media kerjabudaya edisi 062001

44
Media Kerja Budaya edisi 06/2001 Rp 8000,- ISSN: 0853-8069 www.geocities.com/mkb_id MENATA ULANG INDONESIA Nur Zain Hae: REFORMASI DAN PUISI TANPA DAYA MAGIS Hersri Setiawan: RAFFLES BUKAN BERHALA SEJARAH Rani Lukita: B ADAI B ERGOLAK Mahendra: MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN Profil HASTA MITRA: BERTARUNG MELAWAN PEMBODOHAN

Upload: institut-sejarah-sosial-indonesia-issi

Post on 15-Jun-2015

450 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Media Kerjabudaya edisi 062001

Media Kerja Budaya edisi 06/2001Rp 8000,- ISSN: 0853-8069

www.geocities.com/mkb_id

MENATA ULANGINDONESIA

Nur Zain Hae: REFORMASI DAN PUISI TANPA DAYA MAGIS

Hers

ri Se

tiaw

an: R

AFFL

ES B

UKAN

BER

HALA

SEJ

ARAH

Rani Lukita: BADAI BERGOLAK

Mahen

dra: M

EMBANGUN SOLID

ARITAS K

EMANUSIAAN

Profil HASTA MITRA: B

ERTARUNG MELAWAN PEMBODOHAN

Page 2: Media Kerjabudaya edisi 062001

06Media Kerja Budaya edisi 06/2001 issn: 0853-8069<www.geocities.com/mkb_id>

MMEDIA KERJA BUDAYA adalah terbitan berkala tentang kebudayaan dan masyarakat Indonesia. MEDIA KERJA BUDAYA mengangkat ber-bagai persoalan, gagasan dan penciptaan untuk memajukan kehidupan budaya dan intelektual di Indonesia. Redaksi menerimasumbangan berupa tulisan, foto, gambar dan seterusnya yang bisa membantu penerbitan ini. Bagi pembaca yang ingin eksemplartambahan dapat menghubungi alamat tata usaha kami. Penerbitan ini sangat tergantung pada dukungan pembaca, kami berharapdapat menerima kritik dan saran anda.PEMIMPIN REDAKSI: Razif | SIDANG REDAKSI: Agung Putri, Amiruddin, Alex. Supartono, Ayu Ratih, Bambang Agung, Hilmar Farid, IBE Karyanto, John Roosa,Nugraha Katjasungkana, Razif | SEKRETARIS REDAKSI: A. Diana Wahyuni | DESAIN: Alit Ambara | KOREKSI AKHIR: Setianingsih Purnomo | DISTRIBUSI: YayanWiludiharto | KEUANGAN: OHD | TATA USAHA: Mariatoen | PEMIMPIN UMUM: Firman Ichsan | WAKIL PEMIMPIN UMUM: Dolorosa Sinaga | ALAMAT REDAKSI:Jalan Pinang Ranti No. 3 Rt.015/01 Jakarta Timur 13560 INDONESIA Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: [email protected], [email protected] | ALAMATTATA USAHA: PO. BOX 8921/CW Jakarta 13089 Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: [email protected] | SITUS INTERNET: http://www.geocities.com/mkb_id |PENERBIT: Jaringan Kerja Budaya

ilustrasi sampul: ALIT AMBARA

daftar isiDATA BICARA hal. 3

SURAT PEMBACA hal. 4

EDITORIAL hal. 5

POKOK MKB edisi 06/2001 hal. 6 - 18

�Massa Mengambang yang Tak Pernah Tenggelam hal. 7-10

Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa hal. 11-15

Konflik Menata Ulang Indonesia hal. 16-18

PROFIL hal. 19-22

KRITIK SENI hal. 24-25

KLASIK hal. 27-28

CERITA PENDEK hal. 29-31 BERITA PUSTAKA hal. 43

TOKOH hal. 41-42

RESENSI BUKU hal. 39-40

LOGIKA KULTURA hal. 34-38

ESAI hal. 32-33HASTA MITRA: BERTARUNG MELAWANPEMBODOHANRazif

REFORMASI DAN PUISI TANPA DAYA MAGISNur Zain Hae

RAFFLES BUKAN BERHALA SEJARAHHersri Setiawan

BADAI BERGOLAKRani Lukita

SETELAH PESTA USAIZhou Fuyuan

ILMU SOSIAL, SEBERAPA ILMIAHJohn Roosa

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAANMahendra

NINOTCHKA ROSCAWawancara oleh Ayu Ratih & John Roosa

PUISI Siti Rukiah hal. 23

Page 3: Media Kerjabudaya edisi 062001

data bicara | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 3

Jumlah pencari kerja dari desa ke kota semakin meningkat pada tahun 2001, jumlah pencari kerja telah menca-pai 12 juta orang di Jakarta, Surabaya dan Bandung. Sedangkan jumlah pengangguran telah mencapai 40 juta

orang, berarti 45% dari statistik BPS yang menyebutkan 90 juta tenaga kerja produktif di Indonesia.1

Aliran modal swasta yang keluar dari Indonesia sejak krisis 1997 mencapai 10 milyar AS setiap tahun. Arusmodal swasta keluar dari Indonesia mulai terjadi tahun 1997, yaitu sebesar 3,483 milyar dollar AS dan mencapai

puncaknya tahun 1998 sebesar 19,609 milyar dollar AS.2

Dua perusahaan otomotif sudah ditunjuk sebagai pemasok mobil mewah, yakni PT Central Sole Agency danPT Hartono Raya Mobil. PT Central Sole Agency adalah anak perusahaan Grup Indomobil, penyalur sedan

Volvo, sedangkan PT Hartono adalah agen Mercedez Benz. Untuk mendatangkan 400 mobil mewah duaperusahaan itu diberi fasilitas yang memikat, yang ketentuan bea masuk yang mestinya 45 sampai 80 persen

diturunkan menjadi lima persen.3

Ternyata Instansi pemerintah banyak yang masih menunggak pembayaran listrik. Umumnya alasan yangdisampaikan instansi yang bersangkutan terbentur pada anggaran operasional yang belum turun. Jika instansi

tersebut masih tetap melakukan penunggakan yang berlarut-larut, langkah yang akan diambil PLN adalahpemutusan selektif. Artinya, memutus aliran listrik yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kepada

masyarakat umum.4

Pemerintah tidak punya dana untuk mensubsidi kebutuhan rakyat. Untuk menutupi defisit APBN 2001 yangdiperkirakan 3,7 persen dari PDB (produk domestik bruto) atau sekitar Rp 87 trilyun. Akibatnya, tak hanyaharga BBM, tarif telepon, tarif listrik yang naik. Harga obat generik pun yang dikonsumsi rakyat kecil mulai

naik rata-rata 19,8 persen. Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti Paris Club(kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjaman dilunasi dan tentunya bersama

bunganya. Untuk membayar utang ini, pemeritah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif listrik (lebih

dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akandiluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.5

Dalam setahun ada lebih dari 20.000 balita menjadi piatu saat dilahirkan. Penyebab kematian utama para ibuitu di Indonesia (lebih dari 90 persen) adalah pendarahan, keracunan kehamilan dan infeksi.6

Paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat ini, di antara 4,35 juta tinggal di JawaBarat. Ancaman kelaparan ini akan semakin berat, dan jumlahnya akan bertambah banyak, seiring dengan

terancam kelaparan adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya di bawah Rp 30.000,-. Di antaraorang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk, berada dalam keadaan paling

mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, diantaranya 10.430 orang tinggal dikabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelapar-an dengan keadaan yang paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluarannya per kapita dibawah

Rp. 15.000,- per bulan.7

Akibat kebijaksanaan bebas bea masuk (BM 0%) untuk impor gula, nasib petani buruh industri gula kinibagaikan tanpa kepastian. Harga gula lokal kini lebih mahal dari harga gula impor. Nasib pabrik gula dan petani

gula tebu sekarang seperti telur di ujung tanduk. Meneruskan penanaman tebu berarti menantang kerugian,berhenti menggiling tebu berarti diancam kerugian yang lebih besar dan kredit terancam macet. Masalah

bersumber pada design IMF yang menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan. Akibatnya gula lokal tidakmampu bersaing dan merugikan pabrik gula dan petani. Biaya produksi penanaman gula dan penggilingan gulaini mencapai Rp 2.700 hingga Rp 3000 per kilogram, sedangkan harga dasar gula yang ditetapkan pemerintah

hanya Rp 2.600,- per kilogram.8

Penyakit malaria yang sudah punah puluhan tahun lalu kini kembali menjangkit di Indonesia, terutama diKulonprogo, Jawa Tengah. Sekarang ini sudah menyebabkan kematian 74 orang. Berdasarkan keterangan suku

dinas kesehatan Yogyakarta untuk memerangi penyakit malaria ini perlu meminta bantuan dari donor luar negriseperti WHO dan Bank Dunia sebesar 150.000 US$, dinas kesehatan Yogyakarta tidak bisa berharap dari

anggara belanja daerah.9

Dikumpulkan dan diolah dari sumber-sumber: 1)Jakarta News FM, 21 Juli 2001, 2)Kompas, 20 Juli 2001, 3)Berita Buana, 31 Maret 2001, 4)Bernas, 5 Mei 2001, 5)Bali Post, 22 Mei 2001,6)Jakarta Post, 4 Maret 2001, 7)Pikiran Rakyat, 26 Maret 2001, 8)Kedaulatan Rakyat, 2 April 2001, 9)Jakarta News FM, 22 Juli 2001.

Page 4: Media Kerjabudaya edisi 062001

4 Media Kerja Budaya edisi 06/2001

SURATPEMBACA

Menentang NeoliberalismeSalam Adil dan Lestari. Pada Me-

dia Kerja Budaya (MKB) edisi 05/2001 saya sangat bahagia dapat mem-baca dan mendapat setetes pence-rahan baru yang dititip saudara NugKatjasungkana lewat ulasannya dalamrubrik Profil MKB dengan judul:”Berpijak di Desa MenantangNeoliberalisme“. Dan untuk redaksiMKB, dimasa datang mungkin pentinguntuk jalan-jalan ke desa-desanegeri sendiri. Agar publik dapatinformasi yang cukup tentang ba-gaimana petani dan masyarakat adatdi Republik ini melawan Neo-liberalisme or Neo-Kolonialisme.Sekian dan terima kasih atasbantuannya.Harris Palisuri,Forum Solidaritas Petani(FSP-Sulawesi Tenggara)

Tentang PendidikanRedaksi yth., Bravo! atas

tulisan tentang Pendidikan di MKB5/2001. Saya memperoleh informasitentang MKB melalu e-mail di melb-disc, suatu mailing list yangdikelola di Melbourne, Australia.Sebagai salah seorang pendidik yangberuntung mendapatkan kesempatanuntuk menjalani tugas belajar, sayajuga menyadari betapa jutaanpendidik lainnya di Indonesia ti-daklah seberuntung saya. Sayasangat mendukung gerakan untuk me-ningkatkan pendidikan di Indone-sia yang selama ini “disisihkan”kepentingannya oleh para penentukebijakan di Indonesia. Yang amatmenggemaskan saya, adalah betapa“menurutnya” para pemimpin orga-nisasi pendidikan di Indonesiaselama ini atas alokasi anggaranbelanja pendidikan di Indonesia.

Agenda Rakyat Mengatasi Krisis EkonomiPAMFLET SOLIDARITAS

1. SITA KEKAYAAN SOEHARTO DAN ANTEK-ANTEKNYA2. HENTIKAN KORUPSI DAN ADILI PARA PELAKU3. BATALKAN HUTANG LUAR NEGERI4. HENTIKAN PENJARAHAN UANG RAKYAT UNTUK BAYAR HUTANG SWASTA5. HENTIKAN PENJUALAN ASET PUBLIK KEPADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL6. HENTIKAN PENJARAHAN SUMBER DAYA ALAM7. TINGKATKAN BIAYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN8. PRODUKSI UNTUK PASAR DALAM NEGERI, BUKAN PASAR INTERNASIONAL9. SISTEM PAJAK YANG ADIL10. TANAH BAGI PENGGARAP11. MENCIPTAKAN PROGRAM KERJA PUBLIK

ditulis & diterbitkan oleh: JARINGAN KERJA BUDAJARINGAN KERJA BUDAJARINGAN KERJA BUDAJARINGAN KERJA BUDAJARINGAN KERJA BUDAYYYYYAAAAAJl. Pinang Ranti No. 3 Rt.015/01 Kel. Pinang Ranti Jakarta Timur 13560 Tel./Fax: 021.809.5474 E-Mail: [email protected]

Untuk mendapatkan hardcopy pamflet seharga Rp 2000,- (ditambah ongkos kirim), hubungi alamat di atas.Pamflet ini juga dapat diakses melalui situs internet: http://www.geocities.com/mkb_id/pamflet/agendarakyat.html

agar anda tak ketinggalan segalapersoalan, gagasan & penciptaan

untuk memajukan kehidupanbudaya & intelektual di Indonesia.

LEBIH BAIKBERLANGGANAN

Media Kerja Budaya

Kirimkan data lengkap anda (nama, alamat,no.tel/fax, e-mail) ke bagian tata usaha kami:

Jl. Pinang Ranti No.3 RT.015/01 Jakarta 13560.Tel/Fax: 021.809.5474 (Mariatoen)

E-Mail: [email protected]

WILAYAH JABOTABEK Rp 2.000,-PULAU JAWA Rp 2.500,-PULAU BALI Rp 3.000,-

PULAU SUMATERA Rp 4.000,-PULAU KALIMANTAN Rp 3.500,-

PULAU SULAWESI Rp 4.500,-

BBBBBIAIAIAIAIAYYYYYAAAAA BERLANGGANANBERLANGGANANBERLANGGANANBERLANGGANANBERLANGGANAN PERPERPERPERPER EDISIEDISIEDISIEDISIEDISI R R R R RPPPPP 8000,- 8000,- 8000,- 8000,- 8000,-ditambah ongkos kirim menurut jarak pengiriman

sebagai berikut:

Saya yakin kalau saat ini seluruhguru di Indonesia mogok mengajarselama seminggu saja, para penentukebijakan (dan anggaran belanjanegara!) akan ”mendengarkan”keluhan para guru dengan telingalebih lebar! Berkaitan dengan “tan-tangan” untuk mengambil sikap proatau kontra Gus Dur, sayaberanggapan sebaiknya MKB tidakterjebak untuk memilih salah satu.Konsentrasi saja sepenuhnya padaalur yang ada. Pendidikan misalnyatetap saja perlu diteriakkan ke-pentingannya, tak peduli siapapunyang menjadi Presiden di Indone-sia! Salam hangat,Ispurwono SoemarnoThe University of Melbourne, Aus-tralia

Support dari JemberSalam kenal buat mas-mas dan

mbak-mbak yang ada di Media KerjaBudaya. Saya mahasiswa FakultasHukum Universitas Jember angkatan‘95. Saya aktif di beberapaorganisasi. Saya tertarik dengansegala bentuk seni, untuk saat inisaya sedang menekuni duniafotografi.Tapi mungkin pemahamansaya masih dangkal, jadi media-media budaya semacam ini sayaperlukan juga untuk tambahanreferensi. Saya tertarik dengan isidari Media Kerja Budaya ini, yangtahunya dari teman. Kalau buat beliMKB, mungkin belum bisa tapi sayasupport banget keberadaan mediaini, sebagai media alternatif darimedia kebudayaan yang lain. Selamatbekerja, selamat berjuang.

Taufiq Aribowo,Jember

Page 5: Media Kerjabudaya edisi 062001

editorial | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 5

>>Pemimpin Redaksi

Untuk itulah, Media Kerja BudayaMedia Kerja BudayaMedia Kerja BudayaMedia Kerja BudayaMedia Kerja Budaya edisi no.6menurunkan pembahasan pokok bagaimanaseharusnya kita bisa hidup bersama, bukan berartikita harus hidup tanpa perdebatan untukmasadepan kehidupan rakyat. Yang terpentingdalam mencapai hidup berdampingan bersama inikehidupan warganegara harus dijamin oleh konsti-tusi, entah rakyat mendapatkan hak untukbekerja, hak mendapatkan pendidikan dan hakuntuk mengorganisir dirinya untuk menjadimandiri. Yang selama ini tidak pernah menjadiprioritas utama bagi perkembangan masyarakat,sehingga yang terjadi ketika anggaran negaradipaksa dipotong, tidak ada lagi subsidi bagi ma-syarakat, maka yang terjadi adalah pelanggaranterhadap hak-hak rakyat. Apakah pertumpahandarah dan pengorbanan kita selama ini akandiakhiri dengan mengungkung kembali kebebasandan mencabut hak-hak dasar rakyat?

Lembaga-lembaga negara akan terus menjadi kuatdengan memberlakukan undang-undang yangselalu menyingkirkan orang miskin, mereka tidakdilindungi oleh konstitusi, sehingga merekadibiarkan untuk mati. Rakyat tidak mempunyaihak untuk mengontrol sumber alamnya sendiri,tetapi hak kontrolnya diserahkan kepada modalasing. Keadaan ini sama diberlakukan padasebagian masyarakat yang dianggap tidak patuhakan mendapat hukuman, kehilangan pekerjaan,kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan

kehormatan dan kehilangan identitas.

Aturan adalah produk kebudayaan manusia. Danternyata dalam perkembangannya yang berkuasaberhak mengubahnya menjadi lebihmenguntungkan untuk dirinya. Sekarang ini setiaporang menjadi dewa dengan kekuasaannya yangada di tangannya. Dan di republik ini sekarangbegitu banyak dewa. Dari dewa yang kecil-kecil ditempat kecil, hingga dewa besar dan yang amatbesar yang berada di pusat dan puncakkekuasaan. Terlalu banyak yang harus disembaholeh rakyat. Terlalu banyak.

Namun konflik kekerasan yang bersifat vertikal tidak pernah diselesaikan. Apakahitu kasus Semanggi, Sampit dan Aceh seolah-olah para anggota DPR melihatfenomena kejahatan kemanusiaan itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

dengan Sidang Istimewa MPR dan menggusurAbdurachman Wahid sebagai Presiden.

yang terus berlanjut, akhirnya diselesaikan

Krisispolitik

Gerakan untuk merebut hak berasal dari gagasandan kebudayaan. Dasar kebebasan berekspresiterletak pada hak yang tak terpisahkan setiaprakyat untuk mempunyai sejarah sendiri. Oleh

karena itu tujuan pembebasan adalah mendapat-kan kembali hak ini, yang dirampas oleh

kekuasaan negara demi kepentingan kekuatanimperialis, yaitu pembebasan kekuatan-kekuatan

produksi dan kemampuan untuk menentukansecara bebas cara produksi yang paling sesuai

dengan evolusi rakyat, perlunya membukaprospek baru untuk proses budaya masyarakat

yang bersangkutan, dengan mengembalikankepadanya semua kemampuan untuk mencipta-

kan kemajuan.

Page 6: Media Kerjabudaya edisi 062001
Page 7: Media Kerjabudaya edisi 062001

7

>>Tim Media Kerja Budaya

“Massa Mengambang”yang Tak Pernah Tenggelam

Pandangan seperti ini bukanlahpenilaian yang tepat tentang masyara-kat Indonesia, tapi secara tepat mencer-minkan pemahaman kalangan terdidikyang “primitif” mengenai demokrasi.Salah satu warisan jelek dari Orde Baruadalah kalangan terdidik yang

diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga mengang-gap kediktatoran sesuatu yang normal. Kelas inihidup nyaman di balik pagar tembok tinggi, begituberjarak dan tak mempercayai rakyat, sehinggapikirannya mirip-mirip penguasa kolonial yang meng-anggap “massa rakyat” sebagai kumpulan mahlukbodoh, pemalas dan senang kekerasan. Ketikamenghadapi kasus-kasus kekerasan massal, merekamenggunakan asumsi-asumsi tak berdasar tentang“watak primitif” dari rakyat, dan gagal melihatbagaimana modernisasi Orde Baru yang kacau dananti-demokratik sesungguhnya menciptakankekerasan secara teratur. Sementara kalangan terdidikini melihat khalayak di sekelilingnya sebagaipenghambat demokrasi, yang terjadi adalahsebaliknya: kalangan terdidik inilah yang lebihmenghalangi berkembangnya demokrasi.

Sejak awal kekuasaannya, rezim Soeharto berikrarakan meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi di masamendatang. Para pejabat tinggi mengatakan bahwapertumbuhan ekonomi adalah prasyarat bagidemokrasi. Banyak orang dari kelas yang diuntung-kan oleh Orde Baru percaya akan doktrin itu. Begitupula sebagian intelektual yang kemudian menulistentang Orde Baru sebagai tahap transisi ataupersiapan menuju demokrasi. Kita ambil saja satusebagai contohnya, yakni Nurcholish Madjid yangpada tahun 1994 menulis bahwa demokrasi adalah“kelanjutan logis keberhasilan pembangunannasional.” Orde Baru menurutnya menciptakan“tingkat ekonomi yang relatif memadai, persatuandan kesatuan nasional, stabilitas, keamanan danketertiban nasional”. Golkar pun dianggap sebagai“berkah” karena menjadi “pendukung utama terwu-judnya pemerintahan yang stabil dan kuat, yangmemungkinkan pembangunan nasional.” (“Demo-krasi dan Demokratisasi di Indonesia,” dalamDemokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, E.P.Taher ed., Jakarta, 1994).

Komentar itu mencerminkan pandangan standar dikalangan intelektual Indonesia: bahwa Orde Baru

“Masyarakat Indonesia primitif.” Begitulah pandangan banyak orang terdidik, yang mestinyalahir setelah melihat foto dan membaca laporan tentang kekerasan yang mengerikan di berbagaitempat seperti Kalimantan Tengah dan Maluku. Ada kesepakatan umum, bahkan di kalanganyang menganggap dirinya pro-demokrasi, bahwa orang Indonesia belum siap berdemokrasi ka-rena masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan. Belum lagi keterikatan orang akan identitastradisional dan kolektif seperti etnik, tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan yanghebat. Demokrasi seolah-olah masih jauh di depan, sebuah mimpi yang bisa terwujud kalausemua orang sudah menyandang gelar sarjana dan berpendapatan tinggi.

ALIT

AM

BARA

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 8: Media Kerjabudaya edisi 062001

8 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

membangun dasar-dasar bagi de-mokrasi. Lalu, tesis kesukaansebagian intelektual yang diang-gap “pro-demokrasi” pada tahun1980-an dan 1990-an adalah bahwakelas menengah, yang terbentukmelalui pertumbuhan ekonomiOrde Baru, akan menjadi pendo-rong utama bagi gerakan barumenuju demokrasi. Kelas mene-ngah inilah yang akan mendorongkediktatoran Soeharto ke pinggir,jika tidak mendongkelnya. Kaumintelektual ini bertolak dari premisyang sama seperti Orde Baru –bahwa orang Indonesia padadasarnya primitif dan terbelakang– dan berkesimpulan bahwa hanyakaum profesional terdidik diperkotaan, dengan wawasan kos-mopolitan serta perut kenyang,yang dapat mematahkan “kebia-daban rakyat” dan memimpinoposisi terhadap Orde Baru.

Namun, sekarang ini sudah jelasbahwa kelas menengah (apa punpengertian kita tentang kategoriyang begitu longgar) bukanlahkekuatan pendorong di balikjatuhnya Soeharto. Ada banyakkelas yang terlibat di dalamnya.Justru sebaliknya, banyak kelasmenengah yang pada bulan Mei1998 berlompatan ke Kijang atauCherokee mereka, mencari kenya-manan di Puncak atau luar negeri.Tiga dekade pertumbuhan ekono-mi Orde Baru melahirkan kelasyang mapan dan sekaligus takutkehilangan harta benda mereka.Kelas yang oleh kaum intelektualdiharap menjadi agen perubahanternyata hanya segerombolanpenakut yang konservatif.

Keyakinan pada kelas menengahsebagai agen demokrasi sebenar-nya sejalan dengan pikiran OrdeBaru mengenai demokrasi. KetikaBrigjen Ali Moertopo pertama kalimengemukakan konsep “massamengambang” dalam AkselerasiModernisasi Pembangunan 25Tahun (1972), ada banyak orangsipil yang setuju dengannya.Konsep ini bahkan tidak bisadilihat semata-mata sebagaiciptaan negara Orde Baru, tapisebagai kesepakatan di antarasekian banyak elit sipil. Lagipula,buku itu sebenarnya tidak ditulisoleh Moertopo sendiri, melainkanoleh sebagian intelektual CSISberdasarkan berbagai ceramahdan wawancara dengannya.

Dengan konsep massa mengam-

bang ini para kolaborator bisamelihat rezim Soeharto yang anti-demokratik sebagai sesuatu yangsah. Keterbelakangan rakyat Indo-nesia itulah yang membuatmereka harus berada di bawahkekuasaan seorang sultan danpasukan militernya. Orang Indone-sia harus dipaksa memasuki “mo-dernisasi” karena masih terpe-rangkap dalam “alam pemikiranyang belum cukup rasionil”. OrangIndonesia tidak bisa diberidemokrasi karena mereka denganmudah dimanipulasi dalam “per-tentangan politik dan ideologisempit”. Lebih baik rakyat di pe-desaan tidak terlibat politik samasekali dan bekerja saja di sawahatau ladang sepanjang hari.Mereka harus dipisahkan daripartai-partai politik (artinya dipi-sahkan dari proses demokratik),dan dibiarkan “mengambang” se-bagai hamba setia rezim yang neo-feodal. Orde Baru menyebut sis-tem anti-demokrasi ini sebagai“demokrasi Pancasila” yangtentunya merendahkan maknaPancasila itu sendiri.

Sungguh kesalahan yang seriusketika intelektual Indonesia perca-ya bahwa sebuah negeri harusmelalui fase non-demokratik untukmempersiapkan diri menuju de-mokrasi. Ekonomi pemenangAnugerah Nobel Amartya Senmenulis, “sepanjang abad ke-19,para teoretisi demokrasi mengang-gap diskusi tentang apakah sebu-ah negeri “cocok untuk demokra-si” atau tidak, sebagai sesuatuyang wajar. Pemikiran ini berubahdalam abad ke-20, ketika menya-dari bahwa pertanyaan itu sesung-guhnya keliru: Sebuah negeri tidakbisa dinilai apakah sehat untukdemokrasi, tapi justru negeri ituakan menjadi sehat melalui demo-krasi.” (Journal of Democracy 10:3,1999). Dengan kata lain, sebuahbangsa yang miskin dan takterdidik akan maju pertama-tamamelalui pembentukan sistem po-litik yang demokratik. Sen menulisbahwa pikiran itu mulai berubahdi abad ke-20, tapi tentunya ia ti-dak memasukkan Indonesia dimana kaum intelektualnya masihterjerembab dalam alam pikir dariabad sebelumnya.

