taxstaff.ui.ac.id/system/files/users/vjuwono/publication/buku_idle... · ii kata pengantar puji...
TRANSCRIPT
TAX
Penulis :Haula Rosdiana
InayatiIndriani
Lucas Filberto SardjonoMurwendah
Vishnu Juwono
Editor: Edi Slamet Irianto
Machfud Sidik
Dibiayai oleh:Program Hibah Pengabdian Masyarakat Universitas IndonesiaTahun 2017Skema Kajian Kepedulian pada Isu Strategis di Indonesia
Diterbitkan Oleh:Observation & Research of Taxation (Ortax)Gedung Pemuda, Lantai 2Jl.Pemuda Raya No.66 RawamangunJakarta - Indonesia 13220 Phone : (021) 47865713 Fax : (021) 47881350Email : [email protected]: http://ortax.org/ortax/
KEBIJAKAN PAJAK ATAS IDLE LAND:
PELUANG DAN TANTANGAN
Penulis:
Haula Rosdiana
Inayati
Murwendah
Lucas Filberto Sardjono
Indriani
Vishnu Juwono
Editor:
Adinur Prasetyo
Edi Slamet Irianto
Machfud Sidik
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat
dan Karuania-Nya, buku ini dapat diselesaikan. Kami menyusun buku ini karena menyadari masih
langkanya literatur perpajakan di Indonesia, khususnya yang membahas masalah konsep dan
analisis kebijakan pajak atas idle land. Pajak atas idle land sempat mengemuka menjadi diskursus
publik beberapa waktu yang lalu dan menimbulkan sejumlah pro dan kontra. Ide dasar dari
pemajakan atas idle land adalah mendorong optimalisasi dan produktivitas penggunaan tanah di
satu sisi, dan mendorong peningkatan penerimaan negara di sisi lain. Pemajakan atas idle land
merupakan kebijakan yang secara konseptual dapat diterima serta lazim diimpplementasikan di
beberapa negara di dunia. Dengan demikian, kebijakan ini pada dasarnya memiliki peluang untuk
dijadikan sebagai salah satu alternatif kebijakan pajak di Indonesia.
Buku “Kebijakan Pajak atas Idle Land : Peluang dan Tantangan” ini disusun sebagai luaran
Hibah Pengabdian Masyarakat Skema UI Peduli Kajian Tahun 2018. Buku ini terdiri dari lima
bab, yakni : Bab 1 membahas Pendahuluan, Bab 2 membahas Perspektif Teori Perpajakan dan
Unimproved Land, Bab 3 membahas Kebijakan Pemerintah terkait Idle Land, Bab 4 membahas
Evaluasi Kebijakan Pajak atas di Indonesia, dan Bab 5 membahas Simpulan dan Penutup. Pada
Bab 1, Penulis membahas beberapa hal pendahuluan, seperti : tanah dan fungsinya sebagai
komoditi ekonomi, sosial-politik, dan kultur, fungsi strategis tanah, permasalahan terkait tanah,
dan peran pemerintah dalam pengelolaan tanah; Selanjutnya, pada Bab 2 Penulis membahas
perspektif teori perpajakan atas unimproved land, seperti : kebijakan fiskal atas tanah, kebijakan
pajak atas tanah, pajak properti (meliputi, Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan), serta pajak atas Idle land (meliputi, Capital GainTax dan Unimproved
Land Tax); Kemudian, pada Bab 3 Penulis membahas kebijakan pemerintah terkait tanah, seperti:
perbandingan kebijakan pajak atas tanah antar periode dan praktik kebijakan pajak atas idle land
di beberapa negara; Lalu, pada Bab 4 Penulis membahas evaluasi kebijakan pajak atas tanah di
Indonesia, meliputi diskursus antara penguatan local taxing power, penerimaan negara, serta upaya
mengurangi ketimpangan sosial; dan terakhir, pada Bab 5 Penulis menyampaikan simpulan dan
penutup.
Penulis mengucapkan terimakasih Prof. Dr.Eko Prasojo, Mag.rer.Publ. selaku Dekan
Fakultas Imu Administrasi Universitas Indonesia yang memberikan kesempatan kepada Penulis
untuk melakukan kajian dan analisis terkait kebijakan pajak atas idle land; Penulis juga
menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Machfud Sidik, M.Sc. atas arahan dalam
kegiatan kajian akademik terkait kebijakan pajak atas idle land; Dan tak lupa, Penulis
mengucapkan terimakasih kepada keluarga, kerabat, dan handai taulan yang telah memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyusun buku ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Dengan kerendahan hati, kami mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca untuk penyempurnaan isi buku ini hingga memenuhi harapan
kita bersama. Harapan kami, semoga buku ini dapat menjadi referensi yang berguna bagi para
pembaca, khususnya bagi yang tertarik mempelajari pemajakan atas idle land.
Depok, 22 Maret 2018
Tim Penulis
iii
KATA SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS Indonesia
Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.Publ
Sebagaimana kita ketahui bahwa pemajakan atas tanah selalu menjadi isu menarik dan
tidak akan pernah selesai menjadi diskursus. Perdebatan pemajakan bersumber pada konsep
pendekatan keadilan perpajakan, khususnya pendekatan ability to pay atau kemampuan membayar
pajak, guna menentukan basis pemajakan yang paling adil untuk menghitung pajak. Dalam
praktiknya, pemajakan atas tanah seringkali menjauh dari prinsip keadilan dan lebih
mengutamakan asas revenue productivity dan ease of administration.
Isu pemajakan atas idle land mengemuka dalam dua tahun belakangan ini dan berkembang
menjadi polemik. Pemajakan atas idle land bertujuan bukan hanya terkait alasan revenue
productivity dalam rangka memperoleh penerimaan pajak, melainkan juga untuk mengoptimalisasi
fungsi tanah sesuai kondisi best possible use-nya. Dengan demikian, kajian mendalam terhadap
pemajakan atas idle land juga harus mengantisipasi hal-hal, seperti : objek pajak, tax relief, otoritas
pemungut pajak, mekanisme pemungutan, dan kebijakan penggunaan penerimaan dari pajak atas
idle land.
Menyadari kelangkaan dalam literatur perpajakan yang mampu menyajikan perpaduan
antara teori dan konsep secara memadai sekaligus memberikan gambaran aplikasi administrasi
perpajakan, Tim Penulis melakukan kajian akademik terhadap kebijakan pajak atas idle land serta
menulis dan menyusun buku ini. Diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran komprehensif
tentang pemajakan atas idle land, khususnya mengenai peluang dan tantangannya. Buku berjudul
“Kebijakan Pajak atas Idle Land : Peluang dan Tantangan” ditulis oleh tim yang terdiri dari para
pengajar pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, yakni : Haula Rosdiana, Inayati,
Murwendah, Lucas Filberto Sardjono, Indriani, Vishnu Juwono, dan Adinur Prasetyo.
Kami menyambut dengan gembira terbitnya buku ini. Setiap usaha yang dilakukan dengan
ikhlas, sekecil apapun, akan memberikan manfaat bagi orang lain. Demikian juga dengan usaha
penyusunan buku ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Selamat !
Depok, 22 Maret 2018
iv
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ............................................................................................................ ii
Kata Sambutan ............................................................................................................. iii
Daftar Isi ....................................................................................................................... iv
Daftar Tabel ................................................................................................................. v
Daftar Grafik ................................................................................................................ vi
Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................................... 1
1.1 Tanah ...................................................................................................... 1
1.2 Fungsi Strategis ....................................................................................... 1
1.3 Permasalahan .......................................................................................... 3
1.4 Posisi Pemerintah .................................................................................... 6
Bab 2 Perspektif Teori Perpajakan atas Tanah ......................................................... 12
2.1 Kebijakan Fiskal ...................................................................................... 12
2.2 Kebijakan Pajak ....................................................................................... 15
2.3 Pajak Properti (PBB-P2 & BPHTB) ........................................................ 18
2.4 Pajak atas Idle Land (Capital Gain Tax & Unimproved Land Tax) .......... 22
Bab 3 Kebijakan Pemerintah mengenai Pajak Tanah ............................................... 24
3.1 Perbandingan Kebijakan Tanah Antar Periode ......................................... 24
3.2 Kebijakan Pajak atas Idle Land di Beberapa Negara ................................ 35
3.2.1 Latar Belakang Timbulnya Tanah atau Lahan Idle ................................... 36
3.2.2 Catatan Bank Dunia atas Pemajakan Tanah di Dunia ............................... 39
3.2.3 Praktik Kebijakan Pajak atas Lahan Idle di Beberapa Negara ................... 42
Bab 4 Evaluasi Kebijakan Pajak atas Tanah di Indonesia: Diskursus
antara Penguatan Local Taxing Power, Penerimaan Negara,
dan Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosial .................................................. 51 4.1 Kebijakan Basis Pemajakan atas Tanah di Indonesia ............................... 51
4.2 Pemajakan Tanah dan Bangunan Berbasis Penghasilan ............................ 52
4.3 Pemajakan Tanah dan Bangunan dengan Basis Konsumsi ....................... 59
4.4 Pemajakan Tanah dan Bangunan Basis Kekayaan .................................... 63
Bab 5 Simpulan dan Penutup ..................................................................................... 73
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 76
Tentang Penulis ............................................................................................................ 82
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Matriks Perbandingan UU No. 12 Tahun 1985
dengan UU No. 12 Tahun 1994 .................................................................. 29
Tabel 3.2 Matrik Perbandingan UU PBB dengan UU PDRD ...................................... 32
Tabel 4.1 Basis Pemajakan atas Tanah dan Bangunan di Indonesia ........................... 51
Tabel 4.2 Kondisi Pengalihan dan Tarif PPh Final ..................................................... 52
Tabel 4.3 Ikhtisar Sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya ............................................... 67
Tabel 4.4 Tabel Realisasi dan Proporsi PBB per Sektor Tahun 2010
sampai dengan 2014 .................................................................................. 68
Tabel 4.5 Objek, NPOP, dan Saat Terutang BPHTB .................................................. 70
vi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 2.1 Ekspansi Permintaan Agregat .................................................................... 13
Grafik 2.2 Ekspansi Fiskal .......................................................................................... 14
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Tanah
Tanah memiliki peran krusial dalam kehidupan manusia. Sepanjang sejarah tanah telah
digunakan sebagai media bagi manusia sejak masa prasejarah pasca plestosen dan mulai bercocok
tanam setelah sebelumnya berburu dan mengumpulkan makanan1. Masa bercocok tanam tersebut
merupakan salah satu masa terpenting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia.
Pada kehidupan modern, tanah merupakan salah satu sumber daya yang ketersediaannya
terbatas dan memiliki fungsi sosial yang tinggi (Endarto dan Darwin, 2006). Tanah merupakan
kebutuhan dasar untuk tempat tinggal, akan tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat investasi
yang mendatangkan nilai tambah bagi pemiliknya. Di sisi lain, kepemilikan tanah dapat
memberikan keuntungan dan sekaligus dapat meningkatkan status sosial-ekonomi bagi pemilik
atau penggunanya. Tanah sering kali juga dimanfaatkan sebagai alat untuk menumpuk kekayaan,
terutama bagi para pemilik modal.
1.2 Fungsi Strategis
Dalam berbagai kajian disiplin ilmu seperti ilmu sosial, politik, hukum, budaya, dan
ekonomi, tanah selalu menduduki posisi kunci dalam kehidupan manusia. Tanah sealalu dikaitkan
dengan keberadaan suatu bangsa dan menjadi pusat munculnya suatu kebudayaan.2 Berbagai
peristiwa sejarah akan peperangan tidak lepas dari aktivitas manusia yang saling memperebutan
tanah. Peranan penting tanah bagi kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai manfaat atas tanah,
yaitu: (1) tanah merupakan aset alami yang memberikan tempat aset fisik lainnya, seperti
perumahan; (2) tanah memberikan kehidupan dan menjadi ruang sosial; (3) tanah dapat
memberikan akses infrastruktur (jalan, air, sanitasi, listrik) kepada sebuah komunitas; (4) tanah
dapat menjadi sebuah aset ekonomi yang dapat dijual atau diwariskan, dan memiliki potensi untuk
dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman; serta, (5) tanah dapat digunakan
untuk tujuan untuk meningkatkan pendapatan bagi pemiliknya, misalnya, melalui penyediaan
1Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I (Edisi
Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka. h.167. 2Nasucha, Chaizi. (1995). Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah. Jakarta: Megapoin.
2
tempat untuk menjalankan sebuah usaha atau melalui sewa-menyewa tempat atau akomodasi
(Urban Sector Network and Development Works).3 Dari sini dapat terlihat bahwa tanah merupakan
sumber seluruh kekayaan bagi manusia.
Tanah memiliki beberapa fungsi yang fundamental dalam terkait dengan kehidupan manusia.
Fungsi tanah dibagi menjadi beberapa dimensi yaitu dimensi kultural-ekologis, sosial-politik, dan
ekonomi.
Fungsi strategis tanah dari dimensi kultural dan ekologis: merujuk pada interdependensi antara
organisme dan lingkungan hidup, tanah sebagai salah satu komponen dari lingkungan hidup
memiliki ketergantungan pada unsur lainnya.4 Pengelolaan tanah yang dilakukan tepat
menjadi penting karena dapat menjaga keseimbangan ekologi dalam sebuah lingkungan
kehidupan manusia.
Fungsi strategis tanah dari dimensi sosio-politik: tanah dapat menentukan tinggi rendahnya
status sosial dari pemiliknya. Hal ini berkaitan dengan hak kepemilikan tanah, yakni pemilik
tanah mendapatkan otoritas serta kewenangan untuk memilki serta mengelola tanah. Semakin
besar porsi kepemilikan tanah oleh seseorang, maka semakin besar juga kewenangan
seseorang tersebut dalam memanfaatkan tanah yang menjadi miliknya. Kewenangan ini juga
berhubungan dengan fungsi sosial tanah dimana harus juga memperhatikan kepentingan
umum. Sebagai sumber daya alam yang terbatas, kepemilikan tanah harus didistribusikan
seadil mungkin oleh negara kepada masyarakat. Dengan kata lain, pembatasan kepemilikan
tanah secara tidak langsung akan memberikan batasan kepada seseorang agar tidak dapat
berlaku sewenang-wenang di dalam kehidupan bermasyarakat terkait dengan penggunaan
tanah. Dalam perannya terkait distribusi tanah, posisi dan sikap pemerintah menjadi faktor
penting dalam mendukung tindakan-tindakan yang nyata untuk berpihak kepada kepentingan
umum5.
Fungsi strategis tanah dari dimensi ekonomi: tanah merupakan sarana produksi yang dapat
memberikan pendapatan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi pemiliknya. Hal ini
dapat di lihat dari sudut pandang ilmu ekonomi, yakni tanah merupakan salah satu faktor
3Brown, Mercy & Luthango. (2010). Environtment and Economy: Property Rights and Public Policy. Oxford:
Blackwell. 4Winangun, Y. Wartaya. (2004). Tanah: Sumber Nilai Hidup. Jakarta: Kanisius. h. 82. 5Ibid. h. 84.
3
produksi, selain tenaga kerja dan modal.6 Tanah menjadi bagian faktor produksi yang dinilai
paling tahan lama dan dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Masih dalam kaitannya
dengan dimensi sosio-politik, selain tanah merupakan sumber pendapatan dan keuntungan
tanah juga merupakan sumber dari kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang dimana
semakin besar kepemilikan seseorang atau suatu kelompok akan tanah akan berdampak pada
semakin besarnya pengaruh mereka terhadap pemerintahan.7 Ini bisa dipahami bahwa
bagaimana pembangunan suatu daerah ditentukan berdasarkan kepentingan dari para pemilik
lahan dalam jumlah besar tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan suatu daerah
selain berdampak pada sektor ekonomi, secara tidak langsung akan bedampak pada bidang
sosio-politik masyarakat di sekitarnya. Pun dalam jangka panjang, akan berpengaruh pada
budaya (pola hidup) suatu masyarakat.
1.3 Permasalahan
Ketersediaan lahan yang tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk akan berdampak
pada meningkatnya harga jual tanah. Penelitian di beberapa negara Amerika Latin dan Eropa
menyebutkan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir, harga tanah telah meningkat menjadi empat
kali lipat.8 Selain karena jumlahnya yang terbatas, kenaikan harga tanah di negara-negara tersebut
juga disebabkan oleh aktivitas para spekulan tanah yang melakukan pembelian tanah dalam jumlah
besar, tetapi tidak dimanfaatkan untuk hal yang produktif atau dibiarkan menganggur dan
memanfaatkan tanah tersebut sebagai investasi. Para spekulan tanah mulai mengolah atau
melakukan pembangunan pada tanah yang dimilikinya setelah pemerintah melakukan
pembangunan-infrastruktur di daerah sekitar lahan sehingga memiliki harga yang relatif tinggi.
Tanah memiliki daya tahan terhadap tingkat inflasi dan memiliki potensi menjadi aset
menguntungkan di masa depan sehingga fungsinya telah bergeser dari sekedar faktor produksi
menjadi aset untuk investasi.
6 Fisher, M. Ernest. (1958). Economic Aspect of Urban Land Use Patterns. The Journal of Industrial Economics, June,
Vol. 6, S. 198-208. 7McCrone, David & Elliot, Brian. (1989). Property and Power in a City: The Sociological Significance of
Landlordism. London: The Macmillan Press LTD. 8Dapat dilihat di http://www.mongabay.co.id/2013/10/06/ancaman-masa-depan-dunia-populasi-penduduk-terus-
meningkat-ketersediaan-lahan-tetap/
4
Maraknya praktik penimbunan lahan (unimproved land) oleh para spekulan tanah
diindikasikan juga terjadi di Indonesia. Secara demografi, jumlah penduduk di Indonesia salah
satu yang terbesar dan menempatkannya pada peringkat ke-4 penduduk terbanyak di dunia, setelah
China, India, dan Amerika Serikat. Menurut Bank Dunia pada tahun 2016 penduduk Indonesia
berjumlah lebih dari 261 juta jiwa.9 Pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang terus
bertambah dan terbatasnya ketersediaan tanah berpotensi menimbulkan konflik di masa
mendatang, terlebih apabila keterbatasan jumlah tanah tersebut disebabkan oleh aktivitas para
spekulan. Nasoetion (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa potensi sumber konflik atas
kepemilikan dari tanah, yakni : (1) kepemilikan tanah yang tidak merata; (2) ketidakserasian
penggunaan tanah pertanian dan non pertanian; (3) kurangnya keberpihakan pemerintah kepada
masyarakat golongan ekonomi lemah; (4) kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat
hukum adat atas tanah (hak ulayat); serta (5) lemahnya posisi masyarakat pemegang hak atas tanah
dalam proses pembebasan tanah.
Kepemilikan dan distribusi tanah cenderung menjadi isu politik di berbagai negara
berkembang. Kekuatan ekonomi di negara-negara tersebut bertumpu pada pemilik tanah dan
sumber daya alam yang jumlahnya cukup signifikan serta secara umum bertumpu pada kekuasaan
politik yang sangat besar. Sebagai contoh, selama dasawarsa terakhir, kekuatan politik di banyak
negara Amerika Latin telah beralih dari kekuasaan militer ke kekuasaan pemerintahan sipil yang
terpilih melalui proses demokrasi. Namun ternyata, kepemilikan sumber daya, termasuk
kepemilikan tanah, belum tentu beralih, atau dengan kata lain masih dikuasai oleh kalangan militer
dan eks-militer. 10
Data Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 82,8%
masyarakat yang memiliki rumah dari tahun 2010 (yang berada pada angka 72%), namun hal
tersebut belum menjadi indikator meningkatnya realisasi pemenuhan rumah tinggal bagi
masyarakat.11 Saat ini, persentase kenaikan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan gaji
rata-rata pegawai kantoran. Hal ini dapat dilihat dari harga properti yang mengalami kenaikan
9Dapat dilihat di https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL 10Barry, Frank. (1998). Agribusiness and Idle Land: Theory, with special reference to Guatemala. Trocaire
Development Review 1988. 11Dapat dilihat di
http://properti.kompas.com/read/2016/12/14/160706321/lima.tahun.lagi.generasi.milenial.terancam.tidak.bisa.memb
eli.rumah
5
20%-30% setiap tahunnya, sedangkan gaji pegawai kantoran hanya mengalami kenaikan sebesar
10%-15% per tahunnya tergantung kepada tingkat inflasi negara tersebut.12 Masih terdapat
golongan masyarakat yang kesulitan untuk memiliki rumah karena harga tanah dan bangunan
(properti) yang masih terbilang tinggi.
Kelompok masyarakat yang saat ini kesulitan untuk memiliki rumah merupakan kelompok
masyarakat masa kini yang dikenal dengan nama generasi milenial. Generasi milenial merupakan
kelompok penduduk yang lahir ditahun 1990-an ke atas, dengan memiliki penghasilan berkisar
antara Rp. 4 hingga Rp. 7 juta rupiah per bulan. Disamping tren gaya hidup, kenaikan harga
properti yang sangat signifikan membuat generasi milenial tersebut kesulitan untuk membeli
rumah karena harganya tidak sesuai dengan daya belinya (Pitoko, 2016)13, terutama di kota-kota
besar Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kota-kota besar menarik bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri properti. Hal ini disebabkan oleh tingginya
tingkat pertumbuhan ekonomi yang menarik para generasi milenial untuk mencari pekerjaan dan
memperoleh penghasilan.
