wiranto partosudirdjo - etika dan simbolik di balik wayang kulit

30
Dalam dunia pewayangan perang “Bharatayuda” mengandung makna-makna simbolik. Perang Bharatayuda adalah bagian dari “wayang kulit” yang mengisahkan perang saudara antara Pendawa Lima yang terdiri dari lima bersaudara dan Kurawa yang terdiri dari seratus bersaudara. Mereka adalah sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa berperang untuk memperebutkan kerajaan Indraprasta (Amartapura) yang dikuasai oleh Hastinapura dikarenakan Pandawa Lima kalah judi. Salah satu syarat dari kalah judi dengan pihak Kurawa, Pandawa harus menjalani hukuman dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun dan ditambah satu tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui keberadaannya. Dalam buku Mahabharata diceritakan bahwa Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa mempertahankan dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. Dalam "wayang kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan Pendawa Lima ingin mendapatkan hak Hastinapura yang dititipkan oleh Panduwinata (ayah Pendawa Lima) yang pada saat itu raja Hastinapura kepada kakaknya yang buta Dhestrarata (ayah Kurawa). Dalam episode Bharatayuda, di dalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah awal dari Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang melawanKurawa dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan diantara musuh yang harus dihadapi adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu Resi Bisma, Pendita Durna dll. Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa menguasai kerajaan. Sri Kresna memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan wujud Wisnu yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa: Peperangan Bharatayuda bukan sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus dilaksanakan oleh Ksatria Utama sebagai dharmanya

Upload: ibnu-arabi

Post on 20-Jun-2015

703 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Dalam dunia pewayangan perang “Bharatayuda” mengandung makna-makna simbolik. Perang Bharatayuda adalah bagian dari “wayang kulit” yang mengisahkan perang saudara antara Pendawa Lima yang terdiri dari lima bersaudara dan Kurawa yang terdiri dari seratus bersaudara. Mereka adalah sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa berperang untuk memperebutkan kerajaan Indraprasta (Amartapura) yang dikuasai oleh Hastinapura dikarenakan Pandawa Lima kalah judi. Salah satu syarat dari kalah judi dengan pihak Kurawa, Pandawa harus menjalani hukuman dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun dan ditambah satu tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui keberadaannya.

Dalam buku Mahabharata diceritakan bahwa Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa mempertahankan dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. Dalam "wayang kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan Pendawa Lima ingin mendapatkan hak Hastinapura yang dititipkan oleh Panduwinata (ayah Pendawa Lima) yang pada saat itu raja Hastinapura kepada kakaknya yang buta Dhestrarata (ayah Kurawa).

Dalam episode Bharatayuda, di dalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah awal dari Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang melawanKurawa dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan diantara musuh yang harus dihadapi adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu Resi Bisma, Pendita Durna dll.

Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa menguasai kerajaan. Sri Kresna memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan wujud Wisnu yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa: Peperangan Bharatayuda bukan sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus dilaksanakan oleh Ksatria Utama sebagai dharmanya atau kewajibannya untuk melenyapkan keangkaramurkaan dan kebatilan di muka bumi.

Sri Kresna kemudian juga mengajarkan kepada Arjuna makna hidup, asal kehidupan, dan akhir kehidupan yang mengalir dalam perwujudan Wisnu yang sebenarnya yang dituliskan dalam kisah Bhagawatgita yang juga menjadi salah satu kitab suci pemeluk agama Hindu.

Dalam interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang kulit" banyak versi sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang kulit" yang pada hakekatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri – jagad cilik - dunia kecil) dan perubahan yang bersikap makro (diluar diri manusia atau dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, maupun semesta alam – jagad gede – dunia besar).

Page 2: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Arti simbolik Bharatayuda yang bersifat mikro (dalam diri manusia secara individu – jagad cilik – dunia kecil):

Pengertian simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Adalah peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.

A. Bharatayuda sebagai simbol pertarungan/pergulatan etika baik dan buruk dalam diri manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara, karena apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti membunuh sebagian dari dirinya.

Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat kesenangan yang merusak seperti ma-lima (lima M) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk yang artinya: madon berarti - kesenangan dengan wanita/ sex di luar pernikahan, madat – kesenangan dengan candu / ganja / ecstacy / heroin / ataupun sejenisnya, maling – kesenangan memiliki hak / kepunyaan orang lain, main – kesenangan berjudi, mabuk - kesenangan minum minuman keras).

Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tersebut diatas yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda, untuk membunuh sebagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat dan terasa menyakitkan.

Apabila sifat Ksatria Utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang, dia mampu mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji. Dia akan punya sifat berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya.

Kemenangan dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang kurang terpuji sifat-sifatnya menjadi manusia yang terpuji sifat-sifatnya.

B. Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/akibat perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakannya terhadap nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk.

Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh-pengaruh berbagai silang budaya kadang-kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya yang kadang agak sulit bagi kita menarik garis hitam putih.

Tapi kalau kita mengkaji lebih lanjut kisah / lakon dalam "wayang kulit" hal tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh-tokohnya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji bahkan terhadap tokoh-tokoh yang diidealkan seperti tokoh Pendawa Lima dan Sri Kresna.

Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidak sempurnaan manusia. "Wayang kulit" mengajarkan suatu budaya yang sangat bijaksana berkaitan dengan ketidak sempurnaan manusia dengan menciptakan tokoh punokawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (secara lahiriah tokoh-tokoh tersebut juga digambarkan secara tidak sempurna) yang selalu memberikan peringatan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para raja dan ksatria.

Beberapa contoh kisah pewayangan yang menggambarkan ketidak sempurnaan sifat-sifat dari tokoh yang dianggap sebagai tauladan:

Page 3: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

1. Yudhisthira/Puntodewo yang terkenal kejujurannya dan kebijaksanaannya sebagai seorang raja ternyata dia mempunyai kelemahan yang sangat fatal yaitu kesenangannya dengan judi.

Kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Kurawa dengan arsiteknya Patih Sengkuni sehingga membawa kesengsaraan keluarganya bahkan sampai dengan negaranya, saudara-saudaranya, bahkan istrinya – Dewi Drupadi – dipakai sebagai barang taruhan dan sempat sangat dipermalukan didepan umum oleh Dursasono – salah satu dari Kurawa.

Kelemahannya ini yang akhirnya membawa Pendawa Lima harus menjalani hukuman dibuang ditengah hutan selama duabelas tahun dan melakukan penyamaran selama satu tahun.

2. Arjuna yang sangat pandai dan sakti ternyata punya kelemahan terhadap wanita yang membawanya dia terkenal kalau dengan istilah sekarang sebagai Don Yuan (beberapa pakar pewayangan hal ini diartikan sebagai simbol kegandrungan Arjuna akan ilmu pengetahuan sehingga dia selalu berguru kepada Bhegawan dan mengawini anak perempuannya yang diartikan / disimbolkan sebagai menguasai ilmu dari sang Bhegawan).

3. Sri Kresna yang terkenal bijaksana dan dikatakan sebagai titisan Wisnu ternyata kurang mampu mendidik anaknya dan terlalu memanjakan anaknya yang akhirnya membawa pada karma kematiannya melalui seorang pemburu yang tanpa sengaja memanah kakinya yang anak panahnya berasal dari perbuatan / kesombongan anaknya Samba.

Contoh-contoh diatas masih bisa diperpanjang dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Abimanyu (anak Arjuna) yang membohongi istrinya karena mau menikah lagi, Gatutkaca (anak Werkudoro) yang membunuh pamannya sendiri, Resi Bisma yang membunuh wanita yang mencintainya, Prabu Salyo yang membunuh mertuanya, dan yang lain-lainnya yang pada suatu saat dalam kehidupannya pernah melakukan perbuatan yang kurang terpuji yang balasan karma dari perbuatan buruknya adalah cara kematian mereka yang terjadi pada perang Bharatayuda.

