staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/.../users/amy.yayuk09/publication/new.docx · web viewpemberdayaan...

137
MERITOKRASI DAN REVOLUSI MENTAL: FENOMENA PERUBAHAN BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Assalammualaikum Wr.Wb Salam Sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat: Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Rektor Universitas Indonesia Ketua dan Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Dekan dan Wakil Dekan di Lingkungan Universitas Indonesia Dekan dan Wakil Dekan FISIP Universitas Indonesia Ketua dan Anggota Senat Akademik FISIP Universitas Indonesia Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, marilah kita memanjatkan doa Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas 1 Amy Y.S Rahayu

Upload: others

Post on 18-May-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

(Amy Y.S Rahayu)

MERITOKRASI DAN REVOLUSI MENTAL: FENOMENA PERUBAHAN BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Assalammualaikum Wr.Wb

Salam Sejahtera bagi kita semua.

Yang terhormat:

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia

Rektor Universitas Indonesia

Ketua dan Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia

Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia

Dekan dan Wakil Dekan di Lingkungan Universitas Indonesia

Dekan dan Wakil Dekan FISIP Universitas Indonesia

Ketua dan Anggota Senat Akademik FISIP Universitas Indonesia

Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia

Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan

Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, marilah kita memanjatkan doa Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-NYA, kita semua dikaruniai kesehatan sehingga dapat bertemu dan berkumpul di acara pengukuhan pada hari ini.

Hadirin yang saya hormati,

Sejak era kegagalan pasar (market failure), Negara menjalankan fungsi dan perannya dalam menyejahterakan rakyat. Birokrasi menjadi bagian penting dalam struktur organisasi yang disebut negara. Perkembangan peran dan fungsi birokrasi sendiri sejalan dengan perkembangan administrasi–manajemen yaitu pada era klasik dunia diperkenalkan dengan birokrasi Weberian yang mekanistik yang kemudian menjadi acuan semua negara hingga kini.

Birokrasi Weberian diciptakan oleh Max Weber (1864-1920) dengan beberapa karakteristik yakni, pembagian kerja dan spesialisasi, rantai hierarki yang jelas, segala sesuatu tercatat dengan baik, rantai komando, kepatuhan yang melekat pada posisi jabatan, seleksi (rekrutmen) dan promosi yang berdasarkan sistem merit, serta prinsip remunerasi berdasarkan aturan main dan kinerja dalam organisasi. Bagi Weber, di dalam masyarakat modern, birokrasi merupakan instrumen organisasi yang saling terhubung dan bekerja sama baik dengan swasta, pemerintah, masyarakat dan sektor publik pada umumnya (Meier and o’Toole Jr, 2006).

Namun dalam praktiknya prinsip birokrasi tersebut banyak mengalami penyimpangan. Peranan birokrasi sebagai personifikasi negara, penguasaannya terhadap informasi, keahlian teknis atau spesialisasi karena bekerja pada long time period dan sangat kuat secara politis, menjadikan birokrasi cenderung menjadi the single authoritarian institution, artinya birokrasi menjadi satu-satunya institusi yang berwenang mengatasnamakan semua kegiatannya atas nama negara (du Gay, 2005).

Dalam organisasi publik, birokrasi memiliki fungsi dan peran penting baik sebagai supporting system dalam formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan, serta peran langsung dalam pelayanan publik. Era modern saat ini sebagai institusi klasik birokrasi dituntut untuk mampu bekerja menyesuaikan dengan perubahan lingkungan organisasi publik. Meskipun banyak konotasi negatif yang melekat padanya, birokrasi tetap memiliki daya tahan, kekuatan dan stabilitas yang telah teruji ratusan tahun. Di samping itu meskipun ada alternatif sistem dan berbagai inovasi yang menggantikan, birokrasi tetap merupakan “core of government and large scale corporate government systems”. Birokrasi jelas memiliki peran besar dengan posisi yang unik serta keahlian yang diperoleh karena masa kerja yang panjang, menjadikan sulit untuk ditandingi oleh sistem seperti apapun (Farazmand, 2009; O’Tool Jr, 2006; Mises, 2007).

Dalam organisasi publik birokrasi pemerintah merupakan instrumen penting yang berfungsi memelihara dan menjaga kelangsungan dari tata kelola pemerintahan dan administrasi. Sebagaimana diungkapkan berikut ini

“Bureaucracy persists because it is instrumental to maintenance,continuity, and enhancement of both capitalist and socialist system; an instrumental arm of public governance and administration in both its civilian and its military-security forms” (Farazmand, 2009).

Fungsi dan peran birokrasi semakin nyata dan dirasakan oleh setiap warga negara yakni dalam pelayanan publik. Sebagai pondasi pelayanan publik birokrasi diharapkan dapat bekerja secara profesional,impersonal, efektif dan efisien. Pelayanan publik didefinisikan sebagai pelayanan yang dibiayai melalui pajak lebih dari pada melalui penjualan barang jasa secara individual. Manajemen, tata kelola dan delivery system dilakukan oleh pemerintah (Farnham dan Horton, 1995). Namun demikian sejalan dengan perkembangan dan harapan masyarakat pelayanan publik dituntut lebih fleksibel, transparan, profesional, cepat atau tanggap, murah dan mudah diakses. Artinya birokrasi pelayanan publik harus dapat berubah dan bekerja meninggalkan kebiasaan kuno yakni bekerja sangat hierarkis dan terlalu digerakkan rule-driven, sehingga yang terlihat adalah pelayanan publik yang terkesan mempersulit.

Organisasi apapun termasuk birokrasi pelayanan publik memang harus berubah, segala sesuatu harus berubah omnia mutant (everything changes) (Lewis and Carol, 2005). Organisasi-organisasi termasuk birokrasi ke depan harus memiliki sruktur yang fleksibel, organik dan responsif terhadap keinginan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bennis bahwa ke depan organisasi yang mekanistik akan semakin sulit bertahan dan mengembangkan diri (Bennis, 2009).

“Organization of the future…..will have some unique characteristic. They will be adaptive, rapidly changing temporary systems, organized around problems-to-be-solved by groups of relative strangers with diverse professional skills. The groups will be arranged an organic rather than mechanical models. They will evolve in response to problems rather than to programmed expectation. People will be evaluated, not in a rigid vertical hierarchy according to rank and status but flexibility, according to competence…”

Tuntutan perubahan terhadap fleksibilitas birokrasi pelayanan publik disebabkan karena perubahan lingkungan masyarakat yang sedemikian dinamis. Cara pandang, nilai-nilai dan budaya masyarakat telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan baik secara regional maupun global. Kendati barang-jasa publik umumnya tidak memiliki persaingan, namun masyarakat memandang bahwa sebagai negara welfare state pemerintah sudah selayaknya melayani rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak rakyat untuk memperoleh pelayanan publik dijamin dengan undang-undang. Demikian pula dalam paradigm negara demokrasi, rakyat tidak hanya harus sadar hak-haknya, namun juga sadar kewajibannya dalam pelayanan publik. Birokrasi harus menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat dan bukan sebaliknya.

Perubahan birokrasi tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa peningkatan kualitas kepemimpinan, kualitas aparatur, dan kualitas peraturan serta sistem pengawasan. Dalam organisasi modern, perubahan mutlak diperlukan, sebab lingkungan organisasi modern bergerak dengan cepat dan sangat kompleks. Evolusi peran pemimpin bergerak dari administrator, manajer,menjadi pemimpin (leader), entrepreneur, dan pemimpin perubahan. Anderson menyebutnya sebagai ‘pemimpin yang sadar perubahan’ (Anderson and Anderson, 2001).

Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat dan Lurah, dan para pimpinan SKPD dan seterusnya, semuanya adalah pemimpin perubahan. Perbedaannya dengan pemimpin biasa adalah bahwa pemimpin perubahan memiliki visi yang jauh ke depan, mampu menangkap peluang dan dapat menundukkan rintangan yang menghadang. Inti kepemimpinannya adalah mampu mempengaruhi dan mengarahkan transformasi organisasi ke arah yang dikehendaki. Jadi bukan bekerja sesuai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) saja, melainkan lebih dari itu membuat terobosan-terobosan yang diperlukan bagi kemajuan organisasi.

Hadirin yang saya hormati,

Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia banyak dipengaruhi oleh teori-teori pelayanan publik barat, mulai dari model klasik yang sangat mekanistik, kemudian neo klasik yang mengedepankan aspek manusia dalam organisasi publik, hingga konsep-konsep pasar yang mengedepankan pengambilan keputusan rasional dan efisiensi pelayanan. Ada dimana posisi pelayanan publik negara kita? Mari kita lihat melalui lintasan perkembangan paradigma pelayanan publik di dunia.

Paradigma pelayanan publik sendiri terus mengalami perkembangan yang pesat. Tahap demi tahap berbagai negara telah mengadopsi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan pelayanan publik sesuai dengan kecepatan dan setting permasalahan di negara masing-masing. Salah seorang tokoh Old Public Administration (OPA), yakni Woodrow Wilson seorang professor yang akhirnya menjadi Presiden Amerika Serikat. Wilson melihat bidang administrasi seperti halnya bidang bisnis. Sejalan dengan pemikirannya tersebut maka pemerintah harus menetapkan kewenangan eksekutif, mengawasi hierarki organisasi, dan mencapai tujuannya secara efisien. Dengan prinsip tersebut administrasi diharapkan menjadi profesional. Satu-satunya ancaman potensial adalah politik, oleh karena itu Wilson menyarankan pemisahan antara administrasi negara dan politik (dikotomi administrasi-politik). Baginya pertanyaan politik tidak sama dengan pertanyaan administrasi.Dari pemikiran Wilson, ada dua gagasan Wilson dalam administrasi negara yakni ‘efisiensi’ dan ‘dikotomi politik-administrasi’. Singkatnya bahwa dikotomi tersebut tidak memperoleh kesepahaman diantara para ahli administrasi negara, Luther Gulick, antara lain menyatakan bahwa tidak mungkin memisahkan administrasi dan politik, sebab dalam praktiknya administrasi turut dalam pengambilan keputusan politik (Denhardt and Denhardt, 2007).

Beberapa pendekatan yang mempengaruhi teori OPA antara lain pendekatan human behavior yang menganggap bahwa administrasi akan berhasil bila unsur manusia diperhatikan, kemudian pendekatan lain adalah pendekatan model rasional, dan public choice yang menekankan perlunya pengambilan keputusan secara rasional dan berdasarkan pada pilihan-pilihan publik (Denhardt and Denhardt, 2007).

Secara garis besar disampaikan bahwa OPA memiliki beberapa karakteristik, yakni: 1) pemerintah fokus pada pelayanan publik secara langsung dan melalui lembaga resmi pemerintah; 2) administrasi dan kebijakan publik berkaitan dalam merancang dan melaksanakan kebijakan yang didefinisikan dalam satu tujuan politis; 3) administrasi negara memainkan peran terbatas dalam pembuatan kebijakan dan tata kelola, fokus pada implementasi kebijakan; 4) pemberian pelayanan harus dilakukan oleh administrator, bertanggung jawab terhadap pejabat terpilih, dan keleluasaan kewenangan dibatasi dalam pekerjaan mereka; 5) administrator bertanggung jawab terhadap pimpinan politik yang dipilih secara demokratis; 6) program-program pemerintah diadministrasikan secara baik melalui hierarki organisasi dan dikendalikan dari ‘atas’; 7) nilai utama dalam organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas; 8) organisasi publik beroperasi dalam sistem tertutup dan keterlibatan warga negara dibatasi; 9) peran administrator publik sebagian besar didefinisikan sebagai perencanaan, pengorganisasian, staf, pengarahan, pengoordinasian, pelaporan, dan penganggaran (Planning, Organising, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, and Budgetting - POSDCORB) (Denhardt and Denhardt, 2007).

