web media kerjabudaya edisi 052001

31
PicoSearch EDITORIAL Edisi No 05 Tahun 2001 Masalah pendidikan ternyata lebih luas dan lebih rumit dari yang kami bayangkan. Begitu banyak buku dan artikel ditulis tentangnya, segala lapisan masyarakat membicarakannya, dan berbagai forum digelar untuk mendiskusikannya, tapi ujung pangkal persoalan pendidikan tidak jadi makin jelas juga. Ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah mengeluhkan biaya sekolah yang tinggi dan mengkhawatirkan keterlibatan anak-anak mereka dalam perkelahian pelajar. Sementara yang dari kalangan menengah ke atas berputar otak mencari sekolah terbaik yang sesuai dengan bakat dan minat anak-anaknya. Di sisi lain praktisi pendidikan berteriak tentang minimnya gaji guru dan prasarana belajar-mengajar, serta buruknya kurikulum. Sedangkan para ilmuwan berdebat tentang teori dan falsafah pendidikan dari manca negara. Di sela-sela kehebohan pindahnya kantor redaksi MKB, kami bertukar-pikiran tentang soal-soal di atas -- dari bincang-bincang diantara kardus bertumpuk sampai berembug merumuskan Pokok di meja-kursi yang mulai tertata. Kerangka acuan pun terpaksa berubah beberapa kali. Apakah kita akan angkat bagaimana sekolah Orde Baru jadi agen represi? Ataukah, kita mau soroti lebih banyak tantangan yang dihadapi sistem pendidikan di tengah krisis ekonomi? Yang terakhir menjadi pilihan. Kami beruntung ada kawan-kawan pelajar SMU yang bersedia menyumbangkan tulisan untuk rubrik Pokok kali ini. Mereka memang masih muda, tapi kejelian mereka melihat persoalan pendidikan jadi bahan pertimbangan tersendiri. Dunia persekolahan formal sudah begitu jauh sehingga kadang-kadang kami menjadi kurang peka terhadap masalah-masalah konkrit yang dihadapi para pelajar. Apa yang mereka paparkan membantu kami memahami lebih baik pokok-pokok perkara yang jadi sumber kebobrokan sistem pendidikan di negeri ini. Tak ada pretensi untuk menyelesaikan seluruh soal. Tapi kami coba tawarkan beberapa alternatif yang mungkin dilaksanakan. Perdebatan pun muncul kembali. Dimana letak "alternatif " suatu sistem pendidikan? Apakah "alternatif " berarti menolak sekolah formal sama sekali atau lebih pada pengurangan intervensi negara dalam sistem pendidikan? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya meyakinkan masyarakat luas bahwa sekolah yang ada tidak menjamin masa depan cerah bagi para muridnya? Kami menyadari bahwa mendirikan sekolah alternatif membutuhkan biaya besar untuk memastikan kelangsungannya secara sistemik. Tanpa kepastian serupa ini sekolah hanya akan menjadi tempat berkumpulnya manusia yang tenggelam dalam ide-ide romantis tentang pencerahan bagi yang tertindas. Tak ada kata putus dari perdebatan ini. Kami lemparkan pertanyaan-pertanyaan ini kepada sidang pembaca. Yang tak kalah menyedot tenaga dan pikiran adalah penyusunan Sisipan. Biasanya, tugas ini kami serahkan kepada penulis di luar dewan redaksi. Tak dinyana satu perjalanan ke Bali untuk menghadiri sebuah konperensi antropolog internasional menggugah kesadaran dua kawan dari dewan redaksi. Kebetulan mereka berdarah Bali dan cukup punya pengetahuan tentang adat- istiadat suku bangsa ini. Kalau selama ini mereka "pulang " ke Bali untuk ambil bagian dalam upacara-upacara adat keluarga, kali ini mereka melihat Bali sebagai pekerja kebudayaan. Hasilnya adalah keterperangahan yang berbuntut desakan mencari tahu. Borok- borok di balik keanggunan dan kemegahan Pulau Dewata pun terbuka. Menjelang tenggat waktu yang disepakati dewan redaksi, negeri ini diguncang isyu "konflik elit". Kami sempat ditodong untuk berpihak --pro atau anti Gus Dur.Todongan ini justru membuat kami semakin yakin bahwa dalam kondisi krisis gerakan kebudayaan sangat diperlukan untuk mengarahkan gerakan politik. Tanpa diduga yang menganggap dirinya modern dan rasional pun masih merindukan kehadiran sang Ratu Adil untuk selamatkan bangsa ini. Pemimpin Redaksi Pokok Media Kerjabudaya Menentang Kembalinya Kegelapan (Tim MKB) Belenggu Itu Bernama Pendidikan (Fitri Armavilia) Refleksi Pendidikan Alternatif (Sanggar Anak AKAR) Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan (Tim MKB) Tim Media Kerja Budaya: Ayu Ratih, Hilmar Farid, Ibe Karyanto, Razif Profil Berpijak di Desa Menentang Neoliberalisme Nug Katjasungkana Puisi Asahan Aidit Kronik Kritik Seni Petualangan Sherina di Pasar dan Suara Penonton Anak Suprihatin dan Nina Suartika Klasik Hind Swaraj Mahatma Gandhi John Roosa Cerita Pendek Ketika Semangat Mulai Bergelora Rani Lukita Esai Keadilan Genetik? Karlina Leksono-Supelli Logika Kultura Reformasi: Kebebasan yang Menindas Razif Resensi Buku Menjadi Seniman a la Sudjojono Pitono Adhi Tokoh Siti Larang: Sang Perempuan Pemula yang Terlupakan F. Hardoyo Berita Pustaka Sisipan Media Kerjabudaya Tentang Bali "Pulau Dewata" Surga Bagi Investor (Agung Putri) Bali Kapling Para Antropolog (Degung Santikarma) Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali- kan Bali (Alit Ambara) INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email versi teks ©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Upload: institut-sejarah-sosial-indonesia-issi

Post on 15-Jun-2015

656 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

EDITORIAL Masalah pendidikan ternyata lebih luas dan lebih rumit dari yang kami bayangkan. Begitu banyak buku dan artikel ditulis tentangnya, segala lapisan masyarakat membicarakannya, dan berbagai forum digelar untuk mendiskusikannya, tapi ujung pangkal persoalan pendidikan tidak jadi makin jelas juga. Ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah mengeluhkan biaya sekolah yang tinggi dan mengkhawatirkan keterlibatan anak-anak mereka dalam perkelahian pelajar. Sementara yang dari kalangan

TRANSCRIPT

Page 1: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

EDITORIAL Edisi No 05 Tahun 2001

Masalah pendidikan ternyata lebih luas dan lebih rumit dari yang kami bayangkan. Begitu banyak buku dan artikel ditulis tentangnya, segala lapisan masyarakat membicarakannya, dan berbagai forum digelar untuk mendiskusikannya, tapi ujung pangkal persoalan pendidikan tidak jadi makin jelas juga. Ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah mengeluhkan biaya sekolah yang tinggi dan mengkhawatirkan keterlibatan anak-anak mereka dalam perkelahian pelajar. Sementara yang dari kalangan menengah ke atas berputar otak mencari sekolah terbaik yang sesuai dengan bakat dan minat anak-anaknya. Di sisi lain praktisi pendidikan berteriak tentang minimnya gaji guru dan prasarana belajar-mengajar, serta buruknya kurikulum. Sedangkan para ilmuwan berdebat tentang teori dan falsafah pendidikan dari manca negara.

Di sela-sela kehebohan pindahnya kantor redaksi MKB, kami bertukar-pikiran tentang soal-soal di atas -- dari bincang-bincang diantara kardus bertumpuk sampai berembug merumuskan Pokok di meja-kursi yang mulai tertata. Kerangka acuan pun terpaksa berubah beberapa kali. Apakah kita akan angkat bagaimana sekolah Orde Baru jadi agen represi? Ataukah, kita mau soroti lebih banyak tantangan yang dihadapi sistem pendidikan di tengah krisis ekonomi? Yang terakhir menjadi pilihan.

Kami beruntung ada kawan-kawan pelajar SMU yang bersedia menyumbangkan tulisan untuk rubrik Pokok kali ini. Mereka memang masih muda, tapi kejelian mereka melihat persoalan pendidikan jadi bahan pertimbangan tersendiri. Dunia persekolahan formal sudah begitu jauh sehingga kadang-kadang kami menjadi kurang peka terhadap masalah-masalah konkrit yang dihadapi para pelajar. Apa yang mereka paparkan membantu kami memahami lebih baik pokok-pokok perkara yang jadi sumber kebobrokan sistem pendidikan di negeri ini.

Tak ada pretensi untuk menyelesaikan seluruh soal. Tapi kami coba tawarkan beberapa alternatif yang mungkin dilaksanakan. Perdebatan pun muncul kembali. Dimana letak "alternatif " suatu sistem pendidikan? Apakah "alternatif " berarti menolak sekolah formal sama sekali atau lebih pada pengurangan intervensi negara dalam sistem pendidikan?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya meyakinkan masyarakat luas bahwa sekolah yang ada tidak menjamin masa depan cerah bagi para muridnya? Kami menyadari bahwa mendirikan sekolah alternatif membutuhkan biaya besar untuk memastikan kelangsungannya secara sistemik. Tanpa kepastian serupa ini sekolah hanya akan menjadi tempat berkumpulnya manusia yang tenggelam dalam ide-ide romantis tentang pencerahan bagi yang tertindas. Tak ada kata putus dari perdebatan ini. Kami lemparkan pertanyaan-pertanyaan ini kepada sidang pembaca.

Yang tak kalah menyedot tenaga dan pikiran adalah penyusunan Sisipan. Biasanya, tugas ini kami serahkan kepada penulis di luar dewan redaksi. Tak dinyana satu perjalanan ke Bali untuk menghadiri sebuah konperensi antropolog internasional menggugah kesadaran dua kawan dari dewan redaksi. Kebetulan mereka berdarah Bali dan cukup punya pengetahuan tentang adat-istiadat suku bangsa ini. Kalau selama ini mereka "pulang " ke Bali untuk ambil bagian dalam upacara-upacara adat keluarga, kali ini mereka melihat Bali sebagai pekerja kebudayaan. Hasilnya adalah keterperangahan yang berbuntut desakan mencari tahu. Borok-borok di balik keanggunan dan kemegahan Pulau Dewata pun terbuka.

Menjelang tenggat waktu yang disepakati dewan redaksi, negeri ini diguncang isyu "konflik elit". Kami sempat ditodong untuk berpihak --pro atau anti Gus Dur.Todongan ini justru membuat kami semakin yakin bahwa dalam kondisi krisis gerakan kebudayaan sangat diperlukan untuk mengarahkan gerakan politik. Tanpa diduga yang menganggap dirinya modern dan rasional pun masih merindukan kehadiran sang Ratu Adil untuk selamatkan bangsa ini.

Pemimpin Redaksi

Pokok Media KerjabudayaMenentang Kembalinya Kegelapan (Tim MKB)

Belenggu Itu Bernama Pendidikan (Fitri Armavilia)

Refleksi Pendidikan Alternatif (Sanggar Anak AKAR)

Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan (Tim MKB)Tim Media Kerja Budaya: Ayu Ratih, Hilmar Farid, Ibe Karyanto, Razif

ProfilBerpijak di Desa Menentang Neoliberalisme Nug Katjasungkana

Puisi Asahan Aidit

Kronik

Kritik Seni Petualangan Sherina di Pasar dan Suara Penonton Anak Suprihatin dan Nina Suartika

KlasikHind Swaraj Mahatma Gandhi John Roosa

Cerita Pendek Ketika Semangat Mulai Bergelora Rani Lukita

EsaiKeadilan Genetik? Karlina Leksono-Supelli

Logika Kultura Reformasi: Kebebasan yang Menindas Razif

Resensi Buku Menjadi Seniman a la Sudjojono Pitono Adhi

TokohSiti Larang: Sang Perempuan Pemula yang Terlupakan F. Hardoyo

Berita Pustaka

Sisipan Media KerjabudayaTentang Bali

● "Pulau Dewata" Surga Bagi Investor (Agung Putri)

● Bali Kapling Para Antropolog (Degung Santikarma)

● Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali (Alit Ambara)

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

versi teks

©2003, Media Kerjabudaya Online.

http://mkb.kerjabudaya.org e-mail: [email protected]

design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 2: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Menentang Kembalinya Kegelapan

Tim Media Kerja Budaya

Jika skala 1 sampai 10 dipakai untuk menilai situasi pendidikan di Indonesia sekarang, maka boleh jadi orang akan kebingungan, karena angka yang pantas memang tidak ada. Tingkat partisipasi yang selalu dibanggakan penguasa Orde Baru di tahun 1980-an dalam waktu singkat berubah drastis. Depdiknas melaporkan tahun lalu bahwa persentase penduduk usia 12-15 tahun yang bersekolah merosot dari 78% menjadi 58% dalam waktu kurang dari dua tahun, sementara sebagian yang tersisa terancam tak dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Infrastruktur yang berantakan, kurikulum yang kacau dan membingungkan, kelangkaan tenaga guru, dan sederet masalah lain menimbulkan pertanyaan sangat mendasar: apakah sistem pendidikan nasional masih pantas disebut sistem?

Borok-borok yang terungkap sekarang, termasuk melalui para guru dan pekerja pendidikan sendiri, membuktikan bahwa Orde Baru telah gagal membangun "satu sistem pendidikan" yang diamanatkan pasal 31 UUD 1945. Di satu sisi kebijakan di bidang pendidikan tidak mendukung, dan di pihak lain kebijakan serta perkembangan sosial-ekonomi di Indonesia menghancurkan sistem yang rentan itu secara sistematis. Tidak heran jika kalangan pendidik sendiri, yang umumnya dianggap "sopan dan moderat" karena pekerjaannya, mengajukan tuntutan radikal: Indonesia perlu revolusi pendidikan!

Putus Sekolah, Menyambung Nyawa

Sudah bukan rahasia lagi bahwa wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah adalah dongeng belaka. Di mana-mana rakyat miskin harus menyisihkan sebagian upah yang begitu rendah untuk SPP, seragam dan bermacam pungutan serta sumbangan lainnya. Ketika krisis memukul, orang tua pun angkat tangan. Alih-alih menyekolahkan anak, untuk menjaga keutuhan badan dan jiwa keluarga saja sudah setengah mati. Tidak sedikit anak yang kemudian dikeluarkan dari sekolah untuk membantu orang tua mencari nafkah. Di Majalaya, tercatat 26% buruh industri tekstil adalah anak usia sekolah, sementara di Tangerang angka ini bahkan mencapai 32%. Di pantai timur Sumatera, ribuan anak dikirim ke jermal selama berminggu-minggu, menjual tenaga, kadang berikut tubuhnya, untuk sekadar menyambung napas. Dengan pendapatan kurang dari Rp 3.000 per hari, sekolah hanya ada dalam khayalan. Nasib serupa menimpa anak-anak yang terlempar ke jalanan karena orang tua tidak mampu mengurus apalagi menyekolahkan mereka. Menurut perhitungan UNICEF, jumlah mereka sebelum krisis sekitar 50.000 anak dan dalam waktu tiga tahun terakhir sudah bertambah lima kali lipat. Belum lagi ribuan anak laki-laki dan perempuan antara 12-18 yang diseret ke dalam industri seks.

Angka putus sekolah ini diperkirakan akan terus meningkat � menurut Bappenas sekitar delapan juta anak pada tahun 2000 � karena biaya maupun paksaan bekerja. Proyek pemerintah dengan utang ke Bank Dunia untuk menalangi biaya sekolah juga tidak efektif. Alasan utama sangat klasik, karena sebagian dananya dimakan oleh para birokrat yang berkuasa di proyek-proyek itu. Tapi alasan lain yang tidak kalah pentingnya, karena program penyesuaian struktural dari Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya � yang menjadi menjadi perencana pembangunan de facto di Indonesia sekarang � secara sistematis menghancurkan tingkat kehidupan rakyat. Akibatnya orang tua memilih anaknya keluar dari sekolah agar dapat membantu mereka mencari nafkah. Pilihannya dengan begitu bukan lagi sekolah atau tidak sekolah dan bermain-main atau belajar di rumah, melainkan sekolah atau bekerja.

Sekolah, Guru: Sama Menyedihkan

Kondisi bangunan atau kadang gubuk yang disebut sekolah pun sangat menyedihkan. Jangan berbicara tentang laboratorium, tempat praktek atau peralatan dan kelengkapan lainnya. Tidak sedikit sekolah yang bahkan tidak punya cukup biaya sekadar menambal genteng bocor atau memperbaiki pintu ruang kelas. Depdiknas melaporkan bahwa 58% gedung SDN di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak, dan sekitar 33,6% di antaranya dalam keadaan rusak berat. Tidak sedikit sekolah yang hanya berfungsi pada musim kemarau karena selama musim hujan separuh bangunan tergenang air. Bagi murid sekolah pun sebenarnya bukan tempat ideal untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan. Di banyak sekolah hanya ada satu guru yang merangkap sebagai kepala sekolah, menangani puluhan, bahkan ratusan murid pada saat bersamaan. Hampir seluruh waktunya dicurahkan hanya untuk menjaga agar anak-anak tidak lari dari sekolah, dan tidak jarang mereka mangkir karena harus bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari. Maklum, dengan gaji sekitar Rp 85.000-100.000 per bulan yang kadang terlambat sampai 6-8 bulan, tak seorang pun bisa bertahan hidup apalagi ketika harga-harga melonjak akibat krisis.

Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa semasa krisis ratusan sekolah terancam bubar karena tidak punya dana maupun karena ditinggal oleh gurunya yang lebih senang bekerja sebagai supir angkot atau tukang ojek di kecamatan dengan penghasilan sekitar Rp 600.000 per bulan. Dengan pekerjaan "sampingan" ini jangan berharap mereka dapat menyiapkan diri, baik dari segi materi maupun mental. Kejengkelan karena penghasilan kecil dan setumpuk masalah di kepala seringkali dilampiaskan pada anak-anak. Hukuman fisik, pemukulan dan tindak kekerasan lain pun seperti tak terhindarkan. Dengan situasi belajar seperti ini, tidak heran kalau banyak anak yang kemampuannya mencemaskan. Dari Papua dilaporkan bahwa banyak lulusan SD yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis dengan lancar, apalagi berhitung atau memahami ilmu alam dan mendalami "sejarah perjuangan bangsa".

Birokrasi Ribut, Rakyat Kalang Kabut

Penguasa kolonial sekitar seratus tahun lalu mulai membuka pintu-pintu sekolah bagi anak bumiputra. Sebuah "politik etis" menurut para pendukung kolonialisme, tapi kaum pergerakan menyadarinya sebagai langkah strategis yang tak terhindarkan. Penguasa dan pengusaha perlu tenaga trampil yang patuh dan trampil. Para pejabat pendidikan kemudian pun menetapkan kurikulum khusus: baca, tulis dan hitung. Tidak lebih dan tidak kurang. Para pendiri republik sejak menjadi aktivis baik di atas maupun bawah tanah menyadari sistem pendidikan kolonial sebenarnya bagian dari penindasan. Karena itu ide pembebasan perlu juga dikembangkan dalam pendidikan dasar. Semangat itu pula yang mewarnai sidang BPUPKI yang sempat merumuskan tujuan dasar pendidikan nasional.

Tapi penguasa kemudian mengubah segalanya. Seluruh proyek pembebasan nasional ditinggalkan, dan pendidikan pun diseret kembali ke alam kolonial, bahkan dalam bentuk yang lebih parah, yakni "baca, hafal dan ingat". Siswa dianggap sebagai tabungan rumus dan mantra yang bisa ditagih sewaktu ujian. Kreativitas berpikir dibunuh dan yang tersisa hanyalah letupan-letupan energi yang muncul dalam bentuk vandalisme dan tawuran. Ebtanas dan sistem ujian lebih bertujuan memenuhi syarat birokrasi ketimbang menilai seberapa jauh anak-anak memahami materi, dan lebih membuat orang tua serta pejabat sekolah bangga � jika anak bisa memenuhi persyaratan itu � ketimbang memikirkan apa yang sebetulnya diperlukan anak-anak.

Seperti juga dalam bidang-bidang lain, orang tak tahu lagi omongan siapa yang harus dipegang. Pejabat sendiri juga ribut saling tuding dan menyalahkan karena rencana pengembangan pendidikan begitu tumpang tindih. Sementara Depdiknas menyiapkan Renstra (rencana strategis) sebagai turunan dari program Bappenas, pemerintah pusat justru memberlakukan otonomi yang akan menyerahkan pendidikan ke pemerintah daerah masing-masing. Tidak sedikit pimpinan sekolah yang pilih tutup kuping dan jalan dengan rencana dan bayangannya, yang boleh jadi semakin jauh dari cita-cita "membangun satu sistem pendidikan" seperti tertera dalam UUD 1945.

Dan di atas kebingungan itu para pelaksana pendidikan harus hidup dengan anggaran yang luar biasa kecil, dan bahkan paling rendah di seluruh Asia. Selama Orde Baru anggaran pendidikan memang tidak pernah lebih empat persen dari total anggaran, jauh di bawah misalnya anggaran pertahanan dan keamanan. Setelah Soeharto mundur keadaan tidak berubah jauh, dan bahkan Presiden Abdurrahman Wahid sempat berpikir untuk memotong anggaran yang luar biasa kecil itu sekitar 40% lagi.

Cukup jelas bahwa pendidikan, dan kesejahteraan rakyat pada umumnya, adalah prioritas kesekian � kalau pun masih bisa disebut prioritas � bagi pemerintah sekarang. Para pejabat dan DPR lebih senang mengucurkan dana Rp 500 trilyun bagi rekapitalisasi perbankan � menutup kerugian akibat korupsi gila-gilaan di zaman Soeharto � ketimbang menaikkan anggaran pendidikan yang hanya Rp 11,22 trilyun. Dengan kata lain penguasa menganggap pembayaran utang dan menambah modal bagi para kriminal yang menghancurkan perekonomian Indonesia jauh lebih penting daripada menyediakan dana cukup bagi sebuah generasi untuk mengikuti pendidikan.

Tabel 1

Bidang 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 1999/2000 2000

Pendidikan 3.102 3.692 4.508 5.445 6.181 6.249

Hankam 4.469 5.249 6.280 8.174 10.744 8.235

Bunga Utang 28.894 27.491 31.112 55.798 44.811 54.623

Diolah dari Nota Keuangan 1995-2000

Reformasi, Otonomi dan Entah Apa Lagi...

Dalam setahun terakhir semangat merombak pendidikan mulai menjalar ke semua kalangan. Para birokrat pun berbicara tentang perlunya reformasi pendidikan secara menyeluruh. Mereka tidak sendirian. Lembaga keuangan internasional yang praktis mengendalikan kebijakan sosial-ekonomi di Indonesia sekarang, mendukung "reformasi" dalam pendidikan tentu dengan rumusnya sendiri. Dengan utang begitu banyak, menurut mereka, Indonesia takkan sanggup membiayai program pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Reformasi berarti meninggalkan konsep sistem pendidikan yang dijamin negara, dan menyerahkan sebagian pekerjaannya ke tangan swasta.

Kebijakan mengurangi anggaran sosial, termasuk pendidikan, adalah bagian dari kesepakatan dengan IMF. Sebagai gantinya Bank Dunia memberikan pinjaman baru kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar. Tujuannya jangka panjangnya seperti disebut dalam Education Sector Strategy yang diterbitkan Bank Dunia bulan Juli 1999, "paling tidak...bahwa setiap anak perempuan dan laki-laki punya kesempatan belajar membaca, menulis dan berhitung yang sederhana". Pendidikan menengah dan tinggi sudah sepatutnya diserahkan kepada swasta, yang di samping lebih efisien dan tidak (terlalu) korup, juga berkepentingan mencari tenaga-tenaga trampil dan patuh untuk kelangsungan bisnisnya.

Perbandingan sekolah negeri dan swasta yang diperlihatkan tabel 2 memang sejalan dengan gagasan itu.

Tabel 2

Tingkat Sekolah Negeri Swasta

Sekolah Dasar 140.770 93,2% 10.272 6,8%

SLTP 10.374 49,5% 10.586 50,5%

SLTA 2.794 35,2% 5.142 64,8%

Perguruan Tinggi 77 5,6% 1.293 94,4%

Sepintas lalu nampak tak ada masalah, apalagi dibungkus dengan kata-kata "partisipasi masyarakat". Lagipula siapa yang bisa membantah perlunya negara memberi pendidikan kepada anak usia SD. Tapi kalau diteliti lebih jauh segera nampak masalahnya, yakni sistem pendidikan nasional takkan mampu direproduksi. Kita semua tahu bahwa pendidikan dasar memerlukan tenaga guru bermutu, sedapat mungkin lulusan perguruan tinggi. Tapi dengan skema di atas, hanya segelintir orang lulusan PTS yang membayar puluhan juta rupiah yang mau mengajar dengan gaji Rp 100.000 per bulan. Lagipula jumlah mereka tidak sebanding dengan kebutuhan guru yang terus meningkat setiap tahunnya.

Lalu, apa hasil terbaik dari sistem ini? Ketika berpikir tentang masalah ini maka situasi pendidikan di zaman kolonial yang suram mulai membayang lagi. Sekolah baik dan lengkap untuk anak-anak pejabat kolonial yang akan menggantikan kedudukan mereka sebagai penguasa, sekolah menengah untuk anak pejabat bumiputra yang "boleh pandai, asal taat pada aturan kolonial", dan sekolah rendah bagi massa rakyat yang boleh sedikit cerdas agar bisa menggerakkan mesin eksploitasi kolonial. Sejurus dengan Bank Dunia sekarang, pejabat kolonial di masa lalu juga menekankan, "rakyat bumiputra harus tahu baca, tulis, berhitung". Rekolonisasi pendidikan secara umum menjadi ancaman, dan di banyak tempat bahkan sudah menjadi kenyataan.

Dalam beberapa tahun terakhir perusahaan multinasional mulai menanamkan modal dalam pendidikan. Perusahaan sepatu Nike misalnya sejak Juni 2000 bekerjasama dengan Depdiknas menyelenggarakan program pendidikan di empat pabrik sub-kontraknya. General Electrics sudah menyalurkan satu juta dolar AS, termasuk beasiswa kepada mahasiswa terpilih untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Bagi perusahaan, setiap dana keluar adalah investasi dan dengan sendirinya program semacam itu dibuat untuk mendatangkan keuntungan, secara langsung maupun tidak.

Pendidikan di Indonesia selalu mengalami pasang-surut, tapi periode ini mungkin yang terburuk dalam sejarah. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk membangun kembali pendidikan jika masih mau bertahan sebagai bangsa. Pemerintah perlu mengakui secara terbuka bahwa kebijakan selama ini sudah menyimpang dan mengkhianati tujuan didirikannya republik, yaitu menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Langkah nyata adalah mengembalikan hak rakyat atas pendidikan dengan meningkatkan dana sekitar 25% dari total anggaran seperti lazimnya di negara yang beradab. Alasan negara sedang dilanda krisis sebaiknya diarahkan kepada para bankir, pengusaha, dan pejabat yang menciptakan utang seribu trilyun rupiah � yang cukup untuk membiayai pendidikan selama 13 tahun dengan anggaran ideal.

Sudah waktunya pula kita semua memikirkan kembali sistem pendidikan secara menyeluruh, mulai dari semangat pembebasan yang ditanamkan para pendiri republik, sampai pada pelaksanaannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ada banyak pekerjaan rumah di sana, mulai dari memperbaiki atap yang bocor sampai mendidik para pendidik, dan menjadikan sekolah tempat yang sungguh-sungguh memberi kesempatan orang untuk menjadi yang terbaik bagi kehidupannya sendiri. Tentu tidak semua orang harus menjadi istimewa, cerdas-tangkas dan bijaksana. Tapi semua orang kiranya berhak menolak diseret kembali ke zaman kegelapan.

Tim Media Kerja Budaya: Ayu Ratih, Hilmar Farid, Ibe Karyanto, Razif

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 3: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Belenggu itu Bernama Pendidikan

FITRI ARMALIVIA (18 tahun), Pelajar SMU di Jakarta

Sudah banyak orang yang menulis mengenai pendidikan di Indonesia. Umumnya mereka mengemukakan masalah-masalah yang ada dalam sistem pendidikan di Indonesia. Artikel ini juga akan mengulas masalah pendidikan di Indonesia, dilihat dari sudut pandang seorang murid yang sudah mengalami sepuluh tahun pendidikan di Indonesia.

Saya mengalami Taman Kanak-kanak (TK) selama dua tahun. Saya sendiri tidak ingat persis pengalaman saya saat itu, tetapi saya ingat Ibu saya bercerita bahwa ia beberapa kali harus mengunjungi Kepala Sekolah karena dipanggil untuk “membela” saya yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Ibu saya berpendapat bahwa anak usia TK tidak boleh dipaksa mengerjakan PR yang seharusnya diberikan kepada anak usia Sekolah Dasar (SD) tahun-tahun terakhir. Ketika itu saya diberikan PR menulis dan berhitung. Jika saya sedang semangat, saya kerjakan, jika tidak, tidak saya gubris PR itu. Ini tentu saja membuat guru saya gemas.

Hal itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saat ini PR anak TK lebih berat lagi, bukan sekedar menulis dan berhitung melainkan juga bahasa asing dan komputer. Pihak sekolah berdalih orang tua sendiri yang meminta supaya anaknya diajarkan materi tersebut. Alasan mereka untuk masa depan anak, era globalisasi sudah dekat, dan juga agar anak-anak itu tidak mengalami kesulitan di SD.

Di SD, anak diharapkan sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar. Mereka sudah wajib mengikuti ulangan tertulis, baik ulangan harian maupun ulangan umum. Jika seorang anak tidak mampu membaca dan menulis dengan lancar, ia tidak akan dapat mengerjakan ulangan dengan baik, walaupun ia mungkin menguasai bahan yang sedang diujikan. Ini tidak sesuai dengan kurikulum TK di mana anak seharusnya hanya bermain, tidak belajar mati-matian.

Selain masalah kemampuan membaca dan menulis anak SD memiliki persoalan lain. Usia SD adalah usia di mana anak-anak masih memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi. Saat itu mereka banyak sekali bertanya tentang segala sesuatu kepada orang tua maupun guru mereka. Sayangnya, mereka sering sekali hanya mendapat jawaban, “Kamu belum perlu tahu itu. Nanti kamu akan tahu bila kamu sudah besar,” atau, “Wah, memang sudah dari sananya seperti itu. Hafalkan saja yang sudah tertulis di buku.”

Jawaban-jawaban seperti itu lambat laun akan mematikan rasa ingin tahu anak. Ia berpikir tidak ada gunanya ia mengajukan pertanyaan bila orang dewasa yang ia harapkan dapat memuaskan rasa ingin tahunya tidak dapat atau tidak ingin menjawab pertanyaannya. Selain itu, suasana belajar di kebanyakan sekolah tidak membuat anak berani bertanya. Jarang ada guru di SD yang sambil pelajaran bertanya kepada muridnya apakah ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan. Malah hampir tidak ada guru yang memulai mengajar dengan pertanyaan dari muridnya.

Di samping itu, kreativitas anak SD kurang berkembang. Pada umumnya PR anak SD adalah mengerjakan latihan dari buku soal atau dari soal yang diberi gurunya, yang merupakan pengulangan materi dalam teks pelajaran. Latihan mengarang tidak sering diberikan karena guru acapkali malas memeriksa tugas karangan murid mereka yang bisa mencapai puluhan orang. Jarang sekali mereka mendapat kesempatan untuk bekerja berkelompok mengerjakan suatu tugas yang menuntut kreativitas, misalnya membuat dan menyajikan drama.

Kita tidak boleh meremehkan kemampuan anak usia SD dan mengatakan tugas membuat suatu drama adalah tugas yang berat. Membuat suatu drama membutuhkan daya imajinasi yang tinggi, yang umumnya dimiliki anak-anak usia itu. Mungkin bagi kita drama mereka terkesan naif dan cenderung mengada-ada, tetapi bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk menuangkan gagasan-gagasan yang mereka miliki. Mereka juga akan senang sekali mereka diberi kepercayaan untuk menyusun suatu drama dari nol, bukan sekedar diberi naskah lalu disuruh memerankan.

Keadaan ini menjadi sedikit lebih baik ketika anak-anak itu menginjak usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Di usia ini, guru-guru sudah mulai memberikan tugas yang menuntut kreativitas anak, sekalipun bukan lewat tugas resmi di kelas. Hal inipun masih banyak diberikan batasan-batasan oleh guru. Tidak banyak guru yang memberikan kebebasan penuh kepada muridnya untuk mengerjakan tugas sesuai kreativitas mereka.

Umumnya pemahaman akan kreativitas anak dibatasi sampai menghias tugas. Oleh karena itu, ada juga anak yang berpendapat bahwa kreativitas sama dengan kemampuan menghias tugas dengan warna-warni dan gambar-gambar menarik. Padahal kreativitas meliputi hal-hal lain yang lebih mendasar, misalnya, jika anak itu diberikan tugas meringkas suatu bahan, cara apakah yang digunakan anak itu untuk membantu dirinya belajar. Entah dengan membuat suatu skema di kertas yang lebar, atau justru dengan kertas-kertas kecil yang dapat ia bawa ke mana saja sehingga ia bisa belajar kapanpun ia membawa kertas-kertas itu, atau malah menghasilkan berbagai jembatan keledai untuk mengingat bahan pelajaran.

Secara umum, kesempatan terbesar seorang anak untuk menyalurkan daya kreativitasnya adalah di luar kelas. Pesta sekolah untuk memperingati hari raya, atau pesta kelulusan biasanya dijadikan sarana untuk menuangkan ide-ide mereka yang selama ini terpendam di bawah tuntutan-tuntutan PR dan tugas lain. Namun, namanya juga pesta, tidak semua sekolah dapat mengadakan pesta yang memerlukan biaya.

Selain itu, ada juga sekolah yang “tidak senang” dengan acara-acara seperti itu. Menurut sekolah-sekolah itu, acara demikian hanya membuang waktu saja. Seharusnya anak-anak itu belajar dan menjejalkan isi buku pelajaran mereka, bukannya “berhura-hura” di pesta.

Masalah lain yang dihadapi anak sekolah dan guru-guru mereka adalah buku pelajaran yang mereka pergunakan. Kurikulum sekarang membuat anak memiliki sekurang-kurangnya dua puluh buku pelajaran setiap tahun. Ini merupakan biaya tambahan bagi orang tua. Sayangnya, kurikulum Indonesia berganti kurang lebih setiap lima tahun sekali. Maka dari itu, orang tua tidak bisa menghemat dengan cara menyimpan buku-buku anak mereka, sehingga adik-adik mereka dapat mempergunakan buku-buku itu.

Bank Dunia telah memberikan bantuan dengan menyediakan buku-buku bagi anak sekolah. Tetapi apa yang terjadi? Sejumlah orang nakal telah menyelewengkan dana itu, dan menerbitkan buku ala kadarnya. Buku-buku yang terbit dengan dana itu tidak bermutu tinggi, bahkan malah ada yang mengandung kesalahan yang justru membuat anak bingung. Setiap kali buku dicetak ulang masih dengan kesalahan yang sama.

Masih untung jika murid atau guru tahu ada kesalahan di buku itu. Jika tidak, mereka akan terus memakai konsep yang salah sampai waktu yang tidak terbatas. Bahkan ketika ada murid yang mengetahui kesalahan di buku dan menjawab yang benar, guru menyalahkan dengan alasan tidak sesuai dengan buku pegangan, sehingga bisa tidak lulus ujian. Ini adalah bibit untuk mengembangkan sikap mencapai tujuan tanpa peduli jalan yang salah.

Belum lagi materi pelajaran dalam teks senantiasa berisi pengulangan sekalipun untuk tingkat kelas yang berbeda. Malah ada guru yang menyarankan muridnya mempelajari catatan tahun lalu untuk bahan pelajaran tahun ini. Ini nyata betul dalam pelajaran PPKN.

Sejauh ini, artikel ini baru berbicara tentang pendidikan untuk kalangan umum. Bagaimana dengan pendidikan untuk orang cacat, atau orang dengan situasi khusus, misalnya atlet, atau seniman? Bagaimana pula dengan anak jalanan yang tidak dapat mengikuti pelajaran pada waktu yang normal?

Saat ini di Indonesia hampir tidak ada sekolah khusus untuk atlet atau seniman. Mereka harus mengikuti kurikulum yang sama dengan anak-anak lain di sekolah umum. Mereka tidak diberikan kurikulum khusus yang dapat menunjang mereka mengasah bakat mereka.

Atlet memerlukan banyak waktu untuk berlatih. Jika mereka dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang ada, hampir tidak mungkin mereka akan berhasil. Baik di bidang olah raga yang mereka geluti, atau dalam pelajaran mereka di sekolah, atau malah gagal dalam keduanya. Tidak heran selama ini prestasi Indonesia di bidang olah raga masih ketinggalan dengan negara lain.

Seniman mengalami nasib yang sama buruknya. Di Indonesia, seni belum dianggap sebagai pekerjaan yang sebenarnya. Seni hanya dipandang sebagai suatu hobi, sesuatu yang dikerjakan setelah semua pekerjaan lain selesai. Di sekolah, seni berkembang dalam kegiatan ekstrakurikuler, jika memang ada. Bahkan sikap orang tua terhadap anaknya yang memiliki panggilan hidup di bidang kesenian juga seringkali tidak mendukung.

Ada orang tua yang bersikeras anaknya masuk Sekolah Menengah Umum (SMU) dan memilih program Ilmu Pengetahuan Alam, padahal anaknya sudah memperlihatkan bakatnya di bidang seni sejak usia SD. Akhirnya anak itu juga tidak bisa hidup dengan tenang. Di sekolah ia merasa tidak mengerti apa-apa, nilainya amburadul, sementara orang tuanya mengejar ia untuk memperoleh nilai yang baik, dan setiap akhir tahun ajaran ia dihantui ketakutan tidak naik kelas.

Anak jalanan mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Mereka sudah harus bekerja membanting tulang sejak usia dini dan mereka tidak dapat mengikuti pelajaran seperti halnya anak-anak lain. Maka didirikanlah sekolah-sekolah informal untuk mereka. Namun jalur itu menemui hambatan pula, karena sekolah informal tidak memberikan ijazah. Hal ini menghambat mereka meneruskan pendidikan mereka di lain tempat.

Masalah-masalah seperti itu terjadi karena sistem pendidikan di Indonesia tidak mau mengakui bahwa setiap anak memiliki kemampuan, bakat, dan minat yang berbeda. Semua anak diharuskan mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan, mau atau tidak mau. Anak yang memiliki kesulitan belajar karena situasi lingkungannya kurang mendukung, atau anak yang memiliki cacat yang dapat menghambat ia belajar, dan juga anak yang kritis dan lebih maju daripada anak-anak lain, masing-masing memiliki masalah dengan sistem pendidikan yang ada sekarang ini.

Sistem pendidikan ini harus diperbaiki supaya dapat mencukupi kebutuhan pendidikan setiap orang yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah program yang ada di SMU. Adakanlah program lain, misalnya Olah Raga, dan Seni. Bahkan kedua program itu sendiri dapat dipecah lagi menjadi program-program lain, karena baik olah raga dan seni memiliki cabang yang amat banyak.

Tentu saja akan lebih baik lagi apabila perbaikan ini dilakukan pada tingkat yang lebih mendasar. Kembalikanlah TK pada fungsi sebenarnya, yaitu taman bermain untuk anak-anak, bukan persiapan membaca, menulis dan berhitung untuk SD. Berikan kesempatan lebih banyak kepada anak-anak usia TK untuk bermain dan bergaul dengan teman-teman mereka, juga untuk mengembangkan daya kreativitas mereka.

Anak usia SD perlu diperhatikan lebih sungguh-sungguh. Jangan sampai rasa ingin tahu mereka, daya imajinasi dan kreativitas mereka mati karena suasana sekolah dan sikap guru tidak mendukung. Tingkatkan kualitas perpustakaan di sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat mencari jawaban atas pertanyaan mereka di buku-buku. Kalau buku mahal, sekolah bisa mengumpulkan sumbangan buku bacaan bekas. Ini juga berguna untuk menambah minat baca anak-anak. Anak-anak yang membaca banyak buku akan memiliki daya imajinasi yang lebih tinggi, kemampuan membaca yang lebih baik, serta kemampuan mengarang yang lebih baik; daya analisisnya juga akan turut berkembang.

Perlu ditekankan pula bahwa percobaan dan peragaan dapat membantu anak belajar lebih cepat, daripada hanya membaca teorinya di buku. Oleh sebab itu, fasilitas yang ada di sekolah perlu dilengkapi dan dijaga agar jangan sampai ketinggalan zaman, sekalipun tidak perlu alat yang mahal. Selain itu, praktik yang nyata juga perlu dilakukan. Sungguh ironis bila seorang murid dapat menghafal jenis-jenis tumbuhan serta kegunaanya, tetapi ia tidak dapat mengenali tumbuhan itu bila ia melihatnya.

Namun kita harus ingat, bukan itu saja masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ada ribuan sekolah di Indonesia yang kondisinya lebih mengenaskan daripada sekadar tidak memiliki laboratorium atau tidak mendorong anak untuk menjadi kreatif. Sekolah-sekolah itu tidak memiliki bangunan yang layak dan guru yang cukup. Murid terkadang hadir, kadang tidak hadir. Ini merupakan masalah yang lain lagi, dan sayang sekali tidak dapat dibahas dalam artikel ini.

Untuk memperbaiki keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia, diperlukan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, usaha perbaikan ini harus dimulai sesegera mungkin, dengan meningkatkan anggaran pendidikan; bukannya malah dipotong. Usaha ini tidak mungkin selesai hanya dalam lima atau sepuluh tahun. Bisa jadi baru di masa anak-cucu kita masalah ini selesai. Setelah itu pun, harus senantiasa diadakan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang melibatkan masyarakat, agar jangan sampai kesalahan yang ada sekarang ini terulang kembali di masa depan.

Selain itu, pemerintah harus mampu mengelola sumber daya material dengan benar, sehingga tidak memungkinkan terjadinya penyelewengan dan mengurangi kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan. Ada ribuan anak Indonesia yang belum dapat bersekolah dengan layak, padahal pendidikan adalah hak setiap anak yang dijamin di dalam Konvensi Perlindungan Hak Anak dan diratifikasi pemerintah Indonesia sepuluh tahun lalu. Setiap anak berhak untuk mengembangkan kemampuan dan minat mereka tanpa batas.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 4: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Refleksi Pendidikan Alternatif Model Pendidikan Anak di Masa Krisis

SANGGAR ANAK “AKAR”: Dede (16 th.), Heru (16 th.), Puji (16 th.), Rika (15 th.)

Bertahun-tahun kita belajar dan bahkan ada yang mengajar pendidikan. Setiap hari belajar dari pagi hingga siang, bahkan ada yang dari siang hingga sore.

Dalam kehidupan memang kita butuh pendidikan, karena itu kita harus bisa membaca dan menulis dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi sekarang ini, di zaman krisis ini banyak anak-anak yang tidak sekolah karena tak mampu membayar biaya sekolah, dan ada juga anak yang bisa sekolah dengan biaya yang ditunda-tunda.

Posisi anak, terutama yang ada di kota-kota besar, di pinggiran kali, diperlemah dengan pandangan sinis masyarakat yang menganggap mereka sebagai biang kekumuhan, kriminalitas, dan kenakalan. Mitos ini menyebabkan anak-anak semakin kehilangan kesempatan memenuhi hak-hak dasarnya, khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan yang sangat diidam-idamkan untuk masa depan kita sendiri.

Pada tahun 1999 dampak krisis terhadap pendidikan di seluruh Indonesia, 3 juta murid pendidikan dasar putus sekolah. Angka putus sekolah terus meningkat, pada Februari jumlahnya menjadi 6 juta orang dan bulan Mei meningkat menjadi 8 juta orang. Apalagi pada kurun waktu sekarang ini banyak kekacauan soal pendidikan, kurikulum materinya semakin banyak dan sulit untuk dimengerti dan dipelajari.

Dengan semakin banyaknya mata pelajaran, banyak guru, pelajar dan pengamat pendidikan yang berpendapat bahwa kurikulum sekarang ini terlalu memperberat murid serta dalam pengajarannya pun semakin membebani guru, sehingga sulit untuk membagi waktunya. Dr. H. Arief Rahman, salah seorang pengamat, mengatakan bahwa kita harus memberita-hukan kepada semua pihak bahwa kurikulum yang baik itu adalah kurikulum yang hidup. Ada kurikulum standar dan ada kurikulum yang harus terus mengikuti kemajuan dan kebutuhan. Sementara itu, sejumlah guru SD, SLTP dan SMU berpendapat bahwa kehadiran suplemen beberapa mata pelajaran dalam kurikulum 1994 agak meringankan tugas guru. Sekalipun demikian, sebagian guru masih mengeluhkan sulitnya mengajar sebuah topik secara tuntas akibat tak seimbangnya materi yang begitu padat dibandingkan jam pelajaran yang tersedia.

Pada pihak lain Dr. Nurhadi yang meninjau dari sudut pengajaran bahasa menilai bahwa guru bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah hanya berkutat dengan pengajaran teori tata bahasa, seperti memerintahkan murid menghafal jenis, fungsi awalan, dan sebagainya. Di kelas guru lebih banyak terjebak pada tata bahasa. Guru kurang mengajarkan kemampuan kreatif membaca dan menulis. Dr Neils Mulder dari Kanisius, Yogyakarta memandang dari materi pendidikan ilmu, menganggap perubahan situasi politik setelah reformasi di Indonesia telah mendorong demokrasi dan lahirnya keterbukaan menuju masyarakat yang demokratis. Tetapi, proses ke arah itu perlu diimbangi perbaikan materi pendidikan ilmu sosial, serta pengembangan wacana kekuasaan yang leluasa dikontrol masyarakat sipil secara meluas.

Lain halnya dengan tiga pengamat pendidikan Dr. J. Riberu, Dr. Mochtar Buchori dan Dr. Karlina Leksono Supelli yang menegaskan perlunya revolusi di bidang pendidikan. Sistem dan program pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan revolusi alias perlu diubah total. Di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, kini sekolah cenderung tidak terarah karena kurikulum yang tidak serasi. Proses pembelajaran pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik. Pendidikan di Indonesia makin materialistis. Hal ini berkaitan dari segi pembayaran atau biaya sekolah, nampaknya banyak anak-anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah akibat biaya yang terlalu besar. Ditambah pula pemerintah sudah membuat program wajib belajar, dan menghapus semua biaya yang menyangkut program itu, yakni tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama. Tetapi mana buktinya? Pemerintah dibantu pula oleh program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang tujuannya menanggulangi biaya pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Walhasil realisasi program JPS di bidang pendidikan untuk periode 1998-1999 dibagikan unuk program beasiswa untuk:

1,8 juta murid SD @ Rp. 120.000 untuk satu tahun (total Rp 216 miliar)

1,65 juta murid SMP @ Rp. 240.000 (total Rp. 396.000 miliar)

500.000 murid SMU @ Rp 300.000 (total Rp. 150 miliar)

250.000 mahasiswa perguruan tinggi

(Kompas, 3 Mei 1999).

Kami ingin bertanya ke manakah dan untuk apa digunakan? Karena kami banyak melihat anak-anak yang putus sekolah akibat biaya sekolah. Padahal sekolah itu milik pemerintah sendiri dan yang seharusnya semua urusan administrasi ditanggung oleh pemerintah.

Sekarang coba kita bandingkan terhadap negara lain yang juga mempunyai sistem penanggulangan pendidikan bagi anak-anak yang ingin sekolah tetapi tidak mempunyai biaya, maupun yang putus sekolah.

Dari data di atas ini mengapa Indonesia yang paling sedikit dan selalu menurun setiap tahunnya, padahal negara Indonesia adalah negara yang mempunyai cita-cita mengembangkan pendidikan melalui wajib belajar sembilan tahun? Kalau anggaran dari APBN hanya dibawah 1%, mana bisa negara kita ini akan maju dan akan lebih berkembang bila anggaran yang disediakan sangat minim sekali? Bila pemerintah hanya memberikan dana yang begitu minim seperti itu, bagaimana nasib penerus bangsa kita yang seharusnya bersekolah dan mempunyai cita-cita untuk mengembangkan bangsanya sendiri? Mana bisa bila penerus bangsa tersebut tidak mendapatkan pendidikan sama sekali?

Kalau bangsa kita ingin maju seharusnya pemerintah sudah melaksanakan program wajib belajar sembilan tahun, karena memang banyak anak-anak yang sangat membutuhkan dana tersebut. Anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah adalah salah satu tragedi dunia pendidikan. Di dunia persekolahan, guru adalah profesi terhormat dalam pidato kenegaraan di hari pendidikan. Sebagaimana nampak dalam tabel di atas, sebelum, sewaktu dan sesudah bunyi pidato sanjungan beberapa ribu rupiah dari gaji guru yang sangat kecil melayang untuk seremoni. Lewat pidato kenegaraan kita suka mengajar anak-anak kita agar berjuang bagi nusa dan bangsa. Tetapi ketika muncul anak-anak yang paling peduli terhadap masa depan bangsa, kita malah menyiksa dan menganiaya. Peradaban kita memang sedang mundur kezaman berburu. Dan manajemen tangan-besi telah memangkas tangkai masa depan anak-anak bangsa.

Dampak Krisis Terhadap Pendidikan

Sumber: Dokumentasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan Febuari-Maret 1998 dan berbagai sumber. Sampel di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus dalam dokumentasi.

Bukan hanya itu saja yang terjadi, pada Mei 2000 saat ujian Ebtanas mengalami kebocoran, padahal dokumen ebtanas adalah dokumen pemerintah yang seharusnya dirahasiakan dan baru dibongkar setelah pelaksanaannya selesai. Tetapi kenapa ini bisa terjadi, apakah pemerintah yang selebor atau pengurus-pengurusnya yang secara sengaja membocorkan?

Berkenaan dengan bocornya dokumen ebtanas terdapat tanggapan dari berbagai kalangan. Dr. Mohamad Surja memandang aksi-aksi demonstrasi massa yang dilakukan dalam koridor kendali PGRI, untuk tidak memboikot ebtanas. Sementara itu P. Siagian dari sekolah PSKD menegaskan sekolah swasta di Jakarta yang tergabung dalam badan musyawarah perguruan swasta (BMPS) mempersoalkan biaya evaluasi belajar tahun akhir nasional (ebtanas) yang dirasakan terlalu tinggi, sehingga terlalu membebani orang tua siswa. Diusulkan biaya tersebut ditekan serendah mungkin dengan cara mengefisienkan cara kerja panitia ebtanas. Lebih jauh pengamat pendidikan Prof. Mochtar Buchori menilai selama ini pelaksanaan ebtanas mengikuti tradisi, tanpa memikirkan apa fungsi sebenarnya yang harus dilakukan dalam evaluasi itu, serta apa fungsi akhir sebuah evaluasi.

