toscalover.files.wordpress.com€¦ · web viewdijadikan sebagai perantara pemindahan virus),...
TRANSCRIPT
MAKALAH
VIROLOGI
PATOGEN PADA MANUSIA DAN HEWAN
Disusun Oleh:
Amanda Felicia Gustinaya Amalo
20170308003
PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2019
PEMBAHASAN
Definisi pathogen yang ada pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah parasit
yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya, atau dapat juga didefinisikan sebagai bahan
yang menimbulkan penyakit. Pathogen ini merupakan mikroorganisme, seperti virus, bakteri dan
jamur. Pathogen dapat menyebabkan penyakit pada manusia,hewan dan juga tumbuhan. Pada
makalah ini akan dibahas beberapa pathogen yang menyerang manusia dan hewan, yaitu :
Virus pada Hewan
Infectious Bursal Disease Virus (IBDV)
Ditulis oleh Niswah di tahun 2014, Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit
viral yang disebabkan oleh virus Infectious Bursal Disease atau sering disebut juga dengan virus
penyebab penyakit Gumboro. Virus ini memiliki genom ds-RNA yang berasal dari family
Birnaviridae, dengan struktur virus telanjang dan berbentuk ikosahedral. Menurut pernyataan
oleh Qin & Zheng di tahun 2017, penyakit ini merupakan penyakit unggas akut yang sangat
menular dan imunosupresif. Penyakit imunosupresif artinya penyakit ini meningkatkan
kerentanan tubuh terinfeksi terhadap penyakit menular lainnya, juga meningkatkan risiko
kegagalan vaksinasi berikutnya. Virus ini mengganggu sistem pertahanan tubuh inang karena
menyerang dan menghancurkan limfosit B yang ada di bursa fabrisius (BF), juga menginfeksi
organ limfoid sebagai organ imun pusat untuk pengembangan dan pematangan sel B serta
mengganggu generasi repertoar antibodi pada ayam muda dengan usia 3-6 minggu. Penyakit
IBD menyerang kekebalan tubuh ayam, terutama bagian fibrikus dan tymus yang merupakan
sistem pertahanan tubuh ayam dan dapat menyebabkan antibodi ayam tidak membentuk. Sering
kali disebut sebagai penyakit AIDS ayam karena menyerang sistem kekebalan tubuh ayam. Pada
infeksi klinis, penyakit terjadi setelah inkubasi 3-4 hari dengan gejala-gejala depresi, diare berair,
bulu acak-acakan, radang kloaka dan dehidrasi. Virus penyebab penyakit ini dapat merugikan
peternak ayam karena meningkatkan persentase kematian unggas (terutama ayam) sekitar 5
sampai lebih dari 60% tergantung jenis virus dan ayam.
Menurut Jackwood, penyakit infectious bursal disease ini paling mudah diisolasi dari bursa
Fabricius (BF) tetapi juga dapat diisolasi dari organ lain. Virus ini terdapat di kotoran unggas dan
dapat berpindah dari rumah ke rumah oleh fomites (fomites merupakan benda mati yang
dijadikan sebagai perantara pemindahan virus), virus ini pun sangat stabil dan sulit untuk
diberantas dari bangunan. Penularan penyakit ini melalui kontak langsung pada ayam, air
minum, pakan, peralatan kandang dan udara. Dari IBDV, telah diidentifikasi dua serotype, yaitu
virus serotipe 1 yang menyebabkan penyakit pada ayam, di dalamnya terdapat strain variasi
antigenik, lalu serotype nomor 2 menginfeksi ayam dan kalkun tetapi belum menyebabkan
penyakit klinis atau imunosupresi pada inang.
Gambar 1. Struktur IBDV
Wilayah hiper-variabel (HVR) dari IBDV terletak di gen vp2 (206a hingga 350aa),
bertanggung jawab untuk variasi antigenik karena VP2 menginduksi antibodi penetralisir (Qin &
Zheng, 2017).