Tentu saja OPA sangat relevan pada zamannya, sedangkan untuk saat ini, di era globalisasi ada beberapa karakteristik OPA yang sudah tidak sesuai lagi namun masih dipraktikkan dalam pelayanan publik di negara kita, seperti mengedepankan hierarki, rule-driven, dan dominasi pemerintah yang kental dalam setiap aspek sektor publik, tidak transparan atau close system. Praktik seperti itu menyebabkan birokrasi menjadi terisolasi dari masyarakat, pelayanan publik berjalan lamban, rakyat tidak terlayani dengan optimal, kualitas pelayanan rendah, dalam beberapa kasus para birokrat menjadi pemburu rente, suap, middle man (calo), dan puncaknya adalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terjadi disemua sudut pelayanan publik. Jika demikian kondisi pelayanan publik maka dikhawatirkan secara pelahan kepercayaan publik (public trust) akan hilang.Kepercayaan publik adalah elemen sentral di dalam pemerintahan yang baik (Cheema and Popovski, 2010).

Namun demikian tidak sepenuhnya OPA mencitrakan pelayanan publik yang buruk. Pelayanan publik dalam pendekatan OPA dipandang masih memiliki nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental ini berbeda dengan pelayanan privat. Dalam pelayanan publik tujuan utama adalah pemerataan dan kesejahteraan rakyat, sedangkan dalam nilai-nilai privat lebih kepada mengejar keuntungan. Dalam beberapa hal efisiensi bukanlah satu-satunya cara dalam pelayanan publik, efektifitas mungkin lebih tepat. Cakupan pelayanan publik yang bersifat nasional dan tanpa terkecuali (non-excludability) tentunya tidak mungkin dilaksanakan oleh sektor privat. Demikian pula ketika berbicara tentang lingkungan sektor publik yang sarat dengan pengaruh politik, akan menjadi sulit bagi sektor privat menghadapi lingkungan politik yang kuat. Baik secara konseptual maupun secara praktiknya, produksi barang jasa-publik (public goods dan mix-goods) hanya sektor publik yang mampu mengelolanya.

Sejalan dengan kritikan terhadap OPA, sejumlah ahli mengetengahkan pandangan New Public Management (NPM) yang merupakan suatu hasil antitesis terhadap lambannya pekerjaan administrasi negara lama (OPA). Beberapa kritikan tersebut diketengahkan antara lain oleh Pollit (1990), dalam prinsip-prinsip pelayanan publik secara “managerialism”, “new public management” (Hood, 1991), “market based public administration” (Lan dan Rosembloom, 1992), atau “entrepreneurial government” (Osborne and Gaebler, 1992). Dalam pandangan tersebut para ahli menyatakan bahwa administrasi negara lama (OPA) sangat tidak cocok untuk mengembangkan pelayanan publik yang efisien, ekonomis, dan efektif, apalagi era tahun 1980-an sedang terjadi krisis fiskal, sehingga perlu mencari paradigma alternatif yang lebih bersifat realistik.

Peran administrator dalam NPM adalah sebagai ‘entrepreneure’ artinya respon terhadap ‘customer’ (baca: masyarakat, rakyat) harus berada dalam konteks memaksimalkan produktifitas dan efektifitas (maximizing productivity and effectiveness). Penempatan birokrasi analog dengan “manager” diharapkan membawa perubahan tata kelola pelayanan publik. Melalui perubahan entrepreneurship sikap memburu peluang, ulet dan tidak kompromi terhadap semua penyimpangan sangat dikedepankan. Walaupun dalam praktiknya, ini tidak mudah, birokrasi sulit menangkap peluang, mereka bekerja sesuai arahan atasan, single-mindedness, dan sulit dikontrol.

Selanjutnya Hood (1991, dalam Hughes, 1994) menegaskan bahwa dalam NPM pelayanan publik harus berprinsip pada: (1) Hands-on professional management. Artinya bahwa para manajer atau administrator pelayanan publik harus visioner, kontrol terhadap setiap diskresi yang ada, accountability, responsiveness dan proaktif. (2) Terdapat standar dan pengukuran kinerja. Tujuan organisasi didefinisikan dengan jelas, dan target kinerja disusun dengan cermat.

Demikian pula dalam hal efisiensi penggunaan sumber-sumber. (3) Penekanan besar pada kontrol output. Sumber-sumber diarahkan untuk mencapai hasil daripada prosedur. (4) Pergeseran dari pemilahan unit-unit dalam sektor publik yang terlihat memiliki cakupan luas ke arah korporasi produk. Hal ini dimaksudkan agar struktur organisasi lebih efisien. (5) Pergeseran ke arah kompetisi dalam sektor publik. Artinya bergerak dari batasan kontrak dan prosedur tender ke arah persaingan dengan penggunaan biaya rendah dan standar yang bagus. (6) Penekanan pada gaya, praktik dan manajemen sektor privat. Artinya bahwa pelayanan publik harus move away from military style, dan penghargaan yang fleksibel sebagaimana diterapkan dalam sektor privat. (7) Displin dan hemat dalam penggunaan sumber-sumber.

Prinsip-prinsip organisasi privat dalam NPM jelas mengandung suatu tujuan yakni agar peran pemerintah dalam pelayanan publik menjadi optimal, belanja pemerintah dalam membiayai pelayanan publik berada pada efisiensi tertinggi, begitu pula dalam hal profesionalitas aparatur pelayanan publik, harus dikaitkan dengan pengukuran kinerja, masyarakat harus diperlakukan sebagai pelanggan atau customer, sehingga kepuasan pelanggan menjadi utama dalam pendekatan ini.

Adapun kelemahan pendekatan NPM dalam catatan beberapa kritikus antara lain adalah: 1) Organisasi publik esensinya sangat berbeda dengan organisasi privat. Dengan prinsip-prinsip privat yang sangat ketat maka pelayanan publik akan kehilangan esensinya sebagai pelayanan yang non exludable, sebaliknya akan menjadi pelayanan yang exclusive. 2) NPM mengabaikan peran proses politik dalam setiap kebijakan barang-jasa publik. 3) Hubungan birokrasi-masyarakat menjadi senjang karena birokrasi hanya akan memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang menjadi pedoman pelayanannya, sebaliknya masyarakat yang tidak mampu memenuhi standar akan tersingkir. 4) Dampak eksternalitas barang-barang publik murni hanya pemerintah yang mampu mengatasinya. 5) Derajat akuntabilitas publik menjadi menurun. 6) Kepercayaan publik menurun akibat derajat akuntabilitas publik yang menurun (Denhardt, 2007; Derlien and Peters, 2008).

Sejalan dengan kritikan tersebut NPM dipandang terlalu berlebihan dalam menerapkan perilaku manajemen privat, sehingga menyebabkan sektor publik kehilangan orientasinya terhadap tanggungjawab yang diembannya untuk kepentingan umum publik (Prasojo, dkk, 2007). Dalam pandangan demikian, maka muncullah konsep good governance yang mengambil jalan tengah yaitu garis dikotomi antara publik dan privat diperhalus, dan memungkinkan pemerintah dapat bekerja dalam mekanisme politik yang semestinya dengan memperhatikan juga aspek sosial dan ekonomi yang ada. Hingga sekarang Indonesia masih menerapkan prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi masayarakat, transparansi, kesetaraan, dan akuntabilitas.

Teori ketiga adalah New Public Services (NPS). Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ingraham dan Romzek (1994), Farnham dan Horton (1995) dan Denhardt (2007). Keduanya Sama-sama mengetengahkan bahwa pelayanan publik harus kembali ke akar demokrasi (root democracy) yaitu warga negara adalah elemen sentral dari pelayanan publik. Kesalahan utama sejak awal adalah rendahnya partisipasi warga negara. Warga negara selama ini disebut sebagai ‘customer’ atau pelanggan, padahal konsep tersebut jelas berbeda dengan konsep warga negara. Konsep warga negara dan demokrasi adalah bagian penting dalam teori politik dan sosiologi. Keduanya menggambarkan keterlibatan aktif dalam kehidupan bernegara. Konsep warga negara melekat tidak saja pada hak namun juga kewajiban bagi siapapun yang secara legal hidup dan menikmati layanan negara. Dalam kritiknya terhadap pendekatan New Publik Manajemen (NPM) Denhardt (2007) menyoroti bahwa kata “demokrasi” dan “warga negara” serta “kebanggaan” serasa lebih lazim baik dalam pengucapan maupun perilaku katimbang kata “pasar” dan “kompetisi” serta “konsumen”. Secara lebih jelas berikut ini kutipannya

“We want words like “democracy” and “citizen and “pride” to be more prevalent in both our speech and our behavior than words like “market’ and competition” and “customer”. Public servant do not deliver customer service, they deliver democracy”

Namun secara lebih mendalam dibalik ungkapan tersebut, Denhardt ingin mengembalikan peran negara secara proporsional dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.Artinya Denhardt tidak sepakat bila pelayanan publik dikelola secara prinsip pasar. “Government shouldn’t be run like a business; it should be run like a democracy”. Tentu saja hal tersebut memiliki alasan kuat bahwa pendekatan baru yang ditawarkan dan disebut sebagai NPS, merupakan suatu perubahan ke arah sikap dan pemahaman baru tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik.

Menurut Denhardt, dalam peran aktif warga negara, peran birokrat meningkat daripada peran pelayanan publik semata. Birokrat pelayanan publik harus memainkan peran konsiliasi, mediasi, penyelesaian masalah, lebih daripada peran sebagai pelaksana dan pengawasan semata. Sehubungan dengan peran tersebut ketrampilan (skill) yang dibutuhkan birokrasi pun juga menjadi spesifik antara lain adalah kemampuan sebagai fasilitator, perantara dalam negosiasi, dan konflik. Denhardt menggarisbawahi peran birokrasi tidak lagi ‘predominant role’ dalam menyetir masyarakat, melainkan lebih ‘decisive role’ yaitu peran untuk menentukan pengambilan keputusan. Artinya birokrasi adalah leader dalam kolaborasi pelayanan publik antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

NPS bergerak dengan pertanyaan fundamental tentang praktik pelayanan publik di lapangan, antara lain bagaimana kita bisa menentukan ‘karakter’ penting apa yang harus dilakukan birokrasi dalam pelayanan publik? Apa yang memotivasi dan mendorong tindakan-tindakan dalam pelayanan publik? Apa yang memberi kita kekuatan dan kapasitas saat pelayanan publik mengalami gejolak dan kinerja menurun? Satu nilai dasar di NPS adalah “dignity” atau martabat dalam pelayanan publik. (Denhardt and Denhardt, 2007).

Nilai pelayanan publik yang terkait dengan “dignity’ juga banyak terjadi di Indonesia, antara lain adalah kisah seorang Direktur utama PT Kereta Api Indonesia yakni Ignatius Jonan, membuat karyawannya bangkit dan tidak malu lagi mengenakan seragam PT KAI. Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu PT KAI sebagai BUMN pelayanan publik bangkit dan mengejar ketertinggalannya serta mampu melunasi hutang-hutangnya dan bahkan surplus. Kisah manis ini analog dengan gambaran yang dikehendaki dalam paradigm NPS, yakni perubahan karakter para pengelola pelayanan publik yang bermartabat dan membanggakan.

Lebih lanjut Hartley, et all (2008) menegaskan bahwa pelayanan publik jelas berbeda dengan privat. Kendati kata ‘manajemen’ yang diadopsi dari privat melekat dalam gerakan NPM maupun NPS. Manajemen yang digunakan dalam organisasi publik bukan manajemen umum melainkan khas, kendati batas-batas antara masyarakat, swasta, dan pemerintah semakin menipis. Bedanya adalah bahwa organisasi pelayanan publik tidak memilih ‘pasar’ mereka, tapi merupakan kewajiban untuk menyediakan pelayanan publik bagi yang secara legal harus dilayani. Sedangkan organisasi privat melayani karena didasarkan atas kontrak, kapanpun jika kondisi tidak menguntungkan, maka dengan bebas kontrak dapat saja diakhiri. Disamping itu organisasi publik dapat meminta dan memaksa warga negara untuk memenuhi kewajibannya, seperti membayar pajak, memelihara lingkungan, dan sebagainya. Disinilah perbedaan pandangan tentang konsep customer dan citizen.

