word ekonomi kelembagaan

26
2. (b) Menurut Williamson sendiri, istilah NIE digunakan untuk memisahkan dengan istilah lain, yakni OIE (old institutional economics), yang dipelopori oleh Common dan Veblen. Mazhab OIE berargumentasi bahwa kelembagaan merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan memengaruhi perilaku ekonomi, namun dengan sedikit analisis dan tanpa kerangka teoritis yang mumpuni. Pendekatan ini murni beroperasi di luar pendekatan ekonomi neoklasik dan tanpa menggunakan teori kuantitatif, di mana dari pendekatan kuantitatif tersebut biasanya suatu generalisasi diambil atau pilihan-pilihan kebijakan yang tepat dapat dibuat. Ekonomi "neoklasik" sebaliknya- mengabaikan secara total peran kelembagaan; diasumsikan pelaku-pelaku ekonomi beroperasi dalam ruang yang bebas nilai (vacuum). Oleh karena itu, NIE mencoba memperkenalkan pentingnya peran dari kelembagaan, namun tetap berargumentasi bahwa pendekatan ini bisa dipakai dengan menggunakan kerangka ekonomi neoklasik. Dengan kata lain, di bawah NIE beberapa asumsi yang tidak realistik dari neoklasik (seperti informasi yang sempurna, tidak ada biaya transaksi/zero transaction costs, dan rasionalitas yang lengkap) diabaikan, tetapi asumsi individu yang berupaya untuk mencari keuntungan pribadi (self-seeking individuals) untuk memperoleh kepuasan maskimal tetap diterima. Selebihnya, kelembagaan dimasukkan sebagai rintangan tambahan di bawah kerangka kerja NIE. Kunci perbedaaan antara OIE dan NIE adalah bahwa pendekatan yang pertama sangat memfokuskan kajiannya mengenai "kebiasaan" (habit), Bagi para ahli OIE, kebiasaan/perilaku dianggap sebagai faktor krusial yang akan menentukan formasi dan sustenance kelembagaan. Sebaliknya, di ujung spektrum lain yang berseberangan, NIE lebih memberikan perhatian kepada kendala yang menghalangi proses penciptaan/ pengondisian kelembagaan, dan utamanya memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai kerangka interaksi antarindividu.

Upload: niel-hokii

Post on 16-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

qwqwe

TRANSCRIPT

Page 1: Word Ekonomi Kelembagaan

2. (b) Menurut Williamson sendiri, istilah NIE digunakan untuk memisahkan dengan istilah lain, yakni OIE (old institutional economics), yang dipelopori oleh Common dan Veblen. Mazhab OIE berargumentasi bahwa kelembagaan merupakan faktor kunci dalam menjelaskan dan memengaruhi perilaku ekonomi, namun dengan sedikit analisis dan tanpa kerangka teoritis yang mumpuni. Pendekatan ini murni beroperasi di luar pendekatan ekonomi neoklasik dan tanpa menggunakan teori kuantitatif, di mana dari pendekatan kuantitatif tersebut biasanya suatu generalisasi diambil atau pilihan-pilihan kebijakan yang tepat dapat dibuat. Ekonomi "neoklasik" sebaliknya- mengabaikan secara total peran kelembagaan; diasumsikan pelaku-pelaku ekonomi beroperasi dalam ruang yang bebas nilai (vacuum). Oleh karena itu, NIE mencoba memperkenalkan pentingnya peran dari kelembagaan, namun tetap berargumentasi bahwa pendekatan ini bisa dipakai dengan menggunakan kerangka ekonomi neoklasik. Dengan kata lain, di bawah NIE beberapa asumsi yang tidak realistik dari neoklasik (seperti informasi yang sempurna, tidak ada biaya transaksi/zero transaction costs, dan rasionalitas yang lengkap) diabaikan, tetapi asumsi individu yang berupaya untuk mencari keuntungan pribadi (self-seeking individuals) untuk memperoleh kepuasan maskimal tetap diterima. Selebihnya, kelembagaan dimasukkan sebagai rintangan tambahan di bawah kerangka kerja NIE. Kunci perbedaaan antara OIE dan NIE adalah bahwa pendekatan yang pertama sangat memfokuskan kajiannya mengenai "kebiasaan" (habit), Bagi para ahli OIE, kebiasaan/perilaku dianggap sebagai faktor krusial yang akan menentukan formasi dan sustenance kelembagaan. Sebaliknya, di ujung spektrum lain yang berseberangan, NIE lebih memberikan perhatian kepada kendala yang menghalangi proses penciptaan/ pengondisian kelembagaan, dan utamanya memfokuskan kepada pentingnya kelembagaan sebagai kerangka interaksi antarindividu.

Page 2: Word Ekonomi Kelembagaan

1. a). Jelaskan pemikiran dari aliran supply side ? b). Sebutkan relevansi pemikiran supply side dengan perekonomian yang ada saat ini ?

