kerusuhan sosial di tasikmalaya 1996

17
KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996 Annisa Mardiani Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Pada 26 Desember 1996 meletus kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Artikel ini berupaya untuk mengungkapkan sebab-sebab serta dampak kerusuhan tersebut dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Pemicu terjadinya kerusuhan tersebut adalah kasus penganiayaan ustadz oleh oknum Polisi. Kasus penganiayaan kemudian menimbulkan rasa solidaritas dari generasi muda Islam Tasikmalaya yang direpresentasikan dalam bentuk acara doa bersama pada 26 Desember 1996 di Mesjid Agung Tasikmalaya. Setelah acara doa bersama, ketidakpuasan akan penanganan kasus penganiaayaan membuat massa melakukan tindak kekerasan terhadap simbol kepolisian lalu bergeser pada tindak kekerasan terhadap aset etnis Tionghoa. Pergeseran sasaran kekerasan itu dapat dijelaskan dengan menggunakan teori collective action dari Charles Tilly. Kerusuhan di Tasikmalaya pada 1996, meminjam istilah Charles Tilly, termasuk dalam aksi kolektif dengan kekerasan bentuk brawls (aksi tanpa kekerasan yang berakhir dengan penyerangan) yang bergeser menjadi opportunism (kekerasan yang memanfaatkan kesempatan). The Social Riot in Tasikmalaya 1996 Abstract At December 26 th 1996 a soical riot emerged in Tasikmalaya, West Java. Using the historical method, this article tries to explain causes and affects of that riot. The triger of the riot was ustadz’s mistreatment case by policemen. Hence, arising of the solidarity from Islam youth of Tasikmalaya. Then, they reacted by doing doa bersama at Mesjid Agung Tasikmalaya. At the end, mass felt unsatisfied toward mistreatment case handling, they did violence action to police symbol and shift to Chinese assets. Based on Charles Tilly’s collective action theory, the riot in Tasikmalaya is collective action by violence. The type of this collective action is brawls (nonviolence action which end by attacking) which is switching to opportunism (violence that exploiting opportunity). Key Words: Tasikmalaya; West Java; Riot; Social Riot; Collective Action. Pendahuluan Pada 26 Desember 1996 terjadi kerusuhan sosial di Tasikmalaya yang dipicu oleh terjadinya kasus penganiayaan terhadap ustadz oleh oknum Polisi. Kasus tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat. Ketegangan di Tasikmalaya berakhir dengan provokasi dari pihak tertentu yang mendorong massa untuk melakukan tindakan kekerasan. Ketegangan sosial di tingkat lokal tak hanya terjadi di Tasikmalaya. Sebelumnya, pada dekade 1990-an di beberapa daerah lain juga terjadi ketegangan sosial yang meledak menjadi kerusuhan sosial berbau SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan). Misalnya, dalam November 1992 terjadi aksi pengrusakan oleh sekelompok muslim di Jakarta Timur terhadap sebuah rumah milik komunitas Batak-Protestan lantaran aktivitas komunitas Batak-Protestan beribadah pada hari Minggu dianggap mengganggu warga sekitar. Di tahun yang sama, pergesekan antara umat beragama yang diisukan dipicu oleh masalah ekonomi menyebabkan terjadinya kasus penyerangan terhadap geraja di Sumatera Utara, Pasuruan, Wonosobo, dan Jember (Sidel, 2006:73), serta pernah terjadi pula penyerangan terhadap sepuluh gereja pada Juni 1996 di Surabaya (Bertrand, 2012:163). Di Dili, pada tahun 1994 bentrok terjadi antara warga Katholik Timor Timur dengan pedagang muslim dari Sulawesi Selatan. Betrokan ini meluas lalu berlanjut hingga meledak kerusuhan pada September 1994 di Dili. Sementara itu, di Flores terjadi peradilan terhadap tersangka penodaan agama, yakni kasus pelecehan ritual ibadah umat Nasrani. Pasca peradilan atau Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Annisa Mardiani

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak Pada 26 Desember 1996 meletus kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Artikel ini berupaya untuk mengungkapkan sebab-sebab serta dampak kerusuhan tersebut dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Pemicu terjadinya kerusuhan tersebut adalah kasus penganiayaan ustadz oleh oknum Polisi. Kasus penganiayaan kemudian menimbulkan rasa solidaritas dari generasi muda Islam Tasikmalaya yang direpresentasikan dalam bentuk acara doa bersama pada 26 Desember 1996 di Mesjid Agung Tasikmalaya. Setelah acara doa bersama, ketidakpuasan akan penanganan kasus penganiaayaan membuat massa melakukan tindak kekerasan terhadap simbol kepolisian lalu bergeser pada tindak kekerasan terhadap aset etnis Tionghoa. Pergeseran sasaran kekerasan itu dapat dijelaskan dengan menggunakan teori collective action dari Charles Tilly. Kerusuhan di Tasikmalaya pada 1996, meminjam istilah Charles Tilly, termasuk dalam aksi kolektif dengan kekerasan bentuk brawls (aksi tanpa kekerasan yang berakhir dengan penyerangan) yang bergeser menjadi opportunism (kekerasan yang memanfaatkan kesempatan).

The Social Riot in Tasikmalaya 1996

Abstract At December 26th 1996 a soical riot emerged in Tasikmalaya, West Java. Using the historical method, this article tries to explain causes and affects of that riot. The triger of the riot was ustadz’s mistreatment case by policemen. Hence, arising of the solidarity from Islam youth of Tasikmalaya. Then, they reacted by doing doa bersama at Mesjid Agung Tasikmalaya. At the end, mass felt unsatisfied toward mistreatment case handling, they did violence action to police symbol and shift to Chinese assets. Based on Charles Tilly’s collective action theory, the riot in Tasikmalaya is collective action by violence. The type of this collective action is brawls (nonviolence action which end by attacking) which is switching to opportunism (violence that exploiting opportunity). Key Words: Tasikmalaya; West Java; Riot; Social Riot; Collective Action. Pendahuluan Pada 26 Desember 1996 terjadi kerusuhan sosial di Tasikmalaya yang dipicu oleh terjadinya kasus penganiayaan terhadap ustadz oleh oknum Polisi. Kasus tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat. Ketegangan di Tasikmalaya berakhir dengan provokasi dari pihak tertentu yang mendorong massa untuk melakukan tindakan kekerasan. Ketegangan sosial di tingkat lokal tak hanya terjadi di Tasikmalaya. Sebelumnya, pada dekade 1990-an di beberapa daerah lain juga terjadi ketegangan sosial yang meledak menjadi kerusuhan sosial berbau SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan). Misalnya, dalam November 1992 terjadi aksi pengrusakan oleh sekelompok muslim di Jakarta Timur terhadap sebuah rumah milik komunitas Batak-Protestan lantaran

aktivitas komunitas Batak-Protestan beribadah pada hari Minggu dianggap mengganggu warga sekitar. Di tahun yang sama, pergesekan antara umat beragama yang diisukan dipicu oleh masalah ekonomi menyebabkan terjadinya kasus penyerangan terhadap geraja di Sumatera Utara, Pasuruan, Wonosobo, dan Jember (Sidel, 2006:73), serta pernah terjadi pula penyerangan terhadap sepuluh gereja pada Juni 1996 di Surabaya (Bertrand, 2012:163). Di Dili, pada tahun 1994 bentrok terjadi antara warga Katholik Timor Timur dengan pedagang muslim dari Sulawesi Selatan. Betrokan ini meluas lalu berlanjut hingga meledak kerusuhan pada September 1994 di Dili. Sementara itu, di Flores terjadi peradilan terhadap tersangka penodaan agama, yakni kasus pelecehan ritual ibadah umat Nasrani. Pasca peradilan atau

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 2: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

pembacaan putusan pelaku aksi penodaan agama, massa yang tak puas dengan hukuman yang dijatuhkan kemudian melakukan pengrusakan terhadap pengadilan serta toko milik para pendatang muslim (Bertrand, 2012:153-163). Pada 10 Oktober 1996 Situbondo pun dilanda kerusuhan. Bermula dari ketidakpuasan terhadap putusan hakim yang menghukum Saleh, terdakwa kasus menghinaan agama Islam dan penghinaan ulama setempat, yakni KH As’ad Syamsul Arifin. Aksi penyerangan dengan kekerasan tak dapat dibendung. Namun, serangan justru mengarah pada Gereja Bethel Bukit Zion dan bangunan lain milik etnis Tionghoa (Sidel, 2006:77-82). Beberapa pekan setelah peristiwa di Situbondo, kerusuhan terjadi di Tasikmalaya. Kerusuhan di Tasikmalaya yang pecah pada 26 Desember 1996 tak hanya mengagetkan masyarakat sekitar tetapi meluas menjadi isu nasional. Pada peristiwa di Tasikmalaya terjadi pergeseran isu, yakni isu yang semula berbau ketidakpuasan terhadap aparat kemudian bergeser menjadi berbau SARA atau dengan kata lain muncul isu anti Cina (Tionghoa). Kenyataan itu membuat kerusuhan di Tasikmalaya menarik untuk dikaji. Sejalan dengan perkembangannya, muncul beberapa dugaan mengenai sebab-musabab kerusuhan serta dalang dibalik kerusuhan tersebut. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa kerusuhan di Tasikmalaya adalah aksi konspirasi politik “operasi naga hijau” yang ingin menjatuhkan dirinya dan Nahdlatul Ulama. Sementara Amien Rais menilai kerusuhan sebagai akibat kondisi masyarakat yang memang sudah tak tahan akan kesenjangan. Pendapat-pendapat tersebut menimbulkan pertanyaan pada diri penulis, sekaligus menjadi pokok permasalahan dalam artikel ini, yaitu apakah benar kerusuhan di Tasikamalaya pada 1996 merupakan rekayasa politik untuk menjatuhkan NU dengan memanfaatkan kesejangan yang ada? Dalam artikel ini penulis mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan menggunakan metode sejarah serta pendekatan ilmu sosial, yakni memakai kerangka teori collective action atau aksi kolektif dari Charles Tilly (Tilly, 2003). Diharapkan artikel ini mampu mendokumentasikan dan mengungkap fakta-fakta tentang salah satu kerusuhan di Indonesia serta dapat menjadi suatu pembelajaran bagi bangsa Indonesia mengingat kerusuhan-kerusuhan masih sering terjadi hingga kini. Selain itu, semoga hasil penelitian studi kerusuhan di Tasikmalaya, 26 Desember 1996 dapat menjadi pelengkap bagi kajian-kajian serupa yang telah ada, khususnya yang terjadi di Tasikmalaya.

