wittgeinstein i dan ii

23

Click here to load reader

Upload: 3yono

Post on 25-Jun-2015

160 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wittgeinstein i Dan II

Beberapa catatan penting yang dinukil dari buku :

FILSAFAT BAHASA, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.

Ditulis Oleh Asep Ahmad Hidayat

Diterbitkan Oleh PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 40252

Cetakan I, Juli 2006

WITTGEINSTEIN I : MEANING IS PICTURE

(hlm. 54-62)

“Makna adalah gambar”, paling tidak seperti itulah arti dari kata di atas. Yang merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgeinstein periode pertama, yaitu yang tercantum dalam karyanya, “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar Wittgeinstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Di sinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russel dan Wittgeinstein. Memang dalam periode ini Wittgeinstein mengikuti teori atomisme dari Russell.

Keduanya, pemikiran kefilsafatannya berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgeinstein, salah satu sumber utama kekacauan dalam bahasa filsafat, seperti yang terjadi dalam neohegelianisme, adalah karena tidak adanya tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak. Oleh karena itu, agar terhindar dari persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka bahasa ideal bagi filsafat. Munculnya pemikiran seperti ini, adalah sebagai akibat dari ketidakpercayaan Wittgeinstein terhadap penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat.

Suatu bahasa buatan, suatu system logika dengan aturan-aturan semantik untuk dipakai dalam bidang-bidang tertentu seperti teori gelombang kuantum, teori pelajaran, dan lain-lain, dirasakan lebih lengkap dari segi ketepatan dan kejelasan. Ketika Wittgeinstein melontarkan pikiran-pikirannya, pada waktu itu dirasakan bahwa bahasa-bahasa biasa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis adalah kabur, samar dan tidak jelas dalam artinya. Kondisi seperti inilah yang menjadikan salah satu factor mengapa ia berorientasi pada bahasa logika bagi ekspresi filsafat.

Menurutnya, proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat terdahulu itu bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Hal ini karena mereka tidak mengerti bahasa logika. “Kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan menjadikan kita berpikir tidak logis pula.”

Page 2: Wittgeinstein i Dan II

Dalam suatu pandangannya yang jenius, menurut Wittgeinstein bahwa bahasa logika yang sempurna adalah mengandung aturan-aturan tata kalimat (sintaksis) tertentu sehingga dengan begitu ia mampu mencegah ungkapan-ungkapan bahasa yang tidak bermakna, dan mempunyai symbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.

Dalam uraian selanjutnya,Wittgeinstein mengatakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Karena itu sebuah karya filsafat harus mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat bukan melulu sederetan ungkapan falsafati, melainkan membuat ungkapan itu menjadi jelas. “Apa yang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas, dan apa yang tidak dapat kita bicarakan hendaknya kita diam.” Begitulah kesimpulan akhir dalam bukunya yang terkenal, Tractatus Logico Philosophicus.

Sebagai konsekuensi dari pemikirannya itu, Wittgeinstein mencoba menjawab dengan cara menyusun sebuah teori yang dikenal dengan teori “gambar”(picture theory). Teori ini merupakan isi Tractatus Logico Philosophicus (Logish Philosophische Abhadlung), yang paling penting dan telah banyak mempengaruhi para filosof Lingkaran Wina dan Inggris.

Inti pandangan dari teori gambar adalah, bahwa “makna=gambar”, meaning is picture. Teori ini memandang bahwa terdapat relasi yang erat dan mutlak antara bahasa (dunia symbol) dengan dunia fakta di luar bahasa. Bukankah ini sama dengan teori isomorfi dari Russell? Namun dalam uraian selanjutnya detail-detail perbedaan sangat Nampak di antara keduanya.

Dunia itu sendiri, oleh Wittgeinstein ditafsirkan dan ditakwil sebagai jumlah keseluruhan fakta, bukannya jumlah keseluruhan benda. Dunia keseluruhannya ditentukan oleh fakta-fakta ini, dan bukannya ditentukan oleh hal-hal yang lain. Fakta ialah suatu Sachverhalt (bhs Jerman), yaitu hubungan-hubungan yang dipunyai objek-objek. Adalah hakiki bagi suatu objek untuk menjadi bagian penyusunan suatu Sachverhalt. Sedangkan suatu Sachverhalt dapat dipikirkan, jika kita dapat membuat gambaran-gambarannya. Jumlah keseluruhan pikiran yang benar memberikan gambaran tentang dunia. Pikiran adalah kalimat (proposisi) yang bermakna. Di dalam kalimat (proposisi) terungkap pikiran dengan cara yang dapat ditangkap secara inderawi. Karena itu, hanya kalimat yang dapat mempunyai makna (bhs. Jerman, Sinn), sedangkan kata hanya dapat bermakna dalam suatu hubungan kalimat. Kalimat ialah gambaran realitas (fakta), seperti yang kita pikirkan. Ia mencerminkan atau tidak mencerminkan adanya Sachverhalt. Inilah inti dari teori “picture theory” yang sangat terkenal itu.

Masih dalam Tractatus, Wittgeinstein sempat menyinggung tentang pengertian proposisi, bahwa proposisi itu merupakan suatu gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu, kata Wittgenstein, berarti mengetahui bentuk-bentuk peristiwa atau keadaan-keadaan factual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut. Saya, lanjutnya, dengan mudah dapat memahami lagi pengertian yang terkandung di dalamnya.

Menurut Wittgeinstein, sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tenntang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandung oleh proposisi

Page 3: Wittgeinstein i Dan II

tersebut. Di sini kita melihat, benar atau tidaknya suatu proposisi, atau lebih jauhnya adalah ungkapan suatu bahasa, menurut Wittgeinstein adalah sangat bergantung ada fakta atau realitas yang digambarkan di dalamnya.

