taxstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii kata pengantar puji...

88
TAX Penulis : Haula Rosdiana Inayati Indriani Lucas Filberto Sardjono Murwendah Vishnu Juwono Editor: Edi Slamet Irianto Machfud Sidik

Upload: nguyenliem

Post on 12-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

TAX

Penulis :Haula Rosdiana

InayatiIndriani

Lucas Filberto SardjonoMurwendah

Vishnu Juwono

Editor: Edi Slamet Irianto

Machfud Sidik

Page 2: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

Dibiayai oleh:Program Hibah Pengabdian Masyarakat Universitas IndonesiaTahun 2017Skema Kajian Kepedulian pada Isu Strategis di Indonesia

Diterbitkan Oleh:Observation & Research of Taxation (Ortax)Gedung Pemuda, Lantai 2Jl.Pemuda Raya No.66 RawamangunJakarta - Indonesia 13220 Phone : (021) 47865713 Fax : (021) 47881350Email : [email protected]: http://ortax.org/ortax/

Page 3: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

KEBIJAKAN PAJAK ATAS IDLE LAND:

PELUANG DAN TANTANGAN

Penulis:

Haula Rosdiana

Inayati

Murwendah

Lucas Filberto Sardjono

Indriani

Vishnu Juwono

Editor:

Adinur Prasetyo

Edi Slamet Irianto

Machfud Sidik

Page 4: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat

dan Karuania-Nya, buku ini dapat diselesaikan. Kami menyusun buku ini karena menyadari masih

langkanya literatur perpajakan di Indonesia, khususnya yang membahas masalah konsep dan

analisis kebijakan pajak atas idle land. Pajak atas idle land sempat mengemuka menjadi diskursus

publik beberapa waktu yang lalu dan menimbulkan sejumlah pro dan kontra. Ide dasar dari

pemajakan atas idle land adalah mendorong optimalisasi dan produktivitas penggunaan tanah di

satu sisi, dan mendorong peningkatan penerimaan negara di sisi lain. Pemajakan atas idle land

merupakan kebijakan yang secara konseptual dapat diterima serta lazim diimpplementasikan di

beberapa negara di dunia. Dengan demikian, kebijakan ini pada dasarnya memiliki peluang untuk

dijadikan sebagai salah satu alternatif kebijakan pajak di Indonesia.

Buku “Kebijakan Pajak atas Idle Land : Peluang dan Tantangan” ini disusun sebagai luaran

Hibah Pengabdian Masyarakat Skema UI Peduli Kajian Tahun 2018. Buku ini terdiri dari lima

bab, yakni : Bab 1 membahas Pendahuluan, Bab 2 membahas Perspektif Teori Perpajakan dan

Unimproved Land, Bab 3 membahas Kebijakan Pemerintah terkait Idle Land, Bab 4 membahas

Evaluasi Kebijakan Pajak atas di Indonesia, dan Bab 5 membahas Simpulan dan Penutup. Pada

Bab 1, Penulis membahas beberapa hal pendahuluan, seperti : tanah dan fungsinya sebagai

komoditi ekonomi, sosial-politik, dan kultur, fungsi strategis tanah, permasalahan terkait tanah,

dan peran pemerintah dalam pengelolaan tanah; Selanjutnya, pada Bab 2 Penulis membahas

perspektif teori perpajakan atas unimproved land, seperti : kebijakan fiskal atas tanah, kebijakan

pajak atas tanah, pajak properti (meliputi, Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan/atau Bangunan), serta pajak atas Idle land (meliputi, Capital GainTax dan Unimproved

Land Tax); Kemudian, pada Bab 3 Penulis membahas kebijakan pemerintah terkait tanah, seperti:

perbandingan kebijakan pajak atas tanah antar periode dan praktik kebijakan pajak atas idle land

di beberapa negara; Lalu, pada Bab 4 Penulis membahas evaluasi kebijakan pajak atas tanah di

Indonesia, meliputi diskursus antara penguatan local taxing power, penerimaan negara, serta upaya

mengurangi ketimpangan sosial; dan terakhir, pada Bab 5 Penulis menyampaikan simpulan dan

penutup.

Penulis mengucapkan terimakasih Prof. Dr.Eko Prasojo, Mag.rer.Publ. selaku Dekan

Fakultas Imu Administrasi Universitas Indonesia yang memberikan kesempatan kepada Penulis

untuk melakukan kajian dan analisis terkait kebijakan pajak atas idle land; Penulis juga

menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Machfud Sidik, M.Sc. atas arahan dalam

kegiatan kajian akademik terkait kebijakan pajak atas idle land; Dan tak lupa, Penulis

mengucapkan terimakasih kepada keluarga, kerabat, dan handai taulan yang telah memberikan

motivasi kepada penulis untuk menyusun buku ini.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Dengan kerendahan hati, kami mengharapkan

saran dan kritik dari para pembaca untuk penyempurnaan isi buku ini hingga memenuhi harapan

kita bersama. Harapan kami, semoga buku ini dapat menjadi referensi yang berguna bagi para

pembaca, khususnya bagi yang tertarik mempelajari pemajakan atas idle land.

Depok, 22 Maret 2018

Tim Penulis

Page 5: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

iii

KATA SAMBUTAN

DEKAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS Indonesia

Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.Publ

Sebagaimana kita ketahui bahwa pemajakan atas tanah selalu menjadi isu menarik dan

tidak akan pernah selesai menjadi diskursus. Perdebatan pemajakan bersumber pada konsep

pendekatan keadilan perpajakan, khususnya pendekatan ability to pay atau kemampuan membayar

pajak, guna menentukan basis pemajakan yang paling adil untuk menghitung pajak. Dalam

praktiknya, pemajakan atas tanah seringkali menjauh dari prinsip keadilan dan lebih

mengutamakan asas revenue productivity dan ease of administration.

Isu pemajakan atas idle land mengemuka dalam dua tahun belakangan ini dan berkembang

menjadi polemik. Pemajakan atas idle land bertujuan bukan hanya terkait alasan revenue

productivity dalam rangka memperoleh penerimaan pajak, melainkan juga untuk mengoptimalisasi

fungsi tanah sesuai kondisi best possible use-nya. Dengan demikian, kajian mendalam terhadap

pemajakan atas idle land juga harus mengantisipasi hal-hal, seperti : objek pajak, tax relief, otoritas

pemungut pajak, mekanisme pemungutan, dan kebijakan penggunaan penerimaan dari pajak atas

idle land.

Menyadari kelangkaan dalam literatur perpajakan yang mampu menyajikan perpaduan

antara teori dan konsep secara memadai sekaligus memberikan gambaran aplikasi administrasi

perpajakan, Tim Penulis melakukan kajian akademik terhadap kebijakan pajak atas idle land serta

menulis dan menyusun buku ini. Diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran komprehensif

tentang pemajakan atas idle land, khususnya mengenai peluang dan tantangannya. Buku berjudul

“Kebijakan Pajak atas Idle Land : Peluang dan Tantangan” ditulis oleh tim yang terdiri dari para

pengajar pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, yakni : Haula Rosdiana, Inayati,

Murwendah, Lucas Filberto Sardjono, Indriani, Vishnu Juwono, dan Adinur Prasetyo.

Kami menyambut dengan gembira terbitnya buku ini. Setiap usaha yang dilakukan dengan

ikhlas, sekecil apapun, akan memberikan manfaat bagi orang lain. Demikian juga dengan usaha

penyusunan buku ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Selamat !

Depok, 22 Maret 2018

Page 6: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................................ ii

Kata Sambutan ............................................................................................................. iii

Daftar Isi ....................................................................................................................... iv

Daftar Tabel ................................................................................................................. v

Daftar Grafik ................................................................................................................ vi

Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................................... 1

1.1 Tanah ...................................................................................................... 1

1.2 Fungsi Strategis ....................................................................................... 1

1.3 Permasalahan .......................................................................................... 3

1.4 Posisi Pemerintah .................................................................................... 6

Bab 2 Perspektif Teori Perpajakan atas Tanah ......................................................... 12

2.1 Kebijakan Fiskal ...................................................................................... 12

2.2 Kebijakan Pajak ....................................................................................... 15

2.3 Pajak Properti (PBB-P2 & BPHTB) ........................................................ 18

2.4 Pajak atas Idle Land (Capital Gain Tax & Unimproved Land Tax) .......... 22

Bab 3 Kebijakan Pemerintah mengenai Pajak Tanah ............................................... 24

3.1 Perbandingan Kebijakan Tanah Antar Periode ......................................... 24

3.2 Kebijakan Pajak atas Idle Land di Beberapa Negara ................................ 35

3.2.1 Latar Belakang Timbulnya Tanah atau Lahan Idle ................................... 36

3.2.2 Catatan Bank Dunia atas Pemajakan Tanah di Dunia ............................... 39

3.2.3 Praktik Kebijakan Pajak atas Lahan Idle di Beberapa Negara ................... 42

Bab 4 Evaluasi Kebijakan Pajak atas Tanah di Indonesia: Diskursus

antara Penguatan Local Taxing Power, Penerimaan Negara,

dan Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosial .................................................. 51 4.1 Kebijakan Basis Pemajakan atas Tanah di Indonesia ............................... 51

4.2 Pemajakan Tanah dan Bangunan Berbasis Penghasilan ............................ 52

4.3 Pemajakan Tanah dan Bangunan dengan Basis Konsumsi ....................... 59

4.4 Pemajakan Tanah dan Bangunan Basis Kekayaan .................................... 63

Bab 5 Simpulan dan Penutup ..................................................................................... 73

Daftar Pustaka ............................................................................................................. 76

Tentang Penulis ............................................................................................................ 82

Page 7: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Matriks Perbandingan UU No. 12 Tahun 1985

dengan UU No. 12 Tahun 1994 .................................................................. 29

Tabel 3.2 Matrik Perbandingan UU PBB dengan UU PDRD ...................................... 32

Tabel 4.1 Basis Pemajakan atas Tanah dan Bangunan di Indonesia ........................... 51

Tabel 4.2 Kondisi Pengalihan dan Tarif PPh Final ..................................................... 52

Tabel 4.3 Ikhtisar Sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya ............................................... 67

Tabel 4.4 Tabel Realisasi dan Proporsi PBB per Sektor Tahun 2010

sampai dengan 2014 .................................................................................. 68

Tabel 4.5 Objek, NPOP, dan Saat Terutang BPHTB .................................................. 70

Page 8: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

vi

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 2.1 Ekspansi Permintaan Agregat .................................................................... 13

Grafik 2.2 Ekspansi Fiskal .......................................................................................... 14

Page 9: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Tanah

Tanah memiliki peran krusial dalam kehidupan manusia. Sepanjang sejarah tanah telah

digunakan sebagai media bagi manusia sejak masa prasejarah pasca plestosen dan mulai bercocok

tanam setelah sebelumnya berburu dan mengumpulkan makanan1. Masa bercocok tanam tersebut

merupakan salah satu masa terpenting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia.

Pada kehidupan modern, tanah merupakan salah satu sumber daya yang ketersediaannya

terbatas dan memiliki fungsi sosial yang tinggi (Endarto dan Darwin, 2006). Tanah merupakan

kebutuhan dasar untuk tempat tinggal, akan tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat investasi

yang mendatangkan nilai tambah bagi pemiliknya. Di sisi lain, kepemilikan tanah dapat

memberikan keuntungan dan sekaligus dapat meningkatkan status sosial-ekonomi bagi pemilik

atau penggunanya. Tanah sering kali juga dimanfaatkan sebagai alat untuk menumpuk kekayaan,

terutama bagi para pemilik modal.

1.2 Fungsi Strategis

Dalam berbagai kajian disiplin ilmu seperti ilmu sosial, politik, hukum, budaya, dan

ekonomi, tanah selalu menduduki posisi kunci dalam kehidupan manusia. Tanah sealalu dikaitkan

dengan keberadaan suatu bangsa dan menjadi pusat munculnya suatu kebudayaan.2 Berbagai

peristiwa sejarah akan peperangan tidak lepas dari aktivitas manusia yang saling memperebutan

tanah. Peranan penting tanah bagi kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai manfaat atas tanah,

yaitu: (1) tanah merupakan aset alami yang memberikan tempat aset fisik lainnya, seperti

perumahan; (2) tanah memberikan kehidupan dan menjadi ruang sosial; (3) tanah dapat

memberikan akses infrastruktur (jalan, air, sanitasi, listrik) kepada sebuah komunitas; (4) tanah

dapat menjadi sebuah aset ekonomi yang dapat dijual atau diwariskan, dan memiliki potensi untuk

dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman; serta, (5) tanah dapat digunakan

untuk tujuan untuk meningkatkan pendapatan bagi pemiliknya, misalnya, melalui penyediaan

1Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I (Edisi

Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka. h.167. 2Nasucha, Chaizi. (1995). Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah. Jakarta: Megapoin.

Page 10: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

2

tempat untuk menjalankan sebuah usaha atau melalui sewa-menyewa tempat atau akomodasi

(Urban Sector Network and Development Works).3 Dari sini dapat terlihat bahwa tanah merupakan

sumber seluruh kekayaan bagi manusia.

Tanah memiliki beberapa fungsi yang fundamental dalam terkait dengan kehidupan manusia.

Fungsi tanah dibagi menjadi beberapa dimensi yaitu dimensi kultural-ekologis, sosial-politik, dan

ekonomi.

Fungsi strategis tanah dari dimensi kultural dan ekologis: merujuk pada interdependensi antara

organisme dan lingkungan hidup, tanah sebagai salah satu komponen dari lingkungan hidup

memiliki ketergantungan pada unsur lainnya.4 Pengelolaan tanah yang dilakukan tepat

menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan ekologi dalam sebuah lingkungan

kehidupan manusia.

Fungsi strategis tanah dari dimensi sosio-politik: tanah dapat menentukan tinggi rendahnya

status sosial dari pemiliknya. Hal ini berkaitan dengan hak kepemilikan tanah, yakni pemilik

tanah mendapatkan otoritas serta kewenangan untuk memilki serta mengelola tanah. Semakin

besar porsi kepemilikan tanah oleh seseorang, maka semakin besar juga kewenangan

seseorang tersebut dalam memanfaatkan tanah yang menjadi miliknya. Kewenangan ini juga

berhubungan dengan fungsi sosial tanah dimana harus juga memperhatikan kepentingan

umum. Sebagai sumber daya alam yang terbatas, kepemilikan tanah harus didistribusikan

seadil mungkin oleh negara kepada masyarakat. Dengan kata lain, pembatasan kepemilikan

tanah secara tidak langsung akan memberikan batasan kepada seseorang agar tidak dapat

berlaku sewenang-wenang di dalam kehidupan bermasyarakat terkait dengan penggunaan

tanah. Dalam perannya terkait distribusi tanah, posisi dan sikap pemerintah menjadi faktor

penting dalam mendukung tindakan-tindakan yang nyata untuk berpihak kepada kepentingan

umum5.

Fungsi strategis tanah dari dimensi ekonomi: tanah merupakan sarana produksi yang dapat

memberikan pendapatan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi pemiliknya. Hal ini

dapat di lihat dari sudut pandang ilmu ekonomi, yakni tanah merupakan salah satu faktor

3Brown, Mercy & Luthango. (2010). Environtment and Economy: Property Rights and Public Policy. Oxford:

Blackwell. 4Winangun, Y. Wartaya. (2004). Tanah: Sumber Nilai Hidup. Jakarta: Kanisius. h. 82. 5Ibid. h. 84.

Page 11: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

3

produksi, selain tenaga kerja dan modal.6 Tanah menjadi bagian faktor produksi yang dinilai

paling tahan lama dan dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Masih dalam kaitannya

dengan dimensi sosio-politik, selain tanah merupakan sumber pendapatan dan keuntungan

tanah juga merupakan sumber dari kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang dimana

semakin besar kepemilikan seseorang atau suatu kelompok akan tanah akan berdampak pada

semakin besarnya pengaruh mereka terhadap pemerintahan.7 Ini bisa dipahami bahwa

bagaimana pembangunan suatu daerah ditentukan berdasarkan kepentingan dari para pemilik

lahan dalam jumlah besar tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan suatu daerah

selain berdampak pada sektor ekonomi, secara tidak langsung akan bedampak pada bidang

sosio-politik masyarakat di sekitarnya. Pun dalam jangka panjang, akan berpengaruh pada

budaya (pola hidup) suatu masyarakat.

1.3 Permasalahan

Ketersediaan lahan yang tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk akan berdampak

pada meningkatnya harga jual tanah. Penelitian di beberapa negara Amerika Latin dan Eropa

menyebutkan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir, harga tanah telah meningkat menjadi empat

kali lipat.8 Selain karena jumlahnya yang terbatas, kenaikan harga tanah di negara-negara tersebut

juga disebabkan oleh aktivitas para spekulan tanah yang melakukan pembelian tanah dalam jumlah

besar, tetapi tidak dimanfaatkan untuk hal yang produktif atau dibiarkan menganggur dan

memanfaatkan tanah tersebut sebagai investasi. Para spekulan tanah mulai mengolah atau

melakukan pembangunan pada tanah yang dimilikinya setelah pemerintah melakukan

pembangunan-infrastruktur di daerah sekitar lahan sehingga memiliki harga yang relatif tinggi.

Tanah memiliki daya tahan terhadap tingkat inflasi dan memiliki potensi menjadi aset

menguntungkan di masa depan sehingga fungsinya telah bergeser dari sekedar faktor produksi

menjadi aset untuk investasi.

6 Fisher, M. Ernest. (1958). Economic Aspect of Urban Land Use Patterns. The Journal of Industrial Economics, June,

Vol. 6, S. 198-208. 7McCrone, David & Elliot, Brian. (1989). Property and Power in a City: The Sociological Significance of

Landlordism. London: The Macmillan Press LTD. 8Dapat dilihat di http://www.mongabay.co.id/2013/10/06/ancaman-masa-depan-dunia-populasi-penduduk-terus-

meningkat-ketersediaan-lahan-tetap/

Page 12: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

4

Maraknya praktik penimbunan lahan (unimproved land) oleh para spekulan tanah

diindikasikan juga terjadi di Indonesia. Secara demografi, jumlah penduduk di Indonesia salah

satu yang terbesar dan menempatkannya pada peringkat ke-4 penduduk terbanyak di dunia, setelah

China, India, dan Amerika Serikat. Menurut Bank Dunia pada tahun 2016 penduduk Indonesia

berjumlah lebih dari 261 juta jiwa.9 Pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang terus

bertambah dan terbatasnya ketersediaan tanah berpotensi menimbulkan konflik di masa

mendatang, terlebih apabila keterbatasan jumlah tanah tersebut disebabkan oleh aktivitas para

spekulan. Nasoetion (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa potensi sumber konflik atas

kepemilikan dari tanah, yakni : (1) kepemilikan tanah yang tidak merata; (2) ketidakserasian

penggunaan tanah pertanian dan non pertanian; (3) kurangnya keberpihakan pemerintah kepada

masyarakat golongan ekonomi lemah; (4) kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat

hukum adat atas tanah (hak ulayat); serta (5) lemahnya posisi masyarakat pemegang hak atas tanah

dalam proses pembebasan tanah.

Kepemilikan dan distribusi tanah cenderung menjadi isu politik di berbagai negara

berkembang. Kekuatan ekonomi di negara-negara tersebut bertumpu pada pemilik tanah dan

sumber daya alam yang jumlahnya cukup signifikan serta secara umum bertumpu pada kekuasaan

politik yang sangat besar. Sebagai contoh, selama dasawarsa terakhir, kekuatan politik di banyak

negara Amerika Latin telah beralih dari kekuasaan militer ke kekuasaan pemerintahan sipil yang

terpilih melalui proses demokrasi. Namun ternyata, kepemilikan sumber daya, termasuk

kepemilikan tanah, belum tentu beralih, atau dengan kata lain masih dikuasai oleh kalangan militer

dan eks-militer. 10

Data Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 82,8%

masyarakat yang memiliki rumah dari tahun 2010 (yang berada pada angka 72%), namun hal

tersebut belum menjadi indikator meningkatnya realisasi pemenuhan rumah tinggal bagi

masyarakat.11 Saat ini, persentase kenaikan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan gaji

rata-rata pegawai kantoran. Hal ini dapat dilihat dari harga properti yang mengalami kenaikan

9Dapat dilihat di https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL 10Barry, Frank. (1998). Agribusiness and Idle Land: Theory, with special reference to Guatemala. Trocaire

Development Review 1988. 11Dapat dilihat di

http://properti.kompas.com/read/2016/12/14/160706321/lima.tahun.lagi.generasi.milenial.terancam.tidak.bisa.memb

eli.rumah

Page 13: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

5

20%-30% setiap tahunnya, sedangkan gaji pegawai kantoran hanya mengalami kenaikan sebesar

10%-15% per tahunnya tergantung kepada tingkat inflasi negara tersebut.12 Masih terdapat

golongan masyarakat yang kesulitan untuk memiliki rumah karena harga tanah dan bangunan

(properti) yang masih terbilang tinggi.

Kelompok masyarakat yang saat ini kesulitan untuk memiliki rumah merupakan kelompok

masyarakat masa kini yang dikenal dengan nama generasi milenial. Generasi milenial merupakan

kelompok penduduk yang lahir ditahun 1990-an ke atas, dengan memiliki penghasilan berkisar

antara Rp. 4 hingga Rp. 7 juta rupiah per bulan. Disamping tren gaya hidup, kenaikan harga

properti yang sangat signifikan membuat generasi milenial tersebut kesulitan untuk membeli

rumah karena harganya tidak sesuai dengan daya belinya (Pitoko, 2016)13, terutama di kota-kota

besar Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kota-kota besar menarik bagi

perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri properti. Hal ini disebabkan oleh tingginya

tingkat pertumbuhan ekonomi yang menarik para generasi milenial untuk mencari pekerjaan dan

memperoleh penghasilan.