2. a). Jelaskan tokoh-tokoh pemikir dari Old Institutional Economics ? OIE (Ekonomi

Kelembagaan lama ) & pokok pemikirannya ?

b). Sebutkan relevansi pemikiran OIE dengan perekonomian yang ada saat ini ?

3. a). Jelaskan tokoh-tokoh pemikir dari New Institutional Economics / NIE (Ekonomi

Kelembagaan Baru) & pokok pemikirannya .

b). Sebutkan relevansi pemikiran NIE dengan perekonomian yang ada saat ini ?

4. Jelaskan dan tunjukan dengan grafik serta berikan contoh :

a). Band Wagon Effect (Efek ikut rus)

b). Snob Effect (Efek Sombong)

Page 3: Word Ekonomi Kelembagaan

1. a). Aliran Sisi Penawaran (Supply Side Economics) Pada tahun 1971-1973

perekonomian AS mengalami guncangan dari berbagai sisi, hal ini menyebabkan

perekonomian mulai lesu, produksi berkurang, pengangguran semakin bertambah dan

inflasi. Kebijakan-kebijakan ekonomi mulai dijalankan dan dikembangkan untuk

mengatasi inflasi yang semakin tinggi. AS kemudian mengadopsi kebijakan dari

aliran monetaris yang kemudian melahirkan kebijakan monetaris yang selanjutnya

dijalankan oleh pemerintah Thatcher di Inggris. Kebijakan yang dianut oleh Reagan di

AS ini menciptakan teori “sisi penawaran” (supply-side economics).

Tokoh-Tokoh Aliran Penawaran

Menurut Harold McCure dan Thomas Willis (1983) aliran sisi penawaran dibagi

dalam 2 kelompok yaitu :

1.     Kelompok Utama (Martin Feldstein dan Mihael Boskin) yang menekankan pada

insentif pajak dalam pertumbuhan ekonomi lewat dampaknya terhadap tabungan

dan investasi

Page 4: Word Ekonomi Kelembagaan

2.     Kelompok Radikal (Arthur Laffer, George Gilder dan angoota kongres Jack

Kemp) yang menekankan padadampak pemotongan pajak terhadap proudktivitas

kerja dan meningkatkan laju pertumbuhan output dan mengurangi inflasi

Pandangan pakar ekonomi tentang aliran sisi penawaran sering disebut

Reaganomics

Perbandingan  Pandangan Keynesian dan Monetaris dengan Aliran Sisi Penawaran

Pandangan Keynesian :

Lebih menyukai kebijakan fiskal yang ekspansif

Menggunakan analisis jangka pendek

Lebih suka melakukan fine tunning

Mengatasi masalah dari sisi permintaan

Pandangan Monetaris :

Lebih menyukai kebijakan moneter kontraktif-konservatif

Mengatasi masalah dari sisi permintaan

Aliran sisi penawaran  lebih mengarah kepada teori Adam Smith, namun dalam versi

yang lebih modern. Robert A. Mundel sebagai peletak dasar aliran ini menawarkan

peng-gunaan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dengan analisis jangka panjang.

Teori ini lebih bisda dalam mengatasi penyakit stragflasi.

b). Relevansi pemikiran Supply Side dengan perekonomian yang ada saat ini :

1. Program Penurunan Pajak dan Anggaran Berimbang

Contohnya , untuk mengatasi guncangan ekonomi pada tahun 1973, AS

menempuh cara seperti :

mendorong masyarakat untuk rajin menabung

Page 5: Word Ekonomi Kelembagaan

menurunkan tingkat pajak

mendorong masyarakat untuk berani mengambil resiko berusaha

mendorong mobilisasi angkatan kerja

mendorong masyarakat untuk lebih banyak bekerja di sektor riil

Namun untuk diterapkan di Indonesia saat ini kurang bisa mengatasinya. Hasil-hasil

yang dicapai oleh program pemerintah tidak maksimal, bahkan tidak sedikit yang

mendapat predikat buruk. Untuk itu kita perlu mengevaluasi program itu kembali.

Salah satu cara untuk membatasi pengeluaran pemerintah dengan mengurangi

pemasukan. Dalam hal ini intinya adalah kepercayaan untuk mengatur sendiri

keuangan masyarakat. Aliran sisi penawaran mempercayai adanya dampak positif

penggunaan dana sendiri oleh swasta. Pada masa Reagan penurunan pajak

menciptakan teori anggaran berimbang yangdidukung oleh para ahli yaitu Alan

Blinder, Douglas Holtz Eakin, dan Herbert Stein. Reagan menyukai program

penurunan pajak karena kan meningkatkan partisipasi kerja dan tidak terlalu banyak

memegang dana. Hal-hal tersebut yang bisa diterapkan di Indonesia untuk

memperbaiki situasi di negara Indonesia.