Problem kebangkrutan pendidikan masih ditambah pula dengan tindakan kekerasan, diskriminasi dan pungli yang dilakukan oleh guru. Selama ini tindak kekerasan yang dilakukan oknum guru sudah bukan fenomena baru, akan tetapi dapat diartikan menjadi sebuah budaya. Kekerasan yang dilakukan oleh guru mencakup:

Pematuhan terhadap tata tertib: Murid diharuskan mematuhi segala bentuk peraturan yang ditetapkan sekolah, jika tidak mematuhi peraturan atau melanggar mendapat sanksi. Kemudian menyangkut pula masalah diskriminasi yakni tindak kekerasan pada kedua belah pihak yang berlawanan, contohnya guru memberikan perhatian khusus kepada anak yang mampu dan menyisihkan anak yang tidak mampu juga perhatian khusus kepada anak yang berprestasi dan tidak berprestasi. Dan yang terakhir adalah pungutan liar, tindakan seperti ini biasanya dianggap wajar oleh banyak guru, pasalnya mereka tidak puas dengan tunjangan yang diberikan sekolah. Misalnya biaya ulangan yang hanya mereka tulis dan foto copinya dengan modal Rp. 200,- harus dibayar oleh murid Rp. 500,-. Lainnya dalam bentuk mencatut uang buku, baju seragam, formulir-formulir pada saat pengambilan rapor dan penyuapan perbaikan nilai.

Dari semua data permasalahan yang ada kami sangat mengharapkan pemerintah agar:

Merubah kurikulum yang ada sekarang ini dan gantilah dengan kurikulum yang lebih baik, berguna dan lebih bermanfaat untuk bekal masa depan anak-anak yang sekolah.

Seimbangkan materi yang ada dengan jam pelajaran yang tersedia.

Buktikan bahwa pemerintah di Indonesia itu jujur dan terpercaya

Tepatilah semua janji pemerintah yang telah diucapkan dan telah diikrarkan kepada warga negara Indonesia

Pecat semua pengurus Depdikbud yang melakukan korupsi dan jangan berbuat curang dengan memeras guru demi kepentingan pribadi.

Berikan semua biaya yang sudah dijanjikan pemerintah untuk anak yang membutuhkannya.

Bebaskanlah wajib belajar sembilan tahun dari semua biaya yang memang seharusnya ditanggung oleh pemerintah (seperti yang tercantum dalam deklarasi PBB dan sudah ditanda tangani pemerintah Indonesia).

Pecat semua guru yang meminta uang sumbangan dari orang tua murid, apalagi bila memintanya dengan orang tua murid yang keadaan ekonominya lemah.

Bebaskan uang buku dari segala biaya.

Pemerintah memberikan jaminan: Keselamatan, Keamanan, Kebebasan, dan kesehatan. Serta, meberikan hak untuk menentukan pilihan dan pendapat.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 5: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan

Tim Media Kerja Budaya

Sepanjang sejarah sekolah selalu diliputi oleh masalah. Sudah terlalu banyak catatan kritis yang berniat membenahi sistem sekolah mulai dari masalah administrasi, dana sampai ke falsafah pendidikan, sementara terlalu sedikit perubahan yang berarti. Para penguasa modal dan negara melihat sekolah sebagai satu-satunya ruang untuk mencerdaskan bangsa, dan mereka yang tak bersekolah dianggap tidak memberi sumbangan pada pembangunan bangsa. Mereka yang mampu dan memiliki akses menjadi ‘kaum terlepajar’ dan digiring ke menara gading yang semakin jauh dari masyarakatnya, dan akhirnya menjadi pelayan kepentingan modal dan negara. Krisis yang melanda Indonesia membuat sekolah semakin sulit dijamah oleh rakyat miskin, dan semakin banyak pula ‘orang tak berguna’ dalam kacamata penguasa.

Kembali ke Kegunaan Dasar

Dalam situasi sekolah semacam ini perlu juga kita meninjau kembali konsep ‘pendidikan’ secara luas. Selama ini, di bawah bermacam tekanan yang hebat, alternatif terus saja bermunculan. Cukup banyak komunitas yang mengembangkan model pendidikannya sendiri, mendirikan sekolah alternatif untuk mengembalikan pendidikan pada tempat semestinya, dan melawan kesewenangan penguasa dalam pendidikan.

Ada dua wilayah penting yang dijelajahi oleh sekolah-sekolah alternatif sepanjang sejarahnya. Wilayah pertama adalah perkembangan kejiwaan anak didik dalam lingkungannya. Di Amerika Serikat, John Dewey (1859-1952) mendirikan sekolah percobaan melawan model sekolah negara yang menekankan pengembangan intelektualisme dan cenderung verbalistik. Guru besar dari Chicago itu kemudian mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pengembangan kejiwaan dan sosial, karena menurutnya yang terpenting adalah proses setiap individu untuk berkembang di tengah masyarakat. Sekolah yang didasarkan pada filsafat pragmatisnya cukup menonjol, karena memberi pilihan lain dari model-model sekolah sezaman yang berorientasi menjawab pertumbuhan kebutuhan industri belaka.

Sejarah kemudian mencatat upaya dari Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den Haag, Belanda. Seperti Dewey, ia pun tidak puas dengan metode belajar pasif dan merasa bahwa pendidikan harus membawa anak-anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya. Begitu pula dengan Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak cacat yang hanya terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan yang membangun motivasi atau kemauan anak, sesuai dengan kodratnya.

Wilayah lain adalah kebudayaan atau hubungan manusia dengan lingkungan secara utuh. Sekolah-sekolah yang bergerak di wilayah ini muncul umumnya di zaman kekuasaan kolonial yang menerapkan sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa kolonial. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’.

Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang ‘tak beradab’.

Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.

Pendidikan Sebagai Gerakan

Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah particulier (swasta) yang diselenggarakan oleh rakyat, karena sistem pendidikan kolonial hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan ‘berguna’.

Secara umum penguasa kolonial tak peduli pada nasib pendidikan bumiputra. Para pejabatnya lebih sibuk menyebar intel untuk meredam gerakan nasionalis ketimbang menyalurkan dana untuk pendidikan. Sekolah-sekolah particulier pada awalnya dibiarkan berkembang bebas, dan dipandang sebelah mata saja.

Adalah van der Meulen, direktur pendidikan pemerintah kolonial yang pertama memberi perhatian serius. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Fock, ia menguraikan bahaya dari sekolah particulier yang menyebar nilai-nilai anti-kolonial. Maksudnya tidak lain dari sekolah-sekolah yang dibuka oleh Sarekat Islam pimpinan Tan Malaka dan sekolah-sekolah Tionghoa yang sedang gandrung menyebarkan nilai-nilai gerakan pembebasan di Tiongkok. Sebagai reaksi pada tahun 1921 pemerintah mengumumkan Ordonansi No. 134 yang juga dikenal dengan sebutan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie). Dalam keputusan itu pemerintah mewajibkan setiap guru untuk melapor dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Lima tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Ordonansi No. 260 yang memerintahkan guru-guru menutup semua ‘sekolah liar’ karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua sekolah yang berhaluan nasionalis menjadi sasaran, dan penindasan pun semakin hebat setelah terjadinya pemberontakan rakyat di Jawa dan Sumatera pada tahun 1926-27.

Tidak banyak sekolah yang bisa bertahan, dan salah satunya adalah perguruan Taman Siswa, yang didirikan 1922 di Yogyakarta. Sementara kaum terpelajar menjadi sasaran represi dan sekolah-sekolah ditutup, Taman Siswa terus bergerak dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan terpenting dalam perjuangan nasionalis. Pimpinannya seorang priyayi, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat – kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara – dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tajam.

Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak tempat rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel kolonial, Taman Siswa menggelar konperensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya adalah menetapkan prinsip dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya membuka Kindergarten dan sekolah guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak kebudayaan yang merambah di berbagai daerah.

Penyadaran Demi Pembebasan

Dalam gerakan pendidikan sepanjang sejarah terbentuk pemahaman umum bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.

Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan. Seluruh paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti dikatakan Ivan Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban yang melayani kepentingan penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan tak mampupun tak dapat dihindarkan. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.

Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan diskusi-diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak putus sekolah yang semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana mendirikan sekolah sementara pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang pendidikan rakyat tanpa sekolah yang sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir dan berkarya.

Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-an ketika ia mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah lautan ketidaktahuan para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu mempertahankan penindasan yang hebat.

Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientização), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan, karena itu program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran politik rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh setiap penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh metode Freire adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara selama 70 hari, ia dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan, dan melanjutkan perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun kembali pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah berbesar hati mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi lembaga pemberi fasilitas dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya mereka yang dididik di sekolah kolonial. Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya ‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan pendidikan rakyat.

TIM MEDIA KERJA BUDAYA: Ayu Ratih, Hilmar Farid, IBE Karyanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 6: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Berpijak di Desa Menentang Neo-Liberalisme

Nug Katjasungkana

Bulan Januari lalu, sekitar tiga ribu orang terkaya sekaligus paling berkuasa di dunia berkumpul dalam Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, Swiss. Hadir antaranya para petinggi perusahaan raksasa seperti Coca Cola, McDonald's, Shell dan Nestlé serta direktur dan wakil-wakil Bank Dunia, IMF serta WTO. Di tengah kenyamanan resort elit mereka menyusun agenda penguasaan ekonomi dunia, sekaligus melakukan evaluasi untung-rugi terhadap apa yang telah dilakukan sebelumnya.

Mereka yang hadir bicara dalam bahasa halus-terpelajar, penuh sopan santun dan berpakaian necis. Media pun ramai-ramai meliput, menyiarkan isi pembicaraan yang sungguh mencengangkan. Di tempat ini para penguasa dunia membicarakan nasib jutaan orang miskin di seluruh dunia. Dengan satu lemparan senyum atau anggukan kepala tanda setuju, ribuan orang mungkin akan berubah nasib, terlempar dari tanah mereka atau menjadi pengangguran untuk selama-lamanya.

Pada saat yang sama di Porto Alegre, Brasil, ribuan kaum tani tak bertanah, intelektual, buruh, seniman dan aktivis menyelenggarakan Forum Sosial Dunia. Di ibukota Rio Grande do Sul ini, rakyat yang pegang kuasa, di bawah pimpinan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores). Daerah ini juga adalah rumah bagi ratusan ribu anggota gerakan tani "gaya baru", Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST, Gerakan Buruh Pedesaan Tidak Punya Tanah) yang memimpin perjuangan kaum tani dalam merebut haknya atas tanah di seluruh negeri.

Gerakan ini tumbuh sebagai perlawanan terhadap kebijakan neoliberal yang diadopsi oleh pemerintah Brasil selama belasan tahun. Seperti umumnya negeri-negeri kapitalis Dunia Ketiga, pemilikan tanah di Brasil sangat timpang. Kebanyakan tanah pertanian yang subur dikuasai oleh segelintir orang kaya. Apalagi dengan dikembangkannya pertanian monokultur orientasi ekspor, kekayaan dari pertanian semakin terkonsentrasi pada segolongan kecil para kapitalis pemilik perkebunan-perkebunan besar.

Pembebasan Tanah untuk Pemodal

Menurut angka resmi Kementerian Kebijakan Tanah, petani kecil (10 hektar ke bawah) yang merupakan 30,4 persen dari seluruh petani Brasil hanya 1,5 persen dari seluruh tanah pertanian. Sedang usaha tani sejak 1985 jumlahnya terus merosot dari sekitar 3 juta menjadi di bawah 1 juta. Sebaliknya usaha tani besar (lebih dari 1000 hektar) hanya merupakan 1,6 persen dari seluruh usaha tani, tetapi menguasai 53,2 persen dari seluruh tanah pertanian. Dampak dari konsentrasi tanah ini adalah kemiskinan yang luar biasa dan kekurangan gizi yang akut di kalangan petani kecil dan buruh tani.

Di tengah-tengah ketimpangan tersebut sejak 1984 muncul MST. Perjuangan utamanya adalah untuk kesejahteraan kaum tani. Untuk itu sejak enam tahun terakhir, MST memimpin kaum tani menjalankan land reform dari bawah, yakni aksi langsung "merebut" dan menanami tanah-tanah yang tidak digarap yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Hingga sekarang sudah dilakukan 518 pendudukan tanah, yang seluruhnya berjumlah 21 juta hektar. Lebih dari 150 ribu keluarga petani berhasil memperoleh kembali sumber penghidupan mereka dengna menggarap tanah-tanah "milik" perusahaan besar yang tidak digarap. Dengan aktivitas itu MST menjadi gerakan sosial terbesar di seluruh wilayah Amerika Latin.

Menjelaskan peran gerakan ini, Gilmar Mauro dari Direktorat Nasional MST mengatakan, "Untuk menjamin akses penduduk pada tanah, memajukan perkembangan sosial dan ekonomi yang merata, dan menjamin hak kewarganegaraan penduduk desa, harus dilakukan perombakan sistem pemilikan tanah di Brasil. Kami berkeyakinan bahwa perjuangan kami untuk land reform, dengan menduduki dan menanami banyak tanah pertanian yang tidak digarap, merupakan tindakan yang mendemokratisasikan akses rakyat pada tanah dan pada masyarakat dan pemerintahan."

Ucapan itu bukan omong kosong. Brasil sekarang ini dikuasai oleh pemerintah yang menjalankan politik anti-orang miskin. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Fernando Henrique Cardoso, bekas sosiolog radikal itu, sejak awal mengikuti jalan neoliberal IMF/Bank Dunia dengan membuka lebar-lebar pasar nasional untuk produk dari luar, menjaga tingkat suku bunga yang tinggi untuk manarik modal finansial internasional, swastanisasi perusahaan negara dan denasionalisasi sektor penting perkonomian nasional, menghapuskan peran negara dalam sektor ekonomi yang strategis (seperti industri baja, bijih besi, minyak, listrik, dan telekomunikasi) dan mengurangi pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. Kebijakan ini jelas menempatkan perekonomian nasional Brasil ke bawah kekuasaan modal finansial internasional.

Di bidang pertanian, kebijakannya adalah: - mendukung perkebunan besar dengan produksi untuk ekspor. - mendorong oligopoli pasar pertanian dalam negeri oleh perusahaan raksasa transnasional. - melakukan seleksi petani kecil untuk diintegrasikan dalam agro-industri, dan menetapkan wilayah-wilayah yang cocok untuk tiap jenis produk. - penghapusan pertanian untuk kebutuhan sendiri (swasembada). - penghapusan pertanian sektor publik dan mengurangi peran negara dalam pengaturan. cadangan (stock), bantuan teknis, penelitian pertanian, serta mengurangi dana kredit pedesaan. - pengalihan kontrol bioteknologi yang menguntungkan perusahaan multinasional. - mengurangi tenaga kerja di bidang pertanian sebanyak 5% per tahun.

Akibat kebijakan ini sangat merugikan kaum miskin di desa-desa. Kemampuan sektor pertanian untuk menyerap tenaga kerja merosot. Antara tahun 1985 dan 1996 jumlah tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian merosot sebesar 5,5 juta. Dari jumlah ini, lebih dari dua juta buruh pertanian kehilangan pekerjaannya. Politik pertanian tersebut juga telah mengusir empat juta orang Brasil dari kampung halamannya di desa-desa. Penelitian yang dilakukan pemerintah saja memperkirakan bahwa jika politik pertanian ini diteruskan, pada tahun-tahun mendatang 8 sampai 13 juta orang akan terpaksa pergi dari desa untuk mencari pekerjaan di kota-kota.

Jumlah usaha tani juga merosot. Dua tahun masa pemerintahan Cardoso saja, 400.000 usaha tani gulung tikar. Kebanyakan adalah usaha tani kecil-kecilan, yang luasnya tanahnya kurang dari seratus hektar. Usaha pertanian yang bangkrut itu umumnya diambil alih oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Menurut Guilherme Dias dari Universitas São Paulo, yang bekerja untuk pemerintah, dengan model pertanian sekarang ini, hanya 10% dari seluruh 780.000 usaha pertanian yang bisa bertahan secara finansial, dan hanya 700 ribu dari 2 juta keluarga petani yang akan mampu bertahan.

Akibat lain dari neoliberalisme di bidang pertanian Brasil antara lain adalah berkurangnya jumlah tanah yang digarap, meningkatnya impor produk pertanian yang menyingkirkan produk lokal, berkurangnya uang negara yang dianggarkan untuk kredit pertanian, transfer kekayaaan sebesar 24 milyar reais (kira-kira US$ 13.3 milyar) dari pertanian ke sektor-sektor di perkotaan. Konsentrasi pemilikan tanah pun meningkat, demikian pula ketimpangan kekayaan di kawasan pedesaan, ketergantungan pada impor bahan makanan, ketergantungan pada agro-industri yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional, dan hasil akhirnya adalah penderitaan kaum miskin yang meningkat.

Pemerintah Cardoso berjanji akan membagikan tanah kepada 280.000 keluarga petani miskin dalam waktu empat tahun. Tetapi janji ini hanya tinggal janji. Pemerintah mengaku pada tahun 1996 telah melakukan redistribusi tanah kepada 50.238 keluarga. Tetapi Persatuan Profesional Kementerian Kebijakan Pertanahan membantah pengakuan ini.

Agenda Alternatif MST

Dalam situasi inilah MST bergerak untuk memungkinkan kaum miskin desa hidup sejahtera dan berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi dan demokrasi. Dengan menduduki dan menanami tanah-tanah pertanian yang tidak digarap, petani tak bertanah memperoleh sumber penghidupan kembali. Tanah terbengkalai itu kemudian diduduki dan di atasnya dibangun koperasi pertanian yang produktif untuk memenuhi kebutuhan pokok serta menjual sebagian hasilnya melalui jaringan pemasaran tersendiri. Beberapa koperasi bahkan sudah dapat mengembangkan industri kecil, seperti pabrik pakaian, pengolahan teh dan pengolahan susu. Di sektor pertanian mereka berhasil memproduksi benih sayur dan buah-buahan yang bebas pestisida dan bahan kimia lainnya. Sebagian dari benih ini bahkan sudah diekspor ke berbagai negeri.

MST juga menyelenggarakan kursus-kursus pengembangan pertanian untuk petani, termasuk pendidikan politik agar rakyat bisa berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Pendidikan di sini diperlukan untuk membangun hubungan-hubungan dan kesadaran baru, dan kegiatannya meliputi partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kursus, kerja sukarela, aksi solidaritas (termasuk solidaritas internasional), belajar membaca dan menulis, dan yang terpenting "membaca dan menulis realitas kehidupan."

Di desa-desa mereka mengelola sekolah untuk anak-anak petani dengan kurikulum yang sesuai dengan keadaan pedesaan dan dengan kebutuhan kaum tani. Untuk orang dewasa yang buta huruf, dijalankan program alfabetisasi dengan metode conscientização yang dulu dikembangkan mendiang Paulo Freire, yang dikenal sebagai pendukung MST. Bekerjasama dengan UNESCO, 1.200 pendidik MST mengajar 25.000 pemuda dan orang dewasa buta huruf. MST juga bekerjasama dengan beberapa universitas menyelenggarakan program pendidikan "Pedagogi Tanah" untuk guru-guru sekolah.

Perjuangan MST memang berbasis di pedesaan, namun jangkauannya tidak sebatas desa. Karena masalah tanah tidak semata-mata masalah penduduk desa, MST juga telah menjalankan upaya yang sistematis untuk melakukan pengorganisasian di pemukiman-pemukiman liar di sekitar kota-kota São Paulo, Rio, dan kota-kota besar lainnya. Para penghuni pemukiman liar yang di Brasil disebut favelados, menyambut baik kegiatan MST, terutama karena keberhasilannya dalam perjuangan di desa-desa dan karena kebanyakan favelados adalah pendatang baru dari desa.

Perjuangan MST tidak hanya berfokus pada tuntutan atas hak tanah dan ifrastruktur (listrik, air bersih, jalan atau transportasi umum), tetapi juga pendidikan politik dan pengembangan perspektif anti-kapitalis berdasarkan pemahaman tentang watak eksploitatif modal finansial dan modal real estate.

Pengorganisasian kaum miskin kota tidak sekedar langkah taktis untuk mencari dukungan, tetapi merupakan bagian integral dari perjuangan politik nasional. Seperti dikatakan oleh salah seorang pengurus nasionalnya, João Pedro Stedile, "perjuangan untuk land reform bermula dari pedesaan, tetapi akhirnya akan dituntaskan di kota yang merupakan tempat kekuatan politik untuk perubahan struktural."

Penindasan dan Perlawanan

Keberhasilan MST tidak diperoleh tanpa pengorbanan. Kendati selalu setia pada prinsip perjuangan tanpa kekerasan, dalam menjalankan aksi-aksinya para petani seringkali harus berhadapan dengan polisi dan tentara. Antara 1985 dan 1996 saja tercatat 969 pembunuhan terhadap buruh pedesaan dan aktivis MST, sedang 2.412 buruh pedesaan, anggota keluarganya, dan pengurus MST mendapat ancaman pembunuhan karena mendukung land reform. Tetapi sampai Agustus 1999, hanya 53 orang yang dihadapkan ke pengadilan, dan hanya lima orang yang dijatuhi hukuman. Menurut James Petras dari State University of New York, pemerintahan Clinton berada di belakang represi terhadap kaum tani Brasil, karena AS melatih dan mempersenjatai pasukan militer dan paramiliter yang ditugaskan menghantam perjuangan kaum tani Amerika Latin.

Kegigihan MST melawan represi berhasil mendapatkan dukungan internasional dari organisasi hak asasi manusia, organisasi keagamaan, dan serikat-serikat buruh. Perjuangannya juga mendapatkan pengakuan internasional, antara lain berupa The Right Livelihood Award yang juga dikenal sebagai "Nobel Alternatif" dari Parlemen Swedia, penghargaan King Boudouin Foundation Award dari Belgia untuk "sumbangan yang luar biasa bagi pembangunan dunia", dan penghargaan pendidikan dari UNICEF.

Di dalam negeri sendiri, perjuangan MST semakin memperoleh dukungan luas. Salah satu indikasinya adalah jajak pendapat yang disponsori oleh Konfederasi Industri Nasional belum lama ini, melaporkan bahwa lebih dari 75 persen responden setuju dengan aksi MST dan 85 persen setuju dengan pendudukan tanah terlantar secara damai. Bahkan Cardinal Lucas Moreira Neves, pastor konservatif yang menjadi ketua Konferensi Para Uskup Katolik Brasil baru-baru ini menemui Menteri Pertanahan Brasil untuk meminta pemerintah bekerjasama dengan MST untuk mengatasi persoalan kemiskinan di pedesaan.

Untuk mencapai tujuan perjuangannya yang luas, MST menyerukan kerjasama seluruh rakyat Brasil. Dalam Kongres Nasional MST ke-4 Agustus 2000, pada delegasi mengeluarkan "Manifesto kepada Rakyat Brasil" dengan seruan kepada seluruh rakyat Brasil untuk "menyusun suatu Proyek Rakyat" yang melayani kepentingan rakyat. Untuk itu, demikian bunyi manifesto ini, diperlukan perubahan radikal yang membalik arus neoliberal yang menghantam kehidupan rakyat Brasil. Pembayaran hutang harus dihentikan, sistem finansial dan tingkat suku bunga harus dikendalikan. Bank harus dikendalikan agar menggunakan modalnya benar-benar untuk membiayai produksi bukan untuk spekulasi. Hutang luar negeri harus dirundingkan ulang dan anggaran negara harus diprioritaskan pada pendidikan kesehatan dan pertanian. Kekuasaan untuk menentukan kebijakan ekonomi harus direbut kembali supaya bisa dikendalikan oleh orang Brasil demi kepentingan rakyat Brasil, berarti kesepakatan dengan IMF harus diputus. Reformasi pertanahan harus dilancarkan, disertai dengan model pertanian baru yang memungkinkan petani terjamin kesejahteraan dan masa depannya.

Menurut para delegasi, tahun-tahun mendatang sangat menentukan. Rakyat Brasil berada pada titik yang sangat menentukan antara memperoleh kembali kedaulatan nasionalnya atau menjadi neo-koloni (kaum kapitalis) Amerika Serikat. Karena itu MST "mendesak semua organisasi rakyat Brasil untuk mengorganisir diri dan berjuang untuk perubahan-perubahan tersebut."

Sebagai gerakan petani, MST merupakan gejala baru. MST tumbuh dari pengorganisasi petani dari bawah, yang mengembangkan struktur dan mencetak pemimpinnya sendiri, yang bukan tunjukan dari partai politik. Gerakan ini memiliki agenda nasional dan sangat sadar mengenai masalah-masalah regional dan internasional. Perhatiannya tidak hanya pada persoalan pedesaan. Mereka sangat memahami bahwa politik redistribusi tanah hanya bisa berhasil jika disertai dengan penyediaan kredit, bantuan teknis, dan perlindungan pasar. Mereka menyadari perlunya aliansi politik dengan kelas buruh perkotaan dan organisasi-organisasi lain agar bisa menuntaskan transformasi sosial-politik.

Hubungan dengan partai politik juga berbeda. Jika gerakan tani "gaya lama" adalah onderbouw dari partai politik elektoral atau kalau tidak adalah "saluran penghubung" antara gerilya bersenjata dengan kaum tani, MST adalah gerakan yang independen. Belajar dari kelemahan pola hubungan yang menjadikan kepentingan partai politik lebih utama daripada gerakan sosial, mereka membentuk pola hubungan baru partai-gerakan sosial. Kendati demikian mereka tidak mengharamkan hubungan dengan partai politik. Para aktivis MST bersama aktivis sektor-sektor lain gerakan sosial mendirikan partai rakyat baru, Partido dos Trabalhadores (PT, Partai Buruh) yang kini merupakan partai kiri terbesar di Amerila Latin. Hubungan antara PT dengan gerakan sosial berbeda betul dengan pola yang lazim. Pola baru ini adalah PT adalah alat dari gerakan sosial untuk memperjuangkan kepentingan gerakan sosial pada tingkat politik negara; gerakan sosial bukanlah alat partai untuk mendapatkan dukungan termasuk untuk memperoleh suara dalam pemilihan umum.

Nug Katjasungkana , pekerja pada Jaringan Kerja Budaya, relawan di Timor Lorosae

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 7: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

PUISI Asahan Aidit

Nyanyian Pengembara Yang Hilang Bandar ini setia mencatat Kapal-kapal pergi dan merapat Lambaian kekasih yang dihianati Mengantar ini pengembaraan abadi Warna laut cuma bayangan biru Seperti juga pagi cuma bayangan putih Keyakinan bertolak timbul Ketika daun-daun muda baru bermunculan Dan kini selamat tinggal Ulangan merapat dan merenggang Sekali cinta dipertaruhkan Kandas terahir terlempar di pulau karang

Gubuk Perhentian Rintik-rintik hujan pecah di atas meja Di kebun terlantar tak berbunga Pandangan mengaduk kebosanan Mengadon keengganan Cuaca meremas paru-paru lembab Hari-hari tak tercari Di balik kaca buram Hiasan pagi cuma sunyi Tambah rasa-rasa linu di kaki Satu goncangan gempa Hilang dari pengamatan skala Telah berapa musim Menghabiskan daun dan sepatu Sesuatu yang baru Agaknya terkilir di saluran waktu

Amsterdam di Mata Jamila Jamila pernah menawarkan sebuah permainan Ketika bilik kosong hati meneropong Tapi Amsterdam kota bisu di waktu malam Cinta tak berkembang barang-barang terkurung di gudang Di siang hari polisi berkuda meronda mempertontonkan gerak Bunyi tapak mengesankan irama menghina walaupun perkasa Segumpal tahi tumpah di mana saja di antara halayak Selebihnya semua tampak netjes berjalan tanpa tertunda Kecewa hati Jamila di tengah kota berbau dan berdahak Di Amsterdam semua lelaki mencari yang tercecer Barang murah daging murah perkenalan murah Tiba di rumah bungkusan dibuka cuma tinggal harganya Dan Jamila pulang meninggalkan Amsterdam Jauh ke negerinya diantarai Gibraltar Pada orang tuanya diceritakannya tentang kota yang dilihatnya Amsterdam juga gurun pasir cuma ia rata dan rendah 7.4.93

Air Saga Kampung bertanah pasir Menyimpan dara-dara memendam rindu Air saga - pantai dan hati bujang-bujang pergi Tanaman kelapa lurus tegak akar-akarnya terpendam dalam Remajanya berkelana mengejar mimpi menjelang dinihari Keindahan yang ada cuma untuk mata dan hati Jauh mereka mengungsi dan ada yang tak kembali kembali Tanah indah perempuan jelita Cinta tertunda perjanjian daluarsa 22.2.93

Asahan Aidit , penyair yang tinggal di negeri Belanda

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 8: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Petualangan Sherina di Pasar

Pengantar Redaksi:

Sudah lama film anak menjadi perdebatan di kalangan orang dewasa, yang selalu merasa lebih tahu apa yang sesungguhnya diperlukan oleh anak-anak. Bermacam batas dan nilai pun dibuat untuk menentukan mutu dan fungsinya, sebagai panduan bagi orang tua untuk memilihkan film tepat untuk anak-anak mereka. Industri pun berlomba memadu trend dengan bermacam batas itu untuk menjaga kelangsungan produksinya. Maklum, selama puluhan tahun film anak menjadi komoditi yang sangat menguntungkan dan bisa melahirkan raksasa hiburan seperti Disney yang mengeruk keuntungan ratusan ribu dolar dari setiap adegan filmnya.

Dalam industri keinginan anak adalah lahan yang harus digarap, dan ratusan ahli komunikasi, seniman dan pencipta image dikerahkan untuk menghancurkan setiap bendungan yang menghalanginya, termasuk tentunya pengaruh orang tua dalam memelihara keluarganya. Bagi para tenaga kreatif ini, film bukan hasil akhir yang bisa dinilai berdiri sendiri. Sukses tidaknya diukur bukan berdasarkan nilai yang ditawarkan atau fungsi mendidiknya, tapi dari keberhasilannya menjual produk seperti memorabilia – termasuk citra anak yang bermain di dalam film – kepada publik, terutama anak-anak sendiri.

Walaupun namanya film anak, tapi seluruh proses persiapan, produksi dan distribusinya dikuasai oleh orang dewasa, dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan anak-anak sendiri. Seperti layaknya industri, anak-anak yang terlibat pun bekerja – bukan bermain – seperti partner mereka yang dewasa. Anak yang sukses menjadi bintang pun menikmati keberhasilannya seperti orang dewasa: membeli mobil dengan plat kendaraan bertuliskan namanya, dielu-elukan dan sibuk mengatur jadwal bisnis berikutnya. Tidak semuanya menyenangkan, seperti kisah tragis Drew Barrymore yang menjadi pecandu obat bius sejak usia sebelas tahun.

Dalam situasi seperti inilah hampir semua film anak itu dibuat. Tidak banyak pilihan tersedia, baik bagi anak yang bermain maupun menonton.

Dari segi tema, para produser umumnya beranggapan bahwa anak-anak memerlukan tokoh dalam kehidupannya. Tokoh sakti yang terus-menerus mengajarkan kepada anak-anak bahwa di luar sana ada sekumpulan orang jahat yang harus dibasmi. Tendangan, pukulan dan bermacam tindak kekerasan pun dibenarkan saat ‘musuh-musuh’ mulai muncul, dan anak-anak pun diajak mengidentifikasi diri dengan ‘kebaikan’, lebih tepatnya kekuasaan tak terhingga untuk menumpas apa pun yang ditampilkan ‘jahat’. Dari Amerika meluncur Superman, Batman, Spiderman, Wonder Woman, Flash Gordon, dan kemudian anak ajaib dalam Home Alone, yang menempa semangat memiliki, menguasai dan mengalahkan, bukan membagi dan memberi.

Tentu tidak semua film anak berorientasi pada kehebatan, kesaktian dan keajaiban tokoh-tokohnya. Di Indonesia kita mengenal Si Doel Anak Betawi yang diangkat dari cerita tahun 1950-an tentang pengalaman seorang anak di tengah kampung yang sedang berubah. Sebuah tema sederhana yang belakangan semakin sulit ditemukan. Lalu Not One Less dari Tiongkok yang menawarkan solidaritas dan persahabatan melalui pengalaman seorang guru cilik mempertahankan kelasnya dari serbuan kepentingan orang dewasa dan kesulitan hidup.

Tapi bagaimana sesungguhnya anak-anak sendiri melihat persoalan ini? Boleh jadi orang dewasa lagi-lagi terlalu banyak bicara.

Berikut redaksi Media Kerja Budaya menghadirkan tulisan dua orang anak yang sempat menonton Sherina dan beberapa film dari Iran dan Tiongkok sebagai perbandingannya. Selamat mengikuti.

Suprihatin kelas VI SD dan Nina Suartika kelas V SD

Sherina adalah gadis cilik yang cantik, cerdas, dan pemberani. Ayah Sherina bernama Darmawan dan ibunya bernama Uci Nurul. Ketika ayahnya pulang Sherina bersedih karena ia harus meninggalkan teman-temannya yang berada di Jakata, karena ayah Sherina mendapat kabar harus pindah ke Bandung.

Sampai di sana ia harus menyesuaikan diri. Dan Sherina pun telah mempunyai teman-teman baru. Namun ia pun menjadi sasaran bandit-bandit yang bernama Shadam, Icang dan Dudung. Mereka selalu mengganggu anak-anak yang lebih lemah dari mereka. Sherina tidak bisa menerima perlakuan tersebut dan akhirnya Sherina mengajak teman-teman barunya untuk melawan Shadam dan teman-temannya.

Ketika liburan sekolah 3 hari, ketika itu pula hati Sherina sedang kesal. Kata ayahnya: “Walau kamu masih kesal dengan teman-temanmu itu, kamu mau tidak ayah ajak ke rumah pak Ardi Wilaga?” Setelah Sherina sampai di sana hati Sherina pun merasa senang. Dan ia bertemu dengan Shadam. Ketika Sherina akan pergi ke pegunungan bersama Shadam, mereka berdua diculik oleh penjahat-penjahat yang disuruh oleh pak Raden. Ketika Sherina akan dicuik ternyata Shadam sudah berada di dalam mobil para penjahaat itu. Untung saja Shadam berteriak. Pada akhir cerita keduanya selamat.

Saya ingin sekali menonton film Petualangan Sherina, karena bisa menghibur hati kita semua. Tetapi saya tidak bisa menontonnya di bioskop, karena saya tidak punya uang untuk menonton. Untung saja filem Petualangan Sherina ada di VCD. Mungkin kalau tidak ada di VCD saya tidak bisa menontonnya.

Menurut saya Sherina tidak seberani yang ada di VCD dan mungkin tidak seberani itu dengan anak laki-laki yang bernama Shadam teman sekolahnya itu. Sebab Sherina murid baru di sekolah Shadam. Tetapi juga ada satu yang tidak saya mengerti. Mengapa ceritanya tidak masuk akal? Karena Sherina tidak mungkin berani waktu naik gunung berdua sama Shadam. Sherina dan Shadam adalah anak orang kaya yang pasti diomelin kalau pergi sendiri. Saya heran apakah sutradara Riri Reza waktu kecilnya suka bermain petualang.

Saya tidak menyangka Sherina bermain dengan bagus. Sherina sebagai penyanyi bermain bagus bersama bintang tamunya ialah sebagai berikut, Derby Romero, Djaduk Ferianto, Mathias Muchus, Didi Petet, Ratna Riantiarno, Henidar Amroe, Butet Kertaradjasa.

Filem anak yang pernah saya tonton di VCD lebih bagus dari Sherina adalah, Children of Heaven, (Filem Iran karya Majid Majidi yang mendapatkan berbagai penghargaan filem internasional – red) bercerita tentang seorang kakak yang telah menghilangkan sepatu adiknya dan berusaha mencarikan gantinya. Ceritanya seperti beneran. Not One Less ( Filem Cina karya Zhang Zimou – red) cerita tentang anak umur 13 tahun yang menjadi guru di desa terpencil. Cerita filem ini adalah kisah nyata.

Filem Petualangan Sherina itu adalah cerita dan hanya untuk menghibur kita semua, bukan kisah nyata. Kalau ada yang membuat filem lagi jangan mahal-mahal, supaya saya bisa menonton. Saya lebih suka filem bagus seperti Children of Heaven dan Not One Less.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 9: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Hind Swaraj Mahatma Gandhi

John Roosa

Dengan kemampuan disiplin-diri luar biasa, hampir setiap hari Mahatma Gandhi meluangkan waktu beberapa jam untuk menulis. Ia banyak mengerjakan surat-menyurat (menjawab setiap surat dari puluhan ribu surat yang ia terima), menyunting beberapa koran, dan membantu rancangan resolusi organisasi-organisasi. Karya kumpulannya, mendekati sembilanpuluh jilid, kebanyakan terdiri dari surat dan artikel pendek. Bagi mereka yang ingin memahami Gandhi secara cepat mungkin kecewa, karena ia tidak pernah menulis sebuah buku pun yang menjelaskan filsafatnya secara sistematis. Bukan berarti bahwa ia adalah pemikir yang sembrono atau tidak sistematis — justru sebaliknya. Begitu pemikiran Gandhi dipelajari dengan serius, terlihat bahwa Gandhi adalah salah seorang pemikir yang paling kompleks, rumit dan unik di abad ke-20. Untuk memahami dia selengkapnya perlu pembacaan yang sangat luas dan analisis yang hati-hati, khususnya karena para pengagumnya sering menggambarkan dia sebagai malaikat, sementara para pencelanya suka melecehkan citra sucinya itu. Jarang dia diperlakukan secara seimbang dan penuh nuansa.

Dari mana, kalau begitu, orang harus mulai mengerti Gandhi? Menurut hemat saya, paling baik adalah dari teks lengkapnya yang pertama, Hind Swaraj, sebuah buku kecil yang ia tulis pada awal hidupnya sebagai aktivis di Afrika Selatan pada 1909. Meskipun seiring waktu pemikirannya terus berubah, ia kokoh berpegang pada prinsip-prinsip dasar Hind Swaraj. Karya ini adalah semacam manifesto antikolonialisme, antimodernisme, dan anti-kekerasan. Karena karya ini di luar kecenderungan utama pemikiran politik modern — liberalisme, konservatisme, Marxisme — banyak pembaca mengabaikannya sebagai risalah kecil yang konyol dan eksentrik. Saya sendiri menyimpan banyak ketidaksetujuan, seperti saya jelaskan di bawah, tetapi karya tersebut banyak mengandung nilai sehingga cukup berharga untuk dibaca penuh simpati.

Perlawanan Pasif

Gandhi menyusun Hind Swaraj di atas kapal uap dalam perjalanan dari London ke Afrika Selatan dan kemudian diterbitkan dalam bentuk serial dalam korannya Indian Opinion. Di London ia sangat terganggu oleh pertemuannya dengan anggota-anggota sayap “ekstrimis” Kongres Nasional India yang mendukung — dan kadang-kadang melakukan — tindak kekerasan melawan pegawai Inggris. Salah satunya, Madan Lai Dhingra, baru saja membantai asisten Menteri Dalam Negeri untuk India di Juli 1909. Gandhi menulis teks itu dalam bentuk dialog antara seorang “redaktur”, Gandhi sendiri, dan seorang “pembaca” tanpa nama yang sering melontarkan argumen-argumen seorang ekstrimis. Format ini, tentu saja, mengarahkan si ekstrimis kalah dalam perdebatan tetapi dialog itu juga menampilkan perdebatan yang sangat berfaedah untuk direnungkan. Perhatikan kutipan berikut:

“Pembaca: pada awalnya, kita membantai segelintir orang Inggris dan mendatangkan kengerian, kemudian, beberapa orang yang dipersenjatai akan bertarung secara terbuka. Kita mungkin akan kehilangan seperempat juta manusia, kurang lebih, tetapi kita akan merebut negeri kita. Kita akan menjalankan perang gerilya dan mengalahkan Inggris. Redaktur: Itu berarti, anda ingin mencemarkan tanah suci India. Apakah anda tidak gemetar membayangkan membebaskan India dengan pembantaian? Yang perlu kita lakukan adalah mengorbankan diri kita. Adalah pikiran pengecut, pikiran untuk membunuh orang lain. Siapa yang anda kira anda bebaskan dengan pembantaian? Jutaan penduduk India tidak menginginkannya. Hal-hal demikian hanya ada di benak mereka yang teracuni peradaban modern yang sangat jahat. Mereka yang meraih kekuasaan dengan membunuh pastilah tidak akan membuat bangsa ini bahagia. Mereka yang percaya bahwa India diuntungkan dengan tindakan Dhingra dan tindak sejenis lainnya di India melakukan kesalahan serius. Dhingra adalah seorang patriot tetapi cintanya buta. Ia menyerahkan tubuhnya dalam cara yang salah;hasil akhirnya hanyalah kejahatan.”

Kebanyakan argumen Gandhi terhadap perjuangan bersenjata di sini lemah: ia memanfaatkan sentimen agama (mencemarkan India), kecemasan moral terhadap pembunuhan (“apakah anda tidak gemetar?”), kebanggaan (pembunuhan adalah “pengecut”) dan pendapat umum (“jutaan orang tidak menginginkannya”). Para ekstrimis Kongres tidak menghadapi kesulitan untuk mematahkan argumen-argumen ini bila mereka, bukannya Gandhi, yang menuliskan kalimat-kalimat “pembaca”.

Satu argumen Gandhi yang menurut hemat saya efektif adalah argumen mengenai “hasil akhir” perlawanan bersenjata. Seberapa baik pemerintah bila dipimpin oleh orang-orang yang meraih kekuasaan dengan membunuh? Ada bahaya yang sangat nyata bahwa perlawanan bersenjata menghasilkan pemimpin yang salah, mereka yang telah kehilangan tuntunan moral dan menggunakan kekerasan untuk menghadapi semua masalah. Saya tidak akan melangkah sejauh Gandhi yang berpandangan bahwa perlawanan bersenjata yang berhasil menggulingkan suatu pemerintahan dengan sendirinya memunculkan pemerintahan yang buruk. Tetapi pasti ada kecenderungan itu terjadi, terutama untuk perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh suatu komplotan yang tidak terbuka terhadap rakyat yang mereka klaim mereka wakili. Bahkan organisasi yang jelas-jelas revolusioner, menggunakan retorika Marxisme dan demokrasi dapat berkelakuan sama saja dengan gerombolan mafia dan panglima perang (perhatikan Khmer Merah di Kamboja, LTTE di Sri Langka atau Shining Path di Peru).

Gandhi mengajukan argumen kedua yang lebih efektif lagi dalam teks itu: perlawanan bersenjata sama sekali tidak perlu di India. Dengan jitu Gandhi berpendapat bahwa Inggris menjajah India karena banyak orang India yang mau bekerja sama dengan Inggris. Orang Inggris, segelintir kecil persentase penduduk, tidak berkuasa terutama dengan pedang. Mayoritas tentara, polisi dan pegawai negeri semua orang India. Penjajahan Inggris bertahan karena orang India mengizinkannya dan orang India mengizinkan itu berlangsung terus karena sebagian dari mereka, sekurangnya kelompok elite, mengeduk banyak uang:”kita mempertahankan orang Inggris di India demi kepentingan-diri kita yang hina. Kita menyukai perdagangan mereka.” Melempar semua kesalahan pada penjajah Inggris hanya ‘melestarikan’ kekuasaan mereka”; itu sama saja dengan menganggap mereka jauh lebih berkuasa ketimbang keadaan sebenarnya. Bila orang India ingin mengenyahkan Inggris, hampir tidak perlu melancarkan perlawanan bersenjata yang bersimbah darah dan besar-besaran. Yang mereka perlukan hanyalah bersatu tidak mematuhi dan tidak membantu penguasa Inggris: ”menyalahkan Inggris sia-sia belaka, bahwa mereka datang karena kita dan tinggal menetap karena alasan yang sama, dan bahwa mereka akan pergi atau mengubah keadaan mereka hanya setelah kita mengubah diri kita sendiri.”

Gandhi juga mengeluarkan klaim yang jauh lebih luas dan lebih problematis: kekerasan tidak perlu bukan hanya untuk kasus India, kekerasan juga tidak bermoral dipakai sebagai sarana untuk perjuangan politik di mana pun, kapan pun. Mari kita tengok logikanya. Untuk menjelaskan kemiskinan dan ketidakadilan, kita semua mengembangkan analisis sosial tentang siapa yang bertanggungjawab. Kemudian berdasarkan analisis itu, kita mengambil tindakan. Apa yang terjadi ketika kita melukai atau membunuh orang atau sekelompok orang yang kita anggap bertanggungjawab atas masalah kita dan kemudian kita sadari bahwa bukan mereka yang bertanggungjawab? Kita, karenanya, melakukan kejahatan karena telah membunuh orang-orang tak bersalah. Karena tak seorang pun mempunyai monopoli kebenaran. Melukai atau membunuh mereka yang kita anggap sebagai musuh dapat membawa kita pada kekeliruan yang tidak bisa diputar kembali: ”Orang telah melakukan berbagai hal yang kemudian mereka sadari salah. Tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia mutlak benar.”

Kekerasan tidak sah, menurut Gandhi, karena mengabaikan sisi manusiawi musuh dan menutup kemungkinan dialog lebih lanjut, menutup kemungkinan bahwa satu atau kedua belah pihak bisa berubah di kemudian hari. Gandhi ingin politik menghasilkan, dalam jargon masa kini, win-win solution: kedua belah pihak yang berkonflik sama-sama dimenangkan. Pemakaian kekerasan tak pelak menghasilkan penyelesaian kalah-menang (win-lose solution) dan pemenangnya tidak mesti yang benar, melainkan yang lebih brutal. Mengingat konflik sosial kelihatannya tak terbatas, seluruh masyarakat bisa habis akibat kekerasan bila setiap orang menggunakannya. Sebagaimana ditulis Gandhi, logika “hutang mata bayar mata” akan mengakibatkan semua orang buta.

Ketimbang mengarahkan kekerasan terhadap Yang Lain (orang lain, partai lain atau pemerintah lain dan seterusnya), Gandhi mengusulkan agar kita “mengorbankan diri kita sendiri” (seperti dalam kutipan di atas). Yang dia maksudkan adalah bahwa kita harus tolak saja yang kita anggap salah dan menyiapkan diri untuk disakiti karena penolakan ini: “Misalnya, pemerintah sekarang mengeluarkan peraturan yang diberlakukan pada saya. Saya tidak menyukainya. Bila saya menggunakan kekuatan agar pemerintah terpaksa mencabut peraturan itu, saya menggunakan apa yang disebut kekuatan jasmaniah. Bila saya tidak menaati peraturan itu dan menanggung hukuman akibat ketidaktaatan itu, saya menggunakan kekuatan-jiwa. Itu meliputi pengorbanan diri.” Ini adalah “metode mempertahankan hak dengan pengorbanan diri, kebalikan dari perlawanan dengan senjata.” Gandhi menyebut metode ini “perlawanan pasif” meskipun ia mencatat bahwa “pasif” bisa menimbulkan salah tafsir sebab bentuk perlawanan dia bersifat aktif. Dalam upaya mencari istilah yang membedakannya dari kekuatan jasmaniah yang kasar, ia juga menyebutnya “kekuatan cinta”, “kekuatan kebenaran”, dan “kekuatan jiwa.”

Sering terlontar pendapat bahwa pengorbanan diri ini, seperti dalam aksi pembangkangan sipil, hanya efekif bila Yang Lain tidak berniat membunuh anda. Bila pemerintah, mengambil contoh dari Gandhi, menghajar pengunjuk rasa atau melemparkan dia ke penjara karena melanggar peraturan, ia masih hidup sehingga dialog bisa berlanjut. Tetapi bila pemerintah membunuhnya maka permainan selesai tanpa mencapai win-win solution dan pengorbanan pengunjuk rasa tidak menghasilkan apapun. Bila Yang Lain bertekad untuk melakukan genosida tanpa peduli korbannya melawan atau tidak, seperti dilakukan pemerintah Nazi, strategi pengorbanan diri ini mungkin hanya mempermudah ia meraih tujuannya. Bila suatu pemerintah membantai semua pemimpin buruh, partai politik oposisi dan sarekat tani, seperti pemerintah Kolombia, rakyat tidak punya pilihan lain selain mengangkat senjata untuk melawan. Toh perlu dicatat bahwa pemikiran Gandhi tetap relevan: pasukan gerilya dapat berjuang dengan cara sedemikian rupa agar kekerasan yang ditimbulkan minimal dan mendorong tumbuhnya perlawanan tanpa kekerasan dari penduduk sipil.

Walaupun keterbatasan perlawanan pasif nampak jelas, tidak boleh kita lupakan pentingnya pemikiran ini bagi beberapa bentuk perlawanan tanpa kekerasan bahkan dalam keadaan paling parah. Nampaknya perlawanan pasif tidak tepat untuk, misalnya, penduduk Palestina yang menghadapi musuh yang ingin melihat mereka semua keluar dari tanah pendudukan itu atau dikubur di dalamnya. Tetapi Intifada di akhir 1980-an membuktikan kekuatan perlawanan pasif. Penduduk Palestina tidak mau membayar pajak pada Israel, tidak mau bekerja sama dalam bisnis mereka, tidak mau membeli produk Israel, tidak mau bekerjasama dalam semua hal dengan pemerintah Israel. Perlawanan inilah yang membawa Israel ke meja perundingan — bukan perlawanan bersenjata dan pembomban. (Pengkhianatan Arafat di Oslo di kemudian hari adalah cerita lain.)

Swaraj

Perlawanan pasif adalah sarana yang diusulkan Gandhi untuk mencapai swaraj India. Apa itu swaraj? Bila makna swaraj hanya kebebasan politis dari Inggris, Gandhi tidak akan tertarik. Ia ingin India bukan hanya bebas dari Inggris tetapi juga dari “peradaban modern.” Para nasionalis pada zaman itu, baik kelompok moderat yang menggunakan petisi secara damai maupun ekstrimis yang mengandalkan senjata, tidak mempunyai visi India merdeka selain replika negara Eropa yang dipimpin penguasa India. Gandhi, meski demikian, mengangankan India merdeka menggunakan lembaga politik yang sama sekali berbeda dari lembaga politik Eropa. Lebih jauh, ia mengangankan cara hidup yang sama sekali berbeda, suatu peradaban yang berbeda. Penolakan Gandhi terhadap peradaban modern bersifat menyeluruh: ia menolak parlemen, pengadilan, kedokteran modern, teknologi industri, pabrik, jalan kereta api dan pendidikan dalam bahasa Inggris. Ia menyebut peradaban modern “peradaban iblis,” suatu penyakit, suatu racun — segala hal yang bertentangan dengan kehidupan yang sehat dan bahagia.

Daripada mengikuti peradaban modern, Gandhi mengajukan saran agar India menghidupkan kembali tradisinya sendiri. Peradaban, dalam pandangannya, semestinya soal pengendalian-diri, pengenalan-diri sendiri dan laku secara etis. Dalam artian ini, peradaban kuno India sudah lengkap dan “indah”; peradaban India “tidak perlu belajar apapun dari peradaban lain.” Hidup yang baik tidak tergantung pada melimpahnya kesejahteraan materi yang diproduksi dengan cepat oleh mesin-mesin; hidup yang baik hanya tergantung pada keadaan pikiran seseorang. Ia lukiskan suatu gambar sangat indah tentang India “tradisional”, India yang ia klaim masih ada di luar kota-kota besar: Kita menggunakan bajak yang sama jenisnya dengan bajak yang sudah ada ribuan tahun lalu. Kita tetap memakai jenis gubuk yang sama seperti yang kita miliki di masa lalu dan pendidikan asli kita tetap sama seperti sedia kala. Kita tidak mempunyai sistem persaingan yang mengerogoti hidup. Masing-masing menjalankan pekerjaan atau usahanya sendiri dan mendapat upah yang sesuai aturan. Bukan karena kita tidak tahu bagaimana menciptakan mesin tetapi para leluhur kita … melihat bahwa kebahagiaan sejati dan kesehatan tercapai karena penggunaan tangan dan kaki kita secara tepat. … Mereka puas dengan desa-desa kecil.