Sebagai modal investasi, tanah menjadi komoditi spekulasi yang menarik sehingga pada

tahun-tahun mendatang harga tanah, bahan baku properti, dan properti semakin meningkat yang

berdampak pada tingginya harga jual rumah. Di satu sisi pengusaha properti akan mendapatkan

keuntungan yang sangat besar dari penjualan properti tersebut, dan di sisi lain tingginya harga jual

rumah akan membuat generasi milenial semakin kesulitan untuk memperoleh rumah sebagai

tempat tinggalnya.14 Mata rantai spekulasi tanah tersebut berdampak sistemik terhadap akses

kepemilikian tempat tinggal bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan para spekulan tanah menguasai

suatu wilayah besar lahan sebagai investasi untuk dikembangkan atau dijual kepada pengembang

properti di kemudian hari karena dianggap mempunyai potensi bisnis. Tidak jarang para spekulan

tanah juga menguasai suatu wilayah lahan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan

infrastruktur pemerintah, sehingga menyebabkan sulitnya proses pembebasan lahan dalam

12 Dapat dilihat di

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/696693-kenapa-anda-sulit-beli-rumah-sebelum-usia-30-ini-alasannya 13 Dapat dilihat di

http://properti.kompas.com/read/2016/08/25/100000521/Catatan.Hapernas.2016.82.8.Persen.Kepemilikan.Rumah.B

ukan.Indikator.Kesuksesan 14Dapat dilihat di

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/26/111000526/pajak.progresif.bisa.memotong.rantai.spekulan.tana

h

Page 14: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

6

pembangunan infrastruktur tersebut.15 Kondisi ini mendorong lahirnya diskursus tentang

kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak atas tanah untuk mendorong spekulan/pengembang

mengubah perilaku sehingga terdorong untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi lebih

produktif dan mampu berkontribusi terhadap perekonomian dan meningkatkan pendapatan

pemerintah.

Salah satu dasar pemikiran pemajakan atas idle land adalah pemilik tanah yang membiarkan

tanahnya tidak produktif atau menganggur (unimproved land), layak dikenakan denda. Di satu sisi,

perspektif ini memiliki peluang untuk mendorong pergeseran perilaku spekulan tanah, namun di

sisi lain mengemuka isu keadilan karena terdapat unequal treatment atas tanah untuk tujuan

komersil yang harganya cenderung mahal dibandingkan tanah non komersial. Selain itu, timbul

diskursus pula tentang keadilan dalam perspektif spending terkait alokasi belanja dari hasil pajak

yang dipungut.

Dalam perspektif teoretis maupun praktis, menjadi suatu hal krusial untuk mengkaji kebijakan

pajak atas idle land yang memiliki pondasi teoretis memadai sekaligus memiliki potensi untuk

diaplikasikan. Kebijakan pajak yang diharapkan mampu mendorong pemanfaatan tanah yang

mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi masyarakat sekaligus mendorong keadilan; serta

alternatif kebijakan belanja yang sejalan dengan filosofi pemungutan pajak atas idle land seperti

untuk mengentaskan kemiskinan atau membiayai program yang mendorong perekonomian

masyarakat. Dengan demikian terdapat pergeseran paradigma bahwa permasalahan keadilan tidak

hanya diselesaikan dengan kebijakan pajak, namun juga secara imparsial dan komprehensif

diselesaikan juga dengan kebijakan belanja pemerintah seperti melalui instrumen redistribusi

pendapatan, dengan menggunakan instrumen tarif pajak progresif.

1.4 Posisi Pemerintah

Tanah yang berada pada wilayah Indonesia merupakan milik negara sebagaimana

dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, hak atas tanah bukan hanya

berisi wewenang, tetapi juga kewajiban untuk menggunakan, memanfaatkan, dan mengusahakan

agar tujuan pemanfaatan tanah berorientasi pada mensejahterakan kehidupan masyarakat sesuai

15 Ibid.

Page 15: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

7

dengan salah satu tujuan pendirian negara Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki dasar hukum

pengelolaan tanah, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). Undang-undang ini mengatur bahwa pengelolaan tanah harus mendahulukan

kepentingan rakyat. Negara juga dinyatakan memiliki hak menguasai, yaitu hak mengatur

penggunaan dan pemeliharaan tanah atau lahan. Negara juga memiliki wewenang untuk mengatur

hubungan hukum antara warga negara dan kepemilikan lahan.

Pemerintah Pusat (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) menjalankan

amanat sesuai ketentuan pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan juga bahwa hak Negara untuk

menguasai tanah dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan

masyarakat hukum adat. Namun, pada ketentuan ini juga dijelaskan bahwa hak Negara menguasai

tanah merupakan wewenang pemerintah pusat, sedangkan wewenang pemerintah daerah tersebut

bersifat tugas pembantuan atau medebewind. Pemerintah dalam hal ini dapat melakukan berbagai

upaya intervensi melalui kebijakan fiskal dengan pajak sebagai salah satu instrumennya dalam

upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah tentu berdampak pada akses seseorang

terhadap tanah pun bangunan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dan

dampaknya terhadap distribusi penguasaan tanah.16

Pemerintah memungut kebijakan pajak atas tanah antara lain melalui Pajak Bumi dan

Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) atas kepemilikan. Pajak ini pada awalnya dipungut

oleh pemerintah pusat dan kemudian didevolusikan kepada pemerintah daerah melalui Undang-

undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Kebijakan

devolusi PBB P2 memiliki tujuan antara lain untuk memperkuat local taxing power daerah

kabupaten/ kota sebagai ujung tombak dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.

Objek PBB-P2 adalah a) bumi termasuk tanah, pekarangan, sawah, dan laut; dan

b)bangunan merupakan konstruksi teknis yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah

atau perairan (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2009). Secara umum, bumi dan bangunan adalah objek

PBB namun, demikian terdapat pengecualian objek PBB P2 seperti lahan dan bangunan yang

digunakan untuk melayani kepentingan umum; pemakaman atau peninggalan purbakala; hutan

16Sumardjono, Maria S. W. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak EKonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara.

Page 16: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

8

lindung; dan digunakan oleh perwakilan diplomatik dengan menerapkan asas timbal balik maupun

yang digunakan oleh badan perwakilan organisasi internasional.

Undang-Undang Perpajakan Indonesia telah mengatur pemungutan pajak atas tanah

dan/atau bangunan dengan tiga jenis pajak yang berbeda, yaitu 1) Pajak Bumi dan Bangunan

Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang memiliki basis kepemilikan kekayaan (wealth) atau di

berbagai negara dikenal sebagai tax on land and building; 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) atas transfer kepemilikan/hak atas kekayaan (property) , dan 3) Pajak atas

Penghasilan (PPh). Khusus PBB-P2 dan BPHTB, sejak didevolusikan pada tahun 2014 melalui

UU PDRD No. 28 Tahun 2009, yang tadinya merupakan Pajak Pusat telah beralih menjadi Pajak

Daerah. Objek PBB-P2 yaitu bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan

usaha perkebunan; perhutanan; dan pertambangan, sebagaimana diatur di dalam Undang-undang

No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

PBB-P2 dipungut setiap tahun oleh otoritas pajak daerah kabupaten/kota dengan Dasar

Pengenaan Pajak berupa Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Subyek pajak PBB-P2 adalah Wajib

Pajak Orang Pribadi (WPOP) atau Wajib Pajak Badan (WP Badan) yang memiliki/menguasai dan

memanfaatkan obyek pajak tersebut. Subyek pajak BPHTB adalah WP OP atau WP Badan yang

memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, sedangkan objek pajak BPHTB sama dengan objek

pajak PBB-P2. Adapun, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak pusat yang pungut saat

terjadinya transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dari satu pihak kepada pihak

lainnya. Objek PPh atas pengalihan harta tersebut adalah penghasilan dari transaksi atas penjualan

tanah dan/atau bangunan, usaha atas jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa menyewa tanah

dan/atau bangunan, dengan dikenakan tarif final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)

Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 2008).

Menurut ketentuan pasal 79 ayat 1 UU PDRD, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi

dasar pengenaan PBB P2. Besarnya PBB-P2 terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak

dengan NJOP yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah kabupaten/kota

(Bupati/walikota). Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan besaran NJOP

tanah per m2 berdasarkan zona nilai tanah (ZNT) sebagaimana diatur dalam UU PDRD No. 28

Tahun 2009. PBB P2 merupakan pajak objektif, yaitu jenis pajak yang dalam memperhitungkan

Page 17: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

9

beban pajaknya terlebih dahulu memperhatikan kondisi objeknya, baru kondisi subjek pajaknya.

Namun demikian, pada implementasinya dalam kondisi tertentu, kondisi objek pajak tidak selalu

mencerminkan kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak atau muncul permasalahan cash

poor taxpayer17.

Permasalahan cash poor tax payer menyebabkan timbulnya kesulitan wajib pajak untuk

membayar pajak. Mempertimbangkan hal ini, penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2

sebaiknya mengakomodasi konsep keadilan (equity) yang dicerminkan oleh kemampuan untuk

membayar (ability to pay) wajib pajak. Penyelarasan antara konsep pajak objektif dan keadilan

serta cash poor tax payer diakomodasi di dalam UU PBB melalui formula Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP) sebagai assessment ratio yang berfungsi untuk melakukan penyesuaian terhadap NJOP

yang ditetapkan berdasarkan harga pasar (market value). Assessment ratio ini memungkinkan

pemerintah untuk meringankan beban pajak wajib pajak dengan tidak membebankan dasar

pengenaan pajak secara penuh, misalnya hanya 20% atau 40% sebagaimana diatur dalam regulasi

di bawah rejim UU PBB selama ini. Namun demikian, saat ini konsep assessment ratio tidak lagi

diakomodasi di dalam UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tentang

PBB P2 dengan pertimbangan kesederhanaan dalam formula memperhitungkan beban pajak PBB

P2.

Pemerintah juga memiliki peran dalam pengaturan penggunaan lahan. Pemerintah dapat

mengontrol kenaikan harga tanah dengan melakukan pungutan pajak atas tanah. Untuk mengatasi

permasalahan yang ditimbulkan oleh para spekulan tanah sekaligus mengatasi ketimpangan sosial

terkait kepemilikan properti, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Berkeadilan

yang mencakup tiga hal pokok, yaitu (1) kebijakan berbasis lahan; (2) kebijakan berbasis

kesempatan; dan (3) kebijakan berbasis kapasitas sumber daya manusia.18 Pada kebijakan berbasis

lahan, reformasi agraria menjadi salah satu fokus dari paket kebijakan tersebut karena pemerintah

menilai penguasaan lahan secara berlebihan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk para spekulan dan

pengembang, menjadi penyebab terjadinya ketimpangan sosial atas kepemilikan properti.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung upaya pemerataan dalam usaha mewujudkan

keadilan sosial yang dilakukan melalui kebijakan perpajakan. Pemerintah juga memiliki wacana

17 Joan M. Youngman dikutip dari Victor Thuronyi. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: IMF. 18 Dapat dilihat di https://nasional.kontan.co.id/news/kebijakan-ekonomi-berkeadilan-begini-gambarannya

Page 18: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

10

untuk mengenakan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized assets tax) atas tanah dan/atau

bangunan sebagai alternatif untuk melengkapi kebijakan perpajakan atas tanah dan/atau bangunan

yang berlaku saat ini.

Melengkapi kebijakan perpajakan atas tanah dan/atau bangunan yang berlaku saat ini,

pemerintah berwacana untuk mengenakan tarif pajak final progresif atas transaksi penjualan tanah

atas lahan tidak produktif (unutilized assets tax) dan pajak atas tanah dan/atau bangunan dengan

instrumen pajak progresif.19 Pajak ini dikenakan atas keuntungan yang berasal dari penjualan

tanah. Instrumen pajak progresif diharapkan dapat bersifat disinsentif bagi pihak spekulan dan

investor tanah dan/atau bangunan. Adapun, kebijakan tersebut ditujukan sebagai bentuk kebijakan

afirmatif (affirmative policy) dengan sumber pembiayaan pemerintah guna mengatasi dan

mengurangi ketimpangan sosial ekonomi.20

Salah satu pertimbangan permusan kebijakan alternatif tersebut, adalah di dalam

implementasinya ditemukan antara lain jumlah pajak yang dibayar atas transaksi jual/beli tanah

dan/atau bangunan lebih rendah dari potensi pajak berdasarkan nilai transaksi sebenarnya (nilai

wajar). Hal ini terjadi karena pihak penjual tidak melaporkan harga sebenarnya dalam transaksi

jual-beli, melainkan memilih nilai yang lebih rendah antara NJOP dan harga jual sebagai dasar

pengenaan pajak. Selain terindikasi adanya ketidakjujuran, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat

perbedaan NJOP antara satu properti dan properti lainnya di dalam sebuah kawasan, bahkan dalam

suatu wilayah yang sama. Perbedaan NJOP intra-kawasan tersebut dipengaruhi oleh faktor fasilitas

umum, seperti: akses ke jalan raya, rumah sakit, sarana pendidikan, dan tempat hiburan. Oleh

karena itu, pemerintah mengusulkan adanya perubahan basis pajak dari NJOP (wealth base)

menjadi capital gain base.

Capital gain tax adalah pajak atas keuntungan (gain) yang diperoleh dari selisih antara

harga jual dan harga perolehan (harga beli). Tantangan dari wacana kebijakan ini adalah

pemerintah memerlukan basis data yang kuat tentang data kepemilikan tanah dan harga perolehan

tanah yang sampai saat ini masih relatif sulit diperoleh mengingat data-data tersebut dimiliki oleh

19Dapat dilihat di

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170203095904-92-191022/plus--minus-pajak-progresif-tanah-

menganggur-racikan-jokowi 20Dapat dilihat di

http://bisnis.liputan6.com/read/2842815/atasi-ketimpangan-pemerintah-buat-program-ekonomi-berkeadilan

Page 19: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

11

penjual dan pembeli. Dalam model yang sedikit berbeda, kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor

(PKB) telah mengakomodasi konsep ini dalam bentuk PPh Final yang bersifat progresif yang

dimodifikasi dari PPh Final Pasal 4 ayat (2). Pemilik/subjek pajak kendaraan bermotor saat ini

dapat dikenakan pajak progresif untuk kepemilikan kendaran kedua, ketiga, keempat dan

seterusnya, dilihat dari data kendaraan bermotor yang tercatat atas nama dan/atau alamat yang

sama. Kebijakan pajak progresif PBB-P2 dapat dipungut secara periodik.

Pada bab berikut ini akan dijelaskan mengenai pemetaan kebijakan pajak atas tanah

dan/atau bangunan yang berlaku di Indonesia saat ini. Bab selanjutnya mendeskripsikan mengenai

formulasi alternatif kebijakan pemajakan atas tanah dan/atau bangunan yang mampu mendukung

tujuan pemerintah dalam rangka mencapai kebijakan ekonomi berkeadilan, dengan administrasi

perpajakan yang lebih mudah, dan adanya penerimaan pajak berkesinambungan.

Page 20: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

12

BAB 2

PERSPEKTIF TEORETIS PERPAJAKAN ATAS TANAH

2.1 Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan pendapatan dan belanja negara dalam

upaya mempengaruhi permintaan agregat (khususnya permintaan sektor privat/swasta) dan

aktivitas ekonomi secara keseluruhan.21 Dalam mengelola perekonomian nasional, pemerintah

memiliki kewenangan untuk menentukan penerapan model kebijakan fiskal dalam berbagai aspek

meliputi penerimaan dari sektor perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pinjaman,

serta pengaturan belanja negara. Adapun, kebijakan fiskal ini tidak terlepas dari kebijakan

moneter.22 Kebijakan fiskal (fiscal policy) pada dasarnya menyangkut mobilisasi sumber-sumber

penerimaan negara, pengelolaan belanja negara, dan pembiayaan bila terjadi surplus maupun

defisit; sedangkan kebijakan moneter identik dengan pengelolaan jumlah uang beredar dan tingkat

suku bunga.

Kebijakan fiskal memiliki hubungan sekaligus mempengaruhi permintaan agregat.

Ilustrasi hubungan antara kebijakan fiskal dan permintaan agregat dapat dilihat pada grafik 2.1 dan

grafik 2.2 berikut ini.

21Granados, Caslos Mulas. (2006). Economics, Politics, and Budgets: The Political Economy of Fiscal Consolidations

in Europe. New York: Palgrave Macmillan. 22Walter Hellester mengutip R.D. Rotunda and J.E. Nowak, Treatise on Constitutional Law, Vol. 1, St. Paul:

Thomson/West, 4th edn, 2007, p.719, dalam Tax Aspects of Fiscal Federalism “A Comparative Analysis”. Edited by

Bizioly, Gianluigi & Sacchetto, Claudio. (2011). Amsterdams: IBFD.

Page 21: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

13

Grafik 2.1 Ekspansi Permintaan Agregat

Sumber: Carlos Mulas Granados, 2006.

Dari grafik di atas terlihat bahwa apabila belanja negara meningkat (G), maka ekspansi fiskal

akan terjadi. Ekspansi fiskal tersebut akan menghasilkan titik keseimbangan baru dari semula titik

P1Y1 menjadi titik P2Y2 sebagai akibat bergesernya kurva AD1 menjadi AD2 yang

bersinggungan dengan kurva AS. Adapun, model kurva IS-LM di atas merupakan kombinasi

asumsi-asumsi model klasik dan Keynes, yakni pasar akan senantiasa berada dalam kondisi

keseimbangan.23 Kurva IS merupakan kurva yang menunjukan hubungan antara investasi dan

tabungan dengan kondisi investasi= tabungan (saving) (I=S). Sedangkan kurva LM menunjukkan

hubungan antara permintaan dan penawaran uang dengan kondisi, permintaan uang = penawaran

uang (L=M). Ini adalah suatu ekspansi dari permintaan agregat yang berdampak pada

meningkatnya output (produksi) dan harga (jual). Jika belanja negara meningkat maka produksi

dan harga akan meningkat. Adapun, dampak dari meningkatnya belanja negara terhadap ekspansi

fiskal diilustrasikan melalui grafik 2.2 berikut ini.

23Raharja, Prathama & Manurung, Mandala. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi: Mikroekonomi & Makroekonomi, edisi

ketiga. Jakarta: LPFEUI.

Page 22: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

14

Grafik 2.2 Ekspansi Fiskal

Sumber: Carlos Mulas-Granados, 2006.

Dalam kebijakan fiskal, ekspansi fiskal merupakan istilah dari upaya pemerintah untuk

menurunkan tarif pajak dan/atau untuk meningkatkan belanja pemerintah. Sebaliknya, jika

pemerintah meningkatkan pajak dan/atau mengurangi belanja negara, maka hal itu disebut dengan

penyesuaian fiskal (fiscal adjustment).24 Grafik 2.2 di atas menunjukkan kondisi bahwa jika

belanja negara meningkat (G), maka akan menghasilkan titik ekuilibrium baru antara permintaan

barang dan jasa (IS1-IS2), sehingga pasar uang (LM) akan berada pada tingkat tertinggi dari output

(produksi) dan suku bunga. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja

negara akan menghasilkan ekspansi fiskal, yang kemudian akan menghasilkan kondisi titik

ekuilibrium baru antara permintaan dan pasar uang yang berada di tingkat tertinggi. Kondisi ini

menggambarkan suatu proses pertumbuhan ekonomi, yakni kenaikan harga disertai dengan daya

beli yang juga mengalami peningkatan. Ilustrasi beserta penjelasan dari kedua grafik tersebut

tersebut menggambarkan pentingnya peran negara dalam menentukan kebijakan fiskal. Dan,

kebijakan fiskal dan moneter saling berhubungan sehingga harus dikelola dengan baik untuk

mengoptimalkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pemerintah melalui kebijakan fiskal senantiasa menjalankan peran utamanya dalam tiga

hal yang meliputi : a) realokasi sumber daya; b) stabilisasi ekonomi; dan c) redistribusi

24Op.cit., Granados, h.20.

Page 23: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

15

pendapatan.25 Pada negara yang menerapkan kebijakan pendelegasian kekuasaan (desentralisasi),

pemerintah pusat dapat mendelegasikan beberapa kewenangan dari ketiga peran tersebut kepada

pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini dilakukan karena pelaksanaan

desentralisasi politik membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil. Pemerintah daerah

membutuhkan dana untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah masing-masing. Guna

mendukung pelaksanaan desentralisasi politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,

desentralisasi fiskal dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang

demokratis. Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis dapat tumbuh melalui interaksi

politik antara pemerintah dan rakyat yang lebih konstruktif karena intensitas komunikasi politik

yang semakin meningkat.26 Dengan demikian, konsep kedaulatan berada di tangan rakyat akan

terwujud seiring dengan keterlibatan rakyat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan

fiskal oleh pemerintah.

Salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pendelegasian kekuasaan dalam

melakukan pemajakan (taxing power) kepada daerah. Konsep pendelegasian kekuasaan

perpajakan ini berlangsung di negara federal maupun kesatuan. Di negara federal maupun negara

kesatuan, perlu dibuat keputusan tentang pembagian pendapatan antara pusat dan daerah,

pembagian kewenangan pengelolaan pendapatan, dan pengelolaan hibah dari pemerintah kepada

konstituen (Foster, Jackman, dan Pearlman, 1980, hal. 31-34).27

2.2 Kebijakan Pajak

Pajak merupakan instrumen penting dalam pembahasan pembagian pendapatan dan

kewenangan atas pengelolaan pendapatan. Di hampir seluruh negara di dunia, penerimaan negara

terbesar berasal dari pajak. Oleh karena itu, pembahasan pembagian pendapatan dan kewenangan

atas pengelolaannya antara pemerintah pusat dan daerah tidak terlepas dari pembahasan mengenai

pajak yang dituangkan dalam kebijakan pajak sebagai salah satu kebijakan keuangan. Paul

Samuelson (1982) menyebutkan tiga instrumen dalam keuangan negara yang dapat mempengaruhi

kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yaitu:

25Op.cit., Granados, h.70. 26Irianto, Edi Slamet. (2009). Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta:

LaksBang Mediatama Yogyakarta. 27Smith, Brian C. (2012). Desentralisasi: Dimensi Teritorial Suatu Negara. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan

Indonesia.

Page 24: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

16

(1) Pengenaan pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang berpotensi

menghambat perilaku konsumsi masyarakat dan investasi apabila beban pajak terlalu

tinggi;

(2) Pengeluaran pemerintah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

masyarakat. Hal ini dikarenakan pengeluaran pemerintah dapat merangsang produksi

barang dan jasa dari para pelaku bisnis yang kemudian dapat menciptakan lapangan

pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat;

(3) Kebijakan pemerintah yang secara langsung dapat mengawasi jalannya sistem ekonomi

yang berada di dalam masyarakat untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Kebijakan tersebut juga berlaku bagi para

pengusaha sebagai pihak yang memproduksi barang dan jasa kepada konsumen dengan

motivasi keuntungan.