Faktorutamamemburuknya kinerjaeksporbukandisebabkan faktorpermintaan

(demand side) melainkan sisipenawaran (supplyside)ataudapatdikatakan

bahwaterdapatpersoalan kinerja ekonomi domestik yang berdampak pada rendahnya

produktivitas produk ekspor Indonesia.

MenurutWorldEconomicForum,beberapafaktor

yangdidugamenjadipenyebabrendahnyadaya saingindustri ditingkat mikrodiantaranya:

1. buruknya infrastruktur,

2. buruknya institusi dan

kelembagaanpemerintahdanswastaterkaitdenganpelayananpublik,

3. inefisiensipasarbarang industri,

4. pendidikandankeahliantenagakerjayangbelummemadai,

5. efisiensipasartenaga kerjayangrendah,

6. rendahnyakemampuanperusahaanuntukmengadopsiteknologibaru,

7. perkembangan pasar keuangan yang belum mendorong perkembangan

industri, dan

8. rendahnyainovasidanpenerapanteknologitinggiyangefisien.

Page 6: Word Ekonomi Kelembagaan

BerdasarkanIndustrialDevelopmentReporttahun2011,

industrimanufakturIndonesiamengalami penurunan peringkat

dayasaingdari40padatahun2005menjadi peringkat ke-43 padatahun2009. Daya saing

Indonesia yang diukur dengan indeks daya saing kinerja industri(Competitiveness

Industrial Performance) masih di bawah negara-negara ASEAN, seperti Singapura,

Thailand, Malaysia, danFilipina. Gambaran dayasaing komoditas ekspordiantara

negaraanggota dalamkerjasama RCEPmenuntut Indonesia untukmeningkatkan efisiensi dan

efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk serupa, menciptakan

iklim usahayangkondusifdalamrangkameningkatkandayasaing,memperluasakses pasardan

meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi

termasuk promosipemasaran danlobby.Apabilatidakmempersiapkan

diridenganbaik,makaIndonesia akanmenjadipasarbagikomoditasnegara-negaralainnya.

Menolak bergabungdalamsuatu perjanjianperdaganganbukanmerupakansuatu

pilihanbagi Indonesia. Indonesia dapat kehilangan kesempatan bertransakasi dengan tarif

rendah dengan negara-negara tersebut dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dapat

memanfaatkan kekosongantersebut.Indonesiaperlu

selektifdalammelakukanliberalisasitarifperdagangan internasionalnyayaitu

denganmembukaliberalisasiseluas-luasnyauntukkomoditasunggulandan

tetapprotektifterhadapkomoditas yangkurangunggul,ataukomoditas yangsangatdibutuhkan

dalam pasardomestiktetapimemilikidayasaingyangrelatifrendah.Olehkarenaitu,pemerintah

membutuhkan kebijakan fiskal yang mendukung kesinambungan perbaikan kinerja

industri nasional, termasuk industri yang bersifat inward looking maupun dengan

diversifikasi dan peningkatankualitasprodukekspor.

2. a). Tokoh Aliran Institusional

1.1     Thorstein Bunde Veblen (1857-1929)

Veblen adalah anak seorang petani miskin yang melakukan imigrasi dari

Norwegia ke Amerika. Veblen mengritik teori-teori yang digunakan kaum klasik dan neo-

klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai bias dan terlalu menyederhanakan

fenomena-fenomena ekonomi serta dianggap mengabaikan aspek-aspek non-ekonomi seperti

kelembagaan dan lingkungan. Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar

terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung

dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Bagi Veblen masyarakat

Page 7: Word Ekonomi Kelembagaan

merupakan suatu fenomena evolusi yang segala sesuatunya mengalami perubahan secara

terus-menerus. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat disesuaikan dengan kondisi sosial

sekarang, jika perilaku tersebut cocok dan diterima maka perilaku diteruskan begitu

sebaliknya. Keadaan dan lingkungan seperti inilah yang disebut Veblen “institusi” yang

dalam artian terkait dengan nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan serta budaya yang semuanya

terefleksikan dalam kegiatan ekonomi baik dalam berproduksi maupun mengkonsumsi.

