vol. vi no.1 januari-juni 2017 - pmm.uinsu.ac.id axiom utuh volume vi...pair share (tps) di smp...
TRANSCRIPT
Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TAI dan Pembelajaran PBI di Kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah Medan TP. 2016/2017
Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan
Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran 2016/2017
Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam
Deli Tua T.A 2016/2017
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi
Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang Kelas VII-2 MTSN Binjai T. A. 2016/2017
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think
Pair Share (Tps) di SMP Negeri 24 Medan
Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-
Create (FSLC)
Efektivitas Soal-Soal Matematika Tipe Pisa Menggunakan Konteks Budaya Sumatera Utara Untuk Mendeskripsikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematis Siswa Smp Kota Medan
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Negeri 28 Medan Melalui Pembelajaran
Inkuiri dengan Strategi REACT
Pemahaman Konsep Bentuk Aljabar dan Kaitannya dengan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VII MTSN 2 Medan
VOL VI Jurnal AXIOM
VOL VI No.1 Januari-Juni 2017
Hal. 1-110
P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450
Vo
l. VI N
o.1
Jan
ua
ri-Jun
i 20
17
Vol. VI No.1 Januari-Juni 2017
Jurnal Pendidikan dan Matematika
P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450
Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017
Penanggung Jawab Umum : Dr. H. Amiruddin Siahaan, M.Pd
Redaktur : Dr. Indra Jaya, M.Pd.
Penyunting Pelaksana : 1. Dr. Mara Samin Lubis, M.Ed
2. Fibri Rakhmawati, S.Si., M.Si.
3. Drs. Isran Rasyid Karo Karo, M.Pd
4. Drs. Asrul, M.Si.
Penyunting Ahli : 1. Dr. A. A. Sujatmika, M.Si.
2. Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd.
3. Prof. Dr. H. Dja'far Siddik, MA.
4. Prof. Dr. Hasan Ansari, MA.
5. Prof. Dr. Abdul Mukti, MA.
Sekretariat : 1. Siti Maysarah, M.Pd.
2. Ella Andhany Lubis, M.Pd.
3. Eka Khairani Hasibuan, M.Pd.
4. Lia Khairia Harahap, S.Pd.I.
5. Emigawati, SE
Diterbitkan Oleh:
Jurusan Pendidikan Matematika (PMM)
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sumatera Utara
Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate – Kota Medan 20371
Telp. 061-6622925 – Fax. 061-6615685
e-mail : [email protected] website: pmm.uinsu.ac.id
Jurnal Pendidikan dan Matematika
P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450
Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017
DAFTAR ISI
Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI dan Pembelajaran PBI di Kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah Medan TP. 2016/2017
Minda Ubamanora Siregar dan Indra Jaya ...................................... 1
Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran 2016/2017
Asma dan Mara Samin Lubis ........................................................... 14
Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A 2016/2017
Nisa Cahya Pertiwi Lubis dan Fibri Rakhmawati...................... 26 Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi Bangun
Datar Persegi dan Persegi Panjang Kelas VII-2 MTSN Binjai T. A.
2016/2017
Agus Tianto dan Asnil Aidah Ritonga ........................................... 36 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa
Melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
Oktaviana Nirmala Purba ................................................................ 47 Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi
Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair
Share (Tps) di SMP Negeri 24 Medan
Siti Zahara H. Harahap ...................................................................... 59
Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP
Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-
Create (FSLC)
Reflina ..................................................................................................... 68
Jurnal Pendidikan dan Matematika
P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450
Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017
Efektivitas Soal-Soal Matematika Tipe Pisa Menggunakan Konteks Budaya Sumatera Utara Untuk Mendeskripsikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematis Siswa Smp Kota Medan
Hafni Hasanah ...................................................................................... 78 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Negeri 28 Medan Melalui Pembelajaran Inkuiri dengan Strategi REACT
Sehat Matua Ritonga .......................................................................... 90
Pemahaman Konsep Bentuk Aljabar dan Kaitannya dengan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VII MTSN 2 Medan
Lailatun Nur Kamalia Siregar ......................................................... 103
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
1
PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA YANG DIAJAR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI DAN PEMBELAJARAN PBI
DI KELAS VIII MTS UMN AL-WASLIYAH MEDAN TP. 2016/2017
Oleh:
Minda Ubamanora Siregar*, Indra Jaya**
*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika UIN-SU Medan
** Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
Email: *[email protected], **[email protected]
Abstract:
The purpose of this study were: 1) To determine the ability of problem
solving mathematics students are taught by cooperative learning type TAI
in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 / 2017. 2) To find
out the ability of problem solving of mathematics of students taught by
PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /
2017. 3) To know the difference of problem solving ability of student
mathematics taught by using cooperative learning model of TAI type and
PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /
2017. This research is quantitative research with quasi experiment research
type. The population is all students of class VIII MTs UMN Al-Washliyah
Medan TP.2016 / 2017, which amounts to 132 students from 4 classes.
While the samples are 2 classes of class VIII-A amounted to 30 students
and class VIII-B amounted to 31. Techniques of data collection conducted
by observation, tests and documentation. The test instrument used to
determine students' mathematical problem solving skills is essay test in the
form of post-test. Data analysis was performed by normality test,
homogeneity test and hypothesis test using variance analysis (ANAVA).
The results of this finding indicate: 1) The ability of problem solving of
students mathematics taught by using cooperative learning model type
TAI very good. 2) Math problem solving skills of students who are taught
using good PBI learning. 3) Students' mathematical problem solving
ability on circle material is better if taught with cooperative learning model
of TAI type rather than PBI learning in class VIII MTs UMN Al-
Washliyah Medan TP.2016 / 2017. The conclusion of this research
explains that the problem solving ability of students mathematics which is
taught with cooperative learning model of TAI type better than that taught
by PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /
12017.
Keywords:
Problem solving skill, Cooperative learning TAI, Learning PBI.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
2
A. PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam mengembangkan manusia
yang berkualitas. Pendidikan senantiasa berkenaan dengan manusia, dengan
pengertian sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dasar manusia
seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitasnya.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Darmadi,
2014:2).
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan
beberapa tujuan pembelajaran matematika di sekolah, antara lain: (1)
Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan. (2) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. (3) Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan
bagian terpenting dari proses yang terjadi dalam diri pelajar dan memecahkan
masalah merupakan proses dalam menerima tantangan untuk menjawab masalah.
Untuk dapat memecahkan masalah, siswa harus mengetahui langkah apa yang di
gunakan oleh guru untuk menyelesaiannya. Demikian pula untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah perlu di kembangkan keterampilan memahami
masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan
solusinya.
Strategi pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan tersebut adalah pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) dan pembelajaran Problem Based Instruction
(PBI). Slavin menyatakan bahwa : “Matematika TAI di prakarsai sebagai usaha
merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang bisa menyelesaikan
masalah-masalah” (Narulita,2011:189). Sedangkan pembelajaran PBI menurut
Dewey mengemukakan bahwa suatu pembelajaran yang berfungsi menafsirkan
bantuan secara efektif sehingga masalah yang di hadapi dapat di selidiki, di nilai,
di analisis serta di cari pemecahanya dengan baik.
B. LANDASAN TEORITIS
1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
Robert Slavin (2014:200) menyatakan bahwa, Team Assisted
Individualization (TAI) merupakan sebuah program pedagogik yang berusaha
mengadaptasikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa secara
akademik. Pengembangan TAI dapat mendukung praktik-praktik ruang kelas,
seperti pengelompokan siswa, pengelompokan kemampuan di dalam kelas,
pengajran terprogram, dan pengajaran berbasis komputer.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
3
2. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Koperatif Tipe TAI
Model pembelajaran koopertif TAI memiliki kekurangan dan kelebihan.
Kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif TAI, Slavin menyatakan
bahwa belajar kooperatif TAI mempunyai kelebihan sebagai berikut :
a) Meningkatkan hasil belajar siswa.
b) Meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa.
c) Mengurangi perilaku yang mengganggu.
d) Program ini dapat membantu siswa yang lemah.
Selain memiliki kelebihan model pembelajaran kooperatif TAI juga
memiliki kekurangan, yaitu :
a) Di butuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan
perangkat pembelajaran.
b) Dengan jumlah siswa yang besar dalam kelas, maka guru akan
mengalami kesulitan dalam memberikan bimbingan kepada siswanya.
3. Pembelajaran PBI
Problem Based Instruction adalah salah satu model pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta didik tersebut
dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan model
pembelajaran ini, peserta didik dari sejak awal sudah dihadapkan pada berbagai
masalah kehidupan yang mungkin akan ditemuinya kelak pada saat mereka sudah
lulus dari bangku sekolah. Ramayulis (2011:32) mengatakan bahwa
“Pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran dimana peserta
didik diharapkan pada suatu kondisi bermasalah”.
4. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran PBI
Model pembelajaran kooperatif PBI memiliki kelebihan, menurut Wina
Sanajaya (2010:57) :
a) Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-
benar diserapnya dengan baik.
b) Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
c) Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
d) Siswa berperan aktif dalam KBM.
e) Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan sebab mereka
sendiri yang menemukan konsep tersebut.
f) Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut
keterampilan berfikir siswa yang lebih tinggi.
g) Pembelajaran lebih bermakna.
h) Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika sebab masalah
yang diselesaikan merupakan masalah sehari-hari.
i) Menjadikan siswa lebih mandiri.
j) Menanamkan sikap sosial yang positif, memberi aspirasi dan menerima
pendapat orang lain.
k) Dapat mengembangkan cara berfikir logis serta berlatih mengemukakan
pendapat.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
4
Sebagaimana yang diketahui bahwa setiap model memilki kelebihan dan
kekurangan. Begitu pula dengan pembelajaran PBI ini. Untuk itu, adapun yang
menjadi kekurangan pembelajaran PBI :
a) Untuk siswa yang malas, tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
b) Membutuhkan banyak waktu dan dana.
c) Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini.
d) Membutuhkan waktu yang banyak.
e) Tidak setiap materi matematika dapat diajarkan dengan PBI.
f) Membutuhkan fasilitas yang memadai seperti laboratorium, tempat duduk
siswa yang terkondisi untuk belajar kelompok, perangkat pembelajaran,
dll.
g) Menuntut guru membuat perencanaan pembelajaran yang lebih matang.
h) Kurang efektif jika jumlah siswa terlalu banyak, idealnya maksimal 30
siswa perkelas.
5. Materi Lingkaran
a) Menghitung keliling lingkaran dan luas lingkaran
Keliling lingkaran adalah panjang busur/ lengkung pembentuk lingkaran.
Nilai dari ( keliling : diameter ) adalah sama untuk semua lingkaran. Nilai tersebut
tidak akan pasti dan nilainya merupakan nilai pendekatan dan ditulis dengan
lambang 𝜋 (dibaca : pi) (Sukino, 2012:233).
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi, Waktu dan Sampel
Penelitian ini akan dilaksanakan di MTs UMN Al-Wasliyah Medan, yang
beralamat di Jalan Garu II No. 93, Medan Amplas, dan penelitian dilaksanakan
pada semester genap T.A 2016/2017. Dan sistem penarikan sampel yang
digunakan adalah Cluster Random Sampling (sampel berkelompok) artinya setiap
subjek dalam populasi memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel. Teknik
sampling dengan menggunakan cluster random sampling digunakan bilamana
populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok-
kelompok individu atau cluster, dengan catatan anggota berasal dari kelompok-
kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama (homogen) (Syahrum,
2016:116). Kelas yang pertama, yaitu kelas VIII-A akan diajarkan dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI dan dijadikan kelas eksperimen 1 dan kelas
yang kedua, yaitu kelas VIII-B yang diajarkan dengan pembelajaran PBI yang
dijadikan kelas eksperimen 2.
2. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam
upaya mencapai tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut :
a) Tahap persiapan awal, mencakup :
1) Memberikan informasi kepada pihak terkait kegiatan penelitian.
2) Menyusun jadwal penelitian disesuaikan dengan jadwal yang ada
di sekolah.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
5
3) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan
menggunakan model kooperatif tipe TAI dan rencana
pembelajaran dengan model pembelajaran PBI.
4) Menyiapkan alat pengumpulan data.
5) Mengurus surat-surat penelitian.
6) Melakukan kerja sama dengan pihak guru dan sekolah.
b) Tahap pelaksanaan
1) Kedua kelas diberikan materi dan waktu yang sama, tetapi dengan
model pembelajran yang tipenya berbeda. Pada kelas eksperimen 1
diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI,
sedangkan pada kelas eksperimen 2 diajarkan dengan model
pembelajran PBI.
2) Memberikan post-tes (O) kepada dua kelas untuk melihat tingkat
penguasan terhadap materi yang diajarkan, kemudian menghitung
nilai-nilai rata-rata masing-masing kelas.
c) Tahap akhir
1) Menghitung perbedaan antara post-tes (eksperimen 1 dan
eksperimen 2) untuk masing-masing kelas.
2) Membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk melihat
perubahan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
3) Melakukan uji hipotesis post-tes (O) dengan menggunakan
statistika tes “t” untuk menguji apakah perbedaan post-tes kdua
kelas signifikan.
4) Membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis.
3. Defenisi Operasional
Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap penggunaan istilah
pada penelitian ini, maka perlu diberikan defenisi operasional pada variabel
penelitian sebagai berikut:
a) Pembelajaran kooperatif tipe TAI (x1) adalah model pembelajaran
dengan mengacu pada lima langkah pokok, yaitu: (1) penyampaian
Tujuan dan Motivasi, (2) pembagian kelompok , (3) presentasi dari guru,
(4) kegiatan belajar dalam kelompok, (5) kuis, (6) penghargaan Prestasi
Tim.
b) Pembelajaran PBI (x2) adalah proses pembelajaran dengan mengacu pada
: (1) Guru menjelaskan secara umum tentang masalah yang di pecahkan,
(2) guru meminta pada siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang tugas
yang akan dilaksanakan, (3) siswa dapat bekerja secara individual atau
kelompok, (4) siswa dapat menemukan permasalahnnya dan bisa pula
tidak, (5) jika pemecahannya tidak ditemukan siswa, hal tersebut di
diskusikan, (6) pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pikiran, (7)
data diusahakan dikumpulkan sebanyak – banyaknya.sehingga dijadikan
fakta, (8) membuat kesimpulan.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
6
c) Kemampuan pemecahan masalah matematika (y) adalah kecakapan atau
potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal
cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika
dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan,
menciptakan atau menguji konjektur yang memiliki empat tahap yaitu :
(1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3)
menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana (4) memeriksa kembali
prosedur dan hasil penyelesaian.
4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data merupakan langkah
paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian
tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk
mendapatkan hasil yang relevan, teknik pengumpulan data yang diinginkan dalam
penelitian ini adalah:
a) Observasi ( Pengamatan )
Observasi adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan
mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
Observasi digunakan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan
pelaksanaan dan aktifitas siswa selama pembelajran baik did ala maupun
di luar kelas dan dilaksanakan dari awal samai penelitian berakhir.
Pedoman observasi dalam penelitian ini berupa RPP yang digunakan
untuk mengetahui aktifitas siswa selama proses pembelajaran
berlangsung.
b) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang.
Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah
kehidupan, cerita, biografi, peraturan, dan kebijakan. Dokumen yang
berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain
sebagainya. Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data nama-nama siswa kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah
Medan, serta segala sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan
pembelajaran kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Misalnya, data struktur organisasi sekolah, daftar nilai matematika siswa
kelas VIII dan photo kegiatan saat pembelajaran.
c) Tes
Tes ini adalah untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Tes akan menggunakan instrumen yang berupa
lembar soal essay/uraian yang telah disusun berdasarkan aspek-aspek
kemampuan pemecahan masalah matematika.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
7
Instrumen ini digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa dalam menguasai materi Lingkaran pada siswa kelas VIII MTs
UMN Al-Wasliyah Medan. Adapun tes diberikan setelah perlakuan dilakukan,
tujuannya untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Soal
tes kemampuan pemecahan masalah matematika pada penelitian ini berbentuk
uraian, karena dengan tes berbentuk uraian dapat diketahui langkah-langkah yang
di gunakan siswa dalam menjawab soal. Tes kemampuan pemecahan masalah
matematika berupa soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan materi yang
dieksperimenkan. Soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika terdiri
dari empat tahap yaitu : (1) memahami masalah, (2) membuat rencana
penyelesaian, (3) melaksanakan rencana penyelesaian (4) memeriksa kembali atau
mengecek hasilnya. Soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika pada
penelitian ini berbentuk uraian, karena dengan tes berbentuk uraian dapat
diketahui langkah-langkah siswa dalam menyelesaikan masalah.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Hasil dan Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Kelas Eksperimen 1 (Model Pembelajaran TAI)
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Eksperimen 1 (TAI)
Kelas Interval Kelas Fo Fr
1 44,5 – 51,5 5 16,67%
2 51,5 – 58,5 7 23,33%
3 58,5 – 65,5 5 16,67%
4 65,5 – 72,5 6 20%
5 72,5 – 79,5 5 16,67%
6 79,5 – 86,5 2 6,67%
Jumlah 30 100 %
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi data kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa di atas diketahui bahwa terdapat 5 siswa yang
memperoleh nilai pada rentang nilai 44,5 sampai nilai 51,5. Yaitu 1 siswa
memperoleh nilai 45, 1 siswa memperoleh nilai 48, dan 3 siswa memperoleh nilai
50, kelima siswa ini tidak mencapai nilai ketuntasan minimal dalam tes
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu 52. Siswa yang
memperoleh nilai 45 hanya mampu menjawab pada aspek kognitif tingkat
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan kurang sempurna dalam
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal
tentang mencari luas dan keliling lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui
tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman
karena tidak mampu mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas
atau keliling lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang
ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam mengerjakan
soal tersebut. Siswa yang memperoleh nilai 50 mampu menjawab pada aspek
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
8
kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan
tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan
soal tentang mencari luas lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui tetapi
tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman
karena tidak bisa mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas atau
diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang
ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam mengerjakan
soal tersebut.
Terdapat 7 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 51,5 sampai 58,5.
Ketujuh siswa tersebut memperoleh nilai 58 dan telah mencapai nilai ketuntasan
minimal dalam tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa
yang memperoleh nilai 58 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal
tentang mencari luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui
dan mampu mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu
menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter
lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang ditanya
diameter lingkaran mereka sudah bisa mengerjakan soal tersebut dengan baik.
Selanjutnya, terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 58,5 sampai
65,5. Kelima siswa tersebut memperoleh nilai 65 dan nilai yang diperoleh sudah
melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 60. Siswa yang memperoleh nilai 65
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan
pengertian lingkaran dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta
mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai
dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek kognitif
tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari
bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal
tersebut dengan baik.
Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 65,5 sampai 72,5.
Keenam siswa tersebut memperoleh nilai 70 yang berada pada kategori
berkemampuan tinggi dan mereka telah mencapai nilai ketuntasan minimal dalam
tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa yang memperoleh
nilai 70 mempunyai deskripsi yang berbeda-beda. Beberapa siswa mampu
menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu dalam menuliskan
pengertian lingkaran dan juga kurang dalam mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran
dan siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran
sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek
kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang
dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal
tersebut dengan baik. Dan juga sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif
tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam
kehidupan sehari-hari.
Terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 72,5 sampai 79,5.
Siswa tersebut memperoleh nilai 75 yang berada pada kategori berkemampuan
tinggi dan nilai mereka telah melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 60. Siswa
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
9
yang memperoleh nilai 75 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan
soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu
menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter
lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga
sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu
menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat 2 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 79,5 sampai 86,5.
Yaitu 1 siswa yang memperoleh nilai 80 dan 1 siswa yang memperoleh nilai 83,
kedua siswa tersebut berada pada kategori berkemampuan tinggi dan nilai yang
diperoleh telah melebihi nilai ketuntasan minimal dalam tes hasil belajar
matematika yaitu 60. Siswa yang memperoleh nilai 80 dan 83 mampu menjawab
soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian
lingkaran dan dengan tepat dalam mengidentifikasi sifat-sifat yang dimiliki
lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter
lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada
aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal
yang dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam
mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga mampu menjawab soal pada
aspek kognitif tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter
lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.
2. Hasil dan Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Kelas Eksperimen (Pembelajaran PBI)
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas Eksperimen 2 (PBI)
Kelas Interval Kelas Fo Fr
1 29,5 – 38,5 5 16, 67%
2 38,5 – 47,5 6 20%
3 47,5 – 56,5 7 23,33%
4 56,5 – 65,5 5 16, 67%
5 65,5 – 74,5 6 20%
6 74,5 – 83,5 1 3,33%
Jumlah 30 100%
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi data kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa di atas diketahui bahwa terdapat 5 siswa yang
memperoleh nilai pada rentang nilai 29,5 sampai nilai 38,5. Yaitu 1 siswa
memperoleh nilai 30, 1 siswa memperoleh nilai 31, dan 3 siswa memperoleh nilai
33, kelima siswa ini tidak mencapai nilai ketuntasan minimal dalam tes
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu 40. Siswa yang
memperoleh nilai 30 hanya mampu menjawab pada aspek kognitif tingkat
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
10
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan kurang sempurna dalam
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal
tentang mencari luas dan keliling lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui
tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman
karena tidak mampu mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas
atau diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan
yang ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam
mengerjakan soal tersebut. Siswa yang memperoleh nilai 33 mampu menjawab
pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran
dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam
menyelesaikan soal tentang mencari luas lingkaran sesuai dengan rumus yang
diketahui tetapi tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat
pemahaman karena tidak bisa mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari
bukan luas atau diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas
lingkaran dan yang ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan
dalam mengerjakan soal tersebut.
Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 38,5 sampai 47,5.
Keenam siswa tersebut memperoleh nilai 46 dan telah mencapai nilai ketuntasan
minimal dalam tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa
yang memperoleh nilai 46 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal
tentang mencari luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui
dan mampu mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu
menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter
lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang ditanya
diameter lingkaran mereka sudah bisa mengerjakan soal tersebut dengan baik.
Selanjutnya, terdapat 7 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 47,5 sampai
56,5. Ketujuh siswa tersebut memperoleh nilai 54 dan nilai yang diperoleh sudah
melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 40. Siswa yang memperoleh nilai 54
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan
pengertian lingkaran dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta
mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai
dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek kognitif
tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari
bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal
tersebut dengan baik.
Terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 56,5 sampai 65,5.
Kelima siswa tersebut memperoleh nilai 64 yang berada pada kategori
berkemampuan tinggi dan mereka telah mencapai nilai ketuntasan minimal dalam
tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa yang memperoleh
nilai 40 mempunyai deskripsi yang berbeda-beda. Beberapa siswa mampu
menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu dalam menuliskan
pengertian lingkaran dan juga kurang dalam mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran
dan siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran
sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
11
kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang
dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal
tersebut dengan baik. Dan juga sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif
tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam
kehidupan sehari-hari.
Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 65,5 sampai 74,5.
Siswa tersebut memperoleh nilai 70 yang berada pada kategori berkemampuan
tinggi dan nilai mereka telah melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 40. Siswa
yang memperoleh nilai 70 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat
pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam
mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan
soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu
menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter
lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga
sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu
menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat 1 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 74,5 sampai 83,5.
Yaitu 1 siswa yang memperoleh nilai 78, siswa tersebut berada pada kategori
berkemampuan tinggi dan nilai yang diperoleh telah melebihi nilai ketuntasan
minimal dalam tes hasil belajar matematika yaitu 40. Siswa yang memperoleh
nilai 78 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu
menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam mengidentifikasi sifat-
sifat yang dimiliki lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan soal
tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu
menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter
lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga
mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu menerapkan
rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan di MTs UMN Al-Washilyah Medan ini
melibatkan dua kelas yaitu kelas VIII-A (eksperimen 1) dan kelas VIII-B
(eksperimen 2). Tiap kelas siswa diberikan pembelajaran yang berbeda pada
materi lingkaran.Setelah diberi perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen 1
dan kleas eksperimen 2, pada akhir pertemuan setelah materi selesai diajarkan,
siswa diberikan post-test untuk mengetahui hasil kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Adapun nilai rata-rata post-test pada kelas eksperimen 1 adalah
62,800 sedangkan pada kelas eksperimen 2 adalah 52,700. Dari pengujian yang
dilakukan melalui post-test yang diberikan, diperoleh bahwa kedua kelas memiliki
varians yang sama atau homogen.
Berdasarkan rata-rata nilai post-test kedua kelas, terlihat bahwa rata-rata
nilai post-test kelas eksperimen 1 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nilai
eksperimen 2 dengan menggunakan uji untuk membuktikan apakah ada signifikan
dan variansi kemampuan pemecahan masalah, sedangkan untuk melihat
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
12
perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa digunakan uji
ANAVA Satu Jalur untuk membuktikan hipotesis alternatif yang diajukan teruji
kebenarannya secara statistik.
Hasil pengujian diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 10,506 > 4,007 pada taraf
𝛼 = 0,05 yang berarti “Ada signifikan dan variasi terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang dilakukan peneliti”. Selanjutnya
untuk melihat perbedaan model pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa digunakan uji ANAVA Satu Jalur sehingga diperoleh
Fhitung = 10,506 dan Ftabel = 4.007 berarti Fhitung > Ftabel atau 10,506 > 4,007
maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti hipotesis alternatifyang menyatakan
bahwa “Ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan
pembelajaran PBI di kelas VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017”.
Hal ini dapat dilihat bahwa siswa di kelas eksperimen 1 yang diajrkan
dengan model pembelajran kooperatif tipe TAI lebih baik. Ini terjadi karena
adanya tanggung jawab dari masing-masing individu siswa untuk mengusai
materi denga dibagi topikmini setiap individu di dalam kelompoknya agar para
siswa bisa memecahkan soal secara pribadi maupun kelompok dan juga dapat
dilihat dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selain itu karena
adanya penghargaan yang diberikan guru kepada kelompok yang memiliki nilai
tertinggi sehingga siswa semakin terpacu untuk belajar.
Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang diajarkan dengan pembelajran
PBI tidak semua siswa mampu mengusai materi pelajran dengan baik dan
sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu siswa secara individu dalam
memecahan masalah matematika siswa. Selain itu hanya sebagian siswa yang
mampu memecahkan masalah matematika yang diberikan guru. Sehingga tidak
semua terlibat aktif dalam pembelajran.
Berkaitan dengan hal ini sebagai calon guru dan seorang guru sudah
sepantasnya dapat memilih dan menggunakan model pembelajran dalam proses
belajar mengajar di sekolah. Selain itu pemilihan model pembelajaran yang tepat
tersebut merupakan salah satu kunci berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran
yang dijalankan seperti pada penelitian ini di dalam materi lingkaran. Dinyatakan
di dalam penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa dalam materi lingkaran di kelas VIII kita dapat menggunakan
model pembelajran kooperatif tipe TAI. Dalam pembelajran PBI siswa
berkesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, yaitu untuk
meningkatkan pemahaman mereka sendiri yang dibagi dalam kelompoknya dan
selanjutnya siswa bisa saling berbagi pemahaman baru mereka kereka kepada
teman-teman sekelasnya.
E. KESIMPULAN dan SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, serta permasalahan
yang telah dirumuskan, peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut :
a) Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih baik
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
13
dibandingkan dengan pembelajaran PBI pada materi lingkaran di kelas
VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017.
b) Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan pembelajaran PBI tidak lebih baik dibandingkan dengan
model pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi lingkaran di kelas
VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017.
c) Terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe TAI dengan pembelajaran PBI di kelas VIII MTs UMN Al-
Washliyah Medan TP. 2016/2017. Dimana, kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
pembelajaran PBI pada materi lingkaran di kelas VIII MTs UMN Al-
Washliyah Medan TP. 2016/2017.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan
saran-saran sebagai berikut:
a) Sebaiknya pada saat pembelajaran berlangsung, guru berusaha untuk
mengeksplorasi pengetahuan yang dimiliki siswa seperti dengan
menggunakan LAS (Lembar Aktifitas Siswa) dan media yang
mendukung pembelajaran sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam
proses pembelajaran.
b) Bagi siswa hendaknya mengerjakan berbagai soal-soal dari yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks dan bervariasi. Perhatikan
dengan baik pada saat guru sedang mengajar. Tentukan cara belajar yang
baik dan efisien, dan hendaknya siswa dapat berperan aktif delam
kegiatan belajar mengajar agar proses belajar dapat berjalan dengan baik.
c) Bagi peneliti selanjutnya, peneliti dapat melakukan penelitian pada
materi yang lain agar dapat dijadikan sebagai studi perbandingan dalam
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi, Hamid. 2014. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial. Bandung :
Alfabeta
Narulita. 2011. Cooperative Learning. Jakarta: Nusa Media.
Ramayulis. 2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Aceh : Media Persada.
Sanjaya. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta : Prenada Media Grup.