Seperti kebanyakan orang, saya sadar tidak mungkin sepakat dengan serangan Gandhi yang tanpa kompromi dan pedas-tajam terhadap peradaban modern dan kebalikannya, pemujaan naifnya pada peradaban India. Analisisnya sangat simplistis, terlalu hitam putih; sangat mudah dikritik, terutama kalimat-kalimat yang mencerminkan ketidakpercayaan yang irrasional dan membabi-buta terhadap teknologi baru, seperti komentarnya tentang ilmu bedah: “lebih baik tubuh tetap berpenyakitan ketimbang disembuhkan lewat alat bantu pembedahan hidup-hidup yang kejam seperti dipraktekkan di sekolah-sekolah kedokteran Eropa.” Ketimbang mengulang lagi kritik biasa atas pemikirannya yang kabur, analisisnya yang tidak dialektis, ketidakpahamannya akan analisis kelas, penggambaran a-historisnya tentang budaya India, saya ingin menunjukkan sesuatu yang sering terlewatkan: ada setitik kebenaran yang berharga dalam argumennya. Hind Swaraj adalah kritik yang terlalu dibesar-besarkan terhadap modernitas. Tetapi daripada terpaku pada hal yang berlebihan itu, kita semestinya memusatkan pada soal-soal kunci.

Kecaman Gandhi terhadap ilmu kedokteran modern, misalnya, tetap relevan. Orang mendengar kecaman senada hampir setiap hari. Jelas bahwa ilmu kedokteran modern, setelah berkembang pesat dengan memandang tubuh sebagai mesin, telah gagal dalam beberapa segi. Banyak orang di Barat berbalik pada sistem medis kuno, seperti akupunktur dan jamu-jamuan dan pada sistem alternatif yang lebih modern, seperti homeopati, akibat tidak puas dengan ilmu kedokteran modern. Bukan maksud saya kita harus seperti Gandhi dan beranggapan bahwa semua kedokteran modern mesti ditolak. Juga bukan berarti bahwa pengetahuan medis yang lebih kuno tidak mengidap kekurangan dan kelemahan.

Melihat bencana biologis yang diciptakan ragam teknologi tertentu— racun pestisida, radiasi nuklir, banyaknya bahan kimia beracun di udara dan air — orang tidak bisa membaca Gandhi tanpa rasa kagum pada penolakannya akan kepercayaan pada mitos besar manusia modern: bahwa semua perkembangan teknologi menghela maju ke arah hidup yang lebih baik. Tradisi Marxis, yang mempunyai pemahaman yang sangat canggih mengenai teknologi dalam kaitannya dengan kapitalisme, sering terlena pada mitos ini juga. Harus diperjelas di sini bahwa ada beberapa teknologi yang mengandung resiko tanpa perlu dan terlalu berbahaya untuk digunakan dalam cara produksi manapun, entah sosialis atau bukan.

Hind Swaraj jangan dibaca sebagai petunjuk akurat dari aktivisme politik Gandhi di kemudian hari. Bertentangan dengan kehendaknya supaya para pengacara meninggalkan profesi mereka, sebagaimana ia lakukan, dan mengambil alat pemintal sebagai gantinya, hampir seluruh pimpinan Kongres Nasional India, organisasi tempat dia bekerjasama, adalah pengacara. Rekan terdekatnya adalah para pengacara praktek yang aktif. Bertentangan dengan kecamannya terhadap pabrik, pendukung finansial setianya di India adalah pemilik pabrik teksil. Memang, banyak industrialis India berteman dengannya dan berupaya bersikap sebagai pelayan-pelayannya yang patuh. Bertentangan dengan kecamannya atas jalan kereta api, ia berkeliling India dengan kereta api (di kelas tiga).

Hind Swaraj paling tepat dibaca sebagai dokumen utopis, yang membentuk tujuan akhir karyanya. Ia tidak akan memaksa orang lain mengikuti utopianya; ia berharap menyusun contoh gaya hidup alternatif. Meskipun dalam banyak hal harus berkompromi, Gandhi tetap dipacu oleh semangat mencari suatu kehidupan yang sederhana, sehat dan damai. Menghadapi makelar kekuasaan yang sinis dan industrialis kaya, Gandhi berusaha mengeluarkan yang terbaik dari mereka, menggiring mereka ke perspektifnya. Walaupun ia menggunakan juga kereta api, perjalanan-perjalanan panjang masih ditempuhnya dengan berjalan kaki setiap hari dan Gandhi adalah pejalan kaki yang kuat dan cepat di usia tujuhpuluhan. Gandhi selalu mendambakan India sebagai republik desa dengan penduduk yang mandiri secara ekonomis. Di akhir 1930-an, ia bertempat tinggal di sebuah desa di India tengah dan di situ ia bereksperimen dengan pemikirannya mengenai pembaruan desa.

Gandhi dipuja-puja sebagai “bapak bangsa.” Patung, gambar, dan potret dirinya ada di mana-mana. Setiap kota besar maupun kecil mengambil namanya untuk jalan utamanya. Orang harus ingat bahwa bertentangan dengan pemujaan resmi pemerintah terhadapnya, ia sendiri tidak pernah tertarik pada kekuasaan. Pada saat kemerdekaan di 1947, ketika para pemimpin Kongres di New Delhi bergembira karena memperoleh kekuasaan pemerintahan, Gandhi berduka cita, putus asa melihat kekerasan antara orang Hindu dan Muslim. Ia berjalan jauh ke desa-desa di Bengali berusaha mencegah kekerasan berlanjut. Kemerdekaan India tidak ada hubungannya dengan swaraj yang ia uraikan dalam Hind Swaraj, 38 tahun sebelumnya. Pemimpin-pemimpin Kongres, semisal Sardar Patel yang dikenal sebagai “manusia besi” karena ketelengasannya, dan Jawaharlal Nehru, yang memuja industri, memanfaatkan Gandhi untuk mobilisasi massa, kemudian dengan segera menyingkirkannya begitu mereka menguasai pemerintahan. Bila Gandhi benar-benar bapak bangsa, ia tidak diakui anggota keluarga lainnya (walaupun masih dihormati secara ritual) dan ia sendiri tidak mengakui anak yang terlahir.

Kini di India, kecuali kaum chauvinis Hindu sayap kanan ekstrim, yang membunuhnya di 1948 karena menuduh ia mengkhianati kaum Hindu dan memihak kaum Muslim, semua pihak yang berbeda pandangan politik menghormatinya: Marxis, feminis, pembela lingkungan, kaum konservatif, dan lain-lain. Hidupnya cukup kompleks sehingga masing-masing orang bisa mengambil bagian tertentu hidupnya untuknya sendiri. Namun demikian, satu hal harus digarisbawahi dari Hind Swaraj: Gandhi adalah aktivis politik yang juga sama pedulinya terhadap gerakan sosial untuk keadilan maupun terhadap diet dan introspeksi-diri. Ia berusaha menyatukan yang pribadi dan yang politis dalam suatu visi utopis untuk masyarakat baru. Ketika India dan dunia bergerak semakin menjauh dari visi tersebut dan merosot menjadi masyarakat kejam dengan ketidakadilan yang parah, di mana penguasa neoliberal tiada lagi peduli terhadap kaum miskin dan membiarkan mereka mati begitu saja, tulisan-tulisan Gandhi bisa membantu kita menghidupkan kembali daya berimajinasi utopis — suatu imajinasi yang diperlukan agar aktivisme politik tidak menjadi permainan kekuasaan yang sinis dan kejam belaka.

JOHN ROOSA, Sejarawan yang bermukim di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 10: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Catatan Redaksi: Cerpen ini merupakan bagian pertama dari dua bagian tentang kehidupan pejuang perempuan dari Maluku, Martha Christina Tiahahu.

Ketika Semangat Mulai Bergelora

Rani Lukito

Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah malam pada saat aku lahir membawa kepenatan dalam hati ayahku. Malam yang bergejolak dengan kilat membelah mega setiap satu-dua detiknya. Erangan ibuku menyiksa telinga lelah ayahku. Namun, ironis juga bahwa dia begitu khawatir.

Ia telah melalui masa-masa yang lebih sulit sebelumnya. Seringkali aku bermimpi ia mencincang serdadu Belanda menjadi potongan-potongan yang mengerikan, mengibaskan tetesan darah yang menciprati kemeja putihnya. Oh ya, aku tahu banyak cerita berlebihan yang ia sampaikan sebelum aku tidur itu seringkali benar adanya. Cerita tentang kekejaman dan kekerasan. Aku dengar orang tuaku berdebat apakah memperkenalkanku pada kekerasan di usia semuda ini akan merusak. Tapi aku tak setuju, aku punya hak untuk tahu apa yang dialami ayahku. Bukankah aku putrinya satu-satunya? Bukankah aku putri Kapitan Paulus Tiahahu itu sendiri? Bukankah aku Martha Christina Tiahahu?

Suara lembut Anna menggugah pikiranku yang menerawang. Ia menggoyangku pelan-pelan, mencoba membawaku kembali ke dunia nyata. “Martha! Martha!”, ia terengah. Aku berkedip, sambil mencerna gubuk yang mengelilingi kami. Gubuk biasa, sederhana, dengan pagar bambu serupa yang rapuh. Atapnya terbuat dari daun kelapa kering yang dianyam dan diikat hati-hati. Betapa tak beraturannya tampaknya jika dibandingkan dengan kayu kokoh tak tembus segala yang dipakai untuk kapal-kapal Belanda. Toh, aku lebih suka gubuk ini daripada kapal-kapal itu. Karena kapal-kapal itu dinaungi kejahatan, aura kematian, penghancuran dan pemusnahan. Aku telah melihat dengan kedua belah mataku yang berbentuk buah kenari ini, para pembunuh yang berdiam dalam kapal-kapal itu. Semua berpakaian anggun dengan tingkah laku yang kaku, dingin, tak berperasaan. Tak heran jika aku bisa menerima tindakan kejam ayahku terhadap mereka … mereka pembunuh berdarah dingin.

Tiba-tiba aku tersentak oleh mata khawatir Anna yang mengamati mataku, dan berdiri sejenak setelah kehadirannya di gubuk kami. “Belanda datang lagi, Martha! Kita harus segera pulang!”, ujarnya sedikit terengah-engah. Ada ledakan kebencian di dalam hatiku. “Belanda? Belanda datang lagi? Dan apa tujuan mereka kali ini? Membunuh dan merampok tanah kami lagi? Itukah yang mereka inginkan, bajingan-bajingan tak berwarna!?!”, aku berteriak penuh kebencian. “Aduh Martha .. sudahlah … ,” Anna memohon; ia memandangiku dengan matanya yang mengiba. Aku berhasil mengendalikan kemarahanku, mengatupkan mulutku erat-erat dan menggigit lidahku. Aku ayunkan tanganku yang terkepal ke udara dan menebar pandangan marah ke awan yang berlalu, “Dalam hari-hari ini …”. Tetapi ucapanku tertahan oleh suara ketakutan ibuku yang memanggilku ke dalam. “Martha! Biar ayahmu saja yang berperang sekarang… Kamu baru berumur tujuh belas tahun!”, ia terus mengomel sambil menyeretku ke dalam gubuk. Aku masih sempat melambaikan tangan pada Anna, yang kemudian terpincang-pincang bergegas pulang ke gubuknya sendiri. Dia tersenyum balik dengan matanya yang manis tapi menggoda itu, dan hilang dari pandanganku.

Oh … Anna .. Anna manis sayangku. Sejak awal kehidupannya ia telah terbungkus dalam persoalan. Ia lahir pada malam yang sama denganku, tetapi kurang beruntung nasibnya. Ibunya berada di atas sebuah kapal bernama Santa Maria ketika melahirkan Anna. Dia menyelundup dari Sulawesi dengan niatan membangun hidup baru bersama seorang anak laki-laki dan bayi dalam kandungan setelah suaminya meninggal dunia. Kapal Santa Maria menabrak salah satu terumbu karang yang membatasi pulau kami, Nusa Laut, dan mengalami kerusakan berat. Semua penumpang dan awak kapalnya berhasil diselamatkan, tetapi kaki mungil Anna remuk tertimpa potongan kayu penahan layar. Ibunya segera membawanya ke dukun terdekat, seorang laki-laki dengan kekuatan gaib di desa kami. Tapi pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah mengamputasi kaki Anna. Ibuku datang membantu ibunya segera setelah peristiwa menyedihkan itu. Ia meletakkanku di sebelah Anna yang menangis histeris, sementara ia menghibur ibunya. Anna berhenti menangis begitu ia melihatku. Ia menatapku penuh rasa ingin tahu ketika aku menatapnya. Dua jiwa yang tersasar menemukan kesenangan dalam diri satu dan lainnya. Walaupun ada perbedaan-perbedaan, kami menjadi teman baik sejak saat itu.

***

Hari berangkat malam. Aku bisa mendengar teriakan dan tembakan sahut-menyahut dari arah hutan. Ada juga jeritan kesakitan, tetapi aku sudah terbiasa mendengarnya. Aku duduk tegang di beranda, mendengarkan tanda-tanda kepulangan ayahku dengan sabar. Ayahku, dengan mata coklatnya yang lembut dan baik, menyembunyikan kepedihan sangat yang ia alami setiap hari sejak ia lahir. Dagunya yang kasar dipenuhi rambut-rambut pendek tak beraturan. Kumis tebalnya menggarisi bibir tipis yang selama ini aku tahu hanya mengeluarkan kata-kata halus membesarkan hati.

Mendadak kepalaku berpaling ke belakang. Terdengar gemerisik lirih dari semak-semak di belakangku. Tanganku segera meraih pisau yang terikat pada sabuk merah darah di pinggangku. “Siapa itu di sana?”, aku bertanya dengan suara tegas. Sesosok ramping berotot dibalut kain usang melompat keluar. Aku hunus pisauku dalam sekejap. “Tenang!”, suara akrab menyapaku, “Ini aku, Non, Ayah!” Di wajahku tersungging senyum gembira. “Wah, wah, wah, kamu akan tumbuh jadi perempuan dewasa!”, tersenyum lebar ia menatapku lekat-lekat. Aku berlari ke sisinya dan memeluknya dengan hangat. Kemejanya yang putih bersimbah darah, bukan hal yang luar biasa buatku. Tetapi suatu kali Anna melihatnya dan wajahnya berubah pucat pasi. Ibu keluar dan mengambil kemeja itu dari tangan ayah. Kemudian, seakan tak terjadi apa-apa, ia berjalan ke halaman belakang dan merendam kemeja itu dalam seember air bersih.

“Apa yang terjadi di sana, Ayah?”, aku menanyainya dengan nada khawatir. Tiba-tiba matanya meredup dan ia tersenyum sedih. Ia berjalan ke beranda dan menarik saputangan yang basah oleh keringat dan menyapukannya ke sepanjang dua belah alisnya.

Aku tahu keadaan menjadi sulit bagi kami sejak orang-orang Inggris melepaskan Maluku kepada Belanda. Hubungan kami dengan orang-orang Inggris tidak terlalu buruk. Tetapi hanya setelah lima tahun yang cukup damai, mereka tinggalkan kami bersama dengan orang-orang Belanda yang kejam. Jika aku tak salah, setelah Konvensi London yang terjadi tiga tahun lalu banyak hal mulai berubah. Sekarang Kepulauan Maluku dibanjiri orang Belanda. Mereka berusaha terus-menerus tanpa kenal lelah mengambil kendali perdagangan rempah-rempah kami. Seandainya mereka melakukannya dengan cara yang tidak terlalu kejam dan biadab, mungkin kami akan bersikap lebih kooperatif. Sayangnya, mereka menggunakan cara-cara haus darah dan tanpa perasaan untuk memaksa kami tunduk pada mereka. Itulah sebabnya kami serang mereka, memberontak dengan hidup-mati kami.

Pemberontakan dimulai di Saparua di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Belakangan ini aku sering mendengar namanya. Ia digambarkan sebagai lelaki berani dengan syaraf baja. Merupakan kehormatan bagiku kalau bisa bertemu dia. Tetapi bahkan setelah ulang tahunku yang ketujuhbelas pun ayah masih belum perbolehkan aku bergabung dengannya dalam pertempuran melawan Belanda. Sebenarnya aku tidak tahu persis kapan aku lahir. Aku cuma tahu hari lahirku sama dengan hari lahir Anna. Hari ulang tahun tak pernah terlalu berarti bagi kami, kami hanya menghitung tahun saat mereka lewat.

***

Ayah batuk mengingatkan aku pada kehadirannya. “Ah, maaf Ayah!”, aku menelan ludah dengan gugup. “Apa yang Ayah bilang?”

“Ya sudahlah anakku. Kamu semestinya tidak memikirkan hal-hal seperti ini. Tapi tampaknya kamu sudah asyik terlibat dalam masalah ini …”

“Terlibat? Dalam apa? Perjuangan kita untuk kemerdekaan? Tentu!”, aku mendengus dengan sombong. “Orang Belanda memperlakukan kita dengan tidak adil, mereka tidak pernah bersikap adil!”

“Begitu banyak kemarahan dalam dirimu, anakku. Kita harus selalu berpikir jernih”, ayah menggumam. Aku mempermainkan pisauku dengan gamang, kemudian bertanya, “Apa rencana Ayah selanjutnya?”

“Kapitan Pattimura memutuskan untuk berkonsentrasi pada Benteng Duurstede. Ini akan menjadi target utama kita dari sekarang, dan hanya itu yang akan aku ceritakan padamu!” katanya sambil mencubit daguku.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam. Aku menarik napas panjang. Ia tampaknya malas bicara malam ini. Aku berdiri menyandar pada pilar kayu beranda, kemudian menyeret badanku untuk tidur.

***

Fajar membelah hari dengan semburan sinar keemasannya yang menyilaukan. Cahaya matahari berpendar dari cakrawala, meluas dan merayap sampai ke setiap daun, setiap pohon, beri warna emas kemerahan. Kaki-kaki kami melompat di atas pasir pantai yang lembut. Walaupun kakinya tak sempurna, Anna bisa bergerak cepat dan gesit juga. Tawa kami bergema di sepanjang pantai saat kami menceburkan diri ke air yang dangkal dan mandi. Laut seperti selimut biru raksasa mengelilingi kami, menghempas pelan ke pantai.

Aku letakkan telunjuk di depan mulutku, beri Anna tanda untuk menghentikan suaranya. Kami bermain terlalu dekat ke lokasi tenda Belanda. Kami merangkak pelahan ke pantai dan keluar dari air. Kaki-kaki kami tenggelam cukup dalam ke pasir setiap kali kami melangkah. Tanpa peringatan, ada suara ledakan di belakang kami. Aku dengar Anna terjungkal dan jatuh terkapar di pasir. Dia mengerang kesakitan, kedengaran seperti suara berkumur tak beraturan. Aku berputar cepat, mataku membelalak saksikan pemandangan yang menyapaku dari belakang. Darah tersembur dari leher Anna. Ia terbaring tak bergerak di pasir, lunglai seperti rumput laut yang selalu kami temui di pinggir pantai setiap pagi. Aku berlutut di sisinya, menggoyang bahunya. Airmataku mengalir deras, airmata yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia terasa hangat di pipiku yang dingin dan tak ada suara apa pun selain isakan tak berdayaku yang keras.

Tanpa kuduga hujan peluru berdesingan, nyaris menyambar telingaku. Instingku tergerak dan yang aku tahu kemudian aku berlari sekuat tenaga menyeberangi pantai meninggalkan tubuh ringkih Anna. Aku mencapai gubukku beberapa menit kemudian, dalam kemarahan luar biasa. Tapi yang lebih buruk adalah rasa sakit yang tak terperi menikam setiap aku ambil nafas. Ibu bergegas keluar menolongku, tergeragap melihat darah yang menembus blusku dan menetes dari jari-jariku yang gemetaran. Ia menghujani aku dengan segala pertanyaan dan mencoba menarik perhatian orang-orang sekitar. Tak lama kemudian sekumpulan perempuan yang prihatin mengerumuni kami, memperhatikan ibu yang menggosokku dengan handuk bersih. Kemudian, ibu Anna muncul dari kerumunan itu. Perempuan-perempuan lain jadi seperti saputan pelangi di mataku. Ibu Anna tampak merah menyala. Ia mengingatkan aku pada darah Anna. Saat itu aku mulai menangis pilu kembali. Aku berusaha berdiri dan sempoyongan menghampirinya. Aku genggam tangannya erat-erat dan berhasil katakan sesuatu. Aku tak ingat lagi apa yang aku lakukan, tapi aku ingat bagaimana wajahnya kehilangan warna coklat usang biasanya. Ia hampir seputih salah satu perempuan Belanda ketika aku terpuruk lemah kembali di tanah.

***

Bagian kedua: Badai Bergolak

RANI LUKITO masih berusia 12 tahun ketika ia mulai meneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalam bahasa Inggris sebagai tugas sekolah di SMP Pelita Harapan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 11: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Keadilan Genetik?

Karlina Leksono-Supelli

Keadilan genetik untuk Guatemala, demikian judul foto-foto Karen Kasmauski untuk artikel yang ditulis James Shreeve “The Secrets of the Gene” (National Geographic, Oktober 1999). Maksudnya adalah bagaimana para ahli genetika memanfaatkan uji DNA untuk mengidentifikasi ratusan ribu korban pembunuhan politik 1980-an yang dikuburkan secara massal. Lewat DNA identitas seseorang dapat diketahui; lewat gen—pembawa sifat dalam DNA—garis keluarga dan leluhurnya dapat ditelusuri. Kisah korban dapat ditulis ulang, dan keluarga dapat memakamkan para korban dengan wajar.

Pada Juli tahun lalu, polisi Florida juga menemukan bahwa DNA laki-laki yang ditemukan mati terbunuh ternyata sama dengan pelaku delapan perkosaan di Washington, Amerika Serikat. Sebelumnya, kasus ini tak pernah bisa diungkap. Karena tak ada sumber lain, polisi hanya bisa menggunakan satu-satunya data dari bank data, CODIS (Combined DNA Index System). Sejak akhir 1998 CODIS dapat diakses melalui internet; isinya adalah profil DNA dari para pelaku kejahatan serius.

Kasus-kasus di atas hanyalah sedikit contoh penerapan sains DNA. Dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari forensik, pertanian, kesehatan, sampai lingkungan, keberhasilan penerapan itu akan semakin menonjol, jika pemetaan semua material genetik manusia selesai pada 2003. Human Genome Project (HGP, Proyek Genom Manusia) resminya dimulai pada 1990 oleh Departemen Energi dan Institut Kesehatan Nasional di AS. Tujuannya adalah memetakan lokasi persis 100.000 gen manusia dalam kromosom kita dan membaca berbagai susunan hurufnya.

Kata genome sendiri berasal dari gene (gen) dan chromosome (kromosom). Setiap manusia mempunyai 23 pasang kromosom, lalat buah mempunyai 4 pasang, merpati 40 pasang, dan ikan mas 47 pasang kromosom.

Proyek ini adalah sebuah kerja raksasa karena sekitar 3,5 milyar huruf dalam genom manusia harus dibaca. Setiap huruf selalu merupakan kombinasi tiga basa dari empat basa nitrogen (A, G, S, T) yang menyusun DNA. Jika diandaikan sebuah buku, dan kecepatan rata-rata orang membaca sepuluh huruf adalah sebelas detik, maka buku itu akan selesai dibaca dalam sebelas tahun. Draft sebagian hasil pemetaan ini sudah dikeluarkan pertengahan 2000. Sedikitnya lima belas negara terlibat dalam proyek ini. Inilah mungkin upaya ilmiah terorganisasi terpenting yang pernah ada.

Telaah DNA jelas berdampak besar terhadap kehidupan kita. Bisnis asuransi dengan cepat akan menemukan orang yang berisiko penyakit tertentu; dunia kedokteran dapat mengidentifikasi sumber penyakit; pengobatan dapat memilih penanganan yang lebih efisien; dunia pertanian bisa menentukan bibit atau pestisida yang lebih murah namun unggul; kita bahkan mungkin bisa mulai menyingkap rahasia evolusi manusia dari sebuah sel tunggal bermilyar tahun lalu.

Itu sebabnya, HGP juga mempelajari berbagai dampak sosial, etis, bahkan dampak politis yang timbul dari pemetaan yang mereka lakukan. Rencana pemerintah federal AS untuk mengalihkan teknologi genetika ke pihak swasta, misalnya, jelas membuat industri bioteknologi bisa meraup trilyunan dolar. Bioteknologi memang bukan sekadar berarti perbaikan kesehatan, pangan, identifikasi, dan sebagainya. Bioteknologi adalah ekonomi. Padahal saat ini hanya negara-negara industri maju yang dengan cepat dapat mengembangkannya, memegang hak paten, dan memanfaatkannya.

Sains ini sangat berarti, karena DNA (asam deoksiribosa nukleat) adalah molekul informasi yang berisi semua perintah untuk—katakanlah—mencetak mahluk hidup: resep untuk membuat manusia. Perintah atau kode tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, oleh gen.

Gen bukan hanya menentukan penampilan kita, tetapi juga berbagai kelainan dan penyakit. Lepas dari perbedaan penampilannya, setiap manusia secara menakjubkan sebetulnya hampir-hampir serupa di aras DNA. Perbedaannya hanyalah sepersepuluh sampai seperduapuluh dari satu persen DNA manusia. Namun, perbedaan sekecil inilah yang justru membuat setiap manusia—kecuali kembar identik— unik.

Oleh berbagai sebab, DNA dapat mengalami perubahan (mutasi). Mutasi dapat dengan sederhana diandaikan terjadi ketika susunan huruf yang membentuk kalimat “aku suka kau” berubah menjadi “ak usu kakau” atau “aku suka aku” atau “kau suka aku” dan sebagainya. Kebanyakan mutasi tidak berbahaya, tetapi bisa menjadi sangat menentukan ketika terjadi pada gen-gen yang kritis.

Sampai saat ini gen untuk sekitar 1.200 penyakit atau kelainan sudah berhasil diidentifikasi. Kelainan sebuah gen di kromosom 11 karena huruf T tertukar dengan A, misalnya, menyebabkan penyakit bawaan sickle-cell anemia (kelainan bentuk sel darah merah) yang mengakibatkan kematian. Sekitar 3.000 - 4.000 kelainan yang bersifat menurun disebabkan oleh kesalahan “sekecil” itu.

Banyak orang mengangkut gen yang tidak sempurna dalam tubuhnya. Namun gen tersebut baru menimbulkan efek ketika berkombinasi dengan faktor lingkungan dan cara hidup tertentu. Inilah sebetulnya salah satu tantangan terbesar bagi dunia kedokteran abad ke-21, yaitu menguraikan hubungan gen, faktor lingkungan, berbagai jenis penyakit, dan respons tubuh terhadap pengobatan.

Identifikasi gen dan hubungannya dengan penyakit atau kelainan tertentu akan mempercepat dan mengefisienkan proses penanganannya. Pilihan pengobatan—kalau sudah ditemukan—tidak lagi bersifat trial and error.

Selain itu, metode terapi gen atau transfer gen cukup memberi harapan untuk penanganan penyakit seperti kanker dan AIDS. Caranya adalah mengganti atau menyuntikkan tambahan gen untuk merangsang kekebalan. Teknologi ini ternyata juga dikembangkan untuk memproduksi protein manusia dalam jumlah besar bagi kepentingan farmasi, serta merekayasa organ-organ hewan agar menyerupai organ manusia untuk kepentingan transplantasi. Caranya adalah mentransfer gen manusia ke hewan. Hewan yang membawa gen lain itu disebut sebagai transgenik.

Persoalannya, teknologi ini juga bisa dipakai untuk mentransfer gen yang berurusan dengan ciri seseorang seperti tinggi, stamina, bobot, bahkan kecerdasan. Apakah ini berarti kita akan berhadapan dengan kisah-kisah memproduksi manusia unggul, seperti yang selama ini hanya ada dalam film The Boys from Brazil atau The Islands of Dr. Moreau?

Bagaimanapun banyak ilmuwan, pakar hukum, dan filsuf serta ahli-ahli agama belum sepakat bagaimana mereka akan menginterpretasikan hasil-hasil yang diperoleh dari teknologi ini, apalagi ketika sifatnya komersial. Padahal data mengalir dari HGP seperti sungai deras. Ribuan permintaan paten juga mengalir.

Pertanyaannya, apakah informasi genetik yang diperoleh tetap harus tertutup? Siapa yang berhak mengetahuinya? Informasi genetik bisa sangat berguna bagi keluarga yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit tertentu, tetapi berhak jugakah pihak asuransi atau kantor yang membayar klaim pasien mendapatkan informasi itu? Sejauh mana informasi tidak dipergunakan untuk mendiskriminasi klien asuransi atau pekerja kantor bahkan melahirkan stigma lebih jauh? Sejauh mana hak kerahasiaan pasien tetap harus dipegang?

Contoh menarik adalah penelitian etnografi Stefan Beck terhadap penduduk Cyprus, yang mencoba melihat bagaimana usaha sosial-budaya memanfaatkan informasi genetik mengubah tradisi masyarakat. Di negara ini satu dari tujuh orang menderita thalasemia, yaitu kelainan darah merah yang bersifat bawaan dan berakibat kematian. Perawatan dan pelayanan kesehatan masyarakat berhasil meningkatkan usia harapan hidup penderita, dari sekitar 3-4 tahun menjadi 30 tahun. Namun biayanya sangat besar. Atas rekomendasi WHO pada 1973, pemerintah Cyprus memutuskan untuk melakukan penyaringan (screening) dan konseling genetik (genetic counselling) terhadap penduduk. Putusan ini didukung oleh pihak gereja. Peran gereja penting karena setiap perkawinan harus mendapatkan restu dan surat dari gereja.

Sekalipun tidak ada larangan langsung untuk pernikahan antara dua orang pembawa gen thalasemia, namun jumlahnya menurun. Dalam beberapa tahun, jumlah anak yang lahir dengan thalasemia juga menurun dengan pesat. Bahkan orang Cyprus yang bermukim di luar negeri juga menerapkan “aturan” ini. Kewajiban penyaringan dan konseling menjadi salah satu program kesehatan masyarakat yang dinilai paling berhasil. Bagaimanapun usaha perbaikan keturunan secara sosial dan budaya dengan menggunakan hukum-hukum hereditas ini, lazim disebut eugenetika, seperti program Keluarga Berencana di Indonesia, dalam pelaksanaannya menimbulkan pelanggaran hak dan etika; atas nama kesehatan dan kesejahteraan.

Sejauh ini pengetahuan masyarakat umum mengenai teknologi genetika dan dampaknya masih sangat terbatas. Padahal masyarakat dapat bersikap aktif dalam ikut mengambil keputusan. Ketika di Eropa ada berita bahwa jagung hasil rekayasa genetika menyebabkan matinya ulat dari sejenis kupu-kupu gajah, konsumen Eropa menekan pemerintah dan supermarket-supermarket untuk membatasi distribusi apa yang mereka namakan “makanan Frankenstein” itu. Tekanan itu melahirkan moratorium Eropa mengenai jenis-jenis makanan hasil rekayasa genetika yang disepakati bersama dan aman bagi lingkungan.

Mungkin sikap ini yang diperlukan. Dalam arti, mencoba melibatkan masyarakat sebanyak mungkin sehingga masyarakat ikut menentukan apakah akan mendukung atau menolak penelitian ilmiah tertentu. Tentu saja ini membutuhkan kerja keras penyebaran informasi yang benar dan tidak memihak kepada kepentingan apapun, termasuk ekonomi dan politik.

Persoalan dengan sains dan teknologi modern, apapun itu, mungkin seperti yang dinyatakan oleh ahli fisika George Waysand, “kekuatan ilmu pengetahuan dibangun dengan menghilangkan kekuatan [dunia] ilmiah.” Jarang putusan untuk menerapkan sains masih berada dalam lingkup dunia ilmiah. Dominasi industri, negara, dan perusahaan multinasional khususnya dari negara-negara industri maju, menyebabkan pengetahuan ilmiah tidak lagi dimanfaatkan bagi sesama, melainkan untuk kepentingan tertentu. Ini sudah terjadi sejak Proyek Manhattan, (pembuatan bom nuklir pertama dalam Perang Dunia II). Masyarakat, yang paling terkena dampak berbagai hasil teknologi, merupakan kelompok yang paling sedikit didengar.

Revolusi genetika tidak perlu membuat kita takut sehingga membayangkan bahwa mahluk monster hasil rekayasa dokter Frankenstein akan muncul, atau dinosaurus Jurassic Park akan beranak pinak menghancurkan manusia. Yang harus kita lakukan adalah bertanya sejauh mana Deklarasi Universal Genom Manusia dan Hak-hak Asasi Manusia, yang disepakati berdasarkan konsensus dalam sidang PBB November 1997, mampu melindungi manusia?

Sains DNA di satu pihak merevolusi cara kita melihat kehidupan dan mengenali makna menjadi manusia, namun di pihak lain membangkitkan pertanyaan, siapakah yang selalu muncul sebagai sang pemenang? ‘Keadilan genetik’ adalah upaya untuk perlindungan kehidupan, bukan melahirkan diskriminasi jenis baru.

KARLINA LEKSONO-SUPELLI: Ilmuwan yang bergiat dalam gerakan kemanusiaan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 12: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Reformasi, Kebebasan yang Menindas

Razif

Dalam politik, ada banyak pengertian tentang "reformasi", yang berangkat dari kenyataan bahwa kekuasaan tidak selamanya bisa bertahan dengan cara yang sama. Perubahan senantiasa perlu dilakukan di sana-sini, untuk menyesuaikan sistem dengan situasi yang baru. Tahun 1930-an ketika resesi melanda dunia, para pemikir ekonomi dan politik sibuk mencari jejak kesalahan di masa lalu dan merumuskan perubahan apa yang harus dibuat tanpa merombak sistemnya. Adalah Eduard Bernstein yang dikenal dengan revisinya terhadap pemikiran Marx, mengatakan bahwa keadilan dan kesejahteraan bagi semua dapat dicapai dengan melakukan reformasi sistem. Ia menentang pikiran Lenin dan kaum Marxis sezaman bahwa revolusi adalah jalan keluar dari kesengsaraan. Dalam gerakan buruh, Sidney Webb dan kaum Fabian di Eropa berbicara tentang hal yang sama, reformasi sistem kapitalisme secara bertahap yang kemudian dengan sendirinya mencapai sosialisme.

Hal ini sungguh berbeda dari pengertian "reformasi" dalam tradisi Marxis yang terkait dengan strategi perjuangan menuju sosialisme dan menimbulkan perdebatan yang sudah berlangsung selama 150 tahun. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa pertama-tama kaum sosialis harus memperjuangkan "reformasi" untuk menegakkan demokrasi borjuis. Situasi inilah yang akan memberi ruang bagi mereka untuk lebih lanjut memperjuangkan agenda sosialis. Dengan kata lain perjuangan sosialisme itu akan melalui tahap-tahap sebelum akhirnya menuju kepada sosialisme. Tapi di pihak lain, para pengkritik pandangan itu, mengikuti pikiran Marx dalam Class Struggle in France, mengatakan bahwa revolusi sosialis bersifat permanen dan tidak perlu melalui tahap-tahap seperti itu. Konsep "jalan tengah" terhadap persoalan itu mengatakan bahwa "reformasi" sesungguhnya adalah kemenangan-kemenangan kecil yang harus direbut oleh rakyat untuk memperkuat gerakannya. Di sini yang menjadi tekanan adalah perjuangan kepentingan rakyat pekerja sehari-hari, dan reformasi di segala bidang. Gerakan rakyat perlu melibatkan diri secara penuh dalam politik demokrasi borjuis, seperti lembaga perwakilan di semua tingkat. Tujuannya bukanlah memenangkan kursi sebanyak mungkin atau meraih jabatan presiden, melainkan meningkatkan posisi tawar gerakan rakyat untuk memajukan agendanya sendiri.

"Reformasi" yang berkembang di Indonesia sekarang punya asal-usul dan isi yang berbeda. Konsep itu muncul dari gerakan mahasiswa dan kelas menengah yang terutama berniat mengakhiri kediktatoran Soeharto. Keterlibatan buruh atau rakyat pekerja lainnya sangat minim dalam merumuskan apa yang dikenal dengan "agenda reformasi". Tidak heran jika agenda itu pun tidak banyak berbicara tentang perbaikan nasib rakyat, apalagi perjuangan untuk merombak struktur yang melayani kepentingan mereka.

Lalu dari mana konsep "reformasi" itu muncul, dan apa arti sesungguhnya dalam kehidupan politik?

Walaupun istilah itu sendiri relatif baru dalam politik Indonesia, akar-akarnya dapat ditelusuri pada perubahan politik di negeri-negeri Dunia Ketiga selepas kolonialisme. Tahun 1960-an kediktatoran bermunculan di mana-mana dan berkuasa selama belasan bahkan puluhan tahun dengan dukungan penuh dari negara-negara industri maju yang mengatakan stabilitas politik (yang menjadi slogan utama setiap kediktatoran) adalah syarat bagi pertumbuhan ekonomi. Samuel Huntington misalnya saat itu mengatakan bahwa kediktatoran dan rezim militer perlu untuk tahap awal pembangunan ekonomi, dan bisa mundur ke barak setelah kapitalisme sudah berkembang.

Sejak tahun 1980-an krisis mulai melanda berbagai kediktatoran, dan gerakan rakyat tampil dengan agenda radikal sebagai alternatifnya. Negara-negara industri maju terus menyokong kediktatoran militer sampai terbukti bahwa situasi tidak dapat dipertahankan dengan cara-cara lama. Di tengah situasi inilah konsep "reformasi" dan turunannya, seperti civil society, good governance dan seterusnya mulai digulirkan. Di satu sisi konsep itu mengkritik kediktatoran, tapi di sisi lain juga mencegah munculnya alternatif radikal dari tingkat akar rumput.

Dalam banyak kasus negara-negara industri maju dengan cepat berubah haluan ikut merongrong kediktatoran yang selama bertahun-tahun mereka dukung secara finansial dan politik, mulai membanjiri gerakan oposisi dengan konsep-konsep "reformasi". Dukungan pun diberikan kepada tokoh-tokoh moderat yang membawa panji-panji reformasi, dan kalau perlu menciptakan kelompok-kelompok semacam itu. Di Haiti, proses itu tampil paling jelas. Kediktatoran Duvalier tumbang dan tokoh oposisi Aristide tampil sebagai pemimpin dengan agenda perubahan yang radikal. Amerika Serikat kemudian justru mendukung militer dari rezim lama untuk melancarkan kudeta, dan memaksa Aristide melarikan diri ke Amerika Serikat. Di sana ia mendapat janji dukungan dari pemerintahan Clinton: ia bisa kembali memimpin Haiti asal mau meninggalkan agenda radikal dan menggantinya dengan program neoliberal yang digariskan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional.

Namun tidak semua negeri mendapat "dukungan" semacam itu. Di Kolombia, rezim militer sudah berkuasa selama puluhan tahun, sementara oposisi didominasi oleh gerakan kiri yang bukan hanya memiliki agenda radikal, tapi juga gerilyawan bersenjata untuk mewujudkannya. Reaksi Amerika Serikat pun jelas, tetap mendukung kediktatoran militer yang korup dan bergelimang obat bius. Tahun 2000 saja pemerintah Amerika Serikat mengirim US$ 1,5 milyar untuk memperkuat militer Kolombia, serta membantu operasi-operasi untuk menghancurkan gerakan rakyat yang militan.

Dari gambaran itu cukup jelas bahwa "reformasi" yang dikibarkan oleh negara-negara industri maju serta lembaga keuangan internasional sesungguhnya bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan modal. Dengan kata lain, "reformasi" adalah reaksi terhadap ancaman agenda radikal yang mungkin muncul di bawah kediktatoran, ketimbang keinginan untuk menumpas kediktatoran itu sendiri.

Itulah kiranya alasan negara industri maju mendukung "reformasi" di Indonesia dan mendepak Soeharto yang selama 32 tahun menjadi sekutu utama dalam proyek-proyek mengeruk untung di seluruh Nusantara. Sampai saat-saat terakhir, dan bahkan setelah Soeharto mundur, Amerika Serikat masih memberikan dukungan kepada militer Indonesia melalui berbagai program. Pemerintah Inggris pun melanjutkan penjualan senjata, yang antara lain digunakan dalam penanganan kerusuhan (crowd control). Alasannya cukup jelas. Selama belum ada tokoh "reformasi" yang bisa memastikan bahwa kepentingan modal internasional tidak diganggu-gugat, dan berhasil menciptakan stabilitas, maka dukungan terhadap militer tetap merupakan pilihan terbaik.

Gerakan "reformasi" yang dimulai dari perlawanan pemuda dan mahasiswa, aksi protes petani dan pemogokan buruh di seluruh negeri kemudian diambilalih oleh elit-elit "reformis". Para pemikirnya merumuskan bentuk reformasi yang tepat untuk menemani tumbuhnya ekonomi pasar, dan bahkan melihat yang belakangan sebagai salah satu agenda "reformasi".

Prinsipnya sederhana: mengubah tanpa merombak, membangun tanpa menjebol. Di satu pihak "reformasi" menjadi kata kunci untuk lepas dari kediktatoran tapi sekaligus membenarkan serangan terhadap hak-hak rakyat yang paling dasar.

Hal itu nampak jelas di Indonesia sekarang. Misalnya tuntutan mengurangi peran pemerintah atau negara dalam urusan ekonomi. Akibatnya bukanlah pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan dunia usaha yang tumbuh sehat, melainkan makin bergantungnya ekonomi nasional pada pembiayaan dan pinjaman dari luar negeri. Perusahaan negara yang sesungguhnya adalah pencapaian nasional pun kena "reformasi", artinya diserahkan kepada modal internasional agar lebih "efisien, efektif dan bersih". Di satu sisi boleh jadi benar karena perusahaan-perusahaan itu terkenal korup, tapi akibat lainnya, perusahaan-perusahaan itu tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik melainkan berorientasi pada keuntungan semata-mata. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruhnya, yang terjadi justru pemecatan massal, seperti kasus PT Telkom yang berakibat sekitar 13.000 buruh terancam dipecat.

Di bidang politik, dukungan mengalir untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan pemerintahan yang representatif. Bahwa partai-partai yang ada ternyata tidak mencerminkan aspirasi masyarakat banyak dan hanya memilih yang terbaik di antara yang buruk, dianggap masalah lain, begitu pula dengan kenyataan bahwa partai-partai akhirnya hanya jadi sarana untuk mendapatkan konsesi sosial-ekonomi di bawah rezim baru. Dan paling penting, di atas "kompetisi seolah-olah di antara partai-partai", berdiri sebuah sistem yang tugasnya tiada lain memuluskan kebijakan neoliberal yang menyengsarakan rakyat. Dalam program-program "penyehatan politik" yang menjadi salah satu agenda reformasi hampir tidak ada ruang untuk membicarakan kembali makna perwakilan rakyat. Parlemen, baik di tingkat nasional maupun daerah, dianggap sebagai bentuk akhir atau pencapaian tertinggi. Tidak pernah terpikir misalnya menjalankan kembali program "demokrasi desa" yang berkembang tahun 1960-an. Sudah jelas bahwa "reformasi" di sini hanya memberi kesempatan kepada elit dan kelas menengah untuk konsolidasi kekuatan diri, dan tetap membiarkan rakyat tenggelam dalam masalah-masalah yang semakin berat saja.

Bagaimanapun, keliru jika kita menganggap bahwa "reformasi" hanyalah agenda yang dibawa dari luar, baik oleh negara industri maju atau lembaga keuangan internasional. Tentu saja banyak masalah di dalam negeri yang membuat rakyatnya sendiri menginginkan perubahan, seperti kebebasan berserikat dan berpendapat, atau kesempatan untuk turut menentukan jalannya pembangunan. Perbedaan pandangan tentang perubahan dan caranya membuat "reformasi" pun ditafsirkan berbeda-beda.

Sebagian "reformis" tetap setia pada model pembangunan awal Orde Baru, yang mereka katakan memberi ruang demokrasi cukup pada rakyat, terlepas dari pembantaian massal dan penindasan luar biasa terhadap jutaan rakyat yang terjadi bersamaan. Mereka juga menolak tuntutan perubahan mendasar yang secara cerdas disebut "reformasi total", dan akhirnya membuka kedok sendiri sebagai pembela rezim lama yang tengah berganti rupa. Di sisi lain ada perjuangan "reformasi" yang lebih luas, bukan sekadar mengganti seorang diktator, tapi membasmi akar-akar yang memungkinkan kediktatoran itu muncul.

Di Korea Selatan, gerakan pro-demokrasi menganggap "reformasi" sebagai candu dari pemerintah, karena mau menidurkan rakyat agar lupa pada tuntutan semula, menolak agenda neoliberal. Gerakan buruh, petani dan mahasiswa masih secara lantang menyerukan penolakan swastanisasi perusahaan negara, dan bahkan mulai berbicara tentang pengambilalihan aset para konglomerat yang bangkrut dan meninggalkan utang milyaran dolar. Para aktivis secara konsisten menguliti rezim lama setapak demi setapak, sehingga akhirnya berhasil membawa dua orang mantan presidennya ke penjara. Pertarungan selanjutnya justru terjadi ketika Kim Dae Jung, presiden terpilih, mulai melancarkan program reformasi yang menjamin keamanan dan kesejahteraan modal internasional dengan liberalisasi ekonomi dan "demokratisasi" politik.

Sementara orang sibuk saling tuding "anti-reformasi" perlu juga dibahas kembali apa agenda reformasi sesungguhnya, agar tidak terjebak menciptakan sistem yang membiarkan orang bebas bertengkar mengecam sesama, tapi tidak membawa perubahan apa pun bagi kehidupan rakyat jelata.

Razif, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 13: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

S. Sudjojono, Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta, Juli 2000, xxiv + 105

Menjadi Seniman a la Sudjojono

Pitono Adhi

Kalau ada orang bertanya tentang apa itu kesenian—khususnya seni lukis—dan siapa yang patut disebut sebagai seniman, buku tipis ini bisa mulai dibaca. Ditulis oleh S. Sudjojono (1913 – 1986), pelukis yang dikenal sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” sebutan yang disandangnya sejak tahun 1949. Kumpulan tulisan yang dirangkai dalam buku ini, adalah terbitan ulang atas terbitan sejenis yang dipublikasikan oleh Penerbit Indonesia Sekarang pada tahun 1946. Dalam tiga belas kumpulan tulisannya ini, Sudjojono mengangkat dan mendiskusikan pertanyaan tadi dalam konteks sistem “kapitalisme barat” yang dicangkokkan ke Indonesia lewat kekuasaan kolonial. “Dari mulai abad ke-16 (Masehi)… kapitalisme barat menjelma menjadi angkara murka, yang haus lapar mencari minum dan makan di benua-benua lain. Asia satu persatu ditelan habis, kecuali Dai Nippon.” (hal. 62). Pada bagian-bagian lain tulisan Sudjojono secara sangat minim, sayangnya, menunjukkan perangkap yang diciptakan “kapitalisme barat” terhadap perkembangan seni lukis di tanah Hindia Belanda bahkan hingga memasuki fase Indonesia merdeka. Perangkap tersebut ia ungkapkan dalam istilah-istilah seperti: “kepentingan turisme” [kolonial], “gelombang cinta duit”, atau “hawa nafsu mencari uang”.

Tentang “kepentingan turisme”, Sudjojono langsung menunjuk lukisan-lukisan yang baginya hanya mengandung satu arti yakni Mooi-Indie. Dengan trimurti andalannya: gunung, pohon kelapa dan sawah (hal. 1 & 2). Ungkapan “gelombang cinta duit” dituliskannya dalam “Pameran Gambar 8 Desember”. Tulisan ini merupakan komentar Sudjojono atas pameran lukisan yang menampilkan karya pelukis muda hingga pelukis-pelukis yang telah terkenal pada saat tulisan tersebut dibuat. Ungkapan tersebut disampaikan sebagai bahan imbauan pada pelukis Kartono Yudokusumo yang dikenalnya dengan sangat dekat. Menilik kemampuan pelukis belia yang menurutnya jenius ini, Sudjojono mengingatkan akan bahayanya gelombang cinta duit sebagai “gelombang …besar-kecil datang dari sudut-sudut yang tak kamu sangka-sangka. Dan di dalam kegelapan malam, hidup orang bisa lengah, lupa pada cita-cita yang tinggi, tanpa kasihan gelombang datang dari belakang, disapunya kamu, ikut. Lupa dalam arus dunia yang kuat…kosong, bakat pun terasa hilang, tanpa inspirasi. Allah, inilah bagi seorang seniman bahaya yang paling besar.” (hal. 87). Ungkapan ini bisa pula dibaca sebagai imbauan Sudjojono kepada pelukis-pelukis muda lainnya pada saat itu. Sedangkan ungkapan “hawa nafsu mencari uang” diangkatnya sebagai salah satu kritiknya, yang diakuinya sendiri sebagai kritik keras, terhadap karya-karya lukisan Basoeki Abdullah, yang dinilainya “kosong, tak berjiwa, habis dimakan oleh hawa nafsu itu.” (hal 26).

Bagi Sudjojono kekuatan yang harus dimiliki agar mampu menghindari perangkap tersebut adalah watak individu-individu seniman. Simak misalnya buah pikirannya dalam tulisan “Seorang Seniman dengan Sendirinya Harus Seorang Nasionalis”. Setelah mengatakan bahwa penguasaan teknik melukis saja tidaklah memadai bagi seorang calon pelukis, ia menyatakan, “Si wataklah yang membuat seniman menjadi Goethe. Si wataklah yang membuat seniman menjadi Cezanne. Si wataklah yang membuat seniman menjadi Rodin, Beethoven, Heine, Berlage, Zola dan Multatuli. Wataklah yang harus menjadi dasar calon seniman, yang hendak menjadi seniman tadi.” Watak tersebut bagi Sudjojono melekat pada sikap “berani cinta pada kebenaran, meski diakuinya, ini berat sekali bagi seorang seniman, sebab cinta tadi menimbulkan banyak konflik antara dia dengan tetangganya…dengan masyarakatnya dan…dengan dunia pada umumnya, sebab dunia biasanya takut pada kebenaran.” (hal. 29). Keyakinan Sudjojono akan pentingnya watak bagi seseorang yang ingin menekuni kerja kesenian, tersebar di seluruh tulisannya yang dirangkai dalam buku ini. Misalnya ketika ia bermetafora menggambarkan kekuatan watak ini sebagai “burung garuda yang besar bersayap kuat bisa membawa kamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan, yang mungkin, terpaksa berkorban, terbakar kelak karena panas matahari, sakit dada karena tidak bisa bernapas atau lapar karena tidak bisa makan, tetapi kematianmu tak sia-sia.” (hal. 7)

Keyakinan itu juga tampak dalam keputusannya untuk menulis tentang beberapa seniman lukis mulai dari Herbert Hutagalung, salah satu aktivis organisasi yang sempat didirikan Sudjojono, Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), pelukis Raden Saleh, Basoeki Abdullah hingga Vincent van Gogh. Pilihan-pilihan sosok pelukis ini diangkatnya untuk memberi gambaran atas watak yang kuat, yang perlu dimiliki oleh seorang seniman tapi juga sebaliknya. Sudjojono memang berkali-kali menegaskan pengertiannya akan konsep watak seniman yang diajukannya dalam kumpulan tulisan ini. Yakni sebuah sikap yang berorientasi pada cinta kebenaran. Kebenaran bagi Sudjojono tak lain adalah konteks penindasan manusia atas manusia. Dan kebenaran ini menurut Sudjojono harus dinyatakan dengan bersemangat dan berani. Dalam menyatakan kebenaran ini seorang seniman harus dituntun oleh benang rasa halus, dalam istilah Sudjojono. “Oleh sebab itu dia [seniman] harus menjaga jangan sampai benang rasa tadi berkarat karena egoismenya, … karena mata uangnya yang bisa dipakai membeli makanan bagus, rumah bagus, radio bagus dan bini bagus… Dan kalau rasanya tadi tetap halus… maka dia akan tak senang kalau ada barang yang tak berharmoni: dia tak senang kalau ada barang tak bagus…dia akan memprotes barang yang salah… barang dalam keadaan yang tak adil…dan dia akan dengan rela hati menjeritkan rasa pedih manusia bangsa dan tanah tumpah darahnya dengan alat seninya, sebab rasa pedih tadi tak bagus…tak berharmoni…tak benar dan berarti bertentangan dengan tabiat cinta pada kebenaran.” (hal.31-32) Cita-cita kebenaran dalam pengertian inilah yang oleh Sudjojono ditawarkan sebagai “pedoman bagi seni lukis baru”.(hal. 53) Hal itu pulalah yang kiranya dapat dijadikan landasan untuk memahami pernyataan Sudjojono akan posisi Raden Saleh dalam sejarah perkembangan seni lukis Indonesia. Menurutnya, “Raden Saleh pada waktu itu, sebagai anak abad ke-19, tak bisa “mengejakan” kemauan zaman buat Indonesia.” (hal. 81)

Pandangan Sudjojono tentang kebenaran membentuk sikap Sudjojono dalam melihat kesenian khususnya seni lukis. Pandangan ini dikemukakannya dalam tulisannya berjudul “Kebenaran Nomor Satu, Baru Kebagusan.” (hal. 50 – 53) Di bagian ini secara eksplisit Sudjojono berbicara tentang “Seni Lukis Baru”. Baginya, “Seni Lukis baru tidak mempropagandakan kebagusan, akan tetapi mempropagandakan kebenaran pada tiap-tiap orang… Kebagusan dan kebenaran adalah satu. Kebenaran bagaimanapun juga tentu bagus, asal saja keluarnya kebenaran tadi tak berdusta pada hatinya sendiri…Jadi kebenaran tanpa bermaksud mencari ‘bagus’ saja, tetapi mencari kebenaran sebagai kebenaran, tentu tetap bagus. Kebagusan tanpa kebenaran sebaliknya, jelek membosankan, jadi bahan tertawaan.” Prinsip inilah kiranya yang hendak dijelaskan Sudjojono lewat judul tulisannya itu. Dan prinsip itu pulalah yang membawa Sudjojono kepada pemahaman tentang kesenian sebagai sesuatu yang dikerjakan dan ada, “buat perbaikan manusia dalam masyarakat”.

