word.doc

21
TINJAUAN PUSTAKA HIPERTIROID 1. ANATOMI Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan. Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang membungkus m.stternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a.karotis komunis, v.jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakesofagus. Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari a.karotis komunis atau a.karotis eksterna, a. Tiroidea inferior dari a.subklavia, dan a.tiroidea berasal dari a.brkhiosefalik dalah satu cabang arkus aorta.

Upload: novia-m-silvia

Post on 17-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

HIPERTIROID

1. ANATOMI Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan. Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang membungkus m.stternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a.karotis komunis, v.jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakesofagus.

Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari a.karotis komunis atau a.karotis eksterna, a. Tiroidea inferior dari a.subklavia, dan a.tiroidea berasal dari a.brkhiosefalik dalah satu cabang arkus aorta.

Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.

Pada kelenjar tiroid persarafan simpatis simpatis yaitu serabut saraf dari ganglia simpatis superior dan medial. Serabut saraf parasimpatis yang berasal dari nervus vagus hingga mencapai kelenjar tiroid melalui percabangan n. laringeus externus dan n. reccurrens

Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

2. FISIOLOGI Pada kelenjar tiroid terdapat 3 macam hormon yaitu hormon tiroksin ( T4 ), hormon triyodotironin ( T3 ) yang berpengaruh pada kecepatan metabolism tubuh, kemudian hormon kalsitonin untuk metabolism kalsium. Semua terkait dengan tiroid stimulating hormone (TSH) dari hipofisis anterior. Rata-rata jumlah iodium yang dibutuhkan perhari adalah 0,1 mg. Pada prosesnya hormon tiroid disintesis oleh kelenjar tiroid, hipotalamus akan mensekresi thyrotropin releasing hormon (TRH) yang merangsang glandula hipofisis anterior untuk mengeluarkan TSH (Thyroid-stimulating hormon). TSH akan merangsang pertumbuhan serta fungsi dari folikel kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid yang dirangsang TSH akan mengeluarkan iodine dan mensintesis hormon tiroksin (T3 dan T4). T3 bersumber dari T4 yang sudah dikonversi oleh hipofisis. Hormon-hormon ini menimbulkan respon negatif feedback bagi hipofisis dikarenakan hormon tersebut mengatur pengeluaran dari TSH dan hormong T3 dapat menghambat pelepasan TRH dari hipotalamus. Hormon tiroid bebas yang dihasilkan itu akan dibawa ke aliran darah serta mengikuti aliran menuju membran sel dengan cara difusi atau berikatan dengan protein spesifik ke membran nucleus. T4 akan diiodinisasi menjadi T3 serta masuk ke nucleus melalui transport aktif yang akan berkaitan dengan reseptor hormon tiroid.

3. Definisi , Epidemiologi dan Etiologi Hipertiroid adalah kondisi dimana tiroid terlalu aktif memproduksi hormon tiroid. Akibatnya kadar hormon tiroid dalam darah sangat tinggi. Penyebab tersering hipertiroid adalah penyakit Graves. Penyebab lain hipertiroid adalah infeksi kelenjar tiroid oleh virus atau bakteri, keadaan ini disebut sebagai tiroiditis.

Penyakit graves merupakan bentuk tirotoksikosis (hipertiroid) tiroktoksikosis yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki.1 Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati meskipun jarang.2Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut.2 4 Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves. Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R). 3,4 Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderitapenyakitGraves.1,2 Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T. 4

Gambar.2.1. Patogenesis penyakit Graves 3Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid autoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen kelenjar tiroid.4 Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid autoimun.4 Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis dugaan yang memperkuat tersebut. Terjadinya opthtalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.3,4 Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans. Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik, Sistem Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat.4 Homorn tiroid dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat baik pada kadar hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun menurun (hipotiroid). Penyakit Graves merupakan penyebab paling umum hipertiroidisme. Sekitar 60% hipertiroidism disebabkan oleh penyakt Graves. Tirotoksikosis dengan sendirinya adalah diabetogenik. Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi pada individu normal. Perubahan metabolik mungkin terjadi sebagai akibat dari hipertiroidisme dan berkontribusi terhadap penurunan kontrol glikemik. Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu yang menderita hipertiroidisme namun jika ini dijumpai akan mempengaruhi dan menyebabkan sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik yang terjadi secara bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi selama kondisi hipertiroid dan hal ini dapat mempengaruhi status glukosa darah. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya adalah pada kondisi hipertiroid, waktu pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Absorpsi glukosa pada saluran cerna juga ikut meningkat termasuk aliran darah di vena portal. Ketika beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan sekresi insulin bisa terjadi pada kondisi hipertiroid, studistudi lainnya melaporkan level insulin baik diperifer dan sirkulasi portal justru normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa tertutupi oleh karena adanya sekresi insulin yang meningkat termasuk juga degradasi dari insulin tersebut. Pada hipertiroid insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi yang berlama-lama dari gangguan fungsi tiroid ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi dari sel beta sehingga akan menurunkan produksi insulin oleh pankreas dan respon insulin terhadap glukosa. Produksi glukosa endogenous meningkat dengan beberapa mekanisme:

Meningkatnya prekursor glukoneogenik dalam bentuk laktat, glutamin dan alanin dari otot rangka dan gliserol dari jaringan lemak.

Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA) plasma yang bisa menstimulasi hepatik glukoneogenesis.

Meningkatnya glikogenolisis oleh karena inhibisi dari sintesa glikogen.

Upregulasi dari protein transporter glukosa atau GLUT-2 pada membran plasma hepatosit Meningkatnya sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati

Gambar.2.2 Pengeluaran hormon tiroid pada berbagai sistem organ pada penyakit Graves,Penggunaan glukosa di jaringan adiposa meningkat pada pasien hipertiroid ini dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa dari tikus dan pasien hipertiroid menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan penggunaannya terhadap insulin yang normal, meningkat atau menurun. Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap perbedaan regional pada jaringan adiposa yang terisolasi.16 Peningkatan ambilan glukosa dan pembentukan laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada kondisi hipertiroid. Kondisi ini disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1, GLUT4, meningkatnya respon glikogenolisis terhadap stimulasi beta adenergik, meningkatnya aktivitas heksokinase dan fosfofruktokinase serta menurunnya sensitifitas sintesa glikogen terhadap insulin.

Gambar 2.3 Pengaruh pengeluaran hormon tiroid di otot pada penyakit Graves. 6 Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi penyakit Graves di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang dilakukan di Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000 orang per tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves adalah yang paling umum. Penyakit Graves merupakan 60-90% dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di dunia. Dalam Studi Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000 orang per tahun. Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid diperkirakan 6%.Wengjun Li dkk (2010) dari Fakultas Kedokteran Shanghai- Cina, meneliti tentang hubungan penyakit Graves dan Resistensi insulin (RI), pada 27 subjek penyakit Graves terjadi gangguan metabolisme glukosa sebesar 63,0 % dengan RI 44,4 %. Chih H C dkk (2011) dari Divisi endokrin dan metabolik, bagian Penyakit Dalam, Kaohsiung Veterans General Hospital, Kaohsiung-Taiwan meneliti tentang RI pada pasien hipertiroidism sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid dan dijumpai adanya perbaikan RI pada pasien yang mendapat pengobatan selama 3-7 bulan (Journal of Thyroid Research 2011 4. Gambaran Klinis Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.2,3,5 Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.2,3 Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit Graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. 3,4,5. Komplikasi Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.1, 3,4Komplikasi yang sering terjadi yaitu krisis tiroid, salah satu hipotesis yang daat menyebabkan krisis tiroid adalah peningkatan kadar hormon tiroid yang bebas. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat mengancam jiwa atau juga disebut sebagai kedaruratan medis yang disebabkan oleh eksaserbasi akut dari gejala-gejala hipertiroid. Umumnya ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau Struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus : infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stress emosi, penghentian obat anti tiroid, ketoasidosis, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskuler/strok, palpas tiroid terlalu kuat.

Peningkatan kadar hormon ini disertai dengan penekanan kadar tirotropin, sehingga sering tirotropin umunya tidak terditeksi, kecuali pada pituitary thyrotroponin-secreting adenoma. Teori lain yang dapat menenrangkan terjadi krisis tiroid adalah peningkatan densitas pada reseptor beta adrenegik sel target sehingga meningkatkan ekspresi adrenoreseptor selular atau modifikasi jalur signal post-receptor yang menyebabkan hipersentivitas jaringan terhadap ketokolamin.

Gambaran klinis dari krisis tiroid dikarakteristikan dengan 4 gambaran utama: 1) demam, 2) sinus takikardia atau variasi aritmia supraventikular (takikardia atrial parkosismal, atrial fibrilasi, atrial flutter), dan dapat dijumpai gagal jantung kongestif, 3) gejala susunan saraf pusat (agitasi, kegelisahan, kebingungan, delirium, dan koma, dan terakhir 4) gejala gastrointestinal, yang kebanyakan berupa muntah dan diare. 6. Pemeriksaan laboratorium Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormon (TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4). 1,4 7. Pengobatan. Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.2 Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, pembedahan dan terapi yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. a. Obat Antitiroid: Golongan Tionamid Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal. Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari.Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves. Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg perhari.o Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), Universitas Sumatera Utara gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Pada krisis tiroid, setelah pemberian PTU dosis tinggi, penghambat beta penting untuk mengontrol aksi perifer dari hormon tirois. Penggunaan antagonis reseptor beta-adregenik dalam penatalaksaan krisis tiroid pertama kali dilaporkan pada tahun 1966 denga menggunakan obat-obatan pronetalol. Tidak lama kemudian, propanolol menjadi obat beta bloker yang paling sering di gunakan di US. Pada krisis tiroid, propanolol digunakan dalam dosis 60-80mg setiap 4 jam. Propanolol dapat diberikan secara parenteral, dengan bolus 0,5 1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1-3mg dalam waktu 10 menit. Propanolol dengan dosis besar (>160mg/hari) dapat menurunkan kadar T3 sebanyak 30%.

b. Radioaktif iodine.Tindakan ini adalah untuk memusnahkan kelenjar tiroid yang hiperaktifc. Tiroidektomi.

Tindakan Pembedahan ini untuk mengangkat kelenjar tiroid yang membesar

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. DAFTAR PUSTAKA

1. Djokomoeljanto R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroid, dan Hipertiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna publishing 2010.

2. Nayak Bindu MD. Thyrotoxicosis and thyroid strom: Endocrinology and Metabolism Clinics of North America (2006).

3. Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta4. Rebecca S. Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosos: Endocrine practice. 2011