wacana mengenai bhmn - bhpmn

22
Wacana Mengenai BHMN - BHPMN 19 Juli 2005 - 13:57 Perkembangan RUU BHP Setelah RUU BHP versi 31 Maret 2005 yang dihasilkan oleh Panitia Kerja Komisi X DPR RI, muncul versi baru tanggal 24 Juni 2005 yang merupakan hasil kerja sama Panitia Kerja DPR-RI dengan pihak pemerintah. Tampak perjuangan KomDik KWI dengan aliansinya, 8 kelompok lain, membuahkan hasil, khususnya kalau melihat RUU versi terakhir tadi. Bila dalam versi 31 Maret dikatakan bahwa "Penyelenggara adalah satuan pendidikan yang berstatus BHP" (Pasal 1 ayat 7), dan "Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus BHPT" (Pasal 2 ayat 1), sementara "Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus BHPDM"; dalam rumusan versi 24 Juni nuansa "mutlak" itu sudah hilang. Beberapa ayat yang menunjukkan "keluwesan" itu, misalnya ada pasal 2 ayat 1: "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT". Selanjutnya pada pasal 2 ayat 2 dikatakan, "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk BPHDM". Lebih jelas lagi dalam pasal 4 ayat 3 yang berbunyi, "Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka: (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan perguruan tinggi yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b). yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT". Tentang pendidikan dasar dan menengah dikatakan dalam pasal 27 ayat 2, "Dalam hal BPHDM didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenis bagi sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada, maka: (a). yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan satu atau lebih sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada berubah menjadi BPHDM, atau (b). yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BPHDM, dan sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada merupakan organ BPHDM." Untuk sementara waktu, mereka yang bergumul dengan status badan hukum persekolahan bisa bernafas lega. Kita nantikan perkembangan selanjutnya. Canangkan Unair sebagai Comprehensive University Karunair, Kampus C. BEM Universitas Airlangga menyelenggarakan Seminar Pendidikan pada Senin (23/5) kemarin. Kali ini diusung sebuah tema menarik, yakni tentang Rekonstruksi PTN : Menuju Pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Selama ini banyak hal yang menyorot kelahiran otonomi kampus. "Banyak yang salah tafsir. Ada yang menilai itu privatisasi dan komersialisasi kampus. Padahal tidak demikian," tutur Patono Suwignjo, PhD, tim persiapan ITS BHMN. Tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Rektor Unair, wakil Rektor ITS melalui tim ITS BHMN, LBH Surabaya, serta BEM IPB dan UGM. Yang menarik, acara ini dimoderatori mahasiswa sendiri, melalui BEM Unair sebagai tuan rumah. Seminar yang mengundang perwakilan beberapa BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ini, digelar di gedung Karunair lantai III, Kampus C, Mulyorejo. Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Med. Puruhito, dr., sedikit menjelaskan tentang apa itu kerakyatan dan mandiri. Menurutnya, dalam kerakyatan ada keadilan dan ada suara rakyat. Versi Indonesia menyebutkan adanya kebijakan perwakilan. Sedangkan 1

Upload: dirham-nuriawangsa

Post on 23-Jul-2015

121 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMN19 Juli 2005 - 13:57

Perkembangan RUU BHPSetelah RUU BHP versi 31 Maret 2005 yang dihasilkan oleh Panitia Kerja Komisi X DPR RI, muncul versi baru tanggal 24 Juni 2005 yang merupakan hasil kerja sama Panitia Kerja DPR-RI dengan pihak pemerintah.

Tampak perjuangan KomDik KWI dengan aliansinya, 8 kelompok lain, membuahkan hasil, khususnya kalau melihat RUU versi terakhir tadi.

Bila dalam versi 31 Maret dikatakan bahwa "Penyelenggara adalah satuan pendidikan yang berstatus BHP" (Pasal 1 ayat 7), dan "Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus BHPT" (Pasal 2 ayat 1), sementara "Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus BHPDM"; dalam rumusan versi 24 Juni nuansa "mutlak" itu sudah hilang.

Beberapa ayat yang menunjukkan "keluwesan" itu, misalnya ada pasal 2 ayat 1: "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT". Selanjutnya pada pasal 2 ayat 2 dikatakan, "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk BPHDM". Lebih jelas lagi dalam pasal 4 ayat 3 yang berbunyi, "Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka: (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan perguruan tinggi yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b). yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT".

Tentang pendidikan dasar dan menengah dikatakan dalam pasal 27 ayat 2, "Dalam hal BPHDM didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenis bagi sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada, maka: (a). yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan satu atau lebih sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada berubah menjadi BPHDM, atau (b). yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BPHDM, dan sekolah atau bentuk lain yang sederajat yang telah ada merupakan organ BPHDM."

Untuk sementara waktu, mereka yang bergumul dengan status badan hukum persekolahan bisa bernafas lega. Kita nantikan perkembangan selanjutnya.

Canangkan Unair sebagai Comprehensive University

Karunair, Kampus C. BEM Universitas Airlangga menyelenggarakan Seminar Pendidikan pada Senin (23/5) kemarin. Kali ini diusung sebuah tema menarik, yakni tentang Rekonstruksi PTN : Menuju Pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Selama ini banyak hal yang menyorot kelahiran otonomi kampus. "Banyak yang salah tafsir. Ada yang menilai itu privatisasi dan komersialisasi kampus. Padahal tidak demikian," tutur Patono Suwignjo, PhD, tim persiapan ITS BHMN.

Tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Rektor Unair, wakil Rektor ITS melalui tim ITS BHMN, LBH Surabaya, serta BEM IPB dan UGM. Yang menarik, acara ini dimoderatori mahasiswa sendiri, melalui BEM Unair sebagai tuan rumah. Seminar yang mengundang perwakilan beberapa BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ini, digelar di gedung Karunair lantai III, Kampus C, Mulyorejo.

Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Med. Puruhito, dr., sedikit menjelaskan tentang apa itu kerakyatan dan mandiri. Menurutnya, dalam kerakyatan ada keadilan dan ada suara rakyat. Versi Indonesia menyebutkan adanya kebijakan perwakilan. Sedangkan mandiri identik dengan otonomi. "Otonomi di Indonesia tidak ada yang independen. Buktinya, PTS itu otonom, tapi masih juga berada di bawah Dikti," terang Rektor Unair. Sekarang ini Indonesia memiliki 82 PTN dan 2236 PTS, akan tetapi jumlah mahasiswanya hanya 3,5 juta orang. "70 % diantaranya ada di Jawa. Malah kini Kopertis sedang melacak 70 PTS Jatim yang harusnya ditutup karena tidak memenuhi standar," ungkap Rektor.

Banyak kampus yang sudah terlebih dahulu menyandang status BHMN, menyebut dirinya sebagai research university. Unair menyadari bahwa itu tidak mudah, dan saat ini kita memang harus realistis. "Saya tahu betul bahwa kampus luar negeri yang sudah menyebut dirinya sebagai research university, mereka siap menyediakan $ 2,4 milyar untuk penelitiannya. Oleh karenanya, saya hanya mencanangkan Unair sebagai comprehensive university. Berkonsentrasi pada teaching dan riset," papar Prof. Puruhito.

Sehubungan dengan status BHMN, Unair mengaku sudah menerima surat dari Mendiknas agar bisa mengelola kampusnya secara otonom sesuai dengan peraturan yang berlaku. Badan hukum penyelenggaraan dan atau satuan pendidikan formal yang menempel pada BHP adalah sebuah realita otonomi kampus. Nantinya, BHP ini diawasi oleh masyarakat. Kemandirian Unair yang dimaksud, yakni dengan adanya sumber daya pendukung. Disamping itu, program harus bisa mencapai misi Unair. Sehubungan dengannya, Unair butuh dana abadi sehingga tidak ada kenaikan SPP lagi. "Bedakan ketidakmampuan otak dan ketidakmampuan finansial. Menjadi mahasiswa harus orang yang terpilih. Saya sangat prihatin dengan orang miskin yang otaknya tidak mampu," urai Prof. Puruhito. Rektor menyarankan, bagi mahasiswa yang tidak mampu hendaknya lari ke Poltek saja. Namun demikian, Unair tetap punya sensitifitas sosial. Menyediakan beasiswa bagi mereka yang memang punya potensi tetapi tidak mampu. "Sumber beasiswa kita ada 27 badan. Sekarang sudah 15 % mahasiswa kita yang disokong beasiswa," imbuh Rektor.

1

Page 2: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNSementara itu, pemahaman ITS tentang BHMN adalah Perguruan Tinggi (PT) yang diberi otonomi, terutama pengelolaan SDM dan keuangan. Agar dapat lebih berkualitas, efisien, transparan, dan bertanggung jawab. "Ada pergeseran peran. PT tidak hanya mencetak sarjana, tapi juga melakukan riset dan pengembangan. Harus bisa ditansfer kepada masyarakat, lalu juga beri manfaat ekonomis bagi masyarakat," terang Patono Suwignjo, PhD. Namun demikian, ITS mengisyaratkan kehati-hatian dalam menyongsong BHP. Karena ada perangkap di sana. "Kita beruntung karena bisa belajar dari 4 pilot project PT BHMN," imbuh Patono.