Cukup jelas pula bahwa selamatiga dekade rezim Soeharto tidakmembawa Indonesia ke jalanmenuju demokrasi. Sebaliknya,tugas membangun demokrasi se-

karang ini justru lebih sulit darisebelumnya. Buktinya bisa kitatemukan di produk utama dari “de-mokrasi” kita sekarang, yakni DPR.Partai-partai yang menang dalamPemilu 1999 tidak menganggapdiri sebagai wakil rakyat, tapi lebihsebagai “elit politik” yang seolahpunya hak sejak lahir untuk me-mimpin dan memungut pajak dariwong cilik. Megawati misalnyamenggunakan istilah “elit politik”untuk menyebut dirinya dan parapemimpin partai yang lain tanparasa malu sedikit pun. Boleh jadiia menganggap dirinya sebagaiseorang putri yang tugasnyahanya tersenyum dan melambai-kan tangan. Para elit ini tidak me-lihat orang Indonesia lainnya se-bagai warga (citizen) dengan hak-hak tertentu, dan karena itulahmereka tidak pernah mempriori-taskan reformasi konstitusi untukmenjamin hak-hak tersebut.Seperti kita tahu prioritas merekajustru mengeruk uang dankekuasaan untuk kepentinganpartai dan diri sendiri. Tentu sajasulit membangun demokrasiketika partai-partai politik, yangseharusnya menjadi kendaraanuntuk mengubah negara, berkait-kelindan dengan dunia gangsterpolitik Orde Baru.

Demokrasi sekarang dipahami be-gitu sempit sehingga banyak o-rang percaya bahwa Indonesia se-karang adalah negeri demokratikhanya karena berhasil menjalan-kan pemilu bebas pada tahun1999. Pemilu yang bebas tentu sajapenting tapi bukan satu-satunyaalat ukur demokrasi. Pertama, se-buah negeri bisa disebut demokra-tik, jika semua lembaga negarabertanggungjawab kepada rakyat.Indonesia belum punya pemerin-tahan demokratik karena masihada banyak posisi, seperti camat,

Sungguhkesalahan yang

serius ketika inte-lektual Indonesia

percaya bahwa se-buah negeri harus

melalui fase non-de-mokratik untuk

mempersiapkan dirimenuju demokrasi.

Page 9: Media Kerjabudaya edisi 062001

9

yang tidak dipilih secara langsung.Militer dengan struktur teritorial-nya juga seperti punya pemerin-tahannya sendiri; menjadi negaradalam negara yang sama sekali ti-dak transparan. Kedua, pemerin-tah harus menghargai hak-hak de-mokratik, seperti kebebasan bica-ra, menerbitkan sesuatu danberkumpul. UUD 1945 tidak secarategas mendukung hak-hak dasaritu dan pemerintah yang berkuasaberulangkali melanggarnya tanpasanksi apa pun. Ketiga, harus adapemerataan ekonomi, atau seti-daknya langkah-langkah yang jelasmenuju ke arah itu. Pemilu tidakbanyak artinya bagi masyarakatyang masih memiliki kesenjangankelas demikian hebat. Segelintirorang yang menguasai kekayaannegeri juga sekaligus berkuasadalam proses pemilihan. Hak-hakpolitik bagi warga dengan begitutidak ada artinya sama sekali.Sukarno pernah menggambarkandemokrasi borjuis ini denganpernyataan “di lapangan politikrakyat adalah raja, tetapi dilapangan ekonomi tetaplah iabudak” (Dibawah Bendera Revolu-si, hal. 585).

Kita bisa menilai watak “elit poli-tik” sekarang tepat dari kritikmereka terhadap Orde Baru. Satu-

satunya kritik yang kita dengaradalah bahwa Orde Baru itusungguh korup. Tapi kita tidakpernah dengar keluhan apa puntentang “depolitisasi ekonomi”yang dikumandangkan oleh eko-nom Sumitro dan rekan-rekannya,dan menganggap seolah-olahpembagian kekayaan dan milik dinegeri ini hanyalah urusan teknis,dan bukan urusan politik yangseharusnya diputuskan olehsemua rakyat. Dan para ekonomyang ikut mendirikan Orde Barudan tetap menyebar mitos tentang“ilmu ekonomi” yang non-ideologis dan bebas nilai, puntetap dianggap sebagai ahli-ahliterbaik di negeri ini oleh “elit poli-tik” sekarang.

Kita tahu bahwa anggapan merekakeliru belaka. Korupsi adalahmasalah yang mengaitkan ekono-mi dengan politik secara langsung.Gelar “salah satu negara palingkorup di dunia” yang disandangIndonesia sekarang ini, adalahtanda tidak adanya demokrasi.Korupsi tidak mungkin diperangisecara serius dengan menempat-kan segelintir orang jujur di dalambirokrasi atau membuat sejumlahperubahan prosedural. Adalahwarga yang harus diberdayakandan secara aktif terlibat dalam pe-

merintahan. Jika tidak, siapa yangbisa menghentikan para birokratuntuk menyelewengkan milyarandolar, seperti yang dilakukan BankIndonesia dalam kasus BLBI?

Nampaknya sudah jelas bagi kitabahwa gelombang kekerasan yangmelanda negeri ini adalah hasildari tumpukan masalah selamaberkuasanya Orde baru. Tapi ditengah hiruk-pikuk “elit politik”kekerasan dianggap sebagai gejalabaru yang tidak ada kaitannyadengan zaman keemasan Soe-harto, ketika segalanya terasanyaman dan damai. Karena itu,jalan keluarnya bagi merekabukanlah dengan mengubahsemua kebijakan dan gagasanOrde Baru, tapi justru menerap-kannya lebih hebat lagi. Jika rakyatAceh misalnya, terasing dari pe-merintahan pusat setelah terormiliter selama sepuluh tahun ber-lakunya DOM, maka jalan keluarsekarang justru menambahpasukan di sana. Jika rakyatKalimantan dan Sulawesi berdu-yun-duyun diusir oleh perkebun-an kelapa sawit dan pertambangan(yang menciptakan beragamkonflik atas tanah), maka jalankeluarnya justru dengan memper-luas perkebunan dan membanguntambang-tambang baru. Jika

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 10: Media Kerjabudaya edisi 062001

10 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

perekonomian hancur karena ke-tergantungan yang akut padamodal asing (sehingga munculnyamasalah hutang luar negeri yangluar biasa besar dan larinya modaljangka-pendek pada tahun 1997),maka jalan keluarnya justrumengubah seluruh perekonomianuntuk memuaskan investor asing.

Kekerasan di Kalimantan Tengahmisalnya jelas bukan produk daripertentangan tradisi atau karenawatak “primitif” masyarakat, tapijustru karena “modernisasi” yangditerapkan Orde Baru di sana. Dimasa kekuasaan Soeharto orangDayak diusir dari tanah-tanah me-reka dan semua “tradisi” Dayakpun luluh lantak. Kita tidak bisabicara tentang orang Dayak seba-gai masyarakat tradisi atau aslisekarang ini, karena komunitasmereka sudah berubah secaradramatis dengan adanya ekspansikapitalisme. Sementara itu orangMadura dibawa ke sana melaluiprogram transmigrasi yang diran-cang dan dilaksanakan secara se-rampangan dengan korupsi dimana-mana, sehingga gagal mem-bawa kemakmuran. Banyak pre-man Dayak dan Madura yangterlibat dalam aksi kekerasan disana punya koneksi denganlembaga yang membanggakan dirisebagai pendorong modernisasi,yakni militer. Para pemimpinDayak yang terlibat dalam aksi-aksikekerasan di sana tidak lain bagiandari institusi yang paling moderndi sana, yakni Universitas Palang-karaya. Semua ini menunjukkanbahwa masalah di KalimantanTengah sesungguhnya adalah“modernisasi” yang kacau-balauciptaan Orde Baru. Tapi masalahini luput dari perhatian kaum inte-lektual, yang karena tidak punyaperspektif kritis mengenai pemba-ngunan ekonomi Orde Baru,

akhirnya mencari-cari penjelasandalam “keterbelakangan budaya”rakyat setempat.

Banyak intelektual sekarang yangternyata gagal mengambil pelajar-an dari pengalaman hidup dibawah Orde Baru: bahwa kita ti-dak mungkin membangun bangsadengan meningkatkan ketimpang-an di antara warga dan memusat-kan kewenangan di tangan sege-lintir institusi yang tidak bisadiminta pertanggungjawabannyaseperti birokrasi sipil dan militersekarang. Lagi-lagi Amartya Senberkomentar tentang ini: “Masa-lah-masalah di Asia Timur danTenggara belakangan ini memper-lihatkan antara lain hukuman bagipemerintahan yang tidak demo-kratik. Dan ini terlihat dari dua hal.Pertama, perkembangan krisis fi-nansial di beberapa negeri (terma-suk Korea Selatan, Thailand danIndonesia) terkait erat dengan ku-rangnya transparansi dalambisnis, terutama kurangnya parti-sipasi publik dalam meninjaukesepakatan-kesepakatan finansi-al yang dibuat. Tidak adanya fo-rum demokratik yang efektif sa-ngat berpengaruh dalam kegagal-an ini. Kedua, ketika krisis finansi-

Masalah yangdihadapi Indonesia

sekarang adalahberlanjutnya kekua-

saan para mantanmenteri, penasehat,penyair dan pokrol

bambu warisan Soe-harto yang hanya

berbicara dalam ba-hasa kekuasaan,

bukan bahasa hak.

al itu menuju resesi ekonomi, ke-kuatan demokratik yang melin-dungi – yang mencegah terjadinyakelaparan massal di negeri-negeridemokratik – tidak ada di negeriseperti Indonesia. Kaum yangterampas harta-bendanya tidakpunya orang yang mendengarkannasib mereka.”

Masalah yang dihadapi Indonesiasekarang adalah berlanjutnya ke-kuasaan para mantan menteri,penasehat, penyair dan pokrolbambu warisan Soeharto yanghanya berbicara dalam bahasakekuasaan, bukan bahasa hak.Tegasnya, elit yang berkuasa seka-rang adalah elit yang sama padamasa Orde Baru tanpa Soeharto.Kemiskinan wacana intelektual In-donesia sekarang ini bertolak dariasumsi bahwa rakyat terlalubiadab untuk diberi hak-hak.Karena itu kita selalu mendengarorang bicara tentang masa seka-rang yang “terlalu demokratik”padahal sesungguhnya demokrasinyaris tidak ada. Konsep “massamengambang” masih berjaya danbelum ditenggelamkan ke dasarsamudra, yaitu tempat yang pal-ing pantas bagi kebodohan yangtak termaafkan.

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 11: Media Kerjabudaya edisi 062001

11

Mengubah Konstitusi,Memperkuat Bangsa

Jika kita menganggap konstitusi sebuah bangsa sebagaiindikator penting untuk

menetapkan tingkat demokrasi-nya, maka kita bisa lihat bahwaUUD 1945 mencerminkan kurang-nya demokrasi di negeri ini. UUD1945 yang kita miliki sekarangsesungguhnya bersifat sementaradan tidak lengkap; dan memangtidak pernah dimaksudkan sebagaikonstitusi yang abadi. Sepertidikatakan Soekarno dalam sidangpembahasannya, “ini adalah Un-dang-undang dasar kilat.” Tidakseperti konstitusi di tahun 1949

Hidup bersama sebagai bangsa berarti melihat sesama sebagai mahluk setara, yakni sebagaimanusia dengan hak-hak sama yang dijamin hukum. Kesetaraan politik ini adalah esensi dariidentitas nasional, dan bukan tempelan yang boleh dibongkar-pasang sesuka penguasa. Sebuahbangsa, seperti kita ketahui, adalah sekelompok orang yang memiliki solidaritas horisontalyang kuat. Dan dari mana datangnya solidaritas, penghargaan terhadap sesama, jika bukan darikepastian yang nyata dan kuat bahwa kita semua memiliki hak yang sama? Orang harus merasasetara bukan hanya dalam imajinasinya, dan bukan pula semata-mata secara simbolik (misalnyasaat berdiri di lapangan dan menyanyikan Indonesia Raya), tapi dalam praktek sehari-harilembaga pemerintah. Prasyarat dasar bagi sebuah bangsa yang kuat adalah konstitusi yangsecara eksplisit mencantumkan hak-hak tersebut dan menjadi panduan hidup bernegara. Tanpakonstitusi yang mengakui dan menjamin hak-hak itu bagi setiap warga, maka kita tidak mungkinmembangun bangsa. Seperti dikatakan Soekarno tahun 1956, “negara demokratik berdasarkanrule of law sebagai syarat dasarnya harus memiliki konstitusi yang dirumuskan oleh rakyatnyasendiri.” (Risalah Konstituante)

dan 1950, UUD yang kita gunakansekarang hanya mengakui segelin-tir hak warganya, yakni hak ataspekerjaan, hak atas pendidikan,hak bela negara, dan hak beraga-ma sesuai keinginan. Kebebasanberkumpul, berbicara dan kebe-basan pers sebaliknya tidak pernahditetapkan dengan jelas, dan se-muanya disebut akan “diatur lebihlanjut melalui undang-undang.”

Untuk memahami kekurangan dariUUD 1945 kita tinggal memban-dingkannya dengan UUDS 1950yang berlaku sampai tahun 1959.Di sana ada satu bagian khusus

tentang “hak asasi manusia dankebebasan” dan bagian itu (bagian5) ditempatkan pada bagian awal,sebelum bagian-bagian yangmenjelaskan kewenangan ekseku-tif, legislatif dan yudisial. Dalambagian itu ada 28 pasal, jauh lebihbanyak dari jumlah pasal dibagian-bagian lainnya. Pasal-pasalitu sepenuhnya mengakui tiga ke-bebasan dasar yakni kebebasanberkumpul, berbicara dan pers.Ada pula pengakuan eksplisit akanhak warga untuk membentukserikat-serikat buruh. Negara,dalam pasal-pasal ini, tidak

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 12: Media Kerjabudaya edisi 062001

12 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

berwenang menangkap orangseenaknya, menyiksa mereka danmenyita harta benda mereka tanpakompensasi, tidak berhak pulameniadakan pengadilan yang jujuratau merampas hak orang sesuka-nya. Konstitusi yang tengah diran-cang oleh Dewan Konstituante diakhir tahun 1950-an memberikanprioritas serupa untuk hak-hakwarganegara.

Kita tidak bisa menuding orangatau organisasi tertentu sebagaipenyebab bubarnya Konstituantepada tahun 1959. Bagaimanapunmiliter tetap terlihat sebagai yangpaling bertanggungjawab: di

bawah pimpinan Nasution, militerberkampanye “kembali ke UUD1945” dan menekan pemerintah-an Soekarno agar menyetujuiusulan itu. Tapi, bagaimanapunharus kita akui bahwa Soekarnosendiri tidak percaya pada demo-krasi dan cenderung melihat diri-nya, dan bukan dewan perwakilanyang dipilih langsung oleh rakyat,sebagai perwujudan kehendakrakyat.

Dan ini terwujud bahwa birokratpriyayi di PNI pada dasarnya tidakperlu pada bentuk pemerintahanapa pun selama kepentingan danhak-hak istimewa mereka tetap

dijamin (dan ini pula yangmembuat banyak di antaranya de-ngan mudah kemudian bergabungke Golkar setelah Soehartoberkuasa). Masyumi dan NU saatitu tetap menginginkan negara Is-lam yang jelas membuat orangnon-Muslim menjadi warga kelasdua. Masyumi bahkan terlibatdalam pemberontakan bersenjatamelawan pemerintah, sepertiPRRI/Permesta bersama PSI yangtidak percaya bahwa massa rakyatbisa memegang kendali republik.Partai Komunis Indonesia dalamhal ini lebih demokratik, dankomitmen mereka terhadap kedau-latan dan kekuasaan rakyat punjelas, walaupun ada masalah jugadengan paradigma anti-demokra-si seperti sistem satu-partai yangdicontoh PKI dari Uni Soviet atauTiongkok. Dengan kata lain semuakekuatan politik mengumandang-kan retorika demokrasi di tahun1950-an dan 1960-an, tapi tak satupun yang benar-benar punyakomitmen untuk mewujudkannya.

Gerak maju demokrasi terhambatsemasa “Demokrasi Terpimpin”dari tahun 1959 sampai 1965,walau tidak sepenuhnya dibun-tungi. Negara di bawah Soekarnotidak secara aktif merampas hak-hak sebagian besar warganya.Baru di zaman Soeharto, khusus-nya setelah “kudeta merangkak”tahun 1965-67 demokrasi menga-lami pukulan mundur yang luarbiasa. Seluruh hak dirampas, ter-masuk hak-hak yang jelas dijamindalam UUD 1945, dan rakyatmenjadi hamba dari kediktatoranatau sejenis kesultanan baru.Seperti dikatakan Soekarno padatahun 1966, “bangsa kita sekarangmerosot kembali 50 tahun”. Mak-sudnya tidak lain bahwa semuapencapaian yang susah-payahdiraih gerakan nasionalis sejakBudi Utomo, dirampas atau han-cur berantakan.

Di masa Orde Baru, orang Indone-sia tidak lagi melihat sesamanyasebagai citizen yang terlibat dalamkeputusan politik dan etik me-nyangkut kehidupan bersama.Wacana hak yang digerakkan olehgerakan nasionalis dikubur de-ngan paksa. Contohnya mudahsaja. Istilah “citizen” dalam baha-sa Inggris berarti seseorang yangmemiliki hak-hak tertentu,sementara dalam bahasa Indone-sia – apalagi di zaman Orde Baru –istilah warganegara tidak

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 13: Media Kerjabudaya edisi 062001

13

mengandung konotasi yang sama.Militer Indonesia yang di zaman itumulai menyebut dirinya “perekatbangsa” secara implisit tidak per-caya bahwa ada solidaritas hori-sontal di antara orang Indonesia.Justru sebaliknya mereka meman-dang penduduk kebanyakansemata-mata sebagai gerombolanternak yang harus dipaksa hidupbersama secara “aman danterkendali”.

Orde Baru juga ahli untuk menga-du domba warga, seperti yang kitalihat pada tahun 1965-66 ketikamiliter menghasut orang sipil un-tuk membunuh siapa saja yangdituduh “komunis”. Jutaan orangmenjadi korban-korban pertamaOrde Baru yang dirampas haknya:hak untuk hidup, hak mendapatpengadilan yang fair, hak untuk ti-dak disiksa atau diperlakukansewenang-wenang, hak berbicaradan banyak lagi lainnya.Celakanya, tindakan ini didukungoleh sebagian elit dan intelektualkelas menengah Indonesia,sehingga Soeharto selanjutnyaleluasa melakukan hal yang samakepada siapa pun. Kaum nasional-is, umat Islam, petani, perempuandesa, orang Papua, Timor Lorosaedan Aceh, dan siapa pun yang di-anggap ancaman susul-menyusulmenjadi korban dari praktek yangsama. Dan ini bukan penyimpang-an sekelompok “oknum”, melain-kan sebuah upaya sistematis. Lihatsaja bagaimana orang Tionghoayang sudah berulangkali menjadikorban diskriminasi di masaSoekarno, diperlakukan lebihparah dan bahkan dianggap seba-gai orang asing di zaman OrdeBaru. Kita tentunya sadar bahwaada yang salah ketika istilah“warganegara Indonesia” tidakdipakai untuk menunjuk seseorangdengan hak tertentu, tapi justrumenjadi istilah resmi untuk me-nyebut komunitas minoritas yangsudah dibuntungi hak-haknya.

Saat ini para anggota MPR dan“elit politik” seharusnya bekerjasiang-malam untuk merumuskankonstitusi baru yang dapatmengubah semua kelemahan itu.Tapi yang kita lihat justrusebaliknya. Tak satu pun partaiyang tertarik mengemban tugasitu, kecuali untuk membuatamandemen yang tidak terlalupenting seperti mengubah masajabatan presiden. PDI-P yangmerupakan partai terbesar selaluberbicara tentang UUD 1945 seba-gai sesuatu yang sakral, dan kader-kadernya selalu berpidato tentang“kembali ke hakikat UUD 1945”,

dan bukan untuk memperbaikinya.Partai-partai lain pun sama saja.Tak satu pun dari mereka yangmemiliki landasan jelas ataumengajukan rencana kongkret un-tuk mengubah konstitusi agardapat menjamin hak setiap orangsebagai citizen.

Tidak adanya ketertarikan untukmengubah dan memperbaiki kon-stitusi tidak lain adalah produkkeberhasilan Orde Baru dalammenjungkirbalikkan nasionalismeIndonesia dan memutusnya darikonsep “warganegara” lengkapdengan hak-hak yang terkaitdengannya. Kalau kita memba-

...semua kekuatanpolitik menguman-

dangkan retorikademokrasi di tahun

1950-an dan 1960-an, tapi tak satupun yang benar-

benar punyakomitmen untuk

mewujudkannya.

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 14: Media Kerjabudaya edisi 062001

14 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

ca tulisan-tulisan tentang nasio-nalisme di masa Orde Baru makasulit ditemukan pembahasan ten-tang pentingnya hak-hak warganegara dan demokrasi sebagaijaminan adanya nasion yang kuat.Ambil misalnya tulisan HarsjaBachtiar yang meraih gelar doktordengan disertasi tentang integrasinasional. Dalam sebuah artikel diPrisma tahun 1976 dikatakannya,nasion Indonesia “merupakansuatu kesatuan sosial yangsungguh-sungguh baru dan me-wujudkan ikatan-ikatan solidaritasyang meliputi sekalian anggota-anggotanya.” Lantas apa basisdari kesatuan, atau apa yangmembuat kita menjadi satu na-sion? Jawabnya, “nilai-nilai dasar-nya dinyatakan sebagai asas-asasPanca Sila”, “bahasa sendiri”,“kebudayaan sendiri” dan “kesu-sasteraan Indonesia.”

Harsja Bachtiar tidak sendirian.Cukup banyak penulis yangmengacaukan sebab dan akibatadanya solidaritas horisontal yangdisebut nasionalisme itu. Apayang disebutnya sebagai akibatsesungguhnya adalah sebab.Pancasila misalnya lahir setelah o-rang Indonesia menjadi nasional-is. Orang mulai berpikir tentangkebudayaan, bahasa dan sastra In-donesia (nasional), setelah gerak-an nasionalis tumbuh berkem-bang dan membuat banyak orangmerasa diri bagian dari nasionyang sama. Artinya HarsjaBachtiar, seperti banyak penulislainnya, gagal melihat apa yangmembuat orang ingin hidupbersama sebagai nasion. Untukmemahami keinginan yang kuatitu, maka kita harus melihatadanya hasrat untuk hidup dalamkomunitas yang setara, di manatidak ada penindasan dan penghi-sapan, dan jelas tidak ada negarakolonial yang mengekang pendu-duk jajahannya. Kesalahan carapandang tadi masih berlanjut. Ka-rena mengacaukan sebab danakibat tadi, maka institusi-institusiuntuk merawat solidaritas hori-sontal tersebut juga luput dariperhatian. Kita boleh saja sama-sama setuju dengan asas-asasPancasila, berbicara dalam baha-sa yang sama, tapi kita tidak bisamembentuk nasion tanpa konsti-tusi yang menjamin kesetaraan itudan lembaga-lembaga politik tem-pat kita bekerja untuk mencapaikebaikan bersama.

Nasionalisme di bawah Orde Barusebaliknya dipisahkan sama sekalidari politik dan direduksi menjadimasalah mental-kebudayaan. Lihatsaja Taman Mini yang mencermin-kan perspektif Orde Baru tentang“bangsa Indonesia” sebagai kum-pulan suku-suku bangsa denganpakaian dan adat-istiadatnya sen-diri. Atau masuklah ke MuseumNasional, dan lihat peta Indonesiayangdikelilingi gambar orang-o-rang dengan raut wajah, potonganrambut, perhiasan dan pakaianyang seolah mencerminkan suku-bangsa tertentu. Mungkin karenadirasa kurang, tiap gambar pundipertegas dengan caption “Bali”,“Batak”, “Timor” dan seterusnya.Indonesia dibayangkan sebagaikumpulan suku-suku bangsa, de-ngan kata lain kumpulan orangyang tidak punya identitas politiksebagai warga (citizen).

Rezim Soeharto juga terkenal sukaakan penampilan. Hari Kartini yangseharusnya menjadi saat mene-gaskan komitmen pada pembe-basan perempuan diubah menjadihari pameran pakaian daerah.Dalam hal ini pemerintah “refor-masi” tidak banyak bedanya.Dalam peringatan 100 tahun BungKarno, perspektif Taman Mini itudipertontonkan di Senayan: setiappropinsi diwakili barisan orang de-ngan apa yang diklaim sebagai“pakaian daerah” masing-masing.Arti penting Bung Karno, sepertijuga Kartini, direduksi sedemikianrupa menjadi masalah pakaiandaerah. Seolah semua gagasancemerlang dari kedua tokoh inidan kaum nasionalis lainnya cukup“dirayakan” dengan peragaanbusana. Pemerintah boleh bergan-ti tapi cara pandang tetap sajasama. Di masa “reformasi” per-spektif Taman Mini yang memotretIndonesia sebagai negeri damaidengan kumpulan suku-sukubangsa yang hidup berdampingansecara harmonis, tetap dipeliharadan berkembang biak. Tidak sadarmungkin bahwa pikiran itu berasaldari zaman kolonial ketika pegawaikolonial Belanda melihat dirimereka sebagai pegawai netraldari pemerintah yang berkuasaatas gerombolan-gerombolanprimitif. Adalah penguasa kolonialBelanda yang selalu melihat orangIndonesia sebagai subyek antropo-logis, dan bukan sebagai subyekpolitik yang memiliki hak-hak.

Banyak intelektual yang sekarang

Page 15: Media Kerjabudaya edisi 062001

15

mulai merenungi makna nasional-isme Indonesia, terutama setelahreferendum di Timor Lorosae,perang di Aceh, kekerasan di Kali-mantan dan Maluku, tapi sedikitsaja yang jernih. Lihat misalnyatulisan Imam Prasodjo di Kompaspada akhir Desember tahun lalu.Dalam tulisan itu ia bertanya: “Apayang harus diperhatikan dalam na-tion building sehingga terciptaintegrasi nasional dan integrasisosial yang kuat?” Dan jawabnya:“perlu ada pengelolaan kreatif un-tuk menumbuhkan ‘solidaritas e-mosional’ dalam bingkai kebang-saan. Dengan kata lain, tiapkomponen bangsa dituntut untukmemiliki kemampuan ‘senibercinta’ (the art of loving) yangbaik …” Jalan keluarnya denganbegitu, orang Indonesia harusbelajar mencintai sesama. Sulit un-tuk tidak tertawa mendengarkomentar yang demikian dangkal.Kalau memang masalahnya sese-derhana itu, mestinya ribuan lagucinta yang diproduksi selama inisudah mampu menyelesaikanmasalah yang kita hadapi seka-rang.

Cinta boleh-boleh saja, tidak adayang salah, tapi jelas tidak akanmenyelesaikan masalahnya. Apayang diperlukan sekarang adalahhidup rukun dan menghargaisesama sebagai orang denganhak-hak tertentu. Untuk itu kitaperlu lembaga-lembaga yangdapat menyelesaikan sengketa(seperti forum demokratik di ka-langan rakyat, pengadilan yangfair dan berwibawa), dan sebuahkonstitusi yang kuat denganpanduan menjalankan kekuasaannegara yang jelas pula. Perubahanini jauh lebih kita perlukandaripada belajar “seni mencinta”.