Sukino & Wilson Simangunsong. 2012. Matematika untuk SMP Kelas VIII.
Jakarta : Erlangga.
Syahrum dan Salim. 2016 Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung:
Citapustaka Media.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
14
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP
SISWA KELAS VIII MTS. AL-ILHAMIYAH SIDOMULYO
MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS
EDUCATION (RME)
PADA SUB MATERI POKOK KUBUS DAN BALOK
TAHUN AJARAN 2016/2017
Oleh:
Asma*, Mara Samin Lubis**
*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
**Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
Email:* [email protected] , **[email protected]
Abstract:
The type of research used is Classroom Action Research using Realistic
Mathematics Education (RME) approach. This classroom action research
is conducted through 2 cycles that include planning, implementation,
observation and reflection activities. And to know the ability of
understanding students' mathematical concepts Researchers use the
comprehension test of the concept of mathematics individually. Subjects in
this study were students of grade VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo
with a total of 31 students. The result of the research shows that before the
giving of action only 3 students from 31 students complete in
comprehension test of mathematics concept with percentage of 9.68%.
After giving the action in cycle I, the students' understanding of
mathematical concepts has increased by 48.39% percentage, or as many as
15 students from 31 students have completed in the comprehension ability
test of mathematical concepts. After the improvement of cycle I to cycle
II, the result of the ability to understand the concept of mathematics
students cycle II has reached the classical completeness with the
percentage of 87.10% or as many as 27 students have been completed in
the ability to comprehend the concept of mathematics test. From the result
of this class action research, the researcher concludes that there is
improvement of students' mathematical concept comprehension ability by
applying Realistic Mathematics Education (RME) approach to the students
of grade VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo.
Keywords:
Realistic Mathematics Education (RME) Learning Approach, Ability to
Understand the Concept of Student Mathematics
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
15
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Matematika sebagai bagian dari pendidikan dan merupakan
salah satu mata pelajaran disekolah dinilai cukup memegang peran penting dalam
membentuk kemampuan konsep siswa dan menjadikan siswa berkualitas, karena
dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar belajar tetapi juga memiliki
tujuan dan merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis
dan sistematis.
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut (BSNP, 2006: 140):
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman
konsep merupakan kemampuan yang sangat penting dan harus dimiliki para siswa
dalam pembelajaran matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa mayoritas siswa
kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo kurang memahami konsep dalam
belajar matematik. Contohnya masih banyak siswa yang kurang memahami
konsep operasi 3 x 2. Secara sepintas hal ini terlihat sederhana, namun masih
banyak siswa yang keliru dalam menyelesaikannya. Banyak siswa yang
menyelesaikan operasi 3 x 2 = 3 + 3, sementara penyelesaian yang benar dari
operasi 3 x 2 = 2 + 2 + 2. Hal ini muncul karena pelajaran matematika dianggap
sebagai suatu mata pelajaran yang sulit, membosankan, dan menakutkan. Serta
kebanyakan siswa lebih memilih untuk menghafal rumus tanpa mengetahui alur
penyelesaian atau konsep awal yang dijadikan dasar dari permasalahan yang
diberikan.
Penyebab rendahnya hasil belajar siswa pada bidang studi matematika
bukan hanya kesalahan siswa, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan
metode mengajar guru yang mengoptimalkan siswa secara penuh. Guru berperan
penting dalam pembelajaran di kelas, sehingga guru harus mampu memilih
metode atau pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran agar siswa lebih
termotivasi, aktif, tertarik dan senang mengikuti kegiatan pembelajaran, serta
siswa mampu memahami konsep pembelajaran yang disampaikan. Salah satu
pendekatan dalam pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif adalah
pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
16
Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME) yang memperhatikan kondisi lokal (budaya atau
lingkungan atau konteks) memperlihatkan bahwa siswa tidak takut lagi
mengutarakan ide-idenya, sudah mulai berani memberikan penyelesaian soal yang
berbeda dengan teman-temannya, tumbuh kreativitasnya dalam menyelesaikan
suatu masalah atau di dalam melakukan pemecahan masalah (problem solving)
bersama khususnya pada materi pokok bahasan kubus dan balok.
Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran
matematika yang diajar dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan
judul: “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII
MTS. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran
2016/2017”.
B. LANDASAN TEORITIS
1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika
Dalam pembelajaran, pemahaman dimaksudkan sebagai kemampuan
siswa untuk dapat mengerti apa yang telah diajarkan oleh guru. Dengan kata lain,
pemahaman merupakan hasil dari proses pembelajaran. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan
transformasi ilmu pengetahuan (Susanto, 2012: 208).
Isaack (dalam Baharuddin, 2008: 697) menyatakan bahwa konsep adalah
suatu istilah pengungkapan abstrak yang digunakan untuk mengklasifikasikan
atau mengkategorikan satu kelompok dari suatu benda, gagasan atau peristiwa.
Dengan kata lain,, maka dapat peneliti simpulkan bahwa konsep adalah suatu
ungkapan untuk mengelompokkan gagasan atau ide.
Pada petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No
506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 (Tim PPPG Matematika, 2005: 34)
tentang penilaian perkembangan anak didik SMP dicantumkan indikator dari
kemampuan pemahaman konsep sebagai hasil belajar matematika. indikator
tersebut adalah:
a) Menyatakan ulang sebuah konsep.
b) Mengklasifikasi objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsepnya.
c) Memberi contoh dan non contoh dari konsep.
d) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.
e) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.
f) Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu.
g) Mengaplikasikan konsep atau alogaritma ke pemecahan masalah.
Pemahaman konsep matematis juga merupakan salah satu tujuan dari
setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing
siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
17
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pemahaman konsep merupakan
salah satu kecakapan matematika. Dalam pemahaman konsep, siswa mampu
untuk menguasai konsep, operasi dan relasi matematis. Pembelajaran matematika
realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan
merekonstruksi konsep-konsep matematika.
2. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) diketahui sebagai
pendekatan yang telah berhasil di Nederland, Belanda. yang digagas oleh seorang
ahli matematika dari Utrect University Netherland, Prof. Hans Freudenthal
(Susanto, 2012: 205).
Suherman (2004: 206) mengatakan bahwa RME merupakan salah satu
pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, bahwa
matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara
nyata terhadap konteks keidupan sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang
berorientasi pada hal-hal yang real (nyata).
Pembelajaran dengan pendekatan RME mencerminkan cara memandang
matematika mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana
matematika harus diajarkan kepada anak. Pandangan ini tercermin pada enam
prinsip yang diturunkan dari lima kaidah yang dikemukakan Treffers (1987), yaitu
prinsip kegiatan, prisip nyata, prinsip bertahap, prinsip saling menjalin, prinsip
interaksi, dan prinsip bimbingan (Huda, 2013: 391).
Suharta & Gusti (2005: 7) mengatakan bahwa pembelajaran matematika
realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru
diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.
Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat
gambar 1) .
Matematisasi Konseptual
Interaksi dan Refleksi
Penguasaan Konsep
Pengaplikasian Konsep
Gambar 1. Skema Penemuan dan Pengkonstruksian
Konsep Menurut Van Reeuwijk
Masalah Konseptual
Strategi Informal
Formalisasi
Konsep
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
18
Suyitno (2004: 37) mengatakan bahwa RME di sekolah dapat
dideskripsikan sebagai berikut :
a) guru menyiapkan 1 atau 2 soal realistik (ada kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba
(karena langkah penyelesaian formal unutk menyelesaikan soal tersebut
belum diberikan).
b) guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa.
c) guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada
penghargaan terhadap keseragaman jawaban siswa dan konstribusi siswa.
d) guru dapat menyuruh beberapa siswa untuk menjelaskan temuannya di
dalam kelas.
e) dengan tanya jawab, guru baru menunjukan langkah formal yang
diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa didahului dengan
penjelasan tentang materi pendukungnya.
3. Pokok Bahasan Kubus dan Balok
a) Kubus
Gambar 2. Kubus
Kubus adalah bangun ruang yang semua sisinya berbenituk persegi dan
semua rusuknya sama panjang.
Untuk mencari luas permukaan kubus, berarti sama saja dengan
menghitung luas buah persegi yang sama dan kongruent maka:
Luas permukaan kubus = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 − 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠
= 6 x (s x s)
= 6 x 𝑠2
L = 6 𝑠2
Jadi, luas permukaan kubus dapat dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut. 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 6 𝑠2
volume atau isi suatu kubus dapat ditentukan dengan cara mengalikan
panjang rusuk kubus tersebut sebanyak tiga kali. Sehingga:
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 = 𝑠 × 𝑠 × 𝑠 = 𝑠3
Jadi, volume kubus dapat dinyatakan sebagai berikut
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 𝑠3. Dengan s merupakan panjang rusuk kubus.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
19
b) Balok
Gambar 3. Balok
Bangun ruang ABCD.EFGH pada gambar tersebut memiliki tiga pasang
sisi berhadapan yang sama bentuk dan ukurannya, dimana setiap sisinya
berbentuk persegi panjang. Bangun ruang seperti ini disebut balok.
Misalkan, rusuk-rusuk pada balok diberi nama p (panjang), l (lebar), dan t
(tinggi), maka luas permukaan balok dapat dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut.
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 2 𝑝𝑙 + 𝑙𝑡 + 𝑝𝑡
Volume suatu balok diperoleh dengan cara mnengalikan ukuran panjang,
lebar, ban tinggi balok tersebut.
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 × 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 𝑝 × 𝑙 × 𝑡
C. METODE PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 MTs. Al-
Ilhamiyah Sidomulyo. Pada Tahun Ajaran 2016/2017. Dengan jumlah subjek
adalah seluruh siswa kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo. Jumlah siswa
kelas VIII-1 adalah 31 orang. Beralamat di Jl. Tualang Sidomulyo kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu. Penelitian ini akan dilakukan pada semester
genap yaitu pada bulan Januari sampai Februari Tahun Ajaran 2016/2017.
Adapun materi pelajaran yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kubus dan
Balok” yang merupakan materi pada silabus kelas VIII yang sedang dipelajari
pada semester tersebut.
Menurut Kemmis (dalam Arikunto, 2010: 16) secara garis besar terdapat
empat tahap yang dilalui dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK): “(1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi”. Tiap siklus
dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang akan dicapai. Pada penelitian ini jika
siklus I tidak berhasil, yaitu proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik
dan dan hasil belajar belum mencapai ketuntasan belajar maka akan dilaksanakan
siklus II.
Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu penelitian tindakan kelas maka
dalam prosedur penelitian ini memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya
seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2010: 74) secara garis besar adalah
sebagai berikut.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
20
Gambar 4. Model desain tindakan kelas Arikunto
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pra Siklus
Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Pra Siklus
Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase
75% ≤ KKM ≤ 100% Tuntas 3 9,68%
0% ≤ KKM ≤ 75% Tidak Tuntas 28 100%
Dari data tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa berada dalam kategori sangat rendah.
Dengan demikian peneliti ingin menerapkan pendekatan Realistic Mthematics
Education (RME) yang bertujuan untuk memperbaiki kemampuan pemahaman
konsep siswa yang otomatis akan meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-1
MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo.
2. Siklus I
Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 2. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I
Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase
75% ≤ KKM ≤ 100% Tuntas 15 48,39%
0% ≤ 𝐾KM ≤ 75% Tidak Tuntas 16 51,61%
Perencanaan
SISKLUS I
Perencanaan
?
Refleksi Pelaksanaan
Pengamatan
Pelaksanaan Refleksi SIKLUS II
Pengamatan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
21
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa secara klasikal belum mencapai ketuntasan
karena hanya 15 orang siswa dari 31 siswa saja yang tuntas dengan persentase
48,39%. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari hasil tes
sebelum diberikan tindakan. Meskipun terjadi peningkatan tetapi belum dapat
dikatakan tuntas dan masih dalam kategori cukup. Hal ini disebabkan karena
masih terdapat beberapa siswa yang bermain-main dalam menyelesaikan tes,
siswa juga merasa sedikit kesulitan dalam menyelesaikan tes kemampuan
pemahaman yang diberikan oleh peneliti yang bertindak sebagai guru mata
pelajaran matematika kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo. Demikian
perlua diadakan tindakan selanjutnya (siklus II) untuk memperbaiki kesulitan
yang dihadapi siswa dan untuk memperbaiki kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa agar mencapai ketuntasan klasikal yaitu sebesar 85%.
3. Siklus II
Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 3. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Siklus II
Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase
75% ≤ 𝐾KM ≤ 100% Tuntas 27 87,10%
0% ≤ 𝐾KM ≤ 75% Tidak Tuntas 4 12,90%
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa secara klasikal sudah meningkat dan telah
mencapai ketuntasan klasikal yaitu 85% atau sebanyak 27 orang siswa dari 31
orang siswa telah tuntas dengan persentase 87,10% dengan perolehan nilai rata-
rata 69,42. Dengan demikian, tidak perlu lagi dilakukan tindakan selanjutnya dan
berhenti pada siklus II.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa kelas
VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah yang diajar dengan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) dilihat dari hasil tes diperoleh rata-rata pemahaman konsep
siswa siklus I 59,83, dan rata-rata pemahaman konsep siswa siklus II 69,42. Dari
data tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep siswa
dengan selisih 12,59. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan grafik
berikut:
Tabel 4 Peningkatan Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Ketuntasan
Belajar Siswa
Jumlah
Siswa
Nilai Rata-rata
Pemahaman Konsep
Persentase
Ketuntasan Klasikal
Pra Siklus 3 siswa 36,01 9,68%
Siklus I 15 siswa 59,83 48,39%
Siklus II 27 siswa 69,42 87,10%
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
22
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan
Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa dilihat dari hasil belajar siswa yang telah mencapai rata-rata dan
telah mencapai ketuntasaan klasikal.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a) Sebelum diterapkan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
dalam pembelajaran diperoleh data bahwa tingkat kemampuan
pemahaman konsep siswa masih tergolong rendah, dan siswa yang tuntas
hanya 3 orang siswa dengan prersentase 9.68%. Artinya hanya 3 orang
siswa yang mampu memahami dan menyelesaikan soal dengan baik, siswa
mampu menentukan volume dan luas permukaan kubus dan balok, siswa
mampu mengklasifikasikan kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai
dengan konsepnya, siswa mampu membedakan contoh dan non-contoh
dari kubus dan balok dan siswa mampu menggunakan, memanfaatkan dan
memilih prosedur atau operasi tertentu untuk menyelesaikan soal yang
diberikan. Namun masih terdapat beberapa kesalahan, diantaranya:
terdapat beberapa kesalahan perhitungan pada hasil akhir tes siswa dan
siswa tidak mampu menjawab semua soal. Sedangkan jumlah siswa yang
tidak tuntas sebanyak 28 orang siswa dengan presentase 90,32%. Siswa
dikatakan belum tuntas karena siswa belum mampu memahami dan
menyelesaikan soal dengan baik, siswa belum mampu menentukan volume
dan luas permukaan kubus dan balok, siswa belum mampu
mengklasifikasikan kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai dengan
konsepnya, dan siswa belum mampu menggunakan, memanfaatkan dan
memilih prosedur atau operasi tertentu dalam menyelesaikan soal yang
diberikan terkait dengan materi kubus dan balok dan siswa belum mampu
menjawab semua soal yang diberikan, serta siswa hanya menuliskan hasil
akhir jawabannya saja tanpa menguraikan langkah penyelesaian secara
lengkap, dan hasil akhir jawaban yang ditulis siswa tidak semuanya benar.
Dan dari data hasil observasi diperoleh rata-rata keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran yaitu hanya 22%, artinya hanya 7 orang siswa yang
aktif dalam proses pembelajaran. Dan sebanyak 24 orang siswa lagi masih
belum fokus dan kurang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini
disebabkan karena cara mengajar guru yang monoton, siswa yang tidak
fokus dalam pembeajaran, seperti: siswa masih banyak yang sibuk sendiri
dengan aktivitasnya, banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan
dari guru, banyak siswa yang masih malu-malu untuk bertanya atau
menjawab pertanyaan dari guru, dan siswa tidak berperan aktif selama
proses pembelajaran.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
23
b) Berdasarkan penelitian pada siklus I dengan menerapkan pendekatan
Realistic Mathematics Education (RME) dalam pembelajaran diperoleh
data dari hasil tes siswa yang telah tuntas sebanyak 15 orang siswa dengan
persentase 48,39%, hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam
menyatakan ulang sebuah konsep, artinya siswa mampu menyelesaikan
soal yang diberikan sesuai dengan konsepnya. 15 orang siswa tersebut
dikatakan tuntas juga terlihat dari siswa mampu menggunakan,
memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu dalam
menyelesaikan soal yang diberikan, siswa mampu mengklasifikasikan
kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai dengan konsepnya dan
siswa mampu memahami contoh dan non-contoh dari kubus dan balok.
Sedangkan siswa yang belum tuntas sebanyak 16 orang siswa dengan
persentase 51,61%. Sebanyak 16 orang siswa tersebut dikatakan belum
tuntas karena siswa belum mampu menyelesaikan dan memahami soal
dengan baik, siswa belum mampu menyatakan ulang sebuah konsep, siswa
belum mampu membedakan contoh dan non-contoh dari sifat-sifat kubus
dan balok dan siswa belum mampu menggunakan, memanfaatkan dan
memilih prosedur atau operasi tertentu dalam menyelesaikan soal yang
diberikan. Dari data tersebut terlihat bahwa pembelajaran siswa
mengalami peningkatan dari sebelumnya. Sedangkan dari data observasi
diperoleh bahwa aktivitas siswa sudah mulai membaik dan meningkat. Hal
ini dilihat dari persentase keaktifan siswa yang meningkat sebesar 63,89%.
Artinya sebanyak 20 orang siswa yang telah aktif mengikuti proses
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME). Hal ini dapat dilihat dari respon siswa yang semakin
baik, mayoritas siswa memperhatikan penjelasan dari guru, sebagian besar
siswa berperan aktif selama proses pembelajaran, dan siswa tidak malu-
malu lagi untuk bertanya ataupun menjawab pertanyaan dari guru.
c) Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II diperoleh bahwa pembelajaran
yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo materi
kubus dan balok. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran mengalami peningkatan sebesar 87,50%.
Artinya hampir seluruh siswa atau sebanyak 27 siswa telah aktif dalam
proses pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan
Realistic Mathematics Education (RME). Hal ini dapat dilihat dari respon
siswa yang baik dan antusias siswa dalam pembelajaran matematika serta
hasil tes siswa yang mengalami peningkatan sebesar 87,10% atau
sebanyak 27 siswa yang telah tuntas dan mencapai nilai KKM matematika
yang ditetapkan oleh sekolah yaitu ≥75. Sebanyak 27 orang siswa dari
jumlah seluruh siswa yaitu 31 orang dikatakan tuntas karena siswa mampu
memahami dan menyelesaikan soal dengan baik dan benar, siswa mampu
menyatakan ulang sebuah konsep dalam menyelesaikan soal yang
diberikan, siswa mampu mengklasifikasikan kubus dan balok menurut
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
24
sifat-sifatnya sesuai dengan konsepnya, siswa mampu membedakan
contoh dan bukan contoh dari kubus dan balok, siswa mampu
menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu
dalam menyelesaikan soal dan siswa mampu mengaplikasikan konsep atau
algoritma dalam menyelesaikan soal tes pemahaman konsep matematika
yang diberikan. Sedangkan 4 orang siswa sisanya tidak tuntas, hal ini
dikarenakan 4 orang siswa tersebut tidak hadir ketika pemberian tes
pemahaman konsep siklus II. Jadi peneliti tidak bisa melihat sejauh mana
tingkat pemahaman konsep 4 orang siswa tersebut, karena otomatis 4
orang siswa tersebut tidak mampu mencapai semua indikator pemahaman
konsep, dimana indikator pemahaman konsep tersebut dapat dilihat dari
hasil tes pemahaman konsep matematika siswa yang diberikan secara
individu.
2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan
saran-saran sebagai berikut:
a) Bagi guru pembelajaran matematika, disarankan untuk memperhatikan
kemampuan pemahaman konsep siswa dalam proses pembelajaran,
sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajarannya dan
siswa tertarik dan termotivasi dalam belajar. Maka dari itu sebaiknya guru
mata pelajaran, khususnya kepada guru mata pelajaran matematika
menerapkan berbagai strategi dan metode dalam mengajar. Salah satunya
yang dapat disarankan oleh peneliti adalah pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME) dapat menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.
b) Kepada siswa MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo peneliti sarankan untuk lebih
aktif dalam pembelajaran, seperti: tidak malu-malu dalam bertanya
ataupun menjawab pertanyaan dari guru, berani menyampaikan ide-ide
yang dimiliki dan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran, sehingga
siswa aktif dan siswa ikut terlibat dalam proses pembelajaran.
c) Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dapat
mempertimbangkan penerapan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) pada materi kubus dan balok ataupun materi lainnya dan
dapat juga dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi, 2010, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Aksara.
BSNP, 2006, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta
Gusti Putu I, Suharta, 2005, Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana ?,
Singaraja: FMIPA IKIP Negeri Singaraja.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
25
Huda Muhammad Anwarul, 2013, Jurnal Pendidikan Sains, Vol. 1, Nomor 4
Susanto Ahmad, 2012, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Suyitno A., 2004, Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika, Semarang:
FMIPA UNNES
Tim PPPG Matematika, 2005, Materi Pembinaan Matematika SMP di Daerah,
Yogyakarta: Depdiknas
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
26
PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
PADA MATERI LINGKARAN DI KELAS VIII SMP YAYASAN
PENDIDIKAN ISLAM DELI TUA T.A 2016/2017
Oleh:
Nisa Cahya Pertiwi Lubis* Fibri Rakhmawati**
*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
**Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
Jl.Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
Email: *[email protected], **[email protected]
Abstract:
The purpose of this research is to know: (1) mathematical communication
ability of students in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua
before applied realistic mathematics approach, (2) process of realistic
mathematical approach implementation to improve students' mathematical
communication ability in circle material in class VIII SMP Yayasan
Islamic Education Deli Tua, (3) improvement of students' mathematical
communication ability in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli
Tua after applied realistic mathematics approach. This type of research is a
classroom action research. The subjects of this study are the students of
class VIII-2 SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua which amounts to
24 students and the object of this research is the application of realistic
mathematical approach to improve students' mathematical communication
skills in the circle material in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam
Deli Tua TA 2016/2017 . Data analysis shows that in learning by applying
realistic mathematical approach can improve students' mathematical
communication ability. The percentage of students' mathematical
communication ability level is classified as an improvement in the initial
test of 29.17%, in the first cycle of 66.67%, and in cycle II increased to
87.50%. Observations on the process of applying a realistic mathematical
approach done by teachers also increased, the result of observation in
cycle I is 2.7 which means good and in cycle II is 3.1 which means good.
This shows that the application of realistic mathematical approach can
improve students' mathematical communication ability in learning
mathematics in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A
2016/2017.
Keywords: Mathematical Communication Skill, Realistic Mathematical
Approach
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan berargumentasi (Susanto, 2013: 185). Matematika yang
dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan cara berpikir dan berargumentasi
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
27
tersebut memberikan konstribusi dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.
Konstribusi tersebut membuat matematika menjadi ilmu yang universal. Menurut
Begle (1979), sasaran atau objek penelaahan matematika adalah fakta, konsep,
operasi dan prinsip. Objek penelaahan tersebut menggunakan simbol-simbol yang
kosong dari arti. Ciri ini yang memungkinkan matematika dapat memasuki
wilayah bidang studi/cabang ilmu lain (Hudojo, 2005: 38).
Di Indonesia, peran matematika diaktualisasikan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalmenyebutkan,bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa (Trianto, 2010: 1). Menurut Wardhani (2008: 15) matematika
yang dijadikan sebagai alat untuk mengembangkancara berpikir dan
berargumentasi tersirat pada tujuan pembelajaran matematika di sekolah agar
siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
(1)Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep dan algoritma, secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat dalam pemecahan masalah,(2) Menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika, (3)Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, (5)Memiliki sikap dalam menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah
Di Indonesia fenomena matematika tidak mudah diminati berdampak
pada hasil Programme for International Student Assessment (PISA) terbaru tahun
2015, kemampuan literasi matematika siswa Indonesia dinyatakan masih rendah.
Indonesia menempati peringkat ke 69 dari 76 negara peserta (Survey PISA, 2015).
PISA adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang
kemampuan siswa usia 15 tahun dalam membaca (reading literacy), matematika
(mathematics literacy), dan sains (scientific literacy).
Fenomena semakin sedikitnya peminat matematika yang disebabkan
keabstrakan matematika itu sendiri dan kondisi persekolahan saat ini dapat
diminimalisir dengan menciptakan proses pembelajaran yang melibatkan
keaktifan siswa sehingga mereka mampu mengkonstruksi pengetahuan yang
mereka dapatkan. Siberman berpendapat bahwa banyak cara yang bisa membuat
siswa belajar secara aktif yang disebut dengan perlengkapan belajar aktif. Cara
pelaksanaan hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, strategi,
pendekatan, model pembelajaran yang dapat menjadikan siswa aktif dalam belajar
(Rusman, 2012: 399-400).
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
28
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan
realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika
secara lebih baik dari pada yang lalu. Maksud realitas yaitu hal-hal yang nyata
atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat
membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan
tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun
masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.Lingkungan dalam hal ini disebut
juga kehidupan sehari-hari.
Pendekatan matematika realistik dipilih karena pendekatan ini telah
terbukti berhasil diberbagai negara, bahkan Erman Suherman dalam Irawati
(2013):
Suatu studi yang dilakukan di sebuah sekolah di Puerto Rico, dengan
jumlah murid 570 siswa. Sekolah ini dijadikan sebagai tempat uji coba
penelitian realistik. Tempat ini terpilih sebagai sampel penelitian
berdasarkan pertimbangan bahwa meskipun menurut standar Amerika
daerah ini tergolong miskin, namun guru-guru, personel sekolah dan
orangtua siswa menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
sekolah. Secara dramatis dan mengagumkan siswa yang belajar
menggunakan pendekatan realistic (matematik in context)tercatat oleh
dapartemen pendidikan hasil skornya meningkat secara tajam.
Ansari (2016: 11) mengatakan komunikasi matematis terdiri atas,
komunikasi lisan (talking), dan tulisan (writing). Adapun aspek komunikasi
bentuk lisan (talking) seperi membaca (reading), mendengar (listening), dan
diskusi (discussing), sedangkan aspek komunikasi tulisan (writing) seperti
representasi (representation) dan menulis (writing). Lebih lanjut Ansari (2016: 5)
mengatakan, alasan mengapa komunikasi dalam matematika perlu ditumbuh
kembangkan di kalangan siswa, yaitu:
Pertama, mathematics as language; artinya matematika tidak hanya
sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk
menemukan pola,menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan,
tetapi matematika juga sebagai suatu alat yang berharga untuk
mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua,
mathematics learning as social activity; artinya, sebagai aktivitas sosial
dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana
interaksi antara siswa, dan juga komuikasi antara guru dan siswa. Hal ini
bagian terpenting untuk mempercepat pemahaman matematika siswa.
Namun, dalam proses pembelajaran kemampuan komunikasi belum
sepenuhnya dikembangkan secara tegas, padahal sebagaimana diungkapkan oleh
para matematikawan, kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu
kompetensi yang perlu diupayakan peningkatannya sebagaimana kompetensi
lainnya, seperti bernalar dan pemecahan masalah. Permasalahan ditemukan oleh
peneliti saat melakukan wawancaradengan seorang guru matematika kelas VIII di
SMPYayasan Pendidikan Islam Deli Tua. Berdasarkan hasil wawancara guru
matematika SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua di kelas VIII, guru
menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa saat proses pembelajaran
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
29
matematika. Siswa kesulitan dalam merepresentasikandan menulis apa yang
mereka telah ketahui dan solusi atau ide untuk menyelesaikan soal cerita. Dalam
mengerjakan soal cerita siswa sulit merepresentasikan informasi yang ada pada
soal ke dalam bahasa atau simbol matematis untuk membantu menyelesaikan
persoalan tersebut.
Saat melakukan wawancara, guru juga menyampaikan bahwa saat proses
pembelajaran siswa hanya menggunakan LKS sebagai sumber belajar. LKS
tersebut tidak disusun sendiri oleh guru namun dibeli dari pihak luar sekolah. LKS
yang dipakai oleh siswa hanya berisi rumus, contoh soal, dan soal. Peneliti
akhirnya melakukan observasi di sekolah tersebut, peneliti pun menemukan saat
proses pembelajaran guru mengajarkan matematika dengan pemberitahuan
defenisi, rumus, contoh soal, dan soal sesuai dengan isi LKS yang dijadikan
sumber belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa terlihat kurang aktif dan pada
akhirnya mereka bosan dengan situasi tersebut.
