkatkanfotosintesis dengan cara meningkatkan kandungan klorofil(Oukarroum et al. 2007).

Thoruan-Mathius et al. (2004) menyatakan bahwadalam menghadapi cekaman kekeringan, tanaman dapatmelakukan mekanisme osmotik yang diawali denganperubahan gula osmotik, terutama pada gula silosa,kemudian terinduksinya protein berbobot molekul rendah.Produksi dan akumulasi asam amino, terutama prolin,merupakan bentuk adaptif jaringan tanaman dalammerespon cekaman kekeringan. Selain itu, di bawahtekanan cekaman kekeringan, akumulasi gula dalamtanaman juga meningkat (Mostajeran and Eichi 2009).Guo et al. (2012) menyatakan bahwa bersamaan denganterjadinya penurunan potensial osmotik, akumulasi prolindan betain meningkat pada akar dan tunas. Penurunanosmotik dalam sel dapat menyebabkan tanamanmempertahankan turgor sehingga proses fisiologis danbiokimia tetap normal dalam keadaan cekamankekeringan.

Khaerana et al. (2008) menyatakan bahwa tanamanyang mengalami cekaman kekeringan berusahamelakukan perubahan-perubahan fisiologi sebagai bentukadaptasi. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalahkemampuan tanaman mempertahankan tekanan turgoratau penyesuaian osmotik. Tanaman padi yang mengalamicekaman kekeringan menunjukkan gejala daunmenggulung dan mengering. Gejala ini mengindikasikanbahwa daun tidak dapat melakukan aktivitas metabolismesecara normal, tidak dapat menyerap hara danterhambatnya pembentukan klorofil daun (Banyo et al.2013).

Menurut Faroog et al. (2009), kekeringan padabeberapa spesies tanaman dapat menyebabkanperubahan pada rasio klorofil a/b dan kandungankarotenoid. Kandungan klorofil a dan klorofil b, serta rasioklorofil a/b juga dapat berbeda antarvarietas. Menurutpenelitian Maisura et al. (2014), kandungan klorofil a/byang mengalami cekaman kekeringan lebih kecil (2,16)dibanding kontrol (3,29). Klorofil b berfungsi sebagaipengumpul cahaya dan mentrasfer ke pusat reaksifotosintesis. Energi cahaya (foton) diubah menjadi energikimia (ATP dan NADPH) yang kemudian digunakan dalamproses reduksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2006). Daripenelitian Chutia dan Borah (2012) diketahui kekeringanmenurunkan kandungan klorofil pada beberapa varietaspadi yang diuji.

Respon Morfologis

Pertumbuhan tanaman terjadi karena pembelahan,pembesaran, dan diferensiasi sel yang melibatkan unsurgenetik, fisiologi, ekologi, dan morfologi serta interaksinya.Kualitas dan kuantitas pertumbuhan tanaman bergantungpada unsur tersebut, yang dipengaruhi oleh ketersediaanair (Farooq et al. 2009). Pertumbuhan sel merupakan salah

Page 6: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

4

satu proses fisiologis yang sensitif terhadap kekeringankarena penurunan tekanan turgor (Taiz and Zeiger 2006).Tanaman yang mengalami kekeringan parahmenyebabkan pertumbuhan sel dihambat oleh gangguanaliran air dari xylem ke bagian-bagian yang lain (Nonami1998).

Karakter morfologi yang berhubungan dengancekaman kekeringan adalah ukuran tajuk seperti jumlahanakan sedikit, pembungaan tertunda, dan penguranganjumlah anakan produktif (Sulistyono et al. 2011).Penurunan bobot tanaman berkaitan dengan penurunanjumlah daun dan gangguan pada proses pembelahan sel(Sikuku et al. 2010). Rahayu et al. (2005) menyatakancekaman kekeringan menghambat pertumbuhan tunasyang ditunjukkan oleh menurunnya pertambahan tinggitunas, jumlah akar utama, dan jumlah daun. Cekamankekeringan akan mengubah partisi asimilat antarorgantanaman. Pertumbuhan bagian atas tanaman lebih banyakberkurang daripada bagian akar, karena bagian atas terjadikekurangan air yang lebih besar. Nisbah akar dan bagianatas tanaman dalam kondisi cekaman kekeringan akanmeningkat, walaupun bobot kering akar lebih rendah.Partisi asimilat yang lebih banyak ke arah akarmerupakan respon tanaman terhadap cekamankekurangan air. Asimilat tersebut digunakan untukmemperluas sistem perakaran dalam memenuhikebutuhan transpirasi di bagian atas tanaman.

Respon Pertumbuhan dan Hasil

Tinggi tanaman, luas daun, dan bobot tanaman merupakanpeubah pertumbuhan yang dapat dilihat dari pertambahanukuran tanaman. Menurut Ndjiondjop et al. (2010)kekeringan berpengaruh terhadap tinggi tanaman, umurberbunga, dan hasil padi. Dampak yang ditimbulkan olehkekeringan adalah berkurangnya perakaran, perubahansifat daun (bentuk, lapisan epikutikula, warna), dan umurtanaman lebih panjang (Blum 2002). Penelitian Sabetfaret al. (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan tanamanpadi lebih rentan terhadap kekeringan pada fasepembentukan anakan dan inisiasi malai, dibandingkandengan pada fase umur berbunga 50%.

Cekaman kekeringan berpengaruh nyata terhadapjumlah anakan produktif, jumlah gabah isi, panjang malai,biomas, dan hasil. Sulistyono et al. (2012) melaporkanbahwa penurunan hasil padi akibat cekaman kekeringandari lima galur padi sawah (BP1027F-PN-1-2-1-KN-1-MR-3-3, B10894B-MR-2-3-KN-2-1-1-2, B10214F-KN-2-3-2-1,B10214F-KN-2-1-1-2, KAL9418F-KN-2-1-1-2) bervariasiantara 32,4-48,87%. Titik kritis kelembaban tanah pada

fase vegetatif -35,9 kPa, fase reproduktif -25,8 kPa, danfase pemasakan 0,3 kPa.

Kekeringan juga menurunkan jumlah anakan,perubahan pola perakaran, keterlambatan pembungaan(Audebert et al. 2013), jumlah daun per rumpun, dan luasdaun (Zubaer et al. 2007). Secara umum, cekamankekeringan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan luasdaun dibanding perkembangan biomas (Cabuslay et al.2002). Kekeringan pada fase vegetatif dan generatifmenurunkan kandungan air pada daun padi varietas Nericayang kemungkinan disebabkan oleh hilangnya air melaluievapotranspirasi (Sikuku et al. 2012).

Kekeringan pada fase vegetatif menghambatpertumbuhan daun dan akar, besar pengaruhnya tidaksama. Pertumbuhan daun menurun lebih besar daripadapertumbuhan akar sehingga terjadi penurunan nisbahtajuk-akar. Pada fase generatif, fotosintat banyak dialihkanke bagian generatif, yaitu malai dan gabah, sehinggapertumbuhan akar menjadi lebih terhambat daripadapertumbuhan bagian tajuk. Cekaman kekeringan yangterjadi pada saat fase vegetatif akan mengganggu inisiasipengisian biji yang menyebabkan spikelet steril dan gabahhampa (Mostajeran and Eichi 2009).

Terdapat tiga stadia fase generatif yang sangat rentanterhadap kekeringan, yaitu (1) stadia pembentukan malai,(2) penyerbukan/pembuahan, dan (3) pengisian biji.Kekurangan air pada stadia pembentukan bungamenurunkan jumlah gabah yang terbentuk atau penurunanjumlah gabah per malai. Pada stadia penyerbukan/pembuahan kekurangan air meningkatkan jumlah gabahhampa. Hal ini disebabkan karena tepung sari menjadimandul sehingga tidak terjadi pembuahan. Kekuranganair pada stadia pengisian biji akan menurunkan bobot1.000 biji, karena gabah tidak terisi penuh atau ukurangabah lebih kecil dari normalnya. Apabila tanamanmengalami cekaman kekeringan pada salah satu dariketiga stadia tersebut maka dapat dipastikan akan terjadipenurunan hasil. Cekaman kekeringan yang terjadi padafase inisiasi malai menurunkan panjang malai secaradrastis, tetapi tidak ada pengaruhnya jika cekamankekeringan terjadi pada saat anthesis atau pengisianmalai. Cekaman kekeringan pada saat inisiasi malaimenurunkan bobot kering malai dan jumlah butir per malai,yang berdampak terhadap penurunan hasil gabah. Hal inikemungkinan disebabkan oleh penurunan fotosintesissehingga mengurangi produksi asimilasi untukpertumbuhan malai dan pengisian gabah (Akram et al.2013). Cekaman kekeringan tidak hanya menekanpertumbuhan dan hasil tetapi juga menjadi penyebabkematian tanaman (Djazuli 2010).

Page 7: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sujinah dan Jamil: Respon Varietas Toleran terhadap Kekeringan

5

meningkatkan penyerapan air. Cara meningkatkanpenyerapan air adalah memperdalam sistemperakaran. Genotipe padi yang avoidancekekeringan kemungkinan akan mengalamiperubahan nisbah tajuk-akar. Penggulungan daunmerupakan mekanisme penghindaran terhadapkekeringan (drought avoidance) yang berkaitandengan penyesuaian laju transpirasi untukmempertahankan potensial air daun tetap tinggipada kondisi kekeringan (Tubur et al. 2012).

• Mekanisme toleransi (drought tolerance) yaitukemampuan tanaman melakukan penyesuaianosmotik sel, agar pada kondisi potensial air, selyang menurun disebabkan oleh kekeringan,turgiditas tetap tinggi. Turgiditas sel dapatdipertahankan dengan meningkatkan potensialosmotik sel dengan meningkatkan kadar bahanlarut di dalam sel. Salah satu bahan larut yangkadarnya meningkat selama kekeringan adalahasam amino prolin. Oleh karena itu, genotipe padiyang toleran kekeringan memiliki prolin yang lebihtinggi (Man et al. 2011).

1. Toleransi dengan potensial air jaringan yangtinggi (dehydration avoidance), yaitukemampuan tanaman untuk tetap menjagapotensial jaringan dengan cara meningkatkanpenyerapan air atau menekan kehilangan air.Tanaman memiliki kemampuan untukmeningkatkan sistem perakaran danmenurunkan hantaran epidermis denganregulasi stomata, pembentukan lapisan lilin,bulu yang tebal, dan penurunan permukaanevapotranspirasi melalui penyempitan daundan pengguguran daun tua (Xiong et al. 2006).

2. Toleransi dengan potensial air jaringan yangrendah (dehydration tolerance), yaitukemampuan tanaman untuk menjaga tekananturgor sel dengan menurunkan potensial airmelalui akumulasi larutan seperti gula danasam amino atau dengan meningkatkanelastisitas sel. (Martinez et al. 2007).

VARIETAS PADI TOLERAN KEKERINGAN

Varietas unggul merupakan hasil dari kegiatan pemuliaaantanaman dan merupakan salah satu kunci dalampeningkatan produksi. Salah satu upaya yang dapatdilakukan dalam menghadapi kekeringan adalah denganmenggunakan varietas padi toleran kekeringan. Karaktervarietas padi toleran kekeringan diantaranya batang agaktegak, tahan penyakit blas, dan toleran Al. Varietas paditahan kekeringan dengan umur genjah mempunyai peluang

KETAHANAN TANAMAN TERHADAPKEKERINGAN

Tanaman memiliki mekanisme beradaptasi dalammenghadapi cekaman biotik dan abiotik. Hal ini termasukmekanisme fotosintesis, osmoregulasi, dan enzimantioksidan. Fotosintesis merupakan prosesmetabolisme mendasar tanaman untuk dapat beradaptasipada kondisi tercekam (Liu et al. 2007). Kekurangan airmengakibatkan proses fisiologis maupun morfologis tidaknormal, yang menyebabkan pertumbuhan tanamanterhambat atau terhenti. Mekanisme ketahanan tanamanterhadap kekeringan adalah sebagai berikut:

a) Lolos dari kekeringan (drought escape atau escaping),berarti tanaman mampu mengatur plastisitaspertumbuhan atau menyelesaikan daur hidupnyasebelum mengalami kekeringan. Genotipe padi yangmampu meloloskan dari kekeringan karena memilikiumur berbunga yang pendek. Mekanisme morfo-fisiologis tanaman untuk menghindar dari cekamankekeringan adalah dengan memanjangkan akarnyauntuk mencari sumber air yang relatif jauh daripermukaan tanah pada saat terjadi cekamankekeringan (Abdullah et al. 2010))

b) Ketahanan terhadap kekeringan (actual droughtresistance) dibagi menjadi dua, yaitu:

• Mekanisme pengelakan (drought avoidance),yaitu kemampuan tanaman untuk memper-tahankan potensial air sel tetap tinggi, selarasdengan semakin meningkatnya cekamankekeringan, sehingga turgiditas sel tetap tinggidengan cara mengurangi kehilangan air atau

Gambar 3. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan(Bray 2001).

Ketahanan tanaman terhadap kekeringan

Pengelakan terhadap kekeringan (avoidance)

Toleran terhadap kekeringan (tolerance)

Menyelesaikan siklus hidupnya ketika masih

ada air

Menghindari kekurangan air dengan

strategi akuisisi air maksimum

Menghindari kekurangan air dengan

mempertahankan air di dalam sel

Toleran terhadap potensial air rendah

dengan mempertahankan

tekanan turgor (ψP)

Toleran dehidrasi selluler dengan menggunakan strategi biokimia dan

morfologi untuk melindungi sel-sel yang rusak

Page 8: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

6

untuk ditanam pada daerah iklim kering dengan periodehujan singkat (Suardi 2000). Balitbangtan telahmenghasilkan beberapa varietas yang toleran kekeringan(Tabel 1). Berdasarkan penelitian Yugi (2011) varietasKalimutu, Cisokan, Situ Patenggang, dan Gilirangmenunjukkan tingkat toleransi tinggi terhadap kekeringanyang mampu bertahan lama lebih dari 8 hari pada kondisikadar air rendah (10%).

KESIMPULAN

Cekaman kekeringan mempengaruhi semua faktorpertumbuhan tanaman padi, mulai dari perubahan fisiologi,morfologi, pola pertumbuhan, dan akhirnya mempengaruhihasil. Respon morfologi dan fisiologi dapat digunakansebagai salah satu indikator yang dapat digunakan dalamseleksi varietas yang toleran kekurangan air. Mekanismeketahanan tanaman terhadap kekeringan adalah dengancara lolos dari kekeringan dan ketahanan terhadapkekeringan dengan pengelakan dan toleran kekeringan.Balitbangtan telah merilis beberapa varietas padi tolerankekeringan yang mempunyi potensi hasil tinggi di lahan-lahan kering.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. A., M. H. Ammar, and A. T. Badawi. 2010.Screening rice genotypes for drought resistance inEgypt. Journal of Plant Breeding and Crop Science2(7):205-215.

Akram, H. M., A. Ali, A. Sattar, H.S.U. Rehman, and A. Bibi.2013. Impact of water deficit stress on variousphysiological and agronomic traits of three basmatirice Ioryza sativa L. ) cultivar. The Journal Animal andSciences 23(5):1415-1423.

Audebert, A., F. Asch, and M. Dingkuhn. 2013. Morpho-physiological research on drought tolerance in rice atWARDA. Field screening in drought tolerance in cropplants with emphasis on rice. IRRI.

Balitbangtan. 2011. Pedoman umum adaptasi perubahaniklim sektor pertanian. Badan Litbang Pertanian. 67p.

Balitbangtan. 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi.Badan Litbang Pertanian. 77p.

Banyo, Y.E., N.S. Ai, P. Siahaan, dan A.M. Tangapo. 2013.Konsentrasi klorofil daun padi pada saat kekuranganair yang diinduksikan dengan polietilen glikol. JurnalIlmiah Sains 13(1):1-8.

Blum, A. 2002. Drought tolerance. Field screening fordrought in crop plants with emphasis on rice.Proceeding of an International Workshop on FieldScreening for Drought Tolerance in Rice. ICRISAT.India.

Bouman, B.A.M., E. Humphreys T.P. Tuong, and R. Barker.2007. Rice and water. Adv. Agron. 92:187-237.

Bray, E.A. 2001. Plant response to water-deficit stress.Encyclopedia of Life Sciences.

Cabuslay, G.S., O. Ito, and A.A. Alejar. 2002. Physiologicalevaluation of responses of rice (Oryza sativa L.) to waterdeficit. Plant Science163:815-827.

Castillo, E.G., T.P. Tuong, U. Singh, K. Inubushi, and J. Padilla.2006. Drought response of dry seeded rice to waterstress timing, N-fertilizer rates and sources. Soil Sci.Plant Nutr. 52:249-508.

Chutia, J. and S.P. Borah. 2012. Water stress effect on leafgrowth and chlorophyll content but not the frain yield intraditional rice (Oryza sativa Linn.) genotypes of Assam,India II. Protein and proline status in seedling underPEG induced water stress. American Journal of PlantSciences 3:971-980.

Djazuli, M. 2010. Pengaruh cekaman kekeringan terhadappertumbuhan dan beberapa karakter morfo-fisiologistanaman nilam. Bul. Littro. 21(1):8-17.

Farooq, M., A. Wahid, N. Kobayashi, D. Fujita, and S.M.A.Basra. 2009. Plant drought stress : effect, mechanismand management. Agron. Sustain. Dev. 29:185-212.

Fischer, K.S. and S. Fukai. 2003. How rice respond to drought.Breeding rice for drought-prone environment. IRRI.

Guo, R., W. Hao, and D. Gong. 2012. Effect of water stersson germination and growth of linseed seedling (Linumusitatissimum L.) photosynthetic efficiency andaccumulation of metabolites. Journal of AgriculturalScience 4(10):253-265.

Kadir, A. 2011. Respon genotipe padi mutan hasil iradiasisinar gamma terhadap cekaman kekeringan. J.Agrivivor 10(3):235-246.

Tabel 1. Varietas padi toleran kekeringan.

Umur PotensiNo Varietas tanaman hasil Tekstur

(HSS) (t/ha) nasi

1 Limboto 105 6 Sedang2 Batutegi 112-120 6 Pulen3 Towuti 105-115 7 Pulen4 Situ Patenggang 110-120 5,6 Sedang5 Situ Bagendit 110-120 5 Sedang6 Inpago 4 124 6,1 Pulen7 Inpago 5 118 6,2 Sangat pulen8 Inpago 6 113 5,8 Pulen9 Inpago 7 111 7,4 Pulen10 Inpago 8 119 8,1 Pulen11 Inpago 9 109 8,4 Sedang12 Inpago 10 115 7,3 Sedang13 Inpari 16 118 7,6 Pulen14 Inpari 18 102 9,5 Pulen15 Inpari 19 104 9,5 Pulen16 Inpari 38 115 8,1 Pulen17 Inpari 39 115 8,4 Pulen18 Inpari 40 116 9,6 Sedang19 Inpari 41 114 7,8 Pulen

Sumber: Balitbangtan 2015

Page 9: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sujinah dan Jamil: Respon Varietas Toleran terhadap Kekeringan

7

Khaerana, M. Ghulamahdi, dan E.D. Purwakusumah. 2008.Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panenterhadap pertumbuhan dan kandungan xanthorrhizaltemulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) Bul. Agron.36:241-247.

Liu, F., Jensen, and Andersen, M. N. 2004. Drought stresseffect on carbohydrate in soybeans leaves and podsduring during early reproductive development: itsimplication in altering pod set. J. Field Crop Research86:1-13.

Liu, H.Y., J.Y. Li, Y. Zhao, and K.K. Huang. 2007. Influence ofdrought stress on gas exchange and water useefficiency of salix psammophila growing in five places.Arid. Zone. Res. 24:815-820.

Maisura, M., A. Chozin, I. Lubis, A. Junaedi, and H. Ehara.2014. Some physiological character responses of riceunder drought conditions in a paddy system. J. Issaas20(1):104-114.

Man, D., Y. X. Bao, and L. B. Han. 2011. Drought toleranceassociate with proline and hormone metabolism intwo tall fescue cultivars. Hort Science 46(7): 1027-1032.

Martinez, J. P., H. Silva, J. F. Ledent, and M. Pinto. 2007.Effect of drought stress on the osmotic adjustment,cell wall elasticity and cell volume of six cultivars ofcommon beans (Phaseolus vulgaris L.). Europ J.Agronomy 26: 30-38.

Mostajeran, A. and V.R. Eichi. 2009. Effects of drought stresson growth and yields of rice (Oryza sativa L.) cultivarsand accumulation of proline and soluble sugars insheath and blades of their different ages leaves.American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 5(2):264-272.

Nonami, H. 1998. Plant water relations and control of cellelongation at low water potentials. Journal of PlantResearch 111:373-382.

Ndjiondjop, M.N., F. Cisse, K. Futakuchi, M. Lorieux, B.Manneh, R. Bocco, and B. Fatondji. 2010. Effect ofdrought on rice (Oryza spp.) genotypes according totheir drought tolerance level. Second Africa RiceCongress. Mali.

Oukarroum A., S.E. Madidi, G. Schansker, and R.J. Strasser.2007. Probing the response of barley cultivars(Hordeum vulgare L.) by chlorophyll a fluorescenceOLKJIP under drought stress and rewatering.Environmental and Experimental Botany 60(3):438-446.

Rahayu, E.S., E. Guhardja, S. Ilyas, dan Sudarsono. 2005.Polieti lena glikol (PEG) dalam media in vitromenyebabkan kondisi cekaman yang menghambattunas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Berk. Pen.Hayati 11:39-48.

Sabetfar, S., M. Ashouri, E. Amiri, and S. Babazadeh. 2013.Effect of drought stress at different growth stages onyield and yield component of rice plant. Persian GulfCrop Protection 2(2):14-18.

Sikuku, P.A., G.W. Netondo, J.C. Onyango, and D.M. Musyimi.2010. Effects of water deficit on physiology andmorphology of three varieties of nerica rainfed rice(Oryza sativa L.). ARPN Journal of Agricultural BiologicalScience 5(1):23-28.

Sikuku, P.A., J.C. Onyango, and G.W. Netondo. 2012.Physiological and biochemical responses of five nericarice varieties (Oryza sativa L.) to water deficit atvegetative and reproductive stage. Agric. Biol. J. N. Am.3(3):93-104.

Suardi, D. 2000. Kajian metode skrining padi tahankekeringan. Buletin Agrobio 3(2):67-73.

Sulistyono, E., Suwarno, dan I. Lubis. 2011. Karakterisasimorfologi dan fisiologi untuk mendapatkan markamorfologi dan fisiologi padi sawah tahan kekeringan(-30 kPa) dan produktivitas tinggi (> 8 t/ha). Agrovigor6(2):92-102.

Sulistyono, E., Suwarno, I. Lubis, dan D. Suhendar. 2012.Pengaruh frekuensi irigasi terhadap pertumbuhan danproduksi lima galur padi sawah. Agrovivor 5(1):1-7.

Tao, H., H. Brueck, K. Dittert, C. Kreye, S. Lin, and B.Sattelmacher. 2006. Growth and yield formation for rice(Oryza sativa L.) in the water-saving ground cover riceproduction system (GCRPS). Field Crops Research95(1):1-12.

Thoruan-Mathius, N., T. Liwang, M.I. Danuwiksa, G.Suryatmana, H. Djajasukanta, D. Saodah, dan I. G. P.W. Astika. 2004. Respon biokimia beberapa progenikelapa sawit (Elais guineensis Jacq) terhadapcekaman kekeringan pada kondisi lapang. JurnalMenara Perkebunan 72(2):38-56.

Tubur H.W., M.A. Chozin, E. Santosa, dan A. Junaedi. 2012.Respon agronomi varietas padi terhadap periodekekeringan pada sistem sawah. J.Agron. Indonesia40(3):167-173.

Taiz, L. dan E. Zeiger. 2006. Plant physiology. SinauerAssociates Inc. Publisher. Massachusetts. 781p.

Xiong, L., R. G. Wang, G. Mao, and J. M. Koczan. 2006.Identification of drought tolerance determinant bygenetic analysis of root response to drought stressand abscisic acid. Plant Physiol 142:1065-1074.

Yugi, A. 2011. Toleransi varietas padi gogo terhadap kondisikekeringan berdasarkan kadar air tanah dan tingkatkelayuan. Agrin. 15(1):1-7.

Zubaer, M.A., A.K.M. M.B. Chowdhury, M.Z. Islam, and M.A.Hasan. 2007. Effects of water stress on growth andyield attributes of aman rice genotypes. Int. J. Sustain.Crop Prod. 2(6):25-30.

Page 10: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

8

Page 11: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iswanto et al.: Antisipasi Ledakan Hama Wereng Cokelat

9

Antisipasi Ledakan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens) denganPenerapan Teknik Pengendalian Hama Terpadu Biointensif

Anticipation of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens) outbreakthrough Biointensive Integrated Pest Management Application

Eko Hari Iswanto, Rahmini, Bambang Nuryanto, dan Yuliantoro Baliadi

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 19 Juni 2015, direvisi 18 Mei 2016, dan disetujui diterbitkan 23 Mei 2016

ABSTRACT

Brown planthopper (BPH) threatens rice production in the northern Java area. Resistance rice to BPH is themost preferred method to control this pest. However, brown planthopper could adapt to its host and break theresistant gene, to form a new biotype. Conventional IPM is usually reactive, still depending on the use ofinsecticide, whereas biointensive-IPM is a proactive actions, based on an ecological understanding, includingsynchronize planting times, seeding and planting time are determined based on the results of pest monitoringusing light trap, and management of cropping pattern. Synchronized planting and appropriate planting timereduces population of brown planthoppers effectively on the early planting stage. Insecticide application ifever needed, is the last option to be applied for controlling the pest, which has to be applied rationally asrecommended. Controlling brown planthoppers also requires the active role of farmers with the governmentsupport.

Keywords: Rice, brown planthopper, pest management, biointensive-IPM.

ABSTRAK

Hama wereng cokelat menjadi ancaman produksi padi di wilayah persawahan Pantai Utara (Pantura)Jawa. Varietas tahan dijadikan pilihan utama untuk menanggulangi serangan, namun demikian, varietastahan mempunyai keterbatasan karena wereng cokelat dapat beradaptasi membentuk biotipe baru.Pengendalian Hama Terpadu (PHT) konvensional bersifat reaktif terhadap serangan hama, dan seringtetap mengandalkan insektisida. PHT biointensif bersifat tindakan proaktif dan merupakan konseppengendalian berdasarkan pemahaman ekologi, termasuk tanam serempak, waktu semai/tanamberdasarkan hasil monitoring serangga hama menggunakan lampu perangkap, dan pengaturan polarotasi tanam. Tanam serempak dan semai/tanam pada waktu yang tepat efektif mengurangi populasihama di awal pertanaman. Aplikasi insektisida sebagai langkah terakhir dalam pengendalian werengcokelat harus rasional dan sesuai anjuran berdasarkan hasil pengamatan intensif. Pengendalian werengcokelat tidak dapat diselesaikan hanya menggunakan teknologi tetapi juga perlu peran aktif petani sebagaipengguna teknologi dan dengan dukungan pemerintah.

Kata kunci: Padi, wereng cokelat, pengendalian, PHT biointensif.

Page 12: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

10

PENDAHULUAN

Wereng cokelat menjadi salah satu hama utama padiyang menyerang setiap musim dan bila terjadi ledakanmaka banyak pertanaman padi yang puso. Werengcokelat juga menjadi vektor virus penyebab penyakit kerdilhampa dan kerdil rumput yang dampaknya lebih hebatdaripada wereng cokelat. Sampai saat ini belum adavirusida yang efektif mengendalikan penyakit tersebut,sehingga rekomendasinya dengan cara eradikasi sumberinokulum atau tanaman yang tertular virus segera dibakaratau dibenamkan ke tanah (Cabauatan et al. 2009).Serangan wereng cokelat menurunkan produksi padi, baiksecara kualitatif maupun kuantitatif. Spot-spot seranganwereng cokelat masih terjadi di berbagai wilayah, sehinggaperlu diwaspadai siklus lima tahunan ledakan hama ini.

Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa merupakan sentraproduksi padi dan penyumbang terbesar produksi padinasional. Luas lahan sawah di Pulau Jawa yang terdiriatas Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY danJawa Timur berturut-turut 197.165 ha, 930.507 ha, 960.970ha, 55.291 ha, dan 1.106.449 ha (BPS 2013). Keberhasilanpertanaman padi di Pantura Jawa menjadi indikatorketersediaan cadangan pangan secara nasional. Olehkarena itu, pertanaman padi pada setiap musim dituntutdi kawasan ini harus berhasil. Serangan hama penyakitdi Pantura Jawa, terutama wereng cokelat menjadikendala dalam upaya pencapaian target produksinasional. Direktorat Perlindungan Tanaman (2010)melaporkan bahwa serangan wereng cokelat pada tahun2010 di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIYdan Jawa Timur berturut-turut 9.673 ha, 60.866 ha, 33.138ha, 766 ha, dan 28.108 ha.

Varietas tahan wereng cokelat selalu menjadi pilihanutama untuk meredam serangan. Penggunaan varietastahan dalam menurunkan populasi wereng cokelat dinilaiefektif, namun varietas tahan mempunyai keterbatasandi lapangan. Bila varietas tahan ditanam terus menerus,wereng cokelat dapat cepat beradaptasi dan membentukbiotipe baru yang mampu berkembang dengan baik padavarietas yang sebelumnya tahan. Wereng cokelat mampubertahan dan berkembang, menurunkan generasi populasibaru yang lebih agresif (Smith 1989, Panda and Kush1995). Varietas tahan yang hanya mempunyai genketahanan tunggal (monogenik) seperti IR26 (Bph1) danIR42 (bph2) hanya dapat bertahan kurang lebih 2 tahunatau sekitar 3-4 musim saja. Varietas yang mempunyaigen ketahanan lebih dari satu (polygenik) seperti IR64dapat bertahan lebih lama di lapangan. Walaupun ditanamterus menerus dalam areal yang luas, wereng cokelatmembutuhkan waktu lama untuk beradaptasi padavarietas IR64.

Varietas tahan hanya salah satu teknologi untukmeredam serangan wereng cokelat, namun suatu saatvarietas tersebut akan patah ketahanannya. Pengendalianwereng cokelat tidak hanya mengandalkan varietas tahansaja, tetapi segala usaha perlu dilakukan untukmendukung pengelolaan varietas tahan agar dapatbertahan lebih lama di lapangan.

Tulisan ini menguraikan konsep PHT biointensif,integrasi komponen teknologi pengendalian dansosialisasi gerakan pengendalian.

PHT BIOINTENSIF

Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan konseppengendalian yang sudah lama dikenal petani. Sejak tahun1989 konsep PHT digunakan dalam program SekolahLapang PHT (SLPHT), program yang melatih petanimenerapkan konsep PHT langsung di lapangan. PHTkonvensional tersebut kurang relevan lagi diterapkan padakondisi saat ini, dimana konsumen memperhitungkankualitas dan kesehatan produk pertanian. PHTkonvensional cenderung mengandalkan pestisida dalampengendalian. Penggunaan pestisida diketahui mempunyaiefek negatif, terutama terhadap lingkungan. Oleh karenaitu, PHT biointensif yang lebih ramah lingkungan lebih tepatditerapkan saat ini.

PHT biointensif merupakan sistem pengelolaan hamaberdasarkan pemahaman ekologi. Strateginya adalahdengan merancang ekosistem pertanian agar populasiserangga hama serendah mungkin dengan pendekatanhubungan antara serangga dan lingkungannya (Ravi 2013).Seperti diketahui, populasi serangga hama sangatdipengaruhi oleh interaksi komponen biotik dan abiotik.Komponen abiotik seperti tempat hidup dan cuaca/iklim,sedangkan komponen biotik adalah tanaman inang danmusuh alami serta kompetitor (Altieri et al. 2005). PHTkonvensional lebih mengutamakan pestisida dalampengendalian hama dan kurang memperhatikan faktorekologi sebagai komponen dasar agroekosistempertanian (Reddy 2013). Perbedaan PHT biointensifdengan PHT konvensional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan PHT biointensif dengan PHT konvensional.

PHT biointensif PHT konvensional

• Bersifat proaktif • Reaktif• Perencanaan pengendalian • Mulai sejak ada pertanaman

mulai dari sebelum tanam• Manipulasi serangga berguna, • Diversifikasi genetik tanaman/

kesehatan tanah, mengarah varietas, cenderungke kesetimbangan biologi mengandalkan pestisida

• Monitoring dan informasi • Identifikasi hama dan musuhpopulasi hama dan musuh alami untuk menentukanalami ambang kendali

Page 13: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iswanto et al.: Antisipasi Ledakan Hama Wereng Cokelat

11

PHT biointensif bersifat proaktif, segala upayadilakukan untuk memanipulasi habitat agar tidakmenguntungkan bagi hama, tetapi menguntungkan bagimusuh alami untuk mampu menekan perkembanganhama. Upaya tersebut dapat dilakukan sebelum adapertanaman. Tanam serempak, termasuk pengaturan polatanam atau integrasi dengan palawija, dan semai/tanampada saat yang tepat merupakan upaya yang dapatdilakukan untuk menekan populasi hama pada awalpertanaman. Pada kondisi tersebut musuh alamidiharapkan mampu menjaga populasi hama di bawahambang ekonomi sehingga tidak diperlukan penyemprotaninsektisida. PHT konvensional hanya menerapkandiversifikasi genetik tanaman untuk menghambatperkembangan serangga hama.

Penyediaan nektar dengan penanaman tanamanberbunga seperti tanaman wijen (Sesamum indicum) danbunga widelia (Sphagneticola trilobata) di pematang dapatmeningkatkan peran/kinerja parasitoid (Zhu et al. 2013,Hermanto et al. 2014). Selain itu penggunaan bahanorganik dapat meningkatkan serangga detritivor yangmenjadi mangsa predator generalis (Settle et al. 1996).Penanaman palawija di pematang dapat menjadi tempatshelter/refuji bagi serangga-serangga predator. Manipulasihabitat tersebut sangat bermanfaat bagi perkembanganserangga berguna seperti predator dan parasitoid dalammengontrol populasi serangga hama.

Penerapan PHT biointensif di lapangan berperanpenting dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) karenadapat menekan penggunaan bahan kimia dan dampaknegatif di dalam dan luar lingkungan pertanian, sehinggalebih efektif dalam pengelolaan hama sasaran (Baehaki2011a). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapanPHT biointensif bertujuan untuk menghindari ledakanwereng cokelat di sentra produksi padi.

INTEGRASI TEKNIK PENGENDALIANBIOINTENSIF

Pengelolaan Agroekosistem

1. Tanam padi serempak

Tanam serempak merupakan kegiatan budi daya padi yangdimulai dari pengolahan tanah, semai atau tanambersama-sama dalam hamparan luas dan dalam kurunwaktu tertentu. Tanam padi secara serempak minimalpada areal sawah dengan golongan air yang sama. DiPantura Jawa Barat, terdapat 4-5 golongan air denganinterval waktu pengairan antar golongan air 2 minggu.Namun saat ini, pengaturan golongan air tidak berjalandengan baik, karena petani saling mendahului dalampengolahan lahan akibat pembagian air yang tidak teratur.

Bila pengairan tersedia sepanjang tahun perlu dipertegaspengaturan jadwal tanam agar dapat tanam serempak.Pada pertanaman yang tidak serempak, tanaman yangterserang hama menjadi sumber bagi pertanaman lain,karena adanya berbagai stadia tumbuh tanaman dalamsatu hamparan. Dalam kondisi ini, serangga hama cepatberkembang dan populasi menjadi semakin tinggisehingga sulit dikendalikan. Akhirnya terjadi akumulasidan perkembangan pesat hama yang ditandai denganledakan populasi wereng cokelat yang menyebabkantanaman puso.

Hasil penelitian Magunmder et al. (2013) menunjukkanpertanaman yang ditanam lebih awal mempunyai populasiserangga hama dan musuh alami yang lebih rendahdibanding yang ditanam belakangan. Pada pertanamanserempak, serangga hama imigran yang datang akantersebar merata pada suatu hamparan, sehingga populasihama tiap rumpun menjadi lebih rendah dan dapatdikendalikan oleh musuh alami, baik predator maupunparasitoid. Bila pertanaman pada golongan air pertamamampu dikendalikan maka hama tidak akan migrasi ataumenyebar ke pertanaman pada golongan air selanjutnya.Wereng cokelat dapat bermigrasi jauh yang tidak terbatassecara administratif, sehingga diperlukan koordinasi antarwilayah untuk pelaksanaan tanam serempak.

Tanam serempak terbukti dapat meredam seranganwereng cokelat yang terjadi di sepanjang Pantura Jawapada MH 2010/2011. Salah satu contoh penerapan PHTbiointensif dengan tanam varietas tahan secara serempakpada waktu yang tepat dilaksanakan di Desa Polanharjo,Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada MK 2011.Pertanaman padi seluas 804 ha memberikan hasil yangmamadai dengan tanam serempak, setelah 2 tahunsebelumnya tidak panen akibat serangan wereng cokelat(Baehaki 2014). Tanam serempak memudahkan dalampengendalian wereng cokelat selanjutnya.

2. Integrasi palawija pada areal pertanamanpadi

Pengelolaan agroekologi dengan menerapkan sistemintegrasi palawija pada pertanaman padi (SIPALAPA)membuat keanekaragaman agroekosistem meningkat,sehingga musuh alami juga meningkat dan mampumenjaga populasi serangga hama sampai pada tingkatyang tidak merugikan secara ekonomi (Baehaki danDjuniadi 2011). Sebaliknya, pada pertanaman monokultur,hubungan komoditas dengan hama dan musuh alamimenjadi monoton seperti terlihat pada Gambar 1.

Sistem SIPALAPA yang memanfaatkan pematangsawah dengan tanaman palawija sangat dianjurkan, selainmenguntungkan juga meningkatkan keanekaragamansumber daya hayati flora dan fauna (biodiversitas). Namun,

Page 14: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

12

sistem tersebut tidak berkembang dengan baik. Hal inisalah satu penerapan rekayasa ekologi yang sebenarnyapernah dilakukan di Indonesia yang secara ekonomi lebihmenguntungkan, dibanding penanaman tanamanberbunga yang berfungsi meningkatkan kinerja parasitoiddengan adanya nektar pada tanaman berbunga (Gurr 2009,Heong 2011, Winarto et al. 2013). Hasil penelitian Yao etal. (2012) menunjukkan bahwa populasi wereng cokelatlebih rendah pada pertanaman tumpangsari padi denganjagung dibanding pertanaman padi monokultur dantumpangsari padi dengan kedelai. Penanaman palawijadi pematang, selain menjadi tempat berlindung ataushelter hama dan musuh alami juga meningkatkanpendapatan dari hasil palawija (kedelai) yang ditanam dipematang (Baehaki et al. 2007). Penerapan pola tanampadi-padi-bera atau padi-padi-palawija juga sangatbermanfaat, khususnya pada daerah endemis, untukmemutus perkembangan wereng cokelat. Hal tersebuttidak hanya bermanfaat menekan serangan werengcokelat namun juga hama dan penyakit secara umum.

Tanam Varietas Tahan

Varietas tahan merupakan salah satu komponen teknologiyang murah dan ramah lingkungan yang berperan penting

dalam pengendalian wereng cokelat. Pengalamanmembuktikan bahwa varietas tahan selalu menjadi pilihanutama dalam meredam ledakan wereng cokelat. Namun,ketahanan varietas tidak berlangsung lama karena werengcokelat cepat beradaptasi membentuk biotipe baru. Yeast-like endosymbiont (YLS) yang bersimbiosis dalampencernaan wereng cokelat berperan dalam prosesproduksi asam amino penting (Chen et al. 2011). Hasilpenelitian Cruz et al. (2011) di laboratorium menunjukkanwereng cokelat mampu beradaptasi pada varietas tahanIR62 setelah generasi ke-13. Perakitan varietas tahandengan menggabungkan dua atau lebih gen ketahanan(pyramiding genes) diharapkan dapat menekan seranganwereng cokelat di lapangan, sehingga tekanan olehwereng cokelat tidak terlalu kuat (Iswanto et al. 2015).Varietas IR64 yang mempunyai gen Bph1 dan 7quantitative trait loci (QTLs) yang mampu bertahan selamalebih dari 20 tahun, akhirnya hopperburn akibat seranganwereng cokelat (Alam and Cohen 1998, Brar et al. 2009,Myint et al. 2012). Saat ini, lebih dari 70 gen ketahanantelah teridentifikasi, namun kurang dari 10 gen yangdigunakan dalam perakitan varietas tahan (Fujita et al.2013). Hasil pengujian Baehaki et al. (2011) dilaboratorium menunjukkan bahwa varietas tahan IR74 danCiherang mampu menurunkan nimfa wereng cokelat

Hama padi

Hama padi/kedelai

Padi

Hama padi

Predator

Parasitoid

Padi Kedelai

Hama padi‐kedelai Trap crop

Hama padi

Predator

Parasitoid

Shelter

Refuji

Serangga netral

Hama kedelai

Penyediaan 

nektar

Monokultur Padi Sistem integrasi padi dan palawija

Gambar 1. Dinamika hubungan komoditas dengan hama dan musuh alami (Baehaki 2011a).

Page 15: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iswanto et al.: Antisipasi Ledakan Hama Wereng Cokelat

13

sumber serangan. Hama yang tertangkap lampuperangkap dapat dijadikan indikator datangnya hama dipersemaian atau di pertanaman (BB Padi 2014).

Pada saat bera, lampu perangkap tetap digunakanuntuk mengetahui perkembangan dan puncak datangnyawereng imigran, sehingga dapat diketahui waktu semaiyang baik. Bila wereng imigran tidak tumpang tindih makapersemaian dilakukan 15 hari setelah puncak tangkapan.Bila datangnya wereng imigran tumpang tindih maka akanterjadi dua puncak tangkapan, persemaian dibuat 15 harisetelah puncak tangkapan ke dua. Persemaian dibuatsetelah populasi hama rendah, saat yang tepat bisadiketahui dari hasil tangkapan lampu perangkap. Semaiatau tanam pada saat populasi hama rendah,perkembangan hama dapat dikontrol oleh musuh alami.Sebaliknya, jika semai/tanam pada saat populasi tinggimenyulitkan pengendalian selanjutnya. Selain melihathasil tangkapan lampu perangkap, monitoring lapangandapat dilakukan untuk memastikan kondisi dan populasiwereng cokelat pada pertanaman yang masih ada disekitar hamparan. Bila kondisi aman, maka dapat dimulaipersemaian, bila populasi tinggi harus dilakukanpengendalian terlebih dahulu agar tidak menyebar kepertanaman baru.

Pada saat sudah ada pertanaman (stadia vegetatifdan generatif), bila wereng makroptera tertangkap di lampuperangkap kurang dari 50 ekor/malam, perlu pengamatanpopulasi di pertanaman dan segera dilakukan pengendalianjika populasi di atas ambang ekonomi. Bila lebih dari 50ekor/malam, air irigasi pada pertanaman padi segeradikeringkan dan lakukan penyemprotan insektisida denganbahan aktif yang masih efektif, misalnya dinotefuran ataupymetrozine.

2. Pengamatan di pertanaman

Pengamatan lapang perlu dilakukan pada pertanaman disekitar hamparan untuk mengetahui populasi werengcokelat di hamparan sawah sebelum persemaian.Pengamatan rutin bertujuan untuk mengetahuiperkembangan populasi hama, dimulai sejak pesemaian.Saat ini, sudah mulai dikembangkan monitoring populasiwereng cokelat menggunakan remote sensing (Ghobadifaret al. 2015).

Pengamatan di pertanaman dilakukan setiap 1-2minggu sekali untuk mengetahui populasi wereng cokelatdan musuh alaminya. Pengamatan menggunakan ambangekonomi berdasar musuh alami. Menurut Santosa danBaehaki (2005), pada setiap titik pengamatan diambil 20rumpun tanaman contoh secara diagonal, dihitung populasiwereng dan masukan data sesuai rumus berikut:

generasi pertama berturut-turut 52,0% dan 19,1%dibanding populasi nimfa wereng cokelat pada varietasrentan (Muncul). Faktor lain yang berpengaruh terhadapperkembangan wereng cokelat adalah kandungannitrogen. Penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihanberpengaruh terhadap kebugaran wereng cokelat dalamberadaptasi pada varietas tahan dan selanjutnyamenurunkan ketahanan varietas (Lu et al. 2004, Lu et al.2005, Lu and Heong 2009). Nitrogen pada pupuk ureasangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan.Oleh karena itu, urea yang diberikan pada pertanamansebaiknya menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) agardosisnya tidak berlebihan.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah melepasbeberapa varietas unggul baru tahan wereng cokelat diantaranya Inpari 13, Inpari 31, dan Inpari 33 yang dapatdijadikan pilihan dalam mengendalikan ledakan werengcokelat (BB Padi 2015). Penanaman varietas tahandilakukan pada musim tanam dimana kondisi populasihama relatif tinggi atau pada musim hujan, bila kondisisudah aman atau populasi hama relatif rendah dapatditanam varietas lain. Pergiliran varietas tahan jugadiperlukan agar wereng cokelat tidak cepat beradaptasisehingga varietas tersebut dapat bertahan lama dilapangan. Sebelum tahun 1994 ledakan wereng cokelathanya terjadi pada musim hujan, namun setelah ituserangan terjadi pada musim hujan maupun musimkemarau.

Monitoring dan Pengamatan Tabulasi

1. Waktu tanam tepat

Pemantauan populasi serangga hama menggunakanlampu perangkap bertujuan untuk mengetahui waktutanam yang tepat, yaitu pada saat populasi hama rendah.Lampu perangkap berfungsi memerangkap serangga,dengan memanfaatkan sinar (lampu) untuk menarikserangga datang, kemudian masuk ke dalam perangkap.Wereng (makroptera) termasuk serangga yang tertarikpada cahaya, sehingga wereng imigran yang pertama kalidatang ke pertanaman dapat diketahui dari hasiltangkapan lampu perangkap. Banyaknya hama yangtertangkap ditentukan oleh besarnya cahaya yangdipasang, makin tinggi cahaya makin banyak hasiltangkapannya. Hasil tangkapan hama pada solar cell(tenaga surya) dengan cahaya setara 20 watt lebih rendahdibanding hasil tangkapan lampu perangkap elektrik 100-160 watt. Jumlah tangkapan juga ditentukan oleh tempat/lokasi pemasangan. Lampu perangkap yang berdekatandengan sumber serangan menghasilkan tangkapan yanglebih banyak dibanding lampu perangkap yang jauh dari

Page 16: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

14

Jumlah wereng terkoreksi musuh alami pada mingguke-i:

Ai – (5B

i + 2C

i) 505 – (5x45 + 2x59)

Di

= ——————— = —————————— 20 20

= 8,1 ekor/rmpn

Nilai Di=8,1 ekor/rumpun sesuaikan dengan ambang

ekonomi (AE) dengan harga gabah saat panen:

cokelat, namun disarankan pada populasi yang masihrendah atau mulai dari persemaian. Bila populasi werengcokelat di atas ambang ekonomi segera gunakaninsektisida kimia (Kartohardjono 2011, Iswanto et al. 2014,Kardinan 2011). Penggunaan Insektisida harus tepat dosis/konsentrasi, untuk menjaga agar insektisida tetap efektifdan tidak cepat terjadi resistensi atau resurjensi. Werengcokelat yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengahtelah resisten terhadap bahan aktif insektisida fipronil,sipermetrin, buprofezin, imidakloprid dan teametoksam(Baehaki et al. 2013). Resistensi wereng cokelat terhadapinsektisida tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga diChina, Jepang, Vietnam, Philipina dan Thailand(Matsumura et al. 2009, Zhang et al. 2014)

Petani pada umumnya belum tepat menggunakaninsektisida, terutama dosis/konsentrasi dan cara aplikasi.Dosis/konsentrasi yang tidak sesuai anjuranmenyebabkan rendahnya tingkat efikasi. Insektisidadisemprotkan di permukaan atas daun padahal werengcokelat berada pada batang padi. Biokimia wereng cokelatmampu mengubah insektisida ke bentuk yang tidak toksikdan hama ini mampu menghindar dari jangkauanpenyemprotan insektisida.

Faktor utama dalam penyemprotan insektisida agarefektif menurunkan populasi wereng cokelat adalah: 1)Air di pertanaman dikeringkan sebelum aplikasi karenawereng cokelat sangat menyukai kondisi kelembabantinggi; 2) Penyemprotan dilakukan pada saat air embunsudah berkurang atau tidak ada, mulai dari jam 8.00 pagisampai jam 11.00 siang, bila tidak selesai dapatdilanjutkan sore hari. Hal ini bertujuan agar larutaninsektisida yang diaplikasikan tidak bercampur denganair embun yang dapat menurunkan konsentrasi danmelemahkan kinerja insektisida; 3) Mengarahkan nozleke batang padi di mana wereng cokelat berada danmenggunakan air pelarut 350-500 liter/ha; 4) Menghindaripenggunaan bahan aktif insektisida yang telah resistenatau resurjen seperti sipermetrin, sihalotrin, fipronil danimidakloprid. Bahan aktif dinotefuran dan pymetrozinemasih efektif karena belum lama beredar sehingga didugabelum terjadi resistensi/resurjensi. Pergiliran bahan aktifinsektisida, terutama bahan aktif dengan cara kerjaberbeda, dianjurkan untuk menjaga keefektifan insektisidatersebut.

4. Penuntasan pengendalian pada generasi ke-1

Wereng cokelat makroptera pertama kali datang kepertanaman pada stadia persemaian atau pada saattanaman muda. Wereng tersebut dicatat sebagai generasi0 (G0), maka 25-30 hari kemudian akan menjadi imagogenerasi ke-1 (G1). Dalam satu musim tanam dapatmencapai 3-4 generasi. Dalam perkembangan wereng

Contoh tabel data pengamatan

Laba-laba+Rumpun Wereng Paederus+ Cyrtorhinus

cokelat Ophionea+Coccinella

1 30 3 12 25 4 33 19 0 8dst dst dst dst19 39 5 520 28 2 2

Total Ai =505 Bi = 45 Ci =59

Wereng cokelat pada AE pada harga gabahstadia padi saat panen (Rp/kg)

900 2250 3150

Jumlah wereng cokelat pada 9 4 3umur padi kurang dari 40 HSTJumlah wereng cokelat pada 18 7 5umur padi lebih dari 40 HST

Bila nilai Di ≥ 3 pada tanaman padi berumur kurang

dari 40 HST dan Di ≥ 5 pada tanaman padi berumur lebih

dari 40 HST harus diaplikasi insektisida yangdirekomendasikan.

Pelatihan cara pengamatan hama sebaiknya diadakanrutin bagi petani dan petugas (PPL, POPT dan KCD) agarmampu melakukan pengamatan dan pengambilankeputusan dengan benar, baik pengamatan di pertanamanmaupun pada lampu perangkap.

3. Rasionalisasi penggunaan insektisida kimia

Dalam pengendalian hama terpadu (PHT), insektisidadigunakan bila populasi sudah melewati ambang ekonomi,setelah semua usaha telah dilakukan untuk menurunkanpopulasi wereng cokelat, mulai dari penanaman varietastahan secara serempak dan penggunaan lampu perangkapuntuk menentukan waktu tanam. Agens hayati sepertiMetarhizium anisopliae, Beauveria bassiana dan pestisidanabati dapat digunakan untuk mengendalikan wereng

Page 17: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iswanto et al.: Antisipasi Ledakan Hama Wereng Cokelat

15

cokelat imigran (makroptera) terdapat generasi yangtumpang tindih, karena lamanya hidup hama ini berbeda,dari yang pendek sampai panjang. Oleh karena itu,pengamatan intensif dimulai dari persemaian, bila populasidi atas ambang ekonomi segera dilakukan pengendalian.Bila pengendalian menunggu sampai pada generasi ke-3(G3), populasi sudah sangat tinggi dan sulit dikendalikan,biasanya terdapat spot-spot hopperburn. Kejadiantersebut banyak terjadi di lapangan, petani tidakmelakukan pengamatan di pertanaman. Petani barumengetahui setelah populasi tinggi, dicirikan oleh werengcokelat berada di daun dan sudah terjadi spot hopperburn,biasanya pada stadia masak susu sampai menjelangpanen. Bila dari persemaian sampai pertanaman mudapopulasinya sangat tinggi dan banyak wereng cokelatmakroptera (imigran) maka generasi hama ini tumpangtindih sehingga dapat terjadi hopperburn pada pertanamanmuda. Bahkan, pada pesemaian pun dapat terjadihopperburn oleh wereng imigran.

SOSIALISASI PENGENDALIAN

Penerapan teknologi pengendalian hama dapat terlaksanadengan baik bila semua stake holder mau bekerja samadan berkoordinasi dalam penerapan teknologi (Norton etal. 2015). Aspek sosial, termasuk di dalamnya persepsi,pengetahuan dan sikap petani sampai pembuat kebijakan,juga berperan penting dalam penerapan teknologipengendalian di lapangan (Savary et al. 2012). PeranPenyuluh Pertanian (PPL), KCD, Pengamat OrganismePengganggu Tanaman (POPT), Dinas Pertanian, KepalaDesa, Camat, Bupati, Kepala Daerah, Dinas Pengairandan swasta sangat penting mendampingi petani ataukelompok tani dalam melaksanakan tanam serempak.Koordinasi untuk menentukan waktu tanam yang tepatdilakukan setiap musim tanam.

Teknologi pengendalian hama penyakit, khususnyawereng cokelat, sudah banyak dipublikasikan. Hal yangpaling penting adalah teknologi tersebut diterapkan denganbenar oleh petani. Pada saat ini, dimana kualitas produkpertanian sangat diperhatikan, PHT biointensif relevanditerapkan karena ramah lingkungan. Dalam hal ini, praktikbudi daya tanaman padi memperhitungkan keseimbanganekosistem dan mengurangi bahkan meniadakanpenggunaaan insektisida.

