library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2doc/2011-2... · web viewfaktor...

30
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan pembulian, pola asuh orangtua, remaja, kerangka berpikir dan hipotesis. 2.1 Pembulian 2.1.1 Definisi Pembulian Bauman (2008, dalam Indira, 2011) mendefinisikan pembulian sebagai berikut : (1) Sebuah perilaku agresif yang ditandai oleh tiga kondisi yang menentukan yaitu (a) perilaku negatif atau berbahaya yang bertujuan untuk menyakiti atau mencelakai, (b) perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang selama periode waktu tertentu, dan (c) terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan antara pihak yang terlibat (Olweus, 1993). (2) Adanya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang sistematis (Smith & Sharp, 1994). 12

Upload: others

Post on 15-Feb-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan pembulian, pola asuh

orangtua, remaja, kerangka berpikir dan hipotesis.

2.1 Pembulian

2.1.1 Definisi Pembulian

Bauman (2008, dalam Indira, 2011) mendefinisikan pembulian

sebagai berikut :

(1) Sebuah perilaku agresif yang ditandai oleh tiga kondisi yang

menentukan yaitu (a) perilaku negatif atau berbahaya yang bertujuan

untuk menyakiti atau mencelakai, (b) perilaku yang dilakukan secara

berulang-ulang selama periode waktu tertentu, dan (c) terdapat

ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan antara pihak yang terlibat

(Olweus, 1993).

(2) Adanya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang sistematis

(Smith & Sharp, 1994).

(3) Terpaparnya individu secara berulang terhadap interaksi

negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan

oleh satu orang atau lebih yang dominan. Bahaya yang terjadi dapat

disebabkan karena perlakuan langsung secara fisik maupun psikis,

dan/atau secara tidak langsung melalui proses penguatan atau

penghindaran oleh penonton kejadian (Twemlow, Fonagy, & Sacco,

2004) (dalam Indira, 2011).

12

Page 2: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

13

Sullivan (2000) menambahkan salah satu unsur dari tindakan

pembulian adalah ditinggalkannya pengalaman sakit pada korban, baik

secara fisik maupun psikologis.

Sama halnya dengan pendapat Coloroso (2007), bahwa

pembulian memiliki empat unsur berikut :

1. Ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku pembulian bisa saja

orang yang lebih tua, lebih besar dan lebih kuat.Pembulian

bukan perkelahian yang melibatkan dua pihak yang memiliki

kekuatan yang seimbang.

2. Adanya niat untuk menyakiti. Pembulian menyebabkan

adanya tekanan emosional atau luka fisik, atau bahkan

keduanya. Pelaku akan merasa senang ketika melihat korban

tertekan dan terluka.

3. Ancaman agresi lebih lanjut. Pembulian tidak dilakukan hanya

sekali. Pelaku dan korban sama-sama mengetahui bahwa

tindakan pembulian dapat terjadi berulang-ulang.

Jika ketiga unsur di atas terjadi terus-menerus tanpa henti dan

justru meningkat intensitasnya, maka unsur keempat akan muncul, yaitu :

4. Teror. Ketika teror yang dilakukan oleh pelaku telah berhasil

menghantui korban, maka teror bukan hanya menjadi cara

pembulian, tetapi telah menjadi tujuan pembulian. Sekali teror

tercipta, maka pelaku tidaka akan takut akan adanya

pembalasan atau pemberontak dari korban pembulian.

Page 3: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

14

Hal ini sejalan dengan pengertian pembulian dari SEJIWA (2008)

bahwa pembulian selalu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, bukan

hanya secara ukuran fisik, tapi bisa juga secara mental. Hal yang paling

penting dari tindakan pembulian adalah perasaan terintimidasi, tidak

senang atau tersakiti yang dirasakan korban harus terwujud. Jika tidak

ada perasaan – perasaan tersebut, maka tindakan tersebut tidak dapat

dikatakan tindakan pembulian.

Berdasarkan temuan-temuan riset yang telah dilakukan peneliti

sebelumnya (dalam SEJIWA, 2008), terdapat tiga pihak yang terlibat

dalam pembulian, antara lain :

1. Pelaku pembulian (bullies). Merupakan pihak utama yang

memicu terciptanya pembulian. Pelaku pembulian juga

merupakan provokator, agresor, sekaligus inisiator dalam

pembulian.