Hal ini menjadi suatu interpretasi simbolik lainnya dari makna perang Bharatayuda secara mikro (pada individu – dunia kecil) yaitu: peperangan terakhir dari manusia menghadapi karma hidupnya, yaitu cara kematiannya adalah cermin dari seluruh cara dan perilaku kehidupannya baik ataupun buruk.

Arti simbolik Bharatayuda yang bersifat perubahan makro kosmos (diluar diri manusia atau dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, maupun semesta alam – jagad gede – dunia besar)

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia sebagai individu juga selalu diuji keberpihakkan seseorang terhadap kelompok yang punya nilai-nilai luhur dan kelompok yang cenderung terpengaruh oleh perbuatan buruk.

Dalam masyarakat modern yang makin heterogen maupun dengan makin terbukanya suatu negara dari pengaruh-pengaruh berbagai silang budaya sebagai suatu dampak globalisasi. Kadang-kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara kelompok-kelompok yang memperjuangkan suatu etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya.

Kalau melihat contoh-contoh tokoh dunia pewayangan seperti Yudhisthira, Arjuna, dan Sri Kresna, sebagai manusia mereka tetap mempunyai sifat alamiah tentang ketidak sempurnaan manusia. Walaupun secara umum atau bisa juga dikatakan bahwa sebagian besar perilaku yang diperbuat bisa dijadikan contoh walaupun tidak lepas dari cacat dan cela.

Page 4: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Dengan segala cacat dan cela sebagai individu, secara kelompok mereka mempunyai suatu ciri utama yaitu mengemban tugas Pemimpin maupun Ksatria Utama yang harus selalu menegakkan kebenaran dan memerangi kelompok yang angkaramurka. Dari jaman ke jaman selalu saja akan muncul seorang Pemimpin yang memimpin kelompoknya untuk memerangi kezaliman yang merugikan masyarakat (rakyat) banyak ataupun merugikan pihak-pihak yang lemah dan tak berdaya.

Nyata-nyata bahwa setiap Pemimpin akan mengalami dilema seperti Arjuna yang ragu-ragu menjalankan perannya untuk menegakkan kebenaran apabila yang dihadapi adalah para Pimpinan bangsanya sendiri, bahkan diantaranya adalah para tokoh yang dihormati seperti Resi Bisma, Adipati Karno, yang oleh keterikatan sejarah ataupun dengan sejuta alasan lainnya berpihak kepada yang tidak benar (walaupun mungkin sebetulnya mereka tidak sependapat dengan kelakuan Duryudono sebagai raja kelompok Kurawa).

Perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul di dalam masyarakat apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang terpanggil untuk melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkaramurka agar terjadi perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik.

Bahwa pada akhirnya Pendawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu perang Bharatayuda bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah. Pendawa Lima secara nyata telah menjalankan usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan terjadi dengan misi perdamaian.Terakhir adalah cerita Kresno Duto yang mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang akhirnya malah menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur-luluhkan seluruh kerajaan Hastinapura.

Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara-murkaan itu semacam candu atau ekstasi. Sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya. Harus ada pihak-pihak yang berani menyadarkan, kalau diperlukan memerangi dan menghancurkannya.

Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang gegirisi atau sangat menakutkan – tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan. Pasti akan banyak korban yang jatuh. Pada akhir perang Bharatayuda, semua Kurawa seratus bersaudara terbunuh, hampir semua Ksatria yang membantunya juga habis terbunuh. Sedangkan di sisi Pendawa Lima tidak ada anak-anak Pendawa Lima yang bisa lolos dari maut juga banyak Ksatria yang membantunya juga terbunuh.

Kemenangan dari Pendawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. Jer basuki mawa bea adalah suatu pepatah Jawa artinya – untuk mencapai suatu tujuan selalu ada biayanya.

Simbolik perang Bharatayuda ini juga bisa terjadi dalam dunia nyata pada kondisi masyarakat apabila kekuasaan penyelenggaraan negara telah sedemikian rupa merugikan kepentingan rakyat banyak. Kekuasaan apabila berciri angkaramurka sama dengan ketagihan candu atau ekstasi yang punya ciri: sekali kita di dalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya. Hal ini bisa menimbulkan suatu situasi radikal para kelompok yang merasa terpanggil untuk melaksanakan

Page 5: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

pembaharuan yang bisa mengidentifikasikan sebagai kelompok moralis menghadapi pemerintahan yang zalim yang telah memiskinkan mayoritas bangsanya.

Sebagai contoh apabila penyelengaraan suatu negara penuh korupsi dan kolusi, para pejabat lebih mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, partainya sendiri, keluarganya sendiri. Kesejahteraan masyarakat luas menjadi prioritas terakhir yang hanyalah berupa kucuran bantuan yang tidak mengatasi masalah kemiskinan. Bantuan yang mungkin hanyalah sisa-sisa dana yang sudah lebih dulu menggemukkan para penguasanya dan pengusahanya.

Lambat atau cepat apabila tidak diatasi secara bijaksana bukan sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi semacam perang Bharatayuda dalam masyarakat. Adalah sangat alami barangkali juga sebagai hukum alam bahwa selalu akan muncul kelompok moralis yang dengan segala risikonya akan memerangi pihak-pihak yang dianggap menyimpang dari tindakan yang jujur dan terpuji dari waktu ke waktu.

Begitu juga apabila cakupan perang bukan hanya terjadi pada suatu masyarakat tertentu, bisa juga terjadi suatu perang yang punya cakupan global apabila memang secara global bisa terjadi suatu pengelompokan negara-negara yang menganut faham angkaramurka berhadapan dengan negara-negara yang menganut faham berbudi luhur (pada saat ini masih agak sulit untuk dilakukan garis pemisah, masih banyak kondisi abu-abu).

Perang Bharatajuda itu sendiri perang antar kerajaan yang masing-masing baik pihak Pandawa atau Kurawa dibantu oleh banyak kerajaan-kerajaan lainnya. Perang Dunia ke-2 adalah salah satu contoh refleksi simbolik perang Bharatayuda dalam cakupan perang antara sesama persaudaraan umat manusia dengan cakupan antar negara (kalau kita percaya bahwa manusia adalah keturunan Nabi Adam berarti semua manusia didunia ini adalah bersaudara).

Apakah akan ada Perang Dunia 3? Ini hanya akan terjadi jika negara-negara di dunia terbelah menjadi dua kekuatan yang secara nyata dapat dipisahkan antara yang batil dan yang luhur. Ini adalah salah satu arti simbolis Perang Bharatayuda yang bersifat perubahan makro kosmos (jagad gede - dunia luar yang mengelilingi manusia). Perubahan dari masyarakat yang batil menjadi masyarakat yang lebih luhur. Perubahan dari ketidakadilan dunia menjadi dunia yang lebih nyaman untuk kehidupan. Untuk itu semua, seperti kata pepatah Jawa "jer basuki mawa bea", untuk melaksanakan suatu perbaikan selalu ada biayanya.

Tulisan terdahulu telah membahas refleksi budaya pewayangan yang membahas tentang etika Jawa berkenaan dengan pimpinan ideal dan kekuasaan, tentang ketidak-sempurnaan manusia, tentang hakekat perang saudara dalam kerangka menegakkan kebenaran melawan keangkara-murkaan agar terjadi perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik.

Kali ini kita akan membahas tokoh yang sangat menarik di dunia pewayangan yang paling banyak mendapat perhatian dan berbagai intrepretasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut".

Page 6: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Semar adalah tokoh utama punakawan, arti dari punakawan adalah pana (puna) yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan goro-goro yang dalam goro-goro diceritakan terjadi banyaknya kekacauan di muka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punakawan meredakan kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa "samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita. Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni".

Artinya: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian".

