repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan...

87

Upload: others

Post on 04-Dec-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan
Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

v

ABSTRAK

M. Kamaluddin Umar. Nim 11150440000090. PENYELESAIAN

SENGKETA WARIS BAGI ISTRI YANG MAFQUD ( Analisis Putusan Nomor

2210/Pdt.G/2018/PA.JB ). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah),

Fakultas Syari`ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1441 H/2020 M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pertimbangan hakim Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, dalam memutus

gugatan waris dan untuk mengetahui perspektif hukum islam dan maslahah

mursalah.

Jenis penelitian ialah jenis penelitian kualitatif sedangkan pendekatan

penelitian normatif dengan sumber data berupa putusan Tingkat Pertama dengan

teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka dan dokumentasi.

Analisa data menggunakan metode content analysis.

Pada putusan ini dinyatakan mafqud tidak berhak atas harta warisan

karena secara fakta telah bercerai dan mafqud sejak tahun 2009, hasil penelitian

ini penulis berbeda pendapat dengan putusan. Penulis menilai mafqud masih

dinyatakan hidup dan berhak atas harta warisan suaminya dengan alasan

kemaslahatan dan menjauhi kemudharatan bagi mafqud.

Kata kunci: kewarisan, mafqud, putusan, hukum islam, maslahah mursalah

Pembimbing: Sri Hidayati, MAg.

Daftar Pustaka: 1991 – 2018

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan

kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas

segala nikmat, ma`unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua

khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan Judul “PENYELESAIAN SENGKETA WARIS BAGI ISTRI YANG

MAFQUD(Analisis Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB)”. Shalawat serta

salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW,

yang telah membawa ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh

Allah SWT.

Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah

menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa

memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya

apabila skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari

bahwa skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan. Perlu diketahui bahwa selama

penulis masih di bangku perkuliahan sampai pada tahap akhir ini yakni penulisan

skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan, arahan, bantuan, masukan, serta

dukungan yang luar biasa dari para pihak, oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil

Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Dr. Mesraini, S. H, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua

Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan semangat

dan arahan kepada penulis.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

vii

4. Dr.Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak kenal

lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan penuh

keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas

Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian skripsi

penulis.

5. Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang selalu siap sedia dan

tak kenal lelah saat membimbing yang senantiasa mengarahkan penulis

dalam penyusunan skripsi ini, dan menjadi kebanggaan tersendiri kepada

penulis karena telah dibimbing orang hebat seperti beliau.

6. Kedua orang tua, teruntuk mama tersayang Mujianah dan papa tercinta

Saumun Hasan, S.sos., yang tak pernah lelah untuk memberikan doa dan

motivasinya kepada penulis, sehingga menjadi motivasi tersendiri kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa abang dan adikku

yang selalu memberikan semangat kepada penulis disaat penulis merasa

terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan

dan Ibnu Umar atas doa dan nasihatnya selama ini.

7. Murobbi AlHabib Alwi bin Abdurrahman AlHabsyi yang tidak pernah

lelah mendidik, membimbing, memberikan doa dan nasehat kepada

penulis, sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa Ashabul Khidmah majelis Zawiyaturrasul SAW atas doanya

selama ini.

8. Para dosen fakultas syariah dan hukum, yang telah memberikan ilmu dan

berbagi pengalamannya sehingga sangat memotivasi penulis.

9. Teman-teman Hukum Keluarga 2015 khususnya Aza, Fikri, Iyan, Arkay,

Ipul, Alawi, Ridwan, Maulvi, Ajat, Edo, Furqon, Wildan, Hana, Ghina,

serta masih banyak lagi teman-teman penulis yang namanya tidak

tercantum disini, terima kasih atas dukungannya serta arahannya yang

selalu menyemangati penulis selama ini.

10. Sahabatku Alifian Dzikiri Ramadhan, Muhammad Rafhi, Ibnu Malik, M.

Ghozali, Nur Israfiani dan Cika Ramadanti yang selalu memberikan segala

bentuk perhatian dan motivasi.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

viii

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa

mereka, kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di

akhirat kelak, Amiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak

manfaat bagi para pembaca walaupun masih banyak kekurangan dan belum

sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wallahu a‟lam bi

al-Showab.

Jakarta, 20 Januari 2020

M. Kamaluddin Umar

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

A. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H} ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

s} es dengan garis bawah ص

d} de dengan garis bawah ض

t} te dengan garis bwah ط

z} zet dengan garis bawah ظ

Koma terbalik diatas ‘ ع

hadap kanan

Gh ge dan ha غ

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

x

F Ef ف

Q Qo ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apstrop ‘ ء

Y Ya ي

B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ _____= a ى ا = a>

_____ _____= i ى ي = i>

_____ _____= u ى و = u>

C. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

يأ __= ai )ال( = al

al-sh = (الش( aw =__أ و

(وال ) = wa al-

D. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-

syuf’ah.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

xi

E. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti

dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”

(te) (lihat contoh 3).

Kata Arab Alih Aksara

Syarî’ah شزيعة

al- syarî ’ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلا مية

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut

berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman

kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

NO Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur‟a>n Alqur’an

2 Al-H}adi>th Hadis

3 Sunnah Sunnah

4 Nas{ Nas

5 Tafsi>r Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN................................................................................. iv

ABSTRAK............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... ix

DAFTAR ISI.......................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah.................................................................... 4

C. Pembatasan Masalah................................................................... 4

D. Rumusan Masalah....................................................................... 5

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.................................................. 5

F. Review Studi Terdahulu............................................................. 6

G. Kerangka Teori........................................................................... 7

H. Metode Penelitian....................................................................... 8

I. Sistematika Penulisan............................................................... 10

BAB II KEWARISAN MAFQUD DAN PERCERAIAN DALAM ISLAM

A. Kewarisan Islam

1. Pengertian Kewarisan....................................................... 12

2. Dasar Hukum Kewarisan.................................................. 14

3. Rukun dan Syarat kewarisan............................................. 18

4. Sebab-sebab Kewarisan.................................................... 21

5. Penghalang Kewarisan...................................................... 24

B. Ketentuan Mafqud

1. Pengertian Mafqud............................................................ 29

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

xiii

2. Pendapat Ulama tentang Status Hukum Mafqud.............. 30

3. Pendapat Ulama tentang Batas Waktu Mafqud................ 35

4. Cara Pembagian Harta Warisan Mafqud.......................... 37

C. Perceraian Pada Istri Yang Mafqud

1. Perceraian Mafqud Menurut Hukum Positif..................... 42

2. Perceraian Mafqud Menurut Hukum Islam....................... 45

BAB III TEORI MASLAHAH MURSALAH

A. Pengertian Maslahah Mursalah............................................... 47

B. Macam-macam Maslahah Mursalah....................................... 49

C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.......................................... 51

BAB IV PUTUSAN NOMOR 2210/Pdt.G/2018/PA.JB DAN ANALISIS

A. Kronologi

1. Duduk Perkara................................................................... 54

2. Proses Persidangan............................................................ 56

3. Pertimbangan Hakim......................................................... 58

4. Amar Putusan Hakim........................................................ 61

B. Analisis Hukum dan Maslahah Mursalah

1. Status Hukum Istri Mafqud............................................... 61

2. Bagian Waris Istri Mafqud................................................ 64

3. Kaitan Dengan Maslahah Mursalah.................................. 65

4. Perceraian Akibat Istri Mafqud......................................... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................. 69

B. Saran....................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 71

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mafqud menurut bahasa berarti yang hilang. Sedangkan menurut

istilah Fiqh, mafqud ialah orang yang pergi, tidak ada kabar beritanya, tidak

diketahui tempat tinggalnya, dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau

sudah meninggal dunia.1 Penentuan status orang hilang atau mafqud sangat

penting karena menyangkut berbagai aspek, salah satunya adalah aspek

kewarisan. Sebelumnya, harus diketahui dulu apakah dia sebagai pewaris

(orang yang mewariskan) atau apakah dia sebagai ahli waris (orang yang

menerima harta waris). Jika dia sebagai pewaris, sebelum ada keputusan dari

hakim tentang keadaannya maka harta benda itu tidak bisa dibagikan. Begitu

juga ketika dia menjadi ahli waris sebelum adanya putusan dari hakim maka

ia masih memiliki hak atas harta warisan.2

Pembagian warisan kepada ahli waris hukumnya adalah wajib apabila

syarat pewarisan telah terpenuhi. Terpenuhinya syarat-syarat pewarisan dapat

memberi hak kepada ahli waris untuk menerima warisan. Adapun syarat-

syarat sahnya pewarisan ada tiga, yang pertama orang yang mewariskan

(pewaris) telah meninggal dunia, kedua ahli waris masih hidup pada saat

orang yang mewariskan telah meninggal dunia, dan yang ketiga adalah

seluruh ahli waris diketahui secara pasti termasuk jumlah bagian masing-

masing.3

1 Amien Husain Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.

193 2 Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,

2005(, h. 207 3 Muhammad Jawad Mughniyah penterjemah Masykur A.B. dkk, Al-Fiqh ‘ala al-madzhab al-

khamsah terjemah Foqh Lima Mazhab (Jakarta: Penerbit Lentera, 2011), h. 575

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

2

Pada pewaris yang menjadi syarat ialah kematian seseorang,

sedangkan pada ahli waris benar-benar hidup disaat kematian pewaris dan

memiliki hubungan nasab. Di lain hal, ahli waris juga memiliki halangan

untuk mendapatkan warisan, diantaranya:

1. Perbedaan agama, maksudnya ialah orang yang selain agama Islam

tidak bisa menerima waris;

2. Murtad, ialah seseorang yang pada awalnya beragama Islam, lalu

pindah agama. Baik orang itu memiliki hubungan darah atau

kekerabatan;

3. Pembunuhan, maksudnya ialah ahli waris melakukan penganiyaan

yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173, dijelaskan tentang

terhalangnya ahli waris mewarisi harta benda keluarganya. Bisa karena

ditetapkan oleh seorang hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Hal ini terjadi apabila:4

1. Ahli waris dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris.

2. Ahli waris dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan

pengaduan, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang

diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman

yang lebih berat.

Permasalahannya adalah, ketika timbul ketidakjelasan mengenai status

pewaris maupun ahli waris tersebut. Tidak diketahui apakah masih hidup atau

sudah meninggal. Dengan kata lain, orang ini mafqud atau orang hilang.

Sebagai pewaris, maka harus dianggap masih hidup. Hartanya harus dijaga

dan tidak boleh diwariskan sampai ada kepastian bahwa ia sudah meninggal.

4 Kompilasi Hukum Islam pasal 173

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

3

Sebaliknya, apabila sebagai ahli waris maka tidak boleh menerima harta

warisan sampai ada kepastian bahwa ia masih hidup.5

Untuk menghilangkan keragu-raguan tentang status Al-Mafqud

apakah masih hidup atau sudah mati. Ada beberapa cara yang digunakan oleh

para fuqaha, yaitu:6

1. Ditunggu sampai usianya mencapai batas umur terakhir manusia

pada umumnya;

2. Al-Mafqud bisa dihukumi sebagai mati apabila sudah lewat waktu

4 tahun tidak ada kabar beritanya.

Para fuqaha lainnya juga memiliki tiga solusi untuk menetapkan

hukum Al-Mafqud dalam perkara kewarisan, yaitu:7

1. Ahli waris lain menyikapi dirinya dengan mengambil mudharat

yang lebih kecil baik ketika dia dianggap masih hidup atau sudah

meninggal dunia;

2. Dia dianggap sudah meninggal dunia dan harta peninggalan

dibagikan kepada ahli waris yang ada. Meskipun hal ini merugikan

mereka semua atau sebagian dari mereka jika diperkirakan bahwa

orang yang hilang masih hidup;

3. Dia dianggap masih hidup dan harta warisannya dibagikan kepada

ahli waris yang ada. Setiap ahli waris yang ada diberi bagiannya

masing-masing. Bagian orang hilang ditangguhkan sampai

keadaannya benar-benar diketahui atau sampai hakim memutuskan

ia telah meninggal dunia sebelum pewarisnya meninggal dunia.