2. Korban pembulian (victims). Korban bukan merupakan pihak

yang pasif dalam pembulian. Sebenarnya, mereka juga turut

memelihara dan menjaga situasi pembulian tetap terjadi

dengan bersikap diam. Sikap diam tersebut dilatarbelakangi

dengan pemikiran apabila ia melaporkan pembulian yang

menimpanya, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah,

serta kepercayaan dirinya bahwa ia pantas menerima

pembulian tersebut, dan keyakinan bahwa orangtua dan guru

tidak dapat menangani pembulian tersebut.

3. Saksi pembulian (bystander). Saksi berperan dengan dua

cara, yaitu menyoraki dengan aktif serta mendukung pelaku

Page 4: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

15

pembulian, atau diam dan bersikap acuh tak acuh. Saksi

pembulian yang aktif menertawakan dan menyoraki korban

pembulian yang sedang dianiaya, sebenarnya telah menjadi

anggota kelompok yang dipimpin oleh pelaku pembulian.

Saksi pembulian memberikan motivasi bagi pelaku pembulian

untuk melancarkan aksinya dan membuatnya semakin

menjadi-jadi. Sedangkan saksi yang diam dan acuh tak acuh,

ia melakukannya karena takut. Karena, jika dia melakukan

intervensi, maka dia akan turut menjadi korban saat itu juga

maupun nanti.

Namun, tidak semua anak dapat dengan mudah dikategorikan

semata-mata sebagai pelaku atau korban dari pembulian. Hasil penelitian

di Amerika Serikat menemukan bahwa 15 sampai 20 persen siswa

merupakan korban pembulian secara rutin (Batsche & Knoff, 1994;

Demaray & Malecki, 2003). Demikian juga, 8 sampai 20 persen siswa

merupakan pelaku pembulian secara rutin (Haynie et al., 2001 dalam

Demaray & Malecki, 2003). Namun, terdapat 4 sampai 7 persen dari

siswa yang mengaku bahwa mereka adalah pelaku maupun korban

pembulian (dalam Demaray & Malecki, 2003).

Schwartz (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori

kelompok dari pembulian, antara lain : (1) semata-mata pelaku (pure

bullies), orang atau siswa yang hanya mengintimidasi atau menganiaya

anak lainnya; (2) semata-mata korban (pure victims), orang atau siswa

yang hanya menjadi korban pembulian dari anak lainnya, yang lebih kuat

secara fisik dan/atau psikologis; (3) pelaku maupun korban (bully-victims),

orang atau siswa yang terlibat dalam situasi pembulian dengan menjadi

Page 5: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

16

pelaku pembulian bagi korban yang lebih lemah darinya dan juga menjadi

korban pembulian bagi pelaku pembulian yang lebih kuat darinya; dan (4)

bukan pelaku maupun korban (neutral children), orang atau siswa yang

tidak terlibat menjadi pelaku maupun korban pembulian (Dukes, Stein &

Warren, 2007).

2.1.2 Karakteristik Pelaku dan Korban Pembulian

2.1.2.1 Karakteristik Pelaku

Karakteristik dari pelaku pembulian yang khas adalah

dengan adanya perilaku agresi terhadap teman-teman mereka.

Bahkan, perilaku agresi tersebut juga ditujukan terhadap orang

dewasa, baik guru maupun orangtua mereka. Biasanya, pelaku

juga memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dan

lebih sering menggunakan kekerasan dalam kegiatan sehari-

harinya dibandingkan dengan siswa lainnya (Olweus, 1993).

Mereka juga memiliki rasa empati yang rendah terhadap orang

lain, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perasaan

orang yang dianiaya atau disiksa oleh mereka (SEJIWA, 2008).

Dalam melakukan perilaku agresi tersebut, pelaku juga merasa

senang saat menyakiti korbannya (Astuti, 2008).

Sejalan dengan definisi pembulian yang dipaparkan

sebelumnya, bahwa terdapatnya ketidakseimbangan kekuatan

antara pihak yang terlibat dalam pembulian, maka dapat

dipastikan bahwa pelaku merupakan individu yang dominan

(Sullivan, 2000). Untuk siswa laki-laki, mereka cenderung memiliki

fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki pada

Page 6: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

17

umumnya, terutama korban (Olweus, 1993). Sedangkan untuk

siswa perempuan, mereka cenderung memiliki kontrol atas

tercipta dan terpecahnya sebuah kelompok (cliques) (MacMullin &

Owens, 1995, dalam Sullivan, 2000). Ketidakseimbangan

kekuatan ini digunakan oleh pelaku untuk membuat korban

merasa tertekan (Astuti, 2008). Karakteristik umum lainnya adalah

bahwa pelaku cenderung lebih tua dari korban, yang merupakan

jenis lain dari dominasi (Sullivan, 2000).