Untuk itu ITS punya 7 prinsip dasar. Yang mana dapat digunakan sebagai strategi BHMN/BHP. "Kita akui ada pemanfaatan aset, tapi itu untuk pendidikan," jelas Patono. Dari LBH Surabaya, juga berkesempatan menanyakan untuk siapa otonomi PTN itu ? "Kepentingan rakyat harus dilindungi dan diprioritaskan. Hak atas pendidikan belum terlihat mengimplementasikan Pasal 31 UUD 45," papar Syaiful Aris, SH.

Berikutnya, BEM dari IPB yang juga anggota Majelis Wali Amanah (MWA) menjelaskan bahwa ada banyak hal yang ingin dicapai dari BHMN. Ada pembangkitan income untuk pendapatan bagi IPB. Di lain pihak, BEM dari UGM getol menyorot kenaikan SPP yang ditengarai merupakan imbas dari otonomi kampus. "Tahun 2000 SPP kita Rp. 400 ribu, tapi pada tahun 2002 sudah ada kenaikan sebesar 150%," ungkap BEM UGM. Dalam hal ini, pemerintah belum mampu biayai pendidikan dengan maksimal, sedangkan kampus ingin kualitasnya ditingkatkan. Namun kita tetap butuh transparansi dan akuntabilitas. "Yang bikin berkualitas bukan status, tapi upaya untuk jadikan lebih efisien dengan otonomi yang lebih luas," terang Patono Suwignjo, PhD.

~ 25-05-2005 / ho*k ~

Depdiknas Bantah Keluarkan Berbagai Versi Draf RUU BHPSabtu, 19 Pebruari 2005 | 20:37 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional membantah pihaknya telah mengeluarkan draf Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dengan berbagai versi. Mengenai adanya beberapa versi berbeda ini, menjadi keluhan dalam rapat dengar pendapat umum antara komisi X DPR dan empat penyelenggara pendidikan, Rabu sebelumnya (16/2).

"Tidak pernah ada versi yang berbeda, yang kami ajukan nanti tetap satu," ujar Dodi Nandika, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Sabtu (19/2). Menurutnya, sampai saat ini pihaknya masih menggodok RUU BHP ini.

Sebelumnya, terungkap dalam rapat dengar pendapat umum antara komisi X DPR dan empat penyelenggara pendidikan, diantaranya Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI), Rabu (16/2), tentang versi yang lebih dari satu itu. Menurut Thomas Suyatno, Ketua Umum ABPPTSI, terdapat setidaknya tiga buah versi draf RUU BHP yang beredar di masyarakat. "Semuanya dikeluarkan institusi di bawah Departemen Pendidikan Nasional, masing-masing isinya berbeda," ujarnya kepada Tempo saat itu.

Terhadap keluhan ini, Heri Akhmadi, Ketua Komisi X DPR menyatakan, akan segera meminta pemerintah menetapkan draf Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang akan diuji publik. Hal ini untuk mencegah kebingungan di berbagai kalangan masyarakat terkait dengan adanya beberapa versi draf RUU tersebut.

Sedangkan menurut Dodi Nandika, kemungkinan adanya tanggapan seperti itu disebabkan karena adanya kesalahpahaman. "Memang ada beberapa draf yang berbeda. Tapi perbedaan itu sifatnya sequential, berkembang dari waktu ke waktu dalam pembahasan," ujarnya lagi.

Menurut Dodi, draf RUU BHP yang digodok pemerintah, masih dalam tataran penyempurnaan. Karenanya, menurut dia, berbagai perubahan terus dilakukan yang disesuaikan dengan aspirasi dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat dan dewan. "Berbagai perubahan inilah yang mungkin ditanggapi sebagai adanya versi yang beda. Itu salah," ujarnya.

PTS Bebas Pilih Bentuk Badan Hukum PendidikanUntuk bersaing dengan universitas negeri yang kini sudah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi swasta perlu mencari terobosan dan kiat memanajemen dan mengelola pendidikan secara lebih dinamis, efektif dan mumpuni. ''Dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan yang tengah kami susun ini, kami harapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia sehingga memiliki dasar hukum yang kuat.,'' kata anggota tim perumus RUU BHP dari Institut Teknologi Bandung, Prof Dr Djoko Darsono di Bandung, beberapa waktu lalu.

Dia menilai, dengan berubahnya zaman maka secara otomatis lembaga-lembaga pendidikan swasta harus mencari cara mendapatkan ruang gerakan kiprah yang sama dalam meningkatkan kualitas. Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai masalah sumber daya manusia (SDM) yang harus ditingkatkan. "Untuk meningkatkan SDM, sebaiknya pembangunan-pembangunan fisik sementara diberhentikan dahulu atau dibatasi. Semua dana dialihkan untuk investasi SDM, seperti untuk membiayai studi lanjut dosen-dosen, menambah kelengkapan peralatan laboratorium atau menambah laboratorium," ujarnya.

2

Page 3: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNMenurutnya BHMN bagus untuk dijadikan model tetapi pemerintah jangan memaksakan PTS menjadi badan hukum yang sama dengan universitas-universitas yang menjadi BHMN.

Pemerintah untuk melaksanakan fungsi fasilitator dalam pengawasan pergeseran paradigma keseragaman menjadi paradigma pluralitas. Keberagaman bentuk Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi harus diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikan tinggi dan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).

Dalam RUU BHP itu nantinya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) bebas memilih Badan Hukum Pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing BP PTS.

Dalam RUU BHP, peran yayasan tidak ada lagi. Selain itu, para pengurus yayasan yang notabene merupakan stakeholders pendidikan, mendapat tempat yang lebih terhormat dalam sebuah institusi tertinggi di universitas bernama Majelis Wali Amanah, yang di Amerika atau Eropa dikenal dengan istilah Board of Trustee.

BHP adalah badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang mempunyai fungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana untuk memajukan satuan pendidikan.

Satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum diperuntukkan bagi pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Dilihat dari RUU yang sedang dibahas, kelahiran BHP sangat prematur. Sedangkan kalau acuannya berdasarkan PP No 61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, dasar hukumnya kuat, tetapi sasarannya tidak tepat.

Karena dalam PP tersebut termaktub jelas hanya untuk empat perguruan tinggi negeri untuk UI, ITB, IPB dan UGM. Bila RUU, Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menjadi UU yang di dalamnya mengandung konsep BHP diluluskan, konsekuensinya ada dua. Pertama, yaitu setiap penyelenggara pendidikan yang bernaung di bawah yayasan haruslah menjadi BHP, karena secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 58 ayat (1), satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Konsekuensi kedua, yayasan tetap berdiri, tetapi setiap satuan pendidikan, tiap jenjang satuan pendidikan, SD, SLTP, SMA dan PT yang dikelola yayasan dibuatkan badan hukum pendidikan tiap satuan pendidikan. Kemungkinan konsekuensi ini akan merepotkan dan menyibukkan yayasan yang memiliki banyak sekolah. Yayasan akan membuatkan akta notaris bagi satuan pendidikan untuk membentuk BHP.

Oleh karenanya, boleh jadi kemungkinan konsekuensi kedua bisa diabaikan. Bila kemungkinan konsekuensi pertama yang dimaksud, keberadaan BHP menjadi lebih kuat, karena keberadaan penyelenggara satuan pendidikan secara khusus didukung oleh UU Sisdiknas.

Sayangnya bahasan hukum yang mengaitkan hubungan yayasan dan badan hukum pendidikan tidak ada, bahasan BHP pun hanya secuil, sepotong-potong dan tidak terkait satu sama lain dengan perangkat hukum lain. Tidak terkait satu instansi dengan instansi lainnya. Apalagi memuat mekanisme perubahan yayasan menjadi BHP.

Paradigma hukum menyangkut Yayasan menurut UU No 16/2001 adalah organisasi sosial nirlaba, dan amat berbeda dengan BHP yang menurut PP No 61/1999 yang dikelola secara profesional seperti layaknya sebuah badan usaha. Kontradiksi menambah dunia pendidikan kita semakin ruwet, dan carut marut.

Keberadaan BHP masih mengundang tanda tanya besar, apalagi belum didukung tersedianya perangkat hukum seperti undang-undang (masih RUU), peraturan pemerintah apalagi Kepmendiknas. Kita masih menantikan sikap reaktif pemerintah mengoordinasikan lembaganya yang lintas departemen untuk mampu menelurkan keberadaan BHP sebagai pengganti yayasan pendidikan.

Semoga hingar-bingar kisruh kasus ini tidak melemahkan semangat para pejuang pendidikan kita. (ADI/E-5)

Sumber: Suara Pembaruan

Untuk pertamakalinya sejak diundangkan perguruan tinggi menjadi BadanHukum Pendidikan (BHP), Universita Negeri Malang menjadi salah satuperguruan tinggi dari 13 Peguruan tinggi di Indonesia, yang berhakmendapatkan dana hibah sebesar 6,5 milyar, untuk menjadi BHP.