5 Husein Nasution, Hukum Kewarisan, h. 195 6 Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:

Darunnajah Production House, 2007), h.43 7 Wahyudin Abdurrahman, Panduan Waris Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2009), h.266-267

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

4

Saat ini, telah terdapat sebuah putusan tentang gugatan waris di

Pengadilan Agama Jakarta Barat. Putusan tersebut memutus istri yang mafqud

tidak berhak atas kewarisan dan dinyatakan secara fakta telah bercerai karena

telah mafqud sejak 2009. Dalam hal ini, penggugat adalah anak dari mafqud

sedangkan suami dari mafqud telah meninggal dunia sejak 07 Juli 2018

berdasarkan surat keterangan kematian Nomor 3173011001-PKM-11072018-

0001 yang dikeluarkan oleh Lurah Cengkareng Barat pada tanggal 11 Juli

2018.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dan kemudian mengkaji dan menyajikannya dalam sebuah skripsi

dengan judul “Penyelesaian Sengketa Waris Bagi Istri yang Mafqud

(Analisis Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB)”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan permasalahan yang terkait dengan

judul yang sedang dibahas. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis

mengambil beberapa poin permasalahan yang akan dibahas, diantaranya:

1. Kapan seseorang dikatakan mafqud?

2. Kapan orang yang mafqud dapat menjadi ahli waris?

3. Apa yang menghalangi seseorang mendapatkan waris?

4. Bagaimana pertimbangan hakim memutus perkara gugatan waris?

C. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas

dan terarah. Penulis membatasi pembahasan penyelesaian sengketa waris bagi

istri yang mafqud pada Amar Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat

Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

5

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah

di atas, maka penulis merumuskan masalah sebbagai berikut:

1. Bagaimana hukum Islam mengatur kewarisan mafqud?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara gugatan

waris Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kewarisan mafqud dalam hukum Islam

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang gugatan

waris pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat

Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan

perkara dan metode apa saja yang digunakan dalam

menetapkan perkara.

b. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi mahasiswa Fakultas

Syariah dan Hukum pada khususnya serta masyarakat luas

pada umumnya.

c. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah

kepustakaan Islam. Khususnya dalam bidang studi Hukum

Keluarga.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

6

F. Review Studi Terdahulu

Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis

melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang akan

penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang

penulis bahas, diantaranya:

Skripsi dengan judul “Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang

dalam Perkara Cerai Talak dengan Alasan Istri Mafqud”. Skripsi ini ditulis

oleh Idham Abdul Fatah R, Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Skripsi ini membahas

putusan peradilan agama atas kasus-kasus perceraian talak karena istri mafqud

yang diputus secara verstek. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada

pembahasannya. Penelitian penulis lebih fokus membahas mengenai

kewarisan yang diakibatkan karena istri mafqud atau hilang.

Skripsi dengan judul “Dasar Hukum Penetapan Status Hukum Mafqud

dalam Kewarisan di Pengadilan Agama Yogyakarta dan Kediri” yang ditulis

oleh Saidul Iskandar, Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Skripsi ini membahas landasan hukum

formil hakim dalam memutuskan perkara istri mafqud oleh Pengadilan

Agama Yogyakarta dan Kediri. Serta membahas undang-undang yang

mengatur mengenai kewarisan mafqud. Perbedaan dengan penelitian penulis

adalah pada subjek penelitiannya. Pada penelitian penulis, membahas

mengenai bagaimana hakim menetapkan tergugat yang mafqud terhadap

status wafat atau hidupnya. Selain itu, penelitian ini juga berfokus pada

kewarisan dari segi hukum Islam.

Skripsi dengan judul “Perceraian karena Suami Mafqud menurut

Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Cibinong No.

0406/Pdt.G/2016/PA.Cbn) oleh Ardiansyah Pratama Putra Jurusan

Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2017. Skripsi ini membahas perceraian yang terjadi di Pengadilan

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

7

Agama Cibinong dengan alasan suami yang mafqud atau hilang selama 3

tahun. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada topic pembahasan

yaitu mengenai kewarisan akibat istri yang mafqud yang dianalisis dengan

teori maslahah mursalah.

G. Kerangka Teori

Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan teori mashlahat. Teori

ini dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Al-Syatibi dengan tujuan syariat Islam

untuk mewujudkan kemashlahatan umum dengan cara menjadikan aturan

hukum syariah yang paling utama dan sekaligus menjadi kebutuhan sesuai

ruang dan waktu demi kehidupan manusia yang adil, bermartabat dan

bermashlahat.

Pelaksanaa pembagian harta warissan dalam Islam pada pengadilan

agama hendaknya diaplikasikan menurut prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan

hukum syariah. Syamsulbahri didalam bukunya mengutip pendapat Imam Al-

Syatibi dalam membagi tingkatan mashlahat menjadi tiga, yaitu:8

Mashlahat daririyah, yakni kemashlahatan yang menjadi dasar tegaknya

kehidupan hak asasi manusia, baik yang berkaitan dengan agama yang dalam

hal ini adalah akhirat maupun dunia.

Mashlahat hajiyat, yakni kemashlahatan yang dibutuhkan manusia

untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Selanjutnya

yaitu mashlahat tahsiniyat, yakni kemashlahatan yang sifatnya untuk

memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan.

Mashlahat daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat memuat lima asas hukum

syara’ yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan,

memelihara akal dan memelihara harta.

8 Syamsulbahri Salihin, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum Islam

dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2015), h.13

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

8

H. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan

dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna

membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.9

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan hukum normatif. Pada penelitian hukum jenis ini,

seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia

yang dianggap pantas.10 Kaitannya dengan penelitian ini, yang

dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam atau fiqh yang

bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits.

2. Jenis Penelitian

a. Data Penelitian

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan

dalam bentuk kata variabel bukan angka.11 Data kualitatif

ini adalah data yang hampir semua menggunakan kata-kata

untuk menggambarkan dan menjelaskan fakta atau

fenomena yang terjadi.

b. Sumber Data Penelitian

Dalam melakukan penelitian ilmiah ini, penulis

menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yaitu

9 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 2. 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004), h.118 11 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h.284.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

9

data yang telah dikumpulkan untuk maksud menyelesaikan

masalah. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah

literatur, artikel, serta jurnal yang berkaitan dengan

penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan

yang diteliti, serta dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang

bersifat normatif. Maka teknik pengumpulan data yang penulis

gunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan

data-data kualitatif, yakni sumber data berupa bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum

dikumpulkan berdasarkan permasalahan dan dikaji secara

komperatif agar dapat digunakan untuk menjawab suatu

pertanyaan atau memecahkan suatu permasalahan.

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama yang

akan diteliti. Dalam penelitian hukum normatif berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki

kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang tidak

mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau

menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa buku-

buku terkait, artikel dalam majalah atau media elektronik,

laporan penelitian atau jurnal hukum.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

10

4. Metode Analisa Data

Analisis data merupakan bagian yang penting dalam metode

ilmiah. Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam

memecahkan masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai

dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis

deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang

diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)

Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta

tahun 2017.

I. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi

atas lima bab yang saling berkaitan.

Bab pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, studi literatur. Berisikan tentang studi mengenai kewarisan

dan mafqud. Bab ini membahas mengenai pengertian kewarisan, dasar hukum

kewarisan, rukun dan syarat kewarisan, sebab-sebab kewarisan, penghalang

kewarisan serta pengertian mafqud, pendapat ulama tentang status hukum

mafqud, pendapat ulama tentang batas waktu mafqud dan cara pembagian

harta warisan mafqud.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

11

Bab ketiga, pembahasan teori maslahah mursalah. Pada bab ini

membahas mengenai pengertian maslahah mursalah, macam-macam dan

syarat maslahah mursalah.

Bab keempat, putusan Nomor 2210/Pdt.G/PA.JB dan analisis. Bab ini

berisikan duduk perkara, proses persidangan, pertimbangan hakim, amar

putusan hakim dan analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.

Bab kelima, penutup. Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang

menjawab rumusan masalah. Serta saran yang berguna untuk perbaikan di

masa yang akan datang.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

12

BAB II

KEWARISAN MAFQUD DALAM ISLAM

A. Kewarisan Islam

1. Pengertian Kewarisan

Kata mawaris berasal dari bahasa arab yakni miiraats , kata al-mirats

memiliki dua pengertian. pertama, al-baqa yang memiliki arti kekal abadi. kedua,

al-mirats yang memiliki arti peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain.1

Al-mirats juga memiliki makna lain yaitu harta peninggalan yang ditinggalkan oleh

si mati dan diwarisi oleh yang lainya.2

Sedangkan secara terminologis, fikih mawaris memiliki beberapa definisi,

yakni sebagai berikut:3

1) Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan

syara’ yang tidak bertambah kecuali dengan radd dan tidak

berkurang kecuali dengan aul.

2) Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung

yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang

bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak

waris.

3) Disebut juga dengan fikih mawaris, fikih tentang warisan dan tata

cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

4) Kaidah-kaidah fikih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian

setiap ahli waris dari harta peninggalan.

1 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks & Konteks,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),h.11-12 2 Suparman Usman dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,

1997),h.13 3 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.12

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

13

5) Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli

waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta

mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.

Dalam buku yang berjudul Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam karya

Suparman Usman merangkum beberapa pendapat tokoh tentang pengertian hukum

kewarisan4, diantaranya adalah Muhammad al-Syarbiny yang mendefinisikan ilmu

mawaris adalah Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang

cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan

tentang bagian-bagian yang wajib dan harta peninggalan bagi setiap pemilik hak

waris. Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan bahwa ilmu mawaris

adalah ilmu yang membahas tentang bagian dari harta peninggalan bagi setiap orang

yang berhak menerimanya. Kemudian, Rifa’i Arief mendefinisikan ilmu mawaris

merupakan kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang membahas tentang para ahli

waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris), dan cara

membagikan harta peninggalan kepada orang yang berhak menerimanya.

Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan Ilmu yang mempelajari tentang siapa

yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang

diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.5

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Fikih mawaris adalah suatu disiplin ilmu

yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan,

siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-

masing.6

4 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h. 14 5 TH Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 18 6 Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2009),h.7

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

14

2. Dasar Hukum Kewarisan

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama adalah

nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ayat-ayat

Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang secara langsung mengatur kewarisan itu

sebagai berikut:

1. Ayat-ayat Al-Qur’an

a) QS. an-Nisaa’(4): 7

لدان وٱلقربون وللن س ا ترك ٱلو م يب م جال نص لدان ل لر ا ترك ٱلو م يب م اء نص

يبا مف روضا ه ن م ل ا ق م م ٱلقربون و أو كثر نص

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-

bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian

(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik

sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (

Surat an-Nisaa ayat 7 )

b) QS. an-Nisaa’(4): 11-12

ثل حظ ٱلنثيين فإن كن نساء فوق ٱثنتين فله كم للذكر م د يكم ٱلله في أول ن يوص

ا م نهما ٱلسدس م د م ح بويه لكل و دة فلها ٱلن صف ول ح ثلثا ما ترك وإن كانت و

فإن كان لهۥ ترك ه ٱلثلث م ثهۥ أبواه فل فإن لم يكن لهۥ ولد وور

إن كان لهۥ ولد

ي بها أو دين ءاباؤكم وأبناؤكم ل ية يوص ن بعد وص ه ٱلسدس م م إخوة فل

يما ۞ولكم تدرون أيه ن ٱلله إن ٱلله كان عليما حك يضة م م أقرب لكم نفعا فر

ا م بع م فإن كان لهن ولد فلكم ٱلرجكم إن لم يكن لهن ولد نصف ما ترك أزو

ية يوص ن بعد وص ا تركتم إن لم يكن لكم تركن م م بع م ين بها أو دين ولهن ٱلر

ية توصون بها أو دين ن بعد وص ا تركتم م م فإن كان لكم ولد فلهن ٱلثمن مولد

لة أو ٱمر نهما ٱلسدس وإن كان رجل يورث كل د م ح أة ولهۥ أخ أو أخت فلكل و

ية يوصى بها أو دين ن بعد وص لك فهم شركاء في ٱلثلث م ن ذ فإن كانوا أكثر م

ن ٱلله وٱلله عليم حل ية م وص يم غير مضار

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

15

Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan

bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya

perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,

maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-

bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika

orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi

oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika

yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar

hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika

isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat

seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi

wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.

Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan

jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,

maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik

laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan

tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara

laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu

saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah

dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli

waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at

yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Penyantun. ( Surat an-Nisaa ayat 11-12 )

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

16

c) QS. an-Nisaa’(4): 33

نكم ولك ين عقدت أيم لدان وٱلقربون وٱلذ ا ترك ٱلو م لي م ل جعلنا مو

يدا ف يبهم إن ٱلله كان على كل شيء شه اتوهم نص

Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu

bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan

(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan

mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya

Allah menyaksikan segala sesuatu. ( Surat an-Nisaa ayat 33 )

d) QS. an-Nisaa’(4): 176

إن ٱمرؤا هلك ليس لهۥ ولد ولهۥ أخت فلها لة يستفتونك قل ٱلله يفتيكم في ٱلكل

ا م فإن كانتا ٱثنتين فلهما ٱلثلثان مثها إن لم يكن لها ولد نصف ما ترك وهو ير

ثل حظ ٱلنثيين يبي ن ٱلله لكم أن ترك جال ونساء فللذكر م وإن كانوا إخوة ر

لوا وٱلله بكل شيء عليم تض

Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang

perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara

perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka

(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,

maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua

orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)

kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu. ( Surat an-Nisaa ayat 176 )

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

17

2. Hadis Nabi SAW

a) Hadis Nabi SAW dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh

Sunan Tirmidzi :

قوا صلى الله عليه و سلم قال ألح ي الله عنهما عن النبي عن ابن عباس رض

لى رجل ذكر و لها فما بقي فهو ل ال فرائض بأ ه

Artinya : Dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan)

kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris

lelaki yang paling dekat (nasabnya)."7

b) Hadis Nabi SAW dari Usamah bin Zaid yang diriwayatkan Imam

Muslim :

م ال كافر ل ث ال مس عن أسامة ب ن زي د أن النبي صلى الله علي ه وسلم قال ل ير

لم ث ال كافر ال مس ول ير

Artinya : Dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir

dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.8

c) Hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu

Majah :

ث عن أبي هري رة عن النبي صلى الله علي ه وسلم قال القاتل ل ير

Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : “ Orang yang

membunuh tidak bisa menjadi ahli waris.9

7 Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz jilid 4, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hlm.31 8 Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1995),

hlm.44 9 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah jilid 2, ( Cairo: Mustafa Al-Babiy: 1995), hlm.110

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

18

3. Rukun dan Syarat Kewarisan

Ada unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap unsur

tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fikih

dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.

Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan.

Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali

dalam salah satu rukun perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali,

perkawinan menjadi kurang sempurna, bahkan menurut Imam Maliki dan Imam

Syafi’i perkawinan tidak sah.

Adapun syarat adalah sesuatu yang berada di luar substansi dari

permasalahan yang dibahas, tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadas

merupakan syarat sahnya shalat. Walaupun bersuci itu diluar pekerjaan shalat, tetapi

harus dikerjakan oleh orang yang akan shalat, karena jika dia shalat tanpa bersuci

shalatnya tidak sah. berikut rukun dan syarat kewarisan:

1) Rukun Kewarisan

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan

bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila

tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukunnya untuk mewarisi ada tiga:10

a) Al-Muwarrits

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia atau mati,

baik mati hakiki maupun mati hukmiy, mati hukmiy adalah kematian

yang dinyatakan oleh keputusan hakim11 dan meninggalkan harta

10 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.27 11 Asyhari Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, ( Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005),h. 28

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

19

waris atau hak. Didalam kamus Indonesia disebut dengan istilah

pewaris, sedangkan dalam kitab fiqih disebut muwarrits.

b) Al-Warits

Warits adalah orang hidup atau anak dalam kandungan yang

mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan

terhalang. Didalam kamus Indonesia disebut dengan istilah ahli

waris, sedangkan dalam kitab fiqih disebut warits

c) Al-Mauruts

Mauruts adalah harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati

yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk

biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan

wasiat.12 Termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau

hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak perdata, hak

menahan barang yang belum dilunasi pembayaraanya, dan hak

menahan barang gadaian.

Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,

waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggalkan

dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris, tetapi

tidak mempunyai harta waris, maka waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan

karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.

2) Syarat Kewarisan

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam

memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang

12 M. Ali Hasan, Hukum Kewarisan Dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1996),h. 12

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

20

yang masih hidup yang ditinggalkanya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-

mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni:

a. Meninggalnya Pewaris

Dengan adanya meninggalnya pewaris, maka segala harta dan

hak seseorang tidak boleh dibagikan, kecuali orang tersebut benar-

benar telah meninggal dunia atau hakim memutuskan kematiannya,

seperti orang yang hilang misalnya. Apabila hakim telah

memutuskan kematian orang tersebut, dengan bukti-bukti yang kuat

maka saat itu barulah harta peninggalannya dapat dibagikan diantara

ahli warisnya. Kematian seorang pewaris itu menurut ulama

dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a) Mati Haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang

yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian

ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat dibuktikan

dengan alat pembuktian.

b) Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim), yakni suatu

kematian disebabkan putusan hakim, baik pada hakikatnya

orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua

kemungkinan antara hidup dan mati.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan), yakni suatu

kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy, tetapi

semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat. 13

13 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.62

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

21

b. Hidupnya Ahli Waris

Hidupnya ahli waris disaat kematian pewaris, sebab ahli

warislah yang akan menerima perpindahan harta peninggalan orang

yang meninggal dunia dan hal itu tidak mungkin terjadi manakala

ahli waris tersebut telah meninggal terlebih dahulu atau meninggal

bersama-sama dengan pewarisnya.

c. Tidak Adanya Penghalang

Ahli waris tidak bisa mendapatkan warisan jika ahli waris

melakukan salah satu dari penghalang nya waris-mewarisi.14

4. Sebab-sebab Kewarisan

Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih kepada orang

hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut.

Dalam literatur hukum Islam atau fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang

menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati,

yaitu : hubungan kerabat, hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan

sesama Islam.15

1. Hubungan Kekerabatan (Nasab)

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara dua orang yang

mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran,

baik dekat maupun jauh.

14 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraid, ( Jakarta: Amzah, 2016),h. 12 15 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.174

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

22

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang

mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan,

sebagai berikut.

a) Furu’ yaitu anak keturunan ( cabang ) dari si mati. i) anak laki-

laki, cucu, cicit, dan jalur kebawahnya; ii) anak perempuan, cucu,

cicit dan jalur kebawahnya.

b) Ushul yaitu leluhur ( pokok atau asal ) yang menyebabkan adanya

si mati. i) Ayah, Kakek dan jalur keatasnya; ii) Ibu, Nenek (

ibunya suami dan ibunya istri ) dan jalur keatasnya.

c) Hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal

dunia melalui garis menyamping. i) Saudara laki-laki dan

perempuan secara mutlak, baik saudara kandung maupun seayah

atau seibu; ii) anak-anak saudara kandung atau seayah; iii) Paman

sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman yang sekandung.

16

2. Hubungan Perkawinan

Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan,

juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan dengan artian suami menjadi

ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi

suaminya yang meninggal. Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya

hubungan kewarisan antara suami dengan istri yaitu perkawinan yang sah.

Perkawinan yang sah adalah sebuah pernikahan yang berlangsung

dan telah memenuhi syarat dan rukun menurut syariat. Nikah sah yaitu nikah

yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan

16 Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, h. 33

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

23

serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul

(hubungan seksual). 17

3. Hubungan Sebab Al-wala’

Hubungan sebab wala’ adalah hubungan waris-mewarisi karena

kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak,

sekalipun di antara mereka tidak ada hubungan darah.18

Saat ini hubungan wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja.

Hubungan wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak

yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik

budak tersebut mengubah status orang yang semula tidak cakap bertindak,

menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki dan mengadakan

transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu, cakap

melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah

dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang-orang (pada

waktu itu) memerdekakan budak.

4. Hubungan Sesama Islam

Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang

yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu

diserahkan kepada pebendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal

yang akan digunakan oleh umat Islam.19 Dengan demikian harta orang

Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.

17 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.73 18 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),h.14 19 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.175

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

24

5. Penghalang Kewarisan

Penghalang Kewarisan adalah tindakan atau hal-hal yang dapat

menggugurkan hak seseorang untuk mendapatkan waris karena adanya sebab atau

syarat waris. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris.

Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mendapatkan waris atau

terhalang mendapatkan waris, sebagai berikut.

1) Perbudakan

2) Pembunuhan

3) Berlainan Agama

4) Berlainan Negara. 20

Untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih lanjut dibawah ini :

1. Perbudakan

Perbudakan secara bahasa berarti penghambaan dan sesuatu yang

lemah, sedangkan secara istilah perbudakaan memiliki arti kelemahan yang

bersifat hukum yang menguasai seseorang akibat kekufuran. Syar’i

menghukum orang semacam ini dengan tidak menerima segala perbuatannya

karena kekufurannya kepada Allah.21

Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau

dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan

dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya.

Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang

memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut

merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).

Budak itu juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada

ahli warisnya karena dianggap tidak mempunyai sesuatu. Namun, seadainya

20 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h.32 21 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.51

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

25

dia mempunyai sesuatu maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna,

kemudian kepemilikannya beralih kepada tuannya. Hal ini diberlakukan

karena tuan lebih berhak memanfaatkan dan memperoleh harta milik budak

pada masa hidupnya, demikian pula saat budak tersebut meninggal dunia.

2. Pembunuhan

Para fuqaha telah sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang

dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi

penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang

dibunuhnya. Sedangkan para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis

pembunuhan mana yang menjadi penghalang mewarisi.

Dari kalangan Syafiyah menyatakan mereka berpegang pada bahwa

segala bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris

terhadap pewarisnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.22

Menurut kalangan Hanafiyah jenis, pembunuhan yang menjadi

penghalang mewarisi ada empat macam, yakni :

a) Pembunuhan dengan sengaja

b) Pembunuhan mirip sengaja

c) Pembunuhan karena khilaf

d) Pembunuhan dianggap khilaf

Sedangkan menurut kalangan Malikiyah, jenis pembunuhan yang

menjadi penghalang mewarisi ada tiga, yakni :

a) Pembunuhan dengan sengaja

b) Pembunuhan mirip sengaja

c) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.23

22 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.77

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

26

Adapun menurut kalangan Hanabilah, jenis pembunuhan yang

menjadi penghalang hak mewarisi, yaitu :

a) Pembunuhan sengaja

b) Pembunuhan mirip sengaja

c) Pembunuhan karena khilaf

d) Pembunuhan dianggap khilaf

e) Pembunuhan tidak langsung

f) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap

bertindak.24

Terhalangnya si pembunuh dari hak kewarisan dari orang yang

dibunuhnya itu disebabkan oleh tiga alasan sebagai berikut :25

a) Pembunuhan itu memutus hubungan silahturahmi yang

merupakan salah satu penyebab adanya hubungan kewarisan.

Dengan terputusnya silahturahmi, maka terputus pula musabbab

atau hukum yang menetapkan hak kewarisan.

b) Untuk mencegah seseorang yang sudah ditentukan akan menerima

warisan supaya mempercepat proses berlakunya hak itu.

c) Pembunuhan merupakan suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan

hak kewarisan adalah suatu nikmat. Maksiat tidak boleh

dipergunakan untuk mendapatkan nikmat.

3. Berlainan Agama

Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi

kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.

23 Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, h. 33 24 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.77 25 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.196

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

27

Para fuqaha sepakat bahwa orang non Islam (kafir) tidak dapat mewarisi

harta orang Islam lantaran status orang non Islam (kafir) lebih rendah.

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat

sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan

belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu

tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut

adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan

dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si

pewaris, ia masih dalam keadaan non Islam (kafir). Maka mereka dalam

keadaan berlainan agama.26

Demikian juga orang yang murtad (orang yang keluar dari Islam)

mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi harta peninggalan

keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak

kejahatan terbesar yang telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena itu,

para fuqaha telah sepakat bahwa orang yang murtad tidak berhak menerima

harta warisan dari kerabat atau keluarganya.27

4. Berlainan Negara

Berlainan negara memiliki tiga kategori yaitu berlainan menurut

hukum, berlainan menurut hakikat, dan berlainan menurut hakikat sekaligus

hukumnya. Belainan agama antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha

bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab

semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan

politik dan sistem pemerintahannya.

26 Fathurrahman, Ilmu Waris, ( Bandung: Al-Ma’arif, 2004),h.98 27 Hasan, Hukum Kewarisan Dalam Islam, h. 32

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

28

Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang

yang non muslim. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi

penghalang mewarisi dengan alasan hadis yang melarang warisan antara

dua orang yang berlainan agama. Bahwa ahli waris dan pewaris yang sama

agamanya dapat saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.

Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa

hal itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara

orang-orang non muslim berarti terputusnya kekuasaan dan tidak adanya

hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara dalam

hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam segi

hukum.28

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan pula mengenai

penghalang kewarisan, yaitu Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila

dengan putusan hakim yang telah mempunyai kukuatan hukum yang tetap,

dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh

atau menganiaya berat para pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah

telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu

kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman

yang lebih berat.29

28 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.80 29 Kompilasi Hukum Islam Pasal 173

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

29

B. Ketentuan Mafqud

1. Pengertian Mafqud

Kata mafqud menurut bahasa merupakan ism maf’ul dari lafadz faqoda-

yafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.30 Jadi yang

dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang istri yang hilang dan

tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang

dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah ia

masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia

sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.31

Menurut istilah mafqud juga bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini

secara bahasa memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi. Hilang dalam hal ini

terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a) Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada

berita atau informasi tentangnya.

b) Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui

keberadaanya serta ditemukan informasi tentangnya.32

Sedangkan menurut istilah fikih adalah orang yang hilang dan menurut

zahirnya tertimpa musibah, seperti orang yang meninggalkan keluarganya pada

waktu malam atau siang atau keluar rumah untuk mencari rezeqi atau ke satu tempat

yang dekat kemudian tidak kembali lagi atau hilang di dalam kerusuhan.