3. Semar dan punakawan lainnya bukan berasal dari epik Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang:

a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.

b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama.

c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru.

5. Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi punakawan para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya.

Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah: Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa/asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu.

Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai-nilai luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh-tokoh dewa Hindu. Dengan menerima keberadaan tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia.

Page 7: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Hal ini sekali lagi dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Glagahwangi yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat.

Peng-Islaman masyarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari jaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang kulit" tidak diganggu.

Kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang.

Karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

6. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan punakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata. Kehidupan Semar sebagai Lurah/Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistem pemerintahan kerajaan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu.

Tokoh Semar selalu berada di antara rakyat kecil, kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.

Diceritakan dalam "wayang kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.

Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan ketidak jelasannya.

Lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa atau asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa di masa lalu disisipkan dalam epik Ramayana dan Mahabharata dalam cerita "wayang kulit" tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Pada hakekatnya ini adalah ciri budaya sinkretik (pembauran) yang terjadi hampir diseluruh Indonesia.

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa "Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut pandangan penulis.

Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para

Page 8: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan senjata Cakra dan sebagainya.

Bahkan dalam “wayang kulit” juga dimasukkan unsur keris yang nyata-nyata bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya maupun sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb.

Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Perlombaan kecanggihan persenjataan juga terjadi pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika beberapa tahun yang lalu. Sampai saat ini supremasi suatu negara tidak bisa lepas dengan persenjataan yang dipunyai komparatif dengan negara lain. Oleh karena itu pembatasan terbatas pengembangan persenjataan bukan saja tidak adil tapi juga tidak akan efektif. Kecuali penghapusan semua jenis senjata atau sebagian jenis senjata tertentu diberlakukan secara global untuk semua negara.

Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat fisik peralatan peperangan militer. Dalam memenangkan persaingan di bidang bisnis dan politik juga dikembangkan peralatan atau tools yang bukan secara fisik berupa senjata. Peralatan atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistem, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkualitas dsb.

Kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" bukan senjata yang bersifat fisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya?

Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar:

1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat.

2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon atau cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi / raja / ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb.

3. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja atau ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang konvensional atau menggunakan senjata biasa.

Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendiri mempunyai sifat-sifat:

1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau. 2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak. 3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berarti suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan.

Jadi kalau kita kombinasikan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan kesederhanaan, yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan, yang bisa memberikan pandangan lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan, yang bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.

Page 9: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin.

Kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut, bukan tidak mungkin bisa terjadi suatu kondisi “People Power” atau kekuatan rakyat).

Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni biasanya bukan dari lembaga kenegaraaan yang formal (seperti lembaga legislatif maupun eksekutif) dikarenakan didalamnya sangat syarat dengan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok. Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada.

Rakyat mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya. Bisa melalui dpr jalanan berupa demo-demo, melalui media massa, yang sangat popular saat ini adalah suara para blogger (facebooker) didunia maya yang mungkin lebih mendekati realitas. Suara para blogger (facebooker) ini bisa sangat menyakitkan seperti bau “kentut” bagi yang menerima kritik.

Bisa jadi suara ini adalah suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera bagi semua rakyat (bukan buat sebagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain).

Senjata "Kentut"-nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat" untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh.

Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila suatu negara dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai. Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang panjang-punjung, panjang berarti menjadi contoh negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi.

Page 10: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Cerita “wayang kulit” terutama bersumber dari kisah kepahlawanan Mahabharata dan Ramayana, oleh karena itu cerita didalamnya adalah kisah para pahlawan sebagai tokoh-tokoh para pimpinan dalam kerajaan.

Kalau kita berbicara kerajaan, masalah suksesi atau pergantian kekuasaan di suatu negara atau kerajaan adalah masalah yang sangat rumit. Bahkan kalau kita melihat sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kemunduran kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu, suksesi adalah faktor utama yang telah menyurutkan kekuasaan raja-raja di Indonesia digantikan oleh kekuatan kolonialisme Belanda.

Ada beberapa model suksesi atau pergantian kekuasaan dalam cerita “wayang kulit”. Walaupun dalam konsep demokrasi pergantian kekuasaan akan terjadi setiap lima tahun sekali, masalah suksesi masih relevan untuk dibicarakan dikarenakan pengaruh budaya feodal masih sangat besar di Indonesia. Pimpinan negara kadang-kadang masih menganggap dirinya atau dianggap oleh masyarakat seperti laiknya seorang raja.

Karena itu model pergantian kekuasaan berdasarkan model yang ada dalam cerita “wayang kulit” masih relevan dikemukakan. Pada setiap suksesi yang terjadi lima tahunan sekali pada suksesi model demokrasi, issue-issue budaya suksesi model “wayang kulit” kadang-kadang masih muncul beredar dalam masyarakat..

Menurut pengamatan penulis, model pergantian kekuasaan berdasarkan model yang ada dalam cerita “wayang kulit” paling tidak ada tiga model suksesi, yaitu:1. Legitimasi Titisan Wisnu2. Legitimasi Wahyu Keraton atau 'Wahyu Kerajaan' 3. Lengser Keprabon, Madeg Pandito.

Mari kita menelaah satu persatu dan mudah-mudah-an kita akan bisa menyingkap model yang mana yang sering terjadi di Indonesia.

Legitimasi Titisan Wisnu

Dalam agama Hindu, Wisnu adalah dewa pemelihara yang tugasnya adalah memelihara dan menjaga manusia dari ancaman angkaramurka atau ancaman dari ke-sewenang-wenangan. Dalam “wayang kulit” diceritakan bahwa titisan (reinkarnasi) Wisnu yang akan memegang kekuasan setelah mengalahkan raja yang angkaramurka. Wisnu akan menitis kepada raja yang menegakkan kebajikan.

Dalam wayang kulit periode Ramayana, Wisnu secara berurutan menitis (berinkarnasi) pada Arjuna Sasra Bahu, kemudian Ramabargawa, dan kemudian Ramawijaya. Setiap kali Wisnu akan menitis kepada seseorang pada periode berikutnya terjadi peperangan diantaranya, artinya Ramabargawa membunuh Arjuna Sasra Bahu dan Wisnu menitis padanya kemudian Ramawjaya membunuh Ramabargawa dan Wisnu menitis padanya.

Walaupun dalam naskah asli dari India tidak ada hubungan antara Ramayana dan Mahabharata di dalam “wayang kulit” ada cerita bahwa Sri Kresna mengalahkan Ramawijaya dalam peperangan dan Wisnu menitis kepadanya.

Page 11: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Kesimpulannya bahwa suksesi “legitimasi titisan Wisnu” tidak lain adalah model yang paling tua dalam kepercayaan pra-agama, pada saat manusia masih menganut kepercayaan spiritual kuno seperti animisme, yaitu:

o Untuk merebut kekuasan seseorang secara harafiah harus memenangkan peperangan yang berarti membunuh musuhnya yang diharapkan secara spiritual jiwa musuhnya akan masuk dalam tubuhnya yang menimbulkan kekuatan magis yang lebih agar bisa dipercaya untuk memimpin. Pada masyarakat yang masih dalam keterbelakangan budaya, kepercayaan semacam ini masih ada sampai dengan saat ini.

o Kemudian kenapa dewa Wisnu yang dipilih sebagai simbol, dikarenakan ciri atau sifat kepemimpinan dari dewa Wisnu merupakan ciri ideal untuk seseorang pemimpin yang berkewajiban memelihara dan melindungi rakyatnya dari sifat-sifat angkaramurka.

Dalam masa kekinian suksesi dengan kekerasan dengan cara membunuh pimpinan yang sedang berkuasa bukanlah hal yang aneh, masih saja terjadi dalam bentuk pembunuhan bermotif politik.

Legitimasi Wahyu Keraton atau 'Wahyu Kerajaan'

Dalam pewayangan juga diceritakan bahwa agar seseorang bisa jadi raja atau pimpinan negara, dia harus mendapatkan Wahyu Keraton (Wahyu Kerajaan). Ada beberapa cerita wahyu di dalam pagelaran “wayang kulit” umpama saja: Wahyu Cakraningrat, Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutha Rama, Wahyu Senapati, dll.

Dalam salah cerita “wayang kulit” Wahyu Cakraningrat, diceritakan bahwa barang siapa mendapatkan wahyu tersebut akan bisa menurunkan raja sampai dengan akhir jaman. Ada tiga pemuda yang berambisi untuk mendapatkan wahyu tersebut, yaitu: o Lesmana Mandrakumoro (putera dari Duryudono - raja Hastinapura) yang pada saat itu bisa dikatakan sebagai putera mahkota kerajaan Hastinapura. o Samba (putera dari Sri Kresna - raja Dwarawati) yang saat itu juga sebagai putra mahkota kerajaan Dwarawati. o Abimanyu (putera Arjuna - ksatria penengah Pandawa) yang saat itu bukanlah anak raja tapi adalah anak ksatria.

Pada cerita akhirnya Abimanyu yang bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat yang biarpun dia sendiri tidak menjadi raja karena gugur dalam peperangan Bharatayuda kemudian anaknya Parikesit yang akhirnya menjadi raja di Hastinapura.

Kenapa akhirnya Wahyu Cakraningrat lebih senang berada pada Abimanyu sekali lagi ini adalah kualitas moral dari pemimpin ideal yang dikehendaki adalah sifat-sifat dari Abimanyu yang saat itu adalah memiliki jiwa ksatria yang tahan dari ujian-ujian moral agar bisa mendapatkan Wahyu tersebut. Berbeda dengan sifat kedua putra mahkota Lesmana Mandroakumoro dan Samba yang arogan dan sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya.

Page 12: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Wahyu dalam pengertian agama Islam hanya diterima oleh Nabi Muhammad ketika satu demi satu ayat Al-Qur'an diturunkan dari Allah SWT kepada beliau. Pengertian Wahyu dalam hal ini adalah berbeda dengan Wahyu dalam pengertian Islam (biarpun mayoritas manusia Jawa adalah Islam).

Wahyu Keraton oleh kalangan yang mempercayai adalah “cahaya cemerlang” yang apabila masuk dalam tubuh seseorang, orang tersebut akan mempunyai aura yang bersinar dan penuh pengaruh dan hanya dipunyai oleh seseorang yang dipastikan akan menjadi pimpinan atau raja.

Legitimasi Wahyu Keraton menurut penulis adalah sekedar sifat-sifat ideal yang dicari agar seseorang bisa menjadi pimpinan atau raja dalam hal ini seperti sifat Wisnu pada legitimasi titisan Wisnu sedangkan dalam cerita Wahyu Cakraningrat adalah sifat-sifat Abimanyu.

Bagi orang yang mendalami ilmu kejawen barangkali Wahyu Keraton secara harafiah memang ada dan semata-mata ini adalah kepercayaan spiritual.

Relevansi pada saat ini: Setiap kali akan ada suksesi pimpinan negara selalu beredar bahwa Wahyu Cakraningrat (atau nama “wahyu keraton” lainnya) akan turun kepada seseorang yang kemungkinan akan memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala negara yang baru – ini secara nyata masih kentalnya pengaruh “wayang kulit” dalam kehidupan manusia Jawa.

Lengser Keprabon, Madeg Pandito

Lengser Keprabon, Madeg Pandito adalah model suksesi secara damai yang terjadi didunia “wayang kulit” dan sangat jarang terjadi dalam dunia nyata. Dalam dunia “wayang kulit” segmen cerita Mahabharata sepengetahuan penulis terjadi tiga kali pergantian kekuasaan dengan cara ini, yaitu:

o Kresna Dwipayana atau yang kemudian bernama Resi Abiyasa - yang dipercaya oleh sebagian orang sebagai pengarang buku Mahabharata - pada saat itu adalah raja Hastinapura yang menyerahkan kerajaan kepada anaknya Pandudewanata dan menjadi pendeta/resi yang hidup sampai pada masa Parikesit (cucu dari Arjuna - ksatria penengah dari Pandawa Lima).

o Pandudewanata – ayah dari Pandawa Lima adalah raja Hastinapura pada saat itu, suatu saat mendapat kutukan – karena salah membunuh dua rusa yang sedang bersenggama yang ternyata adalah pendeta suami istri yang sedang menyamar – bahwa Pandu akan menemui ajalnya pada saat pertama bersenggama dengan istrinya. Kemudian Pandu menyerahkan kerajaan kepada kakaknya yang buta Destrarata dan Pandu membawa kedua istrinya Dewi Kunti dan Dewi Madrim ketengah hutan untuk menjadi pendeta. Beberapa tahun kemudian, Pandu meninggal dunia pada saat timbul birahinya terhadap Dewi Madrim.

o Setelah Pandawa Lima memenangkan peperangan Bharatayuda, Puntadewa diangkat menjadi raja Hastinapura. Pada saat Parikesit sudah dewasa, Puntadewa dan adik-adiknya memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Parikesit dan Pandawa Lima pergi mengembara untuk mendalami spirituil sebagai pendeta (dalam cerita Pandawa Seda)

Bagi seorang pimpinan tertinggi menyerahkan kekuasaan kepada seseorang dengan damai dan ikhlas

Page 13: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

kepada penggantinya diperlukan kualitas sifat kepemimpinan seperti Kresno Dwipayana, Pandudewanata maupun Puntadewa yang mempunyai sifat introspeksi yang sangat mendalam terhadap kemampuan dirinya sendiri dan kepercayaan yang besar pada pihak yang akan menggantikan.

Hukum Karma adalah hukum sebab akibat yang pada hakekatnya adalah bahwa suatu peristiwa tidaklah berdiri sendiri tapi adalah akibat dari suatu peristiwa ataupun perbuatan sebelumnya. Ada peribahasa Jawa yang mengatakan “becik ketitik, ala ketara” yang artinya perbuatan baik ataupun buruk pada suatu saat akan ketahuan. Bila kita kaji lebih lanjut adalah suatu penjabaran dari hukum karma yang bisa diartikan apabila kita ingin mendapatkan “akibat” hasil yang baik, kita harus berbuat “sebab” yang baik. Sebaliknya apabila perbuatan kita yang buruk atau telah melakukan “sebab” yang buruk akan mendapatkan “akibat” yang tentunya juga buruk.

Hukum Karma buat penulis adalah sesuatu yang sangat logis, biarpun dari sudut pandang “spiritual” agama bisa menjadi suatu yang sangat komplek. Hal ini disebabkan suatu peristiwa tidak begitu saja bisa dilihat akar sebab akibatnya dikarenakan keterbatasan analisa kita, ataupun keterbatasan kita dalam menggali informasi dari perbuatan seseorang di masa yang lalu yang tidak sepenuhnya kita ketahui, untuk bisa menyimpulkan seseorang tertimpa malapetaka ataupun kebahagian semata-mata akibat logis dari perbuatan masa lalunya.

Oleh karena itu hukum karma lebih efektif dijadikan sarana introspeksi mendalam dalam diri sendiri, karena hanya diri kita sendiri yang tahu perbuatan kita di masa yang lalu apakah itu baik atau buruk yang bisa mengakibatkan malapetaka ataupun kebahagiaan.

Hukum Karma adalah hukum yang berlaku umum baik seseorang sebagai “individu” ataupun sebagai kelompok suatu “suku” atau “bangsa”. Akibat suatu perbuatan baik atau buruk bisa menimpa seseorang secara “individu”. Apabila perbuatan baik atau buruk dilakukan oleh kelompok bangsa secara berjamaah atau bersama-sama akan berakibat buruk pada kelompok “suku” atau “bangsa” tersebut secara keseluruhan.