Sebagai modal investasi, tanah menjadi komoditi spekulasi yang menarik sehingga pada
tahun-tahun mendatang harga tanah, bahan baku properti, dan properti semakin meningkat yang
berdampak pada tingginya harga jual rumah. Di satu sisi pengusaha properti akan mendapatkan
keuntungan yang sangat besar dari penjualan properti tersebut, dan di sisi lain tingginya harga jual
rumah akan membuat generasi milenial semakin kesulitan untuk memperoleh rumah sebagai
tempat tinggalnya.14 Mata rantai spekulasi tanah tersebut berdampak sistemik terhadap akses
kepemilikian tempat tinggal bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan para spekulan tanah menguasai
suatu wilayah besar lahan sebagai investasi untuk dikembangkan atau dijual kepada pengembang
properti di kemudian hari karena dianggap mempunyai potensi bisnis. Tidak jarang para spekulan
tanah juga menguasai suatu wilayah lahan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan
infrastruktur pemerintah, sehingga menyebabkan sulitnya proses pembebasan lahan dalam
12 Dapat dilihat di
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/696693-kenapa-anda-sulit-beli-rumah-sebelum-usia-30-ini-alasannya 13 Dapat dilihat di
http://properti.kompas.com/read/2016/08/25/100000521/Catatan.Hapernas.2016.82.8.Persen.Kepemilikan.Rumah.B
ukan.Indikator.Kesuksesan 14Dapat dilihat di
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/26/111000526/pajak.progresif.bisa.memotong.rantai.spekulan.tana
h
6
pembangunan infrastruktur tersebut.15 Kondisi ini mendorong lahirnya diskursus tentang
kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak atas tanah untuk mendorong spekulan/pengembang
mengubah perilaku sehingga terdorong untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi lebih
produktif dan mampu berkontribusi terhadap perekonomian dan meningkatkan pendapatan
pemerintah.
Salah satu dasar pemikiran pemajakan atas idle land adalah pemilik tanah yang membiarkan
tanahnya tidak produktif atau menganggur (unimproved land), layak dikenakan denda. Di satu sisi,
perspektif ini memiliki peluang untuk mendorong pergeseran perilaku spekulan tanah, namun di
sisi lain mengemuka isu keadilan karena terdapat unequal treatment atas tanah untuk tujuan
komersil yang harganya cenderung mahal dibandingkan tanah non komersial. Selain itu, timbul
diskursus pula tentang keadilan dalam perspektif spending terkait alokasi belanja dari hasil pajak
yang dipungut.
Dalam perspektif teoretis maupun praktis, menjadi suatu hal krusial untuk mengkaji kebijakan
pajak atas idle land yang memiliki pondasi teoretis memadai sekaligus memiliki potensi untuk
diaplikasikan. Kebijakan pajak yang diharapkan mampu mendorong pemanfaatan tanah yang
mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi masyarakat sekaligus mendorong keadilan; serta
alternatif kebijakan belanja yang sejalan dengan filosofi pemungutan pajak atas idle land seperti
untuk mengentaskan kemiskinan atau membiayai program yang mendorong perekonomian
masyarakat. Dengan demikian terdapat pergeseran paradigma bahwa permasalahan keadilan tidak
hanya diselesaikan dengan kebijakan pajak, namun juga secara imparsial dan komprehensif
diselesaikan juga dengan kebijakan belanja pemerintah seperti melalui instrumen redistribusi
pendapatan, dengan menggunakan instrumen tarif pajak progresif.
1.4 Posisi Pemerintah
Tanah yang berada pada wilayah Indonesia merupakan milik negara sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, hak atas tanah bukan hanya
berisi wewenang, tetapi juga kewajiban untuk menggunakan, memanfaatkan, dan mengusahakan
agar tujuan pemanfaatan tanah berorientasi pada mensejahterakan kehidupan masyarakat sesuai
15 Ibid.
7
dengan salah satu tujuan pendirian negara Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki dasar hukum
pengelolaan tanah, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Undang-undang ini mengatur bahwa pengelolaan tanah harus mendahulukan
kepentingan rakyat. Negara juga dinyatakan memiliki hak menguasai, yaitu hak mengatur
penggunaan dan pemeliharaan tanah atau lahan. Negara juga memiliki wewenang untuk mengatur
hubungan hukum antara warga negara dan kepemilikan lahan.
Pemerintah Pusat (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) menjalankan
amanat sesuai ketentuan pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan juga bahwa hak Negara untuk
menguasai tanah dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan
masyarakat hukum adat. Namun, pada ketentuan ini juga dijelaskan bahwa hak Negara menguasai
tanah merupakan wewenang pemerintah pusat, sedangkan wewenang pemerintah daerah tersebut
bersifat tugas pembantuan atau medebewind. Pemerintah dalam hal ini dapat melakukan berbagai
upaya intervensi melalui kebijakan fiskal dengan pajak sebagai salah satu instrumennya dalam
upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah tentu berdampak pada akses seseorang
terhadap tanah pun bangunan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dan
dampaknya terhadap distribusi penguasaan tanah.16
Pemerintah memungut kebijakan pajak atas tanah antara lain melalui Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) atas kepemilikan. Pajak ini pada awalnya dipungut
oleh pemerintah pusat dan kemudian didevolusikan kepada pemerintah daerah melalui Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Kebijakan
devolusi PBB P2 memiliki tujuan antara lain untuk memperkuat local taxing power daerah
kabupaten/ kota sebagai ujung tombak dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.
Objek PBB-P2 adalah a) bumi termasuk tanah, pekarangan, sawah, dan laut; dan
b)bangunan merupakan konstruksi teknis yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah
atau perairan (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2009). Secara umum, bumi dan bangunan adalah objek
PBB namun, demikian terdapat pengecualian objek PBB P2 seperti lahan dan bangunan yang
digunakan untuk melayani kepentingan umum; pemakaman atau peninggalan purbakala; hutan
16Sumardjono, Maria S. W. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak EKonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
8
lindung; dan digunakan oleh perwakilan diplomatik dengan menerapkan asas timbal balik maupun
yang digunakan oleh badan perwakilan organisasi internasional.
Undang-Undang Perpajakan Indonesia telah mengatur pemungutan pajak atas tanah
dan/atau bangunan dengan tiga jenis pajak yang berbeda, yaitu 1) Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang memiliki basis kepemilikan kekayaan (wealth) atau di
berbagai negara dikenal sebagai tax on land and building; 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) atas transfer kepemilikan/hak atas kekayaan (property) , dan 3) Pajak atas
Penghasilan (PPh). Khusus PBB-P2 dan BPHTB, sejak didevolusikan pada tahun 2014 melalui
UU PDRD No. 28 Tahun 2009, yang tadinya merupakan Pajak Pusat telah beralih menjadi Pajak
Daerah. Objek PBB-P2 yaitu bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan; perhutanan; dan pertambangan, sebagaimana diatur di dalam Undang-undang
No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PBB-P2 dipungut setiap tahun oleh otoritas pajak daerah kabupaten/kota dengan Dasar
Pengenaan Pajak berupa Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Subyek pajak PBB-P2 adalah Wajib
Pajak Orang Pribadi (WPOP) atau Wajib Pajak Badan (WP Badan) yang memiliki/menguasai dan
memanfaatkan obyek pajak tersebut. Subyek pajak BPHTB adalah WP OP atau WP Badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, sedangkan objek pajak BPHTB sama dengan objek
pajak PBB-P2. Adapun, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak pusat yang pungut saat
terjadinya transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dari satu pihak kepada pihak
lainnya. Objek PPh atas pengalihan harta tersebut adalah penghasilan dari transaksi atas penjualan
tanah dan/atau bangunan, usaha atas jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa menyewa tanah
dan/atau bangunan, dengan dikenakan tarif final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 2008).
Menurut ketentuan pasal 79 ayat 1 UU PDRD, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi
dasar pengenaan PBB P2. Besarnya PBB-P2 terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan NJOP yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah kabupaten/kota
(Bupati/walikota). Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan besaran NJOP
tanah per m2 berdasarkan zona nilai tanah (ZNT) sebagaimana diatur dalam UU PDRD No. 28
Tahun 2009. PBB P2 merupakan pajak objektif, yaitu jenis pajak yang dalam memperhitungkan
9
beban pajaknya terlebih dahulu memperhatikan kondisi objeknya, baru kondisi subjek pajaknya.
Namun demikian, pada implementasinya dalam kondisi tertentu, kondisi objek pajak tidak selalu
mencerminkan kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak atau muncul permasalahan cash
poor taxpayer17.
Permasalahan cash poor tax payer menyebabkan timbulnya kesulitan wajib pajak untuk
membayar pajak. Mempertimbangkan hal ini, penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2
sebaiknya mengakomodasi konsep keadilan (equity) yang dicerminkan oleh kemampuan untuk
membayar (ability to pay) wajib pajak. Penyelarasan antara konsep pajak objektif dan keadilan
serta cash poor tax payer diakomodasi di dalam UU PBB melalui formula Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP) sebagai assessment ratio yang berfungsi untuk melakukan penyesuaian terhadap NJOP
yang ditetapkan berdasarkan harga pasar (market value). Assessment ratio ini memungkinkan
pemerintah untuk meringankan beban pajak wajib pajak dengan tidak membebankan dasar
pengenaan pajak secara penuh, misalnya hanya 20% atau 40% sebagaimana diatur dalam regulasi
di bawah rejim UU PBB selama ini. Namun demikian, saat ini konsep assessment ratio tidak lagi
diakomodasi di dalam UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tentang
PBB P2 dengan pertimbangan kesederhanaan dalam formula memperhitungkan beban pajak PBB
P2.
Pemerintah juga memiliki peran dalam pengaturan penggunaan lahan. Pemerintah dapat
mengontrol kenaikan harga tanah dengan melakukan pungutan pajak atas tanah. Untuk mengatasi
permasalahan yang ditimbulkan oleh para spekulan tanah sekaligus mengatasi ketimpangan sosial
terkait kepemilikan properti, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Berkeadilan
yang mencakup tiga hal pokok, yaitu (1) kebijakan berbasis lahan; (2) kebijakan berbasis
kesempatan; dan (3) kebijakan berbasis kapasitas sumber daya manusia.18 Pada kebijakan berbasis
lahan, reformasi agraria menjadi salah satu fokus dari paket kebijakan tersebut karena pemerintah
menilai penguasaan lahan secara berlebihan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk para spekulan dan
pengembang, menjadi penyebab terjadinya ketimpangan sosial atas kepemilikan properti.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung upaya pemerataan dalam usaha mewujudkan
keadilan sosial yang dilakukan melalui kebijakan perpajakan. Pemerintah juga memiliki wacana
17 Joan M. Youngman dikutip dari Victor Thuronyi. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: IMF. 18 Dapat dilihat di https://nasional.kontan.co.id/news/kebijakan-ekonomi-berkeadilan-begini-gambarannya
10
untuk mengenakan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized assets tax) atas tanah dan/atau
bangunan sebagai alternatif untuk melengkapi kebijakan perpajakan atas tanah dan/atau bangunan
yang berlaku saat ini.
Melengkapi kebijakan perpajakan atas tanah dan/atau bangunan yang berlaku saat ini,
pemerintah berwacana untuk mengenakan tarif pajak final progresif atas transaksi penjualan tanah
atas lahan tidak produktif (unutilized assets tax) dan pajak atas tanah dan/atau bangunan dengan
instrumen pajak progresif.19 Pajak ini dikenakan atas keuntungan yang berasal dari penjualan
tanah. Instrumen pajak progresif diharapkan dapat bersifat disinsentif bagi pihak spekulan dan
investor tanah dan/atau bangunan. Adapun, kebijakan tersebut ditujukan sebagai bentuk kebijakan
afirmatif (affirmative policy) dengan sumber pembiayaan pemerintah guna mengatasi dan
mengurangi ketimpangan sosial ekonomi.20
Salah satu pertimbangan permusan kebijakan alternatif tersebut, adalah di dalam
implementasinya ditemukan antara lain jumlah pajak yang dibayar atas transaksi jual/beli tanah
dan/atau bangunan lebih rendah dari potensi pajak berdasarkan nilai transaksi sebenarnya (nilai
wajar). Hal ini terjadi karena pihak penjual tidak melaporkan harga sebenarnya dalam transaksi
jual-beli, melainkan memilih nilai yang lebih rendah antara NJOP dan harga jual sebagai dasar
pengenaan pajak. Selain terindikasi adanya ketidakjujuran, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat
perbedaan NJOP antara satu properti dan properti lainnya di dalam sebuah kawasan, bahkan dalam
suatu wilayah yang sama. Perbedaan NJOP intra-kawasan tersebut dipengaruhi oleh faktor fasilitas
umum, seperti: akses ke jalan raya, rumah sakit, sarana pendidikan, dan tempat hiburan. Oleh
karena itu, pemerintah mengusulkan adanya perubahan basis pajak dari NJOP (wealth base)
menjadi capital gain base.
Capital gain tax adalah pajak atas keuntungan (gain) yang diperoleh dari selisih antara
harga jual dan harga perolehan (harga beli). Tantangan dari wacana kebijakan ini adalah
pemerintah memerlukan basis data yang kuat tentang data kepemilikan tanah dan harga perolehan
tanah yang sampai saat ini masih relatif sulit diperoleh mengingat data-data tersebut dimiliki oleh
19Dapat dilihat di
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170203095904-92-191022/plus--minus-pajak-progresif-tanah-
menganggur-racikan-jokowi 20Dapat dilihat di
http://bisnis.liputan6.com/read/2842815/atasi-ketimpangan-pemerintah-buat-program-ekonomi-berkeadilan
11
penjual dan pembeli. Dalam model yang sedikit berbeda, kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) telah mengakomodasi konsep ini dalam bentuk PPh Final yang bersifat progresif yang
dimodifikasi dari PPh Final Pasal 4 ayat (2). Pemilik/subjek pajak kendaraan bermotor saat ini
dapat dikenakan pajak progresif untuk kepemilikan kendaran kedua, ketiga, keempat dan
seterusnya, dilihat dari data kendaraan bermotor yang tercatat atas nama dan/atau alamat yang
sama. Kebijakan pajak progresif PBB-P2 dapat dipungut secara periodik.
Pada bab berikut ini akan dijelaskan mengenai pemetaan kebijakan pajak atas tanah
dan/atau bangunan yang berlaku di Indonesia saat ini. Bab selanjutnya mendeskripsikan mengenai
formulasi alternatif kebijakan pemajakan atas tanah dan/atau bangunan yang mampu mendukung
tujuan pemerintah dalam rangka mencapai kebijakan ekonomi berkeadilan, dengan administrasi
perpajakan yang lebih mudah, dan adanya penerimaan pajak berkesinambungan.
12
BAB 2
PERSPEKTIF TEORETIS PERPAJAKAN ATAS TANAH
2.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan pendapatan dan belanja negara dalam
upaya mempengaruhi permintaan agregat (khususnya permintaan sektor privat/swasta) dan
aktivitas ekonomi secara keseluruhan.21 Dalam mengelola perekonomian nasional, pemerintah
memiliki kewenangan untuk menentukan penerapan model kebijakan fiskal dalam berbagai aspek
meliputi penerimaan dari sektor perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pinjaman,
serta pengaturan belanja negara. Adapun, kebijakan fiskal ini tidak terlepas dari kebijakan
moneter.22 Kebijakan fiskal (fiscal policy) pada dasarnya menyangkut mobilisasi sumber-sumber
penerimaan negara, pengelolaan belanja negara, dan pembiayaan bila terjadi surplus maupun
defisit; sedangkan kebijakan moneter identik dengan pengelolaan jumlah uang beredar dan tingkat
suku bunga.
Kebijakan fiskal memiliki hubungan sekaligus mempengaruhi permintaan agregat.
Ilustrasi hubungan antara kebijakan fiskal dan permintaan agregat dapat dilihat pada grafik 2.1 dan
grafik 2.2 berikut ini.
21Granados, Caslos Mulas. (2006). Economics, Politics, and Budgets: The Political Economy of Fiscal Consolidations
in Europe. New York: Palgrave Macmillan. 22Walter Hellester mengutip R.D. Rotunda and J.E. Nowak, Treatise on Constitutional Law, Vol. 1, St. Paul:
Thomson/West, 4th edn, 2007, p.719, dalam Tax Aspects of Fiscal Federalism “A Comparative Analysis”. Edited by
Bizioly, Gianluigi & Sacchetto, Claudio. (2011). Amsterdams: IBFD.
13
Grafik 2.1 Ekspansi Permintaan Agregat
Sumber: Carlos Mulas Granados, 2006.
Dari grafik di atas terlihat bahwa apabila belanja negara meningkat (G), maka ekspansi fiskal
akan terjadi. Ekspansi fiskal tersebut akan menghasilkan titik keseimbangan baru dari semula titik
P1Y1 menjadi titik P2Y2 sebagai akibat bergesernya kurva AD1 menjadi AD2 yang
bersinggungan dengan kurva AS. Adapun, model kurva IS-LM di atas merupakan kombinasi
asumsi-asumsi model klasik dan Keynes, yakni pasar akan senantiasa berada dalam kondisi
keseimbangan.23 Kurva IS merupakan kurva yang menunjukan hubungan antara investasi dan
tabungan dengan kondisi investasi= tabungan (saving) (I=S). Sedangkan kurva LM menunjukkan
hubungan antara permintaan dan penawaran uang dengan kondisi, permintaan uang = penawaran
uang (L=M). Ini adalah suatu ekspansi dari permintaan agregat yang berdampak pada
meningkatnya output (produksi) dan harga (jual). Jika belanja negara meningkat maka produksi
dan harga akan meningkat. Adapun, dampak dari meningkatnya belanja negara terhadap ekspansi
fiskal diilustrasikan melalui grafik 2.2 berikut ini.
23Raharja, Prathama & Manurung, Mandala. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi: Mikroekonomi & Makroekonomi, edisi
ketiga. Jakarta: LPFEUI.
14
Grafik 2.2 Ekspansi Fiskal
Sumber: Carlos Mulas-Granados, 2006.
Dalam kebijakan fiskal, ekspansi fiskal merupakan istilah dari upaya pemerintah untuk
menurunkan tarif pajak dan/atau untuk meningkatkan belanja pemerintah. Sebaliknya, jika
pemerintah meningkatkan pajak dan/atau mengurangi belanja negara, maka hal itu disebut dengan
penyesuaian fiskal (fiscal adjustment).24 Grafik 2.2 di atas menunjukkan kondisi bahwa jika
belanja negara meningkat (G), maka akan menghasilkan titik ekuilibrium baru antara permintaan
barang dan jasa (IS1-IS2), sehingga pasar uang (LM) akan berada pada tingkat tertinggi dari output
(produksi) dan suku bunga. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja
negara akan menghasilkan ekspansi fiskal, yang kemudian akan menghasilkan kondisi titik
ekuilibrium baru antara permintaan dan pasar uang yang berada di tingkat tertinggi. Kondisi ini
menggambarkan suatu proses pertumbuhan ekonomi, yakni kenaikan harga disertai dengan daya
beli yang juga mengalami peningkatan. Ilustrasi beserta penjelasan dari kedua grafik tersebut
tersebut menggambarkan pentingnya peran negara dalam menentukan kebijakan fiskal. Dan,
kebijakan fiskal dan moneter saling berhubungan sehingga harus dikelola dengan baik untuk
mengoptimalkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Pemerintah melalui kebijakan fiskal senantiasa menjalankan peran utamanya dalam tiga
hal yang meliputi : a) realokasi sumber daya; b) stabilisasi ekonomi; dan c) redistribusi
24Op.cit., Granados, h.20.
15
pendapatan.25 Pada negara yang menerapkan kebijakan pendelegasian kekuasaan (desentralisasi),
pemerintah pusat dapat mendelegasikan beberapa kewenangan dari ketiga peran tersebut kepada
pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini dilakukan karena pelaksanaan
desentralisasi politik membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil. Pemerintah daerah
membutuhkan dana untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah masing-masing. Guna
mendukung pelaksanaan desentralisasi politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,
desentralisasi fiskal dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis. Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis dapat tumbuh melalui interaksi
politik antara pemerintah dan rakyat yang lebih konstruktif karena intensitas komunikasi politik
yang semakin meningkat.26 Dengan demikian, konsep kedaulatan berada di tangan rakyat akan
terwujud seiring dengan keterlibatan rakyat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan
fiskal oleh pemerintah.
Salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pendelegasian kekuasaan dalam
melakukan pemajakan (taxing power) kepada daerah. Konsep pendelegasian kekuasaan
perpajakan ini berlangsung di negara federal maupun kesatuan. Di negara federal maupun negara
kesatuan, perlu dibuat keputusan tentang pembagian pendapatan antara pusat dan daerah,
pembagian kewenangan pengelolaan pendapatan, dan pengelolaan hibah dari pemerintah kepada
konstituen (Foster, Jackman, dan Pearlman, 1980, hal. 31-34).27
2.2 Kebijakan Pajak
Pajak merupakan instrumen penting dalam pembahasan pembagian pendapatan dan
kewenangan atas pengelolaan pendapatan. Di hampir seluruh negara di dunia, penerimaan negara
terbesar berasal dari pajak. Oleh karena itu, pembahasan pembagian pendapatan dan kewenangan
atas pengelolaannya antara pemerintah pusat dan daerah tidak terlepas dari pembahasan mengenai
pajak yang dituangkan dalam kebijakan pajak sebagai salah satu kebijakan keuangan. Paul
Samuelson (1982) menyebutkan tiga instrumen dalam keuangan negara yang dapat mempengaruhi
kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yaitu:
25Op.cit., Granados, h.70. 26Irianto, Edi Slamet. (2009). Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta:
LaksBang Mediatama Yogyakarta. 27Smith, Brian C. (2012). Desentralisasi: Dimensi Teritorial Suatu Negara. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia.
