pendidikan ips yang terpuruk

266
REVITALISASI PENDIDIKAN IPS Oleh 0

Upload: luluk-wulandari-hariyanto

Post on 22-Jun-2015

1.212 views

Category:

Education


2 download

DESCRIPTION

Revitalisasi Pendidikan IPS, Bagaimana membuat siswa bangga telah memilih jurusan IPS

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

REVITALISASI PENDIDIKAN

IPS

OlehAbu Su`ud

PENGANTAR

0

Page 2: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Dalam semua dokumen resmi tercatat tempat dan tanggal lahir saya : Tegal, 27

Juli 1938. Status PNS saya sebagai dosen IKIP Semarang cabang Tegal tercantum sejak 1

Juli 1966. Akhirnya Presiden SBY memberhentikan saya dengan hormat dengan status

pensiun sejak 1 Juli 2008, setelah menjalankan tugas selama 42 tahun lebih satu bulan.

Jadi ya sejak 1 Agustus saya memasuki masa pensiun dalam usia 70 tahun, dalam status

sebagai Guru Besar Emiritus di Universitas Negeri Semarang. Satu tahun kemudian saya

diajak teman-teman pimpinan IKIP PGRI Semarang untuk bergabung dengan mereka,

terutama untuk memperkuat tenaga akademik Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial (FPIPS). Dan sebagai salah satu tugas saya adalah menulis nuku-buku mengenai

pendidikan IPS.

Ada dua buah buku yang saya siapkan untuk keperluan itu. Satu berjudul

Fotmulasi Pendidikan Karakter di Sekolah, yang menekankan perlunya secara tegas

menformulasikan generasi muda dengan karakter macam mana yang hendak dicapai

dengan pendidikan karakter. Yang kedua buku yang sedang pembaca hadapi ini,

Revitalisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (UPS), yang dimaksudkan untuk

menghidupkan kembali potensi pendidikan IPS yang telah terpuruk. Itu sebabnya judul

awal buku ini adalah Pendidikan IPS yang terpuruk. Isinya sebuah pikiran mengenai

upaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS, alasan dan beebagai potensi yang

bisa dikembangkan.

Pengalaman selama ini menjadi pengajar Ilmu Sejarah dan Pendidikan Ilmu

Sosial di Unnes, sejak bernama IKIP Semarang merupakan pengalaman awal dan

penerapan untuk terbitnya buku-buku tersebut.

Sampai terbitnya buku ini merupakan ujud pengertian baik dari pimpinan IKIP

PGRI Semarang karena telah memfasilitasi terbitnya nuku ini. Buku ini merupakan

terbitan kedua dengan revisi, sementara terbitan pertama telah difasilitasi oleh Fakultas

Ilmu Sosial Unnes bersamaan dengan saat saya memasuki masa pensiun sebagai Guru

Besar di Unnes pada tahun 2008.

Dengan mengikuti perjalanan tugas selama ini yang saya mencermati, saya

menyadari bahwa pandangan saya tentang konsep dan pelaksanaan pendidikan IPS

masih perlu mengalami sejumlah penyesuaain, yaitu bahwa pendidikan IPS dimaksudkan

1

Page 3: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

untuk menyiapkan generasi muda menjadi warga negara ataupun warga masyarakat

yang baik. Untuk itu pada semua jenjang dan sektor, formal, informal maupun

monformal, pendidikan IPS harus menyiapkan peserta didik melakukan penyesuaian

dengan tata nilai ideal, supaya mereka dapat menyesuaikan dengan harapan-harapan

sosial. Selama ini pendidikan IPS banyak dikeluhkan, karena dianggap banyak

mengalami kegagalan dalan melaksanakan fungsinya. Oleh karena itu saya bermaksud

menyampaikan buah pikiran untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS.

Kritik dan saran saya harapkan dari para guru terkait maupun pembaca kedua

buku ini. Terima kasih.

Semarang, 27 Juli 2011.

Penulis

DAFTAR ISI

2

Page 4: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

PENDAHULUAN

A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS1. Konsep Hidup Bik2. Pendidikan dan Tujuan yang hendak dicapai3. Masyarakat4. Sosialisasi dan Fungsinya5. Integrasi Sosial6. Konformitas7. Sosialisasi sebagai Peoses Pendidikan8. Sosialisasi sebagai Role Learning9. Pendapat Mengenai Masalah Sosial10. Relevansi Sosial Budaya

B. KEGAGALAN PENDIDIKAN IPS1. Erosi Nilai2. Disintegrasi Sosial3. Kenakalan Remaja4. Jarak Sosial5. Bencana Alam6. Tsunami

C. POTENSI-POTENSI IPS1. IPS untuk Pendidikan2. IPS untuk Pengembangan Kebudayaan3. IPS untuk Pendidikan Nilai4. IPS untuk Pendidikan IPS5. IPS untuk Mubaligh6. IPS untuk Pembangunan Kesehatan7. IPS untuk Politisi8. IPS untuk Memahami Kaum Remaja9. IPS dan Nilai-Nilai Jawa

D. PEMBERDAYAAN IPS1. Media Massa dan IPS2. Museum dan IPS3. Pariwisata dan IPS4. Perpustakaan dan IPS5. Arsip Negara dan IPS6. Lembaga-Lembaga Publik dan IPS

E. TANTANGAN DAN DUKUNGAN IPS1. Tantangan Bagi IPS2. Dukunan Bagi IPS

LAMPIRAN

1. Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar)2. IPS di Era Reformasi (Artikel pada Harian SUARA MERDEKA)

PENDAHULUAN

3

Page 5: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Sampai tahun 1950 an nyaris tidak pernah terdengar keluh kesah dari kalangan

guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun para siswa jurusan IPS di SMA (Sekolah

Menengah Atas) mengenai betapa tersudutnya posisi mereka dalam dunia pengajaran.

Sebaliknya para guru IPS cukup leluasa melakukan pengajaran IPS di Sekolah-sekolah

Dasar dalam kedudukan sebagai guru kelas. Pada waktu itu betul-betul IPS diajarkan di

SR (Sekolah Rakyat) atau SD (Sekolah Dasar) secara integratif. Guru kelas

memperkenalkan pengetahuan sejarah, ilmu buni maupun etnologi dalam rangkaian

pelajaran yang disebut Pengetahuan Umum. Hebatnya guru yang sama juga mengajar

kami mata pelajaran Berhitung, Bahasa maupun Budi Pekerti.

Selanjutnya di SMP (Sekolah Menengah Pertama) ilmu-ilmu bidang studi

Sejarah, Ilmu Bumi maupun Ekonomi dibberikan kepada semua siswa SMP sampai

dengan kelas II, seimbang dengan bidang studi Ilmu Hayat, Ilmu Alam, Ilmu Ukur,

Aljabar, maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masing-masing diampu oleh guru

bidang studi. Dan para siswa kelas III SMP sudah merasa mantap memilih bagian A

kalau menyenangi pelajaran ilmu-ilmu sosial dan budaya. Demikian juga yang

menyenangi ilmu-ilmu pasti telah memilih jurusan ilmu pasti alam. Selanjutnya pada

jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tersedia SMA bagian A bagi mereka yang ingin

mendalami ilmu-ilmu sosial dan budaya yang telah dipilih sejak dari SMP. Sementara itu

tersedia pula SMA bagian B bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu pasti alam.

Tersedia pula SMA bagian C bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu hukum. Tidak ada

perasaan rendah diri kalau menjadi siswa bagian A maupun C. dan perasaan tinggi hati

menjadi siswa bagian B. Masing-masing merasa bangga telah memilih jurusan yang

terbaik bagi masing-masing. Maing-masing sekolah dengan jurusan yang khas itu

menempati sekolah yang terpisah.

Sejak tahun 1970 an ketika setiap SMA atau SMU (Sekolah Menengah Umum)

harus memiliki semua jurusan yang ada, yaitu Bahasa, IPS, Biologi dan IPA, muncul

perasaan rendah diri, pada mereka yang “terpaksa” menjadi siswa jurusan Bahasa

maupun IPS. Hampir-hampir tidak ada perasaan bangga menjadi siswa jurusan Bahasa

maupun IPS, kalau melihat kenyataan bahwa siswa dari jurusan Biologi maupun IPA

bisa meneruskan belajar di perguruan tinggi pada fakultas manapun, sementara siswa

4

Page 6: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Bahasa maupun IPS tidak bisa meneruskan belajar pada fakultas-fakultas teknik maupun

kedokteran yang berbasis ilmu-ilmu pasti alam.

Perasaan rendah diri maupun frustrasi nampaknya menghinggapi pula para guru

IPS. Mereka merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS. Kebanyakan

para siswa beranggapan belajar IPS hanya penuh dengan hapalan, dan nyaris tidak ada

daya pikat untuk belajar. Belum lagi kalau dilihat bidang studi IPS terdiri dari banyak

komponen, yang meliputi sejarah, geografi, dan ekonomi. Para guru IPS juga mengeluh

karena tidak mungkin ada siswa yang berhasrat untuk mengikuti belajar tambahan berupa

les IPS. Ini berarrti tertutup kemungkinan guru IPS untuk mendapatkan tambahan

penghasilan, meskipun pada saat-saat menghadapi masa ujian akhir, lebih-lebih ketika

menghadapi masa ujian masuk Perguruan Tinggi.

Berbagai upaya untuk mengubah kurikulum IPS untuk membuat mata pelajaran

IPS menjadi menarik dan berhasil guna, namun selalu saja IPS diajarkan dengan cara

yang tidak menarik. Konsep baru dalam pengembangan pelajaran IPS dalam konsep baru

yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disusun dengan maksud

untuk membuat IPS lebih menarik dan berdaya guna, namun di lapangan justru KBK itu

telah menimbulkan keluhan sementara guru yang menilai KBK telah memnbuat

pelaksanaannya menjadi amat rumit dan memerlukan proses administrasi yang tidak

sederhana.

Buku ini ditulis untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sama, yaitu

mengapa pelajaran IPS selalu terpuruk. Perlu kiranya dilakukan pemahaman ulang atas

hakekat pelajaran IPS, potensi-potensi apa yang tersembunyi di dalamnya, serta

bagaimana kiat-kiat yang bisa dilakukan untruk membuat IPS menjadi lebih menarik

untuk para siswa dsb. Buku ini bukan buku pelajaran maupun buku pinter mengenai

pengajaran IPS, sehingga tidak disusun dengan sistematika yang runtut, sejak dari

pengertian, teori-teori yang lazim digunakan, serta metode dan model yang ditawarkan

unruk para guru. Sebaliknya buku ini berisi sekumpulan tulisan lepas sesuai dengan tema

dan topik tertentu sesuai dengan keperluan atau kepentingan dengan maksud untuk

melakukan revitalisasi IPS, atas dasar asumsi bahwa IPS pada dasarnya memiliki

berbagai kekuatan untuk kepentingan umum dalam kehidupan masyarakat.

5

Page 7: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Tulisan-tulisan tersebut meliputi topik-topik yang dibagi ke dalam bagian-bagian

tertentu. Bagian pertama diberi judul Konsep-Konsep dalam IPS, yang meliputi konsep-

konsep falsafi, sosiologi, psikologi sosial maupun antropologi untuk pendidikan IPS.

Bagian kedua berjudul Bencana- Kegagalan IPS, yang meliputi topik-topik tentang

berbagai kondisi sosial yang bisa dimasukkan ke dalam kasus kegagalan IPS. Bagian

ketiga berjudul Potensi IPS, yang meliputi topik-topik di sekitar potensi yang terkandung

dalam pendidikan IPS. Bagian keempat berjudul Pemberdayaan IPS, yang meliputi

topik-topik yang berkaitan dengan yang bisa dilakukan dalam pengembangan pendidikan

IPS. Dan Bagian kelima berjudul Tantangan dan Dukungan bagi IPS, yang meliputi

kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan kondisi-

kondisi yang berpotensi sebagai dukungan bagi pendidikan IPS.

Perlu kembali disadari bahwa IPS tidak lain adalah langkah tindakan

memanfaatkan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) untuk kepentingan pendidikan. Sementara itu IPS

dapat dipahami sebagai Studi Sosial. Oleh karenanya setiap pengajar IPS harus lebih

dahulu atau selalu memahami konsep-konsep IIS ketika mengampu mata pelajaran IPS.

Ini berarti bahwa Pendidikan IPS tidak lain adalah segala kegiatan dalam pengembangan

kurikulum IPS, baik dalam lembaga pendidikan formal , informal maupun nonformal.

Dengan memhami lebih baik konsep=konsep IPS maupun keasadaran yang benar

tentang pendidikan IPS, maka tidak ada lagi perasaan rendah diri maupun keceewa

dengan pendidikan IPS. Pada saat itulah kita semua sudaj siap untuk merevitalisasi IPS

secara proporsional.

@@@

6

Page 8: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS

PENGANTAR

Pada bagian ini uraian akan ditekankan pada tinjauan teoritik yang berkaitan

dengan pengertian pendidikan IPS. Uraian itu dimaksudkan untuk memberi batasan

secara teori dasar dari pendidikan IPS, yaitu sosilogi dan psikologi sosial, karena dua

ilmu itu merupakan ilmu yang berkaitan langsung dengan kegiatan manusia, ketika

mereka berinteraksi sebagai sesama mahluk sosial. Hal itu dpandang perlu untuk disadari

benar, karena pendidikan IPS pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian

kepada peserta didik mengenai pola-pola dan kecenderungan yang terjadi dalam

masyrakat, ketika mereka melakukan interaksi sosial.

Dimaksudkan pula uraian berikut ini untuk memberikan acuan teoritik bagi

kajian-kajian, atau paling tidak melakukan peembahasan sederhana untuk kalangan

siswa peserta didik, tentang hakekat masyarakat, pola hubungan yang terjadi, mekanisme

yang berkembang maupun kecenderungan yang terjadi selama berlangsung interaksi

sosial itu. Dengan demikian kita bisa memberikan penjelasan atas semuanya yang

mencakup kepentingan kelompok, latar belakang perilaku sosial, bentuk perilaku,

maupun tujuan interaksi dilakukan. Di samping itu oleh karena aspek kegiatan manusia

juga memiliki segi falsafi, nilai kemanusiaan maupun pola perilaku manusia sebagai

mahluk berbudaya, akan juga disajikan tinjauan falsafi maupun antropologis. Sekali lagi

untuk membantu kita masing-masing warga sosial memberi penjelasan atas semua gejala

yang terjadi maupun meramalkan apa yang bakal terjadi.

Barangkali uraian dalam bab berikut ini memang lebih bersifat akademis,

sehingga terpaksa harus menggunakan berbagai istilah teknis dan baku sebagaimana

digunakan dalam tinjauan teoritis yang sesuai dengan teori yang digunakan. Namun

diharapkan uraian tersebut bisa diikuti oleh pengguna buku ini dengan memadai. Sebagai

keterangan maupun definisi masih ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud masih

otentik, sehingga bisa dimengerti lebih lanjut dengan melakukan diskusi dengan teman

sejawat guru ppendidikan IPS. Dengan cara seperti itu diharapkan kita bisa memahami

7

Page 9: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

istilah teknis untuk mengartikan peristiwa maupun pengertian dan tidak rancu oleh

terjemahan yang tidak tepat.

Dengan memahami berbagai istilah maupun pengertian secara teoritis yang

tertera dalam uraian-ueaian pada setiap sub bab, kita akan mudah mengerti uraian-uraian

yang disajikan dalam bab-bab berikut yang menyajikan bdrbagai gejala maupun

mekanisme yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitan dengan proses pembelajaran IPS

maupun dengan kasus-kasus yang terjadi di sekitar kita. Semoga bisa berguna.

1. KONSEP HIDUP BAIK

Sebagaimana kita ketahui tujuan akhir dari proses sosialisasi yang merupakan

langkah-langkah dalam komunikasi atau interaksi sosial adalah terjadinya integrasi

sosial. Dengan integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam

(immanent) pada setiap masyarakat, agar masyarakat itu dapat tetap survive, agar tidak

terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian, konsep

integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak

memperkenankan keberadaan sub-sub sosial atau perbedaan, melainkan yang penting

adalah adanya keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harnoni.

Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian

yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragam,

namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski

harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan

gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan,

yang telah didambakan sejak lama. Kondisi ideal itu dapat dilengkapi dengan gambaran

masyarakat ideal, yang menurut Ignas Kleden, tercermin pada ungkapan ‘Gemah ripah

loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku, tata tentrem kerta

raharja’ dan sebagainya, yang merupakan ungkapan mengenai hidup yang sejahtera, baik

sosial, politik, maupun ekonomi.

Semua ungkapan tersebut di muka itu memberi gambaran mengenai hidup

baik atau ‘good life’, yang merupakan ungkapan falsafi mengenai keadaan hidup yang

paling menjadi idaman setiap manusia. Keadaan itu diibaratkan sebagai sesuatu yang

8

Page 10: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dikejar namun selalu tak terjangkau, dan tetap menjadi kegiatan manuaia dari waktu ke

waktu. Sehingga demikian dianggap sebagai “the most holistic of man`s attribute”’. Yang

dimaksud adalah suatu upaya pencarian hakekat yang hanya sayup-sayup dimengerti,

namun selalu saja lenyap tanpa punya rasa belas kasihan. Itulah yang dikenal sebagai

hidup baik. Ini berarti bahwa hidup baik merupakan semacam fatamorgana, sesuatu

yang tak pasti, sehingga secara plastis Rogers menyamakannya dengan semacam “‘a

journey, not a destination”. Apapun yang bakal terjadi sulit dapat diramalkan, sebab

manusia hanya merupakan berbagai kemungkinan, namun sangat diperlukan keberanian

untuk mencapai kondisi hidup baik tersebut, menurut Rogers (G. Marian Kinget, 1975, h.

236 1937).

Pengertian kedua, yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah, bahwa soal

‘good life’ adalah soal subyektif, yaitu sesuatu yang sangat tergantung pada siapa yang

memandang. Ini berarti, behwa hakekat hidup baik itu amat bervariasi, tergantung pada

pandangan hidup orang yang mencarinya, apakah termasuk mereka yang menganut

paham yang materialistik, idealistik, fasistik, demokratik, ataukah barangkali

humanistik-personalistik. Sebagai contoh dapat dilihat perbedaan yang terjadi di antara

pandangan Rogers, yang humanistik, dan Skinner yang behavioristik mengenai

hakekat manusia.

Mewakili kawan-kawannya dan pandangan yang humanistik, Rogers beranggapan

bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan sesuai dengan

pandangannya mengenai lingkungan. Sebaliknya, bagi Skinner, kebebasan itu hanyalah

ilusi, sobab segala keputusan pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Oleh

karenanya, bagi Skinner tingkah laku manusia itu dibentuk oleh lingkungannya. Mereka

banyak tergantung di mana mereka tinggal, perkotaan ataukah poedesaan, dalam

lingkungan industri ataukah dalam lingkungan agraris dsb.

Dengan sendirinya konsep mereka mengenai hidup baik itupun berbeda juga

(G.Marian Kinget, 1975, hal. 230).

Meskipun demikian dalam satu hal pandangan-pandangan itu tidak dapat

dibedakan, yaitu, bahwa hidup baik itu berkaitan dengan kepuasan. Dan ini jelas

berkaitan dengan tingkat terpenuhinya kebutuhan, yang ternyata mempunyai banyak

macamnya. Ada yang termasuk kebutuhan fisik-badani, psikik-ruhani, ada pula yang

9

Page 11: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

bersifat sosial-kebersamaan.

Menurut ukuran yang ideal, maka hidup disebut baik kalau seluruh spektrum

kebutuhan hidup dapat terpenuhi, dan seluruh potensialitas diri dapat dinyatakan masih

termasuk ideal pula, kalau mengukur hidup baik dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan

vital hidupnya. Akhirnya manusiapun sadar, bahva kondisi semacam itu hampir tak

mungkin terjadi, hingga harus disadari bahwa dalam kenyataan, hidup baik itu terjadi

manakala terdapat kepuasan yang berimbang (balanced satisfaction) di antara seluruh

kebutuhan hidup. Ini berarti, ada sebagian kebutuhan hidup manusia yang betul-betul

dapat terpenuhi, ada sebagiam lagi yang secara memadai dapat terpenuhi, dan sebagian

kebutuhan lagi yang barangkali tak pernah terpenuhi. Demikian pula da1am hal

potensialitas manusia, tidak selalu dapat dipastikan, sehigga kadar keterwujudannyapun

menjadi relatif. Namun harus diakui, bahwa seluruh kemungkinan yang ada pada

manusia dapat selalu dikembangkan selama hidupnya, dan bahwa dapat terjadi saling

menggeser di antara berbagai kemungkinan itu.

Abrahan Maslow, seorang psikolog mengemukakan konsep jenjang

kebutuhan, yang menjelaskan tentang adanya jenjang-ienjang kebutuhan manusia.

Kebutuhan pada setiap manusia itu tidak sama dan bisa digambarkan sebagai lima

jenjang dalam sebuah segi tiga. tingkat paling bawah disebut basic physical need atau

yang terdiri dari kebutuhan dasar manusia, sebagai yang dimiliki hewan lainnya, yaitu

makan, minum dan seks. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai bagian dari dunia

hewan. Tingkat kedua disebut safety need, di mana orang mulai merasakan kebutuhan

akan rasa aman. Kebutuhan mereka bukan ssekadar kepuasan jasadi, karena sudah

gampang mereka peroleh.

10

Page 12: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Gambar 1

Jenjang kebutuhan menurut Abraham Maslow

Need

Berikutnya kalau orang sudah bisa mendapatkan rasa aman dalam memenuhi

kebutuhan dasar yang didambakan, muncul kebutuhan pada jenjang berikutnya, yaitu

beloved need atau mendapat pengakuan atau rasa dicintai oleh orang lain. Bila semua

kebutuhan di muka ssudah mudah diperoleh orang mulai mendambakan kepuasan akan

harga diri atau esteen need. Untuk mendapatkan kepuasan pada jenjang di atas memang

diperlukan upaya maupun resiko lebih besar. Dan akhirnya di atas segalanya masih

terdapat kebutuhan tertinggi, yaitu need of self actualization. Yang dimaksud adalah

kebutuhan unruk sebuah pengembangan diri. Biaya untuk mendapatkan kepuasan hatu

untuk memenuhi kebutuhan itu barangkali tak bisa dinilai secara materiil.

Barangkali bahkan tak memerlukan biaya, namun kepuasan itu sendiri tak

bisa dinilai dari luar. Ketika Sakyamuni memutuskan untuk keluar dari istama dan

mengembara sebagai Buda Gautama, dia merasakan kepuasan tertinggi sebagai bentuk

aktualisasi diri. Dia hanya dengan jubah kuning, tongkat dan tempurung kelapa untuk

11

Need of SelfActualization

Esteem Need

Beloved Need

Safety Need

Basic Physical Need

Page 13: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

memeinta-minta sedekah. Dia kemudian mendapatkan penerangan atau bodhi ketika

berada di bawah naungan pohon pepala. Hal semacam dialami pula oleh Muhammad

SAW sejak mendapatkan wahyu di gua Hira. Untuk itu dia menafikan semua tawaran

hidup enak yang ditaewarkan oleh para pemimpin Quraisy, asal Muhammad

meninggalkan dakwah Islamnya. Demikiamn juga hal serupa diperoleh oleh seorang

ilmuan amupun guru melakukan pengabdian kepada kemanusiaan. Dengan demikian

yakinlah kita bahwa ukuran hidup baik atau good life amat bervariasi.

2. PENDIDIKAN IPS DAN TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI

Salah satu pengertian yang harus dipahami dalam mengembangan ilmu

sosial adalah bahwa kebenaran ilmu sosial merupakan kebenaran yang relatif dan

tentatif. Begitu nenurut Sullivan (1953). Tak dapat dilupakan pula kenyataan, bahwa

manusia kecuali sebagai obyek juga sebagai subyek penelitian. Di sini sangat diperlukan

peningkatan rasa tanggung jawab mengenai kesejahteraan manusia itu sendiri, sejalan

dengan pikiran Max Weber bahwa tujuan akhir dari ilmu sosial adalah peningkatan

seseorang dalam tanggung jawab. Dalam bahasa aslinya dikatakan “… the ultimate aim

of the science of social men was the enhancement of one's responsibility” (John S.

Nimpoeno, 1980, h. 1).

Hasil kajian yang bersifat subyektif dan tentatif itu juga terjadi kalau

dilakukan dengan pendekatan spesialistis atau hanya dari satu disiplin. Dan untuk

mendapatkan hasil kajian yang lebih mempunyai arti (meaningful), akan digunakan

pendekatan interdisiplin, yaitu dengan menggunakan lebih dari satu disiplin yang relevan.

Itulah yang menjadi dasar yang diharapkan oleh pendidikan I1mu Pengetahuan Sosial

dalam artian Studi Sosial (Achmad Sanusi, l972, h.4-5).

Dengan cara pendekatan interdisiplin ini dimaksudkan dalam waktu bersamaan

digunakan konsep-konsep dalam ilnu-ilmu sosial yang relevan, dalam upaya memberikan

penjelasan sesuatu masalah kemasyarakatan yang sedang dihadapi, agar tercapai tujuan

yang dikehendaki. Meskipun demikian sifat hasil kajian yang bersifat subyektif dan

12

Page 14: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

GAMBR 2

Skema Tujuan Program Pendidikan IPS dalam Artian Studi Sosial

MASYARAKAT ORANG DEWASA

I n t e r a k s I S o s i al

KEBUDAYAAN ASING

R E M A J A YOUTH CULTURE

PENGEMBANGAN SIKAP

PERTUMBUHAN PENGETAHUAN

&SALING PENGERTIAN

PENGEMBANGAN KETRAMPILAN

&KEMAMPUAN

1. Bersikap positif thd masyarakat2. Menjadi warga masyarakat yg baik3. Penyesuaian diri dengan masyarakat4. Penuh saling pengertian dengan sesama masyarakat5. Peduli thd lingkungan

1.mengenali hak dan kewajiban sebagai warga masyarakt2.dan fungsi sbg warga masyarakat3.pengertian di antara sesama warga

a. Latihan mengidentifikasi masalah2. Latihan menganalisa masalah3. Latihan mengambil keputusan

INTELEGENT SOCIAL ACTOR

S O C I A L A D J U S M E N T

INTELEGENT SOCIAL ACTOR

tentatif masih dimungkinkan terjadi.

13

Page 15: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa pendidikaan Ilmu Pengetahuan Sosial

(IPS) dalam artian Studi Sosial yang dimaksud, mempunyai tanggung jawab utama

untuk membantu anak menjadi dewasa dalam artian mampu mengambil keputusan-

keputusan penting yang berkaitan dengan pergaulannya dengan orang lain dalam

masyarakat, dan berani mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu

Studi Sosial diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk mengmbil

keputusan secara rasional dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup, dan

mengambil sesuatu tindakan secara cerdik. Dengan perkataan lain program Studi Sosial

diharapkan dapat membuat anak menjadi aktor sosial yang cerdik (intelligent social

actor).

Dan kemampuan untuk mengambil keputusan itu dapat dicapai, antara lain dengan

jalan melatih anak menghadapi masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka (J.A.

Banks, 1977, h. 10-12). Dari sana sebetulnya dapat terlihat adanya tiga tujuan

pendidikan IPS dalam artian Studi Sosial, yaitu : (1) pengembangan sikap, (2)

pertumbuhan pengetahuan serta saling pengertian, dan (3) pengembangan

ketrampilan serta kemampuan.

Warga masyarakat disebut warga yang efektif, kalau menunjukkan sejumlah

sikap positif dalam menghadapi masyarakat. Sikap-sikap tersebut didasarkan moral, etika

serta nilai spiritual yang serasi dengan masyarakat demokratis, menurut Jarolimeck

(1961). Selain itu harus pula terjadi proses penyesuaian kepribadian anak, sebab perilaku

sosial yang tidak serasi merupakan gejala ketidak mampuan anak dalam penyesuaian

diri. Di pundak generasi tua beban bimbingan itu diletakkan (Noel D. Pryde, 1975, h. 10).

Yang dapat kita tangkap dari harapan yang dibebankan pada Studi Sosial atau IPS

tadi, ialah tumbuhnya rasa tanggung jawab sosial dan penyesuaian diri dengan tata nilai

lingkungan sosial. Ini dkenal sebagai kedewasaan sosial, jadi tidak sekadar kedewasaan

fisik maupun mental, dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang baik.

Tiujuan lain program Studi Sosial yang perlu dicapai ialah pertumbuhan pengetahuan

dan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Dengan cara lain

dapat dikatakan, bahwa orang dewasa harus mampu memainkan peran sosial dengan

baik, untuk membantu anak memahami warisan sosial budaya serta belajar menghadapi

masalah-masalah yang bakal dihadapi kelak, menurut R.C. Preston (1960). Yang

14

Page 16: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

penting nampaknya pendidikan IPS bertujuan supaya warga masyarakat memahami

warga masyarakat yang lain, serta lingkungan di mana orang itu hidup. Dengan cara itu

akan dapat dicapai saling pengertian di antara warga masyarakat sendiri (Noel D. Pryde,

1975, h. 15).

Tujuan program Studi Sosial tersebut tidak mungkin tercapai tanpa dicapai lebih

dulu sejumlah ketrampilan yang diperlukan, yaitu melakukan adaptasi diri dalam tata

nilai masyarakat. Dari seorang aktor memang dituntut banyak sekali, apalagi kalau harus

memainkan peran-peran sosial yang sering sekali ganda, dan harus pula menghadapi

peran-peran lain yang banyak sekali, dan sering sekali tidak serasi dengan ‘role

expectation’ yang tidak tertulis dan tidak jelas. Di sinilah nampak sekali perlunya proses

sosialisasi, untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial, sehingga setiap warga

mengetahui ‘role expectetion’ yang dituntut dari warga masyarakat tersebut.

3. MASYARAKAT

a. Paradigma Masyarakat

Selanjutnya perlu disepakati lebih dahulu apa yang dImaksud dengan

masyarakat agar selalu terdapat kesamaan arti dalam penggunaan konsep masyarakat

yang kita pergunakan. Kita bakal mengetahui konsep masyarakat yang tidak tunggal arti,

tergantung dari paradigma mana yang kita ikuti. Kepastian dalam memandang

masyarakat ini akan memberikan kemudahan bagi kita dalam memberikan jalan

terhadap berbagai gejala yang bakal muncul dalam pemahaman pada IPS. Di samping itu

juga persepsi mengenai masyarakat tersebut, akan memberikan kemufakatan atau kesatu

bahasaan dalam menggunakan konsep-konsep sosial dalam menganalisis berbagai

kcenderungan yang muncul dalam pembahasan. Di sinilah perlunya kita menyetujui

suatu paradigma mengenai masyarakat. Mula-mula, masyarakat harus dipandang

sebagai sistem yang hubungan antara warganya diikat oleh suatu saling ikatan yang tak

terpisahkan, dalam suatu keseimbangan. Masyarakat bukan sekedar sebagai ‘a set of

interrelated elements’ atau ‘a set of interdependent variables’, melainkan suatu

‘homeostatic interrelated system’. Ini berarti, bahwa mula-mula masyarakat adalah

15

Page 17: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sekelompok manusia, yang diabstraksikan dari kenyataan-kenyataan fenomenologik, dan

yang terdiri dari ‘a set of interdependent (social) variables’. Sebagai suatu sistem

maka masyarakat terdiri dari sub-sub sistem, yang memiliki status, posisi, kepentingan

serta peranan tertentu, namun baru mempunyai makna dalam ikatan keseluruhan yang

padu. Interaksi yang terdapat dalam sistem tersebut, bukan hanya berlangsung di antara

individu dengan individu, namun juga di antara individu dengan kelompok dan di antara

kelompok dengan kelompok. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa masing- masing sub

sistem atau komponen dalam masyarakat merasakan kebutuhan untuk tetap dalam

kesatuan, karena masing-masing sub sistem hanya mempunyai arti kalau dalam ikatan

kebersamaan. Hal tersebut terjadi karena sebagai sistem, masyarakat mempunyai tujuan

yang dirasakan bersama, sehingga untuk mencapai tujuan bersama tersebut terbentuklah

pola hubungan saliing membutuhkan (social pattern of mutual helpfulness). Dengan

cara itu masing-masing rnerasakan kepuasan bersama (mutual satisfactory), namun

mereka masih tetap merasa saling bergantung satu sama lain (interdependency)’.

Selama interaksi berlangsung, oleh karena masing-masing warga masyarakat

memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka yang terjadi adalah rangkaian konflik,

kompetisi, kerja sama dan akomodasi, dan disusul kembali dengan konflik, kompetisi,

kerja sama dan akomodasi. Sehingga terjadilah apa yang dikenal sebagai rangkaian

adaptasi sosial, karena akomodasi sendiri merupakan ‘... the adjustment of hostile

individuals or groups’. Itulah sebabnya masyarakat sebagai suatu totalitas merupakan

suatu ‘stable inner equilibrium’, suatu keseimbangan yang datang dari dalam yang

telah mantap.

Yang ke dua, masyarakat harus dipandang sebagai cara-cara untuk terjadinya

konformitas, dan sementara itu merupakan sistem nilai, atau dengan kata lain dapat

dikatakan, bahwa masyarakat merupakan suatu ‘modes of conformity, and normative

system of values’. Sejak awal sudah diuraikan mengenai proses sosia1isasi yang

dimulai sejak dari lingkungan keluarga, ketika anak-anak harus melakukan adaptasi dan

penerimaan terhadap tata nilai serta norma yang berlaku dalam keluarga. Itu berarti,

bahwa anak-anak sebagai warga baru kelompok atau masyarakat diharapkan dapat

konform dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Sebagai suatu sistem nilai yang normatif, maka masyarakat juga mengenal

16

Page 18: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

adanya sanksi, seperti dikemukakan di depan. Cara tersebut berguna agar supaya setiap

warga masyarakat bisa bertingkah laku dan tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial

yang telah dikomunikasikan selama masa sosialisasi. Yang dimaksud dengan nilai, ialah

bagian dari kebudayaan yang berupa keyakinan yang mengikat warga masyarakat

mengenai baik dan buruk, benar dan tidak benar. Nilai tersebut dimanifestasikan dalam

bentuk norma, kebiasaan, sanksi dan sebagainya dalam kehidupan (James A. 1972 h.

240-250).

Paradigma ke tiga, ialah bahwa masyarakat merupakan pola-pola bagi integrasi

sosial maupun sosialisasi, yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah ‘patterns of

association and socialization’. Kecenderungan proses sosial yang bersifat asosiatif atau

integratif dapat kita lihat pada Gambar 2 mengenai Basic Social Processes tersebut di

atas...

b. Individu dalam Masyarakat

Mempelajari kecenderungan remaja dalam rangka proses interaksi sosial, tidak lain

dari pada mempelajari manusia dengan perilakunya dalam antarhubungan manusia itu

sendiri. Dan ini jelas menunjukkan bahwa kawasan pembahasannya berada di dalam

kawasan psikologi sosial, yang secara gampang sering disebut sebagai “the science of

interpersonal behavior events" (Krech et al, 1962, h. 5). Dengan demikian maka kita

berangkat dari tinjauan psikologi sosial sebagai pijakan utama. Namun demikian untuk

mendapatkan penjelasan lebih lengkap mengenai manusia dan lingkungan sosial

budayanya, digunakan juga konsep konsep sosiologi.

Manusia dapat dikatakan sebgai mahluk Tuhan yang mempunyai tiga aspek dalam

suatu keutuhan, yaitu aspek organik-jasmaniah, aspek psikik-ruh, dan aspek

sosial-kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi,

sehingga perubahan pada satu aspek akan berpengaruh terhadap aspek yang lain. Oleh

karenanya manusia disebut individu selagi tingkah lakunya hampir identik dengan

tingkah laku masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Dan selama itu pula individu

tersebut dibebani berbagai peranan. Dan peranan-peranan itu terutama berasal dari

kondisi kebersamaan hidup dengan sesamanya (John S. Nimpoeno, 1980, h. 4).

17

Page 19: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Dengan memandang setiap individu sebagai suatu ‘self’ yang berdiri

sendiri, William James (1890) memandang bahwa pada diri setiap individu terdapat tiga

tipe ‘self’, yang terdiri dari social self, spiritual self, dan material self ( Lindzey and

Aronson I, H. 522). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa manusia mempunyai

tiga dimensi, yaitu dimensi badani, dimensi ruhani, dan dimensi sosial-kebersamaan. Dan

ini berarti bahwa setiap nanusia, di satu pihak merupakan individu yang unik, yang

mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan orang lain. Namun di lain pihak,

merupakan warga atau bagian dari lingkungan sosialnya. Oleh karenanya setiap

individu harus berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku kolektif, namun tidak lepas

dari keunikan dirinya.

Dalam perjumpaan antara keunikan individual dengan tekanan pola-pola

sosial budaya, dapat terjadi berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama, seorang

individu akan ‘kehilangan individualitasnya’, karena terbawa oleh tekanan pola-pola

sosial budayanya. Dalam hal ini orang tersebut akan berperilaku tidak menyimpang dari

perilaku yang pada umumnya diperbuat oleh kebanyakan orang dalam lingkungan

sosialnya. Orang tersebut menunjukkan ketundukan yang tinggi terhadap tata nilai

yang berlaku dalam masyarakat.

Gejala ketundukan warga masyarakat terhadap tata nilai masyarakat, sehingga

mereka berperilaku serasi dengan harapan-harapan sosial sesuai dengan peranan yang

disandang oleh masing-masing warga, disebut konformitas. Dalam hal ini tidak berarti

warga masyarakat menunjukkan perilaku yang sama dan seragam dengan warga yang

lain, melainkan warga masyarakat menunjukkan perilaku yang serasi dengan posisi,

status dan peran mereka dalam masyarakat, seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Kemungkinan kedua yang terjadi dalam perjumpaan antara keunikan individual

dengan pola-pola sosial-budaya, ialah ‘menyimpang dari norma kolektif’(John S.

Nimpoeno, 1980, h. 5). Keadaan yang demikia itu terjadi manakala tingkah laku warga

masyarakat yang unik tidak serasi dengan tingkah laku kolektif, sehingga yang terjadi

ialah nonkonformitas. Akan tetapi dalam kenyataan hidup, setiap warga masyarakat

akan cenderung menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan situasi aktual yang

dihayatinya. Dan keberhasilan untuk mencapai titik optimum antara dua pola tingkah

laku tersebut di atas dalam situasi-situasi yang senantiasa berubah, dianggap sebagai

18

Page 20: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

tanda ‘kematangan’ atau ‘kedewasaan’ dalam pengertian sosial. Meskipun demikian

individu dan masyarakat dalam permasalahan ini, tidak pernah disejajarkan hingga

menjadi individu dan masyarakat, atau bahkan dipertentangkan menjadi individu atau

masyarakat. Sebaliknya, lebih pantas kalau tetap disebutkan dengan cara individu

dalam masyarakat (Krech et al., 1962, h. 529).

Ini berarti bahwa kecenderungan apapun yang terjadi, ‘menyimpang dari norma

kolektif’ ataupun ‘kehilangan individualitasnya’, ‘berperilaku konform’ ataupun ‘bebas’,

tampil sesuai dengan ‘kepribadiannya’ atapun ‘mcndapat tekanan dari

masyarakatnya’, mau tidak mau merupakan pencerminan baik dan keunikan maupun

kebersamaan. Agak berbeda dengan kebersamaan dalam kehidupan hewani yang

mengikuti kaidah-kaidah eko1ogis dan bersifat naluriah, maka hidup kebersamaan

manusia didasarkan pada pertimbangan nalar dan saling ketergantungan.

Menurut Durkheim, gejala kolektivitas hewani itu disebut sebagai

‘mekanistik’, sementara dalam dunia manusia dikenal sebagai ‘organik’, yaitu atas

dasar saling mengatur dan saling membutuhkan. Ini berarti, bahwa pola perilaku yang

terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang dipelajari, merupakan sesuatu

yang tumbuh. Dan karena perilaku manusia itu berkaitan dengan posisi dan status

peranan masing-masing warga dalam sesuatu masyarakat, maka orangpun menyebutnya

sebagai suatu struktur. Di sana masing-masing bagian atau warga masyarakat meru-

pakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan, sebagai sebuah sistem.

c. Interaksi Sosial

Masyarakat pada dasarnya merupakan struktur sosial yang dinamis, dalam

artian di dalamnya terjadi saling hubungan di antara sesamanya (personal interrelations).

Dan para warganya dengan demikian merupakan orang-orang yang saling berhubungan

(interrelating persons). Pengertian itu timbul kalau kita bertolak dari anggapan bahwa

masyarakat merupakan suatu sistem.

Yang dimaksud dengan sistem di sini ialah seperangkat unsur-unsur yang saling

berhubungan, dalam artian masing-masing unsur saling bergantung sesamanya. Secara

singkat daoat dikatakan, bahwa sistem merupakan ‘a set of interrelated elements’. Ini

19

Page 21: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

berarti bahwa, keseluruhan sistem tersebut selalu mempunyai makna lain dari pada

sekedar kumpulan unsur-unsur belaka. Dan sebagai sistem, maka masyarakat yang

merupakan sekelompok manusia dapat digambarkan berdasarkan penuturan Loomis

(1960), Parsons (1951) dan Merton (1949), sebagai berikut.

1) Sistem Sosial terdiri dari bagian-bagian yang utuh, tetapi saling

berkaitan secara bermakna. Jadi sistem itu mempunyai struktur.

2) Setiap bagian dari sistem sosial mempunyai fungsinya tersendiri,

tetapi tetap dalam rangka keseluruhan sistem. Yaitu tidak lain karena

keseluruhan sistem sosial itu juga mempunyai fungsi yang pasti.

3) Tergantung dari konsep yang dipakai, maka bagian-bagian sistem

dapat berwujud pelaku, fungsi atau peranan, yang dapat

mengkonversikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Adanya

masukan dan keluaran pada masing-masing bagian itu disebabkan oleh

adanya masukan dan keluaran pada sistem sosial sebagai suatu keutuhan.

4) Sebagai sistem sosial, sistem ini mempunyai tujuan, dan karena

mempunyai tujuan, sistem tersebut juga paling sedikit terikat pada nilai-

nilai tertentu (system values) yang kemudian diendapkan menjadi tolok

ukur-tolok uikur (system parameters).

5) Sistem Sosial tidak kaku (antara lain karena memiliki sifat sebagai

‘sistem terbuka’), sehingga senantiasa marnpu menyesuaikan diri dengan

kondisi lingkungannya dan saat yang satu ke saat yang lain. Perubahan-

perubahan sistem yang ditimbulkan mempunyai corak evolusioner

6) Perubahan revolusioner akan membuat punah sistem yang lama,

karena diganti oleh sistem yang lain. Sebagai contoh: revolusi industri

adalah sebuah perubahan yang cepat dan mendalam, yang merangsang

munculnya sistem masyarakat baru di abad lampau.

(John S, Nimpoeno, 1980, h. 17-18)

Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa sebagai suatu sistem, maka

para warga masyarakat merupakan jalinan ynng padu, yang ditandai oleh adanya

hubungan antara warga. Dan dalam kehidupan yang asosiatif itu, nampaknya interaksi

20

Page 22: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

merupakan kunci segalanya, menurut Kimball Young (1942). Interaksi itu sendiri

dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal-balik antara dua orang atau lebih, dimana

setiap orang terjalin erat dalam tindakan dan dengan maksud tertentu. Dan dalam

hubungan timbal-balik itu terlihat tiga bentuk hubungan, sebagai berikut

:

1) interaksi orang seorang, di mana seorang bocah untuk pertama kalinya

belajar menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tuanya, atau

dimana seorang perjaka mencari pasangan hidupnya.

2) interaksi antara orang seorang dengan kelompok, atau sebaliknya,

dimana seseorang individu mendapati dirinya bertentangan dengan

norma kelompok, atau di mana sesuatu kelompok memaksakan

kehendak agar anggotanya dapat konform dengan nilai kelompok.

3) interaksi antara dua kelompok, di mana dua partai bekerja sama

untuk mengalahkan partai ke tiga, misalnya, atau manakala dua

negara sedang berperang.

(Selo Soemardjan dkk., 1964, h. 184).

Dapatlah kemudian dipahami kalau dalam interaksi sosial semacam itu, yang

terjadi ialah rangkaian kooperasi, konflik atau kompetisi, dan akhirnya akomodasi.

Konflik dan kompetisi sebetulnya merupakan wujud dari bentuk interaksi yang bernama

oposisi. Dengan koperasi (kerja sama) dimaksudkan sebagai bentuk interaksi yang

bertolak dari kebutuhan bersama, yang dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan

tujuan atau hasil yang sama. Dengan azas ini sebetulnya seluruh interaksi sosial terjadi.

Kerja sama (koperasi) menurut pandangan psikologi, dilatar belakangi oleh

ketergantungan, kasih sayang, simpati maupun identifikasi. Berbeda dengan kooperasi,

maka oposisi bertolak dari perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, tujuan dan

sebagainya, di antara warga masyarakat, dan seringkali diidentikkan dengan

‘pertarungan’ (struggle).

Kimball Young (1942) membedakan oposisi menjadi kompetisi dengan

konflik. Kompetisi merupakan bentuk oposisi yang ‘lebih lunak’, yang lebih

21

Page 23: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

menekankan pada tujuan untuk mendapatkan ‘hadiah’ dan bukan pesaing itu sendiri.

Sebaliknya, konflik lebih menekankan pada perjuangan mengalahkan pesaing itu sendiri

(Selo Soemardjan cikk., 1964, h. 185-208).

Sedangkan akomodasi dan asimilasi merupakan proses yang terjadi dalam

masyarakat, yang dimaksudkan sebagai ‘jalan keluar’ atau ‘pilihan’, sebagai akibat

terjadinya oposisi dalam masyarakat. Dengan cara ini maka interaksi sosial menjadi

lebih penuh toleransi dan lebih mnghemat energi. Sebaliknya akomodasi juga

merupakan kondisi berupa persetujuan secara institutional, dimana warga masyarakat

dan masyarakat setuju untuk mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu aturan. Kimball

Young (1942) menyebut kondisi itu sebagai pencerminan dari keseimbangan

(equilibrium) antara individu dengan kelompok maupun dengan tatanan yang telah

disetujui bersama.