Sebelumnya, penulisan tentang kerusuhan ini memang telah diteliti dan dikaji oleh beberapa peneliti, yaitu M. Munandar Sulaeman (2003), Evih Apriani (2005), Sufi Rachmawati (2007), dan Abdul Syukur (2012). Namun, berbeda peneliti terdahulu, tulisan ini tak hanya menggunakan berita dari surat kabar dan sumber lisan, namun menggunakan data-data yang tidak digunakan oleh peneliti-peneliti tersebut, yakni berkas perkara, putusan pengadilan dan pledoi dari empat orang terdakwa subversi dalam kasus kerusuhan di Tasikmalaya. Data-data tersebut penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Tasikmalaya dan arsip pribadi narasumber. Tasikmalaya Selayang Pandang Kabupaten Tasikmalaya terletak di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat tepatnya berada di antara 7°02’ dan 7°50 Lintang Selatan serta 107°97’ dan 108°25’ Bujur Timur. Kabupaten Tasikmalaya berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Majalengka di sebelah utara, Kabupaten Ciamis di sebelah timur, Samudera Indonesia di sebelah selatan, serta Kabupaten Garut di sebelah barat (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 1997:1). Luas Kabupaten Tasikmalaya mencapai 2.680,47 km². (Bapedda Kabupaten Dati II Tasikmalaya, 1989:24). Berdasarkan data tahun 1996, Kabupaten Tasikmalaya memiliki 30 kecamatan dan 412 desa/kelurahan (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 1997:17). Dalam perkembangannya, Tasikmalaya pernah mengalami riak-riak aksi massa yang terjadi sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan, baik aksi yang berpusat di wilayah Tasikmalaya ataupun aksi di wilayah lain yang meluas hingga Tasikmalaya. Aksi kolektif tersebut, diantaranya: Gerakan Nyi Aciah pada 1870-1871, yakni seorang yang dipercayai mampu menyembuhkan penyakit dan terlahir sebagai pemimpin kebangkitan Kerajaan Sunda (Ekadjati, et.al., 1990); aksi Sarekat Islam Afdeeling B yang melibatkan pemimpin SI di Tasikmalaya (ANRI, 1975:xvii-xviii; Falah, 2010:75; Iskandar, 2001:149-150); perlawanan Pesantren Sukamanah pada 1942 yang dipimpin K.H. Zaenal Mustofa (Hidajat, 1961; Kurasawa, 1993); Gerakan Darul Islam di Jawa Barat pimpinan Kartosoewirdjo yang memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Desa Cisampang, Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949 (Horikoshi, 1975); dan kerusuhan anti etnis Tionghoa yang pertama meledak di Cianjur dan Bandung kemudian meluas hingga Tasikmalaya pada 17 Mei 1963 (Sumardjan, 1969: 204; Pikiran Rakyat, 18 Mei 1963). Rekam jejak aksi kolektif di Tasikmalaya dari masa ke masa memperlihatkan bahwa aksi kolektif bukanlah hal yang baru terjadi. Persoalan yang menyangkut agama tampak menjadi kebanyakan pemicu terjadinya aksi-aksi kolektif tersebut.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 3: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Kehidupan Sosial-Ekonomi Penduduk Tasikmalaya Pada tahun 1996, jumlah keseluruhan penduduk di Tasikmalaya adalah 1.896.546 orang (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 1997:17; Lihat Lampiran 2). Jumlah warga negara asing di Tasikmalaya adalah 1.427 orang. Warga negara asing terdiri dari 11 orang warga negera Arab Saudi, 4 orang dari mereka tinggal di Kecamatan Cihideung dan 7 orang tinggal di Kecamatan Tawang. Terdapat pula 1.416 orang warga negera Pakistan, 41 orang dari mereka tinggal di Kecamatan Cipedes, 877 orang di Kecamatan Cihideung dan 498 orang tinggal di Kecamatan Tawang. Sedangkan jumlah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa berjumlah 1.427 orang, 41 orang di Kecamatan Cipedes, 881 orang di Kecamatan Cihideung, dan 505 orang di Kecamatan Tawang (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 1997:23). Maka, dapat dilihat bahwa baik Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa kebanyakan menetap di wilayah Kecamatan Cipedes, Tawang, dan Kecamatan Cihideung, yakni kecamatan-kecamatan yang kala itu termasuk dalam Kota Administratif Tasikmalaya. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan pusat kota, terutama Kecamatan Cihideung adalah jantung ekonomi kota yang kepadatan penduduknya mencapai 11.740 orang per km². Sedangkan di Kecamatan Tawang 10.677 orang per km² dan di Kecamatan Cipedes 7.473 orang per km² (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 1997:19-20).

Berdasarkan presentase struktur ekonomi Tasikmalaya pada tahun 1996, sektor yang paling berperan dalam perekonomian Tasikmalaya adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Pada tahun ini peran sektor pertanian dalam ekonomi Tasikmalaya adalah 27,74% disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang berperan 24,04% (BPS Tasikmalaya, 1998:29). Kabupaten Tasikmalaya dapat disebut sebagai daerah industri kecil dan kerajinan yang cukup potensial dalam menunjang pembangunan regional Jawa Barat maupun nasional. Pada akhir Repelita V, industri kecil Tasikmalaya memperlihatkan perkembangan dilihat dari bertambahnya industri setiap tahun rata-rata 1,62%. (Pemerintah Kabupaten Daerah Tk. II Tasikmalaya, 1996:17). Salah satu kerajinan tangan khas Tasikmalaya ialah anyaman yang umumnya terbuat dari bambu atau rotan. Biasanyanya anyaman ini dijadikan tikar, sandal, tas, bilik, dan lain-lain. Pusat kerajinan tangan ini berada di Kecamatan Rajapolah, wilayah utara Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu, hasil industri lain yang menjadi khas Tasikmalaya adalah bordir yang pusat pembuatannya berada di Kawalu, kelom geulis di Cibeureum, payung geulis di Indihiang, kerajinan kompor kaleng di Rajapolah, batik Tasikmalaya di Cipedes (Marhun: 1991:130-131), dan anyaman mendong yang pusat pembuatannya ada di