Selanjutnya, apabila siswa secara terus menurus merasa bosan dengan
pembelajaran matematika, maka fenomena semakin sedikitnya peminat
matematika akan semakin bertambah. Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul:“Penerapan Pendekatan Matematika
Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada
Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A.
2016/2017”.
B. LANDASAN TEORITIS
1. Hakikat Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang
mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah
belajar dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi
suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa
dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran
matematika sedang berlangsung (Susanto, 2013: 187).
Cara dan pendekatan dalam pembelajaran matematika sangat dipengaruhi
oleh pandangan guru terhadap matematika dan siswa dalam pembelajaran. Adams
dan Hamm dalam Wijaya (2012: 15) menyebutkan empat macam pandangan
tentang posisi dan peran matematika, yaitu:
a. Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir
b. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan
(pattern and relationship)
c. Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool)
d. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi
2. Pendekatan Matematika Realistik PMR merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang
berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan
matematika harus di hubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
30
hari siswa ke pengelamaan belajar yang berorientasi pada hal-hal yang real
(nyata).
Menurut Suherman (2003: 206) dalam Ahmad, dalam pembelajaran
matematika yang menggunakan model PMR ini menganut prinsip-prinsip, sebagai
berikut:
a. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu
sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
b. Perhatikan kepada pengembang model-model, situasi, skema, dan
simbol-simbol.
c. Sumbangan dari para siswa, sehingga dapat membuat pembelajaran
menjadikonstruktif dan produktif.
d. Interaksi sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.
e. Intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan atau
antar strand
Shoimin (2014: 150) menguraikan bahwa pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR meliputi langkah-langkah berikut:
a. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk
memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah
dengan memberikan petunjuk/ sasaran seperlunya (terbatas) terhadap
bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa.
b. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada
buku siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan
jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi
siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh
penyelesaian soal.
c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu
dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini
dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian mengemukakan
pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan
gurunya.
d. Menarik kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan,
guru mengarahkan siswa untuk menemukan tentang konsep, defenisi,
teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah
kontekstual yang baru diselesaikan.
3. Hakikat Komunikasi Matematis
Ansari (2016: 11) mengatakan bahwa komunikasi matematis terdiri
ataskomunikasi lisan (talking) dan tulisan (writing). Menurut Ross dalam Fitriyani
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
31
(2015) indikator kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis adalah
sebagai berikut:
a. Siswa dapat menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi
dengan gambar, tabel/bagan dan secara aljabar
b. Siswa dapat menyatakan hasil dalam bentuk tertulis
c. Siswa dapat menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan
suatu konsep matematika dan solusinya
d. Siswa dapat membuat situasi matematika dengan menyediakan ide
dan keterangan dalam bentuk tertulis
e. Siswa dapat menggunakan bahasa dan simbol matematika dengan
tepat
Beberapa kriteria yang dipakai dalam melihat seberapa besar kemampuan
siswa dalam memiliki kemampuan matematis pada pembelajaran matematika
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh NCTM (1987), sebagai berikut:
a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan,
tuliasan dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara
visual.
b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-
ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya.
c. Kemampuan menggunakan istilah, notasi matematika dan struktur-
strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan dan
model situasi.
Dalam penelitian ini, bentuk komunikasi yang ditelitiadalah bentuk
komunikasi tulisan (writing) yaitu aspek representasi dan menulis. Untuk Aspek
representasi indikator yang digunakan adalah menurut Baroody dan indikator
untuk aspek menulis yang digunakan adalah menurut Ross.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (classroom action
research) karena peneliti bertindak secara langsung dalam penelitian ini (mulai
dari awal sampai akhir tindakan). Penelitian Tindakan. Kelas (Classroom Action
Research) dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menerapkan pendekatan
matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
siswa.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-2 SMP Yayasan
Pendidikan Islam Deli Tua T.A2016/2017 yang berjumlah 28 siswa. Penelitian ini
dilaksanakan di SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua yang beralamat di Jl.
Setia Kec. Deli Tua, Kab. Deli Serdang Sumatera Utara. Penelitian ini
dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.
Prosedur penelitian tindakan kelas terdiri dari beberapa tahapan yang
terus berulang membentuk siklus sesuai dengan permasalahan yang ingin
dipecahkan. Apabila permasalahan belum dapat dipecahkan maka penelitian
dilanjutkan ke siklus II dan seterusnya.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
32
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada siklus I dapat
dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Tingkat Penguasaan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Siklus I
No Tingkat
Penguasaan Kriteria
Banyak
Siswa
Presentase
Jumlah Siswa
1 90 – 100 Sangat Tinggi 0 0%
2 80 – 89 Tinggi 4 16,67%
3 65 – 79 Sedang 12 50,00%
4 56 – 64 Rendah 4 16,67%
5 0 – 55 Sangat Rendah 4 16,67%
Jumlah 24 100%
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa terdapatperubahan hasil tes
awal dengan hasil tes pada siklus ini. Pada hasil tes awal, siswa hanyatergolong
pada kriteria kemampuan komunikasi matematis sedang, rendah, dan sangat
rendah. Pada hasil tes siklus ini, terdapat siswa yang memiliki kriteria
kemampuan komunikasi tinggi yaitu 4 dari 24 siswa (16,67%). Setengah dari
jumlah siswa yaitu 12 siswa (50,00%) memiliki kriteria kemampuan komunikasi
matematis sedang. Untuk kriteria kemampuan komunikasi matematis rendah dan
sangat rendah masing-masing adalah 4 siswa (16,67%). Adapun rata-rata nilai
kelas dari tes kemampuan komunikasi matematis awal ini adalah 68,33.
Berikut ini disajikan gambaran tingkat kemampuan komunikasi
matematis siswa secara klasikal.
Tabel 2. Tabel Deskripsi Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siklus
I
Tingkat
Penguasaan Kriteria
Banyak
Siswa Presentase
0 ≤ KK<65 Belum Mampu Berkomunikasi 8 33,33%
65 ≤ KK ≤ 100 Mampu Berkomunikasi 16 66.67%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa secara klasikal masih 66,67% dari seluruh siswa yang mampu
berkomunikasi atau hanya 16 siswa dari 24 siswa yang mampu berkomunikasi
matematis. Dengan demikian perlu dilakukan perbaikan pembelajaran pada siklus
II yang mungkin dapat mencapai presentase ketuntasan klasikal yang ditetapkan
yakni terdapat minimal 85% siswa yang mencapai nilai 65 ≤ KK ≤ 100.
Analisis tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada siklus II
dapat dilihat Berdasarkan Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Tingkat Penguasaan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Siklus II
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
33
No Tingkat
Penguasaan Kriteria
Banyak
Siswa
Presentase
Jumlah Siswa
1 90 – 100 Sangat Tinggi 0 0%
2 80 – 89 Tinggi 12 50,00%
3 65 – 79 Sedang 9 37,50%
4 56 – 64 Rendah 3 12,50%
5 0 – 55 Sangat Rendah 0 0%
Jumlah 24 100%
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa terdapatperubahan hasil tes
siklus I dengan hasil tes pada siklus ini.Pada hasil tes siklus I, masih terdapatsiswa
yang memiliki kriteria kemampuan komunikasi matematis sangat rendah,
sedangkan pada sikulus ini tidak terdapat siswa yang memiliki kemampuan
komunikasi matematis sangat rendah. Pada hasil tes siklus ini, setengah dari
keseluruhan siswa yaitu 12 siswa (50,00%) memiliki kriteria kemampuan
komunikasi matematis tinggi. Untuk kriteria kemampuan komunikasi matematis
sedang terdapat 9 siswa (37,50%), sedangkan siswa yang masih memiliki
kemampuan komunikasi matematis rendah terdapat 3 siswa (12,50%). Adapun
rata-rata nilai kelas dari tes kemampuan komunikasi matematis awal ini adalah
76,46.
Berikut ini disajikan gambaran tingkat kemampuan komunikasi matematis
siswa secara klasikal.
Tabel 4. Tabel Deskripsi Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siklus
II
Tingkat
Penguasaan Kriteria
Banyak
Siswa Presentase
0 ≤ KK<65 Belum Mampu Berkomunikasi 3 12,50%
65 ≤ KK ≤ 100 Mampu Berkomunikasi 21 87,50 %
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa secara klasikal telah mencapai indikator keberhasilan karena dari
24siswa, terdapat 21 siswa yang telah mampu berkomunikasi matematis
(87,50%). Dengan demikian penelitian ini tidak perlu dilakukan perbaikan
pembelajaran pada siklus II karena telah mencapai presentase kemampuan
komunikasi matematis klasikal 85% siswa yang mencapai nilai 65 ≤ KK ≤ 100.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a) Hasil tes kemampuan komunikasi matematis awal atau sebelum
diterapkanpendekatan matematika realistik, persentase siswa mampu
berkomunikasi matematis secara klasikal yaitu 29,17% (7siswa),
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
34
persentase siswa belum mampu berkomunikasi matematis secara klasikal
yaitu 70,83%, dan nilai rata-rata kelas 49,58. Dari data tersebut kelas VIII-
2 SMP Yayasan Pendidikan Islam belum dapat dikatakan mampu
berkomunikasi matematis karena persentase siswa mampu berkomunikasi
matematis secara klasikal belum mencapai 85%.
b) Proses penerapan pendekatan matematika realistik dilihat dari hasil
observasi aktivitas guru, dimana terdapat 8 indikator yang dilihat saat guru
menerapkan pendekatan matematika realistik saat proses pembelajaran.
Pada siklus I yang dilaksanakan 2 x pertemuan, rata-rata hasil
observasinya yaitu 2,7 yang termasuk kriteria baik. Pada siklus II yang
dilaksanakan 2 x Pertemuan juga mengalami peningkatan hasil observasi
aktivitas guru menjadi 3,1 yang termasuk kriteria baik.
c) Kemampuan komunikasi matematis siswa setelah tindakan
1) Kemampuan komunikasi matematis siswa siklus I setelah peneliti
memberikan tindakan dengan menerapkanpendekatan matematika
realistik nilai persentase siswa mampu berkomunikasi matematis
secara klasikal yaitu 66,67% (16siswa), persentase siswa belum
mampu berkomunikasi matematis secara klasikal yaitu 33,33%
(8siswa) dan nilai rata-rata kelas 68,33. Persentase kelulusan klasikal
pada siklus I belum dapat dikatakan tuntas karena persentase siswa
mampu berkomunikasi matematis secara klasikal belum mencapai
85%.
2) Hasil belajar siswa pada siklus II memperoleh persentase siswa
mampu berkomunikasi matematis secara klasikal sebesar 87,50%
(21siswa), persentase siswayang belum mampu berkomunikasi
matematis secara klasikal yaitu 12,50% (3 orang), dengan rata-rata
kelas 87,50. Ini berarti persentase siswa mampuberkomunikasi
matematis klasikal sudah tercapai karena sudah lebih dari 85%,
sehingga penelitian tidak diteruskan pada siklus berikutnya.
2. Saran
a) Bagi Guru
Dalam mengajarkan matematika hendaknya guru dapat menerapkan
pendekatan matematika realistikyang sesuai dengan materi, sehingga
siswa lebih aktif dalam pembelajaran, memberikan kesempatan kepada
siswa untuk memahami masalah kontekstual dan menyelesaikannya,
saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling
tepat, kemudian menarik kesimpulan. Selain itu, juga mendorong siswa
mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari siswa.
b) Bagi Siswa
Diharapkan kepada siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran melalui
proses pembelajaran yang menghubungkan materi dengan kehidupan
sehari-hari siswa ke pengalaman belajar.
c) Bagi Peneliti Selanjutnya
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
35
Kepada peneliti yang berminat melakukan penelitian dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang sama dengan peneliti ini,
disarankan untuk mengembangkan penelitian ini dengan kemampuan
penguasaan kelas yang lebih baik dan dapat menganut prinsip dan
karakteristikpendekatan pembelajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Bansu I. (2016).Komunikasi Matematik, Strategi Berpikirdan Manajemen
Belajar: Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: PeNa.
Fitriyani, Harina dkk. (2015). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis
Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Investigasi. ISBN: 978-
602-361-045-7
Hudojo, Herman.(2005). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika.
Surabaya: Universitas Negeri Malang.
Irawati, Ria. (2013). Pengembangan Bahan Ajar Matematika melalui Pendekatan
Matematika Realistik Berbasis Kurikulum 2013 untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa di Kelas VII SMP Tri Jaya
Medan. Skripsi. Universitas Negeri Medan.
Rusman, (2012). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Shoimin, Aris.(2014).68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Susanto, Ahmad. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran di sekolah
Dasar.Jakarta: Kencana.
Trianto.(2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,
Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Wardhani,Sri. (2008). Analisis SI Dan SKL Mata Pelajaran Matematika
SMP/MTs Untuk Optimalisasi Pencapaian Tujuan.Yogyakarta: Pusat
Pengembangan Dan Pemberdayaan PendidikDan Tenaga Kependidikan
Matematika.
Wijaya,Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif
Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Survei PISA tahun 2015 yang dirilis bulan November 2015
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
36
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA
SISWA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
JIGSAW PADA MATERI BANGUN DATAR PERSEGI DAN PERSEGI
PANJANG KELAS VII-2 MTSN BINJAI T. A. 2016/2017
Oleh:
Agus Tianto*, Asnil Aidah Ritonga**
*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan
**Dosen Tetap FITK UIN-SU Medan
Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
Email: *[email protected], **[email protected]
Abstract:
This type of research is a classroom action research. The purpose of the
research is 1) To know how the communication ability of students before
applied mathematics jigsaw type cooperative learning. 2) Describe the
students' mathematical communication skills after implementing jigsaw
type cooperative learning. 3) To know whether there is improvement of
students' mathematical communication ability after doing jigsaw type
cooperative learning. The study was conducted in two cycles with the
subjects of all students of class VII-2 MTs Negeri Binjai which amounted
to 40 students. To obtain data in this research used post test, observation
sheet of student mathematics communication, interview and
documentation. After the data collected and analyzed it is obtained: 1) The
result of the initial ability of students' mathematics communication
through the post test obtained 31 students or 77.50% of learning
completeness level did not reach KKM (≥ 75), while only 9 students or
22.50 % Of learning completeness level reached KKM (≥ 75). 2) The
improvement of students' mathematical communication ability is seen
from the percentage of learning result that is on the pre cycle of 22,50%,
increase in cycle I become 67,50%, and in cycle II increase to 87,50%. 3)
The result of observation of student mathematics communication in cycle I
obtained 51,12% with "Good" criteria, and increase in cycle II with
percentage 71,16% with "Very Good" criteria. Based on the results of this
classroom action research it can be concluded that the application of
cooperative learning model jigsaw type can improve students'
mathematical communication skills on square and rectangular building
materials in class VII-2 MTs Negeri Binjai T.A. 2016/2017.
Keywords: Student Mathematics Communication Skills, Jigsaw Type Cooperative
Learning.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
37
A. PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai pondasi dalam mengembangkan manusia yang
berkualitas. Pendidikan senantiasa berkenaan dengan manusia, dengan pengertian
sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dasar manusia seoptimal
mungkin sesuai dengan kapasitasnya.
Selanjutnya untuk menjalankan pendidikan tersebut perlu dilakukan
pembelajaran matematika karena matematika merupakan salah satu ilmu
pengetahuan yang berperan penting dalam kehidupan, antara lain dalam
pembentukan keterampilan berkomunikasi serta mampu bekerjasama. Matematika
bukan hanya sekedar alat bagi ilmu, tetapi lebih dari itu matematika adalah
bahasa. Matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkain makna
dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika menurut Permendiknas No. 22 yaitu:
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah (BNSP, 2006: 3).
Dalam meningkatkan pembelajaran matematika yang dilaksanakan maka
perlu dilakukan komunikasi matematika dalam proses belajar mengajar.
Komunikasi ini dapat dilakukan antara guru dengan siswa maupun siswa dengan
siswa itu sendiri. Melalui komunikasi dapat mengungkapkan apa yang dirasakan
serta dapat menerima pernyataan maupun pengungkapan dari individu lain. Proses
komunikasi ini dapat menumbuhkan saling pengertian di antara individu-individu
yang berinteraksi. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) dalam
(Nasa, 2014: 36) menyatakan bahwa:
Komunikasi matematika merupakan: (1) Kekuatan sentral bagi siswa
dalam merumuskan konsep dan strategi matematika; (2) Modal
keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian
dalam eksplorasi dan investigasi matematika; (3) Wadah bagi siswa
dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh
informasi, membagi pikiran dan penemuan, bertukar pendapat,
menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.
Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VII-2 MTsN Binjai ketika
dilaksanakan proses pembelajaran matematika terdapat beberapa masalah yaitu:
Kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh guru, siswa kurang berani
memberikan pendapat dan menaggapi pertanyaan dari teman lainnya, siswa
terlihat bingung ketika dihadapkan dengan rumus-rumus dalam bentuk lambang
atau notasi matematika sehingga tidak mampu mengkomunikasikannya.
Masalah-masalah seperti ini sering terjadi dalam proses pembelajaran
matematika. Sebagaimana diungkapkan oleh Nugroho (2010: 20) bahwa proses
pembelajaran matematika cenderung berpusat pada guru dan siswa kurang mampu
dalam mengkomunikasikan matematika tersebut baik itu komunikasi dengan guru
maupun komunikasi dengan siswa lainnya. Selain itu hal yang sama juga
dikatakan Nisa (2014: 6) bahwa proses pembelajaran matematika yang terjadi saat
ini yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) bukan pada
siswa (student centered).
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
38
Berdasarkan berbagai pemikiran yang telah disampaikan di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang
Kelas VII-2 MTsN Binjai T. A. 2016/2017”.
B. LANDASAN TEORITIS
1. Komunikasi Matematika
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communication” terbentuk dari
kata “com” bahasa latin “cum” artinya dengan atau bersama dengan dan “unio”
bahasa latin “union” artinya bersatu dengan. Dengan demikian, komunikasi dapat
diartikan dengan union together atau union with artinya bersama dengan atau
bersatu dengan. Arti kata ini dapat bermakna bahwa komunikasi itu bersatu
dengan orang lain atau bersama dengan orang lain untuk melakukan kontak atau
hubungan.
Menurut Kholil (2013: 1) komunikasi dalam bahasa arab dikenal dengan
istilah al-ittisal yang berasal dari akar kata wasola yang berarti “sampaikan”. Lebih lanjut Sanjaya (2012: 79) mengemukakan bahwa komunikasi dapat
diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima pesan
dengan maksud untuk mempengaruhi penerima pesan.
Ansari (2016: 15) mengatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang
sangat penting pada matematika. Komunikasi merupakan cara berbagai ide dan
memperjelas pemahaman. Melalui komunikasi ide dapat dicerminkan, diperbaiki,
didiskusikan dan dikembangkan. Proses komunikasi juga membantu membangun
makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat
mempublikasikan ide.
Proses komunikasi pembelajaran menurut Majid (2012: 90) digambarkan
pada bagian berikut ini:
Gambar 1. Komunikasi Langsung
Gambar 2. Komunikasi Dengan Media
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang indikator-indikator
komunikasi matematika. Misalnya, indikator komunikasi matematika menurut
NCTM antara lain:
Pengirim Pesan Pesan Penerima Pesan
Pengirim Pesan Penerima Pesan Pesan Media
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
39
a) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tulisan,
dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.
b) Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide
matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.
c) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika
dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan
hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
indikator-indikator komunikasi matematika yang dipakai untuk mengukur tingkat
komunikasi matematika siswa adalah sebagai berikut:
a) Kemampuan mengungkapkan suatu ide, situasi, kedalam bentuk gambar,
grafik, atau diagram.
b) Kemampuan menjelaskan suatu situasi, ide dengan uraian tertulis.
c) Kemampuan menjelaskan gambar, grafik, atau diagram kedalam uraian
tertulis yang mengilustrasikan ide, situasi.
d) Kemampuan menyatakan peristiwa sehari-hari ke dalam simbol atau
bahasa matematika.
e) Mengekspresikan, melukiskan ide secara visual dengan cara yang berbeda.
2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan
oleh Aronson pada tahun 1975. Model pembelajaran kooperatif tipe ini memiliki
dua versi tambahan, jigsaw II dikembangkan oleh Slavin tahun 1989 dan jigsaw
III dikembangkan oleh Kagan tahun 1990. Model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw ini dapat diterapkan untuk materi-materi yang berhubungan dengan
keterampilan membaca, menulis, mendengarkan ataupun berbicara. Ia
menggabungkan aktivitas membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara.
Dalam jigsaw guru harus memahami kemampuan dan pengalaman siswa dan
membantu siswa mengaktifkan skema ini agar materi pelajaran menjadi lebih
bermakna. Guru juga memberi banyak kesempatan pada siswa untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi (Huda, 2014: 204).
Kunandar (2007: 365) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Kelompok awal
a. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil 3-6 siswa.
b. Bagikan wacana atau tugas akademik sesuai dengan materi yang
diajarkan.
c. Masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan wacana atau tugas
yang berbeda-beda dan memahami informasi yang ada di dalamnya.
2. Kelompok ahli
a. Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana atau tugas yang
sama dalam satu kelompok sehingga jumalah kelompok ahli sesuai
dengan wacan atau tugas yang telah dipersiapkan oleh guru.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
40
b. Dalam kelompok ahli ini ditugaskan agar siswa belajar besama untuk
menjadi ahli sesuai dengan wacana atau tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat
menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana atau tugas yang telah
dipahami kepada kelompok awal.
d. Apabila tugas sudah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli, masing-
masing siswa kembali ketempat kelompok awal.
e. Beri kesempatan secara bergiliran bergiliran masing-masing siswa untuk
menyampaikan hasi dari tugas dikelompok ahli.
f. Apabila kelmpok sudah menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan
maka masing-masing kelompok melaporkan hasilnya dan guru memberi
klarifikasi.
3. Materi Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang
Segi empat adalah suatu bidang datar yang dibentuk atau dibatasi oleh
empat garis lurus sebagai sisinya (Sukino & Simangunsong, 2006: 284). Bangun
datar segi empat yang akan dibahas meliputi persegi dan persegi panjang. Berikut
gambar persegi dan persegi panjang.
P Q A B
R S D C
Persegi Persegi panjang
Gambar 3. Contoh – Contoh Segi Empat
Sukino & Simangunsong (2006: 289) mengatakan bahwa persegi adalah
segi empat yang keempat sisinya sama panjang. Sifat-sifat persegi panjang, yaitu
(a) sisi-sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar, (a) setiap sudutnya siku-
siku, (c) mempunyai dua buah diagonal yang sama panjang dan saling
berpotongan di titik pusat persegi panjang. Titik tersebut membagi diagonal
menjadi dua bagian sama panjang, (d) mempunyai 2 sumbu simetri yaitu sumbu
vertikal dan horizontal.
Keliling persegi panjang
lebarpanjangK 22
lebarpanjang 2
lp 2 Luas persegi panjang
lebarpanjangL
lp
Sifat-sifat persegi, yaitu (a) semua sisinya sama panjang dan sisi-sisi yang
berhadapan sejajar, (b) setiap sudut siku-siku, (c) mempunyai dua buah diagonal
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
41
yang sama panjang, berpotongan di tengah-tengah, dan membentuk sudut siku-
siku, (d) setiap sudutnya dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya, (e)
memiliki 4 sumbu simetri.
Keliling persegi Luas persegi
sisiK 4 sisisisiL
s 4 ss
2s
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Madrasah kelas VII-2 MTs Negeri Binjai yang
dilaksanakan pada semester genap T.A. 2016/2017, terletak di Kecamatan Binjai
Selatan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas VII-2 MTs Negeri Binjai T.A. 2016/2017.
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas.
Penelitian tindakan kelas berasal dari bahasa inggris, yaitu classroom action
research, diartikan penelitian dengan tindakan yang dilakukan di kelas (Maharani,
2014: 19). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Berikut tahapan-tahapan
dalam melakukan penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar 4 berikut:
Gambar 4. Tahapan Penelitian Tindakan Kelas
SIKLUS I Pelaksanaan
Pengamatan
Refleksi
Perencanaan
SIKLUS I Pelaksanaan
Pengamatan
Refleksi
Perencanaan
SIKLUS II
Belum
terselesaikan
Siklus berikutnya
PRA SIKLUS
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
42
D. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Pra Siklus
Berdasarkan hasil tes awal yang dilakukan terhadap siswa kelas VII-2 MTs
Negeri Binjai yang terlampir pada lampiran 25 diperoleh tingkat ketuntasan
belajar siswa sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Tes Awal Pra Siklus
No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase
1 ≥ 75 Tuntas 9 22,50%
2 ≥ 75 Tidak Tuntas 31 77,50%
Jumlah 40 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika
siswa di tes awal pra siklus dalam memahami materi keliling dan luas segi empat
pada bangun datar persegi dan persegi panjang masih rendah. Tes yang diberikan
kepada 40 orang siswa diperoleh 31 orang siswa atau 77,50% tingkat ketuntasan
belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan hanya 9 orang siswa atau
22,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan matematika siswa dalam memahami materi tentang keliling dan luas
segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang masih rendah. Dari
lembar jawaban siswa terlihat bahwa kelemahan yang ada pada siswa kurang
mampu dalam memahami rumus untuk menghitung keliling dan luas bangun datar
persegi dan persegi panjang.
2. Siklus I
Adapun hasil ketuntasan tes belajar siklus I dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 2. Hasil Tes Siklus I
No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase
1 ≥ 75 Tuntas 27 67,50%
2 ≥ 75 Tidak Tuntas 13 32,50%
Jumlah 40 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika
siswa pada tes siklus I dalam memahami materi keliling dan luas segi empat pada
bangun datar persegi dan persegi panjang sudah lebih baik dibandingkan dengan
hasil belajar pra siklus sebelum dilakukan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Tes yang diberikan kepada 40 orang siswa diperoleh 13 orang siswa atau 32,50%
tingkat ketuntasan belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan 27 orang
siswa atau 67,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Dari persentase hasil tes
siklus I dapat dilihat hasilnya sudah lebih baik dari hasil tes pra siklus sebelum di
lakukan pembelajaran dengan model kooperatif tipe jigsaw. Hal ini menunjukkan
bahwa ada peningkatan kemampuan matematika siswa dalam memahami materi
tentang keliling dan luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi
panjang dari hasil belajar sebelumnya.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
43
3. Siklus II
Adapun hasil ketuntasan tes belajar pada siklus II dapat di lihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 3. Hasil Tes Siklus II
No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase
1 ≥ 75 Tuntas 35 87,50%
2 ≥ 75 Tidak Tuntas 5 12,50%
Jumlah 40 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika
siswa pada tes siklus II dalam memahami materi pengertian, sifat, keliling dan
luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang sudah lebih baik
dibandingkan dengan hasil belajar pada siklus I. Tes yang diberikan kepada 40
orang siswa diperoleh 5 orang siswa atau 12,50% tingkat ketuntasan belajarnya
tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan 35 orang siswa atau 87,50% yang
mencapai nilai KKM (≥ 75). Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan
kemampuan matematika siswa dalam memahami materi tentang pengertian, sifat,
keliling dan luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang dari
hasil belajar sebelumnya.
Secara keseluruhan peningkatan hasil belajar dan observasi komunikasi
matematika siswa dapat di lihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 4. Persentase Hasil Belajar Secara Keseluruan
No. Siklus Persesntase Ketuntasan
1 Pra Siklus 22,50%
2 Siklus I 67,50%
3 Siklus II 87,50%
Keterangan Meningkat
Tabel 5. Hasil Observasi Komunikasi Matematika Siswa pada Siklus I
dan Siklus II
Kelompok Nama
Kelompok
Jumlah Skor Perolehan
Siklus I Siklus II
1 Al-Fatihah 13,66 18,5
2 Al-Ghasiyah 12,33 17,5
3 Ar-Rahman 9,66 18
4 Al-Fath 13 17
5 Az-Zukhruf 12,66 16
6 Ad-Dhukhan 12,33 16
Total 73,64 103
Rata-rata 12,27 17,16
Persentase 51,12% 71,16%
Keterangan Baik Sangat Baik
Catatan Meningkat
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
44
Berdasarkan hasil peningkatan penelitan yang dapat di lihat pada tabel
di atas, maka penelitian ini tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya karena pada
siklus II telah mengalami peningkatan dari siklus I.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka sesuai dengan
rumusan masalah, penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a) Kemampuan komunikasi awal matematika siswa masih rendah sebelum
dilakukan tindakan penerapanmodel pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Hal ini ditunjukan pada hasil tes awal yang diberikan kepada 40 orang
siswa diperoleh 31 orang siswa atau 77,50% tingkat ketuntasan
belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan hanya 9 orang siswa
atau 22,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Dengan persentase
tersebut siswa belum mampu menjawab 4 soal tes dalam bentuk uraian.