2.1.2.2 Karakteristik Korban

Pada korban pembulian (Byrne, 1999) ditemukan bahwa

korban memilik perasaan bersalah, malu, dan gagal karena

mereka tidak dapat mengatasi masalah pembulian mereka (dalam

Sullivan, 2000). Mereka juga sering merasa cemas, tidak bahagia,

serta ketakutan, dan cenderung lebih neurotik dibandingkan anak

lainnya. Smith (1999) menemukan bahwa korban juga cenderung

kurang populer dibandingkan anak-anak lainnya dan lebih senang

menyendiri, terlihat dari kurangnya aktivitas bermain mereka

dengan anak-anak lainnya dan kurang berkembangnya

kemampuan sosial mereka (dalam Sullivan, 2000).

Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dapat

diidentifikasi dengan akurat bahwa mereka merupakan korban,

dan biasanya mereka akan terus menjadi korban selama

beberapa tahun, walaupun mereka pindah sekolah (Olweus, 1993

dalam Sullivan, 2000).

Page 7: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

18

2.1.3 Jenis-jenis Pembulian

Bauman (2008, dalam Indira, 2011) membagi jenis pembulian

menjadi tiga jenis besar, yaitu :

1. Pembulian terbuka (overt bullying).

Pembulian terbuka lebih mudah untuk disaksikan secara

langsung, dan terdiri dari :

(a) Pembulian secara fisik, merupakan jenis pembulian yang

kasat mata karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dan

korban pembulian (SEJIWA, 2008). Contoh dari pembulian

secara fisik antara lain menampar, menimpuk, menginjak

kaki, melempar dengan barang, menghukum dengan

menyuruh berlari keliling lapangan, mendorong hingga

jatuh, dan lainnya, serta

(b) Pembulian secara verbal, merupakan jenis pembulian yang

bisa tertangkap oleh indera pendengaran kita (SEJIWA,

2008). Misalnya dengan memberikan nama julukan,

mengancam, menghina, memaki, meneriaki, dan

mempermalukan di hadapan umum.

2. Pembulian tidak langsung (indirect bullying).

Pembulian tipe ini meliputi agresi relasional, dimana bahaya

ditimbulkan oleh pelaku dengan cara menghancurkan

hubungan – hubungan yang dimiliki oleh korban. Misalnya,

pengucilan, menyebarkan gosip dan meminta pujian atau

suatu tindakan tertentu sebagai balas budi dari persahabatan

Page 8: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

19

yang diberikan, memandang sinis, serta mencibir. SEJIWA

(2008) mengungkapkan bahwa tipe pembulian ini paling

berbahaya karena tidak tertangkap dengan mata atau telinga

kita, sehingga kita menjadi susah mendeteksi tindakan

pembulian yang terjadi.

3. Pembulian maya (cyber bullying).

Pembulian ini melibatkan penggunaan teknologi informasi dan

komunikasi seperti surat elektronik, telpon seluler, pesan

pendek (SMS), situs web pribadi yang menghancurkan

reputasi seseorang, dengan maksud untuk mendukung

perilaku menyerang seseorang atau sekelompok orang agar

orang tersebut tersakiti secara berulang kali.

2.1.4 Penyebab Terjadinya Pembulian

Tindakan pembulian tidak hanya disebabkan oleh faktor

tunggal, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor

lingkungan, sekolah, keluarga, media, budaya, teman bermain,

dan bahkan pribadi anak itu sendiri (Priyatna, 2010).

Menurut Priyatna (2010) terdapat 2 faktor yang

memberikan kontribusi kepada seorang anak untuk melakukan

tindakan pembulian.

1. Faktor keluarga

Kurangnya akan kehangatan, pengawasan dan tingkat

kepedulian orangtua yang rendah terhadap anaknya,

Page 9: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

20

dianggap memberikan kontribusi dalam perkembangan

anak untuk melakukan tindakan pembulian. Pola asuh

orangtua yang terlalu keras sehingga anak menjadi

akrab dengan suasana yang mengancam, atau

sebaliknya, pola asuh yang terlalu permisif sehingga

anak bebas melakukan tindakan apa saja yang dia

mau, juga dapat mengembangkan perilaku pembulian

pada anak. Dalam bertindak, orangtua yang kerap

member contoh perilaku kekerasan, baik disengaja

atau tidak juga memberikan kesempatan pada anak

untuk mengembangkan perilaku agresifnya sehingga

tidak menutup kemungkinan anak akan menirunya

menjadi tindakan pembulian.

