transformasi loyalitas primordial sebagai basis

48
247 Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ... Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005 Pendahuluan Kemunculan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca Orde Baru menarik dikaji karena dua alasan berikut. Pertama, keterlibatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKB mengisyaratkan keseriusannya dalam mengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU). Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNU dapat dibaca sebagai kesungguhan dalam melahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasi politik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partai politik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB. Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaran yang mempersatukan dan mendesak warga NU – untuk sementara – hanya akan berkhidmat pada PKB. Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKB adalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999. Perolehan suara PKB mendekati raihan suara Partai NU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang sudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasil fusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5 Januari 1973. Kembalinya NU ke kancah politik menarik dikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembali ke khittah 1926. Keputusan ini bukan hanya mengharuskan NU menanggalkan atribut partai, tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah). Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Identifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004 ABSTRACT Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understanding of the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party) devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society. On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by which a good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election, Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primary roles among PKB’s constituents. Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial Karim Suryadi

Upload: others

Post on 02-Feb-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,

247Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

PendahuluanKemunculan Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca OrdeBaru menarik dikaji karena dua alasan berikut.Pertama, keterlibatan Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKBmengisyaratkan keseriusannya dalammengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU).Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNUdapat dibaca sebagai kesungguhan dalammelahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasipolitik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partaipolitik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB.Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaranyang mempersatukan dan mendesak warga NU –untuk sementara – hanya akan berkhidmat padaPKB.

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKBadalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.Perolehan suara PKB mendekati raihan suara PartaiNU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihansuara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yangsudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasilfusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5Januari 1973.

Kembalinya NU ke kancah politik menarikdikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembalike khittah 1926. Keputusan ini bukan hanyamengharuskan NU menanggalkan atribut partai,tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagaiorganisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah).Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai BasisIdentifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan

Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

ABSTRACT

Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understandingof the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party)devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society.On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders

or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by whicha good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election,

Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primaryroles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Karim Suryadi

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005248

yang membuat dukungan terhadap PKB yangdianggap sebagai “titisan” Partai NU ini relatifstabil, padahal deideologisasi yang dijalankan OrdeBaru berlangsung sangat intensif?

Metode PenelitianKemunculan PKB sebagai pemenang ketiga

di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atauterbesar dibandingkan seluruh partai yang munculpasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala“reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna.Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidaniNU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun,perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlahpemilih yang diasumsikan berhaluan NUmenyiratkan dukungan warga NU terhadap PKBtidak bulat.

Selain menguatnya isu primordial, kemunculanpartai politik menjelang Pemilu 1999 ditandaiabsennya platform yang dapat menggugahpartisipasi publik. Fenomena ini memunculkandugaan bahwa keputusan yang diambil pemilihsaat memberikan suara dan loyalitas yangterbangun di kalangan para anggota lebihdidasarkan atas pertimbangan di luar pemahamanmereka tentang platform partai.

Penelitian ini menggunakan metode studikasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell,1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politikkiai dalam membentuk identifikasi kepartaiandijadikan kasus dalam penelitian ini.

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkanmelalui wawancara terhadap 16 informan kunci danbeberapa kelompok informan yang digali dalambentuk diskusi (focus group discussion). Untukmenghindari “bias partai”, informasi dikumpulkanpula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB,seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi,dan PAN.

Informan ditentukan secara snowball ,sehingga lokasi penelitian bergantung kepada dimana informan berada atau peristiwa politik yang

digelar PKB berlangsung. Bandung, Jakarta,Cirebon, Sukabumi, Sampang, Pasuruan, danSurabaya, sebagai daerah yang dikenal sebagaibasis PKB menjadi daerah penelitian yang utama,serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerahpercontohan pengembangan wawasankebangsaan ala PKB.

Selain digali melalui wawancara mendalam,data primer dihimpun melalui pengamatan terlibatterhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untukkepentingan penelitian ini, telah dilakukanpengamatan dan wawancara dengan para pelakuyang terlibat dalam perumusan calon anggotalegislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004.Berbagai forum yang bertujuan mematangkancalon presiden yang akan dimajukan PKB dankampanye pemilihan presiden menjadi peristiwayang penting.