Dipaparkan juga oleh Jackwood, teknik diagnosis virus Gumboro ini yaitu:
Evaluasi klinis bursa kloaka untuk lesi makroskopis dan mikroskopis diikuti oleh deteksi
molekuler gen VP2 virus menggunakan RT-PCR. Metode RT-PCR dipilih karena metode
ini memiliki sensitivitas dan keakuratan lebih tinggi dibanding metode konvensional
lainnya, misalnya ELISA dan AGPT.
Analisis urutan gen VP2 digunakan untuk mengidentifikasi genotipe IBDV
Isolasi virus dalam embrio ayam atau kultur sel fibroblast embrio ayam
Adapun teknik imunohistokimia (IHK) yang merupakan teknik deteksi antigen pada jaringan
berdasarkan pada reaksi antigen dan antibodi. Hasil reaksi antigen antibodi dapat diidentifikasi
pada jaringan karena antibodi diikat oleh suatu penanda yang dapat divisualisasikan
(Wahyuwardani, 2011).
Kemudian ada uji agar sel presipitasi (Sahistya, 2013) untuk deteksi IBDV. Uji ini dilakukan
dengan menginokulasikan sampel pada TAB umur 11 hari melalui rute CAM. Kemudian, embrio
diamati dari kematian pada embrio dan lesi yang terbentuk, lalu dikomparasikan dengan sampel
kontrol. Sampel dinyatakan positif mengandung IBDV jika terlihat adanya presipitasi dalam
waktu kurang dari 24-48 jam inkubasi.
Diagnosis awal penyakit dilakukan dengan pengamatan lesi (keabnormalan jaringan) di bursa
kloaka. Kemudian analisis mikroskopis dari bursa untuk penipisan limfosit dalam folikel. Tes
diagnostik molekuler adalah tes paling sering digunakan untuk mengidentifikasi IBDV dalam
sampel diagnostik. Lalu, uji reverse-transcriptase-PCR untuk mengidentifikasi genom virus
dalam jaringan bursa.
IBDV dapat diisolasi pada embrio ayam bebas antibodi berumur 8 hingga 11 hari dengan
inokulasi dari burung pada tahap awal penyakit. Selain itu, beberapa strain IBDV juga dapat
diisolasi dalam kultur sel yang meliputi fibroblast embrio ayam dan sel-sel dari bursa kloaka dan
strain yang diadaptasi kultur sel dari IBDV menghasilkan efek sitopatik, yaitu strain pada virus
ini merusak sel saat infeksi.
Serologi dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap IBDV pada
anak ayam yang baru sembuh. Sudah tersedia kit ELISA yang diperjualbelikan secara komersial
untuk mengukur antibodi IBDV. Namun perlu diketahui bahwa adanya antibodi IBDV pada anak
ayam tidak selalu merupakan indikasi infeksi karena sebagian besar anak ayam memiliki
antibodi yang diturunkan oleh induknya.
Belum ada pengobatan untuk penyakit jenis ini, hal yang paling mumpuni untuk
dilakukan adalah dengan memberikan vaksin. Vaksin langsung dari embrio ayam atau asal kultur
sel dan dari berbagai patogenisitas rendah dapat diberikan melalui tetes mata, air minum, atau
rute SC pada ayam usia 1–21 hari. Seorang induk yang memiliki tingkat antibodi tinggi dapat
meminimalkan infeksi awal dan memiliki kekebalan terhadap virus. Vaksinasi dilakukan
beberapa kali selama periode pertumbuhan dengan melakukan uji berkala untuk memantau status
kekebalan kawanan ternak dengan uji serologis kuantitatif seperti netralisasi virus atau ELISA
dengan melihat kecocokan vaksin dan profil antigenik virus. Serta menjaga kebersihan
lingkungan kandang dapat menjadi cara penanganan untuk mencegah terjadinya penyakit pada
ayam.
