yasan - core.ac.uk filebuku referensi untuk proses pembelajaran?" dalam peristiwa tersebut,...
TRANSCRIPT
Green [nterpreneurship di 5anata Dharma
tssN 2087-5223
" ltllttl|ltltl|ilLliltL|lI[ilg tt772087ll52234Bl
Wahana Komunikasi Pendidikan
t
DARK..'FN
l_il KN
Nomor 02 | Xlll Juni-Juli 2016
YASAN
Dinamika Pedagogi
MX trmffiffiffi$ffi& MX mtmr& etffiLi
Mffiffiffiffiffi$ffiX mffir$f
eorang guru muda sedang mempersiapkan diriuntuk mengajar pengantar ekonomi di sekolah
menengah. Di toko buku dia mencari bukureferensi yang akan dipakai di sepanjang semester
pengajaran. Setelah lumayan kebingungan karenabegitu beragamnya buku-buku pengantar ekonomiyang tersedia di toko buku itu, dia akhirnya memilihsatu buku yang menurutnya gampang dicerna dantidak susah diikuti oleh calon murid-muridnya.
Peristiwa guru muda yang mencari buku referensiini setidaknya memunculkan pertanyaan: 'Apa artibuku referensi untuk proses pembelajaran?" Dalamperistiwa tersebut, sekilas ada kesan bahwa guru mudaitu menggantungkan khasanah pengetahuan yangakan diajarkannya di dalam kelas pada keberadaansuatu buku. Hal ini tentu tidak ada salahnya, bahkanmengungkapkan suatu pertanggungjawaban ilmiah.Sebab, proses pembelajaran sudah semestinya bertitiktolak dari sumber pengetahuan yang akurat.
Namun, bila tidak hati-hati, digunakannya bukureferensi secara dominan dan mengikat - dalam artimenguasai materi-materi pengetahu an yang disajikanbuku tersebut - dapat potensial menciptakan arena
pembelajaran di mana buku hadir sebagai satu-satunyapenjamin kebenaran pengetahuan. Sementara itu,siswa laksana "ember kosong" yang ingin diisi penuh-penuh dengan isi buku referensi (misalnya denganmenghafalkan materi) dan guru cenderung hadirsebagai "pembaca pasif" dari buku, yang menyalurkananeka informasi dari buku ke benak siswa. Suksesnya
proses pembelajaran didasarkan pada ukuran berapa
persen dari isi buku yang tertransfer ke siswa.
Bagaimanakah proses pembelajaran oleh siswa
bersama gurunya sebaiknya berjalan? Sudah banyak
EDUCARE I Nomor 02 I Xlll I Juni-JuLr 2016
Iiga narasumber dalam Seminar Pendidikan di Xaverius Centrum Studiorum,
Palembang, 09 Agustus 2016
eksperimen pembelajaran dilakukan untuk menjawabpertanyaan ini. Misalnya, ada yang menyebutbahwa sebaiknya aktor utama dalam pembelajaranadalah siswa, maka di situ guru menjadi fasilitatorpembelajaran. Ada pula pendapat bahwa siswa danguru sebaiknya hadir sama-sama menjadi pembelajar,yang saling mengisi dan melengkapi, tergantungkonteks dan tahap pembelajaran.
Guru sebagai Bidan
Socrates (1399 SM), seorang filsuf Yunani kuno,pernah berujar bahwa proses pendidikan sesungguhnyamirip-mirip dengan proses kelahiran bayi oleh seorang
ibu yang ditemani bidan. Sang guru adalah bidanyang menemani orang muda yang sedang melahirkanpotensinya menjadi lebih aktual. Tentulah potensisi orang muda tidak akan teraktualisasi optimal dangenuirue bilamana guru terlalu memaksakan kehendakdan dominan. Demikian pula, bila guru tidak awas
31
Dinamika Pedagogi
pada apa yang ter)adi pada siswanya, ia tidak akanmengenal kapan sesuatu pengetahuan diberikan kepadasiswanya atau kapan siswanya diberi kesempatan untukmembangun pengetahuan dari pengolahannya sendiri.
Dalam hal ini pendidikan mengandaikan adanyakonsep tentang siapa manusiayang tedibat di dalam
proses pembelajaran. Jika anak muda yang belajar
dinilai sebagai anak yang punya banyak masalah, entahmisalnya terkait dengan narkoba, kenakalan, dan
semacamnya, maka guru cenderung akan bertindakpertama-tama sebagai pemberi solusi. Kondisi tersebutmensituasikan anak muda seperti orang sakit yang
datang kepada dokte. yang akan memberikan obat.Kasus lainnya, jika anak muda yang belajar dipandangsebagai anak Allah yang dianugerahi talenta yangbelum berkembang, maka guru akan menyesuaikan
posisinya sebagai kawan seperjalanan anak Allah itudi dalam mengembangkan talentanya. Cara gurumemposisikan dirinya menentukan aksi pembelajaranyang dikelolanya untuk para siswanya.
Berkenaan dengan bagaimana guru memposisikan
dirinya ketika bersama siswanya, ada nasihat dari JohnAmos Comenius (1592-1670), seorang Ceko pemikirpendidikan di Eropa selepas abad pertengahan.Menurutnya, pendidikan sudah semestinya disesuaikandengan keadaan dan usia anak didik. Di dalammendidik, guru dianjurkan untuk tidak memaksakan
kehendak, bersikap merendahkan, atau menggunakankekerasan. Sebaliknya, guru laksana hadir di sampingsi anak didik yang sedang berjalan dengan kakinyasendiri atau berjalan di muka si anak didik itu denganmemberi ruang baginya untuk berjalan sendiri sambilmemberikan isyarat-isyarat bimbingan. MenurutComenius, aktivitas pengajaran yang indoktrinatifsesungguhnya mencederai tumbuh kembang seseorang
yang sedang belajar.
Terdapat tantangan di sini, yaitu ketika dewasa
ini guru harus mengikuti panduan kurikulum yang
digariskan pengambil kebijakan bidang pendidikan,supaya lembaga pendidikannyatetap diakui dan bolehberoperasi, serta gurunya sendiri bisa naik pangkat dansemacamnya. Bisa jadi untuk memenuhi tuntutan ituseorang guru lalu menomorsatukan aneka kewajibanformal dan menjadi lebih hadir sebagai aparatus
program pendidikan daripada memposisikan dirisecara kontekstual saat bersama para siswanya. Disinilah formalisme pendidikan menumpulkan relasi-
relasi bermakna antara siswa dan gurunya. Di alam
formalisme ini, anak didik cenderung dipandang
32
sebagai konsumen program, setelah gurunya sendiriterlebih dahulu menjadi konsumen program.
Mandor Pendidikan?
Oleh karena dalam pendidikan yang terformalisasi
guru dan siswa menjadi konsumen, maka keberhasilan
pendidikan seringkali diukur dengan berpangkal padakemampuan daya serap mereka, bukan pada daya-
daya lan seperti misalnya daya cipta. Ruang-ruangpembelajaran yang mengembangkan daya cipta seperti
kebebasan berimajinasi cenderung menyempit bahkan
ditiadakan, dan yang lebih tersedia adalah suasana
untuk takut menjadi berbeda. Sebab, di hadapan
program, menjadi berbeda tidak diperkenankan.
Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah tiadanyaprogram lebih baik? Atau kalaupun ada programsejauh mana program ini berperanan dalam proses
pembelajaran? Untuk menjawab pertanyaan ini,pandangan Gert Biesta, seorang pemikir pendidikankontemporer dari Belanda, kiranya dapat dijadikanpanduan. Menurut Biesta, pendidikan tidak pernahberdimensi tunggal berkenaan dengan proses dantujuannya. Garis besar program tetap dibutuhkansebagai kerangka kerja banyak pihak yang terlibat dalampendidikan, tetapi kerangka kerja tersebut seharusnya
tidak menciptakan rasa takut atau memunculkanketerancaman ketika adaptasi-adaptasi dijalankan dilapangan. Dalam pandangan Biesta, para aktor di arena
pendidikan selalu berkarakter unik, maka implementasiprogram pendidikan sudah selayaknya ramah pada sisi-sisi unik manusia tersebut.