Rektor Universitas Negeri Malang, Profesor Doktor Imam Syafi’i, kepadawartawan mengungkapkan, bahwa pada tahun akademik 2006,2007 ini,universitas negeri malang, secara resmi telah menjadi salah satuperguruan tinggi, dari 13 perguruan tinggi di Indonesia, yang ditunjukdirjen Dikti             Depdiknas, menjadi Badan Hukum Pendidikan(BHP). untuk menerima dana hibah kompetisi sebesar 4,5 milyar. Ataspenunjukan tersebut, Universitas Negeri Malang berhak menerima danaprogram kompetisi peguatan Institusi Perguruan tinggi negeri, sebesar4,5 milyar, dana hibah program kompetisi teknologi informasi sebesar 1milyar, dan dana penyelenggaraan S1 PGSD sebesar 1,25 Milyar.

Lebih lanjut, Rektor menjelaskan dengan keberhasilanUniversitas Negeri Malang menjadi BHP, maka pihaknya telah menyiapkanrencana strategi jangka panjang pada 4 tahap, yakni tahapkonsolidasi-reorientasi, tahap otonomi atau mandiri, tahap improvisasi,dan tahap idealisme. Selain itu, Imam Syafi’i juga menegaskan bahwadengan status BHP yang disandang Universitas negeri Malang saat ini danmasa

3

Page 4: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNmendatang, tidak akan berimbas pada peningkatan biaya perkuliahan.Ini dikarenakan, pihaknya akan mengoptimalkan pengelolahan seluruhunit-unit usaha Universitas Negeri Malang.

Ada Kesan Otoriter dalam RUU Badan Hukum Pendidikan

Mohammad Saihu (16 Mei 2006)

“Kesan saya, RUU BHP menunjukan “prinsip otonomi” dan “prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah” ditafsirkan oleh penguasa (pemerintah) sebagai prinsip-prinsip yang “mutlak ditentukan sendiri oleh Pemerintah.”

Demikian di antara kesan yang disampaikan Sekretaris KHN, Mardjono Reksodiputro dalam kata sambutan Dialog Interaktif, bertajuk “Quo Vadis (Arah) Badan Hukum Pendidikan Tinggi (Negeri/Swasta), di Hotel Acacia – Jakarta, 16 Mei 2006.

Hadir sebagai narasumber dalam Dialog Interaktif itu, antara lain;

1. Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

2. Aan Rohanah, M.AG. Anggota Komisi X DPR RI (Bidang Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan)3. Prof. Dr.Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia

4. Prof. Dr. Soedijarto Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia & Guru Besar UNJ

Berikut ini naskah sambutan yang dismapiakan Prof Mardjono Reksodiputro SH MA:

Assalamualaikum Wr.Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

Beberapa tahun yang lalu, pada awal kita memasuki abad ke-21 ini, pemerintah telah mengubah beberapa universitas dan institut negeri (UI, UGM, UNAIR, IPB dan ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara. Sepanjang pengetahuan saya evaluasi tentang “bentuk korporasi” (corporate structure) perguruan tinggi negeri (pemerintah; dibiayai dari APBN) ini belum selesai. Namun, dalam tahun 2003 melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20/2003 tentang Sisdiknas) telah diperintahkan (“diamanatkan”) untuk menerapkan prinsip “otonomi” dan “manajemen berbasis sekolah/madrasah” dengan melalui pembentukan “Badan Hukum Pendidikan” (disingkat BHP).

Pada saat ini sedang ada RUU tentang BHP, yang beredar dan didiskusikan berbagai kalangan pendidikan dalam masyarakat. Komisi Hukum Nasional (KHN-RI) bertugas antara lain memantau isu-isu hukum yang relevan bagi pembaharuan atau reformasi hukum yang sedang berjalan sekarang. Karena itu, KHN sebelum menyampaikan pendapatnya kepada Publik dan Pemerintah merasa perlu menyelenggarakan diskusi ini. Dari hasil diskusi, KHN akan menyusun suatu memorandum tentang isu-isu hukum terpenting yang (mungkin) akan ditemukan dalam perjalanan perubahan dunia pendidikan nasional kita dengan adanya BHP ini. Itulah tujuan umum dari pertemuan pagi sampai siang hari ini.

Kesan pertama, secara sepintas RUU ini adalah hanya suatu peraturan perundang-undangan di bidang (hukum) administratif yang ingin mengelola secara lebih baik sistem pendidikan nasional kita. Dari Bab III (Pendirian dan Pengesahan) sampai Bab IX (Penggabungan, Akuisisi dan Pembubaran) arah pengaturannya lebih merupakan “pedoman kerja” yang menginginkan “keseragaman” bentuk dan sifat organisasi dari korporasi yang diberi nama “Badan Hukum Pendidikan” atau BHP ini. Bagi saya kesannya “mulia”, menginginkan “pelayanan prima (terbaik) untuk peserta didik”, dengan melalui prinsip-prinsip “nirlaba, transparan, akuntabel dan jaminan mutu”. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pengelolaan dengan tujuan mulia ini akan menerapkan “prinsip otonomi” dan “manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Tentu kita dapat berdebat panjang-lebar tentang pengertian atau penafsiran kita mengenai (paling tidak) enam prinsip diatas. Tetapi itu bukan maksud kita dalam diskusi kali ini. Bagi saya (pribadi) kesan kedua yang lebih menarik (atau dapat dikatakan telah mengejutkan), yaitu apa yang “tersurat” dan “tersirat” dari Bab X (Sanksi Administratif), Bab XI (Ketentuan Pidana), dan Bab XII (Ketentuan Peralihan).

Kesan kedua ini, menurut saya (pribadi), menunjukan bahwa “prinsip otonomi” dan “prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah” ditafsirkan oleh penguasa (pemerintah) sebagai prinsip-prinsip yang “mutlak ditentukannya” (ditentukan sendiri oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah). Pelanggaran Anggaran Dasar BHP, Anggaran Rumah Tangga BHP dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (?), langsung dapat membatalkan keputusan BHP, atau dicabutnya izin (operasional) BHP dan/atau membatalkan pengesahan BHP. Kesan “otoriter penguasa” dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional sangat kental disini. Juga kalau kita lihat Bab XI (Ketentuan Pidana), terkesan adanya “rasa curiga” dan “rasa panik dengan situasi pendidikan sekarang”, kalau kita lihat ancamannya : 5 tahun dan 20 tahun pidana penjara, dan (kumulatif) denda 5 miliar rupiah dan 20 miliar rupiah!

Terakhir dari catatan kecil saya, ketentuan peralihan (Bab XII) rasanya juga kurang melihat kenyataan lapangan di Indonesia. Mungkin untuk BHMN UI, UGM, UNAIR, IPB dan ITB, kewajib mengubah bentuknya dari BHMN menjadi BHP tidak mengandung banyak permasalahan. Mungkin, karena “merasa telah mencuri start” kurang lebih 3 tahun (2003-2006). Tapi bagaimana dengan

4

Page 5: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNratusan (beberapa ratus, mendekati ribuan?) satuan pendidikan formal yang ada di masyarakat (didirikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat!) yang dalam 6 (enam) tahun harus berubah wujud menjadi korporasi (Badan Hukum Perdata) dengan sebutan BHP (Tinggi, Dasar dan Menengah). Apa yang telah terbentuk sebagai “budaya hukum” (nilai, norma dan cara bersikap serta bertindak) dalam dunia pendidikan tinggi, dasar dan menengah, baik negeri maupun swasta di Indonesia selama 50 (limapuluh) tahun (setengah abad) ingin diubah melalui suatu peraturan dengan aparat birokrasinya dalam 6 (enam) tahun. Mungkinkah? Wallahu A’lam!

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Terima Kasih.

Jakarta, 16 Mei 2006

Dalam RUU BHPLembaga Pendidikan Akan Dikelola secara Korporatif

21-02-05

Jakarta, Kompas - Dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, pengelolaan pendidikan diamanatkan bersifat nirlaba namun dikelola secara korporatif atau seperti badan usaha. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat diharapkan berkembang pesat dengan kinerja bersaing.

Peran pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan secara perlahan akan digantikan masyarakat. Pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator ketimbang sebagai regulator atau operator hukum.

Rancangan perundangan tersebut mengatur segala jenjang pendidikan formal, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Seperti dikatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dodi Nandika, Sabtu (19/2), pembicaraan terakhir Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di internal Balitbang sekitar dua pekan lalu atau awal Februari. Namun, pembahasan itu belum final dan rancangan akan terus disempurnakan. Diperkirakan, awal Maret akan keluar revisi terbaru sesuai dengan perkembangan dan masukan masyarakat.

Dia mengatakan, kontroversi yang berkembang seputar RUU menjadi hangat karena mengatur hal sangat substansial, yakni pokok-pokok penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan. Sejauh ini, pemerintah-dalam hal ini Depdiknas-yang sedang menyusun RUU BHP menginginkan agar rancangan tersebut memiliki nilai guna dan keterlaksanaan.