Siswa belum bisa menjawab pertanyaan tentang ciri dan sifat persegi
panjang, siswa belum bisa menjawab pertanyaan tentang menghitung
keliling dan luas persegi dan persegi panjang.
b) Kemampuan komunikasi matematika siswa meningkat setelah dilakukan
tindakan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Hal ini
ditunjukan pada persentase ketuntasan hasil belajar pra siklus, siklus I dan
siklus II. Persentase ketuntasan pada hasil belajar pra siklus 22,50%,
meningkat pada siklus I menjadi 67,50% dan pada siklus II meningkat
dengan persentase ketuntasan mencapai 87,50%. Dengan persentase
tersebut siswa sudah mampu menjawab 4 soal tes dalam bentuk uraian.
Siswa bisa menjawab pertanyaan tentang ciri daan sifat persegi panjang,
siswa bisa menjawab pertanyaan tentang menghitung keliling dan luas
persegi dan persegi panjang. Dan siswa mampu mengubah gambar
kedalam bentuk uraian.
c) Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematika siswa pada materi bangun datar
persegi dan persegi panjang. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan
dari hasil observasi kemampuan komunikasi matematika siswa pada siklus
I yaitu persentase 51,12% dengan kreteria nilai “Baik”, dengan persentase
tersebut siswa sudah mulai berani untuk bertanya kepada teman
sekelompoknya dan berani bertanya kepada guru mengenai materi yang
belum dimengerti, kemudian siswa juga mampu memberikan jawaban atas
suatu pertanyaan dari teman sekelompoknya maupun pertanyaan dari
kelompok lain. Meningkat pada siklus II dengan persentase 71,16%
dengan kreteria “Sangat Baik”. Dengan persentase tersebut menunjukan
bahwa siswa sudah mampu memberikan gagasan yang rasional mengenai
materi yang di berikan, kemudian siswa mampu mempertahankan
pendapat dan dapat menerima kritik atas pendapatnya tersebut, selanjutnya
siswa juga sudah bisa merefleksikan gambar, sketsa atau tabel kedalam
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
45
bentuk tulisan, dan pada persentase tersebut juga siswa sudah bisa
mengubah bentuk uraian kedalam model matematika. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa
pada materi bangun datar persegi dan persegi panjang di kelas VII-2 MTs
Negeri Binjai T.A. 2016/2017.
2. Saran Dengan memperhatikan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti
memberikan saran sebagai berikut:
a) Bagi Peneliti
Sarana untuk mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan selama
penelitan serta menambah pengetahuan dan menambah pengalaman
peneliti dalam kegiatan pembelajaran matematika.
b) Bagi Siswa
Kepada siswa diharapkan agar lebih aktif lagi dalam proses belajar
mengajar. Terutama berani untuk bertanya dan menemukakan pendapat
untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa
sehingga pembelajaran bisa berlangsung dengan baik dan tercapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
c) Bagi Guru dan Sekolah
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif pembelajaran matematika di MTs/SMP, karena
pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika
siswa. Sehingga sekolah perlu menyediakan fasilitas untuk kegiatan
pembelajaran yang diperlukan sebagai sarana untuk mendukung proses
pembelajaran.
d) Bagi Kepala Sekolah
Kepada kepala sekolah MTs. Negeri Binjai agar memberikan arahan dan
bimbingan kepada guru matematika untuk menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi dalam rangka peningkatan hasil belajar
siswa khususnya matematika.
e) Bagi Peneliti lain / Pembaca
Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dapat mengadakan penelitian
lebih lanjut tentang aspek-aspek lain dalam pembelajaran dan dapat
menerapkannya pada pokok bahasan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bansu I. Ansari. 2016. Komunikasi Matematika. Banda Aceh: Yayasan Pena.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
46
BNSP. 2006. Standar Isi : Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: tpn.
Chairun Nisa. 2014. Perbedaan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kemampuan
Pemahaman Konsep Matematika Antara Siswa yang Diajar dengan
Strategi pembelajaran Kooperatif Tipe Co-op Co-op dan Team game
Tournament (TGT) Pada Kelas VII MTs. Negeri Lubuk Pakam Tahun
Pelajaran 2013/2014. Skripsi. FITK. Medan: UIN-SU.
Ervina Maharani. 2014. Panduan Sukses Menulis Penelitian Tindakan Kelas yang
Simpel, Cepat dan Memika., Yogyakarta: Parasmu.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Miftahul Huda. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. Reston. VA: Authur.
http://educare.e-fkipunla.net. 1989. (diakses pada tanggal 04 Desember
2016).
Prastya A. Nugroho. 2010. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Think-Talk-Write (TTW). Skripsi. FMIPA. Yogyakarta:
UNY.
Sukino dan Wilson Simangunsong. 2006. Matematika untuk SMP Kelas VII.
Jakarta : Erlangga.
Syukur Kholil. 2007. Komunikasi Islami. Bandung: Ctpustaka.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
47
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIK SISWA MELALUI PENDEKATAN
MATEMATIKA REALISTIK (PMR)
Oleh:
Oktaviana Nirmala Purba*
*Dosen Tetap Universitas Asahan (UNA)
JL. Jend. Ahmad Yani Kisaran 21224 Telp. (0623) 348583
Email: [email protected]
Abstact:
The purpose of this research is to know: (1) improvement of problem
solving ability of mathematics between students taught by using realistic
mathematics approach higher than mathematical problem solving ability of
students taught by using ordinary learning (2) is there any significant
interaction between early ability of mathematics Students and learning to
improve students' mathematical problem solving skills. This research is a
quasi experimental research. The population in this study were all students
of Shafiyyyatul Amaliyah High School Medan, which amounted to 250
students, by taking two class samples, totaling 62 students through
purposive sampling technique. The instruments used consisted of:
mathematical problem-solving test with Trigonometry material. The
instrument is said to have fulfilled the terms of content validity, as well as
the realibility coefficients for pretest and posttest of 0.861 and 0.859 for
mathematical problem solving abilities. The results of this study indicate
that: (1) the calculation result using two path anava that is 12,366 whereas
the value of sig 0,001 <0,05 means the improvement of problem solving
ability of mathematics between student which is taught by using realistic
mathematics approach higher than the ability of problem solving of
student mathematic which is taught By using ordinary learning, (2) the
result of two-track anova calculation is 0.275 with sig value. 0,761> 0,05
means there is no interaction between students 'early mathematical ability
and learning to improve students' mathematical problem solving abilities.
Based on research findings, realistic mathematical approach can be
recommended to be one of the learning approaches used in the main
school to achieve the competence of problem solving ability of
mathematics.
Keywords: mathematical problem solving, realistic mathematical approach.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
48
A. PENDAHULUAN
Penguasaan matematika sangat penting dalam meningkatan mutu sumber
daya manusia dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah
sewajarnya sejak SD dan bahkan sejak TK pelajaran matematika mulai
diperkenalkan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi
tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah dan kompetitif. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
merupakan salah satu fokus pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang
sangatpenting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya siswa
dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta
keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah. Hal
ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman (2003:8) bahwa :
”Pemecahan masalah adalah aplikasi dan konsep keterampilan. Dalam
pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi
konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang
berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur
luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat.
Beberapa konsep yang terlibat adalah bujur sangkar, garis sejajar dan
sisi, dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan
mengukur, menjumlahkan dan mengalikan”.
Menurut Polya, Pemecahan Masalahmatematika adalah suatu cara untuk
menyelesaikan masalah matematika dengan menggunakan penalaran matematika
(konsep matematika) yang telah dikuasai sebelumnya. Ketika siswa menggunakan
kerja intelektual dalam pelajaran, maka adalah beralasan bahwa pemecahan
masalah yang diarahkan sendiri untuk diselesaikan merupakan suatu karakteristik
penting (Silver, 1997:53). Pemecahan masalah juga dapat dipandang sebagai
suatu seni penemuan. Mengarahkan siswa untuk menjadi problem solver, bukan
hanya terbatas pada pembelajaran matematika tetapi juga dalam kehidupan dunia
nyata.
Dengan demikian, mendidik siswa untuk menjadi pemecah masalah yang
baik merupakan hal yang sangat penting di dalam pendidikan. Pengembangan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah matematik
dipandang sebagai sebuah tujuan penting di dalam program pengajaran
matematika. Pentingnya pemecahan masalah ini dinyatakan dalam salah satu
rekomendasi National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) yaitu
bahwa pemecahan masalah harus menjadi fokus pada pembelajaran matematika
untuk setiap level sekolah.
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan atau kompetensi
strategis yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pembelajaran dan
strategi pemecahan dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Ada
beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah
matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Namun, ada strategi
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
49
pemecahan masalah yang bersifat umum yaitu yang disarankan oleh George
Polya. Menurut Polya (Ruseffendi, 1991:169), untuk memecahkan suatu masalah
ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
1. Memahami masalah.
Kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data)
yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah
informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi,
menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih
operasional (dapat dipecahkan).
Merencanakan pemecahannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba
mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang
memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan,
mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian
(membuat konjektur).
2. Menyelesaikan masalah sesuai rencana.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah:
menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya
untuk mendapatkan penyelesaian.
3. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah:
menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan
dan hasil yang diperoleh benar, atau apakah prosedur dapat dibuat
generalisasinya.
Kemampuan pemecahan masalah matematik pada siswa dapat diketahui
melalui soal-soal yang berbentuk uraian, karena pada soal yang berbentuk uraian
kita dapat melihat langkah-langkah yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan
suatu permasalahan, sehingga pemahaman siswa dalam pemecahan masalah dapat
terukur. Memecahkan soal berbentuk cerita berarti menerapkan pengetahuan yang
dimiliki secara teoritis untuk memecahkan persoalan nyata/keadaan sehari-hari.
Sehingga inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa
mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja,
tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah
dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi
dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara
informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat masalah
dalam hasil belajar matematika siswa. Hal ini dapat dilihat ketika siswa diberikan
masalah trigonometri. Soal tersebut diujikan kepada 30 orang siswa, terdapat,
70% siswa belum mampu menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan, 73%
siswa belum mampu merencanakan penyelesaian masalah, 84% siswa belum
mampu melakukan perhitungan dengan benar, dan 85% siswa belum bisa
memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian. Hal ini menunjukkan bahwa
rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
50
Sujono (1988:57) mengemukakan suatu masalah matematika dapat
dilukiskan sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas,
pengertian, pemikiran yang asli atau imajinasi. Masalah matematika tersebut
biasanya berbentuk soal cerita, membuktikan, menciptakan atau mencari pola
matematika, masalah tersebut harus mengandung adanya “tantangan” dan “belum
diketahui prosedur rutin” dalam memecahkan masalah. Prosedurrutin di sini
adalah soal yang penyelesaiannya sudah bisa ditebak, diketahui rumusnya, dan
dengan satu atau dua langkah soal sudah biasa diselesaikan. Tidak semua
pertanyaan merupakan suatu masalah,bagi seseorang suatu pertanyaan bisa
menjadi suatu masalah sedang bagi orang lain tidak.Menurut Gorman (1974:123)
ada tiga kategori masalah non rutin yakni :
1. modified translation problems; merupakan translasi masalah dengan
informasi yang kurang,
2. process problems; merupakan masalah non standar yang
memerlukan satu atau lebih strategi untuk memecahkannya dan lebih
memerlukan kemampuan logika, danopen-ended and project
problems; merupakan masalah terbuka dengan banyak.
Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dikuasai oleh siswa,
sementara fakta di lapangan kemampuan tersebut masih rendah dan kebanyakan
siswa terbiasa melakukan kegiatan belajar dengan metode menghafal tanpa
dibarengi pengembangan memecahkan masalah. Pembelajaran selama ini yang
digunakan oleh guru belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-
soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa
untuk mengemukakan ide dan pendapat mereka, dan bahkan para siswa masih
enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang
disajikan guru. Di samping itu juga, guru senantiasa dikejar oleh target waktu
untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan tanpa memperhatikan kompetensi
yang dimiliki siswanya. Untuk menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan
masalah dalam pembelajaran matematika, guru harus mengupayakan
pembelajaran dengan menggunakan model-model belajar yang dapat memberi
peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa. Armanto (2001:20) menjelaskan bahwa “pembelajaran selama
ini menghasilkan siswa yang kurang mandiri, tidak berani punya pendapat sendiri,
selalu mohon petunjuk dan kurang gigih dalam melakukan uji coba”.Oleh
karenanya peneliti mencoba untuk menggunakan pendekatan dalam upaya
mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini khususnya untuk
meningkatkan pemecahan masalah matematik siswa yaitu dengan menerapkan
Pembelajaran matematika realistik .
Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menyelesaikan masalah dengan strategi sendiri. Pembelajaran matematika
realistik juga ditegaskan adanya jalur belajar yang dilalui siswa dari masalah
sehari-hari ke simbol-simbol/ aturan/ rumus/ definisi. Selain itu juga ditekankan
adanya keterkaitan dengan topik lain sehingga pelajaran yang telah dipelajari
sebelumnya dapat digunakan kembali, sehingga menjadi lebih bermakna.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
51
Melengkapi penelitan-penelitian yang terdahulu, beberapa hal yang masih
perlu diungkap lebih jauh yaitu berkaitan dengan pembelajaran matematika yang
berdasarkan kemampuan awal matematika siswa yang dibedakan ke dalam
kelompok tinggi, sedang, dan rendah terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa. Dugaan bahwa kemampuan awal
matematika siswa yang dibedakan ke dalam kelompok kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah adanya interaksi dengan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil belajar
matematika. Disebabkan oleh pemahaman materi atau konsep baru harus mengerti
dulu konsep sebelumnya hal ini harus diperhatikan dalam urutan proses
pembelajaran. Hal ini senada dengan Russefendi (1991:93) yang mengatakan
objek langsung dalam matematika adalah fakta, ketrampilan, konsep dan aturan
(prinsipal). Berdasarkan pernyataan tersebut maka objek dari matematika terdiri
dari fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip yang menunjukkan bahwa
matematika merupakan ilmu yang mempunyai aturan, yaitu pemahaman materi
yang baru mempunyai persyaratan penguasaan materi sebelumnya.
Tes awal diberikan kepada siswa untuk mengetahui kemampuan awal
siswa sebelum siswa memasuki materi selanjutnya. Menurut Ruseffendi (1991:67)
setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda, ada siswa yang pandai, ada
yang kurang pandai serta ada yang biasa-biasa saja serta kemampuan yang
dimiliki siswa bukan semata-mata merupakan bawaan dari lahir (hereditas), tetapi
juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lingkungan
belajar khususnya model pembelajaran menjadi sangat penting untuk
dipertimbangkan artinya pemilihan model pembelajaran harus dapat
meningkatkan kemampuan matematika siswa yang heterogen.
Bagi siswa yang memiliki kemampuan sedang atau rendah, apabila model
pembelajaran yang digunakan oleh guru menarik dan menyenangkan, sesuai
dengan tingkat kognitif siswa sangat dimungkinkan pemahaman siswa akan lebih
cepat dan akhirnya dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa. Sebaliknya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi tidak
begitu besar pengaruh model pembelajaran terhadap kemampuan dalam
matematika. Hal ini terjadi karena siswa kemampuan tinggi lebih cepat
memahami matematika.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian kuantitatif ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi
experiment). Dalam quasi experiment Sugiyono (2013:114) mengatakan bahwa
desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya
untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Shafiyyatul
Amaliyah Medan Tahun Ajaran 2016-2017 yang terdiri dari 250 siswa. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik purpose
sampling.Sukardi (2008:64) mengatakan bahwa: “purpose sampling adalah teknik
untuk menentukan seseorang menjadi sampel atau tidak didasarkan pada tujuan
tertentu”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik purpose sampling
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
52
adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pada pertimbangan tertentu sesuai
dengan tujuan yang dikehendaki.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest Postest control
group design. Rancangan penelitiannya disajikan pada tabel1:
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Kelas Pretes Perlakuan Postes
PBM O1 X O2
PB O1 O2
Keterangan :
X : Adanya perlakuan Pembelajaran Berbasis Masalah
O1 : Pretest
O2 : Postest
C. HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan pretest dan postest kepada siswa diperoleh N-gain
masing-masing kelas untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematiksiswa yang diberi pendekatan matematika realistik dan yang diberi
pembelajaran biasa. Rata-rata N-gain kemampuan pemecahan masalah matematik
siswa pada kelas eksperimen sebesar 0,52 dan pada kelas kontrol 0,33.
Untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa yang diajar dengan menggunakan pendekatan matematika
realistik lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematik
siswayang diajar dengan menggunakan pembelajaran biasa serta untuk
mengetahui apakah terdapat interaksi yang signifikan antara kemampuan awal
siswa dan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa, digunakan anava dua jalur. Dari data N-gain kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa diketahui data berdistribusi normal dan
homogen. Berikut hasil analisis statistik:
Tabel 2. Pengujian Normalitas Indeks Gain Hasil Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik pada Kelas PMR dan Kelas PB
Tests of Normality
Pembelajaran
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
N_Gain PB .106 31 .200* .951 31 .170
PBM .065 31 .200* .979 31 .789
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
53
Tabel 3. Pengujian Homogenitas Indeks Gain Hasil Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Test of Homogeneity of Variance
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
N_Gain Based on Mean .147 1 60 .703
Based on Median .138 1 60 .712
Based on Median and with adjusted df .138 1 57.551 .712
Based on trimmed mean .137 1 60 .713
Tabel 4. Hasil Uji Anava Dua Jalur Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematik
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:N_Gain
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .180a 5 .036 5.560 .000
Intercept 12.359 1 12.359 1.911E3 .000
Pembelajaran .080 1 .080 12.366 .001
KAM .009 2 .004 .682 .510
Pembelajaran *
KAM .004 2 .002 .275 .761
Error .362 56 .006
Total 21.072 62
Corrected Total .542 61
a. R Squared = ,332 (Adjusted R Squared = ,272)
Berdasarkan tabel 4 diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar 5% atau
∝ = 0,05 dimana Sig. <∝, yaitu 0,000<0,05. Sehingga H0 ditolak dan Ha diterima.
Dengan demikian peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa
yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistic lebih tinggi daripada
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajarkan
pembelajaran biasa.
Output SPSS pada tabel di atas memberikan nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 yang
ditunjukkan pada baris KAM*Pembelajaran sebesar 0,806 pada taraf signifikasi
0,05, sehingga Sig. > 0,05 yaitu 0,452> 0,05, maka H0 diterima dan 𝐻𝑎 ditolak.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
54
Dengan demikian, tidak terdapat interaksi antara KAM dan Pembelajaran
terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
D. PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Faktor Pembelajaran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistik
lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik
siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran biasa.
Pada penelitian ini, peneliti langsung berperan sebagai pelaksana pada
kelas eksperimen dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. Secara
umum pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik
berjalan dengan baik. Semua komponen dalam pembelajaran ini dapat
dilaksanakan dengan baik, termasuk dalam pembagian masing-masing kelompok.
Hanya saja, pada pertemuan pertama, kondisi pembelajaran kurang begitu
kondusif. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : (1) waktu yang tidak
mencukupi, (2) ada beberapa siswa yang tidak merasa cocok dengan siswa lain
dalam kelompoknya hal ini berakibat penyerapan materi pembelajaran oleh siswa
kurang maksimal, (3) siswa belum terbiasa melakukan pembelajaran
menggunakan pendekatan matematika realistik.
Pada kegiatan pendekatan matematika realistik, akan diuraikan sebagai
berikut :
a) Memahami masalah kontekstual, disini siswa diarahkan dalam memahami
masalah-masalah yang terdapat pada LKS dimana proses penyelesaian
masalah menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah
matematik.Karakteristik fase ini adalah menggunakan masalah sebagai
starting point untuk menuju ke matematika formal sampai pada
pembentukan konsep.
b) Menjelaskan masalah kontekstual, disini guru memberi petunjuk atau
berupa saran seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipahami
siswa. Penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Karakteristik
fase ini adalah interaksi antara siswa dan guru
c) Menyelesaikan masalah kontekstual, memberi petunjuk pernyatan atau
saran dan siswa bekerja secara individual dengan cara mereka sendiri.
Karakteristik fase ini adalah menggunakan model
d) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban soal
secara berkelompok, kemudian didiskusikan secara menyeluruh di dalam
kelas. Karakteristik fase ini adalah menggunakan kontribusi siswa dan
terdapat interaksi antara siswa yang satu dengan yang lain
e) Menyimpulkan, siswa menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.
f) Berdasarkan sintaks pendekatan matematika realistik jelas hal ini sangat
mempengaruhi anak dalam meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
55
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal-soal non rutin, yaitu soal yang dalam proses penyelesaiannya
tidak memiliki prosedur yang tetap dan juga membutuhkan kemampuan berpikir
kritis, kreatif, dan logis.Hudojo (2001: 165) mengatakan bahwa “Adapun
pemecahan masalah, secara sederhana, merupakan proses penerimaan masalah
sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut”.Polya (1945)
menjelaskan beberapa langkah yang digunakan untuk memecahkan masalah, yaitu;
(1) understanding the problem, (2) devising a plan, (3) carrying out the plan, dan
(4) looking back.
Walaupun tidak memiliki prosedur tetap dalam proses penyelesaiannya,
tetapi ada beberapa strategi yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Walle (2007) mengatakan bahwa terdapat strategi yang sering digunakan dalam
penyelesaian masalah, yaitu; (1) Membuat gambar, menggunakan gambar, dan
menggunakan model, dimana menggunakan gambar akan memperluas model ke
dalam interpretasi nyata dari situasi masalah, (2) Mencari pola karena pola-pola
bilangan dan operasi memainkan peran yang sangat besar dalam membantu siswa
belajar dan menguasai fakta-fakta dasar, (3) Membuat tabel atau diagram yang
biasanya sering digabungkan dengan pencarian pola dalam memecahkan masalah,
(4) Coba versi yang sederhana dari soal karena dengan menyelesaikan soal yang
lebih mudah diharapkan akan memperoleh wawasan yang kemudian dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah, (5) mencoba dan memeriksa, salah satu
strategi yang baik digunakan ketika bingung karena cara coba-coba yang salah
sekalipun dapat membawa kepada ide yang lebih baik,.
Kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal soal non rutin. Adapun langkah-langkah yang
harus dilakukan oleh siswa adalah; (1)memahami masalah, (2)merencanakan
langkah-langkah penyelesaian masalah, (3) melaksanakan proses pencarian solusi
berdasarkan yang telah direncanakan, dan (4) memeriksa kembali solusi yang
diperoleh. Keempat langkah tersebut akan menjadi indikator kemampuan
pemecahan masalah siswa pada penelitian ini.
Berdasarkan 4 (empat) indikator kemampuan pemecahan masalah
matematik yang disusun dalam butir soal, dari hasil pekerjaan siswa
menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan PBM lebih
unggul dibanding menggunakan pembelajaran biasa. Dari empat indikator
kemampuan pemecahan masalah matematik yang terdiri dari (1)memahami
masalah, (2)merencanakan langkah-langkah penyelesaian masalah, (3)
melaksanakan proses pencarian solusi berdasarkan yang telah direncanakan, dan (4)
memeriksa kembali solusi yang diperoleh. Terlihat bahwa pada indikator
memahami masalahrata-rata N-Gain pada kelas PBM sebesar (0,46) dan pada
kelas PB sebesar (0,24). Sedangkan untuk indikator merencanakan langkah-
langkah penyelesaian masalahrata-rata N-Gain pada kelas PBM (0,68) dan pada
kelas PB (0,42). Pada indikator melaksanakan proses pencarian solusi berdasarkan
yang telah direncanakan, rata-rata N-Gain pada kelas PBM sebesar (0,46) dan
pada kelas PB (0,35). Pada indikator memeriksa kembali solusi yang
diperoleh.pada kelas PBM sebesar (0,60) dan pada kelas PB sebesar (0,28).
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
56
Walaupun hasil evaluasi menunjukan bahwa siswa kelompok eksperimen lebih
unggul daripadasiswa kelompok kontrol, tetapi masih ada siswa kelompok
eksperimen yang melakukan kekeliruan dalam menjawab soal nomor 3 dan 4.
Selain itu, dilakukan pengujian hipotesis statistik kedua untuk mengukur
apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas
eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol. Dengan
ditolaknya 𝐻0 dan diterimanya 𝐻𝑎 menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi secara
signifikan daripada kelas kontrol.
3. Interaksi Antara Faktor Pembelajaran dengan Kemampuan Awal
Siswa Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Interaksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi antar faktor
pembelajaran dan kemampuan awal siswa dalam peningkatan kemampuan
pemecahan masalah siswa. Selanjutnya, faktor pembelajaran dan kemampuan
matematika siswa tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan
kemampuan pemecahan masalah, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang
menunjukkan tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa dalam meningkatkan kemampuan kemampuan pemecahan
masalah. Secara teoritis interaksi terjadi karena dipengaruhi oleh pembelajaran
yang digunakan guru dalam mengeksplorasi kemampuan matematik.Sesuai
dengan pernyataan Russefendi (1991:89) bahwa prestasi belajar siswa selain
tergantung dari kepandaian siswa juga tergantung dari macam pengajaran
matematika.
Hasil penelitian rata-rata gain ternormalisasi kemampuan pemecahan
masalah berdasarkan pendekatan matematika realistik untuk kelompok tinggi,
sedang dan rendah yaitu 0,3905, 0,3401 dan 0,3186. Sedangkan untuk
pembelajaran biasa rata-rata gain ternormalisasi untuk kelompok tinggi, sedang
dan rendah yaitu 0,33, 0,36 dan 0,29. Sedangkan berdasarkan rata-rata, tampak
siswa dengan kategori KAM rendah mendapat “keuntungan lebih besar” dari
pembelajaran pendekatan matematika realistik dengan selisih skor 0,53sementara
itu skor untuk siswa berkategori KAM sedang 0,52dan berkategori KAM tinggi
0,55.Hal ini, berarti bahwa tidak terdapat peningkatan secara bersama-sama yang
disumbangkan oleh pembelajaran dankemampuan awal matematika siswa
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
Selanjutnya, hasil penelitian kemampuan pemecahan masalah dalam
interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kemampuan awal siswa dapat
diketahui dari hasil uji ANAVA dua jalur yang diperoleh dari nilai F sebesar
0,273 dengan nilai signifikansi sebesar 0,0,761 lebih besar dari taraf signifikansi
0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi
antara pembelajaran (PMR dan pembelajaran biasa) dengan tingkat kemampuan
awal siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa. Hasil temuan ini senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh Napitupulu (2011) dan Khayroiyah (2012:154) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dan faktor
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
57
kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik
siswa.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan. Diperoleh beberapa simpulan sebagai
berikut :
a) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
lebih tinggi dari pada yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
biasa.
b) Tidak terdapat interaksi antara pendekatanpembelajaran dengan
kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah.
c) Proses penyelesaian jawaban siswa pada kelas eksperimen lebih lengkap
dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematik dibandingkan
dengan siswa pada kelas kontrol yang kewalahan dan kesulitan dalam
menyelesaikannya.
2. Saran
Sarannya adalah sebagai berikut :
a) Bagi para guru matematika
Pendekatan PMR pada kemampuan pemecahan masalah matematik
siswa dapat diterapkan pada semua kategori KAM. Oleh karena itu
hendaknya pendekatan ini terus dikembangkan di lapangan yang
membuat siswa terlatih dalam memecahkan masalah melalui proses
memahami masalah, merencanakan pemecahan, menyelesaikan masalah,
memeriksa kembali. Peran guru sebagai fasilitator perlu didukung oleh
sejumlah kemampuan antara lain kemampuan memandu diskusi di kelas,
serta kemampuan dalam menyimpulkan. Di samping itu kemampuan
menguasai bahan ajar sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki guru.
Untuk menunjang keberhasilan implementasi pendekatan PMR diperlukan
bahan ajar yang lebih menarik dirancang berdasarkan permasalahan
kontektual yang merupakan syarat awal yang harus dipenuhi sebagai
pembuka belajar mampu stimulus awal dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakan.
b) Bagi peneliti selanjutnya.
Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat
dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum
terjangkau saat ini.
c) Bagi lembaga terkait
Untuk lembaga terkait agar mensosialisasikan pendekatan matematika
realistik (PMR) diterapkan dalam proses pembelajaran sehingga
meningkatnya kemampuan matematika yang dimiliki oleh siswa,
khususnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
58
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak berkesulitan Belajar. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Armanto, Dian. 2001. Aspek perubahan pendidikan Dasar Matematika Melalui
Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Medan.
Gorman. 1974. The Psychology of C lassroom Learning and Inductive Approach.
Colombus. Ohoio. Charlees E. Merill Publishing.
Hudujo,H.2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Khayroiyah, S. 2012.Analisis Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Penalaran Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah dan Pembelajaran Biasa Pada Siswa SMP. Tesis.