Terdapat empat fungsi dari pemerintah dalam suatu negara yaitu28:

(1) fungsi alokasi, yang merupakan proses penyediaan/penggunaan sumber daya secara

keseluruhan terkait barang privat dan barang publik, serta kombinasi pilihan dengan barang

sosial;

(2) fungsi distribusi. Dalam kondisi ketidaksempurnaan pasar yang menyebabkan

penumpukan kekayaan pada salah satu golongan atau kelompok masyarakat tertentu,

pemerintah melakukan pemerataan distribusi kekayaan dilakukan untuk mengurangi

kesenjangan tersebut;

(3) fungsi stabilisasi, yakni penerapan kebijakan anggaran sebagai alat untuk menjaga agar

jumlah lapangan pekerjaan tetap tersedia dan harga barang dan jasa tetap stabil; serta

(4) fungsi regulasi, dalam hal ini aktivitas ekonomi dikelola dengan baik hingga persaingan

sehat dapat tercipta.

Empat fungsi negara tersebut kemudian menjadi dasar perumusan poin-poin penting dari

fungsi pajak, yaitu (1) fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara yang aman, murah, dan

berkelanjutan; (2) fungsi pajak sebagai instrumen keadilan dan pemerataan di bidang ekonomi, (3)

fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan pembangunan; (4) fungsi pajak sebagai instrumen

28Rosdiana, Haula & Irianto, Edi Slamet. (2013). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia.

Jakarta: Rajawali Pers.

Page 25: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

17

ketenagakerjaan; dan (5) fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim.29

Dalam mendesain sistem pemungutan pajak, terdapat empat asas yang menjadi landasan

berpikir dan pijakan dalam menentukan sasaran-sasaran reformasi perpajakan. Empat asas tersebut

merupakan pendapat dari salah satu ahli ekonomi terkenal yaitu Adam Smith, dikenal dengan

sebutan four maxims. Empat asas dalam mendesain sistem pemungutan pajak adalah (Rosdiana

dan Irianto, 2013) :

Pertama, asas equity/equality atau asas keadilan. Suatu sistem perpajakan yang ditetapkan

pemerintah dianggap berhasil jika masyarakat merasa bahwa pajak yang dikenakan bersifat adil,

yakni setiap orang membayar pajak sesuai dengan bagian dan kemampuannya dalam membayar

pajak, serta dapat merasakan manfaat dari pajak yang telah dibayarkan. Asas keadilan

memperhatikan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal adalah pengenaan

penerapan treatment pajak yang sama kepada wajib pajak yang berada dalam kondisi yang sama

(equal treatment for the equals). Sedangkan, keadilan vertikal adalah treatment pajak yang

berbeda kepada para wajib pajak dengan kondisi berbeda (unequal for the unequals).

Kedua, certainty (kepastian) bagi petugas pajak maupun wajib pajak. Asas ini berkaitan

dengan hukum dan regulasi yang mengatur segala bentuk aktivitas perpajakan di dalam suatu

negara. Asas kepastian mencakup kepastian akan siapa saja yang harus dikenakan pajak, apa saja

yang dijadikan objek pajak dan bagaimana kriterianya, serta besar jumlah pajak yang harus

dibayarkan dan bagaimana prosedur administrasinya. Kepastian hukum disini tidak hanya

mencakup kepastian mengenai subjek pajak (dan yang dikecualikan), objek pajak (dan yang

dikecualikan), dasar pengenaan pajak (DPP) serta besar tarif pajak, tetapi juga termasuk prosedur

pemenuhan kewajiban perpajakan seperti prosedur pembayaran dan pelaporan, serta pelaksanaan

hak-hak perpajakannya. Sommerfeld (1982) menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian

hukum, perlu disediakan petunjuk tentang pemungutan pajak yang terperinci, penetapan hukum,

maupun interpretasi hukum lainnya.30

Ketiga, convenience (kemudahan) yaitu kondisi pemungutan pajak dilakukan pada suatu

kondisi yang memberi kenyamanan bagi Wajib Pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau

29Ibid. 30Sommerfeld, Ray M. (1982). An Introduction To taxation. London: Harcourt Brace Javanovich Inc.

Page 26: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

18

penghasilan lain seperti bunga deposito (pay as you earn). Kemudahan ini juga dapat berwujud

pembayaran pajak terhutang selama satu tahun yang dibayarkan berangsur setiap bulan, sehingga

tidak memberatkan wajib pajak ketimbang membayar seluruhnya pada akhir tahun.

Keempat, asas economy yaitu pajak seharusnya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk

melakukan konsumsi31, tidak memengaruhi pilihan produsen untuk memproduksi barang dan jasa,

serta tidak mengurangi keinginan orang untuk bekerja. Dalam menentukan tarif hendaknya tidak

dipilih tarif yang masuk dalam katoegori “prohibited area”, karena peningkatan tarif pajak yang

terlalu besar belum tentu akan berdampak pada meningkatnya penerimaan pajak atau dengan kata

lain justru dapat mengakibatkan terjadi penurunan penerimaan pajak. Selain itu dalam menerapkan

kebijakan pemberian insentif pajak. Insentif perpajakan harus tetap menjamin adanya level playing

field yang fair agar tidak menyebabkan entry barrier terutama bagi pihak yang lemah.

2.3 Pajak Properti (PBB-P2 & BPHTB)

Tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas namun dapat memberikan

keuntungan serta kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi bagi pemilik dan penggunanya. Tanah

merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga dapat digunakan sebagai modal investasi bagi

pemiliknya.32 Tanah dan bangunan merupakan harta tidak bergerak (immovable property). Salah

satu aspek yang melekat pada tanah adalah hak properti yang terdiri dari hak legal atas real object

yang di dalamnya termasuk fisik tanah dan bangunan, serta hak properti tidak berwujud, seperti

hak kepemilikan.33 Pajak properti berbasis kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan, dan

merupakan salah satu unsur pajak tertua yang menjadi sumber penerimaan utama suatu negara.

Pajak properti telah menjadi sumber penerimaan utama negara hingga dicetuskannya pajak

pendapatan dan pajak penjualan yang diterapkan sekitar abad ke-20 di kawasan Eropa.34 Walaupun

jumlah penerimaannya terbilang lebih kecil jika dibandingkan dengan Pajak Penghasilan dan Pajak

Penjualan, Pajak Properti tetap menjadi sumber pemasukan utama bagi negara hingga saat ini.

31 Pajak disini merupakan pajak yang masuk dalam klasifikasi fungsi budgetair, bukan regulerend dimana pengenaan

pajak akan suatu barang ditujukan untuk mengurangsi konsumsi masyarakat. 32Judowinarso, Endarto & Darwin. (2006). Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) & Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (PDRD). Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah. 33 Victor Thuronyi. Op.Cit. Hal. 268. 34Devas, Nick. (1989). Financing Local Government in Indonesia. Ohio University. Hal. 118.

Page 27: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

19

Dilihat dari sejarahnya, pajak properti sudah mulai diterapkan pada masa pemerintahan

kerajaan-kerajaan, seperti halnya di periode akhir kekuasaan kekaisaran Romawi. Jenis pajak yang

stabil dan dipungut secara teratur berdasarkan transaksi dan harta kekayaan (property) mulai

bermunculan.35 Misalnya, pajak yang dikenakan atas tanah dan harta kekayaan atau yang dikenal

dengan istilah Danegeld diterapkan di Inggris pada masa itu. Hingga tahun 978 M, Danegeld

dipungut secara teratur dengan tarif yang ditetapkan sebesar 2 shilling untuk setiap 100-120 hektar

tanah.36

Dalam sejarahnya terdapat dua latar belakang pengenaan pajak properti. Pertama, latar

belakang yang berkaitan dengan penerimaan pemerintah daerah (local government finance), yakni

pemungutan pajak properti ditujukan untuk kepentingan pemerintah daerah dalam rangka

pembiayaan belanja daerah (local expenditure). Kedua, latar belakang sifat inelastis objek pajak.

Harga properti (tanah dan bangunan) yang selalu meningkat tidak serta merta menurunkan minat

masyarakat terhadap properti, karena sifatnya yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Dengan demikian, penerimaan pemerintah daerah dari sektor pajak properti diharapkan terus

menerus meningkat setiap tahunnya.

Terdapat lima fungsi pajak yang dapat dijadikan acuan dalam menerapkan kebijakan untuk

mengatur distribusi tanah (Sommerfeld, Anderson, dan Brock dalam Rosdiana dan Irianto, 2013),

yaitu: (1) raising revenues, yakni fungsi utama pajak sebagai pendapatan negara dan komponen

utama untuk mengisi kas negara; (2) economic price stability, yakni fungsi pajak sebagai

instrumen keadilan dan pemerataan terkait kebijakan dan program prioritas pemerintah, yang

dananya berasal dari pajak yang dibayarkan warga negara dalam rangka menciptakan stabilitas

harga barang termasuk tanah dan properti; (3) economic growth and full employment, yakni fungsi

pajak untuk mewujudkan millennium development goals, pembangunan nasional, dan

pembangunan regional; (4) economic development, yakni fungsi pajak sebagai instrumen

ketenagakerjaan terkait peran negara sebagai pengemban amanah yang menjamin semua warga

negara untuk berkesempatanan mendapatkan pekerjaan; dan (5) wealth redistribution, yakni

fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan redistribusi sumber daya, termasuk kepemilikan tanah

sebagai tempat tinggal warga negara.

35Dapat dilihat di https://news.ddtc.co.id/sejarah-pajak-awal-kehadiran-pajak-10547 36Ibid.

Page 28: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

20

Bahl dan Linn (1992)37 berpendapat bahwa pemajakan atas tanah dan bangunan dapat

menciptakan keadilan karena orang-orang yang memiliki tanah dalam jumlah besar atau relatif

luas, merupakan orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi; atau orang-orang kaya. Hasil

pemungutan pajak properti dari orang-orang kaya tersebut selanjutnya dapat disubstitusikan untuk

penyediaan tanah dan bangunan (rumah), serta pinjaman kredit rumah dengan bunga ringan untuk

masyarakat kalangan menengah dan bawah.38

Terkait dengan tarif, Youngman merumuskan pemajakan atas tanah dan bangunan, yang harus

memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :39

1) Definisi dasar pengenaan pajak atau tax base: apakah pajak dihitung berdasarkan nilai tanah

saja, nilai tanah dan bangunan, atau dihitung berdasarkan wilayah?

2) Identifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran: apakah wajib pajak yang

membayar adalah pemilik, penyewa, atau pihak yang memanfaatkan?

3) Penentuan tarif pajak: apakah menggunakan tarif tunggal untuk semua objek dan subjek pajak

atau terdapat pembedaan pajak pada subjek yang memanfaatkan tanah untuk tempat tinggal

atau keperluan untuk bisnis?

4) Pembagian tugas administrasi dan pendapatan pajak antar tingkat pemerintah: apakah

pemungutan dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah, dan apakah terdapat keseragaman

kebijakan untuk semua daerah atau tergantung kebijakan dari pemerintah daerah masing-

masing?

Pembahasan mengenai tanah dan/atau properti membutuhkan diskursus yang cukup panjang,

seperti halnya di Amerika (USA). Dalam pembukaan United States National Association of

Realtors (kode etik), dikatakan bahwa tanah merupakan segalanya. Hal ini didasari pemikiran

bahwa tanah merupakan instrumen penting bagi manusia yang digunakan untuk bertahan hidup.

Selain sebagai tempat tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat bercocok tanam yang hasilnya

digunakan sebagai makanan (pangan) untuk dikonsumsi yang merupakan kebutuhan pokok

manusia. Kepemilikan tanah dan cara pendistribusian tanah secara luas terkait dengan kepentingan

politik yang menghubungkan negara dengan warga negaranya.

37 Bahl dan Linn (1992). Dalam Kumorotomo, Wahyudi. (2008). Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan

Kebijakan 1974-2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 38 Victor Thuronyi.Op.Cit.Hal. 266-267. 39 Victor Thuronyi.Op.Cit. Hal. 267-268.

Page 29: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

21

Dalam pemajakan atas tanah, seringkali dilakukan pemisahan antara pajak tanah dan pajak

modal. Pemerintah hanya memajaki tanah karena sifatnya yang tidak berpindah-pindah

(immobile), berbeda dengan jenis modal lainnya yang cenderung dapat berpindah tempat (mobile).

Adapun penggabungan kedua jenis pajak tersebut akan menimbulkan inefisiensi di bidang

ekonomi. Dalam rangka menarik modal/investasi, pemerintah dapat menurunkan tarif pajak.

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa secara administratif, penggabungan pajak tanah dan

modal, yang disebut dengan pajak properti, akan lebih efisien jika dibandingkan dengan adanya

pemisahan kedua jenis pajak tersebut. Pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan tarif pajak

karena ketidaktepatan dalam menentukan tarif pajak cenderung dapat menciptakan inefisiensi

ekonomi (Lee, 2003).40

Perspektif ekonomi secara umum menyatakan bahwa tanah dan modal harus dikenakan

perlakuan pajak yang berbeda karena adanya perbedaan basis pajak, seperti perbedaan tarif pajak

properti untuk properti perumahan, apartemen, properti komersial, dan properti khusus seperti

bandara dan pelabuhan. Basis pajak dalam pajak properti dibedakan perlakuannya dengan

mempertimbangkan berbagai macam faktor, seperti letak, peruntukan dan pemanfaatan bangunan.

Terdapat beberapa faktor dalam efisiensi ekonomi perpajakan atas tanah (Van den Brink

2007 dalam Brown dan Luthango, 2010), diantaranya : (1) pajak atas tanah tidak mendistorsi

insentif ekonomi (karena suplai/ketersediaan keseluruhan lahan bersifat tetap); (2) pajak atas tanah

bersifat adil, karena secara khusus menargetkan pendapatan yang diterima di muka (sewa) dan

terdapat nilai perbaikan tanah yang disebabkan oleh investasi publik; Dalam hal ini pemilik tanah

dikenakan pajak atas kepemilikan tanah dan potensi tanah yang dimilikinya, walaupun tidak

terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan pemiliknya; (3) pajak atas tanah dapat mengurangi

insentif bagi para spekulan tanah di daerah perkotaan dan pedesaan; (4) pajak atas tanah relatif

mudah untuk diadministrasikan karena sifat tanah yang tidak dapat disembunyikan.

Pajak properti memiliki peran penting dalam hal pengelolaan, penggunaan, dan distribusi

tanah. Pajak properti dapat dikategorikan dalam tiga jenis. Pertama, sistem flat rating, yakni pajak

atas nilai, meliputi nilai tanah dan nilai bangunan atau nilai pengembangan tanah; Kedua, site value

40 Lee, Kangoh. (2003). Should Land and Capital Be Taxed at a Uniform Rate? The Canadian Journal of Economics/

Revenue canadienn ed’ Economique, Vol. 36, No. 2 (May, 2003), pp. 350-372.

Page 30: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

22

rating, yang merupakan pajak atas nilai tanah saja, tidak termasuk nilai bangunan dan

pengembangan; Ketiga, sistem two-rate (dua tingkat), yakni pengenaan pajak dengan tarif yang

lebih tinggi pada nilai tanah daripada nilai bangunan dan pengembangannya. Site value rating

merupakan pajak atas tanah yang menurut banyak ekonom merupakan jenis pajak yang paling

efisien dalam perpajakan atas tanah.

2.4 Pajak atas Idle Land (Capital Gain Tax & Unimproved Land Tax)

Modal (capital) dapat dikenakan pajak secara berkala atau periodik dan/atau pada saat

transaksi terjadi atau terjadi pengalihan kekayaan, seperti pajak kekayaan, pajak properti atas tanah

dan bangunan, serta retribusi perbankan. Modal lebih sering dikenakan pajak atas pengalihan,

berupa pajak atas pengalihan warisan atau pajak atas pengalihan harta-benda tidak bergerak dan

harta-benda bergerak. Namun, baru-baru ini pajak juga dikenakan atas transaksi keuangan

(Pistone, 2016). Pengenaan pajak di sektor individu/ perorangan atas keuntungan modal (capital

gain tax) telah diprediksi dan telah menjadi pembahasan para legislator di bidang perpajakan. Hal

tersebut erat kaitannya dengan perdebatan politik dalam konteks krisis keuangan dan perpajakan

yang tidak merata di sektor tenaga kerja dan capital gain.

Skema baru pajak atas keuntungan pada modal finansial (saham, obligasi, derivatif) dan

keuntungan dari transaksi real estate dapat dilihat dari hasil kajian di Austria oleh Zeiler pada

tahun 201641. Studi di Austria pada tahun 2011 menjelaskan bahwa pajak spekulasi atas capital

gain telah digantikan dengan treatment berbeda atas capital gain. Pada masa sebelum reformasi,

keuntungan tersebut dikenakan pajak ketika financial instrument (instrumen keuangan) dijual

dalam jangka waktu paling lama setahun. Saat ini, capital gain dikenakan pajak dengan tarif tetap

sebesar 25%. Dalam hal ini, pajak atas capital gain dapat langsung dipotong oleh bank, sama

seperti pajak atas bunga dan dividen, bahkan atas kerugian yang ditimbulkan dapat secara langsung

ditangguhkan oleh bank42. Pada tahun 2012, pajak atas capital gain yang terkait dengan transaksi

real estate direformasi. Sebelumnya, laba dikenakan pajak ketika properti dijual dalam jangka

waktu sepuluh tahun setelah akuisisi dilakukan. Saat ini, keuntungan tersebut menjadi objek pajak,

seperti halnya capital gain dengan tarif flat sebesar 25%. Pajak real estate wajib dihitung dengan

41 Zeiler, 2016. Mengutip kajian yang dilakukan oleh Marschner pada tahun 2011, dalam Michael Lang, et. all. (2016).

Trends and Players in tax Policy in European and International Tax Law and Policy Series. Amsterdam: IBFD. 42 Ibid.

Page 31: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

23

bantuan pengacara atau notaris publik pada saat transaksi berlangsung dan harus dibayar sesegera

mungkin (Herzog, 2012 pada Lang, et.al., 2016). Namun, penjualan perumahan dibebaskan dari

jenis pajak ini.

Kebijakan pajak untuk tanah idle (idle land tax) ditujukan untuk mengoptimalkan

penggunaan lahan dan juga mencegah para spekulan tanah untuk berinvestasi di lahan kosong

dalam waktu yang relatif panjang tanpa adanya pemanfaatan yang produktif. Idle land

didefinisikan OECD sebagai tanah yang sedang dibudidayakan namun tidak digunakan,

terbengkalai, dan tanah alami (ditumbuhi tumbuhan hijau/tanah alami).43 Idle land tax juga

didefinisikan sebagai pajak ad valorem atas tanah kosong yang dipungut setiap tahun dengan dasar

pengenaan pajak harga properti riil yang dibiarkan menganggur (tidak dimanfaatkan) dan tidak

dikembangkan oleh pemilik properti.

Salah satu negara tetangga Indonesia di ASEAN yaitu Filipina, telah menerapkan

kebijakan idle land tax. Setelah diimplementasikan, kebijakan tersebut menimbulkan

permasalahan karena ketidakkonsistenan antar pemerintah daerah. Permasalahan utama

disebabkan karena tidak adanya definisi yang jelas atas lahan kosong (idle land). Akibatnya,

pemerintah Filipina sulit untuk memetakan dan menginventarisasi letak lahan kosong, yang

dikategorikan sebagai idle land. Permasalahan lain adalah penetapan tarif yang beragam antar

pemerintah daerah dan berdampak pada kesenjangan dalam pelaksanaannya.44

43OECD. 1997. Glossary of ENvirontment Statistic, Studies in Methods, Series F, No. 67. New York: United Nations.

Dapat dilihat di https://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=1276 44Dapat dilihat di http://cpbrd.congress.gov.ph/2012-06-30-13-06-51/2012-06-30-13-36-45/597-pb2016-02-idle-

land-tax-implementation-issues-and-challenges

Page 32: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

24

BAB 3

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI PAJAK TANAH

3.1 Perbandingan Kebijakan Tanah Antar Periode

Pajak atas tanah mengalami perubahan dari masa ke masa. Pajak Bumi dan Bangunan

merupakan jenis pajak yang tergolong paling tua, dibandingkan dengan Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai serta jenis pajak lain yang juga diberlakukan di Indonesia. Pajak Bumi dan

Bangunan sudah ada sejak sebelum jaman penjajahan sampai dengan saat ini, hanya bentuk

pengaturannya mengalami perubahan dari zaman ke zaman.

Pada jaman penjajahan Inggris dikenal adanya land rent yang diperkenalkan oleh Sir

Standfod Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris tahun 1811-1816, yang bermaksud

menerapkan politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Landrent adalah

peristilahan yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa atas penggunaan lahan yang harus

dibayarkan atau diapresiasikan pada lahan (Rustiadi, et al, 2006).45 Dalam aturan landrent, rakyat

yang menyewa tanah dan membayar pajak akan diberikan kebebasan untuk menanam tanaman

apapun di tanah yang disewanya. Landrent memiliki sistem yang memberlakukan ketentuan

bahwa petani harus menyewa tanah meskipun bertindak selaku pemilik dari tanah tersebut. Harga

sewa tanah bergantung pada kondisi tanah yang dimiliki, sedangkan sistem pembayaran sewa

tanah dilakukan dengan menggunakan uang tunai; dan, bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan

pajak per kepala (per orang). Besarnya tarif land rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil

produksi pertanian tergantung jenis produksinya. Terdapat kelemahan dari sistem land rent,

diantaranya: (1) rakyat pribumi terutama di pedesaan, tidak biasa menggunakan uang dalam sistem

pembayarannya,(2) pola feodalisme yang masih sangat kental dimasyarakat, (3) sulit menentukan

besar atau kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda, (4) sulit menentukan kondisi

tanah ataupun tingkat kesuburan tanah, serta (5) terbatasnya jumlah pegawai pemungut pajak.

Pada zaman penjajahan Belanda pemungutan land rent tetap diteruskan sebagai bentuk

pengakuan rakyat terhadap keberadaan Belanda di Indonesia, namun istilahnya diubah menjadi

45Ernan Rustiadi, et., al. (2006). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei. 2006. Fakultas Pertanian, IPB,

Bogor. Ife, J. 1996

Page 33: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

25

landrente. Besarnya tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda adalah 20% dari produksi

pertanian. Pada masa ini, pemerintah Belanda mewajibkan kepada penduduk Indonesia untuk

menanam 20% lahan pertanian dengan tanaman tertentu yang ditentukan oleh Pemerintah Belanda

dan beberapa aturan untuk land rent dibuat dengan ordonansi-ordonansi, antara lain Ordonansi

Pajak Rumah Tangga1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928,

Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942. Dalam pemungutan land rent yang

menjadi objek pajak adalah tanah milik adat, sehingga pada waktu itu tanah dibedakan menjadi

tanah milik adat dan tanah hak barat dan dikenal istilah Verponding dan Verponding Indonesia.