Gambar 3. Gambar infeksi IBDV pada ayam
Gambar 2.Struktur 3D IBDV
Virus Jembrana
Penyakit Jembrana (Mardiatmi et al., 2015) merupakan penyakit viral yang bersifat menular
hanya pada sapi Bali yang disebabkan virus Jembrana (Jembrana Disease Virus= JDV). Nama
Jembrana berasal dari nama desa di Indonesia yang pertama kali mengalami infeksi virus ini dan
penyakit Jembrana hanya dilaporkan terjadi di Indonesia. Virus Jembrana termasuk dalam
kelompok retrovirus dan merupakan virus RNA untai tunggal, berbentuk ikosahedral dengan
panjang basa 7732 pasang basa (pb) (Kertayadnya et al., 1993 dalam Indriawati et al., 2013).
Virus ini tidak menimbulkan efek sitopatik. Penyakit ditandai demam tinggi (38o – 42o C),
peradangan selaput lendir mulut (stomatitis), pembesaran kelenjar limfe preskapularis,
prefemoralis dan parotid, terkadang disertai keringat darah, lymphadenopathy, lymphopenia,
serta mucus berlebihan pada mulut dan hidung. Kematian ternak akibat JDV terjadi pada 1 atau 2
minggu setelah infeksi (Wilcox et al., 1997 dalam Indriawati et al., 2013).
Virus ini berbentuk pleomorf, memiliki selubung dan berukuran 80-120 nm. Virus memiliki
enzim reverse transcriptase dan 4 protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45), virus
berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki
hubungan antigenik dengan Bovine Immunodeciency Virus (BIV), Human Immunodeciency
Virus (HIV), Simian Immunodeciency Virus (SIV), Feline immunodeciency Virus (FIV), Maedi
Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious
Anemia Virus (EIAV) (Mardiatmi et al., 2015).
Penyakit ini disebabkan infeksi akut Lentivirus yang merupakan anggota family
Retroviridae, subfamily Lentivirinae (virus penyebab turunnya daya kekebalan tubuh).
(Kusumawati et al., 2014a dalam Savitri,2017). Virus penyakit Jembrana (JDV) tidak khas
seperti Lentivirus umumnya yang bersifat menyebabkan penyakit kronis dengan masa inkubasi
panjang. Walaupun bersifat akut dengan masa inkubasi pendek, pada kasus akut, JDV sering
melibatkan perubahan limfoproliferatif. Lalu, pada periode inkubasi pendek terjadi limfopenia
berat, diikuti limfoproliferatif yang cepat dan dominan terdiri dari limfosit muda (limfoblast)
pada parafolikel limfonodus, limpa dan jaringan limfoid terutama di usus (Wilcox, 1997 dalam
Savitri,2017).
Adapun sifat-sifat biologis virus penyakit jembrana adalah sebagai berikut (Berata, 2015) :
1. Masa inkubasi pendek ( sekitar 5-7 hari dan hanya menyerang sapi bali )
2. Tahan terhadap antibiotik
3. Sulit tumbuh dalam kultur jaringan dan tidak tahan terhadap eter
4. Sulit tumbuh pada hewan percobaan kecil dan tidak membunuh mencit
5. Mempunyai enzim reverse transcriptase
6. Mempunyai berbagai jenis protein p100, p45, p33, p16 dan protein mayor p26 yang
bereaksi silang dengan antigen dan antibodi virus BIV
7. Menyebabkan immunodeficiency temporer yang ditandai dengan menurunnya daya tahan
tubuh selama 2-4 bulan, menurunnya respon sel terhadap mitogen, menurunnya rasio sel
CD4/CD8, menghilangnya sel-sel pembentuk antibodi, kebengkakan limpa dan kematian
akibat infeksi sekunder
8. Virus jembrana dapat tinggal dalam darah dan jaringan tubuh penderita dalam waktu
yang cukup lama
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Mardiatmi et al., di tahun 2015 menyatakan penyakit
Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh pada sapi bali, maka
patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit. Sedangkan, masa inkubasi ditandai
oleh upaya virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan,
masa ini berkisar antara 4-7 hari dan diikuti dengan munculnya demam tinggi. Selama demam
akan terjadi penurunan limfosit terutama sel limfosit B dan trombosit yang mengakibatkan
perdarahan di hampir semua organ tubuh dan bahkan dikulit yang luka akibat gigitan serangga
pengisap darah potensial seperti Tabanus sp. Sebaliknya penurunan sel limposit B yang
merupakan sel sistem kekebalan tubuh akan menyebabkan berkembangnya bakteria pada organ
tubuh yang berhubungan dengan udara luar seperti paru-paru, ginjal dan saluran pencernaan.