16
(1) Pengenaan pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang berpotensi
menghambat perilaku konsumsi masyarakat dan investasi apabila beban pajak terlalu
tinggi;
(2) Pengeluaran pemerintah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Hal ini dikarenakan pengeluaran pemerintah dapat merangsang produksi
barang dan jasa dari para pelaku bisnis yang kemudian dapat menciptakan lapangan
pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat;
(3) Kebijakan pemerintah yang secara langsung dapat mengawasi jalannya sistem ekonomi
yang berada di dalam masyarakat untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Kebijakan tersebut juga berlaku bagi para
pengusaha sebagai pihak yang memproduksi barang dan jasa kepada konsumen dengan
motivasi keuntungan.
Terdapat empat fungsi dari pemerintah dalam suatu negara yaitu28:
(1) fungsi alokasi, yang merupakan proses penyediaan/penggunaan sumber daya secara
keseluruhan terkait barang privat dan barang publik, serta kombinasi pilihan dengan barang
sosial;
(2) fungsi distribusi. Dalam kondisi ketidaksempurnaan pasar yang menyebabkan
penumpukan kekayaan pada salah satu golongan atau kelompok masyarakat tertentu,
pemerintah melakukan pemerataan distribusi kekayaan dilakukan untuk mengurangi
kesenjangan tersebut;
(3) fungsi stabilisasi, yakni penerapan kebijakan anggaran sebagai alat untuk menjaga agar
jumlah lapangan pekerjaan tetap tersedia dan harga barang dan jasa tetap stabil; serta
(4) fungsi regulasi, dalam hal ini aktivitas ekonomi dikelola dengan baik hingga persaingan
sehat dapat tercipta.
Empat fungsi negara tersebut kemudian menjadi dasar perumusan poin-poin penting dari
fungsi pajak, yaitu (1) fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara yang aman, murah, dan
berkelanjutan; (2) fungsi pajak sebagai instrumen keadilan dan pemerataan di bidang ekonomi, (3)
fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan pembangunan; (4) fungsi pajak sebagai instrumen
28Rosdiana, Haula & Irianto, Edi Slamet. (2013). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
17
ketenagakerjaan; dan (5) fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim.29
Dalam mendesain sistem pemungutan pajak, terdapat empat asas yang menjadi landasan
berpikir dan pijakan dalam menentukan sasaran-sasaran reformasi perpajakan. Empat asas tersebut
merupakan pendapat dari salah satu ahli ekonomi terkenal yaitu Adam Smith, dikenal dengan
sebutan four maxims. Empat asas dalam mendesain sistem pemungutan pajak adalah (Rosdiana
dan Irianto, 2013) :
Pertama, asas equity/equality atau asas keadilan. Suatu sistem perpajakan yang ditetapkan
pemerintah dianggap berhasil jika masyarakat merasa bahwa pajak yang dikenakan bersifat adil,
yakni setiap orang membayar pajak sesuai dengan bagian dan kemampuannya dalam membayar
pajak, serta dapat merasakan manfaat dari pajak yang telah dibayarkan. Asas keadilan
memperhatikan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal adalah pengenaan
penerapan treatment pajak yang sama kepada wajib pajak yang berada dalam kondisi yang sama
(equal treatment for the equals). Sedangkan, keadilan vertikal adalah treatment pajak yang
berbeda kepada para wajib pajak dengan kondisi berbeda (unequal for the unequals).
Kedua, certainty (kepastian) bagi petugas pajak maupun wajib pajak. Asas ini berkaitan
dengan hukum dan regulasi yang mengatur segala bentuk aktivitas perpajakan di dalam suatu
negara. Asas kepastian mencakup kepastian akan siapa saja yang harus dikenakan pajak, apa saja
yang dijadikan objek pajak dan bagaimana kriterianya, serta besar jumlah pajak yang harus
dibayarkan dan bagaimana prosedur administrasinya. Kepastian hukum disini tidak hanya
mencakup kepastian mengenai subjek pajak (dan yang dikecualikan), objek pajak (dan yang
dikecualikan), dasar pengenaan pajak (DPP) serta besar tarif pajak, tetapi juga termasuk prosedur
pemenuhan kewajiban perpajakan seperti prosedur pembayaran dan pelaporan, serta pelaksanaan
hak-hak perpajakannya. Sommerfeld (1982) menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian
hukum, perlu disediakan petunjuk tentang pemungutan pajak yang terperinci, penetapan hukum,
maupun interpretasi hukum lainnya.30
Ketiga, convenience (kemudahan) yaitu kondisi pemungutan pajak dilakukan pada suatu
kondisi yang memberi kenyamanan bagi Wajib Pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau
29Ibid. 30Sommerfeld, Ray M. (1982). An Introduction To taxation. London: Harcourt Brace Javanovich Inc.
18
penghasilan lain seperti bunga deposito (pay as you earn). Kemudahan ini juga dapat berwujud
pembayaran pajak terhutang selama satu tahun yang dibayarkan berangsur setiap bulan, sehingga
tidak memberatkan wajib pajak ketimbang membayar seluruhnya pada akhir tahun.
Keempat, asas economy yaitu pajak seharusnya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk
melakukan konsumsi31, tidak memengaruhi pilihan produsen untuk memproduksi barang dan jasa,
serta tidak mengurangi keinginan orang untuk bekerja. Dalam menentukan tarif hendaknya tidak
dipilih tarif yang masuk dalam katoegori “prohibited area”, karena peningkatan tarif pajak yang
terlalu besar belum tentu akan berdampak pada meningkatnya penerimaan pajak atau dengan kata
lain justru dapat mengakibatkan terjadi penurunan penerimaan pajak. Selain itu dalam menerapkan
kebijakan pemberian insentif pajak. Insentif perpajakan harus tetap menjamin adanya level playing
field yang fair agar tidak menyebabkan entry barrier terutama bagi pihak yang lemah.
2.3 Pajak Properti (PBB-P2 & BPHTB)
Tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas namun dapat memberikan
keuntungan serta kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi bagi pemilik dan penggunanya. Tanah
merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga dapat digunakan sebagai modal investasi bagi
pemiliknya.32 Tanah dan bangunan merupakan harta tidak bergerak (immovable property). Salah
satu aspek yang melekat pada tanah adalah hak properti yang terdiri dari hak legal atas real object
yang di dalamnya termasuk fisik tanah dan bangunan, serta hak properti tidak berwujud, seperti
hak kepemilikan.33 Pajak properti berbasis kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan, dan
merupakan salah satu unsur pajak tertua yang menjadi sumber penerimaan utama suatu negara.
Pajak properti telah menjadi sumber penerimaan utama negara hingga dicetuskannya pajak
pendapatan dan pajak penjualan yang diterapkan sekitar abad ke-20 di kawasan Eropa.34 Walaupun
jumlah penerimaannya terbilang lebih kecil jika dibandingkan dengan Pajak Penghasilan dan Pajak
Penjualan, Pajak Properti tetap menjadi sumber pemasukan utama bagi negara hingga saat ini.
31 Pajak disini merupakan pajak yang masuk dalam klasifikasi fungsi budgetair, bukan regulerend dimana pengenaan
pajak akan suatu barang ditujukan untuk mengurangsi konsumsi masyarakat. 32Judowinarso, Endarto & Darwin. (2006). Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) & Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD). Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah. 33 Victor Thuronyi. Op.Cit. Hal. 268. 34Devas, Nick. (1989). Financing Local Government in Indonesia. Ohio University. Hal. 118.
19
Dilihat dari sejarahnya, pajak properti sudah mulai diterapkan pada masa pemerintahan
kerajaan-kerajaan, seperti halnya di periode akhir kekuasaan kekaisaran Romawi. Jenis pajak yang
stabil dan dipungut secara teratur berdasarkan transaksi dan harta kekayaan (property) mulai
bermunculan.35 Misalnya, pajak yang dikenakan atas tanah dan harta kekayaan atau yang dikenal
dengan istilah Danegeld diterapkan di Inggris pada masa itu. Hingga tahun 978 M, Danegeld
dipungut secara teratur dengan tarif yang ditetapkan sebesar 2 shilling untuk setiap 100-120 hektar
tanah.36
Dalam sejarahnya terdapat dua latar belakang pengenaan pajak properti. Pertama, latar
belakang yang berkaitan dengan penerimaan pemerintah daerah (local government finance), yakni
pemungutan pajak properti ditujukan untuk kepentingan pemerintah daerah dalam rangka
pembiayaan belanja daerah (local expenditure). Kedua, latar belakang sifat inelastis objek pajak.
Harga properti (tanah dan bangunan) yang selalu meningkat tidak serta merta menurunkan minat
masyarakat terhadap properti, karena sifatnya yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.
Dengan demikian, penerimaan pemerintah daerah dari sektor pajak properti diharapkan terus
menerus meningkat setiap tahunnya.
Terdapat lima fungsi pajak yang dapat dijadikan acuan dalam menerapkan kebijakan untuk
mengatur distribusi tanah (Sommerfeld, Anderson, dan Brock dalam Rosdiana dan Irianto, 2013),
yaitu: (1) raising revenues, yakni fungsi utama pajak sebagai pendapatan negara dan komponen
utama untuk mengisi kas negara; (2) economic price stability, yakni fungsi pajak sebagai
instrumen keadilan dan pemerataan terkait kebijakan dan program prioritas pemerintah, yang
dananya berasal dari pajak yang dibayarkan warga negara dalam rangka menciptakan stabilitas
harga barang termasuk tanah dan properti; (3) economic growth and full employment, yakni fungsi
pajak untuk mewujudkan millennium development goals, pembangunan nasional, dan
pembangunan regional; (4) economic development, yakni fungsi pajak sebagai instrumen
ketenagakerjaan terkait peran negara sebagai pengemban amanah yang menjamin semua warga
negara untuk berkesempatanan mendapatkan pekerjaan; dan (5) wealth redistribution, yakni
fungsi pajak sebagai instrumen kebijakan redistribusi sumber daya, termasuk kepemilikan tanah
sebagai tempat tinggal warga negara.
35Dapat dilihat di https://news.ddtc.co.id/sejarah-pajak-awal-kehadiran-pajak-10547 36Ibid.
20
Bahl dan Linn (1992)37 berpendapat bahwa pemajakan atas tanah dan bangunan dapat
menciptakan keadilan karena orang-orang yang memiliki tanah dalam jumlah besar atau relatif
luas, merupakan orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi; atau orang-orang kaya. Hasil
pemungutan pajak properti dari orang-orang kaya tersebut selanjutnya dapat disubstitusikan untuk
penyediaan tanah dan bangunan (rumah), serta pinjaman kredit rumah dengan bunga ringan untuk
masyarakat kalangan menengah dan bawah.38
Terkait dengan tarif, Youngman merumuskan pemajakan atas tanah dan bangunan, yang harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :39
1) Definisi dasar pengenaan pajak atau tax base: apakah pajak dihitung berdasarkan nilai tanah
saja, nilai tanah dan bangunan, atau dihitung berdasarkan wilayah?
2) Identifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran: apakah wajib pajak yang
membayar adalah pemilik, penyewa, atau pihak yang memanfaatkan?
3) Penentuan tarif pajak: apakah menggunakan tarif tunggal untuk semua objek dan subjek pajak
atau terdapat pembedaan pajak pada subjek yang memanfaatkan tanah untuk tempat tinggal
atau keperluan untuk bisnis?
4) Pembagian tugas administrasi dan pendapatan pajak antar tingkat pemerintah: apakah
pemungutan dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah, dan apakah terdapat keseragaman
kebijakan untuk semua daerah atau tergantung kebijakan dari pemerintah daerah masing-
masing?
Pembahasan mengenai tanah dan/atau properti membutuhkan diskursus yang cukup panjang,
seperti halnya di Amerika (USA). Dalam pembukaan United States National Association of
Realtors (kode etik), dikatakan bahwa tanah merupakan segalanya. Hal ini didasari pemikiran
bahwa tanah merupakan instrumen penting bagi manusia yang digunakan untuk bertahan hidup.
Selain sebagai tempat tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat bercocok tanam yang hasilnya
digunakan sebagai makanan (pangan) untuk dikonsumsi yang merupakan kebutuhan pokok
manusia. Kepemilikan tanah dan cara pendistribusian tanah secara luas terkait dengan kepentingan
politik yang menghubungkan negara dengan warga negaranya.
37 Bahl dan Linn (1992). Dalam Kumorotomo, Wahyudi. (2008). Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan
Kebijakan 1974-2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 38 Victor Thuronyi.Op.Cit.Hal. 266-267. 39 Victor Thuronyi.Op.Cit. Hal. 267-268.
21
Dalam pemajakan atas tanah, seringkali dilakukan pemisahan antara pajak tanah dan pajak
modal. Pemerintah hanya memajaki tanah karena sifatnya yang tidak berpindah-pindah
(immobile), berbeda dengan jenis modal lainnya yang cenderung dapat berpindah tempat (mobile).
Adapun penggabungan kedua jenis pajak tersebut akan menimbulkan inefisiensi di bidang
ekonomi. Dalam rangka menarik modal/investasi, pemerintah dapat menurunkan tarif pajak.
Namun, pendapat lain mengatakan bahwa secara administratif, penggabungan pajak tanah dan
modal, yang disebut dengan pajak properti, akan lebih efisien jika dibandingkan dengan adanya
pemisahan kedua jenis pajak tersebut. Pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan tarif pajak
karena ketidaktepatan dalam menentukan tarif pajak cenderung dapat menciptakan inefisiensi
ekonomi (Lee, 2003).40
Perspektif ekonomi secara umum menyatakan bahwa tanah dan modal harus dikenakan
perlakuan pajak yang berbeda karena adanya perbedaan basis pajak, seperti perbedaan tarif pajak
properti untuk properti perumahan, apartemen, properti komersial, dan properti khusus seperti
bandara dan pelabuhan. Basis pajak dalam pajak properti dibedakan perlakuannya dengan
mempertimbangkan berbagai macam faktor, seperti letak, peruntukan dan pemanfaatan bangunan.
Terdapat beberapa faktor dalam efisiensi ekonomi perpajakan atas tanah (Van den Brink
2007 dalam Brown dan Luthango, 2010), diantaranya : (1) pajak atas tanah tidak mendistorsi
insentif ekonomi (karena suplai/ketersediaan keseluruhan lahan bersifat tetap); (2) pajak atas tanah
bersifat adil, karena secara khusus menargetkan pendapatan yang diterima di muka (sewa) dan
terdapat nilai perbaikan tanah yang disebabkan oleh investasi publik; Dalam hal ini pemilik tanah
dikenakan pajak atas kepemilikan tanah dan potensi tanah yang dimilikinya, walaupun tidak
terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan pemiliknya; (3) pajak atas tanah dapat mengurangi
insentif bagi para spekulan tanah di daerah perkotaan dan pedesaan; (4) pajak atas tanah relatif
mudah untuk diadministrasikan karena sifat tanah yang tidak dapat disembunyikan.
Pajak properti memiliki peran penting dalam hal pengelolaan, penggunaan, dan distribusi
tanah. Pajak properti dapat dikategorikan dalam tiga jenis. Pertama, sistem flat rating, yakni pajak
atas nilai, meliputi nilai tanah dan nilai bangunan atau nilai pengembangan tanah; Kedua, site value
40 Lee, Kangoh. (2003). Should Land and Capital Be Taxed at a Uniform Rate? The Canadian Journal of Economics/
Revenue canadienn ed’ Economique, Vol. 36, No. 2 (May, 2003), pp. 350-372.
22
rating, yang merupakan pajak atas nilai tanah saja, tidak termasuk nilai bangunan dan
pengembangan; Ketiga, sistem two-rate (dua tingkat), yakni pengenaan pajak dengan tarif yang
lebih tinggi pada nilai tanah daripada nilai bangunan dan pengembangannya. Site value rating
merupakan pajak atas tanah yang menurut banyak ekonom merupakan jenis pajak yang paling
efisien dalam perpajakan atas tanah.
2.4 Pajak atas Idle Land (Capital Gain Tax & Unimproved Land Tax)
Modal (capital) dapat dikenakan pajak secara berkala atau periodik dan/atau pada saat
transaksi terjadi atau terjadi pengalihan kekayaan, seperti pajak kekayaan, pajak properti atas tanah
dan bangunan, serta retribusi perbankan. Modal lebih sering dikenakan pajak atas pengalihan,
berupa pajak atas pengalihan warisan atau pajak atas pengalihan harta-benda tidak bergerak dan
harta-benda bergerak. Namun, baru-baru ini pajak juga dikenakan atas transaksi keuangan
(Pistone, 2016). Pengenaan pajak di sektor individu/ perorangan atas keuntungan modal (capital
gain tax) telah diprediksi dan telah menjadi pembahasan para legislator di bidang perpajakan. Hal
tersebut erat kaitannya dengan perdebatan politik dalam konteks krisis keuangan dan perpajakan
yang tidak merata di sektor tenaga kerja dan capital gain.
Skema baru pajak atas keuntungan pada modal finansial (saham, obligasi, derivatif) dan
keuntungan dari transaksi real estate dapat dilihat dari hasil kajian di Austria oleh Zeiler pada
tahun 201641. Studi di Austria pada tahun 2011 menjelaskan bahwa pajak spekulasi atas capital
gain telah digantikan dengan treatment berbeda atas capital gain. Pada masa sebelum reformasi,
keuntungan tersebut dikenakan pajak ketika financial instrument (instrumen keuangan) dijual
dalam jangka waktu paling lama setahun. Saat ini, capital gain dikenakan pajak dengan tarif tetap
sebesar 25%. Dalam hal ini, pajak atas capital gain dapat langsung dipotong oleh bank, sama
seperti pajak atas bunga dan dividen, bahkan atas kerugian yang ditimbulkan dapat secara langsung
ditangguhkan oleh bank42. Pada tahun 2012, pajak atas capital gain yang terkait dengan transaksi
real estate direformasi. Sebelumnya, laba dikenakan pajak ketika properti dijual dalam jangka
waktu sepuluh tahun setelah akuisisi dilakukan. Saat ini, keuntungan tersebut menjadi objek pajak,
seperti halnya capital gain dengan tarif flat sebesar 25%. Pajak real estate wajib dihitung dengan
41 Zeiler, 2016. Mengutip kajian yang dilakukan oleh Marschner pada tahun 2011, dalam Michael Lang, et. all. (2016).
Trends and Players in tax Policy in European and International Tax Law and Policy Series. Amsterdam: IBFD. 42 Ibid.
23
bantuan pengacara atau notaris publik pada saat transaksi berlangsung dan harus dibayar sesegera
mungkin (Herzog, 2012 pada Lang, et.al., 2016). Namun, penjualan perumahan dibebaskan dari
jenis pajak ini.
Kebijakan pajak untuk tanah idle (idle land tax) ditujukan untuk mengoptimalkan
penggunaan lahan dan juga mencegah para spekulan tanah untuk berinvestasi di lahan kosong
dalam waktu yang relatif panjang tanpa adanya pemanfaatan yang produktif. Idle land
didefinisikan OECD sebagai tanah yang sedang dibudidayakan namun tidak digunakan,
terbengkalai, dan tanah alami (ditumbuhi tumbuhan hijau/tanah alami).43 Idle land tax juga
didefinisikan sebagai pajak ad valorem atas tanah kosong yang dipungut setiap tahun dengan dasar
pengenaan pajak harga properti riil yang dibiarkan menganggur (tidak dimanfaatkan) dan tidak
dikembangkan oleh pemilik properti.
Salah satu negara tetangga Indonesia di ASEAN yaitu Filipina, telah menerapkan
kebijakan idle land tax. Setelah diimplementasikan, kebijakan tersebut menimbulkan
permasalahan karena ketidakkonsistenan antar pemerintah daerah. Permasalahan utama
disebabkan karena tidak adanya definisi yang jelas atas lahan kosong (idle land). Akibatnya,
pemerintah Filipina sulit untuk memetakan dan menginventarisasi letak lahan kosong, yang
dikategorikan sebagai idle land. Permasalahan lain adalah penetapan tarif yang beragam antar
pemerintah daerah dan berdampak pada kesenjangan dalam pelaksanaannya.44
43OECD. 1997. Glossary of ENvirontment Statistic, Studies in Methods, Series F, No. 67. New York: United Nations.
Dapat dilihat di https://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=1276 44Dapat dilihat di http://cpbrd.congress.gov.ph/2012-06-30-13-06-51/2012-06-30-13-36-45/597-pb2016-02-idle-
land-tax-implementation-issues-and-challenges
24
BAB 3
KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI PAJAK TANAH
3.1 Perbandingan Kebijakan Tanah Antar Periode
Pajak atas tanah mengalami perubahan dari masa ke masa. Pajak Bumi dan Bangunan
merupakan jenis pajak yang tergolong paling tua, dibandingkan dengan Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai serta jenis pajak lain yang juga diberlakukan di Indonesia. Pajak Bumi dan
Bangunan sudah ada sejak sebelum jaman penjajahan sampai dengan saat ini, hanya bentuk
pengaturannya mengalami perubahan dari zaman ke zaman.