Cerita –cerita di “wayang kulit” adalah contoh yang sangat hidup dalam menjelaskan kejadian Hukum Karma baik secara perorangan ataupun sebagai suatu kelompok bangsa. Penulis akan mengambil cerita “wayang kulit” perihal kehidupan sebab akibat dari Riwayat Dewi Drupadi sebagai contoh Hukum Karma secara perorangan dan Riwayat Bangsa Yadawa atau kerajaan Dwarawati dengan rajanya Sri Kresna – titisan Wisnu – sebagai contoh Hukum Karma kelompok suku atau bangsa.

Riwayat Dewi Drupadi

Dalam Mahabharata Dewi Drupadi diceritakan bersuami lima yaitu kelima Pandawa Lima. Dalam “wayang kulit”, dikarenakan budaya Jawa tidak mengenal poliandri, pada umumnya dikenal sebagai istri Puntadewa saja. Dikisahkan Dewi Drupadi mengalami sebab-akibat dalam riwayat kehidupannya sebagai berikut:

Sebab: Diceritakan pada suatu saat Pandawa berhasil mendirikan kerajaan Amarta atau Indrapasta dengan istana yang sangat megah dan dalam peresmiannya mengundang para Kurawa – saudara sepupu sekaligus seteru dari Pandawa Lima – yang berjumlah seratus untuk melihat-lihat keindahan istana dan sangat membuat kagum tapi juga rasa iri dari para Kurawa.

Pada saat Duryudana – raja para Kurawa atau raja Hastinapura pada saat itu – sedang melihat-lihat keindahan taman yang begitu indah, dia tidak menyangka bahwa kaca yang begitu bening ternyata

Page 14: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

adalah kolam, sehingga dia menginjak dan terperosok masuk ke dalam air. Dewi Drupadi yang melihatnya tidak tahan untuk tertawa. Sebagai seorang raja, Duryudana merasa sangat malu ditertawakan oleh Dewi Drupadi dan dalam hatinya menimbulkan rasa dendam.

Akibat: Sekembalinya ke Hastinapura, timbul niat jahat dari Duryudana untuk mengakali para Pandawa agar bisa merebut negara Amartapura dengan bantuan pamannya Patih Sengkuni dengan cara mengundang Pandawa bermain dadu.

Dikarenakan Puntadewa memang senang main dadu, tanpa menaruh curiga undangan bermain dadu dipenuhi. Dengan kelicikan Patih Sengkuni akhirnya Puntadewa dikalahkan yang pada akhirnya semua kekayaannya, istananya, kerajaannya, bahkan adik-adoknya, sampai akhirnya bahkan istrinya Dewi Drupadi ikut dipertaruhkan dan dikalahkan dimeja judi.

Pada saat Pandawa sudah tidak punya apa-apa, karena sudah dikalahkan di meja judi, para Kurawa menjadi sangat gembira dan lupa diri. Pada saat itu Duryudana teringat pada saat dipermalukan oleh Dewi Drupadi ketika berkunjung keistana Amarta. Dia meminta adiknya Dursasana mengambil Dewi Drupadi dengan maksud akan dipermalukan didepan umum karena sudah menjadi milik mereka. Tentu saja Dewi Drupadi tidak mau datang ketempat perjudian, tapi diseret oleh Dursasana dengan cara menyeret rambutnya yang terurai karena sedang haid.

Sesampainya di tempat perjudian Durjudana mengundang Dewi Drupadi untuk duduk dipangkuannya. Tentu saja Dewi Drupadi tidak mau menuruti kehendak Duryudana, oleh karena itu Duryudana memerintahkan Dursasana menelanjangi Dewi Drupadi.

Dewi Drupadi kemudian berdoa memohon pertolongan dewa Wisnu, dan atas pertolongannya setiap kali kain Dewi Drupadi tertanggal di dalamnya selalu ada lapisannya, sampai kain-nya bertumpuk-tumpuk. Dursasana kelelahan tanpa berhasil menelanjangi Dewi Drupadi yang akhirnya sadarlah semuanya bahwa Dewi Drupadi mendapat perlindungan dewata.

Peristiwa ini menyebabkan, sebab yang lain: o Bhima bersumpah akan meremukkan paha Duryudana karena lancang meminta Dewi Drupadi duduk dipangkuannya.o Bima juga bersumpah akan menghirup darah Dursasana karena perlakuan yang tidak senonoh dari Dursasana terhadap Dewi Drupadi.o Dewi Drupadi bersumpah tetap akan menguraikan rambutnya dan tidak akan menyanggulnya sampai dengan dicuci dengan darah Dursasana karena perlakuan yang di luar batas kesopanan dari Dursasana.

Sumpah tersebut terlaksana pada saat terjadi perang Bharatayuda (Note: Cerita Mahabharata sendiri ditulis beberapa abad sebelum Masehi, jadi nilai-nilai yang bersifat “barbarian” masih ada di dalamnya seperti apa yang dilakukan oleh Bima terhadap Dursasana dalam peperangan – tentunya tidak bisa diterima sebagai nilai-nilai kemanusiaan pada saat ini).

Riwayat Bangsa Yadawa

Diceritakan bahwa Sri Kresna – penasehat Pandawa – adalah juga raja Dwarawati yang juga titisan Wisnu, telah berhasil memerintah negaranya menjadi negara yang adil dan makmur. Cuma sayangnya kemakmuran yang telah dihasilkan menyebabkan rakyatnya menyukai pesta-pora, berolok-olok, menghirup minuman keras, manja, dan cenderung meremehkan pihak lain.

Page 15: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Note: 1. Kecenderungan seperti tersebut diatas saat ini juga terjadi di negara Barat, yang kemakmuran negaranya menjadikan rakyatnya mengidap penyakit sombong, senang pesta pora dengan minuman keras, cenderung dekaden yang pada saatnya bisa membawa kepada kehancuran masyarakatnya sendiri.2. Kalau untuk kondisi di Indonesia: yang adigang, adigung, adiguna adalah para pemimpinnya yang secara berjamaah melakukan tindakan korupsi dengan bangga dan tanpa rasa malu yang telah menyengsarakan lebih dari 100 juta rakyat Indonesia berada dalam kondisi dibawah garis kemiskinan. Pada akhirnya kalau tidak ada perubahan yang nyata, bisa terjadi hukuman terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Rakyat juga ikut andil menciptakan pemimpin yang seperti ini dengan melakukan pilihan yang salah dan melakukan pembiaran terhadap penyimpangan yang terjadi. Malahan kalangan rakyat biasapun juga ikut-ikutan korupsi secara kecil-kecilan (kecil atau besar yang dikatakan mencuri tetap saja mencuri).

Sebab: Pada suatu saat ada seorang pendeta pendatang yang konon sangat sakti berkunjung ke Ibukota negara Dwarawati. Samba – sang putra mahkota – yang memang terkenal manja dan sombong mengajak kawan-kawannya untuk memperolok-olok sang pendeta dengan Samba pura-pura berperan sebagai wanita yang sedang hamil besar, dan menemui sang pendeta dan minta diramal anak yang sedang dikandungnya apakah akan lahir pria atau wanita.

Sang pendeta tahu sedang diperolokkan dan menjawab: "Anak yang akan lahir adalah sebuah gada yang akan menjadi sebab kehancuran bangsamu yang senang memperolok-olok orang lain dan pesta pora".

Akibat: Samba dan kawan-kawannya sangat terkejut dengan jawaban sang pendeta dan ternyata setelah dibuka, hamil buatan Samba terdapat sebuah gada besi. Nasi sudah menjadi bubur dan ayahnya – Sri Kresna – menasehatkan agar gada besi tersebut dihancurkan, dibuang dan disebarkan dipantai.

