vol. vi no.1 januari-juni 2017 - pmm.uinsu.ac.id axiom utuh volume vi...pair share (tps) di smp...

115
Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI dan Pembelajaran PBI di Kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah Medan TP. 2016/2017 Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran 2016/2017 Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A 2016/2017 Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang Kelas VII-2 MTSN Binjai T. A. 2016/2017 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR) Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (Tps) di SMP Negeri 24 Medan Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen- Create (FSLC) Efektivitas Soal-Soal Matematika Tipe Pisa Menggunakan Konteks Budaya Sumatera Utara Untuk Mendeskripsikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematis Siswa Smp Kota Medan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Negeri 28 Medan Melalui Pembelajaran Inkuiri dengan Strategi REACT Pemahaman Konsep Bentuk Aljabar dan Kaitannya dengan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VII MTSN 2 Medan Jurnal AXIOM VOL VI No.1 Januari-Juni 2017 Hal. 1-110 P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450 Vol. VI No.1 Januari-Juni 2017 Vol. VI No.1 Januari-Juni 2017

Upload: others

Post on 15-Feb-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe TAI dan Pembelajaran PBI di Kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah Medan TP. 2016/2017

Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan

Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran 2016/2017

Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam

Deli Tua T.A 2016/2017

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi

Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang Kelas VII-2 MTSN Binjai T. A. 2016/2017

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR)

Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think

Pair Share (Tps) di SMP Negeri 24 Medan

Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-

Create (FSLC)

Efektivitas Soal-Soal Matematika Tipe Pisa Menggunakan Konteks Budaya Sumatera Utara Untuk Mendeskripsikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematis Siswa Smp Kota Medan

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Negeri 28 Medan Melalui Pembelajaran

Inkuiri dengan Strategi REACT

Pemahaman Konsep Bentuk Aljabar dan Kaitannya dengan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VII MTSN 2 Medan

VOL VI Jurnal AXIOM

VOL VI No.1 Januari-Juni 2017

Hal. 1-110

P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450

Vo

l. VI N

o.1

Jan

ua

ri-Jun

i 20

17

Vol. VI No.1 Januari-Juni 2017

Jurnal Pendidikan dan Matematika

P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450

Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017

Penanggung Jawab Umum : Dr. H. Amiruddin Siahaan, M.Pd

Redaktur : Dr. Indra Jaya, M.Pd.

Penyunting Pelaksana : 1. Dr. Mara Samin Lubis, M.Ed

2. Fibri Rakhmawati, S.Si., M.Si.

3. Drs. Isran Rasyid Karo Karo, M.Pd

4. Drs. Asrul, M.Si.

Penyunting Ahli : 1. Dr. A. A. Sujatmika, M.Si.

2. Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd.

3. Prof. Dr. H. Dja'far Siddik, MA.

4. Prof. Dr. Hasan Ansari, MA.

5. Prof. Dr. Abdul Mukti, MA.

Sekretariat : 1. Siti Maysarah, M.Pd.

2. Ella Andhany Lubis, M.Pd.

3. Eka Khairani Hasibuan, M.Pd.

4. Lia Khairia Harahap, S.Pd.I.

5. Emigawati, SE

Diterbitkan Oleh:

Jurusan Pendidikan Matematika (PMM)

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sumatera Utara

Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate – Kota Medan 20371

Telp. 061-6622925 – Fax. 061-6615685

e-mail : [email protected] website: pmm.uinsu.ac.id

Jurnal Pendidikan dan Matematika

P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450

Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017

DAFTAR ISI

Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI dan Pembelajaran PBI di Kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah Medan TP. 2016/2017

Minda Ubamanora Siregar dan Indra Jaya ...................................... 1

Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran 2016/2017

Asma dan Mara Samin Lubis ........................................................... 14

Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A 2016/2017

Nisa Cahya Pertiwi Lubis dan Fibri Rakhmawati...................... 26 Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi Bangun

Datar Persegi dan Persegi Panjang Kelas VII-2 MTSN Binjai T. A.