Sistem pajak yang berlaku berbasis hasil bersih pertahun, klasifikasi tanah, persentase pajak, dan

pengenaan per bidang tanah. (Arsyad Ridani, 2015)

Pasca zaman penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Pemerintah Jepang

meneruskan sistem land rent namun dengan mengubah istilah land rent menjadi land tax (pajak

tanah). Administrasi pajak ditangani oleh kantor pajak yang disebut “Zaimubu Shuzeika” yang

sekaligus bertugas untuk melakukan survei dan pemetaan tanah di pulau Jawa dan Madura. Setelah

kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia meneruskan

pemungutan pajak atas tanah dengan nama Pajak Bumi yang kemudian diganti dengan istilah Pajak

Penghasilan atas Tanah Pertanian yang pemungutannya dikelola oleh jawatan pajak. Kebijakan

pajak tanah di Indonesia mengalami beberapa perubahan sebagaimana dijelaskan dalam uraian

berikut ini.

A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang

Pajak Hasil Bumi

Kebijakan pajak atas tanah mulai diatur secara resmi pada tahun 1959 dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 11 tahun 1959 yang

mengatur pajak hasil bumi dan menghapus beberapa jenis pajak atas tanah yang dalam

pelaksanaannya menimbulkan kerumitan serta terdapat tumpang tindih dan menimbulkan beban

pajak berganda bagi masyarakat. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

No 11 Tahun 1959 kemudian disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1961 dan pajak hasil bumi dikelola Direkrorat Pajak Hasil Bumi.

Page 34: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

26

Didalam Perpu tersebut beberapa hal terkait pemajakan hasil bumi diatur, seperti

penentuan subjek pajak, objek pajak, pengecualian objek pajak, penetapan nilai hasil bumi untuk

pengenaan pajak, penetapan dan masa pajak, keberatan terhadap penetapan pajak kewajiban

pemilik tanah, pengurangan dan pembebasan pajak, pemungutan dan penyetoran, hak tagih dan

hak utama negara terhadap pajak hasil bumi yang terhutang, serta hasil pendapatan pajak hasil

bumi.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara tanggal 29 November 1965 Nomor

PMPPU 1-1-3 nama Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan

Daerah, dan istilah Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Ipeda serta diperkenalkan istilah sektor

pedesaan, perkotaan, perhutanan, dan pertambangan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor

11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat

dipungut pajak Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula 6

(enam) pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpang

tindih antara satu pajak dan pajak lainnya yang menyebabkan timbulnya beban pajak berganda

bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983

(antara lain, dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui

pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985), maka terdapat tujuh jenis pajak

kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan yang disederhanakan menjadi Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dilakukan pencabutan tujuh Undang-Undang yang telah berlaku sebelumnya

yaitu:

a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908,

Staatsblad 1908 Nomor 13) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 19 Tahun 1959.

b. Ordonansi Verponding Indonesia Nomor 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie

1923, Staatsblad tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Algemeene Verodeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblaad

Tahun 1931 Nomor 1680)

c. Ordonansi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928

Nomor 324) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No

29 Tahun 1959.

d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 ( Ordonanatie od de Vermogens Belasting 1932,

Staaatsblad Tahun 1932 Nomor 405 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1967

Page 35: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

27

e. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonanntie 1942, Staatsblad 1942 Nomor 97)

sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Algemeene Verpordening

Oorlogmisdrijven (Staastsblad Tahun 1946 Nomor 47).

f. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah

(Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287)

Pasal 14 huruf j, k dan l

g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak

Hasil Bumi (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 1860)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

didasari pemikiran bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial

ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau

memperoleh manfaat darinya. Oleh sebab itu, wajar apabila kepada mereka diwajibkan

memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui

pajak. Selain itu, landasan hukum IPEDA dianggap kurang jelas karena terdapat beberapa macam

pungutan pajak yang bertumpu pada objek yang sama atas tanah dan bangunan serta sangat

memberatkan masyarakat. Faktor lainnya adalah peraturan yang disusun pada jaman kolonial

sudah tidak lagi sesuai dengan falsafah Pancasila dan tuntutan pembangunan yang terus

meningkat. Sehingga, bertolak dari hal tersebut, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985

diberlakukan dan dilakukan penyederhanaan tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah

dan bangunan menjadi Pajak Bumi dan Bangunan.

Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 diatur bahwa

hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90%

untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah

yang bersangkutan (Siahaan, 2009). Hasil penerimaan PBB sebesar 10% merupakan bagian

Pemerintah Pusat yang berasal dari seluruh kabupaten/kota pada tahun pajak berikutnya.

Pembagian didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Sejak tahun 2001

alokasi pembagian ditentukan dengan imbangan sebagai berikut: (a) 65% dibagikan secara merata

kepada seluruh daerah kabupaten/kota; (b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah

kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun

Page 36: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

28

anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Hal tersebut

didasari pemikiran bahwa penggunaan hasil penerimaan PBB diarahkan kepada tujuan untuk

kepentingan masyarakat di daerah tempat objek pajak berada. Oleh karena itu, sebagian besar hasil

penerimaan PBB tersebut diberikan kepada pemerintah daerah sebagai pendapatan daerah yang

setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dengan demikian, penggunaan hasil penerimaan pajak tersebut diharapkan menstimulus perilaku

masyarakat di daerah letak objek pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak sekaligus

mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan (Siahaan, 2009).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-Undang Nomor 1985 dan dengan

semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya objek pajak, serta untuk

menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka

dilakukan penyempunaan terhadap Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Sehingga, pada

tahun 1994 pemerintah menerbitkan UU 12/1994 sebagai Perubahan UU 12/1985 dengan

melakukan perubahan atas beberapa pasal. Esensi dari perubahan ini adalah terjadinya

perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya bidang perekonomian serta

penyesuaian atas praktek perkembangan penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung

dalam UU 12/1985. Perubahan dalam Undang-Undang 12 tahun 1985 menjadi Undang-Undang

12 tahun 1994 terdapat dalam ketentuan pasal 3 dan pasal 23, serta penghapusan beberapa pasal

yaitu pasal 17 dan pasal 27. Dengan dihapusnya ketentuan pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi

dan Bangunan mengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3566) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penerbitan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 mengakibatkan perubahan pada besaran

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak bahwa terjadi kenaikan dalam penetapan besaran Nilai

Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dari sebelumnya Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap

wajib pajak menjadi Rp8.000.000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Perubahan

dilakukan dalam rangka memberikan keadilan dalam pengenaan pajak. Berikut adalah tabel

matriks perbandingan UU Nomor 12 tahun 1985 dan UU Nomor 12 tahun 1994.

Page 37: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

29

Tabel 3.1 Matriks Perbandingan UU No. 12 Tahun 1985 dengan UU No. 12 Tahun 1994

No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 UU No. 12 Tahun 1994

1 Objek Pajak 1. Objek Pajak yang tidak dikenakan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah

objek pajak yang:

a) Digunakan semata-mata

untuk melayani kepentingan

umum dibidang ibadah,

sosial, kesehatan,

pendidikan, dan

kebudaayaan nasional yang

tidak dimaksudkan untuk

memperoleh keuntungan.

b) Digunakan untuk kuburan,

peninggalan purbakala, atau

yang sejenis dengan itu.

c) Merupakan hutan lindung,

hutan suaka alam, hutan

wisata, taman nasional,

tanah penggembalaan yang

dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum

dibebani suatu hak.

d) Digunakan perwakilan

diplomatik, konsulat

berdasarkan asas perlakuan

timbal balik

e) digunakan oleh badan/atau

perwakilan organisasi

internasional yang

ditentukan oleh Menteri

Keuangan

2. Objek pajak yang digunakan oleh

negara untuk penyelenggaraan

pemerintahan, penentuan pengenaan

pajaknya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah

3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak

Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar

Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)

untuk setiap Wajib Pajak

4. Penyesuaian besarnya Nilai Jual

Objek Pajak Tidak Kena Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditetapkan oleh Menteri Keuangan

1. Objek Pajak yang tidak dikenakan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek

pajak yang:

a) Digunakan semata-mata untuk

melayani kepentingan umum

dibidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan, dan

kebudaayaan nasional yang

tidak dimaksudkan untuk

memperoleh keuntungan.

b) Digunakan untuk kuburan,

peninggalan purbakala, atau

yang sejenis dengan itu.

c) Merupakan hutan lindung,

hutan suaka alam, hutan wisata,

taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara

yang belum dibebani suatu hak.

d) d.Digunakan perwakilan

diplomatik, konsulat

berdasarkan asas perlakuan

timbal balik.

e) digunakan oleh badan/atau

perwakilan organisasi

internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan

2. Objek pajak yang digunakan oleh

negara untuk penyelenggaraan

pemerintahan, penentuan pengenaan

pajaknya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah

3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak

Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.

8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk

setiap Wajib Pajak

4. Penyesuaian besarnya Nilai Jual

Objek Pajak Tidak Kena Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditetapkan oleh Menteri Keuangan

Page 38: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

30

No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 UU No. 12 Tahun 1994

2 Keberatan dan Banding 1. Wajib Pajak dapat

mengajukan banding

kepada badan peradilan

pajak terhadap keputusan

yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (6)

dan Pasal 16 ayat (3)

dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal

diterimanya surat

keputusan oleh Wajib

Pajak dengan dilampiri

salinan surat keputusan

tersebut

2. Permohonan banding

diajukan secara tertulis

dalam bahasa Indonesia.

3. Pengajuan permohonan

banding tidak menunda

kewajiban membayar

pajak

Dihapus

3 Ketentuan Lain-Lain Terhadap hal-hal yang tidak diatur

secara khusus dalam Undang-undang

ini,berlaku ketentuan dalam Undang-

undang Nomor 6 Tahun 1983

tentangKetentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan serta peraturan

perundangundangan lainnya.

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara

khusus dalam Undang-undang ini,

berlaku ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1994 (Lembaran Negara Tahun 1994

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3566) serta peraturan perundang-

undangan lainnya

Sumber: diolah oleh penulis

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Selanjutnya, seiring dengan bergulirnya reformasi di Indonesia, pada tanggal 15 September

2009, telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Hal paling fundamental

dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 adalah dialihkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi

Page 39: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

31

pajak daerah, sedangkan PBB atas kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan tetap

dipungut oleh pemerintah pusat (Halim, 2014).46

Berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD),

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang semula merupakan pajak pusat saat ini telah beralih

menjadi pajak daerah, termasuk urusan pengadministrasiannya. Pengalihan PBB dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah dilakukan paling lambat tanggal 1 Januari 2014. Tujuan dari

pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah adalah dalam rangka meningkatkan local taxing power,

yakni kewenangan penuh pemerintah daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi

pemungutan dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pada Pemerintah

Kabupaten/Kota. Peningkatan local taxing power dilakukan dengan cara memperluas objek pajak

daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan

diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen

penganggaran dan pengaturan kepada daerah. Sehingga, dengan adanya pengalihan ini,

penerimaan PBB atas tanah masuk sepenuhnya menjadi penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, kewenangan pemajakan atas bumi dan bangunan dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota, termasuk pemungutan terhadap bea perolehan atas tanah dan bangunan. Dalam

pengelolaannya, penetapan tersebut bersifat closed list artinya pemerintah daerah tidak boleh

mengatur hal-hal selain yang sudah diatur dalam Undang-undang.

Terdapat beberapa perubahan signifikan dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009. Perubahan pertama, besaran penentuan tarif. Pada Undang-undang Nomor 28 Tahun

2009, tarif Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah sebesar maksimal

0,3%, sedangkan pada Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985

dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor

Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,5% ; Perubahan kedua, penentuan Nilai Jual Objek

Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Terdapat perubahan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena

Pajak yang pada Undang-undang lama diberikan batasan setinggi-tingginya Rp12.000.000,-,

sedangkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, besarnya NJOPTKP ditentukan paling

46Halim, Abdul., Bawono, Icuk Rangga & Dara, Amin. (2014). Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.

Page 40: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

32

rendah Rp10.000.000,- dan penetapannya dilakukan oleh kepala daerah; Selanjutnya, perubahan

ketiga, perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan/perkotaan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,tidak lagi menggunakan presentase Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP), sehingga perhitungannya langsung mengalikan tarif dengan nilai selisih antara NJOP dan

NJOPTKP.

Tabel 3.2 Matrik Perbandingan UU PBB dengan UU PDRD

No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No

12 Tahun 1994 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan

UU No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

1 Subjek Pajak Orang atau Badan yang secara nyata

mempunyai suatu hak atas bumi,

dan/atau memperoleh manfaat atas

bumi, dan/atau memiliki,

menguasai, dan/atau memperoleh

manfaat atas bangunan. (Pasal 4 ayat

(1) UU No. 12 Tahun 1985)

Orang Pribadi atau Badan yang secara

nyata mempunyai suatu hak atas

Bumi dan/atau memperoleh manfaat

atas Bumi, dan/atau memiliki,

menguasai, dan/atau memperoleh

manfaat atas Bangunan. (Pasal 78

ayat (1)

2 Wajib Pajak Subyek Pajak sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) yang

dikenakan kewajiban membayar

pajak atau pihak yang ditetapkan

oleh Direktur Jendral Pajak (Pasal 4

ayat (2) dan (3) UU No. 12 Tahun

1985)

Subyek Pajak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) yang dikenakan

kewajiban membayar pajak atau

pihak yang ditetapkan oleh Direktur

Jendral Pajak (Pasal 4 ayat (2) dan (3)

UU No. 12 Tahun 1985)

3 Objek Pajak Bumi dan/atau bangunan. (Pasal 2

ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985)

Bumi dan/atau Bangunan yang

dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau

Badan, kecuali kawasan yang

digunakan untuk kegiatan usaha

perkebunan, perhutanan, dan

pertambangan. (Pasal 77 ayat (1)

4 Objek Pajak yang tidak

dikenakan Pajak Bumi

dan Bangunan

a. digunakan semata-mata untuk

melayani kepentingan umum di

bidang ibadah, sosial, kesehatan,

pendidikan dan kebudayaan

nasional, yang tidak dimaksudkan

untuk memperoleh keuntungan; b.

digunakan untuk kuburan,

peninggalan purbakala, atau yang

sejenis dengan itu; c. merupakan

hutan lindung, hutan suaka alam,

hutan wisata, taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh

desa, dan tanah negara yang belum

dibebani suatu hak; d. digunakan

digunakan oleh Pemerintah dan

Daerah untuk penyelenggaraan

pemerintahan; b. digunakan semata-

mata untuk melayani kepentingan

umum di bidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan nasional, yang tidak

dimaksudkan untuk memperoleh

keuntungan; c. digunakan untuk

kuburan, peninggalan purbakala, atau

yang sejenis dengan itu; d. merupakan

hutan lindung, hutan suaka alam,

hutan wisata, taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh

Page 41: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

33

No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No

12 Tahun 1994 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan

UU No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

oleh perwakilan diplomatik,

konsulat berdasarkan asas perlakuan

timbal balik; e. digunakan oleh

badan/atau perwakilan organisasi

internasional yang ditentukan oleh

Menteri Keuangan. (Pasal 3 ayat (1)

UU No. 12 Tahun 1994)

desa, dan tanah negara yang belum

dibebani suatu hak; e. digunakan oleh

perwakilan diplomatik dan konsulat

berdasarkan asas perlakuan timbal

balik; dan f. digunakan oleh

badan/atau perwakilan lembaga

internasional yang ditetapkan dengan

Peraturan Menteri Keuangan. (Pasal

77 ayat (3)

5 Tarif PBB Sebesar 0,5% (lima persepuluh

persen) (Tarif tunggal) (Pasal 5 UU

No. 12 Tahun 1985)

Paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma

tiga persen) (Pasal 80 ayat (1)

6 Penentuan NJOP Ditetapkan setiap tiga tahun oleh

Menteri Keuangan, kecuali untuk

daerah tertentu ditetapkan setiap

tahun sesuai dengan perkembangan

daerahnya (Pasal 6 ayat (2) UU. No

12 Tahun 1985)

Ditetapkan oleh Kepala Daerah setiap

3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek

pajak tertentu dapat ditetapkan setiap

tahun sesuai dengan perkembangan

wilayahnya. Pasal 79 ayat (2) dan (3)

7 Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP)

Serendah-rendahnya 20% (dua

puluh persen) dan setinggitingginya

100% (seratus persen) dari Nilai Jual

Objek Pajak (Pasal 6 ayat (3) UU

No. 12 Tahun 1985) Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 huruf b Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002

tentang Penetapan Besarnya Nilai

Jual Kena Pajak Untuk

Penghitungan Pajak Bumi dan

Bangunan, NJKP adalah: 1) sebesar

40% (empat puluh persen) dari Nilai

Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual

Objek Pajaknya

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) atau lebih; 2) sebesar 20%

(dua puluh persen) dari Nilai Jual

Objek Pajak apabila Nilai Jual

Objek Pajaknya kurang dari

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).

Tidak dipergunakan (Tidak ada)

8 Nilai Jual Objek Pajak

Tidak Kena Pajak

(NJOPTKP)

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak

Tidak Kena Pajak ditetapkan

sebesar Rp.8.000.000,00 (delapan

juta rupiah) untuk setiap Wajib

Pajak (Pasal 3 ayat (3) UU No. 12

Tahun 1994) Berdasarkan ketentuan

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak

Tidak Kena Pajak ditetapkan paling

rendah sebesar Rp10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) untuk setiap

Wajib Pajak. (Pasal 77 ayat (4)

Page 42: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

34

No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No

12 Tahun 1994 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan

UU No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

Pasal 2 ayat (3) dan (4) Peraturan

Menteri Keuangan Nomor

23/PMK.03/2014, Besaran

NJOPTKP selain sektor perdesaan

dan perkotaan adalah sebesar

Rp.12.000.000,00 (dua belas juta

rupiah)

9 Penentuan Besaran PBB

Terutang

Tarif Pajak x Nilai Jual Kena Pajak

a. 0,5% x 40% (NJOP-NJOPTKP)

jika NJOP Rp 1 Miliar atau lebih b.

0,5% x 20% (NJOP-NJOPTKP) jika

NJOP kurang dari Rp 1 Miliar

(Penjelasan Pasal 6 UU No. 12

Tahun 1985)

Tarif Pajak (Max 0,3%) x (NJOP-

NJOPTKP) (Pasal 81)

10 Kewenangan

Pemungutan/Penagihan,

Pendataan, Penerbitan

Surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang, Surat

Ketetapan Pajak Surat

Tagihan Pajak

Menteri Keuangan (oleh Direktorat

Jenderal Pajak) dapat dilimpahkan

penagihan kepada Kepala Daerah

(Pasal 9, 10, 11, 12, 14 UU No. 12

Tahun 1985)

Kepala Daerah (Pasal 84)

11 Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan

Tidak Diatur Diatur dalam Pasal 85-90

Sumber: diolah oleh penulis

Page 43: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

35

3.2 Kebijakan Pajak atas Tanah Idle di Berbagai Negara

Setahun terakhir ini, Pemerintah sedang mengkaji penerapan Pajak Tanah Kosong atau

Pajak Tanah Menganggur yang di berbagai literatur dikenal dengan Vacant Land Tax atau Idle

Land Tax. Dalam hal ini, tanah idle didefinisikan sebagai lahan tanah yang dibiarkan kosong atau

tidak difungsikan oleh pemiliknya. Dengan demikian, kebijakan pemajakan tanah idle memiliki

fungsi regulerend, yakni dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas melalui optimalisasi

pemanfaatan tanah, bukan sekedar untuk menghimpun penerimaan pajak dari masyarakat guna

menjalankan fungsi pemerintahan (fungsi budgetair). Sebagaimana diketahui bahwa tanah

merupakan salah satu faktor produksi, selain tenaga kerja (labor), modal (capital), dan

kewirausahaan (entrepreneurship), yang dapat diutilisasi untuk meningkatkan produktivitas

nasional atau pendapatan nasional bersama-sama dengan faktor-faktor produksi lainnya tersebut.

Pemajakan atas tanah idle di berbagai negara merupakan salah satu aplikasi kebijakan

pajak properti yang tidak populer (Kopanyi dan Haas, 2017). Kebijakan tersebut dikatakan tidak

populer karena basis pengenaan pajak atas tanah idle ini adalah kekayaan yang tidak identik

dengan kemampuan membayar tunai (ability to pay cash) dari pemiliknya. Sebagaimana pajak

properti lainnya, salah satu kendala yang dialami subjek pajak adalah ability to pay cash untuk

membayar pajak. Sebagai contoh, seorang pensiunan yang memiliki sebuah rumah di pusat kota

dan menempati rumah tersebut, belum tentu memiliki kemampuan membayar tunai atas pajak yang

dikenakan, dibandingkan dengan seorang pengusaha yang tinggal di pinggir kota. Pada umumnya,

pada hukum pajak properti terdapat pasal-pasal tertentu yang mengatur mengenai kemungkinan

pengurangan pajak karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek

pajak, seperti yang terdapat pada Pasal 19 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

Selain karena kemampuan membayar tunai yang tidak dimiliki subjek pajak, kendala lain

dalam mengimplementasikan kebijakan pemajakan atas tanah idle adalah pemahaman masyarakat

yang tidak sejalan dengan maksud tujuan pemerintah untuk mengenakan pajak atas tanah idle. Hal

tersebut terjadi karena kurangnya sosialisasi pengenaan pajak dan pemilihan bentuk kebijakan

fiskal yang tidak sesuai dengan kondisi sosial dan politik masyarakat setempat. Sebagai contoh,

pajak atas tanah idle yang diterapkan di Republik Demokratik Kongo tidak berkontribusi

signifikan bagi penerimaan pajak. Pada tahun 2009, penerimaan pajak properti berkontribusi 1%

terhadap penerimaan pajak nasional dan pajak atas tanah idle hanya berkontribusi sedikit, yakni di

bawah 1%. Masyarakat Kongo berkeyakinan bahwa tanah merupakan warisan nenek moyang dan

Page 44: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

36

secara fundamental merupakan bagian dari hidup mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu

membayar pajak (Nwezwanga: 2009 dalam Kopanyi: 2017). Secara politis, kebijakan tersebut

cenderung sensitif untuk diimplementasikan, sehingga Pemerintah tidak terlalu menekan

masyarakat untuk membayar pajak.