Adapun pengertian mafqud yang telah di definisikan oleh para fuqaha yaitu,

pertama dari kalangan Hanafiyah yang mendefinisikan bahwa ialah orang yang tidak

diketahui hidup dan matinya. Sedangkan dari kalangan Malikiyyah, mafqud adalah

orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa kehilangan orang tersebut

30 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( Jakarta: Yayasan peyelenggara penterjemah/penafsir

Al-Qur’an, 2004), h.642. 31 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, ( Beirut: Dar el Fikr, 1993 ), h. 642 32 Yunus, Kamus Arab Indonesia, h.246

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

30

hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang tersebut. Dari kalangan

Hambaliyah menyatakan mafqud adalah terputus kabarnya dalam keadaan dzahirnya

menunjukkan meninggal, seperti orang yang tenggelam ketika sedang berlayar di

laut dan sejenisnya, maka orang ini dinanti selama empat tahun penuh sejak saat

hilangnya.33

Ibrahim al-Bajuri juga mendefinisikan mafqud sebagai berikut, mafqud

adalah orang yang hilang dan telah lama meninggalkan kampung halamannya tidak

ada kabar beritanya dan tidak diketahui apakah ia dalam keadaan hidup atau mati.34

Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian bahwa mafqud adalah orang

yang pergi ( tidak ada ditempat ) yang tidak diketahui alamatnya ( tempat tinggalnya

) dan tidak pula diketahui apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.35

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari beberapa pengertian diatas,

bahwa mafqud adalah orang yang hilang pergi meninggalkan keluarganya, tidak ada

kabar keadaanya hidup maupun matinya serta alamatnya dan adanya putusan hakim

yang menyatakan status mafqud.

2. Pendapat Ulama tentang Status Hukum Mafqud

Pada syarat-syarat kewarisan dikemukakan bahwa seseorang yang dapat

menjadi ahli waris adalah seorang ( ahli waris ) yang pada saat si pewaris meninggal

dunia jelas hidupnya. Berdasar persyaratan tersebut tentunya menimbulkan

persoalan terhadap hak mewaris bagi orang yang hilang.36 Keberadaan orang yang

hilang banyak yang tidak terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau telah

wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban orang yang

hilang tersebut serta hak dan kewajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan

kewajiban keluarganya sendiri.

33 Abu Najiyah Muhaimin, Ilmu Waris, ( Tegal: Ash-Shaf Media, 2007), h. 220 34 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h. 143 35 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, ( Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,

2001), h.254 36 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013),h. 63

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

31

Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam

menetapkan bahwa :

a) Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan

b) Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan

c) Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau

dialihkan.37

Ketidakbolehan ketiga hal tersebut di atas sampai orang yang hilang tersebut

diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih hidup atau

sudah meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus

dianggap sebagai masih hidup sesuai keadaan semula. Dan dapat ditambahkan,

bahwa yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah mati hanyalah

hakim.38 Sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa tentang kasus

seorang wanita yang kehilangan suaminya, Beliau mengatakan “ Dia seorang wanita

yang sedang terkena musibah, maka hendaklah dia bersabar. Jangan dulu dia

dikawinkan hingga berita kematian suaminya sampai kepadanya dengan

meyakinkan”.39

Adapun kemungkinan orang yang hilang sebagai berikut.

a) Apabila orang yang hilang diketahui masih hidup, ia boleh mengambil

haknya dari harta waris yang ditangguhkan pembagiannya.

b) Apabila orang yang hilang diketahui telah wafat setelah muwarrits

meninggal dan ada bukti yang dapat diterima syara’, harta yang

ditinggalkannya dan bagiannya atas harta waris digabungkan,

kemudian dibagikan kembali untuk ahli warisnya yang masih hidup.

37 Khairuddin, Belajar Praktis Fikih Mawaris, ( Banda Aceh: UIN Ar-Rinay Darussalam, 2104),h.

87 38 Lubis, Hukum Waris Islam, h. 63 39 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012),h. 193

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

32

c) Apabila bukti yang dapat diterima syara’ jelas menyebutkan bahwa

orang yang hilang meninggal sebelum pewaris wafat, orang yang

hilang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa dari harta waris yang

ditangguhkan pembagiannya dibagikan untuk ahli waris yang lain, dan

harta yang ditinggalkan oleh orang yang hilang itu diserahkan kepada

ahli warisnya untuk dibagikan.

d) Apabila orang yang hilang tidak diketahui dengan pasti kapan

kematiannya, sebelum atau sesudah pewaris wafat, dia tidak dapat

mewarisi karena masih ada keraguan disana.

e) Apabila hakim memutuskan berdasarkan perkiraan yang kuat bahwa

orang yang hilang meninggal, orang itu dianggap wafat terhitung sejak

ia hilang. Oleh karena itu, ia tidak dapat mewarisi harta yang

ditangguhkan pembagiannya, dan semuanya dikembalikan kepada ahli

warisnya. 40

Dalam kemungkinan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mafqud ada

kalanya orang yang mewariskan ( pewaris ) dan ada kalanya ahli waris. Dalam

keadaan pertama, mafqud sebagai orang yang mewariskan, hartanya tetap menjadi

miliknya dan tidak dibagikan di antara ahli warisnya sampai nyata kematiannya atau

hakim menetapkan kematiannya. Apabila ternyata dia masih hidup, dia mengambil

hartanya. Apabila ternyata dia sudah mati atau hakim menetapkan kematiannya,

hartanya diwarisi oleh orang yang menjadi pewarisnya pada waktu dia mati atau

waktu hakim menetapkan kematiannya. Adapun keadaan kedua, yaitu apabila

mafqud sebagai pewaris dari orang lain, bagiannya dari harta peninggalan orang

yang mewariskan itu ditahan sampai jelas keadaannya. Apabila dia muncul dalam

keadaan hidup, dia berhak mengambilnya. Jika ditetapkan kematiannya, bagiannya

40 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.379

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

33

itu dikembalikan kepada ahli waris yang berhak disaat kematian orang yang

mewariskan. Jika ia muncul dalam keadaan hidup sesudah ditetapkan kematiannya,

dia mengambil sisa dari bagiannya yang berada ditangan ahli waris. 41

Para Ulama berbeda pendapat mengenai status hukum mafqud, yakni:

a) Dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa kematian orang itu

hanya ditinjau dari istrinya saja, sedangkan hartanya tetap sebagai

miliknya. Pendapat ini hanya mementingkan nasib istrinya,

sedangkan harta tidak ada alasan untuk dianggap orang itu mati.

b) Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang

itu dianggap masih hidup, baik mengenai istrinya, maupun

mengenai hartanya. Kedua-duanya masih kepunyaanya sampai

ada kepastian tentang mati hidupnya. Pendapat ini memegang apa

yang telah ada dengan yakin.

c) Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang itu dianggap sudah

mati mengenai istri dan harta dengan perincian yang akan

disebutkan kemudian. Yaitu sesudah lewat waktu yang ditentukan

menurut mereka, istri itu keluar dari ikatan perkawinannya dan

hartanya dibagikan kepada ahli warisnya. Pendapat ini

memperhatikan nasib istri dan menghilangkan kemelaratan

terhadapnya, sedang harta mengikuti hal itu.42

Ketentuan mengenai ahli waris yang hilang (mafqud) juga telah disinggung

dalam Kompilasi Hukum Islam, “ Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama

sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas

41 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.153 42 Mahmoud Syaltout, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:Bulan Bintang, 1993),

h.246

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

34

putusan pengadilan agama diserahkan penguasaanya kepada Baitul Mal untuk

kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum “ .43

Terkait anggapan masih hidup mafqud tidak bisa dipertahankan terus-

menerus karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Terkait itu, harus

digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si

mafqud. Para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status

bagi orang yang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang

hilang telah wafat atau belum.44

Muhammad Toha Abul Ula Kholifah mengatakan bahwa hakim bisa

memutuskan seorang yang mafqud telah dikatakan wafat dalam keadaan, berikut:

a) Yang bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa

ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak

atau dalam keadaan perang.

b) Yang bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah

kembali. Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa

yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung batas waktu

40 tahun sejak kepergiannya.

c) Yang bersangkutan hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan

bisnis. Dalam kasus ini hakim memutuskan kematian yang

bersangkutan berdasarkan pertimbangan sendiri. 45

43 Kompilasi Hukum Islam Pasal 191 44 Akhmad Faqih Mursid, “Penyelesaian Perkara Mafqud di Pengadilan Agama”, Universitas

Hasanuddin Makasar,(Mei, 2015),h.3 45 Abdul Manaf, “Yurisdiksi Peradilan Agama Dalam Kewarisan Mafqud”, PTA Medan, ( di akses

pada 14 November 2019 ),h. 5

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

35

Adapun dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari

kejelasaan status hukum mafqud, yaitu:

a) Berdasarkan bukti-bukti autentik yang dapat dibenarkan syara’

sebagai landasan untuk menentukan hukum kematian mafqud. Jika

telah ada orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan

kesaksian bahwa si fulan yang hilang (al-mafqud) telah meninggal

dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut

untuk memutuskan status kematian mafqud.

b) Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian mafqud. Pertimbangan

dan upaya hukum demikian memang tidak cukup kuat secara

hukum, akan tetapi sebagai dapat diterima dan mempunyai referensi

atau acuan hukum.46

3. Pendapat Ulama Tentang Batas Waktu Mafqud

Para ulama fikih berbeda pendapat tentang batas waktu yang digunakan oleh

qadhi untuk memutuskan, apakah seseorang yang hilang telah meninggal atau

masih hidup. Mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa orang

hilang dapat dianggap mati, jika orang yang sepadan dengannya atau orang yang

sama masa kelahirannya telah meninggal. Dengan kata lain tidak ada lagi orang

yang satu generasi dengannya tanpa harus menetapkan waktu meninggal orang

yang hilang. Apabila tidak bisa diketahui dengan cara itu, maka diperkirakan

dengan waktu. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat ada yang mengatakan 120

tahun, 100 tahum dan 90 tahun. 47

Mazhab Hanafiyyah menyatakan masa untuk menunggu itu kira-kira

dinyatakan dengan apabila kawan sebayanya sudah tiada, maka ditetapkan

46 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012),h. 168-169 47 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.377

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

36

terhadap kematian si mafqud. Dalam riwayat lain menurut mazhab Hanafi, masa

untuk memastikan itu kira-kira jika si mafqud sudah berumur 90 tahun atau

diserahkan kepada ijtihad hakim.48

Mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah 70 tahun, mengikuti

keumuman hadits yang menyatakan bahwa umur umat Nabi Muhammad SAW

antara 60 sampai 70 tahun.

صلى الله عليه و سلم قال اعمار امتي ما بين الستين إلى السبعين عن أبى هريرة ان رسول الله

Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda umur

umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun ( HR Ibnu Majah ) 49

Namun jika istri hilang di wilayah kekuasaan Islam, suami berhak

mengajukan perkara tersebut ke pengadilan. Jika hakim tidak berhasil

menemukannya, maka suami diberi waktu menunggu selama 4 tahun. Kalau 4

tahun tersebut terlewati, maka istri beri’ddah layaknya iddah ditinggal mati oleh

suami. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat Nabi SAW.

عمر بن الخطاب قال أيما امرأة فقدت زوجها لم تدراين هو فإنها تنتظر أربع سنين ثم تعتد

أربعة أشهر و عشرا ثم تحل

Artinya:“ Umar bin Khattab berkata: setiap perempuan yang ditinggalkan pergi

suaminya yang mana ia tidak mengetahui di mana suaminya berada, maka

ia diminta menanti selama 4 tahun. Kemudian setelah itu hendaklah ia

menjalani masa tunggu (beriddah) selama 4 bulan 10 hari, setelah itu ia

menjadi halal untuk menikah dengan laki-laki lain.