Untuk lebih mengerti tentang apa yang dimaksud dengan teori “gambar” , marilah kita simak uraian G.H. Von Wright, salah seorang sahabat Wittgeinstein beriikut ini :

“Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan Wittgeinstein, sehingga kita dapat saja membalik arti kiasan dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi atau struktur proposisi yang menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan factual atau suatu bentuk peristiwa.”

Jika kita memperhatikan penjelasan dari Von Wright tersebut, maka semakin jelas bagi Wittgeinstein bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna yang terkandung di dalamnya, tiada lain merupakan penggambaran suatu keadaan factual dalam dunia realitas melalui bahasa. Penggambaran itu bukan merupakan arti majaz atau kiasan, bahwa proposisi dapat dibandingkan dengan gambar, tetapi memang benar adanya, bahwa bahasa itu menggambarkan realitas.

Selanjutnya, Wittgeinstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, yaitu proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Ini sama dengan konsep proposisi atomis dalam filsafat Russell.

Suatu proposisi elementer mencerminkan Sachverhalt (atomic fact), atau merujuk kepada suatu duduk perkara (state of affairs) dalam realitas. Artinya, bahwa unsur-unsur dalam realitas memiliki kesepadanan satu sama lain.pengertian lain, bahwa struktur yang ada dalam proposisi berkesesuaian dengan struktur realitas seperti sesuainya peta atau gambar kota denga kota itu sendiri. Dengan demikian apa yang dapat diperlihatkan tidak dapat diperkatakan. Arti yang dikandung suatu proposisi ialah kesesuaian (kesepadanan) atau ketidaksesuaiannya dengan kemungkinan ada atau tidak adanya Sachverhalt (atomic fact). Proposisi elementer menetapkan adanya sachverhalt. Proposisi jenis ini dapat dikenal berkat adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat bertentangan dengan proposisi elementer lain (bhs. Jerman, Elementersatz). Jika proposisi elementer ini benar, maka ada sachverhalt, jika tidak benar, maka tidak ada sachverhalt.

Jumlah keseluruhan segala proposisi elementer adalah proposisi majemuk (molecular). Itulah kalimat dalam bahasa kita. Karena itu kebenaran dari proposisi majemuk adalah truth fiction, artinya kebenarannya bergantung kepada kebenaran proposisi-poposisi elementer yang membentuknya. Jika benar, maka proposisi itu dapat menggambarkan seluruh realitas. Hal ini karena proposisi majemuk (kalimat) itu sendiri merupakan fungsi kebenaran proposisi-proposisi elementer, artinya, kebenaran atau ketidakbenarannya suatu proposisi majemuk ditentukan sepenuhnya oleh kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi elementer.

Page 4: Wittgeinstein i Dan II

Sedangkan proposisi elementer merupakan fungsi kebenaran diri sendiri. Proposisi elementer merupakan alasan-alasan bagi kebenaran proposisi sempurna. Fungsi kebenaran tersusun dalam deretan nama-nama. Suatu nama me-refer kepada suatu objek dalam realitas. Tetapi nama-nama itu sendiri tidak memiliki makna. Hanyalah proposisi yang memiliki makna.

Yang dimaksud oleh Wittgeinstein dengan nama-nama, tidak terdapat kejelasan, karena Wittgeinstein sendiri tidak memberi contoh mengenai nama-nama yang ada dalam suatu proposisi elementer. Mungkin sama atau mungkin juga tidak, dengan konsep yang diajukan oleh Russell mengenai logical proper names seperti “ini”dan “itu”. Sungguh tidak ada kejelasan. Tapi, mungkin ia memiliki alasan-alasan tertentu untuk menuntut adanya nama-nama dan proposisi-proposisi elementer, meskipun ia sendiri tidak memberikan contohnya. Mungkin ini seperti keyakinan ontology, meyakini adanya sesuatu yang ada, tetapi tidak dapat mengatakan bagaimana adanya itu. Dengan demikian sangat sulit untuk ditelusuri dan dibuktikan keberadaannya.

Tapi, yang jelas dengan uraian tersebut, Wittgeinstein bermaksud mengatakan bahwa hanya dengan “teori gambar”kita dapat mengatakan tentang suatu realitas. Hanya dengan teori ini pula dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna sebab yang mengandung makna hanyalah hal-hal yang dapat diverifikasi secara empiric.

Menurutnya pula, ada dua jenis proposisi yang tidak dapat ditangani dengan cara yang sama seperti proposisi-proposisi yang menggambarkan realitas atau fakta. Kedua proposisi itu ialah proposisi logika dan kontradiksi-kontradiksi. Proposisi logika merupakan tautology-tautologi. Tautology-tautologi itu selalu benar. Proposisi ini tidak menerangkan apapun, tetapi hanya bersifat analitik. Hal ini mengacu kepada watak logis formal dunia. Proposisi-proposisi atau kalimat-kalimat yang logis memperlihatkan struktur dunia. Proposisi-proposisi ini tidak membicarakan apapun. Proposisi atau kalimat jenis ini sudah mengandaikan bahwa kata-kata mempunyai arti, dan proposisi-proposisi elementer mengandung arti, dan inilah yang menghubungkan proposisi-proposisi atau kalimat tersebut dengan dunia fakta (realitas). Baginya, logika bukan suatu ajaran, melainkan cerminan dunia. Logika pun bersifat transcendental, dan merupakan kegiatan bukan doktrin. Matematika adalah metode logis. Penyelidikan logis merupakan penyelidikan mengenai segala bentuk keajegan. Karena itu, baginya, di luar logika semuanya bersifat kebetulan.

Kedua jenis proposisi itu, yaitu tautology dan kontradiksi-kontradiksi, olehnya tidak digolongkan sebagai proposisi sejati. Itu karena tautology dan kontradiksi tidak menggambarkan sesuatu. Contohnya adalah, seperti ungkapan “Si A sedang berada di kantor atau ia tidak berada di kantor”. Proposisi semacam ini merupakan tautology, suatu kebenarannya pasti. Sedangkan kontradiksi tidaklah benar, seperti ungkapan “Si A berada di kantor dan ia tidak berada di kantor”. Kedua jenis proposisi ini tidak merupakan picture atau gambar dunia.