2016/2017

Agus Tianto dan Asnil Aidah Ritonga ........................................... 36 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

Melalui Pendekatan Matematika Realistik (PMR)

Oktaviana Nirmala Purba ................................................................ 47 Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi

Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair

Share (Tps) di SMP Negeri 24 Medan

Siti Zahara H. Harahap ...................................................................... 59

Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP

Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-

Create (FSLC)

Reflina ..................................................................................................... 68

Jurnal Pendidikan dan Matematika

P-ISSN: 2087-8249 E-ISSN: 2580-0450

Vol. VI No.1 Januari - Juni 2017

Efektivitas Soal-Soal Matematika Tipe Pisa Menggunakan Konteks Budaya Sumatera Utara Untuk Mendeskripsikan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematis Siswa Smp Kota Medan

Hafni Hasanah ...................................................................................... 78 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Siswa SMP Negeri 28 Medan Melalui Pembelajaran Inkuiri dengan Strategi REACT

Sehat Matua Ritonga .......................................................................... 90

Pemahaman Konsep Bentuk Aljabar dan Kaitannya dengan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VII MTSN 2 Medan

Lailatun Nur Kamalia Siregar ......................................................... 103

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

1

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

SISWA YANG DIAJAR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI DAN PEMBELAJARAN PBI

DI KELAS VIII MTS UMN AL-WASLIYAH MEDAN TP. 2016/2017

Oleh:

Minda Ubamanora Siregar*, Indra Jaya**

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika UIN-SU Medan

** Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

Email: *[email protected], **[email protected]

Abstract:

The purpose of this study were: 1) To determine the ability of problem

solving mathematics students are taught by cooperative learning type TAI

in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 / 2017. 2) To find

out the ability of problem solving of mathematics of students taught by

PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /

2017. 3) To know the difference of problem solving ability of student

mathematics taught by using cooperative learning model of TAI type and

PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /

2017. This research is quantitative research with quasi experiment research

type. The population is all students of class VIII MTs UMN Al-Washliyah

Medan TP.2016 / 2017, which amounts to 132 students from 4 classes.

While the samples are 2 classes of class VIII-A amounted to 30 students

and class VIII-B amounted to 31. Techniques of data collection conducted

by observation, tests and documentation. The test instrument used to

determine students' mathematical problem solving skills is essay test in the

form of post-test. Data analysis was performed by normality test,

homogeneity test and hypothesis test using variance analysis (ANAVA).

The results of this finding indicate: 1) The ability of problem solving of

students mathematics taught by using cooperative learning model type

TAI very good. 2) Math problem solving skills of students who are taught

using good PBI learning. 3) Students' mathematical problem solving

ability on circle material is better if taught with cooperative learning model

of TAI type rather than PBI learning in class VIII MTs UMN Al-

Washliyah Medan TP.2016 / 2017. The conclusion of this research

explains that the problem solving ability of students mathematics which is

taught with cooperative learning model of TAI type better than that taught

by PBI learning in class VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP.2016 /

12017.

Keywords:

Problem solving skill, Cooperative learning TAI, Learning PBI.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

2

A. PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam mengembangkan manusia

yang berkualitas. Pendidikan senantiasa berkenaan dengan manusia, dengan

pengertian sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dasar manusia

seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitasnya.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Darmadi,

2014:2).

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan

beberapa tujuan pembelajaran matematika di sekolah, antara lain: (1)

Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan

penemuan. (2) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. (3) Memiliki

sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet

dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan

bagian terpenting dari proses yang terjadi dalam diri pelajar dan memecahkan

masalah merupakan proses dalam menerima tantangan untuk menjawab masalah.

Untuk dapat memecahkan masalah, siswa harus mengetahui langkah apa yang di

gunakan oleh guru untuk menyelesaiannya. Demikian pula untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah perlu di kembangkan keterampilan memahami

masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan

solusinya.

Strategi pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk

mengembangkan kemampuan tersebut adalah pembelajaran kooperatif tipe Team

Assisted Individualization (TAI) dan pembelajaran Problem Based Instruction

(PBI). Slavin menyatakan bahwa : “Matematika TAI di prakarsai sebagai usaha

merancang sebuah bentuk pengajaran individual yang bisa menyelesaikan

masalah-masalah” (Narulita,2011:189). Sedangkan pembelajaran PBI menurut

Dewey mengemukakan bahwa suatu pembelajaran yang berfungsi menafsirkan

bantuan secara efektif sehingga masalah yang di hadapi dapat di selidiki, di nilai,

di analisis serta di cari pemecahanya dengan baik.

B. LANDASAN TEORITIS

1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI

Robert Slavin (2014:200) menyatakan bahwa, Team Assisted

Individualization (TAI) merupakan sebuah program pedagogik yang berusaha

mengadaptasikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa secara

akademik. Pengembangan TAI dapat mendukung praktik-praktik ruang kelas,

seperti pengelompokan siswa, pengelompokan kemampuan di dalam kelas,

pengajran terprogram, dan pengajaran berbasis komputer.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

3

2. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Koperatif Tipe TAI

Model pembelajaran koopertif TAI memiliki kekurangan dan kelebihan.

Kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif TAI, Slavin menyatakan

bahwa belajar kooperatif TAI mempunyai kelebihan sebagai berikut :

a) Meningkatkan hasil belajar siswa.

b) Meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa.

c) Mengurangi perilaku yang mengganggu.

d) Program ini dapat membantu siswa yang lemah.

Selain memiliki kelebihan model pembelajaran kooperatif TAI juga

memiliki kekurangan, yaitu :

a) Di butuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan

perangkat pembelajaran.

b) Dengan jumlah siswa yang besar dalam kelas, maka guru akan

mengalami kesulitan dalam memberikan bimbingan kepada siswanya.

3. Pembelajaran PBI

Problem Based Instruction adalah salah satu model pembelajaran yang

berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta didik tersebut

dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan model

pembelajaran ini, peserta didik dari sejak awal sudah dihadapkan pada berbagai

masalah kehidupan yang mungkin akan ditemuinya kelak pada saat mereka sudah

lulus dari bangku sekolah. Ramayulis (2011:32) mengatakan bahwa

“Pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran dimana peserta

didik diharapkan pada suatu kondisi bermasalah”.

4. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran PBI

Model pembelajaran kooperatif PBI memiliki kelebihan, menurut Wina

Sanajaya (2010:57) :

a) Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-

benar diserapnya dengan baik.

b) Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.

c) Dapat memperoleh dari berbagai sumber.

d) Siswa berperan aktif dalam KBM.

e) Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan sebab mereka

sendiri yang menemukan konsep tersebut.

f) Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut

keterampilan berfikir siswa yang lebih tinggi.

g) Pembelajaran lebih bermakna.

h) Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika sebab masalah

yang diselesaikan merupakan masalah sehari-hari.

i) Menjadikan siswa lebih mandiri.

j) Menanamkan sikap sosial yang positif, memberi aspirasi dan menerima

pendapat orang lain.

k) Dapat mengembangkan cara berfikir logis serta berlatih mengemukakan

pendapat.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

4

Sebagaimana yang diketahui bahwa setiap model memilki kelebihan dan

kekurangan. Begitu pula dengan pembelajaran PBI ini. Untuk itu, adapun yang

menjadi kekurangan pembelajaran PBI :

a) Untuk siswa yang malas, tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.

b) Membutuhkan banyak waktu dan dana.

c) Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini.

d) Membutuhkan waktu yang banyak.

e) Tidak setiap materi matematika dapat diajarkan dengan PBI.

f) Membutuhkan fasilitas yang memadai seperti laboratorium, tempat duduk

siswa yang terkondisi untuk belajar kelompok, perangkat pembelajaran,

dll.

g) Menuntut guru membuat perencanaan pembelajaran yang lebih matang.

h) Kurang efektif jika jumlah siswa terlalu banyak, idealnya maksimal 30

siswa perkelas.

5. Materi Lingkaran

a) Menghitung keliling lingkaran dan luas lingkaran

Keliling lingkaran adalah panjang busur/ lengkung pembentuk lingkaran.

Nilai dari ( keliling : diameter ) adalah sama untuk semua lingkaran. Nilai tersebut

tidak akan pasti dan nilainya merupakan nilai pendekatan dan ditulis dengan

lambang 𝜋 (dibaca : pi) (Sukino, 2012:233).

C. METODE PENELITIAN

1. Lokasi, Waktu dan Sampel

Penelitian ini akan dilaksanakan di MTs UMN Al-Wasliyah Medan, yang

beralamat di Jalan Garu II No. 93, Medan Amplas, dan penelitian dilaksanakan

pada semester genap T.A 2016/2017. Dan sistem penarikan sampel yang

digunakan adalah Cluster Random Sampling (sampel berkelompok) artinya setiap

subjek dalam populasi memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel. Teknik

sampling dengan menggunakan cluster random sampling digunakan bilamana

populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok-

kelompok individu atau cluster, dengan catatan anggota berasal dari kelompok-

kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama (homogen) (Syahrum,

2016:116). Kelas yang pertama, yaitu kelas VIII-A akan diajarkan dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TAI dan dijadikan kelas eksperimen 1 dan kelas

yang kedua, yaitu kelas VIII-B yang diajarkan dengan pembelajaran PBI yang

dijadikan kelas eksperimen 2.

2. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam

upaya mencapai tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a) Tahap persiapan awal, mencakup :

1) Memberikan informasi kepada pihak terkait kegiatan penelitian.

2) Menyusun jadwal penelitian disesuaikan dengan jadwal yang ada

di sekolah.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

5

3) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan

menggunakan model kooperatif tipe TAI dan rencana

pembelajaran dengan model pembelajaran PBI.

4) Menyiapkan alat pengumpulan data.

5) Mengurus surat-surat penelitian.

6) Melakukan kerja sama dengan pihak guru dan sekolah.

b) Tahap pelaksanaan

1) Kedua kelas diberikan materi dan waktu yang sama, tetapi dengan

model pembelajran yang tipenya berbeda. Pada kelas eksperimen 1

diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI,

sedangkan pada kelas eksperimen 2 diajarkan dengan model

pembelajran PBI.

2) Memberikan post-tes (O) kepada dua kelas untuk melihat tingkat

penguasan terhadap materi yang diajarkan, kemudian menghitung

nilai-nilai rata-rata masing-masing kelas.

c) Tahap akhir

1) Menghitung perbedaan antara post-tes (eksperimen 1 dan

eksperimen 2) untuk masing-masing kelas.

2) Membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk melihat

perubahan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

3) Melakukan uji hipotesis post-tes (O) dengan menggunakan

statistika tes “t” untuk menguji apakah perbedaan post-tes kdua

kelas signifikan.

4) Membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis.

3. Defenisi Operasional

Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap penggunaan istilah

pada penelitian ini, maka perlu diberikan defenisi operasional pada variabel

penelitian sebagai berikut:

a) Pembelajaran kooperatif tipe TAI (x1) adalah model pembelajaran

dengan mengacu pada lima langkah pokok, yaitu: (1) penyampaian

Tujuan dan Motivasi, (2) pembagian kelompok , (3) presentasi dari guru,

(4) kegiatan belajar dalam kelompok, (5) kuis, (6) penghargaan Prestasi

Tim.

b) Pembelajaran PBI (x2) adalah proses pembelajaran dengan mengacu pada

: (1) Guru menjelaskan secara umum tentang masalah yang di pecahkan,

(2) guru meminta pada siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang tugas

yang akan dilaksanakan, (3) siswa dapat bekerja secara individual atau

kelompok, (4) siswa dapat menemukan permasalahnnya dan bisa pula

tidak, (5) jika pemecahannya tidak ditemukan siswa, hal tersebut di

diskusikan, (6) pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pikiran, (7)

data diusahakan dikumpulkan sebanyak – banyaknya.sehingga dijadikan

fakta, (8) membuat kesimpulan.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

6

c) Kemampuan pemecahan masalah matematika (y) adalah kecakapan atau

potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal

cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika

dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan,

menciptakan atau menguji konjektur yang memiliki empat tahap yaitu :

(1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3)

menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana (4) memeriksa kembali

prosedur dan hasil penyelesaian.

4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data merupakan langkah

paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian

tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk

mendapatkan hasil yang relevan, teknik pengumpulan data yang diinginkan dalam

penelitian ini adalah:

a) Observasi ( Pengamatan )

Observasi adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan

mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.

Observasi digunakan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan

pelaksanaan dan aktifitas siswa selama pembelajran baik did ala maupun

di luar kelas dan dilaksanakan dari awal samai penelitian berakhir.

Pedoman observasi dalam penelitian ini berupa RPP yang digunakan

untuk mengetahui aktifitas siswa selama proses pembelajaran

berlangsung.

b) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang.

Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah

kehidupan, cerita, biografi, peraturan, dan kebijakan. Dokumen yang

berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain

sebagainya. Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk

memperoleh data nama-nama siswa kelas VIII MTs UMN Al-Wasliyah

Medan, serta segala sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan

pembelajaran kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Misalnya, data struktur organisasi sekolah, daftar nilai matematika siswa

kelas VIII dan photo kegiatan saat pembelajaran.

c) Tes

Tes ini adalah untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa. Tes akan menggunakan instrumen yang berupa

lembar soal essay/uraian yang telah disusun berdasarkan aspek-aspek

kemampuan pemecahan masalah matematika.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

7

Instrumen ini digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa dalam menguasai materi Lingkaran pada siswa kelas VIII MTs

UMN Al-Wasliyah Medan. Adapun tes diberikan setelah perlakuan dilakukan,

tujuannya untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Soal

tes kemampuan pemecahan masalah matematika pada penelitian ini berbentuk

uraian, karena dengan tes berbentuk uraian dapat diketahui langkah-langkah yang

di gunakan siswa dalam menjawab soal. Tes kemampuan pemecahan masalah

matematika berupa soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan materi yang

dieksperimenkan. Soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika terdiri

dari empat tahap yaitu : (1) memahami masalah, (2) membuat rencana

penyelesaian, (3) melaksanakan rencana penyelesaian (4) memeriksa kembali atau

mengecek hasilnya. Soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika pada

penelitian ini berbentuk uraian, karena dengan tes berbentuk uraian dapat

diketahui langkah-langkah siswa dalam menyelesaikan masalah.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

1. Hasil dan Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Siswa Kelas Eksperimen 1 (Model Pembelajaran TAI)

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Eksperimen 1 (TAI)

Kelas Interval Kelas Fo Fr

1 44,5 – 51,5 5 16,67%

2 51,5 – 58,5 7 23,33%

3 58,5 – 65,5 5 16,67%

4 65,5 – 72,5 6 20%

5 72,5 – 79,5 5 16,67%

6 79,5 – 86,5 2 6,67%

Jumlah 30 100 %

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi data kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa di atas diketahui bahwa terdapat 5 siswa yang

memperoleh nilai pada rentang nilai 44,5 sampai nilai 51,5. Yaitu 1 siswa

memperoleh nilai 45, 1 siswa memperoleh nilai 48, dan 3 siswa memperoleh nilai

50, kelima siswa ini tidak mencapai nilai ketuntasan minimal dalam tes

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu 52. Siswa yang

memperoleh nilai 45 hanya mampu menjawab pada aspek kognitif tingkat

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan kurang sempurna dalam

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal

tentang mencari luas dan keliling lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui

tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman

karena tidak mampu mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas

atau keliling lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang

ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam mengerjakan

soal tersebut. Siswa yang memperoleh nilai 50 mampu menjawab pada aspek

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

8

kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan

tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan

soal tentang mencari luas lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui tetapi

tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman

karena tidak bisa mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas atau

diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang

ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam mengerjakan

soal tersebut.

Terdapat 7 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 51,5 sampai 58,5.

Ketujuh siswa tersebut memperoleh nilai 58 dan telah mencapai nilai ketuntasan

minimal dalam tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa

yang memperoleh nilai 58 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal

tentang mencari luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui

dan mampu mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu

menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter

lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang ditanya

diameter lingkaran mereka sudah bisa mengerjakan soal tersebut dengan baik.

Selanjutnya, terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 58,5 sampai

65,5. Kelima siswa tersebut memperoleh nilai 65 dan nilai yang diperoleh sudah

melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 60. Siswa yang memperoleh nilai 65

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan

pengertian lingkaran dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta

mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai

dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek kognitif

tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari

bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal

tersebut dengan baik.

Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 65,5 sampai 72,5.

Keenam siswa tersebut memperoleh nilai 70 yang berada pada kategori

berkemampuan tinggi dan mereka telah mencapai nilai ketuntasan minimal dalam

tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa yang memperoleh

nilai 70 mempunyai deskripsi yang berbeda-beda. Beberapa siswa mampu

menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu dalam menuliskan

pengertian lingkaran dan juga kurang dalam mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran

dan siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran

sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek

kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang

dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal

tersebut dengan baik. Dan juga sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif

tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam

kehidupan sehari-hari.

Terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 72,5 sampai 79,5.

Siswa tersebut memperoleh nilai 75 yang berada pada kategori berkemampuan

tinggi dan nilai mereka telah melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 60. Siswa

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

9

yang memperoleh nilai 75 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan

soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu

menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter

lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga

sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu

menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.

Terdapat 2 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 79,5 sampai 86,5.

Yaitu 1 siswa yang memperoleh nilai 80 dan 1 siswa yang memperoleh nilai 83,

kedua siswa tersebut berada pada kategori berkemampuan tinggi dan nilai yang

diperoleh telah melebihi nilai ketuntasan minimal dalam tes hasil belajar

matematika yaitu 60. Siswa yang memperoleh nilai 80 dan 83 mampu menjawab

soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian

lingkaran dan dengan tepat dalam mengidentifikasi sifat-sifat yang dimiliki

lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter

lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada

aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal

yang dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam

mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga mampu menjawab soal pada

aspek kognitif tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter

lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.