Pada jaman penjajahan Inggris dikenal adanya land rent yang diperkenalkan oleh Sir
Standfod Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris tahun 1811-1816, yang bermaksud
menerapkan politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Landrent adalah
peristilahan yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa atas penggunaan lahan yang harus
dibayarkan atau diapresiasikan pada lahan (Rustiadi, et al, 2006).45 Dalam aturan landrent, rakyat
yang menyewa tanah dan membayar pajak akan diberikan kebebasan untuk menanam tanaman
apapun di tanah yang disewanya. Landrent memiliki sistem yang memberlakukan ketentuan
bahwa petani harus menyewa tanah meskipun bertindak selaku pemilik dari tanah tersebut. Harga
sewa tanah bergantung pada kondisi tanah yang dimiliki, sedangkan sistem pembayaran sewa
tanah dilakukan dengan menggunakan uang tunai; dan, bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan
pajak per kepala (per orang). Besarnya tarif land rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil
produksi pertanian tergantung jenis produksinya. Terdapat kelemahan dari sistem land rent,
diantaranya: (1) rakyat pribumi terutama di pedesaan, tidak biasa menggunakan uang dalam sistem
pembayarannya,(2) pola feodalisme yang masih sangat kental dimasyarakat, (3) sulit menentukan
besar atau kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda, (4) sulit menentukan kondisi
tanah ataupun tingkat kesuburan tanah, serta (5) terbatasnya jumlah pegawai pemungut pajak.
Pada zaman penjajahan Belanda pemungutan land rent tetap diteruskan sebagai bentuk
pengakuan rakyat terhadap keberadaan Belanda di Indonesia, namun istilahnya diubah menjadi
45Ernan Rustiadi, et., al. (2006). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei. 2006. Fakultas Pertanian, IPB,
Bogor. Ife, J. 1996
25
landrente. Besarnya tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda adalah 20% dari produksi
pertanian. Pada masa ini, pemerintah Belanda mewajibkan kepada penduduk Indonesia untuk
menanam 20% lahan pertanian dengan tanaman tertentu yang ditentukan oleh Pemerintah Belanda
dan beberapa aturan untuk land rent dibuat dengan ordonansi-ordonansi, antara lain Ordonansi
Pajak Rumah Tangga1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928,
Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942. Dalam pemungutan land rent yang
menjadi objek pajak adalah tanah milik adat, sehingga pada waktu itu tanah dibedakan menjadi
tanah milik adat dan tanah hak barat dan dikenal istilah Verponding dan Verponding Indonesia.
Sistem pajak yang berlaku berbasis hasil bersih pertahun, klasifikasi tanah, persentase pajak, dan
pengenaan per bidang tanah. (Arsyad Ridani, 2015)
Pasca zaman penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Pemerintah Jepang
meneruskan sistem land rent namun dengan mengubah istilah land rent menjadi land tax (pajak
tanah). Administrasi pajak ditangani oleh kantor pajak yang disebut “Zaimubu Shuzeika” yang
sekaligus bertugas untuk melakukan survei dan pemetaan tanah di pulau Jawa dan Madura. Setelah
kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia meneruskan
pemungutan pajak atas tanah dengan nama Pajak Bumi yang kemudian diganti dengan istilah Pajak
Penghasilan atas Tanah Pertanian yang pemungutannya dikelola oleh jawatan pajak. Kebijakan
pajak tanah di Indonesia mengalami beberapa perubahan sebagaimana dijelaskan dalam uraian
berikut ini.
A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi
Kebijakan pajak atas tanah mulai diatur secara resmi pada tahun 1959 dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 11 tahun 1959 yang
mengatur pajak hasil bumi dan menghapus beberapa jenis pajak atas tanah yang dalam
pelaksanaannya menimbulkan kerumitan serta terdapat tumpang tindih dan menimbulkan beban
pajak berganda bagi masyarakat. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No 11 Tahun 1959 kemudian disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1961 dan pajak hasil bumi dikelola Direkrorat Pajak Hasil Bumi.
26
Didalam Perpu tersebut beberapa hal terkait pemajakan hasil bumi diatur, seperti
penentuan subjek pajak, objek pajak, pengecualian objek pajak, penetapan nilai hasil bumi untuk
pengenaan pajak, penetapan dan masa pajak, keberatan terhadap penetapan pajak kewajiban
pemilik tanah, pengurangan dan pembebasan pajak, pemungutan dan penyetoran, hak tagih dan
hak utama negara terhadap pajak hasil bumi yang terhutang, serta hasil pendapatan pajak hasil
bumi.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara tanggal 29 November 1965 Nomor
PMPPU 1-1-3 nama Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan
Daerah, dan istilah Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Ipeda serta diperkenalkan istilah sektor
pedesaan, perkotaan, perhutanan, dan pertambangan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor
11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat
dipungut pajak Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula 6
(enam) pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpang
tindih antara satu pajak dan pajak lainnya yang menyebabkan timbulnya beban pajak berganda
bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983
(antara lain, dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui
pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985), maka terdapat tujuh jenis pajak
kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan yang disederhanakan menjadi Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dilakukan pencabutan tujuh Undang-Undang yang telah berlaku sebelumnya
yaitu:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908,
Staatsblad 1908 Nomor 13) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 19 Tahun 1959.
b. Ordonansi Verponding Indonesia Nomor 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie
1923, Staatsblad tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Algemeene Verodeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblaad
Tahun 1931 Nomor 1680)
c. Ordonansi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928
Nomor 324) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No
29 Tahun 1959.
d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 ( Ordonanatie od de Vermogens Belasting 1932,
Staaatsblad Tahun 1932 Nomor 405 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1967
27
e. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonanntie 1942, Staatsblad 1942 Nomor 97)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Algemeene Verpordening
Oorlogmisdrijven (Staastsblad Tahun 1946 Nomor 47).
f. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah
(Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287)
Pasal 14 huruf j, k dan l
g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak
Hasil Bumi (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1860)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
didasari pemikiran bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat darinya. Oleh sebab itu, wajar apabila kepada mereka diwajibkan
memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pajak. Selain itu, landasan hukum IPEDA dianggap kurang jelas karena terdapat beberapa macam
pungutan pajak yang bertumpu pada objek yang sama atas tanah dan bangunan serta sangat
memberatkan masyarakat. Faktor lainnya adalah peraturan yang disusun pada jaman kolonial
sudah tidak lagi sesuai dengan falsafah Pancasila dan tuntutan pembangunan yang terus
meningkat. Sehingga, bertolak dari hal tersebut, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985
diberlakukan dan dilakukan penyederhanaan tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah
dan bangunan menjadi Pajak Bumi dan Bangunan.
Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 diatur bahwa
hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90%
untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah
yang bersangkutan (Siahaan, 2009). Hasil penerimaan PBB sebesar 10% merupakan bagian
Pemerintah Pusat yang berasal dari seluruh kabupaten/kota pada tahun pajak berikutnya.
Pembagian didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Sejak tahun 2001
alokasi pembagian ditentukan dengan imbangan sebagai berikut: (a) 65% dibagikan secara merata
kepada seluruh daerah kabupaten/kota; (b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun
28
anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Hal tersebut
didasari pemikiran bahwa penggunaan hasil penerimaan PBB diarahkan kepada tujuan untuk
kepentingan masyarakat di daerah tempat objek pajak berada. Oleh karena itu, sebagian besar hasil
penerimaan PBB tersebut diberikan kepada pemerintah daerah sebagai pendapatan daerah yang
setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dengan demikian, penggunaan hasil penerimaan pajak tersebut diharapkan menstimulus perilaku
masyarakat di daerah letak objek pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak sekaligus
mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan (Siahaan, 2009).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Setelah hampir satu dasawarsa berlakunya Undang-Undang Nomor 1985 dan dengan
semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya objek pajak, serta untuk
menyelaraskan pengenaan pajak dengan amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka
dilakukan penyempunaan terhadap Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Sehingga, pada
tahun 1994 pemerintah menerbitkan UU 12/1994 sebagai Perubahan UU 12/1985 dengan
melakukan perubahan atas beberapa pasal. Esensi dari perubahan ini adalah terjadinya
perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya bidang perekonomian serta
penyesuaian atas praktek perkembangan penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung
dalam UU 12/1985. Perubahan dalam Undang-Undang 12 tahun 1985 menjadi Undang-Undang
12 tahun 1994 terdapat dalam ketentuan pasal 3 dan pasal 23, serta penghapusan beberapa pasal
yaitu pasal 17 dan pasal 27. Dengan dihapusnya ketentuan pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi
dan Bangunan mengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3566) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penerbitan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 mengakibatkan perubahan pada besaran
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak bahwa terjadi kenaikan dalam penetapan besaran Nilai
Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dari sebelumnya Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap
wajib pajak menjadi Rp8.000.000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Perubahan
dilakukan dalam rangka memberikan keadilan dalam pengenaan pajak. Berikut adalah tabel
matriks perbandingan UU Nomor 12 tahun 1985 dan UU Nomor 12 tahun 1994.
29
Tabel 3.1 Matriks Perbandingan UU No. 12 Tahun 1985 dengan UU No. 12 Tahun 1994
No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 UU No. 12 Tahun 1994
1 Objek Pajak 1. Objek Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah
objek pajak yang:
a) Digunakan semata-mata
untuk melayani kepentingan
umum dibidang ibadah,
sosial, kesehatan,
pendidikan, dan
kebudaayaan nasional yang
tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan.
b) Digunakan untuk kuburan,
peninggalan purbakala, atau
yang sejenis dengan itu.
c) Merupakan hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan
wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang
dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
d) Digunakan perwakilan
diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan
timbal balik
e) digunakan oleh badan/atau
perwakilan organisasi
internasional yang
ditentukan oleh Menteri
Keuangan
2. Objek pajak yang digunakan oleh
negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan
pajaknya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah
3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak
4. Penyesuaian besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan
1. Objek Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek
pajak yang:
a) Digunakan semata-mata untuk
melayani kepentingan umum
dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan, dan
kebudaayaan nasional yang
tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan.
b) Digunakan untuk kuburan,
peninggalan purbakala, atau
yang sejenis dengan itu.
c) Merupakan hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak.
d) d.Digunakan perwakilan
diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan
timbal balik.
e) digunakan oleh badan/atau
perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
2. Objek pajak yang digunakan oleh
negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan
pajaknya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah
3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak
4. Penyesuaian besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan
30
No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 UU No. 12 Tahun 1994
2 Keberatan dan Banding 1. Wajib Pajak dapat
mengajukan banding
kepada badan peradilan
pajak terhadap keputusan
yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (6)
dan Pasal 16 ayat (3)
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya surat
keputusan oleh Wajib
Pajak dengan dilampiri
salinan surat keputusan
tersebut
2. Permohonan banding
diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia.
3. Pengajuan permohonan
banding tidak menunda
kewajiban membayar
pajak
Dihapus
3 Ketentuan Lain-Lain Terhadap hal-hal yang tidak diatur
secara khusus dalam Undang-undang
ini,berlaku ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983
tentangKetentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan serta peraturan
perundangundangan lainnya.
Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini,
berlaku ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994 (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3566) serta peraturan perundang-
undangan lainnya
Sumber: diolah oleh penulis
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Selanjutnya, seiring dengan bergulirnya reformasi di Indonesia, pada tanggal 15 September
2009, telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Hal paling fundamental
dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 adalah dialihkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi
31
pajak daerah, sedangkan PBB atas kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan tetap
dipungut oleh pemerintah pusat (Halim, 2014).46
Berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD),
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang semula merupakan pajak pusat saat ini telah beralih
menjadi pajak daerah, termasuk urusan pengadministrasiannya. Pengalihan PBB dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dilakukan paling lambat tanggal 1 Januari 2014. Tujuan dari
pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah adalah dalam rangka meningkatkan local taxing power,
yakni kewenangan penuh pemerintah daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi
pemungutan dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Peningkatan local taxing power dilakukan dengan cara memperluas objek pajak
daerah dan retribusi daerah, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan
diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah, dan menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen
penganggaran dan pengaturan kepada daerah. Sehingga, dengan adanya pengalihan ini,
penerimaan PBB atas tanah masuk sepenuhnya menjadi penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, kewenangan pemajakan atas bumi dan bangunan dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, termasuk pemungutan terhadap bea perolehan atas tanah dan bangunan. Dalam
pengelolaannya, penetapan tersebut bersifat closed list artinya pemerintah daerah tidak boleh
mengatur hal-hal selain yang sudah diatur dalam Undang-undang.
Terdapat beberapa perubahan signifikan dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009. Perubahan pertama, besaran penentuan tarif. Pada Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009, tarif Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah sebesar maksimal
0,3%, sedangkan pada Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor
Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,5% ; Perubahan kedua, penentuan Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Terdapat perubahan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang pada Undang-undang lama diberikan batasan setinggi-tingginya Rp12.000.000,-,
sedangkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, besarnya NJOPTKP ditentukan paling
46Halim, Abdul., Bawono, Icuk Rangga & Dara, Amin. (2014). Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
32
rendah Rp10.000.000,- dan penetapannya dilakukan oleh kepala daerah; Selanjutnya, perubahan
ketiga, perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan/perkotaan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,tidak lagi menggunakan presentase Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP), sehingga perhitungannya langsung mengalikan tarif dengan nilai selisih antara NJOP dan
NJOPTKP.
Tabel 3.2 Matrik Perbandingan UU PBB dengan UU PDRD
No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No
12 Tahun 1994 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
1 Subjek Pajak Orang atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan. (Pasal 4 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 1985)
Orang Pribadi atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas
Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas Bangunan. (Pasal 78
ayat (1)
2 Wajib Pajak Subyek Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang
dikenakan kewajiban membayar
pajak atau pihak yang ditetapkan
oleh Direktur Jendral Pajak (Pasal 4
ayat (2) dan (3) UU No. 12 Tahun
1985)
Subyek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang dikenakan
kewajiban membayar pajak atau
pihak yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak (Pasal 4 ayat (2) dan (3)
UU No. 12 Tahun 1985)
3 Objek Pajak Bumi dan/atau bangunan. (Pasal 2
ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985)
Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. (Pasal 77 ayat (1)
4 Objek Pajak yang tidak
dikenakan Pajak Bumi
dan Bangunan
a. digunakan semata-mata untuk
melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan; b.
digunakan untuk kuburan,
peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu; c. merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam,
hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh
desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak; d. digunakan
digunakan oleh Pemerintah dan
Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan; b. digunakan semata-
mata untuk melayani kepentingan
umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan; c. digunakan untuk
kuburan, peninggalan purbakala, atau
yang sejenis dengan itu; d. merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam,
hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh
33
No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No
12 Tahun 1994 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
oleh perwakilan diplomatik,
konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik; e. digunakan oleh
badan/atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan. (Pasal 3 ayat (1)
UU No. 12 Tahun 1994)
desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak; e. digunakan oleh
perwakilan diplomatik dan konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal
balik; dan f. digunakan oleh
badan/atau perwakilan lembaga
internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan. (Pasal
77 ayat (3)
5 Tarif PBB Sebesar 0,5% (lima persepuluh
persen) (Tarif tunggal) (Pasal 5 UU
No. 12 Tahun 1985)
Paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma
tiga persen) (Pasal 80 ayat (1)
6 Penentuan NJOP Ditetapkan setiap tiga tahun oleh
Menteri Keuangan, kecuali untuk
daerah tertentu ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan
daerahnya (Pasal 6 ayat (2) UU. No
12 Tahun 1985)
Ditetapkan oleh Kepala Daerah setiap
3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek
pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan
wilayahnya. Pasal 79 ayat (2) dan (3)
7 Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP)
Serendah-rendahnya 20% (dua
puluh persen) dan setinggitingginya
100% (seratus persen) dari Nilai Jual
Objek Pajak (Pasal 6 ayat (3) UU
No. 12 Tahun 1985) Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002
tentang Penetapan Besarnya Nilai
Jual Kena Pajak Untuk
Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan, NJKP adalah: 1) sebesar
40% (empat puluh persen) dari Nilai
Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual
Objek Pajaknya
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) atau lebih; 2) sebesar 20%
(dua puluh persen) dari Nilai Jual
Objek Pajak apabila Nilai Jual
Objek Pajaknya kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Tidak dipergunakan (Tidak ada)
8 Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP)
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan
sebesar Rp.8.000.000,00 (delapan
juta rupiah) untuk setiap Wajib
Pajak (Pasal 3 ayat (3) UU No. 12
Tahun 1994) Berdasarkan ketentuan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak. (Pasal 77 ayat (4)
34
No Materi Pengaturan UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No
12 Tahun 1994 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Pasal 2 ayat (3) dan (4) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
23/PMK.03/2014, Besaran
NJOPTKP selain sektor perdesaan
dan perkotaan adalah sebesar
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah)
9 Penentuan Besaran PBB
Terutang
Tarif Pajak x Nilai Jual Kena Pajak
a. 0,5% x 40% (NJOP-NJOPTKP)
jika NJOP Rp 1 Miliar atau lebih b.
0,5% x 20% (NJOP-NJOPTKP) jika
NJOP kurang dari Rp 1 Miliar
(Penjelasan Pasal 6 UU No. 12
Tahun 1985)
Tarif Pajak (Max 0,3%) x (NJOP-
NJOPTKP) (Pasal 81)
10 Kewenangan
Pemungutan/Penagihan,
Pendataan, Penerbitan
Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang, Surat
Ketetapan Pajak Surat
Tagihan Pajak
Menteri Keuangan (oleh Direktorat
Jenderal Pajak) dapat dilimpahkan
penagihan kepada Kepala Daerah
(Pasal 9, 10, 11, 12, 14 UU No. 12
Tahun 1985)
Kepala Daerah (Pasal 84)
11 Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
Tidak Diatur Diatur dalam Pasal 85-90
Sumber: diolah oleh penulis
35
3.2 Kebijakan Pajak atas Tanah Idle di Berbagai Negara
Setahun terakhir ini, Pemerintah sedang mengkaji penerapan Pajak Tanah Kosong atau
Pajak Tanah Menganggur yang di berbagai literatur dikenal dengan Vacant Land Tax atau Idle
Land Tax. Dalam hal ini, tanah idle didefinisikan sebagai lahan tanah yang dibiarkan kosong atau
tidak difungsikan oleh pemiliknya. Dengan demikian, kebijakan pemajakan tanah idle memiliki
fungsi regulerend, yakni dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas melalui optimalisasi
pemanfaatan tanah, bukan sekedar untuk menghimpun penerimaan pajak dari masyarakat guna
menjalankan fungsi pemerintahan (fungsi budgetair). Sebagaimana diketahui bahwa tanah
merupakan salah satu faktor produksi, selain tenaga kerja (labor), modal (capital), dan
kewirausahaan (entrepreneurship), yang dapat diutilisasi untuk meningkatkan produktivitas
nasional atau pendapatan nasional bersama-sama dengan faktor-faktor produksi lainnya tersebut.
Pemajakan atas tanah idle di berbagai negara merupakan salah satu aplikasi kebijakan
pajak properti yang tidak populer (Kopanyi dan Haas, 2017). Kebijakan tersebut dikatakan tidak
populer karena basis pengenaan pajak atas tanah idle ini adalah kekayaan yang tidak identik
dengan kemampuan membayar tunai (ability to pay cash) dari pemiliknya. Sebagaimana pajak
properti lainnya, salah satu kendala yang dialami subjek pajak adalah ability to pay cash untuk
membayar pajak. Sebagai contoh, seorang pensiunan yang memiliki sebuah rumah di pusat kota
dan menempati rumah tersebut, belum tentu memiliki kemampuan membayar tunai atas pajak yang
dikenakan, dibandingkan dengan seorang pengusaha yang tinggal di pinggir kota. Pada umumnya,
pada hukum pajak properti terdapat pasal-pasal tertentu yang mengatur mengenai kemungkinan
pengurangan pajak karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek
pajak, seperti yang terdapat pada Pasal 19 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).
Selain karena kemampuan membayar tunai yang tidak dimiliki subjek pajak, kendala lain
dalam mengimplementasikan kebijakan pemajakan atas tanah idle adalah pemahaman masyarakat
yang tidak sejalan dengan maksud tujuan pemerintah untuk mengenakan pajak atas tanah idle. Hal
tersebut terjadi karena kurangnya sosialisasi pengenaan pajak dan pemilihan bentuk kebijakan
fiskal yang tidak sesuai dengan kondisi sosial dan politik masyarakat setempat. Sebagai contoh,
pajak atas tanah idle yang diterapkan di Republik Demokratik Kongo tidak berkontribusi
signifikan bagi penerimaan pajak. Pada tahun 2009, penerimaan pajak properti berkontribusi 1%
terhadap penerimaan pajak nasional dan pajak atas tanah idle hanya berkontribusi sedikit, yakni di
bawah 1%. Masyarakat Kongo berkeyakinan bahwa tanah merupakan warisan nenek moyang dan
36
secara fundamental merupakan bagian dari hidup mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu
membayar pajak (Nwezwanga: 2009 dalam Kopanyi: 2017). Secara politis, kebijakan tersebut
cenderung sensitif untuk diimplementasikan, sehingga Pemerintah tidak terlalu menekan
masyarakat untuk membayar pajak.
3.2.1 Latar Belakang Timbulnya Tanah atau Lahan Idle
Haas dan Kopanyi (2017) menyebutkan bahwa identifikasi latar belakang suatu lahan
dibiarkan idle atau ‘menganggur’ menentukan cara pemajakan atas tanah idle yang efisien dan
efektif. Terdapat lima alasan suatu lahan tanah dibiarkan idle, antara lain:
1. Lahan sisa
Lahan ini merupakan lahan-lahan yang tersisa dari pembangunan fisik yang dilakukan di
sekitarnya dengan beberapa karakteristik, seperti ukuran lahan relatif kecil atau sempit,
bentuknya tidak beraturan, dan tidak kondusif untuk pembangunan skala besar.