Jika kita memang serius inginhidup sebagai nasion, makainstitusi demokratik dan hak-hakwarganegara adalah unsur yangpaling mendasar. Hanya denganitu kita bisa menciptakan hidupbersama secara damai. Tanpakemerdekaan dan kebebasan, In-donesia hanya sebuah nama diatas peta, dan kita, warganegarayang hidup di atasnya, hanyalahsegerombolan orang yang takpunya sumbangan apa pun kecualimembuat berita-berita sensasionaldi CNN tentang pembantaiansesama dan perang yang bergeli-mang darah.

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 16: Media Kerjabudaya edisi 062001

16 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

Di media massa mereka yangmenobatkan diri sebagai“pengamat sosial-politik”

atau “pemerhati kebudayaan”berkumpul memberi ceramah danpenjelasan tentang sebab-akibatdari gelombang kekerasan ini. Se-olah sedang menonton pertan-dingan sepak bola mereka ramai“jual strategi”; di satu sisi menya-lahkan pemerintah karena takbecus, dan di sisi lain memakirakyat sebagai gerombolan biadabkarena saling menghancurkan.“Inilah bahaya demokrasi, kalausampai kebablasan,” demikiankata yang satu. “Rakyat kita me-mang belum siap berdemokrasi,”kata yang lain. Kata-kata berbeda,tapi kesimpulan sama, begitu pulajalan keluarnya: rakyat harus diaturagar tertib dan beradab. Agar lebih

mantap, komentar mereka diimbu-hi dengan mantra-mantra tentang“bangsa yang sakit”, “penyakitatau wabah sosial”, dan segalakonsep yang dikutip sekenanyasaja.

“Elit politik” tidak jauh berbeda.Orang pemerintah, anggota DPR,pimpinan partai politik, perwirapolisi, pejabat militer ramai-ramaimenuding kebodohan rakyat seba-gai biang keladinya. Gerakanrakyat memperjuangkan keadilandan menuntut hak-hak yang di-rampas pun dengan mudahdisulap menjadi “kerusuhan”,“pertikaian SARA”, tentu dengansebelumnya menyusupkan orangdan bahan yang cukup untukmeyakinkan media massa di lokasikejadian. Intinya pun sama, bahwa

rakyat belum siap demokrasi danbahwa gerakan reformasi sekarangsudah kebablasan sehingga harusdihentikan.

Pikiran-pikiran semacam itu sudahwaktunya dibongkar, dan perlu kitaajukan pertanyaan mendasar: apabenar yang kita saksikan di Indo-nesia sekarang adalah sebuah“konflik horisontal”? Sejarahberkata lain. Kekerasan di masalalu umumnya menjadi bagian daripertarungan vertikal antara rakyatmelawan kekuasaan negara kolo-nial, atau protes terhadap pemer-intah republik. Di masa Orde Barukenyataan ini sungguh jelas.

Ada baiknya kita menengokkembali apa yang sesungguhnyaterjadi dan membongkar semua

Soeharto pergi, konflik dan kekerasan semakin hebat saja. Orang pun langsung menuding bekasdiktator ini sebagai biang keladi. Maklum, selagi berkuasa apa saja mampu dilakukannya,mulai dari membunuhi jutaan penduduk Indonesia sendiri sampai mencuri uang negara untukdiri dan keluarganya. Apalagi cuma mengerahkan preman atau provokator ke daerah-daerahuntuk mencipta konflik. Korban jiwa akibat kekerasan dalam tiga tahun terakhir sudah samajumlahnya seperti penduduk sebuah kecamatan. Sampai tahun ini lebih dari satu setengah jutaorang dipaksa pergi dari kediaman mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang parahkondisinya. Ratusan ribu rumah dan tempat kerja milik rakyat yang tidak ikut menikmati pem-bangunan Orde Baru pun hancur berantakan, sementara anak-anak mereka terlantar karenagedung-gedung sekolah pun tidak selamat.

KonflikMenata Ulang Indonesia

SEM

SAR

SIAH

AAN

Page 17: Media Kerjabudaya edisi 062001

17

informasi yang dipompakanoleh para pejabat militermelalui media massa. DiMaluku misalnya, konflik yangselalu digambarkan sebagai “per-tikaian agama” sebenarnya punyaasal-usul pada perkelahian antarpreman, yang mencerminkan per-tentangan di antara elit politik se-tempat. Di Poso pun sama halnya.Diawali dari pertikaian antara duapemuda yang kebetulan mabuk,konflik di situ kemudian bergesermenjadi “masalah agama”. Dalamhampir semua kejadian, termasukdi Pontianak, Sampit, Banyuwangidan Tasikmalaya, pemuda mabuk,preman, dan kadang-kadang “ok-num militer” ditemukan sebagaipemicunya. Setelah itu langgam-nya selalu sama, pemerintah sipil,polisi maupun tentara tidakberbuat apa-apa dengan alasantakut melanggar HAM, sehinggapara preman dan orang suruhanbebas berkeliaran menambahminyak dalam api.

Rakyat tidak bodoh,dan dalam hal ini jauh lebih pandaidari para pengamat yang hanyamengunyah ulang pernyata-an pejabat militer. Buktinyatidak sedikit yang berani ber-bicara tentang kehadiran “or-ang luar” dalam pertikaiandan konflik itu. Tapi dengancepat mereka dijadikan sasarandan justru balik dituduh sebagai“provokator” karena mengadurakyat dengan penguasa. Orang-orang pandai ini hanya bisa diamdan berusaha keras agar lingkung-annya tidak ikut dijerat permainanjahat itu. Dan di sinilah masalahsesungguhnya: rakyat tidak punyakekuatan cukup untuk mengatakantidak dan mengambilalih pena-nganan konflik atau pertikaian.Kebebasan hasil reformasi hanyaberlaku bagi segelintir elit, danberlaku sebaliknya: gerombolan

Orde Baru dan pelaku pelanggaranhak asasi manusia sekarang bebasmerongrong dan bahkan menyi-apkan rencana menggulingkan pe-merintah.

Konflik yang berkepanjanganpunya akibat serius bagi perikehi-dupan rakyat. Bukan hanya tenagayang terkuras, tapi juga sedikitmilik yang tersisa dari era penja-rahan Orde Baru. Di Aceh, Kali-mantan, Maluku dan Papua,ratusan ribu orang diceraikandari alat produksinya dan

ALIT

AM

BARA

Page 18: Media Kerjabudaya edisi 062001

18 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

menjadi pengangguran yangluntang-lantung di tempat pe-ngungsian. Tidak sedikit yangakhirnya rela menjual diri, baiksebagai pekerja seks di sekitarbarak militer, maupun demonstranbayaran untuk menggulingkanbupati, gubernur bahkan presiden.Ada juga yang memilih ikut dalamorganisasi pemuda atau berma-cam jenis “laskar”, karena disamping mengisi perut, jubah dansenjatanya ternyata ampuh jugauntuk alat balas dendam. Akibat-nya, pemiskinan dan pembodohansemakin mendalam, karena mere-ka yang menolak pun tidak bisaberbuat banyak. Jangankan bang-kit dan melawan, untuk menyam-bung hidup saja sulitnya bukanmain. Jika dihitung secara keselu-ruhan tidak kurang dari dua jutaorang yang kehilangan alatmencari nafkahnya karena konflikdan kekerasan, yang jelasmenambah panjang barisan pe-ngangguran Indonesia yangberderet-deret setelah krisis finan-sial 1997.

Mereka yang tetap bertahantinggal di daerah-daerah konflikpun tidak lebih baik nasibnya.Kekerasan memacetkan kegiatanekonomi seketika. Ancaman dandesas-desus saja sudah cukupmembuat orang enggan pergi keladang apalagi membuka tokoatau warung. Anak-anak merekajuga tidak pergi ke sekolah karenagurunya memilih pulang ke tem-pat asal atau cari pekerjaan lainyang lebih aman. Di Maluku seka-rang ini ada sekurangnya 200.000orang yang sehari-hari hidup dikamp pengungsian. Sekitar 75%penduduknya kehilangan pekerja-an dan satu juta anak usia 6-15tahun berhenti sekolah akibatkonflik itu. Hidup pun semakinbergantung pada bantuan peme-rintah atau lembaga internasional.Lebih dari Rp 3 milyar dikeluarkansetiap hari, yang hanya akanbertahan selama 24 bulan. Dansebuah generasi pun tengahterancam.

Menata Ulang Kehidupan,Menata Ulang Kehidupan,Menata Ulang Kehidupan,Menata Ulang Kehidupan,Menata Ulang Kehidupan,Untuk Kepentingan Siapa?Untuk Kepentingan Siapa?Untuk Kepentingan Siapa?Untuk Kepentingan Siapa?Untuk Kepentingan Siapa?Akibat lain dari konflik dan gelom-bang kekerasan adalah semakinkuatnya posisi militer. Denganklaim “keadaan tidak terkendali”jumlah pasukan terus ditambah,birokrasi diperkuat dan persenja-taan pun semakin hebat. Mengiku-

ti doktrin Orde Baru, kaum intelek-tual dan kelas menengah Indone-sia berharap agar militer segerabertindak tegas dan keras. Danseperti kita tahu yang terjadi justrusebaliknya, konflik semakin hebatdan rakyat sipil yang bertikaimendapat dukungan senjata danamunisi. Komunitas warga punsemakin cerai-berai karena militerrajin menuding “dalang” dan“provokator” yang sesungguhnyahanya membuat orang bingungdan frustrasi.

Dalam situasi seperti ini penataanulang pun terjadi, dan semua o-rang sadar bahwa tanah kelahiranmereka tidak akan sama sepertisemula. Di Maluku sudah berlakusegregasi, pemisahan antara ko-munitas Kristen dan Islam yangdijaga ketat oleh militer. Di Kali-mantan, orang Madura diusirkeluar dan para pelaku kekerasanberikrar takkan membiarkanadanya “Madura-Madura yanglain” di sana. Di Aceh militersecara sistematis memisahkan“gerombolan pengacau kea-manan” dari “rakyat”, yang dalamkenyataannya memisahkan orangAceh dari pergaulan Indonesia,seperti yang bertahun-tahundilakukan di Papua dan TimorLorosae. Di sinilah kecurigaan danprasangka tumbuh subur, dansemakin mengentalkan konsepsiabsurd tentang “asli” dan “penda-tang”.

Kekuatan untuk bertahan sebagaikolektif pun semakin lemah.Gotong-royong yang memanglazim dipraktekkan semakin tipis,dan kepercayaan diri sebagai se-buah komunitas semakin rontokakibat “intervensi kemanusiaan”yang membanjiri daerah konflikdengan bermacam bantuan. Parapejabat Orde Baru yang semuladiguncang oleh kejatuhan induk-nya di Jakarta pun bisa berlegahati, dan justru sebaliknya tampilkembali sebagai pemimpin. Mere-ka bersekutu dengan parapelaksana program “pemulihan”dan “rekonstruksi” yang sesung-guhnya merupakan penataanulang masyarakat sesuai dengandoktrin ekonomi yang dominan,yakni ekonomi pasar. Di sekitartempat penampungan pengungsiberdiri proyek-proyek pemba-ngunan yang baru untuk menye-rap tenaga kerja murah yang hidupberdesakan.

Di Manado misalnya, sekitar

30.000 pengungsi termasuk anak-anak terpaksa menjual tenaga se-bagai buruh murah. Merekabersaing dengan penduduk setem-pat mencari nafkah, dan melahir-kan persoalan baru. Perusahaanperkebunan pun lebih senangtenaga pengungsi yang murah,dan di Sulawesi Utara lebih dari60.000 buruh setempat di perke-bunan cengkeh dan kopra kehi-langan pekerjaan.

Dalam prosesnya mulai terlihatbahwa proyek “pembangunankembali” sesungguhnya lebihmelayani kepentingan merekayang membawa proyek itu ketim-bang mereka yang menerima.Perusahaan kontraktor, industribantuan dan pedagang berebutmendaftarkan diri sebagai rekanandalam proyek, mencari keuntung-an baru di tengah tumpukan ke-sengsaraan. Tidak sedikit proyekyang sengaja dibuat setengah jadiagar di tahun-tahun mendatangkeuntungan masih mengalir kekantong para pengelolanya.

Bersamaan dengan itu lembaga-lembaga keuangan internasionalseperti Bank Dunia semakin gencarberkampanye tentang pemba-ngunan daerah di bawah panji“otonomi daerah”. Ide dasarnya,semua kegiatan ekonomi tidak lagimelalui tangan pusat, tapi cukupmelalui para pejabat di daerahyang baru diporak-poranda. Partaipolitik, organisasi pemuda, militermaupun polisi, jelas lebih tertarikdengan proyek-proyek ini ketim-bang memikirkan perdamaiansejati dan penegakan hak-hakrakyat yang menjadi prasyaratnya.

Dalam laporan tahun 2000 BankDunia mengatakan pertumbuhanekonomi dan kekuatan politik didaerah-daerah akan menjadi halyang paling penting di abad ke-21,karena itu fasilitas komunikasi dantransportasi harus dibangun dansemua hambatan perdaganganharus dihapus. Sementara rakyatmasih sibuk menata kembalikehidupannya yang porak-po-randa akibat konflik, para pemilikmodal, birokrat dan pengusahaberlomba menyambut “duniabaru”di bawah pimpinan doktrinpasar. m

TIM MEDIA KERJA BUDAYA: HilmarFarid, John Roosa, Razif, SentotSetyosiswanto.

Page 19: Media Kerjabudaya edisi 062001

profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 19

> > > P R O F I L> > > P R O F I L

BertarungMelawan Pembodohan

ISTI

MEW

A

Usaha itu tentu bukantanpa masalah. Ditahun 1980-an OrdeBaru tengah mencapaipuncak kejayaannya.

Segala bentuk perlawanan, mulaidari PKI, kaum nasionalis, ulamasampai mahasiswa berhasildiredam dan kontrol militerberlaku di segala bidang.Kehidupan sosial-budaya dirasukisemangat “penertiban danpenyeragaman”, di mana pikiran

berbeda adalah ancaman, danmereka yang melakukannya bisadianggap berkhianat terhadapbangsa dan negara.

Sekeping PernyataanDemokrasiAwalnya sederhana. Tahun 1973Pramoedya yang ditahan di PulauBuru diberi sedikit keleluasaanuntuk melanjutnya kerja kreatif.Hasrat lama untuk menyusunsiklus sejarah Indonesia dalam

bentuk cerita pun kembaliditekuninya. Dengan bahan yangserba terbatas ia mulai mencerita-kan jilid pertama Bumi Manusiakepada tahanan yang lain disawah-ladang maupun barakpenampungan. Baru dua tahunkemudian ia mulai menulis atasjasa beberapa tahanan yangmemperbaiki dan menyerahkanmesin tik tua Royal 440 untuknya.

Hasjim Rachman, mantan pemim-pin redaksi Bintang Timur, yangikut menikmati kisah-kisahPramoedya suatu saat mendata-nginya dan meminta izin untukmenerbitkannya setelah bebas.Pramoedya pun setuju. “Suatu

>>Razif

HASTA MITRA:

Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat.Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yangdirepresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pe-kerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orangyang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga

kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedangkuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga.

Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah edi-tor Hasta Mitra, yang didirikan bersama HasjimRachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbititu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedyayang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulangsebagian karyanya sebelum ditahan, sepertiPerburuan dan Panggil Aku Kartini Saja.

Page 20: Media Kerjabudaya edisi 062001

20 profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

persetujuan lisan, tanpa bukti,tanpa saksi. Tetapi di balik itu kamiberdua menyadari: penerbitanadalah sekeping pernyataan de-mokrasi,” tulis Pramoedya bebe-rapa tahun kemudian. Di tengahketidakpastian nasib sebagaitahanan Orde Baru pembicaraanberlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu.

Bulan April 1980 selepas daritahanan, Hasjim dan Pramoedyamenemui Joesoef Isak, mantanwartawan Merdeka yang belasantahun mendekam di Rutan Salem-ba. Diskusi berkembang, dankesepakatan dicapai untukmenyiarkan karya eks-tapol yangselama ini tidak mendapat sam-butan dari penerbit lain. Awalnyamereka berniat tidak hanya mener-bitkan karya tulis, tapi jugamenyiarkan rekaman musik,lukisan dan hasil kerja kreatiflainnya. “Kami mau membuktikankepada dunia bahwa dari PulauBuru juga bisa lahir hal-hal yangpositif, bukan hanya cerita sedihdan penderitaan saja,” kata Hasjimketika itu.

Pembagian kerja dimulai. Pramoe-dya terus menulis dan memperba-iki naskah-naskah yang disusun-nya selama di tahanan. Dua diantaranya, Mata Pusaran dan OrohRatusanagara, sampai sekarangtidak jelas nasibnya. Setelah keluardari tahanan, naskah EnsiklopediCitrawi Indonesia yang disusun-nya bertahun-tahun jadi sasaran.Bulan September 1979 seorangkapten TNI-AL datang mengambilsemua naskahnya dan setelah itutak pernah kedengaran kabarnyalagi. Joesoef bertindak sebagaieditor berbekal pengalamanbelasan tahun menjadi wartawansekian suratkabar sebelum 1965,sementara Hasjim menangani segiusaha dan keuangan. Bulan Meimereka sepakat menggunakannama yang dicipta Pramoedya saatmasih mendekam di tahanan,Hasta Mitra (Tangan Sahabat).

Tidak banyak milik merekasekeluar dari penjara. Rumah ke-luarga Joesoef di kawasan DurenTiga disulap jadi kantor denganperalatan serba terbatas. Hanyaada satu mesin tik listrik Olivettiyang dipakai bergantian oleh Pra-moedya dan Hasjim untuk meng-garap pekerjaan mereka. “Modal

awal kami ambil dari dapurnyaHasjim,” kenang Joesoef. Bebera-pa kerabat dan sahabat yangsimpati kemudian memberi tam-bahan modal sehingga Hasta Mitrabisa mulai berjalan.

Tetralogi Buru:Demokrasi HasilKeringat SendiriNaskah pertama yang mereka pilihuntuk diterbitkan adalah BumiManusia, jilid pertama dari kisahpergerakan nasional Indonesiaantara 1898-1918. Pramoedya kem-bali bekerja keras memilahtumpukan kertas doorslag yangberhasil diselamatkannya dariPulau Buru. Hampir semua naskahaslinya ditahan oleh penguasakamp dan sampai hari ini belumdikembalikan. Dalam waktu tigabulan ia berhasil menyalin kembalidan merajut tumpukan kertaslusuh yang dimakan cuaca menja-di naskah buku. Hasjim danJoesoef sementara itu berkelilingmenemui beberapa pejabat peme-rintah, termasuk wakil presidenAdam Malik, yang ternyata mem-berikan sambutan baik.

Awal Juli 1980 naskah BumiManusia dikirim ke percetakan AgaPress dengan harapan terbitmenjelang peringatan Proklamasi.Cetakan pertama keluar tanggal 25Agustus, agak meleset dariharapan semula karena alasanteknis. Hari-hari yang sungguhberarti karena setelah sekian tahunkerja paksa dan setelah lepasdilarang bekerja, kini merekamenikmati hasil kerja sendiri yangpertama. Bagi Pramoedya pener-bitan Bumi Manusia, seperti yangdicatatnya, berarti “suatu kebulat-an tekad, keikhlasan, dan sekaligusketabahan untuk memberikansaham pada perkembangan demo-krasi di Indonesia – dan bukan de-mokrasi warisan sah kolonial, de-mokrasi hasil keringat sendiri”.

Bumi Manusia memang pilihanyang tepat. Dalam waktu 12 harisekitar 5.000 eksemplar habisterjual. Hasjim sampai kewalahanmelayani permintaan dari segalapenjuru, termasuk dari Malaysia,Belanda dan Australia. Iklan kecilyang dipasangnya di harianKompas ditelan oleh berita dantinjauan panjang-lebar darisejumlah penulis. Walau menda-

pat pembayaran penuh dari agendan toko buku, cetakan kedualangsung dipesan.

Dalam bulan November HastaMitra sudah membuat cetakanketiga, dan berhasil menjual seku-rangnya 10.000 eksemplar. Dansambutan pun semakin ramai,mulai dari kritikus Jakob Soemar-djo dan Parakitri Simbolon sampaiartis remaja Yessy Gusman yangmenyebutnya “karya sastra yangterbagus saat ini.” Harian Angkat-an Bersenjata yang dikelola MabesABRI pun menyebutnya sebagai“sumbangan baru untuk khasanahsastra Indonesia”.

Pemasukan awal cukup lumayansehingga Hasta Mitra bisa mem-benahi ruang kantornya danmempekerjakan 20 pegawai, yanghampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang tidakuntuk cari untung, tapi jugamenampung teman-teman yangkesulitan. Waktu itu banyak kantoryang tutup pintu kalau pelamarnyapernah mendekam di tahanan,”kata Joesoef. Seorang kerabatyang simpati memberi sumbang-an mesin typeset CR-Tronics yangsangat canggih untuk zamannyadan melengkapi beberapa perabotyang diperlukan.

Keberhasilan pertama membuah-kan bayangan indah di benakketiganya. Niat untuk ikut me-nyumbang pada perkembanganilmu dan seni semakin membesar.“Mimpi saya sudah macam-macam, bahkan kalau bisa punyakoran lagi,” kata Joesoef. Tidaksemua mimpinya terwujud, teru-tama karena rezim Orde Barumulai menganggapnya sebagaiancaman yang harus ditindak.

Pelarangan: BukanHanya MembelengguPikiranKeberhasilan Bumi Manusia sudahtentu membuat penguasa gerah.Dua hari sebelum cetakan pertamakeluar, kantor Hasta Mitra ditele-pon oleh Kadit Polkam KejaksaanAgung. Petugas itu meminta agarbuku itu tidak diedarkan sebelumada clearance dari pihaknya.Permintaan yang aneh tentunya,karena menurut aturan KejaksaanAgung hanya berwenang mela-rang buku yang sudah diterbitkan.

“Mimpi saya sudah macam-macam,bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata

Joesoef.

Page 21: Media Kerjabudaya edisi 062001

profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 21

Pada pertengahan SeptemberHasjim dipanggil oleh KejaksaanAgung. Tiga hari ia harus melayanipertanyaan para jaksa pemeriksayang mengatakan bahwa BumiManusia “mengandung teoriMarxisme terselubung”, tanpamenjelaskan maksudnya tentusaja.

Tidak ada kata putus. Sementaraitu sejumlah tokoh masyarakat,sastrawan dan pejabat pemerintahmulai menyambut tuduhan kejak-saan. Dengan caranya sendiri-sen-diri mereka membenarkan bahwakarya itu memang “mengandungajaran Marxis” walau selalu gagalmenunjukkannya dengan jelas.“Saya heran kenapa banyak inte-lektual yang sebenarnya sadar,justru bungkam,” kenang Joesoef.Ia berulangkali bertemu denganilmuwan, sastrawan dan tokoh ke-budayaan yang mengaku “peng-gemar berat Pramoedya”, tapi ti-dak memberi pendapat apa punketika karyanya dilarang.

dya. Hasil diskusi ini kemudiandisiarkan melalui media massa se-bagai “bukti keresahan masyara-kat”, modal penting bagi Kejaksa-an Agung untuk menetapkanlarangan. Suratkabar pendukungOrde Baru seperti Suara Karya,Pelita dan Karya Dharma mulaimenerbitkan kecaman terhadapBumi Manusia dan pengarangnya.

Sambutan yang semula baik mulaimelemah. Ikatan Penerbit Indone-sia (IKAPI) yang akan menyeleng-garakan pameran buku tahunan,tiba-tiba mengirim surat pembatal-an ke alamat Hasta Mitra. Padahalsebelumnya panitia kelihatan sa-ngat bergairah mengajak penerbititu menjadi anggota dan turutserta dalam kegiatan-kegiatannya.Suratkabar yang semula simpatisemakin jarang memberi tempatdan bahkan beberapa tulisan yangsiap naik cetak tiba-tiba dibatalkan,hanya karena penulisnya memujikedua karya Pramoedya.

Masalah semakin jelas ketika

masa reformasi malah ikut-ikutanmenyambut Pramoedya sebagaipenulis besar,’ kata Joesoef sambiltersenyum.

Gempuran itu bukan hanyadirasakan Hasta Mitra. Bulan Sep-tember 1981, penerjemah BumiManusia ke dalam bahasa Inggris,Maxwell Lane, yang juga stafkedutaan besar Australia diJakarta, dipulangkan oleh peme-rintahnya. Perusahaan AmpatLima yang mencetak kedua karyapertama juga akhirnya mundurkarena tekanan dari Kejaksaan danaparat keamanan. Akibatnya saathendak menerbitkan Sang Pemuladan Jejak Langkah tahun 1985,Hasjim terpaksa mencari percetak-an kecil di kawasan Kramat yangdikelola seorang ibu tua dan anak-anaknya.

Bagi Hasta Mitra yang “bermodaldengkul”, pelarangan itu adalahmasalah serius. Semua agen dantoko buku didatangi oleh Kejaksa-an Agung yang menyita semuaeksemplar Bumi Manusia danAnak Semua Bangsa. Beberapa diantaranya malah mengambilinisiatif menyerahkannya secarasukarela. Tapi anehnya sampaiAgustus 1981, hanya ada 972eksemplar yang diterima oleh Ke-jaksaan Agung, dari sekitar 20.000eksemplar yang beredar.

Rupanya banyak agen dan tokobuku yang malah memilih menjualeksemplar yang tersisa di bawahtangan. Masalahnya tak satu punagen dan toko itu membayarnyakembali kepada Hasta Mitra, se-hingga pendapatan mereka terusmerosot. Pada pertengahan tahun1980-an toko buku Hasta Mitra diSenen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitanmereka secara terbuka. Tapi karenahutang bertumpuk, akhirnya tokoitu terpaksa ditutup. Niatmenerbitkan karya eks-tapol yanglain pun diurungkan. “Itulah esensipelarangan buku-buku kami: untukmenghancurkan kegiatan HastaMitra secara politik maupun eko-nomi,” kata Joesoef.

Ekspansi di TengahRepresiPelarangan demi pelaranganboleh jadi meredam sambutan dinegeri sendiri, tapi tidak demikianhalnya di luar negeri. Hanya bebe-rapa bulan setelah Bumi Manusiakeluar, sejumlah penerbit diHongkong, Belanda dan Australiamendekati Hasta Mitra untuk men-dapat hak terjemahan. Kesepakat-

tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agungmengeluarkan SK-052/JA/5/1981tentang pelarangan Bumi Manusiadan Anak Semua Bangsa. Dalamsurat itu antara lain disebutkansepucuk surat dari Kopkamtibyang keluar seminggu sebelum-nya, dan Rakor Polkam tanggal 18Mei 1981. Pelarangan itu sepenuh-nya adalah keputusan politik dantidak ada kaitannya dengan nilaisastra, argumentasi ilmiah sertaalasan-alasan yang dikemukakansebelumnya.

