repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...metafisika...

111
METAFISIKA:NASR DAN NIETZSCHE (Studi Komparasi) Skripsi Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Oleh: Nama: Muhammad Ghifari Misbahuddin NIM: 11140331000004 PROGRAM STUDI AQIDAH& FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

Upload: others

Post on 02-Nov-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

METAFISIKA:NASR DAN NIETZSCHE

(Studi Komparasi)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin

Oleh:

Nama: Muhammad Ghifari Misbahuddin

NIM: 11140331000004

PROGRAM STUDI AQIDAH& FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

iv

ABSTRAK

Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat

secara global. Pertanyaan mengenai Ada, realitas, Tuhan, alam semesta dibahas

secara mendalam dalam metafisika. Karenanya, metafisika diistilahkan sebagai

filsafat pertama (proto philosophia). Pencarian akan Ada telah dimulai sejak zaman

di mana filsafat masih berupa embrio. Filsuf pra-Sokrates, melalui pengamatan

keteraturan (cosmos) alam semesta kemudian mempertanyakan asal-usul alam

semesta. Hingga pada akhirnya Plato merumuskan suatu dunia di balik dunia

senyatanya sebagai sumber dan asal muasal alam semesta. Dunia itu dinamakan dunia

Idea. Dunia Idea bersifat metafisis sebab ia melampaui dunia rill. Oleh karena itu

metafisika telah-selalu mengandaikan adanya suatu realitas yang melampaui dunia

rill.

Tetapi gagasan mengenai dualitas dari realitas itu di balik dalam Filsafat

Nietzsche. Nietzsche berusaha untuk keluar dari logika Plato dengan cara

mengandaikan suatu realitas yang non-hierarkis melalui afirmasi pada dunia rill. Bagi

Nietzsche, suatu Hinterwelt (dunia-di-seberang) adalah suatu kekosongan dan

menandakan kecacatan Kehendak seseorang sebab ia membutuhkan sesuatu di luar

dirinya agar dirinya utuh. Namun, upaya rekonstruksi Heidegger atas Filsafat

Nietzsche menunjukan, bahwa di balik wacana anti-metafisika dalam Filsafat

Nietzsche, terdapat sesuatu yang bersifat metafisis juga, yakni Kehendak. Di sisi yang

lain Nasr menganggap bahwa dekadensi moral dan lingkungan diakibatkan oleh

keabaian manusia, melalui wacana filosofis, terhadap Yang-Sakral. Yang-Sakral,

adalah Tuhan, harus dikembalikan sebagai jangkar wacana filosofis agar manusia

keluar dari kenestapaanya.

Skripsi ini disusun menggunakan metodologi riset pustaka (library research)

yang mana menggunakan dua sumber data, yakni sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber primer adalah buku yang ditulis langsung oleh tokoh yang diteliti,

sedang sumber sekunder merupakan sumber yang ditulis oleh orang lain yang

berkenaan dengan tokoh yang diteliti. Sumber primer dalam skripsi ini adalah buku

Knowledge and the Sacred dan Islam and the Plight of the Modern Man serta The

Gay Science dan The Will to Power. Sedang sumber sekunder dari skripsi ini adalah

buku The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr dan Gaya Filsafat Nietzsche.

Kata Kunci : Metafisika, Nasr, Nietzsche, Yang-Sakral, Kehendak, Transenden,

Imanen, realitas

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

v

KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim

Puji suykur bagi Yang-Sakral, Allah S.W.T, yang telah menganugerahkan

kehendak bagi manusia sehingga manusia bisa terus melanjutkan pengembaraannya

di dunia fana ini. Semoga kemuliaan dan kedamaian tercurah bagi Manusia Agung,

Insan al-Kamil, Manusia Melampaui, Nabi Muhammad S.A.W. Hanya melalui Yang-

Sakral, serta Manusia Agung barangkali penulis mendapatkan inspirasi untuk

menyelesaikan Skripsi ini.

Dengan segala upaya, serta kesukacitaan, skripsi yang berjudul

“METAFISIKA : NASR DAN NIETZSCHE” sampai ke batas akhirnya. Meski

skripsi ini penuh dengan ketidaksempuran, kesederhanaan cita rasa, serta hal-hal

lainnya yang menjadi kekurangan skripsi ini, barangkali kesemuanya itu yang akan

mendorong penulis untuk terus belajar, hingga pada cita rasa tertinggi. Selesainya

skripsi ini adalah berkat dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala hormat

penulis haturkan terimakasih kepada:

1. Dr. Edwin Syarif, M.A, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk menambah cita rasa dalam skripsi ini.

2. Dra, Tien Rahmatin, M.A, sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat

Islam serta Dosen Penasihat Akademik penulis. Dan juga seluruh staf di

lingkungan Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

vi

3. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Yusuf Rahman, M.A, beserta

seluruh staff dan pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

4. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Amany

Lubis, Prof. Dede Rosyada dan Prof. Komaruddin Hidayat, sebagai rektor

dimasa kuliah penulis.

5. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda Asep Hisamudin dan Bunda Lela

Kautsar, yang telah bersabar menanti kelulusan anaknya, serta tanpa lelah

mendukung studi penulis dalam banyak hal. Serta Mubasyirah Sultana

saudara penulis.

6. Romo A. Setyo Wibowo, selaku penulis buku Gaya Filsafat Nietzsche,

sebab melalui buku tersebut penulis memahami Pandangan Metafisika

Nietzsche , barangkali jika tidak ada buku tersebut, skripsi ini tidak selesai

7. Bung Dwi Pratomo, teman berdiskusi penulis, sekaligus mentor dalam

memahami gagasan Nasr dan Nietzsche. Bung Sahrul Latif, teman

seperjuangan penulis hidup di Ciputat.

8. Teman-teman AF angkatan 2014 teman seperjuangan penulis dalam

menempuh studi, dan Keluarga Besar Mahasiswa Cianjur PATWA SUCI

(Patali Wargi Mahasiswa Sunda Cianjur) yang telah membantu

memotivasi penulis.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang tidak bisa

disebutkan satupersatu. Terimakasih atas bantuan yang diberikan baik dalam

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

vii

bentuk material maupun immaterial. Semoga diberi ganjaran yang setimpal

dan menjadikan hal tersebut pahala, Amin

Ciputat, 14 Oktober 2019

Muhammad Ghifari Misbahuddin

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

Indonesia

a

b

t

ts

j

kh

d

dz

r

z

s

sy

Inggris

a

b

t

th

j

kh

d

dh

r

z

s

sh

Arab

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

ه

ء

ي

ة

Indonesia

gh

f

q

k

l

m

n

w

h

y

h

Inggris

gh

f

q

k

l

m

n

w

h

y

h

Vokal Panjang

Arab

أ

إي

أو

Indonesia

ā

ī

ū

Inggris

ā

ī

ū

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................................... ……i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................ …...ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ …..iii

ABSTRAK .............................................................................................................................. …..iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. …...v

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................................. ....viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... …..ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ …...1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ …...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................................. …..7

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... …..7

D. Manfaat Penelitian ................................................................................................. …...8

E. Tinjauan Pustaka .................................................................................................... …...8

F. Metode Penelitian .................................................................................................. …..9

G. Sistematika Penulisan ............................................................................................ ….11

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI METAFISIKA ................................................... ….12

A. Pengertian dan Sejarah Metafisika......................................................................... ….12

B. Wilayah Kajian Metafisika .................................................................................... ….17

B.1. Ontologi .......................................................................................................... ….18

B.2. Teologi Metafisika ......................................................................................... ….19

B.3. Antropologi .................................................................................................... .....20

B.4. Kosmologi ...................................................................................................... ….20

C. Filsuf dan Konsep Metafisika ................................................................................ ….21

C.1. Plato ................................................................................................................ ….21

C.2. Ibn Sina ......................................................................................................... ….23

BAB III PANDANGAN METAFISIKA NASR ..................................................................... ….26

A. Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr .................................................................... ….26

A.1. Latar Belakang Intelektual Nasr .................................................................... ….26

A.2. Karya-Karya Nasr ......................................................................................... ….33

B. Formulasi Metafisika Nasr ..................................................................................... ….36

B.1. Nasr dan Filsafat Perennial ............................................................................ ….36

B.2. Pentingnya Yang-Sakral Menurut Nasr ......................................................... ….41

B.3. Metafisika Transenden Nasr ........................................................................... ….45

BAB IV PANDANGAN METAFISIKA NIETZSCHE ......................................................... .....49

A. Riwayat Hidup Friedrich Nietzsche ....................................................................... ….49

A.1. Latar Belakang Intelektual Nietzsche ............................................................ ….49

A.2. Karya-Karya Nietzsche .................................................................................. .…56

B. Formulasi Metafisika Nietzsche ............................................................................ ….60

B.1. Nietzsche dan Filsafat Becoming ................................................................... ….60

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

x

B.2. Kehendak dalam Pandangan Nietzsche .......................................................... ….67

B.3. Metafisika Imanen Nietzsche ......................................................................... ….75

BAB V PERBANDINGAN PANDANGAN METAFISIKA NASR DAN NIETZSCHE ..... ….78

A. Persamaan Pandangan Metafisika Nasr dan Nietzsche : Sikap Nasr dan Nietzsche

Terhadap Modernisme ........................................................................................... ….78

B. Perbedaan Metafisika Nasr dan Nietzsche : Epistemologi Nasr dan Nietzsche .... ….84

BAB VI PENUTUP ................................................................................................................. ….95

A. Kesimpulan ............................................................................................................ ….95

B. Saran ...................................................................................................................... ….96

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. …….

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam diskursus Filsafat Barat, sebuah diskursus mengenai anti

metafisika berkembang sejak dikumandangkanya kematian Tuhan oleh Friedrich

Nietzsche. Kematian Tuhan Yang dikumandangkan Nietzsche dalam The Gay

Science – yang kemudian Nietzsche menganggap bahwa ia terlalu awal untuk

mewartakan hal ini – berangkat dari kritik Nietzsche akan tradisi filsafat

modern1.

“Si Orang Sinting. – Tidakah kalian pernah mendengar kisah tentang

orang sinting yang menyalakan lentera di siang hari bolong, berlarian

menuju pasar dan berteriak tanpa henti : “Aku mencari Tuhan! Aku

mencari Tuhan!” – karena banyak dari mereka yang berdiri di tempat

itu tidak percaya pada Tuhan, ia pun mengundang gelak tawa yang

ramai. “Apakah kita kehilangan Tuhan?” tanya seseorang. “Apakah

ia tersesat laiknya anak kecil?” tanya yang lain. “Ataukah ia

bersembunyi?” “Apakah ia takut pada kita?”, “Apakah Ia sudah pergi

mengembara? Berimigrasi?” – demikianlah mereka berteriak dan

tertawa.

Si orang sinting melompat ketengah-tengah mereka dan melihat

mereka dengan tatapan tajam. “Dimana Tuhan?” ia berteriak; “Aku

akan mengatakannya pada kalian. Kita telah membunuhnya – kalian

dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. 2

1 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, hlm 343

2 Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Penerjemah : Risalatul Hukmi, Yogyakarta:

Penerbit Antinomi. Hlm 183-184

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

2

Filsafat modern ditandai dengan keikutsertaannya akan pencarian sistem

pengetahuan (epistemologi) yang dimulai dari pencarian akan suatu fondasi yang

jelas dan tak-terbantahkan. Fondasi-fondasi tersebut diambil dari pernyataan

metafisis. Semisal klaim Descartes bahwa Tuhan telah menjamin baginya

kebenaran akan ide-ide yang jelas dan khas, yang ia gunakan untuk

membangkitkan struktur epistemologis dari pemikiran sederhananya mengenai

“aku berfikir maka aku ada”, dan disudahi dengan keberadaan segala sesuatu di

sekelilingnya. Kepastian yang dengannya Descartes menyatakan kebenaran akan

ide-ide yang jelas dan khas ia raih dari suatu wawasan metafisis mengenai sifat

tidak-menipu Tuhan. Jika Tuhan sempurna, sebagaimana seharusnya, maka tidak

memungkinkan Tuhan menipu/penipu, sebab hal tersebut akan menyiratkan

ketidak-sempurnaan Tuhan. Karena ide-ide yang jelas dan khas yang mana

Descartes temukan pada dirinya sendiri datang dari Tuhan, maka tidak mungkin

ide-ide tersebut salah dikarenakan Tuhan tidak memiliki sifat menipu. Dari poin

ini kita bisa menilai bahwa terdapat suatu pergerakan dalam epistemologi

Descartes dari suatu konsep fondasional (kejelasan dan kekhasan yang setara

dengan kebenaran) ke perkembangan suatu gambaran mengenai dunia3.

Permasalahan yang muncul seiring dengan pencarian sistem fondasional

(foundational system) adalah kerentanannya menghadapi premis fondasional.

Para positivis-logis melihat ini sebagai suatu kelemahan dari sistem epistemologi

filsuf modern. Sebab spekulasi metafisis mengenai Tuhan tidak didukung oleh

3 Owen Blayne Chapman, Tesis: The End of Metaphysics:Logical Positivism and

Postmodernism, Ontario: Queen’s University, hlm.2

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

3

fakta empiris. Oleh sebab itu, para positivis perlu mencari suatu sistem

epistemologi baru yang tidak mengabaikan fakta empiris. Suatu sistem

epistemologi baru yang berdasarkan pengetahuan a priori yang mengganti

sistem epistemologi metafisis. Serangan terhadap metafisika dalam Filsafat

Barat oleh kaum positivis-logis ini menjadi pengiring dari Kematian Tuhan4.

Kemudian wacana kematian Tuhan juga diamini oleh Martin Heidegger

sebagai akhir dari metafisika. Heidegger mengambil Wacana Kematian Tuhan

Nietzsche sebagai titik puncak sekaligus perayaan akan matinya metafisika5.

Konsep Nietzsche mengenai kematian Tuhan telah membawa pada suatu

pemahaman bahwa tidak ada nilai/kebenaran yang sebenar-benarnya,

dikarenakan realitas dari kebenaran itu sendiri. Dalam kata lain yakni Nihilisme.

Nihisme sendiri adalah tesis utama yang diajukan Nietzsche bahwa tidak ada

konsep yang “benar” secara fundamental mengenai hubungan antara dunia yang

mana manusia memiliki akses yang sebagaimana telah digunakan untuk

menjustifikasi teori manusia mengenai “bagaimana dan mengapa sesuatu

bekerja sesuai dengan apa tujuan mereka”. Nihilisme mewakili skeptisisme

radikal yang mempertanyakan tiap klaim kebenaran yang dianggap sebagai suatu

kebenaran yang diwahyukan. Nietzsche menggunakan skeptisisme ini untuk

berpaling dari gagasan mengenai kebenaran absolut.

4 Owen Blayne Chapman The End of Metaphysics:Logical Positivism and

Postmodernism,hlm.3

5 Owen Blayne Chapman,hlm.39

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

4

Dari poin tersebut, penulis menilai bahwa posisi Nietzsche secara khusus

dan Filsafat Barat secara umum pasca Nietzsche, menentang gagasan metafisika.

Spekulasi metafisis tidak lagi diperlukan sebagai suatu sistem epistemologi,

sebab pengabaiannya atas fakta empirik membuatnya tampak goyah. Lebih

khusus lagi Stephen Houlgate menulis dalam Hegel, Nietzsche and the Criticism

of Metaphysic: penentangan Nietzsche atas metafisika didasari dari

ketidakmampuan para metafisikus menghadapi aktualitas, rasa dengki terhadap

kefanaan, serta kebencian terhadap ide kemenjadian6.

Sementara itu, kekosongan pasca kematian Tuhan membawa Filsafat

Barat ke suatu Tuhan baru. Peng-iya-an secara naif terhadap kematian Tuhan

disambut dengan suka-cita. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jean-Paul Sartre,

kematian Tuhan menjadi syarat metodologis untuk berbicara tentang manusia

yang sesungguhnya7. Selama manusia dibicarakan dalam hubungannya dengan

Tuhan Tukang Cetak, filsafat tidak bisa berurusan secara penuh kepada manusia.

Manusia hanya bebas manakala Tuhan yang Maha Tahu dihilangkan. Selama

Tuhan semacam itu ada, maka pengetahuan manusia selalu terbatas dan

manusia tidak pernah bebas mengetahui. 8

Dalam skripsi ini, penulis ingin mempertemukan ide anti-metafisika

Nietzsche serta padangan Nasr soal dekadensi manusia modern yang disebabkan

6 Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge

University, hlm.38

7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , Yogyakarta: Kanisius, hlm.332

8 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 332

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

5

oleh matinya metafisika. Nasr memandang dekadensi manusia modern

diakibatkan oleh penolakan manusia moderm terhadap metafisika9. Implikasi

dari kebobrokan tersebut adalah salah satu diantaranya kerusakan alam.

Kerusakan alam dianggap Nasr disebabkan oleh anggapan bahwa alam perlu

diatasi.10

Ide Nasr, berkisar pada revitalisasi manusia melalui kesadaran

metafisika yang menjadi satu-satunya jalan keluar atas krisis yang dialami oleh

manusia modern. Penulis berusaha untuk dapat membandingkan pandangan Nasr

dan Nietzsche mengenai metafisika. Dalam skripsi ini nantinya penulis akan

mencoba memproblematisir posisi anti metafisika Nietzsche serta jawaban

Seyyed Hossein Nasr atas wacana anti-metafisika. Dukungan Nasr terhadap

wacana metafisika ini tercermin dari gagasannya mengenai Scientia Sacra (Sains

Sakral). Sains sakral/pengetahuan sakral adalah suatu pengetahuan akan yang rill

atau terkaitkan dengan pengetahuan yang dengannya manusia dapat

membedakan antara yang ril dan yang maya, dan dapat mengetahui sesuatu

secara ilahi11

.

Keduanya, baik Nasr maupun Nietzsche memiliki kritik terhadap

metafisika. Kritik Nasr pada Metafisika Barat berkisar pada reduksi seluruh

9 Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC

International Group, hlm. 5

10 Seyyed Hossein Nasr, hal.3

11 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New

York Press 1989, hlm 121.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

6

kualitas terhadap kuantitas. Reduksi kualitas terhadap kuantitas dimaknai penulis

sebagai reduksi yang-esensial dalam pengertian metafisis pada hal-hal materil

dan substanisal pada pengertian fisik.12

Sedangkan kritik Nietzsche pada

metafisika utamanya pada persoalan kepercayaan akan substansi, dalam suatu

dunia-ada (in „a world of being/ eine seiende Welt) , pada identitas dan bentuk

yang tetap (fixed), berkesinambungan (contionous), dan didefiniksan secara jelas

(clearly defined).13

Dalam pandangan Nietzsche, keperrcayaan akan sesuatu

yang identik dengan diri (self-identical), Ada (being/seiend) terbentuk dari

pendasaran sejumlah konsep yang telah dikukuhkan mereka sendiri, yakni

konsep-konsep tersebut, di dalam pemikiran kita. Di antara metamorfosis akan

ada seperti itu, Nietzsche mengikut-sertakan tubuh (The Body), Tuhan (God),

idea, hukum alam, rumus-rumus, dan yang lainnya, yang kesemuanya, bagi

Nietzsche hanyalah fiksi yang mendistorsi watak pengalaman kita yang lain

daripada biasa. Nietzsche mengeanggap mereka yang meyakini dunia real yang

lainnya, sebagai hasrat kabur dari penderitaan dan kesakitan. Inilah yang

dimaksud dari distorsi pengalaman yang lain dari biasanya.

Melalui kritik terhadap metafisika Barat, baik kritik Nasr dan Nietzsche,

skripsi ini memliki alasan yang kuat untuk ditulis. Kritik terhadap metafisika

Barat modern telah memunculkan pandangan berbeda diantara keduanya.

12

Seyyed H Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan 1993)

hlm. 38

13 Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge

University, hlm.39

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

7

Dalam skripsi ini penulis mencoba mempertemukan dua pemikir dari posisi yang

diametral dalam rangka membandingkan pendapatnya satu sama lain. Skripsi ini

tidak berpretensi menghakimi wacana anti-metafisika sebagai suatu hal keliru.

Sikap yang diambil penulis hanya membandingkan pandangan Nasr serta

Nietzsche mengenai metafisika. Eksposur dalam skripsi ini akan berfokus pada

persoalan metafisika; pendapat Nasr dan Nietzsche serta sanggahan Nasr

mengenai wacana anti-metafisika.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Nasr dan Nietzsche merupakan penulis yang berbicara mengenai banyak

hal, namun dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi pada pandangan

metafisika Nasr dan Nietzsche, sehingga dalam rumusan masalahnya sebagai

berikut:

1. Bagaimana Pandangan Nasr dan Nietzsche Mengenai

Metafisiska?

2. Apa persamaan dan perbedaan konsep metafisika Nasr dan

Nietzsche?

C. Tujuan Penelitian

Melalui batasan dan rumusan masalah diatas, skripsi ini ditulis dengan

tujuan sebagai berikut :

1. Memperkenalkan konsep metafisika baik perspektif Nasr

maupun Nietzsche

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

8

2. Membandingkan konsep metafiska baik perspektif Nasr

maupun Nietzsche

D. Manfaat Penelitan

Meskipun Nasr adalah tokoh yang sudah banyak dibahas oleh

sarjanawan, namun, hingga saat ini penulis belum menemukan suatu tulisan

yang meneliti konsep metafisika Nasr. Sekaligus memperkenalkan kritik Nasr

terhadap wacana anti-metafisika Nietzsche.

Dengan penelitian ini, diharapkan terdapat suatu nuansa segar bagi

pemikiran Islam khususnya Filsafat Islam. Sebab hingga saat ini tradisi Filsafat

Islam dianggap berada di ranah periferal dalam diskursus filsafat secara global.

Pengenalan akan konsep metafiska Nasr dan penyandingannya secara vis-à-vis

dengan wacana anti-metafisika merupakan suatu upaya agar di masa yang akan

datang para pemikir Islam dapat masuk pada wacana filosofis kontemporer.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pemikiran Seyyed Hossein Nasr nampaknya sudah

bertebaran dimana-mana. Seperti, pertama, skripsi yang berjudul “Manusia

Menurut Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis oleh Anis Lutfi Masykur di jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Dalam

skripsi tersebut Anis memfokuskan penelitiannya kepada pandangan Seyyed

Hossein Nasr terhadap manusia

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

9

Kedua, skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi

Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Lois Leahy” yang ditulis oleh Awad di

jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

Dalam penelitian ini ia hanya memfokuskan pada relasi antara sains dan agama.

Ketiga, disertasi yang berjudul “Respon Tradisionalisme Islam Terhadap

Krisis lingkungan: Telaah atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis

oleh Abdul Quddus di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2012. Disertasi ini mengajukan suatu alternatif atas krisis ekologi yang

terjadi dimasa modern ini, melalui “pembangunan berdasarkan spiritualitas

agama dan tradisi” yang di gaungkan oleh Nasr.

Keempat, skripsi yang berjudul Spiritualitas Bagi Manusia Modern

Dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr (Analisa Filsafat Perennial Terhadap

Materi Pelajaran dalam Masyarakat Modern) yang ditulis oleh Iman Nulhakim

pada tahun 2007 di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi

ini membahas mengenai spiritualitas, yang telah hilang dari manusia modern,

sebagai jawaban atas problematika pendidikan.