Pendapat kalangan Syafi’iyah sama dengan pendapat Hanafiyah, akan tetapi

keputusan terhadap kematian si mafqud hanya ditetapkan oleh pengadilan. Imam

Syafi’i menjelaskan bahwa tidak ada warisan sebelum orang yang mewarisi

48 Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, h. 424 49 Sunnah Ibnu Majah Hadis Nomor 4236

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

37

(pewaris) itu telah meninggal dunia, maka apabila pewaris tersebut sudah

meninggal dunia, maka ahli waris itu ada. Sesungguhnya orang yang hidup itu

berbeda dengan orang mati, maka mengenai orang yang hilang (mafqud) hartanya

tidak boleh dibagikan terlebih dahulu, sehingga diketahui dengan yakin akan

meninggalnya mafqud tersebut. Dalam menentukan tenggang waktu yang

dijadikan ukuran seseorang yang hilang tersebut masih dalam keadaan hidup atau

mati, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tenggang waktu yang diperbolehkan bagi

hakim untuk memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 tahun, maka hartanya

boleh diwariskan kepada ahli warisnya. 50

Menurut mazhab Hambali, jika orang hilang tersebut menurut situasi dan

kebiasaan ia akan binasa seperti peperangan, tenggelam kapal, pesawat udara jatuh

dan temannya ada yang selamat, maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki

keberadaanya selama 4 tahun. Jika dalam waktu 4 tahun tidak diketahui rimbanya,

hartanya sudah boleh dibagi. Namun jika ia pergi untuk berdagang atau mencari

ilmu (bukan kepada hal yang membinasakannya secara adat) maka mazhab Hanafi

berpendapat menunggu hingga umur si mafqud mencapai 90 tahun semenjak ia

dilahirkan atau diserahkan kepada ijtihad hakim. 51

4. Cara Pembagian Harta Warisan Mafqud

Apabila dalam persoalan waris ada orang yang belum diketahui

keberadaannya, masalah ini dapat diselesaikan dengan dua cara, karena ada dua

kemungkinan. Pertama, orang yang hilang diperkirakaan masih hidup dan kedua,

orang yang hilang diperkirakan sudah meninggal.

50 Imron Rosadi dkk, Ringkasan Kitab Al Umm, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),h. 521 51 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.138

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

38

a. Contoh pertama

Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, 2 saudara

perempuan sebapak, dan saudara laki-laki sebapak yang hilang. Si mayit

meninggalkan harta waris Rp 682.560.000,- . Berapakah jumlah harta waris yang

diperoleh setiap ahli waris dan berapakah jumlah harta waris yang ditangguhkan

pembagiannya untuk orang yang hilang itu ?

a) Penyelesaian pertama, jika orang yang hilang diperkirakan masih hidup.

Ahli Waris Suami Ibu 2 Saudara Perempuan

sebapak

Saudara laki-laki

sebapak (mafqud)

Dasar

Pembagian

1/2 1/6 Sisa/’ashabah ( laki-

laki mendapatkan

bagian 2 kali bagian

perempuan )

Asal Masalah : 12

Bagian

Ahli Waris

6 2 Sisa 4: Untuk saudara

sebapak 2, dan untuk

saudara perempuan 2,

masing-masing

mendapatkan 1.

Kadar satu bagian : Rp 682.560.000 : 12 = Rp. 56.880.000

Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.

Suami : 6 x 56.880.000 = Rp 341.280.000,-

Ibu : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,-

Saudara laki-laki : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,-

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

39

Dua saudara perempuan : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,- 52

b) Kedua, jika orang yang hilang diperkirakan sudah meninggal.

Kadar satu bagian 56.880.000 : 8 = Rp 85.320.000,-

Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.

Suami : 3 x 85.320.000 = Rp 255.960.000,-

Ibu : 1 x 85.320.000 = Rp 85.320.000,-

Dua saudara perempuan : 4 x 85.320.000 = Rp 341.280.000,- 53

Berdasarkan dua kemungkinan cara menghitung pembagian harta

waris di atas, harta waris yang diperoleh suami akan lebih kecil, jika

orang yang hilang diperkirakaan meninggal. Oleh sebab itu suami si

mayit diberikan bagian yang paling kecil dari dua kemungkinan cara

menghitung di atas yakni Rp 255.960.000 . Demikian halnya dengan

harta waris yang diberikan kepada ibu Rp 113.760.000 dan 2 orang

saudara perempuan Rp 113.760.000 . Dengan demikian harta waris yang

52 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.381 53 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.382

Ahli Waris Suami Ibu 2 Saudara Perempuan

sebapak

Dasar

Pembagian

1/2 1/6 2/3

Asal masalah 6 dan di ‘aul kan menjadi 8

Bagian

Ahli Waris

3 1 4

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

40

dibagikan berjumlah Rp 455.040.000 . dan sisa yang ditangguhkan

pembagiannya Rp 227. 520.000.

Apabila orang yang hilang itu ternyata hidup, harta waris yang

ditangguhkan pembagiannya diberikan untuk suami Rp 85.320.000

sebagai penyempurna bagiannya, dan diberikan untuk ibu Rp 28.440.000

sebagai penyempurna haknya. Sisanya Rp 113.760.000 diberikan kepada

ahli waris yang hilang dan kembali dalam keadaan hidup. Sedangkan, jika

orang yang hilang itu ternyata telah meninggal, seluruh harta yang

ditangguhkan pembagiannya diserahkan kepada 2 orang saudara

perempuan sebapak. Demikian halnya jika hakim telah memutuskan

kematiannya.54

b. Contoh kedua

Seorang meninggal dengan meninggalkan : istri, ibu, anak-anak

perempuan, seorang anak lelaki sekandung dengan meninggalkan harta

peninggalan Rp 144.000,-. Maka untuk menyelesaikan masalah ini kita

anggaplah bahwa mafqud itu masih hidup, kemudian kita anggap bahwa dia telah

meninggal. Kalau dia kita anggap masih hidup, niscaya pembagian harta

peninggalan adalah sebagai berikut.

Istri mendapatkan seperdelapan, ibu mendapatkan seperenam, anak

perempuan dan anak lelaki yang mafqud menerima pusaka dengan jalan ashabah,

anak perempuan dari anak lelaki terhalang, saudara lelaki sekandung terhalang.

Asal masalah adalah duapuluh empat, maka istri mendapat tiga saham, ibu

mendapat empat saham, anak perempuan bersama anak lelaki yang mafqud

mendapat tujuh belas saham. Bagian istri Rp 18.000,-, bagian ibu Rp 24.000,-,

54 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.383

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

41

bagian anak perempuan Rp 34.000,- bagian anak lelaki yang mafqud Rp 68.000,-

maka bagian ini di simpan untuk si mafqud.55

Jika dianggap bahwa mafqud itu telah meninggal, maka pembagian harta

peninggalan sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan, ibu mendapat

seperenam, anak perempuan mendapat setengah, anak perempuan dari anak

lelaki mendapat seperenam, saudara lelaki sekandung mendapat pusaka dengan

jalan ashabah.

Asal masalah 24. Untuk istri tiga saham, untuk ibu empat saham, untuk

anak perempuan dua belas saham, untuk anak perempuan dari anak lelaki empat

saham, untuk saudara lelaki sekandung satu saham. Maka bagian istri Rp

18.000,-, bagian ibu Rp 24.000,-, bagian anak perempuan Rp. 72.000,-. bagian

anak perempuan dari anak lelaki Rp 24.000,-, dan bagian saudara lelaki

sekandung Rp 6000,-.

Apabila kita banding antara bagian-bagian para muwarits niscaya kita

dapati bahwa bagian istri dan bagian ibu tidak berbeda, sedangkan bagian anak

perempuan berbeda-beda karena itu dia mengambil bagian yang terkecil yaitu Rp

34.000,-, yakni bagiannya ketika dianggap bahwa mafqud itu masih hidup dan

tidak diberikan apa-apa kepada anak perempuan dari anak lelaki dengan jalan

pusaka dan tidak pula saudara sekandung, lantaran kedua-duanya terhalang

dengan si mafqud. Kemudian apabila nyata mafqud masih hidup selesailah

permasalahannya, tetapi jika si mafqud telah wafat dan tidak berhak lagi atas

harta warisnya maka perlengkap bagian anak perempuan ditambah Rp 38.000,-

lagi sehingga menjadi Rp 72.000,- dan kita berikan kepada anak perempuan dari

55 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h.257

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

42

anak lelaki Rp 24.000,- dan kepada saudara sekandung Rp 6000. jika ditotal

maka berjumlah Rp 68.000,- jumlah yang disimpan untuk si mafqud.56

C. Perceraian pada Istri yang Mafqud

1. Perceraian Mafqud menurut Hukum Positif

a. Menurut Undang-Undang

Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38

menyebutkan bahwa pernikahan dapat diputus karena tiga hal, yaitu:

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. atau keputusan Pengadilan.

Selain itu, dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan

bahwa:57

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan sudah berusaha untuk mendamaikan

kedua pihak namun tidak berhasil;

2. Untuk dapat melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa antara

suami istri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri;

3. Tata cara perceraian di depan persidangan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

Sementara itu, pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga

memuat mengenai alasan-alasan perceraian, diantaranya:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain

sebagainya yang sulit disembuhkan;

56 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h.258

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

43

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

di luar kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;

f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan, pertengkatan

dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Pasal 39 ayat 9 (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam

Pasal 19 huruf b PP No. 9 tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak

meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain

dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya dapat

menjadi alasan hukum perceraian.

Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas

bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai

suami atau istri, baik kewajibannya yang bersifat lahiriyah maupun

batiniyah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan

kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya perasaan sayang dan

cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan hak suami atau istri

yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

44

tangga yang secara hukum formal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada

lagi.58

Alasan hukum perceraian berupa meninggalkan pihak lain selama 2 tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, harus

dimajukan didepan sidang pengadilan dari rumah kediaman pihak yang

menuntut perceraian setelah lampaunya waktu 2 tahun terhitung sejak saat

pihak lainnya meninggalkan tempat kediaman tanpa sebab yang sah,

kemudian tetap segan untuk kumpul kembali dengan pihak yang

ditinggalkan.59

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 tidak

menjelaskan mengenai pengertian dan kriteria hukum “tanpa alasan yang

sah”. Sehingga, dapat kita tafsirkan bahwa jika dalam rumah tangga suami

istri tersebut terdapat suatu hal yang sangat buruk, sehingga dianggap pantas

apabila suami atau istri tersebut meninggalkan pihak lainnya. Maka, keadaan

seperti itu tidak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk menuntut

perceraian.

Undang-Undang No. 1 tahun 1976 dan PP No. 9 tahun 1975 juga tidak

menjelaskan tentang “hal lain di luar kemampuannya”. Oleh karena itu,

kalimat tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa faktor yang menyebabkan

suami atau istri meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut,

baik dengan atau tanpa izin yang sah. Misalnya, suami atau istri menghilang

tanpa diketahui kabar dan keberadaannya, meskipun telah dilakukan

pencarian secara maksimal, menggunakan segala sumber daya yang ada,

58 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), h. 218 59 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Jakarta: Sumur, 1997), h. 140

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

45

termasuk bantuan dari masyarakat dan aparat kepolisian serta media

massa.60

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat sebuah pasal yang

penjelasannya sama dengan pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, namun

dalam Kompilasi Hukum Islam ditambah dua point lagi yaitu:61

a. Suami melanggar ta’lik talak

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Jadi, pada dasarnya Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-

Undang Perkawinan tidaklah jauh berbeda dalam mengatur perceraian.

Seorang suami yang istrinya tidak diketahui lagi keadaan dan keberadannya,

maka suami tersebut berhak mengajukan talak dengan alasan yang terdapat

pada pasal 116 point 2 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 39 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 point b.

2. Perceraian Mafqud menurut Hukum Islam

Mengenai permasalahan perceraian antara suami istri yang mana

istrinya mafqud, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya

mubah (boleh). Imam Malik berpendapat bahwa apabila salah satu suami

atau istri meninggalkan salah satunya dengan alasan atau tanpa alasan, hal

tersebut mewajibkan adanya perceraian. Mazhab Hambali juga menyatakan

bahwa apabila antara suami atau istri meninggalkan salah satunya maka

yang ditinggalkan boleh mengajukan talak atau cerai melalui Pengadilan

Agama setempat.