Surat keputusan itu memperkuatpersekutuan Orde Baru untukmenghantam Hasta Mitra. Paraperwira tinggi militer, termasukPangkopkamtib Soedomo, selalumenyempatkan diri untuk berko-mentar tentang karya Pramoedya.Sebelumnya di markas KodamJaya ada pertemuan khusus antarasastrawan dan intelektual yangmemberi “landasan ilmiah dankultural” kepada pejabat militeruntuk mengomentari karya-karyaPramoedya. “Menariknya, adajuga di antara mereka yang di

Kejaksaan pun merangsak maju.Tidak puas dengan tuduhannyasendiri mereka mulai beralihmempersoalan status Pramoedyasebagai eks-tapol. PercetakanAmpat Lima yang memproduksiBumi Manusia pun jadi sasaran.Pemiliknya berulangkali dipanggildan diminta agar tidak mencetakterbitan Hasta Mitra. Redakturmedia massa pun ditelepon agartidak memuat resensi apalagipujian bagi karya Pramoedya.

Tetap tidak ada keputusan resmidan Hasta Mitra bergerak lagimengeluarkan buku Anak SemuaBangsa. Sambutan pun makinmeluas sampai ke daerah-daerah,dan beberapa penerbit di luarnegeri mulai menghubungi Hasjimdan Pramoedya, meminta izinmenerbitkan edisi bahasa asing-nya.

Reaksi pun semakin besar.Pertengahan April 1981 beberapaorganisasi pemuda ciptaan OrdeBaru menggelar diskusi yangisinya mengecam karya Pramoe-

“Itulah esensi pelarangan buku-bukukami: untuk menghancurkan kegiatan

Hasta Mitra secara politik maupunekonomi,”

Page 22: Media Kerjabudaya edisi 062001

22 profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

an pun dibuat. Pramoedya seba-gai penulis tetap mendapat royaltisementara Hasta Mitra hanyabertindak sebagai perantara. Pe-nerbit Wira Karya di Malaysiaadalah yang pertama menerbitkanulang Bumi Manusia dan AnakSemua Bangsa dengan membayarroyalti sebesar 12% langsungkepada Pramoedya.

Setelah kedua buku itu dilarang,Hasjim mulai berusaha menjualeksemplar yang masih tersisa digudang ke luar negeri. Ia menghu-bungi sejumlah perpustakaan,pusat penelitian dan toko buku,tapi tidak selalu mendapat tang-gapan positif.

Di tengah kesulitan lagi-lagi adapertolongan dari beberapa saha-bat yang mengumpulkan modal50.000 gulden untuk mendirikancabang perusahaan di Amsterdamdengan nama terjemahan dalambahasa Latin, Manus Amici.Penerbit dan toko buku itu terletakdi pusat kota Amsterdam dandikelola oleh Edi Tahsin, eksil In-donesia dari Tiongkok yang sejak1977 bermukim di Belanda. BulanSeptember 1981 ia menerbitkanterjemahan Bumi Manusia dalambahasa Belanda, disusul oleh AnakSemua Bangsa.

Tapi tidak semua kegiatannyaberjalan mulus. Di Belanda, ManusAmici tidak hanya menerbitkanbuku. Banyak dana yang dikirimdari Jakarta ternyata habis untukmembantu para eksil, mulai darimenyeberangkan mereka di perba-tasan negara Eropa Barat sampaimengurus paspor dan izin tinggal.Hasil penjualan buku dalam baha-sa asing pun banyak disalurkanuntuk kegiatan seperti itu sehing-ga modalnya tidak pernah berkem-bang. “Memang sejak awal HastaMitra punya misi membantu te-man-teman yang kesulitan. Un-tung itu perkara nomer dua,” kataJoesoef. Modal awal sebesar50.000 gulden pun amblas dalamwaktu beberapa tahun, dan ManusAmici pun gulung tikar. Dan selan-jutnya penerbitan dalam bahasaasing – saat ini karya Pramoedyasudah diterbitkan sekurangnyadalam 12 bahasa – ditangani lang-sung dari kantor di Jakarta.

Di samping itu ada juga penerbityang menerbitkan karya Pramoe-dya tanpa membayar royalti sesenpun. Di Malaysia misalnya pener-bit Abbas Bandung mengerukuntung cukup besar dari penjualankarya Pramoedya, termasuk Kelu-arga Gerilya yang sejak tahun

1970-an menjadi bacaan wajib disekolah menengah. Pertengahan1987 karena jengkel Pramoedyapernah menuntut penerbit PustakaAntara pimpinan Datuk AzizAhmad karena dianggap tidakmembayar royalti seperti seharus-nya.

Sekalipun harus menanggungrugi, para pendiri Hasta Mitramerasakan banyak “keuntungan”lain. Konsep “tangan sahabat”berkembang karena banyak aktivisyang membantu menyalurkanbuku-buku terbitannya, mengada-kan diskusi dan bahkan menggu-nakan hasil penjualan untukmembiayai penerbitan merekasendiri. Di samping itu juga adakeluarga eks-tapol yang bisamereka bantu seadanya mengha-dapi tekanan yang hebat secaraekonomi, sosial maupun politik.

Tanpa direncanakan sebelumnya,dalam waktu beberapa tahunjaringan distribusi dan pembacabuku terbitan Hasta Mitra terben-tuk. Bagi aktivis mahasiswa dizaman itu membaca terbitan HastaMitra menjadi semacam “syaratpergaulan” dan bahkan bacaanwajib untuk mereka yang tertarikpada nasib negerinya. “Itulah sum-bangan Hasta Mitra bagi gerakandemokrasi. Di samping menyum-bang gagasan tentang sejarahbangsa ini, terbitan kami juga bisadigunakan oleh orang lain untukmengembangkan kegiatannyasendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mi-tra mungkin satu-satunya penerbityang bisa bertahan 21 tahun tanpamelakukan akumulasi modal. Danmemang karena bukan itu kehen-dak kami.”

Menjadi PenerbitGerakanSejak awal para pendiri tidakterlalu peduli masalah administra-si. Dunia penerbitan bagi merekaadalah bagian dari perjuangan. Ditahun pertama-tama pernah jugaseorang pejabat BNI menawarkankredit ringan karena melihat pros-pek usaha yang cerah. Ada jugayayasan besar yang tertarik untukmemberikan dana. Tapi semuanyamundur teratur setelah laranganpertama dijatuhkan oleh JaksaAgung.

Uluran “tangan sahabat” ternyatalebih banyak disambut oleh komu-nitas aktivis pro-demokrasi dan

kalangan intelektual dan pekerjakreatif yang terlibat maupun ber-simpati pada perjuangan itu. Darisegi bisnis, menurut Hasjim, yangpaling berjasa menyebarkan terbit-an Hasta Mitra adalah agen dantoko buku kecil. Perusahaanmapan lainnya baru mulai nim-brung setelah Soeharto turuntahun 1998. Sebuah penerbit besaryang terkenal di Jakarta dalamtahun pertama “reformasi” bahkaningin membeli hak cipta karya Pra-moedya dari Hasta Mitra. “Tapisetelah keadaan mulai berbalik,dan serangan-serangan terhadapbuku kiri mulai terjadi, merekamundur teratur,” ujar Joesoefsambil tertawa.

Banyak juga kalangan yang meng-anggap Hasta Mitra bisa menge-ruk untung besar setelah pemba-tasan terhadap terbitan merekadilonggarkan. “Itu tidak betul,”kata Joesoef. “Buktinya dalam ta-hun pertama setelah Soehartojatuh, kami tidak menerbitkan satueksemplar pun. Karena uangnyatidak ada.” Baru akhir 1999 merekamulai bangkit dengan menerbitkanArok Dedes, bekerjasama dengansebuah perusahaan percetakan diYogyakarta. Dengan kerjasama iniuntuk pertama kalinya Hasta Mitrabisa membayar royalti Pramoedyasebesar 17,5% di muka.

Bulan Oktober 1999 Hasjim Rach-man meninggal dunia setelah ber-tarung melawan kanker di tenggo-rokannya selama beberapa tahun.Setelah itu semua kegiatan pener-bitan, mulai dari penyuntingannaskah, lay-out, mengurus perce-takan dan distribusi ditangani sen-diri oleh Joesoef Isak. “Padahalurusan duit, aku lebih ceroboh dariHasjim,” katanya. Ditambah lagikebiasaannya memberi bantuan kesana-sini sehingga kadang uangdapurnya sendiri terbawa-bawa.

Beberapa kerjasama pun dijajaki,antara lain dengan QB Books danEquinox Publishing, walau masihtersendat-sendat. Perjalanan keli-ling ke Amerika Serikat dan bebe-rapa negara Eropa juga membu-ahkan hasil, antara lain bantuanmodal. Di usia 73 tahun ia masihbersemangat dan terus memikir-kan cara mengembangkan HastaMitra sebagai penerbit gerakanuntuk menegakkan demokrasi de-ngan keringat sendiri. m

RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya

“Memang sejak awal HastaMitra punya misi membantu

teman-teman yangkesulitan...”

Page 23: Media Kerjabudaya edisi 062001

puisi | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 23

>>

>P

UIS

I>>

SIT

I R

UK

IAH

KE

RTA

PA

TI

Layar Hitam

Engkau juga pernah mengakui ada warna hijaudi daunan dan kembang-kembang merah dibajuku,juga sekali pernah cinta pada akar-akardan kulit-kulit pohon beringinTapi apa guna itu semua,bila cuma sekilas hilang karena tindasan kasih?

“Pada malam sunyi bintang!”ada katamu romantik begini.Tapi sekarang bintang sudah retak berpecahan.Kasih hancur sebab revolusi pembunuhan,entah kemana pabila pergi?

cuma layar hitam kau kibarkankapal kosong, langit gelap, laut merah,dan ikan cucut di balik karang patah-patah:Selamat jalan mengembang tangan!

Tidak perlu itu lamunan ke kejauhan,apa itu idealis buat idealis pula,apa itu benar buat kebenaran?Tapi apa pula itu artinya kasih pertamadan kasih yang penghabisan?Sedang bujang dan gadis yang bertunanganitu jangan disebut kebenaran.

Tapi aku sudah dibunuh masyarakataku sudah pernah bergaul tarik-menarikjuga tiang-tiang kelihatan mau condongcuma aku masih belum mau membunuh kasihsendiri,sebab sekali toh kita kembalipada asal; bayi bersih manusia semula.

Dan kita tentu sekali lagi masuk gedung musiumkita dengar lagi musik-musik lagu klasik,kita ingat lagi pada soal ke kejauhan,atau: kita bikin bintang tepi kolam tanah Bali.Kemana lagi itu layar hitam dan laut merah,bila bukan tangan kita yang merobeknya?

Jangan bikin pertanyaan,bila masih dikatakan:“Mati itu bukan lagi kewajiban”.

SITI RUKIAH KERTAPATI, lahir 27 April 1927 di Purwakarta. Pada zaman Jepang Rukiah berhasil menamatkansekolah guru, dan setelah revolusi Agustus 1945, ia mengajar di Sekolah Rendah Gadis Purwakarta. Pada umur 19tahun puisi-puisinya telah dimuat di Gelombang Zaman, beliau juga menulis untuk majalah Godam Jelata. Di tahun1950, ia menulis karya ilmiahnya untuk konfrensi kebudayaan Indonesia, yang berjudul Sekitar Konperensi Kebu-dayaan Indonesia. Pada tahun 1952 merupakan tahun penting bagi Rukiah:pertama, Tandus, kumpulan puisi dancerita pendeknya yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka dan yang kedua, ia menikah dengan Sidik Kertapati.Ia bertemu dengan Sidik Kertapati dan saling jatuh cinta pada masa revolusi di Krawang. Selain itu Rukiah jugamenulis cerita anak-anak yang dimuat di majalah Cendrawasih. Karya lainnya yang ia tujukan untuk anak-anakadalah Jaka Tinggir, Taman Sanjak si Kecil, Kisah Perjalanan si Apin dan Pak Supi. Sedangkan cerita pendeknyaantara lain Isteri Perajurit, Antara Dua Gambaran dan Surat Panjang dari Gunung dan sebuah novel yang berjudulKejatuhan dan Hati yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1950. Rukiah terus menulis sejumlah Cerita Rakyatdari seluruh kepulauan Indonesia hingga tahun 1975 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Rukiah meninggal duniadi kampung halamannya, Purwakarta pada tahun 1994.

ALIT

AM

BARA

IST.

Page 24: Media Kerjabudaya edisi 062001

24 kritik seni | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

> > > K R I T I K S E N I

&>>Nur Zain Hae

ReformasiPuisi Tanpa Daya Magis

Bila sastra menjadi bagian darimomentum reformasi, risikoapa yang mesti ditanggungnya? Pertanyaan-pertanyaan

ini harus diajukan untuk mengujiketerkaitan sastra dan reformasi. Atauuntuk melihat bagaimana sastraberhadapan dengan momentum re-formasi dan mengakomodasinya se-bagai persoalan sastra—yang dalampembicaraan ini lebih banyak difokus-kan pada puisi.

Seperti kita tahu momentum inidiawali oleh krisis ekonomi yangmenyebabkan anjloknya nilai rupiahtanpa bisa tertolong lagi. Ekonomisulit, harga-harga naik, sembako sulitdidapat, rakyat menjerit, dan munculdemonstrasi mahasiswa. Puisi-puisisaat itu kembali menyuarakan ketidak-puasan dan kerawanan sosial, pende-ritaan dan kemarahan rakyat, yangsemula karena kultur politik OrdeBaru—Soeharto yang otoriter sastralebih banyak menghindari tema-temaseperti itu.

Harian Republika, misalnya, mem-buka rubrik “Sajak Peduli Bangsa”dalam waktu yang cukup lamasepanjang 1998. Sementara ForumSastra Bandung menerbitkan bukupuisi Tangan Besi: Antologi Puisi Re-formasi pada akhir Juni 1998. Di masaitu pula penyair Sides Sudyarto D.S.mengundang sejumlah penyair untuk

Apakah gelombang reformasi yang telah menumbangkan Orde Baru—Soeharto pada Mei 1998 merupakan sesuatu yang penting bagi sastraIndonesia? Atau sebaliknya, apakah sasta merupakan bagian yangmenentukan atau menggerakkan proses reformasi itu?

menyumbangkan puisi reformasimereka untuk dibukukan, meskihingga kini buku yang dimaksudkanbelum diluncurkan. Ini belum terma-suk sejumlah terbitan sejenis yangpada masa itu beredar secara terbatasdi kalangan mahasiswa.

Situasi ini mengingatkan kita padamasa tumbangnya Orde Lama dan la-hirnya Orde Baru. Puisi-puisi perla-wanan memainkan peranan yangbesar dalam gelombang demonstrasimahasiswa saat itu. Telah muncul,kata Mansur Samin “aksi perlawananterhadap kepalsuan dan kebohonganyang bersarang dalam kekuasaan o-rang-orang pemimpin gadungan.”Dalam kurun waktu yang revolusioneritu Taufiq Ismail alias Nur Fadjarmenerbitkan kumpulan puisi Tiranidan Benteng. Bur Rasuanto hadirdengan buku Mereka Telah Bangkit,Mansur Samin dengan buku puisi Per-lawanan, Abdul Wahid Situmeangdengan stensilan Pembebasan, danSlamet Sukirnanto dengan stensilanJaket Kuning.

Dalam dua peristiwa itu kita menyak-sikan sejarah yang berulang. Pembu-sukan sebuah rezim kembali terjadi.Sastra menemukan kembali alasanuntuk menjalankan peranan yanglebih besar dari yang bisa dilakukanselama ini dengan menetapkan danmenjalankan komitmen sosialnya.

Page 25: Media Kerjabudaya edisi 062001

kritik seni | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 25

Untuk sementara dikotomi “sastra”dan “bukan sastra” atau “sastra” dan“politik” kurang relevan dipertentang-kan. Keduanya bertemu, bahkan bisasaling mempengaruhi dalam mena-ngani proyek bersama itu. Pada saatinilah sastra bisa menjawab satupertanyaan yang sering dilontarkanorang: Mengapa sastra (Indonesia)terasing dari masyarakatnya?

Namun, reformasi adalah proyekbersama yang lahir bukan dari ling-kungan sastrawan, tetapi dari kalang-an kaum intelektual kampus. Ketikareformasi menjadi wacana publik (danakhirnya diambil-alih dan dimanipu-lasi oleh kaum politik) barulah sastramenggabungkan diri. Jadi, bisa dibi-lang, sastra lebih banyak mengikuti(untuk tidak mengatakannya “latah”)jejak dinamika sosial-politik yang ada.Tak heran kalau Edy A. Effendi,seorang penyair dan eseis, dengansinis mengatakan penyair yang saatitu bicara soal reformasi sebagai

“penumpang gelap reformasi”.Seakan-akan penyair hanya subjekyang tidak patut, tidak memilikipersyaratan yang lengkap, tidakmemiliki tiket, untuk memasukisebuah gerbong perubahan yangsedang berjalan. Karena itu, sewaktu-waktu, ia bisa dikeluarkan darigerbong sebelum sampai ke tujuan.

Bukan itu saja, pada dirinya sendiri si“penumpang gelap” (atau apa punsebutan yang pas buatnya) memilikiketerbatasan, sehingga kita bisamempertanyakan efektifitas keterli-batannya. Bukankah ia hadir dengansatu kekuatan yang, sebenarnya,penuh kontradiksi: Kata. Di satu pihakada keyakinan Freirean bahwa katamemiliki dua dimensi, refleksi danpraksis, yang saling melengkapi. Ka-rena itu “mengucapkan sebuah katasejati berarti mengubah dunia.” Se-mentara, di pihak lain ada jugakeyakinan bahwa bahasa kini telah ke-hilangan makna dan puisi tak lebihdari “seni kata-kata”. Rendra telahberteriak “Bersatulah pelacur ibuko-ta”, tetapi tak ada gerakan kolektifpelacur yang melawan kekuatanpenindasnya, sehingga pelacur ataukaum tertindas lain mendapatkankembali harkat martabatnya yangutuh.

Sebagai “penumpang gelap” danbermodalkan kata-yang-tidak-bisa-mengubah-dunia, apa yang bisadilakukan penyair. Kita tahu, situasiyang dimasuki penyair saat itu ada-lah situasi yang massif dan riuh, me-nonjolkan orang ramai sekaligus me-lenyapkan individu dan segala lakuyang (kelihatannya) diam. Parapenyair akan menjadi massa anonimyang tidak bisa lagi diam dan harusberteriak. Puisinya haruslah puisiyang larut dalam suasana euforia itu,dan bukan melawannya. Atau, dalambahasa Lu Hsun, puisi yang menjadialat propaganda, yang “mengajurkan,mendorong, mempercepat, dan me-nyempurnakan revolusi.”

Maka, tengoklah puisi tidak hanyabicara tentang awan, bulan, gerimisyang bersijingkat, kesunyian dankeindahan, atau segala sesuatu yangjauh dari jangkauan masyarakat awam(tetapi dekat dengan kritikus sastra).Namun, ia juga bicara soal kelaparan,sembako yang langka, tiran tua yangkegemukan, kobaran api, atau seoranggadis Cina yang diperkosa. Bahkan,bukan tak mungkin, puisi telah men-jadi alat pelampiasan berbagai pera-saan, sebab selama rezim Orde Baru-Soeharto para penyair (dan masyara-kat umum) tidak mendapatkan kesem-patan untuk mengekspresikannyadengan bebas.

Puisi saat itu memanfaatkan seba-nyak-banyaknya wacana jurnalistikyang berkembang. Berita (media cetakdan elektronik) menjadi sumberutama penggalian bahan penciptaanpuisi, di samping ada juga penyairyang memang terlibat langsung da-lam peristiwa yang terjadi di seputarreformasi. Karena itu apa yang dibi-carakan puisi adalah juga yangberedar dalam berita jurnalistik. Yangmembedakannya, saya kira, hanyalahsoal format dan nama.

Satu yang paling nyata dari puisi-puisidalam situasi seperti ini adalah lahir-nya puisi-puisi yang miskin imajinasidan kehilangan metafor, yang selamaini telah memberikan kekuatan magispada bahasa puisi. Hal ini bisa terjadikarena, seperti klaim José Ortega yGasset, metafor memberikan kekuat-an naluriah pada bahasa (puisi) untukmenghindari realitas tertentu—dalamhal ini adalah realitas sosial politikyang massif, hiruk-pikuk, dan bergerakcepat itu. Metafor telah hilang atau di-tinggalkan agar (bahasa) puisi bisamenafsirkan realitas lebih jelas, lebihlugas, dan lebih bisa dimengertikhalayaknya.

Inilah, saya kira, sejumlah risiko yangmesti ditanggung sastra di era refor-masi. Terutama, puisi yang terlampaumenginginkan dirinya untuk tidakterasing dari masyarakatnya, inginmemainkan peranan yang lebih besardalam sebuah proses perubahan yangbelum selesai. Puisi yang lebihmementingkan isi daripada bentuk,lebih mementingkan pesan daripadametafor dan imajinasi.

Namun, ini tidak berarti munculnyaera “berakhirnya puisi”—sepertiAdorno yang memastikan “tidak adapuisi yang bisa ditulis setelahAuschwitz (no poetry after Auschwitz).Puisi bisa melanjutkan perannya(sekecil apa pun peran itu) dalam ma-syarakatnya. Semuanya berpulangkepada penyairnya sendiri. Apakah iabisa mempertemukan dua kepenting-an antara menjalankan komitmensosial dengan mempertahankankekuatan magis puisi. Dan ini tentusaja bukan masalah ideologis, tetapimasalah kreativitas. Untuk menjadikekuatan “kiri” (dalam artian tanding-an/saingan/oposisi terhadap kekuasa-an yang mapan—terima kasih kepadaAriel Heryanto), tidak berarti sastraharus kehilangan kekuatan magisnya,sehingga ia menjadi verbal dansekadar alat propaganda. m

NUR ZAIN HAE, penyair yangmenetap di Jakarta.

ALIT

AM

BARA

: ilu

stra

si s

ampu

l kum

pula

n pu

isi S

aut S

itom

pul,

“Kon

gres

Kod

ok”,

200

1

Page 26: Media Kerjabudaya edisi 062001

26 klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

> > > K L A S I K

Thomas Stamford Raffles bukan seke-dar seorang reformis, atau pengikutgerakan pembaharuan belaka. Buat se-

jarah kolonial bangsa-bangsa di “Timur Jauh”,khususnya “Hindia Belanda”, ia seorangpembaharu (reformer) yang sekaliguspembagan (schemer) pembaharuan itu.Kendati demikian hendaknya kita tempatkanT.S. Raffles sebagai tokoh sejarah—tokohbesar nian!—dan bukan ditaruh di altar se-bagai berhala sejarah. Seyogyanya memangbegitulah kita menyikapi tokoh-tokoh besardari jaman apa pun, apalagi jaman kolonialbaik lama maupun baru. Juga terhadap tokohbesar Snouck Hurgronje, misalnya, yangtampil sekitar seratus tahun kemudian.

Mereka sama-sama berusaha memahamibangsa-bangsa Pribumi, alam hidup merekadan alam lingkungan mereka, dan selanjut-nya—bagi Snouck Hurgronje— menulis surat-surat nasihat kepada Gubernur Jendral HindiaBelanda tentang bagaimana menjinakkanmusuh-musuh gubermen. Sedangkan padaT.S. Raffles untuk mengembangkan potensisumber daya alam dan manusianya, sebagailangkah kebijakan antara, dalam menujutujuan akhir membangun imperium BritaniaRaya.

Pasukan Jan Willem Janssens, GubernurJendral yang diangkat Napoleon sejak 1811untuk Hindia Belanda, kalah oleh seranganInggris di Meester Cornelis (Jatinegara se-karang) Jakarta. Ia lari ke timur, dan menyerahdi Tuntang pada 1811. Dengan kekalahankombinasi kekuasaan Belanda-Perancis ini,seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ketangan Inggris (1811-16). Pusat penguasabaru ini di Madras, India, di bawah pimpinanGubernur Jendral Lord Minto, sedang diHindia Belanda dipercayakan pada LetnanGubernur Jendral Thomas Stamford Raffles.

T.S. Raffles lahir 6 Juli 1781 di atas kapal Ann(260 ton, 4 meriam) di lepas pantai Jamaika.Kapten kapal ini, Benjamin Raffles, ayah Tho-mas. Ia biasa mondar-mandir Liverpool-Afrika-

RafflesPembagan Pembaharuan Politik Kolonialisme (sebuah pancingan studi)

>>Hersri Setiawan

Bukan Berhala Sejarah

nobo

dyco

rp. (

sum

ber:

http

://ru

bens

anu.

edu.

au &

http

://la

ndow

.stg

.bro

wn.

edu)

Page 27: Media Kerjabudaya edisi 062001

klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 27

Jamaika, menangguk keuntungan ganda,berangkat mengangkut budak dan kembalimengangkut hasil bumi “India Barat” sepertikapas, gula, tembakau dan todi (minumankeras dari tebu).

Tahun lahir Thomas ialah tahun, ketika perangkemerdekaan Amerika sampai pada titikpenentu, yang Inggris akan segera kehilang-an kekuasaan atas koloninya di benua barat(Perjanjian Versailles 1783). Mundur daribarat, Inggris mencari kawasan baru di“Timur Jauh”, yang berarti harus berhadapandengan persekutuan Perancis-Belanda. Ditimur persekutuan ini harus dipatahkan. Se-mentara itu di barat Api Revolusi Perancis,1789, yang sempat menyala sepuluh tahun,sedang terus ditiup-tiup kembali. Perangkemerdekaan Amerika yang berjaya itu,seperti diketahui, tidak bisa dipisahkan dariRevolusi Perancis. Begitu juga “Revolusi Juli”1830 dan “Revolusi Februari” 1848 yangmelanda seluruh Eropa, dan bahkan meluaske pantai utara Afrika. Semuanya itu revolusiborjuis nasional.

Tahun 1781 sesungguhnya bisa dipandangsebagai fajar sejarah modern Eropa. Cahayamodernisasi itu segera akan menerangi danmengubah “Timur Jauh”, seketika nanti jikaRaffles telah membukakan pintunya. Sebut-lah semuanya itu kejadian-kejadian politikbesar, yang menimang dan membuai sibocah Thomas Raffles. Selain itu ada buaiansosial yang tak kalah besar juga.

Sejak 1713 Inggris adalah raja perdaganganbudak di dunia. Kepulauan Karibia, pada tahunRaffles lahir, merupakan pasar perdaganganbudak terpenting sedunia. Sepanjangsepuluh tahun sesudah Thomas lahir, adalahtahun-tahun mas bagi perdagangan budak.Tapi bersamaan dengan itu juga merupakantahun-tahun, ketika agitasi anti-perbudakanmulai berkumandang. Anti-perbudakan ada-lah satu aspek humanisme paling utama dijaman modern. Si bocah Raffles tumbuh da-lam pengaruh suasana revolusi sosial danrevolusi kebudayaan ini.