Cibeureum. Umumnya kerajinan-kerajinan dari Tasikmalaya ini diproduksi oleh industri rumah tangga dan industri kecil yang mengandalkan keterampilan tangan. Ciri khas lain kehidupan ekonomi di Tasikmalaya, selain industri kecil dan rumah tangga, adalah sistem perkreditan rakyat. Tak diketahui secara pasti kapan sistem perkreditan rakyat kali pertama hadir di Tasikmalaya (Nugrahanto, dkk, 2008:31). Sistem ini menawarkan angsuran pembayaran atas barang yang dibeli, misalnya kredit alat-alat rumah tangga, tanah, bangunan, hingga kendaraan bermotor. Kredit-kredit kecil di Tasikmalaya lebih identik dengan kredit alat rumah tangga yang dijajakan dari rumah ke rumah. Keuletan para kreditor inilah yang menjadikan tradisi kredit begitu kuat di Tasikmalaya. Banyak dari warga Tasikmalaya lantas berprofesi sebagai kreditor atau dalam bahasa setempat disebut tukang kiridit. Mereka bekerja di Tasikmalaya dan sekitarnya, bahkan tak sedikit yang merantau ke berbagai daerah di Indonesia. Meski hingga kini masih bisa ditemui, tukang kiridit terus menyusut jumlahnya karena muncul lembaga-lembaga kredit yang lebih besar, modern dan terorganisasi. Angka-angka berkata bahwa laju ekonomi di Tasikmalaya meningkat namun angka tersebut tak dapat menjelaskan jurang pemisah dalam kehidupan ekonomi penduduk Tasikmalaya. Jurang pemisah pendapatan antar satu sektor dengan sektor lainnya memperlihatkan tidak meratanya distribusi ekonomi (Lihat Lampiran 3). Selain itu, dalam tahun 1990-an di Tasikmalaya terdapat persoalan-persoalan ekonomi, seperti masalah pembebasan tanah di Kawalu (Kompas, 29 Juni 1995), masalah rentenir yang menjerat pengusaha-pengusaha kecil (Pikiran Rakyat, 20 Februari 1992), dan relokasi Pasar Wetan ke Pasar Cikurubuk (Pikiran Rakyat, 19 Maret 1992; Pikiran Rakyat, 11 Juli 1995; Pikiran Rakyat, 12 Juli 1995; Pikiran Rakyat, 2 November 1995). Kehidupan Agama di Tasikmalaya Berdasarkan data Departemen Agama Kabupaten Tasikmalaya tahun 1996/1997, dari 1.896.546 orang penduduk Tasikmalaya, 1.885.230 orang adalah Muslim, 2.593 orang pemeluk agama Katholik, 4.912 orang Protestan, 60 orang Hindu, 3.490 orang Buddha, dan 121 orang pemeluk kepercayaan lainnya. Para pemeluk agama Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha umumnya berada di wilayah Kota Administratif Tasikmalaya, yakni Kecamatan Cipedes, Cihideung, dan Tawang (BPS Tasikmalaya, 1997: 65; Lihat Lampiran 4). Penduduk Tasikmalaya 99,4 % adalah Muslim, 0,14% pemeluk agama Katholik, 0,26% Protestan, 0,003% Hindu, 0,18% Buddha, dan 0,006% pemeluk agama lain.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 4: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Pada tahun 1996 di Kabupaten Tasikmalaya terdapat 4.250 mesjid, 6.942 langgar, 2.549 mushola, 13 gereja, 1 vihara, dan 1 kelenteng (BPS Tasikmalaya, 1997: 64). Tasikmalaya dikenal sebagai kota dengan “seribu” pesantren. Departemen Agama Kabupaten Tasikmalaya mencatat, terdapat 603 pesantren di Tasikmalaya dengan 3.214 orang kiai, dan 70.288 orang santri (BPS Tasikmalaya, 1997: 74-75). Pesantren-pesantren yang termasuk pesantren besar di Jawa Barat pun diantaranya berada di Tasikmalaya. Pesantren tersebut, antara lain Pesantren Cipasung, Singaparna dan Pesantren Suryalaya. Keberadaan pesantren, baik pesantren kecil maupun besar, sebagai pusat pendidikan Islam sangat erat hubungannya dengan lingkungan sekitar. Oleh karena dalam komunitas pedesaan tradisonal kegiatan keagamaan merupakan suatu bagian yang terpadu dengan kenyataan atau keberadaan sehari-hari dan pemimpin agama dianggap sebagai sesepuh yang nasehatnya bisa dikatakan selalu didengar (Ziemek, 1986:96). Dalam hal perannya dalam pengembangan masyarakat lingkungan sekitar, komponen-komponen pesantren pun menunjukan kebermanfaatannya. Identitas agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk Tasikmalaya cukup mendominasi sehingga perkembangan politik di kota ini banyak diwarnai oleh organisasi keislaman. Di masa pemerintah Hindia Belanda, dinamika politik di Tasikmalaya sudah diwarnai oleh berdirinya Idharu Bi’atil Muluki wal Umara atau kerap disebut Idhar yang dalam Bahasa Sunda dapat diartikan turut ka ratu, tumut ka pamarentah nagara (taat kepada raja, ikut kepada pemerintah negara) (Mundzakkir, 2006). Di saat bersamaan lahir basis kekuatan alternatif, yakni Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organiasi yang tak berada dibawah “setir” penguasa. Sejak massa pergerakan hingga pendudukan kemerdekaan, basis NU terus bertambah di Tasikmalaya. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa sebagian besar pesantren di Tasikmalaya berafiliasi ke NU. Memasuki massa Orde Baru, sebelum fusi partai politik dilakukan pada 1973, kiai NU yang di Tasikmalaya jelas memberikan dukungannya pada Partai NU. Dominannya NU sebagai kekuatan Islam di Tasikmalaya dapat terlihat dari hasil Pemilihan Umum tahun 1971. Lihat tabel di bawah ini:

Tabel 1. Hasil Pemilihan Umum 1971 di Tasikmalaya untuk DPRD Tingkat II

Partai Politik Jumlah Suara % Golkar 38.697 65,13 NU 10.055 16,92 Parmusi 6.813 11,47 PNI 1.806 3,04 PSII 1.160 1,95

Parkindo 366 0,61 IPKI 253 0,43 PERTI 98 0,16 Partai Murba 25 0,04

Sumber: Hasil Pemilu 1971-1977-1982 (Tasikmalaya: Panitia

Pemilihan Daerah Tk. II, 1982), hlm. 1 dikutip oleh Amin Mudzakkir, “Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya 1930-1980an” dalam http://interseksi.org/publications/essays/articles/pengusaha_tasikmalaya.html (Diakses pada 6 Juni 2013 pukul 19.51 WIB)

Seperti terlihat pada Tabel 1, secara formal Golkar memenangkan Pemilu 1971 di Tasikmalaya. Akan tetapi, dalam praktiknya masyarakat yang mendukung NU jadi lebih banyak dibandingkan dengan Golkar. Apalagi setelah NU kembali ke Khittah 1926, kedekatan pesantren dengan NU semakin solid. Kenyataan ini membuat pemerintah Orde Baru berupaya keras untuk melakukan Golkarisasi pesantren-pesantren dalam rangka pemenangan Golkar di setiap pemilihan umum. Terjadinya Kerusuhan di Tasikmalaya 1996 Kerusuhan di Tasikmalaya di penghujung 1996 dipicu oleh kasus penganiayaan ustadz dari Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah, yakni Mahmud Farid dan santri seniornya Habib dan Ihsan oleh sejumlah oknum Polisi pada 23 Desember 1996. Mereka yang menganiaya adalah Nursamsi, seorang Kopral Kepala yang bertugas di Markas Polisi Resor Tasikmalaya, bersama dengan rekan-rekannya. Penganiayaan tersebut bermotif balas dendam dari Nursamsi, yakni ayah dari Rizal, seorang santri kalong di Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah yang dihukum oleh Habib dan Ihsan karena melakukan pencurian uang santri lain di pesantren tersebut. Mahmud Farid mengaku dipukul, dilukai dengan rokok yang menyala, ditendang, dan secara mental dihardik dengan kata-kata kotor. Setelah penganiayaan berhasil dihentikan, pihak Polres Tasikmalaya dan Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah melakukan kesepakatan damai. Mahmud Farid kemudian dibawa ke rumah sakit lalu menjalani perawatan di kediamannya. Sementara oknum Polisi yang menganiaya langsung dimintai keterangan. (Wawancara dengan Mahmud Farid pada 11 April 2013 di Condong; Republika, 26 Desember 1996; Pikiran Rakyat, 26 Desember 1996). Kasus penganiayaan menjadi buah bibir masyarakat Tasikmalaya. Bahkan santer beredar kabar burung meninggalnya Mahmud Farid dan ayahnya, K.H. Makmun sebagai pimpinan Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah. Beredar pula isu oknum Polisi penganiaya adalah seorang Nasrani. Isu tersebut menyebar secara lisan dan menyebar pula melalui selembaran serta telepon gelap (Pikiran Rakyat, 28 Desember 1996;

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 5: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Merdeka, 29 Desember 1996; Kompas, 30 Januari 1997; Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum; Wawancara dengan Mahmud Farid pada 11 April 2013 di Condong; Abdul Muis diwawancara pada 14 Februari 2013 di Tasikmalaya). Isu tersebut menjadi pendorong bagi masyarakat, terutama kalangan pesantren, datang ke Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah untuk menengok. Generasi muda Islam di Tasikmalaya, kebanyakan juga adalah santri, yang tergabung dalam organisasi, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Pelajara Nahdlatul Ulama (IPNU), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian menyepakati akan mengambil sikap atas kasus penganiayaan oknum Polisi terhadap ustadz. Mereka, atas nama Forum Komunikasi Santri dan Generasi Muda Islam (Fokus Malam), menyapakati akan melakukan kegiatan doa bersama di Mesjid Agung Tasikmalaya dan akan menyerahkan surat tuntutan pada Polres Tasikmalalaya pada 26 Desember 1996 (Wawancara dengan Abdul Fallah pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Asep Robidin pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Abdul Muis pada 14 Februari 2013 di Tasikmalaya; Nota Pembelaan Abdul Muis, 1997). Kamis, 26 Desember 1996 sedari pagi massa mulai memenuhi jalanan di sekitar Mesjid Agung Tasikmalaya. Di dalam mesjid sebenarnya sedang diselenggarakan pengajian mingguan. Sementara di luar mesjid massa terus bertambah banyak. Tak hanya dari kalangan santri yang hendak ikut acara doa bersama, masyarakat umum pun banyak ikut berkumpul, misalnya para sopir angkot dan tukang becak. Massa juga datang dari Ciamis dan Garut. Lantaran banyak dari massa yang berbahasan Jawa, maka mungkin saja terdapat pula massa dari Jawa Tengah yang ikut turun ke jalan (Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum). Sementara di halaman mesjid tampak Mimih Khaeruman yang tengah berorasi. Ia dikelilingi ribuan massa. Dengan lantang dan dengan gaya kerasnya ia berorasi tentang gagalnya pemerintah menegakan hak asasi manusia. Dengan berbekal Deklarasi Hak Asasi Manusia yang ia bawa kala itu, Mimih Khaeruman menegaskan bahwa kasus penganiayaan terhadap ustadz dan dua santri senior Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah sebagai salah satu bukti pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh aparatur negara. Mimih Khaeruman dalam orasinya memekikan takbir dan menuntut agar oknum Polisi yang menganiaya diadili (Wawancara dengan Mimih Khaeruman pada 29 Maret 2013 di Mangunreja; Berita Acara Pemeriksaan Saksi Mochamad Hisyam, 1997:13).

Lantaran pengajian mingguan di dalam mesjid tak kunjung usai, maka Mimih Khaeruman segera menyuruh Asep Ilyas, yang kebetulan berada di dekatnya, untuk membuka acara doa bersama. Asep Ilyas, yang memang kerap terlibat aksi unjuk rasa di Tasikmalaya, memulai orasi sekaligus pembukaan acara diawali dengan kalimat tabkir (Allahu Akbar) (Wawancara dengan Mimih Khaeruman pada 29 Maret 2013 di Mangunreja; Wawancara dengan Asep Ilyas pada 8 April 2013 di Indihiang). Bahasa agama, yakni pekikan takbir, yang digunakan baik oleh Asep Ilyas maupun Mimih Khaeruman ketika berorasi menunjukan penekanan terhadap solidaritas sesama muslim ketika ada muslim lain disakiti. Orasi pun menyoroti tentang hak asasi manusia untuk sama di mata hukum telah gagal dijunjung aparat negara dalam hal ini aparat kepolisian. Setelah panitia yang menamakan dirinya Fokus Malam hadir dan menyerukan massa masuk ke dalam Mesjid Agung Tasikmalaya, acara doa bersama resmi dibuka sekitar pukul 10.00 oleh Abdul Fallah yang bertindak sebagai pembawa acara. Acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dan shalawat oleh Fajar. Kemudian dilanjutkan ceramah keagamaan dari Miftahuddin tentang ketabahan dalam menghadapi cobaan. Marsidi Nadam lalu mengisi acara selanjutnya. Ia bicara tentang keprihatinannya ketika mengdengar Mahmud Farid, teman sekaligus gurunya sendiri yang dianiaya oknum Polisi. Marisidi Nadam kemudian memimpin doa bersama sebagai acara inti untuk mendoakan keselamatan umat dan khususnya korban penganiayaan oleh oknum Polisi tersebut. (Wawancara dengan Abdul Fallah pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Asep Robidin pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya). Sementara acara doa bersama berlangsung, Surat Pernyataan Keprihatinan yang telah dibuat oleh musyawarah panitia acara diantarkan ke Markas Polres Tasikmalaya yang letaknya berdekatan dengan Mesjid Agung Tasikmalaya. Mereka yang beranjak ke Mapolres Tasikmalaya, yakni Abdul Muis, Heri Nur Agusta dan Zaenal Muhyidin, berhasil menemui Kapolres Tasikmalaya Letkol R. Suherman. Setelah menerima Surat Pernyataan Keprihatinan, Kapolres bersedia hadir di Mesjid Agung Tasikmalaya untuk berdialog dengan massa yang ada di sana. Namun, melihat situasi yang tak memungkinkan lantaran massa terlampau banyak di luar maupun di dalam mesjid, Kapolres Tasikmalaya mengurungkan niat untuk pergi ke Mesjid Agung Tasikmalaya (Wawancara dengan Abdul Muis pada 14 Februari 2013 di Tasikmalaya; Nota Pembelaan Abdul Muis, 1997:16-17). Usai acara doa bersama di dalam Mesjid Agung Tasikmalaya hadir Komandan Resor Militer (Danrem)

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 6: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Tarumanegara Mohammad Yasin dan Komandan Distrik Militer (Dandim) Tasikmalaya Uyun M. Yunus mencoba berdialog dengan massa. Mereka menjelaskan bahwa persoalan penganiayaan ustadz dan santri Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah oleh oknum Polisi telah diselesaika secara kekeluargaan dengan adanya surat perjanjian perdamaian dan oknum Polisinya akan segera diadili. Namun, massa tampak tak puas dengan penjelasan tersebut dan merasa kecewa karena Kapolres Tasikmalaya urung datang ke mesjid. Massa di dalam mesjid mulai riuh. Mimih Khaeruman kemudian maju ke mimbar dan kembali beraorasi dengan membacakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Melihat kondisi yang semakin kacau, panitia doa bersama segera menghubungi koordinator delegasi dari setiap pesantren untuk mengamankan santri agar pulang ke rumah atau pesantren masing-masing. Acara ditutup oleh Marsidi Nadam (Wawancara dengan Abdul Muis pada 14 Februari 2013 di Tasikmalaya; Nota Pembelaan Abdul Muis, 1997:17-18; Wawancara dengan Mimih Khaeruman pada 29 Maret 2013 di Mangunreja; Wawancara dengan Asep Ilyas pada 8 April 2013 di Indihiang). Meski massa yang berada di dalam sebenarnya telah dibubarkan, namun tak menutup kemungkinan ikut berjalan ke Mapolres Tasikmalaya dan berbaur dengan massa di luar mesjid sehingga sudah tak teridentifikasi lagi mana yang santri dan mana yang bukan santri. Tak jelas siapa yang memerintahkan, seusai acara di dalam mesjid, sekira pukul 11.00 massa yang berada di sekitar Mesjid Agung Tasikmalaya pergi menuju Mapolres Tasikmalaya. Polisi telah berjaga di sekitar Mapolres Tasikmalaya. Massa dihadapi langsung oleh Kapolres Tasikmalaya R. Suherman, Danrem Tarumanegara Mohammad Yasin dan Dandim Tasikmalaya Uyun M. Yunus yang berdiri di atas tembok dekat patung harimua di depan Mapolres Tasikmalaya. Jajaran aparat keamanan dan juga Mimih Khaeruman yang ikut naik ke atas tembok tersebut mencoba menenangkan massa. (Wawancara dengan Asep Robidin pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya; Berita Acara Pemeriksaan Saksi Dadi Abi Darda, 1997:8). Kemudian, Kala Kapolres Tasikmalaya R. Suherman berbicara ada seorang massa yang melempar batu hingga memecahkan kaca jendela Mapolres (Republika, 30 Desember 1996). Aksi pengrusakan terhadap Mapolres Tasikmalaya mulai berlangsung. Kala itu hadir pula Bupati Tasikmalaya Suljana Wirata Hadisubrata dan Ketua DPRD Tasikmalaya Mudin Sutaryadi. Bupati Tasikmalaya menaiki kursi dan meminta massa tenang tapi permintaan tak diindahkan. Pelemparan terus berlanjut. Tak bentrok antara massa dengan aparat keamanan. Massa lalu mulai menyebar ke jalanan sekitar Mapolres Tasikmalaya untuk

melakukan pengrusakan. Keberingasan massa tak bisa dihentikan meski telah diupayakan oleh aparat keamanan. Bahkan siang itu K.H. Didi Abdul Majid, pimipinan Pesantren Sulalatul Huda, Paseh, mencoba menenangkan massa dengan berkeliling menggunakan motor kemudian berganti menggunakan mobil. Ia berpidato memakai pengeras suara untuk menghimbau massa agar membubarkan diri (Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum; Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya; Merdeka, 27 Desember 1996; Republika, 30 Desember 1996).

Gambar 1. Suasana di Depan Mapolres

Tasikmalaya

Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Desember 1996.

Upaya-upaya aparat keamanan menenangkan massa bahkan himbauan seorang kiai pun tak digubris. Massa, yakni orang-orang yang sedari awal ada di sekitar Mesjid Agung Tasikmalaya kemudian terpancing melakukan pengrusakan serta orang-orang yang kebetulan lewat pun spontan ikut, mulai melakukan aksi kolektif dengan kekerasan, yakni pengrusakan, pembakaran dan penjarahan terhadap toko, kendaraan, serta bangunan yang identik dengan Kepolisian dan mengarah pada aset etnis Tionghoa sebagai simbol ketidakadilan yang selama ini massa rasakan (Wawancara dengan Asep Robidin pada 1 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya; Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum). Karena daerah sekitar Mapolres dan Mesjid Agung Tasikmalaya adalah jantung kota, tak heran jika kerumunan massa yang turun ke jalan untuk melakukan pengrusakan terus bertambah jumlahnya. Mereka yang sebenarnya tak mengikuti acara sedari pagi atau bahkan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang terjadi, misalnya massa yang kebetulan lewat di daerah pecahnya kerusuhan pun secara spontan mengikuti aksi-aksi pengrusakan. Kala itu massa yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10.000 orang tak hanya melakukan pengrusakan terhadap simbol kepolisian. Toko-toko, Toserba, seperti Matahari, Asia,

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 7: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

dan Samudera, rumah tinggal, hotel, tempat ibadah, sekolah, pabrik, bank, dan kendaraan roda dua maupun roda empat habis dijadikan sasaran pengrusakan, pembakaran dan penjarahan. Sementara kendaraan besar yang massa temui seperti truk tak dirusak tapi digunakan sebagai kendaraan menuju wilayah-wilayah lain di sekitar kota (Gatra, 4 Januari 1997). Tempat ibadah umat Nasrani pun menjadi sasaran, salah satunya adalah Gereja Paroki Hati Kudus Yesus di Jalan Sutisna Senjaya yang mulai diserang massa pada pukul 13.00 siang (Tim Penulis, 1997:13). Massa melakukan pembakaran dengan cara mengeluarkan terlebih dahulu bahan bakar dari kendaraan yang mereka rusak. Bahan bakar tersebut dimasukan kedalam kantong plastik lalu dilempar ke arah kendaraan atau bangunan yang kemudian akan mudah terbakar ketika disulut api. Adapula massa yang menggunakan kertas-kertas terbakar yang dilempar ke dalam bangunan atau kendaraan dan terdapat juga massa yang memakai bom molotov. Mengiringi kobaran api, ledakan-ledakan terdengar di setiap penjuru kota. Siang hari yang terik di pusat kota Tasikmalaya dihiasi asap hitam yang membumbung tinggi (Adil, 1-7 Januari 1997; Gatra, 11 Januari 1997).

Gambar 2. Aksi Massa Merusak Kendaraan

Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Desember 1996.

Aksi pengrusakan dan pembakaran paling banyak terjadi di Jalan K.H. Zainal Mustofa. Kawasan tersebut merupakan jalanan utama pusat kota. Berjajar toko-toko, bank, toko serba ada, dealer kendaraan, dan pabrik yang kemudian dirusak massa. Pengrusakan toko-toko ini disertai aksi penjarahan terhadap berbagai macam barang mulai dari makanan hingga pakaian. Seorang perusuh, misalnya melakukan penjarahan terhadap toko pakaian di pertigaan Jalan K.H. Zaianl Mustofa-Jalan Pataruman. Ia merusak toko kemudian membawa serta setumpuk celana jeans dari toko tersebut (Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum). Para penjarahan ada yang berpenampilan seperti preman. Mereka berambut gondrong, beranting, dan mulutnya bau minuman keras

tapi anehnya sembari menjarah mereka berteriak “Allahu Akbar!” (Ummat, 20 Januari 1997). Hal tersebut memperlihatkan bahwa bahasa agama, yakni takbir, kala aksi kolektif dengan kekerasan tidak digunakan oleh perusuh sebagai suatu keyakinan dalam hati bahwa apa yang sedang mereka lakukan adalah atas nama agama. Sebuah agama tidak menghalalkan penjarahan dalam kondisi seperti apapun. Jadi, pekikan takbir tersebut hanyalah pembakar semangat. Meski jelang sore hari kondisi di pusat kota Tasikmalaya mulai bisa dikendalikan namun kerusuhan masih melanda pinggiran Tasikmalaya. Bahkan hingga malam hari banyak api masih menyala-nyala sebab pengrusakan dan pembakaran terhadap bangunan dan kendaraan masih terjadi, diantaranya di Kecamatan Salawu, Manonjaya, Ciawi, Indihiang, dan di Jalan Mohammad Hatta, yakni jalan yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis. Untuk memulihkan situasi diterjunkan aparat keamanan dari dalam kota sendiri, yakni Kodim Tasikmalaya serta bantuan dari kesatuan militer Bandung, Majalengka, Sumedang, dan ditambah dari kesantuan Kostrad (Adil, 1-7 Januari 1997). Pasukan bersenjata tersebut berjaga di setiap penjuru kota, siang-malam berpatroli. Kala aksi kolektif di Kamis siang itu meletus, aparat keamanan segera menutup jalan yang menuju pusat kota Tasikmalaya (Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum).Aparat kala kerusuhan tersebut mampu menangkap para sekira 173 perusuh, 89 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan pengrusakan dan penjarahan sementara 84 orang lainnya dibebaskan karena hanya terbawa emosi massa atau hanya ikut-ikutan saja merusak (Republika, 29 Desember 1996). Kerusuhan tak langsung selesai di hari Kamis, 26 Desember 1996. Keesokan harinya, 27 Desember 1996 aksi massa tetap ada. Ratusan massa berkonvoi menggunakan sepeda motor. Mereka melalui jalanan di Ciawi dan Rajapolah lalu menuju pusat kota Tasikmalaya. Meski aparat mampu menahan mereka agar tak masuk ke pusat kota tetapi aksi massa tak dapat dihindari. Toko-toko bahan bangunan dan peralatan elektronik di sekitar Pasar Ciawi diserbu massa. Mereka merusak bangunan-bangunan tersebut (Suara Pembaruan, 30 Desember 1996). Tak hanya di Ciawi, hari itu wilayah lain yang jauh dari pusat kota pun mengalami pengrusakan. Diantaranya, di Kawalu, 7 km arah selatan Kota Administratif Tasikmalaya, bangunan Kantor Polisi Sektor Kawalu, pabrik serta kendaraan roda empat dirusak dan dibakar. Sementara di Cipatujah, 79 km arah selatan Kota Administratif Tasikmalaya, sebuah gereja dibakar massa. Aksi serupa juga masih terjadi pada 27 Desember 1996 di Rajapolah, Karangnunggal, Cibalong dan Indihiang (Republika, 30 Desember 1996).

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 8: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Dampak dan Penanganan Setelah Kerusuhan Pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi di Tasikmalaya pada 26 Desember 1996 telah menyisakan puing-puing sarana lalu lintas, bangunan, dan kendaraan. Operasi Bersih kemudian dilakukan untuk membersihkan jalanan dan bangunan di Tasikmalaya. Operasi ini berjalan sejak 28 hingga 29 Desember 1996. Pemerintah Daerah Tasikmalaya melibatkan ABRI, KORPRI, Darma Wanita, Pertahanan Sipil, dan ratusan santri dari pesantren yang ada di Tasikmalaya, seperti Pesantren Cintawana, Condong, Sukahideng, Bantargedang, Paseh, dan Pesantren Sukamanah. Sekira 1.200 orang terlibat dalam kegiatan tersebut. Masyarakat umum pun kala itu mulai berani keluar rumah untuk ikut Operasi Bersih atau hanya sekedar menontoni puing-puing yang mulai dibersihkan (Kompas, 29 Desember 1996; Pikiran Rakyat, 29 Desember 1996; Republika, 29 Desember 1996). Aksi kolektif dengan kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya pada 1996 mengakibatkan kerusakan yang merugikan bagi masyarakat Tasikmalaya sendiri karena berbagai sarana dan prasarana yang rusak telah mengganggu jalannya denyut kehidupan di kota ini. Sarana yang menjadi simbol kepolisian adalah yang paling banyak dirusak. Sekitar 2 buah Pos Lalu Lintas rusak berat dan 2 buah rusak ringan, 82 buah traffic light, 9 buah warning light, dan 172 buah rambu lalu lintas mengalami kerusakan serta 387 buah rambu-rambu lalu lintas lainnya hilang. Markas Polres Tasikmalaya, 13 Markas Polsek, Kantor Samsat, dan Kantor Sub Unit Polisi Jalan Raya pun mengalami kerusakan (Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya, 1997). Sedangkan sarana peribadatan yang mengalami kerusakan adalah 4 gereja rusak berat, 8 gereja rusak ringan, sebuah vihara rusak berat, dan satu kelenteng rusak ringan. Tak hanya tempat ibadat, sarana pendidikan yang mengalami kerusakan pun kebanyakan adalah sekolah-sekolah Kristiani. TK Bina Bakti, TK Yos Sudarso, SD Yos Sudarso, SMP Yos Sudarsa, TK BPK Penabur, SMP BPK Penabur, SMA BPK Penabur, dan SD Kristen di Yudanegara mengalami kerusakan. Prasarana dan sarana lain yang mengalami kerusakan, yakni Kantor Bersama, Kantor Kelurahan Yudanegara, pertamanan kota, Jalan RE Martadinata, Jalan Dokter Sukardjo, dan Jalan K.H. Zainal Mustofa beserta penerangan jalan umum, jaringan aliran listrik, dan pipa saluran milik PDAM yang berada di jalan tersebut. Tak hanya milik pemerintah, aset milik swasta pun ikut rusak, yakni 7 rumah tinggal, 6 bank, 98 pertokoan, 8 dealer, 18 pabrik, 3 hotel, 114 kendaraan roda empat, 22 kendaraan roda dua, dan sebuah kendaraan berat. Kerugian dari kerusakan infrastruktur akibat kerusuhan

mencapai 85 milyar rupiah (Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya, 1997). Empat orang meninggal dunia akibat kerusuhan di Tasikmalaya, 26 Desember 1996. Mereka yang meninggal adalah Eli Santosa, 34 tahun, meninggal karena serangan jantung; Anton Sutejo alias Kiok Wie Wie, 62 tahun, terjebak api dalam tokonya di Jalan K.H. Zainal Mustofa dan tidak bisa diselamatkan; Ririn, 25 tahun, terlindas setelah jatuh ketika akan angkot; serta satu orang lagi yang tidak teridentifikasi identitasnya. Selain korban jiwa terdapat pula 15 orang luka-luka (Republika, 28 Desember 1996; Republika, 28 Desember 1996; Suara Pembaruan, 30 Desember 1996). Baik masyarakat Tasikmalaya maupun masyarakat wilayah lain yang biasa berinteraksi dengan kehidupan di Tasikmalsaya mengalami kesulitan, diantaranya dalam hal ekonomi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sekitar dua hari warga Tasikmalaya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari lantaran kegiatan perdagangan belum berjalan seperti sedia kala. Pusat perbelanjaan, toko-toko, dan pasar belum buka seluruhnya. Akibat kegiatan ekonomi yang belum berjalan lancar, harga sembilan bahan pokok serta kebutuhan sehari-hari lain mengalami kenaikan (Pikiran Rakyat, 4 Januari 1997). Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya dibantu Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian melakukan pertemuan dengan para pengusaha yang bergerak di berbagai sektor ekonomi dalam rangka normalisasi. (Kompas, 30 Desember 1996; Republika, 6 Januari 1997; Pikiran Rakyat, 8 Januari 1997; Pikiran Rakyat, 9 Januari 1997). Dilakukan pula normalisasi dalam hal keamanan, seperti melakukan penjagaan ketat oleh satuan Polisi dan militer dan dibantu pembuka agama kemudian melakukan himbauan-himbauan pada masyarakat agar tenang. Dampak dari kerusuhan di Tasikmalaya pada 1996 tak hanya dirasakan di tingkat lokal, di tingkat nasional kerusuhan di Tasikmalaya memicu dibentuknya Pos Komando Kewaspadaan Nasional (PKKN) di setiap Kodim guna mencegah potensi-potensi kerusuhan (Republika, 18 Januari 1997; Republika, 21 Januari 1997; Pikiran Rakyat, 18 Januari 1997; Gatra, 8 Februari 1997; Detektif & Romantika, 8 Februari 1997). Empat orang aktivis, yakni Abdul Muis dan Mimih Khaeruman yang aktif di organiasi PMII, Asep Ilyas yang aktif sebagai kader HMI, serta Agustiana Asqar seorang aktivis pro-demokrasi, kemudian dijatuhi hukuman penjara atas dakwaan melanggar UU Pemberantasan Kegiatan Subversi (Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No. 71/Pid.B/1997/PN.Tsm; No. 72/Pid.B/1997/PN.Tsm; No. 73/Pid.B/1997/PN.Tsm; No. 74/Pid.B/1997/PNTsm).

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 9: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Tindakan hukum terhadap mereka memperlihatkan bahwa pemerintah dominan melakukan penanganan setelah kerusuhan dengan pendekatan keamanan. Keempat aktivis tersebut divonis atas perannya dalam membakar emosi massa pada 26 Desember 1996. Setelah vonis jatuh, Mimih Khaeruman, yang sejak kerusuhan berakhir tak pernah terlihat di Tasikmalaya, menjadi buronan hingga dikeluarkannya abolisi. Sementara Abdul Muis, Asep Ilyas dan Agustiana menjalani hukuman penjara hingga akhirnya rezim berganti dan mereka bebas dengan dikeluarkannya abolisi pada 1998. Kesimpulan Kerusuhan yang melanda Tasikmalaya di penghujung tahun 1996 tidak lantas berhenti dibicarakan ketika situasi di kota tersebut dapat berangsur normal. Banyak kalangan yang mengemukakan analisisnya terkait sebab-musabab dan kemungkinan adanya orang dibalik kerusuhan di Tasikmalaya. Abdurrahman Wahid yang kala itu memimpin Nahdlatul Ulama mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang adanya operasi rahasia di balik kerusuhan Tasikmalaya, seperti halnya operasi dalam peristiwa 27 Juli 1996. Jika pada peristiwa 27 Juli 1996 ia sebut sebagai “operasi naga merah” yang berusaha mendiskreditkan Megawati dan PDI, sedangkan pada peristiwa 26 Desember 1996 di Tasikmalaya Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya “operasi naga hijau” sebagai salah satu upaya mendiskreditkan dirinya dan NU (Detektif & Romantika, 25 Januari 1997). Abdurrahman Wahid berkeyakinan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang marak terjadi di akhir 1996 merupakan suatu rekayasan dari kelompok politik yang mencoba memecah belah dan merusak citra NU. Menurutnya, bukanlah suatu kebetulan kerusuhan berturut-turut terjadi di basis NU, yakni di Situbondo pada 10 Oktober 1996 dan Tasikmalaya pada 26 Desember 1996. Pernyataan Abdurrahman tentang Tasikmalaya sebagai basis NU memang dapat dibenarkan jika melihat hasil Pemilihan Umum 1971 untuk memilih DPRD di Tasikmalaya. Hasil Pemilu menunjukan kemenangan NU diatas partai Islam lainnya yang membuktikan bahwa Tasikmalaya menjadi salah satu basis NU. Hal ini yang menjadi salah satu pendukung adanya “operasi naga hijau”. Selain itu, adanya selembaran dan telepon gelap yang isinya menyuruh masyarakat turun ke jalan serta beredarnya isu meninggalnya pimpinan pesantren dan ustadz yang dianiaya Polisi beragama Nasrani adalah indikasi adanya upaya memanfaatkan situasi untuk merencanakan terjadinya kerusuhan. Digunakannya bom molotov untuk membakar bangunan dan kendaraan memperlihatkan bahwa kerusuhan tersebut telah dipersiapkan. Namun, penulis hanya bepegang

pada pendapat tokoh dan narasumber yang diwawancarai mengenai indikasi adanya rekayasa politik dibalik kerusuhan di Tasikmalaya. Tak dapat dibuktikan secara meyakinkan siapa dan ada tujuan apa di balik “operasi naga hijau” jika memang benar operasi tersebut ada. Sementara itu, Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah, bependapat bahwa terjadinya kerusuhan-kerusuhana di Indonesia termasuk kerusuhan di Tasikmalaya disebabkan kondisi masyarakat Indonesia bak rumput kering yang gampang disulut. Menurutnya, kondisi tersebut dikarenakan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat terdapat sebagain kecil kelompok yang menikmati hasil pembangunan berlebih sementara sebagain besar lainnya banyak yang masih mengalami kemiskinan (Detektif & Romantika, 15 Februari 1997). Jika melihat kondisi sosial-ekonomi masyarakat Tasikmalaya, jurang pemisah memang ada. Kondisi kesenjangan ekonomi tampak dari jauhnya angka pendapatan rata-rata per tenaga kerja di tiap lapangan usaha. Meskipun petani sebagai pekerjaan mayoritas penduduk Tasikmalaya tidak dalam kondisi miskin atau berada di atas garis subsisten, namun keadilan distribusi pendapatanlah yang jadi soal. Dapat disimpulkan bahwa kerusuhan di Tasikmalaya dilatari oleh kesenjangan ekonomi dalam masyarakat yang menimbulkan ketegangan sosial. Pendapat Amien Rais terkait kesenjangan tersebut dapat diterima sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi massa sehingga berani melakukan aksi pengrusakan sebagai luapan tak tahan terhadap kesenjangan ekonomi. Mereka yang terpengaruh adalah penduduk dengan pendapatan rendah. Dalam acara doa bersama pada 26 Desember 1996 tak direncanakana adanya suatu aksi protes berlebih terhadap Polres Tasikmalaya dengan melakukan kekerasan. Namun, ketidakpuasan massa terhadap penanganan kasus penganiayaan ustadz berbuah aksi kolektif dengan kekerasan, yakni dimulainya pengrusakan terhadap simbol-simbol kepolisian. Hal ini memperlihatkan bahwa aksi kolektif tersebut, sebagaimana teori collective action Charles Tilly, termasuk dalam brawls atau aksi tanpa kekerasan yang berakhir dengan penyerangan. Kemudian aksi kolektif berganti menjadi opportunism atau aksi kekerasan yang memanfaatkan kesempatan. Massa yang semakin banyak jumlahnya dengan sendirinya terkoordinasi untuk menyebar ke penjuru-penjuru kota dan melakukan aksi pengrusakan, pembakaran dan penjarahan terhadap bangunan-bangunan dan kendaraan terutama milik etnis Tionghoa. Aksi kolektif massa menyerang aset etnis Tionghoa memperlihatkan aktifnya suatu batasan “kita-mereka” sebagai proses massa mengubah sasaran. Kala itu

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 10: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

massa menyebut dirinya “kita” dan “mereka” adalah etnis Tionghoa. Hal tersebut tercipta lantaran di antara massa ada yang berteriak mengungkapkan sikap anti etnis Tionghoa, seperti “Usir Cina!” dan membakar emosi dengan bahasa agama Islam, seperti “Allahhu Akbar!”. Tak dapat dipungkiri bahwa di Tasikmalaya konflik berbau SARA pernah terjadi sebelumnya. Kerusuhan anti-Tionghoa pernah pecah pada 1963. “Mereka”, etnis Tionghoa, bagi massa tampak mendominasi kegiatan ekonomi terutama di jantung ekonomi Tasikmalaya dan “kita”, massa perusuh, adalah yang terpinggirkan kemudian merasa beralasan untuk melakukan pengrusakan. Dengan memanfaatkan kesempatan, massa mengutarakan ketidakpuasan melalui jalan kekerasan terhadap “mereka”. Daftar Acuan Dokumen Berita Acara Pemeriksaan Saksi atas nama Mochamad

Hisyam dalam Berkas Perkara atas nama Asep Ilyas. Register Penyidikan Nomor PDS-04/Fps.1/01/1997.

Berita Acara Pemeriksaan Saksi atas nama Dadi Abi Darda dalam Berkas Perkara atas nama Asep Ilyas. Register Penyidikan Nomor PDS-04/Fps.1/01/1997.

Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya. Rencana Rehabilitasi Kotip Tasikmalaya dan Sekitarnya Akibat Kerusuhan Massa pada Tanggal 26 Desember 1996.

Nota Pembelaan (Pledoi) Abdul Muis dalam Perkara Tindak Pidana Subversi Nomor 74/Pid.B/1997/PN.Tsm.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tk. II Tasikmalaya. Keterangan Pertanggung Jawaban Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya Pada Rapat Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya Tahun Anggaran: 1995/1996.

Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 71/Pid.B/1997/PN.Tsm atas nama terdakwa Mimih Khaeruman.

Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 72/Pid.B/1997/PN.Tsm atas nama terdakwa Agustiana.

Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 73/Pid.B/1997/PN.Tasikmalaya atas nama terdakwa Asep Ilyas.

Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 74/Pid.B/1997/PNTsm atas nama terdakwa Abdul Muis.

Koran dan Majalah Adil, 1-7 Januari 1997, “Tasikmalaya Lautan Api”. Detektif & Romantika, 4/11 Januari 1997, “K.H.

Mahmud Farid: Saya Sudah Sempat Pasrah”. Detektif & Romantika, 4/11 Januari 1997, “Setelah

Ustadz Itu Memaafkan Mereka”. Detektif & Romantika, 25 Januari 1997, “Naga Hijau:

Antara Ada dan Tiada”. Detektif & Romantika, 8 Februari 1997, “Lembaga

Kontrol Gaya Baru”. Detektif & Romantika, 15 Februari 1997, “Rumput

Kering Tadi Disulut dengan Berbagai Isu”. Gatra, 4 Januari 1997, “Huru-hara Santri Kalong”. Gatra, 11 Januari 1997, “Dibalik Kerusuhan Tasik Gatra, 8 Februari 1997, “Kami Terpaksa Melakukan

Itu”. Gatra, 8 Februari 1997, “Menangkal Kerusuhan

Dengan Posko”. Gatra, 8 Februari 1997, “Mencari Solusi di Pos

Komando” Gatra, 8 Februari 1997, “Sedia Payung Sebelum

Hujan”. Kompas, 29 Juni 1995, “Pemilik Tanah Kampung

Kopo Merasa Dipermainkan Aparat”. Kompas, 29 Desember 1996, “Tasikmalaya Berangsur

Pulih, Puing-puing Mulai Dibersihkan”. Kompas, 30 Desember 1996, “Granat Meledak

Akibatkan Delapan Anak Luka Berat”. Kompas, 30 Desember 1996, “Ribuan Buruh

Menganggur”. Kompas, 31 Desember 1996, “Gunakan Kerusuhan

Tasikmalaya untuk Introspeksi bagi Pemerintah”. Kompas, 30 Januari 1997, “Kami Terguncang dan

Tersinggung”. Merdeka, 27 Desember 1996, “Tujuh Jam, Massa

Kacau Tasikmalaya”. Merdeka, 29 Desember 1996, “Kondisi K.H. Farid

Makin Membaik”. Pikiran Rakyat, 18 Mei 1963, “Gubernur Mashudi

Harapkan Golongan Tionghoa Merobah Sikap”. Pikiran Rakyat, 20 Februari 1992 “340 Pengusaha

Terjerat Rentenir”. Pikiran Rakyat, 19 Maret 1992, “Para Pedagang Minta

Bedol Pasar Diundur”. Pikiran Rakyat, 11 Juli 1995 “150 Pedagang

Tasikmalaya Mengadu ke DPRD Jawa Barat”. Pikiran Rakyat, 12 Juli 1995 “Pedagang Belum Siap

Pindah agar Diberi Tenggang Waktu”. Pikiran Rakyat, 2 November 1995 “Pembangunan

Swalayan Sebaiknya Diundurkan”. Pikiran Rakyat, 26 Desember 1996, “Umat Islam Tasik

Agar Tak Emosional”. Pikiran Rakyat, 27 Desember 1996, “Perusak Bukan

Warga Pesantren”. Pikiran Rakyat, 28 Desember 1996, “Kami Masih

Segar Bugar”.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 11: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Pikiran Rakyat, 29 Desember 1996, “Warga Tasik Bersihkan Kotanya”.

Pikiran Rakyat, 4 Januari 1997, “Harga Sembako di Tasik Masih Tetep Belum Stabil”.

Pikiran Rakyat, 8 Januari 1997, “Keamanan Tasikmalaya Dijamin Aman”.

Pikiran Rakyat, 9 Januari 1997, “Tidak Ada PHK di Tasik”.

Pikiran Rakyat, 18 Januari 1997, “Ada Kelompok Gunakan Teori Mao Tse Tung”.

Republika, 26 Desember 1996, “Sembilan Polisi Aniaya Tiga Pengasuh Pesantren”.

Republika, 28 Desember 1996, “Pangdam Siliwang: Brutal bukan Sikap Warga Tasik”.

Republika, 28 Desember 1996, “Peristiwa Tasikmalaya tak Berkaitan dengan Agama”.

Republika, 30 Desember 1996, “Kronologi Kasus Tasikmalaya”.

Republika, 30 Desember 1996, “Pangdam Siliwangi Undang Ulama se-Jabar”.

Republika, 30 Desember 1996, “Kapolres Tasikmalaya: Kali Ini Kami Jadi Sasaran Kemarahan”.

Republika, 6 Januari 1997, “Akibat Tragedi Tasik 1.604 Naker Menganggur”.

Republika, 11 Januari 1997, “Pemicu Tragedi Tasik Dipecat”.

Republika, 18 Januari 1997, “Komando Kewaspadaan Nasional Akan Dibentuk”.

Republika, 21 Januari 1997, “Kapuspen: Komando Kewaspadaan Nasional Bukan Penjelmaan Kopkamtib”.

Suara Pembaruan, 30 Desember 1996, “Tasikmalaya Berangsur Normal, Empat Tewas dan 15 Luka-luka”.

Ummat, 20 Januari 1997, “Prahara di Kota Santri”. Buku Arsip Nasional Republik Indonesia. 1975. Sarekat

Islam Lokal. Jakarta: ANRI. Bappeda Kabupaten Dati II Tasikmalaya. 1989.

Sukapura Kasinugrahan. Tasikmalaya: Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Tasikmalaya.

Bertrand, Jacques. 2012. Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ekadjati, Edi S., et.al. 1990. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat. Cetakan Kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Falah, Miftahul. 2010. Sejarah Kota Tasikmalaya 1820-1942. Bandung: Ugar Tatar Sunda.

Hadad, Toriq (ed.). 1998. Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam. Jakarta: Penerbit Institut Studi Arus Informasi.

Hidajat, Sjarief. Riwajat Singkat Perdjoangan K.H. Zainal Mustofa. Tasikmalaya: Soetraco, 1961.

Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.

Kurasawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945. Jakarta: Grasindo.

Marhun, Masnipal (ed.). 1991. Bunga Rampai Jawa Barat. Bandung: Yayasan Wahana Citra Nusantara.

Sidel, John Thayer. 2006. Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Soemardjan, Selo (ed.). 1969. Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi. Bandung: Eresco.

Tilly, Charles. 2003. The Politics of Collective Violence. Cambridge: Cambridge University Press.

Tim Penulis. 1997. Refleksi Peristiwa Tasikmalaya 26-27 Desember 1996: Dari Musibah Menjadi Hikmah. Bandung: Keuskupan Bandung.

Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.

Data Statistik Badan Pusat Statistik. Sensus Ekonomi 1996: Hasil

Pencacahan Lengkap Jawa Barat. Jakarta: BPS, 1997.

BPS Kabupaten Tasikmalaya. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tasikmalaya 1997. Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya, 1998.

BPS Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya dalam Angka 1996. Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Tasikmalaya, 1997.

Jurnal Ilmiah Horikoshi, Hiroko. “The Dar ul-Islam Movement in

West Java (1948-1962): An Experience in The Historical Process”. Indonesia: No. 20, Oktober, 1975.

Laporan Penelitian Nugrahanto, Widyo, et.al. Perkreditan Rakyat di

Tasikmalaya Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda dan Republik Indonesia (1900-2003).

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 12: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Bandung: Laporan Akhir Penelitian Universitas Padjadjaran, 2008.

Internet Mudzakkir, Amin. “Pengusaha dan Islam di

Tasikmalaya 1930-1980an” http://interseksi.org/publications/essays/articles/pengusaha_tasikmalaya.html (Diakses pada 6 Juni 2013 pukul 19.51 WIB).

Mundzakkir, Amin. “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya”. Pernah dimuat di Tashwirul Afkar: No. 20, 2006 dalam http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/21/menjadi-kota-santri-wacana-islam-dalam-ruang-urban-di-tasikmalaya/ (Diakses pada 2 Desember 2012 pukul 22.50 WIB)

Wawancara Wawancara dengan Abdul Fallah pada 1 April 2013 di

Tasikmalaya. Wawancara dengan Abdul Muis pada 14 Februari 2013

di Tasikmalaya. Wawancara dengan Agustiana Asqar pada 2 April

2013 di Tasikmalaya.

Wawancara dengan Asep Ilyas pada 8 April 2013 di Indihiang.

Wawancara dengan Asep Robidin pada 1 April 2013 di Tasikmalaya.

Wawancara dengan Mahmud Farid pada 11 April 2013 di Condong.

Wawancara dengan Mimih Khaeruman pada 29 Maret 2013 di Mangunreja.

Wawancara dengan Nurjamil Murtado pada 4 April 2013 di Tasikmalaya.

Wawancara dengan Syamsul Maarif pada 6 April 2013 di Cibeureum.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 13: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Kabupaten Tasikmalaya

Sumber: BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya dalam Angka 1996 (Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Tasikmalaya, 1997), hlm. 9.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 14: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Lampiran 2

Jumlah Penduduk Kabupaten Tasikmalaya per Kecamatan, 1990-1996

Kecamatan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996

Cipatujah 49.116 49.396 49.531 49.688 50.738 50.843 54.612 Karangnunggal 64.409 64.763 64.890 64.830 65.100 65.337 70.705 Cikalong 50.186 50.409 50.614 50.691 50.771 50.897 50.947 Pancatengah 35.564 35.557 35.647 35.609 35.504 35.521 36.223 Cikatomas 36.951 36.892 36.857 36.941 36.965 36.922 36.797 Cibalong 51.661 51.739 51.873 51.390 52.035 52.092 52.120 Bantarkalong 62.606 62.556 52.467 62.455 62.363 62.820 64.593 Bojonggambir 31.013 30.881 30.861 30.748 30.478 29.393 33.015 Sodonghilir 52.227 52.141 52.002 51.829 51.587 51.415 51.369 Taraju 30.421 29.996 29.990 30.035 29.918 29.910 32.291 Salawu 71.053 71.172 71.378 71.644 71.198 71.493 78.061 Sukaraja

69.650 69.584 36.413 36.259 36.105 36.134 39.918

Tanjungjaya 33.063 33.040 33.026 33.045 35.734 Salopa 75.772 75.968 76.333 76.706 78.340 79.451 84.359 Cineam 41.130 41.357 41.576 41.767 42.034 42.177 42.307 Manonjaya 68.414 68.446 68.520 58.525 68.657 68.773 69.985 Cibeureum 111.687 111.435 111.257 111.037 110.909 111.823 111.916 Kawalu 109.253 109.193 109.203 109.363 109.402 109.487 122.696 Singaparna 113.808 113.456 113.388 113.310 113.397 113.429 113.500 Cigalontang 52.798 52.876 52.853 52.963 53.195 53.335 58.860 Leuwisari 83.250 83.285 82.898 82.691 82.616 82.155 91.388 Indihiang 96.245 96.427 96.482 96.548 97.040 97.127 97.964 Cisayong 68..934 68.906 69.065 69.784 69.939 70.045 70.061 Rajapolah

62.490 62.681 33.799 33.720 33.701 33.832 37.250

Jamanis 29.097 29.116 29.124 29.039 31.170 Ciawi 76.107 76.203 76.447 76.725 76.995 76.739 77.592 Pageurageung 70.619 70.926 71.245 71.581 71.947 72.431 72.721 Cipedes 58.094 57.855 57.665 57.529 57.280 51.340 60.831 Cihideung 63.353 63.072 62.904 62.787 62.570 62.422 62.223 Tawang 58.237 57.913 57.736 75.655 57.417 57.236 58.911 Jumlah 1.815.048 1.815.103 1.816.054 1.817.506 1.820.351 1.823.183 1.896.546

Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya dalam Angka 1990 (Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Tasikmalaya, 1991), hlm. 17 dan BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya dalam Angka 1996 (Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Tasikmalaya, 1997), hlm. 20.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 15: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Lampiran 3

Pendapatan Rata-rata Penduduk Tasikmalaya Menurut Lapangan Usaha, 1996

No. Lapangan Usaha

Produk Domestik Regional

Bruto (Rp000.000)

Jumlah Tenaga Kerja

Rata-rata Pendapatan

(per tenaga kerja per tahun)

Rata-rata Pendapatan (per tenaga

kerja per bulan)

Setara Beras

(kg) per kapita/

per tahun

Tingkat Kemiskinan

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

749.079,60 282.905 Rp2.647.813,22 Rp220.651,10 735,50 Tidak Miskin

2 Pertambangan dan Penggalian

4.984,93 3.072 Rp1.622.698,57 Rp135.224,88 450,75 Tidak Miskin

3 Industri Pengolahan 220.970,53 116.112 Rp1.903.080,90

Rp158.590,08 528,63 Tidak Miskin

4 Listrik, Gas dan Air Bersih

10.671,92 722 Rp14.781.052,63 Rp1.231.754,39 4.105,85 Tidak Miskin

5 Bangunan atau Konstruksi

343.804,18 3.788 Rp90.761.399,16 Rp7.563.449,93 25.211,50 Tidak Miskin

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran

649.199,50 136.882 Rp4.742.767,49 Rp395.230,62 1.317,44 Tidak Miskin

7 Pengangkutan dan Komunikasi

163.017,58 28.941 Rp5.632.755,61 Rp469.396,30 1.564,65 Tidak Miskin

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

168.264,46 4.462 Rp37.710.546,84 Rp3.142.545,57 10.475,15 Tidak Miskin

9 Jasa-jasa 390.259,64 28.934 Rp13.487.925,62 Rp1.123.993,80 3.746,65 Tidak Miskin

Jumlah 2.700.252,34 605.818 Rp173.290.040,05 Rp371.433,38 1.238,11 Tidak Miskin

PDRB 2.700.252,34 Penduduk 1.896.546

PDRB/ kapita

per tahun

Rp1.439.712,27

Catatan: - Rata-rata pendapatan setiap tenaga kerja per tahun dan per bulan adalah hasil bagi PDRB dengan jumlah tenaga kerja.

Jumlah pengasilan per tenaga kerja per tahun dibagi harga satu kilogram beras kala itu (Rp900,00) kemudian dibagi 4 dengan asumsi satu pekerja memenuhi kebetuhuan satu rumah tangga yang rata-rata berjumlah 4 orang menghasilkan jumlah konsumsi beras per tahun yang akan memperlihatkan tingkat kemiskinan.

- Tingkat kemiskinan Sajogyo (wilayah desa) 1. Melarat : 180 kg beras/kapita/tahun 2. Miskin sekali : 240 kg beras/kapita/tahun 3. Miskin : 320 kg beras/kapita/tahun

- Tingkat kemiskinan Sajogyo (wilayah kota) 1. Melarat : 270 kg beras/kapita/tahun 2. Miskin sekali : 360 kg beras/kapita/tahun 3. Miskin : 480 kg beras/kapita/tahun

- Data diolah dari BPS Kabupaten Tasikmalaya, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tasikmalaya 1997 (Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya, 1998), hlm. 35; Badan Pusat Statistik, Sensus Ekonomi 1996: Hasil Pencacahan Lengkap Jawa Barat (Jakarta: BPS, 1997), hlm. 4-5.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 16: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Lampiran 4

Jumlah Pemeluk Agama di Tasikmalaya per Kecamatan, 1996

Kecamatan Jumlah Pemeluk Agama

Islam Katholik Protestan Hindu Budha Lainnya

Cipatujah 54.153 2 257 - - - Karangnunggal 64.276 - - - - - Cikalong 54.162 - - - - - Pancatengah 36.137 - - - - - Cikatomas 39.261 - - - - - Cibalong 56.119 - - - - - Bantarkalong 64.338 - - - - - Bojonggambir 30.561 - - - - - Sodonghilir 57.672 - - - - - Taraju 32.337 - - - - - Salawu 75.075 - 3 - - - Sukaraja 38.842 - - - - - Tanjungjaya 35.571 - - - - - Salopa 83.985 - - - - - Cineam 42.171 - - - - - Manonjaya 71.978 24 9 - 12 - Cibeureum 111.396 - 59 - - - Kawalu 122.063 7 33 1 - - Singaparna 113.482 - 3 - - - Cigalontang 58.631 - - - - - Leuwisari 91.079 - - - - - Indihiang 100.650 10 47 - 2 - Cisayong 69.804 63 - - - 105 Rajapolah 33.750 11 - - - 3 Jamanis 30.969 - - - - - Ciawi 77.873 23 58 2 - 13 Pageurageung 76.407 - - - - - Cipedes 54.098 222 963 7 1.839 - Cihideung 57.526 1.648 2.061 19 1.580 - Tawang 50.864 723 1.419 31 57 - Jumlah 1.885.230 2.593 4.912 60 3.490 121

Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya dalam Angka 1996 (Tasikmalaya: Kantor Statistik Kabupaten Tasikmalaya dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten DT. II Tasikmalaya, 1997), hlm. 65.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013

Page 17: KERUSUHAN SOSIAL DI TASIKMALAYA 1996

Lampiran 5. Denah Lokasi Pusat Terjadinya Kerusuhan Tasikmalaya

Sumber: Toriq Hadad (ed.), Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: Penerbit Institut Studi Arus Informasi, 1998), hlm. 26.

Kerusuhan Sosial..., Annisa Mardiani, FIB UI, 2013