Demikianlah, satu hal pokok bisa ditarik dari keseluruhan isi buku ini. Ialah penekanan Sudjojono pada unsur moralitas (dalam hal ini watak) seorang seniman. Tapi penekanan tersebut perlu dikritisi karena sebenarnya mengaburkan kembali pokok persoalan dalam perkembangan kesenian (termasuk seni lukis) di Indonesia. Pokok persoalan dari mana Sudjojono sendiri berangkat untuk mengelaborasi kaitan-kaitan antara seni lukis, kesenian, masyarakat dan seniman. Yakni kekuatan pasar (dalam istilah Sudjojono, kapitalisme Barat) yang dinyatakannya sebagai gelombang besar-kecil yang akan menyapu seluruh kemampuan kreatifitas, menempatkan seniman sebagai pedagang, melayani kemauan publik (pasar).

Dalam kerangka moralitas, kekuatan pasar direduksi menjadi semata hal-hal yang berhubungan dengan motif-motif buruk, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi atau hubungan jual-beli dalam dunia kesenian: rakus, berorientasi pada uang. Dalam kerangka moralitas pula, motif-motif buruk itu perlu dihadapi dengan kekuatan watak individu seniman. Masalahnya, dengan begitu ada hal yang terabaikan dan tak terjawab: bentuk hubungan sosial-produksi masyarakat seperti apa yang bisa menyuburkan moralitas berkesenian seperti yang ditawarkan oleh Sudjojono itu? Atau cukupkah hanya dengan mengandalkan kekuatan individu seniman untuk memelihara, dalam istilah Sudjojono, benang rasa halus dan cinta kebenaran?

Sudjojono memang tak bicara bagaimana “menghancurkan” kekuatan pasar, lewat kerja kesenian. Sebaliknya, yang hendak dibicarakannya adalah bagaimana seorang seniman “menghindari” perangkap yang diciptakan oleh kekuatan pasar, sebagai ukuran signifikan agar ia sah disebut sebagai seniman.

PITONO ADHI, pekerja di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 14: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

SITI LARANG (21 Mei 1901 - 11 September 1998) Sang Perempuan Pemula yang Terlupakan

F. Hardoyo

Dalam sejarah Indonesia dekade 1920an boleh dikatakan masa pergerakan rakyat yang paling semarak. Dibukanya Hindia Belanda untuk modal asing, yang diikuti dengan perluasan kesempatan bersekolah bagi kaum bumiputera, tanpa diduga memberi jalan pula bagi masuknya ide-ide pembebasan dari negeri-negeri lain. Golongan terdidik baru yang sebenarnya diharapkan turut serta melanggengkan mesin birokrasi kolonial ternyata berbalik mempertanyakan keberadaan mesin itu sendiri.

Nama “Indonesia” belum menjadi harga mati. Namun, kesadaran akan perlunya membentuk kesatuan-kesatuan terorganisir untuk membela kepentingan kaum terjajah mulai terbangun melampaui batas-batas sosial yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial Belanda. Aktivis pergerakan pun dituntut untuk membuktikan kesanggupannya menjawab masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan rakyat banyak melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi. Gagasan yang berhenti di tingkat retorik, sehebat apa pun dia, akan terlibas oleh derap maju organisasi kerakyatan, apakah itu serikat buruh, perkumpulan tolong-menolong, atau pun serikat pedagang kecil.

Salah satu tokoh gerakan 1920an yang ikut melahirkan “Indonesia” tapi jarang dibicarakan buku sejarah, terutama pada masa Orde Baru adalah Ibu Siti Larang. Ketika ia meninggal pada 11 September 1998 tak satu obituari pun dituliskan di media massa utama. Padahal, ibu tua yang penuh semangat ini bukan saja saksi hidup begitu banyak peristiwa yang membarengi bangun-jatuhnya pergerakan rakyat negeri ini, tetapi juga sahabat tokoh-tokoh ternama dalam sejarah sejak ia berusia belasan tahun.

PUTRI PRIYAYI YANG TERBEBASKAN

Siti Larang, salah satu putri Raden Mas Djojopanatas, lahir dan besar di lingkungan kraton Mangkunegaran, Solo. Walaupun hidup di kalangan priyayi tinggi, Siti Larang beruntung tidak dibelit aturan-aturan ketat feodal Jawa terhadap perempuan. Ayahnya dikenal cukup terbuka terhadap ide-ide pembebasan di masa itu terutama karena kedekatannya dengan tokoh radikal dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia aktif dalam paling tidak dua organisasi sosial, yaitu Toenggal Boedi, organisasi priyayi Jawa yang berafiliasi dengan Boedi Oetomo, dan Rekso Rumekso, perkumpulan saling tolong menolong para pengusaha batik Solo, yang kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1912. Lebih dari itu, bersama dengan dr. Tjipto, Pak Djojo terlibat dalam gerakan Djawa Dipa yang menganjurkan sesama orang Jawa menggunakan bahasa yang lebih egaliter, Jawa Ngoko.

Sejak kecil Siti Larang sudah menyaksikan tumbuhnya tradisi perlawanan di Jawa. Kediaman keluarga Djojopanatas menjadi tempat temu bincang para tokoh pergerakan pada masa itu, seperti kakak beradik Soeryopranoto, si Jago Mogok, dan Soewardi Soeryaningrat, yang kemudian lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, aktivis buruh Ir. Semaoen, maupun tokoh sosialisme religius HOS Tjokroaminoto. Konon, Siti Larang suka menguping perdebatan di kalangan aktivis ini dalam “mencari kebenaran”.

Pak Djojo sendiri mendorong putrinya untuk berani menggugat kemapanan tradisi Jawa. Misalnya saja pada usia belasan tahun ia meminta Siti Larang melepas kain dan menggantikannya dengan rok, seperti yang biasa dipakai perempuan Belanda. Kemudian, gadis remaja ini dibiarkan berkeliling naik sepeda di sekitar kraton Mangkunegaran. Tindakan ini tak pelak menimbulkan kegemparan di lingkungan kraton karena tradisi priyayi Jawa menuntut perempuan yang berusia akil baliq berdiam di keputren sampai saatnya ia menikah dengan calon suami pilihan orang tua. Selain itu, karena ia tidak ingin putrinya menjadi pegawai pemerintah kolonial, Pak Djojo tidak menyekolahkan Siti Larang ke sekolah pamong praja (gubernemen), tetapi memanggil guru Belanda ke rumah.

Tokoh lain yang cukup berkesan bagi Siti Larang adalah sahabat ayahnya, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Salah satu insiden yang ia ingat betul adalah ketika dokter eksentrik ini mendapat medali Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina untuk jasanya memberantas penyakit pes. Medali yang lazimnya dikenakan di dada dengan penuh kebanggaan itu oleh sang dokter justru dipasang di pantatnya. Bagi Siti Larang apa yang dilakukan dr. Tjipto, khususnya melalui gerakan Djawa Dipa, adalah revolusi kebudayaan. Ia ingat ucapan si dokter tentang bahasa Jawa, “selama orang Jawa belum menggunakan bahasa Jawa yang sederajat [masih menggunakan bahasa bertingkat sesuai dengan status sosialnya: ngoko-madya-kromo], jangan harap orang Jawa bisa menjadi insan demokratik”.

Sebelum usianya mencapai 20 tahun Siti Larang sudah berkenalan dengan berbagai bentuk perjuangan sederhana namun mengandung tuntutan mendasar yang dilakukan kaum terdidik pada masa itu, yaitu menentang budaya feodal, menciptakan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi semangat gotong royong dan kesetaraan, dan membangun jaringan pergerakan anti-kolonialisme lintas suku, agama, ras dan golongan. Ia kemudian bergabung dengan Sarekat Islam (SI) cabang Solo yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di organisasi inilah ia bertemu dan jatuh cinta dengan Raden Pandji Sosrokardono, putra patih Sidoarjo yang mendampingi HOS Tjokroaminoto ketika mengunjungi kantor SI di Solo. Pada 1919 Siti Larang menikah dengan Sosrokardono dan pindah ke Surabaya.

TEGAR DI ZAMAN BERGERAK

Seusai pernikahannya, Siti Larang dan Sosrokardono segera menempati bekas rumah Tjokroaminoto yang hanya berjarak 200 meter dari kediaman barunya di kota Surabaya. Siti Larang sendiri langsung bekerja di sekretariat Pengurus Besar SI. Saat itu SI merupakan organisasi massa terbesar di Hindia Belanda dengan anggota lebih dari dua juta orang.

Belum lagi dua bulan berbulan madu, Sosrokardono ditangkap polisi Belanda dengan tuduhan menggerakkan perlawanan rakyat di Cimareme, Garut di bawah pimpinan Haji Hasan. Gerakan ini berusaha mempertahankan lumbung padi rakyat ketika berhadapan dengan pengusaha perkebunan Belanda. Tak sedikit korban yang tewas menjadi syuhada SI. Pak Sosro divonis 4 tahun penjara dan harus menjalaninya di penjara Glodok Batavia.

Dalam berbagai buku sejarah perlawanan terhadap penyerobotan tanah ini disebut sebagai kasus Sarekat Islam Afdeeling B. Namun tidak pernah dijelaskan apakah ada yang dinamakan Afdeeling A. Rupanya pemerintah kolonial telah menciptakan klasifikasi tersendiri bagi kelompok-kelompok dalam SI yang dianggap terlibat dalam gerakan petani ini dan yang tidak. Mereka yang terlibat dalam pengorganisiran petani diberi nama “lapis subversif SI”. Jelas ini merupakan bagian dari taktik pecah belah terhadap SI yang kian hari kian mengancam kestabilan kekuasaan Belanda di Jawa. Taktik ini berhasil. SI kemudian pecah menjadi apa yang disebut SI Merah dan SI Putih. Yang menarik Siti Larang punya pandangan sendiri tentang soal klasifikasi “B” ini. Selalu dengan enteng ia menjawab, “Lho, waktu itu resiko pejuang pergerakan kan menghadapi “Tiga B”, yakni “Bui, Buang, Bunuh”.

Penangkapan dan pemenjaraan sang suami, tekanan luar biasa terhadap para aktivis pergerakan dan perpecahan dalam SI tidak membuat semangat bekerja Siti Larang surut. Bersama Tjokroaminoto, ia berkunjung ke keluarga-keluarga tapol di Cimareme untuk menguatkan hati mereka dan juga menyerahkan sejumlah santunan dari Pengurus Besar SI. Dalam kunjungan ini Siti Larang belajar lebih banyak lagi tentang prinsip-prinsip perjuangan, kali ini langsung dari rakyat kecil. Seorang ibu setengah tua yang berbicara mewakili keluarga tapol terharu dan menangis, namun dengan tegar ia menolak bantuan dana. Alasannya sederhana, pengorbanan itu resiko perjuangan suci. Dana itu lebih penting dan berguna bagi pengurus besar Sarekat Islam untuk melanjutkan perjuangan jangka jauh.

Selain mengurus korban represi pemerintah kolonial, Siti Larang juga ditugaskan bekerja di harian Oetoesan Hindia, organ resmi SI. Pada waktu itu yang disebut wartawan diharapkan mampu bekerja di segala bidang, mulai dari sebagai reporter, dewan redaksi, petugas administrasi dan keuangan, koreksi akhir di percetakan sampai pengawas kelancaran distribusi. “Kerja semua itu mudah, yang paling sulit kucing-kucingan menghadapi polisi rahasia Belanda (PID),” kenang bu Siti Larang membanggakan profesi wartawan tahun 1920-an.

Keterlibatan Siti Larang dalam gerakan semakin jauh ketika ia bergaul cukup dekat dengan tiga aktivis pemuda yang kost di rumah Tjokroaminoto. Dari Musso, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Soekarno lah ia beroleh pengetahuan lebih tentang cara-cara berjuang dan memimpin massa. Ketiga aktivis yang tinggal serumah dan bersahabat akrab ini kelak berpisah jalan, masing-masing goreskan namanya dalam sejarah bangsa ini. Musso menjadi tokoh PKI yang sempat berhadapan dengan pemerintahan Soekarno-Hatta dan mati terbunuh dalam Peristiwa Madiun 1948. S.M. Kartosuwirjo awalnya memimpin PSII Hijrah yang tanpa kompromi menghadapi gubernemen Belanda, lalu pada masa kemerdekaan memimpin gerakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia di Jawa Barat melawan pemerintahan Soekarno selama 13 tahun.

Ketika gerakan buruh berkembang pesat, Siti Larang juga ikut memimpin sejumlah serikat buruh, a.l. SB Kendaraan Bermotor dan SB Hotel dan Restoran. Khusus untuk kegiatan pendidikan politik buruh ia menulis pamflet-pamflet dengan bahasa yang mudah dicerna kaum buruh. Jika Tjokroaminoto dalam Islam dan Sosialisme menyatakan, “zondig [berdosa] kapitalisme dan hukum ribha”, maka Siti Larang secara sederhana menulis, “kapitalisme itu setan”.

Pada 1924 Sosrokardono dibebaskan dari penjara Glodok. Represi berkelanjutan terhadap SI dan perpecahan di dalam organisasi tampaknya sangat merisaukan Sosrokardono. Ia memutuskan untuk keluar dari SI dan bergabung dengan organisasi yang lebih moderat, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), di bawah pimpinan dr. Soetomo di Surabaya. Siti Larang ternyata mengikuti jejak suaminya sampai Sosrokardono wafat pada 1934.

PERSAHABATAN YANG TAK LEKANG OLEH PERBEDAAN PENDAPAT

Satu petang di 1935 Pamoedji salah seorang kader PBI mendatangi Siti Larang dan mengajaknya ke sebuah hotel karena ada tamu yang ingin menemuinya. Betapa terkejutnya Siti Larang ketika melihat bahwa sang tamu adalah Musso. Tokoh PKI yang hijrah ke luar negeri sebelum pemberontakan PKI 1926 dan menetap di Rusia, menyamar masuk ke Indonesia. Pada kesempatan itu Musso minta tolong Siti Larang mencarikan rumah kontrakan untuk beberapa bulan. Ia berniat menemui banyak temannya untuk membangun front demokrasi anti fasisme, karena suatu ketika Jepang bisa saja menjajah Indonesia. Menurut Musso Belanda yang pada saat itu masih merupakan musuh pergerakan bisa menjadi sekutu melawan Jepang. Karena menurutnya pendapat Musso masuk akal, Siti Larang secara ikhlas bersedia membantu dan merahasiakan kesepakatan itu.

Sialnya, begitu Musso kembali ke Rusia pada 1936, Siti Larang ditangkap dan dipenjarakan untuk beberapa waktu karena hubungannya dengan Musso. Setelah bebas ia masih dikenai tahanan kota. Ini berarti bahwa Belanda mengetahui keberadaan Musso di Indonesia. Yang jadi pertanyaan kemudian mengapa pemerintah tidak langsung menangkap Musso? Apakah pemerintah sengaja membiarkannya berkeliaran karena mengetahui misinya tak merugikan kepentingan Belanda?

Yang jelas identitas Siti Larang bertambah; ia minimal dianggap simpatisan PKI. Dan, begitu Pemerintah Balatentara Dai Nippon menduduki Indonesia pada 1942 dan menemukan file-file polisi rahasia Belanda (PID) yang tertinggal, dengan mudah polisi rahasia Jepang, Kempeitai, mencomoti para aktivis pergerakan yang dianggap tak mungkin diajak bekerja sama, termasuk Siti Larang. Di penjara Lowokwaru, Malang dalam satu blok kamar sel yang berjajar terdapat Siti Larang, Pamudji, Abdul Azis, Sukayat, Inu Kertapati, Djawoto, dan beberapa tokoh pengikut Tan Malaka. Siti Larang menjadi saksi ketika Pamudji memilih gantung diri ketimbang disiksa dan terpaksa membuka rahasia partainya, PKI.

TANTANGAN DI JAMAN REPUBLIK

Pengalaman Siti Larang setelah proklamasi kemerdekaan tak jauh berbeda dengan di masa-masa sebelumnya. Walaupun usianya masih 34 tahun ketika negeri ini nyatakan diri merdeka, statusnya sebagai aktivis 1920an membuatnya harus terlibat dalam berbagai urusan, bahkan urusan pribadi sang presiden baru. Soekarno yang selalu menganggapnya sebagai kakaknya memanggil Siti Larang untuk mendampingi istrinya yang masih belia, Fatmawati, sebagai ibu negara. Pada saat ini lah ia menjadi saksi kecamuk dua bulan setelah 17 Agustus 1945. Ada yang heroik patriotik, menimbulkan rasa haru, tapi ada pula yang membuatnya tercenung ketika korupsi pun bermula, seperti raibnya emas batangan peninggalan rejim Jepang melalui penanganan salah seorang menteri.

Toh, kesediaannya membantu gerakan perlawanan tak berkurang. Ia ikut mengatur pengiriman senjata dengan kereta api dari Surabaya untuk memperkuat front Jakarta. Kemudian ia bergabung dengan Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang berpusat di Stasiun Manggarai, Jakarta di bawah pimpinan Samsoe Harja Hudaja. Tetapi ketika BBI kemudian berubah menjadi Partai Buruh Indonesia di bawah pimpinan S.K. Trimurti, ia mengundurkan diri.

Setelah mundur dari hiruk pikuk Jakarta, Siti Larang kembali ke Mojokerto. Di kota kecil ini ia sempat menjadi anggota DPRD dan membuka asrama putri untuk para pegawai wanita. Ketika peristiwa Madiun terjadi pada 1948, ia sedang berada di Ponorogo. Operasi pemberantasan laskar di Madiun menyebabkan dua tokoh utama gerakan rakyat, Musso dan Amir Sjarifuddin, tewas ditembak pasukan pemerintah Soekarno-Hatta. Pemerintah kemudian meminta Siti Larang melakukan tugas yang cukup berat: memberikan kesaksian atas kebenaran jenazah Musso. Kesaksiannya diterima secara resmi.

Menjelang 1960 Siti Larang pindah kembali ke Jakarta. Hubungan kekeluargaannya dengan Bung Karno tetap terjaga meskipun semakin sulit karena orang-orang di sekitar sang presiden cenderung over-protective. Siti Larang tetap memiliki kebiasaan mengirim surat pribadi kepada Bung Karno yang berisi saran-saran dan kadang-kadang juga koreksi dan peringatan. Suratnya selalu dibuka dengan kata kata, “Adikku Ir. Sukarno, Presiden RI yang kami muliakan” dan diakhiri dengan kata pendek, “mBakyumu Prihatin”.

Pada Mei 1963 atas prakarsa utusan Aceh yang didukung fraksi ABRI di MPRS, Bung Karno diusulkan menjadi Presiden Seumur Hidup. Siti Larang lagi-lagi mengirim surat peringatan pada Soekarno. Ia menyarankan Bung Karno untuk menolak pengangkatan itu karena bertentangan dengan UUD 1945. “Itu jebakan politik,” tulis Siti Larang. Ternyata ia tidak terlalu salah. Menurut pengakuan ketua umum SOKSI Mayjen. (Purn.) Soehardiman di kemudian hari tindakan ini memang bertujuan untuk , “menghalangi tokoh PKI jadi presiden jika sampai menang Pemilu nanti”. Dua tahun kemudian Soekarno justru dijatuhkan oleh pihak-pihak yang menobatkannya jadi seolah-olah penguasa tunggal republik ini.

Ketika peristiwa 1965 terjadi Siti Larang tak terbebaskan dari prahara. Putra satu-satunya, Mayor Rudhito, ditahan dan wafat sebagai tapol. Semasa Orde Baru nama Siti Larang hampir tidak terdengar lagi. Namun itu tidak berarti ia tinggal diam menerima apa pun yang terjadi pada bangsanya. Ia pernah mendatangi Laksamana Sudomo, saat itu Panglima Kopkamtib, untuk mengadukan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tapol Peristiwa 1965. Menurutnya perlakuan penguasa Orde Baru terhadap lawan-lawannya jauh lebih buruk dibandingkan perlakuan penguasa Belanda dan Jepang. Sampai 1990 ibu tua ini masih rajin mengikuti perkembangan politik melalui media massa cetak dan elektronik. Jika ia menjumpai hal-hal yang menggugah rasa keadilannya, ia langsung menulis gugatan atau peringatan kepada pejabat yang bertanggungjawab. Nama Ibu Siti Larang cukup dikenal oleh beberapa menteri karena surat suratnya.

Siti Larang pernah menerima penghargaan Pena Emas atas jasanya di bidang pers, dan sampai wafatnya tetap menerima tunjangan Perintis Kemerdekaan. Pada acara peringatan HUT RI 1997 Siti Larang memperoleh undangan santap petang bagi para perintis kemerdekaan dengan Suharto di Istana Negara. Ia kebetulan berhalangan hadir, tetapi ia mengirimkan surat kepada Presiden yang meminta agar ada penyelesaian yang bijaksana untuk masalah 1965. “Bangsa Indonesia perlu dibebaskan dari tawanan sejarah masa lalu,”demikian ia sampaikan.

Sampai akhir hayatnya Siti Larang menolak memasuki organisasi perempuan. Ketika ditanyakan alasannya, jawabnya sederhana saja, “wah, kalau sama-sama perempuan berorganisasi biasanya... umyek melulu dan ndara-ndara den ayu itu suka bersaing pamer peran dirinya, akhirnya lalu nggak saling bicara”. Menurutnya perjuangan emansipasi perempuan akan berlangsung lebih cepat apabila kaum perempuan dan lelaki bersatu dalam sebuah organisasi perjuangan bersama yang sejati.

Kepada semua pejuang kebebasan dan kemanusiaan, Siti Larang selalu mengingatkan bahwa pengorbanan yang paling berat dalam suatu perjuangan adalah “korban perasaan”. Hanya mereka yang sanggup atasi rasa kecewa dan kesedihan lah yang akan mengalami kemajuan. Sedangkan mereka yang kecewa lalu sekedar bisa memaki-maki atau menyindir menunjukkan keterbelakangan budayanya. Melalui bait lagu Dandanggula dari Serat Wedatama, ia juga sering mengatakan bahwa perjuangan ada ilmunya sendiri. Tapi perjuangan yang benar ditentukan oleh laku atau penerapannya yang benar.

F. HARDOYO, mantan anggota DPR-GR.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 15: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

“Pulau Dewata” Surga bagi Investor

Agung Putri

Tidak banyak orang sadar bahwa untuk waktu yang lama Bali sesungguhnya menjadi barometer masyarakat internasional dalam melihat derajat keamanan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Paling tidak sampai empat tahun yang lalu pulau tersebut merupakan salah satu tempat pesiar utama baik bagi kaum beruang dari manca negara, maupun bagi kaum buruh dari negara-negara industri, terutama Australia dan Jepang. Orang boleh ribut mengenai pembunuhan, penculikan aktivis dan perampasan tanah di wilayah lain, tapi turis tetap bisa menikmati Bali sebagai tujuan wisata. Tapi sebaliknya kalau Bali saja sudah dilanda masalah, maka daerah-daerah lain di Indonesia seperti tidak punya harapan lagi.

Memang, keguncangan politik yang mengikuti jatuhnya diktator Soeharto berpengaruh cukup besar terhadap kestabilan perekonomian Bali. Setelah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menelan korban seribu jiwa lebih, jumlah turis asing yang berkunjung ke Bali menurun drastis. Begitu pula ketika gelombang kekerasan melanda berbagai wilayah di Nusantara, wisatawan pun menimbang kembali jaminan keamanan pulau kecil tersebut. Lembaga peneliti stratfor.com misalnya saja pada Januari 2000 melaporkan, “Bali, salah satu tempat kunjungan turis utama, sudah lama menarik perhatian turis asing, karena stabilitasnya di tengah gerakan separatis di berbagai tempat. Kerusuhan yang potensial meluas ke berbagai daerah di Indonesia mengancam tidak saja industri turisme tetapi juga menambah kesan ketidakpastian dan keresahan di Indonesia, menakutkan investor asing…”

Mungkin pukulan yang paling telak justru terjadi sesudah operasi bumi hangus di Timor Lorosae pada September 1999. Ketegangan antara pemerintah Indonesia dan Australia di satu sisi dan solidaritas buruh Australia untuk rakyat Timor di lain sisi telah menyebabkan turunnya tingkat hunian hotel di Bali sampai tidak lebih dari 30% pada musim liburan. Walaupun demikian, Bali tetap bertahan, atau lebih tepatnya, dipertahankan dengan segala cara sebagai daerah teraman dan ternyaman di kepulauan Indonesia ini. Tak kurang dari kelas menengah suku Tionghoa yang masih dihantui Tragedi Mei 1998 sampai staf internasional PBB di Timor Lorosae secara rutin “melarikan diri” dari ketegangan sehari-hari ke Bali.

Kebutuhan untuk menjaga Bali dari gejolak politik bukannya tanpa alasan kuat. Di awal abad 21 ini Bali tidak hanya menopang 3 juta penghuninya, tetapi juga sekitar 200 juta orang Indonesia lainnya. Untuk 1997 saja 5,1 juta turis telah datang dan memberi keuntungan sebesar US$ 6,7 juta. Tahun lalu perolehan dari turisme dan usaha perjalanan diperkirakan berjumlah 14% dari seluruh pendapatan ekspor Indonesia. Nilai ini menjadikan turisme sebagai sektor non-migas terpenting ketiga setelah kayu dan tekstil. Sektor ini pula yang telah membuka lapangan kerja paling tidak bagi 6,6 juta orang atau sekitar 8% angkatan kerja di negeri ini.

Posisi ‘penting’ Bali sebagai tolok ukur stabilitas dan juga pertumbuhan ekonomi negeri ini sesungguhnya telah dibentuk sejak zaman kolonial. Bali merupakan daerah terakhir yang berhasil ditaklukkan Belanda untuk memantapkan kekuasaannya di kepulauan Nusantara pada awal abad ke 20. Proses penaklukan yang berdarah ini ternyata menimbulkan protes keras dari kalangan borjuis liberal Eropa sehingga penguasa kolonial perlu menampilkan wajah yang lebih manusiawi. Maka, para penguasa, industrialis-pedagang dan intelektual pun bersekutu menciptakan ‘Pulau Dewata’ — istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh brosur maskapai dagang kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketwaart Maatschappij) pada 1914. Gambaran Bali yang romantis, harmonis dan ‘asli’ jadi dagangan utama, menyingkirkan seluruh masalah sosial, ketegangan dan keributan yang muncul di kalangan masyarakatnya. Kalau pun ada kekerasan yang tak mungkin ditutupi – seperti puputan di Badung, Tabanan, dan Klungkung – maka selalu saja ada intelektual yang bisa ‘melembutkannya’ sebagai bagian dari Bali yang magis dan misterius.

Dalam perjalanannya terbentuk hubungan yang aneh antara wajah Bali di satu sisi dan tubuh masyarakatnya. Betapa pun sakit yang diderita tubuh, wajahnya tetap saja dipaksa tersenyum ramah, penuh tepo-seliro dan mulut yang otomatis mengucap, “welcome”. Disini lah sebenarnya terlihat kerentanan Bali sebagai wilayah industri pelayanan internasional: ia senantiasa dituntut tampak santun, hangat dan profesional untuk memuaskan para pelanggannya. Namun, kesanggupannya melayani pasar internasional sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakatnya menyensor diri, menyortir apa yang “Bali” dan “bukan Bali”, dan meredam perubahan yang menghambat percepatan putaran modal.

1965, Tahun Menyayat Hati

Tidak banyak orang, apalagi turis, yang tahu bahwa industri pariwisata Bali dibangun bersamaan dengan terjadinya pertumpahan darah yang luar biasa. Menyusul penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira di Jakarta, sejak Desember 1965 rakyat Bali menyaksikan, terlibat dan menjadi korban pembunuhan massal terbesar dalam sejarahnya. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pencari Fakta bentukan Presiden Soekarno, sekitar 80.000 lebih orang diduga tewas dalam waktu kurang dari dua bulan, atau sekitar 5% dari jumlah seluruh penduduk. Ratusan tokoh masyarakat, PKI maupun bukan, tewas atau hilang dalam kejadian itu, dan ratusan ribu orang lagi berubah nasibnya dalam semalam.

Keluarga yang ditinggalkan bukan hanya kehilangan sanak-saudara tercinta dan pencari nafkah utama, tapi juga sumber kehidupan mereka, seperti tanah dan ternak. Perampasan merajalela atas nama ‘keamanan dan ketertiban’, sementara puluhan ribuan orang ditangkap, dipecat atau disingkirkan dari jabatannya. Sebuah periode mengerikan bagi mereka yang menjadi korban, tapi sebaliknya Orde Baru mengenangnya sebagai ‘zaman stabilitas’.

Sampai saat ini belum ada literatur maupun laporan yang memadai tentang apa saja yang terjadi pada masa berdarah itu. Namun, cerita, catatan serta ungkapan sehari-hari menunjukkan bahwa tak seorang pun di Bali yang hidup di masa itu bisa mengatakan tak tahu apa-apa tentangnya. Mereka yang menjadi korban memendamnya dalam hati. Begitu pula para pemenang yang kemudian menjadi bagian dari elit penguasa bekerja keras membunuh peristiwa itu dalam ingatan mereka dan menghapusnya dari wacana publik.

Industri pariwisata mulai merangsak maju di atas ketakutan dan kengerian terpendam yang terus melanda penduduk selama bertahun-tahun. Bahkan ada sejumlah hotel yang konon dibangun di atas kuburan massal para korban pembantaian. Sementara itu mereka yang ‘selamat’ dipaksa bekerja mempercantik ‘Pulau Dewata’ agar siap menerima turis dari segala penjuru dunia. Sepagi 1966, ketika pembunuhan masih terjadi di sana-sini, Bank Dunia meminjamkan uang jutaan dolar untuk memperluas bandara Ngurah Rai di Denpasar agar bisa disinggahi pesawat-pesawat besar yang membawa turis, pemodal dan perancang industri pariwisata.

Tahun 1965-66 dikenang secara berbeda. Bagi para industrialis, pemodal dan birokrat, masa itu adalah awal dari kebahagiaan. Uang mulai mengalir masuk, posisi pun semakin mantap sebagai ‘penguasa baru’, yang tidak segan-segan mengubah aturan main sesuai keperluannya sendiri. Tapi bagi para korban, masa itu adalah awal kegelapan, kehancuran cita-cita dan kehidupan yang melahirkannya.

Dari Ladang Pembantaian ke Ladang Pembangunan

Darah dan airmata korban belum lagi kering saat Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan kelompok negara-negara industri pemberi bantuan untuk Indonesia, IGGI, merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) bagi Indonesia. Untuk 5 tahun pertama (1969-1974) turisme internasional ditetapkan sebagai faktor penentu pembangunan ekonomi Indonesia, dan Bali menjadi situs utama. Indonesia membutuhkan mata uang asing segera untuk menyeimbangkan neraca pembayaran nasional dan turisme merupakan cara tercepat untuk memperolehnya. Tapi disamping tujuan ekonomis, ada pula tujuan politis kebijakan ini. Rejim Orde Baru perlu menampilkan wajah yang manis kepada dunia internasional untuk menutupi kekejaman luar biasa yang mengantarnya ke panggung kekuasaan. Bali, yang pada saat itu sudah cukup dikenal masyarakat internasional karena keindahan alam, keunikan adat-istiadat dan keseniannya, dianggap paling tepat menjadi “jendela pajangan” Indonesia.

Sejak 1970an dengan arahan konsultan turisme Perancis, SCETO, dan dukungan finansial dari Bank Dunia dan UNDP rencana jangka panjang pembangunan Bali sebagai situs industri pariwisata mulai dilaksanakan. Tak satu pun para ahli turisme ini punya pengetahuan dasar tentang Bali atau Indonesia sebelumnya dan tak satu orang Bali pun terlibat dalam perencanaan nasib negerinya sampai 20 tahun yang akan datang. Begitu master plan ini diresmikan melalui sebuah Keppres pada 1971, barisan pemodal dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong mengklaim “tanah kosong” untuk membangun hotel dan restoran, dan menggiring manusia penghuninya ke dalam industri kerajinan tangan dan hiburan.

Sasaran awal para pemodal adalah pantai berpasir putih di bagian Selatan Bali. Kawasan pantai Sanur disulap menjadi tempat peristirahatan bagi kalangan elit, sementara Kuta dan Legian dirombak menjadi ‘nirvana’ bagi mereka yang mencari jati diri atau pengalaman ‘gaya hidup alternatif’, tentu saja lengkap dengan seks bebas dan obat bius. Ketika wilayah pantai menjadi makin padat oleh jejalan hotel, homestays, restoran, diskotik dan toko kerajinan tangan, desa-desa ‘perawan’ di bagian tengah ke utara jadi sasaran berikutnya. Ubud, misalnya, terkenal sebagai tempat peristirahatan bagi mereka yang jenuh dengan hiruk-pikuk Kuta, sambil menghayati apa yang mereka pikir sebagai ‘kebudayaan Bali’.

Pada 1972 dibentuk Bali Tourism Development Consortium untuk merancang proyek pariwisata terpadu. Gagasan dasarnya adalah membangun situs pariwisata di atas wilayah ‘tidak produktif’ tanpa merusak kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat, dengan Nusa Dua sebagai proyek pertama. Namun, alih-alih ‘melindungi kebudayaan dan kehidupan rakyat’, proyek ini membuahkan satu lagi kantung eksklusif bagi kaum beruang dan mengubah seluruh potensi, daya cipta dan kehidupan rakyat yang menjadi penunjang industri pariwisata tersebut. Sementara penduduk asli tanah berkapur ini masih berteriak kekurangan air, sejumlah hotel berbintang 5 sepanjang tahun bersiaga melayani pertemuan internasional antar kepala negara atau pejabat tinggi manca negara untuk membuat kesepakatan ekonomi dan politik maupun persetujuan keamanan internasional.

Tatkala pendapatan dari minyak bumi mulai berkurang, pada 1980an industri pariwisata pun semakin ditingkatkan karena menjadi salah satu penyumbang penghasilan negara terbesar di sektor non-migas. Perencanaan dibuat semakin sistematis dan mekanis di bawah bimbingan Bank Dunia dan agen-agen perjalanan internasional serta perusahaan pariwisata. Hampir seluruh birokrasi pemerintah Bali dikerahkan untuk mewujudkan mimpi para investor, dan dari persekutuan itu lahir proyek-proyek seperti Bali Turtle Island Development dan Bali Nirwana Resort. Para penguasa Orde Baru tidak ingin ketinggalan menikmati pesona ekonomi ‘Pulau Dewata’. Mereka memasarkan Bali melalui program pemerintah seperti Visit Indonesia Year, sementara para pengusaha kroninya bekerjasama dengan pemodal internasional membangun puluhan hotel dan merambah desa-desa terpencil untuk dijadikan tempat peristirahatan.

Gempuran industri pariwisata bukan saja mengubah tampak fisik Bali sesuai dengan impian pemodal, tetapi juga berhasil menanamkan ide bahwa Bali secara ‘alamiah’ memang menarik minat turis. Para seniman dan pengrajin mau tak mau tersedot ke dalam proyek-proyek ‘usaha kecil’ untuk memproduksi kesenian massal. Tulang sapi, batok kelapa dan kerang tak luput jadi barang dagangan, sementara produk internasional membanjiri pasar lokal menggusur produksi rakyat. Yang paling menyolok, dan kemudian diratapi oleh para turis itu sendiri, adalah ketika pura dan tempat-tempat suci lainnya, berikut penghuninya, dipermak menjadi artefak yang siap dikunjungi turis.

Bidang seni pertunjukan yang sedianya mencerminkan keaslian’ Bali pun tak luput dari sergapan industri, bahkan sampai ke institusi pendidikannya, yang tradisional maupun yang modern. Awalnya tariannya saja yang dipotong, dipermak dan dikemas sedemikian rupa agar waktu dan penampilannya tidak mengganggu mata yang membayarnya. Perkembangan berikutnya, sanggar-sanggar tari di pedesaan tidak lagi berfungsi sebagai tempat belajar menjadi penari yang baik, tetapi sebagai pusat latihan menjadi penari hotel. Pada “musim toris” selusin gadis dan pemuda cilik peserta sanggar akan dibawa dengan truk pick-up untuk menari dari satu hotel ke hotel lain setiap malamnya. Sedangkan Sekolah Tinggi Seni Indonesia terjerat dalam produksi tari-tari lepas ringan yang populer sesaat dan setelah itu dilupakan selamanya. Praktis sejak 1960an tidak pernah lahir tarian baru yang mampu mengungguli tari-tarian klasik dari era 1930an.

Tentu saja masih ada paket-paket ‘kesenian asli’ untuk dijajakan kepada mereka yang merindukannya. ‘Kesenian asli’ ini biasanya dikemas secara ‘profesional’ bersamaan dengan penyelenggaraan upacara adat oleh para keluarga bangsawan yang mulai menyadari nilai lebih puri kediamannya. Campur-baur segala aspek dengan satu tujuan itu melahirkan pemandangan aneh: sesaji untuk para dewa di tangan pemuda Bali yang bersiap mengikuti upacara dengan seragam celana pendek dan kaos oblong bertuliskan: “Fuck Off!”

Kesadaran akan ‘keunikan’ tradisi Bali tidak terbangun di atas ruang kosong. Tidak sedikit orang Bali yang menikmati suasana ini dan mencari segala argumentasi – mulai dari kutipan buku teks ekonomi tentang pentingnya akumulasi modal sampai ungkapan nenek moyang – untuk membenarkan keadaan. “Memang begitu dah, Bali itu” adalah ucapan populer. Tidak menjelaskan, tidak juga membantah. Lebih tepatnya, mempertahankan status quo.

Adalah watak dasar dari industri untuk mencaplok segalanya. Rangkaian kegiatan sosial-budaya yang mulanya dilakukan atas dasar kebiasaan tiba-tiba punya nilai tukar yang tinggi. Jika semula orang Bali memutar akal mencari apa yang dapat dijual, maka kini pemandangan dan hal-hal sehari pun dengan mudah jadi barang dagangan. Para ahli menyebutnya ‘living culture’ atau kebudayaan yang hidup serasi dengan pertumbuhan ekonomi pariwisata. Bukan cerita aneh misalnya jika ada bocah ingusan berambut merah karena sengatan matahari, tiba-tiba meloncat turun dari punggung kerbau untuk naik pesawat menuju rumah barunya, entah di Hawaii, Australia atau salah satu negara Eropa. Mereka dipungut oleh turis karena bakat atau sekadar gemas saja melihat sosok anak ‘cerdas’ di tengah masyarakat ‘asli/primitif’, dan merasa wajib menyelamatkannya dari keterbelakangan.

Menimbun Kesengsaraan

Sejak zaman kolonial penguasa yang berganti-ganti berusaha mempertahankan citra Bali sebagai ‘Pulau Dewata’ yang tak kenal susah. Kalau pun ada dan tak bisa begitu saja disembunyikan dari pandangan umum, maka para sarjana pun sudah siap dengan argumen-argumen. Kekerasan nyata yang mengerikan dengan mudah dipelintir jadi ‘budaya’, artinya orang Bali memang terlahir sebagai mahluk brutal yang senang menghantam sesama. Penaklukan segala ekspresi di bawah hukum akumulasi pun dengan bahasa indah dijelaskan sebagai ‘daya tahan kebudayaan’ orang Bali menghadapi pengaruh luar. Dan seterusnya.

Citra ‘tak kenal susah’ sungguh berbeda dari kenyataan hidup sehari-hari yang ditelan rakyat jelata. Sejak 1960-an penduduk Bali bergantung pada impor beras karena tanah-tanah mereka diubah jadi situs industri pariwisata. Letusan Gunung Agung pada 1963 adalah bukti bahwa Bali sesungguhnya bertopang pada sistem yang sangat rentan, karena mengubah ribuan orang menjadi gelandangan yang berkeliaran dan beranak-pinak di kota-kota besar seperti Singaraja dan Denpasar.

Sementara para pengusaha pariwisata dan pendukungnya menikmati pertumbuhan GDP sebesar 34% antara 1996-98, jumlah penduduk miskin pun bertambah dari 270 ribu menjadi 418 ribu jiwa antara 1990-98. Dan bukan hal aneh jika jumlah terbanyak berasal dari Denpasar dan Buleleng. Tentu saja orang berpikir bahwa bagaimanapun juga sektor pariwisata memberi sumbangan besar pada ekonomi Bali. Itu adalah gambaran keliru karena statistik menunjukkan bahwa pajak terbesar justru berasal dari kalangan menengah dan miskin selama tahun 1990-an. Dengan kata lain ‘kemakmuran’ Bali, dan dana milyaran untuk memperbaiki dan mempercantik citra ‘Pulau Dewata’ berasal dari petani miskin yang tergusur dan pegawai rendahan yang bekerja 8-10 jam sehari dengan upah yang hanya cukup untuk menyambung napas sendiri.

Berbekal ‘kemakmuran’ yang dihasilkan rakyat kecil pemerintah terus menggenjot sektor pariwisata, dan pada 1997 mengubah imbangan pendapatan sektor pertanian (19,45%) dan sektor pariwisata (30,82%). Para birokrat dan intelektual Bali pun dengan keyakinan buta mendukung pencaplokan tanah-tanah subur di Badung, Denpasar, Gianyar dan Tabanan menjadi ‘daerah pesona pariwisata utama’. Sebaliknya daerah-daerah yang sesungguhnya memerlukan uluran tangan, seperti Bangli, hampir tak tersentuh investasi maupun proyek bantuan apa pun.

Kenyataan ini tentu saja tidak dapat ditemukan dalam brosur-brosur pariwisata yang mengumbar keindahan Bali. Bank Dunia tak putus-putusnya memberikan pinjaman dan memuji Bali karena ‘prospek ekonomi’-nya. Tentu tidak disebutkan bahwa banyak pemilik tanah tempat berdirinya hotel dan restoran kemudian hidup melarat setelah menikmati uang ganti-rugi yang tak seberapa, sementara anak-anaknya terseret ke dalam gemerlap ‘Pulau Dewata’. Untuk mengurangi ‘pemandangan buruk’ pemerintah daerah bekerjasama dengan Bank Dunia dan sejumlah LSM setempat mengembangkan ‘proyek peningkatan pendapatan’ dan bermacam kegiatan lain yang sering juga dikaitkan dengan pariwisata.

Dari tahun ke tahun kesulitan hidup dan kesumpekan kultural berulangkali meledak dalam bentuk protes terbuka maupun tidak. Bukan hanya aparat keamanan yang mereka hadapi, tapi juga lingkungan sendiri yang merasa segala bentuk perlawanan bisa mengancam ‘keutuhan Bali’ yang ikut mereka nikmati. Dan para korban pun kembali tenggelam dalam kebisuannya, entah sampai kapan.

Agung PUTRI, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 16: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

BALI Kapling Para Antropolog

Degung Santikarma

Sejak zaman kolonial, Bali sudah menarik perhatian antropolog dunia. Bagi para mahasiswa jurusan ini Bali menjadi semacam mata pelajaran wajib, dan ia menggugah minat para antropolog, mungkin lebih dari daerah lain di muka bumi ini. Kebudayaan Bali adalah “teks suci” yang harus dilalui dalam proses inisiasi bagi para “calon” antropolog dimana pun mereka belajar. Dan, hampir tak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari sorotan para antropolog dunia. Mulai dari sistem kekerabatan yang rumit, mobilitas ritual yang tak kenal henti, struktur makna bahasa, sampai kosmologi berkesenian dan kerja yang beritme alam. Sampai sekarang, di Bali ada musim khusus, yaitu ‘musim antropologi’. Jika musim ini tiba, tingkat hunian griya (rumah brahmana), puri (rumah ksatria), dan rumah bendesa adat (pimpinan desa adat) pun melambung. Isu kerusuhan sepertinya lewat begitu saja. Tidak seperti turis biasa yang kedatangannya sangat dipengaruhi oleh gejolak politik di Jakarta, Maluku, Aceh, atau Timor Lorosae. Mengapa Bali menarik perhatian begitu banyak antropolog?

Jawaban terhadap persoalan ini memang bervariasi dari zaman ke zaman. Pada zaman kolonial Bali dilihat sebagai daerah Hindu yang masih tetap bertahan setelah Islamisasi yang terjadi begitu gencar bermula di Jawa. Bagi pandangan yang kental nuansa orientalisme, masuknya Islam di Jawa dianggap sebagai kehancuran kejayaan Hindu. Dan ini berarti punahnya sebuah peradaban.

Bali dalam pandangan ini kemudian dianggap sebagai “museum hidup” untuk melihat praktek Hindu yang sudah mencapai titik nadir kepunahan di Jawa. Bali bagi mereka menawarkan perbedaan eksotik yang selalu menjadi bahan pokok para antropolog. Ada sistem hirarki kasta dan kerajaan yang tak bisa ditemui lagi di daerah jajahan lain seperti Jawa dan Sumatra. Ada perang status antar raja yang tak pernah berakhir, pelaksanaan hukum adat yang terus bertahan seperti praktek bakar janda, dan banyak lagi.

Generasi pendahulu antropolog — yang disebut dengan istilah etnolog — seperti Van Bloemen Wander, Ruger van Eck, merupakan bagian dari aparatur pemerintah kolonial untuk memproduksi pengetahuan tentang “the native” (orang lokal/asli) agar lebih memahami sekaligus mampu mengontrolnya. Gambaran tentang Bali yang ada pada waktu itu adalah tempat huni manusia liar yang suka perang, pemberontak, archaic, penuh misteri dan mistis, yang selalu membingungkan usaha penjajah untuk mengontrolnya.

Gelombang antropolog berikutnya mendarat di Bali pada 1930-an. Peneliti seperti Margaret Mead, Gregory Bateson dan Jane Belo tertarik mencari resep-resep kehidupan pra-modern untuk menyembuhkan masyarakat Amerika yang saat itu kebablasan menghadapi arus banjir modernitas. Bali dianggap menyimpan rahasia untuk hidup, yang di barat sudah morat-marit, seperti hidup harmonis tanpa konflik, atau cara konflik yang berakhir secara alamiah. Bali, kata mereka, adalah tempat bayi tumbuh tanpa teriak tangis. Manusianya disosialisasikan dengan polos dan patuh. Letupan emosi sejenak yang disebut trance, barangkali lebih baik dilihat sebagai kemarahan yang dirayakan.

Misi mereka waktu itu adalah menyelamatkan sesuatu dari sebuah kepunahan, melestarikan kekhasan dan keaslian kebudayaan Bali dari arus deras pengaruh barat (salvaging the premodern). Mereka ingin mempelajari sebuah perbedaan dan membekali diri untuk menghantam dan mengkritik unsur-unsur rasisme dan xenophobia kebudayaan Amerika. Mead sendiri adalah salah satu figur sentral pengkritik masyarakat Amerika yang sangat radikal. Seorang antropolog yang mengadvokasi pentingnya “relativitas budaya” untuk menjawab kesalah pahaman antar budaya dengan metafor “make love not war.”

Di masa pasca kolonial, paradigma antropologi berubah lagi. Banyak antropolog berpandangan bahwa suatu budaya tidak lagi bisa dilihat sebagai daerah terpisah yang berdiri sendiri, terisolasi dari dunia luar. Antropolog seperti Clifford dan Hildred Geertz mencoba melihat Bali sebagai contoh konsep kekuasaan lokal yang berhubungan dengan struktur kenegaraan Indonesia Baru. Mereka tertarik pada bentuk semiotik kekuasaan yang ada di Bali dan relasi kerja kekuasaan tersebut dengan negara yang baru dibentuk. Clifford Geertz dalam buku Negara melihat kekuasaan tradisional di Bali sebagai pemaknaan puisi kuasa dunia estetika. Dia mengatakan bahwa raja-raja di Bali memobilisasi massa bukan untuk tujuan politik, tapi untuk sebuah pesta kemegahan dan menggapai tingginya kuasa mereka secara simbolis. Gagasan ini melahirkan aliran baru dalam disiplin ilmu antropologi yang disebut dengan “interpretative anthropology”, yang mengudang perdebatan. Pendekatan aliran ini sering dianggap oleh para penentangnya sebagai suatu yang seduktif, estetis dan a-politis, serta membuat Bali semakin jauh berbeda dengan daerah lain.

Pada mulanya yang menjadi fokus perhatian antropologi dunia adalah persoalan “esoterik” seperti dunia lontar, rerajahan (ilmu magic), awig-awig (aturan adat), babad (silsilah), bahasa Kawi dan sastra Bali kuno. Sumber informasi mereka adalah para pedanda, pemangku, bendesa adat, dan balian (dukun). Kemudian perhatian disiplin ilmu ini mulai berubah seiring dengan perubahan zaman. Antropolog mulai tertarik pada persoalan kontemporer, seperti modernitas, globalisasi, kapitalisme dan pariwisata. Pada saat yang sama Bali pun terkena imbas persoalan besar dunia, seperti turisme massal, beroperasinya perusahan multinasional, intervensi negara, globalisasi dan krisis identitas, termasuk perdebatan di dalamnya dan perlawanan terhadap arus besar dunia tersebut.