Kemudian, dengan berpijak pada teori gambar tersebut, akhirnya Wittgeinstein harus menerima konsekuensi tersendiri untuk tidak menerima bahasa metafisik sebagai bahasa yang bermakna. Namun, ketidakbermaknaannya itu bukan pada dirinya, sebab metafisika tidak bermakna atas nama bahasa logika. Metafisika, katanya, melampaui batas-batas bahasa

Page 5: Wittgeinstein i Dan II

karena ia (metafisika) hendak mengatakan sesuatu yang tidak dapat dikatakan. Ada empat hal yang melampaui batas-batas bahasa, yaitu subyek, kematian, Allah dan bahasa itu sendiri.

Uraian argumentasi keempat batas-batas bahasa itu adalah sebagaimana dijelaskan oleh K. Bertens, berikut ini :

1. Karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang menggunakan bahasa tidak termasuk dunia. Seperti mata tidak dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subyek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.

2. Tidak mungkin berbicara tentang kematiannya sendiri karena kematian bukan merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita, tetapi tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.

3. Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai suatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgeinstein bermaksud mengatakan bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai campur tangan Allah. Sebab kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya, kita tidak dapat berbicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.

4. Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgeinstein bahwa bahasa tidak bisa berbicara tentang dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri.

Dalam menyikapi pernyataan atau ungkapan-ungkapan yang mengandung etika, Wittgeinstein menolaknya. Ia berpendapat bahwa proposisi-proposisi tidak mungkin mengungkapkan sesuatu yang lebih tinggi. Etika, katanya, bersifat transcendental, seperti juga halnya estetika yang menyatu dengan etika. Tidak dapat dikatakan bahwa kehendak merupakan wahana hal-hal yang bersifat kesusilaan. Jika kehendak yang baik atau yang buruk mengubah dunia, maka yang diubahnya hanya batas-batas dunia, bukan fakta-faktanya, artinya, bukan hal-hal yang dapat diungkap oleh bahasa. Karena itu bahasa etika adalah tidak bermakna, sama dengan bahasa metafisika. Etika berurusan dengan apa yang seharusnya terjadi atau diperbuat, jadi mengatasi konstatasi mengenai apa yang de facto, etika berkaitan dengan nilai-nilai dan karena itulah terletak di luar dunia fakta. Bahasa meliputi tautology (seperti dalam matemaatika) atau fakta-fakta yang dapat dicek. Di dalam lingkungan bahasa yang bermakna, jadi di dalam lingkungan dunia ini, segala sesuatu seperti adanya. Nilai terletak di luar dunia dan tak pernah dapat diungkap oleh bahasa, karena bahasa tak dapat mengatasi lingkungan fakta (“apa yang ada”, das sein), sedangkan nilai menyangkut apa yang seharusnya ada (das Solen). Karena itulah etika tak dapat dituturkan, alias dibahasakan. Di sini sangat jelas, bahwa Wittgeinstein tidak menganut paham metabahasa (metalanguage) seperti Carnap dan filosof lainnya.

Page 6: Wittgeinstein i Dan II

Demikianlah, inti pemikiran kefilsafatan Wittgeinstein pada periode pertama (Wittgeinstein I, 1930). Filsafat Wittgeinstein dalam periode kedua (Wittgeinstein II) memiliki perbedaan mendasar dengan Wittgeinstein I.

Wittgeinstein II : Meaning is Use

“You can not step twice into the same river; for the fresh waters are ever flowing upon you”

“Engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai itu terus mengalir”. Demikianlah ungakapan Heraklitus (544-484 SM), seorang filsuf Yunani sebelum Aristoteles. Maksudnya, semua yang ada di dunia ini senantiasa berubah. Perubahan adalah abadi sepanjang masa.

Yang berubah itu bukan hanya alam, tapi juga pikiran manusia. Kasus ini seperti yang terjadi pada Ludwig Wittgeinstein (1889-1951). Dalam periode sebelum tahun 1930 pemikiran Wittgeinstein berpijak pada atomisme logis Russell dan neopositivisme (positivisme logis) dari Lingkaran Wina. Pemikiran filsafatnya pada periode ini terkandung dalam bukunya Tractatus,Logico Pgilosophicus yang telah mempengaruhi banyak orang di berbagai negara.

Setelah beberapa tahun menetap di negeri asalnya, sejak tahun 1929 filosof asal Austria ini kembali mengajar di Cambridge, pendapatnya mulai berubah dari apa yang telah diuraikan dalam bukunya Tractatus , Wittgeinstein I. Ia mulai meninggalkan atomisme logis dan positivisme logis. Walau pun begitu, bahasa tetap menjadi perhatian Wittgeinstein. Pandangan-pandangan yang baru ia uraikan dalam bukunya Philosophical Investigation (Jerman : Philosophische Untersuchungen), dan orang menyebutnya sebagai Wittgeinstein II. Buku ini terbit pada tahun 1953, dua tahun sesudah meninggalnya, tetapi sebagian besar sudah selesai tahun 1945 dan sudah digunakan oleh murid-muridnya di Inggris.

Pada periode Tractatus, Wittgeinstein berpendapat bahwa, hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti, meaning is picture, artinya bahasa akan berarti jika dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan factual. Karena itulah, bahasa hanya dipakai untuk tujuan menetapkan keadaan-keadaan factual, state of affairs dan semua bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna.

Dalam periode Philosophical Investigations (Wittgeinstein II), ia menentang terhadap xapa yang telah diuraikannya dalam Tractatus itu. Ia bependapat bahwa arti suatu pernyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Hal ini karena bahasa memiliki banyak fungsi. Sedangkan kata-kata , bagaikan alat-alat, ia dipakai dengan banyak cara. Oleh karena itu, kata Wittgeinstein , perhatian harus dialihkan dari bahasa logika kepada pemakaian bahasa biasa. Dengan statement seperti itu Wittgeinstein secara tidak langsung telah membuka jalan ke arah filsafat baru yang berlainan dengan aliran atomisme logis dan positivisme logis, yaitu dengan menitikberatkannya pada penguasaan bahasa biasa (ordinary language). Aliran ini selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan “The Ordinary Language Philosophy” atau Filsafat Bahasa Biasa.

Page 7: Wittgeinstein i Dan II

Langkah Wittgeinstein ini, kemudian diikuti oleh ahli pikir lainnya dari Inggris, terutama dari Cambridge dan dalam perkembangannya terdapat juga dari Universitas Oxford, yang dirintis oleh G. Ryle dan Austin. Kecenderungan yang dulu dari mereka , ialah membagi-bagi bahasa menurut dua kelompok, bahasa yang bermakna dari bahasa yang tidak bermakna, bahasa logis berlawanan dengan bahasa emosional, atau bahasa analitis lawan bahasa sintetis. Mereka dalam periode ini telah meninggalkan kecenderungan itu. Melalui kegiatan penelitian yang cermat dan hati-hati, mereka menganalisis macam-macam cara kita dapat melukiskan keadaan dunia. Sekali lagi, ini suatu perkembangan yang baru dalam arena filsafat analitik.

Kemudian, salah satu temuan Wittgeinstein II yang sangat menggoncangkan dunia filsafat, dan secara khusus dalam mazhab analisis bahasa, adalah apa yang dinamakan dengan “Language Games” atau tata permainan bahasa. Dikatakan, bahwa munculnya gagasan ini adalah secara tidak langsung, yaitu ketika Wittgeinstein menyaksikan suatu pertandingan sepak bola. Dari situ Wittgeinstein terilhami bahwa tidak hanya sepak bola yang merupakan permainan, tapi dalam dunia bahasa pun kemungkinan ada suatu permainan dengan aturan-aturan tertentu dan khas, sebagaimana khasnya dalam permainan yang lain. Yang dimaksud dengan “ Language Games” di sini, bahwa “berbicara bahasa merupakan suatu aktivitas atau suatu bentuk kehidupan” (that the speaking language is part of an activity, or on form of life).

Inti gagasan dari “language games” adalah bahwa suatu jenis bahasa terdiri dari kata-kata dan memiliki aturan pemakaiannya tersendiri (tata bahasa), seperti dalam suatu permainan. Permainan itu banyak ragamnya, ada permainan dengan tongkat, kartu, bola, pistol, dan yang lainnya. Sebagaimana banyak permainan, demikian juga terdapat banyak permainan bahasa seperti member perintah, lelucon, memberikan beberapa contoh, melaporkan suatu berita, bertanya, berseru, bermain sandiwara, berdo’a, melukiskan suatu peristiwa, menghardik, mengutuk, member salam, dan menyatakan cinta. Setiap permainan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan, begitu juga dengan permainan bahasa. Kata-kata yang dipakai mendapat maknanya dalam aktivitas itu. Satu kata tertentu mempunyai arti yang terus menerus dapat berubah. Karena itulah makna suatu kalimat selalu bergantung pada cara pemakaian kalimat tersebut. Maksudnya, bahwa makna suatu kalimat sangat bergantung pada penggunaan kalimat itu sendiri.

Menurut Wittgeinstein bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan dan kita perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa sehari-hari, yakni bahasa biasa bukan bahasa logika. Dengan menggunakan bahasa kita bermain dengan bermacam-macam permainan, yaitu ketika kita berlatih suatu cara bahasa (discourse) kepada cara lain. Dalam bahasa permainan, kata-kata bisa dipakai untuk memerintah, menjelaskan suatu persoalan, bertanya dan lain-lain. Pada pokoknya, bahasa seperti dunia lain, ada jenis permainan, alat, arena, wasit, dan peraturan permainannya. Kata benda memainkan fungsinya, begitu pula kata perintah dan kata tanya.

Karena dalam sebuah permainan ada aturan, maka dalam permainan bahasa pun ada aturannya. Kesalahan makna yang digunakan oleh seseorang adalah karena ia tidak memperhatikan aturan dalam permainan bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa

Page 8: Wittgeinstein i Dan II

memiliki keanekaragaman (pluriformitas) , maka konsekuensinya aturannya pun bermacam-macam. Nah, di situlah makna suatu ungkapan bersinggasana, sebagai meaning is use. Memang mengasyikkan bukan ? Itulah sebuah permainan.

Berdasarkan uraian di atas, kita semakin jelas dan memahami, bahwa suatu permainan bahasa sangat bergantung pada aturan yang dimilikinya secara khas. Kekacauan akan timbul manakala kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan yang lain. Merupakan sesuatu yang logis jika kita menentukan aturan umum yang dapat merangkum pelbagai bentuk permainan bahasa. Tapi itu suatu yang sangat mustahil untuk dilakukan. Di sini sangat kentara perbedaan antara Wittgeinstein I (Tractatusi) dan Wittgeinstein II (Philosophical Investigations). Jika pada periode Tractatus ia berpendapat bahwa kalimat mendapat makna hanya dengan satu cara, yaitu dengan cara mengembalikan pada bahasa logika, sedangkan dalam periode Philosophical Investigations pendapat Wittgeinstein justru sebaliknya, ia kembali mengikuti jejak Moore. Bagi Wittgeinstein, pada periode ini, kalimat akan mendapat maknanya dalam kerangka acuan language games , yaitu pada banyaknya penggunaan kalimat dalam bahasa sehari-hari. ” Makna sebuah kata bergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa”. Begitulah kata Wittgeinstein. Dengan kata lain, makna kata-kata sangat bergantung pada situasi, tempat dan waktu digunakannya kata-kata itu dalam suatu penggunaan kalimat. Hal ini karena kata-kata itu memiliki fungsinya masing-masing sesuai dengan pemakaiannya. “Look at the sentences as an instrument, and at its sense as its employment”, tegas Wittgeinstein.

Akan tetapi, kita sering menemukan penggunaan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia ilmu yang mengandung banyak arti. Satu kata bisa dipakai dalam berbagai fungsi. Pertanyaannya adalah : “Apakah dalam kata-kata atau ungkapan tersebut ada pengertian yang bersifat umum ? Atau apakah mengandung arti yang umum, yang bisa digunakan dalam setiap kesempatan ? Jawabannya tidak. Untuk menjawab persoalan ini, Wittgeinstein mengajukan analogi kemiripan keluarga (family resemblances). Didasarkan atas analogi semacam ini, kita bisa melihat dalam suatu keluarga terdapat kemiripan dalam bentuk wajah atau tubuh, sifat, atau perilaku, dan yang lainnya. Meskipun tampaknya saling tumpang tindih dan simpang siur, menurut Wittgeinstein itu terletak dalam jalur yang sama. Itu hanyalah merupakan permainan sebuah keluarga. Begitu halnya dalam permainan bahasa, meskipun ditemukan ada kemiripan dalam bentuk, atau suatu ungkapan dipergunakan dalam kondisi yang berbeda tapi bukan berarti mengandung makna yang sama. Sebagai contoh, kata “al-khobar” dalam bahasa Arab itu mengandung arti yang berbeda dalam penggunaannya. Jika digunakan oleh ahli hadis (ilmu hadis) maka mengandung arti sebagai berita yang dituturkan oleh Nabi atau sahabat Nabi melalui jalur sanad atau periwayatan beruntun. Makna ini berlainan dengan yang dimaksud oleh ahli sintaksis Arab (ilmu nahwu), arti al-Khobar menurut mereka, adalah “pokok kalimat, atau predikat dari sebuah subjek” dalam penggunaan dalam suatu struktur kalimat (al-Kalam, al-Jumlah). Sedangkan menurut ahli ilmu Mantiq (Logika) dan ahli Semantika (ahli ilmu al-Ma’ani), kata al-Khobar mengandung arti sebagai “sesuatu yang mengandung nilai benar dan salah”, sama dengan pengertian “al-qodiyah” atau proposisi dalam pengertian Aristoteles.

Page 9: Wittgeinstein i Dan II

Sebenarnya , dengan “language games” itu Wittgeinstein hendak menunjukkan tentang kesalahan dan sekaligus kelemahan dari bahasa filsafat yang telah dipraktekkan oleh banyak filosof. Dengan demikian, filsafat pada Wittgeinstein adalah berfungsi sebagai terapi. Ini berbeda dengan periode Tractatus, ia mengatakan bahwa tugas filsafat adalah sebagai alat untuk menjelaskan realitas yang bersifat factual.

Tugas filsafat, kata Wittgeinstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat sekali-kali tidak boleh campur tangan dalam penggunaan bahasa factual, ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu. Filsafat juga tidak dapat memberikan pendasaran kepada pemakaian bahasa itu. Oleh filsafat segalanya dibiarkan seperti apa adanya (It leaves everything as it is). Cukuplah hanya dibuat deskripsi-deskripsi sederhana. Dengan demikian filsafat dapat berfungsi sebagai terapi. Filsafat harus menghilangkan simpul-simpul bahasa yang meruwetkan selama berabad-abad. Bahasa dapat menipu manusia. Oleh karena itu, analisis bahasa sangat diperlukan untuk mengetahui apakah memang benar suatu kata dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ada tiga hal yang ditunjukkan Wittgeinstein mengenai kelemahan bahasa yang telah digunakan dalam filsafat, yaitu 1) Tidak memperhatikan aturan permainan bahasa dalam kehidupan yang lebih luas dan sesungguhnya; 2) Adanya kecenderungan caving for generality, yaitu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan konkret yang diletakkan di atas istilah yang umum; dan 3) Sering melakukan penyamaran pengertian melalui istilah-istilah yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang, seperti “eksistensi”, “substansi”, “esensi’, dan sebagainya.

Setelah melihat uraian mengenai “language games”, jelaslah bahwa filsafat analitik mengalami perkembangan dan perubahan orientasi, terutama pada Wittgeinstein. Serta merta bersamaan dengan itu, aliran filsafat analitik tidak lagi hanya berkembang di universitas Cambridge, tapi setelah periode Wittgeinstein II (setelah perang dunia II) berpusat di Oxford. Orientasi filsafatnya sudah berubah, dari menunjukkan bahasa bermakna (meaningfull) dan bahasa yang tidak bermakna (meaningless) menjadi berorientasi pada pemakaian bahasa. Mereka berkata: “Jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa”. Ini merupakan pengaruh Wittgeinstein II.

Aliran Oxford : Ordinary Language Philosophy

Seperti yang sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa setelah perang dunia II (1945) filsafat analitik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ia tidak hanya diminati para akademisi dari Cambridge, tapi diminati pula oleh kalangan akademisi Oxford. Bahkan setelah itu, Oxford menjadi pusat filsafat analitik. Dari sini aliran filsafat analitik merambah sampai Amerika Serikat.

Kalangan akademisi Oxford ini adalah para pengikut Wittgeinstein II yang membentuk aliran baru dalam filsafat analitik, yaitu aliran yang lebih dikenal dengan sebutan Ordinary Language Philosophy , dan orientasi kajian filsafat adalah pada bahasa biasa. Mereka

Page 10: Wittgeinstein i Dan II

berpendapat bahwa filsafat harus berpegang pada prinsip “Don’t ask for the meaning, ask for the use” (jangan menanyakan makna, tanyalah tentang pemakaian bahasa). Beberapa tokoh penting dari aliran ini adalah G. Ryle, J. Wisdom, J. Austin, R.B.Braithwaite, A. Flew, J. Searle, P. Strawon, SE. Toulmin, J. Urmson, dan G. Warnock.

Kelompok Oxford itu menggunakan metode Wittgeinstein untuk menyelidiki macam-macam jenis bahasa. John Austin (1911-1960), misalnya, menyelidiki perbedaan antara constative utterances, yaitu bahasa yang mengatakan apa yang dilaksanakan, performative utterances, yaitu bahasa yang sekaligus melaksanakan apa yang dikatakan, seperti ungkapan “Saya minta maaf karena pekerjaan ini belum diselesaikan”. Atau seperti Gilbert Ryle (1900-1976) yang sibuk dengan penyelidikannya di sekitar konsep-konsep yang menyangkut hidup psikis dengan category mistake-nya, yaitu kekeliruan kategori yang sering muncul dalam suatu penggunaan bahasa. Tokoh-tokoh lainnya membuat dari teori Wittgeinstein suatu bahasa lengkap mengenai logical moods. Mereka membedakan di dalam setiap kalimat suatu isi netral dan suatu modal functor yang membuat isi kalimat ini indikatif, interogatif, performatif, imperative, dubatif, dan seterusnya.

Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford atau filsafat analitik pasca Wittgeinstein II ini, paling tidak ada tiga ciri umum yang melekat pada mereka, sebagaimana telah diikhtisarkan K. Berthens (1987) berikut ini :

1. Pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang cara bagiamana kata-kata dipakai. Mereka tidak memilih suatu struktur bahasa tertentu yang secara apriori dijadikan model bagi ucapan mana pun, seperti dulu dilakukan oleh positivisme logis. Filsuf-filsuf analitis sekarang menyelidiki cara proposisi-proposisi dan kata-kata digunakan dalam pemakaian bahasa yang biasa. Dalam periode ketiga (setelah perang dunia II) filsafat analitis menjadi sangat peka untuk kenyataan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa cara. Karena itu makna tidak bisa ditetapkan dengan cara yang seragam, tetapi makna selalu bergantung pada konteks di mana suatu kata tertentu digunakan. Filsuf-filsuf ini menyetujui Wittgeinstein, bila dikatakannya : “What we do is to bring words back from their methaphysical to their everyday use”. Filsafat harus mempelajari pemakaian bahasa yang kongkret. Kalau tidak, filsafat tidak akan berbicara tentang bahasa menurut keadaan yang sesungguhnya, tetapi hanya berbicara tentang bahasa sebagaimana dijadikan sang filsuf.

2. Akibatnya, orang menolak metode reduksionis, artinya metode yang berusaha mengasalkan pemakaian bahasa kepada satu cara saja, seperti dulu dilakukan atomisme logis. Ucapan-ucapan mempunyai lebih banyak fungsi daripada satu fungsi saja dan karena itu bermakna lebih banyak cara daripada satu saja. Yang penting adalah distingsi-distingsi, bukan reduksi-reduksi. Dengan demikian, filsuf-filsuf ini mempraktekkan apa yang telah ditekankan oleh Wittgeinstein : “Philosophy may in no way interfere with the actual use of language; it can in the end only describe it. For it cannot give it any foundation either. It leaves everything as it is”.

3. Filsafat analitik beranggapan bahwa hanya dengan melukiskan pemakaian bahasa secara mendetail banyak persoalan filosof dapat dipecahkan. Ini disebabkan karena di

Page 11: Wittgeinstein i Dan II

bidang filsafat terdapat banyak kekeliruan yang berasal dari “category mistakes”. Category mistake adalah kekhilafan yang timbul, bila suatu kata yang termasuk suatu kategori tertentu dipakai seolah-olah termasuk kategori lain. Tugas filsafat adalah memperbedakan pelbagai word types yang ada, supaya dapat dicegah terjadinya kekhilafan semacam itu. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam tata bahasa atau buku-buku logika belum cukup untuk mencapai tujuan itu dan karenanya penyelidikan filosofis ini sangat perlu.

Sebagai pelengkap dari ikhtisar yang telah dijelaskan oleh K. Berthens tersebut, maka dianggap perlu untuk menjelaskan beberapa istilah penting dari filsafat analitik aliran “Ordinary Language Philosophy” ini. Beberapa istilah itu adalah seperti “Category mistake”, “dispositional statements”, “Task Verbs” dan “Achievement Verbs” dari Gilbert Ryle (1900-1976), “Constative Utterances” dan Performative Utterance”, “Speech Acts” dari John Langshaw Austin (1911-1960), “descriptive metaphysics”dan “referring to an object” dari Peter Strawson (1919-). Istilah-istilah tersebut penting untuk diurai, karena isilah-istilah ini merupakan kunci pemikiran dari aliran “ordinary language philosophy” yang sedang kita bahasa sekarang. Dengan demikian diharapkan mampu memberikan gambaran yang cukup mengenai inti pemikiran kefilsafatan Filsafat Analitik periode ini, yang membedakan dengan periode sebelumnya.

1. Category mistake, yaitu kekeliruan mengenai kategori (kegalatan kategori). Kekeliruan kategori ini, menurut Ryle terjadi tatkala kita melukiskan fakta-fakta yang termasuk satu kategori dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori yang lain. Kekeliruan kategori ini, dapat juga dibatasi sebagai suatu pertentangan kategori atau bentuk logis satu sama lain sebagai akibat dari kesalahan berpikir kita, Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang baru masuk di IAIN Bandung; karena ingin tahu lebih mendalam tentang perguruan tinggi Islam ini, kemudian ia berkeliling kampus. Ia melihat-lihat kantor institute, bagian perpustakaan, masjid kampus, kantin mahasiswa, kantor jurusan, dan kantor organisasi intra kampus. Setelah selesai berkeliling, mahasiswa tersebut bertanya : “Dimanakah letak kampus IAIN Bandung ? Bentuk pertanyaan seperti ini adalah termasuk category mistake. Sebabnya, IAIN Bandung bukanlah gedung-gedung, di samping yang lainnya. Suatu perguruan tinggi, seperti kasus IAIN Bandung, tiada lain adalah diorganisirnya fakultas dan gedung-gedung lainnya sebagai lembaga pendidikan tinggi. Contoh lainnya, seorang mahasiswa pergi ke sebuah perpustakaan. Setelah sampai di perpustakaan, ia melihat koleksi buku di salah satu ruangan perpustakaan tersebut, yang berisi buku-buku : Sosiologi, Ilmu Sejarah, Antropologi, Psikologi Sosial, dan llmu Ekonomi. Kemudian ia mengatakan : “Pak, saya ingin mengetahui tentang salah satu jenis buku yang membicarakan tentang sains social”. Perkaataan ini jelas merupakan category mistake, sebab jenis buku yang membahas tentang ilmu social bukan merupakan sesuatu hal di samping jenis-jenis buku yang baru saja dilihat oleh mahasiswa tersebut, melainkan suatu keseluruhan yang mengandung ilmu-ilmu social (social science) seperti Sosiologi, Psikologi, Ilmu Sejarah, Antropologi dan sebagainya.

Page 12: Wittgeinstein i Dan II

Melalui category mistake, G. Ryle telah memperlihatkan kekeliruan pandangan Descartes (1596-1650) tentang manusia yang dualistic. Dalam pandangan Descartes, manusia itu terdiri dari dua substansi, yaitu roh dan materi. Keduanya berlainan satu sama lain. Inilah category mistake, kata Ryle. Sebab sangatlah aneh dua substansi yang berlawanan, yang memiliki perbedaan kategori bisa harmonis bersatu dalam satu wadah. Pandangan dualism Descartes tentang manusia ini oleh G. Ryle disebutnya sebagai “suatu hantu dalam sebuah mesin”.

Kemudian G. Ryle pun menunjukkan sering ditemukannya banyak filosof yang mencampuradukkan kategori-kategori yang berlainan. Sebagai akibatnya, pandangan kefilsafatan mereka terjebak pada category mistake. Upaya itu ditunjukkan G. Ryle dengan cara melakukan pembedaan pelbagai jenis kata melalui penyebutan “pernyataan-pernyataan disposisi” (dispositional statements). Pernyataan-pernyataan disposisi ialah pernyataan yang menunjuk pada sifat atau kebiasaan tertentu. Menurut G. Ryle, agar terhindar dari pemakaian kategori yang bercampur baur dalam sebuah kalimat, maka kita harus membedakan kata-kata yang menunjuk kepada suatu disposisi (sifat, kebiasaan) , dengan kata-kata yang menunjuk kepada suatu pengertian peristiwa. Ungkapan seperti “ia mengerti al-Qur’an”mengandung pengertian “ia biasa membaca al-Qur’an”dan “ia membaca al-Qur’an”. Contoh lainnya, “ia mengerti bahasa Indonesia” (pernyataan disposisi) dengan “ia mendengarkan siaran berita bahasa Indonesia” (pernyataan yang menunjukkan peristiwa). Dengan cara ini maka kita bisa menentukan makna dari suatu kalimat yang diungkapkan.

2. Task Verb dan Achievement Verb, yaitu kata kerja (verb, fi’il) yang mengacu pada suatu tugas (pekerjaan) dan kata kerja yang mengacu pada tujuan atau hasil yang akan dicapai. Dalam pemakaiannya, dua jenis kata ini sering digabung. Akhirnya, aktivitas yang sama diucapkan dengan cara berlainan oleh dua jenis kata. Namun, kedua jenis ini memiliki kadar logis yang berbeda. Lihatlah pasangan contoh berikut : menonton dan menyaksikan, mendengar dan mendengarkan, menengok dan melihat, mencari dan mendapatkan. Dalam bentuk kalimat, G. Ryle mencontohkan dengan ungkapan “seorang atlet lari seratus meter, dan ia menang”. Kata kerja “lari” adalah task verb (menunjukkan tugas), sedangkan kata “menang” adalah achievement verb (menunjukkan hasil atau tujuan) dari pekerjaan “lari”. Atlit tersebut tidak melakukan dua pekerjaan, yaitu “lari” dan “menang”, tapi ia hanya melakukan satu pekerjaan yaitu berlari yang menghasilkan kemenangan. Begitu juga kalau ia (atlit) bertinju dan menang, ia tidak melakukan dua pekerjaan, tapi satu pekerjaan.

3. Ucapan konstatif dan ucapan performatif (constative utterances and performative utterances) dari John Langshaw Austin (1911-1960). Ucapan konstatif adalah ucapan yang melukiskan suatu keadaan factual. Karena itu kebenaran dan ketidakbenarannya dapat dibuktikan secara verifikatif. Pengertian ini mengingatkan pada konsep atomisme logis dari Russell dan positivisme logis. Sedangkan ucapan performatif adalah suatu ucapan yang tidak melukiskan keadaan factual, dan karena itu tidak bisa dibuktikan kebenaran dan ketidakbenarannya. Ucapan ini hanya bersandar pada happy dan unhappy, suka atau tidak suka, layak atau tidak layak.

Page 13: Wittgeinstein i Dan II

Untuk lebih jelas, perhatikan ungkapan-ungkapan berikut : “Di dalam kelas terdapat dua dosen”, “saya tadi pergi ke perpustakaan”, “Silahkan anda masuk”, “Saya mengangkat saudara sebagai ketua jurusan”, “kami ucapkan selamat datang kepada hadirin”. Kalimat “di dalam kelas terdapat dua dosen” dan “saya tadi pergi ke perpustakaan” adalah kalimat yang melukiskan suatu keadaan factual. Jenis ungkapan seperti ini disebut constative utterances. Sedangkan tiga kalimat yang terakhir tidak melukiskan apa-apa, ia hanya bersandar pada happy dan unhappy. Karena itu ungkapan-ungkapan tersebut digolongkan pada ucapan peformatif.

4. Speech Acts atau tindakan-tindakan bahasa. Maksudnya, bahwa ketika kita mengucapkan sesuatu berarti kita juga melakukan sesuatu itu. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita mengungkap suatu kalimat. Mengenai speech-acts ini John Austin Langshaw membedakan tiga macam tindakan (act), yaitu 1) locutionary act (tindakan lokusi); 2) illocutionary act (tindakan ilokusi) dan 3) perlocutionary act (tindakan perlokusi).

Tindakan lokusi, ialah suatu tindakan bahasa yang dilakukan apabila kita mau menyampaikan suatu makna tertentu, atau suatu ungkapan untuk menyampaikan suatu “isi bahasa” yang bermakna pada dirinya. Dalam tindakan lokusi, si penutur mengatakan sesuatu yang pasti dan sesuai dengan konteks (siyaqul kalam). Tujuan dari tindakan lokusi ini adalah untuk membuat jelas tindakan lokusi itu sendiri dengan membedakannya dari tindakan bahasa lainnya, dan menghubungkan pembicaraan, si penutur dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya. Dalam jenis tindakan bahasa ini, si penutur tidak dituntut untuk bertanggungjawab terhadap isi ucapannya. Umpamanya, ia berkata kepada saya : “Di kebun ada anjing, maka tembaklah dia”. Dengan ada ucapan “tembaklah” berarti ucapan mengarah bukan pada si penutur tetapi pada pihak orang ketiga. Karena itu si penutur (saya) tidak dituntut untuk menuntut isi ucapan (tuturannya), yaitu harus menembak anjing itu. Bisa saja ungkapan “di kebun ada anjing”, menjadi “ia mengatakan kepada saya, ia mengandaikan, ia memperingatkan kepada saya, bahwa di kebun ada anjing, maka tembaklah”.

Tindakan Ilokusi, ialah suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu (insaying) merupakan lawan terhadap tindakan mengatakan sesuatu (of saying). Tindakan dalam mengatakan sesuatu (insaying, pertama) mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan “isi bahasa” yang diucapkannya. Sedangkan tindakan mengatakan sesuatu (of saying, kedua) hanyalah merupakan pengungkapan sesuatu. Nampaknya, titik tekan dari ucapan tindakan ilokusi adalah pada “tindakan dalam mengatakan sesuatu (insaying) “bukan pada of saying, tindakan mengatakan sesuatu. Pada “tindakan dalam mengatakan sesuatu” terdapat suatu kekuatan (force) atau daya tertentu. Dengan kekuatan (force), maka ucapan itu menjadi : perjanjian, saran, dugaan, vonis, perintah, pernyataan, dan sebagainya. Jadi, tindakan ilokusi adalah suatu tindakan bahasa dengan menggunakan suatu kekuatan atau daya (force), dan menuntut si penutur untuk melaksanakan “isi bahasa” dari yang dituturkannya itu.

Page 14: Wittgeinstein i Dan II

Sekedar untuk menambah penjelasan di atas, mari kita simak contoh kalimat-kalimat berikut :

1. Saya berjanji akan membayar hutang pada sudara besok pagi.

2. Saya bertanya kepada anda tentang tujuan dari pekerjaan ini.

3. Saya menyarankan kepadanya agar meninggalkan perbuatan maksiat.

4. Kapolri memerintah kepada Kapolda untuk segera menangkap teroris.

5. Saya menduga anak itu sakit kepala.

6. KPU mengumumkan pada kami tentang partai-partai yang tidak masuk verifikasi.

Tindakan perlokusi (perlocutionary act), ialah suatu tindakan atau perbuatan bahasa yang memiliki efek psikologis terhadap oang yang mendengarkannya. Jika pada jenis tindakan bahasa lokusi dan ilokusi “isi bahasa” yang dituturkan tidak memberikan pengaruh terhadap kejiwaan si pendengar, maka tindakan perlokusi justru sebaliknya. Pengaruh itu bisa berupa “setuju”, “menyangkal”, “menerima”, “merasa puas”, “takut”, “gemes”, “dendam”, “menangis”, dan sebagainya.

Konsep “perlocutionary act” ini dimunculkan atas dasar keyakinan Austin, bahwa ada sesuatu yang kita ucapkan acapkali akan menimbulkan kepastian terhadap perasaan, pemikiran dan perilaku bagi si pendengar, si penutur atau orang lain yang secara tidak langsung mendengarkan ucapan itu.

Ciri utama tindakan bahasa perlokusi terletak pada isi tujuan yang ditetapkan oleh si penutur ke dalam isi tuturannya. Beberapa contoh ungkapan perlokusi itu, diantaranya seperti : “Saya membujuk anakku agar rajin belajar”, “Saya telah membuat saudaraku meninggalkan perbuatan jelek”, “Saya meyakinkan mahasiswa bahwa mempelajari filsafat banyak gunanya”, “saya telah membimbing mahasiswa mempelajari fisafat bahasa”, ‘Ucapan perampok itu telah mengejutkan semua pihak”.

Menurut Austin dalam setiap ungkapan bahasa (ucapan, kalimat, proposisi) paling sedikit mengandung suatu tindakan bahasa lokus dan ilokusi, dan terkadang tindakan perlokusi.

Pemikiran Austin itu selanjutnya dikembangkan oleh John R. Searle, salah seorang muridnya dari Amerika Serikat. Tindakan-tindakan bahasa itu oleh John R. Searle dikembangkan dalam rangka tindakan-tindakan institusional, yaitu tindakan atau perbuatan yang mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat atau bagi suatu kelompok. Pemikiran ini bertitik tolak dari hipotesis “that speaking a language is performing a speech acts” (berbicara suatu bahasa adalah melakukan tindakan-tindakan bahasa).

5. asfasfasfs