60 Muhammad Syaifuddin,dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 193

61 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo), h. 141

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

46

Sementara itu, kalangan mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa

seorang suami yang ditinggal lama oleh istrinya hendaknya bersabar dan

tidak boleh mengajukan talak. Mereka berdalil bahwa pernikahan keduanya

masih berlangsung sampai ada keterangan jelas bahwa salah satu dari

keduanya itu meninggal atau suami telah menceraikan.62

Dalam buku fikih lima mazhab, mengutip pendapat Sayyid Kazhim

yang mengatakan bahwa “dibolehkan bagi hakim untuk menjatuhkan talak

terhadap istri yang dipenjara atau keberadaan istri disuatu tempat yang tidak

bisa diharap lagi kembalinya.” Pendapat lain juga mengatakan bahwa

seorang perempuan berhak keluar dari perkawinan (memutuskan

perkawinan) karena kesulitan nafkah. Sebagian ulama menyamakan

kepergian seorang istri dalam waktu yang lama tanpa adanya berita yang

jelas dengan keadaan istri dipenjarakan. 63

Akan tetapi, terdapat perbedaan diantara para ulama mengenai

hukum perceraiannya. Imam Malik berpendapat bahwa thalaqnya dianggap

sebagai thalaq bain, sedangkan Imam Ahmad menganggap thalaqnya

sebagai fasakh. 64

62 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h.492 63 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 493 64 H.S.S. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 225

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

47

BAB III

TEORI MASLAHAT MURSALAH

A. Pengertian Maslahat Mursalah

Maslahat Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu

maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat dan

kata mursalah berarti lepas.1 Perpaduan dua kata menjadi maslahat mursalah

yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan

suatu hukum Islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai

baik (manfaat).2

Maslahat atau Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan

penambahan ‘alif’ di awalnya yang secara arti kata ‘baik’ lawan kata dari kata

‘buruk’ atau ‘rusak’. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu

‘manfaat’ atau ‘terlepas dari padanya kerusakan’. Pengertian mashlahah

dalam bahasa berarti ‘perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan

manusia’.3 Dalam Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya

sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan kegunaan. Sedangkan kata

“kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.4

Secara terminologi ada beberapa definisi mashlahah yang dikaitkan

oleh ulama Ushul Fikih, menurut imam Al-Ghazali kemaslahatan harus

sejalan dengan tujuan syara’ meski bertentangan dengan tujuan manusia tidak

selamanya didasarkan pada kehendak hawa nafsu, menurutnya yang dijadikan

patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan

1 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009),h. 148 2 Khairu Umam, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998),h. 135 3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008),h. 367 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1996),h. 634

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

48

syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.5 Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam

mendefinisikan mashlahah adalah sebab-sebab yang mendatangkan

kesenangan dan kenikmatan.6 Al-Syatibi menyatakan mashlahah itu tidak

dibedakan antara kemashlahatan dunia dan akhirat sebab kedua

kemashlahatan itu untuk memelihara lima tujuan syara’ yaitu agama, jiwa,

akal, keturunan dan harta.7

Sedangkan kata ‘mursalah’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata

arsala-yursilu-irsal artinya tidak terikat atau bebas.8 Jika dihubungkan dengan

kata maslahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang

menunjukan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.9

Secara terminologi maslahah mursalah memiliki beberapa definisi

yang diberikan para ulama usul fikih, Imam Al-Ghazali mendefinisikan

maslahah mursalah adalah sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang

mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan.10 Al-

Syatibi berpendapat maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak

ditunjang oleh suatu nash tertentu, akan tetapi kemaslahatan tersebut sesuai

dengan jenis tindakan syara.11 Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul

memberikan definisi maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak

diketahui apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.12

Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menarik kesimpulan

mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik serta dapat mendatangkan

5 Narun Haroen, Ushul Fiqh, ( Ciputat: Logos Publishing House, 1996 ), h. 114 6 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 368 7 Haroen, Ushul Fiqh, h. 114 8 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam,

(Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011),h.45 9 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 377 10 Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-ilmi al-ushul, (Beirut: al-Risalah, 1997),h.416 11 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.45 12 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 378

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

49

kebaikan dan menghidarkan keburukan sesuai dengan tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum.

B. Macam-Macam Maslahat Mursalah

Para ahli ushul fikih sepakat bahwa syari’at Islam bertujuan untuk

memelihara lima hal (maqashid al-syari’ah) yakni :

1. Memelihara agama

2. Memelihara jiwa

3. Memelihara akal

4. Memelihara keturunan

5. Memelihara harta

Setiap segala sesuatu yang mengandung makna pemeliharaan atau

penjagaan terhadap kelima maqashid al-syariah, dinamakan mafsadah,

menolak atau menghilangkan mafsadah berarti maslahah.

Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga

maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahat menjadi tiga

macam, yaitu : maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, maslahah

tahsiniyyah. Kemaslahatan yang pertama bersifat utama, sedang yang kedua

bersifat mendukung yang pertama, sementara kemaslahatan yang ketiga

bersifat melengkapi yang pertama dan kedua.13

a) Maslahah Dharuriyah

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi

tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan maka

13 Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011),h. 309

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

50

rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan

kehancuran yang hebat.14

Maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang

keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia,

maksudnya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu

saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara

langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip

tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri, karena

itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi

pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan

yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau

rusaknya sutu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk,

karena Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan

Allah tersebut adalah baik dan maslahah dalam tingkat dharuri.

Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama,

melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum

minuman keras untuk memelihara akal, melarang zina untuk

memelihara keturunan dan melarang mencuri untuk memelihara

harta.15

b) Maslahah Hajiyyah

Maslahah hajiyyah ialah segala sesuatu yang menjadi

kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya

bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat serta terhindar dari

kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan

manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak

sampai punah.

14 Khairul Umam, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),h. 138 15 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 371

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

51

Dengan bahasa lain maslahah hajiyyah diartikan sebagai

maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk

menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah

tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan

dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya.

Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat

mu’amalah, seperti jual beli serta berbagai macam keringanan

yang telah ditetapkan oleh syrai’, misalnya menjama’ dan

menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagi orang yang hamil dan

menyusui.16

c) Maslahah Tahsiniyah

Maslahah tahsiniyah ialah kebutuhan hidup yang sifatnya

komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan

kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi

maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun

tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.

Maslahah tahsiniyah dimaksudkan untuk memperbaiki

adat kebiasaan dan memuliakan akhlak manusia. Seperti bersuci

ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian,

haramnya makanan yang kotor.17

C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah syar’iyyah,

para ulama bersikap sangat berhati-hati sebab ditakutkan akan tergelincir

kepada pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan

16 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.61 17 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.62

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

52

terselubung. Berdasarkan hal itu, para ulama menyusun syarat-syarat

kebolehan menggunakan maslahat mursalah.

Adapun syarat-syarat tersebut ada tiga macam, yaitu:

a) Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat

hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan

kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa

dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya

kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang

ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini adalah

anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada di

tangan wanita bukan lagi di tangan pria adalah maslahat palsu,

karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang

menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada

ditangan suami.18

b) Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus

untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang

dalam jumlah sedikit. Imam Al-Ghazali memberikan contoh

tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu

contoh orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah

orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang

membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam

yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang dan

mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan

apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang

membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari

seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut.

Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya

18 Effendi, Ushul Fiqh, h. 152

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

53

dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh

mereka.

c) Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang

dituju oleh syara’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah

yang telah didatangkan oleh syari’. Seadanya tidak ada dalil

tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak

sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak

dapat disebut maslahah.

d) Maslahah itu bukan yang tidak benar di mana nash yang sudah

ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.19

Menurut penulis, sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam

maslahah mursalah bertujuan agar maslahah yang diinginkan tidak bercampur

dengan hawa nafsu, tujuan dan keinginan yang merusakkan manusia dan

agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya

dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.

19 Umam, Ushul Fiqh 1, h. 138

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

54

BAB IV

KRONOLOGI DAN ANALISIS KASUS

A. Kronologi Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB di Pengadilan Agama

Jakarta Barat

1. Duduk Perkara1

Pada tahun 1997 telah terjadi pernikahan antara MM (Suami) dengan MS

(Istri) sebagaimana yang telah dicatatkan oleh pegawai pencatatan nikah di

Kantor Urusan Agama . Dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak laki-

laki yang bernama RAC pada tahun 1988 dan RAS pada tahun 1995.

Pada bulan Juli 2018 MM (Suami) dinyatakan meninggal dunia

berdasarkan surat keterangan kematian Nomor: 3173011001-PKM-11072018-

0001, yang dikeluarkan oleh Kelurahan CB pada tanggal 11 Juli 2018.

Sedangkan orang tua dari MM telah meninggal dunia terlebih dahulu, M ayah

dari M meninggal dunia pada tahun 2014 dan N ibu dari MM meninggal

dunia pada tahun 2005. Selanjutnya MM disebut sebagai Pewaris.

MS istri dari MM sejak tahun 2009 telah meninggalkan rumah dan tidak

diketahui alamatnya yang jelas di wilayah Republik Indonesia alias Ghoib,

berdasarkan surat keterangan Ghoib dari Kelurahan CB tertanggal 08 Agustus

2018.

RAC dan RAS mengajukan gugatan perkara waris di Pengadilan Agama

Jakarta Barat pada tanggal 16 Agustus 2018 dengan nomor perkara

2210/Pdt.G/2018/PA.JB. Dalam hal ini RAC dan RAS disebut sebagai

penggugat 1 dan 2 sedangkan tergugatnya adalah MS istri dari MM.

1 Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, h.2

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

55

Pada perkara ini tujuan penggugat mengajukan guggatan waris adalah agar

para penggugat ditetapkan sebagai ahli waris dari MM sebagai pewaris yang

sesuai dengan hukum Islam.

Penggugat dalam hal ini membutuhkan penetapan ahli waris untuk

mengurus administrasi lainnya atas nama pewaris dan dalam perkara ini agar

dibebankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana yang telah terurai diatas para penggugat memohon kepada

majelis hakim untuk segera menetapakn hari sidang, memanggil para pihak,

dan memeriksa permohonan ini serta selanjutnya menetapkan putusan yang

amarnya sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan penggugat seluruhnya.

b. Menyatakan pewaris ( MM ) telah meninggal pada 09 Juli 2018

c. Menyatakan orang tua Pewaris:

Ayah : M yang telah meninggal dunia pada tanggal 05 April

2014 berdasarkan surat keterangan kematian tertanggal 11

April 2014.

Ibu : N yang telah meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober

2005 berdasarkan surat keterangan kematian tertanggal 14

Agustus 2018.

d. Menetapkan nama dibawah ini sebagai ahli waris MM :

RAC bin MM

RAS bin MM

e. Menetapkan biaya perkara sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

56

2. Proses Persidangan2

Pada hari-hari persidangan yang telah ditetapkan majelis hakim, para

penggugat menghadap ke persidangan, sedangkan tergugat tidak menghadap

dan tidak pula mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang sah

untuk menghadap ke persidangan meskipun telah dilakukan pemanggilan

secara resmi dan patut dengan pengumuman tertanggal 27 Agustus 2018 .

Pihak terguggat tidak pernah menghadap kepersidangan maka upaya

damai dan mediasi tidak dapat dilaksanakan, setelah dibacakannya gugagatan

oleh pihak para penggugat, penggugat tidak mengajukan perubahan. Serta

untuk membuktikannya para penggugat mengajukan beberapa bukti, sebagai

berikut :

a. Bukti Surat

Fotokopi kartu tanda penduduk atas nama Penggugat I dan

Penggugat II .

Fotokopi buku kutipan akta nikah nomor 1063/76/XII/1997

yang dikeluarkan oleh pegawai pencatatan nikah.

Fotokopi akta kelahiran atas nama Penggugat I dan Penggugat

II.

Fotokopi surat keterangan kematian.

Fotokopi surat pernyataan ghoib.

Fotokopi surat pernyataan ahli waris.

Surat keterangan pelaporan kematian yang isinya menunjukan

bahwa M telah meninggal dunia pada tanggal 05 April 2014.

Surat keterangan kematian yang isinya menyatakan bahwa N

telah meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober 2005.

2 Putusan Nomor 2210. h. 6

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

57

Fotokopi surat keterangan pernyataan bahwa perbedaan nama

ibu dalam akta kelahiran Penggugat I dan Penggugat II adalah

orang yang sama.

b. Bukti Saksi

Dalam persidangan ini para penggugat mendatangkan dua

orang saksi yaitu S bin H.M dan M binti H. N. Serta kedua saksi telah

diambil sumpahnya untuk memberikan keterangan yang jujur dan

benar atas keadaan rumah tangga terguggat dan penggugat.

S bin H.M bersaksi bahwa dirinya kenal dengan para

penggugat dan tergugat dan S merupakan kakak kandung dari M bin

M yang telah meninggal dunia pada tanggal 09 Juli 2018. Saksi

menyatakan anak dari M bin M hanya ada dua yaitu penggugat I dan

Penggugat II, tidak mempunyai anak selain dari penggugat I dan

Penggugat II. S juga bersaksi bahwa istri dari M bin M adalah M binti

S, istri dari M yaitu M telah meninggalkan rumah sejak 1999 dan

sampai saat ini tidak diketahui keberadaan serta alamatnya, serta M

sampai meninggal dunia belum pernah menikah lagi. M ayah dari M

telah meninggal dunia pada tahun 2014, begitu juga Nami ibu dari M

telah meninggal dunia pada tahun 2005. Saksi menyatakan dan

menyampaikan apa yang disampaikan berdasarkan penglihatan dan

pendengaran saksi sendiri.