2. Lahan dengan keterbatasan fisik
Lahan ini memiliki kendala fisik, diantaranya terletak di kawasan rawan banjir atau kawasan
rawa yang tidak memungkinan untuk dipasang konstruksi teknik yang memadai.
3. Lahan sebagai cadangan perusahaan
Perusahaan besar cenderung membeli lahan untuk mengantisipasi ekspansi bisnis di masa yang
akan datang. Biasanya, kawasan yang diminati adalah yang relevan dengan industri yang
digeluti, seperti lahan di kawasan industri tertentu.
4. Lahan untuk kepentingan umum
Lahan ini dibiarkan kosong dengan regulasi pemerintah untuk mengantisipasi pembangunan
fasilitas publik, seperti jalan raya.
5. Lahan untuk spekulasi
Lahan ini dibiarkan kosong oleh pemiliknya dengan tujuan investasi, yakni dijual kembali di
kemudian hari dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Berdasarkan lima jenis lahan kosong di atas, lahan kosong untuk spekulasi cenderung lebih
tepat dikenakan pajak lebih tinggi dibandingkan keempat jenis lahan kosong lainnya. Adams,
Disbury et al (2002) sebagaimana dikutip Haas dan Kopanyi (2017) mencatat bahwa lama waktu
tanah dibiarkan idle dapat menjelaskan alasan suatu lahan dibiarkan idle. Apabila suatu lahan
37
dibiarkan idle untuk jangka waktu lama tanpa adanya transaksi, terindikasi bahwa lahan tersebut
kemungkinan memiliki kendala dalam pembangunan atau pengembangan daripada alasan
spekulasi. Sebaliknya, suatu lahan yang sering ditransaksikan tanpa pembangunan atau
pengembangan, terindikasi bahwa lahan tersebut sebenarnya cocok untuk dibangun atau
dikembangkan. Selanjutnya, Haas dan Jones (2016) juga menyatakan bahwa alasan lain suatu
lahan dibiarkan idle adalah karena kendala legal, misalnya lahan tersebut berada di kawasan rawan
sengketa atau terjadi perselisihan perebutan hak atas tanah.
Tantangan yang Dihadapi
Dalam menerapkan pajak atas tanah idle, terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan
bagi para administrator pajak untuk mewujudkan sistem pemajakan sesuai asas pemajakan yang
dikemukakan Adam Smith, yaitu asas keadilan (equity), asas kepastian (certainty), asas
kenyamanan (convenience), dan asas kemudahan (simplicity). Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam menerapkan pajak atas tanah idle, antara lain:
1. Melakukan Estimasi Nilai Tanah
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai harga tanah pada suatu
wilayah, seperti metode perbandingan harga (comparable sales), metode analisis pendapatan
(income analysis), dan metode analisis biaya (cost analysis). Metode comparable sales dilakukan
dengan cara membandingkan nilai jual-beli dari beberapa transaksi jual-beli lahan di sekitar lahan
yang akan dinilai. Sebagai contoh, ketika suatu lahan yang terletak di pusat kota akan dinilai
namun tidak diketahui harganya, maka dapat dicari data harga jual-beli dari notaris di kawasan
tersebut dan diperoleh data harga dari tiga transaksi jual-beli lahan yang baru saja terjadi, yakni
Rp 1.000.000,-/m2, Rp 1.500.000,-/m2, dan Rp 2.000.000,-/m2. Dengan demikian, perkiraan harga
untuk lahan di kawasan tersebut adalah sekitar Rp Rp 1.500.000,-/m2 sesuai dengan nilai rata-rata
transaksi tersebut. Dengan bantuan teknologi komputer, saat ini sudah dapat dilakukan analisis
penentuan nilai tanah melalui proses interpolasi dua hingga tiga dimensi, sepanjang data-data
pembanding tersaji dengan lengkap.
Metode income analysis dilakukan dengan cara memperkirakan nilai tanah dengan cara
mengkapitalisasi nilai penghasilan yang diperoleh dari lahan tersebut. Sebagai contoh, apabila
suatu lahan kosong dibangun rumah dan disewakan, maka harga sewa rumah tersebut adalah
38
sekitar Rp 100.000.0000,-/tahun. Dengan tingkat kapitalisasi 20 kali lipat atau tarif diskon sebesar
5%, maka nilai tanah dan/atau bangunan tersebut diperkirakan sebesar Rp 2 miliar dengan dasar
penghitungan Rp 100.000.000,- x 20 (atau Rp 100.000.000,- : 5%). Terakhir, metode cost analysis
dilakukan dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek
tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik
objek tersebut. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan nilai bangunan baru maupun nilai
bangunan lama.
2. Menentukan Definisi Tanah Idle
Menentukan suatu lahan dikategorikan sebagai tanah idle atau bukan termasuk salah satu
masalah krusial bagi konseptor pajak. Pengertian tanah idle harus didefinisikan secara jelas agar
timbul kepastian hukum dan mencegah perbedaan persepsi antara fiskus dan Wajib Pajak di
kemudian hari. Sebagai contoh, administrator pajak di Filipina mendefinisikan suatu lahan sebagai
tanah idle dan menjadi objek pajak apabila memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut: (a) tanah
selain pertanian yang berlokasi di kota atau kabupaten lebih dari 1.000 m2 dan setengah bagian
dari lahan tersebut dibiarkan tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan; (b) tanah
pertanian atau agraris lebih dari satu hektar yang layak dijadikan tempat bercocok tanam maupun
pembudidayaan ikan, namun setengah bagian dari lahan tersebut tidak ditanami atau tidak
dikembangkan oleh pemilik lahan. Namun demikian, lahan yang ditanami tumbuh-tumbuhan
secara alamiah-permanen maupun sengaja ditanami minimal sebanyak 50 pohon per hektar, serta
lahan untuk penggembalaan ternak, tidak termasuk pengertian tanah idle yang dapat dipajaki.
3. Pertimbangan Isu Ekonomi dan Demografi
Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya, disamping penentuan nilai dan definisi
lahan idle adalah pertimbangan isu ekonomi dan demografi agar tidak terjadi kondisi kontra
produktif. Suatu kawasan dengan banyak lahan idle yang terletak di wilayah dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertambahan penduduk tinggi mengindikasikan kemungkinan
tindakan spekulasi dari para pemilik tanah. Sementara itu, suatu kawasan dengan banyak lahan
idle yang terletak di wilayah dengan kondisi ekonomi stagnan dan tingkat pertumbuhan penduduk
melambat mengindikasikan tingginya biaya pembangunan dan pengembangan wilayah. Dengan
demikian, pajak atas tanah idle dapat disasar pada wilayah dengan ciri terdapat kondisi strong
39
local economy (ekonomi lokal yang kuat) dan fast growing population (laju pertumbuhan
penduduk yang cepat) seperti yang dialami beberapa negara berkembang.
Beberapa kota di negara-negara maju tidak lagi menerapkan pajak atas tanah idle karena
kondisi ekonomi lokal cenderung stagnan dan jumlah penduduk cenderung berkurang. Contohnya,
twin city Minneapolis - St. Paul di Minnesota, Amerika Serikat yang ditinggalkan sebagian
penduduknya untuk migrasi ke kawasan green belt sesuai program transmigrasi yang dicanangkan
pemerintah. Namun demikian, beberapa kota lain dengan kondisi ekonomi lokal yang kuat tetapi
tanpa laju pertumbuhan penduduk yang cepat masih mempertahankan pengenaan pajak atas tanah
idle, seperti Washington DC di Amerika Serikat dan Vancouver di Kanada. Pemerintah kota
Washington DC menerapkan beberapa pajak properti, diantaranya pajak properti secara umum
(seperti PBB di Indonesia) dengan tarif 0,83% dari perkiraan harga pasar, pajak atas lahan kosong
dengan tarif 5% dari perkiraan harga pasar, serta pajak atas bangunan runtuh atau usang dengan
tarif 10% dari perkiraan harga pasar.
3.2.2 Catatan Bank Dunia atas Pemajakan Tanah di Dunia
The World Bank (Bank Dunia) menginventarisir beberapa metode pengenaan pajak terkait
tanah pada umumnya dan lahan idle pada khususnya, antara lain Pemajakan Nilai Tanah,
Pemajakan Nilai Pasar, Pengenaan Extra Tax pada Lahan Idle, Pemajakan berbasis Nilai Sewa
Tahunan (Annual Rental Value Based Taxation), Pemajakan Basis Wilayah (Area Based
Taxation), dan Pajak atas Pengalihan Properti Tak Gerak (Tax on Transfer Immovable Property).
Uraian atas masing-masing metode dijabarkan sebagai berikut:
1. Pemajakan Nilai Tanah
Metode pemajakan ini dianggap kurang adil karena tidak memasukkan unsur bangunan dalam
penghitungan basis pajak serta tidak mengenakan pajak tambahan atas lahan idle. Dengan tidak
dimasukkannya unsur bangunan dalam basis pengenaan pajak, seorang pemilik tanah dengan
bangunan besar akan membayar pajak yang sama dengan pemilik lahan kosong.
2. Pemajakan Nilai Pasar
Metode ini menggunakan harga transaksi jual-beli sebagai basis pengenaan pajak. Harga transaksi
yang disepakati antara penjual dan pembeli dihimpun dari kantor notaris. Apabila harga transaksi
dari jual-beli tidak tersedia, harga taksiran juga diakses pada pihak-pihak yang memiliki
40
kepentingan terhadap penilaian properti, seperti pihak bank (apabila terdapat properti yang
diagunkan) dan pihak perusahaan asuransi (apabila suatu properti diasuransikan).
3. Pengenaan Extra Tax pada Lahan Idle
Metode ini memilah pajak sesuai dengan karakteristik lahan, seperti pajak atas lahan umum dan
tambahan pajak atas lahan idle. Adapun dalam mengenakan pajak ekstra tersebut atas lahan idle,
terdapat beberapa teknik pemajakan yang dapat digunakan, yaitu:
a. Teknik Best Possible Use
Teknik pemajakan ini digunakan di beberapa negara maju, seperti di Kanada dan Amerika
Serikat. Estimasi basis pajak atas lahan idle dilakukan dengan identifikasi “properti built-up
yang dapat dibandingkan” (comparable built-up properties) untuk mendapatkan kemungkinan
kegunaan terbaik (best possible use) dari lahan kosong, yakni bangunan terbaik yang dapat
didirikan dan dikembangkan oleh seorang investor di zona nilai tanah yang sama. Sebagai
contoh, jika suatu lahan idle seyogyanya dapat dibangun suatu gedung 30 lantai, pengenaan
pajak ekstra atas lahan idle tersebut dihitung dengan tingkat persentase dari nilai gunanya.
b. Teknik Split Taxation of Land and Improvements
Teknik pemajakan ini membedakan tarif pajak properti menjadi dua, yaitu pajak tanah
umumnya dan tambahan pajak untuk pembangunan. Sebagai contoh, pemerintah Kota
Harrrisburg di Negara bagian Pennsylvania mengenakan pajak umum untuk lahan dengan tarif
3% dari perkiraan nilai tanah dan mengenakan pajak tambahan 0,5% dari perkiraan nilai
bangunan untuk pembangunan dan pengembangan yang dilakukan.
c. Surtax on Vacant Property
Teknik pemajakan ini mengenakan pajak tambahan atas lahan kosong yang dibiarkan idle oleh
pemiliknya. Sebagai contoh, atas lahan idle di Seoul, Korea Selatan dikenakan pajak tambahan
dengan tarif bervariasi sesuai dengan lama waktu idle, mulai dari tarif 2% untuk lama waktu
idle hingga 2 tahun, sampai dengan tarif 10% untuk lama waktu idle hingga lebih dari 10 tahun.
Di Seattle, salah satu kota dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Amerika Serikat,
terdapat banyak lahan kosong yang difungsikan sebagai lahan parkir (parking lot). Lahan
parkir tersebut seyogyanya dibutuhkan namun tidak mencerminkan nilai guna terbaik. Dengan
demikian, pemerintah kota mengenakan pajak tambahan sebesar 12,5% atas lahan tersebut
sejak tahun 2010 yang akan dinaikkan menjadi 17,5% di tahun 2017.
41
d. Taxing Vacant Built-Up Properties
Umumnya tidak banyak lahan kosong tersedia di beberapa kota besar di negara-negara maju.
Hal ini berbeda dengan ketersediaan bangunan kosong, yakni bangunan-bangunan usang yang
sengaja dikosongkan, seperti bangunan kantor, apartemen, maupun pabrik. Seringkali
pengembang membongkar bangunan namun menunda pendirian bangunan baru, sehingga
bangunan usang tersebut juga dikategorikan sebagai lahan idle dan dikenakan pajak tambahan.
Sebagai contoh, pemerintah kota Washington DC di Amerika Serikat mengenakan pajak
properti dalam tiga jenis, yakni pajak atas regular property dengan tarif 0,83% dari perkiraan
nilai pasar, vacant land property dengan tarif 5% dari perkiraan nilai pasar, serta
blighted/ruined property dengan tarif 10% dari perkiraan harga jual.
4. Pemajakan Berbasis Nilai Sewa Tahunan
Sistem nilai digunakan di sekitar empat puluh negara di dunia, khususnya di negara-negara bekas
koloni Inggris di Asia maupun Afrika. Teknik pemajakan ini menggunakan nilai sewa berdasarkan
transaksi harga pasar wajar sebagai basis pengenaan pajak. Kelangkaan data pembayaran sewa
aktual seringkali menjadi kendala dalam menaksir basis pemajakan tersebut. Sebagai contoh, tidak
terdapat nilai transaksi sewa untuk rumah yang dihuni pemilik, properti industri, dan lahan kosong.
Namun, terdapat sejumlah teknik alternatif seandainya nilai sewa tidak diketahui, yakni dengan
mencari data harga jual serta perkiraan biaya konstruksi yang dikonversi menjadi nilai sewa
melalui proses top-down.
5. Pemajakan Basis Wilayah
Teknik pemajakan basis wilayah (area based taxation) mirip dengan penggunaan kelas bumi pada
pengenaan PBB di Indonesia, yakni digunakannya tabel pajak dengan nilai tanah per meter persegi
dan per cluster serta digunakannya berbagai zona nilai tanah. Nilai tanah di pusat kota cenderung
lebih tinggi daripada di pinggiran kota, dan nilai tanah di sekitar jalan raya lebih tinggi daripada
di jalan kecil ataupun di gang.
42
6. Pajak atas Pengalihan Properti Tidak Bergerak (Tax on Transfer of Immovable Property atau
TTIP)
Teknik pemajakan TTIP diterapkan di beberapa negara di dunia, seperti di Indonesia dan Pakistan.
Di Pakistan, jenis pajak ini merupakan salah satu kontributor terbesar bagi penerimaan pajak. Pajak
dikenakan atas pengalihan tanah dan/atau bangunan dari nilai jual bruto, dan bukan dari capital
gain, yakni selisih antara harga jual dan nilai perolehan. Capital gain dari selisih harga jual dan
nilai perolehan tidak dijadikan basis pengenaan pajak karena terdapat beberapa kendala dalam
implementasinya, seperti: (a) sulitnya mengetahui nilai perolehan untuk tanah dan/atau bangunan
dari tahun-tahun lampau, (b) legislator awam dengan penggunaan istilah capital gain dalam jual
beli tanah karena istilah tersebut selama ini cenderung sering digunakan di sektor sekuritas
finansial, dan (c) capital gain tidak selalu terjadi dalam transaksi jual beli tanah dan/atau
bangunan, misalnya pemilik properti menjual tanah dan/atau bangunan dengan harga jual yang
lebih rendah daripada harga belinya.
3.2.3 Praktik Kebijakan Pajak atas Lahan Idle di Beberapa Negara
Pada bagian ini dijelaskan mengenai praktik kebijakan pajak atas lahan idle di beberapa
negara yang dapat dijadikan benchmark dalam memformulasikan kebijakan pajak atas lahan idle
di Indonesia.
1. Brazil (Arujo de Larangeira, 2003)
Banyaknya lahan idle atau lahan tidak produktif (unused land) di Brazil berdampak pada
ketimpangan sosial dalam kepemilikan tanah sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Untuk
mengatasi masalah tersebut, pemerintah Brazil memanfaatkan kebijakan pajak progresif atas lahan
tidak produktif (Luthango, 2010). Pajak progresif ini diterapkan selama 5 tahun dengan tarif
progresif setiap tahunnya maksimal sebesar 15%. Jika lahan tersebut tidak dimanfaatkan dalam
jangka waktu lima tahun, maka pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan lahan dan
dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Dalam hal ini, pemerintah memberikan kompensasi
kepada pemilik lahan atas pengambilalihan lahan tidak produktif tersebut. Dalam penetapan pajak
progresif tersebut, diasumsikan tidak diperhitungkan atas kepemilikan pertama dan seterusnya,
namun hanya dengan instrumen kenaikan pajak setiap tahunnya. Kebijakan ini diatur secara rinci
43
hingga level pemerintah daerah. Selain pajak progresif, atas tarif Pajak Properti yang berlaku di
Brazil juga naik 20-30% setiap tahunnya.
Pajak Properti di Brazil terdiri dari dua jenis, yaitu ITR dan IPTU (De Cesare et al., 1997,
De Cesare et al., 1999). ITR (Imposto sobre a Propriedade Territorial Rural) adalah pajak properti
yang dipungut di level pemerintahan federal. Pajak properti ini dikenakan atas tanah yang terletak
di luar zona kota perkotaan (municipality). Tarifnya bervariasi mulai dari 0,03% hingga 20%
tergantung pada luas tanah dari satuan hektar dan perbandingan luas area yang dimanfaatkan
dengan luas tanah secara keseluruhan. Jenis pajak properti lainnya yaitu IPTU (Imposto sobre a
Propriedade Predial e Territorial Urbana) adalah pajak properti yang terdapat di level perkotaan
(municipality). Tarif pajak yang diterapkan berbeda-beda antara suatu kota dan kota lainnya
dengan variasi tarif 0,3% hingga 1%. Besar tarif dilihat dari nilai properti (market value) yang
pada umumnya nilai tersebut lebih rendah dari harga pasar (market value) (De Cesare et al., 1997,
De Cesare et al., 1999).
Salah satu kota di Brazil yaitu Porto Alegre, yang merupakan kota terbesar di Negara
Bagian Rio Grande do Sul, mengenakan pajak atas tanah idle sejak tahun 1988. Pada saat itu,
petugas kota mengidentifikasi 65 pemilik dengan 120 lahan di kota tersebut yang akan menjadi
subjek dan objek pajak. Jumlah lahan idle diperkirakan mencapai 1,5% dari keseluruhan lahan
kota. Pengenaan pajak tersebut dilakukan guna mendorong pemilik lahan untuk membangun dan
mengembangkan lahannya, atau menjualnya kepada pihak lain yang dapat melakukan
pembangunan dan pengembangan. Dengan jumlah pemilik dan lahan yang tidak terlalu banyak
untuk diawasi, pengenaan pajak atas tanah idle terbukti efektif dan efisien. Dari sekitar 65 orang
pemilik lahan tersebut yang menjadi subjek pajak, hanya satu orang yang mengajukan banding ke
pengadilan, namun pada akhirnya orang tersebut melakukan pembangunan di lahan idle tersebut.
Untuk Kota Porto Alegre sendiri, kebijakan pajak properti yang ada menerapkan konsep
eamarking tax, yakni pendapatan yang dihasilkan dari pajak properti di Porto Alegre dialokasikan
setidaknya sebesar 25% untuk pendidikan, 15% untuk kesehatan, dan 60% lainnya digunakan
untuk mendanai pembangunan di berbagai bidang di kota tersebut (IPTU, 2015).
2. Kolombia (Arujo de Larangeira, 2003)
Bogota adalah salah satu contoh kota yang sukses menerapkan pajak atas tanah idle. Pada
tahun 2003, diperkirakan sekitar 2.000 hingga 2.200 hektar lahan dari keseluruhan 36.000 hektar
44
di kota yang dibiarkan idle. Pemerintah mengenakan pajak atas tanah idle dengan tarif yang sangat
tinggi. Saat ini diketahui bahwa tarif pajak untuk tanah idle mencapai 30% dan pada akhirnya
kepemilikan hak atas lahan idle menurun dengan sendirinnya. Seperti halnya Brazil, atas lahan
yang pajaknya tidak dilunasi dan dibiarkan idle lebih dari dua tahun akan diklaim sebagai milik
pemerintah kota dan dilelang kepada publik.
3. Republik Demokratik Kongo (Nwezwanga, 2009)
Republik Demokratik Kongo mengenakan pajak atas permukaan bumi dan membagi
wilayah sesuai peringkatnya dan menerapkan tax bracket yang berbeda untuk setiap peringkatnya.
Hal tersebut menyerupai konsep kelas bumi pada pengenaan PBB di Indonesia. Pembayaran pajak
atas tanah idle tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan pemilik lahan, walaupun lahan tersebut
dihuni oleh pihak lain (misalnya lahan di kawasan kumuh yang menjadi tempat tinggal sementara
dari kaum miskin, seperti pengemis maupun gelandangan). Dalam implementasinya, pengenaan
pajak atas tanah idle tersebut kurang berhasil. Pada tahun 2009, penerimaan pajak properti
berkontribusi 1% terhadap penerimaan pajak nasional dan kontribusi penerimaan dari pajak atas
tanah idle relatif sangat sedikit. Masyarakat Republik Demokratik Kongo berkeyakinan bahwa
tanah merupakan warisan nenek moyang dan secara fundamental merupakan bagian dari hidup
mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa secara politis kebijakan pajak atas tanah idle cukup sensitif untuk diimplementasikan.