Dengan demikian benang merah dari pendekatan NPS adalah: 1) pelayanan publik melayani citizen dan bukan customer. 2) Peran penting birokrasi tidak hanya terletak pada services delivery saja, melainkan memiliki peran menentukan (decisive role), baik sebagai fasilitator, memecahkan masalah, dan negosiator dalam konflik. 3) Birokrasi pelayanan publik bersifat melayani dan bukan dilayani. Profesionalisme berpasangan sekaligus dengan kewajiban sebagai pelayan masyarakat. 4) Martabat dan kebanggaan melayani warga negara menjadi nilai-nilai utama dalam pelayanan publik. Nilai-nilai ini secara bersama akan membangun nilai yang mengacu pada kualitas, integritas, dan keterbukaan dalam pelayanan publik.

Tabel 1: Benang Merah Paradigma Pelayanan Publik

KARAKTERISTIK

OPA

NPM

NPS

Kriteria Paradigma

Klasik dan neo klasik

Contingency

Contingency

Tujuan

Pelayanan masyarakat

Kepuasan pelanggan

Pemenuhan Kebutuhan warga negara

Struktur Organisasi

Mekanistik

Organik

Organik-Dinamik

Peran Pemerintah

Predominant role

Decisive role

Decisive role

Birokrasi

Sangat ‘publik’ digerakan aturan

Mengadopsi prinsip bisnis

Efisiensi

Berakar nilai-nilai demokrasi, pro rakyat

Aparatur Negara

Abdi negara, birokrat tulen

Pelayan Pelanggan

Fasilitator, Negosiator, pelayan warganegara

Nilai-nilai

Etik administrasi publik

Etik administrasi publik dan bisnis/pasar

Etik demokrasi dan partisipasi

Sasaran

Masyarakat (Client)

Pelanggan (Customer)

Warga negara

(Citizen)

Kebijakan

Top-down

Gabungan

Bottom-up

Inovasi

Kurang Inovatif

Entrepreneure

Inovatif

Orientasi

Kesejahteraan

Efektifitas

Kesejahteraan

Efisiensi

Kesejahteraan Keadilan,dan Pemerataan

Sistem Manajemen

Tertutup

Terbuka

Terbuka

Pengaruh politik

Membatasi hubungannya dengan politik

Membatasi pengaruh politik

Politik sebagai bagian untuk mencapai pelayanan secara demokrasi

Governance

Sangat formal

Rigid, hirarkhi

Meminimalisir formalisasi

Dinamis dan fleksibel

Sumber: Disarikan dari Pollit (1990); Hood (1991); Lan and Rosenbloom (1992); Denhardt and Denhardt (2007)

Menyimak ketiga paradigma yang sudah disampaikan tersebut, muncul sebuah pertanyaan di mana posisi Indonesia dalam paradigma tersebut? Jawabannya memerlukan analisis secara mendalam dengan melihat perkembangan perubahan atau reformasi di Indonesia. Sebelum digulirkannya reformasi pada tahun 1998 yang lalu rakyat memang baru menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan birokrasi pelayanan publik yang seharusnya netral, namun justru menjadi mesin politik, sangat hierarki, pelayanan menjadi lamban, suap dan rekruitmen aparatur yang tidak berdasarkan sistem merit.

Reformasi Birokrasi (RB) gelombang 1(2007-2010) digulirkan. Tujuan maupun sasaran dan area perubahan masih terbatas pada instansional, kelembagaan, budaya organisasi, tata laksana, regulasi dan deregulasi serta SDM. Menginjak RB gelombang 2(2010-2014)terlihat adanya perubahan terhadap tujuan, sasaran dan area perubahan yang semakin jelas. Artinya tujuan tidak lagi instansional namun juga mencakup secara nasional. Sedangkan sasarannya selain mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, juga meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Area perubahannya pun diperluas yakni organisasi, ketatalaksanaan, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik dan perubahan pola pikir (mind set), budaya kerja (culture set) aparatur (Bappenas, 2010).

Menelaah tujuan, sasaran dan area perubahan yang terkandung dalam reformasi birokrasi tersebut, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma atau cara pandang terhadap birokrasi pelayanan publik kita telah dimulai.Namun bagaimana dengan implementasinya? Ukuran keberhasilan reformasi birokasi tidak saja dinilai dari perubahan sistem dan kebijakan, namun juga dari perubahan perilaku aparatur. Pada kenyataannya masalah-masalah perilaku aparatur pelayanan publik masih mewarnai pratik pelayanan publik di negara kita.The Global Competitiveness Report 2014-2015 menempatkan Indonesia pada posisi ke-33 dari 144 negara dalam komponen favoritism terhadap perusahaan-perusahaan dan individu-individu berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh pegawai pemerintah. Indonesia memperoleh skor 3.9 dalam skala 1-7 (1 = ada favoritism, 7 = tidak ada favoritism). Angka tersebut menunjukkan bahwa unsur personal masih mempengaruhi aparatur pemerintah Indonesia dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan.Dengan kata lain masih ada masalah dengan aparatur negara kita yang masih belum dapat bekerja secara impersonality.

Aspek integritas aparatur pemerintah juga menjadi sorotan dengan banyaknya aparatur pemerintah yang terjerat kasus pelanggaran hukum. Meskipun pakta integritas telah ditandatangani oleh para pegawai pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, pada kenyataannya kasus-kasus pelanggaran hukum yang berbau KKN dan melibatkan aparatur pemerintah masih kerap terjadi. Sejumlah kasus korupsi yang nampak merata mulai dari pejabat pusat hingga daerah mulai dari pejabat eksekutif, legislatif hingga yudikatif merupakan indikator bahwa reformasi birokrasi belum sungguh-sungguh membuahkan hasil. Data sekunder pada kurun waktu 2012-2014 menempatkan Indonesia masih dalam konteks patologi birokrasi yang sangat memprihatinkan bahkan ibarat penyakit banyak yang sangat pesimis dapat disembuhkan. Korupsi masih menjadi patologi birokrasi terbesar di Indonesia terutama dalam pelayanan publik.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2014 memperoleh nilai 34 atau dua nilai lebih tinggi dari tahun 2013 dan 2012. Nilai ini menempatkan Indonesia pada posisi 107 dari 174 negara (Transparency International, 2014). Nilai persepsi korupsi di Indonesia ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan perolehan nilai terbaik yang diperoleh oleh Denmark yaitu 92. Transparency International (2014) menyebutkan bahwa sekolah yang minim sarana dan prasarana serta penyediaan obat dan pemilihan umum yang berdasarkan gratifikasi adalah contoh kecil dari dampak korupsi bagi pelayanan publik. Indeks korupsi di Indonesia ini juga menjadi hambatan dalam indeks doing business. Dalam hal kemudahan melakukan bisnis, Indonesia berada pada peringkat 114 dari 189 negara dengan nilai score 59.15 (World Bank Group, 2015).

Melihat kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa posisi Indonesia masih dipersimpangan jalan, keinginan melakukan perubahan dibangun terus, namun praktik jahat juga berjalan terus.Sebagian besar pelayanan publik masih belum melakukan perubahan, gaya lama yang disorot oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI-Jakarta ketika melakukan blusukan seolah menggambarkan adanya perubahan, apalagi partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas pelayanan publik juga masih sangat rendah.Kendati demikian ada beberapa daerah yang mampu menyajikan pelayanan publik secara inovatif. Best practices di beberapa daerah di Indonesia tersebut menjadi penawar dahaga di tengah-tengah kondisi yang memprihatinkan tersebut. Kompetisi inovasi yang dilakukan oleh 99 K/L dan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB (kompetisi “Top-99 One agency one innovation”) menunjukkan kesungguhan institusi pelayanan publik untuk berubah.Apapun bentuknya yang jelas perubahan sudah siap melangkah. Berikut ini merupakan ringkasan dari ketiga paradigma pelayanan publik tersebut

Hadirin yang saya hormati,

The Rise of the Meritocracy merupakan judul dari buku karangan Michael Young (1958) seorang sosiolog muda dari Inggris yang sangat fenomenal dan banyak mengilhami berbagai gerakan meritokrasi bagi kesetaraan sumber daya manusia melalui standar kompetensi. Ide dasar Young adalah agar dalam rekruitmen dan penempatan jabatan di zaman Great Britain menghargai organisasi, martabat dan kesetaraan individu. Prediksi Young adalah bahwa dalam tatanan sistem sosial yang akan datang, aspek outcome seperti pekerjaan, kekuasaan, harus didasarkan atas basis sistem merit, seperti kombinasi kecerdasan dan kinerja seseorang.

Mimpi buruk Young berawal ketika melihat ketimpangan yang meningkat secara substansial karena adanya kelas atas yang menganggap diri mereka kaya dan layak berbicara, sehingga akan mempertahankan diri sebagai yang benar, beruntung dan unggul di dalam jabatan dan status sosial mereka.Young melihat sistem feudal di Inggris tersebut dinilainya jauh dari meritokrasi. Momentum perbaikan disampaikan pada sisa-sisa sistem feudal yang panjang hingga 1944. Setelah diperkenalkannya teknik pengukuran IQ oleh Cyriil Burt dengan konsep test “11-plus”. Selanjutnya Young mulai memperluas pemahaman meritocracy ke arah kesetaraan-kemampuan-upaya. Hingga saat ini standar test IQ pada sistem pendidikan menjadi bagian dalam standar meritokrasi.

Mimpi Young memang akhirnya terwujud sejalan dengan kemenangan partai buruh waktu itu, kesetaraan jabatan tidak lagi dipegang oleh orang-orang yang mewarisi suatu warisan tahta, keturunan ningrat, dan tuan tanah kaya melainkan karena kemampuan dan kompetensinya.Young tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan istilah meritokrasi, dan menggunakannya tidak saja sebagai retorika, namun juga sebagai seperangkat prinsip yang dapat digunakan untuk melemahkan ketidaksetaraan psikologis (Celarent, 2009).

Saat ini meritokrasi memiliki berbagai variannya sendiri dalam makna dan penerapannya di masyarakat dan pemerintahan. Pemahaman konseptual meritokrasi mengacu pada kompetensi intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Dalam pengertian perluasannya, meritokrasi tidak sekedar kecakapan dan pendidikan, melainkan juga kecakapan fisik dan etika kerja.

“Meritocracy in its wider sense can be any general act of judgment upon the basis of people's various demonstrated merits… (that) may extend beyond intelligence and education to any mental or physical talent or to work ethic” (Ford, 1992)

Setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) diberlakukan, maka titik awal dimulainya sistem meritokrasi telah di depan mata. The rise of the meritocracy di Indonesia adalah penerapan sistem merit yang dijamin dengan UU, dan merupakan kelanjutan dari reformasi birokrasi. ASN akan menjadi sasaran utama perubahan, sebagai upaya negara membenahi kualitas SDM aparatur negara yang merupakan tulang punggung keberhasilan pelayanan publik. Selama 16 tahun lebih manajemen kepegawaian kita diatur melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang dipandang masih jauh dari semangat meritokrasi. Rekruitmen PNS yang semula berdasarkan pada nepotisme, perkoncoan, dan primordialisme pelan-pelan telah berubah. Beberapa kota besar seperti DKI-Jakarta, Surabaya, Bandung, Solo, dan seterusnya, telah melakukan rekruitmen PNS secara terbuka, yakni melalui sistem komputerisasi atau Computer Assisted Test (CAT)yang mencakup test kompetensi dasar (TKD) dan test kompetensi kepegawaian (TKK). Walaupun dalam praktiknya beberapa daerah masih terkendala peralatan computer dengan software CAT, namun program ini menunjukkan adanya selangkah lebih maju dalam rekruitmen pegawai negeri di negara kita.