Kelima, skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemikiran Seyyed

Hossein Nasr Tentang Islam dan Pertemuan Agama-Agama dalam Buku Living

Sufism” di jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga yang ditulis oleh

Nurul Huda tahun 1996. Medan problematik dari skripsi ini ialah

memperlihatkan agama sebagai sesuatu yang multidimensional. Melalui itu,

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

10

pembacaan terhadap agama yang paling memungkinkan ialah pembacaan

spiritual. Skripsi ini mempersoalkan, kekeliruan manusia modern yang hanya

melihat segala sesuatu hanya dari satu dimensi saja.

F. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan penulis ialah deskriptif-komparatif, yang

menjelaskan terlebih dahulu pandangan Nasr dan Nietzsche lalu

membandingkan pandangan tersebut. Pendapat kedua tokoh akan didasarkan

pada sumber primer.

Penulis menggunakan metode riset perpustakaan, yaitu dengan

mengumpulkan literatur-lieteratur yang berkaitan dengan judul tulisan ini. Tentu

saja rujukan utama ialah buku Nasr yang berjudul “Islam and The Plight of

Modern Man”. “Knowledge and The Sacred” , “Man and Nature”. Dan sumber

sekundernya seperti dalam, “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr”.

Sedangkan untuk menyelami pemahaman Nietzsche mengenai

metafisika, penulis merujuk buku Nietzsche “The Gay Science” dan “Beyond

Good and Evil” penulis juga menggunakan sumber sekunder untuk menggali

pendapat Nietzsche mengenai metafisika seperti buku “Hegel, Nietzsche and the

Criticism of Metaphysic, “Gaya Filsafat Nietzsche.

.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

11

G. Sistematika Penulisan

Bab 1 berisi pendahuluan yang menerangkan tentang latar belakang

masalah, tentang alasan mengapa judul “Nasr dan Kematian Tuhan ; Pandangan

Metafiska Nasr dan Nietzsche” perlu diteliti, dan bagaimana penelitian ini dapat

menyumbangkan solusi bagi permasalahan tersebut.

Bab 2 akan membahas mengenai tinjauan umum mengenai metafisika.

Serta dalam bab ini juga akan membahas mengenai obyek kajian metafisika,

wilayah kajian metafisika dan beberapa filsuf dan konsep metafisikanya masing-

masing

Bab 3 akan membahas mengenai riwayat hidup Seyyed H. Nasr

kemudian dilanjutkan dengan formulasi pandangan metafisikanya melalui

filsafat perenial dan posisi Yang-Sakral diakhiri dengan penjelasan mengenai

metafisika transenden Nasr

Bab 4 akan membahas mengenai riwayat hidup Friedrich Nietzsche

kemudian dilanjutkan dengan formulasi pandangan metafisikanya melalui

Filsafat Menjadi dan Kehendak, serta diakhiri dengan penjelasan metafisika

imanen Nietzsche

Bab 5 akan membahas perbandingan pandangan metafisika Nasr dan

Nietzsche melalui Kritik terhadap modernisme dan pandangan epistemologinya.

Bab 6 berisi kesimpulan dan saran

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

12

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI METAFISIKA

Dalam Bab ini penulis akan membahas mengenai tinjauan umum metafisika.

Pembahasan tinjauan umum mengenai mengenai metafisika meliputi pengertian

metafisika, wilayah kajian metafisika serta pendapat filsuf mengenai metafisika.

A. Pengertian Metafisika dan Sejarah Metafisika

Filsafat bermula dari metafisika, secara historis. Pertanyaan-pertanyaan

apakah alam semesta itu; bagaimanakah asal-usulnya; apa itu realitas; apa itu hakikat

jiwa; apa itu tubuh; bagaimana hubungan antara jiwa dan tubuh? Adalah pertanyaan-

pertanyaan pertama yang menggelitik manusia yang kemudian mereka sendiri

berusaha untuk menjawabnya.1Rasa ingin tahu manusia pada akhirnya membawa

manusia pada pencarian akan kebenaran. Kemudian, pada akhirnya dari pertanyaan-

pertanyaan semacam itu, manusia mendapatkan berbagai macam jawaban yang

sekaligus melengkapi dan sekaligus bertentangan. Oleh karena alasan tersebut

metafisika sering dihadapkan dengan epistemologi2

Kata metafisika sendiri berasal dari penamaan 14 buku Aristoteles oleh

pustakawan Andronicus dari Rhodes.3 Ketika pustakawan mengatur, dan menyimpan

serta mendaftar karya-karya Aristoteles, Andronicus kesulitan untuk mengidentifikasi

1 James Iverach. “Epistemology”, Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings,

vol.5 (New York : Charles Scriber‟s Son‟s, 1995), hlm. 337 2 Alfred Cyril Ewing, The Fundamental Question of Philosophy, (New York:ColierBooks,

1962) 3 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics,

vol.14 no.4 (New York: Philosophy of education Society Inc), hlm. 601

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

13

dan juga menamai buku-buku tersebut4. Karena malu dan kurangnya pengetahuan

yang pasti ia menyimpannya di deretan setelah buku Physic Aristoteles. Oleh karena,

ia menyimpannya di deretan buku Physic Aristoteles ia menamainya dengan nama

([Ta] Meta [Ta] Phuisuka)5 –“ buku-buku yang [ada di daftar karya-karya Aristoteles]

setelah buku-buku Physic”. Aristoteles sendiri tidak pernah menulis kat “Metafisika”

dalam suatu karya apapun.6

Namun argumen mengenai kata metafisika yang lahir dari suatu tidak

kesengajaan nampaknya tidak dapat di pertahankan kembali. Pada tahun 1951

seorang sarjana yang berasal dari Prancis, P. Moraux membuktikan bahwa kata

metafisika telah digunakan jauh sebelum penamaan Andronicos. Moraux menyatakan

bahwa kata metafisika telah digunakan oleh Ariston yang menjadi filsuf Aristotelian

sekitar tahun 226 SM7

Metafisika kemudian dimaknai sebagai ilmu yang “melampaui” atau

“membelakangi” atau “jauh” atau “yang mendasari” seluruh ilmu pengetahuan,

4 Pada zaman Yunani kuno terdapat suatu aturan dimana pengarang menulis karyanya tanpa

diberi judul. Judul dari buku nantinya akan dibubuhi oleh pustakawan , ahli tata bahasa, sarjanawan,

juru tulis atau orang yang sering menggunakan peryataan-pernyataan yang menyolok , ungakapan atau

kata yang terkandung di kalimat pertama dari suatu karya. Dalam kasus Metafisika Aristoteles,

nampaknya, para sarjanawan tidak dapat memahami apa yang dianggap Aristoteles penting dalam

kalimat pembuka yang akan cocok sebagai judul yang tepat. Lih. Anton Hermann-Chroust, “The

Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics, hlm. 601 5 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,

hlm. 601 6 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,

hlm. 605

7 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysic ,

hlm. 611

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

14

termasuk ilmu sains alam. Hal ini di amini oleh Aristoteles dalam distingsi antara

prior dan “yang mendahului” (prior) dan “lebih dikenal” (better known) :

“ Now the terms „prior‟ and „better known‟ are used in two ways : that

which is „prior‟ or „better known‟ in the order of nature is quite different from

that which is „prior‟ and „better known‟ as far as we [our intellects] are

concerned …. Objects nearer to our senses are prior and better known to man;

objects without qualifications are prior and better known, and are further from

our senses. Furthest from our sense are the most universal causes”

(Term prior dan better known digunakan dalam dua cara : yang prior

atau yang-better known di dalam pemahaman alam, sangatlah berbeda dari

yang prior dan yang-better known sejauh ini kita [akal kita] anggap …. Obyek

yang lebih dekat pada akal kita adalah prior dan better known bagi manusia;

sedangkan obyek tanpa batasan adalah prior dan better known, sekaligus

lebih jauh pada akal kita. Yang paling jauh dari akal kita adalah sebab yang

paling universal.)8

Dari kutipan di atas penulis menyimpulkan bahwa; pertama, Aristoteles

mengandaikan suatu dunia yang “melampaui” atau “jauh” atau “menyudahi” dunia

fisis. Dimana sebab yang paling universal dilandaskan pada Aristoteles pada hal yang

paling jauh serta obyek yang tak terbatas. Kedua, bahwa cerita mengenai asal-usul

penamaan metafisika, tidak masuk akal jika hanya berlandaskan pada „ketidak-

sengajaan‟. Kutipan ini membuktikan bahwa kata metafisik adalah suatu rangkaian

yang saling berhubungan dengan buku Aristoteles sebelumnya yakni Physic.

Kita bisa melihat jejak-jejak bagiamana metafisika dianggap sebagai ilmu

yang “melampaui”, atau “ jauh” atau “yang mendasari” segala ilmu pengetahuan

dalam tradisi skolastik. Dalam tradisi skolastik, metafisika, kemudian, mengalami

pergeseran makna. Metafisika dipahami oleh para filsuf skolastik sebagai ilmu

tentang “yang-ada” atau “yang-rill” karena muncul “sesudah dan melebihi” fisika.

8 Aristotle, Posterior Analytics, terj. Johnatan Barnes , (Oxford University Press), hlm. 3

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

15

“sesudah” disini tidak dimaknai dalam arti temporal, tetapi bahwa obyek metafisika

berada pada abstraksi yang melampaui fisika dan matematika, yakni abstraksi ketiga.

Demikian juga kata “melampaui”, ia tidak menunjukan unsur spasial, melainkan

metafisika menempati hierarki tertinggi karena menempati jenjang tertinggi dari

semua kegiatan abstraksi.9

Jika kembali ke jaman Yunani, metafisika mengkaji sebab-sebab terdalam ,

prinsip-prinsip konstitusif dan teringgi. Aristoteles menamakan disiplin ini sebagai

Proto Philosophia (Filsafat Pertama) untuk membedakannya dari disiplin filsafat

yang masih berurusan dengan persoalan-persoalan fisik. Aristoteles ingin mencari

filsafat sebagai pengetahuan tertinggi manusia, yang tidak bisa diatasi lagi.

Metafisika sebagai filsafat pertama dan sejati ini menurut Aristoteles berpusat

pada „Ada sebagai yang Ada‟ (being qua being). „Ada‟ menjadi dasar segala-galanya.

„Ada‟ menjadi sifat yang melingkupi dan mendasari segala sifat lainnga. Dari sini

bisa dipahami bahwa objek material metafisika adalah segala yang ada. Ilmu ini

menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu

realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi, bukan bagian

tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi itu pada

tingkat sensibilitas (inderawi) atau intelejibel (rasio).10

Begitupun objek formal

metafisika adalah „Ada sebagai yang Ada, metafisika berbeda dengan bentuk

pengetahuan yang lain. Dalam refleksi metafisika, meja, kursi atau manusia di

9 Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,(

Yogyakarta : Kanisius, 1992) hlm. 15 10

Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) hlm. 24

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

16

tinggalkan. Metafisika hanya menyibukan diri dengan yang ada sebagai yang ada.

Metafisika tidak berurusan dengan apakah suatu itu berwarna atau tidak, berbau atau

tidak. Metafisika tidak memperkarakan sifat dari sesuatu melainkan Ada nya sesuatu.

Sebagai contoh, ketika melihat bunga, metafisika berbicara mengenai keberadaan

bunga tersebut. Apakah bunga itu „Ada‟? Atau apakah bunga „Aktual‟? maka secara

sederhana dapat dikatakan metagisika adalah suatu disiplin mengenai yang ada yang

bersifat universal karena menyangkut seluruh realitas.11

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa obyek material atau ruang lingkup

yang dicakup dalam pembahasan metafisika adalah seluruh realitas. Sedangkan

obyek formal atau fokus pembahasan adalah „ada sebagai yang ada‟ (being qua

being). Seluruh realitas yang dibahas metafisika adalah sebagaimana adanya. Karena

itulah metafisika diakui sebagai ilmu yang paling universal. Ia tidak merujuk pada

obyek material tertentu, melainkan mengenai suatu inti yang termuat pada setiap

kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf peelitian yang paling fundamental dan

dengan menggunakan metode tersendiri. Metafisika merupakan refleksi filosofis

jenyataan secara mutlak paling menalam dan paling ultim.12

Berangkat dari hal diatas, maka obyek material metafisika adalah seluruh

realitas dipandang dari sisi adanya, tetapi justeru di titik inilah metafisika banyak

mendapatkan penolakan. Beberapa aliran filsafat menolak, minimal meragukan,

metafisika. Skeptisisme meragukan kemampuan kognitif manusia. Aliran ini tidak

11

Loren Bagus, Metafisika, hlm. 25-26 12

Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,

hlm. 15

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

17

mempercayai bahwa manusia mampu sampai ke abstraksi yang begitu jauh.

Empirisme dan positivisme mereduksi pengetahuan manusiapada pengetahuan

inderawi belaka. Materialisme mereduksi realitas sebatas pada tatanan materi,

sehingga kajian metafisika sebagai kajian tidak memiliki arti.

B. Wilayah Kajian Metafisika

Wilayah kajian metafisika, sebagaimana di introdusir oleh seorang filsuf

Jerman, Christian Wolff, pada abad ke-18 adalah ontologi disamping teologi

metafisik, antropologi dan kosmologi. Ontologi berkaitan dengan filsafat tentang

yang ada (being); teologi berkaitan dengan masalah keTuhanan; kosmologi denga

masalah alam dan psikologi dengan manusia. Kattsoff membagi metafisika menjadi

dua : ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam

dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban seta

susunannya.13

Ontologi merupakan istilah lain dari metafisika. Ontologi berasal dari

bahasa Latin ; “Ontos (being atau ada) dan Logos (knowledge atau pengetahuan).14

Jadi ontologi tak lain adalah metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan

dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang paling ultim atau

esensi terdalam dari yang ada.15

13

Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana,

1995) 14

Samuel Enoch Stumpf, Philosophical Problems (New York: Mc Graw-Hill, Inc. 1994) hlm.

129 15

Warren E. Preece, et, al. (ed.) “Ontology”, Encyclopaedia Britanica , Vol.16 (Chicago;

Encylopaedia Britanica Inc, 1965) 97A. Bandingkan “ Istilah metafisika sebagai ilmu tentang yang ada

sering dinamakan metafisika umum, ontologi, atau metafiska saja” Lih. Loren Bagus, Metafisika,

hlm.20. Bandingkan juga “… ketiga nama “filsafat pertama” , “metafisika umum” dan “ontologi”

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

18

1. Ontologi

Ontologi membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-

prinsip umm kedalam bidang-bidang khusus, yaitu : teologi metafisik, antropologi,

dan kosmologi. Isitilah „ontologi‟ diperkenalkan oleh seorang cendekiawan

Skolastik-Protestan asal Jerman, Rudolphus Goclenius dalam bukunya Lexicon

Philosophicum (1613). Ontologi berurusan dengan hal yang sangat sederhana.

Sebagai contoh kita bisa mengatakan „ada‟ sepatu kuning, yang menjadi

permasalahan ontologi bukanlah atribut dari sepatu tersebut, melainkan „ada‟-nya

sepatu tersebut. Yang „ada‟ di balik sepatu tersebut adalah yang menjadi dasar

ontologi, gampangnya ada sebagaimana adanya (ens in quantum ens).

Dalam perkembangannya terdapat beberapa pendapat mengenai apa yang

mendasari segala sesuat yang ada. Menurut materialisme yang ada adalah segala

sesuat yang materil, yakni segala sesuatu yang dapat diketahui melalui pengamatan

indera. Kelompok materialisme menganggap bahwa segala peristiwa dan keadaan

mempunyai ujud sebenarnya dan selain materi tidaklah ada. Sehingga, gampangnya,

materialisme adalah paham yang menekankan materi sebagai asal-muasal realitas. 16

Kedua, idealisme, yaitu aliran wacana ontologi yang berpandangan bahwa

realitas yang ada atau hakikat kenyataan yang serba ragam dan rupa itu terjadi dari

suatu kekuatan roh, sukma budi, atau yang biasa disebut dengan Idea yang tidak

dapat dipergunakan tanpa dibedakan (indiscrimination), Lih. Anton Bakker, Ontologi, hlm. 17. Lihat

juga Tim Maudlin, The Metaphysic Within Physic (Oxford: Oxford University Press, 2007) hlm. 5-7 16

Pandangan-pandangan tentang realitas yang ada dengan segala aliran-alirannya dapat dilihat

dalam Sutan Takdir Alisyahbana , Pembimbing ke Filsafat Metafisika (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),

hlm. 29

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

19

menempati ruang dan tidak berbentuk. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada,

termasuk materi hanyalah personifikasi dari roh atau ide. 17

2. Teologi Metafisik

Teologi metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan

tentang Tuhan. Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan

dibanding dengan dua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari

semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi

realitas keTuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat diketahui oleh

indera. Apabila filsafat keTuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau

kesimpulan seluruh pengkajiannyam maka teologi mengambil Tuhan sebagai titik

awal pembahasannya.

Filsafat keTuhanan berurusan denan pembuktian kebenaran akan adanya

Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Terdapat suatu varian lain dalam

filsafat keTuhanan yang tidak memproblematisir eksistensi Tuhan, yakni Teologi

Naturalis. Kelompok ini berpendapat bahwa yang di problematisir adalah penyebab

pertama yang ditak disebabkan. Hal tersebut membawa kepada kesimpulan, Jika tidak

ada penyebab yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda relatif kontingen

tidak dapat dipahami oleh akal.

17

Sutan Takdir Alisyahbana, hlm. 39

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

20

3. Antropologi Metafisik

Kajian metafisika tentang jiwa manusia berkisar pada persoalan Jiwa,

kesadaran, dan eksisitensi manusia (identitas). Seperti contoh, kesadaran adalah

kualitas kemampuan meneria dan mengidentifikasi keberadaan yang eksis – baik

dirinya sendiri maupun di luar dirinya. Kesadaran telah didefinisikan, di asosiasika,

dan dipahami sebagai ke-berakal-an, kesadaran, subyektifitas, kontrol pada budi dan

term lainnya. 18

4. Kosmologi Metafisik

Pada jaman Yunani kuno pembahasan kosmologi telah di mulai oleh Thales.

Thales merupakan filsuf alam pertama yang membicarkan asal mula (archae) alam.

Thales beranggapan bahwa asal mula alam adalah air, yan di ikuti oleh Anaximander

dan Anaximenes. Namun perkembangan selanjutnya muncul kelompok yan

menentang pandangan Thales. Kelompok ini dinamakan dengan nama kelompok

„mekanis‟. Mereka beranggapan bahwa keseluruhan alam raya ini merupakan mesin

mesin, atau seluruh alam semesta ini berjalan susai dengan hukum mekanis (mesin).

Gampangnya alam semesta dapat dipahami melalui prinsip-prinsip mekanika.19

18

https://Plato.stanford.edu / entries/consciousness/ dengan judul : “Cosnsciousness” , diakses

pada tanggal 9Agustus 2019 pukul 6:36 WIB 19

Lois Katsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 263-265

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

21

C. Filsuf dan Konsep Metafisika

1. Plato

Plato membedakan realitas menjadi dua dalam alegori tentang gua, yaitu

dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Plato bertitik tolak

dari problem yang Satu (the One) dan yang Banyak (the Many) untuk memahami

realitas. Pemikirannya mengenai yang Satu dan yang Banyak merupakan sintesis

antara dua pemikir besar yakni Heraklitos dan Parmenides20

. Plato bertitik tolak dari

polemik antara Parmenides dan Heraklitos. Parmenides menganggap bahwa realitas

itu berasal dari yang Satu, yang tetap tidak berubah; sedangkan Heraklitos

menganggap realitas berasal dari yang Banyak, yang selalu berubah. Plato

menyatakan bahwa disamping hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh

gerak serta perubahan-perubahan.

Pemikiran metafisika Plato terarah pada pembahasan mengenai Being

(Ada)dan Becoming (menjadi). Plato adalah filsuf yang pertamakali

memproblematisir being dan becoming. Plato berpendapat bahwa becoming – yakni

dunia yang berubah-ubah – tidak memuaskan atau tidak memadai sebagai obyek

pengetahuan; karena bagi Plato setiap bentuk pengetahuan berkesesuaian dengan

suatu jenis obyek. Plato memikirkan pengetahuan asli (genuine knowledge), yaitu

suatu jenis pengetahuan yang tidak berubah, sehingga obyeknya haruslah sesuatu

20

Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika”, dalam Jurnal Filsafat, Juli 1997 (Yogyakarta :

Fakultas Filsafat UGM) hlm. 9. Bandingkan dengan “ … Plato derived the ideal theory from a double

source : by reaction, in the first place, from the Heraclitean teaching od Cratylus …. And in the second

place, from Socrates , through development of Socratic notion of the universal concept.” J. Murray,

“Notae : Plato‟s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35 No.2 (1954) hal.247. dan lihat

juga Sir David Ross, Plato’s Theory of Ideas. (Oxford: Oxford University Press) hal. 230

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

22

yang tidak berubah (changeless). Plato yakin bahwa pengetahuan yang asli itu harus

diarahkan pada Being. Being, bagi Plato, dibentuk oleh dunia yang merupakan pola-

pola dari segala sesuaty yang dapat di indera, sedangkan ide-ide itu secara kodrati

bersifat kekal dan abadi.21

Alasan Plato membedakan being dan becoming adalah sebagai cara untuk

mencari dasar kebenaran pengetahuan. Sebagaimana T.E Jessop menulis dalam

Journal of Philosophical Studies;

“ The Platonic theory of form is an attempt to find, with the aid of other

influences, a metaphysical ground…, that is, to discover what reality must be

if knowledge consists in the understanding of things by means of distinctly

definded general conception.22

(Teori form Platonis adalah suatu usaha untuk mencari suatu dasar metafisis,

dengan bantuan dari pengaruh-pengaruh lainya, … , yakni, pencarian apakah

itu realitas yang seharusnya jika pengetahuan terbentuk dalam pemahaman

mengenai hal-ihwal dengan cara pendefinisian konsepsi general secara khas.)

Forma yang menentukan Being tidak sulit untuk dipahami, manakala Form

merupakan kualitas universal dari hal-hal yang dapat di indera, sifat-sifat sesuatu;

“seperti merah”, “manusia”, merupakan kualitas sesuatu yang konkret yang mudah

dipahami. Plato megarahkan pada hal-hal atau kualitas yang lebih abstrak, yakni hal-

hal yang mencerminkan sifat-sifat yang lebih umum (general conception). Sifat sifat

ini mengandung ide-ide abadi yang tidak akan pernah mati dan merupakan problem

aktual dalam pemikiran umat manusia. Yang banyak (the Many), memang bisa

terlihat dalam kenyataan konkret namun sulit dikenal, sedangkan ide lebih dikenal

21

Rizal Muntasyir, Jurnal Filsafat Hlm. 9 22

T.E Jessop , “The Metaphysic of Plato”, dalam Journal of Philosophical Studies, Vol. 5,

No.17 Royal Institute of Philosophy, hlm. 39

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

23

namun tidak terlihat. Idea menurut Plato tidak memiliki organ yang terpisah-pisah,

melainkan sebagai sebuah pikiran , yang melalui suatu kekuatan uang ada dalam

dirinya.