4. Filipina
Pengenaan pajak atas tanah idle di Filipina diatur dalam Local Government Code (LGC)
tahun 1991. Pajak dikenakan atas objek lahan idle dan menjadi penerimaan Local Government
Unit (LGU) tempat yurisdiksi lahan idle tersebut terletak. Karena lahan idle merupakan aset tidak
bergerak (immovable property) yang disasar dalam pemungutan pajak ini, pendataan lokasi lahan
menjadi hal yang krusial. Dalam rangka menetapkan nilai lahan, petugas pajak harus secara
kontinyu memperbaharui catatan nilai dari seluruh tanah idle beserta data pemiliknya di wilayah
yurisdiksi yang bersangkutan. Dalam praktiknya, terdapat tambahan pajak atas tanah idle dengan
tarif ad valorem kurang dari 5%. Tujuan pengenaan pajak tersebut adalah untuk: (a) meningkatkan
penerimaan LGU dan menstimulus pertumbuhan ekonomi daerah setempat, (b) optimalisasi
produktivitas atas lahan-lahan idle sesuai prinsip highest and best use, (c) mencegah spekulasi,
45
dan (d) mengurangi jumlah pemukiman kumuh. Pajak atas tanah idle tersebut dipungut secara
tahunan berdasarkan nilai taksiran lahan yang dibiarkan idle (tidak ditanami maupun tidak
dibangun atau dikembangkan) oleh pemilik properti.
Di Filipina, terdapat empat belas LGU yang menerapkan pajak atas tanah idle tersebut,
yakni lima provinsi, delapan kota, dan satu kabupaten. Suatu lahan dikategorikan idle dan menjadi
objek pajak apabila memiliki kondisi-kondisi tertentu sebagai berikut: (a) tanah selain pertanian
yang berlokasi di kota atau kabupaten lebih dari 1.000 m2 dan setengah dari luas lahan dibiarkan
tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan, (b) tanah pertanian atau agraris lebih
dari satu hektar yang layak dijadikan tempat bercocok tanam maupun pembudidayaan ikan, namun
setengah dari luas lahan tidak ditanami atau tidak dikembangkan oleh pemilik lahan. Namun
demikian, lahan yang terdapat tumbuh-tumbuhan, secara alamiah-permanen maupun sengaja
ditanami minimal 50 pohon per hektar, serta lahan untuk penggembalaan ternak, tidak termasuk
pengertian tanah idle yang dipajaki. Pengecualian pengenaan pajak juga dilakukan terhadap objek
lahan yang mengalami kondisi tertentu, seperti keadaan force majeur, terjadi kerusuhan sosial,
maupun bencana alam. Dalam kondisi tersebut, pemilik lahan tidak diwajibkan untuk
mengembangkan maupun menanami lahan tersebut.
Pemerintah Filipina memanfaatkan media massa dalam melakukan sosialisasi jenis pajak.
Sebelum pajak atas tanah idle tersebut diterapkan, pemerintah melakukan sosialisasi terlebih
dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar (koran) lokal selama tiga hari berturut-turut.
Apabila tidak terdapat koran lokal di daerah setempat, pengumuman mengenai rencana pengenaan
pajak atas tanah idle tersebut ditempatkan pada papan pengumuman di lokasi strategis pusat kota.
5. Meksiko (Arujo de Larangeira, 2003)
Di Mexcali, Baja California, pengenaan pajak atas tanah idle dilakukan dengan tujuan
utama untuk menstimulus pembangunan dan pengembangan kota. Hal tersebut memotivasi para
pemilik lahan idle untuk mendaftarkan lahan yang dimiliki untuk menghindari pembayaran pajak
dengan melakukan pembangunan pada lahan yang dimiliki. Di sisi lain, banyak para pemilik lahan
cenderung memilih untuk membayar pajak dibandingkan melakukan pembangunan atau
pengembangan lahan. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya kenaikan penerimaan pajak properti
yang mencapai 12 kali lipat. Berbeda dengan beberapa pemerintah kota lainnya di Meksiko,
pemerintah kota tersebut tidak mengenakan pajak atas tanah idle, namun memilih menerapkan
46
alternatif kebijakan fiskal lainnya untuk mendorong pembangunan lahan idle, seperti pemberian
subsidi untuk pembelian dan pengambil-alihan lahan idle tersebut.
6. Inggris (Adams, Disbury et al 2012)
Pemerintah Inggris belakangan ini menggalakkan kembali penggunaan lahan idle untuk
tujuan pembangunan perumahan. Melalui dokumen Urban White Paper, pemerintah Inggris
memperkenalkan program terkait penyediaan perumahan akibat proses urbanisasi antarnegara atau
antarwilayah. Pada praktiknya, pemerintah Inggris tidak memanfaatkan instrumen pajak atas tanah
idle (yang biasa disebut sebagai “stick” approach) untuk mengembangkan lahan idle, melainkan
dilakukan pengambilalihan dan pembelian lahan-lahan ‘tidur’ tersebut oleh pemerintah setempat.
Sebagaimana diketahui bahwa terdapatnya lahan ‘tidur’ di Inggris bukan disebabkan oleh
spekulasi, melainkan karena terlalu tingginya biaya pengembangan. Dengan demikian, pemerintah
setempat diberi wewenang mengambil alih fungsi private goods tersebut menjadi semi public
goods.
7. Amerika Serikat
Dalam beberapa dekade terakhir, diperkirakan terdapat sekitar 20% lahan idle di kota-kota
di Amerika Serikat dengan jumlah penduduk lebih dari 100.000 orang. Terdapat korelasi terbalik
antara tingkat pertumbuhan penduduk di suatu kota dan jumlah lahan idle di kawasan bisnis
(Central Business District atau CBD) di pusat kota tersebut. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan
penduduk suatu kota, maka semakin rendah tingkat lahan idle. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
pertumbuhan penduduk suatu kota, maka semakin tinggi tingkat lahan idle di kawasan CBD
tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi berakibat pada
tingginya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Walaupun terdapat kecenderungan bahwa
penyebaran penduduk di suatu kota cenderung merata dan tidak lagi teraglomerasi atau berkumpul
di pusat kota.
Hal tersebut berbeda dengan kondisi satu hingga dua abad silam, sebagaimana pernah
terjadi di Manhattan, New York. Pada tahun 1820, dilakukan pembukaan Kanal Erie (Erie Canal)
dari Albany di Sungai Hudson ke Buffalo, Danau Erie sejauh 363 mil. Pembukaan Kanal Erie
tersebut menjadikan Manhattan tumbuh menjadi Kawasan Pusat Bisnis di New York dengan
dibangunnya kantor dan pabrik untuk tujuan ekspor ke kawasan Eropa serta meningkatnya proses
47
urbanisasi selama abad 19 dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 6% per tahun. Atack dan
Margo (1996 dalam Haas dan Kopanyi, 2017) melakukan studi korelasi antara harga tanah dan
lokasi tanah di kawasan Manhattan. Hasil studi menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat
urbanisasi, maka semakin tinggi harga tanah dan semakin tinggi tingkat penggunaan lahan idle di
kawasan tersebut, terutama terkait harga tanah dan tingkat kegunaan tanah di pusat kota. Hal ini
terjadi karena penduduk cenderung bermukim di kawasan yang berdekatan dengan tempat kerja
di kawasan bisnis tersebut dalam rangka menghemat biaya transportasi dan lama waktu perjalanan.
Atack dan Margo (1996 dalam Haas dan Kopanyi, 2017) mencatat bahwa antara tahun 1860-1870
terjadi kenaikan harga tanah hingga delapan kali lipat di kawasan bisnis Manhattan. Seorang
spekulan tanah, yakni Jacob Astor, membeli beberapa bidang tanah di kawasan Manhattan pada
tahun 1810 untuk mengantisipasi pembukaan Kanal Erie yang diperkirakan terjadi di tahun 1820.
Pada tahun 1840, Astor menjadi salah satu orang terkaya di Amerika Serikat karena peningkatan
harga tanah secara signifikan. Pada akhirnya perkembangan harga tanah di kawasan Manhattan
tidak lagi meningkat pesat di awal abad 20 seiring berkembangnya moda transportasi antarkota
dalam bentuk street car (tram) sejak tahun 1870. Akibatnya penduduk tidak lagi memilih tinggal
di pusat kota dan menyebar di berbagai penjuru kota karena kemudahan akses ke tempat kerja
dengan adanya alterlatif alat transportasi modern tersebut.
Masing-masing negara bagian di Amerika Serikat diberikan kewenangan untuk
menentukan pajak atas tanah idle yang terletak di wilayah yurisdiksinya, termasuk menentukan
nilai dasar pengenaan pajak serta tingkat tarif pajak. Sebagai contoh, negara bagian Pennsylvania
telah relatif lama menerapkan pemajakan nilai tanah, termasuk pemajakan atas tanah idle, yakni
sejak awal abad 19. Akan tetapi terdapat kendala politis pada implementasinya mengingat tidak
adanya transparansi dalam menentukan tarif serta tidak akuratnya penilaian wajar atas tanah. Di
Washington DC, terdapat beberapa lokasi bangunan rusak yang sengaja dikosongkan, seperti
bangunan kantor dan apartemen. Melihat kondisi tersebut, pengembang membongkar bangunan
tersebut dan menunda melakukan pendirian bangunan baru. Oleh karena itu, bangunan tersebut
juga dikategorikan sebagai lahan idle dan dikenakan pajak tambahan dengan tarif 10% dari
taksiran harga jual.
Khusus negara bagian Seattle, terdapat banyak lahan kosong yang difungsikan sebagai
lahan parkir (parking lot). Lahan parkir tersebut seyogianya dibutuhkan namun tidak
mencerminkan nilai guna terbaik. Atas lahan parkir tersebut dikenakan pajak tambahan sebesar
48
12,5% sejak tahun 2010 yang akan dinaikkan menjadi 17,5% pada tahun 2017. Di Honolulu
Hawaii, penerapan pajak atas tanah idle justru menjadi pemicu timbulnya kondisi construction
boom. Warga kota melakukan protes dan menyalahkan pengenaan pajak tersebut sebagai sumber
masalah, walau diketahui kemudian bahwa sumber permasalahan adalah perencanaan tata kota
yang buruk. Akhirnya, walau pajak atas tanah idle diterapkan di sebagian besar kota di Amerika
Serikat, terdapat beberapa lahan yang dikecualikan dari pengenaan pajak atas lahan idle tersebut.
Contohnya, kawasan yang dijadikan taman nasional, tanah pertanian, maupun hutan, sama sekali
bebas dari pengenaan pajak.
8. Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan mengenakan pajak tambahan atas lahan idle dengan tarif
bervariasi sesuai lama waktu lahan tersebut dibiarkan idle. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi dan pertambahan jumlah penduduk yang relatif cepat di kota-kota besar, pajak atas tanah
idle dikenakan untuk mencegah upaya spekulasi pada masyarakat dengan tingkat tarif pajak yang
cenderung meningkat sesuai lama waktu lahan tersebut dibiarkan idle, yaitu dengan variasi tarif
2% untuk masa idle sampai dengan 2 tahun, tarif 5% untuk masa idle 2-3 tahun, tarif 7% untuk
masa idle lebih dari 3 tahun, tarif 8% untuk masa idle lebih dari 5 tahun, tarif 9% untuk masa idle
lebih dari 7 tahun, serta tarif 10% untuk masa idle lebih dari 10 tahun.
9. Kampala, Uganda
Pengenaan pajak atas tanah idle di Kampala, Uganda masih merupakan suatu wacana.
Namun, para konseptor pajak sudah mulai merancang desain pajak atas lahan idle yang disebut
dengan vacant land tax. Seperti kebanyakan kota-kota besar di negara berkembang, Kampala juga
memiliki ciri ekonomi lokal yang kuat dan laju pertumbuhan penduduk cepat, dan terindikasi
maraknya praktik pembiaran lahan kosong oleh para pemilik sekaligus spekulan tanah. Dengan
diterapkannya vacant land tax, diharapkan penggunaan lahan kosong tersebut lebih optimal dan
penerimaan pajak dari sektor properti meningkat.
Terdapat dua metode penentuan harga tanah yang menjadi perhatian konseptor pajak dalam
mendesain vacant land tax. Pertama, metode proxy of land sales, yakni penggunaan sampel data-
data harga jual tanah di kota, dan apabila harga jual tanah tidak tersedia, nilai sewa lahan akan
digunakan dan dikapitalisasi untuk menaksir harga jual tanah. Data-data nilai tanah selanjutnya
49
akan diolah melalui program komputer (semacam program SISMIOP atau Sistem Informasi dan
Manajemen Objek Pajak dan program smart-map Sistem Informasi Geografis yang diterapkan
pada PBB di Indonesia) dan diinterpolasi untuk menentukan nilai wajar dari lahan kosong tersebut.
Kedua, metode estimasi kegunaan next-best. Sebagaimana diterapkan di beberapa negara
maju, estimasi basis pajak atas lahan idle dilakukan dengan cara mengidentifikasi “properti built-
up yang dapat dibandingkan” (comparable built-up properties) untuk mendapatkan kemungkinan
kegunaan terbaik (best possible use) dari lahan kosong, yakni bangunan terbaik yang sebaiknya
didirikan dan dikembangkan oleh seorang investor di zona nilai tanah yang sama. Sebagai contoh,
jika pada suatu lahan idle idealnya dapat dibangun suatu gedung sepuluh lantai, pengenaan pajak
ekstra atas lahan idle tersebut dihitung dengan tingkat persentase dari nilai gunanya.
Pengenaan pajak atas tanah idle sebaiknya dilakukan setelah mempelajari kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat setempat. Transaksi jual-beli lahan idle yang sering terjadi dalam kurun
waktu singkat di suatu wilayah dengan kondisi ekonomi lokal yang kuat dan laju pertambahan
penduduk yang cepat, mengindikasikan dilakukannya tindakan spekulasi tanah. Sementara, lahan
idle di wilayah dengan kondisi ekonomi lokal stagnan dan berkurangnya jumlah penduduk,
mengindikasikan bahwa terdapatnya tanah idle di kawasan tersebut bukan disebabkan oleh
spekulasi melainkan oleh mahalnya biaya pembangunan dan pengembangan. Oleh karena itu,
pemerintah setempat harus berperan untuk memberikan subsidi atau mengambil alih tanggung
jawab untuk memanfaatkan lahan idle tersebut.
Selain kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat yang harus diperhatikan, terdapat
tiga hal utama lain yang juga harus diperhatikan konseptor pajak dalam mendesain bentuk pajak
atas tanah idle, yakni: (a) penentuan basis pajak, (b) pendefinisian lahan idle, dan (c) penentuan
tingkat tarif. Pengalaman negara-negara di dunia dalam menerapkan pajak atas tanah idle dapat
dipelajari dan dicari hal-hal yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Untuk penentuan
basis pajak, pendataan objek dan subjek pajak menjadi hal krusial, selain metode pemajakan dan
penghitungan nilai tanah. Adapun untuk pendefinisian atau penentuan suatu lahan dikategorikan
sebagai idle, harus diuraikan secara jelas dalam Undang-undang atau peraturan pelaksanaannya
untuk menghindari multi intepretasi definisi lahan yang dikatakan bersifat idle. Untuk penentuan
tingkat tarif, idealnya tingkat tarif diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat mendistorsi
pemilik tanah untuk membangun dan mengembangkan lahan idle yang dimiliki. Dengan tingkat
tarif yang cenderung terlalu rendah, pemilik tanah yang bertindak sebagai spekulan akan
50
memperhitungkan untung-rugi antara menjual tanah yang dimiliki sekarang atau kemudian hari.
Dengan demikian, pengenaan pajak atas tanah idle tidak berdampak apapun terhadap upaya
peningkatan produktivitas atas tanah sebagaimana diharapkan. Pada akhirnya, isu ketimpangan
sosial atas kepemilikan tanah yang diharapkan dapat terurai dengan adanya kebijakan ini akan sulit
untuk dicapai.
51
BAB 4
EVALUASI KEBIJAKAN PAJAK ATAS TANAH DI INDONESIA:
DISKURSUS ANTARA PENGUATAN LOCAL TAXING POWER, PENERIMAAN
NEGARA DAN UPAYA MENGURANGI KETIMPANGAN SOSIAL
4.1 Kebijakan Basis Pemajakan atas Tanah di Indonesia
Kebijakan pajak atas tanah di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi, baik yang dipungut
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (kabupaten/kota). Jenis pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPnBM, PPh Pasal 22 dan PPh
Pasal 4 ayat (2), sementara jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah terdiri dari PBB P2
dan BPHTB yang masing-masing memiliki dasar pemungutan atau basis pemajakan (tax base)
berbeda.
Basis pemajakan adalah dasar pengenaan pajak yang diterapkan terhadap subjek pajak
(perseorangan atau badan) dan digunakan bersama-sama dengan tarif untuk menentukan jumlah
pajak terutang (tax formula). Secara umum terdapat tiga jenis basis pemajakan yang digunakan
dalam menghitung beban pajak, yakni (1) basis penghasilan (income tax base) yang diterima
subjek pajak; (2) basis pengeluaran/konsumsi (expenditure/consumption tax base) yang dilakukan
subjek pajak; serta (3) basis kekayaan (wealth base tax) yang dimiliki subjek pajak.
Penggunaan tiga basis pemajakan tersebut juga diterapkan pada kebijakan pajak atas tanah
dan bangunan di Indonesia. Pada basis pemajakan atas penghasilan, atas penghasilan yang diterima
subjek pajak dari pengalihan, penyewaan, maupun penilaian kembali (revaluasi) tanah dan/atau
bangunan dikenakan pajak penghasilan.
Pada basis pemajakan atas konsumsi, terdapat beberapa jenis pajak yang dikenakan atas
tanah dan/atau bangunan yang diperoleh subjek pajak, yakni Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian Barang yang
tergolong sangat mewah bagi rumah atau bangunan yang termasuk dalam kategori sangat mewah
sebagai pungutan pajak tambahan.
Kemudian, pada basis pemajakan atas kekayaan, terdapat Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2); Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan,
dan Pertambangan (PBB P3) yang dikenakan atas tanah dan/atau bangunan yang dimiliki oleh
subjek pajak serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) atas transfer
kepemilikan atas tanah dan bangunan (tax on assets transfer). Adapun, ikhtisar basis pemajakan
52
yang diterapkan pada kebijakan pajak atas tanah dan bangunan di atas tersaji pada tabel berikut
ini:
Tabel 4.1 Basis Pemajakan atas Tanah dan Bangunan di Indonesia
Basis Pemajakan
Penghasilan Konsumsi Kekayaan
- PPh Final atas pengalihan, persewaan,
maupun penilaian kembali (revaluasi)
tanah dan/atau bangunan
- PPN (atas
bangunan)
- PPn BM (atas
bangunan)
- PPh Pasal 22 (atas
bangunan sangat
mewah)
- PBB P2 (atas
tanah dan
bangunan)
- PBB P3 (atas
tanah dan
kekayaan alam)
- BPHTB (atas
tanah dan
bangunan)
Sumber: diolah peneliti dari UU PPh, PPN dan PPnBM serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.2 Pemajakan Tanah dan Bangunan Berbasis Penghasilan
Pajak Penghasilan Final atas Pengalihan Tanah dan/atau Bangunan
Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun
2016, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari (a) pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan; atau (b) perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya, terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Yang dimaksud
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang diterima
atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-
menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara
para pihak.
Adapun yang dimaksud penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya adalah penghasilan dari: (a) pihak penjual yang namanya
tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani; atau (b)
pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya
perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli
dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
53
Tarif PPh Final
Terdapat beberapa jenis tarif yang dikenakan sesuai kondisi pengalihan hak atas tanah/atau
bangunan. Besarnya tarif PPh Final dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersaji pada
tabel berikut ini:
Tabel 4.2. Kondisi Pengalihan dan Tarif PPh Final
Kondisi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Tarif PPh Final
Pengalihan selain pengalihan Rumah Sederhana & Rumah Sangat
Sederhana yang dilakukan pengusaha yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan tanah dan/atau bangunan
2,5% dari jumlah
bruto nilai
pengalihan
Pengalihan Rumah Sederhana & Rumah Sangat Sederhana yang dilakukan
pengusaha yang usaha pokoknya melakukan pengalihan tanah dan/atau
bangunan
1 % dari jumlah
bruto nilai
pengalihan
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan
usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau
badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala
daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
0 % dari jumlah
bruto nilai
pengalihan
Sumber: diolah peneliti
Mengacu pada regulasi di atas, pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang memiliki kriteria tertentu yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yakni: (a) luas bangunan tidak melebihi 36
m2 (tiga puluh enam meter persegi); (b) harga jual tidak melebihi batasan harga jual dengan
ketentuan bahwa batasan harga jual didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-113/PMK.03/2014, (c) merupakan rumah pertama
yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki; (d) luas tanah kurang dari 60 m2 (enam puluh meter
persegi); dan (e) perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi
maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana
tujuan insentif pajak secara umum, insentif ini juga diberikan untuk meringankan beban pajak
54
masyarakat, dalam hal ini masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan insentif ini juga
menegaskan keberpihakan pemerintah pada masyarakat sekaligus membuka kesempatan yang
lebih luas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primernya. Dengan kata lain, kebijakan ini
juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Nilai Pengalihan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: (a) nilai berdasarkan keputusan
pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah; (b) nilai menurut risalah
lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad
Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya); (c) nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh,
dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang
dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf
b; (d) nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain
pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b; atau (e) nilai yang seharusnya
diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau
cara lain yang disepakati antara para pihak.