Pada umur 14 tahun ia menjadi pegawai EastIndia House, kantor pusat Kompeni DagangInggris di India Timur. Tahun 1805 menjadiasisten sekretaris pemerintah jajahan di PulauPenang, dan setahun kemudian ia diangkatmenjadi sekretaris. Ketika armada Inggrismenyerbu Jawa, ia dibawa Lord Minto da-lam tugasnya sebagai sekretaris itu. Sejak ituRaffles banyak bergaul dengan Pribumi, danbanyak mempelajari segi-segi peri kehidup-an dan alam tempat kehidupan mereka.Dalam “Hikayat Abdullah”—pada umurbelasan Abdullah menjadi jurutulis Raffles—ditulisnya tentang tabiat T.S. Raffles antaralain: “Dalam hubungan dengan semua orangRaffles sangat santun. Wajahnya selaluberseri-seri, sangat ramah tamah dan liberal,dan selalu mendengarkan dengan penuhminat jika orang bicara kepadanya”. Abdullahjuga mencatat dengan takjub tentang minat“tuannya” yang sangat besar terhadap se-gala hal-ihwal tentang alam Melayu, sejarah

bangsa-bangsanya, alam tumbuh dan alambinatangnya. Bunga bangkai raksasa yangbergaris tengah lebih satu meter di SumatraSelatan itu, kemudian dinamai RafflesiaArnoldi, karena dialah penemunya.

***

Selama masa pemerintahannya yang pendek,Raffles memang berusaha keras melakukanreformasi liberal di wilayah kekuasaannya. Intikebijakan pemerintahannya ialah demitercapainya kesejahteraan umum. Untuk ituRaffles menjalankan kebijakan yang membe-rikan hak kebebasan berusaha kepada setiapindividu. Dalam rangka itu, mengingatsebagian besar penduduk ialah kaum tani,hanya tanah dari tani penggarap yang ber-produksi saja dibebani pajak oleh pemerin-tah. Beda dari kaum Politisi Adabiyah (EtikPolitik) sekitar seratus tahun kemudian, yangbersembunyi di balik basa-basi politik “UtangBudi”, politik reformasi Raffles barangkalibisa dibilang sangat oportunistis. Ini bertolakdari alasan, bahwa sebuah serikat dagang,apalagi kekuasaan negara, tidak mungkinbertahan hidup dengan memeras kaulanya.“Kasihan mereka itu!” Begitu ia berbincangdengan Lord Minto, yang lantas mendorong-nya: “Mari kita perbuat segala yang terbaik,yang kita bisa!”

Thomas Stamford Raffles memang anakjaman, baik dalam pengertian senyatanya,maupun dalam arti pasemon. Tidak aneh danbukan datang tiba-tiba. T.S. Raffles hidupdibawah bayangan tradisi liberal dan sema-ngat Revolusi Perancis, dan tradisi demokrasiInggris yang telah tua. Apa itu semangat lib-eral Perancis dan tradisi demokrasi Inggris?Penghapusan hak-hak feodal, pelarangansistem perbudakaan, dan pembebanan pajakyang sama bagi semua kelas sosial. Liberté,égalité dan fraternité bukan sekedarsemboyan kosong, tapi benar-benar pernahterwujud dalam segala bidang kehidupan.Hasil mendasar lain lagi dari RevolusiPerancis, yaitu diumumkannya Déclarationdes Droits de l’Homme et du Citoyen.Konsiderans deklarasi ini menegaskan, antaralain, bahwa “kebodohan, pengabaian danpenghinaan atas hak-hak manusia menjadipangkal kesengsaraan umum, korupsi,penyeleweangan dan penyalahgunaan keku-asaan”.

Masalah pokok yang menantang Raffles,segera sesudah diangkat menjadi LetnanGubernur di Jawa (September 1811), yaitumengubah sistem kekuasaan atau adminis-trasi di Jawa. Bagi mata Kompeni Inggrisadministrasi merkantilisme à la Kompeni Be-landa sudah dianggap sebagai diskredit,opresif dan ekonomis juga tidak sehat. DiJawa teori ekonomi kolonial yang merkantilisitu diwujudkan dalam tindakan: semua hasilpertanian diborong Kompeni, dan denganharga rendah yang ditetapkannya; demi labaratusan persen Kompeni juga yang mempu-nyai hak monopoli ekspor hasil bumi ke pasarbenua barat; petani hanya boleh menanamtanaman yang diwajibkan Kompeni, dan

dilarang menjual hasil panen selain pada Kom-peni; impor dibatasi seminimum mungkin,oleh karena impor akan berarti kerugian bagiKompeni.

Kaum tani tidak punya hak tawar untuk hargahasil panen. Itu pun masih dikurangi lagi de-ngan pajak wajib, dan dibebani kerja rodi un-tuk bangunan jalan dan prasarana umumlainnya. Lebih dari itu beban petani masihditambah lagi dengan berbagai bentukpemerasan dan hukuman dari para penguasapribumi sebagai agen-agen Kompeni. PetaniJawa adalah budak sahaya tak beda darihewan pengolah tanah, selain bahwa merekabisa mengaduh dan mengeluh. Minto danRaffles “iba hati” menyaksikan kehidupankaum tani di Jawa yang seperti itu. Tetapibukan saja terhadap kaum tani Raffles ibahati. Ia iba hati dan cemas melihat praktek-praktek kolonialisme rampokan model VOC,yang sejatinya pernah juga dikecak keras olehGubernur Jawa Timur Dirk van Hogendorp(1794). Karena tanpa berani meninggalkanpraktek-praktek kekerasan dan rampokan,Nusantara sebagai lahan “sdm” yang luasdan subur akan muspra dan bahkan bisa jadimusnah.

“We, the Batavians”, says Mr. Hogendorp,“or rather our good and heroic ancestors,conquered these countries by force or arms.The Javans, ... although they resigned theirpolitical rights, they still retain their civil andpersonal liberty, at least their right thereto.”(The History of Java, Notes Ch. V nr. 14). Dibagian lain T.S. Raffles sendiri menyatakan:“They maintain with pride, that although vir-tually conquered, they still, as a nation andas individuals, pertinaciously adhere to theirancient institutions, and have a national feel-ing, ...”

Potensi Nusantara yang demikian itulah yangoleh T.S. Raffles hendak diselamatkan dandikembangkan. Bukan demi pemerdekaanNusantara tentu saja, tapi (dalam perkem-bangan politik kolonial Inggris di kelak kemu-dian hari) demi tumbuhnya burjuasi nasionalyang sehat, sebagai mitra dalam “keluargapersemakmuran” Great Britain.

Administrasi Kompeni Inggris di Hindia Timur,yang dibangun dengan teladan Mogul, jauhlebih liberal administrasi Kompeni Belanda.Petani penggarap India yang memiliki ataumenyewa tanah, boleh menanam tanamanyang mereka suka, menjual hasil panen dipasar bebas, menerima harga menurutketetapan pasaran, dan bisa mengadu kemahkamah yang berwenang bila terjadiketidakadilan atas diri mereka. Mereka tidakdibebani rodi; dipungut pajak sebanding nilaihasil panen; pajak dipungut langsung parapejabat pajak, tidak melalui pejabat antara;untuk itulah dibangun birokrasi bergaji gunamengawasi jalannya administrasi.

Dengan teladan itu Minto dan Raffles inginmenyelamatkan sumber daya manusia petaniJawa. Jalanya hanya satu, mengganti sistemmerkantil yang absolut represif. Tapi tentu

Page 28: Media Kerjabudaya edisi 062001

28 klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

saja tidak semudah orang membalik telapaktangan. Banyak aturan lama harus dibuangdan diganti dengan yang baru. Birokrasi baruharus disusun dan dididik agar mampu men-jalankan segala peraturan baru itu. Jawa,kecuali Batavia, lalu dibaginya menjadi 16keresidenan, masing-masing dikepalai olehresiden. Tujuannya untuk mengalihkan we-wenang pemerintahan, yang semula ditangan para bupati. Ini tidak lain berarti, ken-dali pemerintahan dipegang langsung ditangan pusat, dan tidak lagi berbagi ataumelalui perantara-perantara siapa pun.

Tetapi dari berbagai usaha reformasi Rafflesyang paling penting ialah diberlakukannyatatanan pajak tanah, landrentestelsel, yangsama sekali berbeda dengan aturan Belandasebelumnya yaitu contingenten stelsel, pe-nyerahan hasil bumi secara paksa dari kaumtani. Tatanan pajak tanah sistem T.S. Rafflesini berdasar pada asas domein. Bagi petanipribumi Hindia Belanda, Jawa terutama, ber-arti menghadapi aturan baru, dari stelselcontingenten pada stelsel landrente. BagiRaffles memang itulah jalan yang paling layakditempuh. Ia menghadapi anggran biaya yangkosong untuk melaksanakan konsep refor-masinya. Maka dijualinya tanah-tanah luasyang tergolong sebagai “domein”, termasuktanah-tanah yang mempunyai hak kuasatertentu, untuk dijadikan tanah milik perse-orangan. Sedemikian jauh Raffles bahkanmenutup mata terhadap ulah Alexander Hare,Residen Banjarmasin, yang menangkapi 3000orang Jawa “gelandangan”, untuk dipeker-jakan demi kepentingannya pribadi. BersamaMinto ia berangkat dengan semangat pem-bebasan budak, tapi masih dalam awalperjalanan ia terpaksa cuek terhadap diprak-tekkannya kembali perbudakan.

Ada dua sisi utama dari bagan politik refor-masi T.S. Raffles. Sisi fisik nyata, dengankunci kebijakan pengubahan stelsel pajaktanah; sisi imajiner ideal, dengan kunci kebi-jakan pembebasan “sdm”—baik secara in-dividual, etnis, maupun regional. Untuk ituditempuhnya jalan politik sentralisasi tatapemerintahan, pada awal sengaja untukmemasung kewenangan penguasa lokalberikut para centeng mereka, namun padaakhir berakibat memasung hak inisiatif“sdm” yang semula dibelanya itu sendiri.

Dalam hal klasifikasi kependudukan, misal-nya, ditinggalkannya model penggolonganKompeni Belanda yang tiga (Eropa, Cina,Pribumi), dan digantinya dengan dua golong-an: Eropa dan Pribumi. Jangankan Cina,bahkan Indo-Eropa oleh T.S. Rafflesdimasukkannya sebagai Pribumi! Bukankahini—notabene hampir dua abad lalu—jauhlebih maju ketimbang politik kewarganega-raan Orba Suharto, yang menciptakan istilah“asli” dan “keturunan”? Namun, bagaima-napun, T.S. Raffles menerjemahkan idealRevolusi Perancis secara oportunistik. Initampak dalam usaha, misalnya, mereorgani-sasi sistem peradilan. Dengan tujuan meng-akhiri “dualisme” sistem hukum Daendels,

ia cenderung melestarikan sistem hukumPribumi, dan sebagai langkah antara diberla-kukannya sistem hukum Inggris. Ia memben-tuk lembaga “jury”, sebuah badan terdiri dariwarga masyarakat, yang diikutsertakan dalammemutuskan salah-tidak seseorang di depansidang pengadilan. Segala bentuk monopolidilarang (juga dilarang ijin adu ayam danrumah judi), kecuali monopoli pembuatan dandistribusi garam, justru demi melindungirakyat dari permainan harga.

Itulah beberapa kerja rintisan peninggalan T.S.Raffles ketika ia harus kembali ke Eropa(1824). Sayang, kerja rintisan itu bukan dite-ruskan, tetapi malah dihancurkan sama sekali.Stelsel pajak tanah Raffles segera disusuldengan stelsel benteng Jendral de Kockdalam Perang Jawa (1825-30) dan stelseltanam paksa Van den Bosch (1830-48).Revolusi Juli 1830 di Perancis memang gagal.Tetapi ia ibarat menabur benih bagi timbulnyarevolusi liberal yang berikut di seanteroEropa, Februari 1848. Demikianlah di Eropa:perang kemerdekaan berkecamuk di mana-mana. Tetapi di Hindia Belanda terjadilah apayang dikhawatirkan Dirk van Hogendorp danThomas Raffles. Perang “penyatuan pasar”di seluruh kawasan Hindia Belanda, yangdisempurnakan dengan jalan serangan militermodel Van Heutsz dalam kombinasi denganpénétration paçifique menurut resep SnouckHurgronje. Embrio “negara bangsa” dicip-takan di atas tebusan tumpasnya (pinjamistilah-istilah Raffles) “nations”, “individuals”,dan “ancient institutions.” Konsep dan stra-tegi Hindia Belanda (baca: Indonesia) tentang“negara bangsa” dan “bangsa” sebagaikonvensi politik menjadi kredo kebijakan demi“penyatuan pasar nasional”. Sesuatu entitaspolitik baru yang abstrak, yang dibangun diatas gagasan politik modern (baca: burjuasi),diletakkan di atas berbagai entitas sosio-kultural yang riel dan telah melembaga dantua menyejarah.

Muatan revolusi ialah menakar kembali se-gala nilai, “Umwertung aller Werten”. Selainitu revolusi juga menampik yang kemarin,“Revolution Rejects Yesterday.” Tapi, adakahnilai “bangsa” dan “negara bangsa” warisanHindia Belanda itu, telah ditakar kembali danditampik ketika Revolusi 45 meletus? RisalahBung Karno Lahirnja Pantja Sila, dan bebera-pa teks pidatonya tentang nation building, ba-rangkali penting dikaji ulang, justru dalam saatketika Indonesia diancam disintegrasi sepertisekarang.

***

Raffles seorang patriot yang bersemangat.Ia melakukan segala dan sebanyak-banyak-nya bagi kemenangan Inggris, dan sebaliknyasegala dan sebanyak-banyaknya bagi keka-lahan Belanda. Tapi sejarah tidak bisa mem-bantah. Ia seorang pelopor reformis kolonialyang mengubah wajah dunia, bukan sajawajah politik dan ekonomi tapi juga wajahsosial dan budaya. Apa yang nanti oleh pe-merintah Belanda diwujudkan, di sekitarpenutup abad ke-19, melalui apa yang diuar-

uarkan sebagai “Siasah Adabiyah”, PolitikEtis, yang dilaksanakan dalam langkah kom-binasi bidak-bidak Snouck Hurgronje-VanHeutz, adalah langkah-langkah Thomas Stam-ford Raffles seorang diri pada awal abad yangsama.

Raffles sosok pribadi bersegi banyak yangterpadu, dan berwawasan liberal bagi jaman-nya. Bataviaasch Genootschap van Kunstenen Wetenschappen yang kembang kempisdiberinya nafas baru. Ia menaruh perhatianbesar pada bahasa-bahasa pribumi, adat danbudaya bangsa-bangsa pribumi. History ofJava yang diterbitkannya (1817) menjadi hasilkarya baku untuk waktu yang panjang -kalaupun tak lagi bisa dikatakan sampaisekarang.

Tahun 1816 Raffles ditarik kembali ke Inggris.Reformasi macet karena “besar pasak daritiang”. Harapan Raffles pada stelsel pajaktanah tidak seimbang dengan kebutuhan ang-garan birokrasi dan keamanan yang justrumembengkak sebagai akibat konsep refor-masinya. Ketika pada tahun 1817 iadikembalikan ke Bengkulu sebagai LetnanGubernur Jendral patriotisme Inggrisnya te-tap berapi-api. Namun, juga kali ini, ia gagaldalam segala daya upayanya untuk melum-puhkan pengaruh Belanda di “timur jauh”.Ketika oleh Traktat 1824 juga Bengkulu harusdiserahkan kembali pada Belanda, Rafflesterpaksa mundur dan kembali ke Inggris un-tuk selama-lamanya.

Tetapi Raffles tidak gagal sebagai tokohpelaku sejarah. Tanpa Raffles pernah hadir diBatavia dan Bengkulu, Singapura tidak akanpernah berada di tangan Inggris. “BagiInggris, Singapura di timur, sama sepertiMalta di barat!” Begitu ia berkata. Seandai-nya ia gagal meyakinkan para petingginya,yang mencibir terhadap idenya membelipulau sebesar gurem itu, di Asia Tenggaratidak akan pernah timbul dan berkembangsebuah kota dan pelabuhan bebas yang stra-tegis. Singapura tidak akan pernah menjadi“Singapore” dan “Shonanto”. Maka mono-poli perdagangan dan pertahanan akan tetapdimainkan oleh Belanda di Nusantara melaluiSunda Kelapa di Teluk Jakarta. Bayangkanlahandai kata itu yang terjadi. Tapi untunglah,atau malangkah, bahwa Sejarah tidak sukaberandai-andai!Bacaan acuan:1. Raffles, Sir Thomas Stamford, History of Java (OxfordUniversity Press 1965).2. Collis, Maurice, Raffles (Faber and Faber, 1966).3. Wurtzburg, C.E., Raffles of the Eastern Isles (OxfordUniversity Press 1986).4. Gonggryp,G.F.E., Geïllustreerde Encyclopaedie vanNederlandsch-Indië (N.V.Leidsche UitgeversmaatschappijLeiden, MCMXXXIV).5. Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia (KompasJakarta, 1995). m

HERSRI SETIAWAN, Ketua YayasanSejarah dan Budaya Indonesia diNegeri Belanda.

Page 29: Media Kerjabudaya edisi 062001

cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 29

>>>CERITA PENDEK

ALIT

AM

BARA

B A D A I B E R G O L A K>>Rani Lukito

catatan redaksi: cerpen ini merupakan bagiankedua dari dua bagian tentang kehidupanpejuang perempuan dari Maluku, MarthaChristina Tiahahu.

>>>CERITA PENDEK

Malam tiba. Bintang-bintang gemilang jadi obyekpertama tatapan mataku. Pikiranku melayangtanpa tujuan, bertanya apakah Anna jadi salahsatu dari bintang-bintang itu, tak hiraukanaku; tak hiraukan manusia lain yang ada di

muka bumi ini. Aku seperti ember yang sarat dengan pilinandan putaran rasa. Aku tak bisa bedakan rasa satu danlainnya. Semua hanya ada di sana, bercampur-baur danmembingungkan, saling belit satu sama lain. Sedikit sajadisentuh, ember ini akan terguling, dan seluruh isinya akanlenyap untuk selamanya .... “Tidak! Aku tak akan biarkankematian Anna hancurkan niatku melawan Belanda yangkejam dan tak berperasaan itu!,” aku menjerit.

Aku bangkit dari tempat tidurku, menapakkan sebelahkakiku di depan sebelah yang lain dengan tegak. Aku dengarayah sedang mempersiapkan diri untuk berperjalanan keSaparua. Kemudian aku teringat rencana yang rumit untukmenduduki Benteng Duurstede. Aku melompat menuju kelemari baju ayah dan mengambil senapannya. Aku raih pulasegenggam peluru, memasukkan butir-butir mungilmematikan itu satu per satu ke dalam senapan. Lalu, akumelesat menuju perahu ayah dan naik ke dalamnya. Takseorang pun berkomentar. Tak seorang pun berkata apa-apa.Mereka tahu aku harus melepaskan kemarahanku, bahwaaku berjuang untuk kebebasan kami. Dan, dengan itu, kamimelepas sauh, pada tigabelas Mei 1817, menuju Saparua.

***

Perahu kami meluncur cepat membelah samudera. Setiapdetik kami bergerak mendekati pantai, dan juga, dini hari.Ayah mendesak kami supaya lebih cepat, dan kami

mendayung lebih cepat lagi. Sudah pagi ketika kamimendarat di pantai Saparua. Segera kami bergabung denganpasukan Kapitan Pattimura. Tak ada waktu untuk basa-basi;semua tahu kami di tempat ini untuk satu misi yang penting:membebaskan diri kami dari kolonialisme. Kamimenghabiskan sepanjang hari menekuni peta demi peta danmembahas lewat mana kami akan menyerang BentengDuurstede. Akhirnya, diputuskanlah bahwa malam itu juga,pada 14 Mei 1817, kami akan mulai berusaha menguasaiBenteng Duurstede.

Aku merangkak diam-diam di sisi ayahku. Mataku tajammenyoroti satu benda ke benda lainnya, sementara tangankumenghunus belati, siap menusuk apa pun yang bergerak.Aku sentuh pula bayonet yang kusisipkan di sabukku.Bintang-bintang berkelip di atas, melihat kami denganpenuh kekhawatiran. Anna melintas kembali di pikiranku,tak kuasa aku kebaskan dia dari kenanganku. Tiba-tiba akumendengar perintah untuk maju dan mulai menyerang.Dalam sekejap aku dan ayah melompat menyeberangidataran rumput, berteriak dengan seluruh nafas di dada.Kami menyergap sekelompok prajurit Belanda tanpa diduga-duga, dan menikam mereka dengan bayonet. Aku arahkansenapanku ke serdadu lainnya, dan dengan terampil menarikpelatuk, tembuskan sebutir peluru ke perutnya. Akumemandang dengan tenang ketika kehidupan tinggalkanmatanya, dan ia mengerang jatuh ke tanah. Beberapa anggotapasukan kami sudah berada di dalam benteng, dan

Page 30: Media Kerjabudaya edisi 062001

30 cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

timbul kekacauan diantara serdadu Belanda. Seseorangmenyalakan api di rerumputan dan api segera menjilatdinding Duurstede. Makian panik dan teriakan kesakitanpara serdadu Belanda menambah suasana kekacauan, dan itusemakin membakar semangatku. Aku melesat maju,menikamkan bayonetku ke sana kemari, melepaskanbeberapa peluru lagi diantaranya. Mayat-mayatbergelimpangan, dan rumput terasa begitu kasar oleh kakitelanjangku. Aku sempat melihat seorang lelaki masihberpiyama melindungi istri dan kedua anaknya. Mungkindialah yang disebut Residen van Berg? Tak soal. Ia punditembak dan jatuh ke bumi, mati.

***

Aku tak ingat lagi kapan aku pernah merasa begitubersemangat dan malu pada saat bersamaan. Sudah tiga harisejak kami datang ke Benteng Duurstede, dan kami berhasilmerebutnya dari tangan Belanda. Kami telah membantaiseluruh penghuninya, dan tak seorang Belanda pun terlihat.Begitu banyak orang mati di tanganku saja. Karena itu akubingung apakah aku harus bergembira, atau menyesal. Sekalilagi aku merasakan getaran emosi merayapi seluruh tubuhku,aku menggigil tak terkendali. Apakah ini yang harus kamilalui untuk memperoleh kembali kebebasan kami? Banyakprajurit kami melompat-lompat dan menari kegirangan.Beberapa membersihkan belati dan bayonet mereka. Merekapun bersimbah darah. Mataku membelalak melihat mereka,tapi kemudian aku menyadari bahwa aku pun bersimbahdarah.

***

Kami sekarang berkawan baik dengan pasukan Pattimura,mereka seperti saudara kami saja. Setelah menaklukkanDuurstede, kami berpisah dengan Pattimura. Kami bersiapmenyerang Benteng Beverdijk, tak jauh dari Duurstede. Takperlu waktu lama untuk taklukkan benteng kedua ini setelahmembantai seluruh prajurit Belanda di sana. Belanda belumjuga menyerah. Mereka luncurkan kapal mereka, deZwalluw, untuk menyerang kami, tapi setiap usaha merekagagal. Semuanya berjalan lancar, sampai seorang gurumisterius bernama Sosalisa muncul di benteng kami.

Sosalisa orang biasa saja. Dengan hidung pesek, kumis tebal,kemeja dan celana yang bersih, dia tampak terlalu biasa se-bagai kriminal. Namun ada sesuatu yang mencurigakandalam cara dia berjalan, nada panik ketika dia bicara, dancara dia menatap masing-masing wajah kami dengan penuhselidik. Ia seakan-akan menyebarkan suasana keramahanyang berlebihan, dan aku tak pernah sanggup menjelaskandengan tepat apa yang aku rasa salah tentang dirinya.

Penjaga-penjaga kami memperbolehkan Sosalisa masuksetelah bertemu selama beberapa menit saja. Mereka pikir iahanyalah seorang guru biasa yang ingin berlindung di tempatkami semalam saja. Betapa cerobohnya mereka ini! KegiatanSosalisa ternyata sangat merusak dan membawa malapetakabagi kami semua. Ia didekati oleh Belanda. Kemudian, iamenyatakan pada Belanda, bahwa atas nama seluruh raja-raja Maluku, kami ingin adakan gencatan senjata. Sosalisatak hiraukan protes kami, dan sudah terlambat untuk cegahapa pun. Pada 10 November 1817 pasukan Belandamembanjiri benteng kami. Beberapa dari kami mencobamenyelinap keluar, tetapi sergapan itu begitu tiba-tibasehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menangkapkami semua. Kami dibawa ke pengadilan dan hanya sedikit

dari kami bebas dari hukuman mati. Ayahku pun tidak.

***

Jari jemariku mencengkeram tembok, mencobamemperlambat kejatuhanku. Aku jatuh berdebam ke bumi,tahankan punggungku yang sakit. Aku dan sekelompokprajuritku berhasil menyelinap diam-diam di kegelapanmalam. Aku bisa menghitung jumlah prajurit yang tersisadengan jari tanganku. Tinggal sedikit sekali dari kami yangmasih bebas. Ayahku baru saja digantung kemarin, dan akuenggan mengenang kematiannya. Akan kubawa gerakkepahlawanannya sepanjang hidupku. Karena itu akuberhasil melarikan diri dari cengkeraman tangan Belanda.

Kami bergerak semakin jauh ke pedalaman hutan, sambilabaikan semak berduri yang menggores dan membuat kaki-kaki kami berdarah. Aku kencangkan sabuk merah setiakudi pinggang. Tanganku mengepal begitu erat sampai kukujemariku tenggelam dalam kulit telapaknya. Aku tak sangguphentikan airmataku, yang mengalir pelahan dengan bulir-bulir besar. Aku terjatuh berlutut di atas tanah berbatu-batutajam. Kenangan akan ayah dan aku terus banjiri otakku;tentang dia dan aku berenang di laut sambil dia peluk Anna;tentang dia mengajarku ketrampilan berperang dipekarangan belakang rumah; tentang senyum sempurnanyasetelah memenangkan pertempuran dengan Belanda; tentangkerja kerasnya sepanjang hari untuk ibu dan aku. Bagaimanamungkin mereka mengambil dia begitu saja danmenggantungnya hanya dalam waktu seminggu? Kami masihharus perangi bersama lebih banyak pertempuran. Kamiberencana melempar Belanda keluar dari negeri kami yangcantik mempesona ini! Betapa beraninya mereka ….