Dengan berkuasanya Orde Baru dan berkembangnya pariwisata massal, pengaruh antropologi semakin terlihat. Ini bukan hanya karena bertambahnya antropolog yang meneliti Bali, tapi konsep kebudayaan yang ditawarkan antropologi mulai “dicuri” dan digunakan sebagai modal budaya untuk mempercantik ide pariwisata itu sendiri dan mengontrol gerak-gerik orang Bali secara umum. Kebudayaan sebagai kompleks kehidupan menjelma menjadi produk estetik yang berkisar pada wilayah tarian, upacara, pemandangan alam, damainya suasana desa, dan harmoni kehidupan sosial. Pelaksana pariwisata budaya mengabaikan karya antropolog yang prihatin dengan persoalan politik dan perubahan sosial. Tapi ironisnya mereka justru menghidupkan kembali tradisi antropolog kolonial dengan pendekatan klasiknya yang bernama struktural fungsionalisme. Pendekatan ini melihat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk menentukan ketertiban dan stabilitas. Wujud dari paradigma ini seperti “dwifungsi”: yang pertama bertugas sebagai penarik pariwisata dengan gambar Bali yang bersih, aman, lestari, dan indah dan yang satu lagi bertugas sebagai agen sosialisasi paradigma keteraturan dan ketertiban. Kebudayaan menjadi sebuah bangunan arsitektur megah, kokoh tapi pada saat yang sama bangunan tersebut mengintai dan mematai gerak-gerik hidup warganya.

Respon orang lokal terhadap kedatangan para antropolog asing pada era sekarang ini bermacam-macam. Ada yang berprasangka negatif, seperti reaksi mereka terhadap kedatangan para pendahulunya, yaitu sebagai penjajah baru. Ada yang menganggap mereka sebagai murid kebudayaan Bali, turis biasa, turis pintar, expert, parekan (anak buah), teman dialog, funding agency, atau calon konsultan Bank Dunia. Dan, ada juga yang tidak perduli sama sekali.

Jika kehadiran antropolog asing sering membingungkan, keberadaan orang Bali yang menjadi antropolog dalam masyarakatnya sendiri lebih membingungkan lagi. Menjadi orang Bali dan sekaligus melakoni hidup sebagai antropolog ada suka dukanya tersendiri. Di mata antropolog asing, antropolog Bali bukan hanya kolega profesional tetapi sumber data dan anggota kebudayaan. Apa-apa yang mereka lakukan dan katakan menjadi rekaman etnografis. Tidak hanya itu. Begitu juga apa pun yang dilakukan oleh keluarganya, apakah keponakan yang ikut trance, anak yang bermain musik punk, pembantu yang nonton TV, adik yang bertato, selalu mengusik keingintahuan para antropolog asing. Nenek dan kakeknya tak lepas pula dari sasaran tembak kamera dan tape wawancara. Dari satu sisi kehadiran antropolog Bali disambut dengan gembira oleh para antropolog asing. Bagi mereka ini berarti akan ada “mitra lokal” untuk menciptakan “dialog antropologis”, dan tugas mulia antropolog luar sebagai wakil untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Bali, bisa diambil alih oleh antropolog lokal. Kelompok “subaltern” sudah mempunyai otoritas untuk membicarakan kebudayaan mereka sendiri, setidak-tidaknya mereka tidak perlu diwakili... Ya persis kayak DPR.

Tapi di sisi lain, sang antropolog lokal dianggap hanya mampu mengerjakan masalah kecil dan lokal. Hal ini mengingatkan saya kepada beberapa legenda rakyat yang hidup di Bali tentang cerita seorang pedanda (pendeta upacara) pencuri genta. Ceritanya seperti ini. Pada suatu saat ada seorang pedanda yang berasal dari kasta brahmana berhalangan hadir dan tak sempat menyelenggarakan upacara. Tak disangka, datanglah seorang pemangku (pendeta yang bukan dari kasta brahmana) yang mengaku sebagai utusan sang pedanda untuk menyelesaikan upacara. Ia langsung memakai pakaian kebesaran pedanda brahmana itu, tanpa sepengetahuan pemiliknya, dan langsung mencuri genta pendeta brahmana tadi. Dia duduk bersila sambil komat-kamit menirukan suara mantra layaknya seorang pedanda. Orang yang punya hajat upacara tidak tahu sama sekali bahwa pendeta yang menyelesaikan upacara itu hanyalah seorang pemangku. Hal ini baru terungkap setelah sang pedanda brahmana kebetulan lewat saat pedanda “imitasi” sedang mengucapkan mantra dan menjalankan upacara tersebut. Pedanda brahmana terkejut, tapi ia dengan bijak menghampiri si pemangku dan berkata, “terus lanjut dan selesaikan upacaranya. Besok-besok kau bisa menyelesaikan upacara asal ‘upacara kecil’ bukan ‘upacara besar”.

Posisi antropolog lokal mungkin seperti sang pemangku dalam cerita di atas. Ia hanya bisa menyelesaikan “upacara kecil”. Itu pun semata-mata karena kehendak baik (affirmative action) antropolog luar yang mempunyai posisi hegemonik seorang pedanda. Antropolog lokal diizinkan menyelesaikan “upacara kecil”, seperti mencari data, membantu riset, mencerna kasus mikro dan lokal, sedangkan antropolog luar berhak menyelesaikan “upacara besar”, seperti meluncurkan “teori-teori besar”, menangani persoalan makro yang berkaitan dengan narasi besar, misalnya pola kiprah transnasional kapitalisme dunia, tatanan dunia baru, dan dampak kapitalisme dunia. Mereka berwenang atas teori, sementara antropolog lokal paling-paling hanya punya wewenang atas pengumpulan data.

Perbedaan pemangku dan pedanda secara tradisional di Bali juga ditentukan oleh faktor kemampuan berbahasa. Seorang pedanda biasanya sudah menguasai bahasa esoterik seperti Kawi dan Sansekerta untuk mengumandangkan mantra, sedangkan pemangku tidak menguasai bahasa-bahasa tersebut. Perumpamaan ini tidak jauh berbeda, di mana antropolog luar lahir dengan “bahasa negara kuat”, seperti Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis, sedangkan antropolog lokal hanya mahir berbahasa “negara lemah atau “bahasa dunia ketiga”. Posisi antara antropolog asing dengan antropolog lokal tidak seimbang akibat dilema “bahasa dan kuasa”, seperti halnya bahasa Sansekerta dan Kawi para raja jauh punya gaung kuasa daripada bahasa Bali sehari-hari. Atau, gaung mantra kuasa bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa dunia ketiga jauh lebih kuat. Dan, ini kemudian berpengaruh terhadap bentuk kompensasi upah buruh dari dolar ke rupiah.

Di mata orang Bali, antropolog lokal disambut penuh ambiguitas. Di satu sisi ada kebanggaan bahwa orang Bali sudah mampu mencapai ‘keahlian’ seperti orang Barat. Pengetahuan ini juga dianggap berguna untuk pembangunan, karena menurut para pejabat dan birokrat, Bali sebagai daerah pariwisata dengan “pariwisata budayanya” tentu membutuhkan spesialis kebudayaan. Antropolog Bali karena pengetahuan budaya yang dimilikinya dianggap patut menjadi “duta kebudayaan” untuk memajukan kebudayaan Bali.

Namun di sisi lain ketika antropolog lokal mencoba menyikapi dengan kritis perkembangan budaya Bali, dia akan dianggap pembelot dan tidak nasionalis. Bahkan, tak jarang pada pertemuan yang berskala internasional ada yang berkomentar sinis, “berapa kamu dibayar untuk menjelek-jelekkan kebudayaanmu?” Friksi dan intrik di kalangan antropolog lokal akan terlihat jelas pada saat diskusi dalam suatu seminar. Ketika seorang peserta mencoba mengkritik fenomena budaya Bali dan berpendapat bahwa budaya adalah alat represi dilihat dari pendekatan teori kritis, peserta lain akan menghantam dan menuduhnya sebagai orang yang sok barat dan pemuja teori asing. Ia dianggap berbahaya karena teori itu tidak cocok dengan usaha melindungi kebudayaan Bali yang ‘maha unik’ di dunia ini.

Lebih jauh lagi, datang tanggapan dari salah seorang peserta seminar, “Di Bali kita sudah banyak punya teori dan pengetahuan asli seperti Tri Hita Karana, sistem subak, sistem banjar yang dikagumi dunia. Dan tidak hanya itu, banyak pejabat World Bank di Washington sangat terkesan dengan pengetahuan dan teori asli Bali ini. Wisatawan pun berdatangan ke Bali justru untuk melihat bagaimana teori dan pengetahuan tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan kehebatan teori ini sudah teruji validitasnya karena terlihat dari para wisatawan yang terus banjir datang ke Bali.”

Kecurigaan terhadap kedekatan antara antropolog lokal dengan beberapa antropolog barat sering disindir dengan ucapan yang bernada miring oleh beberapa antropolog lokal yang berada pada garis keras ultra-konservatif. Ketika topik obrolan begitu hangat di tengah suasana istirahat minum kopi dalam suatu seminar antara antropolog lokal dengan beberapa antropolog asing, ada saja antropolog lokal yang nyeletuk, “dia hanya diajak untuk menguliti sedangkan sari buahnya (esensinya) akan diambil oleh antropolog asing”. Sikap sinis itu mungkin ada benarnya kalau antropologi itu sesederhana buah mangga. Bak benda konkrit, bisa diraba dan bisa dimiliki. Padahal, jelas bahwa ilmu bukan buah tapi kumpulan gagasan, cetusan ide, jaringan relasi, gugatan, debat dan sebuah wacana dengan segala fluiditasnya.

Bali sampai sekarang masih terus menarik perhatian antropolog luar dan termasuk generasi baru antropolog lokal. Dulu mereka datang ke Bali dengan motif dan agenda mereka masing-masing demikian juga sekarang. Bali bagi antropolog bukan hanya “object of knowledge” tapi juga sebuah representasi. “Representasi bikinan” sang antropolog ini mempunyai dampak nyata pada kehidupan orang sehari-hari, dan membatasi pilihan yang tersedia bagi orang untuk menjalani hidupnya.

DEGUNG SANTIKARMA, kandidat doktor antropologi Princeton University, AS yang bermukim di Denpasar, Bali

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 17: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Proyek Bank Dunia Mem-bali-kan Bali

Alit Ambara

“Kepada Bali Bank Dunia Meminta Maaf”, sebuah judul berita di Bali Post, 11 Juli 2000. Dinyatakan bahwa Bank Dunia menyadari kesalahannya karena selama ini lembaga itu hanya memperdulikan pembangunan fisik saja dalam proyek pengembangan industri pariwisata di Bali yang dibiayainya.

Permintaan maaf ini boleh dibilang terlambat sekali. Setelah ribuan hektar tanah rakyat diambil-alih untuk pendirian infrastruktur bertaraf internasional dan ratusan ribu anak petani yang tergusur dididik hanya untuk jadi pelayan turis, kata ‘maaf’ terdengar begitu murah dan kosong. Apalagi terdapat cukup bukti tertulis sejak 1970an yang memaparkan dampak negatif industri turisme baik bagi masyarakat pendukungnya, maupun bagi turisme itu sendiri. Jadi, kesalahan itu dibuat bukan atas dasar ketidaksengajaan atau ketidaktahuan seorang pemula. Permintaan maaf itu bisa jadi bagian dari rencana besar Bank Dunia memperpanjang masa kekuasaannya di Bali.

Keterlibatan Bank Dunia dalam pengembangan industri turisme internasional sudah dimulai paling tidak sejak 1961. Secara khusus institusi ini meminta seorang ekonom asal Swiss, Kurt Krapf, untuk melakukan analisis keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Hasil studi ini menyatakan bahwa turisme “sangat sesuai untuk memulai dan mempercepat pertumbuhan ekonomi” di negara-negara yang sedang berkembang. Yang akan menjadi modal utama industri ini adalah keindahan alam dan kebudayaan tradisional sang negeri penerima tamu, karena tanpa wisatawan asing “semua kekayaan ini akan terbengkalai, tak bisa dieksploitir, dan negeri yang bersangkutan akan kehilangan kesempatan membantu dirinya sendiri”.

Untuk melaksanakan rencananya Bank Dunia perlu bekerjasama dengan badan-badan dunia lainnya. Adalah dua badan PBB, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) dan Konperensi Dagang dan Pembangunan (UNCTAD), yang menekankan pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa kebudayaan dan ekonomi pariwisata saling menguntungkan tamu asing dan negeri penerima tamu. Kalau pihak pertama akan diperkaya oleh pengalaman kultural yang sangat berbeda dengan pengalaman di negerinya sendiri, pihak kedua akan disejahterakan dengan masuknya mata uang asing dan barang impor. Logika ini sesuai pula dengan semangat PBB sepanjang dekade 1960an untuk membangun “rasa saling pengertian, perdamaian dan kerjasama antar bangsa”. Bukan suatu kebetulan bahwa pada saat itu negeri-negeri bekas jajahan di jazirah Asia-Afrika bersekutu dan dengan lantang menolak intervensi negara-negara bekas penjajahnya ke dalam program pembangunan mereka.

Rencana besar Bank Dunia untuk mengintegrasikan Bali ke dalam industri turisme internasional memang tidak bisa terlaksana sampai awal 1970an. Ia harus menunggu sampai Presiden Soekarno yang sangat anti modal asing terjungkal lewat peristiwa 1965 dan pembersihan terhadap para pendukungnya dianggap selesai dalam waktu 5 tahun berikutnya. Begitu kekuatan diktator militer Orde Baru tampak mulai kokoh, pembangunan infrastruktur yang diperlukan dilaksanakan secara cepat dan besar-besaran. Dimulai dengan peresmian Bandara Internasional Ngurah Rai pada 1969, pendirian fasilitas pelayanan, terutama hotel dan restoran, berusaha mengimbangi serbuan wisatawan yang berlipat 20 kali dalam waktu 10 tahun.

Sesuai dengan master plan Bank Dunia, yang menjadi target utama pengembangan industri turisme ini adalah wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-Ubud – hanya sebagian kecil dari ujung Selatan Pulau Bali. Namun, seiring dengan pesatnya gerak modal yang berputar di wilayah tersebut, seluruh sel kehidupan masyarakat Bali dirangsang untuk mendukung kelangsungannya. Kalau di atas kertas rencana Bank Dunia memberi kesan rakyat Bali bisa memilih apa yang ingin mereka jual dan tidak, dalam kenyataannya pilihan itu berada di tangan pasar internasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan daerah, terutama dari ekspor, meningkat hampir 30 kali dalam waktu kurang dari 20 tahun. Akan tetapi, harga yang harus dibayar untuk ‘kemakmuran’ itu juga luar biasa besar. Misalnya saja, pada 1970an kopi dan ternak merupakan sumber penghasilan utama petani. Pada 1994, ekspor kopi hanya mencapai 1% dari total ekspor, sedangkan ternak sudah tidak diperhitungkan sama sekali. Sebagai gantinya orang Bali dikerahkan untuk menjahit baju dan membuat kerajinan tangan belaka.

Perubahan fisik secara kolosal ini dengan sendirinya berpengaruh bukan saja pada sumber daya alam dan lingkungan hidup, tetapi juga pada tatanan sosial-budaya masyarakat Bali. Gejala serupa ini tidak akan dianggap ancaman oleh industri lain, seperti pertambangan atau manufaktur. Tetapi, bagi industri turisme yang bergantung justru pada keindahan alam dan keunikan budaya ‘tradisional’, hancurnya pantai dan desa-desa, serta hilangnya keluguan orang lokal berarti berakhirnya industri itu sendiri. Dan, Bank Dunia bukannya tidak menyadari kontradiksi rencana awalnya sendiri. Walaupun demikian, seperti yang sudah terjadi dengan proyek-proyek Bank Dunia lainnya, institusi ini telah mempersiapkan perangkat P3K untuk mengobati luka-luka akibat industrialisasi di Bali.

Langkah terpenting yang dilakukan untuk memuluskan proyek pembangunan industri turisme adalah membuat orang Bali tidak merasa terganggu oleh perubahan dalam kehidupannya sehari-hari. Masyarakat Bali harus dibuat percaya bahwa keunggulan budaya mereka lah yang membuat orang asing tertarik mengunjungi negerinya, dan ini berarti keuntungan finansial bagi banyak orang. Perubahan yang mengikuti kehadiran para tamu ini sudah sepantasnya dilihat sebagai hal yang alamiah, konsekuensi logis bagi mereka yang menginginkan kehidupan yang lebih baik.

Maka, dipilihlah sejumlah ekspresi budaya yang awalnya hanya satu bagian dari keseluruhan ritual kehidupan sehari-hari menjadi komoditi. Kemudian, diseleksi pula beberapa bentuk kesenian yang dicerabut dari konteks kelahirannya, dipoles dengan warna yang lebih sesuai dengan selera turis, dan diberi label harga. Di luar paket-paket yang diproduksi secara massal ini, ada proyek pelestarian artefak-artefak budaya dan perawatan benda-benda peninggalan sejarah di museum. Sementara yang tidak lolos saringan diam-diam lenyap atau tersimpan di benak generasi masyarakat yang lebih tua.

Demikian proses internalisasi budaya turisme berlangsung secara intensif selama lebih dari 20 tahun. Ratusan kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk menunjangnya. Ini disambung dengan konperensi internasional, seminar akademik, dan ulasan para ahli di media massa. Kalaupun ada kritik atau letupan-letupan yang sedikit saja mengguncang kelangsungan proses ini, segera ditanggapi dengan lontaran, “Itu pasti bukan orang Bali yang melakukannya”. Masyarakat umum pun percaya bahwa sampai orang “Jawa” datang tidak ada gelandangan dan pencuri di Bali.

Di penghujung abad ke 20 apa yang disebut “ekses negatif turisme” semakin tampak jelas sampai taraf mengganggu kenyamanan wisatawan itu sendiri. Meskipun beberapa analis masih bertahan dengan argumennya bahwa pendapatan dari turisme telah meningkatkan rasa percaya diri orang Bali terhadap tradisinya, bahkan mendorong “renaisans kultural”, kenyataan menunjukkan gejala dekadensi kebudayaan yang cukup parah. Ancaman yang semula dianggap rekaan di atas kertas belaka menjadi persoalan riil. Upaya sporadis mempromosikan bentuk-bentuk turisme alternatif, seperti ekoturisme, tak kan mampu berpacu dengan degradasi lingkungan hidup di pulau surgawi ini.

Bank Dunia kembali meluncurkan rancangan pembangunan Bali yang diberi judul “Kebijakan dan Strategi untuk Konservasi Warisan Budaya Bali” pada April 2000. Dalam proposal ini dinyatakan bahwa ada nilai-nilai dasar dalam kebudayaan Bali yang membuatnya mampu bertahan menghadapi “serangan” dari luar selama berabad-abad lamanya, yaitu adanya hubungan yang kompleks antara struktur masyarakat, pertanian, agama dan tatanan sosial dengan agama Hindu sebagai pusatnya. Bali adalah gambaran “hubungan yang harmonis antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam”. Akan tetapi, ketika hubungan-hubungan ini berubah, kebudayaan Bali pun akan hancur. Padahal, dari kebudayaan inilah perekonomian Bali dibangun. Jalan keluarnya kemudian adalah mendorong preservasi dan promosi warisan budaya Bali yang digarap dengan sistem, proses dan sumber daya manusia yang benar.

Kehidupan masyarakat Bali yang berlangsung selama ini diyakini tak terlepas dari warisan budaya. Ibarat sebuah waduk besar tempat orang Bali menemukan jati dirinya, ia perlu dijaga dari perubahan yang bergerak cepat, tanpa mengurangi akses bagi masyarakat supaya mereka bisa hidup lebih layak. “Jelaslah, bahwa perubahan budaya itu tak dapat dipungkiri dan pertumbuhan ekonomi itu penting adanya. Agar masyarakat Bali tetap kuat, kohesif dan harmonis, maka mengatur perubahan ini sangat penting”, demikian papar Bank Dunia.

Bagaimana cara Bank Dunia “mengatur perubahan” dalam kebudayaan Bali? Memperkuat identitas kebalian, melestarikan dan mengembangkan warisan budaya Bali, menganut konsep kesatuan sosial melalui keragaman budaya, mendukung kemajuan peradaban Bali, memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaannya, memusatkan sumberdaya dan keahlian untuk mendampingi konservasi segala bentuk warisan budaya Bali, mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang peka terhadap peluang dan hambatan kebudayaan Bali, serta mempromosikan kebudayaan Bali sebagai sesuatu yang berbeda tapi merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia dan Dunia. Pendeknya, masyarakat Bali harus “diBalikan” kembali.

Pertanyaannya kemudian apakah tawaran yang diajukan Bank Dunia tersebut akan menjawab permasalahan sosial yang muncul akibat industrialisasi Bali? Apakah permasalahan-permasalahan mendasar, seperti kerusakan lingkungan, urbanisasi massal, atau ketimpangan distribusi pendapatan, yang diakui sendiri oleh Bank Dunia, dapat diselesaikan dengan “menegaskan rasa percaya diri dan identitas rakyat”? Setelah eksploitasi besar-besaran terhadap kebudayaan Bali di bawah rejim Orde Baru, setelah orang Bali sendiri mungkin tidak persis tahu mana kebudayaan yang ‘asli’ dan yang untuk dijual ke turis, “kebudayaan” apa yang akan dilestarikan? Untuk melihat proposal tersebut dengan kritis, agaknya perlu kita tinjau ke belakang upaya-upaya yang pernah dilakukan penguasa kolonial dalam mendefinisikan kebudayaan Bali.

Pelestarian Budaya ala Penguasa Kolonial Belanda

Upaya pelestarian budaya yang didengungkan di Bali akhir-akhir ini bukanlah barang baru. Semenjak tentara Kerajaan Belanda berhasil menaklukkan “pulau surga terakhir” ini pada awal abad ke-20 dan mengokohkan kekuasaannya, pemerintah kolonial sudah melihat bahwa budaya Bali yang unik dan gambaran Bali sebagai “pulau surga” adalah modal yang dapat dieksploitasi untuk menaikkan pendapatan pemerintah. Berkat bantuan para orientalis, Bali dikenal sebagai “museum hidup” dengan agama Hindu sebagai “pusat seluruh aktifitas masyarakatnya, penjaga kesatuan budayanya, dan sumber inspirasi bagi karya seninya.” Tanpa perlu terlalu paham bagaimana masyarakat sebenarnya hidup, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Bali sebagai sebuah tempat suci yang memiliki keunikan dan harus dijaga kelestariannya dari pengaruh luar dan modernitas.

Pada 1915 didirikan Bali Instituut yang bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial terhadap Bali. Salah satu kebijakan yang terpenting adalah sosialisasi ide “Bali otentik” kepada masyarakatnya melalui pengajaran, atau yang lebih dikenal sebagai Baliseering (Balinisasi Bali). Sejak 1920 dimulailah pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisional di kalangan kaum muda Bali supaya mereka sadar akan kekayaan budayanya. Usaha mulia ini tentu bukannya tanpa alasan politis. Pemerintah Belanda berkepentingan untuk meredam penyebaran agama Islam dan gerakan pembebasan nasional yang mulai bangkit di Jawa dan Sumatra. Dengan menggandeng kaum ningrat Bali sebagai alat untuk “menghindukan” Bali dan sokoguru aturan tradisional Bali, Belanda telah menggunakan tameng yang tepat.

Penguasa kolonial kemudian menciptakan sistem “kasta” dan melegalisasi sifat hirarkisnya untuk menjamin kesetiaan kaum ningrat Bali. Pemerintah tak lupa pula memperbaiki istana dan rumah para pemimpin agama dan menempatkan para bekas raja dalam birokrasi pemerintahan. Melalui penciptaan kelas ningrat Bali yang berpendidikan Barat untuk ditempatkan sebagai pamong praja, Belanda menemukan cara yang jitu untuk meredam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial.

Penggunaan sentimen budaya untuk melanggengkan kekuasaannya sebenarnya merupakan bagian dari Politik Etis Belanda. Kini kolonialisme bukan semata-mata penjajahan atas dasar keinginan untuk meluaskan wilayah, tetapi lebih bertujuan menyelamatkan bangsa jajahan dari keterbelakangan. Ia tampil dengan wajah yang lebih manis dan bersahabat agar proyek eksploitasi bisa berjalan tanpa gangguan yang berarti. Seperti disinggung di atas, Bali dan kebudayaannya perlu dirawat dan dilindungi dari pengaruh luar, apakah itu Islamisasi, Kristenisasi, atau modernisasi, supaya ia mudah dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin potensinya. Dengan gambaran seperti itu masyarakat Bali akan selalu curiga akan pengaruh luar dan segala apa yang buruk kemudian terjadi adalah karena faktor luar Bali.

Upaya “mengerangkeng” Bali ternyata tak sepenuhnya berhasil. Semangat jaman yang merasuki kaum muda di Jawa menjalar ke pulau-pulau seberangnya, termasuk Bali, justru lewat salah satu program Politik Etis, yaitu pendidikan. Ketika kaum muda terdidik Jawa mulai bergerak menentang feodalisme dan kolonialisme, keinginan mengubah sistem masyarakat yang hirarkis pun tumbuh di Pulau Dewata.

Tepatnya pada 1925, I Nengah Metra, seorang guru dari kalangan biasa yang mendapatkan kesempatan bersekolah di Jawa kembali ke Bali dan mendirikan kelompok radikal Surya Kanta. Kelompok ini bertujuan “memperjuangkan kesamaan hak antara kaum berkasta rendah dan kaum bangsawan”. Melalui majalah dengan nama yang sama, Metra menuliskan gagasannya yang menolak bahwa “kasta” seseorang diperoleh karena keturunan dan merupakan identitas utama orang Bali. Ia juga mengusulkan penyederhanaan dan rasionalisasi upacara-upacara keagamaan yang ada, seperti ngaben atau kremasi jenazah, karena biayanya begitu tinggi.

Tidak terlalu mengherankan bahwa gagasan Metra serta merta ditentang para pemilik kasta tinggi yang memperoleh keuntungan dari status sosial tersebut. Lebih jauh lagi, pemerintah kolonial melihat bahwa perjuangan untuk kesetaraan hak yang dilancarkan Metra adalah upaya pemberontakan yang tidak hanya mengganggu pola perhubungan antar orang Bali, tapi juga membahayakan kekuasaan kolonial. Gugatan terhadap sistem kasta dan tradisi dianggap sama dengan sabotase terhadap proyek “pengkeramatan” budaya Bali untuk diperdagangkan.

Proyek kolonial “membalikan Bali” mendapatkan legitimasi cukup kuat dari kalangan antropolog dan seniman internasional. Dengan dalih menyelamatkan Bali dari pengaruh buruk modernisasi dan mengarahkan masyarakatnya supaya bisa menjaga “keaslian” budaya Bali, kaum intelektual dan seniman dari Eropa dan Amerika mendirikan berbagai institusi pelestarian budaya dan pengembangan kesenian Bali. Bahwa yang berkembang selama periode 1930an kemudian konsep kesenian adiluhung ala borjuis Eropa tak bisa dihindarkan. Bali dengan segera dikenal sebagai “surga di bumi”, tempat jiwa yang sakit akibat industrialisasi bisa disembuhkan.

Penguasa Baru, Kontrak Baru

Upaya menginternasionalkan Bali sesuai dengan ide borjuis Eropa agak terganggu sejak masuknya Jepang dan bangkitnya gerakan pemuda nasionalis pada periode 1940an. Setelah republik ini diproklamirkan, pemerintahan Soekarno berencana menghidupkan kembali turisme di Bali. Namun ketegangan politik antara gerakan nasionalis kerakyatan dengan golongan pendukung modal asing membuat rencana ini tersendat-sendat. Puncak ketegangan yang secara resmi disebut Peristiwa G30S/PKI 1965 kemudian sama sekali menghentikannya, tetapi juga sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya untuk penguasa kolonial dengan wajah baru.

Dengan dana melimpah tak sulit Bank Dunia mempekerjakan rejim Orde Baru sebagai pelaksana rencana-rencananya mengeksploitasi sumber daya alam Bali. Yang mungkin tidak diperkirakan adalah kenyataan bahwa rejim yang dikendalikan sekumpulan mafioso bersenjata ini tak punya konsep kebudayaan pencerahan, apalagi pembebasan, sama sekali. Dari segi ekonomi pun, rejim parasit ini sekedar menjalankan strategi dagang makelar yang hanya menerima pesanan tanpa tahu bagaimana sesungguhnya kapital bisa berkembang-biak. Bali di bawah rejim Orde Baru tak lebih dari sapi perahan yang tidak dipelihara. Toh, Bank Dunia membiarkan praktek pemerasan ini berlanjut sampai gerombolan pencoleng ini menyatakan tak bisa bayar hutang!

“Sapi perahan” itu sedang sakit-sakitan dan nilai ekonominya semakin berkurang. Wisatawan asing yang konon sakit jiwanya tidak akan mau mengeluarkan uang jika tidak terjamin ketenangan dan kenyamanannya. Padahal hutang harus dibayar dan ini tidak bisa ditunda. Bali harus disembuhkan supaya kelangsungan perputaran modal internasional tidak terhenti dan pembayaran hutang sampai ke tingkat nasional dapat ditepati. Proyek penyembuhan inilah yang kemudian dituangkan dalam proposal “Kebijakan dan Strategi untuk Pelestarian Warisan Budaya Bali” – kontrak baru yang akan menjerat Bali untuk sekian dekade yang akan datang.

Kalau kita perhatikan secara seksama proposal Bank Dunia 2000 merupakan bagian dari paket penyesuaian struktural di bidang kebudayaan yang disodorkan oleh IMF dan lembaga keuangan internasional lainnya. Bali menjadi sasaran utama, dan juga model ideal bagi daerah lain di Indonesia, karena masyarakatnya telah begitu patuh dan terlatih dalam melayani para wisatawan pembawa dolar. Selain itu, karena 60% penduduknya secara langsung maupun tidak bekerja untuk industri turisme, dengan pengelolaan yang lebih baik, hampir dapat dipastikan pembayaran hutang melalui perolehan pajak akan lancar. Proyek konservasi warisan budaya ini sebenarnya serupa dengan proyek kolonial Belanda, Baliseering. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya di tingkat teknis pelaksanaan, bukan dalam semangat. Kebudayaan Bali perlu dirasionalisasi agar tercapai standardisasi industri turisme yang bisa secara sistematis menghasilkan akumulasi modal. Dari rencana aksi strategisnya tampak bahwa yang diutamakan proyek ini adalah institusionalisasi kegiatan-kegiatan masyarakat yang nantinya bisa dijual kepada wisatawan asing. Mulai dari pengajaran ilmu permuseuman di universitas, pendidikan pelestarian budaya bagi anak-anak, renovasi situs-situs bersejarah sampai penguatan desa-desa adat akhirnya bertemu di kepentingan meningkatkan nilai jual budaya Bali.

Masalahnya kemudian keputusan tentang budaya apa yang dianggap penting untuk dilestarikan tidak ada di tangan masyarakat Bali sendiri, tapi pada Bank Dunia. Berarti akan terjadi proses seleksi sistematis terhadap setiap ekspresi budaya yang muncul, bahkan pemusnahan terhadap yang dianggap menyimpang dari rencana Bank Dunia. Misalnya, dalam proposal tersebut diakui bahwa kebudayaan Bali bisa bertahan sekian lama antara lain karena masyarakat tradisional berperan dalam pelestariannya. Pada saat yang sama, dibuat rencana mendidik komunitas desa agar mampu merawat dan melestarikan artefak-artefak budayanya. Ini menunjukkan bahwa Bank Dunia bukannya tidak tahu masyarakat Bali mampu menjaga habitatnya, tetapi lebih ingin memastikan bahwa pekerjaan itu sejalan dengan rencana-rencananya.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya terlihat dalam rencana institusionalisasi agama Hindu melalui pendirian desa-desa adat. Sejak Bali dibuka sebagai wilayah internasional penduduknya menjadi sangat beragam, baik dari segi ras, etnis, maupun agama. Upaya menghindukan Bali dengan sendirinya akan mengasingkan mereka yang tidak beragama Hindu, dan yang lebih membahayakan lagi, mempertebal prasangka terhadap kelompok lain yang tidak mendukung proyek ini. Gejala ini sudah mulai muncul dan menjadi bibit pertikaian di banyak kalangan. Padahal, dalam sejarahnya agama Hindu di Bali bersifat sangat terbuka terhadap interpretasi dan tidak mempersoalkan ketepatan tata cara menurut kitab suci seperti halnya agama-agama Samawi.

Tentu saja masalah-masalah di atas bukan persoalan penting bagi Bank Dunia. Selalu akan ada perangkat P3K baru untuk mengobati luka-luka di sana-sini. Yang penting usaha mempertahankan Bali sebagai barang antik dalam hubungan produksi kapitalis bisa berjalan. Bahwa barang antik itu sebenarnya fabrikasi kolonial, bukan soal karena wisatawan tidak akan mau peduli juga dengan kompleksitas proses produksi yang melahirkan suatu komoditi. Lebih jauh lagi, selama Bank Dunia bisa terlibat penuh dalam penataan dan pengendalian hubungan produksi industri pariwisata demi perkembang-biakan modal, gangguan-gangguan yang mungkin timbul akan dibebankan kembali pada masyarakat Bali.

Jelas yang paling dirugikan dalam seluruh proyek ini masyarakat Bali sendiri, terutama mereka yang banting tulang mempertahankan struktur ini dengan imbalan seadanya. Sekali lagi mereka dipisahkan dari penguasaan produksi kebudayaannya, dan sekarang mereka dihadapkan pada perangkat-perangkat hukum yang dinyatakan sebagai miliknya sendiri. Perangkat formal yang seharusnya berfungsi melindungi mereka dari kehancuran, seperti kantor dinas kebudayaan, DPRD, bahkan pemerintahan desa, telah dimasukkan pula dalam panitia pelaksana rencana ini. Kalau dinas kebudayaan menjadi mandor yang mengarahkan proses seleksi ekspresi budaya, DPRD bertanggung jawab menciptakan perundang-undangan yang melegalkan kegiatan budaya masyarakat, sedangkan pemerintahan desa menjadi pengawas harian atau polisi budaya masyarakat. Bukan tidak mungkin suatu saat orang Bali bisa dianggap kriminal karena mencoba mengekspresikan aspirasinya dengan cara yang “tidak Bali”.

ALIT AMBARA, ilustrator dan pengelola diskusibulanpurnama. [Dbp.]

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 18: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Cerita Pendek adalah bagian kedua dari dua bagian tulisan. Bagian pertama: Ketika Semagat Mulai Bergelora

BADAI BERGOLAK

Rani Lukita

Malam tiba. Bintang-bintang gemilang jadi obyek pertama tatapan mataku. Pikiranku melayang tanpa tujuan, bertanya apakah Anna jadi salah satu dari bintang-bintang itu, tak hiraukan aku; tak hiraukan manusia lain yang ada di muka bumi ini. Aku seperti ember yang sarat dengan pilinan dan putaran rasa. Aku tak bisa bedakan rasa satu dan lainnya. Semua hanya ada di sana, bercampur-baur dan membingungkan, saling belit satu sama lain. Sedikit saja disentuh, ember ini akan terguling, dan seluruh isinya akan lenyap untuk selamanya .... "Tidak! Aku tak akan biarkan kematian Anna hancurkan niatku melawan Belanda yang kejam dan tak berperasaan itu!," aku menjerit.

Aku bangkit dari tempat tidurku, menapakkan sebelah kakiku di depan sebelah yang lain dengan tegak. Aku dengar ayah sedang mempersiapkan diri untuk berperjalanan ke Saparua. Kemudian aku teringat rencana yang rumit untuk menduduki Benteng Duurstede. Aku melompat menuju ke lemari baju ayah dan mengambil senapannya. Aku raih pula segenggam peluru, memasukkan butir-butir mungil mematikan itu satu per satu ke dalam senapan. Lalu, aku melesat menuju perahu ayah dan naik ke dalamnya. Tak seorang pun berkomentar. Tak seorang pun berkata apa-apa. Mereka tahu aku harus melepaskan kemarahanku, bahwa aku berjuang untuk kebebasan kami. Dan, dengan itu, kami melepas sauh, pada tigabelas Mei 1817, menuju Saparua.

***

Perahu kami meluncur cepat membelah samudera. Setiap detik kami bergerak mendekati pantai, dan juga, dini hari. Ayah mendesak kami supaya lebih cepat, dan kami mendayung lebih cepat lagi. Sudah pagi ketika kami mendarat di pantai Saparua. Segera kami bergabung dengan pasukan Kapitan Pattimura. Tak ada waktu untuk basa-basi; semua tahu kami di tempat ini untuk satu misi yang penting: membebaskan diri kami dari kolonialisme. Kami menghabiskan sepanjang hari menekuni peta demi peta dan membahas lewat mana kami akan menyerang Benteng Duurstede. Akhirnya, diputuskanlah bahwa malam itu juga, pada 14 Mei 1817, kami akan mulai berusaha menguasai Benteng Duurstede.

Aku merangkak diam-diam di sisi ayahku. Mataku tajam menyoroti satu benda ke benda lainnya, sementara tanganku menghunus belati, siap menusuk apa pun yang bergerak. Aku sentuh pula bayonet yang kusisipkan di sabukku. Bintang-bintang berkelip di atas, melihat kami dengan penuh kekhawatiran. Anna melintas kembali di pikiranku, tak kuasa aku kebaskan dia dari kenanganku. Tiba-tiba aku mendengar perintah untuk maju dan mulai menyerang. Dalam sekejap aku dan ayah melompat menyeberangi dataran rumput, berteriak dengan seluruh nafas di dada. Kami menyergap sekelompok prajurit Belanda tanpa diduga-duga, dan menikam mereka dengan bayonet. Aku arahkan senapanku ke serdadu lainnya, dan dengan terampil menarik pelatuk, tembuskan sebutir peluru ke perutnya. Aku memandang dengan tenang ketika kehidupan tinggalkan matanya, dan ia mengerang jatuh ke tanah. Beberapa anggota pasukan kami sudah berada di dalam benteng, dan timbul kekacauan diantara serdadu Belanda. Seseorang menyalakan api di rerumputan dan api segera menjilat dinding Duurstede. Makian panik dan teriakan kesakitan para serdadu Belanda menambah suasana kekacauan, dan itu semakin membakar semangatku. Aku melesat maju, menikamkan bayonetku ke sana kemari, melepaskan beberapa peluru lagi diantaranya. Mayat-mayat bergelimpangan, dan rumput terasa begitu kasar oleh kaki telanjangku. Aku sempat melihat seorang lelaki masih berpiyama melindungi istri dan kedua anaknya. Mungkin dialah yang disebut Residen van Berg? Tak soal. Ia pun ditembak dan jatuh ke bumi, mati.

***

Aku tak ingat lagi kapan aku pernah merasa begitu bersemangat dan malu pada saat bersamaan. Sudah tiga hari sejak kami datang ke Benteng Duurstede, dan kami berhasil merebutnya dari tangan Belanda. Kami telah membantai seluruh penghuninya, dan tak seorang Belanda pun terlihat. Begitu banyak orang mati di tanganku saja. Karena itu aku bingung apakah aku harus bergembira, atau menyesal. Sekali lagi aku merasakan getaran emosi merayapi seluruh tubuhku, aku menggigil tak terkendali. Apakah ini yang harus kami lalui untuk memperoleh kembali kebebasan kami? Banyak prajurit kami melompat-lompat dan menari kegirangan. Beberapa membersihkan belati dan bayonet mereka. Mereka pun bersimbah darah. Mataku membelalak melihat mereka, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku pun bersimbah darah.

***

Kami sekarang berkawan baik dengan pasukan Pattimura, mereka seperti saudara kami saja. Setelah menaklukkan Duurstede, kami berpisah dengan Pattimura. Kami bersiap menyerang Benteng Beverdijk, tak jauh dari Duurstede. Tak perlu waktu lama untuk taklukkan benteng kedua ini setelah membantai seluruh prajurit Belanda di sana. Belanda belum juga menyerah. Mereka luncurkan kapal mereka, de Zwalluw, untuk menyerang kami, tapi setiap usaha mereka gagal. Semuanya berjalan lancar, sampai seorang guru misterius bernama Sosalisa muncul di benteng kami.

Sosalisa orang biasa saja. Dengan hidung pesek, kumis tebal, kemeja dan celana yang bersih, dia tampak terlalu biasa sebagai kriminal. Namun ada sesuatu yang mencurigakan dalam cara dia berjalan, nada panik ketika dia bicara, dan cara dia menatap masing-masing wajah kami dengan penuh selidik. Ia seakan-akan menyebarkan suasana keramahan yang berlebihan, dan aku tak pernah sanggup menjelaskan dengan tepat apa yang aku rasa salah tentang dirinya.

Penjaga-penjaga kami memperbolehkan Sosalisa masuk setelah bertemu selama beberapa menit saja. Mereka pikir ia hanyalah seorang guru biasa yang ingin berlindung di tempat kami semalam saja. Betapa cerobohnya mereka ini! Kegiatan Sosalisa ternyata sangat merusak dan membawa malapetaka bagi kami semua. Ia didekati oleh Belanda. Kemudian, ia menyatakan pada Belanda, bahwa atas nama seluruh raja-raja Maluku, kami ingin adakan gencatan senjata. Sosalisa tak hiraukan protes kami, dan sudah terlambat untuk cegah apa pun. Pada 10 November 1817 pasukan Belanda membanjiri benteng kami. Beberapa dari kami mencoba menyelinap keluar, tetapi sergapan itu begitu tiba-tiba sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menangkap kami semua. Kami dibawa ke pengadilan dan hanya sedikit dari kami bebas dari hukuman mati. Ayahku pun tidak.

***

Jari jemariku mencengkeram tembok, mencoba memperlambat kejatuhanku. Aku jatuh berdebam ke bumi, tahankan punggungku yang sakit. Aku dan sekelompok prajuritku berhasil menyelinap diam-diam di kegelapan malam. Aku bisa menghitung jumlah prajurit yang tersisa dengan jari tanganku. Tinggal sedikit sekali dari kami yang masih bebas. Ayahku baru saja digantung kemarin, dan aku enggan mengenang kematiannya. Akan kubawa gerak kepahlawanannya sepanjang hidupku. Karena itu aku berhasil melarikan diri dari cengkeraman tangan Belanda.

Kami bergerak semakin jauh ke pedalaman hutan, sambil abaikan semak berduri yang menggores dan membuat kaki-kaki kami berdarah. Aku kencangkan sabuk merah setiaku di pinggang. Tanganku mengepal begitu erat sampai kuku jemariku tenggelam dalam kulit telapaknya. Aku tak sanggup hentikan airmataku, yang mengalir pelahan dengan bulir-bulir besar. Aku terjatuh berlutut di atas tanah berbatu-batu tajam. Kenangan akan ayah dan aku terus banjiri otakku; tentang dia dan aku berenang di laut sambil dia peluk Anna; tentang dia mengajarku ketrampilan berperang di pekarangan belakang rumah; tentang senyum sempurnanya setelah memenangkan pertempuran dengan Belanda; tentang kerja kerasnya sepanjang hari untuk ibu dan aku. Bagaimana mungkin mereka mengambil dia begitu saja dan menggantungnya hanya dalam waktu seminggu? Kami masih harus perangi bersama lebih banyak pertempuran. Kami berencana melempar Belanda keluar dari negeri kami yang cantik mempesona ini! Betapa beraninya mereka....

Aku rasakan sentuhan menenangkan di pundakku. Salah satu temanku. Ia memandangku dengan mata yang keras dan dingin. Aku tahu bahwa ia pun dilumuri kesedihan. Ia hanya tak mau menunjukkannya. "Martha, ingat. Semuanya sekarang bergantung pada kita untuk melanjutkan peperangan melawan Belanda. Kita tak bisa menyerah sekarang," ia bergumam sambil membantuku berdiri pelahan-lahan. "Ya, aku tahu". Dan, dengan ucapan itu aku lepas sabuk merahku dan memakainya untuk mengikat rambut panjang kasarku, di seputar dahiku. Aku genggam bayonetku erat-erat dan biarkan darah menetes lebih banyak karena ketajamannya. "Ayo! Maju terus pantang mundur!" aku berteriak nyaring. Kami bergerak lagi ke dalam hutan dan mengumpulkan lebih banyak prajurit yang berontak.

***

Aku terengah-engah. Salah satu mata-mata kami tertangkap ketika ia sedang mencoba menyusup ke salah satu desa yang sedang kami amati untuk menambah jumlah prajurit. Kami baru mencoba cara ini selama kurang dari seminggu; kami bahkan hanya miliki tidak lebih dari 50 orang dalam pasukan. Begitulah, kami sekarang benar-benar sedang berlari untuk hidup kami. Tanpa peringatan, ada sosok raksasa muncul di hadapanku, dan mencabut cabang pohon besar dengan tangannya yang kekar berbulu. Yang aku tahu kemudian hanyalah semburat merah yang mengaburkan pandanganku, kemana pun mataku mengarah; lalu .. kegelapan.

***

Aku terbangun di ruangan yang pengap, penuh sesak dengan orang yang mengerang kesakitan. Terus, tampak olehku bahwa kedua belah tangan dan kakiku diikat kuat dengan tali yang mengiris dalam kulitku. Darah yang keluar dari jari-jemariku bercampur dengan darah yang mengalir di sepanjang lantai kayu. Aku berhasil jernihkan pandanganku, dan saksikan seorang lelaki, memuntahkan darah dari mulutnya. Pintu di ujung lain ruangan terbuka, biarkan sebersit sinar matahari menyelinap. Aku bisa melihat sesuatu yang begitu besar dan luas, dan .. biru .. di luar sana. Di mana aku? Di mana aku? Otakku hanya bisa mengulang-ulang tiga kata itu. Aku merasa lemah oleh kelelahan, aku belum makan selama ... selama, entahlah aku tah tahu berapa lama, tapi aku tahu aku perlu makan. Sulit buat aku bernafas, kerongkonganku serasa tersumbat. Dua orang lelaki berpakaian ... seragam Belanda, berjalan dengan angkuhnya mendekati aku yang pelahan tercekik hampir mati. Mereka tarik lenganku dan menyeret aku keluar. Aku pingsan.

***

Aku tersedak. Air es menetes dari rambutku yang tak beraturan. Aku hanya menatap tetesan air jatuh satu-satu ke lantai kayu yang kupijak. Lengan dan kakiku diikat ke dua tonggak dan aku dibiarkan menggelantung dari pergelangan kaki-tanganku. Di mana aku?, aku ulangi pertanyaan yang sama diam-diam. Tanpa kuduga, aku merasa sesuatu yang keras dipukulkan ke punggungku. Aku baru menyadari bahwa aku ditelanjangi dari bahu sampai ke pinggangku. Benda keras itu makin kencang memukul punggungku, dan sakitnya tak tertahankan. Toh, aku tak keluarkan suara sedikit pun. Kulakukan satu-satunya yang bisa aku lakukan: aku gigit lidahku dan coba kendalikan nafasku. Aku angkat kepalaku sejenak, hanya untuk tertunduk kembali oleh sabetan benda keras bergerigi itu. Aku rasakan sesuatu yang hangat mengalir pelan di punggung, leher dan kedua belah kakiku. Ketika aku melihat genangan darah yang berkumpul di bawahku, aku tahu aku mengalami pendarahan yang mengerikan.

***

"Nah! Sekarang apa yang mau kau perbuat, Martha Christina Tiahahu!?!", teriak lelaki yang memukuliku dengan � sekarang aku tahu � sepotong kayu tajam. Ia bicara dengan nada mengejek dan suatu dosa untuk menjawabnya. Kendati demikian, aku tersenyum saksikan ironi yang terjadi, tapi itu cuma sebentar. Ia pukul aku tanpa ampun, lagi dan lagi.

***

"Masih ada lagi dari kalian yang berkeliaran di luar sana?", ia meraung sambil paksa kepalaku tunduk. Ia pasti sudah menyuruh temannya yang menunggu dengan sabar di ambang pintu dengan ember di tangannya karena temannya mendekat dan meletakkan ember itu di bawah kepalaku. "Tak mau jawab aku, kan? Aku pastikan kamu akan menjawab!" Dengan gertakan itu, ia tenggelamkan kepalaku ke ember penuh air, dan menahannya di sana. Aku meronta sekuat tenaga yang tersisa, tapi itu tak cukup, aku terlalu lemah. Ia lepaskan kepalaku, dan aku bisa hirup sedikit udara, tetap tak bicara.

"Baiklah," ia berjalan mengelilingi aku dengan tangan terlipat di balik punggungnya. Aku ludahi sepatu botnya yang bersih mengkilat. "Oh, gadis yang kuat kamu ya?" ia berhenti sejenak. "Baiklah. Mungkin kita memang harus pakai cara keras". Ia panggil lelaki lain yang berpakaian kotor, penuh keringat dari kepala sampai kaki. Ia mengambil lilin dan menyalakannya dengan korek api. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan", ia bergumam. Aku rasakan tangannya menarik rok bawahku, kemudian ia jatuhkan lilin yang menyala itu dengan ragu-ragu ke rok ku. Aku menggeretak gigiku. Api segera melalap rokku, dan menyengat kulit ku yang lelah. Aku tak tahan lagi dan berteriak kesakitan. "Stop!" ujar si lelaki tanpa perlihatkan perasaan apa-apa. Air dingin disiramkan ke tubuhku dan aku lunglai lega. "Sekarang katakan, apakah masih ada pasukanmu yang tersisa di luar sana?" ia mengulang pertanyaannya dengan ketenangan yang terkendali. Aku pejamkan mataku kuat-kuat. Ia tak akan dapatkan kenikmatan dari mendengarkan suaraku. Ia mengambil napas panjang, menampar mukaku dengan kayu. Aku menyeringai kesakitan. "Bagus... Bebaskan dia ... ". Aku rasakan letupan kegembiraan dalam hati ketika aku diseret kembali ke ruangan pengap tempat aku berasal.

***

Acara siksaan itu berlangsung berhari-hari. Aku menolak makanan apa pun. Aku berbalik ketika mereka paksakan obat masuk ke kerongkonganku. Aku tak bisa berhenti berpikir tentang ayah, Anna dan ibu. Mereka hadir dalam mimpi-mimpiku, dan mereka berenang di laut setiap kali aku melihat ke luar jendela. Senyum mereka begitu penuh kebahagiaan. Kadang-kadang aku ingin menggapai mereka dan bergabung dalam kegembiraannya, tapi kemudian aku ingat mereka telah mati. Sepertinya tak ada lagi harapan tersisa dalam hatiku. Pelan-pelan aku akan mati kelaparan. Aku tak punya kekuatan lagi untuk membuka mataku, apalagi berbicara. Namun, aku tak bisa berhenti berpikir. Bayangan tentang Benteng Duurstede, tentang tubuh-tubuh yang bergelimpangan di halaman rumput, yang tak lagi hijau, tapi merah, melintas di benakku. Aku hanya bisa memandang tahanan lain dengan tatapan kosong. Mereka pun kawan-kawanku, tapi aku menolak bicara dengan mereka. Aku tak lontarkan satu kata pun di depan siapa pun. Aku hanya bicara pada ayah dan Anna dalam mimpi-mimpiku.

Aku tahu akhir dari semua ini akan datang segera ketika aku terbangun tadi malam. Aku tak bisa rasakan apa-apa lagi. Dan, meskipun aku berusaha keras untuk paling tidak membiarkan mataku terbuka, aku tak mampu. Kegelapan muncul menghilang. Aku tak bisa menahannya lagi. Saat itu, aku tak ingin mati. Aku berpikir tentang ayah, ibu dan Anna. Aku berpikir tentang langit biru dan awan berarak, aku berpikir tentang masa depan pulauku. Tapi, kemudian aku lihat mata lembut ayah tersenyum padaku, dan tiba-tiba aku merasa diselimuti kehangatan yang luar biasa. Dengan itu, aku tarik napas panjang; dan biarkan dia pergi.