2. Hasil dan Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Siswa Kelas Eksperimen (Pembelajaran PBI)

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Kelas Eksperimen 2 (PBI)

Kelas Interval Kelas Fo Fr

1 29,5 – 38,5 5 16, 67%

2 38,5 – 47,5 6 20%

3 47,5 – 56,5 7 23,33%

4 56,5 – 65,5 5 16, 67%

5 65,5 – 74,5 6 20%

6 74,5 – 83,5 1 3,33%

Jumlah 30 100%

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi data kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa di atas diketahui bahwa terdapat 5 siswa yang

memperoleh nilai pada rentang nilai 29,5 sampai nilai 38,5. Yaitu 1 siswa

memperoleh nilai 30, 1 siswa memperoleh nilai 31, dan 3 siswa memperoleh nilai

33, kelima siswa ini tidak mencapai nilai ketuntasan minimal dalam tes

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu 40. Siswa yang

memperoleh nilai 30 hanya mampu menjawab pada aspek kognitif tingkat

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

10

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan kurang sempurna dalam

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal

tentang mencari luas dan keliling lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui

tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman

karena tidak mampu mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari bukan luas

atau diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan

yang ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan dalam

mengerjakan soal tersebut. Siswa yang memperoleh nilai 33 mampu menjawab

pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran

dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam

menyelesaikan soal tentang mencari luas lingkaran sesuai dengan rumus yang

diketahui tetapi tetapi belum mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat

pemahaman karena tidak bisa mengerjakan soal jika di dalam soal yang di cari

bukan luas atau diameter lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas

lingkaran dan yang ditanya diameter lingkaran mereka masih sedikit kesulitan

dalam mengerjakan soal tersebut.

Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 38,5 sampai 47,5.

Keenam siswa tersebut memperoleh nilai 46 dan telah mencapai nilai ketuntasan

minimal dalam tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa

yang memperoleh nilai 46 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta mampu dalam menyelesaikan soal

tentang mencari luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui

dan mampu mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu

menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter

lingkaran, contohnya apabila yang diketahui luas lingkaran dan yang ditanya

diameter lingkaran mereka sudah bisa mengerjakan soal tersebut dengan baik.

Selanjutnya, terdapat 7 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 47,5 sampai

56,5. Ketujuh siswa tersebut memperoleh nilai 54 dan nilai yang diperoleh sudah

melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 40. Siswa yang memperoleh nilai 54

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu menuliskan

pengertian lingkaran dan dengan tepat mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta

mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai

dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek kognitif

tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari

bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal

tersebut dengan baik.

Terdapat 5 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 56,5 sampai 65,5.

Kelima siswa tersebut memperoleh nilai 64 yang berada pada kategori

berkemampuan tinggi dan mereka telah mencapai nilai ketuntasan minimal dalam

tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa yang memperoleh

nilai 40 mempunyai deskripsi yang berbeda-beda. Beberapa siswa mampu

menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu dalam menuliskan

pengertian lingkaran dan juga kurang dalam mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran

dan siswa mampu dalam menyelesaikan soal tentang luas dan diameter lingkaran

sesuai dengan rumus yang diketahui dan mampu menjawab soal pada aspek

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

11

kognitif tingkat pemahaman yaitu menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang

dicari bukan luas atau diameter lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal

tersebut dengan baik. Dan juga sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif

tingkat penerapan yaitu menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam

kehidupan sehari-hari.

Terdapat 6 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 65,5 sampai 74,5.

Siswa tersebut memperoleh nilai 70 yang berada pada kategori berkemampuan

tinggi dan nilai mereka telah melebihi nilai ketuntasan minimal yaitu 40. Siswa

yang memperoleh nilai 70 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat

pengetahuan yaitu menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam

mengidentifikasi sifat-sifat lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan

soal tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu

menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter

lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga

sudah mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu

menerapkan rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.

Terdapat 1 siswa yang memperoleh nilai antara rentang 74,5 sampai 83,5.