Sementara, data sekunder dihimpun dariinformasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnalilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baikyang diterbitkan untuk umum maupun dokumenyang diterbitkan untuk kalangan internal PKB.Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadisumber data yang penting bagi penelusuran pola-pola partisipasi dan komunikasi politik NU.Penelusuran data dokumenter difokuskan kepadaketerlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik sertaakar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunanplatform.

Keseluruhan data dihimpun mulai September2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisisdan disajikan adalah data yang telah diseleksimelalui member checking.

Genesis “Platform” dan Filogeni PolitikPKB

Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitasyang benar-benar baru. PKB hanya mewadahisesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NUdengan segenap sistem nilai yang dianutnya.Meskipun tidak terdapat hubungan organisatorisantara NU dan PKB, namun di antara keduanyasulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasiyang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

249Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal inimengisyaratkan bahwa sikap politik warga NUtidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yangberagam tentang bagaimana seharusnya tradisipolitik NU ditransformasikan ke dalam praksispolitik masa kini. Keragaman tadi telah mendorongmunculnya beragam partai yang memiliki sejarahkekerabatan dengan NU (filogeni).

Filogeni politik PKB tidak didorong olehperbedaan ideologis di antara empat partai yanglahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanyamemperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuanyang sama”. Selain karena friksi yang terjadi dikalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebihdisebabkan perbedaan penafsiran tentangbagaimana seharusnya sistem nilai yang dianutNU ditransformasikan ke dalam wilayah politik.Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU.Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutukecil yang mudah digilas kekuatan lain.

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelastentang hakikat PKB dan garis perjuangannya.Ideologi humanisme religius bukan hanya berakarpada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkantaraf perkembangan manusia dalam konteks sosial.Paradigma humanisme berakar pada hakikatmanusia yang suci, cenderung pada hal-hal yangbaik, keunggulan indrawi dan memiliki akal.Sedangkan dimensi religius berkaitan denganhidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allahswt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yangditurunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia.

Mengacu kepada sistem nilai yangterkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwapartai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka.Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU,namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasiPartai NU. Berbeda dengan Partai NU yang padaawalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is-lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidakmengusung formalisme Islam. Bagi PKB,mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkatke dalam hukum positif lebih diutamakan daripadamenjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

gram-program NU, namun secara embrional PKBdan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulitdiputus.

Keterlibatan PBNU dalam membidanikelahiran PKB sampai pada derajat dituduhmelanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-halberikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padamkarena langkah penarikan diri dari wilayah politikpraktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidaktergerus deideologisasi yang diterapkan rezim OrdeBaru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolakploriferasi politik NU.

Kedua, keputusan NU memfasilitasipembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitassikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NUterlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baiksebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyahdiniyah) maupun sebagai partai politik, sikappolitik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasustertentu NU tampil radikal (seperti menolakPerjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketikamenolak Mutual Secutity Act dan dewankeamanan bersama yang pro AS pada 1952), namunwatak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU.

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKBdilandasi pandangan bahwa corak partai politikmasa depan adalah lintas etnis, jauh melampauikeanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan.Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagaiasas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagaiakhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materiperundangan.

Beberapa dasar pertimbangan menyangkutpemilihan nama partai mengisyaratkan bahwasecara kultur PKB mengadopsi sikapkemasyarakatan yang dikembangkan NU. KulturPKB adalah kultur NU, karena PKB adalahpengorganisasian kultur NU secara politik. KulturIslam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basishistoris dan ideologis PKB, yang bersenyawadengan sejarah perjalanan kebangsaan dankenegaraan Indonesia.

Namun, tidak semua warga NU memilikipandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB.Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlaluberorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005250

komunikasi politik PKB. Di antara para kiai,Abdurrahman Wahid masih menjadi primus interpares. Figuritas Gus Dur bukan hanya dibentukoleh keunggulan dari segi nasab, tetapi jugadidukung oleh keluasan pengetahuan, pahampluralitasnya, dan sensitivitas terhadap budayalokal. Pemerintahan Wahid yang hanya 21 bulanmenjadi eksperimen implementasi platformpluralitas PKB.

Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil(civil society) menjadi kredo (paham)pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihatdari wacana dan langkah-langkah politik yangdiambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulankepemimpinannya.

Ide membangun kemandirian masyarakatsehingga tidak bergantung sepenuhnya kepadanegara (otonomi relatif warga negara) menjadigagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadiditerjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur)supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasanberbicara, pembelaan hak minoritas, penguatanposisi masyarakat di hadapan negara, supremasihukum, dan deformalisasi Islam.

Selain mengembangkan wacana di atas,Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad”dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya.Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”,dicitrakan sebagai terbuka dan dekat denganrakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannyamelakukan desakralisasi istana dan memajukaninformalitas komunikasi politik.

Identifikasi KepartaianTerlepas dari perolehan suara PKB yang masih

kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKBNTT memperlihatkan fenomena menarik.Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah-langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawadengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figurGus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platformyang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilaimampu memberi keteduhan bagi warga Kristianimenawan mereka.

Kedua, seperti halnya di Jawa, identifikasikepartaian belum terbentuk. Pemanfaatan strukturkeagamaan Kristen sebagai strategi perluasandukungan mendekati pola rekrutmen di Jawa yangmemanfaatkan jaringan pesantren. Dengan katalain, baik di Jawa maupun di NTT yang terjadiadalah transformasi kesetian primordial ke wilayahpolitik.

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagaimedia komunikasi politik. Ke dalamnya termasukmelakukan politik kultural dengan memanfaatkanopinion leaders, baik dalam wilayah adat maupunagama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakatNTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dankepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir,lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan strukturmasyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadipatron bukan kepala suku.

Keempat, selain menarik simpati masyarakatyang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar danPDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yangdihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. CitraPKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat dibenak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidakmenunjang pemasaran politik PKB. Karena itu,langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakancitra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dandemokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadiberbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol-simbol keislaman.

Fenomena terakhir, berbeda kontras denganrealitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda.Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isuagama dan primordial menjadi “kartu” yangmenentukan. Inilah dilema PKB dalam membangundemokrasi. Membangun demokrasi tidak bisaberlandaskan primordialisme, sebab nalardemokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi,dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang.

Pola Komunikasi Politik KiaiMeskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni

oleh orang-orang dengan latar belakang budayayang beragam, namun kultur NU tetap dominan.Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di

251Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NUmasih menjadi mainstream (arus utama).Pembacaan shalawat dalam acara-acara yangdigelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NUterhadap budaya komunikasi PKB.

Budaya NU menjadi rujukan reproduksisimbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalahmodifikasi simbol-simbol NU yangditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebihluas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskandalam gambar berikut.

Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitaspesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsurini menjadi sumber dan rujukan dalam prosesreproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain,simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telahmengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiaiyang berorientasi politik (political-oriented kiai)menjadi agen yang mempersambungkan proses-proses transformatif tadi.

Introduksi cara-cara modern (modernisasi)yang melanda warga NU - seperti yang ditandaioleh kahadiran struktur modern - belum mengubahpola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatanterhadap faktor-faktor primordial menguat sejalandengan pelekatan diri mereka terhadap strukturformal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yangmenimbulkan kecenderungan munculnya etnisitasdalam politik (political ethnicity).

Modernisasi yang dijalani PKB tidakditempuh dengan cara mengikis pola hubunganyang sudah ada, melainkan hanya memfungsikankembali struktur-struktur tradisional yang sudahdiwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masihmenjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan.Diferensiasi antara wilayah politik dan religiushampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karenateologi sosial politik yang dianut amat fleksibeldalam menghadapi perubahan-perubahan yangmuncul akibat politik modernisasi yang ditempuhPKB.

Sebagai pengorganisasian kultur NU secarapolitik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU,yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan(jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangkaberpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan

dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadiditransformasikan ke dalam praksis politik PKBsehingga menjadi basis identifikasi kepartaian,terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU.Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkansebagai alat transformasi sosial politik NU, PKBdituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosialpolitik yang relevan dengan kaidah-kaidah yangdianut NU.