2. Ibn Sina

Konsepsi metafisis Ibn Sina terkandun dalam kitab al-Syifa’. Dalam kitab al-

Syifa’ Ibn Sina membahas mengenai struktur dasar eksisten (ada) dalam dunia

konkret serta begaimana eksisten (ada) tersusun dalam alam pikiran kita. Hal ini

sebagaiman diambil dari tradisi parepatetik Aristotelian, dimana bagi Aristoteles

kajian mengenai apa itu eksisten (yang ada sebagai yang ada) memerlukan

pemahaman mengenai bagaimana eksisten tersebut disebut dalam berbagai konteks ;

“ Keberadaan disebut dengan cara yang berbeda-beda, namun dengan merujuk pada

satu hal saja, yakni yang berada pada tabiat alamiah tersendiri dan bukan demikian

secara equivokal”. 23

Asumsi bahwa untuk mengetahui eksistensi kita harus

memahami bagaimana struktur bahasa kita mempersepsikan segala modalitas

pengalaman adalah pewarisan Ibn Sina terhadap tradisi Paripatetik Yunani.

Menurut M.F Attar, metafisika Ibn Sina beroperasi pada persoalan “Apa itu?”

yang pada akhirnya akan disimpulkan bahwa suatu benda dapat dikonsepsi oleh

pikiran. Hal ini nantinya akan menjadi dasar teoritis Ibn Sina dalam membedakan

23

Kutipan ini terdapat dalam Kitab al-Syifa Ibn Sina “Bagian V : Metafisika ”al-Syifa” ; al-

Ilahiyyat (Metafisika) di edit oleh Georges C. Anawati et. al. Vol.2 (Cairo: Al-Ammah li-Syu‟un al-

Mutabi al-Amiryyah, 1960) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.F Attar dalam Jurnal

Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina” dalam Jurnal Ilmu

Ushuluddin, (Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 2015) Vol.2 no.3

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

24

Esensi dan Eksistensi,. Dari distingsi Esensi dan Eksistensi inilah pembuktian akan

adanya Tuhan menurut Ibn Sina dirumuskan. 24

Doktrin Ibn Sina tentang wujud, sebagaimana para filsuf Muslim sebalum Ibn

Sina, seperti misalnya Al-Farabi, bersifat emanasi. Dari Tuhanlah segala ke-maujud-

an, mengalir akal pertama, segala sesuatu dapat terwujud. Namun sifat akal pertama

tidak mesti Mutlak, sebab ia tidak „Ada‟ dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan

kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.

Ibn Sina mengkukuhkan eksistensi dari Wajib al-Wujud (eksisten wajib) dari

pertimbangan mengenai „Ada‟ secara umum. Hal ini cukup berbeda dari bukti akan

adanya Tuhan lainnya semisal Aristoteles, yang menganggap hanya sebuah bagian

dari „Ada‟, yakni Ciptaan Tuhan, hanyalah suatu dampak dari gerakan. Ibn Sina

membalik pembuktian adanya Tuhan dari prinsip-prinsip metafisis yang ditarik dari

metafisika.

Untuk itu kiranya perlu untuk membahas mengenai konsep Wujud menurut

Ibn Sina. Bagi Ibn Sina wujud terbagi menjadi tiga, yakni ; a) Wajib al-Wujud (wujud

Niscaya) b) Mumkin al-Wujud (wujud kontingen) dan Mumtani al-Wujud (wujud

non-eksisten)25

. Wujud niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin tidak ada karena

dirinya sendiri dan karena alasan lainnya. Wujud niscaya merupakan suatu yang

ketika ia diasumsikan tidak ada maka akan menghasikan ketidak-mungkinan.

24

M.F Attar, “Fondasi realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin ,

hal. 186 25

Hamid Fahmy Zarkasyi, “Ibn Sina‟s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal Tsaqafah

UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011 hlm.380

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

25

Sementara Wujud Kontingen, adalah sesuatu yang ketika di asumsikan tidak ada

maupun ada akan menghasilkan kesimpulan „mungkin‟.

Melalui demonstrasi ini konsep metafisika Ibn Sina, sebagaimana di jelaskan

diatas membalik konsep metafisika Aristoteles, yang berangkat pada persoalan fisika.

Ibn Sina mendasarkan segala realitas pada Wujud Niscaya, sebagai wujud yang

memberi atau meminjamkan „Ada‟ pada „Ada‟ lainnya, yakni Wujud Kontingen.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

26

BAB III

PANDANGAN METAFISIKA SEYYED HOSSEIN NASR

A. RIWAYAT HIDUP SEYYED HOSSEIN NASR

a. Latarbelakang Intelektual

Dalam kajian ke-Islaman, sarjana muslim, mungkin, tidak merasa asing

dengan nama Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah salah satu living philosopher di

dunia. Mulai aktif menulis gagasan-gagasannya sejak muda. Kepiawaiannya dalam

menelurkan gagasan-gagasannya bukan suatu anugerah yang datang dari langit

semata, melainkan melalui proses panjang sejarah hidup Seyyed Hossein Nasr.

Ada beberapa hal yang membuat penulis tertarik dengan Seyyed Hossein

Nasr. Pertama, konsistensi Nasr pada posisi yang ia ambil, seorang tradisionalis.

Konsistensi atau ke-istiqomah-an Nasr pada posisi tersebut menghasilkan roh (geist)

dalam tulisan-tulisan dan buku-buku Nasr terhubung satu sama lain. Kedua ialah

penuturan argumentasi Nasr yang acapkali di sampaikan dalam bahasa yang puitis.

Serta ketiga, kritik Nasr pada peradaban modern yang khas. Kekhasan kritik Nasr

terletak pada solusinya untuk melampaui peradaban modern, bukan merevisi

pendapat-pendapat tertentu. Bagi Nasr, peradaban modern sudah bobrok semenjak ia

berupa fondasi

Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai riwayat hidup Seyyed Hossein

Nasr. Dimulai dari “latarbelakang intelektual”, “peristiwa-peristiwa penting dalam

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

27

kehidupan Seyyed Hossein Nasr”, serta, “karya-karya Seyyed Hossein Nasr”.

Sehingga seyogyanya kita bisa memahami latar belakang gagasan-gagasan Seyyed

Hossein Nasr.

Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran pada tahun 1933 beliau lahir dari

pasangan Seyyed Valiallah dan Ashraf. Nasr mendapat gelar Seyyed dari jalur

ayahnya merupakan keturunan Sayyid (sadat) adalah keturunan dari Nabi

Muhammad S.A.W. Salah satu leluhur Nasr dari jalur ayahnya, yakni Mulla Majed

Hossein, merupakan ahli di bidang agama1.

Nasr lahir dalam lingkungan keluarga terdidik dan saleh, sebagaimana ia

nyatakan sendiri dalam otobiografinya, The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr:

“I was born into a family of well-known scholars and physicians”2

(Saya lahir dalam suatu keluarga orang-orang terdidik dan fisikawan terkenal)

.

Dalam bukunya, penulis mendapati beberapa nama besar yang berada dalam

lingkungan keluarga Nasr. Pertama ayahnya, Seyyed Valiallah, merupakan seorang

fisikawan terkenal. Karir ayahnya mencapai puncaknya ketika menjabat rektor

Sekolah Tinggi Keguruan Teheran (Teachers‟ Collage) dan dekan dari beberapa

fakultas di Universitas Teheran. Nasr juga menulis bahwa ayahnya adalah salah-satu

pendiri sistem pendidikan modern di Iran.

1 Seyyed H. Nasr, dalam Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr,

(United States of America : Open Court Publishing ), hlm. 3 2Seyyed H. Nasr, hlm.3

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

28

“ My father, ….,is considered as one of the founders of the modern educational

system in what had now become known officially Iran. 3

(Ayahku, …, dianggap sebagai salah satu dari pendiri sistem pendidikan modern

di tempat yang kita ketahui saat ini Iran secara resmi.)

Selain daripada itu ayah Seyyed Hossein Nasr, Seyyed Valiallah, juga tertarik

dengan kajian falsafah, baik falsafah Islam maupun falsafah Barat. Salah satu bukti

dari ketertarikannya pada kajian falsafah, Seyyed Valiallah menulis satu buku

mengenai etika, yakni Danish wa Ahlaq (Knowledge and Ethic). Dan juga ragam

koleksi Seyyed Valiallah dalam literature berbahasa asing, seperti buku yang di tulis

oleh Michael Montaigne, Charles-Louis Montesquieu, Rene Descartes, Blaise Pascal,

Francois Voltaire, Jean-Jacques Rousseau dan bahkan Plato serta Aristoteles.

Nama besar berikutnya ialah Ashraf, ibunda dari Seyyed Hossein Nasr. Latar

belakang keluarga ibunya berbeda dengan latar belakang keluarga ayahnya. Kakek

dari Ashraf , Syekh Fadlallah Nuri, merupakan tokoh politik-relijius pada masanya.

Namun Syekh Fadlallah Nuri memiliki pandangan politik yang berlawanan dengan

gerakan Revolusi Konstitusional 1906, sehingga ia ditangkap dan dihukum mati oleh

pemerintah pada masanya.

Keluarga Ashraf, ibunda Seyyed Hossein Nasr , merupakan keluarga dari tradisi

ke-Islaman yang kuat. Salah-satu bukti diantaranya ialah pengetahuan yang kuat

dalam sastra Persia dan Arab. Pengetahuan akan sastra Persia dan Arab ini lah yang

kemudian diajarkan pada Nasr. Sebagaimana ditulis Nasr:

3 Seyyed H. Nasr, hlm. 4

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

29

“But she was devoted to Persian literature and, like my grandmother, knew and

in fact still knows numerous Persian and even Arabic poems by heart. It is she who

took me to the great centers of pilgrimage such as Qom and Hadrathi Abd-al-Azim

near Teheran when I was a child, making possible an experience of the sacred which

has remained indelibly etched in my memory to this day.4

(Namun ia menekuni sastra Parsi dan, seperti nenek saya, tahu dan faktanya tetap

mengetahui beragam syair Parsi dan bahkan Arab diluar kepala. Dialah juga yang

membawaku ke pusat ziarah agung seperti Qom dan makam Hadrathi Abd-al-Azim

di dekat Teheran ketika saya kanak-kanak, memungkinkan untuk suatu pengalaman

akan yang-sakral yang tetap tergores tak terhapuskan dalam ingatan saya hingga hari

ini).

Nasr juga menganggap bahwa ibunya lebih dominan mengajarkan keilmuan Islam

ketimbang ayahnya.

Penulis berkesimpulan, Nasr dilahirkan ditengah-tengah dua keluarga yang

memiliki tradisi yang berlainan satu-sama lainnya. Nasr hidup dalam tegangan antara

keluarga ayahnya yang maju dalam bidang fisika dan keilmuan bersifat positifistik,

meskipun ayahnya juga menyelami falsafah, baik falsafah islam atau timur secara

umum dan falsafah barat, serta keluarga ibunya yang memiliki sejarah yang panjang

dengan tradisi mistisisme Islam serta sastra Persia dan Arab.

Sebagai hasil dari tegangan tersebut, Nasr cakap membincangkan mengenai

sains dan ilmu pengetahuan, seperti yang ia tulis dalam The Need of Sacred Science,

Man and Nature ,juga kritis terhadap pemikiran falsafah barat, seperti yang ia tulis

dalam A Young Muslim‟s Guide to Modern World dimana dalam bukunya ia dengan

cakap menampilkan pemikiran-pemikiran dari faylasuf di Barat, serta Mistisisme

4 Seyyed H. Nasr, hlm. 6

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

30

Islam dan Falsafah Islam seperti yang ia tulis dalam buku The Garden of the Truth .

Penulis beranggapan bahwa kumpulan karya-karya tersebut merupakan suatu hasil

dari atmosfer intelektual dimana Nasr dibesarkan. Hal tersebut pula di amini oleh

Nasr sendiri:

“ I was brought up in an atmosphere which, while deeply Persian, was also open to

both Western ideas and religion and intellectual of other tradition.”5

(Saya tumbuh dalam suatu udara yang, adalah seorang Parsi yang berurat berakar,

sementara juga terbuka pada, baik pada ide-ide Barat maupun agama Barat, dan juga

intelektual dari tradisi lainnya)

Kemudian di beberapa kesempatan, Seyyed Valiallah, seringkali membawa

Nasr kecil ke majelis sastra yang di datangi Seyyed Valiallah. Dalam majlis tersebut

berkumpul banyak ahli-ahli di bidang sastra, khususnya sastra Parsi. Salah satu

diantaranya ialah Muhammad Ali Furughi, seorang tokoh besar dalam politik Iran,

sekaligus penerjemah buku Rene Descartes : Discourse on Methode dalam bahasa

Parsi. Nasr menganggap dalam melalui majelis tersebut, eksposur pertama di usia

muda mengenai diskursus falsafah serta sufisme tertanam.

Kemudian, nama penting berikutnya, yang turut serta mengkonstitusi

gagasan-gagasan Nasr kecil ialah, Seyyed Ali Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan

salah-satu paman dari Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu pelopor teather

modern di Iran. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu penerjemah produktif.

Beberapa karya asing yang diterjemahkannya kedalam bahasa Paris seperti novel-

novel karya Alexandre Dumas dan Victor Hugo.

5 Seyyed H. Nasr, hlm. 8

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

31

Pengaruh Seyyed Ali Nasr pada Seyyed Hossein Nasr ialah terbukanya

wawasan mengenai khazanah pemikiran dari Asia Timur seperti dari China dan

Jepang. Sebab, Seyyed Ali Nasr merupakan seorang diplomat Iran yang sempat

bertugas di China dan Jepang. Pertemuannya dengan benda-benda seni peninggalan

peradaban Asia Timur baik China maupun Jepang mendorong Nasr untuk

menghormati budaya-budaya tersebut. Sedangkan, mengenai persinggungan Nasr

dengan peradaban Indus, Nasr didorong oleh Valiallah untuk mempelajari puisi-puisi

dari Rabindranath Tagore. 6

Selain keluarga Nasr, terdapat beberapa peristiwayang menjadi latar belakang

intelektual Seyyed Hossein Nasr. Pengalaman-pengalaman semacam itu menurut

penulis memiliki pengaruh signifikan dalam evolusi pemikiran sertagagasan-gagasan

Seyyed Hossein Nasr. Beberapa kali Nasr mengalami keterputusan-keterputusan

seperti, pembunuhan kakek dari jalu ibu, invasi Iran oleh pasukan Sekutu, bersekolah

ke Amerika dan perpisahan dengan Valiallah, serta belokan saintis ke spiritualis dan

pertemuannya dengan Fritjof Schuon7. Empat peristiwa yang dialami Seyyed Hossein

diatas, bagi penulis merupakan peristiwa yang mengubah gagasan serta pemahaman

Nasr.

Di Amerika, ia mendaftar dan bergabung pada salah satu sekolah di sana,

tepatnya di New York City yaitu Peddie Scholl di New Jersey. Ia sangat cepat dalam

6 Seyyed H. Nasr, hlm. 8

7 Penulis melihat peristiwa-peristiwa tersebut memiliki pengaruh dalam kehidupan intelektual

Nasr.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

32

belajar dan menguasai bahasa Inggris, dan kemudian ia lulus dalam jangkah waktu

empat tahun sebagai pemidato di hari kelulusan dengan menunjukan bakat luar biasa

pada bidang matematika dan sains. Nasr melanjutkan ke Massacheusetts Institute of

Technology (MIT) pada tahun 1950. Di institusi ini ia memperoleh pendidikan

tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel

yang dikenal sebagai seorang failasuf modern. Ia juga pernah bergabung pada

kelompok kecil dalam diskusi yang secara langsung bertemu dengan Bertrand Russel,

serta sempat mempertanyakan mengenai struktur alam fisik yang kata Bertrand

Russel susunan alam fisik adalah terdiri dari sebagaimana struktur matematik8

Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang falsafah modern. Selain

bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika

bernama Giorgio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan

pengetahuan tentang falsafah Timur, khususnya yang berhubungan dengan

metafisika. Ia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timurmisalnya tentang

Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para

peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof

Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga berkenalan dengan pemikiran Rene

Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, dan Martin Lings9

b. Karya-Karya Seyyed Hossein Nasr

8 Seyyed H. Nasr, hlm. 15-16

9 William Chittick (ed.) , The Essential Seyyed Hossein Nasr, hlm. xi

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

33

Sebagai seorang intelektual dan akademisi dalam bidang pemikiran ke-

Islaman dan ke-Timuran, Seyyed Hossein Nasr tentunya sering kali mengikuti

kegiatan-kegiatan akademis baik dalam bentuk berdiskusi, memberikan kuliah atau

seminar, dan menulis. Mengingat ia adalah salah satu pemikir Islam kekinian yang

memiliki gagasan dan ide-ide menarik, serta yang lebih utama dari gagasan tersebut

adalah kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana telah dibahas

sebelumnya bahwa salah satu kegiatan akademis yang digemari oleh Nasr adalah

menulis. Hal ini tentu saja akan menjadikan adanya sebuah karya dari Nasr. Maka

dari itu peneliti akan memasukan beberapa karya dari Seyyed Hossein Nasr.

Sebelum peneliti membahas secara keseluruhan dari apa yang telah

ditemukan oleh peneliti mengenai karya-karya Nasr, peneliti ingin menyampaikan

terlebih dahulu bahwasannya sejauh ini peneliti baru menemukan karya-karya Nasr

yang ditulis dalam bahasa Inggris. Peneliti juga mengambil sumber utamanya yang

ditulis dalam bahasa Inggris. Beberapa sumber ini merupakan gagasan dan ide hasil

karya tulis Nasr yang dikumpulkan oleh beberapa editor. Seperti dalam buku dengan

judul “The Essential Seyyed Hossein Nasr” yang di dalamnya adalah berisikan

gagasan dan ide Nasr, namun editornya adalah William C. Chittick. Selanjutnya

adalah “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr” yang dieditori Lewis Edwin Hahm

dkk. Di dalamnya juga terdapat tulisan dan gagasan dari Nasr yang ditulis dalam

bahasa Inggris..

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

34

Adapun karya-karya lain dari Nasr yang ada di tangan peneliti saat ini masih

ada sembilan (9) buku dengan judul yang berbeda. Pertama adalah buku yang

berjudul “Ideals and Realities of Islam” diterbitkan oleh George Allen dan Unwin

Ltd., London pada tahun 1966. Kedua adalah buku dengan judul “Man and Nature”

yang diterbitkan oleh Mandala Book, London pada tahun 1968. Buku yang ketiga

adalah buku yang berjudul “Science an Civilization in Islam” dan diterbitkan oleh

New American Library, New York pada tahun 1970. Buku keempat adalah buku

dengan judul “Sufi Essays” yang diterbitkan oleh George Allen dan Unwin Ltd.,

London 1972. Kelima adalah buku yang berjudul “Islam and the Plight of Modern

Man” yang diterbitkan oleh Longman Group, London pada tahun 1975. Keenam

adalah buku yang berjudul “Traditional Islam in the Modern World” yang diterbitkan

oleh Foundation for Traditional Studies, Kuala Lumpur pada tahun 1987. Buku

ketujuh adalah buku yang berjudul “Knowledge and the Sacred” yang diterbitkan

oleh State University of New York Press, New York pada tahun 1989. Kedelapan

adalah buku yang berjudul “The Need for Sacred Science” yang diterbitkan oleh

Curzon Press Ltd., United Kingdom pada tahun 1993. Buku terakhir, yaitu buku yang

kesembilan adalah buku dengan judul “A Young Muslim‟s Guide to the Modern

World” yang diterbitkan oleh KAZI Publication, Inc, Chicago pada tahun 1994.

Kesembilan buku dengan judul yang berbeda tersebut adalah buku-buku karya Nasr

yang saat ini ada di tangan peneliti.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

35

Semua buku yang telah disebutkan di atas, bukanlah merupakan keseluruhan

dari pada karya Seyyed Hossein Nasr. Karena sebagaimana telah disebutkan

sebelumya bahwa buku-buku tersebut di atas hanyalah beberapa judul buku yang saat

ini ada di tangan peneliti. Apabila kita merujuk pada buku yang berjudul “A Young

Muslim‟s Guide to the Modern World” kita akan mendapati lebih banyak lagi

mengenai karya Nasr. Sebagaimana dalam lembaran di bagian awal dari buku

tersebut telah dicatatkan dari pada buku-buku karyanya Nasr, lebih tepatnya, yaitu

pada halaman iv. Adapun dari pada catatan-catatan buku karya Nasr dalam buku

tersebut yang belum disebutkan di sini diantaranya adalah: “1. Three Muslim Sages,

2. Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 3. Al-Biruni: An Annotated

Bibliography, 4. An Annotated Bibliography of Islamic Science (3 vols.), 5. Islamic

Science: An Illustrated Study, 6. Persia: Bridge of Turquoise, 7. The Transcendent

Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, 8. Islamic Life and Thought, 9. Muḥammad: Man

of Allah, 10. Islamic Art and Spirituality, 11. Isma‟ili Contribution to Islamic Culture

(ed.), 12. Philosophy, Literature and Fine Arts: Islamic Education Series (ed.), 13.

Shi‟ism: Doctrines, Thought, Spirituality (ed.), 14. Expectation of the Millenium

(ed.), 15. Islamic Spirituality: Volume I, Foundations (ed.), 16. Islamic Spirituality:

Volume II, Manifestation (ed.), 17. The Essential Writings of Frithjof Schuon (ed.)”.10

A. Formulasi Metafisika Nasr

1. Nasr dan Filsafat Perenial

10

Seyyed H. Nasr. A Young Muslim‟s Guide to the Modern World. (Chicago: KAZI

Publication, Inc. 1994). h. ix

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

36

“That perrenial wisdom which lies at the heart of every religion and

which is none other than the Sophia whose possesion the sapiental

perspective in the West as well as the Orient has considered as the

crowning achievement of human life. This eternal wisdom … which

constitutes on of the main component of the concept of tradition is none

other than the sophia perennis of the West tradition, which the Hindus cal

the sanatan dharma and the Muslims al-hikmat al-khalidah11

(Bahwa kebijaksanaan perennial yang terletak pada jantung tiap-tiap

agama yang tak lain kecuali Sophia (kebijaksanaan) yang dimiliki oleh

perspektif manusia baik di Barat maupun di Timur telah diannggap

sebagai pencapaian tertinggi dari kehidupan manusia. Kebajikan abadi …

yang terbentuk pada komponen utama dari konsep tradisi merupakan tak

lain kecuali sophia perennis (Kebijaksanaan abadi) tradisi barat, yang

orang-orang Hindu menyebutnya sanata dharma dan orang-orang Muslim

menyebutnya al-hikmat al-khalidah.)

Kutipan di atas memulai perbincangan berkenaan formulasi metafisika Nasr.

Bagi Nasr, term “philosophia perennis”, “sophia”, “sophia perennis”, “scientia

sacra”, “sacred knowledge”, dan “principial knowledge” terhubung dengan sangat

dekat satu sama lain, dan kesemuanya itu menuntun pada Kebenaran Abadi (eternal

Truth), yang menubuh pada inti tiap-tiap agama pada „Tradisi‟, dan dapat dihayati

oleh manusia12

. Term-term tersebut merupakan tak lain dari metafisika. Bagi Nasr,

metafisika adalah sesuatu yang menjadi inti dari tiap-tiap agama yang menubuh

dalam „Tradisi‟. Untuk itu barangkali kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu

tradisi.