Peradangan ginjal yang terjadi menyebabkan ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan
kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel
epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut, hal ini yang
umum menjadi penyebab kematian sapi pada kasus penyakit ini.
Teknik double immune-staining membuktikan bahwa memang sel limposit B adalah sel
target bagi virus Jembrana. Dengan menggunakan teknik ow cytometri analysis diketahui bahwa
memang terjadi penurunan IgG-CC namun diimbangi dengan peningkatan jumlah sel sel T
(CD8+) secara sangat signikan pada saat phase akut tersebut. Kesembuhan yang terjadi diduga
kuat merupakan peran sel T (CD8+). (Mardiatmi et al., 2015).
Siklus hidup VPJ tergolong sangat unik dibandingkan dengan virus lainnya. Mula-mula VPJ
memasuki sel target dengan menempelkan diri di permukaan sel melalui reseptor, kemudian
melepas kulitnya dalam sitoplasma dan memasukan gen nya yang disebut cDNA (proviral DNA)
ke dalam inti sel yang selanjutnya berintegrasi dengan gen sapi untuk selamanya. Pada saat
hewan sembuh, dimana siklus hidup VPJ sudah berhenti, gen VPJ tetap berada di dalam sel
target dan status hewan yang sembuh menjadi karier. Pada suatu keadaan tubuh hewan karier
tidak sehat dan kekebalan tubuh mulai menurun, diduga bahwa cDNA tersebut dapat berubah
menjadi virus baru yang aktif dan dapat menginfeksi hewan peka di sekitarnya. Hal ini diduga
kuat bisa menerangkan mengapa penyakit Jembrana bisa menyebar ke beberapa wilayah
(Mardiatmi et al., 2015).
Gambar 4. Siklus Hidup BVJ
Pada saat demam titer virus penyakit dapat mencapai 108 partikel virus/ml, penularan
melalui jarum suntik dapat dengan mudah dilakukan. Penularan secara mekanis juga dapat
terjadi melalui serangga penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Selain itu, penularan
melalui kontak antara penderita dengan hewan sehat juga terjadi. Di sisi lain, secara
eksperimental, penyakit Jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva
mata dan semen (Mardiatmi et al., 2015)
Untuk mendiagnosis penyakit ini, terdapat 2 cara yaitu (Mardiatmi et al., 2015):
1. Pengamatan Gejala Klinis dan Patologis Penyakit
Diagnosa penyakit Jembrana dilapangan terutama di daerah tertular akan sangat
mudah dilakukan dengan hanya mengamati gejala klinis seperti demam tinggi,
pembengkakan kelenjar pertahanan bagian luar dan diare berdarah. Apabila hewan
penderita mati, maka dapat dilakukan bedah bangkai untuk mengamati perubahan
patologis berupa pembendungan, perdarahan pada seluruh organ terutama pada organ
atau jaringan limfoid dan pembengkakan limpa. Secara histopatologis pembengkakan
dan pembendungan organ2 limfoid ini diakibatkan oleh adanya proliferasi sel-sel
limforetikular pada jaringan limfoid .
2. Diagnosa Serologis
o Indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Antigen virus Jembrana yang dipakai dapat berupa virus utuh (whole virus) yang
diperoleh dari plasma darah sapi yang terinfeksi atau dapat berupa rekombinan
protein utama / dominan virus Jembrana (p26). Antigen virus Jembrana direaksi
dengan antiserum dari sapi yang diuji, ditambahkan kompleks antigen-antibodi
direaksikan dengan konjugat anti bovine IgG yang dilabel enzim tertentu.
Perubahan warna akan terjadi pada sampel yang positif dan kontrol positif setelah
penambahan substrat. Uji ELISA ini memiliki sensititas uji ELISA sangat tinggi
dan spesisitas rendah.
o Western Immunoblotting (WIB)
Uji ini didasari atas analisis pemisahan protein antigen virus Jembrana
berdasarkan berat molekul. Protein dipisahkan dengan metode SDS-PAGE,
kemudian protein antigen yang terpisah pada gel ditransfer pada kertas selulosa
sebagai antigen. Reaksi positif ditunjukan dengan munculnya garis berwarna pada
kertas selulosa tersebut. Uji western blotting ini dapat digunakan sebagai
konfirmasi hasil positif pada uji ELISA karena uji western blotting jauh lebih
sensitif dan spesik dibandingkan dengan uji ELISA.
o Immunohistokimia (IHK)
Dengan menggunakan anti serum monoklonal antibodi virus Jembrana, maka
virus Jembrana pada sel-sel jaringan terinfeksi dapat dideteksi dengan melihat
perubahan warna pada sel. Uji ini telah dapat dilakukan untuk menentukan
diagnosa penyakit Jembrana dari organ jaringan yang dikirim dari lapangan.
o Diagnosa Molekuler menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Prinsip uji ini mendeteksi adanya cDNA virus penyakit Jembrana dengan
menggunakan primer yang spesik (JDV-1 dan JDV-3) yang diamplikasi dengan
mesin PCR. Sampel yang diperlukan dalam uji ini adalah sel-sel darah putih
(lymphocytes). Hasil positif PCR dengan menggunakan pasangan primer tersebut
adalah sekitar 360 bp. PCR merupakan uji yang dapat mendeteksi hewan
terserang penyakit Jembrana sejak dari 3 hari pasca infeksi, selama fase akut dan
6 bulan pasca kesembuhan, bahkan mungkin selama hewan karier masih hidup.
o Diagnosa Biologis
Diagnosa biologis dengan cara menyuntikkan darah sapi, plasma dan organ limpa
sapi Bali terinfeksi penyakit Jembrana pada sapi Bali yang peka merupakan
metoda diagnose yang paling tepat
Virus Jembrana memiliki 3 gen utama, yaitu gag, pol dan env. Gen env menyandi protein
yang terdapat pada bagian terluar dari virus penyakit Jembrana yaitu protein Surface Unit (SU)
dan Transmembrane (TM). Gen env SU menyandi protein SU berbentuk seperti tudung payung
dan berada di bagian terluar dari gen env. Protein SU memiliki peranan penting pada saat awal
proses replikasi dan berinteraksi dengan sel inang dengan cara mengikatkan partikel virus
Jembrana pada permukaan sel inang . Oleh karena protein SU dapat memicu respon antibody
yang mampu menetralisasi virus maka gen env SU dipilih sebagai penanda molekuler untuk
penyakit JD (Indriawati et al, 2013).
Pengobatan dan pencegahan penyakit Jembrana tidak ada, dikarenakan penyakit ini berasal
dari virus. Namun, vaksinasi dapat dilakukan dengan menggunakan antigen dari hewan yang
telah sembuh dari JDV dengan diambil serumnya (antigen) kemudian diinduksi pada hewan
untuk meningkatkan antibodi atau kekebalan tubuhnya. (METHAROM et al., 2000 dalam
Savitri,2017).Vaksin penyakit Jembrana yang tersedia saat ini adalah Vaksin mati (whole
inactivated vaccine) yang dibuat dari limpa yang diemulsikan dengan adjuvant (Mardiatmi et al.,
2015).