Pengendalian wereng cokelat tidak dapatdiselesaikan hanya dengan menggunakan teknologi tanpaperan aktif petani sebagai penggerak utama teknologi danjuga dukungan pemerintah melalui kebijakan (Baehaki2011b, Flor et al. 2016). Tanam serempak tidak terbatassecara administratif, sehingga perlu koordinasiantarpemerintah daerah dan instansi terkait (misalnya

pengairan) dalam pelaksanaannya. Penyuluh PertanianLapangan (PPL), POPT, KCD/UPTD berperan pentingsebagai ujung tombak penggerak penerapan teknologipengendalian wereng cokelat. Dukungan pemerintahandi daerah, mulai dari kepala desa sampai kepala daerah,diperlukan untuk mendorong dan memfasilitasi penerapanteknologi. Pelatihan-pelatihan agar digalakkan. Petani dankelompok tani maupun petugas yang dahulu pernahmengikuti pelatihan sudah berusia lanjut, sehinggapelatihan diperuntukkan bagi yang muda sebagaipelaksana agar dapat menerapkan teknologi di lahannyamasing-masing dengan baik dan benar.

KESIMPULAN

Tanam serempak, waktu semai/tanam yang tepat denganbantuan lampu perangkap dan pengaturan pola tanamdapat dilaksanakan untuk mengurangi populasi hama diawal pertanaman. Aplikasi insektisida sebagai langkahterakhir dalam pengendalian wereng cokelat harus rasionaldan sesuai anjuran berdasarkan hasil pengamatan intensifdi lapangan. Penggunaan dan pergiliran varietas tahandiperlukan untuk meredam wereng cokelat membentukbiotipe baru, sehingga varietas tersebut dapat bertahanlama di lapangan. Peran aktif petani dan dukunganpemerintah sangat penting agar teknologi pengendaliandapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S.N. and M.B. Cohen. 1998. Detection and analysis ofQTLs for resistance to the brown planthopper,Nilaparvata lugens, in a doubled haploid ricepopulation. Theor. Appl. Genet. 97:1370-1379.

Altieri, M.A., C.I. Nicholls, and M.A. Fritz. 2005. Manageinsects on your farm. Sustainable Agric. Network,Belsville, MD. 130pp.

Baehaki, S.E., D. Djunaedi, dan A. Kartohardjono. 2007.Sistem integrasi tanaman padi dan palawija sebagaialternatif pengendalian hama secara terpadu. RisalahSeminar 2006. Bogor, 2 Maret 2016. Puslitbangtan.Bogor. p.25-40.

Baehaki, S.E., A. Kartohardjono, dan D. Munawar. 2011.Peran varietas tahan dalam menurunkan populasiwereng cokelat biotipe 4 pada tanaman padi. J. Pen.Pert. Tan. Pangan 30(3):145-153.

Baehaki, S.E. dan D. Djunaedi. 2011. Sistem integrasipalawija-padi sebagai teknologi pengendalian hamaterpadu. Pros. Sem. Nas. Inovasi teknologi BerbasisKetahanan Pangan Berkelanjutan. Buku 2. Bogor, 14Agustus 2009. Puslitbangtan. Bogor. p.188-202.

Baehaki, S.E. 2011a. Perubahan pengendalian hamaterpadu (PHT) konvensional menuju PHT biointensif.Pros. Sem. Nas. Inovasi Teknologi Berbasis

Page 18: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

16

Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Buku 2. Bogor, 14Agustus 2009. Puslitbangtan. Bogor. p.203-214.

Baehaki, S.E. 2011b. Strategi fundamental pengendalianhama wereng batang cokelat dalam pengamananproduksi padi nasional. Pengembangan InovasiPertanian 4(1): 63-75.

Baehaki, S.E., D. Munawar, dan E.H. Iswanto. 2013.Resistensi wereng cokelat terhadap insektisida yangberedar di areal sentra produksi padi. Laporan hasilpenelitian 2012. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Baehaki, S.E. 2014. Budi daya tanam padi berjamaah suatuupaya meredam ledakan hama dan penyakit dalamrangka swasembada beras berkelanjutan. Edisi 2.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang. 209p.

BB Padi. 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi. BadanLitbang Pertanian. Jakarta. 82 p.

BB Padi. 2014. Uji kelayakan lampu perangkap hama sollarcell dan elektrik. Laporan Hasil Penelitian 2013. BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang,Kementerian Pertanian.

BPS. 2013. Statistik Indonesia. Badan Pusat StatistikIndonesia.

Brar, D.S., P.S. Virk, K.K. Jena, and G.S. Khush. 2009.Breeding for resistance for planthoppers in rice. In :K.L. Heong and B. Hardy (Eds). Planthoppers: newthreats to the sustainability of intensive rice productionsystems in Asia. International Rice Research Institute.Los Banos, Philippines. p.401-428.

Cabauatan, P.Q., R.C Cabunagan, and I.R. Choi. 2009. Riceviruses transmitted by the brown planthopperNilaparvata lugens Stal. In : K.L. Heong and B. Hardy(Eds). Planthoppers: new threats to the sustainabilityof intensive rice production systems in Asia.International Rice Research Institute. Los Banos,Philippines. p. 357-368.

Chen, Y.H., C.C. Bernal, J. Tan, F.G. Horgan, and F.A.Fitzgerald. 2011. Planthopper ‘adaptation’ to resistancerice varieties: Changes in amino acid composition overtime. Journal of Insect Physiology 57:1375-1384.

Cruz, A.P., A. Arrida, K.L. Heong, and F.G. Horgan. 2011. Aspectof brown planthopper adaptation to resistant rice varietywith the Bph3 gene. Entomologia Experimentalis etApplicata 141(3):245-257.

Direktorat Perlindungan Tanaman. 2010. Luas seranganOPT utama pada tanaman padi. Dirjen TanamanPangan, Kementerian Pertanian.

Flor, R.J., G. Singleton, M. Casimero, Z. Abidin, N. Razak, H.Maat, and C. Leeuwis. 2016. Farmers, institutions andtechnology in agricultural change processes: outcomesfrom adaptive research on rice production in Sulawesi,Indonesia. International Journal of AgriculturalSustainability 14(2): 166-186.

Fujita, D., A. Kohli, and F.G. Horgan. 2013. Rice resistancefor planthoppers and leafhoppers. Critical Reviews inPlant Science 32(3):162-191.

Ghobadifar, F., W. Aimrun, and M.N. Jebur. 2015.Development of early warning system for brownplanthopper (BPH) (Nilaparvata lugens) in rice farmingusing multispectral remote sensing. PrecissionAgriculture 17:1-15.

Gurr, G.M. 2009. Prospect for ecological engineering forplanthoppers and other arthropod pests in rice. In :K.L. Heong and B. Hardy (Eds). Planthoppers : newthreats to the sustainability of intensive rice productionsystems in Asia. International Rice Research Institute.Los Banos, Philippines. p.371-388.

Heong, K.L. 2011. Ecological engineering- a strategy torestore biodiversity and ecosystem services for pestmanagement in rice production. http://ricehoppers.net/wp-content/uploads/2011/12/SP-IPM-Technical-Innovation-Brief-15.pdf.

Hermanto, A., G. Mudjiono, dan A. Afandhi. 2014. PenerapanPHT berbasis rekayasa ekologi terhadap werengbatang cokelat Nilaparvata lugens Stal (Homoptera;Delpachidae) dan musuh alami pada pertanamanpadi. Jurnal Hama Penyakit Tumbuhan 2(2):79-86.

Iswanto, E.H., U. Susanto, dan A. Jamil. 2015.Perkembangan dan tantangan perakitan varietastahan dalam pengendalian wereng cokelat diIndonesia. Jurnal Penelitian dan PengembanganPertanian 34(4):187-193.

Iswanto, E.H., Baehaki, SE, A. Kartohardjono, dan D.Munawar. 2014. Efikasi formulasi Metarhiziumanisopliae (Metarian 10 WP) terhadap wereng cokelatdi pertanaman. Prosiding Seminar Nasional InovasiTeknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim GlobalMendukung Surplus 10 Juta Ton Beras. Subang 4-5Juli 2013. Badan Litbang, Kementerian Pertanian.Jakarta. p. 949-959.

Kardinan, A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagaikearifan lokal dalam pengendalian hama tanamanmenuju sistem pertanian organik. PengembanganInovasi Pertanian 4(4):262-278.

Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan musuh alami sebagaikomponen pengendalian hama padi berbasis ekologi.Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1):29-46.

Lu, Z.X., Kong-Luen Heong, Xiao-Ping Yu, and Cui Hu. 2004.Effects of Plant Nitrogen on Ecological Fitness of theBrown Planthopper, Nilaparvata lugens Stal. in Rice.Journal of Asia-Pacific Entomology 7(1):97–104.

Lu, Z.X., Kong-Luen Heong, Xiao-Ping Yu, and Cui Hu. 2005.Effects of nitrogen on the tolerance of brownplanthopper, Nilaparvata lugens, to adverseenvironmental factors. Insect Science 12(2):121-128.

Lu Zhongxian and K.L Heong. 2009. Effects of nitrogen-enriched rice plants on ecological fitness ofplanthoppers. In : K.L. Heong and B. Hardy (Eds).Planthoppers: new threats to the sustainability ofintensive rice production systems in Asia. InternationalRice Research Institute. Los Banos, Philippines. p.247-256.

Page 19: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iswanto et al.: Antisipasi Ledakan Hama Wereng Cokelat

17

Magunmder, S.K.G., M.P. Ali, T.R. Choudhury, and S.A. Rahin.2013. Effect of variety and transplanting date on theinsidance of insect pests and their natural enemies.World Journal of Agricultural Science 1(5):158-167.

Matsumura, M., H, Takeuchi, M. Satoh, S.S. Morimura, A.Otuka, T. Watanabe, and D.V. Thanh. 2009. Currentstatus of insecticide resistance in rice planthoppers inAsia. In : K.L. Heong and B. Hardy (Eds). Planthoppers:new threats to the sustainability of intensive riceproduction systems in Asia. International RiceResearch Institute. Los Banos, Philippines. p.233-244.

Myint, K.K.M., D. Fujita, M. Matsumura, T. Sonoda, A.Yoshimura, and H. Yasui. 2012. Mapping andpyramiding of two major genes for resistance to thebrown planthopper (Nilaparvata lugens Stal) in ricecultivar ADR52. Theor. Appl. Genet. 124:495-504.

Norton, G.A., K.L. Heong, and J. Cheng. 2015. Futureplanthoppers management: Increasing the resilienceof rice system. In K.L. Heong, J. Cheng and M.M.Escalada (Eds). Rice planthoppers: Ecology,management, sosio economics and policy. Springer.Netherlands. p.209-225.

Panda, N. and G.S. Kush. 1995. Host plant resistance toinsect. CAB International. 431p.

Ravi, R. 2013. Pest management priciples and practices.Anmol Publication Pvt, Ltd. 248p.

Reddy, P. Parvatha. 2013. Biointensive integrated pestmangement in Recent advances in crop protection.Springer. India. p.223-244.

Santosa, E. dan Baehaki S.E. 2005. Optimalisasipemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hamautama padi pada budidaya padi intensif untuk sistempertanian berkelanjutan. Dalam: Inovasi Teknologi PadiMenuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku Satu.

Puslitbangtan, Badan Penelitian dan PengembanganPertanian. Bogor. p.165-181.

Savary, S., F. Horgan, L. Willocquet, and K.L. Heong. 2012. Areview of principles for sustainable pest managementin rice. Crop Protection (32):54-63.

Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim,D. Hindayana, and A.S. Lestari. 1996. Managing tropicalrice pests through conservation of generalist naturalenemies and alternative prey. Ecology 77(7):1975-1988.

Smith C. Michael. 1989. Plant resistance to insect: AFundamental Approach. A Wiley-IntersciencePublication. 286p.

Yao, F.L., M.S. You, L. Vasseur, G. Yang, and Y.K. Zheng.2012. Polycurtural manipulation for better regulation ofplanthopper populations in irrigated rice-basedecosystem. Crop Protection 34:104-111.

Winarto, Y.T., R. Ariefiansyah, and J. Fox. 2013. Indonesiaexperiments with sesame in ecological engineeringin Indramayu regency, west java. http://ricehoppers.net/2013/08/indonesia-experiments-with-sesame-in-ecological-engineering-in-indramayu-regency-west-java/.

Zang, X., X. Liu, F. Zhu, J. Li, H. You, and P. Lu. 2014. Fieldevolution of insecticide resistance in the brownplanthopper (Nilaparvata lugens) in China. CropProtection 58:61-66.

Zhu, P., G.M. Gurr, Z. Lu, K.L. Heong, G. Chen, X. Zheng, H.Xu, and Y. Yang. 2013. Laboratory screening supportsthe selection of the Sesame (Sesamum indicum) toenhance Annagrus spp. Parasitoids (Hymenoptera:Mymaridae) of rice planthoppers. Biological Control 64:83-89.

Page 20: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

18

Page 21: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

19

Rekayasa Ekologi dalam Perspektif Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu

Ecological Engeneering on Integrated Crop Management Perspective

Baehaki S.E, Nugraha Budi Eka Irianto, dan Surachmad W. Widodo

Pupuk Indonesia Holding CompanyJl. Kemanggisan, Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 14 Oktober 2015, direvisi 1 Maret 2016, dan disetujui diterbitkan 15 April 2016

ABSTRACT

Ecological engineering is a form of ecological services for the agro-ecosystem restoration in order the wholecontrol factors work naturally, toward to sustainable of life. Ecological engineering in integrated cropmanagement (ICM) provides ecological services to empowering rice varieties, nutrition, irrigation, pest, andweed control. Integrated varieties management is a form of ecological services to improve the ecologicalstability of genotypes biodiversity through the assembly of resistant varieties that equipped with a functionalcharacter to be applied as a mosaic varieties. Integrated nutrition management is a form of ecologicalservices to improve the performance of the phosphate solubilizing bacteria (PSB), potassium solubilizingbacteria (KSB), and sulfur oxidizing bacteria in an organic fertilizer as a mediator and the basic material ofinorganic fertilizer as a starter. Integrated pest management is a form of ecological services through dynamicsinteractive between plant-pest-natural enemies based SIPALAPA, ROPALAPA, enrichment parasitoids andpredators, plant traps and light traps. The use of light traps to determine the economic threshold, controlstrategies, and help the natural enemies when it works exceed the limits. Integrated water management toprovide services in the regulation of water directly or regulation of relative humidity and temperature indirectlyin providing a suitable environment for natural enemies and soil microbes. Integrated pest managementuses selective insecticides to the area of target pests to serve the natural enemies that work over load.

Keywords: Ecological engineering, ICM, agro-ecosystem services, restoration.

ABSTRAK

Rekayasa ekologi merupakan bentuk pelayanan ekologi untuk restorasi agroekosistem supaya seluruhfaktor kendali mampu bekerja secara alami, menuju kehidupan yang berkelanjutan. Rekayasa ekologidalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) memberikan pelayanan ekologi dengan memberdayakanvarietas padi, nutrisi, irigasi, pengendalian hama, dan gulma. Pengelolaan varietas terpadu adalah bentukpelayanan ekologi untuk meningkatkan stabilitas biodiversitas genotipe melalui perakitan varietas tahanyang dilengkapi dengan karakter fungsional yang diaplikasikan sebagai pertanaman mozaik varietas.Pengelolaan nutrisi tanaman terpadu adalah bentuk pelayanan ekologi untuk meningkatkan kinerja bakteripelarut fosfat, bakteri pelarut kalium, bakteri pelarut sulfur dalam bahan organik sebagai mediator sertabahan dasar pupuk anorganik sebagai starter. Pengelolaan hama terpadu adalah bentuk pelayanan ekologimelalui dinamika-interaktif antara tanaman-hama-musuh alami berdasar SIPALAPA, ROPALAPA, pengkayaanparasitoid dan predator, tanaman perangkap dan lampu perangkap. Penggunaan lampu perangkap untukpenentuan ambang ekonomi, strategi pengendalian, dan membantu musuh alami saat kerjanya melebihibatas kemampuan. Pengelolaan air terpadu memberi pelayanan dalam pengaturan air secara langsungatau pengaturan kelembaban relatif dan suhu secara tidak langsung dalam penyediaan lingkungan yangcocok bagi musuh alami dan mikroba tanah. Pengelolaan pestisida terpadu menggunakan insektisidaselektif pada daerah target serangan hama untuk melayani musuh alami yang bekerja melebihi beban.

Kata kunci: Rekayasa ekologi, PTT, pelayanan agroekosistem, restorasi.

Page 22: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

20

PENDAHULUAN

Umur bumi terus berjalan, semakin tua semakin sulit dialam bebas mendengar keindahan beragam suara burungberkicau, jarang sekali mendengar aneka ragam suarakatak, dan hampir tidak terdengar dering melengking suaraserangga yang saling bersahutan. Musuh alami berupaparasitoid dan predator makin terbatas yang menyebabkankesetimbangan biologi musuh alami dan hama makinterganggu. Keseimbangan biologi akibat ketidakmampuanmusuh alami mengikuti perkembangan hama yangmenimbulkan berbagai ledakan pada tanaman budidaya.Di sisi lain keadaan tanah mengalami penyusutan sumberhara yang tidak perlu terjadi, karena di dalam tanah tersediamilyaran mikroba yang melayani menyediakan hara secaraalami. Kualitas air pengairan menurun, membawa partikel-partikel yang sulit diterima oleh tanaman. Demikian jugapenggunaan pestisida yang berlebihan mengakibatkanekosistem yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan. Situasiagroekosistem yang demikian dipandang sebagai sistemyang telah rusak yang perlu dibangun lagi dengan jalanrestorasi (restore agro-ecosystem) supaya layananekosistem (ecosystem services) berjalan secara alami.

Agroekosistem memproduksi berbagai layananekosistem untuk pertanian sangat besar, sepertipengaturan tanah dan kualitas air, penambatan karbon,dukungan untuk keanekaragaman hayati dan pelayananbudidaya. Praktek pengelolaan pertanian bisa menjadisumber berbagai kegagalan layanan (disservices) yangmenyebabkan hilangnya habitat satwa liar, hilangnyanutrisi, sedimentasi sungai, emisi gas rumah kaca, dankeracunan pestisida terhadap manusia dan spesies bukansasaran (Power 2010). Hasil tangkapan jaring (sweep net)pada 2013 di pesawahan Jalur Pantura menunjukanbahwa dua hama padi yaitu Thaia oryzicola dan werengloreng (Recilia dorsalis) tidak ditemukan. Hilangnya duahama tersebut dari rantai makanan (food chain) sejak tahun2002 akan mengurangi biodiversitas serangga hama,mengakibatkan dominasi oleh beberapa hama akanmenimbulkan ledakan berkelanjutan. Di lain pihak hamawereng cokelat, wereng punggung putih, wereng hijau,penggerek padi, ulat grayak, pelipat daun, lembing batu,dan walang sangit masih banyak terjaring.

Dalam merespon hal tersebut diatas diperlukan usaharestorasi agroekosistem melalui rekayasa ekologi (RE=Ecological Engineering). RE, didefinisikan sebagai desainekosistem yang berkelanjutan yang mengintegrasikankegiatan masyarakat manusia dengan lingkungan alamuntuk kepentingan keduanya (Mitsch 2012). Tujuan dariRE adalah untuk keuntungan bersama bagi manusia danbagi alam. RE bersifat membangun, memperkuat danmemulihkan layanan ekosistem untuk pengelolaan alamberkelanjutan.

Pelayanan ekosistem dari pengelolaan tanamanterpadu (PTT) merupakan tombol pengaktif sistem ekologidalam produksi komoditas budidaya bagi manusia danrestorasi agroekosistem. PTT yang dibangun olehteknologi berbagai disiplin keahlian dapat mempercepatproses restorasi agroekosistem pertanian, kehutanan,dan perairan. Sumbangan setiap teknologi dari disiplintertentu terhadap PTT akan berbeda satu sama lainnya.Ahli proteksi tanaman akan menghasilkan pengendalianhama terpadu (PHT) yang bertujuan pencapaiankesetimbangan biologi hama-musuh alami supaya adadibawah ambang ekonomi. Ahli agronomi akanmenghasilkan pengelolaan nutrisi tanaman terpadu (PNT),bertujuan menghasilkan budidaya sehat dengan suplemenyang dirakitnya serta identifikasi nutrisi mayor dan minor.Ahli pemuliaan akan menghasilkan pengelolaan varietasterpadu (PVT), bertujuan menghasilkan varietas tahanhama, produksi tinggi, dan berkualitas. Ahli tata guna airakan menghasilkan pengelolaan air terpadu (PAT),bertujuan untuk menghasilkan teknologi hemat air. Ahligulma akan menghasilkan pengendalian gulma terpadu(PGT), bertujuan untuk menekan persaingan padi-gulma(Baehaki 2009). Di samping itu perlu dikembangkanpengelolaan pestisida terpadu (PPT), bahkan PTTmemerlukan sosial ekonomi dan pasca panen. PTTmengkombinasikan semua teknologi pertanian modernbertujuan untuk menghasilkan produksi tanaman dengankuantitas dan kualitas yang diperlukan, dilain pihak sistimpertanian terpadu (integrated farming system) bertujuanproduksi bahan nabati dan daging dengan proses zerowaste untuk mencapai sistem pertanian berkelanjutan(Baehaki et al. 2013)

RE tidak hanya untuk produksi komoditas saja, tetapiRE dapat digunakan untuk restorasi alam (sungai, hutan,lautan). RE telah dianalisis nilai ekonominyamenggunakan kaidah ekonomi ekologi (ecologicaleconomics) pada restorasi sepanjang 45 mil bagian sungaiPlatte, Denver, USA pada lima pelayanan ekosistem yangdimulai dari pelarutan air limbah, pemurnian alami air,pengendalian erosi, habitat ikan dan satwa liar, sampaidapat digunakan sebagai tempat rekreasi (Loomis et al.2000).

PENGELOLAAN TERPADU SEBAGAIPENERAPAN RAKAYASA EKOLOGI

Produksi padi nasional pada tahun 2004, 2005, dan 2006mengalami pelandaian karena tidak beranjak dari 54 jutaton, hal ini tidak sesuai dengan kebutuhan konsumsiberas. Pada tahun 2007, Badan Litbang Pertanianmenawarkan terobosan teknolgi PTT (Integrated CropsManagement =ICM) kepada pemerintah dalam rangka

Page 23: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

21

pencapaian peningkatan produksi 2 juta ton beras pertahun pada Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN).Pada tahun itu Dirjen Tanaman Pangan mengadopsi PTTuntuk dilaksanakan pada P2BN. Ketua program tersebutadalah Dirjen Tanaman Pangan dengan dukungan paraDirjen di bawah Menteri Pertanian (Badan LitbangPertanian, Dirjen SDM, dan Dirjen Prasarana dan SaranaPertanian).

Target program P2BN untuk meningkatkan produksiberas 5% (2 juta ton) dengan meluncurkan SekolahLapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di60.000 unit (setiap unitnya 25 ha) yang meliputi areal 1,5juta ha. Hasil evaluasi pada 2008 dan 2009 ternyata targettersebut dapat dicapai. Produksi padi Nasional tahun2007, 2008, 2009 berturut-turut mencapai 57.157.440,60.325.930, dan 64.398.890 ton. Atas kesuksesantersebut, maka Dirjen Tanaman Pangan mengadakanJambore Nasional SL-PTT di Donohudan, Solo, JawaTengah. Berdasar kepada kesuksesan tersebut, pada2010 program SL-PTT dilanjutkan kembali pada 80.000unit yang meliputi areal sawah 2 juta ha. Pada tahun 2011mencapai 100.000 unit yang meliputi 2,5 juta ha untukmencapai target 70,6 juta ton GKG.

PTT padi menekankan pendekatan inovatif progresifdengan memperhitungkan segala aspek teknologi danbudaya. PTT bermanuver agroekosistem memerlukanketerpaduan pengelolaan sumberdaya tanaman, tanah,dan air secara berkelanjutan, karena itu PTT memerlukansinergisme antar disiplin ilmu untuk memaksimalkanteknologi masa kini dan masa yang akan datang, PTTmenerapkan teknologi spesifik lokasi menyelaraskandengan lingkungan fisik maupun sosial budaya danekonomi pertanian setempat, karena itu PTT memerlukanpartisipatif petani dalam rencana dan pelaksanaannya.Sampai saat ini PTT merupakan integrasi teknolgi produksiyang handal dan berkelanjutan, sehingga belum perlumencari teknologi baru selain PTT. Oleh karena itu,teknologi PTT harus mengikuti perubahan-perubahan yangterjadi di agroekosistem diselaraskan dengan isuperubahan iklim global.

Kesuksesan PTT tersebut di atas belum berlanjutdengan baik, karena ledakan hama wereng cokelat diIndonesia terus berlangsung dari tahun ke tahun yaituserangan terjadi pada tahun 2010 dan 2011 masing-masingmencapai 137.768 ha dan 218.060 ha (Baehaki danMejaya 2014). Ketidak stabilan produksi padi tersebutdisebabkan oleh belum terpenuhinya RE dalam melayaniekosistem yang berubah mengakibatkan gejolak hamaterus berkelanjutan.

Perubahan iklim dapat mengubah hubungan hama-tanaman menghasilkan dampak positif atau negatif padainsiden dan keparahan dari berbagai hama-penyakit.

Hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani), penyakit tidakpenting di awal 1970-an, sekarang menjadi penyakit yangpaling merusak padi. Perubahan serupa juga telah diamatipada insiden dan keparahan dari beberapa penyakit laindan hama serangga. Ulat gerayak, Mythimna separata,hama utama padi di Bangladesh pada tahun 1960-an,namun pada beberapa dekade terakhir menjadi hamaminor, sedangkan hama pelipat daun, Cnaphalocrocismedinalis dan Marasmia exigua yang memiliki peringkatlebih rendah dalam daftar hama utama telah menjadibagian penting sejak tahun 1980-an (Haq et al. 2011). DiIndonesia, terutama jalur pantura ulat gerayak dan ganjur(Orseolia oryzae Wood-Mason) pada tahun 1970-anmerupakan hama penting, namun sejak tahun 2000-anberubah menjadi hama minor. Perubahan peringkat hama-penyakit akan terus berlangsung, karena hama yangdianggap tidak penting saat ini akan menjadi hama utamadi masa yang akan datang.

REKAYASA EKOLOGI DALAMPENGELOLAAN VARIETAS TERPADU

Teknologi pengelolaan varietas terpadu (PVT) adalahteknologi berumur tua yang sangat matang dan terusterbarukan telah memberikan pelayanan terhadapekosistem. Para pemulia dalam pelayanan ekologi telahmendistribusikan varietas berdasar zonasi ekosistem,sehingga para pengguna dapat memilih varietas berdasarlingkungan tanah garapannya. Padi inbrida dan hibrida(IR64, Ciherang, inpari 1-13, Hipa 3-11) untuk melayaniekosistem irigasi, padi inpara (Inpara 1-6, Dendang, SiakRaya, Banyuasin) untuk melayani ekosistem rawa/lebak,padi inpago (Inpago 4-6, Situ Bagendit, Situ Patenggang,Towuti, Limboto) untuk melayani ekosistem lahan kering(Suprihatno et al. 2010, Mejaya 2012). Perakitan varietasdalam perkembangannya dilengkapi dengan fungsinyaseperti varietas tahan hama (terutama wereng), tahanpenyakit (blast dan tungro), rendah emisi gas metan, padibervitamin A, dan padi dengan kadar besi tinggi (Darajatdan Mejaya 2012).

Keberlanjutan pertanian terutama ditentukan olehpenggunaan varietas tahan hama- penyakit dan hematenergi. Dalam memilih varietas yang akan ditanam, nilaitambah produksi dan pemasaran juga perludiperhitungkan. Hal ini penting, karena setiap varietasmempunyai karakter yang berbeda untuk keperluanmanusia, ada yang cocok untuk dibuat bihun, beras kristal,nasi goreng, dan sebagainya. Kelengkapan karakter yangberbeda dalam melayani agroekosistem sebagai dasarpertanaman mozaik varietas yang dikemas dalam ruangdan waktu untuk meningkatkan dan stabilitas biodiversitas.Dalam praktek pertanian yang baik, petani perlu dibimbingdalam memilih varietas yang tidak rakus hara, hemat air,

Page 24: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

22

tahan hama dan penyakit, dan berproduksi normal dimanapun ditanam. Ini penting artinya agar petani tidakmenggunakan input secara berlebihan, baik pupuk, air,maupun pestisida sebagaimana yang dikehendaki olehkaidah praktek pertanian yang baik menuju sistemproduksi berkelanjutan (Baehaki 2009).

Dalam budidaya pertanian berkelanjutan selarasdengan lajunya perubahan iklim global, sebagai bentukpelayanan dari para pemulia terhadap kehidupan tanamanpadi, maka perlu di rakit varietas tahan peningkatan suhu.Usaha untuk menghasilkan varietas yang hemat energidi antaranya adalah dengan mengubah tipe pertanamanC3 menjadi C4 yang tahan kering, mengubah arsitekturtanaman menjadi lebih produktif, misalnya padi tipe barudengan anakan sedikit dan bentuk daun yang memilikikemampuan lebih tinggi untuk berfotosintesis dapatberproduksi lebih tinggi (Cantrell 2004).

Pelayanan para pemulia merakit varietas secaragenetik diselaraskan dengan kebutuhan tempat tumbuhdi agroekosistem. Varietas tersebut dilengkapi dengangen ketahanan baik untuk menangkal hama maupun untukmenangkal penyakit. Di lain pihak ada ketahanan semuakibat lingkungan yang dimanipulasi oleh ahli hama danargonomi sebagai pelayanan kesehatan tanaman.Serangga tertarik terhadap tanaman karena naluri alamiakibat stimuli botani. Larva dan imago seranggamenyeleksi tanaman makanan berdasarkan bau (odor)yang spesifik dari tanaman dan senyawa kimia tanaman(fitohormon) yang berperan sebagai katalis perilakuserangga.

Varietas tahan mempunyai pengaruh yang tidaklangsung terhadap musuh alami karena menyebabkanmangsa (hama) yang rendah. Varietas tahan juga telahmenunjukkan pengaruh yang kurang baik terhadapparasitoid dan predator, karena menurunnya kecocokanhama terhadap sumber makanan (Orr and Boethel 1986).Namun demikian varietas tahan dan pengendalian hayatipada umumnya dianggap kompatibel satu sama lain(Heinrichs 1994).

a. Ketahanan Genetik

Ketahanan varietas berdasar genetika dapat dibagi duayaitu tahan vertikal (vertical resistance) dan tahanhorizontal (horizontal resistance) Varietas tahan horizontaladalah stabil dan masa edarnya lama, namun perakitanvarietas tahan horizontal lebih sulit ditangani para pemulia,karena perakitannya secara kuantitatif denganmengidentifikasi jumlah Quantitative trait loci (QTL) yangdibawanya. Varietas tahan horizontal diharapkan dapatmengatasi berbagai ras atau biotip yang berkembangpesat. Varietas tahan vertikal dirakit secara kualitatif,waktu edarnya singkat, bahkan varietas yang tahan vertikal

cepat berlalu dan kurang berharga. Varietas yangmempunyai gen tahan vertikal untuk wereng cokelat adalahgen tahan Bph1 (IR26 dan IR46), bph2 (IR36, IR42, IR54,dan IR48), Bph3 (IR60, IR62, IR72, IR74, IR56, IR70, IR74),sedangkan varietas yang mempunyai gen tahan horizontalhanya IR64 (Bph1 + 7 QTLs).

Fenomena varietas tahan biasanya didasarkan kepadasifat genetik yang dapat diwariskan. Faktor yangmenentukan ketahanan tanaman inang terhadap seranggakarena adanya pembatas dari stuktur tanaman, allelokimia,dan nutrisi yang tidak seimbang. Kualitas ketahanan darisifat yang diwariskan bekerja dengan mekanismeketahanan antixenosis, antibiosis, dan toleran.

Antixenosis adalah mekanisme ketahanan tanamanuntuk menjerakan atau mereduksi kolonisasi serangga.Umumnya serangga berorientasi sendiri terhadaptanaman untuk makanan, tempat meletakkan telur, danatau tempat berlindung. Tanaman yang mempunyai sifatantixenosis tidak dapat digunakan serangga untukkegiatan tersebut. Dalam situasi tertentu, walaupunserangga datang dan mengadakan kontak dengantanaman, sifat antixenosis tanaman tidak memberikankesempatan kepada serangga untuk berkoloni.

Antibiosis adalah mekanisme ketahanan yangbekerja setelah serangga berkolonisasi dan telah mulaimenggukan tanaman untuk kehidupannya. Tanaman yangmempunyai antibiotik dapat mempengaruhi seranggadalam hal pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dankelangsungan hidup. Pengaruh antibiotik dapatmenghasilkan pengurangan berat serangga, mengurangiproses metabolisme, meningkatkan kegelisahan(restlessness), banyak larva atau serangga pradewasamati. Secara tidak langsung, antibiosis dapatmeningkatkan serangga hama mudah terdeteksi olehmusuh alami. Tanaman yang memperlihatkan antibiosisdapat mereduksi laju peningkatan populasi denganmengurangi laju reproduksi dan kelangsungan hidupserangga (Panda and Khush 1995).

Toleran adalah sifat genetik dari tanaman yang dapatmelindungi diri dari serangan populasi serangga, sehinggatidak ada kehilangan hasil secara ekonomi atau hasil yangdicapai memberikan kualitas yang dapat diperdagangkan.Toleransi sering keliru dengan ketahanan rendah atauketahanan sedang (moderate). Mekanisme toleranberbeda dari antixenosis dan antibiosis. Varietas tolerantidak berpengaruh terhadap laju peningkatan populasihama target, tetapi dapat meningkatkan ambang ekonomiyaitu bila ambang ekonomi suatu varietas tanamanditentukan sebagai A ekor serangga per rumpun, makaambang ekonomi pada varietas toleran adalah A + x ekorserangga per rumpun.

Page 25: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

23

REKAYASA EKOLOGI DALAMPENGELOLAAN NUTRISI

TANAMAN TERPADU

Teknologi pengelolaan nutrisi tanaman terpadu (PNT),bertujuan menghasilkan budidaya sehat serta produksitinggi dengan efisiensi nutrisi mayor dan minor. Kebutuhanpupuk buatan di bidang tanaman pangan makin meningkatsejak dilepasnya varietas unggul baru baik tanaman padi,palawija, dan hortikultura yang tanggap terhadap pupuk.Di sisi lain sumber pupuk N, P, dan K makin terbatasselaras dengan persediaan atau cadangan bahan pembuatpupuk yang makin menipis. Usaha efisiensi pemupukandapat ditingkatkan dengan menggunakan mikroba fiksasiN

2, pelarut hara P dan K, dan pemacu pertumbuhan

tanaman (Saraswati dan Sumarno 2008). Mikrobatersebut sebagai penyubur tanah dapat menyediakan harabagi tanaman, melindungi akar dari gangguan hama danpenyakit, menstimulir sistem perakaran agar berkembangsempurna dan memperpanjang usia akar, memacujaringan meristem pada titik tumbuh, menyediakanmetabolit pengatur tumbuh tanaman, dan bioaktivator.Teknologi mikroba penyubur tanah yang dikenal sebagaipupuk hayati (pupuk mikroba) merupakan produk biologiaktif yang terdiri atas mikroba penyubur tanah untukmeningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dankesehatan tanah.

Penggunaan kompos jerami, kompos Azolla danpupuk hayati majemuk memberikan pengaruh terhadappopulasi bakteri penambat N (Azotobacter sp. danAzospirilium sp.). Aplikasi kompos jerami 2,5 t/ha denganpupuk hayati 400 g/ha memberikan hasil gabah keringpanen (GKP) yaitu 64,39 g/tanaman (6,13 t/ha) (Rosianaet al. 2013). Pemberian pupuk bokashi tidak mampumeningkatkan kandungan P tersedia di dalam tanah, halini disebabkan populasi bakteri pelarut fosfat (PhosphateSolubilizing Bacteria = PSB) tidak bekerja bila hanya adapupuk bokashi saja. Demikian juga populasi PSB tidakberkorelasi dengan C-organik, N-total, nisbah C/N, pHtanah dan kadar air tanah (Dermiyati et al. 2009). KinerjaPSB dapat menyediakan P-tersedia dalam tanah danbekerja optimum bila difasilitasi dengan penambahanbatuan fosfat atau pupuk P-anorganik.

Pemberian PSB (Pseudomonas fluorescens)bersamaan dengan fosfat alam, dan pupuk kandang nyatameningkatkan serapan N, P, K tanaman. Dosis optimumpupuk fosfat alam pada keadaan tanpa diberi PSB danpupuk kandang adalah 72,15 kg P/ha menghasilkan bijikedelai maksimum 7,73 g/pot. Di lain pihak pemberianPSB, pupuk kandang, dan PSB + pupuk kandang berturut-turut diperoleh dosis optimum pupuk fosfat alam 62,26;63,94 dan 62,21 kg P/ha, menghasilkan biji kedelaimaksimum 8,17; 7,95 dan 8,43 g /pot (Noor 2005).

Pengembangan varietas untuk ketahanan pada hamawereng, penggerek, pelipat daun, penyakit blas, penyakittungro dan hama-penyakit lainnya terus dikaji. Varietaspadi IRRI-6 dan KSK-282 adalah varietas yang paling tahanterhadap penggerek batang padi Tryporyza incertulashanya menimbulkan 14,73% dan 18,34% sundep, serta4,33% dan 4,77% beluk secara signifikan lebih rendahdari varietas yang rentan (Rashid et al. 2013). IRRI-6,KSK-282 dan DR-83 juga menunjukkan resistensiterhadap pelipat daun padi, Cnaphalocrocis medinalis.Basmati-385 adalah varietas yang paling rentan terhadappenggulung daun. Dalam melayani ekosistem, perludirakit varietas tanaman yang ovisidal yaitu varietas yangbanyak membunuh telur hama sebagai bentuk pelayananterhadap musuh alami pada saat perkembangan musuhalami tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhanintrinsik hama.

b. Ketahanan Ekologi

Ketahanan ekologi (Ecological resistance) telahdikategorikan sebagai ketahanan semu(pseudoresistance), hal ini disebabkan ketahanannyabukan berasal dari sifat genetik yang dibawa tanaman,tetapi dari beberapa perubahan kondisi lingkungansementara yang cocok bagi varietas rentan, namun tidakcocok untuk hama. Varietas padi rentan wereng cokelatdi musim kemarau jarang sekali terserang wereng cokelat,hal ini disebabkan perkembangan wereng cokelat padavarietas rentan di musim kemarau sangat rendah, sulitmencapai ambang ekonomi.

Katagori ketahanan ekologi yang lain adalahketahanan induksi (induced resistance), yaitu ketahanantanaman yang terjadi sebagai tanggap tanaman terhadapkerusakan oleh patogen, herbivora, stres lingkungan, atauakibat perlakuan kimia dan fisik. Ketahanan induksi sangatmenakjubkan baik secara kualitatif maupun secarakuantitatif dari pertahanan tanaman terhadap invasi hamadalam hal hubungan hama dengan kerusakan ataurangsangan fisik dan kimia dari luar. Rangsangan dariluar diketahui sebagai induksi yang dihasilkan akibatperubahan lingkungan yang memungkinkan menjadikeuntungan sementara dari tanaman, seperti halnyapenggunaan pupuk, herbisida, insektisida, pengaturtumbuh, nutrisi mineral, variasi suhu dan panjang hari,serangan patogen dan hama dapat merubah seluruh unsurkimia dalam jaringan tanaman.

Page 26: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

24

PSB (Bacillus megaterium), pupuk organik, batuanfosfat (rock phosphate) dan superfosfat berperan dalampenyediaan P dalam tanah. P tersedia dalam tanah akanmeningkat 61% pada pemupukan superfosfat + PSBdibanding kontrol. P tersedia meningkat secara signifikansebesar 33% dengan penambahan pupuk organik + SPdibandingkan dengan hanya pupuk organik saja, bahkanP tersedia lebih meningkat secara signifikan denganpemberian pupuk organik + PSB + batuan fosfatdibandingkan dengan pemberian pupuk organik + batuanfosfat (Alzoubi and Gaibore 2012). Inokulasi PSB yangdikombinasikan dengan pemberian pupuk NPK mampumeningkatkan serapan hara P pada tanaman bibit kakaosampai 3,07 kali (Herman dan Pranowo 2013).

Penggunaan bakteri PSB (Bacillus megaterium var.Phosphaticum) bersama bakteri pelarut kalium (KSB)Bacillus mucilaginosus sebagai pupuk hayatimeningkatkan ketersediaan P dan K dalam tanah,penyerapan N, P dan K oleh tunas dan akar, sertapertumbuhan merica dan mentimun yang baik (Han et al.2006). Kombinasi pupuk kimia dan pupuk hayati dapatmenjadi metode yang menguntungkan untukmeningkatkan efisiensi pelarutan secara alami batuanfosfat dan sintetis unsur sulfur sebagai sumber pupukyang dihasilkan, sehingga memberikan optimasipemupukan kimia untuk produksi tanaman (Salimpour etal. 2010).

PSB (Azotobacter dan Azospirillum) hasil isolasi daritanah gambut di Kalimantan Barat dalam kompos plusdapat beradaptasi dengan baik pada lahan Cibodas-Cianjur. Populasi total PSB meningkat menjadi 9,35 x108 sel/g tanah dan campuran bakteri tersebut mampumeningkatkan aktivitas enzim fosfatase asam dan basadi dalam tanah. Peningkatan tertinggi aktivitas enzimfosfomonoesterase asam dan basa dicapai padaperlakuan kompos plus, juga perlakuan tersebutmeningkatkan berat buah kapri sebesar 75,32%dibandingkan dengan kontrol (Widawati et al. 2010).

Pemberian pupuk kompos kotoran ayam + pupukmikoriza pada tanaman jagung memberikan pengaruhterbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanamanjagung di lahan kering marginal dengan hasil panen rata-rata mencapai 9,70 ton tongkol kering/ha dan kombinasiperlakuan pemberian pupuk kimia pada taraf 50% danpemberian kompos kotoran ayam + mikoriza memberikanpengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksitanaman jagung di lahan kering marginal, dengan hasilpanen rata-rata mencapai 10,51 ton tongkol kering/hektar(Moelyohadi et al. 2013). Pada cabe rawit inokulan bakteripenambat nitrogen, PSB dan mikoriza berpengaruh secarasignifikan terhadap rata-rata pertumbuhan tanaman(Permatasari dan Nurhidayati 2014). Penggunaan PSB

sebagai inokulan meningkatkan serapan P dan efisiensiyang lebih besar dari PSB melalui co-inokulasi denganbakteri menguntungkan lainnya dan mikoriza (Khan etal. 2009).

Fosfor dalam bentuk organik maupun anorganikmenjadi faktor utama untuk pertumbuhan tanaman (Sahiet al. 2000). Fosfat tersebut ditemukan sebagai bagiandari batuan stratum dan karakteristik utamanya tidakdapat larut, namun demikian batuan tersebut merupakanreservoir terbesar dalam tanah. Hilda dan Fraga (1999)telah melaporkan bahwa bentuk-bentuk mineral fosforberupa apatit, hidroksiapatit dan oxyapatite. Mineral fosfatdapat juga ditemukan berasosiasi dengan Fe, Al dan Mnyang sukar larut. Dengan memberikan pelayanan padakondisi yang tepat, batuan itu dapat dilarutkan danmenjadi tersedia bagi tanaman dan mikroorganisme.

Kinerja mikroba penyedia nutrisi tanaman sangatpenting dan dapat meningkat dengan penambahan bahanorganik sebagai mediator dan bahan batuan sebagaistarternya, karena itu bahan organik dianggap sebagaiparameter yang sangat penting dari produktivitas tanah.Bahan organik memiliki sejumlah peran penting dalamtanah, baik dalam struktur fisik dan mediator pelayanaktivitas biologis (Sarwari et al. 2008). Pada saat yangsama, pupuk organik memiliki peran yang baik dalammelarutkan batu fosfat dengan memproduksi asamorganik. Oleh karena itu sangat bijak untukmengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalamagroekosistem.

Inokulasi PSB dengan batuan fosfat dapat dianggapsebagai cara yang lebih baik untuk mengatasi masalahkelarutan rendah batu fosfat (Didiek et al. 2000).Mikroorganisme ini mengeluarkan berbagai jenis asamorganik seperti asam karboksilat (Deubel and Merbach2005). Mekanisme pelarutan fosfat secara kimiamerupakan mekanisme utama yang dilakukan mikrobadengan mengekskresikan sejumlah asam organik sepertioksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α-ketoglutarat,asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat,malat, fumarat (Illmer and Schinner 1992). Pelarutan fosfatsecara biologis terjadi karena mikroba tersebutmenghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase yangdiekskresikan oleh akar tanaman dan mikroba, danfosfatase di dalam tanah lebih dominan dihasilkan olehmikroba (Joner et al. 2000). Xu and Johnson (1995) jugamelaporkan bahwa mikroorganisme dalam tanah dapatmentransfer P organik menjadi bentuk anorganik denganmengeluarkan enzim fosfatase.

Uraian di atas memberikan gambaran yang sangatjelas bahwa PSB, KSB, bakteri penambat N yangsimbiotik maupun non simbiotik, bakteri sulfurpengoksidasi, dan bahan organik sangat penting dalam

Page 27: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

25

upaya budidaya yang berkelanjutan sebagai bentukpelayanan agroekosistem (agroecosystem sevices). PSBmemainkan peran penting dalam membuat fosfor tersediabagi tanaman dengan membawa perubahan yangmenguntungkan dalam reaksi di lingkungan mikro tanahyang mengarah tersedianya sumber fosfat anorganik(Mehta et al. 2010). Kelarutan mineral fosfat adalah akibatadanya asam organik yang disintesis olehmikroorganisme tanah, dengan demikian pupuk hayatisemakin penting karena bahan tersebut ramahlingkungan, tidak berbahaya dan tidak beracun (Sharmaet al. 2007)

REKAYASA EKOLOGI DALAMPENGELOLAAN HAMA TERPADU

Teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yangbertujuan pencapaian keseimbangan biologi hama-musuhalami supaya berada di bawah ambang ekonomi. REdalam skala lapangan di pertanaman padi adalahrasionalisasi masukan pestisida dengan menghindaripenggunaan insektisida pada awal pertanaman,manipulasi vegetasi pada pematang dengan diversifikasiflora menguntungkan, dan manipulasi detritivoramenggunakan pupuk organik.

Karakterisasi pendekatan PHT yang selaras denganRE adalah: (1) mengurangi ketergantungan pada inputeksternal dan sintetis; (2) mempercayakan kepada prosesalami; (3) harus berdasarkan prinsip ekologi; dan (4)lingkup perbaikan dengan percobaan ekologi (Gurr 2009a).Praktek-praktek budidaya yang digunakan untukmeningkatkan pengendalian biologis yaitu, manipulasi

habitat yang kompatibel dengan filosofi rekayasa ekologi.Metode ini meliputi: (1) tanaman perangkap untukmengalihkan hama dari tanaman budidaya; (2) berbagaibentuk polikultur untuk mengurangi imigrasi hama atautempat berkembang biak hama; dan (3) pemberian sumberdaya untuk kinerja musuh alami (Gurr 2009a).

Rekayasa ekologi dalam hal pelayanan ekologi dapatditempuh dengan manipulasi habitat dalam upayapemulihan kesetimbangan ekologi. Manipulasi habitatbanyak ragamnya yaitu dengan sistem integrasi palawijapada tanaman padi (SIPALAPA), rotasi palawija setelahtanaman padi (ROPALAPA), tanaman perangkap,pemberian bahan organik untuk meningkatkan musuhalami maupun pengaturan waktu tanam. Dapat pulamenanam bunga-bunga di pematang untuk melayaniparasitoid yang membutuhkan nektar.

a. Sistem Integrasi Palawija pada PertanamanPadi (SIPALAPA)

Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihanbiodiversitas (restore biodiversity) dan pelayanan ekosistemdengan meningkatkan SIPALAPA, yaitu menanam kedelai,jagung dan tanaman sayuran seperti sawi dan kacangpanjang di pematang (Baehaki 2011a) (Gambar 1).

SIPALAPA memanfaatkan pematang, lahan surjan,dan tempat-tempat yang berdekatan dengan lahan sawahuntuk tanaman selain padi. Sampai saat ini pematangsawah tidak dimanfaatkan untuk ditanami palawija atautanaman sayuran. Pematang masih tetap menganggurdan dipandang sebagai lahan tidur tersembunyi (unvisiblesleeping land). Lahan tidur yang tersembunyi tersebutmencapai 5% dari luas lahan pesawahan dataran rendah,

Gambar 1. Sistem integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA).

SIPALAPA Padi-Kedelai SIPALAPA Padi-Jagung

Page 28: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

26

Gambar 2. Produksi GKP dan kedelai setara padi (5% pematang)pada SIPALAPA.

bahkan di dataran tinggi yang berlereng lahan tidurtersebut dapat mencapai 20% dari luas lahan.

SIPALAPA mempunyai sumber kekuatan yaitumampu menjadi sumber teknologi, nilai tambah naturapalawija, keuntungan meyakinkan, dan efisiensi dalampengendalian hama. Kelemahan dari system integrasipertanaman palawija pada tanaman padi adalah bilaterserang hama double crops. Tantangannya adalahbahwa lahan tidur tersembunyi tersedia cukup tinggi 5-20% dari luas baku lahan sawah 4.500.000 ha yaitu antara225.000-900.000 ha. Diperkirakan impor kedelai akandikurangi 25-50% bila teknologi SIPALAPA diterapkanpada lahan tidur tersembunyi.

Pada konsep SIPALAPA merubah tanamanmonokultur padi menjadi tanaman polikultur padi-kedelaiyang mempunyai dua keuntungan sebagai agribisnishorizontal yaitu keuntungan dari produksi padi dankeuntungan dari tanaman kedelai setara padi. Keuntunganlain adalah untuk stabilitas pergerakan musuh alami antarapertanaman padi dan palawija dalam menekan hama,sehingga SIPALAPA tersebut merupakan sistempengendalian hama secara ekologis dalam sistempengendalian hama terpadu (PHT).

Penelitian peningkatan teknologi pengendalian hamaterpadu dalam kawasan SIPALAPA dapat meningkatkannilai tambah ekonomi (Gambar 2). Hasil GKP yang palingtinggi dicapai oleh varietas Ciherang dengan produksisebesar 7.218.750 kg/ha, produksi ini melebihi varietasIR64 sebesar 7.7%. Produksi biji kedelai Tanggamusmencapai 0.221 kg/m (k.a 9.25%), sehingga dalam 1 ha(5% pematang) dapat dihasilkan sebanyak 377.3 kg yangdapat dijual @Rp.3.500/kg, sehingga dihasilkan Rp.1.358.100 merupakan harga jual kedelai yang berupa nilaitambah dari pengelolaan SIPALAPA.

Produksi padi Ciherang dan kedelai Tanggamus setarapadi mencapai 8.318 kg/ha senilai Rp 10.400.000/ha(diantaranya Rp 1.358.100 dari hasil kedelai dengan luaspematang 5%). Pasangan varietas Fatmawati, Rokan,Muncul, IR64, dan Sintanur dengan kedelai Tanggamusmempunyai nilai jual lebih kecil dari pasangan Ciherangdan Tanggamus.

Panen jagung muda pada saat umur 60-65 hari.Produksi tongkolnya mencapai 2 kg/m. Dengan kalkulasiluas pematang 5% maka akan dihasilkan 3.400 kg tongkoljagung untuk setiap hektarnya dengan nilai nominal Rp3.400.000.

b. Rekayasa Ekologi Pengkayaan Musuh Alamidengan Palawija/Bunga

Pengkayaan musuh alami dapat dilakukan denganpertanaman polikultur antara tanaman padi dengan

palawija atau tanaman padi dengan tanaman bunga liar.Pada pertanaman polikultur padi-kedelai terjadi dinamika-dialektika hubungan antara dua komoditas dengan musuhalami dan hama, sedangkan pada tanaman yangmonokultur dinamika hubungan komoditas dengan hamadan musuh alami menjadi monoton (Gambar 3) (Baehaki2005).

Pada SIPALAPA sebagai metode baru pengembanganpertanian modern menunjukkan bahwa tanaman palawijasebagai a) tempat berlindung (shelter) komunitas musuhalami, b) pengkayaan musuh alami spesifik dan musuhalami umum, dan c) tempat bersembunyi (refuji) musuhalami dan tempat berkembang biak musuh alami. RE diVietnam dengan tanaman bunga (Huan and Chien 2010).Bunga yang ditanam yang mengandung nektar pakanparasitoid sebagai pelayanan kebugarannya. Tanamanbunga tersebut adalah Wedelia chinensis, Helianthus sp,Lantana camara, Crotalaria dan okra. Di pesawahan CaiBe dan Cai Lay masing-masing pematang sepanjang 5dan 27 km telah ditanami berbagai tanaman bungapenghasil nektar (Escalada 2009). Di desa Binh Hoa,Vietnam rekayasa ekologi dilakukan pada pertanamanOM 1490 dan OMCS 2000, namun masih menggunakaninsektisida sebanyak 3 kali dan hasilnya masih rendahyaitu 5,8 t/ha. Rekayasa ekologi di China denganpenyediaan nektar dari bunga wijen yang ditanam dipematang sawah.

Pada pertanaman SIPALAPA perkembangan populasihama wereng cokelat dan hama wereng punggung putihlebih rendah dibanding pertanaman padi monokultur. Halini disebabkan peranan predator Lycosa pseudoannulata,laba-laba lain, Paederus fuscipes, Coccinella, Ophioneanigrofasciata, dan Cyrtorhinus lividipennis mampumengendalikan wereng cokelat dan wereng punggungputih. Parasitasi telur wereng oleh parasitoid Oligositadan Anagrus pada pertanaman SIPALAPA lebih tinggidibanding pada pertanaman padi monokultur.

Page 29: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

27

c. Rekayasa Ekologi dengan Pupuk Organik untukPengkayaan Predator melalui Kinerja SL-PTT

Sejak awal, PTT telah memberikan pelayanan terhadapekosistem dengan mempersyaratkan penggunaan pupukorganik sebanyak 2 t/ha. Pupuk organik dapat berasaldari jerami lapuk, kotoran sapi dari SIPT, kotoran domba,dan bahan lainnya untuk perkembangan lalat Ephytrid,Colembola dan Chironomid. Tiga kelompok serangganetral dan pemakan sisa bahan organik dapat berkembangpada bahan organik (Settle et al. 1996).