11

Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York : SUNY Press), hlm. 68 12

Saille B. King, “The Philosophia Perennis and the Religion of the World, dalam The

Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, ed. Lewis Edwin Hahn, (Chicacgo : The Library of Living

Philosopher) 2001, Hlm. 204

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

37

“Tradition is closely related to the philosophia perennis if the term is

understood as the Sophia which has always been and always be and which is

perpetuated by means of both transmission horizontally and renewal

vertically through contact with that reality that was „at the beginning‟ and is

here and now.13

(Tradisi terhubung sangat dekat dengan filsafat perennial jika kata ini

dipahami sebagai Kebijaksanaan yang telah-selalu dan akan selalu begitu dan

yang diabadikan dalam arti baik transmisi secara horizontal maupun

pembaruan secara verikal melalui kontak dengan realitas itu yang „ada di

awal‟ dan yang ada di sini serta sekarang)

Tradisi (Tradition) bagi Nasr bukan sekadar apa yang dipahami saat ini

sebagai adat istiadat, kebiasaan, cara berfirikir yang diwariskan dan seterusnya.

Tradisi melampaui kesemuanya itu, sebagai mana dikutip diatas, merupakan suatu

transmisi pengetahuan, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Secara

horizontal berarti antar peradaban, secara vertikal berarti antara manusia dengan

Tuhan yang mana Tuhan adalah sumber dari pengetahuan Yang-Sakral.

Melalui penjelasan mengenai tradisi, terdapat beberapa hal yang dapat

disimpulkan sementara, pertama, bahwa sophia perennis, tradisionalisme dan

scientia sacra Nasr, (1) mengandaikan adanya suatu realitas asali yang melampaui

dunia positif, dan (2) realitas tersebut mendeterminasi segala sesuatu yang ada

didunia ini.

13

SeyyedcH. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 71

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

38

Melalui „tradisi‟, segala hal yang transenden memungkinkan untuk diraih.

Tradisi memiliki episteme, untuk dapat meraih itu. Nasr mengistilahkannya dengan

Revelation atau Pewahyuan dan intelegensi Intuitif (Irfan). Pewahyuan adalah suatu

transmisi pengetahuan mengenai Yang-Sakral (the Sacred) melalui agen-agen seperti

Nabi, Rasul, Avataras dan Logos, sedangkan intelegensi intuitif merupakan fakultas

dari manusia yang dapat menangkap pesan-pesan dari agen-agen tersebut14

.

Tradisi memiliki hubungan dengan Filsafat Perennial. Hal itu sebagaimana

ditunjukan Nasr, bahwa sanatha darma atau sophia perennis berhubungan dengan

tradisi primordial dan bahkan pada asal muasal eksistensi manusia.15

Tiap Tradisi

memiliki hubungan secara dalam dengan Filsafat Perennial, dan manusia perlu

menganggap bahwa hubungan tersebut bukan suatu hubungan yang termporer serta

bukan penyebab penolakan dart tiap-tiap pesan „Ukhrawi‟ yang membentuk tiap-tiap

agama yang secara penampakan berbeda namun secara batin memiliki hubungan

dengan Tradisi Primordial tanpa menyederhanakan pada persoalan historisitas dan

temporalitas.

Melalui eksposisi mengenai Tradisi, penulis menyimpulkan bahwa pertama,

Tradisi merupakan Filsafat Perennial sebab, didalam Tradisi kebijaksanaan yang

abadi menubuh dan berkembang. Kedua sifat Tradisi yang menyalurkan

pengetahuan-pengetahuan dari Yang-Ilahi – sebagai asal muasal manusia –

14

Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 72 15

Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 68

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

39

merupakan cara satu-satunya untuk bisa meraih pengetahuan Yang-Sakral. Juga

melalui eksposisi Tradisi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam pandangan Nasr,

realitas Filsafat Perennial bukan hanya berurusan dengan penampakan atau

gampangnya realitas empiriko-positif, melainkan dengan Mistik-negatif. Filsafat

Perennial menjadi jalan bagi yang Mistik-Negatif memanifestasikan dirinya,

menghadirkannya pada tiap-tiap manusia.

Melalui eksposisi tradisi juga penulis menyimpulkan, bahwa tradisi

menyiratkan suatu Ada yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Dan yang kemudian

Ada tersebut menjadi titik awal metafisika Nasr. Sebagaimana dinyatakan Huston

Smith:

His metaphyisical starting point is the infinite which he consider the one

unavoidable idea because its alternative, finitude, implies a limit, a cutoff

point, which the mind cannot accept as final because it must instinctively

wonder what lies beyond it; thought-wise, an absolute boundary would be like

a door with only one side, an imposible image. 16

( Titik awal pemikiran metafisikanya (Nasr) adalah Yang-Infinit yang ia

anggap satu-satunya idea yang tak terhindarkan karena sifat-kelainannya,

keterhinggan, menyiratkan suatu batas, suatu pemutus, yang mana pikiran

tidak dapat menerima segbagai akhir karena ia harus bertanya-tanya secara

naluriah apa yang berada melampauinya; kebijaksanaan, suatu batas absolut

seperti layaknya suatu pintu dengan satu sisi, suatu gambaran mustahil.

Sesuatu yang berada melampaui apa yang ada dengan yang ada di dunia ini

hanya bisa diraih melalui Tradisi. Sebagaimana Tradisi dalam konteks pembahasan di

16

Huston Smith, “ Nasr‟s Defence of the Perennial Philosophy”, dalam The Philosophy of

Seyyed Hossein Nasr, hlm. 144

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

40

atas, yakni suatu penyaluran akan pengetahuan Yang-Ilahi. Melalui Tradisi juga

memugkinkan bagi penulis untuk membongkar bagaimana konsep metafisika Nasr.

Barangkali, Nasr hendak membuat seuatu epistemologi yang bersandarkan pada

Tradisi sebagai dasar. Pembahasan mengenai Tradisi sebagai epistemologi akan di

bahas di bagian selanjutnya.

Hal terpenting yang perlu dibahas berikutnya mengenai Filsafat Perennial

dalam gagasaan filsafat Nasr, ialah apa yang menjadi alasan, reason d etre, gagasan

filsafat perennial Nasr. Pembahasan ini diperlukan agar memperlihatkan posisi Nasr

dalam wacana filosofis kontemporer.

Filsafat Perennial Nasr, mencoba untuk menggali kembali sumber-sumber

pengetahuan yang selama ini telah ditinggalkan oleh manusia, khususnya oleh

manusia modern dan modernisme. Modernisme, mencoba untuk mencari suatu dasar

fundamental yang tak terbantahkan, seperti cogito dalam Descartes. Pencarian akan

suatu fondasi yang meliputi segala sesuatu diikuti juga pada perpindahan subjek dari

sistem fondasional tersebut. Ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum dengan

serta merta memindahkan jangkar ontologis, atau subyek, dari Theos, Tuhan, pada

Antropos manusia17

. Dalam pemahaman Nasr, diktum cogito ergo sum (I think

therefore I am) mengandaikan separasi antara „berpikir‟ dan wahyu. Manusia kini

17

Quentin Meillassoux, After Finitude,(London: Continuum) 2009, hlm 30

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

41

menjadi sumber pengetahuan bagi dirinya sendiri. Manusia tak membutuhkan wahyu

atau sesuatu di luar dirinya untuk dijadikan sumber pengetahuan. 18

Filsafat Perennial Nasr yang terangkum dalam tradisi mencoba

mengembalikan hubungan manusia dengan sesuatu yang metafisis-transenden, yang

melampaui manusia melalui wahyu dan intuisi.19

Oleh sebab itu hubungan Nasr

dengan Filsafat Perennial membentuk asumsi metafisika Nasr yang akan dibahas di

bagian selanjutnya.

2. Pentingnya ‘Yang- Sakral’ Menurut Nasr

Nasr mengungkapkan apa itu Yang-Sakral dalam sebuah perbincangan

dengan Ramin Jahanbegloo sebagai berikut:

What is the sacred? The sacred is the Divine Reality as it is in Itself and as It

manifest Itself in beings in this world.

(Apa itu Yang-Sakral? Yang-Sakral adalah Realitas Ilahi sebagai Ia pada-

Diri-Nya dan sebagai Manifestasi dari Diri-Nya dalam hal-ihwal yang ada di

dunia ini.)20

Yang-Sakral pada filsafat perennial Nasr merupakan sumber segala sesuatu.

Ia memanifestasikan dirinya yang kemudian manifestasi tersebut menghasilkan

18

Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim‟s Guide to the Modern World, (Chicago; KAZI

Publication) 1994, hlm. 158 19

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 79 20

Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred : a Conversation with

Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought, (California: PRAEGER), 2010, hlm 203.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

42

realitas duniawi. Realitas Ilahi merupakan Yang-Sakral itu sendiri dan yang

menopang seluruh eksistensi duniawi.

Nasr berpendapat bahwa terdapat di dunia ini hal-ihwal Yang-Sakral, yang

disebabkan hubungannya dengan Tuhan, seperti Bayt al-Quddus, karena ia terhubung

dengan realitas Yang-Sakral itu sendiri, yakni Tuhan. hal itu berarti setiap hal-ihwal

di dunia memiliki potensialitas akan Yang-Sakral, dan ke-sakralan hanya terbentuk

jika sesuatu memiliki relasi dengan Yang-Sakral.21

Menurut hemat penulis, Yang-Sakral merupakan realitas asali yang

membentuk dunia dan segala macam isinya. Yang-sakral juga menjadi dasar akan

ide-ide pengetahuan dan kebudayaan. Dalam tradisi agama, seni Yang-Sakral tidak

berasal dari asal-muasal manusiawi. Ia memiliki rangsangan untuk menyampaikan

manusia kepada segala sesuatu yang belum diketahui; suatu rangsangan pada akhirya,

menurut Nasr, menyampaikan manusia pada Tuhan22

.

Begitupun pengetahuan, bagi Nasr pengetahuan perlu kembali pada sumber

asali, yakni Yang-Sakral. pengetahuan sakral (sacred knowledge) dapat diraih melalui

wahyu dan intuisi. Yang-Sakral menjadi pusat dan kemudian melingkupi seluruh

pengetahuan. Wahyu dan Intuisi terlibat pada iluminasi batin serta pikiran manusia,

yang pada akhirnya menuntun manusia pada pengetahuan abadi.23

21

Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm.203 22

Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm. 247 23

Seyyed H. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 130

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

43

Nasr menolak gagasan modernisme yang berpendapat bahwa pengetahuan

hanya dapat diraih melalui rasionalitas subyek, impresi empirik, atau hal-ihwal lain

yang non-sakral. Bagi Nasr, pengetahuan seharusnya telah selalu berurusan dengan

Yang-Sakral, sebab Yang-Sakral merupakan jangkar ontologis segala sesuatu.24

Pada titik inilah tepat merupakan titik kritik Nasr terhadap modernisme. Bagi

Nasr, modernisme telah meninggalkan Yang-Sakral melalui penolakan wahyu serta

intuisi. Filsafat telah menjadi tereduksi maknanya hanya sebagai logika25

. Di saat

yang bersamaan filsafat hanya berurusan dengan matematika dan sains fisika26

.

Kemudian bagi Nasr, metafisika di Barat telah tereduksi menjadi semacam cabang

filsafat. Nasr beranggapan bahwa reduksi tersebut menyebabkan manusia melupakan

distingsi fundametal antara Akal (the Intellect), yang mengetahui melalui

pengetahuan yang terberi (immediate knowledge) atau wahyu, dan akal (reason,

ratio), yang hanya dapat mengetahui secara tidak langsung melalui penguraian

(analysis) dan pembelahan (division)27

. Kegagalan manusia filsafat Barat28

untuk

membedakan antara Akal (the Intellect) dengan nalar (reason) menyebabkan

kekacauan berpikir, yang pada akhirnya menghindarkan manusia modern untuk

24

Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, 40 25

To begin with, it can be said that, if we accept the meaning of the term “Philosophy” current

in the West in most European languages, then it is nearly synoymous with logic. S. H. Nasr, Islam and

The Plight of Modern Man, hlm.43 26

Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44 27

Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44 28

Nasr sering merujuk manusia modern dengan Barat, dalam diskursus filsafat Barat penolakan

tradisi serta sumber-sumber pengetahuan dari tradisi tidak diterima sama sekali. Sebagaimana

moderinsme yang menolak gagasan agama dan hanya berurusan dengan sains fisik. Lih. Seyyed H.

Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 6

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

44

memahami realitas metafisis yang tekandung dalam tradisi. Sehingga, pada akhirnya

manusia modern gagal memahami metafisika sebagai sesuatu yang melampaui taraf

mental itu sendiri.29

Oleh sebab itu penulis berkesimpulan bahwa Yang-Sakral adalah jangkar

metafisika dalam Nasr. Sesuatu yang memiliki kemampuan untuk mentransendenkan

manusia serta ia pada-dirinya bersifat transenden. Jika metafisika didefinisikan

sebagai sesuatu asumsi yang kepadanya segala sesuatu didasarkan30

, maka metafisika

Nasr adalah metafisika-transenden. Sebagaimana eksposisi diatas menggambarkan

bahwa metafisika merupakan sesuatu yang melampaui taraf mental, serta mendorong

manusia agar dapat meraih sesuatu yang melampaui taraf mental itu sendiri.

Kesimpulan dari pembahasan Yang-Sakral ini adalah : 1) bagi Nasr, Yang-

Sakral merupakan jangkar ontologis dari segala sesuatu, 2) manusia modern atau

diskursus filsafat modern perlu kembali melibatkan Yang-Sakral sebagai jawaban

atas kenestapaannya.

3. Metafisika Transenden Nasr

Melalui penjelasan di atas penulis melihat bahwa Nasr mengandaikan adanya

dua realitas, yakni realitas manusia, dunia rill senyatanya dan fisis, dan realitas Yang-

29

Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.46 30

Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, “metafisika pada awalnya merupakan buku-buku

Aristoteles setelah Physics kemudian kata tersebut digunakan pada pertanyaan apapun yang

membangkitkan pertanyaan mengenai kenyataan yang terletak melampaui atau dibelakang apa-apa

yang dapat diraih oleh metode sains. Lih. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford

: Oxford University Press), 2008, hlm.292

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

45

Sakral, ilahi dan metafisik. Kedua realitas ini dianggap Nasr bersifat hierarkis.

Artinya realitas Yang-Sakral berada lebih tinggi daripada realitas non-sakral.

mengutip Mehdi Aminrazavi sebagai berikut:

“Perennial Ontology according Nasr gives rise to a hierarchial universes

which provides the framework within which the spiritual foundation of so many

aspect of traditional life can be studied. The levels of reality allow for the

possibility of the spiritual journey of man from the corporeal world to the pure

being with whom man seeks unity. Religion, therefore, “has its archetype in the

Divine Intellect and possesses levels of existence like the cosmos itself…”31

“ Ontologi Perennial bagi Nasr membangkitkan suatu semesta hierarkis yang

menyediakan kerangka yang didalamya fondasi spiritual dari macam-macam

aspek kehidupan tradisional dapat dikaji. Tingkatan-tingkatan realitas membuka

kemungkinan pengembaraan spiritual manusia dari dunia korporeal kepada

Mengada sejati yang dengannya manusia mencari kesatuan. Agama, oleh

katrenanya, “memiliki arketipnya didalam Akal Ilahi daan memiliki tingkatan-

tingkatan eksistensinya seperti alam semesta itu sendiri…”

Pembedaan ontologis dari filsafat perennial Nasr adalah suatu upaya untuk

menjelaskan adanya suatu realitas yang melampaui realitas manusiawi, dan realitas

itu menjadi dasar dari segala sesuatu. Pembedaan ontologis ini juga berguna untuk

menjelaskan mengani the Problem of One and Many, Permasalaahan Yang Esa dan

yang Jamak. Persoalan ini dimulai dari teori dialektika yang abstrak. Bagi Robert

Cumming Neville, filsafat perennial Nasr memiliki beragam ekspresi simbolis, dari

personifikasi Yang-Sakral hingga teori dialektika abstrak32

. Barangkali Robert

31

Mehdi Aminrazavi, “Philosophia Perennis and Scientia Sacra in a Postmodern World”, dalam

The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 557 32

Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The

Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

46

Cumming ingin menunjukan bahwa teori dialektika abstrak telah dibawa Nasr dari

tradisi filsafat barat klasik mulai dari Plotinus dan Neo-Platonisme hingga ke masa

modern yang direpresentasikan dalam filsafat negasi Hegel.

Yang Esa, bagi Nasr, merupakan memiliki tingkatan hierarkis yang lebih

tinggi sekaligus mendasari yang jamak. Melalui pembedaan ontologis ini kita bisa

melihat bagaimana alam semesta tercipta menurut pandangan Nasr33

. Bagi Nasr

kosmologi, atau penciptaan alam semesta terjadi sebab adanya teophany34

, dari Yang

Esa35

. Segala sesuatu mengada terjadi sebab teofani (tajalli) sekaligus pada dirinya

merupakan teophany. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bawha realitas yang jamak

merupakan maya atau semu, sedangkan yang sejati ialah realitas Yang-Esa, Yang-

Sakral, Tuhan.

Realitas Yang Esa oleh sebab itu mendeterminasi realitas maya. Sehingga

dalam kerangka ini kita bisa definisikan Yang-Esa, Yang-Sakral, Tuhan sebagai

Metafisika jika kita kembali pada definisi dalam bab sebelumnya yang

mendefinisikan metafisika sebagai sesuatu yang „melampaui‟, yang ada „di

belakang‟, „mengatasi‟ dan dan yang mendeterminasi realitas.36

33

Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The

Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178 34

Lihat. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 189 35

Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The

Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178 36

Definisi metafisika ini diambil dari pencarian penulis mengenai kata metafisika. Jauh

sebelumya, sebelum buku Metafisika Aristoteles selesai, dalam buku Prior Analytics, Aristoteles telah

mengandaikan adanya suatu dunia universal yang menjadi dasar determinan pada dunia realitas ini.

Melalui kutipan tersebut penulis mendefinisikan metafisika, lihat Bab II

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

47

Metafisika-transenden adalah upaya rekonstruksi penulis mengenai

bagaimana metafisika Nasr. Metafisika Transenden bisa berarti 1) adanya suatu

realitas yang mendeterminasi, menyudahi, membelakangi realitas manusia, dan

realitas itu bersifat transenden atau jauh di hadapan manusia. 2) metafisika atau

realitas tersebut hanya bisa diperoleh melalui jalan transendensi. Hal ini sebagaimana

dinyatakan Robert Cummings:

The underlying sapiential principle is that if a certain kind of difference is

noted, that is because cognition stands at a higher level of unity. “Standing at a

higher level” is not a mere logical matter, however. The mind must be cultivated,

perhaps through long years of yoga or contemplation under the guidance of a

teacher, to attain that level. Some describe the cultivation as the recovery of pre-

existent higher level of mind; others describe it as the construction of human

capacities to grasp pre-existent level of reality.37

Prinsip sapiential yang mendasari adalah bahwa jika suatu bentuk dari

perbedaan dicatat, maka hal itu karena kognisi berada pada suatu tingkatan kesatuan

yang lebih tinggi. Bahkan, “berada pada suatu tingkatan yang lebih tinggi” bukan

haya suatu perkara logis. Melainkan pikiran mesti dilatih, mungkin melalui waktu

ber-Yoga yang lama atau kontemplasi dibawah petunjuk guru, untuk meraih

tingkatan tersebut. Beberapa orang menggambarkan latihan tersebut sebagai

pemulihan tingkatan pikiran yang lebih tinggi yang pra-eksisten; yang lainnya

menggambarkannya sebagai konstruksi kemampuan manusia untuk memahami

tingkatan realitas pra-eksisten

Sapiential adalah secara sederhana suatu sifat dari epistemologi perennial.

Secara sederhana sapiential merupakan kesatuan pengetahuan dengan kebijaksanaan.

Maka dari itu, Sapiental dalam perspektif Nasr adalah suatu pengetahuan yang punya

relasi dengan kebijaksanaan, yang adalah Yang-Sakral, Tuhan. Dari kutipan di atas,

37

Robert Cummings Neville, dalam The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 179

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

48

prinsip sapiential, dalam perspektif Nasr, memiliki suatu dorongan untuk berada

memulihkan ingatan manusia mengenai suatu tingkatan pikiran pra-eksisten, dan

realitas pra-eksisten. Tingkatan pikrian dan realitas pra-eksisten tersebut merupakan

suatu yang metafisis atau yang menjadi dasar dari realitas.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

49

BAB IV

PANDANGAN METAFISIKA FRIEDRICH NIETZSCHE

A. Riwayat Hidup Friedrich Nietzsche

1. Latarbelakang Intelektual

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, (Saxe-Prussia) pada tanggal 15

Oktober 1844, anak dari pasangan Karl Ludwig dan Franziska Oehler. Ayahnya

adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari

pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Adik perempuan Nietzsche

(Elisabeth) – yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang

diterbitkan setelah kematian Nietzsche (posthumous) – Ia lahir dua tahun kemudian

pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal

dunia tanggal 18 Juli 1849 pada usia 36 tahun1.

Pada tahun 1849 sampai dengan 1858, Nietzsche tinggal di Naumburg

bersama ibu dan kakak perempuannya. Pada usia 6 tahun Nietzsche masuk ke sekolah

dasar setempat. Setahun kemudian dia meninggalkannya, dan berpindah ke sekolah

swasta. Ia belajar disitu dari tahun 1851-1854. Kemudian setelah usianya menginjak

14 tahun (1858) Nietzsche mendapatkan beasiswa untuk belajar di Gymnasium

(sekolah setingkat SMU) di Pforta – beberapa kilometer dari kota Naumburg. Ia

belajar di sekolah yang terkenal dengan tradisi humanis dan Lutheran tersebut sampai

tahun 1864. Di sekolah tersebut ia mulai mengenal Holderin, Emerson, Sterne,

Goethe, dan Feuerbach. Nietzsche mulai mengenal musik, dan tak kalah pentingnya

1Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta : Kanisius), hlm 172-179

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

50

ia berkenalan dengan Paul Deussen, seorang ahli tentang India yang akan

memperkenalkan kepadanya pemikiran-pemikiran dari India. 2

Pada usia 20 tahun, Nietzsche mendaftarkan diri ke fakultas teologi dan

filologi klasik di Universitas di Bonn. Dia hanya dapat bertahan di Bonn selama satu

tahun (1864-1865). Meskipun begitu, dia sempat kenal dengan David Strauss,

seorang ahli Kitab Suci (exeget) liberal. Mulai tahun 1865 sampai dengan 1869

Nietzsche pindah ke Universitas di Leipzig karena ia mengikuti profesor filologinya

yang bernama Friedrich Ritschl. Bersama profesornya nietzsche mendirikan sebuah

Asosiasi Filologis. Dan ia mulai menerbitkan beberapa karya filologisnya di tahun

yang sama. Dua sumber utama yang dikerjakan oleh Nietzsche adalah Diogenes

Laertios dan Theognis dari Megara. Di Leipzig pula, pada tahun 1865, Nietzsche

bertemu secara kebetulan demham karya Arthur Schopenhauer Die Welt als Wille und

Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi – buku ini terbit pertama kali

tahun 1818, Schopenhauer sendiri meninggal pada tahun 1860). Penemuan kebetulan

ini terbukti sangat penting dalam membelokan arah hidup Nietzsche dari filologi ke

filsafat. Pada tahun 1865 juga ditandai dengan mulai menjangkitnya penyakit sifilis

pada tubuh Nietzsche – penyakit yang menjadi sumber keambrukan Nietzsche di

tahun 1889 di kota Torino, Italia. 3

Itulah periode pertama hidup Nietzsche (1844-1868) yang bisa kita sebut

sebagai periode formasi (periode pembentukan). Pada periode berikutnya (1869-

2 John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius) 2001

3 Ronald Hayman, “Nietzsche : A Critical Life”, (London : Oxford University Press) hlm. 42

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

51

1879), hidup Nietzsche akan berputar-putar terutama di Universitas, oleh karenanya

bisa disebut sebagai periode universiter.