Singapura sebagai contoh, merupakan negara yang menerapkan meritocratic technocracy, yaitu proses saringan masuk pegawai pemerintah dilakukan melalui meritocracy sieveyang diawali dengan sistem government scholarship. Melalui scholarship pemerintah memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi. Bekerjasama dengan swasta mendidik calon-calon pejabat dan pegawainya dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah maupun swasta, bahkan untuk administrasi militer juga. Hampir semua pegawai negeri Singapura adalah berpendidikan Sarjana. Era Pemerintahan Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada tahun 2005, dari 19 kabinet, 12 diantaranya diisi lulusan beasiswa pemerintah yang memang sudah di ‘ijon’ karena kompetensi, bakat dan hasil tes kemampuan akademik yang paling baik. Dengan penduduk yang multirasial, sistem meritokrasi juga ditujukan untuk memberikan kesempatan pada 23 % ras minoritas seperti India dan Malaysia untuk berkompetisi dan bekerja di pemerintahan. Dengan demikian sistem meritokrasi selain diawali dengan pendidikan kepemerintahan yang baik, penggalian bakat, juga sekaligus aspek pemerataan ras secara kompetitif. (Barr, Michael.D, 2006).

Di Korea Selatan Senior Civil Service (SCS) semacam Jabatan Pimpinan Tinggi dalam UU ASN, direkrut melalui seleksi terbuka dan kompetitif untuk memperoleh calon yang mumpuni dari segi kompetensi, pengalaman, bakat, dan performa yang tinggi. Kinerja SCS akan menjadi dasar bagi pemberian imbalan dan promosi mereka, oleh karena itu sistem remunerasi pada SCS Korsel berdasarkan pada job performance based pay system yaitu take home pay SCS terdiri dari gaji dasar, insentif beban kerja (bukan level atau eselonisasi) dan kinerjanya. Disini keterkaitan antara kinerja dan reward sangat kuat demikian pula untuk pengembangan karier SCS atau promosi ke grade yang lebih tinggi (SCS Commision, Korsel, 2013).

Jika dibandingkan dengan Indonesia, kita ketahui selama ini bahwa UU Kepegawaian sebelumnya tidak mengatur model remunerasi performance based pay system, melainkan dalam bentuk full time based salaries system. Dapat dibayangkan tanpa berprestasipun para PNS akan secara rutin 4 tahun sekali naik golongan dan kepangkatanya, serta secara otomatis gaji pokoknya pun akan naik.

Hadirin yang saya hormati,

Dari segi pendidikan PNS kita dapat dikatakan memiliki tren peningkatan. Dari data BPS 2013, diketahui jumlah ASN 4.362805 orang dengan 60.450 orang atau 1.4 % berpendidikan SD atau sederajat, 92.626 orang atau 2.1 % berpendidikan SLTP/SMP atau sederajat, 1.242.045 orang atau 28.5 % berpendidikan SLTA/SMA atau sederajat, sedangkan yang berpendidikan D-I/sederajat sejumlah 585.815 orang atau 13.4 %, D-III/sarjana muda berjumlah 412.735 orang atau 9.5 %, serta yang berpendidikan Sarjana/S2/Doktor berjumlah 1.969.134 orang atau 45.1 %. Dengan demikian kurang dari 50 % pendidikan ASN kita sudah sarjana. Berikut ini potret data komposisi pendidikan ASN sejak tahun 2011 – 2013, maka terlihat tren penurunan jumlah ASN yang berpendidikan SD, SMP, SMA, D-I dan D-III, dan sebaliknya terlihat peningkatan jumlah ASN yang berpendidikan Sarjana dan Doktor. Tabel 2 berikut ini menggambarkan hal tersebut.

Gambar 1: Tren Pendidikan PNS Indonesia 2011-2013

(Sumber: Diolah dari Data BPS 2011-2013)

Semakin banyak jumlah PNS kita yang berpendidikan tinggi atau Sarjana bahkan Doktor, maka semakin menunjukkan bahwa kompetensi pendidikan ASN mengalami kemajuan. Tentu saja harus dikaji lagi apakah tren peningkatan kompetensi PNS tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Apakah peningkatan pendidikan membawa pengaruh pada kualitas pelayanan publik? Ketua Ombudsman RI menyatakan bahwa:

“Dari segi kualitas, pelayanan publik kita memang bukan yang terburuk di ASEAN. Indonesia sedikit lebih baik dari Myanmar, Filipina, Laos dan Kamboja. Namun kita kalah jauh dari Singapura, Vietnam dan Malaysia. Di tingkat Global, pelayanan publik di Indonesia berada di peringkat 126 dari 180 negara yang diobservasi. Itu jelas bukan prestasi yang layak dibanggakan” (Republika online, selasa 16 Desember 2014).

Selanjutnya juga dijelaskan bahwa:

“Buruknya pelayanan publik di Indonesia karena mentalitas para pejabat birokrasi dari kalangan atas hingga bawah. Para pejabat tersebut bertanggung jawab terhadap kebijakan, program dan SOP-nya. Lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa SOP seringkali tidak dilaksanakan sesuai UU yang ada. Dalam hal ini adalah UU No 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Ombudsman menemukan bahwa kepatuhan penyelenggara pelayanan publik terhadap UU tersebut sangat rendah, yakni dalam kisaran scoring antara 18-20 persen”.

Sejalan dengan kenyataan tersebut, Indonesia juga masih disoroti sebagai negara yang korup. The Global Competitiveness Index (2013-2014) menyatakan bahwa terdapat sejumlah faktor paling problematis yang menghambat doing business di Indonesia yaitu korupsi (19.3%), birokrasi pemerintah yang tidak efisien (15%), ketidakmampuan dukungan infrastruktur (9.1%), akses terhadap pembiayaan (6.9%), dan undang-undang ketenagakerjaan yang ketat (6.3%).

Kualitas birokrasi pelayanan publik yang masih rendah dan berbagai kasus korupsi, dan ketidakpatuhan menjalankan aturan akan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat. Fenomena ini harus diwaspadai sebagai suatu krisis birokrasi pelayanan publik. Bila dibandingkan pada zaman Young, meritokrasi muncul karena krisis yang disebabkan oleh tidak berfungsinya struktur sosial secara harmonis dan adil, maka meritokrasi di Indonesia juga muncul karena krisis rendahnya kualitas birokrasi pelayanan publik.The rise of the meritocracy di Indonesia adalah ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang sekaligus merupakan respon negara bahwa sudah saatnya kebijakan, manajemen, pengawasan dan sistem rekruitmen baik para pejabat maupun staf ASN harus diubah dan diperbaiki.

UU ASN diciptakan untuk membangun aparatur sipil negara agar memiliki integritas, profesional, netral dari pengaruh intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Undang-undang ini disusun dalam semangat perbaikan menyeluruh atas sistem manajemen sumber daya manusia aparatur (SDM aparatur) dalam dinamika dan kompleksitas nasionaldan global yang semakin tinggi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas isi UU ASN, melainkan ingin menunjukkan bahwa dalam UU tersebut terkandung prinsip-prinsip meritokrasi yakni: Pertama, pemerintah menjamin dan melindungi independensi dan netralitas ASN dari kepentingan politis dengan merit protection system. Sebagaimana diketahui bahwa independensi ASN kita pernah berada dalam kondisi pengaruh politik yang luar biasa, khususnya di era Pemerintahan orde baru. Birokrasi dan para aparaturnya menjadi alat kekuasaan dan mengabdi pada para penguasa, bukan pada masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Memang diakui dengan berakhirnya orde baru dan dimulainya orde reformasi, maka pelan-pelan birokrasi mengalami perubahan seiring dengan perubahan sistem politik yang ada. Namun demikian sisa-sisa kebiasaan dan budaya lama masih kental terlihat, dan masih memerlukan pengaturan dan sistem lebih baik lagi.

Kedua, kualitas ASN diperbaiki dengan menitikberatkan penilaian pada kompetensi yang mencakup kemampuan, keahlian, profesionalisme, dan pengalaman. Kualitas ASN dapat dilihat dari beberapa area dalam sistem kepegawaian kita. Area yang paling sulit adalah meningkatkan kualitas ASN yang sekarang masih eksis. Selain dihadapkan pada pendanaan yang minim dalam penyelenggaraan diklat, peningkatan kualitas ASN seringkali tidak diikuti dengan pembinaan. ASN tidak hanya berurusan dengan pengetahuan dan ketrampilan melainkan juga bagaimana pembinaannya. Aspek pembinaan ini sering dilupakan oleh manajemen kepegawaian kita. Banyaknya kasus-kasus korupsi adalah bukti hal ini. Selanjutnya, kualitas ASN pada rekrutmen awal yang dilakukan secara terbuka dan fair. Perlakuan ini tidak boleh berhenti sampai di sini saja, melainkan harus disertai dengan manajemen kinerja yang baik, penempatannya jelas, karier jelas, remunerasi jelas, pengukuran kinerja jelas. Area berikutnya adalah peningkatan kualitas pada mutasi atau promosi jabatan. Bila mutasi atau promosi jabatan tidak dilakukan secara transparan maka kepemimpinan yang berkualitas sulit tercapai. Selama ini penentuan pejabat struktural maupun fungsional, promosi dan mutasi banyak diwarnai praktik KKN. Di beberapa K/L dan Instansi di daerah, penetapan pejabat dilakukan melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), yang terdiri dari anggota tetap di internal K/L atau Instansi Daerah, seperti Sekretaris Jendral, Inspektorat Jenderal dan Biro Kepegawaian serta beberapa pejabat internal yang dipandang mampu. Sistem yang digunakan masih tertutup sehingga proses mekanisme pengambilan keputusan tidak banyak yang mengetahuinya. Pada kondisi demikian kemungkinan kecurangan dapat terjadi.

Ketiga, pengukuran kinerja atau produktifitas kerja ASN. Salah satu kelemahan sistem kepegawaian kita saat ini adalah pada aspek manajemen kinerja. Secara konseptual manajemen kinerja memiliki dimensi perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, penetapan standar kinerja, pengukuran kinerja dan reward-punishment. Penerapan manajemen kinerja secara komprehensif memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik, yang pada gilirannya akan mendorong pegawai memberikan yang terbaik pada organisasi. Secara luas hal ini juga akan berdampak pada kepercayaan publik atau public trust (Poister, 2003; Cheema and Popovski, 2010).

Di Indonesia peraturan yang mengacu pada manajemen kinerja telah ada sejak 2011 yakni PP Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. Namun implementasinya baru dilaksanakan tahun 2014. SKP (Sasaran Kerja Pegawai) yang diatur melalui PP Nomor 46 Tahun 2011 tersebut sangat berbeda dengan DP3. Terlepas dari kelemahan peraturan pemerintah tersebut karena belum secara sistematis menempatkan penilaian prestasi kinerja dalam kerangka manajemen kinerja, peraturan tersebut telah menunjukkan suatu upaya untuk merumuskan indikator-indikator prestasi kerja yang lebih terukur dibandingkan dengan model penilaian DP3 pegawai yang cenderung abstrak sebagai instrument penilaian dimensi sikap dan perilaku pegawai dalam pekerjaan seperti kepemimpinan, loyalitas, kejujuran, prakarsa dan sebagainya. Oleh karena itu pada umumnya penilaian DP3 sangat tergantung subyektifitas atasan langsung.Sedangkan penilaian SKP mengacu pada pemahaman kinerja yakni mencakup perilaku dan hasil kinerja pegawai yang sudah ditetapkan dalam sasaran kerja pegawai

Berikut ini adalah gambaran bagaimana SKP yang terdiri dari pengukuran hasil kerja dan perilaku pegawai, tidak saja berimplikasi pada pengangkatan jabatan, promosi, tunjangan, dan diklat, namun juga dengan sanksi dan hukuman (reward and punishment).