Medan : PPs Unimed. (Tidak dipublikasi)
Napitupulu, E. 2011.Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah atas
Kemamuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta
Sikap Terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi.
Bandung: PPs UPI Bandung. (Tidak dipublikasi).
Ruseffendi, E.T. 1991.Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Polya, G (1985). How to Solve it. A New Aspect of Mathematical Method. New
Jersey : Princeton University Press.
________(1985) Mathematical Discovery on Understanding, Learning an
Teaching Problem Solving. New york: John Wiley & Sons.
Silver, E.A.(1997).The Nature and use of open problem in mathematics Education
Mathematical and pedagogital perspective.ZDM: International reviews
on mathematical education (1995).
Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:
Depdikbud.
Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
59
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN LOGIS DAN
KOMUNIKASI MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS)
DI SMP NEGERI 24 MEDAN
Oleh :
Siti Zahara H. Harahap*
*Dosen Universitas Quality Medan
Jl. Ringroad – Ngumban Surbakti No. 18 Medan
Email: [email protected]
Abstract:
The objectives of this study are to observe whether : (1) the improvement
of students’ logical reasoning ability thought by TPS cooperative learning
model is higher than those taught by expository learning model, (2) the
improvement of students’ mathematical communication ability taught by
TPS cooperative learning model is higher than those taught by exspository
learning model, This study was held at SMP Negeri 24 Medan by having
56 students as sample. This study used quasi-experimental method with
pretest-postest control group design. The population of this study was all
students of grade VIII taking two classes (experimental 1 class and
experimental 2 class) through random sampling technique. The instrument
had required content validity and coefficient reliability. Data were anayzed
by t test. Before it was used t test the normality and homogenity tests with
significant level 5% had been done. The result of data analysis showed
that the average of N-Gain logical reasoning ability test is 0,65 in
experiment class, while 0,5 in control class, with sig = 0,007 and
0.007 < α 0,05. Therefore, the improvement of students’ logical
reasonig ability taught by experiment class is higher than control class.
The average of N-Gain communication ability test in experiment is
0,62 in experiment class, while and 0,38 in control class, with sig =
0,000 and 0.000 < α 0,05. Therefore, the improvement of students’
communication ability taught by experiment class is higher than control
class.
Keywords:
TPS Cooperative Learning, Logical Reasoning Ability, Mathematical
Communication Ability
A. Pendahuluan
Rendahnya nilai matematika siswa ditinjau dari lima aspek kemampuan
matematika yang dirumuskan oleh NCTM (2000) yaitu kemampuan pemecahan
masalah matematis, komunikasi matematis, koneksi matematis, penalaran
matematis dan representasi matematis. Pengelompokan ini sejalan dengan
tuntutan kemampuan yang disarankan pemerintah melalui kurikulum
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
60
pembelajaran matematika tahun 2006 yang menjadi acuan penilaian secara
nasional. Namun dalam penelitian ini hanya membahas pada kemampuan
penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Keraf (1982) mengatakan
penalaran (reasoning) merupakan proses berpikir yang berusaha menghubung-
hubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju suatu kesimpulan. Aktivitas
bernalar harus dilakukan siswa, jika mereka tidak melakukan aktivitas berfikir
ketika belajar, maka yang mereka peroleh hanya sekedar hafalan dan tidak
memahami inti atau konsep dari materi yang telah dipelajari. TIMSS (Napitupulu,
2008 : 27) menilai bahwa penalaran merupakan hal yang penting sebagai bagian
dari ranah kognitif sehingga menjadikannya satu komponen penilaian dalam
evaluasinya.
Namun, dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran logus siswa
masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian observasi lapangan yang dilakukan di
SMP Negeri 24 Medan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran logis siswa
masih rendah dilihat dari soal yang diberikan kepada siswa yaitu: suatu gedung
bertingkat dapat dikerjakan 12 orang dalam waktu 48 hari. Jika gedung tersebut
harus selesai dalam waktu 36 hari. Berapakah tambahan pekerja yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan gedung? Hasilnya menunjukkan ternyata banyak siswa yang
mengalami kesulitan untuk menentukan posisi dari nilai suatu perbandingan
apakah soal tersebut merupakan perbandingan senilai atau berbalik nilai dan siswa
mengalami kesulitan dalam proses perhitungannya.
Selain kemampuan penalaran logis, kemampuan komunikasi matematis juga
perlu dikuasai siswa karena dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari peran
komunikasi. Menurut Cole dan Chan (Ansari, 2009 : 8), yaitu keberhasilan suatu
proses belajar mengajar bergantung pada bentuk komunikasi yang digunakan oleh
guru, pada saat berinteraksi dengan siswa. Beberapa hal yang harus dilakukan
adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan
berargumentasi secara lisan dan tertulis, mangajukan atau menjawab pertanyaan
dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas. Karena itu kemampuan
komunikasi matematis siswa penting.
Namun, Setelah dilakukan observasi di SMP Negeri 24 Medan
menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah
terlihat dari soal yang diberikan pada siswa yaitu: Sebuah model pesawat terbang
panjang badannya 18 cm, lebar sayapnya 12 cm. Jika lebar sayap pesawat
sesungguhnya 8 m, buatlah model matematika dari persoalan tersebut? Setelah itu
berapakah panjang badan pesawat sesungguhnya? Hasilnya juga menunjukkan
siswa mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematisnya
secara tertulis, dapat dilihat dari penyelesaian yang dibuat siswa, siswa juga tidak
mampu menuliskan model matematika dari persoalan yang diberikan. Siswa juga
kurang membaca dan memahami persoalannya sehingga melakukan kesalahan
dalam menafsirkan soal, ini disebabkan kurangnya pemahaman konsep siswa
terhadap materi ajar yang diberikan kepadanya akibatnya kemampuan komunikasi
matematis siswa rendah.
Rendahnya kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah pembelajaran.
Umumnya proses pembelajaran yang sering dilakukan di kelas lebih terpusat
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
61
kepada guru (teacher-centered) bukan terpusat kepada siswa (student centered),
ini berarti guru yang aktif sedangkan siswa pasif selama pembelajaran. Guru
menyampaikan pelajaran secara konvensional, sementara siswa mencatatnya pada
buku catatan. Pembelajaran lebih menekankan pada latihan mengerjakan soal
dengan menghafal dan mengulang prosedur, menggunakan rumus atau algoritma
tertentu, tidak mendukung pada keterampilan berpikir tingkat tinggi dan
kreativitas siswa dalam memecahkan masalah.
Pelaksanaan pembelajaran seperti ini menimbulkan konsekuensi yang
berdampak negatif kepada siswa. Misalkan kurangnya kemampuan pemahaman
konsep matematika yang dimiliki siswa, kenyataannya kemampuan untuk
memahami suatu permasalahan matematis kemudian mengubahnya kedalam
bentuk simbol-simbol matematika merupakan kemampuan yang diperlukan dalam
komunikasi matematis. Selain itu jika siswa diberi soal yang beda dengan soal
latihan, mereka kebingungan karena tidak tahu harus memulai dari mana mereka
bekerja untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal seperti inilah yang membuat
siswa lebih banyak bergantung pada guru, sehingga sikap ketergantungan inilah
yang kemudian menjadi karakteristik siswa yang secara tidak sadar tumbuh dan
berkembang menjadi kepribadian siswa itu sendiri.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Think
Pair Share (TPS). Model pembelajaran ini merupakan perpaduan antara belajar
secara mandiri dan belajar secara kelompok. Lie (2008:43) mengungkapkan
bahwa siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi akan mendapatkan
manfaat secara kognitif ataupun afektif dalam kegiatan pembelajaran kooperatif
dengan siswa yang berkemampuan rendah. Dengan mengajarkan apa yang
seseorang baru pelajari, dia akan lebih dapat menguasai atau menginternalisasi
pengetahuan dan keterampilan barunya.
Model pembelajaran ini selain mengacu pada aktivitas berpikir, berpasangan
dan berbagi juga dirancang untuk mengatasi pola interaksi siswa, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis. Selain itu
siswa dapat mempeoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya
dengan seluruh siswa sehingga ide dari masing-masing kelompok menyebar.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merasa perlu untuk mengadakan
penelitian tentang penerapan model Kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan
kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa, sebab dalam
pembelajaran ini dimulai dengan melakukan aktifitas berfikir secara individu,
kemudian secara berpasangan sehingga dapat mengkontruksikan pengetahuan
yang dipeoleh dari sebelumnya dan menggambungkan dengan pengetahuan yang
diperoleh pada saat pembelajaran berlangsung.
Disamping itu, siswa dapat saling sharing untuk menyelesaikan masala
sehingga dapat meningkatkan aktifitas dan keterampilan sosial siswa dengan
adanya saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan.
B. Metodologi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 24 Medan,
sebagai sampel dalam penelitian ini, secara acak dipilih dua kelas secara acak
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
62
maka terpilihlah siswa kelas VIII-A dan VIII-C yang kemudian secara acak
dipilih pula kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam penelitian ini terpilih kelas
VIII-C sebagai kelas eksperimen dan VIII-A sebagai kelas kontrol, dengan
masing jumlah siswa pada kelas tersebut adalah 28 siswa
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan pretest-postest control
group design.
Tabel 1. Desain Penelitian
Kelompok Pretes Perlakuan Postest
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O1 O2
Keterangan:
O1 : Tes pretes
O2 : Tes postes
X1 : Diberi perlakuan pembelajaran kooperatif tipe TPS
Instrumen pengumpulan data melalui tes kemampuan penalaran logis dan
komunikasi matematis siswa. Data yang diperoleh melalui tes, digunakan untuk
melihat peningkatan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis
siswa. Analisis statistik yang digunakan uji-t.
C. Hasil Penelitian Setelah dilakukan pretest dan postest kepada siswa diperoleh N-Gain
masing-masing kelas untuk melihat apakah terdapat peningkatan kemampuan
penalaran logis dan komunikasi matematis antara siswa yang diberi model
Kooperatif tipe TPS dan siswa yang diberi model pembelajaran ekspositori. Rata-
rata N-Gain kemampuan penalaran logis siswa pada kelas eksperimen sebesar
0,65 dan pada kelas kontrol sebesar 0,53 sedangkan rata-rata N-gain kemampuan
komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen sebesar 0,62 dan pada kelas
kontrol 0,38. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran logis dan
komunikasi matematis siswa yang diberi model Kooperatif tipe TPS dan siswa
yang diberi model pembelajaran ekspositori digunakan uji t. Dari data N-gain
kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa diketahui data
berdistribusi normal dan homogen.
Tabel 2 : Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Penalaran
Logis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Tests of Normality
KELAS
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
PENALARAN EKSPERIMEN .131 28 .200* .941 28 .117
KONTROL .138 28 .184 .970 28 .568
a. Lilliefors Significance Correction
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
63
Tabel 3 : Hasil Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Penalaran
Logis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig.
PENALARAN Based on Mean 1.372 1 54 .247
Based on Median 1.121 1 54 .294
Based on Median and with adjusted df
1.121 1 53.709 .294
Based on trimmed mean 1.339 1 54 .252
Tabel 4 : Hasil Uji-t Kemampuan Penalaran Logis Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T Df Sig. (2-
tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
PENALARAN
Equal variances assumed
1.372 .247 2.828 54 .007 .12429 .04395 .03617 .21240
Equal variances
not assumed
2.828 52.811 .007 .12429 .04395 .03613 .21245
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas dengan menggunakan uji-t
pada taraf signifikasi α = 0,05 diperoleh thitung sebesar 2,828 dengan nilai
signifikansi 0,007 sedangkan pada ttabel sebesar 1,70. Karena thitung >ttabel(2,828>1,70) dan signifikansi α < 0,05 (0,007<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan penalaran logis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol.
Tabel 5 : Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Tests of Normality
KELAS
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
KOMUNIKASI EKSPERIMEN .149 28 .113 .944 28 .137
KONTROL .157 28 .076 .956 28 .284
a. Lilliefors Significance Correction
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
64
Tabel 6: Hasil Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig.
KOMUNIKASI Based on Mean .187 1 54 .667
Based on Median .126 1 54 .724
Based on Median and with adjusted df
.126 1 50.628 .724
Based on trimmed mean .180 1 54 .673
Tabel 7 : Uji t Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t Df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
KOMUNIKASI
Equal variances assumed
.187 .667 5.068 54 .000 .24000 .04736 .14506 .33494
Equal variances not assumed
5.068 52.229 .000 .24000 .04736 .14498 .33502
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas dengan menggunakan uji t
pada taraf signifikasi α = 0,05 diperoleh thitung sebesar 5,068 dengan nilai
signifikansi 0,000 sedangkan pada ttabel sebesar 1,70. Karena thitung >ttabel(5,068>1,70) α < 0,05 (0,000<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol.
D. PEMBAHASAN PENELITIAN
a. Faktor Pembelajaran
Faktor pembelajaran merupakan salah satu hal yang paling berpengaruh
terhadap kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Tiap
tahap dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS memberi kontribusi
terhadap peningkatan kemampuan siswa serta dapat memperoleh hasil yang
optimal. Keenam tahapan tersebut meliputi: tahap 1 menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa, Tahap 2 Think (berfikir individu), Tahap 3 Pair (berpasangan),
Tahap 4 Share (berbagi/presentasi), Tahap 5 Evaluasi, Tahap 6 Memberikan
penghargaan.
Lembar aktivitas siswa (LAS) dirancang sesuai dengan tahap pada model
pembelajaran kooperatif tipe TPS, yakni: berhubungan dengan masalah
kontekstual, tidak terpisah dari proses problem solving dan dimulai dengan
pengetahuan informasi siswa serta terorganisasi secara matematis, sehingga siswa
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
65
mampu mengkonstruksikan pemikirannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang
telah dimiliki sebelumnya.
Selama aktivitas pembelajaran berlangsung akan timbulnya interaksi
antara siswa dengan siswa yang merupakan hal terpenting dalam melihat
kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Selain itu dapat
menumbuhkan sikap saling membantu, saling menghargai, saling berbagi dan
saling diuntungkan antara siswa yang kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
b. Kemampuan Penalaran Logis
Kemampuan penalaran logis siswa adalah tingkat berpikir siswa dalam
menggunakan aturan, sifat-sifat dan logika matematika yang diukur dan dievaluasi
berdasarkan komponen kemampuan cara berpikir untuk mencari kebenaran
berdasarkan fakta analogi, generalisasi, dan kondisional sesuai dengan informasi
yang diberikan.
Berdasarkan hasil analisis data terhadap rata-rata skor pretes yang
dilakukan pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui model
pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan rata-rata sebesar 5,00 dan pada
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositrori dengan rata-rata
sebesar 4,04. Dari hasil pengujian data rerata skor pretes terhadap kedua
kelompok dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan awal
yang sama atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Setelah adanya pembelajaran dilakukan postes dan hasil rata-rata skor
postes kemampuan penalaran logis siswa yang memperoleh model pembelajaran
Kooperatif tipe TPS sebesar 12,11 dan pada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori sebesar 10,30. Kemudian N-gain kemampuan penalaran
logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar
0,65 dan pada siswa yang memperoleh pembeleajaran ekspositori sebesar 0,53.
Dari hasil N-gain tersebut diketahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran
logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih
tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan
𝛼 = 0,05 diperoleh kemampuan penalaran logis dengan nilai signifikan 0,007,
karena 0,007 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan
penalaran logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS
lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran ekspositori.
c. Kemampuan Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah konstektual secara tulisan yaitu: (a) Menyatakan
masalah kehidupan sehari-hari ke dalam bahasa atau simbol matematis. (b)
menuliskan informasi dari situasi matematika ke dalam model matematika (c)
Menginterpretasikan model atau situasi matematis dalam bentuk diagram.
Dari hasil penelitian didapat bahwa rata-rata skor pretes komunikasi
matematis yang dilakukan pada kelompok siswa yang memperoleh model
pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar 4,79 dan siswa yang memperoleh model
pembelajaran ekspositori sebesar 3,89 Setelah adanya pembelajaran dilakukan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
66
postes dan hasil rata-rata skor postes kemampuan komunikasi matematis siswa
yang memperoleh model pembelajaran Kooperatif tipe TPS sebesar 11,61 dan
pada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori sebesar 8,39. Kemudian
N-gain kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model
pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar 0,62 dan pada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori sebesar 0,38. Dari hasil N-gain tersebut diketahui bahwa
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model
pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran ekspositori.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan
𝛼 = 0,05 diperoleh kemampuan komunikasi matematis dengan nilai signifikan
0,000, karena 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran
kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh model
pembelajaran ekspositori.
E. Saran
Penelitian mengenai penerapan pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS ini, masih merupakan langkah awal dari
upaya meningkatkan kompetensi dari guru, maupun kompetensi siswa.
Oleh karena itu, berkaitan dengan temuan dan kesimpulan dari studi ini
dipandang perlu agar rekomendasi-rekomendasi berikutnya dilaksanakan
oleh guru matematika SMP, lembaga dan peneliti lain yang berminat.
1. Kepada Guru
Model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada kemampuan
penalaran logis dan komunikasi matematis siswa dapat diterapkan pada
semua kategori KAM. Oleh karena itu hendaknya model pembelajaran ini
terus dikembangkan di lapangan yang membuat siswa terlatih dalam
memecahkan masalah melalui analogi, generalisasi, kondisional dan
silogisme. Begitu juga halnya dalam mengkomunikasikan matematika siswa
melalui proses menyatakan gambar ke dalam ide matematika, menyatakan
masalah matematika dalam bentuk gambar, dan menuliskan informasi dari
pernyataan ke dalam bahasa matematika. Peran guru sebagai fasilitator perlu
didukung oleh sejumlah kemampuan antara lain kemampuan memandu diskusi di
kelas, serta kemampuan dalam menyimpulkan. Di samping itu kemampuan
menguasai bahan ajar sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki guru. Untuk
menunjang keberhasilan implementasi model pembelajaran kooperatif tipe TPS
diperlukan bahan ajar yang lebih menarik dirancang berdasarkan permasalahan
kontektual yang merupakan syarat awal yang harus dipenuhi sebagai pembuka
belajar mampu stimulus awal dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan.
2. Kepada lembaga terkait
Pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menekankan kemampuan
penalaran logis dan komunikasi matematis siswa masih sangat asing bagi guru
maupun siswa, oleh karenanya perlu disosialisasikan oleh sekolah atau lembaga
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
67
terkait dengan harapan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa,
khususnya meningkatkan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis
siswa.
3. Kepada peneliti yang berminat
Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat
dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum
terjangkau saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, B.I. (2009). Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh:
Pena.
NCTM. (2000). Mathematic Assesment A Practical Handbook. Virginia, The
National Council of Teacher Mathematic Inc.
Keraf, G. (1982). Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta :
Gramedia.
Lie, A. (2008). Cooperative Learning. Jakarta : PT Gramedia.
Napitupulu, E. (2008) Jurnal Pendidikan Matematika Paradigma. Vol 1 No. 1
Edisi Juni 2008.
Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi
Matematik Siswa Sekolah Menegah Pertama Melalui Pendekatan
Matematika Realistik. Disertasi UPI : Tidak diterbitkan
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,
Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidkan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
68
PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA
SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC)
Oleh:
Reflina*
*Dosen Tetap Prodi Pendididkan Matematika FITK UIN-SU Medan
Jl.Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
e-mail: [email protected]
Abstract:
The research was grounded by the results of previous research which showed that
students’ mathematical representation ability is not as expected. One of learning
strategy for enhancing mathematical representation thinking ability is formulate-
share-listen-create (FSLC). This study examines the enhancement of students’
mathematical representation ability through the application of FSLC learning
strategy. Through a quasi experiment with non-equivalent control group design
involved 41 eight-grade students from a Islamic junior high school in Way Jepara.
Instrument of the study consist a set of mathematical representation ability test, and
observation. Data are analyzed by using t-test. The result obtained is the
enhancement of students’ mathematical representation ability who were
taught under FSLC learning strategy is better than those who were taught
under conventional learning.
Key Words: formulate-share-listen-create (FSLC), mathematical representation
ability.
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan cara
berpikir yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui belajar
matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan berpikir
sistematis, logis dan kritis dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam
pemecahan masalah.Kemampuan representasi merupakan suatu hal yang
dibutuhkan untuk mendukung pemahaman konsep matematika dan
keterkaitannya. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-idenya, misalnya seseorang
memerlukan representasi agar ide yang ia sampaikan dapat dengan mudah dan
jelas dipahami orang lain. Representasi bisa diwujudkan melalui gambar, grafik,
tabel, kata-kata, benda nyata maupun simbol matematika.
Jones dan Knuth (1991) mengemukakan bahwa terdapat beberapa alasan
mengenai pentingnya kemampuan representasi: pertama, merupakan kemampuan
dasar untuk membangun konsep dan berpikir matematis; kedua, untuk memiliki
kemampuan pemahaman konsep yang baik dan dapat digunakan dalam
pemecahan masalah. Dengan kata lain, penggunaan representasi yang benar oleh
siswa akan membantu siswa menjadikan gagasan-gagasan matematis lebih
konkrit. Hal ini dikarenakan untuk melakukan pemecahan masalah, terlebih
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
69
dahulu diawali oleh adanya representasi terhadap definisi masalah yang disajikan.
Pemahaman terhadap definisi masalah akan mendorong terciptanya representasi
yang mengarah pada proses pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran matematika, penggunaan simbol sebagai representasi
eksternal tentang ide-ide matematis sangat fundamental. Berdasarkan observasi di
lapangan, menunjukkan bahwa terdapat siswa yang masih merasa kesulitan
menyelesaikan soal-soal matematika terutama soal-soal cerita. Siswa sulit
mengemukakan ide-ide matematis yang termuat dalam soal cerita ke dalam
simbol atau model matematika. Pada akhirnya hanya melakukan perhitungan
tanpa memahami maknanya. Hal ini mengindikasikan rendahnya kemampuan
representasi matematis siswa dalam representasi ekspesi matematis. Selain itu,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudiono (2005) menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal yang berkaitan dengan
kemampuan representasi, sebagian besar lainnya masih lemah dalam
memanfaatkan kemampuan representasi matematis yang dimilikinya terutama
representasi visual.
Representasi merupakan salah satu kemampuan yang menunjang
kompetensi-kompetensi lainnya. Jika siswa gagal melakukan representasi dalam
berbagai bentuk (visual, ekspresi matematis, dan kata-kata), maka sangat mungkin
ia kurang paham tentang matematika. Hutagaol (2007) menyatakan bahwa
terdapat permasalahan dalam penyampaian materi yang menyebabkan kurang
berkembangnya kemampuan representasi matematis yaitu siswa tidak pernah
diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Lebih lanjut
Widyastuti (2010) menyatakan bahwa kemampuan representasi selain
menunjukkan tingkat pemahaman siswa, juga terkait erat dengan kemampuan
pemecahan masalah dalam penyelesaian tugas matematika. Suatu masalah yang
dianggap rumit dan kompleks bisa menjadi lebih sederhana jika strategi dan
pemanfaatan representasi matematis yang digunakan sesuai dengan permasalahan
tersebut. Penggunaan model matematika yang sesuai sebagai suatu bentuk
representasi akan membantu pemahaman konsep untuk mengemukakan
ide/gagasan matematis siswa. Dengan demikian, masih ada yang perlu diperbaiki
dalam hasil matematika siswa. Apalagi siswa SMP dalam masa transisi dari sense
of number ke sense of variable. Jika di SMP siswa gagal mengembangkan
representasi formal, ke depan siswa akan mengalami kesulitan untuk belajar
memahami matematika.
Salah satu penyebab rendahnya kemampuan representasi matematis siswa
adalah pembelajaran yang didalamnya jarang terdapat aktivitas untuk
mengembangkan representasi, sehingga siswa kurang mendapat kesempatan utuk
menampilakan ide-ide mereka di depan kelas. Herman (2010) juga menyebutkan,
hasil survey IMSTEP-JICA tahun 2000 menunjukkan bahwa kegiatan belajar
yang terjadi di lapangan diwarnai oleh perilaku guru yang terlalu berkonsentrasi
pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat kepada guru,
serta konsep matematika disampaikan secara informatif. Penyampaian materi
dengan cara tersebut akan membuat siswa cenderung hanya mengikuti langkah
guru. Selain itu, menurut penelitaian Risnanosanti (2010) guru jarang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
70
oleh siswa lain, sehingga interaksi yang terjadi hanya antara guru dan siswa.
Siswa terlihat lebih pasif, kurang berusaha untuk menemukan sendiri penyelesaian
masalah yang diberikan guru, bahkan hanya menyalin hasil pekerjaan temannya
yang menyelesaikan masalah di papan tulis. Padahal usia siswa SMP yang
berkisar antara 13 sampai 15 tahun menurut Piaget berada pada tahap operasi
formal yang sesuai untuk memberikan banyak kesempatan untuk memanipulasi
benda konkrit, membuat model, diagram dan lain-lain sebagai alat perantara untuk
merumuskan dan menyajikan konsep-konsep abstrak.
Penyelesaian untuk masalah ini terletak pada pemilihan model
pembelajaran yang tepat. Sesuai yang disampaikan oleh Wahyudin (2008), salah
satu aspek penting dari perencanaan bertumpu pada kemampuan guru untuk
mengantisipasi kebutuhan dan materi-materi atau model-model yang dapat
membantu para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create (FSLC)
dikembangkan oleh Johnson & Smith pada tahun 1991, dibangun dengan tujuan
memodifikasi strategi pembelajaran kooperatif think-pair-share (TPS).
Pembelajaran kooperatif tipe FSLC merupakan struktur pembelajaran kooperatif
yang memberikan siswa kesempatan untuk bekerja dalam kelompok kecil yang
beranggotakan 4 siswa. Sebelum bekerja dengan kelompoknya, siswa diberikan
waktu untuk memformulasikan hasil pemikirannya atau gagasannya secara
individu untuk kemudian disampaikan kepada partnernya. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, diharapkan siswa memiliki kesempatan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan siswa memiliki keluwesan dalam
mengemukakan ide/gagasannya sehingga siswa terbiasa dalam melakukan
representasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Emay (2011) menunjukkan
hasil peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Tujuan penelitian ini adalah menelaah peningkatan kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatf tipe
formulate-share-listen-create (FSLC) dan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
B. HIPOTESIS PENELITIAN
Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
C. METODE DAN DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah nonequivalent control group
design.
Kelas Eksperimen : O X O
Kelas Kontrol : O O
(Ruseffendi, 2005)
1. Populasi dan Sampel Penelitian
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
71
Penelitian ini terbatas pada materi kubus dan balok pada siswa kelas VIII
SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa pada salah satu SMP IT
di Kabupaten Lampung Timur. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik
purposive sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut diambil
sampel dua kelas dan ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol secara acak.
Kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe FSLC,
sedangkan kelas kontrol menggunakan pendekatan konvensional.
2. Ragam Data dan Teknik Pengumpulan Data
Ragam data yang dikumpulkan adalah data skor pretes dan postes kemampuan
berpikir representasi matematis. Data diperoleh dari siswa, data skor pretes dan postes
diperoleh dari hasil pengerjaan soal kemampuan berpikir representasi matematis siswa
berupa soal uraian.
Penentuan skor peningkatan kemampuan berpikir representasi matematis dengan
rumus N-Gain ternormalisasi yaitu menggunakan rumus:
<g> = scorepretestscorepossibleimummax
scorepretestscoreposttest
(Meltzer, 2002).
Hasil perhitungan N-Gain kemudian diintepretasikan dengan menggunakan
kategori skor N-Gain menurut Hake (1999) disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Kriteria N-Gain
N-Gain Interpretasi
𝑔 ≥ 0,7 Tinggi
0,3 ≤ 𝑔 < 0,7 Sedang
𝑔 < 0,3 Rendah
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Berikut ini adalah sajian statistik deskriptif skor pretes, postes, dan N-Gain.
Tabel 2. Statistik Deskripsi Skor Kemampuan Representasi Matematis
Nilai Eksperimen Kontrol
N Xmin Xmax 𝒙 Sd N Xmin Xmax 𝒙 Sd
Pretest 19 0,00 4,00 1,42 1,12 24 0,00 3,00 1,00 0,92
Posttes 19 7,00 33,00 20,58 7,05 24 9,00 24,00 12,54 3,51
N-Gain 19 0,18 0,82 0,53 0,17 24 0,18 0,58 0,36 0,09
Skor Maksimal Ideal = 40
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa untuk aspek kemampuan
representasi matematis, rataan skor pretes kelompok eksperimen yaitu 1,42 dan
kelompok kontrol yaitu 1,00 tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Hal
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
72
tersebut bermakna bahwa kedua kelas sebelum diberi perlakuan mempunyai
kemampuan yang relatif sama. Begitu juga dengan standar deviasi skor pretes
kedua kelompok juga tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar artinya
penyebaran data pada kedua kelompok relatif sama. Hal ini tercermin dari selisih
standar deviasi dari kedua kelompok hanya sebesar 0,2, sedangkan rataan skor
posttes kelompok eksperimen dan kontrol menunjukkan perbedaan yang cukup
besar, yaitu 20,58 untuk kelas eksperimen dan 12,54 untuk kelompok kontrol.