Yaitu 1 siswa yang memperoleh nilai 78, siswa tersebut berada pada kategori

berkemampuan tinggi dan nilai yang diperoleh telah melebihi nilai ketuntasan

minimal dalam tes hasil belajar matematika yaitu 40. Siswa yang memperoleh

nilai 78 mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pengetahuan yaitu

menuliskan pengertian lingkaran dan dengan tepat dalam mengidentifikasi sifat-

sifat yang dimiliki lingkaran serta siswa mampu dalam menyelesaikan soal

tentang luas dan diameter lingkaran sesuai dengan rumus yang diketahui dan

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat pemahaman yaitu

menyelesaikan soal apabila di dalam soal yang dicari bukan luas atau diameter

lingkaran mereka mampu dalam mengerjakan soal tersebut dengan baik. Dan juga

mampu menjawab soal pada aspek kognitif tingkat penerapan yaitu menerapkan

rumus luas dan diameter lingkaran dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan di MTs UMN Al-Washilyah Medan ini

melibatkan dua kelas yaitu kelas VIII-A (eksperimen 1) dan kelas VIII-B

(eksperimen 2). Tiap kelas siswa diberikan pembelajaran yang berbeda pada

materi lingkaran.Setelah diberi perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen 1

dan kleas eksperimen 2, pada akhir pertemuan setelah materi selesai diajarkan,

siswa diberikan post-test untuk mengetahui hasil kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa. Adapun nilai rata-rata post-test pada kelas eksperimen 1 adalah

62,800 sedangkan pada kelas eksperimen 2 adalah 52,700. Dari pengujian yang

dilakukan melalui post-test yang diberikan, diperoleh bahwa kedua kelas memiliki

varians yang sama atau homogen.

Berdasarkan rata-rata nilai post-test kedua kelas, terlihat bahwa rata-rata

nilai post-test kelas eksperimen 1 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nilai

eksperimen 2 dengan menggunakan uji untuk membuktikan apakah ada signifikan

dan variansi kemampuan pemecahan masalah, sedangkan untuk melihat

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

12

perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa digunakan uji

ANAVA Satu Jalur untuk membuktikan hipotesis alternatif yang diajukan teruji

kebenarannya secara statistik.

Hasil pengujian diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 10,506 > 4,007 pada taraf

𝛼 = 0,05 yang berarti “Ada signifikan dan variasi terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa yang dilakukan peneliti”. Selanjutnya

untuk melihat perbedaan model pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa digunakan uji ANAVA Satu Jalur sehingga diperoleh

Fhitung = 10,506 dan Ftabel = 4.007 berarti Fhitung > Ftabel atau 10,506 > 4,007

maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti hipotesis alternatifyang menyatakan

bahwa “Ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang

diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan

pembelajaran PBI di kelas VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017”.

Hal ini dapat dilihat bahwa siswa di kelas eksperimen 1 yang diajrkan

dengan model pembelajran kooperatif tipe TAI lebih baik. Ini terjadi karena

adanya tanggung jawab dari masing-masing individu siswa untuk mengusai

materi denga dibagi topikmini setiap individu di dalam kelompoknya agar para

siswa bisa memecahkan soal secara pribadi maupun kelompok dan juga dapat

dilihat dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selain itu karena

adanya penghargaan yang diberikan guru kepada kelompok yang memiliki nilai

tertinggi sehingga siswa semakin terpacu untuk belajar.

Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang diajarkan dengan pembelajran

PBI tidak semua siswa mampu mengusai materi pelajran dengan baik dan

sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu siswa secara individu dalam

memecahan masalah matematika siswa. Selain itu hanya sebagian siswa yang

mampu memecahkan masalah matematika yang diberikan guru. Sehingga tidak

semua terlibat aktif dalam pembelajran.

Berkaitan dengan hal ini sebagai calon guru dan seorang guru sudah

sepantasnya dapat memilih dan menggunakan model pembelajran dalam proses

belajar mengajar di sekolah. Selain itu pemilihan model pembelajaran yang tepat

tersebut merupakan salah satu kunci berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran

yang dijalankan seperti pada penelitian ini di dalam materi lingkaran. Dinyatakan

di dalam penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa dalam materi lingkaran di kelas VIII kita dapat menggunakan

model pembelajran kooperatif tipe TAI. Dalam pembelajran PBI siswa

berkesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, yaitu untuk

meningkatkan pemahaman mereka sendiri yang dibagi dalam kelompoknya dan

selanjutnya siswa bisa saling berbagi pemahaman baru mereka kereka kepada

teman-teman sekelasnya.

