©ukdwsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110293/b31b38... · ketika kerusuhan...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan tesis ini dilatar-belakangi oleh kegelisahan penyusun dalam menyaksikan kehidupan orang Bali Kristen yang ada di Parigi. Penyusun menyaksikan adanya kesenjangan ekonomi antara orang Bali Kristen di Parigi dengan Masyarakat asli Sulawesi Tengah dan kesenjangan sosial yang nampak pada sikap eksklusif orang Bali Kristen di Parigi. Pada umumnya keadaan ekonomi masyarakat pendatang yaitu orang Bali lebih mapan dibanding dengan keadaan ekonomi penduduk asli Sulawesi Tengah. Situasi ini terjadi karena keuletan dan ketekunan orang Bali dalam menggarap tanah pertanian yang dimilikinya. Ketekunan dan keuletan orang Bali dalam bekerja bukan disebabkan karena pada dirinya sendiri orang Bali adalah masyarakat yang rajin dan giat bekerja. Keuletan dan ketekunan orang Bali lebih disebabkan karena status mereka sebagai pendatang di Sulawesi Tengah. Kedatangan orang Bali Kristen di Parigi-Sulawesi Tengah disebabkan karena dua hal yaitu pengucilan yang dialami dari masyarakat mayoritas di Bali dan sedikitnya lahan pertanian yang mereka miliki di Bali. Tujuan utama orang Bali Kristen datang ke Parigi adalah untuk menjamin kelangsungan hidup anak-anak mereka 1 . Hal inilah yang menjadi pemacu bagi orang Bali Kristen yang ada di Parigi rajin dan giat bekerja. Penduduk asli Sulawesi Tengah memiliki etos kerja yang rendah. Rendahnya etos kerja masyarakat asli Sulawesi Tengah disebabkan karena pemahaman bahwa mereka memiliki tanah yang luas dan alam telah menyediakan segala sesuatunya untuk mereka 2 . Masyarakat asli Sulawesi Tengah tidak bisa beralkulturasi dengan etos kerja orang Bali yang datang di Parigi sehingga keadaan perekoniman orang Bali jauh lebih maju dibandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat asli Sulawesi Tengah. 1 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 37- 38. 2 http://longky2007.blogspot.com, diunduh tanggal 19 Juli 2012, Longky Djanggola, Penanggulangan Kemiskinan Berbasis MDG di Parigi Moutong ©UKDW

Upload: ngoque

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penulisan tesis ini dilatar-belakangi oleh kegelisahan penyusun dalam menyaksikan

kehidupan orang Bali Kristen yang ada di Parigi. Penyusun menyaksikan adanya kesenjangan

ekonomi antara orang Bali Kristen di Parigi dengan Masyarakat asli Sulawesi Tengah dan

kesenjangan sosial yang nampak pada sikap eksklusif orang Bali Kristen di Parigi. Pada

umumnya keadaan ekonomi masyarakat pendatang yaitu orang Bali lebih mapan dibanding

dengan keadaan ekonomi penduduk asli Sulawesi Tengah. Situasi ini terjadi karena keuletan dan

ketekunan orang Bali dalam menggarap tanah pertanian yang dimilikinya. Ketekunan dan

keuletan orang Bali dalam bekerja bukan disebabkan karena pada dirinya sendiri orang Bali

adalah masyarakat yang rajin dan giat bekerja. Keuletan dan ketekunan orang Bali lebih

disebabkan karena status mereka sebagai pendatang di Sulawesi Tengah. Kedatangan orang Bali

Kristen di Parigi-Sulawesi Tengah disebabkan karena dua hal yaitu pengucilan yang dialami

dari masyarakat mayoritas di Bali dan sedikitnya lahan pertanian yang mereka miliki di Bali.

Tujuan utama orang Bali Kristen datang ke Parigi adalah untuk menjamin kelangsungan hidup

anak-anak mereka1. Hal inilah yang menjadi pemacu bagi orang Bali Kristen yang ada di Parigi

rajin dan giat bekerja. Penduduk asli Sulawesi Tengah memiliki etos kerja yang rendah.

Rendahnya etos kerja masyarakat asli Sulawesi Tengah disebabkan karena pemahaman bahwa

mereka memiliki tanah yang luas dan alam telah menyediakan segala sesuatunya untuk mereka2.

Masyarakat asli Sulawesi Tengah tidak bisa beralkulturasi dengan etos kerja orang Bali yang

datang di Parigi sehingga keadaan perekoniman orang Bali jauh lebih maju dibandingkan dengan

keadaan ekonomi masyarakat asli Sulawesi Tengah.

1 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), p. 37- 38. 2 http://longky2007.blogspot.com, diunduh tanggal 19 Juli 2012, Longky Djanggola, Penanggulangan Kemiskinan

Berbasis MDG di Parigi Moutong

©UKDW

2

Kesenjangan perekonomian antara warga pendatang dan penduduk asli Sulawesi Tengah

dibenarkan oleh Bupati Parigi Moutong yang sekarang adalah Gubernur Provinsi Sulawesi

Tengah H. Longki Djanggola yang mengatakan3:

Mengingat besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh kabupaten Parigi

Moutong, seharusnya tidak ada penduduk miskin di Kabupaten Parigi Moutong,

karena semua itu tidak dikelola oleh investor, melainkan oleh masyarakat sendiri.

Untuk potensi perikanan dikelola oleh warga setempat asal Bugis dan China,

sedangkan untuk perkebunan dimiliki oleh penduduk dari Bali dan Jawa. Orang Bali

dan Jawa itu dulunya adalah transmigran di sini. Sekarang mereka yang paling maju di

Parigi Moutong. Dengan demikian penduduk miskin itu adalah penduduk asli yang

cenderung terlena termanjakan dengan kondisi alam sehingga "malas" bekerja. Tapi,

bukan berarti mereka tidak dimotivasi untuk bisa maju sejajar dengan warga setempat

yang berasal dari Jawa dan Bali. Persoalan ini, tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena

bisa berdampak pada kecemburuan sosial dan akan menimbulkan masalah baru.

Apalagi Kabupaten Parigi Moutong adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan

Poso. Kita juga menjadi tempat pengungsi bagi korban konflik Poso. Ini berbahaya

sehingga penduduk asli yang miskin, harus cepat diberdayakan.

Secara faktual masyarakat transmigran asal Bali memiliki perekonomian yang cukup baik, hal

ini bisa dilihat dari banyaknya lahan persawahan yang mereka miliki dan anak-anak mereka bisa

menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi dan pada akhirnya diterima menjadi pegawai

negeri sipil. Ada juga masyarakat Bali yang hidupnya tidak seberuntung dengan masyarakat Bali

lainnya, mereka adalah petani penggarap yang tidak memiliki lahan pertanian dan mereka tidak

bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi. Yang sangat

memprihatinkan adalah penduduk asli Sulawesi Tengah, keberadaan mereka semakin terdesak ke

pedalaman dan mereka tinggal di pondok-pondok sederhana di bantaran sungai. Mereka tidak

memiliki lahan lagi karena lahan yang dimilikinya sudah habis dijual. Mata pencaharian mereka

adalah mengumpulkan batu di sungai, memungut hasil perkebunan yaitu coklat dan kelapa

(pekerjaan memungut hasil perkebunan milik orang lain merupakan mata pencaharian utama).

Ketika si pemilik kebun ada di lahannya mereka hanya memungut biji coklat/kelapa yang jatuh

di tanah akibat dimakan oleh tikus tetapi apabila pemilik kebun tidak ada mereka mencuri buah

3 http://longky2007.blogspot.com, diunduh tanggal 19 Juli 2012, Longky Djanggola, Penanggulangan Kemiskinan

Berbasis MDG di Parigi Moutong

©UKDW

3

coklat dan kelapa yang masih ada di pohon, akibatnya sering menimbulkan perselisihan antara

penduduk asli dan pemilik lahan sendiri yaitu masyarakat Bali dan Jawa4.

Selain masalah kesenjangan ekonomi dan sosial masih ada masalah lain yang dihadapi oleh

masyarakat Bali Kristen di Parigi yaitu adanya penilaian negatif terhadap budaya etnis lain.

Dalam kehidupan masyarakat Bali di Sulawesi Tengah adanya istilah “nak kedinian” yang

ditujukan kepada penduduk asli Sulawesi Tengah. “nak kedinian” berasal dari bahasa Bali. Nak

artinya orang, kedinian artinya di sini. Jadi “nak kedinian” memiliki arti orang asli

Parigi/penduduk asli Sulawesi Tengah. Masyarakat Bali memaknai “nak kedinian” secara

negatif. “Nak kedinian” mempunyai budaya yang rendah bahkan menjurus kepada tidak

berbudaya, “Nak kedinian” orangnya malas, “Nak kedinian” tidak tahu malu.

Apabila situasi seperti di atas terus saja berlangsung, kekuatiran Bupati Parigi Moutong

akan adanya kecemburuan sosial yang mengarah kepada konflik horizontal yang bernuansa suku

dan agama bisa saja terjadi di wilayah Parigi Moutong. Apalagi wilayah Parigi Moutong

berbatasan langsung dengan daerah konflik Poso. Kondisi Poso saat ini sudah stabil. Konflik

antar agama yang pernah terjadi di Poso juga menimbulkan dampak di wilayah Parigi Moutong.

Kehidupan umat beragama terutama yang Muslim dan Kristiani sampai saat ini belum pulih

sepenuhnya, di antara mereka masih dipenuhi oleh rasa saling curiga dan adanya jarak. Hal ini

sangat berbeda ketika kerusuhan Poso belum terjadi, antara yang Muslim, Kristen dan juga

Hindu hidup berdampingan dengan rukun dan damai, ketika hari raya agamawi mereka saling

mengunjungi satu dengan yang lainnya5. Hal ini tentunya menjadi masalah yang serius bagi

orang Bali Kristen di Parigi

4 Penyusun menyaksikan sendiri penduduk asli memungut hasil perkebunan orang lain. Dua tahun yang lalu, penyusun memergoki beberapa anak memunguti kelapa yang jatuh di kebun orang tua penyusun. Ketika didekati, anak-anak tersebut tetap saja melakukan pekerjaannya. Namun setelah penyusun memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa kebun tersebut adalah milik orang tua penyusun, anak-anak tersebut berlarian dan meninggalkan barang curiannya begitu saja.

5 Penyusun sendiri menyaksikan dampak kerusuhan Poso dalam hubungan masyarakat Muslim dan Kristen di kampung penyusun di Parigi. Sebelum terjadinya kerusuhan Poso, hubungan antara masyarakat Muslim dan Kristen sangat baik dan tidak ada masalah. Anak-anak muda Muslim dan Kristen duduk bersama dalam keceriaan di warung-warung. Rumah orang tua penyusun berdekatan (bertetangga) dengan kompleks pemukiman Muslim (di pemukiman Muslim tersebut ada enam kepala rumah tangga). Orang tua penyusun hidup bertetangga dengan baik dan waktu hari raya kami saling mengunjungi. Pasca kerusuhan Poso penyusun tidak bisa melihat lagi adanya anak-anak muda Muslim dan Kristen yang duduk diwarung bersama-sama. Demikian juga ketika hari raya, antara masyarakat Muslim dan Kristen sudah tidak saling mengunjungi lagi. Pasca kerusuhan Poso, masyarakat Muslim yang ada di desa Penyusun merubah penampilan mereka, masyarakat Muslim mengenakan pakaian jubah, menggunakan serban berwarna putih sebagai penutup kepala dan memelihara jenggot (atribut tersebut mirip dengan atribut yang dikenakan oleh anggota Front Pembela Islam). Demikian juga dengan wanita Muslim, mereka menggunakan cadar. Penampilan masyarakat Muslim di desa Penyusun sangat jauh dengan ketika kerusuhan Poso belum terjadi. Penampilan masyarakat Muslim dengan aksesorisnya semakin menjauhkan

©UKDW

4

Kabupaten Parigi Moutong berdiri sejak tanggal 10 April 2002 berdasarkan undang-

undang nomor 10 Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Parigi Moutong di Provinsi

Sulawesi Tengah. Secara geografis wilayah Parigi Moutong terbentang dari Maleali sampai

Molosipat. Karakteristik fisik Kabupaten Parigi Moutong yang memiliki luas wilayah 6.231,85

km² atau sekitar 5,94% dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tengah. Posisi koordinat wilayah

kabupaten ini adalah pada 119°.45-121º06 Bujur Timur, 4º40 Lintang Utara dan 1º14 Lintang

Selatan. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toli-toli dan Kabupaten Buol, Sebelah

Timur berbatasan dengan Propinsi Gorontalo dan Teluk Tomini, Sebelah Barat berbatasan

dengan Kabupaten Donggala dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Poso.

Jumlah pendudukan Kabupaten Parigi Moutong sebanyak 382.596 jiwa dengan jumlah

kepala keluarga sebanyak 91.133 dan laju pertambahan Penduduk 0,79 % per tahun6. Kabupaten

Parigi Moutong memiliki komunitas dari beraneka ragam suku, baik suku asli maupun

pendatang. Suku asli di Kabupaten Parigi Moutong meliputi suku Kaili, Tajio, Lauje dan Tialo.

Komunitas suku pendatang diantaranya suku Jawa, Bali, Bugis, Gorontalo, Mandar, Minahasa

Bajo. Suku-suku pendatang masuk dan berinteraksi dikalangan masyarakat suku asli secara tidak

langsung membawa dan memiliki latar belakang budayanya masing-masing. Hadirnya suku

pendatang dengan latar budayanya masing-masing secara perlahan-lahan telah mengalami proses

akulturasi dan asimilasi dengan budaya masyarakat asli. Prosentasi pemeluk agama di Kabupaten

Parigi Moutong adalah agama Islam 75, 96 %, Kristen 11,34%, Hindu 10, 25%, Katolik 1,46%,

Budha, 0,99%. Tempat peribadahan yang tersedia Masjid 494 buah, Mushola 260 buah, Gereja

Protestan 153 buah, pura 161 buah, Gereja Katolik 14 buah, Vihara 1 buah. Agama Islam

umumnya dianut oleh penduduk asli yaitu Kaili, masyarakat pendatang yaitu Jawa, Bugis

Gorontalo, Mandar, Bajo. Agama Kristen dianut oleh masyarakat asli yaitu Tajio, Lauje dan

Tialo, masyarakat suku pendatang yaitu suku Bali, Minahasa. Agama Hindu dianut oleh Suku

Bali, agama Katolik dianut oleh Suku Bali dan Tionghoa dan agama Budha dianut oleh orang

Tionghoa7.

Berdasarkan data dinas tenaga kerja dan transmigrasi Parigi Moutong, jumlah pencari kerja

pada tahun 2007 sebanyak 4, 961 orang, jumlah lowongan kerja 365, dan yang tersalurkan

kurang lebih seperlima belas dari jumlah pencari kerja yang terdaftar. Kondisi ini menunjukan

pertumbuhan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pencari kerja. Pencari

kedekatan yang pernah ada, dan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat Kristen untuk menjalin relasi dengan masyarakat Muslim.

6 Sumber: Kabupaten Parigi Moutong dalam angka, BPS, 2009.

7 Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Parigi Moutong 2005-2025, p. 31-32.

©UKDW

5

kerja terbanyak berpendidikan SMU, diikuti pencari kerja berpendidikan Sarjana dan Diploma8.

Kabupaten Parigi Moutong mengandalkan basis kegiatan ekonomi masyarakat di sektor

pertanian, perkebunan dan perikanan. Masyarakat pendatang yaitu orang Bali berprofesi sebagai

petani terutama bidang pertanian (sawah) dan perkebunan (kakao dan kelapa) namun ada juga

yang berprofesi sebagai PNS, meskipun sudah menjadi PNS masyarakat Bali tetap

berkecimpung dalam pertanian (sawah) dan perkebunan (kakao dan kelapa). Masyarakat

pendatang Jawa mata pencahariannya konsen di bidang perkebunan (kakao, kelapa dan

palawija). Masyarakat pendatang Bugis, Gorontalo, Mandar, Bajo, pada umumnya berprofesi

sebagai nelayan dan juga pedagang. Sedangkan masyarakat pendatang Minahasa berprofesi

sebagai Pegawai negeri maupun swasta dan juga perkebunan (kakao dan kelapa). Masyarakat

asli kabupaten Parigi Moutong pada umumnya konsen di bidang perkebunan dan pegawai negeri

maupun swasta.

Sejarah transmigrasi di Bumi Toraranga (sebutan untuk Parigi Moutong) sudah ada sejak

zaman kolonial. Dimulai tahun 1906, saat 11 pria dan tujuh wanita Bali berlabuh di Parigi.

Mereka berasal dari Pulau Banda9. Lima orang diantara orang yang dibuang tersebut adalah

tahanan politik karena mereka menentang penjajahan Belanda dan sisanya adalah mereka yang

melanggar hukum adat. Ketika mereka pertama kali datang di Parigi, penduduk asli sama sekali

tidak menyukai baik cara hidup maupun keagamaan mereka. Akhirnya orang-rang Bali buangan

pemerintah kolonial Belenda tersebut menemukan suatu tempat yang relatif terisolasi yang

terletak kira-kira dua km di sebelah Selatan pelabuhan Parigi. Tempat itu kemudian menjadi

kampung Bali pertama di Parigi yang sekarang bernama Mertasari. Kehidupan keluarga Bali

yang dibuang ke Parigi tersebut mengalami perkembangan karena daerah Parigi sendiri

merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan lahan pertanian yang tersedia cukup luas.

Sampai tahun 1928 semua orang Bali yang dibuang karena adat dikirim ke Parigi10

. Pada tahun

1928 pengasingan dihapuskan dan amnesti besar-besaran diberikan. Sebagian besar orang Bali

buangan tersebut kembali ke Pulau asal mereka. Pada tahun 1940 hanya ada 12 kepala keluarga

8 Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Parigi Moutong 2005-2025, p. 19.

9 Pulau Banda adalah pulau kecil di kepulauan Maluku yang tertutup oleh pohon-pohon pala, telah dijajah dan dikristenkan oleh penjajah Portugis sejak tahun 1521 dan kemudian jatuh ke penjajah Belanda tahun 1605. Pulau Banda adalah tempat pengasingan orang Bali antara tahun 1896-1898. Dengan mengelompok orang-orang buangan tersebut mencoba bertahan hidup di pulau Banda, namun tidak begitu cocok dengan pertanian padi. Selama delapan tahun orang-orang Bali memohon kepada Belanda agar mereka dikembalikan ke Bali, Jawa ataupun Lombok, tetapai Belanda hanya mengijinkan mereka ke Parigi yang baru saja ditaklukan Belanda, dengan maksud untuk mengembangkan pertanian di daerah tersebut. Lihat: Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, p. 100-101

10 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi,

p. 101.

©UKDW

6

Bali yang masih tinggal di Parigi11

. Dengan keadaan seperti ini, kampung Bali pertama di Parigi

telah kehilangan ciri khasnya. Penduduk asli yaitu orang Kaili dan juga pendatang yaitu orang

Minahasa telah membeli sawah-sawah orang Bali dan saluran irigasi tidak dapat dipergunakan

lagi.

Pada tahun 1952 seorang Bali meminta kepada pihak peguasa Parigi untuk mau menerima

para transmigran asal Bali. Pemerintah Parigi menyetujui usul tersebut dan memberikan tempat

kepada mereka yaitu tanah Boa (sekarang Kecamatan Parigi Selatan). Usaha untuk

mengumpulkan calon transmigrasi di Bali tidak berhasil karena pada masa itu Pulau Sulawesi

terkenal dengan daerah pemberontakan12

. Sampai pada suatu ketika seorang Bali beragama

Hindu dari Parigi datang ke Bali dan bertemu dengan dua orang Bali Kristen dari

Belimbingsari13

yang sedang bersiap untuk bertransmigrasi ke Sumatera. Orang Bali yang

beragama Hindu itu berhasil meyakinkan kedua orang Bali Kristen tersebut tentang situasi di

daerah Parigi dan pada akhirnya orang Bali Hindu itu berhasil membujuk dan mengajak 23 orang

di Belimbingsari untuk bertransmigrasi ke Parigi. Di Parigi ke 23 orang Bali Kristen tersebut

tinggal bersama dengan orang Bali Hindu yang telah lebih dahulu tinggal di Parigi. Sampai suatu

ketika di antara orang Bali itu muncul ketegangan agama sehingga ke 23 orang Bali Kristen

pindah ke tanah Boa dan tidak lama kemudian mereka kembali meninggalkan tanah Boa karena

berbagai kesulitan yang muncul akibat sukarnya membuka hutan, penyakit malaria dan

hubungan yang kurang baik dengan orang Bugis yang menetap di pantai dan juga tidak jelasnya

status kepemilikan tanah. Kelompok orang Bali Kristen hidup mengelompok di Olobaru,

disebelah selatan Parigi berdekatan dengan masyarakat Kristen Sangir dan Minahasa14

.

11

Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan dewata, Transmigrasi Di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, p. 101

12 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di

Sulawesi, P. 102. Pemberontakan Permesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada dua Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Pada tahun 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Pada tahun 1960 pihak Permesta menyatakan kesediaanya, untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu: Pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa.

13 Belimbingsari adalah sebuah nama Desa Kristen di Kabupaten Jembrana -Bali. Desa Belimbingsari didirikan

pada tahun 1939 oleh Orang Bali Kristen yang berasal dari wilyah Denpasar dan sekitarnya yang mengadakan migran ke Melaya salah satu kecamatan di Kabupaten Jembrana-Bali.

14 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di

Sulawesi, p.102.

©UKDW

7

Di Tahun 1959 ada sembilan keluarga Bali Kristen yang tinggal di tana Boa dan

membangun desa Masari15

. Orang-orang Bali Kristen secara bergelombang datang ke Parigi.

Pada tahun 1962 di tana Boa terdapat 30 keluarga Bali Kristen di Masari, 12 di Nambaru, dan 13

di Tanah Lanto serta hanya tujuh keluarga Bali Hindu di Masari16

. Di tahun inilah orang Kristen

di Belimbingsari memohon ke Departemen Transmigrasi untuk meminta Parigi agar di jadikan

pusat penempatan transmigrasi, sehingga orang yang tidak mampu mendapat bantuan pemerintah

untuk bertransmigrasi. Pihak pemerintah menerima usulan tersebut dengan demikian orang Bali

Kristen di Belimbingsari berduyun-duyun datang ke Parigi dan mereka menempati tanah yang

sudah di sediakan oleh pemerintah yaitu di Sumbersari17

. Gejolak politik pada tahun 1965

menghentikan arus transmigrasi orang Bali ke Parigi.

Pada tahun 1969 seorang guru yang menjadi kepala daerah di tanah Boa R Tumakaka18

pergi dua kali ke Bali. Mula-mula R Tumakaka berhasil mengajak 18 keluarga dan kemudian 78

keluarga. 96 keluarga Bali tersebut terdiri dari orang Bali Protestan dan Katolik. Di tengah

perjalanan dari Bali ke Parigi beberapa keluarga Bali Hindu beralih agama ke agama Kristen

menyertai transmigrasi tersebut. R. Tumakaka menempatkan transmigran baru tersebut di daerah

Tolai (30 km dari Parigi)19

. Di tahun 1972 ada 500 keluarga dari Denpasar yang diiringi oleh

petugas transmigrasi datang ke daerah Tolai. Pada tahun 1973 arus transmigrasi mengalir ke

daerah Lebagu, ke Utara sepanjang bukit Sulih. Arus migrasi secara resmi sudah dihentikan pada

tahun 1973, namun pada kenyataannya migrasi terus saja berlangsung. Pada tahun 1973

penduduk Tolai berjumlah 6.221 jiwa, diawal tahun 1975, jumlah tersebut menjadi 1.596

keluarga atau 7,925 jiwa. Di akhir tahun yang sama meningkat lagi menjadi 1.646 keluarga atau

8.848 jiwa. Kepadatan penduduk mencapai78, 5 jiwa per km20

.

Setelah menetap di Parigi, orang Bali Kristen kehidupan rohaninya di layani oleh Gereja

Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Awalnya orang-orang Bali yang beragama Kristen beribadah

15

Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, P. 105.

16 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di

Sulawesi, p. 105 17

Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, p. 105.

18 R. Tumakaka. Seorang guru yang berasal dari Poso. Pada tahun 1964 ia dikirim ke Tolai sebagai pegawai

pemerintah untuk mengurus perdagangan kayu, terutama kayu besi. Ia pensiun pada tahun 1966. Ia menetap di hulu sungai Tolai dengan istrinya yang masih muda yang berasal dari suku Bada.

19 Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di

Sulawesi, P. 108. 20

Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, P. 110.

©UKDW

8

ke Parigi, sebab kala itu gedung gereja hanya ada di Parigi21

. Mereka juga melaporkan diri

kepada pengurus Gereja agar mereka diketahui sebagai orang Kristen sehingga mereka

mendapatkan pelayanan rohani. Mulai saat itulah mereka beribadah bersama-sama dalam satu

persekutuan. Pendeta GMIM yang melayani di Parigi saat itu melayani mereka setiap hari

Minggu. Para peserta transmigrasi Bali yang beragama Kristen tersebut selanjutnya berupaya

mendirikan tempat ibadah/gedung gereja walaupun sifatnya masih darurat. Mereka kemudian

dilayani oleh pelayan-pelayan GMIM yang ada di Parigi. Jumlah orang-orang Bali Kristen terus

meningkat terutama karena adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah

maupun transmigrasi swakarsa/spontan mandiri (TSM). Mereka menyebar hampir ke semua

tempat khususnya di daerah Parigi selatan sekarang. Perlu diketahui, bahwa ternyata orang-orang

Kristen dari pulau Bali yang mengikuti transmigrasi ke daerah Donggala tidak didampingi oleh

pelayan Gereja yakni dari Gereja Kristen Protestan Di Bali (GKPB), akibatnya sesampainya di

daerah Donggala mereka beribadah di Gereja yang dilayani GMIM yang terdapat di Parigi dan

kemudian mereka mulai mendirikan gedung gereja dan dilayani oleh pelayan maupun Pendeta

dari Parigi yang adalah pelayan GMIM. Gereja Masehi Injili di Minahasa adalah cikal bakal dari

Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID), dimana orang Bali Kristen yang ada di Parigi saat

ini bergereja. Pada tanggal empat April 1965 GPID menjadi Gereja yang mandiri. GPID

merupakan bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) yang berdiri sendiri. Pada awalnya,

anggota jemaatnya berasal dari warga GMIM yang datang ke Sulawesi Tengah sejak tahun 1909,

dan kemudian berkembang sebagai hasil penginjilan yang dilakukan oleh GMIM. Jemaat yang

berada di lingkungan GPID tersebar di Kabupaten Donggala, Parigi Moutung, Poso, Sigi dan

kota Palu sebagai kedudukan kantor Sinode22

.

Dalam hidup berjemaat orang Bali Kristen di Parigi, penyusun mengamati adanya

kecenderungan praktek hidup berjemaat didominasi oleh kegiatan yang mengutamakan segi

ritual dan institusional. Persoalan-persoalan yang mendominasi adalah perdebatan dalam rapat-

rapat jemaat tentang struktur Gereja, ibadah-ibadah, pemahaman Alkitab, ibadah rumah tangga,

administrasi dan masalah keuangan. Disisi lain ada kecenderungan kegiatan diakonia sangat

kecil. Diakonia hanya terbatas pada pemberian untuk warga jemaat yang sakit, lanjut usia dan

pelayanan kasih untuk pelayan jemaat23

. Diakonia untuk pelayanan sosial masyarakat hampir

21

http://pendeta-bendrio.blogspot.com, diunduh tanggal 3 Maret 2012, Bendrio P Sibarani, Sejarah Singkat Gereja Protestan Indonesia Donggala.

22 http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_Indonesia_di_Donggala diunduh tanggal, 4 Maret 2012.

23 Jumlah pemasukan keuangan Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari di Tahun 2012 adalah Rp. 666.468.220.

Jumlah pengeluarannya sebagai berikut: 1. Gaji, tunjangan, dana kesehatan dan dana pensiun dua orang

©UKDW

9

tidak pernah disentuh. Program pelayanan Gereja tidak berangkat dari pergumulan yang sedang

di hadapi oleh warga jemaat maupun masyarakat di sekitar Gereja, yaitu masalah kesenjangan

ekonomi di antara warga jemaat sendiri, kesenjangan ekonomi warga jemaat dengan masyarakat

sekitar, kesempatan kerja yang rendah bagi penduduk asli Sulawesi Tengah, hubungan antara

pemeluk agama Kristen dan agama Islam yang belum benar-benar pulih pasca kerusuhan Poso.

Gereja cenderung bersikap eksklusif dan menganggap segala sesuatu yang berada diluar Gereja

bukan merupakan tanggung jawab Gereja.

Fenomena hidup menggereja yang dipraktekkan oleh orang Bali Kristen di Parigi tidak

menunjukan hakekat Gereja itu sendiri karena Gereja orang Bali Kristen di Parigi hanya

menekankan pelayanan rohani dan mengabaikan pelayanan sosial Gereja. Sesungguhnya Gereja

hadir dan bertumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama dalam arti

pergumulan yang sedang dihadapi oleh umat manusia. Keberadaan Gereja tidak bisa terlepas dari

keberadaan Injil yang diberitakannya. Injil itu sendiri berpusat pada diri Yesus Kristus. Tugas

panggilan Gereja yang utama adalah keterarahan kepada Kristus. Dalam pelayananNya Kristus

menunjukan keberpihakan kepada orang miskin dan menderita (bndk Lukas 4:18-19; 7: 22).

Tanggapan terhadap panggilan dengan memilih mendahulukan orang miskin adalah sikap dan

tindakan Yesus yang memaklumkan Kerajaan Allah24

. Gereja hadir di tengah-tengah dunia ini

bukanlah untuk dirinya sendiri. Kehadiran Gereja adalah untuk mengejawantahkan nilai-nilai

kerajaan Allah yaitu kebenaran, perjuangan, pengorbanan, solidaritas, kesabaran, pengampunan,

kesetiaan dan sukacita dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Gereja lahir dan

bertumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama dalam arti menjawab

pergumulan yang sedang dihadapi oleh manusia. Gereja dalam dirinya sendiri menyadari akan

adanya tugas panggilan di tengah-tengah dunia ini sepanjang zaman. Rentang waktu panggilan

Gereja dalam memahami keberadaan tersebut, memberikan rumusan yang cenderung membagi-

bagi atau memisah-misahkan tugas panggilan Gereja, nampak dari rumusan-rumusan yang

Pendeta: Rp. 118. 352.500. 2. Biaya rutin yang meliputi kebutuhan dua unit pastori: Rp. 31.415.700. 3. Diakonia sebesar: Rp. 48. 000.000. (diakonia untuk anggota jemaat yang sakit: Rp. 31.000.00. Bantuan ke Jemaat lain di lingkungan GPID: Rp. 10.000.000. Topang menopang yaitu membantu penggajian satu orang pelayan: Rp. 6.000.000. Sumbangan untuk bencana alam: Rp. 1.000.000 ). 4. Bidang Keesaan: Rp. 80.200.000 .5. Bidang Pekabaran Injil: Rp. 10.400.000. 6. Bidang Pembinaan dan LWG: Rp. 35.300.000. 7. Bidang Kategorial: Rp.67.500.000. 8. Bidang Pendidikan dan persekolahan: Rp. 38.250.000 (dana yang dikeluarkan untuk bidang pendidikan dan persekolahan adalah untuk mensuport dana pensiun pegawai Yayasan Bina Insan Mandiri yaitu sebuah Yayasan Pendidikan miliki Sinode GPID). 9. Bidang administrasi dan perkantoran: Rp. 20.900.000. 10. Bidang pembangunan sarana fisik: Rp. 60.000.000. 11. Bidang pemeliharaan: Rp. 25.500.000. 12. Bidang organisasi dan ketenagaan: 99.650.000. 13. Bidang perbendaharaan dan keuangan: Rp. 31.000.000. Sumber: Program kerja Majelis Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari Tahun 2012.

24 J.B. Banawiratma dan J Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai tantangan Hidup Beriman,

(Yogyakarta: Kanisius, 1993), P. 23.

©UKDW

10

disebut dengan “Tri Tugas Panggilan Gereja” dengan uraian selanjutnya Koinonia, Marturia dan

Diakonia. Emanuel Gerrit Singgih25

menyebutnya dengan tiga aspek Gereja yang digambarkan

dengan segitiga sama sisi yang pada masing-masing sudut ditempatkan Koinonia, Marturia dan

Diakonia. Segi-segi itu merupakan keseimbangan yang terus menerus harus dijaga karena katika

Gereja hanya menekankan segi kelembagaan dan ritual maka Gereja akan ada hanya untuk

dirinya sendiri; kalau pelayanan hanya diangap sebagai aspek ritual atau alat untuk membantu

organisasi Gereja, maka pelayanan tidak akan pernah menjadi pelayanan sosial yang menjangkau

masyarakat luas. Gereja harus menyadari konteks dimana ia berada, karena hanya dengan

demikianlah Gereja dapat disebut sebagai Gereja yang sejati.

Kesenjangan ekonomi antara orang Bali Kristen dan Masyarakat asli Sulawesi Tengah dan

kesenjangan sosial yang nampak pada sikap eksklusif orang Bali Kristen di Parigi merupakan

permasalahan serius bagi Gereja. Apabila Gereja orang Bali Kristen di Parigi tidak

mentransformasikan dirinya untuk menjadi Gereja yang inklusif, peduli dengan permasalahan

yang dihadapi lingkungannya dan menjadi bagian dari masyarakat, dampak yang akan

ditimbulkannya adalah masyarakat akan bersikap antipati terhadap Gereja. Kesenjangan

ekonomi antara penduduk asli dan orang Bali Kristen di Parigi akan semakin lebar yang akhirnya

menimbulkan konflik horizontal antara penduduk asli dan orang Bali Kristen, Gereja orang Bali

Kristen di Parigi kehilangan jati dirinya sebagai Gereja yang diutus ke dunia untuk membawa

damai sejahtera.

B. Rumusan Pertanyaan

Berangkat dari deskripsi pertanyaan di atas, maka pertanyaan yang akan dikaji dalam

penulisan tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengapa jemaat orang Bali Kristen di Parigi dalam pelayanannya hanya menyentuh

pelayanan rohani dan mengabaikan pelayanan sosial Gereja?

2. Model Pembangunan Jemaat seperti apakah yang dapat dikembangkan secara kontekstual

untuk jemaat orang Bali Kristen di Parigi?

Agar penelitian lebih fokus dan terarah, maka penyusun akan membatasinya pada lingkup satu

jemaat yaitu di Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari. Alasan penyusun mengadakan

25

Lihat, EG. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke- 21, ( Yogyakarata: Kanisius, 1997), p 25-27.

©UKDW

11

penelitian di Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari karena Jemaat ini secara kuantitas

merupakan Jemaat Bali yang paling besar di daerah Parigi Moutong.

C. Tujian Penulisan dan Pemilihan Judul

Dari rumusan pertanyaan yang sudah dipaparkan, penulisan tesis ini bertujuan untuk

mendalami kehidupan bergereja orang Bali Kristen di Parigi sehingga dapat memahami mengapa

Gereja orang Bali Kristen di Parigi dalam pelayanannya hanya menyentuh pelayanan rohani dan

mengabaikan pelayanan yang bersifat jasmani. Setelah mendalami kehidupan bergereja orang

Bali Kristen di Parigi dan menemukan sumber pertanyaan sebagaimana yang sudah

diungkapkan, selanjutnya penyusun akan berusaha untuk menemukan dan merumuskan konsep

pemahaman dan praktek hidup bergereja dalam konteks Gereja orang Bali Kristen di Parigi.

Kesempatan untuk studi lanjut dan menulis tesis tentang membangun jemaat orang Bali Kristen

yang kontekstual merupakan paluang bagi penyusun untuk memberikan sumbangan pemikiran

bagi gereja-gereja orang Bali Kristen di Parigi. Untuk menjadi Gereja yang hidup, bertumbuh

dan menjadi bagian dan berkat bagi masyarakat, Gereja orang Bali Kristen di Parigi harus

mentransformasi pelayanannya selama ini yang hanya berkutat pada pelayanan yang bersifat

rohani dan cenderung eksklusif menjadi Gereja inklusif yang terlibat dalam pelayanan kepada

masyarakat dan lingkungan hidup. Harapan penyusun kiranya tesis ini memberi setitik harapan

bagi setiap pembaca terutama gereja-gereja yang ada di Parigi.

Dengan demikian maka penyusun memberi judul tesis ini:

MENGEMBANGKAN PELAYANAN GEREJA MELALUI KOMUNITAS BASIS

(Upaya Membangun Jemaat Orang Bali Kristen yang Kontekstual di Gereja Protestan

Indonesia Donggala )

Alasan penyusun memilih judul Tesis ini karena kehidupan bergereja orang Bali Kristen di

Parigi hanya fokus terhadap pelayanan rohani dan menjadikan dirinya sebagai sebuah

perkumpulan eksklusif yang tidak mau peduli terhadap sesamanya yang ada diluar Gereja.

Padahal panggilan Gereja di tengah-tengah dunia ini adalah untuk melayani semua orang

termasuk juga lingkungan hidup. Melalui penulisan tesis ini diharapkan Gereja membuka diri

untuk melayani masyarakat dan lingkungan. Komunitas basis merupakan cara baru hidup

menggeraja yaitu kehidupan menggereja yang dimulai dari bawah yaitu komunitas akar rumput.

Dengan kehidupan menggereja yang dimulai dari komunitas akar rumput diharapkan Gereja ikut

serta menggumuli persoalan-persoalan yang sedang dihadapai oleh jemaat dan masyarakat.

Dengan demikian pada dirinya sendiri Gereja tidak lagi akan berfokus pada program pelayanan

©UKDW

12

rohani, melainkan juga pelayanan difokuskan pada pergumulan aktual jemaat yaitu masalah-

masalah kehidupan yang dialami oleh jemaat setiap hari, baik itu permasalahan rohani, jasmani

maupun lingkungan hidup.

D. Landasab Teori

Di latar belakang telah disebutkan secara sepintas bahwa kehidupan berjemaat orang Bali

Kristen di Parigi hanya sebatas kegiatan yang bersifat ritual yaitu pelayanan yang bersifat rohani

dan mengabaikan pelayanan sosial Gereja. Dalam rangka penelitian terhadap persoalan yang

diangkat dalam tesis ini, penyusun menggunakan dua teori. Pertama, sepuluh agenda pastoral

transformatif yaitu pemberdayaan kaum miskin dengan perspektif adil gender, HAM dan

lingkungan hidup. Kedua, Komunitas Basis. Penyusun menggunakan kedua teori ini karena

pemberdayaan kaum miskin dengan perspektif adil gender, HAM dan lingkungan hidup sejalan

dengan arah dan cita-cita komunitas basis yaitu memberdayakan komunitas akar rumput.

1. Menggali Data Penelitian

Untuk mengungkapkan/menggali mengapa jemaat Bali Kristen di Parigi dalam

pelayanannya hanya menyentuh pelayanan rohani dan mengabaikan pelayanan sosial Gereja

penyusun menggunakan sepuluh agenda pastoral trasformatif26

. Dalam sepuluh agenda pastoral

transformatif Gereja dipanggil untuk ikut memberdayakan kaum miskin, dengan perspektif adil

gender, HAM dan lingkungan hidup. Karya pastoral semacam ini sejalan dengan fokus pada

pemberdayaan komunitas basis27

.

a. Memberdayakan kaum miskin28

Kaum miskin bukanlah objek kebaikan hati, melainkan subjek dan pelaku utama perubahan

sosial. Oleh karena itu pelayanan harus berpusat dan dimulai dari kaum miskin itu sendiri. Hal

ini membawa dampak pada karya pemberdayaan diwujudkan dengan pelayanan

mendahulukan orang miskin. Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas perlu mengubah

sistem dan jaringan yang tidak adil memperjuangkan keadilan sosial dalam seluruh kehidupan

baik ekonomi, politik maupun sosial budaya.

26

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)

27 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif

Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidup, p. 7. 28

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidup, p. 53-54.

©UKDW

13

b. Perspektif adil gender29

Kaum perempuan tidak boleh ditinggalkan dalam pemberdayaan. Ketidakadilan yang terjadi

terhadap perempuan merupakan ketidakadilan bagi semua orang. Gerakan feminis merupakan

gerakan yang menanggapi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan,

diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Penghargaan wajar dan pemberdayaan

perempuan harus terjadi dalam setiap aspek kehidupan, dalam keluarga, jemaat dan

masyarakat. Spiritual feminis sebagai jalan yang ditempuh untuk membongkar penindasan

terhadap kaum perempuan melibatkan kaum perempuan maupun laki-laki. Yang dilawan

dalam gerekan feminis bukanlah kaum laki-laki melainkan struktur patriarki.

c. Hak Asasi Manusia30

Gereja memahami hak asasi manusia menyangkut semua orang. Menolak sifat universal hak

asasi manusia berarti menyangkal adanya yang humanum yang terdapat dalam konteks

kultural manapun dan yang dapat dijembatani melalui komunikasi lintas budaya. Jeritan

penderitaan orang adalah jeritan universal kepada semua orang. Hak asasi manusia mencakup

bidang kehidupan yang sangat luas. Pemahaman tentang hak asasi di Indonesia yaitu hak asasi

ditekankan dengan kewajiban. Menekankan kewajiban tidaklah salah apabila pemahaman

kewajiban itu dipahami dengan kerangka berfikir yang utuh yaitu dalam paradigma holistik

yang konsisten. Hak individu merupakan seruan. Dalam paradigma holistik, percakapan

mengenai kewajiban mempunyai arah dari yang kuat kepada yang lemah, menderita dan tak

berdaya. Sementara itu kewajiban yang lemah adalah memberdayakan diri dan menuntut

partisipasi.

d. Lingkungan hidup31

Perhatian terhadap lingkungan hidup sangat penting terhadap pemberdayaan kaum miskin

karena apabila lingkungan hidup rusak rakyat miskinlah yang pertama-tama menjadi korban,

karena mereka tidak mempunyai alternatif lain untuk hidup.

2. Pengembangan Gereja dan Refleksi Teologis

Di latar belakang telah disebutkan secara sepintas bahwa kehidupan berjemaat orang Bali

Kristen di Parigi hanya sebatas pada kegiatan yang bersifat ritual yaitu pelayanan yang bersifat

rohani dan mengabaikan pelayanan yang bersifat pelayanan sosial Gereja. Untuk pengembangan

29

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidup, P. 55-62

30 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif

Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidu,p p. 62-70 31

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender HAM dan Lingkungan Hidup, 62-70

©UKDW

14

Gereja dan refleksi teologis penyusun menggunakan komunitas basis. Penyusun memilih

komunitas basis karena komunitas basis dalam melakukan pelayananan berangkat dari bawah

(akar rumput). Melalui komunitas basis diharapkan pelayanan Gereja menyentuh permasalahan-

permasalahan yang dialami jemaat maupun masyarakat, sehingga kehadiran Gereja benar-benar

dirasakan oleh jemaat maupun masyarakat. Komunitas basis merupakan cara baru hidup

menggereja, anggotanya terdiri dari 15-20 rumah tangga, mengadakan pertemuan secara berkala

sesuai dengan waktu yang ditetapkan bersama, adanya sharing Firman Allah, sharing masalah

kehidupan dan mencari penyelesaiannya di bawah terang Firman Allah. Ada berbagai macam

definisi tentang komunitas basis. Tiap definisi tentunya memberikan tekanan tertentu pada

penjelasan tentang hakekat komunitas basis. Dalam penulisan tesis ini penyusun memakai

landasan teori komunitas basis menurut Margaret Hebblethwaite32

sebagai acuan utama. Namun

demikian penyusun juga akan menyajikan pandangan beberapa pakar dan praktisi tentang

komunitas basis di Indonesia antara lain: Prof J.B. Banawiratma, A.Margana, John Mansford

Prior dan pandangan Gereja Katolik tentang komunitas basis. Landasan teori komunitas basis

dalam penulisan tesis ini akan diungkapkan lebih mendalam pada bab III dalam tesis ini.

E. Metode Penelitian

Gereja berada dalam kenyataan sosial dalam konteks tertentu, sehingga dibutuhkan suatu

pendekatan untuk memahaminya dalam kerangka berteologi sosial. Banawiratma menawarkan

empat agenda utama dalam berteologi sosial yaitu33

:

1. Kenyataan sosial dan penghayatan iman atau situasi yang dialami bersama. Untuk mengetahui

pengertian, bentuk dan yang berhubungan dengan pelayanan sosial Gereja, peneliti

menggunakan metode kualitatif. Secara faktual peneliti akan menempuh langkah langkah

sebagai berikut: pertama, peneliti akan berusaha untuk mengadakan penelitian lapangan

dengan bentuk survei untuk mengetahui kenyataan sosial yang berhubungan dengan keadaan

masyarakat di Parigi Moutong. Kedua, untuk mengetahui mengapa Gereja orang Bali Kristen

di Parigi Moutong hanya terlibat dalam pelayanan rohani dan mengabaikan pelayanan jasmani

peneliti akan mengadakan pengumpulkan data sebagai berikut:

a. Pengamatan serta. Peneliti akan mengumpulkan data dengan berperan serta dalam

kehidupan sehari-hari, mengamati situasi yang sedang dihadapi dan bagaimana mereka

32

Ada dua karanngan Hebblethwaite tentang komunitas basis yang digunakan yaitu: 1. Margareth Hebblethwaite, Base Communities An Introduction, (New York: Paulist Press, 1994), 2. Margaret Hebblethwaite, Basic Is Beautiful: Basic Ecclesial Communities From Third World To First World, (London: Fount, 1993).

33 J.B. Banawiratma, Aspek Aspek Teologi Sosial, (Jakarta: Kanisius, 1998), p 11-15

©UKDW

15

bertindak di dalamnya34

. Penulis akan berada di tengah-tengah jemaat “Eben-Haezer” dan

desa Sumbersari selama dua bulan.

b. Dengan wawancara terfokus. Wawancara terfokus pada dasarnya mendekati metode

angket. Angket bersifat tertulis, sedangkan wawancara terfokus bersifat lisan. Dalam

wawancara terfokus pertanyaan disiapkan oleh peneliti dengan terstruktur dan cenderung

mengarahkan jawaban35

. pertanyaan yang ditujukan kepada responden memberikan ruang

bagi responden untuk mengungkapkan pendapatnya, selain alternatif pilihan jawaban yang

ada (Ya dan Tidak). Pertanyaan wawancara merupakan turunan dari pokok permasalahan

dalam penulisan tesis ini yaitu mengapa jemaat Bali Kristen di Parigi dalam pelayanannya

hanya menyentuh pelayanan yang rohani dan mengabaikan pelayanan sosial Gereja. Pokok

pertanyaan yang diajukan dalam wawancara meliputi dua hal yaitu pertama, pemahamanan

jemaat tentang Gereja dan tugas panggilannya. Kedua. Keterlibatan pelayanan Gereja

dalam masyarakat. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara sebagai berikut:

Pertanyaan yang diajukan dalam pemahaman tentang Gereja:

- Selama ini anda menghayati Gereja sebagai apa?

- Menurut Pemahaman anda apakah tugas panggilan Gereja di tengah dunia?

- Apakah Gereja anda memberikan prioritas program pelayanan kepada masyarakat?

- Apakah tujuan Gereja anda terkait dengan persoalan-persoalan yang aktual di Jemaat

saat ini?

Pertanyan yang diajukan dalam keterlibatan Gereja dalam masyarakat berkaitan dengan

kemiskinan, adil gender, hak asasi manusia dan lingkungan hidup adalah:

- Apakah gereja anda mendampingi orang miskin sehingga mereka dapat keluar dari

kemisikinan?

- Apakah Gereja Anda memperjuangkan kesataraan kedudukan laki laki dan perempuan

di tengah masyarakat?

- Apakah Gereja anda memperjuangkan Hak Asasi Manusia?

- Apakah Gereja melakukan pelayanan terkait dengan lingkungan hidup?

34

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Grasindo, 1997), p. 63-64 35

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, p. 95.

©UKDW

16

Dalam penelitian dengan metode wawancara terfokus, penyusun akan melakukan

wawancara dengan:

Wawancara Dengan Warga Jemaat

Pada wawancara ini, penulis mewawancarai 45 orang. di Jemaat GPID jemaat “Eben-

Haezer” Sumbersari terdapat sembilan kelompok pelayanan. Dari masing-masing

kelompok terdiri dari lima responden. Responden di setiap kelompok mewakili unsur-

unsur (tua-muda), gender (laki-laki, perempuan), Pekerjaan (pegawai, petani) dan

pendidikan ( SD, SMP SMU, S1). Klasifikasi responden tersebut akan dapat

memberikan dinamika gambaran yang lebih luas tentang pemahaman dan praktek

kehidupan bergereja di Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari.

Wawancara Dengan Majelis Jemaat dan Pengurus Lembaga Kategorial.

Wawancara dengan Majelis Jemaat sangat diperlukan karena Majelis Jemaat merupakan

pihak yang mengatur kebijakan-kebijakan dalam kehidupan jemaat. Di Jemaat GPID

“Eben-Haezer” Sumbersari, Majelis Jemaat terdiri dari pejabat gerejawi dengan unsur

Pendeta, Penatua dan Diaken. Dalam wawancara ini penyusun mengambil 10 dari 18

orang Majelis Jemaat dan lima dari pengurus lembaga kategorial dengan

pengelompokan sebagai berikut: dua orang Pendeta, empat orang Penatua, empat orang

Diaken, satu orang pengurus Lansia, satu orang pengurus Kaum Bapak, satu orang

pengurus Kaum Ibu, satu orang pengurus Pemuda/Remaja, satu orang pengurus Sekolah

Minggu. Pemilihan responden Majelis Jemaat ini dengan mempertimbangkan unsur-

unsur (tua-muda), gender (laki-laki, perempuan), Pekerjaan (pegawai, petani) dan

pendidikan ( SD, SMP SMU, S1). Klasifikasi responden tersebut akan dapat

memberikan dinamika gambaran yang lebih luas tentang pemahaman dan praktek

kehidupan bergereja di Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari

c. Membahas dokumen-dokumen tertulis. Dokumen ini menjadi sumber sekunder dalam

penelitian36

. Dokumen tertulis yang dibahas adalah sejarah desa dan Jemaat GPID “Eben-

Haezer” Sumbersari.

2. Analisis sosial. Dalam menganalisis data, peneliti memakai analisis sosial. Analisis sosial

berusaha mencari sebab-sebab mengapa peristiwa atau keadaannya seperti itu. Pada tahap

kedua ini peneliti berusaha mengetahui sebab-sebab atau apa yang menyebabkan situasi

36

S, Nasution, Metode Research, Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), p. 143.

©UKDW

17

tersebut. Untuk mengadakan analisis sosial peneliti menganalisa data dengan bertitik tolak

pada tiga aspek yaitu aspek ekonomi, politik dan sosio-budaya37

3. Refleksi teologis. Peneliti memasuki refleksi (teologis) dari perspektif iman, yang tentu saja

tidak terpisah dengan refleksi sosial (sosiologis-etis). Pertanyaan yang menggerakkan

komunitas atau kelompok untuk memasuki momen ketiga ini adalah: Apa makna kenyataan

hidup seperti itu untuk orang Kristen? Apabila teologi dapat dijalankan dalam untuk iman

lain, maka pertanyaan yang sama berlaku untuk iman lain.

4. Pelayanan atau arah gerakan bersama. Pada momen ini peneliti bertanya: apa yang harus

dilakukan? Mungkin akan muncul pertanyaan: siapakah Gereja, haruskan Gereja terlibat

dalam soaial kemasyarakatan, ekonomi dan politik? (Aksi pastoral).

Penyusun juga akan memeriksa literatur sebagai bahan acuan terhadap teori yang dipakai.

Penyusun menguraikan persoalan yang ada kemudian membandingkannya dengan teori

komunitas basis. Perbandingan ini bertujuan menguatkan landasan teologi pelayanan yang

sudah ada sebelumnya atau mengganti landasan teologi pelayanan. Dengan kata lain ingin

membuktikan masih relevan atau tidaknya landasan teologi pelayanan yang dilakukan. Penelitian

ini juga dipakai untuk mendapatkan sumber-sumber yang dapat membantu peneliti untuk

memahami dan menganalisa persoalan yang ada.

F. Sistematika Penulisan

BAB. I. Pendahuluan

BAB I merupakan pengantar, di dalamnya penyusun bermaksud untuk membawa pembaca

mengetahui dan mengerti ke arah mana dan hal apa serta bagaimana pokok pertanyaan ini

dibahas. Bab ini meliputi hal-hal: Latar belakang, rumusan dan batasan pertanyaan, tujuan

penulisan dan pemilihan judul, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB. II. Potret dan Analisis Jemaat GPID “Eben-Haezer” di Desa Sumbersari

Dalan bab II penyusun menguraikan tentang deskripsi desa Sumbersari yang terdiri dari sejarah

desa Sumbersari, geografis, topografi, demografi, kondisi perekonomian, politik dan sosial-

budaya. Analisis Desa Sumbersari yang terdiri dari sistem ekonomi, politik dan sosial-budaya.

Bab II juga menguraikan tentang kehidupan berjemaat di GPID “Eben-Haezer” Sumbersari yang

terbagi atas sejarah jemaat dan uraian-uraian tentang hasil penelitian yang mencakup

37

J.B. Banawiratma dan J Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu : Kemiskinan Sebagai TantanganHidup Beriman, (Jogjakarta: Kanisius, 1993), p. 70- 82.

©UKDW

18

pemahaman tentang Gereja dan praktek berjemaat di Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari

beserta dengan analisisnya.

BAB. III. Komunitas Basis Sebagai Cara Baru Hidup Menggereja

Pada Bab III penyusun akan menguraikan tentang komunitas basis sebagai cara baru hidup

menggereja, baik sejarah munculnya komunitas basis, pengertian komunitas basis dan karakter

komunitas basis. Acuan utamanya adalah tulisan Margaret Hebblethwaite tentang komunitas

basis, namun demikian pandangan beberapa pakar dan praktisi tentang komunitas basis di

Indonesia juga akan dikemukakan, antara lain: Prof J.B. Banawiratma, A.Margana, John

Mansford Prior dan pandangan Gereja Katolik tentang komunitas basis.

BAB. IV. Mengembangkan Pelayanan Gereja Melalui Komunitas Basis

Bab IV. Dalam bagian ini penyusun akan menguraikan tentang komunitas basis sebagai cara

baru hidup menggereja, sebagai respon terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam analisa

bab II. Uraian ini akan diawali dengan tinjauan teologis, refleksi komunitas basis sebagai cara

baru hidup menggereja, mengembangkan komunitas basis sebagai pelayanan Gereja yang

kontkestual.

BAB. V. Kesimpulan

Dalam bab V penyusun akan menyimpulkan apa yang telah di paparkan dari bab I sampai bab

IV. Disamping pertanyaan dalam bab I sampai dengan jawaban dari pertanyaan tersebut, penulis

juga akan menyertakan saran-saran yang kiranya diindahkan dan dilakukan oleh Majelis Jemaat

maupun segenap warga Jemaat GPID “Eben-Haezer” Sumbersari.

©UKDW