2. Faktor pergaulan

Dalam lingkup pergaulan, tindakan pembulian sering

dilakukan. Biasanya, anak yang suka bergaul dengan

pelaku pembulian atau dengan anak yang suka

kekerasan, cenderung untuk menjadi pelaku pembulian

juga. Pembulian juga sering dilakukan untuk

meningkatkan status sosialnya dalam pergaulan, agar

diakui dan dihargai oleh lingkup pergaulannya.

Faktor lain penyebab pembulian terjadi di sekolah,

dikarenakan pihak sekolah tidak menaruh perhatian pada tindakan

tersebut, juga maraknya contoh perilaku kekerasan di berbagai

Page 10: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

21

media yang dikonsumsi oleh anak, seperti televisi, film atau video

game (Priyatna, 2010).

Astuti (2008) mengasumsikan bahwa tindakan pembulian

kerap terjadi di sekolah karena adanya :

1. Perbedaan ekonomi, agama, gender, etnisitas/rasisme

dan kelas sosial.

2. Adanya tradisi senioritas, dimana hal tersebut justru

diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang

bersifat laten. Bagi mereka tradisi senioritas ini

dilakukan untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati,

atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau

untuk menunjukkan kekuasaan.

3. Keluarga yang tidak rukun.

Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran

ayah, ibu yang menderita depresi, kurangnya

komunikasi antara orangtua dan anak, perceraian atau

ketidakharmonisan orangtua dan ketidakmampuan

sosial ekonomi merupakan penyebab tindakan agresi

yang signifikan (dalam Magfirah & Rachmawati, 2009).

4. Situasi sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif.

5. Karakter individu atau kelompok, seperti dendam, iri

hati, adanya keinginan untuk menguasai korban

dengan kekuatan fisik atau daya tarik seksual, dan

Page 11: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

22

untuk meningkatkan popularitas di antara teman

sepermainannya.

6. Adanya nilai persepsi yang salah atas perilaku korban.

Korban pembulian banyak yang merasa bahwa diri

mereka pantas menerima perlakuan pembulian

tersebut karena anggapan adanya tradisi senioritas

tersebut, sehingga mendiamkan saja perlakuan yang

kerap terjadi berulang kali tersebut dan tidak

melaporkannya kepada pihak sekolah.

2.1.5 Dampak Terhadap Pelaku dan Korban Pembulian

2.1.5.1 Dampak Terhadap Pelaku

Rigby (1996) menemukan bahwa remaja yang

diidentifikasikan sebagai pelaku, memiliki keterlibatan

dalam bentuk-bentuk perilaku antisosial lainnya, seperti

mengutil, bolos, menggambar graffiti dan memiliki masalah

dengan aparat keamanan (polisi) (dalam Sullivan, 2000).

Studi lain di Amerika menemukan bahwa remaja yang

diidentifikasi sebagai pelaku pembulian pada masa

sekolah, pada usia 30-an berkemungkinan memiliki

catatan kriminal sebesar 25 persen (dalam Sullivan, 2000).

2.1.5.2 Dampak Terhadap Korban

Penelitian menunjukkan bahwa korban cenderung

untuk menerima konsekuensi jangka panjang. Isolasi dan

eksklusi yang sering menyertai intimidasi yang dilakukan

Page 12: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

23

pelaku tidak hanya menolak interaksi sosial dan permainan

anak, tetapi juga menyebakan mereka merasa tidak

kompeten dan tidak menarik. Korban sulit untuk

membentuk hubungan yang baik dan cenderung kurang

berhasil dalam pencapaian akademik mereka (Olweus,

1978 dalam Sullivan, 2000).

Dari segi emosional, korban biasanya selalu

merasa ketakutan, terasing, marah, malu, putus asa, tidak

berdaya, sakit, sedih, bodoh, jelek dan tidak berguna. Dari

segi fisik, mereka dapat mengalami patah tulang, patah

gigi, dan lainnya bahkan kerusakan otak permanen akibat

pembulian yang mereka terima (dalam Sullivan, 2000).