Martha Christina Tiahahu bertahan dalam sekian sesi penyiksaan di atas kapal yang penjarakan dia. Dia dibuang dari Kepulauan Maluku dan dikirim ke Jawa dimana ia dipaksa bekerja di perkebunan kopi. Di antara larut malam 1 Januari dan dini hari 2 Januari 1818, ia hembuskan nafasnya yang terakhir. Abu jenazahnya ditaburkan di laut tenang antara Pulau Buru dan Pulau Tiga.

Rani Lukita, masih berusia 12 tahun ketika ia mulai meneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalam bahasa inggris sebagai tugas sekolah di SMP Pelita Harapan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 19: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

EDITORIAL Edisi No 06 Tahun 2001

Krisis politik yang terus berlanjut, akhirnya diselesaikan dengan Sidang Istimewa MPR dan menggusur Abdurachman Wahid sebagai Presiden. Namun konflik kekerasan yang bersifat vertikal tidak pernah diselesaikan apakah itu kasus Semanggi, Sampit dan Aceh. Seolah-olah para anggota DPR melihat fenomena kejahatan kemanusiaan itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Untuk itulah, Media Kerja Budaya edisi no.6 menurunkan pembahasan pokok bagaimana seharusnya kita bisa hidup bersama, bukan berarti kita harus hidup tanpa perdebatan untuk masadepan kehidupan rakyat. Yang terpenting dalam mencapai hidup berdampingan bersama ini, kehidupan warganegara harus dijamin oleh konstitusi, entah rakyat mendapatkan hak untuk bekerja, hak mendapatkan pendidikan dan hak untuk mengorganisir dirinya untuk menjadi mandiri. Yang selama ini tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perkembangan masyarakat, sehingga yang terjadi ketika anggaran negara dipaksa dipotong, tidak ada lagi subsidi bagi masyarakat, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak rakyat.

Apakah pertumpahan darah dan pengorbanan kita selama ini akan diakhiri dengan mengungkung kembali kebebasan dan mencabut hak-hak dasar rakyat?

Lembaga-lembaga negara akan terus menjadi kuat dengan memberlakukan undang-undang yang selalu menyingkirkan orang miskin, mereka tidak dilindungi oleh konstitusi, sehingga mereka dibiarkan untuk mati. Rakyat tidak mempunyai hak untuk mengontrol sumber alamnya sendiri, tetapi hak kontrolnya diserahkan kepada modal asing. Keadaan ini sama diberlakukan pada sebagian masyarakat yang dianggap tidak patuh akan mendapat hukuman, kehilangan pekerjaan, kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kehormatan dan kehilangan identitas.

Aturan adalah produk kebudayaan manusia. Dan ternyata dalam perkembangannya, yang berkuasa berhak mengubahnya menjadi lebih menguntungkan untuk dirinya. Sekarang ini setiap orang menjadi dewa dengan kekuasaannya yang ada di tangannya. Dan di republik ini sekarang begitu banyak dewa. Dari dewa yang kecil di tempat kecil, hingga dewa besar dan yang amat besar yang berada di pusat dan puncak kekuasaan. Terlalu banyak yang harus disembah oleh rakyat. Terlalu banyak.

Gerakan untuk merebut hak berasal dari gagasan dan kebudayaan. Dasar kebebasan berekspresi terletak pada hak yang tak terpisahkan setiap rakyat untuk mempunyai sejarah sendiri. Oleh karena itu, tujuan pembebasan adalah mendapatkan kembali hak ini, yang dirampas oleh kekuasaan negara demi kepentingan kekuatan imperialis, yaitu pembebasan kekuatan-kekuatan produksi dan kemampuan untuk menentukan secara bebas cara produksi yang paling sesuai dengan evolusi rakyat, perlunya membuka prospek baru untuk proses budaya masyarakat yang bersangkutan, dengan mengembalikan kepadanya semua kemampuan untuk menciptakan kemajuan.

Pemimpin Redaksi

Pokok Media Kerjabudaya"Masa Mengambang" yang Tak Pernah Tenggelam

Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa

Konflik Menata Ulang Indonesia

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

ProfilHasta Mitra: Bertarung Melawan Pembodohan Razif

Puisi Siti Rukiah Kertapati

Kritik Seni Reformasi dan Puisi Tanpa Daya Magis Nur Zain Hae

KlasikRaffles Bukan Berhala Sejarah Hersri Setiawan

Cerita Pendek Badai Bergolak Rani Lukita

EsaiSetelah Pesta Usai Zhou Fuyuan

Logika Kultura Ilmu Sosial, Seberapa Ilmiah? John Roosa

Resensi Buku Membangun Solidaritas Kemanusiaan Mahendra

TokohNinotchka Rosca Wawancara oleh Ayu Ratih & John Roosa

Berita Pustaka

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

versi teks

©2003, Media Kerjabudaya Online.

http://mkb.kerjabudaya.org e-mail: [email protected]

design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 20: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

"Masa Mengambang" yang Tak Pernah Tenggelam

Tim Media Kerja Budaya

"Masyarakat Indonesia primitif." Begitulah pandangan banyak orang terdidik, yang mestinya lahir setelah melihat foto dan membaca laporan tentang kekerasan yang mengerikan di berbagai tempat seperti Kalimantan Tengah dan Maluku. Ada kesepakatan umum, bahkan di kalangan yang menganggap dirinya pro-demokrasi, bahwa orang Indonesia belum siap berdemokrasi karena masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan. Belum lagi keterikatan orang akan identitas tradisional dan kolektif seperti etnik, tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang hebat. Demokrasi seolah-olah masih jauh di depan, sebuah mimpi yang bisa terwujud kalau semua orang sudah menyandang gelar sarjana dan berpendapatan tinggi.

Pandangan seperti ini bukanlah penilaian yang tepat tentang masyarakat Indonesia, tapi secara tepat mencerminkan pemahaman kalangan terdidik yang "primitif" mengenai demokrasi. Salah satu warisan jelek dari Orde Baru adalah kalangan terdidik yang diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga menganggap kediktatoran sesuatu yang normal. Kelas ini hidup nyaman di balik pagar tembok tinggi, begitu berjarak dan tak mempercayai rakyat, sehingga pikirannya mirip-mirip penguasa kolonial yang menganggap "massa rakyat" sebagai kumpulan mahluk bodoh, pemalas dan senang kekerasan. Ketika menghadapi kasus-kasus kekerasan massal, mereka menggunakan asumsi-asumsi tak berdasar tentang "watak primitif" dari rakyat, dan gagal melihat bagaimana modernisasi Orde Baru yang kacau dan anti-demokratik sesungguhnya menciptakan kekerasan secara teratur. Sementara kalangan terdidik ini melihat khalayak di sekelilingnya sebagai penghambat demokrasi, yang terjadi adalah sebaliknya: kalangan terdidik inilah yang lebih menghalangi berkembangnya demokrasi.

Sejak awal kekuasaannya, rezim Soeharto berikrar akan meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi di masa mendatang. Para pejabat tinggi mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah prasyarat bagi demokrasi. Banyak orang dari kelas yang diuntungkan oleh Orde Baru percaya akan doktrin itu. Begitu pula sebagian intelektual yang kemudian menulis tentang Orde Baru sebagai tahap transisi atau persiapan menuju demokrasi. Kita ambil saja satu sebagai contohnya, yakni Nurcholish Madjid yang pada tahun 1994 menulis bahwa demokrasi adalah "kelanjutan logis keberhasilan pembangunan nasional." Orde Baru menurutnya menciptakan "tingkat ekonomi yang relatif memadai, persatuan dan kesatuan nasional, stabilitas, keamanan dan ketertiban nasional". Golkar pun dianggap sebagai "berkah" karena menjadi "pendukung utama terwujudnya pemerintahan yang stabil dan kuat, yang memungkinkan pembangunan nasional." ("Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia," dalam Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, E.P. Taher ed., Jakarta, 1994).

Komentar itu mencerminkan pandangan standar di kalangan intelektual Indonesia: bahwa Orde Baru membangun dasar-dasar bagi demokrasi. Lalu, tesis kesukaan sebagian intelektual yang dianggap "pro-demokrasi" pada tahun 1980-an dan 1990-an adalah bahwa kelas menengah, yang terbentuk melalui pertumbuhan ekonomi Orde Baru, akan menjadi pendorong utama bagi gerakan baru menuju demokrasi. Kelas menengah inilah yang akan mendorong kediktatoran Soeharto ke pinggir, jika tidak mendongkelnya. Kaum intelektual ini bertolak dari premis yang sama seperti Orde Baru – bahwa orang Indonesia pada dasarnya primitif dan terbelakang – dan berkesimpulan bahwa hanya kaum profesional terdidik di perkotaan, dengan wawasan kosmopolitan serta perut kenyang, yang dapat mematahkan "kebiadaban rakyat" dan memimpin oposisi terhadap Orde Baru.

Namun, sekarang ini sudah jelas bahwa kelas menengah (apa pun pengertian kita tentang kategori yang begitu longgar) bukanlah kekuatan pendorong di balik jatuhnya Soeharto. Ada banyak kelas yang terlibat di dalamnya. Justru sebaliknya, banyak kelas menengah yang pada bulan Mei 1998 berlompatan ke Kijang atau Cherokee mereka, mencari kenyamanan di Puncak atau luar negeri. Tiga dekade pertumbuhan ekonomi Orde Baru melahirkan kelas yang mapan dan sekaligus takut kehilangan harta benda mereka. Kelas yang oleh kaum intelektual diharap menjadi agen perubahan ternyata hanya segerombolan penakut yang konservatif.

Keyakinan pada kelas menengah sebagai agen demokrasi sebenarnya sejalan dengan pikiran Orde Baru mengenai demokrasi. Ketika Brigjen Ali Moertopo pertama kali mengemukakan konsep "massa mengambang" dalam Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (1972), ada banyak orang sipil yang setuju dengannya. Konsep ini bahkan tidak bisa dilihat semata-mata sebagai ciptaan negara Orde Baru, tapi sebagai kesepakatan di antara sekian banyak elit sipil. Lagipula, buku itu sebenarnya tidak ditulis oleh Moertopo sendiri, melainkan oleh sebagian intelektual CSIS berdasarkan berbagai ceramah dan wawancara dengannya.

Dengan konsep massa mengambang ini para kolaborator bisa melihat rezim Soeharto yang anti-demokratik sebagai sesuatu yang sah. Keterbelakangan rakyat Indonesia itulah yang membuat mereka harus berada di bawah kekuasaan seorang sultan dan pasukan militernya. Orang Indonesia harus dipaksa memasuki "modernisasi" karena masih terperangkap dalam "alam pemikiran yang belum cukup rasionil". Orang Indonesia tidak bisa diberi demokrasi karena mereka dengan mudah dimanipulasi dalam "pertentangan politik dan ideologi sempit". Lebih baik rakyat di pedesaan tidak terlibat politik sama sekali dan bekerja saja di sawah atau ladang sepanjang hari. Mereka harus dipisahkan dari partai-partai politik (artinya dipisahkan dari proses demokratik), dan dibiarkan "mengambang" sebagai hamba setia rezim yang neo-feodal. Orde Baru menyebut sistem anti-demokrasi ini sebagai "demokrasi Pancasila" yang tentunya merendahkan makna Pancasila itu sendiri.

Sungguh kesalahan yang serius ketika intelektual Indonesia percaya bahwa sebuah negeri harus melalui fase non-demokratik untuk mempersiapkan diri menuju demokrasi. Ekonomi pemenang Anugerah Nobel Amartya Sen menulis, "sepanjang abad ke-19, para teoretisi demokrasi menganggap diskusi tentang apakah sebuah negeri 'cocok untuk demokrasi' atau tidak, sebagai sesuatu yang wajar. Pemikiran ini berubah dalam abad ke-20, ketika menyadari bahwa pertanyaan itu sesungguhnya keliru: Sebuah negeri tidak bisa dinilai apakah sehat untuk demokrasi, tapi justru negeri itu akan menjadi sehat melalui demokrasi." (Journal of Democracy 10:3, 1999). Dengan kata lain, sebuah bangsa yang miskin dan tak terdidik akan maju pertama-tama melalui pembentukan sistem politik yang demokratik. Sen menulis bahwa pikiran itu mulai berubah di abad ke-20, tapi tentunya ia tidak memasukkan Indonesia di mana kaum intelektualnya masih terjerembab dalam alam pikir dari abad sebelumnya.

Cukup jelas pula bahwa selama tiga dekade rezim Soeharto tidak membawa Indonesia ke jalan menuju demokrasi. Sebaliknya, tugas membangun demokrasi sekarang ini justru lebih sulit dari sebelumnya. Buktinya bisa kita temukan di produk utama dari "demokrasi" kita sekarang, yakni DPR. Partai-partai yang menang dalam Pemilu 1999 tidak menganggap diri sebagai wakil rakyat, tapi lebih sebagai "elit politik" yang seolah punya hak sejak lahir untuk memimpin dan memungut pajak dari wong cilik. Megawati misalnya menggunakan istilah "elit politik" untuk menyebut dirinya dan para pemimpin partai yang lain tanpa rasa malu sedikit pun. Boleh jadi ia menganggap dirinya sebagai seorang putri yang tugasnya hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Para elit ini tidak melihat orang Indonesia lainnya sebagai warga (citizen) dengan hak-hak tertentu, dan karena itulah mereka tidak pernah memprioritaskan reformasi konstitusi untuk menjamin hak-hak tersebut. Seperti kita tahu prioritas mereka justru mengeruk uang dan kekuasaan untuk kepentingan partai dan diri sendiri. Tentu saja sulit membangun demokrasi ketika partai-partai politik, yang seharusnya menjadi kendaraan untuk mengubah negara, berkait-kelindan dengan dunia gangster politik Orde Baru.

Demokrasi sekarang dipahami begitu sempit sehingga banyak orang percaya bahwa Indonesia sekarang adalah negeri demokratik hanya karena berhasil menjalankan pemilu bebas pada tahun 1999. Pemilu yang bebas tentu saja penting tapi bukan satu-satunya alat ukur demokrasi. Pertama, sebuah negeri bisa disebut demokratik, jika semua lembaga negara bertanggungjawab kepada rakyat. Indonesia belum punya pemerintahan demokratik karena masih ada banyak posisi, seperti camat, yang tidak dipilih secara langsung. Militer dengan struktur teritorialnya juga seperti punya pemerintahannya sendiri; menjadi negara dalam negara yang sama sekali tidak transparan. Kedua, pemerintah harus menghargai hak-hak demokratik, seperti kebebasan bicara, menerbitkan sesuatu dan berkumpul. UUD 1945 tidak secara tegas mendukung hak-hak dasar itu dan pemerintah yang berkuasa berulangkali melanggarnya tanpa sanksi apa pun. Ketiga, harus ada pemerataan ekonomi, atau setidaknya langkah-langkah yang jelas menuju ke arah itu. Pemilu tidak banyak artinya bagi masyarakat yang masih memiliki kesenjangan kelas demikian hebat. Segelintir orang yang menguasai kekayaan negeri juga sekaligus berkuasa dalam proses pemilihan. Hak-hak politik bagi warga dengan begitu tidak ada artinya sama sekali. Sukarno pernah menggambarkan demokrasi borjuis ini dengan pernyataan "di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak" (Dibawah Bendera Revolusi, hal. 585).

Kita bisa menilai watak "elit politik" sekarang tepat dari kritik mereka terhadap Orde Baru. Satu-satunya kritik yang kita dengar adalah bahwa Orde Baru itu sungguh korup. Tapi kita tidak pernah dengar keluhan apa pun tentang "depolitisasi ekonomi" yang dikumandangkan oleh ekonom Sumitro dan rekan-rekannya, dan menganggap seolah-olah pembagian kekayaan dan milik di negeri ini hanyalah urusan teknis, dan bukan urusan politik yang seharusnya diputuskan oleh semua rakyat. Dan para ekonom yang ikut mendirikan Orde Baru dan tetap menyebar mitos tentang "ilmu ekonomi" yang non-ideologis dan bebas nilai, pun tetap dianggap sebagai ahli-ahli terbaik di negeri ini oleh "elit politik" sekarang.

Kita tahu bahwa anggapan mereka keliru belaka. Korupsi adalah masalah yang mengaitkan ekonomi dengan politik secara langsung. Gelar "salah satu negara paling korup di dunia" yang disandang Indonesia sekarang ini, adalah tanda tidak adanya demokrasi. Korupsi tidak mungkin diperangi secara serius dengan menempatkan segelintir orang jujur di dalam birokrasi atau membuat sejumlah perubahan prosedural. Adalah warga yang harus diberdayakan dan secara aktif terlibat dalam pemerintahan. Jika tidak, siapa yang bisa menghentikan para birokrat untuk menyelewengkan milyaran dolar, seperti yang dilakukan Bank Indonesia dalam kasus BLBI?

Nampaknya sudah jelas bagi kita bahwa gelombang kekerasan yang melanda negeri ini adalah hasil dari tumpukan masalah selama berkuasanya Orde baru. Tapi di tengah hiruk-pikuk "elit politik" kekerasan dianggap sebagai gejala baru yang tidak ada kaitannya dengan zaman keemasan Soeharto, ketika segalanya terasa nyaman dan damai. Karena itu, jalan keluarnya bagi mereka bukanlah dengan mengubah semua kebijakan dan gagasan Orde Baru, tapi justru menerapkannya lebih hebat lagi. Jika rakyat Aceh misalnya, terasing dari pemerintahan pusat setelah teror militer selama sepuluh tahun berlakunya DOM, maka jalan keluar sekarang justru menambah pasukan di sana. Jika rakyat Kalimantan dan Sulawesi berduyun-duyun diusir oleh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan (yang menciptakan beragam konflik atas tanah), maka jalan keluarnya justru dengan memperluas perkebunan dan membangun tambang-tambang baru. Jika perekonomian hancur karena ketergantungan yang akut pada modal asing (sehingga munculnya masalah hutang luar negeri yang luar biasa besar dan larinya modal jangka-pendek pada tahun 1997), maka jalan keluarnya justru mengubah seluruh perekonomian untuk memuaskan investor asing.

Kekerasan di Kalimantan Tengah misalnya jelas bukan produk dari pertentangan tradisi atau karena watak "primitif" masyarakat, tapi justru karena "modernisasi" yang diterapkan Orde Baru di sana. Di masa kekuasaan Soeharto orang Dayak diusir dari tanah-tanah mereka dan semua "tradisi" Dayak pun luluh lantak. Kita tidak bisa bicara tentang orang Dayak sebagai masyarakat tradisi atau asli sekarang ini, karena komunitas mereka sudah berubah secara dramatis dengan adanya ekspansi kapitalisme. Sementara itu orang Madura dibawa ke sana melalui program transmigrasi yang dirancang dan dilaksanakan secara serampangan dengan korupsi di mana-mana, sehingga gagal membawa kemakmuran. Banyak preman Dayak dan Madura yang terlibat dalam aksi kekerasan di sana punya koneksi dengan lembaga yang membanggakan diri sebagai pendorong modernisasi, yakni militer. Para pemimpin Dayak yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan di sana tidak lain bagian dari institusi yang paling modern di sana, yakni Universitas Palangkaraya. Semua ini menunjukkan bahwa masalah di Kalimantan Tengah sesungguhnya adalah "modernisasi" yang kacau-balau ciptaan Orde Baru. Tapi masalah ini luput dari perhatian kaum intelektual, yang karena tidak punya perspektif kritis mengenai pembangunan ekonomi Orde Baru, akhirnya mencari-cari penjelasan dalam "keterbelakangan budaya" rakyat setempat.

Banyak intelektual sekarang yang ternyata gagal mengambil pelajaran dari pengalaman hidup di bawah Orde Baru: bahwa kita tidak mungkin membangun bangsa dengan meningkatkan ketimpangan di antara warga dan memusatkan kewenangan di tangan segelintir institusi yang tidak bisa diminta pertanggungjawabannya seperti birokrasi sipil dan militer sekarang. Lagi-lagi Amartya Sen berkomentar tentang ini: "Masalah-masalah di Asia Timur dan Tenggara belakangan ini memperlihatkan antara lain hukuman bagi pemerintahan yang tidak demokratik. Dan ini terlihat dari dua hal. Pertama, perkembangan krisis finansial di beberapa negeri (termasuk Korea Selatan, Thailan dan Indonesia) terkait erat dengan kurangnya transparansi dalam bisnis, terutama kurangnya partisipasi publik dalam meninjau kesepakatan-kesepakatan finansial yang dibuat. Tidak adanya forum demokratik yang efektif sangat berpengaruh dalam kegagalan ini. Kedua, ketika krisis finansial itu menuuju resesi ekonomi, kekuatan demokratik yang melindungi – yang mencegah terjadinya kelaparan massal di negeri-negeri demokratik – tidak ada di negeri seperti Indonesia. Kaum yang terampas harta-bendanya tidak punya orang yang mendengarkan nasib mereka."

Masalah yang dihadapi Indonesia sekarang adalah berlanjutnya kekuasaan para mantan menteri, penasehat, penyair dan pokrol bambu warisan Soeharto yang hanya berbicara dalam bahasa kekuasaan, bukan bahasa hak. Tegasnya, elit yang berkuasa sekarang adalah elit yang sama pada masa Orde Baru tanpa Soeharto. Kemiskinan wacana intelektual Indonesia sekarang ini bertolak dari asumsi bahwa rakyat terlalu biadab untuk diberi hak-hak. Karena itu kita selalu mendengar orang bicara tentang masa sekarang yang "terlalu demokratik" padahal sesungguhnya demokrasi nyaris tidak ada. Konsep "massa mengambang" masih berjaya dan belum ditenggelamkan ke dasar samudra, yaitu tempat yang paling pantas bagi kebodohan yang tak termaafkan.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 21: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa

Tim Media Kerja Budaya

Hidup bersama sebagai bangsa berarti melihat sesama sebagai mahluk setara, yakni sebagai manusia dengan hak-hak sama yang dijamin hukum. Kesetaraan politik ini adalah esensi dari identitas nasional, dan bukan tempelan yang boleh dibongkar-pasang sesuka penguasa. Sebuah bangsa, seperti kita ketahui, adalah sekelompok orang yang memiliki solidaritas horisontal yang kuat. Dan dari mana datangnya solidaritas, penghargaan terhadap sesama, jika bukan dari kepastian yang nyata dan kuat bahwa kita semua memiliki hak yang sama? Orang harus merasa setara bukan hanya dalam imajinasinya, dan bukan pula semata-mata secara simbolik (misalnya saat berdiri di lapangan dan menyanyikan Indonesia Raya), tapi dalam praktek sehari-hari lembaga pemerintah. Prasyarat dasar bagi sebuah bangsa yang kuat adalah konstitusi yang secara eksplisit mencantumkan hak-hak tersebut dan menjadi panduan hidup bernegara. Tanpa konstitusi yang mengakui dan menjamin hak-hak itu bagi setiap warga, maka kita tidak mungkin membangun bangsa. Seperti dikatakan Soekarno tahun 1956, "negara demokratik berdasarkan rule of law sebagai syarat dasarnya harus memiliki konstitusi yang dirumuskan oleh rakyatnya sendiri." (Risalah Konstituante).

Jika kita menganggap konstitusi sebuah bangsa sebagai indikator penting untuk menetapkan tingkat demokrasinya, maka kita bisa lihat bahwa UUD 1945 mencerminkan kurangnya demokrasi di negeri ini. UUD 1945 yang kita miliki sekarang sesungguhnya bersifat sementara dan tidak lengkap; dan memang tidak pernah dimaksudkan sebagai konstitusi yang abadi. Seperti dikatakan Soekarno dalam sidang pembahasannya, "ini adalah Undang-undang dasar kilat." Tidak seperti konstitusi di tahun 1949 dan 1950, UUD yang kita gunakan sekarang hanya mengakui segelintir hak warganya, yakni hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak bela negara, dan hak beragama sesuai keinginan. Kebebasan berkumpul, berbicara dan kebebasan pers sebaliknya tidak pernah ditetapkan dengan jelas, dan semuanya disebut akan "diatur lebih lanjut melalui undang-undang."

Untuk memahami kekurangan dari UUD 1945 kita tinggal membandingkannya dengan UUDS 1950 yang berlaku sampai tahun 1959. Di sana ada satu bagian khusus tentang "hak asasi manusia dan kebebasan" dan bagian itu (bagian 5) ditempatkan pada bagian awal, sebelum bagian-bagian yang menjelaskan kewenangan eksekutif, legislatif dan yudisial. Dalam bagian itu ada 28 pasal, jauh lebih banyak dari jumlah pasal di bagian-bagian lainnya. Pasal-pasal itu sepenuhnya mengakui tiga kebebasan dasar yakni kebebasan berkumpul, berbicara dan pers. Ada pula pengakuan eksplisit akan hak warga untuk membentuk serikat-serikat buruh. Negara, dalam pasal-pasal ini, tidak berwenang menangkap orang seenaknya, menyiksa mereka dan menyita harta benda mereka tanpa kompensasi, tidak berhak pula meniadakan pengadilan yang jujur atau merampas hak orang sesukanya. Konstitusi yang tengah dirancang oleh Dewan Konstituante di akhir tahun 1950-an memberikan prioritas serupa untuk hak-hak warganegara.

Kita tidak bisa menuding orang atau organisasi tertentu sebagai penyebab bubarnya Konstituante pada tahun 1959. Bagaimanapun militer tetap terlihat sebagai yang paling bertanggungjawab: di bawah pimpinan Nasution, militer berkampanye "kembali ke UUD 1945" dan menekan pemerintahan Soekarno agar menyetujui usulan itu. Tapi, bagaimanapun harus kita akui bahwa Soekarno sendiri tidak percaya pada demokrasi dan cenderung melihat dirinya, dan bukan dewan perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, sebagai perwujudan kehendak rakyat.

Dan ini terwujud bahwa birokrat priyayi di PNI pada dasarnya tidak perlu pada bentuk pemerintahan apa pun selama kepentingan dan hak-hak istimewa mereka tetap dijamin (dan ini pula yang membuat banyak di antaranya dengan mudah kemudian bergabung ke Golkar setelah Soeharto berkuasa). Masyumi dan NU saat itu tetap menginginkan negara Islam yang jelas membuat orang non-Muslim menjadi warga kelas dua. Masyumi bahkan terlibat dalam pemberontakan bersenjata melawan pemerintah, seperti PRRI/Permesta bersama PSI yang tidak percaya bahwa massa rakyat bisa memegang kendali republik. Partai Komunis Indonesia dalam hal ini lebih demokratik, dan komitmen mereka terhadap kedaulatan dan kekuasaan rakyat pun jelas, walaupun ada masalah juga dengan paradigma antidemokrasi seperti sistem satu-partai yang dicontoh PKI dari Uni Soviet atau Tiongkok. Dengan kata lain, semua kekuatan politik mengumandangkan retorika demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, tapi tak satu pun yang benar-benar punya komitmen untuk mewujudkannya.

Gerak maju demokrasi terhambat semasa "Demokrasi Terpimpin" dari tahun 1959 sampai 1965, walau tidak sepenuhnya dibuntungi. Negara di bawah Soekarno tidak secara aktif merampas hak-hak sebagian besar warganya. Baru di zaman Soeharto, khususnya setelah "kudeta merangkak" tahun 1965-67, demokrasi mengalami pukulan mundur yang luar biasa. Seluruh hak dirampas, termasuk hak-hak yang jelas dijamin dalam UUD 1945, dan rakyat menjadi hamba dari kediktatoran atau sejenis kesultanan baru. Seperti dikatakan Soekarno pada tahun 1966, "bangsa kita sekarang merosot kembali 50 tahun". Maksudnya tidak lain bahwa semua pencapaian yang susah-payah diraih gerakan nasionalis sejak Budi Utomo, dirampas atau hancur berantakan.

Di masa Orde Baru, orang Indonesia tidak lagi melihat sesamanya sebagai citizen yang terlibat dalam keputusan politik dan etik menyangkut kehidupan bersama. Wacana hak yang digerakkan oleh gerakan nasionalis dikubur dengan paksa. Contohnya mudah saja. Istilah "citizen" dalam bahasa Inggris berarti seseorang yang memiliki hak-hak tertentu, sementara dalam bahasa Indonesia – apalagi di zaman Orde Baru – istilah warganegara tidak mengandung konotasi yang sama. Militer Indonesia yang di zaman itu mulai menyebut dirinya "perekat bangsa" secara implisit tidak percaya bahwa ada solidaritas horisontal di antara orang Indonesia. Justru sebaliknya, mereka memandang penduduk kebanyakan semata-mata sebagai gerombolan ternak yang harus dipaksa hidup bersama secara "aman dan terkendali".

Orde Baru juga ahli untuk mengadu domba warga, seperti yang kita lihat pada tahun 1965-66 ketika militer menghasut orang sipil untuk membunuh siapa saja yang dituduh "komunis". Jutaan orang menjadi korban-korban pertama Orde Baru yang dirampas haknya: hak untuk hidup, hak mendapat pengadilan yang fair, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan sewenang-wenang, hak berbicara dan banyak lagi lainnya. Celakanya, tindakan ini didukung oleh sebagian elit dan intelektual kelas menengah Indonesia, sehingga Soeharto selanjutnya leluasa melakukan hal yang sama kepada siapa pun. Kaum nasionalis, umat Islam, petani, perempuan desa, orang Papua, Timor Lorosae dan Aceh, dan siapa pun yang dianggap ancaman susul-menyusul menjadi korban dari praktek yang sama. Dan ini bukan penyimpangan sekelompok "oknum", melainkan sebuah upaya sistematis. Lihat saja bagaimana orang Tionghoa yang sudah berulangkali menjadi korban diskriminasi di masa Soekarno, diperlakukan lebih parah dan bahkan dianggap sebagai orang asing di zaman Orde Baru. Kita tentunya sadar bahwa ada yang salah ketika istilah "warganegara Indonesia" tidak dipakai untuk menunjuk seseorang dengan hak tertentu, tapi justru menjadi istilah resmi untuk menyebut komunitas minoritas yang sudah dibuntungi hak-haknya.

Saat ini para anggota MPR dan "elit politik" seharusnya bekerja siang-malam untuk merumuskan konstitusi baru yang dapat mengubah semua kelemahan itu. Tapi yang kita lihat justru sebaliknya. Tak satu pun partai yang tertarik mengemban tugas itu, kecuali untuk membuat amandemen yang tidak terlalu penting seperti mengubah masa jabatan presiden. PDI-P yang merupakan partai terbesar selalu berbicara tentang UUD 1945 sebagai sesuatu yang sakral, dan kader-kadernya selalu berpidato tentang "kembali ke hakikat UUD 1945", dan bukan untuk memperbaikinya. Partai-partai lain pun sama saja. Tak satu pun dari mereka yang memiliki landasan jelas atau mengajukan rencana kongkret untuk mengubah konstitusi agar dapat menjamin hak setiap orang sebagai citizen.

Tidak adanya ketertarikan untuk mengubah dan memperbaiki konstitusi tidak lain adalah produk keberhasilan Orde Baru dalam menjungkirbalikkan nasionalisme Indonesia dan memutusnya dari konsep "warganegara" lengkap dengan hak-hak yang terkait dengannya. Kalau kita membaca tulisan-tulisan tentang nasionalisme di masa Orde Baru maka sulit ditemukan pembahasan tentang pentingnya hak-hak warga negara dan demokrasi sebagai jaminan adanya nasion yang kuat. Ambil misalnya tulisan Harsja Bachtiar yang meraih gelar doktor dengan disertasi tentang integrasi nasional. Dalam sebuah artikel di Prisma tahun 1976 dikatakannya, nasion Indonesia "merupakan suatu kesatuan sosial yang sungguh-sungguh baru dan mewujudkan ikatan-ikatan solidaritas yang meliputi sekalian anggota-anggotanya." Lantas apa basis dari kesatuan, atau apa yang membuat kita menjadi satu nasion? Jawabnya, "nilai-nilai dasarnya dinyatakan sebagai asas-asas Panca Sila", "bahasa sendiri", "kebudayaan sendiri" dan "kesusasteraan Indonesia."

Harsja Bachtiar tidak sendirian. Cukup banyak penulis yang mengacaukan sebab dan akibat adanya solidaritas horisontal yang disebut nasionalisme itu. Apa yang disebutnya sebagai akibat sesungguhnya adalah sebab. Pancasila, misalnya, lahir setelah orang Indonesia menjadi nasionalis. Orang mulai berpikir tentang kebudayaan, bahasa dan sastra Indonesia (nasional), setelah gerakan nasionalis tumbuh berkembang dan membuat banyak orang merasa diri bagian dari nasion yang sama. Artinya Harsja Bachtiar, seperti banyak penulis lainnya, gagal melihat apa yang membuat orang ingin hidup bersama sebagai nasion. Untuk memahami keinginan yang kuat itu, maka kita harus melihat adanya hasrat untuk hidup dalam komunitas yang setara, di mana tidak ada penindasan dan penghisapan, dan jelas tidak ada negara kolonial yang mengekang penduduk jajahannya. Kesalahan cara pandang tadi masih berlanjut. Karena mengacaukan sebab dan akibat tadi, maka institusi-institusi untuk merawat solidaritas horisontal tersebut juga luput dari perhatian. Kita boleh saja sama-sama setuju dengan asas-asas Pancasila, berbicara dalam bahasa yang sama, tapi kita tidak bisa membentuk nasion tanpa konstitusi yang menjamin kesetaraan itu dan lembaga-lembaga politik tempat kita bekerja untuk mencapai kebaikan bersama.

Nasionalisme di bawah Orde Baru sebaliknya dipisahkan sama sekali dari politik dan direduksi menjadi masalah mental-kebudayaan. Lihat saja Taman Mini yang mencerminkan perspektif Orde Baru tentang "bangsa Indonesia" sebagai kumpulan suku-suku bangsa dengan pakaian dan adat-istiadatnya sendiri. Atau masuklah ke Museum Nasional, dan lihat peta Indonesia yangdikelilingi gambar orang-orang dengan raut wajah, potongan rambut, perhiasan dan pakaian yang seolah mencerminkan sukubangsa tertentu. Mungkin karena dirasa kurang, tiap gambar pun dipertegas dengan caption "Bali", "Batak","Timor" dan seterusnya. Indonesia dibayangkan sebagai kumpulan suku-suku bangsa, dengan kata lain kumpulan orang yang tidak punya identitas politik sebagai warga (citizen).

Rezim Soeharto juga terkenal suka akan penampilan. Hari Kartini yang seharusnya menjadi saat menegaskan komitmen pada pembebasan perempuan diubah menjadi hari pameran pakaian daerah. Dalam hal ini pemerintah"reformasi" tidak banyak bedanya. Dalam peringatan 100 tahun Bung Karno, perspektif Taman Mini itu dipertontonkan di Senayan: setiap propinsi diwakili barisan orang dengan apa yang diklaim sebagai "pakaian daerah" masing-masing. Arti penting Bung Karno, seperti juga Kartini, direduksi sedemikian rupa menjadi masalah pakaian daerah. Seolah semua gagasan cemerlang dari kedua tokoh ini dan kaum nasionalis lainnya cukup "dirayakan" dengan peragaan busana. Pemerintah boleh berganti tapi cara pandang tetap saja sama. Di masa "reformasi" perspektif Taman Mini yang memotret Indonesia sebagai negeri damai dengan kumpulan suku-suku bangsa yang hidup berdampingan secara harmonis, tetap dipelihara dan berkembang biak. Tidak sadar mungkin bahwa pikiran itu berasal dari zaman kolonial ketika pegawai kolonial Belanda melihat diri mereka sebagai pegawai netral dari pemerintah yang berkuasa atas gerombolan-gerombolan primitif. Adalah penguasa kolonial Belanda yang selalu melihat orang Indonesia sebagai subyek antropologis, dan bukan sebagai subyek politik yang memiliki hak-hak.

Banyak intelektual yang sekarang mulai merenungi makna nasionalisme Indonesia, terutama setelah referendum di Timor Lorosae, perang di Aceh, kekerasan di Kalimantan dan Maluku, tapi sedikit saja yang jernih. Lihat misalnya tulisan Imam Prasodjo di Kompas pada akhir Desember tahun lalu. Dalam tulisan itu ia bertanya: "Apa yang harus diperhatikan dalam nation building sehingga tercipta integrasi nasional dan integrasi sosial yang kuat?" Dan jawabnya: "perlu ada pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan 'solidaritas emosional' dalam bingkai kebangsaan. Dengan kata lain, tiap komponen bangsa dituntut untuk memiliki kemampuan 'seni bercinta' (the art of loving) yang baik". Jalan keluarnya dengan begitu, orang Indonesia harus belajar mencintai sesama. Sulit untuk tidak tertawa mendengar komentar yang demikian dangkal. Kalau memang masalahnya sesederhana itu, mestinya ribuan lagu cinta yang diproduksi selama ini sudah mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang.

Cinta boleh-boleh saja, tidak ada yang salah, tapi jelas tidak akan menyelesaikan masalahnya. Apa yang diperlukan sekarang adalah hidup rukun dan menghargai sesama sebagai orang dengan hak-hak tertentu. Untuk itu kita perlu lembaga-lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa (seperti forum demokratik di kalangan rakyat, pengadilan yang fair dan berwibawa), dan sebuah konstitusi yang kuat dengan panduan menjalankan kekuasaan negara yang jelas pula. Perubahan ini jauh lebih kita perlukan daripada belajar "seni mencinta".

Jika kita memang serius ingin hidup sebagai nasion, maka institusi demokratik dan hak-hak warganegara adalah unsur yang paling mendasar. Hanya dengan itu kita bisa menciptakan hidup bersama secara damai. Tanpa kemerdekaan dan kebebasan, Indonesia hanya sebuah nama di atas peta, dan kita, warganegara yang hidup di atasnya, hanyalah segerombolan orang yang tak punya sumbangan apa pun kecuali membuat berita-berita sensasional di CNN tentang pembantaian sesama dan perang yang bergelimang darah.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 22: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Konflik Menata Ulang Indonesia

Tim Media Kerja Budaya

Soeharto pergi, konflik dan kekerasan semakin hebat saja. Orang pun langsung menuding bekas diktator ini sebagai biang keladi. Maklum, selagi berkuasa apa saja mampu dilakukannya, mulai dari membunuhi jutaan penduduk Indonesia sendiri sampai mencuri uang negara untuk diri dan keluarganya. Apalagi cuma mengerahkan preman atau provokator ke daerah-daerah untuk mencipta konflik. Korban jiwa akibat kekerasan dalam tiga tahun terakhir sudah sama jumlahnya seperti penduduk sebuah kecamatan. Sampai tahun ini lebih dari satu setengah juta orang dipaksa pergi dari kediaman mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang parah kondisinya. Ratusan ribu rumah dan tempat kerja milik rakyat yang tidak ikut menikmati pembangunan Orde Baru pun hancur berantakan, sementara anak-anak mereka terlantar karena gedung-gedung sekolah pun tidak selamat.

Di media massa mereka yang menobatkan diri sebagai "pengamat sosial-politik" atau "pemerhati kebudayaan" berkumpul memberi ceramah dan penjelasan tentang sebab-akibat dari gelombang kekerasan ini. Seolah sedang menonton pertandingan sepak bola mereka ramai "jual strategi"; di satu sisi menyalahkan pemerintah karena tak becus, dan di sisi lain memaki rakyat sebagai gerombolan biadab karena saling menghancurkan. "Inilah bahaya demokrasi, kalau sampai kebablasan," demikian kata yang satu. "Rakyat kita memang belum siap berdemokrasi," kata yang lain. Kata-kata berbeda, tapi kesimpulan sama, begitu pula jalan keluarnya: rakyat harus diatur agar tertib dan beradab. Agar lebih mantap, komentar mereka diimbuhi dengan mantra-mantra tentang "bangsa yang sakit", "penyakit atau wabah sosial", dan segala konsep yang dikutip sekenanya saja.

"Elit politik" tidak jauh berbeda. Orang pemerintah, anggota DPR, pimpinan partai politik, perwira polisi, pejabat militer ramai-ramai menuding kebodohan rakyat sebagai biang keladinya. Gerakan rakyat memperjuangkan keadilan dan menuntut hak-hak yang dirampas pun dengan mudah disulap menjadi "kerusuhan", "pertikaian SARA", tentu dengan sebelumnya menyusupkan orang dan bahan yang cukup untuk meyakinkan media massa di lokasi kejadian. Intinya pun sama, bahwa rakyat belum siap demokrasi dan bahwa gerakan reformasi sekarang sudah kebablasan sehingga harus dihentikan.

Pikiran-pikiran semacam itu sudah waktunya dibongkar, dan perlu kita ajukan pertanyaan mendasar: apa benar yang kita saksikan di Indonesia sekarang adalah sebuah "konflik horisontal"? Sejarah berkata lain. Kekerasan di masa lalu umumnya menjadi bagian dari pertarungan vertikal antara rakyat melawan kekuasaan negara kolonial, atau protes terhadap pemerintah republik. Di masa Orde Baru kenyataan ini sungguh jelas.

Ada baiknya kita menengok kembali apa yang sesungguhnya terjadi dan membongkar semua informasi yang dipompakan oleh para pejabat militer melalui media massa. Di Maluku misalnya, konflik yang selalu digambarkan sebagai "pertikaian agama" sebenarnya punya asal-usul pada perkelahian antar preman, yang mencerminkan pertentangan di antara elit politik setempat. Di Poso pun sama halnya. Diawali dari pertikaian antara dua pemuda yang kebetulan mabuk, konflik di situ kemudian bergeser menjadi "masalah agama". Dalam hampir semua kejadian, termasuk di Pontianak, Sampit, Banyuwangi dan Tasikmalaya, pemuda mabuk, preman, dan kadang-kadang "oknum militer" ditemukan sebagai pemicunya. Setelah itu langgamnya selalu sama, pemerintah sipil, polisi maupun tentara tidak berbuat apa-apa dengan alasan takut melanggar HAM, sehingga para preman dan orang suruhan bebas berkeliaran menambah minyak dalam api.

Rakyat tidak bodoh, dan dalam hal ini jauh lebih pandai dari para pengamat yang hanya mengunyah ulang pernyataan pejabat militer. Buktinya tidak sedikit yang berani berbicara tentang kehadiran "orang luar" dalam pertikaian dan konflik itu. Tapi dengan cepat mereka dijadikan sasaran dan justru balik dituduh sebagai "provokator" karena mengadu rakyat dengan penguasa. Orang-orang pandai ini hanya bisa diam dan berusaha keras agar lingkungannya tidak ikut dijerat permainan jahat itu. Dan di sinilah masalah sesungguhnya: rakyat tidak punya kekuatan cukup untuk mengatakan tidak dan mengambilalih penanganan konflik atau pertikaian. Kebebasan hasil reformasi hanya berlaku bagi segelintir elit, dan berlaku sebaliknya: gerombolan Orde Baru dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia sekarang bebas merongrong dan bahkan menyiapkan rencana menggulingkan pemerintah.

Konflik yang berkepanjangan punya akibat serius bagi perikehidupan rakyat. Bukan hanya tenaga yang terkuras, tapi juga sedikit milik yang tersisa dari era penjarahan Orde Baru. Di Aceh, Kalimantan, Maluku dan Papua, ratusan ribu orang diceraikan dari alat produksinya dan menjadi pengangguran yang luntang-lantung di tempat pengungsian. Tidak sedikit yang akhirnya rela menjual diri, baik sebagai pekerja seks di sekitar barak militer, maupun demonstran bayaran untuk menggulingkan bupati, gubernur bahkan presiden. Ada juga yang memilih ikut dalam organisasi pemuda atau bermacam jenis "laskar", karena di samping mengisi perut, jubah dan senjatanya ternyata ampuh juga untuk alat balas dendam. Akibatnya, pemiskinan dan pembodohan semakin mendalam, karena mereka yang menolak pun tidak bisa berbuat banyak. Jangankan bangkit dan melawan, untuk menyambung hidup saja sulitnya bukan main. Jika dihitung secara keseluruhan tidak kurang dari dua juta orang yang kehilangan alat mencari nafkahnya karena konflik dan kekerasan, yang jelas menambah panjang barisan pengangguran Indonesia yang berderet-deret setelah krisis finansial 1997.

Mereka yang tetap bertahan tinggal di daerah-daerah konflik pun tidak lebih baik nasibnya. Kekerasan memacetkan kegiatan ekonomi seketika. Ancaman dan desas-desus saja sudah cukup membuat orang enggan pergi ke ladang apalagi membuka toko atau warung. Anak-anak mereka juga tidak pergi ke sekolah karena gurunya memilih pulang ke tempat asal atau cari pekerjaan lain yang lebih aman. Di Maluku sekarang ini ada sekurangnya 200.000 orang yang sehari-hari hidup di kamp pengungsian. Sekitar 75% penduduknya kehilangan pekerjaan dan satu juta anak usia 6-15 tahun berhenti sekolah akibat konflik itu. Hidup pun semakin bergantung pada bantuan pemerintah atau lembaga internasional. Lebih dari Rp 3 milyar dikeluarkan setiap hari, yang hanya akan bertahan selama 24 bulan. Dan sebuah generasi pun tengah terancam.

Menata Ulang Kehidupan, Untuk Kepentingan Siapa?

Akibat lain dari konflik dan gelombang kekerasan adalah semakin kuatnya posisi militer. Dengan klaim "keadaan tidak terkendali" jumlah pasukan terus ditambah, birokrasi diperkuat dan persenjataan pun semakin hebat. Mengikuti doktrin Orde Baru, kaum intelektual dan kelas menengah Indonesia berharap agar militer segera bertindak tegas dan keras. Dan seperti kita tahu yang terjadi justru sebaliknya, konflik semakin hebat dan rakyat sipil yang bertikai mendapat dukungan senjata dan amunisi. Komunitas warga pun semakin cerai-berai karena militer rajin menuding "dalang" dan "provokator" yang sesungguhnya hanya membuat orang bingung dan frustrasi.

Dalam situasi seperti ini penataan ulang pun terjadi, dan semua orang sadar bahwa tanah kelahiran mereka tidak akan sama seperti semula. Di Maluku sudah berlaku segregasi, pemisahan antara komunitas Kristen dan Islam yang dijaga ketat oleh militer. Di Kalimantan, orang Madura diusir keluar dan para pelaku kekerasan berikrar takkan membiarkan adanya "Madura-Madura yang lain" di sana. Di Aceh militer secara sistematis memisahkan "gerombolan pengacau keamanan" dari "rakyat", yang dalam kenyataannya memisahkan orang Aceh dari pergaulan Indonesia, seperti yang bertahun-tahun dilakukan di Papua dan Timor Lorosae. Di sinilah kecurigaan dan prasangka tumbuh subur, dan semakin mengentalkan konsepsi absurd tentang "asli" dan "pendatang".

Kekuatan untuk bertahan sebagai kolektif pun semakin lemah. Gotong-royong yang memang lazim dipraktekkan semakin tipis, dan kepercayaan diri sebagai sebuah komunitas semakin rontok akibat ";intervensi kemanusiaan" yang membanjiri daerah konflik dengan bermacam bantuan. Para pejabat Orde Baru yang semula diguncang oleh kejatuhan induknya di Jakarta pun bisa berlega hati, dan justru sebaliknya tampil kembali sebagai pemimpin. Mereka bersekutu dengan para pelaksana program "pemulihan" dan "rekonstruksi" yang sesungguhnya merupakan penataan ulang masyarakat sesuai dengan doktrin ekonomi yang dominan, yakni ekonomi pasar. Di sekitar tempat penampungan pengungsi berdiri proyek-proyek pembangunan yang baru untuk menyerap tenaga kerja murah yang hidup berdesakan.

Di Manado, misalnya, sekitar 30.000 pengungsi termasuk anak-anak terpaksa menjual tenaga sebagai buruh murah. Mereka bersaing dengan penduduk setempat mencari nafkah, dan melahirkan persoalan baru. Perusahaan perkebunan pun lebih senang tenaga pengungsi yang murah, dan di Sulawesi Utara lebih dari 60.000 buruh setempat di perkebunan cengkeh dan kopra kehilangan pekerjaan.

Dalam prosesnya mulai terlihat bahwa proyek "pembangunan kembali" sesungguhnya lebih melayani kepentingan mereka yang membawa proyek itu ketimbang mereka yang menerima. Perusahaan kontraktor, industri bantuan dan pedagang berebut mendaftarkan diri sebagai rekanan dalam proyek, mencari keuntungan baru di tengah tumpukan kesengsaraan. Tidak sedikit proyek yang sengaja dibuat setengah jadi agar di tahun-tahun mendatang keuntungan masih mengalir ke kantong para pengelolanya.

Bersamaan dengan itu lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia semakin gencar berkampanye tentang pembangunan daerah di bawah panji "otonomi daerah". Ide dasarnya, semua kegiatan ekonomi tidak lagi melalui tangan pusat, tapi cukup melalui para pejabat di daerah yang baru diporak-poranda. Partai politik, organisasi pemuda, militer maupun polisi, jelas lebih tertarik dengan proyek-proyek ini ketimbang memikirkan perdamaian sejati dan penegakan hak-hak rakyat yang menjadi prasyaratnya.

Dalam laporan tahun 2000 Bank Dunia mengatakan pertumbuhan ekonomi dan kekuatan politik di daerah-daerah akan menjadi hal yang paling penting di abad ke-21, karena itu, fasilitas komunikasi dan transportasi harus dibangun dan semua hambatan perdagangan harus dihapus. Sementara rakyat masih sibuk menata kembali kehidupannya yang porak-poranda akibat konflik, para pemilik modal, birokrat dan pengusaha berlomba menyambut "dunia baru" di bawah pimpinan doktrin pasar.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 23: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan

Razif

Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga.

Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja.

Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosial-budaya dirasuki semangat “penertiban dan penyeragaman”, di mana pikiran berbeda adalah ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan negara.

Sekeping Pernyataan Demokrasi

Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya.

Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas. Pramoedya pun setuju. “Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi,” tulis Pramoedya beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu.

Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. “Kami mau membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan hanya cerita sedih dan penderitaan saja,” kata Hasjim ketika itu.

Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang kapten TNI-AL datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran kabarnya lagi. Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi wartawan sekian suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan keuangan. Bulan Mei mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih mendekam di tahanan, Hasta Mitra (Tangan Sahabat).

Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan mereka. “Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim,” kenang Joesoef. Beberapa kerabat dan sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa mulai berjalan.

Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri

Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik.

Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset dari harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti “suatu kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada perkembangan demokrasi di Indonesia – dan bukan demokrasi warisan sah kolonial, demokrasi hasil keringat sendiri”.

Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk dari Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan oleh berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran penuh dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan.

Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya “karya sastra yang terbagus saat ini.” Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI pun menyebutnya sebagai “sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia”.

Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan,” kata Joesoef. Seorang kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat canggih untuk zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan.

Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. “Mimpi saya sudah macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata Joesoef. Tidak semua mimpinya terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang harus ditindak.

Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran

Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas itu meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan yang aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang buku yang sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Tiga hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa Bumi Manusia “mengandung teori Marxisme terselubung”, tanpa menjelaskan maksudnya tentu saja.

Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka membenarkan bahwa karya itu memang “mengandung ajaran Marxis” walau selalu gagal menunjukkannya dengan jelas. “Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar, justru bungkam,” kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan tokoh kebudayaan yang mengaku “penggemar berat Pramoedya”, tapi tidak memberi pendapat apa pun ketika karyanya dilarang.

Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang memproduksi Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta agar tidak mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak memuat resensi apalagi pujian bagi karya Pramoedya.

Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak Semua Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit di luar negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi bahasa asingnya.

Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian disiarkan melalui media massa sebagai “bukti keresahan masyarakat”, modal penting bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan pengarangnya.

Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya.

Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK-052/JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu antara lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan Rakor Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya.

Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi “landasan ilmiah dan kultural” kepada pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. “Menariknya, ada juga di antara mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis besar,’ kata Joesoef sambil tersenyum.

Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua karya pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan. Akibatnya saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim terpaksa mencari percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anak-anaknya.

Bagi Hasta Mitra yang “bermodal dengkul”, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar.

Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. “Itulah esensi pelarangan buku-buku kami: untuk menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi,” kata Joesoef.

Ekspansi di Tengah Represi

Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya.

Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif.

Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan modal 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa.

Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu para eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai mengurus paspor dan izin tinggal. Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk kegiatan seperti itu sehingga modalnya tidak pernah berkembang. “Memang sejak awal Hasta Mitra punya misi membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua,” kata Joesoef. Modal awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan Manus Amici pun gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing – saat ini karya Pramoedya sudah diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa – ditangani langsung dari kantor di Jakarta.

Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak membayar royalti seperti seharusnya.

Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak “keuntungan” lain. Konsep “tangan sahabat” berkembang karena banyak aktivis yang membantu menyalurkan buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil penjualan untuk membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga eks-tapol yang bisa mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi, sosial maupun politik.

Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca terbitan Hasta Mitra menjadi semacam “syarat pergaulan” dan bahkan bacaan wajib untuk mereka yang tertarik pada nasib negerinya. “Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan demokrasi. Di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga bisa digunakan oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mitra mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan akumulasi modal. Dan memang karena bukan itu kehendak kami.”

Menjadi Penerbit Gerakan

Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan besar yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung.

Uluran “tangan sahabat” ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun pertama “reformasi” bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra. “Tapi setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi, mereka mundur teratur,” ujar Joesoef sambil tertawa.

Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. “Itu tidak betul,” kata Joesoef. “Buktinya dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun. Karena uangnya tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka.

Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh Joesoef Isak. “Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim,” katanya. Ditambah lagi kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawa-bawa.

Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit gerakan untuk menegakkan demokrasi dengan keringat sendiri.

RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 24: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

PUISI SITI RUKIAH KERTAPATI

Layar Hitam Engkau juga pernah mengakui ada warna hijau di daunan dan kembang-kembang merah di bajuku, juga sekali pernah cinta pada akar-akar dan kulit-kulit pohon beringin Tapi apa guna itu semua, bila cuma sekilas hilang karena tindasan kasih? “Pada malam sunyi bintang!” ada katamu romantik begini. Tapi sekarang bintang sudah retak berpecahan. Kasih hancur sebab revolusi pembunuhan, entah kemana pabila pergi? cuma layar hitam kau kibarkan kapal kosong, langit gelap, laut merah, dan ikan cucut di balik karang patah-patah: Selamat jalan mengembang tangan! Tidak perlu itu lamunan ke kejauhan, apa itu idealis buat idealis pula, apa itu benar buat kebenaran? Tapi apa pula itu artinya kasih pertama dan kasih yang penghabisan? Sedang bujang dan gadis yang bertunangan itu jangan disebut kebenaran. Tapi aku sudah dibunuh masyarakat aku sudah pernah bergaul tarik-menarik juga tiang-tiang kelihatan mau condong cuma aku masih belum mau membunuh kasih sendiri, sebab sekali toh kita kembali pada asal; bayi bersih manusia semula. Dan kita tentu sekali lagi masuk gedung musium kita dengar lagi musik-musik lagu klasik, kita ingat lagi pada soal ke kejauhan, atau: kita bikin bintang tepi kolam tanah Bali. Kemana lagi itu layar hitam dan laut merah, bila bukan tangan kita yang merobeknya? Jangan bikin pertanyaan, bila masih dikatakan: “Mati itu bukan lagi kewajiban”

Siti Rukiah Kertapati, lahir 27 April 1927 di Purwakarta. Pada zaman Jepang Rukiah berhasil menamatkan sekolah guru, dan setelah revolusi Agustus 1945, ia mengajar di Sekolah Rendah Gadis Purwakarta. Pada umur 19 tahun puisi-puisinya telah dimuat di Gelombang Zaman, beliau juga menulis untuk majalah Godam Jelata. Di tahun 1950, ia menulis karya ilmiahnya untuk konfrensi kebudayaan Indonesia, yang berjudul Sekitar Konperensi Kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1952 merupakan tahun penting bagi Rukiah:pertama, Tandus, kumpulan puisi dan cerita pendeknya yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka dan yang kedua, ia menikah dengan Sidik Kertapati. Ia bertemu dengan Sidik Kertapati dan saling jatuh cinta pada masa revolusi di Krawang. Selain itu Rukiah juga menulis cerita anak-anak yang dimuat di majalah Cendrawasih. Karya lainnya yang ia tujukan untuk anak-anak adalah Jaka Tinggir, Taman Sanjak si Kecil, Kisah Perjalanan si Apin dan Pak Supi. Sedangkan cerita pendeknya antara lain Isteri Perajurit, Antara Dua Gambaran dan Surat Panjang dari Gunung dan sebuah novel yang berjudul Kejatuhan dan Hati yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1950. Rukiah terus menulis sejumlah Cerita Rakyat dari seluruh

kepulauan Indonesia hingga tahun 1975 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Rukiah meninggal dunia di kampung halamannya, Purwakarta pada tahun 1994.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 25: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Reformasi dan Puisi Tanpa Daya Magis

Nur Zain Hae

Apakah gelombang reformasi yang telah menumbangkan Orde Baru—Soeharto pada Mei 1998 merupakan sesuatu yang penting bagi sastra Indonesia? Atau sebaliknya, apakah sasta merupakan bagian yang menentukan atau menggerakkan proses reformasi itu?

Bila sastra menjadi bagian dari momentum reformasi, risiko apa yang mesti ditanggungnya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus diajukan untuk menguji keterkaitan sastra dan reformasi. Atau untuk melihat bagaimana sastra berhadapan dengan momentum reformasi dan mengakomodasinya sebagai persoalan sastra—yang dalam pembicaraan ini lebih banyak difokuskan pada puisi.

Seperti kita tahu momentum ini diawali oleh krisis ekonomi yang menyebabkan anjloknya nilai rupiah tanpa bisa tertolong lagi. Ekonomi sulit, harga-harga naik, sembako sulit didapat, rakyat menjerit, dan muncul demonstrasi mahasiswa. Puisi-puisi saat itu kembali menyuarakan ketidakpuasan dan kerawanan sosial, penderitaan dan kemarahan rakyat, yang semula karena kultur politik Orde Baru—Soeharto yang otoriter sastra lebih banyak menghindari tema-tema seperti itu.

Harian Republika, misalnya, membuka rubrik “Sajak Peduli Bangsa” dalam waktu yang cukup lama sepanjang 1998. Sementara Forum Sastra Bandung menerbitkan buku puisi Tangan Besi: Antologi Puisi Reformasi pada akhir Juni 1998. Di masa itu pula penyair Sides Sudyarto D.S. mengundang sejumlah penyair untuk menyumbangkan puisi reformasi mereka untuk dibukukan, meski hingga kini buku yang dimaksudkan belum diluncurkan. Ini belum termasuk sejumlah terbitan sejenis yang pada masa itu beredar secara terbatas di kalangan mahasiswa.

Situasi ini mengingatkan kita pada masa tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Puisi-puisi perlawanan memainkan peranan yang besar dalam gelombang demonstrasi mahasiswa saat itu. Telah muncul, kata Mansur Samin “aksi perlawanan terhadap kepalsuan dan kebohongan yang bersarang dalam kekuasaan orang-orang pemimpin gadungan.” Dalam kurun waktu yang revolusioner itu Taufiq Ismail alias Nur Fadjar menerbitkan kumpulan puisi Tirani dan Benteng. Bur Rasuanto hadir dengan buku Mereka Telah Bangkit, Mansur Samin dengan buku puisi Perlawanan, Abdul Wahid Situmeang dengan stensilan Pembebasan, dan Slamet Sukirnanto dengan stensilan Jaket Kuning.

Dalam dua peristiwa itu kita menyaksikan sejarah yang berulang. Pembusukan sebuah rezim kembali terjadi. Sastra menemukan kembali alasan untuk menjalankan peranan yang lebih besar dari yang bisa dilakukan selama ini dengan menetapkan dan menjalankan komitmen sosialnya. Untuk sementara dikotomi “sastra” dan “bukan sastra” atau “sastra” dan “politik” kurang relevan dipertentangkan. Keduanya bertemu, bahkan bisa saling mempengaruhi dalam menangani proyek bersama itu. Pada saat inilah sastra bisa menjawab satu pertanyaan yang sering dilontarkan orang: Mengapa sastra (Indonesia) terasing dari masyarakatnya?

Namun, reformasi adalah proyek bersama yang lahir bukan dari lingkungan sastrawan, tetapi dari kalangan kaum intelektual kampus. Ketika reformasi menjadi wacana publik (dan akhirnya diambil-alih dan dimanipulasi oleh kaum politik) barulah sastra menggabungkan diri. Jadi, bisa dibilang, sastra lebih banyak mengikuti (untuk tidak mengatakannya “latah”) jejak dinamika sosial-politik yang ada. Tak heran kalau Edy A. Effendi, seorang penyair dan eseis, dengan sinis mengatakan penyair yang saat itu bicara soal reformasi sebagai “penumpang gelap reformasi”. Seakan-akan penyair hanya subjek yang tidak patut, tidak memiliki persyaratan yang lengkap, tidak memiliki tiket, untuk memasuki sebuah gerbong perubahan yang sedang berjalan. Karena itu, sewaktu-waktu, ia bisa dikeluarkan dari gerbong sebelum sampai ke tujuan.

Bukan itu saja, pada dirinya sendiri si “penumpang gelap” (atau apa pun sebutan yang pas buatnya) memiliki keterbatasan, sehingga kita bisa mempertanyakan efektifitas keterlibatannya. Bukankah ia hadir dengan satu kekuatan yang, sebenarnya, penuh kontradiksi: Kata. Di satu pihak ada keyakinan Freirean bahwa kata memiliki dua dimensi, refleksi dan praksis, yang saling melengkapi. Karena itu, “mengucapkan sebuah kata sejati berarti mengubah dunia.” Sementara, di pihak lain ada juga keyakinan bahwa bahasa kini telah kehilangan makna dan puisi tak lebih dari “seni kata-kata”. Rendra telah berteriak “Bersatulah pelacur ibukota”, tetapi tak ada gerakan kolektif pelacur yang melawan kekuatan penindasnya, sehingga pelacur atau kaum tertindas lain mendapatkan kembali harkat martabatnya yang utuh.

Sebagai “penumpang gelap” dan bermodalkan kata-yang-tidak-bisa-mengubah-dunia, apa yang bisa dilakukan penyair. Kita tahu, situasi yang dimasuki penyair saat itu adalah situasi yang massif dan riuh, menonjolkan orang ramai sekaligus melenyapkan individu dan segala laku yang (kelihatannya) diam. Para penyair akan menjadi massa anonim yang tidak bisa lagi diam dan harus berteriak. Puisinya haruslah puisi yang larut dalam suasana euforia itu, dan bukan melawannya. Atau, dalam bahasa Lu Hsun, puisi yang menjadi alat propaganda, yang “menganjurkan, mendorong, mempercepat, dan menyempurnakan revolusi.”

Maka, tengoklah puisi tidak hanya bicara tentang awan, bulan, gerimis yang bersijingkat, kesunyian dan keindahan, atau segala sesuatu yang jauh dari jangkauan masyarakat awam (tetapi dekat dengan kritikus sastra). Namun, ia juga bicara soal kelaparan, sembako yang langka, tiran tua yang kegemukan, kobaran api, atau seorang gadis Cina yang diperkosa. Bahkan, bukan tak mungkin, puisi telah menjadi alat pelampiasan berbagai perasaan, sebab selama rezim Orde Baru-Soeharto para penyair (dan masyarakat umum) tidak mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikannya dengan bebas.

Puisi saat itu memanfaatkan sebanyak-banyaknya wacana jurnalistik yang berkembang. Berita (media cetak dan elektronik) menjadi sumber utama penggalian bahan penciptaan puisi, di samping ada juga penyair yang memang terlibat langsung dalam peristiwa yang terjadi di seputar reformasi. Karena itu, apa yang dibicarakan puisi adalah juga yang beredar dalam berita jurnalistik. Yang membedakannya, saya kira, hanyalah soal format dan nama.

Satu yang paling nyata dari puisi-puisi dalam situasi seperti ini adalah lahirnya puisi-puisi yang miskin imajinasi dan kehilangan metafor, yang selama ini telah memberikan kekuatan magis pada bahasa puisi. Hal ini bisa terjadi karena, seperti klaim José Ortega y Gasset, metafor memberikan kekuatan naluriah pada bahasa (puisi) untuk menghindari realitas tertentu—dalam hal ini adalah realitas sosial politik yang massif, hiruk-pikuk, dan bergerak cepat itu. Metafor telah hilang atau ditinggalkan agar (bahasa) puisi bisa menafsirkan realitas lebih jelas, lebih lugas, dan lebih bisa dimengerti khalayaknya.

Inilah, saya kira, sejumlah risiko yang mesti ditanggung sastra di era reformasi. Terutama, puisi yang terlampau menginginkan dirinya untuk tidak terasing dari masyarakatnya, ingin memainkan peranan yang lebih besar dalam sebuah proses perubahan yang belum selesai. Puisi yang lebih mementingkan isi daripada bentuk, lebih mementingkan pesan daripada metafor dan imajinasi.

Namun, ini tidak berarti munculnya era “berakhirnya puisi”—seperti Adorno yang memastikan “tidak ada puisi yang bisa ditulis setelah Auschwitz (no poetry after Auschwitz).” Puisi bisa melanjutkan perannya (sekecil apa pun peran itu) dalam masyarakatnya. Semuanya berpulang kepada penyairnya sendiri. Apakah ia bisa mempertemukan dua kepentingan antara menjalankan komitmen sosial dengan mempertahankan kekuatan magis puisi. Dan ini, tentu saja, bukan masalah ideologis, tetapi masalah kreativitas. Untuk menjadi kekuatan “kiri” (dalam artian tandingan/saingan/oposisi terhadap kekuasaan yang mapan—terima kasih kepada Ariel Heryanto), tidak berarti sastra harus kehilangan kekuatan magisnya, sehingga ia menjadi verbal dan sekadar alat propaganda.

Nur Zain Hae, penyair yang menetap di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 26: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Raffles Bukan Berhala Sejarah Pembagan Pembaharuan Politik Kolonialisme (sebuah pancingan studi)

Hersri Setiawan

Thomas Stamford Raffles bukan sekadar seorang reformis, atau pengikut gerakan pembaharuan belaka. Buat sejarah kolonial bangsa-bangsa di “Timur Jauh”, khususnya “Hindia Belanda”, ia seorang pembaharu (reformer) yang sekaligus pembagan (schemer) pembaharuan itu. Kendati demikian hendaknya kita tempatkan T.S. Raffles sebagai tokoh sejarah—tokoh besar nian!—dan bukan ditaruh di altar sebagai berhala sejarah. Seyogyanya memang begitulah kita menyikapi tokoh-tokoh besar dari zaman apa pun, apalagi zaman kolonial baik lama maupun baru. Juga terhadap tokoh besar Snouck Hurgronje, misalnya, yang tampil sekitar seratus tahun kemudian.

Mereka sama-sama berusaha memahami bangsa-bangsa Pribumi, alam hidup mereka dan alam lingkungan mereka, dan selanjutnya—bagi Snouck Hurgronje— menulis surat-surat nasihat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang bagaimana menjinakkan musuh-musuh gubermen. Sedangkan pada T.S. Raffles untuk mengembangkan potensi sumber daya alam dan manusianya, sebagai langkah kebijakan antara, dalam menuju tujuan akhir membangun imperium Britania Raya.

Pasukan Jan Willem Janssens, Gubernur Jendral yang diangkat Napoleon sejak 1811 untuk Hindia Belanda, kalah oleh serangan Inggris di Meester Cornelis (Jatinegara sekarang) Jakarta. Ia lari ke timur, dan menyerah di Tuntang pada 1811. Dengan kekalahan kombinasi kekuasaan Belanda-Perancis ini, seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris (1811-16). Pusat penguasa baru ini di Madras, India, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Lord Minto, sedang di Hindia Belanda dipercayakan pada Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles.

T.S. Raffles lahir 6 Juli 1781 di atas kapal Ann (260 ton, 4 meriam) di lepas pantai Jamaika. Kapten kapal ini, Benjamin Raffles, ayah Thomas. Ia biasa mondar-mandir Liverpool-Afrika-Jamaika, menangguk keuntungan ganda, berangkat mengangkut budak dan kembali mengangkut hasil bumi “India Barat” seperti kapas, gula, tembakau dan todi (minuman keras dari tebu).

Tahun lahir Thomas ialah tahun ketika perang kemerdekaan Amerika sampai pada titik penentu, yang Inggris akan segera kehilangan kekuasaan atas koloninya di benua barat (Perjanjian Versailles 1783). Mundur dari barat, Inggris mencari kawasan baru di “Timur Jauh”, yang berarti harus berhadapan dengan persekutuan Perancis-Belanda. Di timur persekutuan ini harus dipatahkan. Sementara itu di barat Api Revolusi Perancis, 1789, yang sempat menyala sepuluh tahun, sedang terus ditiup-tiup kembali. Perang kemerdekaan Amerika yang berjaya itu, seperti diketahui, tidak bisa dipisahkan dari Revolusi Perancis. Begitu juga “Revolusi Juli” 1830 dan “Revolusi Februari” 1848 yang melanda seluruh Eropa, dan bahkan meluas ke pantai utara Afrika. Semuanya itu revolusi borjuis nasional.

Tahun 1781 sesungguhnya bisa dipandang sebagai fajar sejarah modern Eropa. Cahaya modernisasi itu segera akan menerangi dan mengubah “Timur Jauh”, seketika nanti jika Raffles telah membukakan pintunya. Sebutlah semuanya itu kejadian-kejadian politik besar, yang menimang dan membuai si bocah Thomas Raffles. Selain itu ada buaian sosial yang tak kalah besar juga.

Sejak 1713 Inggris adalah raja perdagangan budak di dunia. Kepulauan Karibia, pada tahun Raffles lahir, merupakan pasar perdagangan budak terpenting sedunia. Sepanjang sepuluh tahun sesudah Thomas lahir adalah tahun-tahun mas bagi perdagangan budak. Tapi bersamaan dengan itu juga merupakan tahun-tahun ketika agitasi anti-perbudakan mulai berkumandang. Anti-perbudakan adalah satu aspek humanisme paling utama di zaman modern. Si bocah Raffles tumbuh dalam pengaruh suasana revolusi sosial dan revolusi kebudayaan ini.

Pada umur 14 tahun ia menjadi pegawai East India House, kantor pusat Kompeni Dagang Inggris di India Timur. Tahun 1805 menjadi asisten sekretaris pemerintah jajahan di Pulau Penang, dan setahun kemudian ia diangkat menjadi sekretaris. Ketika armada Inggris menyerbu Jawa, ia dibawa Lord Minto dalam tugasnya sebagai sekretaris itu. Sejak itu, Raffles banyak bergaul dengan Pribumi, dan banyak mempelajari segi-segi peri kehidupan dan alam tempat kehidupan mereka. Dalam “Hikayat Abdullah”—pada umur belasan Abdullah menjadi jurutulis Raffles—ditulisnya tentang tabiat T.S. Raffles antara lain: “Dalam hubungan dengan semua orang Raffles sangat santun. Wajahnya selalu berseri-seri, sangat ramah tamah dan liberal, dan selalu mendengarkan dengan penuh minat jika orang bicara kepadanya”. Abdullah juga mencatat dengan takjub tentang minat “tuannya” yang sangat besar terhadap segala hal-ihwal tentang alam Melayu, sejarah bangsa-bangsanya, alam tumbuh dan alam binatangnya. Bunga bangkai raksasa yang bergaris tengah lebih satu meter di Sumatra Selatan itu, kemudian dinamai Rafflesia Arnoldi, karena dialah penemunya.

***

Selama masa pemerintahannya yang pendek, Raffles memang berusaha keras melakukan reformasi liberal di wilayah kekuasaannya. Inti kebijakan pemerintahannya ialah demi tercapainya kesejahteraan umum. Untuk itu Raffles menjalankan kebijakan yang memberikan hak kebebasan berusaha kepada setiap individu. Dalam rangka itu, mengingat sebagian besar penduduk ialah kaum tani, hanya tanah dari tani penggarap yang berproduksi saja dibebani pajak oleh pemerintah. Beda dari kaum Politisi Adabiyah (Politik Etis) sekitar seratus tahun kemudian, yang bersembunyi di balik basa-basi politik “Utang Budi”, politik reformasi Raffles barangkali bisa dibilang sangat oportunistis. Ini bertolak dari alasan bahwa sebuah serikat dagang, apalagi kekuasaan negara, tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras kaulanya. “Kasihan mereka itu!” Begitu ia berbincang dengan Lord Minto, yang lantas mendorongnya: “Mari kita perbuat segala yang terbaik, yang kita bisa!”

Thomas Stamford Raffles memang anak zaman, baik dalam pengertian senyatanya, maupun dalam arti pasemon. Tidak aneh dan bukan datang tiba-tiba. T.S. Raffles hidup dibawah bayangan tradisi liberal dan semangat Revolusi Perancis, dan tradisi demokrasi Inggris yang telah tua. Apa itu semangat liberal Perancis dan tradisi demokrasi Inggris? Penghapusan hak-hak feodal, pelarangan sistem perbudakaan, dan pembebanan pajak yang sama bagi semua kelas sosial. Liberté, égalité dan fraternité bukan sekedar semboyan kosong, tapi benar-benar pernah terwujud dalam segala bidang kehidupan. Hasil mendasar lain lagi dari Revolusi Perancis, yaitu diumumkannya Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen. Konsiderans deklarasi ini menegaskan, antara lain, bahwa “kebodohan, pengabaian dan penghinaan atas hak-hak manusia menjadi pangkal kesengsaraan umum, korupsi, penyeleweangan dan penyalahgunaan kekuasaan”.

Masalah pokok yang menantang Raffles, segera sesudah diangkat menjadi Letnan Gubernur di Jawa (September 1811), yaitu mengubah sistem kekuasaan atau administrasi di Jawa. Bagi mata Kompeni Inggris administrasi merkantilisme à la Kompeni Belanda sudah dianggap sebagai diskredit, opresif dan ekonomis juga tidak sehat. Di Jawa teori ekonomi kolonial yang merkantilis itu diwujudkan dalam tindakan: semua hasil pertanian diborong Kompeni, dan dengan harga rendah yang ditetapkannya; demi laba ratusan persen Kompeni juga yang mempunyai hak monopoli ekspor hasil bumi ke pasar benua barat; petani hanya boleh menanam tanaman yang diwajibkan Kompeni, dan dilarang menjual hasil panen selain pada Kompeni; impor dibatasi seminimum mungkin, oleh karena impor akan berarti kerugian bagi Kompeni.

Kaum tani tidak punya hak tawar untuk harga hasil panen. Itu pun masih dikurangi lagi dengan pajak wajib, dan dibebani kerja rodi untuk bangunan jalan dan prasarana umum lainnya. Lebih dari itu beban petani masih ditambah lagi dengan berbagai bentuk pemerasan dan hukuman dari para penguasa pribumi sebagai agen-agen Kompeni. Petani Jawa adalah budak sahaya, tak beda dari hewan pengolah tanah, selain bahwa mereka bisa mengaduh dan mengeluh. Minto dan Raffles “iba hati” menyaksikan kehidupan kaum tani di Jawa yang seperti itu. Tetapi bukan saja terhadap kaum tani Raffles iba hati. Ia iba hati dan cemas melihat praktik-praktik kolonialisme rampokan model VOC, yang sejatinya pernah juga dikecak keras oleh Gubernur Jawa Timur Dirk van Hogendorp (1794). Karena tanpa berani meninggalkan praktik-praktik kekerasan dan rampokan, Nusantara sebagai lahan SDM yang luas dan subur akan muspra dan bahkan bisa jadi musnah.

“We, the Batavians”, says Mr. Hogendorp, “or rather our good and heroic ancestors, conquered these countries by force or arms. The Javans, ... although they resigned their political rights, they still retain their civil and personal liberty, at least their right thereto.” (The History of Java, Notes Ch. V, no. 14). Di bagian lain T.S. Raffles sendiri menyatakan: “They maintain with pride, that although virtually conquered, they still, as a nation and as individuals, pertinaciously adhere to their ancient institutions, and have a national feeling, ...”

Potensi Nusantara yang demikian itulah yang oleh T.S. Raffles hendak diselamatkan dan dikembangkan. Bukan demi pemerdekaan Nusantara, tentu saja, tapi (dalam perkembangan politik kolonial Inggris di kelak kemudian hari) demi tumbuhnya burjuasi nasional yang sehat, sebagai mitra dalam “keluarga persemakmuran” Great Britain.

Administrasi Kompeni Inggris di Hindia Timur, yang dibangun dengan teladan Mogul, jauh lebih liberal administrasi Kompeni Belanda. Petani penggarap India yang memiliki atau menyewa tanah, boleh menanam tanaman yang mereka suka, menjual hasil panen di pasar bebas, menerima harga menurut ketetapan pasaran, dan bisa mengadu ke mahkamah yang berwenang bila terjadi ketidakadilan atas diri mereka. Mereka tidak dibebani rodi; dipungut pajak sebanding nilai hasil panen; pajak dipungut langsung para pejabat pajak, tidak melalui pejabat antara; untuk itulah dibangun birokrasi bergaji guna mengawasi jalannya administrasi.

Dengan teladan itu Minto dan Raffles ingin menyelamatkan sumber daya manusia petani Jawa. Jalanya hanya satu: mengganti sistem merkantil yang absolut represif. Tapi, tentu saja, tidak semudah orang membalik telapak tangan. Banyak aturan lama harus dibuang dan diganti dengan yang baru. Birokrasi baru harus disusun dan dididik agar mampu menjalankan segala peraturan baru itu. Jawa, kecuali Batavia, lalu dibaginya menjadi 16 keresidenan, masing-masing dikepalai oleh residen. Tujuannya untuk mengalihkan wewenang pemerintahan, yang semula di tangan para bupati. Ini tidak lain berarti, kendali pemerintahan dipegang langsung di tangan pusat, dan tidak lagi berbagi atau melalui perantara-perantara siapapun.

Tetapi dari berbagai usaha reformasi Raffles yang paling penting ialah diberlakukannya tatanan pajak tanah, landrentestelsel, yang sama sekali berbeda dengan aturan Belanda sebelumnya yaitu contingenten stelsel, penyerahan hasil bumi secara paksa dari kaum tani. Tatanan pajak tanah sistem T.S. Raffles ini berdasar pada asas domein. Bagi petani pribumi Hindia Belanda, Jawa terutama, berarti menghadapi aturan baru, dari stelsel contingenten pada stelsel landrente. Bagi Raffles memang itulah jalan yang paling layak ditempuh. Ia menghadapi anggaran biaya yang kosong untuk melaksanakan konsep reformasinya. Maka dijualinya tanah-tanah luas yang tergolong sebagai “domein”, termasuk tanah-tanah yang mempunyai hak kuasa tertentu, untuk dijadikan tanah milik perseorangan. Sedemikian jauh Raffles bahkan menutup mata terhadap ulah Alexander Hare, Residen Banjarmasin, yang menangkapi 3000 orang Jawa “gelandangan”, untuk dipekerjakan demi kepentingannya pribadi. Bersama Minto ia berangkat dengan semangat pembebasan budak, tapi masih dalam awal perjalanan ia terpaksa cuek terhadap dipraktekkannya kembali perbudakan.

Ada dua sisi utama dari bagan politik reformasi T.S. Raffles. Sisi fisik nyata, dengan kunci kebijakan pengubahan stelsel pajak tanah; sisi imajiner ideal, dengan kunci kebijakan pembebasan SDM—baik secara individual, etnis, maupun regional. Untuk itu ditempuhnya jalan politik sentralisasi tata pemerintahan, pada awal sengaja untuk memasung kewenangan penguasa lokal berikut para centeng mereka, namun pada akhir berakibat memasung hak inisiatif “sdm” yang semula dibelanya itu sendiri.

Dalam hal klasifikasi kependudukan, misalnya, ditinggalkannya model penggolongan Kompeni Belanda yang tiga (Eropa, Cina, Pribumi), dan digantinya dengan dua golongan: Eropa dan Pribumi. Jangankan Cina, bahkan Indo-Eropa oleh T.S. Raffles dimasukkannya sebagai Pribumi! Bukankah ini—notabene hampir dua abad lalu—jauh lebih maju ketimbang politik kewarganegaraan Orba Suharto, yang menciptakan istilah “asli” dan “keturunan”? Namun, bagaimanapun, T.S. Raffles menerjemahkan ideal Revolusi Perancis secara oportunistik. Ini tampak dalam usaha, misalnya, mereorganisasi sistem peradilan. Dengan tujuan mengakhiri “dualisme” sistem hukum Daendels, ia cenderung melestarikan sistem hukum Pribumi, dan sebagai langkah antara diberlakukannya sistem hukum Inggris. Ia membentuk lembaga jury, sebuah badan terdiri dari warga masyarakat, yang diikutsertakan dalam memutuskan salah-tidak seseorang di depan sidang pengadilan. Segala bentuk monopoli dilarang (juga dilarang ijin adu ayam dan rumah judi), kecuali monopoli pembuatan dan distribusi garam, justru demi melindungi rakyat dari permainan harga.

Itulah beberapa kerja rintisan peninggalan T.S. Raffles ketika ia harus kembali ke Eropa (1824). Sayang, kerja rintisan itu bukan diteruskan, tetapi malah dihancurkan sama sekali. Stelsel pajak tanah Raffles segera disusul dengan stelsel benteng Jendral de Kock dalam Perang Jawa (1825-30) dan stelsel tanam paksa Van den Bosch (1830-48). Revolusi Juli 1830 di Perancis memang gagal. Tetapi ia ibarat menabur benih bagi timbulnya revolusi liberal yang berikut di seantero Eropa, Februari 1848. Demikianlah di Eropa: perang kemerdekaan berkecamuk di mana-mana. Tetapi di Hindia Belanda terjadilah apa yang dikhawatirkan Dirk van Hogendorp dan Thomas Raffles. Perang “penyatuan pasar” di seluruh kawasan Hindia Belanda, yang disempurnakan dengan jalan serangan militer model Van Heutsz dalam kombinasi dengan pénétration paçifique menurut resep Snouck Hurgronje. Embrio “negara bangsa” diciptakan di atas tebusan tumpasnya (pinjam istilah-istilah Raffles) nations, individuals, dan ancient institutions. Konsep dan strategi Hindia Belanda (baca: Indonesia) tentang “negara bangsa” dan “bangsa” sebagai konvensi politik menjadi kredo kebijakan demi “penyatuan pasar nasional”. Sesuatu entitas politik baru yang abstrak, yang dibangun di atas gagasan politik modern (baca: burjuasi), diletakkan di atas berbagai entitas sosio-kultural yang riel dan telah melembaga dan tua menyejarah.

Muatan revolusi ialah menakar kembali segala nilai, Umwertung aller Werten. Selain itu, revolusi juga menampik yang kemarin, Revolution Rejects Yesterday. Tapi, adakah nilai “bangsa” dan “negara bangsa” warisan Hindia Belanda itu, telah ditakar kembali dan ditampik ketika Revolusi 45 meletus? Risalah Bung Karno Lahirnja Pantja Sila, dan beberapa teks pidatonya tentang nation building, barangkali penting dikaji ulang, justru dalam saat ketika Indonesia diancam disintegrasi seperti sekarang.

***

Raffles seorang patriot yang bersemangat. Ia melakukan segala dan sebanyak-banyaknya bagi kemenangan Inggris, dan sebaliknya segala dan sebanyak-banyaknya bagi kekalahan Belanda. Tapi sejarah tidak bisa membantah. Ia seorang pelopor reformis kolonial yang mengubah wajah dunia, bukan saja wajah politik dan ekonomi tapi juga wajah sosial dan budaya. Apa yang nanti oleh pemerintah Belanda diwujudkan, di sekitar penutup abad ke-19, melalui apa yang diuar-uarkan sebagai “Siasah Adabiyah”, Politik Etis, yang dilaksanakan dalam langkah kombinasi bidak-bidak Snouck Hurgronje-Van Heutz, adalah langkah-langkah Thomas Stamford Raffles seorang diri pada awal abad yang sama.

Raffles sosok pribadi bersegi banyak yang terpadu, dan berwawasan liberal bagi jamannya. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kembang-kempis diberinya nafas baru. Ia menaruh perhatian besar pada bahasa-bahasa pribumi, adat dan budaya bangsa-bangsa pribumi. History of Java yang diterbitkannya (1817) menjadi hasil karya baku untuk waktu yang panjang - kalaupun tak lagi bisa dikatakan sampai sekarang.

Tahun 1816 Raffles ditarik kembali ke Inggris. Reformasi macet karena “besar pasak dari tiang.” Harapan Raffles pada stelsel pajak tanah tidak seimbang dengan kebutuhan anggaran birokrasi dan keamanan yang justru membengkak sebagai akibat konsep reformasinya. Ketika pada tahun 1817 ia dikembalikan ke Bengkulu sebagai Letnan Gubernur Jendral, patriotisme Inggrisnya tetap berapi-api. Namun, juga kali ini, ia gagal dalam segala daya upayanya untuk melumpuhkan pengaruh Belanda di Timur Jauh. Ketika oleh Traktat 1824 juga Bengkulu harus diserahkan kembali pada Belanda, Raffles terpaksa mundur dan kembali ke Inggris untuk selama-lamanya.

Tetapi Raffles tidak gagal sebagai tokoh pelaku sejarah. Tanpa Raffles pernah hadir di Batavia dan Bengkulu, Singapura tidak akan pernah berada di tangan Inggris. “Bagi Inggris, Singapura di timur, sama seperti Malta di barat!” Begitu ia berkata. Seandainya ia gagal meyakinkan para petingginya, yang mencibir terhadap idenya membeli pulau sebesar gurem itu, di Asia Tenggara tidak akan pernah timbul dan berkembang sebuah kota dan pelabuhan bebas yang strategis. Singapura tidak akan pernah menjadi “Singapore” dan “Shonanto”. Maka monopoli perdagangan dan pertahanan akan tetap dimainkan oleh Belanda di Nusantara melalui Sunda Kelapa di Teluk Jakarta. Bayangkanlah andai kata itu yang terjadi. Tapi untunglah, atau malangkah, bahwa Sejarah tidak suka berandai-andai!

Bacaan acuan: 1. Raffles, Sir Thomas Stamford, History of Java (Oxford University Press, 1965). 2. Collis, Maurice, Raffles (Faber and Faber, 1966). 3. Wurtzburg, C.E., Raffles of the Eastern Isles (Oxford University Press, 1986). 4. Gonggryp,G.F.E., Geïllustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (N.V.Leidsche Uitgeversmaatschappij, Leiden, MCMXXXIV). 5. Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia (Kompas, Jakarta, 1995). m Hersri Setiawan, Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia di Negeri Belanda.

Hersri Setiawan, Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia di Negeri Belanda.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 27: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Setelah Pesta Usai

Zhou Fuyuan

Tahun baru Imlek kedua setelah masa reformasi baru saja berlalu, suasana perayaan yang hiruk pikuk telah usai. Namun perasaan yang bergolak dalam hati setiap tahun setiap kali Sin cia hadir masih belum juga reda. Setelah perayaan, banyak hal yang aku renungkan, namun sangat sulit untuk melukiskan perasaanku yang sangat kompleks ini hanya dengan satu kalimat sederhana.

Tahun baru Imlek disini lazim disebut Sin cia. Ini adalah dialek Hokkian, sedangkan istilah Mandarin yang umum di pakai adalah Chun jie. Chun jie berarti hari raya musim semi. Perayaan ini diadakan oleh masyarakat agraris pada setiap awal tahun penanggalan Imlek, juga tibanya musim cocok tanam. Bagi para perantau yang sudah beberapa generasi tinggal di luar daratan Tiongkok, makna asli hari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Bagaimana pun Sin cia tetap mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Lantas, apa makna hari raya ini bagiku?

Chun jie pertama yang masih dapat kuingat terjadi ketika umurku kira-kira lima tahun. Kala itu bagi kami anak-anak Sin cia identik dengan kegiatan pai cia, yaitu kami diwajibkan mendampingi papa dan mama mengunjungi para orang tua, baik yang masih famili maupun yang bukan. Sebagai imbalannya kami menerima amplop angpao dari orang-orang yang kami beri hormat dengan pai cia. Meskipun memakai pakaian baru dan dapat angpao, namun membosankan bagiku. Kegembiranya masih kalah dibanding menonton film di bioskop. Pada masa itu uang dalam bungkusan angpao hanya punya arti biasa-biasa saja bagiku. Di dalam keluarga kami anak-anak dilarang jajan sendiri di luar. Sedangkan mainan di luar pun tidak sesemarak sekarang, kami sudah cukup puas dengan mainan sederhana atau mainan buatan sendiri. Maka kami tabung saja hasil pai cia ini. Memang saat Chun jie selalu ada tarian barongsai dan naga yang menarik minat anak-anak. Kegiatan ini cukup sering berlangsung meski bukan pada saat Chun jie, sehingga bagi kami tidak terasa luar biasa lagi.

Umur bertambah, lebih banyak acara Chun jie yang dapat aku ikuti, seperti pertunjukan kesenian, sandiwara atau opera dalam bahasa Mandarin. Sejak kelas 2 SD aku sangat gemar mengoleksi buku, dimulai dari buku komik. Ini yang menimbulkan sedikit rasa suka terhadap acara pai cia. Tumbuh dengan meningkatnya umur, kami bersaudara semuanya bersekolah di sekolah Mandarin. Pada masa itu sekolah-sekolah Mandarin umumnya berorientasi ke RRT. Kami memperoleh pendidikan yang cukup progresif. Dari cerita-cerita guru kami mendapat kesan bahwa perayaan tahun baru Imlek mewakili semangat feodal sehingga sudah semestinya diganti dengan tahun baru internasional yang lebih modern. Sejak saat itu perasaanku terhadap Sin cia mulai negatif, perayaannya tidak pernah lagi melibatkan diriku secara emosional. Pendidikan sekolah Mandarinku tidak berlangsung lama, karena tahun bencana itu hadir. Ingatanku tentang 1966 adalah hari-hari saat kusaksikan segerombolan demonstran hingar-bingar lewat depan rumahku, sembari berteriak-teriak mereka berbaris menuju ke arah bangunan sekolah kami. Hari itu terasa kiamat telah tiba. Meski masih kanak-kanak, aku sungguh sangat terguncang. Peristiwa itu tak pernah dapat terhapus dari ingatanku, luka tergores di hati yang masih saja membekas sampai sekarang. Sekolah kami mereka serbu, bangunan dirusak, lalu diserahkan pada tentara untuk diduduki! Aku terpaksa putus sekolah ketika kelas empat SD.

Dengan berkuasanya rezim militer Orde Baru, pelan-pelan namun pasti segala hak kaum Tionghoa dilucuti. Satu-persatu peraturan pelarangan bermunculan, termasuk perayaan Sin cia. Pada awalnya, keluarga kami masih meliburkan usaha untuk merayakannya. Perayaan umum tidak ada lagi, acara kunjung-mengunjungi masih berlangsung seperti biasa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin represif pemerintah, kami tidak berani lagi meliburkan usaha. Acara pai cia hanya dilakukan antar keluarga dekat saja. Setelah papa meninggal, setiap tahun, berapa hari menjelang Chun jie, kami sekeluarga selalu mengadakan acara ziarah ke makam. Pada malam menjelang tahun baru Imlek, mama mengadakan acara sembahyang untuk memperingati almarhum, sesudah itu kami sekeluarga kumpul bersama makan masakan hasil sesaji. Bayangan tentang hari raya ini lambat laun menjadi muram.

Mungkin aku termasuk manusia yang tidak punya hari raya: ulang tahunku yang jatuh pada 29 Februari tahun kabisat, menyebabkan aku tidak punya kebiasaan merayakan ulang tahun. Karena tidak menganut suatu agama, aku juga tidak merayakan Natal, Idul Fitri atau Waisak. Ketika melihat orang lain bersukacita, aku sering merasa kesepian. Tiba-tiba aku menyadari, kami orang Tionghoa sebetulnya masih punya hari raya Sin cia, yang tak pernah dirayakan lagi hanya karena terpaksa. Keinginan untuk kembali menikmati kehangatan masa lalu muncul kembali tanpa aku tahu mengapa. Karena di dalam negeri kami tidak mungkin lagi menikmati suasana perayaannya, aku bersama teman mencoba menikmati suasana Chun jie di daratan Tiongkok, sambil mengunjungi seorang kawan yang sedang mudik ke Hangzhou.

Waktu itu musim dingin. Persiapan pakaian yang kurang menyebabkan kami menggigil di jalanan. Tengah malam pergantian tahun kami ikut dalam perjamuan Chun jie yang diadakan keluarga kawan di rumah orang tuanya di sebuah apartemen kecil. Esok harinya kami mengunjungi taman kecil di tengah kota berbaur dengan penduduk yang berekreasi. Di tengah jalan nampak penduduk kota yang lain berduyun-duyun berjalan menuju ke arah kuil Yinling yang terkenal untuk memanjatkan harapan untuk tahun yang baru.

Pengalaman yang paling seru adalah ketika kami menumpang kereta api dari Suzhou ke Nanjing. Karena sudah menginjak hari ke lima Chun jie, arus balik liburan mulai meningkat. Kami terpaksa membeli tiket kereta lewat calo, seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggu penumpang penuh sesak. Waktu kereta datang, penumpang berebut naik dengan berdesakan dan dorong-mendorong. Suasananya mirip perang. Setibanya di atas kereta, kita baru tahu bahwa kami mendapat kereta kelas kambing. Dengan susah payah kami mencari nomor duduk, sementara di tengah koridor penumpang yang tidak punya tempat duduk memenuhi lantai, mirip kereta pengungsi. Suasana seperti ini mungkin seperti di Indonesia saat lebaran. Situasi seperti ini merupakan pengalaman yang cukup menyiksa.

Pengalaman merayakan Chun jie dengan keluarga orang di negeri lain merupakan suatu pengalaman baru. Namun keramaian itu tidak pernah benar-benar membuatku terlibat. Di dasar hati aku tetap merasakan ini adalah perayaan masyarakat mereka, keluarga mereka, bukan diperuntukkan bagiku. Chun jie mereka ternyata bukan Sin cia kami. Sekembalinya dari sana perasaan kosong yang aku dapatkan. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Dalam hati selalu ada pertanyaan: Dimana seharusnya tempat kami?

Setelah bertahun-tahun aku mengacuhkan hari raya ini, sekarang tiba-tiba aku merasa membutuhkannya, dan aku tak dapat memenuhi kebutuhan ini di negeri orang lain. Ada apa denganku? Apakah ini sekadar kecengengan manusia yang suka bernostalgia dengan masa lampau? Setelah aku renungkan dalam-dalam, aku baru sadar, kebutuhanku akan Sin cia adalah suatu kerinduan tentang kebebasan, lepas dari kekangan, kebebasan untuk mengekspresikan diri!

Orde Baru tidak hanya melarang perayaan Sin cia juga melarang semua pendidikan dan kebudayaan Tionghoa, termasuk tulisan kanji dan semua bacaan beraksara kanji. Kebiasaanku dari kecil untuk membaca cerita komik dalam bahasa Mandarin tak terasa telah membuat diriku sangat menggemari sastra Mandarin. Ketika pelarangan buku Mandarin menjadi kenyataan, aku merasakan kehilangan yang sangat. Dengan berbagai cara aku masih bisa memperoleh buku-buku itu. Perasaan was-was dan tertekan selalu menyertaiku saat melewati para petugas pemeriksa di bandara, hanya karena di dalam kopor, di bawah pakaian-pakaian kotor, selalu tersembunyi berbagai buku dalam huruf Mandarin. Sungguh sangat absurd di muka bumi ini ada pelarangan suatu jenis huruf, dan pelarangan ini tercantum di atas formulir isian penumpang pesawat bersamaan dengan bacaan porno, narkotika dan senjata api! Perasaan tertekan ini dengan sendirinya membuat kebencianku terhadap penguasa yang menciptakan belenggu dan rambu tak terhindarkan lagi. Akhirnya, aku juga jadi maklum dengan perasaan pedih dan kehilangan masyarakat Tionghoa yang dipaksa melepaskan tradisi turun temurun, meredam semua keinginan, antusiasme merayakan Sin cia setiap tahunnya. Mengapa ada pemerintah yang merampas hak rakyatnya untuk bergembira dan menikmati kebudayaannya sendiri?

Setelah Orde Baru, limbung masyarakat Tionghoa menuntut kembali haknya. Eksistensi Sin cia diperjuangkan untuk diakui, seketika tarian barongsai muncul dimana mana. Saat menyaksikan barongsai beraksi dalam perayaan Sin cia pertama kali setelah dilarang, tak dapat aku menahan rasa haru yang bergejolak dalam dada, hatiku miris menangis, pertanyaan-pertanyaan berkecamuk: Apa salahmu sehingga dalam tahun-tahun yang begitu panjang engkau harus bersembunyi? Mengapa engkau sampai diharamkan?

Sekarang setelah engkau muncul kembali dengan tubuh penuh luka, apa yang masih dapat engkau lakukan? Engkau menghentak-hentakkan tubuhmu dengan penuh tenaga, seakan-akan seluruh perasaan pedih tertekan yang terpendam selama ini hendak kamu lepaskan serentak. Bunyi tambur seperti menyuarakan jerit protesnya. Sudah pasti, kemunculanmu merupakan tamparan keras bagi penguasa yang pernah membelenggumu. Kemunculanmu juga menyadarkan kita, bahwa suatu kebudayaan meski coba diredam dengan paksa selama 32 tahun, dia tidak lalu mati. Begitu angin perubahan bertiup, dia pasti akan hidup kembali! Ini mengingatkan kita pada sebuah syair klasik dari penyair dinasti Tang Bai Juyi : Hamparan rerumputan di atas padang, Semusim melayu semusim merimbun Api belantara tak dapat membakarnya habis, begitu angin musim semi bertiup dia akan tumbuh kembali.

Di tengah suasana kegembiraan aku selalu masih memendam kekhawatiran. Apakah kebebasan ini hanya gejala sesaat? Mungkinkah suatu ketika kekuasaan yang begitu represif akan kembali hadir? Andaikan pemerintahan di masa yang akan datang masih saja demokratis dan tidak diskriminatif, apakah sentimen rasialis yang sudah tertanam di masyarakat juga dapat lenyap? Apakah saat ini kita sudah dapat merayakan Sin cia tanpa rasa was-was? Aku kira pertanyaan di atas seharusnya juga menjadi pertanyaan bagi seluruh bangsa, harus terus diajukan, dan menjadi peringatan terus-menerus di dalam hati, agar kita selalu waspada. Ingatan tentang masa lalu sangat baik untuk menjadi bekal kita dalam melangkah. Kita akan selalu diingatkan: pergulatan melawan diskriminasi dan rasialisme adalah pergulatan panjang yang tak mengenal kata lelah. Pekerjaan sepanjang masa ini harus dilakukan seluruh anak bangsa dari generasi ke generasi! Di tengah eforia kebebasan, setelah pesta usai, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan.

Alangkah baiknya kita dapat merenungkan sebuah syair yang ditulis penyair Xin Qiji dari dinasti Song. Dia menulis untuk malam perayaan yuan xiao atau capgomeh, akhir dan puncak perayaan tahun baru Imlek. Angin timur memekarkan ribuan bunga malam dan meniup jatuh, bintang-bintang bagai hujan. Kuda pusaka dan kereta kencana harum sepanjang jalan. Suara seruling mengalun, sinar rembulan berputar ikan-ikanan dan ular naga menari semalaman. Capung-capung, umbul-umbul dan rumbai emas canda tawa dan langkah gemulai meninggalkan wangi. Lama mencarinya dalam kerumunan manusia, ——— seketika menoleh ke belakang, orang itu ternyata berada di tempat di mana sinar lentera hanya temaram.

ZHOU FUYUAN, arsitek yang tinggal di Jakarta

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 28: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Ilmu Sosial, Seberapa Ilmiah?

John Roosa

Pelajar di Indonesia cukup banyak mencurahkan waktu untuk belajar ilmu sosial. Sejak SD murid sekolah diajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan sejarah, di samping mata pelajaran lainnya. Di perguruan tinggi mahasiswa belajar antropologi, sosiologi, psikologi dan bidang-bidang lainnya. Masalahnya, dalam pengajaran ilmu sosial ini murid atau mahasiswa diberi kesan bahwa ilmu itu seolah-olah pasti adanya. Karena itu, kita mendapat kesan salah seolah ada kesepakatan umum di kalangan ilmuwan sosial akan tujuan dasar, fungsi metodenya. Seperti bidang lainnya, ilmu sosial diajarkan sebagai deretan rumus atau kesimpulan yang harus diingat, dan bukan sebagai rangkaian pertanyaan yang seharusnya muncul dari para murid atau mahasiswa sendiri. Dalam esei ini saya ingin mengangkat sejumlah masalah dasar dalam ilmu sosial dan menawarkan jawaban dari saya sendiri. Tentu saja, tidak semua bisa kita bahas di dalamnya, tapi apa yang diuraikan lebih banyak bertujuan menantang kita semua untuk berpikir tentang masalah-masalah tertentu.

Tujuan Ilmu Sosial

Ilmu sosial biasanya dianggap sebagai metode untuk memperbaiki masyarakat. Jika kita memahami kebenaran masyarakat kita secara ilmiah, maka kita akan tahu cara memperbaikinya. Jika kita mempelajari sebuah masalah sosial dengan seksama, misalnya kemiskinan, dan menelusuri penyebabnya dengan mengumpulkan semua data yang kita miliki dan menerapkan ketrampilan logika kita yang terbaik, maka kita akan mampu merumuskan kebijakan pemerintah yang tepat dan tindakan sosial untuk memberantasnya. Ini mungkin pandangan tentang ilmu sosial sebagai dokter bagi penyakit yang diidap masyarakat. Ilmu sosial sepertinya memberi harapan bahwa penjelasan yang keliru tentang masalah-masalah sosial (misalnya bahwa kemiskinan disebabkan oleh persekongkolan kelompok etnik atau agama tertentu) dapat dikikis dan kita, sebagai masyarakat, dapat mengenali kebenaran serta memecahkan masalahnya bersama-sama.