Biesta berpendapat bahwa pendidikan itu lemah
pada dirinya sendiri, maka lemah pula di tengah-tengah konteks yang mengitarinya. Kelemahanpendidikan ini bukannya keburukan atau masalah
yang harus dihapuskan melainkan perlu dipandangsebagai dimensi yang dibutuhkan demi hidupnyapendidikan itu sendiri. Melalui buku The BeautifulRisk of Education (2013), Biesta mengajak siapa saja
yang memililct concern pada pendidikan untuk tidak
Dalarn edisi sebelumnya pada halaman26 tertulis:Tradisi Gejog Lesung,Kreativitas OMK Paroki Klepu,
EDUCARE I Nomor 02 I Xlll I Juni-JuLi 2015
Dinamika Pedagogi
E
E
IE
t:
Penyerahan kenang-kenangan dari pengurus pGK Kotanarasumber seminar.
Palembang kepada para
memandang dan menciptakan pendidikan sebagaimesin rekayasa yang dominatif, tetapi justru -.-.l,rkkelemahan-yang melekat padanya d", m..r*"trry"sebagai
-risiko yang harus ditanggung. Justru karenaadanya kelemahan dan risiko i,u
"pJ yang dipahami
sebagai proses mendidik dapat bei,jal"r, .f.krif d".,functioning.
, Berbeda dari para pengambil kebijakan danberbagai organisasi baik pada level nasional maupuninternasional yang merancang pendidikan berdasarkanstatistik dan dari kejauhan- para pendidik yangmenqelola pendidikan serurur konteLs masing_masingdiundang oleh Biesta untuk menempatkan proses_proses pembelajaran pada risiko-risilo. Di dalamproses-proses itu apa yang dipahami sebagai ,,belajar,,
pada akhirnya memungkinkan untuk diilami secam
lrTlfr dan dapat menemukan konteksnya y ang nyata,baik bagi yang dididik maupun bagi yang' mendidik.
}ry" saja situasi ini menuntur guru untuk bekerjalebih keras.
Dengan lain kara, Biesta mengajak pendidikuntuk tidak menjadi mandor p.ngonirol p..rdidik",dengan chech-list program di tangalnnya k.iik, beradabersama-sama dengan para siswl tetapi ikut terlibatdi dalam proses pembelajaran yang b..ydrrr. Di arenapembelajaran, baik guru maupun siswa merupakanpembelajar di dalam konteki yang aktual. Makateks atau buku-buku referensi yrrg li,trrr.rnkan d.ariq.:q.T" pendidikan yang dipakai dalam pembelajarantidak lagi dipergunaka, .rrrt,rk -.rg.k"rg melainkanjustru.mendorong pencipt"an konieks-konteks yangbermakna bagi proses p.-b.l"yrrrn bagi semua yang
EDUCARE I Nomor 02 I Xill I Juni-JuLi 2016
terlibat di dalamnya. Oleh karena disebut sebagaireferensi atau acuan, maka buku ddak p..rr"rhmenggantikan peran guru. Dalam hal ini t.k -.-"rrgmenjanjikan
_ pengetahuan, tetapi pada akhirnyl
melalui konteks-lah kebijaksanaan dilahirkan.
Belajar untuk Menguasai Apa?
^ Bertolak dari pandangan-pandangan Socrates,
Comenius, dan Biesta yang s.cr.a ,.rba singkatdisampaikan di atas, tulisan ini berargumen bJ*"proses pembelajaran oleh siswa b..rama gurunyasesungguhnya selalu berurusan dengan rosok-sorokatau manusia-manusia yang terlibat dalam pendidikanpada suatu konteks rerrenru. l)paya belajar lalu tidaksemara-mata dipahami sebagai upaya menguasaimateri, melainkan rerutama untuk -.rrg,rrrri di.i.Penguasaan materi itu penting tetapi b'ukan saru_s.1tuly.a_tuiuan pendidikan. Belajar untuk menguasaidiri -lebih mengungkapkan alasan untuk apa tindakanbelajar perlu ditempuh.
Bila ditempatkan dalam situasi dewasa ini di manabanyak sosok terdidik yang tersandung kasus korupsi,jangan-)angan memang benar bahwa di sepanjangr_iwayat pendidikan mere ka itu yang lebih
^merekl
latihkan dan ukuran-ukuran k.b.rh"sijan pendidikanyang dikenakan kepada mereka adalah ,.-","_-","menguasai materi daripada menguasai diri.
In Nugroho Bufisantoso, SJPengajar dan Koordinator Lingkar Studi di Universitas
Sanata Dharma Yo gyakarta
33