2.2 Pola Asuh Orangtua

Pola asuh merujuk pada bagaimana orangtua bersikap disekitar anak –

anaknya. Pola asuh juga ditentukan oleh bagaimana cara orangtua menanggapi

kebutuhan dan tuntutan anak, cara mereka mendisiplikan anak, dan dampak

yang diberikan bagi perkembangan anak selanjutnya (dalam Ijaz & Mahmood,

2009). Mengasuh anak merupakan hal yang universal, tetapi pola pengasuhan

bervariasi dari budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Sebuah cara

bagaimana orangtua mengekspresikan rasa cinta, perhatian, kasih saying dan

control terhadap anaknya mungkin berbeda-beda di setiap keluarga.

Para psikolog banyak memberikan pandangan mengenai pola asuh yang

menghasilkan perkembangan sosial yang tepat bagi remaja. Namun, pandangan

Diana Baumrind yang paling dikenal, Baumrind mengidentifikasi tiga jenis cara

Page 13: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

24

menjadi orangtua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam

perilaku sosial remaja antara lain :

1. Otoriter (Authoritarian)

Pengasuhan dengan gaya yang bersifat menghukum dan membatasi di

mana orangtua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang

diberikan dan menghormati segala keputusan, pekerjaan dan usaha yang

telah dilakukan orangtua. Orangtua menetapkan batasan-batasan daan

kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan kesempatan

untuk mengkomunikasikan keinginan anak-anaknya secara verbal (dalam

Santrock, 2007).

Orangtua tipe ini juga kurang sensitif, fleksibel dan cenderung membuat

banyak aturan dan batasan pada anak mereka, juga terlalu mengharapkan

kedewasaan, ketaatan serta kepatuhan anak. Sehingga mereka cenderung

memiliki prestasi akademis yang kurang baik, tingkat kepercayaan diri yang

lebih rendah dan menujukkan agresi, serta pengunaan obat-obatan yang

lebih tinggi (Steinberg et al., 1994 dalam Greening, Luebbe, & Stoppelbein,

2010).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diana Baumrind yang menemukan

bahwa anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif sering berperilaku yang

kurang tepat dan kompeten secara sosial, cenderung khawatir mengenai

perbandingan sosial, kurang memiliki inisiatif dan memiliki kemampuan

komunikasi yang buruk (dalam Santrock, 2007).

Page 14: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

25

2. Otoritatif (Authoritative)

Pola pengasuhan ini mendorong anak-anak mereka untuk mandiri, tetapi

dengan tetap menetapkan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan

mereka. Mereka juga memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk

berdialog secara verbal, sehingga anak memiliki kesempatan untuk

mengutarakan pendapat dan keinginanannya (dalam Santrock, 2007).

Sejalan dengan penyataan lain bahwa pola asuh otoritatif cenderung

fleksibel, sensitif, bersikap hangat dan mengasuh anaknya. Sehingga

orangtua dapat meningkatkan kemandirian anaknya, namun tetap

menekankan tuntutan wajar pada mereka (Steinberg et al., 1994 dalam

Greening, Luebbe, & Stoppelbein, 2010).

Anak-anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif cenderung

menunjukkan prestasi akademis dan perilaku yang baik, memiliki hubungan

dengan teman sebaya yang akrab (Steinberg et al., 1994 dalam Greening,

Luebbe, & Stoppelbein, 2010). Mereka juga tumbuh menjadi remaja yang

kompeten secara sosial, mandiri, percaya diri, dan memiliki harga diri yang

tinggi, serta bertanggung jawab secara sosial (dalam Santrock, 2007).

3. Permisif (Permissive)

Umumnya, dengan pengasuhan ini orangtua tidak berusaha mengontrol

anaknya, membiarkan anak - anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri, dan

tidak menuntut anak - anak untuk mematuhi standar peraturan yang

ditetapkan oleh orangtua. Orangtua dengan pengasuhan sifat permisif

biasanya tidak menggunakan hukuman atau kekerasan dalam mengasuh

anak (Baumrind, 1966).

Page 15: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

26

Belakangan ini, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan

bersifat permisif terdiri dari dua macam yaitu bersifat permisif memanjakan

dan bersifat permisif tidak peduli (Maccoby & Martin, 1983, dalam Santrock

2003).

a. Pengasuhan permisif-memanjakan

Merupakan suatu pola di mana orangtua sangat terlibat dengan

remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.