Harapan ini tentunya naif bagi dunia yang penuh dengan kepentingan dan tidak tertarik pada ilmu sosial jika ilmu itu bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya saja, ada sekumpulan ilmuwan sosial yang melihat bahwa kebijakan IMF (yang notabene menguasai perekonomian Indonesia sekarang) ternyata membuat kemiskinan semakin parah, maka temuan itu tidak akan ada pengaruhnya terhadap IMF sendiri karena para pejabatnya berkepentingan untuk jalan terus dengan kebijakan itu. Apalagi IMF ini mewakili kepentingan bank-bank besar di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, yang didirikan untuk mencari untung, bukan untuk mengatasi kemiskinan. IMF sudah tentu akan mengabaikan temuan studi ilmiah yang tidak membenarkan kebijakan yang sudah mereka tetapkan. Dalam kenyataan kita lihat bahwa IMF terus-menerus mengabaikan studi-studi kritis tentang “kebijakan penyesuaian struktural” – yang juga berlaku di Indonesia sekarang (kenaikan pajak, sumberdaya untuk ekspor, pengurangan pengeluaran pemerintah, dan seterusnya). Alih-alih memperhatikan studi-studi kritis itu, IMF membiayai sejumlah penelitian “ilmiah” untuk menyembunyikan kebenaran tentang kebijakan-kebijakannya yang salah.

Walau hasil dari penelitian sosial mungkin tidak meyakinkan mereka yang berkepentingan untuk menolak hasil-hasilnya, kita tetap harus melakukan penelitian. Kita tidak bisa berkesimpulan bahwa ilmu sosial pada dasarnya tidak jelas. Bahwa ada sekelompok orang yang menolak temuan kita, tidak berarti bahwa semua orang akan menolaknya. Mungkin ada banyak orang yang terdorong oleh informasi dan temuan kita, akan berjuang untuk mengubah kebijakan tertentu. Mari kita lihat IMF lagi sebagai contoh. Saat ini ada banyak organisasi yang dibentuk untuk menekan IMF agar mengubah kebijakan-kebijakannya. Mereka mengadakan demonstrasi di berbagai kota di dunia. Demonstrasi semacam itu tak akan ada gunanya jika tidak ada studi-studi ilmiah yang membuktikan bahwa kebijakan IMF menghasilkan kemiskinan. Kekuatan politik memang perlu untuk mendorong perubahan lembaga-lembaga seperti IMF, tapi kekuasaan yang tak bersandar pada ilmu adalah kekuasaan sewenang-wenang yang hanya menguntungkan pemegang kuasanya.

Ketika esei ini ditulis, ada puluhan ribu orang berkumpul di Genoa, Italia untuk memprotes pertemuan kepala-kepala negara industri maju. Pertempuran di jalan-jalan kota Genoa sesungguhnya adalah konflik antara dua versi tentang realitas. Para demonstran yakin bahwa kebijakan “globalisasi” yang dipaksakan oleh negara-negara industri berarti penghisapan sumberdaya dan rakyat dunia untuk keuntungan perusahaan multinasional raksasa yang bermarkas di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Namun para presiden yang menghadiri pertemuan itu percaya bahwa mereka sesungguhnya sedang menyelamatkan rakyat dunia dari kemiskinan. George W. Bush, misalnya, mengatakan kepada pers bahwa kebijakan-kebijakannya menyelamatkan rakyat dari kemiskinan, sementara usulan dari para demonstran hanya akan membuat orang miskin “tetap terjerembab ke dalam kemiskinan”. Siapa yang benar? Ya, sederhana saja, terserah pada masing-masing orang untuk menentukan dan mengambil keputusan.

Adalah wajar bahwa ilmu sosial didorong oleh keinginan untuk memperbaiki masyarakat. Kebanyakan orang akan menganggapnya percuma jika tidak mampu menjawab persoalan-persoalan sosial. Tapi kita harus tahu bahwa niat baik ternyata tidak cukup untuk menghasilkan ilmu yang baik pula. Misalnya, seorang ilmuwan sosial yang berniat membantu anak jalanan dan dengan penuh kasih serta simpati, mempelajari kehidupan mereka. Terlepas dari niat baiknya, ilmuwan ini bisa saja berhenti pada pengumpulan bahan dan menggambarkan penderitaan anak jalanan itu dengan harapan bahwa pengungkapan hasil temuannya ke media massa akan mendatangkan simpati dan uluran tangan orang lain. Bisa saja hasil temuannya, sekali lagi terlepas dari niat baik tadi, tidak menjelaskan mengapa ada anak yang terpaksa hidup di jalan, tentang bagaimana kemiskinan anak-anak ini berkaitan dengan situasi ekonomi secara umum, atau mengidentifikasi wilayah-wilayah di mana penanganan pemerintahan maupun non-pemerintah akan berlangsung efektif. Untuk menghasilkan ilmu yang baik kita harus berpikir serius dan kreatif dalam mengidentifikasi masalah, membuat pengamatan kritis terhadap asumsi-asumsi yang ada, dan bekerja keras untuk mengumpulkan data yang dapat diandalkan, dan juga berpikir terbuka serta berani mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan keyakinannya. Ilmu sosial dengan kata lain, memerlukan keketatan konsep bukan hanya niat baik.

Ada juga ilmuwan sosial yang tidak berusaha memberikan penjelasan terhadap masalah sosial tertentu dan tidak percaya bahwa ilmu sosial seharusnya dirancang untuk membawa perubahan sosial. Mereka merancang penelitian untuk menafsirkan perilaku manusia, bukan untuk menjelaskan apa yang menyebabkan orang bertindak. Mereka juga cukup terbuka untuk mengakui bahwa ada sekian banyak penafsiran berbeda yang sama sahnya terhadap apa yang mereka teliti. Masyarakat dalam pandangan mereka bukanlah seperti pasien yang gejala-gejala penyakitnya perlu diagnosa dan disembuhkan, tapi lebih seperti permainan, dan tugas ilmuwan adalah memahami aturan mainnya sehingga kita semua dapat bermain lebih baik.

Kita ambil contoh Clifford Geertz, antropolog Amerika yang dikenal luas di Indonesia. Ia pernah menulis esei yang sekarang dianggap klasik tentang adu ayam di Bali. Dalam tulisan itu ia tidak menjelaskan mengapa permainan adu ayam itu ada. Pertanyaan yang ingin dijawabnya adalah, apa sesungguhnya arti adu ayam bagi orang Bali? Seorang ilmuwan yang berpikir sempit dan menerima perspektif polisi bahwa adu ayam adalah kejahatan, menganggapnya sebagai sebuah masalah sosial dan akan melakukan penelitian tentang cara memberantasnya. Tapi Geertz menganggap masyarakat Bali seperti teks, seperti sebuah novel, dan berperan seperti kritikus sastra yang berusaha memahami makna sebuah teks. Ia mengatakan bahwa adu ayam memungkinkan orang Bali untuk melihat sisi kehidupan emosionalnya yang biasanya tertekan; jika dalam kehidupan sehari-hari orang Bali terlihat rapi, disiplin dan kalem, maka dalam arena adu ayam mereka akan terlihat seperti mahluk ganas.

Walau Geertz sendiri tidak menganggap dirinya sebagai orang yang berharap mengubah masyarakat, dalam karya-karyanya tetap ada harapan bahwa pengetahuan yang lebih baik tentang perilaku manusia memungkinkan kita menuju hidup yang lebih baik pula. Geertz sangat tinggi komitmennya terhadap ilmu; ia ingin mengembangkan ilmu tafsir atas perilaku manusia yang dapat menangani “dilema-dilema eksistensial kehidupan.” Pendekatan itu baik saja adanya. Tapi kita tidak bisa melihatnya menggantikan tugas menjelaskan kebudayaan. Tafsir atau interpretasi seharusnya dilihat sebagai pelengkap untuk menjelaskan. Buku Geoffrey Robinson tentang kekerasan di Bali adalah kontras yang baik terhadap pendekatan Geertz. Dalam buku itu ia memberikan penjelasan logis yang sangat baik tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembunuhan massal 1965-66. Penjelasan tentang sebab-akibat sangat mendasar bagi ilmu sosial – demikian halnya tafsir atas makna.

Hampir semua ilmu sosial mengandung unsur utopianisme tertentu. Hal ini jarang disadari di Indonesia, karena ilmu sosial masih dianggap sama seperti reportase tentang “kenyataan sosial”. Juga jarang disadari oleh mereka yang gemar berslogan “yang kongkret-kongkret saja”. Bagaimanapun, setiap ilmuwan sosial sesungguhnya mengembangkan gagasan ideal tentang “masyarakat yang lebih baik” dan terus berpikir tentang bagaimana mencapai bentuk semacam itu.

Bahkan saat mempelajari masyarakat lain, kita mau tidak mau mengambil masyarakat sendiri sebagai perbandingan. Margaret Mead, antropolog Amerika yang tersohor itu, pernah mengatakan bahwa tujuannya mempelajari masyarakat lain untuk tahu bagaimana mengubah masyarakatnya sendiri. Penelitiannya tentang seksualitas remaja di Samoa memperlihatkan bahwa pubertas bukanlah fase traumatik dalam kehidupan seperti halnya di masyarakat Barat. Apa yang selama ini dianggap alamiah atau tak terhindarkan ternyata bersifat kultural dan terbuka bagi perubahan. Tapi, walau kesimpulannya mungkin benar, penelitiannya juga memperlihatkan bahaya dari niat baik. Seperti ditunjukkan sejumlah antropolog lain, lingkup informasinya tentang Samoa sangat terbatas dan ia juga keliru menafsirkan banyak hal dalam kebudayaan setempat. Ilmu sering berarti menghadapi bagian-bagian dari perilaku manusia yang tidak disukai seseorang. Saya sendiri tak suka penyiksaan tapi ada banyak tentara dan polisi di dunia yang melakukannya. Jika kita ingin mengakhiri praktek penyiksaan, maka kita terlebih dulu harus memahaminya. Tugas dari ilmu sosial bukan hanya mengutuk penyiksaan; tapi terutama memahaminya. Dan untuk memahaminya kita harus berbicara dengan mereka yang melakukan penyiksaan dan memasuki alam pikirnya. Kita juga harus berbicara kepada para korban dan memastikan apa saja akibat dari siksaan itu bagi mereka. Kita juga harus melihat tempat para pelaku penyiksaan itu dalam negara, bagaimana perilaku itu didorong, dibiarkan dan bahkan dipuji oleh penguasa negara.

Beda Ilmu Sosial dan Ilmu Alam

Obyek studi ilmu sosial sungguh berbeda dari ilmu alam, karena masyarakat penuh dengan kepentingan subyektif. Misalnya jika seorang ilmuwan mengatakan bahwa katak umumnya kawin saat hujan, ia tidak akan menghadapi sekelompok katak yang mendebatnya. Katak tidak akan merasa malu karena pola kawinnya dibahas di hadapan orang banyak, mereka juga tidak akan membentuk organisasi untuk memaksa ilmuwan itu menarik kembali kesimpulannya. Mereka tidak akan berbohong dan mengatakan bahwa katak lebih senang kawin saat panas terik, dan juga tidak akan berhenti kawin saat hujan untuk membuktikan bahwa ilmuwan itu keliru.

Alam berperilaku menurut kebutuhan. Seekor singa tidak banyak pikir sebelum memburu seekor zebra. Lempengan tektonik di kulit bumi tidak akan memutuskan apakah akan bergerak atau tidak, apakah akan membuat gempa bumi atau tidak. Manusia, tentu saja adalah bagian dari alam. Dari segi fisik, susunan tubuh kita tidak lebih rumit dari seekor kucing dan hanya sedikit di atas seekor cacing. Tubuh kita memiliki unsur kimia yang sama seperti tanaman dan mengalami proses yang sama: tumbuh, melakukan reproduksi dan seterusnya. Segi fisik kita menjadi obyek penelitian ahli biologi, bukan ilmu sosial. Apa yang membuat ilmu sosial berbeda adalah perhatiannya terhadap gagasan manusia, kesadaran, subyektivitas, atau apa yang disebut Max Weber “jaring-jaring pemaknaan” (webs of signification).

Masyarakat berbeda dari alam, berbeda jenis bukan hanya tingkat, karena masyarakat terdiri atas individu-individu yang berpikir, melakukan refleksi atas tindakan mereka, dan mengubah perilaku mereka. Alam menjadi misterius hanya karena kita tidak memahaminya dengan baik, bukan karena alam itu sendiri ingin menyembunyikan diri dari kita. Manusia, sebaliknya, adalah mahluk penuh rahasia dan kebohongan. Seseorang bukan hanya menipu orang lain tapi seringkali menipu dirinya sendiri.

Lalu bagaimana bisa manusia mencipta ilmu tentang dirinya? Bukankah semua ilmu sosial akan tercemar oleh bias subyektif para ilmuwannya? Bagaimana cara manusia mempelajari dirinya? Bukankah obyek studi itu akan selamanya tidak jelas? Bukankah tidak mungkin kita berbicara secara obyektif tentang subyektivitas?

Ini memang pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan sampai sekarang belum terjawab. Tapi seringkali di Indonesia kita melihat obsesi akan “obyektivitas” dan keinginan memiliki ilmu sosial yang sepenuhnya obyektif, yang dapat berbicara sama obyektifnya seperti ilmu alam. Semua orang mengaku “obyektif” dan ingin mengetahui ilmu sosial yang “obyektif” pula.

Kekacauan berpikir tentang obyektivitas ini dapat dilihat dalam pernyataan Amien Rais baru-baru ini. Dalam wawancara di SCTV, 21 Juli lalu, ia mengatakan bahwa “obyektivitas” demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak. Jadi jika mayoritas anggota MPR setuju menurunkan Gus Dur karena melanggar UUD 1945, maka menurut Amien Rais, Gus Dur memang melakukan pelanggaran. Ini tentu saja definisi yang tidak masuk akal. Gus Dur mungkin saja tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun, tapi karena kebanyakan partai politik ingin mengusirnya dari istana dan merebut kekuasaan untuk kepentingannya sendiri, mereka akhirnya menjatuhkan keputusan itu sekalipun tidak ada bukti. Jika di masa depan mayoritas partai politik menuduh Amien Rais melakukan kejahatan dan mengusirnya dari jabatan Ketua MPR, saya ragu bahwa ia masih percaya kata-katanya sendiri tentang obyektivitas.

Di abad ke-19 dan bahkan sampai abad ke-20, banyak orang percaya bahwa ilmu sosial hanya mungkin berkembang jika mengambil ilmu alam sebagai modelnya. Ada yang bahkan mengusulkan “ilmu yang satu”, untuk mempersatukan ilmu alam dan ilmu sosial. Perilaku manusia, dalam pandangan ini, dipahami sebagai proses alamiah yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Subyektivitas dilihat sebagai hasil proses kimiawi dalam otak dan otak pun diperlakuan semata-mata sebagai salah satu organ tubuh, sama halnya seperti ginjal namun sedikit lebih rumit. Beberapa ahli biologi yang mempelajari gen mengatakan bahwa karakteristik tertentu dari perilaku manusia sudah ditetapkan sejak lahir. Ilmuwan sosial akan mengimbanginya dengan membuat eksperimen yang berulang-ulang terhadap subyek manusia di laboratorium dan membuat tabulasi hasil-hasilnya di komputer. Kita lihat seolah-olah misteri subyektivitas manusia dapat dibawa masuk secara tegas ke dalam wilayah ilmu alam.

Dewasa ini hanya sedikit orang yang percaya bahwa ilmu sosial harus mengikuti jejak ilmu alam. Kebanyakan orang setuju bahwa obyek ilmu sosial, yakni subyektivitas manusia, tidak dapat dipelajari sebagai bagian organik dari alam yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Tentu saja, ada kesamaan dari segi metode: ilmu sosial juga menganggap penting bukti dan argumen yang masuk akal, tapi subyektivitas harus dipelajari dengan cara berbeda. Usaha memasukkan ilmu sosial ke dalam ilmu alam berlandaskan pada pengebirian konsep subyektivitas manusia. Dalam pandangan ini manusia diturunkan derajatnya seperti binatang: kita bisa berbicara lebih baik dari burung beo, bisa membuat alat-alat yang lebih baik daripada kera (yang tidak pernah beranjak lebih jauh dari membuat tongkat untuk merusak lubang semut), dan bermain musik lebih baik dari ikan paus (yang bernyanyi di bawah air) – tapi pada dasarnya kita tidak berbeda.

Dalam hal menurunkan derajat kemanusiaan dan menyamakannya dengan alam, “ilmu ekonomi” adalah yang paling buruk dan berbahaya. Ekonomi bergerak maju menyerupai ilmu yang “pasti” justru karena asumsi-asumsinya yang menyederhanakan perilaku manusia. Ekonomi yang pada umumnya diajarkan di perguruan tinggi Indonesia dan tempat lainnya (ilmu ekonomi yang memotivasi IMF) bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang senantiasa cari untung dengan kecenderungan alamiah untuk truck, barter and exchange, seperti dikatakan Adam Smith. Itulah “manusia ekonomi yang rasional”. Seandainya saja setiap orang adalah pedagang dan berlaku seperti pedagang maka asumsi itu tepat adanya. Ilmu ekonomi standar, sebagai analisis tentang perilaku manusia, rumah tangga dan perusahaan, mengabaikan kenyataan kelas dan hubungan kuasa dalam struktur sosial. Terlepas dari model matematiknya yang rumit dan klaimnya sebagai ilmu yang “pasti”, ekonomi standar ini penuh dengan absurditas.

Semua ilmu sosial yang valid bertolak dari pengetahuan bahwa manusia adalah mahluk yang kreatif. Kita harus menghargai kenyataan dasar ini. Perilaku manusia tidak mengikuti hukum-hukum keteraturan alam justru karena manusia dapat mengubah perilakunya. Kita terus-menerus melakukan refleksi atas tindakan kita dan berusaha menentukan apakah yang kita lakukan adalah baik atau buruk. Budaya tidak sama dengan alam justru karena kapasitas manusia untuk mengubah perilakunya. Artinya masalah obyektivitas dalam ilmu sosial amat berbeda dari ilmu alam. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa obyektivitas tak mungkin diraih dan dengan begitu ilmu sosial takkan mungkin menjadi ilmu. Namun, kita harus tahu bahwa gagasan tentang obyektivitas dalam ilmu alam tidak dapat kita gunakan dalam ilmu sosial.

Lalu, apa obyektivitas itu dalam ilmu sosial? Kita tidak mungkin menjawab pertanyaan itu dalam beberapa paragraf saja. Saya hanya memaparkan beberapa elemen saja dari jawaban yang sesungguhnya panjang. Banyak ilmuwan sosial mengatakan bahwa ilmu sosial adalah ilmu tentang aturan yang diikuti manusia. Dengan mengamati aturan-aturan ini, ilmuwan sosial dapat memahami keteraturan perilaku manusia dalam masyarakat tertentu. Masalahnya aturan-aturan itu tidak begitu saja ada: manusia tidak mengikuti aturan karena mereka diprogram secara genetik untuk melakukannya. Aturan-aturan seperti itu terus berubah dan bervariasi dari masyarakat satu ke yang lain. Aturan-aturan itu juga tidak diikuti secara ketat oleh manusia. Artinya kita tidak dapat mempelajari aturan-aturan itu lalu menyimpulkan perilaku manusia berdasarkan itu.

Kita ambil contoh, sebuah pabrik. Peneliti di pabrik itu melihat bahwa buruh menghormati mandor. Mereka mengikuti beragam aturan etiket saat berurusan dengan mandornya: mereka menjaga agar tubuhnya tidak terlalu dekat, menundukkan kepala saat menatap wajahnya, menyebutnya “tuan” atau “beliau”, tidak bergurau dengannya, dan tidak berbalik memunggungi sebelum ia pergi. Seorang peneliti bisa saja menafsirkan perilaku para buruh ini sebagai tanda penghormatan terhadap sang mandor dan pengakuan akan adanya hirarki sosial dalam pabrik. Tapi, pengamatan yang lebih teliti ternyata menunjukkan bermacam kejanggalan: buruh-buruh itu kadang berlebihan mengikuti ‘aturan’ itu: membungkukkan badan dalam-dalam, berbicara dengan gelar penghormatan yang hebat-hebat, sedemikian rupa sampai mandor itu tidak tahu lagi apakah buruh-buruh itu sesungguhnya hormat, agak gila atau sedang mengejeknya. Peneliti itu kemudian juga bisa melihat bahwa di luar pintu pabrik ternyata buruh-buruh itu setengah mati menertawakan sang mandor, dan bahagia karena bisa mempermainkannya. Dari sana ia bisa melihat bahwa di balik apa yang nampak ada realitas lain, dan karena itu tidak akan terkejut jika suatu saat, buruh-buruh itu secara terbuka akan menantang sang mandor, memperlihatkan sikap tidak hormat, lalu mencoba menguasai pabrik itu. Dalam contoh ini kita bisa lihat bagaimana aturan ditaati, dan ada semacam kepastian di sana. Tapi kita juga melihat adanya ambiguitas tentang bagaimana aturan itu ditaati, dan ini semua memerlukan kemampuan tafsir. Kita juga bisa melihat bahwa aturan-aturan pada dasarnya selalu bisa berubah.

Salah satu perdebatan terbesar dalam ilmu sosial adalah mengenai manusia sebagai agen dan struktur sosial. Manusia jelas memiliki kemampuan untuk mengubah aturan, mengubah struktur masyarakat mereka – atau dengan kata lain memiliki kemampuan sebagai agen yang mengubah. Revolusi Indonesia 1945-49 misalnya, secara dramatis mengubah struktur sosial; revolusi itu bukan hanya mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda, tapi juga mengakhiri kekuasaan sejumlah kerajaan feodal. Di atas hirarki rasial, etnik dan politik negara kolonial yang ketat, kaum nasionalis membangun sebuah negara baru berdasarkan persamaan bagi semua warganya. Revolusi adalah perwujudan nyata dari kekuatan kreativitas manusia dan kehendak-kuasa mengubah struktur sosial. Namun, kita juga harus mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam hal apa yang dapat diubah dan seberapa jauh mereka mampu mengubahnya. Misalnya Indonesia sampai sekarang umumnya masih terdiri atas masyarakat pedesaan yang berkaitan dengan pertanian; Indonesia tidak bisa menjadi masyarakat industri dalam semalam, apalagi masyarakat pasca-industri yang serba komputer, hanya karena kita menginginkannya. Dialektika antara agen dan struktur adalah masalah sulit dan terletak di jantung ilmu sosial.

Untuk membuat aturan, harus ada pemahaman yang sama tentang aturan antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sikap tak menghormati tidak akan menjadi demikian jika orang yang melihat sikap itu tidak memahaminya. Seseorang tidak mungkin membuat aturannya sendiri. Artinya, aturan bukanlah fakta-fakta subyektif, yang ada semata-mata karena kita menganggap atau menginginkannya ada. Jika tidak subyektif, apakah aturan-aturan itu bersifat obyektif? Aturan itu juga tidak obyektif seperti hukum alam karena sifatnya yang tidak tetap; aturan itu ada dalam komunikasi intersubyektif dan tidak disediakan dengan sendirinya oleh alam. Salah satu pengertian obyektivitas dalam ilmu sosial dapat disebut intersubyektivitas.

Demistifikasi

Jika ilmu alam bertugas membuat alam dapat dimengerti oleh kita, maka salah satu tugas penting bagi ilmu sosial adalah melakukan demistifikasi terhadap hubungan-hubungan sosial. Dengan pengalaman kita hidup di bawah Orde Baru, kita tahu bahwa ada orang dan lembaga yang sengaja ada untuk menipu publik. Di zaman Orde Baru pemilu diadakan lima tahun sekali untuk memperlihatkan bahwa Soeharto adalah presiden yang dipilih secara demokratik. Sebenarnya cukup jelas bagi setiap orang yang punya pikiran kritis bahwa pemilu itu tidak fair dan bahwa Golkar senantiasa berbohong. Salah satu tugas ilmu sosial adalah melakukan analisis terhadap kenyataan hubungan kuasa dalam masyarakat di balik segala ilusi yang diciptakan oleh hubungan itu.

Ada banyak jalan bagi ilmu sosial untuk membongkar realitas dan melawan mitos-mitos yang diciptakan. Banyak orang Indonesia percaya bahwa orang Tionghoa sekarang mengontrol sebagian besar kekayaan negeri ini. Beberapa tahun lalu ada angka statistik yang terus-menerus dikutip oleh pers, bahwa orang Tionghoa yang hanya 2% dari jumlah penduduk Indonesia menguasai 70% kekayaan negeri. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata angka statistik itu sama sekali tidak berdasar. Salah satu tugas ilmu sosial adalah memperlihatkan siapa yang menguasai kemakmuran, dan dalam hal itu kita harus jelas apa yang dimaksud “kemakmuran” dan cara mendefinisikan kelompok-kelompok etnik.

Ilmu sosial tidak bisa berhenti pada gerak membongkar kenyataan, tapi harus melihat bagaimana mitos-mitos menyelubungi kenyataan. Karena itu, tugasnya adalah melihat kembali mitos itu dan menjelaskan mengapa mitos seperti itu ada dan dapat bertahan. Kenapa kita tidak bisa mengenali kenyataan? Apa yang menghalangi kita mengenali kenyataan. Semua mitos yang penting dan dapat bertahan punya dasar kuat; mitos-mitos itu selalu mencerminkan sebagian persepsi tentang kenyataan dan bukan semata-mata salah paham yang parah. Misalnya, banyak orang percaya bahwa perkosaan biasanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal korban. Tapi jika orang mempelajari pola kasus-kasus perkosaan maka terlihat bahwa para pemerkosa ini umumnya adalah teman, saudara dan tetangga para korban. Bagaimana kita menjelaskan mitos umum tentang perkosaan ini? Mungkin persepsi bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang tak dikenal korban muncul dari kecenderungan untuk membicarakan kejahatan semacam itu di dalam keluarga dan komunitas. Sementara mereka tidak pernah mendengar kasus perkosaan seperti itu, pers terus menyiarkan kasus-kasus perkosaan di mana pelaku seolah seperti mahluk jahat yang bersembunyi di lorong gelap untuk menerkam korbannya tiba-tiba.

Untuk mendemistifikasi kehidupan sosial, kita tidak dapat menggunakan pendekatan yang murni empirik dalam ilmu sosial, karena tugasnya bukan hanya merekam kenyataan dengan sungguh-sungguh. Masalahnya seperti kita lihat di atas, kenyataan itu seringkali disalahpahami. Banyak ilmuwan sosial yang terjangkit empirisime naif: mereka berkoar tentang data-data yang dikumpulkan: ribuan halaman data, berkilogram dokumen dan seterusnya. Tapi saat diminta menjelaskan apa yang mereka pelajari secara konseptual, yang keluar hanya beberapa potong kalimat saja. Ilmu sosial sebaiknya tidak dibayangkan seperti orang memotret kenyataan, tapi sebagai upaya mencari jalan dalam ruang penuh cermin.

Referensi: Robin Blackburn, ed., Ideology in Social Science (Fontana, 1972). Alex Callincos, Social Theory: A Historical Introduction (Polity, 1999). Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973). Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (Stanford University Press, 1990). Alan Ryan, The Philosophy of the Social Sciences (Macmillan, 1970). Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (Routledge, 1958).

JOHN ROOSA, sejarawan yang menetap di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 29: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

JJ Kusni Negara Etnik:Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak Penerbit: Fuspad, Yogyakarta, 2001, 189 hal.

Membangun Solidaritas Kemanusiaan

Mahendra

Pertikaian berdarah antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal tahun 2001 ini sekali lagi memperlihatkan betapa rapuh dan tak bermaknanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Setelah sebelumya diguncang oleh rangkaian pertikaian serupa di Kalimantan Barat, lalu pertikaian bernuansa agama di Ambon, Maluku dan di Poso, Sulawesi Tenggara, tragedi Sampit kembali menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan antar-etnis dan antaragama di Indonesia yang multikultur ini.Tragedi Sampit sekaligus juga menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah sehingga etnis Dayak yang merupakan penduduk asli, menjadi sedemikian marah dan mengambil “jalan merah” terhadap etnis Madura.

Berbagai pemberitaan media mengenai pertikaian tersebut masih melihat tragedi yang menewaskan ribuan nyawa dan puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi dengan stereotip dan stigma etnis. Sering kali diungkapkan bahwa penyebab utama pertikaian berdarah antara etnis Dayak dan Madura adalah perbenturan budaya dan adat-istiadat di antara mereka. Bahkan Kongres Rakyat Kalimantan yang berlangsung di Palangka Raya pada 7 Juni 2001 lalu masih menunjukkan betapa pemberdayaan budaya antara etnis Madura dan Dayak merupakan faktor utama yang menjadi penyebab kerusuhan.

Hal itu secara tersurat ditunjukkan dengan dikeluarkannya pernyataan mengenai “nasib” dan “status” etnis Madura di Kalimantan Tengah. Kongres menetapkan bahwa etnis Madura yang mengungsi boleh kembali ke Kalimantan Tengah dengan sejumlah persyaratan. Di antaranya, mereka adalah orang Madura yang sudah mampu beradaptasi dengan budaya setempat dan harus membayar denda adat serta wajib minta maaf kepada seluruh masyarakat Kalimanatan Tengah melalui DPR setempat (Kompas, 8 juni 2001). Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah memang perbedaan budayalah yang menjadi penyebab utama kerusuhan? Adakah hal lain yang sebetulnya justru menjadi substansi yang menyebabkan pertikaian?

Buku ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut di atas namun tidak dengan sikap emosional. Buku ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah yang “bermasalah”—dalam hal ini Kalimantan Tengah—dengan melihat substansi permasalahannya.Tidak seperti genre buku “marah-marah” lainnya yang menjamur pasca Orde Baru, yang banyak di antaranya hanya menggugat dan mengkritik tanpa memberikan alternatif yang substansial, buku ini salah satu dari sedikit buku yang menawarkan alternatif yang moderat dari segudang permasalahan yang ditinggalkan rezim Orde Baru. Namun bedanya, alternatif yang ditawarkan oleh buku ini berlandaskan pada alternatif yang berperspektif pada kepentingan rakyat banyak..

Tema sentral Negara Etnik adalah gugatan dan kekecewaan daerah dan etnis-etnis di Indonesia terhadap hubungan daerah dan pusat yang tidak seimbang. Sejak berdirinya Indonesia, terutama selama 32 tahun rejim Orde Baru yang sentralisitis, daerah-daerah dan etnik-etnik mengalami penindasan baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Walaupun mereka—khususnya Kalimantan Tengah—telah memberikan sumbangan yang sangat besar kepada negara namun bagian yang mereka peroleh sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kekayaan dan potensi daerah diambil oleh pusat. Inilah yang menyebabkan daerah-daerah menjadi kecewa. Kekecewaan ini menyebabkan daerah-daerah melontarkan berbagai tuntutan mulai dari otonomi, otonomi luas, bentuk negara federal sampai merdeka dari Indonesia. Hal inilah yang lantas oleh pemerintah pusat diredam dengan cara-cara militeristis yang justru menimbulkan luka yang dalam pada banyak daerah dan etnik di Indonesia.

Namun, yang menarik, JJ Kusni menyikapi berbagai tuntutan daerah—dari mulai otonomi sampai merdeka—itu dengan mempertanyakan apakah hal itu merupakan pemecahan masalah. Apakah tuntutan otonomi atau bahkan kemerdekaan, semuanya menjadi tidak relevan selama tuntutan-tuntutan tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan masyarakat banyak. Menurut JJ Kusni, kemerdekaan bukanlah segalanya yang pertama dan di atas segalanya adalah harkat manusia dan kemanusiaan serta kehidupan manisiawi yang terus menerus meningkat yang diwujudkan dalam suatu sistem (hal. 22). Lebih lanjut, ia mengungkapkan jika daerah-daerah mempunyai sistem alternatif untuk meningkatkan harkat kemanusiaan serta kehidupan yang manusiawi, mengapa tidak ditawarkan kepada daerah-daerah yang lain. “Jika solidaritas kemanusiaan saja tidak ada, apa yang bisa diharapkan dari negara merdeka yang hendak diproklamirkan itu? (hal. 23)”

Walaupun berjudul Negara Etnik, sebagai putra Dayak JJ Kusni justru menolak konsep negara yang berdasarkan pada etnis tertentu atau etnonasionalis. Etnis Dayak, menurut JJ Kusni, bukanlah berdasarkan pada keturunan, melainkan pada pemahaman dan penghayatan pada budaya Dayak, terlepas dari asal-usul keturunan. Dalam konteks ini, apa yang menjadi keinginan masyarakat Kalimantan pada hakekatnya adalah keinginan agar mereka dapat mengelola dan memanfaatkan segala potensi dan kekayaan daerahnya demi kepentingan masyarakat dan bukan demi kepentingan segelintir elit.

Untuk itu, sebenarnya masyarakat Dayak sudah mempunyai konsep pembangunan dari dan untuk bersama, yakni budaya betang (hal 129). Konsep inilah yang seharusnya menjadi cara untuk mempersatukan dan mencegah pertikaian antara beragam etnis yang ada di Kalimantan Tengah. Dengan budaya betang-lah seharusnya masyarakat Kalimantan Tengah bersama-sama menjadi rengan tingang, anak jata; menjadi etnis yang bermutu sehingga dapat memperoleh élan yang bertarung memenangkan hidup menjadi anak manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut hal yang harus dilakukan adalah dimulainya suatu pendidikan yang membebaskan dan pengorganisasian gerakan perlawanan yang berbasis pada massa. Dalam epilognya, JJ Kusni mengungkapkan pentingnya melakukan langkah pengorganisasian yang sistematis dan memperkuat posisi tawar massa. Bila hal itu dilakukan, maka menjadi tuan atas nasib sendiri adalah suatu keniscayaan.

Buku ini juga mengungkapkan bahwa masyarakat Dayak telah termarjinalisasi dan terhina sejak zaman Belanda. Pada masa kolonial budaya mereka dianggap sebagai “ragi usang” alias budaya yang tak berguna lagi. Penghinaan ini ternyata berlanjut setelah Kalimantan Tengah menjadi bagian dari Indonesia yang merdeka. Pada masa Orde Baru struktur tradisonal “Kadamangan” telah dikooptasi oleh Golkar dengan memasukkannya sebagai bagian dari Golkar dan birokrasi. Namun sebaliknya, mereka tidak dipercaya untuk memegang posisi-posisi strategis di daerahnya sendiri (hal 149-150). Pada bagian lain, diungkapkan bagaimana proses penindasan dan pelecehan budaya yang dilakukan oleh Orde Baru. Di antaranya berupa tak diakuinya kepercayaan tradisional kaharingan, yang dipaksa menjadi bagian dari agama Hindu (hal 149), juga pelecehan terhadap situs sakral Oloh Kasongan/Bukit Batu yang telah melukai hati masyarakat Dayak Ngaju (hal. 115).

Terlepas dari kelemahan dalam sistematika—seperti tak adanya daftar isi, hubungan antarbab yang kurang jelas—dan kesan pengulangan, paling tidak buku ini patut dibaca oleh masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang etnis Dayak. Buku ini juga patut dibaca oleh mereka yang tertarik untuk mengetahui aspirasi dan kekecewaan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Selain itu, buku ini juga dapat menjadi rujukan yang berguna.bagi mereka yang ingin memahami mengapa dan bilamana masyarakat Dayak, melakukan perlawanan bila aspirasinya tak tercapai.

Mahendra, Pekerja pada Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 30: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Ninotchka Rosca: “...yang ingin saya bangun adalah persamaan hak di antara bangsa-bangsa di dunia.”

Ninotchka Rosca adalah salah seorang aktivis politik exile Filipina yang pindah ke Amerika Serikat sejak rezim Marcos menyelenggarakan keadaan darurat di negerinya tahun 1970-an. Novel-novelnya menggambarkan bagaimana bangsa Filipina, juga seperti bangsa lainnya yang pernah mengalami penjajahan, pada zaman globalisasi harus menjadi budak. Pandangan-pandangannya terutama menyoroti suatu fenomena yang dialami oleh bangsa-bangsa dunia ketiga sekarang, yakni perempuan-perempuan mencari uang di negeri-negeri kaya dengan menjadi buruh migran, pelayan-pelayan di bar dan pekerja seks. Bagi Rosca, ini merupakan kenyataan-kenyataan konkret yang perlu diangkat, karena hampir seluruh bangsa-bangsa bekas jajahan dipaksa dan diharuskan menghadapi kenyataan ini.

Para buruh migran yang kebanyakan adalah perempuan perlu memperjuangkan dan mendapatkan hak-hak yang mereka miliki. Rosca begitu marah ketika pemerintah Singapura mengumumkan Flora Contemplacion, salah seorang buruh migran, harus dihukum gantung. Rosca bersama organisasi massa di Filipina melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menentang keputusan pemerintah Singapura. Peristiwa ini telah menjadi gejala universal bagi negara-negara terbelakang. Sehingga pada ceramahnya di PBB dalam rangka memperkuat Convention to Eliminate all forms of Discrimination (Cedaw) Rosca dengan lantang mengucapkan “sekarang ini di negeri-negeri terbelakang seperti Filipina dan Indonesia telah dibangun lembaga jual beli perempuan dibawah payung eufimisme “kerja”—pekerja penerima tamu, budaya hiburan, budaya tari dan sebagainya—hal ini menjadi sulit untuk dibedakan antara perempuan digunakan sebagai buruh murah dengan perempuan dipakai sebagai barang dagangan. Mereka dipergunakan sebagai pasar untuk produk-produk nonesensial dan jasa.”

Ninotchka Rosca dengan tegas menunjuk bahwa Bank Dunia dan IMF telah melakukan eksploitasi berganda terhadap perempuan dengan lembaga keuangan internasional ini mendesain “tiga pilar pembangunan” untuk negeri-negeri terbelakang. Salah satu pilar itu adalah turisme (untuk memperoleh mata uang asing dengan cepat agar segera membayar bunga pinjaman Bank Dunia) yang menjadi tulang punggungnya adalah perempuan-perempuan miskin. Masalah-masalah seperti ini yang diangkat Rosca ke dalam karya novelnya, karya seni yang mempunyai kekuatan pencerahan dengan memasukkan kebudayaan dan negeri yang sedang mengalami konflik. Karya-karya Ninotcska Rosca adalah Bitter Country and Other Stories, The Moonsoon Collection, State of War dan sebuah karya nonfiksi Endgame: Fall of Marcos.

Dua redaktur Media Kerja Budaya, Ayu Ratih dan John Roosa mewawancarai Rosca di University of Wisconsin, Amerika Serikat. Di bawah ini petikan hasil wawancara tersebut.

Bagaimana anda mulai menjadi penulis dan aktivis politik?

Saya dibesarkan tepat setelah Perang Dunia II, ketika semua di Filipina ter-Amerikanisasi. Generasi saya sangat cerdas, saya tidak tahu mengapa tetapi pada saat yang sama, kami tidak berdaya. Jadi kami mesti meninjau kekuatan politik dan ekonomi yang ada di negeri kami dan bagaimana kekuatan ekonomi-politik itu mempengaruhi kekuatan sosial. Jadi kami mulai mempertanyakan hubungan antara Filipina dan Amerika Serikat. Begitulah saya terjun ke dalam politik dan dengan sendirinya penulisan. Dalam kancah sastra aliran “New Critics” sangat dominan di negeri ini dan para kritikus membenci karya saya. Anda tahu ‘kan, saya memakai bahasa Inggris sehingga saya harus agak menekuk, mengubah bentuknya dan memperbaruinya. Dengan demikian, bahasa ini bisa menampung kenyataan kami di Filipina yang sangat berbeda.

Ada banyak budaya di Filipina dan ada saling-pengaruh di antara budaya-budaya ini, banyak lapis budaya, ada hal-hal aneh yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Inggris. Sehingga kita mesti mengubah bahasa itu sendiri dan hidup di negeri kami tidak satu dimensi, tidak datar. Jadi wajar saja mengiyakan apa yang pernah dilontarkan teman sekolah saya: ia berkata bahwa sehari sebelumnya ia pulang dan bertemu adik perempuannya dan menyapa “hello” padanya. Adiknya tidak berucap sepatah pun dan masuk saja ke dalam kamar. Tetapi tak lama kemudian ia benar-benar sekarat di rumah sakit. Ia mengalami kecelakaan. Itulah sebabnya mengapa tidak ada seorang pun di rumah. Ia menceritakan hal tersebut pada saya dan saya berkata, ya, mungkin ia mengatakan selamat tinggal. Dan dalam bahasa kami ini hal yang sangat biasa tetapi susah diutarakan dalam bahasa Inggris. “New Critics” tidak menyukai fakta bahwa kami menekuk-nekuk bahasa.

Apa paradigma New Critics?

Teks, teks bersifat dominan. Anda mengikuti James Joyce. Teks harus mengandung “epiphany” dan sang artis harus tetap menjaga jarak, berasyik-asyik dengan dirinya sendiri atau apalah. Jarak itu, tidak bisa kita lakukan. Kami adalah bangsa yang sangat bersemangat, hal-hal dari luar berdampak pada kami. Kami terbiasa menggeser sudut pandang karena sebuah kisah tidak menjadi kisah dengan sendirinya sebelum dikisahkan, ditambah-tambahi, diperhalus dengan tiga atau empat orang. Jadi ada perubahan dalam sudut-pandang. Susah menerima hal itu dengan cara-pandang tentang penulisan yang berkembang di Amerika atau Eropa.

Anda menentang suara pengarang tunggal.

Ya, kami mesti membongkar hal itu agar tulisan kami diakui. Sangat keliru bila mereka memaksakan hal itu karena hal itu tidak cocok untuk negeri kami. Kisah-kisah yang muncul dari suara demikian tidak cocok bagi negeri saya. Kisa-kisah itu mewakili selera estetika Barat.

Bangsa Filipina adalah bangsa yang paling terpengaruh Barat, atau Amerika, di antara bangsa-bangsa Asia akibat perkembangan sejarahnya yang agak unik. Dalam konteks ini, apa agenda kultural untuk politik yang progesif?

Bila anda menanyakan apa yang mesti dilakukan negeri dan bangsa saya, saya semestinya berkata bahwa saya pikir kami harus menutup semua pintu untuk sekian waktu tertentu, tidak berbicara pada siapapun, tidak mendengar siapapun, karena kami jarang saling berbicara satu sama lain. Banyak bunyi dari mana-mana, mengatakan bahwa inilah yang baik bagi kamu, inilah arti kemajuan, beginilah semestinya pembangunan. Saya sebut ini “bunyi putih” dan pemilihan kata ini bukan kebetulan. Di antara “bunyi-bunyi putih” ini, kami nyaris tidak bisa mendengar diri kami sendiri berpikir, bahkan dalam hubungan kami sendiri, misalnya dalam hubungan antara pemilik perkebunan gula dan seorang buruhnya. “Bunyi putih” menyusup dan mengacau hubungan di antara keduanya dan mengganggu penyelesaian konflik mereka. Bila buruh memutuskan untuk menuntut upah lebih banyak, Amerika Serikat akan masuk pasukannya, dengan persenjataannya dan segala hal untuk membantu tuan tanah.

Dengan demikian, persoalan tidak pernah terselesaikan. Anda tidak bisa berunding karena tuan tanah akan berkata, saya mempunyai tentara dan segalanya dan segera terjadilah pertumpahan darah. Kami benar-benar perlu menutup pintu-pintu kami, mungkin selama sepuluh tahun dan berbicara satu sama lain, duduk di tepi sungai dan bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya kami inginkan. Apakah kami benar-benar membutuhkan rollerblade, barang-barang mode, megamall.

Apakah ada hal positif yang berasal dari pengaruh Amerika ini?

Ya, kesadaran bahwa individu penting. Satuan dasar kami, dalam negeri setengah feudal ini, adalah klan. Begitulah bisa anda lihat wanita-wanita pergi ke luar negeri menjual diri untuk menghidupi klan atau keluarga. Dan mereka akan menempuh hal-hal yang paling mengerikan di dunia ini untuk memenuhi kewajiban keluarga. Tetapi sebagian dari kami belajar dari Amerika bahwa hidup kita sendiri penting, terlepas dari klan dan keluarga dan itu, saya pikir, sangat penting.

Kini anda tinggal di Amerika, bagaimana anda memandang diri anda sendiri: seorang pengarang Dunia Ketiga, seorang pengarang Filipino, seorang Filipino-Amerika?

Saya sudah mendapat pertanyaan demikian berkali-kali sebelumnya dan saya sendiri tidak tahu dimana tempat saya. Kadang-kadang saya menjadi seorang Filipino bila itu terasa lebih nyaman, kadang-kadang seorang Amerika. Tetapi, sungguh, saya hanya mengatakan bahwa saya warga dunia, saya telah berada di begitu banyak tempat dan terpengaruh banyak hal, saya mengatakan bahwa saya lahir dan besar di Filipina sehingga sebagian besar kesadaran saya adalah orang Filipino tetapi sebagian juga bersifat internasional.

Ada anggapan bahwa pengarang-pengarang Dunia Ketiga selalu menulis tentang bangsa dan bahwa mereka mempunyai kebiasaan menulis alegori tentang bangsa. Apa pendapat anda?

Itu sama sekali bukan soal politis bagi kami, para pengarang. Hanya karena pengaruh unsur budaya, kami berorientasi sosial, berorientasi kelompok ketimbang individu-individu terpisah sebagaimana anda temui di Eropa atau Amerika. Saya tidak bisa menerima novel Orang Asing-nya Albert Camus berlatar negeri saya, sungguh, karena orang tidak bisa menjadi orang asing di negeri ini, bahkan orang asing tidak pernah benar-benar menjadi orang asing, segera saja anda terlibat dalam suatu kekerabatan. Ini bukan soal politik, tetapi soal bagaimana cara pandang kita melihat dunia. Mereka harus menerima itu sebagaimana kami menerima karya orang Amerika dan Eropa.

Bagaimana anda memandang penggambaran bangsa dalam karya anda, bagaimana anda menyajikan bangsa Filipina dalam tulisan anda?

Sesungguhnya saya tidak menulis tentang bangsa Filipina atau bahkan bangsa Filipino. Saya menulis tentang orang-orang tertentu dalam konteks sosial tertentu, ruang dan waktunya Filipina. Saya mencoba menarik dari kekhususan pengalaman mereka sesuatu yang bersifat universal, sesuatu yang dapat dipahami orang dengan warna kulit atau kebangsaan apapun. Bagi saya, ini sangat penting. Karena yang ingin saya bangun adalah adanya persamaan di antara bangsa-bangsa di dunia. Pandangan memarjinalisasikan bangsa adalah pandangan yang tidak dapat kami terima. Saya pada dasarnya seorang humanis, sebutlah begitu.

Anda pernah menyebutkan bahwa bahasa Tagalog adalah bahasa yang miskin untuk pengungkapan anda dan bahwa anda lebih suka menulis dalam bahasa Inggris. Bisakah anda menjelaskan hal ini dan menunjukkan bahwa ini adalah pilihan bagi banyak penulis Filipino lainnya?

Banyak penulis Filipino menulis dalam bahasa Tagalog tetapi soalnya adalah bahasa Inggris lebih tinggi prestise sosialnya dan karena itu bila anda menulis dalam bahasa Inggris anda bisa mendapat lebih banyak uang. Bagi saya, ini adalah mekanisme mempertahankan hidup. Tetapi, misalnya anda menghadapi soal-soal transkultural, maka sangat sulitlah menggunakan bahasa anda sendiri. Ketika anda berbicara soal, katakanlah ras, tidak ada kata dalam bahasa Tagalog yang benar-benar pas. Ada memang kata kayumangi tetapi kata itu berarti kadar “kecoklatan”, perbedaan antara coklat terang atau coklat gelap (sawo matang). Istilah ini menunjuk warna kulit, dan tidak mengandung konotasi sosial, tidak memiliki nuansa darah maupun ras.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 31: WEB Media Kerjabudaya edisi 052001

PicoSearch

Berita Pustaka

Rising from The Ashes? Labor in the Age of "Global" Capitalism

Disunting: Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates

Penerbit: Monthly Review Press, 1998

Pertanyaan-pertanyaan baru melompat ke depan bagi pergerakan buruh di seluruh dunia. Dapatkah kaum buruh mendapatkan kembali inisiatif menentang gelombang pasang surut dari pemecatan perusahaan dan pemotongan belanja pemerintah? Dapatkah serikat buruh merapatkan kembali barisan mereka dan mempengaruhi imaginasi publik? Dapatkah buruh bangkit dari reruntuhan?

Rising from the Ashes? Sejumlah persoalan-persoalan mendesak dalam konteks, hubungan dan perbedaan perkembangan baru di Amerika Serikat hingga kecenderungan-kecenderungan baru di penjuru dunia�dari Mexico hingga Asia, dan dari Kanada ke Eropa Timur.

Kumpulan esei ini mengambil isu-isu paling hangat yang diperdebatkan oleh para intelektual dan aktivis buruh. Termasuk di dalamnya, perubahan komposisi kelas buruh internasional, pola-pola kerja di bawah kapitalisme kontemporer, hubungan ras dan gender dengan kelas, janji-janji dan batasan-batasan kegairahan baru militansi buruh, pilihan-pilihan strategis yang tersedia untuk rakyat pekerja dalam zaman globalisasi

Kongres Kodok: Kumpulan Puisi Saut Sitompul

Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000

Di tangan Saut, puisi dan dunia kehidupan sehari-hari erat terpaut. Puisi-puisinya erat menyatu dengan deru dan debu kota Jakarta. Hampir saban hari ia mengamenkan puisi-puisinya di atas bus kota Jakarta. Memang, sesekali, ia melisankan puisi-puisinya di gedung kesenian, di tempat upacara, bahkan di gereja. Namun wilayah utama tempat ia melafalkan sajak adalah jalan raya. Bagi orang-orang yang tak henti-hentinya berlalu lalang di jalan yang riuh itu, puisi-puisi Saut mungkin menggangu, mungkin menghibur, mungkin juga tidak berarti apa-apa. Yang pasti, di situ tampak kehendak si penyair untuk sedekat mungkin menghampiri orang banyak dari kalangan yang terbanyak. Ia tampaknya adalah salah seorang di antara segelintir penyair Indonesia yang amat melekat pada ruang publik. Sebagaimana dilontarkan pula oleh Hawe Setiawan yang memberikan pengantar pada buku ini, puisi-puisinya tidaklah dikonstruksi sebagai gedung istimewa bagi orang-orang istimewa tempat si pongah yang mengistimewakan diri sesumbar berkata, "Yang bukan penyair dilarang ikut." Tidak. Sebaliknya, biasa saja, bersahaja, langsung terhubung dengan benak pendengarnya. Bahkan ia bilang, "Tak usah terlalu dipusingkan/bagaimana cara menulis puisi." Tulis, tulis, dan tulis. Itulah yang ditekankan olehnya. Jadi, orang banyak tidak hanya diajak menikmati puisi, melainkan juga didorong untuk menggubahnya.

Perang dan Kembang

Penulis: Asahan Alham

Penerbit: Pustaka Jaya, 2001

Buku ini merupakan karya seorang exile yang mengetengahkan perjuangan rakyat Vietnam menghadapi serangan negara adikuasa Amerika (yang kemudian dapat dikalahkannya). Seorang melayu yang pernah berpaspor Indonesia, terlibat di dalamnya. Bukan hanya dalam kegiatan tentara militia rakyat (walaupun dalam seksi penghibur) melainkan juga dalam berbagai petualangan asmara yang dalam masyarakat sosialis menjadi urusan penguasa. Namun makin dihalang-halangi, makin seru melakukannya. Tapi kalau mau sampai ke tingkat pernikahan, tangan kekuasaan dapat menghadang atau mendorong. "Boleh dilarang kawin, boleh dilarang berpacaran, tapi kalau cuma hubungan yang satu itu, siapa yang akan tahu? Semakin dilarang semakin kedua belah pihak saling mencari..." Terlalu banyak yang dicampurtangani oleh politik dan penguasa. Dengan selingan kunjungan sang tokoh ke Tiongkok, negara sosialis yang lain, pengarang dengan tajam menganalisis kebobrokan sistem komunisme yang tidak menghormati manusia sebagai pribadi-pribadi yang merdeka.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited