apppintb.orgapppintb.org/wp-content/uploads/2018/11/prosiding-semnas-apppi-ntb... · prosiding...

157
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978 Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 446 Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat ANALISIS KEMAMPUAN SPASIAL SISWA KELAS VII SMPN 1 MALUK MELALUI AKTIVITAS CUT FOLDING PAPER PADA PEMBELAJARAN BERKERANGKA KERJA ELPSA Kanti Warih Ade Indriani SMPN 4 Taliwang e-mail: [email protected] Abstrak: Kurangnya pemanfaatan media visual pada pembelajaran sehingga kemampuan siswa kurang dalam menginterpretasikan gambar-gambar dalam bentuk visual. Padahal materi geometri erat kaitannya dengan bentuk bangun dan ruang yang membutuhkan visualisasi secara konkret bukan hanya sekedar menghafal rumus dan mengerjakan soal-soal. Sehingga hal inilah yang menyebabkan geometri dinilai materi paling sulit dibuktikan dengan minat siswa yang kurang dan hasil belajar yang rendah. Dalam pembelajaran berkerangka elpsa terdapat komponen pictorial yaitu merepresentasikan gambaran materi termasuk didalamnya adalah pemanfaatan dan penggunaan media. Tujuan penelitian untuk mengetahui kemampuan spasial siswa. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 1 Maluk. Dengan tahapan penelitian adalah memorize, predict, dan check melalui aktivitas cut folding paper (menggunting kertas terlipat). Hasilnya adalah kemampuan spasial siswa pada aktivitas pertama memperoleh skor pencapaian berkategori sedang,baik dan baik sekali. Artinya siswa tidak banyak menemui kesulitan. Sedangkan pada aktivitas kedua skor pencapaian sedang, rendah dan sangat rendah. Artinya kemampuan spasial siswa SMPN 1 Maluk masih belum terlatih, disebabkan kurangnya pemanfaatan media dan pembelajaran yang menggunakan visualisasi objek. Saran penelitian adalah pengoptimalan dalam pemanfaatan media visual pada pembelajaran geometri Kata Kunci: Kemampuan Spasial, Aktivitas Cut Folding Paper, ELPSA PENDAHULUAN Sesuai kurikulum nasional, matematika merupakan materi wajib yang harus diberikan terutama pada pendidikan dasar dan menengah. Tetapi berdasarkan fakta yang ada, matematika masih merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang diminati oleh siswa. Dikarenakan matematika masih dianggap pelajaran yang membosankan dan sulit. Sesuai yang diungkap (Liberna, 2012), banyak orang yang menilai bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan tidak mudah dikuasai. Apalagi ketika menjumpai soal-soal matematika yang sulit, minat siswa kurang dan bahkan cenderung untuk menghindarinya. Sejalan dengan pendapat Abdurrahman dalam (Surya, 2012) bahwa dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih bagi siswa yang berkesulitan belajar. Oleh sebab itu, berbagai upaya yang dilakukan oleh guru untuk dapat menciptakan pembelajaran Matematika yang dapat meningkatkan minat siswa. Salah satunya dengan pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbol, Application). Lowrie & Patahuddin dalam (Indriani,2017) menyatakan ELPSA adalah alternatif pilihan untuk menbantu guru dalam upaya meningkatkan mutu pengajaran di sekolah. Karena metode/pendekatan yang dipakai dalam ELPSA menggunakan pendekatan cooperative learning yang lebih jelas dan lebih terperinci . ELPSA merupakan desain pembelajaran yang terdiri dari lima urutan yaitu komponen E (experience) adalah pengalaman siswa yang dibawa kedalam pembelajaran dan yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran. Komponen L (language) adalah bahasa pengantar yang digunakan guru untuk menjembatani pengalaman siswa kedalam materi yang dipelajari, komponen P (Pictorial) merupakan representasi gambaran materi yang dipelajari baik berupa table, rumus, pola, diagram, dan lain sebagainya. Ketepatan guru dalam memilih,

Upload: dinhxuyen

Post on 23-Mar-2019

287 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 446

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

ANALISIS KEMAMPUAN SPASIAL SISWA KELAS VII SMPN 1 MALUK MELALUI

AKTIVITAS CUT FOLDING PAPER PADA PEMBELAJARAN

BERKERANGKA KERJA ELPSA

Kanti Warih Ade Indriani

SMPN 4 Taliwang

e-mail: [email protected]

Abstrak: Kurangnya pemanfaatan media visual pada pembelajaran sehingga kemampuan

siswa kurang dalam menginterpretasikan gambar-gambar dalam bentuk visual. Padahal materi

geometri erat kaitannya dengan bentuk bangun dan ruang yang membutuhkan visualisasi secara

konkret bukan hanya sekedar menghafal rumus dan mengerjakan soal-soal. Sehingga hal inilah

yang menyebabkan geometri dinilai materi paling sulit dibuktikan dengan minat siswa yang

kurang dan hasil belajar yang rendah. Dalam pembelajaran berkerangka elpsa terdapat komponen

pictorial yaitu merepresentasikan gambaran materi termasuk didalamnya adalah pemanfaatan dan

penggunaan media. Tujuan penelitian untuk mengetahui kemampuan spasial siswa. Jenis

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMPN 1

Maluk. Dengan tahapan penelitian adalah memorize, predict, dan check melalui aktivitas cut

folding paper (menggunting kertas terlipat). Hasilnya adalah kemampuan spasial siswa pada

aktivitas pertama memperoleh skor pencapaian berkategori sedang,baik dan baik sekali. Artinya

siswa tidak banyak menemui kesulitan. Sedangkan pada aktivitas kedua skor pencapaian sedang,

rendah dan sangat rendah. Artinya kemampuan spasial siswa SMPN 1 Maluk masih belum

terlatih, disebabkan kurangnya pemanfaatan media dan pembelajaran yang menggunakan

visualisasi objek. Saran penelitian adalah pengoptimalan dalam pemanfaatan media visual pada

pembelajaran geometri

Kata Kunci: Kemampuan Spasial, Aktivitas Cut Folding Paper, ELPSA

PENDAHULUAN

Sesuai kurikulum nasional, matematika merupakan materi wajib yang harus diberikan terutama

pada pendidikan dasar dan menengah. Tetapi berdasarkan fakta yang ada, matematika masih

merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang diminati oleh siswa. Dikarenakan matematika

masih dianggap pelajaran yang membosankan dan sulit. Sesuai yang diungkap (Liberna, 2012),

banyak orang yang menilai bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan tidak mudah dikuasai.

Apalagi ketika menjumpai soal-soal matematika yang sulit, minat siswa kurang dan bahkan

cenderung untuk menghindarinya. Sejalan dengan pendapat Abdurrahman dalam (Surya, 2012)

bahwa dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi

yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih bagi siswa

yang berkesulitan belajar. Oleh sebab itu, berbagai upaya yang dilakukan oleh guru untuk dapat

menciptakan pembelajaran Matematika yang dapat meningkatkan minat siswa. Salah satunya dengan

pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja ELPSA (Experience, Language, Pictorial, Symbol,

Application).

Lowrie & Patahuddin dalam (Indriani,2017) menyatakan ELPSA adalah alternatif pilihan

untuk menbantu guru dalam upaya meningkatkan mutu pengajaran di sekolah. Karena

metode/pendekatan yang dipakai dalam ELPSA menggunakan pendekatan cooperative learning

yang lebih jelas dan lebih terperinci . ELPSA merupakan desain pembelajaran yang terdiri dari lima

urutan yaitu komponen E (experience) adalah pengalaman siswa yang dibawa kedalam pembelajaran

dan yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran. Komponen L (language) adalah bahasa

pengantar yang digunakan guru untuk menjembatani pengalaman siswa kedalam materi yang

dipelajari, komponen P (Pictorial) merupakan representasi gambaran materi yang dipelajari baik

berupa table, rumus, pola, diagram, dan lain sebagainya. Ketepatan guru dalam memilih,

mailto:[email protected]

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 447

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

menentukan, dan menggunakan media pembelajaran termasuk implementasi dari komponen

pictorial. Sedangkan komponen berikutnya adalah S (symbol) adalah simbol-simbol atau lambang-

lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka, notasi, tanda bilangan dan sebagainya,

latihan soal dan tugas termasuk kedalam komponen ini. Komponen yang terakhir yaitu A

(application) merupakan penerapan konsep kedalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan

yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya. Pada penelitian ini difokuskan pada komponen pictorial

saja karena berkaitan dengan representasi gambar dalam hal penggunaan visualisasi media melalui

kegiatan cut foldimg paper (menggunting kertas terlipat).

Dari pengamatan dan pengalaman peneliti serta hasil diskusi dengan teman-teman guru di

forum MGMP geometri merupakan materi yang tergolong sulit dibuktikan dengan hasil pencapaian

nilai siswa selalu rendah. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor di antaranya yaitu siswa

cenderung hanya menghafalkan rumus dan kurang memahami konsep secara benar, metode/model

pembelajaran guru yang kurang tepat. Dan atau dikarenakan faktor penyebab lainnya, seperti minat

siswa terhadap matematika dan lain sebagainya. Kurangnya pemanfaatan media visual pada

pembelajaran sehingga kemampuan siswa kurang dalam menginterpretasikan gambar-gambar dalam

bentuk visual. Padahal materi geometri erat kaitannya dengan bentuk bangun dan ruang yang

membutuhkan visualisasi secara konkret bukan hanya sekedar menghafal rumus dan mengerjakan

soal-soal. Sehingga dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan rendahnya

prestasi belajar matematika siswa.

Mengingat akan hal ini visualisasi sangat diperlukan dalam menanamkan konsep pemikiran

geometri karena untuk dapat menyelesaikan masalah dalam geometri dibutuhkan analisis, penalaran

perhitungan dan imajinasi yang tinggi. Kemampuan dalam visualisasi ini merupakan salah satu

bentuk kemampuan spasial. Linn dan Petersen (National Academy of Science, 2006:44) dalam

(susanti,2013) mengelompokkan kemampuan spasial ke dalam tiga kategori yaitu: (1) persepsi

spasial (spatial perception), (2) rotasi mental, dan (3) visualisasi spasial.

Spasial dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti sesuatu yang berkenaan dengan ruang dan

tempat. Sedangkan kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam melakukan

sesuatu. Sehingga kemampuan spasial adalah satu konsep dalam berpikir spasial. (Ristontowi,2013)

menyatakan kemampuan spasial (pandang ruang) yaitu (1) kemampuan untuk mempersepsi yakni

menangkap dan memahami sesuatu melalui panca indra, (2) kemampuan mata khususnya warna dan

ruang, (3) kemampuan untuk mentransformasikan yakni mengalih bentukkan hal yang ditangkap

mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam

pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan, sketsa dan

kolase, untuk mengetahui kemampuan spasial siswa pada penelitian ini, peneliti menggunakan

aktivitas cut folding paper atau menggunting kertas terlipat. Tahap spasial yang digunakan yaitu

yaitu memorize/membayangkan (M), predict/memprekdisikan (P), dan check/mengecek hasilnya

(C). Tahap memorize yaitu siswa membayangkan bentuk visual yang diberikan pada perubahan

bentuk kertas jika digunting, tahap predict yaitu siswa akan memprediksikan bentuk yang terjadi

dengan cara mempresentasikannya kedalam gambar atau sketsa. Sedangkan tahap check adalah

dimana siswa akan mengecek kebenaran prediksinya dengan mempraktekkannya secara langsung.

Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui kemampuan spasial siswa melalui

aktivitas spatial reasoning pada pembelajaran berkerangka kerja ELPSA dengan pertanyaan

penelitian yaitu: Bagaimanakah kemampuan spasial siswa kelas VII SMPN 1 Maluk melalui

aktivitas cut folding paper pada pembelajaran berkerangka kerja ELPSA?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Dilaksanakan di SMPN 1 Maluk

pada tanggal 22 Mei 2018. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN 1 Maluk berjumlah

24 orang. Jumlah siswa putra 9 orang, dan siswa putri 15 orang. Siswa tersebut sudah mendapatkan

pembelajaran berkerangka kerja ELPSA selama 6 bulan. Data Penelitian diperoleh melalui aktivitas

cut folding paper (menggunting kertas terlipat) dengan tahapan yaitu, aktivitas pertama, siswa

diperlihatkan kertas yang dilipat satu kali jika digunting pada 1 sudut, 2 sudut, 3 sudut, dan 4 sudut.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 448

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kemudian siswa diminta membayangkan apa yang terjadi pada hasil guntingan jika dibuka.

Berikutnya diberikan hasil guntingan berupa bintang dengan 4 sudut, siswa diminta untuk

membayangkan pola guntingan pada kertas terlipat satu kali selanjutnya siswa diminta membuat

pola bebas dan hasil guntingan yang terjadi sesuai pola yang dibuat. Lalu siswa memprediksikan

jawabannya dengan menggambarkan hasil guntingan dikertas. Berikutnya pada aktivitas kedua,

kertas yang dilipat dua kali akan digunting dengan proses yang sama. Kemudian siswa diminta

mengecek jawaban dengan mempraktekkan secara langsung pada kegiatan menggunting kertas.

Instrumen penelitian ini adalah lembar observasi. Pengolahan data dilakukan melalui hasil

jawaban siswa, Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan kategorisasi karakteristik

kemampuan spasial sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Deskripsi kemampuan spasial

dan, penarikan kesimpulan.

Tabel 1. Indikator Kemampuan Spasial

No Indikator Aspek yang Diukur Skor

1 Kemampuan untuk

mempersepsi yakni

menangkap dan

memahami sesuatu

melalui panca indra,

Siswa mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang ditunjukkan

guru

Siswa kurang mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang

ditunjukkan guru

Siswa tidak mampu memahami aktivitas sesuai petunjuk berdasarkan objek yang

ditunjukkan guru

2

1

0

2 Kemampuan mata

khususnya warna dan

ruang

Siswa mampu menggambarkan hasil guntingan

Siswa kurang mampu menggambarkan hasil guntingan

Siswa tidak mampu menggambarkan hasil guntingan

2

1

0

3 Kemampuan untuk

mentransformasikan

yakni mengalih bentukkan

hal yang ditangkap mata

ke dalam bentuk wujud

lain, misalnya

mencermati, merekam,

menginterpretasikan

dalam pikiran lalu

menuangkan rekaman dan

interpretasi tersebut ke

dalam bentuk lukisan,

sketsa dan kolase..

Siswa mampu membuat pola sendiri

Siswa kurang mampu membuat pola sendiri

Siswa tidak mampu membuat pola sendiri

2

1

0

Teknik penilaian

Tidak mampu = 0; kurang mampu = 1; mampu = 2

Metode penilaian

Kategori penilaian

0 19 = Kategori sangat rendah

20 39 = kategori rendah

40 59 = Kategori Sedang

60 79 = Kategori Baik

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 449

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

80 100= kategori baik sekali

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari analisis data yang dilakukan, pada aktivitas 1 dan 2 yaitu pada kegiatan memotong

kertas dengan 1 lipatan dan 2 lipatan diperoleh hasil pada masing-masing indikator sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Analisis Aktivitas 1 Dan 2 Pada Masing-Masing Indikator

Aktivitas Indikator Kegiatan Skor Pencapaian

Aktivitas 1

Kemampuan persepsi

1 sudut 100

2 sudut 90

3 sudut 75

4 sudut 69

Kemampuan mata

1 sudut 98

2 sudut 56

3 sudut 58

4 sudut 58

Kemampuan

transformasi

pola bintang 71

pola bebas 56

Aktivitas 2

Kemampuan persepsi

1 sudut 69

2 sudut 52

3 sudut 33

4 sudut 42

Kemampuan mata

1 sudut 65

2 sudut 48

3 sudut 31

4 sudut 40

Kemampuan

transformasi

pola bintang 23

pola bebas 27

Dari data yang sudah dianalisis, pada aktivitas 1 dan 2 pada kegiatan memotong kertas

dengan 1 lipatan dan 2 lipatan diperoleh hasil analisis data berdasarkan kemampuan spasial siswa

sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Analisis Data Berdasarkan Kategori Kemampuan Spasial Siswa

Aktivitas Kategori

Sangat rendah Rendah Cukup Baik Baik sekali

Aktivitas 1 0 1 6 10 7

Aktivitas 2 10 4 3 2 5

PEMBAHASAN

A. Hasil analisis aktivitas 1 Berdasarkan hasil analisis aktivitas pertama dilihat pada kemampuan persepsi siswa yaitu

kemampuan siswa dalam menangkap,memahami sesuatu memalui panca indera, diperoleh data

sebagai berikut; pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat satu kali, skor pencapaian

100 yang artinya siswa tidak mengalami kesulitan sama sekali. Pada kegiatan menggunting 2 sudut,

diperoleh skor pencapaian 90 yang artinya kemampuan persepsi siswa sangat baik. Pada kegiatan

menggunting 3 sudut, skor pencapaiannya adalah 75 termasuk kedalam kategori baik.. Pada

kegiatan menggunting 4 sudut, diperoleh skor pencapaian 69. Pada aktivitas ini skor termasuk

kedalam kategori baik. Artinya beberapa siswa masih menemui kesulitan dalam mempersepsikan

bentuk yang diberikan..

Dari analisis data yang didapat ditinjau dari kemampuan mata yaitu tentang ruang dan

warna. Kemampuan ini merupakan kemampuan siswa dalam memprediksikan bentuk dengan cara

menggambarkannya di kertas. Diperoleh data sebagai berikut:

Pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat satu kali skor yang diperoleh adalah

98. Artinya kemampuan siswa termasuk dalam kategori baik sekali. Pada kegiatan menggunting 2

sudut diperoleh skor pencapaian 56. Artinya kemampuan siswa dalam menggambarkan bentuk

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 450

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

guntingan termasuk kedalam kategori sedang. Pada kegiatan menggunting 3 sudut dan 4 sudut pada

kertas terlipat satu skor pencapaiannya adalah 58. Skor ini termasuk kedalam kategori sedang.

Dari analisis data yang dilihat dari kemampuan transformasi siswa yaitu Kemampuan

mengalih bentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati,

merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke

dalam bentuk lukisan, sketsa dan kolase diperoleh data sebagai berikut:

Pada kegiatan membuat pola guntingan yang menghasilkan potongan berbentukbintang 4

sudut diperoleh skor pencapaian adalah 71. Artinya kemampuan transformasi siswa termasuk

kedalam kategori baik. Pada kegiatan membuat pola bebas serta memprediksikan hasil

guntingannya, skor pencapaiannya adalah 56, artinya kemampuan siswa dalam membuat pola bebas

dan memprekdisikan hasil guntingannya termasuk kedalam kategori sedang.

Hasil analisis aktivitas 2

Berdasarkan analisis aktivitas kedua dilihat dari kemampuan persepsi siswa dalam

menangkap,memahami sesuatu melalui panca indera, diuraikan sebagai berikut:

Pada kegiatan menggunting satu sudut diperoleh skor pencapaian 69, skor ini termasuk kategori

baik. Pada aktivitas selanjutnya yaitu kegiatan menggnting dua sudut diperoleh skor 52, artinya

kemampuan siswa pada kegiatan ini termasuk kategori sedang. Pada kegiatan menggunting tiga

sudut skor pencapaiannya adalah 33, artinya kemampuan siswa dalam memahami kegiatan ini

termasuk kategori rendah. Sedangkan pada kegiatan menggunting empat sudut skor yang dicapai

adalah 42. Skor ini termasuk kategori sedang.

Berdasarkan analisis aktivitas kedua ditinjau dari kemampuan mata dalam ruang dan warna

adalah sebagai berikut:

Pada kegiatan menggunting 1 sudut kertas yang terlipat dua kali skor pencapaiannya adalah 65 yang

artinya termasuk kedalam kategori baik. Sedangkan skor yang diperoleh pada kegiatan

menggunting dua sudut adalah 48. Artinya kemampuan siswa termasuk dalam kategori sedang.

Pada kegiatan menggunting 3 sudut diperoleh skor pencapaian 31. Artinya kemampuan siswa dalam

menggambarkan bentuk guntingan termasuk kedalam kategori rendah. Pada kegiatan menggunting

4 sudut pada kertas terlipat dua skor pencapaiannya adalah 40 Skor ini termasuk kedalam kategori

sedang. Selanjutnya analisis aktivitas kedua ditinjau dari kemampuan transformasi pada

Kemampuan siswa dalam mengalih bentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud

lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman

dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan, sketsa dan kolase, diperoleh data sebagai berikut:

Pada kegiatan membuat pola guntingan yang menghasilkan potongan berbentuk bintang 4 sudut

diperoleh skor pencapaian 23. Artinya kemampuan transformasi siswa termasuk kedalam kategori

rendah. Pada kegiatan membuat pola bebas serta memprediksikan hasil guntingannya, skor

pencapaiannya adalah 27, artinya kemampuan siswa dalam membuat pola bebas dan

memprekdisikan hasil guntingannya termasuk kedalam kategori rendah. Kedua kegiatan ini

mempunyai skor pencapaian terendah dibandingkan kegiatan lainnya. Artinya rata-rata siswa sangat

kesulitan dalam mentransformasikan bentuk yang abstrak kedalam bentuk konkret atau

menggambarkannya.

B. Hasil analisis kemampuan spasial siswa Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari kemampuan spasial siswa diperoleh data

sebagai berikut:

Pada aktivitas pertama tidak ada siswa yang termasuk kedalam kategori sangat rendah. Sedangkan

pada kategori rendah terdapat 1 orang siswa. Pada kategori sedang diperoleh 6 orang siswa. 10

orang siswa mempunyai kemampuan spasial kategori baik. Dan 7 orang termasuk kedalam kategori

baik sekali. Artinya pada aktivitas pertama ini yaitu menggunting kertas yang terlipat satu kali

sebagian besar siswa sudah mampu memahami aktivitas baik dalam ruang dan

menstransformasikan bentuk.

Sedangkan pada aktivitas kedua yaitu menggunting kertas yang terlipat dua kali, terdapat

data 10 orang siswa termasuk kedalam kategori sangat rendah, 4 orang siswa masuk kedalam

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 451

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

kategori rendah, 3 orang siwa berkategori sedang, dan 2 orang siswa termasuk kategori baik, serta 5

orang siswa yang masuk kedalam kategori sangat baik. Dilihat dari proporsi jumlah dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar siswa masuk kedalam kategori sedang kebawah, artinya

kemampuan spasial siswa pada kegiatan kedua ini masih rendah. Siswa belum mampu dalam

mempersepsikan ruang ruang atau bentuk yang diterima oleh panca indera dan kemudian

menstransformasikan kedalam bentuk lain pada kertas yang terlipat dua kali.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kemampuan spasial siswa

pada aktivitas pertama yaitu pada kegiatan menggunting kertas yang terlipat satu kali rata-rata skor

pencapaian kemampuan spasial berkategori sedang, baik dan sangat baik. Artinya sebagian besar

siswa mampu mempersepsi dalam menangkap dan memahami ruang melalui panca indra serta

mentransformasikan kedalam bentuk lainnya. Dikarenakan kegiatan ini merupakan kegiatan yang

sederhana sehingga siswa tidak banyak mengalami kesulitan. Tetapi, ketika ditingkatkan

kesulitannya pada aktivitas kedua yaitu menggunting kertas terlipat dua kali siswa banyak

mengalami kesulitan. Dilihat dari skor pencapaian pada indikator kegiatan yang rata-rata termasuk

kedalam kelompok sedang, rendah dan sangat rendah. Artinya kemampuan spasial siswa SMPN 1

Maluk masih belum terlatih, disebabkan kurangnya pemanfaatan media dan pembelajaran yang

menggunakan visualisasi objek. Sesuai dengan penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa di

Indonesia, siswa di sekolah kesulitan dalam belajar matematika khususnya dalam memahami

permasalahan mempresentasikan apa yang ada dalam pikirannya (visual thinking) dan memecahkan

masalah matematika padahal pemecahan masalah matematika merupakan jantung dari matematika

dan visualisasi merupakan inti dari matematika (surya, 2012). Sejalan dengan penelitian

(Indriani,2017) juga memperoleh hasil bahwa komponen pictorial guru matematika di KSB paling

rendah dibandingkan komponen lain pada pembelajaran yang menggunakan kerangka kerja

ELPSA. pemanfaatan dan penggunaan media pada pembelajaran guru Matematika di kabupaten

Sumbawa Barat belum optimal.

Sebagai rekomendasi dari peneliti dalam mengatasi permasalahan diatas, pentingnya

pengoptimalan dalam pemanfaatan dan penggunaaan media visual pada pembelajaran Matematika

yang berkaitan dengan materi geometri. Harapan peneliti dapat melaksanakan penelitian lanjutan

dengan memberikan perlakuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kemampuan spasial siswa.

Dan semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya sebagai upaya

dalam peningkatan kualitas pembelajaran Matematika khususnya pada materi geometri.

DAFTAR RUJUKAN

Boakes, Norma J. 2011. Origami and Spatial Thinking of College-Age Student. Taylor and Francais

Group,LLC.

Indriani KWAI, (2017). Analisis kualitas perancangan RPP dengan menggunakan kerangka kerja

ELPSA pada focused group discussion di kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Didaktik

Matematika Unsyiah. 4 (1), 25-34

Liberna, Hawa. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui

Penggunaan Metode IMPROVE pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal

Formatif. 2(3): 190-197.

Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015a). ELPSA as a lesson design framework. Journal on

Mathematics Education, 6(2), 1-15.

Ristontowi, R. (2013). Kemampuan Spasial Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika

Realistik Indonesia Dengan Media geogebra. In Prosiding Seminar Nasional Matematika dan

Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Surya E. (2012). Visual thinking dalam memaksimalkan pembelajaran matematika siswa dapat

membangun karakter bangsa. Jurnal penelitian dan pembelajaran matematika 5 (1), 41-50

Susanti L. (2013). Pembelajaran berbasis origami untuk meningkatkan visualisasi spasial dan

kemampuan geometri siswa SMP. Mathedunesa 2 (2). 1-8

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 452

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tambunan, S. M. (2010). Hubungan antara kemampuan spasial dengan prestasi belajar

matematika. Hubs-Asia, 9(2)

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 453

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

REPRESENTASI HIPERGRAF PADA ALJABAR

Lalu Abd Azis Mursy1; I Gede Adhitya Wisnu Wardhana

2; Irwansyah

3; Ni Wayan

Switrayni4; Qurratul Aini

5

1,2,3,4,5 Program Studi Matematika Fakutas MIPA Universitas Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Hipergraf merupakan perumuman dari graf dimana sebuah sisi dapat terhubung

dengan lebih dari satu simpul. Hipergraf memberikan solusi yang lebih efektif dari graf biasa dalam

beberapa kasus. Seperti pada graf biasa, dalam penyelesaian masalah terkait hipergraf, digunakan

pendekatan Aljabar. Diantaranya matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks. Pada tulisan

ini akan mengulas beberapa bentuk representasi hipergraf pada aljabar yang bertujuan agar

mempermudah menemukan solusi dari permasalahan yang ada.

Kata Kunci: Hipergraf, Matriks Ketetanggaan, Nilai Eigen, Spektrum Matriks

PENDAHULUAN

Hipergraf merupakan perumuman dari graf dimana sebuah sisi dapat terhubung dengan lebih

dari satu simpul. Hipergraf awalnya dikembangkan di Perancis oleh Claude Berge pada tahun 1960

dan masih dipelajari sampai saat ini. Hipergraf memberikan solusi yang lebih efektif dari graf biasa

dalam beberapa kasus. Graf hanya menghubungkan sebuah sisi ke sepasang simpul, sedangkan

hipergraf menghubungkan sebuah sisi dengan lebih dari satu simpul.

Penerapan teori hipergraf saat ini sangat banyak diterapkan seperti dalam ilmu kimia, ekonomi

dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Perkembangan teori hipergraf tidak terlepas dari ilmu aljabar. Suatu

hipegraf dapat dikaji melalui sifat-sifat aljabar yaitu melalui representasi hipergraf dalam suatu matriks.

Pada umumnya, hipergraf didasari pada nilai eigen dari representasi matriks. Menentukan nilai eigen

dari persamaan karakteristik matriks merupakan hal yang harus diperhatikan dalam melihat spektrum

hipergraf.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengulas tentang Representasi Hipergraf

pada Aljabar, dengan harapan dapat memberikan materi yang berhubungan dengan teori hipergraf,

baik dalam memahami berbagai permasalahan dalam bidang ilmiah atau yang lainnya. Sehingga hasil

ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan atau tambahan referensi khususnya pada bidang teori

hipergraf.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif

dan metode kepustakaan (Library Reasearch). Pengumpulan data dan informasi didapatkan dengan

banntuan buku-buku, jurnal dan sumber kepustakaan lainnya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:

1. Melakukan pencarian terhadap beberapa literatur yang mendukung tentang teori hipergraf, meliputi matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks.

2. Menggambar hipergraf 3. Menentukan matriks ketetanggaan dari hipergraf 4. Mencari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks ketetanggaan 5. Mencari spektrum matriks ketetanggaan 6. Menyimpulkan hasil penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Definisi 1

Suatu Hipergraf orde n dan ukuran m adalah struktur , dengan { }

adalah himpunan hingga dan { } adalah koleksi himpunan bagian dari sehingga dan . (Bretto, Alain, 2013)

mailto:[email protected]

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 454

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Untuk menggambarkan Hiperedge , jika > 2 digambarkan sebagai kurva yang mengelilingi semua vertex . jika = 2 digambarkan sebagai garis yang menghubungkan kedua vertek tersebut. jika = 1 digambarkan sebagai loop seperti dalam suatu graf. Jelas jika = 2, hipergraf adalah graf.(Claude, B, 1976) Untuk mempermudah memahami defiinisi hipergraf, berikut ini diberikan contoh gambar sebuah

hipergraf

Gambar 1. Hipergraf

Dari hipergraf gambar 1, diperoleh:

(1) Hiperedge adalah himpunan bagian dari { } , yaitu { } ,

{ } , { } , { } . Jadi diperoleh dan (2) Dua vertek dikatakan bertetangga dalam jika terdapat hiperedge yang memuat

kedua titik tersebut. Contoh bertetangga dengan karena { } (3) Dua hiperedge dikatakan bertetangga jika irisannya bukan himpunan kosong. Contoh

bertetangga dengan karena { } Beberapa kategori hipergraf diantaranyya:

(1) Hipergraf dikatakan sederhana apabila tidak ada sehingga .

(2) Hipergraf dikatakan linier apabila untuk semua berlaku | |

(3) Hipergraf dikatakan -Seragam apabila untuk semua , . Definisi 2

Misalkan adalah Hipergraf dengan orde dan ukuran . Misalkan pula { }. Matriks ketetanggan dari adalah matriks yang entri-entrinya adalah , dengan

{ {{ } }

Definisi 3

Jika A adalah suatu matriks , maka vektor tak nol pada disebut suatu vektor eigen dari A jika adalah suatu penggandaan skalar dari , yaitu untuk suatu skalar . Skalar disebut nilai eigen dari A, dan x disebut suatu vektor eigen dari A yang berpadanan dengan . Definisi 4

Spektrum dari Matriks Ketetanggan biasanya dinotasikan dengan yang merupakan himpunan nilai-nilai eigen dan multiplisitasnya adalah

(

)

Untuk memperjelas beberapa definisi diatas, akan diberikan sebuah hipergraf linier berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 455

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Gambar 2. Hipergraf Linier

Dari hipergraf gambar 2, dengan { } dan { } diperoleh matriks ketetanggaan sebagai berikut:

[

]

Dengan bantuan MATLAB, diperoleh nilai eigen untuk matriks ketetanggan tersebut yaitu 2.9, 2.03, 1.2, 0.3, 0, -0.6, -1,36, -1.84, -1.70 dan -1 .

Gambar 3. Hasil nilai eigen dengan program Matlab

Sehingga dapat dibentuk spektrum matriks ketetanggaannya, yaitu:

(

)

KESIMPULAN

Sebelum melakukan beberapa penelitian terkait hipergraf, terlebih dahulu teori dasar dari

hipergraf harus dimengerti dengan baik. Representasi hipergraf pada aljabar merupakan hal yang

perlu dipelajari dalam teori hipergraf. Mengetahui matriks ketetanggaan dan nilai eigen akan

membantu kita menemukan spektrum hipergraf. Untuk mempermudah semua itu, bantuan program

komputer juga sangat diperlukan. Seperti halnya yang telah ditulis pada pembahasan tentang

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 456

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

definisi matriks ketetanggaan, nilai eigen dan spektrum matriks serta hal-hal yang perlu dilakukan

dalam mencari spektrum hipergraf.

Hipergraf mampu memahami masalah dalam berbagai bidang ilmiah. Selain itu sekarang

diketahui bahwa teori hipergraf adalah alat yang sangat berguna untuk menyelesaikan masalah

optimasi seperti masalah penjadwalan, masalah lokasi dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis

menyarankan agar tulisan ini bisa dikembangkan seiring dengan perkembangan kebermanfaatan

hipergraf.

DAFTAR PUSTAKA

Anton, Howard. (2000). Dasar-Dasar Aljabar Linier Jilid 2. Jakarta : Penerbit Interaksara.

Bretto, A. (2013). Hypergraph Theory. Caen : University of Caen.

Claude, B. (1976). Graphs and Hypergraph. Paris : University of Paris.

Voloshin, V. (2009). Introduction To Graph and Hypergraph Theory.New York: Nova Science

Pulisher, Inc.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 457

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

PENINGKATAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE (PCK) CALON GURU

MATEMATIKA MELALUI PERANCANGAN RPP

BERKERANGKA KERJA ELPSA

Zainal Abidin1; Sabrun

2

1,2Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP Mataram

e-mail: [email protected]

Abstrak: Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan seseorang sangat

ditentukan oleh seberapa besar kualitas pengetahuan dan kemapuan dalam mempersiapkan RPP

pada setiap proses pembelajaran yang dilaksanakan. Kurangnya kualitas dan kesesuaian persiapan

guru dalam merencanakan pembelajaran sebelum memulai kegiatan belajar mengajar

mengakibatkan kualitas pembelajaran tidak maksimal. Hal ini memotivasi peneliti untuk

meningkatkan kualitas perencanaan pengajaran dengan kerangka ELPSA. Kerangka ELPSA

merupakan kerangka pembelajaran yang menarik bagi siswa, karena lebih menekankan pada

pentingnya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan komunikatif karena

kreatifitas guru yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan

menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dalam upaya meningkatkan

kemampuan Pedagogical Conten Knowledge (PCK) Mahasiswa calon guru Matematika. Data

didapatkan dari telaah RPP berkerangka ELPSA dan analisis video penerapan RPP yang dihasilkan

dalam proses pembelajaran mahasiswa calon guru di dalam kelas. Dan dari hasil telaah RPP dan

analisis vidio didapatkan persentase keberhasilan 86,61% untuk data telaah RPP dan 90,21% dari

telaah dan analisis video pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan Perancangan RPP

Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK)

pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Mataram.

Kata Kunci: Pedagogical Conten Knowledge, Calon Guru Matematika, Kerangka Kerja

ELPSA, Pembelajaran, Perancangan RPP

PENDAHULUAN

Proses belajar mengajar di sekolah dilaksanakan dengan maksud dan tujuan untuk menciptakan

sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sehingga memunculkan suatu masyarakat yang

berpendidikan dan memiliki keterampilan atau skill yang berpotensial sebagaimana yang tercantum

dalam pembukaan UUD 1945 dimana salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa. Universitas ataupun perguruan tinggi negeri maupun swasta yang

sederajat merupakan salah satu lembaga formal yang tersediakan dalam rangka meraih tujuan

nasional tersebut.

Berdasarkan pengalaman dan imformasi yang dihimpun peneliti selama lebih dari 3 tahun

sebagai pasilitator pendampingan beberapa MGMP guru matematika yang tersebar di beberapa

Kabupaten dan Kota di Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB), menunjukkan bahwa rata-rata guru

masih kurang mampu mempersiapkan perangkat pembelajaran mereka yang sesuai dengan konteks

yang akan disampaikan dikelas, seperti outline dan RPP. Sedangkan RPP yang mereka miliki

hanya mengadopsi RPP yang diunduh dari Internet tanpa mencermati kesesuaiannya dengan

konteks kelas. Dari hasil penelitian terdahulu (Wiyana, 2013) menyatakan bahwa guru tidak

memiliki motivasi dikarenakan rendahnya pengetahuan guru dalam menyusun Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sehingga mengakibatkan proses pembelajaran yang dilakukan

tidak direncanakan secara maksimal sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas.

Hal ini adalah permasalahan nyata karena perencanaan pengajaran yang tidak baik akan

menghasilkan proses pembelajaran yang tidak maksimal. Seperti yang diungkapkan oleh Bariyah

dkk (2014), bahwa pada umumnya keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan

seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar kualitas perencanaan yang dibuat. Sejalan dengan

mailto:[email protected]

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 458

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

pendapat Hariayanto (2014) yang menyatakan bahwa keberhasilan sebuah kegiatan pembelajaran

ditentukan oleh keberhasilan dalam pembuatan rencana pembelajaran tersebut. Hal ini memotivasi

peneliti untuk meningkatkan kualitas dalam perancangan rencana proses pembelajaran (RPP)

dengan menggunakan penyusunan RPP dengan kerangka ELPSA sehingga calon guru dapat dengan

matang dan terampil dalam mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan maksimal.

Kerangka perancangan rencana proses pembelajaran berbasis ELPSA (Lowrie & Patahuddin,

2015) adalah alternatif pilihan untuk membantu calon guru dalam upaya meningkatkan kempuan

mahasiswa calon guru dalam menghadapi pengajaran di sekolah. Karena metode/pendekatan yang

dipakai dalam ALPSA menggunakan pendekatan cooperative learning yang lebih jelas dan lebih

terperinci khususnya dalam perencanaan kegiatan pembelajaran. ELPSA disusun berdasarkan 5

elemen yaitu Experience (E), pengalaman siswa yang akan dibawa guru sebagai jembatan

memasuki tujuan materi yang akan diajarkan. Elemen kedua yaitu Language (L), yaitu bahasa

penghantar yang digunakan guru dalam menghubungkan pengalaman siswa ke dalam materi yang

akan dipelajari. Elemen yang ketiga yaitu elemen Pictorial (P), yaitu gambaran matematis tentang

materi yang akan dipelajari. Bisa berupa gambar, tabel, diagram, dan lain sebagainya. Elemen yang

keempat adalah Symbol (S), yaitu lambang-lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka,

notasi, tanda bilangan dan sebagainya. Tugas dan latihan siswa termasuk ke dalam elemen ini.

Elemen yang terakhir adalah Aplication (A), dimana siswa sudah mampu menerapkan konsep

materi yang dipelajari dalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan yang berkaitan

dengan disiplin ilmu yang lain.

Pengembangan Pembelajaran berkerangka ELPSA diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuaan dan kemampuan dalam merencanakan perangkat pembelajaran dari setiap calon guru,

khususnya calom guru matematika. Karena pada RPP berkerangka ELPSA menekankan pentingnya

interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan komunikatif karena potensi kreatifitas

guru yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Lowrie

dan Patahuddin (2015) berargumen bahwa kerangka ELPSA melihat pembelajaran sebagai suatu

proses aktif dimana para siswa mengkonstruksikan sendiri cara dalam memahami sesuatu melalui

proses pemikiran individu dan interaksi sosial dengan orang lain. Sesuai pernyataan Mulyasa dalam

(Silaban, 2016) Proses pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik

terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian tentang Bagaimanakah cara

membantu meningkatkan PCK calon guru matematika dalam proses perancangan RPP berkerangka

ELPSA dalam pembelajaran matematika

a. Pedagogical Content Knowledge (PCK)

Pedagogical Content Knowledge merupakan suatu bentuk pengetahuan seseorang atau seorang

guru yang terintegrasi dari, pengetahuan konsep, kepercayaan dan nilai yang dikembangkan guru

pada saat melakukan pembelajaran (Loughran, Erry & Mulhall, 2004 dalam Lee and Julie, 2008).

Oleh sebab itu tanpa pengetahuan PCK yang baik dari seorang guru maka proses transformasi suatu

pengetahuan baru pada siswa tidak akan dapat maksimal.

Shulman (Dahar & Siregar, 2000) meng-identifikasi tujuh pengetahuan dasar tugas mengajar

yang diperlukan untuk meningkat-kan pemahaman pengajar terhadap materi pembelajaran.

Pengetahuan dasar ini mencakup: pengetahuan materi subjek, pengetahuan pedagogi umum,

pengetahuan konten peda-gogi, pengetahuan kurikulum, pengetahuan pembelajar dan

karakteristiknya, pengetahuan strategi mengajar dan pengetahuan konteks pembelajaran. Di bawah

ini diuraikan secara ringkas dari tujuh pengetahuan dasar mengajar tersebut:

1. Pengetahuan materi subjek Pengetahuan ini merujuk pada organisasi pengetahuan guru yang terdiri dari: pengetahuan

konten, mencakup fakta dan konsep dalam suatu disiplin; struktur sintaktikal, mencakup

merumuskan dan cara validasi pengetahuan; struktur substantif mencakup organisasi konten

ilmu.

2. Pengetahuan Pedagogi Umum

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 459

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Pengetahuan ini merujuk pada prinsip-prinsip dan strategi pengelolaan dan organisasi kelas

yang menyangkut pengetahuan umum. Prinsip dan strategi mengajar juga dikendalikan oleh

keyakinan, dan pengetahuan praktis guru.

3. Pengetahuan konten pedagogi Merupakan pengetahuan dalam meng-organisasikan konten, yang cocok untuk tugas mengajar.

Ini mencakup represen-tasinya dalam bentuk yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman

pembelajar.

4. Pengetahuan kurikulum Pengetahuan kurikulum merujuk pada materi dan program yang berfungsi sebagai alat khusus

bagi guru dalam menentukan tujuan pengajaran pada berbagai jenjang kelas.

5. Pengetahuan pembelajar dan karakteristiknya Pengetahuan ini digunakan untuk mengembangkan pengajaran.

6. Pengetahuan strategi mengajar Pengetahuan ini berkaitan dengan cara bekerjanya kelompok kecil disekolah hingga pada

bagaimana organisasi sekolah dan pembiayaan sekolah.

7. Pengetahuan konteks pembelajaran Pengetahuan ini berhubungan konteks yang mengendalikan bentuk-bentuk interaksi kelas.

b. RPP Kerangka ELPSA

Kerangka perancangan rencana proses pembelajaran berbasis ELPSA (Lowrie & Patahuddin,

2015) adalah alternatif pilihan untuk membantu calon guru dalam upaya meningkatkan kempuan

dalam menghadapi pengajaran di sekolah. Karena metode/pendekatan yang dipakai dalam ELPSA

menggunakan pendekatan cooperative learning yang lebih jelas dan lebih terperinci khususnya

dalam perencanaan kegiatan pembelajaran (RPP).

Adapun RPP berkerangka kerja ELPSA disusun berdasarkan 5 elemen yaitu:

- Experience (E), pengalaman siswa yang akan dibawa guru sebagai jembatan memasuki tujuan materi yang akan diajarkan. Pada komponen Experience (Pengalaman) adalah pengetahuan awal

yang dimiliki siswa atau pengalaman yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran untuk

memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat memahami hubungan antara pengetahuannya

dengan konsep atau topik baru yang akan dipelajari. Hal ini dapat dilakukan melalui aktivitas

antara lain curah pendapat, pertanyaan produktif, atau diskusi kelas.

- Language (L), yaitu bahasa penghantar yang digunakan guru dalam menghubungkan pengalaman siswa ke dalam materi yang akan dipelajari. Komponen Language (Bahasa) fokus

pada bahasa umum dan spesifik yang dibutuhkan untuk merepresentasikan ide-ide matematika.

Guru sebaiknya menggunakan bahasa yang tepat dan mendorong siswa untuk menggunakan

bahasa tersebut baik secara lisan maupun tulisan. Siswa didorong untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan pemahaman matematikanya serta berdiskusi dengan teman dan guru.

- Pictorial (P), yaitu gambaran matematis tentang materi yang akan dipelajari. Bisa berupa gambar, tabel, diagram, dan lain sebagainya. Komponen Pictorial pada ELPSA berkaitan dengan

penggunaan gambar untuk merepresentasikan ide-ide matematika, termasuk benda nyata

dan/atau gambar yang dibuat oleh guru maupun siswa. Guru sebaiknya memberikan kesempatan

bagi siswa untuk merepresentasikan ide-ide matematika mereka dalam bentuk gambar dan

menafsirkan gambar yang mewakili konsep-konsep matematika. Lowrie dan Patahuddin (2015)

berpendapat bahwa pemahaman secara komprehensif tentang representasi simbol hanya dapat

dicapai ketika ide-ide matematika didikembangkan secara bertahap antara lain dengan

menggunakan berbagai represetasi gambar.

- Symbol (S), yaitu lambang-lambang yang dipakai dalam matematika, seperti angka, notasi, tanda bilangan dan sebagainya. Tugas dan latihan siswa termasuk ke dalam elemen ini. Komponen

Symbolic (Simbol) mengikuti representasi gambar. Karena berbagai bentuk representasi

mengawali penyajian dan manipulasi simbol, hal ini memungkinkan siswa untuk memaknai dan

menggunakan simbol tersebut. Pemahaman symbol merupakan hal penting bagi siswa untuk

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 460

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

mengembangkan pemikiran secara fleksibel tentang penggunaan simbol agar dapat

mengembangkan pemahaman dan kefasihan mereka tentang simbol.

- Aplication (A), dimana siswa sudah mampu menerapkan konsep materi yang dipelajari dalam pemecahan masalah rutin ataupun non rutin dan yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain.

Komponen terakhir adalah Application (Aplikasi). Komponen ini terkait dengan penerapan

pengetahuan untuk menyelesaikan masalah dalam konteks yang bermakna yang

merepresentasikan pengalaman dalam kehidupan nyata. Ini juga meliputi 3 bagaimana

pemahaman simbol dapat diaplikasikan pada situasi yang baru. Penjelasan lebih rinci tentang

kerangka kerja ELPSA termasuk juga contoh-contohnya disajikan dalam tulisan Lowrie dan

Patahuddin (2015a & b).

Pengembangan Pembelajaran berbasis ELPSA diharapkan dapat meningkatkan pengetahuaan

dan kemampuan dalam merencanakan perangkat pembelajaran dari setiap calon guru, khususnya

calom guru matematika. Karena kerangka pembelajaran ELPSA menekankan pada kreatifitas guru

yang ditonjolkan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Lowrie dan

Patahuddin (2015) berargumen bahwa kerangka ELPSA melihat pembelajaran sebagai suatu

proses aktif dimana para siswa mengkonstruksikan sendiri cara dalam memahami sesuatu melalui

proses pemikiran individu dan interaksi sosial dengan orang lain. Sesuai pernyataan Mulyasa dalam

(Silaban, 2016) Proses pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik

terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

a. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menyediakan dan mempersiapkan calon guru matematika yang siap secara konten dan pedagogical.

2. Untuk mengetahui kemampuan pedagogical content knowledge (PCK) mahasiswa calon guru matematika.

3. Untuk mengetahui kemampuan mahasiswa calon guru dalan perancangan RPP yang berkerangka kerja ELPSA.

b. Manfaat Penelitian

Adapula manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritik a. Untuk bahan tambahan referensi terhadap penyusunan rencana pembelajaran yang

refresentatif terkait proses belajar mengajar disekolah.

b. Sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian yang sejenis dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis

a) Menambah pemahaman guru pada umunnya mengenai pengetahuan dalam meningkatkan mutu pendidikan yang sesuai dengan perkembangan tekhnologi pendidikan.

Memberikan pemahaman akan pengaruh serta manfaat perlunya inovasi dan kreatifitas dalam

pesrancangan perangkat pembelajaran.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan tujuan menggambarkan dan

menginterpretasikan kondisi atau perubahan yang terjadi terhadap sekelompok objek tertentu yang

berupa pernyataan dan kata-kata. Moeleong, Lexy J (2013) mendefinisikan metodologi kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun tahapan pada penelitian ini akan

dilakukan, dilakukan dengan istilah IN kelas dan ON kelas. Adapun tahapan kegiatan IN kelas

adalah: (1) mahasiswa diberikan materi tentang perancangan RPP berkerangka ELPSA, (2)

mahasiwa secara individu dan berkelompok diberikan tugas menyusun RPP berkerangka ELPSA

(3) secara individu atau berkelompok mahasiswa mempraktekkan RRP yang dihasilkan (4) hasil

rancangan RPP yang dihasilkan Mahasiswa ditelaah oleh tim peneliti. Sedangkan tahapan kegiatan

ON kelas akan dilaksanakan pada saat mahasiswa melaksanakan program PPL disekolah, antara

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 461

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

lain: (1) mahasiswa melakasanakan rancangan RPP yang dibuat di kelas dan didokumentasikan

dalam vidio pembelajaran, (2) vidio hasil pembelajaran mahasiswa di Sekolah ditelaah tim peneliti,

(3) dan hasil analisis dan telaah vidio didiskripsikan untuk mendapatkan kesimpulan.

Gambaran tahapan I

Gambaran tahapan II

Gambar 1. Tahapan I dan Tahapan II

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar telaah RPP dan lembar

observasi video (rubrik) hasil penerapan rencana proses pembelajaran yang dilakukan mahasiswa

calon guru di kelas. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah hasil telaah RPP, dan hasil

analisis video.

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul melalui metode pengumpulan yang ditetapkan, tentu

diolah sebagai dasar membuat simpulan. Secara garis besar, pekerjaan analisis data meliputi 3

langkah, yaitu :

Pengumpulan data

Verifikasi data dengan cara Tabulasi

- Menyimpulkan hasilnya secara deskriptif. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu enam bulan, waktu yang diambil terbagi menjadi

dua tahapan, dengan tahapan pertama dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei dan

dilanjutkan ketahapan penelitian kedua dimulai pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus.

Subjek dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Semester Akhir pada jurusan Pendidikan

Matematika FPMIPA IKIP Mataram yang memprogramkan mata kuliah PPL tahun pelaksanaan

2017/2018. Jumlah sampel yang diambil terdiri dari 12 Mahasiswa, dengan dua orang mahasiswa

laki-laki dan sepuluh orang mahasiswa perempuan. Adapun gambaran pelaksanaan penelitian pada

masing-masing tahapan adalah , sebagai berikut:

5.1 Pelaksanaan Tindakan ke-1.

Pelaksanaan penelitian tindakan ke-1 ini diawali dengan mengidentifikasi mahasiswa

jurusan pendidikan matematika FPMIPA IKIP Mataram yang akan melaksanaan program Praktik

Pengalaman Lapangan (PPL) tahun pelaksanaan 2017/2018. Setelah semua mahasiswa terverifikasi

dan dilanjutkan dengan pemilihal mahasiawa sebagai subjek dalam penelitian ini. Mahasiswa yang

terpilih menjadi subjek dalam penelitian sejumlah 12 orang deberikan lembar observasi terkait

dengan pemahaman mereka tentang pengetahuan mereka dalam penyusunan Rencana Proses

Pembelajaran (RPP).

Pada langkah kegiatan selanjutnya mahasiswa yang menjadi subyek penalitian ini deberikan

pemahaman tentang konsep perancangan pembelajaran dengan pendekatan ELPSA yang dilakukan

setiap dua kali pertemuan setiap minggu selama kurun waktu satu bulan yaitu mulai minggu ke dua

bulan Maret sampai dengan minggu kedua bulan April. Sedangkan telaah RPP hasil perancangan

subjek penelitian dilakukan selama dua minggu, yaitu pada dua minggu terakhir bulan Mei tahun

2018.

IN

PENDALAMAN MATERI

PERANCANGAN RPP

TELAAH RPP

KESIMPULAN

ON

PENDALAMAN MATERI

PELAKASAAN RPP

ANALISIS VIDIO

KESIMPULAN

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 462

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Adapun data hasil telaah RPP berkerangka kerja ELPSA yang dihasilkan oleh subyek

penelitian adalah:

Tabal 1. Data Hasil Telaah RPP Berkerangka Kerja ELPSA

Jumlah Subyek 12

Skor Minimal 80,95

Skor Maksimal 90,48

Total Skor 84

Rara-rata Skor 72, 75

Persentase total 86,61

5.2 Pelaksanaan Tindakan ke-2.

Pelaksanaan penelitian tindakan ke-2 ini dilakukan setelah pelaksanaan tindakan ke-1 selesai

dilakukan dan dilaksanakan selama kurun waktu satu bulan yaitu pada bulan Juli tahun 2018.

Telaah dan analisis vidio hasil pelaksanaan RRP berkerangka kerja ELPSA dilaksanakan pada akhir

bulan Juli sampai bulan Agustus 2018. Adapun data hasil telaah dan analisis video keterlaksanaan

RPP berkerangka kerja ELPSA adalah, sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Telaah dan Analisis Vidio Pembelajaran Berkerangka Kerja ELPSA

Jumlah Subyek 12

Skor Minimal 82,5

Skor Maksimal 90

Total Skor 36,08

Rara-rata Skor 90,21

KESIMPULAN

Berdasarkan data dan pembahasan dari hasil telaah rencana proses pembelajaran dan analisis

vidio, maka dapat disimpulkan, bahwa :

1. Perancangan RPP Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK) pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan

Matematika FPMIPA IKIP Mataram.

2. Penerapan RPP Berkerangka kerja ELPSA dapat meningkatkan kemampuan pedagogical Content Knoledge (PCK) pada calon guru matematika Mahasiswa Jurusan Pendidikan

Matematika FPMIPA IKIP Mataram.

DAFTAR RUJUKAN

Hariyanto, F. A. (2014). Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa dalam Mengembangkan RPP

Berdasarkan Kurikulum 2013 dengan Menggunakan Blooms Taxonomy Cognitive

Domain Learning Stages pada Mahasiswa Semester VI FKIP Bahasa Inggris

Universitas Kanjuruhan Malang. Inspirasi Pendidikan , 4, 423.

Sidik, L. M. (2015). Upaya meningkatkan kompetensi guru bahasa indonesia dalam penyusunan

rencana pelaksanaan pembelajaran (rpp) berdasarkan kurikulum 2007 melalui pola

pendampingan berbasis mgmp. Ilmiah ikip mataram , 2, 500.

Wiyana. (2013). Pengaruh Pengetahuan KTSP dan Pendidikan terhadap Kemampuan Menyusun

RPP Guru SD. jurnal teknologi pendidikan , 1 (2), 242.

Dahar, R.W & N. Siregar (2000). Pedagogi Materi Subyek: Meletakkan Dasar Keilmuan dari PBM.

Disampaikan pada Seminar Staf Dosen FPMIPA dalam Rangka Mensosialisasikan

Pedagogi Materi Subyek .

Bariyah, L., & Dkk. (2014). Analisis kesesuaian rpp dan pelaksanaan pembelajaran guru. Bio edu ,

2, 2.

Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015a). ELPSA as a lesson design framework. Journal on

Mathematics Education, 6(2), 1-15.

Lowrie, T., & Patahuddin, S. M. (2015b). ELPSA Kerangka kerja untuk merancang pembelajaran

matematika. Jurnal Didaktik Matematika, 2(1), 94-108.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 463

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Marlina, E. (2015). Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Dengan Elpsa Yang Dimodifikasi

Cergam Dan Tps. Equivalen jurnal pendidikan matematika , 3, 191.

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 464

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

MENGAPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA IKIP MATARAM

PERLU MENGEMBANGKAN PEMBELAJARAN

MOBILE BERBASIS NOS?

Yusran Khery1, Bq. Asma Nufida

1, Suryati

1, Sri Rahayu

2, Endang Budiasih

2

1IKIP Mataram, Pemuda Street 59 A, Mataram, Indonesia

2Malang State University, Jalan Semarang 5 Malang 65145

*{yusrankhery, baiq.asma, suryati}@ikipmataram.ac.id

**{Sri,rahayu.fmipa, endang.budiasih.fmipa}@um.ac.id

Abstrak: Studi ini telah dilaksanakan agar bisa mendeskripsikan beberapa faktor yang

menjadi pertimbangan perlunya pengembangan pembelajaran Mobile berorientasi Nature of

Science (NOS) di program pendidikan kimia IKIP Mataram. Faktor-faktor tersebut yakni

pemahaman NOS mahasiswa, tingkat penerapan pembelajran berorientasi NOS, karakteristik NOS

dalam bahan ajar, tingkat pemafaatan teknologi mobile dalam pembelajaran, dan tanggapan tentang

pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS. Dalam bentuk penelitian deskriptif, data

dikumpulkan menggunakan angket dan lembar observasi. Responden dari kegiatan penelitian ini

terdiri dari 54 orang mahassiwa dan 12 orang dosen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di program pendidikan kimia IKIP Mataram

sangatlah penting. pemahaman Mahasiswa tentang hakikat sains (Nature of Science) cukup baik

yakni sebesar 47,86 %. Tanggapan responden tentang tingkat penerapan pembelajaran berorienatasi

NOS dalam perkuliahan matakuliah-matakuliah penguasaan materi kimia sebesar 56,68 % dengan

kategori cukup baik. Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar yang disusun oleh dosen-dosen mata

kuliah penguasaan materi kimia sebesar 63,39 % dengan kategori baik. Tingkat pemanfaatan

teknologi mobile di dalam pembelajaran oleh dosen cukup baik yakni mencapai 55,56 %.

Tanggapan responden tentang pentingnya pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS

sebesar 85.23 % dengan kategori sangat baik.

Kata Kunci: Mobile Learning, NOS Oriented, Chemistry Education Program

INTRODUCTION

Terdapat beberapa alasan mengapa orang-orang menggunakan teknologi informasi. Seseorang

percaya bahwa dengan menggunakan teknologi sistem informasi bisa membantunya memperoleh

manfaat dan kinerja lebih dalam pekerjaan. Teknologi mobile membantu seseorang dapat

mengakses informasi secara cepat, di manapun dan kapanpun, dan memilih perangkat apapun yang

dikehendaki. Seseorang dapat dengan mudah bergabung secara individual dengan teknologi atau

sistem informasi dan berinovasi. Hal ini berpengaruh kuat pada siswa-siswa muda untuk

menggunakan perangkat mobile untuk tujuan akademis (Cabanban, 2013).

Hasil penelitian Hanafi dan Samsudin (2012) menunjukkan bahwa siswa sangat menyukai

interaktivitas, aksesibilitas, dan kenyamanan pembelajaran mobile. Sistem pembelajaran mobile

dapat diterapkan dengan mudah dan murah sebagai pelengkap dalam proses pembelajaran. Dalam

menerapkan pembelajaran mobile faktor motivasi sangat perlu dipertimbangkan seperti interaktif

dan menarik. Namun, tujuan utama lingkungan pembelajaran mobile haruslah untuk pendidikan

bukan untuk hiburan (Calimag dkk, 2014).

Buckner & Kim (2013) telah mempelajari integrasi teknologi dan pedagogi dalam pelaksanaan

proyek-proyek ICT di negara-negara berkembang. Riset ini merancang sebuah inovasi pendidikan

yang memanfaatkan teknologi mobile dalam pembelajaran. Rekomendasi yang diperoleh dari

penelitian tersebut adalah secara alami manusia mengajukan pertanyaan tentang dunia nyata,

melakukan hal itu adalah sebuah jalan penting untuk belajar. Perlu adanya transisi dari mendikte

informasi menuju pembelajaran yang melibatkan siswa dalam belajar dan menyelesaikan masalah.

mailto:%[email protected]:endang.budiasih.fmipa%[email protected]

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 465

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Teknologi pembelajaran mobile dapat memberdayakan siswa belajar sescara mandiri dan aktif

merencanakan belajar mereka sendiri.

Menurut Alden (2013) terdapat 10 hal penting yang perlu hadir dalam pembelajaran mobile di

universitas yakni Pengguna dapat menerima pemberitahuan dan pengingat tentang tugas dan janji

tentang kelas yang diikuti; Pengguna dapat berkomunikasi secara individu dengan dosen, penasihat,

atau siswa lain menggunakan suara, email, atau pesan teks; Pengguna dapat melakukan posting atau

balas ke item dalam polling, papan diskusi, atau aplikasi lain; Pengguna dapat mencari dan

mengakses informasi berbasis web yang terkait saja; Mengunduh dan meninjau materi pelajaran

dari kelas yang diikuti; Pengguna dapat berinteraksi langsung dan meninjau informasi administratif

tentang kelas yang sedang atau akan diambil; Pengguna dapat mencari atau meninjau materi di

perpustakaan universitas; Pengguna dapat mengunggah item yang mereka rekam dengan perangkat

seluler pribadinya; Interaktif selama sesi pembelajaran langsung; dan Pengguna dapat mendaftar

atau mengundurkan diri dari kelas yang diikuti.

Pengembangan teknologi pembelajaran mobile ini harus seiring dengan perkembangan

kurikulum pembelajaran sains di dunia. Trend dalam kebijakan pendidikan sains menekankan

pentingnya literasi sains sebagai luaran yang dapat di transfer dalam pendidikan sains (Fives et al,

2014). Membangun literasi sains berati fokus pada membangun pengetahuan siswa untuk

menggunakan konsep sains secara bermakna, berpikir kritis dan membuat keputusan-keputusan

yang seimbang terhadap permasalahan-permasalahan yang relevan dengan kehidupan siswa. Akan

tetapi sering dijumpai praktek pembelajaran sains masih mengabaikan dimensi sosial pendidikan

dan dorongan pengembangan keterampilan berpartisipasi aktif di masyarakat (Hofstein, Eilks, &

Bybee, 2011).

Literasi sains semakin diperlukan dewasa ini agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat

modern (New Zealand Curriculum, 2013). Untuk semua alasan-alasan ini, literasi sains dianggap

sebagai kunci kompetensi (Rychen & Salganik, 2003). Kerangka kerja penilaian literasi sains

mencakup aspek konteks, kompetensi, pengetahuan, dan sikap (Wiliam, 2010). Literasi sains

mencakup tiga kompetensi yakni menjelaskan fenomena sains, evaluasi dan merancang inkuiri

ilmiah, interpretasi data dan bukti-bukti sains (PISA, 2015, Shwartz, et al., 2006b, Tsaparlis,

2000).Menurut Toharudin, Hendrawati & Rustaman (2011) kemampuan rata-rata peserta didik

Indonesia baru sampai pada kemampuan mengenali fakta dasar, tetapi belum mampu

mengkomunikasikan dan mengaitkan kemampuan tersebut dengan topik-topik sains. Siswa

mengalami kesulitan dalam mendapatkan makna dan menggunakan sains untuk memecahkan

berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Rahayu (2016), pencapaian literasi sains siswa dapat diupayakan melalui pengajaran

sains di kelas yang menitikberatkan pada kemampuan epistimologi sains/hakikat sains (Nature of

Science) atau pemahaman tentang ciri khas sains sebagai bentuk pengetahuan dan inkuiri manusia.

Subjek/materi dalam pembelajaran sains yang disampaikan dengan tepat dapat berkontribusi untuk

mencapai tujuan dari pelatihan literasi sains seseorang. Pembelajaran kimia berkontribusi sebagai

literasi kimia secara khusus, dan literasi sains secara umum (Shwartz, Ben-zvi, Hofstein, 2006).

Tujuan utama mengintegrasikan Nature of Science (NOS) ke dalam kurikulum sains adalah untuk

membantu mendidik siswa menjadi warga negara yang memiliki literasi sains sehingga dapat

memecahkan permasalahan-permasalahan sains dan teknologi yang kompleks dalam kehidupan

modern dan budaya demokratis. Penetapan NOS sebagai komponen utama dalam literasi sains yang

merupakan tujuan belajar yang penting dalam setiap kurikulum sains (Hudson, 2014). Maka dari

itu, pengembangan teknologi pembelajaran mobile sebaiknya berorientasi Nature of Science.

Nature of Science (NOS) mengacu pada epistimologi ilmu pengetahuan, ilmu sebagai cara untuk

mengetahui, atau nilai-nilai dan keyakinan yang melekat pada pengembangan sains/pengetahuan

ilmiah (Lederman, 2007). Pemahaman tentang NOS tersebut merupakan karakteristik yang

diharapkan ada pada diri seseorang yang memiliki literasi sains, dimana orang tersebut mampu

mengembangkan pemahaman konsep, prinsip, teori dan proses sains, dan menyadari adanya

hubungan yang kompleks antara sains, teknologi, dan masyarakat (Abd-El-Khalick & Lederman,

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 466

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

2001), Jadi, pada prinsipnya NOS mencakup konsepsi tentang pengetahuan sains, nilai-nilai dan

keyakinan dalam memperoleh pengetahuan sains tersebut, serta pengaruhnya terhadap masyarakat,

budaya, dan teknologi sains. Menurut Wenning (2006), pembelajaran berorientasi NOS (Nature of

Science) memiliki enam langkah utama, yaitu: (1) background readings, (2) case study discussions,

(3) inquiry lessons, (4) inquiry labs, (5) historical studies, (6) multiple assesments.

Bagaimana pemahaman NOS dan pengalaman memperoleh NOS melalui suatu bentuk

pembelajaran mobile masih merupakan isu yang masih perlu dipelajari dan dikembangkan. Studi ini

dilaksanakan untuk dapat mengunkapkan berbagai alasan penting dan faktor-faktor yang perlu

dipertimbangkan untuk pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di Program Studi

Pendidikan Kimia IKIP Mataram

METHOD

Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif yang digunakan untuk dapat mendeskripsikan

tingkat pemahaman mahsiswa tentang hakikat sains, orientasi NOS dalam pembelajaran,

karakteristik NOS dalam bahan ajar, pemanfatan teknologi mobile dalam pembelajaran, dan respon

terhadap pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS di programs studi pendidikan

Kimia IKIP Mataram. Dengan menggunakan teknik sampling jenuh, sampel dari penelitian terdiri

dari 54 mahasiswa dan 12 dosen program studi pendidikan kimia IKIP Mataram pada tahun

akademik 2017-2018. Data dikumpulkan dengan metode angket dan observasi. Data yang diperoleh

dikonfirmasi dengan teknik wawancara. Instrumen yang digunakan terdiri dari empat angket

tertutup dan sebuah lembar observasi.

Angket pemahaman hakikat sains (NOS) merupakan angket digunakan untuk mengungkap

pemahaman mahsiswa tentang hakikat sains. Angket ini terdiri dari 22 item pernyataan positif dan

17 item pernyataan negatif dengan pilihan jawaban tidak setuju, ragu-ragu, dan setuju. Skor 0, 1, 2

berturut-turut diberikan untuk jawaban terhadap pernyataan positif dan sebaliknya pada pernyataan

negatif.

Angket penerapan pembelajaran berorientasi NOS, merupakan angket yang digunakan untuk

mengungkap persentasi orientasi NOS dalam pembelajaran mata kuliah penguasaan materi kimia.

Angket ini terdiri dari 20 item pertanyaan yang dapat dijawab oleh mahasiswa dengan pilihan tidak

pernah, jarang, sering, dan selalu. Skor 0, 1, 2, dan 3 berturut-turut diberikan untuk pilihan jawaban

yang bersesuaan.

Angket pemanfaatan teknologi mobile dugunakan untuk mengungkap sebarapa banyak dosen

memanfaatkan teknologi mobile di dalam pembelajaran. Angket ini terdiri dari 6 pernyataan yang

direspon dengan pilihan jawaban tidak pernah, jarang, dan sering. Angket respon terhadap

pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS digunakan untuk mengungkap respon

mahasiswa dan dosen tentang adanya pengembangan pembelajaran mobile berorientasi NOS.

Angket ini terdiri dari 16 item pernyataan yang dapat direspon dengan pilihan tidak setuju, ragu-

ragu, dan setuju. Pada kedua angket ini, skor 0, 1, dan 2 berturut-turut diberikan untuk pilihan

respon yang bersesuaan.

Sedangkan instrumen untuk kegiatan observasi berupa lembar observasi karakteristik NOS

dalam bahan ajar, intstrumen ini digunakan untuk mengevaluasi seberapa banyak karakteristik NOS

muncul dalam bahan ajar yang disusun dosen dalam matakuliah-matakuliah penguasaan materi

kimia. Lembar observasi diisi berdasarkan ada atau tidak aspek NOS disampaikan baik secara tak

langsung maupun langsung di dalam bahan ajar yang dibuat oleh dosen. Skor 0 jika tidak ada dan

skor 1 jika ada.

Setelah data dikumpulkan melalui angket dan observasi, dilakukan wawancara untuk

mengkonfirmasi tanggapan responden dan hasil observasi. Wawancara dilakukan terhadap 9 orang

mahasiswa dan 3 orang dosen. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara menghitung persentase.

Deskripsi terhadap hasil analisis data dilakukan dengan mengacu pada persentasi kriteria

sebagaimana tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Persentase Kriteria

Persentase Kriteria

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 467

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

81-100 Sangat Baik

61-80 Baik

41-60 Cukup Baik

21-40 Kurang Baik

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 468

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Pemahaman NOS mahasiswa kurang baik pada aspek pengetahuan ilmiah bersifat tentatif dan

penamaan sains dalam bidang sosial buadaya. Sebagian besar mahaisswa tidak setuju bahwa

pengetahuan saisn bersifat sementara dan hasil penyelidikan terhadap objek yang sama bisa saja

berubah. Padahal hal ini seharusnya bisa mereka pahami dari belajar tentang model atom atau teori

kimia lainnya. Sebagian besar mereka berkeyakinan bahwa pengetahuan sains bersifat baku, pasti,

dan tidak bisa diubah. Sebagian besar mahasiswa memang setuju bahwa pengembangan sains

seharusnya memperhatikan aspek kebutuhan manusia, dan sebagian dari mereka setuju bahwa saing

dapat mempengaruhi budaya. Akan tetapi, mereka tidak menyetujui bahwa aspek sosial budaya

dapat mempengaruhi sains dan perkembangannya.

Penerapan Pembelajaran Berorientasi NOS dalam Perkuliahan

Berikut dideskripsikan tentang penerapan pembelajaran berorientasi NOS di dalam perkuliahan

penguasaan materi kimia. Hal ini bermakna bagaimana pemahaman NOS disampaikan di dalam

pembelajaran penguasaan materi kimia baik secara implisit maupun eksplisit. Deskripsi ini

diperoleh dari tanggapan responden mahasiswa terhadap item-item angket yang diberikan tentang

seberapa banyak pembelajaran-pembelajaran matakuliah penguasaan materi kimia telah berorientasi

pada pencapaian pemahaman NOS disamping pencapaian pemahaman materi kimia. Tanggapan

responden tentang tingkat penerapan pembelajaran berorienatasi NOS dalam perkuliahan

matakuliah-matakuliah penguasaan materi kimia sebesar 56,68 % dengan kategori cukup baik.

Uraian data dapat dilihat pada tabel 3.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam penerapan pembelajaran, NOS lebih

banyak disampaikan secara implisit (tersirat) daripada eksplisit (langsung). Hal ini menunjukkan

bahwa dosen jarang menyampaikan secara langsung pada hampir seluruh aspek karakteristik NOS,

kecuali pada aspek karakteristik metode ilmiah. Pada aspek karakteristik metode ilmiah, persentase

penerapan secara implisit sangat baik karena pada sebagian besar mata kuliah penguasaan materi

kimia dilaksanakan dengan disertai praktikum. Sedangkan penerapan secara eksplisit berkategori

baik karena sebagian mahasiswa menganggap bahwa hanya sebagian dosen yang menjelaskan

secara detil sebagian prinsip metode ilmiah.

Orientasi NOS pada aspek pengetahuan ilmiah bersifat tentatif, pengetahuan ilmiah berasal dari

data empiris, teori ilmiah, dan penanaman sains dalam bidang sosial budaya berkategori baik.

Kategori baik diperoleh pada penerapan implisit namun hanya cukup baik pada penerapan eksplisit.

Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun sebagian besar matakuliah telah mendeskripsikan berbagai

macam teori tentang suatu kajian kimia tertentu namun menurut mahasiswa sangat sedikit dosen

yang memberi keyakinan bahwa pengetahuan sains bersifat sementara dan bisa saja berubah.

Kebanyakan mahasiswa meyakini bahwa seluruh pengetahuan sains bersifat baku, tetap, dan tidak

akan pernah berubah. Pada aspek pengetahuan ilmiah berasal dari data empiris, mahasiswa

beranggapan bahwa secara implisit pengetahuan sains berasal dari data empiris yang bisa mereka

peroleh ketika melakukan praktikum atau percobaan. Namun penyampaian pemahaman ini mereka

rasa masih jarang dalam perkuliahan di kelas terutama sekali pada matakuliah-mata kuliah yang

lebih banyak memuat teori-teori kimia. Demikian halnya dengan aspek penanaman sains dalam

bidang sosial budaya. Sebagian mahasiswa berpendapat bahwa penjelasan pemahaman tentang

bagaiman sosial dan budaya bisa mempengaruhi sains tidak pernah mereka dapati dalam

perkuliahan. Mereka meyakini bahwa sains dapat mempengaruhi budaya, namun meragukan

tentang sebaliknya.

Tabel 3. Persentase Penerapan Pembelajaran Berorientasi NOS

Aspek Karakteristik NOS

Persentase

Penerapan

Implisit

Persentase

Penerapan

Eksplisit

Rata-

rata Kategori

Pengetahuan ilmiah bersifat tentatif 75,71 49,71 66,05 Baik

Pengetahuan ilmiah berasal dari data 71,57 45,57 61,90 Baik

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 469

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

empiris

Pengetahuan ilmiah merupakan

produk inferensi manusia 54,79 28,79 45,12 Cukup Baik

Kreativitas manusia diperlukan

untuk mengembangkan pengetahuan 49,43 23,43 39,76

Kurang

Baik

Metode ilmiah 82,71 62,71 77,05 Baik

Pengetahuan tidak lepas dari

teori/pemahaman ilmuwan (Theory

driven)

52,29 26,29 42,62 Cukup Baik

Hukum Ilmiah 65,95 39,95 56,28 Cukup Baik

Teori ilmiah 71,57 46,57 62,24 Baik

Dimensi sosial sains 59,57 31,57 48,24 Cukup Baik

Penanaman sains dalam bidang

sosial dan budaya 77,29 51,19 67,59 Baik

Total Rata-rata 56,68

Cukup

Baik

Orientasi NOS dalam pembelajaran cukup baik pada aspek pengetahuan ilmiah merupakan

produk inferensi manusia, pengetahuan tidak terlepas dari teori/pemahaman ilmuan, hukum ilmiah,

dan dimensi sosial sains. Akan tetapi kurang baik dalam orientasi NOS secara eksplisit. Menurut

mahasiswa pembelajaran mata kuliah penguasaan materi kimia memang banyak membahas tentang

berbagai teori dan penemu-penemunya, tetapi tidak menjelaskan bahwa teori tersebut merupakan

hasil inferensi manusia dan penamaan teori menurut penemunya merupakan sebauah cara memberi

penghargaan. Mereka mengaku masih kebingungan tentang karakteristik hukum dan teori ilmiah

karena sebagian besar dari mereka mengaku tidak pernah memperoleh penjelasan tentang

perbedaan diantara keduanya dari dosen matakuliah.

Untuk aspek kreatifitas manusia diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan diterapkan

dengan kurang baik. Sebagian besar mahasiswa mengaku tidak pernah diberi peluang untuk

melakukan modifikasi prosedur dalam praktikum. Prosedur ilmiah dan cara komunikasi ilmiah

(penyusunan laporan) yang dibelajarkan kepada mereka tidak menghendaki adanya upaya

modifikasi. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa dalam melakukan percobaan cukuplah

menggunakan prosedur ilmiah yang telah ada tanpa harus memodifikasi. Sebagian besar dari

mahasiswa juga mengaku tidak pernah menerima penjelasan bahwa kreativitas manusia diperlukan

untuk mengembangkan pengetahuan. Sebagian dari diri mereka menganggap bahwa kreativitas

hanya bekerja untuk menghasilkan hasil karya cipta yang bersifat kebendaan atau karya seni bukan

pengetahuan sains.

Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar

Persentase setiap karakteristik NOS yang muncul diperoleh dari seberapa banyak karakteristik

NOS dalam setiap bahan ajar yang dibuat oleh dosen. Bahan ajar terdiri dari buku, modul, petunjuk

praktikum, dan materi presentasi. Setiap dosen memiliki enam sampai delapan bahan ajar untuk

setiap matakuliah. Observasi khusus dilakukan pada bahan ajar matakuliah-matakuliah penguasaan

materi kimia. Persentase setiap karakteristik NOS dalam bahan ajar disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik NOS dalam Bahan Ajar

Karakteristik NOS Persentase

Rata2 (%) Kategori

Pengetahuan ilmiah bersifat tentatif 72,71 Baik

Pengetahuan ilmiah berasal dari data empiris 68,57 Baik

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 470

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Pengetahuan ilmiah merupakan produk inferensi manusia 51,79 Cukup Baik

Kreativitas manusia diperlukan untuk mengembangkan

pengetahuan 46,43 Cukup Baik

Metode ilmiah 85,71 Sangat Baik

Pengetahuan tidak lepas dari teori/pemahaman ilmuwan (Theory

driven) 49,29 Cukup Baik

Hukum Ilmiah 62,95 Baik

Teori ilmiah 68,57 Baik

Dimensi sosial sains 53,57 Cukup Baik

Penanaman sains dalam bidang sosial dan budaya 74,29 Baik

Total Rata-rata 63,39 Baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik NOS dalam Bahan Ajar yang disusun oleh

dosen-dosen mata kuliah penguasaan materi kimia sebesar 63,39 % dengan kategori baik.

Karaktersitik NOS yang sangat baik terdapat pada karakteristik metode ilmiah. Hal ini disebabkan

oleh sebagian besar matakuliah disertai dengan pengenalan pengalaman melaksanakan metode

ilmiah melalui praktikum. Sedangkan sebagian matakuliah yang lainnya menyajikan deskripsi

tentang bagaimana percobaan-percobaan dilakukan oleh peneliti terdahulu. Percobaan-percobaan

yang tak dapat dipraktikumkan di laboratorium kampus disajikan dalam bentuk ilustrasi gambar,

skema, atau video.

Sedangkan karakteristik pengetahuan ilmiah bersifat tentatif, pengetahuan ilmiah berasal dari

data empiris, hukum ilmiah, teori ilmiah, dan penanaman sains dalam bidang sosial budaya muncul

dengan persentase dengan kategori baik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar bahan ajar telah

menampilkan berbagai perubahan teori-teori kimia, data-data pendukung hukum dan teori ilmiah.

Sedangkan pada aspek pengetahuan ilmiah sebagai produk inferensi manusia, pengetahuan tidak

lepas dari pemahaman ilmuan, dan dimensi sosial sains muncul dengan kategori cukup baik. Hal ini

disebabkan oleh sebagian kecil saja dari bahan ajar menyajikan bagaimana sejarah latar belakang

penemuan dan cara berpikir para ilmuwan. Ketika menyampaikan materi pengajaran kimia,

sebagian dosen tidak menyajikan nama hukum yang bersesuaian dengan materi pengajaran tersebut.

Misalnya saja pada materi sifat koligatif larutan, disampaikan tanpa memperkenalkan hukum Roult.

Tidak ada dosen yang mendeskripsikan kedudukan hukum dibandingkan teori.

Pemanfaatan Teknologi Mobile dalam Pembelajaran

Tingkat pemanfaatan teknologi mobile di dalam pembelajaran oleh dosen cukup baik yakni

mencapai 55,56 %. Persentase pemanfaatan teknologi mobile oleh dosen pendidikan kimia IKIP

Mataram pada beberapa aspek yang menjadi fokus dalam studi ini tersaji dalam tabel 5.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dosen telah memanfaatkan teknologi mobile

untuk tujuan komunikasi dan diskusi dengan mahasiswa. Dosen telah memanfaatkan teknologi

mobile untuk tujuan pencarian informasi dan sumber belajar dan menyampaikan tugas

pembelajaran kepada mahasiswa dengan baik. Pemanfaatkan aplikasi-aplikasi mobile yang ada

untuk menyampaikan materi pelajaran cukup baik. Namun hanya sebagian kecil dosen yang telah

membuat aplikasi berbasis teknologi mobile untuk kebutuhan pembelajaran dan sangat sedikit

dosen yang menjadikan pembelajaran mobile sebagai strategi pembelajaran yang terencana dan

tertera di dalam dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran.

Tabel 5. Pemanfaatan Teknologi Mobile dalam Pembelajaran

Aspek

Persentase

kriteria

(%)

Kriteria

Memanfatkan teknologi Mobile untuk komunikasi dan diskusi

dengan mahasiswa 87,50

Sangat

Baik

Memanfaatkan teknologi mobile untuk pencarian informasi dan

sumber belajar 70,83 Baik

Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia dengan Tema Peningkatan

Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0. Pendopo Gubernur NTB 27 Oktober 2018. ISSN 2598-1978

Asosiasi Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia (APPPI) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat | 471

Kerjasama Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat

Memanfaatkan teknologi mobile untuk penyampian tugas-tugas

pembelajaran 66,67 Baik

Membuat aplikasi mobile untuk kebutuhan pembelajaran 37,50

Kurang

baik

Menyampaikan mater