Orangtua permisif-memanjakan mengijikan anak melakukan apa yang

mereka inginkan. Akibatnya, anak memiliki masalah dengan

ketidakmampuan sosialnya, karena tidak belajar bagaimana

mengendalikan perilaku mereka dan selalu berharap mendapatkan apa

yang mereka inginkan.

b. Pengasuhan permisif-tidak peduli

Merupakan suatu pola di mana si orangtua sangat tidak ikut campur

dalam kehidupan anak. Sehingga anak memiliki masalah dengan

pengendalian diri dan tidak dapat menangani kebebasannya dengan baik.

2.3 Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1990). Remaja

mempunyai arti yang cukup luas, seperti pandangan Piaget (dalam Hurlock,

1990) bahwa masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan

masyarakat dewasa, dimana anak merasa berada pada tingkat yang sama

(dalam masalah hak) dengan orang yang lebih tua. Dengan kata lain, masa

remaja merupakan masa perkembangan transisi antara anak dan dewasa yang

Page 16: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

27

mencakup perubahan biologis, sosial, dan kognitif. Pada tahun 1974, World

Health Organization (WHO) memberikan batas usia 10 – 20 tahun sebagai

batasan usia remaja dengan dua bagian yaitu usia 10 – 14 tahun sebagai remaja

awal, dan remaja akhir dengan usia 15 – 20 tahun (Sarwono, 2002). Sedangkan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan usia 15 – 24 tahun sebagai

usia remaja. Hurlock (1990) memberikan batasan usia remaja pada rentang usia

13 tahun hingga 18 tahun, yang merupakan usia matang secara hukum. Di

Indonesia sendiri, rentang usia remaja berada pada rentang 11 – 24 tahun

(Sarwono, 2000) dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa usia 11 tahun anak

sudah mengalami tanda-tanda perkembangan seksual sekunder (fisik) dan batas

usia 24 merupakan batas maksimal anak menggantungkan diri pada orangtua

seecara adat/tradisi. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan mulai dari

15 tahun dengan asumsi usia anak masuk SMA hingga usia 18 tahun.

Menurut Hurlock (1990) banyak faktor yang mempengaruhi remaja dalam

bersikap dengan lingkungannya, terutama dengan teman sebayanya. Salah satu

faktor yang paling mempengaruhi adalah keluarga, dalam hal ini adalah pola

asuh orangtua yang diterapkan pada remaja di rumah.

Page 17: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

28

2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Perilaku kekerasan anak-anak di Indonesia, khususnya pembulian masih

marak terjadi dan terus meningkat. Hal ini diperkuat oleh data dari KPA yang

menemukan bahwa aksi pembulian di sekolah telah terjadi sebanyak 472 kasus

pada tahun 2009 (“Ruang Eksekusi,” 2009). Pembulian tersebut justru muncul

dalam format-format yang telah dilegalkan oleh instansi pendidikan yang

bersangkutan, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), acara regenerarisasi

kegiatan ekstrakurikuler, atau bentuk-bentuk acara lainnya, yang tidak pernah

disadari menjadi ajang pembulian (“Awas Bullying”, 2007). Dalam acara MOS,

regenerarisasi, Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS) banyak

menerapkan sistem senioritas yang kental. Survei yang dilakukan oleh Plan

Indonesia dan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada 2008 mencatat bahwa 67,9

persen siswa SMA mengaku bahwa ada tindak kekerasan yang terjadi di sekolah

mereka, dengan 43,7 persen pelakukanya adalah sesama siswa (“Young

Hearts,” 2010).

Semata-mata PelakuOtoritatif

Otoriter

Permisif

(memanjakan & mengabaikan)

Semata-mata Korban

Pelaku maupun Korban

Bukan Pelaku maupun Korban

Page 18: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

29

Salah satu karakteristik dari perilaku pembulian adalah adanya perilaku

agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya (Rigby, 1996

dalam Astuti, 2008). Faktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi

yang menimbulkan kemarahan dan memicu seseorang untuk melakukan

tindakan agresi kepada orang lain, yang merujuk pada perilaku pembulian.

Pada remaja, rasa frustasi dapat muncul karena adanya tekanan dari

orangtua yang menginginkan anaknya tunduk dan patuh dalam sikap pola asuh

otoriter mereka (Sarwono, 2002 dalam Fortuna 2008). Santrock (2007)

menjabarkan bahwa orangtua otoriter menetapkan batasan-batasan dan kedali

tegas terhadap anak mereka, serta kurang memberikan peluang untuk berdialog

secara verbal. Mereka cenderung mengeluarkan kalimat perintah seperti,

“Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali. Tidak ada diskusi!”