Secara normatif, kerangka berpikir tadiditemukan di dalam dokumen-dokumen historisPKB, tempat di mana ideologi politik PKBdituangkan. Preferensi tentang masyarakat dannegara yang dicita-citakan PKB bukan hanyaberbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan,tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkankehidupan bernegara dari kehidupan beragama –meski sejak awal PKB tidak menghendakiformalisasi Islam.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yangdianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka,atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai“terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlakusampai pada titik tidak mengganggu sistem nilaiyang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifattertutup terhadap anasir-anasir yang merusakkaidah dasar yang dianut warga NU.

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKBitu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam halmuamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusifdalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermaknabahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalahdan interaksi sosial tanpa membedakan agama danlatar belakang sosial budaya. Namun, PKB harusmembatasi diri pada hal-hal yang menyangkutibadah dan akidah.

Dalam hubungannya dengan anasir-anasiragama yang membentuk konfigurasi dukunganbagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagaisikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana puntanpa meninggalkan keyakinan teologisnyasendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKBtidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meskitidak akan pernah terlepas sama sekali.

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntutmanajemen komunikasi tersendiri dalam proses

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005252

sosialisasinya mengingat fakta bahwa PKB telahsecara nyata membuka basis dukungan di kalangannon NU, bahkan non-Islam. Manajemenkomunikasi PKB perlu dirancang paling tidak untukdua kebutuhan.

Pertama, memelihara dukungan pemilih darikalangan Muslim yang menjadi captive market,sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewatpenampilan sosok partai yang moderat. Sebelummenarik kelompok kedua, PKB harusmempertahankan dukungan kelompok pertamadengan meyakinkan bahwa format “IslamKebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKBadalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasiberbagai persoalan, khususnya dalam masalahrelasi agama dan negara.

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarikPKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di NusaTenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kotaKupang mengaku tertarik pada PKB karena mampumemberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalamkehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya,eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslimtidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secarasignifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secaranasional raihan suara PKB menurun biladibandingkan Pemilu 1999.

Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir-anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulankompetitif yang berlandaskan kultur, program, dankepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidakbisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangankarena ia menyangkut atribut sosial yang telahterlanjur dianggap sebagai pandangan hidup(ways of life).

Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platformpluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwaakidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hakekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakanarea privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untukmerekayasanya. Sosialisasi platform pluralitasPKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah,meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi,bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agamayang ditransformasikan ke dalam gelanggangpolitik.

Dengan demikian, medan khidmat sosialisasiplatform pluralitas PKB adalah wilayah muamalahdan interaksi sosial, yakni seperangkat panduansosial yang diturunkan dari nilai-nilai keagamaandan berlaku universal. Mengacu kepada rumusanplatform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakupbeberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAMdan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu).Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya,setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatananmasyarakat yang mampu memecahkan masalahsosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil(al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun),konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura),dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al-musawa).

Fakta bahwa tidak semua orang yangmengidentifikasikan dirinya dengan NU memilihPKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilihtidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwasejumlah non-Muslim yang memutuskan memilihPKB menunjukkan bahwa tindakan politik merekatidak tunduk pada pencitraan yang mengesankanPKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta inimengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKBmelibatkan proses interpretatif atas simbol-simbolyang dipertukarkan ketika proses komunikasipolitik berlangsung.

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik,sosialisasi platform pluralitas PKB akanbergantung kepada kualitas hubungan dankelangsungan interaksi, di mana kedua pihak(aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver-sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB)saling menukar makna dan kelakuan. Sebuahtransaksi politik yang di dalamnya melibatkanproses penciptaan kesan melalui proses impres-sion management (Goffman, 1959: 203).

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilanpolitisi dalam serangkaian proses transasksi politik,karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspekpolitik berupa penampilan (appearance). Parapolitikus beraksi di depan publik sedemikian rupa,sehingga mereka menganggapnya sebagai orangpenting, pintar, dan layak dipercaya untuk

253Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivispartai politik harus memainkan peran seperti yangdibayangkan khalayak. Mereka akan selalumenemukan banyak orang yang siap “dikelabui”.Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga merekadikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatuserta berpikir dan bertindak menurut apa yangdibayangkan konstituennya.