Dalam berproduksi akan kelihatan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma serta kebiasaan

yang dianut dalam mengejar tujuan akhir dari kegiatan produksi yauti keuntungan. Dalam

bukunya yang berjudul The Theory of Business Enterprise Veblen menjelaskan bahwa

perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak mengalami perubahan dahulu

para pengusaha pada umumnya menghasilakan barang-barang dan jasa untuk memperoleh

keuntungan melalui kerja keras atau yang disebut dengan production for use. Tetapi pada

masa sekarang laba dan keuntungan sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan

menciptakan barang-barang yang disukai oleh konsumen, tetapi lewat “trik-trik bisnis” atau

yang disebut production of profit. Veblen melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh

begitu pesat telah melahirkan suatu golongan absentee ownership yaitu para pengusaha yang

memiliki modal besar dan menguasai sejumlah perusahaan tetapi tidak ikut terjun langsung

dalam kegiatan operasional perusahaan. Kemudian dalam perilaku konsumsi ada perilaku

konsumsi yang wajar yaitu ingin memperoleh manfaat atau utilitas yang sebesar-besarnya

dari tiap barang yang dikonsumsinya, dan ada pula yang tidak wajar kalau konsumsi

ditujukan hanya untuk pamer yang oleh Veblen disebut conspicuouc consumption dalam

bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class.

1.2     Wesley Clair Mitchel (1874-1948)

Wesley Clair Mitchel adalah murid, teman dan pengagum Veblen yang mendukung

serta mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Mitchel juga berjasa dalam mengembangkan

metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu

karyanya yaitu Business Cycles and Their Cause (1913). Dengan menggunakan bermacam

data statistik ia menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi.

1.3     Gunnar Karl Myrdal (1898-19..)

Myrdal adalah orang swedia yang mendukung aliran institusional. Ia mempunyai pesan

pada ahli-ahli ekonomi agar ikut membuat value judgement, sebab jika itu tidak dilakukan

maka struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realistis. Sebagai penganjur

Page 8: Word Ekonomi Kelembagaan

aliran institusional ia percaya bahwa pemikiran institusional sangat diperlukan dalam

melaksanakan pembangunan negara-negara berkembang.

1.4     Joseph A. Schumpeter (1883-1950)

Oleh beberapa penulis ia dimasukan sebagai pendukung aliran institusional karena

pendapatnya yang mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam

domain ekonomi itu sendiri melainkan berada di luarnya yaitu dalam lingkungan atau

institusi masyarakat. Lebih jelasnya sumber kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan

(entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan karena

entrepreneur pertama kali yang mempraktekkan dan berani mengadobsi temuan-temuan baru

atau inovasi yang dibuat inovator yang membuat masyarakat meninggalkan cara-cara lama

yang tidak efisien.

1.5     Douglas North

Penghargaan terhadap aliran konstitusional mencapai puncaknya tahun 1993 pada saat

Douglas North dari Universitas of Washington, missouri, Amerika Serikat menerima hadiah

nobel dalam bidang ekonomi karena jasanya dalam memperbarui riset dal penelitian sejarah

ekonomidan metode-metode kuantitatif. North menilai peran institusi baik institusi politik

maupun institusi politik sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Ia menyimpulkan

bahwa negara-negara komunis hancur karena tidak mempunyai institusi yang mendukung

mekanisme pasar. North mengatakan reformasi tidak akan memberikan hasil nyata hanya

dengan memperbaiki kebijakan makro saja tetapi dibutuhkan seperangkat institusi yang

mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi diantaranya hukum

paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilik tanah.

Aliran kelembagaan lama, pakar ekonomi setuju menetapkan bapak ekonomi kelembagaan Thorstein Bunde Veblen (1857-1929). Beliau mengkritik mengenai ilmu ekonomi ortodoks yang lebih kepada aliran ekonomi Klasik, dan ekonomi heterodoks yang melihat perilaku variabel ekonomi secara lebih luas lagi. Vablen lalu menulis buku, yang isinya mengenai suatu kegiatan konsumtif yang dilakukan sedikit orang yang memiliki kekayaan dan seorang pengusaha bukan yang menggerakkan ekonomi tetapi malah menyabot. Aliran ekonomi kelembagaan terus berkembang seiring dengan pakar-pakar ekonomi yang melakukan sebuah analisa yang melibatkan banyak aspek secara luas. Para pakar ekonomi kelembagaan ini adalah Mitchell yang melihat adanya siklus karena suatu self generating process yang diperoleh dari data empiris, John R. Commons yang melakukan perubahan-perubahan sosial yang berdampak pada ekonomi suatu masyarakat dan selalu menentang dari ekonomi ortodoks, John A. Hobson yang menyatakan ada tiga kelemahan dari ekonomi ortodoks dari

Page 9: Word Ekonomi Kelembagaan

tidak dapat menyelesaikan full employment, distribusi pendapatn dan pembagian ekonomi positif dan normatif

1. Aliran Kelembagaan LamaBapak Ekonomi kelembagaan yang disetujui oleh para pakar adalah Thorestein Bunde Veblen (1857-1929). Krirtik Veblen sangat tajam terhadap ekonomi ortodoks, dimana pengertian ekonomi ortodoks adalah pemikiran-pemikiran yang menggunakan dan melanjutkan ekonomi Klasik seperti persaingan bebas, persaingan sempurna, manusia adalah rasional, motivasi memaksimalkan keuntungan dan meminimasi pengeorbanan ekonomi. Menurut Veblen teori ekonomi ortodoks merupakan teori teologi, oleh karena akhir cerita telah ditentukan dari awal. Misalnya, keseimbangan jangka panjang itu tidak pernah dibuktikan, tetapi telah ditentukan walaupun ceritanya belum dimulai. Ilmu ekonomi bukan hanya mempelajari tingkat harga, alokasi sumber-sumber tetapi justru mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).

Salah seorang tokoh ekonomi kelembagaan dari inggris yang penting adalah John A. Hobson (1858-1940). Menurutnya, ada tiga kelemahan toeri ekonomi ortodoks, yaitu tidak dapat menyelesaikan maslah full-employment, distribusi pendapatan yang senjang dan pasar bukan ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial. Beliau tidak setuju adanya unsur ekonomi positif dan normatif karena keduanya tetap memerlukan adanya unsur etika. Timbulnya Imprealsime menurut Hobsoan disebabkan karena terjadinya konsumsi yang kurang dan kelebihan tabungan di dalam negeri, maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah jajahan. Pengeluaran pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full-employment dan peningkatan pendapatan pekerja dan produktivitas. Dengan semakin meratanya pembagian pendapatan akan mendorong peningkatan produktivitas, yang berarti bisa terhindar dari bahaya adanya resesi.

2. Aliran Quasai KelembagaanPara tokoh yang masuk di dalam aliran ini adalah mereka yang terpengaruh oleh pemikiran veblen dan kawan-kawannya, para tokoh aliran ini antara lain Joseph Schumpeter, Gunnar Myrdal, dan kenneth Galbraith. Pemikiran schumpeter bertumpu pada ekonomi jangka panjang, yang terlihat dalam analisisnya baik mengenai terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam mejelaskan terjadinya siklus ekonomi. Keseimbangan ekonomi yang statis dan stasioner seperti konsep kaum ortodoks mengalami gangguan dengan adanya inovasi, Meskipun demikian, gangguan tersebut dalam rangka berusaha mencari keseimbangan yang baru. Inovasi tidak bisa berlanjut kalau kaum wirasawata telah terjebak dalam persoalan-persoalan yang sifatnya rutin.

Sedangkan Galbraith menjelaskan perkembangan ekonomi kapitalis di Amerika serikat yang tidak sesuai dengan perkiraan (prediksi) yang dikemukakan kaum ekonomi ortodoks. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori ekonomi ortodoks dalam kenyataannya melenceng jauh sekali. Keberadaan pasar persaingan sempurna

Page 10: Word Ekonomi Kelembagaan

tidak ada, bahkan pasar telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan ini demikian besar kekuasaanya sehingga selera konsumen bisa diaturnya.

Pada perusahaan yang besar ini, pemilik modal terpisah dengan manajer profesional dan para manajer ini telah menjadi technostrusture masyarakat. Konsumsi masyarakat telah menjadi demikian tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran lingkungan dan kwalitas barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh barang-barang publik. Selanjutnya kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol oleh kekuatan buruh, pemerintah dan lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian, untuk menjamin keberlanjutan perusahan-perusahaan ini, maka pemerintah hendaknya berfungsi untuk menstabilkan perkembangan ekonomi.

3. Aliran Kelembagaan BaruAliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan  ide dari penulis yang berbeda-beda. Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan  ide yang mereka usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya ‘perlawanan’ terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.

NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas instrumental (instrumental rasionality). Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free theory).

NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar muncul karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya kenyataan keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). Di samping itu NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan pada banyak negara.

Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan

Page 11: Word Ekonomi Kelembagaan

ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).