Meski Nietzsche belum memiliki gelar doktor, pada tanggal 13 Februari 1869

saat ia baru menginjak usia 24 tahun, atas rekomendasi profesornya (Ritschl), ia

ditunjuk menjadi profesor pembantu untuk fakultas Filologi Klasik di Universitas

Basel-Swiss. Pada bulan Mei di tahun yang sama Nietzsche memulai kuliah nya

dengan kuliah pembukaannya yang berjudul Homeros dan Filologi Klasik. Di sini ia

mengajar filologi Yunani, dan Saat ini pula Nietzsche memutuskan untuk menjadi

warga negara Swiss. 4

Dua figur penting yang ditemui Nietzsche pada periode ini adalah Jacob

Bruckhardt dan Franz Overbeck. Jacob adalah ahli sejarah. Ia memberi kuliah-kuliah

tentang kebudayaan. Ia adalah satu-satunya ahli sejarah yang menganggap serius

fenomen Dionysos dalam sejarah Yunani. Dalam buku The Twilight of the Idols

(Senjakala Berhala-Berhala) Nietzsche dua kali menyampaikan pujiannya kepada

rekan kerjanya di Basel ini. Kemudian, yang kedua, Franz Overbeck, adalah seorang

ahli Kristianisme Purba (periode awal Kristianisme sampai dengan abad pertama

masehi). Kemungkinan besar, pada dialah Nietzsche banyak berutang informasi

mengenai asal-usul dan periode awal Gereja Purba. Nietzsche akan tinggal dan

berkarya di universitas di Basel sampai dengan tahun 1879. Sepuluh tahun lamanya ia

menghidupi masa universiter ini. 5

4 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, (Yogyakarta : Kanisius) hlm. 40

5 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm. 41.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

52

Pada tahun 1872 tepatnya bulan Januari, buku yang berjudul The Birth of

Tragedy diterbitkan. Buku ini di persembahkan untuk sahabtnya saat itu; Richard

Wagner, eorang komponis berkebangsaan Jerman, dan istrinya Cosima, putri dari

komponis terkenal Franz Liszt. Dengan segera buku ini menimbulkan pertentangan

sengit antara Nietzsche dan kolega-koleganya para filolog di universitas. Penantang

Nietzsche adalah Ulrich von Wilamowitz-Mollendorf. Meski baru berusia 23 tahun,

von Wilamowitz-Mollendorf sudah menunjukan kehebatannya dalam melawan tesis

Nietzsche dengan pamphlet berjudul Filologi Masa Depan (pamflet ini di akhiri

dengan undangan kepada Nietzsche supaya mundur saja dari kursi pengajaran di

universitas). Beberapa rekan dekat membela Nietzsche . Erwin Rohde – juga seorang

filolog Yunani – menjawab karya tersebut dengan karya berjudul Afterphilologie.

Richard Wagner secara pribadi membuat surat terbuka kepada von Wilamowitz-

Mollendorf6.

Menurut A.Setyo Wibowo pada buku The Birth of Tragedy ini menjadi

penanda dimana tulisan-tulisan Nietzsche lebih mengutamakan interpretasi filosofis

ketimbang filologis. Dari soal Dionysos kita bisa lihat benih pemikiran filosofis

Nietzsche sudah disemaikan, yang mana Nietzsche melihat bahwa Tragedi Attik

merupakan suatu bentuk ritual untuk menghormati dewa Dionysos. Tentu saja

Nietzsche menggunakan perangkat filologisdalam mengusulkan tesis tentang asal

usul tragedi : koor musik kaum satyr – mahluk bertubuh setengah manusia setengah

kambing – untuk menghormati dewa Dionysos. Bisa jadi tesis Nietzsche itu benar

6 Peter Levine, Nietzsche and the Modern Crisis of Humanities,hlm. 7-8

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

53

karena kata Tragodia memang secara filologis bisa diartikan sebagai nyanyian

kambing. Atau, tragedi bisa diasalkan kepada dewa Dionysos yang dilakukan dalam

festival tahunan ini dengan mempersembahkan kambing. Masalahnya secara historis

dan filologis, jenis literer tragedi lebih kompleks lagi. Secara historis susah untuk

dibuktikan bagaimana nyanyian para satyr yang kebanyakan mengenai hal-hal

sensual bisa menjadi titik kelahiran tragedi. Selain itu, persembahan yang diberikan

pada Dionysos adalah binatang buas pada umumnya (tidak spesifik kambing belaka),

sementara dari sudut literer (filologis), sulit mengaitkan kelahiran tragedi dengan

nyanyian satyr yang sensual atau hanya kultus pada Dionysos.7

Sejak tahun 1875 kondisi kesehatan Nietzsche makin memburuk. Ia segera

menghentikan kuliah-kuliahnya, dan memulai hidup mengembara. Karena alasan

kesehatan, pada tahun ajaran 1876-1877 Nietzsche meminta cuti. Dia lalu berpindah-

pindah tempat. Pada tahun 1878 Nietzsche menerbitkan bagian pertama dari karyanya

Human all too Human ( Manusiawi terlalu Manusiawi). Buku dengan subjudul “buku

untuk orang berjiwa bebas” dipersembahkan kepada Voltaire. Ini adalah sebuah karya

pembebasan, karena Nietzsche merasa diri sudah mengatasi kultur Jerman, mengatasi

idealisme, mengatasi “seni Jerman-Wagner”. Tahun ini menandakan putusnya

persahabatan Nietzsche dengan Wagner. 8

Sakit berat yang makin mendera Nietzsche sejak tahun 1875 (sakit kepala,

sakit di mata, muntah, selalu akan pingsan), membuatnya harus mengakhiri karier

7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017,hlm. 43

8 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm.45

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

54

universiternya pada tahun 1879. Nietzsche mengundurkan diri dari universitas, dan

terpaksa mencukupkan diri dengan pensiun yang kecil. Ia meninggalkan Universitas

Basel, dan mulai menjadi pengembara. Setelah periode pembentukan dan periode

universiter, nietzsche memasuki periode ketiga (1879-1899) yaitu periode hidup

mengembara, hidup yang berpindah-pindah dan sendirian.

Demi kesehatannya, Nietzsche harus mencari iklim yang ramah pada dirinya.

Selama musim dingin, ia pergi ke Italia atau Peracis dimana udaranya lebih hangat

dari Swiss. Pada musim semi ia suka tinggal di Venezia. Dan untuk musim panas, ia

kembali ke Utara (Swiss) dan melewatkan waktunya di Sils Maria. Disini kita

berhadapan dengan fakta penting pengalaman singular manusia Nietzsche, yaitu

penyakit. Sejak tahun 1879 Nietzsche harus bergulat dengan penyakit yang membuat

dia hidup berpindah-pindah. Bisa dibayangkan bagaimana pengalaman bertubuh sakit

ini akhirnya membentuk suatu sudut pandang pemikiran Nietzsche secara khas.

Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa pengalaman sebagai orang sakit, membuat

Nietzsche mampu melihat secara lain apa itu kesehatan dan kesakitan. Pengalaman

hidupnya yang diwarnai pasang surut kesehatan, mengahadapinya dengan seluruh

keseriusan filosofis: itulah yang membuat Nietzsche memiliki perilaku hati-hati,

selalu mengambil jarak, dan memiliki cara pikir yang khas. Selain itu secara fisik,

tulisan tulisan Nietzsche juga makin menunjukan kecenderungannya yang

fragmentaris, terpisah-pisah, dan bukan lagi traktat filosofis yang sistematik ( tentu

saja hanya kecenderungan besar, karena pada periode ini juga Nietzsche masih

menerbitkan beberapa buku yang sangat terstruktur). Kehidupan pengembara, jauh

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

55

dari perpustakaan universitas, sakit yang datang tanpa bisa di ramal, itu semua

membuat Nietzsche terpaksa menulis sambil berjalan.

Pada bulan Juni 1881 Nietzsche menyepi di Sils Maria di Haute Engadine. Di

sini ia menulis : “Hari-hari pertama pertama bulan Agustus 1881, di Sils Maria, 6000

kaki di atas permukaan laut dan jauh lebih tinggi lagi diatas segala hal manusiawi”.9

Di kamar kecilnya yang berjendela satu menghadap ke gunung, Nietzsche menuliskan

bukunya yang indah, The Gay Science (Sains yang Menyenangkan).

Dalam The Gay Science tema-tema besar nietzschean, misalnya, tentang

Zarathustra, kematian tuhan, manusiayang melapaui (Ubermensch), kehendak kuasa

(the Will to Power) dan Kekembalian yang Sama Secara Abadi (the Eternal

Recurrence of the Same) sudah bisa di temukan disini. Lebih dari itu semua, semua

pengalaman personal yang menjungkirbalikan Nietzsche adalah inspirasi dari konsep-

konsep filosofis tersebut.

Pada tahun-tahun berikutnya Nietzsche menulis beberapa buku diantaranya,

Thus Spoke Zarathustra ( Demikianlah Zarathustra Bersabda), Beyond Good and Evil

(Melampai Baik dan Jahat), dan The Genealogy of Morality ( Genealogi Moral).

Pada tahun 1888 Nietzsche menulis Buku Der Fall Wagner ( Kasus Wagner dengan

subjudul “problem bagi para musisi”). Di tahun 1889 Nietzsche menerbitkan

Nietzsche lawan Wagner , the Antichrist dan Ecce Homo ( Inilah Manusia).

9 Surat ini dikutip dari buku Andre Simba, Nietzsche , Paris : Bordas, 1988. Hlm.20

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

56

Periode berikutnya dalam hidup Nietzsche adalah periode kegilaan. Bulan

Januari 1889 di Torino Italia, Nietzsche mencegah seorang kusir untuk melecut

seekor kuda sembari memeluki kuda tersebut. Kegilaannya tidak lekas sembuh

hingga akhir hayatnya di tahun 1900. Franz Overbeck membawa kembali Nietzschhe

ke Basel. Dia lalu memasukan Nietzsche ke Rumah Sakit Jiwa di Iena. Diagnosis

dokter adalah Nietzsche mengalami serangan kelumpuhan general. Pada bulan

September kesehatan Nietzsche membaik secara fisik. Sejak bulan Mei 1890 ibu

Nietzsce mendekati anaknya. Dan sejak saat itu Nietzsche tinggal bersama ibunya.

Tahun 1897 Ibu Nietzsche meninggal dunia, dan setelah itu adik perempuannya –

Elisabeth Froster Nietzsche – yang memelihara Nietzsche di Weimar. Di kota ini,

pada usia 56 tahun, Nietzsche meninggal dunia akibat pneumonia pada tanggal 25

Agustus 1900. 10

2. Karya Karya Nietzsche

Sebagai mana telah disebutkan diatas, melalui rekonstruksi kehidupan

Nietzsche, terdapat beberapa periode dalam kehidupan Nietzsche yang

mempengaruhi gaya menulis dan berfikirnya. Jika kita kembali pada formulasi

kehidupan manusia Nietzsche maka karya-karya Nietzsche dapat di bagi menjadi tiga

kategori.

Pertama, kategori pertama adalah Nietzsche sebagai seorang filolog. Di

periode formasi atau sebelum ia hidup di lingkungan universitas, tulisan-tulisan

10

Samuel Enoch Stump (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, (New York: Kenneth King,

2003) hlm 380

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

57

Nietzsche utamanya berfokus pada persoalan filologi seperti Homeros dan Filologi

Klasik yang menjadi bahan kuliahnya di Universitas di Basel pada tahun 1869.

Kemudian jika mundur ke era sebelumnya dimana Nietzsche bersekolah, terdapat

beberapa karya-karya Nietzsche yang di terbitkan dalam jurnal Rheinsches Museum

yang berkaitan erat dengan persoalan filologi. Serta jika memungkinkan salah satu

bukunya mengenai Tragedi Attik dimasa Yunani kuno, yakni The Birth of Tragedy

bisa dimasukan pada kategori dimana Nietzsche berfokus pada persoalan bagaimana

asal-usul tragedi.

Kedua, adalah dimasa universiter, menandai perubahan posisi dari filologi ke

filsafat. Sebagaimana di jelaskan diatas, terdapat suatu peristiwa yang kemudian

membuat Nietzsche menarik diri dari dunia filologi, yakni debat Nietzsche dengan

Ulrich von Wilamoitz. Nietzsche ditentang habis-habisan sebab tidak mengindahkan

kaidah filologi. Tesisnya terlampau berspekulasi menyebabkan amat sulit melaukan

pelacakan secara komprehensif. Dalam periode ini Nietzsche menulis beberapa karya,

seperti : tiga Pertimbangan-PertimbanganTtidak Aktual (Unzeitgemasse

Betrachtungen) . Yang pertama adalah serangan terhadap David Strauss : Orang

Beriman dan Penulis, terbit pada bulan Agustus 1873 yang berisi serangan terhadap

kultur Jerman. Yang kedua adalah tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah bagi

Kehidupan,yang terbit bulan Februari 1874. Pada buku ini Nietzsche mengungkapkan

sejauh mana kultur akademis dan ilmiah aktual saat itu di Jerman ternyata meracuni

manusia. Yang ketiga adalah pujian terhadap Schopenhauer dan diberi judul

Schopenhauer Sang Pendidik pada bulan Oktober 1874. Di tahun 1876 Nietzsche

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

58

menerbitkan Pertimbangan-pertimbangan Tidak Aktual yang keempat berjudul

Richard Wagner di Bayreuth. Secara kontras dalam dua judul terakhir Nietzsche

mulai menunjukan apa yang sebenarnya menjadi manusia berbudaya. Di balik pujian

kepada Schopenhauer dan Wagner, Nietzsche mulai membentuk visi filosofisnya

sendiri. Di tahun 1878 Nietzsche menerbitkan Human All-Too Human (Manusiawi

Terlalu Manusiawi). Dalam buku ini utamanya adalah penentangan Nietzsche

terhadap kultur Jerman, Idealisme, dan Seni Jerman. Tahun ini juga menandakan

akhir dari masa kehidupan universiternya.

Yang ketiga, adalah periode mengembara. Ke-khasan dari periode

mengembara tercermin dari gaya menulis Nietzsche yang tida terstruktur dan puitis.

Barangkali gaya tersebut diambil sebagai bentuk perlawanan Nietzsche terhadap

kulur akademis-universitas yang menuntut untuk menulis secara sistematis dan lugas.

Periode ini juga menandakan putusnya hubungan dengan kehidupan mengajar di

universitas.

Dalam periode ini, A. Setyo Wibowo11

menganggap sebagai periode puncak

dalam karir kepenulisan Nietzsche. Karya-karya jauh lebih subtil dan intim. Ini

tercermin dari pengantar buku The Gay Science :

“Tak diragukan lagi, sebetulnya buku ini membutuhkan lebih dari satu kata

pengantar; toh keragu-raguan tetap ada apakah lewat beberapa Kata Pengantar

seseorang yang tidak pernah mengalami sesuatu yang mirip bisa dibuat akrab

dengan pengalaman yang menjadi prasyarat terbitnya buku ini.12

11

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017, Hlm 38 12

Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Terj. Risalatul Hukmi , Yogyakarta : Pustaka

Antinomi. Hlm. 1

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

59

Dalam periode ini Nietzsche menerbitkan Die Frohliche Wissenschaft ( Sains yang

Mengasyikan – The Gay Science). Sebagai mana di jelaskan di atas, buku ini memuat

tema-tema besar Nietzschean. Buku ini di terbitkan pada tahun 1882. Pada Januari

1883 Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Zarathustra

Bersabda – Thus Spoke Zarathustra). Selama pengumpulan dan penyusunan

Zarathustra , Nietzsche banyak menuliskan karya karya puitis. Namun buku ini akan

di terbitkan nanti oleh Adik Nietzsche yang berjudul Der Wille Zur Macht (Kehendak

Kuasa – the Will to Power) . pada tahun 1886 Nietzshe menerbitkan buku Jenseits

von Gut und Bose ( Melampaui Baik dan Jahat - Beyond Good and Evil ) dan

Daybreak (Fajar) . di tahun 1887 Nietzsche menerbitkan Genealogi der Moral (

Genealogi Moral, dengan sub judul “sebuah tulisan polemis”). Dalam buku ini

Nietzsche hendak menelusuri bagaimana Hidup aktif dan afirmatif akhirnya

dikalahkan oleh ressentiment ( dalam bahasa kita : sentimen) kaum lemah, sehingga

hidup kemudian berujung pada ideal asketis. Dengan demikian manusia masuk

kedalam situasi dekaden (merosot, mundur). Nietzsche menawarkan metode

genealogis untuk menelusuri bagaimana itu bisa muncul : analisis atas kehendak

mengunkapkan tipologi subjek penghendak. Tahun 1888, menandai tahun aktif

Nietzsche dalam menulis, Nietzsche menerbitkan tiga buku; Nietzche lawan Wagner,

Der Antichrist (Antikrist) dan Ecce Homo ( Inilah Manusia). Periode ini adalah akhir

dari karir kepenulisan Nietzsche, sebelum pada akhirnya masuk ke periode kegilaan

dan kematian.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

60

B. Formulasi Metafisika Nietzsche

1. Nietzsche dan Filsafat Becoming

Dalam potongan ke-§4 buku The Gay Science, Nietzsche mengatakan :

Oh orang-orangYunani! Mereka tahu bagaimana hidup. Hidup membutuhkan

keberanian untuk berhenti di permukaan, di lipatan, di kulit luar; pemujaan terhadap

apa yang tampak , kepercayaan pada bentuk-bentuk, bunyi-bunyian, kata-kata,

kepercayaan terhadap seluruh penampakan Olympos. Orang-orang Yunani itu

superfisial – secara mendalam! Bukankah kita kembali lagi ke hal semacam itu, kita

yang berbeda – roh yng berani meresikokan segala sesuatu, yang sudah mendaki

puncak pemikiran kontemporer yang paling tinggi dan paling berbahaya, yang dari

ketiggian sudah memeriksa horizon-horizon, dan dari ketinggian melayangkan

pandangan ke bawah? Bukankah dalam arti seperti itu kita adalah orang-orang

Yunani? Para pemuja bentuk, suara, kata-kata? Dan dengan demikian – seniman ?13

Barangkali kutipan tersebut menjadi dasar dari filsafat imanen dalam filsafat

Nietzsche. Orang-orang Yunani dalam kutipan tersebut bisa merujuk pada dua hal,

yakni masyarakat Yunani secara umum yang mempersonifikasi dewa-dewinya pada

tubuh antrophos atau wacana filsafat Yunani yang dimulai dari masa Pre-Sokrates.

Setidaknya di masa Pra-Sokrates terdapat dua gagasan umum mengenai filsafat, yakni

filsafat Menjadi (Becoming) dan filsafat Ada (Being). Filsafat Menjadi menganggap

realitas selalu menjadi, tidak pernah identik, tidak bisa diidentifikasikan. Dengan

demikian ide, nama atau kata atas sesuatu tidak pernah mewakili halnya itu sendiri.14

Untuk memperjelas hal ini, misalkan, idea mengenai daun adalah identifikasi arbitrer

yang sama sekali tidak merepresentasikan daun; bagaimana mungkin benda yang

13

Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Antinomi) 2018,

hlm.10 14

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Hlm. 136

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

61

memiliki ketakteraturan pada sifat-sifatnya meimiliki suatu idea yang universal pada

dirinya? Sehingga posisi filsafat ini lalu dijargonkan dengan panta rhei15

(segalanya

mengalir), tidak ada yang berubah.

Sebaliknya, filsafat Ada adalah suatu filsafat yang memiliki preferensi pada

kekekalan sebuah Ada di atas fluktuasi aliran realitas yang menjadi.16

Filsafat Ada

senantiasa beranggapan bahwa realitas yang berubah-ubah ini tidak memiliki pijakan

tanpa adanya Ada dibalik dunia ini. Pengetahuan yang dicerap dari realitas

penampakan pada akhirnya menjadi pengetahuan kedua, sebab ia tidak memiliki

kepastian untuk dipegang.

Filsafat Menjadi diwakili oleh Heraklitos, sedang Filsafat Ada diwakili oleh

Parmenides. Nietzsche mengadopsi tradisi Heraklitos. Pengadopsian ini bisa terlihat

dari penolakan Nietzsche mengenai dunia idea, dan pengandaian realitas sebagai

sesuatu yang kontradiktif. Nietzsche bahkan mendaku dirinya sebagai seorang murid

Heraklitos. Nietzsche menganggap Heraklitos menolak dunia Idea sebagaimana

dituliskannya dalam Philosophy in the Tragic Age dalam potongan §5:

“From such intuition Heraclitus derived two connected negations.

Only through comparsion with the doctrines of his predecessor can they be

illuminated. One he denied the duality of totally diverse world – a position

which Anaximander had been compelled to assume. He no longer

distinguished a physical world from a metaphysical one, a realm of definite

qualities from an undefindable “indefinite”. And after this first step, nothing

15

Pantha rhei adalah nosi Heraklitos yang berarti bahwa “segala sesuatu mengalir” hal ini di

ucapkan oleh Herarklitos sebagai berikut : “Potamoisi toisin autotoisin embainosinm hetera kai hetera

hudata epirrei” yang artinya : Air yang selalu baru mengalir pada tiap-tiap langkah yang masuk

kedalam sungai yang sama”. Lihat. https://en.wikipedia.org/wiki/Heraclitus, diakses pada 9 Oktober

2019 jam 19.06 WIB 16

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.137

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

62

could hold him back from a second, far bolder negation: he althogether

denied being. For this one world which he retainded -- supported by eternal

unwritten laws, flowing up ward and downward in brazen ryhtmic beat –

nowhere shows a tarrying, an indestructbility, a bulwark in the stream… “17

(Dari intuisi semacam itu Heraklitus menurunkan dua negasi yang

terhubung. Hanya melalui perbandingan dengan doktrin pendahulunya mereka

dapat menjadi tercerahkan. Sesuatu yang ia tolak adalah dualitas dari dunia

yang berbeda secara penuh – suatu posisi yang telah terpaksa Anaximander

asumsikan. Ia tak lagi membedakan suatu dunia dari suatu yang metafisis,

suatu bidang dari kualitas pasti dari suatu “ketakterhinggaan” yang tak

terbatasi. Dan setelah langkah pertama ini, tiada yang bisa menahannya dari

suatu yang berikutnya, negasi yang jauh lebih tegas: ia secara umum menolak

Ada. Untuk dunia yang satu ini yang ia pertahankan – didukung oleh hukum-

hukum tak tertulis, mengalir naik dan turun dalam irama yang tak tahu malu –

tidak menunjukan sebuah tempat, suatu benteng yan tidak dapat dihancurkan,

suatu pertahanan dalam aliran tersebut.)