Konon pada saat dihancurkan ada kepingan kecil yang tertinggal, yang dipungut oleh seorang pemburu untuk dijadikan ujung anak panah, yang pada saatnya akan jadi penyebab terbunuhnya Sri Kresna yang secara tidak sengaja sang pemburu memanah telapak kaki Sri Kresna dengan anak panah tersebut.

Akibat: Besi yang disebarkan dipantai secara perlahan menjadi tanaman rumput. Pada suatu saat bangsa Yadawa melakukan pesta pora dengan memimum minuman keras – di lokasi pantai tersebut – sehingga timbul perkelahian diantara mereka sendiri yang apabila mencabut rumput, rumput tersebut berubah menjadi gada yang di pergunakan mereka untuk saling bunuh membunuh, sehingga tidak satupun prajurit Yadawa yang hidup. Bahkan diceritakan lautan telah meluap (tsunami) dan menenggelamkan negara Dwarawati dengan isi-isinya.

Page 16: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Dari contoh riwajat Dewi Drupadi dan bangsa Yadawa, penulis ingin mengemukakan bahwa Hukum Karma bisa menimpa manusia secara individu maupun secara kelompok karena telah berbuat kesalahan-kesalahan.

Dalam “wayang kulit” sebagai simbolisasi kehidupan, tidak ada satupun perbuatan kita yang lolos dari hukum karma, “becik ketitik, ala ketara”, baik atau buruk akan ada akibatnya yang pada puncaknya adalah menjadi penyebab kematian kita bahkan juga menentukan cara kematian kita apakah dengan cara yang mudah/tenang atau cara yang sulit, tersiksa, dan menyakitkan ataupun kemusnahan suatu bangsa.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan dalam kitab suci Al-Qur’an, Surat Az Zalzalah ayat (7) Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (8) Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.

Sebagai penutup dan kesimpulan, tulisan panjang (sepuluh sesi) tentang arti “etika dan simbolik dibalik wayang kulit” bahwa relevansi cerita wayang kulit punya cakupan yang sangat luas, bisa diterjemahkan sesuai dengan jamannya. Hal ini hanya bisa terjadi apabila kita betul-betul mendalami dan meresapi isi cerita.

Seperti yang dikemukakan dalam Serat Centhini Jilid 10 bahwa nonton wayang harus mengetahui cerma (kulit dan tulang yaitu bahan yang dipakai untuk membuat wayang kulit) dan cermin (kaca). Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) sebagai simbul harafiah fisiknya saja atau yang kasat mata saja tapi juga harus bisa melihat cermin (kaca) dari sari cerita ki dalang atau makna simbolik dibaliknya yang berusaha mengungkap seluk beluk kehidupan yang ajaib ciptaan Allah SWT.

Page 17: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Wayang Kulit - Mitos atau Realitas?

Tulisan Etika dan Simbolik Dibalik Wayang Kulit sebetulnya sudah selesai pada tulisan ke 10. Pada sesi 11 ini rencananya hanya akan berisi Daftar Pustaka yang mendasari tulisan saya. Tapi karena saya membaca buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found” karangan Prof. Arysio Santos (Geolog & Fisikawan Nuklir Brazil), saya ingin mengupas sedikit tentang mitos dan realitas dari keberadaan wayang kulit di Indonesia sehubungan dengan pendapat bahwa benua Atlantis adalah Indonesia. Disamping tentunya juga Daftar Pustaka yang mendasari keseluruhan tulisan perihal wayang kulit ini.

Dalam bukunya Prof. Arysio Santos meyakini bahwa Atlantis yang hilang adalah Indonesia pada saat sebelum jaman es, ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan Asia yang merupakan pusat peradaban manusia (note: lihat peta). Dengan teori geologi yang dibuktikan dengan pengamatan satelit, suatu peradaban yang maju yang mungkin terjadi pada masa sebelum jaman es hanya bisa terjadi di daerah tropis. Sedangkan pada masa itu daerah subtropis seperti Eropa masih ditutupi es, tidak memungkinkan suatu kehidupan apalagi suatu peradaban yang maju. Dari segi logika masuk akal, tentu saja teorinya masih harus mendapatkan dukungan bukti-bukti arkeologi yang lebih nyata.

Note: 1). Atlantis sendiri adalah cerita dari Plato (427SM – 347SM) tentang keberadaan benua Atlantis yang sudah punya peradaban tinggi yang tengelam didasar laut, kemudian para pahlawan berhati luhur yang selamat menyebar membawa peradaban keseluruh dunia.2) Benua Amerika adalah “invisible” bagi peradaban kuno yang berada di Asia maupun Eropa, sampai ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492. Oleh karena itu Samudra Atlantik oleh peradaban kuno termasuk didalamnya Samudra Pacific. Samudra Pacific baru ada setelah ditemukan Benua Amerika.

Yang menarik buat saya di dalam bukunya, Prof. Arysio Santos becerita banyak tentang sumber cerita pewayangan yaitu Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Tiga sumber utama cerita pewayangan di Jawa. Bahkan menterjemahkan kerajaan Alengkadireja di Ramayana terletak di Sumatera sebelum gunung Toba meletus bukan Sri Langka yang sering disebut oleh sumber di India.

Note:a. Pustaka Raja Purwa karangan R. Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873) adalah serat pedalangan versi Solo, sedangkan versi Jogja adalah Serat Purwakhanda karangan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1822 – 1855), sedangkan versi Mangkunegaran adalah Serat Pedhalangan Ringgit Purwa hasil karya KGPAA Mangkunegara VII (1916 – 1944).b. Para dalang di Jawa lebih melihat buku Pustaka Raja Purwa, Purwakhanda, atau Pedhalangan Ringgit Purwa sebagai sumber cerita wayang, dibandingkan dengan buku Ramayana atau Mahabharata.

Hal ini yang menimbulkan suatu spekulasi bagi saya bahwa ada kemungkinan memang ada kaitannya antara Pustaka Raja Purwa dengan Ramayana dan Mahabharata. Bukan dalam pengertian saat ini yang umum berlaku, yaitu Pustaka Raja Purwa adalah cerita yang dikembangkan dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Tapi malahan sebaliknya, sumber ceritanya telah berkembang di Jawa secara turun temurun dalam bentuk pementasan wayang kulit, kemudian dibukukan menjadi Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dan Pedalangan Ringgit Purwa. Sama sekali proses yang berbeda dengan keberadaan Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India walaupun menceritakan hal yang sama.

Kalau kita mengamati cerita wayang di Pustaka Raja Purwa / Purwakanda / Pedhalangan Ringgit Purwa adalah sangat detil, jauh lebih detil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita mengacu pada teori Prof. Arysio Santos bahwa pusat peradaban berasal dari Indonesia, justru orang-

Page 18: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

orang India yang berasal dari Indonesia yang selamat dari akibat tsunami dikarenakan meletusnya gunung Krakatau yang mengakhirinya jaman es, mengembangkan peradaban di India, kemudian menulis cerita pra-tsunami dalam dua episode cerita yaitu buku Ramayana dan Mahabharata, oleh karena itu lebih ringkas dibandingkan dengan sumber cerita yang sama di Jawa. Sudah barang tentu cerita ataupun legenda akan lebih detil apabila lebih dekat dengan sumbernya.

Karena pusat peradaban tengelam, yang selamat adalah mereka yang hidup di dataran tinggi yang saat ini adalah pulau-pulau di Indonesia saat ini. Sedangkan yang hidup di pulau Jawa tidak mungkin meneruskan peradaban tulis yang sudah ada dan tenggelam, jadi cerita didalam bentuk legenda dari mulut ke mulut dari generasi ke genersai maupun lebih diabadikan lagi dalam bentuk pementasan wayang kulit yang akhirnya menjadi buku Pustaka Raja Purwa maupun yang lain-lainnya.

Baru belakangan sejalan dengan tumbuhnya kerajaan Hindu di Jawa, buku Ramayana dan Mahabharata datang bersamaan dengan pengaruh penyebar agama Hindu dari India. Keberadaan buku Ramayana dan Mahabharata di Jawa hanya sebagai pembanding, karena cerita yang sama dan lebih lengkap sudah ada di Jawa dalam bentuk pementasan wayang kulit.

Teori Prof. Arysio Santos, bisa merupakan suatu cerita baru tentang legenda para pahlawan berbudi luhur yang bersumber dari peradaban Atlantis yang hilang, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menurut bukunya sudah ada paling tidak tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan bencana alam yang sangat besar:

1. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Sehingga gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Ramayana.

2. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Yang mengakibatkan gunung Krakatau tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Mahabharata.

3. Bencana tsunami maha besar diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.

Dulunya India dan Indonesia adalah menjadi suatu kesatuan kerajaan maha luas yang berpusat di Indonesia yang saat ini diperkirakan sebagai Atlantis yang tenggelam di Palung Sunda (Laut China Selatan dan Laut Jawa) ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan benua Asia.

Hal ini menimbulkan suatu spekulasi bahwa kisah Ramayana dan Mahabharata adalah memang kisah sebenarnya yang bukan terjadi di India. Karena sampai saat ini belum diketemukan suatu bukti yang cukup meyakinkan bahwa cerita ini terjadi di India. Ramayana dan Mahabharata adalah masih merupakan mitos di India.

Begitu juga sama kondisinya di Jawa, cerita pewayangan begitu hidup di masyarakat Jawa, dan kita bisa memetakan tempat-tempat di Jawa yang dari cerita turun-temurun merupakan tempat terjadinya cerita Ramayana dan Mahabharata. Hal ini juga masih mitos yang belum meyakinkan untuk dijadikan suatu dasar kebenaran sebagai fakta sejarah. Dalam bukunya The History of Java – Thomas Stamford Rafles memuat peta Jawa berdasarkan mitos Mahabharata (note: lihat peta).

Page 19: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

Tentu saja teori Prof. Arysio Santos, bisa jadi akan menjungkirbalikkan cerita asal usul manusia dan peradaban dunia. Karena teori Prof. Arysio Santos walaupun masih merupakan teori yang harus dibuktikan dengan penemuan arkeolgi yang lebih meyakinkan. Bagi saya, teori ini bisa menjelaskan banyak legenda-legenda aneh yang ada di masyarakat Jawa pada khususnya, umpamanya:

1. Buku Babad Tanah Jawi menceritakan silsilah raja-raja Jawa berasal dari Nabi Adam dan seterusnya termasuk para dewa dan tokoh-tokoh dunia pewayangan sampai dengan raja-raja di Mataram, mungkin bukan sekedar mitos, didalamnya mengandung realitas, kalau memang peradaban berasal dari Indonesia.

2. Pustaka Raja Purwa adalah kisah pewayangan versi Jawa, yang ada kemungkinan berupa kisah yang memang berdasarkan realitas terjadi di bumi Indonesia pada masa sebelum Atlantis tenggelam. Cerita ini karena diabadikan dalam bentuk budaya wayang kulit secara turun temurun, bisa bercerita jauh lebih detil dari pada buku Ramayana dan Mahabharata versi India.

3. Kecenderungan bangsa Indonesia yang sinkretis adalah karena sumber peradaban ada di Indonesia (Ibu Peradaban). Jadi peradaban yang datang kemudian bukan sesuatu yang aneh buat bangsa Indonesia, pasti bisa diterima, tapi peradadan asli bangsa Indonesia masih tetap lestari. Ini adalah makna cerita legenda Sangkuriang di daerah Sunda dan legenda cerita Watu Gunung didaerah Jawa Tengah/Jawa Timur. Anak yang memperistrikan ibunya sendiri, sang anak tidak percaya karena telah bekeliling dunia, selalu berjalan menuju matahari terbit, sang ibu yang awet muda mengajukan syarat yang berat buat sang anak kalau mau memperistrikan ibunya yang akhirnya sang anak gagal memperistrikan ibunya. Buat penulis makna legenda ini adalah kecenderungan budaya sinkretis bangsa Indonesia. Anak yang hilang setelah keliling dunia kembali pada Ibu Peradaban.

4. Cerita tentang tempat-tempat terjadinya kisah pewayangan memang tejadi di Indonesia, banyak terdapat didesa-desa di Jawa yang diceritakan secara turun temurun, mungkin bukan mitos belaka tapi ada unsur realitasnya, walaupun memerlukan pembuktian lebih lanjut.

5. Cerita Sunan Kalijaga ketemu Yudhisthira di hutan Glagahwangi, mungkin bukan cerita bikinan, tapi memang realitas. Apa seseorang yang sudah menjadi wali berbohong? Karena peradaban sprituil yang tinggi memungkinkan seseorang hidup abadi atau berumur sangat panjang. Peradaban sprituil yang semacam ini masih sangat hidup di Jawa, yaitu explorasi roh menuju kepada kesempurnaan, karena roh bersifat abadi. Agama yang datang belakangan, sudah banyak yang meringankan ibadah kepada Yang Maha Kuasa, walaupun sudah diringankan masih banyak yang kesulitan untuk menjalankan. Apalagi ibadah yang bersifat menyempurnakan roh yang sangat jauh lebih berat, yang saat ini kebanyakan dijalankan oleh para sufi. Pada umumnya agama-agama yang datang belakangan melarang pembicaraan masalah roh. Sedangkan pengetahuan spiritual di Jawa adalah justru roh harus diexplorasi menuju kesempurnaan kembali ke pada asal mulanya. Mungkin pengetahuan mengenai roh pada masa lalu telah banyak disalah gunakan oleh manusia, sehingga terjadi hukuman berupa hancurnya peradaban manusia seperti gelombang tsunami dengan tenggelamnya peradaban Atlantis.

6. Penduduk Jawa umumnya sangat trumatis pada laut selatan. Ada kemungkinan merupakan sisa trumatis tsunami pada masa lalu, adat istiadat para penduduk pantai selatan Jawa yang menunjukkan trauma terhadap laut:

a. Adanya legenda Nyai Loro Kidul penguasa laut selatan yang ditakuti.b. Ada adat istiadat yang mengharuskan semua rumah di daerah pantai laut selatan bahkan

hampir di seluruh rumah di pedesaan di Yogyakarta harus menghadap ke selatan. Bukan menghadap ke jalan, tapi harus menghadap ke selatan. Ini adalah suatu bentuk kewaspadaan terhadap bahaya yang berasal dari laut.

Page 20: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

c. Ada larangan adat istiadat mendirikan bangunan terlalu dekat dengan pantai (sekitar 1 km dari pantai dibiarkan kosong).

Sudah barang tentu larangan adat-istiadat yang masih saya rasakan pada saat saya kecil sudah tidak digubris lagi saat ini, oleh karena itu jangan disalahkan kalau Pantai Parangtritis dan Pantai Pangandaran disapu tsunami.

7. Orientasi darat bangsa Indonesia - pada umumnya walaupun hidup dikepulauan bangsa Indonesia berorientasi ke darat terutama pulau-pulau di Indonesia bagian Barat. Teori Prof. Aryso Santos bisa menjelaskan, karena masa lalu bangsa Indonesia adalah suatu kerajaan benua yang besar, sampai saat ini orientasinya adalah negara benua bukan negara laut. Ini terbukti dengan pengembangan Angkatan Darat yang lebih maju, bukan Angkatan Lautnya. Pembangunanpun berorientsai ke darat bukan pengembangan pembangunan kelautan. Bahkan menyebut tanah tumpah darah Indonesia sebagai ibu pertiwi (pertiwi berarti tanah). Walaupun pada masa kerajaan Majapahit berhasil dirubah, setelah itu kembali ke asal mulanya lagi. Ini sejalan dengan teori psikologi yang mengatakan bahwa seseorang dibawah tekanan cenderung akan memperlihakan pembawaan aslinya. Tekanan penjajahan Belanda menyebabkan suatu reaksi otomatis dari bangsa Indonesia berorientasi ke darat kembali. Kembali pada asal mula kebiasan awal bangsa Indonesia sebagai kerajaan benua. Hal ini masih sangat sulit dirubah sampai saat ini, sampai bangsa Indonesai bisa menghilangkan trauma penjajahan, kembali menjadi bangsa merdeka yang mengembangkan orientasinya secara rational sesuai dengan realitas yang ada.

Buku dari Prof. Arysio Santos ini bisa merupakan titik balik dari persepsi asal mula peradaban manusia yang selama ini selalu di claim berasal dari Barat dengan para filsuf Yunani sebagai sumbernya. Tapi Plato sendiri bercerita bahwa sudah ada peradaban jauh sebelum itu yaitu di benua Atlantis yang tenggelam dua kali. Hal ini yang secara spekulatis bisa diterjemahkan sebagai budaya Ramayana dan budaya Mahabharata yang memang ada jeda waktu antara keduanya. Sedangkan jeda waktu antara kisah Ramayana dan kisah Mahabharata ini tidak ada yang tahu persis. Kemungkinan besar adalah siklus peradaban manusia diantara bencana tiga tsunami besar yang pernah menimpa dunia seperti yang dikemukakan oleh Prof. Arysio Santos.

Bagi kita di bangsa Indonesia, menurut penulis bisa menyikapi penemuan Prof. Arysio Santos dengan paling tidak dua hal, yaitu:

1. Mencari bukti yang lebih konkrit bahwa teori ini benar yang bisa dijadikan modal sebagai kebanggaan nasional. Ini adalah tugas berat dari arkeolog maupun sejarawan Indonesia. Karena apa yang kita ketahui saat ini tentang Indonesia dimasa lalu lebih banyak bersumber dari literatur Belanda dan hasil penyelidikan para peneliti Barat yang ada kemungkinan bias dengan superiority bangsa Barat yang cenderung merendahkan kemampuan bangsa Timur dan menganggap bahwa peradaban subtropis lebih unggul dibandingkan dengan peradaban tropis.

2. Indonesia pernah tenggelam dalam tiga tsunami super dahsyat. Menurut buku ini pada tsunami letusan gunung Krakatau yaitu siklus ke-2 gelombang tsunami yang menengelamkan Atlantis, 20 juta nyawa melayang, jauh lebih dahsyat dari tsunami di Aceh yang merengut 400 ribu nyawa. Peradaban manusia mulai dari nol kembali, karena sisa-sisa yang hidup tidak cukup mampu merekam semua peradaban yang ada dan melaksanakan dalam bentuk nyata, oleh karena hanya tersisa legenda-legenda, yang sudah barang tentu secara terus menerus dari generasi ke genersi mengalami distorsi. Bisa disimpulkan bahwa kawasan di Indonesia sangat rawan tsunami. Sungguh mengherankan bahwa kesadaran adanya bahaya tsunami baru terjadi setelah ada tsunami di Aceh yang dalam periode sangat singkat merenggut 400 ribu nyawa. Ini adalah kurang lebih 5.000 tahun setelah terjadi tsunami hebat akibat melelehnya gunung es Himalaya (menurut Prof. Arysio Santos).Sebagai kewaspadaan, bukan tidak mungkin tsunami maha dahsyat akan melanda Indonesia kembali yang akan menyisakan lebih sedikit pulau lagi yang bernama Indonesia. Ini sangat mungkin terjadi apabila, manusia Indonesia tidak mau kembali pada tingkahlaku yang lebih baik dari yang saat ini. Karena yang selamat menurut legenda Atlantis dari Plato adalah para pahlawan berhati luhur yang

Page 21: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

menyebarkan perdaban keseluruh dunia. Ini sangat relevan dengan peringatan R. Ng. Ronggowarsito dalam Serat Kalatida untuk selalu eling dan waspada. Atau lengkapnya:• Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.Artinya: Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu jaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.• Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.Artinya: Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.• Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.Artinya: Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (tetap berbudi pekerti baik dan luhur).

Setelah membaca buku ini, mitos-mitos yang saya baca dengan kesenangan saya membaca naskah-naskah Jawa Kuno yang sudah dilatinkan (Note: Termasuk membaca buku-buku almarhum ayah saya yang semuanya pakai huruf Jawa), mitos-mitos ini seolah-olah menemukan realitasnya. Banyak mitos-mitos menjadi masuk akal apabila peradaban manusia memang berasal dari Indonesia. Akan menemukan realitasnya apabila kita bisa menemukan temuan-temuan arkelologi yang lebih meyakinkan.

Karena sejarah bangsa Indonesia sebelum tarih Masehi masih sangat gelap, belum ada fakta yang konkrit. Hanya samar-samar dari berbagai sumber ada negara yang bernama Jawa Dwipa yang diartikan sebagai pulau Jawa punya peradaban yang sangat maju dan kaya raya di masa lalu.

Daftar Pustaka (Untuk keseluruhan tulisan Etika dan Simbolik Dibalik Wayang Kulit ke 1 s/d ke 11):

1. Dr. Hasim Amir M.A. – 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.2. Nyoman S. Pendit – 1970. Mahabharata. Penerbit Bhratara.3. Nyoman S. Pendit – 2009. Ramayana, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.4. R. Rio Sudibyoprono – 1991, Ensiklopedia Wayang Purwo, Penerbit Balai Pustaka.5. Prof. Danys Lombard – 1996. Nusa Jawa - Silang Budaya Jilid 1,2,3, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama (terjemahan dari Bahasa Perancis ke Indonesia oleh Winarsih Arifin, Rahayu S. Hidayat, Jean Coutteau – Forum Jakarta Paris). 6. Prof. Drs. Suwadji Bastomi :a. 1992. Gelis Kenal Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.b. 1996. Gemar Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.c. 1996. Gandrung Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.7. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo, 1975, Apa dan Siapa Semar, Penerbit P.T. Gunung Agung.8. Sunan Pakubuwono V – 1998, Serat Centini Latin jilid I s/d 12, Penerbit Yayasan Centini, Yogyakarta (transkripsi dari huruf Jawa ke Latin oleh Kamajaya)9. Irvine, David – 1996, Leather Gods & Wooden Heroes, Published by Times (Singapore).10. Prof. Arysio Santos – 2010, Atlantis - The Lost Continent Finally Found, Penerbit Ufuk Press, Jakarta. (terjemahan dari Bahasa Inggris ke Indonesia oleh Hikmah Ubaidillah)11. Supriyono dkk. – 2008, E-Book – Pedalangan Jilid 1 dan 2, Penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.12. Raffles, Thomas Stamford – 2008, The History of Java, Penerbit Narasi, Yogyakarta (terjemahan dari Bahasa Inggris ke Indonesia oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah).13. Olthof, W.L. – 2008, Babad Tanah Jawi, Penerbit Narasi, Yogyakarta (terjemahan dari Bahasa Belanda ke Indonesia oleh HR Sumarsono)

Referensi Website:

1. Search Engine: http://www.google.co.id/2. Penterjemah dari Bahasa Inggris : http://translate.google.co.id/

Page 22: Wiranto Partosudirdjo - Etika Dan Simbolik Di Balik Wayang Kulit

3. Penterjemah dari Bahasa Kawi/Jawa: http://www.bausastra.com/4. Gambar Wayang diambil dari:a. Koleksi Pribadi (WP-Collection)b. http://bharatayudha.multiply.com/c. http://tokohwayangpurwa.blogspot.com/5. Program untuk modifikasi gambar wayang: Microsoft Office Picture Manager, ACDSee Photo Manager, Adobe Photoshop CS2.

(Tamat)