Apabila rataan kedua kelas kita ubah ke dalam persentase skor dimana persentase
skor diperoleh dari hasil bagi skor rataan dengan skor ideal dikali 100%, maka
persentase rataan skor pretes kelompok eksperimen lebih besar 1,05%, akan tetapi
setelah diberi perlakuan persentase rataan skor posttes kelompok eksperimen
lebih besar 20,20%.
Gambar 1. Skor Rataan Kemampuan Representasi Matematis
Dari gambar 1 terlihat bahwa rataan skor pretest kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen relatif sama. Hal ini berarti siswa di kedua kelompok
memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan dengan
pembelajaran yang berbeda. Sedangkan rataan skor posttes kemampuan
representasi matematis kelompok eksperimen yang mendapatkan pembelajaran
kooperatif tipe FSLC lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
mendapatkan pembelajaran konvensional.
Rataan N-Gain kemampuan representasi matematis kelompok eksperimen
dan kontrol berada pada kualifikasi sedang. Walaupun kedua kelompok ini
memiliki rataan N-Gain yang berbeda. Rataan N-Gain kemampuan representasi
matematis kelompok eksperimen sebesar 0,53 lebih besar dari rataan N-Gain
kelompok kontrol 0,36.
1.42 1
20.58
12.54
0
5
10
15
20
25
Eksperimen Kontrol
Re
rata
Sko
r
Kelas
Pretest
Posttest
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
73
Gambar 2. Perbandingan Skor Rataan N-Gain Kemampuan Representasi
Matematis pada Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Sekilas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan representatif
pada kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe FSLC
lebih baik dari pada kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
2. Pembahasan
a) Peningkatan Kemampuan Representasi Matemaatis Siswa
Berdasarkan perhitungan hasil nilai pretes, postes dan n-gain terdapat
peningkatan dan perbedaan kemampuan representasi matematis siswa kelas
eksperiman dan kelas kontrol. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata masing-
masing tes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil yang diperoleh
menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik untuk kemampuan representasi
matematis siswa pada kelas eksperimen. Jika didasarkan pada kriteria yang dibuat
oleh Hake (1999), maka mutu dari peningkatannya berada pada level sedang
untuk kelas eksperimen dan kontrol. Hasil analisis yang diperoleh juga
mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik
dari siswa yang memperoleh pembelajaran konvesional. Sejalan dengan penelitian
Widyastuti (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran
Model-Eliciting Activities lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Dari hasil perhitungan secara kuantitatif terlihat bahwa terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang belajar
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC dengan siswa yang
menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini dipengaruhi oleh
pembelajaran yang diterima siswa telah merubah paradigma pembelajaran yang
terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa
untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Johnson dan Johnson (Lie, 2007)
0.53
0.36
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Eksperimen Kontrol
N-g
ain
Kelas
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
74
menyatakan bahwa suasana belajar mengajar kooperatif menghasilkan prestasi
yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang
lebih baik daripada suasana belajar yang penuh persaingan dan memisah-
misahkan siswa. Dari karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe FSLC,
nampak bahwa setiap siswa dilibatkan dalam suatu pencarian arti, artinya
pembelajaran memperkenalkan siswa memahami arti dari apa yang mereka
pelajari. Dengan demikian, siswa memiliki kesempatan untuk membuat idenya
sendiri, siswa mampu membuat hubungan yang menyatakan pengertian, serta
siswa memiliki kesempatan yang besar dalam memahami, mengembangkan, dan
menerapkan konsep, prosedur, dan prinsip dalam menyelesaikan masalah.
Kegiatan diskusi dalam pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk
saling berinteraksi antar siswa, berbagi ide atau gagasan, melatih siswa untuk
menyampaikan, menanggapai serta menjawab pertanyaan yang diberikan teman
sekelompok atapun guru. Menurut Trianto (2009) dengan pembelajaran kooperatif
siswa akan lebih menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya. Berikut dokumentasi mengenai suasana diskusi
siswa dikelas.
Gambar 3. Suasana Diskusi Siswa di Kelas
Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa di kelas selama
pembelajaran ditemukan bahwa antusias siswa dalam bertanya dan mengajukan
pendapat cukup besar yaitu mencapai 66,67%. Dengan begitu siswa memiliki
kesempatan yang besar untuk memperoleh pemahaman terhadap materi yang
dipelajari secara terbuka dan mendalam.
Dalam mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC,
peneliti membuat Lembar Kegiatan Siswa (LKS) untuk kelas eksperimen. Bahan
ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini didisain agar kemampuan
representasi matematis siswa dapat berkembang secara optimal dan
memungkinkan siswa mencapai kompetensi matematika yang relevan dengan
materi yang dipelajari. LKS digunakan sebagai bahan bagi siswa untuk
membekali diri dalam menemukan dan memecahkan masalah.
Pada awalnya, dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan
model pembelejaran kooperatif tipe FSLC terdapat kesulitan-kesulitan seperti
siswa masih sulit dalam melaksanakan tahapan formulate yaitu tahapan dimana
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
75
siswa dituntut untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara individual,
karena siswa terbiasa dengan pembelajaran dimana pengetahuan mereka peroleh
langsung dari guru. Kemudian pada tahap share dan listen, setiap siswa berbagi
ide, gagasan atau pendapat dengan teman sekelompok dan kelompok lainnya.
Karena siswa tidak terbiasa berdiskusi maka untuk kedua tahap ini awalnya selalu
memakan waktu yang lama, sehingga terkadang untuk tahap create tidak
terlaksana secara maksimal karena kekurangan waktu. Tetapi setelah beberapa
kali pertemuan siswa mulai beradaptasi dengan pembelajaran ini sehingga setiap
tahapan terlaksana dengan baik. Berikut dokumentasi mengenai suasana
presentasi tugas bahan ajar di depan kelas.
Gambar 4. Presentasi Tugas Bahan Ajar
Berdasarkan hasil pengamatan, untuk kemampuan siswa dalam
mengilustrasikan ide matematis pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan
dengan kelas kontrol. Hal ini terjadi karena pada kelas eksperimen siswa belajar
menggunakan LKS yang membiasakan siswa untuk terlibat aktif dalam proses
konstruksi dan pemberian makna dengan permasalahan-permasalahan yang
diajukan dalam LKS yang membuat siswa perlu mengkaji, menduga-duga,
bertukar pendapat, saling bertanya, dan menjelaskan sebagai suatu proses dalam
mengeneralisasi suatu model matematika.
Begitupun dengan kemampuan siswa dalam menuliskan model matematis,
dengan memanipulasi benda nyata dalam mempelajari materi membantu siswa
dalam memahami konsep tentang bangun ruang kubus dan balok. Dengan benda-
benda nyata tersebut siswa mampu mempresentasikan pengalaman dunia nyata ke
dalam kelas, sehingga, siswa pada kelas eksperimen lebih banyak memiliki
kesempatam memperoleh pengetahuan konsep matematika secara langsung yang
berasal dari proses penemuannya secara individu maupun kelompok dibandingkan
dengan kelas kontrol. Sejalan dengan hasil penelitian Risnawati (2012) bahwa
kemampuan representasi dapat ditingkatkan dengan cara memberikan siswa
permasalahan dengan harapan siswa dapat menguraikan masalah tersebut sendiri,
kemudian siswa mencari bentuk umum atau modelnya untuk kemudian digunakan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
76
dalam menjawab permasalahan yang berkaitan dengan model tersebut. Pada setiap
masalah diikuti dengan beberapa pertanyaan yang dapat menuntun siswa dalam
menemukan solusinya.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah
dikemukakan sebelumnya, peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe FSLC lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
2. Saran
1) Berdasarkan permasalahan yang diutarakan sebelumnya, maka pembelajaran
kooperatif tipe FSLC dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan
kemampuan representasi matematis. 2) Dalam menerapkan pembelajaran
kooperatif tipe FSLC, guru harus menyediakan bahan ajar yang dirancang secara
khusus dengan berpatokan pada tahapan-tahapan pembelajaran dalam FSLC dan
pertanyaan metakognitif sehingga dapat meningkatkan kemampuan representasi
matematis siswa. 3) Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, penerapan
pembelajaran kooperatif tipe FSLC membutuhkan waktu yang cukup lama,
sehingga guru perlu perencanaan dan persiapan yang matang dalam menjalankan
proses pembelajaran agar berjalan efektif dan sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Emay, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
Matematis Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif
Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Tesis. UPI Bandung. Tidak
Diterbitkan
Hake, R.R. (1999) Analyzing Change/Gain Score. [Online]. Tersedia:
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf. [19
Oktober 2013]
Herman, T. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP. [Online]. Tersedia :
http://file.upi.edu. [ 4 Oktober 2013]
Hudiono, B.(2005). Peran Pembelajaran Diskurskus Multi Representasi terhadap
Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa
SLTP. Disertasi. UPI: TIdak diterbitkan
Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual untuk Meningkatkan
Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Tesis. UPI: Tidak diterbitkan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
77
Jones, B.F dan Knuth, R.A. (1991). What does Research Say about Mathematics?.
[Online]. Tersedia:http://www.ncrl.org/sdrs/stwesys/2math.html.[ 20
November 2013]
Lie, A. (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and
Conceptual Learning Gains in Physics: A possible “Hidden Variable” in
Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics. V70 n12 p1259-68
Dec 2002. [Online]. Tersedia: www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec-
2002-Vol.70-1259-128.pdf. [6 Juni 2013]
Risnarosanti. (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy
terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam
Pembelajaran Inkuiri. Bandung. Disertasi. Doktor pada SPs UPI: Tidak
diterbitkan
Risnawati. (2012). Pengaruh Pembelajaran Dengan Pendekatan Induktif-Deduktif
Berbantuan Program Cabri Geometry Terhadap Peningkatan Kemampuan
Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis UPI.
Bandung: Tidak diterbitkan
Ruseffendi. H. E. T. ,(2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang
Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung
Widyastuti. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Model-Eliciting Activities
Terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self-efficacy Siswa.
Tesis. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
78
EFEKTIVITAS SOAL-SOAL MATEMATIKA TIPE PISA
MENGGUNAKAN KONTEKS BUDAYA SUMATERA UTARA
UNTUK MENDESKRIPSIKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP KOTA MEDAN
Oleh:
Hafni Hasanah*
*Dosen Tidak Tetap FITK UIN SU Medan
Jl.Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan
Email: [email protected]
Abstract:
This study aims to explain the efectiveness of mathematical problem type
of PISA using cultural context of North Sumatera to describe reasoning
dan komunication mathematic ability.This type of research is development
research type development study. The development model used is a model
Plomp. The questions fill efective criteria that is obtained through the
response of teacher and student. The teacher and student like and feeling
interested in the question, the questions can be used to measure the student
ability in mathematic reasoning and communication, the students are
feeling motivated to answer the questions. The result research got from
mean of result reasoning ability mathematic of student from school,high
(26.00),middle (25.85), and low (14.04). The result of mean test from
mathematic communication ability of student from school, high (26.15),
middle (22.80), and low (24.35). Finding of the research shows that the
higher the level of the questions, the lower score that student get.
Keywords :
Development research, Problems Mathematics type PISA , Cultural North
Sumatera, mathematic reasoning and communication ability
A. PENDAHULUAN
Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi
tentang program penilaian siswa tingkat internasional yang diselenggarakan oleh
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Menurut
Shiel (2007), PISA bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa yang duduk di
akhir tahun pendidikan dasar (siswa berusia 15 tahun) telah menguasai
pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk dapat berpartisipasi sebagai
warga negara atau anggota masyarakat yang membangun dan bertanggung jawab.
Orientasi PISA adalah lebih memperhatikan apa yang dapat dilakukan
siswa dari pada apa yang mereka pelajari di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan
siswa memiliki kemampuan literasi matematika.
Literasi matematika diartikan sebagai kemampuan seseoarang untuk dapat
merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks,
termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
79
konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau
memperkirakan fenomena/kejadian (OECD: 2009a).
Pengertian literasi matematika PISA di atas sejalan dengan tujuan
pelajaran matematika yang termuat di dalam Permendikbud No 58 Tahun 2014
yang menyatakan bahwa kecakapan atau kemahiran matematika merupakan
bagian dari kecakapan hidup yang dimiliki siswa terutama dalam pengembangan
penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan siswa. Setiap individu perlu memiliki penguasaan matematika pada
tingkat tertentu. Penguasaan individual demikian pada dasarnya bukanlah
pengusaan matematika sebagai ilmu, melainkan penguasaan akan kecakapan
matematika (mathematical literacy) yang diperlukan untukk memahami dunia
sekitarnya serta untuk berhasil dalam kehidupan atau karirnya. Ini artinya,
kemampuan literasi matematika perlu dilatih kepada siswa.
Pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi di lapangan guru lebih
sering memberikan soal-soal rutin yang tidak kontekstual dan lebih banyak
menekankan pada penghafalan rumus-rumus baku tanpa disertai penerapan
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat evaluasi, soal yang diberikan
tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan.
Jarang sekali bertanya dengan menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana,
atau kapan, sehingga kreativitas siswa kurang tereksplorasi dan siswa tidak dilatih
untuk mengemukakan pendapat atau gagasan yang ada dalam pikiran mereka.
Berikut ini salah satu contoh soal yang digunakan guru untuk
mengevaluasi siswa dalam proses pembelajaran.
Gambar 1. Contoh Soal yang Digunakan Guru Mengevaluasi Siswa dalam
Proses Pembelajaran
Soal pada Gambar 1 menunjukkan bahwa indikator soal lebih menekankan
pada kemampuan teknis baku atau kemampuan prosedural saja, tidak membekali
siswa dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari dan tidak melatih
kemampuan literasi matematis siswa.
Terbukti dari hasil pencapaian kemampuan literasi matematis siswa
Indonesia dalam survei PISA. Hasil survei PISA dari tahun 2000 hingga 2012
yang menunjukkan bahwa pencapaian siswa Indonesia bidang matematika belum
memuaskan.
Prestasi siswa Indonesia dalam survei PISA tersebut seharusnya menjadi
cambuk bagi pemerintah untuk melakukan kaji ulang terhadap kualitas guru,
sumber belajar, sistem evaluasi, dukungan masyarakat, stakeholder atau
pemerintah itu sendiri.
Hasil literasi siswa rendah tentunya disebabkan oleh banyak faktor, salah
satunya adalah guru tidak terbiasa atau bahkan tidak pernah memberikan soal-soal
seperti soal PISA kepada siswa. Terkait dengan kontes literasi matematika guru
jarang mengikutsertakan anak-anak didiknya dalam kontes literasi tersebut.
Padahal melalui kontes literasi matematika, siswa dan guru dapat mengenal soal-
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
80
soal berkarakteristik PISA karena biasanya soal-soal yang diujikan adalah soal
matematika yang mengacu pada standar PISA.
Pentingnya sosialisasi soal-soal PISA ini telah dilakukan pemerintah
melalui Kemendikbud yang menunjuk Tim PMRI (Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia) untuk mensosialisasikan soal PISA melalui kegiatan yang
disebut Kontes Literasi Matematika (KLM) agar guru dapat mengembangkan
kemampuan literasi siswa melalui penyelesaian soal-soal fokus dari PISA.
Guru juga kesulitan merancang soal-soal matematika menggunakan
konteks yang dekat dengan lingkungan siswa akibatnya siswa kurang memaknai
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan kehidupan sehari-hari
yang terkait penerapan matematika dapat diselesaikan menggunakan kemampuan
literasi matematika. Kemampuan literasi membantu seseorang untuk mengenal
peran matematika dalam kehidupan dan membuat pertimbangan maupun
keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD: 2010). Maka dari itu
penting untuk mengaktifkan literasi matematika siswa karena hal tersebut
merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang harus dicapai.
Dari beberapa masalah berserta solusi yang telah diungkapkan
sebelumnya, ternyata hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, solusi
yang diberikan tidak cukup hanya mengadakan kontes literasi saja tetapi perlu
mensosialisaikan kepada guru, mahasiswa, atau pihak terkait bagaimana cara
mengembangkan soal-soal kontekstual yang memenuhi karakteristik seperti soal-
soal PISA.
Lutfianto, dkk (2003) mengungkapkan bahwa soal-soal kontekstual juga
perlu dihadapkan kepada siswa. Pentingnya menyelesaikan soal matematika
menggunakan konteks langsung adalah salah satu cara yang dapat digunakan agar
siswa memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk hidup pada abad sekarang ini.
Menurut Retnowati (2010), konteks nyata yang bermakna bagi siswa di
suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lain sehingga menggunakan
konteks nyata yang tepat lebih disarankan karena membantu siswa untuk
mempersepsikan dan mengartikan informasi lebih mudah. Salah satu konteks
yang dekat dengan siswa adalah konteks budaya.
Prinsip Pelaksanaan Kurikulum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah kurikulum dilaksanakan
dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah
untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara
optimal, termasuk di dalamnya mata pelajaran matematika.
Pada penelitian ini, konteks yang digunakan adalah konteks budaya
Sumatera Utara karena subjek penelitiannya adalah siswa-siswi di kota Medan.
Konteks budaya Sumatera Utara yang digunakan adalah tari tor-tor, alat musik
gondang, kain ulos, bika ambon, patung guru patimpus, pakaian kesultanan deli,
objek wisata di Brastagi. Konteks-konteks tersebut diperoleh berdasarkan hasil
analisis karakteristik siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan pengembangan soal-soal
matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara. Walaupun
pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengembangan soal model PISA
menggunakan konteks Lampung (Putra: 2015). Namun, validasi soal hanya
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
81
dilakukan oleh pakar. Sedangkan syarat sebuah tes yang baik haruslah valid
(kualitatif dan kuantitatif), reliable, objektif, dan praktis (Purwanto: 2004).
Tujuan penelitan ini adalah menjelaskan efektivitas soal-soal matematika
tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara untuk siswa SMP. Soal-
soal yang dihasilkan tersebut digunakan untuk nendeskripsikan kemampuan
matematis siswa SMP dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA
menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran
matematis, indikator komunikasi matematis, dan level soal pada PISA.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah development research type development study.
Model pengembangan yang digunakan adalah model Plomp. Model
pengembangan Plomp (2013) terdiri dari tiga tahap yaitu, preliminary research,
prototyping phase, dan assesment phase.
Pada tahap preliminary researh, dilakukan analisis kebutuhan, analisis
siswa, analisis konteks, dan analisis kurikulum. Selanjutnya hasil dari tahap
preliminary dijadikan bahan dalam membuat perangkat soal yang meliputi kisi-
kisi soal, soal-soal dan kunci jawaban, dan rubrik penilaian. Hasil pendesainan
tersebut disebut prototipe 1. Tahap selanjutnya yaitu tahap pengembangan
(prototyping phase). Setelah perancangan prototipe 1 selesai, pengembangan
dilanjutkan dengan melakukan evaluasi formatif yang diawali dengan self-
evaluation, expert review, one-to-one evaluation, small group, dan field test
(Tessmer: 1993).
Tahap pertama yaitu self-evaluation. Pada tahap ini dilakukan penilaian
sendiri terhadap prototipe 1. Hasil revisi dari self evaluation disebut prototipe 2.
Selanjutnya dilakukan validasi oleh expert untuk menilai prototipe 2 dari segi isi,
konstruk, dan bahasa. Hasil revisi dari expert-review disebut prototipe 3.
Kemudian protitipe 3 di evaluasi melalui kegiatan one-to-one evaluation. Evaluasi
ini dilakukan untuk menilai kepraktisan soal, dari segi keterbacaan, petunjuk
penggunaan soal, kejelasan gambar, tabel, grafik, dan kesesuaian waktu. Hasil
revesi dari tahap ini disebut prototipe 4. Tahap pengembangan terakhir yaitu
ujicoba kelompok kecil (small group). Prototipe 4 di ujicobakan pada satu kelas di
luar dari subjek ujicoba pada tahap assessmet. Tujuannya untuk memperoleh soal
yang valid dan reliable secara kuantitatif. Selain itu, tahap small group juga
bertujuan untuk melihat kepraktisan dari segi waktu yang disesuaikan dengan
jumlah soal yang diberikan. Hasil dari tahap ini disebut prototipe 5.
Protitipe 5 merupakan soal-soal yang telah dinyatakan valid dan praktis.
Soal-soal tersebut diujicobakan di lapangan terhadap subjek ujicoba yang telah
ditetapkan yaitu, siswa kelas IX dari SMPN 1 Medan, SMPN 2 Medan, dan
SMPN 24 Medan. Tujuannya dalah untuk mengetahui kemampuan matematis
siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks
budaya Sumatera Utara. Pada uji lapangan juga dinilai efektivitas produk melalui
respon guru dan siswa dari masing-masing sekolah.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
82
Instrumen pengumpul data yang digunakan pada tahap preliminary
research yaitu pedoman wawancara, lembar observasi, dan daftar cek. Sedangkan
instrumen pengumpul data pada tahap prototyping phase, yaitu daftar cek (self
evaluation), lembar validasi (expert review), pedoman wawancara dan angket
(one-to-one evaluation), dan paket soal (small group).
Teknik analisis data diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan
dianalisis dengan model Miles dan Huberman. Data yang diperoleh dari daftar
cek, hasil self evaluation, saran/komentar pakar, dan pedoman wawancara
dianalisis secara deskriptif sedangkan data yang diperoleh dari lembar validasi
soal dan lembar penilaian instrumen yang diisi oleh pakar dianalisis secara
deskriptif.
Perangkat soal yang dikembangkan memperhatikan tiga keriteria yang
diambil dari kriteria yang dikemukakan oleh Nieven (1999), yaitu valid, praktis,
dan efektif. Produk dikatakan valid apabila hasil validasi dari pakar mengatakan
produk yang dikembangkan sudah valid baik dari segi isi, konstruk, dan bahasa.
Selain itu, produk dikatakan praktis apabila produk dapat digunakan oleh semua
praktisi pendidikan, dan para pakar yang menjadi validator menyatakan bahwa
produk yang dikembangkan dapat diterapkan. Menurut Akker (1999), produk
dikatakan efektif apabila pakar/praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan
bahwa produk mempunyai efek terhadap kemampuan matematis siswa yang
dalam hal ini adalah kemampuan penalaran dan komunikasi.
Menurut Kirkpatrick dan Guskey (dalam Fauzan: 2002), terdapat empat
level dalam menginvestigasi efektivitas suatu produk, yaitu reaksi siswa dan guru
(participants’ reactions), pembalajaran yang diperoleh siswa dan guru
(participant’s learning), siswa dan guru menggunakan pengetahuan dan keahlian
yang baru (participant’s use of new knowledge and skill), hasil belajar siswa
(pupils’s learning outcomes).Uji efektivitas terhadap produk ini dapat
menggunakan keempat level di atas. Namun pada penelitian ini, pengukuran
efektivitas produk terbatas pada level satu, yaitu investigasi melalui participant’s
reaction.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
a. Hasil Analisis Pendahuluan (Preliminary Research)
Tahap preliminary research dimulai dari analisis kebutuhan, analisis
siswa, analisis konteks, dan analisis kurikulum. Hasil analisis kebutuhan diperoleh
informasi bahwa yaitu kesulitan merancang soal-soal kontekstual yang memuat
indikator penalaran dan komunikasi matematis sehingga siswa lebih sering
diberikan soal-soal rutin yang lebih menekankan pada teknik baku saja.
Analisis siswa dilakukan untuk memperoleh karakteristik siswa.
Karakteristik pertama, dianalisis berdasarkan usia, yaitu siswa kelas IX yang
terdaftar pada semester II Tahun Ajaran 2016/2017 memiliki rentang usia 14-15
tahun tahun.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
83
Karakteristik kedua, dianalisis berdasarkan proses pembelajaran yang
dialami selama ini, yaitu jika guru memberikan soal-soal yang lebih banyak
menekankan penggunaan hafalan rumus, maka sebagian besar siswa tidak
termotivasi dalam mengerjakan soal dan merasa cepat jenuh. Karakteristik ketiga,
dianalisis berdasarkan lingkungan tempat tinggal, sebagian besar siswa
merupakan keturunan suku batak. Suku batak memiliki beberapa tarian dan alat
musik tradisonal yang masih populer hingga saat ini. Karakteristik ini digunakan
dalam pengembangan soal yang menggunakan konteks tari tor-tor.
Karakteristik keempat, sebagian besar siswa bertempat tinggal tidak jauh
dari pusat kota Medan. Karakteristik kelima, sebagian besar siswa mengetahui
makanan khas kota Medan, Karakteristik keenam, sebagian besar siswa memiliki
objek tujuan wisata yang sama dan sering dikunjungi pada hari libur.
Karakteristik-karakteristik yang ditemukan menjadi bahan dalam pengembangan
soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara.
Analisis konteks bertujuan untuk menentukan konteks permasalahan yang
sesuai dengan karakteristik siswa yang telah ditemukan. Analisis yang terakhir
adalah analisis kurikulum. Hasil analisis kurikulum menjadi dasar bahwa soal-soal
yang dikembangkan pada umunya telah dipelajari oleh siswa. Berdasarkan hasil
analisis kurikulum tersebut, soal-soal yang telah dirancang memuat semua aspek-
aspek yang tercantum pada ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan
pendidikan SMP/MTs.
b. Hasil Tahap Pengembangan (Prototyping Phase) Pengembangan soal dilakukan berdasarkan framework PISA 2015 yang
memuat indikator kemampuan penalaran dan komunikasi matematis. Soal-soal
dirancang berdasarkan karakteristik umum siswa di Medan. Rancangan produk
awal meliputi pembuatan kisi-kisi soal, soal berbentuk selected-response
(multiple- choice) items, closed constructed-response dan open-constructed
respons item, kunci jawaban serta rubrik penilaian. Hasil rancangan awal
dinamakan prototipe 1. Selanjutnya prototipe 1 dievaluasi sendiri (self-
evaluation). Hasil revisi dari self evaluation disebut prototipe 2. Satu soal pada
produk pada prototipe 2 sebelum divalidasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Salah Satu Contoh Produk pada Prototipe 2
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
84
Expert Reviews
Tahap ini melibatkan beberapa validator yaitu, Prof. Dr. Hasratuddin
Siregar, M.Pd (UNIMED), Prof. Dr. I Made Arnawa, M.Si (UNP) , Dr. Indra
Jaya, M.Pd (UIN-SUMUT), Prof. Dr. Syahrul R, M.Pd dari UNP dan beberapa
teman sejawat.
Berdasarkan validasi oleh pakar dan teman sejawat maka dapat
disimpulkan soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera
Utara valid namun dengan beberapa perbaikan. Misalnya perbaikan terkait
kalimat perintah soal no 3 pada Gambar 2 di atas. Hasil revisi dari pakar disebut
prototipe 3.
One-to-One Evaluation
Pelaksanaan one-to-one dilakukan terhadap tiga orang siswa kelas IX yang
memiliki kemampuan matematis yang berbeda-beda dari masing-masing sekolah
sekolah yang berbeda-beda juga. Sekolah kriteria tinggi (SMPN 1 Medan), sedang
(SMPN 2 Medan), dan rendah (SMPN 24 Medan). Kriteria tersebut diperoleh
berdasarkan rata-rata nilai UN SMPN di kota Medan Tahun Ajaran 2015/2016.
Jadi pelaksanaan one-to-one dilakukan terhadap 9 siswa.
Tujuan one-to-one evaluation adalah melihat kepraktisan soal
beradasarkan penilaian siswa. Pertama, siswa diminta untuk mengerjakan 21 soal
selama 120 menit. Selanjutnya, siswa diwawancarai satu-satu untuk diminta
komentar dan saran-saran terhadap paket soal, baik dari segi petunjuk pengerjaan
soal, perintah soal, dan tempat jawaban. Namun, tidak semua saran siswa
diterima. Saran siswa ditolak jika merubah indikator soal yang telah ditetapkan.
Saran-saran dari siswa tersebut digunakan untuk memperbaiki prototipe 3. Hasil
revisi pada tahap ini disebut prototipe 4.
Small Group
Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan soal-soal yang velid dan reliabel.
Ujicoba dilakukan pada siswa kelas IX di MTs Laboratorium UIN-SU. Siswa
diminta untuk mengerjakan 21 soal dengan durasi waktu 120 menit. Hasil ujicoba
small group, diperoleh 13 soal yang valid dan memiliki koefisien reliabilitas
0,624 dengan kategori reliabilitas tinggi. Hasil dari tahap ini disebut prototipe 5.