Sedangkan, besarnya pajak penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual
beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya berdasarkan tarif dari jumlah bruto, yaitu:
(a) nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau (b) nilai
yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan
melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Pelunasan Pajak dan Pengecualian
Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyetor sendiri pajak penghasilan yang terutang ke
bank/pos persepsi sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Bagi orang pribadi
atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
55
menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pajak
penghasilan terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
Pajak penghasilan dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka,
bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan
dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pajak penghasilan yang terutang
wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. Pejabat yang
berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi
atau badan dimaksud bahwa kewajiban telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran
Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang
bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Selanjutnya, pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau
risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan,
kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur
Jenderal Pajak. Pejabat yang berwenang meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau
pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun, orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada
pemerintah, dipungut pajak penghasilan oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan
pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar. Bendahara pemerintah atau pejabat
wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke bank/pos persepsi sebelum melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar
menukar dilaksanakan. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi
atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar. Bendahara
pemerintah atau pejabat wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Di sisi lain, pelunasan pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perubahan
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri
56
oleh orang pribadi atau badan yang merupakan pihak pembeli dan namanya tercantum dalam
perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian
pengikatan jual beli tersebut. Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum
perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban telah dipenuhi
dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh
Kantor Pelayanan Pajak. Pihak penjual harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau
adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak penghasilan adalah:
(a) orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
(b) orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
(c) badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
(d) pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
(e) badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan
untuk menggunakan nilai buku;
57
(f) orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka
melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang
milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
(g) orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan.
PPh Final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan
tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor,toko, rumah toko, gudang dan industri, pajak penghasilan wajib dibayar
sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai pemotong pajak, wajib dipotong pajak
penghasilan oleh penyewa. Dalam hal penyewa bukan sebagai pemotong pajak maka pajak
penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima
atau memperoleh penghasilan.Yang dimaksud dengan bukan sebagai pemotong pajak adalah
orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha dan tidak melakukan pekerjaan bebas.
Besarnya pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri adalah sebesar 10% (sepuluh
persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
Pajak Penghasilan atas Revaluasi Aktiva Tetap
Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-79/PMK.03/2008, subjek
pajak adalah perusahaan (Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap) yang
melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah
memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak
dilakukannya penilaian kembali; Objek pajaknya adalah penilaian kembali aktiva tetap yang
dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud (termasuk tanah yang berstatus hak milik atau
hak guna bangunan), atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau
berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak. Tarif pajaknya adalah sebesar 10% dari selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal dan bersifat final.
58
Kebijakan PPh atas Tanah dan Bangunan di Indonesia: Kebijakan Pro Revenue Productivity
Penghasilan (income) merupakan konsep yang relatif tidak sederhana. Sampai saat ini
belum terdapat definisi penghasilan yang dapat diterima secara universal dan mampu memenuhi
semua kebutuhan. Salah satu konsep penghasilan yang paling banyak mempengaruhi tax policy di
berbagai negara adalah konsep yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (atau dikenal
dengan SHS Concept) karena dianggap mencerminkan keadilan sekaligus aplicable. Konsep ini
pula yang dianut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni:
“Yang menjadi Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis untuk
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia
yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”
Mengacu pada definisi penghasilan di atas, secara konseptual maupun berdasarkan
regulasi pada Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini, objek Pajak Penghasilan
adalah tambahan kemampuan ekonomis. Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (taxable
income) yang menjadi dasar pemajakan penghasilan, total income (gross revenue) harus dikurangi
dengan pengurang-pengurang yang diperbolehkan (tax reliefs). Oleh karena itu, dalam menghitung
taxable income harus: a) diperkenankannya deducble expenses sebagai biaya 3M; dan, b) adanya
personal exemption bagi WP Orang Pribadi (Rosdiana dan Irianto, 2013: 171).
Penghasilan netto sebagai dasar penghitungan Penghasilan Kena Pajak (taxable income)
secara konseptual dianggap memiliki keunggulan karena mencerminkan pemenuhan asas keadilan
(equity) sekaligus merupakan first best theory. Mengacu pada prinsip ini, wajib pajak dibebankan
pajak sesuai dengan kemampuan untuk membayar (abilty to pay principle). Prinsip equity
merupakan salah satu asas pemungutan pajak yang merepresentasikan kepentingan wajib
pajak/masyarakat (Rosdiana dan Irianto, 2013).
Kebijakan dan regulasi Pajak Penghasilan (PPh) atas Tanah dan Bangunan di Indonesia
yang dipungut oleh pemerintah pusat, seperti PPh Pasal 4 ayat (2) maupun PPh Final atas revalusi
aktiva tetap menggunakan basis pengenaan pajak berupa penghasilan bruto (gross revenue) yang
diperoleh dari hasil penjualan aktiva tetap (dalam hal ini tanah/bangunan). Dengan basis ini, wajib
pajak yang memiliki kemampuan membayar berbeda dapat memikul beban pajak yang sama yang
disebut dengan Schedular taxation. Berbeda dengan Global Taxation yang memperhitungkan
semua jenis penghasilan dan memperhitungkaan pajak penghasilan dengan basis penghasilan
59
bersih (netto), scheduler taxation menggunakan basis bruto (gross) dengan tarif yang berbeda-
beda atas jenis-jenis penghasilan tertentu. Pada skema ini, Penghasilan Kena Pajak dihitung
menggunakan basis Gross Income atau Deemed Profit/Deemed Taxable Income, karena itu tidak
terdapat tax reliefs (Rosdiana dan Irianto, 2013). Pajak dengan skema schedular taxation bersifat
final, artinya tidak diperhitungkan dalam penghitungan beban pajak penghasilan wajib pajak
secara keseluruhan pada akhir tahun pajak dan dilakukan dengan mekanisme
pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga (withholding tax system).
Basis gross yang dipergunakan pada skema ini memiliki kelemahan yaitu tidak
mencerminkan kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak (ability to pay) yang merupakan
salah satu filosofi dalam mengukur keadilan pajak. Namun di sisi lain, sebagai second base theory,
jenis skema pemajakan ini memiliki keunggulan karena mendukung optimalisasi penerimaan
negara (revenue productivity principle) dan mendukung prinsip kesederhanaan administrasi (ease
of administration). Meskipun lazim dikenal dalam pemungutan pajak, skema ini bukan merupakan
pilihan ideal.
Secara umum kebijakan PPh atas penjualan tanah/bangunan yang berlaku di Indonesia
bertujuan untuk mendorong penerimaan negara. Kebijakan ini secara sadar atau tidak, didesain
tanpa berpretensi melakukan fungsi pengaturan secara khusus untuk mendistribusikan
kepemilikan tanah secara lebih merata atau mendorong pemanfaatan tanah secara optimal agar
memberikan dampak yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
4.3 Pemajakan Tanah dan Bangunan dengan Basis Konsumsi
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN atas Penyerahan Tanah dan Bangunan
Atas penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh subjek pajak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Yang dimaksud subjek pajak adalah Pengusaha
Kena Pajak atau PKP yang dalam lingkungan usaha dan pekerjaannya melakukan penyerahan hak
atas tanah dan/atau bangunan dengan cara memungut PPN dari pembeli tanah dan/atau bangunan.
Tarif PPN adalah sebesar 10% × Nilai Penyerahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Namun demikian, terdapat fasilitas PPN Dibebaskan yang diberikan kepada barang-barang
tertentu yang bersifat strategis, antara lain rumah susun sederhana milik atau rusunami, yakni
bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat
60
hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, secara bersatu dengan unit hunian
maupun terpisah dengan penggunaan komunal. Fasilitas PPN Dibebaskan atas perolehan
rusunami, antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-269/PMK.03/2015,
diberikan atas: (a) unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui
kredit dengan luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan
tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); (b) pembangunannya mengacu kepada
peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan
perumahan rakyat; (c) merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai
tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang rumah susun; dan (d) batasan harga jualnya tertentu
(yakni, tidak melebihi Rp 250.000.000,00) serta diperuntukkan bagi orang pribadi dengan
penghasilan tertentu (yakni, tidak melebihi Rp 7.000.000,00 per bulan).
Selain rusunami, fasilitas PPN Dibebaskan juga diberikan untuk Rumah Sederhana dan
Rumah Sangat Sederhana yang memenuhi ketentuan: (a) luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga
puluh enam meter persegi); (b) harga jual tidak melebihi batasan harga jual dengan ketentuan
bahwa batasan harga jual didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-113/PMK.03/2014, (c) merupakan rumah pertama
yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki; (d) luas tanah tidak kurang dari 60 m2 (enam puluh
meter persegi); dan (e) perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit
bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai (disebut PPN KMS)
sesuai ketentuan Pasal 16 C UU PPN. PPN KMS terutang bagi orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri, yakni kegiatan membangun bangunan yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain. Yang dimaksud bangunan adalah satu atau lebih konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan
dengan kriteria: (a) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan
61
sejenis, dan/atau baja; (b) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan (c)
luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). PPN KMS dihitung dengan cara
mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak, yakni 20% (dua puluh
persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah (Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-
163/03/2012).
Saat terutangnya PPN KMS dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan
bangunan selesai. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut
tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun
sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen)
dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
PPN Pasal 16 D
PPN Pasal 16D dikenakan atas objek pajak berupa penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
berupa aktiva (dalam hal ini tanah dan/atau bangunan) yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU PPN yakni pengalihan
BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Subjek pajaknya adalah
PKP yang melakukan penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, dengan tarif pajak sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
a. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Atas beberapa barang yang dikategorikan mewah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPn BM). PPn BM dikenakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah
pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah adalah: (a) barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok, (b) barang
yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, (c) barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh
masyarakat berpenghasilan tinggi, dan (d) barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
62
Pengenaan PPn BM tidak memperhatikan bahwa suatu bagian dari BKP tersebut telah dikenai atau
tidak dikenai PPn BM pada transaksi sebelumnya.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-35/PMK.010/2017, atas penyerahan
rumah mewah dan apartemen mewah dikenakan PPN BM dengan tarif 10%. Yang dimaksud
rumah mewah adalah rumah dan town house dari jenis non strata title dengan harga jual sebesar
Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) atau lebih; sedangkan, yang dimaksud apartemen
mewah adalah apartemen, kondominium, dan town house dari jenis strata title dengan harga jual
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) atau lebih.
b. Pajak Penghasilan atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-90/PMK.03/2015, badan-badan tertentu
yang melakukan penjualan barang yang yang tergolong sangat mewah diwajibkan memungut
Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif 5% dari harga jual atau harga yang dibayarkan pihak
pembeli kepada pihak penjual. Barang yang tergolong sangat mewah tersebut, diantaranya: (a)
rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2; dan (b) apartemen,
kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2.
Dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan adalah pembelian barang yang tergolong
sangat mewah yang dilakukan oleh bukan subjek pajak, seperti kantor perwakilan negara asing
dan badan-badan internasional sesuai asas timbal balik. Dan, pengecualian dari pemungutan pajak
penghasilan dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan.
Pemajakan atas Tanah Berbasis Konsumsi di Indonesia: Instrument Pendorong Revenue
Productivity
PPN atau Value Added Tax merupakan jenis pajak yang memiliki legal character pajak
penjualan dari pajak penjualan yang dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak langsung atas
konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption) (Rosdiana dan Irianto, 2013).
Bersifat umum, maksudnya secara umum dikenakan atas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh
masyarakat, kecuali barang atau jasa tertentu. Karakter ini berbeda dengan cukai (excise) yang
memang didesain secara khusus untuk dipungut atas barang atau jasa tertentu yang dianggap
63
menimbulkan eskternalitas negatif. PPN yang berlaku di Indonesia memiliki singlerate sebesar
10%.
Secara umum, PPN didesain dengan satu kepentingan yakni mendorong penerimaan negara
sebagaimana terjadi pada berbagai negara. PPN dipungut pada transaksi penjualan rumah, kecuali
yang memiliki kriteria tertentu dan mendapat pembebasan PPN. PPnBM juga dipungut atas rumah
dengan kategori sangat mewah dan tidak bersinggungan dengan tujuan untuk melakukan
pemerataan penguasaan lahan.
4.4 Pemajakan Tanah dan Bangunan Basis Kekayaan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
Objek dan Subjek PBB P2
Objek PBB P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud kawasan adalah semua tanah
dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di
tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan, dan tanah
yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: (a) jalan lingkungan yang terletak dalam
suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; (b) jalan tol; (c) kolam renang; (d) pagar mewah;
(e) tempat olahraga; (f) galangan kapal, dermaga; (g) taman mewah; (h) tempat
penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan (i) menara.
Sedangkan, Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB P2 adalah objek pajak yang: (a)
digunakan oleh pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintahan; (b) digunakan semata-mata
untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; Adapun, yang
dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak
tersebut diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan
64
kebudayaan nasional tersebut; (c) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu; (d) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
(e) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
dan (f) digunakan oleh badan/atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
peraturan Menteri Keuangan.
Adapun, Subjek PBB P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib Pajak PBB P2 adalah orang pribadi ataubadan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dasar Pengenaan dan Tarif
Dasar pengenaan PBB P2 adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah.Untuk
Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang
cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Penetapan NJOP dapat
dilakukan dengan cara: (a) perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, yakni suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya
dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya; (b) nilai perolehan baru, yakni suatu pendekatan/metode penentuan nilai
jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan
kondisi pisik objek tersebut; (c) nilai jual pengganti, yakni suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual suatu objek pajak berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Sedangkan, tarif PBB P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dan
ditetapkan dengan peraturan daerah. Besaran pokok PBB P2 yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP).Saat menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari. Tempat pajak terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek
65
pajak. Adapun, besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) untuk setiap wajib pajak yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Nilai jual untuk
bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena
Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Contoh:
Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
- Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,-/m2;
- Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,-/m2;
- Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,-/m2;
- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,-/m2.
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,- = Rp240.000.000,-
2. NJOP Bangunan
a. Rumah dan garasi = 400 x Rp 350.000,- = Rp140.000.000,-
b. Taman = 200 x Rp50.000,- = Rp 10.000.000,-
c. Pagar = (120 x 1,5) x Rp175.000,- = Rp 31.500.000,-
----------------------- +
Total NJOP Bangunan = Rp181.500.000,-
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,-
------------------------ -
Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,-
------------------------ +
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000,-
4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%.
5. PBB terutang: 0,2% x Rp 411.500.000,- = Rp823.000,-
66
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB P3)
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) tidak pernah menyebut istilah
sektor PBB (Supriyanto, 2017). Istilah sektor tersebut timbul pertama kali dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk
Penghitungan PBB. Selanjutnya, makna sektor semakin ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), tepatnya pada Pasal 77
ayat (1) yang berbunyi “Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.”
Istilah sektor terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010
tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan PBB. Objek
PBB dibedakan menjadi lima sektor, yaitu Sektor Perkebunan, Sektor Perhutanan, Sektor
Pertambangan, serta Sektor Perdesaan dan Sektor Perkotaan. Kemudian, ditambah satu lagi, yakni
Sektor Lainnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang
Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB. Selanjutnya,
untuk Sektor Pertambangan dibedakan lagi menjadi: subsektor pertambangan mineral dan
batubara (minerba), subsektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi, serta subsektor
pertambangan panas bumi. Sementara itu, Sektor Lainnya juga dibedakan menjadi: subsektor
usaha perikanan tangkap, subsektor usaha budidaya perikanan, subsektor jaringan pipa, subsektor
jaringan kabel telekomunikasi, subsektor jaringan kabel listrik, dan subsektor ruas jalan tol.
Ikhtisar sektor-sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.3:
67
Tabel 4.3 Ikhtisar Sektor PBB P3 dan Sektor Lainnya
No Jenis PBB Objek PBB Sirkuler
1 Perkebunan - Permukaan Bumi
- Bangunan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
31/PJ/2014
2 Perhutanan - Permukaan Bumi
- Bangunan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
42/PJ/2015
3 Pertambangan Minerba - Permukaan Bumi
- Tubuh Bumi
- Bangunan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
47/PJ/2015
4 Pertambangan Minyak bumi,
gas bumi, dan panas bumi
- Permukaan Bumi
- Tubuh Bumi
- Bangunan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
45/PJ/2013
5 Sektor Lainnya - Permukaan Bumi
dan.atau Bangunan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
20/PJ/2015
Sumber: diolah Peneliti dari berbagai regulasi
Sebagaimana halnya dengan PBB P2, salah satu hal terpenting dalam menghitung PBB P3
dan Sektor Lainnya adalah menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Terdapat lima metode
yang dapat digunakan dalam menentukan NJOP tersebut (Supriyanto, 2017), yang terdiri dari:
a. Harga rata-rata transaksi jual beli, bukan harga penawaran. Namun, mengingat sulitnya
memperoleh harga jual beli nyata, terdapat kecenderungan untuk menggunakan harga
penawaran yang disesuaikan.
b. Harga jual-beli secara wajar dengan beberapa unsur, yakni: harga yang terjadi dalam transaksi
bebas ikatan, dilakukan antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat
menjual, penawaran dilakukan secara layak, kedua belah pihak masing-masing mengetahui
dan bertindak hati-hati, serta tanpa paksaan.
c. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis. Terdapat beberapa istilah untuk metode
ini, diantaranya Market Data Approach, Sales Comparison Approach, atau pendekatan-
pendekatan perbandingan harga pasar. Metode ini berupaya menentukan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama, serta telah diketahui harga jualnya, misalnya untuk
menentukan NJOP Bumi (tanah kosong).
d. Nilai Perolehan Baru, yang juga sering disebut dengan Cost Approach atau pendekatan
kalkulasi biaya. Metode ini berupaya menentukan nilai jual suatu objek pajak dengan cara
menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat
penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
68
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan NJOP bangunan modern, bangunan kuno
(seperti: candi), tanaman perkebunan, serta hutan tanaman industri.
e. NJOP pengganti, atau disebut Income Approach atau pendekatan pendapatan. Metode ini
berupaya menentukan nilai jual suatu objek pajak berdasarkan hasil produksi objek tersebut.
Metode ini digunakan untuk menentukan NJOP Bumi areal produktif untuk pertambangan dan
areal penangkapan ikan di laut. Metode ini digunakan apabila tidak terdapat rata-rata harga
jual-beli, tidak dapat dilakukannya perbandingan harga, ataupun tidak dapat dihitung jumlah
biaya pembangunannya.
Selama tahun 2010 hingga 2014, Sektor PBB P5 maupun Sektor PBB P3 masih didominasi
oleh Sektor Pertambangan Migas. Sebelum PBB P2 didevolusi kepada pemerintah daerah, sektor
PBB Migas memiliki proporsi hampir 70% dari realisasi total penerimaan PBB. Sedangkan,
setelah PBB P2 didevolusi ke pemerintah daerah, sektor PBB Migas memiliki proporsi yang masih
cenderung meningkat sekitar 85%.
Tabel 4.4 Tabel Realisasi dan Proporsi PBB per Sektor Tahun 2010 sampai dengan 2014
Catatan:
1. Angka realisasi dalam Trilyun Rupiah dan angka proporsi dalam %.
2. Sumber: Presentasi Dr. Machfud Sidik pada FGD Proyek Trampil tanggal 26 Januari 2016
Uraian
Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi Realisasi Proporsi
PBB Perdesaan 1,2 4,2 1,2 4,0 1,1 3,8 0,8 3,2 - -
PBB Perkotaan 6,4 22,5 6,6 22,0 6,1 21,0 1,4 5,5 - -
PBB Perkebunan 0,9 3,2 1,0 3,3 1,1 3,8 1,3 5,1 1,4 6,5
PBB Perhutanan 0,2 0,7 0,3 1,0 0,3 1,0 0,3 1,2 0,3 1,4
PBB Minerba 0,5 1,8 0,4 1,3 0,6 2,1 0,6 2,4 1,1 5,1
PBB Migas 19,3 67,7 20,5 68,3 19,8 68,3 20,9 82,6 18,9 87,1
Jumlah 28,5 100,0 30,0 100,0 29,0 100,0 25,3 100,0 21,7 100,0
tahun 2010 tahun 2011 tahun 2012 tahun 2013 tahun 2014
69
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Hak atas tanah
dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun, dan hak pengelolaan. Terdapat objek yang tidak dikenakan BPHTB yakni objek
pajak yang diperoleh: (a) perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal
balik, (b) negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umum, (c) badan/atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain
di luar fungsi dan tugas badan/atau perwakilan organisasi tersebut, (d) orang pribadi atau badan
karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, (e)
orang pribadi atau badan karena wakaf, dan (f) orang pribadi atau badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah. Adapun, subjek pajak BPHTB adalah sama dengan wajib pajak BPHTB,
yakni orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
BPHTB dihitung dengan mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP); Dalam hal ini, NPOPKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun, NPOP dapat berupa nilai pasar
maupun nilai transaksi. Apabila NPOP di atas tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang
digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai
adalah NJOP PBB.
Sedangkan besarnya (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat
(termasuk suami/istri), NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah) yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi 5% dengan peraturan daerah. Besaran pokok
BPHTB terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah
dikurangi NPOPTKP. BPHTB terutang dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan/atau
bangunan berada.