Gambar 1: Sasaran Kerja Pegawai

(Sumber: Portal Resmi BKN, diakses, 12 Juli 2015)

Keempat, penegakan integritas. Integritas adalah penggunaan kewenangan, dana, sumber-sumber dan asset organisasi sesuai dengan tujuan organisasi dan sejalan dengan tujuan pelayanan. Bahkan dalam pendekatan “negative” integritas dapat digunakan sebagai strategi pencegahan KKN dan pemborosan serta penyalahgunaan sumber-sumber organisasi. Pelanggaran integritas akan menyebabkan hilangnya public trust, di mana masyarakat menjadi tidak percaya lagi terhadap perilaku pelayanan publik (OECD, 2009).

Sejalan dengan pengertian di atas, integritas juga terkait dengan moral judgmentdan karakter dalam pertanggungjawaban administrasi pelayanan publik. Setidaknya ada 3 macam komitmen dalam integritas pelayanan publik, yakni accountability, personal responsibity, dan prudence (Cooper, 2001). Karena terkait dengan moral dan karakter, maka penegakan integritas dapat terlaksana dengan baik asal disertai dengan sistem pengawasan yang tepat dan mengacu pada transparansi. Bidang tugas dan scope layanan birokrasi yang begitu luas, memerlukan sistem pengawasan yang terintegrasi dan menggunakan e-government agar masyarakat dapat langsung mengamati proses pelayanan secara transparan. Sebagai contoh dalam pengurusan paspor, layanan pengadaan barang, asuransi, penyusunan APBN/APBD dapat dilakukan secara transparan.

Kelima, peningkatan kesejahteraan. Selama ini diketahui bahwa sistem remunerasi birokrasi bersifat full-time salaries. Sehingga sindiran kasar sering diterima seperti misalnya ‘PGPS’, artinya kinerja bukan menjadi ukuran gaji yang diterima seorang pegawai, siapapun apakah berkinerja baik atau tidak, pendapatan sama. Padahal seharusnya sistem remunerasi berdasar pada kualitas kinerja atau performance based salaries.

Pegawai dimungkinkan menerima penghasilan total atau take home pay yang terdiri dari beberapa komponen, misalnya gaji pokok yang diatur sesuai golongan atau tingkatan kepangkatan, tunjangan struktural karena menjabat struktural atau tunjangan fungsional, kemudian insentif atas capaian kinerja pegawai yang bersangkutan. Dengan demikian ada kaitannya antara remunerasi dengan peningkatan kinerja. Di negara ini agak salah kaprah dalam memaknai Reformasi Birokrasi, yakni dengan memberikan insentif kenaikan remunerasi pada pegawai yang hanya didasarkan pada kedisiplinan semata, bukan atas dasar kinerja. Dalam UU ASN kelak sistem penggajian memiliki komponen: 1) beban kerja dan resiko pekerjaan, 2) tunjangan berbasis kinerja individual setiap tahun, dan 3) tingkat kemahalan sesuai index kemahalan setiap wilayah (Kedeputian SDM Kementerian PAN dan RB, 2014).

Keenam, pengawasan dan akuntabilitas. Pengawasan dalam tugas-tugas birokrasi pelayanan publik dipandang penting. Pengawasan sendiri berarti proses membandingkan antara rencana dan realisasi. Sedangkan akuntabilitas adalah seperangkat mekanisme, yang dirancang untuk memastikan bahwa tugas akan dilakukan dengan baik, dan kepatuhan akan dilaksanakan (Windrum dan Koch, 2008).

Akuntabilitas menyiratkan bahwa orang atau badan yang memiliki otoritas harus bertanggung jawab kepada pemberi mandat otoritas, dalam bentuk standar perilaku, norma eksternal bagi entitas individu atau organisasi.Pengawasan dan akuntabilitas memiliki kaitan erat. Akuntabilitas juga dapat berupa metode, prosedur, dan kekuatan-kekuatan yang merefleksikan nilai-nilai responsibilitas dalam setiap keputusan secara administrative (Bertelli, 2012).

Lembaga pengawasan dan metode akuntabilitas di negara kita tidak terbilang banyaknya, katakanlah di internal K/L sudah ada Inspektorat Jenderal, dilingkungan eksekutif sudah ada UKP4 (pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono) dan BPKP, dilingkungan eksternal sudah ada BPK, DPR, dan KPK. Dalam UU ASN akan ditambah lagi pengawasan khusus untuk manajemen ASN, yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Secara ekonomis, banyaknya lembaga pengawasan sebenarnya merupakan pemborosan tersendiri. Bukankah dalam pengawasan berlaku azas ‘ekonomis’? Artinya bahwa biaya pengawasan tidak lebih besar dari dana atau aset yang dapat dikembalikan pada negara sebagai akibat tindakan pengawasan terhadap korupsi. Baru-baru ini dimedia nasional yang cukup terkenal dimuat suatu berita tentang “Pemulihan Aset yang Timpang”. Dituliskan dalam berita tersebut, bahwa “besar kerugian negara dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht pada tahun 2001-2012 mencapai Rp.168,19 triliun. Namun uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp.15,09 triliun atau hanya 8.97 persen saja” (Kompas, Selasa,21 Juli 2015). Melihat kenyataan ini tentu harus dipikirkan kembali efektifitas maupun jumlah lembaga pengawasan yang ada di negara kita.

Belum lama ini telah diresmikan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang merupakan lembaga non-struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik yang berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta menjamin penerapan sistem merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Lembaga pengawas khusus ASN ini sebelumnya memang tidak ada. Jika melihat tujuannya memang bagus, karena penerapan sistem meritokrasi memperoleh pengawalan ketat sehingga diharapkan dapat meminimalisir penyakit birokrasi yang selama ini sulit ditangani. Selain itu KASN memiliki kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN serta pengawasan pelaksanaan rekrutmen, promosi jabatan dan pensiun ASN. Namun perlu dipikirkan lagi bagaimana membuat lembaga KASN ini menjadi efisien mengingat jangkauan tugasnya akan besar, dan memerlukan resources yang besar pula termasuk biaya.

Ketujuh, peningkatan kualitas pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik sudah bukan merupakan isu baru. Berbagai konsep dan teori sudah mengetengahkan hal tersebut. Kualitas pelayanan publik adalah merupakan bagian dari kinerja birokrasi pelayanan publik. Artinya kualitas pelayanan publik menjadi salah satu ukuran kinerja para pegawai. Secara konseptual kinerja dapat diukur melalui beberapa dimensi ukuran, antara lain adalah 1) efektifitas implementasi pelayanan publik, 2) service output dan outcome, 3) kepuasan masyarakat (citizen satisfaction) (Hartley, et all, 2008)

Pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2014 Tentang PedomanSurvei Kepuasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Ruang lingkup survei kepuasan masyarakat mencakup persyaratan, prosedur, waktu pelayanan, biaya atau tarif, produk spesifikasi atau jenis pelayanan, kompetensi pelaksana, perilaku pelaksana, maklumat pelayanan, dan penanganan pengaduan serta saran masukan.Permasalahan dalam Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) terletak pada kontinuitas survei, dan tindak lanjutnya. Jika survei SKM tidak dilakukan secara periodik dan hasilnya tidak diperbaiki, maka indeks SKM akan turun karena dilampaui dengan indeks harapan masyarakat yang dari ke hari meningkat dengan cepat.

Hadirin yang saya hormati

Keterkaitan Meritokrasi dan Revolusi Mental. Sebelumnya telah diketengahkan bahwa inti dari meritokrasi adalah kompetensi. Sistem kepegawaian yang menganut prinsip-prinsip meritokrasi adalah sistem yang mengandalkan kompetensi dalam menakar kemampuan, kinerja, dan prestasi pegawai. Kompetensi pertama kali didefinisikan oleh Boyatzis (1982, dalam Armstrong, 2000) sebagai kapasitas yang ada dalam diri seseorang yang mengarah ke perilaku untuk memenuhi tuntutan pekerjaan, sesuai parameter lingkungan organisasi, yang kemudian pada gilirannya membawa hasil yang diinginkan.

Sejalan dengan Boyatzis, Woodruffe (1990, dalam Armstrong 2000) mendefinisikan kompetensi sebagai dimensi perilaku yang mempengaruhi prestasi kerja. Perilaku merupakan salah satu ranah dari kompetensi yang terdiri Knowledge, Skill dan Attitude (KSA).

Woodruffe, Amrstrong (2000) menyatakan bahwa untuk melihat seberapa besar seseorang kompeten di bidang tugasnya, dapat dilihat dari beberapa aspek berikut ini

“1) what someone in a role has to know and understand; 2) what a role holder has to be able to do;3)the type of that is needed to convert the inputs of knowledgeand skill into outputs and outcomes, and that is congruentwith organizational behavioural norms or values, bearing in mindthat it is the application of knowledge and skills, not the knowledgeand skills themselves, that contribute to capable performance”.

Melalui konsep tersebut dapat dipahami bahwa kompetensi ASN tidak cukup diperoleh dari pemahaman dan pengetahuan tentang tugas dan lingkungan organisasi semata, namun juga kemampuan untuk menjalankan pekerjaan, dan perilaku yang dapat mengubah pengetahuan dan ketrampilan menjadi hasil berupa kinerja yang diharapkan.

Mengapa meritokrasi terhubung dengan revolusi mental (bukan semata-mata dihubung-hubungkan)? Mari kita lihat pengertian mental, mental adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku yang tidak nampak atau covert (perilaku yang lain adalah overt atau dapat diamati oleh pancaindera dan berada di alam bawah sadar manusia, seperti emosi, memori, aspirasi, harapan mimpi, dan seterusnya). Perilaku covert ini berupa nilai-nilai, sebagai sumber keyakinan individu dan dipercaya menjadi petunjuk (belief) untuk mendorong tindakan dan kemudian akan menjadi mindset seseorang dalam memandang lingkungannya (Misbach, 2015).

Dalam pengertian yang sama, Takwin (2015) menjelaskan bahwa:

“Istilah mental berasal dari bahasa Latin mens, yang berarti jiwa atau hal-hal yang berkaitan dengan jiwa. Konsep ini kemudian berkembang menjadi mentality (mentalitas) yang artinya mencakup baik karakteristik dan kapasitas mental, cara dan kapasitas berpikir, merasa dan bertindak, maupun aktifitas mental yang sifatnya batiniah”.

Lebih jauh juga dijelaskan bahwa:

“Mentalitas merujuk pada karakteristik mental yang didasari oleh standar tertentu, mencakup nilai-nilai, norma, sikap, cara berpikir, sifat, pola pengolahan informasi dan pengambilan keputusan serta orientasi tindakan.Mentalitas memiliki kaitan erat dengan karakter, karakter adalah pengertian khusus dari mentalitas. Karakter adalah fungsi mentalitas integral. Istilah karakter digunakan untuk membedakan mentalitas yang berintegritas (integritas mental) dengan mentalitas yang terpecah-pecah (penyimpangan mental). Karakter dapat juga dipahami sebagai kualitas mental” (Takwin, 2015)

Terkait dengan pengertian tersebut, dalam pidatonya yang fenomenal ketika mencalonkan diri sebagai Presiden tahun 2014, JokoWidodo menulis di harian Kompas berjudul “Revolusi Mental” (Kompas, 10 Mei 2014). Intinya ketika menjadi Presiden nanti Jokowi akan melakukan gerakan masif yakni mengubah mentalitas bangsa tentunya termasuk mentalitas birokrasi pelayanan publik. Dalam konteks yang lebih sempit, dapat dimaknai bahwa prinsip-prinsip meritokrasi yang telah digulirkan dalam UU ASN, akan gayung bersambut dengan revolusi mental yang didengung-dengungkan Presiden Jokowi, yakni antara lain perubahan mentalitas birokrasi pelayanan publik. Disinilah intinya bahwa pekerjaan berat akan dan harus segera dimulai. Revolusi mental bukan sekedar jargon, namun dapat diterjemahkan ke dalam konsepsi perubahan mental model birokrasi pelayanan publik, dimana bagian terpenting meritokrasi itu sendiri adalah perubahan mentalitas individu birokrasi. Tanpa perubahan mentalitas atau karakter, atau mindset birokrat dan para pemimpin negara ini maka meritokrasi hanya menjadi angan-angan belaka.