KesimpulanPertumbuhan politik kepartaian di Indonesia

tidak identik dengan sekularisasi, melainkantransformasi kesadaran religius ke dalam wilayahpolitik. Keyakinan bahwa urusan politik dapatdiatur dan ditentukan oleh kehendak manusiasendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalamkeseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidakefektif menyebabkan substansi platform tidaktersosialisasikan dengan baik. Akibatnyakeberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat-form menjadi atribut yang menunjang penampilanpolitisi dalam panggung depan. Kedudukan plat-form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon(icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkanpola komunikasi politik yang melekatkankredibilitas komunikator pada faktor-faktor yangdiwariskan (askriptif) dan menempatkan figursebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budayakonteks tinggi (high contex) yang ditandai olehpenggunaan kode terbatas (restricted codes).Spektrum komunikasi internal dan eksternal partaiyang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaiminklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasiterbuka), tetapi juga mempertajam segregasiantarfaksi, sehingga partai menjadi mudahterfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partaipolitik yang terpusat di tangan figur melahirkankepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukanhanya melekatkan otoritas kepemimpinan padatradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianutselama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagaimesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh polaorientasi pengikut yang bercorak parokhial danrekrutmen yang berdasar kepada nasab sehinggakelahiran dan perkawinan menjadi alat promosikarier yang penting. Sedemikian pentingnya peranpolitik keluarga-penguasa, maka perhatian parapencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaankeluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai.Partai sulit memainkan perannya sebagairepresentasi kepentingan pengikut, melainkanhanya mengukuhkan dominasi kaukus yangdibentuk tokoh-tokoh senior partai(gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkankeberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrattradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yangmengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dankepemimpinan mesianik menyebabkan tidakterbangunnya wacana kritis di kalanganfungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasikepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilaidasar dan cita-cita partai, melainkan merupakanbentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalampraksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan olehpola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan diatas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol-simbol agama dan budaya menjadi unsur primerdalam komunikasi antara pemimpin denganpengikut sekaligus menjadi alat dominasi danmobilisasi dukungan yang penting. Polakomunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alatretorika (baik verbal maupun nonverbal) yangbersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agamadan budaya sehingga pemaknaan atas simbol-simbol tersebut bersifat isoterik sesuai denganpengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberipeluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi jugamenguatkan kecenderungan menjadikan agama danbudaya sebagai alat justifikasi keputusan dantindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan”bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukancitra akibat kesalahan manajemen komunikasi,tetapi juga dapat menambah daya persuasikomunikasi politik.

MEDIATOR, Vol. 6 No.2 Desember 2005254

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:Dasar-dasar Merancang dan MelakukanPenelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli-tics. New York: Macmillan Publishing Company.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali-tative & Quantitative Approaches. Califor-nia: SAGE Publications.

______________. 1998. Qualitative Inquiry andResearch Design: Choosing Among Five Tra-ditions. California: SAGE Publications.

Feith, Herbert. 1962. The Decline of ConstitutionalDemocracy in Indonesia. New York: CornellUniversity Press.

Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. IndonesianPolitical Thinking 1945-1965. USA: CornellUniversity.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

_____________. 1992. Kebudayaan & Agama,terjemahan Francisco Budi Hardiman.Yogyakarta: Kanisius.

_____________. 1963. Old Societies and NewStates: The Quest for Modernity in Asiaand Africa, The Free Press of Glencoe.

Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Selfini Everyday Life. USA: Penguin Books.

Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,Berger L. Carey Publisher.

Martindale, Don. 1960. The Nature and Typesof Sociological Theory, Cambridge, Mas-sachusetts, The Riverside Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Metode PenelitianKual i tat i f : Paradigma Baru I lmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981.Handbook of Political Communication.California: Sage Publication, Inc.

_____________. 1978. Political Communica-tion and Public Opinion in America. Cali-fornia: Goodyear Publishing Company.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. TheSocial Bases of Pol i t ics . Belmont :Wardworth Publishing Company,