apppintb.orgapppintb.org/wp-content/uploads/2018/11/prosiding-semnas-apppi-ntb... · prosiding...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 446
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
ANALISIS KEMAMPUAN SPASIAL SISWA KELAS VII SMPN 1 MALUK MELALUI
AKTIVITAS CUT FOLDING PAPER PADA PEMBELAJARAN
BERKERANGKA KERJA ELPSA
Kanti Warih Ade Indriani
SMPN 4 Taliwang
e-mail: [email protected]
Abstrak: Kurangnya pemanfaatan media visual pada pembelajaran sehingga kemampuan
siswa kurang dalam menginterpretasikan gambar-gambar dalam bentuk visual. Padahal materi
geometri erat kaitannya dengan bentuk bangun dan ruang yang membutuhkan visualisasi secara
konkret bukan hanya sekedar menghafal rumus dan mengerjakan soal-soal. Sehingga hal inilah
yang menyebabkan geometri dinilai materi paling sulit dibuktikan dengan minat siswa yang
kurang dan hasil belajar yang rendah. Dalam pembelajaran berkerangka elpsa terdapat komponen
pictorial yaitu merepresentasikan gambaran materi termasuk didalamnya adalah pemanfaatan dan
penggunaan media. Tujuan penelitian untuk mengetahui kemampuan spasial siswa. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 1
Maluk. Dengan tahapan penelitian adalah memorize, predict, dan check melalui aktivitas cut
folding paper (menggunting kertas terlipat). Hasilnya adalah kemampuan spasial siswa pada
aktivitas pertama memperoleh skor pencapaian berkategori sedang,baik dan baik sekali. Artinya
siswa tidak banyak menemui kesulitan. Sedangkan pada aktivitas kedua skor pencapaian sedang,
rendah dan sangat rendah. Artinya kemampuan spasial siswa SMPN 1 Maluk masih belum
terlatih, disebabkan kurangnya pemanfaatan media dan pembelajaran yang menggunakan
visualisasi objek. Saran penelitian adalah pengoptimalan dalam pemanfaatan media visual pada
pembelajaran geometri
Kata Kunci: Kemampuan Spasial, Aktivitas Cut Folding Paper, ELPSA
PENDAHULUAN
Sesuai kurikulum nasional, matematika merupakan materi wajib yang harus diberikan terutama
pada pendidikan dasar dan menengah. Tetapi berdasarkan fakta yang ada, matematika masih
merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang diminati oleh siswa. Dikarenakan matematika
masih dianggap pelajaran yang membosankan dan sulit. Sesuai yang diungkap (Liberna, 2012),
banyak orang yang menilai bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan tidak mudah dikuasai.
Apalagi ketika menjumpai soal-soal matematika yang sulit, minat siswa kurang dan bahkan
cenderung untuk menghindarinya. Sejalan dengan pendapat Abdurrahman dalam (Surya, 2012)
bahwa dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi
yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih bagi siswa
yang berkesulitan belajar. Oleh sebab itu, berbagai upaya yang dilakukan oleh guru untuk dapat
menciptakan pembelajaran Matematika yang dapat meningkatkan minat siswa. Salah satunya dengan
pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbol,
Application).
Lowrie & Patahuddin dalam (Indriani,2017) menyatakan ELPSA adalah alternatif pilihan
untuk menbantu guru dalam upaya meningkatkan mutu pengajaran di sekolah. Karena
metode/pendekatan yang dipakai dalam ELPSA menggunakan pendekatan cooperative learning
yang lebih jelas dan lebih terperinci . ELPSA merupakan desain pembelajaran yang terdiri dari lima
urutan yaitu komponen E (experience) adalah pengalaman siswa yang dibawa kedalam pembelajaran
dan yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran. Komponen L (language) adalah bahasa
pengantar yang digunakan guru untuk menjembatani pengalaman siswa kedalam materi yang
dipelajari, komponen P (Pictorial) merupakan representasi gambaran materi yang dipelajari baik
berupa table, rumus, pola, diagram, dan lain sebagainya. Ketepatan guru dalam memilih,
mailto:[email protected]
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 447
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
menentukan, dan menggunakan media pembelajaran termasuk implementasi dari komponen
pictorial. Sedangkan komponen berikutnya adalah S (symbol) adalah simbol-simbol atau lambang-
lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka, notasi, tanda bilangan dan sebagainya,
latihan soal dan tugas termasuk kedalam komponen ini. Komponen yang terakhir yaitu A
(application) merupakan penerapan konsep kedalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan
yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya. Pada penelitian ini difokuskan pada komponen pictorial
saja karena berkaitan dengan representasi gambar dalam hal penggunaan visualisasi media melalui
kegiatan cut foldimg paper (menggunting kertas terlipat).
Dari pengamatan dan pengalaman peneliti serta hasil diskusi dengan teman-teman guru di
forum MGMP geometri merupakan materi yang tergolong sulit dibuktikan dengan hasil pencapaian
nilai siswa selalu rendah. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor di antaranya yaitu siswa
cenderung hanya menghafalkan rumus dan kurang memahami konsep secara benar, metode/model
pembelajaran guru yang kurang tepat. Dan atau dikarenakan faktor penyebab lainnya, seperti minat
siswa terhadap matematika dan lain sebagainya. Kurangnya pemanfaatan media visual pada
pembelajaran sehingga kemampuan siswa kurang dalam menginterpretasikan gambar-gambar dalam
bentuk visual. Padahal materi geometri erat kaitannya dengan bentuk bangun dan ruang yang
membutuhkan visualisasi secara konkret bukan hanya sekedar menghafal rumus dan mengerjakan
soal-soal. Sehingga dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan rendahnya
prestasi belajar matematika siswa.
Mengingat akan hal ini visualisasi sangat diperlukan dalam menanamkan konsep pemikiran
geometri karena untuk dapat menyelesaikan masalah dalam geometri dibutuhkan analisis, penalaran
perhitungan dan imajinasi yang tinggi. Kemampuan dalam visualisasi ini merupakan salah satu
bentuk kemampuan spasial. Linn dan Petersen (National Academy of Science, 2006:44) dalam
(susanti,2013) mengelompokkan kemampuan spasial ke dalam tiga kategori yaitu: (1) persepsi
spasial (spatial perception), (2) rotasi mental, dan (3) visualisasi spasial.
Spasial dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti sesuatu yang berkenaan dengan ruang dan
tempat. Sedangkan kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam melakukan
sesuatu. Sehingga kemampuan spasial adalah satu konsep dalam berpikir spasial. (Ristontowi,2013)
menyatakan kemampuan spasial (pandang ruang) yaitu (1) kemampuan untuk mempersepsi yakni
menangkap dan memahami sesuatu melalui panca indra, (2) kemampuan mata khususnya warna dan
ruang, (3) kemampuan untuk mentransformasikan yakni mengalih bentukkan hal yang ditangkap
mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam
pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan, sketsa dan
kolase, untuk mengetahui kemampuan spasial siswa pada penelitian ini, peneliti menggunakan
aktivitas cut folding paper atau menggunting kertas terlipat. Tahap spasial yang digunakan yaitu
yaitu memorize/membayangkan (M), predict/memprekdisikan (P), dan check/mengecek hasilnya
(C). Tahap memorize yaitu siswa membayangkan bentuk visual yang diberikan pada perubahan
bentuk kertas jika digunting, tahap predict yaitu siswa akan memprediksikan bentuk yang terjadi
dengan cara mempresentasikannya kedalam gambar atau sketsa. Sedangkan tahap check adalah
dimana siswa akan mengecek kebenaran prediksinya dengan mempraktekkannya secara langsung.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui kemampuan spasial siswa melalui
aktivitas spatial reasoning pada pembelajaran berkerangka kerja ELPSA dengan pertanyaan
penelitian yaitu: Bagaimanakah kemampuan spasial siswa kelas VII SMPN 1 Maluk melalui
aktivitas cut folding paper pada pembelajaran berkerangka kerja ELPSA?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Dilaksanakan di SMPN 1 Maluk
pada tanggal 22 Mei 2018. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN 1 Maluk berjumlah
24 orang. Jumlah siswa putra 9 orang, dan siswa putri 15 orang. Siswa tersebut sudah mendapatkan
pembelajaran berkerangka kerja ELPSA selama 6 bulan. Data Penelitian diperoleh melalui aktivitas
cut folding paper (menggunting kertas terlipat) dengan tahapan yaitu, aktivitas pertama, siswa
diperlihatkan kertas yang dilipat satu kali jika digunting pada 1 sudut, 2 sudut, 3 sudut, dan 4 sudut.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 448
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kemudian siswa diminta membayangkan apa yang terjadi pada hasil guntingan jika dibuka.
Berikutnya diberikan hasil guntingan berupa bintang dengan 4 sudut, siswa diminta untuk
membayangkan pola guntingan pada kertas terlipat satu kali selanjutnya siswa diminta membuat
pola bebas dan hasil guntingan yang terjadi sesuai pola yang dibuat. Lalu siswa memprediksikan
jawabannya dengan menggambarkan hasil guntingan dikertas. Berikutnya pada aktivitas kedua,
kertas yang dilipat dua kali akan digunting dengan proses yang sama. Kemudian siswa diminta
mengecek jawaban dengan mempraktekkan secara langsung pada kegiatan menggunting kertas.
Instrumen penelitian ini adalah lembar observasi. Pengolahan data dilakukan melalui hasil
jawaban siswa, Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan kategorisasi karakteristik
kemampuan spasial sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Deskripsi kemampuan spasial
dan, penarikan kesimpulan.