70
Contoh:
Wajib Pajak A membeli tanah dan/bangunan dengan:
Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 65.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 60.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp 5.000.000,-
BPHTB terutang: 5% x Rp 5.000.000,- = Rp 250.000,-
Hal-hal mengenai objek, NPOP, dan saat terutang BPHTB terangkum dalam tabel ikhtisar
berikut ini:
Tabel 4.5 Objek, NPOP, dan Saat Terutang BPHTB
Objek BPHTB NPOP Saat Terutang
Pemindahan Hak:
- Jual beli NT Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Tukar menukar NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Hibah NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Hibah wasiat NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Waris NP Tanggal pendaftaran peralihan hak ke kantor
bidang pertanahan
- Pemasukan dalam perseroan
atau badan hukum lain
NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan
NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Penunjukan pembeli dalam
lelang NT Tanggal penunjukan pemenang lelang
- Pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan
hukum tetap
NP Tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap
- Penggabungan usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Peleburan usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Pemekaran Usaha NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Hadiah NP Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
Pemberian hak baru karena:
- Kelanjutan Pelepasan hak NP Tanggal terbit surat keputusan pemberian hak
- Di luar pelepasan hak NP Tanggal terbit surat keputusan pemberian hak
Catatan: NT = Nilai Transaksi, NP = Nilai Pasar
71
Kebijakan Pajak Properti di Indonesia: Antara Penguatan Local Taxing Power dan Revenue
Productivity
Pajak Properti berbasis kekayaan (net wealth) di Indonesia secara konseptual terbagi
menjadi tiga yaitu: (a) Pajak properti berbasis kepemilikan yang dibayarkan secara tahunan (PBB
P2); (b) Pajak properti atas transfer asset (assets transfer tax) yang dibayarkan pada setiap kali
terjadi pengalihan kepemilikan tanah/bangunan (BPHTB); dan (c) Pajak properti atas
pertambangan, perkebunan dan perhutanan yang pada dasarnya merupakan pola hibrida antara
pajak properti berbasis kepemilikan yang dibayarkan secara rutin serta pajak atas sumber daya
alam (tax on natural resources).
Berdasarkan otoritas pemungutnya, pajak properti di Indonesia dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu Pajak Pusat (PBB P3) dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota (PBB P2 dan BPHTB) yang
didevolusikan melalui UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PBB
P2 dan BPHTB didevolusikan dengan tujuan untuk memperkuat local taxing power daerah melalui
perluasan basis pajak daerah dan pemberian kewenangan penetapan tarif sepanjang tidak
melampaui batas tarif tertinggi yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pajak properti di Indonesia
diperhitungkan dengan menggunakan basis kekayaan (net wealth) yang dasar pengenaan pajak
(tax base) dikenal sebagai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP secara umum ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau daerah, tergantung jenis pajaknya. Metode yang dipergunakan untuk
menentukan NJOP di Indonesia terdiri dari: (a) metode harga pasar (market method) yang
dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian atas harga tanah; dan, (b) metode harga
perolehan baru (cost method) yang biasanya dipergunakan untuk menilai bangunan. Penentuan
nilai jual objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
tanah dan bangunan pada saat penilaian dilakukan , kemudian dikurangi penyusutan bangunan
(Cost Approach); dan (c) penentuan Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Metode nilai jual pengganti
adalah adalah suatu metode penentuan nilai jual objek pajak yang didasarkan pada hasil produksi
objek pajak tersebut (Income Approach). Metode ini dipergunakan apabila kedua metode
sebelumnya tidak dapat dipergunakan. Pada praktiknya, metode ini dipergunakan untuk
menentukan NJOP galian tambang atau perairan.
Memperhatikan metode penetapan NJOP di atas, secara spesifik tidak terdapat pembedaan
antara lahan yang telah dipergunakan atau diolah (improved land) ataupun yang belum
72
dimanfaatkan (unimproved/ idle land). Secara administratif, tantangannya terletak pada penetapan
NJOP untuk idle land,mengingat saat ini penetapan NJOP secara umum dilakukan berdasarkan
blok-blok tanah yang telah ditetapkan oleh otoritas pajak. Dengan demikian perlu dilakukan
penyesuaian apabila metode penetapan akan dipergunakan untuk tujuan lain selain penerimaan
negara.
Pada PBB P3, penetapan NJOP menggunakan nilai lain yang mengacu pada income
approach. Secara umum, formula yang dipergunakan dalam menghitung beban pajak pada PBB
P3 justru menghasilkan beban pajak yang lebih besar pada tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk
pertambangan, perkebunan maupun kehutanan. Dengan demikian tidak terdapat kebijakan yang
mengarah pada upaya pemanfaatan lahan. Dengan kata lain, selama ini yang mendapat insentif
justru wajib pajak yang belum memanfaatkan lahan karena NJOP yang menjadi dasar pemajakan
memiliki nilai yang lebih rendah. Dengan demikian, desain pemungutan pajak properti di
Indonesia memang ditujukan untuk mendorong penerimaan pemerintah.
Tarif PBB yang berlaku saat ini pada dasarnya juga sulit untuk dijadikan sebagai dasar
menetapkan beban pajak yang berbeda untuk idle land. Hal ini disebabkan karena tarif pajak yang
diatur oleh undang-undang yang berlaku saat ini hanya memberikan alternatif yang sangat terbatas,
yaitu 0,5% bagi PBB P3 dengan tarif efektif 0,1% dan 0,2%. Pada PBB P2 pengaturan yang
memberikan batas maksimal 0,3% juga tidak memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk
mendesain kebijakan pajak properti dengan tujuan khusus selain tujuan penerimaan negara.
Secara keseluruhan, dari berbagai jenis pajak yang dipungut atas tanah di Indonesia saat
ini lebih berorientasi pada penguatan produktivitas penerimaan negara, di pusat maupun daerah.
Pilihan ini sepenuhnya mempertimbangkan penerimaan negara sebagai faktor penting dalam
mendukung keberlangsungan penyelenggaran pemerintahan dan penyediaan barang dan jasa.
Namun demikian, apabila pemerintah memiliki tujuan untuk menjadikan pajak sebagai instrumen
untuk mencapai pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia, maka kebijakan dan regulasi yang
berlaku saat ini tidak memadai. Pemerintah perlu mendesain kebijakan lain yang lebih sesuai untuk
mencapai tujuan tersebut.
73
BAB 5
SIMPULAN DAN PENUTUP
Pemajakan atas tanah selalu menjadi isu menarik dan tidak akan pernah selesai untuk
menjadi diskursus. Bukan saja karena pemajakan atas tanah merupakan salah satu pajak yang
tertua di dunia, namun juga karena aspek sosial politis dan aspek ekonomis-nya. Perdebatan
pemajakan mengakar pada konsep pendekatan keadilan perpajakan-khususnya ability to pay
approach guna menentukan basis pemajakan yang paling adil untuk menghitung beban pajak.
Namun dalam praktiknya, pemajakan atas tanah justru seringkali menjauh dari prinsip keadilan,
dan lebih mengutamakan asas revenue productivity dan ease of administration. Hal ini dapat
dipahami karena banyak faktor yang mempengaruhi supply dan demand tanah.
Dalam tataran international best practice, pemajakan atas tanah, meski bukan merupakan
sumber penerimaan negara yang utama, namun tetap diberlakukan di hampir seluruh negara di
dunia. Hal ini bukan karena alasan revenue productivity semata, melainkan juga karena pajak
seringkali dijadikan sebagai instumen pendukung dalam mencapai tujuan kebijakan pemerintah
lainnya. Bahkan seringkali ketika instrumen kebijakan non-pajak tidak berjalan sebagaimana
mestinya, atau tidak efektif, maka kebanyakan pemerintah di berbagai negara menggunakan
instumen kebijakan pajak untuk mempengaruhi perilaku atau keputusan masyarakat agar sejalan
dengan harapan pemerintah. Sebagai contoh, tax on idle land yang dilakukan oleh pemerintah
Filipina, dilakukan dengan 3 (tiga) tujuan, yaitu:
1. Menghasilkan lebih banyak penerimaan bagi unit pemerintahan lokal (local government unit).
2. Meningkatkan pengembangan ekonomi lokal melalui upaya maksimalisasi lahan idle untuk
kegunaan produktif.
3. Memperjelas peran dan tanggung jawab the National Government Agencies (Pemerintah
Pusat) terkait implementasi aturan pelaksanaan.
Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun pasca reformasi
perpajakan yang dilakukan pada tahun 1983, pemajakan atas tanah telah diberlakukan terhadap
kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan, dan pengalihan tanah. Pengalihan tanah
merupakan objek Pajak Penghasilan atas Pengalihan atas Tanah dan Bangunan (yang harus
ditanggung oleh penjual), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (yang harus
74
ditanggung oleh Pembeli). Masing-masing pajak tersebut dipungut oleh otoritas perpajakan yang
berbeda. Demikian juga dengan kepemilikan/penguasaan/pemanfaatan tanah. Selain objeknya
sangat luas, yaitu meliputi bumi dan tubuh bumi, juga kewenangan pemungutannya (otoritas
pemajakannya) dibagi menjadi kewenangan pemerintah pusat (PPB P3, yakni PBB sektor
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan), dan kewenangan pemerintah daerah (PBB P2, yakni
PBB pedesaan dan perkotaan). Oleh karena itu, wacana untuk memberlakukan pungutan pajak atas
idle land akan menjadi persoalan baru yang harus dikaji secara komprehensif, holistik dan
imparsial.
Isu pemajakan atas idle land pertama kali dikemukakan oleh Menteri Agraria dan Tata
Ruang Indonesia pada awal tahun 2017. Isu ini kemudian berkembang luas, dan menjadi polemik.
Pemberitaan diberbagai media menyatakan bahwa rencana yang diwacanakan pemerintah adalah
kebijakan pajak keuntungan modal (capital gain tax) dan pajak final progresif atas transaksi jual
beli tanah. Jika memang jenis-jenis pajak ini yang akan dipungut, hal ini bukan merupakan tax
policy option yang efektif, mengingat efek beban pajak akan dirasakan apabila tanah dialihkan.
Alternatif untuk mengenakan surcharge atau piggy back PBB P2 justru lebih feasible,
karena beberapa hal:
1. Pemungutannya bisa bersamaan dengan pemungutan PBB P2;
2. Efisiensi dari aspek administrative costs;
3. Beban pajaknya langsung dirasakan oleh pihak yang memiliki/menguasai lahan yang
menganggur.
Namun demikian, disain pemajakan atas idle land harus betul-betul didesain dengan komprehensif,
dengan memperhatikan beberapa hal serta menjawab beberapa pertanyaan berikut, diantaranya :
1. Objek idle land tax
a. Definisi : apakah yang dimaksud dengan idle land?
b. Exemption : Apa-apa sajakah yang akan dijadikan sebagai pengecualian?
75
2. Tax reliefs
a. Bagaimana bentuk tax reliefs yang akan diberikan? Apakah terdapat pembebasan
objek dan pembebasan subyek, pengurangan, reduce rate, atau kombinasi diantara
keempatnya?
b. Bagaimana mekanisme pemberian tax reliefs?
c. Bagaimana mekanisme pengawasan tax reliefs?
3. Otoritas pemungut : siapa otoritas pemungut pajak? Pemerintah pusat atau daerah?
4. Mekanisme pemungutan;
5. Kebijakan penggunaan revenue dari idle land: apakah menggunakan metode earmarking?
Dari kelima hal di atas, tampak bahwa kebijakan pajak atas idle land harus didesain dari
hulu ke hilir, mulai dari hukum pajak material hingga hukum pajak formal sehingga dapat
diimplementasikan. Bahkan masalah penggunaan atau pemanfaatan revenue juga harus didesain
secara memadai agar revenue yang didapat memang digunakan untuk mengatasi eksternalitas
negatif atau dampak negatif bahkan opportunity costs akibat adanya lahan menganggur. Sebagai
contoh, jika tax on idle land diberlakukan, maka seharusnya penggunaan tax revenue-nya bisa
dialokasikan untuk pembiayaan program/janji pemerintah, antara lain janji Program Satu Juta
Rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan lahan yang digunakan untuk
pembangunan infrastuktur dan pembangunan sarana publik lainnya. Oleh karena itu, kebijakan tax
on idle land juga harus diikuti dengan politik kebijakan anggaran belanja jika akan diberlakukan.
Dalam konteks inilah, perumusan kebijakan earmarking menjadi sangat signifikan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmadi, Wiratmi. (2005). Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan
Pertanahan di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. hlm 46
Barry, Frank. (1998). Agribusiness and Idle Land: Theory, with special reference to Guatemala.
Trocaire Development Review 1988.
Basuki, Sunaryo. (2002). Hukum Tanah Nasional Landasan Hukum Penguasaan Dan
Penggunaan Tanah. (Diktat Mata Kuliah Hukum Agraria, Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Depok)
Boedi Harsono. (1989). Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-
undang Pokok Agraria), Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit C.V. Mandar Maju.
Blomley, Nicholas. (2004). Unsettling the City: Urban Land and the Politics of Property.
Roudtledge: New York and London.
Bromley, Daniel W. (1991). Environtment and Economy: Property Rights and Public Policy.
Oxford: Blackwell.
Darwin MBP. (2013). Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Tataran Praktis Edisi 2. Jakarta: Mitra
Wacana Media. Hlm. 2
Edwin R. A. Seligman (1911). The Shifting and Incidence of Taxation. Colombia: Colombia
University.
Fiscalis Tax Gap Project Group. 2016. The Concept of Tax Gaps “Report on VAT Gap
Estimations”. Brussels: European Commission Directorate-General Taxation and Customs
Union.
Fitriandi, Primandita, Yuda Aryanto & Agus Puji Priyono. (2014). Kompilasi Undang-undang
Perpajakan Terlengkap. Jakarta: Salemba Empat. hlm 272.
Ilyas, W & Burton, R. (2004). Hukum Pajak Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat.
Irianto, Edi Slamet. (2009). Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Mediatama Yogyakarta.
Irianto, Edi Slamet. (2014). Pengantar Politik Pajak. Jakarta: Ortax.
Judowinarso, Endarto & Darwin. (2006). Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) & Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Jakarta: Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan
Akuntansi Pemerintah.
Kumorotomo, Wahyudi. (2008). Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-
2004. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.
M. Arsyad Ridani. (2015). Analisis Penyerapan Anggaran Belanja Daerah di Kabupaten Bulungan.
(Tesis).Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Mardiasmo. (2011). Perpajakan Edisi Revisi 2011.Yogyakarta: CV Andi Offise.
77
McCrone, David & Elliot, Brian. (1989). Property and Power in a City: The Sociological
Significance of Landlordism. London: The Macmillan Press LTD.
Mc.Cluskey, William J, Garry C.Cornia, & Lawrence C. Walters. (2013). A Premier on
Property Tax: Administration and Policy. New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.
Mertokusumo, Sudikno. (1998). Hukum acara perdata Indonesia. Yogyakart: Penerbit Liberty.
Michael Lang, et. all. (2016). Trends and Players in tax Policy in European and International Tax
Law and Policy Series. Amsterdam: IBFD.
Markus, Muda & Yujana, Lalu Hendry. (2004). Pajak Penghasilan. Jakarta: PT.Gramedia.
Nasoetion, Andi Hakim. (2002). Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Bogor: IPB Press.
Nasucha, Chaizi. (1995). Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah.
Jakarta: Megapoin.
Nick Devas. (1989). Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University. Hal. 118.
Oyok Abuyamin. (2012). Perpajakan Pusat & Daerah. Bandung: Humaniora.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia I
(Edisi Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka.
Rosdiana, Haula & Irianto, Edi Slamet. (2013). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Resmi, Siti. (2013). Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Rustiadi, Ernan et., al., (2006). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei 2006. Bogor:
Fakultas Pertanian IPB.
Saban, R. (1987). Pajak Bumi di Indonesia dari Masa ke Masa: Sejarah Lahir dan
Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Bina Arta.
Santoso, Urip. (2005). Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group.
Suparmono & Damayanti. (2010). Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan.
Yogyakarta: Andi.
Smith, Brian C. (2012). Desentralisasi: Dimensi Teritorial Suatu Negara. Jakarta: Masyarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia.
Stephan J. Goetz, James S. Shortle and John C. Bergstrom. (2005). Land Use Problems and
Conflicts “Causes, consequences and solutions. London and New York: Routledge.
Supriyanto, Heru. (2017). Cara Menghitung PBB Sektor P3, Sektor Lainnya, dan Bea Meterai.
Jakarta: Penerbit Indeks.
Sutanto, Rachman. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah “Konsep dan Kenyataan”. Yogyakarta:
Kanisius.
Sumardjono, Maria S. W. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak EKonomi, Sosial, dan Budaya.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: IMF. Hal. 268.
Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Winangun, Y. Wartaya. (2004). Tanah: Sumber Nilai Hidup. Jakarta: Kanisius
78
Jurnal
Brown, Mercy & Luthango. (2010). Access to Land forthe Urban Poor-Policy Proposals for South
African Cities. Springer Science + Business Media B.V. 2010, urban Forum 21:123-138,
DOI 10.1007/s12132-010-9081-x.
Claire V., Madonna, Mark Lester L, Teresita L.Solomon.2015. Comparative Real Property
Taxation of ASEAN Member Countries. NTCR Tax Research Journal. Volume
XXVII. 4 July- August 2015.
Fisher, M. Ernest. (1958). Economic Aspect of Urban Land Use Patterns. The Journal of Industrial
Economics, June, Vol. 6, S. 198-208.
Lee, Kangoh. (2003). Should Land and Capital Be Taxed at a Uniform Rate? The Canadian
Journal of Economics/ Revenue canadienn ed’ Economique, Vol. 36, No. 2 (May, 2003), pp.
350-372.
Artikel
Congressional Policy and Budget Research Department House of Representatives. Idle Land
Tax: Implementation Issues and Challenges CPBRD Policy Brief.
De Cesare, Claudia M and Ruddock, Les. (1997). An Empirical Analysis of a Property tax System:
a Case Study from Brazil. The Internasional Conference on Assessment Administration
(63rd Annual Meeting) Toronto, Canada: Internasional Association of Assessing Officers.
De Cesare, Claudia M and Ruddock, Les. (1999). The Property Tax System in Brazil. Property
Tax: An Internasional Comparative Review, Chapter 13: 266-282p. Ashgate, 1999. Editor:
W. McCluskey.
Samuelson, Paul. (1982). "A Chapter in the History of Ramsey's Optimal Feasible Taxation and
Optimal Public Utility Prices." In Economic Essays in Honour of Jørgen H. Gelting, eds. S
Andersen, K Larsen, PN Rasmussen and J Vibe-Pedersen, Copenhagen: Danish Economic
Association. Reprinted in ed. K Crowley (1986), 76-100.
Sidik, Machfud. 2017. The Study of Possible Devolving PBB Plantation, Forestry, and Mining
Object. LPEM FE UI.
Varanyuwatana, Sakon. Property Tax in Thailand. Bangkok: Thammasat University
Publikasi Elektronik
Bird, Richard M. dan Enid Slack. 2012. Land and Property Taxation: A review.
http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/June2003Seminar/LandProperty
Taxation.pdf
79
Portal Media Online
Alexander, H. (2016, December 14). Dipetik February 1, 2017, dari Lima Tahun Lagi, Generasi
Milenial Terancam Tidak Bisa Membeli Rumah:
http://properti.kompas.com/read/2016/12/14/160706321/lima.tahun.lagi.generasi.milenial.t
erancam.tidak.bisa.membeli.rumah
IPTU rises 10.48%, and the city of Porto Alegre gives a discount of 12% for cash payment (2015,
September 12). Dipetik April 2, 2017, dari http://zh.clicrbs.com.br/rs/porto-
alegre/noticia/2015/12/iptu-sobe-10-48-e-prefeitura-de-porto-alegre-da-desconto-de-12-
para-pagamento-a-vista-4926597.html
Lestari, D. (2015, November 8). Dipetik February 13, 2017, dari Kenapa Anda Sulit Beli Rumah
Sebelum Usia 30? Ini Alasannya Beberapa faktor berikut harus Anda perhatikan:
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/696693-kenapa-anda-sulit-beli-rumah-sebelum-
usia-30-ini-alasannya
Pitoko, R. A. (2016, August 25). (H. Alexander, Penyunt.) Dipetik February 1, 2017, dari Catatan
Hapernas 2016, 82,8 Persen Kepemilikan Rumah Bukan Indikator Kesuksesan:
http://properti.kompas.com/read/2016/08/25/100000521/Catatan.Hapernas.2016.82.8.Perse
n.Kepemilikan.Rumah.Bukan.Indikator.Kesuksesan
Suhendra, Z. (2017, January 31). Atasi Ketimpangan, Pemerintah Buat Program Ekonomi
Berkeadilan. Dipetik February 1, 2017, dari http://bisnis.liputan6.com/read/2842815/atasi-
ketimpangan-pemerintah-buat-program-ekonomi-berkeadilan
Suryowati, E. (2017, Januari 26). Pajak Progresif Bisa Memotong Rantai Spekulan Tanah. (A.
Ika, Penyunt.) Dipetik February 1, 2017, dari
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/26/111000526/pajak.progresif.bisa.memo
tong.rantai.spekulan.tanah
Peraturan Perundangan
Republik Indonesia. 1985. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun1994
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.010/2017
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-90/PMK.03/2015
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-268/PMK.03/2015
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-269/PMK.03/2015
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-113/PMK.03/2014
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-163/PMK.03/2012
80
8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016
9. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015
10. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002
11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
12. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
13. Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008