Tiga serangga itu adalah makanan dari laba-labasebagai musuh alami yang berguna menekan hama,dengan demikian pada pengelolaan bahan organik di masamendatang dapat lebih terlihat manfaatnya sebagai tempatberkembangbiak Ephytrid, Colembola, dan Chironomiduntuk memperkaya populasi musuh alami. Pengkayaanmusuh alami yang paling menonjol pada pola tanamtransplanting legowo 2 : 1 dengan sisipan + pupuk darisistem integrasi pertanaman dan ternak (SIPT) dantranplanting legowo 4: 1 dengan sisipan + pupuk dari SIPT(Baehaki et al. 2012). Dari uraian di atas menunjukkanbahwa PTT dan PHT tidak dapat dipisahkan, demikianjuga antara agronomi dan proteksi tidak dapat dipisahkan,karena ada komponen input bermata dua yaitu bergunauntuk pertanaman padi dan berguna juga untukpengendalian hama padi (Tabel 1).

d. Rotasi Palawija pada Tanaman Padi(ROPALAPA)

Rotasi adalah satu usaha pergiliran tanaman dengan yangberbeda famili dan tidak menjadi tanaman inang hamapada tanaman berikutnya. Rotasi yang efektif ditujukanterhadap hama yang memiliki rentang inang yang terbatasatau yang tidak dapat bertahan selama lebih dari satuatau dua musim tanpa tanaman inang yang cocok. Rotasipalawija kacang hijau setelah tanaman padi (ROPALAPA)telah dicobakan di pesawahan Balai Penelitian TanamanPadi (Gambar 4).

Pada MK1 2006 hasil varietas Ciherang mencapai6500 kg/ha, Pada MK 2 dirotasi dengan Kacang Hijaumenghasilkan 900 kg/ha biji serata 1575 kg/ha gabahpadi, sehingga pada MK hasil padi mencapai 8075 kg/ha. Lonjakan hasil padi dicapai pada musim berikutnyaMP2006/2007 mencapai 8500 kg/ha, melonjak 2.000 kg/ha dari MK 1 2006 (Gambar 5).

Hasil tersebut mengisyaratkan meningkatnyaproduktivitas tanah setelah dirotasikan dengan palawijadisebabkan oleh kesuburan tanah dari residu pupuk danbrangkasan serta rendahnya hama dan penyakit.

Gambar 3. Dinamika-dialektika hubungan antara dua komoditas dengan musuh alami dan hama.

Monokultur Padi Polikultur system integrasi padi-palawija/bunga)

Padi

Hama palawija

Padi

Hama Padi

Predator

Parasitoid Serangga netral

Hama palawija

Hama Padi

Predator

Parasitoid

Palawija/bunga

Hama Padi/Hama palawija Tannaman

Perangkap

Shelter

Refuge

Pen

yed

iaan

ne

ktar

Page 30: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

28

Tabel 1. Komponen produksi multi guna baik untuk peningkatan produksi tanaman maupun untuk pengendalian hama.

Fungsi/pengaruh komponenNo Komponen input

produksi Tanaman Hama

1 Nitrogen Pembentukan protein dan penyusun utama protoplasma, Meningkatkan populasi hama bila diberikankloroplas, dan enzim. Nitrogen sangat penting dalam dalam dosis tinggiproses metabolisme dan respirasi (Yoshida 1981).Pembentukan anakan, tinggi tanaman, lebar daun danjumlah gabah dipengaruhi oleh ketersediaan N (Ismunadjidan Dijkshoorn 1971)

2 Fosfat Penyusun adenosin trifosfat (ATP) dalam penyimpanan Mengurangi perkembangan hama bila dalamdan transfer energi terkait metabolisme tanaman dosis tinggi(Doobermann dan and Fairhurst (2000). Mempercepatpembungaan dan pemasakan gabah (Abdurachman et al.2008)

3 Kalium Meningkatkan proses fotosintesis, efisiensi penggunaan Mengurangi perkembangan hama bila dalamair, mempertahankan turgor, membentuk batang yang lebih dosis tinggi. Hal ini disebabkan menumpulkankuat, aktifator sistem enzim, memperkuat perakaran mandible larva penggerek batang padi(Abdurachman et al. 2008) (Suparno 1995)

4 Pupuk organik Perbaikan fisik tanah dan penyediaan nutrisi tanaman Kelompok dominan lalat Ephydrid danColembola dapat berkembang pada sisabahan organik. Dua serangga itu adalahmakanan dari laba-laba yang bergunamenekan hama (Baehaki 2011a).

5 Air Air, kelembaban dan suhu yang cocok diperlukan tanaman Air merupakan faktor kunci bagiuntuk produksi bahan organik yang maksimal kelangsungan terjadinya proses aliran

energi dan materi pada komunitas sawah6 Tanam legowo Memberikan cahaya, kelembaban dan suhu yang cocok Memberikan cahaya, kelembaban dan suhu

untuk tanaman. Populasi tanaman per ha dan produksi yang tidak cocok untuk hama7 Varietas Cocok berdasarkan zonasi agroekosistem dan produksi tinggi Menekan hama

Sumber: Baehaki 2013a.

Gambar 4. Rotasi palawija pada tanaman padi (ROPALAPA).

e. Tanaman Perangkap

Tanaman perangkap sering kali merupakan tanaman lebihkecil dan ditanam lebih awal dari tanaman utama yangdigunakan untuk mengalihkan serangan serangga hamamenjauh dari tanaman utama. Tanaman perangkapsebagai sumber makanan lebih menarik dan harusmempunyai keistimewaan lebih disukai dari pada tanaman

budidaya utamanya. Hama yang menyerang tanamanperangkap sebaiknya dihilangkan sebelum hama dapatmenyelesaikan siklus hidupnya atau hama tidak diberikesempatan menyelesaikan semua siklus hidupnya.

Populasi hama pada tembakau dapat ditekan hingga50% dengan tanaman perangkap jarak kepyar, sorgum,dan kacang hijau. Sehubungan dengan kinerja tanaman

Page 31: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

29

perangkap tersebut, maka penyemprotan insektisidasecara berjadwal untuk mengendalikan serangga hamatembakau cerutu Besuki merupakan tindakanpengendalian yang tidak efektif dan tidak efisien (Nurindahet al. 2009). Dari hortikultura dilaporkan bahwa tanamannkubis dapat terhindar dari serangan hama Plutellaxylostella, karena adanya tanaman yellow rocket (Barbareavulgaris (R. Br.) var. arcuata) yang dijadikan tanamanperangkap. Hama tersebut sangat tertarik kepada yellowrocket untuk bertelur, namun larvanya tidak hidup padatanaman tersebut (Perez et al. 2004).

RE pada budidaya jagung menggunakan strategitolak-tarik (push-pull strategy) untuk menghindari hamaChilo partellus (Pyralidae) dan Busseola fusca (Noctuidea)dengan rumput perangkap atau penolak hama jagung.Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput Sudan(Sorghum vulgare sudanense) mempunyai keistimewaansebagai tanaman perangkap, sedangkan rumputmolasses (Melinis minuflora) dan silverleaf Desmodium(Desmodium uncinatum) menolak peletakan telurpenggerek batang (Khan et al. 2000 in Khan and Pickett2004). Tumpangsari rumput molase dengan jagung akanmengurangi serangan penggerek batang danmeningkatkan parasitisme oleh musuh alami, Cotesiasesamiae (Khan et al. 1997 in Khan and Pickett 2004),namun demikian keempat rumput tersebut selain sebagaitanaman parangkap dan penolak, secara ekonomi sangatpenting sebagai makanan ternak di Afrika Timur.

f. Lampu Perangkap

Lampu perangkap merupakan alat vital diperlukan sebagaipendeteksi hama awal. Lampu Perangkap Elektrik BSE-G3 atau BSE G-4, sangat baik untuk monitoring danmereduksi hama, untuk menentukan teknologi escapestrategy, menentukan ambang ekonomi, dan mendeteksiketidak mampuan musuh alami mengendalikan hama.

Di pesawahan Cai Be-Tien Giang-Vietnam praktekrekayasa ekologi yaitu sinkronisasi pertanaman berdasartangkapan hama di lampu perangkap sebagai usahamenghindari penggunaan insektisida lebih awal (Escalada2009). Pada percobaan RE di Jin Hua-Zhejiang-China padaluasan 37 ha telah dipasang lampu perangkap sebanyak40 buah untuk pemantauan wereng imigran. Hasiltangkapan hama cukup banyak, namun ada risiko darimusuh alami, khususnya beberapa parasitoidhymenoptera dapat terbunuh (Gurr 2009b), hal inidisebabkan terlalu banyak memasang lampu perangkapdalam areal yang kecil yaitu satu lampu perangkap untuk0,9 ha. Di Indonesia lampu perangkap sangat pentingkarena dapat menangkap hama imigran yang pertamakali datang di pesemaian/pertanaman maupun hamaemigran yang terbang keluar dari pertanaman. Hama yangtertangkap perangkap lampu berjenis jantan dan betinadari wereng cokelat, wereng punggung putih, penggerekbatang, lembing batu, walang sangit, maupun hamapemakan daun. Satu lampu perangkap BSE G-3 atauBSE G-4 sebagai pendeteksi cukup mengontrol areal 200-500 ha, tetapi bila digunakan untuk mereduksi denganmenangkap hama sebanyak-banyaknya diperlukan satulampu perangkap untuk 50 ha (Baehaki 2011b).

Pengamatan dengan lampu perangkap harusdilakukan setiap hari untuk membuat kurva bulanansebagai dasar escape strategy penetapan waktupersemaian atau waktu tanam supaya terhindar darihama. Penetapan waktu persemaian/pertanamanditentukan oleh puncak wereng imigran atau hama lainnyayang tertangkap lampu perangkap. Bila datangnya werengimigran tidak tumpang tindih antara generasi makapersemaian atau tanam padi hendaknya dilakukan 15 harisetelah puncak imigran. Bila datangnya wereng tumpangtindih antara generasi, maka akan terjadi bimodal (duapuncak), sehingga waktu persemaian atau tanamhendaknya dilakukan 15 hari setelah puncak ke duatangkapan hama (Baehaki 2013b). Hama yang tertangkaphasil monitoring dapat menentukan nilai ambang ekonomi.Bila pada lampu perangkap sudah tertangkap ngengatpenggerek, maka pengendalian harus segeradilaksanakan pada 4 hari setelah ngengat tertangkap(Baehaki 2013b).

Dalam mengukur ketidakmampuan musuh alamimengendalikan hama dapat terlihat dari kurva bulanan(Gambar 6). Populasi wereng cokelat tertangkap lampuperangkap pada bulan April di atas 500.000 ekor/bulandan pada Agustus mencapai lebih dari 1 juta ekor, belumlagi yang ada di pertanaman. Di lain pihak lembing batuyang tertangkap mencapai lebih dari 700. 000 ekor padabulan September. Hal demikian menunjukkanperkembangan musuh alami di pertanaman tidak dapatmengikuti kecepatan tingginya perkembangan hama,

6500

1575

85006500

1575

2000

4000

6000

8000

0Padi MK K. hijau Padi + K. hijau Padi MH

Ha

sil(

kg/h

a)

Gambar 5. Hasil ROPALAPA dalam usahatani kacang hijau setarapadi.

Page 32: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

30

karena musuh alami bekerja over loaded yangmengakibatkan populasi hama meningkat dan merusaktanaman padi. Oleh karena itu untuk membantu musuhalami meringankan beban kerjanya, maka hama yangmembludak tersebut harus direduksi menggunakan lampuperangkap.

Lampu perangkap static BSE G-3 denganpencahayaan ML 160 watt dapat mereduksi hama sebesar99,14%, sedangkan 3 predator Coccinella sp, O.nigrofasciata, dan P. fuscipes hanya tertangkap 0,86%.Data tersebut menunjukkan bahwa lampu perangkapserangga tidak mereduksi populasi predator danmenganggu kinerjanya.

REKAYASA EKOLOGI DALAMPENGELOLAAN AIR TERPADU

Teknologi pengelolaan air terpadu (PAT) bertujuan untukmenghasilkan teknologi hemat air dalam produksitanaman budidaya. Pengaturan air termasuk kelembabanrelatif dapat digunakan untuk mengatur dan memberipelayanan kepada kinerja musuh alami yang dapatmenekan hama. Irigasi intermitten (Alternate Wet and DryIrrigation = AWDI) menggunakan jadwal selang irigasi 10hari basah berganti-ganti dengan 10 hari kering dapatmenghemat air 29% lebih sedikit dari pengairan yang terusmenerus tanpa mengurangi hasil yang signifikan yaitu7,2 t/ha dibandingkan dengan irigasi konvensional denganhasil 7,8 t/ha. Indeks produktivitas air secara signifikanlebih tinggi di semua sub-plot dalam perawatan AWDIyaitu 1,7 kg/m3 dibandingkan dengan 1,3 kg/m3 dalampengelolaan air konvensional. Keuntungan tambahan yangsignifikan dari perlakuan AWDI adalah mengurangi hamadan insiden penyakit, siklus tanaman singkat, dan

mengurangi air hilang (Chapagain et al. 2011). Teknikpemberian air intermitten adalah teknologi yang sudahlama, namun manfaatnya sangat nyata dapat menghematair sebesar 33-41% dibanding pengairan konvensional,menekan laju gas metan 8,7%, menekan populasi hamawereng, dan hasil yang dicapai tidak berbeda nyata yaitu7,6 t/ha (Baehaki et al. 1997).

Populasi wereng daun (leaf hopper) ditemukantertinggi pada suhu 36,5oC dan kelembaban relatif 68%,populasi terendah pada suhu 31,5 oC dan kelembabanrelatif 75% (Zulfiqar et al. 2010). Insiden African rice gallmidge (AfRGM), Orseolia oryzivora Harris & Gagné(Diptera: Cecidomyiidae) secara signifikan dipengaruhioleh faktor abiotik (curah hujan, kelembaban relatif dansuhu), persentase serangan meningkat denganmeningkatnya curah hujan dan kelembaban relatif (Ogahet al. 2012). Hujan lebat dan kelembaban yang tinggisecara signifikan mengurangi efisiensi kedua parasitoidPlatygaster diplosisae (Hym:Platygastridae) danAprostocetus procerae (Hym: Eulophidae). Populasi danefisiensi parasitoid meningkat dengan menurunnya curahhujan dan kelembaban, di lain pihak meningkatnya suhuakan meningkatkan efisiensi parasitoid. Hal demikianmenunjukkan bahwa faktor-faktor abiotik memainkanperan penting terhadap insiden AfRGM dan efisiensiparasitoid, sehingga perlu dipertimbangkan dalampenerapan parasitoid tersebut sebagai agens bio-kontrolAfRGM (Ogah et al. 2012).

Populasi wereng cokelat dan wereng punggung putihmenurun pada curah hujan dan kelembaban yang rendah,bahkan bila curah hujan menurun akan mengakibatkanwereng tesebut berhenti berkembang. Namun demikiancurah hujan tidak berpengaruh langsung terhadapperkembangan wereng, tetapi curah hujan terlebih dahulumempengaruhi fisiologi tanaman (Win et al. 2011).

Pengaturan air sawah, bukan saja berpengaruhterhadap hama- penyakit maupun musuh alami, namunberpengaruh juga terhadap perkembangan bakteri pelarutfosfat dan bakteri penambat nitrogen. Tinggi muka airsawah berpengaruh nyata terhadap perkembangan akar,populasi bakteri penambat nitrogen, populasi bakteripelarut fosfat dan hasil tanaman. Pada varietas Fatmawatidengan tinggi air 10 cm memberikan hasil tertinggi padavolume akar 186,67 ml, populasi bakteri Azotobacter sp.(1,43 x 1010 CFU/g), bakteri pelarut fosfat (6,07 x 108 CFU/g), hasil tanaman 95,9 g/rumpun setara dengan 9,14 t/haserta meningkatkan efisiensi penggunaan air 47,1%dibandingkan dengan pengenangan 5 cm (Hingdri 2012).

RE pada varietas Ciherang dengan efek pengaturantinggi muka air berpengaruh terhadap populasi bakteripenambat N, PSB, jumlah anakan produktif, bobot 1000butir dan hasil GKP, sedangkan jenis pupuk organik

Gambar 6. Hama pada lampu perangkap. Sukamandi 2010.

Page 33: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

31

berpengaruh terhadap populasi bakteri penambat N, PSB,jumlah anakan produktif, hasil GKP, namun tidakberpengaruh terhadap bobot 1000 butir pada sistembudidaya berbasis IPAT-BO. Teknik pengaturan tinggimuka air 0 cm menunjukkan hasil gabah kering panentertinggi sebesar 88,04 g/pot (7,12 t/ha) dan aplikasikompos jerami 56,5 g/pot (5 t/ha) menunjukkan hasilgabah kering panen tertinggi sebesar 82,60 g/pot (6,69 t/ha) (Sihite 2012).

REKAYASA EKOLOGI DALAMPENGELOLAAN PESTISIDA TERPADU

Teknologi pengelolaan pestisida terpadu (PPT) harusmendapat perhatian, karena penggunaan pestisidabanyak kerugiannya, seperti hama menjadi resisten danresurgen, serta lingkungan banyak terpapar pestisida.Aplikasi insektisida secara merata dan pada areal yangluas secara drastis mengurangi keragaman komunitasarthropoda dan banyak kehilangan spesies yangmenguntungkan. Kebijakan yang perlu diambil padaaplikasi pestisida hanya pada daerah serangan (hot-spot)saja bila kepadatan hama mencapai ambang ekonomi.Pendekatan rekayasa ekologi tersebut akan membuatmosaik komunitas yang berbeda dalam komposisi daninteraksi antar spesies yang ditujukan untuk menghambatledakan populasi hama (Coll 2004).

Insektisida yang digunakan saat pengendalian adalahyang selektif hanya untuk hama tertentu saja dan hindaripenggunaan insektisida untuk multi hama. Penggunaaninsektisida yang pengaruhnya kecil terhadap musuh alamiakan mempercepat rekolonisasi yang merupakanrestorasi musuh alami setelah aplikasi insektisida.

KESIMPULAN

Rekayasa ekologi sebagai usaha manusia untukmerestorasi agroekosistem supaya faktor kendali bekerjasecara alami, bertujuan untuk keuntungan berkelanjutandengan memperkuat layanan ekosistem yangberkelanjutan.

PTT sejak awal telah memberikan pelayanan terhadapekosistem dengan mempersyaratkan penggunaan pupukorganik. Namun demikian PTT yang bermanuveragroekosistem memerlukan keterpaduan pengelolaansumberdaya tanaman-tanah dan air secara berkelanjutan,sehingga teknologi PTT harus mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di agroekosistem diselaraskandengan isu perubahan iklim global.

Restorasi agroekosistem dalam PTT dengan melayanialam melalui pengelolaan varietas terpadu, pengelolaan

nutrisi terpadu, pengelolaan hama terpadu, pengelolaanair terpadu, dan pengelolaan pestisida terpadu.

Rekayasa ekologi dalam pengelolaan varietas terpaduadalah perakitan varietas berdasar zonasi agroekosistemirigasi, rawa/pasang surut, dan gogo. Perakitan varietasdalam perkembangannya dilengkapi dengan fungsinyatahan hama-penyakit, rendah emisi gas metan, bervitaminA, dan kadar besi tinggi. RE untuk melayani manusiadan agroekosisten telah dirakit varietas dengan karakteryang berbeda untuk implementasi pertanaman mozaikvarietas yang dikemas dalam ruang dan waktu dalammeningkatkan stabilitas biodiversitas.

Rekayasa ekologi dalam pengelolaan nutrisi tanamanuntuk melayani kinerja bakteri pelarut fosfat, bakteripelarut kalium, bakteri pelarut sulfur dalam bahan organiksebagai mediator serta bahan dasar pupuk anorganiksebagai starter.

Rekayasa ekologi dalam pengelolaan hama terpadumelayani agroekosistem yang bersifat dinamis untukterjadinya dialektika tanaman-hama-musuh alamiberdasar SIPALAPA, ROPALAPA, pengkayaan parasitoiddan predator, serta tanaman perangkap. Lampu perangkapuntuk penentuan ambang ekonomi, escape strategy, danmembantu musuh alami saat kerjanya melebihikemampuan (over load).

Rekayasa ekologi dalam pengelolaan air terpadumemberi pelayanan dalam pengaturan air secara langsungatau kelembaban relatif dan suhu secara tidak langsungdalam penyediaan lingkungan yang cocok bagi musuhalami dan mikroba tanah.

Rekayasa ekologi dalam pengelolaan pestisidaterpadu melayani musuh alami supaya bekerja maksimaldengan menggunakan insektisida yang selekrtif padadaerah serangan (hot spot).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman S, H. Sembiring, dan Suyamto. 2008.Pemupukan Tanaman Padi. Buku Padi, InovasiTeknologi Produksi. Balai Besar Penelitian TanamanPadi. Badan Litbang Pertanian. p123-166.

Alzoubi, M.M. and M. Gaibore. 2012. The effect of phosphatesolubilizing bacteria and organic fertilization onavailability of syrian rock phosphate and increase oftriple superphosphate efficiency. World Journal ofAgricultural Sciences 8(5): 473-478.

Baehaki, S.E, D. Setiobudi, dan S. Natasasmita. 1997.Pengaruh pemberian air secara intermitten terhadapperkembangan hama-penyakit dan musuh alami padapertanaman padi. Laporan hasil penelitian. KerjasamaBalitpa-Proyek PHT Pusat. 25p.

Page 34: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

32

Baehaki, S.E. 2005. Perbaikan teknik pengendalian hamaterpadu pada system integrasi pertanaman padi danpalawija. Risalah Seminar 2004. Puslitbangtan. p137-142.

Baehaki, S.E. 2009. Strategi pengendalian hama terpadutanaman padi dalam perspektif praktek pertanian yangbaik (Good Agricultural Practices). PengembanganInovasi Pertanian, Badan Litbang Pertanian,Depertemen Pertanian 2(1):65-78. ISSN 1979-5378.

Baehaki S.E 2011a. Perubahan pengendalian hama terpadu(PHT) konvensional menuju PHT biointensif. Pros.Sem. Nas. Inovasi teknologi Berbasis KetahananPangan Berkelanjutan. Puslitbangtan. Badan LitbangTP. Buku 2. p203-214

Baehaki S.E 2011b. Strategi fundamental pengendalianhama wereng batang cokelat dalam pengamananproduksi padi nasional. Pengembangan inovasiPertanian 4(1): 63-75.

Baehaki, S.E. 2013a. Budidaya Tanam Padi BerjamaahSuatu Upaya Meredam Ledakan Hama dan Penyakitdalam Rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan.Badan Litbang Pertanian. p.230.

Baehaki, S.E. 2013b. Hama penggerek batang padi danteknologi pengendalian. IPTEK Tanaman Pangan 8(1):1-14.

Baehaki, S.E., D. Munawar, dan E. Kiswanto. 2012. Pengaruhpola tanam dan pupuk organik terhadap perkembanganwereng cokelat dan pengkayaan musuh alami.Seminar Hasil penelitian BB padi. 10-11 Agustus 2012.16p.

Baehaki, S.E., I. M.J. Mejaya, dan H. Sembiring. 2013.Implementasi pengendalian hama terpadu (PHT)dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) diIndonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian. BadanLitbang Pertanian. 6(4):198-209.

Baehaki SE. dan I. J. Mejaya. 2014. Wereng cokelat sebagaihama global bernilai ekonomi tinggi dan strategipengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan 9(1): 1-12.

Cantrell. 2004. New technologies for rice farmers. ICMEdition, Bayer Crop Science 1: 21-22.

Chapagain, T., A. Riseman, and E. Yamaji. 2011. Achievingmore with less water: alternate wet and dry irrigation(AWDI) as an alternative to the conventional watermanagement practices in rice farming. Journal ofAgricultural Science 3(3): 3-13.

Coll, M. 2004. Precision agriculture approaches in supportof ecological engineering for pest management. 133-142, In Gurr et al 2004. Ecological Engineering for PestManagement. Advances in Habitat Manipulation forArthropods. CSIRO Publishing. p.225.

Darajat, A.A dan I M.J. Mejaya. 2012. Peranan varietas unggulpadi inbrida dalam peningkatan produksi padfi nasional.Pros. Sem. Nas. Hasil Penelitian Padi. p.35-48.

Deubel, A. and W. Merbach. 2005. Influence ofmicroorganisms on phosphorus bioavailability in soils.

In: Buscot, F. and A. Varma (eds.), Microorganisms inSoils: Roles in Genesis and Functions, Springer-Verlag,Berlin Heidelberg, Germany. pp: 177-91.

Dermiyati, J. Antari, S. Yusnaini dan S.G. Nugroho. 2009.Perubahan populasi mikroroganisme pelarut fosfatpada lahan sawah dengan sistem pertanian intensifmenjadi sistem pertanian organik berkelanjutan. J.Tanah Trop. 14(2): 143-148. ISSN 0852-257X.

Didiek, G., H. Siswanto, and Y. Sugiarto. 2000. Bioactivationof poorly solube phpsphate rocks with a phosphorus-solubilizing fungus. Soil Sci. Soc. Am. J., 64: 927-932.

Doobermannd, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrientdisorders and nutrient management. Makati: IRRI.191p.

Escalada, M. 2009. Communicating biodiversity andecological engineering to farmers. http://ricehoppers.net /2009/11/communicat ing-b iod ivers i ty -and-ecological-engineering-to-farmers/).

Gurr, G.M. 2009a. Prospects for ecological engineering forplanthopper and others arthropod pests in rice. P371-388. In Heong and Hardy: Planthoppers: New Threatto the Sustainability of Intensive Rice Production Systemin Asia. p.460.

Gurr, G.M. 2009b. F inal report, ecological engineering toreduce rice crop vulnerability to planthopper outbreaks.29p. http://ricehoppers.net/wp-content/uploads/2010/04/Final-Report-I-GM-Gurr.pdf.

Han, H.S., Supanjani, and K.D. Lee. 2006. Effect of co-inoculation with phosphate and potassium solubilizingbacteria on mineral uptake and growth of pepper andcucumber. Plant Soil Environ. 52(3): 130-136.

Haq, M., M.A. T. Mia, M.F. Rabbi, and M.A. Ali. 2011. Incidenceand severity of rice diseases and insect pests inrelation to climate change. pp 445-457, In Lal et al2011. Climate Change and Food Security in South Asia.

Herman, M. dan D. Pranowo. 2013. Pengaruh pemberianmikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan danserapan hara p benih kakao (Theobroma cacao L.).Buletin RISTRI 4 (2): 129-138.

Heinrichs, E.A. 1994. Host plant resistance dalam HeinrichsE.A. 1994. Biology and Management of Rice Insects.Wiley Eastern Limited, New Age International Limited.New Delhi, Bangalore, Bombay, Calcuta, Guwahati,Hyderabad, Lucknow, Madras, dan London. p.518-547.

Hilda, R. and R. Fraga. 1999. Phosphate solubilizingbacteria and their role in plant growth promotion.Biotechnology Advances, 17: 319-339.

Hingdri. 2012. Peranan teknik pengaturan air pada ipat-bountuk meningkatkan sistem perakaran, populasibakteri tanah, efisiensi penggunaan air dan hasiltanaman padi. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/124153/

Huan, N.H. and H.V. Chien, 2010. Ecological engineeringgets national attention in Vietnam. http://ricehopper.net/2010.

Page 35: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Baehaki et al.: Rekayasa Ekologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

33

Illmer, P. and F. Schinner. 1992. Solubilization of inorganicphosphate by microorganisms isolated from forestsoils. Soil Biol. Biochem 24: 389- 395.

Ismunadji, M. and V. Dijkshoorn. 1971. Nitrogen nutrition ofrice plants measured by growth and nutrient content inpot experiment. Ionic balance and selective uptake.Neth. J. Agric. Sci. 19: 223-236.

Joner, E.J., I.M. Aarle, and M. Vosatka. 2000. Phosphataseactivity of extra- radical arbuscular mycorrhiza hyphae:a review. Plant Soil 226:199-210.

Khan, A.A., G. Jilani, M. S. Akhtar, S.M.S. Naqvi, and M.Rasheed. 2009. Phosphorus solubilizing bacteria:occurrence, mechanisms and their role in cropproduction. J. Agric. Biol. Sci. 1(1):48-58.

Khan, Z.R. and J.A. Pickett. 2004. The ‘push-pull’ strategyfor stemborer management: a case study in exploitingbiodiversity and chemical ecology. 155-164. In Gurr etal. 2004. Ecological Engineering for Pest Management.Advances in Habitat Manipulation for Arthropods.CSIRO Publishing. p.225.

Loomis, J., P. Kent, L. Strange, K. Fausch, and A. Covich.2000. Analysis measuring the total economic value ofrestoring ecosystem services in an impaired riverbasin: results from a contingent valuation survey.Ecological Economics 33:103-117.

Mehta, P., A. Chauhan, R. Mahajan, P.K. Mahajan and C.K.Shirkot. 2010. Strain of Bacillus circulans isolated fromapple rhizosphere showing plant growth promotingpotential. Current Science 98(4): 25.

Mejaya, I.M.J. 2012. Varietas unggul padi toleran dampakperubahan iklim dalam mendukung swasembadaberas berkelanjutan. Pros. Sem. Nas. Hasil PenelitianPadi. A1-A12.

Mitsch, W.J. 2012. What is ecological engineering?.Ecological Engineering 45: 5-12.

Moelyohadi, Y., M.U. Harun, Munandar, R. Hayati, and N.Gofar. 2013. Pengaruh kombinasi pupuk organik danhayati terhadap pertumbuhan dan produksi galurjagung (Zea mays. L) hasil seleksi efisien hara padalahan kering marginal. Jurnal Lahan Suboptimal 2(2):100-110.

Noor, A. 2005. Peranan fosfat alam dan kombinasi bakteripelarut fosfat dengan pupuk kandang dalammeningkatkan serapan hara dan basil kedelai. JurnalTanah dan Lingkungan 7(2): 41-47. ISSN 1410-7333.

Nurindah, D. A. Sunarto, dan Sujak 2009. Tanamanperangkap untuk pengendalian serangga hamatembakau. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & MinyakIndustri 1(2):55-68. ISSN: 2085-6717.

Orr, D.B and D.J. Boethel 1986. Influence of plant antibiosisthrough four trophic levels. Oceologia. 70: 242-249.

Ogah, E.O, E.E. Owoh, F.E. Nwilene and E.N. Ogbodo. 2012.Effect of abiotic factors on the incidence of african ricegall midge, Orseolia oryzivora and its parasitism byPlatygaster diplosisae and Aprostocetus procerae.

Journal of Biology, Agriculture and Healthcare ISSN2224-3208 (Paper) ISSN 2225-093X (Online) 2(8):6-65.

Panda, N and G.S. Khush. 1995. Host Plant Resistance toinsects. IRRI, CAB International. 431p.

Permatasari, A.D dan T. Nurhidayati. 2014. Pengaruhinokulan bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarutfosfat dan mikoriza asal desa condro, lumajang, jawatimur terhadap pertumbuhan tanaman cabai rawit.Jurnal Sains Dan Seni POMITS 3(2): 2337-3520.

Perez, F.R.B., A.M. Shelton, and B.A. Nault. 2004. Evaluatingtrap crops for diamondback moth, Plutella xylostella(Lepidoptera: Plutell idae) Journal of EconomicEntomology. 97(4):1365-72. DOI:10.1603/0022-0493-97.4.1365

Power, A.G. 2010. Ecosystem services and agriculture:tradeoffs and synergies. Phil. Trans. R. Soc. B (2010)365: 2959-2971. doi:10.1098/rstb.2010.0143

Rashid, M.M., M.K. Khattak, A. Momin, M. Amir, R. Bibi, and A.Latif. 2013. Performance of different rice cultivars andinsecticides against Tryporyza Incertulas (Walker) andCnaphalocrocis Medinalis (Guenee). Pak. J. Agri. Sci.,Vol. 50(4), 625-629; 2013. ISSN (Print) 0552-9034, ISSN(Online) 2076-0906. http://www.pakjas.com.pk

Rosiana, F., T. Turmuktini, Y. Yuwariah, M. Arifin, dan T.Simarmata. 2013. Aplikasi kombinasi kompos jerami,kompos azolla dan pupuk hayati untuk meningkatkanjumlah populasi bakteri penambat nitrogen danproduktivitas tanaman padi berbasis Ipat-Bo. Agrovigor6(1):16-22. ISSN 1979 5777.

Sahi, S.T., M.A. Randhawa, N. Sarwar and S.M. Khan 2000.Biochemical basis of resistance of lentil (Lens culinaris)Medik. Against ascochyta blight: 1 Phenols. Pak. J. Biol.Sci. 3(7): 1141-1143.

Saraswati, R dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikrobapenyubur tanah sebagai komponen teknologipertanian. IPTEK Tanaman Pangan 3(1):42-58.

Sarwari, G., H. Schmeisky, N. Hussain, S. Muhammadi, M.Ibrahim, and Ehsan Safdar. 2008. Improvement of soilphysical and chemical properties with compostapplication in rice-wheat cropping system. Pak. J. Bot.,40(1): 275-282.

Salimpour, S., K. Khavazi, H. Nadian, H. Besharati, and M.Miransari. 2010. Enhancing phosphorous availabilityto canola (Brassica napus L.) using P solubilizing andsulfur oxidizing bacteria. Aust. J. Crops Science4(5):330-334. ISSN:1835-2707.

Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim,D. Hindayana, A.S. Lestari, P. Ningsih, dan Sartanto.1996. Managing tropical rice pests throughconservation of generalist natural enemies andalternative prey. Ecology 77(7): 1975-1988.

Sharma, K., G. Dak, A. Agarwal, M. Bhatnagar, and R. Sharma.2007. Effects of phosphate solubilizing bacteria on thegermination of Cicer arietinum seeds and seedlinggrowth. J. Herbal Medicine and Toxicology. 1(1): 61-63.

Page 36: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

34

Sihite, J.T.B. 2012. Efek teknik pengaturan air dan jenispupuk organik terhadap populasi bakteri penambat N,pelarut fosfat dan hasil padi varietas ciherang berbasisipat bo. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/124036/

Suparno, T. 1995. Pertumbuhan dan perkembanganScirpophaga innotata Walker (Lepidoptera: Pyralidae)pada tanaman padi di tanah dengan kandungan kaliumberbeda. Disertasi IPB. p135

Suprihatno, B, A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E, Suprihanto,A. Setyono, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan H.Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi. Balai BesarPenelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.114p.

Win, S.S., R. Muhammad, Z.A.M. Ahmad, and N.A. Adam.2011. Population fluctuation of brown planthopperNilaparvata lugens Stal. and whitwbacked planthopperSogatella furcifera Horvath on Rice. Jour. OfEntomology 8(2): 183-190.

Widawati, S., Suliasih, dan A. Muharam. 2010. Pengaruhkompos yang diperkaya bakteri penambat nitrogen danpelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman kapridan aktivitas enzim fosfatase dalam tanah. J. Hort.20(3):207-215.

Xu, J.G. and R.L. Johnson. 1995. Root growth, microbialactivity and phosphatase activity in oil-contaminated,remediated and uncontaminated soils planted to barleyand field pea. Plant and Soil. 173: 3-10.

Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. LosBanos, Laguna: IRRI.

Zulfiqar, M.A., M.A. Sabri, M.A. Raza, A. Hamza, A. Hayat, andA. Khan. 2010. Effect of temperature and relativehumidity on the population dynamics of some insectpests of maize. Pak. j. life soc. Sci. 8(1): 16-18.

Page 37: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

35

Karakter Morfofisiologi dan Agronomi Kedelai Toleran Salinitas

Morpho-physiological and Agronomical Characters of SoybeanTolerant to Salinity

Runik Dyah Purwaningrahayu

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 30 Februari 2016, direvisi 13 April 2016, dan disetujui diterbitkan 9 Juni 2016

ABSTRACT

Salt tolerant cultivar of soybean is considered more economical to anticipate the spread of land salinity.Increased salinity in agricultural lands occurred in several places in Indonesia, resulted from the contaminationof irrigation water, excessive uses of fertilizers, sea water intrusion and drought stress. To breed the salttolerant soybean cultivars required knowledge of specific morpho-physiological and agronomical characterswhich can be used as an indicator of soybean genotypes tolerance to salinity stress. Researchers classifiedsoybeans according to their degree of tolerance to salinity stress, namely sensitive, moderate, and tolerancebased on plant characters such as: emergency ability, growth and survival rate, the degree of toxicity due tosalt, K+, Na+ and Cl- concentration in plant tissues, prolines accumulation, electrolyte leakage rates, watercontent of plant, plant biomass and seed yield or reduced seed yield. Soybean genotypes which could growand produce seed in soil with the salinity levels of above 5 dS/m is considered as having potential for thetolerant varieties.

Keywords: Soybean, salt tolerance, morpho-physiological, agronomical.

ABSTRAK

Varietas kedelai toleran salinitas lebih ekonomis untuk mengantisipasi meluasnya areal lahan dengancekaman salinitas. Lahan pertanian di beberapa tempat di Indonesia telah mengalami peningkatan salinitasakibat pencemaran air irigasi, pemupukan berlebihan, intrusi air laut, dan kekeringan. Salah satu cara yangmurah dan mudah untuk mengatasi masalah salinitas adalah menanam varietas toleran. Untukmendapatkan varietas kedelai toleran salinitas diperlukan pengetahuan karakter morfofisiologi danagronomis yang menjadi indikator toleransi genotipe kedelai terhadap cekaman salinitas. Penelitimengklasifikasikan genotipe kedelai menurut toleransinya terhadap cekaman salinitas menjadi genotipepeka/sensitif, sedang, dan toleran, berdasarkan karakter seperti persentase tumbuh, kelangsungan hiduptanaman, tingkat keracunan garam secara visual, kadar K+, Na+ dan Cl- jaringan tanaman, kadar prolin,tingkat kebocoran elektrolit tanaman, kadar air tanaman, biomasa tanaman serta hasil biji atau penurunanhasil biji. Genotipe kedelai yang mampu tumbuh dan menghasilkan biji dengan baik pada kadar salinitastanah di atas 5 dS/m berpotensi menjadi varietas toleran salinitas.

Kata kunci: Kedelai, salinitas, toleran, morfofisiologi, agronomis.

Page 38: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

36

PENDAHULUAN

Perluasan areal tanam kedelai ke lahan suboptimal,termasuk lahan salin, menjadi salah satu strategi danupaya peningkatan produksi kedelai. Pada lahan optimal,kedelai harus bersaing dengan padi dan jagung.Pengembangan varietas toleran salinitas pada lahansuboptimal diharapkan mampu meningkatkan areal tanamkedelai.

Di beberapa daerah di Indonesia telah terjadipeningkatan salinitas pada lahan pertanian yangkemungkinan besar disebabkan oleh pemupukan kimiadan pestisida berlebihan, pencemaran air irigasi,peningkatan intrusi air laut ke daratan, dan perubahaniklim global (Dajic 2006, Manabe and Stouffer 1994, Yeo1999). Tanah dikategorikan salin apabila daya hantar listrik(electrical conductivity) dari ekstrak pasta tanah jenuh(ECe) lebih dari 4 dS/m (mmho/cm), setara dengan 40mM NaCl per liter dan persentase natrium dapat ditukarkurang dari 15 (Marschner 1985, Sposito 2008. Gorham2007). Peningkatan salinitas tanah terjadi di hampirsemua wilayah di dunia. Lebih dari 800 juta hektar lahanpertanian di dunia telah terpengaruh oleh garam (tanahsalin dan sodik) atau lebih dari 6% luas lahan dunia (FAO2014). Di Indonesia, luas lahan salin diperkirakan 440.300ha dengan kriteria agak salin 304.000 ha dan salin 140.300ha (Rachman et al. 2007).

Kedelai tergolong tanaman yang peka salinitasdengan ambang batas toleransi 2-5 dS/m (Maas andHoffman 1977, Katerji et al. 2000). Meskipun demikianmasih terbuka peluang untuk meningkatkan batastoleransi salinitas pada varietas kedelai denganmemanfaatkan sumber daya genetik yang ada.Keragaman genetik plasma nutfah kedelai yang tersediahingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal gunamemperoleh genotipe toleran salinitas.

Pembentukan varietas kedelai toleran salinitasmenjadi pilihan utama dalam meningkatkan produktivitaslahan dibandingkan dengan teknologi penurunan kadarsalinitas tanah. Perakitan varietas kedelai toleran salinitasmemerlukan pengetahuan tentang perubahan karaktermorfologi, fisiologi, dan agronomis kedelai akibatcekaman salinitas. Kajian karakter morfologi dan fisiologikedelai toleran salinitas bermanfaat untuk mendukungprogram pemuliaan. Karakter agronomi yang merupakankombinasi antara karakter genetik dan lingkungan,termasuk di dalamnya mekanisme fisiologi, diharapkandapat digunakan sebagai indikator toleransi tanamanterhadap cekaman salinitas (Ashraf and Harris 2004). Halini berkaitan dengan pengukuran terhadap toleransisalinitas yang sangat kompleks yang disebabkan olehsebagian besar gen yang mengatur toleransi tanamanterhadap salinitas dan pengaruh lingkungan terhadaptingkat salinitas (Munns 2002).

Gambar 1. Respon dan mekanisme adaptasi tanaman terhadap salinitas (Marschner 1985).

Respon tanaman terhadap salinitas

Mengasingkan Mengakumulasi

Efek merugikan Adaptasi Efek merugikanAdaptasi

Kekurangan air Penghindaran internalkekurangan air:a. Peningkatan sintesis

senyawa organik(mis. gula)

b. Penurunan area-permukaan(sukulensi)

Toksisitas ion(ketidakseimbangan ion)

1. Toleransi jaringana. Kompartemen garamb. Sintesis senyawa

osmosis kompatibelc. Pertukaran K+/Na+

2. Penghindaran tingginyakonsentrasi ion:

a. Retranslokasi dalam floemb. Peningkatan kadar

air jaringan (sukulensi)c. Ekskresi garamd. Pengguguran daun

Toksisitas ClToksisitas NaDefisiensi KDefisiensi Ca

Penurunan dalam:Perluasan selFiksasi CO2

Sintesis protein

Page 39: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

37

Toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas adalahkemampuan tanaman tersebut mencegah agarkonsentrasi garam dalam protoplasma tidak berlebihansehingga mampu bertahan pada konsentrasi garam yangtinggi. Toleransi tanaman terhadap cekaman salinitasdapat dicapai melalui proses pengeluaran ataupengasingan/penyimpanan garam ke bagian tanamanyang tidak ikut aktif dalam proses metabolisme. Adaptasimelalui mekanisme pengeluaran garam diperlukan untukmenghindari terjadinya kekurangan air dalam seltanaman, sedangkan penyimpanan garam diperlukanuntuk menghindari konsentrasi yang tinggi pada bagiantanaman yang berperan dalam proses metabolisme agarpertumbuhan tanaman tidak terganggu (Marschner 1985).Tanaman yang terpapar garam dalam larutan tanah akanmengembangkan respon untuk mengatasi cekaman.Analisis sederhana respon tanaman terhadap cekamansalinitas seperti dijelaskan oleh Munn dan Tester (2008)meliputi dua fase, yaitu fase cepat (cekaman osmotik)yang merupakan respon tanaman untuk meningkatkantekanan eksternal osmotik, dan fase lambat yangmerupakan respon tanaman dalam mengakumulasi Na+dalam daun atau disebut juga fase cekaman ionik.Cekaman osmotik akan mempengaruhi pertumbuhantanaman dengan segera, sedangkan cekaman ionikberkembang dari waktu ke waktu karena kombinasi dariakumulasi ion pada tajuk dan ketidakmampuan tanamandalam mentoleransi ion yang telah terakumulasi.Tanaman peka atau toleran salinitas berbeda dalamkemampuan mentoleransi kadar garam hingga tingkatberacun di daun. Jangka waktu terjadinya respon dapatdalam hitungan hari, minggu, atau bulan, bergantung padaspesies dan tingkat salinitas.

Makalah ini membahas karakter morfologi, fisiologi,dan agronomis kedelai toleran cekaman salinitas, yangdiharapkan dapat digunakan sebagai indikator genotipekedelai toleran salinitas. Dari 85 varietas unggul kedelaiyang telah dilepas hingga saat ini belum satu pun yangtoleran terhadap kadar garam tanah yang tinggi.Keragaman genetik pada plasma nutfah kedelai dapatdimanfaatkan dalam pembentukan varietas unggul toleransalinitas.

TOLERANSI TANAMAN KEDELAITERHADAP CEKAMAN SALINITAS

Berdasarkan toleransi terhadap cekaman salinitas,tumbuhan dibagi menjadi dua kelompok: (a) halofita, yaitutumbuhan yang dapat tumbuh baik pada kadar garamsampai 20% (setara 300 dS/m) dan merupakan tanamanasli tanah salin yang dapat menyelesaikan daur hidupnyapada lingkungan tersebut, dan (b) glikofita (sweet plants)

atau nonhalofita, yaitu tumbuhan yang mulai terganggupertumbuhannya pada kadar garam lebih dari 0,01%(setara 0,15 dS/m) (Dajic 2006). Jumlah halofita hanya2% dari spesies tumbuhan darat. Pada kelompoktumbuhan nonhalofita atau glikofita, pembagianberdasarkan tanggap tanaman terhadap cekamansalinitas adalah peka, agak toleran, dan sangat toleran.

Pengelompokan jenis tanaman mungkin berbeda diantara peneliti karena perbedaan kriteria klasifikasiterhadap cekaman salinitas yang digunakan. Kedelaitermasuk kelompok tanaman moderat peka (berdasarkanperbedaan evaporasi selama periode pertumbuhan),sedangkan tanaman yang sangat peka salinitas adalahchickpea (kacang arab) dan lentil. Kelompok tanamantoleran salinitas adalah gandum dan bit gula, kelompokagak peka (moderat) adalah jagung, bunga matahari, dankentang (Katerji et al. 2003, Taiz and Zeiger 2002). Hal inirelatif berbeda dengan pengelompokan menurut Levitt(1980), tanaman kacang-kacangan (pea, bean) termasuktoleran cekaman garam rendah, serealia (rye, oats,gandum, barley) toleran cekaman medium, dan rumputsudan (sudan grass) alfafa, bunga matahari, dan bit gulatermasuk kelompok toleran salinitas tinggi.

Kedelai diklasifikasikan sebagai kelompok tanamanyang peka cekaman salinitas, dengan ambang batas 5dS/m. Di atas nilai tersebut, pertumbuhan kedelaimenurun (Maas and Hoffman 1977). Katerji et al. (2000)menyarankan nilai ambang batas yang lebih rendah,sekitar 2 dS/m. Walaupun demikian, respon kedelaiterhadap salinitas berubah sepanjang tahap fenologitanaman (Khajeh et al. 2002). Misalnya, 50% potensi hasilkedelai dicapai pada DHL tanah/ECe 7,5 dS/m,sedangkan kacang tanah pada 4,9 dS/m, kacang fabapada 6,8 dS/m, kacang tunggak pada 4,9 dS/m, danterendah pada kacang buncis pada DHL tanah 3,6 dS/m(Landon 1984). Pada kadar salinitas 120mM (setara 10dS/m) terjadi perbedaan respon genotipe kedelai(Valencia et al. 2008). Varietas unggul Wilis banyakditanam di Indonesia, eksplan varietas ini mampu tumbuhpada media kultur jaringan hingga konsentrasi NaCl 8 g/latau sekitar 12 dS/m (Lubis 2005). Pada faseperkecambahan toleran hingga 8,9 dS/m (Yuniati 2004) danpada penelitian di rumah kaca hingga fase generatif,varietas Wilis agak toleran hingga salinitas 6 dS/m(Sunarto 2001). Pada penelitian pot, varietas Wilistermasuk toleran cekaman salinitas paling rendah, yaknipada 0,5-5,8 dS/m (Tabel 1).

Kedelai dapat dikelompokkan sebagai glikofita yangpeka terhadap salinitas, tetapi di antara genotipe terdapatperbedaan tingkat toleransi terhadap kadar salinitastertentu. Keragaman toleransi genotipe kedelai terhadapsalinitas menunjukkan tanaman ini mempunyai potensi

Page 40: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

38

untuk diseleksi guna memperoleh genotipe toleransalinitas hingga kadar tertentu.

KARAKTER MORFOLOGI

Gejala Keracunan Visual

Kadar salinitas tanah yang tinggi berakibat buruk terhadappertumbuhan kedelai. Secara morfologis, tanamankedelai yang terpapar garam dalam waktu yang lamamengalami keracunan yang terlihat secara visual.Keracunan garam mempunyai gejala khas seperti yangdigambarkan oleh Levitt (1980), akumulasi ion Na dan Clhingga konsentrasi meracun menyebabkan dauntanaman berwarna kuning/klorosis, nekrosis, tepi daunmengering dan menggulung. Gejala keracunan tersebutjuga menurunkan kemampuan fotosintesis sehinggaberakibat pada penurunan pertumbuhan tanaman (Munns2002). Kerusakan daun kedelai yang peka salinitasberasosiasi dengan tingginya kadar Cl pada jaringantanaman (Abel and Mackenzie 1964).

Genotipe toleran salinitas mempunyai gejala keracunangaram sangat rendah atau bahkan tidak terlihat keracunandan kadar Cl tanaman relatif lebih rendah (Dong-Lee et al.2008, Yang and Blanchar 1993). Gejala keracunan yangterlihat secara visual dapat dibuat skoring untuk menentukantingkat toleransi genotipe terhadap cekaman lingkungan.Skor keracunan visual menggunakan skala 1-4 (Pantaloneet al. 1997) atau yang telah dimodifikasi menggunakan skala1-9 (Ledesma et al. 2016) seperti ditunjukkan pada Tabel 2.Pengelompokkan genotipe juga dapat didasarkan pada kadarCl akar maupun daun (Tabel 3).

Skor keracunan visual dapat digunakan untukmengukur toleransi tanaman kedelai terhadap salinitas(Dong Lee et al. 2008). Bahkan secara spesifik dapatdigunakan untuk mengklasifikasikan galur kedelai apakah

Tabel 2. Skor keracunan visual daun kedelai akibat cekaman salinitas.

Pantalone et al. (1997) Ledesma et al. (2016)

Skor Kriteria Skor Kriteria

1 Tidak ada gejala klorosis 1 Tanaman normal, ukurandaun normal, hijau segar

2 Gejala ringan 2 Daun mulai mengecil,(25% daun klorosis), warna daun hijau tua

3 Gejala sedang 3 Daun klorosis ringan(50% daun klorosisdan nekrosis)

4 Klorosis parah 9 Daun nekrosis parah(75% daun terlihatklorosis dan nekrosisparah)

5 Tanaman mati (daunterlihat nekrosis parah)

Tabel 1. Tingkat toleransi beberapa genotipe kedelai terhadapsalinitas berdasarkan penurunan hasil biji, indeks kepekaancekaman, dan skor keracunan visual daun.

Penurunan Indeks SkorGenotipe hasil kepekaan keracunan

biji cekaman visual

Toleran hingga salinitas tanah dS/mWilis 5,8 5,8 5,8Tanggamus 5,8 5,8 5,8Gema 5,8 5,8 5,8LK/3474-403 5,8 5,8 5,8MLG 2805-962 5,8 5,8 5,8MLG 3474-991 5,8 5,8 5,8IAC100/Bur/Mabr-10-KP-30-75 5,8 5,8 5,8SU-7-1014 8,4 8,4 8,4Argomulyo//IAC100-10-KP-40-120 8,4 12,2 8,4IAC100/Bur//Malb-10-KP-21-50 12,2 12,2 12,2Argopuro//IAC100 12,2 12,2 12,2

Purwaningrahayu et al. (2015).

Tabel 3. Skor keracunan visual, gejala keracunan, respon, klasifikasi dan konsentrasi Cl pada beberapa genotipe kedelai dengan pemberian100 mM dan 120 mM NaCl.

Genotipe Skor keracunan gejala klasifikasi Respon Respon Cl- (mg/kg)

Hutcheson 4.5a 6.7b Klorosisb Campur pekaa Segregasib 4,92a 53,64b

(mixed)b

Hartwig 1.3a 5.7b Klorosisb Campur Tolerana Segregasib 3,19a 55,36b

(mixed)b

S-100 1.3a 4.9b Hijau mudab excluder Tolerana Toleranb 3,34a 45,57b

Forrest 1.1a 6.0b Klorosisb Campur Tolerana Segregasib 3,16a 59,88b

(mixed)b

Williams - 8,2b nekrosis Includerb - pekab - 97,11b

a Dong Lee et al. (2008) NaCl100 mM, penilaian skor: toleran jika skor ≤ 2,0 dan peka jika skor ≥ 3,0.;b Ledesma et al. (2016) 120 mM NaCl, skor keracunan visual (LSS) 1= daun hijau sehat dan 9 = nekrosis, LSS ≥ 6,4 includers,LSS ≤ 5,9 excluder, Cl ≥ 66,082 inclders, Cl ≤ 52,148 excluders dan selain itu campur (mixed).

Page 41: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

39

termasuk genotipe peka atau toleran Cl dengan melihatgejala keracunan visual (Valencia et al. 2008).

Gejala keracunan garam secara visual dapatdigunakan untuk mengetahui tanggapan genotipe kedelaiterhadap cekaman salinitas secara mudah setelahtanaman terpapar salinitas dalam kurun waktu tertentu.Gejala keracunan visual yang dinilai berdasarkan tingkatkeparahan keracunan dapat dibuktikan secara kuantitatifdengan mengukur kadar Cl dan Na pada akar dan daunserta kadar klorofil daun. Oleh karena itu, untuk menilaitoleransi salinitas genotipe kedelai perlu menggunakanbeberapa peubah lain sebagai pendukung.