3.2.1 Latar Belakang Timbulnya Tanah atau Lahan Idle

Haas dan Kopanyi (2017) menyebutkan bahwa identifikasi latar belakang suatu lahan

dibiarkan idle atau ‘menganggur’ menentukan cara pemajakan atas tanah idle yang efisien dan

efektif. Terdapat lima alasan suatu lahan tanah dibiarkan idle, antara lain:

1. Lahan sisa

Lahan ini merupakan lahan-lahan yang tersisa dari pembangunan fisik yang dilakukan di

sekitarnya dengan beberapa karakteristik, seperti ukuran lahan relatif kecil atau sempit,

bentuknya tidak beraturan, dan tidak kondusif untuk pembangunan skala besar.

2. Lahan dengan keterbatasan fisik

Lahan ini memiliki kendala fisik, diantaranya terletak di kawasan rawan banjir atau kawasan

rawa yang tidak memungkinan untuk dipasang konstruksi teknik yang memadai.

3. Lahan sebagai cadangan perusahaan

Perusahaan besar cenderung membeli lahan untuk mengantisipasi ekspansi bisnis di masa yang

akan datang. Biasanya, kawasan yang diminati adalah yang relevan dengan industri yang

digeluti, seperti lahan di kawasan industri tertentu.

4. Lahan untuk kepentingan umum

Lahan ini dibiarkan kosong dengan regulasi pemerintah untuk mengantisipasi pembangunan

fasilitas publik, seperti jalan raya.

5. Lahan untuk spekulasi

Lahan ini dibiarkan kosong oleh pemiliknya dengan tujuan investasi, yakni dijual kembali di

kemudian hari dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Berdasarkan lima jenis lahan kosong di atas, lahan kosong untuk spekulasi cenderung lebih

tepat dikenakan pajak lebih tinggi dibandingkan keempat jenis lahan kosong lainnya. Adams,

Disbury et al (2002) sebagaimana dikutip Haas dan Kopanyi (2017) mencatat bahwa lama waktu

tanah dibiarkan idle dapat menjelaskan alasan suatu lahan dibiarkan idle. Apabila suatu lahan

Page 45: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

37

dibiarkan idle untuk jangka waktu lama tanpa adanya transaksi, terindikasi bahwa lahan tersebut

kemungkinan memiliki kendala dalam pembangunan atau pengembangan daripada alasan

spekulasi. Sebaliknya, suatu lahan yang sering ditransaksikan tanpa pembangunan atau

pengembangan, terindikasi bahwa lahan tersebut sebenarnya cocok untuk dibangun atau

dikembangkan. Selanjutnya, Haas dan Jones (2016) juga menyatakan bahwa alasan lain suatu

lahan dibiarkan idle adalah karena kendala legal, misalnya lahan tersebut berada di kawasan rawan

sengketa atau terjadi perselisihan perebutan hak atas tanah.

Tantangan yang Dihadapi

Dalam menerapkan pajak atas tanah idle, terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan

bagi para administrator pajak untuk mewujudkan sistem pemajakan sesuai asas pemajakan yang

dikemukakan Adam Smith, yaitu asas keadilan (equity), asas kepastian (certainty), asas

kenyamanan (convenience), dan asas kemudahan (simplicity). Hal-hal yang harus diperhatikan

dalam menerapkan pajak atas tanah idle, antara lain:

1. Melakukan Estimasi Nilai Tanah

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai harga tanah pada suatu

wilayah, seperti metode perbandingan harga (comparable sales), metode analisis pendapatan

(income analysis), dan metode analisis biaya (cost analysis). Metode comparable sales dilakukan

dengan cara membandingkan nilai jual-beli dari beberapa transaksi jual-beli lahan di sekitar lahan

yang akan dinilai. Sebagai contoh, ketika suatu lahan yang terletak di pusat kota akan dinilai

namun tidak diketahui harganya, maka dapat dicari data harga jual-beli dari notaris di kawasan

tersebut dan diperoleh data harga dari tiga transaksi jual-beli lahan yang baru saja terjadi, yakni

Rp 1.000.000,-/m2, Rp 1.500.000,-/m2, dan Rp 2.000.000,-/m2. Dengan demikian, perkiraan harga

untuk lahan di kawasan tersebut adalah sekitar Rp Rp 1.500.000,-/m2 sesuai dengan nilai rata-rata

transaksi tersebut. Dengan bantuan teknologi komputer, saat ini sudah dapat dilakukan analisis

penentuan nilai tanah melalui proses interpolasi dua hingga tiga dimensi, sepanjang data-data

pembanding tersaji dengan lengkap.

Metode income analysis dilakukan dengan cara memperkirakan nilai tanah dengan cara

mengkapitalisasi nilai penghasilan yang diperoleh dari lahan tersebut. Sebagai contoh, apabila

suatu lahan kosong dibangun rumah dan disewakan, maka harga sewa rumah tersebut adalah

Page 46: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

38

sekitar Rp 100.000.0000,-/tahun. Dengan tingkat kapitalisasi 20 kali lipat atau tarif diskon sebesar

5%, maka nilai tanah dan/atau bangunan tersebut diperkirakan sebesar Rp 2 miliar dengan dasar

penghitungan Rp 100.000.000,- x 20 (atau Rp 100.000.000,- : 5%). Terakhir, metode cost analysis

dilakukan dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek

tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik

objek tersebut. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan nilai bangunan baru maupun nilai

bangunan lama.

2. Menentukan Definisi Tanah Idle

Menentukan suatu lahan dikategorikan sebagai tanah idle atau bukan termasuk salah satu

masalah krusial bagi konseptor pajak. Pengertian tanah idle harus didefinisikan secara jelas agar

timbul kepastian hukum dan mencegah perbedaan persepsi antara fiskus dan Wajib Pajak di

kemudian hari. Sebagai contoh, administrator pajak di Filipina mendefinisikan suatu lahan sebagai

tanah idle dan menjadi objek pajak apabila memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut: (a) tanah

selain pertanian yang berlokasi di kota atau kabupaten lebih dari 1.000 m2 dan setengah bagian

dari lahan tersebut dibiarkan tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan; (b) tanah

pertanian atau agraris lebih dari satu hektar yang layak dijadikan tempat bercocok tanam maupun

pembudidayaan ikan, namun setengah bagian dari lahan tersebut tidak ditanami atau tidak

dikembangkan oleh pemilik lahan. Namun demikian, lahan yang ditanami tumbuh-tumbuhan

secara alamiah-permanen maupun sengaja ditanami minimal sebanyak 50 pohon per hektar, serta

lahan untuk penggembalaan ternak, tidak termasuk pengertian tanah idle yang dapat dipajaki.

3. Pertimbangan Isu Ekonomi dan Demografi

Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya, disamping penentuan nilai dan definisi

lahan idle adalah pertimbangan isu ekonomi dan demografi agar tidak terjadi kondisi kontra

produktif. Suatu kawasan dengan banyak lahan idle yang terletak di wilayah dengan tingkat

pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertambahan penduduk tinggi mengindikasikan kemungkinan

tindakan spekulasi dari para pemilik tanah. Sementara itu, suatu kawasan dengan banyak lahan

idle yang terletak di wilayah dengan kondisi ekonomi stagnan dan tingkat pertumbuhan penduduk

melambat mengindikasikan tingginya biaya pembangunan dan pengembangan wilayah. Dengan

demikian, pajak atas tanah idle dapat disasar pada wilayah dengan ciri terdapat kondisi strong

Page 47: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

39

local economy (ekonomi lokal yang kuat) dan fast growing population (laju pertumbuhan

penduduk yang cepat) seperti yang dialami beberapa negara berkembang.

Beberapa kota di negara-negara maju tidak lagi menerapkan pajak atas tanah idle karena

kondisi ekonomi lokal cenderung stagnan dan jumlah penduduk cenderung berkurang. Contohnya,

twin city Minneapolis - St. Paul di Minnesota, Amerika Serikat yang ditinggalkan sebagian

penduduknya untuk migrasi ke kawasan green belt sesuai program transmigrasi yang dicanangkan

pemerintah. Namun demikian, beberapa kota lain dengan kondisi ekonomi lokal yang kuat tetapi

tanpa laju pertumbuhan penduduk yang cepat masih mempertahankan pengenaan pajak atas tanah

idle, seperti Washington DC di Amerika Serikat dan Vancouver di Kanada. Pemerintah kota

Washington DC menerapkan beberapa pajak properti, diantaranya pajak properti secara umum

(seperti PBB di Indonesia) dengan tarif 0,83% dari perkiraan harga pasar, pajak atas lahan kosong

dengan tarif 5% dari perkiraan harga pasar, serta pajak atas bangunan runtuh atau usang dengan

tarif 10% dari perkiraan harga pasar.

3.2.2 Catatan Bank Dunia atas Pemajakan Tanah di Dunia

The World Bank (Bank Dunia) menginventarisir beberapa metode pengenaan pajak terkait

tanah pada umumnya dan lahan idle pada khususnya, antara lain Pemajakan Nilai Tanah,

Pemajakan Nilai Pasar, Pengenaan Extra Tax pada Lahan Idle, Pemajakan berbasis Nilai Sewa

Tahunan (Annual Rental Value Based Taxation), Pemajakan Basis Wilayah (Area Based

Taxation), dan Pajak atas Pengalihan Properti Tak Gerak (Tax on Transfer Immovable Property).

Uraian atas masing-masing metode dijabarkan sebagai berikut:

1. Pemajakan Nilai Tanah

Metode pemajakan ini dianggap kurang adil karena tidak memasukkan unsur bangunan dalam

penghitungan basis pajak serta tidak mengenakan pajak tambahan atas lahan idle. Dengan tidak

dimasukkannya unsur bangunan dalam basis pengenaan pajak, seorang pemilik tanah dengan

bangunan besar akan membayar pajak yang sama dengan pemilik lahan kosong.

2. Pemajakan Nilai Pasar

Metode ini menggunakan harga transaksi jual-beli sebagai basis pengenaan pajak. Harga transaksi

yang disepakati antara penjual dan pembeli dihimpun dari kantor notaris. Apabila harga transaksi

dari jual-beli tidak tersedia, harga taksiran juga diakses pada pihak-pihak yang memiliki

Page 48: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

40

kepentingan terhadap penilaian properti, seperti pihak bank (apabila terdapat properti yang

diagunkan) dan pihak perusahaan asuransi (apabila suatu properti diasuransikan).

3. Pengenaan Extra Tax pada Lahan Idle

Metode ini memilah pajak sesuai dengan karakteristik lahan, seperti pajak atas lahan umum dan

tambahan pajak atas lahan idle. Adapun dalam mengenakan pajak ekstra tersebut atas lahan idle,

terdapat beberapa teknik pemajakan yang dapat digunakan, yaitu:

a. Teknik Best Possible Use

Teknik pemajakan ini digunakan di beberapa negara maju, seperti di Kanada dan Amerika

Serikat. Estimasi basis pajak atas lahan idle dilakukan dengan identifikasi “properti built-up

yang dapat dibandingkan” (comparable built-up properties) untuk mendapatkan kemungkinan

kegunaan terbaik (best possible use) dari lahan kosong, yakni bangunan terbaik yang dapat

didirikan dan dikembangkan oleh seorang investor di zona nilai tanah yang sama. Sebagai

contoh, jika suatu lahan idle seyogyanya dapat dibangun suatu gedung 30 lantai, pengenaan

pajak ekstra atas lahan idle tersebut dihitung dengan tingkat persentase dari nilai gunanya.

b. Teknik Split Taxation of Land and Improvements

Teknik pemajakan ini membedakan tarif pajak properti menjadi dua, yaitu pajak tanah

umumnya dan tambahan pajak untuk pembangunan. Sebagai contoh, pemerintah Kota

Harrrisburg di Negara bagian Pennsylvania mengenakan pajak umum untuk lahan dengan tarif

3% dari perkiraan nilai tanah dan mengenakan pajak tambahan 0,5% dari perkiraan nilai

bangunan untuk pembangunan dan pengembangan yang dilakukan.

c. Surtax on Vacant Property

Teknik pemajakan ini mengenakan pajak tambahan atas lahan kosong yang dibiarkan idle oleh

pemiliknya. Sebagai contoh, atas lahan idle di Seoul, Korea Selatan dikenakan pajak tambahan

dengan tarif bervariasi sesuai dengan lama waktu idle, mulai dari tarif 2% untuk lama waktu

idle hingga 2 tahun, sampai dengan tarif 10% untuk lama waktu idle hingga lebih dari 10 tahun.

Di Seattle, salah satu kota dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Amerika Serikat,

terdapat banyak lahan kosong yang difungsikan sebagai lahan parkir (parking lot). Lahan

parkir tersebut seyogyanya dibutuhkan namun tidak mencerminkan nilai guna terbaik. Dengan

demikian, pemerintah kota mengenakan pajak tambahan sebesar 12,5% atas lahan tersebut

sejak tahun 2010 yang akan dinaikkan menjadi 17,5% di tahun 2017.

Page 49: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

41

d. Taxing Vacant Built-Up Properties

Umumnya tidak banyak lahan kosong tersedia di beberapa kota besar di negara-negara maju.

Hal ini berbeda dengan ketersediaan bangunan kosong, yakni bangunan-bangunan usang yang

sengaja dikosongkan, seperti bangunan kantor, apartemen, maupun pabrik. Seringkali

pengembang membongkar bangunan namun menunda pendirian bangunan baru, sehingga

bangunan usang tersebut juga dikategorikan sebagai lahan idle dan dikenakan pajak tambahan.

Sebagai contoh, pemerintah kota Washington DC di Amerika Serikat mengenakan pajak

properti dalam tiga jenis, yakni pajak atas regular property dengan tarif 0,83% dari perkiraan

nilai pasar, vacant land property dengan tarif 5% dari perkiraan nilai pasar, serta

blighted/ruined property dengan tarif 10% dari perkiraan harga jual.

4. Pemajakan Berbasis Nilai Sewa Tahunan

Sistem nilai digunakan di sekitar empat puluh negara di dunia, khususnya di negara-negara bekas

koloni Inggris di Asia maupun Afrika. Teknik pemajakan ini menggunakan nilai sewa berdasarkan

transaksi harga pasar wajar sebagai basis pengenaan pajak. Kelangkaan data pembayaran sewa

aktual seringkali menjadi kendala dalam menaksir basis pemajakan tersebut. Sebagai contoh, tidak

terdapat nilai transaksi sewa untuk rumah yang dihuni pemilik, properti industri, dan lahan kosong.

Namun, terdapat sejumlah teknik alternatif seandainya nilai sewa tidak diketahui, yakni dengan

mencari data harga jual serta perkiraan biaya konstruksi yang dikonversi menjadi nilai sewa

melalui proses top-down.

5. Pemajakan Basis Wilayah

Teknik pemajakan basis wilayah (area based taxation) mirip dengan penggunaan kelas bumi pada

pengenaan PBB di Indonesia, yakni digunakannya tabel pajak dengan nilai tanah per meter persegi

dan per cluster serta digunakannya berbagai zona nilai tanah. Nilai tanah di pusat kota cenderung

lebih tinggi daripada di pinggiran kota, dan nilai tanah di sekitar jalan raya lebih tinggi daripada

di jalan kecil ataupun di gang.

Page 50: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

42

6. Pajak atas Pengalihan Properti Tidak Bergerak (Tax on Transfer of Immovable Property atau

TTIP)

Teknik pemajakan TTIP diterapkan di beberapa negara di dunia, seperti di Indonesia dan Pakistan.

Di Pakistan, jenis pajak ini merupakan salah satu kontributor terbesar bagi penerimaan pajak. Pajak

dikenakan atas pengalihan tanah dan/atau bangunan dari nilai jual bruto, dan bukan dari capital

gain, yakni selisih antara harga jual dan nilai perolehan. Capital gain dari selisih harga jual dan

nilai perolehan tidak dijadikan basis pengenaan pajak karena terdapat beberapa kendala dalam

implementasinya, seperti: (a) sulitnya mengetahui nilai perolehan untuk tanah dan/atau bangunan

dari tahun-tahun lampau, (b) legislator awam dengan penggunaan istilah capital gain dalam jual

beli tanah karena istilah tersebut selama ini cenderung sering digunakan di sektor sekuritas

finansial, dan (c) capital gain tidak selalu terjadi dalam transaksi jual beli tanah dan/atau

bangunan, misalnya pemilik properti menjual tanah dan/atau bangunan dengan harga jual yang

lebih rendah daripada harga belinya.

3.2.3 Praktik Kebijakan Pajak atas Lahan Idle di Beberapa Negara

Pada bagian ini dijelaskan mengenai praktik kebijakan pajak atas lahan idle di beberapa

negara yang dapat dijadikan benchmark dalam memformulasikan kebijakan pajak atas lahan idle

di Indonesia.

1. Brazil (Arujo de Larangeira, 2003)

Banyaknya lahan idle atau lahan tidak produktif (unused land) di Brazil berdampak pada

ketimpangan sosial dalam kepemilikan tanah sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Untuk

mengatasi masalah tersebut, pemerintah Brazil memanfaatkan kebijakan pajak progresif atas lahan

tidak produktif (Luthango, 2010). Pajak progresif ini diterapkan selama 5 tahun dengan tarif

progresif setiap tahunnya maksimal sebesar 15%. Jika lahan tersebut tidak dimanfaatkan dalam

jangka waktu lima tahun, maka pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan lahan dan

dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Dalam hal ini, pemerintah memberikan kompensasi

kepada pemilik lahan atas pengambilalihan lahan tidak produktif tersebut. Dalam penetapan pajak

progresif tersebut, diasumsikan tidak diperhitungkan atas kepemilikan pertama dan seterusnya,

namun hanya dengan instrumen kenaikan pajak setiap tahunnya. Kebijakan ini diatur secara rinci

Page 51: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

43

hingga level pemerintah daerah. Selain pajak progresif, atas tarif Pajak Properti yang berlaku di

Brazil juga naik 20-30% setiap tahunnya.

Pajak Properti di Brazil terdiri dari dua jenis, yaitu ITR dan IPTU (De Cesare et al., 1997,

De Cesare et al., 1999). ITR (Imposto sobre a Propriedade Territorial Rural) adalah pajak properti

yang dipungut di level pemerintahan federal. Pajak properti ini dikenakan atas tanah yang terletak

di luar zona kota perkotaan (municipality). Tarifnya bervariasi mulai dari 0,03% hingga 20%

tergantung pada luas tanah dari satuan hektar dan perbandingan luas area yang dimanfaatkan

dengan luas tanah secara keseluruhan. Jenis pajak properti lainnya yaitu IPTU (Imposto sobre a

Propriedade Predial e Territorial Urbana) adalah pajak properti yang terdapat di level perkotaan

(municipality). Tarif pajak yang diterapkan berbeda-beda antara suatu kota dan kota lainnya

dengan variasi tarif 0,3% hingga 1%. Besar tarif dilihat dari nilai properti (market value) yang

pada umumnya nilai tersebut lebih rendah dari harga pasar (market value) (De Cesare et al., 1997,

De Cesare et al., 1999).

Salah satu kota di Brazil yaitu Porto Alegre, yang merupakan kota terbesar di Negara

Bagian Rio Grande do Sul, mengenakan pajak atas tanah idle sejak tahun 1988. Pada saat itu,

petugas kota mengidentifikasi 65 pemilik dengan 120 lahan di kota tersebut yang akan menjadi

subjek dan objek pajak. Jumlah lahan idle diperkirakan mencapai 1,5% dari keseluruhan lahan

kota. Pengenaan pajak tersebut dilakukan guna mendorong pemilik lahan untuk membangun dan

mengembangkan lahannya, atau menjualnya kepada pihak lain yang dapat melakukan

pembangunan dan pengembangan. Dengan jumlah pemilik dan lahan yang tidak terlalu banyak

untuk diawasi, pengenaan pajak atas tanah idle terbukti efektif dan efisien. Dari sekitar 65 orang

pemilik lahan tersebut yang menjadi subjek pajak, hanya satu orang yang mengajukan banding ke

pengadilan, namun pada akhirnya orang tersebut melakukan pembangunan di lahan idle tersebut.

Untuk Kota Porto Alegre sendiri, kebijakan pajak properti yang ada menerapkan konsep

eamarking tax, yakni pendapatan yang dihasilkan dari pajak properti di Porto Alegre dialokasikan

setidaknya sebesar 25% untuk pendidikan, 15% untuk kesehatan, dan 60% lainnya digunakan

untuk mendanai pembangunan di berbagai bidang di kota tersebut (IPTU, 2015).

2. Kolombia (Arujo de Larangeira, 2003)

Bogota adalah salah satu contoh kota yang sukses menerapkan pajak atas tanah idle. Pada

tahun 2003, diperkirakan sekitar 2.000 hingga 2.200 hektar lahan dari keseluruhan 36.000 hektar

Page 52: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

44

di kota yang dibiarkan idle. Pemerintah mengenakan pajak atas tanah idle dengan tarif yang sangat

tinggi. Saat ini diketahui bahwa tarif pajak untuk tanah idle mencapai 30% dan pada akhirnya

kepemilikan hak atas lahan idle menurun dengan sendirinnya. Seperti halnya Brazil, atas lahan

yang pajaknya tidak dilunasi dan dibiarkan idle lebih dari dua tahun akan diklaim sebagai milik

pemerintah kota dan dilelang kepada publik.

3. Republik Demokratik Kongo (Nwezwanga, 2009)

Republik Demokratik Kongo mengenakan pajak atas permukaan bumi dan membagi

wilayah sesuai peringkatnya dan menerapkan tax bracket yang berbeda untuk setiap peringkatnya.