b). Relevansi pemikiran OIE dengan perekonomian yang ada saat ini

Pada saat ini para ekonom memberikan perhatian besar pada seperangkat ide yang kemudian dikenal dengan istilah "ekonomi kelembagaan baru" (new institutional economics/NIE). Ide tersebut dikembangkan oleh para penulis mulai dekade 1930-an. Namun, hanya pada waktu terakhir ini saja kesamaan ide yang mereka usung itu kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya "perlawanan" terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi neoklasik. Lebih dari itu, NIE sendiri memiliki para penyumbang pikiran dari beragam pengaruh politik (political persuasions). Ronald Coase, satu dari founding fathers NIE, mengembangkan gagasan tentang organisasi ekonomi untuk mengimbangi gagasan intelektual kebijakan kompetisi dan regulasi industri Amerika Serikat pada dekade 1960-an, yang menganggap semua itu bisa dicapai oleh kekebasan ekonomi dan kewirausahaan (economic and entrepreneurial freedom). Tetapi, NIE sendiri juga sangat atraktif bagi sebagian pemikir "sayap kiri" (left-wing thinkers), yakni mereka yang merasa NIE bisa menyediakan dasar intelektual (teoritis) untuk menggoyang dominasi mazhab neoklasik, atau ekonomi pasar bebas (free-market economics). Dengan begitu, NIE menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan non-pasar (non-market institutitons) dengan pondasi teori ekonomi neoklasik. Seperti yang North ungkapkan, NIE masih memakai dan menerima asumsi dasar dari neoklasik mengenai "kelangkaan" dan "kompetisi", tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental (instrumental rationality); di mana asumsi tersebut membuat ekonomi neoklasik menjadi "teori bebas/nir-kelembagaan" (institution-free theory). Oleh karena itu, sebagai langkah untuk menjalankan hal itu, NIE mengeksplorasi gagasan kelembagaan non-pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan lain-lain) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (market failure). Dalam pendekatan NIE, kehadiran informasi yang tidak sempurna, eksternalitas produksi (production externalities), dan barang-barang publik (public goods) diidentifikasi sebagai sumber terpenting terjadinya kegagalan pasar, sehingga meniscayakan perlunya kehadiran kelembagaan non-pasar. Sebaliknya, dalam pendekatan neoklasik, ketiga variabel di atas diasumsikan tidak eksis, sehingga biaya-biaya transaksi (transaction costs) yang diasosiakan dengan variabel tersebut dianggap tidak ada. Di samping itu, literatur NIE juga menambahkan beberapa poin penting tentang kegagalan kelembagaan (institutional failures) yang menjadi penyebab terjadinya keterbelakangan di banyak negara. Kegagalan kelembagaan tersebut merujuk kepada struktur kontrak dan hukum, serta regulasi dari penegakan pihak ketiga (rules of third party enforcement) yang lemah, padahal semua itu harus diperkuat untuk dapat menjalankan transaksi pasar. 

Page 12: Word Ekonomi Kelembagaan

3. a). Tokoh-tokoh pemikir dari New Instutional Economics / NIE (Ekonomi Kelembagaan Baru) & pemikirannya

Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan

ide dari penulis yang berbeda-beda. Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan ide yang mereka

usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan

upaya ‘perlawanan’ terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh

oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.

NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi

Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan

menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi

rasionalitas instrumental (instrumental rasionality). Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan

menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free theory).

NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai

revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan

pasar muncul karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya kenyataan

keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya

kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). Di samping itu

NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya

keterbelakangan pada banyak negara.

Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya

dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan

terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa

diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi

juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).

Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-

masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008:

55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode

kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.

Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu

spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas

tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal;

dan (2) penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).

Page 13: Word Ekonomi Kelembagaan

Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan penelitian secara subyektif

tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data,

dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.

Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi

kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan

deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomen

b). Relevansi Pemikiran NIE dengan Perekonomian yang ada saat ini Keberadaan aliran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) merupakan reaksi dari ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran ekonomi Klasik. Kemudian, Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Intstitutional Economics  disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan ide dari penulis yang  berbeda-beda. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya ‘perlawanan’ terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir. NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar  dengan fondasi teori ekonomi Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglass C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi, akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas instrumental (intrumental rationality), di mana ekonomi Neoklasik memakai asumsi tersebut menyebabkan menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free theory). NIE sebagai akibatnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadinya masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar muncul dalam rupa terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya kenyataan keberadaan barang-barang publik (public goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). NIE di samping itu menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan  (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan pada banyak negara. Karakteristik dari para ahli NIE adalah selalu mencoba menjelaskan pentingnya kelembagaan (emergency of institutions), seperti perusahaan atau negara, sebagai model referensi terhadap perilaku individu yang rasional untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan dalam interaksi manusia. Faktor penjelasnya adalah dari individu ke kelembagaan (from individuals of institutions), dengan menganggap individu sebagai apa adanya (given). Pendekatan ini kemudian dideskripsikan sebagai  methodological individualism. NIE membangun gagasannya bahwa kelembagaan dan organisasi berupaya mencapai tingkat efisiensi dan meminimalisasikan biaya menyeluruh. Pengertian yang ada dalam konsep biaya menyeluruh, tidak hanya berupa ongkos produksi seperti konsepsinya ekonomi Neoklasik, akan tetapi juga biaya transaksi. Keadaan pasar yang kompetitif bisa sebagai seleksi alamiah, di mana hanya perusahaan yang efisien yang diuntungkan, akan  tetapi perlu pula dicatat bahwa lingkungan dunia nyata bisa tidak pasti dan ajeg sehingga segala kemungkinan bisa saja terjadi. NIE di sisi lainnya beroperasi pada dua level, yaitu lingkungan makro yang disebut dengan lingkungan kelembagaan (institutional environment) dan lingkungan mikro yang disebut dengan kesepakatan kelembagaan (institutional arrangement). Lingkungan kelembagaan merupakan

Page 14: Word Ekonomi Kelembagaan

seperangkat struktur aturan politik, sosial dan legal yang memantapkan kegiatan produksi, pertukaran dan distribusi. Lingkungan kebijakan ekonomi sebagai lingkungan makro meliputi antara lain aturan mengenai tata cara pemilihan, hak kepemilikan  dan hak-hak di dalam kontrak.  Kesepakatan kelembagaan merupakan kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar hubungan antarunit tersebut dapat berlangsung, baik lewat cara kerja sama maupun kompetisi. Kesepakatan kelembagaan dengan demikian berhubungan dengan tata kelola kelembagaan (institutions of governance). Sebuah kesepakatan  kepemilikan merupakan kesepakatan kelembagaan karena di dalamnya mengalokasikan hak-hak kepemilikan kepada individu, kelompok atau  pemerintah. Kesepakatan kelembagaan bisa berupa pula cara untuk mengelola transaksi, baik melalui pasar, pasar bayangan (quasi-market) maupun model kontrak yang memakai hierarki.

4. a). Band Wagon Efffect (Efek Ikut Arus) Efek bandwagon, atau efek ikut-ikutan, adalah efek eksternalitas jaringan positif dimana seorang konsumen ingin memiliki suatu barang karena seseorang atau sekelompok orang yang lain juga memiliki barang tersebut. Efek ikut-ikutan sering timbul pada mainan anak-anak atau pada mode pakaian.

Contoh :

SURVEI CAPRES 2014 - Seorang pewarta memotret papan layar bergambar grafik

elektabilitas calon presiden 2014 di Jakarta, Jumat (17/1). Pusat Data Bersatu melakukan

survei elektabilitas calon presiden dan pasangan capres-cawapres, dengan hasil Joko Widodo

Page 15: Word Ekonomi Kelembagaan

sebagai capres terkuat (28 persen) dan pasangan capres-cawapres terkuat Joko Widodo-Jusuf

Kalla (17,4 persen).

Politikus dan partai politik saat ini lebih banyak tertipu lembaga survei.

Politik di Indonesia sedang memasuki era dan tradisi baru. Hal itu ditandai dengan lahirnya

banyak lembaga survei di Indonesia. Kehadiran banyaknya lembaga survei saat ini, semakin

memperlihatkan politik di Indonesia telah berkembang jadi sebuah industri. Politikus dan

partai berlomba memengaruhi publik lewat hasil survei.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto, akhir pekan

lalu mengatakan, lembaga survei mulai mendapatkan ruang lebih luas di masyarakat

Indonesia usai Pemilu 2009. Hal itu terjadi karena lembaga survei menghasilkan survei

paling presisi atau paling mendekati hasil akhir Pemilu 2009.

Sejak saat itu, lembaga survei mendapat kepercayaan dari publik, terutama dari para

konsestan pemilu. Para politikus dan partai berlomba melibatkan lembaga survei. Tanpa

lembaga survei, kata Gun Gun, politikus dan partai seakan tidak percaya diri menghadapi

pertarungan atau meraih kemenangan politik.

Ia menjelaskan, ketidakpercayaan politikus dan partai menghadapi pertarungan politik jika

tidak melibatkan lembaga survei, disebabkan hasil survei kini telah dimodifikasi menjadi

konsumsi publik lewat pemberitaan media massa.

Tak heran, politikus dan partai berlomba melibatkan lembaga survei dalam menghadapi

pertarungan politik. Hasil survei yang kini disebarluaskan media massa, diharapkan bisa

mempengaruhi wacana publik, membentuk opini, dan kemudian memengaruhi pilihan dalam

pemilu.

Di Indonesia, menurut Gun Gun, lembaga survei telah melewati tiga fase. Fase pertama

ketika Orde Baru yang ditandai sentralistik informasi. Tahun 1968, ada satu lembaga yang

didirikan Departemen Penerangan, yaitu Lembaga Pers dan Pendapat Umum Djakarta. Salah

satu kontribusi lembaga ini, kata Gun Gun, melakukan riset hasil Pemilu 1971.

Indonesia lalu memasuki fase kedua usai Orde Baru runtuh. Era ini disebut fase konsolidasi.

Periode ini, kata Gun Gun, beberapa lembaga mulai mandiri melakukan survei, di antaranya

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) serta

InternationalFoundation for Election Systems (IFES).

Fase ketiga sekitar 2004, ditandai munculnya tujuh lembaga survei profesional, di antaranya

Lembaga Survei Indonesia (LSI). Ketika itu, ia mengatakan, hasil survei mulai dimodifikasi.

Hasil survei telah menjadi konsumsi media massa. Akibatnya, survei mulai digunakan

politikus dan partai demi kepentingan pemilu untuk memengaruhi diskursus publik.