Gambar 5. Infeksi JBV pada Sapi Bali
Virus pada Manusia
Virus Lassa mammarenavirus
Virus ini tidak menyebabkan atau menimbulkan efek sitopatik atau kerusakan sel. Virus
penyebab penyakit demam berdarah lassa merupakan golongan arbovirus dengan
genus arenavirus dan family arenaviridae. Virus ini merupakan jenis virus demam berdarah
(Viral Hemorrhagic Fever/VHF) dan dapat menyebabkan kematian karena merupakan pathogen
mematikan. Virus lassa merupakan virus RNA untai tunggal. Sekitar 80% orang yang terinfeksi
virus Lassa tidak menimbulkan gejala. Namun, pada 20% kasus menyebabkan penyakit parah,
yaitu virus mempengaruhi beberapa organ tubuh seperti hati, limpa dan ginjal. Virus lassa dapat
menginfeksi hampir setiap jaringan dalam tubuh manusia.
Gambar 6. Struktur LFV Gambar 7. Gambar Bentuk LFV
Gejala dari penyakit ini bertahap, dimulai dengan demam, kelelahan, dan malaise.
Setelah beberapa hari, gejala yang muncul yaitu sakit kepala, sakit tenggorokan, nyeri otot, nyeri
dada, mual, muntah, diare, batuk, dan juga bisa disertai sakit perut. Dalam kasus yang parah
dapat terjadi pembengkakan wajah, adanya cairan dalam rongga paru-paru, pendarahan dari
mulut, hidung, saluran vagina atau pencernaan dan diikuti tekanan darah rendah. Pada tahap
selanjutnya terdapat adanya protein urin, shock, kejang, tremor, disorientasi, dan koma. Ketulian
terjadi pada 25% pasien yang bertahan hidup. Beberapa kasus, pendengaran kembali normal
setelah 1-3 bulan, rambut rontok sementara dan gangguan cara berjalan mungkin terjadi selama
pemulihan. Pada kasus fatal, dapat terjadi kematian dalam waktu 14 hari sejak timbulnya
penyakit.
Manusia biasanya terinfeksi virus Lassa dari paparan air seni atau kotoran yang telah
terinfeksi tikus Mastomys. Virus Lassa juga dapat menular antar manusia melalui kontak
langsung melalui penggunaan jarum suntik bersamaan, melalui darah, urine, feses, atau sekresi
tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi Demam Lassa.
Penularan virus Lassa terjadi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin tanpa
terkecuali. Orang dengan risiko paling tinggi terkena penyakit ini adalah orang yang tinggal di
daerah pedesaan Mastomys biasanya ditemukan, khususnya masyarakat dengan sanitasi yang
buruk atau kondisi pemukiman yang padat.
Untuk menginfeksi, virus dengan selubung perlu memadukan membran dengan membran
inang. Fusi ini dimediasi oleh glikoprotein khusus yang harus dipicu hanya pada waktu dan
tempat yang tepat. Isyarat utama yang digunakan virus untuk memicu adalah pH asam. Virus
Lassa menggunakan pengikatan pada reseptor intraseluler bernama LAMP1 untuk memicu
terjadinya induksi oleh pH. Analisis sekuens menunjukkan tidak ada anggota lain dari
Arenaviridae yang mengikat LAMP1 selain Lassa Virus (Israeli et al., 2017).
Prekursor GP disintesis sebagai polipeptida, dan pematangan terjadi oleh pembelahan yang
menghasilkan kompleks GP tripartit (GPC) yang dibentuk oleh peptida sinyal stabil (SSP), GP1
dan GP2. SSP yang dipertahankan unik berinteraksi dengan GP2 dan memainkan peran penting
dalam pematangan dan infektivitas virion. GP1 bertanggung jawab untuk mengikat reseptor sel,
dan GP2 adalah protein fusi kelas I. Struktur asli GPC tripartit tidak diketahui. GPC sangat
penting untuk pengikatan reseptor, fusi membran dan pengenalan antibodi netralisasi. Penjelasan
mekanisme molekuler yang menggarisbawahi hubungan struktur-fungsi dari tiga subunit adalah
kunci untuk memahami fungsinya dan dapat memfasilitasi jalan baru untuk memerangi infeksi
virus (Wei Wang, 2016).
Gambar 8. Pemetaan virus Lassa Situs pengikatan LAMP1 yang unik
Sel penyaji antigen, khususnya sel dendritik merupakan target awal pilihan LASV, dan
Goncalves et al., di tahun 2013 lampau mengungkapkan bahwa DC-SIGN dapat memfasilitasi
masuknya sel LASV dalam MDDC manusia tetapi perannya nampak berbeda dari fungsinya
sebagai reseptor entri otentik yang dilaporkan untuk phlebovirus.
Diagnosis pada infeksi virus Lassa hanya dapat dilakukan secara definitif di laboratorium
menggunakan tes berikut:
1. Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) assay
2. Antibodi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
3. Tes deteksi antigen
4. isolasi virus dengan kultur sel
Demam Lassa paling sering didiagnosis dengan uji serologis ELISA yang mendeteksi
antibodi IgM dan IgG serta antigen Lassa. Reaksi transkripsi-polimerase berantai (RT-PCR)
digunakan pada tahap awal penyakit.
Obat antivirus ribavirin merupakan pengobatan efektif untuk Demam Lassa jika diberikan
pada awal perjalanan penyakit klinis dan hingga saat ini belum ada vaksin yang dapat mencegah
penularan Demam Lassa.
DAFTAR PUSTAKA
Ana-Rita Goncalves et al.,. 2013. Role of DC-SIGN in Lassa Virus Entry into Human Dendritic
Cells. Canada : Institute of Microbiology, Lausanne University Hospital and University of
Lausanne.
Berata, I Ketut. 2015. Penyakit Jembrana Musuh Utama Sapi Bali. Laboratorium Patologi FKH
Unud: Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nov 2015.
Choirun Niswah. 2014. Identifikasi Molekuler Virus Infectious Bursal Disease dengan Metode
Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Daral J. Jackwood. Infectious Bursal Disease in Poultry.<
https://www.msdvetmanual.com/poultry/infectious-bursal-disease/infectious-bursal-
disease-in-poultry> [diakses pada 17 November 2019].
Hadar Israeli et al., 2017. Mapping of the Lassa virus LAMP1 binding site reveals unique
determinants not shared by other old world arenaviruses.
https://doi.org/10.1371/journal.ppat.1006337 [diakses pada 17 November 2019].
http://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/demam-lassa/#.XdF_81wzY2w [diakses
pada 17 November 2019]
https://www.cdc.gov/vhf/lassa/index.html [diakses pada 17 November 2019]
https://www.who.int/health-topics/lassa-fever/#tab=tab_1 [diakses pada 17 November 2019]
Indriawati, Endang Tri Margawati and Muhammad Ridwan. 2013. Identifikasi Virus Penyakit
Jembrana Pada Sapi Bali Menggunakan Penanda Molekuler Gen en-su. Bogor :
Laboratorium Genetika Molekuler Hewan, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
Mardiatmi et al., 2015. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana.
Indonesia : Direktorat Kesehatan Hewan Direktoran Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementerian Pertanian.
Radhiyan Fadiar Sahistya. 2013. Isolasi dan Identifikasi Virus Infectious Bursal Disease dengan
Uji Agar Sel Presipitasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Rahayu Carlis Savitri. 2017. Jembrana Disease. <
http://bbibsingosari.ditjenpkh.pertanian.go.id/index.php/jembrana-disease/> [diakses 17
November 2019].
Sutiastuti Wahyuwardani. 2011. GAMBARAN PATOLOGIK INFEKSI VIRUS GUMBORO
DAN DETEKSI ANTIGEN PADA BURSA FABRICIUS DENGAN TEKNIK
IMUNOHISTOKIMIA. Bogor : Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Wei Wang et al., 2016. Structure-function relationship of the mammarenavirus envelope
glycoprotein. China : Virologica Sinica.
Yao Qin, Shijun J. Zheng. Infectious Bursal Disease Virus-Host Interactions: Multifunctional
Viral Proteins that Perform Multiple and Differing Jobs, Jan 2017.
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5297794> [diakses pada 17 November
2019].