Hal tersebut menyerupai konsep kelas bumi pada pengenaan PBB di Indonesia. Pembayaran pajak

atas tanah idle tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan pemilik lahan, walaupun lahan tersebut

dihuni oleh pihak lain (misalnya lahan di kawasan kumuh yang menjadi tempat tinggal sementara

dari kaum miskin, seperti pengemis maupun gelandangan). Dalam implementasinya, pengenaan

pajak atas tanah idle tersebut kurang berhasil. Pada tahun 2009, penerimaan pajak properti

berkontribusi 1% terhadap penerimaan pajak nasional dan kontribusi penerimaan dari pajak atas

tanah idle relatif sangat sedikit. Masyarakat Republik Demokratik Kongo berkeyakinan bahwa

tanah merupakan warisan nenek moyang dan secara fundamental merupakan bagian dari hidup

mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa secara politis kebijakan pajak atas tanah idle cukup sensitif untuk diimplementasikan.

4. Filipina

Pengenaan pajak atas tanah idle di Filipina diatur dalam Local Government Code (LGC)

tahun 1991. Pajak dikenakan atas objek lahan idle dan menjadi penerimaan Local Government

Unit (LGU) tempat yurisdiksi lahan idle tersebut terletak. Karena lahan idle merupakan aset tidak

bergerak (immovable property) yang disasar dalam pemungutan pajak ini, pendataan lokasi lahan

menjadi hal yang krusial. Dalam rangka menetapkan nilai lahan, petugas pajak harus secara

kontinyu memperbaharui catatan nilai dari seluruh tanah idle beserta data pemiliknya di wilayah

yurisdiksi yang bersangkutan. Dalam praktiknya, terdapat tambahan pajak atas tanah idle dengan

tarif ad valorem kurang dari 5%. Tujuan pengenaan pajak tersebut adalah untuk: (a) meningkatkan

penerimaan LGU dan menstimulus pertumbuhan ekonomi daerah setempat, (b) optimalisasi

produktivitas atas lahan-lahan idle sesuai prinsip highest and best use, (c) mencegah spekulasi,

Page 53: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

45

dan (d) mengurangi jumlah pemukiman kumuh. Pajak atas tanah idle tersebut dipungut secara

tahunan berdasarkan nilai taksiran lahan yang dibiarkan idle (tidak ditanami maupun tidak

dibangun atau dikembangkan) oleh pemilik properti.

Di Filipina, terdapat empat belas LGU yang menerapkan pajak atas tanah idle tersebut,

yakni lima provinsi, delapan kota, dan satu kabupaten. Suatu lahan dikategorikan idle dan menjadi

objek pajak apabila memiliki kondisi-kondisi tertentu sebagai berikut: (a) tanah selain pertanian

yang berlokasi di kota atau kabupaten lebih dari 1.000 m2 dan setengah dari luas lahan dibiarkan

tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan, (b) tanah pertanian atau agraris lebih

dari satu hektar yang layak dijadikan tempat bercocok tanam maupun pembudidayaan ikan, namun

setengah dari luas lahan tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan. Namun

demikian, lahan yang terdapat tumbuh-tumbuhan, secara alamiah-permanen maupun sengaja

ditanami minimal 50 pohon per hektar, serta lahan untuk penggembalaan ternak, tidak termasuk

pengertian tanah idle yang dipajaki. Pengecualian pengenaan pajak juga dilakukan terhadap objek

lahan yang mengalami kondisi tertentu, seperti keadaan force majeur, terjadi kerusuhan sosial,

maupun bencana alam. Dalam kondisi tersebut, pemilik lahan tidak diwajibkan untuk

mengembangkan maupun menanami lahan tersebut.

Pemerintah Filipina memanfaatkan media massa dalam melakukan sosialisasi jenis pajak.

Sebelum pajak atas tanah idle tersebut diterapkan, pemerintah melakukan sosialisasi terlebih

dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar (koran) lokal selama tiga hari berturut-turut.

Apabila tidak terdapat koran lokal di daerah setempat, pengumuman mengenai rencana pengenaan

pajak atas tanah idle tersebut ditempatkan pada papan pengumuman di lokasi strategis pusat kota.

5. Meksiko (Arujo de Larangeira, 2003)

Di Mexcali, Baja California, pengenaan pajak atas tanah idle dilakukan dengan tujuan

utama untuk menstimulus pembangunan dan pengembangan kota. Hal tersebut memotivasi para

pemilik lahan idle untuk mendaftarkan lahan yang dimiliki untuk menghindari pembayaran pajak

dengan melakukan pembangunan pada lahan yang dimiliki. Di sisi lain, banyak para pemilik lahan

cenderung memilih untuk membayar pajak dibandingkan melakukan pembangunan atau

pengembangan lahan. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya kenaikan penerimaan pajak properti

yang mencapai 12 kali lipat. Berbeda dengan beberapa pemerintah kota lainnya di Meksiko,

pemerintah kota tersebut tidak mengenakan pajak atas tanah idle, namun memilih menerapkan

Page 54: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

46

alternatif kebijakan fiskal lainnya untuk mendorong pembangunan lahan idle, seperti pemberian

subsidi untuk pembelian dan pengambil-alihan lahan idle tersebut.

6. Inggris (Adams, Disbury et al 2012)

Pemerintah Inggris belakangan ini menggalakkan kembali penggunaan lahan idle untuk

tujuan pembangunan perumahan. Melalui dokumen Urban White Paper, pemerintah Inggris

memperkenalkan program terkait penyediaan perumahan akibat proses urbanisasi antarnegara atau

antarwilayah. Pada praktiknya, pemerintah Inggris tidak memanfaatkan instrumen pajak atas tanah

idle (yang biasa disebut sebagai “stick” approach) untuk mengembangkan lahan idle, melainkan

dilakukan pengambilalihan dan pembelian lahan-lahan ‘tidur’ tersebut oleh pemerintah setempat.

Sebagaimana diketahui bahwa terdapatnya lahan ‘tidur’ di Inggris bukan disebabkan oleh

spekulasi, melainkan karena terlalu tingginya biaya pengembangan. Dengan demikian, pemerintah

setempat diberi wewenang mengambil alih fungsi private goods tersebut menjadi semi public

goods.

7. Amerika Serikat

Dalam beberapa dekade terakhir, diperkirakan terdapat sekitar 20% lahan idle di kota-kota

di Amerika Serikat dengan jumlah penduduk lebih dari 100.000 orang. Terdapat korelasi terbalik

antara tingkat pertumbuhan penduduk di suatu kota dan jumlah lahan idle di kawasan bisnis

(Central Business District atau CBD) di pusat kota tersebut. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan

penduduk suatu kota, maka semakin rendah tingkat lahan idle. Sebaliknya, semakin rendah tingkat

pertumbuhan penduduk suatu kota, maka semakin tinggi tingkat lahan idle di kawasan CBD

tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi berakibat pada

tingginya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Walaupun terdapat kecenderungan bahwa

penyebaran penduduk di suatu kota cenderung merata dan tidak lagi teraglomerasi atau berkumpul

di pusat kota.

Hal tersebut berbeda dengan kondisi satu hingga dua abad silam, sebagaimana pernah

terjadi di Manhattan, New York. Pada tahun 1820, dilakukan pembukaan Kanal Erie (Erie Canal)

dari Albany di Sungai Hudson ke Buffalo, Danau Erie sejauh 363 mil. Pembukaan Kanal Erie

tersebut menjadikan Manhattan tumbuh menjadi Kawasan Pusat Bisnis di New York dengan

dibangunnya kantor dan pabrik untuk tujuan ekspor ke kawasan Eropa serta meningkatnya proses

Page 55: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

47

urbanisasi selama abad 19 dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 6% per tahun. Atack dan

Margo (1996 dalam Haas dan Kopanyi, 2017) melakukan studi korelasi antara harga tanah dan

lokasi tanah di kawasan Manhattan. Hasil studi menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat

urbanisasi, maka semakin tinggi harga tanah dan semakin tinggi tingkat penggunaan lahan idle di

kawasan tersebut, terutama terkait harga tanah dan tingkat kegunaan tanah di pusat kota. Hal ini

terjadi karena penduduk cenderung bermukim di kawasan yang berdekatan dengan tempat kerja

di kawasan bisnis tersebut dalam rangka menghemat biaya transportasi dan lama waktu perjalanan.

Atack dan Margo (1996 dalam Haas dan Kopanyi, 2017) mencatat bahwa antara tahun 1860-1870

terjadi kenaikan harga tanah hingga delapan kali lipat di kawasan bisnis Manhattan. Seorang

spekulan tanah, yakni Jacob Astor, membeli beberapa bidang tanah di kawasan Manhattan pada

tahun 1810 untuk mengantisipasi pembukaan Kanal Erie yang diperkirakan terjadi di tahun 1820.

Pada tahun 1840, Astor menjadi salah satu orang terkaya di Amerika Serikat karena peningkatan

harga tanah secara signifikan. Pada akhirnya perkembangan harga tanah di kawasan Manhattan

tidak lagi meningkat pesat di awal abad 20 seiring berkembangnya moda transportasi antarkota

dalam bentuk street car (tram) sejak tahun 1870. Akibatnya penduduk tidak lagi memilih tinggal

di pusat kota dan menyebar di berbagai penjuru kota karena kemudahan akses ke tempat kerja

dengan adanya alterlatif alat transportasi modern tersebut.

Masing-masing negara bagian di Amerika Serikat diberikan kewenangan untuk

menentukan pajak atas tanah idle yang terletak di wilayah yurisdiksinya, termasuk menentukan

nilai dasar pengenaan pajak serta tingkat tarif pajak. Sebagai contoh, negara bagian Pennsylvania

telah relatif lama menerapkan pemajakan nilai tanah, termasuk pemajakan atas tanah idle, yakni

sejak awal abad 19. Akan tetapi terdapat kendala politis pada implementasinya mengingat tidak

adanya transparansi dalam menentukan tarif serta tidak akuratnya penilaian wajar atas tanah. Di

Washington DC, terdapat beberapa lokasi bangunan rusak yang sengaja dikosongkan, seperti

bangunan kantor dan apartemen. Melihat kondisi tersebut, pengembang membongkar bangunan

tersebut dan menunda melakukan pendirian bangunan baru. Oleh karena itu, bangunan tersebut

juga dikategorikan sebagai lahan idle dan dikenakan pajak tambahan dengan tarif 10% dari

taksiran harga jual.

Khusus negara bagian Seattle, terdapat banyak lahan kosong yang difungsikan sebagai

lahan parkir (parking lot). Lahan parkir tersebut seyogianya dibutuhkan namun tidak

mencerminkan nilai guna terbaik. Atas lahan parkir tersebut dikenakan pajak tambahan sebesar

Page 56: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

48

12,5% sejak tahun 2010 yang akan dinaikkan menjadi 17,5% pada tahun 2017. Di Honolulu

Hawaii, penerapan pajak atas tanah idle justru menjadi pemicu timbulnya kondisi construction

boom. Warga kota melakukan protes dan menyalahkan pengenaan pajak tersebut sebagai sumber

masalah, walau diketahui kemudian bahwa sumber permasalahan adalah perencanaan tata kota

yang buruk. Akhirnya, walau pajak atas tanah idle diterapkan di sebagian besar kota di Amerika

Serikat, terdapat beberapa lahan yang dikecualikan dari pengenaan pajak atas lahan idle tersebut.

Contohnya, kawasan yang dijadikan taman nasional, tanah pertanian, maupun hutan, sama sekali

bebas dari pengenaan pajak.

8. Korea Selatan

Pemerintah Korea Selatan mengenakan pajak tambahan atas lahan idle dengan tarif

bervariasi sesuai lama waktu lahan tersebut dibiarkan idle. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

tinggi dan pertambahan jumlah penduduk yang relatif cepat di kota-kota besar, pajak atas tanah

idle dikenakan untuk mencegah upaya spekulasi pada masyarakat dengan tingkat tarif pajak yang

cenderung meningkat sesuai lama waktu lahan tersebut dibiarkan idle, yaitu dengan variasi tarif

2% untuk masa idle sampai dengan 2 tahun, tarif 5% untuk masa idle 2-3 tahun, tarif 7% untuk

masa idle lebih dari 3 tahun, tarif 8% untuk masa idle lebih dari 5 tahun, tarif 9% untuk masa idle

lebih dari 7 tahun, serta tarif 10% untuk masa idle lebih dari 10 tahun.

9. Kampala, Uganda

Pengenaan pajak atas tanah idle di Kampala, Uganda masih merupakan suatu wacana.

Namun, para konseptor pajak sudah mulai merancang desain pajak atas lahan idle yang disebut

dengan vacant land tax. Seperti kebanyakan kota-kota besar di negara berkembang, Kampala juga

memiliki ciri ekonomi lokal yang kuat dan laju pertumbuhan penduduk cepat, dan terindikasi

maraknya praktik pembiaran lahan kosong oleh para pemilik sekaligus spekulan tanah. Dengan

diterapkannya vacant land tax, diharapkan penggunaan lahan kosong tersebut lebih optimal dan

penerimaan pajak dari sektor properti meningkat.

Terdapat dua metode penentuan harga tanah yang menjadi perhatian konseptor pajak dalam

mendesain vacant land tax. Pertama, metode proxy of land sales, yakni penggunaan sampel data-

data harga jual tanah di kota, dan apabila harga jual tanah tidak tersedia, nilai sewa lahan akan

digunakan dan dikapitalisasi untuk menaksir harga jual tanah. Data-data nilai tanah selanjutnya

Page 57: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

49

akan diolah melalui program komputer (semacam program SISMIOP atau Sistem Informasi dan

Manajemen Objek Pajak dan program smart-map Sistem Informasi Geografis yang diterapkan

pada PBB di Indonesia) dan diinterpolasi untuk menentukan nilai wajar dari lahan kosong tersebut.

Kedua, metode estimasi kegunaan next-best. Sebagaimana diterapkan di beberapa negara

maju, estimasi basis pajak atas lahan idle dilakukan dengan cara mengidentifikasi “properti built-

up yang dapat dibandingkan” (comparable built-up properties) untuk mendapatkan kemungkinan

kegunaan terbaik (best possible use) dari lahan kosong, yakni bangunan terbaik yang sebaiknya

didirikan dan dikembangkan oleh seorang investor di zona nilai tanah yang sama. Sebagai contoh,

jika pada suatu lahan idle idealnya dapat dibangun suatu gedung sepuluh lantai, pengenaan pajak

ekstra atas lahan idle tersebut dihitung dengan tingkat persentase dari nilai gunanya.

Pengenaan pajak atas tanah idle sebaiknya dilakukan setelah mempelajari kondisi sosial

dan ekonomi masyarakat setempat. Transaksi jual-beli lahan idle yang sering terjadi dalam kurun

waktu singkat di suatu wilayah dengan kondisi ekonomi lokal yang kuat dan laju pertambahan

penduduk yang cepat, mengindikasikan dilakukannya tindakan spekulasi tanah. Sementara, lahan

idle di wilayah dengan kondisi ekonomi lokal stagnan dan berkurangnya jumlah penduduk,

mengindikasikan bahwa terdapatnya tanah idle di kawasan tersebut bukan disebabkan oleh

spekulasi melainkan oleh mahalnya biaya pembangunan dan pengembangan. Oleh karena itu,

pemerintah setempat harus berperan untuk memberikan subsidi atau mengambil alih tanggung

jawab untuk memanfaatkan lahan idle tersebut.

Selain kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat yang harus diperhatikan, terdapat

tiga hal utama lain yang juga harus diperhatikan konseptor pajak dalam mendesain bentuk pajak

atas tanah idle, yakni: (a) penentuan basis pajak, (b) pendefinisian lahan idle, dan (c) penentuan

tingkat tarif. Pengalaman negara-negara di dunia dalam menerapkan pajak atas tanah idle dapat

dipelajari dan dicari hal-hal yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Untuk penentuan

basis pajak, pendataan objek dan subjek pajak menjadi hal krusial, selain metode pemajakan dan

penghitungan nilai tanah. Adapun untuk pendefinisian atau penentuan suatu lahan dikategorikan

sebagai idle, harus diuraikan secara jelas dalam Undang-undang atau peraturan pelaksanaannya

untuk menghindari multi intepretasi definisi lahan yang dikatakan bersifat idle. Untuk penentuan

tingkat tarif, idealnya tingkat tarif diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat mendistorsi

pemilik tanah untuk membangun dan mengembangkan lahan idle yang dimiliki. Dengan tingkat

tarif yang cenderung terlalu rendah, pemilik tanah yang bertindak sebagai spekulan akan

Page 58: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

50

memperhitungkan untung-rugi antara menjual tanah yang dimiliki sekarang atau kemudian hari.

Dengan demikian, pengenaan pajak atas tanah idle tidak berdampak apapun terhadap upaya

peningkatan produktivitas atas tanah sebagaimana diharapkan. Pada akhirnya, isu ketimpangan

sosial atas kepemilikan tanah yang diharapkan dapat terurai dengan adanya kebijakan ini akan sulit

untuk dicapai.

Page 59: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

51

BAB 4

EVALUASI KEBIJAKAN PAJAK ATAS TANAH DI INDONESIA:

DISKURSUS ANTARA PENGUATAN LOCAL TAXING POWER, PENERIMAAN

NEGARA DAN UPAYA MENGURANGI KETIMPANGAN SOSIAL

4.1 Kebijakan Basis Pemajakan atas Tanah di Indonesia

Kebijakan pajak atas tanah di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, baik yang dipungut

oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (kabupaten/kota). Jenis pajak yang dipungut

oleh pemerintah pusat adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPnBM, PPh Pasal 22 dan PPh

Pasal 4 ayat (2), sementara jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah terdiri dari PBB P2

dan BPHTB yang masing-masing memiliki dasar pemungutan atau basis pemajakan (tax base)

berbeda.

Basis pemajakan adalah dasar pengenaan pajak yang diterapkan terhadap subjek pajak

(perseorangan atau badan) dan digunakan bersama-sama dengan tarif untuk menentukan jumlah

pajak terutang (tax formula). Secara umum terdapat tiga jenis basis pemajakan yang digunakan

dalam menghitung beban pajak, yakni (1) basis penghasilan (income tax base) yang diterima

subjek pajak; (2) basis pengeluaran/konsumsi (expenditure/consumption tax base) yang dilakukan

subjek pajak; serta (3) basis kekayaan (wealth base tax) yang dimiliki subjek pajak.

Penggunaan tiga basis pemajakan tersebut juga diterapkan pada kebijakan pajak atas tanah

dan bangunan di Indonesia. Pada basis pemajakan atas penghasilan, atas penghasilan yang diterima

subjek pajak dari pengalihan, penyewaan, maupun penilaian kembali (revaluasi) tanah dan/atau

bangunan dikenakan pajak penghasilan.

Pada basis pemajakan atas konsumsi, terdapat beberapa jenis pajak yang dikenakan atas

tanah dan/atau bangunan yang diperoleh subjek pajak, yakni Pajak Pertambahan Nilai, Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, dan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian Barang yang

tergolong sangat mewah bagi rumah atau bangunan yang termasuk dalam kategori sangat mewah

sebagai pungutan pajak tambahan.

Kemudian, pada basis pemajakan atas kekayaan, terdapat Pajak Bumi dan Bangunan

Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2); Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan,

dan Pertambangan (PBB P3) yang dikenakan atas tanah dan/atau bangunan yang dimiliki oleh

subjek pajak serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) atas transfer

kepemilikan atas tanah dan bangunan (tax on assets transfer). Adapun, ikhtisar basis pemajakan

Page 60: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

52

yang diterapkan pada kebijakan pajak atas tanah dan bangunan di atas tersaji pada tabel berikut

ini:

Tabel 4.1 Basis Pemajakan atas Tanah dan Bangunan di Indonesia

Basis Pemajakan

Penghasilan Konsumsi Kekayaan

- PPh Final atas pengalihan, persewaan,

maupun penilaian kembali (revaluasi)

tanah dan/atau bangunan

- PPN (atas

bangunan)

- PPn BM (atas

bangunan)

- PPh Pasal 22 (atas

bangunan sangat

mewah)

- PBB P2 (atas

tanah dan

bangunan)

- PBB P3 (atas

tanah dan

kekayaan alam)

- BPHTB (atas

tanah dan

bangunan)

Sumber: diolah peneliti dari UU PPh, PPN dan PPnBM serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

4.2 Pemajakan Tanah dan Bangunan Berbasis Penghasilan

Pajak Penghasilan Final atas Pengalihan Tanah dan/atau Bangunan

Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun

2016, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari (a) pengalihan

hak atas tanah dan/atau bangunan; atau (b) perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau

bangunan beserta perubahannya, terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Yang dimaksud

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang diterima

atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-

menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara

para pihak.

Adapun yang dimaksud penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau

bangunan beserta perubahannya adalah penghasilan dari: (a) pihak penjual yang namanya

tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani; atau (b)

pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya

perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli

dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Page 61: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

53

Tarif PPh Final

Terdapat beberapa jenis tarif yang dikenakan sesuai kondisi pengalihan hak atas tanah/atau

bangunan. Besarnya tarif PPh Final dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersaji pada

tabel berikut ini:

Tabel 4.2. Kondisi Pengalihan dan Tarif PPh Final

Kondisi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Tarif PPh Final

Pengalihan selain pengalihan Rumah Sederhana & Rumah Sangat

Sederhana yang dilakukan pengusaha yang usaha pokoknya melakukan

pengalihan tanah dan/atau bangunan

2,5% dari jumlah

bruto nilai

pengalihan

Pengalihan Rumah Sederhana & Rumah Sangat Sederhana yang dilakukan

pengusaha yang usaha pokoknya melakukan pengalihan tanah dan/atau

bangunan

1 % dari jumlah

bruto nilai

pengalihan

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan

usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau

badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala

daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur

mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

0 % dari jumlah

bruto nilai

pengalihan

Sumber: diolah peneliti

Mengacu pada regulasi di atas, pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap Rumah

Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang memiliki kriteria tertentu yang mendapat fasilitas

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yakni: (a) luas bangunan tidak melebihi 36

m2 (tiga puluh enam meter persegi); (b) harga jual tidak melebihi batasan harga jual dengan

ketentuan bahwa batasan harga jual didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian

sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-113/PMK.03/2014, (c) merupakan rumah pertama

yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki; (d) luas tanah kurang dari 60 m2 (enam puluh meter

persegi); dan (e) perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi

maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana

tujuan insentif pajak secara umum, insentif ini juga diberikan untuk meringankan beban pajak

Page 62: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

54

masyarakat, dalam hal ini masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan insentif ini juga

menegaskan keberpihakan pemerintah pada masyarakat sekaligus membuka kesempatan yang

lebih luas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primernya. Dengan kata lain, kebijakan ini

juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Nilai Pengalihan sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: (a) nilai berdasarkan keputusan

pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah; (b) nilai menurut risalah

lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad

Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya); (c) nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh,

dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang

dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf

b; (d) nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain

pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b; atau (e) nilai yang seharusnya

diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau

cara lain yang disepakati antara para pihak.