Permasalahannya adalah, mengubah perilaku atau mentalitas, atau karakter atau mindset adalah tidak mudah atau tidak semudah mengubah aspek knowledge dan skill yang merupakan variabel tangible yang dapat dikontrol. Walaupun kita semua tahu bahwa untuk menghasilkan birokrasi pelayanan publik yang professional, responsif, dan bermutu diperlukan perubahan mentalitas. Dari mentalitas dilayani, dan KKN, berubah menjadi birokrasi yang profesional, impersonality, dan tanggap. Pertanyaanya adalah bagaimana caranya? Berapa lama waktu yang kita perlukan, apa yang menjadi prioritas utama perubahan? Siapa yang kita pandang mampu menjadi komandan perubahan mental ini, Presiden, para Menteri, Gubernur atau Bupati atau Walikota atau rakyat semuanya? Dalam konteks perubahan mental model birokrasi pelayanan publik, pertanyaan-pertanyaan tersebut secara konseptual dapat dijawab, namun tidak demikian dalam implementasinya.

Sebagai suatu kesatuan baik meritokrasi maupun revolusi mental tidak mudah dilakukan dalam jangka pendek. Walaupun UU ASN telah berlaku, namun ada hambatan yang dilalui, antara lain budaya menunggu, dan “mohon petunjuk” merupakan nilai-nilai peninggalan feudal yang masih eksis hingga saat ini. Dalam konteks implementasi UU ASN, karena juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) belum ada, maka sulit bagi birokrasi di daerah untuk bergerak. Inisiatif dan inovasi untuk menerapkan UU ASN hanya muncul di beberapa daerah yang dipimpin oleh para ‘pendatang baru’ yang memiliki background sebagai pimpinan akademisi, praktisi swasta atau dari kalangan industri dan pengusaha yang memiliki reputasi baik. Hal ini jelas membuktikan bahwa variabel kepemimpinan yang kompeten dan memiliki pengetahuan dan pengalaman serta perilaku yang baik adalah yang cocok memimpin perubahan. Jangan sisakan pengelolaan pelayanan publik kita pada orang-orang yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab. Taruhannya berat yakni kesejahteraan rakyat.

Hadirin yang saya hormati,

Fenomena perubahan birokrasi pelayanan publik juga dapat diamati dari sebuah trajectory kepemimpinan bangsa selama ini, artinya sejauh mana birokrasi pelayanan publik memperoleh perhatian, bagaimana political opportunity untuk melakukan reformasi birokrasi pada setiap era kepemimpinan di Indonesia

1) Era Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto, 1966-1998)

Pada zaman orde baru, langkah Presiden Soeharto diawali dengan pembenahan kesejahteraan dan stabilitas perekonomian. Kenaikan income percapita terjadi, produksi pangan meningkat, inflasi turun hingga 10 %, pendidikan meningkat dengan tajam, laju pengendalian penduduk melalui program-program BKKBN berjalan efektif, dan revolusi hijau yang berhasil membawa Indonesia ke swasembada beras. Namun di samping kemajuan-kemajuan tersebut, di tengah masa peerintahan yang 32 tahun tersebut birokrasi birokrasi menjadi ‘mesin politik’ menjadi alat penguasa dan kehilangan netralitasnya, struktur birokrasi menjadi bengkak, sejalan dengan fragmentasi birokrasi di berbagai instansi pemerintah. Korupsi merajalela baik dikalangan birokrasi dan sipil, Indonesia terjerat hutang, dan kebebasan press dibelenggu, kebebasan rakyat dalam politik dikendalikan termasuk mahasiswa dilarang keras bersuara, NKK dan BKK diberlakukan di kampus-kampus, pelanggaran hak azasi manusia, dan demokrasi benar-benar terancam perkembangannya di Indonesia. Satu-satunya political opportunity untuk membentuk Komite Reformasi tercipta di penghujung berakhirnya pemerintah, dan tidak pernah terbentuk seiring dengan berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru (Ricklefs, 1994).

Terkait dengan demokrasi pada masa orde baru sejarah mencatat sebagai bersifat paradox dan ambigu. Pada awal pemerintahan memang terkesan penyelenggaraan pemerintahan berjalan secara demokratis, namun dalam praktiknya pemerintahan bersifat totaliter. Apalagi ketika Golkar memenangkan 7 kali Pemilu sejak 1971 secara berturut-turut, nampak bahwa pemerintah melakukan perilaku politik yang ketat. Golkar dibantu meliter dengan ‘dwi fungsi TNI’ menjadi alat pemerintah untuk melakukan birokratisasi, depolitisasi, dan institusionalisasi kekuasaan. (Prayitno dan Rahardiansyah, 2011). Dalam situasi seperti itu maka birokrasi pelayanan publik tidak bekerja dengan semestinya, tidak transparan, dan penuh dengan KKN

2) Era Pemerintahan Presiden Bj.Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)

Pemerintahan Presiden Habibie sangat singkat, namun menginisiasi langkah perubahan. Reformasi Administrasi dipercepat dengan dibentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan pada 23 Mei 1998. Tugas utama kabinet ini adalah melakukan reformasi menyeluruh di bidang perekonomian, politik dan hukum, termasuk diantaranya mengatasi persoalan krusial yakni korupsi, kolusi, nepotisme, dan inefficiency. Pada era Habibie keterbukaan dan kebebasan berpendapat diatur melalui UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, termasuk melonggarkan pengawasan terhadap media press. Reformasi politik juga dilakukan antara lain penyelenggaraan pemilu secara jujur, adil dan terbuka, melepaskan tahanan politik di era Presiden Soeharto, mencabut larangan berdirinya serikat buruh, dan mengatasi secara bertahap dwi fungsi TNI untuk kembali ke khitahnya semula.

Dalam pemerintahannya yang sangat singkat, political opportunity untuk reformasi telah dibangun. Habibie telah membuka cakrawala reformasi di segala bidang walaupun hasilnya belum nampak. Sedangkan reformasi birokrasi ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. UU ini menjadi titik awal otonomi daerah yang kelak di era Megawati disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan kemudian disempurnakan kembali menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 di era SBY. Kendati demikian pelayanan publik belum nampak adanya perubahan yang serius. Habibie kehilangan momen penting untuk melanjutkan reformasi karena tindakan yang kontroversial menurut pandangan masyarakat Indonesia yakni ketika Habibie mengambil keputusan mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum dan berakhir dengan lepasnya wilayah tersebut dari NKRI. Peristiwa ini dipandang sangat tidak popular dan menjadi catatan kelam sejarah pemerintahan Indonesia. (Prayitno dan Rahardiansyah, 2011)

3) Era Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid (1999-2001)

Gus Dur menjadi Presiden ketika jabatan presiden masih dipilih oleh MPR/DPR, kendati waktu itu partai pemenang pemilu adalah PDIP yang dipimpin oleh Megawati. Gus Dur adalah tokoh penganut paham pluralism, pada masanya etnis Tionghoa memperoleh kembali martabat dan pengakuannya dengan menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan dengan maksud untuk memberikan kebebasan press, bahkan istana negara terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin kesana. Kelemahannya bahwa dalam pemerintahan banyak kebijakan Gus Dur yang tidak disetujui oleh MPR/DPR, antara lain Dekrit Gus Dur tetang perubahan MPR/DPR dan pembubaran Golkar tidak medapatkan persetujuan partai politik, dan tidak mendapat dukungan TNI dan Polri serta masyarakat. Puncaknya pada tanggal 29 Januari 2001, Gus Dur mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada Wakil Presiden Megawati. (Prayitno dan Rahardiansyah, 2011)

Reformasi birokrasi pada zaman Gus Dur dengan ditindaklanjutinya regulasi tentang Pemerintahan Daerah dengan mengeluarkan PP Nomor 84 tahun 2000, tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, yang dimaksudkan untuk debirokrasi atau pemangkasan birokrasi dengan semangat memperkaya fungsi dan merampingkan struktur, namun yang terjadi justru memberikan insentif pada daerah untuk memperluas birokrasinya. Kelak di era Megawati PP ini diperbaiki melalui PP nomor 8 tahun 2003 yang memberikan rambu-rambu yang jelas mengenai strukturisasi di daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwakendati pemerintahannya berjalan singkat dan kontroversial, Gus Dur juga dinilai memulai langkah awal demokrasi dan political opportunity reformasi berupa keinginan pemerintah pusat untuk melakukan pemangkasan birokrasi di daerah (Dwiyanto, 2015).

4) Era Pemerintahan Presiden Megawati (2002-2004)

Megawati Soekarnoputri sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden di era Pemerintahan Presiden Gus Dur. Kemudian seiring dengan pengunduran diri Gus Dur, Megawati meneruskan kepemimpinan sebagai Presiden RI ke-5 dari tahun 2002-2004. Dibalik kepemimpinannya yang dipandang ‘dingin’ dan kurang populis, sejarah mencatat bahwa kebijakan-kebijakan Megawati dianggap kurang terarah, dan sikapnya yang kurang komunikasi dengan masyarakat. Namun demikian Megawati menyatakan bahwa di era pemerintahannya telah berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia. Hanya sayang pada pemilu 2004 Megawati gagal memperoleh dukungan rakyat dan Pemilu dimenangkan oleh SBY (Prayitno dan Rahardiansyah, 2011)

Political opportunity reformasi pada era Megawati cukup banyak, antara lain penyempurnaan restrukturisasi birokrasi di level daerah, dengan menerbitkan PP Nomor 8 tahun 2003,Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Meskipun dinilai masih lemah namun PP tersebut memiliki semangat mendorong terciptanya birokrasi di daerah yang kaya fungsi dan miskin struktur. Dalam PP tersebut juga diatur secara tegas rambu-rambu mengenai jumlah dan tingkatan struktur birokrasi. Faktanya walaupun PP tersebut mengatur pembatasan struktur birokrasi di daerah, namun struktur birokrasi di Pusat hingga sekarang masih membengkak. Pembengkakan birokrasi dapat dilihat pada besarnya jumlah UPT K/L di mana menurut temuan dari kajian LAN, pada tahun 2007 jumlah UPT K/L mencapai 837. Pada tahun 2013 terdapat 13 usulan penataan UPT serta pada tahun 2014 terdapat 20 usulan. (Dwiyanto, 2015)

Selain itu, Megawati mengambil langkah-langkah pemulihan perekonomian antara lain melakukan privatisasi BUMN seperti Indosat (walaupun kemudian mendapat kritikan masyarakat sebagai menjual aset negara), menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 4.1 % dan inflasi turun menjadi 5.06 %. Pada tahun 2003 mendirikan lembaga pengawasan anti korusi KPK, pada tahun itu juga membawa Indonesia keluar dari IMF dan membawa Indonesia mengakhiri hutang baru, meneruskan pembangunan infrastruktur vital sejak terhenti di krisis 1998, antara lain jalan tol cipularang, mengeluarkan Keppres Nomor 34 tahun 2004, tentang penertiban bisnis TNI, dan paling banyak mensahkan UU dan Keppres (40 UU dan 20 Keppres), diantaranya UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999.

5) Era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009; 2009-2014)

Presiden RI ke enam ini merupakan Presiden dari partai politik baru yakni Partai Demokrat. Pada masa awal kerjanya SBY sudah dihadapkan pada masalah bencana alam, yang terhebat adalah bencana tsunami Aceh Desember 2004, yang memporak-porandakan ratusan ribu orang waktu itu.Kepemimpinanannya mampu mengatasi pemulihan bencana dengan baik.

Selain bencana alam tsunami Aceh, SBY juga dihadapkan dengan aksi Gerakan Aceh Merdeka yang telah terjadi selama 30 tahun, namun berkat kepiawaian Wakil Presiden Jusuf Kalla maka pada tanggal 17 Juli 2005 kesepakatan bersejarah telah dicapai antara Pemerintah dan GAM untuk sama-sama mengakhiri konflik (Prayitno dan Rahardiansyah, 2011). SBY memerintah selama dua periode, dan banyak perubahan yang telah dilakukan. Di bidang perekonomian tercatat beberapa perbaikan, antara lain iklim investasi yang meningkat sejalan dengan master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia yang juga dikenal sebagai ‘ekonomi jalan tengah’. Di tengah-tengah perekonomian Asia, amerika, dan Eropa yang terpuruk dan mengalami defisit dan penurunan, perekonomian Indonesia justru mengalami kenaikan kurang lebih 6 %. Puncaknya Bank Dunia menetapkan Indonesia dalamperingkat ekonomi dunia berdasarkan GDP purchasing power imparity, dari peringkat 16 naik ke peringkat 10 di dunia (Metronews, 2014).

Keberhasilan perekonomian di era SBY juga tercatat pada data Indef (Institute for Development of Economics and Finance, 2014) bahwa 10 tahun terakhir angka pertumbuhan ekonomi tercatat masih tinggi yakni di kisaran 5% - 6%, demikian pula sektor investasi juga meningkat dari 23% pada tahun 2004 menjadi 31% pada tahun 2013. Selain itu persentase angka kemiskinan menurun, dari 16,66 persen pada 2004, menjadi 11,25 persen pada 2014. Secara signifikan tingkat pengangguran terbuka juga menurun dan meningkatnya pekerja formal naik dari 29,38 persen menjadi 39,90 pada 2013.

Political opportunity untuk melakukan reformasi nampak kuat di era SBY. Khususnya pembenahan pembengkakan birokrasi di daerah dengan merevisi PP Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Jika daerah memperoleh perhatian perampingan struktur birokrasi, tidak demikian dengan struktur birokrasi di pusat. Fragmentasi (pengkotak-kotakan struktur birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang memiliki peran tertentu) semakin menunjukkan kompleksitasnya. Jika fragmentasi dimaksudkan untuk spesialisasi atau dalam rangka merespon masalah-masalah pelayanan publik tentunya tidak mengapa, namun fragmentasi birokrasi terjadi karena ‘politik dagang sapi’ di mana pemerintah harus mengakomodir kader-kader partai yang mendukungnya dengan menempatkannya pada berbagai institusi atau lembaga, dan kabinet, sehingga kabinet Presiden menjadi gemuk. Beberapa lembaga non struktural di luar kabinet bermunculan seperti UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang memiliki potensi tumpang tindih dengan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) serta Inspekturat Jenderal sebagai unit pengawas internal K/L. Begitu pula dengan munculnya berbagai Komisi, di mana tidak jarang tumpang tindih dengan lembaga struktural yang sudah eksis sebelumnya, sebagai contoh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan, di mana peran dan tugasnya sebenarnya telah diakomodir di dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Hak Azasi Manusia. (Dwiyanto, 2015)

Reformasi birokrasi memperoleh perhatiannya di era SBY, road map reformasi birokrasi telah menginjak putaran kedua dan menjadi prioritas pembangunan nasional dengan sasaran yang lebih strategis dan terarah, walaupun belum menampakkan hasil nyata, kecuali perubahan remunerasi di beberapa K/L. Namun demikian reformasi birokrasi di Indonesia dinilai telah memberikan harapan baru revitalisasi birokrasi (The World Bank, 2013). Survei penghasilan dan kinerja yangdilakukan oleh MenPAN-RB dan Bank Dunia yang melibatkan 4000 PNS dari empat belas Kementrian dan Lembaga Negara pada tahun 2012 menunjukkan bahwa pegawai K/L yang telah menjalankan reformasi birokrasi lebih cenderung untuk menyatakan bahwa kolega mereka memberikan kontribusi yang lebih besar dari yang diharapkan. Keputusan peraturan dan promosi jabatan pada K/L yang telah menjalankan RB tampaknya memiliki kemungkinan yang lebih kecil bagi hal yang tidak terduga dan bagi sikap pilih kasih. Selain itu, pegawai yang disurvei menyatakan bahwa Kementerian dan Lembaga Negara dengan RB lebih mampu menemukan calon terbaik untuk suatu pekerjaan dan menyaring pegawai berkualitas tinggi secara lebih mudah dengan melalui CAT.

Namun sayang bahwa Pemerintah kurang memberikan kontrol terhadap pengeluaran rutin birokrasi dalam APBN. Pada era SBY tercatat bahwa belanja birokrasi naik 16.23% menjadi 22.17% pada tahun 2013. Pola yang sama juga terjadi pada subsidi energy yang mengalami kenaikan dari 16.2% menjadi 20.89%, dan belanja modal mengalami kenaikan tipis saja yakni dari 6.4% menjadi 8.06% (Indef, 2014)

Pada era SBY penanganan tindak pidana korupsi berlangsung efektif, selama ini korupsi tidak banyak yang terkuak, padahal banyak pejabat pusat maupun daerah yang diduga melakukan tindak korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat dari 2004 hingga Januari 2014 terdapat 318 orang dari total 524 orang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi.Selain itu tercatat pula 1.221 nama pegawai pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi, dari jumlah tersebut 877 orang sudah menjadi terpidana, 185 orang berstatus tersangka, 112 orang lainnya berstatus terdakwa, dan 44 sisanya masih dimintai keterangan sebagai saksi(JPPN, 2014).

Lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, merupakan puncak upaya perbaikan SDM pemerintah pada era SBY, dan di harapkan mampu memperbaiki pelayanan publik.

6) Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014- 2019)

Presiden RI ke 7 yakni Joko Widodo (Jokowi), dilantik pada 20 Oktober 2014. Dukungan rakyat kepada Jokowi dirasakan sangat luar biasa, sebagai bentuk dukungan arus bawah. Visi-misi Jokowi-Jusuf Kalla yang berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian” seperti membawa harapan baru pada rakyat Indonesia. Perubahan ke arah reformasi yang telah didambakan sejak 1998 dan tak kunjung terealisasi diharapkan menjadi kenyataan setelah Jokowi-JK berpasangan memimpin negeri ini. Apalagi sebelumnya sebagai capres Jokowi menulis disebuah harian nasional berjudul “Revolusi Mental” (dimuat 10 Mei 2014), harapan besar digantungkan bahwa akan terjadi perubahan besar, yakni perubahan nilai-nilai dan karakter bangsa (lihat Takwin, 2015) yang memang selama ini menjadi masalah utama bangsa ini.

Era Presiden Jokowi saat ini dihadapkan pada tantangan besar kondisi ASN kita, antara lain pertumbuhan ASN yang menurun namun belanja pegawai semakin meningkat. Berikut data pertumbuhan PNS dari tahun 2005 hingga 2014

Tabel 4: Data Pertumbuhan PNS dalam Tahun

Tahun

Jumlah PNS

%

2003

3.648.005

2004

3.587.337

2005

3.662.336

2.09

2006

3.725.231

1.72

2007

4.067.201

9.18

2008

4.083.360

0.40

2009

4.524.205

10.8

2010

4.598.100

1.63

2011

4.708.330

2.40

2012

4.462.982

-5.21

2013

4.427.919

-0.79

2014

4.375.009

-1.19

Sumber: Kedeputian SDM Kementerian PAN dan RB, 2014

Berikut ini merupakan grafik belanja pegawai yang mengalami

peningkatan sejak 2008 hingga 2014.

Gambar 3: Profil Belanja Pegawai Terhadap APBN (Sumber Kedeputian SDM Kementerian PAN dan RB, 2014)

Belanja pegawai pada Pemerintah Pusat sampai tahun 2013 menempati porsi 21.2 % dari total APBN. Kemudian disusul Belanja subsidi hingga 27.8%. Sedangkan belanja pegawai di daerah tahun 2013 menempati angka 41.9%. Komposisi ini jelas tidak sehat, karena dengan alokasi belanja pegawai yang tinggi akan mengurangi porsi biaya pembangunan. Tentu ini bukan persoalan ringan untuk Presiden masa ini.

Di sisi lain juga muncul permasalahan apabila moratorium pegawai dilaksanakan maka akan terjadi kesenjangan generasi pada ASN pada kurun waktu tertentu, akibatnya hal ini akan mengganggu kinerja birokrasi, kaderisasi birokrasi secara sistemik tidak terjadi. Pada akhirnya Reformasi Birokrasi tidak akan mempunyai dampak signifikan karena kontinuitas yang diharapkan dari kaderisasi ASN akan hilang.

Gambar 4: Pegawai ASN Berdasarkan Usia (Sumber: Kedeputian SDM Kementerian PAN dan RB, 2014)

Demikian sebagian tantangan yang dihadapi Pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan revolusi mental birokrasi. Secara political opportunities untuk Reformasi Birokrasi masih terbuka lebar sejalan dengan time frame masa jabatan Presiden dan kabinet yang masih panjang, namun demikian tentunya setiap peluang yang ada harus dimanfaatkan, dan jangan sampai kehilangan momen penting, yakni kepercayaan publik yang sudah dibangun dari awal kepemimpinan. Membangun kepercayaan publik tidak cukup dengan pendekatan langsung ke rakyat (baca: blusukan) tetapi memerlukan gabungan berbagai aspek, antara lain adalah: 1) mekanisme implementasi kebijakan yang efektif, 2) akses untuk mengejar peluang ekonomi, 3) Komitmen kepemimpinan, 4) akses pelayanan publik, serta 5) pemerintahan demokratis yang efektif (Cheema and Popovski, 2010).

Hadirin yang saya hormati,

Lintasan perjalanan birokrasi pelayanan publik di Indonesia telah dimulai, fenomena perubahan telah nampak. Di setiap kepemimpinan negara menghadirkan upaya-upaya keras untuk melakukan perubahan. Meritokrasi dan revolusi mental bukan jargon bukan pula utopia, melainkan suatu pekerjaan besar yang musti dituntaskan. Pekerjaan besar ini tidak hanya menjadi beban dan tanggungjawab pemerintah semata, melainkan juga menjadi beban kita para akademisi, masyarakat pemerhati pelayanan publik, dan sektor privat. Dunia terus mengamati Indonesia, langkah perubahan harus dipercepat, sebab perubahan pola kerja organisasi apapun termasuk birokrasi pelayanan publik akan dipengaruhi oleh 6 (enam) kecenderungan global (The six megatrends) yakni: Pertama: Globalisasi (Globalization 2.0). Pada globalisasi 2.0 ini muncul sebuah tatanan dunia ekonomi yang baru yang menggeser ekonomi lama. Kekuatan perekonomian dunia bergeser kearah Asia, khususnya China. Implikasinya adalah akan terbuka peluang dan ancaman dari dinamika pasar lokal sebagai material dari suatu kelas menengah baru.Trend ini jelas tidak dapat diabaikan karena Indonesia berada pada posisi strategis dalam menggerakan pasar yang dinamis di wilayah Asia.