M binti H.N saksi kedua yang di hadirkan oleh pihak

penggugat. Saksi menyatakan bahwa drinya mengenal penggugat I dan

penggugat II, saksi merupakan saudara sepupu penggugat I dan

penggugat II. Saksi menyatakan bahws M bin M telah meninggal

dunia pada tanggal 09 Juli 2018 dan mempunyai dua orang anak yaitu

penggugat I dan penggugat II, tidak mempunyai anak selain dari kedua

penggugat I dan penggugat II. Saksi juga membenarkan bahwa M binti

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

58

S merupakan istri dari M bin M dan M bin M tidak pernah menikah

lagi. Saksi juga menyatakan bahwa M binti S telah pergi

meninggalkan M bin M sejak 1999, sampai saat ini tidak diketahui

keberadaan dan alamatnya. Ayah dan Ibu dari M bin M telah

meninggal dunia. Saksi menyampaikan dan memberikan keterangan

sesuai dengan apa yang saksi lihat dan dengar.

Penggugat dalam sidang menyampaikan kesimpulan secara lisan yang

menyatakan bahwa dalil gugatan penggugat telah dikuatkan oleh keterangan

dua orang saksi.

3. Pertimbangan Hakim3

Pada persidangan yang telah dilaksanakan maksud dan tujuan guggatan

penggugat telah diuraikan diatas. maka hakim menimbang bahwa perkara ini

adalah perkara permohonan penetapan ahli waris yang diajukan oleh warga

negara Indonesia yang beragama Islam, berdasarkan penjelasan pasal 187

huruf (b) undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-

undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini menjadi

wewenang absolut Pengadilan Agama.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah diberikan terbukti penggugat I dan

penggugat II beralamat di Jalan Pulo Harapan Indah Jakarta Barat, bahwa

alamat tersebut termasuk wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Agama

Jakarta Barat, sesuai dengan Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7

tahun1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini termasuk wewenang relative

Pengadilan Agama Jakarta Barat.

Saat hari-hari persidangan yang telah ditetapkan oleh majelis hakim,

penggugat I dan penggugat II menghadap ke persidangan, sedangkan tergugat

3 Putusan Nomor 2210. h. 10

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

59

tidak pernah menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil

atau kuasanya untuk menghadap kepersidangan.

Pengadilan Jakarta Barat telah menerima surat keterangan ghoib yang

dilampirkan oleh para penggugat dalam guggatanya, alamat tergugat tidak

diketahui oleh sebab itu berdasarkan pasal 390 ayat (3) HIR majelis hakim

melakukan usaha pemanggilan dengan pengumuman nomor

2210/Pdt.G/2018/PA.JB. tanggal 27 Agustus 2018, akan tetapi tergugat tidak

hadir, oleh karena itu berdasarkan pasal 125 ayat (1) dan pasal 126 HIR,

perkara ini dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya tergugat (verstek).

Saat hari-hari persidangan tergugat tidak pernah menghadap persidangan

maka upaya damai dan mediasi sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat 1

HIR dan pasal 17 ayat 1 peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2016

tidak dapat dilaksanakan, oleh karena itu pemeriksaan perkara ini harus

dilanjutkan.

Di dalam persidangan para penggugat melakukan pembuktian atas dalil

gugatannya, penggugat mengajukan bukti berupa bukti tertulis dan dua orang

saksi, sebagaimana termuat pada duduk perkara diatas. Penggugat juga

mengajukan fotokopi akta autentik yang telah dicocokan dengan aslinya, dan

isinya relevan dengan dalil guggatan penggugat, maka dapat diterima sebagai

bukti. Terdapat dua bukti fotokopi akta dibawah tangan yang dibuat oleh para

penggugat diketahui oleh RT.011 dan RW.010 dan tidak ada yang

membantahnya karena itu dapat diterima sebagai bukti.

Para penggugat dalam persidangan menghadirkan dua orang saksi yakni S

bin H.M dan M binti H.N. Kedua saksi tersebut sudah dewasa, dalam keadaan

berakal sehat, dan memberikan keterangan di bawah sumpahnya tentang apa

yang dilihat dan didengarnya sendiri tentang rumah tangga penggugat dengan

tergugat dan keterangannya relevan. Karena relevannya keterangan dari saki-

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

60

saksi tersebut, maka berdasarkan pasal 145 ayat (1) dan pasal 171 HIR, Pasal

76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 19889 tentang Peradilan Agama

dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, kesaksian

kedua saksi tersebut dapat diterima sebagai bukti.

Melihat dari bukti-bukti yang telah disebutkan, diketahui fakta bahwa M

bin M telah meninggal dunia pada tanggal 09 Juli 2018. M bin M hanya

mempunyai dua orang anak yaitu para penggugat. M bin M hanya mempunyai

seorang istri yang bernama M alias SW binti S. M alias SW binti S

meninggalkan M bin M sejak tahun 2009 dan sampai sekarang alamat M alias

SW binti S tidak diketahui. M bin M mempunyai seorang ayah yang bernama

M dan telah meninggal dunia pada tahun 2014 serta seorang ibu yang

bernama N dan telah meninggal dunia pula pada tahun 2005.

Berdasarkan fakta tersebut, serta menurut Al-Quran Surat An-Nisa ayat

12, Pasal 171 huruf (b), (c), dan Pasal 182, Kompilasi Hukum Islam, maka

gugatan para penggugat dikabulkan.

Berdasarkan hukum (dejure) M bin M dengan M binti S memang belum

bercerai akan tetapi berdasarkan fakta (defacto) M bin M dan M binti S telah

bercerai, karena M binti S telah pergi meninggalkan M bin M semenjak tahun

2009. Oleh sebab itu M binti S tidak lagi berhak mendapatkan warisan dari M

bin M.

Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989

pasal 89 ayat (1) tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara ini

dibebankan kepada pihak penggugat.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

61

4. Amar Putusan Hakim4

Pada persidangan yang telah berlangsung serta berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan dalil-dalil syar’i yang berkaitan

dengan perkara ini, maka majelis hakim memutuskan:

1. Mengabulkan guggatan para penggugat

2. Menetapkan Penggugat I ( RAC bin M ) dan Penggugat II ( RAS bin

M ) adalah ahli waris dari MM.

Demikian majelis hakim memutuskan perkara guggatan waris

berdasarkan permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta

Barat tertanggal 29 November 2018.

B. Analisis Hukum DanAspek Maslahah Mursalah

Peraturan undang-undang yang telah diundangkan yang merupakan

hukum materiil atau formil Peradilan Agama tidak secara rinci mengatur perihal

hukum kewarisan terlebih mengenai perkara mafqud dalam kewarisan. Di

Indonesia hukum materiil Peradilan Agama secara formal termuat dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974. Peraturaan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

1. Status Hukum Istri Mafqud

Didalam putusan ini dinyatakan bahwa istri dari pewaris atau ibu dari

pihak penggugat tidak berhak lagi mendapatkan warisan, hakim dalam

pertimbangannya menyatakan bahwa istri dari pewaris secara hukum (dejure)

memang belum bercerai, akan tetapi secara fakta (defacto) telah bercerai karena

istri dari pewaris telah pergi meninggalkan pewaris semenjak tahun 2009.

Sehingga dalam hal ini hakim menetapkan para penggugat sebagai ahli waris dan

4 Putusan Nomor 2210. h.13

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

62

tergugat atau istri dari pewaris atau ibu dari terguggat tidak ditetapkan sebagai

ahli waris.

Dari hasil tersebut ada hal yang menurut penulis menarik untuk dianalisis

mengenai pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang diketuai

oleh Drs. H. Abdul Hadi, M.H.I dan panitera pengganti Endang Bahtiar, S.H.,

M.H. Karena dalam putusan ini hakim tidak memberikan warisan kepada

terguggat, padahal tidak ada yang menghalangi terguggat untuk mendapatkan

waris hanya saja para penggugat menyatakan terguggat telah pergi sejak 2009

yang tidak diketahui keberadaannya masih hidup atau sudah mati.

Dalam kewarisan Islam ada tiga syarat seseorang bisa mendapatkan

waris. Syarat yang pertama orang yang mewariskan hartanya telah meninggal

baik secara hakiki maupun secara hukum. Syarat yang kedua ahli waris masih

hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya

sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum. Syarat yang ketiga mengetahui

sebab menerima harta warisan.5 Berdasarkan syarat di atas penulis mencoba

menyesuaikan dengan bukti-bukti yang di sampaikan para penggugat. Syarat

pertama telah terpenuhi bahwa pewaris telah wafat pada tanggal 09-07-2018.

Syarat kedua ahli waris dalam perkara ini ada tiga yaitu dua orang anak laki-laki

dan satu istri, sedangkan sang istri mafqud berdasarkan surat ghoib. Syarat ketiga

juga telah terpenuhi karena dua orang anak memiliki hubungan nasab dan istri

memiliki hubungan perkawinan.6 Dalam perkara ini ahli waris tidak memiliki

halangan untuk saling mewarisi. Ada empat hal yang dapat menghalangi

seseorang mendapatkan warisan, yaitu : perbudakan, pembunuhan, berlainan

agama dan berlainan negara.7

5 Abu Ihsan, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Quran dan As-Sunnah Yang Shahih,

(Jakarta: Pustaka Ibnu Kasir,2015),h. 27 6 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, h. 7 7 Suparman Usman dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1997),h.32

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

63

Pada syarat-syarat kewarisan di atas ada permasalahan yang muncul yaitu

ahli waris istri telah hilang, maka dalam perkara ini istri atau terguggat disebut

mafqud. Mafqud ialah orang yang hilang serta tidak diketahui keadaan dirinya

apakah masih hidup ataukah sudah mati.8 Islam telah mengatur segalanya tentang

kewarisan bahkan tata cara menyelesaikan perkara kewarisan mafqud. Ada tiga

hal yang tidak boleh dilakukan sebelum ditentukannya status mafqud, yaitu: istri

orang yang hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh

diwariskan, hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan

sampai status hukum mafqud ditetapkan.9

Maka ada hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau

dialihkan termasuk warisan yang ia dapat, para fuqoha berpendapat tentang batas

waktu orang yang hilang. Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah menyatakan

bahwa orang yang hilang bisa dikatakan mati jika teman sebaya atau orang yang

seumurannya telah mati, tetapi jika tidak bisa diketahui dengan cara itu, maka

ditentukan dengan waktu yaitu 90 tahun atau diserahkan kepada ijtihad hakim.10

Dari kalangan mazhab Maliki menyatakan batas waktu orang yang hilang 70

tahun berdasarkan standar umur umat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan

mazhab Hambali menilai terlebih dahulu keadaan orang yang hilang pada saat itu,

orang yang hilang dalam keadaan peperangan, tenggelam kapal, atau jatuhnya

pesawat maka diselidiki terlebih dahulu selama 4 tahun, jika tidak diketahui

keberadaanya maka boleh dibagikan hartanya tetapi jika kondisi orang yang

hilang dalam perjalanan dagang atau menuntut ilmu maka ia ditunggu sampai

umur 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada ijtihad hakim.11

8 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh, (Jakarta: Amzah, 2016),h. 95 9 Khairuddin, Belajar Praktis Fikih Mawaris, (Banda Aceh: UIN Ar-Rinay Darussalam,

2014),h.87 10 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.377 11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005),h.138

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

64

2. Bagian Warisan Istri Mafqud

Dari salinan putusan yang penulis dapat, hakim tidak menetapkan status

orang yang hilang apa ia telah mati atau masih hidup, hakim hanya menyatakan

orang yang hilang tidak berhak atas harta warisan karena kehilangannya sejak

2009. Jika dilihat dari pendapat fuqoha status hukum orang yang hilang harus

ditentukan baru bisa dinyatakan orang itu mendapatkan warisan atau tidak,

penulis berpendapat hakim sebaiknya menentukan terlebih dahulu orang yang

hilang itu masih hidup atau mati berdasarkan batasan waktu yang telah ditentukan

oleh fuqoha. Muhammad Toha Abul Ula Kholifah menyatakan hakim bisa

memutuskan orang yang hilang dikatakan telah mati dalam keadaan 3 hal: orang

yang hilang dalam keadaan yang patut dianggap ia telah binasa, yang

bersangkutan pergi untuk suatu keperluan tetapi tidak kembali dengan batas

waktu 40 tahun, yang bersangkutan hilang dalam kegiatan berwisata atau urusan

bisnis.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tergugat atau istri pewaris atau

ibu dari para penggugat masih hidup, berdasarkan pendapat fuqaha jika diukur

dengan teman sebaya nya atau umur umat Nabi Muhammad SAW, maka umur

tergugat baru 42 tahun dihitung sejak putusan ini diputus. Tergugat hilang sejak

2009, pada 4 tahun kedepan sejak tergugat hilang dan 4 tahun kebelakang sejak

putusan ini diterbitkan tidak ada situasi atau keadaan yang menyatakan seluruh

penduduk mati.