Kutipan di atas adalah semacam rekonstruksi pemikiran Heraklitos yang

diambil oleh Nietzsche. Dalam kutipan diatas, terdapat semacam kesan seolah olah

Nietzsche mengafirmasi bahwa Heraklitos semacam filsuf Menjadi, seolah-olah

Nietzsche sendiri mengafirmasi pemikiran menjadi tersebut.

Namun kutipan diatas, perlu dipahami dalam konteks pemikiran lain dari

Heraklitos tentang kontradiksi. Nietzsche menemaparkan gerak menjadi dalam

pemikiran Heraklitos yang lebih luas yaitu dalam pemikiran tentang kontradiksi.

Sebagaiamana dalam kutipan diatas di paragraf berikutnya : “ Bagi Heraklitos, madu

itu sekaligus pahit dan manis, dan dunia ini adalah sebuah panci pencampur yang

senantiasa harus digoyang. Segala yang menjadi lahir dari peperangan dari unsur-

17

Friedrich Nietzsche, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne Cowan,

(Massachusetts: Regenary Publishing), 1998, hlm. 51

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

63

unsur berlawanan”18

. Di mata Heraklitos, realitas itu kontradiktif, realitas ialah

kontradiksi. Namun, kontradiksi tidak berarti impasse (jalan buntu); justeru

kontadiksi itulah – adanya kesalingberlawanan – yang membuat realitas bergerak.

Terdapat dua poin utama yang diambil Nietzsche dari Heraklitos, yakni

mengenai Menjadi dan mengenai kontradiksi. Hanya bisa beroperasi pada asumsi

tentang realitas kontradiktif yang menjadi generator dari gerakan realitas. Untuk itu

kita perlu melacak asumsi Nietzsche tentang realitas sebagai yang kontradiksi.

Pertama kita bisa melihat dalam The Gay Science §62 : “Ecce Homo”: Ya! Aku

adalah asal-usulku/ Tak pernah puas bak nyala api/ Aku menghabiskan diriku

berkobar,/ Menjadi cahaya apa saja yang kuambil,/ Menjadi arang apa saja yang

kutinggalkan:/ nyala api memang itulah aku.”19

Pemikiran tentang kontradiksi yang

disimbolkan Heraklitos sebagai Api diungkapkan kembali oleh Nietzsche dalam

melihat dirinya. Dan juga realitas, sebagai sesuatu yang inheren mengandungi dua hal

bertentangan: diam dan teridentifikasi sekaligus juga senantiasa berubah. Pada teks

Ecce Homo bab “Mengapa aku begitu bijaksana” §1 Nietzsche dengan bangga

menerangkan asal-usul ganda dirinya, dirinya mengandungi unsur bapaknya (yang

„mati‟, dekaden, tangga akhir kehidupan) sekaligus unsur ibunya (yang „permulaan‟,

ascenden, awal tangga kehidupan) : “ Asal-usul ganda itulah yang menjelaskan

dengan baik netralitas, tiadanya pengambilan posisi di hadapan problem kehidupan

dalam keseluruhannya […] Aku mengenali keduanya, aku adalah kedua-duanya”20

.

18

Friedrich Nietzsche, Philosophy in the tragic Age of the Greeks, hlm. 54 19

Friedrich Nietzscche, The Gay Science, hlm. 43 20

Friedrich Nietzsche, Ecce Homo : How to Become what You Are, (Oxford University Press)

hlm. 7

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

64

Dari kutipan tersebut jika dikaitkan dengan kutipan mengenai tiga metamorfosa

dalam Zarathustra maka akan bermakna demikian : Nietzsche tidak ingin secara naif

mengikuti kepolosan Unta yang iya-iya begitu saja terhadap apapun yang terjadi; ia

bukan Singa yang raungan menidaknya secara pada apapun yang terjadi21

. Nietzsche

adalah Bayi, yang melampaui posisi naif iya dan naif tidak, merangkumnya dalam

sebuah iya sekaligus tidak pada apapun yang datang.

Pendefinisian realitas sebagai sesuatu yang kontradiktif, realitas adalah

kontradikisi, dengan serta merta menyiratkan respon Nietzsche pada realitas

semacam itu. Yang diperlukan untuk menghadapi realitas semacam itu dibahasakan

Nietzsche sebagai kewaspadaan22

. Kewaspadaan adalah suatu sikap yang tidak

terburu-buru mengafirmasi kenyatan secara naif, dan menegasi kenyataan secara naif.

Oleh karena itu Nietzsche mengandaikan kebenaran sebagai suatu

kekosongan, suatu yang selalu lolos dari tangkapan pemahaman. Kebenaran juga

dalam perspektif Nietzsche harus masuk ke dalam prinsip kontradiktif. Jika suatu

kebenaran tersingkap maka ia tak lagi menjadi kebenaran23

. Apa yang tersingkap tak

lagi mampu mengungkapkan sepenuh-penuhnya kebenaran apa yang hendak

disingkap. Maka idea, kata, konsep, yang merupakan upaya identifikasi dari yang tak

identik merupakan suatu penyingkapan apa yang tak tersingkap. Nietzsche

sebelumnya menulis mengenai kebenaran dalam On Truth and Lie in Extra-Moral

Sense:

21

Lihat tiga metamorfosa spirit dalam ; Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj.

Walter Kaufmann, (Penguin Books) hlm. 25 22

Lih. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.163 23

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 196

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

65

“Jadi apa itu kebenaran? Kumpulan-bergerak dari metafor dan

metonimi, Antropomorfisme, singkatnya relasi-relasi manusiawi yang telah

ditinggikan, ditransposisikan, dan dihiasi dengan puisi dan retorika, yang

setelah lama digunakan lalu tampak mapan , dan bersifat mengikat bagi

sekelompok orang; kebenaran-kebenaran adalah ilusi-ilusi yang telah

dilupakan bahwa mereka itu ilusi, metafor-metafor usang yang telah

kehilangan kekuatannya, keping uang yang telah terhapus gambarnya yang

tak lagi dianggap uang melainkan logam belaka24

.

Nietzsche hendak mengungkapkan bahwa apa yang dianggap sebagai

kebenaran adalah suatu identifikasi atas apa yang non-identik. Aktifitas unifikasi

semacam itu mengandung bahaya penghilangan multiplisitas yang partikular, artinya,

pemiskinan atas realitas itu sendiri. Realitas dari dirinya sendiri adalah plural, tidak

bisa diidentifikasi. Upaya penangkapan apa yang non-identik adalah suatu upaya

peng-kata-an, peng-idea-an. Mengenai kata Nietzsche mendefinisikan sebagai

berikut : “ Apa itu sebuah kata? Transposisi sonor sebuah rangsangan syaraf”25

.

Begitu definisi diberikan, Nietzsche langsung memperingatkan bahwa bukan

maksudnya mengatakan kata muncul dari suatu sebab (rangsangan syaraf sebagai

causa, penyebab). Ia hanya hendak mengatakan bahwa peng-kata-an sesuatu muncul

sebagai respon subyektif yang ditentukan oleh sensualitas tertentu, rangsangan ini,

dalam prosesnya yang pertama ditransposisikan ke sebuah gambaran. Gambaran

inilah yang pada gilirannya menjadi suara, dalam proses terjadinya kata, menurut

Nietzsche, semua transposisi dan pembentukannya dilakukan secara sewenang-

wenangm tanpa kaitan adekuasi apapun dengan kenyataan yang hendak di-kata-kan26

24

Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, (Humanities Press) 84 25

Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, hlm.82 26

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 175

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

66

Karena kata, konsep ,idea, merupakan suatu hal yang bersifat subyektif maka

Nietzsche menolak itu. Kata, konsep, idea dengan sewenang-wenang menindas

pluralitas demi sebuah suatu identitas fiktif. “Penghilangan yang partikular dan yang

real memberikan kita konsep atau bentuk, padahal alam, tidak mengenal baik bentuk

maupun konsep […] alam hanyalah mengenal sebuah x yang bagi kita tak

terdefinisikan dan tak bisa dimasuki”27

. Ide abstrak yang dianggap lebih sempurna

daripada realitas sendiri, bagi Nietzsche, hanyalah kualitas tersembunyi di balik

sesuatu, yang diciptakan para filsuf atau pemikir untuk menghindari kesemrawutan

yang partikular, campur aduk membingungkan yang dia hadapi dalam realitas

senyatanya.

Namun, metafisika semacam itu yang terangkum dalam anggapan mengenai

sesuatu kualitas tersembunyi masih memiliki manfaat bagi Nietzsche, setidaknya

untuk memahami kehendak dari si pemikir. Penemuan sebuah konsep eksak, yang

kekal dan sempurna yang mendasari realitas kaotik, dilihat Nietzsche sebagai

keinginan mati-matian orang gagal yang merasa menemukan kebenarannya.28

Pada problem ini nosi Kematian Tuhan dikumandangkan. Kematian Tuhan

adalah suatu kejatuhan dari sistem metafisika tradisional yang menganggap adanya

sesuatu yang Maha Meliputi di balik realitas senyatanya. Kematian Tuhan adalah

kematian idea, kata, konsep, yang mengandung kehendak dari pemikir yang

merumuskannya, dan jalan fisio-genealogis adalah jalan yang tempuh untuk

27

Friedrich Nietzsche, Philosphy and Truth, hlm.83 28

Untuk itu perlu penelusuran mengenai kehendak. Lih. A. Setyo Wibowo, hlm.169

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

67

mengintipnya.29

Di balik pengandaian seorang pemikir terdapat kehendak yang

menjadi generator pengandaian tersebut. Semakin pemikir mengandaikan sesuatu

kekekalan, kepastian suatu idea, konsep, kata, semakin menunjukan kecacatan,

keterserakan kehendak pemikir tersebut, sebaliknya, semakin ia menjauh dari idea,

konsep, kata, dan menerima realitas seada-adanya semakin menunjukan vitalitas dan

kekuatan kehendak. Untuk itu maka diperlukan suatu analisis mengenai kehendak.

2. ‘Kehendak’ dalam Pandangan Nietzsche

Sebelum masuk ke dalam wacana kehendak Nietzsche, barangkali penulis

perlu menjelaskan bagaimana Nietzsche bisa masuk pada wacana metafisika. Adalah

Martin Heidegger yang pertama kali mengangkat derajat Nietzsche dari sekedar

penyair atau sastrawan ke tataran filsafat, dengan menggunakan optik khusus dalam

membahas Kehendak Kuasa (Will to Power). Heidegger dengan amat serius memberi

stuktur dan membahasakan ulang Nietzsche dengan sangat filosofis. Bahkan ia

mampu menunjukan bahwa ia adalah metafisikus terakhir

Bagi Heidegger, Kehendak Kuasa, dengan mengutip Will to Power adalah

karakter fundamental untuk Ada. Maksudnya Kehendak Kuasa serupa dengan cara

berpikir tradisi metafisis barat sejak Platon30

. Karakter intim yang membelakangi

realitas bagi Nietzsche adalah Kehendak Kuasa tersebut. Plato melahirkan Idea

sebagai karakter dasar realitas, Arisetoteles menemukan doktrin substansi, serta

agama-agama mengatakan Tuhan sebagai yang terdasar sekaligus yang tertinggi dari

29

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 181 30

Martin Heidegger, “Nietzsche Fundamental Metaphysical Position”, Nietzsche II, terj. David

Farrell Krell, (Harper San Fransisco),1991, hlm. 201

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

68

realitas, maka Kehendak Kuasa Nietzsche juga berada dalam logika penjelasan

realitas yang sama.31

Kehendak Kuasa tidak ditafsirkan secara sederhana sebagai hasrat

mendominasi oleh Heidegger. Sebagaimana hasrat tersebut secara niscaya terkait

dengan kata kehendak itu sendiri. Dalam pemikiran Heidegger, Kehendak Kuasa

adalah The Be of being, atau Ada dari adaan-adaan. Maksudnya Kehendak Kuasa

Nietzsche adalah esensi dari seluruh ada32

.

Heidegger menafsirkan metafisika Nietzsche lewat lima kata kunci yang

bersifat saling terkait : Kehendak Kuasa, Nihilisme, Kekembalian Abadi Yang Sama,

Manusia melampaui (Ubermensch) dan, Keadian. Setiap kata kunci memiliki artinya

secara otonom, tetapi setiap kata kunci bertautan satu sama lainnya dengan pusat kata

kuncinya Kehendak Kuasa.33

Dan menurut Heidegger model berpikir metafisis ini

(dengan sebuah Ada yang menjadi kunci semua adaan) sama dengan esensi

metafisika secara umum yang dikritik Heidegger sebagai sumber aspirasi modern

yang berukung pada penguasaan alam dan bumi. Nietzsche tidak lolos dari

kecenderungan umum metafisika yan sudah dimulai dari Platon.

31

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 299 32

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 300 33

The Five main rubrics … -- “nihilism”, “revaluation of all values hitherto, “will to power”,

“eternal recurrence” and “overman” Lihat. Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell

Krell, (San Fransisco : Harper & Row) 1968, hlm. 9-10

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

69

Zaman devaluasi nilai lama, ketika semua cara menilai dunia berdasarkan

sebuah Hinterwelt34

(dunia bayang-bayang dalam bentuk Idea, Tuhan) runtuh,

membuat manusia masuk ke dalam Nihilisme. Tetapi, situasi ini tidak menghabisi

kekuatan Kehendak Kuasa. Ia masih terejawantahkan dalam situasi baru, yang dalam

bahasa Nietzsche adalah proyek penilaian kembali semua nilai-nilai. Destruksi atas

nilai kuno membuat Nietzsche mesti mengusulkan sebuah konstruksi nilai baru. Dan

persis, dengan proyek transvaluasi atas nilai-nilai lama inilah esensi sebuah nilai

masih ada dalam pemikiran Nietzsche. Bagi Heidegger, Nihilisme Nietzsche tidak

pernah menjadi “pemikiran tentang yang nihil”35

. Nihilisme hanyalah fase transisi

menuju sebuah Nilai baru, Jika bersamaan dengan dekstruksi nilai lama maka

manusia lama juga perlu dilampaui, maka muncullah Manusia yang Melampaui. Ia

adalah esensi historis Nihilisme, transformasi manusa lama ke manusia yang

tertransformasi secara baru, yang berpikir secara baru atas dasar nilai baru :

Kehendak Kuasa. Jadi, manusia yang memiliki hubungan khusus dengan Kehendak

Kuasa dan Kekembalian Abadi Yang Sama, adalah dia yang menghidupi zaman baru

setelah Nihilisme. Dalam skema Heidegger tersebut, Kehendak Kuasa menjadi titik

engkel paling inti dari Filsafat Nietzsche. Pada prinsip dan nilai baru Kehendak

Kuasa inilah kunci Metafisika Nietzsche dijabarkan oleh Heidegger.

Namun uraian di atas barulah rekonstruksi Heidegger atas Kehendak Kuasa

Nietzsche. Barangkali kita memerlukan suatu deskripsi tentang kehendak dari

34

Hinterwelt berasal dari dua kata yakni hinter yang berarti di belakang dan welt berarti dunia.

Penulis memahami kata Hinterwelt ini dengan arti Dunia yang membelakangi dunia realitas, atau

gampangnya dunia yang bersifat metafisis 35

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.300

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

70

pandangan Nietzsche sendiri. Nietzsche mengambil argumen kehendak dari Arthur

Schopenhauer dalam The World as Will and Representation.36

Dalam buku tersebut

Schopenhauer menulis sebagai berikut :

All willing springs from need, and thus from lack, and thus from suffering.

Fullfilment brings ths to an end; but for every wish that is fullfilled, at least

ten are left denied; moreover, desire last a long time and demands go on

forever; fullfillment is brief and sparsely meted out. But even final satisfaction

itselfs is only illusory; the fullfilled wish quikly gives way to a new one. No

achieved object of willing gives lasting, unwavering satisfaction; rather, it is

only everlike the alms thrown to a beggar that spares his life today so that his

agony can be prolonged until tomorrow. – Thus, as long as our consciousness

is filled by our will, as long as we are given over to the pressure of desire with

their constant hopes and fears, as long as we are the subject of willing, we

will never have lasting happiness or peace. Whether we hunt or we flee,

whether we fear harm or chase pleasure, it is fundamentally all the same :

concern for the constant demands of the will, whatever from they take,

countinuously fills consciousness and keeps subject of willing remains on the

revolving wheel of Ixionm keeps drawing water from the sieve of the

Danaidsm, is the eternally yearning Tantalus

Semua kehendak berawal dari kebutuhan, artinya, dari sebuah kekurangan,

dari sebuah derita. Kepuasan akan mengakhirinya; tetapi untuk satu keinginan

yang terpuaskan, paling tidak ada sepuluh keinginan lainnya yang tidak

terpuaskan. Apalagi, keinginan itu berlangsung lama dan tuntutan-tuntutannya

cenderung tidak terbatas; kepuasan itu pendek dan sangat terukur intinya.

Dengan demikian, kepenuhan yang akhir pun bersifat sementara belaka;

sebuah keinginan yang terpuaskan akan digantikan oleh keinginan lainnya

lagi; yang pertama adalah kesalahan yang sudah dikenali; yang kedua adalah

kesalahan yang belum dikenali. Tak satu objek kehendak pun bisa

memberinya kepuasan yang menenangkan; itu mirip dengan sumbanga yang

dilemparkan bagi orang miskin, yang akan menyelamatkannya hari ini guna

memperpanjang penderitaannya keesokan harinya. Itulah sebabnya, sejauh

kesadaran kita dipenuhi oleh kehendak, sejauh kita mengikuti impuls

keinginan dengan harapan dan kektakutannya yang kontinyum sejauh kita

dikenai kehendak, tidak akan ada kebaghagiaan dan istirahat yang cukup lama

bagi kita. Mengikuti atau menghindari, menakuti sebuah bencana atau

mengejar kenikmatan, keduanya secara esensial adalah satu dan sama:

keresahan kehendak yang selalu penuh tuntutan, dalam bentuk apapun dia

36

Nietzsche memiliki kedekatan intelektual dengan Arthur Schopenhauer, bahkan ia pernah

menerbitkan sebuah buku untuk Arthur Schopenhauer.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

71

mengujudkan dirinya, memenuhi dan selalu menggerakan kesadaran; tanpa

istirahat sehingga tidak mungkin ada ketenangan sepenuhnya. Siapa yang

dikenai kehendak nasibnya mirip dengan Ixion yang terikat pada sebuah roda

yang berputar tanpa henti, mirip dengan Danaides yang selalu berusaha

memenuhi tong-tong mereka, mirip dengan Tanatalos yang selalu senantiasa

haus”37

Schopenhauer bertitik tolak dari pengalaman berkeinginan (memiliki

keinginan, yang tak lain dan tak bukan adalah derita yang dipenuhi) dan kesia-siaan

keinginan tersebut. Ia berkutat di paradoks keinginan dan kesia-siaan: ingin, puas,

kecewa, ingin lagi dan seterusnya. Hidup ini dihayati bak upaya baru dari sesuatu.

Manusia selalu menginginkan sesuatu, tetapi ia sadar pemenuhan keinginan tersebut

tidak memuaskannya, artinya pemenuhan akan keinginan itu tidak pernah berhenti

menginginkan sesuatu. Manusia mengingkan apa yang menjadi kekurangannya,

keinginan sinonim, dengan kekurangan sesuatu. Dengan demikian, keinginan adalah

derita.

Jika demikian halnya, maka pertanyaannya adalah siapakah atau apakah yang

bertanggung jawab atas berputarnya secara abadi keinginan-keinginan yang selalu

membuat manusia terjebak dalam lingkaran derita, pemenuhana sesaat (kekecewaan),

derita baru, kekecewaan baru dan seterusnya itu? Siapakah dalang yang mendorong

kita berkeinginan secara sia-sia semacam itu? Jawaban Schopenhauer : Sang

Kehendak.

37

Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,

(Cambridge University Pers:2010) hlm. 219-220

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

72

Schopenhauer menerangkan bahwa yang menyebabkan kita masuk dalam

roda keinginan adalah hidup itu sendiri. Hiduplah yang membuat kita menginginkan

secara terus menerus. Dan inti kehidupan, bahkan inti terdalam dari alam semesta,

yang membuat keinginan kita senantiasa berubah-ubah dan selalu memiliki keinginan

baru adalah Kehendak. Bagi Schopenhauer, semua yang ada merupakan emanasi dari

suatu yang selalu bergerak, pancaran dari inti terdalam manusia dan alam semesta,

yaitu Kehendak. Saat keinginan partikular berhenti ketika pemenuhannya terjadi,

maka sebenarnya Sang Kehendak sebagai asal dari keinginan-partikular itu tidak

pernah berhenti. Dan Sang Kehendak inilah yang terus memunculkan keinginan-

keinginan lainya.

Schopenhauer membelah kehendak menjadi dua; yaitu: pertama, kehendak

partikular yang dihasilkan dari pemenuhan keinginan dari suatu kekurangan (derita)

dan derita dari pemenuhan kehinginan. Kedua, Kehendak Universal-absolut, yang

menjadi dasar atau inti terdalam dari realitas. Namun bagi Schopenhauer tidak ada

hubungan antara Kehendak Universal-Absolut dan Kehendak Partikular. Sang

Kehendak bukanlah suatu prinsip kausalitas. Ia bersifat groundless (tanpa sebab, tak

bisa ditelusuri sebagai sebuah sebab). Dia bukan sebab karena tidak memiliki tujuan

apa-apa. Jadi, karena Sang Kehendak (universal-absolut) tidak menghendaki apa-apa

kecuali pengekalan menghendaki itu sendiri, maka ia berada di luar kategori

kausalitas.38

kalau kita masih hendak mengumpamakan Sang Kehendak sebagai

Dalang, maka kita bisa membayangkannya sebagai Dalang tanpa pakem, yang

38

A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.264

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

73

mendalan tanpa maksud atau intensionalitas apapun kecuali mendalang begitu saja.

Pertanyaan yang mungkin timbul berikutnya adalah bagaimana Sang Kehendak

memiliki relasi dengan Kehendak Partikular? Sang Kehendak yang bersifat metafisis

ini menerobosi seluruh kehendak partikular yang ada di alam semesta tanpa memiliki

finalitas tertentu. Dia sendiri bersifat tak sadar, artinya manusa tidak menyadari

bahwa kehendak partikularnya sebenarnya adalah manifestasi Sang Kehendak itu

sendiri.

Nietzsche mengadopsi teori kehendak dari Schopenhauer. Namun konsep

Nietzsche tentang kehendak sangat berlainan dengan Kehendak Metafisis dalam

konsep Sang Kehendak Schopenhauer. Bagi Nietzsche, kehendak dalam konsep Sang

Kehendak Schopenhauer masih jatuh dalam upaya peng-konsep-an sebuah realitas.

Artinya, bagi Nietzsche konsep Sang Kehendak masih menampilkan upaya untuk

mereduksi sebuah realitas dalam pengekangannya pada konsep Sang Kehendak.

Nietzsche tidak membedakan antara kehendak partikular dan kehendak metafisis,

keduanya dijadikan satu. Kritik Nietzsche terhadap Schopenhauer secara eksplisit

terungkap dalam teks Beyond Good and Evil §19 sebagai berikut:

“Philosopher are accustomed to speak of the will as though it were best-

known thing in the world; indeed, Schopenhauer has given us to understand

that the will alone is really known to us, absolutely and completely

known,without deduction or addition. But it again and again seems to me that

in this case Schopenhauer also only did what philosopher are in the habit of

doing-he seems to have adopted a popular prejudice and exaggerated it.