"Sampai sejauh ini masukan dari masyarakat cukup banyak. Pemerintah juga sangat terbuka dan masih menerima berbagai pendapat dan tidak keberatan jika ada pemrakarsa RUU BHP lain. Tetapi, sejauh ini draf yang ada setahu saya versi yang disusun Depdiknas," katanya.

Sesuai amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peraturan dan perundangan terkait harus selesai dua tahun kemudian. Berarti, termasuk RUU BHP, harus selesai sekitar Juli 2005.

Dorong kemandirian

Berdasarkan draf RUU BHP tanggal 1 Februari 2005-yang sementara ini merupakan rancangan terakhir, sebelum disempurnakan kembali-terungkap bahwa pasal-pasal dalam rancangan itu mengatur mulai dari anggaran, pendanaan, kekayaan, utang, pengelolaan akuntabilitas, dan pembubaran. Bahkan, ada ketentuan preventif terhadap kemungkinan kebangkrutan dengan persyaratan modal tertentu.

Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.

Dijelaskan, nirlaba berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Oleh karena itu, diatur pula, jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak.

Adapun penjelasan mengenai pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan dalam rangka mendorong kemandirian lembaga pendidikan. Prinsip kemandirian itu, misalnya, sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subyek hukum mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban.

BHP harus pula membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri.

Pembiayaan

Untuk sumber pemasukan, BHP dapat menerima sumbangan dan membuat komitmen utang guna membiayai investasinya pada sarana dan prasarana pendidikan atau membiayai operasi satuan pendidikan. Selain itu, BHP dapat menerima sumbangan dari

5

Page 6: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNpemerintah, pemerintah daerah, swasta, atau pihak lain. Bantuan dari pemerintah sendiri bersifat hibah. Sumbangan yang diinvestasikan untuk penyelenggaraan pendidikan dan bukan dari peserta didik, orangtua, atau wali murid itu tidak dikenai pajak.

Dalam Pasal 17 Ayat (2), juga tercantum, BHP dapat menambah kekayaan melalui kegiatan usaha yang sah sesuai anggaran dasarnya untuk meningkatkan kemampuan menyelenggarakan pelayanan pendidikan.

Selain itu, dapat pula dari sisa hasil usaha. Dalam Pasal 17 Ayat (5) disebutkan Sisa hasil usaha BHP diakumulasikan ke dalam modal BHP dan tidak dikenakan pajak. Kekayaan BHP juga tidak boleh dibagikan secara langsung atau tidak langsung.

Pasal 17 tersebut berkonsekuensi terhadap ketentuan sanksi seperti tercantum dalam, Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Anggota organ BHP atau perorangan lain yang melanggar ketentuan Pasal 17 dapat dipenjara paling lama lima tahun dan denda paling besar Rp 500 miliar. Sementara lembaga yang melanggar terancam penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 1 triliun. (INE)

Minggu, 08 Jan 2006 Rektor Sesalkan Mahasiswa

MALANG - Aksi penolakan RUU BHP yang digelar FMN (Front Mahasiswa Nasional) bertepatan dengan Dies Natalis Unibraw ke-43 Kamis lalu sangat disesalkan Rektor Unibraw Prof Dr Ir Bambang Guritno. Sebab, RUU tersebut murni dirancang dan akan ditetapkan oleh DPR RI, perguruan tinggi hanya sebagai pelaksana saja, termasuk Unibraw yang saat ini sedang menuju ke arah sana.

Karena itulah, meski tidak termakan emosi, Bambang sempat mengatakan bahwa aksi tersebut salah alamat. Mestinya, mahasiswa atau siapa pun yang tidak setuju dengan RUU BHP harus datang langsung ke DPR RI meminta penjelasan. "Saya sangat menyayangkan, Unibraw ini menuju arah yang lebih maju. Kenapa masih ada saja yang protes," ucapnya.

Sebab, dengan didoknya RUU BHP, perguruan tinggi memiliki hak penuh untuk mengelola rumah tangganya. Termasuk, mengatur keuangan dan tenaga kerja atau pegawai yang dibutuhkan. Selain itu, Unibraw juga memiliki kesempatan lebih luas mengembangkan potensi yang ada sehingga input yang didapat lebih maksimal. "Sebenarnya, dari awal sudah saya katakan. Status otonomi kampus atau istilahnya PT BHMN bukan berarti perguruan tinggi bersangkutan akan menaikkan SPP. Sama sekali tidak. Sebab, di sini akan berlaku subsidi silang penuh," bebernya.

Bukan itu saja, Bambang juga mengungkapkan jika selama ini masih saja ada miss komunikasi di kalangan mahasiswa tentang RUU BHP tersebut. Perlu dketahui, karena alotnya pembahasan RUU BHP, termasuk adanya pro-kontra di pemerintah pusat, akhirnya Unibraw sepakat tidak akan menunggu RUU BHP didok. Tapi, akan memanfaatkan Permen (peraturan menteri) seperti yang lakukan Unair. Dengan begitu, jalan menuju otonomi kampus semakin terbuka tanpa harus menunggu RUU BHP disahkan. Namun, jika nantinya RUU disyahkan,Unibraw hanya tinggal menyesuaikan saja. Ini karena format permen selaras dengan RUU BHP.

"Saat ini Unibraw masih dalam tahap revisi proposal. Setelah perbaikan, nanti dikirimkan kembali ke pusat. Biasanya, untuk verifikasi atau tinjauan pusat memakan waktu satu tahun. Jadi, kemungkinan besar 2007 Unibraw baru akan melangkah ke sana," beber dia.

Sementara, lanjut Bambang, untuk menjalankan konsep otonomi penuh pun, pihak kampus diberi waktu maksimal lima tahun untuk adaptasi dan menyusun semua kelengkapan. Namun, jika kurang dari lima tahun akan lebih baik. (nen)

Eksistensi PT BHMN dijamin dalam RUU BHP

31 Januari 2005Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Prof.Dr. Satrio Soemantri Brodjonegoro menegaskan, dalam RUU BHP eksistensi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMNH) akan tetap dipertahankan. Demikian ditegaskan Oleh Dirjen Dikti pada Rabu malam (26/01) dalam acara pertemuan dengan peserta rapat Koordinasi PT BHMN di Kampus UI Depok.

Pada kesempatan itu Dirjen Dikti atas nama Mendiknas mengharapkan masukan untuk perbaikan Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), yang dihasilkan dari pertemuan tersebut, dan juga usulan-usulan lain yang bisa disamapaikan kepada presiden, misalnya saja meminta keringana pajak pendidikan dan lain-lain. Hal ini menghapus keragu-raguan dari para peserta pertemuan, yang pada siang sebelumnya ramai memasalahkan draf RUU BHP yang tidak mengakomodir kedudukan perguruan tinggi yang sudah berstatus badan hukum milik negara.

Dirjen Dikti yang juga “membidani” kelahiran PT BHMN menyatakan, arah yang ditempuh dengan adanya model PT BHMN sudah betul, sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan tinggi. Dengan adanya RUU BHP, menurutnya ini suatu kesempatan

6

Page 7: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNuntuk meyakinkan masyarakat, model PT BHMN sebagai suatu sistem yang terbaik.

UU BHP tak Memarginalkan PTSJumat, 3 Juni 2005, 5:09 WIB

Pengesahan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi UU BHP dalam waktu dekat ini, tidak perlu dikhawatirkan akan meminggirkan keberadaan PTS (perguruan tinggi swasta) di Indonesia, termasuk PTS yang berada di Kota Bandung.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Prof. Johannes Gunawan, pada Rabu (1/6), menanggapi rencana disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP paling lambat Juli. "Pembuatan UU BHP sama sekali tidak bertujuan untuk memarginalkan PTS," tegas Johannes.

Karena itu, para pengelola PTS dan pihak terkait lainnya tidak perlu risau atas rencana disahkannya RUU BHP menjadi PP BHP. Justru, keberadaan UU BHP nantinya akan membuat sistem pendidikan nasional terjamin secara hukum.

Menurut Johannes, adanya misinformasi di masyarakat telah menyebabkan munculnya kekhawatiran, implementasi UU BHP akan memarginalkan PTS dan yayasan pengelolanya. "Timbulnya dugaan keliru dari masyarakat BHP memarjinalkan PT, akibat adanya misinformasi tentang BHP. BHP dibuat bukan untuk memarginalkan PTS, tapi untuk memberikan otonomi kepada PT dalam mengelola keuangan dan menentukan kebijakan sendiri," katanya.

Selama ini, lanjutnya, PTS kerap sulit untuk menerapkan kebijakan akademis secara murni. Pasalnya, di lapangan sering kali hal-hal yang sifatnya non-akademis mengintervensi kebijakan akademis PTS. Misalnya, suatu jurusan di PTS A sudah menentukan bahwa jumlah murid yang akan diterima pascamasa penerimaan mahasiswa baru adalah 100. Tetapi, kenyataannya PTS itu menerima 200 murid. Berarti, ada penambahan 100 murid dari jumlah awal yang telah disepakati sebelumnya.

Penambahan ini akibat adanya hal-hal nonakademis, seperti masalah keuangan, mengintervensi kebijakan akademis kampus. Akibatnya, jika dibiarkan akan berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi yang ditawarkan PTS itu. Karena itu, dengan adanya BHP, kejadian seperti yang dicontohkannya itu tidak akan terjadi lagi.

Persepsi salah

Terkait masalah yayasan yang mengelola institusi pendidikan baik PT maupun pendidikan dasar dan menengah, Johannes mengatakan, UU BHP tidak akan meminggirkan keberadaan yayasan. "Adalah persepsi salah, jika BHP dituding akan memarjinalkan yayasan. Yayasan tidak akan terganggu dengan adanya BHP," jelas Johannes.

Agar PTS ber-BHP, yayasan harus mendirikan BHP-nya terlebih dahulu. Caranya, yayasan datang ke notaris untuk mengesahkan anggaran dasar. Setelah itu, pihak notaris akan membawa anggaran dasar itu kepada Menteri Hukum dan HAM untuk disahkan menjadi BHP. Dengan melalui proses itu, PTS resmi ber-BHP.

Ia mengatakan, implementasi UU BHP bukan sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah. Makanya, Johannes pun tidak setuju atas tudingan, keberadaan UU BHP akan membuat pemerintah lepas dari tangung jawabnya mengurusi pendidikan nasional. "Ini tidak benar. UU BHP tidak akan membuat pemerintah melepaskan tanggung jawab mengelola pendidikan nasional," ujarnya.

Sebagaimana diamanahkan UUD dan UU Sisdiknas No. 20/2003, katanya, pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional. Dalam pasal amendemen UUD 1945 Pasal 31 disebutkan, pemerintah wajib merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN.

Johannes mengakui, meski saat ini tuntutan UUD belum bisa diwujudkan sepenuhnya. "Tentu saja realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, tidak bisa dilakukan secara sekaligus, tapi bertahap," jelasnya.

Sebagaimana ramai diberitakan di sejumlah media massa, rencana pengesahan RUU BHP menjadi UU menuai pro dan kontra. Masyarakat pro menyatakan, UU BHP akan membuat sumber dana penyelenggaraan pendidikan menjadi jelas. Pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat pun menjadi terjamin secara hukum. Yang kontra mengganggap, UU BHP membuat pendidikan dikomersialkan, dan keberadaan yayasan sebagai pengelola PTS akan terpinggirkan.

(Sumber: Pikiran Rakyat)

kedaulatan-rakyat.com ~ JAKARTA (KR) - Pemerintah akan mengatur penyelenggaraan setiap jenjang pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang kini sedang dibuat. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan berdasarkan jenjang itu merupakan hasil masukan dari masyarakat yang meminta adanya perbedaan pengaturan pada masing-masing jenjang.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas), Dodi Nandika, Rabu (16/2), pihaknya merasa perlu membuat segmentasi berdasarkan jenjang pendidikan.

7

Page 8: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMN"Hal itu harus dibuat karena karakternya berbeda-beda antara SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Untuk sementara segmentasi antara lembaga pendidikan negeri dan swasta belum perlu dibedakan," ujar Dodi.

Selain membedakan pengaturan berdasarkan jenjang, pemerintah juga berencana membuat formula untuk memberikan waktu tenggang kepada penyelenggara pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang baru itu. "Belum ada waktu pasti yang akan mengatur tenggang waktu itu, tetapi pada setiap peraturan pasti ada waktu tenggangnya. Masalahnya hal itu harus dilihat pada kondisi yang ada di lapangan," ujar Dodi.

Mengenai maraknya perdebatan mengenai RUU BHP yang dilakukan oleh berbagai kalangan, Dodi menilainya masih positif. "Masukan-masukan itu sangat positif bagi penyempurnaan peraturan, karena peraturan itu harus menyeluruh pada setiap aspek yang dilingkupinya. Jangan sampai ada sesuatu yang terlewat," jelas Dodi.

Sementara itu, Rektor Universitas Trisakti, Prof Toby Mutis menyatakan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang akan mewajibkan setiap lembaga pendidikan memiliki badan hukum, tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan sosialisasi agar masyarakat, khususnya komunitas pendidikan, bisa memberikan masukan atas RUU tersebut.

"Kita tidak perlu mempersoalkan kewajiban berbadan hukum pada setiap satuan pendidikan sebab memang peraturannya sudah begitu. Selama tujuannya positif mengapa harus dipersoalkan. Yang penting pemerintah melakukan sosialisasi RUU BHP sehingga kelak UU tersebut mengakomodasi masukan publik ," katanya.

Dikatakan, status badan hukum pada lembaga pendidikan sudah bukan merupakan hal yang baru sebab di banyak negara umumnya universitas telah berbadan hukum. "Persoalannya saat ini di Indonesia kebanyakan satuan pendidikan dikelola oleh yayasan dan yayasan tersebut yang memiliki badan hukum. Sekarang dengan ada-nya RUU BHP, maka satuan pendidikan yang dikelola yayasan pun harus berbadan hukum," katanya.

Meskipun kelak perguruan tinggi telah berbadan hukum, lanjut Toby, tidak berarti kemudian aktivitasnya selalu terkait dengan urusan komersial.

"Meski sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sudah berbadan hukum, namun PTS harus tetap sebagai lembaga nirlaba yang memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Kita tidak menutup peluang akan terbuka kerja sama langsung dengan pihak ketiga karena dengan status badan hukum, lembaga pendidikan juga dapat melakukan transaksi hukum," katanya.

Namun di sisi lain, lanjutnya, status badan hukum PTS juga tidak menutup adanya peluang memperoleh subsidi dari pemerintah karena memang pemerintah memiliki alokasi anggaran untuk membantu perguruan tinggi negeri dan swasta.

Seperti diketahui, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) telah membuat RUU BHP yang menjadi salah satu amanat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). (Ati)-a.

Kontroversi Badan Hukum Pendidikan

Kps: 07-03-05

Angger P PramonoBELUM sempat menjadi wacana dan perdebatan formal di DPR, rencana pemerintah untuk membuat badan hukum pendidikan alias BHP sudah mendapat reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Ada yang mempersoalkan bentuk dan fungsi kelembagaan, independensi, prinsip-prinsip usaha, ekses komersialisasi, dan sebagainya. Namun, agar kita dapat memberikan sumbangan pemikiran yang lebih obyektif dan konstruktif, perlu kiranya kita menyimak baik-baik terlebih dulu pasal-pasal RUU BHP, untuk menangkap makna yang tersurat maupun tersirat.

PEMBUATAN RUU BHP adalah konsekuensi dari diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan. Semangat dan misi membangun BHP sudah sejalan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, yang menginginkan kemandirian (otonomi) pengelolaan pendidikan di daerah/satuan-satuan pendidikan.

Bukankah kemandirian atau otonomi lebih kondusif untuk membangun efisiensi dan profesionalisme? Sekolah yang otonom bahkan menjadi prasyarat bagi upaya melakukan reformasi sekolah dalam isu reformasi pendidikan di Amerika (Means dkk, 1993).

Yang kemudian dipersoalkan ialah bahwa sekolah sebagai badan hukum (BHP) satuan pendidikan dianggap menyerupai sebuah korporasi dalam dunia bisnis, sehingga ekses terjadinya komersialisasi pelayanan pendidikan akan sulit dihindari. Ini sebuah kekhawatiran yang cukup beralasan, terutama dalam konteks lingkungan pendidikan negeri yang lebih menonjol sebagai public goods services.

Upaya "memagari" lembaga sekolah agar tidak terjerumus ke komersialisasi tentunya perlu dilakukan. Tetapi, dalam RUU BHP, "lubang" untuk terjerumus ke sana tampaknya justru dibuka.

8

Page 9: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNPrinsip nirlaba yang sebenarnya dimaksudkan untuk memagari ekses komersialisasi itu agak dibelokkan. Pasal 4 Ayat (2) RUU BHP menjelaskan bahwa nirlaba diartikan sebagai "tidak memperoleh sisa hasil usaha, atau jika ada sisa hasil usaha, maka keseluruhan sisa hasil usaha diinvestasikan kembali". Kemudian dijelaskan bahwa investasi seluruhnya itu dapat dilakukan dalam bentuk Dana Cadangan Pembangunan Pendidikan (DCPP), yang harus dikelola dan dibukukan terpisah dari kekayaan dan utang BHP. Selanjutnya, seluruh pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan DCPP diakumulasi dalam kekayaan neto. Walaupun ditegaskan kekayaan neto harus diinvestasikan untuk memperluas pelayanan pendidikan dan/atau meningkatkan mutu pendidikan, namun (terbuka) kesempatan untuk mengelola DCPP menjadi peluang untuk berbisnis. Terlebih ada "insentif" tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Kita mungkin dapat memahami bahwa maksud pemerintah memberikan kesempatan "memutar" dana itu ialah agar pada akhirnya BHP akan memiliki kekuatan finansial sendiri untuk mengembangkan sekolahnya (prinsip kemandirian). Namun, konsentrasi dan interes sekolah untuk mengelola dan mengembangkan pelayanan pendidikan dikhawatirkan akan terpecah ke pemikiran dan kegiatan pengelolaan "bisnis". Maka, barangkali akan "lebih aman" apabila otoritas mengelola uang itu tidak menjadi milik sekolah, melainkan BHP penyelenggara.

RUU BHP mengenal dua model BHP, yaitu BHP penyelenggara dan BHP satuan pendidikan. BHP penyelenggara adalah BHP yang berfungsi sebagai pemilik satuan pendidikan formal. Satuan pendidikan yang dimilikinya tidak boleh lagi berbadan hukum (=BHP). BHP satuan pendidikan adalah BHP yang berfungsi sebagai pemilik sekaligus pelaksana pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar, menengah, atau tinggi.

Dalam RUU tidak ditemukan alasan mengapa pemerintah merancang dua model tersebut. Ada kesan bahwa BHP penyelenggara diposisikan untuk kalangan swasta, menggantikan bentuk yayasan, sedangkan BHP satuan pendidikan lebih dimaksudkan untuk sekolah-sekolah negeri (Pasal 2 RUU BHP).

Yang lebih kontroversial adalah model BHP satuan pendidikan. Bayangkan saja, sekolah-sekolah yang semula hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan harus mengubah mind-set, visi-misi, strategi, dan perilakunya untuk menjadi pemilik sekaligus pelaksana/pengelola sekolah. Sebuah harapan yang terlalu muluk untuk kondisi sekarang ini, atau bahkan dalam kurun 10-15 tahun ke depan (ketentuan batas maksimum peralihan). Selain itu, apakah juga sudah dipikirkan berbagai implikasi negatifnya, terutama pada persoalan pengelolaan uang atau komersialisasi. Jadi mem-BHP-kan satuan pendidikan boleh jadi merupakan upaya yang agak kebablasan.

Dalam masa transisi sekarang ini, penerapan model BHP satuan pendidikan bisa juga justru menyulitkan pemerintah sendiri, yaitu apabila ingin menjalankan misi-misi khusus, seperti kebijakan wajib belajar. Bukankah mem-BHP-kan sekolah pada hakikatnya membuat sekolah independen, sehingga lebih tertutup terhadap intervensi. Sekolah lebih bebas mengatur dan menentukan sendiri kemauan, tujuan, atau strateginya. Sekolah juga memiliki kalkulasi-kalkulasi dan pertimbangan sendiri dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas kegiatan usahanya, yang mungkin tidak akan selalu harmonis dengan misi-misi tertentu pemerintah. Independensi BHP satuan pendidikan tercermin antara lain pada kewenangan Majelis Wali Amanah (MWA) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan kebijakan (Pasal 11).

Menggunakan model BHP penyelenggara mungkin akan lebih baik. Ini merupakan model yang kurang lebih mirip dengan yayasan penyelenggara pendidikan swasta. Namun, prinsip- prinsip nirlaba, mandiri, dan akuntabel ditegaskan dan diatur kembali dengan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas dalam RUU BHP. BHP penyelenggara lebih memiliki rentang "fleksibilitas" untuk "dimainkan" pemerintah, karena pemegang kekuasaan tertinggi dalam BHP penyelenggara adalah pembina yang dapat menjadi "agen" pemerintah dan tidak sedemokratis atau sekuat MWA dalam otonominya.

Jadi BHP penyelenggara dapat berperan ganda, yaitu sebagai agent of public interest untuk menjalankan misi-misi pemerintah, sekaligus sebagai "badan usaha" yang mandiri, efisien, dan profesional dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan. Juga ada pembagian tugas yang lebih serasi antara BHP penyelenggara sebagai pemilik sekolah dan sekolah itu sendiri sebagai pelaksana penyelenggaraan pendidikan. Urusan-urusan pengelolaan "bisnis" ditangani oleh BHP penyelenggara, sementara pengurus sekolah berkonsentrasi mengelola dan memajukan sekolahnya.

ADA segi positif lain dari RUU BHP, yaitu lebih jelasnya sistem dan mekanisme pengelolaan dalam rangka pencapaian school governance. Sebuah lembaga yang disebut MWA boleh jadi merupakan lembaga yang ideal untuk mendukung pencapaian school governance.

Disebutkan bahwa keanggotaan MWA sepertiganya adalah pendidik, sisanya terdiri dari anggota ex-officio (pemimpin sekolah dan seorang wakil pemerintah), orangtua/wali peserta didik, tenaga kependidikan, dan tokoh masyarakat. Mekanisme pemilihan anggota dilakukan secara demokratis, yaitu melalui pemungutan suara dengan hak suara yang sama. Fungsi komite sekolah dijalankan oleh MWA. Di sini prinsip akuntabilitas dan transparansi dilaksanakan, diperkuat dengan ketentuan yang mengatur kewenangan pemeriksaan oleh auditor independen.

Namun disayangkan bahwa lembaga MWA hanya dikenal sebagai organ sekolah yang berbentuk BHP (BHP satuan pendidikan). Sebaiknya lembaga semacam MWA tetap dijadikan sebagai organ sekolah walaupun tidak berbentuk BHP. Pembentukan MWA dapat diprakarsai oleh BHP penyelenggara.

Reformasi sekolah memang harus disertai dengan reformasi pendidikan yang lebih menyeluruh, menyangkut sistem yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah komitmen politik sebagai prasyarat. Oleh karena itu, sebagai bagian dari komitmen politik, RUU BHP patut kita sambut positif, di samping tentu saja harus kita kritisi secara konstruktif dan obyektif.

Angger P Pramono Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Jakarta9

Page 10: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMN 

Quo Vadis (Arah) Badan Hukum Pendidikan Tinggi (Negeri/Swasta)

oleh: Komisi Hukum Nasional

(Mei 2006)Membangun bangsa yang cerdas merupakan semangat, cita-cita dan tujuan bernegara (staatsidee) yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Pasal 31 UUD 1945 hasil perubahan Keempat, mempertegas semangat tersebut dengan menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara berkewajiban untuk memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD. Atas dasar itu, telah disahkan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan melalui Undang-undang.

Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator. UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip nirlaba. Di sisi lain, pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.

Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi. Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Konsep Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.

Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.

Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.

Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan - maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi.

Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.

Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes, misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar Menengah (BHDM)”. “Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT”.

Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?

10

Page 11: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNBerita yang menggembirakan dari Dikti adalah bahwa Unsri digolongkan dalam 16 universitas si Indonesia yang dianggap telah memiliki kemampuan untuk masuk ke BHP dan dengan demikian diharapkan segera mengajukan proposal ke Dikti. Surat lengkap Dirjen Dikti sbb:

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

JL. Raya Jenderal Sudirman Jakarta 10002

Telp: (021) 5731436 Fax. (021) 5731466

Email: [email protected] Homepage: www.dikti.org

Jakarta, 11 Mei 2006

No. : 1703/D/T/06

Lampiran : 4 (empat) berkas

Perihal : Perubahan status PTN menjadi PT BHP

Kepada Yth,

Sdr. Rektor

Perguruan Tinggi Negeri terlampir).

Dengan hormat,

Bersama ini disampaikan bahwa berdasarkan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi Saudara dinilai telah mempunyai kapasitas yang baik dalam pengelolaan akademik dan penjaminan mutu serta pengelolaan manajemen sumber daya perguruan tinggi, dua persyaratan utama yang

diperlukan untuk menjadi suatu Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan (PT BHP).

Sehubungan dengan itu, sejalan dengan kerangka pengembangan pendidikan nasional dan pendidikan tinggi khususnya, saya mengharapkan agar Saudara dapat mengajukan (atau menindak-lanjuti bagi yang pernah mengajukan) proposal perubahan status perguruan tinggi Saudara menjadi PT BHP dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Bersama surat ini saya lampirkan tiga naskah yaitu: (1) ’Kerangka Pemikiran Pembentukan Perguruan Tinggi Badan Hukum Pendidikan (PT BHP)’, (2) Guidelines for Development of A University as A Legal Entity’, dan (3) ’Butir-Butir Penting Penyusunan Proposal Perubahan Status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Menjadi PT BHP’, yang dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan proposal, melengkapi ketentuan dan peraturan lainnya.

Saya sampaikan pula, seandainya diperlukan, ’Komisi Khusus Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) untuk Evaluasi dan Monitoring Pelaksanaan serta Penetapan PT sebagai BHMN’ dapat memberikan presentasi dan diskusi mengenai pertimbangan dan langkah-langkah penyusunan proposal. Untuk itu Saudara dapat menghubungi Sdr. Sekretaris DPT.

Atas perhatian dan kerjasama yang diberikan, saya mengucapkan terimakasih.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

ttd

Satryo Soemantri Brodjonegoro

NIP.130889802

Tembusan:

1. Sekretaris DPT DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

11

Page 12: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMN JL. Raya Jenderal Sudirman Jakarta 10002

Telp: (021) 5731436 Fax. (021) 5731466

Email: [email protected] Homepage: www.dikti.org

Lampiran 1: Surat Dirjen Pendidikan Tinggi tanggal 11Mei 2006, No. 1703/D/T/06

DAFTAR PERGURUAN TINGGI NEGERI

1. Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo.

2. Universitas Brawijaya (UNBRAW).

3. Universitas Bengkulu (UNIB).

4. Universitas Diponegoro (UNDIP).

5. Universitas Hasanuddin (UNHAS).

6. Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED).

7. Universitas Padjajaran (UNPAD).

8. Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

9. Universitas Negeri Malang (UM).

10. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

11. Universitas Riau (UNRI).

12. Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT).

13. Universitas Sebelas Maret (UNS).

14. Universitas Sriwijaya (UNSRI).

15. Institut Teknologi 10 Nopember (ITS).

16. Universitas Udayana (UNUD).

Jurnal dan Siaran Pers

03-06-2005DIPERLUKAN REVISI TERHADAP RUU BHP

JAKARTA-Soedijarto dan Arief Rachman sepakat bahwa RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang BHP (Badan Hukum Pendidikan) perlu di revisi. Kesepakatan tersebut terkait belum sempurnanya RUU BHP yang sudah disusun oleh pemerintah. Soedijarto mengkhawatikan bahwa RUU BHP cenderung mengingkari amanat UUD 1945. Sedangkan, Arief Rachman mengkhawatirkan masih banyaknya pasal-pasal dan ayat-ayat yang masih krusial dan memerlukan pembenahan lebih lanjut. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. H. Soedijarto, MA dan Dr. Arief Rachman, M.Pd pada rapat Pleno PAH (Panitia Ad Hoc) III DPD RI pada Rabu (1/6) pagi dipimpin oleh Ketua PAH III Ali Warsito dan didampingi oleh Max Demetouw, dan Rusli Rachman.

Sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Soedijarto mengatakan, Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang prinsip dan ketentuannya termaksud dalam UUD 1945, menjadikan lembaga pendidikan dasar dan lembaga pendidikan tinggi negeri sebagai Badan Hukum Pendidikan, hakekatnya merupakan upaya mengingkari ketentuan dalam UUD 1945. Soedijarto berpendapat, bahwa RUU tentang BHP tidak meliputi SD dan SMP Negeri dan Swasta serta SMA Negeri. Hal tersebut menurut Soedijarto sebagai nara sumber diperlukan peninjauan kembali seberapa jauh prinsip demokrasi pendidikan (standard of excellenance) universitas negeri yang menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dijalankan. Serta perlunya pengawasan guna meminimalis penyelewengan dana diluar dana dari pemerintah untuk mahasiswa. “Hal ini menghindari mahasiswa dijadikan sebagai sapi perahan, “kata Soedijarto.

Sementara itu pemerhati pendidikan Arief Rachman mempersoalkan pembagian BHP menjadi dua yaitu BHP penyelenggara dan BHP satuan pendidikan. Dikhawatirkan Arief, terjadinya komersialisasi pendidikan karena lembaga pendidikan dikelola secara korparasi. “BHP dapat menghilangkan ciri khas masing-masing lembaga pendidikan (kultur, agama, visi dan misi), “kata Arief. Ada ketidak sempurnaan dari substansi RUU BHP.

Sependapat dengan Arief, Faisal Mahmud Anggota DPD asal Sulteng mengatakan, kurang sependapat dengan dikeluarkannya RUU BHP. Karena adanya indikasi pemerintah ingin melepas tangan terhadap permasalahan pendidikan yang disebabkan pembiayaan negara. Negara tidak mampu membiayai. “Seharusnya anggaran 20 persen dilaksanakan terlebih dahulu sebelum

12

Page 13: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNBHP lahir sedangkan UU sisdiknas belum sempurna, “katanya. Lebih lanjut dikatakan Faisal, keterkaitan antara harapan yang terkandung dalam UU Sisdiknas dengan kemampuan pendidikan tinggi dalam memberikan fasilitas pelayanan kepada masyarakat secara umum, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.

Pada kesempatan yang sama Wilhelmus Wua Openg Anggota DPD asal NTT mempertanyakan apa yang akan terjadi apabila tidak ada RUU BHP. Openg berpendapat, BHP dikeluarkan oleh pemerintah karena kontrol yang kurang.

Menjawab pertanyaan tersebut Arief menjelaskan, BHP merupakan konsekuensi dari keputusan MPR, selanjutnya Arief menjelaskan, apabila BHP bangkrut (termasuk Rektor/yayasan/komite sekolah, satuan pendidikan, guru, siswa) siapa yang bertanggung jawab. Arief mengusulkan, semua kebangkrutan harus diambil alih oleh pemerintah daerah. Disinilah peran DPD dapat memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. DPD bersama-sama dengan pemerintah daerah dapat melakukan pemetaan kesiapan daerah-daerah mana saja yang sudah siap dan belum siap melaksanakan BHP. “Perlu pemberdayaan unit-unit daerah dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, “ungkap Arief.

Menambahkan penjelasan sebelumnya Arief mempermasahkan, dalam Bab 9 RUU BHP tentang ketentuan preventif terhadap kemungkinan bangkrut. Arief mengatakan, preventifnya hanya pada masalah keuangan, tidak disebutkan preventif siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kebangkrutan. “Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap siswa yang sekolahnya bangkrut, “ujar Arief. Arief mengusulkan, pelaksanaan BHP dapat dikontrol dan diawasi, tetapi hal itu belum ada institusinya. Menutup dengar pendapat pada hari itu Arief menambahkan, perlunya mensosialisasikan RUU BHP. (neng)

Zuber Safawi, SHI, Ketua Komisi X DPR-RIPemerintah Lambat Ajukan RUU BHP ke DPR

Fraksi-PKS Online: RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) diperlukan guna mencegah kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan. Lambatnya proses

pembahasan RUU itu disebabkan pemerintah belum menunjuk instansi terkait sebagai mitra untuk membahas RUU itu dengan DPR.

Ketua Komisi X DPR RI Zuber Safawi mengemukakan hal tersebut saat membuka Lokakarya RUU BHP, yang diprakarsai anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, di Kantor FPKS DPR RI, Rabu (3/5).

Menurut Zuber, selama ini beban pembiayaan pendidikan menjadi faktor terhambatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Dengan dibentuknya sebuah badan hukum semacam BHP, segala hal yang membatasi akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan bisa  terpecahkan.  "Keberadaan BHP diharapkan bisa atasi hambatan ini," harap Zuber.

Selain itu, lanjut dia, keberadaan RUU BHP merupakan amanat UU No. 20/2003, dimana penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum.

DPR sendiri telah menargetkan RUU BHP selesai paling lambat akhir tahun ini, karena telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2006. Semestinya, kata Zuber, menurut Undang-Undang Sisdiknas pasal 75 Bab XXII, RUU BHP harus selesai paling lambat Juli 2005 lalu.

Lambatnya proses pembahasan RUU BHP, ungkap Zuber, karena DPR masih menunggu Surat Presiden yang menunjuk instansi yang akan menjadi mitra DPR. "Kita tunggu Surpres (Surat Presiden) agar ada mitra untuk membahas soal itu," katanya.

Namun demikian, Zuber memberi beberapa catatan terhadap draft RUU tersebut. Sejauh ini, katanya, pembahasan baru sebatas menyangkut peningkatan mutu pendidikan. Sementara, pembahasan yang menyangkut beban pembiayaan belum diakomodasi dalam draft RUU BHP.

Zuber menjelaskan, kendala dalam meningkatkan kualitas peserta didik dan tenaga didik, salah satu penyebabnya adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana. "Kewajiban pemerintah dan swasta dalam pembiayaan tersebut," ujarnya.

Senada dengan Zuber, Heri Suhardiyanto, Wakil Rektor II IPB, yang juga bertindak sebagai narasumber dalam Lokakarya tersebut berpendapat, RUU BHP harus memberikan jaminan agar ada bantuan untuk mahasiswa yang tidak mampu tapi pandai.

"Pemerintah juga perlu memberikan keringanan pajak untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat," desak Heri. (mca)

Jurnal dan Siaran Pers

07-06-2005USAKTI DAN MUHAMMADIYAH DUKUNG RUU BHP

13

Page 14: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMNJAKARTA-Usakti (Universitas Trisakti) dan Universitas Muhammadiyah menyatakan sebagai PTS (Perguruan Tinggi Swasta) mendukung RUU (Rancangan Undang-Undang) BHP (Badan Hukum Pendidikan). BHP bukan merupakan suatu masalah, karena akan memperkuat landasan hukum yang telah ada. Tinggal melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan undang-undang yang akan terbit nanti.