Tabel 1. Indikator Kemampuan Spasial
No Indikator Aspek yang Diukur Skor
1 Kemampuan untuk
mempersepsi yakni
menangkap dan
memahami sesuatu
melalui panca indra,
Siswa mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang ditunjukkan
guru
Siswa kurang mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang
ditunjukkan guru
Siswa tidak mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang
ditunjukkan guru
2
1
0
2 Kemampuan mata
khususnya warna dan
ruang
Siswa mampu menggambarkan hasil guntingan
Siswa kurang mampu menggambarkan hasil guntingan
Siswa tidak mampu menggambarkan hasil guntingan
2
1
0
3 Kemampuan untuk
mentransformasikan
yakni mengalih bentukkan
hal yang ditangkap mata
ke dalam bentuk wujud
lain, misalnya
mencermati, merekam,
menginterpretasikan
dalam pikiran lalu
menuangkan rekaman dan
interpretasi tersebut ke
dalam bentuk lukisan,
sketsa dan kolase..
Siswa mampu membuat pola sendiri
Siswa kurang mampu membuat pola sendiri
Siswa tidak mampu membuat pola sendiri
2
1
0
Teknik penilaian
Tidak mampu = 0; kurang mampu = 1; mampu = 2
Metode penilaian
Kategori penilaian
0 19 = Kategori sangat rendah
20 39 = kategori rendah
40 59 = Kategori Sedang
60 79 = Kategori Baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 449
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
80 100= kategori baik sekali
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari analisis data yang dilakukan, pada aktivitas 1 dan 2 yaitu pada kegiatan memotong
kertas dengan 1 lipatan dan 2 lipatan diperoleh hasil pada masing-masing indikator sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Analisis Aktivitas 1 Dan 2 Pada Masing-Masing Indikator
Aktivitas Indikator Kegiatan Skor Pencapaian
Aktivitas 1
Kemampuan persepsi
1 sudut 100
2 sudut 90
3 sudut 75
4 sudut 69
Kemampuan mata
1 sudut 98
2 sudut 56
3 sudut 58
4 sudut 58
Kemampuan
transformasi
pola bintang 71
pola bebas 56
Aktivitas 2
Kemampuan persepsi
1 sudut 69
2 sudut 52
3 sudut 33
4 sudut 42
Kemampuan mata
1 sudut 65
2 sudut 48
3 sudut 31
4 sudut 40
Kemampuan
transformasi
pola bintang 23
pola bebas 27
Dari data yang sudah dianalisis, pada aktivitas 1 dan 2 pada kegiatan memotong kertas
dengan 1 lipatan dan 2 lipatan diperoleh hasil analisis data berdasarkan kemampuan spasial siswa
sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Analisis Data Berdasarkan Kategori Kemampuan Spasial Siswa
Aktivitas Kategori
Sangat rendah Rendah Cukup Baik Baik sekali
Aktivitas 1 0 1 6 10 7
Aktivitas 2 10 4 3 2 5
PEMBAHASAN
A. Hasil analisis aktivitas 1 Berdasarkan hasil analisis aktivitas pertama dilihat pada kemampuan persepsi siswa yaitu
kemampuan siswa dalam menangkap,memahami sesuatu memalui panca indera, diperoleh data
sebagai berikut; pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat satu kali, skor pencapaian
100 yang artinya siswa tidak mengalami kesulitan sama sekali. Pada kegiatan menggunting 2 sudut,
diperoleh skor pencapaian 90 yang artinya kemampuan persepsi siswa sangat baik. Pada kegiatan
menggunting 3 sudut, skor pencapaiannya adalah 75 termasuk kedalam kategori baik.. Pada
kegiatan menggunting 4 sudut, diperoleh skor pencapaian 69. Pada aktivitas ini skor termasuk
kedalam kategori baik. Artinya beberapa siswa masih menemui kesulitan dalam mempersepsikan
bentuk yang diberikan..
Dari analisis data yang didapat ditinjau dari kemampuan mata yaitu tentang ruang dan
warna. Kemampuan ini merupakan kemampuan siswa dalam memprediksikan bentuk dengan cara
menggambarkannya di kertas. Diperoleh data sebagai berikut:
Pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat satu kali skor yang diperoleh adalah
98. Artinya kemampuan siswa termasuk dalam kategori baik sekali. Pada kegiatan menggunting 2
sudut diperoleh skor pencapaian 56. Artinya kemampuan siswa dalam menggambarkan bentuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 450
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
guntingan termasuk kedalam kategori sedang. Pada kegiatan menggunting 3 sudut dan 4 sudut pada
kertas terlipat satu skor pencapaiannya adalah 58. Skor ini termasuk kedalam kategori sedang.
Dari analisis data yang dilihat dari kemampuan transformasi siswa yaitu Kemampuan
mengalih bentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati,
merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke
dalam bentuk lukisan, sketsa dan kolase diperoleh data sebagai berikut:
Pada kegiatan membuat pola guntingan yang menghasilkan potongan berbentukbintang 4
sudut diperoleh skor pencapaian adalah 71. Artinya kemampuan transformasi siswa termasuk
kedalam kategori baik. Pada kegiatan membuat pola bebas serta memprediksikan hasil
guntingannya, skor pencapaiannya adalah 56, artinya kemampuan siswa dalam membuat pola bebas
dan memprekdisikan hasil guntingannya termasuk kedalam kategori sedang.
Hasil analisis aktivitas 2
Berdasarkan analisis aktivitas kedua dilihat dari kemampuan persepsi siswa dalam
menangkap,memahami sesuatu melalui panca indera, diuraikan sebagai berikut:
Pada kegiatan menggunting satu sudut diperoleh skor pencapaian 69, skor ini termasuk kategori
baik. Pada aktivitas selanjutnya yaitu kegiatan menggnting dua sudut diperoleh skor 52, artinya
kemampuan siswa pada kegiatan ini termasuk kategori sedang. Pada kegiatan menggunting tiga
sudut skor pencapaiannya adalah 33, artinya kemampuan siswa dalam memahami kegiatan ini
termasuk kategori rendah. Sedangkan pada kegiatan menggunting empat sudut skor yang dicapai
adalah 42. Skor ini termasuk kategori sedang.
Berdasarkan analisis aktivitas kedua ditinjau dari kemampuan mata dalam ruang dan warna
adalah sebagai berikut:
Pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat dua kali skor pencapaiannya adalah 65 yang
artinya termasuk kedalam kategori baik. Sedangkan skor yang diperoleh pada kegiatan
menggunting dua sudut adalah 48. Artinya kemampuan siswa termasuk dalam kategori sedang.
Pada kegiatan menggunting 3 sudut diperoleh skor pencapaian 31. Artinya kemampuan siswa dalam
menggambarkan bentuk guntingan termasuk kedalam kategori rendah. Pada kegiatan menggunting
4 sudut pada kertas terlipat dua skor pencapaiannya adalah 40 Skor ini termasuk kedalam kategori
sedang. Selanjutnya analisis aktivitas kedua ditinjau dari kemampuan transformasi pada
Kemampuan siswa dalam mengalih bentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud
lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman
dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan, sketsa dan kolase, diperoleh data sebagai berikut:
Pada kegiatan membuat pola guntingan yang menghasilkan potongan berbentuk bintang 4 sudut
diperoleh skor pencapaian 23. Artinya kemampuan transformasi siswa termasuk kedalam kategori
rendah. Pada kegiatan membuat pola bebas serta memprediksikan hasil guntingannya, skor
pencapaiannya adalah 27, artinya kemampuan siswa dalam membuat pola bebas dan
memprekdisikan hasil guntingannya termasuk kedalam kategori rendah. Kedua kegiatan ini
mempunyai skor pencapaian terendah dibandingkan kegiatan lainnya. Artinya rata-rata siswa sangat
kesulitan dalam mentransformasikan bentuk yang abstrak kedalam bentuk konkret atau
menggambarkannya.
B. Hasil analisis kemampuan spasial siswa Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari kemampuan spasial siswa diperoleh data
sebagai berikut:
Pada aktivitas pertama tidak ada siswa yang termasuk kedalam kategori sangat rendah. Sedangkan
pada kategori rendah terdapat 1 orang siswa. Pada kategori sedang diperoleh 6 orang siswa. 10
orang siswa mempunyai kemampuan spasial kategori baik. Dan 7 orang termasuk kedalam kategori
baik sekali. Artinya pada aktivitas pertama ini yaitu menggunting kertas yang terlipat satu kali
sebagian besar siswa sudah mampu memahami aktivitas baik dalam ruang dan
menstransformasikan bentuk.
Sedangkan pada aktivitas kedua yaitu menggunting kertas yang terlipat dua kali, terdapat
data 10 orang siswa termasuk kedalam kategori sangat rendah, 4 orang siswa masuk kedalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 451
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
kategori rendah, 3 orang siwa berkategori sedang, dan 2 orang siswa termasuk kategori baik, serta 5
orang siswa yang masuk kedalam kategori sangat baik. Dilihat dari proporsi jumlah dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar siswa masuk kedalam kategori sedang kebawah, artinya
kemampuan spasial siswa pada kegiatan kedua ini masih rendah. Siswa belum mampu dalam
mempersepsikan ruang ruang atau bentuk yang diterima oleh panca indera dan kemudian
menstransformasikan kedalam bentuk lain pada kertas yang terlipat dua kali.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kemampuan spasial siswa
pada aktivitas pertama yaitu pada kegiatan menggunting kertas yang terlipat satu kali rata-rata skor
pencapaian kemampuan spasial berkategori sedang, baik dan sangat baik. Artinya sebagian besar
siswa mampu mempersepsi dalam menangkap dan memahami ruang melalui panca indra serta
mentransformasikan kedalam bentuk lainnya. Dikarenakan kegiatan ini merupakan kegiatan yang
sederhana sehingga siswa tidak banyak mengalami kesulitan. Tetapi, ketika ditingkatkan
kesulitannya pada aktivitas kedua yaitu menggunting kertas terlipat dua kali siswa banyak
mengalami kesulitan. Dilihat dari skor pencapaian pada indikator kegiatan yang rata-rata termasuk
kedalam kelompok sedang, rendah dan sangat rendah. Artinya kemampuan spasial siswa SMPN 1
Maluk masih belum terlatih, disebabkan kurangnya pemanfaatan media dan pembelajaran yang
menggunakan visualisasi objek. Sesuai dengan penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa di
Indonesia, siswa di sekolah kesulitan dalam belajar matematika khususnya dalam memahami
permasalahan mempresentasikan apa yang ada dalam pikirannya (visual thinking) dan memecahkan
masalah matematika padahal pemecahan masalah matematika merupakan jantung dari matematika
dan visualisasi merupakan inti dari matematika (surya, 2012). Sejalan dengan penelitian
(Indriani,2017) juga memperoleh hasil bahwa komponen pictorial guru matematika di KSB paling
rendah dibandingkan komponen lain pada pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja
ELPSA. pemanfaatan dan penggunaan media pada pembelajaran guru Matematika di kabupaten
Sumbawa Barat belum optimal.