Aku rasakan sentuhan menenangkan di pundakku. Salahsatu temanku. Ia memandangku dengan mata yang keras dandingin. Aku tahu bahwa ia pun dilumuri kesedihan. Ia hanyatak mau menunjukkannya. “Martha, ingat. Semuanyasekarang bergantung pada kita untuk melanjutkanpeperangan melawan Belanda. Kita tak bisa menyerahsekarang,” ia bergumam sambil membantuku berdiripelahan-lahan. “Ya, aku tahu”. Dan, dengan ucapan itu akulepas sabuk merahku dan memakainya untuk mengikatrambut panjang kasarku, di seputar dahiku. Aku genggambayonetku erat-erat dan biarkan darah menetes lebih banyakkarena ketajamannya. “Ayo! Maju terus pantang mundur!”aku berteriak nyaring. Kami bergerak lagi ke dalam hutandan mengumpulkan lebih banyak prajurit yang berontak.

***

Aku terengah-engah. Salah satu mata-mata kami tertangkapketika ia sedang mencoba menyusup ke salah satu desa yangsedang kami amati untuk menambah jumlah prajurit. Kamibaru mencoba cara ini selama kurang dari seminggu; kamibahkan hanya miliki tidak lebih dari 50 orang dalampasukan. Begitulah, kami sekarang benar-benar sedangberlari untuk hidup kami. Tanpa peringatan, ada sosokraksasa muncul di hadapanku, dan mencabut cabang pohonbesar dengan tangannya yang kekar berbulu. Yang aku tahukemudian hanyalah semburat merah yang mengaburkanpandanganku, kemana pun mataku mengarah; lalu …..kegelapan.

***

Aku terbangun di ruangan yang pengap, penuh sesak denganorang yang mengerang kesakitan. Terus, tampak olehku

Page 31: Media Kerjabudaya edisi 062001

cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 31

RANI LUKITO masih berusia 12 tahun ketika ia mulaimeneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalambahasa inggris sebagai tugas sekolah di SMP PelitaHarapan.

bahwa kedua belah tangan dan kakiku diikat kuat dengantali yang mengiris dalam kulitku. Darah yang keluar darijari-jemariku bercampur dengan darah yang mengalir di se-panjang lantai kayu. Aku berhasil jernihkan pandanganku,dan saksikan seorang lelaki, memuntahkan darah darimulutnya. Pintu di ujung lain ruangan terbuka, biarkansebersit sinar matahari menyelinap. Aku bisa melihatsesuatu yang begitu besar dan luas, dan …. biru .. di luarsana. Di mana aku? Di mana aku? Otakku hanya bisamengulang-ulang tiga kata itu. Aku merasa lemah olehkelelahan, aku belum makan selama … selama, entahlah akutah tahu berapa lama, tapi aku tahu aku perlu makan. Sulitbuat aku bernafas, kerongkonganku serasa tersumbat. Dua o-rang lelaki berpakaian …. seragam Belanda, berjalan denganangkuhnya mendekati aku yang pelahan tercekik hampirmati. Mereka tarik lenganku dan menyeret aku keluar. Akupingsan.

***

Aku tersedak. Air es menetes dari rambutku yang takberaturan. Aku hanya menatap tetesan air jatuh satu-satu kelantai kayu yang kupijak. Lengan dan kakiku diikat ke duatonggak dan aku dibiarkan menggelantung dari pergelangankaki-tanganku. Di mana aku?, aku ulangi pertanyaan yangsama diam-diam. Tanpa kuduga, aku merasa sesuatu yangkeras dipukulkan ke punggungku. Aku baru menyadaribahwa aku ditelanjangi dari bahu sampai ke pinggangku.Benda keras itu makin kencang memukul punggungku, dansakitnya tak tertahankan. Toh, aku tak keluarkan suarasedikit pun. Kulakukan satu-satunya yang bisa aku lakukan:aku gigit lidahku dan coba kendalikan nafasku. Aku angkatkepalaku sejenak, hanya untuk tertunduk kembali olehsabetan benda keras bergerigi itu. Aku rasakan sesuatu yanghangat mengalir pelan di punggung, leher dan kedua belahkakiku. Ketika aku melihat genangan darah yang berkumpuldi bawahku, aku tahu aku mengalami pendarahan yangmengerikan.

***

“Nah! Sekarang apa yang mau kau perbuat, Martha ChristinaTiahahu!?!”, teriak lelaki yang memukuliku dengan —sekarang aku tahu – sepotong kayu tajam. Ia bicara dengannada mengejek dan suatu dosa untuk menjawabnya. Kendatidemikian, aku tersenyum saksikan ironi yang terjadi, tapi itucuma sebentar. Ia pukul aku tanpa ampun, lagi dan lagi.

***

“Masih ada lagi dari kalian yang berkeliaran di luar sana?”,ia meraung sambil paksa kepalaku tunduk. Ia pasti sudahmenyuruh temannya yang menunggu dengan sabar di ambangpintu dengan ember di tangannya karena temannya mendekatdan meletakkan ember itu di bawah kepalaku. “Tak maujawab aku, kan? Aku pastikan kamu akan menjawab!”Dengan gertakan itu, ia tenggelamkan kepalaku ke emberpenuh air, dan menahannya di sana. Aku meronta sekuattenaga yang tersisa, tapi itu tak cukup, aku terlalu lemah. Ialepaskan kepalaku, dan aku bisa hirup sedikit udara, tetaptak bicara.

“Baiklah,” ia berjalan mengelilingi aku dengan tanganterlipat di balik punggungnya. Aku ludahi sepatu botnyayang bersih mengkilat. “Oh, gadis yang kuat kamu ya?” iaberhenti sejenak. “Baiklah. Mungkin kita memang haruspakai cara keras ”. Ia panggil lelaki lain yang berpakaian

kotor, penuh keringat dari kepala sampai kaki. Ia mengambillilin dan menyalakannya dengan korek api. “Kamu tahu apayang harus kamu lakukan”, ia bergumam. Aku rasakantangannya menarik rok bawahku, kemudian ia jatuhkan lilinyang menyala itu dengan ragu-ragu ke rok ku. Akumenggeretak gigiku. Api segera melalap rokku, danmenyengat kulit ku yang lelah. Aku tak tahan lagi danberteriak kesakitan. “Stop!” ujar si lelaki tanpa perlihatkanperasaan apa-apa. Air dingin disiramkan ke tubuhku dan akulunglai lega. “Sekarang katakan, apakah masih adapasukanmu yang tersisa di luar sana?” ia mengulangpertanyaannya dengan ketenangan yang terkendali. Akupejamkan mataku kuat-kuat. Ia tak akan dapatkankenikmatan dari mendengarkan suaraku. Ia mengambil napaspanjang, menampar mukaku dengan kayu. Aku menyeringaikesakitan. “Bagus …. Bebaskan dia …”. Aku rasakanletupan kegembiraan dalam hati ketika aku diseret kembalike ruangan pengap tempat aku berasal.

***

Acara siksaan itu berlangsung berhari-hari. Aku menolakmakanan apa pun. Aku berbalik ketika mereka paksakanobat masuk ke kerongkonganku. Aku tak bisa berhentiberpikir tentang ayah, Anna dan ibu. Mereka hadir dalammimpi-mimpiku, dan mereka berenang di laut setiap kali akumelihat ke luar jendela. Senyum mereka begitu penuh keba-hagiaan. Kadang-kadang aku ingin menggapai mereka danbergabung dalam kegembiraannya, tapi kemudian aku ingatmereka telah mati. Sepertinya tak ada lagi harapan tersisadalam hatiku. Pelan-pelan aku akan mati kelaparan. Aku takpunya kekuatan lagi untuk membuka mataku, apalagiberbicara. Namun, aku tak bisa berhenti berpikir. Bayangantentang Benteng Duurstede, tentang tubuh-tubuh yangbergelimpangan di halaman rumput, yang tak lagi hijau, tapimerah, melintas di benakku. Aku hanya bisa memandangtahanan lain dengan tatapan kosong. Mereka pun kawan-kawanku, tapi aku menolak bicara dengan mereka. Aku taklontarkan satu kata pun di depan siapa pun. Aku hanyabicara pada ayah dan Anna dalam mimpi-mimpiku.

Aku tahu akhir dari semua ini akan datang segera ketika akuterbangun tadi malam. Aku tak bisa rasakan apa-apa lagi.Dan, meskipun aku berusaha keras untuk paling tidakmembiarkan mataku terbuka, aku tak mampu. Kegelapanmuncul menghilang. Aku tak bisa menahannya lagi. Saat itu,aku tak ingin mati. Aku berpikir tentang ayah, ibu dan Anna.Aku berpikir tentang langit biru dan awan berarak, akuberpikir tentang masa depan pulauku. Tapi, kemudian akulihat mata lembut ayah tersenyum padaku, dan tiba-tiba akumerasa diselimuti kehangatan yang luar biasa. Dengan itu,aku tarik napas panjang; dan biarkan dia pergi.

Martha Christina Tiahahu bertahan dalam sekian sesipenyiksaan di atas kapal yang penjarakan dia. Dia dibuangdari Kepulauan Maluku dan dikirim ke Jawa dimana iadipaksa bekerja di perkebunan kopi. Di antara larut malam 1Januari dan dini hari 2 Januari 1818, ia hembuskan nafasnyayang terakhir. Abu jenazahnya ditaburkan di laut tenangantara Pulau Buru dan Pulau Tiga. m

Page 32: Media Kerjabudaya edisi 062001

32 esai | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

Tahun baru Imlek kedua setelah masa re-formasi baru saja berlalu, suasanaperayaan yang hiruk pikuk telah usai.

Namun perasaan yang bergolak dalam hatisetiap tahun setiap kali Sin cia hadir masihbelum juga reda. Setelah perayaan, banyakhal yang aku renungkan, namun sangat sulituntuk melukiskan perasaanku yang sangatkompleks ini hanya dengan satu kalimatsederhana.

Tahun baru Imlek disini lazim disebut Sin cia.Ini adalah dialek Hokkian, sedangkan istilahMandarin yang umum di pakai adalah Chunjie. Chun jie berarti hari raya musim semi.Perayaan ini diadakan oleh masyarakat agrarispada setiap awal tahun penanggalan Imlek,juga tibanya musim cocok tanam. Bagi paraperantau yang sudah beberapa generasitinggal di luar daratan Tiongkok, makna aslihari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Ba-gaimana pun Sin cia tetap mempunyai artitersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Indo-nesia. Lantas, apa makna hari raya ini bagiku?

Chun jie pertama yang masih dapat kuingatterjadi ketika umurku kira-kira lima tahun. Kalaitu bagi kami anak-anak Sin cia identik dengankegiatan pai cia, yaitu kami diwajibkanmendampingi papa dan mama mengunjungipara orang tua, baik yang masih famili mau-pun yang bukan. Sebagai imbalannya kamimenerima amplop angpao dari orang-orangyang kami beri hormat dengan pai cia.Meskipun memakai pakaian baru dan dapatangpao, namun membosankan bagiku.Kegembiranya masih kalah dibandingmenonton film di bioskop. Pada masa itu uangdalam bungkusan angpao hanya punya artibiasa-biasa saja bagiku. Di dalam keluargakami anak-anak dilarang jajan sendiri di luar.Sedangkan mainan di luar pun tidaksesemarak sekarang , kami sudah cukup puasdengan mainan sederhana atau mainanbuatan sendiri. Maka kami tabung saja hasilpai cia ini. Memang saat Chun jie selalu adatarian barongsai dan naga yang menarik minatanak-anak. Kegiatan ini cukup sering berlang-sung meski bukan pada saat Chun jie,sehingga bagi kami tidak terasa luar biasa lagi.

Umur bertambah, lebih banyak acara Chun jieyang dapat aku ikuti, seperti pertunjukan

kesenian, sandiwara atau opera dalam baha-sa Mandarin. Sejak kelas 2 SD aku sangatgemar mengoleksi buku, dimulai dari bukukomik. Ini yang menimbulkan sedikit rasa sukaterhadap acara pai cia. Tumbuh denganmeningkatnya umur, kami bersaudarasemuanya bersekolah di sekolah Mandarin.Pada masa itu sekolah-sekolah Mandarinumumnya berorientasi ke RRT. Kamimemperoleh pendidikan yang cukup progresif.Dari cerita-cerita guru kami mendapat kesanbahwa perayaan tahun baru Imlek mewakilisemangat feodal sehingga sudah semestinyadiganti dengan tahun baru internasional yanglebih modern. Sejak saat itu perasaankuterhadap Sin cia mulai negatif, perayaannyatidak pernah lagi melibatkan diriku secaraemosional. Pendidikan sekolah Mandarinkutidak berlangsung lama, karena tahun bencanaitu hadir. Ingatanku tentang 1966 adalah hari-hari saat kusaksikan segerombolandemonstran hingar-bingar lewat depanrumahku, sembari berteriak-teriak merekaberbaris menuju ke arah bangunan sekolahkami. Hari itu terasa kiamat telah tiba. Meskimasih kanak-kanak, aku sungguh sangatterguncang. Peristiwa itu tak pernah dapatterhapus dari ingatanku, luka tergores di hatiyang masih saja membekas sampai sekarang.Sekolah kami mereka serbu, bangunandirusak, lalu diserahkan pada tentara untukdiduduki! Aku terpaksa putus sekolah ketikakelas empat SD.

Dengan berkuasanya rezim militer Orde Baru,pelan-pelan namun pasti segala hak kaumTionghoa dilucuti. Satu-persatu peraturanpelarangan bermunculan, termasuk perayaanSin cia. Pada awalnya, keluarga kami masihmeliburkan usaha untuk merayakannya.Perayaan umum tidak ada lagi, acara kunjung-mengunjungi masih berlangsung sepertibiasa. Namun seiring dengan berjalannyawaktu dan semakin represif pemerintah, kamitidak berani lagi meliburkan usaha. Acara paicia hanya dilakukan antar keluarga dekat saja.Setelah papa meninggal, setiap tahun, berapahari menjelang Chun jie, kami sekeluargaselalu mengadakan acara ziarah ke makam.Pada malam menjelang tahun baru Imlek,mama mengadakan acara sembahyang untukmemperingati almarhum, sesudah itu kami

sekeluarga kumpul bersama makan masakanhasil sesaji. Bayangan tentang hari raya inilambat laun menjadi muram.

Mungkin aku termasuk manusia yang tidakpunya hari raya: ulang tahunku yang jatuhpada 29 Februari tahun kabisat, menyebabkanaku tidak punya kebiasaan merayakan ulangtahun. Karena tidak menganut suatu agama,aku juga tidak merayakan Natal, Idul Fitri atauWaisak. Ketika melihat orang lain bersukacita,aku sering merasa kesepian. Tiba-tiba akumenyadari, kami orang Tionghoa sebetulnyamasih punya hari raya Sin cia, yang tak pernahdirayakan lagi hanya karena terpaksa.Keinginan untuk kembali menikmatikehangatan masa lalu muncul kembali tanpaaku tahu mengapa. Karena di dalam negerikami tidak mungkin lagi menikmati suasanaperayaannya, aku bersama teman mencobamenikmati suasana Chun jie di daratanTiongkok, sambil mengunjungi seorang kawanyang sedang mudik ke Hangzhou.

Waktu itu musim dingin. Persiapan pakaianyang kurang menyebabkan kami menggigil dijalanan. Tengah malam pergantian tahun kamiikut dalam perjamuan Chun jie yang diadakankeluarga kawan di rumah orang tuanya di se-buah apartemen kecil. Esok harinya kamimengunjungi taman kecil di tengah kotaberbaur dengan penduduk yang berekreasi. Ditengah jalan nampak penduduk kota yang lainberduyun-duyun berjalan menuju ke arah kuilYinling yang terkenal untuk memanjatkanharapan untuk tahun yang baru.

Pengalaman yang paling seru adalah ketikakami menumpang kereta api dari Suzhou keNanjing. Karena sudah menginjak hari ke limaChun jie, arus balik liburan mulai meningkat.Kami terpaksa membeli tiket kereta lewat calo,seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggupenumpang penuh sesak. Waktu keretadatang, penumpang berebut naik denganberdesakan dan dorong-mendorong. Suasa-nanya mirip perang. Setibanya di atas kereta,kita baru tahu bahwa kami mendapat keretakelas kambing. Dengan susah payah kamimencari nomor duduk, sementara di tengahkoridor penumpang yang tidak punya tempatduduk memenuhi lantai, mirip keretapengungsi. Suasana seperti ini mungkin

>>Zhou Fuyuan

Pesta UsaiSetelah

Page 33: Media Kerjabudaya edisi 062001

esai | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 33

seperti di Indonesia saat lebaran. Situasi se-perti ini merupakan pengalaman yang cukupmenyiksa.

Pengalaman merayakan Chun jie dengan ke-luarga orang di negeri lain merupakan suatupengalaman baru. Namun keramaian itu tidakpernah benar-benar membuatku terlibat. Didasar hati aku tetap merasakan ini adalahperayaan masyarakat mereka, keluargamereka, bukan diperuntukkan bagiku. Chun jiemereka ternyata bukan Sin cia kami.Sekembalinya dari sana perasaan kosongyang aku dapatkan. Aku merasa ada sesuatuyang hilang. Dalam hati selalu ada pertanyaan:dimana seharusnya tempat kami?

Setelah bertahun-tahun aku mengacuhkanhari raya ini, sekarang tiba tiba aku merasamembutuhkannya, dan aku tak dapatmemenuhi kebutuhan ini di negeri orang lain.Ada apa denganku? Apakah ini sekedarkecengengan manusia yang suka bernostalgiadengan masa lampau? Setelah aku renungkandalam-dalam, aku baru sadar, kebutuhankuakan Sin cia adalah suatu kerinduan tentangkebebasan, lepas dari kekangan, kebebasanuntuk mengekspresikan diri!

Selama Orde Baru tidak hanya melarangperayaan Sin cia juga melarang semua pen-didikan dan kebudayaan Tionghoa, termasuktulisan kanji dan semua bacaan beraksarakanji. Kebiasaanku dari kecil untuk membacacerita komik dalam bahasa Mandarin tak terasatelah membuat diriku sangat menggemarisastra Mandarin. Ketika pelarangan buku Man-darin menjadi kenyataan, aku merasakan ke-hilangan yang sangat. Dengan berbagai caraaku masih bisa memperoleh buku-buku itu.Perasaan was-was dan tertekan selalumenyertaiku saat melewati para petugaspemeriksa di bandara, hanya karena di dalamkopor, di bawah pakaian-pakaian kotor, selalutersembunyi berbagai buku dalam huruf Man-darin. Sungguh sangat absurd di muka bumiini ada pelarangan suatu jenis huruf, danpelarangan ini tercantum di atas formulir isianpenumpang pesawat bersamaan denganbacaan porno, narkotika dan senjata api!Perasaan tertekan ini dengan sendirinyamembuat kebencianku terhadap penguasayang menciptakan belenggu dan rambu tak

terhindarkan lagi. Akhirnya, aku juga jadimaklum dengan perasaan pedih dan kehilang-an masyarakat Tionghoa yang dipaksamelepaskan tradisi turun temurun, meredamsemua keinginan, antusiasme merayakan Sincia setiap tahunnya. Mengapa ada pemerin-tah yang merampas hak rakyatnya untukbergembira dan menikmati kebudayaannyasendiri?

Setelah Orde Baru limbung. MasyarakatTionghoa menuntut kembali haknya.Eksistensi Sin cia diperjuangkan untuk diakui,seketika tarian barongsai muncul dimanamana. Saat menyaksikan barongsai beraksidalam perayaan Sin cia pertama kali setelahdilarang, tak dapat aku menahan rasa haruyang bergejolak dalam dada, hatiku mirismenangis, pertanyaan-pertanyaan berkeca-muk: apa salahmu sehingga dalam tahun-tahun yang begitu panjang engkau harusbersembunyi? mengapa engkau sampaidiharamkan? sekarang setelah engkau munculkembali dengan tubuh penuh luka, apa yangmasih dapat engkau lakukan? Engkau meng-hentak-hentakkan tubuhmu dengan penuhtenaga, seakan-akan seluruh perasaan pedihtertekan yang terpendam selama ini hendakkamu lepaskan serentak. Bunyi tambur sepertimenyuarakan jerit protesnya. Sudah pasti,kemunculanmu merupakan tamparan kerasbagi penguasa yang pernah membelenggu-mu. Kemunculanmu juga menyadarkan kita,bahwa suatu kebudayaan meski coba diredamdengan paksa selama 32 tahun, dia tidak lalumati. Begitu angin perubahan bertiup, diapasti akan hidup kembali! Ini mengingatkankita pada sebuah syair klasik dari penyairdinasti Tang Bai Juyi :

Hamparan rerumputan di atas padang,Semusim melayu semusim merimbunApi belantara tak dapat membakarnyahabis,begitu angin musim semi bertiup dia akantumbuh kembali.

Di tengah suasana kegembiraan aku selalumasih memendam kekhawatiran. Apakahkebebasan ini hanya gejala sesaat?Mungkinkah suatu ketika kekuasaan yang be-gitu represif akan kembali hadir? Andaikan pe-merintahan di masa yang akan datang masihsaja demokratis dan tidak diskriminatif, apakah

sentimen rasialis yang sudah tertanam di ma-syarakat juga dapat lenyap? Apakah saat inikita sudah dapat merayakan Sin cia tanpa rasawas-was? Aku kira pertanyaan di atasseharusnya juga menjadi pertanyaan bagiseluruh bangsa, harus terus diajukan, danmenjadi peringatan terus-menerus di dalamhati, agar kita selalu waspada. Ingatan tentangmasa lalu sangat baik untuk menjadi bekal kitadalam melangkah. Kita akan selalu diingatkan:pergulatan melawan diskriminasi danrasialisme adalah pergulatan panjang yang takmengenal kata lelah. Pekerjaan sepanjangmasa ini harus dilakukan seluruh anak bangsadari generasi ke generasi! Di tengah eforiakebebasan, setelah pesta usai, masih banyakpekerjaan yang harus kita lakukan. Alangkahbaiknya kita dapat merenungkan sebuah syairyang ditulis penyair Xin Qiji dari dinasti Song.Dia menulis untuk malam perayaan yuan xiaoatau capgomeh, akhir dan puncak perayaantahun baru Imlek.

Angin timur memekarkan ribuan bungamalamdan meniup jatuh, bintang bintang bagaihujan.Kuda pusaka dan kereta kencana harumsepanjang jalan.Suara seruling mengalun, sinar rembulanberputarikan ikanan dan ular naga menarisemalaman.

Capung capung, umbul umbul dan rumbaiemascanda tawa dan langkah gemulaimeninggalkan wangi.Lama mencarinya dalam kerumunanmanusia, ———seketika menoleh ke belakang, orang ituternyataberada di tempat di mana sinar lenterahanya temaram.

m

ZHOU FUYUAN, Arsitek yang tinggaldi Jakarta

ALIT

AM

BARA

Page 34: Media Kerjabudaya edisi 062001

34 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

> > > L O G I K A K U L T U R A

Pelajar di Indonesia cukup banyakmencurahkan waktu untukbelajar ilmu sosial. Sejak SD

murid sekolah diajar Ilmu Pengetahu-an Sosial (IPS) dan sejarah, disamping mata pelajaran lainnya. Diperguruan tinggi mahasiswa belajarantropologi, sosiologi, psikologi danbidang-bidang lainnya. Masalahnyadalam pengajaran ilmu sosial ini mu-rid atau mahasiswa diberi kesanbahwa ilmu itu seolah-olah pastiadanya. Karena itu kita mendapatkesan salah seolah ada kesepakatanumum di kalangan ilmuwan sosialakan tujuan dasar, fungsi metodenya.Seperti bidang lainnya, ilmu sosialdiajarkan sebagai deretan rumus ataukesimpulan yang harus diingat, danbukan sebagai rangkaian pertanyaanyang seharusnya muncul dari paramurid atau mahasiswa sendiri. Dalamesei ini saya ingin mengangkatsejumlah masalah dasar dalam ilmusosial dan menawarkan jawaban darisaya sendiri. Tentu saja tidak semuabisa kita bahas di dalamnya, tapi apayang diuraikan lebih banyak bertujuanmenantang kita semua untuk berpikirtentang masalah-masalah tertentu.

Tujuan Ilmu SosialIlmu sosial biasanya dianggap seba-gai metode untuk memperbaiki ma-syarakat. Jika kita memahami kebe-naran masyarakat kita secara ilmiah,maka kita akan tahu cara memperba-ikinya. Jika kita mempelajari sebuahmasalah sosial dengan seksama,misalnya kemiskinan, dan menelusuripenyebabnya dengan mengumpulkansemua data yang kita miliki dan

menerapkan ketrampilan logika kitayang terbaik, maka kita akan mampumerumuskan kebijakan pemerintahyang tepat dan tindakan sosial untukmemberantasnya. Ini mungkin pan-dangan tentang ilmu sosial sebagaidokter bagi penyakit yang diidap ma-syarakat. Ilmu sosial sepertinyamemberi harapan bahwa penjelasanyang keliru tentang masalah-masalahsosial (misalnya bahwa kemiskinandisebabkan oleh persekongkolankelompok etnik atau agama tertentu)dapat dikikis dan kita, sebagai masya-rakat, dapat mengenali kebenaranserta memecahkan masalahnyabersama-sama.

Harapan ini tentunya naif bagi duniayang penuh dengan kepentingan dantidak tertarik pada ilmu sosial jika ilmuitu bertentangan dengan kepentingan-nya. Misalnya saja ada sekumpulanilmuwan sosial yang melihat bahwakebijakan IMF (yang notabene me-nguasai perekonomian Indonesia se-karang) ternyata membuat kemiskin-an semakin parah, maka temuan itutidak akan ada pengaruhnya terhadapIMF sendiri karena para pejabatnyaberkepentingan untuk jalan terus de-ngan kebijakan itu. Apalagi IMF inimewakili kepentingan bank-bankbesar di Amerika Serikat, Eropa danJepang, yang didirikan untuk mencariuntung, bukan untuk mengatasi ke-miskinan. IMF sudah tentu akanmengabaikan temuan studi ilmiahyang tidak membenarkan kebijakanyang sudah mereka tetapkan. Dalamkenyataan kita lihat bahwa IMF terus-menerus mengabaikan studi-studi

kritis tentang “kebijakan penyesuaianstruktural” – yang juga berlaku di In-donesia sekarang (kenaikan pajak,sumberdaya untuk ekspor, pengurang-an pengeluaran pemerintah, danseterusnya). Alih-alih memperhatikanstudi-studi kritis itu, IMF membiayaisejumlah penelitian “ilmiah” untukmenyembunyikan kebenaran tentangkebijakan-kebijakannya yang salah.

Walau hasil dari penelitian sosialmungkin tidak meyakinkan merekayang berkepentingan untuk menolakhasil-hasilnya, kita tetap harus mela-kukan penelitian. Kita tidak bisaberkesimpulan bahwa ilmu sosialpada dasarnya tidak jelas. Bahwa adasekelompok orang yang menolaktemuan kita, tidak berarti bahwasemua orang akan menolaknya.Mungkin ada banyak orang yangterdorong oleh informasi dan temuankita, akan berjuang untuk mengubahkebijakan tertentu. Mari kita lihat IMFlagi sebagai contoh. Saat ini adabanyak organisasi yang dibentuk un-tuk menekan IMF agar mengubahkebijakan-kebijakannya. Merekamengadakan demonstrasi di berbagaikota di dunia. Demonstrasi semacamitu tak akan ada gunanya jika tidak adastudi-studi ilmiah yang membuktikanbahwa kebijakan IMF menghasilkankemiskinan. Kekuatan politik memangperlu untuk mendorong perubahanlembaga-lembaga seperti IMF, tapikekuasaan yang tak bersandar padailmu adalah kekuasaan sewenang-wenang yang hanya menguntungkanpemegang kuasanya.

Ketika esei ini ditulis, ada puluhan ribu

Ilmu Sosial,Seberapa Ilmiah?

>>John Roosa

Page 35: Media Kerjabudaya edisi 062001

logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 35

orang berkumpul di Genoa, Italia un-tuk memprotes pertemuan kepala-kepala negara industri maju. Pertem-puran di jalan-jalan kota Genoa se-sungguhnya adalah konflik antara duaversi tentang realitas. Para de-monstran yakni bahwa kebijakan“globalisasi” yang dipaksakan olehnegara-negara industri berarti peng-hisapan sumberdaya dan rakyat duniauntuk keuntungan perusahaanmultinasional raksasa yang bermar-kas di Amerika Serikat, Eropa danJepang. Namun para presiden yangmenghadiri pertemuan itu percayabahwa mereka sesungguhnya sedangmenyelamatkan rakyat dunia dari ke-miskinan. George W. Bush, misalnya,mengatakan kepada pers bahwakebijakan-kebijakannya menyelamat-kan rakyat dari kemiskinan, sementarausulan dari para demonstran hanyaakan membuat orang miskin “tetapterjerembab ke dalam kemiskinan”.Siapa yang benar? Ya, sederhana saja,terserah pada masing-masing oranguntuk menentukan dan mengambilkeputusan.

Adalah wajar bahwa ilmu sosialdidorong oleh keinginan untuk mem-perbaiki masyarakat. Kebanyakan o-rang akan menganggapnya percumajika tidak mampu menjawab persoal-

an-persoalan sosial. Tapi kita harustahu bahwa niat baik ternyata tidakcukup untuk menghasilkan ilmu yangbaik pula. Misalnya, seorang ilmuwansosial yang berniat membantu anakjalanan dan dengan penuh kasih sertasimpati, mempelajari kehidupanmereka. Terlepas dari niat baiknya, il-muwan ini bisa saja berhenti padapengumpulan bahan dan menggam-barkan penderitaan anak jalanan itudengan harapan bahwa pengungkap-an hasil temuannya ke media massaakan mendatangkan simpati danuluran tangan orang lain. Bisa sajahasil temuannya, sekali lagi terlepasdari niat baik tadi, tidak menjelaskanmengapa ada anak yang terpaksahidup di jalan, tentang bagaimanakemiskinan anak-anak ini berkaitandengan situasi ekonomi secaraumum, atau mengidentifikasi wilayah-wilayah di mana penanganan peme-rintahan maupun non-pemerintahakan berlangsung efektif. Untukmenghasilkan ilmu yang baik kitaharus berpikir serius dan kreatif dalammengidentifikasi masalah, membuatpengamatan kritis terhadap asumsi-asumsi yang ada, dan bekerja kerasuntuk mengumpulkan data yang dapatdiandalkan, dan juga berpikir terbukaserta berani mengambil kesimpulanyang bertentangan dengan keyakinan-

nya. Ilmu sosial dengan kata lain,memerlukan keketatan konsep bukanhanya niat baik.

Ada juga ilmuwan sosial yang tidakberusaha memberikan penjelasanterhadap masalah sosial tertentu dantidak percaya bahwa ilmu sosial se-harusnya dirancang untuk membawaperubahan sosial. Mereka merancangpenelitian untuk menafsirkan perilakumanusia, bukan untuk menjelaskanapa yang menyebabkan orang bertin-dak. Mereka juga cukup terbuka un-tuk mengakui bahwa ada sekian ba-nyak penafsiran berbeda yang samasahnya terhadap apa yang merekateliti. Masyarakat dalam pandanganmereka bukanlah seperti pasien yanggejala-gejala penyakitnya perlu diag-nosa dan disembuhkan, tapi lebihseperti permainan, dan tugas ilmuwanadalah memahami aturan mainnyasehingga kita semua dapat bermainlebih baik.

Kita ambil contoh Clifford Geertz,antropolog Amerika yang dikenal luasdi Indonesia. Ia pernah menulis eseiyang sekarang dianggap klasik ten-tang adu ayam di Bali. Dalam tulisanitu ia tidak menjelaskan mengapapermainan adu ayam itu ada. Perta-nyaan yang ingin dijawabnya

ALIT

AM

BARA

Page 36: Media Kerjabudaya edisi 062001

36 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

adalah, apa sesungguhnya arti aduayam bagi orang Bali? Seorang ilmu-wan yang berpikir sempit dan mene-rima perspektif polisi bahwa aduayam adalah kejahatan, menganggap-nya sebagai sebuah masalah sosialdan akan melakukan penelitian ten-tang cara memberantasnya. TapiGeertz menganggap masyarakat Baliseperti teks, seperti sebuah novel, danberperan seperti kritikus sastra yangberusaha memahami makna sebuahteks. Ia mengatakan bahwa adu ayammemungkinkan orang Bali untuk me-lihat sisi kehidupan emosionalnyayang biasanya tertekan; jika dalamkehidupan sehari-hari orang Baliterlihat rapi, disiplin dan kalem, makadalam arena adu ayam mereka akanterlihat seperti mahluk ganas.

Walau Geertz sendiri tidak mengang-gap dirinya sebagai orang yangberharap mengubah masyarakat,dalam karya-karyanya tetap adaharapan bahwa pengetahuan yanglebih baik tentang perilaku manusiamemungkinkan kita menuju hidupyang lebih baik pula. Geertz sangattinggi komitmennya terhadap ilmu; iaingin mengembangkan ilmu tafsir atasperilaku manusia yang dapatmenangani “dilema-dilema eksisten-sial kehidupan.” Pendekatan itu baiksaja adanya. Tapi kita tidak bisamelihatnya menggantikan tugasmenjelaskan kebudayaan. Tafsir atauinterpretasi seharusnya dilihat seba-gai pelengkap untuk menjelaskan.Buku Geoffrey Robinson tentang ke-kerasan di Bali adalah kontras yangbaik terhadap pendekatan Geertz.Dalam buku itu ia memberikan penje-lasan logis yang sangat baik tentangfaktor-faktor yang menyebabkan ter-jadinya pembunuhan massal 1965-66.Penjelasan tentang sebab-akibat sa-ngat mendasar bagi ilmu sosial – de-mikian halnya tafsir atas makna.

Hampir semua ilmu sosial mengan-dung unsur utopianisme tertentu. Halini jarang disadari di Indonesia, karenailmu sosial masih dianggap samaseperti reportase tentang “kenyataansosial”. Juga jarang disadari olehmereka yang gemar berslogan “yangkongkret-kongkret saja”. Bagaimana-pun, setiap ilmuwan sosial sesung-guhnya mengembangkan gagasanideal tentang “masyarakat yang lebihbaik” dan terus berpikir tentang ba-gaimana mencapai bentuk semacamitu.

Bahkan saat mempelajari masyarakatlain, kita mau tidak mau mengambilmasyarakat sendiri sebagai perban-dingan. Margaret Mead, antropologAmerika yang tersohor itu, pernahmengatakan bahwa tujuannya mem-pelajari masyarakat lain untuk tahu

bagaimana mengubah masyarakatnyasendiri. Penelitiannya tentang seksu-alitas remaja di Samoa memperlihat-kan bahwa pubertas bukanlah fasetraumatik dalam kehidupan sepertihalnya di masyarakat Barat. Apa yangselama ini dianggap alamiah atau takterhindarkan ternyata bersifat kulturaldan terbuka bagi perubahan. Tapi,walau kesimpulannya mungkin benar,penelitiannya juga memperlihatkanbahaya dari niat baik. Seperti ditun-jukkan sejumlah antropolog lain,lingkup informasinya tentang Samoasangat terbatas dan ia juga kelirumenafsirkan banyak hal dalam kebu-dayaan setempat.

Ilmu sering berarti menghadapibagian-bagian dari perilaku manusiayang tidak disukai seseorang. Sayasendiri tak suka penyiksaan tapi adabanyak tentara dan polisi di dunia

wan mengatakan bahwa katakumumnya kawin saat hujan, ia tidakakan menghadapi sekelompok katakyang mendebatnya. Katak tidak akanmerasa malu karena pola kawinnyadibahas di hadapan orang banyak,mereka juga tidak akan membentukorganisasi untuk memaksa ilmuwanitu menarik kembali kesimpulannya.Mereka tidak akan berbohong danmengatakan bahwa katak lebihsenang kawin saat panas terik, danjuga tidak akan berhenti kawin saathujan untuk membuktikan bahwa il-muwan itu keliru.

Alam berperilaku menurut kebutuhan.Seekor singa tidak banyak pikirsebelum memburu seekor zebra.Lempengan tektonik di kulit bumi ti-dak akan memutuskan apakah akanbergerak atau tidak, apakah akanmembuat gempa bumi atau tidak.Manusia, tentu saja adalah bagian darialam. Dari segi fisik, susunan tubuhkita tidak lebih rumit dari seekorkucing dan hanya sedikit di atasseekor cacing. Tubuh kita memilikiunsur kimia yang sama sepertitanaman dan mengalami proses yangsama: tumbuh, melakukan reproduksidan seterusnya. Segi fisik kita menja-di obyek penelitian ahli biologi, bukanilmu sosial. Apa yang membuat ilmusosial berbeda adalah perhatiannyaterhadap gagasan manusia,kesadaran, subyektivitas, atau apayang disebut Max Weber “jaring-jaring pemaknaan” (webs of signifi-cation).

Masyarakat berbeda dari alam,berbeda jenis bukan hanya tingkat,karena masyarakat terdiri atasindividu-individu yang berpikir, mela-kukan refleksi atas tindakan mereka,dan mengubah perilaku mereka. Alammenjadi misterius hanya karena kitatidak memahaminya dengan baik,bukan karena alam itu sendiri inginmenyembunyikan diri dari kita.Manusia sebaliknya adalah mahlukpenuh rahasia dan kebohongan.Seseorang bukan hanya menipu oranglain tapi seringkali menipu dirinyasendiri.

Lalu bagaimana bisa manusiamencipta ilmu tentang dirinya?Bukankah semua ilmu sosial akantercemar oleh bias subyektif parailmuwannya? Bagaimana cara manu-sia mempelajari dirinya? Bukankahobyek studi itu akan selamanya tidakjelas? Bukankah tidak mungkin kitaberbicara secara obyektif tentangsubyektivitas?

Ini memang pertanyaan-pertanyaanyang sulit dan sampai sekarang belumterjawab. Tapi seringkali di Indonesiakita melihat obsesi akan “obyektiv-

yang melakukannya. Jika kita inginmengakhiri praktek penyiksaan, makakita terlebih dulu harus memahami-nya. Tugas dari ilmu sosial bukanhanya mengutuk penyiksaan; tapi ter-utama memahaminya. Dan untukmemahaminya kita harus berbicaradengan mereka yang melakukanpenyiksaan dan memasuki alampikirnya. Kita juga harus berbicarakepada para korban dan memastikanapa saja akibat dari siksaan itu bagimereka. Kita juga harus melihat tem-pat para pelaku penyiksaan itu dalamnegara, bagaimana perilaku itudidorong, dibiarkan dan bahkan dipujioleh penguasa negara.

Beda Ilmu Sosial danIlmu AlamObyek studi ilmu sosial sungguhberbeda dari ilmu alam, karena ma-syarakat penuh dengan kepentingansubyektif. Misalnya jika seorang ilmu-

Page 37: Media Kerjabudaya edisi 062001

logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 37

itas” dan keinginan memiliki ilmusosial yang sepenuhnya obyektif,yang dapat berbicara sama obyektif-nya seperti ilmu alam. Semua orangmengaku “obyektif” dan ingin menge-tahui ilmu sosial yang “obyektif” pula.

Kekacauan berpikir tentang obyektiv-itas ini dapat dilihat dalam pernyataanAmien Rais baru-baru ini. Dalamwawancara di SCTV, 21 Juli lalu, iamengatakan bahwa “obyektivitas”demokrasi ditentukan oleh suaraterbanyak. Jadi jika mayoritas anggo-ta MPR setuju menurunkan Gus Durkarena melanggar UUD 1945, makamenurut Amien Rais, Gus Dur me-mang melakukan pelanggaran. Initentu saja definisi yang tidak masukakal. Gus Dur mungkin saja tidakpernah melakukan pelanggaran apapun, tapi karena kebanyakan partaipolitik ingin mengusirnya dari istanadan merebut kekuasaan untuk kepen-tingannya sendiri, mereka akhirnyamenjatuhkan keputusan itu sekalipuntidak ada bukti. Jika di masa depanmayoritas partai politik menuduhAmien Rais melakukan kejahatan danmengusirnya dari jabatan Ketua MPR,saya ragu bahwa ia masih percayakata-katanya sendiri tentang obyektiv-itas.

Di abad ke-19 dan bahkan sampaiabad ke-20, banyak orang percayabahwa ilmu sosial hanya mungkin ber-kembang jika mengambil ilmu alamsebagai modelnya. Ada yang bahkanmengusulkan “ilmu yang satu”, untukmempersatukan ilmu alam dan ilmusosial. Perilaku manusia, dalam pan-dangan ini, dipahami sebagai prosesalamiah yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Subyektivitas dilihatsebagai hasil proses kimiawi dalamotak dan otak pun diperlakuan semata-mata sebagai salah satu organ tubuh,sama halnya seperti ginjal namunsedikit lebih rumit. Beberapa ahlibiologi yang mempelajari gen menga-takan bahwa karakteristik tertentu dariperilaku manusia sudah ditetapkansejak lahir. Ilmuwan sosial akanmengimbanginya dengan membuateksperimen yang berulang-ulangterhadap subyek manusia dilaboratorium dan membuat tabulasihasil-hasilnya di komputer. Kita lihatseolah-olah misteri subyektivitas ma-nusia dapat dibawa masuk secarategas ke dalam wilayah ilmu alam.

Dewasa ini hanya sedikit orang yangpercaya bahwa ilmu sosial harus me-ngikuti jejak ilmu alam. Kebanyakanorang setuju bahwa obyek ilmu sosial,yakni subyektivitas manusia, tidakdapat dipelajari sebagai bagianorganik dari alam yang mengikutihukum-hukum tertentu. Tentu saja adakesamaan dari segi metode: ilmu

sosial juga menganggap penting buktidan argumen yang masuk akal, tapisubyektivitas harus dipelajari dengancara berbeda. Usaha memasukkanilmu sosial ke dalam ilmu alamberlandaskan pada pengebirian kon-sep subyektivitas manusia. Dalampandangan ini manusia diturunkanderajatnya seperti binatang: kita bisaberbicara lebih baik dari burung beo,bisa membuat alat-alat yang lebih baikdaripada kera (yang tidak pernahberanjak lebih jauh dari membuattongkat untuk merusak lubang semut),dan bermain musik lebih baik dari ikanpaus (yang bernyanyi di bawah air) –tapi pada dasarnya kita tidak berbeda.

Dalam hal menurunkan derajatkemanusiaan dan menyamakannyadengan alam, “ilmu ekonomi” adalahyang paling buruk dan berbahaya.Ekonomi bergerak maju menyerupai

Semua ilmu sosial yang valid bertolakdari pengetahuan bahwa manusiaadalah mahluk yang kreatif. Kita harusmenghargai kenyataan dasar ini.Perilaku manusia tidak mengikutihukum-hukum keteraturan alam justrukarena manusia dapat mengubahperilakunya. Kita terus-menerus me-lakukan refleksi atas tindakan kita danberusaha menentukan apakah yangkita lakukan adalah baik atau buruk.Budaya tidak sama dengan alamjustru karena kapasitas manusia un-tuk mengubah perilakunya. Artinyamasalah obyektivitas dalam ilmusosial amat berbeda dari ilmu alam.Kita tidak bisa mengambil kesimpul-an bahwa obyektivitas tak mungkindiraih dan dengan begitu ilmu sosialtakkan mungkin menjadi ilmu.Namun, kita harus tahu bahwagagasan tentang obyektivitas dalamilmu alam tidak dapat kita gunakandalam ilmu sosial.

Lalu, apa obyektivitas itu dalam ilmusosial? Kita tidak mungkin menjawabpertanyaan itu dalam beberapaparagraf saja. Saya hanya memapar-kan beberapa elemen saja darijawaban yang sesungguhnya panjang.Banyak ilmuwan sosial mengatakanbahwa ilmu sosial adalah ilmu tentangaturan yang diikuti manusia. Denganmengamati aturan-aturan ini, ilmu-wan sosial dapat memahami ketera-turan perilaku manusia dalam masya-rakat tertentu. Masalahnya aturan-aturan itu tidak begitu saja ada: ma-nusia tidak mengikuti aturan karenamereka diprogram secara genetik un-tuk melakukannya. Aturan-aturanseperti itu terus berubah dan berva-riasi dari masyarakat satu ke yang lain.Aturan-aturan itu juga tidak diikutisecara ketat oleh manusia. Artinya kitatidak dapat mempelajari aturan-aturanitu lalu menyimpulkan perilaku manu-sia berdasarkan itu.

Kita ambil contoh, sebuah pabrik.Peneliti di pabrik itu melihat bahwaburuh menghormati mandor. Merekamengikuti beragam aturan etiket saatberurusan dengan mandornya:mereka menjaga agar tubuhnya tidakterlalu dekat, menundukkan kepalasaat menatap wajahnya, menyebut-nya “tuan” atau “beliau”, tidak ber-gurau dengannya, dan tidak berbalikmemunggungi sebelum ia pergi.Seorang peneliti bisa saja menafsir-kan perilaku para buruh ini sebagaitanda penghormatan terhadap sangmandor dan pengakuan akan adanyahirarki sosial dalam pabrik. Tapi,pengamatan yang lebih teliti ternyatamenunjukkan bermacam kejanggalan:buruh-buruh itu kadang berlebihanmengikuti ‘aturan’ itu: membungkuk-kan badan dalam-dalam, berbica-

ilmu yang “pasti” justru karenaasumsi-asumsinya yang menyederha-nakan perilaku manusia. Ekonomiyang pada umumnya diajarkan diperguruan tinggi Indonesia dan tem-pat lainnya (ilmu ekonomi yangmemotivasi IMF) bertolak dari asumsibahwa manusia adalah mahluk yangsenantiasa cari untung dengankecenderungan alamiah untuk “truck,barter and exchange”, sepertidikatakan Adam Smith. Itulah “manu-sia ekonomi yang rasional”. Seandai-nya saja setiap orang adalah peda-gang dan berlaku seperti pedagangmaka asumsi itu tepat adanya. Ilmuekonomi standar, sebagai analisis ten-tang perilaku manusia, rumah tanggadan perusahaan, mengabaikan kenya-taan kelas dan hubungan kuasa dalamstruktur sosial. Terlepas dari modelmatematiknya yang rumit danklaimnya sebagai ilmu yang “pasti”,ekonomi standar ini penuh denganabsurditas.

Page 38: Media Kerjabudaya edisi 062001

38 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

ra dengan gelar penghormatan yanghebat-hebat, sedemikian rupa sampaimandor itu tidak tahu lagi apakahburuh-buruh itu sesungguhnyahormat, agak gila atau sedangmengejeknya. Peneliti itu kemudianjuga bisa melihat bahwa di luar pintupabrik ternyata buruh-buruh itusetengah mati menertawakan sangmandor, dan bahagia karena bisamempermainkannya. Dari sana ia bisamelihat bahwa di balik apa yangnampak ada realitas lain, dan karenaitu tidak akan terkejut jika suatu saat,buruh-buruh itu secara terbuka akanmenantang sang mandor, memperli-hatkan sikap tidak hormat, lalumencoba menguasai pabrik itu. Dalamcontoh ini kita bisa lihat bagaimanaaturan ditaati, dan ada semacamkepastian di sana. Tapi kita juga meli-hat adanya ambiguitas tentang bagai-mana aturan itu ditaati, dan ini semuamemerlukan kemampuan tafsir. Kitajuga bisa melihat bahwa aturan-aturan pada dasarnya selalu bisaberubah.

Salah satu perdebatan terbesar dalamilmu sosial adalah mengenai manu-sia sebagai agen dan struktur sosial.Manusia jelas memiliki kemampuanuntuk mengubah aturan, mengubahstruktur masyarakat mereka – ataudengan kata lain memiliki kemampu-an sebagai agen yang mengubah. Re-volusi Indonesia 1945-49 misalnya,secara dramatis mengubah struktursosial; revolusi itu bukan hanyamengakhiri kekuasaan kolonialBelanda, tapi juga mengakhiri kekua-saan sejumlah kerajaan feodal. Di atashirarki rasial, etnik dan politik negarakolonial yang ketat, kaum nasionalismembangun sebuah negara baruberdasarkan persamaan bagi semuawarganya. Revolusi adalah perwujud-an nyata dari kekuatan kreativitasmanusia dan kehendak-kuasamengubah struktur sosial. Namun,kita juga harus mengakui bahwa ma-nusia memiliki keterbatasan dalam halapa yang dapat diubah dan seberapajauh mereka mampu mengubahnya.Misalnya Indonesia sampai sekarangumumnya masih terdiri atas masya-rakat pedesaan yang berkaitan denganpertanian; Indonesia tidak bisa men-jadi masyarakat industri dalamsemalam, apalagi masyarakat pasca-industri yang serba komputer, hanyakarena kita menginginkannya. Dialek-tika antara agen dan struktur adalahmasalah sulit dan terletak di jantungilmu sosial.

Untuk membuat aturan, harus adapemahaman yang sama tentangaturan antara orang-orang yangterlibat di dalamnya. Sikap tak meng-hormati tidak akan menjadi demikian

jika orang yang melihat sikap itu ti-dak memahaminya. Seseorang tidakmungkin membuat aturannya sendi-ri. Artinya aturan bukanlah fakta-faktasubyektif, yang ada semata-matakarena kita menganggap atau mengi-nginkannya ada. Jika tidak subyektif,apakah aturan-aturan itu bersifatobyektif? Aturan itu juga tidak obyektifseperti hukum alam karena sifatnyayang tidak tetap; aturan itu ada dalamkomunikasi inter-subyektif dan tidakdisediakan dengan sendirinya olehalam. Salah satu pengertian obyektiv-itas dalam ilmu sosial dapat disebutinter-subyektivitas.

DemistifikasiJika ilmu alam bertugas membuatalam dapat dimengerti oleh kita, makasalah satu tugas penting bagi ilmusosial adalah melakukan demistifikasiterhadap hubungan-hubungan sosial.Dengan pengalaman kita hidup dibawah Orde Baru, kita tahu bahwa adaorang dan lembaga yang sengaja adauntuk menipu publik. Di zaman OrdeBaru pemilu diadakan lima tahunsekali untuk memperlihatkan bahwaSoeharto adalah presiden yang dipilihsecara demokratik. Sebenarnya cukupjelas bagi setiap orang yang punyapikiran kritis bahwa pemilu itu tidakfair dan bahwa Golkar senantiasaberbohong. Salah satu tugas ilmusosial adalah melakukan analisisterhadap kenyataan hubungan kuasadalam masyarakat di balik segala ilusiyang diciptakan oleh hubungan itu.

Ada banyak jalan bagi ilmu sosial un-tuk membongkar realitas danmelawan mitos-mitos yang dicipta-kan. Banyak orang Indonesia percayabahwa orang Tionghoa sekarangmengontrol sebagian besar kekayaannegeri ini. Beberapa tahun lalu adaangka statistik yang terus-menerusdikutip oleh pers, bahwa orangTionghoa yang hanya 2% dari jumlahpenduduk Indonesia menguasai 70%kekayaan negeri. Setelah diperiksadengan seksama ternyata angkastatistik itu sama sekali tidak berdasar.Salah satu tugas ilmu sosial adalahmemperlihatkan siapa yang mengua-sai kemakmuran, dan dalam hal itukita harus jelas apa yang dimaksud“kemakmuran” dan cara mendefinisi-kan kelompok-kelompok etnik.

Ilmu sosial tidak bisa berhenti padagerak membongkar kenyataan, tapiharus melihat bagaimana mitos-mitosmenyelubungi kenyataan. Karena itu,tugasnya adalah melihat kembalimitos itu dan menjelaskan mengapamitos seperti itu ada dan dapatbertahan. Kenapa kita tidak bisamengenali kenyataan? Apa yangmenghalangi kita mengenali kenyata-

an. Semua mitos yang penting dandapat bertahan punya dasar kuat;mitos-mitos itu selalu mencerminkansebagian persepsi tentang kenyataandan bukan semata-mata salah pahamyang parah. Misalnya, banyak orangpercaya bahwa perkosaan biasanyadilakukan oleh orang yang tidakdikenal korban. Tapi jika orang mem-pelajari pola kasus-kasus perkosaanmaka terlihat bahwa para pemerkosaini umumnya adalah teman, saudaradan tetangga para korban. Bagaima-na kita menjelaskan mitos umum ten-tang perkosaan ini? Mungkin persepsibahwa perkosaan dilakukan oleh o-rang yang tak dikenal korban munculdari kecenderungan untuk membica-rakan kejahatan semacam itu di dalamkeluarga dan komunitas. Sementaramereka tidak pernah mendengarkasus perkosaan seperti itu, pers terusmenyiarkan kasus-kasus perkosaan dimana pelaku seolah seperti mahlukjahat yang bersembunyi di loronggelap untuk menerkam korbannyatiba-tiba.

Untuk men-demistifikasi kehidupansosial, kita tidak dapat menggunakanpendekatan yang murni empirik dalamilmu sosial, karena tugasnya bukanhanya merekam kenyataan dengansungguh-sungguh. Masalahnya seper-ti kita lihat di atas, kenyataan ituseringkali disalahpahami. Banyak il-muwan sosial yang terjangkit em-pirisime naif: mereka berkoar tentangdata-data yang dikumpulkan: ribuanhalaman data, berkilogram dokumendan seterusnya. Tapi saat dimintamenjelaskan apa yang mereka pelajarisecara konseptual, yang keluar hanyabeberapa potong kalimat saja. Ilmusosial sebaiknya tidak dibayangkanseperti orang memotret kenyataan,tapi sebagai upaya mencari jalandalam ruang penuh cermin.

Referensi:

Robin Blackburn, ed., Ideology in SocialScience (Fontana, 1972).

Alex Callincos, Social Theory: A HistoricalIntroduction (Polity, 1999).

Clifford Geertz, The Interpretation of Cul-tures (Basic Books, 1973).

Pierre Bourdieu, The Logic of Practice(Stanford University Press, 1990).

Alan Ryan, The Philosophy of the SocialSciences (Macmillan, 1970).

Peter Winch, The Idea of a Social Scienceand Its Relation to Philosophy (Routledge,1958).

m

JOHN ROOSA, sejarawan yangmenetap di Jakarta.

Page 39: Media Kerjabudaya edisi 062001

resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 39

> > > R E S E N S I B U K U

resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 39

> > > R E S E N S I B U K U

B erbagai pemberitaan mediamengenai pertikaian tersebutmasih melihat tragedi yang

menewaskan ribuan nyawa danpuluhan ribu lainnya terpaksamengungsi dengan sterotype danstigma etnis. Sering kali diungkapkanbahwa penyebab utama pertikaianberdarah antara etnis Dayak danMadura adalah perbenturan budayadan adat-istiadat di antara mereka.Bahkan dalam Kongres RakyatKalimantan yang berlangsung diPalangka Raya pada 7 Juni 2001 lalu

JJ KusniNegara Etnik:Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku DayakPenerbit: Fuspad, Yogyakarta, 2001, 189 hal.

masih menunjukkan betapapemberdayaan budaya antara etnisMadura dan Dayak merupakan faktorutama yang menjadi penyebabkerusuhan. Hal itu secara tersuratditunjukkan dengan dikeluarkannyapernyataan mengenai “nasib” dan“status” etnis Madura di KalimantanTengah. Kongres menetapkan bahwaetnis Madura yang mengungsi bolehkembali ke Kalimantan Tengah dengansejumlah persyaratan. Di antaranya,mereka adalah orang Madura yangsudah mampu beradaptasi dengan

budaya setempat dan harusmembayar denda adat serta wajibminta maaf kepada seluruhmasyarakat Kalimanatan Tengahmelalui DPR setempat (Kompas 8 juni2001). Yang menjadi pertanyaansekarang adalah apakah memangperbedaan budayalah yang menjadipenyebab utama kerusuhan? Adakahhal lain yang sebetulnya justrumenjadi substansi yang menyebabkanpertikaian?

Buku ini mencoba menjawab

>>Mahendra

Pertikaian berdarah antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal tahun 2001 ini sekalilagi memperlihatkan betapa rapuh dan tak bermaknanya kehidupan berbangsa dan bernegaradi Indonesia. Setelah sebelumya diguncang oleh rangkaian pertikaian serupa di KalimantanBarat, lalu pertikaian bernuansa agama di Ambon, Maluku dan di Poso, Sulawesi Tenggara,tragedi Sampit kembali menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalamhubungan antaretnis dan antaragama di Indonesia yang multikultur ini.Tragedi Sampit sekali-gus juga menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi diKalimantan, khususnya Kalimantan Tengah sehingga etnis Dayak yang merupakan pendudukasli, menjadi sedemikian marah dan mengambil “jalan merah” terhadap etnis Madura.

MembangunSolidaritas Kemanusiaan

Fusp

ad

Page 40: Media Kerjabudaya edisi 062001

40 resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/200140 resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

berbagai pertanyaan tersebut di atasnamun tidak dengan sikap emosional.Buku ini mengajak kita untuk melihatsegala sesuatu yang terjadi di Indo-nesia, khususnya pada daerah-daerahyang “bermasalah”—dalam hal iniKalimantan Tengah—dengan melihatsubstansi permasalahannya.Tidakseperti genre buku “marah-marah”lainnya yang menjamur pasca OrdeBaru, yang banyak di antaranya hanyamenggugat dan mengkritik tanpamemberikan alternatif yang substan-sial, buku ini salah satu dari sedikitbuku yang menawarkan alternatifyang moderat dari segudang perma-salahan yang ditinggalkan rejim OrdeBaru. Namun bedanya, alternatif yangditawarkan oleh buku ini berlandas-kan pada alternatif yang berperspektifpada kepentingan rakyat banyak..

Tema sentral Negara Etnik adalahgugatan dan kekecewaan daerah danetnis-etnis di Indonesia terhadaphubungan daerah dan pusat yangtidak seimbang. Sejak berdirinya In-donesia, terutama selama 32 tahunrejim Orde Baru yang sentralisitis,daerah-daerah dan etnik-etnik menga-lami penindasan baik secaraekonomi, politik maupun budaya.Walaupun mereka—khususnya Kali-mantan Tengah—telah memberikansumbangan yang sangat besar kepadanegara namun bagian yang merekaperoleh sangat sedikit. Hal inidisebabkan karena sebagian besarkekayaan dan potensi daerah diambiloleh pusat. Inilah yang menyebabkandaerah-daerah menjadi kecewa.Kekecewaan ini menyebabkan dae-rah-daerah melontarkan berbagaituntutan mulai dari otonomi, otonomiluas, bentuk negara federal sampaimerdeka dari Indonesia. Hal inilahyang lantas oleh pemerintah pusatdiredam dengan cara-cara militeristisyang justru menimbulkan luka yangdalam pada banyak daerah dan etnikdi Indonesia.

Namun, yang menarik, JJ Kusni me-nyikapi berbagai tuntutan daerah—dari mulai otonomi sampai mer-deka—itu dengan mempertanyakanapakah hal itu merupakan pemecahanmasalah. Apakah tuntutan otonomiatau bahkan kemerdekaan, semuanyamenjadi tidak relevan selama

tuntutan-tuntutan tersebut mengabai-kan nilai-nilai kemanusiaan dan ke-pentingan masyarakat banyak.Menurut JJ Kusni, Kemerdekaanbukanlah segalanya yang pertamadan di atas segalanya adalah harkatmanusia dan kemanusiaan sertakehidupan manisiawi yang terusmenerus meningkat yang diwujudkandalam suatu sistem (hal. 22). Lebihlanjut, ia mengungkapkan jika daerah-daerah mempunyai sistem alternatifuntuk meningkatkan harkat kemanu-siaan serta kehidupan yang manusia-wi, mengapa tidak ditawarkan kepadadaerah-daerah yang lain. “Jika soli-daritas kemanusiaan saja tidak ada,apa yang bisa diharapkan dari negaramerdeka yang hendak diproklamirkanitu? (hal. 23)”

Walaupun berjudul Negara Etnik, se-bagai putra Dayak JJ Kusni justrumenolak konsep negara yangberdasarkan pada etnis tertentu atauetnonasionalis. Etnis Dayak menurutJJ Kusni bukanlah berdasarkan padaketurunan melainkan pada pemaham-an dan penghayatan pada budayaDayak, terlepas dari asal-usulketurunan. Dalam konteks ini, apayang menjadi keinginan masyarakatKalimantan pada hakekatnya adalahkeinginan agar mereka dapatmengelola dan memanfaatkan sega-la potensi dan kekayaan daerahnyademi kepentingan masyarakat danbukan demi kepentingan segelintirelit. Untuk itu, sebenarnya masyarakatDayak sudah mempunyai konseppembangunan dari dan untukbersama, yakni budaya betang (hal129). Konsep inilah yang seharusnyamenjadi cara untuk mempersatukandan mencegah pertikaian antaraberagam etnis yang ada di Kaliman-tan Tengah. Dengan budaya betang-lah seharusnya masyarakat Kaliman-tan Tengah bersama-sama menjadirengan tingang, anak jata; menjadietnis yang bermutu sehingga dapatmemperoleh élan yang bertarungmemenangkan hidup menjadi anakmanusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut halyang harus dilakukan adalahdimulainya suatu pendidikan yangmembebaskan dan pengorganisasiangerakan perlawanan yang berbasis

pada massa. Dalam epilognya, JJKusni mengungkapkan pentingnyamelakukan langkah pengorganisasianyang sistematis dan memperkuatposisi tawar massa. Bila hal itudilakukan maka menjadi tuan atasnasib sendiri adalah suatukeniscayaan.

Buku ini juga mengungkapkan bahwamasyarakat Dayak telah termarjinali-sasi dan terhina sejak zaman Belanda.Pada masa kolonial budaya merekadianggap sebagai “ragi usang” aliasbudaya yang tak berguna lagi.Penghinaan ini ternyata berlanjutsetelah Kalimantan Tengah menjadibagian dari Indonesia yang merdeka.Pada masa Orde Baru strukturtradisonal “Kadamangan” telahdikooptasi oleh Golkar denganmemasukkannya sebagai bagian dariGolkar dan birokrasi. Namun sebalik-nya, mereka tidak dipercaya untukmemegang posisi-posisi strategis didaerahnya sendiri (hal 149-150).. Padabagian lain, diungkapkan bagiamanaproses penindasan dan pelecehanbudaya yang dilakukan oleh Ordebaru. Di antaranya berupa takdiakuinya kepercayaan tradisionalkaharingan, yang dipaksa menjadibagian dari agama Hindu (hal 149),juga pelecehan terhadap situs sakralOloh Kasongan/Bukit Batu yang telahmelukai hati masyarakat Dayak Ngaju(hal. 115).

Terlepas dari kelemahan dalamsistematika—seperti tak adanyadaftar isi, hubungan antarbab yangkurang jelas—dan kesan pengulanganketika membaca buku ini, paling tidakbuku ini patut dibaca oleh masyara-kat yang ingin mengetahui lebih jauhtentang etnis Dayak. Buku ini jugapatut dibaca oleh mereka yang tertarikuntuk mengetahui apa yang selama iniyang menjadi aspirasi dankekecewaan masyarakat Dayak Kali-mantan Tengah. Selain itu, buku inijuga dapat menjadi rujukan yangberguna.bagi mereka yang inginmemahami mengapa dan bilamanamasyarakat Dayak melakukanperlawanan bila aspirasinya taktercapai. m

MAHENDRA, Pekerja pada LembagaStudi Pers dan Pembangunan,Jakarta.

Page 41: Media Kerjabudaya edisi 062001

TOKOH | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 41

> > > T O K O H> > > T O K O H

istim

ewa

Para buruh migran yang kebanyakanadalah perempuan perlu memperjuangkan dan mendapatkan hak-hak

yang mereka miliki. Rosca begitu marahketika pemerintah Singapura mengumum-kan Flora Contemplacion, salah seorangburuh migran, harus dihukum gantung.Rosca bersama organisasi massa di Filipinamelakukan demonstrasi besar-besaran un-tuk menentang keputusan pemerintah Si-ngapura. Peristiwa ini telah menjadi gejalauniversal bagi negara-negara terbelakang.Sehingga pada ceramahnya di PBB dalamrangka memperkuat Convention to Elimi-nate all forms of Discrimination (Cedaw)Rosca dengan lantang mengucapkan “se-karang ini dinegeri-negeri terbelakang seper-ti Filipina dan Indonesia telah dibangun

lembaga jual beli perempuan dibawahpayung euphisme “kerja”—pekerja peneri-ma tamu, budaya hiburan, budaya tari dansebagainya—hal ini menjadi sulit untukdibedakan antara perempuan digunakan se-bagai buruh murah dengan perempuandipakai sebagai barang dagangan. Merekadipergunakan sebagai pasar untuk produk-produk non-esensial dan jasa.”Ninotchka Rosca dengan tegas menunjukbahwa Bank Dunia dan IMF telah melaku-kan eksploitasi berganda terhadap perem-puan dengan lembaga keuangan internasio-nal ini mendesain “tiga pilar pembangunan”untuk negeri-negeri terbelakang. Salah satupilar itu adalah turisme (untuk memperolehmata uang asing dengan cepat agar segeramembayar bunga pinjaman Bank Dunia)

yang menjadi tulang punggungnya adalahperempuan-perempuan miskin. Masalah-masalah seperti ini yang diangkat Roscakedalam karya novelnya, karya seni yangmempunyai kekuatan pencerahan denganmemasukkan kebudayaan dan negeri yangsedang mengalami konflik. Karya-karyaNinotcska Rosca adalah Bitter Country andOther Stories, The Moonsoon Collection,State of War dan sebuah karya non-fiksiEndgame: Fall of Marcos.Dua redaktur Media Kerja Budaya, Ayu Ratih

dan John Roosa mewancarai Rosca di Uni-versity of Wisconsin, Amerika Serikat. Di-bawah ini petikan hasil wawancara tersebut.Bagaimana anda mulai menjadi penulisdan aktivis politik?

Saya dibesarkan tepat setelah Perang

Ninotchka Rosca adalah salah seorang aktivis politik exile Filipina yang pindah ke Amerika Serikatsejak rezim Marcos menyelenggarakan keadaan darurat di negerinya tahun 1970-an. Novel-novelnyamenggambarkan bagaimana bangsa Filipina juga seperti bangsa lainnya yang pernah mengalamipenjajahan, pada zaman globalisasi harus menjadi budak. Pandangan-pandangannya terutama menyorotisuatu fenomena yang dialami oleh bangsa-bangsa dunia ketiga sekarang, yakni perempuan-perempu-an mencari uang di negeri-negeri kaya dengan menjadi buruh migran, pelayan-pelayan di bar dan pekerjaseks. Bagi Rosca, ini merupakan kenyataan-kenyataan konkrit yang perlu diangkat, karena hampir seluruhbangsa-bangsa bekas jajahan dipaksa dan diharuskan menghadapi kenyataan ini.

Ninotchka Rosca:“...yang ingin saya bangun adalah persamaan hakdi antara bangsa-bangsa di dunia.”

Page 42: Media Kerjabudaya edisi 062001

42 TOKOH | Media Kerja Budaya edisi 06/2001

Dunia II, ketika semua di Filipina ter-Amerikanisasi. Generasi saya sangat cerdas,saya tidak tahu mengapa tetapi pada saatyang sama, kami tidak berdaya. Jadi kamimesti meninjau kekuatan politik dan ekono-mi yang ada di negeri kami dan bagaimanakekuatan ekonomi-politik itu mempengaru-hi kekuatan sosial. Jadi kami mulai mem-pertanyakan hubungan antara Filipina danAmerika Serikat. Begitulah saya terjun kedalam politik dan dengan sendirinya penu-lisan. Dalam kancah sastra aliran “New Crit-ics” sangat dominan di negeri ini dan parakritikus membenci karya saya. Anda tahu‘kan, saya memakai bahasa Inggris sehinggasaya harus agak menekuk, mengubahbentuknya dan memperbaruinya. Dengandemikian, bahasa ini bisa menampungkenyataan kami di Filipina yang sangatberbeda. Ada banyak budaya di Filipina danada saling-pengaruh di antara budaya-budaya ini, banyak lapis budaya, ada hal-halaneh yang tidak bisa diungkapkan dalambahasa Inggris. Sehingga kita mestimengubah bahasa itu sendiri dan hidup dinegeri kami tidak satu dimensi, tidak datar.Jadi wajar saja mengiyakan apa yang pernahdilontarkan teman sekolah saya: ia berkatabahwa sehari sebelumnya ia pulang danbertemu adik perempuannya dan menyapa“hello” padanya. Adiknya tidak berucapsepatah pun dan masuk saja ke dalamkamar. Tetapi tak lama kemudian ia benar-benar sekarat di rumah sakit. Ia mengalamikecelakaan. Itulah sebabnya mengapa tidakada seorang pun di rumah. Ia menceritakanhal tersebut pada saya dan saya berkata, ya,mungkin ia mengatakan selamat tinggal.Dan dalam bahasa kami ini hal yang sangatbiasa tetapi susah diutarakan dalam bahasaInggris. “New Critics” tidak menyukai faktabahwa kami menekuk-nekuk bahasa.Apa paradigma New Critics?

Teks, teks bersifat dominan. Anda mengi-kuti James Joyce. Teks harus mengandung“epiphany” dan sang artis harus tetap men-jaga jarak, berasyik-asyik dengan dirinya sen-diri atau apalah. Jarak itu, tidak bisa kitalakukan. Kami adalah bangsa yang sangatbersemangat, hal-hal dari luar berdampakpada kami. Kami terbiasa menggeser sudutpandang karena sebuah kisah tidak menjadikisah dengan sendirinya sebelum dikisah-kan, ditambah-tambahi, diperhalus dengantiga atau empat orang. Jadi ada perubahandalam sudut-pandang. Susah menerima halitu dengan cara-pandang tentang penulisanyang berkembang di Amerika atau Eropa.Anda menentang suara pengarang tung-gal.

Ya, kami mesti membongkar hal itu agartulisan kami diakui. Sangat keliru bila mere-ka memaksakan hal itu karena hal itu tidakcocok untuk negeri kami. Kisah-kisah yangmuncul dari suara demikian tidak cocok baginegeri saya. Kisa-kisah itu mewakili seleraestetika Barat.Bangsa Filipina adalah bangsa yang pal-ing terpengaruh Barat, atau Amerika, di

antara bangsa-bangsa Asia akibat perkem-bangan sejarahnya yang agak unik. Dalamkonteks ini, apa agenda kultural untukpolitik yang progesif?

Bila anda menanyakan apa yang mestidilakukan negeri dan bangsa saya, sayasemestinya berkata bahwa saya pikir kamiharus menutup semua pintu untuk sekianwaktu tertentu, tidak berbicara pada siapa-pun, tidak mendengar siapapun, karena kamijarang saling berbicara satu sama lain.Banyak bunyi dari mana-mana, mengatakanbahwa inilah yang baik bagi kamu, inilah artikemajuan, beginilah semestinya pemba-ngunan. Saya sebut ini “bunyi putih” danpemilihan kata ini bukan kebetulan. Di antara“bunyi-bunyi putih” ini, kami nyaris tidakbisa mendengar diri kami sendiri berpikir,bahkan dalam hubungan kami sendiri, mi-salnya dalam hubungan antara pemilik per-kebunan gula dan seorang buruhnya. “Bunyiputih” menyusup dan mengacau hubung-an di antara keduanya dan mengganggu pe-nyelesaian konflik mereka. Bila buruhmemutuskan untuk menuntut upah lebihbanyak, Amerika Serikat akan masukpasukannya, dengan persenjataannya dansegala hal untuk membantu tuan tanah. De-ngan demikian, persoalan tidak pernahterselesaikan. Anda tidak bisa berunding ka-rena tuan tanah akan berkata, saya mem-punyai tentara dan segalanya dan segeraterjadilah pertumpahan darah. Kami benar-benar perlu menutup pintu-pintu kami,mungkin selama sepuluh tahun danberbicara satu sama lain, duduk di tepisungai dan bertanya pada diri sendiri apayang sebenarnya kami inginkan. Apakahkami benar-benar membutuhkan rollerblade,barang-barang mode, megamall.Apakah ada hal positif yang berasal daripengaruh Amerika ini?

Ya, kesadaran bahwa individu penting.Satuan dasar kami, dalam negeri setengahfeudal ini, adalah klan. Begitulah bisa andalihat wanita-wanita pergi ke luar negerimenjual diri untuk menghidupi klan ataukeluarga. Dan mereka akan menempuh hal-hal yang paling mengerikan di dunia ini un-tuk memenuhi kewajiban keluarga. Tetapisebagian dari kami belajar dari Amerikabahwa hidup kita sendiri penting, terlepasdari klan dan keluarga dan itu, saya pikir,sangat penting.Kini anda tinggal di Amerika, bagaimanaanda memandang diri anda sendiri:seorang pengarang Dunia Ketiga, seorangpengarang Filipino, seorang Filipino-Ame-rika?

Saya sudah mendapat pertanyaan demiki-an berkali-kali sebelumnya dan saya sendiritidak tahu dimana tempat saya. Kadang-kadang saya menjadi seorang Filipino bilaitu terasa lebih nyaman, kadang-kadangseorang Amerika. Tetapi, sungguh, sayahanya mengatakan bahwa saya warga dunia,saya telah berada di begitu banyak tempatdan terpengaruh banyak hal, saya menga-takan bahwa saya lahir dan besar di Filipinasehingga sebagian besar kesadaran saya a-

dalah orang Filipino tetapi sebagian jugabersifat internasional.Ada anggapan bahwa pengarang-penga-rang Dunia Ketiga selalu menulis tentangbangsa dan bahwa mereka mempunyaikebiasaan menulis alegori tentang bangsa.Apa pendapat anda?

Itu sama sekali bukan soal politis bagi kami,para pengarang. Hanya karena pengaruhunsur budaya, kami berorientasi sosial,berorientasi kelompok ketimbang individu-individu terpisah sebagaimana anda temuidi Eropa atau Amerika. Saya tidak bisa me-nerima novel Orang Asing-nya Albert Camusberlatar negeri saya, sungguh, karena orangtidak bisa menjadi orang asing di negeri ini,bahkan orang asing tidak pernah benar-benar menjadi orang asing, segera saja andaterlibat dalam suatu kekerabatan. Ini bukansoal politik, tetapi soal bagaimana carapandang kita melihat dunia. Mereka harusmenerima itu sebagaimana kami menerimakarya orang Amerika dan Eropa.Bagaimana anda memandang penggam-baran bangsa dalam karya anda, bagaima-na anda menyajikan bangsa Filipina dalamtulisan anda?

Sesungguhnya saya tidak menulis tentangbangsa Filipina atau bahkan bangsa Filipino.Saya menulis tentang orang-orang tertentudalam konteks sosial tertentu, ruang danwaktunya Filipina. Saya mencoba menarikdari kekhususan pengalaman mereka se-suatu yang bersifat universal, sesuatu yangdapat dipahami orang dengan warna kulitatau kebangsaan apapun. Bagi saya, ini sa-ngat penting. Karena yang ingin sayabangun adalah adanya persamaan di antarabangsa-bangsa di dunia. Pandangan memar-jinalisasikan bangsa adalah pandangan yangtidak dapat kami terima. Saya pada dasar-nya seorang humanis, sebutlah begitu.Anda pernah menyebutkan bahwa baha-sa Tagalog adalah bahasa yang miskin un-tuk pengungkapan anda dan bahwa andalebih suka menulis dalam bahasa Inggris.Bisakah anda menjelaskan hal ini danmenunjukkan bahwa ini adalah pilihanbagi banyak penulis Filipino lainnya?

Banyak penulis Filipino menulis dalam ba-hasa Tagalog tetapi soalnya adalah bahasaInggris lebih tinggi prestise sosialnya dankarena itu bila anda menulis dalam bahasaInggris anda bisa mendapat lebih banyakuang. Bagi saya, ini adalah mekanismemempertahankan hidup. Tetapi, misalnyaanda menghadapi soal-soal transkultural,maka sangat sulitlah menggunakan bahasaanda sendiri. Ketika anda berbicara soal,katakanlah ras, tidak ada kata dalam baha-sa Tagalog yang benar-benar pas. Ada me-mang kata kayumangi tetapi kata itu berartikadar “kecoklatan”, perbedaan antara co-klat terang atau coklat gelap (sawo matang).Istilah ini menunjuk warna kulit, dan tidakmengandung konotasi sosial, tidak memilikinuansa darah maupun ras. m

Page 43: Media Kerjabudaya edisi 062001

Perang dan KembangPenulis: Asahan AlhamPenerbit: Pustaka Jaya, 2001Buku ini merupakan karya seorang exile yang mengetengahkan perjuanganrakyat Vietnam menghadapi serangan negara adikuasa Amerika (yang kemudiandapat dikalahkannya). Seorang melayu yang pernah berpaspor Indonesia,terlibat di dalamnya. Bukan hanya dalam kegiatan tentara militia rakyat(walaupun dalam seksi penghibur) melainkan juga dalam berbagai petualanganasmara yang dalam masyarakat sosialis menjadi urusan penguasa. Namunmakin dihalang-halangi, makin seru melakukannya. Tapi kalau mau sampai ketingkat pernikahan, tangan kekuasaan dapat menghadang atau mendorong.“Boleh dilarang kawin, boleh dilarang berpacaran, tapi kalau cuma hubunganyang satu itu, siapa yang akan tahu? Semakin dilarang semakin kedua belahpihak saling mencari...” Terlalu banyak yang dicampurtangani oleh politik danpenguasa. Dengan selingan kunjungan sang tokoh ke Tiongkok, negara sosialisyang lain, pengarang dengan tajam menganalisis kebobrokan sistem komunisme

yang tidak menghormati manusia sebagai pribadi-pribadi yang merdeka.

Rising from The Ashes? Labor in the Age of “Global” CapitalismDisunting: Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael YatesPenerbit: Monthly Review Press, 1998Pertanyaan-pertanyaan baru melompat ke depan bagi pergerakan buruh di seluruhdunia. Dapatkah kaum buruh mendapatkan kembali inisiatif menentang gelom-bang pasang surut dari pemecatan perusahaan dan pemotongan belanja pemerin-tah? Dapatkah serikat buruh merapatkan kembali barisan mereka dan mempenga-ruhi imaginasi publik? Dapatkah buruh bangkit dari reruntuhan?Rising from the Ashes? Sejumlah persoalan-persoalan mendesak dalam konteks,hubungan dan perbedaan perkembangan baru di Amerika Serikat hinggakecenderungan-kecenderungan baru di penjuru dunia—dari Mexico hingga Asia,dan dari Kanada ke Eropa Timur.Kumpulan esei ini mengambil isu-isu paling hangat yang diperdebatkan oleh paraintelektual dan aktivis buruh. Termasuk di dalamnya, perubahan komposisi kelasburuh internasional, pola-pola kerja di bawah kapitalisme kontemporer, hubunganras dan gender dengan kelas, janji-janji dan batasan-batasan kegairahan baru

militansi buruh, pilihan-pilihan strategis yang tersedia untuk rakyat pekerja dalam zaman globalisasi.

Kongres Kodok: Kumpulan Puisi Saut SitompulPenerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000Di tangan Saut, puisi dan dunia kehidupan sehari-hari erat terpaut. Puisi-puisinyaerat menyatu dengan deru dan debu kota Jakarta. Hampir saban hari iamengamenkan puisi-puisinya di atas bus kota Jakarta. Memang, sesekali, iamelisankan puisi-puisinya di gedung kesenian, di tempat upacara, bahkan di gereja.Namun wilayah utama tempat ia melafalkan sajak adalah jalan raya. Bagi orang-orang yang tak henti-hentinya berlalu lalang di jalan yang riuh itu, puisi-puisi Sautmungkin menggangu, mungkin menghibur, mungkin juga tidak berarti apa-apa.Yang pasti, di situ tampak kehendak si penyair untuk sedekat mungkin menghampiriorang banyak dari kalangan yang terbanyak. Ia tampaknya adalah salah seorang di

antara segelintir penyair Indonesia yang amat melekat pada ruang publik. Sebagaimana dilontarkan pulaoleh Hawe Setiawan yang memberikan pengantar pada buku ini, puisi-puisinya tidaklah dikonstruksi seba-gai gedung istimewa bagi orang-orang istimewa tempat si pongah yang mengistimewakan diri sesumbarberkata, “Yang bukan penyair dilarang ikut.”Tidak. Sebaliknya, biasa saja, bersahaja, langsung terhubungdengan benak pendengarnya. Bahkan ia bilang, “Tak usah terlalu dipusingkan/bagaimana cara menulispuisi.” Tulis, tulis, dan tulis. Itulah yang ditekankan olehnya. Jadi, orang banyak tidak hanya diajak menikmatipuisi, melainkan juga didorong untuk menggubahnya.

>>>BERITA PUSTAKA

Page 44: Media Kerjabudaya edisi 062001