Akan tetapi, ada kekhawatiran bagi Universitas Muhammadiyah terkait dengan penyelenggara pendidikan yang memiliki beberapa satuan pendidikan di seluruh Indonesia, bila semua satuan pendidikannya yang ribuan banyaknya itu berstatus BHP. Terkait banyaknya kendala dengan kondisi yang berbeda-beda di tiap daerah. Namun bagi Universitas Muhammadiyah dengan adanya BHP, masih memerlukan pemikiran lebih lanjut karena dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dikemudiah hari. “Akan tetapi Universitas Muhammadiyah optimis mengikuti harapan pemerintah, “demikian dikatakan Ali Thaher dalam rapat Pleno PAH (Panitia Ad Hoc) III DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah) bertempat di Gedung B DPD RI, lantai 2, Senin (30/5). Rapat dipimpin oleh Ketua PAH III DPD RI Ali Warsito didampingi oleh Rusli Rachman dan Max Demetouw.

Raker PAH III DPD RI pada hari itu mengundang penyelenggara kegiatan pendidikan guna memperoleh pendapat, masukan ataupun saran tentang RUU BHP dan dampaknya terhadap keberlangsungan kegiatan pendidikan di Indonesia. Adapun PTS yang diundang yaitu Rektor Universitas Trisakti (Usakti), Prof. Dr. Thoby Muties dan dari yayasan yakni Universitas Muhammadiyah dihadiri oleh Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, H. M. Ali Thaher Parasong, SH, M.Hum.

“BHP merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan good governance quality melalui peningkatan mutu pendidikan, “ungkap Thoby. Namun Thoby mengharapkan, RUU BHP dapat sejalan dengan RUU Subsidi, karena ada keterkaitan antara harapan yang terkandung dalam UU Sisdiknas dengan kemampuan pendidikan tinggi dalam memberikan fasilitas pelayanan kepada masyarakat secara umum, sehingga tidak terjadinya komersialisasi pendidikan.

Thoby mengusulkan, diperlukan pengaturan dan pengawasan dana dari pemerintah dan di luar pemerintah untuk meminimalisir penyelewengan. Pengaturan juga untuk memperjelas kriteria PT s(Perguruan Tinggi) yang menerima subsidi dari pemerintah. “Karena PTS juga masih memerlukan subsidi dari pemerintah. Hal ini guna meringankan biaya kuliah mahasiswa, “ungkap Thoby.

Ditambahkan Thoby, ia mengusulkan dibuat UU Subsidi dan peraturan peralihan. Hal ini guna menghindari penyelewengan dan ketidakteraturan penyaluran subsidi.

Sementara itu Ali Thaher menegaskan, pemerintah hendaknya tidak memaksakan pemberlakuan RUU BHP ini karena harus memperhatikan disparitas yang ada antara satu dan lain perguruan tinggi, teristimewa dalam lingkungan pendidikan dasar dan menengah. “Perlu ada upaya percontohan dan pentahapan, sebelum menerapkan RUU BHP tersebut, “ungkap Ali.

Dikatakan Ali, perlu memperhatikan kemampuan penyelenggara dan satuan pendidikan dalam memperdayakan lingkungan yang ada pada daerah masing-masing, sehingga tidak terjadi generalisasi yang tidak menguntungkan bagi semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan di daerah tertinggal. Ali juga mengusulkan, RUU BHP hendaknya mengatur secara jelas antara kedudukan BHP penyelenggara dengan BHP satuan pendidikan.

Sementara itu Rusli Rachman mengatakan, hasil pandangan dan persepsi dari Usakti dan Muhammadiyah ditambah dari pendapat PAH III pada rapat hari itu akan dijadikan bahan untuk membuat pertimbangan kepada DPR RI. “Rencananya, RUU BHP akan dibahas oleh DPR RI bulan depan, “kata Rusli.

Menutup rapat pada hari itu, Ali Warsito beserta PAH III DPD RI akan mengecek terkait informasi yang diberikan Usakti dan Universitas Muhammadiyah pada hari itu. “Kita akan mengecek langsung ke lapangan segala informasi yang diberikan pada hari ini, “kata Ali. (neng)

Menyikapi Dampak RUU BHP Terhadap PT BHMN

26 Januari 2005

Universitas Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan koordinasi Perguruan Tinggi (PT) Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang berlangsung 26 – 27 Januari 2005. Pembukaan pertemuan dilakukan Rabu siang (26/01) di Lantai 9 Gedung Pusat Administrasi (PAU) Kampus Depok.

Kegiatan pertemuan ini dihadiri 6 perguruan tinggi yang sudah berstatus BHMN yaitu UI, IPB, ITB, UGM, USU dan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Selain itu hadir juga sebagai peninjau dari Universitas Hasanudin, Institut Teknologi 10 November Surabaya, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Jakarta.

Tujuan dari pertemuan ini yaitu membuat kesepakatan bersama usulan kepada pemerintah tentang RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan konsekuensinya terhadap BHMN. Kemudian akan memantapkan aspek legal PT BHMN dan memberikan masukan terhadap RUU BHP yang akan dipersiapkan menjadi UU. Diagendakan pula untuk membicarakan masalah transformasi SDM, sistem keuangan dan manajemen aset PT BHMN.

14

Page 15: Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

Wacana Mengenai BHMN - BHPMN

RUU BHP Pinggirkan Masyarakat tak Mampu

SEMARANG -- Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang telah selesai dibahas di Departemen Pendidikan Nasional, 11 Oktober 2005 lalu, dinilai masih memiliki banyak kelemahan. Pasalnya, semangat RUU BHP tersebut justru mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan pendidikan -- terutama pendidikan di perguruan tinggi -- dari pemerintah kepada masyarakat.

Sehingga, jika UU ini diberlakukan, masyarakat yang kurang mampu akan semakin sulit untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan di perguruan tinggi. ''RUU BHP ini kelihatannya manis, tapi sebenarnya malah meminggirkan kesempatan masyarakat kurang mampu,'' ungkap Anggota Balitbang DPP Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Haris, di Semarang, Senin (12/12).

Menurut Haris, meski UU tersebut mengatur swastanisasi pendidikan dengan 'label' peningkatan kualitas dan peningkatan daya saing (output) pendidikan, namun dapat menimbulkan diskriminasi pendidikan. RUU BHP, jelasnya, yang saat ini sudah masuk dalam tahapan sinkronisasi di Departemen Hukum- HAM untuk diajukan ke DPR RI, lebih terkesan didominasi kekuatan pengaruh pasar global atau pasar bebas.

Padahal, peningkatan kualitas pendidikan tak hanya dipengaruhi kekuatan dan kepentingan global. Namun, akan lebih arif jika diikuti dengan peningkatan partisipasi masyarakat. ''Jangan sampai hanya karena untuk kepentingan global, malah menurunkan partisipasi masyarakat,'' lanjut Haris. Saat ini, penerapan UU BHP di Indonesia sudah mulai diuji cobakan di UGM, ITB, IPB, dan UI. Salah satu dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Mahalnya pendidikan di perguruan tinggi ini, lanjut dia, justru itu dapat menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pendidikan.

Sebab, hanya orang yang mampu lah yang bisa mengeyam pendidikan di perguruan tinggi. Sementara, ketika RUU ini disetujui, maka anak-anak bangsa yang berpotensi tetapi kurang mampu secara finansial, bakal mengalami kesulitan dalam mendapatkan kesempatan belajar. Sedangkan yang pas-pasan tapi mampu membayar, akan terus bisa belajar. ''Ini sangat berbahaya bagi masa depan pendidikan bangsa ini,'' tegas Haris.

Dia juga menjelaskan, RUU BHP ini sebenarnya bertentangan dengan Mukadimah UUD 1945, pasal 28 C UUD 1945, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, serta UU Guru dan Dosen. Sebab, dalam peraturan hukum ini secara tersurat mencantumkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah. ''RUU yang disusun pemerintah seharusnya direncanakan dengan baik agar tidak bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan sebelumnya,'' ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Siti Aisah Dahlan, anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah berpendapat seharusnya DPR harus benar-benar mengkritisi RUU BHP ini agar tidak menyalahi amanat UUD serta bertentangan dengan UU tentang pendidikan sebelumnya. Seharusnya, lanjut Aisyah, dalam pembahasannya bukan hanya melibatkan perguruan tinggi. Tetapi, juga melibatkan masyarakat secara luas. ''Masyarakat harus ikut ditanya jangan sampai mereka ditinggalkan, pendidikan kan hak setiap warga negara,'' tandasnya.

Selain itu Pemerintah seharusnya bisa melibatkan BUMN dan swasta dalam memberikan perhatian pada peningkatan sumber daya manusia. Konsep beasiswa pendidikan dan Subsidi silang harusnya juga ditumbuhkembangkan. Konsep pendidikan kita, ujarnya, harus berani melibatkan pihak luar (swasta). Karena, merekalah yang akan menikmati hasilnya. ''Jadi wajar kalau mereka juga ikut berperan dalam prosesnya,'' tegas Aisah.

15