Sebagai rekomendasi dari peneliti dalam mengatasi permasalahan diatas, pentingnya
pengoptimalan dalam pemanfaatan dan penggunaaan media visual pada pembelajaran Matematika
yang berkaitan dengan materi geometri. Harapan peneliti dapat melaksanakan penelitian lanjutan
dengan memberikan perlakuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kemampuan spasial siswa.
Dan semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya sebagai upaya
dalam peningkatan kualitas pembelajaran Matematika khususnya pada materi geometri.
DAFTAR RUJUKAN
Boakes, Norma J. 2011. Origami and Spatial Thinking of College-Age Student. Taylor and Francais
Group,LLC.
Indriani KWAI, (2017). Analisis kualitas perancangan RPP dengan menggunakan kerangka kerja
ELPSA pada focused group discussion di kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Didaktik
Matematika Unsyiah. 4 (1), 25-34
Liberna, Hawa. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui
Penggunaan Metode IMPROVE pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal
Formatif. 2(3): 190-197.
Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015a). ELPSA as a lesson design framework. Journal on
Mathematics Education, 6(2), 1-15.
Ristontowi, R. (2013). Kemampuan Spasial Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia Dengan Media geogebra. In Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
Surya E. (2012). Visual thinking dalam memaksimalkan pembelajaran matematika siswa dapat
membangun karakter bangsa. Jurnal penelitian dan pembelajaran matematika 5 (1), 41-50
Susanti L. (2013). Pembelajaran berbasis origami untuk meningkatkan visualisasi spasial dan
kemampuan geometri siswa SMP. Mathedunesa 2 (2). 1-8
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 452
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tambunan, S. M. (2010). Hubungan antara kemampuan spasial dengan prestasi belajar
matematika. Hubs-Asia, 9(2)
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 453
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
REPRESENTASI HIPERGRAF PADA ALJABAR
Lalu Abd Azis Mursy1; I Gede Adhitya Wisnu Wardhana
2; Irwansyah
3; Ni Wayan
Switrayni4; Qurratul Aini
5
1,2,3,4,5 Program Studi Matematika Fakutas MIPA Universitas Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Hipergraf merupakan perumuman dari graf dimana sebuah sisi dapat terhubung
dengan lebih dari satu simpul. Hipergraf memberikan solusi yang lebih efektif dari graf biasa dalam
beberapa kasus. Seperti pada graf biasa, dalam penyelesaian masalah terkait hipergraf, digunakan
pendekatan Aljabar. Diantaranya matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks. Pada tulisan
ini akan mengulas beberapa bentuk representasi hipergraf pada aljabar yang bertujuan agar
mempermudah menemukan solusi dari permasalahan yang ada.
Kata Kunci: Hipergraf, Matriks Ketetanggaan, Nilai Eigen, Spektrum Matriks
PENDAHULUAN
Hipergraf merupakan perumuman dari graf dimana sebuah sisi dapat terhubung dengan lebih
dari satu simpul. Hipergraf awalnya dikembangkan di Perancis oleh Claude Berge pada tahun 1960
dan masih dipelajari sampai saat ini. Hipergraf memberikan solusi yang lebih efektif dari graf biasa
dalam beberapa kasus. Graf hanya menghubungkan sebuah sisi ke sepasang simpul, sedangkan
hipergraf menghubungkan sebuah sisi dengan lebih dari satu simpul.
Penerapan teori hipergraf saat ini sangat banyak diterapkan seperti dalam ilmu kimia, ekonomi
dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Perkembangan teori hipergraf tidak terlepas dari ilmu aljabar. Suatu
hipegraf dapat dikaji melalui sifat-sifat aljabar yaitu melalui representasi hipergraf dalam suatu matriks.
Pada umumnya, hipergraf didasari pada nilai eigen dari representasi matriks. Menentukan nilai eigen
dari persamaan karakteristik matriks merupakan hal yang harus diperhatikan dalam melihat spektrum
hipergraf.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengulas tentang Representasi Hipergraf
pada Aljabar, dengan harapan dapat memberikan materi yang berhubungan dengan teori hipergraf,
baik dalam memahami berbagai permasalahan dalam bidang ilmiah atau yang lainnya. Sehingga hasil
ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan atau tambahan referensi khususnya pada bidang teori
hipergraf.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif
dan metode kepustakaan (Library Reasearch). Pengumpulan data dan informasi didapatkan dengan
banntuan buku-buku, jurnal dan sumber kepustakaan lainnya.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:
1. Melakukan pencarian terhadap beberapa literatur yang mendukung tentang teori hipergraf, meliputi matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks.
2. Menggambar hipergraf 3. Menentukan matriks ketetanggaan dari hipergraf 4. Mencari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks ketetanggaan 5. Mencari spektrum matriks ketetanggaan 6. Menyimpulkan hasil penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi 1
Suatu Hipergraf orde n dan ukuran m adalah struktur , dengan { }
adalah himpunan hingga dan { } adalah koleksi himpunan bagian dari sehingga dan . (Bretto, Alain, 2013)
mailto:[email protected]
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 454
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Untuk menggambarkan Hiperedge , jika > 2 digambarkan sebagai kurva yang mengelilingi semua vertex . jika = 2 digambarkan sebagai garis yang menghubungkan kedua vertek tersebut. jika = 1 digambarkan sebagai loop seperti dalam suatu graf. Jelas jika = 2, hipergraf adalah graf.(Claude, B, 1976) Untuk mempermudah memahami defiinisi hipergraf, berikut ini diberikan contoh gambar sebuah
hipergraf
Gambar 1. Hipergraf
Dari hipergraf gambar 1, diperoleh:
(1) Hiperedge adalah himpunan bagian dari { } , yaitu { } ,
{ } , { } , { } . Jadi diperoleh dan (2) Dua vertek dikatakan bertetangga dalam jika terdapat hiperedge yang memuat
kedua titik tersebut. Contoh bertetangga dengan karena { } (3) Dua hiperedge dikatakan bertetangga jika irisannya bukan himpunan kosong. Contoh
bertetangga dengan karena { } Beberapa kategori hipergraf diantaranyya:
(1) Hipergraf dikatakan sederhana apabila tidak ada sehingga .
(2) Hipergraf dikatakan linier apabila untuk semua berlaku | |
(3) Hipergraf dikatakan -Seragam apabila untuk semua , . Definisi 2
Misalkan adalah Hipergraf dengan orde dan ukuran . Misalkan pula { }. Matriks ketetanggan dari adalah matriks yang entri-entrinya adalah , dengan
{ {{ } }
Definisi 3
Jika A adalah suatu matriks , maka vektor tak nol pada disebut suatu vektor eigen dari A jika adalah suatu penggandaan skalar dari , yaitu untuk suatu skalar . Skalar disebut nilai eigen dari A, dan x disebut suatu vektor eigen dari A yang berpadanan dengan . Definisi 4
Spektrum dari Matriks Ketetanggan biasanya dinotasikan dengan yang merupakan himpunan nilai-nilai eigen dan multiplisitasnya adalah
(
)
Untuk memperjelas beberapa definisi diatas, akan diberikan sebuah hipergraf linier berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 455
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 2. Hipergraf Linier
Dari hipergraf gambar 2, dengan { } dan { } diperoleh matriks ketetanggaan sebagai berikut:
[
]
Dengan bantuan MATLAB, diperoleh nilai eigen untuk matriks ketetanggan tersebut yaitu 2.9, 2.03, 1.2, 0.3, 0, -0.6, -1,36, -1.84, -1.70 dan -1 .
Gambar 3. Hasil nilai eigen dengan program Matlab
Sehingga dapat dibentuk spektrum matriks ketetanggaannya, yaitu:
(
)
KESIMPULAN
Sebelum melakukan beberapa penelitian terkait hipergraf, terlebih dahulu teori dasar dari
hipergraf harus dimengerti dengan baik. Representasi hipergraf pada aljabar merupakan hal yang
perlu dipelajari dalam teori hipergraf. Mengetahui matriks ketetanggaan dan nilai eigen akan
membantu kita menemukan spektrum hipergraf. Untuk mempermudah semua itu, bantuan program
komputer juga sangat diperlukan. Seperti halnya yang telah ditulis pada pembahasan tentang
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 456
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
definisi matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks serta hal-hal yang perlu dilakukan
dalam mencari spektrum hipergraf.
Hipergraf mampu memahami masalah dalam berbagai bidang ilmiah. Selain itu sekarang
diketahui bahwa teori hipergraf adalah alat yang sangat berguna untuk menyelesaikan masalah
optimasi seperti masalah penjadwalan, masalah lokasi dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar tulisan ini bisa dikembangkan seiring dengan perkembangan kebermanfaatan
hipergraf.
DAFTAR PUSTAKA
Anton, Howard. (2000). Dasar-Dasar Aljabar Linier Jilid 2. Jakarta : Penerbit Interaksara.
Bretto, A. (2013). Hypergraph Theory. Caen : University of Caen.
Claude, B. (1976). Graphs and Hypergraph. Paris : University of Paris.
Voloshin, V. (2009). Introduction To Graph and Hypergraph Theory.New York: Nova Science
Pulisher, Inc.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 457
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
PENINGKATAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE (PCK) CALON GURU
MATEMATIKA MELALUI PERANCANGAN RPP
BERKERANGKA KERJA ELPSA
Zainal Abidin1; Sabrun
2
1,2Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP Mataram
e-mail: [email protected]
Abstrak: Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan seseorang sangat
ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengetahuan dan kemapuan dalam mempersiapkan RPP
pada setiap proses pembelajaran yang dilaksanakan. Kurangnya kualitas dan kesesuaian persiapan
guru dalam merencanakan pembelajaran sebelum memulai kegiatan belajar mengajar
mengakibatkan kualitas pembelajaran tidak maksimal. Hal ini memotivasi peneliti untuk
meningkatkan kualitas perencanaan pengajaran dengan kerangka ELPSA. Kerangka ELPSA
merupakan kerangka pembelajaran yang menarik bagi siswa, karena lebih menekankan pada
pentingnya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan komunikatif karena
kreatifitas guru yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan
menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dalam upaya meningkatkan
kemampuan Pedagogical Conten Knowledge (PCK) Mahasiswa calon guru Matematika. Data
didapatkan dari telaah RPP berkerangka ELPSA dan analisis video penerapan RPP yang dihasilkan
dalam proses pembelajaran mahasiswa calon guru di dalam kelas. Dan dari hasil telaah RPP dan
analisis vidio didapatkan persentase keberhasilan 86,61% untuk data telaah RPP dan 90,21% dari
telaah dan analisis video pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan Perancangan RPP
Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK)
pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Mataram.
Kata Kunci: Pedagogical Conten Knowledge, Calon Guru Matematika, Kerangka Kerja
ELPSA, Pembelajaran, Perancangan RPP
PENDAHULUAN
Proses belajar mengajar di sekolah dilaksanakan dengan maksud dan tujuan untuk menciptakan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sehingga memunculkan suatu masyarakat yang
berpendidikan dan memiliki keterampilan atau skill yang berpotensial sebagaimana yang tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 dimana salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Universitas ataupun perguruan tinggi negeri maupun swasta yang
sederajat merupakan salah satu lembaga formal yang tersediakan dalam rangka meraih tujuan
nasional tersebut.
Berdasarkan pengalaman dan imformasi yang dihimpun peneliti selama lebih dari 3 tahun
sebagai pasilitator pendampingan beberapa MGMP guru matematika yang tersebar di beberapa
Kabupaten dan Kota di Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB), menunjukkan bahwa rata-rata guru
masih kurang mampu mempersiapkan perangkat pembelajaran mereka yang sesuai dengan konteks
yang akan disampaikan dikelas, seperti outline dan RPP. Sedangkan RPP yang mereka miliki
hanya mengadopsi RPP yang diunduh dari Internet tanpa mencermati kesesuaiannya dengan
konteks kelas. Dari hasil penelitian terdahulu (Wiyana, 2013) menyatakan bahwa guru tidak
memiliki motivasi dikarenakan rendahnya pengetahuan guru dalam menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sehingga mengakibatkan proses pembelajaran yang dilakukan
tidak direncanakan secara maksimal sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas.
Hal ini adalah permasalahan nyata karena perencanaan pengajaran yang tidak baik akan
menghasilkan proses pembelajaran yang tidak maksimal. Seperti yang diungkapkan oleh Bariyah
dkk (2014), bahwa pada umumnya keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan
seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar kualitas perencanaan yang dibuat. Sejalan dengan
mailto:[email protected]
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 458
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
pendapat Hariayanto (2014) yang menyatakan bahwa keberhasilan sebuah kegiatan pembelajaran
ditentukan oleh keberhasilan dalam pembuatan rencana pembelajaran tersebut. Hal ini memotivasi
peneliti untuk meningkatkan kualitas dalam perancangan rencana proses pembelajaran (RPP)
dengan menggunakan penyusunan RPP dengan kerangka ELPSA sehingga calon guru dapat dengan
matang dan terampil dalam mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan maksimal.
Kerangka perancangan rencana proses pembelajaran berbasis ELPSA (Lowrie & Patahuddin,
2015) adalah alternatif pilihan untuk membantu calon guru dalam upaya meningkatkan kempuan
mahasiswa calon guru dalam menghadapi pengajaran di sekolah. Karena metode/pendekatan yang
dipakai dalam ALPSA menggunakan pendekatan cooperative learning yang lebih jelas dan lebih
terperinci khususnya dalam perencanaan kegiatan pembelajaran. ELPSA disusun berdasarkan 5
elemen yaitu Experience (E), pengalaman siswa yang akan dibawa guru sebagai jembatan
memasuki tujuan materi yang akan diajarkan. Elemen kedua yaitu Language (L), yaitu bahasa
penghantar yang digunakan guru dalam menghubungkan pengalaman siswa ke dalam materi yang
akan dipelajari. Elemen yang ketiga yaitu elemen Pictorial (P), yaitu gambaran matematis tentang
materi yang akan dipelajari. Bisa berupa gambar, tabel, diagram, dan lain sebagainya. Elemen yang
keempat adalah Symbol (S), yaitu lambang-lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka,
notasi, tanda bilangan dan sebagainya. Tugas dan latihan siswa termasuk ke dalam elemen ini.
Elemen yang terakhir adalah Aplication (A), dimana siswa sudah mampu menerapkan konsep
materi yang dipelajari dalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan yang berkaitan
dengan disiplin ilmu yang lain.
Pengembangan Pembelajaran berkerangka ELPSA diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuaan dan kemampuan dalam merencanakan perangkat pembelajaran dari setiap calon guru,
khususnya calom guru matematika. Karena pada RPP berkerangka ELPSA menekankan pentingnya
interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan komunikatif karena potensi kreatifitas
guru yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Lowrie
dan Patahuddin (2015) berargumen bahwa kerangka ELPSA melihat pembelajaran sebagai suatu
proses aktif dimana para siswa mengkonstruksikan sendiri cara dalam memahami sesuatu melalui
proses pemikiran individu dan interaksi sosial dengan orang lain. Sesuai pernyataan Mulyasa dalam
(Silaban, 2016) Proses pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik
terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian tentang Bagaimanakah cara
membantu meningkatkan PCK calon guru matematika dalam proses perancangan RPP berkerangka
ELPSA dalam pembelajaran matematika
a. Pedagogical Content Knowledge (PCK)
Pedagogical Content Knowledge merupakan suatu bentuk pengetahuan seseorang atau seorang
guru yang terintegrasi dari, pengetahuan konsep, kepercayaan dan nilai yang dikembangkan guru
pada saat melakukan pembelajaran (Loughran, Erry & Mulhall, 2004 dalam Lee and Julie, 2008).
Oleh sebab itu tanpa pengetahuan PCK yang baik dari seorang guru maka proses transformasi suatu
pengetahuan baru pada siswa tidak akan dapat maksimal.
Shulman (Dahar & Siregar, 2000) meng-identifikasi tujuh pengetahuan dasar tugas mengajar
yang diperlukan untuk meningkat-kan pemahaman pengajar terhadap materi pembelajaran.
Pengetahuan dasar ini mencakup: pengetahuan materi subjek, pengetahuan pedagogi umum,
pengetahuan konten peda-gogi, pengetahuan kurikulum, pengetahuan pembelajar dan
karakteristiknya, pengetahuan strategi mengajar dan pengetahuan konteks pembelajaran. Di bawah
ini diuraikan secara ringkas dari tujuh pengetahuan dasar mengajar tersebut:
1. Pengetahuan materi subjek Pengetahuan ini merujuk pada organisasi pengetahuan guru yang terdiri dari: pengetahuan
konten, mencakup fakta dan konsep dalam suatu disiplin; struktur sintaktikal, mencakup
merumuskan dan cara validasi pengetahuan; struktur substantif mencakup organisasi konten
ilmu.
2. Pengetahuan Pedagogi Umum
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 459
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pengetahuan ini merujuk pada prinsip-prinsip dan strategi pengelolaan dan organisasi kelas
yang menyangkut pengetahuan umum. Prinsip dan strategi mengajar juga dikendalikan oleh
keyakinan, dan pengetahuan praktis guru.
3. Pengetahuan konten pedagogi Merupakan pengetahuan dalam meng-organisasikan konten, yang cocok untuk tugas mengajar.
Ini mencakup represen-tasinya dalam bentuk yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman
pembelajar.
4. Pengetahuan kurikulum Pengetahuan kurikulum merujuk pada materi dan program yang berfungsi sebagai alat khusus
bagi guru dalam menentukan tujuan pengajaran pada berbagai jenjang kelas.
5. Pengetahuan pembelajar dan karakteristiknya Pengetahuan ini digunakan untuk mengembangkan pengajaran.
6. Pengetahuan strategi mengajar Pengetahuan ini berkaitan dengan cara bekerjanya kelompok kecil disekolah hingga pada
bagaimana organisasi sekolah dan pembiayaan sekolah.
7. Pengetahuan konteks pembelajaran Pengetahuan ini berhubungan konteks yang mengendalikan bentuk-bentuk interaksi kelas.
b. RPP Kerangka ELPSA
Kerangka perancangan rencana proses pembelajaran berbasis ELPSA (Lowrie & Patahuddin,
2015) adalah alternatif pilihan untuk membantu calon guru dalam upaya meningkatkan kempuan
dalam menghadapi pengajaran di sekolah. Karena metode/pendekatan yang dipakai dalam ELPSA
menggunakan pendekatan cooperative learning yang lebih jelas dan lebih terperinci khususnya
dalam perencanaan kegiatan pembelajaran (RPP).
Adapun RPP berkerangka kerja ELPSA disusun berdasarkan 5 elemen yaitu:
- Experience (E), pengalaman siswa yang akan dibawa guru sebagai jembatan memasuki tujuan materi yang akan diajarkan. Pada komponen Experience (Pengalaman) adalah pengetahuan awal
yang dimiliki siswa atau pengalaman yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran untuk
memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat memahami hubungan antara pengetahuannya
dengan konsep atau topik baru yang akan dipelajari. Hal ini dapat dilakukan melalui aktivitas
antara lain curah pendapat, pertanyaan produktif, atau diskusi kelas.
- Language (L), yaitu bahasa penghantar yang digunakan guru dalam menghubungkan pengalaman siswa ke dalam materi yang akan dipelajari. Komponen Language (Bahasa) fokus
pada bahasa umum dan spesifik yang dibutuhkan untuk merepresentasikan ide-ide matematika.
Guru sebaiknya menggunakan bahasa yang tepat dan mendorong siswa untuk menggunakan
bahasa tersebut baik secara lisan maupun tulisan. Siswa didorong untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan pemahaman matematikanya serta berdiskusi dengan teman dan guru.
- Pictorial (P), yaitu gambaran matematis tentang materi yang akan dipelajari. Bisa berupa gambar, tabel, diagram, dan lain sebagainya. Komponen Pictorial pada ELPSA berkaitan dengan
penggunaan gambar untuk merepresentasikan ide-ide matematika, termasuk benda nyata
dan/atau gambar yang dibuat oleh guru maupun siswa. Guru sebaiknya memberikan kesempatan
bagi siswa untuk merepresentasikan ide-ide matematika mereka dalam bentuk gambar dan
menafsirkan gambar yang mewakili konsep-konsep matematika. Lowrie dan Patahuddin (2015)
berpendapat bahwa pemahaman secara komprehensif tentang representasi simbol hanya dapat
dicapai ketika ide-ide matematika didikembangkan secara bertahap antara lain dengan
menggunakan berbagai represetasi gambar.
- Symbol (S), yaitu lambang-lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka, notasi, tanda bilangan dan sebagainya. Tugas dan latihan siswa termasuk ke dalam elemen ini. Komponen
Symbolic (Simbol) mengikuti representasi gambar. Karena berbagai bentuk representasi
mengawali penyajian dan manipulasi simbol, hal ini memungkinkan siswa untuk memaknai dan
menggunakan simbol tersebut. Pemahaman symbol merupakan hal penting bagi siswa untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 460
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
mengembangkan pemikiran secara fleksibel tentang penggunaan simbol agar dapat
mengembangkan pemahaman dan kefasihan mereka tentang simbol.
- Aplication (A), dimana siswa sudah mampu menerapkan konsep materi yang dipelajari dalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain.
Komponen terakhir adalah Application (Aplikasi). Komponen ini terkait dengan penerapan
pengetahuan untuk menyelesaikan masalah dalam konteks yang bermakna yang
merepresentasikan pengalaman dalam kehidupan nyata. Ini juga meliputi 3 bagaimana
pemahaman simbol dapat diaplikasikan pada situasi yang baru. Penjelasan lebih rinci tentang
kerangka kerja ELPSA termasuk juga contoh-contohnya disajikan dalam tulisan Lowrie dan
Patahuddin (2015a & b).
Pengembangan Pembelajaran berbasis ELPSA diharapkan dapat meningkatkan pengetahuaan
dan kemampuan dalam merencanakan perangkat pembelajaran dari setiap calon guru, khususnya
calom guru matematika. Karena kerangka pembelajaran ELPSA menekankan pada kreatifitas guru
yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Lowrie dan
Patahuddin (2015) berargumen bahwa kerangka ELPSA melihat pembelajaran sebagai suatu
proses aktif dimana para siswa mengkonstruksikan sendiri cara dalam memahami sesuatu melalui
proses pemikiran individu dan interaksi sosial dengan orang lain. Sesuai pernyataan Mulyasa dalam
(Silaban, 2016) Proses pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik
terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk menyediakan dan mempersiapkan calon guru matematika yang siap secara konten dan pedagogical.
2. Untuk mengetahui kemampuan pedagogical content knowledge (PCK) mahasiswa calon guru matematika.
3. Untuk mengetahui kemampuan mahasiswa calon guru dalan perancangan RPP yang berkerangka kerja ELPSA.
b. Manfaat Penelitian
Adapula manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritik a. Untuk bahan tambahan referensi terhadap penyusunan rencana pembelajaran yang
refresentatif terkait proses belajar mengajar disekolah.
b. Sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian yang sejenis dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis
a) Menambah pemahaman guru pada umunnya mengenai pengetahuan dalam meningkatkan mutu pendidikan yang sesuai dengan perkembangan tekhnologi pendidikan.
Memberikan pemahaman akan pengaruh serta manfaat perlunya inovasi dan kreatifitas dalam
pesrancangan perangkat pembelajaran.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan tujuan menggambarkan dan
menginterpretasikan kondisi atau perubahan yang terjadi terhadap sekelompok objek tertentu yang
berupa pernyataan dan kata-kata. Moeleong, Lexy J (2013) mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun tahapan pada penelitian ini akan
dilakukan, dilakukan dengan istilah IN kelas dan ON kelas. Adapun tahapan kegiatan IN kelas
adalah: (1) mahasiswa diberikan materi tentang perancangan RPP berkerangka ELPSA, (2)
mahasiwa secara individu dan berkelompok diberikan tugas menyusun RPP berkerangka ELPSA
(3) secara individu atau berkelompok mahasiswa mempraktekkan RRP yang dihasilkan (4) hasil
rancangan RPP yang dihasilkan Mahasiswa ditelaah oleh tim peneliti. Sedangkan tahapan kegiatan
ON kelas akan dilaksanakan pada saat mahasiswa melaksanakan program PPL disekolah, antara
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 461
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
lain: (1) mahasiswa melakasanakan rancangan RPP yang dibuat di kelas dan didokumentasikan
dalam vidio pembelajaran, (2) vidio hasil pembelajaran mahasiswa di Sekolah ditelaah tim peneliti,
(3) dan hasil analisis dan telaah vidio didiskripsikan untuk mendapatkan kesimpulan.
Gambaran tahapan I
Gambaran tahapan II
Gambar 1. Tahapan I dan Tahapan II
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar telaah RPP dan lembar
observasi video (rubrik) hasil penerapan rencana proses pembelajaran yang dilakukan mahasiswa
calon guru di kelas. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah hasil telaah RPP, dan hasil
analisis video.
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul melalui metode pengumpulan yang ditetapkan, tentu
diolah sebagai dasar membuat simpulan. Secara garis besar, pekerjaan analisis data meliputi 3
langkah, yaitu :
Pengumpulan data
Verifikasi data dengan cara Tabulasi
- Menyimpulkan hasilnya secara deskriptif. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu enam bulan, waktu yang diambil terbagi menjadi
dua tahapan, dengan tahapan pertama dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei dan
dilanjutkan ketahapan penelitian kedua dimulai pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus.
Subjek dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Semester Akhir pada jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA IKIP Mataram yang memprogramkan mata kuliah PPL tahun pelaksanaan
2017/2018. Jumlah sampel yang diambil terdiri dari 12 Mahasiswa, dengan dua orang mahasiswa
laki-laki dan sepuluh orang mahasiswa perempuan. Adapun gambaran pelaksanaan penelitian pada
masing-masing tahapan adalah , sebagai berikut:
5.1 Pelaksanaan Tindakan ke-1.
Pelaksanaan penelitian tindakan ke-1 ini diawali dengan mengidentifikasi mahasiswa
jurusan pendidikan matematika FPMIPA IKIP Mataram yang akan melaksanaan program Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) tahun pelaksanaan 2017/2018. Setelah semua mahasiswa terverifikasi
dan dilanjutkan dengan pemilihal mahasiawa sebagai subjek dalam penelitian ini. Mahasiswa yang
terpilih menjadi subjek dalam penelitian sejumlah 12 orang deberikan lembar observasi terkait
dengan pemahaman mereka tentang pengetahuan mereka dalam penyusunan Rencana Proses
Pembelajaran (RPP).
Pada langkah kegiatan selanjutnya mahasiswa yang menjadi subyek penalitian ini deberikan
pemahaman tentang konsep perancangan pembelajaran dengan pendekatan ELPSA yang dilakukan
setiap dua kali pertemuan setiap minggu selama kurun waktu satu bulan yaitu mulai minggu ke dua
bulan Maret sampai dengan minggu kedua bulan April. Sedangkan telaah RPP hasil perancangan
subjek penelitian dilakukan selama dua minggu, yaitu pada dua minggu terakhir bulan Mei tahun
2018.
IN
PENDALAMAN MATERI
PERANCANGAN RPP
TELAAH RPP
KESIMPULAN
ON
PENDALAMAN MATERI
PELAKASAAN RPP
ANALISIS VIDIO
KESIMPULAN
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 462
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Adapun data hasil telaah RPP berkerangka kerja ELPSA yang dihasilkan oleh subyek
penelitian adalah:
Tabal 1. Data Hasil Telaah RPP Berkerangka Kerja ELPSA
Jumlah Subyek 12
Skor Minimal 80,95
Skor Maksimal 90,48
Total Skor 84
Rara-rata Skor 72, 75
Persentase total 86,61
5.2 Pelaksanaan Tindakan ke-2.
Pelaksanaan penelitian tindakan ke-2 ini dilakukan setelah pelaksanaan tindakan ke-1 selesai
dilakukan dan dilaksanakan selama kurun waktu satu bulan yaitu pada bulan Juli tahun 2018.
Telaah dan analisis vidio hasil pelaksanaan RRP berkerangka kerja ELPSA dilaksanakan pada akhir
bulan Juli sampai bulan Agustus 2018. Adapun data hasil telaah dan analisis video keterlaksanaan
RPP berkerangka kerja ELPSA adalah, sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Telaah dan Analisis Vidio Pembelajaran Berkerangka Kerja ELPSA
Jumlah Subyek 12
Skor Minimal 82,5
Skor Maksimal 90
Total Skor 36,08
Rara-rata Skor 90,21
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan pembahasan dari hasil telaah rencana proses pembelajaran dan analisis
vidio, maka dapat disimpulkan, bahwa :
1. Perancangan RPP Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK) pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA IKIP Mataram.
2. Penerapan RPP Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK) pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA IKIP Mataram.
DAFTAR RUJUKAN
Hariyanto, F. A. (2014). Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa dalam Mengembangkan RPP
Berdasarkan Kurikulum 2013 dengan Menggunakan Blooms Taxonomy Cognitive
Domain Learning Stages pada Mahasiswa Semester VI FKIP Bahasa Inggris
Universitas Kanjuruhan Malang. Inspirasi Pendidikan , 4, 423.
Sidik, L. M. (2015). Upaya meningkatkan kompetensi guru bahasa indonesia dalam penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp) berdasarkan kurikulum 2007 melalui pola
pendampingan berbasis mgmp. Ilmiah ikip mataram , 2, 500.
Wiyana. (2013). Pengaruh Pengetahuan KTSP dan Pendidikan terhadap Kemampuan Menyusun
RPP Guru SD. jurnal teknologi pendidikan , 1 (2), 242.
Dahar, R.W & N. Siregar (2000). Pedagogi Materi Subyek: Meletakkan Dasar Keilmuan dari PBM.
Disampaikan pada Seminar Staf Dosen FPMIPA dalam Rangka Mensosialisasikan
Pedagogi Materi Subyek .
Bariyah, L., & Dkk. (2014). Analisis kesesuaian rpp dan pelaksanaan pembelajaran guru. Bio edu ,
2, 2.
Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015a). ELPSA as a lesson design framework. Journal on
Mathematics Education, 6(2), 1-15.
Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015b). ELPSA Kerangka kerja untuk merancang pembelajaran
matematika. Jurnal Didaktik Matematika, 2(1), 94-108.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 463
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Marlina, E. (2015). Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Dengan Elpsa Yang Dimodifikasi
Cergam Dan Tps. Equivalen jurnal pendidikan matematika , 3, 191.
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 464
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
MENGAPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA IKIP MATARAM
PERLU MENGEMBANGKAN PEMBELAJARAN
MOBILE BERBASIS NOS?
Yusran Khery1, Bq. Asma Nufida
1, Suryati
1, Sri Rahayu
2, Endang Budiasih
2
1IKIP Mataram, Pemuda Street 59 A, Mataram, Indonesia
2Malang State University, Jalan Semarang 5 Malang 65145
*{yusrankhery, baiq.asma, suryati}@ikipmataram.ac.id
**{Sri,rahayu.fmipa, endang.budiasih.fmipa}@um.ac.id
Abstrak: Studi ini telah dilaksanakan agar bisa mendeskripsikan beberapa faktor yang
menjadi pertimbangan perlunya pengembangan pembelajaran Mobile berorientasi Nature of
Science (NOS) di program pendidikan kimia IKIP Mataram. Faktor-faktor tersebut yakni
pemahaman NOS mahasiswa, tingkat penerapan pembelajran berorientasi NOS, karakteristik NOS
dalam bahan ajar, tingkat pemafaatan teknologi mobile dalam pembelajaran, dan tanggapan tentang
pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS. Dalam bentuk penelitian deskriptif, data
dikumpulkan menggunakan angket dan lembar observasi. Responden dari kegiatan penelitian ini
terdiri dari 54 orang mahassiwa dan 12 orang dosen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di program pendidikan kimia IKIP Mataram
sangatlah penting. pemahaman Mahasiswa tentang hakikat sains (Nature of Science) cukup baik
yakni sebesar 47,86 %. Tanggapan responden tentang tingkat penerapan pembelajaran berorienatasi
NOS dalam perkuliahan matakuliah-matakuliah penguasaan materi kimia sebesar 56,68 % dengan
kategori cukup baik. Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar yang disusun oleh dosen-dosen mata
kuliah penguasaan materi kimia sebesar 63,39 % dengan kategori baik. Tingkat pemanfaatan
teknologi mobile di dalam pembelajaran oleh dosen cukup baik yakni mencapai 55,56 %.
Tanggapan responden tentang pentingnya pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS
sebesar 85.23 % dengan kategori sangat baik.
Kata Kunci: Mobile Learning, NOS Oriented, Chemistry Education Program
INTRODUCTION
Terdapat beberapa alasan mengapa orang-orang menggunakan teknologi informasi. Seseorang
percaya bahwa dengan menggunakan teknologi sistem informasi bisa membantunya memperoleh
manfaat dan kinerja lebih dalam pekerjaan. Teknologi mobile membantu seseorang dapat
mengakses informasi secara cepat, di manapun dan kapanpun, dan memilih perangkat apapun yang
dikehendaki. Seseorang dapat dengan mudah bergabung secara individual dengan teknologi atau
sistem informasi dan berinovasi. Hal ini berpengaruh kuat pada siswa-siswa muda untuk
menggunakan perangkat mobile untuk tujuan akademis (Cabanban, 2013).
Hasil penelitian Hanafi dan Samsudin (2012) menunjukkan bahwa siswa sangat menyukai
interaktivitas, aksesibilitas, dan kenyamanan pembelajaran mobile. Sistem pembelajaran mobile
dapat diterapkan dengan mudah dan murah sebagai pelengkap dalam proses pembelajaran. Dalam
menerapkan pembelajaran mobile faktor motivasi sangat perlu dipertimbangkan seperti interaktif
dan menarik. Namun, tujuan utama lingkungan pembelajaran mobile haruslah untuk pendidikan
bukan untuk hiburan (Calimag dkk, 2014).
Buckner & Kim (2013) telah mempelajari integrasi teknologi dan pedagogi dalam pelaksanaan
proyek-proyek ICT di negara-negara berkembang. Riset ini merancang sebuah inovasi pendidikan
yang memanfaatkan teknologi mobile dalam pembelajaran. Rekomendasi yang diperoleh dari
penelitian tersebut adalah secara alami manusia mengajukan pertanyaan tentang dunia nyata,
melakukan hal itu adalah sebuah jalan penting untuk belajar. Perlu adanya transisi dari mendikte
informasi menuju pembelajaran yang melibatkan siswa dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
mailto:%[email protected]:endang.budiasih.fmipa%[email protected]
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 465
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Teknologi pembelajaran mobile dapat memberdayakan siswa belajar sescara mandiri dan aktif
merencanakan belajar mereka sendiri.
Menurut Alden (2013) terdapat 10 hal penting yang perlu hadir dalam pembelajaran mobile di
universitas yakni Pengguna dapat menerima pemberitahuan dan pengingat tentang tugas dan janji
tentang kelas yang diikuti; Pengguna dapat berkomunikasi secara individu dengan dosen, penasihat,
atau siswa lain menggunakan suara, email, atau pesan teks; Pengguna dapat melakukan posting atau
balas ke item dalam polling, papan diskusi, atau aplikasi lain; Pengguna dapat mencari dan
mengakses informasi berbasis web yang terkait saja; Mengunduh dan meninjau materi pelajaran
dari kelas yang diikuti; Pengguna dapat berinteraksi langsung dan meninjau informasi administratif
tentang kelas yang sedang atau akan diambil; Pengguna dapat mencari atau meninjau materi di
perpustakaan universitas; Pengguna dapat mengunggah item yang mereka rekam dengan perangkat
seluler pribadinya; Interaktif selama sesi pembelajaran langsung; dan Pengguna dapat mendaftar
atau mengundurkan diri dari kelas yang diikuti.
Pengembangan teknologi pembelajaran mobile ini harus seiring dengan perkembangan
kurikulum pembelajaran sains di dunia. Trend dalam kebijakan pendidikan sains menekankan
pentingnya literasi sains sebagai luaran yang dapat di transfer dalam pendidikan sains (Fives et al,
2014). Membangun literasi sains berati fokus pada membangun pengetahuan siswa untuk
menggunakan konsep sains secara bermakna, berpikir kritis dan membuat keputusan-keputusan
yang seimbang terhadap permasalahan-permasalahan yang relevan dengan kehidupan siswa. Akan
tetapi sering dijumpai praktek pembelajaran sains masih mengabaikan dimensi sosial pendidikan
dan dorongan pengembangan keterampilan berpartisipasi aktif di masyarakat (Hofstein, Eilks, &
Bybee, 2011).
Literasi sains semakin diperlukan dewasa ini agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat
modern (New Zealand Curriculum, 2013). Untuk semua alasan-alasan ini, literasi sains dianggap
sebagai kunci kompetensi (Rychen & Salganik, 2003). Kerangka kerja penilaian literasi sains
mencakup aspek konteks, kompetensi, pengetahuan, dan sikap (Wiliam, 2010). Literasi sains
mencakup tiga kompetensi yakni menjelaskan fenomena sains, evaluasi dan merancang inkuiri
ilmiah, interpretasi data dan bukti-bukti sains (PISA, 2015, Shwartz, et al., 2006b, Tsaparlis,
2000).Menurut Toharudin, Hendrawati & Rustaman (2011) kemampuan rata-rata peserta didik
Indonesia baru sampai pada kemampuan mengenali fakta dasar, tetapi belum mampu
mengkomunikasikan dan mengaitkan kemampuan tersebut dengan topik-topik sains. Siswa
mengalami kesulitan dalam mendapatkan makna dan menggunakan sains untuk memecahkan
berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Rahayu (2016), pencapaian literasi sains siswa dapat diupayakan melalui pengajaran
sains di kelas yang menitikberatkan pada kemampuan epistimologi sains/hakikat sains (Nature of
Science) atau pemahaman tentang ciri khas sains sebagai bentuk pengetahuan dan inkuiri manusia.
Subjek/materi dalam pembelajaran sains yang disampaikan dengan tepat dapat berkontribusi untuk
mencapai tujuan dari pelatihan literasi sains seseorang. Pembelajaran kimia berkontribusi sebagai
literasi kimia secara khusus, dan literasi sains secara umum (Shwartz, Ben-zvi, Hofstein, 2006).
Tujuan utama mengintegrasikan Nature of Science (NOS) ke dalam kurikulum sains adalah untuk
membantu mendidik siswa menjadi warga negara yang memiliki literasi sains sehingga dapat
memecahkan permasalahan-permasalahan sains dan teknologi yang kompleks dalam kehidupan
modern dan budaya demokratis. Penetapan NOS sebagai komponen utama dalam literasi sains yang
merupakan tujuan belajar yang penting dalam setiap kurikulum sains (Hudson, 2014). Maka dari
itu, pengembangan teknologi pembelajaran mobile sebaiknya berorientasi Nature of Science.
Nature of Science (NOS) mengacu pada epistimologi ilmu pengetahuan, ilmu sebagai cara untuk
mengetahui, atau nilai-nilai dan keyakinan yang melekat pada pengembangan sains/pengetahuan
ilmiah (Lederman, 2007). Pemahaman tentang NOS tersebut merupakan karakteristik yang
diharapkan ada pada diri seseorang yang memiliki literasi sains, dimana orang tersebut mampu
mengembangkan pemahaman konsep, prinsip, teori dan proses sains, dan menyadari adanya
hubungan yang kompleks antara sains, teknologi, dan masyarakat (Abd-El-Khalick & Lederman,
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 466
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
2001), Jadi, pada prinsipnya NOS mencakup konsepsi tentang pengetahuan sains, nilai-nilai dan
keyakinan dalam memperoleh pengetahuan sains tersebut, serta pengaruhnya terhadap masyarakat,
budaya, dan teknologi sains. Menurut Wenning (2006), pembelajaran berorientasi NOS (Nature of
Science) memiliki enam langkah utama, yaitu: (1) background readings, (2) case study discussions,
(3) inquiry lessons, (4) inquiry labs, (5) historical studies, (6) multiple assesments.
Bagaimana pemahaman NOS dan pengalaman memperoleh NOS melalui suatu bentuk
pembelajaran mobile masih merupakan isu yang masih perlu dipelajari dan dikembangkan. Studi ini
dilaksanakan untuk dapat mengunkapkan berbagai alasan penting dan faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di Program Studi
Pendidikan Kimia IKIP Mataram
METHOD
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif yang digunakan untuk dapat mendeskripsikan
tingkat pemahaman mahsiswa tentang hakikat sains, orientasi NOS dalam pembelajaran,
karakteristik NOS dalam bahan ajar, pemanfatan teknologi mobile dalam pembelajaran, dan respon
terhadap pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di programs studi pendidikan
Kimia IKIP Mataram. Dengan menggunakan teknik sampling jenuh, sampel dari penelitian terdiri
dari 54 mahasiswa dan 12 dosen program studi pendidikan kimia IKIP Mataram pada tahun
akademik 2017-2018. Data dikumpulkan dengan metode angket dan observasi. Data yang diperoleh
dikonfirmasi dengan teknik wawancara. Instrumen yang digunakan terdiri dari empat angket
tertutup dan sebuah lembar observasi.
Angket pemahaman hakikat sains (NOS) merupakan angket digunakan untuk mengungkap
pemahaman mahsiswa tentang hakikat sains. Angket ini terdiri dari 22 item pernyataan positif dan
17 item pernyataan negatif dengan pilihan jawaban tidak setuju, ragu-ragu, dan setuju. Skor 0, 1, 2
berturut-turut diberikan untuk jawaban terhadap pernyataan positif dan sebaliknya pada pernyataan
negatif.
Angket penerapan pembelajaran berorientasi NOS, merupakan angket yang digunakan untuk
mengungkap persentasi orientasi NOS dalam pembelajaran mata kuliah penguasaan materi kimia.
Angket ini terdiri dari 20 item pertanyaan yang dapat dijawab oleh mahasiswa dengan pilihan tidak
pernah, jarang, sering, dan selalu. Skor 0, 1, 2, dan 3 berturut-turut diberikan untuk pilihan jawaban
yang bersesuaan.
Angket pemanfaatan teknologi mobile dugunakan untuk mengungkap sebarapa banyak dosen
memanfaatkan teknologi mobile di dalam pembelajaran. Angket ini terdiri dari 6 pernyataan yang
direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah, jarang, dan sering. Angket respon terhadap
pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS digunakan untuk mengungkap respon
mahasiswa dan dosen tentang adanya pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS.
Angket ini terdiri dari 16 item pernyataan yang dapat direspon dengan pilihan tidak setuju, ragu-
ragu, dan setuju. Pada kedua angket ini, skor 0, 1, dan 2 berturut-turut diberikan untuk pilihan
respon yang bersesuaan.
Sedangkan instrumen untuk kegiatan observasi berupa lembar observasi karakteristik NOS
dalam bahan ajar, intstrumen ini digunakan untuk mengevaluasi seberapa banyak karakteristik NOS
muncul dalam bahan ajar yang disusun dosen dalam matakuliah-matakuliah penguasaan materi
kimia. Lembar observasi diisi berdasarkan ada atau tidak aspek NOS disampaikan baik secara tak
langsung maupun langsung di dalam bahan ajar yang dibuat oleh dosen. Skor 0 jika tidak ada dan
skor 1 jika ada.
Setelah data dikumpulkan melalui angket dan observasi, dilakukan wawancara untuk
mengkonfirmasi tanggapan responden dan hasil observasi. Wawancara dilakukan terhadap 9 orang
mahasiswa dan 3 orang dosen. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara menghitung persentase.
Deskripsi terhadap hasil analisis data dilakukan dengan mengacu pada persentasi kriteria
sebagaimana tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Persentase Kriteria
Persentase Kriteria
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 467
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
81-100 Sangat Baik
61-80 Baik
41-60 Cukup Baik
21-40 Kurang Baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 468
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pemahaman NOS mahasiswa kurang baik pada aspek pengetahuan ilmiah bersifat tentatif dan
penamaan sains dalam bidang sosial buadaya. Sebagian besar mahaisswa tidak setuju bahwa
pengetahuan saisn bersifat sementara dan hasil penyelidikan terhadap objek yang sama bisa saja
berubah. Padahal hal ini seharusnya bisa mereka pahami dari belajar tentang model atom atau teori
kimia lainnya. Sebagian besar mereka berkeyakinan bahwa pengetahuan sains bersifat baku, pasti,
dan tidak bisa diubah. Sebagian besar mahasiswa memang setuju bahwa pengembangan sains
seharusnya memperhatikan aspek kebutuhan manusia, dan sebagian dari mereka setuju bahwa saing
dapat mempengaruhi budaya. Akan tetapi, mereka tidak menyetujui bahwa aspek sosial budaya
dapat mempengaruhi sains dan perkembangannya.
Penerapan Pembelajaran Berorientasi NOS dalam Perkuliahan
Berikut dideskripsikan tentang penerapan pembelajaran berorientasi NOS di dalam perkuliahan
penguasaan materi kimia. Hal ini bermakna bagaimana pemahaman NOS disampaikan di dalam
pembelajaran penguasaan materi kimia baik secara implisit maupun eksplisit. Deskripsi ini
diperoleh dari tanggapan responden mahasiswa terhadap item-item angket yang diberikan tentang
seberapa banyak pembelajaran-pembelajaran matakuliah penguasaan materi kimia telah berorientasi
pada pencapaian pemahaman NOS disamping pencapaian pemahaman materi kimia. Tanggapan
responden tentang tingkat penerapan pembelajaran berorienatasi NOS dalam perkuliahan
matakuliah-matakuliah penguasaan materi kimia sebesar 56,68 % dengan kategori cukup baik.
Uraian data dapat dilihat pada tabel 3.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam penerapan pembelajaran, NOS lebih
banyak disampaikan secara implisit (tersirat) daripada eksplisit (langsung). Hal ini menunjukkan
bahwa dosen jarang menyampaikan secara langsung pada hampir seluruh aspek karakteristik NOS,
kecuali pada aspek karakteristik metode ilmiah. Pada aspek karakteristik metode ilmiah, persentase
penerapan secara implisit sangat baik karena pada sebagian besar mata kuliah penguasaan materi
kimia dilaksanakan dengan disertai praktikum. Sedangkan penerapan secara eksplisit berkategori
baik karena sebagian mahasiswa menganggap bahwa hanya sebagian dosen yang menjelaskan
secara detil sebagian prinsip metode ilmiah.
Orientasi NOS pada aspek pengetahuan ilmiah bersifat tentatif, pengetahuan ilmiah berasal dari
data empiris, teori ilmiah, dan penanaman sains dalam bidang sosial budaya berkategori baik.
Kategori baik diperoleh pada penerapan implisit namun hanya cukup baik pada penerapan eksplisit.
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar matakuliah telah mendeskripsikan berbagai
macam teori tentang suatu kajian kimia tertentu namun menurut mahasiswa sangat sedikit dosen
yang memberi keyakinan bahwa pengetahuan sains bersifat sementara dan bisa saja berubah.
Kebanyakan mahasiswa meyakini bahwa seluruh pengetahuan sains bersifat baku, tetap, dan tidak
akan pernah berubah. Pada aspek pengetahuan ilmiah berasal dari data empiris, mahasiswa
beranggapan bahwa secara implisit pengetahuan sains berasal dari data empiris yang bisa mereka
peroleh ketika melakukan praktikum atau percobaan. Namun penyampaian pemahaman ini mereka
rasa masih jarang dalam perkuliahan di kelas terutama sekali pada matakuliah-mata kuliah yang
lebih banyak memuat teori-teori kimia. Demikian halnya dengan aspek penanaman sains dalam
bidang sosial budaya. Sebagian mahasiswa berpendapat bahwa penjelasan pemahaman tentang
bagaiman sosial dan budaya bisa mempengaruhi sains tidak pernah mereka dapati dalam
perkuliahan. Mereka meyakini bahwa sains dapat mempengaruhi budaya, namun meragukan
tentang sebaliknya.
Tabel 3. Persentase Penerapan Pembelajaran Berorientasi NOS
Aspek Karakteristik NOS
Persentase
Penerapan
Implisit
Persentase
Penerapan
Eksplisit
Rata-
rata Kategori
Pengetahuan ilmiah bersifat tentatif 75,71 49,71 66,05 Baik
Pengetahuan ilmiah berasal dari data 71,57 45,57 61,90 Baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 469
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
empiris
Pengetahuan ilmiah merupakan
produk inferensi manusia 54,79 28,79 45,12 Cukup Baik
Kreativitas manusia diperlukan
untuk mengembangkan pengetahuan 49,43 23,43 39,76
Kurang
Baik
Metode ilmiah 82,71 62,71 77,05 Baik
Pengetahuan tidak lepas dari
teori/pemahaman ilmuwan (Theory
driven)
52,29 26,29 42,62 Cukup Baik
Hukum Ilmiah 65,95 39,95 56,28 Cukup Baik
Teori ilmiah 71,57 46,57 62,24 Baik
Dimensi sosial sains 59,57 31,57 48,24 Cukup Baik
Penanaman sains dalam bidang
sosial dan budaya 77,29 51,19 67,59 Baik
Total Rata-rata 56,68
Cukup
Baik
Orientasi NOS dalam pembelajaran cukup baik pada aspek pengetahuan ilmiah merupakan
produk inferensi manusia, pengetahuan tidak terlepas dari teori/pemahaman ilmuan, hukum ilmiah,
dan dimensi sosial sains. Akan tetapi kurang baik dalam orientasi NOS secara eksplisit. Menurut
mahasiswa pembelajaran mata kuliah penguasaan materi kimia memang banyak membahas tentang
berbagai teori dan penemu-penemunya, tetapi tidak menjelaskan bahwa teori tersebut merupakan
hasil inferensi manusia dan penamaan teori menurut penemunya merupakan sebauah cara memberi
penghargaan. Mereka mengaku masih kebingungan tentang karakteristik hukum dan teori ilmiah
karena sebagian besar dari mereka mengaku tidak pernah memperoleh penjelasan tentang
perbedaan diantara keduanya dari dosen matakuliah.
Untuk aspek kreatifitas manusia diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan diterapkan
dengan kurang baik. Sebagian besar mahasiswa mengaku tidak pernah diberi peluang untuk
melakukan modifikasi prosedur dalam praktikum. Prosedur ilmiah dan cara komunikasi ilmiah
(penyusunan laporan) yang dibelajarkan kepada mereka tidak menghendaki adanya upaya
modifikasi. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa dalam melakukan percobaan cukuplah
menggunakan prosedur ilmiah yang telah ada tanpa harus memodifikasi. Sebagian besar dari
mahasiswa juga mengaku tidak pernah menerima penjelasan bahwa kreativitas manusia diperlukan
untuk mengembangkan pengetahuan. Sebagian dari diri mereka menganggap bahwa kreativitas
hanya bekerja untuk menghasilkan hasil karya cipta yang bersifat kebendaan atau karya seni bukan
pengetahuan sains.
Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar
Persentase setiap karakteristik NOS yang muncul diperoleh dari seberapa banyak karakteristik
NOS dalam setiap bahan ajar yang dibuat oleh dosen. Bahan ajar terdiri dari buku, modul, petunjuk
praktikum, dan materi presentasi. Setiap dosen memiliki enam sampai delapan bahan ajar untuk
setiap matakuliah. Observasi khusus dilakukan pada bahan ajar matakuliah-matakuliah penguasaan
materi kimia. Persentase setiap karakteristik NOS dalam bahan ajar disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar
Karakteristik NOS Persentase
Rata2 (%) Kategori
Pengetahuan ilmiah bersifat tentatif 72,71 Baik
Pengetahuan ilmiah berasal dari data empiris 68,57 Baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 470
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pengetahuan ilmiah merupakan produk inferensi manusia 51,79 Cukup Baik
Kreativitas manusia diperlukan untuk mengembangkan
pengetahuan 46,43 Cukup Baik
Metode ilmiah 85,71 Sangat Baik
Pengetahuan tidak lepas dari teori/pemahaman ilmuwan (Theory
driven) 49,29 Cukup Baik
Hukum Ilmiah 62,95 Baik
Teori ilmiah 68,57 Baik
Dimensi sosial sains 53,57 Cukup Baik
Penanaman sains dalam bidang sosial dan budaya 74,29 Baik
Total Rata-rata 63,39 Baik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik NOS dalam Bahan Ajar yang disusun oleh
dosen-dosen mata kuliah penguasaan materi kimia sebesar 63,39 % dengan kategori baik.
Karaktersitik NOS yang sangat baik terdapat pada karakteristik metode ilmiah. Hal ini disebabkan
oleh sebagian besar matakuliah disertai dengan pengenalan pengalaman melaksanakan metode
ilmiah melalui praktikum. Sedangkan sebagian matakuliah yang lainnya menyajikan deskripsi
tentang bagaimana percobaan-percobaan dilakukan oleh peneliti terdahulu. Percobaan-percobaan
yang tak dapat dipraktikumkan di laboratorium kampus disajikan dalam bentuk ilustrasi gambar,
skema, atau video.
Sedangkan karakteristik pengetahuan ilmiah bersifat tentatif, pengetahuan ilmiah berasal dari
data empiris, hukum ilmiah, teori ilmiah, dan penanaman sains dalam bidang sosial budaya muncul
dengan persentase dengan kategori baik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar bahan ajar telah
menampilkan berbagai perubahan teori-teori kimia, data-data pendukung hukum dan teori ilmiah.
Sedangkan pada aspek pengetahuan ilmiah sebagai produk inferensi manusia, pengetahuan tidak
lepas dari pemahaman ilmuan, dan dimensi sosial sains muncul dengan kategori cukup baik. Hal ini
disebabkan oleh sebagian kecil saja dari bahan ajar menyajikan bagaimana sejarah latar belakang
penemuan dan cara berpikir para ilmuwan. Ketika menyampaikan materi pengajaran kimia,
sebagian dosen tidak menyajikan nama hukum yang bersesuaian dengan materi pengajaran tersebut.
Misalnya saja pada materi sifat koligatif larutan, disampaikan tanpa memperkenalkan hukum Roult.
Tidak ada dosen yang mendeskripsikan kedudukan hukum dibandingkan teori.
Pemanfaatan Teknologi Mobile dalam Pembelajaran
Tingkat pemanfaatan teknologi mobile di dalam pembelajaran oleh dosen cukup baik yakni
mencapai 55,56 %. Persentase pemanfaatan teknologi mobile oleh dosen pendidikan kimia IKIP
Mataram pada beberapa aspek yang menjadi fokus dalam studi ini tersaji dalam tabel 5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dosen telah memanfaatkan teknologi mobile
untuk tujuan komunikasi dan diskusi dengan mahasiswa. Dosen telah memanfaatkan teknologi
mobile untuk tujuan pencarian informasi dan sumber belajar dan menyampaikan tugas
pembelajaran kepada mahasiswa dengan baik. Pemanfaatkan aplikasi-aplikasi mobile yang ada
untuk menyampaikan materi pelajaran cukup baik. Namun hanya sebagian kecil dosen yang telah
membuat aplikasi berbasis teknologi mobile untuk kebutuhan pembelajaran dan sangat sedikit
dosen yang menjadikan pembelajaran mobile sebagai strategi pembelajaran yang terencana dan
tertera di dalam dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran.
Tabel 5. Pemanfaatan Teknologi Mobile dalam Pembelajaran
Aspek
Persentase
kriteria
(%)
Kriteria
Memanfatkan teknologi Mobile untuk komunikasi dan diskusi
dengan mahasiswa 87,50
Sangat
Baik
Memanfaatkan teknologi mobile untuk pencarian informasi dan
sumber belajar 70,83 Baik
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan
Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978
Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 471
Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Memanfaatkan teknologi mobile untuk penyampian tugas-tugas
pembelajaran 66,67 Baik
Membuat aplikasi mobile untuk kebutuhan pembelajaran 37,50
Kurang
baik
Menyampaikan mater