Orangtua dengan pola asuh otoriter juga menerapkan pola asuh dengan

kekerasan dan memberikan sesuatu yang bersifat menghukum (Smith & Myron-

Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Sesuai dengan pendapat

Farrington (2000) bahwa pola asuh orangtua memiliki kemungkinan berkorelasi

dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak yang berasal dari

keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku

pembulian (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004).

Namun, penelitian mengenai pola asuh orangtua yang yang terkait

dengan bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat

banyak hasil yang bertentangan. Temuan lain menunjukkan bahwa pola asuh

permisif cenderung menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif

mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller et

al, 2002 dalam Georgiou, 2008). Pola asuh permisif terdiri dari dua macam yaitu

permisif yang bersifat memanjakan dan permisif yang bersifat mengabaikan

Page 19: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

30

(Maccoby & Martin, 1983 dalam Santrock, 2003). Pola asuh permisif

memanjakan membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan,

tanpa memberikan kendali terhadap mereka. Sehingga, pada saat remaja

mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu

berharap agar keinginannya dituruti. Orangtua yang mengasuh dengan pola ini,

memiliki pemikiran bahwa dengan kombinasi sedikitnya pembatasan yang

diberikan dan kelekatan yang terjadi, akan menghasilkan remaja yang percaya

diri. Namun, pengasuhan ini justru berkaian dengan rendahnya kompetensi

sosial remaja, khususnya dalam pengendalian diri (Santrock, 2007).

Serupa dengan permisif bersifat memanjakan, pola asuh permisif bersifat

mengabaikan juga menghasilkan remaja yang tidak kompeten secara sosial,

tidak menyikapi kebebasan dengan baik dan memiliki pengendalian diri yang

buruk. Remaja yang diasuh dengan pola asuh permisif bersifat mengabaikan

merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orangtuanya lebih penting dari

dirinya, sehingga kebutuhan akan perhatian dari orangtuanya tidak pernah

terpenuhi (Santrock, 2007). Orangtua yang menerapkan pola asuh ini bahkan

tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai dimana keberadaan dan apa

kegiatan anaknya (Santrock, 2003).

Dengan tidak adanya pengawasan, batasan kendali dan perhatian dari

orangtua yang menerapkan sistem pola asuh permisif, memiliki kemungkinan

pada anak remaja mereka untuk mengembangkan perilaku agresif mereka dan

melakukan tindakan pembulian.

Bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya, peneliti lain

menemukan bahwa pola asuh orangtua yang permisif memprediksi anak

cenderung menjadi korban pembulian, dan pola asuh orangtua yang otoriter

Page 20: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewFaktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu

31

memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington,

2000; Kaufmann et al, 2000, dalam Georgiou, 2008).

Rican, Klicperova dan Koucka (1993) mengamati bahwa anak-anak yang

diasuh oleh orangtua dengan pola pengasuhan otoritatif dengan mendukung

kemandirian dan otonomi anaknya, cenderung kurang terlibat dalam perilaku

pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004). Orangtua dengan pola pengasuhan ini

memberikan kesempatan berdialog secara verbal dan bersikap hangat. Seperti

contoh (Santrock, 2007) mengenai bagaimana seorang ayah dengan pola asuh

otoritatif berbicara dengan anak remajanya secara terbuka, “Kamu tahu bahwa

kamu seharusnya tidak melakukan itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana

caranya agar kamu mampu menangani situasi macam ini dengan lebih baik.”

Para remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif biasanya mandiri

dan memiliki tanggung jawab sosial yang baik (Santrock, 2007). Reuter & Conger

(1995) juga menyatakan bahwa orangtua otoritatif mencapai keseimbangan yang

baik antara pengendalian, otonomi, pemberian peluang kepada remajanya untuk

mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan

bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak mereka (Santrock, 2007).

Dengan demikian, berdasarkan sumber literatur di atas menunjukkan

bahwa adanya hubungan antara satu pola asuh yang spesifik dengan satu

kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian. Saat ini, peneliti ingin melihat

hubungan secara integratif antara pola asuh dengan kecenderungan perilaku

pelaku-korban pembulian.