Trikoma Daun

Trikoma merupakan struktur khusus uniseluler ataumultiseluler yang berasal dari lapisan sel epidermis,banyak terdapat pada beberapa spesies tanaman, dansering berbentuk kelenjar yang mengeluarkan berbagaisenyawa asam organik, polisakarida, terpen, nektarmaupun garam (Werker 2000). Trikoma yang lebih rapatdan panjang kemungkinan berfungsi seperti kelenjar yangdapat mengeluarkan garam. Pada kedelai liar (Glycinesoja) yang tumbuh di muara sungai Kuning di PropinsiShandong China ditemukan semacam struktur kelenjargaram pada daun dan batangnya (Lu et al. 1998). Padakedelai yang telah dibudidayakan juga dilaporkan adanyasemacam struktur kelenjar garam (Li et al. 2003). Padamentimum, peningkatan salinitas memacu tanaman lebihbanyak membentuk trikoma pada lapisan epidermaldibandingkan dengan tanaman kontrol (Dolatabadian etal. 2011). Kondisi ini kemungkinan merupakanmekanisme tanaman untuk meningkatkan toleransinyaterhadap cekaman salinitas. Dalam hal ini trikomaglandular berperan mengekskresi ion dalammeningkatkan toleransi tanaman terhadap garam (Gucciet al. 1997).

Genotipe kedelai toleran salinitas mempunyaikerapatan trikoma pada permukaan atas maupun bawahdaun dan lebih rapat dibandingkan genotipe yang pekasalinitas. Dolatabadian et al. (2011) menemukan hal yangsama pada tanaman mentimun yang tumbuh pada kondisicekaman salinitas, peningkatan kadar garam akanmemacu lebih banyak terbentuknya trikoma pada lapisanepidermal dibandingkan dengan tanaman kontrol.

Trikoma daun kemungkinan dapat memperkeciltranspirasi tanaman, sehingga lebih mampu mengaturkeseimbangan air dalam tubuhnya. Hal ini terlihat darikadar air relatif daun yang cukup tinggi. Penelitianterhadap semanggi merah (Trifolium pratense L.)menunjukkan trikoma non glandular nyata meningkatkanretensi air daun pada cekaman kekeringan, karena daun

membatasi penguapan dan mendukung fungsi stomatadaun (Naidenova and Georgiev 2013). Kecukupan airdalam jaringan tanaman akan memperkecil penyerapanair dari tanah, sehingga ion Na+ dan Cl- yang larut dalamair akan lebih sedikit terikut ke dalam akar hingga keseluruh organ tanaman. Kerapatan trikoma pada daunjuga berperan dalam mengekskresi garam. Dengansemakin banyaknya trikoma daun, kemungkinan tanamanlebih banyak mengeluarkan garam, hingga berada padabatas yang tidak meracuni.

Stomata

Stomata merupakan pori mikroskopis pada permukaandaun yang berfungsi sebagai organ transpirasi bagitanaman. Dalam hubungannya dengan keseimbangan airtanaman, ion K+ dan Cl- berperan dalam pengaturanosmotik tanaman. Pada kadar ion K+ yang lebih banyak,tanaman lebih mampu menjaga keseimbangan air dalamtubuhnya sehingga tidak terjadi dehidrasi. Ion K+ adalahkation paling banyak dalam sitoplasma dan garam Kmempunyai kontribusi utama dalam potensial osmotiksel dan jaringan pada spesies tanaman glikofita. FungsiK yang berkaitan dengan konsentrasi K dalam vakuolaadalah perluasan sel dan proses pengaturan turgor(Marschner 1985). Ion K berperan dalam pembukaanstomata daun. Komponen dari motor osmotik tanamanadalah K+ dan Cl- yang masuk dalam sitoplasma selpenjaga dan vakuola untuk mendorong pembentukanturgor. Selain penyerapan Cl- dari media, sintesis malat2-

berperan dalam akumulasi anion. Setelah terjadi gradienosmotik, air akan masuk kemudian stomata membuka(Kaldehoff et al. 1995). Penutupan stomata merupakanupaya tanaman untuk menghindarkan transpirasi yangberlebihan. Seperti pada spesies Crotallaria, cekamansalinitas menyebabkan penurunan jumlah stomata danpada genotipe yang peka salinitas stomatanya menutup(Kadam and Pravin 2010).

Cekaman salinitas menyebabkan cekaman osmotikdengan penurunan turgor tanaman. Pengaruh cekamansalinitas terhadap stomata daun menurunkan jumlahstomata pada tanaman peka salinitas dan menutupstomata untuk mengatur keseimbangan air dalam jaringandaun. Penutupan stomata merupakan upaya tanamanuntuk menghindarkan transpirasi yang berlebihan.

Nodulasi Akar

Proses pembentukan bintil akar kedelai sangat pekaterhadap kadar NaCl. Kadar NaCl rendah (26,6 mM NaCl)menyebabkan penurunan jumlah dan bobot bintil akar.Pada perkembangan bintil akar yang diindikasikan olehbobot bintil dan fungsi bintil (aktivitas nitrogenase) akar

Page 42: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

40

relatif kurang sensitif daripada saat inisiasi bintil akar.Kegagalan nodulasi terutama disebabkan oleh efeksalinitas pada situs infeksi akar tanaman (Singleton andBohlol 1984). Garam menunjukkan efek penghambatanyang lebih besar pada nodulasi dengan kadar 0,1% NaClmelalui penurunan jumlah bintil akar dan bobot bintil akardaripada pertumbuhan tanaman (Shereen et al. 1998).Pengukuran toleransi salinitas menggunakan bintil akardapat digunakan sebagai data dukung pengamatan.Peubah yang dapat digunakan dalam hal ini adalah jumlahbintil akar, bobot bintil, dan aktivitas fungsi bintil sepertinitrogenase.

KARAKTER FISIOLOGI

Karakter fisiologi tanaman kedelai yang dipengaruhi olehkadar salinitas tanah yang tinggi adalah sebagai berikut:

1. Kebocoran elektrolit daun

Cekaman garam pada tanaman menyebabkan kerusakanmembran yang terlihat dari kebocoran elektrolit daun(Ghoulam et al. 2002). Peningkatan kebocoran elektrolityang disebabkan oleh salinitas meningkatkanpermeabilitas membran plasma. Menurut Mansour(2013), ion yang bocor dari potongan daun saat pengukurankebocoran elektrolit daun terutama melalui proteintranspor membran (channels/saluran dan carriers/pembawa) dan bagian lipid membran. Peningkatanpermeabilitas membran plasma diinduksi oleh cekamangaram, yang mencerminkan perubahan pada keduakomponen membran (protein dan lipid). Selain itu,kebocoran elektrolit terjadi karena kerusakan pigmenfotosintesis (Cha-um et al. 2010). Hal ini mengindikasikankebocoran elektrolit dapat digunakan sebagai pengukuranperubahan permeabilitas membran plasma yangdikendalikan oleh transpor protein membran (Serrano etal. 1999, Jacobs et al. 2011). Kebocoran elektrolit jugadapat digunakan sebagai indikator kerusakan plasmamembran terhadap cekaman salinitas dan menjadi kriteriaefektif dalam skrining genotipe terhadap cekamansalinitas.

Genotipe yang mempunyai tingkat kebocoranelektrolit daun yang rendah mengindikasikan toleransiterhadap cekaman salinitas lebih tinggi. Selain melaluidaun, kebocoran elektrolit tanaman dapat pula diukurmelalui akar maupun batang tanaman.

2. Pengaturan osmotik

Konsentrasi garam tinggi yang terkandung dalam mediatanam/tanah dapat menurunkan ketersediaan danpenyerapan air bagi tanaman, sehingga tekanan akar

terhadap xilem yang akan mengangkut air dan larutannutrisi menjadi rendah. Hal ini akan mengakibatkan lajusuplai air dan nutrisi ke bagian tunas tanaman terhambat.Pengaturan osmotik akibat cekaman salinitas dilakukantanaman dengan mengakumulasi ion anorganik atausenyawa organik (compatible osmolytes) tertentu.Pengaturan osmotik oleh sel bertujuan agar potensial airsel menurun tanpa diikuti oleh penurunan turgor sel.Pengaturan osmotik pada tanaman yang mengalamicekaman salinitas dapat terjadi dengan mengakumulasiion anorganik dan atau asam organik (organic solutes)pada konsentrasi tinggi. Senyawa organik pada tanamanakibat cekaman salinitas ditemukan dalam bentuksenyawa gula, asam organik, polyol dan nitrogen,termasuk di dalamnya asam amino, amida, ektoin,protein, dan senyawa amonium (Ashraf and Harris 2004,Ashraf 2004).

Ada tanaman yang mampu melakukan pengeluarangaram (salt exclusion) sebagai mekanisme utama toleransalinitas. Garam akan dikeluarkan dari meristem,terutama ke tajuk dan daun yang telah membukasempurna dan aktif melakukan fotosintesis. Akumulasisenyawa organik atau ion anorganik berguna untukmencapai keseimbangan osmotik. Sebaliknya, terdapattanaman yang melakukan pemasukan garam (saltinclusion), yang merupakan mekanisme pengaturanosmotik dengan mengakumulasi ion anorganik seperti ionNa+ dan Cl- pada organ, jaringan maupun sel (Greenwayand Munns 1980, Ashraf 1994). Dua proses interselulerdapat menurunkan potensial air larutan, yaitu akumulasiion dalam vakuola dan síntesis senyawa organik dalamsitosol. Senyawa organik termasuk glycine betaine,proline, sorbitol, manitol, pinitol dan sucrose. Sejumlahkarbon yang digunakan untuk mensintesis asam organiktersebut lebih besar 10% dari bobot tanaman. Padavegetasi alami, penggunaan karbon untuk mengaturpotensial air tidak berpengaruh terhadap kelangsunganhidup tanaman tetapi dapat mereduksi biomasa dan hasilpanen tanaman budi daya (Taiz dan Zeiger 2002). Selainsenyawa organik, tanaman yang mengalami cekamansalinitas juga mempengaruhi aktivitas sejumlah enzim.Peningkatan kadar salinitas pada media menyebabkankecambah kedelai mengalami penurunan aktivitassejumlah enzim antioksidan superoksida dismutase,katalase, dan kegiatan peroksidase pada kadar 100 dan200 mM NaCl (Amirjani 2010).

Tanaman yang tumbuh pada kondisi tercekammengakumulasi asam amino, di antaranya prolin,demikian pula pada cekaman salinitas. Prolin mengaturpenggunaan nitrogen termasuk jenis osmotik yang sangataktif berperan dalam stabilitas membran dan menurunkanefek gangguan membran sel akibat keracunan NaCl(Ashraf and Harris 2004). Akumulasi prolin dan diamina

Page 43: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

41

oksidase (DAO) meningkat pada kecambah kedelai yangterpapar garam 50-200NmM NaCl (Amirjani 2010). Hal inijuga terjadi pada Phaseolus aureus genotipe T-44 (toleransalinitas), lima kali lipat lebih banyak dibandingkandengan kadar prolin genotipe SML-32 (sensitive salinitas)(Misra dan Gupta 2005).

Peran prolin sebagai osmoprotektan pada tanamankedelai yang terpapar salinitas tinggi belum jelas karenaadanya beberapa penemuan yang berbeda. Pada kedelaivarietas Maple arrow dengan penurunan hasil 55% dibawah kondisi cekaman garam, tidak ada perubahankandungan prolin (Karckhard and Guerrier 1995).Sebaliknya, Moftah dan Michel (1987) melaporkan kedelaivarietas Bragg peka salinitas mengakumulasi prolin lebihbanyak daripada varietas toleran salinitas Ranson. Halyang sama terjadi pada kalus padi varietas peka salinitasyang menunjukkan akumulasi prolin lebih banyak. Padavarietas toleran salinitas, akumulasi Na dan Cl lebihsedikit. Disimpulkan prolin pada kondisi cekamansalinitas pada kalus padi merupakan gejala awalkeracunan dibandingkan dengan indikator toleransalinitas, dan toksisitas ion spesifik menunjukkankomponen seluler toleransi salinitas (Lutts et al. 1996).

Akumulasi prolin sebagai indikator toleran salinitasterlihat dari peningkatan prolin akibat peningkatansalinitas. Kultivar kedelai toleran salinitas Clark danForrest mengakumulasi lebih banyak prolin, K+ dan Ca2+,dibandingkan dengan kultivar peka salinitas Kint (Abd El-Samad and Shaddad 1997). Peningkatan salinitasmeningkatkan kadar prolin pada genotip toleran salinitasseperti pada padi aromatik (Summart et al. 2010), Betavulgaris (Gzik 1996), Alfalfa (Petrusa and Winicov 1997)pada kacang hitam (blackgram) (Ashraf 1989). Hal yangsama terjadi pada kedelai toleran salinitas (Pusa-37),kadar prolin meningkat 1,8 kali lipat dengan peningkatandosis NaCl (Hakeem et al . 2012). Peningkatan akumulasiprolin adalah respon nonspesifik terhadap potensial airyang rendah pada media tumbuh. Peranan prolin yanglain seperti dalam perlindungan enzim (Solomon et al.1994) dan struktur selular (Van Rensburg et al. 1993),bertindak sebagai penampung radikal bebas (Alia et al.1995) dan dalam stabilitas membran serta meringankanpengaruh gangguan membran sel akibat keracunan NaCl(Ashraf and Harris 2004).

Peningkatan DHL tanah menyebabkan tanamanmengalami cekaman osmotik yang terlihat dari rendahnyakadar air relatif daun dibandingkan dengan kondisi optimal(DHL tanah < 2 dS/m). Kadar garam yang tinggi padazona akar menyebabkan potensial osmotik larutan tanahmenurun. Hal ini mengakibatkan tanaman kesulitanmenyerap air karena air terikat kuat oleh partikel-partikeltanah yang akhirnya dapat menyebabkan kekeringan

fisiologis pada tanaman (Jahromi et al. 2008). Cekamanosmotik akibat peningkatan kadar salinitas juga terlihatdari kadar air relatif daun yang semakin menurun denganmeningkatkan salinitas tanah. Cekaman salinitasmenyebabkan tanaman menderita kekeringan fisiologis,sehingga tidak dapat menyerap air secara optimal,akibatnya kadar air relatif tanaman (daun) akan menurun.Penurunan kadar air relatif daun menurunkan tekananturgor yang mengganggu proses perluasan sel tanamankarena kehilangan banyak air (Katerji et al. 1997).Cekaman salinitas mengakibatkan cekaman osmotikyang dapat berakibat pada dehidrasi sel. Dehidrasimenurunkan tekanan osmotik dan potensial sel sertavolume sel (Levitt 1980). Kandungan air relatif daunkedelai semakin menurun dengan meningkatnya salinitasdilaporkan oleh Weisany et al. (2011), Wu et al. (2014),juga pada beberapa varietas bit gula (Ghoulam et al.2002). Hal yang sama terjadi pada tanaman strawberi(Turhan and Eris 2009), dan gandum (Marvi et al. 2011).Pada kondisi cekaman salinitas tinggi, kultivar kacanghitam (blackgram) toleran salinitas mampumempertahankan potensial air daun dan potensial turgordaun (Ashraf 1989). Peningkatan kadar air relatif daunpada genotipe toleran salinitas berkaitan dengan kadarion K tanaman, trikoma daun, dan mekanisme stomatadaun.

3. Klorofil daun

Daun adalah organ fotosintetik yang mudah dikenaligejalanya apabila tanaman mengalami keracunan garam.Perubahan pigmen hijau daun dapat diukur menggunakanklorofilmeter misalnya SPAD-502 yang dikenal sebagaiindeks kehijauan daun atau secara kuantitatif denganmengukur kadar klorofil daun menggunakan metodespektrofotometer. Kadar klorofil daun nyata dipengaruhioleh kadar salinitas tanah.

Peningkatan salinitas tanah nyata menurunkan kadarklorofil a, b dan ab daun kedelai (Weisany et al. 2011).Hal yang sama terjadi pada mentimun yang tumbuh padakondisi salin. Penurunan kadar klorofil mungkindisebabkan oleh peningkatan degradasi klorofil danhambatan sintesis pigmen (Stepien and Klobus 2006).Phaseolus aureus di bawah kondisi cekaman NaCl (Misraand Gupta 2005) menunjukkan gejala yang sama.Salinitas menurunkan ketersediaan nitrogen, yangmenjadi salah satu alasan menurunnya kadar klorofil(Parashar and Verma 1993), di samping akibat kerusakanstruktur kloroplas dan ketidakstabilan pigmen proteinkompleks (Singh and Dubey 1995). Meskipun demikian,beberapa genotipe menunjukkan kemampuan aktivitasklorofil daun mendekati kemampuan menahan degradasienzim klorofilase (Reddy and Vora 1986). Genotipe

Page 44: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

42

kedelai yang terindikasi toleran salinitas mempunyaikadar klorofil daun lebih banyak dibanding varietas peka.Kondisi seperti ini terjadi pada kacang hitam denganpeningkatan NaCl, kultivar toleran salinitas (cv.CandhariMash) mempunyai kadar klorofil a, b dan total klorofil lebihbanyak dibandingkan dengan kultivar peka Mash 654(Ashraf 1989).

4. Kadar K, Na dan Cl tanaman

Toleransi terhadap salinitas berkaitan dengan kadar ionK+, Na+ dan Cl- dalam jaringan tanaman. Ion K+ dan Cl-

berperan dalam pengaturan osmotik tanaman. Dengankadar ion K+ yang lebih banyak, tanaman lebih mampumenjaga keseimbangan air di tubuhnya sehingga tidakterjadi dehidrasi. Ion K+ adalah kation paling banyakdalam sitoplasma dan garam K mempunyai kontribusiutama dalam potensial osmotik sel dan jaringan padaspesies tanaman glikofita. Ion K yang berkaitan dengankonsentrasi K dalam vakuola berfungsi dalam perluasansel dan proses pengaturan turgor (Marschner 1985). IonK berperan dalam pembukaan stomata daun. Komponendari motor osmotik tanaman adalah K+ dan Cl- yangmasuk dalam sitoplasma sel penjaga dan vakuola untukmendorong pembentukan turgor. Selain penyerapan Cl-

dari media, sintesis malat2- berperan dalam akumulasianion. Setelah terjadi gradien osmotik, air akan masukkemudian stomata membuka (Kaldehoff et al. 1995).Penutupan stomata merupakan upaya tanaman untukmenghindari transpirasi yang berlebihan. Seperti padaspesies Crotallaria, cekaman salinitas menyebabkanpenurunan jumlah stomata dan stomata genotipe pekasalinitas menutup (Kadam dan Pravin 2010).

Toleransi tanaman terhadap cekaman salinitasbanyak dikaitkan dengan imbangan K+/Na+ jaringantanaman. Peningkatan kadar Na+ dalam jaringan tanamandan penurunan penyerapan K+ mengganggukeseimbangan ion dalam tanaman akibat cekamansalinitas. Penurunan konsentrasi K+ dalam jaringantanaman mungkin karena kompetisi ion antara K+ danNa+ pada membran plasma. Penghambatan Na+ padaproses transportasi K+ dalam xilem dan atau Na+ yangdiinduksi oleh K+keluar dari akar. K+ dan Ca2+ berperandalam pengaturan sel osmotik pada kondisi stresbeberapa spesies tanaman (Santos-Diaz and Alejo-Ochoa 1994, Hirschi 2004).

Ion yang bersifat meracun dalam konsentrasi tinggiadalah Cl-. Akumulasi Cl- pada jaringan akar mengganggumekanisme penyerapan ion, sehingga terjadi peningkatantranslokasi Cl- ke tajuk tanaman (Turan et al. 2009). Padasaat NaCl diberikan ke tanah, kadar K dalam tanamanakan menurun karena antagonisme antara Na+ dan K+

(Alberico and Cramer 1993, Azevedo and Tabosa 2000).

NaCl yang berlebihan akan memicu kehilangan K+ melaluidepolarisasi membran oleh ion Na+ (Mansour 1997).Tingginya kadar Na+ menghambat penyerapan K+ sebagaiakibat peningkatan rasio Na+/K+ (Weimberg 1987,Summart et al. 2010).

Tanaman menggunakan tiga cara untuk mengatasicekaman salinitas, yaitu melalui pengeluaran Na+

jaringan, pengasingan Cl-, dan ekskresi Cl- (Zhang et al.2001). Kebanyakan tanaman pada saat mengalamicekaman salinitas akan mengakumulasi sejumlah besarNa+ dan Cl- pada akar dan mengeluarkannya melalui tajuk(Wyn Jones 1981, Ashraf 1994). Rendahnya laju Na+ danCl- ke jaringan tanaman adalah salah satu komponenadaptasi penting tanaman terhadap cekaman salinitas(Munns 2002). Hal yang sama terjadi pada Sesbaniaaculeata yang lebih toleran terhadap salinitasdibandingkan dengan Phaseolus vulgaris dengan caramengakumulasi lebih sedikit Na+ dan Cl- pada bintil akardan Cl- pada daun (Ashraf and Bashir 2003). Penelitianmenunjukkan kadar klorida daun yang rendah dapatdigunakan sebagai indikator toleransi cekaman salinitaspada genotipe jeruk. Genotipe jeruk toleran garammengakumulasi sedikit Na+ dan Cl- serta menurunkanpertumbuhan (Hussain et al. 2012). Pada kacang arab(chick pea), kadar K+ dan Na+ pada akar dan tajukmenurun pada semua kultivar. Kultivar toleran salinitasmempunyai K+/Na+ yang lebih tinggi pada tajuk dibandingakar, sedangkan kultivar peka salinitas mengakumulasisedikit Na+ pada akar dibanding tajuk. Tingginya toleransisalinitas kultivar kacang arab berhubungan denganmeningkatnya osmoregulasi melalui penurunan transportion Na+ dari akar ke tajuk (Tejera et al. 2006).

Tingginya konsentrasi Cl- dapat menyebabkankerusakan membran atau menghambat enzim yangberpengaruh negatif pada proses fotosintesis (Seemanand Critchley 1985). Berkaitan dengan adanya subsitusiion K+ oleh Na+ pada kondisi cekaman salinitas kedelaidiklasifikasikan sebagai kelompok natrofobik atau tidakdapat disubsitusi dengan Na+. Pada kacang buncis,potensi subsitusi K+ oleh Na+ sangat terbatas (Marshner1985). Plasma nutfah kedelai toleran salinitas jugamengakumulasi lebih sedikit Na dalam daunnya (Li et al.2006). Pada kultivar kedelai Lee yang toleran salinitasmengakumulasi lebih sedikit Na dan Cl pada akar dandaun dibandingkan dengan kultivar Coquit dan Clark 63pada kondisi cekaman salinitas (Essa 2002). Padagenotipe kacang tunggak (Vigna unguiculata L. Walp.),konsentrasi Cl lebih tinggi pada tajuk daripada akar dansemakin meningkat dengan meningkatnya salinitas.Konsentrasi Na+ meningkat dengan meningkatnyasalinitas. Namun, pada genotipe toleran dan moderatsalinitas, konsentrasi Na+ pada akar lebih banyakdaripada tajuk. Pada genotipe cukup peka dan peka

Page 45: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

43

salinitas, Na+ lebih tinggi pada tajuk daripada akar(Amador et al. 2006).

Konsentrasi K dan Na pada daun kedelai lebih tinggidaripada jaringan akar. Kandungan K dan Na di daun danakar meningkat pada semua genotipe kedelai apabilasalinitas tanah meningkat 1,52-8,58 dS/m, kecuali padagenotipe Argopuro//IAC 100 (Aini et al. 2014). MenurutGreenway dan Munns (1980), toleransi salinitas padatanaman glikofit dikaitkan dengan kemampuan tanamanmembatasi penyerapan dan atau transportasi ion garam(terutama Na+ dan Cl-) dari akar ke tajuk tanaman. Halyang sama ditemukan pada padi (Flowers and Yeo 1981,1986), pada padi, kedelai, kacang azuki, labu, danmentimun (Lo’pez et al. 1999), selada (Shannon et al.1983), kacang hijau (Salim and Pitman 1988), halofit dikotil(Glenn and O’Leary 1984), turfgrasses (rumput turf)(Marcum and Murdoch 1990), gula bit (Marschner et al.1981), mentimun (Jones et al. 1989), lada (Chartzoulakisand Klapaki 2000), dan jagung (Schubert and La¨uchli1990).

KARAKTER AGRONOMIS

Kelangsungan hidup tanaman adalah kriteria utama dalammengklasifikasikan genotipe tanaman toleran cekamanlingkungan, termasuk cekaman salinitas (Amador et al.2006). Masa perkecambahan biji termasuk fase kritistanaman dalam memulai tahapan pertumbuhannya. Faseselanjutnya adalah pertumbuhan vegetatif dan generatifyang sangat dipengaruhi oleh cekaman salinitas.Peningkatan cekaman salinitas menyebabkan penurunanpertumbuhan kedelai, yang tercermin dari penurunanbobot kering akar dan tajuk. Kondisi ini seperti terjadipada penambahan NaCl 100mM pada kedelai cv.L17(Dolatabadian et al. 2011), juga pada spesies kedelai (G.soja, G. Tomentella, dan G. tabacina) (Kao et al. 2006).Penurunan bobot tajuk dan akar juga terjadi pada tanamankacang-kacangan lain akibat cekaman salinitas, sepertikacang faba (Cordovilla et al. 1999), pada kacang hijau(Elahi et al. 2004), pada chick pea/kacang arab (Katerjiet al. 2001).

Salinitas umumnya menekan pertumbuhan kedelaipada berbagai fase pertumbuhan. Seperti yang dilaporkanoleh Valencia et al. (2008), bobot kering relatif tajuk danakar enam genotipe kedelai menurun secara lineardengan peningkatan kadar Cl- akar. Pertumbuhan akartanaman nonhalofit pada media garam lebih rendahdaripada pertumbuhan tajuk (Munns and Termaat 1986).Total bobot kering relatif yang diikuti oleh bobot keringtajuk relatif, bobot kering tangkai daun relatif, bobot keringdaun relatif merupakan variabel diskriminan/pembedauntuk mengklasifikasikan toleransi genotipe kedelai

terhadap cekaman salinitas. Bobot kering akar relatiftermasuk variabel penting sekunder dalampengelompokan toleransi salinitas (Mannan et al. 2010).

Pengelompokan genotipe pada tingkat toleransicekaman salinitas tertentu berdasarkan bobot biomassa,seperti pada kacang tunggak (Vigna unguiculata L.Walp.). Biomassa dipengaruhi oleh tingkat salinitas.Genotipe toleran dan moderat toleran salinitasmempunyai biomassa lebih tinggi daripada genotipe yangtergolong cukup sensitif salinitas (Amador et al. 2006).Pada kadar salinitas 10 tanah dS/m, semua genotipekedelai tidak mampu bertahan hingga umur 43 hari setelahtanam. Pada kadar salinitas 4 dS/m, bobot kering semuagenotipe kedelai mengalami penurunan 48,1%, sedangkanpada kadar salinitas 7 dS/m terjadi penurunan bobotkering tanaman 64,9% (Aini et al. 2014). Biomasa tajuktanaman kedelai 25% lebih rendah dibanding kontrol padasaat tanaman diairi dengan air salin 4 dS/m. Salinitasmasuk melalui daun yang berpengaruh terhadap fasepengisian biji dan menurunkan produksi biji kedelai (80%)ketika kadar salinitas pada air irigasi melampui 2 dS/m(Bustingorri and Lavado 2013).

Pada tanaman yang peka salinitas, kadar garam yangtinggi menghambat pertumbuhan dan perluasan daun,selanjutnya berpengaruh terhadap penurunan hasil biji.Selain itu cekaman salinitas menyebabkan terjadinyapenuaan daun yang lebih cepat sehingga menurunkanhasil biji (Cabot et al. 2014). Hal ini terlihat dari komponenhasil dan hasil biji kedelai yang menurun denganpeningkatan salinitas. Pada genotipe toleran, penurunanhasil dan komponen hasil relatif lebih kecil dibandinggenotipe peka salinitas. Komponen hasil dan hasil bijipenting untuk mengetahui tingkat toleransi tanamanterhadap salinitas sehingga dapat digunakan untukpenapisan genotipe kedelai toleran salinitas. Hal yangsama dilaporkan pada kacang tanah (Singh et al. 2008)dan kacang hijau (Ahmed 2009).

Kedelai termasuk tanaman yang peka terhadapcekaman salinitas dan terdapat interaksi antaralingkungan dan genotipe yang berpengaruh terhadapkeragaman hasil. Laju pengisian polong dan durasinyamenurun dengan peningkatan salinitas. Laju pengisianpolong bervariasi di antara genotipe dan berhubungan eratdengan bobot biji maksimum. Meskipun demikian, lamapengisian biji mempunyai efek yang kecil terhadap bobotbiji akhir genotipe kedelai. Rata-rata jumlah polong, bijiper tanaman, bobot biji, kadar minyak dan protein pertanaman di bawah kondisi nonsalin lebih tinggi daripadakondisi salin. Namun, genotipe kedelai Williamsmenghasilkan biji paling banyak, terutama di bawahcekaman salinitas. Penurunan kadar minyak dan proteinper tanaman dengan meningkatnya salinitas terutama

Page 46: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

44

dikaitkan dengan pengurangan hasil biji per tanamandalam kondisi salin (Ghassemi-Golezani et al. 2009).

Cekaman salinitas membatasi produksi polong danbiji tanaman kedelai. Penurunan jumlah biji dan bobot bijidi bawah kondisi salin menurunkan bobot biji per tanaman.Shanon (1998) melaporkan bahwa salinitas dapatmembatasi produksi tanaman akibat tingginya salinitas,menurunnya potensial air dan induksi stress ion sertacekaman oksidatif sekunder. Pada salinitas 8 dS/m,tanaman kedelai tidak pernah mencapai fase reproduksi,sedangkan pada DHL 4 dS/m terjadi penurunan hasil 80%(Bustingorri and Lavado 2011). Respon varietas kedelaiberbeda terhadap tingkat salinitas.

KESIMPULAN

Cekaman salinitas menyebabkan banyak efek buruk padapertumbuhan tanaman, termasuk kedelai. Bentukgangguan akibat cekaman salinitas pada tanamanmeliputi cekaman osmotik, ketidakseimbangan ion, dankeracunan ion pada tanaman peka. Tanggapan tanamanterhadap cekaman salinitas dapat dipelajari melaluiperubahan karakter morfologi, mekanisme fisiologi, danagronomis tanaman. Perubahan karakter morfofisiologidan agronomis kedelai akibat paparan salinitas dapatdigunakan untuk menilai tingkat toleransi genotipekedelai, yang selanjutnya dapat digunakan untukmengklasifikasikan tingkat toleransinya terhadapcekaman salinitas. Karakter morfologi penciri toleransicekaman salinitas adalah keragaan fisik tanaman secaravisual pada keracunan garam, dan struktur tanaman(trikoma daun, stomata daun dan bintil akar). Kriteriafisiologi meliputi kebocoran elektrolit tanaman, pengaturanosmotik, kadar klorofil daun, Kadar ion (K+, Na+, Cl-, Ca2+,Mg2+) jaringan tanaman. Karakter agronomis meliputikelangsungan hidup tanaman, penurunan pertumbuhandan hasil tanaman (biomasa tanaman, komponen hasildan hasil biji kedelai).

DAFTAR PUSTAKA

Abd El-Samad, H.M. and M.A.K. Shaddad. 1997. Salttolerance of soybean cultivars. Biologya Plantarum 39:263-269.

Abel, G.H. and A.J. Mackenzie. 1964. Salt tolerance ofsoybean varieties (Glycine max (L.) Merril) duringgermination and later growth. Crop Sci. 4: 157-161.

Ahmed, S. 2009. Effect of salinity on the yield and yieldcomponent of mungbean. Pak. J. Bot. 41(1): 263-268.

Aini, N., Syekhfani, W.S.D. Yamika, R. Dyah P., and A.Setiawan. 2014. Growth and physiologicalcharacteristics of soybean genotypes (Glycine max L.)toward salinity stress Agrivita 36(3): 201-209.

Alia, K.V., S.K. Prasad, and P. Pardha-Saradhi. 1995. Effectof zinc on free radicals and proline in Brassica andCajanus. Phytochemistry 39:45-47.

Alberico, J and G.R. Cramer. 1993. Is the salt tolerance ofmaize related to sodium exclusion? Preliminaryscreening of seven cultivars. J. Plant. Nutr. 16(11):2289-2303.

Amador, B.M, E.T. Die´guez, J.L.G. Herna´ndez, R.L. Aguilar,N.Y.A. Serrano, S.Z. Salgado, E.O.R. Puente, and C.Kaya. 2006. Effect of NaCl salinity in the genotypicvariation of cowpea (Vigna unguiculata) during earlyvegetative growth. Scientia Horticulturae 108:423-431.

Amirjani, M.R. 2010. Effect of salinity stress on growth,mineral composition, proline content, antioxidantenzymes of soybean. American Journal of PlantPhysiology 5:350-360.

Ashraf, M. and A. Bashir. 2003. Salt stress induced changesin some organic metabolites and ionic relations innodules and other plant parts of two crop legumesdiffering in salt tolerance. Flora 198:468-498.

Ashraf, M. and P.J.C. Harris. 2004. Potential biochemicalindicators of salinity tolerance in plants. Plant Science166:3-16.

Ashraf, M. 1989. The effect of NaCl on water relations,chlorophyll, and protein and proline content of twocultivars of blackgram (Vigna mungo L.). Plant and soil119(2):205-210.

Ashraf, M. 1994. Breeding for salinity tolerance in plants.Plant Sci. 13:17-42.

Ashraf, M. 2004. Some important physiological selectioncriteria for salt tolerance in plants. Flora 199:361-376.

Azevedo, N.A.D and J.N. Tabosa. 2000. Salt stress in maizeseedlings:II.Distribution of cationic macronutrients andit’s relation with sodium. Rev. Bras. Eng. Agric. Amb.4:165-171.

Bustingorri, C. and R.S. Lavado. 2011. Soybean growth understable versus peak salinity. Sci. Agric. (Piracicaba,Braz.). 68(1): 102-108.

Bustingorri, C. and R.S. Lavado. 2013. Soybean responseand ion accumulation under sprinkler irrigation withsodium-rich saline water. Journal of Plant Nutrition36(11): 1743-1753.

Cabot, C., J.V. Sibole, J. Barcelo, and C. Poschenrieder.2014. Lessons from crop plants struggling with salinity.Plant Science 226: 2-13.

Chartzoulakis, K. and G. Klapaki. 2000. Response of twogreenhouse pepper hybrids to NaCl salinity duringdifferent growth stages. Sci. Hortic. 86:247-260.

Cha-um, S., T. Takabe, and C. Kirdmanee. 2010. Ion content,relative electrolyte leakage, proline accumulaiton,photosynthetic abilities and growth characters of oilpalm seedlings in response to salt stress. PakistanJournal of Botany 42(3): 2191-2200.

Cordovilla, M.P., F. Ligero, and C. Lluch. 1999. Effect of salinityon growth, nodulation and nitrogen assimilation in

Page 47: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

45

nodules of faba bean (Vicia faba L.). Applied SoilEcology 11:1-7.

Dajic, Z. 2006. Salt stres. In. K.V. M. Rao, A.S. Raghavendra,dan K. J. Reddy (Eds.). Physiology and MolekulerBiology Stress Tolerance in Plants. Springer. pp. 41-99.

Dolatabadian, A., S.A.M. Modaressanavi, and F. Ghanati.2011. Effect of salinity on growth, xylem structure andanatomical characteristics of soybean. NotulaeScientia Biologiae 3(1): 41-45.

Dong Lee, J., S.L. Smothers, D. Dunn, M. Villagarcia, C.R.Shumway, T.E. Carter, Jr., and J.G. Shannon. 2008.Evaluation of simple method to screen soybeangenotypes for salt tolerance. Crop Sci. 48:2194-2200.

Elahi, N.N., S. Mustafa, and J.I. Mirza. 2004. Growth andnodulation of mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek)as Affected by Sodium Chloride. J. Res. Sci. BahauddinZakaria Univ.Multan. Pakistan. 15(2):139-143.

Essa, T.A. 2002. Effect of salinity stress on growth andnutrient component of three soybean (Glycine max L.Merr) cultivars. J. Agron. Crop Sci. 188:86-93.

FAO, 2014. FAO land and plant nutrition managementservice. ht tp: / /www.fao.org/soi ls-portal /soi l -management/management-of-some-problem-soils/salt-affected-soils/more-information-on-salt-affected-soils/en/. Akses 20 Desember, 2014.

Flowers, T.J. and Yeo, A.R., 1986. Ion relations of plants underdrought and salinity. Aust. J. Plant Physiol. 13: 75-91.

Flowers, T.J. and A.R. Yeo. 1981. Variability in the resistanceof sodium chloride salinity within rice varieties. NewPhytol. 88:363-373.

Ghassemi-Golezani, K.G., M. Taifeh-Noori, Sh. Oustan, andM. Moghaddam. 2009. Response of soybean cultivarsto salinity stress. Journal of Food, Agriculture &Environment 7(2):401-404.

Ghoulam, C., A. Foursy, and K. Fares. 2002. Effects of saltstress on growth, inorganic ions and prolineaccumulation in relation to osmotic adjustment in fivesugar beet cultivars. Environmental and ExperimentalBotany 47(1):39-50.

Glenn, E.P. and J.W. Leary. 1984. Relationship between saltaccumulation and water content of dicotyledonoushalophytes. Plant, Cell Environ. 7: 253-261.

Gorham, J. 2007. Sodium. In Barker, A.V dan D.J Pilbeam(Eds.). Handbook of Plant Nutrition. Taylor & Francis.pp.569-575.

Greenway, H. and R. Munns. 1980. Mechanisms of salttolerance in nonhalophytes. Annu. Rev. Plant. Physiol.31: 149-190.

Gucci, R., G. Aronne, L.Lambordini, and M. Tattini. 1997.Salinity tolerance in phyllyrea spesies. New Phytol.135:227-234.

Gzik, A. 1996. Accumulation of proline and pattern of aminoacids in sugar beet plants in response to osmotic, water

and salt stress. Environmental and ExperimentalBotany 36: 29-38.

Hakeem, K.R., F. Khan, R. Chandna, T.O. Siddiqui, and M.Iqbal. 2012. Genotypic variability among soybeangenotypes under NaCl stress and proteome analysisof salt-tolerant genotype. Appl. Biochem. Biotechnol.168:2309-2329.

Hirschi, D. 2004. The calcium canudrum, both versatilenutrient and spesific signal. Plant Physiol. 136: 2438-2442.

Hussain, S., F. Luro, G. Costantino, P. Ollitrault, and R.Morillon. 2012. Physiological analysis of salt stressbehaviour of citrus species and genera: Low chlorideaccumulation as an indicator of salt tolerance. SouthAfrican Journal of Botany 81:103-112.

Jacobs, A., K. Ford, K.J. Kretschmer, and M. Tester. 2011.Rice plants expressing the moss sodium pumpingATPase PpENA1 maintain greater biomass productionunder salt stress. Plant Biotechnol. J. 9:838-847.

Jahromi, F., R. Aroca, R. Porcel, and J.M. Ruiz-Lozano. 2008.Influence of salinity on the in vitro development ofGlomus intra radices and on the in vivo physiologicaland molecular responses of mycorrhizal lettuce plants.Microb. Ecol. 55(1):45-53.

Jones, R.W., L.M. Pike, and L.F. Yourman. 1989. Salinityinfluences cucumber growth and yield. J. Am. Soc.Hortic. Sci. 114:547-551.

Kadam, P. and C. Pravin. 2010. Effect of NaCl salinity onstomatal density and stomatal behaviour of CrotallariaSpesies. Bianano Frontier 3(2):300-303.

Kaldehoff, R., A. Kolling, J. Meyers, U. Karmann, G. Roppel,and G. Richter. 1995. The blue light responsive AthH2gene of Arabidosis thaliana is primarily expresses inexpanding as well as in diffrentiating cells and encodesa putative channel protein of the plasmalemma. ThePlant Jounal 7:87-95.

Kao, W.Y., T.T. Tsai, H.C. Tsai, and C.N. Shih. 2006. Responseof three Glycine spesies to salt stress. Enviromentaland Experimental Botany 56:120-126.

Karckhard, M. and G. Guerrier. 1995. Effects osmotic andionic stresses on proline and organic acid contentduring inhibition and germination of soybean seeds. J.Plant Physiol. 1146: 725-730.

Katerji, N., J.W. van Hoorn, A. Hamdy, and M. Mastrorilli. 2001.Salt tolerance of crops according to three classificationmethods and examination of some hypothesis aboutsalt tolerance. Agricultural Water Management 47:1-8.

Katerji, N., J.W. van Hoorn, A. Hamdy, and M. Mastrorilli. 2003.Salinity effect on crop development and yield, analysisof salt tolerance according to several classificationmethods. Agricultural Water Management 63:37-66.

Katerji, N., J.W. van Hoorn, A. Hamdy, M. Mastrorilli, T. Oweis,and W. Erskine. 2000. Salt tolerance classification ofdrops to soil salinity and to water stress index.Agricultural Water Management 43:99-109.

Page 48: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

46

Katerji, N., J.W. van Hoorn, A. Hamdy, M. Mastrorilli, E. Mou,and Karzel. 1997. Osmotic adjustment of sugar beetsin response to soil salinity and its influence onstomatal conductance, growth and yield. AgriculturalWater Management 34(1):57-69.

Khajeh, H.M., A.A. Poweell, and I.J. Bingham. 2002.Comparison of the seed germination and earlyseedling growth of soybean in saline conditions. SeedScience Research 12:165-172.

Landon, J.R. 1984. Booker tropical soil manual. A handbookfor Soil Survey and Agricultural Land Evaluation in theTropics and Subtropics. Longman Inc. New York. USA.

Ledesma, F., C. Lopez, D. Ortiz, P. Chen, K.L. Korth, T.Ishibashi, A. Zeng, M. Orazaly, and L. Florez-Palacios.2016. A simple greenhouse method for screening salttolerance in soybean. Crop Science 56:585-594.

Levitt, L. 1980. Response of plants to environment stresses.Dep. of Plant Biology Carnage Ins. Of WashingtonStanford, California.

Li, F., G.Y. Zhang, J.Z. Son, H. Gao, and J.M. Lu. 2003. Saltresistant structures of leaves from Glycine max cultivarFendou 16. J. Northeast Normal Univ. 4:109-111.

Li, F, L. Zhang, G. Wang, Y.Cao, J. Wang, and K. Tang. 2006.Cloning and characterization of salt tolerance relatedgene from Glycine max. Mol. Plant Breeding 4:464- 468.

Lo´pez, A.R., S. Yamada, and M. Yamanouchi. 1999.Comparison of sodium uptake by and transport indetached plant parts among several crops. Soil Sci.Plant Nutr. 45:659-668.

Lu, J.M., Y.L. Liu, B. Hu, and B.C Zhuang. 1998. The discoveryof salt gland-like structure in Glycine soja. Chin. Sci.Bull. 43:2074-2078.

Lubis, K. 2005. Morfologi ultrastruktur akar kultur embriobeberapa varietas kedelai (Glycine max L. Merr.) padaberbagai konsentrasi NaCl. J. llmiah Pert. Kultura40(2):84-88.

Lutts, S, J.M. Kinet, and J. Bouharmont. 1996. Effects ofvarious salt and of mannitol on ion and prolineaccumulation in relation to osmotik adjustment in rice(Oryza sativa L.) callus culture. Plant Physiol. VtJI.149:186-195.

Maas, E.V. and G.J. Hofman. 1977. Crops salt tolerancecurrent assesment. J. Irrg. Drain. Div. Amer. Soc. CivilEng. 103:115-134.

Manabe, S. and R.J. Stouffer. 1994. Multiple centuryresponse of a coupled ocean atmoshere model to anincrease pf atmosheric carbon dioxide. J. Climate. 7:5-23.

Mannan, M.A., M.A. Karim, Q.A. Khaliq, M.M. Haque, M.A.K.Mian, and J.U. Ahmed. 2010. Assessment of geneticdivergence in salt tolerance of soybean (Glycine maxL.) genotypes. J. Crop Sci. Biotech. 13(1):33-38.

Mansour, M.M.F. 2013. Plasma membrane permeability asan indicator of salt tolerance in plants. BiologiaPlantarum 57(1):1-10.

Mansour, M.M.F. 1997. Cell permeability under salt stress.In Jaiwi P.K, R.P Singh, A. Gulati (Eds.). Strategies forImproving Salt Tolerance in Hingher Plants. SciencePubl. Enfield. pp.87-110.

Marcum, K.B. and C.L. Murdoch. 1990. Growth responses,ion relations, and osmotic adaptations of eleven C4turfgrasses to salinity. Agron. J. 82:892-896.

Marschner, H. 1985. Mineral nutrition of higher plants. Acad.Press. London.

Marschner, H., A. Kylin, and P.J.C. Kuiper. 1981. Differencesin salt tolerance of three sugar beet genotypes. Physiol.Plant 51:234-238.

Marvi, H., M. Heidari, and M. Armin. 2011. Physiological andbiochemichal responses of wheat cultivars undersalinity stress. ARPN J. Agric. Biol. Sci. 6(5):35-40.

Misra, N. and A.K. Gupta. 2005. Effect of salt stress on prolinemetabolism in two high yielding genotypes of greengram. Plant Science 169(2):331-339.

Moftah, A.E. and B.E. Michel. 1987. The effest of sodiumchloride on solute potential and proline accumulationin soybean leaves. Plant Physiol. 83:238-240.

Munns, R., S. Hussain, A.R. Rivelli, R.A. James, A.G. Condon,M.P. Lindsay, E.S. Lagudah, D.P. Schachtman, and R.A.Hare. 2002. Avenues for increasing salt tolerance ofcrops, and the role of physiologically based selectiontraits. Plant Soil 247:93-105.

Munns, R. and A. Termaat. 1986. Whole plant responses tosalinity. Aust. J. Plant Physiol. 13: 143-160.

Munns, R. 2002. Comparative physiology of salt and waterstress. Plant Cell Environ. 25:239-250.

Munns, R. and M. Tester. 2008. Mechanism of salinitytolerance. Annu. Rev. Plant Biol. 59: 651-681.

Naidenova, G.K. and G.I. Georgiev. 2013. Physiologicalfunction of non glandular trichomes in red clover(Trifolium pratense L.). Journal of Agric. Sciences58(3):217-222.

Pantalone, V.R., W.J. Kenworthy, L.H. Slaughter, and B.R.James. 1997. Chloride tolerance in soybean andperennial Glycine accessions. Euphytica 97:235-239.

Parashar, A. and S.K. Verma. 1993. Effect of gibberellic acidon chemical composition of wheat grown underdifferent salinity levels. Paper presented at internationalconference on the Plant Physiology. Narendra Devauniversity og Agriculture and Technology (NDUAT)Kumarganj. Faizabad, India, 22-25.

Petrusa, L. and I. Winicov. 1997. Proline status in salt tolerantand salt sensitive alfalfa cell lines and plants inresponse to NaCl. Plant Physiology and Biochemistry35:303-310.

Purwaningrahayu, R.D., H.T. Sebayang, Syekhfani, and N.Aini. 2015. Resistance level of some soybean (Glycinemax L. Merr) genotypes toward salinity stress. Journalof Biological Researches 20 : 7-14.

Rachman, A., IGM. Subiksa, dan Wahyunto. 2007. Perluasanareal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. Dalam:

Page 49: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Purwaningrahayu: Karakter Kedelai Toleran Salinitas

47

Sumarno, Suyamto, A.Widjono, Hermanto, dan H.Kasim ( Eds .) Kedelai: Teknik Produksi danPengembangan. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Pusat Penelitian TanamanPangan. pp. 185-204.

Reddy, M.P. and A.B. Vora. 1986. Changes in pigmentcomposition, hill reaction activity and saccharidesmetabolism in bajra (Pennisetum typhoides S. & H.)leaves under NaCl salinity. Photosynthetica 20:50-55.

Salim, M. and M.G. Pitman. 1988. Salinity tolerance ofmungbean (Vigna radiata L.) seed production. Biol.Plant. 30:53-57.

Santos-Diaz, M.S. and N. Alejo-Ochoa. 1994. PEG tolerantcells clones of chili pepper (Capsicum annum L.):growth, osmotic potentials and solute accumulation.Plant Cell Tissue Organ Cult. 37:1-8.

Schubert, S. and La¨uchli, A., 1990. Sodium exclusionmechanisms at the root surface of two maize cultivars.Plant Soil. 123:205-209.

Seemann, J.R. and C. Critchley. 1985. Effects of salt stresson the growth ion content, stomatal behaviour andphotosynthetic capacity of salt –sensitive spesiesPhaseolus vulgaris L. Planta 164:151-162.

Serrano, R., J.M . Mulet, R. Gabino, J.A. Maquez, I.F . DeLarrinoa, M.P. Leube, I. Mendizabal, A. Pascual-Ahuir,M. Proft, R. Ros, and C. Montesinos. 1999. A glimpse ofthe mechanisms of ion homeostasis during saltstress. J. Exp. Bot. 50:1023-1036.

Shannon, M.C., J.D. McVreight, and J.H. Draper. 1983.Screening tests for salt tolerance in lettuce. J. Am. Soc.Hortic. Sci. 108: 225-230.

Shanon, M.C. 1998. Adaptation of plants to salinity. Adv. Agron.60:75-119.

Sheeren, A., R. Ansari, S.S.M. Naqvi, and A.Q. Soomro. 1998.Effect of salinity on rhizobium species nodulation andgrowth of soybean (Glycine max L.). Pak. J. Bot.30(1):75-81.

Singh, A.K. and R.S. Dubey. 1995. Changes in chlorophyll aand b contents and activities of photosystem 1 and 2 inrice seedlings induced by NaCl. Photosynthetica31:489-499.

Singh, A.L, K. Hariprassana and R.M. Solanki. 2008.Screening and selection of groundnut genotypes fortolerance of soil salinity. Australian Journal of CropScience 1(3): 69-77.

Singleton, P.W. and B.B. Bohlool. 1984. Effect of salinity onnodule formation by soybean. Plant Physiol. 74: 72-76.

Solomon, A., S. Beer, Y. Waisel, G.P. Jones, and L.G. Paleg.1994. Effects of NaCl on the carboxylating activity ofRubisco from Tamarix jordanis in the presence andabsence of proline-related compatible solutes.Physiologia Plantarum. 90:198-204.

Sposito, G. 2008. The chemistry ofs. Oxford UniversityPress.321p.

Stepien, P. and G. Klobus. 2006. Water relations andphotosynthesis in Cucumis sativus L. leaves under saltstress. Biologia Plantarum 50(4):610-616.

Summart, J., P. Thanonkeo, S. Pannichajakul, P. Prapthepha,and MT. McManus. 2010. Effect of salt stress on growth,inorganic ion and proline accumulation in thai aromaticrice Khao Dawk Mali 105. Callus Cultura Afr. J.Biotechnol. 9(2):145-152.

Sunarto. 2001. Toleransi kedelai terhadap tanah salin.Buletin Agronomi 29(1):27-30.

Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant physiology, third edition.Sunderland. Sinauer Associates.

Tejera, N.A., M. Soussi, and C. Lluch. 2006. Physiologicaland nutritional indicators of tolerance to salinity inchickpea plants growing under symbiotic conditions.BIOS. 58: 17-24.

Turan, M.A, H.A.E. Abdelkarim, N. Taban, and S. Taban. 2009.Effect of salt stress on growth, stomatal resistance,proline and chlorophyll concentration on maize plant.Afr. J. Agric. Res. 4(9):893-897.

Turhan, E. and A. Eris. 2009. Changes of growth, aminoacids, and ionic composition in strawberry plants undersalt stress condition. Comm. in Soil Sci. and PlantAnalysis 40: 3280-3294.

Valencia, R., P. Chen, T. Ishibashi, and M. Conatser. 2008. Arapid and effective method for screening salt tolerancein soybean. Crop Science 48(5):1773-1779.

Van Rensburg, L., G.H.J. Kruger, and H. Kruger. 1993. Prolineaccumulation as drought-tolerance selection criterion:its relationship to membrane integrity and chloroplastultrastructure in Nicotiana tabacum L. Journal of PlantPhysiology 141:188-194.

Weimberg, R. 1987. Solute adjustments in leaves of twospecies of wheat at two different stages of growth inresponse to salinity. Physiol. Plant. 70:381-388.

Weisany, W., Y. Sohrabi, Y. Heidari, A. Siosemardeh, and K.Ghassemi. 2011. Physiological responses of soybean(Glycine max L.) to zinc application under salinitystress. Australian Journal of Crop Science 5:1441-1447.

Werker, E. 2000. Trichome diversity and development. In:Hallahan, D.I. and J.C. Gray (Eds.). Advances inBotanical Research. Plant Trichomes. Academic Press.New York. pp.1-35.

Wu, G., Z. Zhou, P. Cheng, X. Tang, H. Shao, and H. Wang.2014. Comparative ecophysiological study of salt stressfor wild and cultivated soybean species from the yellowriver delta, China. Scientific World Journal. Article ID651745, 13 pages Doi; 10.1155/2014/651745.

Wyn, J.R.G. 1981. Salt tolerance. In Johson, C.B. (Eds.).Physiologyl Processes Limiting Plant Productivity.Butterworth Press. London. pp.271-292.

Yang, J. and R.W. Blanchar. 1993. Differentiation chloridesusceptibility in soybean cultivars. Agron. J. 85:880-885.

Page 50: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

48

Yeo, A. 1999. Predicting the interaction between the effectsof salinity and climate change on crop plants. ScientiaHorticulturae 78:159-174.

Yuniati, R. 2004. Penapisan galur kedelai (Glycine max (L.)Merr.) toleran terhadap NaCl untuk penanaman lahansalin. Makara Sains 8(1): 21-24.

Zhang, H.X., J.N. Hodsom, J.P. Williams, and E. Blumwald.2001. Engineering salt-tolerant Brassica plants:Characterization of yield and seed oil quality intransgenic plants with increased vacuolar sodiumaccumulation. Proc. Natl. Acad. Sci. 98:12832-12836.

Page 51: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Lestari: Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai

49

Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organikpada Tanaman Kedelai

The Advantage of Using ‘Paitan’ as Organic Manure for Soybean

Sri Ayu Dwi Lestari

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 17 Mei 2016, dan disetujui diterbitkan 30 Mei 2016

ABSTRACT

Paitan is an annual weed which can be used as organic manure for crops. The yield of biomass is about 9-11 t/ha during the dry season and 14-18 t/ha during the rainy season. As a source of N, P, K nutrients forplants, paitan contains 3.50-4.00% N, 0.35-0.38% P, 3.50-4.10% K, 0.59% Ca, and 0.27% Mg. Biomass ofpaitan can be used as a green manure, mulch, or compost to improve physical and biological soil fertility.The leaves and stems used as organic manure can improve the growth and yield of soybean. Application ofpaitan biomass before the seed planted, however, may suppress the growth of soybean seed due to itsalelopatic effect to seedling. Therefore, application of fresh paitan biomass is suggested after the seedsgerminate, at 3-4 weeks after planting.

Keywords: Soybean, organic manure, paitan.

ABSTRAK

Paitan merupakan gulma tahunan yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman pangan.Bobot biomassanya mencapai 9-11 t/ha bahan basah selama musim kemarau dan 14-18 t/ha pada musimhujan. Sebagai sumber pupuk N, P, K bagi tanaman, paitan mengandung 3,50-4,00% N, 0,35-0,38% P,3,50-4,10% K, 0,59% Ca, dan 0,27% Mg. Biomassa paitan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau,mulsa, atau kompos untuk meningkatkan kesuburan fisika dan biologi tanah. Daun maupun batang paitanyang dijadikan pupuk organik meningkatkan pertumbuhan dan hasil biji kedelai. Pemberian biomasspaitan sebelum benih ditanam dapat menekan pertumbuhan benih kedelai karena paitan bersifat alelopatiterhadap benih. Oleh karena itu pemberian biomassa paitan segar disarankan setelah benih tumbuh, 3-4minggu setelah tanam.

Kata kunci: Kedelai, pupuk organik, paitan.

PENDAHULUAN

Tumbuhan paitan atau kembang bulan, atau bunga matahariMexico diperkirakan berasal dari Meksiko, menyebar kenegara-negara tropika basah dan subtropika di AmerikaSelatan, Asia, dan Afrika (Sonke 1997). Paitan termasukfamili Asteraceae, dapat tumbuh baik pada tanah yangkurang subur, sebagai semak di pinggir jalan, lereng-lerengtebing atau sebagai gulma di sekitar lahan pertanian.Adaptasi tumbuhan paitan cukup luas, berkisar antara 2-1.000 m di atas permukaan laut (Jama et al. 2000).

Tanaman paitan berupa tumbuhan perdu dengan tinggimencapai 5 m, batang tegak, bulat, berkayu, dan berwarnahijau. Daun tunggal berseling dengan panjang 26-32 cm,lebar 15-25 cm, ujung dan pangkal runcing, pertulanganmenyirip, dan berwarna hijau. Bunga majemuk muncul diujung ranting, tangkai bulat, kelopak berbentuk tabung,berbulu halus, putik melengkung, dan berwarna kuning.Buahnya berbentuk kotak, bulat, buah muda berwarnahijau dan buah tua berwarna cokelat. Biji berbentuk bulat,keras, dan berwarna cokelat. Tanaman ini berakartunggang dan berwarna putih kotor (Hutapea 1994).

Page 52: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

50

Paitan tumbuh cepat, toleran terhadap kerapatan tajukyang tinggi, dengan perakaran yang dalam, dijadikansebagai penahan erosi dan sumber bahan organik tanah.Batang memiliki kandungan lignin cukup tinggi, sesuaidigunakan sebagai kayu bakar. Tajuk apabila dipangkascepat tumbuh kembali, biomassa dari pangkasan dapatdigunakan sebagai pakan ternak atau dikembalikan kelahan sebagai pupuk hijau. Paitan dimanfaatkan sebagaisumber hara N dan K oleh petani Kenya (Jama et al.2000). Di Indonesia, paitan belum banyak dimanfaatkan,padahal merupakan sumber pupuk hijau atau bahanorganik tanah melalui teknik pertanaman lorong atautanaman pembatas kebun (Hartatik 2007).

Paitan adalah gulma tahunan yang layakdimanfaatkan sebagai sumber hara bagi tanaman (Opalaet al. 2009, Crespo et al. 2011). Kandungan hara daunpaitan kering adalah 3,50-4,00% N; 0,35-0,38% P; 3,50-4,10% K; 0,59% Ca; dan 0,27% Mg (Hartatik 2007).Purwani (2011) melaporkan paitan memiliki kandunganhara 2,7-3,59% N; 0,14-0,47% P; 0,25-4,10% K.Penelitian Bintoro et al. (2008) menunjukkan paitanmemiliki kandungan hara 3,59% N, 0,34% P, dan 2,29%K. Bagian tanaman paitan yang dapat digunakan sebagaipupuk hijau adalah batang dan daunnya. Pemanfaatanpaitan sebagai sumber hara, yaitu dapat dimanfaatkandalam bentuk pupuk hijau segar, pupuk hijau cair, ataukompos (Muhsanati et al. 2008, Hakim et al. 2012) danmulsa (Liasu and Achakzai 2007, Adeniyan et al. 2008).

Keuntungan menggunakan paitan sebagai bahanorganik untuk perbaikan tanah adalah kelimpahanproduksi biomass, adaptasinya luas dan mampu tumbuhpada lahan sisa atau pada lahan marginal. Paitanmengandung senyawa larut air (gula, asam amino, danbeberapa pati), dan bahan kurang larut (pektin, protein,dan pati kompleks) serta senyawa tidak larut (selulosadan lignin) (Purwani 2011).

Potensi paitan sebagai pupuk organik perlu dilengkapiinformasi dari berbagai sumber untuk mengetahuikeunggulannya. Makalah ini menelaah potensi paitansebagai pupuk organik bagi tanaman kedelai.

PRODUKSI BIOMASSA

Paitan dapat diperbanyak secara vegetatif atau generatif.Perbanyakan vegetatif menggunakan akar dan stek batangatau tunas, atau tumbuh tunas baru setelah dipangkas(Jufri 2010). Perbanyakan dengan stek lebih mudahdibandingkan dengan biji. Stek ditanam pada tanah lembabdan terlindung dari matahari. Panjang stek 20-40 cm,penanaman pada posisi tegak atau miring dandimasukkan ke dalam tanah pada kedalaman 10 cmdengan jarak antarstek 10 cm. Produksi biomassa kering

(batang + daun) berkisar antara 2,0-3,9 t/ha pada umurdelapan bulan setelah penanaman stek (King’ara 1998).

Produksi biomassa paitan pada musim hujan danmusim kemarau berbeda. Pada musim hujan, produksibiomass lebih banyak dibandingkan dengan musimkemarau. Tumbuhan lebih lunak pada musim hujan. Padamusim kemarau, daun lebih tebal dan kaku (Pardono2011). Intensitas matahari yang tinggi mengakibatkandaun lebih sempit dan tebal. Produktivitas paitan padamusim hujan mencapai 14-18 t/ha, sedangkan padamusim kemarau 9-11 t/ha (Sugito 1999). Hasil penelitianPurwani (2011) menunjukkan produksi hijauan biomasspaitan tidak terlalu tinggi 5,6-8,1 t/ha/tahun dari dua kalipangkasan.

Paitan tidak pernah dibudidayakan sehingga belumada anjuran dosis pemupukan, jarak tanam optimal, danpola penanaman untuk menghasilkan biomass tertinggi.Penelitian Desyrakhmawati et al. (2015) menunjukkanbobot kering biomassa paitan 11,13 t/ha dari pemberian10 ton pupuk kandang/ha dengan potensi kandungan hara

Gambar 1. Daun dan bunga.

Page 53: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Lestari: Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai

51

setara 123,27 kg urea, 15,36 kg SP-36, dan 106,93 kgKCl. Akumulasi biomass tersebut menjadikan paitansebagai pupuk hijau, untuk memperoleh kandungan haraN, P, dan K yang tinggi.

PAITAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK

Pupuk organik berasal dari tanaman atau kotoran hewanyang telah mengalami proses perombakan secara fisikatau biologi, berbentuk padat atau cair, dan digunakanuntuk menyuplai bahan organik dan memperbaiki sifatfisik, kimia, dan biologi tanah (Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian 2006). Pupuk organik dapatberasal dari bahan organik hijauan. Pupuk hijau berasaldari tanaman atau bagian tanaman yangdidekomposisikan dengan cara dibenamkan ke dalamtanah atau dibiarkan membusuk. Pupuk hijau digunakanuntuk menambah bahan organik dan unsur hara,khususnya nitrogen (FFTC 1995). Tanaman pupuk hijau,utamanya dari famili leguminosa, memiliki kandungan haranitrogen yang tinggi. Leguminosa sebagai pupuk lebihmudah terdekomposisi, sehingga penyediaan hara bagitanaman lebih cepat (Rachman et al. 2008).

Paitan mempunyai potensi sebagai suplemen pupukanorganik untuk mendukung pertumbuhan dan produksitanaman, mampu mengurangi polutan dan menurunkantingkat jerap P, Al, dan Fe aktif. Pupuk organik paitanmampu meningkatkan bobot segar tanaman karenamudah terdekomposisi dan dapat menyediakan nitrogendan unsur hara lainnya bagi tanaman (Widiwurjani danSuhardjono 2006). Keunggulan serasah paitan sebagaipupuk organik adalah cepat terdekomposisi danmelepaskan unsur N, P, dan K tersedia (Handayanto etal. 1995). Aplikasi pupuk organik asal paitanmeningkatkan produktivitas tanaman kedelai, padi, tomat,okra, dan dilaporkan sebagai sumber unsur hara utamapada tanaman jagung di Kenya, Malawi, dan Zimbabwe(Jama et al. 2000, Sangakkara et al. 2004, Liasu danAchakzai 2007, Shisanya et al. 2009, Kurniansyah 2010,Jumro 2011).

Dilaporkan oleh Ganunga et al. (2005), biomass paitansebagai pupuk organik mampu meningkatkan hasil jagunglebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik Crotalariajuncea dan Mucuna utilis. Phiri et al. (2003) melaporkanpaitan sebagai pupuk organik mampu meningkatkan unsurP pada tanah kahat P di Colombia.

Kecepatan dekomposisi bergantung pada kualitasbahan organik. Rasio C/N sering digunakan untukmemprediksi kualitas bahan organik. Bahan organik lebih

mudah termineralisasi apabila C/N di bawah nilai kritis25-30. Apabila C/N di atas nilai kritis akan terjadiimmobilisasi N sehingga tidak tersedia bagi tanaman(Susanto 2002). Menurut penelitian Pardono (2011), lajudekomposisi Chromolaena odorata lebih cepatdibandingkan dengan paitan meskipun nilai C/N-nya lebihbesar. Rata-rata nisbah C/N C. odorata 20,05 pada umur0 hari, turun menjadi 5,12 setelah 21 hari, sedangkanpada paitan dari C/N awal 18,69 menjadi 7,57. Meskipunterdapat perbedaan laju dekomposisi, kedua tumbuhanini cukup baik sebagai pupuk organik.

Keunggulan Paitan

Penggunaan paitan sebagai pupuk organik mempunyaibeberapa keunggulan, ditinjau dari beberapa aspek:

1. Pemanfaatan pangkasan paitan sebagai mulsa,disebarkan di permukaan tanah sebagai penutuptanah mampu mengendalikan gulma, di sampingfungsi utamanya mengurangi penguapan air tanah danmengurangi fluktuasi suhu tanah. Mulsa paitan cepatmengalami dekomposisi dan haranya terdaur ulang,sehingga menambah kesuburan tanah.

2. Pemanfaatan pangkasan paitan sebagai bahankompos. Pemberian kompos penting bagi perbaikansifat fisik, kesuburan kimiawi (peningkatan kadar N,P, K, dan Mg tanah) dan peningkatan kehidupan biotatanah, sehingga meningkatkan kualitas tanah.

3. Pemanfaatan pangkasan paitan sebagai pupuk hijaudan substitusi pupuk anorganik. Tumbuhan paitandapat menghasilkan biomass yang tinggi, yaitu 1,75-2,0 kg/m2/tahun (Cong 2000). Menurut penelitianPurwani (2011), paitan mengandung 2,7-3,59% N;0,14-0,47% P; dan 0,25-4,10% K, sehingga pemberiankompos paitan dapat mengurangi penggunaan dosispupuk anorganik.

4. Daun paitan kering mengandung N 3,50-4,00%, P0,35-0,38%, K 3,50-4,10%, Ca 0,59%, dan Mg 0,27%.Pupuk hijau dari paitan juga dapat mensubstitusipupuk KCl (Hartatik 2007).

Kandungan hara daun dan batang paitan lebih tinggidibandingkan dengan sumber pupuk organik lainnya,seperti kotoran ayam atau jerami padi (Tabel 1).Kandungan hara paitan juga lebih baik dibandingkandengan pupuk hijau lainnya seperti Centrosemapubescens, Calopogonium mucunoides, dan Chromolaenaodorata (Tabel 2). Oleh karena itu, paitan dapat digunakansebagai pupuk organik ramah lingkungan.

Page 54: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

52

karena kandungan haranya yang tinggi, namun belumdimanfaatkan secara luas di Indonesia.

Penelitian Kurniansyah (2010) membandingkan tigaperlakuan, yaitu kotoran ayam, kotoran ayam +Centrosema pubescens, dan kotoran ayam + paitan,diaplikasikan sebelum tanam kedelai. Hasil penelitianmenunjukkan penambahan paitan memberikan pengaruhnyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, danmenurunkan intensitas penyakit karat dibandingkandengan penambahan Centrosema pubescens atauperlakuan kotoran ayam secara tunggal. Hal inikemungkinan disebabkan karena daun paitan lebih cepatterdekomposisi. Mengel et al. (1987) menyatakan bahwasemakin cepat bahan organik terdekomposisi, semakincepat unsur hara tersedia bagi tanaman.

Intensitas penyakit pada kedelai yang diberi paitanlebih rendah dibandingkan dengan yang diberiCentrosema pubescens dan kotoran ayam (Tabel 3). Halini disebabkan karena paitan memiliki kadar dan serapanunsur K yang lebih tinggi dibandingkan Centrosemapubescens dan kotoran ayam. Mengel et al. (1987)menyatakan bahwa unsur K berperan mengatur potensial

Kelemahan Paitan sebagai Pupuk Organik

Paitan membentuk senyawa yang mempunyai efeknegatif, yaitu bersifat alelopati terhadap tanaman. Ekstrakdaun paitan dengan konsentrasi 10 dan 20 mg DME/mldapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhanbenih. Aktivitas alelopati daun paitan dipengaruhi olehwaktu dekomposisi, aktivitas mikroorganisme, dan dayaserap tanah terhadap zat-zat penghambat pertumbuhan(Kurniansyah 2010). Tingkat penghambatan paitanterhadap pertumbuhan tanaman budi daya bergantungpada jenis tanaman yang ditanam dan asal ekstrak bagiantumbuhan.

Sebagai sumber pupuk organik, bagian tanamanpaitan yang digunakan adalah batang atau akar.Penggunaan bagian daun paitan sebagai pupuk organiktidak dianjurkan sebelum atau saat tanam, melainkandiaplikasikan 3 MST agar tanaman muda tidak tergangguoleh sifat alelopati dari daun paitan.

PAITAN SEBAGAI PUPUK ORGANIKUNTUK TANAMAN KEDELAI

Pupuk organik untuk tanaman kedelai dapat berasal daripupuk kandang, kompos, pupuk hijau, maupun kombinasibeberapa bahan organik. Pupuk hijau yang telah banyakditeliti dan diketahui sesuai untuk penanaman kedelaiterutama dari leguminosa, karena unsur haranya cukuptinggi. Paitan dapat digunakan sebagai pupuk hijau,

Tabel 1. Hasil analisis paitan, jerami padi, dan kotoran ayam.

Bahan organik C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn......................……………..……(%).….............….………..………. …..........……..…….(ppm)…............…………

Kotoran ayam 21,56 1,14 0,68 1,65 2,21 0,38 26.600,00 214,00 360,00 920,00Jerami padi 34,20 0,93 0,20 1,52 0,08 0,07 1.207,05 10,51 24,25 273,80Paitan 54,88 3,06 0,25 5,75 1,69 0,16 297,70 32,40 157,80 235,90

Sumber: Lestari (2011)

Tabel 2. Kandungan hara paitan, Centrosema pubescens,Calopogonium mucunoides, dan Chromolaena odorata.

Bahan organik N P K................(%)................

Paitan 3,06 0,25 5,75Centrosema pubescens 3,49 0,36 1,05Calopogonium mucunoides* 3,70 0,30 2,70Chromolaena odorata** 2,42 0,26 1,60

Sumber: Melati et al. (2008)*berdasarkan hasil penelitian Yasin dan Yahya (1996)**berdasarkan hasil penelitian Suntoro et al. (2001)

Tabel 3. Intensitas kejadian penyakit dan komponen hasil kedelaipada perlakuan kotoran ayam, Centrosema pubescens,dan paitan. Kebun Percobaan Cikarawang, Bogor, 2009/2010.

Intensitas Jumlah Bobot Produk-Perlakuan kejadian polong 100 biji tivitas

penyakit bernas (g) (t/ha)(%)

Pupuk kandang ayam 10,72 a 74,8 13,71 1,16 b20 t/haPupuk kandang ayam 5,32 b 80,9 13,86 1,33 a10 t/ha + Centrosemapubescens 3,5 tonbobot basah/haPupuk kandang ayam 5,08 b 83,4 13,93 1,48 a10 t/ha + paitan3,5 t bobot basah/ha

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata menurut uji DMRT pada α = 5%.Sumber: Kurniansyah (2010).

Page 55: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Lestari: Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai

53

sel dan aktivitas membran sehingga dapat merangsangperkembangan akar, mengatur serapan hara, danmeningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit.Marschner (2011) menambahkan bahwa unsur K berperandalam memperkuat jaringan dan organ tanaman sehinggabuah tidak mudah rontok dan lebih tahan terhadappenyakit.

Penambahan paitan memberikan pengaruh terbaikpada bobot kering biji kedelai dibandingkan denganpenambahan Centrosema pubescens atau perlakuankotoran ayam. Produktivitas kedelai dengan penambahanpaitan adalah 1,48 t/ha (Kurniansyah 2010).

Di sekitar perakaran paitan ditemukan asam organikdan polifenol. Kedua eksudat tersebut ditemukan padabiomass tanaman dan dilaporkan mampu meningkatkankelarutan P dengan melepaskan P terikat dalam tanahsekaligus meningkatkan mineralisasi P, sehinggakandungan P terlarut semakin tinggi (George et al. 2002).Paitan telah banyak digunakan sebagai pupuk organikyang mampu meningkatkan unsur P pada tanah-tanahkahat P di Colombia (Phiri et al. 2003). Kecukupan unsurP dalam tanah sangat penting untuk pertumbuhan danproduksi kedelai. Unsur P berperan dalam aktivitasnodulasi dan fiksasi N oleh Rhizobium japonicum.Tersedianya hara P dalam tanah meningkatkanketersediaan unsur N untuk pertumbuhan dan produksitanaman (Sinclair 1994).

Hasil penelitian Ramadhani (2011) pada tanamankedelai dengan tiga perlakuan pemupukan, yaitu kotoranayam, kotoran ayam + Centrosema pubescens, dankotoran ayam + paitan yang diaplikasikan satu kalisebelum tanam, menunjukkan pada musim tanampertama perlakuan pemupukan paitan, Centrocemapubescens, dan kotoran ayam menghasilkan kedelaimasing-masing 1,94, 1,83, dan 1,90 t/ha (Tabel 4).

Bobot 100 biji kedelai yang lebih tinggi pada perlakuanpaitan diikuti oleh lebih tingginya produktivitasdibandingkan dengan perlakuan kotoran ayam saja ataudiberi tambahan Centrosema pubescens. Hal inidisebabkan oleh terpenuhinya kandungan hara tanamanyang diberi paitan, sehingga tanaman tumbuh optimal.

Hasil penelitian Lestari (2011) pada tanaman kedelaiyang diberi perlakuan kotoran ayam, jerami padi, danpaitan yang diaplikasikan satu kali sebelum tanam,menunjukkan hasil biji lebih rendah, masing-masing 1,00,0,73, dan 0,85 t/ha (Tabel 5).

KESIMPULAN

Tumbuhan paitan dinilai layak dijadikan sebagai sumberpupuk organik karena mengandung hara NPK yang relatiftinggi. Aplikasi 3-4 t/ha paitan basah mengurangipenggunaan pupuk anorganik dan bermanfaat bagiperbaikan lingkungan tumbuh, sehingga diperoleh hasilkedelai hingga 1,94 t/ha.

Tabel 5. Komponen hasil dan hasil kedelai dengan perlakuan tigajenis pupuk organik. Kebun Percobaan Cikarawang, Bogor,2010/2011.

Jumlah Bobot Produk-Perlakuan polong 100 biji tivitas

bernas/ (g) (t/ha)rumpun

Pupuk kandang ayam 10 t/ha 24,1 9,59 1,00 aJerami padi 10 t/ha 19,1 9,15 0,73 bPaitan 10 t/ha 21,4 8,98 0,85 ab

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata menurut uji DMRT pada α = 5%.Sumber: Lestari (2011).

Tabel 4. Komponen hasil dan hasil kedelai dengan perlakuan tiga jenis pupuk organik pada dua musim tanam. Kebun Percobaan Cikarawang,Bogor, 2009/2011.

Musim tanam I dan II

Perlakuan Jumlah polong Bobot 100 biji Hasil bijibernas/rumpun (g) (t/ha)

I II I II I II

Pupuk kandang ayam 20 t/ha 82 112 a 12,9 15,7 a 1,90 2,45Pupuk kandang ayam 10 t/ha +Centrosema pubescens 4,2 t bobot basah/ha 89 103 ab 12,8 15,2 ab 1,83 2,50Pupuk kandang ayam 10 t/ha +paitan 4,2 t bobot basah/ha 84 97 b 13,3 14,8 b 1,94 2,49

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada α = 5%.Sumber: Ramadhani (2011).

Page 56: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

54

Daun paitan yang mengalami dekomposisimengeluarkan senyawa yang bersifat alelopatik terhadapperkecambahan benih. Oleh karena itu, sebagai pupukhijau paitan disarankan diberikan 3-5 minggu setelahtanam.

DAFTAR PUSTAKA

Adeniyan, B.O., S.O. Ojeniyi, and M.A. Awodun. 2008. Relativeeffect of weed mulch types on soil properties and yieldof yam in Southwest Nigeria. J. Soil Nature 2:1-5.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan SumberdayaLahan Pertanian. 2006. Pupuk organik dan pupukhayati: organik fertilizer and biofertilizer. Balai BesarPenelitian dan Pengembangan Sumberdaya LahanPertanian. Bogor. 283p.

Bintoro, H.M.H., R. Saraswati, D. Manohara, E. Taufik, dan J.Purwani. 2008. Pestisida organik pada tanaman lada.Laporan Akhir Kerjasama Kemitraan PenelitianPertanian antara Perguruan Tinggi dan Badan LitbangPertanian (KKP3T).

Cong, P.T. 2000. Improving phosphorus availability inselected soil from upland case study: Tithoniadiversifolia. Lemen University. Belgium.

Crespo, G., T.E. Ruiz, and J. Alvarez. 2011. Effect of greenmanure from Tithonia (T. diversifolia) on theestablishment and production of forage of P. purpureumcv. Cuba CT-169 and on some soil properties. J. Agric.Sci. 45:79-82.

Desyrakhmawati, L., M. Melati, Suwarto, dan W. Hartatik.2015. Pertumbuhan Tithonia diversifolia dengan dosispupuk kandang dan jarak tanam yang berbeda. J.Agron. Indonesia 43(1):72-80.

FFTC. 1995. Soil conservation handbook. Prepared by theFood and Fertilizer Technology Centre for the Asianand Pasific Region Taiwan. ROC.

Ganunga, R.P., O.A. Yerokum, and J.D.T. Kumwenda. 2005.Contribution of Tithonia diversifolia to yield and nutrientuptake of maize in Malawian small-scale agriculture.S. Afr. Tydskr. Plant Ground 22(4):240-245.

George, T.S., T.J. Gregory, J.S. Robinson, and R.J. Buresh.2002. Changes in phosphorus concentrations and pHin the rhizosphere of some agroforestry and cropspecies. Plant Soil 246:65-73.

Hakim, N., Agustian, and Y. Mala. 2012. Application of organicfertilizer Tithonia plus to control iron toxicity and reducecommercial fertilizer application on new paddy field. J.Trop. Soils 17:135-142.

Handayanto, E., G. Cadish, and K.E. Giller. 1995.Manipulation of quality and mineralization of tropicallegume tree prunings by verrying nitrogen supply. Plantand Soil 176:149-160.

Hartatik, W. 2007. Tithonia diversifolia sumber pupuk hijau.Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian29(5):3-5.

Hutapea, J.R. 1994. Inventaris tanaman obat Indonesia.Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan RI.Jakarta.

Jama, B., C.A. Palm, R.J. Buresh, A. Niang, C. Gachengo, G.Nziguheba, and B. Amadalo. 2000. Tithonia diversifoliaas a green manure for soil fertility improvement inwestern Kenya. Journal of Agroforestry System49(2):201-221.

Jufri, Y. 2010. Tithonia diversifolia, Pupuk Alternatif. http://www.serambinews.com. [1 Desember 2015].

Jumro, K. 2011. Pengaruh residu pupuk organik terhadapproduktivitas varietas kedelai dengan budidaya jenuhair secara organik. Skripsi. Program Studi Agronomidan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor. Bogor. 52p.

King’ara, G. 1998. Establishment methods of Tithoniadiversifolia from seeds and cuttings. Report for diplomacertificate. Rift Valley Technical Training Institute.Eldoret, Kenya Kuo YH and Chen CH (1997)Diversifolol, a novel rearranged eduesmanesesquiterpene from the leaves of Tithonia diversifolia.Chemical and Pharmaceutical Bulletin 45:1223-1224.

Kurniansyah, D. 2010. Produksi kedelai organik panenkering dari dua varietas kedelai dengan berbagai jenispupuk organik. Skripsi. Departemen Agronomi danHortikultura, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor. Bogor. 60p.

Lestari, S.A.D. 2011. Pengaruh bahan organik dan jenisdekomposer terhadap pertumbuhan dan produksikedelai (Glycine max [L.] Merrill). Skripsi. DepartemenAgronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, InstitutPertanian Bogor. Bogor. 59p.

Liasu, M.O. and A.K.K. Achakzai. 2007. Influence of Tithoniadiversifolia leaf mulch and fertilizer application on thegrowth and yield of potted tomato plants. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Science 2(4):335-340.

Maschner, P. 2011. Mineral nutrition of higher plants. ThirdEdition. Academic Press Inc., San Diego, CA.

Melati, M., A. Asiah, dan D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupukorganik dan residunya untuk produksi kedelai panenmuda (The application of organics manure and itsresidue of vegetable soybean production). Bul. Agron.36(3):204-213.

Mengel, D.B., W. Segars, and G.W. Rehm. 1987. Soil fertilityand liming. p.461-496. In Wilcox, J.R (Eds.). Soybeans:Improvement, production, and uses. American, CropScience, and Soil Science Society of America, inc.Madison.

Muhsanati, A. Syarif, dan S. Rahayu. 2008. Pengaruhbeberapa takaran kompos Tithonia terhadappertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zeamays Saccharata). Jerami 1:87-91.

Opala, P.A., C.O. Othieno, J.R. Okalebo, and P.O. Kisinyo.2009. Effects of combining organic materials withinorganic phosphorus source on maize yield andfinancial benefits in western Kenya. Exp. Agric. 46:23-34.

Page 57: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Lestari: Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada Tanaman Kedelai

55

Phiri, S., I.M. Rao, E. Barrios, and B.R. Singh. 2003. Plantgrowth, mycorhiza association, nutrient uptake, andphosphorus dynamics in a volcanic-ash soil inColombia as a affected by the establishment ofTithonia diversifolia. Journal of Sustainable Agriculture21(3):41-59.

Pardono. 2011. Potensi Chromolaena odorata dan Tithoniadiversifolia sebagai sumber nutrisi bagi tanamanberdasarkan kecepatan dekomposisinya (studi kasusdi Desa Sobokerto Boyolali Jawa Tengah). Agrivigor4(2):80-85.

Purwani, J. 2011. Pemanfaatan Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray untuk perbaikan tanah. BalaiPenelitian Tanah. 253-263.

Rachman, A., A. Dariah, dan D. Santoso. 2008. Pupukorganik dan pupuk hayati. J. Pertanian 02:41-52.

Ramadhani, E. 2011. Kajian aplikasi jenis pupuk untukproduksi dua varietas kedelai secara organik dengansistem budidaya jenuh air pada dua musim tanam.Tesis. Departemen Agronomi dan Hortikultura, ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sangkkara, U.R., M. Liedgens, A. Soldati, and P. Stamp.2004. Root and shoot growth of maize (Zea mays) asaffected by incorporation of Crotalaria ajuncea andTithonia diversifolia as green manures. Journal ofAgronomy and Crop Science 190(5):339-346.

Shisanya, C. A., M.W. Mucheru, D.N. Mugendhi, and J.B.Kung’u. 2009. Effect of organic and inorganic nutrientsource on soil mineral nitrogen and maize yields in

central highland of Kenya. World Journal of AgricultureScience 3(4):503-507.

Sinclair, J.B. 1994. Soybeans. p. 99-103. In W.F. Bennett(Ed.). Nutrient Deficiencies and Toxicities in Crop Plant.American Phytopatological Society. Minnesota.

Sonke, D. 1997. Tithonia weed: a potential green manurecrop. Echo Development Notes 57:5-6.

Sugito, Y. 1999. Ekologi tanaman. Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya. Malang.

Suntoro, Syekhfani, E. Handayanto, dan Soemarno. 2001.Penggunaan bahan pangkasan krinyu (Chromolaenaodorata) untuk meningkatkan ketersediaan P, K, Ca,dan Mg 116 pada oxic dystrudepth di Jumapolo,Karanganyar, Jawa Tengah. Agrivita 23(1):20-26.

Susanto, R. 2002. Pertanian organik menuju pertanianalternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Widiwurjani dan H. Suhardjono. 2006. Respon dua varietassawi terhadap pemberian biofertilizer Tithonia (Tithoniadiversifolia) sebagai pengganti pupuk anorganik.Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi danPemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi danHortikultura, Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor. Bogor, 1-2 Agustus 2006.

Yasin, M.H.G. dan M. Yahya. 1996. Kandungan hara makroNPK dari berbagai jenis gulma pada sistempertanaman lorong di lahan kering miring. DalamProsiding I. Konferensi Nasional XIII dan SeminarIlmiah HIGI. Bandar Lampung, 5-7 November 1996.p.68-72.

Page 58: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

56

Page 59: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Hapsari et al.: Peranan Methylobacterium dalam Meningkatkan Vigor Benih Kedelai

57

Peranan Methylobacterium spp. dalam Meningkatkan danMempertahankan Vigor Benih Kedelai

The Role of Methylobacterium spp. for Improving andMaintaining Soybean Seed Vigor

Ratri Tri Hapsari1, Selly Salma2, Eni Widajati3, dan Maryati Sari3

1Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

E-mail: [email protected] Penelitian Tanah

3Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB

Naskah diterima 24 Februari 2016, direvisi 13 Juni 2016, dan disetujui diterbitkan 23 Juni 2016

ABSTRACT

Soybean is considered as a functional food, due to its status as source of protein in Indonesia dietary. Thesoybean seeds determine the quality of soybean products through a better crop in the farm. Factor limitingthe supply of soybean seeds in the tropics is the rapid deterioration of seed germination during storage,thereby reduces the availability of high quality of seed. Seed vigor is divided into two categories, namely theseed growth strength vigor and longevity seed vigor. Seed growth strength vigor indicates the growingstrength in a suboptimum condition, while seed longevity vigor is the ability of seed lot to be stored in asuboptimum condition. Seed treatment uses beneficial microbes can protect plants in the nursery stage,and during the plant life cycle. Methylobacterium spp can live in a single-carbon compounds of the plant,such as metanol (CH

3OH) or methylamine (CH

3NH

2) as a carbon source. Methylobacterium spp can produce

IAA, GA3 and transzeatin. Methylobacterium spp can produce PQQ and tocopherol, one of the antioxidants

that limit the nonenzimatic lipid oxidation during seed storage, germination and early seedling development.Methylobacterium spp can be used to improve the germination of soybean seed through seed inoculation,while maintaining soybean seed longevity can be obtained by coating the seed with Methylobacterium spp.

Keywords: Soybean, seed, vigor, Methylobacterium spp., seed coating.

ABSTRAK

Kedelai dapat berfungsi sebagai pangan fungsional dan sumber protein penting dalam menu makan diIndonesia. Faktor penentu dalam peningkatan hasil kedelai adalah penggunaan benih bermutu tinggi.Faktor pembatas penyediaan benih kedelai di daerah tropis adalah kemunduran mutu benih yangberlangsung cepat selama penyimpanan. Benih bermutu tinggi dicirikan oleh vigor yang tinggi, yang dapatdibagi menjadi dua kategori, yaitu vigor kekuatan tumbuh dan vigor daya simpan. Vigor kekuatan tumbuhmengindikasikan vigor benih pada kondisi alam suboptimum, sedangkan vigor daya simpan adalahkemampuan benih untuk disimpan dalam kondisi suboptimal. Perlakuan benih menggunakan “mikrobabermanfaat” dapat melindungi tanaman pada tahap pembibitan atau persemaian, hingga selama siklushidup tanaman. Methylobacterium spp. dapat hidup pada senyawa berkarbon tunggal (C1) dari tanaman,yaitu metanol (CH

3OH) atau metilamina (CH

3NH

2) sebagai sumber karbon. Methylobacterium spp. dapat

memproduksi IAA, GA3 dan transzeatin, serta dapat memproduksi PQQ dan tokoferol. Tokoferol merupakan

zat antioksidan yang dapat membatasi oksidasi lipid nonenzimatik benih selama penyimpanan,perkecambahan, dan perkembangan awal bibit. Methylobacterium spp. dapat digunakan untukmeningkatkan perkecambahan benih kedelai dengan cara inokulasi benih atau dengan imbibisi benih,sedangkan untuk mempertahankan daya simpan benih kedelai dapat digunakan teknik pelapisan benihyang diintegrasikan dengan Methylobacterium spp.

Kata kunci: Kedelai, benih, vigor, Methylobacterium spp., pelapisan benih.

Page 60: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

58

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan pangan fungsional dan sumber proteinpenting di Indonesia. Kandungan protein varietas kedelaiberkisar antara 30-45% dan lemak 7-25% (Balitkabi 2008).Input utama yang diperlukan dalam peningkatan hasilkedelai adalah penggunaan benih bermutu tinggi. Salahsatu faktor pembatas dalam penyediaan benih kedelai didaerah tropis, seperti Indonesia, adalah kemunduran benihyang berlangsung cepat selama penyimpanan sehinggamengurangi ketersediaan benih bermutu tinggi.

Benih bermutu tinggi dapat dicirikan dari vigor yangtinggi (Ilyas 2012). Menurut Sadjad et al. (1999), vigorbenih adalah kemampuan benih tumbuh normal padakondisi lapang suboptimal. Secara umum, vigor benihdibagi menjadi dua kategori, yaitu vigor kekuatan tumbuhdan vigor daya simpan. Vigor kekuatan tumbuhmengindikasikan vigor benih pada kondisi suboptimal,sedangkan vigor daya simpan adalah kemampuan benihuntuk disimpan dalam kondisi suboptimal.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untukmeningkatkan vigor benih adalah dengan teknik seedenhancement. Menurut Taylor et al. (1998), terdapat tigateknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutubenih, yaitu pre-sowing hydration treatment (priming),teknologi coating, dan seed conditioning. Priming adalahperlakuan benih sebelum tanam dengan caramenyeimbangkan potensial air benih untuk merangsangkegiatan metabolisme dalam benih sehingga benih siapberkecambah. Menurut Kuswanto (2003), seed coatingmerupakan pelapisan benih menggunakan zat tertentuseperti zat pengatur tumbuh, zat hara mikro, mikroba,fungisida atau antioksidan yang dapat meningkatkan vigorbenih di lapang.

Pelapisan benih menggunakan zat antioksidanmerupakan salah satu cara yang dapat digunakan untukmempertahankan vigor benih kedelai dengan caramemperlambat proses kemunduran benih. Justice danBass (2002) menjelaskan, selama benih disimpan, prosesoksidasi yang terjadi dapat memutuskan ikatan rangkapasam lemak tak jenuh, sehingga menghasilkan radikal-radikal bebas yang dapat bereaksi dengan lipida lainnya.Menurut Bewley dan Black (1986), akumulasi radikalbebas menyebabkan kerusakan membran yangmengakibatkan terjadinya kebocoran elektrolit, sehinggaberpotensi menurunkan viabilitas benih. Sattler et al.(2004) melaporkan tokoferol merupakan salah satu zatantioksidan yang dapat membatasi oksidasi lipidnonenzimatik selama penyimpanan, perkecambahan,dan perkembangan awal bibit. Tokoferol telah diketahuisebagai antioksidan yang mampu mempertahankan

integritas membran. Menurut Ardiansyah (2007), senyawatersebut bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen,peroksidasi lipid dan oksigen singlet. Mekanisme kerjaantioksidan terkait dengan struktur molekul yang dapatmemberikan elektron kepada molekul radikal bebas tanpaterganggu, sehingga dapat memutus reaksi berantai dariradikal bebas.

Tokoferol dapat dimanfaatkan sebagai coating untukmempertahankan daya simpan benih kedelai. Tokoferolbisa didapat secara alami dari tanaman danMethylobacterium spp. atau secara sintetik. Hughes danTove (1982) berhasil mendeteksi kandungan derivattokoferol menggunakan High Performance LiquidChromatography (HPLC) pada Methanobacteria danmikroorganisme lainnya. Hal ini didukung oleh penelitianWidajati et al. (2011) dengan perangkat HPLC, yangmendeteksi kemampuan Methylobacterium spp dalammemproduksi tokoferol.

Methylobacterium spp. atau Pink PigmentedFacultative Metylotroph (PPFM) juga mampu dapatmenghasilkan fitohormon. Hasil penelitian Widajati et al.(2008) menunjukkan bahwa fitohormon pada kulturMethylobacterium spp yang diisolasi dari berbagai jenistanaman menghasilkan kadar IAA 1,4-15,1 ppm, kadarGA

3 20,2-129,8 ppm, dan kadar Trans zeatin 22,3-89,2

ppm.

Methylobacterium spp. berperan dalam meningkatkandaya berkecambah benih beberapa tanaman, seperti padi(Madhaiyan et al. 2004), kacang tanah (Madhaiyan et al.2006a), tomat (Madhaiyan et al. 2007), tembakau(Abanda-Nkpwatt 2006), dan kedelai (Meenakshi andSavalgi 2009). Hasil penelitian Radha et al. (2009)menunjukkan kedelai yang diinokulasi isolat bakteriMethylobacterium spp. yang dikombinasikan denganBradyrhizobium japonicum strain SB 120 meningkatkantinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk dan bobotkering akar, jumlah nodul dan bobot kering nodul.

Manfaat mikroba dalam usaha pertanian belumdisadari sepenuhnya, karena pandangan umum terhadapmikroba lebih terfokus pada mikroba patogen yangmenyebabkan penyakit pada tanaman (Saraswati danSumarno 2008). Berbagai penelitian menunjukkanperlakuan benih menggunakan mikroba dapat melindungitanaman tidak hanya pada tahap pembibitan ataupersemaian, tetapi juga selama siklus hidup tanaman(Copeland and McDonald 2001). Holland et al. (1996)melaporkan PPFM dapat digunakan sebagai inokulumpada benih atau seed coating yang bertujuan untukmeningkatkan perkecambahan, vigor, danmempertahankan daya simpan benih.

Page 61: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Hapsari et al.: Peranan Methylobacterium dalam Meningkatkan Vigor Benih Kedelai

59

Tabel 1. Konsentrasi fitohormon yang terdapat pada 17 suspensikultur Methylobacterium spp.

Isolat Asal tanaman IAA GA3

Trans-zeatin(ppm) (ppm) (ppm)

TD-TPB1 Terong bulat 2,31 79,64 25,79TD-TPB2 Terong bulat 3,39 99,61 22,66TD-TPB3 Terong bulat 9,56 129,83 33,14TD-TM1 Tomat 7,2 86,18 52,08TD-K2 Kedelai 9,63 59,11 43,79TD-G2 Gambas 1,81 49,99 26,82TD-G3 Gambas 5,74 20,28 69,36TD-J2 Jagung 2,08 ttd 89,21TD-J7 Jagung 9,13 98,75 74,37TD-J10 Jagung 15,14 51,44 59,75TD-L2 Labu siam 12,68 98,36 49,74TD-P4 Padi 9,32 ttd 22,28TD-P5 Padi 1,46 47,92 28,79PPU-K2 Kedelai 3,69 92,89 27,9PPU-K10 Kedelai 9,56 78,32 ttdTD-T1 Terong ungu 1,42 83,15 39,71TD-B1 Buncis 6,4 78,15 ttd

Sumber: Widajati et al. (2008)

POTENSI METHYLOBACTERIUM SPP.DALAM MENINGKATKAN VIGOR BENIH

Methylobacterium spp. disebut memiliki pigmentasi merahmuda yang khas. Menurut Holland et al. (2002), PPFMberwarna merah muda karena memiliki pigmen karotenoid,produk dari metabolisme isoprenoid. Green (1992)melaporkan bakteri PPFM memiliki ciri khas dapat hiduppada senyawa berkarbon tunggal (C

1) dari tanaman, yaitu

metanol (CH3OH) atau metilamina (CH

3NH

2) sebagai

sumber karbon. Methylobacterium termasuk ke dalamkelompok bakteri fakultatif metilotrof, karena mampumemanfaatkan gugus metil dan tumbuh pada senyawamultikarbon seperti suksinat, piruvat atau glioksilat.

Methylobacterium spp. merupakan mikrobiota normalpada filosfer hampir semua tanaman, lumut, dan paku-pakuan. Menurut Amelia (2002), mikroba ini sebagaimikroflora normal pada filosfer hampir semua tanaman.Hal ini memungkinkan bakteri tersebut berperanmendukung pertumbuhan tanaman inang. Menurut Glicket al. (1999) melaporkan secara langsung maupun tidaklangsung, bakteri dapat mempunyai pengaruh yang kuatterhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.Secara tidak langsung, bakteri dapat mengurangi ataumencegah kerusakan yang disebabkan oleh organismefitopatogen melalui satu atau beberapa mekanisme yangberbeda seperti produksi antibiotik, antifungi dan lain-lain.Secara langsung, umumnya bakteri mensintesis senyawatertentu seperti hormon tumbuh, vitamin, siderofor ataumempermudah pengambilan nutrien dari lingkungan.

Simbiosis Methylobacterium dengan tanaman berawaldari pemanfaatan metanol yang diproduksi oleh tanaman.Metanol merupakan produk samping dari metabolismepektin pada dinding sel yang sedang berkembang(Kutschera 2007). Salma et al. (2005) melaporkan metanolmerupakan produk dari aktivitas enzim methanoldehidrogenase yang dikeluarkan melalui stomata.Penelitian Chistoserdova et al. (2003) menunjukkanMethylobacterium spp. memiliki sedikitnya 100 gen yangberperan dalam metabolisme metanol.

Metanol yang dihasilkan tanaman merupakan tempathidup yang baik untuk Methylobacterium spp. Sebagaibentuk simbiosisnya dengan tanaman, Methylobacteriumspp. dapat memproduksi hormon yang berguna untukpertumbuhan dan perkembangan tanaman. MenurutLidstrom dan Chistoserdova (2002), hormon pertumbuhanyang dihasilkan adalah jenis sitokinin trans-zeatin danauksin Indole Acetic Acid (IAA). Menurut Widajati et al.(2008), perangkat HPLC dapat mendeteksi fitohormonjenis IAA, GA

3 dan sitokinin pada suspensi kultur

Methylobacterium spp.

Tabel 1 menunjukkan konsentrasi fitohormon yangterdapat pada 17 suspensi kultur Methylobacterium spp.Isolat TD-J10 yang berasal dari tanaman jagung memilikikonsentrasi IAA tertinggi sebesar 15,1 ppm, konsentrasiGA

3 tertinggi terdapat pada isolat TD-TPB3 yang berasal

dari tanaman terong bulat, sedangkan konsentrasitranszeatin tertinggi terdapat pada isolat TD-J7 daritanaman jagung.

Holland (1997) mengemukakan pemodelan produksisitokinin yang dihasilkan tanaman akibat adanya asosiasidengan PPFM. Teori tersebut mengasumsikan produksisitokinin oleh PPFM terjadi pada jaringan yang sedangberkembang. Jaringan tersebut dikolonisasi oleh PPFM.Sitokinin bertindak sebagai molekul sinyal yang dapatmenginisiasi pembelahan sel, sehingga mendorongterjadinya demetilasi pektin yang melepaskan metanol.Metanol tersebut dikonsumsi PPFM sebagai sumbernutrisi. Menurut Ivanova et al. (2007), gen yangbertanggung jawab dalam sintesis sitokinin adalah genipt pada hampir semua genom bakteri Methylotropic yangdiuji menggunakan analisis Polymerase Chain Reaction(PCR). Hal ini dapat diketahui dari kemampuanpembentukan akar plantlet tembakau transgenik yangmengekspresikan gen ipt.

Selain menghasilkan sitokinin, Methylobacterium spp.juga dapat memproduksi IAA. Penelitian Omer et al (2004)dengan kombinasi perangkat HPLC dan Nuclear MagneticResonance (NMR) berhasil mendeteksi fitohormon jenisIAA pada 16 suspensi kultur PPFM. Menurut Ivanova etal. (2007), pada Methylobacterium extorquens, genRMQ09094 yang bernama Benzoylformate Dercaboxylase

Page 62: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

60

(BfdC) bertanggung jawab sebagai reaksi kunci padasintesis IAA, misalnya pada dekarboksilasi indole-3-pyruvate (IpyA). Senyawa IpyA adalah senyawaintermediet dalam lintasan utama sintesis IAA.

Hormon asam indol-3-asetat (IAA) merupakan auksinalami yang tidak stabil dan berperan merangsangpembelahan dan pembesaran sel pada pucuk tanaman,serta dalam pembentukan akar. Hormon asam geberelat(GA

3) merangsang pertumbuhan organ baru dan

mempengaruhi pembentukan daun dan akar. Hormontrans-zeatin (TZ) merupakan hormon sitokinin yangberperan dalam pembelahan sel jaringan dan merangsangtunas daun (Wetherell 1982).

Kemampuan Methylobacterium spp. dalammemproduksi fitohormon menyebabkan bakteri ini dapatmenstimulus perkecambahan benih. Holland dan Pollaco(1994) dalam Selvakumar et al. (2008) melaporkan benihyang diberi perlakuan PPFM memperlihatkanperkecambahan dan perkembangan tanaman yang lebihbaik dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuanPPFM. Pengurangan populasi PPFM pada kulit benihmenyebabkan daya berkecambah benih berkurang.

Berbagai penelitian di dalam dan luar negeri jugamembuktikan Methylobacterium spp. berperan dalammeningkatkan daya berkecambah benih beberapatanaman, termasuk padi (Madhaiyan et al. 2004, Fitriani2008), kacang tanah (Madhaiyan et al. 2006a), tomat(Madhaiyan et al. 2007), cabai rawit (Afifah 2009), kakao(Sadikin 2009), dan cabai besar (Goni 2010). MenurutRiupassa (2003), Methylobacterium spp. memiliki polaadaptasi untuk mampu hidup pada lingkungan dengandaya dukung yang beragam, walaupun merupakan satukelompok metilotrof.

Beberapa cara yang dapat diterapkan untukmeningkatkan vigor benih kedelai antara lain adalahsebagai berikut:

1. Inokulasi dengan carier

Carier yang digunakan adalah lignite powder yangdicampur dengan CaCO

3, kemudian dikemas dalam plastik

polipropilen (PP) dan disterilisasi menggunakan autoklaf1210C selama 1 jam. Kultur Methylobacterium yangberumur 72 jam dan Bradyrhizobium kemudiandicampurkan dengan campuran lignite powder dan CaCO

3

yang sudah disterilisasi. Benih kedelai kemudiandicampurkan dengan carier yang telah dibuat sesaatsebelum ditanam. Hasil penelitian menunjukkan inokulasipada benih (Methylobacterium extorquens +Bradyrhizobium) yang dilanjutkan dengan penyemprotan(Methylobacterium extorquens) meningkatkan jumlahnodul, total bahan kering, kandungan klorofil, aktivitas

enzim urase, dehidrogenase dan fosfatase dibandingkandengan benih yang hanya diinokulasi denganBradyrhizonium (Meenakshi dan Savalgi 2009).

Radha et al. (2009), melaporkan bahwa benih kedelaiyang diinokulasi isolat bakteri Methylobacterium dandikombinasikan dengan Bradyrhizobium japonicum strainSB 120 secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman,jumlah daun, bobot kering tajuk, bobot kering akar, jumlahnodul, bobot kering nodul, jumlah polong per tanamandan hasil biji per tanaman dibandingkan dengan kontrol(tanpa perlakuan).

2. Imbibisi benih

Imbibisi benih dilakukan dengan merendam benih kedelaidengan isolat Methylobacterium spp selama 12 jam. Isolatyang digunakan dalam bentuk liquid (cair) dan tidakdilakukan pengenceran. Untuk merendam 150 butir benihukuran biji sedang diperlukan 50 ml isolatMethylobacaterium spp dan pada ukuran biji besardiperlukan 60 ml. Danial (2011) melaporkan perlakuanMethylobacterium spp isolat TD-K2 pada benih kedelaivarietas Kaba dapat meningkatkan indeks vigor 17,33%(dari 72% menjadi 89,33%) dan isolat TD-J2meningkatkan kecepatan tumbuh 9,49%/etmal (dari31,74%/etmal menjadi 41,23%/etmal).

Aplikasi imbibisi benih yang dilanjutkan denganpenyemprotan daun pada umur 10 HST + 20 HST jugadapat meningkatkan vigor dan hasil. Danial (2011)melaporkan, dengan teknik aplikasi imbibisi benih danpenyemprotan Methylobacterium spp. isolat TD-TPB3pada varietas Kaba meningkatkan tinggi tanaman pada35 HST, bobot kering tajuk, bobot kering akar, jumlahpolong, polong isi, bobot 100 butir, dan hasil biji.

Secara tidak langsung, Methylobacterium spp. jugadapat mengurangi atau mencegah pengaruhmikroorganisme patogen melalui ketahanan sistemikterinduksi atau induced systemic resistance (ISR) padapadi (Madhaiyan et al. 2004) dan kacang tanah (Madhaiyanet al. 2006a). Madhaiyan et al. (2006a) melaporkan, benihkacang tanah yang telah diimbibisi denganMethylobacterium sp. PPFM Ah dan diinokulasi denganAspergilus niger dan Sclerotium rolfsii meningkatkan dayaberkecambah dan indeks vigor. Selain itu, cara ini jugadapat meningkatkan pathogenesis related- protein (PR-protein) dan fenolik dibandingkan dengan kontrol. Hal inididukung oleh peningkatan aktivitas phenylalanine ammonialyase (PAL), α-1,3 glukanase dan enzim peroksidase (PO)pada benih yang diberi perlakuan Methylobacterium sp.PPFM-Ah dibandingkan dengan kontrol. Menurut Heil danBostock (2002), PR-protein memegang peranan pentingdalam meningkatkan resistensi tanaman terhadap invasipatogen. Beberapa fungsinya antara lain melisis dinding

Page 63: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Hapsari et al.: Peranan Methylobacterium dalam Meningkatkan Vigor Benih Kedelai

61

pertumbuhan tanaman (LPT), bobot kering total, tinggitanaman, bobot kering oven umbi, diameter umbi, indekspanen, bobot segar umbi, susut bobot umbi, dan bobotumbi jemur matahari.

Methylobacterium spp. juga mampu mengurangifitotoksik logam berat (Idris et al. 2006, Madhaiyan et al.2007). Menurut Lacava et al. (2008), Methylobacteriumspp mampu memproduksi hydroxamate-type siderophores.Neilands (1995) melaporkan, siderofor dapat digunakandalam pengendalian penyakit tumbuhan denganmemanfaatkan peranannya menyerap unsur besi darilingkungan dan menyediakan mineral yang penting bagisel mikroba. Menurut Budzikiewicz (2001), mekanismekerja siderofor terjadi melalui perkembangan yang cepatdari bakteri yang mengolonisasi akar tanaman danmemindahkan unsur besi di permukaan dan terciptanyakondisi yang sesuai bagi pertumbuhan akar. Dey et al.(2004) mengemukakan bakteri penghasil siderofor jugadapat menginduksi ketahanan tanaman. Mekanismeketahanan tanaman terjadi karena perbaikan lingkungantumbuh dengan adanya interaksi mikroba tanaman.Secara umum, Daurado et al. (2015) membuatmekanisme Methylobacterium spp. dalam mengkolonisasidan berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman(Gambar 1).

sel patogen, menginaktivasi enzim yang disekresikanpatogen, menggangu struktur dan fungsi membran selpatogen dan pertahanan dinding sel tanaman. KelompokPR-protein yang umum dikenal antara lain kitinase dan α-1,3 glukanase.

Madhaiyan et al. (2006b) melaporkan bahwa enzim1-aminocyclopropane-1-carboxylate deaminase (ACCD)terdapat pada benih kanola yang diberi perlakuanMethylobacterium fujisawaens. Benih kanola yang diberiperlakuan M. fujisawaens menunjukkan jumlah ACC yanglebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Jumlah ACCyang berkurang diduga disebabkan oleh aktivitas ACCdeaminase yang dihasilkan bakteri M. fujisawaens.Aktivitas ACC deaminase berperan menurunkan etilendengan cara mendegradasi ACC (prekursor hormon etilen).ACCD yang dihasilkan M. fujisawaens dapat meniadakanefek etilen sehingga memacu pemanjangan akar danmeningkatkan pertumbuhan tanaman. Lemus et al. 2009melaporkan, pada tanaman tomat, ACC deaminase yangdihasilkan Burkholderia sp. mempengaruhi etilen danmemiliki peran penting dalam pertumbuhan tanaman.Hasil penelitian Akhwan et al. (2012) membuktikan bahwabakteri penghasil ACC deaminase memberikan pengaruhlebih baik bagi pertumbuhan dan hasil bawang merah,yang tercermin pada bobot kering akar, luas daun, laju

Sumber: Daurado et al. (2015)

Gambar 1. Mekanisme Methylobacterium spp. dalam mengkolonisasi dan berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.

Page 64: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

62

POTENSI METHYLOBACTERIUM SPP.DALAM MEMPERTAHANKAN DAYA

SIMPAN BENIH

Daya simpan benih kedelai dapat dipertahankan denganmenekan laju metabolisme benih. Cara yang dapatdilakukan untuk mempertahankan viabilitas benih selamapenyimpanan antara lain menggunakan teknologi coating.Pelapisan benih (coating) merupakan salah satu metodeseed enhancement, untuk memperbaiki mutu benihmelalui penambahan bahan kimia pada lapisan luar benihyang dapat mengendalikan perkecambahan benih.Penambahan bahan kimia lain yang menguntungkanseperti ZPT atau hormon sintetik, zat hara mikro, mikrobadan fungisida pada pelapis dapat digunakan untukmeningkatkan performansi benih di lapangan (Copelandand McDonald 2001). Manfaat pelapisan benih menurutKuswanto (2003) antara lain melindungi benih darigangguan atau pengaruh kondisi lingkungan selamapenyimpanan atau dalam rantai pemasaran,mempertahankan kadar air benih.

Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwapolimer untuk pelapis benih idealnya memiliki karaktersebagai berikut: (1) water-based polymer, (2) nilaiviskositas yang rendah, (3) memiliki konsentrasi yangtinggi pada saat padat, (4) memiliki pengaturankeseimbangan antara hidrofilik dengan hidrofobik, (5)membentuk lapisan tipis keras selama pengeringan.Selain itu, menurut Kuswanto (2003), bahan coating yangdigunakan tidak bersifat toxic terhadap benih, mudahpecah dan larut apabila terkena air sehingga tidakmenghambat proses perkecambahan. Bahan coating jugabersifat porus, sehingga benih masih dapat memperolehoksigen untuk respirasi, bersifat higroskopis, tidakbereaksi dengan pestisida, bersifat perambat danpenyimpan panas yang rendah dan mudah didapatdengan harga yang relatif murah, sehingga dapatmenekan harga benih. Desai et al. (1997) melaporkanbahwa bahan polimer yang memiliki sifat adhesi yangbaik untuk digunakan pada coating benih di antaranyaadalah arabic gum, dextran, methylcellulose, dan parafin.

Pemberian polimer dapat diintegrasikan denganmikroorganisme yang dapat menunjang pertumbuhantanaman. Menurut Holland et al. (1996) populasi awallarutan coating yang disarankan agar dapat meningkatkanperkecambahan pada benih kedelai adalah 107-108 selbakteri/ml. Proporsi larutan coating pada benih dapatberkisar antara 0,1-25% dari bobot benih, bergantung padatipe benih. Bahan perekat yang digunakan dapat berupavinyl pyrrolodine atau vinyl acetate, sedangkan carier yangdigunakan antara lain gambut atau vermikulit. Prosespengeringan benih dapat dilakukan dengan airdryermenggunakan suhu tidak lebih dari 30oC.

Keistimewaan Methylobacterium yang diintegrasikanpada coating benih adalah kemampuannya mensintesisPQQ. Senyawa PQQ adalah gugus prostetik (koenzim)dari metanol dehidrogenase. Pyrroloquinoline Quinonterletak pada periplasma dalam enzim metanoldehridogenase (Lidstrom et al. 1998). Kasahara dan Kato(2003) melaporkan enzim-enzim yang mengandung PQQantara lain metanol dehidrogenase. Pada bakterimetilotrof, perombakan metanol dan metilamina menjadiformaldehida (CH

2O) memerlukan enzim metanol

dehidrogenase dan metilamina dehidrogenase.Formaldehida selanjutnya teroksidasi atau berasimilasike dalam sel karbon (Lidstrom et al. 1998). Morris et al.(1994) melaporkan, pada Methylobacterium extorquensAM-1 dibutuhkan tujuh gen untuk mensistesis PQQ. Gentersebut berkode pqqDGCBA dan pqqEF.

Pyrroloquinoline Quinon dapat bekerja sebagaipembersih (scavenging) superoksida dan mampumengikat radikal bebas beracun lainnya. Fungsi PQQserupa dengan vitamin E, β-karoten, karetenoid, vitaminC, flavonoid, asam linoleat terkonjugasi, dan senyawafenolik (Klinman 1996). Hal serupa juga dikemukakan Heet al. (2003) bahwa PQQ dapat berfungsi sebagai vitamindan bersifat antioksidan.

Zat antioksidan memiliki berbagai manfaat, diantaranya dapat digunakan dalam bidang pertanian.Sattler et al. (2004) melaporkan salah satu zat antioksidantokoferol dapat membatasi oksidasi lipid nonenzimatikselama penyimpanan, perkecambahan, danperkembangan awal bibit. Menurut Rahayu (2010),tokoferol disebut juga vitamin E. Tokoferol yang terbesaraktivitasnya adalah α-tokoferol. Hasil penelitian Fukuzawadalam Sattler (2004) mengungkapkan bahwa satu molekulα-tokoferol dapat menetralkan hingga 120 molekul oksigensinglet sebelum terdegradasi. Menurut Ardiansyah (2007),mekanisme kerja antioksidan terkait dengan strukturmolekulnya yang dapat memberikan elektron kepadamolekul radikal bebas tanpa terganggu, sehingga dapatmemutus reaksi berantai radikal bebas.

Tokoferol bisa didapat secara alami dari tanaman danMethylobacterium spp. atau secara sintetik. Hughes danTove (1982), berhasil mendeteksi kandungan derivattokoferol menggunakan HPLC pada Methanobacteria danmikroorganisme lainnya. Hal ini didukung oleh penelitianWidajati et al. (2011), dengan perangkat HPLC dapatmendeteksi kemampuan Methylobacterium spp dalammemproduksi tokoferol. Konsentrasi tokoferol yangterdapat pada 21 suspensi kultur Methylobacterium spp.ditampilkan pada Tabel 2.

Methylobacterium spp. yang mampu memproduksitokoferol dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan dayasimpan benih. Penyimpanan benih selama periode tertentu

Page 65: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Hapsari et al.: Peranan Methylobacterium dalam Meningkatkan Vigor Benih Kedelai

63

berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih. Benih yangtelah disimpan akan mengalami kemunduran mutu yangditunjukkan menurunnya viabilitas dan vigor benih.Kemunduran benih adalah proses bertahap yang diikutioleh terakumulasinya metabolit beracun yang semakinlama semakin menekan daya berkecambah danpertumbuhan kecambah. Kemunduran benih semakincepat karena denaturasi protein akibat proses oksidasilemak. Benih berkadar lemak tinggi tidak tahan disimpanlama. Proses yang terjadi selama penyimpanan dapatmemutuskan ikatan rangkap asam lemak tak jenuh,sehingga menghasilkan radikal-radikal bebas yang dapatbereaksi dengan lipida lainnya. Hal ini menyebabkanrusaknya struktur membran sel (Justice and Bass 2002).

Sattler et al. (2004) melakukan penelitian pada daundan biji tanaman Arabidopsis thaliana dengan caramengisolasi dan mengkarakterisasi lokus vitamin E (vte1dan vte2), kemudian melakukan mutasi pada lokustersebut. Mutasi menyebabkan defisiensi tokoferol padasemua jaringan. Mutasi pada salah satu lokus tersebutmenyebabkan umur benih nyata berkurang dibandingkandengan tipe liarnya. Pertumbuhan bibit mutan vte2 selamaperkecambahan mengalami kerusakan dengan kadarlemak hidroperoksida dan asam lemak hidroksi meningkathingga 4-100 kali dibandingkan dengan tipe liarnya. Halini menunjukkan pentingnya peran tokoferol dalammempertahankan viabilitas benih.

Pemberian tokoferol sebelum disimpan diduga dapatmempertahankan viabilitas benih selama periode simpan.Tokoferol diduga berperan sebagai antioksidan untukmengurangi efek radikal bebas yang terbentuk selamabenih dalam penyimpanan. Penghambatan pembentukanradikal bebas dapat mempertahankan struktur membransel dari kemunduran.

Sari (2009) melaporkan, pada benih kacang panjang,formulasi coating arabic gum + Methylobacterium TD-L2merupakan formulasi terbaik berdasarkan tolok ukurindeks vigor benih, potensi tumbuh maksimum, bobotkering kecambah, dan keserempakan tumbuh bibit. Benihyang dicoating dengan formulasi ini setelah disimpan 12minggu masih memiliki viabilitas yang tinggi, ditunjukkanoleh daya berkecambah 90,33%. Formulasi coatingterbaik adalah arabic gum + tokoferol. Benih yangdicoating dengan formula tersebut setelah disimpan 12minggu masih memiliki viabilitas yang tinggi, ditunjukkanoleh daya berkecambah 92%.

Hapsari (2013) melaporkan formula pelapisan beniharabic gum, arabic gum + tokoferol 800 ppm, arabic gum+ Methylobacterium TD-TM3 dan arabic gum +Methylobacterium TD-TPB3 konsisten mempertahankanviabilitas benih sampai periode simpan 6 bulan pada suhuruang, nyata lebih tinggi dibanding kontrol. Formulapelapisan benih dengan gambut menghasilkan DB yangrendah (78,3%), sedangkan formula pelapisan benihdengan Methylobacterium spp menghasilkan DB yanglebih tinggi (81,3-86,7%) dibandingkan tanpa pelapisanbenih (79,3%) setelah disimpan sampai 6 bulan (Tabel3). Benih yang diberi pelapis juga dapat meminimalisasicendawan yang tumbuh pada saat benih dikecambahkan.

Tabel 2. Konsentrasi tokoferol yang terdapat pada 21 suspensikultur Methylobacterium spp.

Isolat Asal tanaman Tokoferol(ppm)

TD-TPB1 Terong bulat 0TD-TPB2 Terong bulat 422,85TD-TPB3 Terong bulat 871,70TD-TM1 Tomat 1766,91TD-TM3 Tomat 1611,80TD-B1 Buncis 486,80TD-G2 Gambas 312,71TD-G3 Gambas 247,94TD-J2 Jagung 216,58TD-J7 Jagung 190,18TD-L2 Labu siam 313,94TD-P4 Padi 771,04TD-P5 Padi 683,17PPU-K2 Kedelai 370,05PPU-K10 Kedelai 316,01M, TL Durian 258,25M, Atas Durian 128,30DK-4 Kedelai 59,41DK-1 Kedelai 144,80Tantri TP Durian 121,70Tantri TL Durian 265,68

Sumber: Widajati et al. (2011)

Tabel 3. Pengaruh beberapa formula pelapisan benih terhadap dayaberkecambah benih kedelai setelah penyimpanan.

Periode simpan(bulan)

Formula pelapisan benih0 3 6

Kontrol (tanpa pelapisan benih) 91,0 85,3 79,3 Arabic gum 95,0 88,0 83,3Tokoferol 800 ppm + Arabic gum 97,7 90,0 85,7TD-TM1 + Arabic gum 94,3 87,7 86,7TD-TM3 + Arabic gum 93,3 88,3 83,0TD-TPB3 + Arabic gum 94,0 85,3 86,0TD-TPB3 + TD-TM1 + Arabic gum 91,3 86,7 86,0TD-TPB3 + TD-TM3 + Arabic gum 93,7 88,0 81,3Arabic gum + Gambut 94,3 84,3 80,7TD-TPB3 + TD-TM1 + Arabic gum + Gambut 93,0 84,3 79,7TD-TPB3 + TD-TM3 + Arabic gum + Gambut 95,0 80,0 78,3

Sumber: Hapsari (2013).

Page 66: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

64

KESIMPULAN

Methylobacterium spp. memproduksi IAA, GA3

transzeatin, PQQ, tokoferol dapat digunakan untukmeningkatkan perkecambahan benih kedelai denganinokulasi benih maupun dengan imbibisi benih. Vigor benihkedelai dapat dipertahankan dengan teknik pelapisanbenih yang diintegrasikan dengan Methylobacterium spp.

DAFTAR PUSTAKA

Abanda-Nkpwatt. D., M. Müsch, J. Tschiersch, M. Boettner,and W. Schwab. 2006. Molecular interaction betweenMethylobacterium extorquens and seedling: growthpromotion, methanol consumption, and localization ofthe methanol emission site. J. Exp. Bot. 57(15):4025-4032.

Afifah, N. 2009. Penggunaan Methylobacterium spp. untukinvigorasi benih cabai rawit (Capsicum frutescens L.)[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor.

Akhwan, I.A.S., E. Sulistyaningsih, dan J. Widada. 2012.Peran JMA dan bakteri penghasil acc deaminaseterhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah padacekaman salinitas. Vegetalika 1(2):139-152.

Amelia, R. 2002. Pengaruh inokulasi isolat bakteri pinkpigmented facultative methylotroph terhadappertumbuhan jagung dan kedelai. [skripsi]. Bogor:Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ardiansyah. 2007. Antioksidan dan peranannya bagikesehatan, http://islamicspace. wordpress. com/2007/01/24/antioksidan-dan-peranannya -bagi-kesehatan/>.[31 Maret 2011].

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbangtan, Bogor.

Bewley, J.D. and M. Black. 1986. Seeds phisiology ofdevelopment and germination. Second Printing. NewYork: Plenum Press. 367p.

Budzikiewicz, H. 2001. Siderophore-antibiotic conjugatesused as Trojan horses against Pseudomonasaeruginosa. Current Topics in Medicinal Chemystry1:73-92.

Chistoserdova, L., S.W. Chen, A. Lapidus, and M.E. Lidstrom.2003. Methylotrophy in Methylobacterium extorquensAM1 from a genomic point of view. Journal Bacteriol.185(10):2980-2987.

Copeland, L.O. and M.B. Mc Donald. 2001. Principle of seedscience and technology. New York: Chapman and Hall.408p.

Danial D. 2011. Pengaruh aplikasi Methylobacterium spp.terhadap peningkatan vigor dan produksi tanamankedelai. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.

Dourado, M.N., A.C.C. Neves, D.S. Santos, and W.L. Araújo.2015. Biotechnological and agronomic potential ofendophytic pink-pigmented methylotrophicMethylobacterium spp. BioMed Research InternationalVolume 2015, Article ID 909016. http://dx.doi.org/10.1155/2015/909016.

Desai, B.B., P.M. Kotecha, and K. Salunkhe. 1997. Seedhandbook. New York: Marcel Dekker, Inc. 627p.

Dey, R., K.K. Pal, D.M. Bhatt, and S.M. Chauhan. 2004. Growthpromotion and yield enhancement of peanut (Arachishypogaea L.) by application of plant growth-promotingrhizobacteria. Microbiological Research 159: 371-389.

Fitriani, D. 2008. Penggunaan Methylobacterium spp. untukinvigorasi benih padi (Oryza sativa L.) [skripsi]. Bogor:Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Glick, B.R., C.L. Patten, G. Holguin, and D.M. Penrose. 1999.Biochemical and genetic mechanisms used by plantgrowth promoting bacteria. London: Imperial collegepress.

Green, P.N. 1992. The genus Methylobacterium. In: Ballows,A, H.G. Truper, M. Dworkin, W. Harder, and K.H. Schleifer(Eds.). The Prokaryotes. New York: Springer. http://books.google.co.id. [15 Februari 2013].

Hapsari, R.T. 2013. Pemanfaatan Methylobacterium spp.pada invigorasi dan teknik coating untuk meningkatkanvigor benih kedelai. [tesis]. Bogor: SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

He, K., H. Nukada, T. Urakami, and M. Murphy. 2003.Antioxidant and prooxidant of pyroloquinoline-quinon(PQQ): implication for its function in biological system.Biochem. Pharmacol. 65:67-74.

Heil, M. and R.M. Bostock. 2002. Induced systemicresistance (ISR) against pathogens in the context ofinduced plant depences. Ann.Bot. 89: 503-512.

Holland, M.A., R.L.G. Long, and J.C. Polacco. 2002.Methylobacterium spp: Phylloplane bacteria involvedin cross talk with the plant host? Di dalam: Lindow SE,Hecht-Poinar, Ell iot VJ, editor. PhyllosphereMicrobiology. Minnesota: APS Press.

Holland, M.A., M.D. Salisbury, J.C. Polacco, and M.O.Columbia. 1996. Seeds, coated or impregnated with aPPFM. United States Patent Aplication Publication PubNo. US005512069 A.

Holland, M.A. 1997. Methylobacterium and plants. RecentRes. Devel. in Plant Physiol.1: 207-221.

Hughes, P.E. and S.B. Tove. 1982. Occurrence of α-tocopherolquinone and á-tocopherolquinol inmicroorganism. Journal of Bacteriology 151(3):1397-1402.

Idris, R., M. Kuffner, L. Bodrossy, M. Puschenreiter, S. Monchy,W. Wenzel, and A. Sessitsch. 2006. Characterization ofNi-tolerant methylobacteria associated with thehyperaccumating plant Thlaspi goesingense anddescription of Methylobacterium goesingense sp. Nov.Syst. Appl. Microbiol 29: 634-644.

Page 67: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Hapsari et al.: Peranan Methylobacterium dalam Meningkatkan Vigor Benih Kedelai

65

Ilyas, S. 2012. Ilmu dan teknologi benih: Teori dan hasil-hasil penelitian. Bogor: IPB Press. 138 p.

Ivanova, E.G., D.N. Fedorov, N.V. Doronina, and Y.A.Trotsenko. 2007. Metabolic aspects of methylotrophicbacteria interaction with plants. In: Book of AbstractsPlant Growth Substances: Intracellular HormonalSignaling and Applying in Agriculture. 2nd InternationalSymposium; 2007 October 8-12. Kyiv, Ukraine.

Justice, L.O. and L.N. Bass. 2002. Prinsip dan praktekpenyimpanan benih. Roesli R, penerjemah. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 446p. Terjemahan dariPrinciples and Practice of Seed Storage.

Kasahara T, Kato T. 2003. Nutritional biochemistry: A newredox-cofactor vitamin for mammals. Nature422(6934):832.

Klinman, J.P. 1996. New quinocofactors in eukaryotes. J.Biol. Chem. 271:27189-27192.

Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan,dan Penyimpanan Benih. Kanisius. Yogyakarta.

Kutschera, U. 2007. Plant-associated methylobacteria asco-evolved phytosymbionts. Plant Signal behave.2(2):74-78. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2633902 [24 Nopember 2011].

Lacava, P.T., M.E. Silva-Stenico, W.L. Araújo, A.V.C. Simionato,E. Carrilho, S.M. Tsai, and J.L. Azevedo. 2008. Detectionof siderophores in endophytic bacteriaMethylobacterium spp. associated with Xylellafastidiosa subsp. pauca. Pesq. Agropec. Bras.43(4):521-528.

Lemus, J.O., I.H. Lucas, L. Girard, J.C. Mellado. 2009. ACC(1-Aminocyclopropane-1-Carboxylate) deaminaseactivity, a widespread trait in Burkholderia sp., and itsgrowth promoting effect on tomato plants. Appl. AndEnviron. Microbiol. 75(20):6581-6590.

Lidstrom, M.E., L. Chistoserdova, S. Stolyar, and A.L.Springer. 1998. Genetics and regulation of C1metabolism in methylotroph. Dalam: Canters, G.W.,Vijgenboom, editor. Biological Electron TransferChains: Genetic, Composition, and Made of Opertation.New York: Kluwer Academic Publisher. p.89-97. http://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-94-011-5133-7_7#page-1 [12 Februari 2013].

Madhaiyan, M., S. Poonguzhali, J.H. Ryu, and T. Sa. 2006b.Regulation of ethylene levels in canola (Brassicacampertis) by 1-aminocyclopropane-1-carboxylatedeaminase contzining Methylobacterium fujisawaense.Planta 224:268-278.

Madhaiyan, M., S. Poonguzhali, and T. Sa. 2007. Metaltolerating methylotropic bacteria reduces nickel andcadmium toxicity and promotes plant growth of tomato(Lycopersicum esculentum L.). Chesmophere 69(2):220-228. www.sciencedirect.com/science/article/pii/s0045653507004845. [27 Nopember 2012].

Madhaiyan, M., S. Poonguzhali, M. Senthilkumar, S. Seshadri,H. Chung, J. Yang, S. Sundaram, and T. Sa. 2004.Growth promotion and induction of systemic resistencein rice cultivar Co-47 (Oryza sativa L.) byMethylobacterium spp. Bot. Bull. Acad. Sin 45:315-324.http://ejournal.sinica.edu.tw/bbas/content/2004/4/Bot454-07.html [7 Januari 2013].

Madhaiyan, M., B.V.S. Reddy, R. Anandham, M. Senthilkumar,S. Poonguzhali, S.P. Sundaram, and T. Sa. 2006a. Plantgrowth–promoting Methylobacterium induces defenseresponses in groundnut (Arachis hypogaea L.)compared with rot pathogens. http://www.aseanbiotechnology.info/Abstract/21023854.pdf[11 Februari 2013].

Meenakshi, B.C. and V.P. Savalgi. 2009. Effect of co-inoculation of Methylobacterium and B. japonicum onplant growth dry matter content and enzyme activitiesin soybean. Karnataka J. Agric. Sci. 22(2):334-348.

Morris, C.J., F. Bivelle, E. Turlin, E. Lee, K. Ellermann, W.H.Fan, R. Ramamoorthi, A.L. Springer, and M.E. Lindstrom.1994. Isolation, phenotypic characterization, andcomplementation analysis of mutants ofMethylobacterium extorquens AM1 unable to synthesizepyrroloquinoline quinone and sequences of pqqD,pqqG, and pqqC. Journal of Bacteriology 176(6):1746-1755.

Omer, Z.S., R. Tombolini, A. Broberg, and B. Gerhardson.2004. Indole-3-acetic acid production by pink-pigmented facultative methylotrophic bacteria. PlantGrowth Regul. 43:93-96.

Radha, T.K., V.P. Savalgi, and A.R. Alagawadi. 2009. Effect ofMetylotrophs on growth and yield of soybean (Gycinemax (L.) Merill). Karnataka J. Agric. Sci. 22(1):118-121.

Rahayu, I.D. 2010. Vitamin E. http://imbang.staff.umm.ac.id/?tag=tokoferol-alpha [27 Maret 2011].

Riupassa, P.A. 2003. Kelimpahan dan keragaman genetikbakteri pink pigmented facultative methylotroph daribeberapa daun sayuran lalapan. Tesis. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 32 hal.

Sadikin, I. 2009. Pengaruh Methylobacterium spp. terhadapviabilitas benih kakao (Theobroma cacao) [skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sadjad, S., E. Murniati, and S. Ilyas. 1999. Parameterpegujian vigor benih dari komparatif ke simulatif.Jakarta: Grasindo. 185p.

Salma, S., A. Suwanto, A. Tjahjoleksono dan A. Meryandini.2005. Keanekaragaman bakteri filosfer dari beberapatanaman asal Kalimantan Timur. Forum Pascasarjana28(1):1-10.

Saraswati, R. dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikrobapenyubur tanah sebagai komponen teknologipertanian. Iptek Tanaman Pangan 3(1):41-58.

Page 68: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

66

Sattler, S.E., L.U. Gililand, M.M. Lundback, M. Polard, and D.Dellapenna. 2004. Vitamin E is essential for seedlongevity and for preventing lipid peroxidation duringgermination. The Plant Cell 16:1419-1432.

Selvakumar, G., S. Nazim, and S. Kundu. 2008. Methylotrophyin bacteria concept and significance. Dalam: Saika, R.(Ed.). Microbial Biotechnology. India: New IndiaPublishing. 422p. http://books.google.co.id. [11 Februari2013].

Taylor, A.G., P.S. Allen, M.A. Bennet, K.J. Bradford, J.S. Burris,and M.K. Misra. 1998. Seed Enhancements. SeedScience Research 8:245-256.

Wetherell, D.F. 1982. Pengantar propagasi tanaman secarain vitro. Koensoemardiyah, S., penerjemah. Semarang:IKIP Semarang. 110 p. Terjemahan dari Introduction toInvitro Propagation.

Widajati, E., S. Salma, E. Pratiwi, M. Kosmiatin, dan S.Rahayu. 2008. Potensi Metylobacterium spp. asalKalimantan Timur untuk meningkatkan mutu benih dankultur invitro tanaman serta analisis keragamannya.Bogor. Laporan Penelitian LPPM IPB.

Widajati, E., S. Salma, M. Sari, dan D. Danial. 2011.Pemanfaatan isolat Methylobacterium spp. untukpeningkatan vigor benih dan produksi kedelai dalammendukung swasembada kedelai di Indonesia. Bogor.Laporan Penelitian LPPM IPB.

Page 69: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Putri: Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

67

Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

Screening Method for Salinity Tolerance in Soybeans

Pratanti Haksiwi Putri

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 22 Juni 2016, dan disetujui diterbitkan 30 Juni 2016

ABSTRACT

Soil salinity is due to the dissolved salt in the soil or groundwater. Salinity can be defined as the condition ofthe soil with EC > 4 dS/m (equivalent to 40 mM NaCl), the osmotic pressure of 0.2 MPa, and the exchangeablesodium percentage (ESP) of <15. Salinity occurs on dry land dry climate and on tidal swamp land near thebeach. Saline land area is increasing as a result of land degradation due to various causes. The combinationof excessive fertilization, poor irrigation systems and climate change are some of the factors causing salinity.This causes salinity becomes an important issue in the development of agriculture today and in the future.Research on evaluation of soybean resistant to salinity had been done, however, there were someinconsistence results. This paper aimed to review the method of screening for salinity tolerance of soybean,to obtain an appropriate method. Screening for saline-tolerant soybean genotypes need to be done on theentire growth phases of plant, to see the consistency of genotypic resistance to salinity. Things to be consideredin screening salinity tolerant in soybean including (1) controlling DHL periodically, (2) the selection ofobserved variables correlated directly with the saline-tolerant characters, (3) a preliminary test to determinethe critical limits of salinity tolerance and (4) to perform molecular screening to reduce the amount of thegenotype if the number is too many. The activities should be continued with its physiological screening, toavoid the false result due to the phenotype and genotypes-environment interaction.

Keywords: Soybean, salinity, tolerance, screening.

ABSTRAK

Salinitas pada umumnya bersumber pada kadar garam yang terlarut dalam tanah atau air tanah. Salinitasdapat didefinisikan sebagai kondisi tanah dengan EC > 4 dS/m (setara dengan 40 mM NaCl), tekananosmotik 0,2 MPa, dan exchangeable sodium percentage (ESP) < 15. Salinitas dapat terjadi pada lahankering iklim kering dan lahan rawa pasang surut yang berada di dekat pantai. Luas lahan salin semakinbertambah akibat degradasi lahan pada lahan optimal. Kombinasi pemupukan yang berlebih, sistempengairan yang buruk dan perubahan iklim merupakan beberapa faktor penyebab salinitas. Hal inimenyebabkan salinitas menjadi isu penting dalam pengembangan pertanian saat ini dan yang akandatang. Penelitian terkait evaluasi ketahanan kedelai terhadap salinitas telah banyak dilakukan, namun,masih terdapat inkonsistensi respon genotipe kedelai terhadap cekaman salinitas. Makalah ini bertujuanuntuk mereview metode penapisan kedelai toleran salinitas untuk memperoleh metode yang tepat.Penapisan kedelai toleran salinitas perlu dilakukan pada seluruh fase pertumbuhan untuk melihatkonsistensi ketahanan genotipe terhadap salinitas. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penapisankedelai toleran salinitas adalah (1) kontrol DHL secara berkala, (2) pemilihan variabel pengamatan yangberkorelasi langsung dengan karakter toleran salinitas, (3) uji pendahuluan untuk menentukan batas kritissalinitas genotipe bahan uji dan (4) melakukan penapisan molekuler untuk mereduksi jumlah genotipe ujiapabila jumlah genotipe sangat banyak. Kegiatan tetap dilanjutkan dengan penapisan fisiologis mengingatfenotipe merupakan hasil interaksi antara genotipe dengan lingkungan.

Kata kunci: Kedelai, salinitas, toleran, penapisan.

Page 70: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

68

PENDAHULUAN

Salinitas tanah pada umumnya bersumber pada kadargaram yang terlarut dalam tanah atau air tanah, yangdapat diukur berdasarkan daya hantar listrik atauelektrokonduktivitas (EC) dengan satuan dS/m. Salinitasdapat didefinisikan sebagai kondisi tanah dengan EC > 4dS/m (setara dengan 40 mM NaCl), tekanan osmotik 0,2MPa, dan exchangeable sodium percentage (ESP) < 15(Marschner 1995, USDA-ARS 2008). Tanah salin biasanyamemiliki pH netral dan cenderung bersifat alkali(Marschner 1995), yang dapat terbentuk secara alamiataupun campur tangan manusia. Pelapukan batuan indukyang mengandung deposit garam, intrusi air laut, gerakanair tanah yang direklamasi dari dasar laut, iklim dengancurah hujan rendah serta tingkat evaporasi yang tinggimerupakan faktor alami yang membentuk lahan salin (El-Swaify 2000, Tan 2000, Gama et al. 2007, Sposito 2008).Aktivitas manusia yang dapat membentuk salinitas antaralain adalah aplikasi pupuk yang berlebihan, manajemenpengairan yang buruk, serta penggunaan air tanah untukirigasi secara terus menerus (Kotuby-Amacher et al. 2000,Gama et al. 2007, Sposito 2008, Sonon et al. 2012).Faktor-faktor tersebut banyak terjadi pada praktik usahapertanian modern yang menyebabkan salinitas menjadiisu penting dalam pengembangan pertanian saat ini danyang akan datang.

Lahan-lahan irigasi dipengaruhi oleh salinitas atauakan terjadi salinisasi beberapa waktu yang akan datang.Salinitas juga dapat terjadi di lahan kering iklim keringdan lahan rawa pasang surut di dekat pantai. Luas lahansalin akan bertambah apabila lahan-lahan optimalmengalami degradasi akibat kombinasi pemupukan yangberlebih, sistem pengairan yang buruk dan perubahaniklim, serta sebab seperti tersebut di atas.

Cekaman salin berpengaruh negatif terhadap setiapfase pertumbuhan kedelai, mulai dari perkecambahan,vegetatif, hingga generatif. Salinitas berpengaruh negatifterhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui tigamekanisme yaitu (1) cekaman kekeringan akibat potensialosmotik rendah di daerah akar sehingga menghambatpenyerapan air, (2) ketidakseimbangan nutrien, dan (3)toksisitas ion spesifik (Marschner 1995). Salinitasmenghambat dan menunda waktu perkecambahanbahkan mengakibatkan biji gagal berkecambah (Kondettiet al. 2012, Agarwal et al. 2015, Kandil et al. 2015). Indeksvigor kecambah berkurang akibat cekaman salinitas (Senet al. 2002, Cokkizgin 2012). Cekaman salin menghambatpertumbuhan pada fase vegetatif sehingga bobot basahdan kering tanaman kedelai berkurang (Okçu et al. 2005,Tunçturk et al. 2008, Dolatabadian et al. 2011, Farhoudiand Tafti 2011, Anitha and Usha 2012, Kondetti et al.2012).

Penelitian ketahanan genotipe kedelai terhadapsalinitas telah banyak dilakukan, namun terdapatinkonsistensi respon genotipe kedelai terhadap cekamansalinitas. Genotipe yang sama dapat memberikan responyang berbeda pada peubah pengamatan yang berbeda.Lubis (2000) melaporkan varietas Wilis tergolong toleranhingga 8 g/L NaCl (setara dengan 12,5 dS/m) berdasarkankemampuan membentuk tunas dalam kondisi in vitro danukuran jari-jari parenkim dan stele akar yang lebih besardibandingkan varietas lain dalam kondisi salin. Sunarto(2001) melaporkan hal yang berbeda, bahwa Wilistergolong agak toleran berdasarkan kemampuanmenghasilkan biji pada 0,4% NaCl, tetapi bobot biji yangdihasilkan tidak mencapai 1 gram. Hal ini menjadipermasalahan bagi pemuliaan kedelai toleran lahan salin,terutama pada tahap awal yaitu seleksi/skrining. Makalahini bertujuan untuk mereview metode penapisan kedelaitoleran salinitas untuk memperoleh metode yang tepatdalam seleksi kedelai toleran salinitas.

RESPON KEDELAI TERHADAP SALINITAS

Cekaman salinitas memberi dampak negatif terhadapsetiap fase pertumbuhan tanaman. Respon kedelaiterhadap salinitas dapat dilihat dari fenotip morfologi,anatomi, fisiologi, dan molekuler. Kedelai tergolong dalamtumbuhan glikofit yang sebenarnya tidak memilikimekanisme adaptasi terhadap salinitas, namun penelitianyang telah banyak dilakukan mengisyaratkan adagenotip-genotip yang menunjukkan respon toleran sepertipada genotipe BB52 (Wu et al. 2014), Lee 68 (Xu et al.2011), PI483463 (Lee 2009), serta Co Soy-2, DS-40,PalamSoy dan Pusa-16 (Kondetti et al. 2012).

Peneliti dari India, Cina, Mesir dan Indonesia telahbanyak meneliti respon kedelai terhadap salinitas.Peubah pengamatan bervariasi mulai dari morfologi,anatomi, komponen pertumbuhan, komponen hasil,protein, hingga molekuler. Secara umum, komponenpertumbuhan dan hasil kedelai menurun pada perlakuansalin. Peubah-peubah pengamatan pada faseperkecambahan pun cenderung menurun pada perlakuansalin. Salinitas menghambat dan menunda waktuperkecambahan bahkan mengakibatkan biji gagalberkecambah (Agarwal et al. 2015, Kondetti et al. 2012,Kandil et al. 2015).

Kedelai yang diberi perlakuan salin menunjukkanpeningkatan aktivitas enzim antioksidatif. Semakin tinggikonsentrasi NaCl yang diberikan, semakin tinggi aktivitasenzim antioksidatif (Dhairyasheel and Sharad 2015).Peningkatan aktivitas enzim antioksidatif sebagai respontanaman terhadap salinitas juga ditemukan pada jagung(Neto et al. 2006) dan gandum (Esfandiari et al. 2007).

Page 71: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Putri: Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

69

Enzim-enzim antioksidatif yang sering ditemukanmengalami peningkatan aktivitas pada kedelai tercekamsalin adalah lipid peroksidase (LPX), superoksidadismutase (SOD), glutation reduktase (GR), askorbatperoksidase (APX) dan katalase (CAT) (Anitha and Usha2012).

Selain enzim antioksidatif, ada beberapa senyawaterlarut yang meningkat konsentrasinya pada kondisi salin.Senyawa terlarut tersebut digolongkan ke dalam osmolitatau osmoprotektan dan berfungsi untuk menjagakesetimbangan potensial osmotik sel serta melindungienzim-enzim penting di dalam sel. Contoh osmoprotektanyang meningkat pada kedelai tercekam salin adalah prolindan glisinbetain, berdasarkan penelitian Wu et al. (2014).

Hormon tumbuhan yang berkaitan dengan kandunganair dalam sel dan dikategorikan sebagai hormon stresjuga terpengaruh oleh cekaman salinitas. Hamayun etal. (2010) melaporkan efek salinitas terhadap kandungangibberellic acid (GA), absisic acid (ABA), jasmonic acid(JA) dan salicylic acid (SA) pada kedelai kultivarHwangkeumkong. Kandungan GA dan SA menurun,sedangkan ABA dan JA meningkat, pada konsentrasi NaCl70 mM dan 140 mM.

Perubahan struktur dan anatomi batang kedelai padakondisi salin dilaporkan oleh Dolatabadian et al. (2011).Lapisan kutikula semakin tebal dan terjadi peningkatanjumlah trikoma. Lapisan kutikula diduga berfungsi untukmencegah larutan garam masuk terlalu banyak ke dalamsel. Sedangkan trikoma berfungsi seperti kelenjar garamuntuk mengakumulasi garam dari dalam sel untukdikeluarkan ke luar tubuh tumbuhan.

MEKANISME TOLERANSI KEDELAITERHADAP SALINITAS

Secara umum tumbuhan terbagi menjadi dua berdasarkankemampuannya menghadapi cekaman salinitas.Tumbuhan yang tidak memiliki mekanisme adaptasiterhadap salinitas atau sensitif salin digolongkan dalamkelompok glikofita. Sedangkan kelompok tanaman halofitterdiri atas tumbuhan yang secara alami telah terpaparlingkungan salin sehingga dapat dikatakan memilikimekanisme adaptasi terhadap cekaman salin (Yokoi etal. 2002).

Tumbuhan halofit seringkali digunakan untukmemahami mekanisme toleransi tanaman terhadapsalinitas. Penelitian yang melibatkan tumbuhan halofitseperti S. salsa dan Salt Tolerant Grasses (STGs)menunjukkan beberapa mekanisme toleransi tanamanterhadap salinitas, yaitu homeostasis ion, kemampuanmengatasi stres oksidatif dan adaptasi struktural.

NaCl diketahui merupakan garam utama dalam tanahsalin. Ion Na+ sebenarnya merupakan ion yang dibutuhkanoleh tumbuhan dalam jumlah sedikit dan memberikan efektoksik jika berlebih. Kemampuan dalam mempertahankanhomeostasis ion merupakan karakter yang dimiliki olehtumbuhan toleran salin. Kompartementasi merupakanupaya sel tumbuhan menjaga kesetimbangan ion(homeostasis ion) dalam sitosol. Ion Na+ yang berlebihakan dikompartementasi dari sitosol menuju vakuola.Proses kompartementasi membutuhkan sistem transportmembran dan melibatkan beberapa protein/enzim.Analisis Northern blot pada daun S.salsa yang terpapar500 mM NaCl menunjukkan ekspresi gen SsNHX1. Gentersebut diketahui mengkode Na+/H+ antiporter yangberperan dalam kompartementasi Na+ dari sitosol menujuvakuola (Ma et al. 2004). Transformasi gen SsNHX1 ketubuh tomat dan padi kemudian diberi perlakuan 300 NaClmemperlihatkan karakter rasio K+/Na+ tinggi, kandunganNa+ pada sitosol daun rendah, kandungan klorofil lebihtinggi, laju fotosintesis tinggi serta bobot kering lebihtinggi. Selain antiporter, proses kompartementasi jugamembutuhkan energi. Salt Overly Sensitive 1 (SOS1) Na+/H+ antiporter juga berperan penting dalam eksklusi Na+

dari arus transpirasi atau transport dari akar ke daun.Berdasarkan analisis mikro menggunakan sinar X, Na+

diakumulasi di korteks dan stele akar S.salsa sehinggayang terbawa arus transportasi pada xilem batang ataupundaun telah berkurang. Gen pengkode SOS 1 pada S.salsakemudian dikenal dengan SsSOS1 (Song et al. 2011,Duan et al. 2013, Wang et al. 2013).

Ion Na+ bersama ion K+ berperan penting dalam sistemtransport membran. Pompa Na+/K+ berfungsi untukmenjaga konsentrasi K+ tetap tinggi di dalam sel,sedangkan Na+ tetap tinggi di luar sel. Protein HKT1terdeteksi meningkat pada kondisi salin. Protein yangdikode oleh gen SsHKT1 pada S.salsa ini diduga kuatberperan sebagai K+ transporter dalam kondisi salinsehingga homeostasis rasio Na+/K+ terjaga (Shao et al.2006, Shao et al. 2014). Homeostasis Na+/K+ jugadidukung oleh keberadaan Ca2+ dalam sitosol. Ion Ca2+

dapat meningkatkan afinitas pengambilan ion K+ danselektivitas pengambilan ion Na+. Protein CAX1 dan genyang mengkodenya, SsCAX1 berperan dalam menjagakesetimbangan Na+ dan Ca2+ di sitosol. Han et al. (2011)mempelajari kerja CAX1 dengan perlakuan 100 mM CaCl

2

dan 100 mM NaCl pada S.salsa. Perlakuan tersebutmengaktivasi kinerja V-H+-ATPase yang memberikan lebihbanyak energi bagi Na+/H+ antiporter dan Ca2+/H+ antiportersehingga mendukung transport kedua ion tersebut antarasitosol dan vakuola.

Osmoregulasi diduga terkait dengan toleransitumbuhan terhadap salinitas. Akumulasi ion anorganikseperti Na+, K+, dan Cl- serta larutan organik seperti

Page 72: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

70

200 mM dan 48 jam setelah perlakuan pada 100 mM NaCl.Hal ini menunjukkan lipid peroksidase merupakan responfisiologis untuk mengatasi cekaman salin pada kedelai.Waktu yang dibutuhkan lipid peroksidase untuk mengatasicekaman oksidatif akibat salinitas tergantung pada kadarsalinitas. Namun, konfirmasi masih perlu dilakukan untukmenegaskan bahwa aktivitas lipid peroksidase dapatmengatasi cekaman oksidatif akibat salinitas, dengancara mengamati peubah-peubah pertumbuhan selanjutnyaseperti panjang akar, panjang batang, bobot basah danbobot kering (akar dan kecambah).

JA dan SA merupakan hormon stres yang didugaberperan sebagai senyawa sinyal bagi tumbuhan untukmemberikan respon terhadap stres. Setiap jenis atauvarietas mungkin memiliki hormon spesifik yang berperansebagai senyawa sinyal, baik JA maupun SA. Hal ini dapatdiamati pada kecenderungan level JA dan SA pada kultivarHwangkeumkong. Level JA meningkat dan SA menurunpada kultivar Hwangkeumkong mengisyaratkan bahwamungkin, hormon yang menjadi senyawa sinyal padakultivar ini adalah JA.

Kelenjar garam serta batang atau daun yang sukulenmerupakan bentuk adaptasi struktural tumbuhan halofit.Kelenjar garam terbentuk dari epidermis daun atau batangdan sebagian merupakan modifikasi dari rambut-rambuthalus di permukaan daun atau batang (trikoma). Ion toksikseperti Na+ dan Cl- dikompartementasi ke rambut kelenjarkemudian dikeluarkan dari tubuh tumbuhan.

METODE PENAPISAN KEDELAITOLERAN SALINITAS

Penapisan genotipe kedelai terhadap salinitas merupakantahap awal dalam pemuliaan dan pengembangan kedelaitoleran salin. Respon, mekanisme dan komponen yangterlibat dalam proses ketahanan menjadi dasarpertimbangan untuk mencari indikasi ketahanan genotipekedelai terhadap salinitas. Beberapa metode yangdigunakan dalam penapisan genotipe kedelai toleransalinitas disajikan dalam Tabel 1.

Ragam metode penapisan kedelai toleran salinitasbersumber dari peubah pengamatan yang digunakan, yangbervariasi dari komponen perkecambahan, komponenpertumbuhan dan hasil, fitohormon, aktivitas enzimantioksidatif serta osmolit/osmoprotektan. Namunkeragaman respon ketahanan terjadi pada satu genotipesehingga berpengaruh terhadap pengambilan kesimpulan.Contoh varietas Wilis dilaporkan toleran terhadap salinitasberdasarkan kemampuan inisiasi tunas (Lubis 2000) danhasil (Yuniati 2004). Hasil penelitian tersebut berlawanandengan Sunarto (2001) dan Aini et al. (2004) yang

karbohidrat terlarut, asam amino dan prolin merupakansalah satu strategi tumbuhan menghadapi cekamansalinitas. Larutan organik terlarut berperan dalam menjagakeseimbangan ion, penyesuaian potensial osmosis sertamelindungi protein-protein penting dan membran sel daricekaman oksidatif (osmoprotektan). Konsentrasiosmoprotektan akan meningkat pada kondisi tercekamsehingga menjadi osmolit yang berperan dalam menjagakesetimbangan potensial osmotik sel. Senyawa organikterlarut seperti prolin, glisinbetain, mio-inositol dan pinitolterbentuk dari senyawa antara dalam jalur metabolismeyang kemudian masuk ke jalur khusus pada kondisi stres(Wang et al. 2002a, Wang et al. 2002b, Neto et al. 2004,Wang et al. 2007, Park et al. 2009).

Cekaman salinitas dapat meningkatkan produksiReactive Oxygen Species (ROS) yang kemudian dapatmengganggu stabilitas membran sel, merusak protein danenzim penting dalam metabolisme sel, serta dapatmerusak DNA. Enzim antioksidatif yang banyak berperandalam mengatasi cekaman oksidatif sel adalah katalase(CAT), superoksida dismutase (SOD), askorbatperoksidase (APX), peroksidase (PX), lipid peroksidase(LPX), dan glutation reduktase (GR) (Muscolo et al. 2003;Seckin et al. 2010). Produksi askorbat peroksidase, hasiloverekspresi gen SssAPX dari stroma S.salsa yangditransformasikan ke A.thaliana kemudian diberi cekamansalin, diketahui dapat meningkatkan perkecambahan,pertumbuhan kotiledon, akar lebih panjang, kandunganklorofil tinggi dan kandungan H

2O

2 rendah (Li et al. 2012,

Ma et al. 2004, Wang et al. 2002, Qi et al. 2004, Wang etal. 2008, Caverzan et al. 2012). Aktivitas enzimantioksidatif diduga hanya meningkat beberapa saatsampai kesetimbangan internal tercapai. Apabila tanamantelah mampu melalui fase kritis akibat cekaman salin,aktivitas enzim kembali menurun. Waktu yang dibutuhkansejak perlakuan salin hingga saat aktivitas enzim menurun,berbeda-beda menurut kadar salin yang diberikan.Semakin tinggi salinitas, waktu yang dibutuhkan untukmenurunkan aktivitas enzim antioksidatif, juga cenderunglebih lama (Dhairyasheel and Sharad 2015).

Dhairyasheel and Sharad (2015) melaporkanpenurunan aktivitas lipid peroksidasi (LPX) pada kedelaitercekam salin 48 jam setelah perlakuan. Aktivitas enzimantioksidatif diduga hanya meningkat beberapa saatsampai kesetimbangan internal tercapai. Apabila tanamantelah mampu melalui fase kritis akibat cekaman salin,aktivitas enzim kembali menurun. Waktu yang dibutuhkansejak perlakuan salin hingga saat aktivitas enzim menurun,berbeda-beda menurut kadar salin yang diberikan.Semakin tinggi konsentrasi NaCl, waktu yang dibutuhkanuntuk menurunkan aktivitas enzim antioksidatif, jugacenderung kebih lama. Aktivitas lipid peroksidasemenurun 72 jam setelah perlakuan pada konsentrasi NaCl

Page 73: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Putri: Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

71

Tabel 1. Ragam metode evaluasi respon ketahanan kedelai terhadap salinitas.

No. Fase perlakuan salin Kadar salin Peubah pengamatan Penulis

1. 21-31 HST 50, 100, 150, • Tinggi tanaman Anitha and Usha200 mM NaCl • Panjang akar 2012

• Bobot basah• Bobot kering• Kandungan total protein• Aktivitas enzim: Catalase, Superoxide dismutase,

Ascorbate peroxidase, Lipid peroxidase,Glutathione reductase

2. Kecambah 50, 100, 150, • Aktivitas Lipid peroxidase per 24 jam Dhairyasheel B. and (1-5 HST) 200 mM NaCl Sharad B. 2015

3. 27 HST dan 40 HST 70 mM dan • Tinggi tanaman Hamayun et al. 2010140 mM NaCl • Bobot basah: akar dan batang

• Bobot kering: akar dan batang• Kandungan klorofil• Kandungan fitohormon: ABA, GA, JA, dan SA

4. Perkecambahan 3, 6, 9, 12 dan • Prosentase perkecambahan akhir Kandil et al. 201515 dS/m NaCl • Rata-rata waktu berkecambah

• Indeks perkecambah• Indeks vigoritas kecambah• Energi perkecambahan

5. Perkecambahan 3; 6; 7,2; 10; • Panjang: batang dan akar Agarwal et al. 2015s.d. 7 HST 12 dan 15 dS/m • Bobot kering

(EC air) • Perbandingan biomassa kontrol dengan perlakuan• Indeks kepekaan salinitas• Indeks intensitas salinitas

6. Perkecambahan 50, 100, 200, dan • Potensial air Wu et al. 2014s.d. 12 HST 300 mM/L NaCl • Kandungan air relatif

• Kandungan prolin dan glisin betain• Kandungan ion Na+, Cl-, dan K+

• Net Na+, Cl-, dan K+ fluxes

7. Perkecambahan 30 dan 60 mM • Prosentase perkecambahan Rastegar and Kandis.d. 8 HST NaCl • Bobot kering: kecambah dan kotiledon 2011

• Kandungan air biji• Cadangan makanan yang digunakan/

termobilisasi ke jaringan• Efisiensi mobilisasi cadangan makanan• Keseragaman perkecambahan

8. Perkecambahan 20, 40, dan 80 • Panjang: hipokotil dan akar Sobhanian et al.s.d. 7 HST mM NaCl • Bobot basah: hipokotil dan akar 2010

• Ekspresi protein: daun, hipokotil dan akar• Analisis mRNA gen penyandi ketahanan

terhadap salin

9. Perkecambahan 3, 6, 9 dS/m NaCl • Indeks kandungan klorofil Ghassemi-golezanis.d. panen • Variable fluorescence of chlorophyll and Taifeh-noori

• Kandungan prolin• Bobot biji per tanaman• Akumulasi minyak dan protein pada biji

10. Perkecambahan 100 mmol/L NaCl • Prosentase perkecambahan Xu et al. 2011s.d. 12 HST • Kandungan hormon IAA, GA, dan ABA

• Identifikasi protein terekspresi

11. Perkecambahan 50, 100, 150 dan • Indeks kecepatan perkecambahan Neves et al. 2005s.d. 8 HST 200 mM NaCl • Panjang: kecambah dan akar

• Bobot basah kecambah (tanpa kotiledon)• Bobot kering kecambah (tanpa kotiledon)

Page 74: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

72

Tabel 1. Lanjutan.

No. Fase perlakuan salin Kadar salin Peubah pengamatan Penulis

12. 30 HST s.d. 45 HST 150 mM NaCl • Tinggi tanaman Tunçturk et al. 2008• Panjang akar• Bobot kering: daun, batang, akar• Kandungan mikronutrien: Fe, Mn, Cu, dan Zn

13. 5 HST s.d. 30 HST 25, 50 dan 100 • Bobot basah: tajuk, akar Dolatabadian et al.mM NaCl • Bobot kering: daun, batang, akar 2011

• Jumlah daun• Luas area daun• Anatomi batang

14. Perkecambahan 0,3; 1,0; 1,7; 2,4; • Prosentase perkecambahan Blanco et al. 2007s.d. ± 40 HST 3,1; 3,8; 4,5; 5,2; • Kecepatan perkecambahan

5,9 dS/m • Tinggi tanaman(EC air irigasi) • Bobot kering: daun dan batang

• Laju pertumbuhan relatif dan absolut• Rasio bobot daun

15. Perkecambahan DHL tanah: 1,52 dS/m • Tinggi tanaman Aini et al. 2014s.d. panen dan 8,58 dS/m • Bobot kering: tajuk dan akar

(20% air laut) • Luas daun• Indeks klorofil daun• Hasil biji

16. Perkecambahan 120, 180, 240, dan • Panjang: batang dan akar Kondetti et al. 2012s.d. 7 HST 300 mM NaCl • Bobot basah: akar dan batang

• Bobot kering: akar dan batang• Prosentase kelembaban

17. ± 2-3 minggu 0,6% NaCl (48 jam) • Profil metabolit Lu et al. 2013setelah tanam • Perubahan metabolit

18. 10 HST s.d. 24 HST 200 mmol/L NaCl • Skor klorosis daun Guan et al. 2014• Gen ketahanan terhadap salin

19. 20 HST s.d. panen 50, 100, 200, • Konduktansi stomata Chen et al. 2013300 mM NaCl • Konsentrasi CO

2 interseluler

• Laju transpirasi• Efisiensi fotosistem II• Kandungan klorofil• Aktivitas rubisco• Potensial air• Kandungan air relatif• Kandungan prolin dan glisin betain• Kandungan Na+ dan Cl-

• Net Na+ dan Cl- fluxes• Kandungan lipid peroksidase• Total kandungan fenol• Kandungan AsA dan GSH• Aktivitas enzim antioksidan

20 Perkecambahan 50, 70 dan • Tinggi tanaman Triyani et al. 2013s.d. panen 90 mM NaCl • Panjang, volume dan jumlah akar

• Bobot basah: tanaman, tajuk, akar• Bobot kering: tanaman, tajuk, akar• Indeks kepekaan salinitas

21 Perkecambahan 0,2% dan 0,4% • Tinggi tanaman Sunarto 2001s.d. panen NaCl • Jumlah dan luas daun

• Jumlah cabang dan polong• Total bobot kering brangkasan (tajuk dan akar)• Bobot biji

Page 75: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Putri: Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

73

melaporkan bahwa Wilis tergolong sensitif/peka terhadapsalinitas. Farid (2006) melaporkan hasil yang berbedadalam hal vigor kecambah. Varietas Orba yangsebelumnya tergolong rentan pada percobaan Sunarto(2001), memperlihatkan respon toleran pada konsentrasiNaCl 50 mM (4,6 dS/m).

Metode evaluasi ketahanan kedelai terhadap salinitasdidasari atas perubahan morfologi, anatomi, fisiologimaupun molekuler tumbuhan pada kondisi tercekam.Gejala perubahan saling mendukung satu sama lain dansetiap genotipe sangat dimungkinkan menunjukkanperubahan respon ketahanan pada aras yang berbeda.Gejala-gejala perubahan tersebut harus diperhatikansecara seksama agar tidak terjadi kesalahan dalampengambilan kesimpulan mengenai genotipe rentan dantoleran. Sebagai contoh, genotipe CMS50 menunjukkangejala toleran salin sedangkan BR5033 rentan,berdasarkan Net assimilation rate (NAR). Namun, padaparameter lain yaitu root/shoot ratio, laju pertumbuhandan luas area daun, BR5033 terlihat lebih toleran salindibandingkan CMS50.

Perbedaan respon genotipe terhadap salinitas jugaterlihat pada tiap fase pertumbuhan. Genotipe toleran salinpada fase kecambah belum tentu memberikan respontoleran pasa fase dewasa. Wilis menunjukkan respontoleran dalam hal inisiasi tunas, tetapi mengalamipenurunan hasil >77% pada kondisi salin (Lubis 2000,Sunarto 2001). Lima kultivar Canola menunjukkan responyang berbeda terhadap salinitas. Kultivar Elite paling pekaterhadap salinitas sedangkan Licord toleran, pada fasekecambah. Namun, pertumbuhan dan hasil kultivar Licordmenurun dan lebih rendah dibandingkan SLM

046 dan Okapi

apabila diberi perlakuan salin pada fase dewasa (Bybordi2010).

Penelitian Bybordi (2010) menunjukkan bahwapenapisan kedelai toleran salinitas sebaiknya dilakukantidak hanya pada satu fase pertumbuhan saja, tetapi sejakperkecambahan hingga panen. Kultivar Licord yangmenunjukkan respon toleran pada fase kecambahmenunjukkan respon sensitif pada fase dewasa. Kontrolkondisi salin pada media yang digunakan juga perludiperhatikan jika penelitian dilakukan hingga panen.Salinitas pada umumnya bersumber pada kadar garamyang terlarut dalam tanah atau air tanah dan diukurberdasarkan daya hantar listrik atau elektrokonduktivitas(EC). Salinitas media dapat berubah akibat perlakuan,pemupukan selama pemeliharaan maupun faktor eksternalseperti curah hujan. Daya hantar listrik media akanberpengaruh terhadap kondisi akhir salinitas setelahpemberian perlakuan salin. Pengukuran DHL media perludilakukan secara berkala untuk mengantisipasi pelindianataupun akumulasi garam akibat faktor eksternal seperti

curah hujan dan penyiraman atau irigasi sehinggaberpengaruh terhadap hasil percobaan.

Perbedaan respon ketahanan suatu genotipe kedelaiterhadap salinitas yang ditunjukkan dalam penelitianterdahulu dapat disebabkan oleh perbedaan batas kritisketahanan antar genotipe terhadap salinitas. Setiapgenotipe kedelai nampaknya memiliki batas kritis yangberbeda terhadap salinitas. Pengetahuan mengenai bataskritis suatu genotipe terhadap salinitas sangatberpengaruh dalam menentukan perlakuan kadar salin.Pengukuran batas kritis suatu genotipe sebaiknyadilakukan terlebih dahulu jika belum ada informasi daripenelitian terdahulu, seperti yang dilakukan oleh Aini etal. (2015). Pengujian untuk menentukan batas kritis cukupdilakukan hingga fase vegetatif awal (± 40-43 HST) denganmengamati karakter kadar klorofil, tinggi tanaman, bobotkering tanaman, klorosis daun dan kematian tanamanseperti yang dilaporkan oleh Aini et al. (2015).

Variabel pengamatan yang digunakan dalampenapisan genotip kedelai toleran salinitas meliputi aspekmorfologi, anatomi, fisiologi dan molekuler. Aspek fisiologi,selain berperan sebagai data dukung indikator karaktertoleran, sangat penting dalam memahami mekanismemunculnya respon ketahanan. Analisis korelasi dapatdilakukan untuk mengetahui faktor fisiologi yang palingberperan dalam memunculkan respon ketahanan sehinggadapat digunakan sebagai indikator tanaman tahan ataurentan. Chen et al. (2013) melakukan penelitian mengenaimekanisme fisiologis Glycine soja dalam menghadapicekaman salinitas. Glycine soja merupakan kedelai tipeliar yang tumbuh di delta Sungai Kuning China, dandiketahui memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem antioksidan,regulasi osmotik sel dan eksklusi ion toksik merupakanfaktor fisiologis yang memunculkan respon toleranterhadap salinitas pada Glycine soja. Parameter fisiologisyang biasa digunakan untuk penapisan kedelai toleransalin adalah konsentrasi enzim antioksidan, konsentrasisenyawa osmoprotektan, serta kandungan ion Na+, K+,dan Cl- pada daun maupun akar.

Aspek molekuler telah banyak diperhatikan dandipandang akurat menjadi indikator penentu karaktertoleran salin. Identifikasi protein, enzim, bahkan gen yangberkaitan dengan karakter toleran salin telah banyakdilakukan pada tanaman model seperti A. thaliana atauS. salsa sehingga penapisan genotipe kedelai toleran salindapat dilakukan dengan mendeteksi gen-gen tersebut(Sobhanian 2010, Guan et al. 2014). Genotipe kedelaiterpilih hasil penapisan molekuler perlu diuji lapang untukmembuktikan ketahanannya terhadap salinitas karenafenotipe toleran terhadap salinitas merupakan hasilinteraksi antara gen dengan lingkungan. Metode molekuler

Page 76: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

74

dapat digunakan sebagai penapisan awal apabila jumlahgenotipe bahan uji sangat banyak. Setelah penapisanmolekuler dilakukan dan jumlah genotipe telah banyakberkurang, dapat dilakukan penapisan fisiologis maupunmorfologis sehingga mempersingkat waktu penelitian.

KESIMPULAN

Penapisan kedelai toleran salinitas perlu dilakukan padaseluruh fase pertumbuhan untuk melihat konsistensiketahanan genotipe terhadap salinitas. Hal-hal yang harusdiperhatikan dalam penapisan kedelai toleran salinitasadalah: (1) Pengawasan/kontrol kondisi media danlingkungan dilakukan dengan pengukuran DHL tanah/media tumbuh secara berkala; (2) Uji pendahuluan untukmengetahui batas kritis level salinitas genotipe bahan ujidiperlukan jika belum ada informasi mengenai hal tersebutpada penelitian sebelumnya; (3) Pemilihan variabelpengamatan yang tepat dan memiliki korelasi secaralangsung terhadap karakter toleran salinitas sepertikonsentrasi ion Na+, Cl-, dan K+ pada akar serta daun,konsentrasi enzim antioksidatif, atau konsentrasisenyawa osmoprotektan; (4) Penapisan molekuler dapatdilakukan sebagai penapisan pendahuluan untukmereduksi jumlah genotipe uji apabila jumlah genotipesangat banyak. Kegiatan dilanjutkan dengan penapisanfisiologis mengingat fenotipe merupakan hasil interaksiantara genotipe dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, N., A. Kumar, S. Agarwal and A. Singh. 2015.Evaluation of soybean (Glycine max L.) cultivars undersalinity stress during early vegetative growth.International Journal of Current Microbiology andApplied Sciences 4(2): 123-134.

Aini, N., W. Sumiya, D.Y. Syekhfan, R. Dyah P. dan A. Setiawan.2014. Kajian pertumbuhan, kandungan klorofil danhasil beberapa genotip tanaman kedelai (Glycine maxL.) pada kondisi salinitas. Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2014. Dilaksanakan di Palembangpada 26-27 September 2014.

Aini, N., Syekhfani, W.S.D. Yamika, R.D. Purwaningrahayu,and A. Setiawan. 2015. Growth & physiologicalcharacteristics of soybean genotypes (Glycine max L.)toward salinity stress. Agrivita 36(3): 201-209.

Anitha, T. and R. Usha. 2012. Effect of salinity stress onphysiological biochemical and antioxidant defensesystems of high yielding cultivars of soyabean.International Journal of Pharma and Bio Sciences 3(4):851-864.

Blanco, F.F., M.V. Folegatti, H.R. Gheyi, and P.D. Fernandes.2007. Emergence and growth of corn and soybeanunder saline stress. Sci. Agric. 64(5): 451-459.

Bybordi, A. 2010. The influence of salt stress on seedgermination, growth and yield of canola cultivars. Not.Bot. Hort. Agrobot. Cluj. 38 (1): 128-133.

Caverzan, A., G. Passaia, S. B. Rosa, C.W. Ribeiro, F.Lazzarotto, and M. Margis-Pinheiro. 2012. Plantresponses to stresses: role of ascorbate peroxidasein the antioxidant protection. Genetics and MolecularBiology 35(4): 1011-1019.

Chen, P., K. Yan, H. Shao, and S. Zhao. 2013. Physiologicalmechanisms for high salt tolerance in wild soybean(Glycine soja) from yellow river delta, China:photosynthesis, osmotic regulation, ion flux andantioxidant capacity. Mechanisms for Salt Tolerance ofWild Soybean 8(12), 12 pp.

Cokkizgin, A. 2012. Salinity stress in common bean(Phaseolus vulgaris L.) seed germination. NotulaeBotanicae Horti Agrobotanici 40(1):177-182.

Dhairyasheel B., Patil. and B. Sharad B. 2015. Influence ofNaCl mediated salinity stress on lipid peroxidation ingerminating seeds of soybean. International Journalof Pharma and Bio Sciences 6(1): 549-552.

Dolatabadian, A., S.A.M. Modarressanavy, and F. Ghanati.2011. Effect of salinity on growth xylem structure andanatomical characteristics of soybean. Not. Sci. Biol.3(1): 41-45.

Duan, H.R., S.Y. Wang, Li Wang, J.L. Zhang, and S.M. Wang.2013. Expression Analysis of Plasma Membrane Na+/H+ Antiporter Gene (SsSOS1) from Halophyte Suaedasalsa. http://www.paper.edu.cn

El-Swaify, SA. 2000. Soil and water salinity. plant nutrientmanagement in Hawaii’s soils, approaches for tropicaland subtropical agriculture. University of Hawaii.

Esfandiari, E.F. Shekari, F. Shekari, M. Esfandiari. 2007. Theeffect of salt stress an antioxidant enzymes activity andlipid peroxidation on the wheat seedling. Not. Bot. Hort.Agrobot. Cluj. 35(1).

Farhoudi R. and M. M. Tafti. 2011. Effect of Salt Stress onSeedlings Growth & Ions Homeostasis of Soybean(Glycine max) Cultivars. Advanced EnvironmentalBiology 5:2522-2526.

Farid, M. 2006. Seleksi Kedelai Tahan Kekeringan danSalinitas Secara in Vitro dengan NaCl. J. Agrivigor 6(1):65-74

Gama, P.B.S., S. Inagana, K. Tanaka, and R. Nakazawa.2007. Physiological response of common bean(Phaseolus vulgaris. L.) seedlings to salinity stress.African J. of Biotech. (2):79-88.

Guan, R., J. Chen, J. Jiang, G. Liu, Y. Liu, L. Tian, L. Yu, R.Chang, and L. Qiu. 2014. Mapping and validation of adominant salt tolerance gene in the cultivated soybean(Glycine max) variety Tiefeng 8. The Crop Journal 2:358-365.

Ghassemi-Golezani, K. & M. Taifeh-Noori. 2011. SoybeanPerformance under Salinity Stress. Soybean-Biochemistry, Chemistry, & Physiologi. Prof. Tzi-BunNg. (Ed.). Intech : 631-643.

Page 77: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Putri: Metode Penapisan Kedelai Toleran Salinitas

75

Hamayun, M., S.A. Khan, A.L. Khan, Z.K. Shinwari, J.Hussain, E. Sohn, S. Kang, Y. Kim, M. A. Khan, and I.Lee. 2010. Effect of salt stress on growth attributesand endogenous growth hormones of soybean cultivarHwangkeumkong. Pak. J. Bot. 42(5): 3103-3112.

Han, N., Q. Shao, H.Y. Bao, B.S. Wang. 2011. Cloning andcharacterization of a Ca2+/H+ antiporter from halophyteSuaeda salsa L. Plant Molecular Biology Reporter 29:449-457.

Kandil, A.A., A.E.Sharief, and Kh.R. Ahmed. 2015.Performance of some Soybean Glycine max (L.) Merrill.cultivars under salinity stress to germinationcharacters. International Journal of Agronomy andAgricultiral Research (IJAAR) 6(3): 48-56.

Kondetti, P., N. Jawali, S.K.Apte and M. G. Shitole. 2012. Salttolerance in Indian soybean (Glycine max (L.) Merill)varieties at germination and early seedling growth.Annals of Biological Research 3(3): 1489-1498.

Kotuby-Amacher, J., K. Rich and K. Boyd. 2000. Salinity andplant tolerance. Available at https://extension.usu.edu/files/publications/publication/AG-SO-03.pdf.

Lee, J., J.G. Shannon, T.D. Vuong and H.T. Nguyen. 2009.Inheritance of salt tolerance in wild soybean (Glycinesoja Sieb. & Zucc.) Accession PI483468. Journal ofHeredity 100(6): 798-801.

Li, K., C.H. Phang, F. Ding, N. Sui, Z.T. Feng, and B.S. Wang.2012. Overexpression of Suaeda salsa stromaascorbate peroxidase in Arabidopsis. South AfricanJournal of Botany 78: 235-245.

Lu, Y., H. Lam, E. Pi, Q. Zhan, S. Tsai, C. Wang, Y. Kwan, andS. Ngai. 2013. Comparative metabolomics in glycinemax and glycine soja under salt stress to reveal thephenotypes of their offspring. J. Agric. Food. Chem 61:8711-8721.

Lubis, K. 2000. Respon morfogenesis embrio beberapavarietas kedelai (Glycine max L. Merr.) pada berbagaikonsentrasi NaCl secara in vitro. Tesis. ProgramPascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Ma, X.L., Q. Zhang, H.Z. Shi, et al. 2004. Molecular cloningand different expression of vascular Na+/H+ AntiporterGene in Suaeda salsa Under Salt Stress. BiologiaPlantarum 48: 219-225.

Marschner, H. 1995. Mineral nutrition of higher plants.Second edition. Academic Press: 680 pp.

Muscolo, A., M. SIdari, and M.R. Panuccio. 2003. Toleranceof kikuyu grass to long term salt stress is associatedwith induction of antioxidant defences. Plant GrowthRegul. 41(1): 57-62.

Naidoo, Y. and G. Naidoo. 1999. Citochemical localizationof adenosine triphosphatase activity in salt glands ofSporobolus virginicus (L.) Kunth. S. fr. J. Bot. 65: 370-373.

Neto, A.A.D., J.T. Prisco, Eneas Filho, C.E.B. de Abreu, andE. Gomes-Filho. 2006. Effect of salt stress onantioxidative enzymes and lipid peroxidation in levesand roots of salt tolerant & salt sensitive maize

genotypes. Environmental & Experimental Botani 56:87-94.

Neves, G.Y.S., P.C. Zonetti, M.L.L. Ferrarese., A.L. Braccini,and O. Ferrarese-Filho. 2005. Seed germinations andseedlings growth of soybean [Glycine max (L.) Merr.]under salt stress. Biosci. J.: 77-83.

Okcu, G., M.D. Kaya, and M. Atak. 2005. Effects of salt anddrought stresses on germination and seedling growthof pea (Pisum sativum L.). Turk. J. Agric. For. 29: 237-242.

Park, J., T.W. Okita, and G.E. Edwards. 2009. Salt toleranmechanisms in single cell C4 species Bienertiasinuspersici and Suaeda aralocaspica(Chenopodiaceae). Plant Science 176: 616-626.

Qi, Y.C., S.M. Zhang, L.P. Wang, M.D. Wang, H. Zhang. 2004.Overexpression of GST gene accelerates the growthof transgenic Arabidopsis under salt stress. Journal ofPlant Physiology and Molecular Biology 30: 517-522.

Rastegar, Z. and M.A.S. Kandi. 2011. The Effect of Salinityand Seed size on seed reserve utilization and seedlinggrowth of Soybean. International Journal of Agricultural& Plant Production 2(1): 1-4.

Seckin, B., I. Turkan, A.H. Sekmen, and C. Ozfidan. 2010.The role of antioxidant defense systems at differentialsalt tolerance of Hordeum marinum Huds. (Sea BarleyGrass) and Hordeum vulgare L. (Cultivated Barley).Environ. Exp. Bot. 69(1): 76-85.

Sen, D. N., P. K. Kasera, and S. Mohammed. 2002. Biologyand physiology of saline plants. Handbook of Plant &Crop Physiology 2nd ed. Marcel Dekker, Inc.. New York:563-581.

Shao, Q., N. Han, T.L. Ding, and B.S. Wang. 2006. Polyclonalantibody preparation and expression analysis of high-affinity K+ transporter SsHKT1. Journal of WuhanBotanical Research 24: 292-297.

Shao, Q., N. Han, TL. Ding, F. Zhou, & BS. Wang. 2014.SsHKTI:1 is a Potassium Transporter of a C

3 Halophyte

Suaeda salsa Involving in Salt Tolerance. FunctionalBiology 41:790-802

Sobhanian, H. R. Razavizadeh, Y. Nanjo, A.A. Ehsanpour,F.R. Jazli, N. Motamed, and S. Komatsu. 2010.Proteome analysis of soybean leaves hypocotils androots under salt stress. Proteome Scince 8:19:1-15.

Song, J. G.W. Shi, B. Gao, H. Fan, and B.S. Wang. 2011.Waterlogging and salinity effects on two Suaeda salsapopulations. Physiologia Plantarum 141: 343-351.

Sonon, L.S., S. Uttam, and E.K. David. 2012. Soil salinity:testing, data interpretation and recommendations.Agricultural and Environmental Services Laboratories.The Univ. of Georgia. 6 pp.

Sposito, G. 2008. The Chemistry of Soil. Oxford UniversityPress, New York. 321 pp.

Sunarto. 2001. Toleransi Kedelai terhadap Tanah Salin.Buletin Agronomi 29(1): 27-30.

Tan, K.H. 2000. Environmental Soil Science. Marcel DekkerNew York.

Page 78: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

76

Triyani, A., Suwarto, dan S. Nurchasanah. 2013. Toleransigenotipe kedelai (Glycine max L. Merril.) terhadapkonsentrasi garam NaCl pada fase vegetatif.Agronomika 13(1).

Tunçturk, M., R. Tunçturk, and F. Yasar. 2008. Changes inmicronutrients, dry weight, and plant growth of soybean(Glycine max L. Merrill) cultivars under salt stress.African Journal of Biotechnology 7(11): 1650-1654.

USDA-ARS. 2008. Research database. (http://www.ars.usda.gov/services/docs.htm?docid=8908)

Wang, L.P., Y.C. Qi, Y.X. Zhao, and H. Zhang. 2002. Cloningand Sequencing of GST Gene of Suaeda salsa and ItsExpression Characteristics. Journal of Plant Physiologiand Molecular Biology 28: 133-136.

Wang, P.P., C.L. Ma, K.F. Zhao, Y.X. Zhao, and H. Zhang.2002a. Isolation and characterizing of a Ä1-pyrroline-5-carboxylate synthase gene in SUaeda salsa undersalinity stress. Journal of Shandong Normal University(Natural Science) 17: 59-62.

Wang, P.P., C.L. Ma, Z.Y. Cao, Y.X. Zhao, and H. Zhang. 2002b.Molecular cloning and differential expression of amyo-inositol-1-phosphate synthase gene in Suaeda salsaunder salinity stress. Journal of Plant Physiology andMolecular Biology 28: 175-180.

Wang, B.S. U. Luttge, and R. Ratajczak. 2004. Specificregulation of SOD isoforms by NaCl and osmotic stressin leaves of the C3 halophyte Suaeda salsa L. Journalof Plant Physiology 161: 285-293.

Wang, S.H., J.M. Tao, H.M. Zhang, and Z. Zhang. 2007.Molecular Cloning of Betaine Synthetase in SUaedasalsa and Construction of Plant Coexpression Vectorin a Single Open Reading Frame with The 2A Regionof FMDV. Acta Botanica Boreali-Occidentalia Sinica 27:215-222.

Wang, F. N.Q. Zhong, P. Gao, G.L. Wang, H.Y. Wang, andG.X. Xia. 2008. SsTypA1, a Chloroplast-Specific TypA/BipA-type GTPase from The Halophytic Plant Suaedasalsa, Plays a Role in Oxidative Stress Tolerance. Plant.Cell and Environment 31: 982-994.

Wang, S.Y. H.R. DUan, Li Wang, J.L. Zhang, and S.M. Wang.2013. Molecular cloning and sequence analysis ofplasma membrane Na+/H+ antiporter gene (SsSOS1)from Halophyte Suaeda salsa. http://www.paper.edu.cn

Wu, G., Z. Zhou, P. Chen, X. Tang, H. Shao, and H. Wang.2014. Comparative ecophysiological study of saltstress for wild and cultivated soybean species fromthe yellow river delta, China. The Scientific WorldJournal 1-13.

Xu, X., R. Fan, R. Zheng, C. Li, D. Yu. 2011. Proteomic Analysisof Seed Germination under Salt Stress in Soybeans.Journal of Zhejang University-SCIENCE B (Biomedicine& Biotechnology): 507-517.

Yokoi, S., R.A. Bressan, and P.M. Hasegawa. 2002. Saltstress tolerance of plant. JIRCAS Working Report:25-33.

Yuniati, R. 2004. Penapisan Galur Kedelai (Glycine max(L.) Merr.) Toleran terhadap NaCl untuk Penanaman diLahan Salin. Makara Sains 8(1): 21-24.

Page 79: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sulistyo: Kriteria Seleksi Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

77

Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

Selection Criteria for Determination of Soybean Resistance to Whitefly

Apri Sulistyo

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJl.Raya Kendalpayak Km.8. Kotak Pos 66 Malang 65101, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 16 Februari 2016, direvisi 16 April 2016, dan disetujui diterbitkan 10 Juni 2016

ABSTRACT

Whitefly (Bemisia tabaci Genn.) is a leaf-sucking insect and is a major pest on soybean. Nymphs and adultsof whitefly are insect stages that cause damage directly or indirectly on the host plant. Chemical control to thepest has not produced satisfactorily results, and even has given a negative impact on the environment,damaging the efficacy of biological agents, and causing resistance to chemical compounds on whitefly. Pestcontrol techniques based on Integrated Pest Management (IPM) is using the resistant varieties. Selectioncriteria for resistance to pest are needed based on the resistance mechanism and agronomic characteristicof resistant genotypes. Soybean resistant mechanism to whitefly could be through physical antixenosis,such as through the leaf trichomes and leaf thickness. Based on antixenosis mechanism, selection forresistance is done by counting the number of whitefly infestation (eggs, nymphs, pupas, adults) per leafarea. Antibiosis mechanism was selected by observing the life cycle of whitefly, including the duration of thehatching eggs into nymphs, the development of the nymph into pupa, and the adult insect emergence.Selection of resistant soybean based on tolerance mechanisms was done by observing the decrease ingrain yield due to whitefly attacks. Soybean breeding to obtain varieties resistant to whiteflies in Indonesiacould use the mechanism of tolerance based on leaf damage intensity, as selection criteria.

Keywords: Soybean, whitefly, antixenosis, antibiosis, tolerance, selection criteria.

ABSTRAK

Kutu kebul adalah hama pengisap daun dan merupakan salah satu hama utama kedelai. Nimfa dan imagokutu kebul diketahui sebagai stadia yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung maupun tidaklangsung. Pengendalian secara kimiawi belum memberikan hasil yang memuaskan, bahkan berdampaknegatif terhadap lingkungan, merusak agens hayati potensial dan menyebabkan resistensi kutu kebul terhadapsenyawa kimia. Salah satu teknik pengendalian hama yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaanhama terpadu (PHT) adalah penggunaan varietas tahan. Tahapan krusial dalam perakitan varietas tahanadalah seleksi ketahanan. Aspek yang perlu diperhatikan dalam seleksi ketahanan adalah mekanismeketahanan dan karakteristik agronomi genotipe tahan. Mekanisme ketahanan kedelai terhadap kutu kebuldapat berupa antixenosis fisik, antara lain melalui trikoma daun dan ketebalan daun. Berdasarkan mekanismeketahanan antixenosis, seleksi ketahanan dilakukan berdasarkan jumlah infestasi kutu kebul (telur, nimfa,pupa, dan imago) per satuan luas daun. Selain antixenosis, mekanisme ketahanan antibiosis juga terjadipada kedelai. Seleksi ketahanan berdasarkan mekanisme antibiosis dilakukan dengan memperhatikansiklus hidup kutu kebul, mulai dari telur yang menetas menjadi nimfa, kemudian berkembang menjadi pupahingga menjadi imago dewasa. Gejala ketahanan antibiosis pada kedelai terhadap kutu kebul dapat berupasiklus hidup yang cepat, jumlah telur yang menetas menjadi nimfa sedikit, periode nimfa yang panjang, dankegagalan imago keluar dari pupa. Seleksi ketahanan berdasarkan mekanisme toleransi dapat dilakukandengan memperhatikan penurunan hasil atau intensitas kerusakan pada saat terjadi serangan kutu kebul.Di Indonesia, program perakitan varietas kedelai tahan kutu kebul dapat diarahkan ke mekanisme toleransidengan menggunakan parameter intensitas kerusakan daun sebagai kriteria seleksi.

Kata kunci: Kedelai, kutu kebul, antixenosis, antibiosis, toleransi, kriteria seleksi.

Page 80: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

78

PENDAHULUAN

Kutu kebul merupakan serangga pengisap daun yangbersifat polifag. Diperkirakan terdapat 600 spesiestumbuhan, baik tanaman pangan, hortikultura, maupuntanaman hias yang menjadi inang hama ini (Oliveira et al.2001). Simmons et al. (2008) melaporkan 49 spesiestanaman dari 11 genus yang diteliti menjadi inang barubagi kutu kebul, tiga di antaranya tanaman pangan yangdibudidayakan, yaitu oat (Avena sativa), milet (Panicummiliaceum), dan gandum (Triticum aestivum). Menurut Liet al. (2011), spesies tanaman dari famili Compositae,Cruciferae, Cucurbitaceae, Solanaceae dan Leguminosaeadalah inang yang lebih disukai kutu kebul. Dari familiLeguminosae, kedelai merupakan salah satu inang yangdisukai kutu kebul. Hasil penelitian Mansaray danSundufu (2009) menunjukkan kutu kebul lebih menyukaikedelai (Glycine max) sebagai inang untuk meletakkantelur dibandingkan dengan buncis (Phaseolus vulgaris)atau kacang tunggak (Vigna unguiculata). Musa dan Ren(2005) menyebutkan bahwa jumlah telur yang diletakkanserangga ini pada permukaan daun kedelai mencapai 160butir. Periode perkembangan telur hingga dewasamemerlukan waktu 18 hari dan tingkat bertahan hidup77%.

Serangan kutu kebul berpotensi menimbulkankerusakan berat pada tanaman. Stadia nimfa dan imagokutu kebul merupakan stadia yang menyebabkankerusakan pada kedelai. Menurut Hoodle (2003), infeksidari kedua stadia tersebut dapat menimbulkan kerusakansecara langsung, yaitu pada saat menusuk dan mengisapcairan daun hingga tanaman inang mengalami klorosis.Kerusakan secara tidak langsung akibat akumulasi embunmadu menjadi media pertumbuhan yang baik bagicendawan jelaga yang menutupi permukaan daun,sehingga mengganggu proses fotosintesis. Jones (2003)menambahkan bahwa kerusakan yang ditimbulkansemakin parah karena serangga dewasa berperan sebagaivektor lebih dari 100 virus tanaman. Navas-Castillo et al.(2011) menyebutkan bahwa sebagian besar virus yangditularkan kutu kebul adalah Begomovirus dari familiGeminiviridae. Hama ini juga merupakan vektor bagiCrinivirus, Ipomovirus, Torradovirus, dan beberapaCarlavirus.

Usaha pengendalian kutu kebul yang umum dilakukanpetani adalah penggunaan insektisida kimia (Song andSwinton 2009). Menurut Palumbo et al. (2001),pengendalian kutu kebul dengan cara ini belummemberikan hasil yang memuaskan. Hasil penelitianBueno et al. (2011) menemukan penggunaan profilaksisinsektisida pada kedelai tidak menyebabkan produktivitaslebih tinggi dibandingkan dengan teknik pengelolaan hamaterpadu maupun pengendalian biologis. Norris et al. (2003)

menyebutkan bahwa strain baru kutu kebul mudahterbentuk sehingga mudah tahan (resisten) terhadappestisida kimia dan dapat meningkatkan biaya produksi.Houndété et al. (2010) menduga peningkatan ketahananhama ini terhadap insektisida kimia karena perubahanbiotipe kutu kebul.

Aplikasi insektisida kimia yang berlebihan jugaberdampak negatif terhadap lingkungan, di antaranyamerusak agens hayati yang ada (Carmo et al. 2010). Olehkarena itu diperlukan teknik pengendalian yang ramahlingkungan. Salah satu teknik pengendalian hama yangsesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hama terpadu(PHT) adalah penggunaan varietas tahan. Cara ini dapatdikombinasikan dengan teknik pengendalian lainnya yangramah lingkungan, seperti penerapan pestisida hayatiatau agens biologis (Ellsworth and Martinez-Carrillo 2001,Stansly and Natwick 2010, Vieira et al. 2011). Perakitanvarietas kedelai tahan kutu kebul dapat dilakukan melaluiserangkaian kegiatan pemuliaan. Salah satu tahapanpenting untuk mendapatkan varietas tahan adalah seleksiketahanan. Untuk menentukan kriteria seleksi yangsesuai perlu pengetahuan mengenai mekanismeketahanan dan karakteristik agronomi kedelai tahan kutukebul. Makalah ini membahas kedua aspek tersebut, danimplikasinya terhadap penentuan kriteria seleksi dalampemuliaan.

MEKANISME KETAHANAN DANKARAKTERISTIK KEDELAI TAHAN

KUTU KEBUL

Perbaikan sifat ketahanan suatu tanaman untukmemperoleh varietas tahan atau toleran terhadap hamatertentu, memerlukan pengetahuan dan pemahamanmekanisme ketahanan dari tanaman tersebut. Emden(2002) menyatakan terdapat tiga mekanisme ketahanantanaman terhadap hama, yaitu antixenosis, antibiosis,dan toleran. Setiap jenis tanaman memiliki mekanismeketahanan yang spesifik dan bergantung pada seranggahama yang menyerangnya.

Antixenosis, atau lebih dikenal dengan ketidaksukaanterhadap tanaman inang, adalah tahap pertama kontakantara hama dan tanaman. Mekanisme antixenosismengacu pada kurangnya daya tarik tanaman inangsebagai tempat untuk makan dan tinggal bagi serangga.Tanaman inang yang mengekspresikan mekanismeantixenosis mempengaruhi perilaku hama serangga untukmerasakan keinginan mendekati, makan dan ataumeletakkan telur pada tanaman tersebut. Terdapat duajenis antixenosis, yaitu antixenosis fisik dan kimiawi.Menurut Emden (2002), mekanisme ketahananantixenosis fisik dipengaruhi oleh variasi struktur atau

Page 81: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sulistyo: Kriteria Seleksi Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

79

morfologis tanaman, termasuk perbedaan warna, trikoma,ketebalan daun, dan lapisan lilin, sedangkan mekanismekimiawi terjadi karena adanya senyawa alelokimia danmetabolit sekunder.

Salah satu karakter morfologi daun yangmempengaruhi tingkat ketahanan kedelai terhadap kutukebul adalah trikoma daun (Haq et al. 2003). Karaktertrikoma daun dapat mempengaruhi perilaku kutu kebuldalam menentukan tanaman inang yang disukai untukmakan dan meletakan telur. Ada indikasi hubungan yangselaras antara kepadatan trikoma daun dengan jumlahtelur kutu kebul. Lima dan Lara (2004) melaporkan bahwajumlah telur kutu kebul yang teramati pada genotipe PI227687 dengan trikoma daun yang padat nyata lebihbanyak dibandingkan dengan genotipe BR-82 12547 danPI 229358 dengan trikoma daun sedikit. Banyaknya jumlahtelur yang diletakkan kutu kebul pada genotipe PI 227687dikonfirmasi oleh penelitian Silva et al. (2012) dan Valleet al. (2012). Gambar 1 memperlihatkan perbedaan jumlahtrikoma daun yang mempengaruhi perilaku kutu kebuldalam meletakkan telur pada kedelai. Permukaan daunkedelai dengan trikoma yang padat tampaknya lebihdisukai kutu kebul untuk meletakkan telurnya. MenurutVieira et al. (2011), trikoma daun yang rapat dan panjang

dapat mencegah telur terbawa angin dan menjaganya tetapberada pada permukaan daun.

Meskipun genotipe kedelai dengan trikoma yang rapatlebih disukai kutu kebul untuk meletakkan telur, namunpada beberapa kasus terdapat kontradiksi dengan sifatketahanan. Hasil penelitian Tama (2011) menunjukkangenotipe kedelai yang memiliki trikoma daun yang rapat,cenderung lebih tahan terhadap serangan kutu kebul. Halini didukung oleh hasil penelitian Sulistyo dan Marwoto(2012) yang menemukan bahwa jumlah trikoma daunnyata berkorelasi negatif dengan intensitas kerusakandaun. Artinya, semakin banyak trikoma semakin kecilkerusakan daun. Hal ini terjadi karena dengan adanyatrikoma dalam jumlah yang banyak menyulitkan stiletimago kutu kebul sampai ke permukaan daun. MenurutWar et al. (2012), trikoma daun yang padat akanmempengaruhi hama secara mekanis, yaitu denganmengganggu pergerakan pada permukaan daun sehinggamengurangi akses ke epidermis daun.

Selain kerapatan, panjang dan sudut kemiringantrikoma juga mempengaruhi populasi kutu kebul padapermukaan daun kedelai. Valle et al. (2012) menyatakanbahwa interaksi antara kepadatan, panjang, dan sudut

Gambar 1. Perbedaan jumlah trikoma daun antara genotipe kedelai yang disukai untuk peletakan telur (a) PI 274453 dan (d) PI 227687dengan genotipe kedelai yang tidak disukai untuk peletakan telur (b) PI 171451, (c) PI 229358, (e) Pintado, dan (f) Suprema(Sumber: Valle et al. 2012).

Page 82: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

80

(2014) pada kacang tunggak menunjukkan gejalaantibiosis yang diperlihatkan dengan bertambahpanjangnya siklus hidup kutu kebul dan tingginya kematiannimfa. Pada buncis kultivar IAC-Harmonia, Silva et al.(2014) melaporkan siklus hidup kutu kebul menjadi lebihlama. Menurut Taggar et al. (2014), terdapat korelasinegatif antara kandungan tanin dan flavonoid denganpopulasi kutu kebul pada tanaman black gram, yangmengindikasikan peningkatan kandungan biokimiaberkontribusi sebagai bioproteksi terhadap kutu kebul.

Bentuk mekanisme ketahanan yang lebih umumadalah toleransi. Toleransi didefinisikan sebagaikemampuan tanaman inang untuk memperbaiki jaringanyang rusak akibat serangan hama tanpa kehilangankualitas atau hasil. Toleransi juga dapat diartikan sebagaikemampuan tanaman inang untuk memberikan hasil yanglebih baik daripada varietas rentan pada tingkat seranganhama yang sama. Hasil penelitian Sulistyo dan Inayati(2014) menemukan penurunan hasil yang sedikit padavarietas Gepak Ijo, Tanggamus, Gema dan Kaba, yangmerupakan indikasi adanya toleransi dari varietas-varietastersebut terhadap serangan kutu kebul. Dibandingkandengan varietas Anjasmoro, penurunan hasil pada varietasGepak Ijo, Tanggamus, Gema dan Kaba jauh lebih sedikit.Anjasmoro merupakan salah satu varietas kedelai yangpeka terhadap kutu kebul. Meskipun pengendalian kutukebul dilakukan secara optimal, tetapi serangan kutukebul dalam jumlah yang sedikit sudah dapat menimbulkankerusakan pada varietas Anjasmoro. Hal ini telahdikonfirmasi oleh Sulistyo dan Inayati (2016), yangmenemukan bahwa populasi nimfa dan imago kutu kebuldalam jumlah sedikit dapat menyebabkan kerusakan daunvarietas Anjasmoro hingga 76%. Hal ini mengindikasikanbahwa Anjasmoro merupakan varietas kedelai yangsensitif terhadap kutu kebul. Tingkat toleransi varietaskedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

kemiringan trikoma menentukan ketahanan suatugenotipe kedelai. Sifat ketahanan tanaman legume yanglain terhadap serangan hama kutu kebul jugamemperhatikan karakteristik trikoma daun. Pada tanamanblack gram (Vigna mungo), genotipe dengan trikoma daunyang tegak memiliki ketahanan yang lebih baik terhadapkutu kebul dibandingkan dengan trikoma daun yang tidaktegak (Taggar and Gill 2012).

Mekanisme antixenosis pada kedelai terhadap kutukebul dapat pula berupa ketebalan daun. Sulistyo danInayati (2016) menemukan bahwa genotipe-genotipekedelai yang tergolong tahan dan agak tahan terhadapkutu kebul cenderung memiliki daun yang tebal. Daunkedelai yang tebal dapat mempersulit stilet kutu kebulmenembus epidermis daun dan mencegah prosesmengisap cairan daun. Akibatnya, jumlah koloni kutukebul pada genotipe kedelai berdaun tebal menjadiberkurang. Hal yang bertolak belakang dijumpai padatanaman kacang hijau (Vigna radiata) dan black gram.Lakshminarayan et al. (2008) melaporkan bahwa genotipekacang hijau yang tahan terhadap kutu kebul memilikidaun yang tipis. Pada tanaman black gram, Taggar danGill (2012) menemukan jumlah koloni kutu kebul yangsedikit pada genotipe yang agak tahan dengankarakteristik daun yang tipis.

Mekanisme ketahanan antibiosis mengacu kepadakonsekuensi biologis yang bersifat negatif terhadap siklushidup serangga hama akibat kegiatan makan pada inangtahan. Efek negatif tersebut disebabkan oleh kandungankimia tertentu di bagian tanaman inang yang menggangguaktivitas fisiologi dan mempengaruhi biologi hama. Emden(2002) menyebutkan beberapa gejala antibiosis padaserangga hama, antara lain kematian larva, peningkatanmortalitas pupa, kegagalan imago dewasa keluar daripupa, imago abnormal, fertilitas rendah, masa hidupserangga berkurang, dan bentuk abnormalitas lainnya.

Para peneliti di Brasil menemukan indikasimekanisme ketahanan antibiosis pada kedelai terhadapserangan hama kutu kebul. Hasil penelitian Lima dan Lara(2004) menunjukkan genotipe IAC 100 berpengaruhnegatif terhadap perkembangan kutu kebul dengan caramemperpanjang periode nimfa dan mengurangimunculnya imago dewasa hingga 80%. Vieiria et al.(2011) menambahkan bahwa sedikitnya jumlah nimfa yangmenetas dari telur kutu kebul pada genotipe BABR01-1576 dan BABR99-4021HC merupakan bentuk lain darigejala antibiosis pada kedelai. Silva et al. (2012)menemukan gejala antibiosis berupa siklus hidup kutukebul yang cepat pada genotipe IAC-PL1, IAC-19,Conquista, IAC-24, dan IAC-17.

Ketahanan antibiosis terhadap kutu kebul juga terjadipada tanaman legume yang lain. Penelitian Cruz et al.

Tabel 1. Intensitas kerusakan daun dan penurunan hasil kedelaiakibat serangan kutu kebul.

Hasil (t/ha)Varietas Intensitas Penurunan

kerusakan Pengendalian Tanpa hasildaun (%) optimal pengendalian (%)

Kaba 17,31 2,49 2,03 18,47Tanggamus 19,10 2,20 1,83 16,82Detam 1 17,19 1,92 1,27 33,85Anjasmoro 21,02 1,05 0,36 65,71Argomulyo 18,25 1,89 1,21 35,98Grobogan 14,93 1,67 0,97 41,92Gepak Ijo 17,28 1,87 1,63 12,83Gema 16,71 1,97 1,62 17,77

Sumber: Sulistyo dan Inayati (2014)

Page 83: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sulistyo: Kriteria Seleksi Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

81

SELEKSI KETAHANAN KEDELAITERHADAP KUTU KEBUL

Eratnya kaitan antara infestasi kutu kebul dengan sifatketahanan, memberikan petunjuk untuk menjadikannyasebagai salah satu kriteria seleksi. Penelitian di Turkimengelompokkan ketahanan genotipe kedelaiberdasarkan jumlah infestasi kutu kebul (jumlah telur, larva,dan pupa) per satuan luas daun (2,85 cm2). Skala katagoriketahanan yang digunakan adalah sangat tahan (< 10ekor), tahan (11-20 ekor), agak tahan (21-35 ekor), rentan(36-50 ekor), dan sangat rentan (> 51 ekor) (Gulluoglu etal. 2010b). Melalui sistem pengelompokkan ketahananini, terpilih genotipe yang sangat tahan (S.4240) yangkemudian dijadikan sebagai sumber donor gen sifatketahanan terhadap kutu kebul dan disilangkan denganvarietas berdaya hasil tinggi (Wiliams). Dari hasilpersilangan telah dilepas varietas kedelai tahan kutu kebul,yaitu Atakisi dan Arisoy (Gulluoglu et al. 2010a).

Peneliti di China menggunakan indikator infestasi kutukebul pada seleksi ketahanan kedelai terhadap kutu kebul.Namun, penelitian cenderung memperhatikan jumlahnimfa dalam menentukan katagori ketahanan. Jumlahnimfa digunakan dengan alasan cenderung lebih banyakdibandingkan dengan imago dewasa, sehingga stadianimfa kutu kebul cenderung lebih merusak karena lebihbanyak mengekskresikan embun madu. Berdasarkanalasan tersebut, Xu et al. (2005) membuat lima kriteriaketahanan, yaitu imun (0 nimfa), sangat tahan (0,1-3,0nimfa), tahan (3,1-10,0 nimfa), rentan (10,1-20,0 nimfa),dan sangat rentan (> 20,0 nimfa). Pada penelitianselanjutnya, Xu et al . (2009) dan Xu (2009)mengkatagorikan ketahanan kedelai terhadap kutu kebulberdasarkan jumlah minimal nimfa (a), jumlah maksimalnimfa (b), dan indeks resistensi terhadap nimfa kutu kebulper daun (d), dimana nilai d diperoleh dari hasil perkaliana dan b yang dibagi dengan 8. Berdasarkan jumlah nimfaper daun (JNPD) pada setiap genotipe kedelai, makakriteria ketahanan dikatagorikan sangat tahan jika JNPD< (a+d), tahan jika (a+d) < JNPD < (a+3d), agak tahanjika (a+3d) < JNPD < (a+5d), rentan jika (a+5d) < JNPD< (a+7d), dan sangat rentan jika JNPD > (a+7d).

Penentuan kategori ketahanan berdasarkan nimfa kutukebul pada kedelai juga digunakan oleh peneliti di Mesir.Amro et al. (2007) mengelompokkan ketahanan kedelaiterhadap kutu kebul menjadi lima kelompok, yaitu tahan(jumlah nimfa < MN-2UC), agak tahan (MN-2UC < jumlahnimfa < MN-UC), cukup tahan (MN-UC < jumlah nimfa <MN), rentan (MN < jumlah nimfa < MN+UC), dan sangatrentan (jumlah nimfa > MN+UC), dimana MN adalahjumlah rata-rata nimfa, dan UC adalah jumlah perubahandari satu derajat kerentanan ke derajat kerentanan yanglain. Nilai UC diperoleh dengan cara mengurangi jumlah

nimfa maksimun yang teramati dengan jumlah nimfaminimum dan hasil pengurangan dibagi dengan 4.

Di Indonesia, seleksi ketahanan kedelai terhadap kutukebul lebih melihat pada kerusakan daun yang ditimbulkanoleh kegiatan makan hama tersebut. Inayati dan Marwoto(2012) mengelompokkan kerusakan daun ke dalam limaskor, yaitu skor 0 (tidak ada kerusakan daun), skor 1(gejala daun keriting atau muncul embun jelaga denganintensitas < 25%), skor 2 (gejala daun keriting atau munculembun jelaga dengan intensitas 25-50%), skor 3 (gejaladaun keriting atau muncul embun jelaga dengan intensitas50-75%, polong dan biji tidak berkembang baik), dan skor4 (gejala daun keriting atau muncul embun jelaga denganintensitas > 75%, polong dan biji tidak berkembang baik).Selanjutnya, skor tersebut digunakan untuk menghitungintensitas serangan kutu kebul.

Penentuan ketahanan terhadap kutu kebulberdasarkan intensitas kerusakan daun juga digunakanpada tanaman black gram. Taggar et al. (2013) membuatlima skor kerusakan daun pada tanaman black gramsebagai berikut: skor 1 (tidak ada kerusakan), skor 2(munculnya bintik klorosis kuning), skor 3 (mulai munculembun jelaga), skor 4 (seluruh permukaan daun tertutupiembun jelaga), dan skor 5 (daun kering dan mati). Skor-skor tersebut digunakan untuk menghitung indeksketahanan (IR) terhadap kutu kebul. Hasil penghitunganindeks ketahanan tersebut digunakan untuk menentukankatagori ketahanan, yaitu tahan (IR < 1,00), agak tahan(1,00 < IR < 1,50), agak rentan (1,50 < IR < 2,50), rentan(2,51 < IR < 3,50), dan sangat rentan (IR > 3,50).

IMPLIKASI PADA ARAH SELEKSIKETAHANAN KEDELAI TERHADAP

KUTU KEBUL DI INDONESIA

Program pemuliaan kedelai di Indonesia umumnya fokuskepada peningkatan produksi, sehingga salah satupersyaratan untuk dapat melepas varietas unggul barukedelai adalah memiliki potensi hasil minimal sama ataulebih baik dari varietas-varietas yang sudah ada. Apabilavarietas baru tersebut tidak memiliki keunggulan hasil yanglebih baik, maka diperlukan keunggulan lain sepertiketahanan terhadap hama dan penyakit. Denganmemperhatikan kedua persyaratan tersebut, danberdasarkan uraian mekanisme ketahanan serta kriteriaseleksi yang telah dijelaskan, maka perakitan varietaskedelai tahan kutu kebul dapat diarahkan ke mekanismetoleransi dengan menggunakan kriteria intensitaskerusakan daun sebagai kriteria seleksi.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalammekanisme ketahanan berupa toleransi adalahkemampuan tanaman mempertahankan hasil yang tinggi

Page 84: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

82

atau meminimalkan kehilangan hasil pada tingkatserangan hama yang sama dibandingkan dengan tanamanyang rentan. Dengan kata lain, hasil biji yang relatif stabilmerupakan kata kunci mekanisme toleransi. Melaluimekanisme toleransi kemungkinan dapat memenuhipersyaratan untuk melepas varietas unggul baru kedelai.Dibandingkan dengan dua bentuk mekanisme ketahananlainnya, meskipun bisa mendapatkan galur kedelai yangtahan, namun kemungkinan untuk mendapatkan galuryang tahan sekaligus berdaya hasil tinggi adalah kecil.Hal ini disebabkan karena penekanan pada mekanismeantixenosis dan antibiosis adalah ketahanan tanaman itusendiri tanpa memperhatikan jumlah biji yang dihasilkan.Oleh karena itu, galur-galur yang memiliki mekanismeketahanan antixenosis atau antibiosis hanya dijadikansebagai sumber gen pendonor sifat tahan sehingga perludisilangkan dengan galur-galur lain yang memiliki potensihasil tinggi, seperti yang dilakukan oleh Gulluoglu et al.(2010a).

Penentuan toleransi tanaman terhadap hamabiasanya memperhatikan tingkat serangan yang terjadi.Tingkat keparahan serangan hama dapat dilihat dariintensitas kerusakan yang ditimbulkan. Pada kasus hamakutu kebul, intensitas kerusakan daun merupakan salahsatu indikator yang dapat menggambarkan besar ataukecilnya serangan kutu kebul. Hal ini berarti informasiintensitas kerusakan daun dapat mendukung kesahihandalam menentukan toleransi suatu genotipe kedelaiterhadap hama kutu kebul.

Pengamatan kerusakan daun dapat langsung di lebihlapangan dan mudah dibandingkan dengan pengamatantrikoma daun, ketebalan daun, jumlah infestasi kutu kebul,maupun kandungan senyawa kimia dalam daun yangharus dilakukan di laboratorium. Artinya, pengamatanintensitas kerusakan daun lebih efektif dan efisiendigunakan oleh pemulia tanaman dalam melakukanseleksi. Di samping itu, intensitas kerusakan daunmerupakan karakter yang diturunkan dari tetua keketurunannya. Sulistyo et al. (2016) melaporkan bahwakarakter intensitas kerusakan daun memiliki nilaiheritabilitas sedang dan berkorelasi negatif dengan jumlahpolong isi dan bobot 100 biji. Seleksi berdasarkanintensitas kerusakan daun pada intensitas seleksi 20%akan memberikan kemajuan genetik sebesar 41,62%(Sulistyo 2016). Oleh karena itu, intensitas kerusakandaun dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi.

KESIMPULAN

Mekanisme ketahanan kedelai terhadap kutu kebul dapatberupa antixenosis, antibiosis, dan toleransi. Ketahananantixenosis disebabkan antara lain oleh trikoma daun dan

ketebalan daun. Seleksi ketahanan berdasarkanketahanan antixenosis dilakukan dengan menghitungjumlah infestasi kutu kebul (telur, nimfa, pupa, dan imago)per satuan luas daun. Gejala ketahanan antibiosismemberikan gejala siklus hidup kutu kebul lebih cepat,banyaknya telur yang menetas menjadi nimfa berkurang,periode nimfa yang panjang, dan kegagalan imago dewasakeluar dari pupa. Seleksi ketahanan berdasarkanketahanan antibiosis dilakukan dengan memperhatikansiklus hidup kutu kebul. Seleksi ketahanan berdasarkanmekanisme toleransi dapat dilakukan denganmemperhatikan penurunan hasil pada saat terjadiserangan kutu kebul. Guna mendukung pelepasan varietasunggul baru kedelai, seleksi ketahanan terhadap kutukebul dapat menggunakan kriteria intensitas kerusakandaun dan diarahkan ke mekanisme toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

Amro, M.A., M.S. Omar, A.S. Abdel-Moniem, and K.M.M.Yamani. 2007. Determination of resistance ofexperimental soybeans to the lima bean pod borerEtiella zinckenella Treitschke and the whitefly Bemisiatabaci Gennadius at Dakhla Oases, New Valley, Egypt.Assiut. Univ. Bull. Environ. Res. 10(2):57-66.

Bueno, A.F., M.J. Batistek, R.C.O.F. Bueno, J.D. Franca-Neto,M.A.N. Nishikawa, and A.L. Filho. 2011. Effects ofintegrated pest management, biological control andprophylactic use of insecticides on the managementand sustainability of soybean. Crop Prot. 30: 937-945.

Carmo, E.L., A.F. Bueno, and R.C.O.F. Bueno. 2010. Pesticideselectivity for the insect egg parasitoid Telenomusremus. BioControl 55: 455-464.

Cruz, P.L., E.L.L. Baldin, and M.J.P. de Castro. 2014.Characterization of antibiosis to the silverleaf whiteflyBemisia tabaci biotype B (Hemiptera: Aleyrodidae) incowpea entries. J. Pest Sci. 87(4):639-645.

Ellsworth, P.C. and J.L. Martinez-Carrillo. 2001. IPM forBemisia tabaci: a case study from North America. CropProt. 20: 853-869.

Emden, H. 2002. Mechanisms of resistance: antibiosis,antixenosis, tolerance, nutrition. In: D. Pimentel (ed.).Encyclopedia of Pest Management. Marcel Dekker, Inc,New York. pp. 483-492.

Gulluoglu, L., C. Kurt, H. Arioglu, B. Zaimoglu, and M. Aslan.2010a. The researches on soybean (Glycine max Merr.)variety breeding for resistance to whitefly in Turkey.Turkish J. Field Crops 15(2):123-127.

Gulluoglu, L., H. Arioglu, and C. Kurt. 2010b. Field evaluationof soybean cultivars for resistance to whitefly (Bemisiatabaci Genn.) infestations. Afr. J. Agric. Res. 5(7): 555-560.

Haq, I., M. Amjad, S.A. Kakakhel, and M.A. Khokhar. 2003.Morphological and physiological parameters of

Page 85: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Sulistyo: Kriteria Seleksi Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul

83

soybean resistance to insect pests. Asian J. Plant Sci.2(2): 202-204.

Hoodle, M. 2003. The biology and management of thesilverleaf whitefly, Bemisia argentifolii Bellows andPerring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhousegrown ornamentals. http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html

Houndété, T.A., G.K. Kétoh, O.S. Hema, T. Brévault, I.A. Glitho,and T. Martin. 2010. Insecticide resistance in fieldpopulations of Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae)in West Africa. Pest Manag. Sci. 66(11): 1181-1185.

Inayati, A. dan Marwoto. 2012. Pengaruh kombinasi aplikasiinsektisida dan varietas unggul terhadap intensitasserangan kutu kebul dan hasil kedelai. PenelitianPertanian Tanaman Pangan 31(1): 6-12.

Jones, D.R. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies.European J. Plant Pathol. 109:195-219.

Lakshminarayan, S., P.S. Singh, and D.S. Mishra. 2008.Relationship between whitefly population, YMV diseaseand morphological parameters of green gramgermplasm. Environ. Ecol. 26:978-982.

Li, S.J., X. Xue, M.Z. Ahmed, S.X. Ren, Y.Z. Du, J.H. Wu, A.G.S.Cuthbertson, and B.L. Qiu. 2011. Host plants andnatural enemies of Bemisia tabaci (Hemiptera:Aleyrodidae) in China. J. Insect Sci. 18(1):101-120.

Lima, A.C.S. and F.M. Lara. 2004. Resistência de genótiposde soja à mosca branca Bemisa tabaci (Genn.) àbiótipo B (Hemiptera: Aleyrodidae). Neotrop. Entomol.33(1): 71-75 (In Portuguese with abstract in English).

Mansaray, A. and A.J. Sundufu. 2009. Oviposition,development and survivorship of the sweetpotatowhitefly Bemisia tabaci on soybean, Glycine max, andthe garden bean, Phaseolus vulgaris. J. Insect Sci.9(1):1-6.

Musa, P.D. and S.X. Ren. 2005. Development andreproduction of Bemisia tabaci (Homoptera:Aleyrodidae) on three bean species. J. Insect Sci.12(1):25-30.

Navas-Castillo, J., E. Fiallo-Olive, and S. Sanchez-Compos.2011. Emerging virus diseases transmitted bywhiteflies. Annu. Rev. Phytopathol. 49:219-248.

Norris, R.F., E.P. Caswell-Chen, M. Kogan. 2003. Conceptsin integrated pest management. Prentice Hall, UpperSaddle River, New Jersey. 586p.

Palumbo, J.C. , A.R. Horowitz, and N. Prabhaker. 2001.Insecticidal control and resistance management forBemisia tabaci. Crop Prot. 20:739-765.

Oliveira, M.R.V., T.J. Henneberry, and P. Anderson. 2001.History, current status, and collaborative researchproject for Bemisia tabaci. Crop Protection 20(9):709-723.

Silva, A.G., A.L. Boica Jr., P.R.S. Farias, N.E.L. Rodrigues,B.H.S. de Souza, D.B.Bottega, and A.F. Chiorato. 2014.Non-preference for oviposition and antibiosis in beancultivars to Bemisia tabaci biotype B (Hemiptera:

Aleyrodidae). Revista Colombiana de Entomologia40(1):7-14.

Silva, J.P.G.F., E.L.L. Baldin, E.S. Souza, and A.L. Laurencao.2012. Assessing Bemisia tabaci (Genn.) biotype Bresistance in soybean genotypes: antixenosis andantibiosis. Chilean J. Agric. Res. 72(4):516-522.

Simmons, A.M., H. F. Harrison, and K. Ling. 2008. Forty-ninenew host plant species for Bemisia tabaci (Hemiptera:Aleyrodidae). Entomol. Sci. 11:385-390.

Song, F. and S.M. Swinton. 2009. Returns to integrated pestmanagement research and outreach for soybeanaphid. J. Econ. Entomol. 102(6):2116-2125.

Stansly, P.A. and E.T. Natwick. 2010. Integrated systems formanaging Bemisia tabaci. In: Bemisa: Bionomics AndManagement Of A Global Pest. Springer. p.467-497.

Sulistyo, A. 2016. Estimation of genetic parameters ofagronomic traits in soybean population resistant towhiteflies. Makalah disampaikan pada SeminarNasional Masyarakat Biodiversitas UniversitasPadang. Padang, 23 April 2016.

Sulistyo, A. dan A. Inayati. 2014. Evaluasi ketahanan 8varietas kedelai terhadap kutu kebul (Bemisia tabaciGenn.). Hlm.378-384. Prosiding Seminar NasionalPertanian Organik: Solusi Mewujudkan ProduksiPangan yang Aman dan Ramah Lingkungan sertaMeningkatkan Pendapatan Petani. Yogyakarta, Agustus2013.

Sulistyo, A. dan A. Inayati. 2016. Mechanisms of antixenosis,antibiosis, and tolerance of fourteen soybeangenotypes in response to whiteflies (Bemisia tabaci).Biodiversitas 17(2):447-453.

Sulistyo, A., K.P. Sari, dan G.W.A. Susanto. 2016. Heritabilitaskarakter agronomi pada populasi kedelai tahan kutukebul. Hlm. 20-25. Prosiding Seminar Nasional HasilPenelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun2015. Malang, 19 Mei 2015.

Sulistyo, A. dan Marwoto. 2012. Hubungan antara trikomadan intensitas kerusakan daun dengan ketahanankedelai terhadap kutu kebul (Bemisia tabaci). Hlm.255-262. Prosiding Seminar Nasional Hasil PenelitianTanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2011.Malang, 15 November 2011.

Taggar, G.K. and R.S. Gill. 2012. Preference of whitefly,Bemisia tabaci, towards black gram genotypes: Roleof morphological leaf characteristics. Phytoparasitica40(5):461-474.

Taggar, G.K., R.S. Gill, A.K. Gupta, and S. Singh. 2014.Induced changes in the antioxidative compounds ofVigna mungo genotypes due to infestation by Bemisiatabaci (Gennadius). J. Environ. Biology 35(6):1037-1045.

Taggar, G.K., R.S. Gill, and J.S.Sandhu. 2013. Evaluation ofblack gram (Vigna mungo (L.) Hepper) genotypes tothe attack of whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius) underscreen-house conditions. Acta Phytopathologica etEntomologica Hungarica 48(1):53-62.

Page 86: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Iptek Tanaman Pangan Vol. 11 No. 1 2016

84

Tama, O.H. 2011. Analisis kerapatan trikoma dan preferensiBemisia tabaci terhadap ketahanan kedelai tahanCPMMV berdaya hasil tinggi dan pemanfaatannyasebagai bahan ajar pengelolaan hama terpadu. Tesis.Universitas Negeri Malang. Malang.

Valle, G.E., A.L. Lourencao, and J.S. Pinheiro. 2012. Adultattractiviness and oviposition preference of Bemisiatabaci biotype B in soybean genotypes with differenttrichomes density. J. Pest Sci. 85(4):431-442.

Vieira, S.S., A.F. Bueno, M.I.C. Boff, E.C.O.F. Bueno, and C.B.Hoffman-Campo. 2011. Resistance of soybeangenotypes to Bemisia tabaci (Genn.) biotype B(Hemiptera: Aleyrodidae). Neotrop. Entomol. 40:117-122.

War, A.R., M.G. Paulraj, T. Ahmad, A.A. Buhroo, B. Hussain,S. Ignacimuthu, and H.C. Sharma. 2012. Mechanisms

of plant defense against insect herbivores. PlantSignal. Behav. 7(10):1306-1320.

Xu, R. 2009. Evaluation and inheritance of resistance towhitefly Bemisia tabaci Gennadius in soybean.Disertation. Nanjing Agricultural College, China. (InChinese with abstrak in English).

Xu, R., W. Li, C. Wang, L. Zhang, H. Dai, and H. Xing. 2009.Identification system of resistance to whitefly insoybean. Acta Agronomica Sinica 35(3):438-444 (InChinese with abstrak in English).

Xu, R., L. Zhang, C. Wang, and J. Wang. 2005. Screening ofsoybean germplasm resistant to whitefly and theresistant mechanism. Journal of Plant GeneticResources 6(1):56-62 (In Chinese with abstrak inEnglish).

Page 87: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Soenartiningsih et al.: Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin

85

Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. danKontaminasi Mikotoksin pada Jagung

Strategy for Controling Fusarium sp. and Mycotoxin Contamination in Corn

Soenartiningsih, M. Aqil, dan N.N. Andayani

Balai Penelitian Tanaman SerealiaJl. Dr. Ratulangi No. 274, Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia

E-mail: [email protected]

Naskah diterima 10 Maret 2016, direvisi 27 April 2016, dan disetujui diterbitkan 10 Mei 2016

ABSTRACT

Soil borne fungus Fusarium sp., is a major cause of disease in corn, especially during the rainy season,which causes stem rot disease, ear rot and rotten seeds. The disease symptoms include sudden wilting ofleaves, drying stem turns brown in color, and if it reached the ear the seeds will decay. Several species ofFusarium fungus could attack maize, namely F. moniliforme (verticillioides), F. oxysporum, F. proliferatum,F. solani, F. equeseti, F. graminearum. Some soil borne fungal mycotoxins produced by Fusarium sp. aretoxic to human and animals such as Zearalenon, Fomonisin, Trikotezen (Deoksinivalenol, Toxin T2) andMoniliformen. Strategy to suppress the infection of Fusarium causing the mycotoxin contamination in maizerequires actions, beginning from planting till harvest taking into account several stages of crop management,disease management, use of resistant varieties, disease control using chemical and biological fungicidefollowed by properly handling the harvest and post-harvest materials and emphasizing the avoidancecompound of mycotoxins in the grains.

Keywords: Corn, Fusarium fungus, mycotoxin, control.

ABSTRAK

Cendawan tular tanah, Fusarium sp., merupakan penyakit utama pada tanaman jagung, terutama padamusim hujan. Cendawan ini menyebabkan penyakit busuk batang, busuk tongkol, dan busuk biji. Gejalaserangan: daun mendadak layu dan mengering, pangkal batang berubah warna menjadi cokelatkekuningan, dan apabila cendawan mencapai tongkol atau biji akan menyebabkan pembusukan biji.Spesies cendawan Fusarium yang dapat menginfeksi tanaman jagung adalah F. moniliforme (verticillioides),F.oxysporum, F. proliferatum, F. solani, F. equeseti, dan F. graminearum. Mikotoksin cendawan tular tanahFusarium sp. bersifat toksik pada manusia dan hewan, berupa senyawa Zearalenon, Fomonisin, Trikotezen(Deoksinivalenol, toksin T2) dan Moniliformen. Infeksi Fusarium dan kontaminasi mikotoksin pada tanamanjagung harus dikendalikan sejak awal melalui beberapa tahapan, mencakup pengelolaan tanaman secaraoptimal, penggunaan varietas tahan, pengendalian penyakit fusarium secara kimiawi dan hayati, penangananpanen dan penanganan pascapanen secara baik, dengan perhatian pada penekanan senyawa mikotoksinpada biji.

Kata kunci: Jagung, cendawan Fusarium, mikotoksin, pengendalian.

Page 88: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 11 NO. 1 2016

86

PENDAHULUAN

Cendawan tular tanah, Fusarium sp., merupakan penyakitutama pada tanaman jagung selain bulai, hawar daun,karat, dan busuk pelepah. Penyebaran penyakit inisangat luas di negara beriklim tropis dan subtropis diberbagai negara Asia, Eropa, dan Afrika (Oerke 2005).Cendawan Fusarium dapat menginfeksi berbagai jenistanaman, hewan, dan bahkan manusia.

Menurut hasil penelitan Vigier et al. (2001), penurunanproduksi jagung akibat infeksi cendawan Fusarium jenisGibberella mencapai 48%, apabila kondisi lingkungannyacocok bagi perkembangan penyaki. Pada lingkunganyang tidak baik bagi perkembangan cendawan Fusarium,penurunan hasil jagung berkisar antara 7-17% (Nagy etal. 2006). Hal ini kemungkinan karena penurunan hasilakibat serangan cendawan Fusarium sangat tergantungterhadap tingginya intensitas serangan.

Cendawan tular tanah Fusarium sp. jugamenghasilkan toksin (Fusariotoksin) yang berbahaya bagikonsumen karena dapat menyebabkan keracunan.Cendawan Fusarium sp. juga mengeluarkan mikotoksinsebagai hasil biosintensis. Mikotoksin yang dihasilkancendawan Fusarium selain menginfeksi tanaman jagung,juga dapat menginfeksi berbagai macam komoditaspertanian. Dibandingkan dengan cendawan Aspergillussp. dan Penicillium sp. semua spesies dari cendawanFusarium sp. menghasilkan mikotoksin karena seringmengkontaminasi bahan pangan dan pakan. Menurut Bhatdan Miller (1991), diperkirakan bahwa setiap tahunnyaantara 25-50% komoditas pertanian di duniaterkontaminasi oleh mikotoksin. Mikotoksin cendawanFusarium yang bersifat toksik mulai dikhawartirkan sejakditemukan kandungan aflatoksin yang menyebabkanTurkey X disease pada tahun 1960 (Maryam 2002).Mikotoksin ini menyebabkan kematian 100.000 ekorkalkun di Inggris. Sejak itu mulai diteliti mengenai adanyajenis-jenis mikotoksin yang berbahaya bagi manusia danhewan. Oleh karena itu, dalam pengendalian penyakitFusarium diperlukan strategi pengendalian sejak awalmelalui pengelolaan pertanaman secara baik, yangmeliputi penggunaan varietas toleran, pengendaliankimiawi dan hayati secara terpadu, serta penangananpanen dan pascapanen.

Makalah ini membahas pentingnya pengendaliancendawan Fusarium dan kontaminasi mikotoksin padatanaman jagung.

Spesies Cendawan Fusarium sp.

Cendawan Fusarium sp. merupakan patogen tular tanahyang dapat bertahan hidup relatif lama dalam tanahdengan membentuk miselium atau spora tanpa inang,

konidia atau sporanya disebarkan melalui angin, air hujan,dan nematoda atau serangga. Menurut Glenn et al. (2001)terdapat 31 spesies cendawan Fusarium sp., 15 spesiesdi antaranya diketahui menginfeksi banyak tanaman,yaitu F. moniliforme (verticillioides), F. oxysporum, F.proliferatum, F. solani, F. equeseti, F. graminearum, F.semitectum, F.chlamidosporum, F. fujikuroi, F. sacchari,F. thapsinum, F. nygamay, F. pseudoantophilum, F.subglutinans, dan F. lateritium (Lislie et al. 2003). Dari15 spesies yang telah teridentifikasi, ada empat spesiesyang dominan menginfeksi tanaman jagung, yaitu F.moniliforme (verticillioides), F. subglutinans, F.graminearum, dan F. proliferatum (Burlakoti et al. 2008).

Perbedaan morfologi antarspesies didasarkan atasbentuk spora dan tangkainya. Perkembangan cendawanFusarium dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lainkelembaban, curah hujan, media tumbuh, suhu dilingkungan pertanaman. Cendawan ini dapat menginfeksitanaman jagung pada semua fase perkembangan sejakmenginfeksi biji, melalui luka gigitan serangga vektor dansumber inokulum, kemudian menginfeksi pada faseprapanen hingga pascapanen (Munkvold et al. 1997).Mekanisme penularan infeksi cendawan Fusarium ketanaman jagung pertama kali melalui lubang alami sepertihidatoda, nektar, stomata atau luka, kemudianberkembang ke dalam jaringan tanaman dan menetapserta berkembang dalam jaringan pembuluh tanamansehingga menghambat kelancaran pengangkutan air danhara terlarut dari akar ke seluruh bagian tanaman. Selainitu, Fusarium juga dapat menginfeksi biji secara sistemik,dengan cara membentuk konidia atau miselia yangberasal dari dalam atau permukaan biji, kemudianberkembang pada tanaman muda membentuk akar danbatang, selanjutnya menginfeksi bagian tongkol dan biji(Oren et al. 2003).

Perkembangan Reproduksi Cendawan Fusarium

Cendawan Fusarium dalam perkembangan reproduksinyamengalami dua tahapan, yaitu fase sexual dan faseasexual. Cendawan Fusarium yang memiliki fase sexualterdiri atas dua spesies, yaitu Gibberella zeae danGibberella fujikuroi, dan yang memiliki fase asexualadalah F. graminearum, F. verticillioides (F. moniliforme),F. subglutinans, dan F. proliferatum (Tabel 1). Keempatspesies fusarium ini banyak menginfeksi tanaman jagungdan mempunyai banyak tanaman inang.

Menurut Semangun (2008), koloni cendawanfusarium berwarna putih, merah muda atau oranye,bergantung pada spesiesnya. Cendawan ini umumyamempunyai tiga alat reproduksi, yaitu (1) mikrokonidiayang terdiri atas1-2 septa yang berbentuk ovoid denganujungnya agak bengkok dan menyempit atau lonjong, (2)

Page 89: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Soenartiningsih et al.: Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin

87

Tabel 1. Perkembangan reproduksi beberapa spesies cendawan fusarium pada fase sexual dan asexual yang hidup dengan tanamaninang.

Fase sexual Fase asexual Tanaman inang

Gibberella zeae Fusarium Graminearum Jagung, Gandum, Kapri, Jali, Havermut, Semanggi dan kentang

Gibberella fujikuroi F. verticillioides (F.moniliforme) Jagung, Padi, Sorgum, Tebu, Gandum, Kapas, Pisang, Nanas dan TomatF. subglutinans Jagung, Mangga, Pinus, Tebu, Nanas, dan Rumput gandumF. proliferatum Jagung, Sorgum, Mangga, Asparagus, Bawang merah, Palm, Timun dan

Bawang putih

Sumber: Leslie et al. (2005) dan Burlakoti et al. (2008)

makrokonidiab yang terdiri atas 3-5 septa berbentukseperti sabit dengan ujung agak membengkok, dan (3)klamidospora atau konidiofor yang merupakanpembengkakan pada hifa. Menurut Beyer (2005),berdasarkan pengamatan secara mikroskopis alatreproduksi, Gibberella zeae terdiri atas 5-6 septa denganukuran 4-6 x 130-150 μm, sedikit melengkung dan padakedua ujungnya meruncing serta bersifat hialin. Alatreproduksi spesies F. graminearum mempunyaiklamidospora yang perkembangannya lambat, sedangkanF. verticillioides, F. subglutinans, dan F. proliferatum tidakmenghasilkan klamidospora. Ketiga spesies fusarium inihanya mempunyai alat reproduksi mikrokonidia danmakrokonidia yang ukuran sporanya bergantung padaspesiesnya (Leslie et al. 2003). Cendawan ini dapatbertahan hidup dalam bentuk perithecia dan ascosporesdan berkembang kembali jika lingkungannya sesuaidengan kelangsungan hidupnya. Umumnya ascosporesini disebarkan oleh angin atau percikan air hujan ketanaman jagung yang sehat (Beyer 2005).

Dalam penelitian, perbanyakan spora fusariumbiasanya digunakan media buatan, sedangkanperbanyakan makrokonidia fusarium menggunakan mediaagar cair atau potato dextrose agar, namun hanyaterbentuk rantai mikrokonidia, sedangkan untukmembentuk dan memperbanyak makrokonidia digunakanagar cornmeal yang telah disterilkan. Pembentukanmakrokonidia pada media buatan harus mengandungekstrak yeast dan media CMC (carboxil methyl cellulose).Cendawan fusarium dalam mempertahankan diri sebelumada inangnya adalah dengan berlindung pada sisa-sisatanaman. Namun konidia dari fusarium tidak dapatbertahan lama dalam tanah atau pada sisa tanamaninang. Konidia dapat lebih lama bertahan hidup pada tanahkering dibandingkan dengan tanah yang lembab, jugadapat lebih lama bertahan hidup pada suhu rendah 4-18oC daripada suhu tinggi 25-30oC.

Gejala dan Sebaran Penyakit yang Disebabkanoleh Cendawan Fusarium

Gejala awal penyakit yang terinfeksi cendawan fusariumpada tanaman jagung adalah daun mendadak layu.Setelah satu sampai dua hari, daun berubah warnamenjadi kelabu dan terkulai. Batang bagian bawahberwarna hijau kekuningan, dan apabila penularannyaberat warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan.Batang pada ruas paling bawah, empelurnya membusukdan terlepas dari kulit luar batang dan batangnya menjadilembek. Kelayuan ini dapat menghentikan semuatransportasi hara ke biji, sehingga bobot biji menurun.Tanaman yang terinfeksi busuk batang, akarnyamembusuk, tanaman mudah rebah dan mudah dicabut.Umumnya perbedaan gejala penyakit fusariumbergantung pada komoditas tanaman, Dharmaputra et al.(1993) telah mengidentifikasi 22 isolat cendawan fusariumdari berbagai tanaman di Jawa Barat dan menunjukkanperbedaan gejala penyakit (Tabel 2).

STRATEGI PENGENDALIAN CENDAWANFUSARIUM PADA PRAPANEN

Pengendalian cendawan fusarium pada tanaman jagung,dilakukan sejak awal prapanen melalui (1) pengelolaantanaman dan penyakitnya, (2) penanaman varietas tahan,(3) pengendalian secara kimiawi, dan hayati secaraterpadu, serta (4) penanganan panen dan pascapanen.Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan penyebarancendawan Fusarium dan mencegah kontaminasi sertaakumulasi mikotoksin pada tanaman jagung.

(1) Pengelolaan tanaman dan pengendalianpenyakit

Kontaminasi cendawan Fusarium pada tanaman jagungdapat terjadi sejak awal tanam, bertepatan dengan puncakmusim kemarau dan terjadi kekeringan. Hal ini merupakanmasalah utama bagi tanaman jagung, terutama pada saatberbunga dan pengisian biji. Pengelolaan tanaman melalui

Page 90: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 11 NO. 1 2016

88

sistem pengairan yang optimal pada fase ini sangatpenting untuk mengurangi kontaminasi cendawanFusarium. Cekaman kekeringan secara langsungberpengaruh negatif terhadap kondisi tanaman. Akibatnya,tanaman kurang sehat dan lebih rentan terhadap seranganhama dan penyakit. Selain itu, serangan hama padatanaman jagung, seperti penggerek tongkol dan penggerekbatang dapat menstimulasi cendawan Fusarium untukmelakukan kontaminasi pada tanaman, terutama padabagian-bagian yang terserang hama. Hal lain yang perludiperhatikan adalah keseimbangan nutrisi. Kurangnyanutrisi bagi tanaman memudahkan terjadinya kontaminasipatogen. Menurut Walters (2009) dan Hasan (2010),pengelolaan air yang tepat, irigasi yang baik, danpemupukan berimbang diperlukan oleh tanaman jagunguntuk berkembang dan ketahanan terhadap patogen.Pergiliran tanaman yang bukan inang merupakan salahsatu cara pencegahan yang dapat meminimalisasipenyebaran patogen cendawan Fusarium. MenurutShurtleff (1980), pemupukan berimbang denganpemberian N dosis rendah dan K tinggi serta populasitanaman yang tidak rapat, dapat menekan kontaminasidan perkembangan cendawan Fusarium di lapangan.

(2) Penggunaan varietas tahan

Hasil pengujian di Maros menunjukkan varietas Surya,Gumarang, Bisi -1, Bisi-4, Bisi-5, Pioner -8, Pioner-10,Pioner-12, Pioner -13, Pioner -14, Exp. 9572, Exp. 9702,

Exp. 9703 dan FPC 9923 tahan terhadap penyakit busukbatang cendawan Fusarium (Wakman dan Kontong2002). Menurut Ashnagar et al. (2012), dari 14 varietasjagung yang diuji terhadap penyakit yang disebabkan olehcendawan F. verticillioides, hanya dua varietas yangtahan, yaitu DC 499 dan KSC 700, sedangkan yang lainbersifat peka dan sangat peka. Menurut Lei Wu et al.(2011), galur jagung tahan yang terinfeksi cendawan F.verticillioides mempunyai perakaran yang lebih baikdaripada galur peka. Galur Qi 319, 340 dan Zhongzi 01,misalnya mempunyai akar yang lebih baik dibanding galurB73, Lu 9801, dan P138. Kandungan toksin (FBI) yangterakumulasi pada akar varietas rentan lebih besardaripada varietas tahan. Hal ini menunjukkan bahwavarietas rentan memiliki kandungan toksin yang lebihtinggi dibanding varietas tahan.

(3) Pengendalian secara kimiawi

Pengendalian penyakit cendawan Fusarium yangdikendalikan secara kimiawi umumnya menggunakanorganomerquri dan nonmerquri, seperti Arasan danDithane. Menurut Nel et al. (2003), fungisida lain yangdapat digunakan untuk mengendalikan penyakitcendawan Fusarium adalah Thiram, Captab, danFludioxonil/Mefenoxam. Pengendalian penyakit cendawanFusarium secara kimiawi seringkali tidak efektif karenakemampuannya yang kuat dalam mempertahankan dirisangat kuat. Selain itu, bahan kimia yang digunakan

Tabel 2. Isolat cendawan fusarium pada beberapa tanaman inang dengan gejala penyakit yang berbeda di beberapa daerah di Jawa Barat.

Spesies dan Isolat Fusarium Gejala dan tanaman inang Daerah ditemukan

F. chlamidosporum Bio-37 Busuk akar pada buncis (Phaseolus vulgaris) PacetF. equiseti Bio-1 Busuk batang pada brokoli (Brassica var botrytis) PengalenganF. equiseti Bio-5 Layu pembuluh pada paprika (Capsicum annuum) CipanasF. equiseti Bio-27 Layu pembuluh pada tomat (Lycopersicon esculentum) LembangF. equiseti Bio-8 Busuk pangkal pada kedelai (Glycine max) LembangF. equiseti Bio-35 Busuk batang pada caisim (Bassica campesris chinensis) PengalenganF. moniliforme Bio-9 Busuk bulir pada jagung (Zea mays var Raja) BogorF. moniliforme Bio-1 Busuk bulir pada jagung (Zea mays var DT

6 2607) Bogor

F. moniliforme Bio-13 Busuk bulir pada jagung (Zea mays var SC1 88A) Bogor

F. nygamai Bio-7 Busuk bulir pada jagung (Zea mays var Harapan) BogorF. nygamai Bio-8 Busuk bulir pada jagung putih BogorF. nygamai Bio-10 Busuk bulir pada jagung (Zea mays var BH-14) BogorF. oxysporum Bio-2 Busuk batang pada kentang (Solanom tuberasum) PacetF. oxysporum Bio-3 Bercak daun pada pisang (Musa paradisiaca) PacetF. oxysporum Bio-4 Layu pembuluh pada cabe (Capsicum annum) BogorF. oxysporum Bio-25 Busuk batang pada caisim (Bassica campesris chinensis) LembangF. oxysporum Bio-26 Busuk batang pada caisim (Bassica campesris chinensis) LembangF. oxysporum Bio-29 Busuk batang pada kedelai (Glycine max) LembangF. oxysporum Bio-30 Layu pembuluh pada strawberry (Fragaria vesca) LembangF. semitectum Bio-14 Busuk batang pada caisim (Bassica campesris chinensis) CianjurF. semitectum Bio-20 Busuk batang pada kedelai (Glycine max) CianjurF. semitectum Bio-34 Layu pembuluh pada cabe (Capsicum annum) Pengalengan

Sumber: Dharmaputra (1993).

Page 91: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Soenartiningsih et al.: Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin

89

pada saat masak fisiologis dan tidak boleh ditunda.Terlambat panen akibat cuaca yang tidak menguntungkanmenurunkan kualitas hasil. Pemanenan terlalu awalmenyebabkan banyak biji jagung yang masih mudasehingga daya simpannya rendah dan banyak biji yangkeriput. Secara visual, tanaman jagung yang sudah siapdipanen ditandai oleh batang, daun, dan kelobot berubahwarna menjadi kuning atau telah mengering, biji terlihatmengkilap, jika ditekan dengan kuku tidak berbekas, danterdapat bintik hitam (black layer) pada bagian biji yangmelekat pada tongkol. Kadar air biji jagung yang sudahsiap dipanen < 30 (Saenong et al. 2007).

Setelah dipanen, biji jagung dikeringkan untukmenurunkan kadar air biji agar aman disimpan. Kadar airbiji jagung yang aman disimpan berkisar antara 12-14%,dan terhindar dari infeksi cendawan atau mikroorganismeyang lain. Perubahan kadar air biji jagung dapat terjadikarena pengaruh cuaca seperti panas, hujan, pergantiansiang dan malam, serta tempat penyimpanan.

Sebelum disimpan, biji jagung disortasi terlebih dahuluuntuk memisahkan biji yang tidak terinfeksi dengan yangbercendawan dan yang rusak karena serangga, sehinggadapat meminimalisasi kontaminasi mikotoksin. Pemisahanbiji yang terinfeksi cendawan bisa menggunakan Near InfraRed (NIR) dengan mudah dan cepat. Kerusakan biji dapatterjadi karena butir retak atau pecah yang mengakibatkankerusakan pada endosperm. Hal ini disebabkan oleh prosespemipilan dengan menggunakan alat pemukul atau mesinperontok yang kurang sempurna. Biji juga bisa rusak karenaserangan hama dan mikroba. Serangan hama yangmemakan sebagian endosferm menyebabkan biji menjadicacat, mudah mengalami oksidasi asam lemak, danmenghasilkan asam lemak bebas dengan bau yang tidakenak. Kerusakan biji juga terjadi karena metabolismeserangga dan mikroba. Standar mutu jagung dibagi atasdua persyaratan, yaitu persyaratan umum dan khusus(Warintek 2007). Syarat umum standar mutu jagung adalahbebas dari hama penyakit, bebas bau busuk, asam, ataubau asing lainnya, dan bebas dari bahan kimia sepertiinsektisida dan fungisida, serta memiliki suhu normal.

Mikotoksin dan Cara Mengatasinya

1. Jenis mikotoksin

Telah teridentifikasi 300 jenis mikotoksin berbahaya yangdihasilkan oleh cendawan Aspergillus sp. dan Penicilliumsp., yaitu aflatoksin dan okratoksin. Menurut Pitt (2000),terdapat lima jenis mikotoksin berbahaya yang dihasilkanoleh cendawan Fusarium sp., yaitu zearalenon, fumonisin,moniliformin, trikotesena (Deoksinivalenol Toksin T2). danmoniliformin.

dalam pengendalian tidak efektif. Penggunaan fungisidadengan dosis yang tidak terkontrol berpengaruh negatifterhadap perkembangan mikroorganisme tanah yangbersifat antagonis.

(4) Pengendalian secara hayati

Pengendalian hayati berdampak positif terhadaplingkungan sekitarnya. Agensia hayati seperti virus,cendawan, dan bakteri digunakan setelah dilakukanpengujian keefektifannya. Beragam agensia pengendalihayati telah ditemukan dan menunjukkan kemampuannyadalam menghambat pertumbuhan dan perkembanganpenyakit tanaman. Agensia pengendali hayati antagonisdiaplikasikan dan dikembangkan untuk memberikankeseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan.Beberapa agensia antagonis yang terbukti efektif dalammenekan penyakit busuk batang yang disebabkancendawan Fusarium sp. adalah cendawan Trichodermasp. yang merupakan agensia hayati yang berfungsisebagai pengendali penyakit cendawan Fusarium, dandapat meningkatkan perkembangan akar, mengurangistres, meningkatkan serapan hara dan hasil tanaman.Menurut Harman et al. (2004), kolonisasi antara tanamandengan Trichoderma sp. resistensi sistemik dan dapatmeningkatkan induksi ketahanan dari rhizobakteria.Banyak isolat Trichoderma sp. yang ditemukanbermanfaat dalam pengendalian secara biologis denganspektrum yang luas, sehingga dapat mengendalikanbeberapa pathogen, yaitu Fusarium sp., Pythium sp.,Phytopthora spp., Rhizoctonia solani, Botrytis cinerea,dan Sclerotium rolfsii (Harman et al. 2004, Scala et al.2007). Selain Trichoderma sp., Bacillus subtilis jugabanyak digunakan sebagai pengendali hayati penyakitbusuk batang cendawan Fusarium. Agensia hayati inimempunyai beberapa strain yang kuat, dapatmengendalikan patogen, dan meningkatkanperkembangan tanaman jagung pada fase vegetative, danmeningkatkan produksi.

Pengendalian cendawan Fusarium pada tanamanjagung secara hayati dapat dilakukan sejak dini melaluiseed treatment pada biji, daun, dan tongkol untukmengurangi inokulum patogen. Telah teridentifikasimikrobakterium yang potensial dalam melindungitanaman jagung dari cendawan Fusarium. Bakteri endofitB. subtilis, misalnya, telah digunakan sebagai kontrolsecara biologi dan mampu mengurangi akumulasimikotoksin pada tanaman jagung selama pertumbuhan.

(5) Penanganan panen dan pascapanen

Untuk meminimalisasi kontaminasi mikotoksin padatanaman jagung pada tahapan ini adalah menentukankualitas biji yang dihasilkan. Panen sebaiknya dilakukan

Page 92: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 11 NO. 1 2016

90

Zearalenon

Zearalenon merupakan mikotoksin estrogen alami hasilbiosintesis cendawan Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme (Frizzell et al. 2011).Cendawan ini pada umumnya terdapat pada tanamanjagung, sereal, oat, dan jerami, tumbuh pada suhuoptimum 20-25oC dengan kelembaban 40-60% (Bahri etal. 2004). Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhutinggi. Hingga saat ini terdapat enam macam turunanzearalenon, di antaranya á-zearalenol yang memilikiaktivitas estrogenik tiga kali lipat daripada senyawainduknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksi zearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidro zearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas pertanian yang banyak tercemarzearalenon adalah tanaman jagung, gandum, kedelai,padi, dan serelia lainnya (Widiastuti 2000).

Zearalenon dan metabolitnya memiliki sifat estrogenikdan berdampak negatif terhadap kesehatan babi, sapi,kambing, ayam, kalkun, kelinci, dan manusia. Gejalaklinis keracunan zearalenon pada hewan ditandai olehsindrom estrogenik yang meliputi penurunan produksi,gangguan reproduksi dan hormonal (Frizzell et al. 2011).

Fumonisin

Fumonisin merupakan mikotoksin yang dihasilkan olehcendawan F. moniliforme, F. proliferatum, F. nygamai, F.athophilum, F. diamini dan F. napiforme. Dari hasilidentifikasi, yang terbanyak menghasilkan fumonisinadalah F. moniliforme, dan F. proliferatum. Fumonisinditemukan pada tahun 1988 di Afrika setelah diketahuistruktur kimia dan aktivitas biologisnya (Janse et al. 2006,Waalwijk et al. 2008). F. moniliforme merupakan jeniscendawan yang menyebar di seluruh dunia, terutama dinegara beriklim tropis dan subtropis. Komoditas pertanianyang sering terkontaminasi cendawan ini antara lainadalah tanaman jagung, gandum, dan sorgum. Cendawantumbuh pada suhu optimum 22,5-27,5oC dengan suhumaksimum 32-37oC.

Biosintesis fumonisin tidak hanya diatur oleh faktorgenetik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkunganseperti pH, suhu, kelembaban, gangguan serangga,penanganan pra dan pascapanen (Shim et al. 2003,Williams et al. 2006). Fumonisin hampir terjadi padajagung dan makanan berbasis jagung di seluruh dunia,seperti di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Cina, Eropa,dan Afrika, yang sampai saat ini terdapat 28 analogfumonisin yang telah diidentifikasi (Rheeder et al. 2002).Menurut Maryam (2000), ada 11 jenis senyawa fumonisinyang ditemukan dan sering kali mengalami kontaminasi

dengan mikotoksin jenis cendawan lain, yang dapatmeningkatkan toksisitasnya. Jenis fumonisin tersebutadalah fumonisin B (FB1, FB2, FB3, FB4), fumonisin A(FA1, FA2), fumonisin C (FC1, FC2), dan fumonisin P(FP1, FP2 dan FP3). Menurut Marasas (2001) danRheeder et al. (2002), fumonisin yang paling banyakditemukan pada makanan adalah jenis FB1, FB2 dan FB3.Sebenarnya mikotoksin jenis fumonisin sudah ada sejaklama, tetapi baru diketahui pada tahun 1988 di Afrika,setelah ditemukan penyakit Equineleucoencephalomalacia (ELEM). Elem merupakanpenyakit saraf yang menyerang kuda dan sudah menyebarsejak lama di Amerika, tetapi baru diketahui setelahditemukan fumonisin. Penyakit Porcine pulmonary edema(PPE) pada babi juga berasal dari mikotoksin jenisfumonisin. Menurut Bahri et al. (2004), fumonisin jenisFB1 bersifat hepatotoksik dan hepatokarsinogenik padatikus.

Trikotesena

Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan olehcendawan Fusarium sp. Trikotesena berjumlah sekitar100 jenis, tetapi yang terpenting hanya empat jenis, yaitudeosinivalenol (DON), nivalenol (NIV), toksin T2, dandiasetoksirpenol (DAS). Mikotoksin golongan ini dalamsenyawanya terdapat inti terpen. Toksin yang dihasilkanoleh cendawan-cendawan tersebut di antaranya adalahtoksin T-2 dan DAS, merupakan jenis trikotesena palingtoksik dan pernah digunakan sebagai senjata biologi padapeperangan Vietnam, Laos, dan Afganistan (Rosen andRosen 1982). Toksin ini menyebabkan iritasi pada kulitdan bersifat teratogenik. Selain toksin T-2 dan DAS,trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol dan nivalenoldapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah. Toksinditemukan pada produk cereal di Turkey (Omurtag danYazicioglu, 2006 dalam Frizzell et al. 2011). Toksindeosinivalenol (DON) dan nivalenol (NIV) terkontaminasidengan zearalenon pada biji-bijian, biasanya terdeteksibersama dengan deoksinivalenol. Dalam hal inikonsentrasi deoksinivalenol lebih tinggi dibandingkandengan zearalenon (Widiastuti 2000). Menurut Ali et al.(1998) dalam Winda et al. (2005), kandungan DON danNIV yang terdeteksi pada sampel biji jagung yang berasaldari Jawa Tengah adalah 27 ppb dan 109 ppb. Sumberutama DON dan NIV adalah cendawan Fusariumgraminearum, yang merupakan cendawan penyebabbusuk tongkol pada tanaman jagung dan head blight padatanaman gandum (Widiastuti 2000).

Moniliformin

Moniliformin merupakan mikotoksin yang dihasilkan olehcendawan F. moniliforme. Moniliformin juga diproduksi

Page 93: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Soenartiningsih et al.: Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin

91

oleh F. acuminatum, F. graminearum, F. oxyporum, F.proliferatum, dan F. sublutinans (Widiastuti 2000).Menurut Harvey et al. (2002), moniliformin juga dapatdihasilkan oleh F. verticillioides dan F. fujikuroi. Mikotoksinini diketahui mengkontaminasi penyebaran tanamanjagung di Indonesia setelah ditemukan pada sampel bijidari dataran rendah. Widiastuti (2000) melaporkan bahwamikotoksin ini sangat beracun dan cepat menyebabkankematian pada hewan. Hasil penelitian menunjukkanbahwa dosis yang mematikan dari toksin moniliforminberkisar antara 3-75,4 mg/kg bobot ayam dan itik.Pemberian pakan 0,5-2,0 g yang mengandung 11,3 mg/kg toksin moniliformin menyebabkan kematian pada anakitik dalam jangka waktu 2 hari yang sebelumnyamenunjukkan gejala gangguan pernafasan, koma, danmelemahnya otot (Widiastuti 2000).

2. Penekanan senyawa mikotoksin pada bijijagung

Cara mengatasi kontaminasi mikotoksin adalah denganmemasak untuk menentukan derajat kerusakan senyawamikotoksin. Kimura (1999) dalam Bahri (2001)menyatakan bahwa perebusan pada suhu 110oC tidakterlalu berpengaruh terhadap kandungan mikotoksin,tetapi dengan cara menggoreng (suhu 150-180oC) dapatmengurangi kandungan mikotoksin pada biji jagung.Kandungan NIV akan berkurang hingga 10% padapemanggangan selama 15 menit. Cukup banyak senyawakimia yang dapat mengendalikan kontaminan mikotoksinpada bahan pangan atau pakan. Kalsium hidroksida,monometilamin, dan amonium hidroksida cukup efektifmenekan kontaminasi ZEN dan sodium bisulfit cukupefektif menekan kontaminasi aflatoksin pada biji jagung.

Kandungan senyawa mikotoksin pada biji jagung jugadapat dikurangi dengan menggunakan bahan alami,misalnya arang aktif, karena senyawanya dapat berperansebagai pengikat mikotoksin. Senyawa-senyawa lainyang dapat digunakan untuk pengikat molekul mikotoksinantara lain sodium bentonit, zeolit, aluminosilikat, kulturragi, dan Sacharomyces cerevisiae (Bahri 2001). Selainbahan alami, bahan kimia juga dapat mengurangikandungan mikotoksin pada pangan atau pakan sepertikalsium hidroksida, monometilamin, ammoniumhidroksida, dan sodium bisulfit. Senyawa-senyawa inidapat menekan kandungan mikotoksin pada biji jagung.Selain itu, cara yang diperlukan adalah tempatpenyimpanan atau gudang yang bersih, sterilisasi udaradengan filtrasi untuk mengurangi kontaminasi denganmikroorganisme. Diperlukan juga masker dan pakaiankerja karyawan agar terhindar dari kontaminasi mikotoksindi ruangan produksi dan sekelilingnya.

KESIMPULAN

Fusarium sp. merupakan cendawan yang menginfeksiberbagai macam komoditas pertanian, dan yang banyakterinfeksi cendawan ini adalah tanaman jagung. Infeksicendawan fusarium terjadi pada semua tahapperkembangan tanaman jagung mulai dari biji sampaiprapanen dan pascapanen.

Biosintesis cendawan Fusarium sp. dapatmenghasilkan beberapa mikotoksin yang berbahaya bagihewan dan manusia, seperti Zearalenon, Fomonisin,Trikotezen (Deoksinivalenol, toksin T2) dan Moniliformen.Infeksi cendawan Fusarium sp. dan kontaminasimikotoksin pada biji jagung harus dikendalikan sejak awalmelalui beberapa tahapan, mencakup pengelolaantanaman secara optimal, penggunaan varietas tahan,pengendalian penyakit fusarium secara kimiawi danhayati, penangan panen dan pascapanen dengan baik,dan penekanan senyawa mikotoksin pada biji.

DAFTAR PUSTAKA

Ashnagar, L., S. Rezaei, M. Darvishnia, and M. Zamani. 2012.Evaluation the relative Resistance of 14 corn cultivarsto Fusarium maize rot infection (Fusariumverticillioides). Agricultural Science and Technology4(2):172-176.

Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin padapangan, pakan dan produksi peternakan di Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian 20(2):55-64.

Bahri, S., R. Maryam, dan R. Widiastuti. 2004. Tinjauan efekmikotoksin terhadap performan unggas. JurnalMikologi Kedokteran Indonesia 4(1-2):53-64.

Beyer, M. and J.A. Verreet. 2005. Germination ofGibberellazeae ascospores as effectted by age ofspores after discharge and environmental factors.European Journal of plant Pathology 111:381-389.

Bhat, R.V. and J.D. Miller. 1991. Mycotoxins and food supply.FAO, Food, Nutrition and Agriculture 1:27-31.

Burlakoti, R.R., S. Ali, G.A. Secor, S.M. Neate, M.P. Mullen,and T.B. Adhikari. 2008. Genetic relation ships amongpopulation of Gibberella zeae from barley, wheat tomatoand sugar beet in the upper Midwest of the UnitedStates. Phytopathology 98(9):969-976.

Dharmaputra, O.S., H. Susilo, dan S. Ambarwati. 1993.Asosiasi fusarium dengan beberapa tanaman yangmempunyai arti ekonomi penting di Jawa Barat danproduksi mikotoksinnya pada biji jagung. KongresNasional XII dan Seminar Ilmiah PerhimpunanFitopatologi Indonesia. Yogyakarta , 6-8 September.

Frizzell, C., D. Ndossi, S. Verhaegen, E. Dahl, G. Eriksen, M.Srrlie, E. Ropstad, M. Muller, C.T. Elliott, and L. Connolly.2011. Endocrine disrupting effects of zearalenone,

Page 94: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 11 NO. 1 2016

92

alpha- and beta- zearalenol at the level of nuclearreceptor binding binding and steroidogenesis. ToxicolLett 206:210-217.

Gleen, A.E., D.M. Hilton, L.E. Yates, and C.W. Bocon. 2001.Detoxipication of cornantimicrobial compound as thebasis for isolating Fusarium verticillioides and someother Fusarium species from corn. The AmericanSoceity for Microbiology 67(7):2873-2981.

Harman, G.E., C.R. Howell, A. Viterbo, I. Chet, and M. Lorito.2004. Trichoderma species-opportunistic avirulentplant symbionts. Department of Horticultural Sciencesand Plant Pathology. Cornel University. New York.

Harvey, R.B., T.S. Edrington, L.F. Kubena, G.E. Rottinghaus,J.R. Turk, K.J. Genovese, R.L. Ziprin, and D.J. Nis-bet.2002. Toxicity of Fumonisin from Fusariumverticillioides culture material and moniliformin fromFusarium fujikuroi culture material when fed singly andin combination to growing barrows. Journal of FoodProtection 65(2):373-377.

Hasan, I. 2010. Plant disease and their biological control.Rajat Publications. New Delhi. 170pp.

Janse, V.R., N.W. Mc Laren, A. Schoeman, and B.C. Flett.2006. The effects of cultivar and prophylactic fungicidespray for leaf disease on colonization of maize ears byFumonisin producing Fusarium spp. and fumonisinsynthesis in south Afrika. Crop Protection 79:56-63.

Lei, W., M.W. Xiao, Q.C. Rong, and J.L. Hong. 2011. Rootinfection and Systematic colonization of DsRed labeledFusarium verticillioides in maize. Acta AgronomicaSinica 37:793-802.

Lislie, J.F., Salleh and B.A. Summerel. 2003. Autilitarianapproach to fusarium identification. Plant Disease87:117-128.

Lislie, J.F. and B.A. Summerel. 2005. The fusariumlaboratory. Manual Departement of plant pathology,Manhattan. Kansas.USA. Kansas State University.368pp.

Marasas, W.F.O. 2001. Discovery and occurrence of thefumonisins: a historical perspective. Environ. HealthPerspect 109:239-243.

Maryam, R. 2002. Mikotoksin dan mikotoksikosi. MakalahFalsafah Sains. Bogor: IPB.

Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksinFusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal MikologiKedokteran Indonesia 1(1):51-57.

Munkvold, G.P. and W.M. Carlton. 1997. Influence ofinoculation method on systemic Fusarium moniliformeinfection of maize plants grown from infected seed.Plant Disease 81(2):211-216.

Nagy, E., H. Voichita, and R. Kadar. 2006. The influence offusarium ear infection on the maize yield and quality(Transylvania-Romania). Commun. Agric. Appl. Biol.Sci. 71:1147-1150.

Nel, A., M. Krause, and N. Khelawanlall. 2003. A. guide to thecontrol of plant diseases. Second edition Directorate:Food Safety and Quality Assurance. Department ofAgriculture. Republic of South Africa. GovernmentPrinters. Pretoria.

Oerke, E.C. 2005. Crop losses to pests. J. Agric. Sci. 144:31-43.

Oren, L., S. Wzrarti, D. Cohen, and A. Sharon. 2003. Events inthe Fusarium verticil l iodies -maize interactioncharacterized by using a green flurescent protein.Experessing Transgenic Isolate. Applied andEnvironmental Microbiology:1695-1701.

Pitt, J.I. 2000. Toxigenic fungi: which are important? Med.Mycol. 38:17-22.

Rheeder, J.P., W.F.O. Marasas, and H.F. Vismer. 2002.Production of fumonisin analogs by Fusarium species.Appl. Environ. Microbiol. 68:2101-2105.

Rosen, R.T. and J.D. Rosen. 1982. Presence of fourFusarium mycotoxins and synthetic material in “Yellowrain” evidence for the use of chemical weapon in Laos.Biome. Mass. Spec. 9:443-450.

Saenong, S., M. Azrai, R. Arif, dan Rahmawati. 2007.Pengelolaan benih jagung. Dalam: Jagung. BadanPenelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.pp:145-176.

Scala, S., A. Raio, A. Zoina, and M. Lorit. 2007. Biologicalcontrol of fuit and vegetable disease with fungal andbacterial antagonists: Trichoderma andAgrobactterium. In: Chincholkar, S.B. and K.B. Mukerji(Eds.). Biological Control of Plant Diseases. pp.151-178. The Haworth Press Inc. Binghamton. 94.

Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit tanaman pangan diIndonesia (Edisi kedua). Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta. 475pp.

Shim, W.B., J.E. Flaherty, and C.P. Woloshuk. 2003.Comparison of fumonisin B1 biosintesis in maize germand degermed kernels by Fusarium verticillioides. J.Food Prot. 66:2116-2122.

Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of corn diseases.Second Edition. The American PhytopathologicalSociety. USA. 105p.

Vigier, B., L.M. Reid, L.M. Dwyer, D.W. Stewart, R.C. Sinha,J.T. Arnason, G. Butler. 2001. Maize resistance toGibberella ear rot symptoms, deoxynivalenol, and yield.Can. J. Plant Pathol. 23:99-105.

Waalwijk, C., S.H. Koch, E. Ncube, J. Allwood, B. Flett, I.Vries,and G.H.J. Ema. 2008. Quantitative detection ofFusarium spp. and its correlation with fumonisincontent in maize from South African subsis tencefarmers. World Mycotoxin Journal 1(1):1075-1081.

Wakman, W. dan M.S. Kontong. 2002. Identifikasi ketahananvarietas/galur dari berbagai sumber yang berbedaterhadap penyakit busuk batang. Hasil PenelitianHama dan Penyakit. Balai Penelitian TanamanSerealia.

Page 95: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

Soenartiningsih et al.: Strategi Pengendalian Cendawan Fusarium sp. dan Kontaminasi Mikotoksin

93

Walters, D. 2009. Disease control in crops. John Wiley andSons, Ltd., Publication, Chishester. p.73-81.

Warintek. 2007. Jagung (Zea mays), klasifikasi dan standarmutu. www. warintek. progressio.or.id. p.1-3.

Widiastuti, R. 2000. Mikotoksin yang dihasilkan olehFusarium spp. dan dampaknya terhadap kesehatanhewan dan manusia. Jurnal Mikologi KedokteranIndonesia (1):43-49.

William, L.D., A.E. Glenn, C.W. Bacon, M.A. Smith, and R.T.Riley. 2006. Fumonisin production and bioavailability

to maize seedling grown from seeds inoculated withFusarium verticillioides and grown in natural soils. J.Agric. Food Chem. 54:5694-5700.

Winda, H., S.J. Munarso, dan Miskiyah. 2005. Keragaankontaminasi mikotoksin pada jagung. ProsidingSeminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanenuntuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian.Balai Besar Penelitian dan PengembanganPascapanen Pertanian. p.1200-1214.

Page 96: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 11 NO. 1 2016

94

Page 97: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

95

Petunjuk bagi Penulis

KETENTUAN UMUM

• Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atauanalisis dari sejumlah referensi hasil penelitianmenjadi gagasan baru untuk dapat memberikanpemecahan masalah pertanian tanaman pangan.

• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasaInggris. Untuk memudahkan penelaahan oleh redaksidan mitra bestari, naskah diketik satu setengah spasimenggunakan huruf (font) arial 12 pt. Naskah dikirimke Dewan Redaksi Iptek Tanaman Pangan dan harusmendapat persetujuan dari pimpinan instansi penulis,dengan alamat: Jalan Merdeka No. 147 Bogor, 16111atau lewat email: [email protected].

• Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernahditerbitkan di media publikasi lain.

• Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentukprint out atau melalui email ke alamatwww.pangan.litbang.pertanian.go.id.

• Redaksi akan mengirimkan form isian “pernyataanetika penulisan” kepada penulis yang naskahnyamemenuhi syarat untuk diproses di keredaksian. Formtersebut diisi dan ditandatangani penulis di atasmaterai, kemudian dikirimkan kembali kepada redaksiuntuk didokumentasikan.

• Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhakmenerima satu buletin asli dan cetak lepas 10eksemplar.

STANDAR PENULISAN

• Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasiuntuk Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran.Bidang ketik berjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepi kanan, atas, dan bawah.

• Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial denganukuran font 12 untuk teks dan 10-11 untuk Tabel danLampiran.

• Naskah diketik dalam program Microsoft Word.

• Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis,instansi, alamat lengkap (termasuk nomor telepon(HP), faks, dan email kalau ada), abstrak,pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan, ucapanterima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka.

SISTEMATIKA PENULISAN

• Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yangmencerminkan isi naskah, usahakan tidak lebih dari12 kata.

• Nama Penulis: ditulis tanpa gelar dan sesuai denganpencantuman untuk pustaka,

• Nama Lembaga/Instansi: disertai dengan alamatlengkap.

• Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris,merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata,dan dituangkan dalam satu paragraf.

• Kata Kunci (Keyword): maksimum lima kata.• Pendahuluan: menggambarkan latar belakang,

tujuan, sasaran dan pustaka yang mendukung.

• Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahassecara jelas pokok bahasan dengan mengacu kepadatujuan penulisan.

• Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansipokok bahasan.

• Ucapan Terima Kasih (kalau ada).

• Daftar Pustaka:a. Menggunakan minimal 25 referensi yang terbit

dalam 10 tahun terakhir dengan proporsi minimal60% dari jurnal ilmiah primer.

b. Pengutipan pustaka dari internet hanyadiperbolehkan dari sumber yang dapat dipercayaseperti jurnal ilmiah dari instansi pemerintah atauswasta.

c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah,disusun alfabetis dan tahun terbit. Di belakangtahun, baik dalam teks maupun di daftar pustakadapat dibubuhi huruf kecil (a, b, c) jika penulisyang sama menulis lebih dari satu artikel dalamtahun yang sama. Nama penulis yang lebih daridua orang, di dalam kutipan teks menggunakanet al. setelah penulis pertama. Di Daftar Pustaka,semua penulis harus ditulis sesuai dengan kaidahpenulisan pustaka.

• Beberapa contoh penulisan sumber rujukan:

BukuSyam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan

kedelai. Bogor: Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan. 317 p.

Page 98: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

96

Jurnal

Wahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuknitrogen pada padi sawah dengan metode baganwarna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):156-161.

Artikel dalam buku

Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Arealpertanaman dan sistem produksi kedelai diIndonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi danPengembangan. Bogor: Puslitbang TanamanPangan. p. 135-144.

Prosiding

Sembiring, H. dan Wasito. 2004. Peluangpengembangan sistem integrasi padi-ternak dalampemberdayaan kelompok tani untuk meningkatkankualitas lahan dan pendapatan petani di SumateraUtara. Prosiding Seminar Nasional SistemIntegrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli2004. Bogor: Puslitbang Peternakan - BPTP Bali-CASREN. p. 104-115.

Tesis/disertasi

Koesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanankedelai terhadap aluminium. Tesis. Univ. GajahMada. Yogyakarta. 127 p.

Internet

Mutert, E.W. 2008. Plant nutrient balances in Asianand Pasific regions. The consequences foragricultural production. http://www.agnet. org/library/eb/415. [Diakses 5 Oktober 2010].

CARA PENULISAN

• Tabel

a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial denganjarak 1 spasi dan ukuran font 10-11.

b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yangmenggunakan huruf kapital, diletakkan di atasTabel, dan diberi nomor urut dengan angka Arab.

c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi danukuran font 9-10, ditulis di bawah Tabel.

• Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipeArial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11,diletakkan di bawah Gambar atau Grafik berupakalimat singkat dan jelas. Hanya kata pertama yangmenggunakan huruf kapital dan diberi nomor urutsesuai dengan letaknya.

• Satuan ukuran: memakai sistem internasional,misalnya cm, g, kg, ton, t/ha

• Penulisan angka desimal: dalam bahasaIndonesia dipisahkan dengan koma (,) dan dalambahasa Inggris dengan titik (.).

Page 99: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

97

Page 100: Pengantar - pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/iptek/iptek2016/Nomor-1/Iptek Vol... · Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan

98