Industri Politik

Tentu saja hal itu berbeda dengan gambaran lembaga survei di negara-negara maju.

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Arie Dwipayana mengatakan, survei

Page 16: Word Ekonomi Kelembagaan

yang dilakukan lembaga riset di berbagai negara maju dan demokratis dilakukan untuk

melihat hubungan antara tokoh dengan suatu isu.

Namun, Ari mengatakan, survei yang dilakukan di Indonesia tidak berupaya mengaitkan

antara tokoh yang disurvei dengan salah satu isu. Survei di Indonesia tidak berbasis pada

rekam jejak tokoh secara keseluruhan. “Di Indonesia berkaitan dengan polesan citra,”

ujarnya.

Pakar psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk menjelaskan, politikus dan partai di

Indonesia gemar melibatkan lembaga survei untuk meraih simpatik publik. Dalam Teori

Opini Publik, kata Hamdi, survei efektif untuk menggiring persepsi publik yang secara ilmiah

disebut Teori Bandwagon Effect.

Berdasarkan teori itu, Hamdi menjelaskan, hasil survei akan terekam di pikiran publik yang

membacanya, dan kemudian tergiring untuk memilih politikus yang diunggulkan dalam

survei itu dalam pemilu nanti. “Efek itu yang ingin dikejar para politikus kita,” kata Hamdi.

Ia mengatakan, politikus dan partai memang selalu mempertimbangkan tingkat keterpilihan

atau elektabilitas sebagai faktor utama. Elektabilitas seperti mitos yang sulit diruntuhkan. Tak

heran jika politikus dan partai berusaha mati-matian meningkatkan elektabilitasnya.

Hamdi memaparkan, politik di Indonesia memang sedang memasuki era baru yang berubah

menjadi industri. Akibatnya, survei di Indonesia berbeda dengan lembaga survei di negara-

negara maju yang memiliki dua fungsi. Di negara maju, lembaga survei berfungsi

memproduksi surveinya untuk kepentingan ilmiah dan edukasi.

Fungsi kedua adalah konsultan politik yang disewa para politikus atau partai, untuk

mengukur citra atau tingkat keterpilihan mereka di publik. Di negara-negara demokratis yang

sudah maju, konsultan politik tidak pernah mengumumkan hasil surveinya ke publik, tetapi

hanya dipakai untuk kepentingan internal pemesan.

Berbeda dengan di Indonesia, hasil survei malah diumumkan ke publik. “Kedua fungsi

lembaga survei campur aduk. Dengan demikian fungsinya menjadi kabur,” ujar Hamdi.

Fungsi ini kabur akibat pemanfaatannya oleh politikus dan partai politik.

Dalam politik modern, Gun Gun Heryanto mengatakan, survei merupakan sebuah metode

pendekatan ilmiah untuk melihat fenomena. Namun, sayangnya politikus dan partai di

Indonesia saat ini terlena dan terperangkap sihir lembaga survei. Padahal, sesungguhnya

survei hanyalah salah satu alat pemenangan dan peneguh untuk meraih kemenangan dalam

pemilu.

Ia mengingatkan lembaga survei jangan dianggap satu-satunya instrumen untuk meraih

kemenangan politik. Memang jadi serba aneh, karena hasil survei bisa dipuja karena telah

dimodifikasi sehingga menjadi konsumsi publik. Tak heran jika politikus dan partai politik

saat ini berlomba memengaruhi publik lewat lembaga survei. “Namun, (mereka) kurang

memahami survei itu selalu punya kelemahan,” kata Gun Gun.

Pengamat politik Universitas Lampung, Syarief Makhya mengatakan, survei sebagai sebuah

tradisi baru dalam perpolitikan di Indonesia mengandung banyak kontroversi. Syarief

Page 17: Word Ekonomi Kelembagaan

mengatakan, itu karena hasil survei kini benar-benar dieksploitasi melalui pemberitaaan

media massa.

“Survei menjadikan persaingan politik tidak proporsional,” kata Syarief. Ia mengakui

lembaga survei di Indonesia yang telah dikomodifikasi dapat membentuk persepsi di

kalangan masyarakat. Itu mengapa politikus dan partai ramai-ramai menggunakan lembaga

survei untuk merebut maupun menguasai opini pubilik.

b. snob effect merupakan kebalikan yang simetris dari efek ikut arus. Snob effect adalah

seorang konsumen ingin menunjukan konsumen atau orang lain bahwa ia berbeda dengan

konsumen. Berbeda disini dalam pengertian ia lebih tinggi dari yang lain. Contohnya :

konsumen kaya sok merasa lebih dari pada yang lain kalau ia memakai pakaian hasil

rancangan dari perancang mode terkenal yang hanya diproduksi satu buah dan bukan

diproduksi secara massal.