Willing-seems to me to be above all something complicated, something that is

a unity only in name – and it is precisely in a name that popular prejudice

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

74

lurks, which has got the mastery over the inadequate precautions of

philosopher in all ages.39

"Filsuf terbiasa berbicara tentang kehendak meskipun itu adalah hal yang

paling terkenal di dunia; memang, Schopenhauer telah memberi kita untuk

memahami bahwa kehendak sendiri benar-benar diketahui oleh kita, benar-

benar dan sepenuhnya diketahui, tanpa pengurangan atau penambahan. Tetapi

berulang-ulang nampalnua bagi saya bahwa dalam kasus ini Schopenhauer

juga hanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para filsuf -- ia

tampaknya telah mengadopsi prasangka populer dan membesar-besarkannya.

Kehendak -- bagi saya tampaknya merupakan sesuatu yang rumit, sesuatu itu

adalah persatuan hanya dalam nama - dan justru dalam nama itulah prasangka

populer mengintai, yang telah mendapatkan penguasaan atas tindakan

pencegahan yang tidak memadai dari filsuf di segala usia.

Paragraf pertama dari Beyond Good and Evil §19 memperlihatkan kritik

Nietzsche pada Schopenhauer sekaligus penjelasan versi Nietzsche sendiri tentang

apa itu kehendak. Definisi Nietzschean menunjukkan bahwa kehendak adalah

gerakan afeksional. Isitilah yang dipakai untuk menggambarkan hal kompleks ini

adalah affect, bukan passion yang bisa mengalihkan perhatian ke nafsu. Keinginan

Mememintah, Affect to command adalah denyutan dari dalam, yang muncul

mengemuka dari pluralitas sentimen yang sebelumnya belum tentu tersatukan. Affectt

ini muncul mengemuka dan dikatakan setelah ia mengalami keadaan teruji yang

melibatkan tubuh, pemikiran , dan seluruh ragam sentimen manusia.40

Jika digambarkan kehendak kata kehendak menurut Nietzsche adalah satu

kesatuan dari tubuh manusia yang tampil sebagai sesuatu yang mendera, merangsang,

menggerakan tubuh, kemudian, ia terdiri bukan dari satu sentimen melainkan banyak

39

Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :

thewriterdirection.net : 2004, hlm 25 40

Lihat. Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, hlm.27

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

75

sentimen. A. Setyo Wibowo menjelaskan mengenai kehendak Nietzsche sebagai

berikut: “Apa yang disebut kehendak – yang kesatuan katanya murni hanya kesatuan

verbal – bukan hanya amalgam macam-macam sentimen dan pemikiran. Unsur-unsur

plural itu, bila tersatukan akan muncul sebagai sebuah kehendak. Seumpama kereta

dengan dua kuda, maka yang namanya sebuah kehendak bukan hanya campuran sais,

dua kuda dan kereta, melainkan gerakan yang muncul saat sais (pemikiran legislator)

menyatukan dan memerintah dua kuda untuk menggerakan kereta menuju satu arah”.

Dengan demikian kehendak adalah suatu Affect to command yang mengatur dan

menyatukan unsur-unsur yang ada dalam dirinya sendiri tanpa penghilangan salah

satu unsur, tanpa pula membiarkan diri diserap oleh masing-masing unsur. Sebuah

tindak memberi bentuk pada apa yang kaostis menjadi sebuah kosmos (keteraturan)

itulah yang disebut kehendak. 41

3. Metafisika Imanen Nietzsche

Metafisika Imanen adalah upaya penulis merekonstruksi pemikiran Nietzsche

mengenai metafisika. Nietzsche menolak gagasan metafisika tradisional yang

mengandaikan suatu entitas pejal di balik realitas seada-adanya. Barangkali Nietzsche

bisa diartikan sebagai pemikir yang anti-metafisika. Namun dalam pemikirannya

terdapat semacam metafisika yang sangat berlainan dengan metafisika tradisional

Jika metafisika tradisional berupaya meringkus realitas pada Idea, yang

bersifat transenden, maka anti-metafisika atau metafisika Nietzschean adalah

metafisika yang bersifat imanen. Metafisika sebagai suatu fiksi yang mendorong

41

A. Setyo Wibowo, hlm. 285

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

76

terbentuknya realitas, harus terdapat dalam realitas itu sendiri. Sebab pengandaian

akan suatu yang bersifat non-realitas pada akhirnya mereduksi realitas.

Bagi Heidegger, metafisika Nietzsche terletak pada Kehendak Kuasa. Sebagai

pembalik Platon, karena filsafat Nietzsche adalah sebuah reversed Platonism,

Nietzsche tidak lolos dari logika platonisian. Nietzsche adalah metafisikus terakhir.

Di mata Heidegger, filsafat Nietzsche pada akhirnya jatuh dalam pengoposisian

antara Wahre Welt (dunia sejati) dengan Scheinbare Welt (dunia selubung), atau

antara Welt (dunia) dan Nicht (kekosongan).42

Oposisi a la metafisika ini, di mata

Heidegger tampak dalam pelalaian Nietzsche atas pemikiran yang nihil. Dalam hal

tersebut, masuk pula afirmasi pada kehidupan, Nietzsche cenderung menghindari

kematian. Padahal, bagi Heidegger, kekoksongan bersifat konstititutif bagi ada di

sana (Da-Sein). Dengan begitu, bagi Heidegger, Nietzsche adalah seorang Platonik

yang fanatis, yang tak lain adalah metafisikus terakhir.43

Strategi dari bacaan Heideger adalah mengesensialkan Nietzsche untuk

akhirnya mengotakannya dalam Metafisika. Sama seperti seluruh pemikiran lainnya

sebelum Heidegger, ia melihat pemikiran Nietzsche bersifat metafisis karena masih

berkutat pada sebuah prinsip dasar yakni Kehendak Kuasa. Selama ada sesuatu yang

bersifat inti murni dalam sebuah pemkiran, di situ Heidegger mendeteksi adanya

42

Martin Heidegger, Nietzsche, Vol.III, terj. David Farrel Krell, hlm.4 43

Soner Soysal, Nietzsche’s Perspectivist Epistemology, thesis (Middle East Tehnical

University : Ankara:2007)hlm. 75

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

77

identitas pejal metafisis yang siap memaksakan kehadirannya dalam sebuah

kebenaran korespondensi.44

Namun yang bermasalah dari tesis Heidegger mengenai posisi Metafisika

Nietzsche adalah pengabaian Heidegger atas argumen Nietzsche mengenai Kehendak,

Kehendak Kuasa, atau lebih luas lagi tentang konsep atau kata yang merupakan

ungkapan yang semata-mata ungkapan terbatas untuk mengkatakan realitas yang

plural, kaotis, kompleks dan sebenarnya tak terkatakan. Kita perlu mengakui bahwa

Filsafat Nietzsche adalah Filsafat anti-metafisika. Namun tesis Heidegger ini juga

berguna untuk menjelaskan bahwa dibalik posisi anti-metafisika terdapat semacam

metafisika lain yang merupakan pembalikan dari metafisika tradisional atau yang

bersifat transenden. Metafisika itu adalah metafisika imanen, yang terangkum dalam

realitas kaotis sebagai inti dari pemikiran Nietzsche.

44

Soner Soysal, Nietzsche’ s Perspectivist Epistemology, hlm. 78

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

78

BAB V

ANALISIS PANDANGAN METAFISIKA NASR DAN NIETZSCHE

A. Persamaan Metafisika Nasr dan Nietszche

1. Kritik Nasr dan Nietzsche terhadap Modernisme

Pada bagian ini kita akan melihat kritik Nasr dan Nietzsche terhadap

modernitas. Tepat pada titik inilah, yakni kritik terhadap modernitas, adalah titik

persamaan metafisika Nasr dan Nietzsche. Untuk itu kita perlu menelaah argumen

dari masing-masing pemikir berkenaan dengan modernisme.

Nasr dengan panjang lebar mengkritik peradaban Filsafat Barat modern dalam

buku Knowledge and the Sacred. Untuk memulai diskusi tentangnya marilah kita

melihat catatan Nasr sebagai berikut:

“ The secularitation of the cosmos was also related to the secularitation of

reason. Although there are numerous intelectual and historical causes for the

desacralisation of the cosmos, the reduction of the knowing mind or the subject of the

Cartesian cogito to the purely rationalistic level was certainly one of the main ones.

It is not accidental that the mechanization of the cosmos and the emptiyng of the

substance of the world of its sacred quality took place at the same time as

desacralitation of knowledge and the final divorce between the reason which

“knows” scientifically the world of faith on the one hand, and the Intellect which

knows principally and essentially on the other. Some have even attributed spiritual

chaos of modern time to this mechanization of the world in seventeeth-century

science1.

( “Sekularisasi alam semesta (cosmos) juga memiliki hubungan dengan sekularisasi

nalar. Meskipun terdapat beragam penyebab intelektual dan historis untuk

sekularisasi alam semesta, reduksi pikiran yang mengetahui atau subjek dari cogito

Cartesian kepada sesuatu yang sepenuhnya berada pada tingkatan rasionalistik adalah

salah satu diantara yang utamanya. Bukanlah suatu kebetulan bahwa mekanisasi alam

semesta dan pengosongan substansi dari dunia akan kualitas sakralnya terjadi pada

waktu yang sama dengan desakralisasi pengetahuan dan perceraian akhir antara akal

1 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 45

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

79

(yang merupakan faklutas manusia) yang mengetahui secara saintifik dari dunia iman

di satu sisi, dan Akal (entitas diluar manusia yang padanya akal manusia menerima

pengetahuan) yang mengetahui secara prinsip dan secara esensial di sisi yang lain.

Beberapa diantaranya bahkan telah menghubungkan kekacauan spiritual dunia

modern pada mekanisasi alam semesta ini dalam sains abad ke tujuh belas.)

Bagi Nasr, kenestapaan manusia modern terjadi diakibatkan oleh karena

sekularisasi, baik itu sekularisasi alam semesta maupun sekularisasi pengetahuan.

Sekularisasi alam semesta terjadi dikarenakan banyak faktor. Namun faktor utamanya

adalah sekularisasi pengetahuan. Sekularisasi atau desakralisasi alam semesta

berakibat pada krisis ekologi. Baginya kondisi modern saat ini adalah suatu kondisi

kerusakan yang terjadi dari sesuatu yang paling utama yakni akal.

Upaya desakralisasi ini adalah upaya manusia modern, wacana filsafat

modern pada umumnya untuk keluar dari bayang-bayang gereja dan agama. Manusia

modern yang diwakili oleh peradaban barat telah begitu membenci agama, tradisi,

dan Tuhan yang dipraktikan oleh gereja pada era pertengahan. 2

Pada persoalan desakralisasi pengetahuan Nasr melihat bahwa upaya Rene

Descartes untuk mengetengahkan cogito atau subjek yang mengetahui telah menutup

pintu-pintu dari pengetahuan lainnya. Bagi Nasr, upaya tersebut telah menutup

manusia untuk mendapatkan pengetahuan dari Wahyu dan Intuisi. Sehingga ia

mengaggap bahwa peringkusan pengetahuan pada hanya tataran rasionalistik telah

membawa manusia bercerai dengan Intelek. Ketika mencari suatu dasar bagi

pengetahuan, Descartes tidak menariknya pada Intellect, yang berfungsi pada batin

2 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 44

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

80

manusia dan nalar manusia, tidak juga pada wahyu. Ucapan cogito ergo sum,

menandakan makna metafisis pada keutamaan subjek atau „Aku‟. „Aku‟ yang dirujuk

oleh Descartes bukanlah „Aku‟ yang memiliki implikasi pada yang ilahi melainkan

pada diri sendiri. Jika dikaitkan dalam pandangan tradisional3 dimana „aku‟ sebagai

diri sendiri adalah „aku‟ bayangan, ilusi, sementara „Aku‟ yang real adalah Tuhan,

maka ucapan Descartes disandarkan pada „aku‟ yang ilusi, bayangan sebagai dasar

pengetahuan dan keberadaan segala sesuatu. Sehingga meski Descartes masih

mempercayai Tuhan, kepercayaannya tidak dibuktikan melalui „Tuhan‟, melainkan

„aku‟. Dengan begitu Nasr menyimpulkan betapa rapuhnya bangunan konsep

Descartes4

Kemudian kutipan ini juga menyiratkan bahwa manusia modern atau wacana

metafisika Barat modern telah gagal untuk menangkap Realitas Ilahi. Hal ini

dikarenakan Realitas ilahi tidak bisa hanya dipahami melalui kemampuan

rasionalistik, melainkan sumber-sumber pengetahuan lainnya seperti Wahyu dan

Intuisi.

Desakralisasi merupakan poin penting untuk memahami kritik Nasr terhadap

Metafisika Barat. Metafisika Barat modern, bagi Nasr, tidak lagi memiliki hubungan

dengan Yang-Sakral, Realitas Ilahi, Tuhan. Desakralisasi diakibatkan oleh

3 Untuk membedakan pemikiran yang berdasarkan pada Tradisi dan Modern Nasr menulisnya

dengan istilah tradisional, Lih. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41 4 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

81

modernisasi yang mengilangkan makna-makna akan yang sakral pada manusia,

sehingga Realitas Ilahi menjadi tidak dapat diraih lagi untuk dipahami.5

Barangkali untuk memperlihatkan kritik terhadap modernisme penulis awali

dengan kritik pada modernisme pada umumnya. Nietzsche melihat apa yang

dilakukan oleh pemikir Barat sebagai pelanggengan dari Idea, atau suatu entitas pejal

dalam bentuk Tuhan dalam tradisi agama, Das Ding An Sich dalam Filsafat Kant,

Roh Absolut dalam Filsafat Hegel, atau Kebenaran dalam tradisi Saintifik.6

Kesemuanya itu masih mengandaikan suatu Causa Sui (Sebab Terhakhir yang dirinya

sendiri disebabkan oleh dirinya sendiri). Penghendakan atas causa sui semacam itu

yang hanyalah simtom-simtom dari ketidakberanian para pemikir untuk memasuki

realitas yang kaotis, yang berubah, yang selalu lolos dari identifikasi.7

Dengan cara begitu, metafisika tradisional – yang lahir dari tradisi platonis –

telah memalsukan dunia dengan mengadakan sesuatu (Ada/being/sein/causa) yang

sebenarnya tidak ada. Oposisi yang dibuat metafisika tradisional antara sesuatu yang

lebih real, lebih sejati, lebih kekal daripada realitas senyatanya dilihat Nietzsche

sebagai cerita mengada-ngada. Di balik dunia ini ada causa sui,ada Being, yang

mengadakannya atau esensi yang mengadakan atau menopangnya ; dan esensi itu

bersifat kekal, sempurna, lebih berarti.

5 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 1-2

6 Mengenai kritik Nietzsche terhadap Kant dan Hegel dapat dilihat dalam : Friedrich Nietzsche,

The Gay Science, §357 “Tentang Persoalan Lama, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka

Antinomi) 2017, hlm. 183

hlm .328 7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.135

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

82

Pencaraian semacam itu, suatu Ada dalam dirinya sendiri, adalah

kecenderungan manusia untuk membuat fiksi tersebut. Manusia membutuhkan

sesuatu untuk dipercayai. Sebagaimana dinyatakan Nietzsche dalam teks Beyond

Good and Evil §4 sebagai berikut:

“[…] Manusia tidak bisa hidup tanpa mengkaitkan dirinya pada fiksi-fiksi

logika, (tidak bisa hidup) tanpa menghubungkan dengan sebuah dunia khawal yang

absolut dan identik, […] manusia cenderung cenderung menciptakan dunia khayali

Hinterwelt. […] Membuang penilaian yang salah sama dengan menolak/kehidupan.

Mengakui ketidakbenaran sebagai kondisi kehidupan, itulah cara yang penuh bahaya

utuk melawan makna nilai-nilai yang biasanya umum diterima. Dan sebuah filsafat

yang mengambil risiko seperti itu, otomatis dia sudah menempatkan dirinya

melampaui baik dan jahat.”8

Kekeliruan adalah bagian tak terpisahkan dari kebenaran. Ambisi pokok

metafisika tradisional adalah menemukan kebenaran ultim (kebenaran sebenar-

benarnya yang merupakan dasar segala sesuatu). Pengandaiannya, bila kebenaran bisa

dicapai maka kehidupan akan mencapai kesempurnaannya yang tertinggi. Di mata

Nietzsche, ambisi mati-matian akan kebenaran ini memiliki resiko besar untuk

mematikan sebagian dari kehidupan yang nyata.

Barangkali nosi Nietzsche menegani Kematian Tuhan adalah kritik Nietzsche

pada sistem metafisika tradisional. Untuk itu penulis akan mengetengahkan teks

Kematian Tuhan sebagai berikut:

“Si orang sinting. Pernahkah kalian mendengar kisah tentang orang sinting, yang

menyalakan lentera pada siang hari bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak

tanpa henti „Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!‟ – dan karena persis di

sana terkumpul banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan yang tidak percaya

pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang meriah. Apakah

8 Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-book:

thewritedirectio.net, hlm.8-9

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

83

kita kehilangan Tuhan? kata yang satu. Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil?,

kata yang lainnya lagi. Atau mungkin dia bersembunyi entah dimana? Apa dia

takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia sudah berimigrasi? –

demikianlah mereka berteriak-teriak dan tertawa sekaligus. Orang sinting itu

segera mendatangi orang-orang tersebut dan memandang tajam mereka „Dimana

Tuhan?‟ teriaknya. Aku akan mengatakannya kepada kalian. Kita telah

membunuhnya – kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. 9

Nosi Kematian Tuhan mengisahkan manusia yang tak lagi mempercayai

Tuhan. kumpulan orang-orang di pasar menandakan kaum cerah yang menertawakan

gagasan mengenai Tuhan. Kematian Tuhan adalah kematian yang paling agung,

sebab Tuhan merupakan suatu causa sui, sebab utama, realitas akhir yang dibawa dari

tradisi Platonis-Kristen. Bisa dikatakan, dengan begitu, Kematian Tuhan adalah

upaya Nietzsche untuk membalik tradisi Filsafat Barat yang berakar pada tradisi

Platonis.

Nosi Kematian Tuhan merupakan suatu kritik yang dilancarkan bagi Hegel

dan Kant. Hegel dan Kant telah selalu menghendaki secara mati-matian

mempertahankan karakter Platonis-Kristen dalam bangunan filsafatnya. Bagi

Nietzsche bangunan canggih monumen-monumen pemikiran Jerman yang terkandung

dalam Filsafat Kant dan Hegel hanyalah monumen dingin yang justeru

memperlambat gerak sejarah. Pendasaran filsafat pada suatu yang absolut, seperti

9 Friedrich Nietzsche, The Gay Science,terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka Antinomi)

2017, hlm. 183

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

84

Das Ding an Sich Kant, Roh Absolut Hegel, berwatak pesimis dan tidak afirmatif

terhadap kehidupan. 10

B. Perbedaan Metafisika Nasr dan Nietzsche

1. Epistemologi Nasr dan Nietzsche

Penjabaran metafisika selalu mengandaikan asumsi tentang sumber-sumber

pengetahuan. Adanya perbedaan konsep metafisika menyiratkan sumber pengetahuan

atau epistemologi yang berbeda diantara para filsuf. Pelacakan epistemologi juga

berguna untuk menjelaskan pada taraf atau bentuk seperti apa sebuah pemikiran

didasarkan.

Oleh sebab itu penulis melihat pentingnya penelusuran sumber-sumber

pengetahuan dari para filsuf. Penelusuran ini berkisar pada apa-apa yang dikehendaki

oleh para filsuf sebgai teori pengetahuan. Juga pada apa yang tidak dikehendakinya

atau ditolaknya.

Pendapat Nasr yang menganggap realitas terbelah menjadi dua, yakni Realitas

Ilahiyah (Divine reality) dan realitas duniawi (reality dengan r kecil)

mengimplikasikan derajat realitas tersebut. Realitas Ilaihyah adalah suatu taraf

realitas yang padanya segala sesuatu disandarkan. Bagi Nasr pengetahuan yang benar

adalah pengetahuan yang telah selalu diraih dari Realitas Ilahiyah. Dan untuk

mencapai Realitas Ilahiyah tersebut seseorang harus men-transenden-kan dirinya

10

Lih. Friedrich Nietszche, The Gay Science, §357 dengan Judul “Tentang Persoalan Lama”,

hlm. 328

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

85

melalui kontemplasi. Mengenai kontemplasi Nasr memberikan sebuah catatan khusus

secara panjang dalam Islam and The Plight of Modern Man sebagai berikut:

“Contemplation in Islamic Spirituality, as in other integral tradition, is

essentially a knowledge that relate the knower to higher modes of being.”11

(Kontemplasi dalam spiritualitas Islam, sebagaimana dalam tradisi intergral

lainnya, adalah suatu hubungan yang secara esensial menghubungkan antara

yang-mengetahui dan Ada-dengan-mode-yang-lebih-tinggi)

Kontemplasi adalah suatu usaha manusia untuk mencapai Ada dengan cara

adanya yang lebih tinggi. Ia menyaratkan suatu usaha manusia untuk meraih

pengetahuan dari Ada dengan cara adanya yang lebih tinggi. Usaha tersebut bagi Nasr

menubuh dalam kehidupan para Sufi. Sufi, bukan hanya ia menerima secara pasif

pengetahuan atau ma‟rifah akan pengetahuan tentang Tuhan, melainkan juga diraih

melalui usaha yaitu Dzikr.

Dzikir bagi Nasr adalah kontemplasi. Dimana mereka yang ber-Dzikir

mengingat dengan menyebut-nyebut Nama Allah pada akhirnya menentun mereka

yang ber-Dzikir pada penyaksian Allah12

. Namun Dzkir yang menyampaikan manusia

pada Realitas Ilahi adalah Dzikir sejauh hubungannya dengan tindakan atau aksi.

Mereka yang ber-Dzikir setelah mencapai Realitas Ilahi dituntut untuk kembali ke

realitas dan memberi pencerahan pada realitas dari pengetahuannya menegai Realitas

Ilahi.13

11

Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm.103 12

Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 110 13

Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.111

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

86

Dalam Dzikir terdapat tiga macam fakultas manusia yang perlu diasah yakni:

rasionalitas, wahyu, dan kecerdasan intuisi. Rasionalitas adalah kemampuan akal

untuk menyelami Realitas Ilahi melalui demonstrasi. Wahyu merupakan suatu

penyingkapan Realitas Ilahi melalui kitab suci. Sedangkan Kecerdasan Intuisi

merupakan kemampuan manusia untuk menerima emanasi Realitas Ilahi. Bagi Nasr

ketiga fakultas tersebut merupakan suatu kesatuan. 14

Nasr menolak gagasan untuk merasionalisasi masalah-masalah filsafat. Hal ini

dikarenakan Nasr percaya bahwa jalan merasionalisasi masalah-masalah mendasar

filsafat tidak dapat hanya diselesaikan melalui proses rasionalisasi. Nasr menganggap

bahwa filsafat rasionalistik dan logis baik untuk dipelajari oleh pelajar-pelajar

Muslim. Namun filsafat rasionalistik yang dikehendaki Nasr bukan hanya suatu

analisis belaka melainkan dalam rangka menyelamatkan tradisi intelektual Islam dari

kekacauan15

sebagaimana Nasr nyatakan berikut:

“ Islam respect logic because on its own level of logic is an aspect of the truth

and the truth is name of Allah. Intelegence is likewise a divine gift which leads Man

to an affirmation of the doctrine of unity (al-Tawhid) and the essential varieties of the

islamic revelation”. The use of logic in the worldview of Islam is as a ladder which

leads man to the Divine.16

Pada persoalan pengetahuan ini Nasr mencoba mengkritik Nietzsche. Nasr

menganggap Nietzsche, melalui nosi The Death of God sebagai seorang

14

Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 130-131 15

Mehdi Aminrazavi, “ Philosophia and Scientia Sacra”, dalam The Philosophy of Seyyed

Hossein Nasr,hlm. 560 16

Seyyed H. Nasr, “Revelation, Intellect and Reason in the Qur‟an”, dalam Journal of

Regional Culture Institiute Vol.1, no.3 (Summer: 1968), hlm.61

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

87

promethean17

. Promethean adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk tidak

menyampaikan pengetahuan akan Yang Sakral18

. Nosi The Death of God, bagi Nasr

merupakan suatu upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari Yang-Sakral, yang

dimulai dengan „mematikan Tuhan‟. Pada akhirnya manusia hanya menerima sesuatu

yang berupa penampakan.

Pertanyaan yang timbul dengan segera, barangkali, ialah bagaimana

pandangan Nietzsche mengenai teori pengetahuan? Nietzsche, bagi penulis,

merupakan seorang pemikir dengan gaya berfilsafat yang tidak tersistematis.

Penelusuran mengenai teori pengetahuan atau epistemologi Nietzsche memerlukan

suatu observasi mendalam tentangnya. Mengenai hal ini penulis hendak menyatakan

bahwa tidak ada suatu gagasan yang eksplisit dalam Filsafat Nietzsche mengenai teori

pengetahuan. Namun tentu penelaahan mengenai teori pengetahuan Nietzsche masih

memungkinkan melalui pemahaman realitas Nietzsche

Untuk itu kita perlu kembali pada asumsi Nietzsche soal Realitas. Bagi

Nietzsche realitas adalah campur aduk, kesatuan kaotis dan kosmis, suatu kontradiksi.

Oleh karena realitas adalah kontradiksi maka peng-konsep-an, peng-kata-an realitas

mereduksi realitas tersebut. Oleh sebab itu Nietzsche mengandaikan tidak ada yang

namanya realitas objektif. Pada The Will to Power §567 menulis sebagai berikut:

17

Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm.182 18

Seyyed H. Nasr, Science and Civilization in Islam , (New York: The American Library:

1970), hlm. 146-157

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

88

“The perspective, therefore, decides the character of „appearance‟! As if a

world would still remain over after one deducted the perspective! By doing that one

would deduct relativity”19

(perspektif, oleh karenanya, menentukan watak dari „penampakan‟! Seolah-

olah sebuah dunia masih akan tetap ada setelah seseorang mengurangi perspektif!

Dengan melakukannya seseorang akan mengurangi relativitas).

Barangkali Perspektifisme adalah suatu upaya Nietzsche untuk memahami

realitas yang kontradiktif. Perspektifisme adalah alternatif Nietzsche untuk tradisi

epistemologi.20

Barangkali ia mencoba mengembangkan suatu pemahaman teori

pengetahuan atau epistemologi berdasarkan pada doktrin will to power dan

interpretasi. Ia menyabut perspektivisime sebagai salah satu penemuan

fundamentalmya, dan menjelaskan inovasi ini dengan menyebut “pada tempat

epistemologi, suatu teori perspektif mengenai afeksi”21

. Kritiknya pada asumsi-

asumsi dan konsep-konsep yang paling agung dan paling dipercaya dari tradisi

epistemologi filsafat Barat nampaknya bertujuan pada menampilkan watak

perspektifal dan interpretatif.

Dalam artian lain perspektivisme dapat dilihat sebagai suatu alternatif untuk

menilai paradigma kognitif seseorang dengan menampilkan asal muasal yang

terselubungnya, yakni dengan menunjukan penolakannya atas watak keberubahan

atau kemenjadian realitas. Penyingkapan selubung dari akar-akar terselubung

19

Friedrich Nietzsche, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. (New York :

Vintage Book : 1968) hlm. 305-306 20

Soner Soysal, Nietzsche‟s Perspectivist Epistemology : Epistemological Implications of Will

to Power, Disertasi ( Departemen of Philosophy Middle East Technical University :Ankara: 2007),

hlm.102 21

Friedrich Nietzsche, Will to Power, 305.

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

89

paradigma kognitif seseorang sama dengan menghancurkan paradigma tersebut22

.

Dus, hal ini bisa berarti bahwa Nietzsche sedang berusaha untuk membalikam konsep

tradisional seperti subjek dan objek, dunia penampakan dan dunia real, kausalitas,

sesuatu-pada-dirinya, logika serta metafisika Barat.

Memang tidak ada suatu teks yang mendefinisikan dengan jelas definisi dari

perspektifisme Nietzsche, barangkali kita bisa merekonstruksi perspektifisme

Nietzsche berdasarkan kutipan Genealogy of Morals sebagai berikut:

“ Let us be on guard against the dangerous old conceptual fiction that posited

a “ pure, will-less, pain-less timeless knowing subject”; let us guard against

the snares of such contradictory concept as “pure reason”, “absolute

spirituality”, “knowledge in itself”; these always demand that we should

think of an eyethat is completely unthinkable, an eye turned in no particular

direction, in which the active interpretating forces, through which alone

seeing becomes seeing something, are supposed to be lacking; these always

demand of the eye an absurdity and a nonsense. There is only a perspective

seeing, only a perspective “knowing”; and the more affects we allow to speak

about one thing, the more eyes, different eyes, we can use to observe one

thing, the more complete will our “concept” of this thing, our “objectivity”,

be. But to eliminate the will together, to suspend each and every affect,

supposing we were capable of this – what would then mean but to castrate the

intellect?23

"Mari kita berjaga-jaga terhadap fiksi konseptual lama yang berbahaya yang

mengemukakan" subjek pengetahuan yang murni, tanpa keinginan, tanpa rasa

sakit yang abadi "; mari kita waspada terhadap jerat konsep kontradiktif

seperti "akal murni", "spiritualitas absolut", "pengetahuan pada-dirinya-

sendiri"; kesemua itu selalu menuntut bahwa kita harus berpikir tentang mata

yang benar-benar tidak terpikirkan, mata berputar ke arah tertentu, di mana

kekuatan penafsiran aktif, yang melaluinya melihat hanya menjadi melihat

sesuatu, dianggap kurang; semuanya selalu menuntut mata sebuah, absurditas

dan omong kosong. Hanya ada perspektif untuk melihat , hanya perspektif

perspektif "mengetahui"; dan semakin banyak pengaruh yang kita izinkan

untuk berbicara tentang satu hal, semakin banyak mata, mata yang berbeda,

22

Soner Soysal, hlm. 103 23

Friedrich Nietzsche, Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann, (New York: Vintage

Book: 1967), hlm.119

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

90

yang dapat kita gunakan untuk mengamati satu hal, semakin lengkap "konsep"

kita tentang hal ini, "objektivitas" kita. Tetapi untuk menghilangkan keinginan

bersama, untuk menangguhkan setiap pengaruh, seandainya kita mampu

melakukan ini - apa artinya kemudian mengebiri kecerdasan?

Kutipan tersebut membuat jelas bahwa Nietzsche menuduh paradigma

epistemologi barat mengadopsi suatu perspektif Mata Tuhan24

terhadap dunia. Ia

mencoba untuk memahami dunia melalui suatu perspektif statis, yang memasukan

penolakan atas perspektif aktif dan kekuatan interpretasi, yakni Kehendak Kuasa.

Pengadopsian suatu perspektif seperti itu adalah absurd dan tidak masuk akal, karena

ia membutuhkan suatu subjek yang mengetahui, yang begitu „murni‟ sehingga tidak

ada tujuan inheren dalam usaha-usaha kognitifnya untuk mengetahui atau untuk

memahami dunia. Subjek pengetahuan, oleh karenanya, terbebas dari seluruh tujuan

kehendak, dan penderitaan, melihat dunia dingan mata seperti Mata Tuhan, yang

kepadanya dunia merupakan suatu keteraturan yang terdeterminasi.

Bagi Nietzsche, melalui interpretasi atas teks di atas, gagasan keduanya, baik

subjek dan dunia seperti itu, tidak masuk akal, karena keduanya adalah Kehendak

Kuasa, yang memiliki tujuan esensial untuk meningkatkan kekuatannya. Dalam

artian lain, subjek yang mengetahui, sebagai Kehendak Kuasa atau pusat kuasa,

secara aktif menginterpretasikan dunia dari perspektif yang bertumbuhnya itu, dan

dunia adalah suatu yang kontradiktif membentuk pusat kuasa semacam itu, bahkan

tiap-tiap pusat kuasa melihat dan mengetahui dunia melalui perspektif itu.

24

Istilah Mata Tuhan adalah suatu konsep mengenai subjek yang mengetahui segala sesuatu.

Baginya realitas adalah sesuatu yang dianggap dirinya. Lihat Soner Soysal, hlm. 104

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

91

Suatu pusat kuasa dunia adalah tak lain kecuali totalitas dari interpretasi yang

dibuat olehnya melalui prespektifnya yang diadopsi terhadap tiap-tiap pusat kuasa

lainnya. “Tiap pusat kuasa mengadopsi suatu perspektif terhadap seluruh

peninggalan, yakni valuasi khusus yang dimilikinya, mode tindakannya, dan mode

perlawanannya”25

. Bagi Nietzsche, sebagaimana ditunjukan sebelumnya, dunia dan

realitas bukanlah sesuatu melainkan totalitas dari perspektif-perspektif, atau valuasi-

valuasi, atau tindakan-tindakan26

. Karena hal ini, Nietzsche mengklaim bahwa kita

hanya bisa memiliki sebuah pengetahuan tentang sesuatu. Yakni, ketika kita bertanya

“apa itu?” kita hanya bertanya mengeenai “apa itu bagi saya?”27

Karena, sebagaimana

Nietzsche nyatakan, dihadapan sesuatu atau sebuah fakta yang telah menjadi objek

pertanyaan “apa itu?” “tidak ada „fakta-pada-diri-mereka-sendiri‟28

, karena suatu

makna harus selalu terproyeksikan pada mereka sebelum mereka menjadi „fakta‟”.

Hanya kemudian, sesuatu atau fakta nampak bagi kita sebagai sesuatu atau sebuah

fakta, yang menanggung suatu makna bagi kita29

.

Dalam artian lain, bagaimanapun juga, sesuatu atau sebuah fakta, harus

menjadi sesuatu untuk mempertanyakan maknanya; gampangnya, ia mesti menjadi

sesuatu yang mempengaruhi kita dalam perengkuhan kekuatan. Apa yang sebenarnya

kita pertanyakan ketika kita bertanya “apa itu?” adalah bahwa kita

menginterpretasikannya dari prespektif kekuatan yang bertambah kita; apakah ia bisa

menambah kekuatanku, atau bagaimana ia bisa mempengaruhiku. Oleh karenanya,

25

Friedrich Nietzsche, Wil to Power, hlm.305 26

Lih. Soner Soysal, hlm.104 27

Friedrich Nietzsche, Will to Power, hlm. 305 28

Friedrich Nietzsche, Will to Power,hlm. 306 29

Soner Soysal, hlm.105

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

92

pertanyaan dasar kita menjadi “apa itu bagiku?”; atau sebagaimana Nietzsche katakan

“pada dasarnya selalu terdapat „apa itu bagiku?‟ (bagi kita, bagi seluruh yang

hidup)30

.

Tabel 1

Perbandingan Metafiska Nasr dan Nietzsche

Aspek Nasr Nietzsche

Metafisika Transenden, terdapat pada

Realitas Ilahi, Yang-Sakral,

Tuhan yang menjadi dasar

yang mendeterminasi yang

rill.

Imanen (melalui rekonstruksi

Heidegger), dalam Kehendak

Kuasa.

Kebenaran Ada, Tuhan Kekosongan

Realitas Hierarkis Kontradiksi

Argumentasi Yang Sakral, bagi Nasr,

merupakan memiliki

tingkatan hierarkis yang lebih

tinggi sekaligus mendasari

yang jamak, pada dasarnya

merupakan esensi dari segala

keberadaan dalam semesta.

Yang-Sakral oleh karena itu

mendeterminasi dunia rill,

dunia senyatanya. Yang-

Sakral juga bersifat

transenden dan usaha untuk

menggapai yang sakral adalah

dengan cara transendensi.

Devaluasi nilai lama, ketika

semua cara menilai dunia

berdasarkan sebuah Hinterwelt

(dunia bayang-bayang dalam

bentuk Idea, Tuhan) runtuh,

membuat manusia masuk kedalam

Nihilisme. Destruksi atas nilai

kuno membuat Nietzsche mesti

mengusulkan sebuah konstruksi

nilai baru. Dan persis, dengan

proyek transvaluasi atas nilai-nilai

lama inilah esensi sebuah nilai

masih ada dalam pemikiran

Nietzsche. Desktruksi nilai-nilai

lama mengandaikan manusia yang

melampaui, dalam hal ini manusia

yang melampaui adalah manusia

yang memiliki vitalitas atas

Kehendak Kuasa

30

Friedrich Nietzsche, Will to Power, hlm.306

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

93

Tabel 2

Kritik Terhadap Modernisme

Aspek Nasr Nietzsche

Kritik Terhadap

Modernisme

Desakralisasi Kematian Tuhan

Argumentasi Desakralisasi merupakan poin

penting untuk memahami kritik

Nasr terhadap Metafisika Barat.

Metafisika Barat modern, bagi

Nasr, tidak lagi memiliki

hubungan dengan Yang-Sakral,

Realitas Ilahi, Tuhan.

Desakralisasi dikibatkan oleh

modernisasi yang mengilangkan

makna-makna akan yang sakral

pada manusia, sehingga Realitas

Ilahi menjadi tidak dapat diraih

lagi untuk dipahami

Nosi Kematian Tuhan mengisahkan manusia yang

tak lagi mempercayai Tuhan.

kumpulan orang-orang di

pasar menandakan kaum

cerah yang menertawakan

gagasan mengenai Tuhan.

Kematian Tuhan adalah

kematian yang paling agung,

sebab Tuhan merupakan suatu

causa sui, sebab utama,

realitas akhir yang dibawa

dari tradisi Platonis-Kristen.

Bisa dikatakan, dengan

begitu, Kematian Tuhan

adalah upaya Nietzsche untuk

membalik tradisi Filsafat

Barat yang berakar pada

tradisi Platonis.

Tawaran solusi

Bagi Modernisme

Tradisionalisme;

Mengembalikan Yang-Sakral

pada seluruh aspek kehidupan,

baik itu pada tingkatan diskursif

serta pada penghayatan diri.

Nihilisme; Radikalisasi

modernisme melalui

devaluasi nilai-nilai lama, dan

mengisi kekosongan itu

dengan nilai-nilai baru

Aspek Nasr Nietzsche

Epistemologi Kontemplasi Perspektif

Argumentasi Untuk mencapai Realitas

Ilahiyah seseorang harus men-

transenden-kan dirinya melalui

kontemplasi. Kontemplasi adalah

suatu usaha manusia untuk

Pembalikan dari

epistemologi modern yang

telah selalu menganggap

terdapat suatu subjek

murni, subjek yang maha

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

94

mencapai Ada dengan cara

adanya yang lebih tinggi. Ia

menyaratkan suatu usaha

manusia untuk meraih

pengetahuan dari Ada dengan

cara adanya yang lebih tinggi.

mengetahui segalanya

pada perspektif dan

interpretasi untuk menilai

paradigma kognitif

seseorang dengan

menampilkan asal muasal

yang terselubungnya,

yakni dengan menunjukan

penolakannya atas watak

keberubahan atau

kemenjadian realitas.

Penyingkapan selubung

dari akar-akar terselubung

paradigma kognitif

seseorang sama dengan

menghancurkan paradigma

tersebut

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

96

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertama, Metafisika Nasr, bertitik tolak dari pemahamannya mengenai

realitas, adalah suatu entitas yang adi kodrati yakni Yang-Sakral. Realitas bagi

Nasr terbelah menjadi Realitas Ilahiyah dan dunia rill. Realitas Ilahiyah

merupakan Realitas tertinggi sekaligus dasar dari dunia rill. Oleh karena itu

metafisika bagi Nasr selalu bersifat Transenden sebab ia merupakan ilmu

mengenai Realitas Ilahiyah.

Kedua, Metafisika Nietzsche, bertitik tolak dari rekonstruksi

Heidegger atas Filsafat Nietzsche, terdapat dalam Kehendak Kuasa. Realitas

bagi Nietzsche adalah suatu kontradiksi, serta bagi Nietszsche kebenaran

merupakan suatu kekosongan. Pandangan metafisis telah selalu ditolak bagi

Nietzsche sebab menandakan kecacatan Kehendak dan juga mereduksi

realitas. Namun dalam wacana anti-metafisikanya terdapat semacam

keyakinan baru yang menjadi inti dari Filsafat Nietzsche yakni Kehendak

Kuasa. Oleh sebab itu Metafisika Nietzsche adalah Metafisika imanen yang

melekat pada diri manusia.

Ketiga, pandangan metafisika keduanya berasal dari problem yang

sama yakni kritik terhadap modernisme. Bagi Nasr modernisme telah

melupakan Yang-Sakral, yang kemudian menyebabkan krisis terhadap dunia

dan manusia modern. Bagi Nietzsche modernisme hanya suatu perlambatan

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

97

gerak sejarah. Modernisme masih berkutat pada hal yang telah diwariskan

sejak era Yunani Kuno. Kritik Nietzsche adalah meradikalisasi moderinsme

dengan dorongan untuk keluar dari tradisi Filsafat Yunani Kuno.

Keempat, perbedaan keduanya terletak dalam epistemologi atau teori

pengetahuan. Bagi Nasr, upaya untuk keluar dari krisi modern adalah dengan

menemukan lagi Yang-Sakral. Upaya penemuan Yang-Sakral hanya bisa

ditempuh melalui kontemplasi. Bagi Nietzsche anggapan kebenaran adalah

suatu kekosongan mengandaikan teori pengetahuan adalah upaya untuk

membela keyakikan dari seseorang. Teori Perspektif Nietszche adalah suatu

pembalikan dari teori pengetahuan pemikir dan filsuf sebelumya untuk

membedah Kehendak dari seorang pemikir.

B. Saran

Upaya untuk mengetengahkan pemikiran Islam tidak selesai dengan

membandingkan pandangan antara Filsuf Muslim dan Filsuf dari tradisi Filsafat

Barat. Masih banyak dibutuhkan lagi penelitian-penelitan yang bertujuan untuk

mempertemukan dunia Filsafat Islam dan Filsafat Barat. Di sisi lain pada awal

peradaban Islam terbentuk, peradaban tersebut menerima seluruh gagasan dari

segala perspektif. Hal tersebut yang memungkinkan Islam bisa mencapai

kejayaannya dimasa lalu. Hari ini pelampauan atas wacana Filsafat Barat adalah

jalan satu-satunya untuk dapat meraih kembali kejayaan tersebut.

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Sutan Takdir, Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta: Dian Rakyat,

1981

Aristotle, Posterior Analytics, terj. Johnatan Barnes , Oxford University Press

Attar, M.F dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam

Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin,

2015 Vol.2 no.3

Bagus, Loren, Metafisika Loren Bagus, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1991

Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar

Kenyataan,Yogyakarta : Kanisius, 1992

Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford : Oxford University

Press, 2008

Blayne Chapman, Owen, Tesis: The End of Metaphysics:Logical Positivism and

Postmodernism, Ontario: Queen’s University

Chittick, William, (ed.) , The Essential Seyyed Hossein Nasr

Ewing, Alfred Cyril, The Fundamental Question of Philosophy, New

York:ColierBooks, 1962

Hayman, Ronald, “Nietzsche : A Critical Life”, London : Oxford University Press

Heidegger, Martin, Nietzsche II, terj. David Farrell Krell, Harper San Fransisco,1991

Heidegger, Martin, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell Krell, San Fransisco :

Harper & Row 1968

Hermann-Chroust, Anton, Jurnal The Review of Metaphysics, vol.14 no.4 New York:

Philosophy of education Society Inc

Houlgate, Stephen, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge

University

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

Iverach, James. “Epistemology”, Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James

Hastings, vol.5 New York : Charles Scriber’s Son’s, 1995

Jahanbegloo, Ramin, In Search of the Sacred : a Conversation with Seyyed Hossein

Nasr on His Life and Thought, California: PRAEGER, 2010

Jessop, T.E, “The Metaphysic of Plato”,Journal of Philosophical Studies, Vol. 5,

No.17 Royal Institute of Philosophy

Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono Yogyakarta : Tiara

Wacana, 1995)

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer,Yogyakarta: Kanisius

Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, United States of

America : Open Court Publishing

Magee, Bryan, The Story of Philosophy, Yogyakarta : Kanisius

Meillassoux, Quentin, After Finitude, London: Continuum 2009

Murray, J., “Notae : Plato’s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35

No.2, 1954

Mustansyir, Rizal, “Aliran-Aliran Metafisika”, Jurnal Filsafat, Yogyakarta : Fakultas

Filsafat UGM, Juli 1997

Nasr Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, New York : SUNY Press

Nasr, Seyyed Hossein, A Young Muslim’s Guide to the Modern World. Chicago:

KAZI Publication, Inc. 1994

Nasr, Seyyed Hossein, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC

International Group

Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New

York Press 1989

Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, Bandung: Mizan

1993

Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :

thewriterdirection.net, 2004

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo : How to Become what You Are, Oxford University

Press

Nietzsche, Friedrich, Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann, New York:

Vintage Book: 1967

Nietzsche, Friedrich, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, Humanities

Press

Nietzsche, Friedrich, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne

Cowan, Massachusetts: Regenary Publishing, 1998

Nietzsche, Friedrich, The Gay Science, Penerjemah : Risalatul Hukmi, Yogyakarta:

Penerbit Antinomi

Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann, Penguin Books

Nietzsche, Friedrich, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. New

York : Vintage Book : 1968

Ross, Sir David, Plato’s Theory of Ideas. Oxford: Oxford University Press

Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,

Cambridge University Pers:2010

Setyo Wibowo, A. , Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius

Soysal, Soner, Nietzsche’s Perspectivist Epistemology, thesis Middle East Tehnical

University : Ankara, 2007

Stumpf, Samuel Enoch (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, New York: Kenneth

King, 2003

Stumpf, Samuel Enoch, Philosophical Problems, New York: Mc Graw-Hill, Inc.

1994

Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Ibn Sina’s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal

Tsaqafah UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011

Sumber Daring

. https://en.wikipedia.org/wiki/Heraclitus, diakses pada 9 Oktober 2019 jam 19.06

WIB

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat secara global. Pertanyaan mengenai

https://Plato.stanford.edu / entries/consciousness/ dengan judul : “Cosnsciousness” ,

diakses pada tanggal 9Agustus 2019 pukul 6:36 WIB