Berdasarkan saran pakar dan guru, maka disimpulkan bahwa jumlah soal
yang digunakan pada uji lapangan (field test) pada tahap assessment yaitu
sebanyak 13 soal dengan durasi waktu 100 menit.
c. Hasil Tahap Penilaian (Assessment Phase)
Field Test
Uji lapangan di lakukan untuk melihat efektivitas produk yang telah
dikembangkan. Penilaian efektivitas produk pada penelitian ini diperoleh dari
respon guru dan siswa terhadap soal-soal yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa secara keseluruhan, tiga
guru memberi respon positif terhadap 13 soal yang dihasilkan. Guru tertarik
terhadap soal-sola matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera
Utara ini, soal telah sesuai dengan indikator penalaran dan komunikasi matematis
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
85
yang dikenal oleh guru, permasalahan yang disajikan dekat dengan lingkungan
siswa, dan guru juga memahami penjabaran mengenai proses dan tahap yang
harus dilakukan dalam mengembangkan soal matematika tipe PISA yang
kontekstual. Hal ini membuktikan bahwa soal-soal matematika tipe PISA ini telah
valid, praktis, dan memiliki efek potensial terhadap kemampuan matematis siswa.
d. Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa dalam Mengerjakan
Soal-Soal Matematika Tipe PISA Menggunakan Konteks Budaya
Sumatera Utara
(1) Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan
Indikator Kemampuan Penalaran
Ada tiga indikator penalaran matematis yang digunakan pada soal tipe
PISA yang telah dihasilkan, yaitu 1) menduga dan memeriksa kebenaran dugaan
(conjecture), 2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu
pernyataan, 3) memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan
penalaran induksi. Berikut ini merupakan hasil penilaian terhadap jawaban siswa
berdasarkan rubrik penilaian penalaran.
Tabel 1. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 1
Tabel 2. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 2
Tabel 3. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 3
(2) Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan
Indikator Kemampuan Komunikasi
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
86
Ada tiga indikator komunikasi matematis yang digunakan pada soal tipe
PISA yang telah dirancang, yaitu 1) mengkomunikasikan gagasan ide matematika,
2) mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap,
simbol, tabel, diagram, atau media lainnya untuk memperjelas keadaan atau
masalah, 3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan. Berikut ini merupakan
hasil penilaian terhadap jawaban siswa berdasarkan rubrik penilaian penalaran
Tabel 4.
Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 1
Tabel 5.
Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 2
Tabel 6.
Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 3
Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan Level Soal
Berdasarkan level soal yang diujikan, persentase pencapaian pada soal
level 3 mencapai skor tertinggi, yaitu 40.82 sedangkan pada soal level 4, yaitu
12.28, dan pada soal level 5, yaitu 5.60. Persentase pencapaian siswa berdasarkan
level soal PISA dapat dilihat pada Gambar 4.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
87
Gambar 4. Persentase Pencapaian Siswa Berdasarkan Level Soal Pada PISA
Pada Gambar 6 menunjukkan rerata skor tertinggi terdapat pada soal level
3 yaitu mencapai 40.82. Level soal ini adalah level soal yang lebih mudah
diselesaikan oleh siswa di masing-masing sekolah.
Dari hasil penilaian jawaban siswa juga menunjukkan pencapaian kognitif
siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks
budaya Sumatera Utara tergolong rendah. Hal ini tergambar setelah dilakukan
analisis terhadap 1235 butir jawaban siswa hanya 183 butir jawaban yang
teridentifikasi sebagai jawaban benar atau sekitar 16% dari keseluruhan butir
jawaban.
2. Pembahasan
Menurut Suryadi (dalam Yazid: 2011) menjelaskan bahwa efektivitas soal-
soal matematika tipe PISA ini diperoleh melalui respon guru. Jika guru
memberikan respon positif terhadap soal-soal yang dihasilkan maka efektivitas
produk dapat dikatakan baik. Misalnya, respon guru yang menyatakan
ketertarikan terhadap soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks
budaya Sumatera Utara dan soal-soal ini dapat digunakan untuk melatih
kemampuan literasi siswa.
Hal senada juga diungkapkan Akker (1999) yaitu, terdapat dua hal yang
harus dipenuhi untuk melihat efektivitas instrumen yaitu, 1) ahli/praktisi
berdasarkan pengalamannya menyatakan soal-soal tersebut efektif. Dalam hal ini
guru sebagai praktisi yang berpengalaman telah menyatakan soal-soal yang
dihasilkan telah efektif, 2) secara operasional memberikan hasil sesuai yang
diharapkan yaitu penjabaran proses sampai menghasilkan soal dipahami oleh guru
atau pembaca sehingga guru/pembaca dapat mempelajari/mengikuti tahap-tahap
dalam pengembangan soal tipe PISA menggunakan konteks budaya ini.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hasil tes kemampuan
matematis siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA
menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran
dan komunikasi matematis siswa dari sekolah level tinggi, sedang, dan rendah
tergolong kurang baik. Sedangkan pencapaian kemampuan matematis siswa
berdasarkan level soal menunjukkan bahwa semakin tinggi level soal maka
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
88
persentase pencapaian siswa dalam mengerjakan soal matematika tipe PISA ini
semakin rendah. Hal ini semakin mendukung fakta bahwa hanya sebagian kecil
siswa Indonesia yang mampu menyelesaikan permasalahan pada level 5 dan 6
atau sekitar 0,6% dari total peserta (OECD: 2012).
D. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya
Sumatera Utara untuk siswa SMP adalah sebagai berikut.
Efektivitas produk telah memenuhi kiteria efektif yaitu guru memberikan
respon positif terhadap soal-soal yang dihasilkan serta memahami penjabaran
proses dan hasil pengembangan soal yang telah diuraikan. Guru sebagai praktisi
yang berpengalaman telah menyatakan soal-soal yang dihasilkan telah efektif.
Penjabaran proses sampai menghasilkan soal dipahami oleh guru atau pembaca
sehingga guru/pembaca dapat mempelajari/mengikuti tahap-tahap dalam
pengembangan soal tipe PISA menggunakan konteks budaya ini.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hasil tes kemampuan
matematis siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA
menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran
dan komunikasi matematis siswa dari sekolah level tinggi, sedang, dan rendah
tergolong kurang baik. Sedangkan pencapaian kemampuan matematis siswa
berdasarkan level soal menunjukkan bahwa semakin tinggi level soal maka
persentase pencapaian siswa dalam mengerjakan soal matematika tipe PISA ini
semakin rendah.
Saran
1. Bagi pemerintah khususnya dinas pendidikan kota Medan agar dapat
mengadakan sosialisasi tentang soal-soal PISA kepada guru sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan literasi matematika siswa.
2. Soal-soal matematika tipe PISA yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai
alat untuk melatih kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi
matematis siswa SMP dan menjadi contoh dalam mendesain soal-soal tipe
PISA yang memuat indikator penalaran dan komunikasi matematis siswa.
3. Hasil penelitian ini berupa hasil ujicoba lapangan diharapkan dapat membantu
siswa dan guru untuk mengetahui potensi dan kelemahan sehingga dapat
menjadi bahan refleksi terkait proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Fauzan, Ahmad. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in
Teaching Geometry in Indonesia Primary Schools. Desertasi. University of
Twenty.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
89
Lutfianto, M., Zulkardi & Hartono, Y. 2003. Unfinished Student Answer in PISA
Mathematics Contextual Problem. Joernal on Mathematics Education
(IndoMSJME), 4(2), 201-208.
Muliyardi. 2006. Strategi Pembelajaran Matematika. Padang: UNP.
Nieveen, Nienke. 1999. Design Approaches and Tools in Education and Training.
Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
OECD. 2009a. The PISA 2009 Assessment Framework-Key Competences and
Reading, Mathematics and Science.pdf.
OECD. 2012. Results in Fokus: Snapshot of Performance in Mathematics,
Reading, Science. Pdf.
Plomp, T. dan N. Nieveen. 2013. Education Design Reserch. Enshede :
Netherlands Institute For Curriculum Develompment (SLO).
Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Putra, Yudi Yunika. 2015. Pengembangan Soal Matematika Model PISA
Menggunakan Konteks Lampung. Palembang : Unsri (Tesis tidak
diterbitkan).
Retnowati, Endah. 2010. Pendidikan matematika realistik : Sebuah tinjauan
teoritik. Majalah PMRI/ vol.viii No.3/Juli 2010. Bandung : Institut
Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (IP-PMRI)
Shiel, Gerry. 2007. PISA Mathematics : A Teacher’s Guide. Dublin: Stationery
Office.
______.2010. Draft PISA 2012 Assessment Framework.. On line (Diakses pada
tanggal 15 Juni 2015).
Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Tessmer, Martin.1993. Planing and ConductingFormative Evaluation. Kogan
Page Limited 120 Pentonville Road London N1 9JN. British Library
Cataloguing in Publication Data.
Van den Akker, J. 1999. Priciples and methods of development research in Akker
J.,R. Branch, K Gustavon, Nieven & T. Plomp. (Eds). Design Approaches
and Tools in Eduacational and Training (p. 1-14) London: Raoutledge.
Yazid, A. 2011. Kevalidan, Kepraktisan, dan Efek Potensial Suatu Bahan Ajar.
Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya. Di akses pada
tanggal 30 April 2016.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
90
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN
KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP NEGERI 28 MEDAN
MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI DENGAN STRATEGI REACT
Oleh:
Sehat Matua Ritonga*
*Dosen Tetap Akademi Maritim Belawan
Jl. Kapten Muslim, Kompleks Griya
Riatur Indah Blok A2/26 Simpang Gaperta Helvetia Medan 20124
E-mail: [email protected]
Abstract:
The purpose of this study was to examine: (1) improvement of problem
solving ability of mathematics between students who were given inquiry
learning model with REACT strategy with students who were given the
usual learning model; (2) improvement of mathematical communication
ability between students who are given inquiry learning model with
REACT strategy with students who are given the usual learning model.
This research was conducted in SMP Negeri 28 Medan with sample of 60
students. This study is a quasi-experimental study with pre-test-post-test
control group design. The population in this study were all students of
class VIII (eight) by taking samples of two classes (experimental class and
control class) through random sampling technique. The instrument used
consisted of mathematical problem solving test and mathematical
communication skill test. The instrument is said to have fulfilled the terms
of content validity and reliability coefficient. Data were analyzed by two-
way ANAVA test. Prior to the use of two-track ANAVA test,
homogeneity test in the study and normality in this study with 5%
significance level. Based on the results of the analysis, the research results
are obtained: (1) improvement of problem solving ability of mathematics
students who get inquiry learning model with REACT strategy is higher
than students who get ordinary learning model; (2) improvement of
students' mathematical communication ability that obtains inquiry learning
model with REACT strategy is higher than students who get ordinary
learning model. Based on the results of this study, researchers suggest that
inquiry learning model with REACT strategy can be an alternative for
teachers to improve problem solving skills and mathematical
communication.
Keywords: Inquiry Learning, REACT Strategy, Problem Solving Skills,
Mathematical Communication.
A. PENDAHULUAN
Matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah sangat diperlukan
untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis dan kritis.
Demikian pula matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
91
menunjang keberhasilan dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi, bahkan
diperlukan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan terus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif.
Namun, mutu pendidikan belum menunjukkan sebagaimana hasil yang
diharapkan. Kenyataan ini terlihat dari hasil belajar yang diperoleh siswa masih
sangat rendah, khususnya mata pelajaran matematika.
Keluhan terhadap rendahnya hasil belajar matematika siswa dari jenjang
pendidikan terendah sekolah dasar sampai perguruan tinggi tidak pernah hilang.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa tampak pada ketidaklulusan siswa yang
sebagian besar disebabkan tidak tercapainya nilai batas lulus yang telah
ditetapkan. Hal ini ditandai dengan rendahnya perolehan ketuntasan belajar siswa
kelas VIII SMP Negeri 28 Medan pada semester II tahun pelajaran 2015/2016.
Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa hasil belajar matematika siswa
masih belum mencapai kriteria ketuntasan minimal, yaitu nilai rata-rata kelas
sebesar 60 dan untuk ketuntasan belajar 65%, sementara nilai rata-rata kelas yang
diharapkan (KKM) adalah 75 dan 85% untuk ketuntasan belajar. (sumber: nilai
raport siswa). Rendahnya hasil belajar matematika dapat ditinjau dari lima aspek
dalam pembelajaran matematika secara umum yang dirumuskan oleh National
Council of Teachers of Mathematic (NCTM:2000):
“Menggariskan peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman
dan aktif membangun pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk
mewujudkan hal itu, pembelajaran matematika dirumuskan lima tujuan umum
yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi; kedua, belajar untuk bernalar;
ketiga, belajar untuk memecahkan masalah; keempat, belajar untuk mengaitkan
ide; dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika”.
Pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran
matematika. Sumarmo (1993) menyatakan bahwa pemecahan masalah
matematika merupakan hal yang sangat penting, sehingga menjadi tujuan umum
pengajaran matematika bahkan sebagai jantungnya matematika, lebih
mengutamakan proses daripada hasil (Ruseffendi, 1991), dan sebagai fokus dari
matematika sekolah dan bertujuan untuk membantu dalam mengembangkan
berpikir secara matematis (NCTM, 2000).Proses berpikir dalam pemecahan
masalah merupakan bagian penting dari prilaku intelektual individu. Hal itu akan
melatih orang berpikir kritis, logis dan kreatif yang sangat diperlukan dalam
menghadapi perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, pengambilan keputusan
yang tepat dalam masalah yang cukup kritis merupakan suatu perilaku intelektual.
Proses pengambilan keputusan ini tidaklah mudah, memerlukan strategi yang
cocok. Menentukan strategi yang cocok inilah yang merupakan langkah
pemecahan masalah. Dengan demikian pemecahan masalah sangat penting dalam
menentukan perilaku intelektual.
Untuk mendukung kemampuan pemecahan masalah ini tentu siswa harus
dapat memahami konsep yang berkaitan dalam permasalahan yang akan
dipecahkan. Pemahaman akan konsep menjadi modal yang cukup penting dalam
melakukan pemecahan masalah, karena dalam menentukan strategi pemecahan
masalah diperlukan penguasaan konsep yang mendasari permasalahan tersebut.
Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah menjadi semakin penting
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
92
karena matematika merupakan pengetahuan yang logis, sistematis, berpola,
abstrak, dan memerlukan adanya pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut
pembelajar menggunakan kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan
masalah, seperti berpikir logis dan sistematis.
Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika merupakan tujuan
yang harus dicapai. Dalam hal ini diharapkan agar siswa dapat mengidentifikasi
unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan,
merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan
strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam
atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai
permasalahan asal, menyusul model matematika dan menyelesaikannya untuk
masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful).
Sebagai implikasinya maka kemampuan pemecahan masalah hendaknya dimiliki
oleh semua anak yang belajar matematika. Pernyataan ini juga didukung oleh
Shadiq (2002: 16) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah akan menjadi hal
yang akan sangat menentukan juga keberhasilan pendidikan matematika, sehingga
pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama proses
pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan.
Namun kenyataan di lapangan proses pembelajaran matematika yang
dilaksanakan pada saat ini belum memenuhi harapan para guru sebagai
pengembang strategi pembelajaran di kelas. Kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa masing rendah. Siswa mengalami kesulitan dalam belajar
matematika, khususnya dalam menyelesaikan soal yang yang berhubungan
dengan kemampuan pemecahan masalah matematik sebagaimana diungkapkan
Sumarmo (1993) bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika pada umumnya belum memuaskan.
Dalam memecahkan masalah seharusnya dilengkapi dengan
pengembangan keterampilan memberikan penjelasan dan mengomunikasikan
hasil pemecahan masalah. Karena itu seharusnya pula siswa memecahkan masalah
matematika seakan-akan berbicara dan menulis tentang apa yang sedang
dikerjakan sehingga dalam memecahakan suatu permasalahan terjadi komunikasi
matematik.
Berkenaan dengan komunikasi matematik, menurut Sumarmo (2010 : 495)
meliputi kemampuan siswa dalam : a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan
diagram ke dalam ide matematik. b) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematika secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar. c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik.
d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. e) Membaca
dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, f) Memng dbuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan defenisi dan generalisasi. g)
Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari.
Membangun komunikasi matematika memberikan manfaat pada siswa
berupa: 1) Memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik, dan secara
aljabar. 2) Merefleksi dan mengklarifikasi dalam berpikir mengenai gagasan-
gagasan matematika dalam berbagai situasi. 3) Mengembangkan pemahaman
terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk peranan definisi-definisi dalam
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
93
matematika. 4) Menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan menulis
untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika. 5) Mengkaji
gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang meyakinkan. 6)
Memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan gagasan
matematika.
Komunikasi matematik memegang peranan penting sebagai representasi
pemahaman siswa terhadap konsep matematika itu sendiri dan sebagai ilmu
terapan bagi ilmu lainnya. Melalui komunikasi matematik siswa saling bertukar
ide dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses komunikasi tersebut membantu
siswa membangun makna dan memperoleh suatu generalisasi. Dalam upaya
mengeksplor dan mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa,
guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah kontekstual serta memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasannya.
Namun kenyataan di lapangan Ansari (Putri 2013: 11) menjelaskan bahwa
rata-rata siswa kurang terampil didalam berkomunikasi untuk menyampaikan
informasi, seperti menyampaikan ide dan mengajukan pertanyaan serta
menanggapi pertanyaan atau pendapat orang lain. Selain itu laporan TIMSS
Fakhrurrazi (2013 : 78) menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam
komunikasi matematik sangat jauh di bawah negara-negara lain. Sebagai contoh,
untuk permasalahan matematika yang menyangkut kemampuan komunikasi
matematis, siswa Indonesia yang berhasil benar hanya 5% dan jauh di bawah
negara seperti Singapura, Korea, dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%.
Dari hasil wawancara yang penulis adakan pada siswa kelas VIII-A SMP
Negeri 28 Medan, selama proses pembelajaran dan perbincangan lepas di luar
kelas, diketahui bahwa siswa menganggap mata pelajaran matematika merupakan
mata pelajaran yang kurang disenangi dan matematika merupakan pelajaran yang
sulit, terutama menyelesaikan soal-soal yang berbentuk masalah dalam kehidupan
sehari-hari dengan alasan soal tersebut tidak sama yang diberikan oleh guru
sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika. Hasil pengamatan
aktivitas belajar siswa hanya menjadi pendengar saja, jawaban siswa yang benar
yang diterima, sedikit tanya jawab, dan siswa mencatat dari papan tulis, dan
mengerjakan latihan dan hasilnya ditulis di papan tulis.
Hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran yang terjadi di dalam
kelas, guru hanya memfokuskan pada penghafalan konsep, memberikan
rumus-rumus dan langkah-langkah serta prosedur matematika guna
menyelesaikan soal. Pembelajaran yang terjadi di kelas lebih tertuju pada
pemberian informasi dan penerapan rumus-rumus matematika dan mengerjakan
latihan-latihan yang ada pada buku dan guru hanya menyampaikan materi yang
ada di buku paket. Proses pembelajaran yang sering dilakukan guru membuat
siswa terlihat kurang bersemangat dalam belajar, sehingga komunikasi matematik
semakin berkurang.
Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik sangat
penting dikuasai oleh siswa, sementara temuan di lapangan bahwa kedua
kemampuan tersebut masih rendah dan kebanyakan peserta didik terbiasa
melakukan kegiatan belajar berupa menghafal tanpa dibarengi pengembangan
memecahkan masalah dan komunikasi matematika. Pola pengajaran yang selama
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
94
ini digunakan guru belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-
soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa
untuk mengemukakan ide dan pendapat mereka, dan bahkan para siswa masih
enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang
disajikan guru. Di samping itu juga, guru senantiasa dikejar oleh target waktu
untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan tanpa memperhatikan kompetensi
yang dimiliki siswanya.
Untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi dalam pembelajaran matematika, guru harus mengupayakan
pembelajaran dengan menggunakan model dan strategi belajar yang dapat
memberi peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan pemecahan
masalah dan komunikasi matematik siswa.
Model pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan dan
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa
adalah model pembelajran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri menekankan
kepada aktifitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya
inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Siti (2008 : 84) menyatakan
bahwa Metode inkuiri merupakan kegiatan proses belajar mengajar yang
menggunakan cara menyajikan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menemukan informasi tanpa adanya bantuan informasi dari
guru. Dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas, guru mempunyai peranan
sebagai konselor, konsultan dan teman yang kritis. Guru harus dapat membimbing
dan merefleksikan pengalaman kelompok melalui tiga tahap: (1) Tahap problem
solving atau tugas; (2) Tahap pengelolaan kelompok; (3) Tahap pemahaman
secara individual, dan pada saat yang sama guru sebagai instruktur harus dapat
memberikan kemudahan bagi kerja kelompok, melakukan intervensi dalam
kelompok dan mengelola kegiatan pengajaran.
Adapun strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan
dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik
siswa adalah dengan strategi REACT, yaitu suatu pembelajaran kontekstual
gabungan dari lima aspek yang merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan
pembelajaran yaitu Crowfort (2001 : 3) yaitu: Relating (mengaitkan),
Experiencing (mengalami), Applying (Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama),
Transferring (Mentransfer). Pembelajaran dengan strategi REACT akan banyak
memberikan pengalaman belajar kepada siswa karena: (1) belajar lebih dimaknai
sebagai belajar sepanjang hayat (learning throughut of life), (2) siswa belajar
dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang
dibutuhkannya secara aktif, baik secara individu maupun berkelompok untuk
membangun pengetahuan, (3) siswa tidak hanya menguasai isi materi tetapi
mereka juga belajar bagaimana belajar (learn how to learn), melaui discovery,
inquiry, dan problem solving, dan terjadi pengembangan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengadakan
penelitian tentang model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT apakah
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik
siswa.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
95
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan
metode eksperimen dalam bentuk jenis quasi eksperimen. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematik antara siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi
REACT dengan siswa yang diberi model pembelajaran biasa.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri
28 Medan, dan yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII
yang dipilih dua kelas secara acak (Cluster Random Sampling) yang masing-
masing satu kelas sebagai kelas yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT dan yang lain sebagai kelas yang diberi model pembelajaran
biasa, kemudian terpilih kelas VIII-C sebagai kelas yang diberi perlakuan model
pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT dan kelas VIII-A sebagai kelas yang
diberi model pembelajaran biasa, dengan ketentuan kelas yang diambil bukan
kelas unggulan agar dapat mengukur parameternya dengan baik.
Peneltian ini merupakan penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperiment)
dengan desain kelompok pretest-postest kontrol (Pretest Posstest Control Group
Desain). Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random
yang dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol, seperti pada tabel
berikut menunjukkan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebagai
berikut:
Tabel 1 Desain Penelitian
Kelompok Pretes Perlakuan Postes
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O1 - O2
Keterangan:
O1 = Pretes
O2 = Postes
X1 = Perlakuan berupa model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT
Penelitian ini menggunakan satu jenis instrumen yaitu tes kemampuan
pemecahan masalah dan tes kemampuan komunikasi matematik. Dalam penelitian
ini tes dibagi atas tes awal (pretes) untuk mengetahui kemampuan pemecahan
masalah don komunikasi matematik dan tes akhir (postes) untuk mengetahui
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik setelah diberikan
perlakuan model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT.
C. HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan pretes dan postes kepada siswa diperoleh N-gain
masing-masing kelas untuk melihat apakah kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematik siswa antara siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri
dengan strategi REACT dengan siswa yang diberi pembelajaran langsung.
Berdasarkan hasil yang diperoleh tampak bahwa rata-rata indeks gain
hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen lebih
tinggi daripada kelas kontrol yaitu 0,587>0,415. Selanjutnya dilakukan pengujian
normalitas indeks gain hasil tes kemampuan pemecahan maslah matematik pada
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
96
kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tujuan untuk mengetahui apakah data
yang diperoleh dari indeks gain hasil tes kemampuan pemecahan masalah
matematik tersebut berdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan hasil yang
diperoleh bahwa pada kelas eksperimen pada taraf signifikan sebesar 5% atau α =
0,05 maka P-value > α yaitu 0,438>0,05 sehingga data berdistribusi normal.
Demikian juga pada kelas kontrol, pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05
maka P-value > α yaitu 0,789>0,05 sehingga data berdistribusi normal.
Kemudian dilakukan pengujian homogenitas indeks gain hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematik dengan tujuan untuk mengetahui
apakah varians hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol sama atau tidak, yaitu apakah peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol sama atau tidak. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pada taraf
signifikan sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,197>0,05 sehingga
H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian varians indeks gain hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol homogen.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas
eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hasil pengujian hipotesis statistik
tersebut dengan menggunakan rumus ANAVA dua jalan melalui spss 17.00
sebagai berikut :
Tabel 2 Pengujian Hipotesis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Nilai
Source Type III Sum
of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.976a 5 .395 14.052 .000
Intercept 12.532 1 12.532 445.599 .000
ModelPembelajaran .402 1 .402 14.306 .000
KemampuanAwalMatematika 1.175 2 .588 20.898 .000
ModelPembelajaran *
KemampuanAwalMatematika .392 2 .196 6.964 .002
Error 1.519 54 .028
Total 18.552 60
Corrected Total 3.495 59
a. R Squared = .565 (Adjusted R Squared = .525)
Berdasarkan tabel 2 tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar
5% atau α = 0,05 maka P-value < α yaitu 0,000<0,05 sehingga H0 ditolak dan Ha
diterima. Dengan demikian peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih
tinggi daripada siswa yang diberi model pemebelajaran langsung.
Selanjutnya dilakukan pengujian indeks gain hasil tes kemampuan
komunikasi matematik. Dari hasil tersebut tampak bahwa rata-rata indeks gain
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
97
hasil tes kemampuan komunkasi matematik pada kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol yaitu 0,616>0,401. Kemudian dilakukan pengujian
normalitas indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi matematik pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol bertujuan untuk mengetahui apakah data yang
diperoleh dari indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi matematik tersebut
berdistribusi normal atau tidak.
Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa kelas eksperimen pada taraf
signifikan sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,587>0,05 sehingga
data berdistribusi normal. Demikian juga pada kelas kontrol, pada taraf signifikan
sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,839>0,05 sehingga data
berdistribusi normal. Dengan demikian data yang diperoleh indeks gain hasil tes
kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
berdistribusi normal.
Berikutnya dilakukan pengujian homogenitas indeks gain hasil tes
kemampuan komunikasi matematik dengan tujuan untuk mengetahui apakah
varians hasil tes kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol sama atau tidak, yaitu apakah peningkatan kemampuan komunikasi
matematik siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sama atau tidak.
Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar 5% atau
α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,204>0,05 sehingga H0 diterima dan Ha ditolak.
Dengan demikian varians indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi
matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol homogen.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah
peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen
lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hasil pengujian hipotesis statistik tersebut
dengan menggunakan rumus ANAVA dua jalan melalui spss 17.00 sebagai
berikut :
Tabel 3 Pengujian Hipotesis Kemampuan Komunikasi Matematik
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Nilai
Source Type III Sum
of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2.043a 5 .409 13.467 .000
Intercept 12.074 1 12.074 397.972 .000
ModelPembelajaran .562 1 .562 18.524 .000
KemampuanAwalMatematikSiswa .924 2 .462 15.226 .000
ModelPembelajaran *
KemampuanAwalMatematikSiswa .472 2 .236 7.782 .001
Error 1.638 54 .030
Total 19.191 60
Corrected Total 3.681 59
a. R Squared = .555 (Adjusted R Squared = .514)
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
98
Berdasarkan tabel 3 tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar
5% atau α = 0,05 maka P-value < α yaitu 0,000<0,05 sehingga H0 ditolak dan Ha
diterima. Dengan demikian peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi
daripada siswa yang diberi model pemebelajaran langsung.
D. PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata hasil pretes
kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen yaitu kelas
yang menggunakan pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT sebesar 16, 667
sedangkan pada kelas kontrol yaitu kelas yang menggunakan pembelajaran biasa
sebesar 16,867. Disamping itu rata-rata hasil postes kemampuan pemecahan
masalah pada kelas eksperimen sebesar 28,600 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 25,733. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks gain untuk mengukur besar
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Diperoleh rata-rata peningkatan indeks gain hasil test
kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen sebesar
0,587 sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,415 sehingga peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen lebih tiggi
daripada kelas kontrol. Selain itu dilakukan pengujian hipotesis pertama untuk
mengukur apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa
pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.
Dengan ditolaknya H0 dan diterimanya Ha menunjukkan bahwa peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen lebih
tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.
Kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki oleh siswa juga
memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini
disebabkan karena melalui kemampuan pemecahan masalah matematik yang
dimilikinya, siswa menjadi terampil dalam memecahkan permasalahan
matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki oleh siswa
dapat ditingkatkan melalui kegiatan belajar bermakna. Hal ini sesuai dengan teori
yang dikembangkan oleh David P Ausubel yang menyatakan bahwa supaya
proses pembelajaran terasa bermakna maka kita hendaknya mengaitkan suatu
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama (shadiq, 2011). Dalam
pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT fokus utamanya adalah
pembelajaran yang menekankan pengalaman hidup, belajar dalam konteks
mengaitkan pengalaman hidup dengan pengetahuan baru. Mengaitkan informasi
baru dengan berbagai pengalaman kehidupan atau pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuniawatika (2011) menunjukkan
bahwa pembelajaran matematika dengan strategi REACT dapat membantu siswa
berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk
memahami suatu konsep dan prosedur matematika. Karena kekuatan dari
pembelajaran melalui REACT terletak pada memotivasi dan memfasilitasi siswa
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
99
belajar secara aktif. Sejalan dengan hal tersebut, hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi
REACT lebih tinggi daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa. Hal ini
disebabkan karena pada pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT setiap siswa
diberi kesempatan untuk membangun konsep baru dengan cara
mengkonsentrasikan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam kelas melalui
eksplorasi, pencarian dan penemuan, pengalaman ini bisa mencakup penggunaan
manipulasi, pemecahan masalah, dan aktivitas di laboratorium. Dengan demikian,
berdasakan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh bahwa rumusan masalah
pertama terjawab dan hipotesis pertama diterima yaitu peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT lebih tinggi daripada yang diberi model pembelajaran biasa.
2. Kemampuan Komunikasi Matematik
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata hasil pretes
kemampuan komunikasi pada kelas eksperimen yaitu kelas yang menggunakan
pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT sebesar 8,533 sedangkan pada kelas
kontrol yaitu kelas yang menggunakan pembelajaran biasa sebesar 8,333. Rata-
rata hasil postes mampuan komunikasi pada kelas eksperimen sebesar 14,033
sedangkan pada kelas kontrol sebesar 12,0667. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks gain untuk mengukur besar
peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Diperoleh rata-rata indeks gain hasil test kemampuan komunikasi
matematik pada kelas eksperimen sebesar 0,616 sedangkan pada kelas kontrol
sebesar 0,401 sehingga peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada
kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Selain itu dilakukan
pengujian hipotesis statistik kedua untuk mengukur apakah peningkatan
kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi
secara signifikan daripada kelas kontrol. Dengan ditolaknya H0 dan diterimanya
Ha menunjukkan bahwapeningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.
Dalam pembelajaran matematika kemampuan komunikasi matematik yang
dimiliki oleh siswa memegang peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan
karena dengan kemampuan tersebut siswa dapat saling bertukar ide-ide
matematika. Kemampuan komunikasi matematik yang dimiliki oleh siswa dapat
ditingkatkan melalui kegiatan belajar bermakna. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikembangkan oleh David P Ausubel yang menyatakan bahwa supaya proses
pembelajaran terasa bermakna maka kita hendaknya mengaitkan suatu
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama (shadiq, 2011). Dalam
pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT fokus utamanya adalah
pembelajaran yang menekankan pengalaman hidup, belajar dalam konteks
mengaitkan pengalaman hidup dengan pengetahuan baru. Mengaitkan informasi
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
100
baru dengan berbagai pengalaman kehidupan atau pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya.
Menurut hasil penelitin yang dilakukan Yasmita (2011) menyatakan
bahwa melalui pembelajaran REACT siswa dapat menghubungkan
pengetahuannya dengan kehidupan sehari-hari, siswa mengalami sendiri
pembelajaran dengan melakukan kegiatan eksplorasi, inovasi dan invensi.
Kemudian siswa menerapkan konsep yang diperolehnya dengan beberapa
permasalahan yang diberikan guru secara berkelompok, serta mentransfer konsep
baru tersebut ke dalam situasi atau konteks baru. Hasil yang diperoleh dalam
penelitia ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik
siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi
daripada yang diberi model pembelajaran langsung. Hal ini disebabkan karena
pada pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT setiap siswa diberi kesempatan
untuk mengomunikasikan ide-ide matematikanya dalam membanu siswa lain
yang mengalami kesulitan dalam kelompoknya, sedangkan pada pemelajaran
langsung siswa kurang diberi kesempatan untuk mengomunikasikan ide-ide
matematikanya, sehingga kemampuan komunikasi matematik pada siswa yang
diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi daripada
yang diberi model pembelajaran biasa. Dengan demikian, berdasarkan hasil
penelitian pembahsan, diperoleh bahwa rumusan masalah kedua terjawab dan
hipotesis kedua diterima, yatu peningkatan kemampuan komunikasi matematik
siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi
daripada yang diberi model pembelajaran biasa.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Pembelajaran matematika baik dengan model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT maupun dengan model pembelajaran biasa dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa. Berdasarkan
rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan seperti yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:
a) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran biasa. Hal ini terlihat dari hasil analisis
anava dua jalan melalui SPSS yang menunjukkan bahwa nilai P-value
sebesar 0,000. Karena pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05, P-
value < α, yaitu 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan
demikian, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa
yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih
tinggi daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa.
b) Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT lebih tinggi dari pada yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran biasa. Hal ini terlihat dari hasil analisis
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
101
anava dua jalan melalui SPSS yang menunjukkan bahwa nilai P-value
sebesar 0,000. Karena pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05, P-
value < α, yaitu 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan
demikian, peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi
daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa.
2. Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, maka berikut beberapa saran
yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan terhadap
penerapan model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT dalam proses
pembelajaran matematika. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
a) Bagi para guru matematika
Model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT pada kemampuan
pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa dapat
diterapkan pada semua kategori KAM. Oleh karena itu hendaknya
model pembelajaran ini terus dikembangkan di lapangan agar
membuat siswa terlatih semakin mahir dan terlatih dalam
memecahkan masalah melalui proses memahami masalah,
merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan maslah dan
memeriksa kembali hasil penyelesain masalah. Begitu juga halnya dalam
kemampuan komunikasi matematik siswa dengan indikator menyatakan
ide matematika ke dalam bentuk gambar, menyatakan gambar ke dalam
ide matematika dan menyatakan ide matematika ke dalam model
matematika. Peran guru sebagai fasilitator perlu didukung oleh sejumlah
kemampuan antara lain kemampuan membimbing jalannya diskusi di
kelas, serta kemampuan dalam menyimpulkan materi pelajaran. Untuk
menunjang keberhasilan implementasi model pembelajaran inkuiri dengan
strategi REACT diperlukan bahan ajar yang lebih menarik dirancang
berdasarkan permasalahan konstektual yang merupakan syarat awal yang
harus dipenuhi sebagai pembuka proses pembelajaran agar mampu
membangkitkan stimulus siswa dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakan.
b) Bagi peneliti selanjutnya.
Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat
dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum
terjangkau saat ini, seperti faktor sikap dan minat belajar siswa.
c) Bagi lembaga terkait
Untuk lembaga terkait agar mensosialisasikan model pembelajaran inkuiri
dengan strategi REACT agar diterapkan dalam proses pembelajaran
sehingga dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa, khususnya
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
102
DAFTAR PUSTAKA
Ammy Maisyarah, Putri. (2013). Perbedaan Kemampuan Pemahaman Konsep
Dan Komunikasi Matematik Antara Siswa Yang Diberi Pembelajaran
Kooperatif Tipe Tink Tal Write (TTW) Dengan Pembelajaran Langsung.
Tesis Magister pada PPs UNIMED Medan.
Crawfort. (2001). Teaching Contextually Research, Rationale, and Techniques for
Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and
Science. Texas : Cord.
Fahrurrazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk
Meningkatakan Kemampuan Berfikir Kritis Dan Komunikasi matematis
Siswa Sekolah Dasar. Edisi Khusus ISSN 1412-565X.
Halimah, Siti. (2008). Strategi Pembelajaran, Pola Dan Strategi Pengembangan
Dalam KTSP. Medan : Citapustaka Media Perintis.
NCTM. (2000), Principles and Standarts for Mathematics, Reaston , VA: NCTM
----------- (2000). Defining Problem Solving. (Online).
(http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_
03/sectio_03_a.html, diakses 10 September 2014).
Ruseffendi. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Mengajar Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung : Tarsito.
Shadiq, Fajar.(2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. [Online].
Tersedia:http://p4tkmatematika.org/downloads/sma/pemecahanmasal
h.pdf. Diakses 04 Januari 2014.
------------(2011). Penerapan Teori Belajar Dalam Pembelajaran Matematika SD.
Kementerian Pendidikan Nasiona. Yokyakarta:P4TK Matematika.
Sumarmo, Utari dan Asep Ikin Sugandi (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis
Masalah Dengan Setting Kooperatif Jigsaw Terhadap Kemampuan
Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Siswa SMA. Makalah
Pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2010
FMIPA UNY.
Sumarmo, Utari.(1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA
di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung : Tidak
Dipublikasikan.
Yasmita Pradani, Meisa dkk. (2011). Pembelajaran Melalui Strategi REACT
Berbanru Cabri 3D Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Dimensi
Tiga (Jarak) Siswa Kelas X Semester Genap SMA Negeri 10 Malang.
Tesis Universitas Negeri Malang.
Yuniawatika. (2011). Penerapan Pembelajaran Matematika Dengan Strategi
REACT Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Dan Refresentasi
matematis Siswa Sekolah dasar. Edisi Khusus. ISSN 1412-565X.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
103
PEMAHAMAN KONSEP BENTUK ALJABAR DAN KAITANNYA
DENGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA
SISWA KELAS VII MTsN 2 MEDAN
Oleh:
Lailatun Nur Kamalia Siregar*
*Dosen Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN-SU Medan
Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate
E-mail:[email protected]
Abstract:
The purpose of this study is to determine: (1) How does an understanding
of the concept of operations in the algebra class VII MTsN 2 Field, (2)
how mathematics learning outcomes of students in class VII MTsN 2
Field, (3 ) How is the relationship between the understanding of the
concept of operations with the algebra mathematics learning outcomes of
students in class VII MTsN 2 Field. This research is a quantitative method
decryption. The population in this study were student / I class VII MTsN 2
Field. The population in this research were 360 students / class VII I
MTsN 2 Field, while the sample in this study taking 20% of the total
student population that is 78 people. Instruments of data collection in this
research is a test. Based on these results, obtained both variables were
normally distributed research. For an understanding of the concept of form
algebraic variables (X) obtained x2hitung = -252.11 and students'
mathematics learning outcome variable (Y) obtained x2hitung = -13625.02,
while x2
tabel the significant level α = 5% is equal to 11.070. So for both
variables were obtained count x2 > x
2 table and this means that the two
variables are normally distributed research. In this study correlation
coefficient rxy = 0.974, t = 37.48 while. T value table (dk 76: α = 0.05) is
equal to 1.995 to obtain t = 37.48> t table = 1.995. While the coefficient
determinant of I = 0.94 or 94%, which means the amount of the
contribution of independent variables to the dependent variable Y X is
94%, while 6% are determined by other factors. So the conclusions of this
research are: there is a relationship between the understanding of the
concept of the algebra of the learning outcomes math class VII MTsN 2
Medan.
Keywords: Understanding Concepts and Student Results
A. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pelajaran
dan pelatihan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 263).
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
104
perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara.
Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut
mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia. Hal ini
berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota
masyarakat dan kepada peserta didiknya.
Dari kedua tujuan pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses
pendidikan yang ideal adalah proses pendidikan yang dikemas dengan
memperhatikan adanya sebagai aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Apabila proses pendidikan dapat dilaksanakan dengan
memperhatikan adanya keseimbangan ketiga aspek tersebut, maka pendidikan
akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat.
Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang paling penting
dalam pengembangan proses pendidikan. Ilmu-ilmu pengetahuan lainnya tidak
akan berjalan dengan sempurna, karena matematika dapat mengembangkan
dirinya mencapai keberhasilan. Namun pada kenyataannya, masalah yang sering
muncul adalah kemampuan siswa dalam pemahaman konsep matematika masih
rendah. Siswa beranggapan bahwa matematika hanyalah kumpulan angka-angka
yang sulit dipahami. Selain rendahnya hasil belajar matematika dan perhatian
siswa pada pelajaran matematika juga dapat menghambat siswa untuk memahami
materi yang mereka pelajari.
Dalam belajar bentuk aljabar khususnya operasi bentuk aljabar, kesulitan
yang sering dialami siswa dan cenderung membuat siswa merasa bosan, bisa jadi
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : metode mengajar yang kurang tepat,
suasana belajar yang menantang untuk membangun imajinasi anak, dan guru
kurang memotivasi kemampuan abstraksi anak. Karena hal tersebut, nilai
matematika siswa dari tahun ke tahun selalu rendah jika dibandingkan dengan
pelajaran yang lain seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan
Agama.
Belajar juga mendapatkan suatu proses internal dan kondisi lingkungan
luar yang essensial bagi berbagai macam hasil belajar dan keterampilan, terutama
belajar matematika. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar matematika adalah
faktor yang mempengaruhi belajar kognitif disamping pengetahuan umum,
kemampuan penalaran deduktif dan kemampuan keterampilan.
Berdasarkan penyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur mental
itu bukan hanya menerima informasi baru. Asimilasi dan Akomodasi merupakan
dua aspek yang sama dari proses yang sama. Kedua aspek itu adalah dua aspek
dari aktifitas intelektual yang dasarnya adalah suatu proses yang melibatkan
interaksi antara pikiran dan kenyataan serta kemampuan-kemampuan siswa dari
hasil pelajaran, ada 3 tujuan pendidikan yang mendasar, yaitu 1) Tujuan kognitif
berkenaan dengan tingkah laku dari perubahan berbagai proses mental, 2) Tujuan
efektif berkenaan dengan perubahan tingkah laku dalam sikap, dan 3) Tujuan
psikomotorik berkenaan dengan kemampuan memanipulasi secara fisik.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, penelitian
mengidentifikasi berbagai masalah sebagai berikut : Hasil belajar matematika
siswa masih rendah, kemampuan siswa dalam penguasaan konsep matematika
masih rendah, metode yang digunakan guru dalam mengajar tidak bervariasi,
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
105
siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit, kurangnya
motivasi guru kepada siswa.
Sehubungan dengan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana pemahaman
konsep bentuk Persegi Panjang di kelas VII MTsN 2 Medan, Bagaimana hasil
belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan, Bagaimana hubungannya
antara pemahaman konsep bentuk persegi panjang dengan hasil belajar
matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui
pemahaman konsep bentuk persegi panjang di kelas VII MTsN 2 Medan. Untuk
mengetahui hasil belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan. Untuk
mengetahui hubungannya antara pemahaman konsep bentuk persegi panjang
dengan hasil belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
Manfaat Teoritis : Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberikan
masukan pengetahuan tentang pemahaman konsep bentuk aljabar dan kaitannya
dengan hasil belajar matematika pada siswa.
Manfaat Paktis : Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah terutama
VII MTsN 2 Medan untuk bisa mengingatkan hasil belajar siswa, Sebagai bahan
masukan bagi guru dan orang tua dalam memberikan motivasi yang maksimal
tentang belajar matematika, Sebagai bahan masukan bagi siswa yang mengalami
kesulitan belajar khususnya belajar matematika, Sebagai bahan masukan bagi
penelitian dan pembaca dalam mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan
dalam bidang pendidikan.
B. LANDASAN TEORITIS
1. Pengertian Pemahaman Konsep
Pemahaman menurut Kamus Besar Indonesia (2001: 811) berarti “Proses,
Perbuatan, Cara memahami atau memahamkan”. Sudjono (2003 : 50) menyatakan
bahwa “Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan di ingat.
Dengan kata lain memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat
melihatnya dari berbagai segi”. Sedangkan menurut Amalia (2008: 20)
mengatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan
yang mengharapkan siswa mampu memahami arti dalam konsep, situasi serta
fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini tes tidak hanya menghafal secara
verbalitas, tapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang dinyatakan.
Pemahaman adalah mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan
arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam
menguraian isi pokok dari suatu bacaan, mengubah data yang disajikan dalam
bentuk tertentu ke bentuk lain seperti rumus matematika ke dalam bentuk kata-
kata, membuat perkiraan tentang kecenderungan yang nampak dalam data tertentu
seperti dalam grafik (Winkel, 2004: 274). Pemahaman yaitu taraf ini mencakup
bentuk pengertian yang paling rendah, taraf ini berlangsung dengan sejenis
pemahaman yang menunjukkan bahwa siswa mengetahui apa yang sedang
dikomunikasikan dan dapat digunakan bahan pengetahuan atau ide tertentu tanpa
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
106
perlu menghubungkannya dengan bahan lain tanpa perlu melihat seluruh
implikasinya (Popham & Baker, 2003: 29).
Sudjana (2005: 24) mengatakan bahwa pemahaman dapat dibedakan ke
dalam tiga kategori yaitu :
a) Tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan
dalam arti sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengartikan Merah putih,
menerapkan prinsip-prinsip listrik dalam memasang sakelar.
b) Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan
bagian-bagian terdahulu yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan
beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok
yang bukan pokok. Menghubungkan pengetahuan tentang konjungsi kata
kerja, subjek dan possesive pronoun sehingga menyusun kalimat “My
friend is studying”, bukan My friend studying”, merupakan contoh
pemahaman penafsiran.
c) Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah pemahaman
ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang mampu melihat di
balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat
memperluas presepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun
masalahnya.
Pemahaman adalah suatu dasar bagi segala tindakan seseorang. Ia
memberikan kontribusi yang besar bagi sukses tidaknya seseorang lebih jauh,
pemahaman menjadikan seseorang saling mengerti, dan lebih lanjut lagi saling
menghargai. Pemahaman sekaligus mencegah timbulnya saling curiga dan lebih
jauh lagi mencegah timbulnya saling bentrokan (Imron, 1996: 26).
Agar pemahaman akan konsep-konsep matematika dapat dipahami oleh
anak-anak lebih mendasar harus diadakan pendekatan belajar dalam mengajar,
antara lain :
a) Anak/peserta didik yang belajar matematika harus menggunakan benda-
benda kongkrit dan membuat abstraksinya dari konsep-konsepnya.
b) Materi atau pelajaran yang akan diajarkan harus ada hubungannya atau
pengaitan dengan yang sudah dipelajari.
c) Supaya anak/peserta didik memperoleh sesuatu dari belajar matematika
harus mengubah suasana abstrak dengan menggunakan simbol.
d) Matematika adalah ilmu seni kreatif karena itu baru dipelajari dan
diajarkan sebagai ilmu seni.
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah proses
sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingatnya, abstraksi dalam situasi yang
khusus atau kongkret berbentuk prosedur, gagasan umum atau metodologi yang
digeneralisasikan, ide-ide, prinsip teknis atau teori-teori yang harus diingat dan
diterapkan. Juga bisa dikatakan pemahaman adalah tingkat kemampuan siswa
memahami arti, konsep, situasi serta fakta yang diketahui, siswa tidak hanya hafal
secara verbalitas, tapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang dinyatakan,
menyerap arti bahan materi yang dipelajari sehingga dapat mengingat kembali dan
menginterprestasikan.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
107
2. Pengertian Bentuk Aljabar
Aljabar berasal dari bahasa arab “al-jabar” yang berarti “Pertemuan”,
“Hubungan” adalah cabang matematika yang dapat dicirikan sebagai generalisasi
dari bidang Aritmatika. Aljabar juga merupakan nama sebuah struktur aljabar
abstrak, yaitu aljabar dalam sebuah bidang.
Huruf-huruf dalam aljabar digunakan sebagai pengganti angka. Bentuk
aljabar sering melibatkan angka (disebut Konstanta), huruf (disebut Peubah atau
Variabel), dan operasi hitung. Hal ini penting untuk kita ketahui dan mengerti
agar penulisan singkat dalam aljabar dapat kita gunakan untuk menyelesaikan
masalah sehingga lebih mudah dipahami.
3. Pengertian Hasil Belajar Matematika
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang
dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat nanti
(Sardiman, 1999: 1). Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dan interaksi lingkungannya
(Slameto, 2002: 49). Perubahan tingkah laku tersebut menyembut perubahan yang
bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan perubahan yang
menyangkut nilai dan sikap (afektif). Belajar juga berarti perbaikan dalam tingkah
laku dan kecakapan-kecakapan (manusia) atau memperoleh kecakapan-kecakapan
tingkah laku yang baru.
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui
kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang
berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap
(Abdurrahman, 1999: 37). Anak yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-tujuan intruksional.
4. Hasil Belajar Matematika Pada Bentuk Aljabar
Hasil belajar matematika adalah dapat membuat seorang anak berhasil
dalam belajar yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-
tujuan interaksional. Hasil belajar yang ditunjukkan oleh siswa dapat
menunjukkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar yang
dialami oleh siswa biasanya nampak dari kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan
oleh siswa ketika proses belajar. Contohnya pada mengerjakan soal-soal latihan
yang ada pada buku matematika kelas VII yaitu mengenai operasi bentuk aljabar.
Kajian standar isi pada pelajaran semester ganjil dan semester genap di
MTs yaitu :
a) Bilangan
- Memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan penggunaannya
dalam pemecahan masalah.
b) Aljabar
- Memahami bentuk aljabar, persamaaan dan pertidaksamaan linier satu
variabel.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
108
- Menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linier
satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan masalah.
- Menggunakan konsep himpunan dan diagram Venn dalam pemecahan
masalah.
c) Geometri
- Memahami hubungan garis dengan garis, garis dengan sudut, sudut
dengan sudut, serta menentukan ukurannya.
- Memahami konsep segi empat dan segitiga serta menentukan
ukurannya.
5. Materi Pokok Bahasan Bentuk Aljabar
a) Pengertian Faktor Perkalian
Pada pembahasan tentang faktor bilangan cacah dinyatakan bahwa 14 = 2
x 7, maka 2 dan 7 disebut faktor dari 14. Pengertian ini akan kita pakai sebagai
dasar untuk membahas faktor perkalian dari suatu bentuk aljabar. Bentuk aljabar
,33 axa maka a3 memiliki faktor-faktor, yaitu 3 dan a . Faktor 3 disebut
faktor angka atau faktor numerik. Faktor ini sering disebut juga koefisien dari a .
Faktor a disebut faktor huruf atau faktor alfabetik. Agar lebih mengerti,
perhatikan contoh-contoh berikut .
3 faktor
numerik
qxpxpxqp 33 2 p2 faktor huruf
q faktor huruf
Jadi, faktor dari 3p2q adalah 3, p
2, dan q. Pada p
2, bilangan 2 disebut
pangkat atau eksponen.
2 faktor
numerik
3c) (b x x 2 3c 2 aba a faktor
huruf
(b + 3c) faktor
aljabar
Jadi, faktor 3c). (bdan , 2,adalah 3c) (b 2 aa
b) Pengertian Suku dan Suku Sejenis
Perhatikan bentuk-bentuk aljabar .8663 2 pdanaa Dalam hal ini
adana 63 2 disebut suku-suku dari 8663 2 danpdanaa disebut suku-suku
dari .86 p Suku-suku dalam bentuk bentuk aljabar 6x – 7y – 3z misalnya, dapat
diubah ke bentuk 6x + (-7y) + 3z. Dengan demikian, suku-suku dari 6x + (-7y) +
3z adalah 6x, -7y, dan 3z.
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
109
Sekarang perhatikan bentuk-bentuk aljabar aa 4,3 + 7b, dan 3p – 2q – r.
bentuk-bentuk tersebut terturut-turut disebut suku tunggal, suku dua, dan suku
tiga. Pemberian nama ini bersesuaian dengan banyak suku bentuk-bentuk aljabar
tersebut. Bentuk aljabar xax 634 mempunyai suku-suku 4x, 3 a , dan 6x.
Suku-suku 4x dan 6x memuat variabel yang sama, yaitu x. Suku-suku tersebut
diberikan nama suku-suku sejenis, sedangkan 4x dan 3 a disebut suku-suku
tidak sejenis.
c) Pengertian Koefisien dan Konstanta
Perhatikan bentuk aljabar 87563 234 aaaa . Bilangan-bilangan
3,6,5,7 dan 8 disebut koefisien dari bentuk aljabar. Dalam hal dapat diterangkan
sebagai berikut :
43a mempunyai koefisien 3 a7 mempunyai koefisien 7
36a mempunyai koefisien 6 8 merupakan konstanta
25a mempunyai koefisien 5
6. Faktor yang mempengaruhi Belajar
Secara garis besar faktor yang mempengaruhi hasil belajar terbagi atas
dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah semua faktor
yang timbul dari luar diri anak itu sendiri, baik yang berkenan dengan segi
jasmani anak maupun dengan segi rohani anak. Sedangkan faktor eksternal adalah
faktor yang bersumber dari luar diri anak didik, faktor ini disebut juga dengan
faktor lingkungan.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a) Setelah dikonsultasikan dengan predikat pemahaman konsep bentuk
aljabar siswa diatas maka pemahaman konsep bentuk aljabar siswa di
kelas VII MTsN 2 Medan dapat digolongkan bahwa 3,06% termasuk
dalam katagori sangat kurang baik. Dari sudut ini sebenarnya secara
umum siswa sekolah ini telah mempunyai pemahaman konsep bentuk
aljabar siswa, sehingga mempunyai potensi untuk aktif, ulet, sedia, sabar
dan disiplin mengikuti aktifitas belajar matematika di sekolah. Namun
perlu mendapatkan perhatian, bahwa selain data ditemukan pula jumlah
31,53% tergolong kurang pemahaman atau belum mempunyai
pemahaman untuk belajar.
b) Hasil belajar siswa yang dicapai siswa disekolah ini dapat digolongkan
bahwa siswa yang prestasinya tinggi adalah 26 orang atau 33,33%, cukup
43 orang atau 55,13% kurang 8 orang atau 10,26% dan rendah 1 orang
atau 1,28%. Untuk kategori tinggi yaitu siswa memiliki skor 10-14,
sedangkan untuk kategori cukup yaitu siswa memiliki skor 4 ke bawah.
c) Ditemukan adanya hubungan yang positif antara pemahaman konsep
belajar dan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII MTsN 2
Medan. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan yang diperoleh, yaitu nilai
AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450
110
thitung = 37,48, sedangkan nilai ttabel pada taraf signifikan α = 0,05
dengan derajat kebebasan = n-2 = 78-2 76, ttabel = 1,990. Sehingga
diperoleh thitung = 37,48 > ttabel = 1,990. Demikian Ho ditolak dan Ha
diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pemahaman konsep bentuk aljabar dengan hasil belajar matematika
siswa.
2. Saran
a) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan
menggunakan pemahaman konsep bentuk aljabar dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Bagi guru yang meningkatkan hasil belajar siswa,
diharapkan agar menggunakan pemahaman konsep bentuk aljabar dalam
pembelajaran dan hasil belajar ini dapat dijadikan sebagai acuan.
b) Dalam penerapan pembelajaran dengan menggunakan konsep bentuk
aljabar yang lebih efektif, disarankan kepada guru agar mengembangkan
parangkat-perangkat pembelajaran, antara : Buku pendukung materi
pembelajaran, buku tentang pemahaman, silabus, RPP, dan lain-lain.
c) Pengalaman praktis selama merancang dan melaksakan penelitian ini
diharapkan dapat memotivasi guru untuk memperluas penggunaan
pemahaman kosnsep bentuk aljabar pada pada materi-materi lain secara
mandiri dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Imron, Belajar & Pembelajaran, Jakarta : Pustaka Jaya, 1996.
Irma Fitria Amalia, Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Think-Pair-Share
Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa, Bandung: Skripsi
Pada FPMIPA UPI, 2008.
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta:
Rineka Cipta, 1999.
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001, Edisi Ketiga.
Sardiman, Media Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
W. James Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
PETUNJUK PENGIRIMAN NASKAH
JURNAL AXIOM PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UIN SUMATERA UTARA
KETENTUAN:
� Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah
dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain;
� Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil
penelitian, atau pemikiran tokoh, yang berkenaan dengan pendidikan
dan Matematika;
� Naskah dapat berbahasa Arab, Indonesia atau Inggris;
� Naskah yang dikirim diketik 1,5 spasi, Font: Times New Roman,
dengan panjang sekitar 12 – 18 halaman;
� Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah
dan menggunakan catatan dalam (body note) serta daftar pustaka;
� Naskah yang dikirim harus berupa hard copy dan soft copy dan
dilengkapi dengan biodata singkat penulis.
� Naskah dalam bentuk hard copy dapat dikirim ke alamat Tim Redaksi,
sementara naskah dalam bentuk soft copy dapat dikirim ke alamat e-
mail: [email protected]
FORMAT TULISAN:
� Judul;
� Nama Penulis (tanpa gelar akademik) afiliasi penulis berikut e-mail;
� Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris.
Maksimal abstrak 80-100 kata;
� Kata-kata Kunci, antara 5 – 7 konsep;
� Pendahuluan;
� Pembahasan (sub – sub judul);
� Penutup;
� Daftar Pustaka ;
� Riwayat Singkat Penulis;
Dibelakang
cover
belakang