Perlu dikemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi tersebut di atas merupakan

rangkaian (kontinum) yang silih berganti, dan merupakan wujud dari proses penyesuaian

hidup bermasyarakat (social and life adjustment), yang berlaku bagi setiap warga

masyarat. Rangkaian proses itu sendiri berlangsung sejak dari lingkungan kehidupan

keluarga, kelembagaan, komunitas, masyarakat, hingga lingkungan bangsa. Selama itu

pula warga masyarakat yang lebih mapan (=generasi tua) menggunakan kesempatan

tersebut untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial kepada generasi muda.

Proses tersebut dikenal sebagai sosialisasi atau enkulturasi. Dalam proses sosialisasi

atau enkulturasi itu, generasi tua menyampaikan norma-norma, mores , folkway dan

nilai (value).

Menurut Sumner (1906), selama itu proses sosial yang sesungguhnya terjadi,

di mana umat manusia bukan didesak untuk tunduk pada sesuatu filosofi atau etika besar

yang datang dari luar, melainkan didorong untuk dapat hidup sesuai dengan kondisi

nyata yang hidup.

Dari menit ke menit setiap warga masyarakat dibiasakan dan didorong untuk

melakukan tindakan yang merupakan ‘satu bahasa’. Dan kebiasaan hidup seperti

dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, dan orang dipaksakan untuk hidup serasi

dengan orang lain. Dengan cara itu orang mencoba untuk hidup benar dan betul.

Dengan agak lengkap Sumner (1906) mengatakan:

22

Page 24: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

‘The real (social) process in great bodies of men is not one of deduction

from any great principle of phylosophy or ethics. It is one of minute efforts to

live wel1under existing conditions, which efforts are repeated undefinitely by

great numbers, getting strength from habit and the fellowship of united action.

The resultant folkways become coercive. All are forced to conform, and the

folkways dominate the social life. Then they seem true and right, and arise in

mores as the norm of welfare.

(Lindzey and Aronson, I, 1954, h. 511).

Dalam proses interaksi itu warga baru belajar dari masyarakat ketrampilan,

fakta serta nilai, yang amat berguna bagi kehidupannya kelak dalam masyarakat,

sehingga disebut juga ‘social learning’. Namun sebenarnya dalam proses ‘social learning’

terjadi dua kegiatan yang serempak, yaitu ‘personal-social Learning’ dan ‘cultural

conditioning’ (Kimball Young,58, h. 113-119).

Cultural conditioning’ merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat dan

dimulai dari lingkungan keluarga, berupa kelakuan-kelakuan yang harus dilakukan

anak, agar dapat diterima dalam pola budaya suatu masyarakat. Sementara itu setiap

warga masyarakat saling berhubungan dengan mengikuti cara-cara, hak dan kewajiban

dan sebagainya, yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang disebut sebagai ‘personal-

social learning’.

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa seluruh proses disebut sebagai

‘personal-social and cultural learning’, yang prosesnya dapat divisualisasikan, seperti

terlihat pada Gambar 3 berikut ini.

23

Page 25: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Pada gambar terlihat adanya satu faktor lagi yang harus diperhitungkan dalam

proses sosial tersebut, yaitu perbedaan (differentiation), yang dapat dianggap sebagai

karakteristik yang dirniliki oleh setiap individu sebagai warga masyarakat.

Karakteristik individual itu bermula dari perbedaan status biologis, seperti

perbedaan jenis kelamin, umur dan sebagainya, yang termasuk dalam dimensi badani.

24

Page 26: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Ketika karakteristik personal itu berhadapan dengan kenyataan hidup dalam masyarakat,

berubahlah menjadi karakteristik atau perbedaan status-status sosial, yang membawa

akibat pula pada perbedaan peranan. Yang dimaksudkan ialah perbedaan berupa

lapisan-lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dan spesialisasi dalam tugas.

alam maasyarakat yang mengenal kelas, stratifikasi sosial itu dapat berupa

jenis-jenis kasta, kelas pekerja, kelas majikan, kelas menengah dan sebagainya.

Sedangkan spesialisasi dalam tugas dapat berupa jenis-jenis tenaga kerja ataupun jenis

tugas pekerjaan, seperti kaum terpelajar, buruh, majikan, petani dsb.

4. SOSIALISASI DAN FUNGSINYA

a. Sosietalisme kontra Developmentalisme

Masyarakat memiliki mekanisme berupa proses sosial, yang dimaksudkan agar

masyarakat dapat melanjutkan hidupnya (survive). Ini berarti bahwa terhadap generasi

baru perlu dilancarkan berbagai upaya oleh generasi tua - baik dengan cara-cara langsung

maupun simbolik - agar bisa tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dalam

masyarakat. Bisa dilakukan dengan memberikan aturan main secara fotmal, pesan moral

lewat cerita rakyat, mitologi, legenda maupun dengan ceramah maupun pendidikan

formal.

Edward Zigler maupun Irvin L. Child dalam tulisannya berjudul ‘Sosialization’

menekankan bahwa sosialisasi merupakan masalah praktis yang sudah kuno, dan sudah

meresap dalam kehidupan umat menusia, yaitu bagaimana mengasuh anak-anak agar

mereka menjadi warga masyarakat yang benar dalam masyarakatnya sendiri.

Lengkapnya Zigler mengatakan sebagai berikut.

“Sosia1ization refers to a practical problem which is old and pervasive in human

life the problem of how to rear children so that they will become adequate adult

members of the society to which they belong.” (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 450)

Di sini yang ditekankan adalah pentingnya peranan pengasuhan anak, agar anak dapat

menyesuaikan diri dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi orang

25

Page 27: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dewasa yang benar. Jadi konformitas merupakan tujuan akhir dari proses sosialisasi.

Baik Kluckhohn maupun Murray beranggapan bahwa proses sosialisasi itu

sudah berjalan semenjak masa pengemongan atau pengasuhan (nursery). Dan manakala

si anak mulai bertindak sesuai dengan perilaku yang diharapkan orang tua, ini berarti

sosialisasi telah membuahkan hasil (Skinner, ed., 1959, h. 291).

Pendapat semacam itu mewakili aliran sosietalisme, yang amat menekankan

pada pentingnya faktor lingkungan sosial budaya, karena mereka mendsarkan

pandangan pada anggapan bahwa proses sosialisasi tidak lain adalah proses transmisi

kebudayaan (cultural transmission). Ternyata definisi Child tersebut menimbulkan

kritik dari golongan developmentalisme, yang diwakili oleh pandangan-pandangan

Maslow (1954), Yahuda (1955), Allport (1955) maupun Rogers (1951). Mereka yang

terakhir ini sangat menekankan perlunya aktualisasi diri (self-actualization), karena

berkeyakinan bahwa sosialisasi pada dasarnya merupakan proses untuk aktualisasi diri

(Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 472). Dengan demikian, sosialisasi dianggap berhasil

kalau telah terjadi aktualisasi diri pada anak. Pada saat itu seorang anggota baru

masyarakat masih tetap dapat mempertahankan sifat otonominya dalam badai tekanan

pengaruh transaksional (transactional relationship), dimana seseorang individu masih

mampu tampil dengan seluruh potensionalitasnya dalam rangka wadah lingkungan sosial

budayanya.

b. Aliran Kponvergensi

Disinilah perlunya kita menganut aliran konvergensi, yang nampaknya

dapat memberikan penjelasan mantap terhadap berbagai kecenderungan dalam proses

sosial. Aliran ini antara lain diwakili oleh pemikir-pemikir Robert Brown (1965) dan

Kohlberg (1966), yang beranggapan bahwa proses sosialisasi tak dapat dipandang

sebagai proses yang sederhana, tidak sekedar pengendalian atas dorongan alami (the

control of impuls), atau perolehan nilai-nilai yang serasi dengan kaidah-kaidah (the

acquisition of values conforming to norms) maupun internalisasi superego yang timbul

dari orang tua (the internalization of parental superego). Sebaliknya kita tidak boleh

memandang rendah peranan si anak sebagai warga baru masyarakat, karena mereka

26

Page 28: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

memiliki berbagai karakteristik intelektual dan persepsi, yang mampu berinteraksi

dengan berbagai faktor eksternal (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 465-474)

GAMBAR 4KONSEP SOSIALISASI ,MENURUT PARADIGMA

PANDANGAN KAUM

SOSIETALIS

Walter Bandura

PANDANGAN KAUM

DEVELOPMENTALIS

Maslow Yahuda Allport

SOSIALISASI : SOSIALISASI : Traaaansmission of the culture Impossing conformity

Process of becoming human Facilitating self- actualization

PANDANGAN KONVERGENSI * Robert Wrong SOSIALISASI :

Transmission of the cultur. Imposing contormity

seka1igus Process of becoming human Facilitating self-actualization

27

Page 29: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Aliran atau cara berpikir inilah yang akan melandasi pangertian dan pengembangan IPS

dalam buku ini. Oleh karenanya marilah kita terima batasan yang menganggap sosialisasi

sebagai suatu istilah yang luas, yang mencakup keseluruhan proses seseorang individu

mengembangkan pola-pola spesifik perilaku maupun pengalaman yang serasi dengan

masyarakatnya, lewat transaksi dengan warga masyarakatnya. Menurut Zigler, batasan

sosialisasi menjadi “… socialization is a broad term for the whole process by which an

individual develops, through transaction with other people, his specific patterns of

socially relevant behavior and experience (Lindzey and Aronson III, 1975, h. 474).

Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa sosialisasi sekaligus merupakan

suatu proses untuk ‘imposing conformity’ dan ‘facilitating self actualization’. Di satu

pihak, sosialisasi bersifat negatif, di lain sisi bersifat juga positif. Maksudnya adalah

bahwa kepribadian anak telah dibentuk oleh

lingkungan (ekologi), sekali gus juga diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan

sementara itu perlu dipahami, bahwa sosialisasi berarti menekan dorongan-dorongan

naluriah atau mengendalikannya, juga berarti menciptakan sesuatu yang baru, seperti

saling pengertian di antara sesama warga. Sejalan dengan adanya pengertian

‘personal-social and cultural learning’, dapat dibedakan pula pengertian-pengertian

sosia1isasi dan enkulturasi.

Sosialisas dianggap berbeda dengan enkulturasi oleh Bandura dan Walter (1963),

karena sosialisasi merupakan proses bagaimana anak harus tampil sejak dalam keluarga,

agar kelak dapat tampil sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana telah

disosialisasika. Sebaliknya dalam enkulturasi seorang dewasa harus menunjukkan

bahwa seseorang tahu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat budayanya

(Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).

Selanjutnya bahkan Sarbin (1954) menekankan, bahwa sosialisasi hanya

berkaitan dengan penguasaan atas peran dan posisi yang dibawa sejak lahir (ascribed

role and position), sementara enkulturasi berkaitan dengan penguasaan atas peran dan

posisi yang diperoleh (achieved role and position). Ini tentu saja berkaitan dengan

bagaimana seorang anak laki-laki misalnya, atau anak raja, seharusnya bertingkah laku

dalam masyarakat, karena anak laki-laki ataupun anak raja merupakan posisi yang

28

Page 30: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dibawa sejak lahir. Sementara itu kedudukan sebagai tukang semir sepatu atau sebagai

dekan sesuatu fakultas, berkaitan dengan enkulturasi, sebab kedudukan tersebut diperoleh

dalam masyarakat (achieved).

Rasanya lebih tepat kalau kita tidak memberikan pembedaan atas kedua

proses sosial itu, sebab pengertian itu tak dapat dipisahkan. Seluruh nilai, norma,

keyakinan dan sebagainya yang diakui oleh masyarakat, tidak lain merupakan sebagian

wujud kebudayaan. Dan sebaliknya sesuatu kebudayaan tak dapat dilepaskan dari

masyarakat pendukung kebudayaan itu. Itulah sebabnya menurut Sutan Takdir

Alisahbana (STA), proses sosialisasi tidak hanya melibatkan nilai maupun norma hidup

sesuatu masyarakat, melainkan juga seluruh kompleks hasil budaya manusia yang

dihimpun oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya sosialisasi dianggap

juga enkulturasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 132).

Anggapan yang demikian itu bukan Sutan Takdir yang pertama kali

menyatakan, karena yang pertama kali beranggapan demikian adalah Herskovits (1948).

Menurut dia, istilah enkulturasi lebih dapat mencakup pengertian yang selama ini disebut

sosialisasi (Selo Soemardjan, 1964, h 192).

Yang lebih penting dalam kaitan ini adalah mengenai fungsi yang terkandung

dalam pengertian tersebut. Yang dimaksud, ialah fungsi penyesuaaian sosial (social adj-

ustment) dan integrasi sosial (socia1 integration), yang akan dijelaskan

selanjutnya.

5. INTEGRASI SOSIAL

Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis, yang hendak menangkap semua

karakteristik masing-masing warga masyarakat. Kita harus membedakan konsep

integrasi sosial ini dengan konsep ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi politik’, yang

merupakan konsep ilmu politik, untuk mengatasi akibat negatif dari masyarakat, baik

dalam artian ideologi, budaya, etnis, kawasan dan sebagainya .

Sementara itu kita juga mengenal konsep ‘kepribadian nasional’, yang tak lain

merupakan konsep politik juga, yang menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih

konsep itu digunakan untuk menjawab perbenturan arus kebudayaan asing, yang secara

29

Page 31: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

politik diartikan sebagai selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu

dilancarkan dalam rangka proses ‘bation and character building’. Sebaliknya dengan

integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada

setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan

masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Namun harus dipahami, bahwa konsep

integrasi sosial tidak mengandung arti suatu peleburan budaya, melainkan yang penting

adalah adanya keseimbangan (ekuilibrium). Ini rarti masih dibenarkan adanya keaneka

ragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras dan seimbang) mengandung arti,

dimungkinkan adanya atau munculnya pembaharuan-pembaharuan. Jadi, misalnya, dalam

masyarakat yang terintegrasi masih dimungkinkan muncul manusia-manusia semacam

Budha Gautama, Sokrates, Muhammad maupun Sukarno, dan tidak dianggap sebagai

‘pemberontak-pemberontak’, melainkan sebagai pembawa konsep pembaharuan, yang

berguna bagi kelangsungan hidup (survive).

Mekanisme yang disebut integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan

menggunakan dua pendekatan.

Pertama, konsep integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan psikologi

Gestalt, seperti dikemukakan oleh Wertheimer, Kohler dan Koffka. Mereka memberi

batasan psikologi Gestalt, sebagai sebuah keseluruhan yang karakternya tidak ditentukan

oleh sifat komponen-komponennya, melainkan oleh karakter hakikat keseluruhan itu.

Bagian-bagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti tanpa kaitan dalam

keseluruhan, dan ditandai pula dengan berlangsungnya saling bergantung. Bukan saja

antara komponen dengan keseluruhan terjadi interaksi, melainkan juga di antara

komponen itu sendiri. Akibatnya kita tidak dapat memahami sesuatu bagian, yang

dilepaskan dari keseluruhan hakikat integrasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 16-

17).

Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaskan dengan pengertian

masyarakat sebagai sistem seperti dikemukakan pada pembahasan interaksi sosial di

depan, yaitu bahwa masyarakat merupakan jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub

sistem sosial, mempunyai posisi serta status tertentu dalam keseluruhan, sehingga

masing-masing juga mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan, sesuai

dengan harapan-harapan sosial. Dan karena setiap masyarakat mempunyai tujuan, warga

30

Page 32: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

masyarakat juga terikat oleh tujuan yang sama pula, dan terikat pula pada nilai yang

sama. Meskipun demikian masyarakat juga merupakan sistem yang terbuka, maka selalu

terbuka bagi proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan.

Terakhir kali, mekanisme yang integratif itu dapat dijelaskan dengan konsep

sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan sebagai manusia

(human), melainkan harus melewati lebih dahulu proses interaksi dengan orang lain

maupun lingkungan. Proses itulah yang disebut sosialisasi (James A. Banks, 1977, h.

240-250). Lebih jelas dikatakan bahwa "People are not born human, but are made

human by

interacting with the persons in their invironment" . Artinya, bahwa orang tidak dilahirkan

menjadi manusia, sebaliknya menjadi menusia lewat interaksinya dalam masyarakat.

Lewat sosialisasi itu terjdi1ah mekanisme menuju interdependensi (saling

ketergantungan) di antara sesama warga masyarakat. Karena mereka merasa saling

membutuhkan, merekapun perlu saling membantu dan bekerja sama, sampai

merekapun merasa puas. Mekanisme yang terjadi itu dapat digambarkan secara skematik

seperti pada Gambar 5 berikut ini (James A. Banks, 1977, h. 250).

GAMBAR 5

KONSEP SOSIOLOGI MENGENAI SOSIALISASI

NILAI

SOSIALISASI NORMA P E R A N A N

SANKSI

i.

LEMBAGA

31

Page 33: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

KOMUNITAS

MASYARAKAT

Skema tersebut di atas dapat dijelaskan dengan cara berikut. Lewat sosialisasi, warga

baru masyarakat memperoleh nilai serta norma, yang diyakini dan dipergunakan bagi

kehidupan dalam masyarakat, agar mereka dapat memainkan peranan masing-masing

sesuai dengan harapan-harapan sosial. Selama masa sosialisasi itu berlangsung,

masyarakat memberlakukan sistem ganjaran ataupun siksa yang dikenal dengan nama

sanksi, dan diberikan kepada warga masyarakat. Pemberian sanksi tersebut terjadi pada

segala lapisan maupun sub masyarakat. Mekanisme itu dikenal sebagai kontrol sosial,

yang dimaksud untuk mendisiplinkan masyarakat, agar dapat hidup sesuai dengan

kelakuan kolektif. Dengan kata lain, diharapkan dengan begitu setiap individu dapat

hidup dengan bertanggung jawab sebagai warga masyarakat.

Dengan cara-cara tersebut di atas, warga masyarakat dapat memainkan peran

sosial meeeka sesuai dengan harapan-harapan sosial.

Peran yang harus dimainkan itu berbeda-beda sesuai dengan status dan posisi dalam

pelembagaan tertentu, seperti lembaga ekonomi, politik, pendidikn, kepemudaan dan

sebagainya, yang terdapat dalam sesuatu komunitas. Sebetulnya interaksi yang

dirasakan nyata ada, justru terletak pada tingkat lembaga itu. Sedangkan pada tingkat-

tingkat yang lebih tinggi seperti komunitas maupun masyarakat, interaksi itu lebih

bersifat abstrak.

Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati sesuatu

kawasan tertentu, dan di antara para warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan,

sehingga membentuk suatu keteraturan. Keteraturan-keteraturan itu terjadi karena seluruh

unit dalam sistem itu tunduk pada norma dan nilai tertentu.

Apa yang dapat ditangkap dari seluruh mekanisme yang bernama sosialisasi itu,

ialah kesimpulan bahwa seluruh sistem sosia1 itti terjalin dalam suatu keterikatan yang

bernama saling ketergantungan atau interdependensi. Dan hal itu merupakan bukti

32

Page 34: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

adanya proses penyesuaian diri yang terus-menerus dari warga masyarakat, sehingga

integrasi ssosial diharapkan akan terjadi.

6. KONFORMITAS

Dari pembicaraan rnengenai proses-proses sosial di depan, sudah disebut-sebut

mengenai kecenderungan ketundukan warga masyarakat terhadap polapola kelakuan

kolektif atau kesesuaian kelakuan dengan posisi sosial. Dengan kata yang lebih padu

dapat dinyatakan, bahwa itulah yang disebut sebagai konformitas. Kecenderungan itu

timbul karena adanya tekanan dari kelompok terhadap warga sesuatu kelompok, dan

warga kelompok itu conderung untuk ‘takut salah’ atau ‘being out of step’ dengan

kelompok.

Jadi, manakala seseorang individu dituntut untuk menyatakan pendapat mengenai sesuatu

isu, sedang ia merasa berkepentingan terhadap masalah atau isu tersebut, maka yang

timbul ialah situasi konflik.

Dalam menghadapi situasi konflik semacam itu, hanya ada dua pilihan : atau dia harus

menyatakan pendapat atau pertimbangannyang secara menyimpang dari pola-pola

kolektif, atau dia harus menyatakannya serasi dengan prrtimbangan umum. Kalau

kemungkinan yang pertama yang terjadi, orang tersebut disebut mandiri atau otonom

dari lingkungan konsensus umum. Sebaliknya, kalau dia memilih kemungkinan yang

kedua, orang tersebut disebut konform dengan harapan-harapan sosial (Krech et al., 962,

h. 206).

Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa konformitas merupakan gejala

kepasrahan diri warga masyarakat terhadap tekanan sesuatu kelompok, yang terlihat

pada pertimbangan (judgment) atau tindakan (action). Konformitas itu terlihat dari

perbedaan dalam pertimbangan mengenai sesuatu isu dari diri orang tersebut dengan

yang datang dari kelompok. Makin besar perbedaan dalam pertimbangan atau penilaian

yang ada, makin sulit konformitas itu terjadi. Itu berarti, bahwa tingkat kemandirian

(otonomi) tersebut makin beaar. Sebaliknya manakala seseorang kurang memiliki

kemandirian dalam menentukan sikap dapat atau mudah menjurus pada terjadinya

konformitas dalam masyarakat, dengan acuan nilai tertentu.

33

Page 35: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Kecenderungan timbulnya konformitas itu telah dimulai sejak dalam lingkungan

kehidupan keluarga. Menurut Margareth Mead misalnya, anak-anak sebagai generasi

baru, tumbuh tanpa adanya sesuatu model, hingga segala pengalaman orang tua maupun

kakak-kakak mereka, dianggap sebagai model dan pedoman. Seolah-olah tanpa adanya

alternatif lain, anak-anak “tunduk pasrah” (konform) dalam tata nilai yang berlaku dalam

keluarga (Hilda Taba, 1960, h. 55)

Dalam masyarakat urban, akibat terjadinya mobilitas sosial, terjadilah perubahan

peranan keluarga dalam proses sosialisasi maupun pendidikan. Gejala yang nampak,

ialah merosotnya peranan keluarga, dan untuk sebagian digantikan oleh lembaga sekolah

maupun kelembagaan lain di luar keluarga. Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa

lembaga sekolah merupakan hasil kelas sosial yang dominan. Dan tidak pula boleh

dilupakan, bahwa sekolah merupakan hasil dari generasi tua, sehingga pada tahapan

inipun untuk kesekian kalinya, anak-anak harus konform dengan lembaga-lembaga itu.

Dan ketika anak-anak kemudian harus berinteraksisi dengan masyarakat yang

lebih luas, mereka berhadapan pula dengan tata nilai maupun norma yang lebih mapan.

Seka1i lagi mereka harus menunjukkan konformisnya, lebih-lebih kalau mereka harus

memasuki masyarakat yang bersifat paternalistik, seperti masyarakat Indonesia. Gejala

semacam itu dapat dijelaskan dengan memakai hasil berbagai studi mengenai

konformitas. Misalnya, bagaimana peranan keluarga terhadap kecenderungan afiliasi

politik, telah dilakukan oleh Lazarsfeld, Bereson dan Gandet di Ohio (1944). Hasilnya

ternyata menunjukkan konformitas yang tinggi (Krech et al,1962. h. 195). Studi Asch

(1955) menemukan banyak hal di sekitar kecenderungan konformitas. Antara lain

menemukan bahwa (1) anak gadis cenderung lebih konform dari pada anak laki-laki;

(2) makin tinggi kecerdasan anak, makin cenderung tidak konform; (3) makin rendah

self-esteem dimiiliki seseorang, makin cenderung untuk konform dengan lingkungan.

Selanjutnya diketahui pula sejumlah kemungkinan alasan yang melatar

belakangi terjadinya konformitas itu. Pertama, agar dapat menyenangkan mayoritas orang

dan menghindari antagonisme dengan orang banyak. Itu yang pertama. Yang kedua,

sebab kelakuan itu dapat dicari pada masuk akal atau tidaknya kelakuan itu, Misalnya,

berkendaraan di sisi kanan pada jalanan di Amerika Serikat, untuk menghindari

kecelakaan lalu lintas. Sebab ketiga yang memungkinkan orang cenderung konform

34

Page 36: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dengan kelakuan umum, ialah ketundukan pada kerangka acuan tertentu. Misalnya,

sejumlah wisatawan akan mengikuti kelakuan ahli antropologi yang menundukkan

kepala pada pribumi yang mengenakan pakaian tertentu (Mark R. Rosenzweig, 1975, h.

66).

Dengan berbagai kecenderungan tersebut dapatlah kemudian dikemukakan

sebuah batasan yang relevan mengenai konformitas tersebut, yang berbunyi :

“Conformity is a change in a person's opinions or behavior as a result of real or imagined

pressure from another person or a group”, menurut Rosenzweig.

Sementara itu dari kaca mata psikologi dapat dibedakan adanya dua jenis

konformitas, yaitu yang satu konformitas ‘pura-pura’, dan yang lain konformitas

‘sesungguhnya’. Dalam bahasa aslinya disebut ‘expedient’ conforming dan ‘true’

conforming.

Disebut konformitas ‘pura-pura’, kalau konformitas itu hanya lahiriah saja,

sedangkan hatinnya tetap tidak sejalan dengan kelompok. Sedang konformitas

‘sesungguhnya’ digunakan untuk konformitas yang baik lahir maupun batin (Krech et al.,

1962, h. 506).

Masih rnenggnnakan kaca mata psikologi dapat kita ikuti studi Kelman (1961)

mengenai latar belakang yang mendasari kecenderungan terjadinya konformitas. Menurut

Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang mendasarinya, yaitu

compliance, identification dan internalization. ‘Complianc’ merupakan istilah lain

untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan ialah penampilan seseorang, baik

berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya dilandasi oleh kehendak

memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Orang tersebut kemudian

menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala

harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka

orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan

mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang

batin.

Sedangkan '’dentification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut

Kelman “ … refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be

like the influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi

35

Page 37: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kehendak mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata

karena ingin menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan

gejala ketundukan pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference).

Jenis konformitas, terjadi sebagai identifikasi yang merupakan tingkatan

pengaruh yang paling permanen yang datang dari masyarakat. Akibatnya, nilai dan

sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh

individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata

nilai mapan ( Mark R. Rosenzweig, 1975, h. 68-69).

Terlepas dari pandangan yang menitik beratkan pada faktor internal

kejiwaan tadi, seperti dikemukakan pada awal uraian mengenai proses interaksi sosial,

konformitas merupakan gejala sosial yang terjadi sebagai akibat hubungan antar manusia

(interpersonal). Dikatakan di muka, bahwa dalam interaksi tersebut, warga baru akan

melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial (social adjustment), sesuai dengan

harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan. Itu berarti, bahwa kelompok

memaksakan kehendak agar warga baru mau hidup serasi (konform) dengan tata nilai

yang berlaku. Dan kalau proses penyesuaian itu tidak mernbuahkan konformitas,

masyarakat atau kelompok akan memberikan sanksi, untuk menghindari terjadinya

masalah-masalah sosial, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan sosial yang menyimpang

dan tata nilai yang berlaku.

Menurut Robert K. Merton (1949), ada lima jenis kemungkinan sifat

penampilan warga masyarakat dalam kaitannya dengan integrasi sosial, yaitu 1).

konformitas, 2). inovasi, 3). ritualisme, 4). retritisme, dan 5). rebeli. Pada

konformitas, anggota masyarakat tunduk pada tata nilai dan budayanya dan

menerimananyat sebagai tata nilai dan budaya sendiri, lengkap dengan seluruh

kelembagaanya. Pada inovasi, anggota msyarakat menerima tata nilai dan budaya

masyarakat, namun menolak kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan ritualisme,

dimaksudkan suatu gejala di mana anggota masyarakat hanya menerima tata cara

kelembagaan yang ada, namun sebenarnya menolak hakekat nilai serta budaya yang

berlaku dalam masyarakat. Dan manakala warga masyarakat menolak kedua-duanya,

baik tata nilai, budaya, maupun kelembagaannya, disebut retritisme. Dalam praktek,

retritisme bisa muncul dalam bentuk kemunafikan maupun apatisme, yaitu manakala

36

Page 38: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

warga masyarakat berpura-pura menerima tata nilai dan budaya, ataupun barangkali sama

sekali masa bodon akan ada atau tidaknya tata nilal tersebut. Akhirnya, warga

masyarakat mungkin menunjukkan penampilan yang tak serasi dengan tata nilai serta

budaya yang berlaku dalam masyarakat, dengan sikap maupun kelakuan yang melawan

tata nilai dan budaya tersebut, dan tidak sekedar melarikan diri dari kenyataan hidup

(retritisme). Kemungkian yang teraldiir ini dikenali dengan sebutan rebeli

(pemberontakan) (S.T. Alisjahbana, 1974, h. 145)

Mungkin terlamapau jauh Alisjahbana mengartikan pengertian kepasrahan

diri terhadap tata ni1ai mapan itu sebagai kepasrahan Budha Gautama kepada Dewa.

Mungkin benar pendapat tersebut, kalau hal yang dimaksud adalah kepasrahan Sang

Budha Gautama kepada kepentingan umum, meski harus mengorbankan kepentingan diri

pribadi. Gejala tersebut harus dilihat sebagai keikutsertaan warga masyarakat yang

mempunyai tanggung jawab bagi kepentingan umum, yaitu integrasi sosial.

7. SOSIALISASI SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN

Sosialisasi tak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, karena pendidikan merupakan

bentuk interaksi sosial yang menyandang fungsi sosialisasi. Oleh karenanya dipandang

perlu untuk memberikan uraian tersendiri mengenai fungsi-fungsi pendidikan. Ada tiga

fungsi pendidikan yang dikenal o1eh umat manusia bagi kepentingan umat manusia itu

sendiri, seperti yang diyakini oleh ketiga aliran pendikan yang ada. Berturut-turut

ketiganya akan disajikan di bawah ini

.

a. Pendidikan Sebagai Proses Pewarisan Budaya

Para pendukung teori yang menyatakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai

proses pewarisan budaya, menyatakan bahwa sesuatu kebudayaan memiliki akar pada

kehidupan masa lampau. Oleh karenanya kelangsungan sesuatu kebudayaan hanya dapat

terjadi kalau pendidikan mengambil peranan sebagai penyampai seluruh nilai maupun

keyakinan yang telah mapan kepada generasi baru. Dalam masyarakat Barat sekali pun,

yang dinilai sudah meninggalkan alam tradisionalisme, masih berkembang anggapan

37

Page 39: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

semacam itu (Hilda Taba, 1962, h. 19). ‘The Harvard Report on General Education’

merupakan salah satu bukti betapa perlunya perlindungan terhadap tradisi dan

menjaganya dari akar masa lampau.

Para pendukung aliran rasionalis humanis dan klasik humanis dalam

pendidikan, seperti Hutchins (1936), Adler serta Mayer (1958), beranggapan bahwa

fungsi pendidikan harus dilihat dalam kaitannya dengan konsep tentang hakekat manusia,

yang berciri rasionalisme. Menurut mereka, dunia ini hanya dapat dipahami oleh rasio

manusia, sehingga deugan demikian pendidikan harus berfungsi menanamkan ke-

cerdasan, menurut Hutchins tersebut.

Dengan sendirinya dapat dipahami kalau program program pendidikan harus pula

berinti pada ‘liberal arts’ dan ‘humanities’, menurut Brubacher (l95O). Dengan

perkataan lain, pendidikan harus berfungsi sebagai ‘liberalizing education’, dan

diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa kecuali. Dan selanjutnya setiap orang harus

menerima konsep, bahwa kebenaran harus diwariskan kepada generasi berikutnya, karena

kebenaran bersifat universal.

b. Pendidikan Sebagai Perangkat Transformasi

Kebudayaan

Ada pandangan lain yang sungguh bertentangan dengan pandangan yang

terdahulu, dalam memahami peranan pendidikan bagi umat menusia. Pandangan yang

kedua ini beranggapan bahwa pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi yang lebih

kreatif dalam menentukan dan pembentukan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman yang

ada di Amerika Serikat, Horace Mann berkesimpulan, bahwa pendidikan harus dipandang

sebagai sarana untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapi sesuatu masyarakat.

Dengan perkataan lain, pendidikan harus dipandang sebagai sarana bagi rekonstruksi

sosial yang dikehendaki nasyarakat itu. Lalu muncullah John Dewey (1929) yang

beranggapan bahwa dalam proses tersebut terjadilah terus-menerus proses penyusunan

kekuatan pada masing-masing individu, dengan membulatkan kesadaran, pembentukan

kebiasaan hidup, mewujudkan gagasan yang dimiliki, memupuk perasaan dan emosi, dan

seterusnya (Hilda Taba, 1962, h. 23).

38

Page 40: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Nyatalah di sini, bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam

proses perubahan sosial, baik dengan perombakan bertahap lewat pembentukan penger-

tian pada generasi muda, maupun dengan rekonstruksi yang terencana. Di sini terlihat

adanya tiga hal penting, yaitu bahwa :

1) Di samping kemampuan intelektual, maka pendidikan harus

mampu membangkitkan tanggung jawab untuk melatih diri

dalam tata nilai maupun loyalitas budaya

2) pendidikan harus mengambil peranan dalam proses perubahan

sosial dan mengikuti gerak perubahan

3) pendidikan itu bersangkut- paut dengan moral atau

pertimbangan nilai

(Hilda Taba, 1962, h. 25).

c. Pendidikan Untuk Pengembangan Orang Seorang

John Deweylah, menurut Taba (1962) yang antara lain menegaskan betapa

pendidikan berfungsi pula sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas orang-

seorang (mdividual). Ini berarti bahwa pendidikan dianggap memberi kesempatan bagi

pemenuhan kebutuhan pribadi maupun memberikan peluang bagi upaya mengembangan

diri (se1f realization), baik dalam bidang intelektual maupun emosi. Secara lebih

ekstrim, pendidikan dengan demikian diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk

seluruh anak untuk tumbuh menjadi anak yang unik. Nyata sekali aliran yang ke tiga ini

sangat sesuai bagi sistem sosial yang liberal dan individualis, karena generasi muda

diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemandirian orang seorang.

Dalam kenyataan, ketiga fungsi pendidikan itu tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lainnya, karena ketiganya seperti berjalan secara simultan dalam konsep

pendidikan yang dimaksudkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)

1983 di Indonesia di masa Orde Baru, yang merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara

(GBHN) Republik Indonesia. Ini merupakan contoh bahwa konsep peremcanaan

39

Page 41: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

pendidikan telah dirancang secara mendasar dalam masa Orde Baru. Di sana tercantum

rumusan tujuan pendidikan yang mencakup ketiga fungsi tersebut, yaitu tidak saja

sebagai sarana bagi proses pelestarian budaya dan proses transformasi , melainkan

juga sebagai sarana pengembangan potensi orang-seorang, yang bermanfaat bagi

pembangunan diri sendiri dan bangsanya.

Dengan singkat dapat dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan Indonesia di

masa itu yang berdasarkan TAP MPR 1983 itu mencakup enam sasaran, yaitu

1) meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

2) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan,

3) mempertinggi budi pekerti,

4) memperkuat kepribadian,

5) mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan

6) menumbuhkan manusia-manusia pembangun, yang dapat membangun

dirinya dan bangsanya

Sayang sekali peosedur semacam inin tidak diteruskan selama masa-masa

reformasi, padahal mwmiliki makna straregis yang amat nyata.

a. Hubungan Pendidikan Dengan Sosialisasi

Dengan memandang pada konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan di

muka, konsep pendidikan yang digunakan sebagai landasan pendidikan di Indonesia,

maupun konsep-konsep mengenai sosialisasi yang dikemukakan di depan, dapatlah

diambil kesimpulan mengenai hubungan antara pendidikan dengan sosialisasi

memandang sesuatu gejala secara sefihak nampaknya tidak bakal memberikan

kepuasan secara tuntas dalam memberikan makna terhadap gejala tersebut. Demikian

pula dalam mencari tahu mengenai konsep pendidikan maupun sosialisasi.

Sementara itu pengalaman mengajarkan kepada kita betapa pendekatan

konvergensi terhadap berbagai pendapat mengenai kecenderungan atau gejala sosial,

memberikan kejelasan secara lebih baik mengenai konsep-konsep tersebut. Dan sikap

40

Page 42: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

semacam itu dianggap paling cocok untuk melandasi setiap langkah pendidikan. Dalam

kenyataan pengertian mengenai pendidikan maupun sosialisasi tidak dapat dijelaskan

secara simplistik dengan hanya memberikan penafsiran yang hitam-putih atau dikhotomis

saja. Kalau kita perhatikan akan kita lihat, bahwa rumusan mengenai pendidikan seperti

dimaksud dalam GBHN yang merupakan pengalaman Indonesia di masa Orde Baru

menunjukan sifat yang konvergen pula.

Di sana terdapat fungsi penguasaan atas sejumlah fakta (mastery of certain facts).

Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi

melestarikan dan mewariskan kebudayaan atau ‘reserver and transmitter of the cultural

heritage’. Dalam GBHN 1983 misalnya terdapat :

“…pendidikan berdasarkan Pancasila …”

“… meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan …”

“… meningkatkan kecerdasan...”

“…memperkuat kepribadian dan mempertebal Bemangat kebangsaan dan cinta

tanah air …”

(GBHN IV, 1983)

Di sana juga terdapat tujuan untuk mentransformasikan kebudayaan guna

pembangunan masyarakat atau ‘instrument for transforming culture’, seperti yang tertera

pada GBHN IV berikut mi

“…,,... menumbuhkan manusia-manusia pembangunan …”

“…memperkuat kepribadian

“... dapat membangun dirinya …”

“… bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan ...”

(GBHN IV, 1983)

Juga di sana terdapat ungkapan-ungkapan mengenai fungsi pengembangan

kemampuan orang-seorang guna menyatakan diri atau ‘instrument for individual

41

Page 43: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

development’, seperti yang tertera pada contoh berikut ini pada GBHN IV.

“... meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan..”

“… memperkuat kepribadian...”

“… dapat membangun dirinya ...”

GBHN iv,1983)

Kembali kita lihat betapa di masa Orde Baru perangkat GBHN sangat stratgis

untuk perencanaan atau pelaksanaan operasional pendidikan. Oleh karenanya masih

relevan untuk kita jadikan sebagai rambu perencanaan pendidikan unruk generasi muda,

Waktu itu biasa digunakan pendidikan politik. Ternyata sebagian fungsi pendidikan yang

tertnaktub tersebut adalah menjalankan fungsi sosialisasi, yaitu mempersiapkan warga

masyarakat (terutama yang baru datang) untuk dapat melakeanakan peran-peran sosial

mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Harus kita ketahui, bahwa dan

proses pendi dikan, baik secara formal maupun tidak formal, manusia memperoleh

berbagai manfaat, yaitu : penguasaan atas sejumlah fakta dan pengetahuan (mastery or

certain facts), kaidah-kaidah ke1ompok (mores of the group), dan cara-cara penyesuaiau

sosial (social technique or adjustment), menurut Olsen (1945) dalam ‘School and

Community’ (Skinner, 1974, h. 508). Yang dimaksud dengan penguasaan sejumlah fakta

di sini, tentu saja meliputi seluruh warisan budaya umat manusia, yang mencakup ilmu

pengetahuan, teknologi, maupun tata nilai. Ini merupakan bagian yang bersifat kognitif

dari kekayaan budaya manusia, maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup.

Selanjutnya, anak-anak juga mendapatkan dari pendidikan sejumlah pengalaman

dan keyakinan mengenai mana-mana yang dianggap baik, dan mana-mana yang dianggap

tidak balk, mana-mana yang boleh dilakukan, dan mana-mana yang tidak boleh

dilakukan. Seluruh pengalaman itu diperoleh dari kebiasaan maupun peraturan yang

dibuat oleh masyarakat. Dengan demikian anak- anak diharapkan menjadi sadar akan

segala perilaku yang dilakukan, serta dapat memainkan peran sosial mereka dengan baik,

dan menghindari tindakan tercela karena mengetahui berbagai sanksi yang dikenakan

bagi para pelanggar aturan soaial.

Dan pendidikan anak-anak tidak hanya mendapat pengetahuan maupun

42

Page 44: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, melainkan juga cara-cara bagaimana

menyesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.Cara-cara penyesuaian diri

itu tidak hanya menyangkut pergaulan antara individu dengan individu, melainkan juga

dalam pergaulan dengan kelompok, di dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih rumit.

Yang dimakaud di sini tentu saja segala pengalaman warga masyarakat terdahulu yang

mampu dan sukses dalam pergaulan masyarakat.

Dari uraian di depan jelas sudah bahwa fungsi sosialisasi merupakan bagian dari fungsi

pendidikan. Ini berarti bahwa dengan melaksanakan proses pendidikan di sekolah,

misalnya, fungsi sosialisasi telah berlangsung

8. SOSIIALISASI SEBAGAI ROLE LEARNING

Menurut Shakespeare : “All the world's a stage, and all the man and women

merely players ...” Ini berarti, bahwa seseorang hanya rnempunyai arti dalam kaitannya

dengan drama masyarakat, yang ikut memainkannya dengan jalan mengambil bagian

sebagai pemain. Dengan kata lain, dia ikut memainkan peran dalam drama kehidupan

itu. Untuk dapat memainkan peran sebagai aktor yang baik, tentu saja setiap pamain

harus membawakan perannya sesuai dengan posisi yang diduduki dalam drama tersebut.

Dan agar penampilannya dapat tepat dan sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh

drama itu sendiri, pemain tersebut harus pula melakukan latihan serta upaya

penyesuaian dengan tata aturan permainan serta skenario yang dikehendaki oleh drama

itu. Seluruh peribaratan dalam dunia drama tersebut dimaksudkan untuk mempermudah

memberikan penjelasan mengenai teori peran (role theory), dalam upaya memberi dasar

teoritik studi ini. Cara semacampun biasa dilakukan oleh Theodore R. Sarbin (1952)

dalam mengemukakan Role Theory-nya.

Dalam kaitan dengan Studi Sosial atau IPS, anak-anak dilatih untuk

menghadapi masalah-masalah sosial, sebelum menghadapinya kelak dan melakukan

tindakan yang tepat dan jitu berbagai masalah sosial tersebut, dan kemudian melakukan

sesuatu keputusan setelah melakukan berbagai pertimbangan. Kualitas dan kemampuan

semacam itu, dikenal sebagai ‘intelligent social actor’ Dalam Studi Sosial dengan begitu

kemampuan yang diharapkan dari latihan-latihan program Studi Sosial ialah agar anak

43

Page 45: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dapat tampil secara cerdas atau ‘can act intellegently’ (James A. Banks, 1977, h. 12)

Secara tidak resmi (informal), program latihan bagi anak sebagai warga baru

sesuatu kelompok manusia, telah dimulai sejak dalam keluarga, dengan nama sosialisasi

atau ‘social learning’, tergantung dari sudut mana kegiatan itu ditinjau. Dengan proses

sosialisasi tersebut, seperti berkali-kali dinyatakan di depan, warga baru belajar untuk

dapat tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial, sesuai dengan kedudukan mereka

dalam masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan konsep-konsep sosiologi maupun

psikologi sosial mengenai status, posisi, maupun peran, untuk memberikan landasan

teoritik bagi studi ini.

a. Peranan Pola-pola Masyarakat

Sudah dikemukakan di depan, betapa kehidupan masyarakat tergantung pada

ada tidaknya pola tingkah laku sosial, yang terbentuk dari hubungan timbal balik antar

personal ataupun antar kelompok. Posisi-posisi yang terjadi karena hubungan timbal

balik itu disebut sebagai status.

Dapat difahami kalau dikatakan, bahwa dengan begitu setiap individu dapat

mempunyai lebih dari satu status, karena setiap individu dapat berperan serta dalam

berbagai pola kehidupan yang terjadi dalarn masyarakat. Status-status yang dimiliki oleh

seseorang dalam keseluruhan masyarakat tergantung pada posisi-posisi yang

ditempatinya. Dengan begitu misalnya ,Mr. Jones memiliki sejumlah status dalam

kaitannya dengan suatu komunitas tertentu, di mana dia menjadi warganya. Dia dapat

dipandang sebagai seorang jaksa, namun sekali gus dia juga seorang dari keluarga

Mason, seorang penganut aliran Methodist, suami nyonya Jones dan sebagainya.

Demikianlah misalnya penuturan Ralph Linton (1938) dalam bukunya ‘The Study of

Man’ maupun Lewis A. Coser and Bernard Rosenberg dalam ‘Sosiological Theory, A

Book of Readings’ (Selo Soemardjan, 1964, h. 261-263).

Kehidupan sosial tersebut terus berjalan sepanjang masa, meskipun para

warga masyarakat yang menduduki status-status tersebut telah pindah dari lingkungan

komunitas tersebut atau meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena yang

meninggal dunia atau pindah ialah orangnya, sedangkan status ataupun peranan yang

44

Page 46: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

tersandang di dalamnya tidaklah hilang, namun tetap membentuk struktur dalam

masyarakat, menurut A.R. Radcliffe- Brown dalam ‘Structure and Function in Primitive

Society’ (S.T. Alisjahbana (1974. h. 70).

Dengan sederhana dapat dinyatakan, bahwa status mengandung pengertian

adanya hak dan kewajiban. Dan manakala seseorang menggunakan hak dan kewajib-

annya dalam menyatakan sesuatu pendapat atau sikap dalam kaitan dengan statusnya

dalam masyarakat, maka berarti dia sedang memainkan perannya. Di sini nampak sekali

hubungan antara status dengan peran, sebab tak ada peran tanpa adanya status, demikian

pula tak ada status kalau tak dinyatakan dengan peran.

Dalam kenyataan, status dan peran tak dapat dilepaskan dari pola-pola

masyarakat maupun perorangan yang bersangkutan. Misalnya, meskipun status maupun

peran tersebut bermula dari pola-pola masyarakat yang ada, namun pada tingkat tertentu

tergantung pada perorangan itu sendiri. Ketika seseorang individu memainkan perannya

atas dasar status yang didudukinya dalam masyarakat, sebenarnya orang tersebut telah

mengambil pilihan sikap ataupun tingkah laku tertentu sesuai dengan pertimbangannya.

Meskipun demikian tak dapat dipungkiri peranan pola-pola masyarakat, yang memberi

batasan terhadap status maupun peran tersebut. Kembali di sini nampak perlunya

penyesuaian terhadap pola-pola masyarakat pada setiap penampilan seseorang dalam

memainkan peran sesuai dengan status yang sesuai.

Jadi jelas, manakala tidak ada faktor dari luar yang menyela, maka makin

sempurna seseorang warga dalam melakukan penyesuaian dengan status dan peran

mereka dalam masyarakat, makin lancar kehidupan masyarakat berjalan. Namun proses

penyesuaian itu tidak mudah terjadi, karena setiap individu memiliki berbagai kebiasaan

yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak, karakteristik individual, baik yang di-

peroleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha. Faktor yang

menguntungkan ialah sifat manusia yang bisa diubah (mutable), yang memungkinkan

seseorang yang normal dapat dilatih untuk dapat secara tepat menampilkan peran apapun

yang diserahkan kepadanya. (Selo Soemardjan, 1961+, h. 261-267).

Pengertian-pengertian tersebut di atas memungkinkan kita dapat memahami

berbagai kecenderungan pendapat para remaja dalam menghadapi berbagai masalah

sosial, seperti yang dikehendaki oleh studi ini. Namun kita akan mendapat wawasan yang

45

Page 47: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

lebih luas kalau kita mengikuti konsep-konsep psikologi sosial berikut ini, mengenai

masalah yang sama.

b. Role Enactment

Istilah 'role' atau peran dipinjam dari dunia drama atau teater, yang berarti ikut

ambil bagian atau posisi tertentu dalam sesuatu lakon. Dan orang yang ikut memainkan

peran tertentu atau ‘playing a role’ dalam lakon tersebut disebut pemain, pelakon atau

aktor, menurut Sarbin (1954). Dalam kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat setiap

warga masyarakat tidak lain merupakan pemain dalam drama masyarakat, karena

masing-masing harus memainkan perannya sesuai dengan statusnya. Layaknya sebuah

drama, maka setiap pemain akan tampil dengan mengikuti skenario tertentu. Theodore

R. Sarbin menyajikan teorinya mengenai peran tersebut, yang dianggap dapat

menjembatani antara individu dengan kelompok, dan dikenal sebagai ‘Role Theory’.

Masalah utama yang dihadapi oleh setiap warga masyarakat, menurut teori peran

tersebut, ialah bagaimana seharusnya setiap warga masyarakat memainkan perannya.

Pertanyaan tersebut mencakup tiga macam pertanyaan, yaitu masalah-masalah

‘appropriateness’, ‘propriety’ dan ‘convincing’ (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 490-

491).

Dengan ‘appropriateness’, dimaksudkan apakah perilaku yang diperbuat oleh

seseorang sesuai dengan posisi atau status yang didudukinya? Dengan perkataan lain,

apakah penampilannya tepat?

Dengan ‘propriety’, dimaksudkan apakah penampilan yang dilakukan itu patut.

dilihat dari penilaian orang lain? Artinya, apakah penampilan itu menurut penilaian baik

atau buruk? Sedangkan ‘convencing’ mengandung makna, apakah penampilan itu

meyakinkan atau tidak? Pertanyaan tersebut bertolak dari keraguan akan keabsahan

posisi yang diduduki seseorang individu.

Ketiga pertanyaan disekitar penampilan (role enactment) tersebut di atas,

sebenarnya timbul karema adanya kesenjangan di antara struktur sosial dengan perilaku

sebagai seseorang dalam memainkan peran sosialnya. Kesenjangan itu terjadi kalau

setiap warga masyarakat mengetahui dengan pasti harapan-harapan sosial mengenai

46

Page 48: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

apa-apa yang ‘boleh’ dan yang ‘tidak boleh’ dilakukan, serta ‘bagaimana seharusnya’

melakukannya. Dengan mengetahui harapan-harapan sosial tersebut, setiap warga

masyarakat akan mengetahui peran apa yang ‘paling sesuai’ dengan psosisinya dalam

masyarakat, ‘agaimana sepatutnya’ harus tampil, serta ‘bagaimana cara’ tampil agar

dapat meyakinkan. Harapan-harapan sosial tersebut dalam kaitan dengan teori peran,

disebut ‘role expectations’. Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa ‘role expectations’

merupakan kumpulan kognisi, yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang hak dan

kewajiban, serta kemungkinan-kemungkinan yang subyektif mengenai bagaimana

seharusnya dilakukan, berkenaan dengan status atau peran yang disandangnya (Lindzey

anld Aronson, I, 1968, h. 498).

Dalam hal status ataupun posisi yang sifatnya formal, seperti jabatan maupun jenis

pekerjaan tertentu, tidak terlalu sukar untuk mengetahui harapan-harapan sosial yang

mengenai peran (role expectations’, sebab hampir setiap orang dapat membaca uraian

tugas (job description) yang dimaksud. Namun dalam hal-hal yang bersifat informal,

kesulitan itu mulai-nampak. Misalnya, dalam hubungan persahabatan. Dalam hal mi amat

terbatas warga masyarakat yang mengetahui uraian mengenai tugas dan kewajiban

sesuatu peran, karena biasanya tidak tertulis, sehingga hanya di kalangan tertentu saja

harapan-harapan sosial itu berlaku. Misalnya, terhadap jabatan ‘guru’ dituntut ‘role

expectations’ yang sudah pasti, namun sementara itu orang tersebut juga ‘badut’,

sehingga ‘role expectations’ terhadapnya menjadi bersifat khusus pula.

Proses sosialisasi dalam kaitan dengan teori ini, ialah suatu proses sosial di mana anak

belajar dari kehidupan masyarakat untuk dapat menghayati tata nilai masyarakat,

sehingga dapat memainkan peran sosial mereka dengan tepat, pantas, serta meyakinkan

sesuai dengan ‘role expectations’. Jadi sosialisasi tidak lain adalah suatu ‘role learning’,

yang merupakan hakekat dari ‘social and cultural learning’.

Peran atau ‘role’ diartikan sebagai organized set or behaviors that belongs to an ident-

ifieble position, and this behaviors are activated when the position is occupied' (Lindzey

and Aronson, I, 1968, hal. 545). Jelas di sini bahwa peran itu merupakan peri1aku sosial,

dan perilaku itu berkaitan dengan posisi dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan,

bahwa peran itu harus diperoleh melalui proses belajar dalam kaitannya dengan pola

kognisi yang teratur dari keseluruhan peran warga masyarakat lainnya sebagai suatu

47

Page 49: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

keutuhan. Oleh karenanya peran baru dapat dimengerti dan berrungsi kalau sudah terlibat

dengan interaksi sosial. Di sini pula selanjutnya dapat dimengerti mengapa peran

disangkut pautkan dengan hak dan kewajiban dalam kaitan dengan posisi seseorang

sebagai warga masyarakat.

Sebelum rnunculnya teori peran, sosialisasi hanya dikaitkan dengan proses pengasuhan

masa kanak- kaak, yang tertuju pada gejala idendifikasi, agresi, serta dependensi anak.

Untuk itu pembahasan banyak bertumpu pada teori-teori Freud mengenai psikoanalisis

yang berkaitan dengan urusan perkembangan kepribadian, sehingga orang lebih banyak

berbicara dengan menggunakan studi motivasi. Selain itu orang banyak menggunakan

teori tingkah laku (behavioral theory), yang mendasarkan pada prinsip S-R (Stimuli and

respons). Teori tentang ‘learning’ yang mendasarkan pada pendekatan tingkah laku itu

dipelopori oleh Waston, yang mengartikan unit S-R itu sebagai suatu refleks, sementara

Hill mengartikannya dalam artian kebiasaan (habit), dan Skinner mengartikan sebagai

suatu dominasi lingkungan atas respons.

Pendekatan- pendakatan psikologis semacam itu ternyata bersifat sempit, sebab

hanya menganggap gejala atau kecenderungan kepribadian manusia itu semata-mata

sebagai aktivitas psikis (internal), dan memandang manusia sebagai mesin yang dapat

dikontrol dengan rangsangan tertentu. Saupai akhirnya Bandura dan Walter (1963)

mengemukakan pandangannya mengenai peranan lingkuugan sosial dalam proses

‘learning ( L.A. Parvin, 1975, h. 363 - 390).

Menurut Bandura dan Walter, dalam sosialisasi anak-anak secara bertahap

belajar dari orang dewasa bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi dan kondisi

tertentu. Dengan perkataan lain, mereka belajar bagaimana harus berperan dalam kondisi,

dan situasi tertuntu. Dengan jelas mereka nengatakan bahwa ‘The learning is shaped in

large part by reinforcement from parents and by imitation of the behavior of others'.

Sementara itu yang terjadi di kalangan orang-orang dewasa, ialah mereka bertanya dan

akhirnya mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku.

Pencarian itu dilakukan sebelum orang-orang tersebut menduduki sesuatu

posisi. Dikatakan oleh Merton, misalnya, bahwa “… individual can acquire role expect-

ations by learning, long before he is ready to occupy the social position, through the

48

Page 50: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

process of anticipatory socialzation” (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).

Nampaknya dari sudut teori belajar ini dapat dipetik sebuah pengertian, bahwa

sosialisasi dipisahkan dengan enkulturasi, meski dua-duanya berkaitan dengan peran

juga. Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses untuk penguasaan atas peran (role) dari

posisi yang diturunkan (ascribed position), seperti jenis kelamin, usia dan sebagainya,

sedang enkulturasi diartikan sebagai proses penguasaan atas peran (role) dan posisi

seseorang yang diperoleh sebagai hasil belajar (achieved posision). Kecuali itu,

terkanduug juga pengertian, bahwa proses sosialisasi berlangsung dalam lingkungam

keluarga, sedangkan enkulturasi berlangsuug manakala anak sudah hidup di dalam

pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.

c. Konformitas dalam Berperan

Tinjauan proses sosialisasi, baik dalam tingkat hubungan dalam keluarga maupun

dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, adalah terjadi keserasian di antara

penampilan seseorang dalam memainkan peran sosial (role enactment) dengan harapan-

harapan sosial mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil memainkan peran

sosial (role expectations). Kondisi semacam itu dikenal sebagai konformitas. Kegagalan

dalam memenuhi kondisi semacam akan menimbulkan adanya celaan, bahkan tindakan

pengucilan yang datang dari kelompok terhadap orang atau wargaa masyarakat yang

bersangkutan. Dengan begitu, misalnya, seorang ayah akan tampil sesuai dengan

kedudukannya sebagai ayah. Kalau keseraaian itu tidak terjadi, maka ayah tersebut akan

mendapat celaan mengenai ketepatan, kelayakan dan tingkat meyakinkan dalam

nemainkan peranan sebagai ayah.

Contoh lain lagi berupa kekalahan PSSI pada hampir seluruh pertandingam

internasional, akan dianggap sebagai tidak adanya konformitas di antara ‘role enactment’

dengan ‘role expectations’ yang berkenaan dengan PSSI tersebut. Lalu masyarakat

pecinta persepakbolaan di Indonesia menjadi teramat kecewa, sehingga tercetuslah

berbagai bentuk keluhan maupun celaan terhadap PSSI tersebut. Kesalahfahaman sering

terjadi di dalam masyarakat, karena masyarakat sering salah memperkirakan keadaan,

terutama yang berkaitan dengan keadaan warga masyarakat yang lainnya. Salah satu

49

Page 51: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

akibatnya, ialah warga masyarakat adakalanya menuntut terlampau banyak dalam

penampilan warga masyarakat, sehingga akan sering terjadi jarak yang terlampau besar.

Untuk itu dirasakan perlunya kejelasan dalam ‘role expectations’ agar terjadi perilaku

yang jelas pula.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan masalah

tersebut di atas, yaitu : 1). kejelasan informasi, 2). kesamaan pengertian, dan 3).

kesamaan tafsir. (Lindzey and Aronson, I, 1968,h.503).

Menurut Bateson (1956), salah satu hambatan bagi terjadinya konformitas dalam

penampilan warga masyarakat, ialah tidak jelasnya informasi mengenai harapan-

harapan sosial berkenaan dengan peran-peran warga masyarakat tersebut dalam

masyarakat. Kemungkinan yang terjadi sebagai akibatnya ialah terjadinya hambatan

bagi terjadinya komunikasi. Ini sama dengan kesalahfahaman yang dapat menjauhkan

dari terjadinya saling pengertian. Bagi sipelaku sendiri, keadaan tersebut menimbulkan

keragu-raguan dalam melaksanakan peran selanjutnya.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi, ialah bahwa pada sub kelompok yang satu

informasi itu diterima secara jelas, sementara pada sub kelompok yang lain informasi

tidak diterima secara jelas. Ini berarti , bahwa di antara warga masyarakat tidak terdapat

konsensus atau kesamaan pengertian terhadap informasi yang seharusnya sama.

Bilamana ‘role dissensus’ tersebut terjadi di antara dua generasi atau dua kelompok

warga masyarakat, ataupun warga masyarakat yang telah mapan dengan yang baru

datang, maka salah faham dapat saja terjadi. Dan konformitas menjadi sesuatu yang tipis

sekali kemungkinan terjadinya.

Studi Corner, Greene, dan Walter (1958), menemukan, bahwa makin kecil unit

interaksi, makin besar kemungkinan konsensus dapat terjadi. Misalnya, pada pasangan

suami istri lebih besar kemungkinan terjadi konsensus, dibanding dalam unit interaksi

antara ayah dengan anak. Demikian pula kemungkinan terjadi konsensus lebih banyak

terjadi pada unit interaksi ibu dan anak, bila dibanding dengan yang terjadi dalam

unit interaksi antara ayah dan anak.

Selanjutnya, peranan perseepsi atau penafsiran terhadap informasi yang datang, yang

berisi harapanharapan sosial mengenai peran sosial yang seharusnya, juga besar dalam

memahami seauatu peran. Terutama yang dimaksud oleh Slater (1960), ialah perbedaan

50

Page 52: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

tafsir yang terjadi di antara sesama warga dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga

misalnya, sama-sama remaja akan mempunyai kecenderungan penampilan yang berbeda,

karena pemahaman mengenai hak dan kewajiban berkenaan dengan status dan posisi

mereka dalam masyarakat berbeda. Sebaliknya, konformitas dapat terjadi karena motivasi

yang berbeda-beda pula, dan bahkan barangkaii tidak ada hubungannya dengan sesuatu

peranan yang dimainkan, namun terjadi karena adanya sensitivitas seseorang dengan

kemungkinan reaksi yang timbul dari orang lain. Jadi dalam hal ini, konformitas terjadi

sebagai akibat adanya pengamatan dari fihak lain, menurut hasil studi Stouffer dan Toby

pada 1951 (Lindzey and Aronson, I ,1968, h. 502-503)

Kemungkinan yang lain, konformitas juga dapat terjadi, karena orang merasa

berkewajiban untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, atau karena merasa

terikat dengan posisi serta statusnya dalam masyarakat. Dalam hal ini konformitas terjadi

karena ada kesejajaran antara tugas dengan pelaksanaannya. Dalam sektor informal, yaitu

pada unit interaksi sosial di luar lembaga persekolahan, hambatan untuk terjadinya

konformitas itu lebih besar, karena tingkat kejelasan pada informasi mengetahui ‘role

enactment’ dengan ‘role expectations’ sangat rendah. Oleh karenanya diperlukan kehati-

hatian dalam memberikan analisis ataupun penjelasan terhadap gejala yang timbul di

sekitar konformitas kaum remaja.

9. PENDAPAT MENGENAI MASALAH SOSIAL

Pada bagian ini akan dikemukakan pembicaraan di sekitar pendapat,

remaja, dan masalah sosial, yang merupakan pengejawantahan dan keterlibatan

remaja sebagai bagian dari warga masyarakat

.

a. Pendapat sebagai Ekspresi Kebersamaan

Hasil proses sosialisasi akan terlihat pada sikap warga masyarakat, apakah

menunjukkan konformitas atau bahkan non konformitas, terhadap tata nilai yang

berlaku dalam masyarakat. Sikap itu tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya

51

Page 53: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kedewasaan warga masyarakat. Ketiga komponen sikap, yang terdiri dari kognisi,

afeksi dan konasi (kecenderungan untuk berbuat) dalam menghadapi sesuatu obyek

dalam masyarakat, ikut pula tumbuh dan menjadi sikap yang kokoh. Menurut Krech,

“As the individual develops, his cognition, feeling, and action tendencies with respect

to the various objects in his world become organized into enduring system called

attitudes” (Krech, et al., l962, h. 137). Sejak itu tindakannya menjadi stereotype, dapat

diduga sebelumnya, serta konsisten, yang memungkinkan kehidupan sosial dapat

berjalan dengan baik.

Di dalam sosiologi maupun psikologi sosial sikap digunakan lebih-lebih dalam

kaitan dengan interaksi sosial. Sudah sejak lama para ahli ilmu tingkah laku manusia

mernperbincangkan konsep sikap itu. Dan mereka sudah sampai pada titik di mana

sikap harus diartikan sebagai “suatu neuro-psikik dan kesiapan bagi aktivitas mental

serta fisik”, seperti dikatakan oleh Ailport (1967).

Semula hanya para ahli psikologi saja yang merasa berkepentingan untuk

memperbincangkan masalah sikap itu, sampai kemudian Thomas dan Znaniecki meng-

gunakan konsep tersebut dalam studinya rnengenai kaum tani Polandia (1918). Menurut

mereka studi mengenai sikap itu paling cocok kalau digunakan dalam psikologi sosial,

sehingga oleh mereka dimunculkan definisi berikut ini, yaitu sikap sebagai suatu “ …

proses mental seseorang yang menentukan respon tiap orang… “, baik potensial maupun

yang dinyatakan, dalam pergaulan hidup bersama. Lebih tegas lagi Fishbein menyatakan,

bahwa “Attitude are individual mental process with determine both the actual and

potential responses or each person in the social world” (Fishbein, 1967, h. 6).

Pendapat erat hubungannya dengan sikap. Menurut Hovland dan kawan-kawan

(1955), perbedaan antara pendapat dengan sikap ialah, bahwa pendapat dapat di-

nyatakan secara lisan, sedangkan sikap kadang-kadang diantarai oleh proses-proses non

verbal atau bahkan ‘tak disadari’. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pendapat merupakan

jawaban atau respon, sedangkan sikap adalah predesposisi atau kesiapan respon itu

sendiri. Jadi, pendapat merupakan respon verbal atau dinyatakan secara tertulis, yang

selalu disadari sedangkan sikap adalah predesposisi respon, baik vebal ataupun non

verbal, yang disadari atau tidak disadari. Sedangkan Thurstone (l927) menyatakan arti

konsep pendapat sebagai pernyataan verbal dari sikap. Oleh karena pendapat

52

Page 54: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mewujudkan keadaan kesiapan mental (predesposisi), maka pendapat dapat diukur un-

tuk melihat sikap.

Sikap sebenarnya hanya berkaitan dengan keadaan mental orang-seorang

(individual), sehingga manakala dipertanyakan mengenai kecenderungan sikap sejumlah

individu, maka yang dapat dilakukan sebetulnya suatu sensus pendapat (Sencus of

opinions). Jadi, gambaran yang kemudian muncul adalah suatu pendapat umum atau

‘'public opinions’.

Cara untuk memperaleh gambaran pendapat sesuatu kelompok mengenai sesuatu

isu, ialah dengan menghitung sejumlah kartu suara yang berisi pendapat individual

(ballots) dan kemudian mentabulasinya. Dengan cara itu dapat diperoleh distribusi

pendapat umum, dan tidak mengenai kadar atau intensitas pendapat orang mengenai

sesuatu isu sosial. Sebaliknya, yang diperoleh adalah gambaran relatif berupa prosentase

atau proporsi sesuatu kecenderungan arah pendapat tersebut. Cara semacam itu pernah

dikembangkan dalam studi-studi mengenai sensus pendapat sejumlah mahasiswa, yang

dilakukan oleh Katz dan Allport (1931).

Dalam studi atas sejumlah 4248 orang mahasiswa Universitas Syracuse di

Amerika Serikat, para mahasiswa tersebut tidak menuliskan pendapat (opini) mereka

mengenai sesuatu isu, melainkan memberikan pilihan atas sejumlah pernyataan, yang

dianggap paling cocok atau paling mereka setujui (Fishbein, l969, h. 5-10).

Dilihat dari teori peran (role theory), pendapat merupakan ekspresi dari warga

masyarakat sebagai partisipasi dalam menghadapi berbagai isu dalam masyarakat. Dan

ekspresi tersebut tidak lain adalah penampilan secara verbal atau tertulis yang

ditunjukkan oleh warga masyarakat dalam posisi dan status tertentu dalam masyarakat.

Dengan melihat jawaban atau pendapat yang menunjukkan persetujuan atau tidak

persetujuan dari seseorang atas sejumlah isu sosial, yang dikemukakan kepadanya, akan

diketahui kecenderungan respon orang tersebut mengenai sesuatu masalah yang sedang

disukan. Isu-isu sosial yang dikemukakan tersebut bisa disusun berdasarkan hasil

penilaian sekelompok anggota madyarakat yang lain, sehingga dari pendapat yang

diberikan oleh anggota masyarakat yang lain lagi, dapat diketahui kecenderungan

konformitas atau keserasian di antara sesama anggota masyarakat tersebut.

Dengan menyerahkan sejumlah pernyataan yang berisi hasil penilaian

53

Page 55: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sekelompok warga masyarakat tersebut, berdasarkan nilai yang mereka hayati, se-

benarnya diharapkan orang lain akan memberikan pendapat sesuai dengan harapan-

harapan sosial yang ada. Apalagi kalau pernyataan-pernyataan tersebut diberikan kepada

sekelompok warga baru atau sekelompok remaja yang merupakan anggota generasi baru,

maka diharapkan pula muncul pendapat yang menunjukkan keserasian atau ketidak

serasian dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan karena pendapat-

pendapat tersebut menurut Thurstone (l967) di muka, merupakan perwujudan dari pre

disposisi yang ada, dapatlah kemudian diketahui kecenderungan sikap yang ada pada

sekelompok warga masyarakat yang memberikan pendapat tersebut.

Sementara itu berbagai penelitian menunjukkan bukti bagaimana peranan sikap

dalam kerangka interaksi sosial. Paling tidak ada dua hal dapat diketahui dari

kecenderungan sikap tersebut.

Pertama-tama, sikap mempunyai makna sebagai penyesuaian sosial, yaitu sejauh mana

keserasian dengan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat pada umumnya dalam

masyarakat. Misalnya, sikap yang ditunjukkan oleh sekelompok warga masyarakat, yang

menunjukkan ‘anti Yahudi’, misalnya, mungkin bukan karena mereka memang anti

Yahudi, melainkan timbul karena menurut anggapan mereka masyarakat tidak

menyenangi orang Yahudi. Gejala ini disebut sebagai ‘Utilitarian (adaptive)

functions’, seperti dikemukakau oleh hasil studi Smith, Bruner dan White (1956). Sikap

juga mempunyai peranan untuk menyatakan perasaan atau realisasi diri seseorang, yaitu

- untuk menunjukkan kepada orang lain identitas dirinya, dengan jalan mengambil sikap

atau memberikan pendapat tertentu mengenai sesuatu isu. Dengan cara tersebut seseorang

membuat dirinya bermakna dalam masyarakat. Inilah yang disebut sikap sebagai

‘Exprssive (self-realizing) functions’.

Dengan cara inipun seseorang dapat melakukan internalisasi nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat, atau memodifikasi kelakuan mereka (Lindzey and Aronson, III, h.

158-160).

Dengan mengetahui pendapat orang mengenai sesuatu isu, dengan demikian dapat

diketahui kecenderungan-kecenderungan (disposisi) kelakuan yang akan ditunjukkan,

sebagai suatu ‘role enactment’ berkaitan dengan posisi atau status orang tersebut dalam

masyarakat.

54

Page 56: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

b. Masalah Sosial

Uraian di muka memberikan pengertian kepada kita, bahwa sosialisasi akan bertujuan

agar respon maupun tingkah laku remaja, sebagai bagian warga baru masyarakat

(generasi baru), yang merupakan ekspresi atau respon terhadap lingkungan hidupnya,

dapat sesuai dengan harapan-harapan sosial, yang telah dikomunikasikan selama interaksi

sosial berlangsung, Dan manakala kemudian terjadi suatu keadaan di mana warga

masyarakat menunjukkan sikap atau tingkah laku yang tidak serasi dengan tata nilai

masyarakat, timbullah masalah. Dalam sosiologi keadaan atau situasi sosial semacam itu

dikenali mengandung adanya tiga gejala, sebagai berikut

.

1) Pelanggaran terhadap norma yang berlaku

2) Pelanggaran itu terjadi cukup sering, yang mengguncangkan sejumlah

besar warga masyarakat

3) Sebagai akibatnya timbullah upaya-upaya untuk menanggulanginya

(Rubington and M.S. Weinberg, 1971, h. 7)

Dengan perkataan lain dapat dikatakan , bahwa situasi semacam itu tidak

cocok dengan nilai-nilai sejumlah besar warga masyarakat yang meyakinkan, hingga

mereka setuju untuk adanya tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Yang mendapat

penekannan di sini ialah adanya situasi yang tidak dikehendaki adanya dalam

masyarakat, dan oleh karenanya masyarakat berusaha meniadakan situasi seperti itu. Para

ahli sosiologi ada yang menyebut situasi yang demikian itu sebagai suatu patologi sosial

(social pathology), yaitu suatu keadaan yang tidak sehat, yang ditimbulkan oleh

hubungan sosial yang tidak beres (maladjustment). Hal tersebut terjadi karena ada

kekurangan dalam proses penyesuaian warga masyakat dalam struktur masyarakat, dan

kurangnya jalan untuk berbuat sesuatu, atau kurangnya pranata sosial yang berfungsi

untuk mengembangkan kepribadian para warganya (E. Rubington and M.S. Weinberg,

55

Page 57: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

1971, h. 17).

Kemudian muncullah gejala-gejala yang tidak dikehendaki oleh sebagian

warga masyarakat, seperti kenakalan remaja, kemiskinan, kejahatan seks, pelanggaran

aturan lalu lintas, kebrandalan, alkoholisme, penyalahgunaan obat bius, korupsi, hidup

bersama di luar nikah, pengguguran kandungan, perceraian, pelauran, dan sebagainya.

Biasanya gejala-gejala semacam itu timbul dalam masyarakat yang sedang mengalami

perubahan (socal change), karena adanya proses migrasi, urbanisasi, industrialisasi,

modernisasi, dan sebagainya. Dalam situasi perubahan itu, biasanya timbul suatu

kelambanan dalam kelangsungan budaya, yang dikenal sebagai ‘social lag’ atau

‘cultural lag’. Pada saat itu laju perubahan dalam teknologi tidak diimbangi dengan laju

perubahan sikap mental untuk menunjang kemajuan teknologi tersebut. Hal itu

disebabkan kurangnya kesiapan mental pembangunan dalam mengiringi kepesatan aspek

pembangunan fisik. Biasanya keadaan semacam itu diiringi dengan timbulnya konflik

antar budaya, konflik antar generasi, konflik antar pandangan hidup, konflik antara kota

dan desa, ketika para petani harus pindah dari desa ke kota untuk mencari kerja dan

sebagainya.

William I. Thomas dan Florian Znaniecki menyebut situasi semacam itu sebagai

suatu kekacauan sosial (social disorganization), yang hakekatnya merupakan

kemerosotan pengaruh aturan atau norma hidup di matamasyarakat. Dalam peralihan dari

masyarakat tradisional ke masyarakat progresif, terlihat gejala memudarnya atau

melemahnya unsur lama, sementara unsur baru belum lagi diterima sepenuhnya. Ini

merupakan bukti kegagalan masyarakat dalam mengontrol warganya. Keadaan itu pula

yang menurut Cooley, adalah ikibat perpindahan status masyarakat yang primer dan

guyub (primary group) ke masyarakat yang se kunder (secondary group). Dalam hal mi,

norma-norma lama dari ‘primary group’ tidak lagi cocok dengan kondisi baru, yaitu

‘secondair group’. Itulah sebabnya Wililiam F. Ogburn menyebutnya sebagai suatu

‘cultural lag’, di mana manusia lebih cepat menerima teknologi dibanding dengan

gagasan modernisasi itu sendiri.

Dengan cara lain dikatakan, bahwa pembaharuan dalam bidang materill lebih cepat

diterima dari pada yang bersifat immaterial (E. Rubington and M.S. Weinberg, 71, h.

48).

56

Page 58: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Perlu kiranya diketahui, bahwa keadaan seperti tersebut di atas sangat bersifat

relatif, dalam arti bahwa ada atau tidaknya masalah sosial itu tergantung pada bagaimana

reaksi masyarakat, atau tergantung pada ‘tahu atau tidaknya’ masyarakat terhadap

situasi tersebut. Demikian pula ‘adanya’ sesuatu masalah sosial tergantung pada fihak

pengamat.

Biasanya peranan pengamatan itu dipegang oleh fihak yang memberi penilaian

atas tingkah laku sosial, seperti orang tua, penguasa, guru, pemimpin non formal dalam

masyarakat dan sebagainya, yang seringkali kita ketahui hasil penilaian itu dari media-

media masa.

Proses perubahan sosial, yang diikuti oleh pergeseran nilai atau erosi nilai, membawa

kemungkinan bagi berubahnya cara memandang sesuatu gejala sosial, sehingga berubah

pula kualifikasi sesuatu masalah sosial. Oleh karena itu, diperlukan kembali penjaringan

terhadap penilain atau pandangan masyarakat mengenai sejumlah isu sosial yang

terdapat di dalam masyarakat, pada suatu kurun waktu yang memadai. Caranya, misalnya

dengan membagikan sejumlah angket berisi seperangkat isu sosial kepada sejumlah

warga masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat, untuk dimintakan penilaian dan

pertimbangan mereka, apakah isu-isu sosial tersebut dianggap masalah sosial atau

bukan. Adalah wajar kalau masyarakat selanjutnya mengharapkan agar warga baru

masyarakat memberikan pendapat yang tidak berbeda dengan penilaian generasi tua

tersebut. Kesamaan penilaian di antara sesama warga masyarakat terhadap sejumlah

masalah sosial itu menunjukkan kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat

tersebut. Dengan demikian adalah wajar kalau generasi tua menaruh harap atas terjadinya

konformitas pendapat terhadap berbagai masalah yang sama tersebut.

10. RELEVANSI SOSIAL BUDAYA

Di depan telah dikemukakan, bahwa dari pandangan sosiologis, proses

sosialisasi telah memperkenalkan norma, nilai serta sanksi-sanksi sosial kepada para

warga baru sesuatu masyarakat ketika mereka melakukan adaptasi dalam sesuatu

masyarakat. Sejak saat itu setiap individu menyerahkan diri pada keterikatan-keterikatan

lingkungan sosial budaya. Hal tersebut terjadi, lebih-lebih dalam hubungannya dengan

57

Page 59: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

adanya dimensi sosial-kebersamaan. Dengan adanya dimensi sosial-kebersamaan ini

manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup secara berkelompok, yang didasarkan

pada kecenderungan yang naluriah maupun nalariah. Dalam kehidupan yang penuh

kebersamaan tersebut terjadilah pembagian peran dalam kerangka kehidupan Kolektif,

yang menimbulkan beban hidup menjadi makin ringan. Demikian juga disadari bahwa

dalam kehidupan kolektif semacam itu, di samping kepentingan - kepeutingan pribadi,

maka kepentingan kolektif harus pula diperhitungkan. Itulah sebabnya setiap individu

menjadi terikat oleh saling membutuhkan, saling memenuhi dan saling mendapat

manfaat.

Dengan kata-kata lain di antara warga tersebut terjalin hubungan yang bersifat

saling tergantung. Durkheim menyebut solidaritas yang mendasari hubungan itu sebagai

bersifat ‘organik’. Dalam kerangka pengertian itu dapatlah dimengerti,

mengapa individu hanya mempunyai arti kalau dalam kehidupan bersama. Di sana

perkembangan individu mendapat tekanan dari pola-pola nilai kolektif dari lingkungan

sosialnya, yang ternyata merupakan unit unit yang khas. Setiap unit mempunyai

karakteristik dan kadar tekanan tersendiri, karena sifat hubungan yang terdapat di

dalamnya.

a. Kedudukan Individu Dalam Lingkungan

Hubungan yang terjadi karena ikatan biologis dalam lingkungan keluarga,

membuat hubungan tersebut menjadi bersifat bio1ogis, psikologis dan sosiologis Kadar

keterikatan individu dalam relevansi sosialnya sangat tinggi, karena didasari sifat

hubungan yang genealogis, sehingga keterikatannya bersifat mutlak. Hubungan-

hubungan khusus yang disebut hubungan kekerabatan itu, pada daerah-daerah tertentu

bahkan membentuk hubungan komunitas, seperti yang terjadi dalam masyarakat

Tapanuli, Minahasa dan sebagainya. Semuanya dapat dijelaskan dengan konsep-konsep

Antropologi.

Sementara itu individu juga merupakan bagian dari kelembagaan tertentu, yang

merupakan sub sistem masyarakat yang terbentuk atas dasar legitimitas dan legalitas.

Ini berarti, bahwa lembaga tersebut kecuali merupakan kenyataan subyektif untuk

58

Page 60: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sebagian warga masyarakat, juga merupakan hasil ketentuan hukum tertentu.

Dalam sub sistem yang bernama lembaga ini kedudukan maupun hak dan

kewajiban yang mendasari seluruh penampilan peran yang ada, sudah dibakukan, atas

dasar moral, adat serta hukum yang berlaku. Ini berarti individu mengalami keterikatan

dengan lembaga berdasarkan pola hubungan yang baku. pula. Di dalam sosiologi,

komunitas diartikan sebagai satuan kebersamaan hidup sejumlah orang, yang memliki

ciri-ciri tertentu, yaitu : (a) teritori yang terbatas, (b) keorganisasian tata kehidupan

bersama, dan (c) berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif. Demikian

menurut Poplin (1960) dalam ‘Communities’ (John S. Nimpoeno,1980, h. 6-11).

Komunitas merupakan sub sistem yang mencakup individu-individu, keluarga-

keluarga, lembaga-lemba ga yang terjalin dalam hubungan yang interdependen. Jelaslah

bahwa struktur komunitas menjadi lebih rumit. Sebagai sebuah sub sistem, koraunitas

diwarnai oleh orientasi nilai-nilai yang diakui oleh warganya, yaitu pola kebudayaan

yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan demikian, seluruh aktivitas,

kecenderungan tingkah laku serta penampilan warga masyarakat terikat oleh pola

kebudayaan serta orientasi nilai yang berlaku. Namun kedudukan serta peran yang

dimainkan dalam sesuatu komunitas oleh sesuatu individu tidak bersifat langsung,

melainkan teiah diwadahi oleh sub sistem yang lebih kecil, yaitu keluarga maupun

lembaga tempat individu tersebut menjadi warganya secara langsung. Ini berarti, bahwa

pengaruh atau tekanan sosial budaya yang datang dari komunitas, berjalan melewati sub

sistem-sub sistem tersebut. Proses internalisasi nilai yang berlaku dalam komunitas

tersebut berlangsung lewat proses sosialisasi yang sudah berlangsung sejak dalam

keluarga, dan diteruskan di dalam lembaga persekolahan, misalnya.

Agak berbeda dengan pengertian komunitas (community) maupun keluarga,

maka masyarakat (society) merupakan lingkungan sosial yang abstrak, di mana aspek

kawasan tidak begitu ditekankan, sementara penekanan diberikan kepada aspek-aspek

keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif, sebab menunjuk pada kadar integrasi

masyarakat. Kecuali itu lingkungan sosial ini bersifat makro, karena masyarakat pada

hakekatnya terdiri dari sekumpulan komunitas yang memiliki karakteristik yang mungkin

tidak sama satu dengan lainnya. Sedang masing-masing komunitas itupun mencakup

sejumlah lembaga dan keluarga, dan pada gilirannya juga terdri dari sekumpulan

59

Page 61: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

individu.

Bangsa (nation) yang dimaksud dalam uraian mi merupakan kenyataansosial

yang diperkuat oleh legitimitas maupun legalitas, seperti halnya lembaga, hanya memiliki

cakupan yang lebih besar (makro). Dan seperti alnya masyarakat, angsa di sini

mencakup sejumlah komunitas, lembaga dan individu, yang masing-masing memiliki

karakteristik yang mungkin berbeda-beda. Hubungan antara individu dengan bangsa

terwadahi dalam berbagai status, posisi maupun peran, yang tersalurkan lewat kesatuan-

kesatuan sosial yang lebih nyata, seperti keluarga maupun lembaga. Artinya wawasan

kolektif maupun norma-norma kolektif disalurkan pula lewat kelembagaan ataupun

keluarga, yang mempunyai sifat hubungan yang lebih konkrlt.

Milville J. Herskovits (1955) mengemukakan tentang adanya lebih dari seratus

batasan mengenai kebudayaan, yang masing-masing seperti saling melengkapi. Ini

menunjukkan, baliwa kebudayaan mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga

nampaknya dapat diterima batasan yang agak umum tentang kebudayaan. Yaitu segala

hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat. Namun mengapa seringkali dua kata itu

dinyatakan dalam satu nafas sebagai sosial budaya? Dan kedua kata itupun sama-sama

menjadi bahan kajian dua ilmu yang berbeda, yaitu antropologi budaya dan sosiologi,

meski masing-masing mempunyai kekuasan dalam analisis. Sementara itu psikologi

sosialpun menaruh minat terhadap pengkajian kebudayaan, dalam kerangka aktivitas

serta perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan hidupnya.

Agak sulit melakukan pemisahan pengertian di antara kedua istilah tersebut,

yaitu masyarakat dan kebudayaan. Seperti kita ketahui, kebudayaan tidak mungkin

lahir di luar kehidupan masyarakat, sementara masyarakat beserta bagian-bagiannya tidak

lain adalah hasil kebudayaan itu sendiri. Namun yang lebih menarik untuk dibicarakan,

ialah kenyataan bahwa keduanya berhubungan dengan aktivitas dan kelakuan manusia,

balk individual maupun secara kolektif, secara dua arah.Hubungan di antara kebudayaan

dengan individual tidaklah hanya tunggal arus, karena dalam waktu yang bersamaan

terjadi hubungan dua arus di antara keduanya. Di satu flhak, kebudayaan memberi

pengaruh secara mendalam kepada perilaku manusia, sehingga melahirkan kemantapan

(stabilitas) sesuatu masyarakat dan kelangsungan hidup kebudayaan. Di lain fihak, orang

seorang maupun secara kelompok, juga memberi pengaruh terhadap kebudayaan

60

Page 62: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

tersebut, sehingga terjadilah perubahan sosial sepanjang masa (Krech et al., l962, h. 34l).

Selanjutnya kalau kita terima batasan kebudayaan sebagai ‘designs for living’

atas setiap individu, yang tercermin pada seluruh pernyataan (ekspresi) warga

masyarakat yang mengacu pada kebudayaan masyarakat itu. Keterikatan semacam itulah

yang diartikan sebagai keterikatan pada relevansi sosial budaya dari seseorang warga

masyarakat, yang tercermim pada seluruh ekspresinya.

Secara akademis dan teoritik, kedua pengertian tersebut, kemasyarakatan dan

kebudayaan, dapat dibedakan secara lebih nyata, karena masing-masing pengertian

tersebut dapat dihubungkan dengan aspek- aspek yang berbeda.Dengan mengikuti

pandangan Bierstedt (1970) misalnya dalam bukunya ‘The Social Order’ , pengertian

kebudayaan mencakup tiga komponen, sebagai berikut

1) Keyakinan-keyakinan (beliefs)

2) Nilai-nilai dan norma-norma (values and norms)

3) Bentukan materi (formed matter)

Kebudayaan manusia itu bermula dari kekayaan batin yang berujud

keyakinan-keyakinan yang dapat mendasari seluruh aktivitas duniawi, dan secara umum

dapat dikenali sebagai ‘ideologi’. Keyakinan keyakinan tersebut selanjutnya mengendap

dalam rumusan-rumusan mengenai baik dan buruk, benar dan salah dan sebagainya, dan

selanjutnya muncul pula dalam permukaan dalam wujud kaidah-kaidah hidup mengenai

apa-apa yang seyogyanya dilakukan dan mana yang seyogyanya tidak diperbuat oleh

warga masyarakat. Dan ketika mereka harus menghadapi kenyataan hidup, manusia

mulai menciptakan bentukan-bentukan materi sesuai dengan kaidah-kaidah yang mereka

yakini, guna melakukan jawaban atas tantangan hidup yang mereka hadapi. Seluruh

ekspresi materiil ini dikenali sebagai memberi corak terhadap bidang ilmu dan teknologi.

Selanjutnya kemasyarakatan mengandung pengertian yang dihubungkan dengan

komponen-komponen yang berbeda lagi, menurut Poplin (1960) dalam bukunya

‘Communities’, yang terdiri dari

1) Adanya territorium terbatas

2) Adanya suatu keorganisasian kehidupan bersama (social order)

61

Page 63: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

3) Adanya nilai-nilai kolektif (collective values), yang tercermin dalam

kondisi solidaritas sosial

(J.S. Nimpoeno, 1980, h.29)

Yang menonjol dari pengertian kemasyaraatan ialah adanya struktur dengan peranan

yang teratur sesuai dengan posisi dan status tertentu dari setiap mdividu warga

masyarakat tersebut, yang mengarah pada kecenderungan ketundukan pada nilai-nilai

kolektif. Pengaruh nilai-nilai kolektif tersebut nampaknya hanya terjadi terhadap warga

masyarakat, yang pada hakekatnya merupakan sub sistem dan sesuatu sistem sosial

tertentu. ‘Mekanisme’ terjadi, sekali lagi oleh karena masyarakat merupakan suatu

sistem yang terjalin dalam suatu solidaritas ‘organik’.

Sebaliknya, Melville J. Herskovits memandang kebudayaan sebagai suatu yang

‘superorganik’, karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap

hidup terus, meskipun orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti

disebabkan kematian dan kelahiran (Selo Soemardjan, 19-64, h. 114-115). Sifat yang

‘superorganik’ itu memungkinkan orang-orang baru yang berada di luar pemilik sesuatu

kebuadayaan tersebut, merasakan pengaruh pola kebudayaan tersebut dalam sikap, cara

berfikir maupun perilaku orang tersebut, seperti dirasakan atau dialami masyarakat

pendukung kebudayaan tersebut.

Gejala semacam itu merupakan contoh dan kebenaran pengertian ‘cultural

determinism’, yang dikemukakan oleh Herskovits maupun Malinowski. Para ahli

sosiologi barangkali lebih suka menggunakan istilah ‘social determinism’ untuk gejala

yang sama. Kedua pengertian tersebut mengandung arti, bahwa unsur-unsur kebudayaan

atau kemasyarakatan mendorong para anggota masyarakat atau komunitas tertentu untuk

menyesuaikan diri dalam sikap, pendapat, cara berfikir ataupun kelakuan pada

lingkungan kemasyarakatan tertentu tersebut.

Dengan pengertian-pengertian ‘cultural determinism’ maupun ‘social determinism’

ini kita dapat mewadahi pendapat Spranger tentang adanya enam nilai dasar yang

melandasi sikap dan perilaku yang diambil oleh manusia. Keenam nilai dasar tersebut,

ialah nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai estetis, nilai agama dan nilai teoritis

(Sutan Takdir Alisjahbana , 1974, h. 29).

Selanjutnya dapat kita ikuti versi Sutan Takdir Alisjahbana mengenai latar belakang

62

Page 64: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

nilai dasar tersebut, yang menyebut nya sebagai dasar proses kultural. Menurutnya, kita

dapat membedakan adanya tiga dasar proses kebudayaan, sebagai berikut 1) power-

solidarity process, yang menggambarkan aspek pengorganisasian, 2) religioaesthetic

process, yang menggambarkan aspek ekspresif, dan 3) theoritical-economic process,

yang menggambarkan aspek progresif dan kebudayaan.

Atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengatakan, bahwa aktivitas manusia tidak

hanya dilatarbelakangi oleh dorongan atau instink, melainkan ada sesuatu pola tertentu

yang mendasarinya, serta memberikan arah tujuan aktivitas tersebut yang lebih tinggi.

Gejala itu disebut sebagai ‘superorganik’ yang meliputi bahasa, kebiasaan, tata cara,

teknologi, kemampuan membuat jalan, bangunan, melaksanakan cocok tanam, beternak

maupun mengelola organisasi sosial dan sebagainya. Itu berarti bahwa aktivitas semacam

pembuatan rumah, bercocok tanam, melakukan hubungan kelamin, makan ataupun

minum, rnisalnya, tidak semata-mata merupakan kegiatan ragawi, melainkan juga

berkaitan dengan suatu nilai pengorbanan maupun kesucian, keindahan maupun

ekonomi, solidaritas maupun kekuasaan.

Dengan konsep-lonsep kemasyarakatan maupun kebudayaan seperti yang baru

saja disampaikan di atas, terutama mengenai hubungan-hubungan antara individu dengan

lingkungan-lingkungan sosial budaya, dapatlah selanjutnya kita memahami lebih baik

berbagai kecenderungan sikap, perilaku maupun ekspresi lainnya dari warga masyarakat

. @@@

63

Page 65: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

B. KEGAGALAPENDIDIKAN IPS?

PENGANTAR

Uraian-uraian berikut yang tersaji dalam bab berikut ini merupakan sejumlah

sinyalemen masyarakat orang dewasa, baik kaum pendidik, pejabat maupun para ahli,

tentang kondisi masyarakat yang dianggap memprihatinkan, sehingga dianggap sebagai

kegagalan pendidikan IPS. Kekecewaan itu menunjukkan bahwa masyarakat melihat

adanya ketidaksesuaian antara kondisi masyarakat dengan harapan sosial seperti yang

termaktub dalam tata nilai yang berlaku maupun yang dianggap ideal dalam masyarakat

orang dewasa. Dengan perkataan lain tidak terjadinya konformitas di kalangan kehidupan

generasi muda dengan tata nilai yang diharapkan terjadi oleh orang dewasa.

Barangkali sebutan kegagalan pendidikan IPS terlalu berlebihan, namun istilah itu

sengaja digunakan untuk memberikan penekanan atau membangkitkan kesadaran betapa

pendidikan IPS selama ini belum dikembangkan secara maksimal. Padahal penidikam

IPS memiliki potensi yang amat besar untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang

sangat memprihatinkan genarasi orang dewasa. Barangkali masih biaa disampaikan lebih

banyak lagi kasus-kasus yang merupakan bukti kegagalan pendidikan IPS yang selama

ini dikembangkan. Oleh karenanya para pembaca buku ini bisa pula melakukan

pengamatan dan menganalisis untuk mengetahui kondisi sosial lain yang dianggap

berkaitan dengan pengembangan pendidikan IPS.

1. EROSI NASIONALISME

Selama masa-masa awal masa kemerdekaan berbagai pernyataan banyak

disampaikan oleh para pejabat, para politisi, para ilmuan sosial ataupun pandidik

mengenai sikap dan perilaku anak-anak bangsa yang dianggap terpuji. Dalam melakukan

perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan bangsa dari kekuaasaan penjajah

misalnya, mereka tidak menonjolkan pamrih, baik pamrih balas budi maupun pujian.

64

Page 66: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Metreka juga memilki solidaritas dan kebersamaan tinggi di antara warga bangsa, dan

tidak membeda-bedakan kelompok maupun golongan. Kecintaan pada tanah air lebih

menonjol ketimbang kepentingan diri sendiri maupun kelompok, seperti suku bangsa

maupun kepercayaan agama. Persatuan bangsa lebih dikemukakan melebihi kepentingan

kelompok maupun golongan. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu sosial maupun

pendidik menyebut semua sikap maupun perilaku terpuji itu dengan nama patriotisme,

heroisme, solidaritas, maupun nasionalisme. Dalam bahasa para pejabat di masa Orde

Baru segala watak terpuji itu disebutkan sebagai milai-milai kejuangan atau semangat

1945. Penamaan itu diberikan karena nilai terpuji itu justru mencuat di masa bangsa

Indonesia tengah dalam masa perjuangan pada masa proklamasi kemerdekaan tahun

1945. Kemudian ketika kemakmuran bangsa makin menjadi baik, pendidikan makin

merata, organisasi pemerintahan makin teratur, institusi hukum makin lengkap, berbagai

sifat terpuji itu justru makin merosot. Begitu menurut penilaian para pejabat, para politisi,

para ilmuan ilmu sosial maupun pendidik yang seusia para elaku sejarah di masa

perjuangan fisik melawan penjajahan. Mereka menyebutnya sebagai gejala erosi

nasionalisme.

Pada saat itu anak-anak bangsa dari berbagai kelangan, mulai lebih menjadikan

pertimbangan materi sebagai tujuan. Sebenarnya mereka bukan menganut materialisme

sebagai ideologi, karena mereka masih tetap memeluk agama dan rajin melaksanakan

ritus agama, namun sebaliknya mereka makin memuja materi dan memuja kenikmatan

duniawi jauh melebihi segalanya. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu sosial,

maupun pendidik menyebutnya sebagai gejala hedonisme, yaitu semangat memuja

keniikmatan materi dan ragawi. Sementara itu syiar dan gebyar kegiatan ritual agama

sangat fenomenal, bahkan marak. Terrnauk pula gejala makin ketatnya warga

masyarakat mengikuti upacara-upaacara resmi dalam memperingati kepahlawanan

bangsa, bahkan bagaikan mengikuti sebuah ritus.

Sementara itu pula semangat dialog antar umat beragama sangat menonjol secara

kuntitatif. Sering sekali digelar pertemuan antar pemimpin agama, namun dalam

kenyataan semangat toleransi di antara umat berbeda agama sangat kecil. Toleransi itu

atau apa yang dikenal sebagai kerukunan antar umat beragama hanya muncul dalam

pertemuan formal. Namun di belakang pertemuan itu semangat misioner setiap agama

65

Page 67: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

selalu menonjol ketimbang menemukan program-program bersama untuk berperang

melawan kemiskinan, kebodohan dan lain-lainnya. Di kalangan umat beragama sendiri

makin sring terjadi konflik horisontal secara fisik. Konflik horisontal itu bahkan tidak

hanya berkembang kiarena alasan perbedaan agama ataupun sekte, melainkan telah pula

berkembang di antara warga bangsa yang berbeda suku bangsa maupun asal usul atau

teritori. Gejala apakah ini?

Semangat Sumpah Pemuda telah betul-betul menghilang dalam kehidupan sosial

politik. Kesadaran untuk bisa hidup dalam realitas multi kultural yang telah dirumuskan

dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika diabaikan sudah dalam kehiupan sosial politik,

lebih-lebih setelah bangsa kita mencoba menerapkan konsep reformasi atau keterbukaan

sebagai salah satu ciri prinsip demokrasi. Para pejabat, para politisi, para ilmuan ilmu

sosial maupun tokoh pendidikam menyebut gejala tersebut sebagai desintegrasi sosial.

Dalam berbagai kesempatan sebagai guru IPS di perguruan tinggi, saya biasa

menyatakan, bahwa berbagai gejala negatif, terutama berkembangnya desintegrasi

sosial itu menunjukkan kegagalan guru IPS dalam mengembangkan proses pembelajaran.

Yang dimaksud tentu saja guru IPS pada semua level maupun semua bidang kehidupan,

sejak dari orang tua dalam keluarga, lurah, kepala daerah, mubaligh, guru sekolah,

sampai pada para pemimpin organisasi sosial maupun organisasi politik, serta presiden.

Selama ini tujuan akhir dari pendidikan IPS itu sering dilupakan. Banyak

penelitian dikembangkan yang berkaitan dengan keberhasilan pendidikan IPS hanya

dikaitkan dengan tujuan instruksional pembelajaran. Secara teknis hasil pembelajaran

IPS hampir selalu dikaitkan dengan kemampuan mengenali, menyebutkan, memahami

atau menghayati berbagai materi pelajaran. Sementara itu proses aktualisasi berbagai

nilai yang terkandung di dalamnya tidak dikaitkan dengan tujuan pembelajaran.

Semuanya itu tentu saja menjadi tugas guru IPS, yang bertujuan untuk menyiapkan

generasi baru menjadi (1) warga negara yang baik.

Tujuan lainnya adalah utnuk membangun (2) saling pengertian di antara sesama

warga bangsa. Tujuan lainnya lagi adalah menciptakan (3) integrasi sosial, yang

merupakan tujuan akhir pendidikan IPS.

Secara teknis barangkali hanya guru IPS di lembaga sekolah saja yang betul-betul

bertanggung jawab atas hasil pendidikan mereka yang terccrmin pada penampilan para

66

Page 68: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

siswa sebagai remaja dalam pergaulan nyata dalam masyarakat. Tentu saja anggapan

tersebut bisa dibenarkan, karena mereka itulah yang menjabarkan isi kurikulum di dalam

kelas, dan merekalah yang secara intensif berkomunikasi dengan para siswa.

Selama ini kita melupakan bahwa ada sejumlah faktor yang besar pengaruhnya terhadap

hasil pendidikan IPS, yaitu perilaku kaum remaja berperilaku menyimpang dari tata nilai

yang dipereoleh di dalam kelas-kelas IPS. Salah satunya adalah (1) penampilan para

orang dewasa dalam masyarakat yang tidak serasi dengan tata nilai yang diajarkan, yang

disaksikan oleh para remaja. Demikian pula (2) kondisi sosial politik sewaktu tidak

kalah pengaruhnya terhadap penampilan sosial kaum remaja. Berbagai perasaan frustrasi

berkembang di kalangan remaja, yang kemudian muncul dalam penampilan dan perilaku

sosial mereka.

Perlu dipahami bahwa pihak-pihak yang ikut memainkan fungsi sebagai guru

pendidikan IPS ternyata bukan hanya para guru sekolah. Peranan itu dimainkan pula

secara simultan oleh para pemimpin masyarakat, karena adaptasi nilai-nilai luhur, yang

dihadapi oleh para remaja dan seluruh warga baru masyarakat, berlangsung secara

simultan pula di dalam masyarakat. Sikap dan penampilan para elit politik maupun

pemimpin masyarakat menjadi amat dominan terhadap proses sosialisasi yang dialami

para remaja menuju kedewasaan.

Pemahaman yang demikian itulah yang mendorong lahirnya kesimpulan, bahwa

segala perilaku warga masyarakat yang penuh dengan gejala desintegrasi sosial, yang kita

saksikan selama ini, merupakan bukti kegagalan pendidikan IPS.

2. DE SINTEGRASI SOSIAL

Memasuki era reformasi dalam sosial politik di Indonesia muncul gejala yang

amat menarik, yaitu berkembangnya desintegrasi bangsa. Istilah tersebut adalah konsep

politik, sementara dalam sosiologi lebih sering digunakan istilah desintegrasi sosial.

Hubungan sosial di antara sesama warga bukan sekadar tidak harmonis, melainkan yang

menonjol adalah konflik sosial, yang sering mencuat menjadi bentrokan fisik.

67

Page 69: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Fenomena yang paling menonjol adalah konflik kepentingan dalam bidang

politik antara kekuatan eksekutif dengan kekuatan legislatif. Ketika posisi kekuatan

legislatif makin menguat sebagai akibat dari semangat reformasi di masa pasca

keruntuhan kekuasaan Orde Baru, konflik itu menjadi tidak seimbang. Kekuatan legislatif

menjadi seperti tidak tertandingi.

Pemerintahan Habibie yang tampil sebagai pemerintahan transisi menysul

dilengserkannya rezim Suharto pada Mei 1998, menjadi bulan-bulanan ketidakpuasan

rakyat lewat kekuatan legislatif. Laporan pertanggungan jawabnya telah ditolak oleh

MPR, yang juga telah tidak mempercayai Presiden Suharto, hanya beberapa bulan setelah

secara bulat memberi kepercayaan untuk ketujuh kalinya menjadi presiden.

Gus Dur yang menjadi presiden pertama sebagai hasil pemilu 1999 yang

dianggap “paling demokratis” telah menjadi “korban permusuhan” antara (1) kekuatan

politik, pihak legislatif versus ekskutif. Pada tahun pertama pemerintahannya Gus Dur

telah jatuh, yang disusul oleh masa pemerintahan Mega-Hamzah. Pemerintahan itupun

nampaknya menjadi sasaran pergumulan antara kekuatan -kekuatan politik. Menurut

komentar mantan presiden, Gus Dur, Mega tengah menerima pembalasan “hukum

karma”.

Dalam waktu bersamaan konflik antar warga menjadi sering terjadi di antara (2)

sesama warga masyarakat, hanya karena alasan yang seringkali amat sepele. Warga

kampung yang bersebelahan tiba-tiba menjadi berang dan saling menunjukkan semangat

permusuhan. Bentrok fisik dengan senjata tak urung biasa menjadi hiasan berita media

masa. Warga dari dua atau lebih pendukung partai politik berbeda sering terlibat dalam

bentrokan sacara fisik, yang sering meninggalkan kurban jiwa. Komuinitas yang (3)

berbeda suku bangsa maupun (4) keyakinan agama mudah sekali terlibat bentrokan

fisik dengan menggunakan kekerasan senjata perang.

Berbagai kasus bentrokan antar ras itu tercatat dalam kasus-kasus yang dikenal

sebagai kasus Ambon, kasus Sambas, kasus Poso, maupun kasus Singkawang, dsb.

meluas menjadi semacam “perang antar suku”. Dalam bidang penegakan hukum dan

ketertiban sosial yang amat menonjol adalah gejala main hakim sendiri. Praaktek

“dimasa”’ menjadi ciri khas dalam mengatasi berbagai kasus kriminal maupun

kecelakaan lalu lintas, ketika masa menghakimi dan sekaligus mengeksekusi orang-orang

68

Page 70: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

yang disangka bersalah. Aparat kepolisian nyaris tidak bisa bertindak efektif. Bahkan

pos-pos polisi menjadi sasaran amukan masa, ketika masa tidak puas dengan langkah

kebijakan keamanan pihak aparat hukum. Gejala itu merupakan akibat tidak

berwibawanya aparat hukum, yang dinilai amat lamban dan dinilai tidak mampu

menegakkan keadilan.

Sebetulnya berbagai gejala sosial itu bukan monopoli terjadi dalam masa

reformasi. Pada masa Orde Barupun kasus-kasus bentrokan fisik itu telah ada, namun

media massa tidak mendapat peluang untuk mengangkatnya menjadi berita, karena

politik pemberitaan pemerintah yang amat restriktif. Lembaga ‘PANGKOPKAMTIB’

demikian efektifnya, sehingga berbagai gejala konflik sosial tidak kunjung bisa pecah.

Pangkopkamtib adalah singkatan Panglima Komando Operasi Kamanan dan Ketertiban,

sebuah lembaga militer yang memiliki kekuasaan besar untuk menangkap dan

mengekskusi siapapun yang dianggap memusuhi pemerintah, tanpa proses hukum. Rezim

di saat itu telah berhasil mengembangkan kondisi sosial yang tertib dan stabil dalam

suasana “stabilitas nsional”.

Secara konseptual pemerintah mengembangkan cita-cita “selaras, serasi dan

seimbang” lewat berbagai program penataran P4 (Pedoman {enghayatan dan Pengamalan

Pancasila) yang amat berhasil sebagaimana diharapkan pemerintah. Berbagai langkah

kebijakan pemerintahan selama itu telah melahirkan masyarakat yang konform secara

mutlak. Di saat itu tidak dimungkinkan munculnya perbedaan pendapat. Dan dengan

serta merta ketika rezim Orde Baru tumbang oleh kekuatan rakyat dan mahasiswa, proses

demokratisasi menemukan jalan penyalurannya. Ada apa dengan komsep reformasi?

Salahkah pemaknaan kita tentang reformsi?

Reformasi itu sendiri merupakan salah satu alternatif dalam proses perubahan

sosial. Misalnya kita mengenal revolusi, inovasi, rehabilitasi, evolusi, lalu reformasi.

Rrevolusi berarti perubahan sosial yang terjadi secara mendasar dan

menyeluruh dalam waktu yang relatif cepat, dan bisa dilakukan dengan kekuatan

bersenjata maupun secara damai. Rehabilitasi merupakan perubahan sosial yang

dilakukan untuk memperbaiki sesuatu aspek dalam sistem sosial setelah aspek tersebut

dianggap telah mengalami kerusakan, misalnya aspek politik atau aspek perekonomian

saja. Sedangkan inovasi merupakan perubahan sosial yang berlangsung secara bertahap

69

Page 71: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dalam berbagai aspek yang dianggap perlu, yang dilakukan oleh pemerintahan yang

sama. Dan reformasi merupakan perubahn sosial yang terjadi sesuai dengan

perencanaan tertentu, sesuai dengan dasar perundang-undangan yang berlaku, meliputi

semua aspek kehidupan secara simultan, yang dilakukan oleh kekuatan lama (rezim lama)

ataupun oleh kekuatan atau rezim batu. Pelaksanaan reformasi itu dilakukan dengan

menggunakan berbagai azas, yaitu demokratisasi, keterbukaan, toleransi, HAM,

maupun kekuasaan hukum.

Dalam pelaksanaannya sering tidak bisa dihindari terjadinya euforia dalam

banyak zas yang digunakan dalam proses reformasi itu. Artinya sikap berlebihan dari

warga masyarakat dalam melaksanakan reformasi. Dan berbagai bentuk euforia

dilakukan oleh warga masyarakat, seperti anarkisme, seperti main hakim sendiri,

melakukan demonstrasi, pornografi/pornoaksi, kesadararan hukum, amat mementingkan

hak pribadi berlebihan dsb. Tidaklah berlebihan kalau menghadapi berbagai gejala

tersebut di atas, yang bisa disebut sebagai patologi sosial orang mencari akar

permasalahan pada peranan IPS yang selama ini dikembangkan.

Barangkali IPS memang kurang berfungsi dengan baik. Dan peranan IPS itu

terletak pada kurikulum IPS, guru IPS serta para pemimpin, formal maupun informal

dalam masyarakat. Peranan itu ada pada para orang tua dalam keluarga, pengurus RT,

pimpinan organisasi sosial/partai sampai pada kepala negara. Mereka itu semua pada

dasarnya adalah guru IPS, di samping guru IPS di sekolah. Mengapa semua unsur

masyarakat itu dilibatkan, tidak lain, karena peranan IPS tidak lain adalah mengantarkan

genarasi baru menjadi warga masyarakat/ negara yang baik, dalam arti bertanggung

jawab, memiliki saling pengertian di antara sesama warga, menghormati hukum,

mendasarkan pada HAM, menghormati toleraansi, hingga terbentuk integrasi sosial.

3. KENAKALAN REMAJA

Kaum remaja sebagai generasi baru dalam masyarakat, nampaknya

menghadapi kenyataan sosial yang cukup rawan. Dalam media masa, hampir setiap hari

mereka selalu mengetahui berbagai gejala kurangnya keserasian di antara perilaku yang

hidup dengan tata nilai yang diajarkan. Ketika para remaja itu harus memperoleh

70

Page 72: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

hak untuk mendapatkan pendidikan, sebagai bekal bagi pengembangan potensi-

potensi diri mereka menghadapi persaingan yang tidak seimbang. Kadangkala mereka

mengetahui dari media massa, bahwa dalam persaingan untuk mendapatkan pendidikan

itu dilakuknu juga cara-cara yang tidak terpuji, yang tidak mengindahkan nilai-nilai

luhur masyarakat.

Dalam pada itu di dalam media massa seringkali diinformasikan kecenderungan

warga masyarakat yang mencari kerja melakukan cara-cara yang tidak serasi dengan

kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Mungkin gejala tersebut dilaporkan dengan cara

yang tidak proporsional dan tidak akurat, bahkan cenderung dibesar-besarkan oleh

media massa, namun bukan tidak mungkin isu tersebut telah termakan dan mempunyai

pengaruh terhadap ganbaran atau persepsi para remaja mengenai keadaan masyarakat.

Kembali yang terlihat adalah perilaku sosial atau penampilan warga masyarakat orang

dewasa yang tidak sesuai deagan harapan harapan sosial. Di samping itu, masyarakat

selalu berkembang dan berubah, yang ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi,

tranaportasi dan telekomunikasi. Semua itu mempunyai potensi untuk terjadinya

pergeseran nilai dalam masyarakat.

Dalam pada itu tata nihi lama yang ideal masih tetap dikomunikasikan dan

aiajarkan lewat berbagai macam interaksi sosial kepada generasi muda, baik secara

formal maupun tidak formal (informal maupun nonformal). Keadaan semacam itu

memberikan tekanan kejiwaan kepada perkembangan kepribadian remaja. Di satu pihak

tekanan itu datang dari tata nilai yang diajarkan oleh generasi tua, dan di lain pihak

tekanan itu datang dari kebudayaan belia (youth culture), yang cenderung untuk mudah

menerima tata nilai baru.

Kedua tata nilai itu cenderung untuk tidak serasi satu dengan lainnya. Gejala

kenakalan remaja yang muncul dalam masyarakat, yang ditandai dengan tindakan-

tindakan kekeraaan maupun perkelahian antara remaja, seperti banyak diberitakan media

masa, menunjukkan menonjolnya perilaku tidak serasi dengan tata nilai yang diajarkan.

Demikian pula berbagai berita mengenai beredarnya minuman keras dalam kemasan

plastik, banyaknya kasus tabrak lari, pelanggaran lalu lintas, kasus hamil di luar nikah,

penyalahgunaan obat bius, penyalahgunaan kekuasaan, cara-cara penyelesaian perkara

dengan “jalan damai”, main hakim sendiri, isu mengenni adanya “orang kebal hukum”

71

Page 73: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dan sebagainya, menunjukkan betapa berita-berita yang berkaitan dengan masalah-

masalah sosial selalu terpampang di hadapan remaja. Demikian pula kasus-kasus

perceraian, keluarga berantakam, hidup bersama di luar nikah, perselingkuhan,

pelacuran, baik yang dilakukan terang-terangan maupun yang terselubung, sudah amat

sering diberitakan lewat media masa, terutama media masa cetak.

Tak dapat disangkal, bahwa kondisi atau gejala yang demikian itu tidak

serasi dengan norma atau nilai luhur, sejauh penilaian para orang dewasa yang

mempunyai wewenang dalam penerbitan media masa tersebut.

Dengan maksud untuk mendisiplinkan kembali warga masyarakat berbagai

isu sosial itu dikomunikasikan kepada khalayak pembaca. Dan banyak sekali cara untuk

melaksanakan upaya mendisiplinkan maayarakat tersebut lewat berbagai proses interaksi

sosial. Berbagai LSM (Lembgaga Swadaya Masyarakat) telah melaporkan pula sejumlah

perilaku atau tindak korupsi yang nampaknya telah membudaya dalam semua lapisan

sosial, sebagai hasil penelitian. Dalam proses itu tentulah ada pihak-pihak yang merasa

berkewajiban untuk “memaksakan” kepada ihak lain, agar dapat hidup dan tampil dalam

masyarakat sesuai dan serasi dengan tata nilai yang diajarkan tadi. Sementara itu warga

masyarakat yang lain telah belajar dari pengalaman, tentang perlunya tampil memainkan

peran sosial sesuai dengan harapan sosial yang ada. Dan hal itu akan terlihat pada ada

tidaknya kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat tersebut dengan tata

nilai masyarakat.

Nampaknya generasi tua merasa berkepentingan sekali untuk terjadinya

konformitas di antara kaum rekaja dalam tata nilai masyarakat sesuai dengan harapan

masyarakat. Itulah sebabnya dapat kita fahami timbu1nya keprihatinan di kelangan

orang dewasa terhadap berbagai kecenderungan penampilan kaum remaja, yang dijuluki

sebagai generasi penerus. Berbagai cara telah dilalui untuk meningkatkan mutu generasi

muda, yang juga dijuluki sebagai ‘pemimpin di masa depan’.

Sekali waktu orang lebih menyukai penggunaan istilah ‘nation and character

building’ bagi tindakan itu. Dan untuk maksud yang sama, kemudian juga digunakan

istilah “pewarisan dan pelestarian nilai-nilai empat lima” ataupun “peningkatan ketahanan

nasional”, dan sebagainya, selama masa Orde Baru.

Maaalahnya timbul ketika orang mempertanyakan mengenai “meroaotnya

72

Page 74: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

patriotisme, nasionalisme ataupun heroisme” di kalangan remaja atau generasi muda pada

umumnya, juga merosotnya rasa kebersamaan, naiknya konsumerisme, merosotuya

tingkat kepedulian terhadap masalah sosial, dan sebagainya. Kemudian orang mulai

mempertanyakan efektifitas lembaga-lembaga pendidikan secara makro.

Orang juga mulai menyangsikan kemampuan keluarga sebagai ‘cultural conditioning’

dalam proses sosialisasi. Dan orangpun mulai mengkambinghitamkan lembaga

persekolahan, bersama seluruh peranannya, seperti kurikulum, tenaga pengajar, serta

fasilitas belajarnya, atas segala gejala yang memprihatinkan tersebut di atas. Betulkah

semua sinyalemen yang dikemukakan mengenai kaum remaja itu? Betulkah kaum

remaja kurang mempunyai kepedulian terhadap masalah sosial yang ada di sekitar

mereka? Benarkah kaum remaja kurang mempuyai rasa kebersamaan, kurang

mempunyai rasa nasionalisme? Ataukah barangkali orang dewasa telah salah

menggunakan ukuran yang tidak relevan dalam memberikan penilaian terhadap remaja

tersebut?

4. JARAK SOSIAL

Sejarah Indonesia telah beberapa kali mencatat peristiwa kerusuhan antar ras,

terutama kerusuhan antar pribumi dengan penduduk keturunan Cina. Peristiwa

kerusuhan rasial paling besar terjadi pada penghujung abad 20 , yang terjadi di Jakarta,

tepatnya pada tanggal 25 Mei 1998. Tragedi kemanusiaan itu terjadi dua hari setelah

Presiden Suharto terguling pada 23 Mei 1998. Pergeseran kepemimpinan politik itu

sendiri berlangsung secara damai dan konstitusional, berupa penyerahan kekuasaan

kepada wakil Presiden BJ Habibie. Lalu terjadialah tragedi itu, berupa penyerbuan massa

yang seperti dikordinasi ke berbagai pusat hunian dan pusat perdagangan kaum

keturunan Cina. Massa itu menyerbu, memnjarah dan membakar pusat perdagangan dan

pusat hunian itu. Dan yang lebih fenomenal terjadi, yaitu tindak pemerkosaan secara

massal terhadap para perempuan muda keturunan Cina yang berlangsung di tempat

kejadian kerusuhan. Sementara itu tersiar desas- desus bahwa kerusuhan itu didalangi

oleh sebuah kekuatan teratur dari kelompok mliter. Namanya saja desas-desus jadi belum

73

Page 75: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

tentu kebenarannya.Sampai sekarang misteri pelaku atau dalang kerusuhan itu tidak

pernah tuntas terkuak. Buku memoir yang ditulis oleh mantan presiden BJ Habibie yang

diterbitkan baru-baru ini sedikit membuka “rahasia” tentang adanya rencana kudeta yang

dilakukan oleh Jendral Prabowo, yang keberulan adalah mantan menantu Presiden

Suharto yang telah lengser.

Peristiwa kesusuhan rasial semacam itu telah berkali-kali terjadi di banyak kota

besar di tanah air, seperti di Semarang, Surakarta, Surabaya, Bandung maupun Sukabumi.

Itu kalau kerusuhan rasial itu terjadi antara penduduk pribumi dan penduduk keturunan

Cim yang sering disebut sebagai golongan non pribumi atau non pri. Sementara itu terjadi

pula kerusuhan rasial di Ambon, antara penduduk asli Ambon terhadap penduduk

pendatang keturunan Bugis, Buton dan Makasar, yang sering disingkat menjadi BBM.

Di Singkawang maupun Sambas terjadi pula tragedi sejenis, yaitu antara penduduk

pribumi dengan kelompok pendatang, yang datang dari Madura . Di Poso serta Palu juga

terjadi kerusuhan antar ras antara dua suku bangsa berbeda agama yaiitu yang beragama

Islam dengan yang beragama Nasrani.

Kalau diperhatikan ada tema yang sama dari semua bentuk kerusuhan antar ras

itu, sehingga disebut kerusuhan rasial, meski melibatkan ras yang berbeda. Namaun

sebenarnya ada latar belakang lain yang melengkapi api permusuhan di antara mereka.

Keseluruhan perbedaan yang mwnjadi latar belakang kerusuhan itu adalah jarak sosial

atau kesenjangan sosial yang membentang di antara dua kelompok sosial yang terlibat

dalam kerusuhan.

Kerusuhan yang terjadi di kota-kota di Jawa bukan semata-mata dilatarbelakangi

perbedaan ras saja, antara pribumi dan non pribumi yang keturunan Cina. Harus diingat,

bahwa penduduk keturunan Cina itu mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang jauh

lebih baik ketimbang kebanyakan penduduk pribumi. Yang non pri kebanyakan

merupakan usahawan sukses, oleh karenanya menjadi penduduk kaya, menjadi kaum the

haves. Mereka menempati kawasan hunian rame di pusat kota untuk perdagangan

maupun kawasan hunian kaum elit. Sementara itu sebagian besar dari mereka memeluk

agama Kristen atau Katolik. Belum lagi kalau diingat bahwa sejarah telah mencatat

posisi sosial mereka di masa penjajahan, yang dekat dengan kaum penjajah. Sementara

itu yang prubumui tinggal di kawasan hunian yang lebih miskin, atau di pinggiran kota,

74

Page 76: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Hampir semua mereka memiliki kedudukan sosial ekonomi lebih buruk. Lebih buruk lagi

kalau dilihat bahwa sebagian besar kaum pribumi memeluk agama Islam.

Faktor-faktor itu semua secara komulatif membentuk jarak sosial antara warga

keturunan Cina dengan kaum pribumi. Jarak sosial yang membentang di antara dua

kelompok sosial itu telah membangkitkan kecemburuan sosial, yang bila sekali waktu

muncul provokasi sangat mudah menjadi pemicu terjadinya kerusuhan rasial. Kejadian

yang berpotensi sebagai pemicu itu amat bervariasi, seperti isu tentnag penganiyaan

terhadap pembantu rumah tangga oleh majikan keturunan Cina, pelecehan atas Kitab Suci

Quran oleh warga Cina, beca yang tertabrak oleh kendaraan mobil milik warga Cina dan

masih banyak lagi.

Berbagai upaya telah dipakukan oleh pemerintah maupun warga masyarakat

untuk melakukan ptogram pembauran banagsa, namun yang masih terlihat adalah

keengganan sosial dari masing-masing segmen masyarakat, sehingga keadaannya masih

tetap seperti minyak dan air. Kondisi laten tersebut masih tetap sebagai potensi untuk

terjadinya kerusuhan rasial di kemudian hari. Kembali kondisi yang semacam itu tetap

merupakan bukti kegagalan IPS dalam arti yang sangat luas. Bisa merupakan kegagalan

kurikulum IPS, bisa merupakan kegagalam materi dan penyajian IPS, bisa merupakan

kegagalan para guru IPS di sekolah maupun para pemimpin formal dan nonformal dalam

masyrakat.

5. BENCANA ALAM

Yang dimaksud dengan bencana di sini adalah semua kejadian yang terjadi dalam

kehidupan bermasyarakat yang menimpakan kerugian harta, penderitaan maupun

hilangnya jiwa manusia. Bencana-bencana itu bisa dibedakan antara bencana alam dan

bencana yang semata-mata karena ulah manusia, seperti kecelakaan lalu-lintas,

peperangan, olah raga, keracunan dsb, yang termasuk kecelakaan yang bersifat human

error. Sedangkan yang termasuk bencana alam dapat dibedakan menjadi dua. Pertana

bencana alam yang semata-mata datang dari kejadian alam, seperti gempa bumi, tsunami,

angin lisus atau topan, gunung meletus, banjir, sambaran petir, kebakaran dsb.

75

Page 77: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Bencana-bencana tersebut merupakan tingkah laku alam yang tidak ada kaitannya

dengan ulah manusia sebagai faktor penyebabnya. Bencana alam itu sudah sering

terjadi sebelum ada manusia di atas bumi maupun sebelum manusia menempati tempat-

tempat kejadian. Oleh karenanya bencana alam tersebut tidak menimpakan kerugian pada

manusia. Orang biasanya baru berbicara tentang bencana kalau kejadian alam itu

memimpakan kemalangan pada kehidupan manusia.

Bencana alam juga bisa terjadi karena adanya campur tangan manusia, karena

ulah perbuatan manusia. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, rob, intrusi air laut dsb.

Merupakan bencana alam, namun bisa disebabkan karena ulah tangan manusia, seperti

melakukan penebangan hutan secara liar dan tidak memperhitungkan dampak

lingkungan. Demikian juga pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian baru

dapat pula mengakibatkan kebakaran hutan

Berbagai bencana alam, baik yang terjadi sebagai bagian dari tingkah laku alam

maupun oleh ulah tangan manusia, bisa saja tidak menimpakan kemalangan atau

kerugian pada umat manusia, karena terjadi di luar kawasan hunian manusia, bahkan

seballiknya bisa mendatangkan keuntungan bagi umat manusia. Misalnya banjir tahunan

pada sungai Nil, sungai Yang Tse Kiang dsb, bahkan mendatangkan kesuburan tanah

untuk pertanian.

Bencana jenis kedua di samping bencana alam, adalah yang terjadi dalam dunia

lalu-lintas atau transportasi, baik darat, laut maupun udara. Bencana jenis inipun bisa

dibedakan antara yang semata-mata oleh faktor m,anusia (human factor), dan yang

melibatkan faktor alam, seperti cuaca. Di samping bencana yang termasuk dalam dunia

transportasi adalah dalam dunia olah dsb.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh manusia dalam menghadapi kemungkinan

datangnya bencana-bencana itu? Bagaimana langkah-langkah antisipatif yang bisa

dilakukan umat manusia untuk menghadapi datangnya bencana-bencana itu?

Yang menarik untuk dibicarakan adalah bencana alam yang menimpakan

kemalangan dan kerugian pada umat manusia, namun sebenarnya manusia masih bisa

menghindar dari bencana alam itu ataupun bisa mengurangi kemalangan yang menimpa

umat manusia dengan jalan melakukan antisipasi atas musibah itu. Pilihan pertama

tentunya adalah tidak melakukan perbuatan atau kebijaksanaan yang bakal mendatangkan

76

Page 78: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

bencana, seperti tidak memebang hutan berlebihan kalau bisa diketahui bakal

mendatangkan bencana banjir, longsor dsb. Demikian juga tidak melakukan reklamasi

tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau tidak menggali sumur air dalam

berlebihan tanpa aturan, karena bisa mendatangkan benvana berupa permukaan tanah

menjadi ambles dan selanjutnya terjadi intrusi atau perembesan air laut ke air tanah,

yang mengakibatkan air tanah berasa asim.

Pilihan kedua adalah menghindar dari tempat yang sudah diduga bakal terjadi

bencana pada saat yang sudah diperkirakan bakal terjadi bencana. Ilmu dan teknologi

umat manusia sudah bisa melakukan peramalam akan datangnya musibah berupa bencana

itu. Semua perlengkapan teknologi itu bisa memberikan tanda-tanda atau peringatan dini

(early warning) bakal terjadinya bencana. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)

bisa bertugas memberikan peringatan dini mengenai kondisi cuaca maupun

kemungkinan terjadinya hujan, angin topan maupun gempa bumi. Tinggal manusia yang

menanggapi semua ramalan cuaca maupun ramalan gempa dsb. Namun hambatannya

terletak pada sulitnya melakukan perubahan perilaku manusia dalam bentuk tradisi

maupun kemampuan ekonomi, untuk melakukan langkah ikutan (follow up). Betapa

sulitnya penduduk lereng Gunung Merapi misalnya, untuk mau direlokasi agar terhindar

dari bencana yang datang dari Gunung Merapi, seperti awan panas, banjir lahar dingin,

longsoran tanah dsb. Hal yang sama juga terjadi di kalangan penduduk di bantaran

sungai-sungai yang sering mengalami banjir. Seperti yang menimpa pnduduk di tepian

sungai di Jakarta maupun kota-kota lain.

Apakah dalam hal ini juga membuktikan bahwa IPS telah gagal memainkan

fungsinya? Deangan keterangan lebih luas dapat dikatakan, memang benar hal itu

merupakan kegagalan IPS. Baik dilakukan oleh para guru IPS di sekolah maupun oleh

para pejabat kota terkait untuk selalu mengingatkan dan mengatur tata kota yang aman.

6. TSUNAMI

Tsunami itu berasal dari bahasa Jepa ng, yang sebetulnya merupakan nama sebuah

pelabuhan di Jepang. Pelabuhan itu pernah menjadi korban dari arus atau gelombang

77

Page 79: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

lautan yang maha besar menerjang pelabuhan dan menimbulkan kerusakan dan korban

manusia. Sejak itu tsunami menjadi nama jenis bencana alam berupa gelombang laut

bsar yang terjadi karena gempa tektonis, akibat bergesernya lempengan di bawah benua.

Bencana berupa gelombang laut yang dahsyat itu didahului oleh surutnya

permukaan laut secara mendadak. Gejala alam itu terjadi karena ada aliran air ke bawah

laut, yang bagaikan pusaran air laut yang mengalir ke celah bekas pergeseran lempeng

benua. Lalu beberapa saat kemudian air laut bagaikan mendidih menggelegak karena

adanya semburan dari bawah laut yang kembali ke permukaan laut. Disusul kemudian

datangnya gelombang yang datang dari pusaran air laut menggelegak tadi, lalu bergerak

ke segala penjuru sampai ke daratan di sekitar sumber gempa tadi. Itulah gelombang

tsunami yang telah meluluh lantakkan daratan NAD (Nangro Aceh Darusalam) di ujung

paling barat kepulauan Indonesia. Korban manusia mencapai ratusan ribu orang, dan

hewan. Itu terjadi pada penghujung bulan Desember tahun 2005.

Gelombang tsunami itu juga menelan korban sampai ke pesisir Afrika Timur,

pantai selatan dan timur India, seluruh negara pulau Sri Langka serta sebagian pesisir

Thailand. Satui tahun kemudian bencana yang sama dengan skala agak kecil menimpa

pantai selatan pulau Jawa Tengah dan Jawa Barat. Termasuk jenis bencana apakah

gelombang tsunami itu?

Apakah manusia ikut terlibat dalam bencana itu? Masihkah IPS terlibat pula

dalam bencana tersebut? Peristiwa alam itu menjadi bagian dari obyek kajian ilmu fisika,

khususnya geografi fisik. Namun kemudian setiap guru IPS harus mampu menyerap hasil

kajian itu untuk kemudian diterapkan dalam kajian IPS, karena memiliki dampak

langsung bagi kehidupan sosial kemanusiaan.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa gelombang tsunami merupakan bencana alam

murni, yang hanya bisa dijelaskan dengan teori fisika. Bencana alam itu barangkali

pernah pula terjadi di masa lampau, ketika umat manusia belum menempati kepulauan

Indonesia. Oleh karenanya manusia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa atau

perilaku alam itu. Kapan saja bencana semacam itu bisa saja berulang kembali. Namun

manakala yang dimaksud dengan bencana tsunami adalah bencana yang menimpakan

kemalangan ataupun korban pada manusia di banyak lokasi di sekitar Lautan India,

manusia tidak bisa menghindar dari keterlibatan itu, karena peristiwa alam itu sudah bisa

78

Page 80: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

diramalkan bakal terjadi. Hanya sampai sejauh ini teknologi petamalan belum mampu

memberikan peringatan dini sedini mungkin. Dengan demikian bencana itu sudah bisa

pula diantisipasi.

Konon pusat Badan Meteorologi dan Geofisika di Jkenewa telah memberi sinyal-

sinyal berupa peringatan dini tentang bakal terjadinya bencana gelombang tsunami itu.

Namun oleh karena tidak jelas kapan dan di mana tepatnya peristiwa alam itu bakal

terjadi, nyaris peringatan dini itu menjadi tidak efektif. Lalu terjadilah musibah berupa

tragedi kemanusiaan itu. “Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih”. Demikian kata

peribahasa Melayu untuk memberikan keringanan beban rasa bersalah setiap kali

mengalami bencana. Betulkah peribahasa itu cocok untuk digunakan dalam peristiwa itu?

Nampaknya tidak tepat benar. Yang lebih tepat justru peribahasa yang lain lagi,

yaitu “Kalau takut dilembur pasang jangan berumah di tepi pantai”. Nampaknya

peribahasa terakhir itu amat kontekstual, karena orang Melayu ringgal di pantai-pantai

laut, yang selalu ditantang dengan bahaya apsang laut yang sewaktu-waktu bisa

melembur manusia yang tinggal di pantai. Artinya kita harus senantiasa weaspada akan

datangnya bahaya yang datang dari laut, karena kita memang tinggal di pantai laut. IPS

merupakan ilmu dan mata pelajaran di sekolah yang sangat strategis untuk menjelaskan

dan memberi peringatan kapada anak negeri tentang kondisi alam tempat kita tinggal.

Selama ini para guru IPS, terutama bidang studi geografi telah rajin memberi

kesadaran kepada siswa tentang posisi geografis tanah air. Hanya nampaknya penekanan

yang dilakukan kurang lengkap. Selalu ditekankah betapa indahnya posisi Nusantara

yang terserak bagaikan rangkaian mutiara yang menghiasi katulistiwa. Tanahnya subur.

Tongkat kayupun kalau ditanam berubah menjadi tanaman. Penduduknya rajin dan

ramah. Nmun mari kita ingat kembali apa yang telah kita lakukan? Pernahkah kita

menjelaskan kepada para siswa, bahwa kita semua hidup di tubir jurang Lautan India, dan

hanya bertengger di atas lempengan bemua yang amat labil?

Sementara itu proses buni ini menjadi dewasa belum selesai, sehingga geliat

benua-benua masih sering terjadi. Oleh karenanya kita harus selalu waspada akan

konmdisi keselamatan penduduk. Pernahkan pemerintah memberikan penjelasan

kepada penduduk yang berserakan di sepanjang pantai laut selatam? Kalaupun ada mitos

tentang Nyi Roro Kidul, namun konotasinya lain. Memang ada mitos-mitos tentang

79

Page 81: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kalap, yaitu korban berupa kematian di laut Selatan, yang dianggap karena Nyi Roro

Kidil telah menghendakinya sebagai tumbal. Atau apakah kita yang kurang tanggap

terhadap simbolisasi iitu?

Pernahkah kita memberikan peringatan kepada penduduk mengenai “daerah

aman” yang bisa dijadikan kawasan hunian? Pernahkah kita memasang betton-beton di

selanjang pantai atau menanami pantai dengan pohon kelapa? Yang kesemuanya itu

berfungsi untuk memecah ombak, sehingga segala macam ombak bisa “dijiunakkan”

sebelum memukul daratan.

Namun kitapun harus sadar bahwa tidaklah mudah mengajak penduduk untuk

melakukan relokasi. Apalagi kalau bahaya yang datang dari laut belumlah nyata,

sehingga belum mampu menjadi motivasi. Memindahkan PKL dari lokasi yang ada dan

menertibkannya ke lokasi baru bukan main sulitnya. Memindahkan penduduk dari lereng

gunung Merapi maupun dari daerah banjir saja suylitnya bukan main, Dan tidak pernah

berhasil Inipun semua merupakan kegagalan IPS.

@@

80

Page 82: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

C. POTENSI POTENSI IPS

PENGANTAR

Baeangkali memang ada keterbatasan dalam jangkauan maupun kompetensi

pendidikan IPS secara kurikuler, karena hanya diajarkan di lembaga pendidikan yang

terbatas. Lebih-lebih kalau pendidikan IPS dipandang hanya sebagai pendidikan formal.

Padahal pendidikan IPS memiliki potensi untuk dikembangkan dalam berebagai kegiatan

kemasyarakat yang lebih luas. Misalnya kegiatan dakwah Islam maupun penyiaran

agama yang lain. Konsep-konsep IPS juga bisa dikembangkan dalam kegiatan sosial

politik, pemerintahan maupun kegiatan pembinaan kesejahteraan umum yang lain, seperti

pembangunan kesehatan dsb.

Dengan memberikan uraian mengenai berbagai bidang kegiatan yang berkaitan

dengan fungsi pendidikan IPS tersebut diharapkan tiumbul kesadaran para guru

pendidikan IPS bahwa pendidikan IPS memiliki kewenangan mat luas dalam kerangka

pendidikan IPS maupun dalam komunikasi sosial dalam wujudnya yang dikenal sebagai

interaksi sosial. Di sana sesama warga masyaralat melakukan hubungan sosial sesuai

dengan peranan sosial masing-masing yang sesuai dengan status sosial yang disandang.

Dalam interaaksi itu masing-masing melakukan koimunikasi sosial, yang

bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain. Dan komunikator itu bisa seorang guru,

mubaligh, tim marketing sebuah produk baru makanan misalnya, bisa juga tim promoisi

kesehatan maupun petugas kampanye Keluarga Berencana maupun tim sukses dalam

pemilu.

Ada kesesuaian antara fungsi guru pendidikan IPS dan fungsi komunikator dari

berbagai kegiatan tersebut di atas. Tujuan IPS, yaitu untuk menciptakan terjadinya saling

pengertian antar warga masyarakat dan terjadinya konformitas antara sasaran

komunikasi dengan harapan sosial seperti yang dikemukakan oleh komunikator. Berikut

ini merupakan beberapa contoh sebagaimana dimaksudkan.

81

Page 83: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

1. IPS UNTUK KELUARGA

Proses sosialisasi pada tingkat yang paling awal, berlangsung dalam lingkungan

keluarga. Di sana berlangsung proses paling akrab. Anak-anak belajar berbagai nilai

dalam bentuk-bentuk interaksi antar individu. Dalam keluarga juga terjadi rangkaian

‘conditioning’ bagi anak, untuk dapat menghayati berbagai ni1ai kolektif sesuatu

kebudayaan, sehingga proses itu dikenal sebagai ‘cultural conditioning’. Bagian ke dua

dari proses sosialisasi terjadi dalam lingkungan masyarakat, tempat anak-anak dapat

melakukan hubungan antar orang dan antara individu dengan kelompok, sehingga dikenal

sebagai ‘personal social relations’.

Kemudian sebagai sub sistem dalam sesuatu masyarakat, maka keluarga dalam

fungsi sosialisasi tidak dapat melepaskan diri dari pola-pola nilai kolektif sesuatu

masyarakat. Namun demikian, karena masyarakat itu sendiri merupakan pengertian yang

abstrak, demikian pula halnya dengan kebudayaan, maka proses interaksi yang paling

efektif yang dimotivasikan oleh harapan-harapan sosial, terjadi dalam keluarga.

Itulah institusi yang dianggap paling awal dan efektif dalam proses sosialisasi. Itulah

sebabnya, misalnya, orang berbicara mengenai proses sosialisasi keluarga priyayi dalam

masyarakat Jawa. Di sana dikomunikasikan harapan-harapan sosial yang sesuai dengan

pola budaya dan tata nilai yang diakui dalam masyarakat Jawa.

Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dimengerti, bahwa segala

rujukan bagi setiap hasil proses soaialisasi atau perubahan sikap yang terjadi selama

proses berjalan, ialah tata nilai masyarakat itu sendiri. Yang menjadi masalah ialah

pengertian tata nilai masyarakat itu, karena memiliki pengertian yang abstrak. Oleh

karenanya diperlukan kepastian lebih dahulu mengenai pengertian tata nilai masyarakat

ini.

Mula-mula yang diaaksudkan sebagai tata nilai msyarakat tempat segala

penilaian atau tingkah laku harus merujuk, ialah tata nilai yang dianggap ideal oleh

masyarakat. Namun, sebagai sesuatu yang ideal dan abstrak, maka tata nilai itupun

cenderung untuk mudah ditafsirkan secara ganda (multiinterpretable). Itu berarti kita

sudah harus berhadapan dengan tata nilai yang diajarkan, yaitu nilai yang telah men-

82

Page 84: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dapat penilaian sejauh pemahaman orang mengajarkan nilai tersebut.

Tata nilai yang diajarkan ini yang akan dianggap sebagai tata nilai rujukan, dalam

memberikan penilaian mengenai ada atau tidaknya keserasian di antara warga

masyarakat.

Sampai sekarang kita memang belum memiliki rumusan pola pendidikan

keluarga Indonesia. Sebaliknya yang ada hanyalah pola pendidikan keluarga Indonesia

yang mengacu pada tata niulai komunitas tertentu ataupun mengikuti tata nilai ajaran

agama tertentu. Yang paling jelas seperti dikemukakan di depan adalah pola pendidikan

keluarga priyayi Jawa misalnya. Mereka memiliki tatanan nilai yang lebih akrab dengan

adaptasi tata nilai Hibdu-Buda. Namun mereka juga cenderung sinkretis, karena

mengakomodasi tata nilai Islam.

Sementara itu di kalangan keluarga santri, yaitu masyarakat Muslim, dikembangkan

pola pendidikan keluarga yang mengacu pada tata nilai ajaran Islam. Salah satu harapan

mereka adalah terciptanya keluarga sakinah untuk menyiapkan terjadinya anak-anak

soleh. Mereka dikenal sebagai keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Dengan

mengacu pada hasil pengamatan Clifort Geerz misalnya, masih dikenal pula komunitas

abangan dalam masyarakat Jawa, yang dikenal agak longgar dalam menghayati tata nilai

agama yang mereka anut. Merekapun memiliki acuan moralitas hidup yang

disosialisasikan pada anak keturunan mereka. Tentunya di kalangan keluarga pemeluk

agama lainnya akan mengembangkan pola pendidikan keluarga dengan mengacu ajaran

moralitas yang serasi. Di kalangan keluarga keturunan Cina sudah bukan hal baru lagi

dikenal pola pendidikan keluarga Cina.

Sementara itu dikenal pula tata nilai yang hidup dan mengejawantah

(aktual) dalam perilaku warga masyarakat dari etnis maupun suku bangsa lainnya yang

amt bervariasi di Indonesia yang multi kultur ini. Jelas sekali, bahwa bukan tata nilai ini

yang dipergunakan sebagai rujukan atau panutan dalam melihat kecenderungan

konformitas di kalangan warga masyarakat. Justru perilaku yang merupakan gambaran

tata nilai aktual warga masyarakat itu harus pula mendapat penilaian yang rnerujuk pada

tata nilai ideal ataupun tata nilai yang diajarkan, untuk mengetahui ada atau tidaknya

kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat tersebut.

Dengan cara itu pula dapat diketahui ada atau tidaknya rnasalah sosial di

83

Page 85: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dalam masyaraka, sebagaimana dipaparkan di depan. Dan manakala gejala masalah

sosial itu timbul, maka merupakan salah satu pertanda kurang berhasilnya proses

sosialisasi dalam masyarakat, sehingga diperlukan upaya mendisiplinkan masyarakat

kembali. Dengan kalimat yang lebih pendek seluruh uraian di atas barangkali dapat

dinyatakan sebagai berikut.

Seluruh proses sosialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari

proses interaksi sosial, dan mempunyai tujuan untuk : Secara mikro, membuat anak,

sebagai bagian dari generasi muda, dapat mengembangkan kemampuan diri dalam

memainkan fungsi sosial mereka dalam menghadapi lingkungan hidup mereka, secara

sosial budaya, dengan sebaik-baiknya, sebagai ‘intelligent social actor’. Artinya setiap

warga masyarakat diharapkan menjadi aktor yang cerdas dalam memainkan fungsi sosial

masing-masing. Secara meso, membuat varga masyarakat dapat mengembangkan

hidup kemasyarakatan dengan penuh keselarasan di antara dirinya dengan lingkungan

sosial budayanya, dan mampu melakukan penyesuaian diri (soclal adjustment).

Secara makro, ialah membuat suatu masyarakat yang terintegrasi, di mana setiap varga

masyarakat dapat menerima tata nilai masyarakat sebagai tata nilai sendiri.Sementara itu,

tampaknya ada kesejajaran antara koneep-konsep ilmiah, konsep formal yang bersifat

nasional, serta konsep nilai hidup Jawa, dalam hal sosialisasi itu, yaitu perlunya tercipta

keselarasan di antara nilai-nilai hidup individual dengan tata nilai masyarakat. Ini berarti,

bahwa otonomi individual diaerasikan dalam pola-pola nilai ko1ektif. Gejala yang

demikian itu dalam filsafat nilai dikenali sebagai bersifat heteronom. Dan

kecenderungan semacam ltu akan memberikan arahan tertentu bagi aspek metodologi

studi yang akan kita lakukan, baik dalam mengkonseptualisasikan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode yang akan dipergunakan, maupun analisis yang

akan dilakukan dalam penelitian .

Seluruh gejala tingkah laku, penampilan maupun kecenderungan berbuat yang

terjadi di kalangan kaum remaja sebagai akibat prosees sosialisasi atau enkulturasi,

harus dilihat dalarn kaitannya dengan proses perubanan, pengembangan kebudayaan serta

pengkayaan kebudayaan. Artinya, rneskipun ada sernacam tekanan-tekanan yang datang

dari pihak orang dewasa terhadap generasi muda berupa harapan-harapan sosial yang

harus dipenuhi oleh generasi muda, Meskipun demikian hasil terakhir dari proses

84

Page 86: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sosialisasi itu harus dilihat dalam kaitannya dengan proses yang makro, yang berkaitan

dengan proses perubahan sosial dan budaya yang berorientasi ke depan. Sehingga dengan

demikian hasil akhir yang diharapkan adalah suatu integrasi sosial, dan bukan sekedar

pelestarian budaya. Itu berarti bahwa proses sosialisasi atau enkulturasi yang

berlangsung selalu berada dalam kaitan perkembangan dan kelangsungan budaya,

karena lingkungan maupun kebutuhan generasi muda yang dihadapipun tidak selalu

sarna dengan yang dihadapi generasi tua.

Dalam kerangka tersebut, yaitu integrasi sosial, kelangsungan (kontinuitas)

budaya, atau kecenderungan yang terjadi pada kaum rernaja seharusnya tidak dipandang

sebagai bahaya bagi kelestarian kebudayaan lama. Kita berangkat dari anggapan bahwa

setiap perubahan kebudayaan akan lebih mudah terjadi jika suatu kebudayaan baru tidak

dianggap sebagai pengaruh baru yang membahayakan kebudayaan larna, melainkan

sebagai lanjutan penyempurnaan kebudayaan larna. Bila sebaliknya yang terjadi, maka

akan timbul resistensi, bahkan penolakan dari kebudayaan lama. Di sini terlihat azas

kontinuitas dan diskontinuitas dalarn perubahan kebudayaan. Pandangan tersebut

bertolak belakang dengan pandangan kaum reservasionis, yang lebih menekankan pada

pelestarian budaya, dan selalu bersikap curiga terhadap setiap gejala kebudayaan baru,

baik yang datang dari luar, maupun yang berupa tingkah laku kaum remaja yang

dianggap tak serasi.

2. IPS DAN PENGEMBANGAN N KEBUDAYAAN

Diskusi yang berkisar di sekitar pengembangan kebudayaan di Indonesia telah

menjadi terkenal dengan adanya Polemik Kebudayaan pada tahun tiga puluhan, antara

kaum reservasionis yang dipelopori Taman Siswa dengan kelompok Poedjangga Baroe

yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung meniru Barat.

Polemik itu, seperti kita ketahui berrnula dari pandangan kelompok

‘Permusyawaratan Perguruan Indonesia I, yang bersidang di Solo pada 8 - 10 Juni 1935.

Pandangan itu dianggap mencerminkan haluan yang anti-akulturasi secara mutlak, yang

merupakan gerakan revivalisme anti Barat dan mendasarkan pengembangan

kebudayaan pada kenangan pada kejayaan kebudayaan larna. Pandangan tersebut

85

Page 87: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mendapat tentangan keras sekali dari kelompok Poedjangga Baroe, yang amat

menekankan pada perlunya memandang kebudayaan Barat sebagai panutan dalam

proses pengembangan kebudayaan Indonesia, yang dinilai telah mengalami kemandegan

dan statis (J.W.M. Bakker SJ., 1984, hal. 125-128).

Berangkat dari pengertian itu semua dianggap pada tempatnya kalau proses

sosialisasi sebagai bagian dari proses perkembangan kebudayaan, menempatkan sasaran

pada integrasi sosial, suatu kondisi yang penuh keseimbangan. Dengan demikian generasi

muda diletakkan pada posisi subyek yang menjalani masa-masa menghayati dan

mengamati tata nilai masyarakat, dan mempersiapkan untuk dapat mengembangkan

fungsi-fungsi sosial mereka yang serasi dengan lingkungan baru mereka kelak.

Dalam kaitan ini Ki Hajar Dewantara rnengemukakan Paham ‘Trikon’ yang

terkenal itu dalam menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan kebudayaan, yaitu

Konsentrisitas , Kontinuitas, dan Konvergensi (Ignas Kleden, Prisma no. 1, 1985) .

Yang dimaksud ialah, bahwa dalam pengembangan kebudayaan bangsa

Indonesia mengalami tiga dillema. Dilema pertama berupa pilihan antara berkiblat pada

kebudayaan luar, sehingga memudarkan sifat kepribadian nasional, atau lebih

mengutamakan pengembangan kepribadian nasional dengan rnemanfaatkan kebudayaan

luar. Ini merupakan masalah konsentrisitas dan konvergensi dalam proses akulturasi.

Dilema ke dua berkisar pada pilihan antara likuidasi kebudayaan daerah, pengembangan

kebudayaan daerah dan integrasi kebudayaan? Ini merupakan masalah di sekitar

konsentrisitas dan divergensi dalam pengembangan kebudayaan nasional dalarn kaitan

dengan keberadaan kebudayaan daerah atau unsur budaya lainnya. Dan dilema ke tiga

berupa pilihan antara pelestarian kebudayaan dan perencanaan kebudayaan, yang dapat

berakibat pada proses likuidasi kebudayaan larna. Inilah yang disebut sebagai pilihan

yang bersifat konsentrisitas dan kontinuitas kebudayaan. Masalah tersebut selalu saja

rnenghadang di muka setiap generasi yang sedang mnmnbangun.

Pengalaman mengajarkan kepada kita, bahwa bersifat konvergen dalam

mengambil sikap rnengadapi dilema sernacam ini, lebih rnenunjukkan sifat realistis dan

lebih menguntungkan, yang sesuai dengan pandangan sejarawan terkenal Arnold

Toynbee dalam bukunya ‘Study of History’, jilid VI). Akulturasi harus dipandang

sebagai mencari keseimbangan antara warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang

86

Page 88: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

perlu untuk survival. Letaknya antara archaisme dan futurisme.

Kedua isme itu bertentangan dengan perkembangan kebudayaan- kebudayaan

yang wajar. Archaisme berusaha mempertahankan berlangsungnya zaman baheula yang

baik, namun mengingkari dinamika kebudayaan. Sebaliknya futurisme mengingkari

zaman sekarang, dan terlalu memimpikan masa jaya yang direncanakan di masa depan.

Keduanya tidak realistis. Menurut Toynbee “Archaism is a deliberate attempt to swim

against the stream of life. Futurism does differ materially from archaism in the degree

that is goes against the grain of human nature …” (J.W.M. Bakker SJ., 1984, hal. 121 -

123)

Selama masa Orde Baru kebijakan dalam pengembangan kebudayaan tidak

meninggalkan pilihan yang bersifat konvetgen. Pembangunan masa depan yang harus

disiapkan dengan fase tinggal landas harus diselenggarakan dengan selalu mengikuti

konsep “serasi, selaras dan seimbang”, yang merupakan elaborasi sikap orang Jawa.

Secara politis Pancasila dan UUD q945 dipakai sebagai landasan konstitusional, GBHN

sebagai landasan konseptual.

Sejak memasuki era reformasi kebijakan pengembangan kebudayaan lebih

terbuka. Nyaris kecenderungan itu mengarah pada liberalisme, karena dianggap paling

sesuai dengan kondisi kita yang tengah berada dalam kancah masa globalisasi dalam

banyak hal. Salah satu ciri utama dari kehidupan di era globalisasi ini adalah kemampuan

bersaing dengan mengutamakan kualitas penampilan. Inilah watak utama dari konsep

liberalisme. Dampak paling menonjol dari perbenturan dua arah pengembangan

kebudayaan di era globalisasi ini adalah gencarnya perbenturan dua kekuatan paham. Di

satu pihak tengah bermunculan isu tentang kebebasan berkreasi, feminisme, pelonggaran

moralitas agama, dukungan atas kebebasan pornografi dan pornoaksi, serta pengakuan

atas homoseksualitas. Pada pihak lain adalah kekuatan yang menekankan pada perlunya

penyelamatan nasib generasi muda dari kehancuran moral. Kekuatan pihak kedua ini

sebetulnya jauh lebih bsaar. Akan tetapi kemajuan teknologi komiunikasi dan

pemberitaan telah memunculkan kesan sreolah-olah kekuatan mereka sama besar.

Perbenturan semacam itu akan selalu muncul dalam masyarakat yang hidup.

Dan di sana pulalah proses sosialisasi berlangsung. Di sana pulalah pendidikan IPS selalu

tertantang untuk memberikan penjelasan terhadap semua gejala yang mkuncul dal;am

87

Page 89: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

interaksi sosial yang ada.

3. IPS UNTUK PENDIDIK AN NILAI

Sejak semula fungsi pendidikan telah melekat pada peranan ke1uarga, karena

pada dasarnya setiap manusia mempunyai dorongan untuk mengembangkan keturunan

serta melestarikan jenisnya. Untuk itu setiap pasangan suami istri berusaha secara alami

agar anak keturunan mereka dapat tetap survive, meski harus mnenghadapi kondisi

lingkungan hidup fisik maupun sosial yang tidak ramah sekalipun. Di satu pihak,

mereka harus berusaha agar nilai-nilai hidup yang telah dihayati selama mereka

mengarungi hidup, dapat digunakan oleh anak keturunan mereka. Ini berarti nilai-nilai

hidup mereka mendapat jaminan untuk dilestarikan. Di pihak lain, mereka juga

berusaha agar keturunan mereka dapat mengembangkan kemampuan individual maupun

kelompok dengan sebaik baiknya, untuk menghadapi lingkungan hidup mereka kelak.

Tujuannya adalah agar potensi-potensi sosial mereka kelak dapat berfungsi secara wajar,

tepat dan tak menyimpang dari tata nilai yang mapan. Proses itu dikenal sebagai

sosialisasi.

Menurut Dunham's (1957), seperti dikutip oleh Smelser dan Smelser,

sosialisasi dapat diartikan sebagai “… suatu proses yang membuat kanak-kanak

menyatu dalam budaya kelompoknya, sehingga menjadi orang yang dapat diterima

dalam masyarakat …” (… the process by which the newborn child is moulded into the

culture of his group and hence becomes an acceptable person in that society …)

(Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 475). Sedangkan Elkin (l960) mernberikan batasan

sebagai berikut : “ “…suatu proses yang digunakan oleh seseorang untuk menghayati

tata cara yang hidup dalam masyarakat, sehingga dia dapat berperan di dalamnya” (...

the process by which someone learns the ways or a given society or social group, so

that he can function whithin it) (Lindzey and Aronson, III, 1975, 1975, h. 474).

Dalam proses tersebut anak menghayati peranan sosial yang seharusnya ada,

lewat interaksi yang dimotivasikan oleh harapan-harapan masyarakat. Cooley (1902)

memandang proses semacam itu sebagai suatu ‘looking-glass self’, sementara G. Mead

memandangnya sebagai ‘generalized others’. Dengan cara itu setiap anggota masyarakat

berupaya agar citra mengenai dirinya serasi dengan gambaran masyarakat yang ideal.

88

Page 90: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Jadi masing-masing orang sebenaarnya bagaikan cermin bagi orang lain, sehingga setiap

individu akan tampil sesuai dengan tata nilai yang diakui dalam masyarakat.

Di sanalah sebenarnya mulai terjadi proses memanusiakan manusia atau

humanisasi di antara mereka. Pengertian ini didasarkan atas anggapan bahwa orang tidak

dilahirkan sebagai manusia, namun baru kemudian menjadi manusia (humanized), karena

proses interaksi dengan orang lain dalam lingkungannya. Ini jelas merupakan anggapan

yang diwarnai oleh konsep-konsep sosiologi, di mana dikatakan, bahwa “People are not

born human, but are made human by interacting with the persons in their invironment”

(Lindzey and Aronson, III, 1968, h. 240- 250).

Hal itu dapat dipahami kalau kita meyakini, bahwa manusia baru mempunyai

arti ketika berada dalam lingkungan. Di sana setiap orang akan menempati posisi-posisi

tertentu, dan selanjutnya mempunyai peranan tertentu, dan tampil sesuai dengan

kedudukan serta peran yang dipegangnya. Dalam kaitan dengan peran sosial itulah

sesuatu penampilan dapat dipahami dan mempunyai makna.

Sejak sebagian atau seluruh fungsi pendidikan diserahkan oleh keluarga

kepada lembaga persekolahan, maka proses sosialisasipun tidak urung diperankan pula

oleh lembaga persekolahan itu. Dalam rangka persekolahan itulah kemudian dikenal

istilah pandidikan.

Secara sepintas dapat dinyatakan bahwa pendidikan, khususnya

pendidikan humaniora, tidak mengarah pada kejuruan maupun pada ketrampilan tertentu,

melainkan menuju pada kedewasaan pribadi sebagai manusia dan warga negara,

bukannya sebagai pekerja pada bidang tertentu. Oleh karena itu pendidikan humaniora

memusatkan perhatian pada kelangsungan dan perkembangan seni-seni dan keahlian

yang ungkapannya ditemukan pada khasanah-khasanah dan masalah-masalah besar, dan

pada nilai -nilai yang paling tinggi bagi umat manusia, sebagai -tersebut dalam

Encyclopedia Britanica terbitan 1978, jilid 8.

Seperti halnya Studi Sosial, maka Humaniora merupakan bagian dari

pendidikan yang bermakna humanisasi. Sedangkan humanisasi itu sendiri tidak lain

adalah sosialisasi itu sendiri, yaitu proses untuk membuat manusia tetap mempertahankan

harkat kemanusiaannya. Ini merupakan sisi lain dari proses pendidikan yang

menekankan pada kemahiran ketrampilan yang membuat orang menjadi ssemacam robot,

89

Page 91: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sehingga kehilangan nilai kemanusiannya.

Masalahnya mulai muncul manakala dipertanyakan mengenai makna

manusiawi, yang berbeda menurut pandangan mereka mengenai hakekat manusia.

Pengalaman menunjukkan pada kita, betapa cita-cita humanistik yang terdapat

di dalam setiap program pendidikan itu selalu cenderung bersifat elitis. Kecenderungan

teraebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut:

1) Bahwa konsep tentang manusia itu selalu dirumuskan oleh kelompok

yang secara struktural memiliki kemungkinan untuk mengekspresikan

gagasan budayanya. Sedangkan golongan bawah yang secara

struktural tak sempat secara verbal menyatakan gagasan tentang

manusia, hanya tinggal menjadi semacam ‘kebudayaan diam’, menurut

Paulo Freire dalam ‘Cultural Action for Freedom’.

2) Sementara kelompok yang sempat menyatakan gagasan tentang

manusia itu menjadi semakin dominan, kelompok bawah tinggal

melakukan internalisasi nilai-nilai yang disusun oleh kelompok elite

tersebut

3) Manakala terjadi pergeseran di kalangan kelompok elite, berubah pula

panutan (kelompok rujukan) dalam nilai hidup ideal. Misalnya nilai

borjuasi telah menggantikan nilai ideal yang berdasarkan cita-cita

kebangsawanan.

(Dick Hartoko (ed), 19851h.l0)

Proses pemanusiaan (humanisasi) itu berlangsung dalam lingkungan-

lingkungan keluarga serta lembaga persekolahan yang mulai mempunyai fungsi jelas,

yaitu mentransmisikan nila-nilai kepada generasi yang sedang tumbuh, agar supaya

dapat menghadapi hidup kelak dengan lebih baik (Coxon and Jones, l975 h. 257).

Lepas dari corak apapun yang menjadi warna nilai ideal yang diajarkan,

menurut Durkheim dalam bukunya Education and Sosciology, harus diakui betapa

pendidikan adalah produk masyarakat. Dan maksud proses itu sudah jelas, yaitu agar

masyarakat dapat tetap survive (Oteng Sutisna, 1962, h. 38).

90

Page 92: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Di dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dipungkiri, misalnya adanya

dominasi sub kultur atau sub sosial, yang karena dianut oleh mayoritas penduduk serta

telah kokoh hidup di dalam masyarakat, nampaknya memberikan corak yang cukup

dominan dalam pertumbuhan budaya masyarakat Indonesia. Yang dimaksud dalam hal

mi ialah nilai-nilai lokal, seperti nilai Jawa, agama-agama dunia maupun kebnudayaan

Barat. Sehingga misalnya, humanisasi yang berlangsung dalam pola pertumbuhan

budaya di Indonesia, khususnya di dalam masyarakat Jawa, menjadi bersifat Jawa pula.

Dan manakala proses itu berhasil, orangpun mengatakan bahwa seseorang telah “menjadi

Jawa” atau “njawani”. Demikian pula kalau anak-anak bersekolah yang dikelola oleh

yayasan berdasarkan agama tertentu, tentunya mereka mendapat semangat agama tertentu

tersebut. Namun secara formal orang mengakui atas dominasi masyarakat Indonesia

sebagai supra sistem, yang mempunyai kemampuan untuk melakukan proses

pemanusiaan (humanisasi) mengikuti pola yang lebih luas cakupannya. Yang dimaksud

adalah gagasan ‘pembanguan manusia seutuhnya’, seperti yang dimaksud oleh Konstitusi

maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), seperti kita saksikan dalam masa

Orda Baru, yang memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan generasi mudanya

lewat lembaga persekolahan.

Terlepaas dari setuju atau tidak setuju terhadap materi maupun rumusan

tujuan pendidikan yang dikembangkan, strategi yang jelas itu sungguh amat bermanfaat.

Swtelah masa Orde Baru berlalu dan kita memasuki era reformasi, garis-garis besar

kebijaksanan pendidikan tidak lagi tegas dan gamblang. Di masa Orde Baru seluruh

konsep pendidikan di Indonesia telah dirumuskan dalam buku Repelita II, yang berbunyi

sebagai berikut :

… membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan ruhaniah, memiliki

pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung

jawab, dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat

mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,

serta mencintai bangsanya dan sesamanya

(Buku Repelita II 1974/1975 - 1978/1979).

91

Page 93: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Konsep mengenai pendidikan itu kemudian diperbaharui dalam Garis - Garis

Besar Haluan Negara (GBHN) 1983, yang antara lain berbunyi :

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan,

mempertinggi budi pekerti, memperkuat budi pekerti dan mempertebal semangat

kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia - ma nusia

pembangun an, yang dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama

bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

(UUD 1945, p - 4, GBHN 1983, 1984, h. 137).

Sebetulnya rumusan Tujuan Pendidikan itu merupakan penjabaran Arah

Pembangunan Jangka Panjang, yang termaktub dalam GBHN 1983, yang berbunyi :

Pembangunan dilaksanakan di dalam rangka bangunan Manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia

……………………………………………………………………….

Indonesia menghendaki keselarasan hubungan antara manusia dan Tuhannya,

antara sesama manusia serta lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan

antara bangsa-bangsa dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dan

mengejar kebahagiaan di akhirat, karena kehidupan manusia dan masyarakat yang

serba selaras adalah tujuan akhir Pembangunan Nasional ;

(UUD 1945, P4 dan GBHN 1983, 1984, h. 96).

Masih di sekitar program pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah,

maka di dalam masyarakat terdapat pula Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan

Generasi Muda. Arah proses pendidikan, pembinaan dam pengembangan terhadap

generaai muda tersebut terlihat pada diagnosis orang dewasa mengenai generasi muda ,

yang antara lain dinyatakan sebagai berikut :

1) Dirasakan menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme

di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda.

92

Page 94: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

2) Kurangnya yang dialmi oleh generaai muda terhadap masa depannya.

3) Belum seimbangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas

pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun nonformal,

tingginya jumiah putus sekolah yang diakibatkan oleh berbagai sebab

yang bukan hanya merugikan generasi muda sendiri, tetapi juga

merugikan seluruh bangsa.

4) Kurangnya lapangan dan kesempatan kerja, serta tingginya tingkat

pengangguran/setengah pengangguran di kalangan generasi muda,

dapat mengakibatkan berkurangnya produktifitas nasional dan

memperkambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional,

serta dapat menimbulkan berbagai problema sosial lainnya.

(Sekertariat Menmud Urusan Pemuda, 1978, hal. 14-15).

Setuju atau ridak setuju terhadap konsep ujuan pendidikan yang dirumuskan

dalam masa Orde Baru kita harus mengakui lengkapnya koinsep perencanaan pendidikan

generasi muda di masa itu, sehingga bisa diperhatikan kualitas generasi yang bagaimana

yang diharapkan akan “lahir” di masa depan. Jelas konsep seperti ini menunjukkan

lengkapnya transformasi generasi muda yang diharapakn oleh masyarakat orang dewasa

atau rezim yang berkuasa. Kerika memasuki era reformasi seperti yang kita alami, pada

pendidik tidak memiliki pedoman berupa regulasi yang gamblang mengenai konsep

pendidikan generasi muda.

4. IPS UNTUK PENDIDIKAN IPS

Seluruh harapan sosial yang menjadi milik bersama warga masyarakat,

merupakan warisan budaya yang telah dikomunikasikan lewat setiap proses interaksi

sosial sepanjang sejarah. Proses itu menggunakan berbagai kelembagaan, sejak

keluarga, sekolah, teman sebaya, masyarakat, kelembagaan profesional, dengan

menggunakan jalur-jalur tradisional maupun moderen. Ketika bangsa Indonesia

93

Page 95: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sebagai komunitas besar tumbuh menjadi bangsa merdeka, harapan-harapan sosial

tersebut dirumuskan di dalam konsep integratif yang bernama Pancasila. Orang dapat

memandang Pancasila sebagai konsep politik, namun Pancasila juga merupakan konsep

sosial budaya. Artinya, bahwa seluruh penampilan masyarakat dan warganya dalam

memainkan peranan yang sesuai dengan status dan posisinya dalam masyarakat, harus

mengacu pada harapan harapan sosial tadi sebagai suatu ‘role expectation’.

Ketika Indonesia telah menjadi bangsa merdeka maka proses pengkomunikasian

harapan-harapan sosial dalam rangka interaksi sosial, menggunakan juga jalur-jalur

formal seperti lembaga persekolahan dan sebagainya, setelah melewati proses legalistik

yang berlaku dalam konstitusi. Pada instansi tertinggi formulasi dan penjabarannya

tertuang dalam GBHN selama masa Orde Baru. Sebelum itu, selama masa Orde Lama

proses itu berlangsung melalui pidato-pidato Bung Karno nyaris berlangsung setiap saat.

Di masa Orde Baru tujuan pendidikan sebagai formulasi dan harapan-harapan sossial,

yang terdapat dalam GBHN, kemudian dijabarkan ke dalam lembaga-lembaga perseko-

lahan secara kurikuler.

Pada tahun 1970-an mulai diadaptasi dan diadopsi oleh pemerintah Indonesia, dan

pada tahun 1975 dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan diberi nama Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS). Istilah tersebut dimunculkan oleh Ketua Pusat Kurikulum

Badan

Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (PK-BP3K).

Sehingga kemudian, misalnya kita mengenal Tujuan Kurikuler Bidang Studi Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS) di SMA, sesuai dengan Kurikulum 1975, yang dianggap

relevan dengan Tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Di sana termaktub antara lain

sebagai berikut :

1. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang hubungan

perkembangan sejarah nasional, sehingga dapat menghargai

perjuangan daerah.

2. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang sejarah Indonesia dalam

hubungan dengan negara tetangga, sehingga dapat melihat kedudukan

Indonesia dalam kedudukan antar bangsa

3. Siswa mengetahui, menyadari dan menghayati keaneka ragaman

94

Page 96: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kebudayaan daerah dalarn rangka kesatuan kebudayaan Indoensia.

4. Siswa merniliki pengetahuan lanjutan tentang keadaan geografis

Indonesia dan dapat melihat potensi dalam kehidupan bangsa.

5. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan dan pengertian bahwa

perekonomian Indonesia disusun berdasarkan azas kekluargaan dan

mampu berpartisipasi dalam perkembangan perekonomian Indonesia.

6. Siswa memahami dan menyadari pentingnya bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan mampu

berpartisipasi di dalam pemanfaatannya untuk kemakmuran dan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

7. Siswa mengerti dan menyadari masalah yang berhubungan dengan

pertumbuhan dan penyebaran penduduk, sehingga dapat menghargai

usaha-usaha yang akan dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah

dalam menanggulangi masalah-masalah kependudukan

8. Siswa memahami dan menghargai kerja sama Indonesia dengan

negara tetangga dan negara lainnya dalam bidang sosial, ekonomi dan

kebudayaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

(Kurikulum SMA 1975, GBPP buku IIc,

Bidang Studi IPS)

Istilah IPS dimaksudkan sebagai label beberapa mata pelajaran ilmu-ilmu sosial

untuk program pembelajaran di Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (Sumantri, 1995). Dalam kurikulum sekolah tahun 1975,

pengertian

IPS adalah bidang studi yang terdiri dari bagian-bagian ilmu sosial yang dipadukan untuk

keperluan pendidikan di sekolah. Pengertian ini sama dengan yang diterapkan di Amerika

Serikat. IPS mempakan mata kuliah bidang studi untuk membekali mahasiswa calon guru

IPS, yang mengkaji hakikat IPS, termasuk pula karakteristik, tujuan, fungsi dan peran

IPS, pengorganisasian materi, sumber materi, pendekatan dan strategi belajar mengajar,

metode pengajaran, sumber belajar dan media pengajaran IPS, penilaian belajar mengajar

IPS. Di samping itu diberikan pula pengertian tentang struktur disiplin ilmu-ilmu sosial

95

Page 97: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dan konsep- konsep pokok yang digunakan, dalam rangka memahami substansi IPS.

Karena perubaha kurikulum, maka kuliah ini disederhanakan menjadi Wawasan IPS

(1988).

Kurikulum pada sekolah lanjutan tersebut merupakan penjabaran konsep

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam artian Studi Sosial. Dan konsep Studi Sosial

tersebut pada tingkat Pendidikan Tinggi dijabarkan dalam wujud Program Ilmu Sosial

Dasar (ISD) ataupun Studi Sosial Dasar (SSD). Pada dasarnya program-program Studi

Sosial tersebut dimaksudkan sebagai program pendidikan interdisiplin, dengan

mengembangkan konsep-konsep yang digunakan dalam Ilmu-Ilmu Sosial, dan

dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, persepsi maupun sikap terhadap

berbagai tantangan yang dihadapi dalam masyarakat. Lewat program-program

pelajaran IPS di sekolah sebenarnya proses sosialisasi juga berlangsung, dengan tujuan

agar terjadi perubahan sikap pada siswa. Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud adalah

perubahan ke arah penerimaan tata nilai yang diakui dalam masyarakat. Dan

perubahan itu akan nampak pada kecenderungan-kecenderungan penampilan siswa

dalam memainkan peranan soaial mereka.

Pada setiap pegantian kurikulum sekolah rumusan tujuan itu seharusnya secara gamblang

terbaca oleh guru IPS, dan sudah dikomunikasikan kepada peserta didik dan bisa

dijabarkan ke dalan perilaku sosial. Dalam era reformasi proses penyampaian harapan-

harapan sosial itu dikomunikasikan lewat berbagai cara sesuai dengan era keterbukaan.

Bisa lewat media-media kegiatan politik di DPR, pernyataan politik, media massa,

diskusi terbuka, dialog publik, demonstrasi publik, penulisan buku, maupun forum

pengadilan dsb. Sementara itu Kurikulum IPS telah mengalami bekali-kali perubahan dan

penyempurnaan. Kurikulum IPS 1975 kemudian digantikan dengan Kurikulum 1985,

yang mengalami penyempurnaan dua tahun berikutnya, menjadi Kurikulum 1986.

Delapan tahun kemudian kembali mengalami perubahan/penyempurnaan dengan

keluarnya Kurikulum 1994. Dan dalam era reformasi kita mengenal

Kurikulum 2006. Semua itu merupakan upaya untuk merumuskan dan menjabarkan

rumusan harapan sosial terhadap masa depan generasi muda.

96

Page 98: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

5. PS UNTUK MUBALIG

Peranan mubaligh pada dasarnya adalah menyampaikan pesan kepada sasaran

warga masyarakat dengan metode dan media tertentu dalam situasi tertentu. Itu adalah

situasi komunikasi pada umumnya. Kata mubaligh berasal dari kata balagha , yang

berarti menyampaikan pesan dengan media bahasa. Jadi tabligh berarti penyampaian.

Artinya penyampaian pesan oleh pihak tertentu kepada pihak lain. Dalam bahasa

komunikasi situasi komunikasi berati ada komunikator menyampaikan pesan kepada

komunikan dengan menggunakan cara/media tertentu dalam situasi tertentu. Dalam

situasi tabligh seorang mubalig adalah seorang komunikator, sedangkan jamaah, santri,

audiens ataupun masyarakat binaan adalah sasaran atau komunikan. Cara atau medianya

bisa berbagai macam. Dalam penyiaran agama kita kenal kata dakwah yang berarti

mengajak, berasal dari kata da`a. Kita mengenal ada dua macam, yaitu dakwah bil lisan

(ajakan dengan lisan, seperti ceramah maupun tulisan) dan dakwah bil hal (dengan

tindakan, seperti pelatihan atau tindakan nyata. Tabligh adalah berdakwah dengan media

bahasa verbal. Dalam situasi tabligh itu seorang mubaligh (juu dakwah) bertujuan untuk

menyampaikan pesan agar komunikan mau menyimak, lalu memahami sesuatu,

melakukan sesuatu dsb. Ini berarti mubaligh melakukan ajakan. Itu sebabnya bertabligh

disebut juga berdakwah atau meminta atau mengajak. Dan mubaligh disebut juga da`i

atau pelaku untuk mengajak orang agar mau memenuhi ajakan sesuai dengan pesan atau

harapan.

Dalam literatur Nasrani mubaligh atau da`i disebut misionaris atau ppenginjil.

Disebut misionaris karena peranan mereka adalah menyampaikan tugas atau misi untuk

menyampaikan pesan. Disebut penginjil, karena isi pesan yang disampaikan adalah isi

atau ajaran yang termaktub dalam Kitab Suci Injil Seorang penganjur, propagandis,

petugas marketing, penginjil, misionaris, mubaligh, da`i maupun guru memiliki peranan

yang sama, yaitu berkomunikasi dengan manusia yang menjadi anggota masyarakat yang

nenjadi sasaran pesan. Inti pesan dari semua macam peranan sosial di atas adalah agar

sasaran mau melakukan apa-apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan itu berisi

ajakan untuk meyakini kebenaran ajaran, kemudian mengamalkan ritus-ritus agama,

97

Page 99: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

berperilaku sesuai budipekerti yang diajarkan maupun melakukan amalan soleh di antara

sesama umat.

Dalam bahasa IPS proses tersebut disebut sosialisasi, yang dalam masyarakat

lebih sering diartikan sebagai penyebarluasan (penyiaran) sesuatu isi pesan. Dalam IPS

sosialisasi diartikan sebagai “proses adaptasi diri dalam tata nilai yang berlaku

dalam masyarakat”. Dalam proses tersebut tugas para mubaligh sebagai komunikator

adalah merangsang, memotivasi, atau memfasilitasi komunikan maupun memberikan

tauladan agar mampu melakukan “adaptasi diri demgan tata nilai baru yang sesuai

dengan harapan masyarakat”, seperti yang terdapat dalam syariat agama. Orang tua

dalam keluarga juga mempunyai fungsi sebagai mubaligh atau da’i dalam penyiaran

agama.

Dalam keluarga juga terjadi rangkaian ‘conditioning’ bagi anak, untuk dapat

menghayati berbagai ni1ai kolektif yang dityujuk dari ajaran agama. Kemudian sebagai

sub sistem dalam sesuatu masyarakat, maka keluarga dalam fungsi sosialisasi tidak dapat

melepaskan diri dari pola-pola nilai kolektif sesuatu masyarakat. Sehingga mubaligh

memiliki kebebasan memilih cara dalam menyampaikan pesan sesuai dengan situasi dan

kondisi sesuatu masyarakat.

tulah institusi yang dianggap paling awal dan efektif dalam proses sosialisasi.

Itulah sebabnya, misalnya, orang berbicara mengenai proses sosialisasi keluarga Muslim

ataupun komunitas pesantren dalam masyarakat Islam. Di sana dikomunikasikan

harapan-harapan sosial yang sesuai dengan pola budaya dan tata nilai yang diakui dalam

ajaran Islam atau lebih tegas lagi sesuai dengan ajaran syariat Islam.

Para komunikator, baik sebagai guru IPS, mubaligh, misionaris, propagandis

dsb. harus mengetahui berbagai kemungkinan motivasi yang bisa mendorong terjadinya

konformitas yang diharapkan. Dengan demikian para komunikator tersebut bisa

memanfaatkannya dengan baik.

Menurut Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang

mendasarinya, yaitu compliance, identification dan internalization.

‘Complianc’ merupakan istilah lain untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan

ialah penampilan seseorang, baik berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya

dilandasi oleh kehendak memperoleh ganjaran atau pujian, atau menghindari hukuman

98

Page 100: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

atau disingkirkan atau mendapat celaan masyarakat. Orang tersebut kemudian

menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala

harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka

orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan

mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang

batin. Dalam bidang penyiaran agama sering dikemukakan sebagai pendoeong timbulnya

ketaatan dengan konsep ‘sorga dan neraka’, atau ‘pahala dan siksa’.

‘Identification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut Kelman “ …

refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be like the

influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi kehendak

mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata karena ingin

menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan gejala ketundukan

pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference). Dalam agama Islam dikenal

konsep ‘ittiba`’ (meniru) pada Nabi atau Raul Muhammad, yang diposisikan sebagai

‘uswatun hasanah’ atau tauladan baik, atau sebagai model Muslim sejati, karena Nabi

dianggap sebagai ‘insan kamil’ atau manusia sempurna.

Jenis konformitas, terjadi sebagai ‘internalization’ yang merupakan tingkatan

pengaruh yang paling permanen yang ada dalam seriap individu. Akibatnya, nilai dan

sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh

individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata

nilai mapan.

6. IPS UNTUK PEMBANGUNAN KESEHATAN

Sejak lama setiap kali orang berbicara tentang pembangunan kesehatan atau

menanggulangi berbagai gangguan kesehatan, orang lebih sering orang menengok pada

peranan para tenaga medik, yaitu para dokter dari berbagai keahlian khusus, maupun

paramedik, seperti para perawat kesehatan, bidan maupun tenaga kesehatan lain. Kalau

tidak ada dokter, warga akan menyerahkan nasib mereka pada para mantri kesehatan

ataupun bidan.

99

Page 101: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Para dokter dan dunia medik adalah para dewa penolong dalam upaya membuat

masyarakat sehat. Namun orang sering menghadapi kenyataan betapa pertolongan dunia

medik tidak selalu memuaskan, baik karena penampilan dokter yang dianggap ogah-

ogahan, maupun karena dianggap mahal. Oleh karenanya mereka juga mengunjungi

parnormal sebagai alternatif lain untuk supaya sehat kalau penyakit mereka tidak juga

kunjung bisa diatasi. Biasanya pasien yang dirujuk ke dokter sudah parah dan sangat

terlambat, ketika penyakit sudah mulai gawat.

Kasus-kasus semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman warga masyarakat

tentang penyakit dan penanggulannya masih rendah. Atau barangkali tingkat kemampuan

ekonomi mereka rendah sehingga tidak mampu menunjang penjagaan kesehatan

keluarga. Sampai kemudian muncul ungkapan sinis dalam masyarakat begini : “Orang

miskin dilarang sakit”. Padahal hubungan antara kemiskinan dan sakit amat akrab. Sering

terdengar pula komentar tentang sikap para dokter yang lebih bersifat sebagai “dokter

menghadapi penyakit”, yang bersifat formal terapik, dan tidak sebagai “dokter

menghadapi orang yang sedang sakit”, yang sikapnya harus lebih manusiawi dan

personal.

Setiap kali kita menyaksikan tayangan tentang kasus-kasus korban flu burung,

DBD, lumpuh layu, gizi buruk dsb, selalu dihubungkan dengan upaya penyembuhan

dan perawatan oleh bidang medik. Bahkan dalam masyarakat awam yang dimaksud

dengan penyembuhan dan perawatan sakit adalah suntik atau obat. Kalau dua tiga hari

belum ada kesembuhan setelah mereka berkonsultasi pada seseorang dokter, mereka akan

datang pada dokter lain. Pengertian semacam itu tentang pembangunan kesehatan

sebetulnya bukan hanya ada di kalangan masyarakat awam.

Pemahaman semacam itu nampaknya telah mengalami perubahan. Paradigma

sehat telah berganti dengan paradigma baru tentang sehat. WHO pernah mendefinisikan

bahwa sehat itu bukan sekadar perasaan nyaman dan terhindar dari cacat dan sidak

merasa sakit. Sehat harus dikaitkan dengan kemampuan untuk berinteraksi sosial. Untuk

itu pembanguna kesehatan bukan sekadar bagian dari penyembuhan dan merawatan,

melainkan bagaimana menciptakan kondisi sehat agar tidak sakit. Untuk itu perlu

dikembangkan sikap dan budaya sehat dalam masyarakat.

100

Page 102: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Yang dimaksud dengan pengertian pembangunan kesehatan adalah semua upaya

manusia yang berkaitan dengan upaya membuat warga masyarakat sehat, jasmani, ruhani,

mupun sosial. Upaya yang pertama-tana dilakukan adalah melakukan pencegahan pada

seseorang dari penyakit, yang dalam kedokteran disebut upaya preventif dan promotif.

Tujuannya untuk mencegah dan menjaga agar tidak kena penyakit. Tindakan yang

dilakukan juga melakukan promosi kepada warga masyarakat untuk bisa hidup sehat.

Secara umum langkah itu dapat dilakukan dengan menjaga lingkungan hidup

agar tidak menjadi sumber penyakit dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat agar

terhindar diri menjadi sakit. Upaya kedua yang dilakukan adalah mengembangkan

sikap hidup sehat, yang cakup pola makan, gaya hidup maupun pola hidup keruhanian.

Upaya selanjutnya adalah mengobati penderita agar segera sembuh dari sakit, dan

dikenal sebagai langkah kuratif. Upaya yang dilakukan adalah dengan perawatan dan

pengobatan atas penyakit. Pada fase ini dilakukam pula langkah rehabilitasi pada bekas

penderita maupun masrarakat sebagai kelompok.

Langkah kebijakan kesehatan seperti itu mendasarkan pada paradigma baru

pembangunan kesehatan seperti disebutkan di muka. Yang dimaksud adalah cara

pandang maupun pola pikir atau model pembangunan kesehatan yang bersifat lintas

sektor, dan upayanya lebih diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan, dan

perlindungan kesehatan. Jadi bukan hanya menyembuhkan orang sakit atau pemulihan

kesehatan.

Selanjutnya menurut paradigma pembangunan kesehatan itu, dikenal tiga pilar, yaitu 1)

Lingkungan Sehat, 2) Perilaku Sehat, dan 3) Pelayanan kesehatan, yang merupakan

langkah-langkah strategis pembangunan kesehatan. Semua langkah tersebut bisa

dilakukan secara individual maupun secara massal. Baik dilakukan atas prakarsa sendiri

maupun dengan fasilitasi maupun bimbinhgan dari pemerintah maupun lembaga.

Nampaknya kondisi lingkungan yang sehat maupun perilaku sehat merupakan

salah satu syarat bagi terjadinya hiodup sehat . Sedangkan ketika kita menghadapi sakit

beberapa hal yang harus dipersiapkan adalah ketersediaan fasilitas pengobatan, seperti

prasarana dan sarana kesehatan, dan tenaga medik maupun tenaga para medik sangat

multlak diperlukan, Lebih dari itu semua adalah perilaku dan budaya sehat. Lalu apa

101

Page 103: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dan seberapa besar peranan atau kontribusi IPS dalam mengembangkan program

kesehatan dan hidup sehat dalam masyarakat?

Nampaknya, pada fase manapun kita berada, fase preventif dan promotif,

maupun fase kuratif dan rehabilitasi, program pembangunan kesehatan melibatkan

berbagai pendekatan atau pendekatan terpadu, yang menggabungkan PLH (Pendidikan

Lingkungan Hidup), IPS, maupun kedokteran, kimia, farmakologi, keperawatan, maupun

IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat), sesuai dengan lingkup masing-masing pilar :

liongkungan hidup sehat, perilaku sehat, dan pelayanan kesehatan. Tahulah kita bahwa

pembangunan kesehatan pada dasarnya bukan interaksi antara pelayanan kesehatan

dengan penyakit, yang mencakup virus, bakteri, mikroba, patologi anatomi, inveksi

semata, melainkan menghadapi perilaku sehat maupun lingkungan sehat, yang berwujud

manusia dengan berbagai kualitas perilakunya sosial budayanya.

Dapatlah akhirnya dikatakan bahwa dalam proses pembangunan kesehatan, yang

terjadi adalah sebuah jaringan interaksi sosial yang bertujuan untuk melakukan

soisialisasi dan adaptasi sosial sesuai dengan harapn sosial dalam lingkup bidang

kesehatan. Di sinilah barangkali peranan atau kontribusi IPS dalam proses pembangunan

kesehatan harus segera dimainkan. Secara teknis fungsi itu bisa dilakukan secara

konvensional seperti kurikuler persekolahan fdormal maupun lewat pendidikan luar

sekolah (PLS) yang dilakukanm secara simultan.

7. IPS UNTUK POLITISI

Di masa Orde Baru berbagai kegiatan pembangunan, terutama kebijaksanaan

pembangunan bidang politik dan pendidikan telah dirancang dalam sebuah strategi yang

mendasar dan menyeluruh dalam apa yang dikenal dengan GBHN. Kalau dalam

pembangunan bidang politik menjadi amat penting karena akan menjadi landasan uatama

dalam pengelolaan bangsa, pemerintahan, dan negara, maka pembangunan bidang

pendidikan tidak kurang pentingnya, karena merupakan landasan bagi penciptaan dan

pengembangan generasi muda yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan rezim yang

berkuasa. Oleh karenanya talah dirumuskan segala kebijaksanaan bidang-bidang tersebut

di atas dalam BGHN secara gamblang. Dengan demikian sudah tak disangsikan lagi,

102

Page 104: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

bahwa rumusan tersebut merupakan penjabaran dari cita-cita bangsa sejak jauh

sebelum Proklamasi kemerdekaan 1945, yaitu suatu ‘integrasi sosial’. Yang dimaksud

adalah suatu keselarasan, kerasian di antara sub-sub sistem dengan masyarakat Indonesia

sebagai suatu sistem yang lebih dikenal sebagai ‘integrasi bangsa’.

Hal tersebut di atas dapat terjadi karena pada dasarnya masyarakat merupakan

suatu kesatuan padu di antara warganya, di mana masing-masing warga memiliki peranan

tertentu karena menduduki status atau posisi tertentu pula dalam masyarakat. Di antara

mereka terjalin suatu hubungan saling ketergantungan bagaikan suatu anyaman.

Dalam konsep politik dikenal istilah ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi

politik’, yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatasi akibat negatif dalam

masyarakat majemuk, baik dalam artian ideologis, budaya, etnis, kawasan dan

sebagainya. Sementara itu kita juga mengenal ‘pembauran bangsa’. Konsep ini

merupakan bagian dari konsep politik ‘integrasi nasional’ di atas, namun iebih

diarahkan sebagai strategi untuk mengatasi masalah eksklusifisme etnik Tionghoa,

misalnya. Yang dimaksud tidak lain adalah konsep mengenai proses integrasi sosial.

Sebetulnya konsep-konsep tersebut merupakan konsep politik, yang

menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih, konsep tersebut disiapkan nuntuk

menjawab rnasalah perbenturan dengan arus kebudayaan asing, yang secara politis

diartikan sebagai selalu bertentangan dengan kepentingan nasional. Semua itu

dilancarkan dalam rangka proses ‘nation and character building’ yang sudah dicanangkan

oleh Bung Karmo. Sebaliknya dengan ‘integrasi sosial’ dimaksudkan sebagai proses yang

datang dari dalam (immanent) pada setiap masyarakat, agar dapat tetap survive, agar

tidak terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian,

konsep integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak

memperkenankan keberadaan sub-sub sosial, melainkan yang penting adalah adanya

keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harmoni

Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian

yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragarn,

namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski

harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan

103

Page 105: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan,

yang telah didambakan sejak lama.

Apa yang biasa disebut sebagai pendidikan politik pada dasarnya merupakan

pendidikan kapada warga negara maupun kepada generasi muda IPS, agar peserta didik

menyiapkan diri untuk menjadi warga negara yang baik. Penjabarannya, agar sebagai

warga negara yang baik nantinya mengetahui dan mampu memainkan fungsi sosial

mereka sesuai dengan hak dan kewajiban sebagaimana tertera dalam aturan main yang

berlaku. Program panataran P4 selama masa Ode Baru pada dasarnya program

pendidikan politik yang dilaksnakan umtuk kepentingan politik. Prosesnya tidak lain

mengikuti konsep-konsei pendidikan IPS seperti yang dikembangkan dalam lemb aga

pendidikan formal. Oleh kareananya sangatlah penting para politisi memiliki pemahaman

berbagai konsep sosiologis maupun psikologi sosial, agar lebih mampu memainkan

fungsi sebagai politisi dalam mengembangkan pendidikan politik.

8. IPS UNTUK MEMAHAMI KAUM REMAJA

Sebagai bagian dari umat manusia, remaja juga mempunyai tiga dimensi, yaitu

dimensi fisik, dimensi psikik, dan dimensi sosial-kebersamaan. Pernyataan ini sesuai

dengan anggapan yang dikemukakan Piaget menyatakan, bahwa “Psychologically,

adolescence is the age when the individual becomes integrated into the society of adults,

the age when the child no longer feels that he is below the level of his elders but equal, at

least right …”. Jadi pada saat-saat itu remaja sudah mulai merasa mempunyai hak sama

dengan orang dewasa dalam pergaulan, padahal sementara itu sebetulnya mereka belum

dapat meninggalkan dunia kanak-kanak mereka secara tuntas. Akibatnya, mereka

menjadi serba tanggung. Dalam keadaan semacam itu, mereka sering mengalami

kebimbangan ketika harus menghadapi kehidupan dalam masyarakat (E.B. Hurlock,

1981, h. 222).

Di hadapan para remaja itu terpampang budaya orang dewasa, sekali gus

mereka masih tenggelam dalam budaya kaum belia yang amat merangsang. Sebagai

akibatnya, antara lain mereka cenderung untuk mengingkari, dan bahkan sering

104

Page 106: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

melakukan protes terhadap nilai serta x budaya orang

dewasa. Dalam pada itu mereka tidak memiliki kesiapan yang baik untuk memasuki

masyarakat orang dewasa dengan standar nilai dewasa. Untuk memberikan gambaran

lebih lengkap mengenai masa remaja, perlu dikemukakan sejumlah karakteristik remaja

sebagai berikut.

1) Masa remaja adalah masa perubahan, baik fisik maupun psikis, seperti badani

dan interesnya, kematangan seks, emosi, pembentukan pola tingkah laku, nilai,

sikap dan sebagainya.

2)

3) Masa remaja sdalah masa peralihan. Mereka meninggalkan masa lampau,

namun dalam menghadapi masa baru dihantui kebimbangan, baik dalam

memahami status maupun melaksanakan peranannya.

4) Masa remaja adalah masa kebimbangan. Jiwa mereka seolah-olah terbagi

ketika menghadapi perubahan. Mereka ingin kebebasan, namun enggan untuk

memikul tanggung jawab. Mereka juga meragukan kemampuan diri dalam

bertanggung jawab.

5) Remaja adalah masa penuh masalah. Hal ini terutama disebabkan karena

mereka sering tak mampu memecahksn masalah yang mereka hadapi.

6) Masa remaja adalah masa untuk mencari identitas diri. Pada saat-saat itu

remaja mulai meninggalkan identitas kelompok, dan mencari identitas diri

serta penampilannya dalam masyarakat.

7) Masa remaja adalah masa takut menghadapi kenyataan. Misalnya, mereka

merasa takut akan kemampuan orang tua dalam menghadapi remaja, sehingga

selalu merasa canggung.

8) Masa remaja adalah masa yang penuh khayal (unrealism). Artinya, pada

105

Page 107: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

masa itu para remaja memandang diri mereka maupun dri orang lain, seperti

yang mereka harapkan. Akibatnya mereka sering merasa kecewa.

9) Masa remaja adalah masa memasuki ambang dewasa. Mereka mulai mencoba-

coba pengalaman baru, yang diperkirakan sebagai identitas kehidupan dewasa,

misslnya mereka mencoba merokok dan sebagainya. Dengan perilaku tersebut,

mereka yakin dapat membuat bayangan menjadi sesuai dengan yang mereka

inginkan.

(E.B. Hurlock, 1981, h. 221-225)

Secara sosiologis terlihat berbagai kecenderungan menarik dari kehidupan remaja,

yang dilihat dari dimensi sosial-kebersamsannya. Sesusi dengan usia mereka, para

remaja menunjukkan kecenderungan membentuk suatu ‘small society’, yang dikenal juga

sebagai ‘youth culture’, yang nampaknya mempunyai tujuan maupun tata nilai yang

terpisah dari tujuan dan tata nilai yang dimiliki oleh masysrakat orang dewasa. Bagi

mereka masyarakat kecil itu lebih memikat, dan di antara mereka terjalin hubungan

akrab. Bagi mereka segala tetek bengek peraturan atau kebiassan orang dewasa tidak

memikat hati, kalau datang dari orang dewasa, sehingga kemudian mereka cenderung

untuk mengundurkan diri dari tatanan orang dewass dan berdiri sendiri dalam dunia

yang memiliki standar nilai sendiri. Mereka mempunyai gaya bahasa sendiri, model

pakaian sendiri, pujaan bintang film maupun bintang penyanyi sendiri, jenis musik

sendiri dan bahkan mempunyai pola sendiri dalam memerankan serbagai ritus dalam

kelompok. Itulah yang dinamakan kebudayaan kaum belia (youth culture) (Grinder,

1975, 1. 217).

Orang dewasa seharusnya bisa memahami mengapa semua itu dapat terjadi pada

anak-anak remaja, karena pada saat-saat itu sebenarnya mereka sedang ingin menyatakan

kepada dunia luar, bahwa mereka merupakan kawula yang berbeda.

Sementara itu mereka juga merasa bahwa di antara kawan sebaya mereka adalah

satu, yang tidak mau disamakan dengan dunia orang dewasa. Dalam pengertian ini, maka

sosislisasi mempunyai artisebagai proses dan cara penyesuaian dalam hidup ber-

106

Page 108: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

masyarakat (life-adjustment), di mana para remaja harus menelaah aspek-aspek

masyarakat yang mana atau standar nilai yang mana yang sebaiknya diterima dan mana

yang sebaiknya ditolak. Kita bisa memahami masalah tersebut kalau kita menyadari

bahwa pada saat-saat itu para remaja sedang mencari dan menemukan bentuk identitas

diri, sehingga Erick H. Erikson (1965) beranggapan bahwa sosialisasi itu identik dengan

‘identity formation’ (Grinder, 1975, h. 2-4).

Sehubungan dengan adanya ‘youth culture’ itu, maka menurut Porter (1965),

telah tumbuh semacam moralitas baru (new morality) di kalangan remaja itu. Dengan

moralitas baru itu, misalnya, mereka tidak memandang buku kotor itu kotor, atau

sumpah itu suci, misalnya. Sebaliknya, di mata mereka pornografi adalah seni,

kebebasan seks adalah cinta kasih, nihilisme adalah keberanian, dan tidak beragama itu

adalah kebebasan berfikir.

Sungguh mereka tidak habis pikir, menurut Martineau (1966), kalau mereka

memergoki para orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, mengecoh pemerintah dalam

urusan pajak dan sebagainya, sementara para orang dewasa itu selalu saja menekankan

perlunya pendidikan politik, menekankan perlunya kesadaran hukum serta meningkatkan

moralitas bangsa, serta mengobarkan semangat patriotisme. Kesemuanya itu menambah

berkobarnya konflik nilai dalam diri para renaja, kalau mereka menyaksikan gejala

kemunafikan generasi tua. Dan hal itu menjadi sebab terhambatnya tujuan sosialisasi

(Grindar, 1975, h. 5-6).

a. Di sumpang Jalan

Sebsgai remaja mereka mssih bimbang dalam menentukan pilihan ketika menghadapi

dua tekanan atau rangsangan tersebut. Menghadapi keadaan semacam itu, menurut

Talcott Parsons, timbullah keadaan ‘mendua’ pada para remaja. Secara skematis pendapat

Parons tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

107

Page 109: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

GAMBAR 6

DUALITY OF ORIENTATION AMONG THE YOUTH

Rising levels of An almost compulsive

expectation for independence,

children a touchiness with

respect to any adult

expectations and

demands

Duality of

orientation among

the youth

ncreased An equally compulsive

utonomy resulting to conformity and loyalty

from permissive child rearing to the peer group

practices and progressive with very literal

educational methods observation of group norms

and intolerance of deviane

Rangsangan yang datang dari luar, berupa temnan dari generasi tua

mengenai apa-apa yang seharusnya diyakini dan bagaimana seharusnya berperilaku.

Sedangkan rangsangan yang datang dari dalam, berupa meningkatnya otonomi pada

dirinya, sebagsi akibat sosalisasi. Kondisi yang demikian itu membuat dua arah orientasi

yang ditunjukkan oleh sikap para remaja, di satu pihak, arah orientasinya mengikuti

harapan orang-orang dewasa, di lain pihak, arah orientasinya menunjukkan konformitas

dan kesetiaan pada teman sebaya

Kecenderungan yang dihadapi oleh para remaja itu merupakan konsekuensi dari

adanya dimensi sosial kebersamsan remaja sebagai manusia. Terlihat di sini ekspresi atau

penampilan mereka sebagai warga bsru masyarakat. Kebimbangan para remaja itu

terletak pada adanya jalan simpang di hadapannnya, yang masing masing menuju pada

108

Page 110: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

‘menyimpang dari norma kolektif’ dan ‘kehilangan individualitas’.

Nampaknya kecenderungan remaja dalam menghadapi keadaan yang

membimbangkan itu bervariasi, bila kita memperhatikan hasil studi-studi yang

diselenggarakan di Amerika Serikat. Misalnya, ketika hendak mengetahui kecenderungan

remaja yang berumur antara 7 - 12 tahun, Thomson (1949) dan Mitchell (1945)

menemukan, bshwa dalam menghadapi nilai para remaja cenderung menunjukksn

konformitas tinggi. Sementara itu ‘honesty’ menduduki ranking tertinggi, baru kemudian

disusul ‘kindness’ dan ‘charity’ (Arthur Te Jersild, 1965, h. 587-590). Sementara itu

studi Taba (1955) menemukan kecenderungan sebagai berikut di kalangan remaja.

1) Remaja cenderung menerima stereotype yang lazim berlaku dalam

mssyarakat

2) Remaja cenderung enggan untuk menghadapi konflik nilai yang

berlaku dalam masyarakat

3) Remaja cenderung untuk konform dan tunduk pada aturan sekolah

4) Terdapat kecenderungan untuk terjadi kesenjangan antara tata nilai yang

diakui diterima dengan yang sessungguhnya dilakukan.

Selanjutnya Peck dan Havinghurst (1960) berbasil menyusun tipe-tipe remaja

berdasar kecenderungan mereka berhadapan dengan nilai yang berlaku dalam

masyarakat, menjadi lima tipe.

1) Tipe ‘amoral’, yang ditandai dengan sifat mereka yang cenderung

infantil, impulsif tak bertanggung jawab dan sebagainya

2) Tipe ‘expedient’. Mereka merasa cerdik untuk memilih bagian-bagian

nilai mana yang kiranya menguntungkan diri mereka, ataupun cocok

dengan kepentingan mereka. Kecenderungan tersebut menunjukkan

gejala ‘self-centered’ dalam memandang lingkungan.

3) Tipe ‘conforming’, yang ditandai dengan kecenderungan untuk

melakukan perbuatan atau perilaku yang seperti dilakukan oleh orang

109

Page 111: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

lain. Mereka juga cenderung untuk berkata seperti yang seharusnya

dikatakan.

4) Tipe ‘rational conscientious’, yang cenderung cermat penuh penalaran.

Mereka sudah menemukan standar moral yang internal, meski

dijalankan secara kaku. Baik buruk sesuatu perbuatan hanya diukur dari

peraturan, tanpa memperhatikan faktor atau efek yang mungkin timbul

dari perbuatan itu.

5) Tipe ‘rational-altruistic’, yaitu mereka yang lebih mementingkan orang

lain. Mereka sudah cukup matang dan stabil kepribadiannya, dan

menerapkan aturan secara realistik dan rational.

Dan yang lebih menarik dari temuan yang diperoleh studi tersebut ialah, bahwa

mayoritas dari remaja ‘enderung untuk konform dengan tata nilai yang ada, sedang yang

minoritas dari mereka cenderung bertipe ‘rational-altruistic’ (A.T. Jersild, 1963, h. 387-

390). Ternyata hasil studi-studi tersebut menunjang proposisi-proposisi yang

dikemukakan pada awal BAB ini, bshwa individu aakan bertingkah laku sesuai dengan

referensi-referensi pribadi sesuai dengan relevansi sosialnya; bahwa individu akan

mengekspresikan pendapat dan tingkah lakunya sebagai penampilan peran sosialnya

(role enactment) sesuai dengan harapan-harapan sosial yang relevan dengan posisi dan

statusnya dalam masyarakat (role expectations) ; atau bahwa setiap warga baru dalam

masyarakat akan melaksanakan rangkaian proses penyesuaian diri (social and life

adjustment) sesuai dengan pola kolektif yang terdapat dalam masyarakat.

b. Teori Disonans

Cara lain untuk memberi penjelasan terhadap gejala atau kondisi yang

menggambarkan remaja yang berada di antara dua tekanan, seolah-olah berada dalam

simpang jalan, ialah dengan ‘teori disonans’ atau ‘dissonance theory’ dari Festinger

(1957). Dan karena pada dasarnya teori disonans itu bertumpu pada teori kognitif, ada

110

Page 112: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

baiknya dijelaskan lebih dahulu nengenai kognisi.

Istilah kognisi sendiri tak mengandung adanya sesuatu kepastian, namun yang

pasti ialah, bahwa istilah itu dikaitkan dengan pengertian ‘belief’, ‘opinion’,

‘knowledge’, ‘conviction’, dan sejenisnya Nyata di sini, bahwa kognisi bersifat selektif

dan subyektif, karena bergantung pada subyek itu sendiri dalam memahami sesuatu

obyek, pengalaman masa lampau maupun keadaan lingkungan (Krech et al., 1962, h. 17 -

18).

Di antara kognisi-kognisi yang dimiliki oleh seseorang terdapat pertautan satu

dengan lainnya, secara relevan ataupun tidak relevan. Manakala terdapat pertautan yang

relevan di antara kognisi tersebut, maka terjadilah hubungan saling berkaitan (interact).

Kadangkala kaitan antar kognisi itu bersifat saling menunjang, sama tindakan, yang satu

merupakan bagian yang lain, membentuk kesatuan-kesatuan, ataupun sebaliknya saling

bertentangan, memodifikasi yang lainnya, dan bahkan saling berlawanan. Dengan pendek

dapat dikatakan, bahwa kaitan keduanya dapat bersifat konsonan, dapat pula bersifat

disonans.

Sesuatu hubungan disebut konsonan, manakala terdapat konsistensi di antara

kedua kognisi tersebut, dan sebaliknya, disebut disonan manakala tak terdapat

konsistensi di antara keduanya. Sehingga dapatlah diketnukakan baliwa : ‘Two elements

are in dissonant relation if, considering these two alone, the obverse of one elemen would

follow from the other’. Ini berarti, bahwa dua hal disebut dalam keadaan disonan

manakala ‘bukan eleman yang dimaksud’ yang ternyata mengikuti ‘elemen yang lain’.

Secara matematis keadaan disonan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : banwa X

dan Y dalam keadaan disonan, seandai nya bukan-X yang mengikuti Y (Lindzey and

Aronson, III 1968, h. 360).

Dalam kaitan dengan studi ini, maka dapat di kemukakan, bahwa apa yang

dapat disaksikan oleh generasi muda mengenai tingkah laku sebagian generasi tua, baik

langsung maupun tidak langsung, ialah sesuatu yang disonan. Di satu fihak mereka

menerima sesuatu tata nilai luhur masyarakat, yang diajarkan dan dimotivasikan lewat

berbagai interaksi sosial. Diharapkan oleh generasi muda, generasi tuapun tarnpil dalam

masyarakat sesuai dengan tata nilai yang diajarkan. Namun dalam kenyataan, di mata

generasi muda generasi tua justru melakukan tindakan yang tidak serasi dengan tata nilal

111

Page 113: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

yang diajarkan tersebut. Artinya, telah terjadi sesuatu kejanggalan, karena ‘bukan X'

yang keluar mengikuti elemen Y’.

Dalam pada itu, seperti teiah dikemukakan di depan, generasi tua telah pula

melihat sesuatu kejanggalan (disonansi), karena generasi muda telah tampil ‘tidak sesuai

dengan harapan sosial’ seperti yang sejak semula diharapkan oleh generasi tua menurut

keyakinan mereka.

Menurut pandangan orang dewasa (generasi tua), generasi muda telah

mengalami ‘erosi nilai’, dan dianggap memprihatinkan oleh karenanya diperlukan

sejumlah tindakan yang mendisiplinkan kembali, agar tidak terdapat lagi kondisi

disonan. Sedangkan tindakan atau alternatif respon yang diambil oleh generasi muda

mungkin tidak sepositif yang dilakukan oleh fihak orang dewasa, karena posisi mereka

yang memang berbeda dalam masyarakat.

Di satu pihak, orang dewasa merasa menduduki posisi pemegang kendali,

karena kedudukan mereka yang mapan dalam masyarakat. Di lain pihak, orang muda

merasa belurn terikat dengan tata nilai masyarakat secara penuh. Oleh karenanya respon-

respon kaum muda cenderunga bersifat protes, urakan, menganggap sepi tata nilai,

ataupun berusaha menghindarkan diri dari situasi yang diperkirakan dapat menimbulkan

kondisi disonan Dan sebagai akibatnya, bentuk respon tersebut menimbulkan kesan masa

bodoh (apatisme) terhadap masalah sosial. Untungnya, respon yang terakhir ini akan

tampak dalam ujud konformitas dengan tata nilai masyarakat.

Disonansi kognitif merupakan keadaan berbahaya.

2) Manakala seeorang menyaksikan adanya disonansi, orang tersebut berusaha

untuk mengurangi atau melenyapkannya dengan jalan menghindarkan diri dari

kejadian yang diperkirakan dapat meningkatkan kondisi itu.

3) Setiap orang akan melakukan tindakan untuk menghindarkan diri dari

kejadian yang menimbulkan kondisi disonan.

4) Kadar disonansi terletak pada kadar pentingnya kognisi tersebut kalau

112

Page 114: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dilibatkan.

3) Kondisi disonan hanya dapat dikurangi atau dilenyapkan, dengan jalan (a)

menambahkan kognisi baru, atau (b) merubah kognisi yang ada.

4) Tambahan kognisi baru dapat mengurangi kondisi disonan, asalkan (a) dapat

mengurangi proporsi elemen yang disonan, atau (b) dapat mengubah kadar

pentingnya elemen tersebut bagi elemen yang lain.

5) Perubahan kognisi yang ada baru dapat mengubah kondisi disonan, asal (a)

berisi sesuatu yang dapat mengurangi kontradiksi yang ada pada masing-

masing elemen, atau (b) dapat mengurangi kadar pentingnya kognisi tadi bagi

elemen yang lain.

6) Manakala tak ada penambahan kognisi baru, dan kognisi yang ada berubah

sendiri, maka orangpun berusaha mencari informasi lain. (Lindzey and

Aronson, III,l962, h. 360-361).

Dengan mendasarkan pada proposisi-proposisi dari teori disonans tersebut,

dapatlah kita simak adanya persamaan maupun perbedaan dalam memilih alternatif

ketika menghadapi kondisi disonan pada generasi tua maupun generasi muda. Mereka

sama-sama berusaha menghilangkan kondisi disonan. Namun orang dewasa berusaha

menghilangkannya dengan jalan (6a) mengurangi proporsi elemen yang disonan, dan (7a)

mengurangi kontradiksi yang ada pada masing-masing elemen, dengan program-program

pendidikan. Sebaliknya generasi muda memilih cara (2) mengghindarkan diri dari situasi

yang bakal menimbulkan kondisi disonan, dan (6b) dan (7b) mengubah kadar pentingnya

elemen tersebut bagi elemen yang lain.

Jadi misalnya seseorang remaja akan lebih baik ‘tidak naik sepeda motor tanpa

SIM’, karena akan meningkatkan kondisi disonan, yang berupa ‘tindakan denda damai’

atau ‘peristiwa sogok’ di jalan raya. Atau barangkali, justru sang remaja akan tetap saja

‘naik sepeda motor tanpa SIM’ ataupun ‘membeli SIM’ dan sebagainya, karena ‘tanpa

113

Page 115: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

SIM waktu mengendarai sepeda motor’ ataupun ‘membeli SIM’ bukan merupakan atau

dianggap bukan merupakan ‘elemen penting’ bagi elemen lain, yang berupa ‘tertib lalu

lintas’. Ini berarti, bahwa bagi mereka hal-hal negatif tadi bukan merupakan masalah,

atau bukan merupakan sesuatu yang disonan.

Tidakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum remaja tersebut tidak lain adalah

ekspresi-ekspreai responsif terhadap lingkungan, sejalan dengan tingkat kematangan

mereka dalam pengejawantahan tanggung jawab sosial mereka. Namun ekspresi

responsif tersebut dapat pula berupa respon-respon disional berupa pernyataan dalam

ujud pandangan atau pendapat mengenai berbagai masalah sosial di lingkungan

mereka.

9. IPS DAN NILAI-NILAI JAWA

Mula-mula ‘Jawa’ harus dipahami sebagai konsep kemasyarakatan, baru

kemudian sebagai konsep kebudaysan, meskipun nantinya kita sering menggunakan

pengertian yang menjumbuhkan di antara kedua pengertian teraebut. Dan faktor yang

mentautkan kedua pengertian tersebut, yaitu Jawa sebagai kesatuan masyarakat dan

sebagai kesatuan budaya, ialah nilai. Sebagaimana kita ketahui, baik konsep

kebudayaan menurut Bierstedt (1970) tentang kebudayaan, maupun konsep

kemasyarakatan menurut Poplin (1960), kedua-duanya mengandung komponen nilai-

nilai kolektif yang mengikat masyarakat pendukungnya. O1eh karenanya dalam

kesempatan ini ingin dikemukakam komponen nilai-nilai hidup orang Java. Adapun

relevansi uraian metigenai ni1ai-nilai orang Jawa ini ialah, untuk memberikan

gambaran mengenai lingkungan sosial budaya bagi kepentingan pemberian penjelasan

atau untuk dapat memahami lebih baik kecenderungan yang terjadi pada warga

masyarakat.

Perlu diketahui bahwa uraian ini berkaitan dengan kenyataan sosial budaya dalam

masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh.

Sebagai konsep kemasyarakatan, maka Jawa merupakan suatu sistem yang

abstrak dan makro. Sifat makro itu disebabkan karena kesatuan sosial terdiri dari

114

Page 116: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sejumlah komunitas, sejumlah lembaga dan sejumlah keluarga. Kesatuan-kesatuan sosial

yang bersifat mikro itulah yang pada hskekatnya merupakan kesatuan sosial yang konkrit.

Aspek teritorium pada mssyarakat Jawa agak sulit ditangkap, sebab agak berbaur dengan

batasan administratif pemerintahan. Sebaliknya yang lebih menonjol justru kesatuan-

kesatuan komunitas kejawaan, seperti adanya istilah ‘wong pesisiran’, ‘wong gunung’,

‘wong nagari’, atau kesatuan kelembagaan , seperti ‘wong cilik’, ’priiyayi’, atau kalau

meminjam istilah Clifford Geertz (1964) ‘santri’, ‘abangan’ atau ‘priyayi’.

Yang menonjol di sini adalah aspek-aspek keteraturan sosial dan wawasan

hidup kolektif pada pengertian kemasysrakatan Jawa yang dimaksud. Dan Semarang,

Demak, Kandal ndsb. merupakan sebuah komunitas kejawaan yang dikenali sebagai

‘wong pasisiran’, meskipun dalam kenyataan tak hanya terdiri dari kumpulan individu

keturunan orang Java. Meskipun demikian, sebagai koniunitas ‘wong pasisiran’ itu

merupakan sub sistem dari masyarakat Jawa, yang merupakan kesatuan sosial yang

terikat oleh keteraturan yang dijiwai oleh nilai-nilai hidup kolektif Jawa.

Nilai-nilai hidup Jawa inilah yang nampaknya memegang peranan dalam

kecenderungan integratif pada warga masyarakat, sesuai dengan pengertian kebudayasn

sebagai suatu ‘superorganik’. Jadi dengan pengertian itu, patut diduga bahwa nilai-nilai

kehidupan Jawa memberikan pengaruh terhadap warga masysrakat non Jawa sekalipun,

asal berada sebagai sub sistem masyarakat Jawa atau di lingkungan masysrakat yang

mengakui nilai-nilai Jawa. Ini berarti, dalam artian kebudaysan, nilai-nilai hidup Jawa

tidak dibatasi oleh kawasan teritorium, karena sifatnya yang ‘superorganik’ tadi, paling

tidak untuk nilai-nilai tertentu.

Lantas, mana gerangan nilai-nilai hidup Jawa itu? Kita ikuti paparan berikut.

a. Sosialisasi Dalam Masyarakat Jawa

Penanaman nilai-nilai hidup telah dimulai sejak dalam lingkungan keluarga

Jawa, dengan mengikuti pola tradisional. Menurut Hildred Geerz (1961), orang-orang

dewasa di sekitar anak, ataupun kakak-kakak mereka selalu memberikan apa-apa yang

diminta anak-anak, apalagi kalau mereka mulai menangis. Kebiasaan semacam itu mulai

berubah, apabila anak-anak

115

Page 117: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mulai menjadi besar. Menurut pola tradisional itu anak-anak biasanya dibiarkan

menuruti kehendak sendiri, selama dia tidak berbuat hal-hal yang tidak bertentangan

dengan tata nilai umum, sehingga diperkirakan dapat mengganggu keselarasan kehidupan

masyarakat. Baru ketika timbul dugaan akan terjadinya gangguan keselarasan kehidupan

itu, orang tua akan turut campur ( Koentjaraaningrat, 1984, h. 115- 240). Barangkali

inilah yang dikenal kemudian sebagai ‘tut wuri handayani’.

Di kalangan kehidupan priyayi bisa kita catat cara-cara untuk mendisiplinkan anak,

yang antara lain dengan jalan

1) engan nengalihkan perhatian anak-anak dari hal-hal yang tidak

diperbolehkan

2) Dengan menakut-nakuti anak dengan menyatakan bahaya,

3) setan, atau makhluk lainnya yang menakutkan

4) Dengan menjanjikan gula-gula atau hadia

5) Dengan mengancam anak dengan hukuman Dengan membuat anak

malu

(Koentjaraningrat, 1984, h. 243-244).

b. Serba Selaras

Dengan cara-cara yang mengikuti pola tradisional pada proses sosialisasi

yang dilaksanakan dalam keluarga-keluarga Jawa, seperti tersebut di atas, nampaknya

yang hendak dicapai ialah tertanam dan berkembangnya nilai hidup yang menghendaki

serba keselarasan dalam hidup. Nilai hidup semacam itu ditandai dengan sikap 'niimo',

yang berarti bersedia menerima keadaan bagaimanapun tidak enaknya, sebagai suatu

nasib, yaitu sebagai suatu kenyataan. Dengan begitu diharapksn anak-anak akan turnbuh

nenjadi warga masyarakat yang tabah dalam menghadapi cobaan hidup, dan kemudian

dapat menerima kenyataan hidup betapapun pahitnya, dengan pssrah.

Ajaran ‘nrimo’ itu ditanankan dengan lebih dahulu menanamkan

pengertian, bahva hidup ini pada dasarnya merupakan rangkaian kesengsaraan, dan oleh

karenanya harus dapat dijalani dengan penuh ketabahan hati dan pasrah pada nasib. Ini

116

Page 118: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

semua merupakan manifestasi dan nilai keselarasan dengan nasib yang merupakan

pencerminan hidup metafisik orang.

Aspek kehidupan lain dari manusia Jawa ialah tercermin pada hubungannya

dengan lingkungsn alam alam hubunganmya dengan lingkungan alampun orang Jawa

dituntut untuk mengembangkan keselarasan hidup dalam arti agar tidak suka

mengganggu lingkungan fisik. Dengan berbagai cara orang tua menanamkan nilai kepada

anak-anak untuk tidak suka mengusik keseimbangan alam. Ini semua merupakan

manifestasi dari sikap hidup yang menghendaki keserasian dengan alam.

Sisi lain dari kehidupan orang Jawa, menurut keyakinan mereka adalah,

hubungan antar manusia dalam interaksi sosial, sebagai konsekuensi dari adanya

dimensi sosial-kebersamsan. Di sinipun keselarasan hidup tetap menjadi tujuan, yang

dalam hal ini dimanifestasikan dalarn cara hidup yang berorientasi pads kolateral atau

hidup penuh guyub. Sikap tersebut diambil karena mereka mempunyai keyakinan, bahva

hidup manusia itu tidak sendirian, oleh karenanya sudah wajar kalau di antara mereka

timbul rasa untuk selalu mengharapkan bantuan, dan dengan demikian harus tumbuh

‘tenggang rasadan ‘tepo sliro’ dalam kehidupan guyub mereka. Sementara itu setiap

manusia Jawa merasa bergantung pada bantuan, pandangan serta restu dari orang-orang

penting, berpangkat lebih tinggi, lebih senior ataupun lebih tua.

Dalam suasana komunitas kecil, di mana setiap warganya saling mengenal secara

pribadi, setiap warganya akan rnerasa berkewajiban untuk bertingkahlaku konform

dengan sesamanya, yang sebetulnya merupakan gsngguan terhadap kehidupan pribadi

masing -masing (Koentjarsningrat, 1984, h. 440).

c. Menghindari Konflik

Ciri lain dari nilai hidup orang Jawa ialah adanya prinsip untuk menghindari

konflik, yang merupakan manifestasi pula dari prinsip keselaraaan dalam hidup

bermasyarakatan, karena kerukunan hidup dapat terancam setiap saat oleh setiap bentuk

konflik yang terbuka. Oleh karenanya tuntutan untuk hidup secara rukun penuh harmoni

itu, yang pertama ialah rnenghindari adanya konflik terbuka, sehingga kalau seandainya

terjadi ketegangan, orang beruasha untuk tidak memperlihatkannya secara terbuka.

117

Page 119: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Sekurang-kurangnya, pada semua bentuk interaksi sosial nampak dari luar kelihatan

seolah-olah tenang dan rukun. Selsnjutnya F. von Magnis Suseno (1985) menilai, bahva

bagi masyarakat Jawa masalahnya bukan lagi menciptakan keselarasan sosial, melainkan

lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada.

Selanjutnya pengamatan F. von Magnis Suseno terhadap masyarakat Jawa

berhasil mengenali cara-cara orang Jawa mengusahakan pencegahan konflik, yang

menurutnya terdiri dari tiga tingkatan : (1) melalui tekanan sosial, (2) melalui

kondisionisasi psikis, dan (3) melalui nilai-nilai elit. Tekanan sosial yang dimaksud di

atas berisi seperangkat harapan-harapan sosial mengenai apa-apa yang selayaknya tidak

diperbuat dan apa-apa yang selayaknya diperbuat oleh warga masyarakat, terutama warga

baru masyarakat. Atas anggapan bahwa hal yang paling mengganggu keselarasan hidup

ialah faktor perasaan (emosi), maka yang paling diharapkan oleh masyarakat ialah

kemampuan warga masyarakat untuk mengendalikan diri, agar tidak terjadi konflik.

Norma itu terangkum dalam tuntutan untuk selalu ‘mawas diri’ dan menguasai emosi.

Penguasaan emosi itu antara lain terlihat pada kemampuan untuk tidak

memperlihatkan perassan sebenarnya, atau kemampuan untuk menyatakan perasaan

dengan cara lain. Sepintas lalu cara seperti ini tidak ada bedanya dengan ‘kepura-puraan

dalam hidup’. Namun ‘tatakrama’, ‘unggah-ungguh’, maupun ‘basa krarna’ tidak lain

merupakan manifestasi dari hasrat untuk menyatakan dengan cara lain sebagai

pencerminan kemampuan untuk menahan diri, agar supaya tidak terjadi konflik terbuka.

Dengan begitu maka suasana ketenteraman sosial tetap dapat selalu dipertahan. Cara ke

dua yang dilalui oleh masyarakat Jawa untuk mempertahankan keselarasan hidup, ialah

dengan kondisionalisasi psikis dalam bentuk internalisasi nilai-nilai. Cara ini dilalui di

dalam lingkungan keluarga seperti yang dimsksud dalam proses sosialisasi dalam

keluarga Java, seperti dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984). Dengan

menggumakan cara-cara ancarnan dan ganjaran, anak-anak diajak untuk menghayati

nilai-nilai hidup, hingga tahu mana-mana yang salah dan mana-mana yang benar.

Yang ingin ditanamkan lewat proses ini ialsh ‘budaya malu’, yaitu perassan

‘sungkan’ atau ‘ngerti isin’ yang positif karena melakukan hal-hal yang tidak berkenan

dengan harapan-harapan sosial. Dengan cara ini ingin ditanamkan pula nilai, bahwa

menentang pendapat umum secara langsung atau menunjukkan permusuhan itu sangat

118

Page 120: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

bertentangan dengan perasaan halus.Dan akhirnya cara yang biasa dilalui untuk

mencegah konflik ialah dengan menunjukkan sikap-sikap etis. Sikap paling mendasar

yang ingin ditanamkan dalam sosialisasi Java, ialah tidak mementingkan diri sendiri,

yang dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan sebutan ‘sepi ing parnrih, rame ing gawe’.

Sikap ‘sepi ing pamrih’ adalah sikap yang etis menurut ukuran nilai hidup Jawa, sebab

merupakan manifestasi dan gambaran watak luhur orang Java yang diukur dari

kemampuan untuk membebaskan diri dari ‘pamrih’. Pamrih sendiri berarti

mengharapkan sesuatu untuk kepentingan sndiri (individual), dengan tida menghiraukan

kepentingan orang lain. Mereka yang mampu membebaskan diri dari pamrih akan

mengembangkan sikap ‘nrimo’, sebab ‘nrimo’ berarti mau menerima kenyataan hidup

tanpa suatu protes atau pemberontakan.

Di sini ‘nrirno’ perlu mendapat penjelasan agar tidak mudah ditafsirkan menjadi

suatu gambaran putus asa atau apatis. Sebaliknya, menurut von Magnis Suseno, ’rirno’

harus ditanamkan sebagai sikap positif, karena merupakan mekanisme agar bisa tetap

survive, ketika harus menerima kenyataan yang buruk, namun tidak membiarkan diri

hancur karena mengalami frustrasi.

Sifat positif dan pengertian ‘nrimo’ tadi terletak pada ungkapan berikutnya, yang

selalu dikaitkan dengan ‘sepi mg pamrih', yaitu 'rame ing gawe’. Ungkapan terakair ini

mengandung arti, bahwa harus ada kesediaan pada setiap pribadi untuk dengan rela hati

melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan di atas pundaknya,

seeuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Dengan cara-cara itu maka orang Java

akan berusaha untuk menjaga keselarasan hidup sosial hidup spiritual, maupun hidup

dalam lingkungan fisik, karena telah berusaha sejauh mungkin untuk menghindarkan diri

dari konflik terbuka dengan siapapun.

@@@

119

Page 121: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

D. PEMBERDAYAAN IPS

PENGANTAR

Setelah mengikuti berbagai uraian sejak dari konsep-konsep IPS yang

mendasarkan dari berbagai dasar teori ilmu-ilmu sosial, mencermati berbagai kegagalam

IPS dalam menjalankan fungsinya, merenungi berbagai potensi IPS yang biosa

dikembangkan, sampailah kita pada pembahasan mengenai bagaimana memberdayakan

pendidikan IPS, agar lebih bisa memainkan fungsinya sebagai ilmu terapan. Selama ini

baerangkali kita tidak menganggap begitu banyaknya potensi yang tersimpan dalam

berbagai fasilitas, seperti media massa, pariwisata, museum, perpustakaan dsb. sebagai

sumber belajar IPS di samping buku-buku ajar yang secara formal nyaris dijadikan satu-

satunya sumber belajar.

Dengan mengenali kembali sumber-sumber belajar baru dalam kehidupan kita

memiliki peluang untuk melakukan berbagai variasi metode mauapun pendekatan dalam

pengembangan pembelajaran IPS. Selaanjutnyaakita bisa menambah motivasi baru bagi

para siswa untuk lebih memahami IPS. Dengan demikian misalnya guru IPS tidak hanya

memiliki hanya pendekatan yang berpusat poada bahan ajar (subject matter centered)

melainkan bisa menggunakan pendekatan yang berpusat pada problem (problem

centered). Dan bahan ajar yang berpusat pada problem itu misalnya bisa kita lakukan

dengan memilih sebuah isu yang dikemukakan dalam media massa dijadikan bahan awal

pembahasan dalam kelas IPS.

Sebagai contoh dpada aklhir bab ini saya sampaikan saah satu model pendekatan

dalam KBM pendidikan IPS yang saya angkat sebagai pidato pengukuhan saya sebagai

guru besar pendidikan sejarah pada tahun 1993 dengan judul BILA ISU

KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH.

1. MEDIA MASSA DAN IPS

120

Page 122: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Pendidikan IPS sangat berkepentingan dengan media massa, karena informasi

tentang kondisi warga masyarakat maupun gejala yang berkembang dalam kehidupan

mereka selalu ditayangkan atau diberitakan lewat media massa tersebut. Misalnya tentang

kerjasama mtaupun komflik yang terjadi di antara warga masyarakat itu dalam kerangka

interaksi sosial mereka. Interaksi itu bisa terjadi antar warga, antar kelompok, maupun

antara warga dengan kelompok maupun lembaga. Tayangan dan pembetritaannya

hampir selalu terdapat dalam media massa, baik cetak, elektronik, seperti koran harian,

majalah berkala maupun radio dan televisi. Masih termasuk ke dalam media massa pula

adalah selebaran, panflet, leeflet, spanduk, bilboord serta CD, VCD dan internet.

Hal-hal tersebut dapat digunakan oleh para pejabat dalam pengambilan kebijakan

untuk kepentingan umum. Hal-hal tersebut juga amat bernanfaat bagi para guru IPS

dalam mengembangkan bahan ajar dalam rangka kegiatan pembelajaran atau KBM.

Para pendidik IPS juga amat membutuhkan informasi-informasi lewat media massa

tersebut untuk menambah perbendaharaan pengetahuan untuk kepentingan peran sosial

dan profesi mereka.

Kesadaran semacam itu merupakan modal awal bagi para guru IPS untuk

menggunakan informasi dalam media sebagai bagian dari bahan ajar, sehingga misalnya

guru IPS bisa msnggunakan metode pembelajaran IPS yang bervariasi. Jadi misalnya

guru tidak hanya menggunakan subject matter centered yang berpusat pada bahan ajar,

sebaliknya bisa menggunakan penedekatan problem centered atau pendekatan yang

berpusat pada masalah sebagai alternatif. Keuntungan metode dan pendekatan yang

berpusat pada masalah adalah KBM bisa membuat IPS lebih akrab dan konkret dengan

kehidupan nyata dan lebih berhasil guna, meski membutuhkan keberanian guru

menghadapi kemungkinan proses pembelajaran menjadi meluas. Guru bisa memberi

tugas kepada para siswa untuk melakukan klipping atau pengumpulan guntingan dari

media cetak. Guru juga bisa menggunakan alat media elektronik di dalam kelas, atau

memindahkan KBM dalam ruang kelas khusus atau laboratorium IPS. Misalnya kalau

guru perlu menayangkan rekaman video atau CD maupun VCD yang dianggap relevan.

Kalau memungkinkan, terutama kalau ada dukungan dana yang amat memadai, kelas

sejarah bisa dilaksanakan dalam laboratorium komputer, untuk bersama-sama

bertselancar dalam internet.

121

Page 123: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Kemungkinan lain yang terjadi adalah guru harus lebih siap dengan informasi

yang tidak terdaat dalam bahan ajar berguna menghadapi setiap pertanyaan yang muncul

dalam kelas.

Sementara itu kemungkinan perebedaan pendapat terjadi dalam kelas. Namun

inilah hakekat pendidikan IPS, yaitu keberanian murid menyatakan pendapat, meski tidak

selamanya sama dengan pendapat umum atau pendapat guru sekalipun. Dengan demikian

toleransi memungkinan bisa dikembangkan dalam kelas.

Sebagai konsekuensi logis, bahan pelajaran yang termaktub dalam buku ajar

tidak selesai disampaikan di dalam kelas. Kalau kita menerima dilibatkannya media

massa sebagai bagian tak terpisahkan dari IPS sekolah maupun para guru harus berani

menyediakan media massa pada perpustakaan mapun di rumah masing-masing guru agar

siswa maupun guru memiliki ineformasi yang relatif sama. Di banding media massa

elektronik yang memiliki beerbagai keunggulan, maka keunggulan media massa cetak

terletak pada kemampuan bahan ajar itu bisa disimpan, sehingga bisa dibaca ulang

beberapa waktu kemudian dan diseba-rluaskan.

Kalau kita menolak dgunakannya pendekatan atau metode pengajaran yang

melibatkan media massa, guru IPS akan jauh lebih ringan dalam melaksanakan

profesinya, karena hanya menggunakan buku ajar sebagai acuan pokok. Dengan cara ini

guru mendapat jaminan bisa menyampaikan isi buku ajar secara lebih lengkap. Namun

sebaliknya pendidikan IPS menjadi mandul dan jauh dari berakrab-akrab dengan

lingkungan nyata.

2. MUSEUM DAN IPS

Tidak semua kota di Indonesia memiliki museum, agar bisa dikunjungi oleh

warga kota, terutama oleh anak sekolah. Namun sebaliknya tidak semua kota yang

memiliki museum mmiliki daya tarik untuk dikunjungi anak sekolah atau warga kota

yang lain sebagai tempat rekreasi maupun sumber belajar. Sekali dua kali kita

mengunjungi museum kota itu, setelah itu kita merasa jenuh, dan tidak bergairah lagi

untuk mengunjunginya. Mengapa bisa begitu?

122

Page 124: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Sebuah museum yang baik sebaiknya memiliki koleksi benda-benda peninggalan

masa lampau, baik benda-benda fasilitas hidup, dokumen, karya seni, maupun kerangka

binatang purba atau binatang langka, yang semuanya itu dipajangkan dalam wujud

sesungguhnya, tiruan ataupun sekadar potret. Semua prninggalan itu hsrus diberi

keterangan, sehingga bisa memberi informasi kepada pengunjung maupun pengguna

fasilitas museum, sesuai dengan fungsinya.

Dengan mengunjungi dan mengikuti apa yang terdapat dalam museum itu

pengunjung dapat berfantasi mengenai sebuah kehidupan, dan akhirnya mendapatkan

pengertian yang sebenarnya.

Di negeri-negeri maju museum-museum itu memiliki koleksi yang amat banyak

dan sesuai dengan masing-masing jenis museum. Kita bisa misalnya, mengunjungi

museum geologi, museum sejarah sosial, museum tentara, museum kerajinan, museum

teknologi, museum pers dsb.. Di samping itu semua koleksi itu ditata dengan cermat dan

menarik, sehingga seolah-olah kita menyaksikan kehidupan yang sesungguhnya.

Musem yang baik akan dilengkapi pula dengan ruang pertemuan tempat

diselenggarakan pertemuan ilmiah guna membahas berbagai gagasan di swkitar materi

yang berkaitan dengan bidang kajian tertentu. Di dalam museum itu pula biasanya

diselenggarakan pemutaran film yang berkaitan dengan peristiwa sejarah, peristiwa sosial

budaya, laporan penggalian temuan sejarah purbakala maupun dokumentasi peristiwa

sejarah kontemporer. Dalam kesempatan itulah guru IPS bisa mengajak para siswa

menyaksikannya.

Untuk itu semua tentunya dibutuhkan dana, teknologi, selera seni, dan tentu saja

pengorganisasian dan menejemen yang tinnggi. Dengan kondisi dan kualitas semacam itu

museum memiliki fungsi iedeal sebagai obyek rekreasi, sumber belajar, termasuk belajar

IPS dsb.

Guru IPS yang cerdas dan bijak akan memasukkan kunjungan ke museum sebagai

bagian dari program widya wisata, seperti halnya kunjungan ke kompleks percandian,

istana kuno, rumah adat, maupun rumah ibadah . Acara semacam itu sangat penting

dalam pengembangan pelajaran IPS, sesuai dengan fungsi dan metode-metode

pengembangan serta tujuan pendidikan IPS. Itu semua diharapkan dapat memberdayakan

pendidikan IPS untuk dapat kembali menarik minat untuk belajar dan mengajarkan IPS.

123

Page 125: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Kunjungan ke museum bagi siswa yang di kotanya tidak terdapat museum, bisa

melakukan kunjungan itu pada masa liburan.

3. PARIWISATA DAN IPS

Program pariwisata di hampir semua negara di dunia telah berkembang pesat.

Salah satu tujuan pariwisata adalah melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang belum

pernah dikunjungi maupun telah dikunjungi terutama untuk memenuhi tujuan rekreasi.

Oleh karenanya lokasi-lokasi yang menjadi tujuan wisata adalah tempat-tempat yang

memiliki pemandangan indah, seperti pesisir, pegunungan, danau maupun hutan yang

dinilai memiliki keunikan dan daya tarik para wisatawan. Kita mengenal hutan wisata,

misalnya. Kita juga mengenal wisata air dengan berbagai kendaraan air, Bahkan pada

lokasi tertentu para wisatawan laut akan menikmati pemandangan bawah laut yang penuh

dengan pemandangan biota bawah laut yang menakjubkan.

Tujuan lain dari kegiatan wiasata adalah untuk mendapatkan pengalaman baru

maupun pengalaman ruhani. Itu sebabnya tujuan wisata bukan hanya lokasi-lokasi yang

memiliki pemandangan yang dapat memenuhi selera keindahan atau melakukan rekreasi,

melainkan juga lokasi-lokasi sebagai sumber pengetahuan, seperti kompleks percandian,

lokasi gejala alam, seperti gua-gua di daerah pegunungan gamping, kawah kepindan

gunung berapi, jeram maupun air terjun dsb. Lokasi semacam itu bukan hanya yang

alami, melainkan juga lokasi yang merupakan buatan manusia, seperti pabrik pembuatan

pesawat terbang di Bandung, bendungan Kedung Ombo, pusat listrik tenaga alam

mapapun. Bisa PLTGas, PLTUap, bisa PLTAngin, dan bahkan PLTNuklir. Sedangkan

tujuan wisata yang berpotensi memenuhi kepuasan ruhani atau spiritual, misalnya mesjid,

gereja maupun makam-makam tokoh yang dianggap suci, seperti makam para wali dsb.

Termasuk juga kiranya lokasi-lokasi yang memiliki mata air yang dianggap keramat

maupun api alam yang juga dianggap keramat.

Kunjungan ke lokasi-lokasi seperti itu tak ayal memiliki potensi sebagai sumber

belajar, sehingga banyak dijadikan sebagai ttujuan wisata belajar atau widyawisata atau

study tour.

124

Page 126: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Jangan dilupakan pula obyek tujuan wisata yang amat terkenal, yaitu Pulau Bali,

yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata. Pulau itu merupakan anugerah Tuhan yang

memiliki daya tarik amat banyak untuk menjadi tujuan wisata, baik untuk tujuan rekreasi

maupun tujuan sumber belajar, serta tujuan spiritual. Dan tidak boleh pula dilupakan

tujuan yang amat erat hunungannya dengan salah satu tujuan pendidikan IPS, yatiu saling

pengertian di antara sesama warga bangsa. Masih tergolong obyek wisata yang termasuk

wisata spiritual adalah kunjungan ke tanah suci, seperti kota Mekah, Medinah maupun

Jerusalem. Kunjungan wisata spiritual itu dikemas ke dalam ibadah haji dan umroh.

Barangkali kegiatan pariwisata terakhir ini merupakan paket wisata yang paling

besar dilakukan umat manusia. Di sinipun tujuan untuk mengembangkan saling

pengertian di antara sesama manusia, amat pantas diharapkan menjadi bagian dari tujuan

wisata.

Di kota-kota besar makin banuyak bermunculan lokasi kegiatan bisnis, yang

memiliki potensi sebagai tujuan wisata, yaitu pasaraya maupun mall. Di samping untuk

memdapatkan barang keperluan hidup sehari-hari seperti halnya pasar maupun toko, para

pengunjung mendapatkan juga kesempatan untuk berekreasi maupun pengalaman baru.

Tidak pula disebut berlebihan kalau pasaraya maupun mall itu menjadi tempat interaksi

sosial yang efektif, karena dikunjungi oleh waerga kota dari berbagai kelas sosial dan

terjadi pula interaksi bisnis. Oleh karenanya tidaklah berlebihan kalau tempat itu bisa

dikembangkan sebagai sumber belajar IPS. Guru bisa memberikan tugas kepada para

siswanya untuk melakukan pemngamatan sosial yang efektif, sebagai bagian dari proses

pembelajaran IPS.

Hal terakhii nampaknya menambah perebendaharaan baru dalam jenis wisata.

Bukan lagi hanya jenis wisata rekreasi, wisata belajar, wisata ruhani, namun juga wisata

bisnis.

Dan tidak pula boleh diabaikan kemungkinan lokasi bekas bencana alam

dijadikan obyek wisata. Misalnya lokasi bekas tsunami di Aceh, sebagian Yogyakarta

yang pernah dilanda bencana alam itu disisakan seperlunya sebagai semacam monumen

peringatan, semacam lokasi bekas pemboman di Nagasaki dan Hirosima di Jepang yang

sekaligus menjadi tujuan wisata.

125

Page 127: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Tidaklah berlebihan kalau lokasi-lokasi bekas bencana itu dijadikan monumen

yang amat bermanfaat bagi pendidikan IPS. Termasuk lokasi luapan lumpur gas panas di

Porong Sidoarjo sebagai akibat “salah bor” oleh Lapindo Brantas bisa pula

dikembangkan menjadi daerah wisata alam. Inipun amat bermanfaat bagi pendidikan IPS.

Yah, mengapa tidak?

4. PERPUSTAKAAN DAN IPS

Perpustakaan merupakan tempat atau ruangan yang menyimpan berbagai sumber

belajar dari sumber tertulis. Di sana orang bisa membaca sumber belajar apapun yang

tersedia, sehingga disebut sebagai taman bacaan. Oleh karena tersedia bahan pustaka

itulah fasilitas itu kemudian disebut taman pustaka atau perpustakaan. Perpustakaan itu

nampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan para cendekiawan dan ilmuan manusia

sejak awal sejarah, yang artinya sejak manusia memasuki era baca tulis dan bukti sejarah

diambil dari peninggalan bertulis itu.

Mula-mula mereka menatahkan tanda-tanda baca ataupun figur-figur pada

dinding-dinding gua, pada batu-batu prasasti untuk sesuatu peristiwa. Nampaknya itu

merupakan perpustakaan pertama yang bisa dibaca oleh orang lain atas ekspresi mental

menusia.

Pada peradaban Mesir purba lempeng-lempeng batu bertulis itu ditulis dengan

rangkaian huruf berupa goresan bentuk gambar burung, mata, matahari maupun simbul-

simbuil geometris. Pada perkembangan berikutnya mereka menggunakan daun-daun

pohon papirus unatuk menuliskan ungkapan hati itu, Dari kata papirus itulah kita

sekarang mengenal kata papir yang berarti kertas. Sementara itu peradaban Cina kuno

sudah pula mencoretkan ekspresi perasaan mereka dengan coretan cat pada lembaran-

lembaran kain.

Peradaban India kuno juga telah mentorehkan ekspresi perasaan mereka pada

tonggak-tonggak batu maupun dinding gua. Pertulisan pertama yang kita jumpai dalam

peradaban Indonesia kuno kita dapati pada prasasti batu di daerah Kedu, Bogor, Sumatra

126

Page 128: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Selatan, maupun di Kutai. Itu bisa kita baca setelah sekian ratus tahun tertulis. Itulah

perpustakaan pertama di Indonesia.

Setelah budaya tulis menulis makin berkembang, dan sarana tulis menulis juga

makin berkembang, kita mendapatkan ungkapan tertulis itu pada daun-daun pohon

lontar. Kata lontar itu sebenarnya berasal dari dua kata, yaitu ron tal, yang berarti daun

pohon tal. Naskah-naskah kuno yang berupa ron tal itu merupakan bagian dari isi

perpustakaan modern, yang merupakan bahan pustaka yang ditulis tangan maupun

dicetak dengan alat cetak terkini. Biasanya bahan pustaka pada bahan-bahan bukan kertas

lebih lazim disimpan bukan di ruang perpustakaan, melainkan di museum.

Dalam perpustakaan itu tidak hanya tersedia naskah tertulis berupa karya sastra,

karya ilmiah maupun karya jusnalistik yang ditata sedemikian rupa, dan disusun

mengikuti sistem katalog yang teratur. Di sa,mping itu perpustakaan juga menyimpan

pula kumpulan dokumen maupun arsip berbagai catatan sejarah, perjanjian, pernyataan,

deklarasi maupun peoklamasi sesuatu peristiwa dalam sejarah. Selanjutnya di zaman

serba elektronik seperti sekarang ini berbagai arsip maupun dokumen tertulis itu telah

disimpan dalam bentuk microfile film, dan bisa dibaca kembali pada layar komputer

yang tentunya tersedia dalam ruang baca khusus di perpustakaan.

Di perpustakaan yang lengkap tentunya tersedia ruang-ruang untuk diskusi

maupun auditorium untuk pemutaran film, CD maupun VCD, seperti yang terdapat

dalam museum.

Dengan berbagai fasilitas yang tersedia itu dam kelengkapan isi perpustakaan itu,

guru IPS bisa memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan IPS. Nsamun guru IPS

yang kreatif tidak hanya pandai memanfaatkan perpustakaan yang canggih, melainkan

juga harus bisa memanfaatkan perpustakaan yang amat sederhana sekalipun yang tersedia

di sekolah.

4. ARSIP NEGARA

Jenis peninggalan sejarah dalam bentuk yang tertulis disrebut dopkumen.

Dokumen-dokumen itu disimpan dalam fasilitas penyimpanan khusus yang disebut

127

Page 129: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Badan Arsip Negara. Lembaga ini memang dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan

untuk mempermudah bagi semua pihak kalau membutuhkan. Untuk mendapatkan bahan

yang perlu disimpan salah satu cara yang dilakukan adalah meminta pada semua pihak

untuk menitipkan dokumen maupun arsip yang terkait pada Badan Arsip Negara yang

dikelola oleh pemerintah itu. Dokumen-dokuimen itu sekali waktu dbutuhkan oleh para

penelii yang terkait dalam melengkapi data yang dibutuhkan.

Jenis dokumen itu amat bervariasi, mulai dari lembaran berisi berbagai macam

peraturan perundangan, naskah perjanjian, surt-surat resmi penting, atau surat berupa

MoU antar sejumlah lembaga maupun surat pendirian dan susunan pengurus sesuatu

organisasi masyarakat oganissi, kantor dagang dsb. sampai surat-surat pribadi, termasuk

surat cinta yang mengandung kenangan tertentu, yang ditulis oleh tokoh tertentu, dan

masih banyak macam lainnya.

Dokumen atau arsip itu bisa masih berujud dokumen asli, bisa juga hanya

salinannya. Dan dokumen-dokumen atau arsip itupun biasa masih seperti bentuk aslinya,

bisa juga sudah dalam bentuk nicrofile, atau mocrofilm agar lebih efisien

menyimpannya, dan agar dapat lebih mudah memberi palayanan bagi yang

membuthkan.Tentu saja semuanya harus disimpan mengikuti sistem katalog yang efisien.

Sudah barang tentu guru IPS sangat berkepentingan terhadap keberadaan fasilitas

itu, yang semuanya dapat diakses untuk kepentingan pendidikan maupun untuk keperluan

penelitian. Dan oleh karena berbagai fasuilitas tersebut di atas, mulai dari museum,

perpustakaan maupun Badan arsip Ngara itu tidak terdapat pada sembarang kota, tentu

saja kunjungan ke sana bisa dilakukan lewat kunjungan pariwisata pendidikan atau

widyawisata.

5. LEMBAGA-LEMBAGA PUBLIK DAN IPS

Kelembagaan lain yang tidak kalah pentinya untuk dimanfaatkan dalam

pengembanagn ppendidikan IPS adalah lembaga-lembaga publik. Yang dimaksud adalah

jawatan atau dinas yang mengurusi berbagai urusan masyarakat, seperti Pengadilan

Negeri atau loembaga di atasnya, Perbankan, Pemerintah desa dan lembaga di atasnya,

128

Page 130: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

DPRD/DPRRI, KPU/KPUD, Badan Pusat Statistik, pasar tradisional, pasaraya, pasar

modal/Valas dsb.

Ada beberapa keunggulan pada lembaga-lembaga ersebut di atas dibanding

dengan lembaga-lembaga tersebut sebelumnya sehubungan dengan mnfaatnya bagi

pendidikan IPS. Fugsi lembaga-lembaga pertama . seperti perpustakaan,museum, maupun

arsip negara justru ketika lembaga-lembaga itu dalam keadaan ”tidur”. Artinya keadaan

lembaga-lmbaga itu hanya sekadar sebagai obyek kunjungan. Sementara itu lembaga-

lembaga yang tersebut terakhir, seperti Pengadilan Negeri, Pasar Valas, maupun

DPRD/DPRRI

, merupakan lembaga-lembaga yang berfungsi memproses berbagai kegiatan yang

terkait. Seperti PN melakukan proses pengadilan terhadap sesuatu kasus, Pasar Valas

melakukan kegiatan pasar, dab. DPRD/DPRRI melakukan persidangan. Semua kegiatan

itu dalam batas tertentu bisa diikuti oleh masyarakat. Dalam peluang seperti itulah guru

IPS maupun kegiatan lenelitian untuk pendidikan IPS bisa mendapat manfaat. Dengan

demikian lembaga-lembaga publik tersebut merupakan obyek widyawisata yang amat

bermanfaat bagi pengembangan pendidikan IPS.

E. TANTANGAN DAN DUKUNGANPADA IPS

PENGANTAR

Pada bagian skhir dari buku ini akan disajikan dua buah tulisan tentang dua hal

yang berlawanan dalam kaitannya dengan pendidikan IPS. Yang pertama tentang hal-hal

atau kondisi-kondisi yamg menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan yang kedua

mengenai hal-hal atau kondisi-kondisi yang mendukung tujuan pendidikan IPS.

Dua tulisan tersebut diharapkan bisa memantapkan kita tentang hakekat

pendidikan IPS, serta tujuan akhir apa yang hendak dicapai dengan pendidikan IPS, serta

langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan IPS itu.

Lebih dulu perlu diingatkan kembali bahwa tujuan akhir dari pendidikan IPS

adalah tercapainya integrasi sosial di antara seluruh warga masyarakat.

129

Page 131: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Meski mereka terdiri dari berbagai keturunan berbeda, status sosial berbeda, ras berbeda,

pendidikan berbeda, maupun keyakinan agama serta aliran politik berbeda, mereka

adalah sesama warga masyarakat. Dalam konsep politik barangkali kondisi semacam itu

terjadi karena semua warga masyarakat telah menjadi warga negara yang baik. Masing-

masing warga negara merasa menjadi bagian dari masyrakat. Untuk itu semua setiap

warga baru atau calon warga baru harus melakukan proses penyesuaian diri dengan tata

nilai baru yang menjadi tata nilai yang diakui masyarakat. Itulah yang disebut sebagai

sosialisasi.

Dengan pengertian itu semua akan kita lihat hubungan antara pndidikan dengan

berbagai konsep yang dianggap menentang dan mendukung pendidikan IPS.

1. TANTANGAN PADA IPS

Absolutisme merupakan paham atau keyakinan tentang adanya kekuasaan mutlak

yang dimiliki oleh penguasa duniawi. Seingkali para penguasa itu menyebut diri

mendapat kekuasaan dari Tuhan. Bahkan ada di antara mereka yang justru menafikan

keberadaan Tuhan, dan mensetarakan diri sebagai Tuhan itu sendiri. Namanya bisa

Firaun, Kaesar, Maharajadiraja, Sultan, Shahensyah dsb. Bisa pula presiden. Kekuasaan

mereka tidak ada tandingannya, karena semua kekuasaan ada di tangannya. Ya sebagai

sumber kekuasaan, pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, serta

pengadilan.

Kalau yang menjadi penguasa mutlak dalam sebuah negara atau masyarakat

hanya satu, yang terjadi adalah penindasan. Namun bila semua warga masyarakat

mengaku memiliki kekuasaan yang mutlak, maka yang terjadi adalah benturan

kekuasaan selamanya. Dengan demikian tidak bakal bisa terjadi integrasi sosial dalam

masyrakat tersebut, seperti diharapkan dengan pendidikan IPS.

Otoritarianisme merupakan watak atau semangat yang ada pada penguasa yang

melaksanakan kepemimpinannya secara otoriter. Artinya semua kekuasaan untuk

mengatur orang lain, atau negara, dilaksanakan sendiri secara mutlak. Atau sekehendak

130

Page 132: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

dirinya sendiri. Kalau kekuasaan absolut menunjukkan status atau sistem kekeuasaan,

maka otoritarianisme adalah keadaan pelaksanaan kekuasaan yang dilaksanakan

sekehendak diri sendiri (otoiter).

Kita bisa membayangkan kalau ada sejumlah warga masyarakat yang bersifat

otoriter, tidak akan ada musyawarah atau tenggang rtasa di antara mreka. Ini sama artinya

watak otoritarian merupakan tantangan bagi pendidikan IPS.

In toleransi merupakan watak maupun sikap orang yang tidak menghargai

pendapat orang lain, bahkan kehadiran orang lainpun dianggap tidak ada. Dengan begitu

tidak mungkin dalam masyrakat terjadi integrasi sosial, kalau warganya memiliki watak

intoleran satu terhadap lainnya.

Masing-masing merasa dirinya yang paling penting, paling terhormat, paling

berkepentingan dsb. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari mereka itu dalam interaksi

sosial? Tidak ada harmoni di sana.

Globalisme merupakan suatu kesadaran bahwa tidak ada lagi pertimbangan

situasi dan koindisi dalam memandang sesuatu bangsa dalam percaturan dunia. Semua

bangsa dipandang sama, karena tidak ada lagi sekat yang bernama waktu maupun lokasi

yang membatasi keberadaannya dalam pergaulan dunuia.

Kalau dulu mereka, bangsa-bangsa Barat yang merasa kuat lalu datang

menguasai bangsa yang lemah, disebut sebagai penjajah, yang harus dikutuki, sekarang

setiap bangsa harus berani beridiri sama tinggi dengan setiap bangsa dalam persaingan

terbuka. Itulah hakekat liberalisme yang paling nyata dalam konsep globalisme.

Masing-masing bangsa harus siap untuk bersaing, meski kualuitas maupun kondisi

masing-masing tidak sama. Lalu yang senantiasa siap memenangi perjuangan itu pastilah

yang paling kuat. Ibarat pertandingan tinju antar kelas dalam satu ring tuinju. Inilah yang

disebut penjajahan gaya baru. Inilah konsep “Freefight lioberalism”. Mungkinkah

terjadi integrasi sosial dalam masyarakat?

Di sana tidak bakal ada toleransi, karena masing-masing merasa memiliki hak

untuk berbuat sesuai dengan HAM merurut versi masing-masing.

Bagaimana pula dengan eksklusivisme? Kalau ada warga masyarakat yang lebih

menyenangi hidup menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan warga masyarakat lain,

itu disebut eksklusif. Mereka tidak mengakui lagi perlunya melakukan interaksi dengan

131

Page 133: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

sesama warga. Tidak terdapat rasa ketergantungan antar warga. Mereka nyaris hidup

dalam tata nilai sendiri, lepas dari tata nilai masyarakat yang diakui umum.

Dalam kenyataan eksklusivisme adalah absolutisme dalam pandangan atau

perilaku, karena mereka beranggapan bahwa secara absolut tak bisa ada interaksi.

Tahulah kita bahwa di dalam masyarakat mereka tidak bisa melakukan penyesuaian

sosial dan tidak akan terjadi integrasi sosial.

Di antara warga masyarakat ada yang menunjukkan sikap apatis, yaitu merasa

tidak berkepentingan dengan segala yang menjadi kepentingan maupun kegiatan warga

masyarakat. Mereka senantiasa merasa masabodoh terhadap segala yang tidak ada

kaitannya dengan kepentingan diri mereka. Semangat semacam itu disebut apatisme.

Sikap apatis jelas bukan merupakan sikap warga masyarakat yang baik, jadi

bukan merupakan sikap warga negara yang baik pula. Mereka tidak akan dapat dilibatkan

dalam krjasama untuk kepentingan bersama. Mereka juga jauh dari memiliki rasa

sosidaritas sosial.

Sementara itu kita mengenal sikap warga masyarakat tidak tunduk pada tata nilai

yang berlaku. Dengan tegas mereka menolak tata nilai tersebut, yang ditunjukkannya

dengan cara mundur dari pergaulan, Secara fisik barangkali mereka tiudak meninggalkan

pergaulan sosial yang ada, namun mereka tudak menunjukkan ketundukannya pada tata

nilai yang berlaku. Itulah semangat retretisme. Atau mngundurkan diri masyarakat yang

memiliki tata nilai yang tidak disukainya.

Agak sulit membedakan antara sikap yang secara tegas menolak bekerjasama

dengan sikap yang penuh apatisme sosial dan penuh kepura-puraan.

Ritualisme merupakan semangat yang mendasari sikap dan perilaku yang hanya

menunjukkan ketundukan pada tata nilai masyarakat secara lahiriah. Mereka

menunjukkan ketundukan pada tata nilai masyarakat, dan mengikuti simbul-simbul tata

nilai yang berlaku tanpa ada kesetiaan dan pengertian yang mendalam terhadap tata nilai

yang berlaku dalam masyarakat. Mereka hidup dalam gemerlapnya ritual dan tradisi

masyarakat, sehingga secara lahiriah saja mereka menunjukkan konformitas sosial.

Dengan demikian kalau kmudian terlihat adanya integrasi sosial, hanyalah integrasi yang

semu dan selalu goyah (labil).

132

Page 134: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Kondisi lain yang tidak menguntungkan adalah bila masyarakat tengah dilanda

anarkisme dalam masyarakat. Pada saat itu nyaris tidak ada keteraturan, karena warga

masyarakat dapat melakukan segala sesuatu tanpa mengindahkan peraturan. Semuanya

serba chaos, serba tidak ada aturan. Hukum ada namun nyaris tuidak ada yang

kengindahkannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu memang tidak ada pemerintahan.

Bisa juga hal itu terjadi karena pemerintah yang ada atau penegak hukum yang ada tidak

memiliki kewibawaan. Hal itu terjadi dalam proses perubahan sosial dan masa

peraalihan (transisi) dalam banyak sektor kehidupan, terutama dalam aektor hukum.

Dalam masyrakat yang tengah dilanda anarki dengan sendirinya tidak ada tata

nilai yang akan dijadikan acuan maupun landasan. Dengan demikian proses sosialisasi

tidak bisa diandalkan bakal terjadi.

Fanatisme merupakan tantangan lain yang mnghadang proses sosialisasi seperti

dikehendaki pemdidikan IPS. Disebut sebagai tantangan karena fanatisme merupakan

semangat yang terlalu berpihak pada sesuatu pilihan secara emosional, Pilihan itu nyaris

secara apriori tidak mungkin bergeser. Obyek pilihan itu bisa berupa afiliasi politik, jenis

produk tertentu, rumah makan langganan dsb. Hal-hal semacam itu sebetulnya tidak ada

masalah, karena tidak mengganggu orang lain, Juga tidak mengganggu proses sosialisasi

menuju intergrasi sosial. Namun kalau kecenderungan itu bersikap apriori menolak

pendapat orang lain, atau apriori menerima inovasi yang akan dikembangkan masyarakat

menjadi berbahaya, karena tidak mungkin terjadi musyawarah dalam masyarakat.

2. DUKUNGAN PADA IPS

Kalau ada hal-hal atau kondisi tertentu yang dianggap sebagai tantangan bagi

pendidikan IPS, ada juga hal-hal atau kondisi yang ternyata mendukung pelaksanaan

pendidikan IPS. Hal-hal tersebut antara lain adalah demokrasi, transparansi, toleransi,

kekuasaan hukum, inovasi, serta rebeli.

Hal atau kondisi pertama yang memiliki dukungan kuat pada pendidikan IPS

adalah semangat demokrasi. Semangat itu bersumber pada paham, bahwa berbagai

masalah dalam tata pergaulan umat manusia harus dilandasai pada semangat demokrasi

133

Page 135: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

itu. Yang dimaksud adalah semangat yang menekankan pada kekuasaan orang banyak,

dalam bahasa politik diformulasikan sebagai rakyat. Mengapa rakyat, karena suara rakyat

diyakini sebagai suara Tuhan. Vox populi, vox Dei, demikian dalam bahasa aslinya.

Dalam pelaksanaannya kekuasaan itu terjabar pada ungkapan “Dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat”. Ini berarti harus ada forum di mana rakyat harus menjadi

sumber kekuasaan, rakyat harus menjadi pelaku klekuasaan dan ksejah teraan harus

dinikmati oleh rakyat. Dengan perkataan lain demokrasi sering diartikan sebagai adanya

musyawarah, adanya kesamaan derajat di hadapan hukum, maupun adanya kebebasan

untuk menyampaikan pendapat. Kondisi maupun semangat semacam itu sejalan dengan

tujuan ppendidikan IPS, yang menghendaki azas demokrasi sebagai salah aatu nilai

yang diakui dalam masyarakat.

Pada dasarnya semangat demokrasi diikuti semangat keterbukaan atau

transparansi dalam interaksi sosial. Keterbukaan berarti setiap warga masyarakat sama-

sama berhak dan berkewajiban untuk berpartisipasi sesuai dengan ketemntuan yang

dirumuskan beersama, lewat musyawarah. Dengan semangat seperti itu proses integrasi

sosial akan berlangsung sesuai dengan harapan-harapan sosial yang telah

dikomunikasikan.

Yang dimaksud dengan toleransi adalah semangat untuk menghormtai kehadiran

seseorang dalam komuniats baru, meskipun memiliki pendapat maupun pandangan yang

berbeda. Semangat semacam itu merupakan persyaratan utama untuk membangun

masyarakat demokratis yang penuh keterbukaan. Pada gilirannya dalam interaksi sosial

yang berkembang akan mudah terbangun integrasi sosial seperti dicita-citakan oleh

pendidikan IPS.

Selanjutnya masih dibutuhkan kepastian hukum dan kekuasaan hukum agar

semua warga ,maupun segala tindakan masyarakat tidak memiliki keraguan sesama

warga masyarakat. Para penguasa formal tidak dikhawarirkan akan melakukan kebijakan

yang bertentangan dengan harapan sosial. Semua pihak yang terlibat dalam interaksi

sosial juga tidak akan dikhawatirkan melakukan pelanggaran atas komitmen yang telah

disepakati bersama, karena adanya kepastian hukum itu. Hukum sendiri harus memiliki

kewibawaan untuk bisa mendisiplinkan setiap warga masyarakat untuk tetap menjadi

134

Page 136: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

warga negara yang baik. Sekali lagi tujuan akhir dari kondisi yang kondusif itu adalah

tercapainya integrasi sosial.

Nampaknya proses integrasi sosial itu tidak boleh berlangsung statis, apalagi

mandeg atau stagnan karena warga masyarakatnya bersifat apatis terhadap yang tengah

terjadi dalam masyarakt. Dalam masyarakat dibutuhkan dinamika agar bisa berlangsung

proses perubahan sosial maupun perkembangan yang sehat. Untuk itu dibutuhkan

semangat pada warga masyarakat yang senantiasa berwatak kritis dan inovatif. Yang

dimaksud dengan kritis dan inoivatif dimaksudkan sebagai semangat untuk menerima

pembaharuan secara mentah tanpa pertimbangan kritis. Semangat inovatif artinya

menerima sebuah tata nilai baru secara kritis. Mereka hanya menerimanya sesuai

semangat tata nilai baru, namun tidak merasa perlu mangadopsi seluruh kelembagaan

maupun simbul-simbul tata nilai baru itu.

Pada akhirnya masih ada semangat atau kondisi lain yang merupakan dukungan

bagi terjadinya proses integrasi sosial. Yang dimaksud adalah rebeli, yang secara hatrfiah

diartikan sebagai memberontak. Pengertian memberontak disini diartikan sebagai

perlawanan terhadap nilai-nilai yang bertentangan harapan sosial sebenarnya atau

kemauan umum. Kemauan umum itu barangkali masih laten, tidak secara gamblang

dimyatakan secara rerbuka. Semangat rebeli itu barangkali tidak dimiliki oleh semua

warga masyarakat. Meskipun demikian orang pilihan itu dianggap mampu menangkap

kemauan umum yang masih tersembunyi, dan kemudian secara eksplisit dikemukakan

oleh orang pilihan itu. Lalu orang dengan semangat rebeli itu melaksanakan perlawanan

terhadap tata nilai lamna yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat

pembaharuan. Bung Karno merupakan salah satu contoh tokoh yang melakukan rebeli

terhadap tata nilai penjajahan. Demikian juga ara pahlawan maupun para nabi telah

melakukan rebeli terhadap tata nilai lama yang menentang kehendak Tuhan atau harapan

Tuhan.

@@@

135

Page 137: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Su'ud, 1986, Kecenderungan Konfarmitas Pendapat Para Iswa

Tiga SMA (Kolese Loyola, Muhamadiyah, dan Taman Siswa) di

Semarang, Mengenai Berbagai Masalah Sosial, Dalam Rangka Proses

Integrasi Sosial, Disertasi, tidak diterbitkan, IKIP Bandung.

Abu Su'ud, 1990, “Pengajaran Sejarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V,

Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Sejarah Nasional.

Ahmad Sanusi, 1972, Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial , IKIP

Bandung.: Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.

Alisyahbana, Sutan Takdir, 1974 : Values As Integrating Forces IPersonality, Society

and Culture, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.

Bakker, J. W. M, 1984 : Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar,

Penerbit Yayasan Kanisius, BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta.

Banks, James A., 1977 : Teaching Strategies for the Social Studies, Inquiry,

Valueing and Decision Making, Second edition, Addison - Wesley

Publishing Company, Massachusetts.

Boocock, Same Spencer, 1982 : Sociology of Education, AnIntroduction, Houghton

Miffin Coy., Boston.

Brouwer, MAW dkk., 1979 : Kepribadian dan Perubahanya, Penerbit PT. Gramedia,

Jakarta.

Charters, W.W. Jr. and N.L. Gage (ed), 1964 : The Social Psychology of

Education (Reading), The Allign and Bacon, Boston.

136

Page 138: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Clifton, James A. (ed), 1968 : Introduction to Cultural Anthropology, Houghton Hiffin

Coy., Boston.

Deighton. Lee C., : The Encyclopedia of Education, Vol. 8, Me. Millan,New York.

Dick Hartoko (ed), 1985 : Memanusiakan Manusia Muda, BP Kamsius,

Yogyakarta.

Elkind, David, 1974 : Children and Adolescents, Interpretive Essays

on Jean Piaget, Oxford University Press, New York.

German, Richard M., 1972 : Discovering Piaget: a guide for teachers, A

Bell and Hovell Company, Ohio.

Grinder, Robert E, 1973 : Adolescence, John Willey and Sons, Inc., New York.

Kincaid, D. L. and W. Schramm, 1977 : Azas-azas Komunikasi Antar Manusia,

Suatu Adaptasi, LP35ES -East West Communication Institut, Jakarta.

Kinget, G. Marian, 7975 ; On being Human, A Systematic View, Harcourt

Brace Jovanovich, New York Chacago.

Kinlock, Graham C., 1977 : Sociological Theory , Its Develoment and ajor

Paradigms, McGraw- Hill Company, London.

Kleden, Ignas, 1985 : "Pembaruan Kebudayaan : Mengatasi Transisi", RRISMA No. 5,

Jakarta.

Kleden , Ignas, 1985 : "Kebudayaan, Agenda buat Dayacipta",PRISMA 1, tahun

XLV, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1984 : Kebudayaan Jawa, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

Krech, David, et al. , 1962 : Individual in Society, McGraw- Hill,Kogakhusa

137

Page 139: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Lindzey, Gardner and Phot Aronson (ed), 1975 : The Handbook of Socialychology,

Vol. I - V, Second Edition, Amerind Publishing Coy., T.,Limited, New

Delhi.

Merton, Robert K. and Nisbet R.A,1961 Contemporary Social Problem,

Harcourt, Brace and World, Inc. New York.

Mangunwijaya, 1980 : "Paradigma Baru Pendidikan", PRISMA 7, 1980 ,

Jakarta.

Mochtar Buchori, 1981 : "Nilai-nilai Indonesia dalam Perbenturan" PRISMA no.

11, Nopember, Jakarta.

Moser, C.A. and G. Kalton, Survey Methods in Social Investigation,

Heinemann Educational Book, London.Mulder, Niels, 1985 : Pribadi Dan

Masyarakat Di Jawa, Penerbit Sinar Ilarapan, Jakarta.

Mussen, Paul and Mark. Rosenzweig, 1975 : Psychology , An Introduction, University

of California Werkeley, DC., Heath and Company, Massachusetts.

Newcomb, Theodore M. et al., 1978 : Social Psychology, The Study of Human

Interaction, Ny. Joesoef Noesjirwan dkk.,Penerbit CV. Diponegoro,

Bandung.

Nimpoeno, John S., 1982 : Kepribadian dan Sistem Sosial : Suatu Ulasan

Interaksional dalam Konteks Psikologi, Fakultas Psikologi UNPAD,

Bandung.

Ogburn, Willam F. and Meyer F. Nimhoff, 1964 : A Handbook of Sociology, Routledge

& Kegan Paul Ltd., London.

Preston, Ralph C., 1967 : Teaching Social Studies in the Elementary School,

Revised Edition, Holt Rinehart Winston, New York.

138

Page 140: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Rubington, Earl and M.S. Weinberg, 1971 : The Study of Social Problems, Five

Perspectives, University Press, New York.

Sarlito Wirawan Sarwono, 1985 ; "Pandangan Sosial Politik Remaja",PRISMA No. 9,

Th. XIV, Jakarta

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed), 1964 : Setangkai Bunga Sosiologi,

Jajasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sri Mulyono, 1978 : Watak Satria, dan Sastrajendra, PT Gunung Agung, Jakarta.

Sudaryo, dkk., 1983 ; "Sosialisasi Pada Perkampungan Yang Miskin Di Kota Semarang"

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat

Penelitian Sejarah dan Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta dan Semarang.

Sudjana, 1975 : Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Ban dung.

Suseno, Franz von Magnis, 1983 : Etika Jawa dalam Tantangan :Sebuab Bunga

Rampai, BP Kanisius, Yogyakarta.

Suseno, Frans von Magnis, 1985 : "Konflik dan Harmoni : Pengelolaannya dalam

Kawasan Indonesia". PRISMA no. 2 / 1985 th. XIV, Jakarta.

Taba, Hilda, 1962, Curriculum Development Theory and Practice1 Chicago, New

York : Harcourty, Braces World, Inc.

Wesley, Edgar B, 1950 : Teaching Social Studies in High Schools,Third Edition,

Heath, London.

Young, Kimball, 1955 : Social Psychology, Appleton Century, Crafts Inc.,

New York. Zadrozny, John, 1959 : Dictionary of Social Sciences, Public

AffairsPress, Washington, DC.

139

Page 141: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

-——--, 1977 : Pergerakan Muhammadiyah, Badan Hukum

yangMenyelenggarakan Sekolah dan Perguruan Tinggi, PP

Muhammadiyah -Majlis Pendidikan,Pengajaran dan Kebudayaan, Jakarta.

——-, 1980 : Piagam Dan Peraturan Besar Persatuan Taman Siswa, Majelis Luhur

Taman Siswa, Yogyakarta.

-------- ,1983, UUD 1945, P4 DAN GBHN: BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,

Depdikbud, Jakarta.

-------- 1988, UUD 1945, P4 DAN GBHN BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,

Depdikbud, Jakarta.

140

Page 142: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

LAMPIRAN 1

BILA ISU KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH

Oleh

Prof. DR. Abu Su`ud

A. PENDAHULUAN

Pada suatu hari seorang mahasiswa mengemukakan sebuah pertanyaan kepada

dosen sejarah di dalam kelas sejarah, yang diambil dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam

sebuah majalah berita. Tulisan semacam itu nampaknya juga dimuat dalam media massa

lain, seperti surat kabar, radio maupun televisi di Indonesia, karena termasuk ke dalam

'big news". Misalnya, tulisan tentang lama masa jabatan presiden, kriteria yang cocok

untuk jabatan wakil presiden, benar tidaknya tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih

hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam kompleks Kraton Kasunanan Surakarta,

serta rencana memfungsikan Gedung Lawang Sewu di Semarang sebagai hotel.

Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul pula tulisan-tulisan tentang sah

tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit, terlibat tidaknya Presiden Bush

dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah Yugoslavia pasca desintegrasi

dengan pemerintah lama, misi pelayaran Akatsuki Maru yang memuat plutonium

Perancis ke Jepang, maupun penghancuran Mesjid Babri oleh kaum militan Hindu, yang

berkeyakinan bahwa mesjid tersebut telah didirikan di atas reruntuhan Candi Rama, pada

masa Wangsa Moghul berkuasa di India. Tulisan-tulisan tersebut dianggap sebagai isu

kontroversial, karena mengandung kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di

kalangan masyarakat ramai maupun cendekiawan di Indonesia.

Manakala isu kontroversial semacam itu dikemukakan di dalam kelas sejarah,

maka amat bervariasi kemungkinan tanggapan yang muncul dan para dosen sejarah.

Seorang dosen barangkali akan dengan senang hati menanggapi isu tersebut, dengan

membuka kesempatan untuk diskusi kelas. Dan dari sana pembicaraan akan memasuki

pokok bahasan yang sudah terjadwal. Dosen lainnya barangkali mencoba untuk

menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan

141

Page 143: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mahasiswa yang sulit dilerai.

Perbedaan pendapat di kalangan dosen sejarah tersebut mencerminkan adanya

perbedaan prinsip mengenai dapat tidaknya isu-isu sosial dimasukkan sebagai bagian dari

proses belajar mengajar sejarah, sebagai bagian dari IPS, Iebih-lebih manakala isu

tersebut bersifat kontroversial.

Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai

kemungkinan dimasukkannya isu kontroversial sebagai bagian dari proses belajar

mengajar.

B PARADIGMA ILMU SEJARAH

Sebelum sampai pada pokok bahasan utama, yaitu masuknya isu kontroversial

dalam kegiatan belajar mengajar sejarah, ada baiknya dikemukakan berbagai hal

mengenai sejarah itu sendiri, maupun tujuan pendidikan sejarah. Paling tidak ada dua

cara untuk mendefinisikan pengertian sejarah. Penama, sejarah dianggap sebagai

keseluruhan kejadian yang dialami oleh umat manusia di masa lampau. Kedua, sejarah

dianggap sebagai catatan atau rekaman kejadian-kejadian itu sendiri (Daniels, 1966 : 3).

Dengan adanya catatan maupun rekaman itu sejarah dapat dikomunikasikan dari generasi

ke generasi lain, yang kemudian dikenal sebagai bagian dari proses pendidikan. Dengan

batasan pertama, sejarah dianggap sebagai kumpulan fakta atau "history as a fact", dalam

artian kejadian obyektif tentang sesuatu yang betul-betul terjadi. Sedangkan dengan

batasan yang kedua, sejarah dianggap sebagai memori tentang masa lampau,

sebagaimana dialami atau didengar oleh seseorang secara subyektif, yang kemudian

disebut sebagai "history as written".

Oleh karena sejarah merupakan kenangan sesuatu bangsa terhadap pengalaman

bangsa itu sendiri, maka melupakan sejarah berarti bangsa itu seolah-olah menderita

amnesia. Oleh karenanya perilaku sosial berikutnya menjadi tidak utuh, karena tidak

didasarkan atas pengalaman masa Iampaunya. ltulah sebabnya Bung Karno pernah

menyampaikan pidatonya yang terkenal dengan judul Jasmerah, yang merupakan

singkatan dari nasihatnya “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.

Meskipun jalan sejarah itu unik dan hanya sekali saja terjadi, namun pengalaman

142

Page 144: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

menunjukkan bahwa sejarah dapat mengajarkan sesuatu kepada umat manusia yang mau

belajar dari sejarah. Seorang filsof Yunani kuno, Heraklitos, pernah mangatakan, bahwa

“kalian tidak dapat menginjak untuk kedua kalinya aliran sungai yang sama, lantaran

aliran sungai yang baru akan selalu mengaliri kaki kalian” (Daniels, 1966: 4 dan 5).

Demikian pula sejarah itu sendiri terus berlalu, namun dia meninggalkan pelajaran bagi

bangsa-bangsa berikutnya.

Sementara itu tanggapan warga masyarakat terhadap fakta sejarah maupun cerita

sejarah tidak selamanya sama, sehingga menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang

komentar maupun pandangan orang-orang itu disampaikan dengan cara-cara yang

merangsang, bahkan menimbulkan pertentangan pendapat atau kontroversial, yang pada

gilirannya memancing pendapat yang berkepanjangan. Media massa telah menyajikan

isu-isu kontroversial itu, sehingga materi sejarah bukan lagi hanya menjadi urusan para

sejarawan, melainkan juga oleh masyarakat awam maupun para pengajar sejarah. Salah

satu kemungkinan yang terjadi adalah munculnya sikap yang bervariasi dari para

pengajar sejarah.

Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai

kemungkinan dimasukkannya isu kontroversiai sebagai bagian dari proses belajar

mengajar sejarah, sebagai bagian dari pendidikan IPS.

1. Fungsi-fungsi Sejarah

a. Sejsrsh berfungsi sebagai genesis, oleh karenanya bersifat deskriptif, naratif,

dan informatif. Dalam hal mi sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap

menarik untuk dikisahkan dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-

hal mengenai faktor-faktor What; Who, When, Where dan How. Sejarah

dengan demikian lebih merupakan hasil karya sastra ataupun rumusan gagasan

falsafi, sehingga dikenal sebagai "history as art" ataupun humaniora. Itu

sebabnya Jurusan Sejarah dalam Universitas-Universitas dimasukkan ke dalam

Fakultas Sastra dan/atau Filsafat, misalnya.

b. Sejarah berfungsi didaktis, oleh karena itu dipilihlah fakta di sekitar

pengalaman masa lampau yang membanggakan, menyedihkan dan sebagainya,

143

Page 145: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

yang dikomukasikan kepada generasi muda untuk tujuan mengobarkan

semangat. Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin disampaikan lewat

pendidikan sejarah, agar terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru, untuk

menumbuhkan semangat kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme dan

sebagainya.

c. Sementara itu aliran Sejarah Baru (New Historisism) amat menekankan

pada perlunya sajian fakta sejarah secara Iebih oblektif, lugas atau apa adanya.

Sejarah oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan usaha mendidik

(didsktis) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan sebagainya, pada

generasi baru. Sejarah oleh karenanya harus disusun atas dasar fakta yang

sesungguhnya terjadi, sehingga diperiukan proses studi sejarah kritis. Hasilnya

disajikan dalam wujud sejarah sebagai karya llmu (history as science) dalam

bentuk buku sejarah (history as written). Dalam fungsi se macam inilah sejarah

dianggap sebagai bagian dari llmu Pengetahuan Sosial, yang dalam konteks

persekolahan disebut Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dengan alasan itu

pulaiah Jurusan Sejarah di IKIP dimasukkan ke dalam Fakultas Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosisl (FPIPS).

C. . IDENTIFIKASI TUJUAN PENDIDIKAN SEJARAH

1. Paradigfna Tujuan Pendidikan Nasional

Berbagai tujuan penidikan nasional pada berbagsi negara secara teoritik dapat

dikelompokkan menjadi tiga macam, sesusi dengan paradigma pendidikan yang

dikembangkan. Di negeri-negeri sedang berkembang pendidikan dipandang sebagai

"process of cultural transmission", di mana pendidikan dimaksudksn untuk

menyampaikan dan melestarikan kebudaysan yang telah dianggap mapan (Taba, 1962 :

19). Konsep tentang “pelestarian nilai-nilai perjuangan 1945”, misslnya, merupakan salah

satu bukti dipergunakannya sistem pendidikan yang demikian itu (Abu Su'ud,

1986 :110 ). Orientasi pengajaran sejarah yang dianut oleh negeri-negeri yang baru

144

Page 146: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mencapai kemerdekaan, amat menekankan pada bentuk sejarah nasional (Ballard ,1970 :

37).

Sementara itu di negeri-negeri bersistem komunis atau sosialis

dikembangksn prinsip bahwa pendidikan merupakan "process of cultural transformation",

atsu proses untuk merubah warga masyarakat menjadi tenaga kerja yang amat diperlukan

oleh lapangan pekerjaan atau industri (Taba, 1962:19). Oleh karena itu pengajaran

sejarah harus disrahksn pada penanaman pengertian mengenai benarnya prinsip

“perjuangan kelss”, yang mendasarkan pada azas “historis materislisme” atau “dialektika

sejarah” yang dianut oleh mereka (Ballard, 1970 : 39).

Di negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang menganut sistem sosial yang

liberalistik, berkembang sistem pendidikan yang menganggap pendidikan sebagsi

"process of individual development", karena setiap individu dipandang sebsgai individu

yang unik (Taba, 1962 :19). Oleh karena itu pengajaran sejarah di sekolah harus

dikembangkan untuk dua hal, yaitu “kebanggssn nasional” dan “pengembangan saling

pengertian antar bangss” (Ballard, 1970 : 40).

2. Kesesusian dengan Sistem Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 msupun

GBHN 1988, sama-sama beranggapan akan perlunya pengembangan pendidikan sejarah

perjuangan bangsa, dalam rangka untuk meneruskan dan mengembangksn jiwa,

semangat, dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dan keduanya sama-sama tidak

menggunakan huruf besar dalam menyebut “pendidikan sejarah perjuangan bangsa”.

Amanat tersebut tetap sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional menurut GBHN 1983.

a.…bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat

kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsasn dan cinta tanah air,

agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat

membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas

Penibangunan Bangsa (GBHN, 1983).

Apabila kita simak, bunyi Undang-Undang No. 2 Tahun l989 tentang Sistem

145

Page 147: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Pendidikan Nasional, Bab Il, PssaI 4 mengandung butir-butir penting, yang antara lain :

1) mencerdaskan kehidupan bsngsa, 2) mengembangkan konsep manusia Indonesia

seutuhnya, seperti religius, berbudi pekerti luhur, cakap, sehat, berpengetahuan, dan 3)

sadar akan tanggung jawab sebagai masysrakat dan bangsa.

Dari sana terlihat betapa Sistem Pendidikan Nasional kita tidak hanya

menekankan pengertian pendidikan pada fungsi “process of cultural transmission”,

melainkan sekaligus merupakan “process of cultural transformation” dan “process of

individual development”. Dengan demikian maka Model pengajaran sejarah di Indonesia

harus selalu mengacu pada seperangkat rujukan yang sesusi dengan (1) fslsafsh Pancasila

(bsndingkan dengan falsafah dialektika materislisme bagi pengajaran sejarah di Soviet

Rusia); (2) ketakwssn kepada Tuhan YME, budi pekerti, semangat kebangssan, cinta

tanah air, yang sesusi dengan fungsi “cultural transmission”; (3) dapat menumbuhkan

manusis-manusia pembangunan, yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-

sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsanya, sesusi dengan fungsi “cultural

transformation”; (4) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan , sesuai dengan fungsi

“individual development”; serta (5) mengembangkan saling pengertian antar bangsa,

seperti bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea terakhir “...dan ikut

malaksanskan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial ...” (GBHN 1983).

3. Tujuan pendidikan Sejarah di Sekolah

Dalam Kurikulum 1964 dan 1968 pengajaran sejarah lebih memberikan peluang

bagi mengembangan rasa kebangsaan. Dalam Kurikulum 1964, misalnya, tujuan yang

demikian itu terlihat jelas baik dalam jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah

Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal itu terjadi karena pelajaran

sejarah berstatus sebagai bagian dan Pendidikan Kewarganegarsan (Civics). Keadaam

semacam itu masih dirasakan dalam Kurikulum 1968, lebih-lebih ketika pemerintah Orde

Bsru mulai mengembangksn program Pendidikan Kewarganagaraan, menyusul terjadinya

pemberontakan G 30 S/PKI pada 1965. Rumusan tujuan seperti “Menghayatkan kepada

pelajar riwayst perjuangan Bangsa Indonesia dengan segala hambatannya (feodalisme,

146

Page 148: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

kolonialisme) untuk mencapai perikehidupan yang bebas, bahagia, adil dan makmur"

menjadi ciri utama tujuan pendidikan sejarah pada awal Orde Baru itu (Hasan 1990 : 72)

Sementara itu tujuan pengajaran yang mengarah pada pengembangan kognitif

telah muncul pula pada Kurikulum 1968 itu. Misalnya, Kurikulum SMA menyebutkan

bshwa Pendidikan Sejarah bertujuan “untuk menanamkan historis inzich kepada anak

didik, agar mereka mengetahui segala peristiwa dalam hubungan sejsrah, yang

merupakan suatu proses sebab-akibat yang berkelanjutan”. Dalam Kurikulum 1975 misi

Pendidikan Sejarah sebagai sarana pengembangan kognitif, amat menonjol. Hal itu

dirasakan sekali ketika status Pendidikan Sejarah dianggap sebagai bagian dari llmu

Pengetahuan Sosial (IPS) (Hasan, 1990 : 73).

Dalam Kurikulum 1986 kedua tujuan tersebut, kognitif dan afektif, sudah

digabunghkan dalam Pendidikan Sejarah. Fungsi sebagai pendidikan nilai dari sejarah

lebih-lebih terasa dengan munculnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa (PSPB), yang secara khusus dimaksudksn sebagai sarana untuk mengembangksn

jiwa dan semangat nilai-nilai 1945, yaitu patriotisme, kepahlawanan, rela berkorban

maupun nasionslisme (Abu Su'ud, 1990 : 93). Sejarah di sini dipelajari sebagai sejarah

normatif. Di samping itu tetap diajarkan mata pelajaran sejarah yang lebih menekankan

pada pengembangan kognisi dan intelektual siswa. Di sini sejarah dipelajari sebagai

sejarah empirik.

Sampai di sini muncullah kemudian sejumlah masalah dalam dunia pengajaran

sejarah, yang muncul karena para guru sejarah harus melakukan sejumlah penyesuaian

diri dengan tugas-tugas profesional mereka. Masalah itu bermula dari pengertian

konseptual mengenai peranan sejarah dalam kehidupan manusia, potensi sejarah dalam

dunia pendidikan dan pengajaran ataupun bagaimana sejarah diajarkan. Sudah barang

tentu masalahnya dapat berkembang ke arah perbincangan mengenai peranan PSPB,

karena meskipun GBHN masih menganggap perlu peranan PSPB dalam proses

pendidikan, pengalaman menunjukksn terjadinya kejenuhan dalam kegiatan belajar

mengajar di sekolah-sekolah.

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 maupun

GBHN 1988, sams-sama memandang perlu pengembangan pendidikan sejarah

perjuangan bsngsa, dalam rangka meneruskan dan mengembsngkan jiwa, semangat, dan

147

Page 149: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Kalau kita perhatikan maka dalam kedua konsep

tersebut tidak ditulis dengan huruf besar (=PSPB). Ini berarti bahwa misi itu tidak harus

dilaksanakan dalam satuan program yang eksplisit, seperti pelajaran PSPB dalam

kurikulum sekolah. Itu pula yang menjadi sikap para perumus kurikulum bsru yang akan

segera diberlakukan pada tahun 1994. Di sana tidak dipisahkan Iagi fungsi untuk

pengembengan watak bangsa lewat PSPB, dan fungsi pengembangan inteklektual lewat

pengajaran sejarah sebagai bidang studi.

D. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS METODE MENGAJAR SEJARAH

1.Mencari Alternatif Baru

Lebih dari dua tahun yang lalu seorang warga negara Indonesia menyatakan

keprihatinannya mengenai pengajaran sejarah di sekolah. Orang tersebut adalah salah

seorang pengguna hasil pendidikan sejarah di sekolah, yang karena merasa tidak puas

dengan hasil pendidikan tersebut menyatakan keluhan serta mengajukan saran dalam

pengajaran sejarah di sekolah. Yang dimsksud adalah Bspak Haji Ismail, Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, yang nampak juga hadir dalam ruangan

ini. Keluhan tersebut dinyatakan dalam Pidato Sambutan dalam Pembukaan Seminar

Sejarah Nasional V di Semarang pada 27-30 Agustus 1990. Dalam kesempatan itu antara

lain dikatakan

“Memang kita akui bidang studi sejarah saat ini kurang diminati, baik di sekolah

maupun di perguruan tinggi. Hal ini terbukti adanya banyak keluhan para guru sejarah

kita. Sementara kita tahu, bahwa seiarah nasional mempunyal kriteria khusus dalam

pembinsan watak generasi muda kita, seperti menumbuh kembangkan jiwa patriotisme.

Di samping itu, melalui pelajaran sejarah nasional, anak-anak kita dapat memahami arti

pengorbanan para pahiawan kita dalam menegakkan kedaulatan negaranya. Melihat

kenyataan ini, terasa agak memprihatinkan manakala, bidang studi ini menjadi “samben”

bagi anak-anak kita. Untuk itulah pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan

harapan-harapan sebagai berikut Pertama, carilah alternatif terbaik untuk merangsang

minat belajar sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa. Hal ini penting artinya

148

Page 150: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

bagi pembinaan semangat guru sejarah ...” (Ismail, 1990).

Paling tidak ada dua hal yang patut mendapat perhatian dari keluhan warga negara

yang mempunyai keprihatinan terhadap pengajaran sejarah itu. Pertama, ungkapan kata

“menumbuh kembsngkan jiwa patriotisme”. Ungkapan tersebut terasa lebih manusiawi

dan demokratis dibanding ungkapan yang lazim digunakan, seperti menanamkan jiwa

patriotisme maupun menanamkan nilai-nilai empatlima. Ungkapan tersebut timbul dari

kejelasan akan pandangan kita tentang hakekat manusia. Digunakannya ungkapam

menumbuh kembangkan menunjukksn betapa manusia tidak dianggap sebagai objek

mati, melainkan sebaliknya sebagal manusia yang mempunyai potensi fitrah. Fungsi guru

dengan demikian sangat tepat kalau dinyatakan sebegai membantu peserta didik dalam

mengembangkan din mencapai kedewassan.

Rumusan-rumusan dalam Undang-Undang No. 2 1989 lebih menegaskan lagi

akan perlunya kita menggunakan ungkapan yang lebih manusiawi dan demokrstis itu. Di

sana disebutkan

(1) Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikapan kemampuan

(Pasal 13 UU No.2 1989).

(2)Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang

diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

…” (Passl 16 UU No.2 1989).

Ungkapan menyiapkan peserta didik tersebut, jauh lebih tepat

dibanding ungkapan mencetak peserta didik, sebagaimana sering kita gunakan

selama ini.

Kedua, ungkspan "Carilah alternatif terbaik untuk merangsang minat belajar

sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa" di atas, membuat kita tersentak dan

serta merta menyadari akan perlunya kita mencari dan menemukan alternatif alternatif

terbaik untuk merangsang belajar sejarah bagi pelajar maupun mahssiswa. Sudah barang

tentu alternatif yang akan dikemukakan dalam pidato ini bukan yang terbaik, namun

musti alternatif yang dimaksudkan untuk lebih merangsang belajar sejarah.

2. Landasan Pemikiran

149

Page 151: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

a.Kepedulian Sosial

Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial adaiah

untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis,

yang antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan

belajar mengajar sejarah hal tersebut dapat tedihat pada kecenderungan tanggapan

mereka terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat; seperti tulisan tentang

lama masa jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya

tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam

kompleks Kraton Kasunanan Surakarta, serta rencana memfungsiksn Gedung Lawang

Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul

pula tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit,

terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah

Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akatsuki

Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.

b. Proses Pendemokrasian

Secara teoritik kerangka pemikiran itu didasarkan atas anggapan dasar, bshwa

demokrasi merupakan cara hidup yang menghargai alternatif, yang berarti warga

masyarakat mempunyai kebebasan untuk berbicara, berkumpul, mengajar dan

sebagainya. Tanpa adanya kebebasan itu rakyat tidak mempunyai kesempatan untuk

memerintah atau melsksanakan kedaulatan rakyat. Dalam lembaga sekolah para siswa

yang dididik untuk menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab,

mempunyai peluang untuk berlatih mengembangkan jiwa demokrasi itu dengan

menyatakan pendapat, meskipun berbeda dengan pendapat orang lain, misalnya terhadap

berbagai isu sosial yang bersifat kontroversial.

Sekolah ternyata mempunyai fasilitas untuk memberikan pengalaman kepada

para siswa/mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan kognitif, emosi, serta

ketrampilan yang berkaitan dengan hak masyarakat demokrstis (Hartshorn dan Nu'msn

150

Page 152: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Somantri, 1971:49).

Yang menjadi dasar konsep tersebut adalah kenyataan bahwa setiap bsngsa, setiap

warga masyarakat akan dihadapkan pada banyak isu dan masalah, yang menimbulkan

perbedaan pendapat adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan belajar

mengajar sejarah hal tersebut dapat terlihat pada kecenderungan tanggapan mereka

terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat, seperti tulisan tentang lama masa

jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya tokoh

pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam

kompleks Kraton Kasunanan Surakarta serta rencana memfungsikan Gedung Lawang

Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegars muncul

puls tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksssi Saddam Husein atas Kuweit,

terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah

Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akstsuki

Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.

c. Relevansi Sosial Budaya

Secara konseptual dapat difahami, bahwa kecenderungan tanggapan maupun

sikap seseorang terhadap sesuatu isu atau objek, merupakan bagian dari pemeranan atau

penampilan seseorang dalam posisi sosial mereka. Sikap atau tanggapan itu tidak bisa

dilepaskan dari lingkungan sosial mereka. Pola tingkah laku yang telah menyatu dalam

masyarakat itu dalam sosiologi dikenal sebagai “design for living” bagi warganya. Gejala

semacam itu membuktikan kebenaran dari konsep “cultural determinism”, menurut para

antropolog, Herskovits maupun Mslinowski, atau “social determinism” menurut para

sosiolog (Abu Su'ud, 1986,170-171)

Dalam masyarakat yang mengenal sistem demokrssi yang mengandalkan

“musyawarah untuk mufakat”, sebagaimana difahami masyarakat pada tahapan

pembangunan sekarang, pengajar maupun mahasiswa sejarah di Jawa Tengah, sebagsi

bagian dari masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, yang menurut pendapat

Kuntjaraningrat (1984) bertingkah laku lebih mengutamakan keselarasan dengan

lingkungsn alam maupun sosial, dikhawatirkan mereka cenderung tidak tertarik untuk

151

Page 153: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

mengajukan isu kontroversial dalam kelas sejarah. Terasa sekali, bahwa ungkapan

“musyawarah untuk mufakat” cenderung difahami sebagai keharusan untuk selalu

konform dengan pendapat umum. Sehingga ungkapan keterbukaan yang amat dianjurkan

oleh pemerintah, hanya dirasakan sebagai slogan melulu, yang menandakan masih

rendahnya kemandirian (otonomi) pada sebagian anggota masysrakat dalam menyatakan

pendapat.

Kesimpulan semacam itu tentu saja sangat hipotetis sifatnya. Namun

bagaimana kenyataan yang terjadi?

3. Pengalaman Empirik

a. Masalah dan Tujuan

Untuk menjajagi kemungkinan dilaksanakannya gagasan isu kontroversial dalam

kelas sejarah, diperlukan pengalaman empirik dari lapangan. Yang menjadi masalah

untuk dipecahkan dengan penelitian tersebut ialah bagaimana kecenderungan tanggapan

mahasiswa maupun pengajar sejarah dalam menanggapi isu kontroversial yang

berkembang dalam masyarakat, dalam ran gka kegiatan belajar mengajar sejarah di

perguruan tinggi.

Secara operasional penelitian dikembangksn dengan tujuan untuk mengetahui

lebih rinci : 1) kecenderungan tanggapan mahasiswa sejarah terhadap isu kontroversial

dalam kelas sejarah, 2) kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari untuk

dibahas dalam kelas sejarah, dan 3) kecenderungan tanggapan pengajar sejarah terhadap

isu kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah.

b. Populas

i

Populasi penelitian ini adalah para pengajar maupun mshasiswa sejarah pada beberapa

perguruan tinggi di Jawa Tengah, karena mereka sama-sama terlibat dalam kegiatan

belajar mengajar dalam lembaga yang melaksanakan pendidikan sejarah pada Jurusan

Sejarah. Dalam kenyataan terbukti bahwa populasi tersebut terbagi menjadi tujuhan

penelitian, atas dasar perbedaan kondisi maupun kekhasan, sebagai berikut.

152

Page 154: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Atas dasar efisiensi kerja, maka dilakukan penelitian sampel dengan menentukan

semua pengajar bidang studi sejarah yang sudah mandiri dalam memberikan kuliah

(Golongan III d ke atas atau sederajat), dan semua mahasiswa smester Vii pada tahun

kuliah 199011991. Hasilnya adalah 34 orang pengajar sejarah dan 181 orang mahasiswa

sejarah sebagai responden untuk seluruh daerah penelitian. Kepada mereka dan kedua

kelompok responden tersebut, diberikan daftar pertanyaan (kuesioner) yang berbeda.

C. Temuan dari Lapangan

Hasil dari lapangan dapat disajikan sebagai berikut

1) Mahasiswa mempunyai kesiapan mental tinggi dalam menanggapi isu kontroversial,

karena kebanyakan (83%) di dalam keluarga mereka merasa mempunyai kebebasan

berpendapat (periksa Tabel 2) meskipun berbeda dengan pendapat umum, sementara

itu mereka termotivasi kerangsangan yang tinggi oleh media masa (77%) (periksa

Tabel 3), dan bagian terbesar (89%) tertarik untuk mendiskusikan isu kontroversial

dengan teman kuliah ( Tabel 4).

2). Dalam hal kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari mahasiswa untuk

dibahas dalam kelas sejarah, berurutan sebagai benkut : ideologi (27%), agama

(22,6%), politik (14%), budaya (12%), sosial (1137%), ekonomi (?;5%), dan hankam

(5%). (Periksa Tabel 5).

3) Sebesar 18% para pengaajar sejarah cenderung sangat bergairah membahas isu

kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah, menurut pandangan

mahasiswa, sebanyak 65% cenderung hanya berkomentar sekilas, sebesar 11% lagi

mengaku tidak pernah membahasnya, dan sisanya (6%) seialu men ghindar untuk

membahasnya. (Periksa Tabel 6). Informasi itu datangnya dari fihak mahasiswa ketika

ditanya tentang pengajar sejarah mereka di kelas. Ada perbedaan menyolok antara

pendapat yang dikemukakan oleh mahasiswa dengan jawaban yang diberikan oleh para

pengajar itu sendiri. Kita ikuti informasi berikut ini Sebagian besar (73%) mengaku

bergairah membahas isu kontroversial itu dalam kelas. Sementara sebanyak 21 % hanya

menanggapi ala kadarnya. Sedangkan Iumlah yang mengelak karena khawatir

153

Page 155: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

menimbulkan selisih pendapat ada 3%, dan yang beralasan tidak menguasai masalah ada

3% (Periksa Tabel 7).

4. iskusi

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa mahasiswa yang

kebanyakan merasa mempunyai kebebasan dalam keluarga untuk menyatakan pendapat

(sebanyak 83%), cenderung tidak berani (hanya 3%) menyatakan pendapat dalam kelas

sejarah untuk mengajukan isu kontroversial sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar

sejarah ? Mereka hanya berani berdiskusi dengan teman sendiri (sebesar 89%).

Demikian pula mengapa para pengajar sejarah cenderung untuk menghindar

dan kemungkinan membahas isu kontroversial yang diajukan oleh mahasiswa? Hanya

18% saja yang siap untuk melayani mahasiswa. Sementara sebagian besar (yaitu 65%)

hanya menanggapi selintas.

Dapat diduga bahwa kecenderungan itu terjadi karena faktor “relevansi sosial budaya”

yang terjadi dalam masyarakat, yang cenderung memberikan kepada warganya suatu

“design for living”, dan yang sekaligus merupakan akibat dari proses “social

determinism” atau “cultural determinism”. Artinya, bahwa dalam menentukan sikap atau

pendapat, para mahasiswa maupun pengajar sejarah, terikat oleh “tekanan” sosial budaya,

berupa nilai-nilai mapan yang diyakini. Misalnya, pengajar tidak begitu bergairah kalau

mahasiswa mengajukan isu sosial (apalagi yang kontroversial) dalam kelas sejarah,

sehingga mahasiswa menladi takut melakukannya. Ini menandakan gejala rendannya

kemandirian.

Para pengajar nampaknya juga terpengaruh oleh gambaran atau citra mengenai

kemapanan nilai sosial yang dianggapnya tidak mendukung keterbukaan seperti itu.

Dalam konflik internal yang terjadi antara kemandinan yang menjadi kualitas seorang

ilmuan, dengan kehendak untuk selalu konform atau harmonmis dengan lingkungan, yang

menjadi kualitas seorang birokrat, nampaknya dimenangkan oleh kualitas birokrat yang

ada pada diri mereka. Sebuah gambaran ekstrim dapat dikemukakan di sini menyangkut

seorang dosen calon respoden misalnya, menolak untuk mengisi kuesioner penelitian

karena dianggapnya akan melakukan dosa poIitik.

154

Page 156: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Melihat gambaran pada Tabel 6 saya tidak tahu mengapa di antara dosen yang

menurut mahasiswa sangat bergairah untuk menaggapi isu kontroversial, 47% berasal

dari IKIP Muhammadiyah Purwokerto, 24% terdapat di FKIP UNS dan 12% terdapat di

IKIP Semarang. Sedangkan iainnya berada di bawah itu. Dalam pada itu perguruan tinggi

yang diperkirakan memiliki kemandirian dalam bersikap, tidak menonjol dalam

menghasilkan dosen sejarah yang senang membahas isu kontroversial dalam kelas.

Misalnya, Fakultas Sastra Undip maupun FKIP UKSW Salatiga.

E POLA PENGEMBANGAN PROGRAM. ISU KONTROVERSIAL MASUK

KELAS

Berikut mi merupakan sebuah pola pengembangan program isu kontroversial dalam

kelas sejarah, yang disusun berdasarkan rambu-rambu yang diperoleh dari hasil

penelitian, baik dari fihak responden mahasiswa maupun responden pengajar

1. Tujuan Program

Program dengan nama “Bila Isu Kontroversial masuk kelas sejarah” bisa

dikembangkan untuk berbagai tujuan sbb.:

1) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya penalaran.

2) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya kritik sosial

3) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan

kepekaan sosial

4) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan

toleransi dalam perbedaan pendapat.

5) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan keberanian

mengemukakan pendapat secara demokratis.

6).Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan kemampuan menjadi

warga negara yang bertanggung jawab.

2. Sumber Dan Bahan Program

155

Page 157: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Program isu kontroversial masuk kelas sejarah seyogyanya mendasarkan pada

bahan yang bersumber dari media masa, karena sifatnya yang terbuka dan dapat diikuti

oleh siapapun. Bahan yang bersumber dari desas-desus bukan merupakan sumber yang

dianjurkan, meskipun bersifat menarik. Adapun bahan isu kontroversial yang cenderung

lebih disukai oleh mahasiswa ialah yang berkaitan dengan kejadian di Dalam Negeri,

dengan alasan “lebih bermanafaat” dan “mudah dihayati”. Sebaliknya pada itu para

pengajar sejarah lebih menyukai kejadian di Luar Negeri.

3. Peranan Pengajar Dan Metode Pengembangan

1) Pengajar sejarah yang melaksanakan program isu kontroversial masuk kelas

sejarah seyogyanya mempunyai seperangkat kualitas berikut ini, yang disusun

berurutan sesuai hasil penelitian (1) objektif, (2) menguasai masalah, (3) relevan

dengan bidang studi sejarah,(4) toleran,. (5) membantu proses penalaran, dan (6)

pendidikan ambahan. (Periksa Tabel 8).

2)Peranan pengajar dalam program ini amat menentukan, meskipun

urutan berikut tidak menunjukkan peringkat

(1) sebagai pengendali agar diskusi dapat terarah (2) harus menguasai masalah(3)

harus memberikan keleluasan kepada menyatakan pendapat

4. Meetode

Adapun metode yang dianggap baik oleh para pengajar untuk mengembangkan program

mi bervariasi. Penggunaan metode tertulis banyak didukung oleh para pengajar, dengan

alasan dapat melibatkan Iebih banyak peserta, menurut para pengajar namun sekaligus

dapat mengurangi spontanitas peserta. Sementara itu para mahasiswa lebih menyukai

cara lisan, karena dapat mengembangkan dialog Iangsung.

156

Page 158: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

5. Sistem Evaluasi

Berikut ini merupakan seperangkat rambu-rambu yang berguna dalam

penyusunan perangkat evaluasi terhadap keberhasilan belajar dalam program isu

kontroversial dalam kelas sejarah, sebagai kesimpulan hasil penelitian.

(1) eberhasilan belajar dalam program tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan

tujuan pengajaran sejarah.

(2) Keberhasilan belajar dalam program tidak boleh merugikan mahasiswa yang tidak

dapat menyatakan pendapat secara lisan dalam diskusi.

(3) eberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada kemampuan

menganalisis masaiah-masaiah sosial

(4) Keberhasilan belajar dalam program tidak dapat diukur dari keserasian atau

ketidakserasian dengan pendapat pemerintah.

(5) Keberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada keberanian

mengemukakan pendapat secara objektif, disertai dengan argumentasi yang tepat

157

Page 159: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

E .PENUTUP

Para hadirin yang amat terpelajar

Pada bagian akhir pidato ini hanya ingin ditekankan kembali perlunya pencarian

jalan terobosan, guna menemukan alternatif dalam cara pengajaran sejarah di sekolah.

Maksudnya sudah jelas, yaitu agar sejarah dapat disajikan lebih menarik dan merangsang

pelajar untuk mau belajar sejarah dalam arti yang sesungguhnya.

Berbagai cara sudah ditawarkan, termasuk model yang ditawarkan oleh para

mahasiswa Jurusan Sejarah IKIP Semarang, dalam kesempatan tampil sebagai finalis

dalam Lomba Karya llmiah Mahasiswa Bidang Pendidikan Wilayah B tahun 1993 mi.

Mereka, Hari Wulyanto bersama Suwarno, telah mengajukan alternatif dalam pengajaran

sejarah, yang disebut dalam makalah yang diajukan yang berjudul “Metode Belajar

Kreatif Dalam Proses Belajar Mengajar Sejarah”.

Berbagai mitos dalam cara pengajaran sejarah, seperti alasan memenuhi target

untuk menghabiskan bahan, menghindari konflik terbuka di kalangan mahasiswa,

hilangnya wibawa guru kalau tidak dapat menjawab masalah dan sebagainya, harus dapat

dihilangkan, kalau kita menginginkan kemajuan. lnilah refleksi proses inovatif dalam

proses pengajaran sejarah.

Resiko yang bakal dihadapi memang ada, seperti telah dikemukakan dalam isi

pidato di muka.

Gagasan isu kontroversial masuk kelas sejarah yang saya tawarkan ini hanya

merupakan langkah-langkah kecil dalam rangkaian metode belajar kreatif dalam proses

belajar mengajar sejarah, seperti ditawarkan oleh “anak-anak kernarin” dalam forum

besar seperti Kipnas Pendidikan tahun 1992 yang Ialu Pada tempatnya kalau kita bersama

dapat memberikan hormat kepada mereka.

Disarankan pula agar metode belajar mengajar semacam inipun dapat pula

dikembangkan pada bidang studi IPS lainnya, pada jurusan-jurusan selain Pendidikan

Sejarah, seperti yang juga dikembangkan dalam perkuliahan llmu Sosial Dasar (ISD)

maupun llmu Budaya Dasar (IBD).

158

Page 160: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Para hadirin yang amat terpelajar

.

Dengan demikian dapat saya akhiri pidato ini. Harapan saya semoga ada

manfaatnya. Dan banyak terima kasih saya sampaikan kepada para hadirin karena telah

sudi memberikan perhatian pada pidato saya ini.

Pada akhirnya, dimohon dengan hormat lagi sangat sudilah kiranya para rekan sejawat

serta hadirin sebagai warga masyarakat ilmiah senantiasa memberikan motivasi serta

dorongan kepada diri saya, agar sejak peristiwa pengukuhan ini senantiasa dapat

melaksanakn peran sosial saya dalam kapasitas yang baru mi, lebih baik lagi.

Trpujila Allah SWT yang telah memberikan kekuatan pada saya untuk

membacakan pidato ini. Semoga Dia senantiasa memberikan taufik serta hidayatNya

kepada kita..

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Su'ud, 1986, Kecenderungan Konformitas Pendapat Para siswaTiga SMA (Kolese Loyola, Muhamadlyali, dan Taman Siswa) di Semarang, Mengenai Berbagai Masalah Sosial, Dalam Rangka Proses Integrasi Sosial, Disertasi, tidak diterbitkan, Bandung.

Abu Su'ud, 1989, Sejarah Dan Pendidikan, Makalah Dalam Temu Sejarah II, Semarang: Kanwil Depdikbud Prop. Jateng bekerja sama dengan MSI Cabang Jateng.

Abu Su'ud, 1990, “Pengajaran Sejarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V, Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Abu Su'ud, 1991, Model Pengajaran Sejarah Yang Sesuai Dengan Perkembangan Sosial, dalam Seminar Pengajaran Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Rangka Dies Natalis IKIP ke 26, IKIP Semarang.

Abu Su'ud, 1992, Penanaman Kesadaran Sejarah Dalam Menatap MadaDepan, Makalah Untuk Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Tengah, Semarang : Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah.

Ahmad Sanusi, 1972, Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial Bandung.:

159

Page 161: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.

Ballard, Martin (ed), 1970, New Movement in the Study and Teaching History, London : Temple Smith.

Banks, James A., 1972, Teaching Strategies for the Social Studies Inquiry, Valueing and Decision Making, 2nd Edition, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing House Company.

Clifton, James A, (ed), 1968, Introduction to Cultural Anthropolog Boston:Houghton Miffin Coy.

Daniels, Robert V, 1966, Studying History, New Jersey : Pranice Hall.

Gottschalk, Louis, 1975, Understanding History A Primer of Historical Method, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta : Yay. Penerbit UI.

Hari Wulyanto dan Suwarno, 1992, Metode Belajar Kreatif Dalam Proses BelaiarMengajar Sejarah, Makalah disampaikan Dalam Kipnas Pendidikan Wilayah B, IKIP Semarang.

Hartshorn Merril F dan Nu'man Somantri, 1971, Tantangan Daiam Pengajaran Ilmu Sosial dan Pendidikan Kewargaan Negara, Bandung : Badan Penerbitan IKIP Bandung.

Hasan, Said Hamid, 1990, “25 Tahun Pendidikan Sajarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek I nventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Ismail, M., 1990, “Pidato sambutan”; dalam Pembukaan Seminar Sejarah Nasional V, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Sartono Kartodirdjo, 1990, “Fungsi Sajarah Dalam Pembangunan Bangsa Kesadaran Sajarah, identitas dan kepribadian Nasional”, dalam Seminar Sajarah Nasional V Jakarta: Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Serjarah Nasional

Taba, Hilda, 1962, Curriculum Development Theory and Practice1 Chicago, New York : Harcourty, Braces World, Inc.

-------- ,1983, UUD 1945, P4 DAN GBHN: BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti, Depdikbud, Jakarta.

-------- 1988, UUD 1945, P4 DAN GBHN BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,

160

Page 162: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Depdikbud, Jakarta.

--------,1991, Himpunan UU No.2 Tahun 1989, PP No.30 Tahun 1990, dan Kep. Mendikbud No.0457, IKIP Semarang.

------------------------------------------------------------------------------------------CATATAN :

Tulisan di atas adalah Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Pendidikan Sejarah pada IKIP Semarang pada tahun 1993.

161

Page 163: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

PERANAN PIPS DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA PADA ERA GLOBALISASI

OlehAbu Su`ud

REFORMASI KURIKULUM IPS

Paling tidak ada dua aspek dalam pendidikan yang harus mengalami berbagai reformasi. Pertama, di bidang materi atau bahan pelajaran. Kedua, di bidang teknikalitas pengajaran. Lingkup penyesuaian materi pelajaran itu mencakup peninjauan kembali atau penyempurnaan bahan pelajaran yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar (PBM). Gunanya untuk mencapai tujuan pengajaran pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya. Untuk itu harus diperhatikan relevansi dengan tujuan kelembagaan sekolah (Institutional goal), tujuab kurikuler (currculer goal) maupun tujuan pengajaran (instructional goal). Sementara itu penyesuaian dalam bidang teknikalitas pendidikan mencakup berbagai cara dan pendekatan yang dipergunakan dalam PBM. Misalnya frekuensi tatap muka, cara penyampaiaan bahan, bentuk komunikasi maupun cara evaluasi pengajaran di kelas.

Kalau dalam bidang-nidang studi non IPS proses penyesuaian lebih banyak berkaitan dengan perkembanagn teori-teori maupun temuan baru di bidang studi terkait, tidak demikian halnya dengan bidang studi IPS. Di samping berbagai perkembangan tersebut di atas, proses penyesuaian di bidang studi IPS masih harus memperhatikan perkembangan aktual dalam bidang sosial politik. Berbagai perubahan stuktur sosial politik dalam negeri maupun luar negeri perlu ditanggapi secara tepat oleh kurikulum IPS. Lebih-lebih kalau telah terjadi pergantian rezim pemerintahan, seperti dari Orde Lama ke Orde Baru maupun dari Orde Baru ke Era Reformasi.

Tak dapat disangkal bidang studi IPS merupakan bidang studi paling rawan dalam proses perubahan sosial politik, karena mudah diintervensi oleh kepentingan penguasa. Alasannya jelas karena bidang studi inilah yang selalu digunakan oleh setiap rezim yang berkuasa untuk melakukan sosialisasi berbagai kebijakan maupuin pandangan pemerintah. Sebagai bidang studi yang non eksak materi pelajaran IPS amat mudah mendapat muatan pesan-pesan untuk kepentingan politik penguasa. Bahkan dalam banyak hal bahan pelajaran penuh berisi pandangan dan sikap penguasa.

Objektifitas ilmu cenderung diabaikan. Berbagai teori dan konsep ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan praktis merupakan alat penguasa. Terutama hal itu terjadi dalam pendidikan kewarganegaraan, seperti PPKN, PSPB, P4 maupun Kewiraan di masa lampau.

ARAH REFORMASI

Kiranya posisi strategis bidang studi IPS sangat berpotensi untuk dijadikan alat kekuasaan baru. Gampang sekali pemerintah atau rezim baru dalam era reformasi ini mengintervensi bidang studi IPS sebagai alat penguasa baru. Bila penguasa baru pada saatnya nanti dihinggapi penyakit sosial berupa vested interest, maka sejarah bakal berulang kembali.. Kemungkinan itu nampaknya akan terjadi ketika kecenderungan

162

Page 164: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

untuk kembali pada semangat Orde Lama mendapat angin segar akhir-akhir ini. Kecenderungan itu bukan mustahil terjadi, karena pemegang kekuasaan mendatang memiliki kedekatan aspiratif dan emosional dengan rezim Orde Lama.

Sudah dapat diterka bahwa semua sumber belajar yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan baru akan diganti. Buku-buku baru segera diterbitkan sebagai sumber belajar baru. Para guru mendapat penataran baru tentang semangat baru dan teknikalitas pendidikan baru.

Kalau hal itu semua yang terjadi berarti tidak ada beda antara penguasa Orde Baru dengan penguasa di era reformasi. Oleh karenanya perlu disiapkan bahan serta teknikalitas pengajaran IPS di masa depan ini. Paling tidak kita harus memperhatikan sejumlah semangat untuk menyiapkan kurikulum sekolah, khususnya dalam bidang studi IPS mendatang. Yaitu semangat demokrasi, kritis, kreatif kewiraswastaan, kebersamaan, santun dan keberagamaan.

Barangkali butir-butir semangat itu bukan baru, Bahkan sudah pula tercantum dalam 45 butir dalam P4. Namun inilah lontaran awal dengan harapan mendapat tanggapan positif dari masyarakat pendidik, dan pada gilirannya menjadi masukan bagi penyempurnaan kurikulum bidang studi IPS mendatang.

Dengan semangat demokrasi generasi muda dipersiapkan menjadi warga bangsa yang menghargai perbedaan pendapat dan berani menyatakan gagasan alternatif. Lebih dari itu diharapkan tumbuh kesediaan untuk menerima kompromi sebagai upaya pemecahan masalah-masalah sosial. Untuk itu harus diciptakan kondisi yang kondusif dalam masyarakat.

Semangat kreatif yang dikondisikan lewat proses pendidikan genarasi muda dapat memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan-gagasan inovatif.

Semangat kewiraswastaan dimaksud untuk menyiapkan generasi muda memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah dengan semangat kemandirian.

Semangat kebersamaan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan agar semangat kemandirian tidak menjurus pada liberalisme. Semangat kebersamaan ini mewadahi prinsip-psinsip nasionalisme dan kemanusiaan.

Selanujutnya semangat santun dimaksudkan agar penampilan anak-anak bangsa selalu santun, meski tetap kreatif dan kritis. Penampilan anak-anak bangsa akhir-akhir ini penuh dengan semangat kepedulian, kriris dan kreativitas tinggi. Namun amat disayangkan karena terkesan jauh dari semangat saling hormat. Dengan semangat santun ini pula diharapkan dapat dihindari arogansi pada setiap lapisan sosial.

Akhirnya semangat keberagamaan dimaksudkan agar seluruh warga bangsa tidak terlalu mengandalkan kemampuan manusia, karena hidupnya selalu dilandasi nilai-nilai keberagamaan. Keberagamaan bukan sekadar ditandai dengan kesemarakan ritualistik dan seremonial syariat agama.

AKTUALISASI DALAM PBM

Efektifitas kurikulum sekolah sangat tergantung pada faktor manusianya. Dalam hal ini guru merupakan faktor penting bagi keberhasilan pendidikan, karena guru merupakan pengembang kurikulum. Guru adalah aktor dalam sebuah pagelaran pendidikan. Oleh karenanya dalam proses pengembangan pengajaran IPS di era reformasi nanti para guru IPS amat besar peranannya.

163

Page 165: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

Selama ini guru IPS telah demikian baik dalam memainkan peranan sebagai kepanjangan tangan penguasa. Selama tiga dasawarsa telah tumbuh generasi yang serba seragam, enggan menyatakan alternatif, dan alergi pada perbedaan pendapat. Selama waktu itu generasi muda telah dibentuk dengan baik menjadi generasi yang serba “serasi, selaras dan seimbang”. Lebih dari itu para guru IPS telah tampil sangat cemerlang sesuai dengan kurikulum sebagai skenario perubahan sosial.

Tugas kita dalam menghadapi penyesuaian kurikulum mendatang adalah menyiapkan guru secara cermat dan bijak. Tentu saja bukan dengan jalan memecat semua guru IPS karena telah berkolaborasi dengan rezim lama. Yang diperlukan adalah menyiapkan agar para guru memahami tugas berat guru IPS. Langkah pertama, memberikan pengertian tentang generasi macam apa yang hendak dituju. Kedua, menyiapkan kurikulum, lengkap dengan bahan pelajaran dan teknikalitas yang relevan. Dan ketiga, menyiapkan kondisi masyarakat yang kondusif. Tak ada gunanya kalau guru harus memainkan peranan dengan baik, sementara siswa dihadapkan pada kondisi disonans. Hal itu terjadi kalau di luar gedung sekolah tergelar serba bentuk kemunafikan yang dimainkan orang dewasa, sementara di dalam kelas para siswa masih tetap harus menghafal berbagai tata nilai ideal itu.

@@@

164

Page 166: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

TENTANG PENULIS

Abu Su'ud dilahirkan di Tegal, 27 Juli 1938 dari pasangan Abdulrasyid dengan Siti Robiah. Menyelesaikan pendidikan SD (SR) sampai dengan SMP bagian A (Sastra) di kota kelahirannya pada 1951 dan 1954. Lalu meneruskan ke SMAN bagian A (Sastra Budaya) di Yogyakarta, tamattahun 1957. Sarjana Pendidikan Sejarah-Budaya di IKIP Bandung diraih pada 1964, dan gelar Doktor dalam bidang pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau Studi Sosial diraih pada tahun 1986 juga di IKIP Bandung. Paada 1993 dikukuhkan sebagai Guru Besar Pendidikan di tempatnya mengajar, di IKIP Semarang. Menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) periode 1990-1995, diteruskan menjadi Ketua PW Muhammadiyah Jateng periode 1995 - 2000 dan menjadi Pengurus MUI Jawa Tengah sejak tahun 1990 - sekarang. Di samping itu, menjadi anggota Pengurus Himpunan Pecinta Ilmu- Ilmu Sosial (HIPIIS) Komisariat Jateng (1998 - sekarang); Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Jawa Tengah sejak 1990 –2006, diteruskan sebagai penasihat sampai sekarang); Anggota Dewan Pcnasehat (Walikota) bidang Arsitektur dam Pembangunan (DPAPP) Kotamadya (1990 - sekarang), yang berganti nama menjadi Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K); Anggota Pengurus Masjid Raya Baiturrahman (1999 - sekarang); Anggota Penyantun Dewan Riset Daerah dan Pengembangan Jawa Tengah (1999 - sekarang); dan Anggota Local Legislative Watch (LLW). Sejak 2003 Penulis diangkat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) periuode (2003-2007; menjadi Ketua Program Studi Pendidikan IPS Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang sejak 2000-2004. Sejak 1 Agustus penulis memasuki masaa pensiun dan kemudian bestatus Guru Gesar Emiritus pada Jurusan Sejarah FIS Unnes.

165

Page 167: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

BUKU-BUKU YANG DITULIS

1. MEMAHAMI SEJARAH BANGSA-BANGSA DI ASIA SELATAN (Buku Pertama) Diterbitkan oleh Depdikbud Ditjen Perti, Proyek Pengembangan Lembaga

Pendidikan Kependidikan (LPTK) Jakarta : 1988.

2. SEJARAH ASIA SELATAN ( SEBELUM ZAMAN ISLAM) Penerbit : IKIP SEMARANG PRESS 1992 ISBN 979-8107-71-3 - Cetakan Pertama 1992

3. GAYENG SEMARANG (Kumpulan Tulisan di SUARA MERDEKA) Oleh : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc Prof. Dr. Abu Su'ud Penerbit : Harian SUARA MERDEKA 2000.

4. PROSEDUR PENULISAN HADITS * Penerbit : Muhammadiyah University Press 2000 (Cetakan Pertama) ISBN: 979~636-0284

5. RITUS-RITUS KEBATINAN * Penerbit Muhammadiyah University Press Cetakan Pertama 2001 ISBN: 979~364)37-3

6. ISLAMOLOGI (Sejarah, Ajaran, dan Peradaban Islam)

Cetakan Pertama Juni 2003 *Penerbit PT RINEKA CIPTA Jakarta, ISBN – 979-518-874-7

7. HAJI, ANTARA SYARA` DAN MITOS , Cetakan Pertama 2003, Penerbit ANEKA ILMU Semarang, ISBN 979-736-364- 5.

8. SEPANJANG HARI BERSAMA RASULULLAH SAW,

Cetakan Pertama 2003, Penerbit ANEKA ILMU Semarang, ISBN 979- 9029-98-8

9. ADA ANAK BERTANYA PADA BAPAKNYA,

Cetakan pertama Juni 2005, Cerakan kdua Februari 2006, Pustaka DNAN, Penerbitan Pustaka Rizki Putra, Semarang , ISBN 079-9430-34-8.

10. ADA ANAK BERTANYA PADA IBUNYA,

Cetakan pertama Agustus 2005

11. ASIA SELATAN (1. Integrasi di bawah Hindu-Buda, 2. Ketika Qutb Minar dan Taj Mahal dibangun, 3 Integrasi di bawah penjajahan Inggris, dan 4. Masa Kemerdekaan)Seri Memahami Sejarah Bangsa-Bangsa di Asia Selatan : ISBN :

166

Page 168: Pendidikan IPS  yang Terpuruk

979-9579-89-9 Cetakan Pertama , UPT Percetakan dan Penerbitan, Unnes Press, 2006

..................................................................

......\\\\\

167