Kedua: Krisis lingkungan (Environmental crisis). Krisis lingkungan merupakan akibat dari aktivitas manusia berupa eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, penebangan hutan, dan pengelolaan lingkungan yang tidak bijak, akan menyebabkan kelangkaan sumberdaya alam, dan perubahan cuaca ekstrem yang akan mengancam kehidupan manusia dunia. Para pemimpin organisasi harus berpikir ulang dan cermat, karena krisis lingkungan akan mempengaruhi akselerasi biaya, sosial dan tekanan pasar.

Ketiga: Individualisasi dan nilai pluralism. (Individualization and value pluralism). Pertumbuhan kemakmuran sebagai akibat perekonomian yang baru, akan mendorong peningkatan perilaku yang individualistik di beberapa belahan dunia. Warga negara, masyarakat, pelanggan, bahkan para pegawai, akan datang dengan harapan yang tinggi bahwa kebutuhan mereka akan dilayani sesuai dengan harapan mereka. Hal ini akan menyediakan peluang untuk pelayanan barang-jasa secara customized, beragam permintaan pegawai, dan membutuhkan organisasi yang sensitive dan mampu bekerja secara cekatan (agile organization)

Keempat: Era digital (The digital era). Pada saat ini orang-orang bekerja dan hidup secara digitaly yang sudah menjadi norma. Di era digital akan terjadi pergeseran kekuatan organisasi ke arah serba digitalisasi. Para pegawai muda lebih memilih bekerja secara professional dan cepat. Para pemimpin organisasi akan dihadapkan pada kewajiban untuk bekerja secara tulus dan transparan. Bila para pimpinan organisasi bekerja secara tidak transparan, maka tinggal menunggu jatuhnya reputasi mereka.

Kelima: Perubahan Demografi (Demographic change). Suatu perkembangan yang cepat terkait dengan populasi peningkatan generasi usia tua di dunia, akan mengubah pasar ke arah tekanan besar atas sistem kesejahteraan dan struktur sosial. Hal ini juga akan berdampak pada penyusutan tenaga secara global, dan memicu ‘perang’di antara organisasi untuk memperebutkan tenaga kerja yang masih muda dan berbakat. Para pemimpin akan mengatasi kesulitan ini dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja antar generasi, di mana setiap kelompok generasi memiliki perilaku dan persyaratan yang berbeda-beda

Keenam: Konvergensi tehnologi (Technology convergence). Kemajuan ilmu di bidang nanotechnology dan biotechnology akan mengubah banyak area kehidupan di dunia ini, sebagai akibat kemajuan besar kedua kombinasi tehnologi tersebut. Gelombang inovasi akan menciptakan produk-produk baru. Hal ini akan menempatkan suatu demand yang besar dan memaksa organisasi tetap terdepan, dan tetap berkolaborasi erat dengan pesaing serta program-program riset dan pengembangan yang komplek. (Vielmetter and Sell, 2014)

Keenam kecenderungan global tersebut selanjutnya akan mempengaruhi perubahan pola setiap organisasi, dan kemudian perubahan pola kerja akan berpengaruh terhadap lingkungan organisasi, organisasi itu sendiri dan pada gilirannya para anggota oragnisasi baik perorangan maupun team harus menyesuikan diri dengan perubahanpola kerja yang ada.Tidak disangkal lagi bahwa perubahan kompetensi dan perilaku atau mentalitas ASN sangat diperlukan segera.

Hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya memanjatkan Puji Syukur kepada Allah Bapa di Surga atas semua anugerah yang membanggakan berupa amanah sebagai Guru Besar FISIP Universitas Indonesia yang tentunya harus diamalkan sebaik mungkin demi kemajuan bangsa dan negara. Semoga Allah Bapa di surga memberikan kekuatan lahir dan batin serta kerendahan hati dalam setiap langkah, ucapan dan tindakan saya ke depan.

Kepada Bapak Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia mewakili Pemerintah, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan yang diberikan kepada saya dan mengangkat saya sebagai Guru Besar FISIP Universitas Indonesia. Jabatan yang dipercayakan pada saya ini akan menjadi motivasi dalam melaksanakan tugas-tugas Tri Darma Perguruan Tinggi.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Indonesia, Bapak Prof Dr Ir Muhammad Anis MMet yang telah memberikan dukungan penuh sehingga proses usulan Guru Besar saya menjadi lancar. Tentunya ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Dewan Guru Besar Universitas Indonesia dan Dewan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia yang telah mendukung kelancaran proses Guru Besar saya.

Saya sungguh bahagia karena usulan Guru Besar saya didukung oleh dua Dekan FISIP Universitas Indonesia sekaligus. Dukungan moral dan administratif saya terima dari kepemimpinan Dekan FISIP-UI periode 2008-2013 yakni Bapak Prof Dr.Bambang Shergi Laksmono, MSc. Terima kasih sekali Prof Bambang, semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak. Dukungan kedua saya dapatkan dari Bapak Dekan FISIP UI periode 2013-2018 yakni Bapak Dr Arie Setiabudi Soesilo, MSc. Saya mengucapkan terima kasih, Pak Ari sudah turun blusukan langsung mengurus proses Guru Besar saya dan kawan-kawan di FISIP UI. Rasanya saya tidak dapat membalas kebaikan hati Bapak Dekan selain mendoakan selalu agar sehat dan sukses dalam memimpin FISIP-UI.

Ucapan terima kasih yang sangat dalam juga saya sampaikan kepada Ketua Departemen Ilmu Administrasi Bapak Dr. Roy Valiant Salomo, MSocSc, yang telah banyak memberikan support sehingga proses usulan Guru Besar saya berjalan dengan lancar. Demikian pula saya ucapkan terima kasih kepada Sekretaris Departemen Drs. Azis Muslim, MSi, dan segenap jajaran administrasi di Departemen Rani, dan kawan-kawan yang tidak dapat disebut satu persatu. Terima kasih atas dukungan Departemen Ilmu Administrasi pada acara ini.

Kepada Guru-guru dan senior saya yang selalu mendampingi, mengingatkan dan mengarahkan saya baik sebagai pengajar maupun peneliti saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Beliau adalah Prof Dr Bhenyamin Hoessin, Prof Dr Azhar Kasim MPA, Dr Waluyo Iman Isworo MEc(PA), Prof Dr Masliana Bangun Sitepu, Prof Dr Bintan Saragih, Prof Dr Martani Huseini MBA, Prof Dr Ferdinand D Saragih, Prof Dr Irfan Ridwan Maksum MSi, Prof Dr Eko Prasojo mag.rer.publ. Prof Dr Haula Rosdiana MSi, Prof Dr Chandra Wijaya MSi,MM Prof Dr Sudarsono Hardjosoekarto, dan Prof Dr Endang Wiriatmi MSi. Semoga saya dapat meneladani keilmuan dan kebaikan beliau semua.

Khusus guru-guru saya dari Institut Pertanian Bogor (IPB), saya mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Margono Slamet MSc. Dr Basita Ginting, dan Prof Dr Djoko Susanto, yang telah membimbing dan membekali saya selama studi Doktoral saya di IPB. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan kesuksesan dalam mengembangkan IPB.

Saya juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moril, semangat, kebersamaan dalam penelitian dan dukungan buku-buku dari teman-teman pengajar di Departemen Ilmu administrasi. Kepada Dr Pantius Drahen Sulling MSi, Dr Retno Kusumastuti MSi, Dr Rachma Fitriati MSi, Dr Makhdum Priatno, Dr Lina Miftahul Jannah MSi Drs Teguh Kurniawan MSi, Dr Heri Faturahman MSi, Dr Andreo Wahyudi Atmoko, Drs Zuliansyah Putra Zulkarnaen MSi, Novita Ikasari Mcomm PhD, Dra Febria Indriati MSi, Krisna Puji Rahmayanti MPA, dan segenap teman-teman pengajar semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini., hanya Tuhan yang akan membalas kebaikan hati teman-teman. Terima kasih sekali lagi.

Acara pengukuhan hari ini tentunya tidak akan berjalan dengan baik tanpan bantuan dan kerjasama yang baik dengan mitra sejawat Prof.Dr.Mari Elka Pangestu. Terima kasih Prof Mari. Terima kasih juga saya sampaikan pada segenap teman-teman panitia, khususnya teman-teman panitia FISIP UI dan Departemen Ilmu Administrasi, Ichan, Rani, Deby, Marcel, Wahyu, Ditri, Krisna, Sarah,Tissa, Rani (Dekanat), Ari, Ghita, Nidaan, Indra, Julyan, Ferdiansyah, Paulus, Fahmi dan Imas. Terima kasih teman-teman.

Dengan penuh rasa cinta, secara khusus saya panjatkan doa pada Allah Bapa di surga, bahwa saya diberikan karunia memiliki kedua orang tua yang penuh kasih, tekun membimbing dan selalu mendoakan saya hingga saya menjadi seperti ini. Untuk Almarhum ayahanda tercinta Bapakku Yosep Bonivasius Siswosujanto yang selalu memberikan semangat dan doa agar terus mengejar cita-cita setinggi langit. Semoga Bapakikut menyaksikan hari bahagia ini dari surga. Kepada Ibunda tersayang Monica Nariba Siswosujanto yang sedang terbaring sakit,putri tunggalmu hari ini berbahagia Ibu, semoga cepat pulih, tak henti-hentinya doa ini mengalir untuk Ibu. Terima kasih atas segala kasih, pengorbanan dan doa Ibunda.

Akhirnya, kepada suamiku tercinta, Andreas Djoko Soeroso, tak terbilang lagi kasihmu dan dukunganmu pada istrimu satu-satunya ini. Aku hanya menyemirkan sepatumu setiap pagi, namun engkau memberikan aku kesempatan yang luar biasa hingga bisa menjadi seperti ini. Hanya maut yang akan memisahkan kita. Kepada anak-anakku sayang, Yohanes Andy Maury Suryowardono, Daniel Aditya Apri Tjondrowardono, dan Laurentius Bramantyo Nugroho Wikastopo,maafkan mami yang selama ini banyak mengabaikan kalian, kalian tetap berjalan di jalan Tuhan, mami sangat bersyukur, tak henti-hentinya doa untuk kalian. Kepada menantu dan calon menantuku yang cantik dan baik hati, Veronika Mayadewi, Maria Kristiana, dan calon menantu Maria Lulu Kertopati, inilah mami mertuamu. Maafkan jika selama ini kalian kurang mendapat perhatian karena kesibukan mamimu ini.Untuk cucu-cucu sayang, Bonaventura Andika Suryawardonodan Renatte Mikhaela Ananditya Tjondrowardono, terima kasih sayang kalian telah menyemarakkan perjalanan hidup eyangkung dan eyangti yang sudah lebih dari setengah abad, semoga kalian tumbuh menjadi anak-anak Tuhan yang berbakti Tuhan, pada para sesepuh, kedua orang tua, dan sesamamu.

Demikian,

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Anderson, Dean and Anderson, Linda Ackerman, (2001): Beyond Change Management: Advanced Strategy for today’s Transformational Leadership. Jose-Bass/Pfeiffer, San Fransisco

Andrews, Matt (2013): “The Limits of Institutional Reform in Development: Changing Rules for Realistic Solution” Published by Cambridge University Press

Armstrong,Michael, (2000): “Performance Management:Key strategies and Practical Guidelines”. Second edition. Kogan Page Limited,London

Bappenas. (2012): “Reformasi Birokrasi: Telaah Kekinian dan Prospeksi Solusi”

Bennis, Waren (2009): “On Becoming a Leader”. Publish by Basic Book, New York

Berman,Evan,M (2009): “Public Administration and Public Policy:A Comprehensive Publication Program”. By Taylor and Francis Group LLC.CRC. Press,New York

Bertelli, Michael,Anthony (2012): “The Political Economy of Public Sector Governance”. Published by Cambridge University Pres