Permasalahan yang muncul adalah hakim menimbang bahwa terguggat

tidak berhak atas warisan, karena secara fakta ia telah bercerai dengan pewaris

dan telah pergi sejak 2009. Penulis menilai terguggat atau istri dari pewaris atau

ibu dari para penggugat masih berhak atas harta warisan suaminya, sebagaimana

biasanya seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mendapatkan warisan dalam

perkara ini mendapatkan 1/8 karena pewaris memiliki anak laki-laki.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

65

Dalam bagan berikut :

Ahli Waris Furudhul Muqaddarah 8 x 2 = 16

Istri 1/8 x 2 2/16

2 Anak laki-laki Ashabah

7/8 x 2

14/16 Masing-masing

anak laki-laki 7/16

Penulis dalam menyatakan terguggat berhak atas warisannya berdasarkan

pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali menyatakan mafqud dianggap

telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian ia

berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal

kematian mafqud. Penulis menafsirkan jika mafqud wafat saja masih berhak atas

warisan, tentunya mafqud yang masih hidup lebih berhak lagi dengan harta

warisannya.

3. Kaitan Dengan Maslahah Mursalah

Penulis menilai ia masih berhak atas harta warisannya dengan alasan

maslahah. Maslahah ialah sesuatu yang dipandang baik serta dapat mendatangkan

kebaikan dan menghindari keburukan sesuai dengan tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum. Maslahah terdapat tiga tingkatan salah satunya Maslahah al-

Daruriyyah, yakni perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan

manusia, yang bila ditinggalkan maka rusaknya kehidupan, merajalelalah

kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.12 Maka demi

kemaslahah terguggat, terguggat berhak atas warisan suaminya sebab jika tidak

terpenuhi kemaslahahnya akan terjadi rusaknya kehidupan, kemiskinan. Bahkan

bisa saja mengancam tujuan syari’at yaitu maqashid al-syari’ah yaitu memelihara

agama, jiwa, akal, keturuan dan harta. Pusat Kajian Nasional Badan Amil Zakat

12 Khairul Umam, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),h. 128

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

66

Nasional (Puskas Baznas) menyatakan salah satu sebab terjadinya pemurtadan

umat Islam karena faktor kemiskinan.13

Konsep maslahah mursalah sendiri bersifat preventif yaitu mencegah

adanya kemudharatan dengan mempertimbangkan kemaslahatan perilaku buruk

sebagaimana kaidah fikih:

ح ل اص لم ا ب ل يج ل ع م د ق م د اس ف لم ا ء ر د

“ Mencegah kerusakan (mafsadah) diupayakan terlebih dahulu sebelum

upaya mendapatkan manfaat (maslahat) “14

Kaidah ini menegaskan apabila kita dihadapkan kepada pilihan yaitu

menolak kemafsadahan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan

adalah menolak kemafsadahan tersebut, karena menolak kemafsadahan sama

dengan meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama dari masalahah mursalah

menurut ulama fikih adalah meraih kemaslahatan dunia maupun akhirat.15

Dalam kaidah fikih yang lain juga telah dijelaskan mengenai larangan

untuk berbuat sesuatu yang membahayakan, yaitu :

و ر ر ض ل ار ر ض ل

“ Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan “16

ال ز ي ر لض ا

“ Kemudharatan harus dihilangkan “.17

13 Novita Intan, Laporan IRP: Kemiskinan Penyebab Murtad dalam

https://m.republika.co.id/berita di akses pada 10 Januari 2020 14 Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh : Al-Qowai’idul Fiqiyyah, cet. 2, h.39 15 Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011),h. 164 16 Syamsul Hilal, Qawai’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta:

Al-‘ADALAH , 2013),h. 152 17 Ibid. h. 153

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

67

Kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh seorang yang menimpakan

suatu bahaya atau membahayakan orang lain, seperti terguggat yang dinyatakan

tidak lagi berhak atas harta warisan suaminya, hal ini sangat berbahaya bagi diri

tergugat karena tergugat bisa menjadi miskin bahkan bisa saja menjadi murtad

karena kemiskinanya. Sesungguhnya pada warisan tersebut terguggat lebih berhak

karena terdapat harta bersama dan hak warisnya.

Perihal maslahah mursalah sendiri dalam hukum Islam merupakan salah

satu metode dalam istinbath hukum dengan mempertimbangkan adanya

kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas,

tidak terikat, namun dalam hal ini maslahah mursalah tetap terikat pada konsep

syariah yang mendasar, karena syariah sendiri ditunjuk untuk memberikan

kemanfaatan kepada masyarakat secara umum, dan berfungsi untuk memberikan

kemanfaatan dan mencegah kemudharatan (kerusakan).

Bila ditinjau dari aspek maslahah mursalah dan batasan waktu mafqud

menurut imam madzhab, penulis menyatakan tergugat atau istri pewaris atau ibu

dari penggugat berhak atas harta warisan suaminya karena demi kemaslahatan

dan menjauhi kemudharatan bagi diri tergugat.

4. Perceraian Akibat Istri Mafqud

Dalam sub bab ini penulis akan membahas salah satu pertimbangan

hakim yaitu Terguggat secara fakta telah bercerai dengan pewaris karena telah

mafqud sejak 2009. Di dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :” Perkawinan dapat putus karena

a) kematian, b) perceraian, c) atas keputusan pengadilan”. Jika hakim menyatakan

secara fakta maka menurut penulis fakta yang dimaksud disini adalah kematian

pewaris sejak 09 Juli 2018 bukan karena mafqud tergugat yang sejak 2009.

Perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang

pengadilan sebagaimana telah diatur dalam pasal 39 ayat (1) dan (2) yang

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

68

berbunyi: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,

bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Dalam putusan ini berdasarkan bukti surat yang di ajukan oleh pihak

penggugat, tidak ada sama sekali putusan pengadilan yang menyatakan telah

bercerai terguggat dengan pewaris. Jika dalam hal kasus tidak tepat hakim

memutus perceraian karena perceraian hanya bisa dilakukan di sidang pengadilan.

Suami dalam hal ini sebaiknya mengajukan perceraian saat ia masih hidup, untuk

menjelaskan status perkawinan mereka. Berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU 1 tahun

1974 dan KHI pasal 116 point b, jika salah satu pasangan meninggalkan pasangan

lainnya selama 2 tahun tanpa seizin dan sepengetahuan pasangan lainya. Maka

salah satu pasangannya boleh mengajukan perceraian. Begitu juga pendapat para

ulama yang membolehkan melakukan perceraian jika salah satu pasangannya

ghoib. Namun dalam hal ini ada waktu menunggu sebelum mengajukan talak ke

pengadilan seperti mazhab Maliki yaitu 4 tahun.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari skripsi Penyelesaian

Sengketa Waris Bagi Istri Yang Mafqud (Analisis Putusan Nomer

2210/Pdt.G/2018/PA.JB)

1. Kewarisan mafqud ditetapkan berdasarkan hidup atau wafatnya,

Dalam hal ini para ulama mazhab menetapkan batasan waktu

mafqud bisa dikatakan hidup atau matinya. Mazhab Hanafiyah dan

mazhab Syafi’iyah menyatakan masa menunggu itu kira-kira teman

sebayanya sudah tiada, maka dinyatakan wafat atau menunggu umur

si mafqud sampai 90 tahun. Mazhab Maliki berpendapat menunggu

umur si mafqud sampai 70 tahun sesuai rata-rata umur umat Nabi

Muhammad SAW. Mazhab Hambali menyatakan menunggu umur

si mafqud sampai 90 tahun semenjak ia dilahirkan. Para ulama

mazhab sepakat bahwa segala putusan diserahkan kepada ijtihad

hakim.

2. Hakim menetapkan mafqud (istri) bukan sebagai ahli waris karena

secara fakta terguggat telah bercerai dengan pewaris karena

terguggat telah menghilang sejak 2009. Dalam hal ini penulis

menyatakan perbedaan pendapat dengan hakim, karena UU

perkawinan mengatur bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di

depan hadapan sidang. Dalam kasus ini perceraian terjadi karena

kematian bukan karena mafqud.

3. Menurut penulis bahwa mafqud (istri) berhak atas harta warisannya

dengan alasan demi kemaslahatan terguggat dan berdasarkan

pendapat para ulama dalam menentukan status hukum mafqud.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

70

70

B. Saran

1. Kepada para panitera Pengadilan Agama dalam melakukan

penulisan salinan putusan agar lebih teliti lagi sebab dalam putusan

ini terdapat beberapa kesalahan penulisan kata dan kalimat dan bagi

juru sita Pengadilan Agama dalam melakukan pemanggilan kepada

terguggat tidak hanya melalui pengumuman di pengadilan, tetapi di

jaman yang sudah modern ini juru sita bisa melakukan

pengumuman melalui media lainya, seperti media sosial, media

cetak dan media television.

2. Kepada para ulama hendaknya berperan aktif di kehidupan

masyarakat dalam membina dan membimbing dalam segala aspek

keagamaan agar menghindari adanya isteri mafqud dalam suatu

pernikahan melalui dakwah dan siraman rohani.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

71

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika

Pressindo,2018.

Abdurrahman, Wahyudin. Panduan Waris Empat Madzhab. Jakarta: Pustaka

Al- Kautsar, 2009.

Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris. Surabaya: Pustaka

Hikmah Perdana, 2005.

Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran

Hukum Islam. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011.

Aldizar, Addys, dkk. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.

Al-Ghazali. Al-Mustashfa min al-ilmi al-ushul. Beirut: al-Risalah, 1997.

Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar el Fikr, 1993.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004.

Arifin, Bustanul. Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional. Jakarta: Al-

Hikmah, 2001.

Arief, Saifuddin. Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta

Peninggalan. Jakarta: Darunnajah Production House, 2007

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 2001.

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum

UII, 1997.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shohih Muslim jilid 6. Beirut: Dar Al-Kutub

Al- Ilmiyah: 1995.

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

72

Djazuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam

dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2011.

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2009

Fathurrahman. Ilmu Waris. Bandung: Al-Ma’arif, 2004.

Haroen, Narun. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Publishing House, 1996.

Hasan, M. Ali. Hukum Kewarisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Hilal, Syamsul. Qawai’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum

Islam. Jakarta: Al-‘ADALAH , 2013.

Hamid, Zahry Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta; Binacipta, 1998.

Idris Ramulyo, Moh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2004.

Ihsan, Abu. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Quran dan As-Sunnah

Yang Shahih. Jakarta: Pustaka Ibnu Kasir,2015.

Kuzari, Achmad Nikah sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995.

Kadir, A. Memahami Ilmu Faraid. Jakarta: Amzah, 2016.

Khairuddin. Belajar Praktis Fikih Mawaris. Banda Aceh: UIN Ar-Rinay

Darussalam, 2014.

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Majah, Ibnu. Sunnah Ibnu Majah. Beirut: Darul Fikri, tt. Sunan Ibnu Majah

jilid 2. Cairo: Mustafa Al-Babiy: 1995.

Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh : Al-Qowai’idul Fiqiyyah, cet. 2.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ‘ala al-madzhab al-khamsah.

Penerjamah Masykur A.B. dkk. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Penerbit Lentera,

2011.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

73

Muhaimin, Abu Najiyah. .Ilmu Waris. Tegal: Ash-Shaf Media, 2007.

Muhibbin, Moh. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum

Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Nasution, Amien Husain. Hukum Kewarisan. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2012.

Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara Studi Terhadap

Perundang- undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan

Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Ulp, 1997.

Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Rosadi, Imron, dkk. Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.

Salihin, Syamsulbahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam

Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana,

2015.

Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan

Teks & Konteks. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:Kencana, 2005.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008.

Syaltout, Mahmoud. Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih.

Jakarta:Bulan Bintang, 1993.

Susilo, Budi. Prosedur Gugatan Cerai. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta:

Liberty, 1998.

Tirmidzi, Sunan. Sunan Tirmidz jilid 4. Beirut: Dar al-Fiqri: 2005.

Umam, Khairul. Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan dan Ibnu Umar atas doa dan

74

Media Pratama, 1997.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan

peyelenggarapenterjemah/penafsir Al-Qur’an, 2004.

Manaf, Abdul. “Yurisdiksi Peradilan Agama Dalam Kewarisan Mafqud”,

PTA Medan. Diakses pada November 2019. www.Badilag.net

Inpres No.1 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB