advokasi.elsam.or.id · sampai saat ini, ruu kkr itu masih juga samar-samar. pembahasan rancangan...

207
kliping ELSAM KLP: Pansus KKR 2004-hal. 1 Pansus RUU KKR-04 Kompas, Kamis 19 Februari 2004 Delapan Fraksi Siap Bahas RUU KKR - F-PDU Menolak Jakarta, Kompas - Setelah lebih kurang dua bulan melakukan rapat dengar pendapat dengan 45 lembaga, termasuk dengan sejumlah duta besar asing, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya sepakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dalam pengantar musyawarahnya, delapan fraksi menyatakan setuju serta siap membahas RUU KKR bersama-sama dengan pemerintah. Sementara itu, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU) menolak. Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung DPR/MPR, Rabu (18/2). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto didampingi Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dan Mohamad Sofwan Chudhorie. Dalam Raker kemarin, F-PDU sendiri tidak hadir. Penolakan F-PDU terhadap pembahasan RUU KKR disampaikan oleh Sidarto selaku Ketua Pansus. "F-PDU pada tanggal 9 Februari 2004 mengirimkan surat yang intinya menolak RUU KKR," ucap Sidarto dalam sidang tanpa menjelaskan dasar pertimbangannya. Sementara itu, delapan fraksi lainnya, meski pandangannya cukup beragam, seluruhnya menyatakan siap membahas RUU tersebut. Amanat Tap MPR F-PDIP dalam pemandangan umumnya, misalnya, menegaskan kembali bahwa rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional merupakan amanat Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan satu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional juga merupakan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara yang sejalan dengan maksud dan tujuan Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi Manusia. Optimis selesai Kendati ada satu fraksi yang tidak menyetujui pembahasan RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, pembahasan tetap dilanjutkan. Alasannya, mayoritas fraksi telah menyatakan kesiapannya. Rapat kerja dengan Menkeh dan HAM untuk pembahasan awal, dijadwalkan diadakan 1 Maret 2004. Sedangkan, Rapat Panitia Kerja mulai diselenggarakan pada masa sidang IV DPR, yaitu setelah Pemilu 2004. Meski RUU KKR ini sangat kompleks, sementara waktu yang tersedia singkat, Sidarto tetap optimis pembahasan RUU KKR bisa diselesaikan DPR Periode 1999-2004. "Dengan kerja keras, insya Allah, RUU KKR bisa selesai oleh DPR periode ini," ucap Sidarto. Dia khawatir apabila pembahasan RUU KKR diwariskan kepada DPR periode mendatang, pembahasan akan menjadi lebih berlarut-larut karena harus mulai dari awal lagi. "RUU KKR ini tanggung jawab DPR periode ini," tegasnya. Sementara itu, animo dari anggota Pansus sendiri terhadap pembahasan RUU KKR sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat. Dalam rapat kemarin pun, dari total 50 anggota Pansus, hanya 13 orang yang hadir secara fisik. Sebanyak 13 orang lainnya, titip absen, sedangkan sisanya tidak tahu entah ke mana. (sut)

Upload: doannguyet

Post on 07-Jun-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 1 Pansus RUU KKR-04 Kompas, Kamis 19 Februari 2004 Delapan Fraksi Siap Bahas RUU KKR - F-PDU Menolak Jakarta, Kompas - Setelah lebih kurang dua bulan melakukan rapat dengar pendapat dengan 45 lembaga, termasuk dengan sejumlah duta besar asing, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya sepakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dalam pengantar musyawarahnya, delapan fraksi menyatakan setuju serta siap membahas RUU KKR bersama-sama dengan pemerintah. Sementara itu, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU) menolak. Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung DPR/MPR, Rabu (18/2). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto didampingi Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dan Mohamad Sofwan Chudhorie. Dalam Raker kemarin, F-PDU sendiri tidak hadir. Penolakan F-PDU terhadap pembahasan RUU KKR disampaikan oleh Sidarto selaku Ketua Pansus. "F-PDU pada tanggal 9 Februari 2004 mengirimkan surat yang intinya menolak RUU KKR," ucap Sidarto dalam sidang tanpa menjelaskan dasar pertimbangannya. Sementara itu, delapan fraksi lainnya, meski pandangannya cukup beragam, seluruhnya menyatakan siap membahas RUU tersebut. Amanat Tap MPR F-PDIP dalam pemandangan umumnya, misalnya, menegaskan kembali bahwa rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional merupakan amanat Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan satu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional juga merupakan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara yang sejalan dengan maksud dan tujuan Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi Manusia. Optimis selesai Kendati ada satu fraksi yang tidak menyetujui pembahasan RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, pembahasan tetap dilanjutkan. Alasannya, mayoritas fraksi telah menyatakan kesiapannya. Rapat kerja dengan Menkeh dan HAM untuk pembahasan awal, dijadwalkan diadakan 1 Maret 2004. Sedangkan, Rapat Panitia Kerja mulai diselenggarakan pada masa sidang IV DPR, yaitu setelah Pemilu 2004. Meski RUU KKR ini sangat kompleks, sementara waktu yang tersedia singkat, Sidarto tetap optimis pembahasan RUU KKR bisa diselesaikan DPR Periode 1999-2004. "Dengan kerja keras, insya Allah, RUU KKR bisa selesai oleh DPR periode ini," ucap Sidarto. Dia khawatir apabila pembahasan RUU KKR diwariskan kepada DPR periode mendatang, pembahasan akan menjadi lebih berlarut-larut karena harus mulai dari awal lagi. "RUU KKR ini tanggung jawab DPR periode ini," tegasnya. Sementara itu, animo dari anggota Pansus sendiri terhadap pembahasan RUU KKR sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat. Dalam rapat kemarin pun, dari total 50 anggota Pansus, hanya 13 orang yang hadir secara fisik. Sebanyak 13 orang lainnya, titip absen, sedangkan sisanya tidak tahu entah ke mana. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 2 Kompas, Senin, 08 Maret 2004 Saatnya Mewujudkan Rekonsiliasi Nasional

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan hak konstitusional anggota Partai Komunis Indonesia menjadi calon anggota legislatif maupun terbentuknya Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang mempersatukan keluarga Tentara Nasional Indonesia, PKI, Darul Islam, dan Komunitas Tionghoa adalah sebuah momentum penting bagi bangsa untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional.

Semangat tersebut juga akan mendorong fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). "Terus terang saya angkat topi pada upaya ini. Generasi muda kita itu lebih sadar pentingnya rekonsiliasi. Saya juga menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi," ucap Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidarto Danusubroto, Sabtu (6/3).

Sidarto yang mantan ajudan Presiden Soekarno itu juga berpendapat, Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) dan putusan MK melengkapi usaha rekonsiliasi nasional. Pasalnya, apabila RUU KKR adalah produk hukum, FSAB merupakan spirit yang berkembang di masyarakat.

Sementara Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar mengatakan, proses rekonsiliasi tidak bisa dibentuk secara formal melalui undang-undang semata. Tetapi yang terpenting adalah diupayakan semua elemen masyarakat melakukan pertemuan informal maupun formal. FSAB tanda penting terwujudnya rekonsiliasi.

Masa sidang IV

Pembahasan RUU KKR di DPR itu sendiri ditargetkan selesai dalam masa sidang IV DPR. Pasalnya, apabila pembahasannya dilimpahkan kepada DPR mendatang, dikhawatirkan pembahasan akan menjadi lebih berlarut-larut lagi.

Sementara itu, mengenai arah dari RUU KKR, menurut Sidarto dan Akil, masih terdapat perbedaan pandangan. Ada yang berpendapat, tetap perlu adanya pengungkapan kebenaran, ada juga yang berpendapat cukup pada penekanan adanya rehabilitasi dan rekonsiliasi. "Tapi mayoritas cenderung pada rehabilitasi dan rekonsiliasi," ucap Sidarto.

Menurut Akil, berkembang juga usulan agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi dan Persatuan. Kata kebenaran dihilangkan dikarenakan dirasakan sangat berat untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya terjadi di masa lalu.

Hentikan pewarisan konflik

Di Cianjur, Rabu pekan lalu, berlangsung Kongres Nasional II Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPRKROB). Dalam pidatonya, Ketua LPRKROB Sumaun Utomo mengatakan, putusan MK mencabut larangan eks anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi terlarang lainnya untuk menjadi caleg merupakan langkah awal upaya rehabilitasi para korban rezim Orde Baru tersebut. (sut/evy)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 3 Kompas, Rabu 19 May 2004 Percepat Proses, Pansus KKR langsung Bentuk Panja (salinan} Jakarat Kompas – Panitia khusus [Pansus ] Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] mengambil langkah memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [RUU-KKR] dengan langsung membentuk panitia kerja [Panja]. Langkah-langkah tersebut ditemmpuh karena adanya kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada September 2004. Kesepekatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa, 18 Mei 2004. Rapat dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharta Danusutbroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan [F-PDI-P]. Dalam rapat itu Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. “Pada prinsipnya setuju langsung bentuk Panja dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja ujarnya. Sebelumnya, pembahasan persidangan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat pleno Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan langsung dibawa ke tingkat forum lebih kecil yaitu Panja yang tertutup. Sidharta sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang memotong proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup. Langkah tersebut diambil semata-mata karena ketidaktersediaan waktu. “Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga penuh dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yaysan, Komisi Yudisial dan sebagainya,” jelas Sidharto. Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudorie dari fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat Pansus harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat sepesialis di bawah menteri sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu. “Dalam keadaan terentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak enak,” kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar. Jumlah DIM Menurut Sidharta, rapat Panja mulai akan diadakan pda 1 Juni 2004 dalam sembilan kali pertemuan. Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir. Direktur Jenderal Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul Gani Abdullah optimistis pembahasan bisa selesai Juli 2004 dengan asumsi setiap hari diadakan tiga kali pertemuan Panja dan setiap pertemuan berhasil menyelesaikan pembahasan satu atau dua pasal (SUT).

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 4 Kompas, Rabu 19 May 2004 Percepat Proses, Pansus KKR Langsung Bentuk Panja

Jakarta, Kompas - Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah memotong proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dengan langsung membentuk Panitia Kerja (Panja). Langkah tersebut ditempuh karena adanya kekhawatiran pembahasan RUU KKR tidak selesai pada September 2004.

Kesepakatan tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Gedung MPR/DPR, Selasa (18/5). Rapat dipimpin oleh Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Dalam rapat itu, Yusril menyetujui usulan Pansus tersebut. "Pada prinsipnya setuju langsung bentuk Panja dan yang belum disepakati di Raker langsung dibahas di Panja," ujarnya.

Sebelumnya, pembahasan persandingan pasal-pasal dilakukan beberapa putaran pada tingkat rapat pleno Pansus yang bersifat terbuka. Dengan adanya keputusan itu, nantinya pembahasan langsung dibawa ke tingkat forum lebih kecil, yaitu Panja yang tertutup.

Sidharto sendiri yang ditemui seusai rapat menolak anggapan bahwa keputusan Pansus yang memotong proses pembahasan didasari tujuan agar membuat pembahasan menjadi tertutup. Langkah tersebut diambil semata-mata karena ketidaktersediaan waktu.

"Undang-undang ini diharapkan bisa diselesaikan selama masa tugas DPR ini. Mitra kerja juga penuh dengan rapat undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Yayasan, Komisi Yudisial dan sebagainya," jelas Sidharto.

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa rapat Pansus harus dihadiri oleh menteri. Sedangkan rapat panja bisa dihadiri oleh pejabat spesialis di bawah menteri sehingga menjadi lebih leluasa mengatur waktu.

"Dalam keadaan tertentu, rapat Panja juga bisa dibuka. Kalau dibuka banyak-banyak kan tidak enak," kelakar Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar.

Jumlah DIM

Menurut Sidharto, rapat Panja mulai akan diadakan pada 1 Juni 2004 dalam sembilan kali pertemuan.

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir.

Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul Gani Abdullah optimistis pembahasan bisa selesai Juli 2004 dengan asumsi setiap hari diadakan tiga kali pertemuan Panja dan setiap pertemuan berhasil menyelesaikan pembahasan satu atau dua pasal. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 5 Kompas, Rabu, 26 Mei 2004 RUU KKR di Tengah Tarikan Kepentingan

SETAHUN sudah, Sumaun Utomo, salah satu korban kemanusiaan 1965, dengan mengiba-iba datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pria yang sudah berumur itu memohon agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk merehabilitasi korban Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965.

DIA pesimis, proses rehabilitasi melalui jalur Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) bisa segera terlaksana. Dia tidak yakin, Rancangan Undang-Undang KKR akan selesai satu atau dua tahun. "Inilah kesempatan Presiden dengan hak prerogatifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi. Mumpung kami sebagai korban hidup dan penanggungjawabnya Soeharto juga masih hidup," ujar Sumaun lirih.

Beratnya penderitaan yang dialami korban kemanusiaan 1965 sulit dilukiskan. Mereka banyak yang dihukum tanpa proses pengadilan. Hartanya dirampas. Keturunannya mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Kini, setelah rezim Soeharto berganti dan presiden berganti hampir empat kali, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, serta Megawati Soekarnoputri, dan sebentar lagi Pemilu Presiden, mereka belum juga mendapatkan rehabilitasi.

Penantian panjang

Apakah kegelisahan Sumaun ini benar-benar akan menjadi penantian tanpa harapan? Yang jelas, hari ini, Rabu (26 Mei 2004), setahun sudah usia RUU KKR. Pada 26 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR untuk dibahas.

RUU KKR tersebut tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi.

Pokok pikiran yang melandasi RUU KKR ini adalah bermaksud menelusuri kebenaran serta menegakkan keadilan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

RUU KKR juga merupakan amanat Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dan perintah UU No 26/2000. Pasal 27 UU No 26/ 2000 mengamanatkan "Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi".

Sampai saat ini, RUU KKR itu masih juga samar-samar. Pembahasan rancangan ini di Senayan baru memasuki tahap pembahasan pasal-pasal. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sementara itu, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan dan itu pun belum dipotong masa reses dan kesibukan kampanye menghadapi Pemilu Presiden. Materi RUU KKR tidak terlalu banyak dibandingkan dengan RUU lainnya. RUU ini hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudhorie sendiri optimis RUU KKR dapat diselesaikan sebelum masa kerja DPR 1999-2004 berakhir. Kendati demikian, kalau mencermati persandingan pandangan fraksi terhadap pasal yang diajukan pemerintah, pembahasan kemungkinan besar akan berjalan alot.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 6 BERBEDA dengan pembahasan RUU lainnya, perdebatan RUU KKR sudah dimulai dari perdebatan judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda. TNI/Polri, misalnya, sikapnya jelas. Mereka menghendaki agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. F-TNI/Polri menghendaki judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Komisi Rekonsiliasi, bukan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti diusulkan pemerintah.

Fraksi Reformasi sebaliknya. Mereka mengusulkan judul RUU KKR mempertegas aspek pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan judul "RUU tentang Komisi Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi".

Ada juga fraksi yang menekankan aspek legalitas formal. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), misalnya, mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan pembentukan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional".

Dikarenakan pendapat tersebut tidak mencapai titik temu, akhirnya sementara disepakati untuk tetap memberi judul RUU ini seperti usulan pemerintah tetapi nantinya disesuaikan dengan perkembangan pembahasan yang terjadi.

Padahal, judul mencerminkan isi. Kalau judul saja belum pasti, bagaimana dengan isinya nanti? Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi, seperti kompensasi, amnesti, restitusi, rehabilitasi.

Dalam RUU yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

F-PDIP mengusulkan untuk mempersempit korban, yaitu khusus pada yang mengalami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Sedangkan untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak adalah orang tua atau kakek dan nenek. Bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu.

F-PBB juga mengusulkan agar pelaku didefinisikan. Pelaku didefinisikan sebagai orang perseorangan, kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang yang membantu, memberi izin, mentolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut.

Perbedaan pandangan juga masih terjadi pada rumusan pasal soal ganti rugi. Pendefinisian kompensasi, misalnya, pemerintah mendefinisikannya sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

F-PDIP menginginkan agar kompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Sementara F-TNI/Polri mengusulkan agar ditegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak dinilai secara material. Tujuannya agar pemberian kompensasi ini tidak menjadi preseden dan menimbulkan permasalahan baru. Sebaliknya, F-PBB justru menekankan kesetaraan nilai kompensasi yang diberikan dengan penderitaan korban.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 7 Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak- hak lain. Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan mental.

Terakhir soal amnesti. Pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. F-PDIP dan Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI) menghendaki agar amnesti itu diberikan Presiden atas saran/usul dari Komisi. Demikian juga soal tugas, fungsi, kedudukan, keanggotaan, dan proses perekrutan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tajam. Tarik- menarik kepentingan memang terasa.

Materi Daftar Inventarisasi Masalah yang akan dibahas Panitia Khusus RUU KKR berjumlah 190 butir. Mencermati perbedaan pandangan yang terjadi antarfraksi, masih akan membutuhkan waktu panjang.

PANSUS sendiri kelihatannya belum menaruh perhatian besar pada RUU KKR ini. Terlihat, dari 50 anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti rapat. Rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan HAM pekan lalu hanya dihadiri 28 orang dari total 50 anggota. Dari sejumlah itu, yang hadir secara fisik 12 orang, sedangkan 16 orang selebihnya menyatakan izin.

Padahal, seperti diketahui bahwa Sumaun tidak sendirian. Pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh rezim Soeharto sejak tahun 1965-1998 melibatkan jutaan warga. Pelanggaran HAM itu antara lain Peristiwa G30S yang sekarang masih gelap (1965-1975); Penembakan Misterius (tahun 1975-1985); Peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Haur Koneng, DOM Aceh, Timtim, dan Papua (1985-1995); Kasus 27 Juli 1996, dan Kerusuhan Mei (1995-1998).

Padahal, seperti dikutip Bambang A Sipayung dari Jenifeer Llewelyn dalam artikelnya di Kompas, rekonsiliasi harus memberi prioritas pada penderitaan korban. Tanpa memperhatikan korban, rekonsiliasi bagai menggantang asap. (sutta dharmasaputra)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 8 Koran Tempo, Sabtu, 29 Mei 2004 Pansus DPR: Rekonsiliasi Harus Dibarengi Rehabilitasi JAKARTA --- Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sepakat bahwa rekonsiliasi harus dibarengi dengan rehabilitasi. Sebab, saat ini masih banyak korban yang terbebani dengan masalah politik. Demikian diungkapkan Ketua Pansus KKR, Sidahrto Danusubroto, di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. Bersama Wakil Ketua Pansus KKR, Sofwan Chudorie, ia menceritakan pengalamannya berkunjung ke Afrika Selatan pada 23-27 Mei. Kunjungan wakil rakyat itu dimaksudkan untuk mempelajari model rekonsiliasi yang dilakukan negara yang pernah dilanda konflik politik apartheid (perbedaan warna kulit) pada 1652-1994 dan selesai saat Nelson Mandela memimpin negeri itu. Mereka bertemu dengan Ketua Human Rights Foundation Yasmin Sooka, Ketua Komnas HAM Afsel Jody Kollapen, dan beberapa anggota parlemen setempat. Dalam pertemuan itu diungkapkan bagaimana negara Afsel mencapai rekonsiliasi itu. "Setelah menjadi presiden, Mandela yang pernah ditahan dan dipenjarakan oleh penguasa kulit putih justru mengajak orang yang pernah menyiksa itu duduk satu meja," kata Sidharto. Sidharto menjelaskan, ketika komisi rekonsiliasi Afsel terbentuk, sekitar 80 petinggi militer dan polisi datang memenuhi panggilan dan menceritakan kebenaran yang sesungguhnya. Para petinggi militer itu mau datang karena Mandela sebagai presiden sudah memberikan contoh sehingga tidak ada alasan untuk tidak mencontohnya. "Meski secara hukum masalah di sana sudah selesai, dari segi kultur masih harus diselesaikan secara bertahap. Sekarang di sekolah diajarkan masalah HAM, arti diskriminasi, dan lain-lain," ujarnya. Mengenai kompensasi, menurut Sidharto, Afrika Selatan tidak menerapkan dengan cara ganti rugi berupa uang tapi melalui program berupa pembangunan perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, Sofwan Chudorie menambahkan, setelah melihat dan belajar dari Afsel maka nantinya kemungkinan komisi yang bisa dibentuk di Indonesia harus menghilangkan diskriminasi. Artinya, semua masalah yang merugikan hak-hak warga negaranya harus dipulihkan martabatnya. "Masa lalu itu tetap diungkap kemudian diakui bareng-bareng baru dilakukan rehabilitasi kepada kelompok-kelompok itu. Jadi tidak melalui prosedur formal karena di sini tak ada kebenarannya. Sebab kalau ada kebenarannya kita terikat dengan prosedur formal," ujar dia. Sofwan mencontohkan, pada waktu terjadi keributan 1965 Soekarno membentuk fact finding vision. Pembentukan itu, kata dia, hanya untuk mengetahui kenyataan di lapangan seperti apa. "Sehingga ada terapi yang bersifat politis yang bisa meredam gejolak akibat kejadian itu. Saya bayangkan itu seperti ini," ujarnya. (fajar wh)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 9 Kompas, Sabtu 29 Mei 2004 Kebenaran Masa Lalu dan Rekonsiliasi Oleh Bambang A Sipayung

DALAM pembahasan UU Rekonsiliasi di DPR, muncul diskusi yang patut direnungkan. Fraksi TNI/Polri menghendaki penghilangan kata kebenaran dan lebih menekankan aspek masa depan daripada masa lalu.

Djasri Marin, anggota pansus dari Fraksi TNI/Polri mengatakan, "Bila semuanya diungkap jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu menuju masa depan." Elsam menolak usulan ini dengan alasan, catatan masa lalu berguna bagi pembelajaran demi menghindari pelanggaran HAM di masa depan dan efek penjeraan (Kompas, 24/5). Mengungkap masa lalu diharapkan menjadi proses belajar menyadari kesalahan dan jera untuk melakukannya lagi.

SAYA tertarik memberi catatan dalam diskusi sekitar kebenaran dan masa lalu. Pusat diskusi kebenaran dalam rekonsiliasi ialah apa yang telah terjadi. Ada tarik-menarik antara persepsi kelompok hak asasi manusia dan korban dengan konsepsi para protagonis konflik masa lalu. Bagi kelompok pertama, pengungkapan kebenaran menjadi prasyarat rekonsiliasi. Sebaliknya bagi kelompok terakhir terlalu banyak berkutat dengan masa lalu hanya meningkatkan ketegangan dan mempertajam perpecahan di masyarakat. Dalam konteks seperti inilah kiranya tarik-menarik antara usul penghilangan kata kebenaran dari Fraksi TNI/Polri dan penolakan oleh Elsam bisa diletakkan.

Apakah kebenaran dan masa lalu? Dalam konteks Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di negara-negara Amerika Selatan dan Afrika, kebenaran ingin dipahami sebagai suatu "rekaman masa lalu yang otoritatif". Otoritas itu bisa diupayakan dengan mentransformasi kebenaran menjadi suatu "pengetahuan obyektif". Dalam konteks ini, catatan sejarah mengenai pelanggaran hak asasi manusia direkam dan diajukan sebagai bukti tentang apa yang telah terjadi. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini ialah hilangnya subyektivitas dan konteks individu demi kepentingan obyektif. Hak asasi individu sering dijauhkan dari konteksnya, ditelanjangi makna subyektifnya bagi upaya mendapatkan fakta legal obyektif.

Kritik ini melahirkan gagasan kebenaran sebagai suatu pengakuan. Standar obyektivitas dan legal tidak menjadi paling utama meski perlu. Jennifer J Llwellyn menyebutnya sebagai kebenaran intersubyektivitas yang diperoleh lewat konfrontasi antara pihak-pihak terkait, yaitu antara korban, pelaku kejahatan, dan komunitas. Masing-masing pihak menceritakan "kebenaran" suatu peristiwa menurut versinya.

Menurut Howard Zehr, subyektivitas kebenaran seperti ini bagi korban merupakan kesempatan agar penderitaan, rasa sakit, atau mimpi buruk mereka bisa disentuh dan didengarkan, sekaligus memperoleh kembali kontrol atas hidupnya dan mempertahankan haknya. Kendali itu menjadi nyata saat korban menyampaikan maaf dan pengampunan kepada pelaku kekerasan.

MESKI memberi prioritas kepada korban, kebenaran yang melibatkan pengakuan ikut menyentuh pelaku tindak kekerasan. Bagi pelaku tindak kekerasan, pengakuan akan kesalahan atau kekeliruan yang telah terjadi menjadi sumbangan penting dalam proses rekonsiliasi. Sama seperti para korban, rekonsiliasi merupakan undangan kepada pelaku langsung tindak kekerasan untuk mengisahkan apa yang telah dilakukan, menemukan, dan mengakui kekeliruan yang telah terjadi. Pengakuan atas apa yang terjadi, kekeliruan dan kesalahannya, serta permohonan maaf menjadi bagian di mana pelaku tindak kekerasan ikut ambil bagian dalam rekonsiliasi dan membangun hidup bersama.

Menampilkan kisah seorang pemerkosa atau pelaku pembunuhan peristiwa Mei 1998 dalam forum publik bisa menjadi suatu cara untuk menyingkap apa yang terjadi. Memang ada kecenderungan untuk menilai orang-orang seperti ini sebagai monster keji tak berperasaan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 10 Namun, berdasarkan analisis psikologis terhadap tentara, agas (child soldiers), dan pelaku tindak kekerasan lainnya terlihat adanya penderitaan psikis berupa mimpi-mimpi buruk, gejala pengucilan diri, ketakutan, dan depresi akibat pembunuhan, pemerkosaan, atau kekerasan lain yang mereka lakukan. Rekonsiliasi perlu menyentuh pengalaman seperti ini.

Di luar dua aktor langsung ini, ada komunitas yang menjadi lingkup besar kehadiran korban dan pelaku kekerasan. Ketidaktahuan yang melahirkan asumsi negatif terhadap korban maupun pelaku tindak kekerasan sering menjadi sikap kelompok ini. Mereka seakan berdiri sebagai penonton yang cenderung menilai segala sesuatu berdasar kriteria bad guy dan good guy. Menampilkan kisah korban dan pelaku tindak kekerasan adalah upaya menginformasikan yang terjadi secara berimbang. Di sana kisah itu menantang komunitas penonton untuk terlibat reintegrasi korban dan pelaku kejahatan.

Kebenaran dalam proses rekonsiliasi dengan demikian menjadi perjumpaan naratif. Masing-masing pihak diberi ruang kebebasan subyektif untuk berkisah. Perjumpaan naratif seperti ini, selain bernilai sebagai proses penyembuhan sosial, menurut Marcia Byrom Hartwell, juga bernilai sebagai forum publik untuk mengakui penderitaan yang mendalam dan hampir tak terungkapkan akibat rasa kehilangan. Dalam arti ini, perjumpaan naratif menjadi panggung bersama (common platform) bagi martabat dan rasa hormat terhadap pengalaman semua orang.

Sebagai suatu perjumpaan naratif yang melibatkan pengakuan pihak yang terlibat peristiwa kekerasan, masa lalu tentu menjadi bagian integral yang perlu dihormati. Menutupnya atau melupakannya, terutama yang terkait tindak kekerasan, demi alasan suci dan baik seperti masa depan bisa menjadi bom waktu tindak kekerasan berikutnya. Pendapat ini diyakini para penganut teori duka (grievance theory) dalam menjelaskan sebab-sebab kekerasan. Menurut teori ini, tindak kekerasan terjadi akibat represi masa lalu kekerasan. Duka berubah menjadi kepahitan, dendam, dan pembalasan dendam.

MENEMPATKAN problem kebenaran, masa lalu, dan masa depan dalam rekonsiliasi di Indonesia, terutama menantang dan menggugat sikap ksatria para serdadu, entah sebagai institusi dan terutama pribadi untuk berkisah dan mengakui apa yang terjadi. Meneruskan lagu lama bahwa tentara sebagai penyelamat RI kiranya butuh elaborasi masa lalu dan kisah pengakuan mengapa dan bagaimana korban bisa jatuh.

Ini bukan soal mengorek luka lama atau menyalahkan, tetapi keberanian dan sikap ksatria untuk menatap realitas. Tentu akan menarik bila para calon presiden, terutama yang mantan militer, berani berkisah apa yang terjadi pada peristiwa Mei 1998, mengakui apa yang keliru dan bila perlu memohon maaf daripada ramai saling tuding, menampilkan kepahlawanannya dan melancarkan negative campaign kepada pesaingnya.

Bambang A Sipayung Mahasiswa S-2 Teologi Sanata Dharma Yogyakarta

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 11 Kompas, Senin, 31 Mei 2004 Masih Perlu Belajar Cara Berdamai dari Afrika

Afrika Selatan baru merdeka sepuluh tahun. Indonesia sudah merdeka jauh lebih lama, yaitu lebih dari lima puluh tahun. Namun, Indonesia sepertinya masih harus belajar banyak dari negara itu untuk berdamai dengan masa lalu.< p>

Demikian kesan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) Sidharto Danusubroto dari studi banding ke Afrika Selatan selama empat hari, mulai 23-26 Mei 2004. Mantan ajudan Presiden Soekarno yang juga pernah mengalami karantina politik selama empat tahun di masa rezim Soeharto itu sungguh terkesan dengan kebesaran jiwa Nelson Mandela.

"Dia ditahan 27 tahun, dia diperlakukan kasar oleh penjaganya. Akan tetapi, salah satu kebesaran jiwa beliau, penjaga kulit putih yang pernah memperlakukan dia dengan kasar itu, waktu dia terpilih sebagai presiden, duduk dalam satu meja," jelas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu saat ditemui di Gedung MPR/DPR, Jumat (28/5).

Kebesaran jiwa Nelson Mandela itulah yang mendorong petinggi militer maupun polisi, sekitar 70 orang, bersedia memberikan pengungkapan kebenaran.

Wakil Ketua Pansus Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menangkap kesan sama. Sofwan yang di era Orde Baru pernah sempat keluar masuk tahanan dan dicekal sekitar sepuluh tahun karena dianggap "menghina" Soeharto itu juga mengakui bahwa tidak mudah menumbuhkan semangat rekonsiliasi di Indonesia. "Kalau bangsa Afrika Selatan itu senang berdamai, kita ini kelihatannya senangnya bermusuhan," ucapnya berkelakar.

Dalam kunjungannya tersebut, pimpinan Pansus RUU KKR sempat mengunjungi Musium Apartheid di kawasan Gold Reef City, Johannesburg; berdialog dengan Ketua Human Rights Foundation Afrika Selatan Yasmin Sooka yang juga mantan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC); Ketua Komnas HAM Afsel Jody Kollapen; serta anggota Parlemen Afrika Selatan.

RUU KKR itu sendiri sudah dimasukkan oleh pemerintah ke DPR lebih kurang satu tahun lalu. Beberapa waktu lalu, Pansus sudah mengundang banyak lembaga untuk mendapatkan masukan. Direncanakan, mulai 1 Juni 2004 ini akan diadakan pembahasan intensif di tingkat panitia kerja. Akan tetapi, sayangnya, pembahasan RUU ini berlangsung tertutup.

Berdasarkan persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM), setiap fraksi masih memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ada yang menghendaki rekonsiliasi dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran, ada yang berpendapat pengungkapan kebenaran sebagai keharusan. Fraksi-fraksi juga masih berbeda pendapat dalam banyak hal, mulai dari judul RUU, definisi korban, pelaku, amnesti, rehabilitasi, restitusi, maupun proses seleksi anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Kendati masih banyak perbedaan pandangan, menurut Sidharto dan Sofwan, sudah ada kesepakatan target minimum bahwa rekonsiliasi harus disertai rehabilitasi. Semangat rekonsiliasi ini adalah menghapuskan diskriminasi dalam politik.

Menurut Sofwan, kalaupun ada pengungkapan kebenaran, tidak akan kasus per kasus. Pengungkapan kebenaran secara formal, menurutnya, sulit dilaksanakan karena dikhawatirkan bisa menimbulkan persoalan baru.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 12 Permasalahan yang terjadi di Indonesia juga lebih kompleks ketimbang yang dihadapi Afrika Selatan karena memiliki kompleksitas kadar tinggi. "Saya kenal bangsa Indonesia. Bangsa kita ini banyak didominasi oleh rasanya ketimbang rasio," ujarnya. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 13 Sinar Harapan, Senin, 31 Mei 2004 RUU KKR Digarap Amatir

JAKARTA – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) sudah memasuki usia satu tahun pada tanggal 26 Mei 2004. Namun pembahasan mengenai RUU KKR ini mengalami perdebatan yang panas, baik di dalam maupun di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di luar gedung, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM meneriakkan pentingnya kebenaran dengan cara meluruskan sejarah untuk menuju rekonsiliasi. Sementara di dalam gedung, tarik menarik kepentingan politik antar fraksi sangat kentara dalam setiap pembahasan sejak dari judul hingga isi.

Tak pelak, penanganan RUU KKR yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional ini, dinilai beberapa kalangan telah digarap secara amatir. Dengan alasan ketersediaan waktu, Rapat Kerja (Raker) Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia (Menkeham) Yusril Ihza Mahendra, Selasa (18/5) mengambil langkah memotong proses pembahasan RUU KKR dengan langsung membentuk Panitia Kerja (Panja). Rapat ini akan dimulai pada esok (1/6) dan direncanakan akan dilakukan dalam sembilan kali pertemuan. Pasal yang akan dibahas berjumlah 44 pasal dan terdiri atas 190 butir. Materi yang sudah disepakati dalam rapat Pansus baru berjumlah 19 butir. Draf RUU KKR yang diserahkan Presiden Megawati pada 26 Mei 2003 ke DPR tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi. Namun demikian, hingga kini pembahasan RUU KKR masih belum jelas. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sedangkan, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan. Materi RUU KKR hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Debat Judul Sebelumnya, perdebatan alot sudah dimulai dari penentuan judul. Pemerintah dan sembilan fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) misalnya, mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/2000 yang memerintahkan pembentukan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional". Fraksi TNI/Polri secara tegas menghendaki perubahan Judul. Fraksi ini mengusulkan agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi dan meminggirkan pengungkapkan kebenaran. Di sisi lain, Fraksi Reformasi mengusulkan judul RUU KKR dipertegas lebih pada aspek pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan RUU KKR diberi judul “RUU tentang Komisi Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi". Karena tidak mendapatkan titik temu, akhirnya judul RUU ini untuk sementara tetap disepakati seperti usulan pemerintah. Perdebatan lebih sengit terjadi dalam pembahasan tentang isi. Pandangan fraksi-fraksi berbeda-beda tentang definisi korban, pelaku, maupun ganti rugi. Dalam draf yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menanggapi hal itu, F-PBB malah meluaskan definisi korban. F-PBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Untuk yang tidak mempunyai istri, suami, dan anak ahli warisnya adalah orang tua atau kakek dan nenek, bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu. Fraksi ini juga mengusulkan pendefinisian pelaku sebagai orang perseorangan, kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang yang membantu, memberi izin, menolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 14 tersebut. Berbeda dengan FPBB, F-PDIP justru mengusulkan mempersempit pendefinisian korban yang khusus mengalami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat. Berkaitan dengan rehabilitasi yang menyangkut kehormatan, jabatan, nama baik Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan mental. Soal amnesti, pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Pansus sendiri dalam menangani RUU ini dinilai amatir. Menurut data Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), dari 50 anggota pansus, hanya beberapa orang saja yang hadir dalam beberapa kali sidang. Jika RUU KKR ini digarap secara amatir maka dikhawatirkan bangsa ini tidak akan pernah belajar atas kesalahan yang terjadi di masa lalu. Padahal seperti yang dikatakan Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan. Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan. Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial. ***

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 15 Kompas, Selasa, 20 Juli 2004 Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Titik Beratkan Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ternyata sudah semakin mengerucut pada penekanan aspek rekonsiliasi, bukan pengungkapan kebenaran.

Ada kecenderungan kuat, judul RUU yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi.

"Judulnya kemungkinan diubah. Titik beratnya pada persatuan nasional, rekonsiliasi nasional. Ini wacana yang berkembang," papar Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto, Minggu (18/7).

Menurut politisi senior dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, tidak ada RUU yang sempurna. Setiap pembahasan RUU tidak lepas dari kompromi politik. "Bahwa nanti ada penyempurnaan kembali oleh DPR hasil pemilu, itu lain soal. Yang utama, para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu tidak lagi mengalami diskriminasi politik. Masa masalah itu tidak selesai-selesai," ucapnya.

Ditanya apakah langkah itu juga diambil terkait kemungkinan terjadinya pergantian pemerintahan seusai pemilu, Sidharto enggan berkomentar. "Wah, soal itu saya tidak mau komentar ya. Saya tidak mau berandai-andai. Kita positive thinking sajalah," ucap mantan ajudan Bung Karno itu.

Pada rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sekitar April 2004, unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) di DPR menghendaki agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi. Kata kebenaran dihilangkan dengan alasan agar tercipta suasana yang rujuk di antara anak bangsa. Fokus dari RUU KKR diharapkan juga menekankan aspek masa depan, bukan masa lalu.

"Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan," kata anggota Pansus dari Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin, saat itu.

Tarik usulan

Pembahasan RUU KKR itu sepertinya dipercepat mengingat masa tugas DPR akan segera berakhir 30 September 2004. Tidak seperti biasanya, seluruh fraksi sepakat menarik puluhan usulan penyempurnaan pasal-pasal, mulai dari butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke-93 hingga DIM terakhir, yaitu nomor 190. Mereka sepakat sepenuhnya menerima usulan pemerintah karena beranggapan hanya bersifat perubahan redaksional.

Pembahasan yang masih belum tuntas, jelas Sidharto, tinggal tersisa tiga persoalan. Pertama, menyangkut jumlah anggota komisi. Berkembang usulan, jumlah anggota komisi ditambah menjadi 27 orang. Dalam RUU KKR usulan pemerintah dicantumkan 15 orang.

Hal lain yang belum mencapai kata sepakat adalah juga tentang masa kerja komisi. Dalam RUU diusulkan tiga tahun dan dapat diperpanjang selama dua tahun. (sut

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 16 Kompas, Selasa 03 Agustus 2004 Batas Waktu Pengungkapan Masa Lalu Masih Jadi Perdebatan

Jakarta, Kompas - Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat masih menyisakan perdebatan mengenai batas waktu pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta masa kerja KKR. Namun demikian, perdebatan substansial tersebut diyakini bisa diselesaikan oleh DPR periode 1999-2004.

Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar kepada Kompas di Jakarta, Senin (2/8). Politisi dari Partai Golkar ini mengatakan, Panja kembali akan melakukan rapat pembahasan pada masa reses, yakni 9-12 Agustus 2004.

Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim mendesak DPR agar menyelesaikan pembahasan RUU KKR dalam periode sekarang ini. "RUU KKR sudah dibahas cukup lama sehingga kalau ditunda pada DPR hasil Pemilu 2004, akan dihadapkan pada realitas politik yang berbeda," kata Ifdhal selain RUU KKR adalah perintah Ketetapan MPR No V/MPR/2000.

Akil merasa yakin DPR mampu menyelesaikan pembahasan RUU KKR. "Ini perintah Tap MPR dan juga UU No 26/2000 mensyaratkan pembentukan RUU KKR, selain RUU KKR ini telah lama berada di DPR," kata Akil.

Mengenai judul RUU, Akil mengatakan judul memang belum disepakati, tapi ia yakin judulnya tetap RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Soal waktu

Dalam draf pemerintah, pemerintah tidak memberikan batasan sampai tahun berapa KKR berwenang untuk mengungkapkan kebenaran atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM pada masa lalu. Dalam perdebatan di Panja DPR, kata Akil, berkembang pemikiran perlu adanya pembatasan hingga tahun tertentu. "Ada yang mengusulkan sejak tahun 1945 tapi ada juga yang mengusulkan sejak tahun 1965 atau 1967. Itu belum diputuskan," kata Akil.

Menurut Ifdhal, RUU KKR perlu memberikan batas waktu yang jelas, sampai tahun berapa KKR bisa melakukan penyelidikan. "Kalau saya mengusulkan sejak 1965 hingga 2000, karena pada masa itulah masih terjadi perdebatan di masyarakat," katanya.

Sedang mengenai masa kerja Komisi, Akil mengatakan, dalam draf awal yang diusulkan pemerintah, masa kerja KKR adalah tiga tahun dan bisa diperpanjang lagi selama dua tahun. Namun, arus besar di Panja DPR menghendaki masa kerja KKR adalah lima tahun dan bisa diperpanjang dua tahun.

Soal kewenangan

Akil menjelaskan, KKR yang sedang dibahas DPR ini akan mempunyai tiga subkomisi yakni Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi, Sub-Komisi Rekomendasi Amnesti, dan Sub-Komisi Rehabilitasi, Restitusi, dan Kompensasi.

Dalam praktiknya, kata Akil, jika ada laporan atau dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam sebuah kurun waktu maka akan ditangani Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi terlebih dahulu untuk melakukan identifikasi, apakah kasus yang dilaporkan itu merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 17 Sub-Komisi Penyelidikan akan melakukan investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat tersebut, termasuk mencari siapa pelaku dan siapa yang telah menjadi korban dari kasus tersebut. Dalam Sub-Komisi Penyelidikan maka anggota subkomisi akan memastikan secara persis siapa yang telah menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku, termasuk kemungkinan untuk melakukan rekonsiliasi.

Menurut Akil, rekonsiliasi bisa dilakukan jika pelaku mengakui perbuatannya dan korban mau memberikan maaf. "Jika korban dan pelaku setuju rekonsiliasi maka rekonsiliasi. Sebaliknya, jika sepakat maka kasusnya akan diserahkan ke pengadilan," katanya.

Ditegaskan, KKR tidak mempunyai kewenangan memberikan amnesti. Amnesti tetap merupakan hak prerogatif presiden selaku kepala negara. "Komisi hanya bertugas memberikan rekomendasi amnesti kepada presiden," katanya. (bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 18 Nasional Pemerintah Minta DPR Menunda Pembahasan RUU KKR Selasa, 10 Agustus 2004 | 13:22 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan HAM dianggap tidak serius dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (KKR). Hal itu terungkap lewat surat yang dikirim Direktur Jenderal Peraturan Perundanga-undangan, Abdul Gani Abdullah tertanggal 5 Agustus 2004 lalu. Dalam surat yang berkop Departemen Kehakiman dan HAM RI, Direktorat Jenderal Peraturan Perundanga-undangan bernomor O.UM.01.10-258 itu, diungkapkan rencana rapat konsinyering yang dijadwalkan tanggal 9 hingga 11 Agustus 2004 dibatalkan. Abdul Gani dalam suratnya menyatakan pembatalan rapat itu karena, setelah dilakukan pengecekan anggaran yang ada di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, tidak ada lagi dana untuk rapat itu. Baik dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum maupun Dirjen Perlindungan HAM. Oleh sebab itu, ia meminta agar rapat bisa dilaksanakan di gedung DPR/MPR saja. Rapat konsinyering biasanya dilaksanakan di luar gedung DPR. Rapat konsinyering itu biasanya digelar kala masa reses. Rapat biasanya diselenggarakan di hotel. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) KKR, Akil Mochtar, menyatakan kekecewaannya. Sebab, menurut dia, anggaran untuk setiap pembahasan RUU itu sudah dialokasikan anggaran lewat APBN. Padahal DPR sudah bertekad agar RUU KKR ini selesai sebelum keanggotaan DPR periode 2004 ini habis. "Alokasi tidak adanya dana itu sangat mengada-ada. Ini UU yang sangat penting bagi bangsa," kata Akil. Menurut dia, kemauan pemerintah untuk membahasa RUU itu pada persidangan mendatang itu jelas tidak akan selesai. Sebab, kata dia, DPR baru akan bersidang lagi pada 16 Agustus hingga 30 September. Artinya, hanya tersisa waktu 1,5 bulan. "Dengan sisa waktu 1,5 bulan itu ya jelas tidak akan cukup," ujar politikus Partai Golkar ini. Fajar WH - Tempo News Room

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 19 Kompas, Selasa 10 Agustus 2004 Beralasan Tak Ada Dana, Pemerintah Batalkan "Konsinyering" RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang- Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR bakal tertunda. Depkeh dan HAM membatalkan rencana konsinyering kedua RUU KKR yang semula direncanakan akan berlangsung tiga hari, mulai Senin (9/8) kemarin, dengan alasan tidak ada dana lagi.

Istilah konsinyering biasa digunakan oleh DPR dan pemerintah untuk rapat-rapat pembahasan RUU yang diadakan di luar Gedung DPR/MPR dan dilakukan secara intensif.

Pembatalan tersebut tertuang dalam Surat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkeh dan HAM) tertanggal 5 Agustus 2004 kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR DPR. Surat ditandatangani Dirjen Peraturan Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah. "...setelah kami lakukan pengecekan anggaran yang ada pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, ternyata tidak ada lagi dana untuk itu," demikian tertulis dalam surat tersebut.

Ketua Panja RUU KKR Akil Mochtar menyesalkan sikap Depkeh dan HAM tersebut. "Kelihatannya Menkeh dan HAM tidak serius menyelesaikan RUU ini," katanya.

Akil menilai sikap pemerintah tersebut terkesan mengesampingkan pembahasan RUU KKR. RUU ini bukan prioritas, tetapi dibahas apabila ada sisa anggaran. "RUU KKR itu ibarat asobah. Dalam hukum Islam, asobah itu ahli waris setelah ahli waris utama dan pengganti. Dia dapat warisan kalau ada sisa," jelasnya.

Padahal, RUU KKR merupakan RUU yang penting untuk kemajuan bangsa ke depan. Tanpa UU ini bangsa Indonesia akan terus terjebak pada suasana saling caci maki tanpa akhir. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Satya Arinanto, berpendapat, RUU KKR merupakan RUU yang termasuk urgen diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah sebelum terbentuknya pemerintahan baru pada tanggal 20 Oktober 2004.

"Di berbagai negara, lembaga semacam KKR ini telah menjadi semacam solusi penting untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu, terutama dalam era transisi menuju demokrasi," jelasnya.

Satya mencontohkan Bangladesh sebagai salah satu negara yang membentuk lembaga semacam KKR. Sejak tahun 1971, dengan pembentukan Komisi mengenai Kejahatan-kejahatan Perang, komisi semacam ini banyak berperan. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 20 Media Indonesia, Selasa, 10 Agustus 2004 Pembahasan RUU KKR Dihentikan

JAKARTA (Media): Departemen Kehakiman (Depkeh) dan HAM menghentikan konsenyering ke-2 atau pembahasan RUU di luar masa kerja DPR atau selama masa reses Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Demikian pernyataan Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar kepada pers di Jakarta, kemarin. Akil juga menyesalkan keputusan Depkeh dan HAM tersebut.

Berdasarkan surat Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah No I.UM.01.10-228, tertanggal 5 Agustus 2004, kepada pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU KKR, alasan penghentian konsenyering ke-2 ini karena Ditjen Peraturan Perundang-Undangan sudah kehabisan anggaran.

"Setelah kami lakukan pengecekan anggaran yang ada di Ditjen Perundang-undangan, ternyata tidak ada lagi anggaran untuk itu. Demikian juga setelah dilakukan koordinasi dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum dan Dirjen Perlindungan HAM sebagai pendukung pembahasan RUU KKR, ternyata juga tidak tersedia dana untuk kegiatan tersebut," kata Abdul Gani dalam suratnya ke Panja RUU KKR.

Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar merasa heran dengan pembatalan konsenyering karena alasan teknis itu. Padahal, setiap pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah, anggarannya diambil dari APBN.

"Padahal, kita tahu bahwa setiap RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR itu, alokasi anggarannya langsung dari APBN," tegas Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.

Menurut kesepakatan antara Panja RUU KKR dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan dan Dirjen Perlindungan HAM, konsenyering RUU KKR di tingkat Panja ini akan dilaksanakan tanggal 9-11 Agustus 2004. Dengan pembatalan itu, pembahasan lanjutan terpaksa dilakukan setelah pembukaan masa sidang DPR 16 Agustus mendatang.

Akil menjelaskan konsenyering RUU KKR itu dilakukan dalam rangka mengejar agar RUU ini selesai dibahas dan disahkan pada masa sidang mendatang. Dengan dibatalkannya konsenyering RUU KKR ini, diperkirakan RUU ini tidak akan tuntas diselesaikan oleh DPR periode sekarang.

"Masa kerja DPR setelah dibuka tanggal 16 Agustus mendatang hanya sekitar 20 hari. Rentang waktu itu sangat singkat sekali dan diperkirakan sulit untuk menuntaskan RUU ini dengan masa kerja 20 hari tersebut," tegas Akil.

Pembatalan konsenyering RUU KKR oleh Depkeh dan HAM tersebut, menurut Akil, merupakan indikasi bahwa institusi itu tidak serius untuk menyelesaikan RUU tersebut. Sikap tersebut sekaligus sebagai cerminan bahwa institusi-institusi pemerintah hanya bersemangat kalau diajak membahas RUU yang terkait dengan kewenangan dan kekuasaan mereka.

"Kalau membahas RUU Polri, RUU Kejaksaan, RUU Hakim, semuanya bersemangat karena ini terkait langsung dengan kewenangan dan kekuasaan mereka. Tapi, kalau RUU KKR ini, tidak demikian halnya. RUU KKR ini kurang diminati karena tidak terkait dengan kekuasaan. Padahal, RUU ini sangat penting untuk memecahkan persoalan nasional yang terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan masa datang," tegas Akil.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 21 Akil menjelaskan tidak ada yang perlu ditakutkan dengan substansi RUU KKR ini. Apalagi dalam RUU tersebut, rekonsiliasi hanya dapat dilakukan bila kedua belah pihak menyepakatinya. Kalau tidak disepakati oleh kedua belah pihak, dapat ditempuh jalur pengadilan HAM Ad Hoc.

"Jadi, jangan apriori dulu. Pembahasan terhadap RUU ini kita lakukan secara terbuka. Misi dari RUU ini adalah bagaimana persoalan-persoalan konflik yang terjadi akibat pelanggaran HAM berat, dapat diselesaikan dan tidak menyimpan masalah lagi di masa yang akan datang," tegas Akil.

Karena itu, selaku Wakil Ketua Pansus RUU KKR, Akil mengaku sangat kecewa dan menyesalkan adanya surat pembatalan dari Dirjen Perundang-undangan itu.

"Tampaknya anggaran untuk RUU ini hanya anggaran sisa yang digunakan oleh Depkeh HAM. Mungkin sisa dari pembahasan RUU-RUU sebelumnya. Karena itu, wajar kalau kita menyebutkan RUU ini sebagai RUU Ashobah atau RUU dari sisa anggaran," tegas Akil. (Ril/P-5)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 22 Hukum Online, [10/8/04] Hakim Harus Arif Memutuskan Pemberian Kompensasi Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Departemen Keuangan sudah pernah mengadakan pertemuan membahas kemungkinan pemberian kompensasi kepada korban tragedi Tanjungpriok. Tapi masih terkendala masalah parameter kompensasi dan siapa saja korban yang berhak.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai tuntutan jaksa dalam tiga berkas terakhir kasus pelanggaran HAM berat Tanjungpriok sudah mengalami kemajuan. Sebab, dalam berkas atas nama terdakwa Sutrisno Mascung Cs, Pranowo dan Sriyanto, jaksa sudah mencantumkan atau melampirkan tuntutan pembayaran reparasi kepada korban. Reparasi dapat berarti kompensasi, restitusi atau rehabilitasi.

Namun Direktur Eksekutif Elsam Ifdhal Kasim berpendapat hakim harus bersikap arif dalam menentukan pemberian kompensasi kepada keluarga korban. Selain karena ukuran atau parameter perhitungannya belum jelas, masih ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang berhak mendapatkan kompensasi tersebut.

Sebelumnya, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM Kejaksaan Agung I Ketut Murtika menyatakan bahwa hanya mereka yang tidak islah yang akan mendapatkan pemberian kompensasi. Sebab, yang pro islah sudah memperoleh sejumlah dana dari orang-orang yang namanya tersangkut kasus Tanjungpriok.

Sikap Kejaksaan Agung itu kemudian dituangkan jaksa dalam berkas tuntutannya. Jaksa hanya mencantumkan nama 15 orang korban Tanjungpriok yang meminta kopmpensasi, yaitu mereka yang selama ini dikenal menentang islah. Belakangan, kelompok yang pro islah pun mengajukan permohonan yang sama.

Di sinilah pentingnya sikap arif dari majelis hakim yang menyidangkan perkara Tanjungpriok. “Islah atau tidak, mereka sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,” tandas Ifdhal di Jakarta, Senin (9/8) siang. Kalaupun pro islah tidak layak lagi mendapatkan adalah jika majelis memutuskan pembayaran restitusi (dari korban), bukan dalam bentuk kompensasi (dari pemerintah).

Amiruddin al-Rahab, rekan Ifdhal di Elsam, berpendapat senada. Jika hakim memilah-milah hanya memberikan kompensasi kepada kelompok tertentu, justru bisa menimbulkan konflik horisontal di antara sesama korban tragedi Tanjungpriok.

Perhitungan Sampai saat ini, yang berpotensi menjadi masalah adalah cara perhitungan pembayaran kompensasi. Sebab, belum ada preseden yang bisa menjadi acuan bagi majelis hakim. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, misalnya, tak satu pun yang menyinggung masalah reparasi kepada korban. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, yang selama ini menjadi payung hukum pemberian reparasi, tidak menjelaskan secara rinci bagaimana perhitungan dan apa parameter pemberian kompensasi kepada korban. Dalam kaitan ini, lembaga pemerhati masalah hak asasi manusia, Kontras, sudah mengajukan sebuah usulan ke Kejaksaan Agung dan PN Jakarta Pusat pada akhir Juni lalu. Dalam suratnya, Kontras mengajukan dua ukuran, yaitu harga emas pada saat kejadian dan 6 persen per tahun. Kedua parameter ini mengacu pada yurispudensi Mahkamah Agung tahun 1969 dan 1987. Namun, tampaknya usulan Kontras itu pun belum final. Indikasinya, Kejaksaan Agung masih melemparkan usulan itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Humas Komisi ini, Sriyana, membenarkan bahwa Komnas sudah menerima undangan dari Kejaksaan Agung dengan lampiran berkas usulan Kontras. Ia membenarkan adanya pertemuan antara Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Departemen Keuangan membahas berbagai hal mengenai pemberian reparasi kepada korban

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 23 Tanjungpriok, termasuk parameter dan tata cara perhitungan pembayaran kompensasi (kalau diputuskan hakim). (Mys)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 24 Republika, Selasa 10 Agustus 2004 Tak Ada Anggaran, Menkeh Minta Pembahasan RUU KKR Ditunda. Jakarta, Anggota Pansus RUU tentang KKR (Komisi Kebenaran dan RekonsiliasiP) terpaksa membatalkan pembahasan menyusul munculnya surat mendadak Depkeh dan HAM yang meminta konsenyering tahap kedua tidak melanjutkan. Alasannya, karena tidak ada lagi anggara, sehingga pembahsan dilaksanakan di Gedung DPR RI, padahal anggota DPR kini tengah memasuki masa reses. Diterbitkannya surat tertanggal 5 Agustus 2004 di tandatangani dirjen Peraturan Perundang-undangan, Abdul Gani Abdullah itu tentu saja membingungkan anggota Pansus KKR. Karena hasil rapat Panja terakhir sebelum masa reses pemerintah sudah sepakat konsinyering tahap kedua digelar 9-11 Agustus. Tetapi menjelang pembahasan malah muncul surat dari Dirjen Perundang-undangan. Isinya mengatakan setelah mengecek anggaran yang ada di Ditjen Peraturan Perundang-undangan Ditjen Administrasi Hukum Umum dna Ditjen Perlindungan HAM, ternyata tidak tersedia dana untuk kegiatna konsinyering. Wakil Ketua Pansus KKR, Akil Michtar, menilai kehadiran surat tersebut membuktikan tidak ada keseriusan dari Depkeh dan HAM untuk menyuelesaiakn pembahsan RUU KKR. Apalagi pembatalan ini hanya karena masalah dana, berarti anggaran yang disediakan untuk pembedaan RUU KKR hanya anggaran sisa. “Kalau begini caranya, bagaimana RUU bisa kelar? Pemerintah serius atau tidak membahasa RUU KKR. Jangan mentang-mentang RUU ini tidak terkait denagn kekuasaan pemerintahan, sehingga pembahasannya seenak-enak saja,” ujar Akil Mochtar, di Jakarta, kemarin (9/8). Anggota Komisi II ini membandingkan pembahasan RUU KKR denagn RUU yang terakit dengan kepentingan kekuasaan seperti RUU tentnag TNI, RUU tentang Kejaksaan, dan RUU tentang kepolisian. RUU yang terkiat dengan kekuasaan, pemabasannya, kata dia kdilakukan secara maratahon dan pemerintah sangat antusias dan anggarannya pun optimal. “Tapi kalau RUU KKR yang jauh dari kepentingan kekuasaan pasati dinomor duakan,” tambahnya. Damapak dari pembatalan Konsenyering RUU KKR, maka pembahasan akan molor. Vie.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 25 Kompas, Rabu 11 Aug. 04

Pemerintah dan DPR Sama-sama Mengecewakan Jakarta, Kompas - Berbagai pihak mengecam ketidakseriusan pemerintah maupun anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi DPR terkait dengan keputusan pemerintah untuk membatalkan konsinyering pembahasan RUU KKR dengan alasan tidak adanya dana.

Menurut mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Asmara Nababan, Selasa (10/8), tindakan seperti itu mencerminkan di satu sisi pemerintah tidak bersikap serius menyelesaikan pembahasan RUU tersebut, sementara di sisi lain menunjukkan sikap dan tindakan DPR yang mengecewakan.

"DPR kan tidak perlu didanai lagi karena mereka sudah disediakan bangunan (Gedung DPR/MPR) untuk bersidang. Buat apalagi mereka tergantung uang saku. Jangan hanya mau bersidang jika ada uang saku, yang benar sajalah. Honor mereka kan sudah sedemikian besar, kenapa tidak mau berkorban sedikit. Tidak usah bersidang di Puncak atau di hotel. Cukup di Senayan," ujar Asmara.

Asmara menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu sudah sangat berlarut-larut, sementara seharusnya masalah itu sudah diselesaikan dengan memanfaatkan momen transisi saat ini. Jika pembahasannya diundur lagi, hal itu akan makin membuat penyelesaian masalah menjadi berlarut-larut.

Tunda saja

Lebih lanjut, walau mengaku sama-sama kecewa dengan sikap pemerintah dan DPR terkait dengan pembahasan RUU KKR, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menilai, pembahasan masalah itu memang akan lebih baik jika ditunda hingga pemerintah dan DPR periode mendatang.

"Pembatalan itu mencerminkan pemerintah memang sejak awal tidak mempersiapkan konsep pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi secara matang, baik secara substansi-seperti posisi keberadaan KKR dan pengadilan yang tidak komplementatif-maupun soal peluang diberikannya amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Usman.

Adapun persoalan substantif tadi, kata Usman, masih ditambah lagi dengan persoalan lain, seperti masalah teknis dan pendanaan. Maka, tidak alasan bagi DPR untuk memaksakan mengesahkan RUU KKR karena pastinya pemerintah memang tidak mempersiapkan konsepsi RUU tersebut secara matang.

"Kami menginginkan RUU KKR ditarik kembali karena secara substansi hanya mengedepankan aspek persatuan dan rekonsiliasi tanpa mementingkan aspek lain seperti hak-hak korban untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang dialaminya maupun untuk memperoleh keadilan, baik keadilan hukum maupun keadilan dalam arti pemulihan hak-hak mereka seperti semula," ujar Usman.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Akil Mochtar yang dihubungi Kompas mengatakan, setelah berita ketiadaan dana itu mencuat, dia bertemu dengan Dirjen Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah hari Selasa. Dalam pertemuan itu akhirnya disepakati rapat Panja untuk menyelesaikan pembahasan RUU KKR diteruskan hari Jumat (13/8) di Gedung DPR.

Meski menyesalkan sikap pemerintah, Akil akan mengupayakan agar RUU KKR dapat diselesaikan. "RUU KKR tak mungkin ditunda penyelesaiannya hingga DPR mendatang. Itu prioritas DPR yang harus diselesaikan. Kalau iserahkan ke DPR baru, akan dimulai dari nol lagi," ujar Akil, politisi dari Partai Golkar. (dwa/bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 26 Kompas, Jumat, 13 Agustus 2004 RUU KKR Momentum bagi Megawati

Nelson Mandela, saat dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan, dengan besar hati memberi tempat duduk dalam satu meja kepada sipir kulit putih yang sempat mengencinginya ketika di penjara. Dia juga meminta petinggi militer dan polisi untuk meminta maaf kepada rakyat Afrika Selatan atas tindakan yang diskriminatif.

MEGAWATI yang sejak usia sekolah mendapat perlakuan diskriminatif dari rezim Orde Baru merasakan pengalaman tidak kalah pahit. Karena itu, ketika Megawati menjadi presiden dan mengangkat sejumlah menteri dan kepala daerah dari kalangan tentara, hal ini harus dilihat sebagai semangat memelopori rekonsiliasi.

Mayor Jenderal (Pol) Purn Sidarto Danusubroto yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) melihat figur Megawati sebagai simbol rekonsiliasi. Sidarto yang sempat menjadi ajudan Bung Karno sejak tahun 1967-1968 tahu banyak tentang pengalaman pahit yang pernah dirasakan Megawati saat itu dan kebesaran jiwanya.

Atas dasar itu, dia juga meyakini bahwa Megawati memiliki tugas besar untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. "Megawati adalah simbol semangat rekonsiliasi," ucapnya.

Pembahasan RUU KKR sendiri adalah momentumnya. Apabila pembahasan RUU KKR tertunda, rekonsiliasi bangsa juga semakin lama tertunda. Pemerintah dan DPR harus kembali menyiapkan RUU dari awal. Semakin banyak juga warga eks tahanan politik dan narapidana politik yang menderita karena mendapat perlakuan diskriminatif.

Saat ini, RUU KKR masih terus digodok antara pemerintah dan DPR. Pembahasannya sudah sampai pada tingkat rapat panitia kerja.

Hari Jumat (13/8) ini, pemerintah dan DPR akan bersama-sama membahas kembali secara intensif. Langkah tersebut terpaksa dilakukan untuk mengejar waktu. Pasalnya, 30 September 2004 mendatang, masa kerja DPR periode 1999-2004 akan berakhir.

Masa jabatan Presiden Megawati sendiri akan berakhir 20 Oktober 2004, terkecuali dia terpilih kembali sebagai Presiden 2004-2009 dalam pemilu presiden putaran kedua, 20 September 2004.

"Jadi, akan tergantung pada political will pemerintah berkuasa berikutnya," kata Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus RUU KKR dari Partai Golkar.

MENCERMATI materi pembahasan, memang tidak mudah bagi DPR dan pemerintah untuk menyelesaikannya. Selain terjadi banyak perbedaan pandangan antar-fraksi, terlihat ada perbedaan mencolok antara politisi sipil dan militer.

Sejak Rapat Pansus hari pertama, 10 Mei 2004 lalu, Fraksi TNI/Polri sudah mengusulkan agar RUU ini diberi nama RUU Komisi Rekonsiliasi. Sementara itu, mayoritas fraksi tetap menghendaki nama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Setelah pembahasan berjalan tiga bulan, soal judul pun belum kunjung selesai.

Perbedaan mencolok terjadi pada sejumlah materi lain. Hal itu tercermin pada perbedaan usulan materi daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diusulkan F-PDIP dan F-TNI (lihat tabel-Red).

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 27 Pada intinya, F-PDIP dan fraksi lain menghendaki adanya pengungkapan kebenaran untuk mewujudkan rekonsiliasi, sedangkan F-TNI menekankan pada rekonsiliasi. "Kita sangat setuju adanya KKR. Yang masih menjadi perbedaan bahwa kita menghendaki ada sesuatu rekonsiliasi tetapi masih seperti ada peradilan. Jadi, ada pembantaian dalam tanda kutip sehingga ada pengungkapan kebenaran segala macam," kata Ketua Fraksi TNI/Polri Posma Lumban Tobing.

F-TNI/Polri berpandangan pengungkapan kebenaran justru dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru.

Sementara itu, di luar Senayan, perdebatan soal RUU KKR cukup ramai, termasuk di kalangan korban. Mereka mendesak DPR agar memiliki niat sungguh-sungguh melakukan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Mencermati berbagai masukan selama rapat dengar pendapat umum, terlihat ada yang setuju RUU KKR dibahas serta dituntaskan dan ada yang menolak karena lebih banyak menguntungkan pelaku daripada korban.

Keluarga Korban Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, Tri Sakti, dan Semanggi I-II adalah yang menilai RUU KKR mengandung pasal-pasal yang merugikan korban.

Pasal yang diambil sebagai contoh adalah Bab IX Pasal 42. Pasal itu berbunyi: "Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc."

Menurut pendapat mereka, kedudukan KKR seharusnya berposisi komplementer atau saling melengkapi. Dengan demikian, penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat oleh KKR adalah materi penyelidikan yang bisa dilimpahkan ke pengadilan HAM.

Sementara itu, Koordinator Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban peristiwa 1965 Witaryono S Reksoprodjo, dalam RDPU Pansus RUU KKR 19 November 2003, lebih menghendaki segera dilaksanakan rehabilitasi umum bagi para korban peristiwa 1965.

Rehabilitasi umum itu adalah dihapuskannya segala peraturan dan perundang-undangan yang mendiskriminasikan secara politik, sosial, dan ekonomi para korban peristiwa 1965, memulihkan hak-hak sipil dan kewarganegaraan. Karena itu, dia juga mengharapkan Pansus RUU KKR dapat merekomendasikan kepada Presiden agar menerbitkan keputusan presiden.

"Setelah diberikannya rehabilitasi umum, para korban peristiwa 1965 pun akan lebih siap untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berikutnya, seperti pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan dalam kerangka rekonsiliasi bagi kepentingan bangsa yang lebih luas," ucapnya saat itu.

Witaryono sendiri merupakan bagian dari korban peristiwa 1965. Dia adalah putra dari Ir Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Ketenagakerjaan RI dalam Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, seorang pendukung Bung Karno yang ditahan selama 12 tahun tanpa melalui pengadilan.

Hak prerogatif presiden untuk menerbitkan surat keputusan rehabilitasi itu, menurut Witaryono, dijamin dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945.

Surat MA Nomor KMA/403/VI/2003 tertanggal 12 Juni 2003 yang ditujukan kepada Presiden RI pun memberikan rekomendasi tersebut. MA meminta agar Presiden mengambil langkah- langkah konkret ke

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 28 arah penyelesaian hukum dan pemberian rehabilitasi umum bagi korban rezim Orde Baru, khususnya korban peristiwa 1965.

Mereka juga mengacu pada surat DPR No KS.02/2947/DPR-RI/2003 tertanggal 25 Juli 2003 yang juga meminta Presiden menindaklanjuti surat MA. Demikian pula dengan surat dari Komisi Nasional Hak- hak Asasi Manusia No 147/TUA/VIII/2003 tanggal 25 Agustus 2003, meminta Presiden segera memberikan rehabilitasi bagi korban peristiwa 1965 berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.

Psikolog dan Pemimpin Yayasan Kirti Mahayana Nani Nurachman Soetojo, putri dari Almarhum Mayor Jenderal Anumerta Soetojo Siswomihardjo yang gugur dalam peristiwa 1965 sebagai Pahlawan Revolusi, memberi saran lain.

Menurutnya, rekonsiliasi harus berlandaskan pada saling tukar pengalaman secara terbuka dan jujur. Tidak ada satu pihak pun yang dapat merasa memiliki kebenaran mutlak.

RUU KKR pun harus memberi ruang bagi terciptanya kemanusiaan atas dasar etika keadilan dan etika kepedulian. "Bangsa harus mencari cara mendidik warganya untuk menerima kesalahan dan kebanggaan masa lalunya sebagai suatu realitas bersama. Ignorance dapat menjadi ancaman yang lebih besar bagi ketahanan dan kelangsungan hidup bangsa," jelasnya.

Dia juga mengingatkan, RUU KKR jangan sampai menjadi sarana penyelesaian masalah bangsa secara simtomatis, tetapi bisa menemukan akar masalah.

KENDATI demikian, sepertinya berbagai persoalan itu belum sempat dibahas secara mendalam di Pansus. Terbukti, tanpa perdebatan panjang, fraksi-fraksi dengan begitu saja menarik puluhan usulan DIM dan setuju dengan usulan pemerintah. Sebuah fenomena "gerak cepat" yang jarang terjadi dalam pembahasan UU.

Di tengah ketergesa-gesaan dan kian sempitnya waktu, sulit diharapkan sebuah RUU KKR yang ideal.

Kini, barangkali, saatnya bagi Megawati memikirkan rehabilitasi umum seperti diharapkan korban peristiwa 1965. Apabila tidak terpilih dalam pemilu presiden mendatang, setidaknya Megawati memberi "modal" kepada para korban guna memperjuangkan hak mereka. Apabila terpilih kembali, Megawati bisa melanjutkan kerja sebagai simbol rekonsiliasi. (sutta dharmasaputra)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 29 Kompas, Sabtu 21 Aug. 04 Kesepakatan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pengungkapan Pelanggaran HAM sejak Tahun 1945 [sesuai judul di veb] Kesepakatan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR Berwenang Ungkap Pelanggaran HAM 1945-2000 [Sesuai judul di Koran]

Jakarta, Kompas - Setelah berdebat sekian lama, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR akhirnya sepakat menentukan bahwa batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan ditangani oleh komisi ini adalah semenjak 17 Agustus 1945.

Pansus juga bersepakat menamakan RUU ini sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bukan Komisi Rekonsiliasi. Namun, Pansus belum memasukkan definisi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam RUU tersebut. Sebaliknya, definisi korban dicantumkan dalam rancangan.

Jika substansi RUU tersebut tak berubah lagi, Komisi diberi kewenangan untuk mengungkapkan pelanggaran HAM sejak 17 Agustus 1945 hingga diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni selama 55 tahun.

Dengan adanya kesepakatan batas waktu kasus, menurut Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudhorie, akan banyak kasus pelanggaran HAM yang bisa ditangani komisi ini bila terbentuk nantinya. "Mulai dari peristiwa Republik Maluku Selatan, pemberontakan PRRI/ Permesta, DI/TII, Organisasi Papua Merdeka, peristiwa Lampung, Tanjung Priok, ninja Banyuwangi, dan banyak kasus lagi," kata Sofwan sebelum Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KKR di Gedung DPR/MPR, Kamis (19/8).

Tidak menyulitkan

Meski jumlah kasus pelanggaran HAM yang diungkap sejak 1945, Sofwan yakin, itu tidak akan menyulitkan kerja komisi. Pasalnya, dalam RUU telah ditetapkan filternya. Penyaringnya adalah kasus tersebut harus memiliki bukti, ada korban, dan dirasakan berpengaruh pada disintegrasi bangsa. Penetapan tahun 1945 itu sendiri disepakati Pansus karena dianggap sebagai awal dari berdirinya negara.

Mengenai tidak adanya definisi pelaku dalam rancangan, Wakil Ketua RUU KKR Akil Mochtar membantah bahwa hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan pelaku ketimbang korban.

Dia berpendapat, jika pelaku didefinisikan justru akan menimbulkan konsekuensi dan membatasi pengungkapan kebenaran. "Kalau nomenklatur pelaku ditetapkan dalam RUU, pasti akan menimbulkan konsekuensi," ucapnya.

Ia berpendapat, dengan tidak adanya definisi, pelaku pelanggaran HAM di masa lalu akan terungkap dengan sendirinya, dikarenakan dalam RUU KKR dimungkinkan terjadinya pengungkapan kebenaran oleh korban. "Dengan pengungkapan kebenaran, diam-diam, pelaku akan muncul dengan sendirinya," jelasnya.

Keanggotaan komisi

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 30 Mengenai keanggotaan komisi, Panja RUU KKR telah menyepakati berjumlah 21 orang. Mereka terdiri atas satu ketua, dua wakil ketua, dan 18 anggota.

Keanggotaan komisi terbagi menjadi tiga subkomisi. Pertama, subkomisi penyelidikan dan klarifikasi (sembilan orang). Kedua, subkomisi rehabilitasi, restitusi, kompensasi (lima orang). Ketiga, subkomisi pertimbangan dan amnesti (empat orang). Keanggotaan komisi ini dipilih sebuah tim seleksi yang terdiri atas lima orang, dua dari pemerintah dan tiga ditentukan DPR. Kendati demikian, proses pemilihan tim seleksi belum dibahas Panja. "Kita baru menyepakati bahwa jumlah anggota tim seleksi yang berasal dari DPR harus lebih besar dari pemerintah," kata Sofwan.

Mengenai prosedur seleksi anggota komisi, Panja juga belum memutuskan. Namun, Panja sudah menyepakati bahwa keanggotaan komisi berasal dari non partisan.

Sementara itu, mengenai masa kerja komisi, Akil menjelaskan, Panja telah menyepakati selama tiga tahun. Namun, apabila dalam waktu tiga tahun belum terselesaikan maka komisi dapat memperpanjang masa kerja menjadi dua tahun. Apabila waktu tersebut belum juga terselesaikan, komisi dapat memperpanjang kembali masa kerja sampai dua tahun berikutnya.

Atas dasar itu, Akil yakin bahwa meski pengungkapan pelanggaran HAM yang diatur dalam RUU ini mulai dari tahun 1945, komisi ini akan dapat menyelesaikan tugas pada waktunya.

RUU KKR ini ditargetkan selesai pada September 2004 sebelum masa kerja DPR periode 1999-2004 berakhir. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 31 Hukum Online, [23/8/04] Seluruh Pasal RUU KKR Rampung Dibahas Mimpi untuk menelusuri kebenaran sejarah agaknya akan terwujud. Sebab, pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) sudah selesai dibahas untuk kemudian dilanjutkan ke tim perumus. Menurut Wakil Ketua Pansus, Akil Mochtar, RUU yang akan mengungkap kebenaran sejarah Indonesia tersebut sudah hampir rampung. “Semua pasal sudah selesai dibahas,” ujar Akil kepada hukumonline (23/08). Untuk itu, Akil optimis RUU KKR sangat mungkin disahkan sebelum masa kerja DPR berakhir. Hal-hal yang sempat menjadi perdebatan seperti nama RUU, jumlah anggota komisi maupun masalah waktu sudah selesai dibahas. Nama yang disepakati untuk RUU tersebut adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Optimisme Akil senada dengan pandangan Ifdhal Kasim Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Menurut Ifdhal, RUU KKR harus selesai sebelum masa kerja DPR berakhir. Ifdhal pun menganggap sudah tidak ada lagi hal-hal yang krusial dalam RUU tersebut yang harus diperdebatkan. Ifdhal menambahkan RUU tersebut penting karena sebagai proses transisi politik Indonesia untuk mengungkapkan kebenaran. Apabila RUU tersebut dilaksanakan maka tahun 2005 merupakan masa persiapan bagi pemerintah untuk mensosialisasikan RUU KKR tersebut. Menurutnya, proses sosialisasi RUU KKR adalah bagian skala prioritas yang tak kalah. Proses yang menjadi kewajiban pemerintah harus memberikan informasi tentang keberadaan RUU KKR kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban. “Saat ini sudah banyak masyarakat korban yang mendirikan organisasi-organisasi,” jelas Ifdhal di sela-sela peluncuran buku “Demi Kebenaran” di Jakarta, Senin (23/8). Untuk itu, tugas pemerintahlah yang harus mencari kebenaran dari masyarakat yang selama ini dirugikan oleh suatu rezim tertentu. Berjalan lambat Walaupun RUU KKR direncanakan akan selesai sebelum masa jabatan DPR berakhir, namun Ifdhal melihat perjalanan penanganan HAM di Indonesia masih lambat. “Jalannya (penegakan HAM-red) seperti siput,” tegas Ifdhal. Menurutnya, penegakan HAM maupun upaya rekonsiliasi justru dilakukan di tingkat masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Contohnya saja rekonsiliasi antara Nahdathul Ulama (NU) dengan orang-orang yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan, aksi pemerintah baru di tingkat pengadilan HAM saja. Dalam RUU KKR tersebut telah dibatasi untuk menelusuri peristiwa-peristiwa mulai dari 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 2000. Runutan sejarah yang nantinya harus diselidiki KKR bukanlah hal yang sedikit. Ifdhal mengingatkan ada banyak pelanggaran HAM selama rezim orde baru berkuasa. Tak kalah pentingnya adalah menelusuri kebenaran dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. (Gie)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 32 Kompas, Senin 23 Aug. 04 Pansus KKR Perlu Rumuskan Kriteria Kasus

Jakarta, Kompas - Batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi cukup panjang, yaitu sejak 17 Agustus 1945 sampai terbitnya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Guna menghindari penumpukan kasus, kriteria kasus perlu dirumuskan dalam UU.

Demikian sejarawan Asvi Warman Adam menanggapi pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kini digodok DPR bersama pemerintah. "Dengan kriteria yang jelas tidak berarti seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2000 harus diperiksa," katanya.

Kriteria yang dimaksud antara lain adalah relevansi kasus dengan pelanggaran HAM berat atau signifikansi kasus dengan besarnya jumlah korban. Selain itu, baik pelaku maupun korban harus warga negara Indonesia.

Ia mencontohkan, pelanggaran HAM oleh Westerling tahun 1946 di Sulawesi Selatan yang diduga menghilangkan 40.000 jiwa tidak masuk kategori kasus yang harus diperiksa KKR karena dilakukan warga asing. "Kasus ini mungkin bisa diperiksa, tetapi bukan oleh KKR," ujarnya. Dengan kriteria yang jelas, Asvi menduga kasus yang ditangani KKR tak terlalu banyak, 10 sampai 12 kasus.

Menurut Ketua RUU KKR Sidarto Danusubroto, kriteria itu sedang dirumuskan Tim Perumus. Secara umum, telah ada kesepakatan bahwa kasus yang diungkap harus memiliki saksi dan korban yang masih hidup. Kasus itu juga berdampak pada disintegrasi bangsa dan merupakan kejahatan HAM sebagaimana diatur UU No 26/2000, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida.

Selain soal kriteria, menurut Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus RUU KKR, masalah yang belum disepakati adalah masa kerja. Ada yang setuju masa kerja komisi tiga tahun, lalu diperpanjang dua kali dua tahun. Ada yang meminta lima tahun dan diperpanjang dua tahun. "Fraksi-fraksi umumnya setuju lima dua karena dianggap lebih sederhana. Adapun pemerintah setuju konsep tiga, dua, dua," katanya. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 33 Kompas, Selasa 24 Aug. 04 Definisi Pelaku Mutlak Perlu Dicantumkan di RUU KKR

Jakarta, Kompas - Perkembangan terakhir pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR belum memasukkan definisi pelaku. Panitia Khusus RUU KKR di DPR dan pemerintah hanya mendefinisikan korban.

Ketua Presidium Komite Waspada Orde Baru (KWOB) Judilherry Justam menyesalkan adanya perkembangan pembahasan tersebut. Menurutnya, pencantuman definisi pelaku mutlak diperlukan sebagai konsekuensi pengungkapan kebenaran.

"Konsekuensi dari menggunakan kata kebenaran, kita harus mencari aktornya siapa. Aktor ini juga nantinya harus menjelaskan berbagai peristiwa yang selama ini masih menjadi misteri," jelas Judilherry di Gedung DPR/MPR, Senin (23/8).

Implikasi dari tidak adanya definisi pelaku, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pun akan kesulitan melakukan kilas balik. Padahal, banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu masih menjadi misteri.

Definisi pelaku tersebut, menurut Judilherry, harus mencakup institusi, kelompok, dan perorangan. Pasalnya, kasus pelanggaran HAM bisa disebabkan oleh kebijakan institusi, bisa juga oleh perorangan. Definisi pelaku juga tidak hanya membatasi pada pelaku langsung di lapangan, tetapi pemegang komando.

Kredibilitas komisi

Sementara itu, anggota Panitia Kerja RUU KKR, Hajriyanto Y Thohari, yang ditemui secara terpisah, berpendapat lain. Dia berpendapat bahwa pendefinisian pelaku tidak terlalu penting karena pengungkapan kebenaran berangkat dari testimoni, kesaksian korban.

"Yang penting, anggota komisi nanti harus terdiri atas orang-orang kredibel di mata korban," katanya.

Mengingat anggota komisi ini yang nantinya banyak menentukan siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di masa lalu berdasarkan kesaksian-kesaksian korban.

Namun, agar kredibilitas anggota komisi tidak dipertanyakan, komisi harus terdiri atas orang-orang yang ketokohannya tidak diragukan lagi. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 34 Kompas, Kamis 26 Aug. 04 RUU KKR Harus Menjelaskan Hubungan Pelaku dan Korban

Jakarta, Kompas - Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) DPR bersama pemerintah akan merumuskan bagaimana bila pelaku sudah mengakui perbuatan tetapi korban tidak memaafkan. Rumusan ini memang belum dimasukkan dalam RUU KKR.

Demikian diungkapkan Anggota Komnas HAM Samsudin, seusai melakukan rapat tertutup Panja RUU KKR, Rabu (25/8). Ia mengatakan RUU KKR harus memberi pengertian mengenai hubungan pelaku dan korban bila belum ada kata maaf dari korban, apakah rekonsiliasi bisa dilakukan atau tidak. "Memang dalam RUU sudah disebutkan bila korban belum memaafkan maka KKR bisa melakukan tindakan otonom tetapi tindakan seperti apa belum dijelaskan dalam batang tubuh RUU tersebut," kata Samsudin.

Menurut dia, Komnas HAM mengusulkan bila korban belum memaafkan pelaku maka komisi bisa mendekati korban secara personal. Komisi bertugas untuk menyadarkan dan meyakinkan bahwa sebuah maaf itu diperlukan dalam proses rekonsiliasi. "Tetapi kalau korban tidak mau, komisi mempunyai hak otonom, bisa saja menentukan apakah akan ada rekonsiliasi atau tidak. Hal inilah yang masih dibicarakan dan dirumuskan," katanya.

Dirjen Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah mengungkapkan pihaknya belum bisa memberi usulan mengenai hal itu. Selain itu, Abdul Gani juga mengatakan seharusnya tidak perlu ada definisi pelaku dalam RUU KKR. "Definisi pelaku ini malah mengekang dan pelaku yang sebenarnya bisa jadi tidak ketemu karena sudah lari," katanya. (SIE

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 35 Kompas, Jumat, 27 Agustus 2004 Perdebatan Pembahasan RUU KKR Korban Tidak Memaafkan, Komisi Dapat Usul Amnesti

Jakarta, Kompas - Pada 7 September 2004 mendatang, Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi direncanakan akan disetujui di Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Materi yang masih diperdebatkan adalah soal pemberian amnesti, pengampunan terhadap pelaku dari ancaman hukum pidana

Dalam naskah Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) usulan pemerintah, bagian penjelasan, disebutkan, komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden selaku kepala negara untuk memberi amnesti terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang sudah mengakui perbuatannya meski korban tak bersedia memaafkan.

Sebagian anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR di DPR menganggap rumusan itu lebih menguntungkan pelaku dan merugikan korban. Di pihak lain, rumusan itu dianggap akan mendorong terciptanya rekonsiliasi. "Perbandingannya masih lima puluh banding lima puluh," kata Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar yang ditemui di sela-sela rapat Komisi II DPR, Kamis (26/8).

Akil sendiri termasuk yang tidak setuju terhadap rumusan tersebut. Pertama, rumusan itu tertuang dalam penjelasan, bukan batang tubuh. Kedua, mengesankan adanya impunity, adanya pengabaian tindakan pidana dari proses hukuman.

Apabila rumusan itu dipertahankan, agar RUU KKR dapat memenuhi rasa keadilan, Akil mengusulkan perlu ditambahkan pasal baru yang berpihak kepada korban. Pasal itu memungkinkan korban melimpahkan kasus pelanggaran HAM di masa lalu ke pengadilan HAM ad hoc apabila pelaku tidak mau mengakui perbuatannya, sedangkan bukti-bukti yang diperoleh kuat."Dengan begitu, akan menjadi imbang," kata politisi dari Partai Golkar itu.

Tidak memuaskan korban

Fasilitator Transformasi Konflik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Ichsan Malik yang dihubungi terpisah berpendapat senada. Ia menduga, apabila komisi dapat memberi rekomendasi amnesti, meski korban tidak memaafkan, RUU KKR yang semula diharapkan mampu menawarkan solusi malah membuat "lingkaran setan" tak berujung.

Rekonsiliasi hanya mungkin terjadi apabila pelaku mengakui kesalahan dan korban memaafkan. Karena itu, kasus tersebut lebih baik dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. "Kalau pelaku mengakui, tetapi korban tidak memaafkan dan kemudian pelaku diberi amnesti, tidak mungkin terjadi rekonsiliasi. Karena tindakan itu pasti menimbulkan ketidakpuasan di korban," tuturnya.

RUU KKR yang semula diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di antara berbagai elemen bangsa tidak mungkin diharapkan lagi. "Konflik itu terjadi karena ada masalah yang tidak terselesaikan. Semakin banyak masalah yang tidak terselesaikan, semakin besar konflik di masa depan," jelas Ichsan yang saat ini tengah melakukan penelitian soal pencegahan konflik di daerah Ponorogo, Jawa Timur.

Agar rasa keadilan terpenuhi, yang juga perlu diperhatikan, menurut Ichsan, RUU KKR harus merumuskan secara terperinci standar minimal sebuah penggelaran kasus, seperti saksi-saksi maupun bukti-bukti.

Dengan begitu, RUU KKR tidak menimbulkan rasa takut bagi pelaku akan munculnya kesaksian palsu. Sebaliknya, korban dapat menerima keputusan dengan besar hati bila proses pengungkapan kasus dilakukan sungguh-sungguh.

Tim Perumus RUU KKR telah menyepakati bahwa RUU KKR berlaku sejak diundangkan. Sebelumnya ada yang mengusulkan satu tahun setelah diundangkan. Pembentukan komisi dilaksanakan enam bulan sejak UU KKR diundangkan. Masa kerja komisi ditetapkan lima tahun sejak pengucapan sumpah dan dapat diperpanjang dua tahun. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 36 Kompas, Sabtu 28 Aug. 04

Tim Perumus Rampungkan Naskah RUU KKR

Jakarta, Kompas - Rapat Tim Perumus Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah telah merampungkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dalam waktu dekat rumusan itu akan dibahas dalam rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, kemudian dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui.

"Raker dengan Menkeh dan HAM akan diadakan pekan depan," kata Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) Akil Mochtar dari F-Partai Golkar, Jumat (27/8).

Mencermati naskah RUU KKR, terlihat bahwa definisi pelaku tetap tidak dimasukkan. Dalam naskah itu yang disepakati tim hanyalah pendefinisian kebenaran, rekonsiliasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, korban, kompensasi, restitusi, rehabilitasi, serta amnesti.

Seperti diketahui, dalam rapat dengar pendapat umum tahap-tahap awal, para korban pelanggaran HAM di masa lalu, seperti Kasus 1965, menghendaki agar definisi pelaku diuraikan jelas dalam UU agar tidak terjadi impunity, pengabaian pelaku.

Sementara itu, mengenai tugas komisi, dalam naskah itu dirumuskan mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat dan melaksanakan rekonsiliasi (Pasal 5). Komisi juga menjalankan tugas:

(a) menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;

(b) melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat; (c) memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti; (d) menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/atau

rehabilitasi; dan (e) menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang

berkaitan dengan perkara yang ditanganinya kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada MA. Anggota KKR dijelaskan dalam naskah sebanyak 21 orang. Persyaratannya antara lain warga negara Indonesia berusia paling rendah 30 tahun; memiliki pengetahuan atau kepedulian di bidang HAM; tidak berstatus sebagai TNI/Polri; dan bersedia melepaskan diri dari keanggotaan partai politik, organisasi kemasyarakatan, atau LSM.

Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, KKR hanya mempunyai kewenangan mengusulkan amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM kepada Presiden. Usulan dari KKR tersebut bisa dikabulkan Presiden, akan tetapi bisa juga ditolak. Dalam pemberian amnesti, Presiden juga mendengarkan pertimbangan DPR.

Jadi, menurut Abdul Hakim, tidak menjadi masalah jika korban tidak memberi maaf, kemudian KKR mengusulkan amnesti terhadap pelaku. "Tentunya, Komisi mempunyai pertimbangan yang lebih luas, bukan hanya korban saja, tetapi rekonsiliasi dan juga konsolidasi demokrasi," kata Abdul Hakim. (sut/bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 37 Kompas, Senin 30 Agustus 04 RUU KKR Segera Dirampungkan Pemerintahan Baru Tinggal Bentuk Institusi

Jakarta, Kompas - Pemerintahan Megawati Soekarnoputri berharap pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang masih dibahas DPR dan pemerintah bisa segera diselesaikan. Setelah UU KKR selesai, maka menjadi tugas pemerintahan baru hasil pemilu 20 September 2004 untuk membentuk institusi yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Demikian disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra kepada pers, Sabtu (28/8) seusai Penutupan Lomba Kadarkum Tingkat Nasional yang diselenggarakan Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkeh dan HAM, di Taman Mini Indonesia Indah.

"Kami berharap RUU KKR ini selesai sekarang. Harapan kita begitu. Supaya saat pemerintahan baru terbentuk kita sudah mempunyai Undang-Undang KKR. Nah, apakah mereka mau membentuk institusinya atau tidak, itu terserah pemerintah yang baru," paparnya.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan amanat MPR untuk menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM masa lalu. UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM juga menegaskan perlunya eksistensi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Yusril juga menegaskan, pembahasan mengenai RUU KKR harus diselesaikan oleh pemerintah dan DPR saat ini, karena ada Ketetapan MPR yang memerintahkan hal itu.

Ditanya mengenai proses pembahasannya, Yusril mengatakan, prosesnya sudah sampai tahap perampungan, dan tinggal beberapa hal yang harus diselesaikan. "Ini tergantung dari fraksi-fraksi. Tetapi kelihatannya memang semua fraksi menghendaki RUU itu diselesaikan, dan saya kira kalau selesai itu bagus," katanya.

Beberapa hal yang mendapat sorotan tajam adalah soal kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap berbagai kasus pelanggaran HAM sejak 17 Agustus 1945 hingga tahun 2000. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara secara pribadi menilai rentang waktu itu terlalu panjang yakni selama 55 tahun. "Memang akan lebih baik kalau kewenangannya dibatasi hanya pada era otoritarianisme Orde Baru," kata Abdul Hakim.

Kontroversi lain yang muncul adalah kewenangan Komisi untuk merekomendasikan amnesti bagi pelaku, meskipun korban tidak memberi maaf. Berbagai kalangan menganggap rumusan itu bisa menciptakan impunity bagi pelaku. Sementara pelaku sendiri tak didefinisikan secara lebih jelas.

Mengenai permintaan para korban pelanggaran HAM di masa lalu, yang menghendaki supaya definisi pelaku diuraikan secara jelas dalam undang-undang, Yusril menyatakan definisi pelaku yang diatur dalam RUU KKR sudah mengacu pada UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. "Jadi, sebenarnya tidak perlu didefinisikan kalau sudah mengacu pada undang-undang yang lain," tambahnya.

Pemerintahan baru

Yusril menegaskan, apabila RUU KKR sudah selesai dan disahkan menjadi undang-undang maka proses selanjutnya tinggal dilanjutkan pemerintah yang baru. "Norma-norma hukum sudah tersedia, tinggal pemerintah yang akan datang melanjutkan proses pembentukan institusinya," ujarnya.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 38 Siapa yang akan membentuk Komisi akan ditentukan oleh hasil pemilu presiden putaran kedua 20 September 2004, di mana pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

21 orang

Komisi akan berjumlah 21 orang dengan persyaratan antara lain, tidak berstatus anggota TNI/Polri, bersedia melepaskan diri dari keanggotaan partai politik, organisasi masyarakat atau LSM.

Proses seleksi anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, lanjut Yusril, sama seperti yang selama ini dilakukan pemerintah, ketika membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi atau Mahkamah Konstitusi.

Komisi menjalankan tugas (a) menerima pengaduan dari pelaku, korban, keluarga korban; (b) menyelidiki dan mengklarifikasi pelanggaran HAM; (c) memberikan rekomendasi amnesti kepada presiden; (d) menyampaikan rekomendasi dalam hal pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi; dan (e) menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir kepada Presiden dan DPR dengan tembusan ke MA. (son/bdm).

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 39 Jakarta Post, August 30, 2004 Amnesty granted if victims forgive: House Kurniawan Hari, The Jakarta Post/Jakarta

Lawmakers have criticized a stipulation in the bill on the Truth and Reconciliation Commission, which allows it to recommend the granting of a presidential pardon for human rights abusers, despite the fact that they have not been forgiven by their victims.

The legislators said that human rights violators should only be pardoned by the president after they and their victims forgive one another.

The contention on the crucial issue prompted the House of Representatives to postpone the deliberation of the bill until next week.

"We want a clear explanation of the stipulation, otherwise it must be discarded," M. Akil Mochtar, deputy chairman of the House committee deliberating the bill, said here on Friday.

He said the committee members were worried that the stipulation could be misused to give or maintain impunity for perpetrators of human rights abuses.

Moreover, Akil also questioned why the "suspicious stipulation" was not set out in the articles of the bill, but only in its explanatory section.

Article 28 of the bill states that the truth commission could recommend amnesty only after human rights abusers admit their wrongdoings and their victims forgive them.

But the article does not offer a solution to a situation where the victims refuse to forgive human rights violators. Unexpectedly, the bill's explanatory section states that the perpetrators can be granted amnesty in the absence of forgiveness from their victims.

The House is expected to finish deliberating the bill on Sept. 7.

Several other bills, scheduled to be passed into law by the House in its final sitting period, include those on regional administration, Cabinet ministry, Presidential advisory council, the 2005 state budget, revisions to the law on foundations, and free trade zone.

Separately, the House committee deliberating the revision of Law No. 22/1999 on regional administrations was rushing to finish. Its members had to stay at a hotel in Central Jakarta to discuss the bill intensively.

Committee members are optimistic that they will complete the bill's deliberations before ending their five-year term at the end of September.

"We continue discussing the bill. God willing, we will finish the bill as scheduled," said committee member Chozin Chumaidy.

In a related development, the House committee deliberating the bill on Cabinet ministry and the presidential advisory council could not begin deliberation because the government has not appointed ministers to represent it in the discussions.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 40 During a hearing with State Minister for Communication and Information Syamsul Mu'arif, several legislators urged the President to appoint ministers to represent the government in the deliberations of the two bills.

The bills on the Cabinet ministry and the Presidential advisory council are crucial for the next President elected in the Sept. 20 runoff as a guideline in forming the Cabinet lineup.

I-box

Key articles in the truth and reconciliation bill

Article 28: - The Truth and Reconciliation Commission can issue a recommendation that the President grant amnesty to human rights abusers only after they admit their wrongdoings and their victims forgive them. - It must be followed by exposing the truth about the abuses. special committee

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 41 Suara Pembaruan, Senin 30 Agustus 2004 Dibentuk Permanen KKR Tetap Membutuhkan Tim Ahli JAKARTA - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tetap membutuhkan tim ahli untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Tim ahli itu bisa dibentuk secara permanen atau dipanggil sewaktu-waktu bila KKR membutuhkan keahlian mereka. Demikian rangkuman pendapat dari Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Sidarto Danusubroto dan Ketua Panitia Kerja (Panja) Akil Mochtar ketika dihubungi Pembaruan, Senin (30/8). Dalam pembahasan RUU KKR di tingkat Panja DPR, perlu-tidaknya tim ahli masih diperdebatkan oleh DPR dan pemerintah. Keberadaan tim ahli memang merupakan usul dari pemerintah tetapi dalam perkembangannya, usul itu dicabut kembali oleh pemerintah. Menurut Akil, pemerintah tidak memberikan alasan yang jelas tentang pencabutan usul tersebut. ''Menurut saya, tim ahli KKR itu penting, jadi dalam rapat kerja dengan Menteri Kehakiman, persoalan tim ahli akan kita angkat lagi,'' ujarnya. Dikatakan, keberadaan tim ahli menjadi sangat penting karena Indonesia belum mempunyai pengalaman dalam menangani kasus-kasus sejenis, seperti di negara-negara lain. Tim ahli itu bisa terdiri ahli forensik, kriminolog, atau pakar dari luar negeri yang berpengalaman menyelesaikan persoalan rekonsiliasi secara internasional. Tentang rentang waktu pengungkapan kasus, Akil menyatakan RUU yang disiapkan tidak membatasinya. Kasus yang terjadi sebelum tahun 1945 pun bisa diungkap asal memenuhi kriteria, seperti saksinya masih hidup, korban masih ada, mengancam disintegrasi bangsa, serta terjadi pelanggaran HAM berat. Sementara itu, Sidarto menyatakan hasil rumusan pansus akan dibawa ke rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan diharapkan bisa berlangsung dalam minggu ini. Sejumlah kesepakatan di pansus, antara lain jumlah anggota KKR ditetapkan sebanyak 21 orang, Tetapi tim seleksi yang terdiri dari dua orang perwakilan pemerintah dan 3 orang perwakilan masyarakat akan merekomendasikan 42 calon anggota KKR kepada presiden. Kemudian presiden meminta persetujuan DPR untuk menetapkan 21 calon, tetapi kalau DPR tidak setuju dengan calon tertentu bisa diganti dengan calon lain yang direkomendasikan tim seleksi. Masa kerja Komisi ditetapkan 5 tahun, tetapi kalau masih ada kasus yang belum bisa diselesaikan masa kerja Komisi bisa diperpanjang selama 2 tahun. Berkaitan dengan pembentukan KKR, Sidarto menyatakan pemerintah wajib membentuk komisi tersebut dalam jangka waktu enam bulan setelah RUU KKR ditetapkan menjadi Undang-Undang. ''Pembahasan RUU ini paling alot dan paling tidak mudah dibahas. Kami harus melakukan dengar pendapat dengan berbagai kalangan selama dua bulan. Ini waktu yang cukup lama dalam proses pembahasan sebuah RUU. Kalau RUU ini bisa segera disahkan, saya hanya bisa menyampaikan rasa syukur karena UU ini sangat ditunggu masyarakat,'' ujar Sidarto. (A-16) Last modified: 30/8/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 42 Kompas, Selasa 31 Aug. 04 RUU KKR Telah Disetujui di Tingkat Pertama

Jakarta, Kompas - Setelah dibahas hampir setahun lamanya di tingkat Panitia Khusus, Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) akhirnya berhasil dirampungkan.

Dalam Rapat Kerja Pansus DPR bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Senin (30/8), seluruh fraksi-fraksi di DPR menyetujui RUU tersebut dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang.

Rapat dipimpin Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, didampingi Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar dan Sofwan Chudhorie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Sementara itu, mewakili pemerintah adalah Jaksa Agung MA Rachman selaku Menkeh dan HAM ad interim.

RUU KKR tersebut disetujui secara bulat melalui proses musyawarah mufakat tanpa voting. Secara keseluruhan, RUU tersebut terdiri atas 10 bab dan 46 pasal.

Sebelumnya ada satu pasal yang masih menggantung, yaitu pasal tentang kewenangan komisi dalam pemberian amnesti. Namun, setelah dibahas melalui proses lobi, akhirnya dapat disepakati.

Pasal tersebut terdiri atas tiga ayat. Rusmusannya: pertama, menegaskan bahwa dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pemberian amnesti wajib diberikan oleh komisi. Kedua, dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti harus mandiri dan obyektif.

Ketiga, dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc.

Dalam pemandangan mininya, seluruh fraksi menerima putusan tersebut. Kendati demikian, Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) melalui juru bicaranya, Muhyiddin Soewondo, memberikan beberapa catatan. Dia mengingatkan agar RUU ini nantinya, setelah disahkan menjadi undang-undang, perlu segera disosialisasikan secara intensif dan komprehensif ke masyarakat luas sebelum komisi terbentuk. "Hal ini penting untuk menghindari adanya persepsi dari masyarakat bahwa RUU ini sebagai alat cuci tangan pelanggar HAM berat," ucap Muhyiddin.

F-KB juga mengingatkan agar seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu dilakukan secara profesional dan obyektif untuk menghindari adanya citra buruk dari komisi di kemudian hari.

Agar penyelidikan dapat efektif dan efisien, F-KB memandang penting adanya koordinasi yang baik antara komisi dan aparat hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan.

Rapat Paripurna DPR untuk menyetujui RUU KKR menjadi undang-undang tersebut, menurut Akil Mochtar, akan dilaksanakan pada Selasa 7 September 2004 mendatang. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 43 Jakarta Post, August 31, 2004

House ends debate on truth commission Kurniawan Hari, The Jakarta Post/Jakarta The House of Representatives (DPR) and the government wrapped up on Monday their deliberations on the truth and reconciliation commission bill following a half-hour, closed-door meeting attended by faction leaders in the House.

"We shall submit a final draft to a plenary meeting scheduled for Sept. 7," committee deputy chairman M. Akil Mochtar of Golkar told the media after the meeting attended by 19 of 50 members of the House special committee deliberating the bill.

The closed-door meeting discussed conditions that must be met before the truth and reconciliation commission would recommend an amnesty for perpetrators of human rights abuses.

After a half-hour talk, the lawmakers agreed to insert some clauses into Article 29 of the bill.

As amended, it says that if victims of rights abuses refuse to forgive suspected violators, the commission may make a recommendation based on its own considerations.

In a situation where perpetrators refuse to admit their wrongdoing, they will not be given amnesty and will be brought before the ad hoc human right court.

Previously, the bill only provided a solution in a situation where victims forgave human rights violators.

Article 28 box below says 29 of the bill states that the truth commission can recommend amnesty only after human right abusers admit their wrongdoing and their victims forgive them.

However, the article does not offer a solution in a situation where victims refuse to forgive their abusers.

"This is the best outcome we can achieve," said Soewarno, spokesman of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) faction.

Soewarno added that his faction fully welcomed finalization of the long-awaited bill.

Meanwhile, Nyoman Suwisma, spokesman of the Indonesian Military/Police faction, said that the bill's endorsement would not create problems for the nation.

In addition, National Awakening Party (PKB) spokesman Muhidin suggested that the government would disseminate information on the bill before establishing the reconciliation commission.

"The selection of commission members should be carried out professionally," he said.

According to the bill, the President should form a selection committee consisting of five members, two of whom are government officials, with three others drawn from the public.

The committee then submits the names of 42 candidates to the President who later selects 21 and submits them to the House for approval.

The commission would work for five years with the possibility of a two-year extension.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 44 Key Articles

Article 29:

(1) In a situation where human right violators and their victims forgive one another, the commission must recommend an amnesty.

(2) In a situation where human right violators admit facts and regret their wrongdoing but their victims refuse to forgive them, the commission can make recommendations based on its own considerations.

(3) In a situation where human right violators refuse to admit wrongdoing, they will not receive amnesty and will be brought before the ad hoc court.

Article 43: Gross human right violations settled by the commission cannot be brought before the ad hoc human rights court.

Source: House special committee

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 45 Media Indonesia, Selasa, 31 Agustus 2004 Pansus KKR sudah Rampungkan Tugas

JAKARTA (Media): Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) merampungkan tugasnya. RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR pada 7 September mendatang.

Rapat pleno Pansus RUU KKR yang dihadiri Menkeh dan HAM ad interim MA Rachman di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin, merampungkan pembahasan RUU yang terdiri dari 10 bab dan 46 pasal itu.

Pembahasan RUU KKR satu tahun lebih. Presiden Megawati Soekarnoputri mengirim draf RUU ke DPR pada 26 Mei 2003. DPR baru mengesahkan pansus beranggotakan 50 orang pada 9 Juli 2003. Pembentukan RUU itu merupakan amanat Tap MPR V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Tap MPR itu menyebutkan, pembentukan KKR merupakan langkah nyata untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.

Pembahasan RUU KKR paling alot terjadi pada Bab VI yang mengatur mengenai tata cara penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti. Misalnya, pasal 28 mengatur perdamaian dan saling memaafkan antara pelaku dan korban pelanggaran HAM merupakan dasar bagi KKR mengajukan rekomendasi amnesti kepada presiden.

Fraksi Bulan Bintang (FBB) menilai ketentuan itu lebih banyak mengakomodasi kepentingan pelaku pelanggaran HAM ketimbang kepentingan korban. Karena itu muncul usulan agar RUU itu juga mengatur mengenai permintaan maaf dan rasa penyesalan pelaku yang tidak diterima korban atau keluarga korban. Sementara sejumlah fraksi lain menganggap ketentuan yang ada dalam RUU itu sudah memadai.

Perbedaan pendapat itu berlangsung hingga beberapa saat menjelang rapat pleno pansus, kemarin. Setelah dilakukan lobi, akhirnya semua fraksi sepakat menambah satu pasal baru, sehingga RUU yang sebelumnya hanya 45 pasal, berubah menjadi 46 pasal.

Dalam pasal baru itu pada ayat (1) disebutkan, dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, maka rekomendasi pemberian amnesti wajib dilakukan oleh komisi.

Ayat (2), dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif.

Selanjutnya, ayat (3) pasal baru hasil lobi tersebut menyatakan, dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan kasus tersebut diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. (Hil/P-1)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 46 Republika, Selasa 31 Agustus 2004 Pansus DPR Setuju RUU KKR Jakarta Pemandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus RUU tentang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) sepakat membawa RUU KKR ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU. Karena, semangat RUU ini adalha untuk mengungkapa kebenaran, pengakuan dan pengampunan dalam rangka menyelsaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan kesatuan. RUU tentnag KKR yang terdiri dari 10 Bab dan 45 Pasal mengatur mulai dari institusi KKR, korban pelanggarna HAM berat, kompensasi, restitusi hingga pemulihan nama baik (rehabilitasi)P dan amnesty (Pengampunan dair presiden). Wakil Ketua RUU tentang KKR Akil Mochtar menjaaskan bahwa pelanggarna HAM berat yang dimaksud dalam RUU ini adalah pelanggarna sebagaimana di maksud dalam UU No.l 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM HAM, yaitu pelanggarna HAM berat yang terjadi sejak berdirinya bandgsa ini. “Jadi tidak ada batasan waktu pelanggarna HAM berat mana saja yang biosa diproses melalui rekonsiliais. Yang pati semua pelanggarna HAM berat yang terjadi sejak bangsa ini ada bisa disampaikan ke KKR, tapi terserah komisi, apakahg mampu mengungkap kebenaran itu” ujar Akil yang juga anggota FPG. Dalam RUU KKR dijelasakn, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta[-fakta dan menyatakan penyesalan atasa perbuyatannya dan bersdia meminta maaf kepada korban atau ahli warisnya, maka pelakui bisa mengajukan pemerohonan amnesty kepada persiden. Bila permohonan itu dikabulkan presiden, maka korban harus diberi kompensasi dan atua rehabilitasi. Tapi sebaliknya jika permohnan manesti ditolak maka kompenssasi dan atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara. Selanjutnya perkara tersebut ditindaklanjuti berdasarkan UU tentang pengadilan HAM. Komisi kKbenaran dan Rekonsiaiasi lah lembaga idndependen yang terdiri dari 21 anggota yang terdiri seorang ketua dan dua wakil ketua. RUU ini akan disampaikan ke Rapat Paripurana 7 Sepetember mendatang disahkan menjuadi UU. Vie.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 47 Kompas,Kamis 02 September 2004 Bola Rekonsiliasi di Megawati atau Yudhoyono?

Apabila tidak ada aral melintang, Rapat Paripurna DPR, Selasa, 7 September 2004, menyetujui Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Jika itu terjadi, "bola" rekonsiliasi pun akan berpindah dari kendali legislatif ke eksekutif. Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sama-sama mempunyai peluang untuk menggelar dan mengendalikan rekonsiliasi. Tergantung siapa yang mendapat mandat rakyat pada pemilu 20 September 2004.

Mencermati naskah rancangan undang-undang (RUU) yang disetujui seluruh fraksi dalam Rapat Kerja Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Senin (30/8), terlihat bahwa presiden masih memiliki peran besar bagi terciptanya rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Hal itu terlihat dari peranannya dalam pembentukan panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR); tata cara pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi; maupun pembuatan peraturan pemerintah.

Perubahan UUD 1945 Pasal 14 Ayat (1) sendiri menyebutkan, presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian, pada Ayat (2) disebutkan, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.

RUU KKR bertujuan untuk membuka tabir berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Butir pertama konsideran menimbang dalam UU itu menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan adanya penelusuran tersebut diharapkan kebenaran dapat diungkap, keadilan dapat ditegakkan, dan terbentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan

Berbeda dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM berdasarkan UU KKR ini tak dilakukan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi melalui sebuah lembaga ekstra yudisial. RUU ini mengatur langkah konkret pembentukan sebuah komisi khusus. Komisi itu bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi bertugas menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban; menyelidiki dan mengklarifikasi; memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti; menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi; serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada MA.

Dalam RUU KKR yang dimaksudkan dengan korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban atau ahli waris untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental, yang disesuaikan dengan kemampuan negara. Sedangkan, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau ahli warisnya. Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat yang diberikan menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

Komisi beranggotakan 21 orang dengan susunan 3 orang pimpinan; 9 anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; 5 anggota subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; serta 4 anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 48 Masa kerja dari KKR ini berbeda dengan komisi lainnya, memiliki limitasi, yaitu lima tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah dan janji. Apabila dalam lima tahun belum menyelesaikan tugasnya dapat diperpanjang dua tahun.

Pembentukan dari komisi ini dilaksanakan paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang diundangkan. Dengan demikian, seandainya pada 7 September 2004 UU ini disetujui dan UU ini diundangkan paling lambat pada 7 Oktober 2004, maka komisi ini akan terbentuk paling lambat pada 7 April 2005.

Mencermati batang tubuh RUU KKR, peran eksekutif, khususnya presiden, dalam menentukan keberhasilan komisi besar. Presiden selaku kepala pemerintahan ikut dalam perekrutan anggota komisi maupun selaku kepala negara dalam tata cara penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti.

Keterlibatan presiden dalam perekrutan anggota komisi sedemikian kuat terlihat mulai dari proses di hulu, yaitu pembentukan panitia seleksi. Pasal 32 Ayat (2) RUU menyebutkan bahwa Presiden membentuk panitia seleksi.

Keanggotaan panitia seleksi itu terdiri dari lima orang dengan susunan dua orang berasal dari unsur pemerintah dan tiga orang berasal dari unsur masyarakat. Namun, mengenai ketentuan tentang susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota komisi-dalam Pasal 32 Ayat (5) RUU KKR-diatur dengan peraturan presiden.

Dalam Pasal 33 RUU KKR juga diatur bahwa panitia seleksi mengusulkan 42 calon yang telah memenuhi persyaratan kepada presiden. Selanjutnya, yang memilih 21 orang dari 42 calon anggota komisi yang diajukan oleh panitia seleksi tersebut dilakukan kembali oleh presiden.

Pada Pasal 34 Ayat (3) RUU KKR memang DPR diberi peluang untuk tidak memberikan persetujuan terhadap seorang atau lebih calon yang diajukan presiden. Apabila hal itu terjadi, presiden pun diharuskan mengajukan calon pengganti. Namun, calon pengganti tersebut tetap berasal dari 42 calon yang diusulkan panitia seleksi.

Selanjutnya, dalam Pasal 34 Ayat (4) ditegaskan, apabila presiden telah mengajukan calon pengganti, DPR wajib memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti tersebut.

Pasal 35 Ayat (2) memberi kewenangan kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komisi dikarenakan hal itu dilakukan dengan keputusan presiden. Anggota komisi itu sendiri dapat diberhentikan, salah satunya, karena dianggap melakukan perbuatan tercela atau hal-hal lain yang berdasarkan keputusan Sidang Komisi harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas komisi.

Dengan dasar itu semua, terlihat jelas bahwa seberapa besar political will Megawati-Hasyim atau Yudhoyono-Kalla dalam melakukan rekonsiliasi akan memberi pengaruh besar.

Dalam hal pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi, peranan presiden besar. Presidenlah yang membuat keputusan mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti. Akan tetapi, dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima, presiden wajib meminta pertimbangan amnesti kepada DPR.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 49 DPR wajib memberi pertimbangan amnesti kepada presiden dalam jangka waktu 30 hari kemudian. Selanjutnya, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pertimbangan amnesti DPR diterima, presiden kemudian membuat keputusan mengabulkan atau menolak.

Melihat proses pengambilan keputusan tingkat I, Senin kemarin, di mana fraksi-fraksi telah sepakat secara bulat, berarti kecil kemungkinan terjadinya perubahan signifikan dari naskah RUU KKR ini.

Kini, kita tinggal menimbang-menimbang mana pasangan capres yang pro-KKR dan mana yang tidak. Seperti halnya pemberantasan korupsi, budaya pejabat hidup hemat, dan lainnya, terlepas dari besarnya kewenangan, keberhasilan mewujudkan rekonsiliasi juga ditentukan oleh figur presiden.

Dengan tidak salah pilih presiden, bukan tidak mungkin, setelah kita berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar di dunia yang bisa jadi mengalahkan Amerika Serikat itu, kita juga akan berhasil menegakkan HAM dan melakukan rekonsiliasi terbesar di dunia mengalahkan Afrika Selatan, terlepas dari kekurangsempurnaan RUU KKR ini. (sutta dharmasaputra)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 50 Kompas, Senin 06 Sep. 04 RUU KKR Masih Terfokus ke Pelaku, Bukan pada Korban

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang disetujui Panitia Khusus DPR dan pemerintah telah mengalami banyak perbaikan dibandingkan dengan naskah awal. Namun, rancangan itu masih terfokus pada pelaku ketimbang korban.

Demikian dikatakan Koordinator Tim-tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Peristiwa ’65 Witaryono S Reksoprodjo kepada Kompas di Jakarta, Jumat (3/9). Witaryono menyebut Pasal 27 RUU KKR yang menyatakan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban baru dapat diberikan jika permohonan amnesti pada pelaku telah dikabulkan. Jika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu itu ternyata dilakukan negara, proses pemberian amnesti akan sulit. "Harusnya, setelah komisi mengungkap kebenaran dan pelaku mengaku melanggar HAM, maka rehabilitasi dan kompensasi korban segera diberikan agar nasib mereka tak terkatung-katung," ujar Witaryono, anak mantan Menteri Listrik dan Ketenagaan Kabinet Dwikora pada era Soekarno yang sempat ditahan 12 tahun tanpa diproses hukum.

Namun, Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar menyatakan Pasal 27 tidak dimaksudkan untuk menggantung hak-hak korban pelanggaran HAM. Sebab, rekonsiliasi baru terjadi bila pelaku sudah mengakui pelanggaran HAM dan korban memaafkan. "Kalau rehabilitasi dan kompensasi sudah diberikan sebelum amnesti, artinya tidak terjadi rekonsiliasi. Jika kebenaran sudah terungkap, pelaku mengakui dan korban memaafkan, tapi negara menganggap pelanggaran HAM terlalu berat dan amnesti tidak diberikan, maka kasus itu dapat dilimpahkan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, termasuk rehabilitasi dan kompensasi," ujarnya.

Anggota Pansus dari Fraksi TNI/Polri, Mayjen TNI Djasri Marin, berpendapat pasal tersebut juga untuk menghindari persekongkolan antara korban dan pelaku guna mendapatkan dana kompensasi. "Bisa saja antara korban dan pelaku saling akal-akalan untuk mendapat uang," tandas Akil. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 51 Kompas, Selasa 07 September 2004 Meski Dinilai "Pincang", RUU KKR Akan Disahkan

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menurut rencana dalam rapat paripurna hari Selasa (7/9) ini akan disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Undangan soal itu telah diedarkan.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) memegang peranan strategis untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Rancangan UndangUndang (RUU) KKR tersebut tak memberikan batas waktu sampai kapan pelanggaran HAM masa lalu bisa ditelusuri kebenarannya. Sebelumnya, sempat dinyatakan bahwa pengungkapan kebenaran dilakukan sejak 17 Agustus 1945 hingga tahun 2000.

Direktur Program Imparsial Rachland Nashidik dan korban pelanggaran HAM menilai, substansi RUU KKR lebih banyak memberikan perlindungan kepada pelaku daripada mengedepankan keadilan bagi korban.

"RUU ini masih pincang. Kalau pelaku sudah mengakui dan korban tidak memaafkan, komisi dapat memberi amnesti kepada pelaku. Sedangkan kalau pelaku tidak mengakui dan akhirnya amnesti tidak diberikan, komisi tidak dapat memberi rehabilitasi dan kompensasi kepada korban," kata Judilherry Justam dari Komite Waspada Orde Baru.

Rachland menambahkan, yang lebih substansial sebenarnya apakah keadilan bagi korban bisa diberikan tanpa harus digantungkan pada apakah korban memberi maaf atau tidak, serta pelaku mengakui dan menyesali perbuatannya atau tidak.

Dalam naskah RUU KKR, yang direncanakan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), itu memang terdapat klausul yang mensyaratkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi setelah amnesti dikabulkan. Hal itu tertuang dalam Pasal 27 RUU KKR. Bunyinya, "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (19) dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan."

Witaryono S Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan dan Advokasi Korban ’65, yang dihubungi terpisah, menyatakan, rumusan yang tertuang di Pasal 27 itu dikhawatirkan akan kembali memperpanjang penderitaan korban.

Soalnya, apabila tidak ada satu pun pelaku yang mau mengakui pelanggaran HAM, praktis seluruh kasus dilimpahkan ke Pengadilan HAM Ad Hoc yang prosesnya masih panjang. Implikasinya, korban yang selama ini hak-haknya telah direnggut pun tidak bisa segera mendapat rehabilitasi dan kompensasi.

"Di Afrika Selatan memang ada banyak jenderal yang mau mengakui pelanggaran HAM yang telah dilakukan mereka. Di sini bisa tidak ada satu jenderal pun yang mau mengakui," kata Witaryono.

Oleh karena itu, dia juga mengharapkan kepada fraksi-fraksi di DPR agar pada Pasal 29, yang terdiri dari tiga ayat, ditambah satu ayat lagi. Bunyi ayat dimaksud adalah "Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka komisi memutus memberikan rekomendasi rehabilitasi dan kompensasi secara mandiri dan obyektif.

Judilherry juga mengharapkan DPR selain memerhatikan aspek legal, juga memerhatikan aspek kemanusiaan. "Rehabilitasi dan kompensasi kepada pelaku jangan lagi ditunda-tunda. Selama ini saja hak-hak mendasar mereka sudah dirampas. Menunda rehabilitasi kompensasi berarti memperpanjang penderitaan para korban," katanya.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 52 Panglima TNI

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Endriartono Sutarto yang ditemui di sela-sela rapat kerja dengan Komisi I DPR menyatakan akan menerima semua putusan yang telah ditetapkan melalui proses politik di DPR.

"Silakan saja nasional yang memutuskan. Karena itu berkaitan dengan kepentingan nasional, masalah rekonsiliasi, apa pun yang sudah disepakati wakil rakyat, ya kami patuh dan kami laksanakan," ucapnya.

Demikian pula dengan adanya klausul yang tertuang dalam Pasal 29 (3) yang menyatakan, "Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc."

"Kalau itu memang sudah menjadi keputusan yang mesti dijalankan, masa enggak," ujarnya.

Rachland menilai dalam RUU KKR dicampurkan antara domain privat dan domain publik. "Penegakan hukum dan keadilan seharusnya tak perlu dikaitkan dengan variabel adanya pemaafan korban atau penyesalan dari pelaku."

Ia menilai praktik impunity tampaknya terus langgeng dalam sistem politik di Indonesia. "Ini hanyalah bagian dari permainan politik," ujar Rachland.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar optimistis, pengambilan keputusan RUU KKR akan berjalan mulus hari ini. "Kalaupun ada ketidaksempurnaan, hal itu wajar dalam proses politik. Memang sulit memuaskan semua pihak," kata Sidharto. (sut/bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 53 Koran Tempo, Selasa, 7 September 2004 LSM Tolak Amnesti bagi Pelaku JAKARTA -- Kontroversi terhadap draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum juga berakhir. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) misalnya, menolak pemberian amnesti oleh presiden bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, mengatakan, semestinya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ditujukan untuk kepentingan korban agar mendapatkan kembali hak-haknya. Pengembalian hak-hak itu, menurut dia, tanpa didahului keharusan adanya pemberian amnesti seperti diatur dalam Pasal 27 draf RUU itu. "Hak-hak korban itu bersifat inheren, melekat pada korban," kata Ifdhal kepada Koran Tempo kemarin. Koordinator Kontras, Usman Hamid juga memberikan pendapat senada. Seharusnya, kata dia, komisi yang diberi wewenang untuk memutus siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak diberi amnesti atau sebaliknya. Komisi, kata dia, dapat membentuk panel untuk mengkaji soal pemberian amnesti. Dia menolak jika presiden sebagai penentu siapa pelaku pelanggaran HAM berat yang layak dapat amnesti. Dia beralasan, kepentingan politik presiden kental pengaruhnya untuk menentukan pemberian amnesti. "Apalagi bila pelaku-pelakunya masih duduk dalam pemerintahan," kata Usman saat dihubungi kemarin. Menurut Usman, RUU ini seharusnya tidak mengakomodasi adanya pemberian amnesti. Dengan demikian, dia mengusulkan penghapusan pasal tentang pemberian amnesti. "Amnesti bertentangan dengan hukum internasional apabila dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM berat. Justru kewajiban negara untuk menghukum pelakunya atau mengekstradisi pelakunya. Ini kewajiban negara yang imperatif," ujarnya tegas. Ketua Panitia Khusus Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidarto Danusubroto mengatakan, presiden memiliki wewenang untuk memberikan amnesti. Dewan, menurut dia, merujuk pada konstitusi yang memberi wewenang bagi presiden untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti. Dia menepis kekhawatiran Elsam dan Kontras tentang bias politik dalam pemberian amnesti oleh presiden nantinya. "Bagaimana mungkin presiden menolak rekomendasi 21 anggota komisi? Semua anggota komisi itu orang-orang terhormat, apa presiden berani? Kalau presiden menolak beri amnesti, ya dia dihujat rakyatnya. Jadi, pakai akal sehat saja," ujarnya kepada Koran Tempo kemarin. Dia mengakui, RUU ini tidak sempurna 100 persen. Namun, Pansus memutuskan untuk membawanya ke rapat paripurna hari ini untuk disetujui menjadi undang-undang. Jika ada anggota masyarakat yang keberatan dengan materi RUU ini, Sidarto mempersilakan masyarakat untuk mengajukan amendemen atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Selain soal amnesti, Elsam juga menyoroti soal posisi komisi dalam RUU ini lebih pada menggantikan posisi pengadilan. Kesan itu tergambar dalam Pasal 43. Padahal, menurut Ifdhal, relasi kedua institusi itu semestinya saling melengkapi. "Sehingga misalnya, komisi temukan kasus yang bisa diselesaikan, tetapi karena amnesti tidak diterima, kasus ini bisa dibawa ke pengadilan," ujarnya. Baik Ifdhal maupun Usman juga mempertanyakan jumlah anggota komisi. Pada Pasal 37 disebutkan, jumlah anggota komisi 21 orang. Menurut Sidarto, munculnya angka 21 setelah Dewan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang luas dan multikasus. "Rentang waktunya juga panjang, dari 1945 hingga saat ini," ujar politikus dari Fraksi PDIP itu. Namun, menurut Ifdhal, jumlah anggota komisi maksimal 15 orang. Begitu pula Usman. Hanya dia

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 54 mengusulkan maksimal 7 orang. Keduanya punya alasan sama, yakni anggota hanya berperan sebagai pemimpin dan pengawas pelaksanaan tugas dan fungsi komisi. "Yang harus diperbanyak jumlahnya ada pada level staf," kata Usman. Di DPR, Panglima TNI Endriartono Sutarto menyerukan agar semua personel TNI mematuhi kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nantinya. "Karena ini sudah disepakati secara nasional, kami semua termasuk kalau nanti ada yang menyangkut prajurit TNI, semuanya harus patuh," kata Endriartono kemarin. Awal-awal pembahasan RUU ini, TNI mengkhawatirkan pengungkapan kebenaran peristiwa masa lalu akan menimbulkan konflik baru. maria rita/fajar wh

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 55 Hukum Online, [7/9/04] RUU KKR Disetujui, Pelurusan Sejarah Dapat Dimulai Pelurusan sejarah Indonesia akhirnya dapat titik terang dengan disetujuinya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Perjalanan panjang pembahasan RUU KKR selama dua tahun, baru membuahkan hasil di ujung masa jabatan DPR periode 1999-2004. Dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin Muhaimin Iskandar (7/9), kesembilan fraksi di DPR sepakat untuk menyetujui RUU KKR dijadikan undang-undang. Tidak banyak yang berubah dari dra terakhir KKR. Menurut ketua pansus RUU KKR, Sidharta Danu Subroto, tidak banyak yang berubah dalam draf terakhir KKR.

Dalam draf final RUU KKR yang disetujui menjadi undang-undang, terdapat 46 pasal (sebelumnya 44 pasal). Perlu disampaikan, pembahasan RUU ini sendiri mendapat banyak kecaman maupun dukungan dari berbagai pihak, terutama tentang isu bahwa KKKR justru akan melanggengkan impunitas.

Menurut Hanif Ismail, juru bicara dari fraksi PKB, UU KKR harus mampu menepis keraguan masyarakat seputar impunitas. Hanif menambahkan, setelah RUU KKR disahkan nanti, peristiwa 30 September harus diselesaikan. Di mata Hanif, keberadaan Tap MPRS No.25/1966 (tentang Larangan Penyebaran Ajaran Marxisme dan Leninisme) sangat fatal. Untuk itu tugas KKR adalah untuk meluruskan sejarah kelam tahun 1965, dengan memulihkan hak-hak eks anggota PKI seperti yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi.

Dalam draf final RUU KKR, dinyatakan pula kedudukan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga extra yudisial terbatas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui cara-cara rekonsiliasi di luar pengadilan. Apabila pelaku tidak mengakui melakukan kejahatan pelanggaran HAM, maka kasusnya tetap dapat dibawa ke pengadilan HAM.

Apabila pelaku mengakui melakukan pelanggaran HAM, maka korban harus mendapat kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Pemberian kompensasi tersebut berlaku meskipun korban pelanggaran HAM memafkan atau tidak memaafkan pelaku. Kewajiban untuk memberikan kompensasi tersebut menjadi kewajiban bagi negara yang dituangkan dalam APBN.

Komposisi keanggotaan KKR nantinya, berdasarkan draf, terdiri dari 21 orang. Tiga orang menjadi pimpinan dan 18 anggota. Ke-21 orang ini akan bekerja selama lima tahun dan dapat diperpanjang dua tahun. Perlu dicatat, dalam draf tersebut kandidat anggota KKR, tidak boleh berstatus anggota TNI/Polri. Sedangkan kandidat dari parpol, ormas, atau LSM, harus bersedia melepaskan jabatannya.

MA Rachman, Menteri Kehakiman ad interim yang mewakili pemerintah dalam rapat paripurna DPR menambahkan, enam bulan sejak Undang-Undang KKR berlaku, komisi

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 56 tersebut harus dibentuk. Penyeleksian anggota, menurut Rachan, akan dilakukan oleh Panitia Seleksi yang keanggotaanya ditentukan melalui Keputusan Presiden.

(Gie)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 57 Suara Pembaruan, Selasa 07 September 2004 Perekrutan Anggota KKR Wewenang Pemerintah

JAKARTA - Rancangan Undang Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dipastikan disahkan menjadi UU mengingat dalam pembicaraan tingkat I beberapa waktu lalu tidak satu pun fraksi menolaknya.

Namun, yang sebenarnya lebih menjadi persoalan adalah pembentukan KKR yang sangat bergantung pada political will dan political action pemerintahan yang akan datang. Proses perekrutan anggota KKR menjadi kewenangan pemerintah dan DPR hanya memberikan persetujuan atas usul pemerintah.

Pernyataan tersebut dikemukakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU tentang KKR, Akil Mochtar, kepada Pembaruan Selasa (7/9) berkaitan dengan rencana pengesahan RUU KKR menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, Selasa siang.

Menurut Akil, proses seleksi dilakukan oleh panitia yang kemudian mengusulkan 42 nama calon anggota KKR kepada presiden. Kemudian, presiden menetapkan 21 anggota KKR dengan meminta persetujuan DPR.

"Undang-undang KKR mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk komisi paling lambat enam bulan setelah RUU ini disahkan. Political will dan political action pemerintah menentukan terbentuknya KKR," ujarnya.

Dikatakannya, dalam pemandangan mini yang disampaikan wakil-wakil fraksi dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR, pekan lalu, tidak satu pun fraksi yang menolak RUU ini disahkan. Dengan begitu, dalam pemandangan umum rapat paripurna Selasa (7/9) ini fraksi-fraksi di DPR dipastikan menyetujui RUU ini menjadi UU.

Dikatakan, KKR merupakan salah satu cara menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, selain pengadilan HAM Ad Hoc. Artinya, instrumen penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu sudah lengkap.

KKR ini, kata Akil, menekankan rekonsiliasi di luar pengadilan. Dengan rekonsiliasi diharapkan kejadian masa lalu yang kelabu menjadi catatan sejarah dan tidak diulangi lagi.

Utuh

Dikatakan, proses rekonsiliasi harus utuh, tidak hanya diakhiri dengan pemberian amnesti bagi pelaku dan korban mendapatkan rehabilitasi, kompensasi, atau restitusi. Tetapi, yang terpenting kejadian kelabu di masa lalu itu menjadi pelajaran berharga bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Saat ditanya mengenai pendapat sebagian kalangan yang menyebutkan undang-undang ini lebih berpihak kepada pelaku, Akil menyatakan, suara-suara itu bukan merupakan hal baru. Dalam berbagai rapat dengar pendapat, suara-suara itu sering disampaikan. Undang-undang ini memang tidak bisa memuaskan semua pihak.

Menurutnya, pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar karena kalau pelaku tidak mengakui perbuatannya maka dia bisa diajukan ke pengadilan HAM. Demikian juga kalau presiden menolak memberikan amnesti, tentu saja tidak terjadi rekonsiliasi dan kasusnya tetap bisa dibawa ke pengadilan. "

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 58 Saya tidak tahan kalau ada sebagian kalangan yang menyebutkan RUU ini lebih berpihak kepada pelaku. Pemberian amnesti sangat bergantung kepada presiden dan komisi hanya memberikan rekomendasi kepada presiden. Jadi, yang paling menentukan adalah presiden, bukan komisi," katanya. (A-16)

Last modified: 7/9/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 59 Kompas,Rabu 08 September 2004 RUU KKR Disetujui, Presiden Perlu Bentuk Panitia Seleksi

JAKARTA, KOMPAS - Sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (7/9), telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ditetapkan menjadi undang-undang. Namun, sejumlah korban pelanggaran HAM di masa lalu yang juga turut menyaksikan jalannya rapat paripurna tersebut merasakan bahwa RUU KKR ini masih lebih berpihak pada pelaku ketimbang korban.

Setelah RUU ini disahkan menjadi undang-undang maka Presiden perlu segera membentuk Panitia Seleksi yang mengusulkan 42 calon calon anggota Komisi untuk kemudian dipilih oleh presiden menjadi 21 orang. Pasal 44 (3) RUU KKR menyebutkan, "Pembentukan Komisi dilaksanakan paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan."

Dalam laporannya, Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidharto Danusubroto mengharapkan dengan disetujuinya RUU KKR tersebut, Indonesia tidak lagi ketinggalan zaman dalam hal penghormatan hak-hak asasi manusia. Hal itu tercermin selama proses pembahasan yang berlangsung selama lebih kurang 13 bulan, sejak 9 Juli 2003. Pembahasan melibatkan 60 institusi pemerintah dan non pemerintah, termasuk para korban.

"Ada suasana kemanusiaan yang unik. Korban siap untuk rekonsiliasi dengan duduk satu meja dengan pihak-pihak yang berseberangan," paparnya.

Rapat Paripurna DPR dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar dari Fraksi Kebangkitan Bangsa dan pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ad interim MA Rachman.

Fraksi TNI/Polri yang dalam pembahasan awal termasuk menentang keras adanya RUU ini, khususnya keberatan terhadap kata "kebenaran" menjadi judul, dalam sambutannya turut menyetujui RUU ini. Namun, F-TNI/Polri tetap menghendaki agar RUU ini menjamin tidak menimbulkan persoalan baru; tidak dijadikan pembenaran terhadap peristiwa makar dan penghianatan bangsa yang terjadi di masa lalu.

Korban kecewa

Namun bagi para korban pelanggaran HAM, RUU KKR ini masih lebih berpihak pada pelaku ketimbang korban. Pengurus pusat Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) Margondo Hardono kecewa terhadap RUU KKR itu. "Kita akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," tandasnya.

Salah satu pasal yang dinilai aneh adalah Pasal 27 RUU KKR. Pasal itu menyebutkan bahwa kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. "Seharusnya rehabilitasi pada korban dapat diberikan tanpa harus menunggu amnesti," tandasnya.

Kekecewaan senada disampaikan Supardi Atmo dan Ismantono. Keduanya, mengaku merasa prihatin dengan rumusan itu. Pasalnya, selama puluhan tahun, hak-haknya sebagai warga negara telah dirampas dan kini pun tidak bisa langsung mendapat rehabilitasi atau kompensasi karena masih harus menunggu adanya amnesti pada pelaku dikabulkan. "Kalau Pak Harto, keburu mati bagaimana. Kita sebagai korban 65 bisa tidak dapat rehabilitasi," tandas Supardi.

Secara terpisah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Prof Dr Romli Atmasasmita SH mengingatkan, agar disetujuinya RUU KKR menjadi undang-undang sebaiknya tidak usah dipaksakan saat ini, apabila masih ada persoalan yang belum selesai dibahas oleh DPR.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 60 "Jika RUU tersebut dipaksakan, dikhawatirkan UU KKR nantinya akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintahan saat ini," katanya. Dia mengingatkan, jangan sampai kemudian akhirnya UU KKR itu merupakan bom waktu buat pemerintahan yang baru. (sut/son)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 61 Koran tempo, Rabu, 8 September 2004 RUU Rekonsiliasi Disetujui dengan Koreksi JAKARTA -Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan menjadi undang-undang. Fraksi-fraksi meminta agar UU itu segera disosialisasi ke masyarakat dan secepatnya menyiapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sebelum UU Nomor 26/2000 tentang Peradilan HAM ad hoc berlaku. Hanya Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI) melalui juru bicaranya, Hamid Mappa, yang menyatakan menerima dengan sejumlah catatan. "Jika komisi terbentuk, harus disempurnakan lagi melalui amendemen undang-undang," kata Hamid dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di gedung MPR/DPR kemarin. Hadir mewakili pemerintah adalah Menteri Kehakiman dan HAM ad interim M.A. Rachman didampingi Dirjen Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani. Enam poin keberatan FKKI antara lain mengenai batas waktu kasus yang bisa diungkap Komisi, kompensasi (Pasal 27), jumlah anggota Komisi yang hanya 21 orang (Pasal 32), sumber pembiayaan (Pasal 41), dan mekanisme proses mengungkap kebenaran. Hamid menilai Pasal 27 mengandung kelemahan karena kompensasi dan rehabilitasi baru diberikan kepada korban setelah pelaku mendapat amnesti. FKKI menghendaki adanya batas waktu untuk mengungkap kasus kejahatan. Mengenai jumlah anggota Komisi yang hanya 21 orang dinilainya tak sebanding dengan wilayah Indonesia. Ia khawatir Komisi tidak mampu menangani kasus pelanggaran HAM yang tersebar di seluruh Indonesia. Mengenai Pasal 32, yang menetapkan empat orang duduk dalam subkomisi, pengambilan keputusan akan sulit dilakukan karena jumlah genap tersebut. Sumber dana Komisi diharapkan bukan saja dari APBN, tapi sebaiknya dari sumber-sumber lain. FKKI menginginkan agar seluruh proses pengungkapan kebenaran terbuka. Sementara itu, Fraksi TNI/Polri melalui juru bicaranya, Nursidi Darmonurhadi, berharap kerja Komisi yang mengungkap kebenaran bisa menjamin tidak menimbulkan persoalan baru. "Jangan sampai KKR menjadi pembenaran peristiwa pengkhianatan kepada bangsa," ujarnya. Ketua Pansus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sidharto Danusoebroto, menyatakan RUU ini merupakan amanah dari Tap MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Persatuan Nasional dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad hoc. Saat rapat paripurna mengesahkan RUU, 15 korban pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) menyaksikan persidangan. Supardi Atmo, salah seorang korban, menilai RUU ini kurang berpihak kepada korban. "Seolah-olah korban di posisi lebih rendah dari pelaku," kata korban peristiwa G-30-S/PKI yang ditahan tanpa proses pengadilan sejak 1965 hingga 1979. Yang dianggap paling mengecewakan di antaranya ketentuan yang menyatakan jika kesalahan tak dapat dimaafkan, maka pelaku disarankan dibawa ke pengadilan ad hoc. Jika pelaku tak mendapatkan amnesti, maka korban tak akan mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi. Karena kecewa, LPR-KROB akan mengajukan judicial review ke MA. istiqomatul h/fajar wh

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 62 Republika, Rabu 08 September 2004 RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Disetujui Laporan : vie/fin

JAKARTA -- Dengan segala catatan dan kelemahan, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kemarin disetujui DPR menjadi undang-undang. Sembilan fraksi yang hadir dalam rapat pemandangan akhir Rancangan Undang-undang (RUU) KKR menyatakan setuju aturan tersebut diundangkan. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI) memberi catatan khusus.

Catatan yang dibacakan anggota FKKI, Hamid Mappa, itu antara lain menyinggung soal batas waktu yang lebih jelas pemberlakuan kewenangan KKR. ''Dalam rancangan hanya disebutkan aturan soal KKR itu berlaku sejak Indonesia berdiri (17 Agustus 1945),'' ujarnya di Jakarta kemarin. Hal lain yang juga jadi catatannya adalah pemberian kompensasi untuk korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pasal 27 aturan tersebut menyebut bahwa kompensasi hanya diberikan jika pelaku bisa mendapatkan amnesti (pengampunan).

Dia juga menggarisbawahi masalah jumlah anggota KKR yang hanya 21 orang. Kata Hamid, seharusnya jumlah anggota KKR ditambah. Rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, hanya dihadiri sekitar 150 anggota DPR. Mayoritas kursi terlihat kosong. Justru bangku yang berada di balkon dipadati bukan hanya wartawan tapi juga puluhan korban pelanggaran HAM masa lalu. Di antaranya, para korban yang dituduh sebagai anggota PKI dan dipenjara tapi tanpa proses pengadilan. Supardi, salah seorang korban yang dituduh terkait PKI, mengaku pesimistis UU tentang KKR bisa menyelesaikan masalah. Aturan tersebut, menurut dia, lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pengampunan bagi para pelaku pelanggaran HAM.

''Makanya, kami tidak berharap banyak terhadap KKR ini,'' ujarnya. Kritik hampir sama juga diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim. Dia menilai jumlah anggota KKR yang ditetapkan UU terlalu banyak. Menurut perhitungannya, jumlah anggota KKR cukup 15 orang. Lembaga sejenis di Siera Leone anggotanya tujuh orang, di Afrika Selatan sembilan orang, di Argentina enam orang, dan di Cile delapan orang. Menkeh dan HAM ad interim, MA Rachman, yang mewakili pemerintah menyambut baik disetujuinya RUU tentang KKR sebagai UU. Diharapkan KKR ini bisa menjadi lembaga publik yang mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 63 Jakarta Post, September 08, 2004 House passes truth, reconciliation bill Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta

Defying criticism from human rights activists and victims of rights abuses, the House of Representatives unanimously endorsed the bill for the Truth and Reconciliation Commission on Tuesday.

The 21-strong commission must be formed no later than six months after the bill is signed into law by the president. Under the amended Constitution, a law will still become effective one month after being approved by the House if the president refuses to sign it.

Attorney General M.A. Rachman, who is also the interim minister of justice and human rights, said the government would carry out the process of recruiting commission members in coordination with the House.

"The selection process will be transparent," he said during a plenary meeting presided over by House deputy speaker Muhaimin Iskandar to endorse the bill.

The commission will be authorized to investigate and explain gross human rights violations before making recommendations to the president for abusers to receive amnesty and rehabilitation for their victims.

Judilhery Justam, from the New Order Watch Committee, criticized Article 27 of the bill which states that rehabilitation or compensation for human rights victims could be given only if the perpetrators are pardoned by the president.

Article 29 (3) says that if perpetrators of human right abuses deny wrongdoing and refuse to ask for forgiveness, they would not get amnesty and could be tried in a human rights trial.

"This is totally unfair. Under this stipulation, victims will not get rehabilitation if human rights violators deny any wrongdoing," Judilhery told The Jakarta Post.

Earlier, the Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) director Ifdal Kasim said the bill favored the abusers instead of helping the victims to find justice.

Judilhery said that only a few cases could be brought to the commission due to the narrow definition of gross human rights violations.

It is likely that the 1999 Semanggi killings and the May riots in 1998 will be classified as rights cases.

Several victims of Soeharto's iron-fist regime that ended in 1998 witnessed Tuesday's plenary meeting at the House. They included those who had been jailed without trial after being accused of involvement in the 1965 non-coup d'etat that was blamed on the Indonesian Communist Party (PKI).

They were noted figures like Margondo Hartono, Supardi Atmo, Ismanto and Achmad Soebanto, who are now senior citizens. They were released from prison in 1979 but never had all their rights as citizens restored, including to vote.

"We still get no retirement compensation and our children cannot join the Armed Forces," Margondo told the Post on the sidelines of the meeting.

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 64 Key Articles of the bill

- Article 27: Compensation and rehabilitation can be given (to victims) if the President grants amnesty (to perpetrators).

- Article 28: In a situation where perpetrators and victims forgive each another, the commission can recommend that the President pardon the perpetrators.

- Article 29 (1): If perpetrators and victims forgive one another, a recommendation for amnesty must be issued.

- Article 29 (2): If perpetrators admit wrongdoing and ask for forgiveness, but victims or their relatives refuse to forgive them, the commission can make a recommendation.

- Article 29 (3): If perpetrators deny wrongdoing and refuse to ask for forgiveness, they lose a chance to get amnesty and will be sent to an ad hoc human rights trial.

Source: The Truth and Reconciliation Commission bill

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 65 Hukum Oneline, [8/9/04] Persetujuan RUU KKR: Pemberian Reparasi Seharusnya Tidak Tergantung Amnesti ELSAM memberikan beberapa catatan sehubungan dengan persetujuan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Seharusnya hak-hak korban untuk memperoleh reparasi diberikan negara tanpa menunggu amnesti untuk pelaku. Persetujuan untuk disahkannya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh DPR (7/9) mengundang reaksi dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mereka menggarisbawahi beberapa hal yang penting tentang UU KKR tersebut.

Salah satu yang menjadi sorotan ELSAM adalah pemberian reparasi bagi korban. Dalam UU KKR pemberian reparasi bagi korban kejahatan kemanusiaan dan genosida memang sudah diakomodir. Namun, dalam pasal 27 RUU KKR disebutkan kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti (oleh pelaku, red) dikabulkan.

Menurut Direktur Eksekutif ELSAM Ifdhal Kasim, pemberian reparasi bagi korban seharusnya tidak perlu menunggu apakah amnesti yang diajukan ditolak ataupun diterima. Apalagi, dalam RUU KKR disebutkan penolakan pelaku mengakui kesalahannya, akan mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan hak untuk mendapatkan amnesti

Melihat kondisi tersebut, Ifdhal melihat walaupun pengadilan HAM mengakomodir pemberian reparasi namun hal tersebut tidak menjamin bagi korban untuk mendapat reparasi. “Bisa saja pelakunya malah tidak terbukti dan korban tidak dapat kompensasi apapun,” jelas Ifdhal dalam sebuah konferensi pers di Jakarta (8/9).

Ifdhal memandang hak-hak korban sebagai sesuatu yang inheren seperti yang diterapkan dalam tataran HAM internasional. Menurutnya tidaklah tepat apabila pemberian reparasi harus melampaui proses amnesti terlebih dahulu.

Sama halnya dengan pemberian kompensasi dalam kasus Tanjungpriok. Ifdhal berpendapat sudah sepatutnya kompensasi bagi korban langsung diberikan tanpa harus menunggu putusan hukum berkekuatan tetap. Sebab bisa saja dalam putusan di Mahkamah Agung terdakwa justru dibebaskan dan korban kehilangan hak untuk mendapatkan kompensasinya.

Kewenangan komisi

Selain masalah reparasi sebagai hak korban, ELSAM juga mengkritisi tentang kewenangan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ia menggarisbawahi kedudukan komisi kebenaran adalah lembaga ekstra yudisial, jadi sudah sepatutnya kewenangan komisi tersebut tidak terikat dalam hukum acara pidana.

Tugas dari komisi ini adalah mencari kebenaran bukan mencari hal-hal yang dapat mempidanakan pelaku. Oleh sebab itu, dalam upaya mencari kebenaran komisi selayaknya dapar menggunakan alat bukti yang tidak diakomodir dalam KUHAP. Seperti rekaman maupun korban yang tidak melihat langsung.

Intinya keberadaan komisi ini adalah membuka kesempatan dan mengajak korban untuk berani mengungkapkan hal-hal yang selama ini dianggap nisbi. Dikatakan Ifdhal, soal validitas pengungkapan cerita oleh korban sudah menjadi tugas dan tanggung jawab komisi untuk menyelidiki.

Setelah RUU KKR disahkan Ifdhal melihat ada beberapa masalah dugaan pelanggaran HAM yang harus dicari kebenarannya. Peristiwa tersebut antara lain adalah peristiwa 30 September 1965-1966, pelanggaran

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 66 HAM di Papua (1967), Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM), Talang Sari, Haur Koneng, Kedung Ombo dan kasus 27 Juli.

(Gie)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 67 Koran Tempo, Jumat, 10 September 2004 UU Rekonsiliasi Dikhawatirkan Tak Berpihak pada Korban Jakarta - Pegiat lembaga swadaya masyarakat khawatir Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui DPR, Selasa (7/9) lalu, tidak berpihak pada korban. Undang-undang itu dicurigai justru malah akan memberi imunitas bagi pelaku. Hal ini dikatakan oleh keluarga korban tragedi Semanggi I Arief Priyadi, Sri Suparyati dari Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), rohaniwan Franz Magnis-Suseno, dan Amirudin dari Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam seminar di Jakarta kemarin. "Itu kelihatan sekali. Hanya ada satu sanksi yang kelihatannya benar-benar sanksi," ujar Arief. Sanksi yang dimaksud itu dapat menyeret ke pengadilan HAM ad hoc jika pelaku tidak mengakui dan tidak mau meminta maaf. Tapi, menurut dia, prakteknya akan sulit diterapkan. Ia mencontohkan, kasus Semanggi yang sudah jelas pelakunya tidak bisa diseret ke pengadilan. Arief juga menyayangkan tidak dicantumkannya ketentuan tentang pelaku pada undang-undang itu. "Mereka (pelaku) akan menghindar sebagai seorang pelaku," katanya. Ia menduga semua persoalan akan dibelokkan ke arah rekonsiliasi karena terbentur masalah teknis. Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Rekonsiliasi Akil Mochtar mengatakan, undang-undang itu adalah model penyelesaian masalah HAM dan tidak dapat dilihat hanya sebagai fragmen amnesti. "Pelaku tentu tidak akan disamakan kedudukannya dengan korban," ujar Akil. Arief berpendapat sebaliknya. UU ini dinilainya menyamakan posisi korban dan pelaku. "Itu kelihatan sekali. Bagi dia, saling memaafkan sudah benar," ujar Arief. Ia berharap orang-orang yang menggagas UU itu akan dapat mengemukakan pendapatnya. "Jangan hanya sebagai pelempar dadu, lalu dimanfaatkan orang-orang kuat. Mereka tidak mau berbuat apa-apa," katanya. Sri Suparyati dari Kontras menilai UU ini sudah lebih bagus, karena unsur TNI Polri sudah tidak ada dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini kelak akan diisi pegiat lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan akademisi. Ia mengatakan, orang asing yang akan dilibatkan dalam Komisi adalah pihak yang berkompeten. "Di Afrika Selatan ada jaksa yang sempat jadi jaksa International Criminal Justice. Dia bisa dilibatkan," ujar Sri. Menurut Franz, bangsa Indonesia harus berani melihat adanya kejahatan. Korban pun hanya akan dapat memaafkan jika pelaku benar-benar menyesal. "Istilah saling memaafkan dalam UU KKR sangat gawat," ujar Franz. Menurut Amirudin, tak perlu lagi mengungkit proses disetujuinya UU tersebut. Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana UU itu bisa dijalankan dan siapa yang berada dalam komisi itu. "Sikap sinisme akan menjadi konyol, karena bagaimanapun UU tetap akan dijalankan," ujarnya. rr ariyani

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 68 Jakarta Post, September 10, 2004 Franz calls for real truth on commission

JAKARTA: Philosopher and rights campaigner Franz Magnis Suseno urged on Thursday for selection of people with credibility and integrity to sit on the 21-member Truth and Reconciliation Commission, which will be set up in the next several months.

Speaking during a discussion on the newly approved commission, he said the demand for justice would be the most important goal of the establishment of the commission. He said the commission should not be about victims of violence getting revenge.

"Reconciliation can only happen if the victims get justice," Magnis said.

Arief Priyadi, the father of Wawan, one of the university students who was shot and killed during the 1998 Semanggi disaster, was skeptical about the commission's ability to shed light on the incident

The House of Representatives endorsed on Thursday the truth and reconciliation bill, which mandates the establishment of the commission no later than six months after it becomes law. -- JP

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 69 Kompas, Rabu 22 September 2004 Korban ’65 Hanya Menolak Pasal 27 RUU KKR

Jakarta, Kompas - Forum Koordinasi Tim-tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitas Korban Peristiwa ’65 menyatakan, lembaganya tidak menolak secara keseluruhan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tetapi hanya menolak Pasal 27 dari undang-undang tersebut. Pasal 27 RUU KKR secara substansial memang telah mereduksi hak-hak korban.

Demikian dikatakan Koordinator Forum, Witaryono S Reksoprodjo, kepada Kompas menanggapi berita Kompas tertanggal 14 September 2004 berjudul Korban ’65 Siapkan Tiga Alternatif Tolak RUU KKR. "Kami tidak menolak secara keseluruhan, tetapi hanya Pasal 27," tulis Witaryono.

Dalam pernyataan tertulisnya, Pasal 27 RUU KKR itu tidak adil karena telah mereduksi hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi karena hak-hak tersebut dikaitkan dengan keharusan pelaku untuk terlebih dahulu mendapatkan amnesti.

Witaryono mengusulkan agar kebenaran yang terungkap melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi digunakan menjadi bahan pelurusan sejarah nasional Indonesia. Ia juga mengusulkan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah agar pelaksanaan teknis UU KKR dapat secepatnya ditindaklanjuti. Prioritas utama yang harus segera dilaksanakan adalah dihapuskannya peraturan diskriminatif, baik diskriminatif secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. (bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Pansus KKR 2004-hal. 70 Kompas, Kamis 28 Oktober 2004 Enam RUU Menjadi Prioritas Jakarta, Kompas - Dalam waktu 100 hari, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia akan memprioritaskan enam rancangan undang-undang serta pembentukan dua panitia seleksi yang akan memilih orang-orang yang akan duduk di Komisi Yudisial dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Khusus untuk revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Departemen Hukum dan HAM tidak menaruh prioritas tinggi pada rancangan ini.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Perundang- undangan Departemen Hukum dan HAM Abdulgani Abdullah, Rabu (27/10) di Jakarta. "Revisi Undang-Undang (UU) Antiteror tetap menjadi bagian dari kegiatan di Departemen Hukum dan HAM, tetapi bukan prioritas. Saat ini masih dalam pembahasan di Departemen Hukum dan HAM," jelas Abdulgani.

Ia mengatakan bahwa Departemen Hukum dan HAM dalam bulan November 2004 harus segera membentuk dua panitia seleksi, yakni Panitia Seleksi Komisi Yudisial dan Panitia Seleksi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Yudisial harus segera terbentuk sebagaimana diamanatkan UU Komisi Yudisial paling lambat Februari 2005 dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi paling lambat sudah terbentuk Maret 2005.

Keenam rancangan undang- undang (RUU) yang direncanakan akan dibahas dalam waktu 100 hari oleh DPR dan pemerintah adalah RUU Kementerian Negara, RUU Penasihat Presiden, RUU Keimigrasian, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, RUU Perseroan Terbatas, dan penyusunan lima rancangan Peraturan Presiden Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Saat ini, selain ada keputusan presiden, juga ada peraturan presiden. Peraturan presiden bersifat pengaturan," ujar Abdulgani.

Kelima peraturan presiden yang harus segera disusun adalah peraturan presiden tentang tata cara mempersiapkan RUU; peraturan presiden tentang tatacara mempersiapkan rancangan perpu dan rancangan peraturan presiden; peraturan presiden tentang pembuatan peraturan daerah yang dilakukan gubernur, bupati, dan wali kota; peraturan presiden tentang penyusunan pengelolaan legislasi nasional; dan peraturan presiden tentang tata cara pengesahan; pengundangan, dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan.

Penguatan masyarakat

Sementara itu, anggota DPR, Gayus Lumbuun, mengemukakan, pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya segera mengajukan undang-undang yang bersemangatkan untuk memperkuat masyarakat sipil. "Penguatan masyarakat sipil harus jadi agenda Yudhoyono. Misalnya, soal perlunya UU Kebebasan Mencari Informasi," katanya.

Ia mengatakan, setelah masalah hakim sepenuhnya ditangani Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan HAM seharusnya memfokuskan diri pada masalah perundang-undangan, misalnya soal UU Kebebasan Mencari Informasi, revisi KUHP, dan revisi KUHAP. "Kualitas undang-undang menjadi lebih utama daripada kuantitas," kata Gayus yang menyesalkan langkah Presiden Yudhoyono dengan membuat departemen baru, sementara UU Kementerian Negara belum ada. (vin/bdm)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 1

Wacana Rekonsiliasi 2004 Kompas, Selasa, 06 Januari 2004 Ketika Pengadilan Tak Kuasa Mengungkap Kebenaran

Usai palu diketok hakim, keempat terdakwa langsung mengucapkan terima kasih. "Terima kasih ibu hakim yang berhati mulia. Saya mengucapkan terima kasih," ucap Rahimi Ilyas alias Buyung.

Ucapan terima kasih kemudian juga terucap secara berturut-turut dari mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya Kolonel Budi Purnama, mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya Kapten Suharto, dan Mochammad Tandjung. Mereka adalah para terdakwa dalam kasus penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996.

Persidangan itu seakan menjadi antiklimaks. Majelis hakim koneksitas yang diketuai Rukmini hanya menghukum Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Marpaung dinyatakan terbukti menipu massa dan ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI.

Bangunan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi saksi bagaimana aparat keamanan rezim Soeharto menyerbu dan mengambil alih gedung yang masih dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Gedung hancur. Sebagian terbakar. Asap hitam membubung tinggi. Amarah massa memuncak dan membakar apa saja yang ditemui. Sebagian wilayah Jakarta terbakar. Komnas HAM menyebut lima orang meninggal dunia, 149 luka-luka baik sipil maupun militer. Sejumlah orang dilaporkan hilang.

Peristiwa itu membawa dampak ekonomi begitu besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 20.57 poin. Nilai rupiah merosot dan sejumlah investor asing membatalkan niat menanam modal di Indonesia. Rezim Orde Baru menuding pembakaran Jakarta didalangi komunis.

Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan dijebloskan ke penjara. Namun, dalam persidangan tak pernah bisa dibuktikan keterlibatan aktivis PRD mendalangi pembakaran. Sejumlah petinggi militer, Kasum ABRI Letjen Soeyono, Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar, dan Wakil Kepala BIN Achdari dicopot dari jabatannya.

TUJUH tahun kemudian, ketika Megawati Soekarnoputri, sosok korban yang kini berkuasa, mencoba mengungkap kasus itu. Namun, apa yang dilakukan Megawati terkesan hanyalah sebuah langkah simbolik sekadar membuka persidangan. Itu tampak dari politik penyelidikan dan penuntutan yang diwarnai kompromi politik dengan tentara.

Paling tidak itu ditunjukkan dengan dukungan Megawati dan PDI Perjuangan terhadap mantan Pangdam Jaya Sutiyoso untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kemudian, mantan Komandan Satgas PDI Agung Imam Sumanto pada saat peristiwa 27 Juli meletus, malah diangkat sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta.

"Secara politik kasus 27 Juli tereliminasi dengan terpilihnya Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta atas dukungan PDI-P," kata Roy BB Janis, salah seorang Ketua PDI-P.

Mereka yang menjadi korban kasus 27 Juli hanya bisa menerima pasrah kompromi dari elite PDI-P. "Kami sudah kecewa sejak persidangan digelar," kata Suryadi (47), korban kasus 27 Juli yang masih menempati Kantor DPP PDI, karena rumahnya di belakang Plaza Semanggi digusur aparat.

Suryadi adalah salah seorang korban yang tak lagi memedulikan putusan tersebut. "Terus terang kami tidak tahu apa putusan hakim atas terdakwa. Kami melihat, terdakwa yang dihadirkan dalam persidangan kasus 27 Juli lebih baik dibebaskan. Justru berdosa kalau hakim menghukum mereka. Mereka bukan pelaku utama penyerbuan. Saya tahu persis siapa pelakunya dan saat ini tetap dibiarkan berkuasa," ujar Suryadi.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 2

Desakan agar pengadilan menghadirkan pelaku utama penyerbuan Kantor DPP PDI kendor, saat anggota Forum Komunikasi Korban Kasus 27 Juli pergi satu per satu. Saat ini, tidak ada lagi kontak di antara ratusan korban yang rata-rata sudah kembali ke daerah masing-masing. "Dengan begitu banyaknya hal yang melukai, kami tetap berusaha menerima. Perih memang. Tetapi itulah kebijakan partai," ujar Suryadi yang kini Sekretaris II Pengurus Anak Cabang Setiabudi.

"Pengungkapan kasus 27 Juli lebih terkait masalah politik dibandingkan hukum. Kami taat pada kebijakan partai meskipun dalam hati tidak bisa menerima. Untuk para korban yang tewas, cacat, dan terpenjara, kebijakan ini menyakitkan. Tetapi sudahlah," ujarnya.

SURYADI boleh jadi merupakan salah satu dari korban kasus 27 Juli yang bersikap nrimo atas kebijakan partainya. Ia pun menerima ketika pengadilan koneksitas tak mampu untuk mengungkap kebenaran apa sebenarnya yang terjadi dalam penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996.

Buku Soeyono Bukan Puntung Rokok yang ditulis Benny Butarbutar dan sejumlah dokumen sekunder lain paling tidak memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa kasus 27 Juli tidaklah sesederhana sebagaimana yang diungkap pengadilan. Liputan media massa pada era reformasi sedikit banyak memberikan perspektif baru mengenai peristiwa itu. Ada upaya meredam emosi korban. Ada upaya untuk memberikan korban pada posisi struktural atau jabatan di eksekutif. Ada upaya berkompromi dengan militer.

Soeyono meyakini bahwa peristiwa 27 Juli merupakan dampak dari rivalitas dua srikandi kembar-Megawati Soekarnoputri dan Siti Hardijanti Rukmana-di panggung politik. Rivalitas ini lalu berdampak pula pada polarisasi di tubuh militer untuk berlomba mendekati Cendana. Ada militer yang mendukung Megawati. Tapi ada pula yang mendekat ke Siti Hardijanti.

Polarisasi di tubuh militer itu paling tidak tampak dari sikap militer yang kemudian saling menuding dan melempar tanggung jawab. (Lihat grafis). Sayang memang fakta baru itu sama sekali tak bisa diungkap pengadilan koneksitas. "Itu seharusnya dijadikan bahan penyelidikan lebih jauh oleh tim koneksitas," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Pengadilan koneksitas terjebak pada pembuktian formal, sangat jauh dari apa yang sebenarnya terjadi di panggung politik nasional menjelang tahun akhir kejatuhan Orde Baru. Korban pun mulai melupakan peristiwa yang telah meningkatkan popularitas partai dan ikut mendorong ke tampuk kekuasaan sekarang.

Pengungkapan kebenaran merupakan sebuah elemen penting untuk rekonsiliasi. Pengungkapan kebenaran adalah sesuatu yang penting untuk mencegah terjadinya apa yang disebut kejahatan kebisuan (the crime of silence). Perjuangan para korban seharusnya adalah perjuangan untuk melawan upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti. Masalahnya adalah bagaimana kebenaran akan bisa diungkapkan ketika semua elemen masyarakat, termasuk korban, tak mau lagi memedulikan masa lalu. Peristiwa 27 Juli tetap merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah politik Indonesia yang masih terpendam. (Wisnu Nugroho/ budiman Tanuredjo)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 3

Kompas, Senin, 02 Februari 2004 Partai Patriot Pancasila Tawarkan Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas - Partai Patriot Pancasila berpandangan bahwa bangsa Indonesia memerlukan rekonsiliasi nasional sebagai alternatif mengatasi krisis politik berkepanjangan akibat konflik antarkelompok kepentingan. Rekonsiliasi itu diharapkan dapat mempertemukan berbagai pandangan untuk bersama-sama membangun bangsa.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Patriot Pancasila Max Boboy kepada pers di sela-sela seminar "Pembekalan Caleg/Jurkam Partai Patriot Pancasila" di Jakarta, Jumat (30/1). "Selama kita masih terus bertikai, bangsa ini akan terpuruk. Kalau mau mengangkat harkat bangsa ini, kita harus duduk bersama, mempertemukan berbagai pandangan untuk mengatasi masalah yang ada. Rekonsiliasi penting sebagai jalan tengah," katanya.

Ia menambahkan, rekonsiliasi perlu diwacanakan tidak hanya sebagai jargon politik, tetapi tindakan nyata. "Rekonsiliasi itu tidak bisa dilakukan di mulut saja, tapi dalam tindakan kita main hujat-hujatan. Rekonsiliasi harus dilakukan dengan total, tulus, dan dilandasi tekad bulat. Kita harus punya keberanian untuk mengakhiri segala pertikaian ini," katanya.

Max mengakui bahwa partainya belum memutuskan detail konsep rekonsiliasi, tetapi dia ingin menanamkan semangat belajar pada proses rekonsiliasi di Afrika Selatan. "Nelson Mandela pernah dipenjara selama 27 tahun. Namun, setelah bebas dan menjadi Presiden Afsel, Mandela malah mengangkat mantan Presiden FW de Klerk yang telah memenjarakannya sebagai wakil presiden. Sipir penjara pun hadir di sisinya ketika pelantikan presiden. Itu langkah luar biasa," katanya.

Seharusnya bangsa Indonesia juga bisa menghilangkan semua perbedaan, diskriminasi, dendam, dan segala bentuk permusuhan. "Kita tidak bisa menyamakan visi dengan melihat sisi buruk dari kelompok lain. Cobalah kita lihat kebaikannya. Misalnya, apa yang dilakukan Orde Baru selama 32 tahun tidak semuanya buruk karena ada juga yang baik, seperti pembangunan berbagai fasilitas umum. Hasil yang baik ini yang perlu dipelihara," katanya. (K07)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 4

Harian Suara Pembaruan, 07 Februari 2004 Belajar Menyelesaikan Konflik Agraria dari Afsel Dalam masalah pembaruan agraria, Indonesia dan Afrika Selatan memiliki berbagai kesamaan, yaitu mewarisi ketimpangan dalam distribusi dan penguasaan dari rezim sebelumnya. Indonesia, terutama, mewarisi rezim Soeharto, dan Afsel mewarisi rezim diskriminatif Apartheid. Keduanya juga mempunyai pengalaman masa transisi menuju demokrasi yang relatif sejajar yang mewarnai usaha pembaruan agraria. Tantangan untuk menghadapi persoalan itu juga dijawab oleh kedua negara dengan program reformasi agraria. Perbedaannya bahwa Afrika Selatan telah bergerak begitu jauh, sementara di Indonesia program ini masih sekadar "program ludah" alias masih tahap dibicarakan. Payung hukum (Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) telah ada, tetapi belum ada tanda-tanda akan diimplementasikan. Oleh karena itu, sebelum Komnas HAM, HuMA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Pokja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) menyelenggarakan lokakarya tentang Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria beberapa waktu lalu di Carita, Banten, ada upaya untuk melakukan studi di Afsel. Dianto Bachriadi dari KPA yang ikut ke Afsel mengungkapkan bahwa ada baiknya Indonesia juga mengambil pengalaman negara di ujung bawah benua tersebut. Agrarian and Land Reform Programme di Afsel ditopang oleh tiga program, yaitu Land Restitution, Land Distribution, dan Tenure Reform. Dalam proses penyelesaian konflik agraria yang bertujuan memulihkan hak seseorang atau kelompok atas mereka dijalankan dalam program Land Restitution. Rezim Apartheid di Afsel telah menerapkan kebijakan diskriminatif rasial yang membedakan masyarakat ke dalam golongan orang kulit putih (whites), orang kulit berwarna (colored), orang Asia (Asian), dan orang kulit hitam (black). Akses terhadap tanah dibatasi dengan peraturan, seperti Native Land Act, tahun 1913. Diskriminasi itu berkembang dengan penetapan alokasi wilayah (tinggal dan tempat bekerja) berdasarkan kelompok ras yang dituangkan dalam Group Areas Act tahun 1950. Aturan itu bahkan menetapkan penduduk berkulit hitam yang merupakan penduduk asli dan mayoritas hanya diberi hak atas tujuh persen dari seluruh wilayah Afsel. Sisanya (97 persen) merupakan bagian orang kulit putih. Kelompok ras lainnya bisa memiliki tanah dengan membeli dan memenuhi berbagai persyaratan. Pada tahun 1936 perubahan Native Land Act (1936) memberi ruang yang sedikit lebih luas untuk kulit hitam menjadi 13 persen. Aturan ini mendorong terjadinya penggusuran besar-besaran terhadap orang kulit hitam sebagai pemandangan sehari-hari. Sejak 1913 ribuan kasus penggusuran terjadi di negeri itu. Begitu parahnya masalah agraria ini, program pembaruan agraria juga menjadi simbol bagi gerakan kemerdekaan Afsel yang dimotori oleh Kongres Nasional Afrika (ANC), bahkan program ini dijamin dengan konstitusi baru mereka. Land Restitution di Afsel Dianto Bachriadi mengungkapkan bahwa selama kebijakan diskriminatif itu, terdapat sekitar 3,5 juta orang dan keturunannya yang menjadi korban penggusuran. Ini membuat program restitusi tanah sangat strategis dalam program penyembuhan sosial dan rekonsiliasi di negara itu. Program ini mulai bekerja tahun 1994 setelah keluar Restitution of Land Rights Act 22/ 1994. Dalam program ini ada pihak yang mengajukan tuntutan (rakyat), pemerintah yang dituntut, komisi restitusi yang pemroses tuntutan dan memberi penilaian atas bentuk ganti rugi, dan Pengadilan Tanah yang memberi putusan dengan kekuatan hukum. Meskipun pemerintah yang dituntut dan memberi ganti rugi menunjukkan ada pergantian kekuasaan yang relatif damai, pihak lain yang diuntungkan dalam penindasan di masa lalu tidak dikenai hukuman apa pun. Perkecualian dilakukan, jika yang bersangkutan terlibat dalam pelanggaran lain yang terkait dalam bidang yang dikerjakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Proses restitusi ini melalui tahap pengajuan dan registrasi klaim, seleksi dan kategorisasi klaim, penentuan kualifikasi dan tuntutan, proses negoisasi, pengambilan keputusan dan pelaksanaan keputusan. Keputusan yang terjadi bisa berupa pengembalian tanah terhadap pihak yang menuntut, memberikan tanah di lokasi lain sebagai ganti, memberi ganti berupa uang, atau pemberian lain yang menyertai tiga ganti rugi tersebut. Harga tanah disesuaikan dengan harga pasar.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 5

Klaim-klaim yang bisa diajukan dalam program restitusi ini dibatasi pada kasus yang terjadi setelah 19 Juni 1913. Kasus sebelum itu tidak bisa diajukan dalam program ini. Alasannya, kejadian penghilangan hak atas tanah yang bisa diajukan adalah yang terjadi sebagai akibat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Dan tanggal tersebut merupakan awal berlakunya Native Land Act. Pada tiga tahun pertama program ini berjalan sangat lambat. Tercatat ada sekitar 16.000 klaim yang masuk, hanya ada lima klaim yang bisa diproses ke pengadilan tanah, dan itu pun hanya satu klaim yang bisa diratifikasi oleh pengadilan. Hasil yang mengecewakan ini mendorong perubahan hubungan kerja antara Komisi Restitusi dan Departemen Pertanahan (Department of Land Affairs). Namun dalam satu tahun berikutnya juga hanya ada delapan klaim yang bisa diselesaikan. Masalah ini kemudian mendorong dibentuknya National Land Committee yang mendorong perubahan kebijakan. Tahun 2000 diputuskan menteri Land Affairs berwenang mengambil keputusan hukum atas hasil kerja komisi restitusi. Keberatan-kebenaran atas keputusan itu bisa diajukan sebagai banding ke pengadilan tanah atau selanjutnya ke pengadilan tertinggi, mahkamah konstitusi. Perubahan ini memberikan hasil yang lebih baik dari sebelumnya, dan sekitar 45.000 klaim bisa diselesaikan hingga November 2003 dari sekitar 68.000 klaim. Klaim tanah di perkotaan mencapai 39.000 lebih, sebanyak 22.500 lebih memperoleh penggantian berupa uang, dan sekitar 14.150 yang mendapat ganti tanah. Klaim tanah pedesaan mencapai 5.900 lebih, yang diganti tanah sekitar 2.600, dan ganti uang sekitar 3.300 klaim. Terlepas dari Land Reform Program restitusi di Afsel ini memang telah membuahkan banyak hasil, namun bukan berarti bahwa program ini bebas dari catatan yang mengkritik. Sebagai program mandiri dalam upaya menyelesaikan konflik, program ini memang menunjukkan hasil yang lumayan besar. Namun sebagai salah satu kaki dari tiga kaki untuk tumpuan Agrarian and Land Reform Programme, apa yang dicapai belum sepenuhnya memenuhi sasaran. Tujuan program ini sendiri mempunyai dua hal yang penting, yaitu memulihkan atau mengembalikan hak atas tanah orang atau kelompok orang yang tergusur sejak 1913, dan yang kedua mendorong terciptanya keadilan dan rekonsiliasi. Kalau dilihat lebih cermat bahwa ternyata lebih banyak konflik agraria diselesaikan dengan ganti rugi berupa uang, khususnya di perkotaan. Mungkin proses ini dinilai lebih mudah dibanding dengan penggantian berupa tanah. Tetapi hal itu menunjukkan bahwa perubahan menuju keadilan dalam penguasaan tanah tidak banyak dicapai. Kenyataannya dalam prosesnya program restitusi ini juga tidak semata-mata untuk menegakkan keadilan sosial, dan terjadinya redistribusi hak atas tanah, tetapi justru terutama ditujukan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Menurut Dianto, program restitusi tanah di Afsel memang membuahkan hasil dengan cukup banyak konflik agraria bisa diselesaikan. Namun masalahnya program ini seperti kehilangan hubungannya dengan land reform yang bertujuan menata ulang penguasaan atas tanah. Sebab tanah tetap dikuasai oleh mereka yang berkuasa sebelum program ini dijalankan, karena sebagian besar penggantiannya berupa uang. Penetapan harga disesuaikan dengan harga pasar juga tidak mencerminkan usaha penataan ulang atas tanah untuk mencapai keadilan sosial. Apa yang terjadi di Afsel tampaknya lebih banyak upaya untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi pada rezim Apartheid. Pemberian ganti rugi kepada pemegang hak yang dulu dirampas dinilai menyelesaikan konflik, tetapi proses transformasi, berupa land reform atau land distribution tidak cukup menonjol. Tampaknya hal ini terjadi karena kuatnya tekanan pebisnis, dan globalisasi ekonomi, dan sekaligus menunjukkan bahwa Afsel yang berusaha menerapkan paradigma traditional justice dan menghadapi kekakuan hukum, memang menghadapi tantangan yang besar. Pembaruan/Sabar Subekti Last modified: 5/2/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 6

Kompas, Sabtu, 14 Februari 2004 Keadilan dan Rekonsiliasi Oleh Abdurrahman Wahid

MINGGU lalu di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang-orang eks tapol dan napol, kasarnya orang-orang Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerakan Wanita Indonesia, yang dianggap sebagai perempuan PKI.

Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu disaksikan antara lain oleh SK Trimurti, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena mereka dituduh "terlibat" dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.

Dipimpin oleh dr Tjiptaning Proletariati, mereka membentuk Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena perikemanusiaan jugalah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).

Padahal waktu turut "berkuasa", PKI pernah berturut-turut memberikan cap pemberontak secara keseluruhan kepada (mantan) orang-orang DI/TII itu. Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan bahwa orang-orang itu tadinya direkrut oleh Kartosuwiryo dengan menggunakan nama DI/TII tersebut karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Perekrutan dilaksanakan guna menghindarkan kekosongan di Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat perjanjian Renville yang mengharuskan terjadinya hal itu.

Seorang pembaca menyanggah "catatan" penulis itu karena di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi "penasihat militer" Jenderal Soedirman karena lebih pantas kalau ia adalah penasihat politik. Pembaca itu tidak tahu bahwa penasihat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri KH A Wahid Hasyim. Karena itu, simpati penulis kepada mereka juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada mantan orang-orang PKI.

DI sini penulis ingin menekankan bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apa pun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok mana pun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar dengan penduduk 205 juta lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan dan tidak "menghukum" mereka yang tidak bersalah.

Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang lain di balik pengeboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200 jiwa. Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa "pengakuan" tersebut. Namun, hal ini tidak dilakukan. Karena itu, hingga saat ini kita tetap tidak tahu adakah pendapat Amrozi itu sendiri fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakkan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif perikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau kita menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinnekaan atau keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 7

Sebagai contoh dapat dikemukakan Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai "biang kerok" terorisme di negeri kita saat ini. Pengadilan pun lalu menjatuhkan hukuman empat tahun penjara, yang sekarang sedang dijalaninya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang di Jakarta Timur. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah, tetapi kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data-data yang "tidak pasti" (unreliable) digunakan dalam mengambil keputusan.

Ini juga terjadi karena memang pengadilan-pengadilan kita memang penuh dengan "mafia peradilan", maka kita tidak dapat diyakinkan oleh "kepastian hukum" yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung terus "diragukan" apa pun bunyi keputusan itu. Tidak heranlah sekarang kita mengalami "kelesuan" dalam menegakkan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri karena langkanya kepastian hukum tadi.

SEBUAH kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen) adalah pahlawan yang memerangi bala tentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika kabinet Hatta memutuskan "rasionalisasi" TNI atas usul Jenderal Besar AH Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI haruslah berijazah dan ijazah hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk pesantren), maka Kyai kita itu tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo dan sebagai gantinya diangkat seorang perwira muda bernama A Yani. Akibatnya, Kyai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal tahun-tahun 1950-an, namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai sampai hari ini.

Hal-hal seperti ini masih banyak terjadi/terdapat di negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang-orang mantan narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol) PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami betul ideologi mereka itu. Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap, baik orang-orang PKI maupun orang-orang DI/TII, sebagai "lawan yang harus diwaspadai".

Penulis justru beranggapan bahwa orang-orang mantan PKI itu sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai "kezaliman-kezaliman", justru pernah mereka lakukan saat "berkuasa". Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan "yang adil" bagi semua pihak. Kalau "konglomerat hitam" dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak dapat melakukan hal seperti itu pada orang-orang mantan PKI dan DI/TII?

Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Di sinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru meminta kepada kita agar "melupakan" apa yang terjadi 40-50 tahun yang lalu. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan.

Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan bukan? Abdurrahman Wahid Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 8

Kompas, Sabtu, 28 Februari 2004 Kisah Rekonsiliasi Oleh Bambang A Sipayung

ARTIKEL Sulastomo menyampaikan mimpi generasi tua dengan pengalaman konflik kekerasan tahun 1965 kepada generasi sekarang (Kompas, 17/01). Menurutnya, "generasi sekarang memikul tanggung jawab terhadap terwujudnya rekonsiliasi."

Mengapa generasi sekarang harus memikul tanggung jawab peristiwa pembunuhan tahun 1965? Di manakah tanggung jawab generasi lama, generasi Sulastomo (HMI), Hardoyo (CGMI), Cosmas (PMKRI), dan elemen mahasiswa masa itu? Bertanggungjawabkah menyampaikan mimpi ini kepada generasi sekarang gara-gara kini demokrasi sedang merebak?

Aneka pertanyaan itu menunjukkan posisi saya sebagai generasi sekarang. Apa yang terjadi tahun 1965 bagi saya tidak kompleks karena informasi yang disampaikan di sekolah adalah sejarah hitam–putih. PKI adalah the bad guy, ABRI the good guy. The bad guy perlu ditumpas agar kejahatan tidak muncul lagi di Indonesia.

SASAKI Shiraishi dalam Young Heroes mengajukan argumentasi soal pembajakan idiom dan istilah keluarga untuk kepentingan politik hitam–putih Orde Baru (Orba). Orba membajak kata bapak–ibu–anak untuk menekankan kepatuhan dan ketaatan kepada penguasa. Seorang pemberontak dan pengkritik, seperti anak nakal, akan kehilangan perlindungan dan kasih sayang dalam keluarga. Dengan cara ini, PKI dilukiskan sebagai anak nakal yang lari dari kasih sayang dan perlindungan bapak.

Anak-anak dengan perkembangan psikis masih hitam–putih, lebih mudah dibajak guna kepentingan politik orang dewasa. Pembajakan ini dilakukan di medan perang guna menjadikan anak-anak sebagai pion. Buku Adult Wars, Child Soldiers melukiskan bagaimana anak-anak dimanfaatkan sebagai serdadu di medan perang.

Dengan cara ini, kita mewariskan kebencian, permusuhan, dendam, mencari kesalahan, ketakutan, dan kambing hitam. Saat kekuatan Orba tak lagi kuat, dirayakan pesta perbedaan, keberagaman, sekaligus warisan antagonisme, permusuhan, kebencian, dan dendam. Kita terperangkap spiral kekerasan yang menuntut balas.

Perayaan kegembiraan perbedaan ialah dambaan akan cengkeraman kekuasaan. Kebebasan dan ketidakpastian menjadi hantu yang membuat kita takut dan parahnya rindu akan selimut hangat kekuasaan.

DALAM proses rekonsiliasi, salah satu ketakutan ialah mengingat apa yang terjadi. Kesediaan untuk memaafkan tidak mungkin terjadi tanpa mengingat apa yang terjadi dan mendengar penderitaan akibat tindak kekerasan. Sebagai generasi yang mengalami kompleksitas peristiwa 1965, tentu penting bagi generasi tua mengisahkan apa yang terjadi. Mendesak mendengar kisah korban peristiwa 1965, anggota PKI, mereka yang dituduh PKI, simpatisan PKI dan korban kekerasan lain.

Menurut Jeniffer Llewelyn dalam Restorative Justice, rekonsiliasi memberi prioritas kepada penderitaan korban. Bukan sekadar mencari dosa dan kesalahan. Korban adalah orang yang secara langsung menerima akibat tindak kekerasan. Fokus kepada mereka akan membuat lingkaran setan kekerasan, kekeliruan yang terjadi dalam proses hidup bersama dan keadilan yang disuarakan.

Sering terjadi, tendensi umum melupakan apa yang telah terjadi. Membiarkan korban berkisah dianggap memutarbalikkan fakta, membangkitkan dosa, mencuci tangan dari dosa sendiri, dan memanfaatkan keadaan. Sisanya, kontroversi, saling tuduh, dan kelanjutan perkelahian. Jika tidak reaktif, cuek, dan tidak peduli.

Rekonsiliasi dengan melupakan atau mencuekkan penderitaan korban bagai menggantang asap. Yang disajikan kisah susah payah atau sukses orang yang keluar sebagai pemenang. Sekali lagi, the good guy tampil dengan kisah kebenarannya.

Mimpi Sulastomo dan generasi terdahulu akan punya kaki dan harapan bagi generasi sekarang, bila disertai pengakuan akan kegagalan atau kesalahan mencegah penderitaan korban. Ini akan menjadi pendidikan rekonsiliasi yang bermanfaat. Bukan mencari kesalahan, tetapi berbesar hati mengakui kesalahan. Dengan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 9

begitu, kami belajar dari generasi terdahulu untuk berbesar hati mengakui kegagalan/kesalahan, bijaksana menyikapi perbedaan, dan minta maaf atas kesalahan.

Bambang A Sipayung Mahasiswa S-2 Teologi Sanata Dharma, Yogyakarta

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 10

Kompas, Rabu 03 Maret 2005 Visi Parpol dan Penyelesaian Masa Lalu Bangsa

PEMEO Jawa mikul dhuwur, mendhem jero yang sering dikutip para penguasa tidak berlaku dalam penyelesaian masa lalu bangsa. Kalimat yang berarti "memikul tinggi dan memendam dalam" itu bisa diartikan sebagai "memaafkan dan melupakan" berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di negeri ini pada masa lalu.

SUATU bangsa tak bisa berjalan dengan luka-luka yang terus menganga. Impunity dan penyangkalan akan menyebabkan pola kekejaman yang sama cenderung berulang karena pelakunya dimungkinkan bebas tanpa proses pengadilan. Penyangkalan juga membuat bangsa ini tak bisa melangkah ringan ke depan dan besar kemungkinan semakin sulit tegak sebagai bangsa yang sehat.

Demikian benang merah perbincangan dengan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Salahuddin Wahid; Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM Timor Timur, Rudi Rizki SH LLM, dan Dr Daniel Sparringa dari Departemen Sosiologi Fisip, Universitas Airlangga, Surabaya.

Seperti pernah dikemukakan oleh Prof Bernard T Adeney-Risakotta, ahli etika dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, "warisan" yang paling besar mungkin adalah peristiwa G30S tahun 1965. Kesalahan ini harus diakui, bukan untuk membenarkan PKI, tetapi untuk mengakui bahwa pernah dilakukan kekejian yang luar biasa terhadap bangsa sendiri.

Mengakui kekejaman di masa lalu dan memberikan keadilan semaksimal mungkin serta mengembalikan hak-hak hidup korban dan keluarganya merupakan jalan keluar yang ditawarkan oleh Sparringa, Rizki, dan Wahid. Artinya, menurut Wahid, penyelesaiannya tidak bisa parsial, tetapi menyeluruh secara politik, hukum, ekonomi, sosial, dan psikologis.

"Pada banyak korban, hukuman sosial telah ditimpakan dan harus terus dipanggul sepanjang hidup," ujar Wahid. Misalnya, meski Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan eks tapol G30S boleh jadi caleg, stigma buruk eks tapol dan keluarganya di masyarakat tidak hilang begitu saja.

Mekanisme penyelesaian itu dibangun dengan mempertimbangkan contoh-contoh di negara yang menjalani transisi menuju demokrasi. Tidak ada satu pun mekanisme atau pola yang bisa diadopsi begitu saja karena tingkat korupsi dan perbedaan-perbedaan tajam, baik di bidang politik maupun budaya, serta seluruh latar belakang pelanggaran berat HAM.

SAYANGNYA, sebagian parpol tampak tidak memahami keterkaitan masa lalu dengan masa depan suatu bangsa. Ada yang mencoba mereduksi pelanggaran berat HAM masa lalu dengan membandingkannya dengan negara lain dan menyatakan Indonesia masih "jauh lebih baik". Seorang pemimpin partai politik bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Hal ini tampak dengan jelas dalam diskusi publik mengenai HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM.

Padahal, peristiwa 1965- 1966, misalnya, seperti dikutip dari Jurnal Afkar (edisi No 15 Tahun 2003) yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, merupakan tragedi kemanusiaan yang paling kelam dalam sejarah modern Indonesia.

Jumlah korban jiwa peristiwa itu masih gelap. Angka yang mengemuka adalah antara 500.000 (hasil investigasi tim Oey Tjoe Tat alm) dan 2 juta (angka yang pernah dituturkan oleh Jenderal Sarwo Edhie alm). Selain itu juga penahanan aktivis politik di kamp Pulau Buru (1969-1979).

Yang banyak menjadi korban adalah rakyat yang sama sekali tak punya kaitan dengan PKI. "Kalaupun PKI, adakah untuk menghabisi, menyiksa, menghukum tanpa proses pengadilan dan kemudian merampas hak hidup mereka dan keluarganya?" begitu kerap diungkapkan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Warman Adam.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 11

Pola kekejaman yang sama dilakukan terhadap para korban pelanggaran berat HAM lainnya yang terjadi tahun 1965-1998. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat peristiwa pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983); pembunuhan misterius terhadap kaum kriminal di berbagai kota (1983-1986).

Kemudian, peristiwa Tanjung Priok (korban kelompok Muslim, Jakarta, 1984); penangkapan dan penyiksaan Kelompok Usro (korban aktivis Muslim, 1985-1988, terutama di Jawa); peristiwa Lampung (korban kelompok Muslim, Lampung, 1989); penyiksaan dan pembunuhan terhadap jemaat HKBP (korban kelompok Kristen, 1992-1993); Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (korban kelompok Muslim, 1993); pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993); Operasi Militer II di Aceh (1989-1998); pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995).

Selanjutnya adalah peristiwa 27 Juli (korban simpatisan dan warga PDI, 1996, khususnya di Jakarta); kerusuhan Mei (1998, korban rakyat sipil, khususnya warga Tionghoa); Tragedi Trisakti (1998, mahasiswa), Tragedi semanggi I dan II (mahasiswa dan rakyat sipil), kasus Timor Timur (korban rakyat sipil), serta pelanggaran berat HAM yang terus terjadi di Aceh dan Papua hingga saat ini.

Karena itu, visi parpol mengenai masa lalu, menurut Wahid, sangat penting. "Dalam Pasal 43 UU No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM dinyatakan, kasus-kasus yang masuk ke pengadilan HAM harus dimintakan persetujuan DPR," ujarnya. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat melalui partai politik.

Beragamnya kelompok korban sebenarnya merupakan kekuatan bersama untuk menegakkan kebenaran dari versi korban dan menuntut keadilan. Akan tetapi, ternyata kecenderungan partai politik untuk memandang korban dari cara pandang yang bias kelompok dan agama belum bisa dihapus.

Ini mengemuka dalam diskusi publik tersebut. Martono dari Universitas Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi salah satu pembahas dari pemaparan visi parpol mengenai HAM, menyesalkan tanggapan dingin pengurus cabang suatu partai politik di Papua menanggapi pelanggaran berat HAM di wilayah itu. "Tidak ada kelompok kami yang menjadi anggota GPK," ujar Martono menirukan ucapan pengurus parpol dan menujukannya langsung kepada perwakilan parpol yang sama.

DANIEL Sparringa yang dihubungi secara terpisah menambahkan, pijakan politik parpol mengenai pelanggaran HAM masa lalu sangat menyedihkan. Situasi ini sebenarnya merefleksikan apa yang terjadi di dalam masyarakat.

Masyarakat, menurut Sparringa, untuk waktu yang lama dihilangkan kemampuannya untuk secara reflektif melihat sejarah sebagai pengalaman kolektif bangsa karena proses hegemoni yang luar biasa. "Ada jurang yang sangat dalam antara sejarah yang dikonstruksikan oleh Orde Baru dengan sejarah yang didasari oleh pengalaman hidup korban," ujar Sparringa. "Sejarah korban tak hanya didevaluasi, dimarjinalisasi, tetapi bahkan dibisukan. Itu yang menyebabkan banyak parpol menganggap pelanggaran berat HAM masa lalu itu tidak pernah terjadi."

Dengan situasi seperti itu, maka ketika terbuka ruang bagi elemen civil society-di antaranya adalah parpol-untuk mewarnai politik negara, mereka mengalami disorientasi, bahkan dislokasi tentang masa lalu. Akibatnya, parpol tidak mampu mengonstruksikan masa depan melalui visi dan misinya berdasarkan sejarah kolektif (korban) dan implikasinya.

Pelanggaran berat HAM yang tidak mendapat perhatian, menurut Sparringa, merupakan petaka karena tanpa disadari dapat mereproduksi apa yang buruk dari masa lalu dan tidak bisa menjamin terwujudnya "the future of never again". "Tidak membuat jera," sambung Solahudin Wahid. "Siap-siap saja akan terjadi lagi," ujar Rudi Rizki.

Hal lain yang berbahaya dari situasi ini, menurut Sparringa, adalah, "Ikatan yang paling sentimental tentang identitas kebangsaan terus terancam," ujarnya. Ia menyebut Aceh dan Papua sebagai contoh yang paling jelas.

Semua ini, sambung Sparringa, menyebabkan gambaran sebagian parpol tentang "Indonesia Baru" tidak menyentuh sebagian rakyat di negeri ini karena gambaran itu tidak merefleksikan pengalaman kolektif mereka. "Walaupun kelihatannya lupa, sebenarnya mereka tidak pernah melupakan pengalaman itu. Mereka bersikap

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 12

seakan-akan lupa karena tidak bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan ’mengapa’ yang terus bermunculan akibat pengalaman pahit mereka," ujarnya

Ketika banyak orang berusaha melupakan peristiwa pahit yang pernah terjadi, yang muncul adalah fenomena patologis, yang secara sosial mengakibatkan dis-ilusi. "Dan itu disebabkan oleh luka-luka yang tak tersembuhkan," lanjutnya.

Rudi Rizki menambahkan, pembentukan KKR dan Pengadilan HAM merupakan instrumen untuk menyelesaikan persoalan masa lalu secara politik dan hukum, namun Pengadilan HAM juga bukan hal yang mudah. "Mengadili pelaku yang masih punya keterkaitan dengan kekuasaan pada masa transisi jelas tidak mungkin," tutur Rizki.

Pengungkapan kebenaran juga tidak mudah. "Banyak orang berkeberatan dengan pengungkapan kebenaran. Padahal, itu penting bagi suatu bangsa untuk bercermin," ungkap Rudi Rizki. Keengganan mengungkap kebenaran-dan menyandarkan penyelesaian masa lalu hanya pada rekonsiliasi-juga tercermin dari pernyataan Wahid, "Rekonsiliasi harus dimulai. Tapi pengungkapan kebenaran sulit," katanya.

Sosialisasi yang tidak arif mengenai KKR memang berisiko memunculkan tiga penyangkalan baru, yakni penyangkalan kebenaran, penyangkalan melakukan tindak kekejaman, dan penyangkalan terhadap keadilan.

Karena itu, yang sangat penting, menurut pandangan Rizki adalah pendidikan publik yang terus-menerus dengan merevisi sejarah nasional dan penulisan sebanyak mungkin buku, pembuatan film serta dokumen dari perspektif korban untuk menetralisasi ingatan yang dipenuhi sejarah ciptaan rezim Orde Baru. "Seperti rangkuman kesaksian korban dalam Nunca Mas yang ditulis novelis Ernesto Sabato dari Brasil dan menjadi best seller," ujarnya. (Maria Hartiningsih)

Kompas,Senin, 08 Maret 2004 Dua Tonggak Menuju Rekonsiliasi

TANPA terasa, di tengah hiruk-pikuk pemilu, sebagian anak bangsa mulai menancapkan dua tonggak besar. Dua tonggak untuk menuju apa yang disebut elite politik sebagai rekonsiliasi nasional. Dua tonggak tersebut, yakni dikokohkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Februari 2004 dan ikrar perdamaian anak bangsa, Jumat 5 Maret 2004. Menariknya, dua tonggak besar itu diprakarsai langsung oleh anak bangsa, tanpa ada keterlibatan elite politik, yang kini sedang bersiap-siap berkampanye.

KEDUA peristiwa itu memang menimbulkan perasaan yang berbaur. Ada yang pro. Ada yang kontra. Putusan sembilan hakim konstitusi-seorang hakim konstitusi Letjen (Purn) Achmad Rustandi tidak sependapat- telah memulihkan hak konstitusional eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi calon anggota legislatif. Dua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Putusan itu merupakan terobosan besar bagi bangsa untuk menuju rekonsiliasi. Meski demikian, ada beberapa komponen bangsa yang mengecam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Peristiwa kedua adalah ikrar perdamaian anak-anak bangsa. Ikrar perdamaian yang diprakarsai Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) ini telah menyatakan ikrar perdamaian sesama anak bangsa. Ikrar perdamaian itu disampaikan Amelia A Yani (putri dari pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani), Ilham Aidit (putra dari Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit), Sarjono Kartosuwirjo (putra Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra Marsekal Omar Dani), Ahmad Zahedi (cucu Teungku M Daud Beureuh), Mochamad Basyir (cucu HOS Tjokroaminoto), dan Yap Hong Gie (putra Yap Thiam Hien).

"Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami dan di antara segenap warga negara Indonesia," kata Sarjono Kartosuwirjo membacakan ikrar. Melalui FSAB, ia dan teman-teman yang selama ini terpinggirkan merasa mendapatkan tempat.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 13

Direktur FSAB Suryo Susilo merasa bahagia dengan ikrar dan terbentuknya forum yang mewadahi dan mempersatukan keluarga TNI, PKI, Darul Islam, dan komunitas Tionghoa. "Beberapa tahun lalu, hampir tidak mungkin kita membayangkan pertemuan dan persatuan mereka yang secara ideologis bertentangan," kata Suryo.

Rekonsiliasi akar rumput ini sungguh mengejutkan. Mayjen (Purn) Salamun yang mengaku ikut menguber dan mengawal anggota PKI ke Pulau Buru merasa terperangah. "Saya tak membayangkan ini bisa terjadi. Ini adalah permulaan dan jangan sampai berhenti," kata Salamun yang hadir dalam ikrar tersebut.

Meskipun tak ada elite parpol yang terlibat, sebagaimana diakui Suryo, ikrar perdamaian diucapkan terkait dengan kerinduan FSAB menyaksikan proses Pemilu 2004 yang jauh dari konflik dan kekerasan. "Jangan lagi mewariskan dendam dan konflik. Kami juga bertekad untuk tidak membuat konflik baru," ujar Suryo.

AKTIVIS hak asasi manusia (HAM) dari Imparsial, Rachland Nashidik, melihat dua peristiwa itu sungguh merupakan perkembangan positif dalam penyelesaian masa lalu bangsa. Dengan dua peristiwa itu, patron Afrika Selatan sebagai model penyelesaian yang selama ini diyakini elite politik Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.

Dari putusan MK 24 Februari 2004 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kembali hak-hak korban (rehabilitasi, restitusi, dan reparasi) tidak perlu harus didahului dengan hak korban atas keadilan (right to justice) dan hak korban untuk mengetahui (right to know). Korban terbukti bisa berjuang sendiri untuk mendapatkan kembali hak konstitusionalnya.

Putusan MK tersebut bisa ditempatkan sebagai constitutional justice. Putusan MK itu telah mengoreksi ketidakadilan konstitusional yang diderita eks anggota PKI untuk menjadi calon anggota legislatif. "Jadi, hak konstitusional korban telah bisa diperoleh tanpa harus melalui pengungkapan kebenaran dan pemberian amnesti," kata Rachland.

Putusan MK itu seakan mematahkan tesis yang selama ini diyakini bahwa rekonsiliasi baru bisa dilakukan setelah ada pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, dan pemberian amnesti, sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan. "Model Afrika Selatan terbukti tidak berjalan di Indonesia," kata Rachland yang banyak mendalami soal-soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Ikrar perdamaian antar-anak bangsa, menurut Rachland, juga juga menunjukkan kearifan anak bangsa yang sama-sama menjadi korban untuk menghentikan permusuhan. "Itu adalah rekonsiliasi sesama korban. Pertemuan itu seakan memberikan definisi rekonsiliasi sebagai pemulihan kesalahpahaman antarsesama masyarakat menuju masyarakat baru.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara saat menyampaikan sambutan dalam acara FSAB mengatakan, rekonsiliasi adalah sebuah usaha besar secara sadar untuk berhadapan dan bahkan masuk mengolah masa lalu sebuah bangsa yang traumatik. Suatu usaha untuk menghubungkan antara politik memori dan pertanggungjawaban. "Sayangnya, konsep rekonsiliasi dipergunakan dengan pengertian yang amat harfiah, untuk kepentingan politik sesaat, sehingga justru sarat dengan pengertian yang bagi korban khususnya korban kekerasan masa lalu, sangat mencurigakan," kata Abdul Hakim.

Bahkan, saat ini, menurut Abdul Hakim, rekonsiliasi diartikan melupakan masa lalu, membiarkan tidak adanya pertanggungjawaban dan menyangkal adanya kekerasan pada masa lalu.

BERANGKAT dari peristiwa itu, menurut Rachland, paradigma restorative justice yang dikembangkan draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), seyogianya disesuaikan. Paradigma restorative justice mengedepankan perlunya harmoni sosial dan mengebelakangkan sosial dan legal justice.

Dengan adanya dua peristiwa itu, kata Rachland, RUU KKR harus diarahkan menuju terpenuhinya hak korban untuk mengetahui dan hak korban untuk mendapatkan keadilan. KKR harus mampu mengungkapkan kebenaran dalam sebuah peristiwa. Korban mempunyai hak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan siapa

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 14

sebenarnya yang harus bertanggung jawab. Setelah korban mengetahui, dia bisa memberikan maaf dan ampun. Dan setelah ada pengungkapan kebenaran, kita bisa menatap ke masa depan.

Dalam perspektif Rachland, RUU KKR yang sedang dibahas DPR-namun tak tahu kapan akan selesai karena DPR reses dan segera dilangsungkan pemilu-seharusnya menggunakan paradigma retributive justice. Paradigma ini mendorong terbentuknya moral society yang mampu melakukan upaya-upaya agar pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di masa depan. Dalam konteks itu, pemberian keadilan kepada korban harus menjadi yang utama.

Bagi Rachland, pengungkapan kebenaran adalah hal yang esensial yang penting. "Memang kita harus menyimpan masa lalu ke belakang dan menerimanya sebagai bagian dari sejarah. Akan tetapi, kita harus tahu apa sebenarnya yang terjadi pada masa lalu guna menata masa depan yang lebih baik," kata Rachland.

Ingatan sosial itu sangat penting. Sebagaimana ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, sebuah bangsa tanpa ingatan sosial adalah sebuah bangsa tanpa masa depan. Melanggengkan ingatan sosial adalah upaya untuk mencegah repetisi kekerasan.

Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis dan melukai ingatan sosial.

Untuk itu, monumen-monumen untuk melanggengkan ingatan bangsa diperlukan agar generasi baru bangsa mengetahui sejarah bangsa ini.

Sebagaimana dikatakan Abdul Hakim, tidak melupakan bukan berarti meminta korban untuk meratapi kepedihan akibat kekerasan masa lalu. Tidak melupakan berarti menghargai keyakinan korban bahwa sesuatu memang terjadi pada masa lalu. Sebaliknya, mengajak korban melupakan masa lalu, berarti memperlakukan mereka seolah-olah tidak ada kesalahan besar di masa lalu.

Generasi baru bangsa harus mengetahui bahwa di Tanah Air ini pernah terjadi pembantaian pada tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok 1996, kerusuhan Mei 1998, yang telah memakan ribuan korban jiwa. Pengetahuan itu bukan untuk membuka luka lama, tapi justru untuk mencegah agar peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang. (Budiman Tanuredjo) Gusdur.net-Jumat 12 Maret 2004 Rekonsiliasi Mengapa Tak Mau? Oleh: Tom S.Saptaatmaja Bagi siapapun yang mencintai kemanusian dan kerukunan antar sesama warga bangsa, tentu bahagia melihat beberapa perkembangan terakhir, seperti keputusan Mahkamah Konstutusi yang Rabu (25/2) menyatakan Pasal 60(g) UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Kita juga bangga mendengar niat Komnas HAM untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap seluruh peraturan perundangan yang diskriminatif, seperti TAP MPRS No XXV Tahun 1966.Kita juga layak menyambut gembira pertemuan Amelia Yani, putri mendiang Jendral Ahmad Yani dengan Ilham Aidit dkk yang tergabung dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Hotel Hilton Jakarta (5/3). Sayang sekali, masih ada pihak yang justru tidak gembira melihat beberapa perkembangan terakhir ini. Ketua Paguyuban Korban Orde Baru dr Ribka Tjiptaning Proletariyati menilai keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai keputusan terlambat.Ketika mengomentari rencana Komnas HAM, anggota Panitia Ad Hoc (PAH) II MPR Hajriyanto Y.Tohari berkomentar MPR tidak akan mengagendakan pencabutan TAP MPRS No XXV Tahun 1966. KH Jusuf Hasyim malah berniat menggalang kekuatan menolak caleg eks PKI. Nah, respons seperti itu jelas megindikasikan bahwa ternyata masih ada persoalan masa lalu yang belum tuntas diselesaikan sampai saat ini. Padahal dalam opini “Keadilan dan Rekonsiliasi”, Abdurrahman Wahid menekankan :”Konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok manapun”(Kompas 14/2). Ternyata memang harus diakui sebagai bangsa kita masih belum begitu kuat benar, karena masih terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Buktinya lagi, sampai saat ini yang namanya rekonsiliasi (ishlah) masih

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 15

menjadi ide yang melayang-layang di meja DPR, padahal para anak korban atau pelaku dari masa lalu yang tergabung dalam FSAB sudah memberi contoh. ”Jika kita bisa berdamai, mengapa yang lain tidak bisa”, kata mereka seperti dikutip Kompas (6/3). Sampai saat ini baru delapan Fraksi siap membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Yang memprihatinkan, tak jarang gagasan untuk rekonsiliasi itu sendiri justru dicurigai baik oleh pihak yang merasa sebagai ‘korban’, maupun oleh pihak yang dianggap sebagai pelaku peristiwa masa lalu. Sastrawan kelas dunia Pramoedya Ananta Toer misalnya bertanya “Untuk apa rekonsiliasi? Tak ada gunanya”. Malah ketika menjabat presiden, Abdurrahman Wahid yang merupakan pejuang HAM sejati pernah ditertawakan, karena meminta maaf pada para korban akibat peristiwa 30 September 1965 (Dalam acara Secangkir Kopi Dengan Gus Dur TVRI 12/3/2000). Jadi agaknya ada dilema besar untuk mewujudukan rekonsiliasi. Masing-masing pihak merasa jadi korban dan kesalahan tidak terjadi pada pihak ‘saya’. Tapi apa sebenarnya yang menjadi ‘raison d’etre’ sampai kita begitu susah untuk rekonsiliasi, padahal kalau kita tilik sebagian besar dari kita mengklaim sebagai umat beragama. Sepertinya ada diskrepansi antara kemulian ajaran agama dengan praksis hidup umat beragama. Sementara agama manapun mengajarkan nilai-nilai cinta untuk sesama, sedangkan dalam praksis hidup, kita tidak percaya pada kekuatan cinta. Sebaliknya, lebih banyak yang tertarik dengan filosofi eksistensialis Prancis JP Sartre bahwa “l’enfer, c’est l’autret” atau “orang lain adalah neraka”. Memang Sartre menyadari bahwa setiap orang dalam hidupnya pasti mengenal cinta. Tetapi cinta-dalam hemat Sartre- tak beda dengan modus operandi licik demi menguasasi kemerdekaan orang lain dalam bentuk yang sangat halus. Cinta dalam perspektif Sartre tak beda jauh dengan masokisme demi membelenggu kemerdekaan orang lain dan diri sendiri mereguk nikmat. Itu agaknya yang diyakini Pram atau siapapun yang enggan diajak rekonsiliasi. Budayawan dan jurnalis gaek Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa pada dasarnya mentalitas orang Indonesia itu suka membenci dan mendendam. Di bawah garis pemikiran Sartre, kiranya mudah dipahami bahwa semangat membenci dan mendendam yang berwujud dalam kegemaran akan konflik dan anti rekonsiliasi memang merupakan definisi hubungan antar manusia di negri ini; tiap orang selalu berusaha membinasakan orang lain seperti terjadi dalam Tragedi 1965. Malah menurut sejarawan Anhar Gonggong, dalam talkshow Bincang Sabtu bertajuk “Kembalinya Para Politisi Eks PKI” (Trijaya Network 28/2) ternyata sepanjang 58 tahun ini, masing-masing komponen bangsa, juga antara pemerintah dengan rakyat Indonesia bisanya cuma saling menyakiti. Sebenarnya dalam konteks Indonesia yang masih paternalistik, warga kebanyakan tidak mutlak bisa dipersalahkan, mengingat mereka sering hanya menjadi figuran saja dalam permainan berbahaya bernama konflik sosial seperti Tragedi 1965. Karena sebenarnya menurut Dr.Haryatmoko, pengajar filsafat UI dan IAIN Sunan Kalijaga Yogya, yang lebih bertanggungjawab dan layak dipersalahkan dalam hal ini adalah para ‘demagog’ kebencian. Demagog berasal dari kata Prancis “demagogue” yang berarti orang yang suka menghasut, lalu mempermainkan emosi massa sambil menyebarkan kebencian demi kepentingannya sendiri. Dengan menciptakan beragam argumentasi, para demagog kebencian itu selalu bisa menciptakan kambing hitam untuk bisa dijadikan sasaran. Yang memprihatinkan, jika agama yang suci diperalat untuk memberi landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Akibatnya seperti dikatakan Goenawan Mohamad, orang ingin masuk surga tetapi justru dengan menciptakan neraka bagi sesama. Para demagog tentu saja akan senang jika cita-cita akan harmoni dan kasih sayang antar sesama di negri ini tidak terwujud. Mereka mencoba beragam cara untuk menciptakan hantu kebencian terus hidup subur di lubuk hati kita.Para demagog kebencian memang tidak rela jika kita saling memaafkan kesalahan masa lalu, jika kita bisa saling ‘ishlah’, demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini, kita memang harus berani berkata tidak kepada para demagog dan mau belajar dari sosok Nelson Mandela, yang pernah menjadi korban kebiadaban sistem apartheid, tetapi akhirnya dikenal sebagai sosok pemenang karena berani mengasihi dan mengampuni rejim yang pernah menindasnya. Bayangkan dia dipenjara selama 27 tahun dari 1963 sampai 1990. Dalam bukunya, “Long Walk To Freedom” Mandela menulis :“Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan” Dengan spirit kasih seperti itu, Mandela berhasil mewujudkan cita-cita rekonsiliasi di negrinya Afrika Selatan. Karena itu, dengan bekal kasih seperti itu, setiap umat beragama di negri ini punya tanggungjawab untuk mendukung terwujudnya cita-cita rekonsiliasi. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, kita tidak layak jatuh menjadi

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 16

bangsa yang suka mendedam dan sukar untuk memaafkan. Budaya Jawa misalnya juga mewariskan hal-hal yang luhur, seperti yang terkandung dalam kitab Wanaparwa. Dalam kitab ini diantaranya terjadi dialog Drupadi, istri Yudhistira dengan sang suami, setelah Pandawa kalah judi dengan Kurawa dan harus dibuang di hutan selama 12 tahun. Merasa jengkel dengan kelicikan dan kecurangan para Kurawa, Drupadi memprovokasi Yudhistira:”Tuanku seorang ksatria atau bukan? Apakah ksatria harus memaafkan musuh?” Anehnya, Yudhistira memberi jawaban amat menyentuh, yang layak untuk kita refleksikan:” Kebencian adalah kesia-siaan? Apa jadinya kalau hinaan dibalas hinaan dan kebencian dengan kebencian? Memaafkan adalah pengorbanan. Memaafkan adalah adat istiadat kita. Memaafkan adalah kebenaran dan penebusan dosa. Jangan membujukku untuk tidak memaafkan. Karena memaafkan adalah kebijakan orang arif dan wujud nyata dari kemenangan atas kebencian”. Mudah-mudahan kita bisa berguru kasih sayang dari sosok seperti Mandela atau Yudhistira, sehingga Indonesia sungguh-sungguh akan menjadi bangsa besar di masa depan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya akan melingkar-lingkar dalam kebencian yang absurd. Sementara kalau kita berani mengasihi dan mengampuni, masa depan yang terang benderang pasti akan bisa kita songsong dengan lebih pasti. Sekarang tetap membenci atau mau rekonsiliasi? *Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang (1992), Seminari St Vincent de Paul.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 17

WWW. Gusdur.net March 4, 2004 Justice and Reconciliation By Abdurrahman Wahid Last week I was invited to officially open an old folks’ home at Kramat V, Jakarta. The old folks’ home belongs to a foundation established by members of the outlawed-Indonesian Communist Party (PKI) who were jailed by Soeharto’s regime. They use a building which used to be the office of Indonesian Women Movement (Gerwani), a PKI’s wing organization. The inauguration ceremony in that bright morning was held in a modest way which was also witnessed by – among others – SK Trimurti, a senior woman prominent figure who took part in the struggle for our independence from Dutch settlers. I myself fulfilled the invitation to show my “solidarity” for their bad “fate” that have been under social and political pressure for years even up till now. Tens of thousands or perhaps hundreds of thousands members of PKI and its “under-bow organizations” and even those who were alleged as members of the outlawed-organizations were jailed. Many of them died under a wretched condition. Meanwhile those who are still alive have no political right including the right to give their votes in general election. Homes and their properties were seized. They are branded a stigma as betrayers of the nation. Under the leadership of dr. Tjiptaning Proletariati, they establish the Community of New Order Victims (PAKORBA) with its branches spreading across the country. However, for humanity as well that I have strong “solidarity” for them just like my solidarity for ex-members of Kartosuwiryo’s Darul Islam and Indonesian Muslims Army (DI/TII). Still I give the solidarity although I am aware of the fact that once in the past when PKI was powerful, it took part in stigmatizes members of DI/TII as the nation’s betrayers. I ever mention in an article that those DI/TII members were recruited by Kartosuwiryo under the order of the Great Commander General Soedirman as effort to avoid a condition of vacuum in West Java which had been left vacant by the Indonesian Military (TNI) who must have left for Central Java, one of few regions which were – under the Renville Treaty – recognized as part of Indonesian territories. A reader, however, argues that Kartosuwiryo had never become military advisor to General Soedirman. He even says that my ‘theory’ does not make sense. In the other hand, he says that Kartosuwiryo could be General Soedirman’s political advisor, it makes sense! He (the reader) does not know that General Soedirman’s political advisor was my own father, K.H. A. Wahid Hasyim. That is why my sympathy to them is as big as my sympathy to ex-cadres of PKI. ***** Here I want to emphasize that the past conflicts and violence can be regarded over, whatever the reason is. For us now is a ‘strong nation’ already established which therefore no need to frighten any social and political groupings. Justice is the matter we must enforce as it is the main condition for boosting the process of democracy. We are great nation with 205 million populations. We must be able to uphold justice, and we should not punish those who, in fact, are innocent. The death-convicted Amrozi, in his plea in Denpasar high court, says that he only created bombs of small capacity and that there were other patties who made the higher capacity of the bombs which eventually exploded and killed more than 200 people. Amrozi’s argument should encourage us to conduct further examination on his confession. Yet, we don’t do so, that is why we remain uninformed up till now whether Amrozi’s confession is true or not. We do not know either who really planted the bomb in Marriott Hotel, Jakarta. There are so many mysteries covering our past that it is just improper to think of ourselves as standing in truth while others are in wrong position. It is necessary to have a modesty to see what happen from humanist perspective and not from ideological one. Using ideological perspective will certainly make us easier to see ourselves as being in truth while others untruth. This is against the fundamental principle of the nation’s plural life. The nation’s diversity even shows our amazing wealth; therefore we should blame no body over the country’s complex turmoil. As an example, we can see how Abu Bakar Ba’asyir who is considered as the mastermind of terrorism in our country. The court eventually sentences him four years in jail through which he is now going in Cipinang Jail, Jakarta Timur. It is true that the court has legally decided him guilty but in reality and historically it has been confirmed yet due to the unreliable data on which the punishment is based. It takes place also due to our corrupt courts which are full of “court mafias”. Thus, we are not assured by the court verdict. Just like the case of Akbar Tanjung in which the Supreme Court verdict—which freed Akbar Tanjung from all corruption charge—will

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 18

certainly continue to face public distrust no matter what the verdict says. No wonder that now we are sluggish in upholding the law supremacy. This is it the reason why less foreign investment comes into our country: the absence of certainty in law (enforcement). ***** There is another interesting case to discuss here. Kyai Mahfud Sumalangu from Kebumen, Central Java, is a brave man who fought against Dutch soldiers in South Banyumas. When Hatta’s Cabinet Ministers decided to conduct a “military rationalization” under the suggestion of the then Great General AH. Nasution in which, among other things, a battalion commander should have a certificate of graduation from “modern schools” excluded Islamic boarding school (pesantren) certificate. Kyai Mahfud did not have certificate from any modern school but pesantren certificate. Thus, the kyai could not fill the position of Purwokerto Army Battalion Commander. Then, a young military officer A. Yani was appointed to occupy the position. In disappointment, Kyai Mahfud established Muslim Force (AUI) which was soon declared as betrayer by A. Yani. The tragic story took place in early 1950s, yet the bitter memory remains to the current days. There are many things like this taking place in our country recently. Therefore, we must have the heart to accept other groups whose ideologically are different from ours including those ex-political-prisoners of ex-cadres of PKI who mostly do not really understand their own ideology, the Communism. I, therefore, never consider PKI cadres and DI/TII people as enemies who should be watched out. I even think that those ex-cadres of PKI are now in search of God in their life, for what they regard as “wrongdoings” are in fact similar to what they did in the past when they were politically so powerful. Now they rely on the belief they have which are not against our Constitution. If we take the way they do, then we already take part in upholding justice. It is obvious that what we need is a national reconciliation after the court gives fair verdict to all parties. If the “bad tycoons” could get the status of Release and Discharge, then why can’t we do the same thing to those ex-cadres of PKI and DI/TII? Thus, the correct understanding of reconciliation is, firstly, a must to conduct thorough investigation by the court when the search for clear evidence is still possible. Here where the justice in the archipelago lands should be put down. A strong will to scrutinize or investigate the cases before our eyes which took place in the last 15 years will only drive us to stop thinking about what happened 40 – 50 years ago. The legal pardon can only be done after the court verdict is made. It sounds easy to do so, but difficult to realize in reality. Jakarta, February 11, 2004

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 19

Kompas Selasa, 16 Maret 2004 ANALISIS PEMILU Pemilu 2004, Rekonsiliasi untuk Masa Depan UNTUK menjalankan demokrasi yang tidak hanya retorikal, memang pemilihan umum (pemilu) tak bisa ditawar. Bagi demokrasi, pemilu itu normatif. Tetapi, tidakkah kita boleh menawar, setidak-tidaknya menimbang-nimbang pemilu dalam kaitan dengan keadaan bangsa kita sekarang.

Pemilu itu mahal. Untuk kepentingan Pemilu 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan biaya Rp 3,9 triliun. Sejauh ini baru Rp 3 triliun yang dicairkan. Sisanya baru akan diberikan bulan-bulan kemudian.

Kadang kita pun tertegun dan berpikir, apakah menghabiskan uang ratusan miliar untuk menyelenggarakan "pesta demokrasi" itu memang lebih pantas daripada membelanjakannya untuk membuat rakyat hidup lebih kenyang, sehat, dan tenteram?

Akan tetapi, kalau itu memang normatif dan tidak ada demokrasi tanpa pemilu, orang pun akhirnya mengangkat pundak seraya mengeluh panjang, ya itulah demokrasi.

Apabila kita lihat dalam perspektif di atas, sebetulnya telah terjadi semacam benturan besar kepentingan di sini. Hak asasi rakyat untuk hidup layak "dirampas" demi untuk mengongkosi keberhasilan hak asasi yang lain, yaitu mempunyai negara yang demokratis.

Bagi bangsa yang masih terus berjuang keras mencapai kualitas kehidupan yang layak, maka satu hal yang kiranya masih bisa "mengurangi rasa sakit" adalah menjalankan pemilu secara cerdas. Yang dimaksud di sini adalah menggunakan sebagai momentum untuk mencapai sesuatu yang lebih berharga.

Pemilu sebagai rutinitas kita tolak. Francis Fukuyama pernah menyifatkan demokrasi di Amerika sebagai democracy without of chest (demokrasi tanpa semangat). Itu karena, menurut Fukuyama, segalanya sudah menjadi rutin dan kehilangan elannya. Berkaitan dengan pernyataan Fukuyama tersebut, maka sesuatu yang barangkali bisa sedikit meringankan "penderitaan" nurani kita adalah tidak menjalankan pemilu sebagai suatu hal yang rutin. Maka, setiap kita mengeluarkan ongkos besar untuk pemilu, setiap kali pula kita sebaiknya sadar bahwa dengan ongkos itu kita harus bisa membeli sesuatu yang lebih berharga bagi bangsa kita daripada hanya untuk mengongkosi sebuah "pesta demokrasi" (sic!).

Maka, setiap pemilu sebaiknya merupakan momentum baru untuk memberikan hadiah bagi rakyat, bukan semata sebagai fungsi dari demokrasi. Momentum itu ditandai oleh pembuatan agenda-agenda tertentu dari waktu ke waktu.

Untuk setiap pemilu, bangsa ini sebaiknya membuat kontrak sosial baru. Semua peserta pemilu harus tanda tangan di bawah kontrak itu. Lagi-lagi para elite dan setengah elitelah yang harus membubuhkan tanda tangannya di situ. Rakyat itu kan diam saja diontang-anting ke sana kemari, sekalipun akhirnya mereka yang menerima getah dari ulah para elite.

Lalu, apakah yang sekiranya layak kita jadikan agenda kontrak sosial 2004 ini? Apabila diamati, semakin hari energi bangsa ini semakin terkuras dan tercabik-cabik untuk membuat perhitungan dengan masa lalu. Kerusuhan di mana-mana. Pengangguran. Rakyat telantar. Untuk menghentikan itu semua mutlak dibutuhkan suatu perdamaian antara kita semua orang Indonesia. Suatu rekonsiliasi. Motto rekonsiliasi tersebut adalah "Bersatu untuk membangun Indonesia masa depan, mengangkat kesejahteraan rakyat". Jadi, rekonsiliasi bukan untuk rekonsiliasi belaka.

Dalam kontrak sosial baru tersebut tidak ada tempat bagi aktor-aktor publik yang tidak baik, bermasalah, suka memeras, dan merampok rakyat. Mereka harus minggir untuk memberi jalan kepada generasi baru elite Indonesia yang populis. Yang hatinya bergetar setiap kali melihat penderitaan rakyatnya karena alasan apa saja, mulai demam berdarah sampai tergusur-gusur.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 20

Rekonsiliasi harus memberi jalan bagi lahirnya elite baru yang setiap hari tidak ada yang dipikirkan, kecuali bagaimana membahagiakan dan menyejahterakan rakyat. Tidak diberi tempat untuk "preman-preman" yang hanya membikin Indonesia terus-menerus keruh.

Setiap kali kita keluar dari pemilu, setiap kali pula kita memasuki suatu momentum baru penyejahteraan rakyat yang makin meningkat. Dengan sedikit variasi atas Fukuyama, maka janganlah terjadi general election without of chest (pemilu tanpa nurani). *

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 21

Kompas, Sabtu, 20 Maret 2004 KKR Harus Diberi Akses Buka Dokumen Militer

Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini sedang digodok DPR haruslah diberi kewenangan besar, terutama untuk mengakses dokumen militer selama periode pelanggaran HAM yang ditentukan serta dokumen instansi pemerintah. Tanpa kewenangan dan akses atas instansi pemerintah dan militer, komisi yang harus menangani persoalan sensitif ini tidak bisa bekerja optimal.

Penjelasan ini diberikan Kepala Divisi Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri dalam diskusi terbuka di Jakarta, Kamis (18/3). Hadir sebagai pembicara, Mugiyanto dari Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) dan Eny Suprapto dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). "Komisi ini kalau toh bisa berdiri, belum tentu bisa berjalan. Lihat saja beberapa negara lain, banyak komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tak berjalan. Karena apa? Yah, karena banyak tekanan politik yang meminta komisi ini berhenti bekerja. Sebab perlu disadari komisi ini menangani hal sensitif," kata Agung Putri.

Ia menambahkan, untuk bisa membuat komisi ini tetap bekerja, perlu adanya dukungan politik dari parlemen. Namun, Agung Putri menyadari bahwa pembentukan komisi ini memang tidak mudah. Sebab, akan banyak orang yang merasa berkepentingan dengan pengungkapan kasus pelanggaran HAM ini. "Kalangan parpol tidak bisa lari dan mengatakan seolah pelanggaran HAM ini dilupakan. Pelanggaran HAM bukan seperti sopir bajaj menabrak orang, dengan lari persoalan selesai. Namun, pelanggaran HAM ini adalah tragedi kemanusiaan yang akan mengikuti ke mana pun bangsa ini berjalan," kata Agung Putri.

Sementara itu, mengenai Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), Agung Putri melihat adanya titik lemah dari RUU ini, yakni ketidaksinambungan antara pengungkapan kebenaran, amnesti, dan kompensasi untuk korban.

Eny Suprapto mengatakan, sudah saatnya berhenti berbicara model KKR. Sebab, perdebatan itu sudah dibicarakan sejak enam tahun lalu ketika rezim berganti. "Sudah tidak tepat lagi bila kita masih berkutat membahas konsep yang ada di negara lain. Kita perlu membahas naskah konkretnya, kita sudah membahas sejak Desember 2001," jelas Eny.

Mugiyanto mengatakan, pemerintah minimal memberi penghargaan terhadap para korban pelanggaran HAM. Ia mencontohkan seperti di Filipina, pemerintah membangun sebuah monumen yang akan mengingatkan semua warga negaranya akan peristiwa revolusi 1986 yang telah membawa korban banyak. (vin)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 22

Republika, Selasa, 23 Maret 2004 Komunisme Tetap Berbahaya Oleh : HM Yusuf Hasyim

Komunisme sebagai ideologi politik tidak pernah melepaskan tujuan utama untuk memperoleh kekuasaan baik secara santun (parlementer) demokratis, maupun dengan cara kasar, merebut kekuasaan dengan kekerasan. Ini dilakukan di berbagai penjuru dunia, ya di Eropa, ya di Asia, ya di Amerika Latin. Komunis mempunyai berbagai cara dan doktrin yang baku, mencari kader yang andal, cerdas, militan, berani, dan disiplin.

Di antara cara itu adalah mengadakan aksi-aksi sepihak dengan melatih keterampilan dan meningkatkan kemampuan, keberanian, koordinasi gerakan, kegiatan terpadu mematahkan nyali musuh. Yang paling berbahaya adalah kemampuan menyusun organisasi baik legal maupun ilegal (di atas tanah maupun di bawah tanah). Gerakan semacam ini sangat sulit dilacak, karena menggunakan sistem sel.

Komunis mempunyai berbagai program, jalan ke depan, menyelinap ke samping, melebar ke kanan dan ke kiri, infiltrasi ke alat kekuasaan negara, memasuki berbagai instansi mulai dari atas sampai bawah. Sebelum mereka mengumumkan gerakan G30S/PKI 1965, mereka sudah menguasai sejumlah kesatuan dan instansi baik di pusat dan daerah sehingga Letnan Kolonel Untung saat mengumumkan adanya Dewan Revolusi langsung mendapat sambutan secara luas sampai ke daerah-daerah. Langkah-langkah peralihan keputusan politik komunis, dari gaya sopan-formal (parlementer) ke cara-cara kekerasan, sulit untuk diperhitungkan kapan kepindahan gaya itu berlangsung.

Contoh yang paling gamblang setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Komunis sebenarnya telah menggenggam kekuasaan melalui Kabinet Amir Syarifuddin. Saat itu Amir menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan dengan kekuasaan sebagai Menteri Pertahanan itu ia mendirikan Biro Perjuangan kemudian berubah status menjadi Pesindo dan dari organisasi kelasykaran ini berubah lagi menjadi tentara resmi dengan logistik, persenjataan, dan peralatan yang lebih baik dari kesatuan lainnya.

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin melakukan blunder politik: menandatangani Perjanjian Renvile yang berakibat kehilangan dukungan dari PNI dan Masyumi. Presiden Sukarno kemudian memberhentikan Kabinet Amir dan menunjuk wakil Presiden Hatta sebagai perdana menteri baru. Kabinet Hatta terbentuk tanpa memasukkan Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya. Melihat situasi ini, Amir dengan koalisi Sayap Kirinya membentuk Fron Demokrasi Rakyat (FDR), berupa gabungan "Partai Sosialis Indonesia (sayap Amir Syarifuddin), Pesindo, Partai Komunis Indonesia (PKI), SOBSI, dan Partai Buruh.

Sebelum memproklamasikan "Soviet Republic Indonesia" pada 18 September 1948 di Madiun, Muso sebagai salah seorang tokoh Biro Politik PKI yang sejak 1930 bermukim di Moskow (selama 12 tahun), pada 3 Agustus 1949 kembali ke Indonesia. Muso kemudian melakukan kegiatan yang disebut: Jalan Baru Bagi PKI. Teror diciptakan dan ditingkatkan bahkan dilakukan intrik adu domba di antara kesatuan TNI, misalnya antara Kesatuan Siliwangi dan kesatuan daerah lain.

Tujuan teror ini adalah untuk melatih keberanian kader komunis, sebaliknya menghilangkan nyali aparat pemerintah sebelum diproklamasikan Soviet Republic Indonesia di Madiun pada 18 September 1948. Pada hari yang sama Presiden Sukarno mengadakan pidato radio mempersilakan bangsa Indonesia memilih Muso dengan Soviet Republik Indonesia-nya atau Sukarno-Hatta dengan Republik Indonesia-nya.

Dalam hari yang sama Muso menggunakan Radio Madiun menyerukan rakyat untuk menggulingkan Sukarno-Hatta dan merebut kekuasaan. Pemerintah RI menjawab dengan membentuk Daerah Istimewa Provinsi Jawa Timur dengan Kolonel Soengkono sebagai gubernur militer. Karena Panglima Besar Soedirman dalam keadaan sakit, operasi penumpasan dipimpin oleh Kolonel AH Nasution, panglima Markas Besar Komando Jawa. Pemberontakan dapat diatasi oleh divisi Kolonel Soengkono, Kolonel Gatot Soebroto, dan Divisi Siliwangi.

Daerah yang dikuasai oleh pasukan komunis dapat direbut kembali. Muso tewas tertembak. Tokoh-tokoh komunis lainnya sempat ditawan, antara lain Amir Syarifuddin, Maruto Darusman, Djoko Soejono, tetapi kader muda antara lain DN Aidit, MH Lukman, dan anggota Biro Politik lainnya melarikan diri ke luar negeri. Ketua PKI pada waktu itu bersandar pada kekuatan buruh (SOBSI), wanita (Gerwani), petani (BTI), mahasiswa

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 23

(CGMI), seniman dan budayawan (Lekra), dan pemuda (Pemuda Rakyat), serta media massa cetak (Harian Rakyat), ditambah lagi sel-sel dalam militer antara lain Kolonel Latief yang lolos dalam penangkapan tokoh pemberontakan PKI Madiun, lalu menjadi berperan dalam peristiwa Pemberontakan G30S/PKI pada 1965.

Pemberontakan PKI di Madiun ini dengan liciknya disebut sebagai Peristiwa Madiun saja (Madiun Affairs), bukan Pemberontakan PKI. Belakangan malah hanya disebut sebagai Provokasi M Hatta. Dalam kurun waktu lima tahun setelah Pemberontakan PKI 1948 di Madiun, PKI berhasil melakukan konsolidasi kekuatan dan ikut dalam Pemilu I pada 1955 dan tampil menjadi partai empat besar pemenang Pemilu 1955 (PNI, Masyumi, NU, PKI).

Sepuluh tahun kemudian pada 1965, PKI semakin berhasil menyusun kekuatan baik di tubuh organisasinya sendiri maupun sel-sel yang ditanam di berbagai kesatuan militer dan instansi pemerintah lainnya. Saat itu PKI melihat peluang saat mendapat informasi dari dokter RRC yang merawat kesehatan Presiden Sukarno, di mana kondisi kesehatannya sangat serius.

Ada anggapan dari Biro Khusus CCPKI dengan analisa jika presiden Sukarno meninggal dunia, maka kekuasaan akan diambil alih oleh Angkatan Darat. Muncullah teori: "Siapa Mendahului Siapa". Teori inilah yang mendorong CCPKI untuk melumpuhkan dan mengganti pimpinan Angkatan Darat dengan segala akibat yang timbul dan sangat menyedihkan.

Wajah baru komunisme Dewasa ini di tengah masyarakat muncul kegiatan untuk menghidupkan kembali PKI wajah baru, dengan memanfaatkan dan berlindung di balik pelaksanaan HAM, demokratisasi, keterbukaan, dan upaya dicabutnya Tap MPRS No 25/1966. Mereka berpendapat kalau seseorang tidak setuju dengan peluang untuk lahirnya kembali PKI, berarti seseorang itu anti-HAM, anti-demokrasi, dan anti-keterbukaan.

Sejumlah LSM kini juga gencar melakukan gerakan rekonsiliasi nasional untuk merehabilitasi dan memulihkan hak-hak dan ganti rugi bagi orang-orang yang dituduh terlibat gerakan G30S/PKI tanpa melalui proses peradilan. Pada kesempatan ini penulis hendak menyatakan sikap dan pandangan berkaitan dengan opini diizinkannya kembali PKI di Indonesia yang dihubung-hubungkan dengan demokratisasi, HAM, dan keterbukaan.

Tidak benar opini yang dihembuskan, jika demokrasi hendak ditegakkan juga HAM dan keterbukaan, maka PKI harus diperbolehkan hidup kembali. Di negara Prancis yang sangat demokratis Partai Nazi dilarang bahkan seseorang yang membawa simbol Nazi bisa berurusan dan akan dituntut di pengadilan dan menerima hukuman.

Pertanyaannya, "Apakah Prancis tidak demokratis?'' Jawabannya, "Pemerintah dan rakyat Prancis merasa Nazi telah melakukan satu kali pengkhianatan dan melukai bangsa Prancis". Di Amerika Serikat partai komunis tidak dilarang karena komunis tidak pernah melukai dan mengkhianati bangsa Amerika. Penulis melihat bahwa PKI sudah dua kali melakukan pengkhianatan dan melukai bangsa Indonesia apakah masih diberikan kesempatan untuk yang ketiga kalinya melakukan pengkhianatan kembali.

Pengkhianatan PKI jelas-jelas anti-demokrasi. Jadi tidak bisa berdalih hendak menegakkan demokrasi untuk menghidupkan kembali PKI. Munculnya manuver gencar pihak-pihak yang menginginkan hidupnya kembali PKI di Indonesia, lebih-lebih setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa bekas anggota PKI berhak menjadi anggota legislatif, sungguh sangat memprihatinkan di kalangan kiai, pondok pesantren, dan umat Islam, khususnya keluarga korban yang langsung merasakan kekejaman PKI di tahun 1948 dan 1965.

Syukur jeritan korban ini didengar PBNU yang segera memprakarsai pertemuan para korban keganasan dan kekejaman PKI 1948 dan 1965 itu di kantor PBNU pada 12 Maret 2004. (Baca Republika 15 Meret 2004). Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berkenan membuka musyawarah itu, dan penulis karena pengalaman ikut menghadapi pemberontakan PKI Madiun 1948 saat itu penulis sebagai prajurit TNI berpangkat letnan ditugaskan menyerang pasukan PKI yang telah menguasai kota Ponorogo diberi kehormatan untuk memimpin acara musyawarah tersebut.

Ditunjuk sebagai juru bicara adalah KH Cholil Bisri (Wakil Ketua MPR-RI) yang membuat keputusan yang berjudul Membangun Kewaspadaan Bangsa. Kejahatan kemanusiaan internasional yang dilakukan oleh partai

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 24

komunis dengan ideologi Marxisme-Leninismenya di 76 negara di dunia, dengan membantai 100 juta orang lebih selama 74 tahun (1917-1991) dan kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan pemberontakan Madiun 1948, dan G30S/PKI 1965, membuktikan bahwa ideologi Marxisme-Leninisme (Komunisme) adalah antidemokrasi (24 diktator di negara komunis), pelanggar berat HAM dan penindas agama, telah mengusik hati nurani kami yang berkumpul di Gedung PBNU 12 Maret 2004, untuk menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, munculnya kegiatan membangkitnya kembali PKI dan ajaran komunisme dengan keinginan untuk mencabut Tap MPRS No 25/1966 yang berisi larangan PKI dan ajaran komunisme, bisa menimbulkan kekagetan mendalam terutama bagi yang merasakan teraniaya oleh ulah PKI. Kedua, berhasil mencabut Tap tersebut, berarti PKI dan ajarann komunisme boleh hidup berkembang bebas dan bisa mempersiapkan pengkhianatan untuk ketiga kalinya setelah tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.

Ketiga, maka kami mewakili keluarga korban keganasan PKI 1948 dan tahun 1965 yang datang dari berbagai daerah, sesudah berdiskusi bersama mendapat kehormatan untuk menggunakan kantor PBNU Jl Kramat Raya 164 Jakarta, untuk bertukar pikiran menghadapi tantangan bangsa dewasa ini. Keempat, kami tidak bisa membiarkan orang-orang dengan dalih melaksanakan HAM, hak sipil, hak dasar, demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, dan sebagainya berusaha mencabut Tap MPRS No 25/1966.

Kelima, tekad kami, kapan pun, rekonsiliasi bangsa harus terus dikembangkan, memulihkan hak-haknya sebagai warga negara, hak sipil, hak dasar, demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, dan perlindungan dengan tetap mempertahankan Tap MPRS No 25/1966 agar PKI dan komunisme sebagai ideologi tetap terkubur di Indonesia. Keenam, dalam hal pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia sehingga tidak diperbolehkan lagi hidup, juga terjadi di negara-negara Barat dengan melarang Nazisme dan Fasisme hidup kembali. PKI dan komunisme telah dua kali mengkhianati bangsa ini, karena itu kita mesti bertekad menolak dicabutnya Tap MPRS No 25/1966 itu. (Jakarta, 12 Maret 2004).

Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 25

Kompas, Selasa 30 Maret 2004 Pemilu, Rekonsiliasi Masa Depan Oleh Satjipto Rahardjo

UNTUK menjalankan demokrasi yang tidak hanya retorikal, pemilu tak bisa ditawar. Bagi demokrasi, pemilu itu normatif. Tetapi, tidakkah kita boleh menawar, setidaknya menimbang-nimbang pemilu dalam kaitan keadaan bangsa kita kini.

Pemilu itu mahal. Jadi, kita kadang berpikir, apakah "pesta demokrasi" berbiaya ratusan miliar rupiah itu pantas diselenggarakan daripada membelanjakannya untuk membuat rakyat lebih kenyang, sehat, dan tenteram? Tetapi, bila itu normatif dan tak ada demokrasi tanpa pemilu, lalu orang mengangkat pundak seraya mengeluh, itulah demokrasi.

Bila melihat perspektif itu, sebetulnya telah terjadi semacam benturan besar kepentingan. Hak asasi rakyat untuk hidup layak "dirampas" demi mengongkosi keberhasilan hak asasi lain, yaitu mempunyai negara yang demokratis. Bagi bangsa yang masih berjuang mencapai kualitas kehidupan yang layak, satu hal yang bisa "mengurangi rasa sakit", menjalankan pemilu secara cerdas. Maksudnya, menggunakan pemilu sebagai momentum untuk mencapai sesuatu yang lebih berharga.

Pemilu sebagai rutinitas kita tolak. Francis Fukuyama pernah menyifatkan demokrasi di Amerika Serikat sebagai democracy without of chest (demokrasi tanpa semangat). Itu karena, menurut Fukuyama, segalanya sudah menjadi rutin dan kehilangan elannya. Berkait pernyataan itu, sesuatu yang mungkin bisa sedikit meringankan "penderitaan" nurani kita adalah tak menjalankan pemilu sebagai hal yang rutin. Jadi, setiap kita mengeluarkan ongkos besar untuk pemilu, setiap kali pula kita sebaiknya sadar, dengan ongkos itu kita harus bisa membeli sesuatu yang lebih berharga bagi bangsa daripada hanya untuk mengongkosi sebuah "pesta demokrasi" (sic!).

Jadi, setiap pemilu sebaiknya merupakan momentum baru untuk memberi rakyat hadiah, bukan sebagai fungsi demokrasi. Momentum itu ditandai dengan pembuatan agenda dari waktu ke waktu.

UNTUK setiap pemilu, bangsa ini sebaiknya membuat kontrak sosial baru. Semua peserta pemilu, elite dan setengah elite, harus tanda tangan di bawah kontrak itu. Rakyat kan diam saja diuntang-anting kesana-kemari meski akhirnya merekalah yang menerima getah dari ulah elite.

Lalu, apakah yang sekiranya layak dijadikan agenda kontrak sosial 2004? Apabila diamati, semakin hari semakin energi bangsa ini terkuras dan tercabik-cabik untuk membuat perhitungan dengan masa lalu. Kerusuhan di mana-mana. Pengangguran. Rakyat terlantar. Untuk menghentikan semua itu, mutlak dibutuhkan perdamaian antarsemua orang Indonesia. Suatu rekonsiliasi. Motto rekonsiliasi itu adalah "bersatu untuk membangun Indonesia masa depan, mengangkat kesejahteraan rakyat". Jadi, rekonsiliasi bukan untuk rekonsiliasi belaka.

Dalam kontrak sosial baru itu tidak ada tempat bagi aktor-aktor jahat, busuk, memeras, dan merampok rakyat. Mereka harus minggir untuk memberi jalan bagi generasi baru elite Indonesia yang populis, yang hatinya bergetar setiap kali melihat penderitaan rakyatnya, mulai dari demam berdarah sampai tergusur-gusur. Rekonsiliasi harus memberi jalan bagi lahirnya elite baru yang setiap hari tidak ada yang dipikirkan kecuali bagaimana membahagiakan dan menyejahterakan rakyat. Tidak diberi tempat bagi "preman-preman" yang hanya terus membuat Indonesia keruh.

Setiap kali kita keluar dari pemilu, setiap kali pula kita memasuki suatu momentum baru penyejahteraan rakyat yang makin meningkat. Dengan sedikit variasi atas Fukuyama, janganlah terjadi general election without of chest (pemilu tanpa nurani).

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Undip, Semarang

Suara Pembaruan, Jumat 01 April 2004

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 26

Masa Lalu, Rekonsiliasi, dan Pemilu 2004

Oleh Happy Susanto

PEMILU 2004 bisa menjadi turning point proses perubahan kedua sejak reformasi ini bergulir. Banyak harapan yang muncul dalam benak hati kita, mudah-mudahan pemilu kali ini benar-benar akan menghasilkan perubahan yang signifikan menuju Indonesia yang baru, maju, dan berperadaban. Dengan optimisme yang tinggi siapa tahu ini akan bisa kenyataan yang pasti.

Hanya, selama ini kita selalu diliputi rasa dendam atas sejarah masa lalu yang buruk sehingga menyebabkan ketiadaan keterbukaan hati kita untuk melangkah menuju kebersamaan hidup. Jika memori kita selalu dikurung oleh rasa dendam maka kapan kita bisa beranjak agar bisa bergeliat untuk membangun "Indonesia baru".

Bukan berarti kita lantas melupakan masa lalu yang kelam itu. Sejarah masa lalu itu kita jadikan pelajaran di masa kini dan juga pada masa-masa mendatang agar kesalahan itu tidak terulang kembali. Tidak melupakan, alias mengingatnya bukan berarti kemudian akan selalu membuat rasa dendam dan kecurigaan yang tidak mendasar pada diri kita -walaupun berposisi sebagai korban atas kejadian tersebut. Sebagai bangsa yang pemaaf adalah bentuk kedewasaan dalam menyikapi perubahan kondisi yang ada.

Memaafkan bukan berarti kejahatan dan kesalahan itu kita biarkan. Proses pengadilan dan hukuman sebagai jalan hakiki untuk mencari keadilan dan kemanusiaan memang sangat penting untuk dilakukan, tapi kita pun tidak bisa menampik realitas kebutuhan umat manusia dalam upaya menatap proses perubahan ke depan. Sehingga, kasus-kasus masa lalu dijadikan sebagai bahan pelajaran bersama dengan ''menutup''-nya sementara waktu. Di sini rekonsiliasi menjadi sebuah jalan yang sangat penting dengan pengertian mendamaikan diri terhadap masa lalu, membuka diri menuju kebersamaan, dan menatap masa depan yang cerah. Rekonsiliasi yang damai bukan berarti berkompromi dengan kejahatan-kejahatan masa lalu itu sendiri.

Kebersamaan

Langkah itu telah dilakukan dalam bentuk pertemuan bersama yang bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) pada 5 Maret 2004 di Hotel Hilton Jakarta. Hadir pada pertemuan itu di antaranya, Amelia Yani (puteri Jenderal A Yani), Ilham Aidit (putera DN Aidit), Sarjono Kansuwirjo (putera tokoh DI-TII Kartosuwirjo), keluarga tokoh PKI Nyoto, Ilya Arselan (cucu H Agus Salim), Sugiarto (cucu Tengku Daud Beureu'eh), mantan Wakil Ketua MPR Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo Sutojo, dan sebagainya. Pertemuan itu ingin memberikan perspektif dan langkah baru bagi konstruksi berpikir dan olah rasa kebersamaan bangsa ini menuju perubahan dan masa depan yang lebih baik.

Seperti diulas dalam harian ini (5/3), anak dan keluarga korban pertikaian politik masa lalu itu mengimbau bangsa Indonesia untuk menghilangkan dendam sejarah. Mereka mengajak bangsa Indonesia untuk memahami tragedi masa lalu sambil merumuskan upaya bersama menatap masa depan dengan lebih baik. FSAB juga mencanangkan ikrar untuk menghargai kesetaraan segenap warga negara Indonesia, menghormai HAM, dan perbedaan setiap warga nagara dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia, serta bersikap tidak mewarisi konflik dan tidak membuat konflik baru.

Ada banyak catatan sejarah masa lalu yang perlu dilakukan upaya rekonsiliati. Menurut catatan Lembaga Studi Advokasi (Elsam), seperti dikutip Kompas (3/3/2004), bisa disebutkan di sini, yaitu: pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), pembunuhan misterius terhadap kaum kriminal di berbagai kota (1983-1986), peristiwa Tanjung Priok (1984), penangkapan dan penyiksaan Kelompok Usro (1985-1988), peristiwa Lampung (1989), penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jemaat HKBP (1992-1993), Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993), pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993), Operasi Militer II di Aceh (1989-1998), pembunuhan di Irja (1994-1995), peristiwa 27 Juli (1996), Kerusuhan Mei (1998), Tragedi Semanggi I dan I, kasus Timor Timur, dan pelanggaran berat di Aceh dan Papua saat ini.

Deretan catatan sejarah itu memang membuktikan suasana psikologis dan traumatik pada beberapa korban kejahatan masa lalu. Rekonsiliasi yang kini sedang didengungkan harus bisa memecah problem psikologis bangsa ini. Pertemuan FSAB itu sangat penting untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan menghilangkan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 27

berbagai rasa dendam dan kecurigaan antar sesama bangsa sendiri. Amat sulit memang membuat hati ini bisa terbuka dengan penuh lapang dada.

Hanya dengan penuh rasa keikhlasan dan sikap untuk saling memaafkan, rasa dendam bisa segera dihilangkan agar kita bisa memikirkan langkah maju di masa depan. Ada banyak problem yang kini sedang menantang perhatian kita bersama, apalagi di masa-masa yang akan datang. Untuk itulah, kita perlu menjadi bangsa yang pemaaf. Bukan berarti memaafkan lantas kesalahan begitu saja dilupakan. Kesalahan dijadikan pelajaran.

Rekonsiliasi yang didasarkan atas pemberian maaf bangsa terhadap kejahatan berat masa lalu (yang tidak berarti melupakan begitu saja) bertujuan agar kita mampu bertanggung jawab mencegah terulangnya kembali kejahatan yang sama di hari-hari mendatang.

Rekonsiliasi mempunyai dua makna, yaitu amnesti dan non-eksekusi. Yang pertama adalah bentuk pengampunan bagi pelaku kejatahan masa lalu. Sedang yang kedua target utamanya bukan mencari keadilan, tapi upaya menyelamatkan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa. Makna rekonsiliasi yang kedua sangat relevan dengan kondisi saat ini di mana seluruh komponen bangsa sepertinya perhatian mereka terpusat pada perhelatan akbar pemilu 2004.

Menatap ke Depan

Apa yang bisa kita harapkan hasil dari Pemilu 2004 nanti? Tentu kita berharap Pemilu 2004 ini akan menghasilkan perbaikan kondisi yang signifikan. Isu-isu yang diangkat pada momen kali ini tidak terjebak pada pengungkitan masa lalu yang selalu tak berkesudahan ujung pangkal persoalannya. Padahal, isi kepala kita telah ditumpuk dengan banyak persoalan baru, yang akhirnya terkesan tidak ada yang terselesaikan dengan baik.

Masing-masing individu atau kelompok berkepentingan untuk mempersoalkan masa lalu tanpa alasan yang jelas. Lambat laun, masalah-masalah yang merupakan imbas dari kesalahan sejarah masa lalu menyebabkan pikiran kita terpecah belah sehingga perhatian pada kondisi kekinian dan masa depan kurang terfokus.

Sangat tidak mustahil, isu-isu masa lalu akan kembali dihadirkan oleh beberapa peserta Pemilu 2004. Rasa dendam dan kecurigaan kembali merebak untuk menjual kepentingan mereka pada proses kampanye dan berbagai kegiatan seputar Pemilu 2004. Isu itu sengaja dijual agar masyarakat merasa perlu mempermasalahkan beberapa kasus yang dulu pernah mencuat. Padahal, boleh jadi isu itu tidak secara murni dimaksudkan untuk mengungkap keadilan tapi demi kepentingan sesaat.

Untuk membangun upaya rekonsiliasi agar kita bisa menatap ke depan, alangkah baiknya apabila kita perlu belajar dari pengalaman rekonsiliasi di Afrika Selatan. Dengan jiwa besar, mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela, yang walau disiksa 27 tahun dipenjara, tapi setelah apartheid bubar mereka melupakan dendam dan mencoba membangun Afsel baru.

Afsel menggunakan konsep rekonsilasi "dejuntafikasi" (dejunctafication), yaitu ketika pemerintahan baru hendak melepaskan diri dari rezim diktator yang didukung militer, kemudian rekonsiliasi dicapai setelah pemberian maaf melalui amnesti. Apa yang terjadi di Afsel adalah menggabungkan dua model rekonsiliasi, beranjak dari amnesti menuju upaya menatap ke masa depan (non-eksekusi).

Dengan dua prinsip yang terkandung dalam konsep rekonsiliasi di atas, yaitu kebersamaan dan tatapan ke depan, maka itu kemudian kita jadikan dalam bentuk langkah yang nyata. Apalagi di saat momen Pemilu 2004 ini. Kejahatan masa lalu adalah akibat dari pola otoritarianisme dan militerisme yang diterapkan oleh negara atau penguasa pada saat itu. Di era civil society sekarang ini, hal semacam itu harus diberantas dari sikap bangsa ini, terlebih bagi sang penguasa. Pemilu 2004 dijadikan langkah baru untuk membangun negara ini. Dan salah satu upaya yang perlu untuk segera dilakukan adalah dengan membangun langkah-langkah rekonsiliatif yang mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.

Penulis adalah associate research pada Center for Moderate Moslem (CMM) Jakarta dan staf kajian pada Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Yogyakarta. Last modified: 2/4/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 28

Kompas, Sabtu 24 April 2004 Rudi Muhammad Rizki: Persoalan Masa Lalu Harus Diselesaikan

PRESIDEN telah tiga kali berganti, namun sejumlah persoalan masa lalu, terutama pelanggaran hak asasi manusia, belum juga terselesaikan. Penyelesaian masalah masa lalu amat diperlukan agar bangsa Indonesia tidak selalu berkutat dengan masa lalu. Rasa dendam juga tidak terus menghantui perjalanan bangsa Indonesia.

TIDAK tuntasnya penyelesaian masalah masa lalu ini, justru akan menimbulkan benih perselisihan dan konflik di masa mendatang. "Jadi, penyelesaian ini penting agar bangsa ini tidak lagi selalu berkutat dengan masa lalu, sehingga secara bersama-sama menatap masa depan tanpa dendam," papar Rudi Muhammad Rizki, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Di tengah hiruk-pikuknya orang berbicara tentang politik, Rudi-yang saat ini menjadi Hakim Ad Hoc di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Jakarta Pusat dan Wakil Ketua Paguyuban HAM Unpad-justru tidak terpengaruh dengan arus politik. Ia gencar melakukan edukasi tentang pemajuan dan perlindungan HAM di berbagai lembaga.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Rudi Rizki, Senin lalu, di Jakarta.

Bagaimana kita menyelesaikan persoalan di masa lalu?

Sekarang kan ada pengadilan HAM, dan akan ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi kita belum tahu KKR sampai di mana. Seharusnya pengadilan dan KKR bersamaan, apalagi kita melihat banyak kekurangan dari pengadilan HAM ini. Padahal, persoalan ini harus diselesaikan melalui pengadilan atau melalui KKR. Ini gejala yang umum terjadi di masa transisi. Kalau semuanya harus melalui pengadilan, itu dapat membahayakan proses demokratisasi yang masih dalam keadaan rapuh ini.

Kenapa membahayakan?

Kita lihat negara yang mengalami proses masa transisi dari pemerintahan otoriter ke demokratis, misalnya Argentina atau Korea. Mereka tidak sekaligus mengadili pelanggar HAM masa lalunya karena biar bagaimanapun (pelanggar HAM) masih berada di kekuasaan.

Mana yang harus lebih dulu, pengadilan atau KKR?

Dua-duanya harus sejalan. Ketika pengadilan tidak dimungkinkan maka penyelesaiannya lewat KKR, tapi dalam KKR juga ketika satu orang tidak memberikan pengakuan, tidak menyatakan permintaan maaf, namun terbukti dia ikut bersalah, pengadilan harus tetap berjalan. Jadi, semangat sekarang ini adalah semangat global menghapuskan segala bentuk impunity (kekebalan hukum pada orang tertentu).

Kalau dua-duanya berjalan, bagaimana?

Di sini nuansa politiknya banyak. Untuk menggelar pengadilan HAM masa lalu butuh persetujuan DPR. Pertimbangan politisnya banyak. Kalau begini, korban masa lalu tidak terpuaskan. Kalau tidak dibentuk pengadilan ad hoc tawarkan alternatif KKR, tapi RUU KKR masih dibahas.

KKR belum jelas, pengadilan tidak bisa diharapkan lalu sebenarnya bagaimana?

Idealnya, dua-duanya. Pengadilan dan KKR. UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM harus kita review. Di sana banyak kekurangan. Kita juga belum memiliki hukum acara tersendiri. Karena itu, KKR harus didorong segera terealisasi, karena kita sudah kelamaan. Timor Timur saja sudah mempunyai KKR, tetapi mungkin persoalan mereka tidak sekompleks kita.

Masih banyak yang harus dibenahi dari pengadilan. Soal keahlian, kita masih dianggap baru, masih kurang pemahaman yang sama. Kita harus memulai dengan legislasi, infrastruktur, termasuk budaya menghormati

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 29

pengadilan. Kita memang tidak bisa membandingkan dengan pengadilan Yugoslavia atau Rwanda. Kenapa mereka bisa kelihatannya berjalan mulus, karena kalau mereka mengadili jauh dari tempat kejadiannya dan pelaku yang diadili sudah tidak ada atau dicabut dari kekuasaan.

Pengadilan kita hanya sekadar dijalankan dan tidak memenuhi harapan?

Ini masih proses pembelajaran. Jadi, memang kita membutuhkan waktu pembelajaran buat semua. Pelan-pelan semuanya harus melalui proses, karena menghapuskan segala bentuk impunity tidak serta-merta dilakukan, banyak faktor yang menentukan. Jadi, tidak serta-merta akan memenuhi rasa keadilan semua pihak karena pengadilan HAM adalah hal baru. Yang kita harapkan adalah mengadili secara layak. Tetapi untuk mengadili secara layak itu masih ada hambatannya.

Kita harus melihat dari mulai proses rekrutmen hakim, apakah sudah tepat orang yang memahami permasalahan seperti itu, apakah pelatihan yang diberikan kepada mereka juga sudah tepat? Pengadilan ini agak terburu-buru karena tekanan internasional sehingga persiapannya pun demikian. Karena itu, amandemen UU No 26/2000 mendesak dilakukan sambil kita mengegolkan KKR. Dan, ini harus sama-sama. Kalau ingin menjadi komplementer tidak bisa satu dulu yang berjalan.

Apa urgensi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bagi demokratisasi?

Supremasi hukum dan penghormatan HAM merupakan pilar dari demokrasi yang sedang kita bangun, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah dalam rangka menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM itu. Dalam situasi normal, penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan adalah dengan mengadili orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu, dan memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban. Hal ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM berat. Penghukuman pelaku melalui proses pengadilan yang independen, tidak memihak, diperlukan sebagai kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan (erga omnes obligation).

Sejauh mana kaitan masa lalu, kini, dan akan datang?

Kalau masa lalu tidak diselesaikan, akan menjadi permasalahan di masa mendatang. Penyelesaian seperti dalam rangka KKR salah satunya adalah pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah. Itu kan sekaligus juga mencegah keberulangan. Mengadili dan menghukum pelaku atau pengungkapan kebenaran itu, salah satu fungsi preventifnya adalah untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Itu kan pelajaran penting untuk kehidupan sekarang dan akan datang. Karena, kalau tidak dituntaskan maka masalah itu akan muncul terus, dan terus muncul ketidakpuasan dari anak cucu korban. Itu benih perselisihan konflik di masa depan, dan akhirnya bangsa kita akan terbelenggu dengan masa lalu. Jadi, penghukuman melalui pengungkapan fakta di depan pengadilan tentu penting untuk mencegah keberulangan di masa yang datang.

Pengadilan kita belum berjalan seperti yang diharapkan?

Itu tergantung lagi pada kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan atau KKR. Tetapi tidak ada sistem pengadilan atau KKR di mana pun yang paling sempurna. Mungkin kita lihat Afrika Selatan, itu model terbagus, tapi enggak juga, kelemahannya juga ada kan? Sama saja dengan pengadilan, pengadilan mana yang bisa kita lihat. Katakanlah Rwanda, apakah betul dengan jumlah sekitar satu juta orang dan hanya sekian puluh yang diadili sudah mencerminkan bahwa semua pelaku diadili. Tetapi ada yang menjadi pelajaran publik dari keputusan itu, yakni bahwa orang yang paling bertanggung jawab itu dicari. Orang yang dulunya tidak terjangkau oleh hukum karena kekuasaannya sekarang bisa dijangkau.

Bagaimana pola penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tepat?

Umumnya negara-negara dalam keadaan transisi dihadapkan pada pilihan antara menghukum pelaku dan memberikan amnesti. Amnesti dianggap penting demi rekonsiliasi, demi terwujudnya demokratisasi, namun penghukuman pun penting bagi demokratisasi. Sebagaimana halnya praktik negara yang mengalami transisi, kemudian penyelesaian melalui KKR menjadi alternatif lain. KKR lebih berorientasi terhadap kepentingan korban, khususnya dalam mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi, serta pemenuhan the right to know dari korban. Walaupun lebih dari 20 negara telah mempraktikkan KKR ini, tidak ada satu model yang baku yang

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 30

dapat diterapkan oleh semua negara karena kompleksitas permasalahan setiap negara berbeda. Model Afrika Selatan belum tentu sesuai dengan situasi di Indonesia.

Jadi, kalau ditanya model mana yang terbaik, pengadilan atau KKR, kita tidak dapat memilih salah satu karena keduanya harus saling melengkapi. Beberapa negara seperti bekas Yugoslavia, Sierra Leone, dan bahkan Timor Leste pun melakukan langkah seperti itu.

PEMILU legislatif yang baru saja berlangsung April lalu, menurut Rudi Rizki, sebenarnya ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Paling tidak, menurut lulusan University of Melbourne Australia ini, dalam pemilu lalu tidak terjadi kekacauan seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak. "Kenapa kok pemilu kemarin aman saja. Apakah karena masyarakat sudah lelah berkonflik atau karena kesadaran HAM sudah tinggi, atau karena pilihannya banyak sehingga potensi konfliknya sedikit?" ujar Rudi yang saat ini staf ahli di Habibie Center.

Suami dari Meli Noor Amalia dan juga ayah dari Farhat Muhammad, Aldea Muhammad, dan Fadel Muhammad ini justru menilai, dalam pemilu kali ini sebenarnya menunjukkan mulai adanya kesadaran dari rakyat untuk tidak berkonflik sekalipun berbeda pilihan.

Hasil pemilu bisa memberikan harapan untuk penyelesaian masa lalu?

Saya pernah melihat visi dan misi partai soal HAM, tetapi ternyata tidak banyak partai politik yang mempunyai program untuk itu. Kalau melihat visi mereka, ada yang bagus tetapi ada juga yang tampaknya kurang memedulikan. Misalnya, isu KKR ada yang baru saja tahu atau bahkan belum mengetahui. Kebanyakan wawasan HAM parpol masih belum terlihat.

Di kalangan elite partai, bagaimana penilaian Anda?

Saya belum ada kesempatan untuk melihat kepedulian mereka kesana, mungkin di antara mereka ada yang peduli terhadap pemajuan dan perlindungan HAM, tetapi saya belum melihat itu. Saya memang tidak mengamati semua kampanye, apa mungkin kebetulan luput dari perhatian saya. Akan tetapi, yang jelas saya tidak melihat isu tentang pemajuan dan perlindungan HAM menjadi dagangan mereka. Mungkin karena isu itu tidak seksi ya sehingga tidak ada partai yang jualan kampanye seperti itu.

Untuk pemajuan HAM, kendala apa yang kita hadapi?

Apa ya..? Negara kita ini kan kompleks. Misalnya, budaya penghormatan terhadap HAM, kita masih kurang. Apalagi, kalau hiruk-pikuk pemilu ini kan power oriented kelihatan sekali. Yang dicari kekuasaan, padahal kalau mereka menunjukkan kepedulian terhadap HAM, itu sebetulnya kekuatan juga bagi mereka.

Pola apa yang paling tepat?

Kita membangun kesadaran pemajuan perlindungan HAM. Itu ideal. Saya masih percaya dengan sistem pendidikan diseminasi untuk semua lapisan karena kalau tanpa itu, akan sulit. Jadi, untuk segala lapisan masyarakat sendiri, kalangan elite, parlemen, termasuk TNI misalnya.

Anda yakin proses pembelajaran akan berhasil?

Ya, tapi faktor yang memengaruhi bukan itu saja. Ada faktor ekonomi, bahkan stabilitas. Namun, dengan edukasi kita bisa mulai, misalnya untuk penanganan konflik ini katakanlah di satu tempat konflik, Aceh, sekarang kan kita melihat dalam operasi militer di sana, kalau tidak salah, sudah disertai dengan perwira hukum. Ketika ada penyiksaan atau pelaku pemerkosaan langsung diadili. Bukankah itu menuju ke arah perbaikan?

Bagaimana dengan pemerintah, upaya untuk pemajuan HAM seperti apa?

Ya, memang kita keroyokan semua. Misalnya untuk daerah yang potensi konflik antar-etnis, kita melakukan sosialisasi ke sana disesuaikan dengan kebutuhan lokalnya. Sosialisasi tentang diskriminasi ras, tentang penghapusan segala bentuk intoleransi, baik dari perbedaan agama juga dilakukan. Tidak hanya instansi terkait

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 31

yang melakukan, tetapi LSM juga. Mudah-mudahan DPR dan pemerintahan yang baru kelak mempunyai kepedulian untuk segera dapat merampungkan RUU KKR.

Di sejumlah instansi ada lembaga HAM, sejauh mana efektivitasnya?

Untuk efektivitas, paling sedikit untuk membangun kesadaran itu, lumayan. Memang ada duplikasi, tetapi setidak-tidaknya dalam membangun kesadaran ini ada. Walaupun memang kalau bicara dalam beberapa hal, kita pesimistis dengan performance pengadilan HAM. Tetapi yang saya rasakan memang untuk pembangunan kesadaran ada karena banyak yang melakukan itu. LSM melakukan tersendiri. Itu aset karena tugas sosialisasi HAM tidak bisa hanya dibebankan hanya kepada pemerintah atau Komnas HAM, tapi justru dari mereka-mereka. LSM itu aset, jasa mereka besar sekali. Kalau dulu LSM dianggap berseberangan dengan pemerintah, tetapi sekarang tidak lagi. Misalnya RUU KKR, yang pertama buat yakni Elsam. Jadi, mereka bukan sebagai lawan tapi sebagai mitra.

Langkah pemajuan HAM yang dilakukan pemerintah sudah maksimal?

Saya belum melihat itu, kita lihat saja Rencana Aksi Nasional HAM (RAN HAM), janjinya akan meratifikasi beberapa konvensi, kovenan tapi kok tidak. RAN HAM sudah harus keluar tahun 2003, tetapi sampai sekarang mana realisasinya? Kita juga melihat pemerintahan belum sungguh-sungguh. Saya tidak tahu kenapa hal ini tidak jadi prioritas. Seperti RUU KKR kenapa berlama-lama? Yang seperti itu kan menunjukkan ketidakpedulian, bukan hanya dari pemerintah tetapi parlemen juga.

Berapa lama untuk membangun kesadaran itu ?

Itulah saya bilang bahwa negara yang serupa dengan kita mengalami ini tidak ada yang seragam. Bahwa ini dapat dicapai lima atau sepuluh tahun, ini tergantung pemimpin negara. Kenapa sih Afrika Selatan dalam satu tahun bisa meratifikasi? Kita yang janjinya mau meratifikasi kok tidak. Sampai sekarang kita cuma punya empat konvensi: konvensi antipenyiksaan, penghapusan antidiskriminasi ras, konvensi penghapusan diskriminasi wanita dan konvensi anak. Itu pada pemerintahan transisi Habibie.

Kenapa demikian?

Persoalan ratifikasi adalah tugas pemerintah. Apakah tidak kepikiran atau tidak dianggap penting, enggak tahulah. Yang jelas, belum dianggap prioritas oleh mereka.

Kalau di mata internasional sendiri bagaimana?

Memang rapor HAM kita masih belum bagus juga, mulai dari kelambanan ratifikasi konvensi dan kovenan, sampai efektivitas implementasi konvensi yang sudah kita ratifikasi. Kemudian pengadilan HAM juga mereka lihat. Jadi, rapor kita juga masih kurang bagus, dulu ketika pengadilan HAM digelar banyak orang mengatakan, ini adalah evaluasi dari wajah hukum kita di luar negeri. Jadi, orang akan mengamati semua. Perhatian masyarakat internasional semua ke sana. Ketika ini berjalan bagus, negara luar mungkin menganggap sistem peradilan kita bagus, tetapi ketika pengadilan buruk mungkin memang begitulah adanya. (SONYA HELLEN SINOMBOR)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 32

Media Indonesia, Rabu, 05 Mei 2004 SBY Temui Keluarga Tokoh PKI dan DI-TII

EJUMLAH tokoh berinisiatif melakukan upaya rekonsiliasi dengan keluarga para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII), sebagai upaya menghentikan pewarisan konflik pada generasi muda. Hal itu berlangsung di Bandung kemarin.

Para tokoh yang hadir dalam acara itu, antara lain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Gubernur Jabar Solihin GP, Mashudi, dan KH Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Mereka bertemu dengan keluarga DN Aidit dan Kartosuwiryo di kompleks Pondok Pesantren Daarut Tauhiid, Bandung, kemarin.

Aa Gym kepada pers di Bandung, kemarin, mengungkapkan rekonsiliasi itu adalah upaya untuk merajut kebersamaan dan berhenti mewariskan konflik pada generasi muda, terutama dalam kehidupan bernegara. Rekonsiliasi bersahabat adalah hidup bernegara dalam semangat akur.

"Konflik di Ambon telah membuat pembangunan yang dirintis sejak masa kemerdekaan sia-sia dan hancur seketika oleh kemarahan dan dendam. Karenanya, konflik-konflik seperti itu harus dihentikan, sehingga kita bisa membangun sesuatu yang berguna bagi kehidupan berbangsa," jelas Aa Gym.

Sementara itu, SBY mengungkapkan dirinya mau datang ke forum tersebut untuk menghilangkan pewarisan konflik pada generasi mendatang. "Kita harus melihat ke depan dan tidak ingin melanjutkan serta mewariskan konflik yang ada. Sudah bukan saatnya lagi kita hidup bernegara dengan membawa dendam dan permusuhan," katanya.

Akibat konflik, lanjut dia, sangat besar penderitaan yang harus dipikul rakyat. Karena itu, negeri ini harus belajar menghilangkan permusuhan dan dendam.

"Selama 4,5 tahun menjabat menteri bidang keamanan dan politik, saya melihat hal itu dengan mata kepala sendiri. Saya sudah berkeliling dari mulai Aceh, Ambon, sampai Papua. Dan saya melihat konflik hanya membuat luka dan penderitaan rakyat, juga membuat negara kita mengalami hambatan kemajuan yang luar biasa. Oleh sebab itu, sebaiknya dari mulai sekarang kita harus belajar menghilangkan konflik," ujarnya.

Pada kesempatan itu, SBY juga menyatakan, tidak benar ada oknum Polri, TNI, serta intelijen yang bermain di balik kerusuhan Ambon. Adanya dugaan oknum TNI maupun Polri yang mendalangi peristiwa kerusuhan itu adalah isu yang tidak benar.

"Yang mengangkat isu itu perlu menjelaskan kepada masyarakat. Jangan membuat pernyataan yang membingungkan rakyat dengan melemparkan tuduhan yang tidak berdasar," tandasnya.

Ketika ditanya apakah maksud SBY datang dalam dialog tersebut sebagai salah satu upaya untuk merebut simpati masyarakat, SBY segera menyanggah dan menyatakan maksud kedatangannya murni sebagai gerakan sosial.

Mengenai gerakan antimiliter yang tengah memuncak di kalangan mahasiswa, SBY menyatakan hal itu merupakan kondisi yang wajar di alam demokratis. "Jika ada mahasiswa yang menolak capresnya karena dia mantan TNI, ya itu haknya. Tapi kalau ada mahasiswa yang mau memilih seorang mantan TNI untuk menjadi capres, itu juga jelas haknya. Saya tidak takut gerakan antimiliterisme menghalangi niat saya untuk menjadi presiden, karena itu merupakah gerakan yang wajar. Semuanya saya serahkan kepada masyarakat, dan silakan mereka memilih sesuai dengan hati nurani mereka," tambahnya. (SG/EM/P-5)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 33

Jakarta Post, May 11, 2004 Military objects to 'truth' Kurniawan Hari, Jakarta

The House of Representatives (DPR) on Monday opened the debates of the bill on the truth and reconciliation commission with the Military/Police faction rejecting it outright before deliberations began.

Spokesman for the Military/Police faction Maj. Gen. Djasri Marin said the faction wanted the removal of the word "truth" from the bill's title.

He warned that any attempts to reveal the actual truth about many situations would only lead the nation down a path of new conflicts, therefore hampering national reconciliation efforts.

The faction, he said, suggested that the nation bury all hatchets in the past along with the truth, otherwise it would lead to a greater cycle of conflict.

"If we want to disclose everything for the sake of mere truth, it will prevent us from real reconciliation. Finding the truth will require a trial in court with all its impacts," he warned ominously without elaborating, while speaking with the Minister of Justice and Human Rights Yusril Ihza Mahendra.

Only 20 of the total 50 legislators on the House's committee for the bill's deliberation turned up.

The Indonesian Military (TNI) has been blamed for a number of human rights abuses in the country in the past, most of which have never been investigated. A handful have been, however, with rights trials still ongoing in some cases.

The latest top officer who was tried was Maj. Gen. (ret) Rudolf Butar Butar who was sentenced to 10 years for his role in the Tanjung Priok massacre of 1984.

Different from the military faction, Mashadi of the Reform faction asserted that the commission had to clearly reveal the truth as well as the people who should held ultimately accountable for rights violations.

"However, the commission must open up a lot of space for reconciliation," he added.

The Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) spokesman Permadi said the commission would need enough power to find the truth.

"The truth must be revealed, otherwise nobody is willing to take responsibility," he said.

The House and the government discussed the bill following a decree of the People's Consultative Assembly (MPR) in 2000 on national unity, which stipulates that a truth and reconciliation commission is a prerequisite for the nation to strengthen national unity.

The attempt to uphold the law must be followed by the nation's readiness and capability to disclose the truth of incidents in the past, to admit wrongdoings and to apologize for the sake of national reconciliation.

Responding to the debate, Mahendra warned the factions against focusing on the title of the bill, which he said was inconsequential.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 34

Kompas, Rabu, 12 Mei 2004 F-TNI/Polri Ingin Kubur Kasus HAM Masa Lalu

Jakarta, Kompas - Fraksi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI/Polri) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghendaki agar fokus dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) menekankan pada aspek masa depan, bukan pada masa lalu.

Atas dasar itu, F-TNI/Polri juga menghendaki agar judul RUU KKR diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi. Kata kebenaran dihilangkan agar tercipta suasana yang rujuk di antara anak bangsa.

Hal itu mengemuka dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR DPR dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Senin (10/5). "Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu, menuju masa depan," kata anggota Pansus dari F-TNI/Polri, Djasri Marin.

Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari F-PDIP didampingi Akil Mochtar dari F-PG dan Sofwan Chudhorie dari F-KB.

Dalam rapat, selain membahas jadwal, mulai dibahas juga usulan pasal dari berbagai fraksi yang dituangkan dalam persandingan daftar inventarisasi masalah (DIM). Pembahasan DIM dimulai dari judul RUU.

Fraksi TNI/Polri merupakan satu-satunya fraksi yang mengusulkan agar nama "kebenaran" dihilangkan pada judul RUU. Mayoritas fraksi menghendaki kata kebenaran tetap dipertahankan. Mereka adalah F-PDIP, F-PG, dan F-PBB. Namun, agar sesuai dengan perintah Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000, F-PG dan F-PBB menghendaki ditambahkan kata nasional pada akhir judul RUU KKR.

Permadi dari F-PDIP berpendapat, kata kebenaran perlu dipertahankan karena tanpa adanya proses pengungkapan kebenaran tidak mungkin terjadi proses memaafkan. "Kalau tidak ada pengungkapan kebenaran, masing-masing pihak akan menolak bertanggung jawab," tegasnya.

Pertanggungjawaban

Sementara itu, Fraksi Reformasi justru mengharapkan judul RUU agar lebih dipertegas. Fraksi Reformasi mengusulkan namanya diubah menjadi RUU Komisi Pertanggungjawaban dan Rekonsiliasi. "Agar ada pertanggungjawaban dari pihak yang terlibat pelanggaran HAM masa lalu meskipun proses politik memberi ruang adanya rekonsiliasi," ujar Mashadi, juru bicara dari Fraksi Reformasi.

Yusril selaku wakil pemerintah memiliki pandangan senada. Dia mengusulkan agar judul tetap dipertahankan namun tidak menutup kemungkinan adanya perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan pembahasan. Usulan itu pun akhirnya menjadi kesepakatan rapat. (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 35

Kompas, Jumat, 14 Mei 2004 Melawan Amnesia Sejarah Oleh Baskara T Wardaya

BARU-baru ini di Yogyakarta diselenggarakan acara diskusi buku berjudul Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan. Dalam pembahasan atas buku yang berisi catatan-catatan penulis tentang pengalaman getirnya sebagai tahanan politik Orde Baru itu mencuatlah topik amnesia sejarah. Ditengarai, banyak warga negeri ini sedang dilanda gejala amnesia sejarah atau "lupa ingatan" akan masa lalu masyarakatnya sendiri (Kompas edisi Jateng dan Jogja, 10/5/2004).

Harus diakui, dewasa ini ada kecenderungan, banyak peristiwa masa lalu yang sebenarnya penting diingat dan direfleksikan bersama justru makin dilupakan. Pun seandainya diingat, sering kali ingatan akan masa lalu itu bersifat selektif dan parsial. Sering pula ingatan itu melulu didasarkan "penjelasan resmi" pejabat negara atau keterangan pihak pemenang dalam suatu konflik. Jarang didengarkan bagaimana pengalaman dan kesaksian dari pihak korban.

Tak mengherankan, sebagaimana dikeluhkan dalam harian ini, atas tragedi berdarah Mei 1998 "suara korban mulai tak didengar..." (Kompas, 12/5/2004). Berbagai kekejaman yang dialami ratusan (bahkan ribuan) anak bangsa saat itu seakan mau dilupakan begitu saja.

Akibat mewabahnya amnesia ini, berbagai bentuk pelanggaran atas hak-hak warga negara dan prinsip-prinsip keadilan yang terjadi di masa lalu dianggap enteng dan tak pernah terolah secara matang. Jarang sekali pelanggaran-pelanggaran itu secara teliti dilihat apa latar belakangnya, siapa pelakunya, siapa saja korbannya, apa dampaknya, bagaimana harus disikapi, dan sebagainya.

Akibat lebih jauh, sejumlah individu yang di masa silam merupakan pelaku pelanggaran berat hak-hak asasi manusia (HAM) kini tersenyum-senyum bebas tanpa rasa bersalah (apalagi menyesal). Bila perlu menjadi "tokoh masyarakat". Konsekuensinya, ketidakadilan yang terjadi di masa lalu dapat terulang kembali.

Sengaja

Bila dicermati, kini langit politik Indonesia makin tampak diwarnai mendung amnesia sejarah. Ada kesan, masyarakat makin lupa atas apa yang terjadi selama 32 tahun hidup di bawah sebuah rezim yang totaliter dan represif, hingga sepertinya orang tak keberatan bila unsur-unsur militer dan politik yang dulu ikut mendukung rezim itu kembali berkuasa di negeri ini. Gejala macam ini tentu amat memprihatinkan, terutama jika hal berkaitan dengan berbagai kekejaman militeristik sebuah rezim terhadap rakyatnya sendiri sebagaimana digambarkan dalam memoar di atas.

Namun, rupanya amnesia sejarah bukan melulu disebabkan faktor kebetulan. Semakin kelihatan, ia juga merupakan produk suatu kesengajaan. Tampaknya ada sejumlah kalangan di Republik ini yang ingin dengan sengaja meng-amnesia-kan masyarakat dari sejarahnya sendiri. Momen-momen khusus dalam sejarah yang sebenarnya penting sebagai titik pijak refleksi bersama justru ditutup dengan sesuatu yang lain, bagai kuburan massal yang ditutupi dengan pepohonan.

Ambil contoh berikut. Dari sejarah bangsa ini kita tahu, pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno menandatangani "Supersemar" yang, di luar kemauannya, lalu dimanfaatkan untuk legitimasi suatu kekejaman massif dan pemindahan kekuasaan secara bertahap. Berkat apa yang terjadi pada tanggal itu, supremasi sipil dalam menyelenggarakan negara direbut dari tangan mereka. Hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya, yakni tanggal 5 Juli 1959. Saat itu Bung Karno didesak Kasad Nasution untuk mengumumkan Dekrit Presiden, yang salah satu pokoknya memberikan jalan lapang bagi militer untuk ikut campur tangan dalam urusan politik sipil.

Herannya, entah disengaja entah tidak, masa kampanye resmi Pemilu 2004 dimulai 11 Maret. Sementara itu, menurut rencana pemilihan presiden 2004 akan dilaksanakan tanggal 5 Juli. Pemilihan tanggal-tanggal itu bisa berakibat masyarakat makin tak peduli akan apa yang terjadi pada tanggal-tanggal yang sama di tahun 1959 dan 1966. Padahal apa yang terjadi pada tanggal-tanggal itu memiliki dampak luar biasa dalam sejarah bangsa ini. Seandainya pemilihan kedua tanggal itu didasarkan kesengajaan agar orang lupa akan sejarah, hal itu tentu amat

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 36

menyedihkan. Tetapi, jika dasarnya "hanya"-lah ketidaksengajaan, hal itu justru menggarisbawahi betapa parahnya penyakit amnesia sejarah itu.

Timbul dugaan, jangan-jangan hal-hal macam itu dilakukan atas dasar kekhawatiran, jika masyarakat menjadi sadar akan sejarahnya banyak posisi dan keuntungan yang menyenangkan milik segelintir elite akan terancam. Dalam kasus pembantaian massal 1965-1966 dan pembuangan ke Pulau Buru, misalnya, bisa jadi penceritaan kembali (baca: pembongkaran mitos-mitos) atas peristiwa itu akan menimbulkan dampak amat serius terhadap kalangan sipil maupun militer tertentu karena makin kuatnya dugaan keterlibatan mereka. Akibatnya, banyak elemen dalam kalangan itu enggan membahas berbagai pelanggaran HAM dan keadilan di masa lalu secara tuntas.

Lebih jauh harus diakui, amnesia juga didukung lemahnya minat untuk belajar sejarah, termasuk di perguruan tinggi. Di negeri ini, perguruan tinggi yang memiliki Jurusan Sejarah tidak banyak. Sementara itu, buku-buku teks yang ada masih cenderung diwarnai pandangan "sejarah resmi" yang dimaksudkan untuk mendukung mereka yang berkepentingan dan berkuasa. Geliat untuk mempelajari sejarah secara lebih terbuka akhir-akhir ini muncul, namun masih pada tahap permulaan sehingga amnesia sejarah masih merupakan penyakit sosial yang meluas.

Kesadaran sejarah

Guna melawan penyakit macam itu, perlulah kiranya digalakkan semacam gerakan bersama melawan amnesia sejarah. Untuk itu, pertama, perlu dikembangkan upaya-upaya agar semakin banyak masyarakat bisa belajar sejarah secara lebih terbuka, lebih sehat, dan lebih menarik, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi. Sebagai disiplin ilmu, sejarah merupakan bidang akademis yang dapat mendidik individu untuk bersikap kritis karena ia merupakan ilmu yang terbuka atas berbagai interpretasi, verifikasi, falsifikasi, dan sebagainya. Proses pembelajaran sejarah yang dimonopoli dan direkayasa demi aneka kepentingan tertentu yang eksklusif perlu semakin dihindari. Sementara itu berbagai metode dan metodologi sejarah penting untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan.

Kedua, perlu makin digalakkan kesadaran sejarah di masyarakat luas. Berbagai cara sebaiknya ditempuh guna merangsang masyarakat agar kian tertarik sejarah. Bermacam ragam alat komunikasi publik yang tersedia luas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ini.

Diharapkan, masyarakat yang sadar sejarah akan semakin mampu belajar dari masa lalunya sendiri maupun masa lalu orang lain. Kegagalan untuk belajar sejarah bisa membuat berbagai kekejaman militeristik seperti dialami Hersri Setiawan dan ribuan tahanan politik Pulau Buru yang lain itu terulang kembali.

Selanjutnya diharapkan, meluasnya minat dan kesadaran sejarah baik di kalangan akademisi maupun masyarakat luas akan membantu upaya perwujudan keadilan, kebenaran, rekonsiliasi, serta penghormatan nilai-nilai manusia-sebagai-manusia di negeri ini. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang semakin mampu menghormati nilai-nilai kehidupan dan hak-hak para warganya.

Baskara T Wardaya SJ Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 37

Kompas, Jumat, 14 Mei 2004 Berdamai dengan Masa Lalu

Rekonsiliasi sejati mengekspose kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, dan kebenaran. Bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini adalah suatu perbuatan yang berisiko, meskipun begitu pada akhirnya akan bermanfaat karena pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu.

- Uskup Desmond Mpilo Tutu, dalam Buku Tiada Masa Depan Tanpa Pengampunan (1999)

ISU rekonsiliasi kembali bergema menjelang Pemilu Presiden 5 Juli 2004. Para kandidat calon presiden dan wakil presiden dalam bahasa mereka masing-masing menawarkan isu rekonsiliasi dan bagaimana berdamai dengan masa lalu. Calon presiden dari Partai Golkar, Jenderal (Purn) Wiranto, mengajak masyarakat tidak terjebak dengan masa lalu. Calon wapres Salahuddin Wahid menggemakan isu perlunya rekonsiliasi nasional.

WIRANTO, mantan Panglima ABRI di masa akhir kekuasaan Jenderal Besar Soeharto, mengemukakan, "Kalau kita selalu terjebak pada masa lalu tanpa bisa menyelesaikan secara tuntas dan ikhlas, kita tak bisa menyelesaikan itu semua dengan cara lebih arif dan lebih bijak, tanpa menimbulkan masalah baru," kata Wiranto, Rabu (12/5) malam.

Sayang, Wiranto tak mengelaborasi bagaimana masalah masa lalu diselesaikan dengan cara lebih arif dan bijak, tanpa menimbulkan masalah baru. Sebagaimana kandidat presiden lain, tak ada perspektif komprehensif dan konkret soal bagaimana masa lalu harus dikelola, lalu digunakan untuk menata masa depan lebih baik.

Apakah penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu itu penting? Tulisan Karlina Supeli berjudul Warisan Para Korban (Kompas, 26 Juli 2003), mungkin bisa memberi jawaban. Ia mengutip ucapan Tocqueville (1805-1859) dalam Democracy in America, "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, manusia mengelana di tengah kabut". Kemudian, ia meneruskan, "Tak satu pun lenyap hanya karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas para saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan".

Sejarawan Taufik Abdullah yang memberi pengantar pada buku Wiranto Bersaksi di Tengah Badai (2003) dengan mengutip seorang teoretikus, "Masa lalu", katanya, "adalah negeri asing". Siapa tahu "di sana di negeri asing itu" terletak sumber ketidakberesan yang kini dirasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaki, agar yang terjadi "di sini" baik-baik saja.

Dengan cara pandang seperti itu, masa lalu tak mungkin dilupakan begitu saja. Bagaimana mengelola masa lalu akan sangat menentukan bagaimana kita menata masa depan. Seperti kata Taufik Abdullah, dengan melakukan perjalanan ke masa lalu, mungkin kita bisa menemukan ketidakberesan yang kini terjadi dan mungkin masih akan sering terjadi.

Kasus kontemporer ketika anggota Polri menyerbu Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar beberapa waktu lalu, bagaimana anggota Polri memperlakukan mahasiswa mungkin bisa memberi gambaran bahwa kita gagal belajar dari masa lalu. Kita dan masyarakat diam saja ketika pelanggaran HAM Abepura, saat Polri menyisir mahasiswa dan menyebabkan sejumlah mahasiswa menjadi korban. Tak ada sebuah koreksi lebih keras untuk memberikan kesadaran baru bahwa cara seperti itu keliru. Baru, sekarang digelar pengadilan atas anggota Polri dalam kasus pelanggaran HAM Abepura.

LAHIRNYA pemerintahan baru pada pemilu 5 Juli 2004 adalah momentum baru untuk mengelola masa lalu. Dengan sistem pemilihan presiden secara langsung, para kandidat mempunyai popular mandate yang sangat kuat kalau memang ada kesadaran untuk melakukan perjalanan ke negeri asing yang bernama masa lalu.

Adakah harapan atau kehendak kandidat presiden untuk menyelesaikan masa lalu. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim yang banyak mempelajari bagaimana negara lain

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 38

menyelesaikan masa lalu, menilai tidak ada kandidat yang punya platform dan program komprehensif untuk menyelesaikan masa lalu.

Menurut Ifdhal, pasangan Wiranto-Salahuddin memang mengedepankan aspek rekonsiliasi yang diproyeksikan untuk menata masa depan. Rekonsiliasi seperti itu tak akan memberi dimensi keadilan bagi korban. Wiranto-Salahuddin mengambil kebijakan yang mengarah pada promosi HAM, bukan perlindungan HAM.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, menurut Ifdhal, mungkin akan mengembangkan perspektif berbeda. Jika benar Yudhoyono mengadopsi platform Nurcholish Madjid, rekonsiliasi yang dikedepankan tidak mengarah kepada pemberian blanket amnesty. Rekonsiliasi model Nurcholish tetap mempersyaratkan pengungkapan kebenaran dan penghukuman.

Pasangan-pasangan lain, menurut Ifdhal, belum bisa dibaca bagaimana akan mengelola masa lalu. Dalam platform partai masalah penegakan HAM, partai memasukkannya dalam bagian penegakan hukum dalam bahasa normatif, misalnya dengan mendukung ratifikasi konvensi PBB soal HAM.

Dalam penelusuran Kompas, program Partai Demokrat tentang penyelesaian masa lalu- jika ini akan digunakan sebagai platform Yudhoyono jika menjadi presiden-lebih konkret dan jelas. Partai ini mengedepankan rekonsiliasi dengan syarat, (1) adanya pengakuan bersalah dari mereka yang merasa bersalah, (2) pemberian pengampunan, (3) ke depan tidak boleh ada lagi yang melakukan kesalahan. Partai Demokrat merujuk pada rekonsiliasi Afrika Selatan dan Korea Selatan (Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program, hal 187).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam program partainya sebenarnya lebih tegas. Partai itu akan mendorong dan memelopori penuntasan kasus pelanggaran HAM secara hukum, bukan oleh lembaga politik. Apakah PKB akan konsisten dengan platform itu, masih harus ditunggu. Namun, bagaimana platform partai itu masih valid kalau kita melihat bersandingnya Salahuddin dengan Wiranto dan kemungkinan PKB akan berkoalisi dengan Golkar.

Bara Hasibuan yang gagal menjadi anggota DPR mengatakan, dengan melihat track record dan platform partai, masa lalu tetap akan menjadi sejarah gelap bangsa. Hampir tak mungkin ada mengungkap kasus masa lalu. "Bagaimana mau menyelesaikan masa lalu kalau elite politik yang bertarung adalah bagian dari masa lalu yang harus diselesaikan".

Bagi Hasibuan, masalahnya bukan hanya platform yang mungkin bisa dibuatkan para ahli. "Namun kita harus jeli melihat, sepanjang karier sang tokoh kapan mereka menegakkan HAM. Misalnya, Hamzah Haz, Megawati, Wiranto. Sepanjang karier mereka, apa yang telah mereka lakukan," katanya.

Jika dalam posisinya sebagai Presiden, Wapres, Panglima ABRI, tak ada komitmen menegakkan HAM dan menyelesaikan masa lalu, bagaimana rakyat percaya dengan janji-janji yang diucapkan. Terlepas dari kelemahan dan tiadanya platform para kandidat, masalah masa lalu harus diupayakan untuk diselesaikan. Penyelesaian masalah masa lalu merupakan titik penting agar bangsa ini tak terus dibayangi kekelaman masa lalu. "Masa lalu yang terus terbawa ke masa kini akan sangat melelahkan," katanya.

Bagi dia rekonsiliasi adalah sebuah hal penting untuk membangun kebersamaan sebagai bangsa. "Namun ingat, no reconciliation without truth. Kebenaran harus ada," katanya.

Proses rekonsiliasi sejati adalah mengekspose kekejaman, kata Uskup Desmond Tutu yang pernah memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Setelah tahapan itu dilewati, maka akan dicapai pemulihan nyata. Rekonsiliasi yang palsu hanya akan menghasilkan pemulihan palsu.

Menjadi tugas kandidat presiden yang mendapat mandat rakyat pada pemilu 5 Juli 2004 untuk menyelesaikan masa lalu. Sebuah rezim yang mampu menyelesaikan masa lalu akan memperoleh legitimasi baru.

Di banyak negara yang sedang menjalani transisi demokrasi, memang masalah itu menjadi perdebatan besar. Sebagaimana dikatakan Lawrence Whitehead, "Kalau kejahatan-kejahatan besar tidak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma-norma demokrasi dalam masyarakat; dan karenanya tidak terjadi konsolidasi yang

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 39

sebenarnya." Namun, yang dikatakan Whitehead itu mendapat tanggapan balik dari Presiden Uruguay Sanguinetti. "Mana yang lebih adil, mengonsolidasikan perdamaian di suatu negeri, di mana hak-hak asasi manusia terjamin pada masa kini atau mencari keadilan ke masa lampau yang bisa membahayakan perdamaian."

Itulah dilema yang harus dicari jalan keluarnya oleh sang presiden terpilih. (Budiman Tanuredjo)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 40

Suara Pembaruan, Kamis 21 Mei 2004 Rekonsiliasi Nasional melalui Pelurusan Sejarah Oleh Soenarto

Di tengah kegalauan pemilihan umum, mengalir arus kegalauan yang lain, yaitu tuntutan untuk segera diadakannya rekonsiliasi dan pelurusan sejarah nasional. Arus ini tampak mengalir deras karena kerisauan dalam menghadapi keroposnya ikatan-ikatan sosial diskriminasi yang masih berlaku, disintegrasi yang menyeruak, serta tergelarnya sejarah yang diwarnai kebohongan.

Terbungkamnya demokrasi dan penuturan sejarah bohong oleh Orde Baru telah menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam lembah disorientasi. Sakit hati, dendam, kecemburuan, kedengkian dan pengkotak-kotakan dalam masyarakat pada masa Orde Baru dapat terpendam dalam selubung stabilitas dan retorika "persatuan dan kesatuan".

Namun kondisi yang menyakitkan tersebut menyeruak setelah terbingkasnya represi yang selama lebih dari 30 tahun membungkam nafas demokrasi, tetapi reformasi yang tidak memiliki platform ternyata tidak mampu memberikan orientasi kehidupan yang jelas.

Tercabik-cabiknya bangsa oleh berbagai prasangka dan kerakusan, eksklusivisme di berbagai bidang dan kelompok sosial, serta merosotnya nilai-nilai fundamental sebagai perekat integrasi bangsa akan membawa bangsa Indonesia ke jurang kehancuran. Kesadaran akan bahaya yang mengancam inilah rupanya yang mendorong berkembangnya tuntutan untuk dilaksanakannya rekonsiliasi nasional. Terlihat adanya kerinduan akan terbangunnya kesatuan bangsa sebagai sebuah entitas yang memiliki integritas dan cita-cita.

Rekonsiliasi bukanlah koalisi. Rekonsiliasi tidak dapat dibangun hanya berdasarkan persamaan kepentingan jangka pendek. Rekonsiliasi harus memiliki landasan dan tujuan yang lebih mendasar guna membangun kembali kesatuan bangsa untuk berjuang mencapai cita-citanya.

Oleh karenanya rekonsiliasi tidaklah cukup hanya dengan cara saling memahami dan memaafkan dengan melupakan sejarah masa lalu, agar rekonsiliasi yang terbangun tidak hanya sebatas di permukaan dan bersifat sementara.

Melupakan sejarah masa lalu dengan alasan agar tidak terpenjara oleh sejarah, kemudian membiarkan sejarah berkembang dalam beragam wacana dengan dalih demokrasi justru akan menimbulkan kebingungan. Dengan melupakan sejarah, orang tidak akan mengenal lagi siapa pahlawan dan siapa pengkhianat, tidak tahu dari mana kita berangkat, di mana kini berada, dan ke arah mana tujuan dalam mendirikan negara bangsa ini.

Di samping itu dengan kesimpangsiuran wacana karena beragamnya interpretasi atas dasar paradigma yang berbeda-beda juga akan mengakibatkan tersimpannya dendam yang tidak proporsional yang pada saatnya akan menyeruak untuk melahirkan luka baru.

Hal ini tidak berarti akan meniadakan adanya pandangan kritis terhadap sejarah, tetapi pembakuan sejarah berdasarkan nilai-nilai dan paradigma yang telah disepakati bersama merupakan hal yang mutlak perlu.

Manipulasi

Gelapnya sejarah tahun 1965 merupakan bukti yang telah menimbulkan akibat sangat buruk. Masyarakat, terutama generasi muda menjadi kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi pada malam 30 September 1965 sampai dini hari 1 Oktober 1965, meskipun orang tahu bahwa pada saat itu telah terjadi tragedi nasional dan kemanusiaan yang berkelanjutan dengan bercokolnya kekuasaan otoriter dan represif.

Kemudian berkembanglah sejarah yang penuh dengan manipulasi dalam kekuasaan yang korup. Di dalam kekuasaan yang tidak jujur, sejarah pun akan berkembang dengan penuh kebohongan. Demi kepentingannya sendiri, mereka tega menjerumuskan bangsa dan generasi yang kemudian melalui informasi yang menyesatkan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 41

Baru menjelang akhir kekuasaan Soeharto mulai tersingkap kebohongan-kebohongan Orde Baru dan berkembanglah tuntutan untuk diadakannya pelurusan terhadap sejarah nasional.

Terutama bagi generasi muda yang pada tahun 1965 belum lahir atau belum mampu memahami apa yang sesungguhnya terjadi (namun sebagian di antaranya harus ikut menanggung "dosa kolektif/dosa turunan"), pelurusan sejarah merupakan hal yang sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk memahami masa lalu tetapi juga untuk memahami keadaan yang dihadapi dan masa depannya.

Sejarah memang tidak hanya menyangkut masa lalu dan masa kini, tetapi juga masa depan. Suatu bangsa yang memiliki cita-cita akan berjuang agar mampu memahat sejarah sesuai dengan cita-citanya. Dalam pengertian yang demikianlah suatu bangsa tidak hanya akan menjadi pelaku sejarah, melainkan juga sebagai pencipta sejarah.

Berbeda dengan ketika hanya menjadi objek eksploitasi kolonialisme/imperialisme yang telah melahirkan sejarah kelam, bangsa Indonesia telah mampu menjadi pencipta sejarah ketika berjuang bersama merebut dan kemudian mempertahankan kemerdekaan. Bahkan kemudian juga menjadi pencipta sejarah dunia ketika memelopori diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non-Blok sampai dengan hadirnya the New Emerging Forces (Nefo). Tetapi dengan sebagai pencipta sejarah tersebut kembali sirna ketika kedaulatan bangsa Indonesia kembali terpuruk ke dalam genggaman kapitalisme internasional.

Orientasi Jelas Untuk melakukan pelurusan sejarah diperlukan orientasi yang jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan orientasi itulah akan diletakkan paradigma untuk menilai apakah kehidupan berbangsa dan bernegara ini berada pada rel yang menuju ke arah tujuan mendirikan negara ini atau sebaliknya.

Suatu bangsa yang kehilangan orientasi akan terjerumus ke dalam kebingungan dan mudah terseret ke dalam pertengkaran tiada henti, bermuara pada kehancuran karena tiada pedoman untuk bergerak maju. Jalan penyelamatannya adalah menemukan kembali jati diri, untuk kemudian menegakkan satunya orientasi kehidupan.

Pembukaan UUD 1945 yang juga dikenal sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia adalah raison d'etre bangsa Indonesia. Nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalamnya akan memberikan bimbingan bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali jati dirinya. Oleh karena itu berdasarkan Pembukaan UUD 1945 itulah orientasi bangsa Indonesia ditetapkan, dan sekaligus dijadikan sebagai landasan dan acuan untuk melakukan pelurusan sejarah serta membangun rekonsiliasi nasional.

Dengan paradigma tersebut akan diperoleh landasan yang objektif untuk menilai apakah seseorang adalah pahlawan atau pengkhianat, apakah suatu aksi/gerakan dari suatu kekuatan merupakan pengkhianatan atau bagian dari perjuangan bangsa. Dari sinilah akan dapat ditarik benang merah pelurusan sejarah nasional Indonesia.

Tentu saja dalam melakukan penilaian ini para penulis sejarah atau sejarawan dituntut untuk tidak hanya menilai seseorang atau suatu gerakan berdasarkan pernyataan formal atau retorika yang dikumandangkan, melainkan harus mampu melakukan penilaian berdasarkan sikap dan perilakunya.

Antara rekonsiliasi dengan penyajian sejarah yang lurus memang merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Melalui sejarah yang lurus sebagai hasil penarikan benang merah berdasarkan paradigma yang mengacu pada tujuan mendirikan negara bangsa (nation state) tersebut, akan dapat dibangun rekonsiliasi yang kokoh dan berorientasi ke depan.

Dengan demikian rekonsiliasi yang terbangun bukan sekadar hasil saling memahami dan memaafkan, tetapi merupakan hasil introspeksi dengan melakukan koreksi terhadap kesalahan masa lalu dan memantapkan kembali arah dan tujuan perjuangan bangsa. Landasan rekonsiliasi tidak hanya akan menyangkut hal-hal yang bersifat praksis dan temporer, melainkan harus menukik pada masalah yang bersifat ideologis. * Penulis adalah pengamat masalah sosial.

Last modified: 21/5/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 42

Kompas, Rabu 26 Mei 2004 RUU KKR Di Tengah Tarikan Kepentingan Setahun sudah, Sumaun Utomo, salah satu korban kemanusiaan 1965, dengan mengiba-iba datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pria yang sudah berumur itu memohon agar pemerintah segera mengeluarkan keputusan presiden (Keppres) untuk merehabilitasi korban Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965. Dia pesimis, proses rehabilitasi melalui jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (KKR) bisa segera terlaksana. Dia juga tidak yakin, Rancangan Undang-Undang KKR akan selesai satu atau dua tahun. “Inilah kesempatan Presiden dengan hak prerogratifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi. Mumpung kami sebagai korban masih hidup dan penanggungjawabnnya Soeharto juga masih hidup,” ujar Sumaun lirih. Beratnya penderitaan yang dialami korban kemanusiaan 1965 sulit dilukiskan. Mereka banyak yang dihukum tanpa proses pengadilan. Hartanya dirampas. Keturunannya mendapatkan perlakuan diskriminatif. Kini, setelah rezim Soeharto berganti dan presiden berganti hampir empat kali, mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid, serta Megawati Soekarnoputri , dan sebentar lagi Pemilu Presiden, mereka belum juga mendapatkan rehabilitasi. Penantian Panjang Apakah kegelisahan Sumaun ini benar-benar akan menjadi penantian tanpa harapan? Yang jelas, hari ini, Rabu (26 Mei 2004), setahun sudah usia RUU KKR. Pada 26 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf RUU KKR ke DPR untuk dibahas. RUU KKR tesebut idak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih menitikberatkan pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan memberi amnesti pada pelaku untuk membuka jalan rekonsiliasi. Pokok pikiran yang melandasi RUU KKR ini adalah bermaksud menelusuri kebenaran serta menegakkan keadilan terhadap kasus pelangaran HAM yang tejadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. RUU KKR juga merupakan amanat ketetapan MPR V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dan perintah UU No. 26/2000. Pasal 27 UU No. 26/2000 mengamanatkan “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sampai saat ini, RUU KKR itu masih juga samar-samar. Pembahasan rancangan ini di Senayan baru memasuki tahap pembahasan pasal-pasal. Rapat Panitia Kerja untuk membahas pasal secara terperinci baru akan dimulai 1 Juni 2004. Sementara itu, masa kerja DPR tinggal tersisa sekitar empat bulan dan itu pun belum dipotong masa reses dan kesibukan kampanye menghadapi Pemilu Presiden. Materi RUU KKR tidak terlalu banyak dibandingkan dengan RUU lainnya. RUU ini hanya terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU KKR Sidharto Danusubroto dan Wakil Ketua Pansus RUU KKR Sofwan Chudorie sendiri optimis RUU KKR dapat diselesaikan sebelum masa kerja DPR 1999-2004 berakhir. Kendati demikian, kalalau mencermati persandingan pandangan fraksi terhadap pasal yang diajukan pemerintah pembahasan kemungkinan besar akan berjalan alot. Berbeda dengan pembahasan RUU lainnya, perdebatan RUU KKR sudah dimulai dari perdebatan judul. Pemerintah dan sembilan Fraksi di DPR memiliki pandangan yang berbeda,. TNI/Polri, misalnya, sikapnya jelas. Mereka menghendaki agar RUU ini menonjolkan semangat rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran F-RNI/Polri menghendaki judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti diusulakn pemerintah. Fraksi Reformasi sebaliknya mereka mengusulkan judul RUU KKR mempertegas aspek pertanggungjawaban para pelaku. Mereka mengusulkan judul “RUU Tentang Komisi pertangungjawaban dan Rekonsiliasi”.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 43

Ada juga fraksi yang menekankan aspek legalitas formal. Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), misalnya mengusulkan agar judulnya disesuaikan dengan Ketetapan MPR V/MPR/200 yang memeritahkkan pembentukan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional”. Dikarenakan pendapat tersebut tidak mencapai titik temu, akhirnya sementara disepakati untuk tetap memberi judul RUU ini seperti usulan pemerintah tetap nantinya disesuaikan dengan perkembangan pembahasan yang terjadi. Padahal, judul mencerminkan isi. Kalau judul saja belum pasti, bagaimana dengan isinya nanti? Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda-beda tentang devinisi korban, pelaku, maupun ganti rugi, seperti kompensasi, amnesti, restitusi, rehabilitasi. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, korban didefinisikan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelangaran hak asasi menusia yang berat. F-FDIP mengusulkan untuk mempersempit korban, yaitu khusus pada yang menglami akibat langsung dari pelanggaran HAM berat. Sementara itu, F-PBB malah meluaskan devinisi korban F-BBB mendefinisikan ahli waris sebagai janda atau duda, dan anak dari korban. Sedangkan untuk yang tidak mempunyai isteri, suami, dan anak adalah orang tua atau kakek dan nenek. Bagi yang tidak mempunyai seluruhnya adalah cucu. F-PBB juga mengusulkan agar pelaku didefinisikan sebagai orang perseroangan, kelompok satuan atau institusi yang melakukan pelanggaran HAM yang berat baik langsung maupun tidak langsung atau orang yang membantu, memberi izin, mentolerir, dan membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut. Perbedaan pandangan juga masih terjadi pada rumusan pasal soal ganti rugi. Pendefinsian kompensasi, misalnya, pemerintah mendefinsikannya sebagai ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli peristiwa untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental. F-PDIP menginginkan agar koompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Sementara F-TNI/Polri mengusulkan agar ditegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak dinilai secara material. Tujuannya agar pemberian kompnensasi ini tidak menjaid preseden dan menimbulkan permasalahan baru. Sebaliknya, F-PBB justru menekankan kesetaraan nilai kompensasi yang diberikan dengan penderitaan korban. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga ke pada korban atua keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Rehabilitasi adslah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Fraksi Reformasi menghendaki pemulihan tersebut menyangkut pemulihan fisik dan mental. Terakhir soal amnesti. Pemerintah mengusulkan pengampunan diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara kepada pelaku pelanggaran HAM berat. F-PDIP dan Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI) menghendaki agar amnesti itu diberikan Preiden atas saran/usul dari Komisi. Demikian juga soal tugas, fungsi, kedudukan, keanggotaan, dan proses perekrutan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tajam. Tarik-menarik kepentingan memang terasa. Materi daftar inventarisasi Masalah yang akan dibahas Panitia Khusus RUU KKR berjumlah 190 butir. Mencermati perbedana pandangan yang terjadi antarfraksi, masih akan membutuhkan waktu panjang. Pansus sendiri kelihatannya belum menaruh perhatian besar pada RUU KKR ini. Terlihat, dari 50 angota pansus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti rapat. Rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan HAM pekan lalu hanya dihadiri 28 orang dari total 50 anggota. Dari sejumlah itu, yang hadir secara fisik 12 orang, sedangkan 16 orang selebihnya menyatakan izin.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 44

Padahal, seperti diketahui bahwa Sumaun tidak sendirian. Pelanggarna HAM yang diduga dilakukan oleh rezim Soeharto sejak tahun 1965 – 1998 melibatkan jutaan warga. Pelanggaran HAM itu antara lain Peristiwa G30S yang sekarang masih gelap (1965 – 1975); Penembakan Misterius (tahun 1975-1985); Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Haur Koneng, DOM Aceh, Timtim, dan Papua (1985 -1995); Kasus 27 Juli 1996, dan kerusuhan Mei (1995 – 1998). Padahal, seperti dikutip Bambang A Sipayung dari Jenifeer Llewelyn dalam artikelnya di Kompas, rekonsiliasi harus memberi prioritas pada penderitaan korban. Tanpa memperhatikan korban, rekonsiliasi bagai menggantang asap. (Sutta Dharmasaputra).

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 45

Republika, Kamis, 27 Mei 2004 Korban Priok Tagih KRR Sementara itu, sejumlah korban dan keluarga korban kasus Tanjung Priok, Rabu (26/5) mendatangi Kejaksaan Agung. Mereka menanyakan realisasi pembayaran kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (KRR) nama baik mereka. Hal itu terkait dengan adanya putusan pengadilan HAM ad hoc dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok. Dalam kasus Priok, salah seorang terdakwa yakni mantan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0502 Tanjung Priok, Mayor Jenderal (Pur) RA Butarbutar, telah divonis hukuman 10 tahun penjara. Ia terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat. Selain itu, putusan majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso juga memerintahkan agar para korban mendapatkan (KRR) itu.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 46

Kompas, Sabtu 29 Mei 2004 Kebenaran Masa Lalu dan Rekonsiliasi Oleh Bambang A Sipayung

DALAM pembahasan UU Rekonsiliasi di DPR, muncul diskusi yang patut direnungkan. Fraksi TNI/Polri menghendaki penghilangan kata kebenaran dan lebih menekankan aspek masa depan daripada masa lalu.

Djasri Marin, anggota pansus dari Fraksi TNI/Polri mengatakan, "Bila semuanya diungkap jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu menuju masa depan." Elsam menolak usulan ini dengan alasan, catatan masa lalu berguna bagi pembelajaran demi menghindari pelanggaran HAM di masa depan dan efek penjeraan (Kompas, 24/5). Mengungkap masa lalu diharapkan menjadi proses belajar menyadari kesalahan dan jera untuk melakukannya lagi.

SAYA tertarik memberi catatan dalam diskusi sekitar kebenaran dan masa lalu. Pusat diskusi kebenaran dalam rekonsiliasi ialah apa yang telah terjadi. Ada tarik-menarik antara persepsi kelompok hak asasi manusia dan korban dengan konsepsi para protagonis konflik masa lalu. Bagi kelompok pertama, pengungkapan kebenaran menjadi prasyarat rekonsiliasi. Sebaliknya bagi kelompok terakhir terlalu banyak berkutat dengan masa lalu hanya meningkatkan ketegangan dan mempertajam perpecahan di masyarakat. Dalam konteks seperti inilah kiranya tarik-menarik antara usul penghilangan kata kebenaran dari Fraksi TNI/Polri dan penolakan oleh Elsam bisa diletakkan.

Apakah kebenaran dan masa lalu? Dalam konteks Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di negara-negara Amerika Selatan dan Afrika, kebenaran ingin dipahami sebagai suatu "rekaman masa lalu yang otoritatif". Otoritas itu bisa diupayakan dengan mentransformasi kebenaran menjadi suatu "pengetahuan obyektif". Dalam konteks ini, catatan sejarah mengenai pelanggaran hak asasi manusia direkam dan diajukan sebagai bukti tentang apa yang telah terjadi. Salah satu kritik terhadap pendekatan ini ialah hilangnya subyektivitas dan konteks individu demi kepentingan obyektif. Hak asasi individu sering dijauhkan dari konteksnya, ditelanjangi makna subyektifnya bagi upaya mendapatkan fakta legal obyektif.

Kritik ini melahirkan gagasan kebenaran sebagai suatu pengakuan. Standar obyektivitas dan legal tidak menjadi paling utama meski perlu. Jennifer J Llwellyn menyebutnya sebagai kebenaran intersubyektivitas yang diperoleh lewat konfrontasi antara pihak-pihak terkait, yaitu antara korban, pelaku kejahatan, dan komunitas. Masing-masing pihak menceritakan "kebenaran" suatu peristiwa menurut versinya.

Menurut Howard Zehr, subyektivitas kebenaran seperti ini bagi korban merupakan kesempatan agar penderitaan, rasa sakit, atau mimpi buruk mereka bisa disentuh dan didengarkan, sekaligus memperoleh kembali kontrol atas hidupnya dan mempertahankan haknya. Kendali itu menjadi nyata saat korban menyampaikan maaf dan pengampunan kepada pelaku kekerasan.

MESKI memberi prioritas kepada korban, kebenaran yang melibatkan pengakuan ikut menyentuh pelaku tindak kekerasan. Bagi pelaku tindak kekerasan, pengakuan akan kesalahan atau kekeliruan yang telah terjadi menjadi sumbangan penting dalam proses rekonsiliasi. Sama seperti para korban, rekonsiliasi merupakan undangan kepada pelaku langsung tindak kekerasan untuk mengisahkan apa yang telah dilakukan, menemukan, dan mengakui kekeliruan yang telah terjadi. Pengakuan atas apa yang terjadi, kekeliruan dan kesalahannya, serta permohonan maaf menjadi bagian di mana pelaku tindak kekerasan ikut ambil bagian dalam rekonsiliasi dan membangun hidup bersama.

Menampilkan kisah seorang pemerkosa atau pelaku pembunuhan peristiwa Mei 1998 dalam forum publik bisa menjadi suatu cara untuk menyingkap apa yang terjadi. Memang ada kecenderungan untuk menilai orang-orang seperti ini sebagai monster keji tak berperasaan.

Namun, berdasarkan analisis psikologis terhadap tentara, agas (child soldiers), dan pelaku tindak kekerasan lainnya terlihat adanya penderitaan psikis berupa mimpi-mimpi buruk, gejala pengucilan diri, ketakutan, dan depresi akibat pembunuhan, pemerkosaan, atau kekerasan lain yang mereka lakukan. Rekonsiliasi perlu menyentuh pengalaman seperti ini.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 47

Di luar dua aktor langsung ini, ada komunitas yang menjadi lingkup besar kehadiran korban dan pelaku kekerasan. Ketidaktahuan yang melahirkan asumsi negatif terhadap korban maupun pelaku tindak kekerasan sering menjadi sikap kelompok ini. Mereka seakan berdiri sebagai penonton yang cenderung menilai segala sesuatu berdasar kriteria bad guy dan good guy. Menampilkan kisah korban dan pelaku tindak kekerasan adalah upaya menginformasikan yang terjadi secara berimbang. Di sana kisah itu menantang komunitas penonton untuk terlibat reintegrasi korban dan pelaku kejahatan.

Kebenaran dalam proses rekonsiliasi dengan demikian menjadi perjumpaan naratif. Masing-masing pihak diberi ruang kebebasan subyektif untuk berkisah. Perjumpaan naratif seperti ini, selain bernilai sebagai proses penyembuhan sosial, menurut Marcia Byrom Hartwell, juga bernilai sebagai forum publik untuk mengakui penderitaan yang mendalam dan hampir tak terungkapkan akibat rasa kehilangan. Dalam arti ini, perjumpaan naratif menjadi panggung bersama (common platform) bagi martabat dan rasa hormat terhadap pengalaman semua orang.

Sebagai suatu perjumpaan naratif yang melibatkan pengakuan pihak yang terlibat peristiwa kekerasan, masa lalu tentu menjadi bagian integral yang perlu dihormati. Menutupnya atau melupakannya, terutama yang terkait tindak kekerasan, demi alasan suci dan baik seperti masa depan bisa menjadi bom waktu tindak kekerasan berikutnya. Pendapat ini diyakini para penganut teori duka (grievance theory) dalam menjelaskan sebab-sebab kekerasan. Menurut teori ini, tindak kekerasan terjadi akibat represi masa lalu kekerasan. Duka berubah menjadi kepahitan, dendam, dan pembalasan dendam.

MENEMPATKAN problem kebenaran, masa lalu, dan masa depan dalam rekonsiliasi di Indonesia, terutama menantang dan menggugat sikap ksatria para serdadu, entah sebagai institusi dan terutama pribadi untuk berkisah dan mengakui apa yang terjadi. Meneruskan lagu lama bahwa tentara sebagai penyelamat RI kiranya butuh elaborasi masa lalu dan kisah pengakuan mengapa dan bagaimana korban bisa jatuh.

Ini bukan soal mengorek luka lama atau menyalahkan, tetapi keberanian dan sikap ksatria untuk menatap realitas. Tentu akan menarik bila para calon presiden, terutama yang mantan militer, berani berkisah apa yang terjadi pada peristiwa Mei 1998, mengakui apa yang keliru dan bila perlu memohon maaf daripada ramai saling tuding, menampilkan kepahlawanannya dan melancarkan negative campaign kepada pesaingnya.

Bambang A Sipayung Mahasiswa S-2 Teologi Sanata Dharma Yogyakarta

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 48

Program Cappres untuk KKR Koran Tempo, Selasa, 1 Juni 2004 Tim Kampanye Wiranto-Salahudin Politik Rekonsiliasi Lewat Banyak Pendekatan PERSOALAN yang melilit republik ini di mata pasangan Wiranto-Salahudin amat kompleks. Penyelesaiannya, menurut mereka harus melalui dua jalur, yakni hukum dan politik. Jalan pertama, keduanya memilih hukum. Namun, tak dinafikkan penyelesaian secara politik. Muaranya: rekonsiliasi. Intinya, bagaimana persoalan-persoalan masa lalu yang sangat kental muatan politiknya dan belum tuntas hingga kini diselesaikan lewat rekonsiliasi. Tujuan rekonsiliasi, kata Bomer Pasaribu, anggota tim sukses Wiranto-Salahudin, untuk menghilangkan konflik-konflik. Horizontal maupun vertikal. Pintu utama, ia menyebut melalui penegakan supremasi hukum. Tapi ada pintu lain, misalnya, pendekatan bersifat sosiologis. "Pokoknya muaranya harus berujung pada terciptanya rekonsiliasi," katanya. Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Trisakti/Semanggi, atau yang lain, menurut Bomer, ada berbagai cara untuk menyelesaikannya. Ada yang perlu penyelesaian yuridis, tapi ada juga yang harus secara politis sosiologis. Semua kemungkinan harus dibuka. "Capek konflik terus sementara persoalan di depan mata banyak yang harus diselesaikan," katanya. Soal bagaimana formula menuju rekonsiliasi itu, apakah diungkapkan kebenarannya atau tidak, tim kampanye pasangan Wiranto-Salahudin memandang hal ini masih perlu dibicarakan dengan banyak pihak. Program politik lain yang disiapkan Wiranto-Salahudin adalah bayangan susunan kabinet jika mereka berhasil masuk istana Merdeka Utara dan Selatan. Akankah ini berarti kabinet bayangan keduanya diumumkan selama masa kampanye? Sabar. Bomer menyebut, "Saya kira nanti ada waktunya." Secara terpisah, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung menyebut, ada pemikiran untuk mengumumkannya kepada publik selama masa kampanye. "Mungkin untuk posisi-posisi kunci seperti Jaksa Agung, Mendiknas, Menkeu, Menlu, dan Mendagri," katanya. Begitupun, Tim Kampanye pasangan ini lebih mempertimbangkan agar Wiranto dan Salahudin berkonsentrasi pada programnya. Program yang nanti akan menentukan timnya. "Kami membayangkan ada dua tim yang mutlak harus dibangun, ekonomi serta hukum, HAM dan Keamanan. Tapi ini terus kita kaji," kata Bomer. Diskusi internal tim kampanye ini menyimpulkan, yang akan mengisi kabinet, apakah profesional ataukah politikus, tak lagi menjadi sesuatu yang terbelah. "Kombinasi sinergik itu tidak bisa lagi terlalu dipilah," kata Bomer sambil menyebut lima syarat calon anggota kabinet yang ditetapkan timnya: kredibel; memiliki standar kompetensi profesional tinggi; memiliki keunggulan intelektual; bisa bekerja sama, dan mendapat dukungan basis politik yang kuat juga. "Jadi tidak masalah, apakah itu orang parpol atau bukan," katanya. Soal syarat terakhir ini agak berbeda dengan pernyataan Akbar Tandjung yang menyebut kabinet Wiranto-Salahudin nantinya akan diwarnai orang Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Namun, menurut Bomer, intinya adalah bagaimana dalam 100 hari pertama pemerintahan Wiranto dan Salahudin nantinya akan terbangun market confidenct, kepercayaan pasar. Baik pasar ekonomi maupun pasar politik, pasar domestik maupun pasar internasional. Apabila itu tercipta, maka jalan berikutnya akan gampang dilakukan dalam satu tahun pertama dan empat tahun berikutnya. Kebijakan politik lain yang akan dijalankan Wiranto-Salahudin kalau akhirnya jadi memeritah adalah soal interaksi dengan parlemen, yang ke depan akan diwarnai dengan kehadiran Dewan Perwakilan Daerah. Dalam diskusi internal tim kampanye pasangan ini, langkah politik penting lain pasangan presiden dan wakil presiden adalah membangun koalisi yang melembaga. Koalisi ini, nantinya akan tercermin dalam kekuatan dukungan di infrasutruktur maupun suprastruktur. Infrastruktur politik itu, misalnya, di lapisan paling bawah, yakni massa. Di suprastruktur, koalisi itu juga melembaga menjadi tiga, yakni di kabinet sendiri termasuk presiden dan menteri-menterinya, di lembaga legislatif, dan lembaga lainnya. Sedangkan soal politik dalam negeri, pasangan Wiranto-Salahudin memandang perjalanan otonomi daerah

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 49

sudah berjalan sesuai jalurnya. Termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah yang nantinya akan dilakukan secara langsung. Menurut Bomer, otonomi itu semangatnya adalah untuk pemberdayaan masyarakat di daerah. Pihaknya menilai, ada beberapa bagian dari pelaksanaan otonomi daerah saat ini belum memenuhi harapan. Wiranto dan Salahudin, kata Bomer, membayangkan otonomi itu adalah arah ke reinventing government yang diikuti oleh reformasi birokrasi di tingkat pusat dan daerah. Kedua, harus tetap ada komitmen nasional yang bertautan di daerah. Conatohnya, katanya, soal mengatasi pengangguran. Persoalan ini, katanya, tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pusat dan harus ada kombinasi kebijakan yang harus benar-benar mendarah di tataran daerah.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 50

Sinar Harapan, Selasa 31 Mei 2004

Rekonsiliasi, Target Setengah Hati Para Calon Presiden Pengantar Redaksi: Rekonsiliasi bangsa menjadi poin penting dalam proses demokrasi Indonesia. Sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres), ada baiknya rakyat mengetahui konsep rekonsiliasi para kandidat. Di bawah ini, ”SH” menurunkan dua tulisan mengenai hal tersebut. Tulisan dikerjakan oleh wartawan ”SH” Suradi, Rikando Somba, dan Tutut Herlina. JAKARTA – Wacana rekonsiliasi akhir-akhir ini kembali muncul menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan berlangsung Juli mendatang. Para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sibuk menjual konsep rekonsiliasi yang mereka miliki. Namun tak satu pun kandidat membahas tahapan teknis dari proses rekonsiliasi. Apabila isu pelik yang sangat terkait dengan aspek hukum, keadilan, dan HAM ini cuma menjadi ”jualan” selama masa kampanye, hal ini sangat disayangkan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman mengatakan menguatnya isu rekonsiliasi dan pelanggaran HAM memang terkait dengan pencalonan presiden, terutama capres yang memiliki latar belakang militer, seperti Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Buat capres nonmiliter, isu pelanggaran HAM yang telanjur terarah kepada kedua capres tersebut menjadi ”amunisi” untuk menurunkan citra mereka. Sebut saja, isu Timtim, Mei ’98, dan Trisakti yang belakangan terangkat kembali. Realisasi rekonsiliasi di Indonesia memang jauh panggang dari api. Hingga kini, Rancangan Undang-Undang soal rekonsiliasi sendiri masih berada di DPR dan masih perlu pembahasan serius di Panja (Panitia Kerja) DPR karena banyak pro-kontra. Menurut Koordinator Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKKP HAM) Mugiyanto, RUU itu belum layak disebut rekonsiliasi karena belum mengungkapkan kebenaran. Mutlaknya, menurut SKKP HAM, hak korban atas pemulihan adalah sesuatu yang harus dipenuhi negara tanpa syarat apa pun. Pihak korban yang harusnya menjadi tujuan dari RUU itu belumlah cukup didengar. Suara sama juga dikatakan Munarman, bahwa rekonsiliasi memang mutlak menjunjung hak korban. Menimbulkan Dendam Ketua tim sukses Wiranto, Slamet Efendy Yusuf, mengatakan rekonsiliasi merupakan proses yang mendesak dilakukan. Karena di berbagai negara, rekonsiliasi menjadi solusi bagi persoalan masa lalu. ”Bangsa ini dalam perjalanannya mengalami titik-titik hitam, jika dibiarkan akan menjadi flek yang terus-menerus menghantui dan menimbulkan dendam kesumat yang membuat kehidupan bangsa menjadi tidak jernih lagi,” katanya. Menurut Slamet, jika pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid memenangkan Pilpres, mereka dipastikan akan mendesak diselesaikannya RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). ”Bisa juga kita memelopori dan mengembangkan pemahaman betapa pentingnya melakukan rekonsiliasi,” katanya. Jalan praktis yang akan dilakukan adalah mengundang tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa peristiwa—yang belakangan menimbulkan dendam—seperti Peristiwa Gerakan 30 September, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Semangi, ataupun Trisakti. Dari pertemuan para tokoh dan pelaku yang langsung terlibat itulah, pemahaman dan solusi akan dicari. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh generasi anak-anak tokoh nasional baik dari kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI), Darul Islam (DI), dan tentara. ”Kita terharu melihat keakraban dari pertemuan anak-anak jenderal A. Yani, anak Kartosuwiryo, anak DN Aidit, dan sebagainya. Mereka sadar masa lalu orang tua mereka dan melihat persoalan itu dalam perspektif masa depan,” kata Slamet. Slamet menambahkan, dalam kampanye pasangan presiden ini, soal rekonsiliasi akan ikut dikampanyekan bersama dengan program utama lainnya seperti pembangunan ekonomi (lapangan kerja, ekonomi mikro, nasib pelayan), membangun kehidupan yang aman dan tertib dengan penegakan hukum, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dan pembaharuan sistem pendidikan nasional. Hal sama dikatakan anggota tim sukses Megawati, Sony Keraf. Menurutnya, rekonsiliasi menjadi agenda yang akan mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintahan mendatang. Rekonsiliasi tetap harus berjalan selaras dengan penegakan hukum. Menurut Sony, Megawati mengharapkan generasi yang akan datang tidak menyimpan dendam. Meski demikian, bukan berarti sejarah masa lampau dilupakan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 51

Pengungkapan Kebenaran Capres dari Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, dalam situs resminya www.m-amienrais.com, menekankan perlunya pemaafan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. ”Masa lalu adalah pelajaran berharga dan selayaknya menjadi panduan bagi masa depan. Kita harus belajar memaaafkan masa lalu. Kita harus terus memperjuangkan rekonsiliasi dan memaafkan tindakan-tindakan Pak Harto dan pemerintah Orde Baru, Bung Karno, dan pemerintah Orde Lamanya. Memaafkan adalah saripati kehidupan dan suatu sifat terpuji yang diajarkan oleh setiap keyakinan. Janganlah kita dikuasai oleh dendam yang hanya akan merintangi langkah maju kita”, katanya. Namun, Amien menekankan proses rekonsiliasi harus didampingi dengan pengungkapan kebenaran. Hal ini tidak dapat diraih dengan jalan mudah. Kubu Megawati juga menekankan rekonsiliasi itu sendiri nantinya tidak lantas menghapuskan pertanggungjawaban seseorang di depan hukum. ”Bukan karena rekonsiliasi lantas tidak ada proses hukum atau di-tutup. Proses hukum tetap harus ditegakkan, baru melakukan rekonsiliasi,” kata Sony. Rakyat memang menaruh harapan besar pada hasil Pilpres. Jika presiden terpilih gagal mewujudkan rekonsiliasi, proses demokrasi dipastikan terhambat. Wiranto sendiri memprediksikan, isu pelanggaran HAM bakal redup usai pemilu. Pasalnya, di balik mengemukanya kembali kasus ini, justru ada yang memanfaatkannya sebagai ”jualan politik”. Semestinya yang terjadi adalah menggunakan politik untuk tujuan kemanusiaan, bukan sebaliknya. Dan, ironisnya selama 6 tahun kasus Mei dan Trisakti terjadi, tidak satu pun kekuatan politik yang bisa mengungkapnya secara tuntas ke muka hukum. Tinggallah para korban pelanggaran HAM dan keluarganya yang menggantang asap. Rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran memang menjadi suatu hal yang muskil. Dan lebih muskil lagi jika para kandidat hanya menggunakan isu rekonsiliasi sebagai ”jualan” politik. ***

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 52

Kompas, Senin 07 Juni 2004 Tragedi Semanggi I "Kebenaran" Versus "Kebenaran"

Kampanye belum dimulai. Tanggal 31 Mei 2004, di sebuah ruangan di Hotel Sahid, Jakarta, berlangsung diskusi interaktif "Mengungkap Peristiwa Penculikan 1997/1998" yang membahas buku Politik Huru Hara Mei 1998. Diskusi yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) itu menghadirkan pembicara Fadli Zon, penulis buku yang juga sahabat karib mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD (Pangkostrad) Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Hadir juga Usman Hamid (Koordinator Kontras).

Banyak orang hadir di situ, di antaranya mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Saat berbicara, Kivlan membuat penuturan yang memojokkan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto, yang dulu atasannya. Kivlan menyebutkan pengerahan Pamswakarsa-elemen masyarakat sipil pendukung Sidang Istimewa (SI) MPR November 1998-adalah atas perintah Wiranto.

"Perintah Wiranto begini, kok semuanya anti-Sidang Istimewa, coba kerahkan massa pendukung dan pengaman Sidang Istimewa. Supaya Mabes ABRI tidak langsung berhadapan dengan massa, seperti terjadi pada peristiwa Semanggi (mungkin maksudnya peristiwa Trisakti), maka dibuat massa berhadapan dengan massa dan agar jangan sampai massa yang menolak Sidang Istimewa MPR tembus ke MPR," kata Kivlan.

Kivlan mengaku dibutuhkan biaya Rp 7 miliar-Rp 8 miliar untuk pengerahan massa-yang kemudian disebut Pamswakarsa. Namun, ia kecewa karena belum semua uang itu dibayar. Ia mengaku baru menerima bayaran Rp 1,25 miliar yang diterimanya dari staf Wakil Presiden Jimly Asshiddiqie. Upayanya untuk mengejar sisa uang itu belum juga berhasil.

Pengakuan Kivlan tentu memojokkan Wiranto, kandidat presiden dari Partai Golkar yang sedang berjuang untuk meraih mandat rakyat pada pemilu 5 Juli 2004. Wiranto terpilih sebagai calon presiden (capres) dari Partai Golkar melalui mekanisme konvensi menyisihkan Akbar Tandjung (Ketua Umum Partai Golkar) dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto (mantan Pangkostrad) yang sering disebut berseberangan dengan dirinya.

Namun, Wiranto enggan menanggapi serangan dari Kivlan. "Biar diatasi teman-teman seangkatannya saja. Misalnya, Pak Suaidy dan Pak Fachrul Razi. Kalau saya komentar juga, nanti ada kopral ngomong apa, saya juga diminta ngomong. Saya kan Panglima, masak mengomentari omongan anak buah. Biar temannya saja," kata Wiranto sebagaimana dikutip Gatra, 12 Juni 2004.

Sehari setelah penuturan Kivlan dimuat media massa, Suaidy menggelar jumpa pers. Bukannya menjelaskan persoalan seputar pengerahan Pamswakarsa, Suaidy balik menuding bahwa tudingan Kivlan ke Wiranto bermotif politik dan uang. Suaidy yang juga tim sukses Wiranto ini menuduh ada orang lain di belakang Kivlan yang memainkan isu itu.

Saat berada di Mataram, Suaidy menjelaskan, tim hukum Wiranto akan mengadukan Kivlan Zen ke polisi karena telah mencemarkan nama baik Wiranto. "Menurut tim hukum kami, itu sudah masuk kategori pencemaran nama baik, sekarang pengaduan sedang diproses," kata Suaidy. Sebelum diadukan ke polisi, somasi akan dilayangkan.

PERANG terbuka antarpensiunan jenderal ini cukup mencengangkan. "Bagaimana tidak, militer yang selama ini selalu bersikap siap dan siap, bisa perang pernyataan secara terbuka," ujar seorang kandidat presiden lain.

Ahli hukum tata negara Satya Arinanto menilai perseteruan terbuka sebagai hasil dari reformasi TNI meski konflik seperti itu bukan pertama kalinya. Satya mendukung langkah Tim Sukses Wiranto melaporkan Kivlan ke polisi. "Saya kira itu baik, polisi biar membuktikan apakah Kivlan mencemarkan nama baik Wiranto atau Kivlan sedang mengungkap kebenaran terhadap sebuah peristiwa," kata Satya.

Bagi Satya, pengungkapan kebenaran atas sebuah peristiwa adalah amat penting. Terlepas dari motif politik dan ekonomi, Kivlan telah mencoba mengungkap kebenaran versi dia. "Kebenaran" versi Kivlan berbeda dengan "kebenaran" versi Wiranto yang telah lebih dahulu ditulisnya dalam buku Bersaksi di Tengah Badai.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 53

Dalam bukunya, Pamswakarsa adalah adanya pengorganisasian di tingkat masyarakat untuk mendukung Sidang Istimewa MPR sebagai reaksi atas kelompok masyarakat yang menentang SI MPR.

Dalam buku tersebut, Wiranto justru mengkhawatirkan terjadinya bentrokan antarkelompok massa sehingga ia memerintahkan kodam dan polda untuk mencegah bentrok antarkedua kelompok itu. Bentrokan tetap terjadi sehingga Wiranto kemudian meminta polda membubarkan kelompok masyarakat pendukung SI MPR.

Sejumlah korban berjatuhan pada saat berakhirnya SI MPR, 13 November 1998. Secara keseluruhan 14 orang meninggal dunia, 195 orang luka-luka, dan 239 orang luka yang langsung diperbolehkan pulang. Presiden BJ Habibie dalam pidato yang disiarkan radio dan televisi, 16 November 1998, berjanji agar peristiwa itu diusut demi tegaknya hukum. Habibie sendiri menuduh ada kelompok yang akan melakukan makar. Sejumlah orang sempat diperiksa, namun prosesnya tak diteruskan.

Dalam konteks pengerahan Pamswakarsa, ada dua versi "kebenaran". Bagi pegiat HAM Rachland Nashidik, Wiranto seharusnya memberikan tanggapan serius atas tuduhan bekas anak buahnya karena tuduhan Kivlan itu akan mempengaruhi persepsi orang atas integritas Wiranto. "Jangan dijawab, biar anak buah saya yang menjawab. Itu kan tidak menjelaskan persoalan," kata Rachland.

Namun, Rachland mendukung langkah tim hukum Wiranto untuk mengadukan Kivlan ke polisi. "Ya, biarlah agar kebenaran sedikit demi sedikit akan terkuak," katanya. Bagi Rachland, Kivlan baru memulai untuk mengungkap kebenaran, namun kebenaran itu masih belum utuh.

Bagi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara, konflik antara Wiranto dan Kivlan memang harus diselesaikan secara hukum sehingga akan lahir sebuah kebenaran yang telah diverifikasi secara hukum. "Bukan kebenaran versi Wiranto atau versi Kivlan. Kalau begitu akan terus terjadi kontroversi," ujarnya.

Lalu, siapa yang harus mengambil prakarsa, Abdul Hakim mengatakan, "Negara". Tapi, ketika negara sedang invalid dan tak mampu menyelesaikan masa lalunya, maka kontroversi demi kontroversi akan terus terjadi.

Bagi Rachland, perseteruan antara Wiranto dan Kivlan makin menunjukkan betapa pentingnya bagi bangsa menyelesaikan masa lalunya. Akan tetapi, sayangnya bangsa ini dan terutama elitenya tak menempatkan masa lalu sebagai prioritas masalah yang harus diselesaikan.

Elite bangsa ini terlalu cepat terjerumus pada pragmatisme kekuasaan. Enam tahun sudah sejak jatuhnya Soeharto bangsa ini belum mempunyai kesepakatan bagaimana mau menyelesaikan masa lalu.

REKONSILIASI memang disuarakan oleh para capres. Namun, apakah rekonsiliasi bisa terjadi tanpa pengungkapan kebenaran? Bagi Priscilla Hayner dalam buku Unspeakable Truths Confronting, State Terror and Atrocity (2001), rekonsiliasi memiliki implikasi membangun kembali hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Ada tiga ukuran yang diajukan Hayner untuk melihat apakah rekonsiliasi sudah berlangsung.

Pertama, bagaimana sikap terhadap masa lalu di ruang publik? Konflik terbuka antara Kivlan dan Wiranto serta tanggapan korban Semanggi I yang belum menemukan keadilan paling tidak menunjukkan bahwa masa lalu masih dirasakan sebagai kepahitan.

Kedua, bagaimana hubungan antara pihak yang dahulunya bertikai? Jika ditempatkan dalam perspektif ini, konflik antara Kivlan dan Wiranto menjadi menarik. Apakah Kivlan sebagai korban dari masa lalu? Pertikaian justru terjadi antara pelaksana dan "pemberi tugas", sementara korban justru menonton konflik tersebut.

Ketiga, apakah ada banyak versi tentang masa lalu. Menurut Hayner, melakukan rekonsiliasi tidak semata-mata mengembalikan hubungan baik, namun juga "mendamaikan" fakta-fakta atau kisah yang bertentangan. Membuat fakta atau pernyataan yang yang bertentangan menjadi konsisten dan kompatibel. Bagaimana dalam kasus Semanggi I? Kebenaran ternyata masih saling berbantahan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 54

Apa yang terjadi dalam peristiwa Semanggi, 11-13 November 1998, tetap merupakan kabut gelap yang belum bisa dijawab. Apakah betul ada kelompok radikal yang berniat makar seperti dituduhkan BJ Habibie? Mengapa pula prajurit ABRI begitu membabi buta menembaki mahasiswa yang bertahan di Kampus Universitas Atma Jaya? Siapa pula sebenarnya yang mengambil prakarsa pengerahan Pamswakarsa yang menimbulkan konflik horizontal? Dan, siapa pula yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa tersebut?

Rekonsiliasi dalam arti luas adalah tutup buku tentang masa lalu. Satu elemen penting dalam proses ini adalah penghentian siklus menuduh-membantah-balas menuduh yang memecah-belah. Bukan dengan melupakannya, namun dengan menyelesaikannya melalui proses evaluasi, sebagaimana akuntan menyelesaikan proses pembukuan.

Masa lalu memang harus diselesaikan dan itu menjadi tanggung jawab negara. Penyelesaian masa lalu memang masalah pelik yang tak mudah diselesaikan. Samuel Huntington mengidentifikasi ada dua masalah pelik dalam proses transisi politik. Pertama, bagaimana pemerintahan baru mengatasi masalah si penyiksa dan bagaimana mengatasi masalah praetorian, yakni mengurangi keterlibatan militer dalam politik.

Bagaimana di Indonesia?

Kita menyaksikan sendiri masa lalu masih belum disentuh. Kebenaran masih belum bisa diungkap. Korban masih tetap membisu meskipun mereka terus berupaya menuntut. Yang justru menarik adalah konflik di kalangan pemberi perintah.

Apakah pengakuan Kivlan mempunyai motif politik, hanya Kivlan yang tahu pasti. Yang pasti, pengakuan Kivlan dimuat secara panjang lebar dalam majalah Medium, di mana Mahadi Sinamebela, salah seorang Ketua Golkar, menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan.

Dan kini, tiga pensiunan tentara tampil lagi dalam kancah politik nasional untuk menjadi RI-1. (Budiman Tanuredjo)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 55

Kompas, Sabtu, 26 Juni 2004 Rekonsiliasi Maluku Lebih Penting ketimbang Pemilu

SAMBIL mengumbar senyum, Ketua Komisi Pemilihan Umum Maluku Jusuf Idrus Tatuhey menyatakan kebanggaannya. "Rakyat Maluku merasa dihormati. Katong bakumpul lagi," katanya kepada Kompas seusai kampanye calon presiden Wiranto pertengahan Juni lalu.

Masih dalam panggung yang sama, tokoh Kristen, Pendeta OG Tiven, mengatakan rekonsiliasi lebih penting daripada kampanye itu. "Saya menyaksikan semua dengan rasa haru. Rakyat berkumpul dan bernyanyi bersama Sio Mama dan melupakan konflik," katanya.

Hari itu kata rekonsiliasi bagai magnet dan kemudian menebar ke seluruh persada Maluku. Tak hanya rakyat, pemerintah dan tokoh agama pun terus menyatakan rekonsiliasi dalam makna ideal. Tidak ada yang mampu menahan upaya perdamaian di Maluku.

Maluku seolah menuju puncak perdamaian, pascakerusuhan 25 April 2004. Rakyat histeris mengibas-ngibaskan panji, kemudian larut dalam suasana politik demokratis tanpa embel-embel agama. Suasana kampanye tak ubahnya terjadi di daerah aman yang masyarakatnya gemah ripah.

Tanpa ada rasa khawatir, sekalipun harus melewati jalur rawan, warga terus berpawai mengelilingi kota. Laju kendaraan yang ditumpangi peserta kampanye seolah tak mampu menghentikan animo massa untuk sekadar menyatakan identitas.

Kampanye pemilihan presiden direkam oleh TVRI Stasiun Ambon yang kemudian menayangkannya ke pemirsa lokal dalam siaran ulang petang hari. Sekitar 75 persen dari 1.270.414 warga Maluku menyaksikan acara itu.

Esoknya koran lokal bertiras 2.000 sampai 5.000 eksemplar yang terbit di Ambon menulis besar-besar kata rekonsiliasi dalam berbagai judul. Mereka menyorot kampanye Wiranto bukan dari sisi politik, tetapi maknanya. "Telah lama kami menunggu suasana ini. Rekonsiliasi harus didorong terus," ujar Tiven menambahkan.

Mereka menghindari isu agama sebagai alat politik. Oleh politisi, agama ibarat bumbu penyedap, bahkan sewaktu- waktu berubah menjadi lokomotif penarik massa kampanye.

Bagi Maluku, benang kusut konflik harus ditegakkan. Masyarakatnya berusaha memperbaiki citra sebagai rakyat yang pluralis, yang beradab, dan menghargai satu sama lain. Penghargaan atas manusia memang sempat luntur ketika konflik dua komunitas "Obet dan Acan" berlangsung hampir lima tahun.

"Stigma Maluku beradab dan saling menghormati antarwarga harus dibangun," kata Thoss Lailossa, dosen sebuah perguruan tinggi di Ambon, yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku.

Menurut Lailossa, pandangan politik rakyat Maluku cukup selektif. Tema kampanye disaring secara rasional dan masuk akal. "Jangan bicara ngaco, jual obat di sini. Kampanye yang menjual disparitas tidak laku," katanya.

Meski berbeda aspirasi politik, berbeda latar belakang sosial, etnis, maupun agama, rakyat Maluku bisa spontanitas menyatakan simpati kepada calon presiden (capres) yang mendorong rekonsiliasi.

"Saya orang Muhammadiyah. Aspirasi politik saya mendukung Pak Amien Rais. Namun, saya simpati atas kampanye Wiranto hari ini. Rasanya seluruh masyarakat mendukung kampanye di Lapangan Merdeka," kata Jusuf Idrus Tatuhey.

Ia menambahkan, dalam dialog pemilu di RRI Maluku beberapa hari lalu, sebagian pemirsa meminta agar KPU memberikan motivasi kepada para capres untuk "berani" berkampanye di lapangan. "Katong ingin bakumpul ley, jangan pisahkan kami," kata Tatuhey.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 56

MASYARAKAT Maluku sempat kecewa karena dua capres yang datang ke Ambon sebelumnya tampil dalam kampanye tertutup. Mereka berkampanye di gedung terpisah, mendatangi dua komunitas dalam dua kesempatan berbeda.

Kampanye tertutup, kata Tatuhey, kurang efektif mempromosikan Maluku sebagai daerah aman. Para capres terkesan kurang menangkap sinyal-sinyal perdamaian yang dikirim masyarakat melalui kampanye legislatif Maret lalu. Kampanye legislatif tergolong sukses di Maluku.

Kutni Tahupely, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Maluku, mengatakan, rakyat tak lagi mempersoalkan warna politik setiap warga. Tidak ada garis demarkasi konstituen. Politik ya politik, agama adalah agama, jangan dicampur aduk," katanya.

"Saya ingat ketika banyak orang Jakarta meramalkan Maluku akan rusuh saat pemilu. Nyatanya, kami kampanye enteng-enteng saja. Massa PPP berbasis Islam bebas masuk ke wilayah Nasrani, begitu sebaliknya ketika massa PDS (Partai Damai Sejahtera) berbasis Kristen tanpa gangguan melintasi kantong Muslim," katanya.

Rekonsiliasi tumbuh dan berkembang secara alami di Maluku justru saat kampanye politik yang penuh intrik dan kekerasan. Masyarakat sadar agama memang bukan politik, sebaliknya politik bukan agama.

Sebagai gambaran, partai politik berbasis agama ternyata kurang diminati masyarakat. Ketua KPU Maluku Tatuhey mengatakan, PPP yang pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 meraih delapan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, pada pemilu legislatif April lalu hanya meraih empat kursi. Demikian juga PDS, hanya meraih dua kursi. Gambaran politik di Maluku menunjukkan nasionalisme lebih diterima rakyat dibandingkan dengan partai yang menjual agama.

Dalam pemilu legislatif lalu yang diikuti 803.000 pemilih, partai berbasis nasionalis dimotori Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) serta Partai Demokrat menguasai 70 persen kursi DPRD Maluku.

Lalu, siapa capres terkuat di Maluku? Pertanyaan itu memang sulit dijawab karena perolehan kursi DPR berlangsung imbang, artinya Partai Golkar, PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan PPP sama-sama meraih satu kursi.

Megawati Soekarnoputri yang oleh sejumlah kalangan dinilai sukses meredam konflik di Maluku mendapat tantangan berat dari capres dari Partai Golkar, Wiranto. Partai Beringin itu memang telah mengakar kuat pada sebagian rakyat pedesaan, seperti tercermin dari hasil pemilu legislatif, dengan meraih 20 persen suara.

Keuntungan Megawati adalah, selain posisinya sebagai presiden yang tengah memerintah, juga karena basis suara PDI-P yang 18 persen akan bertambah signifikan dengan suara PDS yang 8 persen dan meraih posisi ketiga di Ambon.

Dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas, selain Wiranto-Salahuddin Wahid, pasangan yang juga cukup populer adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kerinduan terhadap keamanan dan stabilitas agaknya menjadi cermin kuatnya dukungan terhadap Wiranto dan Yudhoyono yang berlatar belakang militer. Di Maluku Tenggara dan Kabupaten Buru, Wiranto lebih populer daripada Yudhoyono.

Amien Rais-Siswono Yudo Husodo juga punya peluang cukup besar jika bisa "merebut" suara PKS sebagai peraih 7,29 persen suara, selain Partai Amanat Nasional (PAN) yang mendapat 5,28 persen suara di daerah itu. Selain itu, Siswono bisa mengandalkan suara beberapa partai yang jika ditotal cukup signifikan.

Adapun pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar harus bekerja keras untuk menambah dukungan suara basisnya.

Rekonsiliasi tampaknya menjadi roh politik di Maluku. Jangan sembarang ngomong antikorupsi ataupun janji-janji muluk. "Kami semua butuh perdamaian abadi," kata Tatuhey menambahkan. (Jean Rizal Layuck)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 57

Kompas, Selasa 27 Juli 2004

Masa Lalu Dipelihara atau Diselesaikan? SEKITAR satu bulan menjelang pemilu presiden 5 Juli 2004, isu mengenai pengerahan pamswakarsa yang melibatkan mantan Panglima TNI yang juga calon presiden Jenderal (Purn) Wiranto ramai dipercakapkan. Beritanya memenuhi ruang-ruang publik, media massa cetak maupun elektronik membahasnya.

Bahkan, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen secara terbuka menuding keterlibatan mantan Panglima TNI itu dalam pengerahan pamswakarsa, yang menciptakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat pada saat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR November 1999. Tudingan itu tentu saja dibantah oleh Wiranto maupun tim suksesnya.< p>

Setelah pemilu 5 Juli berlangsung, isu itu hilang. Tak ada lagi diskusi buku. Tak ada lagi peringatan Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Memasuki bulan Juli 2004, isu pun beralih. Sekelompok masyarakat korban penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, membuat rangkaian acara sepekan peringatan Kasus 27 Juli. Seorang korban kasus 27 Juli meluncurkan buku. Menjelang peringatan delapan tahun penyerbuan kantor DPP, kantor yang biasanya tak terawat itu, mulai berbenah.

Panggung didirikan. Spanduk besar dibentangkan. Nara sumber diundang untuk membicarakan masalah praktik kekerasan oleh aparatur negara delapan tahun lalu. Banyak kelompok masyarakat berbicara. Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) RO Tambunan meminta agar mantan Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan tersangka Kasus 27 Juli.

Sebaliknya, Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK) Firman Wijaya justru meminta Mabes Polri memeriksa Megawati Soekarnoputri karena Megawati tahu rencana penyerbuan itu. Sehingga Megawati juga harus diminta bertanggung jawab, karena mendiamkan saja kabar yang diterimanya.

Sebelumnya, isu pembukaan kembali Kasus 27 Juli yang sudah lama tenggelam diungkapkan ke permukaan. Sejumlah nama disebut ikut bertanggung jawab dan akan diadili berkaitan dengan penyerbuan itu. Namun, isu penyidikan itu surut ketika kejaksaan mengembalikan lagi berkas Kasus 27 Juli ke pihak kepolisian.

Besok, Selasa 27 Juli 2004, penyerbuan kantor DPP PDI akan diperingati di bekas Kantor DPP PDI (kini PDI Perjuangan). Sebuah acara yang dimaksudkan untuk mengusik kembali ingatan kolektif masyarakat, mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 27 Juli, delapan tahun lalu.

BAGI aktivis hak asasi manusia, Rachland Nashidik dan Ifdhal Kasim, upaya pengungkapkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia masih menjadi fungsi dari kepentingan politik elite. Ketika elite politik membutuhkan isu itu, maka digunakanlah isu untuk kepentingan kekuasaan. Namun, ketika elite politik tidak membutuhkan, isu pelanggaran HAM masa lalu akan selalu ditolak dan dinegasikan.

"Masalah pelanggaran HAM masa lalu hanyalah komoditas politik yang selalu dipermainkan elite," ujar Ifdhal Kasim.

Padahal, menurut Rachland, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tak boleh menjadi isu musiman. "Para elite politik harus sadar bahwa tanpa ada masa lalu, mungkin mereka tak akan menjadi elite politik," kata Rachland.

Dalam Kasus 27 Juli 1996, Ketua Umum PDI Megawati Soekarnoputri telah menjadi orang nomor satu di republik ini. Mantan Pangdam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso yang selama ini disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kasus itu, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta, mantan Komandan Satgas PDI Agung Iman Sumanto kini menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta.

"Kasus 27 Juli seharusnya menjadi tanggung jawab Megawati untuk menyelesaikannya. Namun, publik tak menangkap keseriusan itu. Paling tidak itu tampak dari dukungan Megawati kepada Sutiyoso," katanya.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 58

Namun, kata Rachland, Megawati kelihatan betul memanfaatkan peringatan peristiwa 27 juli sebagai sebuah isu untuk mengingatkan kembali publik, bahwa ia adalah korban. "Jadi, sebenarnya memang tak ada kesungguhan," kata Rachland.

Hal serupa disampaikan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim. "Peringatan Kasus 27 Juli hanyalah komoditas politik untuk kepentingan elite politik memperebutkan kekuasaan, sama sekali bukan dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas," kata Ifdhal.

Padahal, menurut Ifdhal, tanpa ada penyelesaian komprehensif tentang pelanggaran HAM masa lalu, kita akan selalu terjebak pada masa lalu. "Masa lalu seharusnya diselesaikan bukan terus dipelihara semata-mata untuk kepentingan kekuasaan," kata Ifdhal.

Ketua Forum Demokrasi Indonesia Trimedya Panjaitan membantah anggapan bahwa Kasus 27 Juli dipelihara untuk kepentingan elite kekuasaan dan Megawati mendapatkan keuntungan dari kasus itu.

"Kalau kita jujur melihat keadaan, upaya untuk menuntaskan kasus sudah lama dilakukan. Masalah itu tersendat setelah DPR mengubah arah penyidikan menuju penyidikan koneksitas yang tertutup," kata Panjaitan seraya menambahkan, "Pemerintahan Megawati telah berupaya membuka kasus itu. Namun, masalahnya memang tidak mudah."

KASUS 27 Juli 1996 memang tetap menimbulkan pertanyaan yang tak terjawab. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dalam praktik kekerasan yang disponsori oleh negara itu?

Pemerintahan otoriter Orde Baru sebagaimana diwakili Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam penjelasannya di depan perwakilan asing, 5 Agustus 1996 mengatakan, Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh PDI sebagai "kuda troya".

Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman kantor PDI sebagai embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pertemuan di rumah Soeharto, tanggal 19 Mei 1996, Soeharto meminta pembantu militernya untuk mewaspadai makar itu.

Konstruksi Orde Baru itu kemudian diterjemahkan. Sebanyak 124 orang yang bertahan di dalam gedung diadili dan dijatuhi hukuman. Sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diadili dan dijebloskan ke penjara atas tudingan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli, meski dalam proses persidangan tuduhan itu tak pernah terbukti.

Kebenaran Orde Baru itu telah dicoba direvisi oleh Megawati ketika ia berada di tampuk kekuasaan. Namun, revisi itu tidak signifikan. Pemerintahan Megawati tak mampu mengungkapkan kebenaran substansial atas persekongkolan elite politik militer Orde Baru.

Majelis hakim Pengadilan Koneksitas yang diketuai Rukmini hanya mampu membuktikan seorang terdakwa sipil Jonathan Marpaung dengan hukuman 74 hari. Ia dinyatakan terbukti menipu massa dan ikut melempar batu ke Kantor DPP PDI.

Menurut Ifdhal, jika Kasus 27 Juli mau diletakkan dalam konteks upaya untuk mencari kebenaran, maka pembentukan Pengadilan Koneksitas hanya mau menyelamatkan konstruksi politik Orde Baru.

"Pengadilan Koneksitas terbukti gagal untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih subtansial. Itu tak lepas dari tawar-menawar politik pemerintahan sipil dengan kekuatan politik Orde Baru," kata Ifdhal.

Yang tampak di permukaan adalah saling bantah dan saling tuding antara para pejabat militer. Mantan Pangdam Jaya Sutiyoso saat diperiksa menuding Soeharto yang secara implisit memberikan perintah untuk menghentikan mimbar bebas di Kantor DPP PDI.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 59

Ketika suara di lapangan mengarah kepada keterlibatan mantan Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sutiyoso bereaksi dengan mengatakan, "Yudhoyono tidak terlibat dalam penyerbuan kantor DPP. Sebab sebagai Kasdam pada waktu itu, Yudhoyono tidak bisa mengambil keputusan memerintahkan pengosongan. Tanggung jawab di lapangan ada di tangan saya selaku Pangdam Jaya. Yudhoyono tidak berkapasitas memberi perintah pengosongan." (Kompas, 12 Juni 2004)

Kenyataannya, Pengadilan Koneksitas telah gagal mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh, termasuk mengungkap motivasi politik pembantu militer Soeharto pada era Orde Baru untuk menyingkirkan Megawati dari panggung politik nasional.

POLA penanganan masalah pelanggaran HAM masa lalu yang terus dipolitisasi jelas hanya akan memelihara siklus impunitas. Tanpa ada upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, pada saatnya nanti akan mengganggu konsolidasi demokrasi. Masa lalu akan terus menggelayuti bangsa dan orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu.

Kebengisan dan kekejaman masa lalu memang harus terus disuarakan untuk mencegah kejahatan kebisuan (the crime of silence). Perjuangan masyarakat korban sejatinya adalah perjuangan terhadap upaya pelupaan paksa yang tak kenal henti, yang selalu menjadi ciri sebuah pemerintahan otoriter.

Suara-suara masyarakat korban yang menuntut pengungkapkan kebenaran seyogianya tidak dijadikan komoditas politik untuk semata-mata hanya untuk meraih kursi kekuasaan. Elite yang memanipulasi suara korban untuk kepentingan kekuasaan adalah elite yang mengkhianati suara rakyatnya.

Negara memang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diwariskan rezim otoriter Orde Baru. Telah banyak instrumen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Yang belum ada hanyalah niatan tulus untuk mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran, dan korban itu sendiri. (Budiman Tanuredjo)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 60

Kompas, Selasa 27 Jul. 04 "Memoria Passionis" dan Rekonsiliasi Oleh Mugiyanto

DI tengah kesibukan menjelang Pemilihan Presiden babak kedua 20 September, seyogyanya kita mengingat satu agenda kebangsaan yang amat mendasar pada masa transisi ini, bagaimana negara menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang begitu masif di masa lalu (how to deal with the past).

Oleh para pemimpin negara, agenda ini sering disederhanakan menjadi rekonsiliasi nasional. Begitu pentingnya rekonsiliasi nasional, sehingga semua calon presiden-termasuk yang sudah tereliminasi-memasukkannya sebagai salah satu agenda utama mereka.

Kini, DPR sedang membahas UU Rekonsiliasi setelah RUU-nya diserahkan pemerintah 26 Mei 2003 lalu. Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahasnya menyebut sebagai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Dari namanya, komisi yang nanti terbentuk diharapkan bisa mengungkap kebenaran masa lalu, sehingga ke depan bisa tercipta rekonsiliasi nasional.

Sebagai korban peristiwa pelanggaran HAM, penulis tidak keberatan dengan agenda rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional disadari sebagai syarat pembangunan sebuah entitas kebangsaan. Tetapi yang harus disadari, rekonsiliasi nasional adalah sebuah tujuan. Sebagai tujuan ia adalah hasil proses. Tercapai-tidaknya sebuah tujuan, ditentukan proses yang mengarah pada tujuan itu. Dalam proses-proses inilah interaksi, dialog, dan dinamika terjadi di antara entitas yang hendak direkonsiliasikan itu.

Penting, pengungkapan kebenaran

Perkembangan pembahasan RUU KKR yang kini terjadi di DPR, menurut penulis, sudah sampai taraf mengkhawatirkan, karena itu perlu ditanggapi serius. Di Kompas (20/7) disebutkan, ada kecenderungan kuat, judul yang yang semula bernama RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan diubah menjadi RUU Komisi Rekonsiliasi atau RUU Komisi Persatuan Nasional untuk Rekonsiliasi. Lebih jauh disebutkan, unsur TNI di DPR menghendaki penghilangan kata "Kebenaran" dengan alasan agar tercipta suasana rujuk di antara anak bangsa. Bila kebenaran diungkap, rujuk akan kian jauh, karena ada pengadilan. "Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan," kata anggota Pansus RUU KKR Fraksi TNI, Mayjen TNI Djasri Marin.

Berbeda dengan yang diharapkan anggota Fraksi TNI di DPR, dikhawatirkan akan menjauhkan kita dari tujuan rekonsiliasi nasional sendiri. Yang lebih membahayakan, Fraksi TNI mengajak untuk melupakan sejarah atau kebenaran dengan mengubur masa lalu. Padahal esensi sebuah komisi semacam ini adalah not to forget (tidak untuk melupakan).

Lantas, apa yang salah dengan mengubur masa lalu saat kita hendak melangkah ke depan? Fraksi TNI menilai, mengingat masa lalu sama dengan mengorek luka lama, sehingga dendam akan tumbuh dan berkembang biak. Karena itu rekonsiliasi tak akan terjadi.

Sebaliknya, penulis menganggap, mengingat dan mengetahui masa lalu membuat kita bisa belajar dan memetik hikmah dari yang baik dan buruk. Sesuatu yang buruk di masa lalu akan menjadi peringatan agar tidak terulang di masa kini dan mendatang. Ingatan akan masa lalu yang buruk dan hitam, yang penuh derita (memoria passionis) akan menjadikan manusia berusaha menghindarinya.

Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, pesan-pesan yang muncul dari memoria passionis tidak hanya dirasakan korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat luas. Dalam hal ini, ingatan akan kebenaran masa lalu adalah pendidikan publik yang akan memberi sumbangan pada pengetahuan masyarakat tentang penderitaan korban dan membantu menggerakkan masyarakat mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan (Douglas Casses, Paul van Zyl dan Priscilla Hayner; 2000).

Penulis menganggap, ketidaktahuan kelompok korban akan kebenaran masa lalu yang hitam, akan menumbuhkan rasa dendam membabi buta kepada mereka yang dianggap sebagai pelaku. Sebaliknya, saat kebenaran terungkap, segala sesuatu yang sebelumnya dinilai secara semena-mena dan membabi buta menjadi jernih. Rasa keadilan bagi korban (yang secara negatif disebut dendam), menjadi tanggung jawab peradilan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 61

Kebenaran bagi korban

Sejak RUU KKR dibahas di DPR pertengahan 2003, berbagai lembaga HAM mengkritisinya sebagai kurang relevan, karena tidak adanya syarat-syarat politik yang mendukung. Mereka khawatir RUU KKR tidak bisa mengungkap kebenaran dan memberi keadilan bagi korban.

Bahkan kelompok korban pelanggaran berat HAM yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM) yang merupakan kesatuan korban peristiwa 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Penculikan 1997/1998, Trisakti-Semanggi I dan II, korban peristiwa Mei 1998 menyatakan menolak RUU KKR karena dinilai menjadi alat impunitas pelanggar HAM. Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus DPR, November 2003.

Menariksekali apa yang selama ini disuarakan para orangtua yang kehilangan anaknya dalam hiruk-pikuk politik. Dalam film Batas Panggung; Kepada Para Pelaku, sebuah film dokumenter tentang kasus penghilangan paksa di Indonesia yang diproduksi Offstream bersama Kontras, Paimin, orangtua Suyat yang hilang diambil penculiknya di Solo awal 1998 berkali kali mengatakan "Karep kulo niku, yen ijih yo ning ngendi, yen wis mati, kuburane yo ing ngendi, ben ora semumpel ing ati" (Saya inginkan, kalau memang-anak saya-masih ada di mana, tetapi kalau sudah mati kuburannya di mana. Biar tidak mengganjal di hati).

Kebenaran, sekali lagi adalah tuntutan utama orangtua korban seperti Paimin. Bukan untuk mendendam, tetapi untuk ketenangan, sehingga bisa melanjutkan hidup yang masih panjang.

Nyawa rekonsiliasi

Salah satu alasan Fraksi TNI menolak pengungkapan kebenaran adalah untuk menghindari pengadilan. Dalam pergaulan internasional pun dikenal tiga hak korban yang telah dirumuskan secara komprehensif oleh Theo van Boven, meliputi hak atas kebenaran (the rights to truth), hak atas keadilan (the rights to justice) dan hak atas pemulihan (the rights to reparation), terdiri atas rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi. Pengingkaran atas hak-hak korban hanya akan menjadikan rekonsiliasi nasional yang hendak dicapai menjadi rekonsiliasi yang dipaksakan, rekonsiliasi tanpa nyawa.

Ketika kita sadar, agenda rekonsiliasi nasional adalah agenda kebangsaan yang menentukan jalan hidup bangsa, pengerjaannya pun harus dengan pertimbangan kebangsaan. Pansus DPR menargetkan RUU KKR disahkan menjadi UU sebelum masa tugas mereka berakhir 30 September 2004. Dengan alasan itu, seluruh fraksi DPR setuju menarik puluhan usulan penyempurnaan pasal-pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terlihat DPR mengerjakan urusan kebangsaan secara pragmatis dan mengejar target.

Memoria passionis, ingatan akan penderitaan sama sekali tidak masuk pertimbangan DPR. Bagi mereka, sebagaimana dikatakan Ketua Pansus, Sidharto Danusobroto, setiap UU adalah hasil kompromi politik.

Mugiyanto Korban penculikan 1998, Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 62

Kompas, Sabtu, 31 Juli 2004 Ifdhal Kasim: Upaya Melepaskan dari Bayangan Masa Lalu

SEJARAWAN Taufik Abdullah dengan mengutip seorang teoritikus menulis, "Masa lalu adalah negeri asing. Siapa tahu, ’di sana di negeri asing itu’ terletak sumber ketidakberesan yang kini-ataukah di sini-saya rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki ’di sana’ agar yang terjadi ’di sini’ baik-baik saja."

Masa lalu terasa demikian penting untuk menata masa depan. Namun bagaimana menyelesaikan masa lalu bangsa, khususnya pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter, tetap merupakan suatu hal sulit yang harus dilakukan pemerintahan baru. Terlalu banyak dilema-dilema yang harus dipecahkan: antara melupakan, mengampuni, dan mengadili. Antara pemberian keadilan dan pengungkapan kebenaran.

"Masa lalu memang terlalu krusial untuk dibiarkan begitu saja. Dengan mengungkap kebenaran mengenai apa yang terjadi pada masa lalu, kita bisa belajar untuk menata masa depan," kata Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam obrolan dengan Kompas di kantornya, Rabu (28/7) siang.

Ifdhal, pria kelahiran Tapak Tuan, Aceh Selatan, 41 tahun lalu, membawa Elsam, lembaga yang dipimpinnya untuk mendalami dan mengkaji bagaimana pengalaman bangsa lain menyelesaikan masa lalunya. Berikut percakapan dengan Ifdhal.

Bagaimana ceritanya Elsam memilih memfokuskan pada isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?

Kebijakan itu kita ambil terkait dengan perubahan rezim dari pemerintahan otoriter Soeharto ke era reformasi. Kita melihat ada suatu masalah yang harus diselesaikan pemerintahan baru dalam konteks untuk memperkuat demokrasi di masa depan. Masalah itu adalah bagaimana pemerintahan baru menyelesaikan masalah pelanggaran HAM warisan Orde Baru. Isu itu tak banyak diangkat publik. Banyak orang bicara soal krisis ekonomi, bagaimana mengontrol tentara, sementara isu pelanggaran HAM masa lalu yang amat menentukan penataan ke depan, tak ada yang mempersoalkan. Kita sengaja mengangkat isu itu dan berkonsentrasi pada isu tersebut.

Kita melihat pengalaman negara lain yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Karena itu, kita mencoba mendorong apa yang dilakukan negara lain, seperti Argentina, Cile, dan Afsel untuk juga dilakukan Indonesia. Langkah itu perlu agar rezim baru tidak terus terkungkung oleh kasus pelanggaran masa lalu.

Seberapa penting kasus masa lalu harus diselesaikan?

Itu sangat krusial, karena kalau tak diselesaikan pemerintah baru itu akan selalu menghadapi tekanan politik dari mereka yang jadi korban di masa lalu. Dan yang lebih penting lagi, rezim baru akan menjadi tawanan kepentingan dari elite politik yang dulu melakukan pelanggaran HAM. Ide penyelesaian masa lalu adalah agar rezim baru itu tidak diisi lagi oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Salah satu kepentingan pemeriksaan kasus HAM adalah menyaring elite politik untuk pemerintahan baru. Kalau masih ada elite lama masih memimpin rezim baru, dia akan tetap membawa cara berpikir yang pernah dipakai waktu lalu.

Bagaimana Anda melihat korban pelanggaran HAM yang terfragmentasi?

Sebetulnya ada solidaritas di kalangan mereka. Kami pernah menyelenggarakan pertemuan nasional korban yang dihadiri korban seluruh Indonesia untuk saling men-share pengalaman sesama korban sehingga tumbuh solidaritas bersama, tak ada egoisme sektoral bahwa mereka paling menderita. Misalnya, korban 65 mengatakan, dia paling menderita dibanding korban Priok. Mereka harus disadarkan bahwa secara kolektif mereka adalah korban satu rezim. Sehingga ada solidaritas yang mengikat mereka untuk menuntut hak mereka kepada pemerintahan baru atas perlakuan rezim lama. Solidaritas itu tampak. Tapi yang jadi masalah, pemerintah baru itu terlalu lama merespons kebutuhan korban. Karena terlalu lama, di kalangan korban

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 63

terbangun juga dinamika politik. Ada sebagian korban bergabung kepada parpol, atau diajak elite politik tertentu untuk diorganisir dan dimanfaatkan elite.

Di lapangan fragmentasi di kalangan korban itu tampak?

Karena pemerintah terlalu lama menanggapi tuntutan mereka, korban pun kelelahan yang menyebabkan mereka mengambil posisi pragmatis yang membuat mereka mudah dipecah. Korban ini kan rentan dari intervensi dari para pelaku, dengan cara pelaku mengiming-imingi mereka dengan berbagai cara misalnya rujuk sosial, dengan menggunakan tradisi agama, islah. Dan kalau bukan agama, mereka menggunakan ikatan-ikatan hubungan ideologis. Ini menyebabkan terjadinya fragmentasi dari korban, sebagian dari mereka mengatakan tak perlu diungkapkan lagi kasusnya. Mereka kemudian berhadapan dengan temannya sendiri, yang menuntut pemulihan HAM.

Jadi, ada aktor negara yang tak cepat memberikan respons, ada pelaku yang memang tidak menghendaki masa lalunya diungkap, lalu apa yang bisa dilakukan korban agar solid?

Itu sangat sulit untuk kita bangun. Dari pertemuan nasional korban kita mengharapkan terbangun sebuah organisasi korban, tak hanya di Jakarta tapi di seluruh Indonesia dan lintas kasus. Ternyata membangun organisasi di tingkat korban sangat sulit karena daya tahan sebagian besar dari mereka sangat riskan dari intervensi. Baik secara kultural maupun ekonomi. Karena itu tidak banyak organisasi korban yang bisa bertahan dan solid dan tetap memperjuangkan kepentingan mereka. Seperti misalnya, korban yang ada di Argentina, Mother Plaza the Mayo, kemudian kelompok korban di Afrika Selatan. Mereka bisa cukup solid bertahan dari bujukan-para aktor politik maupun pelaku yang mencoba membujuk mereka menerima islah dan kemudian kasusnya tak perlu diungkap.

Apa yang harus dilakukan rezim baru agar rezim tak menjadi tawanan kepentingan elite lama?

Rezim baru harus mengungkapkan kasus pelanggaran HAM. Dari situ akan terseleksi siapa yang bertanggung jawab pada masa lalu, dan mereka yang bertanggung jawab pada masa lalu itu tidak boleh diikutkan pada rezim baru. Caranya melakukan seleksi politik bisa dengan pengungkapan kasus HAM melalui Komisi Kebenaran dan pengadilan. Karena kita tak mungkin melakukan proses seperti di negara komunis, lustrasi, di mana semua pejabat dalam level tertentu dipensiun dini. Salah satu yang tidak adil dari lustrasi, dia memvonis orang tanpa proses peradilan.

IFDHAL sebenarnya tak asing dalam dunia peradilan. Ia pernah menjadi pengacara yang berpraktik di peradilan di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Namun, praktik korup di peradilan membuatnya tak tahan. "Saya tak tahan dengan praktik korup. Semuanya serba uang. Untuk mendapatkan perkara pun harus ada koneksi dengan kepolisian, kemudian hasilnya dibagi. Saya tak tahan dan kemudian keluar," katanya.

Dia kemudian bertemu dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM) dan diajak bergabung untuk membangun Elsam. Jadilah, Elsam berkembang dengan 22 staf dan mempunyai kantor sendiri. Untuk mendalami masalah hak asasi manusia, Ifdhal yang beristrikan Yohana Ririhena (wartawati) sempat belajar di Center for Human Right di Columbia University. Ia pun menikah di New York karena perkawinan beda agama.

Evaluasi terhadap Pengadilan HAM Ad Hoc dan pembentukan Komisi Kebenaran?

Pada era Gus Dur seharusnya ada semacam kontrak politik antara elite politik baru untuk terlebih dahulu menyelesaikan kasus masa lalu. Jadi, pembentukan komisi kebenaran dan pengadilan seharusnya satu paket. Bukan seperti sekarang, pengadilannya berjalan dan hanya untuk kasus yang sebetulnya masih aktual, Timtim. Akibatnya, pengadilan tak memberi efek pada proses sirkulasi elite lama ke elite baru.

Maksudnya?

Mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, tetap ada di rezim baru. Orang yang terindikasi terlibat dalam kasus Talangsari Lampung, kasus 27 Juli, Aceh, dan seterusnya terserak dalam rezim baru. Seharusnya, Komisi Kebenaran dan Pengadilan dibuat tak terlalu lama setelah transisi untuk memproses mereka yang bertanggung jawab.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 64

Apakah itu bukan soal corak transisi. Misalnya dari Orde Lama ke Orba kan jelas, semua yang terlibat dalam Orde Lama tak bisa masuk dalam Orba?

Ya memang. Karena kita memercayakan seleksi melalui pemilu. Sebelum pemilu seharusnya kita buat kontrak politik. Tapi kita serahkan semuanya melalui pemilu sebagai sarana rakyat menseleksi elite lama masuk kembali atau tidak. Ternyata, pemilu itu justru memperkokoh elite politik lama dalam struktur rezim baru.

Bagaimana sebenarnya relasi Komisi Kebenaran dan pengadilan?

Komisi Kebenaran tidak mengejar kesalahan pidana seseorang tapi yang dikejar dan dicari adalah pola pelanggaran HAM di mana pelanggaran HAM itu lahir dari kebijakan negara. Komisi Kebenaran menuntut negara sebagai institusi untuk menyatakan kesalahan kepada warga negara yang dilanggar, dan dari situ dia harus memberi rehabilitasi dan kompensasi. Ketika Komisi Kebenaran menemukan pertanggungjawaban yang spesifik, dia harus menyerahkan ke pengadilan untuk melakukan penghukuman. Relasinya sifatnya komplementer.

Perlu ada pengakuan bersalah dalam Komisi Kebenaran?

Pengakuan bersalah itu kan seharusnya dari institusi, bukan orang, kecuali kalau dalam Komisi Kebenaran yang sedang kita bahas, KKR memberikan kewenangan kepada pelaku untuk mengaku bersalah. Itu persis Afsel. Bahwa amnesti didasarkan kepada permohonan orang atau pelaku, bukan dikeluarkan oleh negara. Kalau Komisi Kebenaran kita seperti itu, maka bukan hanya negara yang akan mengakui kesalahan yang dibuat, tapi orang-orang yang mau dinyatakan bersalah. Tapi menurut saya, di Indonesia ada pelaku datang ke Komisi dan smenyatakan pengakuan bersalah itu agak susah. Menurut saya, mekanisme ini kurang begitu didukung oleh kultur yang berkembang di Indonesia.

Kritik terhadap RUU KKR?

Kritik utama terhadap RUU KKR berkenaan dengan penempatan KKR sebagai pengganti pengadilan. KKR ditempatkan sebagai quasi judicial karena kasus yang mereka selidiki sudah tidak bisa dibawa ke pengadilan. Secara hukum, tidak kuat posisi seperti ini karena Komisi Kebenaran tak didesain untuk mengganti pengadilan. KKR bukan mekanisme alternative dispute resolution. Komisi memang satu mekanisme yang diprakarsai negara untuk merekonsiliasikan hubungan negara dengan warga negaranya yang pernah pada satu ketika oleh satu rezim politik merusak hubungan itu. Yang tak bisa direkonsiliasi itu yang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana.

Masih ada momentum, Pemilu 2004 untuk membuat kontrak baru atau malah campur baru?

Sekarang kan sudah campur baur. Kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat terkait dengan komposisi elite dalam rezim baru sekarang. Misalnya, dalam pemilihan presiden yang akan datang yang menang Yudhoyono atau Megawati tetap tidak bisa lugas berhadapan dengan mereka yang bertanggung jawab dengan masa lalu. Karena sebagian dari mereka sudah menjadi bagian dari rezim baru sekarang ini.

Artinya tak ada harapan rezim baru untuk pengungkapan masa lalu?

Kalau dalam pengertian yang sangat ideal nggak ada. Tapi gradasi tertentu masih bisa dicapai. Tapi kalau kita berharap masa lalu diselesaikan dengan tuntas, dengan mencapai keadilan substansial sulit berharap, karena ada kompromi elite politik. Karena adanya elite politik lama di rezim baru.

Rezim baru akan ditawan dengan masa lalu?

Secara substansial dia akan tertawan karena dia hanya menyentuh aspek yang katakanlah partial justice. Mereka nggak akan bisa konfrontasi dengan pelanggaran HAM masa lalu. Yang dia cari, rezim baru akan terus menjaga konsensus politik agar pemerintah jalan.

Artinya korban tak mendapat hak, kebenaran tak terungkap?

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 65

Secara penuh korban takkan dapat haknya, dan kebenaran hanya terungkap secara parsial. Dengan produk, pengadilan HAM yang sekarang berjalan, barangkali juga ada KKR itu semua akan menghasilkan keadilan parsial dan kebenaran parsial.

Dampaknya apa?

Dampaknya kita mungkin akan terus menghadapi pertanyaan tentang gugatan beberapa kasus pelanggaran HAM yang oleh korban dirasa belum mendapatkan keadilan substansial khususnya Aceh dan Papua. Siapa pun yang terpilih akan terus dibayangi dengan penanganan pelanggaran HAM di Aceh dan Papua. Pemerintah baru sama sekali belum menyentuh penanganan pelanggaran HAM di kedua daerah itu. Masalahnya, banyak pejabat di pemerintahan baru pernah bertugas di Aceh dan Papua.

Negara tertawan masa lalu?

Akan terus tertawan dalam gradasi yang berbeda. Bayang- bayang masa lalu akan selalu menghantui.

Ada orang mengatakan, pelanggaran masa lalu tak perlu dipersoalkan?

Itu tak menjawab masalah, besok dia akan berhadapan lagi. Secara politik bisa dicapai konsensus bikin perpu, atau deklarasi mengatakan kita lupakan masa lalu, kita menatap ke depan. Tapi itu tak membawa dampak bagi perubahan tatanan politik. Yang ingin dicapai selain ada seleksi elite adalah penataan struktur politik masa depan. Misalnya, RUU TNI. Kita tidak melihat ada dampak di tubuh TNI terhadap perilaku mereka. Mereka tetap mempertahankan perilaku masa lalu yang menjadi penyebab pelanggaran HAM. Padahal, fungsi mengungkap kebenaran masa lalu adalah bagaimana mereformasi lembaga negara. Seperti TNI, polisi, dan intel. Itu harus direformasi berdasarkan peran mereka pada masa lalu. RUU TNI diajukan tanpa mengacu masa lalu. Seperti kita tak pernah mempunyai masa lalu. (Budiman Tanuredjo)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 66

Kompas, Kamis, 19 Agustus 2004 Rekonsiliasi Tanpa Pecundang Oleh Florencio Mario Vieira

SEBAGAI kunjungan balasan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang mewakili pemerintah pusat pada HUT Ke-2 Kemerdekaan Republica Democratica de Timor Leste di Dili, Mei lalu, Menteri Luar Negeri Timor Leste Ramos Horta melakukan kunjungan balasan ke Kupang, NTT, dalam rangka HUT Ke-59 Kemerdekaan RI.

Agak berbeda dengan kunjungan Gubernur NTT ke Dili, kali ini delegasi Horta disertai rombongan pengusaha, kesenian, dan tim sepak bola Timor Lorosae. Dengan agenda yang begitu padat, Horta sempat meluangkan waktu untuk bertemu dengan beberapa warga negara Indonesia keturunan Timor Timur (Timtim). Sebutan yang kurang tepat selama ini adalah "eks Timtim" karena penulis menganggap faktor keturunan darah ius sanguinis seseorang tetap melekat dalam raga tiap insan tidak bisa ditransformasikan menjadi "eks/mantan/bekas" hanya karena sebuah kertas (dokumen kewarganegaraan).

Untuk itu, sebutan yang bijak bagi warga Timtim yang memilih kewarganegaraan Indonesia adalah WNI keturunan Timtim (kalau di Amerika ada istilah untuk African American, Indian American, Cuban American, Chinese American, dan sebagainya) yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan anak bangsa Indonesia lainnya.

IHWAL pertemuan Horta dengan WNI keturunan Timtim difasilitasi Wakil Gubernur NTT Drs Frans Leburaya, dan didampingi Dubes Timor Leste untuk RI Arlindo Marcal, serta Dubes RI untuk Timor Leste Ahmed Bey Sofwan. Sayang, waktu yang disediakan hanya berkisar 40 menit sehingga dialog berlangsung satu termin dengan tiga penanya dan hanya menghasilkan satu pokok pikiran utama yang berkaitan dengan rekonsiliasi.

Kedua pihak punya kesamaan pandangan tentang pentingnya rekonsiliasi antara semua orang Timor Lorosae di seluruh dunia, menjadi prioritas utama dengan melupakan masa lalu untuk menatap masa depan dan memberikan peluang naturalisasi bagi setiap orang Timor Lorosae untuk menjadi warga negara Timor Leste tanpa batas waktu serta menghormati warga keturunan Timtim atas pilihannya menjadi WNI.

Dua pesan kunci yang diangkat Horta dalam dialog itu adalah sejarah kelabu Timtim harus ditutup dengan "tanpa pecundang, hanya pemenang (without losers, only winners) dan melupakan masa lalu (forget the past)". Ucapan ini cukup berarti untuk dicermati dalam rangka rekonsiliasi bagi seluruh manusia Timor Lorosae, meski pernyataan itu bukan untuk yang pertama kali diutarakan.

PERTAMA, pandangan Horta atau Pemerintah Timor Leste yang memfokuskan rekonsiliasi nasional secara merata bagi seluruh orang Timor Lorosae di seluruh dunia adalah baik, namun tanpa mengidentifikasikan dan memprioritaskan tingkat urgensinya. Maka kiranya rekonsiliasi itu adalah pekerjaan rumah yang tertunda. Membangun Timor Lorosae dalam kebersamaan dan persaudaraan dengan tingkat beban permasalahan orang Timtim yang ada di Australia, Portugal, dan di belahan dunia lain tentu berbeda dengan yang menetap di Indonesia.

Dari laporan resmi pemerintah NTT, lebih dari 15.000 KK WNI keturunan Timtim yang ada di Timor Barat, termasuk 7.000 KK di kamp-kamp pengungsi, menunjukkan, secara kuantitas cukup signifikan dengan identitas eksklusif yang melekat pada dirinya yaitu kelompok integrasi atau antikemerdekaan. Meski beberapa pertemuan rekonsiliasi dan saling berkunjung telah dilakukan dan menunjukkan perkembangan yang positif, namun belum sampai pada tingkat trust building. Hal ini bisa dirasakan baik di akar rumput (grass root level) maupun di tingkat elite karena masih dibebani trauma psikologis dan keyakinan ideologis termasuk ekonomi.

Lain halnya dengan keturunan Timtim di luar Indonesia seperti di Australia dan Portugal yang ingin kembali ke Timor Lorosae, masalah ideologis dan psikologis bukan hambatan utama, namun masalah ekonomi Timor Lorosae yang tidak membawa harapan untuk berusaha atau mendapatkan lapangan kerja merupakan pertimbangan mereka belum kembali.

Kedua, berakhirnya masalah Timtim dengan "tanpa pecundang hanya pemenang" tentu sebuah pernyataan yang cukup bijak. Namun, pernyataan itu masih pada wacana retorika yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 67

politis kemerdekaan Timor Leste. Hal itu terindikasi dalam konstitusi Timor Leste, kemerdekaan adalah restorasi proklamasi unilateral Republica Democratica de Timor Leste pada 29 November 1975 yang lalu dilegitimasi oleh penentuan pendapat 30 Agustus 1999. Juga nilai-nilai demokrasi terbukti telah dinodai oleh sebuah konspirasi internasional. Hal ini menunjukkan, masih ada indikasi pecundang (losers) bagi pihak kelompok integrasi/otonomi secara politis meski dengan asumsi telah melalui sebuah proses demokrasi masih dapat diperdebatkan.

Ketiga, berkait dengan "lupakan masa lalu". Itu pun masih debatable karena melupakan masa lalu adalah upaya kurang cerdas. Bukankah melupakan sesuatu yang buruk di masa lalu akan ada kecenderungan untuk terulang pada masa datang karena ketidaktahuan atau terlupakan oleh generasi baru? Untuk itu fakta harus tetap digali dan dicatat pada lembaran sejarah Timor Lorosae agar generasi mendatang dapat mencermati untuk tidak mengulanginya pada masa datang. Aneka kejadian tragis tidak boleh dilupakan begitu saja karena banyak korban hilang dari kedua pihak di mana banyak keluarga tidak tahu keberadaan jasad saudara/suami/anak/istri.

Pengakuan jujur dan adil harus digali dalam komunitas sosial maupun pengadilan hak asasi manusia (HAM) formal, baru dipertimbangkan untuk diberikan pengampunan dari semua orang yang bertikai, baik di aras grass root maupun di tingkat elite sebagai wujud perdamaian abadi. Berkait dengan pengadilan HAM di kedua negara sebagai salah satu bentuk dalam upaya mencari kebenaran dan keadilan, rupanya masih jauh dari rasa keadilan masyarakat.

Sayang, di Indonesia pengadilan HAM memutuskan perkara kasus HAM Timtim secara diskriminatif dengan membebaskan elemen militer dan polisi yang bertanggung jawab pada masalah keamanan saat penentuan pendapat. Hal yang sama di Timor Leste, pejuang integrasi mendominasi pengadilan HAM dan penjara-penjara. Upaya rekonsiliasi yang komprehensif dan menyeluruh sebaiknya melalui upaya forgive but not to forget melalui proses pengakuan dalam komunitas sosial dan pengadilan HAM formal.

BAGI pihak ketiga, yaitu Portugal, Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat yang mempunyai andil dalam sepak terjang sejarah Timor Lorosae wajib memberi konsesi dalam rangka terciptanya kesinambungan perdamaian di Timor Lorosae. Caranya dengan memberi privilege tertentu kepada semua warga negara keturunan Timtim di negaranya masing-masing dan selanjutnya secara kolektif membatu Timor Lorosae agar dapat hidup layak sebagai sebuah negara.

AS yang mendorong masuknya Indonesia ke Timor Lorosae karena ketakutan "Kuba kedua" di kawasan ini dengan terindikasinya kecenderungan Partai Fretelin ke blok komunis, pada saat ini lebih fokus pada ketakutan akan bayangan ancaman terorisme sehingga menunda komitmen keuangan untuk membantu Timtim.

Demikian juga dengan Portugal, mantan penjajah yang gagal dalam dekolonisasi Timtim tidak berbuat banyak untuk Timor Lorosae. Australia yang seharusnya menghormati hukum internasional tentang batas laut dengan Timor Lorosae malah berbuat curang dengan mengeksploitasi minyak dan gas dengan nilai sebesar satu juta dollar Australia per hari di Timor Gap secara ilegal.

Sedangkan bagi WNI keturunan Timtim, kesetiaan dan pengorbanan untuk republik tidak membuahkan apa-apa. Sebaliknya kesetiaan kepada Merah Putih ternyata hanya menghadiahkan tenda di pengungsian dan permukiman yang jauh dari layak. Berlainan dengan yang dilakukan Pemerintah AS terhadap warga negara AS keturunan Vietnam dan Kerajaan Belanda terhadap warga negara Belanda keturunan Maluku.

Kunjungan Horta dengan meluangkan waktu berdialog dengan WNI keturunan Timtim patut dihargai sebagai upaya komunikasi. Namun, konsistensi dengan pernyataan Horta bahwa there is no losers, but only winners semoga bukan hanya sebuah retorika politik yang harus diuji dan diwujudkan dalam bentuk aneka kebijakan politis yang adil dan tanpa diskriminasi. Dalam membangun proses rekonsiliasi melalui pendekatan forgive but not to forget oleh penulis sebagai sebuah alternatif patut dipertimbangkan. Namun, entry point dari semua itu adalah how to build the trust antara semua pihak yang terlibat dan/atau terkait dalam pertikaian.

Florencio M Vieira Pemerhati Timtim; Alumnus John Heinz III-Scholl of Public Policy and Management, Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Pennsylvania

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 68

Kompas, Selasa 24 Agustus 20004 Masa Lalu Tak Selesai, Demokrasi Jadi Semu

Jakarta, Kompas - Pemerintah baru yang terbentuk seharusnya segera menyelesaikan persoalan masa lalu. Sebab, jika tidak, akan timbul sinisme di masyarakat terhadap pemerintah dan muncul persepsi negatif terhadap pemerintah yang menganggap seolah demokrasi tidak berharga. Tidak kunjung dituntaskannya persoalan-persoalan masa lalu hanya akan menghasilkan demokrasi semu dan tidak sebenarnya.

Demikian pendapat Senior Associate The International Center for Transitional Justice (ICTJ) Eduardo Gonzalez dalam peluncuran buku Demi Kebenaran: Pemetaan Upaya-upaya Pencarian Keadilan dalam Masa Transisi di Indonesia yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di Perpustakaan Nasional, Senin (23/8). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Kepala Litbang Harian Kompas Daniel Dhakidae dan dosen Universitas Atmajaya, Nani Nurachman.

Gonzalez menjelaskan, dalam proses transisi yang terpenting adalah penegakan hukum dengan cara menghilangkan kroniisme dan membuat pertanggungjawaban atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Masalahnya, pertanggungjawaban masa lalu sangat sulit karena mendudukkan elite pada dilema. "Kalau elite-elite baru tidak mengurus masa lalu maka akan timbul sinisme dan persepsi negatif di masyarakat seolah pemerintah tidak menganggap demokrasi berharga," ujar Gonzalez.

Ia menjelaskan, hal itu tertangkap saat UNDP melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat di Amerika Latin. Jawaban masyarakat atas jajak pendapat UNDP itu sungguh mengejutkan karena masyarakat ternyata tidak peduli apakah akan kembali ke rezim otoriter atau tidak. Hal ini karena tidak tuntasnya penyelesaian masa lalu sehingga menyebabkan timbulnya demokrasi semu atau demokrasi yang tidak sebenarnya.

Daniel Dhakidae menjelaskan, tidak ada yang serius menangani transisi politik tahun 1998. Saat itu terjadi dilema besar tentang nilai-nilai demokratik dan nilai republikan, tetapi tidak pernah diputuskan. Di dalam demokratik, persamaan dan kesejajaran menjadi hal penting, sedangkan nilai-nilai republikan yang menjadi penting adalah pembenahan institusi, barulah demokrasi. Institusi-institusi terpenting dan seharusnya mengalami perubahan besar, seperti militer, polisi, Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, nyaris tidak mengalami perubahan.

Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah pandangan akan lebih pentingnya konsekuensi atau akibat daripada sebab terjadinya suatu peristiwa. "Yang terjadi adalah persekongkolan gerakan oligarki sehingga politik rekonsiliasi dan kebenaran susah dikerjakan," jelas Daniel.(VIN)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 69

Kompas, Senin 30 Aug. 04 "Quo Vadis" Kebenaran? Oleh Fadjar I Thufail

SEBUAH berita datang dari Senayan. Setelah ditunggu dengan penuh harap oleh para aktivis hak asasi manusia, Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akhirnya mengumumkan bahwa tim perumus telah merampungkan naskah RUU KKR, dan RUU itu akan segera dijadikan undang-undang (Kompas, 28/7/2004).

Indonesia akan segera memiliki sebuah Komisi Nasional yang bertugas untuk menyelesaikan warisan kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Sayangnya salah seorang anggota pansus bulan lalu pernah mengatakan, "Kalau semuanya diungkap, jauh dari rujuk karena akan ada pengadilan. Mari kita kubur masa lalu dan menuju masa depan" (Kompas, 20 Juli 2004). Kebenaran dikalahkan demi tercapainya rekonsiliasi. Pernyataan ini seolah-olah seirama dengan pandangan para calon presiden saat mereka ditanya apa yang akan dilakukan berkaitan dengan peristiwa kekerasan masa lalu yang sampai saat ini belum diteliti secara mendalam dan diselesaikan. Kesamaan yang barangkali tak disengaja, tetapi secara jelas memperlihatkan bentuk dan arah imajinasi politikkultural di kalangan elite politik kita.

Barangkali agak aneh dan ironis saat para elite politik dan berbagai pengamat melontarkan hujatan kepada pengaruh dunia Barat, dalam diskursus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mereka memakai pemikiran yang bersumber dari filsafat pencerahan Barat untuk memaknai sebuah konsep yang dinamakan "kebenaran".

Dalam tradisi ini, kebenaran adalah sebuah epistemologi atau cara berpikir berdasarkan kesesuaian antara pernyataan dan sesuatu hal yang dinyatakan. Kebenaran (Truth, dengan T besar) adalah situasi ideal yang dicapai saat sebuah pernyataan memiliki referensi dengan dunia nyata yang dituturkan dalam pernyataan tersebut. Persoalannya, bagaimanakah kesesuaian logika itu dicapai dan apakah hubungannya dengan KKR?

NASKAH Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU) KKR-yang mudah-mudahan saat ini telah diubah-memberikan kesan bahwa komisi ini memiliki fungsi yang mirip dengan Pengadilan HAM. Komisi bertugas mengambil alih tugas pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tak mungkin, atau tak dapat, dibawa ke Pengadilan HAM Ad-Hoc. Dengan kata lain, "Kebenaran" dalam draf itu dimaknai sebagai kebenaran hukum, dan pengungkapan kebenaran diberi arti setara dengan proses peradilan meskipun dalam diskursus KKR "proses peradilan" ini tidak serta-merta memanfaatkan lembaga pengadilan. Dengan demikian, RUU KKR memberikan sebuah mandat yang besar kepada Komisi untuk mencari "kebenaran" tentang peristiwa kekerasan, artinya sebuah "kebenaran" yang tunggal dan mutlak untuk mencapai sebuah pemahaman tak terbantahkan tentang kesesuaian antara kesaksian yang disampaikan dan peristiwa yang terjadi.

Dalam logika Pencerahan-dan ini yang menjadi dasar logika hukum-"Kebenaran" (dengan K besar) semacam ini- lah yang mendasari segala proses interaksi sosial dan politik. Ini pula barangkali yang menjadi landasan berpikir yang dipakai oleh Pansus KKR saat mengatakan bahwa ada kekhawatiran bahwa "Kebenaran" yang diungkap justru akan menimbulkan "persoalan" baru.

Di pihak lain, agak mengherankan bila kerja KKR serupa yang ada di negara lain justru tidak pernah memaknai "kebenaran" seperti yang dimaknai oleh pansus dan para tokoh politik kita. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Timor Leste tidak pernah dimaksudkan sebagai pengganti Pengadilan HAM. Makna "kebenaran" yang diungkap dan diajukan ke depan Komisi adalah kebenaran "naratif", bukan kebenaran "yuridis", apalagi kebenaran "positivistik".

Tentang kebenaran naratif ini Paul Ricoeur pernah mengatakan bahwa sebuah pernyataan menjadi benar bukan karena adanya kesesuaian antara pernyataan itu dengan realitas dunia nyata, tetapi menjadi benar karena narasi itu menjadi wadah pengalaman orang yang menceritakan. Kerja KKR menjadi penting bukan karena ia melakukan investigasi pelanggaran HAM, tetapi karena ia memberi kesempatan agar kebenaran naratif itu bisa muncul ke ruang publik, setidak-tidaknya ruang publik terbatas di hadapan Komisi. Kebenaran dimaknai dalam konteks pengalaman seorang pelaku, korban, dan saksi pelanggaran HAM, dengan demikian jauh dari prinsip rasionalitas yuridis dan positivistik yang biasanya berlaku dalam proses peradilan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 70

Pemaknaan "kebenaran" yang dijadikan landasan filosofis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seharusnya ditafsirkan sejalan dengan makna "kesaksian" (testimony). Kisah kesaksian (testimonial account) pada mulanya dipakai sebagai sarana terapi mereka yang lolos dari kekejaman holocaust Nazi Jerman. Untuk menangani trauma para survivor itu, mereka diminta menceritakan kembali pengalaman saat mereka berada di dalam kamp konsentrasi. Kemudian dari beragam kesaksian itu muncullah berbagai tulisan pengalaman pribadi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kekejaman Nazi dan usaha pemulihan pengalaman traumatik mereka.

Salah satu yang terkenal dan menjadi pelopor literatur kesaksian (testimonial literature) ini adalah buku harian Primo Levi. Meskipun di Jerman tak pernah dibentuk secara resmi sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, penelusuran makna kebenaran selalu bertitik tolak dari kesaksian para survivor tersebut. Rekonsiliasi-dalam arti penghapusan dendam antara korban dan pelaku (antara kaum Yahudi dan mantan pendukung Nazi)-selalu didahului oleh kemauan korban menceritakan kembali pengalaman mereka.

DI Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Timor Leste, kesaksian diberi makna sebagai kesediaan untuk mengakui kesalahan seseorang. Pengertian kebenaran diperoleh bukan dari pembuktian tentang sebuah peristiwa, tetapi dari pengakuan bahwa seseorang pernah terlibat dalam peristiwa itu, entah sebagai korban ataupun pelaku. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertugas mencari dan membuktikan siapa yang salah atau benar, tetapi bertugas menyediakan ruang publik bagi seseorang yang ingin maju ke depan dan mengakui apa yang pernah ia lakukan. Penilaian tentang kebenaran yuridis menjadi wilayah tanggung jawab pengadilan, bukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Keberatan Pansus KKR terhadap aspek "kebenaran" dalam RUU KKR sebenarnya dapat ditafsirkan dalam beberapa sudut pandang. Pertama, RUU itu sendiri tidak memaknai kebenaran dalam arti luas. Kebenaran semata-mata ditafsirkan sebagai kebenaran hukum yang bersifat positivistik karena didasari oleh asas pembuktian. Akibatnya, pemahaman "kebenaran" sebagai kebenaran naratif memang tak pernah dipakai sebagai landasan prinsip penyusun draf RUU KKR mau- pun dipakai sebagai acuan dalam sidang pembahasan RUU tersebut.

Kedua, kesaksian memang belum menjadi tradisi diskursus ruang publik di negara ini. Kemauan untuk maju dan menceritakan pengalaman seseorang hanya dibatasi pada pengalaman yang "baik-baik" saja dan mendukung citra diri orang tersebut. Seringkali politik biografi tak lebih dari sekadar propaganda dan pembelaan citra diri, bukan dalam artian narasi sebuah kisah kesaksian.

Mungkin sudah terlambat untuk meminta Pansus KKR menafsirkan kembali pengertian "kebenaran" yang mereka pegang. Tetapi, barangkali belum terlambat untuk mengajak siapa pun saja menuliskan dan menceritakan kembali pengalaman mereka ketika berhadapan dengan kekerasan. Rekonsiliasi akan lebih bermakna apabila kita memiliki kesempatan belajar bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan. Rekonsiliasi adalah pengalaman sejarah, demikian pula halnya dengan pengalaman menjadi pelaku dan korban. Ini- lah makna kebenaran sebagai sebuah bentuk kesaksian. Kesemuanya harus diceritakan dan, tentunya, didengar.

Fadjar I Thufail Rockefeller Fellow di University of Washington-Seattle, Kandidat PhD di Department of Anthropology, University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 71

Kompas, Senin 30 Aug. 04 RUU KRR dan "Rekonsiliasi" Politik Oleh Satya Arinanto

DI tengah-tengah upaya para calon presiden dan calon wakil presiden untuk melakukan "rekonsiliasi" politik, terutama untuk meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya agar dapat menjadi pemenang di pemilihan umum presiden dan wakil presiden putaran kedua yang akan datang, tiba-tiba terdengar berita bahwa rencana kelanjutan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terancam terhenti dengan alasan tidak ada dana (Kompas, 10 dan 11 Agustus 2004).

Baru akhir pekan lalu dipastikan bahwa tim perumus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) telah merampungkan naskah RUU itu.

Terlepas dari masalah akan dilanjutkan atau tidaknya proses pembahasan RUU itu oleh DPR (yang akan habis masa jabatannya pada 1 Oktober 2004) dan pemerintah (yang akan memegang kendali pemerintahan hingga 20 Oktober 2004), nasib RUU KKR sendiri tampaknya memang tak semulus "garis tangan" RUU-RUU lainnya. RUU yang tergolong paling "sukses" dan dari segi kuantitatif dan bahkan pernah mencapai angka 50 persen dari keseluruhan jumlah UU yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah dalam periode 1999-2002 justru adalah UU yang berkaitan dengan "pemekaran wilayah".

Dari segi teknik perundang-undangan, pembuatan UU pemekaran wilayah tampaknya tergolong paling mudah. Menurut penelitian yang pernah penulis lakukan, UU yang berkaitan dengan pemekaran wilayah mempunyai jumlah pasal yang sangat sedikit (sekitar 4-5 pasal), dan tiap-tiap pasal memiliki bunyi atau redaksional yang 99,99 persen sama. Bedanya hanyalah nama wilayah yang "dimekarkan" dan peta yang menjadi lampiran yang tak terpisahkan. Di samping "kemudahan-kemudahan" itu, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa UU ini tergolong UU yang "basah".

Berbagai kelompok elite politik baik di tingkat Negara maupun Daerah yang memiliki kepentingan langsung maupun tak langsung dengan RUU ini tak segan-segan melakukan lobi. Lobi-lobi tersebut bukan hanya lobi-lobi yang sifatnya "kering" semata, tetapi tentunya termasuk lobi dengan menggunakan dana. Tak mengherankan jika di kalangan anggota DPR dikenal istilah ada Komisi yang tergolong sebagai "Komisi Mata Air", dan ada pula Komisi yang disebut sebagai "Komisi Air Mata".

Jika dibandingkan dengan berbagai RUU atau UU yang terkait dengan pemekaran wilayah tersebut, RUU KKR termasuk RUU yang mungkin tergolong "RUU Air Mata", baik dalam proses pembuatannya maupun setelah ia terbentuk kelak. Kemungkinan akan mandeknya pembahasan RUU ini mungkin bukan hanya dikarenakan para elite politik lebih sibuk melakukan "rekonsiliasi politik" untuk kebutuhan pemilu presiden, namun lebih jauh, tidak tertutup pula alternatif bahwa ketidaklancaran pembahasan RUU ini sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat by design.

Dengan kata lain, tidak tertutup kemungkinan bahwa di kalangan elite politik, terutama dari perspektif kepentingan sipil-militer untuk tetap duduk di level kekuasaan, atau tetap aman dari kemungkinan tuduhan telah melakukan pelanggaran HAM berat pada masa-masa yang akan datang, berupaya sekuat mungkin agar pemberlakuan RUU ini terus tertunda-tunda.

Hal ini antara lain bisa dibaca dari lamanya RUU ini berada di kalangan lembaga kepresidenan sebelum dikirim dengan Ampres (Amanat Presiden) ke DPR. Selanjutnya ketika dalam proses pembahasan di DPR, timbul perdebatan agar aspek "rekonsiliasi"-nya lebih ditekankan daripada aspek "kebenaran"- nya. Bahkan lebih jauh, juga muncul kehendak agar aspek "kebenaran"-nya lebih baik dihilangkan, dan yang dimunculkan hanyalah aspek "rekonsiliasi"-nya dengan berbagai versi penamaannya.

PADAHAL baik "kebenaran" maupun "rekonsiliasi" merupakan dua variabel yang sangat penting, dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada salah satu putusan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan (Afsel) ketika memutus permohonan dari Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko, pendiri Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam (Black Consciousness Movement) yang ditemukan meninggal dunia pada 12 September 1977 dengan kondisi tubuh penuh bekas pukulan. Ntsiki Biko menginginkan agar para pembunuh suaminya dihukum. Karena itu sebelum para pembunuh Biko mengajukan permohonan untuk mendapatkan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 72

amnesti dari KKR Afsel, Ntsiki Biko bahkan telah mengajukan permohonan (gugatan) di Mahkamah Konstitusi (MK) Afsel, dengan mendalilkan bahwa kewenangan MK Afsel untuk memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hokum internasional.

Walaupun menyatakan simpati terhadap Ntsiki Biko, namun MK Afsel kemudian menyatakan menolak kedua argumen tersebut. MK mengakui bahwa "every decent human being must feel grave discomfort in living with a consequence which might allow the perpetrators of evil acts to walk the streets of the land of impunity, protected in their freedom by an amnesty". Namun, MK menjelaskan bahwa tanpa "a mechanism for providing amnesty, … a peaceful transition to ’a democratic society based on freedom and equality’" tidak akan terwujud. MK mendalilkan bahwa kewenangan KKR untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dijustifikasi oleh kebutuhan untuk memperoleh kebenaran tentang "shameful period shrouded in secrecy" dan oleh kebutuhan untuk mengefektifkan "a rapid and enthusiastic transition to a new society". Yang juga menarik, MK juga menegaskan bahwa kewenangan ini bersifat tidak konsisten dengan hukum internasional, dan bahwa di segala hal hukum internasional disubordinasikan kepada pemberlakuan kewenangan dari negara Afrika Selatan.

Memetik pelajaran dari kasus tersebut, kita harus menyadari bahwa proses transisi politik yang masih berlangsung hingga saat ini harus segera dituntaskan. Karena itu, sebagaimana diterapkan di berbagai negara di dunia dengan berbagai variasi nama, KKR harus segera dibentuk di Indonesia. Karena itu, RUU KKR harus dibahas dengan tekad bahwa ia harus dapat disahkan dalam sisa masa pengabdian DPR dan pemerintah hasil Pemilu 1999 ini.

Satya Arinanto Analis Hukum Tata Negara dan Pengajar Pascasarjana Fakultas Hukum UI

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 73

Kompas,Kamis 02 September 2004

Bola Rekonsiliasi di Megawati atau Yudhoyono? Apabila tidak ada aral melintang, Rapat Paripurna DPR, Selasa, 7 September 2004, menyetujui Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Jika itu terjadi, "bola" rekonsiliasi pun akan berpindah dari kendali legislatif ke eksekutif. Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sama-sama mempunyai peluang untuk menggelar dan mengendalikan rekonsiliasi. Tergantung siapa yang mendapat mandat rakyat pada pemilu 20 September 2004.

Mencermati naskah rancangan undang-undang (RUU) yang disetujui seluruh fraksi dalam Rapat Kerja Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Senin (30/8), terlihat bahwa presiden masih memiliki peran besar bagi terciptanya rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Hal itu terlihat dari peranannya dalam pembentukan panitia seleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR); tata cara pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi; maupun pembuatan peraturan pemerintah.

Perubahan UUD 1945 Pasal 14 Ayat (1) sendiri menyebutkan, presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian, pada Ayat (2) disebutkan, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.

RUU KKR bertujuan untuk membuka tabir berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Butir pertama konsideran menimbang dalam UU itu menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan adanya penelusuran tersebut diharapkan kebenaran dapat diungkap, keadilan dapat ditegakkan, dan terbentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan

Berbeda dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, penyelesaian pelanggaran HAM berdasarkan UU KKR ini tak dilakukan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi melalui sebuah lembaga ekstra yudisial. RUU ini mengatur langkah konkret pembentukan sebuah komisi khusus. Komisi itu bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi bertugas menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban; menyelidiki dan mengklarifikasi; memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti; menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi; serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada MA.

Dalam RUU KKR yang dimaksudkan dengan korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM berat.

Sementara itu, kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban atau ahli waris untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental, yang disesuaikan dengan kemampuan negara. Sedangkan, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau ahli warisnya. Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat yang diberikan menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

Komisi beranggotakan 21 orang dengan susunan 3 orang pimpinan; 9 anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; 5 anggota subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; serta 4 anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

Masa kerja dari KKR ini berbeda dengan komisi lainnya, memiliki limitasi, yaitu lima tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah dan janji. Apabila dalam lima tahun belum menyelesaikan tugasnya dapat diperpanjang dua tahun.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 74

Pembentukan dari komisi ini dilaksanakan paling lambat enam bulan terhitung sejak tanggal undang-undang diundangkan. Dengan demikian, seandainya pada 7 September 2004 UU ini disetujui dan UU ini diundangkan paling lambat pada 7 Oktober 2004, maka komisi ini akan terbentuk paling lambat pada 7 April 2005.

Mencermati batang tubuh RUU KKR, peran eksekutif, khususnya presiden, dalam menentukan keberhasilan komisi besar. Presiden selaku kepala pemerintahan ikut dalam perekrutan anggota komisi maupun selaku kepala negara dalam tata cara penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti.

Keterlibatan presiden dalam perekrutan anggota komisi sedemikian kuat terlihat mulai dari proses di hulu, yaitu pembentukan panitia seleksi. Pasal 32 Ayat (2) RUU menyebutkan bahwa Presiden membentuk panitia seleksi.

Keanggotaan panitia seleksi itu terdiri dari lima orang dengan susunan dua orang berasal dari unsur pemerintah dan tiga orang berasal dari unsur masyarakat. Namun, mengenai ketentuan tentang susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota komisi-dalam Pasal 32 Ayat (5) RUU KKR-diatur dengan peraturan presiden.

Dalam Pasal 33 RUU KKR juga diatur bahwa panitia seleksi mengusulkan 42 calon yang telah memenuhi persyaratan kepada presiden. Selanjutnya, yang memilih 21 orang dari 42 calon anggota komisi yang diajukan oleh panitia seleksi tersebut dilakukan kembali oleh presiden.

Pada Pasal 34 Ayat (3) RUU KKR memang DPR diberi peluang untuk tidak memberikan persetujuan terhadap seorang atau lebih calon yang diajukan presiden. Apabila hal itu terjadi, presiden pun diharuskan mengajukan calon pengganti. Namun, calon pengganti tersebut tetap berasal dari 42 calon yang diusulkan panitia seleksi.

Selanjutnya, dalam Pasal 34 Ayat (4) ditegaskan, apabila presiden telah mengajukan calon pengganti, DPR wajib memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti tersebut.

Pasal 35 Ayat (2) memberi kewenangan kepada presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komisi dikarenakan hal itu dilakukan dengan keputusan presiden. Anggota komisi itu sendiri dapat diberhentikan, salah satunya, karena dianggap melakukan perbuatan tercela atau hal-hal lain yang berdasarkan keputusan Sidang Komisi harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas komisi.

Dengan dasar itu semua, terlihat jelas bahwa seberapa besar political will Megawati-Hasyim atau Yudhoyono-Kalla dalam melakukan rekonsiliasi akan memberi pengaruh besar.

Dalam hal pemberian amnesti, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi, peranan presiden besar. Presidenlah yang membuat keputusan mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti. Akan tetapi, dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima, presiden wajib meminta pertimbangan amnesti kepada DPR.

DPR wajib memberi pertimbangan amnesti kepada presiden dalam jangka waktu 30 hari kemudian. Selanjutnya, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pertimbangan amnesti DPR diterima, presiden kemudian membuat keputusan mengabulkan atau menolak.

Melihat proses pengambilan keputusan tingkat I, Senin kemarin, di mana fraksi-fraksi telah sepakat secara bulat, berarti kecil kemungkinan terjadinya perubahan signifikan dari naskah RUU KKR ini.

Kini, kita tinggal menimbang-menimbang mana pasangan capres yang pro-KKR dan mana yang tidak. Seperti halnya pemberantasan korupsi, budaya pejabat hidup hemat, dan lainnya, terlepas dari besarnya kewenangan, keberhasilan mewujudkan rekonsiliasi juga ditentukan oleh figur presiden.

Dengan tidak salah pilih presiden, bukan tidak mungkin, setelah kita berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar di dunia yang bisa jadi mengalahkan Amerika Serikat itu, kita juga akan berhasil menegakkan HAM dan melakukan rekonsiliasi terbesar di dunia mengalahkan Afrika Selatan, terlepas dari kekurangsempurnaan RUU KKR ini. (sutta dharmasaputra)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 75

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 76

Kompas, Jumat 03 Sep. 04 Sisi Lain Rekonsiliasi Oleh Budiarto Danujaya

KETIKA meraih Nobel Sastra 7 Desember 1994, Kenzaburo Oe berceramah dengan tajuk "Japan, the Ambiguous, and Myself". Risalah ini sebetulnya secara tak langsung merupakan tanggapan terhadap pidato pemenang Nobel Sastra 1968, Yasunari Kawabata, yang berjudul "Japan, the Beautiful, and Myself". Oe menyatakan sikapnya tidak sejalan dengan mistifikasi Jepang yang dilakukan Kawabata.

Oe bertutur tentang ambiguitas bipolar yang diderita Jepang mutakhir setelah lebih dari seabad modernisasi. Restorasi Meiji mengantar Jepang pada sebuah modernisasi ala Barat, yang membuat keretakan sosial-kultural mendalam antara negara dan masyarakatnya. Bahkan, orientasi ambisius yang diakibatkannya juga senantiasa membuat Jepang berposisi sebagai "sang penyerbu" di Asia, sehingga terkucil dari tetangga-tetangganya, baik secara politis maupun sosial-kultural.

Salah satu varian ambiguitas tersebut memuncak pada kebrutalan Jepang semasa Perang Dunia II, termasuk di Korea, China, dan Indonesia. Kebrutalan tersebut juga merangsang kebrutalan lain, yakni bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki, yang mengakibatkan lebih dari 300.000 korban jiwa. Oleh karena itu, Oe mengatasnamakan risalah ini tak hanya pada seorang warga sebuah negeri yang kini kenyang puja-puji karena kemajuan industri elektronik dan mobilnya, akan tetapi juga seorang warga sebuah negeri yang pernah "diserbu kegilaan pada antusiasime penghancuran baik bagi negeri sendiri maupun pada negara-negara tetangganya".

TAMPAKLAH bahwa salah satu perbedaan pokok antara kekejian kemanusiaan semacam ini dan berbagai bentuk kejahatan berdampak massal lainnya, katakanlah korupsi, adalah pada kenangan buruk yang diakibatkannya. Kejahatan kemanusiaan ternyata membangkitkan kegetiran dan rasa malu kolektif yang tak kunjung mati.

Dalam pengertian inilah, Oe tidak sendirian. Hal yang sama kita rasakan ketika kebetulan ada kenalan asing bertanya mengenai tragedi Aceh semasa DOM (Daerah Operasi Militer), Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi, Poso, Ambon, kerusuhan Mei, peristiwa Santa Cruz maupun pembumihangusan Timtim, atau pembakaran maupun pengeboman banyak tempat publik dan ibadah. Bahkan, ketika kita membaca jatuhnya satu juta korban jiwa pada peristiwa G30S dalam The Anatomy of Human Destructiveness dari Erich Fromm, bukan lagi kengerian melainkan kegetiran dan rasa malu itu yang meremang.

Oleh karena itu, pokok yang perlu digarisbawahi dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) adalah bahwa di samping sebuah bentuk kejahatan luar biasa karena mengoyak sendi-sendi kemanusiaan, kejahatan HAM juga berdampak kolektif, dan bahkan melintasi zaman. Penekanan ini penting melihat kecenderungan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat belakangan ini yang mengesankan dua hal.

Pertama, kebutuhan politik jangka pendek, dalam arti segenap pihak sedang berusaha memulung popularitas/dukungan dari pihak mana pun, atau setidaknya jangan sampai cari musuh, terlebih lagi terhadap para mantan pejabat/petinggi militer era Orde Baru yang jelas masih sangat sarat dana, pengaruh, dan bahkan kekuasaan terselubung.

Kedua, crash program, dalam arti yang penting segera selesai daripada terus membebani perjalanan bangsa selanjutnya dengan masa lalu yang kelam. Atau, mungkin lebih tepatnya, jangan sampai perkara masa lalu ini terus membebani pemerintahan yang sekarang/akan datang dengan isu simalakama, yang apa pun keputusannya cenderung merugikan aliansi strategis atau popularitas yang sedang mereka bangun.

KECENDERUNGAN ini bisa jelas kita tengarai bukan hanya lewat lolosnya semua terdakwa berpangkat puncak dalam perkara pelanggaran berat HAM, antara lain pada pengadilan kasus Timor Timur dan Tanjung Priok belakangan ini. Melainkan, terutama dengan adanya upaya untuk mengubah Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) menjadi sekadar legitimasi lebih absah terhadap upaya penyelamatan para terdakwa pelanggaran berat HAM tersebut.

Sedemikian rupa keputusan ini sampai tak peduli mengandung paradoks di dalam logika internal keputusan atau antara keputusan-keputusannya. Begitu pula, sedemikian rupa upaya ini sampai tak peduli apakah mengusik

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 77

rasa keadilan para korban, keluarganya, atau masyarakat luas. Bahkan, tampaknya juga tak peduli justru telah menciptakan sebuah kekerasan baru oleh negara atau sekelompok orang yang kebetulan berwenang terhadap para korban, keluarganya, dan masyarakat luas.

Sebagai contoh, dalam naskah RUU KKR usulan pemerintah disebutkan bahwa komisi ini wajib memberi rekomendasi untuk memberi amnesti terhadap pelanggar berat HAM kalau pelaku dan korban saling memaafkan. Komisi bahkan masih berkemungkinan memutuskan pemberian rekomendasi amnesti, betapapun berkeharusan mandiri dan obyektif, kalau pelaku telah bersedia mengakui kesalahan dan kebenaran fakta-fakta kejahatan serta menyatakan penyesalan, walaupun gagal mendapat maaf dari korban atau sanak keluarganya (Kompas, 31/8).

Mudah sekali ditafsirkan betapa segenap ujung dan raison d’etre RUU KKR ini adalah amnesti dan bukannya rekonsiliasi. Tidakkah rekonsiliasi lalu sekadar menjadi konsekuensi dependen keinginan memberi amnesti? Tidakkah sebuah rekonsiliasi seharusnya tak hanya mengandaikan niat baik korban dan sanaknya tapi juga para pelakunya, katakanlah menyadari kejahatannya dan siap dihukum tanpa harus melalui proses pengadilan rumit yang melelahkan semua pihak? Tampaknya, inilah yang luput dari logika keadilan proses rekonsiliasi kita jika dibandingkan dengan Korsel, misalnya, yang sempat mengandangkan lebih dulu dua presiden sebelum rekonsiliasi disepakati.

Jelaslah, sebuah rekonsiliasi memang penting agar bangsa ini tidak tetap tercabik-cabik dan terus disandera masa lalu. Dan, juga sangatlah jelas bahwa rekonsiliasi yang wajar mengandaikan sebuah proses memaafkan yang tulus. Akan tetapi, kiranya, dalam hal pengampunan pelaku kejahatan berat HAM semacam ini, sebagai afirmasi, "maaf" dari korban bukanlah segala-galanya. Masalahnya, secara legal maupun terlebih lagi secara sosial-etis, sebuah kejahatan berat HAM tidaklah pernah sekadar sebuah peristiwa individual, melainkan sebuah peristiwa sosial, karena yang dicabik-cabik adalah sendi-sendi kehidupan legal-etis kita bersama.

Hubungan seorang pelaku kejahatan berat HAM dengan korbannya bukanlah sebuah hubungan personal dengan sebuah mekanisme relasi timbal-balik yang bersifat resiprokal, melainkan sebuah hubungan sosial dengan sebuah mekanisme relasi mutual yang menyebar ke segenap anggota masyarakat sehingga bersifat kolektif.

Di lain pihak, sebagai negasi, ketika hubungan antara sebuah kejahatan HAM berat terhadap korbannya coba ditiadakan, sebaliknya "maaf" korban adalah segala-galanya. Masalahnya, dalam hubungan mutual yang bersifat kolektif tersebut tercantum jelas jejak utama perkara, yakni hubungan yang diandaikan akan bersifat resiprokal, baku-balas, antara pelaku dan korban. Tentu saja hukum modern perlahan-lahan meninggalkan sisi resiprokal ini dan lebih menitikberatkan pada aspek rekonstruktif dari sebuah hukuman, akan tetapi jejak purba sebuah hukuman, apa boleh buat, mengandaikan unsur ini seperti kita lihat dalam tindak sosial sehari-hari.

Dan, dalam hal ini, memaafkan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Oleh karena itu, kehilangan hak tuntut korban karena pelaku telah diberi amnesti berdasar pengakuan bersalah walau tanpa maaf, lalu seakan menghilangkan sangkut-paut diri korban. Rasanya, kalaupun ada praktik mirip ini di negeri lain, misalnya demi membongkar kejahatan lebih besar, bukanlah bagi pelaku kejahatan berat kemanusiaan, dan juga tetap sangat bersyarat agar tak mengusik rasa keadilan orang banyak atau bahkan justru merusak aspek rekonstruktif dari hukum itu sendiri.

Alih-alih dari tudingan pragmatisme hukum, seperti pada praktik plea bargain umumnya, jika tidak dengan pertimbangan adil, saksama, dan sangat bersyarat, perkara semacam ini bahkan bisa berkembang menjadi sebuah bentuk kekerasan baru negara atau sekelompok orang yang kebetulan berwenang terhadap representasi hak para korban atas keadilan dalam hukum bersama.

Lagi pula, jika prosesnya dipaksakan, adakah efektivitasnya dalam mengendurkan ketegangan politik kita? Bahkan sebuah proses islah yang berlangsung informal dan tampak wajar seperti kasus Tanjung Priok, misalnya, ternyata masih menyisakan silang sengkarut berkepanjangan. Dengan demikian, alih-alih menyelesaikan masa lalu, jika tak bijak-bijak dalam penerapannya kelak, jangan-jangan komisi ini justru akan menjadi pangkal penerbitan ketidakadilan dan kekerasan baru oleh negara, yang akan lebih menuai permasalahan daripada penyelesaian.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 78

TAK berarti lalu proses rekonsiliasi jadi tak penting. Pun, pengungkapan kebenaran. Betapapun pedihnya, kebenaran memang lebih baik terbuka, agar bisa menghadirkan proses pembelajaran. Akan tetapi, hidup dengan berbagai masalah yang tak kunjung selesai, dan bahkan berproses bersama masalah-masalah tersebut adalah roman kehidupan sosial mutakhir di mana pun, jadi tak perlu sampai membangkitkan fobia.

Jangan sampai kepenatan dan keengganan kita menghadapi ketegangan sosial-politis yang tak kunjung putus akibat semakin banyaknya muncul permasalahan, tuntutan, pertanyaan, sisipan, dan perbedaan sebagai konsekuensi mulai berseminya demokrasi kita, kembali kita tutup dengan jenis-jenis jalan pintas dan obat instan jangka pendek, terlebih lagi yang bersifat kursif.

Dalam masa yang lebih dinamik tapi volatil ini, merawat sendi-sendi kehidupan kolektif kita bersama jauh lebih penting daripada sekadar mengendurkan ketegangan, apalagi kalau bersifat implikatif. Dan, representasi rasa keadilan segenap warga dalam hukum, pun kegetiran dan rasa malu bersama sebagai bangsa termasuk di antaranya. Dalam hal ini, jelaslah, rekonsiliasi adalah sebuah gramatika kolektif.

Budiarto Danujaya Pengamat Sosial

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 79

Kompas, Sabtu 04 Septembers 2004 Kekebalan Hukum, Siapa Takut? Oleh Baskara T Wardaya

SEBUAH berita menarik dan penting datang dari Cile baru-baru ini: Augusto Pinochet dilucuti Mahkamah Agung negeri itu dari kekebalan hukum yang selama ini melindunginya (Kompas, 28/8/2004).

Berita ini menarik, karena hal itu berarti, setelah bertahun-tahun gagal, kini pengadilan di Cile berhak membawa mantan presiden itu ke meja hijau. Penting, karena pelucutan kekebalan hukum atas Pinochet memiliki potensi pengaruh luas di masyarakat internasional.

Kini para diktator, mantan diktator, dan pelanggar berat hak-hak asasi manusia (HAM) dapat sewaktu-waktu digandeng ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Kafilah maut

Sebenarnya, sudah lama orang menuntut agar Pinochet dibawa ke pengadilan karena ia perlu "dimintai keterangan" sehubungan tuduhan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) selama 17 tahun masa kepresidenannya (1973-1990) yang dikenal represif militeristik.

Sejarah mencatat, pria kelahiran Valparaiso, Cile, tahun 1915 ini naik ke tampuk pimpinan nasional tahun 1973 setelah memimpin kudeta berdarah melawan Presiden Salvador Allende. Allende yang dipilih secara demokratis dirasakan sebagai ancaman bagi berbagai kelompok elite (sipil dan militer lokal maupun pemilik modal asing) karena aneka kebijakan sosialisnya memihak rakyat.

Dalam kudeta yang bersandi "Operasi Jakarta" itu, presiden Cile tewas. Pinochet naik ke kursi kepresidenan untuk menggantikannya. Namun di bawah pemerintahannya, berbagai bentuk pelanggaran berat HAM berlangsung. Di antaranya yang paling menonjol adalah "hilang"-nya sekitar 3.200 orang yang diduga dihabisi preman-preman Pinochet.

Pada saat itu dikenal adanya "Kafilah Maut" (Caravan of Death), yakni satuan khusus yang tugasnya mengunjungi para tapol dan menembak mereka secara misterius. Dikenal pula Operation Condor, yakni kerja sama Pinochet dan para diktator Amerika Latin lain guna menghabisi para lawan politik.

Mereka yang dihabisi itu tidak hanya para pendukung mendiang Allende yang dituduh komunis, melainkan siapa pun yang melawan kepentingan Pinochet dan antek-anteknya.

Pembunuhan massal

Tragisnya, pelanggaran HAM secara massal dan mengerikan macam itu tidak hanya terjadi di Cile, tetapi juga di berbagai tempat lain di dunia. Di Indonesia, misalnya, pelanggaran berat HAM terjadi tahun 1965-1966. Ketika itu berlangsung pembunuhan massal terhadap sejumlah besar warga masyarakat, khususnya mereka yang dituduh komunis. Dalam peristiwa itu ratusan ribu, bahkan jutaan (bukan "hanya" 3.200) nyawa dihabisi.

Untuk sebuah pembantaian dengan korban sebanyak itu (konon merupakan salah satu yang terbesar sejak Perang Dunia Kedua) tentu sulit dibayangkan, terjadinya hanya secara spontan, tanpa ada semacam koordinasi dan provokasi. Sementara itu ribuan orang lain yang juga dituduh komunis tetapi "tidak sempat" dibunuh, dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan yang memadai.

Namun, mereka yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan atas pembunuhan dan pembuangan massal itu tak pernah dimintai pertanggung jawaban di hadapan hukum. Alih-alih mencari dan menemukan siapa yang bertanggung jawab atas provokasi dan koordinasi pembantaian dan pembuangan itu, yang terjadi justru "penjatuhan vonis" kepada Bung Karno berupa tahanan rumah sampai meninggal. Ia dihukum tanpa pernah ada proses pengadilan jelas. Saat itu banyak orang lain juga dikenai hukuman oleh penguasa baru atas dasar "kejahatan" mendukung Sang Proklamator yang gemar pidato tetapi tidak korup itu.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 80

Sebagaimana kita tahu, berbagai bentuk pelanggaran berat HAM secara koordinatif terus terjadi sejak peristiwa pembunuhan dan pembuangan massal itu. Sejak akhir 1960-an banyak warga negeri ini ditindas, disiksa, "hilang", atau terang-terangan dihabisi dengan berbagai alasan. Namun sejak itu pula nyaris tak pernah ada pengadilan serius yang mewajibkan para pengambil keputusan mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Kalaupun ada, yang diadili hanya para pelaku lapangan, bukan pengambil keputusan di tingkat atas. Dalam waktu lama, mereka yang ada di tingkat atas selalu berhasil berlindung di balik kekebalan hukum.

Keadilan

Karena itu kita menyambut baik usaha para wakil rakyat di DPR untuk menanggapi masalah ini, antara lain dengan rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Upaya macam ini penting karena mau ditunjukkan, di negeri ini pelanggaran HAM dan berbagai bentuk kekerasan di masa lalu tidak dibiarkan begitu saja. Para pelanggar HAM yang selama ini berlindung di balik kekebalan hukum tak lagi akan ditolerir.

Berkaitan dengan itu perlu ditekankan kembali, komisi semacam ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk "menghapus" begitu saja kejahatan pelanggaran HAM di masa lalu. Upaya rekonsiliasi, misalnya, tidak boleh mengabaikan unsur kebenaran. Artinya, terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM, perlu diteliti kembali apa yang terjadi dan bagaimana pelanggaran-pelanggaran itu terjadi di masa lampau. Dengan kata lain, ada upaya truth seeking (pencarian kebenaran).

Dalam konteks pencarian kebenaran, kiranya penting diperhatikan apa yang dikatakan Fadjar I Thufail (Kompas, 30/8/2004), yang mau dicari bukan terutama kebenaran dalam arti yuridis, tetapi kebenaran naratif. Artinya, "kebenaran" sebagaimana dialami dan dipahami oleh mereka yang terlibat. Di sini terletak perlunya upaya truth telling (penceritaan kembali kebenaran) yang bebas dari berbagai macam tekanan dalam rangka truth seeking.

Tidak kalah penting diperhatikan adalah unsur keadilan, meski bukan terutama keadilan dalam arti yuridis. Perlu ditegakkan prinsip, tiap pelaku kejahatan mau menerima konsekuensi dari kejahatannya itu, sedang para korban mendapat kompensasi memadai, apa pun bentuk yang paling sesuai. Prinsip kekebalan hukum harus dibuang jauh-jauh.

Akhirnya, dari kasus Pinochet maupun setiap upaya pencarian kebenaran, rekonsiliasi dan keadilan setidaknya kita bisa belajar dua hal. Pertama, bagaimanapun juga pelanggaran HAM tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perlu ada usaha bersama untuk menangani berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Kedua, usaha ke arah itu tidak pernah mudah. Diperlukan kesabaran dan perjuangan panjang oleh sebanyak mungkin warga masyarakat.

Namun betapapun panjangnya perjuangan itu, keberhasilannya akan ikut membantu langkah bersama masyarakat menuju masa depan yang lebih jernih, lebih sehat, tanpa harus terus dihantui oleh masa lalu yang kelam. Baskara T Wardaya SJ Peneliti Fulbright, Tinggal di Wisconsin, AS

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 81

Kompas,Sabtu 04 September 2004 Perlu Reinterpretasi Penulisan Sejarah Masa Orde Baru

Yogyakarta, Kompas - Interpretasi ulang terhadap hasil karya penulisan sejarah masa Orde Baru yang dinilai bias dari kejadian aslinya, mutlak perlu dilakukan. Namun, upaya itu harus diikuti penyajian data dan fakta yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

Tanpa didukung kebenaran fakta dan data tersebut, penulisan sejarah ulang yang dimaksudkan untuk mendekati dengan kebenaran peristiwa justru tidak akan tercapai. "Memang harus ada penulisan post-Orde Baru, tetapi jangan asal semangat saja," kata sejarawan Anhar Gonggong di sela-sela Lokakarya Penulisan Sejarah Indonesia di Yogyakarta, Kamis (2/9) malam.

Menurut Anhar, atmosfer penulisan sejarah masa-masa Orde Baru didominasi peran pemerintah dan militer yang mengawasi dengan ketat. Akibatnya, banyak penulisan sejarah yang ditulis tidak jujur, tanpa keseimbangan data, dan hanya mengagung-agungkan peranan pihak tertentu, seperti militer. Buku-buku semacam inilah yang dipandang penting untuk direinterpretasi.

Padahal, sebagaimana aslinya, sejarah merupakan peristiwa yang jujur dan apa adanya. Oleh karena itu, penulisan sejarah pun semestinya bersifat merdeka dan bebas, bukan sejarah untuk kekuasaan atau bersifat "istana sentris".

Menipu masyarakat

Kalau hal itu yang terjadi, secara sadar penulis sejarah atau siapa pun yang mengarahkannya telah menipu masyarakat pembaca. Bahkan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan para pujangga di zaman kerajaan-kerajaan dulu.

"Janganlah menjadikan sejarah untuk kekuasaan. Bila itu yang terjadi, isi buku-buku sejarah justru akan membingungkan guru-guru di sekolah," kata Anhar Gonggong.

Akibat penulisan sejarah yang disusun semata-mata hanya demi melanggengkan kekuasaan, selama puluhan tahun murid-murid sekolah tidak memperoleh informasi yang benar sesuai data dan faktanya. Malah tidak sedikit yang meyakini kebenarannya hingga seumur hidup.

Salah satu contoh sejarah yang perlu direinterpretasi, lanjut Anhar, adalah seputar keterlibatan Soeharto dan Soekarno dalam peristiwa yang dikenal dengan G30S/PKI. Hingga kini, belum ada satu pun kejelasan paling sahih berdasarkan bukti dan fakta yang mampu menjelaskan hal itu. "Begitu banyak buku yang ditulis seputar itu. Tidak masalah selama tidak ada fakta yang disembunyikan," kata dia.

Terkait dengan reinterpretasi sejarah, salah satu proyek yang kini dalam proses pengerjaan adalah penyusunan buku Sejarah Indonesia sebanyak delapan jilid. Di sana akan disajikan sejarah mulai dari masa prasejarah hingga masa reformasi. Lebih dari seratus sejarawan terlibat dalam proyek ini.

Sejarawan dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Dr AM Djuliati Suroyo, mengungkapkan bahwa buku-buku sejarah tentang perpolitikan yang ditulis masa Orde Baru lebih banyak yang kontroversial daripada buku-buku di bidang lain, seperti sosial, budaya, dan ekonomi. Buku-buku penataran Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila sebagai contohnya. Demi tercapainya tujuan indoktrinasi pemerintah saat itu, kebenaran sejarah yang bertentangan dengan tujuan itu pun harus disingkirkan.

"Namun, tidak semua tulisan yang dihasilkan semasa Orde Baru itu perlu diganti, apalagi tanpa pertimbangan matang. Kita juga harus obyektif melihatnya. Dulu memang hal-hal yang jelek di mata pemerintah dilarang untuk disuguhkan. Saya kira juga terjadi di zaman Orde Lama," kata dia. (GSA)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 82

Jakarta Post, September 06, 2004 Bill benefits rights abusers: Activist

Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta

The House of Representatives is expected to endorse the bill on the Truth and Reconciliation Commission on Tuesday, but a human rights campaigner doubts the effectiveness of the commission to fulfill its tasks.

Ifdal Kasim, director of the Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM), said on Sunday the commission would face an uphill climb in its efforts to facilitate reconciliation between the victims and perpetrators of human rights abuses.

He said the bill contained conflicting articles that would hamper the reconciliation process. "There is still a chance for the lawmakers to revise the bill before approving it," Ifdal told The Jakarta Post. He also criticized the bill for favoring human rights perpetrators rather than helping the victims seek justice.

For example, he said, Article 27 in the bill stipulates that human rights victims shall receive compensation or rehabilitation only after the perpetrators are granted a presidential pardon.

Meanwhile, Article 24 says the commission must deliver a ruling no later than 90 days after receiving a report on human right violations. In its ruling, the commission may recommend that the government provide compensation, rehabilitation, or restitution to the victims, or suggest that the President grant amnesty to perpetrators.

Separately, human rights activist Albert Hasibuan said the bill's contents were fair enough to facilitate a reconciliation.

The truth and reconciliation commission bill, comprising 10 chapters and 46 articles, suggests that human rights violators can receive a formal pardon if they admit to their wrongdoings and the victims forgive them.

If the victims do not forgive their abusers, the commission can still recommend that the president grant them amnesty; in the case that alleged human rights perpetrators deny the accusations against them, they will be prosecuted by the human rights court.

The establishment of the Truth and Reconciliation Commission is mandated by a People's Consultative Assembly Decree issued in 2000, which declares the commission's purpose as boosting national unity through reconciliation.

According to the Assembly decree, Indonesian history has been witness to socio-economic disparities and oppression resulting from discriminative practices. Acts of discrimination, carried out either by the state or society, are considered forms of human rights abuse.

The government enacted in 2000 a law on the human rights tribunal, which is tasked with hearing cases of crimes against humanity that have taken place after the law came into effect.

Within the seven years it is to exist, the Truth and Reconciliation Commission is expected to resolve cases of human rights violations that occurred between 1945 and 2000.

Families and victims of the Tanjung Priok massacre in 1984, the May 1998 riots, forced disappearances of government critics in 1997, the Trisakti shootings in May 1998, the Semanggi clash in September 1998 and the 1989 Lampung incident have opposed the bill on the grounds that it would allow the commission to keep human rights perpetrators from being prosecuted.

Meanwhile, the House military and police faction has suggested that the human rights cases be reconciled without disclosing the truth, as revealing it would only lead to new conflicts within the nation.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 83

Kompas, Kamis 09 September 04 Soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tidak Fair, Reparasi Dikaitkan Amnesti

Jakarta, Kompas - Pengaturan mengenai amnesti yang dikaitkan dengan reparasi dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang dari segi hukum dinilai tidak fair. Aturan itu harus dikaji ulang agar tidak membawa implikasi besar di masa mendatang.

Demikian pendapat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang disampaikan Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, Rabu (8/9) di Jakarta.

Ia menegaskan, pengaturan tentang amnesti dalam RUU KKR banyak mengundang kritik tajam karena RUU itu secara eksplisit mengatur bahwa kompensasi dan rehabilitasi hanya dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan. Ketentuan itu tidak fair karena secara tidak langsung amnesti ditukar dengan kompensasi dan rehabilitasi. Sebab, jika tidak ada amnesti, tidak akan ada kompensasi dan rehabilitasi. "Ini tidak adil. Kompensasi dan rehabilitasi adalah kewajiban negara atas korban dan tidak dapat dikaitkan dengan perlakuan amnesti bagi pelaku," ujarnya.

Kelemahan lain RUU KKR adalah pengaturan soal mandat komisi, hubungan komisi dengan pengadilan, ketidakjelasan pengaturan hubungan kerja antar subkomisi, dan kebutuhan atas regulasi penunjang.

Menurut Ifdhal, proses penyusunan dan pembahasan RUU KKR sekitar satu tahun lebih menunjukkan betapa tingginya sensitivitas politik dalam pembuatan UU tersebut.

Akan tetapi, Ifdhal menilai pembentukan KKR merupakan inisiatif positif. Selain membuka kembali kejahatan di masa lalu, juga mendorong negara mempertanggungjawabkan berbagai kekerasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pembentukan komisi juga merupakan peluang untuk penjelasan historis (historical account) sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM.

Ifdhal menyatakan, sejumlah kasus yang harus ditangani KKR antara lain peristiwa tahun 1965, termasuk pembantaian dan pembuangan di Pulau Buru, pelanggaran HAM di Papua mulai tahun 1967 sampai sekarang, pelanggaran HAM di Aceh sejak DOM hingga sekarang, kasus Talangsari, Haur Koneng di Jawa Barat, kasus Kedungombo di Jawa Tengah, kasus 27 Juli dan penangkapan aktivis usro. (SON/VIN)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 84

Opinion and Editorial - September 08, 2004 Towards reconciliation

Indonesia took a significant step in the right direction yesterday, with the adoption by the House of Representatives of the long-awaited Law on Truth and Reconciliation. To be sure, the new law is not likely to expunge all sources of contention that have pestered the nation over the past few decades. Hence, many of the old wounds that were inflicted on millions will continue to fester, and key events in the country's recent history will no doubt remain obscured.

But, at least a flicker of hope now exists that some, if not all, of the wounds can be healed. For example: What, in truth, happened in those pre-dawn hours of Oct.1, 1965, when thousands of Communist Party cadres and supporters were said to be roaming Jakarta's deserted streets, searching out homes in the city's elite neighborhoods, abducting and killing the Army's top leadership? So far, all that is known is what the New Order authorities -- with their recognized and proven penchant for falsifying historic fact -- claimed happened.

On that grounds -- in part resting on fact, in part on supposition -- hundreds of thousands of Indonesian were killed on accusations of harboring or sympathizing with the communist ideology. An equal number, if not millions, were imprisoned and possibly tortured, or had their most basic civil rights curtailed. Only very recently, in this era of democratic reform, were their and their offspring's right to vote restored, though not their right to be elected, either to the legislature or to the presidency.

Authorities in Jakarta are making no bones about the fact that the Indonesian Truth and Reconciliation Commission -- which hopefully will be established shortly after the new law has been signed by the President -- is modeled on the South African truth and reconciliation commission, which seems to have been quite successful in laying a solid foundation for maintaining an atmosphere of peace and social accord in that country. But while peace and social accord are certainly crucial byproducts of the commission's work, the purpose of the law is to do so, not so much by punishing the perpetrators of human rights violations in the past, as by setting right the course of history and historiography, to right past wrongs, and to make sure that the same violations are not repeated in the future.

Admittedly, in its present form, the new Law on Truth and Reconciliation does not satisfy everyone. Among advocates of human rights, there are quite a number who feel that the new law leans too heavily toward the possibility of pardoning past perpetrators of human rights violations, and not enough toward rehabilitating and compensating their victims.

Also, while to this day the 1965 massacre remains the biggest and most abhorrent case of human rights violations in the nation's history, it is certainly not the only one that needs attention. Among the most recent and most indelible are the human rights abuses committed in East Timor -- the most glaring being the Santa Maria massacre in 1991, and the killings committed in the aftermath of the independence referendum in 1999.

As we have seen, no one has, so far, been willing to freely admit responsibility for those two cases. Many observers believe, the same obstacles are likely to be in the way of the Truth and Reconciliation Commission, once it is formed. So far, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid has been the only Indonesian of prominence willing or courageous enough to apologize for having had a part -- as a member and, later, chairman of the Nahdlatul Ulama (NU) Muslim organization -- in the 1965 massacre of communists and communist sympathizers.

Nevertheless, a good start toward righting our collective past wrongs has been made with the passing of the Law on Truth and Reconciliation on Tuesday. Hopefully, those who are responsible will have the courage and the magnanimity to respond suitably, for the sake of the future of this country and its future generations.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 85

Opinion and Editorial - September 08, 2004 Justice for victims should include right to reparation Papang Hidayat and Usman Hamid, Jakarta

Amid the fanfare and bustle of this year's general elections, the trial of the gross human right violations in 1984's Tanjung Priok incident has gone almost unnoticed by the public. While the elections seem to promise a brighter future, the trial is a reminder of a dark past that few will remember with fondness.

During the Priok trial, the victims made their demands for compensation, which is one form of justice. In the realm of human rights, the right of a victim to claim compensation is known as the right to reparation. This right is granted in the context of gross human rights violations or crimes in accordance with international laws. This right is as important as justice itself.

Until now, upholding human rights and justice has been construed only as punishing the perpetrators without restoration to the victims. In other words, restorative justice is still in the air in this country. Unless effective restoration is introduced in favor of victims, the enforcement of human rights will be meaningless. Reparation must be construed as a non-derogable right, a basic right that cannot be reduced in any condition, including in a war emergency.

With reference to international law instruments -- either human rights laws or humanitarian laws -- the right to reparation is always integrated into the substance of these instruments. This right is in both the Universal Declaration of Human Rights and the Geneva Convention, the two milestones of international law. Another example is the Anti-Torture Convention, which the Indonesian government has ratified. This convention also requires the fulfillment of reparation for torture victims.

As this right to reparation is generally found in most international laws, the United Nations Commission on Human Rights has drawn up basic principles and guidelines later known as Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation. These basic principles and guidelines are as follows:

Firstly, reparation is defined as an attempt to restore the condition of a victim back to the condition they were in prior to a violation. This reparation may concern the physical and mental condition of the victims, their belongings or their social or political status that may have been seized or damaged.

This definition of reparation can be seen as being ideal in nature, as in reality it is often not possible to return to the victims what has been taken from them. Various cases of gross violations of human rights, for example, have resulted in permanent physical disabilities, mental trauma or even loss of lives, all of which are certainly impossible to restore.

In other cases, for example, a victim has been abandoned by his family members because of political stigma. The loss of the love from those held dear is also virtually impossible to replace in whatever material form.

Secondly, reparation does not necessarily have to be that of financial compensation, its most common form. It can take other forms, such as a government apology or the construction of a monument (memorabilia). Reparation can also be granted to victims either individually or collectively.

There are four aspects of reparation used in international law: Restitution, compensation, rehabilitation and a guarantee the gross human rights violation will not recur.

These laws recognize that the victims are not just those directly subjected to human rights violations but that their family members or relatives also indirectly bear their plight.

Thirdly, according to the international laws, the state is the subject that is responsible for human rights violations either by act or by omission. This approach is known as the "state actor principle". This means that a victim's right to reparations is not only a state responsibility but it is also automatically a state obligation. It is also binding to a new regime even if it was a previous government that committed the human rights violations.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 86

Fourth, state responsibility in this context lies, on the domestic level, in relation to its own people and also to the international community. The implication of this responsibility is that the state must integrate the principles of international laws on the right to reparation into its national legal system.

In the event of a non-fulfillment of the right to reparation, a victim, as an individual, can also bring up their case through international mechanisms. At the UN level, an institution resembling a financial agency for reparation has been set up because many countries simply ignore victims' rights to reparation.

In a case where the perpetrators are not state officials, for example in a horizontal conflict, the state can coerce the perpetrators to give reparation to victims. In practice, at the international level, this principle of reparation has been adopted in the international human rights trials in Rwanda and in former Yugoslavia.

Indonesia's positive laws have also adopted some of the principles referred to above. Take, for example, Law No. 26/2000 on the Human Rights Court. The law has a stipulation on reparation, which is again set forth in greater detail in Government Regulation No. 3/2002 on compensation, restitution and rehabilitation for victims of gross violations of human rights. Aside from the legal instruments, one of the judge's rulings in the trial of Tanjung Priok human rights violations also provides for compensation for the victims.

However, while it is a breakthrough, this ruling is yet to be executed. Besides the fact that the allocation of state budget funds for this compensation is still unclear, this ruling has reduced the victims' rights to an insignificant amount of material compensation. In addition, the ruling can only be executed only when it has permanent legal force.

The difficulty in realizing compensation, which results from the limitations inherent in the government regulation, is the consequence of the hasty drafting of the regulation. This regulation was ratified only a day before the first hearing in the trial of the East Timor case. The government was afraid it would have to pay a huge amount of compensation to the newly independent East Timorese people if the court decided to award the right to reparations to the victims of the East Timor case.

In line with principles prevailing in international law, the awarding of reparation to the victims of the Priok incident should not be left in uncertainty. In principle, the rights of the victims of gross human rights violations should have been restored prior to the commencement of the trial. This would be in line with measures laid out in The Charter of Fundamental Rights of the European Union.

In the Tanjung Priok case, the suffering the victims have endured for the past 20 years must be taken into account. They deserve to get back not only the material possessions they have lost but also their dignity. However big the reparation they receive, it will never replace what they have been robbed of.

The writers are members of the Commission for Victims of Violence and Missing Persons (Kontras).

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 87

Kompas, Sabtu 11 September 2004 Abdul Hakim Garuda Nusantara: Reformasi Versus Kepastian Hukum

APA yang terjadi di Tanah Air setelah reformasi. Benarkah telah terjadi perbaikan? Benarkah rakyat mulai menikmati arti kemerdekaan dan rasa aman? Benarkah rakyat mulai menikmati makna kedaulatan berada di tangan rakyat?

KETUA Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Hakim Garuda Nusantara melontarkan hal itu. Ditemui di ruang kerjanya, Kamis (9/9) sore, tujuh dari 14 bersaudara pasangan Badjoeri-Mariam ini, yang namanya berkibar setelah menangani beberapa kasus seperti kasus Kedung Ombo (1989-1991), Petani Garam Sumenep, Madura (1988-1989), dan kasus masyarakat Suku Amungme melawan Freeport di Timika (1995-1996), mengakui, pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri telah melakukan berbagai perbaikan.

"Memang terkesan lamban. Tapi tolong dipahami, terlalu banyak ’utang’ dan ’dosa’ negara di masa lalu terhadap bangsa, sementara di sisi lain sistem dan personel birokrasi kita belum berubah," kata ayah tiga anak- Amanda Kasih Hanna Mariam (13), Stevii Benjamin Pramudita (11), serta Arafat Garcia Mariam (10)-itu.

Mereka yang bisa memanfaatkan iklim kebebasan pun baru sebatas elite. Celakanya, mereka memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara yang justru bertentangan dengan moral agama mereka. Rakyat menanggapi hal ini dengan sikap anarkis.

"Itu karena reformasi tidak diikuti dengan usaha penegakan hukum. Akibatnya, Indonesia diliputi ketidakpastian hukum. Korupsi, tindak kekerasan, dan teror merajalela," tegas pelahap makanan laut minus udang itu.

Meski demikian, lanjut Abdul Hakim, "Belakangan kan polisi mulai rajin membawa ke pengadilan para wakil rakyat atau mantan wakil rakyat. Kita tidak boleh menafikan usaha ini."

Berikut pandangan dia mengenai tanggung jawab negara terhadap rasa aman masyarakat, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, serta Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Era reformasi yang ditandai kebebasan bersuara, berekspresi, dan berserikat ternyata berjalan seiring dengan semakin tipisnya rasa aman masyarakat. Sejauh mana tanggung jawab negara terhadap hal ini?

Elemen negara itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan segala kekurangannya, eksekutif dan legislatif, dalam hal ini pemerintah dan DPR, sudah melakukan berbagai perbaikan meski masih dinilai jauh dari harapan. Ada Mahkamah Konstitusi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga ombudsman, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan yang dulu tidak kita kenal.

Bahwa lembaga-lembaga itu dinilai belum maksimal, ada benarnya, tapi kan usaha ke arah itu tidak berhenti? Tugas DPR menyempurnakan aturan mainnya. Tugas pemerintah menyiapkan fasilitas dan dana yang memadai dan tugas lembaga-lembaga bersangkutan mengelola lembaga agar produktif, transparan, dan makin mandiri.

Yang masih menjadi ganjalan di eksekutif mungkin soal pemberdayaan polisi dan jaksa yang langsung berkaitan dengan usaha penegakan hukum. Apalagi dengan masih rendahnya prestasi lembaga-lembaga yudikatif dibandingkan dengan eksekutif dan legislatif. Merekalah yang secara langsung bertanggung jawab memelihara rasa aman masyarakat.

Sebenarnya enam tahun belakangan ini iklim sosial politik kita sudah semakin membaik. Kebebasan sipil meningkat.

KEBEBASAN sipil meningkat. Lalu bagaimana dengan kasus majalah Tempo? Kasus Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok? Kasus Trisakti-Semanggi, kasus pembakaran seni instalasi? Masih enggannya militer

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 88

meninggalkan panggung politik sipil? Masih berlangsungnya tindakan anarkis masif yang dicurigai digerakkan oleh elite sipil dan militer?

Betapapun, kasus-kasus tersebut tidak menafikan meningkatnya kebebasan sipil. Memang masih terjadi berbagai tindak kekerasan, teror, intimidasi, represi, yang lalu bermuara dalam tindakan pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat, seperti masih terjadi di Aceh, Poso, dan Papua.

Ini terjadi karena sebagian usaha penegakan hukum masih banyak dipengaruhi oleh variabel politik, dan sebagian lain karena masih miskinnya sumber daya manusia di lingkungan yudikatif. Variabel politik yang saya maksud misalnya sikap kekanak-kanakan elite sipil terhadap elite militer. Praktik dagang sapi di antara mereka serta tindakan tidak bermoral lain di antara sebagian mereka dalam rangka menjalankan fungsi legislasi dan kontrol terhadap pelaksanaan aturan main yang ada.

Hal serupa terjadi di lingkungan yudikatif. Sikap mereka terhadap otoritas politik, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, terlalu berlebihan sehingga mereka rendah diri untuk mandiri dan menolak intervensi politik. Belum lagi soal profesionalisme, sistem, kesejahteraan pegawai, dan kualitas pelayanan publik. Masih jauh dari memadai. Hal ini misalnya ditandai dengan maraknya praktik mafia peradilan.

Suburnya praktik mafia peradilan ini kan cermin belum mandirinya lembaga yudikatif? Saya melihat, lembaga yudikatif masih belum bebas dari soal uang dan kekuasaan, kalau tidak mau disebut justru bergantung pada kedua hal itu. Memprihatinkan memang.

Sekarang jelas bukan? Yang terjadi sebenarnya adalah kebebasan sipil masih terdistorsi oleh usaha penegakan hukum. Harapan adanya kepastian hukum menjadi pupus. Masyarakat lalu menjadi anarkis, sementara elitenya menjadi makin korup, makin sewenang- wenang. Keadaan ini membuat kita semakin sulit membangun social trust di antara kita sendiri. Inilah yang membuat keadaan negara makin rawan. Kebebasan tanpa kepastian hukum membuka peluang terjadinya disintegrasi. Tapi jawabnya tentu saja bukan dengan tindakan otoritarian militeristik, tapi dengan mendorong pemberdayaan yudikatif.

SOAL penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?

Saya akui, soal ini masih seperti benang kusut karena Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum mengatur secara jelas kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM. Juga soal mekanisme kerja Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan DPR.

Namun sebenarnya, sambil menunggu revisi undang-undang ini, Komnas HAM sudah berinisiatif mencari jalan keluarnya. Saya sudah beberapa kali menawarkan pihak Kejaksaan Agung dan DPR untuk duduk bersama menyamakan persepsi dahulu tentang mekanisme kerja tersebut. Harapan saya, ketiga pihak bisa menyusun bersama pedoman kerja sementara sambil menunggu revisi undang-undang tadi.

Saya mengusulkan agar DPR tidak mengintervensi usaha Komnas HAM dengan membentuk sendiri tim penyelidik. Ini karena DPR tidak memiliki kewenangan judicial dalam menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM. Tugas DPR cuma memutuskan, dugaan sementara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai ada tidaknya pelanggaran HAM itu bisa dilanjutkan dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas rekomendasi presiden.

Kepada Kejaksaan Agung, saya juga sudah mengusulkan agar bila terjadi perbedaan pendapat mengenai ada tidaknya dugaan pelanggaran HAM, sebaiknya baik Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung bersikap transparan dengan menyampaikan alasan-alasannya kepada publik. Biarlah kemudian masyarakat dan para wakil rakyat yang menilai sendiri.

Saya khawatir, kalau keadaannya masih seperti sekarang, belum berubah, usaha penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu akan gagal. Betapapun maksimal usaha Komnas HAM, Komnas HAM ini kan cuma subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar.

SOAL masa depan dan keberpihakan Undang-Undang KKR?

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 89

Maksudnya?

Ada sebagian masyarakat, terutama korban dan keluarga korban, menganggap undang- undang tersebut lebih memihak pelaku ketimbang korban.

Kekhawatiran itu memang ada. RUU bisa menjadi alat pengampunan bagi para pelanggar HAM. Padahal tidak demikian, karena dalam proses, butuh tanda tangan presiden. Dan sebelum menandatangani amnesti tersebut, presiden harus berkonsultasi dulu dengan DPR. Korban yang keberatan terhadap amnesti pun masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan atas keputusan itu.

Saya belum bisa banyak mengomentari masa depan Undang-Undang KKR ini. Saya masih harus melihat dulu praktiknya di lapangan. Kalau dalam dua kasus saja ternyata KKR ini memang cuma menjadi alat pengampunan bagi elite, ya harus diubah.

Ini kan bukan cuma soal undang-undang, tapi juga soal komitmen moral presiden dan para wakil rakyat di DPR. Menjadi subyektif memang, tapi toh rakyat masih bisa menghukum mereka lewat mekanisme pemilu. (WINDORO ADI)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 90

Kompas, Selasa 14 Sep. 04 Negara Perlu Pikirkan Kompensasi Korban Teror

Jakarta, Kompas - Negara seharusnya mulai memikirkan untuk memberikan kompensasi kepada korban peledakan bom akibat tindakan teroris. Upaya memberikan kompensasi kepada korban ini sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Namun yang menjadi masalah, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan peraturan pelaksana dari UU ini. Akibatnya, kompensasi kepada korban peledakan bom belum pernah diberikan negara.

Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji dan Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia Munarman kepada Kompas, Jakarta, akhir pekan lalu, kompensasi adalah tanggung jawab negara yang harus diberikan kepada korban sebagai ganti rugi atas dampak dari peledakan bom tersebut. Kompensasi itu di luar pengobatan gratis dan bantuan lain yang diberikan kepada korban.

Merujuk pada Bab VI Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2002, yang kemudian ditetapkan menjadi UU No 15/2003, yang mengatur secara khusus pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

Di dalam Pasal 36 disebutkan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi. Pembiayaan kompensasi dibebankan kepada negara yang dilaksanakan pemerintah. Kompensasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

Di dalam Pasal 38 dijelaskan, pengajuan dilakukan korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.

Tak dilakukan

Indriyanto menegaskan, meskipun di dalam UU Antiterorisme sudah disebutkan adanya pemberian kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban negara, pada praktiknya di dalam setiap peristiwa peledakan bom dan putusan pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman kepada pelaku peledakan bom, pemberian kompensasi tidak pernah dilakukan. Hal ini karena belum ada peraturan pelaksana yang mengatur secara teknis bagaimana mekanisme agar korban peledakan bom bisa memperoleh kompensasi dari negara.

"Sekarang ini baru sebatas bantuan dari penyelenggara negara terhadap para korban, berupa pembiayaan di rumah sakit. Kompensasi ini pengembangan dari victimologi di mana pertanggungjawaban negara terhadap warga negaranya yang mengalami kondisi yang tidak kondusif. Pemerintah seharusnya segera menerbitkan PP pemberian kompensasi kepada para korban agar jelas hak yang bisa diperoleh para korban peledakan bom ini," kata Indriyanto menjelaskan.

Munarman mengingatkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan kompensasi kepada korban peledakan bom. Ia mengatakan, pemberian kompensasi ini bisa dilakukan melalui instansi terkait, seperti Departemen Kehakima Kantor Menko Kesra, atau Departemen Keuangan. "Pengobatan dan bantuan dari pemerintah kepada korban bukanlah bagian dari kompensasi. Hal itu barulah sebatas kebijakan umum untuk menanggulangi tindakan terorisme. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah sejumlah nilai tertentu yang dapat mengganti kerugian korban di luar pengobatan dan bantuan kemanusiaan. Kalau pengobatan dan pemberian bantuan saja sudah dianggap cukup oleh negara, maka negara akan terus mengelak memberi kompensasi kepada para korban," kata Munarman. Mengacu pada UU No 15/2003, kompensasi diberikan setelah ada putusan pengadilan, namun ketentuan tersebut akan menimbulkan kesulitan secara teknis. (vin)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 91

Kompas, Selasa 14 September 2004 Korban ’65 Siapkan Tiga Alternatif Tolak RUU KKR

Jakarta, Kompas - Korban peristiwa tahun 1965 menghargai keputusan Dewan Perwakilan Rakyat yang mempertahankan kata "kebenaran" pada judul Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kendati demikian, mereka masih keberatan dengan sejumlah pasal yang mereduksi hak korban. Sejumlah langkah pun disiapkan untuk menolak substansi pasal-pasal tersebut.

Koordinator Forum Koordinasi Tim-tim Advokasi dan Rehabilitasi Korban Peristiwa ’65 Witaryono S Reksoprodjo, Jumat (10/9), membenarkan rencana tersebut. Namun, dia belum bersedia menyebutkan langkah yang dimaksudkan secara terperinci. "Paling tidak ada tiga alternatif disiapkan," tandasnya.

Pasal yang ditolak tersebut antara lain Pasal 27. Pasal itu dinilai tidak adil karena telah mereduksi hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi karena hak tersebut dikaitkan dengan keharusan pelaku untuk terlebih dahulu mendapatkan amnesti.

Agar Undang-Undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) nanti dapat berjalan efektif dan adil, mereka juga meminta pemerintah segera menghapuskan semua peraturan dan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. "Dengan dihapuskannya segala jenis diskriminasi dan terciptanya kedudukan kewarganegaraan setara di antara komponen bangsa, maka barulah kemudian bangsa ini dapat secara bersama-sama melaksanakan rekonsiliasi nasional secara tulus dan didasarkan pada upaya penegakan kebenaran," kata Witaryono.

Forum mencatat, sedikitnya ada 30 peraturan perundang- undangan yang masih mendiskriminasikan korban 1965. Peraturan itu meliputi UU, keputusan menteri, maupun instruksi menteri. "Dalam UU Pajak, misalnya, dikatakan mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung tidak boleh menjadi anggota dewan pertimbangan pajak. Demikian juga dengan UU Pengadilan Agama," ujar Witaryono.

Forum ini merupakan gabungan dari 15 organisasi. Mereka yang turut menandatangani pernyataan keberatan terhadap RUU KKR adalah Forum Komunikasi Eks Menteri Kabinet Dwikora Korban Penyalahgunaan Supersemar Moh Achadi; Tim Advokasi Jajaran TNI AD Mayjen TNI (Purn) Moersjid; Tim Advokasi Jajaran TNI AU Marsekal TNI (Purn) Saleh Basarah; Tim Advokasi Jajaran TNI AL Letjen Mar (Purn) Ali Sadikin; dan Tim Advokasi Jajaran Polri Irjen (Purn) R Moh Soebekti.

Lainnya adalah Paguyuban Korban Orde Baru (Setiadi Reksoprodjo); Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (Tjasman Setioprawiro); Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (Karim DP); Komite Aksi Pembebasan Tapol/ Napol (Gustaf Dupe); Lembaga Penelitian Korban Peristiwa ’65 Bali (Ilham Aidit). (sut)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 92

Koran Tempo, Kamis, 16 September 2004 Gerakan HAM dan UU Komisi Kebenaran Atnike Nova Sigiro Koordinator Kampanye Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Pekan lalu, Sidang Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). KKR yang mandatnya telah dibuat sejak Tap MPR No. V Tahun 2000, baru diajukan pemerintah sebagai RUU kepada DPR pada Mei 2003, dan DPR baru mulai membahas ini pada 2004 dengan dibentuknya Panitia Khusus RUU KKR. Dalam pembahasannya, terlihat rendahnya intensitas keterlibatan anggota panitia, hal ini secara sederhana dapat dilihat dalam persentase kehadiran dalam rapat-rapat pembahasan. Kelambatan dan kealotan dalam proses pembahasan RUU KKR menggambarkan saratnya kepentingan politik yang dibebankan pada undang-undang ini. Belum lekang dari ingatan bagaimana Fraksi TNI/Polri mengusulkan agar kata "kebenaran" dalam judul RUU ini dihapuskan. Soal batasan waktu, ada beberapa usulan mengenai batas awal waktu, mulai dari 1945, 1959, atau 1965, hingga akhirnya dalam UU KKR tidak ada batasan awal waktu yang tegas. Tidak kalah mengkhawatirkannya, menjelang akhir pembahasan RUU ini, tiba-tiba pemerintah menyatakan, anggaran untuk pembahasan RUU KKR telah habis. Melihat situasi tersebut, tidak mengherankan jika sejak awal pembahasannya, keraguan besar meliputi korban dan komunitas HAM di Indonesia. Pada masa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sekelompok korban pelanggaran HAM menolak RUU ini karena alasan potensi impunitas, sedangkan kelompok korban yang lain membuat catatan kritis atas perlunya rehabilitasi bagi korban terlebih dulu sebelum KKR dibentuk. Komunitas HAM yang lain bahkan meminta dilakukannya penundaan pembahasan RUU ini. Ketika akhirnya disahkan, keraguan pun masih muncul. Salah satu yang menjadi sorotan dari korban dan komunitas HAM, misalnya, Pasal 27 yang mengatur syarat pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi korban apabila pelaku telah memperoleh amnesti. Pasal ini sangat krusial karena dengan diberlakukannya pasal ini, hak korban untuk mendapatkan pemulihan dapat tertunda. Pasal bermasalah yang lain adalah yang mengatur cakupan pelanggaran HAM berat yang merujuk pada ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan rujukan ini, kerja Komisi kelak akan dihadang kerumitan-kerumitan yuridis untuk melakukan penyelidikan dan pengungkapan kebenaran. Ini bertolak belakang dengan sifat dasar KKR yang "nonlegal" ketika kebenaran yang diakui bukan lagi kebenaran legal, melainkan berangkat dari kebenaran naratif. Namun, yang perlu disadari di sini adalah kenyataan bahwa sebenarnya problematika dalam Undang-undang KKR tidak lebih merupakan pencerminan watak transisi demokrasi di Indonesia yang di dalam proses transisi itu dinamika penegakan HAM ternyata harus diisi oleh konsesi dan tarik menarik antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Dalam banyak peristiwa kekuatan lama memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Sejak jauh-jauh hari problem tersebut sudah dapat dibaca dan diprediksi. Kegagalan pengadilan terhadap Soeharto dalam kasus korupsi yayasan untuk menghadirkan terdakwa, kegagalan pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok untuk menghadirkan pelaku berpangkat tinggi, dan terhambatnya kasus Trisakti-Semanggi oleh panitia khusus DPR maupun Kejaksaan Agung memberi gambaran akan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi Komisi nanti. Dalam konteks transisi yang semacam itu, maka korban dan komunitas HAM harus mulai menyusun dan mempersiapkan sebuah strategi dan kerja sama baru menyambut undang-undang baru ini. Mau atau tidak mau, suka ataupun tidak, undang-undang ini sudah disahkan. Di sini organisasi korban dan organisasi HAM tidak boleh diam. Pengalaman memperlihatkan bahwa inisiatif korban dan komunitas HAM untuk mendesakkan perubahan legislasi dan penegakan hukum telah menjadi kekuatan yang menantang upaya-upaya yang menghambat penegakan HAM. Beberapa pencapaian bahkan telah dihasilkan, seperti dicabutnya pasal diskriminatif (Pasal 60g) dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum oleh Mahkamah Konstitusi dan terbentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Soeharto oleh Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia. Selain tuntutan hukum, ada berbagai inisiatif lain yang perlu dilakukan agar kelak Komisi itu bisa lebih berpihak pada hak-hak korban. Salah satu yang sangat penting adalah upaya rekonsiliasi akar rumput

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 93

sebagaimana dilakukan oleh sekelompok pemuda Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, kelompok anak muda lainnya bekerja sama dengan korban melakukan misa arwah bagi korban pelanggaran HAM di kota Solo. Pendokumentasian kasus pelanggaran HAM juga semakin marak dengan munculnya berbagai film dokumenter tentang kasus pelanggaran HAM dan terbitnya buku-buku yang menggugat sejarah dan politik Orde Baru, serta yang bercerita tentang narasi korban. Dari contoh dan pengalaman gerakan korban dan komunitas HAM di atas, pesimisme bukanlah jawaban atas keberadaan UU KKR yang memang lemah itu. UU KKR sama halnya dengan UU Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000 yang memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Namun, keduanya harus dapat digunakan sebagai alat bagi korban dan komunitas HAM untuk menuntut pertanggungjawaban negara. Sebagai catatan akhir, kiranya organisasi korban dan komunitas HAM perlu melakukan paling tidak dua strategi untuk mengisi ruang yang disediakan oleh KKR sekaligus mengontrol arah kerja Komisi nantinya. Yang pertama adalah strategi perubahan dan pemantauan produk-produk hukum, seperti perubahan pada pasal-pasal UU KKR, penyelesaian UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. Adapun strategi kedua adalah membangun kekuatan komunitas atau masyarakat untuk melakukan pengungkapan kebenaran sejak dini, sehingga dukungan dan solidaritas publik bagi narasi korban semakin besar. Keterlibatan yang lebih luas di kalangan masyarakat akan sangat menentukan kinerja dan metode kerja yang dilakukan oleh Komisi yang akan dibentuk nantinya. Dengan perumusan strategi semacam itu, apa yang telah dilakukan korban dan komunitas HAM sejak awal transisi masih dapat terus dimajukan. Dengan demikian, peran gerakan HAM dalam menentukan arah transisi di Indonesia semakin diperhitungkan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 94

Komas, Sabtu 25 September 2004 KKR Ancaman bagi Komnas HAM

Jakarta, Kompas - Alih- alih bersinergi melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi justru dirasa menjadi ancaman bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.

Menurut anggota Komnas HAM, MM Billah, kecenderungan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang lebih menekankan rekonsiliasi ketimbang pengungkapan kebenaran justru masuk wilayah yang diperjuangkan Komnas HAM dalam berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat.

"KKR dan Komnas HAM akan saling berebut melakukan penyelidikan kasus yang diduga diwarnai pelanggaran HAM berat. Karena sifatnya yang lebih memihak pelaku daripada korban pelanggaran HAM berat, maka KKR akan mengambil alih tugas-tugas penyelidikan Komnas HAM," katanya dalam jumpa pers, Jumat (24/9).

Kecenderungan terjadinya persaingan wewenang menurut dia disebabkan belum adanya mekanisme yang mengatur wewenang serta kewajiban KKR- Komnas HAM di wilayah abu- abu (grey area).

Tumpang tindih peran KKR dan Komnas HAM ini menurut dia disebabkan adanya indikasi para wakil rakyat di DPR kurang serius membuat undang-undang yang mengatur kedua lembaga negara itu.

Jadi, lanjutnya, kalau dulu Komnas HAM merasa ditelikung DPR dan Kejaksaan Agung, maka sekarang tambah lagi yang mau menelikung Komnas HAM, ya KKR itu. "Daripada kacau balau tidak keruan begini kenapa DPR tidak membubarkan Komnas HAM sekalian aja?"

Billah kemarin juga menjelaskan pembentukan Tim Pengkajian Penghilangan Orang Secara Paksa oleh rapat pleno Komnas HAM. Tim yang bekerja sejak 23 September 2003 ini mengusulkan rapat pleno menetapkan penyelidikan atas kasus penghilangan orang secara paksa sebagai program yang perlu dilaksanakan setidaknya untuk tahun 2005.

Rapat pleno membentuk tujuh tim penyelidikan yang bertugas melakukan penyelidikan atas peristiwa penghilangan secara paksa, yaitu hilangnya kader, anggota, dan simpatisan organisasi PKI 1965-1966; penembakan misterius tahun 1980 -an; Daerah Operasi Militer Aceh dan Papua 27 Juli 1996; Penculikan aktivis mahasiswa oleh Tim Mawar 1998; serta Kerusuhan Mei 1998. (WIN)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 95

Koran Tempo, Sabtu, 25 September 2004 Komnas HAM Selidiki Kasus Penghilangan Paksa JAKARTA-Tim Pengkajian Penghilangan Orang Secara Paksa yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2003 merekomendasikan penyelidikan sekaligus membentuk tim penyelidik kasus tersebut. M.M. Billah, Ketua Tim Pengkajian Penghilangan Orang Secara Paksa, mengatakan, tim ini bertugas menyelidiki kasus penghilangan orang secara paksa pada peristiwa 1965 yang berkaitan dengan orang-orang yang dituduh sebagai kader, anggota, dan simpatisan organisasi PKI, tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru, peristiwa Talang Sari, penembakan misterius (petrus), pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, penyerangan kantor Dewan Pengurus Pusat PDI, penculikan aktivis mahasiswa PRD pada 1998, dan kerusuhan Mei 1998. "Diharapkan dalam waktu enam bulan penyelidikan sudah selesai dan diketahui hasilnya," kata Billah di kantornya kemarin. Selanjutnya, hasil kerja tim penyelidik ini akan ditindaklanjuti ke penyidikan, tentunya setelah tim menemukan bukti-bukti kuat. Namun, hasil kerja tim penyelidik juga bisa ditindaklanjuti di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk pemerintah. Tim pengkajian yang mendahului kerja tim penyelidik telah menemukan beberapa pola dari penghilangan orang secara paksa, misalnya pemanggilan resmi oleh aparat, pemanggilan tanpa surat penangkapan, operasi tertutup, terkena razia, dan pengambilan orang pada saat terjadi bentrokan massal. "Sebab-sebab penghilangan paksa pada umumnya adalah motivasi politik dan selalu melibatkan negara," ujar Billah. Adapun pelaku penghilangan paksa, menurut dia, adalah aparat negara, yaitu TNI, polisi, polisi kehutanan, dan pegawai pemerintah. "Dalam peristiwa 27 Juli juga melibatkan anggota partai," tutur anggota Komnas HAM itu. Motif penghilangan paksa itu sendiri adalah ideologi pembangunan dan strategi korporatisme negara. Ideologi pembangunan-isme ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan, sehingga pembangunan berjalan lancar. Peristiwa penembakan misterius lebih dari 300 orang, Tanjung Priok, Talang Sari, dan penculikan aktivis PRD pada 1998 adalah contoh penghilangan paksa yang bermotif ideologi pembangunan. DOM Aceh, DOM Papua, dan penyerangan kantor DPP PDI bermotif ideologi persatuan dan kesatuan negara sebagai alasan untuk menghilangkan pihak tertentu. "Sedangkan korban tahun 1965-1966 dilandasi ideologi politik antikomunisme," kata Billah. sutarto

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 96

Kompas, Selasa 28 September 2004 Menyembuhkan Luka Bangsa Oleh Baskara T Wardaya

SETIAP bulan September tiba, kian banyak orang terkenang akan apa yang terjadi pada bulan yang sama tahun 1965. Pada bulan itu terjadi penyiksaan dan pembunuhan berskala massal, dan berlangsung hingga beberapa bulan berikutnya. Korban dan pelakunya sama-sama warga negeri ini. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang yang dituduh komunis dibantai saat itu.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin bangsa yang menyebut diri lemah lembut, berbudaya luhur, ramah-tamah, penghuni negeri nyiur melambai nan indah permai tega membunuh sesamanya dalam skala begitu besar? Betapa ironis.

Penuh luka

Lebih ironis lagi, setelah mereka yang dituduh komunis dibunuh tanpa pengadilan, ternyata negeri ini tidak lantas sepi dari kekerasan. Rangkaian kekejaman massal terhadap rakyat terus berlangsung, menciptakan luka-luka sosial dan individual yang tak kunjung sembuh. Di negeri zamrut khatulistiwa ini ada saja alasan untuk membunuh orang lain. Apa yang terjadi di Timor Leste, Papua, Tanjung Priok, Ambon, Poso, dan Aceh hanya beberapa contoh. Bagai seorang pribadi, bangsa ini terus berjalan pincang dengan tubuh penuh luka. Sebelum satu luka sembuh, muncul luka lain.

Semua itu terjadi antara lain karena kita enggan untuk sungguh-sungguh menyembuhkan aneka luka yang kita derita. Artinya, berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi, tak pernah diikuti refleksi bersama secara mendalam tentang sebab-musabab atau latar belakangnya, guna mengambil pelajaran yang perlu. Refleksi amat penting guna mencegah terulangnya praktik kekerasan serupa di masa depan. Tanpa ada refleksi bersama yang serius, rangkaian kekerasan massal di negeri ini akan terus terjadi, apa pun latar belakangnya, apa pun pemicunya, siapa pun pelaku dan korbannya.

Lain dari bulan-bulan September sebelumnya, bulan September 2004 ini istimewa, karena pada bulan ini berlangsung pemilihan presiden. Kita berharap, presiden terpilih mau dan mampu mendorong terjadinya proses refleksi. Presiden terpilih diharapkan bersedia memandang pentingnya upaya serius demi penyembuhan luka-luka bangsa.

Tanpa upaya penyembuhan luka bangsa, masyarakat Indonesia yang pluralistik ini akan terus rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan massal, entah itu kekerasan antar-warga (horizontal), maupun kekerasan yang disponsori penguasa demi kepentingannya (vertikal).

Dalam kata-kata seorang pejuang HAM negeri ini, jika kekerasan massal di masa lalu yang mengorbankan nyawa ratusan ribu orang, tak pernah direfleksi atau dipelajari, maka aneka kejahatan seperti penipuan, korupsi, kongkalikong, permalingan, atau pembunuhan terhadap beberapa orang mahasiswa akan dianggap sebagai hal-hal "kecil". Presiden yang memiliki perhatian serius pada rakyatnya adalah presiden yang tidak membiarkan hal demikian terus terjadi.

Dibayar mahal

Dalam konteks pemilihan presiden di AS November nanti, penulis Jeffrey H Smith mengusulkan, salah satu kriteria seorang capres yang dapat diandalkan adalah capres yang mau belajar dari pengalaman masa lalu guna menyembuhkan luka-luka bangsanya (Washington Post, 5/9/2004). Secara khusus ia mengacu luka-luka bangsa AS yang diderita akibat Perang Vietnam.

Saat itu, atas desakan sejumlah pejabat tinggi, AS memutuskan untuk melancarkan perang di Vietnam, dengan maksud "membendung" gelombang komunisme di Asia Tenggara. Perang berlangsung sekitar sepuluh tahun. Puluhan ribu tentara AS terluka dan tewas, jutaan rakyat Vietnam menderita dan mati, tetapi AS salah hitung dan kalah secara memalukan. Hasil perang pun tak jelas. Yang tampak jelas adalah, serbuan terhadap negara lain tanpa alasan memadai, tanpa persetujuan rakyat, dan tanpa dukungan internasional yang solid, hanya akan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 97

merugikan semua pihak serta menimbulkan luka bangsa mendalam. Itulah yang dialami bangsa AS pasca-Perang Vietnam.

Seraya mengacu serbuan dan pendudukan militer AS atas Irak, Smith menunjukkan, agaknya Bush tidak mau belajar dari pengalaman Perang Vietnam. Akibatnya, kini luka baru tergores dalam hidup masyarakat AS. Lebih seribu tentara AS tewas, Irak menjadi wilayah maut yang kian berbahaya, AS dikecam dan rakyatnya kini terbagi dua antara yang mendukung dan menentang perang. Keengganan presiden mengakui kekeliruan dan belajar dari pengalaman masa lalu, harus dibayar mahal rakyatnya.

Menyembuhkan

Catatan serupa juga dapat diajukan kepada presiden terpilih. Apakah presiden terpilih siap mengakui berbagai kekeliruan yang telah dilakukan para pengambil keputusan di masa lalu yang mengakibatkan korban jiwa dan luka bangsa mendalam? Ini penting, karena sejauh ini upaya untuk mengakui kekeliruan di masa lampau demi penyembuhan luka bangsa di masa depan belum pernah menjadi prioritas para presiden kita. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mencoba, namun sebelum upayanya berhasil ia telah dipaksa turun jabatan. Di DPR para wakil rakyat membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, namun belum jelas betul bagaimana sepak terjangnya karena masih terlalu dini untuk dinilai.

Menariknya, justu di tingkat akar rumput berbagai upaya penyembuhan luka bangsa telah banyak dilakukan. Sebut misalnya upaya yang dimotori LSM Sarekat di Yogyakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Yayasan Lontar, dan masih banyak lagi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya lembaga-lembaga itu telah berusaha membantu masyarakat untuk belajar dari berbagai kekeliruan dan pengalaman pahit masa silam.

Secara khusus, banyak dari kegiatan mereka difokuskan untuk mempelajari latar belakang dan persoalan di seputar pembunuhan massal 1965 karena merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Berbagai bentuk kegiatan diadakan, seperti diskusi, penerbitan buku sejarah, pembuatan dan pemutaran film independen, dokumentasi wawancara dengan bekas korban dan pelaku kekerasan, doa bersama atau upacara-upacara peringatan. Penting dicatat, banyak kegiatan macam itu dipelopori kaum muda. Maksud mereka bukan untuk mengorek luka lama, tetapi justru untuk menyembuhkannya.

Kita berharap, proses penyembuhan luka bangsa yang telah banyak dilakukan di tingkat masyarakat, juga menjadi salah satu agenda utama presiden terpilih nanti. Presiden yang bertanggung jawab adalah presiden yang bersedia menyembuhkan luka-luka bangsanya agar mampu melangkah ke masa depan dengan langkah tegap. Bukan presiden yang demi kekuasaannya tunduk pada isu-isu ideologis-sektarian dengan risiko menambah luka yang telah diderita bangsa ini.

Baskara T Wardaya SJ Visiting Fulbright Scholar, University of Wisconsin-Madison, AS

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 98

Kompas, Selasa 28 September 2004 Urgensi Pedoman Sejarah Nasional Oleh Asvi Warman Adam

TANGGAL 2-4 September 2004 berlangsung lokakarya penulisan sejarah nasional di Yogyakarta, membahas draf SNI (Sejarah Nasional Indonesia) yang dibuat selama dua tahun ini.

Ada perbedaan paham antara editor umum, Taufik Abdullah dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (dalam hal ini Anhar Gonggong dan Susanto Zuhdi) yang menyediakan anggaran proyek itu.

Menurut Taufik, yang sedang ditulis adalah SI (Sejarah Indonesia) yang komprehensif dan ensiklopedis, bukan revisi SNI lama. Sedangkan pemerintah menganggapnya pengganti SNI yang ditarik kala Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pendidikan (Kompas, 6/9/2004).

Perbedaan ini membawa konsekuensi besar, karena SNI merupakan buku teks di perguruan tinggi sekaligus bahan acuan penulisan buku sejarah tingkat SD sampai sekolah lanjutan atas. Bila tulisan yang dibuat itu tidak dapat dijadikan pegangan bagi guru dan penyusun buku teks sekolah, lantas apa yang dapat dijadikan pedoman?

Sejak reformasi 1998, muncul gugatan terhadap teks sejarah era Orde Baru. Banyak buku yang isinya berbeda bahkan bertentangan dengan versi pemerintah. Masyarakat bingung dan guru kelabakan menjawab pertanyaan siswa yang kritis. Karena itu, perlu disusun buku SNI yang baru sebagai pedoman. Maka Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang membawahi bidang sejarah, mengalokasikan dana untuk proyek penulisan sejarah sebagai solusi persoalan di atas. Ternyata harapan itu tidak terpenuhi. Sebelum mengusulkan jalan keluar yang mungkin diambil, berikut kilas balik penerbitan SNI di Tanah Air.

Dekolonisasi sejarah

Setelah Indonesia merdeka terasa kebutuhan terhadap buku sejarah karya bangsa sendiri. Tulisan orang Belanda terfokus pada masyarakat Belanda di koloni atau di Eropa. Kalau ada yang ditulis tentang bumiputra tentu dari perspektif barat (Van Leur, "ditulis dari geladak kapal"). Karena itu, muncul pemikiran untuk menulis sejarah oleh orang Indonesia sendiri, history from within.

Setelah Indonesia merdeka, terjadilah dekolonisasi sejarah, ada keinginan mengganti buku teks Belanda. Karena tidak bisa dilakukan dengan cepat, maka buku-buku itu disadur dengan membalik pelaku sejarah. Jika teks Belanda menyebut Diponegoro pemberontak, dalam buku Indonesia dia pahlawan, juga sebaliknya terhadap orang Belanda. Ternyata, dekolonisasi ini tergelincir menjadi regionalisasi, dalam hal ini pendekatan Jawa sentris. Materi yang dibahas kebanyakan tentang Jawa. Pahlawan nasional kebanyakan berasal dari Jawa

Sejarah Nasional Indonesia

Tahun 1950-an telah ada upaya merintis penulisan sejarah nasional, namun gagal. Baru dilakukan secara serius seusai Seminar Sejarah Nasional II (Yogyakarta, 1970). Pemerintah membentuk tim yang dipimpin Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Buku itu terdiri enam jilid (prasejarah, sejarah kuno, kerajaan-kerajaan Islam, periode 1800-1900, 1900-1942, dan 1942-1965).

Setelah empat tahun meneliti, termasuk studi banding di AS (Berkeley) dan Belanda (Leiden), 1975 terbit buku SNI yang ternyata membuahkan kontroversi. Konflik sudah dimulai dalam lingkungan tim penyusun. Deliar Noer yang ditugasi menulis Pergerakan Islam 1900-1945, suatu hari dipanggil Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri. Mundurnya Deliar diikuti Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, Taufik Abdullah, lalu Sartono Kartodirjo.

Jilid 6 yang disunting Nugroho Notosusanto, ternyata menuai banyak kritik. Dari daftar isi jilid ini saja, terlihat aspek militernya yang menonjol. Diplomasi dikritik tetapi perjuangan bersenjata dipuji. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin seorang sipil disinggung hanya satu kalimat tetapi puja-puji terhadap Jenderal Sudirman berbaris-baris. Kasus 17 Oktober 1952 yang menyebabkan Nasution diskors beberapa tahun,

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 99

ditampilkan dengan jawaban yang diberikan Nasution sendiri di koran. Seakan pelaku sejarah diberi kesempatan membela diri pada buku yang dikatakan buku standar.

Pada halaman 412 tertulis: "Tiga perwira tinggi TNI-AD Mayor Jenderal Basuki Rachmad (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M Jusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amirmachmud, yang juga mengikuti sidang kabinet, sepakat menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Motivasinya, agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil dan supaya yakin, ABRI khususnya TNI-AD tetap siap sedia mengatasi keadaan asal diberi kepercayaan penuh."

Pernyataan itu guna menjawab tudingan keluarnya Supersemar dalam rangka mengambil kekuasaan. Ketiga perwira tinggi itu pergi ke Istana Bogor sekadar menemani Bung Karno "agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil".

Buku SNI mendapat kritik tajam dari BM Diah (Merdeka, 8 April 1976), "Atas petunjuk Presiden Soekarno, PKI dan ormas-ormasnya dapat dengan aman melakukan intimidasi dan teror politik terhadap pihak-pihak dan tokoh-tokoh yang dianggap lawan, dengan mengatakan siapa saja menentang Nasakom, apalagi anti-PKI adalah kontra revolusioner dan anti-Bung Karno."

Menurut Diah, Bung Karno telah dituduh dan dihukum, karena intimidasi dan teror PKI itu atas petunjuk Presiden Soekarno. Tahun 1993 terbit edisi revisi oleh RZ Leirissa, Anhar Gonggong dkk, entah mengapa buku itu tidak jadi diedarkan.

Jalan keluar

Editor buku Sejarah Indonesia menganggap, itu bukan acuan. Draf yang ada tidak bisa dianggap sebagai pedoman. Secara keseluruhan belum kelihatan benang merahnya. Hubungan antara satu jilid dengan jilid berikut tidak tampak. Dalam jilid yang sama ada tulisan yang beragam baik tema maupun penulisnya. Kualitas tulisan dari segi sumber atau analisis tidak merata. Contoh jilid 6 (periode 1942-1950), sudah ada puluhan buku yang ditulis di luar negeri tentang masa ini. Itu belum kelihatan dari kepustakaan para penulis jilid itu.

Dalam jilid 7 (periode 1950-1965) masih digunakan istilah G30S/PKI. Ini jelas kemunduran karena dalam kurikulum 2004 sudah ditulis G30S tanpa embel-embel PKI. Yang lebih aneh, diakui ada beberapa versi tentang G30S namun dalam buku itu yang ditulis hanya versi PKI saja. Bila mau dianggap komprehensif, tentu semua versi diulas. Tampaknya penulisnya sama sekali tidak mengikuti perkembangan informasi terbaru. Pada jilid 8 (periode 1965-2000) tercantum nama-nama Rizal Sukma, Syamsudin Harris, Salim Said, dan Sukardi Rinakit, apakah mereka mau menulis?

Kurikulum baru 2004 yang diterapkan sejak Juli lalu telah mengalami perubahan. Tetapi buku-buku pelajaran sekolah masih seperti dulu. Dalam kurikulum untuk SMA misalnya, akan diajarkan berbagai versi G30S. Namun para penulis buku teks mengeluh karena belum ada buku pedoman yang dapat mereka rujuk.

Sejarah Indonesia yang ensiklopedis itu masih memerlukan waktu sekian tahun sebelum layak terbit. Sementara itu kebutuhan mendesak siswa perlu ditanggulangi dengan menyusun buku pedoman penulisan pelajaran sejarah nasional yang baru untuk SMP dan SMA. Sebuah buku yang terpisah dari proyek padat karya yang komprehensif itu.

Selama ini pemerintah banyak membuang waktu. Sejarawan sendiri perlu belajar dari sejarah sehingga penulisan buku sejarah masa lalu yang semrawut tidak terulang.

Asvi Warman Adam Alumnus Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 100

Suara Pembaruan, Kamis 30 Sep. 04 KKR dan Berlanjutnya Kejahatan Diam Oleh Mustofa Muchdhor

PELUANG menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat oleh negara (gross violation of human rigths), sejatinya menemukan momentumnya sejak rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998 silam.

Berbagai keburukan dan kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang-dari pembunuhan massal (genosida), penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, perusakan, dan perampasan harta benda. Laku represif atas publik yang dilakukan rezim militer ini bertumpuk menjejali lanskap sejarah perjalanan bangsa. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan negara atas masyarakat.

Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa pelakunya, misalnya. Selain hal-hal ini, korban juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiaannya ihwal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban.

Hak korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victim's rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak korban akan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victim's rights at guaranteeing non recurrence violation) akan lebih mudah dipenuhi jika penguasa serius mengurus masa-masa kelam itu.

Akan jauh lebih memuramkan dan menistakan harkat dan martabat korban dan kemanusiaan jika tragedi itu dibiarkan berlalu tanpa diketahui siapa dalang (aktor intelektual) dan pelaku dari tragedi getir itu. Pemerintah dan anggota parlemen akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the crime of silent) jika akhirnya mereka terlibat persekongkolan untuk melindungi para pelaku.

Penyelesaian

Persekongkolan politik itu sudah terlihat saat DPR menyatakan kasus Trisakti dan Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat.

Upaya menyelesaikan persoalan masa lalu itu bukan tidak ada, namun saat upaya itu hendak diwujudkan, misal dalam pembuatan undang-undang, selalu saja menemui hambatan, nyaris jalan buntu.

Dalam konteks menyelesaikan masa lalu, Rancangan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), yang merupakan amanat TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dapat dijadikan misal.

TAP ini menugaskan presiden dan DPR untuk antara lain membuat RUU KKR. RUU yang diajukan pemerintah ke DPR pada 26 Mei 2003 ini makin menemukan relevansinya mengingat Pengadilan HAM ad hoc yang digelar-dalam kasus Timtim dan Tanjung Priok--tak menghasilkan keputusan hukum yang memuaskan, baik bagi korban maupun publik luas. Implikasinya, impunity akan terus terjadi dan terlestarikan di republik yang aparat dan pejabatnya hafal benar sila-sila Pancasila ini. Namun sayang, rantai impunity akan terus memanjang jika melihat tarik-ulur yang menyertai usulan/pengajuan dan pembahasan RUU tentang KKR. Semakin hari substansi RUU ini makin mengkhawatirkan.

Beberapa waktu lalu salah satu fraksi di DPR (Fraksi TNI/Polri) menginginkan agar nama RUU ini diubah, yaitu dengan menghapus kata "kebenaran". Tampak jelas bahwa kekuatan konservatif masih belum rela jika dosa-dosa masa lalu disingkap secara jujur hingga kebenaran terkuak dan keadilan bagi korban terpenuhi.

Permintaan itu secara implisit mengakui bahwa institusinya memang pernah melakukan pelanggaran HAM berat. Dengan menghilangkan kata "kebenaran", maka pihak ini hanya menginginkan rekonsiliasi.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 101

Padahal rekonsiliasi yang sejati tidak pernah berhasil diwujudkan jika kebenaran tidak diungkap. Hanya dengan bersusah-payah mengungkap kebenaranlah, rekonsiliasi antarsesama anak bangsa bisa diwujudkan. Apakah fraksi ini tidak memahami makna rekonsiliasi?

Jika di ranah RUU saja terjadi tarik-menarik, dan beragam kepentingan sektoral dan subjektif mencuat begitu kuat, dapat dibayangkan betapa rumitnya kelak jika RUU itu sudah disetujui menjadi UU dan akan dilaksanakan.

Jika secara teoritis KKR dipersepsi sebagai pengakuan negara atas ketidakmampuan pemerintahan transisi memenuhi hak-hak korban secara utuh-penuh sesuai standar HAM, kita patut pesimis akan masa depan KKR ini jika sudah terbentuk dan bekerja.

Sangat mungkin akhirnya hak-hak korban tetap tak bisa terpenuhi dan "kebenaran" tetap bertengger di "pulau entah". Itu artinya bangsa kita akan terus terbebani masa lalu saat menghadapi hari ini dan menyongsong masa depan. Itu berarti korban dan keluarganya akan terus hidup di bawah bayang-bayang ketidakadilan dan kedzaliman.

Berbagai kerumitan itu muncul karena rezim terdahulu sukses membangun struktur politik yang sarat piuh dan mewariskan aparat pemerintahan yang bobrok. Sayangnya publik masih memberikan kepercayaan dan mandatnya terhadap kelompok masa lalu ini untuk mengurus negara dan menjadi wakil mereka di parlemen.

Akibatnya jelas, setiap upaya untuk mengurai persoalan masa lalu-termasuk penjarahan uang rakyat-kerap mentok oleh vested interest para penyembah status quo yang masih tersisa kuat. Arah kehidupan berbangsa dan bernegara pun tak jelas ke mana hendak menuju. Kontroversi dan silang pendapat seputar RUU KKR beberapa waktu lalu membuktikan itu.

Keadaan demikian tentu tak kondusif bagi pemulihan harkat dan martabat bangsa. Bahkan pelbagai kasus seperti kasus Tanjung Priok, Semanggi I dan II dan Trisaksi, dan kasus Timor Timur menunjukkan adanya tarik-menarik yang kuat antara kekuatan reformasi dan pro- status quo (atau malah si pelanggar HAM itu sendiri).

Prasyarat Penting

Berbagai pihak yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM malah merasa bersih tak berdosa. Beberapa di antara mereka bahkan dibebaskan, tentu setelah ada yang dikorbankan atau dijadikan kambing hitam.

Padahal penyelesaian dan penuntasan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) yang terjadi di masa lalu merupakan prasyarat penting untuk mengantarkan bangsa kita menuju masa depan republik yang adil, beradab (civilized) dan berperadaban (civility).

Penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM tersebut dimaksudkan untuk menyingkap kebenaran yang sesungguhnya atas suatu kejadian dan memutus hubungan di masa lalu terhadap berbagai tindakan kejahatan HAM dalam rangka mendorong rekonsiliasi nasional sehingga memungkinkan masyarakat untuk belajar dari masa lalunya dan mencegah terulangnya tindakan kekerasan semacam itu di masa yang akan datang.

Substansi penting dari upaya ini adalah, kejahatan terhadap kemanusiaan sama sekali tidak bisa ditoleransi dan harus dicegah kemungkinan berulang di masa datang. Telah menjadi kesepakatan universal sejak berakhirnya perang dunia ke-II, bahwa kejahatan-kejahatan internasional harus diperangi dan pelakunya sedapat mungkin harus diadili dan jika terbukti bersalah harus dihukum. Upaya ini memang bertujuan untuk memenuhi keadilan publik dan hak-hak korban.

Kendati KKR merupakan model penyelesaian yang cukup ideal, namun dalam rangka penerapannya di Indonesia, sejumlah hal dipastikan menimbulkan polemik dan kontroversi. Misalnya mengenai penentuan batas penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM di masa lalu dan soal reparasi.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 102

Penentuan batas penyelesaian di masa lalu dapat dipastikan sarat dengan berbagai kepentingan politik. Dan pada titik inilah pertarungan politik sangat mungkin berlangsung sengit. Sedangkan yang berkaitan dengan pelaksanaan reparasi sangat ditentukan oleh ketersediaan dana pemerintah.

Belum lagi perdebatan substansial seperti apa makna kebenaran, rekonsiliasi, dan bagaimana semua itu bisa memenuhi hak-hak korban. Juga soal siapa yang pantas duduk dalam komisi ini, berapa anggaran yang dibutuhkan, adakah pasal-pasal yang merugikan (keluarga) korban, dan seterusnya.

Kini pilihan di depan mata memang tak banyak. RUU itu sudah disetujui DPR awal bulan ini. Banyak hal masih belum memuaskan, khususnya bagi korban. Apa boleh buat, karena RUU ini diselesaikan secara kurang serius, maka hasilnya pun jauh dari ideal.

Penulis adalah analis politik pada Forum Anak Bangsa Jakarta

Last modified: 30/9/04

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 103

Kompas, Rabu 13 Oktober 2004 Megawati Pertanyakan Perlunya Rekonsiliasi

Bitung, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri mempertanyakan keinginan sejumlah pakar agar berlangsung rekonsiliasi antara pihaknya dan kelompok presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati juga mengusulkan ahli politik untuk membahas pengertian rekonsiliasi sehingga ada sebuah kesepakatan mengenai perlu tidaknya langkah itu diambil.

"Saya sering bertanya-tanya kepada diri sendiri, rekonsiliasi itu untuk apa?" kata Megawati ketika ditanya wartawan seusai meresmikan pengoperasian terminal peti kemas di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (12/10).

Menurut Megawati, rekonsiliasi itu baru dilakukan jika ada beberapa kelompok yang mengalami benturan fisik dan kemudian sepakat melakukan perundingan. "Mereka berunding untuk mencapai kesepakatan demi rekonsiliasi," paparnya.

Oleh karena itu, Megawati mengusulkan agar para ahli politik dan juga budaya membahas pengertian kata rekonsiliasi sehingga tercapai kesepakatan soal perlu tidaknya tindakan itu dilakukan.

Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah kesempatan-ketika berbicara soal transisi kekuasaan-mengatakan, ia menginginkan agar babak baru dalam tradisi politik Indonesia dimulai. "Dengan transisi kekuasaan yang damai, demokratis, penuh nilai-nilai budaya dan etika politik yang baik, Indonesia mengukir sejarah. Ini merupakan babak baru dalam mengarungi abad ke-21. Saya ingin regularitas dan kontinuitas pengelolaan negara berlangsung dengan baik. Setelah 20 Oktober 2004, siapa pun harus menjadi satu setelah selama delapan bulan berkompetisi sebagai bagian dari keharusan demokrasi," kata Yudhoyono (Kompas, 28/9).

Menurut Andi Mallarangeng-yang kini berperan sebagai juru bicara Yudhoyono- rekonsiliasi itu mengacu pada pidato politik Yudhoyono yang bicara bahwa untuk masa berkompetisi sudah selesai dan kini saatnya bersatu kembali. Yudhoyono ingin semangat untuk bersatu setelah dalam pemilu masyarakat terpisah-pisah mendukung calonnya. "Seusai pemilu presiden, yang terpilih harus jadi presiden semua. Karena itu, dibutuhkan dukungan semua juga," katanya.

Ia menambahkan, ajakan rekonsiliasi itu bukan dalam arti ada konflik, tetapi bagian dari ajakan bersatu. Itu merupakan bagian, juga dari upaya transisi pemerintahan lama ke baru sehingga tidak ada gap.

Persepsi beda

Budayawan Romo Benny Susetyo melihat reaksi Megawati terhadap isu rekonsiliasi terjadi karena istilah rekonsiliasi dipersepsikan secara berbeda. "Sebenarnya akan lebih baik kalau istilah perjumpaan dua tokoh bangsa, Megawati dan Yudhoyono, untuk membicarakan masa depan bangsa," ujar Benny.

Reaksi Megawati yang mempertanyakan perlunya rekonsiliasi menunjukkan masih adanya hambatan psikologis antara Megawati dan Yudhoyono. "Saya kira masih perlu waktu untuk sebuah pertemuan dua anak bangsa itu," ujar Benny.

Ketua Aliansi Masyarakat untuk Perubahan Bara Hasibuan menyarankan agar Presiden Megawati merespons permintaan presiden terpilih Yudhoyono berkaitan dengan proses transisi yang sekarang sedang berlangsung sampai dilantiknya presiden terpilih. "Presiden Megawati mempunyai tanggung jawab politik dan kewajiban konstitusional untuk menjamin proses transisi pemerintahan Megawati ke pemerintahan Yudhoyono," kata Bara.

Dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 104

Berbudaya

Saat memberikan sambutan dalam peresmian pengoperasian Dermaga Peti Kemas Pelabuhan Bitung, Presiden Megawati juga mengharapkan agar proses pergantian pemerintahan dapat berjalan dengan baik, beradab, dan berbudaya. Proses yang baik itu hendaknya dipelihara dan menjadi tradisi demokrasi di Tanah Air.

"Saya melihat begitu akan ada pergantian, lalu orang buru-buru melangkah untuk menjauh dari orang yang tidak mengalami kemenangan. Hal seperti ini saya harapkan tidak menjadi satu budaya atau tradisi dari bangsa kita. Kalau kita memang mau mendewasakan diri, kita harus juga mengetahui bahwa hal seperti ini harus berjalan dengan baik, beradab, dan berbudaya," ujarnya.

Menurut Megawati, ia tetap menjadi presiden dan melaksanakan tugas kenegaraan sampai pelantikan presiden terpilih tanggal 20 Oktober. "Hari-hari ini banyak yang bertanya dan merasa ketidakpastian, tetapi saya bilang, saya tetap menjadi presiden sampai pelantikan presiden terpilih. Ini kan kabinet presidensial," katanya.

Megawati berharap masyarakat menghormati proses demokrasi. "Bukan malah buru-buru bersikap meninggalkan kelompok yang kalah. Yang kalah dan menang kita hormati sebagai bagian dari demokrasi," ucapnya. Ketika berjalan melihat foto proyek dan dicegat wartawan dengan pertanyaan, apakah Megawati merasa ditinggalkan, ia hanya tersenyum.

Proyek dermaga di Bitung yang berstandar internasional itu merupakan proyek terakhir yang diresmikan Megawati di masa pemerintahannya. Menurut Wali Kota Bitung Milton Kansil, peresmiannya dijadwalkan sejak Februari, tetapi beberapa kali tertunda karena kesibukan Kepala Negara.

Rapat PDI-P

Sepulang dari Manado, Megawati Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) langsung memimpin rapat di Kantor DPP PDI-P Lenteng Agung, Jakarta.

Rapat dari pukul 19.30 hingga 22.30 itu dihadiri antara lain Sutjipto, Roy BB Janis, Mangara Siahaan, Pramono Anung, Theo Syafei, dan Jakobus Kamarlo Mayangpadang.

Menurut Roy BB Janis, pertemuan itu antara lain membahas soal sikap PDI-P tentang pengunduran Panglima TNI. "Sampai sekarang PDI-P belum mengambil sikap, apakah Panglima harus berhenti pada periode sekarang atau nanti pada periode presiden baru," kata Ketua DPP PDI-P itu.

Mengenai persoalan Panglima TNI itu, Megawati menjelaskan sudah menerima surat pengunduran dari Panglima TNI dan memang telah diteruskan di DPR. "Cuma gitu saja diributkan," kata Megawati seperti dikutip Mayangpadang.

Dalam rapat itu dibahas pula soal personalia Fraksi PDI-P di DPR, antara lain disebut-sebut nama Cahyo Kumolo, Roy Yanis, Pramono Anung, dan Panda Nababan.

Megawati lalu meninggalkan lokasi setelah menerima tamu seorang ibu tua dari Aceh, yang telah menunggunya selama 10 hari di Kantor DPP PDI-P. (Ant/inu/zal/bdm/osd)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 105

Kompas, Kamis 14 Oktober 2004 Rekonsiliasi Oleh AB Susanto

GEGAP gempita pemilihan para petinggi wakil rakyat kali ini agak berbeda karena disertai kekhawatiran munculnya "pertarungan" eksekutif-legislatif seperti terjadi di era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dari "pertarungan" itu, yang kena getahnya adalah bangsa. Rakyat yang amat berharap mekanisme demokrasi akan melahirkan situasi yang lebih baik harus menelan lagi pil pahit.

Perbedaan "penguasa" di lembaga legislatif dan eksekutif sebenarnya hal wajar dalam demokrasi. Bukankah ini merupakan penerapan Trias Politika yang menjadi esensi negara demokrasi? Bahkan, dengan situasi ini, sebenarnya justru mekanisme check and balances dapat berjalan efektif. Masalah yang dikhawatirkan banyak pihak apakah budaya politik kita sudah siap, dan mekanisme "penyeimbang" tidak akan menjadi mekanisme "pengganjalan" atau bahkan "penjegalan". Pesta demokrasi yang sukses saja belum memadai untuk membentuk pemerintahan demokrasi yang efektif. Sportivitas, termasuk sikap menerima kekalahan, merupakan prasyarat agar demokrasi berjalan efektif. Kekhawatiran ini pula yang mengeluarkan wacana rekonsiliasi, yang menyembul saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Tujuannya menepis kekhawatiran ini dan berharap pemerintahan berjalan efektif.

Rekonsiliasi mungkin mengandung banyak makna. Jika yang dimaksud seperti itu, bisa dikatakan sebagai rekonsiliasi pragmatis. Dalam arti rekonsiliasi ini tidak terlalu dalam merunut akar historis mereka yang berseteru.

Barangkali perseteruan ini hanya bersumber pada conflict of interest. Kita tidak perlu menengok ke belakang terlalu jauh dan hanya bertumpu pada menang kalah. Orientasinya pun hanya bersifat jangka pendek, dan jika mau jujur lebih merupakan persoalan di lingkungan elite, sehingga penyelesaian yang melandasi rekonsiliasi lebih menekankan bagaimana agar pesta demokrasi yang baru saja berlangsung tidak menjadi zero sum conflict, di mana winner takes all.

Sebenarnya, makna rekonsiliasi yang lebih umum acap bersifat historis, yang memasuki lorong waktu jauh ke belakang. Dan ini tidak bersifat temporer, tetapi relatif lebih permanen karena sumber konfliknya berasal dari perbedaan nilai. Jika pendekatan historis ini dipakai sebagai sarana untuk menganalisis, harus merunut akar persoalannya dalam kurun waktu lama. Mungkin bagi kita bangsa Indonesia akan mengaduk-aduk kesadaran sejak peristiwa 1965, Tanjung Priok, Lampung, DOM Aceh, Timor Timur, sampai kasus Trisakti. Pendekatan ini tentu memerlukan energi besar, waktu lama, dan perhatian amat serius. Selain itu, upaya ini akan melelahkan sekaligus menyakitkan. Upaya inilah yang sebenarnya dulu ingin dilakukan Gus Dur.

Namun, dalam alam Indonesia Baru yang diwarnai demokrasi, rekonsiliasi menjadi menu wajib. Kasus-kasus konflik horizontal, seperti Ambon, Sambas, dan Poso, harus diselesaikan tuntas. Karena konsekuensi dari demokrasi adalah ditinggalkan cara-cara represif. Pada masa lalu cara-cara ini efektif dalam memadamkan api konflik meski masih meninggalkan bara dalam sekam. Ketika represi ditiadakan, bara konflik meletup menjadi tindak kekerasan.

Manajemen rekonsiliasi

Dalam kebinekaan bangsa, konflik horizontal mempunyai potensi besar untuk merobek kedamaian dan mengoyak stabilitas. Konflik ini diwarnai dominannya faktor kesukuan, agama, atau keduanya sekaligus yang muncul sebagai pembentuk identitas personal masing-masing pihak yang berkonflik. Konsekuensinya perasaan in group dan out group menguat, disertai asumsi dalam menyikapi suatu masalah yang melibatkan kedua pihak: anggota kelompok harus dibela karena jika mengalami masalah, ia juga akan dibela kelompoknya. Ketidaksalingpercayaan juga muncul dalam komunitas, memperkuat diskriminasi rasial dan prasangka (prejudice). Konflik ini kian parah jika ternyata ada perbedaan tingkat kesejahteraan pada tiap kelompok. Perbedaan tingkat kesejahteraan sering menjadi justifikasi prasangka dan perilaku diskriminatif.

Dalam memanajemen rekonsiliasi perlu dilakukan langkah- langkah sistematis yang dituangkan dalam aneka program. Manajemen rekonsiliasi harus didahului analisis dengan melakukan diagnosis terhadap konflik yang terjadi. Akar-akar konflik harus diidentifikasi jelas. Konflik yang terjadi mungkin berasal dari aneka peristiwa

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 106

yang terjadi sekian tahun bahkan puluhan tahun lalu. Akar konflik ini perlu ditelusuri mendalam guna mengetahui latar belakang dan sejarah konflik sebagai bagian untuk mencari solusinya. Dalam menganalisis konflik harus dilakukan dengan cermat karena tahap ini merupakan landasan bagi penyusunan strategi dalam melakukan langkah-langkah rekonsiliasi yang amat menentukan keberhasilannya.

Langkah berikut adalah melakukan intervensi langsung yang bertujuan melakukan mediasi terhadap konflik yang mengakar dalam komunitas. Keberhasilan intervensi ini amat bergantung pada ketajaman dalam menganalisis latar belakang konflik, pemahaman terhadap struktur komunitas, serta identifikasi faktor-faktor kultural yang menunjang maupun yang menghambat proses mediasi. Persepsi masing-masing pihak atas masalah yang dihadapi dan terhadap pihak lain harus dipahami dengan baik.

Intervensi pihak ketiga yang berfungsi untuk memfasilitasi komunikasi dalam kerangka penyelesaian konflik harus memelihara citra sebagai pihak yang netral dan nonpartisan. Citra ini amat penting karena kedua pihak sedang dipenuhi rasa saling curiga amat tinggi. Sekali citra memihak muncul dari salah satu pihak, fungsi mediasi tidak akan efektif lagi. Peran mediator adalah sebagai pihak ketiga yang dipandang netral, dengan tujuan utama menemukan solusi menang-menang yang mengakomodasi kepentingan kedua pihak. Mediator tidak diperkenankan untuk menyatakan siapa yang salah dan siapa yang benar karena sebenarnya tugas mediator adalah "tugas untuk menghadapi masa depan", bukan "menjadi wasit" atas kesalahan masing- masing pihak dengan mengorek masa silam.

Selanjutnya diperlukan upaya pemberdayaan dalam menangani konflik secara konstruktif. Pemberdayaan ini diawali dengan pemberian bekal berupa keterampilan dalam melakukan mediasi bagi para sukarelawan yang mempunyai posisi netral. Anggota komunitas dibekali keterampilan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Selanjutnya juga harus dilakukan supervisi untuk membantu penerapan keterampilan resolusi konflik.

Pelembagaan penting untuk dilakukan karena rekonsiliasi merupakan proses. Seperti proses munculnya konflik yang acap berlangsung lama, rekonsiliasi juga merupakan proses yang kelangsungannya harus dijaga. Pelembagaan ini bertujuan membantu hadirnya struktur organisasi yang mempromosikan dan menangani resolusi konflik secara efektif dalam komunitas lokal. Pelembagaan ini juga berfungsi agar program ini bergulir luas, yang akan membantu pengembangan kapasitas (capacity building).

Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan harus dilakukan. Selain memantau kemajuan program, fungsinya juga untuk mengidentifikasi riak-riak konflik yang mungkin muncul dan berpotensi merusak langkah rekonsiliasi yang dilakukan.

Manajemen rekonsiliasi ini sebaiknya menjadi program yang bersifat permanen dalam agenda pemerintah mendatang meski tidak selalu harus ditangani langsung oleh perangkat pemerintah. Di wilayah yang masih mempunyai potensi konflik yang penyelesaiannya belum tuntas, seperti di Ambon, Sambas, atau Poso, perlu dilembagakan mekanisme rekonsiliasi. Inilah tugas pemerintah yang kian jauh melangkah dalam alam demokrasi: stabil, damai, tetapi tidak represif.

AB Susanto Managing Partner The Jakarta Consulting Group

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR 2004---Hal. 107

Republika, Kamis, 14 Oktober 2004 'Rekonsiliasi Penting untuk Silaturahmi' Laporan : uba/cho

JAKARTA -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, mengatakan meski tidak terjadi benturan antara para pendukung calon presiden, namun rekonsilasi itu tetap perlu dilakukan. Paling tidak, kata dia, antara masyarakat akan terbangun sebuah sikap saling menghargai, mengakui, dan saling menyapa.

''Rekonsilasi yang saya pahami hakekatnya bukan berada karena tidak adanya benturan dua massa pendukung presiden. Rekonsilai menjadi penting terutama dalam tingkat hadirnya kondisi silaturahmi,'' kata Hidayat, di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, kemarin (13/10).

Menurut Hidayat, bagaimana pun sampai menjelang diselanggarakan serah terima jabatan presiden yang akan dilakukan pada 20 Oktober nanti, kondisi bangsa yang kondusif seharusnya tetap saja dapat dihadirkan. Bila suasana seperti ini tetap terjadi, kata dia, maka sebenarnya yang diuntungkan adalah para pemimpin itu sendiri.

''Silaturahmi yang nanti diperlihatkan dalam rekonsilasi menjadi bagian pentingnya. Ibu Megawati akan dikenang sebagai tokoh yang manusiawi dan apresiatif. Jadi saya kira kalau beliau bersedia memberi ucapan selamat maka itu baik-baik saja,'' ungkap Hidayat.

Hidayat menambahkan, segenap lapisan bangsa hendaknya memberikan dukungan penuh kepada presiden terpilih untuk melaksanakan segala janji-janjinya dahulu. Apalagi, ungkapnya, SBY-Kalla sudah terpilih dalam sebuah pemilihan umum yang sangat demokratis dan aman itu. Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fery Tinggogoy, mengatakan rekonsilasi itu bukan diartikan hanya dilakukan setelah terjadi benturan antar massa. Tetapi harus dilihat sebagai upaya pengembalian kehidupan bersama dalam politik.

''Kalau dilihat bagaimana bentuk rekonsilasi itu, maka itu terserah saja modelnya. Dalam hal ini kita juga memang harus memberikan apresiasi khusus kepada kepemimpinan Megawati. Berkat dialah maka ada peletakan dasar kehidupan masyarakat secara lebih baik,'' kata Ferry. Menurutnya, selama ini memang belum ada pengertian yang sama antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Dengan demikian menjadi tidak tepat bila secara dini sudah dikatakan Megawati tidak bersedia melakukan rekonsilasi.

Pihak SB Yudhoyono-Kalla sendiri tampaknya tidak terlalu berharap Megawati mau melakukan rekonsiliasi. ''Pak SBY tidak memberikan komentar soal pernyataan Presiden Megawati tentang rekonsiliasi. Konsentrasi SBY pada kabinet, struktur, dan program kerja. Di luar itu tidak memberikan komentar,'' kata Andi A Mallarangeng, juru bicara SBY-Kalla, di Cikeas, Bogor, kemarin.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 1

Jakarta Post, October 1, 2004 The need for justice in Indonesia, 39 years on Carmel Budiardjo, London

Thirty-nine years ago, on Oct. 1, 1965, an event occurred that was to trigger an earth-shattering upheaval in Indonesia. On that day, seven army officers were kidnapped and gunned down. The details of that incident are well known in Indonesia and have formed an essential part of the history taught in schools and solemnly commemorated every year in the media.

However, little attention has been paid to the far more horrific events that followed. As the authors of a book published recently say, the murder of the Army officers 'takes pride of place over and above the mass arrests and killings as the nation's major tragedy. Linking social memory with monuments, museums, ceremonies and books is done in such a way as to remind people of the Sept. 30 abortive coup attempt or G-30-S (as the incident is officially known) while forgetting what happened afterwards.'

Within days of the seven assassinations, the Indonesian Army initiated a purge, with the help of some misguided political groups, which led to the arrest and imprisonment of tens of thousands of people, members of youth and women's organizations, peasants' organizations and trade unions, and members of the Indonesian Communist Party (PKI), accused (but never formally charged) of being involved, directly or indirectly, in the so-called G-30-S movement. Still worse, for six months from the end of October 1965, hundreds of thousands of people were seized from their homes and done to death along the roads and highways, and in the forests of Central and East Java, in Bali and elsewhere. Their bodies were secretly interred or simply thrown into rivers.

While the killings were still in progress, in November 1965, President Sukarno dispatched a team of investigators to the worst hit areas to investigate the scale of the catastrophe. Before the end of the year, the team came up with a figure of 78,000 people killed, knowing full well that this was way below the true magnitude of the massacres. According to some observers at the time, the true figure was likely to be ten times as much.

When I was arrested in September 1968, the total number of political prisoners was thought to be around 70,000 though the Soeharto government refused to provide any figures. I was immediately plunged into a terrifying world, haunted by the screams of people under interrogation every night, being with women who had been stripped naked to humiliate them and force confessions out of them. I saw men dangling from trees by their wrists, their bodies covered with newly inflicted injuries.

Being English by birth, I was spared the agony of being personally tortured. I was luckier too than most of the women with whom I shared months and years behind bars because it appears that the government feared that my continued imprisonment would be an embarrassment. At the instigation of my family in London and with the help of the World Council of Churches, I was released after three years of incarceration and ordered to leave the country.

My late husband was far less fortunate. He spent altogether twelve years in detention before being released without charge. Yet he too could thank his lucky stars that he was not banished to the notorious island of Buru where at least 10,000 male political prisoners, facing barbaric conditions and starvation, were held for up to ten years.

In those days, Indonesia was top of the league for Amnesty International, as the country with more uncharged and untried political prisoners than any other country in the world.

My own banishment to the UK proved to be a blessing in disguise as it gave me the opportunity to campaign for those I had left behind. Even today, more than thirty years on, the images of the women I shared cells with are still powerful. Some were members of the women's organization Gerwani, while others were young girls forced to make false confessions about mutilating the bodies of the assassinated generals (which they later retracted in court after spending more than six years in prison). They also included the wives of PKI leaders held for no other reason than that, as well as women

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 2

seized off the streets while selling things in the local market for no other reason than allegedly being the chair of a local Gerwani branch.

I vividly remember my doctor friend, the late Sumiarsih, who was accused of giving medical treatment to young men and women who were arrested in a location outside Jakarta that became known as 'Lubang Buaya', where the bodies of the generals had been taken. Like so many other women with whom I spent years in detention, Sumiarsih, who was dubbed the 'Lubang Buaya doctor' by her captors, was banished to Plantungan, a remote camp for women political prisoners in Central Java, and held without trial till the mid 1970s.

Now that Indonesia has achieved something approaching a democratic state, is it not time for these events to be thoroughly investigated and those responsible for the tragedy to be brought to book? The recent decision to set up a Truth and Reconciliation Commission hardly seems the right way forward to deal with such a huge catastrophe. But if this paves the way for victims to come forward and talk about their experiences, to identify the men who maltreated or tortured them, this could be a start towards healing the wounds buried in the hearts of so many Indonesians, the survivors, the relatives of those who were killed or who disappeared, and the offspring of the victims.

Featuring prominently over the tragedy was Soeharto, whose role in these events should form a central part of these investigations. With Pinochet in Chile now facing the prospect of court proceedings for his years of tyranny, and Saddam Hussein now under arrest in Baghdad and likely to go on trial, why is it that Soeharto is being allowed to live a charmed existence, enjoying the proceeds of his family's allegedly ill-gotten wealth?

It is my firm conviction that Indonesia's claim to be a democracy can never be really legitimate as long as this stain on its history is not removed by honest and frank investigations.

The writer is director of TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign, based in London

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 3

Kompas, Jumat 01 Oktober 2004 Rekonsiliasi dengan Korban 1965 Oleh Salahuddin Wahid

SAAT berusia 10 tahun, saya melihat sebuah foto di ruang kerja ayah saya, yang menunjukkan gambar seorang lelaki dengan mata tertutup berdiri menghadapi beberapa orang yang mengacungkan senjata. Saya bertanya siapa lelaki itu dan apa yang sedang dialaminya. Ayah menjawab, lelaki itu anggota PKI yang terlibat pemberontakan di Madiun (1948).

Menurut beliau, pemberontakan itu membunuh banyak kiai di sekitar Madiun, banyak di antaranya yang punya hubungan darah dengan kami. Jawaban ayah saya tentang pembunuhan oleh anggota PKI terhadap keluarga kami langsung saya percaya dan sangat membekas di dalam diri saya dan tidak mungkin saya lupakan sampai kapan pun. Saya yakin banyak sekali orang yang berpendapat sama dengan saya.

Kini telah terbit banyak buku yang membantah apa yang saya yakini itu. Menurut para penulis buku itu, peristiwa (bukan pemberontakan) Madiun adalah buah persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lainnya. Dan juga merupakan konflik internal Angkatan Darat. Penulis buku-buku itu berpendapat bahwa PKI hanya menjadi kambing hitam dan korban perang dingin. Yang dipersalahkan adalah mereka yang antikomunis dan memanipulasi peristiwa itu lalu menyebutnya sebagai pemberontakan.

Ada tiga buku yang saya punya. Pertama berjudul PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun) yang berisi kumpulan tulisan yaitu tulisan DN Aidit berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, tulisan Suar Suroso berjudul PKI, Korban Pertama Perang Dingin, tulisan Jacques Leclerc tentang Amir Syarifudin dan tulisan Musso berjudul Jalan Baru.

Buku kedua berjudul Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono, Pelaku Perjuangan). Hasil diskusi panjang Arief Budiman dengan Soemarsono itu ditambah kajian yang dilakukannya lalu dikembangkan dan ditulis oleh Hersriawan, yang pernah menjadi tapol di Pulau Buru. Buku ketiga berjudul Peristiwa Madiun 1948. Kudeta atau Konflik Internal Tentara yang ditulis oleh David Charles Anderson.

Amat sulit untuk mengubah opini orang yang yakin bahwa PKI terlibat dalam pemberontakan Madiun. Tetapi warga masyarakat yang masih berusia muda cenderung untuk mempercayai isi buku-buku di atas. Bagi mereka PKI adalah korban Orde Baru yang mereka ketahui sebagai pemerintahan otoriter yang korup.

TANGGAL 1 Oktober 1965 pagi, kami sekeluarga mendengarkan dengan saksama pengumuman radio dari Dewan Revolusi. Reaksi spontan kami sekeluarga: di belakang Dewan Revolusi adalah PKI. Kami punya reaksi itu karena selama beberapa tahun sebelumnya telah menyaksikan terjadinya "perang" antara PKI dan kawan-kawan melawan kekuatan politik lain yang meliputi kalangan Islam, agama lain, kelompok sosialis, TNI, dan lain lain. Kedua kekuatan yang bertentangan itu berusaha menarik Bung Karno ke arah kelompok mereka.

Keluarga serta kawan kami di Jawa Timur mengisahkan banyak peristiwa yang mencerminkan runcingnya pertentangan antara pihak PKI serta lawannya, yang sudah sampai di lapisan masyarakat paling bawah. Boleh dibilang tingkat pertentangannya sudah sampai pada puncaknya, tinggal menunggu meletus dalam konflik fisik terbuka yang meluas.

Reaksi spontan kami dalam menanggapi gempa bumi politik saat itu sama dengan reaksi puluhan juta orang lain. Apa yang terjadi saat itu tentu tidak mungkin dinilai dengan tatanan sosial politik pada saat ini. Kini setelah 39 tahun berlalu, saya merasa reaksi spontan kami itu adalah wajar dan sesuai dengan pengalaman dan tatanan sosial politik waktu itu. Tentu saja, bersikap menyatakan PKI terlibat G30S bukan berarti kami menyetujui tindakan pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang dituduh sebagai anggota PKI.

Pada tahun 1969 terbit tulisan Arnold C Brackman, Cornell Paper: Communist Collapse in Indonesia yang mengemukakan pendapat bahwa G30S bukan kudeta PKI tetapi merupakan konflik internal

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 4

Angkatan Darat. Saya punya buku berjudul G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto karya Harsutejo. Buku yang lain berjudul Membongkar Jaringan CIA karya Yoshiro Mushasi, yang menggali kemungkinan peran CIA dalam penggulingan Soekarno. Buku ketiga berjudul Kudeta Angkatan Darat karya Geoffrey B Robinson. Masih banyak lagi buku lain dengan opini yang sama.

Menanggapi tuntutan untuk melakukan penulisan kembali sejarah Indonesia yang dianggap mengandung banyak pemalsuan, dibentuklah tim untuk melakukan tugas itu yang dipimpin oleh Dr Taufik Abdullah. Tetapi tampaknya tidak mudah bagi tim itu untuk menuliskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam peristiwa G30S. Ada semacam kabut tebal yang menyelimutinya hingga sulit untuk mengungkap kebenaran. Versi manapun yang diakui atau dianggap benar, pasti tidak akan diterima dan menimbulkan reaksi keras dari pihak yang berlawanan.

Masalah utama peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan onder-bouwnya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Beberapa buku mengungkap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh sebagian warga masyarakat atas perintah sejumlah aparat tentara yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Tampaknya saat itu paradigma TNI menganggap komunis sebagai musuh bangsa. Paradigma itu tentu merupakan hasil perjalanan kesejarahan TNI sejak awal kemerdekaan. Tetapi pembunuhan massal itu bukan implementasi yang tepat dari paradigma TNI itu dipandang dari perspektif kemanusiaan, walaupun perspektif politik dan militer mungkin bisa dianggap tepat.

Di Jawa Timur banyak warga NU dan Ansor ikut terlibat dalam pembunuhan itu. Mereka terlibat kekejaman itu karena tidak dapat menghindar dari instruksi tentara dan juga karena merasakan suasana peperangan yang hidup di dalam masyarakat. Suasana semacam itu terbangun akibat konflik fisik yang mereka alami selama beberapa tahun terakhir, yang tentu bernuansa membunuh atau dibunuh dari pada dibunuh. Tetapi perlu disadari bahwa kalau kita memahami suasana sosial saat itu tidak berarti kita menyetujui tindakan itu.

BEBERAPA tahun terakhir terjadi gejala menarik dan positif. Sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat memulai langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi sosial dengan keluarga korban peristiwa 1965. Mereka melakukan silaturrahim dengan keluarga mantan tapol di berbagai tempat. Mereka juga menerbitkan buletin RUAS yang khusus membahas materi yang berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Tetapi langkah anak muda NU itu tampaknya belum mendapatkan tanggapan positif dari mayoritas warga NU.

Kita sadar bahwa rekonsiliasi dengan korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu harus segera dilakukan. Tapi kita juga tahu bahwa tidak mudah untuk melakukannya. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ternyata tidak mudah untuk melakukannya. UU KKR ternyata tidak memuaskan karena lebih memihak kepada pelaku pelanggaran. Perlu kita ketahui bahwa rekonsiliasi itu tidak hanya antara pelaku dengan korban dan keluarga, tetapi juga antara masyarakat secara umum dengan korban dan keluarga. Yang pertama bernuansa hukum dan yang kedua lebih bernuansa sosial. Jenis yang kedua itulah yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU yang tergabung dalam Syarikat itu bisa dilakukan tanpa dikaitkan dengan UU KKR. Masing-masing bisa berjalan sendiri dan saling mendukung.

Di dalam kalangan NU-terutama generasi tua-tidak mungkin untuk mengubah perspesi tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa Madiun dan peristiwa G30S. Wajar kalau mereka masih belum bisa melupakan pengalaman buruk dengan PKI. Kecurigaan terhadap PKI juga masih cukup tinggi. Kondisi itu tidak mendukung upaya rekonsiliasi dengan korban G30S dan keluarganya yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU. Mantan tapol dan keluarganya berjumlah amat besar, demikian pula warga NU. Jadi terwujudnya rekonsiliasi antara kedua komunitas itu akan memberi dampak positif bagi kehidupan bangsa di masa mendatang.

Rekonsiliasi itu membutuhkan kesediaan semua pihak untuk melakukannya. Membutuhkan ketulusan, kejujuran dan keterbukaan, menghendaki hilangnya prasangka didalam diri masing-masing. Juga membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kerja keras. Serta membutuhkan waktu yang amat panjang. Makin cepat dilakukan, makin baik.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 5

Sudah saatnya NU-jama’ah dan jami’yah-mempertimbangkan bagaimana sebaiknya menyikapi masalah rekonsiliasi sosial warga NU dengan mantan tapol dan keluarganya. Sudah cukup jauh jarak waktu dengan tahun 1965 sehingga tidak terlalu sulit bagi NU untuk mengambil sikap yang tepat. Dalam posisi sebagai Presiden, Gus Dur telah membuka jalan dengan meminta maaf kepada korban dan keluarga mereka. Kegiatan kalangan muda NU dalam Syarikat adalah langkah awal bagi tujuan mulia yang merupakan sumbangsih besar NU yang kesekiankalinya bagi bangsa.

Salahuddin Wahid Mantan Ketua Tanfidziyah PBNU

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 6

Kompas, Kamis 07 Oktober 204 Komnas HAM dan KKR Bisa Berebut Peran

Jakarta, Kompas - Karena wewenang yang tumpang tindih, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM berpeluang untuk berebut peran dan bersaing secara tidak sehat dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dalam rangka itu, Komnas HAM akan membuat memorandum of understanding (MoU) dengan KKR, setelah lembaga itu terbentuk.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin ketika ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (4/10). Setelah membandingkan antara Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Komnas HAM, dan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Zoemrotin berpendapat, terjadi tumpang tindih tugas antara KKR dan Komnas HAM, antara lain soal penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Dalam RUU KKR yang telah disepakati DPR dan pemerintah, KKR bertugas antara lain melakukan penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran HAM berat. Sementara dalam Pasal 18 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan, "Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia."

Untuk menghindari hal itu, kata Zoemrotin, Komnas HAM dan KKR sebaiknya membuat MoU. "Isinya, misalnya, untuk kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu yang sudah direncanakan Komnas HAM sebelum terbentuknya KKR, sebaiknya diselesaikan Komnas HAM," papar Zoemrotin, yang berharap DPR merevisi UU tentang kedua lembaga itu.

Rapat paripurna baru-baru ini telah memutuskan pembentukan dua tim penyelidik kasus penghilangan orang secara paksa yang terdiri dari tim kasus daerah operasi militer Aceh, tim kasus kerusuhan Mei, dan kasus penculikan aktivis mahasiswa oleh Tim Mawar 1998.

Tim berikutnya adalah tim kasus mantan Presiden Soeharto yang terdiri dari tim kasus penembakan misterius 1980, kasus Pulau Buru, kasus korban PKI, serta kasus fitnah PKI. Terhadap kasus-kasus yang ditangani kedua tim ini Zoemrotin berharap tidak diambil alih oleh KKR. (WIN)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 7

Kompas, Jumat 08 Oktober 2004 Ketika Eksistensi Komisi Negara Dipersoalkan...

DALAM sebuah seminar yang digelar Konsorsium Reformasi Hukum Nasional awal Oktober lalu, ahli hukum tata negara dari Universitas Pelita Harapan, Bintan Saragih, mengusulkan agar komisi-komisi negara-yang telah terbentuk atas perintah ketetapan MPR dan undang-undang-yang keberadaannya saat ini tidak efektif sebaiknya ditiadakan atau dihapus.

SEBALIKNYA komisi negara yang keberadaannya mendukung sistem pemerintahan harus dipertahankan dan dibiayai negara. Komisi yang harus ditiadakan atau dihapus antara lain Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON).

Pendapat ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan, terutama dari komisi yang disebutkan Saragih tersebut. Sekretaris KHN Mardjono Reksodiputro menilai usulan Saragih agar KHN dibubarkan-karena anggotanya tidak bekerja penuh waktu sehingga tugasnya tidak efektif-adalah pendapat yang keliru dan tidak beralasan.

Menurut Mardjono, penilaian terhadap KHN seharusnya bukan terletak pada berapa banyak waktu orang KHN bertugas, tetapi seharusnya dilihat dari produk yang dikeluarkan lembaga tersebut. Apalagi, selama ini sudah banyak hal yang telah dilakukan KHN.

Tanggapan yang sama juga disampaikan Ketua KON Antonius Sujata. Dalam surat terbuka yang dikirim kepada Kompas, ia menyatakan usulan Saragih agar komisi tersebut ditutup karena tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintah atau digabung dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah pendapat keliru. Alasannya, di lebih dari 150 negara, ombudsman menjadi pengawas di luar jajaran aparatur pemerintah dalam mengupayakan good governance serta pelayanan publik yang efisien dan profesional.

"Tugas ombudsman adalah memonitor, menerima keluhan masyarakat, dan menindaklanjuti segala perbuatan mal administrasi dan KKN yang dilakukan birokrasi," paparnya.

Di hampir semua negara, ombudsman sebagai lembaga turut memperlancar dan meningkatkan efisiensi serta profesionalitas aparat pemerintah, mencegah praktik KKN di dalam tubuh aparat penyelenggara pemerintahan.

KON lahir karena proses perbaikan birokrasi dan sistem pelayanan publik, termasuk lembaga peradilan yang terlalu lamban dan kurang memuaskan. Latar belakang kelahiran KON sama seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu karena kinerja kepolisian dan kejaksaan tak memuaskan.

Sujata mengibaratkan KPK dan KON seperti dua lembaga negara kembar yang secara khusus berfungsi memberantas korupsi. Karena itu, ia menyatakan penghapusan KON mengandung bahaya karena menimbulkan skandal internasional.

MUNCULNYA komisi negara dimulai seiring perjalanan reformasi di Tanah Air. Sejak pemerintahan Orde Baru tumbang, lahirlah berbagai komisi negara, seperti KHN, KON, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, KPK, dan Komisi Penyiaran Indonesia.

Komisi itu lahir dengan latar belakang yang berbeda. Namun, dari sejumlah komisi yang dibentuk tersebut, ada beberapa komisi yang tugasnya agak mirip, terutama yang terkait dengan masalah hukum dan pelayanan hukum. Komisi tersebut adalah KHN dan KON. Kenyataannya, sejumlah tugas yang dikerjakan dua lembaga ini sudah dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Tidak heran jika dalam perjalanannya eksistensi beberapa komisi tersebut dipertanyakan. Ada yang menilai keberadaan komisi negara di bidang hukum terlalu banyak, dan mengusulkan sebaiknya KHN dilebur menjadi satu dengan BPHN, dengan catatan posisi BPHN ditinggikan dan tidak lagi di bawah menteri. Usulan yang paling ekstrem adalah pembubaran KHN dan KON.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 8

KHN dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2000 dengan enam anggota, yakni JE Sahetapy, Mardjono Reksodiputro, Harkristuti Harkrisnowo, Frans Hendra Winarta, Suhadibroto, dan M Fajrul Falakh.

Tujuan komisi ini dibentuk adalah mewujudkan sistem hukum nasional untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran. Hal itu dilakukan dengan melakukan pengkajian masalah hukum serta penyusunan rencana pembaruan di bidang hukum secara obyektif dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.

Tugas KHN antara lain memberikan pendapat atas permintaan presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan pemerintahan, masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Komisi ini juga berfungsi mengkaji masalah hukum untuk memberi masukan kepada presiden sebagai tindak lanjut di bidang hukum. Komisi ini dibiayai APBN dan bantuan dari sejumlah lembaga donor.

Sedangkan KON dibentuk dengan Keppres 44/2000 dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, dan bebas KKN.

Seperti KHN, komisi ini juga beranggotakan enam orang, yakni Antonius Sujata, Sunaryati Hartono, Teten Masduki, Surachman, Masdar Farid Masudi, dan Erna Sofwan Sjukrie.

Kehadiran KON diharapkan dapat membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN serta menindaklanjuti laporan dan informasi tentang terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara. Seperti KHN, KON juga dibiayai negara dan mendapat bantuan dari luar.

EKSISTENSI kedua komisi tersebut saat ini, menurut Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, merupakan pembaruan terhadap sistem hukum di Indonesia. Pasalnya, ada lembaga nonstruktural dalam sistem ketatanegaraan yang membantu lembaga struktural dalam proses law enforcement.

Keberadaan KHN masih bisa dipertahankan. Namun, sebaiknya KHN bekerja sama dengan BPHN, dengan catatan BPHN ditingkatkan posisinya, tidak seperti sekarang di bawah Menteri Kehakiman dan HAM.

Namun, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Eko Prasodjo, menilai kehadiran komisi-komisi negara bersifat sementara dan situasional. Karena itu, jika tugas- tugasnya dipandang telah selesai, sebaiknya komisi ini dibubarkan.

"Keberadaan komisi ini harus dilihat kembali. Apakah sudah terlaksana sesuai tujuan pembentukannya, atau tidak. Apakah masih perlu dilanjutkan atau tidak," ujarnya.

Singkatnya, apakah keberadaan komisi tersebut akan tetap dipertahankan atau tidak, kini tergantung pada pemerintahan di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi, kalau nanti ada keinginan pemerintah baru untuk menambah lagi komisi negara, sebaiknya dipikirkan lebih jauh. Jangan hanya kepentingan sesaat. Ini penting dipertimbangkan pemerintahan baru agar tidak menimbulkan kontroversi di masa mendatang. (SONYA HELLEN SINOMBOR)

Tabel: Komisi –Komisi Yang Terbentuk Pasca-Orba sampai tahun 2003

No Komisi Dasar Hukum Tugas Wewenang 1 Komisi Nasional Anti

Kekerasan Terhadap Perempuan

Keppres No. 181/1998 Memantau, meneliti dan mendokumentasikan fakta tindak kekerasan terhadap perempuan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 9

2 Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

Keppres No. 127/1999 Melaksanaan pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara dan bertugas mencegah praktik KKN dalam penyelenggara negara.

3 Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Keppres No.75/1999 Komisi inidapat menolak izin penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan oleh pelaku usaha yang dapat mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat.

4 Komisi Hukum Nasional

Keppres No. 15/2000 Melaksanakan pengkajian masalah-masalah hokum sebagia masukan kepada presiden untuk menindaklanjuti kebijakna di bidang hokum dan masalah-masalah hokum yang memprihatinkan masyarakat.

5 Komisi Ombusman Keppres No. 44/2000 Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau inforamasi menegnai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.

6 Komisi Rekonsiliasi untuk Kebenaran dan Keadilan

UU Disetujui DPR 7 September 2004

Menegakkan kebenaran dan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum di massa lampau.

7 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 30/2002 Meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

8 Komisi Yudisial UU distujui DPR 15 Juli 2004

Mempunyai kewenangan mengusulkan calon hakum agung dan menengakkan kehormatan, menjaga martabat dan keluhuran hakim.

9 Komisi Kepolisian UU No. 2/2002 Membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakna Kepolisian RI, menerima saran dan masukan masyarkat mengenai kinerja kepolisian.

10 Komisi Konstitusi Tap MPR No. I/MPR/2002 Mempelajari, mengkaji, dan menganalisis seluruh hasil perubahan UUD 1945 baik dari segi sistematika, teori, maupun konsistensi pasal-pasal yang telah diubah.

11 Komisi Penyiaran Indonesia

UU No.32/2002 Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai denagn hak asasi manusia.

12 Komisi Perilindungan Anak Indonesia

Keppres No. 77/2003 Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denagn perlindungan anak. Memberikan laporan, masukan, dan informasi kepada presidne dlama rangka perlindungan anak.

Sumber: Litbang Kompas 20047

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 10

Kompas, Selasa 12 Oktober 2004 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi - Komnas Hak Asasi Manusia Bersinergi atau Saling Meniadakan?

KISAH menarik dari usaha sejumlah negara dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu lewat rekonsiliasi nasional telah menginspirasi masyarakat sipil di Tanah Air. Melalui desakan para praktisi hukum, pemuka masyarakat, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang terkesan dengan pergulatan bangsa lain dalam menyelesaikan masa lalunya nan pahit, pemerintah akhirnya membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan lahir belakangan.

DI Afrika Selatan (Afsel), kisah sukses rekonsiliasi nasional dipelopori presidennya, Nelson Mandela, dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dipimpin Uskup Desmond Tutu. Komisi itu bertugas memetakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama 34 tahun Rezim Apartheid Afsel berkuasa.

Lembaga ini menghimpun seluruh kisah duka para korban pelanggaran HAM berat dalam laporan lima jilid berjudul, "The Report of The Truth and Reconciliations Commission".

Kerja lembaga ini mendapat dukungan penuh elite sipil dan militer. Proses pemeriksaan terhadap mantan Presiden Afsel FW De Clerk, Wakil Presiden PW Botha, Panglima Angkatan Bersenjata Afsel Magnus Malan serta sejumlah mantan petinggi Rezim Apartheid lainnya pun berjalan lancar.

Sikap ksatria para petinggi Rezim Apartheid ini pun dibalas dengan ketulusan hati Mandela dan rakyat Afsel yang memilih rekonsiliasi ketimbang pengadilan HAM. Hal serupa terjadi di Korea Selatan semasa Presiden Kim Young-sam (1993-1998). Di masa transisi dan krisis ekonomi 1997, ia bukan hanya berhasil melakukan langkah rekonsiliasi, tetapi juga meningkatkan perekonomian nasional dan kehidupan demokrasi. Luar biasa!

Di Argentina, Conadep (Comision Nacional Para La Desaparacin de Personas/Komisi Nasional untuk Orang Hilang, Lembaga KKR di Argentina) dibentuk Presiden Raul Alfonsin lewat dekrit presiden tahun 1983. Komisi ini mengungkap modus penculikan yang dilakukan militer untuk merepresi sipil, antara lain dengan ditemukannya 340 tempat penyekapan rahasia. Modus penculikan ini nyaris berujung pada usaha kudeta militer. Pengadilan militer kemudian secara terbuka menghukum 365 personel militer. Kisah ini diakhiri dengan laporan Conadep berjudul "Nunca Mas!" ("Tidak Lagi!"). Laporan ini lalu menjadi referensi KKR di banyak negara.

Rangkaian kisah nyata yang dihiasi oleh keringat, darah, dan air mata ini kemudian mendorong terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan KKR di Tanah Air. Kedua lembaga ini diharapkan mampu bersinergi satu sama lain. Harapannya, masalah pelanggaran HAM yang berat, yang bukti dan saksinya dinilai cukup, bisa segera dibawa ke pengadilan HAM Ad Hoc lewat Komnas HAM, sedangkan yang bukti dan saksinya tidak memadai diselesaikan lewat mekanisme KKR.

Lewat KKR dan Komnas HAM, negara bisa "membayar dosa-dosa" masa lalunya terhadap rakyatnya sendiri, sekaligus memperbaiki sistem di lingkungan militer dan polisi agar dosa masa lalu tersebut tidak terulang lagi.

SELANCAR dan semudah itukah mewujudkan impian indah itu? Reaksi awalnya justru negatif. Tiga organisasi Islam-Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menolak lahirnya KKR. Ketiga lembaga itu menilai, selain tidak bermanfaat, KKR tidak akan bisa menjamin adanya rekonsiliasi nasional karena UU KKR dianggap tidak realistis. Yang muncul justru kekhawatiran bahwa KKR bakal menjadi sumber konflik baru. "Apa yang ada dalam UU KKR tidak memberi jaminan menuju ke arah terwujudnya rekonsiliasi. Yang diatur dalam UU KKR justru membuat di antara kita bertikai dalam mencari proses kebenaran. Kondisi ini justru akan melahirkan luka baru," kata Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi waktu itu.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 11

Ketiga lembaga lebih menghendaki pendekatan kultural dalam rekonsiliasi, sementara sejumlah lembaga swadaya masyarakat, korban, dan keluarga korban menuduh UU KKR dibuat justru membuat pelaku tak terjerat hukum. Tak heran bila mereka kemudian mencurigai UU KKR lebih memihak pelaku daripada korban.

Wakil Ketua dan salah seorang anggota Komnas HAM, masing-masing Zoemrotin dan MM Billah, bahkan mencurigai kehadiran KKR nanti justru menjadi ancaman bagi Komnas HAM, terutama menyangkut wewenang penyelidikan.

Billah dan Zoemrotin berpendapat, apa yang diatur dalam UU KKR mengenai wewenang penyelidikan juga diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kewenangan penyelidikan KKR dalam UU KKR disebutkan dalam Pasal 7, a-b-c-d, dan Ayat dua "e", sedangkan kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM disebutkan di UU No 39/1999 Pasal 89 Ayat tiga a-b-c, dan Pasal 95, serta UU No 26/2000 Pasal 18.

Persoalannya, kalau ketiga UU tersebut memberi hak yang sama kepada KKR maupun Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan, lalu lembaga mana yang menjadi "pintu pertama" penyelidikan? "Soalnya pemeriksaan kepada korban maupun pelaku tidak boleh terjadi dua kali," kata Billah.

Zoemrotin menganggap Komnas HAM-lah pintu pertama penyelidikan. Komnas HAM-lah yang pertama kali menentukan kasus yang diduga diwarnai pelanggaran HAM berat mana saja yang akan dibawa ke Kejaksaan Agung untuk kemudian dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc atas rekomendasi DPR dan presiden serta mana yang akan dilimpahkan ke KKR karena tak cukup bukti dan saksi.

Zoemrotin mengimbau sebaiknya kasus yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang sudah direncanakan Komnas HAM sebelum terbentuknya KKR, diselesaikan Komnas HAM. Rapat Paripurna Komnas HAM belakangan memutuskan pembentukan dua tim penyelidik kasus penghilangan orang secara paksa yang terdiri dari Tim Kasus Daerah Operasi Militer Aceh, Tim Kasus Kerusuhan Mei, dan Tim Kasus Penculikan Aktivis Mahasiswa oleh Tim Mawar tahun 1998.

Tim berikutnya adalah tim kasus mantan Presiden Soeharto yang terdiri dari Tim Kasus Penembakan Misterius 1980, Kasus Pulau Buru, Kasus Korban PKI, serta Kasus Fitnah PKI. "Biarlah Komnas HAM yang bekerja dulu menyelidiki kasus-kasus ini. Biarlah Komnas HAM yang menyerahkan berkas sebagian kasus ke KKR dan sebagian lagi ke Kejaksaan Agung," tutur Zoemrotin.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR Akil Mochtar, seperti dikutip Harian Suara Pembaharuan (7/9), berpendapat sebaliknya. Merujuk Pasal 29 Ayat (3) UU KKR dan bagian penjelasan UU tersebut dia berpendapat, KKR-lah pintu pertama penyelidikan. Kalau pelaku tidak mengakui perbuatannya, dia bisa diajukan ke Pengadilan HAM. Demikian juga kalau presiden menolak memberikan amnesti. Kasusnya kemudian bisa di bawa ke pengadilan.

Pasal 29 Ayat (3) UU KKR menyebutkan: Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya, serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc.

Bagian penjelasan UU KKR menyebutkan: Apabila permohonan amnesti beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban harus diberikan kompensasi dan atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, maka kompensasi dan atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Untuk menghindari silang pendapat ini, baik Zoemrotin maupun Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim mengusulkan adanya kesepakatan bersama antara KKR dan Komnas HAM. Bedanya, kalau Zoemrotin menghendaki kesepakatan tersebut dibuat di awal

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 12

terbentuknya KKR, Ifdhal memilih kesepakatan dibuat bila terjadi sengketa antara kedua lembaga tersebut.

TERTUTUPKAH peluang sengketa antara KKR dan Komnas HAM bila kesepakatan tersebut dibuat? Ifdhal mengakui, "tidak ada jaminan". Lebih-lebih bila melihat resistensi militer terhadap pengadilan HAM. "Sepengamatan saya, hanya sekali tidak terjadi pembangkangan militer terhadap usaha pengadilan HAM, yaitu di awal penyelidikan Kasus Timor Timur," ujarnya.

Ia berpendapat, penyelesaian kasus yang diduga sarat dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu-baik lewat rekonsiliasi maupun pengadilan HAM Ad Hoc-tergantung dari tiga hal. Pertama, komitmen politik presiden. Kedua, tingkat tekanan internasional, dan terakhir, perhatian publik dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Hubungan KKR dan Komnas HAM akan bersinergi atau justru saling meniadakan pun tergantung dari ketiga hal tersebut. Itu bedanya kisah rekonsiliasi di Afsel, Argentina, atau Korea Selatan dengan di Indonesia. (WINDORO ADI)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 13

Kompas, Selasa 12 Oktober 2004 Seberapa Harus Mengingat dan Seberapa Boleh Melupakan?

Judul buku: Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan; Suara Korban Tragedi Priok Editor: Subhan SD dan FX Rudy Gunawan Penerbit: Gagas Media dan Kontras Cetakan: I, tahun 2004 Tebal: 195 + x + dua lembar berisi foto (tak berhalaman)

ITULAH pertanyaan yang mengemuka ketika lembar demi lembar buku yang ditulis oleh para korban Tragedi Tanjung Priok pada malam tanggal 12 September 1984 dan sesudahnya.

PENGALAMAN penderitaan dan luka batin 14 korban dan keluarga korban Tragedi Tanjung Priok itu ditulis dengan bahasa sederhana. Para editornya tampaknya membiarkan tulisan itu mengalir apa adanya, tanpa perubahan, sehingga otentisitasnya menjadi lebih kental.

Pemilihan warna hitam putih dengan foto jari tangan yang menutup wajah, jenis kertas yang digunakan (kertas koran), serta judul Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan yang ditulis dalam huruf tak beraturan membuat desain sampul buku ini terasa kental dengan simbol penderitaan dan perjuangan memaparkan kebenaran dari sisi korban. Penuturan para korban tentang detail kekejian yang dilakukan orang-orang berseragam membuat orang dengan mudah membayangkan malam yang beku, di mana nurani mati dan manusia menjadi sekutu iblis, ketika senjata dikokang dan korbannya adalah sesamanya: sesama ciptaan Sang Khalik.

Ingatan akan penderitaan itu tampaknya terpaku dalam ingatan mereka. "Seperti melihat video yang gambarnya jelas sekali," ujar Husain Safe, yang ditemui saat peluncuran buku itu. Ketika ditanya perasaannya saat menuliskan kesaksiannya, Husain Safe mengatakan, "Saya tidak marah, apalagi dendam. Tetapi saya menginginkan keadilan."

Keinginan itu cukup adil mengingat pengalaman penderitaan yang luar biasa. Saat diciduk mereka dipaksa berjalan dengan mata ditutup kain. Mereka disiksa selama berjam-jam sebelum kemudian ditahan. Interogasi disertai siksaan berjalan berhari-hari, dan bertahun-tahun mereka hidup dalam ketakutan. Mereka tak punya daya untuk mengutarakan kebenaran sehingga dipenjara tanpa peradilan.

Penuturan Syaiful Hadi (hal 30) memperlihatkan betapa dahsyatnya stigmatisasi PKI (dan GPK). Tidak ada bedanya antara dosa "ekstrem kiri" atau "ekstrem kanan"; pokoknya keduanya dianggap PKI dan GPK. Setiap kali ia mengucapkan kalimat takbir saat penyiksaan pada malam tanggal 12 September 1984 itu, para pelaku melontarkan ejekan dan membentak. "Di sini tidak ada Tuhan!"

BUKU ini, menyusul banyak buku lain yang ditulis oleh para korban kekerasan politik, merupakan kesaksian atau kumpulan kesaksian. Dalam sejarah pergerakan perempuan di Amerika Latin, kesaksian atau testimoni merupakan metode untuk menciptakan pemahaman publik mengenai identitas dan masyarakat. Dalam testimoni orang dapat melihat pengalaman yang paralel sehingga perbedaan-perbedaan yang dikonstruksikan secara sosial (dan politik) menjadi tidak penting.

Ketika mengungkapkan pengalaman penderitaan mereka dalam tulisan-tulisan itu, sebenarnya korban sedang memecahkan kebisuan dan mendefinisikan diri mereka sendiri dengan merebut ruang publik yang selama puluhan tahun didominasi oleh kebenaran oleh pihak yang berkuasa. Buku ini memberikan gambaran kebenaran dari sisi korban berdasarkan pengalaman penderitaan mereka.

Tragedi Tanjung Priok boleh dimasukkan ke dalam deretan peristiwa-peristiwa keji yang terjadi di negeri ini. Sayangnya peristiwa itu bukanlah yang terakhir. Terbatasnya kemampuan hukum memupus harapan dan komitmen individu-individu dalam kelompok yang merindukan keadilan, sekaligus menyebabkan degradasi kehidupan manusia secara umum. Seluruh peristiwa kekejian berkaitan dengan politik dan negara senantiasa menyebabkan luka dan rasa sakit yang kompleks dalam masyarakat, khususnya mereka yang terlibat langsung sebagai korban.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 14

Dalam masa transisi, masyarakat berjuang untuk mengungkap sejarah hitam kehidupan mereka sebagai bangsa serta melakukan serangkaian upaya untuk menyelesaikan persoalan yang tertinggal. Kemudian mulai dipikirkan bagaimana bersikap pada pelaku, bentuk hukumannya, bagaimana menyembuhkan luka-luka batin korban, serta bagaimana mekanisme maaf dan reparasi dijalankan. Inilah yang sebenarnya diharapkan memberikan rasa keadilan bagi korban melalui RUU KKR.

Berbagai alternatif dilakukan di Argentina, Cile, Rwanda, Afrika Selatan, Jerman, dan Swiss. Banyak bangsa kemudian membangun tanda peringatan dalam bentuk monumen politik dan menentukan tanggal-tanggal khusus untuk mengenang sejarah pahit bangsa. Berbagai alternatif itu akan berbagi satu masa depan.

Ingatan akan masa lalu penting untuk membangun masa depan yang manusiawi, adil, dan sejahtera. Novelis Milan Kundera dalam The Books of Laughter and Forgetting (1978) mengatakan, perjuangan melawan totalitarianisme adalah perjuangan melawan pelupaan. Dengan demikian, ingatan amat penting dalam sejarah perjalanan suatu bangsa. Ia merupakan locus politik karena bagian-bagian yang kotor dari masa lalu senantiasa akan digunakan dalam perseteruan politik.

Persoalannya, sekali lagi, seberapa boleh mengingat dan seberapa boleh melupakan karena terlalu banyak ingatan pada masa lalu akan memenjarakan, sementara pelupaan berpotensi menyebabkan peristiwa keji itu terulang lagi.

Barangkali yang terbaik adalah menemukan jarak antara terlalu banyak ingatan (pada masa lalu) dan terlalu banyak melupakan (masa lalu); antara membalas dan memaafkan. Hukuman dan pemaafan senantiasa berhubungan. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan, "Kita tidak dapat memaafkan apa yang tidak bisa dihukum dan tidak bisa menghukum sesuatu yang tidak bisa dimaafkan."

Dengan memaafkan, menurut Prof Martha Minow dari Harvard Law School, seseorang terhindar dari dampak penghancuran diri karena terlalu lama menanggung beban kesakitan dan dendam sebagai korban. Dalam bukunya Between Vengeance and Forgiveness (1978) ia menulis, tindakan memaafkan diyakini akan menyembuhkan luka dan mengurangi nestapa, membangun sesuatu yang baru, yang lebih konstruktif dan memotong siklus kekerasan.

DALAM teori, memaafkan seharusnya tidak mengambil alih keadilan atau penghukuman. Namun pada praktiknya, pemaafan acapkali membebaskan pelaku dari ancaman hukuman, khususnya ketika lembaga-lembaga pemerintah mengadopsi sikap memaafkan berupa amnesti atau maaf yang mendahului proses pengadilan. Pelupaan yang dilembagakan itu mengorbankan keadilan dan upaya untuk mengubah keadaan.

Menurut Minow, tidak ada satu tanggapan atau penyelesaian pun yang setara terhadap apa yang dialami korban dan keluarganya. Seperti ditulis oleh Laurence L Langer dalam Admitting the Holocaust (1995), "the logic of law will never make sense of illogic of genocide". Untuk korban pelanggaran berat HAM dan atau keluarganya, hampir tidak ada tindakan yang memadai dapat mengompensasi peristiwa yang mereka alami.

Ilmuwan Dr Karlina Supelli (2001) menyatakan, pengajuan pelaku pejahatan ke pengadilan tak hanya berlandaskan kejahatan terhadap korban secara individu, tetapi karena tindakannya itu telah mengancam kemanusiaan secara umum. Dengan demikian, penghukuman itu bukan merupakan pembalasan.

Lalu bagaimana masa lalu yang pahit dapat dilupakan sekaligus senantiasa berada dalam ingatan individu, masyarakat, dan suatu bangsa?

Penulis naskah drama Death and the Maiden, Ariel Dorfman, menulis, "Bagaimana kami bisa menyimpan masa lalu tanpa harus terpenjara di dalamnya? Bagaimana kami melupakan tanpa menanggung risiko pengulangan di masa depan?"

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 15

Tindakan mengingat dan melupakan tidak hanya berkaitan dengan persoalan masa lalu. Bagaimana suatu bangsa dan individu memperlakukan masa lalu dengan mengingat dan melupakan, akan secara krusial membentuk masa kini dan masa depan masyarakat secara keseluruhan.

Buku mereka bilang di sini tidak ada Tuhan adalah salah satu bagian dari upaya itu; ia seharusnya dibaca oleh kalangan luas. (maria hartiningsih)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 16

Kompas, Selasa 12 Oktober 2004 Mencipta Beragam Narasi Tragedi 1965

TRAGEDI 1965 perlu dilihat sebagai konsekuensi permusuhan komunisme dengan Islam sejak 1948. Tahun 1965/1966 kelompok Islam bersekutu dengan Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya karena jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan).

PERSIAPAN menyongsong Pemilu 1955 memperuncing keadaan. Fatwa komunisme identik dengan ateisme dikeluarkan Masyumi akhir 1954 di Surabaya. Sebelumnya, Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis di Jawa Barat (Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, 2004).

Tahun 1960-an kekuasaan terpusat pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat, dan Soekarno di puncak piramida. PKI kian di atas angin. Kiprah politik mereka dilukiskan Arbi Sanit dalam buku Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (2000). Konflik budaya tampak pada buku DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (1995). Sementara "aksi sepihak" diuraikan Aminuddin Kasdi (Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, 2001), Soegianto Padmo (Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, 2000), dan Fadjar Pratikto (Gerakan Rakyat Kelaparan di Gunung Kidul, 2000).

Pada akhir era demokrasi terpimpin, ada upaya menulis sejarah dari perspektif kiri. Untuk mengantisipasi ini, tahun 1964 AH Nasution membentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata, cikal bakal Pusat Sejarah ABRI.

Pada 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Sejak 1 Oktober 1965, Yoga Soegomo sudah yakin ini pemberontakan PKI. Menurut hemat saya, tragedi 1965 merupakan trilogi: saat G30S, pasca-G30S di mana terjadi pembantaian setengah juta jiwa, dan pembuangan ke Pulau Buru (1969-1979). Mengenai peristiwa G30S hanya versi tunggal yang diajarkan sekolah. Buku-buku lain dilarang, seperti terbitan ISAI, Bayang-Bayang PKI (1995). Selain PKI dan "Biro Chusus", dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dan lain-lain), serta Soekarno dan Soeharto (disebut sebagai kudeta merangkak).

Buku-buku terlarang itu beredar pasca-Soeharto, seperti Cornell Paper (Ben Anderson dkk). Selain disertasi Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, juga terbit suntingan Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa/Bali 1965/1966. Tentang Pulau Buru selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer, terdapat beberapa kesaksian, yang terakhir adalah Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan.

Selain melalui pendidikan-dengan Buku Putih dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto-untuk legitimasi kekuasaan, militer juga memanfaatkan monumen dan museum seperti diungkap disertasi Kate McGregor, Universitas Melbourne, 2002. Tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto seperti ditulis Budi Irawanto, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (1999).

Sejarah korban

Sebelumnya, sejarah ditulis dari sudut penguasa. Kini muncul tulisan dari perspektif korban. Dalam hal ini sejarah lisan sangat berperan karena membuat korban bersuara. Dua buku paling menonjol adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965, dan Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965.

Buku pertama sangat monumental, 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Maka terungkaplah pola penangkapan/pembantaian setelah 1 Oktober 1965. Seluruhnya melanggar hukum, tidak satu pun dilengkapi surat perintah resmi. Tidak terbayang derita batin para korban. Perempuan mendadak jadi kepala keluarga dan tak luput dari pemerkosaan bergilir. Puluhan sketsa menggambarkan siksaan sadis di penjara.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 17

Buku kedua sangat menyentuh perasaan. Kehancuran keluarga menimpa hampir semua korban. Selain itu, ada buku tipis, Usaha untuk Tetap Mengenang, Kisah-kisah Anak- anak Korban Peristiwa 65. Tema ini juga menjadi bahan skripsi di Universitas Indonesia (Toeti Kakiailatu, 1984), Universitas Gadjah Mada (Sriwahyuntari, Kromo Kiwo, 2004), dan Universitas Diponegoro (Triyana, Kasus Pembantaian Massal PKI di Grobogan, 2004).

Karya pengarang kiri banyak beredar, antara lain diterbitkan Pustaka Jaya. Ratna Sarumpaet mementaskan drama Anak Kegelapan, dilengkapi dengan VCD. Berita terbaru, Leontin Dewangga, kumpulan cerpen Martin Aleida-sebagian tentang derita korban 1965-menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa 2004 pada 1 Oktober 2004.

Komunisme dan Islam

Disertasi Budiawan di National University of Singapore diterbitkan dengan judul Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Rekonsiliasi lebih mudah apabila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dan lain-lain) dan sebaliknya kalangan Islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dan seterusnya). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka. Budiawan sengaja mengulas dua memoar tokoh Islam kiri, Hasan Raid (Pergulatan Muslim Komunis) dan Haji Ahmadi Mustahal (Dari Gontor ke Pulau Buru). Sebelumnya telah terbit dua skripsi tentang tokoh Digulis Haji Misbach serta pemberontakan Komunis-Islam di Banten karya Michael Williams dan di Silungkang karya Mestika Zed.

Peristiwa Kanigoro, Kediri, dikisahkan dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI (1999). Tidak ada yang terbunuh dalam kasus ini, demikian pula tidak ada Al Quran yang diinjak seperti rekayasa Museum Pengkhianatan PKI yang diresmikan Soeharto tahun 1990. Tahun 1996 terbit buku Agus Sunyoto dan kawan-kawan, Banser Berjihad Menumpas PKI. Akbar Tandjung mensponsori penerbitan buku Fath Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah (1997).

Wacana rekonsiliasi dengan korban 1965 yang dilontarkan Abdurrahman Wahid (Gus Du) disambut hangat kelompok muda Syarikat yang melakukan rekonsiliasi tingkat akar rumput antara anggota Banser Nahdlatul Ulama (NU) dan korban PKI di seantero Pulau Jawa. Chandra Aprianto menulis artikel Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur. Beberapa buku diterbitkan Syarikat, juga buletin Ruas. Buku terakhir mereka berjudul Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora. Kelompok muda NU yang lain, Desantara, menerbitkan Syir’ah yang dianggap menyaingi majalah Sabili. Sementara kelompok penerbit muda NU, LKiS, menerbitkan buku Kasiyanto Kasemin, Analisis Wacana Pencabutan TAP/MPRS/XXV/1966.

Terjadi kesenjangan besar antara NU dan Muhammadiyah. Dari kalangan terakhir jarang terdengar nada rekonsiliasi. Padahal, Kokam Muhammadiyah juga terlibat dalam pembantaian 1965. Ini berdasarkan keputusan Muhammadiyah di Jakarta, 9-11 November 1965, bahwa jihad melawan PKI adalah ibadah, bukan sunah, melainkan wajib ain (Hasan Ambary, 2001: halaman 14).

Tidak merata sikap elite NU terhadap rekonsiliasi. Gus Dur paling mendukung. Mereka yang keras menolak adalah Jusuf Hasyim. Salahuddin Wahid setuju kebijakan diskriminatif terhadap keluarga kiri dihapus, sedangkan Hasyim Muzadi agak ambivalen dengan menyatakan, "rehabilitasi terhadap orang PKI harus dilakukan secara bertahap. Jika orang PKI itu terlampau banyak direhabilitasi, dengan adanya kemiskinan massal bukan tidak mungkin mereka mengeksploitasi kemiskinan massal itu untuk menghidupkan kembali komunisme".

Yang baru dan akan terbit

Presiden Megawati Soekarnoputri meminta Mendiknas untuk membuat buku tentang 1965 yang selanjutnya menunjuk Taufik Abdullah dengan beranggotakan 25 penulis. Bab yang dibahas: kronologi G30S, refleksi tentang peralihan kekuasaan, serta bibliografi 1965. Malam penculikan para jenderal 30 September 1965 konon dijuluki "Malam Jahanam". Dalam kronologi disebutkan Letkol Heru Atmodjo

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 18

menjemput Aidit dari rumahnya ke Halim Perdanakusuma pukul sepuluh malam. Hal ini bertentangan dengan kesaksian Heru Atmodjo yang bakal terbit dalam bentuk buku.

Penyair Taufiq Ismail terus berteriak tentang "bahaya laten komunisme" dengan meluncurkan buku Katastrofi Dunia, mengenai empat bahaya yang mengancam dunia: marxisma, leninisma, stalinisma, maoisma, dan narkoba. Buku lainnya yang layak dibaca karya Kerstin Beise yang komprehensif, Apakah Soekarno Terlibat G30S? Kesaksian tentang penjara khusus perempuan tahanan politik 1965 di Plantungan, Kendal, pun sudah ditulis.

Yang tak kalah menarik, buku John Roosa akan terbit di Michigan University Press, berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’Etat in Indonesia. Analisis dokumen Supardjo dan wawancara mendalam dengan elite PKI dilakukan Dr John Roosa untuk menguak tabir G30S. Keanehan dekrit kedua Untung tentang Dewan Revolusi dijelaskan dalam buku ini, juga disebutkan pengetik dokumen itu.

Akhirnya pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) diharapkan membantu meluruskan sejarah dengan menginvestigasi peristiwa Madiun 1948 dan pembantaian 1965. Semua ini merupakan upaya menciptakan beragam narasi tentang tragedi 1965 dan dengan harapan dapat bermuara kepada rekonsiliasi. Percayalah bahwa meluruskan sejarah tidak merusak akidah.

Asvi Warman Adam Sejarawan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 19

Majalah Tempo, No. 34/XXXIV/18 - 24 Oktober 2004 Hukum Dua Komisi, Satu Tumpang Tindih Komnas HAM khawatir penyelidikan pelanggaran HAM berat terganjal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Padahal, kewenangan dua lembaga itu sama besarnya.

Lama tak terdengar lagi gebrakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kini lembaga yang dibentuk pada 1993 itu sedang merancang sebuah kerja besar. Mereka sudah menyusun dua tim yang segera memulai penyelidikan mengenai pelanggaran HAM berat. Tim pertama bertugas menelisik kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh saat wilayah itu dinyatakan sebagai daerah darurat militer. Sedangkan tim kedua akan menyelidiki, antara lain, penculikan aktivis mahasiswa di seputar menjelang ambruknya rezim Orde Baru pada 1998.

Di tengah persiapan kerja besar itu, kegamangan muncul dari komisi yang berkantor di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, itu. Ini berkaitan dengan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). "Jika tidak diatur, akan terjadi duplikasi pengusutan peristiwa," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin, Rabu pekan lalu, kepada Tempo. Menurut Zoemrotin, pihaknya sejak dini mengingatkan kemungkinan tumpang tindih kewenangan dengan Komisi Kebenaran. "Ini pekerjaan penyelidikan, membutuhkan energi besar," katanya.

Komisi kebenaran adalah komisi yang akan bergerak di bawah payung UU KKR. Pada awal September lalu, setelah pembahasan selama 13 bulan, sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU KKR—terdiri 10 bab dan 46 pasal—menjadi undang-undang. Menurut UU itu, pembentukan Komisi Kebenaran adalah untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 di luar pengadilan. "Pengungkapan kebenaran dilakukan berdasarkan fakta dan peristiwa. Kebenaran kan tidak selalu berakhir di pengadilan," ujar M. Akil Mochtar, bekas Ketua Panitia Khusus RUU tersebut.

Seperti halnya Komnas HAM, wewenang Komisi Kebenaran juga besar. Mereka berwenang melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas semua peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran HAM berat. Mereka, misalnya, boleh memanggil semua orang yang terkait dengan kasus yang diselidiki atau meminta dokumen dari instansi sipil dan militer guna kepentingan penyelidikan.

Justru di sinilah pokok soalnya. Karena Komnas HAM maupun Komisi Kebenaran sama-sama berwenang melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat, tumpang tindih antara kedua lembaga itu sangat mungkin terjadi. Bukan hanya tumpang tindih, kedua lembaga itu bahkan bisa "saling mementahkan" hasil penyelidikan. "Kerja Komnas HAM bisa tidak produktif, pelaku pelanggaran HAM bisa lolos dari hukuman," ujar Zoemrotin. Ia memberi contoh, bisa saja demi rekonsiliasi, para pelanggar HAM lolos dari jerat hukum, meskipun bukti-bukti cukup untuk mengajukan mereka ke meja hijau.

Sejak awal, penyelesaian yang mengkhawatirkan lewat Komisi Kebenaran memang sudah dicurigai sejumlah pihak. Pihak yang keberatan melihat bahwa Komisi Kebenaran bakal rawan intervensi bahkan cenderung berpihak pada pelaku pelanggaran HAM. Jika itu terjadi, para pelanggar HAM sangat mungkin lolos dari jerat hukum. Soalnya, menurut Pasal 43 UU Komisi Kebenaran, semua pelanggaran HAM yang kasusnya sudah diselesaikan Komisi Kebenaran tidak bisa diajukan lagi ke Pengadilan HAM. "Ini kan tidak berpihak pada korban," kata Supardi Atmo, salah satu korban peristiwa 1965 yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru.

Komnas HAM sebetulnya sudah mengajukan sejumlah usulan agar pekerjaan mereka tidak saling sikut dengan tugas Komisi Kebenaran. Salah satu usulan mereka adalah agar dalam suatu kasus pelanggaran HAM, pintu masuk pertama untuk penyelidikan hanya di tangan Komnas HAM. Dengan mekanisme ini, tak akan terjadi pengusutan ganda oleh dua lembaga terhadap satu peristiwa. Selain itu, semua kasus yang sudah menjadi agenda Komnas HAM tidak lagi ditangani Komisi Kebenaran. Menurut Zoemrotin, Komisi Kebenaran sebaiknya berkonsentrasi kepada kasus yang belum dipegang Komnas HAM. "Dengan waktu yang relatif pendek, lima tahun, lebih baik Komisi Kebenaran fokus menyelidiki suatu kasus sampai tuntas," ujarnya.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 20

Usul pembagian wewenang juga datang dari sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. Agar efektif dan tidak tumpang tindih, Asvi menyarankan Komisi Kebenaran mengambil kasus-kasus yang saksi atau pembuktiannya diduga sulit. "Kasus pembantaian pada 1965, misalnya, bisa diselesaikan Komisi Kebenaran," kata dia. Adapun kasus pelanggaran HAM di Pulau Buru, yang tempat, korban, dan pelakunya jelas, menjadi porsi Komnas HAM. "Badan pelaksana di Pulau Buru itu di bawah kendali Jaksa Agung. Jaksa Agung di bawah Kopkamtib yang ada di bawah presiden. Urusannya jelas, ada presiden dan ada Jaksa Agung," katanya.

Pendapat berbeda datang dari Direktur Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdal Kasim. Menurut Ifdal, ketakutan terjadinya tumpang tindih penyelidikan terlalu berlebihan. Sebetulnya, kata Ifdal, Komisi Kebenaran tidak akan melakukan penyelidikan proyustisia, penyelidikan untuk mencari tanggung jawab pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang. "Yang dicari: bagaimana kejahatan yang disembunyikan rezim, misalnya dalam rentang 20 tahun. Pelanggaran HAM bukan hanya pertanggungjawaban individu, tapi sistem dan rezim," ujarnya.

Kendati demikian, Ifdal mengakui hadirnya Komisi Kebenaran bisa memancing masalah, karena UU tentang Komisi Kebenaran belum sempurna. Salah satunya tentang penyelidikan yang menyebut harus mengacu ke undang-undang. "Ini akan diinterpretasikan mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal komisi ini dihadirkan untuk mengatasi kelemahan hukum pembuktian yang formal itu," ujarnya. Karena itu, Ifdal menyarankan ada baiknya UU Komisi Kebenaran direvisi dulu. "Karena UU ini juga merupakan hasil tarik-menarik kekuatan politik yang tentu saja ada resistensi dari kekuatan politik di masa lalu," katanya.

L.R. Baskoro, Poernomo

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 21

Kompas, Kamis, 18 November 2004 Pemerintah Gagal Rekonsiliasikan Poso Oleh Arianto Sangaji

SUSILO Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dua nama yang pernah terkait erat dengan pemulihan keamanan dan rekonsiliasi Poso kini menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Namun, ketegangan etno-religi terus terjadi di Sulawesi Tengah sejalan naiknya mereka ke kekuasaan.

Di Poso, ada penembakan misterius, pembunuhan misterius, dan pemboman misterius. Di Sidondo, sebuah desa di Kabupaten Donggala, paling tidak empat nyawa sudah melayang dalam masa hampir satu tahun terakhir. Di Morowali, kabupaten yang dimekarkan dari Poso tahun 1999, ketegangan antarkelompok semakin memanas. karena perebutan ibukota kabupaten. Ringkas cerita, ketegangan sejenis hampir terjadi di semua wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, jika melihat berbagai kasus lain di luar tiga tempat itu.

Selama ini sebagian masyarakat melihat kekerasan Poso sebagai manifestasi konflik etno-religi. Kekerasan yang berlangsung hampir enam tahun telah menanamkan saling curiga antaranggota masyarakat dengan latar belakang etnik dan agama berbeda. Bagaimana pun, merujuk identitas korban, masyarakat lalu memercayainya sebagai konflik etno-religi.

Kegagalan pemerintah

Berlarut-larutnya kekerasan di Poso bersumber dari kegagalan pemerintah. Pertama, kegagalan memberi perlindungan keamanan kepada warga, terutama ditandai membiarkan pertumbuhan kelompok-kelompok bersenjata non-negara (non-state armed groups) di Poso. Kelompok-kelompok ini terlatih dan tergorganisir menggunakan kekerasan bersenjata sebagai metode. Ironisnya, pemerintah sama sekali tidak memiliki kebijakan keamanan tentang kelompok ini sehingga menyuburkan pertumbuhannya.

Kegagalan pemerintahn juga terlihat dari luasnya penyebaran gelap senjata api dan amunisi di daerah ini. Sama sekali tidak ada usaha untuk memangkas sumber pasokan senjata api dan amunisi. Juga tidak mencegah penyalahgunaan senjata oleh aktor non-negara. Diketahui, berbagai jenis senjata serbu (assault rifles) seperti M-16, AK-47, SS-1, dan berbagai senjata laras pendek, serta amunisi buatan PT Pindad menyebar di daerah ini.

Padahal, enam tahun terakhir pengiriman pasukan keamanan ke Poso meningkat tajam. Ditandai berulang-ulangnya pengerahan pasukan non-organik TNI dan Polri, penempatan pasukan organik baru (TNI AD dan Brimob), hingga pemekaran dan rencana pemekaran komando teritorial (TNI AD) dan institusi setingkat untuk Polri (Kepolisian Resor) yang baru. Artinya, sama sekali tidak ada korelasi antara pengerahan pasukan dan peredaan kekerasan.

Kedua, ketidakjelasan konsep tentang rekonsiliasi. Kecenderungan ini sudah mulai terlihat sejak inisiatif Pertemuan Malino Desember 2001. Dalam pertemuan itu, komunitas Islam dan Kristen menjadi obyek rekonsiliasi, sementara posisi pemerintah adalah mediator atau fasilitator. Artinya, kedua komunitas adalah pembuat masalah, dan pemerintah adalah pihak di luarnya.

Ini jelas mendistorsi fakta tentang kekerasan Poso. Banyak bukti menunjukkan, eskalasi kekerasan sebenarnya terkait langsung dengan institusi negara. Pembiaran kekerasan oleh aparat keamanan, penyebaran senjata api dan amunisi, serta keterlibatan langsung sejumlah aparat keamanan dalam kekerasan membuktikan, kekerasan di sana tidak (sepenuhnya) bersumber dari masyarakat.

Ketidakjelasan rekonsiliasi itu menyebabkan pendekatan penyelesaian Poso nyaris gagal. Pengiriman pasukan keamanan sama sekali tidak mampu mengakhiri kekerasan. Pembentukan kelompok kerja Deklarasi Malino (Pokja Deklama) yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat setempat hampir tidak efektif bekerja, karena tidak menyentuh kepentingan kelompok korban dan cenderung project driven. Proyek-proyek pemulihan dan rehabilitasi tidak mampu menarik pengungsi kembali ke kampung halaman seperti semula.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 22

Berkaca pada hal itu, pemerintah harus menyatakan secara jujur dan terbuka, dirinya telah gagal mencegah kekerasan dan memulihkan keadaan di Poso, Kompensasinya, pemerintah wajib memulihkan hak-hak penduduk di Poso, merehabilitasi semua kerusakan (fisik dan mental), mengompensasi semua kerugian dan menjamin tidak akan terulangnya kekerasan di sana.

Komisi Kebenaran

Pemerintah SBY dan JK harus menyusun langkah baru untuk penanganan Poso. Langkah mendasar adalah membaca ulang kekerasan Poso dengan kacamata baru. Yakni, tidak menyederhanakan kekerasan di sana sebagai problem antarkomunitas, tetap memahaminya sebagai problem politik yang kompleks. Di mana kekerasan sebenarnya terkait kepentingan (politik dan ekonomi) aktor-aktor tertentu dalam tubuh negara. Selama ini, perbincangan resmi tentang kekerasan Poso tidak pernah menyentuh hal ini. Tentu, karena kendala politik dibanding alasan teknis.

Untuk itu, pemerintah perlu membentuk semacam komisi independen tentang kebenaran di Poso. Kewenangan komisi ini adalah mengumpulkan fakta tentang kekerasan dan melihat tali-temalinya dengan para aktor negara. Dengan dmeikian, komisi ini punya kewenangan menginvestigasi institusi-institusi pemerintah yang berhubungan dengan kekerasan di sana. Komisi ini akan membuat laporan dan rekomendasi yang mengikat pemerintah untuk menindaklanjutinya, baik yang berhubungan dengan penegakan hukum, maupun pengembangan rekonsiliasi.

Dari sisi korban, kehadiran komisi kebenaran amat penting, terutama memenuhi hak mereka untuk mengetahui duduk perkara konflik secara utuh. Mereka harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Poso. Mereka tidak hanya tahu apa yang mereka alami sebagai manifesasi konflik etno-religi, tetapi yang lebih penting adalah "politisasi" atau eksploitasi sentimen sehingga memicu konflik dan melestarikannya.

Mereka juga perlu tahu, mengapa negara gagal meredam kekerasan; mengapa aparat selalu kalah cepat dengan penembak misterius; siapa yang memasok senjata api dan dari mana peluru buatan PRT Pindad beredar begitu luas. Daftar pertanyaan lain dapat dibuat untuk mengungkap seribu misteri. Komisi Kebernaran yang harus menyingkap semua itu.

Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu

Koran Tempo, Senin, 22 November 2004 Dari Abilio Soares ke Rekonsiliasi Todung Mulya Lubis

Ketua Badan Pendiri Imparsial We do indeed have to face the past, for if we do not face the past, it may return. (Desmond Tutu) Putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Abilio Soares dari pelanggaran berat hak asasi manusia tentulah memberikan rasa syukur yang mendalam pada keluarga Abilio Soares. Saya pun ikut merasa lega karena saya tak paham mengapa Abilio Soares yang dijatuhi hukuman, sementara pihak lain, terutama kalangan tentara yang bertanggung jawab di lapangan dalam tragedi hak asasi pascajajak pendapat di Timor Timur, pada dibebaskan. Ada rasa keadilan yang terusik di sini. Seyogianya semua pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur, sesuai dengan kesimpulan penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur, dijatuhi hukuman.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 23

Jadi jangan orang sipil yang justru perannya tak seperti para petinggi tentara yang dijadikan kambing hitam. Apa yang salah dengan proses peradilan pelanggaran hak asasi manusia Timor Timur? Tidak aneh jika Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa bebasnya Abilio Soares, menyusul bebasnya para terdakwa lain yang dituduh melanggar HAM di Timor Timur, telah menimbulkan erosi kepercayaan komunitas internasional akan kredibilitas pengadilan HAM di Indonesia. Seiring dengan itu, beberapa pemerhati HAM khawatir bahwa bebasnya Abilio Soares ini justru akan membuka kembali kasus Timor Timur di forum internasional, yang bukan mustahil akan menghidupkan kembali tuntutan akan perlunya penyidikan dari pihak PBB diadakan. Saya sendiri tidak terlalu yakin hal itu akan terjadi. Sebab, suasana global sekarang ini tak terlalu bersemangat untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Perang melawan terorisme sekarang ini menyita banyak sekali tenaga dan perhatian, sehingga soal pelanggaran HAM menjadi kurang penting. Setidaknya menangnya George Bush dalam pemilihan Presiden Amerika baru-baru ini jelas akan menjadi sandungan bagi pengusutan kasus pelanggaran HAM. Karena itu, pelanggaran HAM di kamp konsentrasi Guantanamo dan penjara Abu Ghuraib, misalnya, tetap akan ditutup kabut hitam. PBB tidak berdaya sama sekali. Dalam kaitan dengan hal ini, saya tak melihat pengusutan kembali kasus pelanggaran HAM di Timor Timur akan diagendakan, apalagi pihak Presiden Timor Timur Xanana Gusmao sendiri tampaknya ingin mengubur masa lalu dan berbaik-baik dengan pemerintah Indonesia. Asas kedaulatan negara melindungi lembaga peradilan dari intervensi internasional, meskipun lembaga peradilan tersebut tidak independen atau tidak memenuhi kriteria yang universal berlaku di tingkat internasional. Hanya, kualitas lembaga peradilan yang "cacat" ini akan dijadikan catatan bahwa ke depan nantinya akan sangat sulit melaksanakan pengadilan pelanggaran HAM di Indonesia. Saya kira tak banyak yang peduli dengan konsekuensi ini karena masa depan tak perlu dipikirkan sekarang: yang penting Indonesia sekarang ini terlepas dari cengkeraman pengadilan internasional yang pasti akan menampar muka negeri ini. Seolah persoalan Indonesia selesai dengan tak mungkinnya pengadilan internasional dibentuk, sehingga rasa malu pemerintah seperti di Yugoslavia dan Rwanda tak perlu terjadi di sini. Sayang, ini semua barulah separuh dari kebenaran karena realitasnya persoalan pelanggaran HAM di Timor Timur tak akan bisa selesai karena dukacita para korban belum jua terobati. Luka yang dalam itu tak akan pernah sembuh. Pemerintah Indonesia tampaknya ingin segera mengakhiri proses peradilan ini dan melangkah ke agenda rekonsiliasi yang dalam waktu dekat akan difasilitasi oleh lembaga baru yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang undang-undangnya baru saja disahkan DPR pada September lalu. Tujuan komisi ini, kalau kita membaca pasal 3, adalah menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Jelas bahwa titik berat komisi ini adalah rekonsiliasi yang akan dilakukan melalui pengungkapan kebenaran (truth telling) dan diikuti dengan proses penyembuhan (healing). Lalu komisi ini akan mempertimbangkan pemberian kompensasi, rehabilitasi, dan amnesti. Di mana keadilan (justice) dalam proses ini? Sebab, menurut komisi serupa yang dibentuk di Guatemala dalam laporannya setebal 3.600 halaman yang berjudul The Memory of Silence, "Reconciliation is impossible without justice." Para korban tak akan ikhlas menerima rekonsiliasi kalau tak ada keadilan, sehingga akhirnya tak akan tercapai rekonsiliasi itu. Terus terang amat sukar buat saya membayangkan rekonsiliasi di Aceh dan Papua tanpa ada keadilan. Sayangnya, komisi yang dijadwalkan akan terbentuk sebelum April 2005 ini telah menegaskan bahwa fokus utamanya adalah mengungkapkan kebenaran dalam rangka mencapai rekonsiliasi nasional. Kewenangan yang cukup luas pada komisi ini mencakup kewenangan melakukan penyidikan, meminta keterangan dan dokumen dari pihak mana pun (discovery), memanggil dan memeriksa (subpoena), serta merekomendasikan rehabilitasi, kompensasi, dan amnesti. Tak ada kewenangan untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan kecuali pelaku pelanggaran HAM itu tak mau mengungkapkan pelanggaran yang dilakukannya dan tak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 24

Seyogianya, dalam kasus pelanggaran berat HAM, yang utama para pelakunya haruslah diseret ke pengadilan dan dihukum. Harus ada yang diproses agar ada proses pembelajaran bagi semua pihak di negeri ini. Sayang, pandangan ini tak dianut oleh pembuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tidak salah jika dikatakan bahwa paradigma yang dibangun adalah sepenuhnya paradigma rekonsiliasi yang lebih cenderung berpihak pada pelaku pelanggaran HAM, bukan paradigma keadilan yang berpihak pada korban pelanggaran HAM. Rekonsiliasi yang sejati adalah penting dan mulia karena ini akan menjadi modal sosial yang berharga untuk menuju masa depan. Dalam konteks ini, pendapat ilmuwan politik Kanbawza Win dari Kanada penting untuk kita simak. Dikatakannya, ada empat elemen penting dari rekonsiliasi, yaitu "no reconciliation without forgiveness, no reconciliation without truth, no reconciliation without justice, and no reconciliation without peace". Lagi-lagi di sini elemen "justice" ditekankan. Saya kira pengalaman di banyak negara membuktikan kepada kita bahwa harga rekonsiliasi itu adalah diberikannya sebagian keadilan kepada para korban. Kalau tidak, rekonsiliasi itu akan dirasakan sebagai pemutihan dosa yang tidak akan membuat jera dan tak pula menghilangkan apa yang disebut sebagai kejahatan tanpa hukuman atau impunity. Latar belakang dilahirkannya komisi ini tampaknya tidak sama dengan yang kita saksikan di Guatemala, Argentina, atau Afrika Selatan, misalnya. Komisi di negara-negara tersebut betul-betul berurusan dengan soal keadilan transisional yang diakibatkan oleh pergantian kekuasaan, umumnya dari yang otoriter ke yang demokratis. Karena itu, mandat yang diberikan kepada komisi itu dipagari dengan time frame yang jelas. Bedanya, komisi yang kita miliki ini praktis berurusan untuk suatu kurun waktu panjang sekali, yaitu kurun waktu sebelum UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dilahirkan. Bayangkan, betapa sulitnya komisi ini bekerja karena banyak peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang sudah terlalu lama jaraknya. Saya kira, meskipun tidak mudah, rentang waktu mandat komisi ini bisa dimulai dari peristiwa 1965, karena memang pada waktu itu kita dihadapkan pada tragedi pelanggaran HAM yang banyak sekali menelan korban orang tak berdosa, korban yang terus menyimpan duka dan amarah. Tapi pendapat yang berkembang justru menginginkan rentang waktu mandat komisi ini dimulai pada tahun pertama kemerdekaan. Kehendak politik ini jelas tidak manageable. Beban yang ditimpakan kepada komisi ini harus dibuat serealistis mungkin agar komisi ini dapat bekerja dan meletakkan dasar bagi tercapainya rekonsiliasi sejati. Hal ini penting karena luka-luka masa silam masih tetap membekas. Pemerintah tak akan mampu merangkul semua dukungan jika luka-luka itu dibiarkan menganga. Jadi arti penting komisi ini adalah untuk masa depan kita semua agar kita bisa melangkah bersama tanpa dibebani pahitnya masa lalu. Anggaplah kita tengah melakukan penyucian diri, suatu katarsis sejarah. Potret sosial politik yang terbelah-belah sekarang ini sebagian adalah buah dari masa lalu kita yang penuh dengan konflik tanpa kita mampu menyelesaikannya. Lihat apa yang terjadi di Poso, Aceh, Papua, Maluku, dan tempat lain. Lihat pula apa yang terjadi dalam tubuh DPR dan elite politik negeri ini. Saya kira tantangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono adalah datang dengan agenda rekonsiliasi yang jelas dan realistis. Sekarang saatnya pemerintah merangkul semua pihak dan kalangan, duduk bersama merajut masa depan. Tapi semua ini harus tetap mengacu pada justice karena masa depan hanya bisa dibangun jika kita mendasarkannya pada justice. Kalau ini kerangka pikir yang dianut, sepatutnya tak ada kontroversi seputar bebasnya Abilio Soares. Abilio tak layak dihukum jika pelanggar HAM lainnya, terutama dari kalangan tentara, tidak dihukum. Proporsionalitas dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di mana pun adalah sesuatu yang mutlak. Jangan main politik kambing hitam. Sebab, bagaimanapun, kasus Abilio harus diletakkan dalam kerangka yang lebih besar dan berdasarkan keadilan. Saya berharap kita semua belajar dalam menangani soal keadilan transisional ini secara bijak dan adil.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 25

Sebab, jika kita gagal, seperti yang dikatakan oleh Desmond Tutu, kita akan kembali dihadapkan pada tragedi pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya. Masa lalu akan kembali.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 26

Tempo No.. 39/XXXIII/22 - 28 November 2004 Kolom Dari Abilio Soares ke Rekonsiliasi Todung Mulya Lubis Ketua Badan Pendiri Imparsial

"We do indeed have to face the past, for if we do not face the past, it may return." —Desmond Tutu

Putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Abilio Soares dari pelanggaran berat hak asasi manusia tentu disambut rasa syukur oleh keluarga Abilio. Saya pun ikut merasa lega karena saya tak paham mengapa ia yang dihukum, sementara pihak-pihak lain, terutama tentara yang bertanggung jawab pada tragedi hak asasi pascajajak pendapat di Timor Timur dibebaskan. Ada rasa keadilan yang terusik. Seyogianya semua pihak yang diduga terlibat pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur berdasarkan kesimpulan penyidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP HAM Timtim) dihukum. Jadi, jangan hanya orang-orang sipil yang justru tak perannya tak sebesar para petinggi tentara yang dijadikan kambing hitam. Apa yang salah dengan proses peradilan pelanggaran hak asasi manusia Timor Timur?

Tidak mengherankan jika Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, bebasnya Abilio Soares menyusul bebasnya para terdakwa lain telah menimbulkan erosi kepercayaan komunitas internasional akan kredibilitas pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Seiring dengan itu, beberapa pemerhati hak asasi manusia khawatir bahwa bebasnya Abilio Soares ini justru akan membuka kembali kasus Timor Timur di forum internasional yang bukan mustahil akan menghidupkan kembali tuntutan perlunya penyidikan dari pihak PBB.

Saya sendiri tidak terlalu yakin hal itu akan terjadi, karena suasana global sekarang ini tak terlalu bersemangat mengusut kasus pelanggaran hak asasi manusia. Perang melawan terorisme sekarang menyita banyak sekali tenaga dan perhatian sehingga soal pelanggaran hak asasi manusia jadi kurang penting. Setidaknya, menangnya George Bush dalam pemilihan Presiden Amerika baru-baru ini jelas akan menjadi sandungan bagi pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, pelanggaran hak asasi manusia di kamp konsentrasi Guantanamo dan penjara Abu Ghuraib, misalnya, tetap akan ditutup kabut hitam. PBB tidak berdaya sama sekali. Dalam kaitan ini, saya tak melihat pengusutan kembali kasus pelanggaran hak asasi manusia Timor Timur akan diagendakan, apalagi Presiden Timor Timur Xanana Gusmao tampaknya ingin mengubur masa lalu dan berbaik-baik dengan pemerintah Indonesia.

Asas kedaulatan negara melindungi lembaga peradilan dari intervensi internasional meskipun lembaga peradilan tersebut tidak independen, atau tidak memenuhi kriteria yang universal berlaku di tingkat internasional. Hanya saja kualitas lembaga peradilan yang "cacat" ini akan menjadi catatan bahwa nanti akan sangat sulit melaksanakan pengadilan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Saya kira tak banyak yang peduli konsekuensi ini karena masa depan tak perlu dipikirkan sekarang: yang penting Indonesia sekarang ini terlepas dari cengkeraman Pengadilan Internasional. Seolah persoalan Indonesia selesai dengan tak mungkinnya Pengadilan Internasional dibentuk sehingga rasa malu pemerintah seperti di Yugoslavia dan Rwanda tak perlu terjadi di sini. Sayang, ini semua barulah separuh dari kebenaran. Faktanya, persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur tak akan bisa selesai karena dukacita para korban belum jua terobati. Luka yang dalam itu tak akan pernah sembuh.

Pemerintah Indonesia tampaknya ingin segera mengakhiri proses peradilan ini dan melangkah ke agenda rekonsiliasi yang dalam akan difasilitasi oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi—undang-undangnya baru saja disahkan DPR pada September yang lalu. Tujuan komisi ini adalah menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Jelas, titik berat Komisi ini adalah rekonsiliasi yang melalui pengungkapan

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 27

kebenaran (truth telling) dan diikuti proses penyembuhan (healing). Lalu Komisi akan mempertimbangkan pemberian kompensasi, rehabilitasi, dan amnesti.

Di mana keadilan (justice) dalam proses ini? Komisi serupa yang dibentuk di Guatemala dalam laporannya setebal 3.600 halaman yang berjudul "The Memory of Silence", "reconciliation is impossible without justice" menunjukkan, para korban tak akan ikhlas menerima rekonsiliasi kalau tak ada keadilan. Hasilnya, rekonsiliasi pun gagal.

Terus terang, amat sukar buat saya membayangkan rekonsiliasi di Aceh dan Papua tanpa ada keadilan. Sayangnya, terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah menegaskan bahwa fokus utama Komisi adalah mengungkapkan kebenaran (truth) dalam rangka mencapai rekonsiliasi nasional. Kewenangan yang cukup luas pada Komisi mencakup kewenangan penyidikan, permintaan keterangan dan dokumen dari pihak mana pun (discovery), memanggil dan memeriksa (subpoena), merekomendasikan rehabilitasi, kompensasi dan amnesti. Tak ada kewenangan untuk menyeret pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan kecuali pelaku pelanggaran hak asasi manusia itu tak mau mengungkapkan pelanggaran yang dilakukannya dan tak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali.

Seyogianya, dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia, yang utama adalah para pelakunya harus diseret ke pengadilan dan dihukum. Harus ada yang diproses agar ada proses pembelajaran bagi semua pihak di negeri ini. Sayang, pandangan ini tak dianut oleh pembuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tidak salah jika dikatakan bahwa paradigma yang dibangun adalah sepenuhnya paradigma rekonsiliasi yang lebih cenderung berpihak kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia, bukan paradigma keadilan yang berpihak pada korban pelanggaran hak asasi manusia.

Rekonsiliasi yang sejati adalah penting dan mulia karena ini akan menjadi social capital yang berharga untuk menuju masa depan. Dalam konteks ini, pendapat ilmuwan politik Kanbawza Win dari Canada menarik untuk disimak. Menurut dia, ada empat elemen penting rekonsiliasi, yaitu "no reconciliation without forgiveness, no reconciliation without truth, no reconciliation without justice, and no reconciliation without peace".

Lagi-lagi, di sini elemen justice ditekankan. Saya kira pengalaman di banyak negara membuktikan kepada kita bahwa harga rekonsiliasi itu adalah diberikannya sebagian keadilan kepada para korban. Kalau tidak, rekonsiliasi akan dirasakan sebagai pemutihan dosa (whitewash) yang tidak akan membuat jera (deterrence) dan tak pula menghilangkan apa yang disebut sebagai kejahatan tanpa hukuman atau impunity.

Latar belakang lahirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tampaknya tidak sama dengan yang kita saksikan di Guatemala, Argentina, atau Afrika Selatan, misalnya. Komisi di negara-negara tersebut betul-betul berurusan dengan soal keadilan transisional (transitional justice) akibat pergantian kekuasaan umumnya dari yang otoriter ke kekuasaan yang demokratis. Karena itu, mandat yang diberikan kepada komisi itu dipagari dengan time frame yang jelas.

Sedangkan di sini, komisi yang kita miliki ini praktis berurusan untuk suatu kurun waktu yang panjang sekali, yaitu kurun waktu sebelum UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dilahirkan. Bayangkan, betapa sulitnya komisi ini bekerja karena banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang sudah terlalu jauh jaraknya. Saya kira, meskipun bukan mudah, rentang waktu mandat Komisi bisa dimulai dari peristiwa 1965, karena memang pada waktu itu kita dihadapkan pada tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang menelan banyak korban tak berdosa. Tetapi pendapat yang berkembang justru menginginkan rentang waktu mandat Komisi dimulai sejak tahun pertama kemerdekaan. Kehendak politik ini jelas tidak manageable.

Beban yang ditimpakan kepada Komisi harus serealistis mungkin agar Komisi dapat bekerja dan meletakkan dasar bagi tercapainya rekonsiliasi sejati. Hal ini penting karena luka-luka masa silam masih tetap membekas. Pemerintah tak akan mampu merangkul semua dukungan jika luka-luka itu dibiarkan menganga. Jadi arti penting komisi ini adalah untuk masa depan kita semua agar kita bisa melangkah bersama tanpa dibebani pahitnya masa lalu. Anggaplah kita tengah melakukan penyucian diri, suatu katarsis sejarah.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 28

Potret sosial politik yang terbelah-belah sekarang ini sebagian adalah buah dari masa lalu kita yang penuh konflik. Lihat apa yang terjadi di Poso, Aceh, Papua, Maluku, dan tempat-tempat lain. Lihat pula apa yang terjadi di DPR dan elite politik negeri ini. Saya kira tantangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono adalah datang dengan agenda rekonsiliasi yang jelas dan realistis.

Sekarang saatnya pemerintah merangkul semua pihak dan kalangan, duduk bersama merajut masa depan. Tapi semua ini harus tetap mengacu kepada justice karena masa depan hanya bisa dibangun jika kita mendasarkannya pada justice.

Kalau ini kerangka pikir yang dianut maka sepatutnya tak ada kontroversi seputar bebasnya Abilio Soares. Abilio tak layak dihukum jika pelanggar hak asasi manusia lainnya terutama dari kalangan tentara tidak dihukum. Proporsionalitas dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di mana pun adalah mutlak. Jangan main politik kambing hitam karena, bagaimanapun, kasus Abilio Soares harus diletakkan dalam kerangka yang lebih besar dan berdasar keadilan.

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 29

Kompas, Kamis 16 Desember 2004 Masalah yang Tidak Selesai Menjadi Sumber Konflik

Jakarta, Kompas - Persoalan yang tidak terselesaikan berpotensi menjadi sumber konflik yang berkepanjangan. Sumber konflik itu akan berbahaya ketika muncul pemicu dan respons masyarakat dalam menanggapinya.

Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Institut Titian Perdamaian Ichsan Malik di Jakarta, Rabu (15/12), saat tampil sebagai pembahas hasil riset tim peneliti konflik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Riset mengenai konflik yang disajikan antara lain meliputi wilayah Maluku Utara, Papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Ia juga menyebutkan, resolusi konflik tidak bisa semata-mata diturunkan oleh negara dengan menempatkan rakyat sebagai pihak yang bersalah.

Seperti yang dinyatakan Sri Yanuarti dari tim peneliti konflik Maluku Utara, kebijakan pemerintah dalam proses rekonsiliasi masih menggunakan pendekatan top-down. Model ini hanya efektif untuk tahap penghentian kekerasan dan rehabilitasi korban. Cara itu masih jauh untuk menciptakan perdamaian.

Selain itu, untuk kasus Maluku Utara, pemerintah tak mampu membuka ruang dialog yang seimbang di antara kelompok yang bertikai sebagai dasar perdamaian yang berkelanjutan. Pilihan dan implementasi kebijakan pemerintah banyak berorientasi pada proyek ketimbang kebutuhan riil dari kelompok masyarakat yang bertikai.

Sementara itu, M Kholifan dari Common Ground menilai, dalam konflik di Papua, selain gerakan prokemerdekaan, persoalan korupsi dan pembalakan liar (illegal logging) menambah kompleks permasalahan. (DIK)

klipin

g ELSA

M

KLP: Wacana KKR Pasca RUU UU KKR 2004 30