Sedangkan, besarnya pajak penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual

beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya berdasarkan tarif dari jumlah bruto, yaitu:

(a) nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau

bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau (b) nilai

yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan

melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Pelunasan Pajak dan Pengecualian

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan

hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyetor sendiri pajak penghasilan yang terutang ke

bank/pos persepsi sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Bagi orang pribadi

atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang

Page 63: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

55

menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pajak

penghasilan terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan.

Pajak penghasilan dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka,

bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan

dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pajak penghasilan yang terutang

wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat

tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. Pejabat yang

berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi

atau badan dimaksud bahwa kewajiban telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran

Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang

bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Selanjutnya, pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau

risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan,

kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur

Jenderal Pajak. Pejabat yang berwenang meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau

pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun, orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada

pemerintah, dipungut pajak penghasilan oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan

pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar. Bendahara pemerintah atau pejabat

wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke bank/pos persepsi sebelum melakukan

pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar

menukar dilaksanakan. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak

atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi

atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar. Bendahara

pemerintah atau pejabat wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Di sisi lain, pelunasan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perubahan

perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri

Page 64: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

56

oleh orang pribadi atau badan yang merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam

perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian

pengikatan jual beli tersebut. Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum

perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban telah dipenuhi

dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang

disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh

Kantor Pelayanan Pajak. Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau

adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan

kepada Direktur Jenderal Pajak.

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak penghasilan adalah:

(a) orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang

melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya

kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang

dipecah-pecah;

(b) orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara

hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,

badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang

menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan peraturan

Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

(c) badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah

kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau

orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

(d) pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;

(e) badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka

penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan

untuk menggunakan nilai buku;

Page 65: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

57

(f) orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka

melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang

milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau

(g) orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta

berupa tanah dan/atau bangunan.

PPh Final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan

tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung

perkantoran, rumah kantor,toko, rumah toko, gudang dan industri, pajak penghasilan wajib dibayar

sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai pemotong pajak, wajib dipotong pajak

penghasilan oleh penyewa. Dalam hal penyewa bukan sebagai pemotong pajak maka pajak

penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima

atau memperoleh penghasilan.Yang dimaksud dengan bukan sebagai pemotong pajak adalah

orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha dan tidak melakukan pekerjaan bebas.

Besarnya pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri adalah sebesar 10% (sepuluh

persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.

Pajak Penghasilan atas Revaluasi Aktiva Tetap

Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-79/PMK.03/2008, subjek

pajak adalah perusahaan (Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap) yang

melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah

memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak

dilakukannya penilaian kembali; Objek pajaknya adalah penilaian kembali aktiva tetap yang

dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud (termasuk tanah yang berstatus hak milik atau

hak guna bangunan), atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau

berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang merupakan objek pajak. Tarif pajaknya adalah sebesar 10% dari selisih lebih

penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal dan bersifat final.

Page 66: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

58

Kebijakan PPh atas Tanah dan Bangunan di Indonesia: Kebijakan Pro Revenue Productivity

Penghasilan (income) merupakan konsep yang relatif tidak sederhana. Sampai saat ini

belum terdapat definisi penghasilan yang dapat diterima secara universal dan mampu memenuhi

semua kebutuhan. Salah satu konsep penghasilan yang paling banyak mempengaruhi tax policy di

berbagai negara adalah konsep yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (atau dikenal

dengan SHS Concept) karena dianggap mencerminkan keadilan sekaligus aplicable. Konsep ini

pula yang dianut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni:

“Yang menjadi Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis untuk

yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia

yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan Wajib Pajak yang

bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”

Mengacu pada definisi penghasilan di atas, secara konseptual maupun berdasarkan

regulasi pada Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini, objek Pajak Penghasilan

adalah tambahan kemampuan ekonomis. Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (taxable

income) yang menjadi dasar pemajakan penghasilan, total income (gross revenue) harus dikurangi

dengan pengurang-pengurang yang diperbolehkan (tax reliefs). Oleh karena itu, dalam menghitung

taxable income harus: a) diperkenankannya deducble expenses sebagai biaya 3M; dan, b) adanya

personal exemption bagi WP Orang Pribadi (Rosdiana dan Irianto, 2013: 171).

Penghasilan netto sebagai dasar penghitungan Penghasilan Kena Pajak (taxable income)

secara konseptual dianggap memiliki keunggulan karena mencerminkan pemenuhan asas keadilan

(equity) sekaligus merupakan first best theory. Mengacu pada prinsip ini, wajib pajak dibebankan

pajak sesuai dengan kemampuan untuk membayar (abilty to pay principle). Prinsip equity

merupakan salah satu asas pemungutan pajak yang merepresentasikan kepentingan wajib

pajak/masyarakat (Rosdiana dan Irianto, 2013).

Kebijakan dan regulasi Pajak Penghasilan (PPh) atas Tanah dan Bangunan di Indonesia

yang dipungut oleh pemerintah pusat, seperti PPh Pasal 4 ayat (2) maupun PPh Final atas revalusi

aktiva tetap menggunakan basis pengenaan pajak berupa penghasilan bruto (gross revenue) yang

diperoleh dari hasil penjualan aktiva tetap (dalam hal ini tanah/bangunan). Dengan basis ini, wajib

pajak yang memiliki kemampuan membayar berbeda dapat memikul beban pajak yang sama yang

disebut dengan Schedular taxation. Berbeda dengan Global Taxation yang memperhitungkan

semua jenis penghasilan dan memperhitungkaan pajak penghasilan dengan basis penghasilan

Page 67: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

59

bersih (netto), scheduler taxation menggunakan basis bruto (gross) dengan tarif yang berbeda-

beda atas jenis-jenis penghasilan tertentu. Pada skema ini, Penghasilan Kena Pajak dihitung

menggunakan basis Gross Income atau Deemed Profit/Deemed Taxable Income, karena itu tidak

terdapat tax reliefs (Rosdiana dan Irianto, 2013). Pajak dengan skema schedular taxation bersifat

final, artinya tidak diperhitungkan dalam penghitungan beban pajak penghasilan wajib pajak

secara keseluruhan pada akhir tahun pajak dan dilakukan dengan mekanisme

pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga (withholding tax system).

Basis gross yang dipergunakan pada skema ini memiliki kelemahan yaitu tidak

mencerminkan kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak (ability to pay) yang merupakan

salah satu filosofi dalam mengukur keadilan pajak. Namun di sisi lain, sebagai second base theory,

jenis skema pemajakan ini memiliki keunggulan karena mendukung optimalisasi penerimaan

negara (revenue productivity principle) dan mendukung prinsip kesederhanaan administrasi (ease

of administration). Meskipun lazim dikenal dalam pemungutan pajak, skema ini bukan merupakan

pilihan ideal.

Secara umum kebijakan PPh atas penjualan tanah/bangunan yang berlaku di Indonesia

bertujuan untuk mendorong penerimaan negara. Kebijakan ini secara sadar atau tidak, didesain

tanpa berpretensi melakukan fungsi pengaturan secara khusus untuk mendistribusikan

kepemilikan tanah secara lebih merata atau mendorong pemanfaatan tanah secara optimal agar

memberikan dampak yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

4.3 Pemajakan Tanah dan Bangunan dengan Basis Konsumsi

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN atas Penyerahan Tanah dan Bangunan

Atas penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh subjek pajak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Yang dimaksud subjek pajak adalah Pengusaha

Kena Pajak atau PKP yang dalam lingkungan usaha dan pekerjaannya melakukan penyerahan hak

atas tanah dan/atau bangunan dengan cara memungut PPN dari pembeli tanah dan/atau bangunan.

Tarif PPN adalah sebesar 10% × Nilai Penyerahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Namun demikian, terdapat fasilitas PPN Dibebaskan yang diberikan kepada barang-barang

tertentu yang bersifat strategis, antara lain rumah susun sederhana milik atau rusunami, yakni

bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat

Page 68: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

60

hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, secara bersatu dengan unit hunian

maupun terpisah dengan penggunaan komunal. Fasilitas PPN Dibebaskan atas perolehan

rusunami, antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-269/PMK.03/2015,

diberikan atas: (a) unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui

kredit dengan luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan

tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); (b) pembangunannya mengacu kepada

peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan

perumahan rakyat; (c) merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai

tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang rumah susun; dan (d) batasan harga jualnya tertentu

(yakni, tidak melebihi Rp 250.000.000,00) serta diperuntukkan bagi orang pribadi dengan

penghasilan tertentu (yakni, tidak melebihi Rp 7.000.000,00 per bulan).

Selain rusunami, fasilitas PPN Dibebaskan juga diberikan untuk Rumah Sederhana dan

Rumah Sangat Sederhana yang memenuhi ketentuan: (a) luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga

puluh enam meter persegi); (b) harga jual tidak melebihi batasan harga jual dengan ketentuan

bahwa batasan harga jual didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian

sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-113/PMK.03/2014, (c) merupakan rumah pertama

yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam

jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki; (d) luas tanah tidak kurang dari 60 m2 (enam puluh

meter persegi); dan (e) perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit

bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai (disebut PPN KMS)

sesuai ketentuan Pasal 16 C UU PPN. PPN KMS terutang bagi orang pribadi atau badan yang

melakukan kegiatan membangun sendiri, yakni kegiatan membangun bangunan yang dilakukan

tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan

sendiri atau digunakan pihak lain. Yang dimaksud bangunan adalah satu atau lebih konstruksi

teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan

dengan kriteria: (a) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan

Page 69: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

61

sejenis, dan/atau baja; (b) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan (c)

luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). PPN KMS dihitung dengan cara

mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak, yakni 20% (dua puluh

persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun

bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah (Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-

163/03/2012).

Saat terutangnya PPN KMS dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan

bangunan selesai. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap

merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut

tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun

sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai

terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen)

dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan

dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.

PPN Pasal 16 D

PPN Pasal 16D dikenakan atas objek pajak berupa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)

berupa aktiva (dalam hal ini tanah dan/atau bangunan) yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat

dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU PPN yakni pengalihan

BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Subjek pajaknya adalah

PKP yang melakukan penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan, dengan tarif pajak sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

a. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Atas beberapa barang yang dikategorikan mewah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPn BM). PPn BM dikenakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong

mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah

pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang

tergolong mewah adalah: (a) barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok, (b) barang

yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, (c) barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh

masyarakat berpenghasilan tinggi, dan (d) barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

Page 70: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

62

Pengenaan PPn BM tidak memperhatikan bahwa suatu bagian dari BKP tersebut telah dikenai atau

tidak dikenai PPn BM pada transaksi sebelumnya.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-35/PMK.010/2017, atas penyerahan

rumah mewah dan apartemen mewah dikenakan PPN BM dengan tarif 10%. Yang dimaksud

rumah mewah adalah rumah dan town house dari jenis non strata title dengan harga jual sebesar

Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) atau lebih; sedangkan, yang dimaksud apartemen

mewah adalah apartemen, kondominium, dan town house dari jenis strata title dengan harga jual

Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) atau lebih.

b. Pajak Penghasilan atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-90/PMK.03/2015, badan-badan tertentu

yang melakukan penjualan barang yang yang tergolong sangat mewah diwajibkan memungut

Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif 5% dari harga jual atau harga yang dibayarkan pihak

pembeli kepada pihak penjual. Barang yang tergolong sangat mewah tersebut, diantaranya: (a)

rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari

Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2; dan (b) apartemen,

kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari

Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2.

Dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan adalah pembelian barang yang tergolong

sangat mewah yang dilakukan oleh bukan subjek pajak, seperti kantor perwakilan negara asing

dan badan-badan internasional sesuai asas timbal balik. Dan, pengecualian dari pemungutan pajak

penghasilan dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan.

Pemajakan atas Tanah Berbasis Konsumsi di Indonesia: Instrument Pendorong Revenue

Productivity

PPN atau Value Added Tax merupakan jenis pajak yang memiliki legal character pajak

penjualan dari pajak penjualan yang dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak langsung atas

konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption) (Rosdiana dan Irianto, 2013).

Bersifat umum, maksudnya secara umum dikenakan atas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh

masyarakat, kecuali barang atau jasa tertentu. Karakter ini berbeda dengan cukai (excise) yang

memang didesain secara khusus untuk dipungut atas barang atau jasa tertentu yang dianggap

Page 71: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

63

menimbulkan eskternalitas negatif. PPN yang berlaku di Indonesia memiliki singlerate sebesar

10%.

Secara umum, PPN didesain dengan satu kepentingan yakni mendorong penerimaan negara

sebagaimana terjadi pada berbagai negara. PPN dipungut pada transaksi penjualan rumah, kecuali

yang memiliki kriteria tertentu dan mendapat pembebasan PPN. PPnBM juga dipungut atas rumah

dengan kategori sangat mewah dan tidak bersinggungan dengan tujuan untuk melakukan

pemerataan penguasaan lahan.

4.4 Pemajakan Tanah dan Bangunan Basis Kekayaan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)

Objek dan Subjek PBB P2

Objek PBB P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan

usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud kawasan adalah semua tanah

dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di

tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan, dan tanah

yang menjadi wilayah usaha pertambangan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: (a) jalan lingkungan yang terletak dalam

suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu

kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; (b) jalan tol; (c) kolam renang; (d) pagar mewah;

(e) tempat olahraga; (f) galangan kapal, dermaga; (g) taman mewah; (h) tempat

penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan (i) menara.

Sedangkan, Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB P2 adalah objek pajak yang: (a)

digunakan oleh pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintahan; (b) digunakan semata-mata

untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; Adapun, yang

dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak

tersebut diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk

mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan

Page 72: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

64

kebudayaan nasional tersebut; (c) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang

sejenis dengan itu; (d) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,

tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

(e) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

dan (f) digunakan oleh badan/atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan

peraturan Menteri Keuangan.

Adapun, Subjek PBB P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai

suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,

dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib Pajak PBB P2 adalah orang pribadi ataubadan

yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi,

dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Dasar Pengenaan dan Tarif

Dasar pengenaan PBB P2 adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang ditetapkan setiap 3

(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan

perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah.Untuk

Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang

cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Penetapan NJOP dapat

dilakukan dengan cara: (a) perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, yakni suatu

pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya

dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah

diketahui harga jualnya; (b) nilai perolehan baru, yakni suatu pendekatan/metode penentuan nilai

jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan

kondisi pisik objek tersebut; (c) nilai jual pengganti, yakni suatu pendekatan/metode penentuan

nilai jual suatu objek pajak berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Sedangkan, tarif PBB P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dan

ditetapkan dengan peraturan daerah. Besaran pokok PBB P2 yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak

Kena Pajak (NJOPTKP).Saat menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak

pada tanggal 1 Januari. Tempat pajak terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek

Page 73: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

65

pajak. Adapun, besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh

juta rupiah) untuk setiap wajib pajak yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Nilai jual untuk

bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena

Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Contoh:

Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:

- Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,-/m2;

- Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,-/m2;

- Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,-/m2;

- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,-/m2.

Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,- = Rp240.000.000,-

2. NJOP Bangunan

a. Rumah dan garasi = 400 x Rp 350.000,- = Rp140.000.000,-

b. Taman = 200 x Rp50.000,- = Rp 10.000.000,-

c. Pagar = (120 x 1,5) x Rp175.000,- = Rp 31.500.000,-

----------------------- +

Total NJOP Bangunan = Rp181.500.000,-

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,-

------------------------ -

Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,-

------------------------ +

3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000,-

4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%.

5. PBB terutang: 0,2% x Rp 411.500.000,- = Rp823.000,-

Page 74: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

66

Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3)

Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) tidak pernah menyebut istilah

sektor PBB (Supriyanto, 2017). Istilah sektor tersebut timbul pertama kali dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 74 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk

Penghitungan PBB. Selanjutnya, makna sektor semakin ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), tepatnya pada Pasal 77

ayat (1) yang berbunyi “Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan

yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan

yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.”

Istilah sektor terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010

tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan PBB. Objek

PBB dibedakan menjadi lima sektor, yaitu Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor

Pertambangan, serta Sektor Perdesaan dan Sektor Perkotaan. Kemudian, ditambah satu lagi, yakni

Sektor Lainnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang

Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB. Selanjutnya,

untuk Sektor Pertambangan dibedakan lagi menjadi: subsektor pertambangan mineral dan

batubara (minerba), subsektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi, serta subsektor

pertambangan panas bumi. Sementara itu, Sektor Lainnya juga dibedakan menjadi: subsektor

usaha perikanan tangkap, subsektor usaha budidaya perikanan, subsektor jaringan pipa, subsektor

jaringan kabel telekomunikasi, subsektor jaringan kabel listrik, dan subsektor ruas jalan tol.

Ikhtisar sektor-sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.3:

Page 75: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

67

Tabel 4.3 Ikhtisar Sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya

No Jenis PBB Objek PBB Sirkuler

1 Perkebunan - Permukaan Bumi

- Bangunan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

31/PJ/2014

2 Perhutanan - Permukaan Bumi

- Bangunan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

42/PJ/2015

3 Pertambangan Minerba - Permukaan Bumi

- Tubuh Bumi

- Bangunan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

47/PJ/2015

4 Pertambangan Minyak bumi,

gas bumi, dan panas bumi

- Permukaan Bumi

- Tubuh Bumi

- Bangunan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

45/PJ/2013

5 Sektor Lainnya - Permukaan Bumi

dan.atau Bangunan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-

20/PJ/2015

Sumber: diolah Peneliti dari berbagai regulasi

Sebagaimana halnya dengan PBB P2, salah satu hal terpenting dalam menghitung PBB P3

dan Sektor Lainnya adalah menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Terdapat lima metode

yang dapat digunakan dalam menentukan NJOP tersebut (Supriyanto, 2017), yang terdiri dari:

a. Harga rata-rata transaksi jual beli, bukan harga penawaran. Namun, mengingat sulitnya

memperoleh harga jual beli nyata, terdapat kecenderungan untuk menggunakan harga

penawaran yang disesuaikan.

b. Harga jual-beli secara wajar dengan beberapa unsur, yakni: harga yang terjadi dalam transaksi

bebas ikatan, dilakukan antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat

menjual, penawaran dilakukan secara layak, kedua belah pihak masing-masing mengetahui

dan bertindak hati-hati, serta tanpa paksaan.

c. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis. Terdapat beberapa istilah untuk metode

ini, diantaranya Market Data Approach, Sales Comparison Approach, atau pendekatan-

pendekatan perbandingan harga pasar. Metode ini berupaya menentukan nilai jual suatu objek

pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya

berdekatan dan fungsinya sama, serta telah diketahui harga jualnya, misalnya untuk

menentukan NJOP Bumi (tanah kosong).

d. Nilai Perolehan Baru, yang juga sering disebut dengan Cost Approach atau pendekatan

kalkulasi biaya. Metode ini berupaya menentukan nilai jual suatu objek pajak dengan cara

menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat

penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.

Page 76: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

68

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan NJOP bangunan modern, bangunan kuno

(seperti: candi), tanaman perkebunan, serta hutan tanaman industri.

e. NJOP pengganti, atau disebut Income Approach atau pendekatan pendapatan. Metode ini

berupaya menentukan nilai jual suatu objek pajak berdasarkan hasil produksi objek tersebut.

Metode ini digunakan untuk menentukan NJOP Bumi areal produktif untuk pertambangan dan

areal penangkapan ikan di laut. Metode ini digunakan apabila tidak terdapat rata-rata harga

jual-beli, tidak dapat dilakukannya perbandingan harga, ataupun tidak dapat dihitung jumlah

biaya pembangunannya.

Selama tahun 2010 hingga 2014, Sektor PBB P5 maupun Sektor PBB P3 masih didominasi

oleh Sektor Pertambangan Migas. Sebelum PBB P2 didevolusi kepada pemerintah daerah, sektor

PBB Migas memiliki proporsi hampir 70% dari realisasi total penerimaan PBB. Sedangkan,

setelah PBB P2 didevolusi ke pemerintah daerah, sektor PBB Migas memiliki proporsi yang masih

cenderung meningkat sekitar 85%.

Tabel 4.4 Tabel Realisasi dan Proporsi PBB per Sektor Tahun 2010 sampai dengan 2014

Catatan:

1. Angka realisasi dalam Trilyun Rupiah dan angka proporsi dalam %.

2. Sumber: Presentasi Dr. Machfud Sidik pada FGD Proyek Trampil tanggal 26 Januari 2016

Uraian

Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi

PBB Perdesaan 1,2 4,2 1,2 4,0 1,1 3,8 0,8 3,2 - -

PBB Perkotaan 6,4 22,5 6,6 22,0 6,1 21,0 1,4 5,5 - -

PBB Perkebunan 0,9 3,2 1,0 3,3 1,1 3,8 1,3 5,1 1,4 6,5

PBB Perhutanan 0,2 0,7 0,3 1,0 0,3 1,0 0,3 1,2 0,3 1,4

PBB Minerba 0,5 1,8 0,4 1,3 0,6 2,1 0,6 2,4 1,1 5,1

PBB Migas 19,3 67,7 20,5 68,3 19,8 68,3 20,9 82,6 18,9 87,1

Jumlah 28,5 100,0 30,0 100,0 29,0 100,0 25,3 100,0 21,7 100,0

tahun 2010 tahun 2011 tahun 2012 tahun 2013 tahun 2014

Page 77: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

69

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)

Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Hak atas tanah

dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan

rumah susun, dan hak pengelolaan. Terdapat objek yang tidak dikenakan BPHTB yakni objek

pajak yang diperoleh: (a) perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal

balik, (b) negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan

guna kepentingan umum, (c) badan/atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan

Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain

di luar fungsi dan tugas badan/atau perwakilan organisasi tersebut, (d) orang pribadi atau badan

karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, (e)

orang pribadi atau badan karena wakaf, dan (f) orang pribadi atau badan yang digunakan untuk

kepentingan ibadah. Adapun, subjek pajak BPHTB adalah sama dengan wajib pajak BPHTB,

yakni orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

BPHTB dihitung dengan mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

(NPOPKP); Dalam hal ini, NPOPKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun, NPOP dapat berupa nilai pasar

maupun nilai transaksi. Apabila NPOP di atas tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang

digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai

adalah NJOP PBB.

Sedangkan besarnya (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,- (enam

puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah

wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat

(termasuk suami/istri), NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus

juta rupiah) yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi 5% dengan peraturan daerah. Besaran pokok

BPHTB terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah

dikurangi NPOPTKP. BPHTB terutang dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan/atau

bangunan berada.

Page 78: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

70

Contoh:

Wajib Pajak A membeli tanah dan/bangunan dengan:

Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 65.000.000,-

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 60.000.000,-

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp 5.000.000,-

BPHTB terutang: 5% x Rp 5.000.000,- = Rp 250.000,-

Hal-hal mengenai objek, NPOP, dan saat terutang BPHTB terangkum dalam tabel ikhtisar

berikut ini:

Tabel 4.5 Objek, NPOP, dan Saat Terutang BPHTB

Objek BPHTB NPOP Saat Terutang

Pemindahan Hak:

- Jual beli NT Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Tukar menukar NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Hibah NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Hibah wasiat NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Waris NP Tanggal pendaftaran peralihan hak ke kantor

bidang pertanahan

- Pemasukan dalam perseroan

atau badan hukum lain

NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan

NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Penunjukan pembeli dalam

lelang NT Tanggal penunjukan pemenang lelang

- Pelaksanaan putusan hakim

yang mempunyai kekuatan

hukum tetap

NP Tanggal putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap

- Penggabungan usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Peleburan usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Pemekaran Usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

- Hadiah NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

Pemberian hak baru karena:

- Kelanjutan Pelepasan hak NP Tanggal terbit surat keputusan pemberian hak

- Di luar pelepasan hak NP Tanggal terbit surat keputusan pemberian hak

Catatan: NT = Nilai Transaksi, NP = Nilai Pasar

Page 79: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

71

Kebijakan Pajak Properti di Indonesia: Antara Penguatan Local Taxing Power dan Revenue

Productivity

Pajak Properti berbasis kekayaan (net wealth) di Indonesia secara konseptual terbagi

menjadi tiga yaitu: (a) Pajak properti berbasis kepemilikan yang dibayarkan secara tahunan (PBB

P2); (b) Pajak properti atas transfer asset (assets transfer tax) yang dibayarkan pada setiap kali

terjadi pengalihan kepemilikan tanah/bangunan (BPHTB); dan (c) Pajak properti atas

pertambangan, perkebunan dan perhutanan yang pada dasarnya merupakan pola hibrida antara

pajak properti berbasis kepemilikan yang dibayarkan secara rutin serta pajak atas sumber daya

alam (tax on natural resources).

Berdasarkan otoritas pemungutnya, pajak properti di Indonesia dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu Pajak Pusat (PBB P3) dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota (PBB P2 dan BPHTB) yang

didevolusikan melalui UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PBB

P2 dan BPHTB didevolusikan dengan tujuan untuk memperkuat local taxing power daerah melalui

perluasan basis pajak daerah dan pemberian kewenangan penetapan tarif sepanjang tidak

melampaui batas tarif tertinggi yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pajak properti di Indonesia

diperhitungkan dengan menggunakan basis kekayaan (net wealth) yang dasar pengenaan pajak

(tax base) dikenal sebagai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP secara umum ditetapkan oleh

pemerintah pusat atau daerah, tergantung jenis pajaknya. Metode yang dipergunakan untuk

menentukan NJOP di Indonesia terdiri dari: (a) metode harga pasar (market method) yang

dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian atas harga tanah; dan, (b) metode harga

perolehan baru (cost method) yang biasanya dipergunakan untuk menilai bangunan. Penentuan

nilai jual objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

tanah dan bangunan pada saat penilaian dilakukan , kemudian dikurangi penyusutan bangunan

(Cost Approach); dan (c) penentuan Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Metode nilai jual pengganti

adalah adalah suatu metode penentuan nilai jual objek pajak yang didasarkan pada hasil produksi

objek pajak tersebut (Income Approach). Metode ini dipergunakan apabila kedua metode

sebelumnya tidak dapat dipergunakan. Pada praktiknya, metode ini dipergunakan untuk

menentukan NJOP galian tambang atau perairan.

Memperhatikan metode penetapan NJOP di atas, secara spesifik tidak terdapat pembedaan

antara lahan yang telah dipergunakan atau diolah (improved land) ataupun yang belum

Page 80: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

72

dimanfaatkan (unimproved/ idle land). Secara administratif, tantangannya terletak pada penetapan

NJOP untuk idle land,mengingat saat ini penetapan NJOP secara umum dilakukan berdasarkan

blok-blok tanah yang telah ditetapkan oleh otoritas pajak. Dengan demikian perlu dilakukan

penyesuaian apabila metode penetapan akan dipergunakan untuk tujuan lain selain penerimaan

negara.

Pada PBB P3, penetapan NJOP menggunakan nilai lain yang mengacu pada income

approach. Secara umum, formula yang dipergunakan dalam menghitung beban pajak pada PBB

P3 justru menghasilkan beban pajak yang lebih besar pada tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk

pertambangan, perkebunan maupun kehutanan. Dengan demikian tidak terdapat kebijakan yang

mengarah pada upaya pemanfaatan lahan. Dengan kata lain, selama ini yang mendapat insentif

justru wajib pajak yang belum memanfaatkan lahan karena NJOP yang menjadi dasar pemajakan

memiliki nilai yang lebih rendah. Dengan demikian, desain pemungutan pajak properti di

Indonesia memang ditujukan untuk mendorong penerimaan pemerintah.

Tarif PBB yang berlaku saat ini pada dasarnya juga sulit untuk dijadikan sebagai dasar

menetapkan beban pajak yang berbeda untuk idle land. Hal ini disebabkan karena tarif pajak yang

diatur oleh undang-undang yang berlaku saat ini hanya memberikan alternatif yang sangat terbatas,

yaitu 0,5% bagi PBB P3 dengan tarif efektif 0,1% dan 0,2%. Pada PBB P2 pengaturan yang

memberikan batas maksimal 0,3% juga tidak memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk

mendesain kebijakan pajak properti dengan tujuan khusus selain tujuan penerimaan negara.

Secara keseluruhan, dari berbagai jenis pajak yang dipungut atas tanah di Indonesia saat

ini lebih berorientasi pada penguatan produktivitas penerimaan negara, di pusat maupun daerah.

Pilihan ini sepenuhnya mempertimbangkan penerimaan negara sebagai faktor penting dalam

mendukung keberlangsungan penyelenggaran pemerintahan dan penyediaan barang dan jasa.

Namun demikian, apabila pemerintah memiliki tujuan untuk menjadikan pajak sebagai instrumen

untuk mencapai pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia, maka kebijakan dan regulasi yang

berlaku saat ini tidak memadai. Pemerintah perlu mendesain kebijakan lain yang lebih sesuai untuk

mencapai tujuan tersebut.

Page 81: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

73

BAB 5

SIMPULAN DAN PENUTUP

Pemajakan atas tanah selalu menjadi isu menarik dan tidak akan pernah selesai untuk

menjadi diskursus. Bukan saja karena pemajakan atas tanah merupakan salah satu pajak yang

tertua di dunia, namun juga karena aspek sosial politis dan aspek ekonomis-nya. Perdebatan

pemajakan mengakar pada konsep pendekatan keadilan perpajakan-khususnya ability to pay

approach guna menentukan basis pemajakan yang paling adil untuk menghitung beban pajak.

Namun dalam praktiknya, pemajakan atas tanah justru seringkali menjauh dari prinsip keadilan,

dan lebih mengutamakan asas revenue productivity dan ease of administration. Hal ini dapat

dipahami karena banyak faktor yang mempengaruhi supply dan demand tanah.

Dalam tataran international best practice, pemajakan atas tanah, meski bukan merupakan

sumber penerimaan negara yang utama, namun tetap diberlakukan di hampir seluruh negara di

dunia. Hal ini bukan karena alasan revenue productivity semata, melainkan juga karena pajak

seringkali dijadikan sebagai instumen pendukung dalam mencapai tujuan kebijakan pemerintah

lainnya. Bahkan seringkali ketika instrumen kebijakan non-pajak tidak berjalan sebagaimana

mestinya, atau tidak efektif, maka kebanyakan pemerintah di berbagai negara menggunakan

instumen kebijakan pajak untuk mempengaruhi perilaku atau keputusan masyarakat agar sejalan

dengan harapan pemerintah. Sebagai contoh, tax on idle land yang dilakukan oleh pemerintah

Filipina, dilakukan dengan 3 (tiga) tujuan, yaitu:

1. Menghasilkan lebih banyak penerimaan bagi unit pemerintahan lokal (local government unit).

2. Meningkatkan pengembangan ekonomi lokal melalui upaya maksimalisasi lahan idle untuk

kegunaan produktif.

3. Memperjelas peran dan tanggung jawab the National Government Agencies (Pemerintah

Pusat) terkait implementasi aturan pelaksanaan.

Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun pasca reformasi

perpajakan yang dilakukan pada tahun 1983, pemajakan atas tanah telah diberlakukan terhadap

kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan, dan pengalihan tanah. Pengalihan tanah

merupakan objek Pajak Penghasilan atas Pengalihan atas Tanah dan Bangunan (yang harus

ditanggung oleh penjual), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (yang harus

Page 82: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

74

ditanggung oleh Pembeli). Masing-masing pajak tersebut dipungut oleh otoritas perpajakan yang

berbeda. Demikian juga dengan kepemilikan/penguasaan/pemanfaatan tanah. Selain objeknya

sangat luas, yaitu meliputi bumi dan tubuh bumi, juga kewenangan pemungutannya (otoritas

pemajakannya) dibagi menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPB P3, yakni PBB sektor

perkebunan, perhutanan, dan pertambangan), dan kewenangan pemerintah daerah (PBB P2, yakni

PBB pedesaan dan perkotaan). Oleh karena itu, wacana untuk memberlakukan pungutan pajak atas

idle land akan menjadi persoalan baru yang harus dikaji secara komprehensif, holistik dan

imparsial.

Isu pemajakan atas idle land pertama kali dikemukakan oleh Menteri Agraria dan Tata

Ruang Indonesia pada awal tahun 2017. Isu ini kemudian berkembang luas, dan menjadi polemik.

Pemberitaan diberbagai media menyatakan bahwa rencana yang diwacanakan pemerintah adalah

kebijakan pajak keuntungan modal (capital gain tax) dan pajak final progresif atas transaksi jual

beli tanah. Jika memang jenis-jenis pajak ini yang akan dipungut, hal ini bukan merupakan tax

policy option yang efektif, mengingat efek beban pajak akan dirasakan apabila tanah dialihkan.

Alternatif untuk mengenakan surcharge atau piggy back PBB P2 justru lebih feasible,

karena beberapa hal:

1. Pemungutannya bisa bersamaan dengan pemungutan PBB P2;

2. Efisiensi dari aspek administrative costs;

3. Beban pajaknya langsung dirasakan oleh pihak yang memiliki/menguasai lahan yang

menganggur.

Namun demikian, disain pemajakan atas idle land harus betul-betul didesain dengan komprehensif,

dengan memperhatikan beberapa hal serta menjawab beberapa pertanyaan berikut, diantaranya :

1. Objek idle land tax

a. Definisi : apakah yang dimaksud dengan idle land?

b. Exemption : Apa-apa sajakah yang akan dijadikan sebagai pengecualian?

Page 83: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

75

2. Tax reliefs

a. Bagaimana bentuk tax reliefs yang akan diberikan? Apakah terdapat pembebasan

objek dan pembebasan subyek, pengurangan, reduce rate, atau kombinasi diantara

keempatnya?

b. Bagaimana mekanisme pemberian tax reliefs?

c. Bagaimana mekanisme pengawasan tax reliefs?

3. Otoritas pemungut : siapa otoritas pemungut pajak? Pemerintah pusat atau daerah?

4. Mekanisme pemungutan;

5. Kebijakan penggunaan revenue dari idle land: apakah menggunakan metode earmarking?

Dari kelima hal di atas, tampak bahwa kebijakan pajak atas idle land harus didesain dari

hulu ke hilir, mulai dari hukum pajak material hingga hukum pajak formal sehingga dapat

diimplementasikan. Bahkan masalah penggunaan atau pemanfaatan revenue juga harus didesain

secara memadai agar revenue yang didapat memang digunakan untuk mengatasi eksternalitas

negatif atau dampak negatif bahkan opportunity costs akibat adanya lahan menganggur. Sebagai

contoh, jika tax on idle land diberlakukan, maka seharusnya penggunaan tax revenue-nya bisa

dialokasikan untuk pembiayaan program/janji pemerintah, antara lain janji Program Satu Juta

Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan lahan yang digunakan untuk

pembangunan infrastuktur dan pembangunan sarana publik lainnya. Oleh karena itu, kebijakan tax

on idle land juga harus diikuti dengan politik kebijakan anggaran belanja jika akan diberlakukan.

Dalam konteks inilah, perumusan kebijakan earmarking menjadi sangat signifikan.

Page 84: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

76

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmadi, Wiratmi. (2005). Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan

Pertanahan di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. hlm 46

Barry, Frank. (1998). Agribusiness and Idle Land: Theory, with special reference to Guatemala.

Trocaire Development Review 1988.

Basuki, Sunaryo. (2002). Hukum Tanah Nasional Landasan Hukum Penguasaan Dan

Penggunaan Tanah. (Diktat Mata Kuliah Hukum Agraria, Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. Depok)

Boedi Harsono. (1989). Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-

undang Pokok Agraria), Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit C.V. Mandar Maju.

Blomley, Nicholas. (2004). Unsettling the City: Urban Land and the Politics of Property.

Roudtledge: New York and London.

Bromley, Daniel W. (1991). Environtment and Economy: Property Rights and Public Policy.

Oxford: Blackwell.

Darwin MBP. (2013). Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Tataran Praktis Edisi 2. Jakarta: Mitra

Wacana Media. Hlm. 2

Edwin R. A. Seligman (1911). The Shifting and Incidence of Taxation. Colombia: Colombia

University.

Fiscalis Tax Gap Project Group. 2016. The Concept of Tax Gaps “Report on VAT Gap

Estimations”. Brussels: European Commission Directorate-General Taxation and Customs

Union.

Fitriandi, Primandita, Yuda Aryanto & Agus Puji Priyono. (2014). Kompilasi Undang-undang

Perpajakan Terlengkap. Jakarta: Salemba Empat. hlm 272.

Ilyas, W & Burton, R. (2004). Hukum Pajak Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat.

Irianto, Edi Slamet. (2009). Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di

Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Mediatama Yogyakarta.

Irianto, Edi Slamet. (2014). Pengantar Politik Pajak. Jakarta: Ortax.

Judowinarso, Endarto & Darwin. (2006). Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) & Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan

Akuntansi Pemerintah.

Kumorotomo, Wahyudi. (2008). Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-

2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.

M. Arsyad Ridani. (2015). Analisis Penyerapan Anggaran Belanja Daerah di Kabupaten Bulungan.

(Tesis).Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.

Mardiasmo. (2011). Perpajakan Edisi Revisi 2011.Yogyakarta: CV Andi Offise.

Page 85: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

77

McCrone, David & Elliot, Brian. (1989). Property and Power in a City: The Sociological

Significance of Landlordism. London: The Macmillan Press LTD.

Mc.Cluskey, William J, Garry C.Cornia, & Lawrence C. Walters. (2013). A Premier on

Property Tax: Administration and Policy. New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.

Mertokusumo, Sudikno. (1998). Hukum acara perdata Indonesia. Yogyakart: Penerbit Liberty.

Michael Lang, et. all. (2016). Trends and Players in tax Policy in European and International Tax

Law and Policy Series. Amsterdam: IBFD.

Markus, Muda & Yujana, Lalu Hendry. (2004). Pajak Penghasilan. Jakarta: PT.Gramedia.

Nasoetion, Andi Hakim. (2002). Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Bogor: IPB Press.

Nasucha, Chaizi. (1995). Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah.

Jakarta: Megapoin.

Nick Devas. (1989). Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University. Hal. 118.

Oyok Abuyamin. (2012). Perpajakan Pusat & Daerah. Bandung: Humaniora.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I

(Edisi Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka.

Rosdiana, Haula & Irianto, Edi Slamet. (2013). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan

Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Resmi, Siti. (2013). Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.

Rustiadi, Ernan et., al., (2006). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei 2006. Bogor:

Fakultas Pertanian IPB.

Saban, R. (1987). Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa: Sejarah Lahir dan

Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Bina Arta.

Santoso, Urip. (2005). Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group.

Suparmono & Damayanti. (2010). Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan.

Yogyakarta: Andi.

Smith, Brian C. (2012). Desentralisasi: Dimensi Teritorial Suatu Negara. Jakarta: Masyarakat

Ilmu Pemerintahan Indonesia.

Stephan J. Goetz, James S. Shortle and John C. Bergstrom. (2005). Land Use Problems and

Conflicts “Causes, consequences and solutions. London and New York: Routledge.

Supriyanto, Heru. (2017). Cara Menghitung PBB Sektor P3, Sektor Lainnya, dan Bea Meterai.

Jakarta: Penerbit Indeks.

Sutanto, Rachman. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah “Konsep dan Kenyataan”. Yogyakarta:

Kanisius.

Sumardjono, Maria S. W. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak EKonomi, Sosial, dan Budaya.

Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: IMF. Hal. 268.

Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Winangun, Y. Wartaya. (2004). Tanah: Sumber Nilai Hidup. Jakarta: Kanisius

Page 86: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

78

Jurnal

Brown, Mercy & Luthango. (2010). Access to Land forthe Urban Poor-Policy Proposals for South

African Cities. Springer Science + Business Media B.V. 2010, urban Forum 21:123-138,

DOI 10.1007/s12132-010-9081-x.

Claire V., Madonna, Mark Lester L, Teresita L.Solomon.2015. Comparative Real Property

Taxation of ASEAN Member Countries. NTCR Tax Research Journal. Volume

XXVII. 4 July- August 2015.

Fisher, M. Ernest. (1958). Economic Aspect of Urban Land Use Patterns. The Journal of Industrial

Economics, June, Vol. 6, S. 198-208.

Lee, Kangoh. (2003). Should Land and Capital Be Taxed at a Uniform Rate? The Canadian

Journal of Economics/ Revenue canadienn ed’ Economique, Vol. 36, No. 2 (May, 2003), pp.

350-372.

Artikel

Congressional Policy and Budget Research Department House of Representatives. Idle Land

Tax: Implementation Issues and Challenges CPBRD Policy Brief.

De Cesare, Claudia M and Ruddock, Les. (1997). An Empirical Analysis of a Property tax System:

a Case Study from Brazil. The Internasional Conference on Assessment Administration

(63rd Annual Meeting) Toronto, Canada: Internasional Association of Assessing Officers.

De Cesare, Claudia M and Ruddock, Les. (1999). The Property Tax System in Brazil. Property

Tax: An Internasional Comparative Review, Chapter 13: 266-282p. Ashgate, 1999. Editor:

W. McCluskey.

Samuelson, Paul. (1982). "A Chapter in the History of Ramsey's Optimal Feasible Taxation and

Optimal Public Utility Prices." In Economic Essays in Honour of Jørgen H. Gelting, eds. S

Andersen, K Larsen, PN Rasmussen and J Vibe-Pedersen, Copenhagen: Danish Economic

Association. Reprinted in ed. K Crowley (1986), 76-100.

Sidik, Machfud. 2017. The Study of Possible Devolving PBB Plantation, Forestry, and Mining

Object. LPEM FE UI.

Varanyuwatana, Sakon. Property Tax in Thailand. Bangkok: Thammasat University

Publikasi Elektronik

Bird, Richard M. dan Enid Slack. 2012. Land and Property Taxation: A review.

http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/June2003Seminar/LandProperty

Taxation.pdf

Page 87: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

79

Portal Media Online

Alexander, H. (2016, December 14). Dipetik February 1, 2017, dari Lima Tahun Lagi, Generasi

Milenial Terancam Tidak Bisa Membeli Rumah:

http://properti.kompas.com/read/2016/12/14/160706321/lima.tahun.lagi.generasi.milenial.t

erancam.tidak.bisa.membeli.rumah

IPTU rises 10.48%, and the city of Porto Alegre gives a discount of 12% for cash payment (2015,

September 12). Dipetik April 2, 2017, dari http://zh.clicrbs.com.br/rs/porto-

alegre/noticia/2015/12/iptu-sobe-10-48-e-prefeitura-de-porto-alegre-da-desconto-de-12-

para-pagamento-a-vista-4926597.html

Lestari, D. (2015, November 8). Dipetik February 13, 2017, dari Kenapa Anda Sulit Beli Rumah

Sebelum Usia 30? Ini Alasannya Beberapa faktor berikut harus Anda perhatikan:

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/696693-kenapa-anda-sulit-beli-rumah-sebelum-

usia-30-ini-alasannya

Pitoko, R. A. (2016, August 25). (H. Alexander, Penyunt.) Dipetik February 1, 2017, dari Catatan

Hapernas 2016, 82,8 Persen Kepemilikan Rumah Bukan Indikator Kesuksesan:

http://properti.kompas.com/read/2016/08/25/100000521/Catatan.Hapernas.2016.82.8.Perse

n.Kepemilikan.Rumah.Bukan.Indikator.Kesuksesan

Suhendra, Z. (2017, January 31). Atasi Ketimpangan, Pemerintah Buat Program Ekonomi

Berkeadilan. Dipetik February 1, 2017, dari http://bisnis.liputan6.com/read/2842815/atasi-

ketimpangan-pemerintah-buat-program-ekonomi-berkeadilan

Suryowati, E. (2017, Januari 26). Pajak Progresif Bisa Memotong Rantai Spekulan Tanah. (A.

Ika, Penyunt.) Dipetik February 1, 2017, dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/26/111000526/pajak.progresif.bisa.memo

tong.rantai.spekulan.tanah

Peraturan Perundangan

Republik Indonesia. 1985. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang

Pajak Bumi dan Bangunan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12

Tahun1994

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.010/2017

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-90/PMK.03/2015

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-268/PMK.03/2015

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-269/PMK.03/2015

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-113/PMK.03/2014

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-163/PMK.03/2012

Page 88: TAXstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karuania-Nya,

80

8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016

9. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015

10. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

12. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

13. Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008