E. KESIMPULAN dan SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, serta permasalahan

yang telah dirumuskan, peneliti membuat kesimpulan sebagai berikut :

a) Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih baik

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

13

dibandingkan dengan pembelajaran PBI pada materi lingkaran di kelas

VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017.

b) Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan

menggunakan pembelajaran PBI tidak lebih baik dibandingkan dengan

model pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi lingkaran di kelas

VIII MTs UMN Al-Washliyah Medan TP. 2016/2017.

c) Terdapat perbedaan antara kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif

tipe TAI dengan pembelajaran PBI di kelas VIII MTs UMN Al-

Washliyah Medan TP. 2016/2017. Dimana, kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran

kooperatif tipe TAI lebih baik daripada siswa yang diajar dengan

pembelajaran PBI pada materi lingkaran di kelas VIII MTs UMN Al-

Washliyah Medan TP. 2016/2017.

2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan

saran-saran sebagai berikut:

a) Sebaiknya pada saat pembelajaran berlangsung, guru berusaha untuk

mengeksplorasi pengetahuan yang dimiliki siswa seperti dengan

menggunakan LAS (Lembar Aktifitas Siswa) dan media yang

mendukung pembelajaran sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam

proses pembelajaran.

b) Bagi siswa hendaknya mengerjakan berbagai soal-soal dari yang paling

sederhana sampai yang paling kompleks dan bervariasi. Perhatikan

dengan baik pada saat guru sedang mengajar. Tentukan cara belajar yang

baik dan efisien, dan hendaknya siswa dapat berperan aktif delam

kegiatan belajar mengajar agar proses belajar dapat berjalan dengan baik.

c) Bagi peneliti selanjutnya, peneliti dapat melakukan penelitian pada

materi yang lain agar dapat dijadikan sebagai studi perbandingan dalam

meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Hamid. 2014. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial. Bandung :

Alfabeta

Narulita. 2011. Cooperative Learning. Jakarta: Nusa Media.

Ramayulis. 2011. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Aceh : Media Persada.

Sanjaya. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta : Prenada Media Grup.

Sukino & Wilson Simangunsong. 2012. Matematika untuk SMP Kelas VIII.

Jakarta : Erlangga.

Syahrum dan Salim. 2016 Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung:

Citapustaka Media.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

14

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP

SISWA KELAS VIII MTS. AL-ILHAMIYAH SIDOMULYO

MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS

EDUCATION (RME)

PADA SUB MATERI POKOK KUBUS DAN BALOK

TAHUN AJARAN 2016/2017

Oleh:

Asma*, Mara Samin Lubis**

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

**Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

Email:* [email protected] , **[email protected]

Abstract:

The type of research used is Classroom Action Research using Realistic

Mathematics Education (RME) approach. This classroom action research

is conducted through 2 cycles that include planning, implementation,

observation and reflection activities. And to know the ability of

understanding students' mathematical concepts Researchers use the

comprehension test of the concept of mathematics individually. Subjects in

this study were students of grade VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo

with a total of 31 students. The result of the research shows that before the

giving of action only 3 students from 31 students complete in

comprehension test of mathematics concept with percentage of 9.68%.

After giving the action in cycle I, the students' understanding of

mathematical concepts has increased by 48.39% percentage, or as many as

15 students from 31 students have completed in the comprehension ability

test of mathematical concepts. After the improvement of cycle I to cycle

II, the result of the ability to understand the concept of mathematics

students cycle II has reached the classical completeness with the

percentage of 87.10% or as many as 27 students have been completed in

the ability to comprehend the concept of mathematics test. From the result

of this class action research, the researcher concludes that there is

improvement of students' mathematical concept comprehension ability by

applying Realistic Mathematics Education (RME) approach to the students

of grade VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo.

Keywords:

Realistic Mathematics Education (RME) Learning Approach, Ability to

Understand the Concept of Student Mathematics

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

15

A. PENDAHULUAN

Pendidikan Matematika sebagai bagian dari pendidikan dan merupakan

salah satu mata pelajaran disekolah dinilai cukup memegang peran penting dalam

membentuk kemampuan konsep siswa dan menjadikan siswa berkualitas, karena

dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar belajar tetapi juga memiliki

tujuan dan merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis

dan sistematis.

Tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut (BSNP, 2006: 140):

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,

dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media

lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman

konsep merupakan kemampuan yang sangat penting dan harus dimiliki para siswa

dalam pembelajaran matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa mayoritas siswa

kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo kurang memahami konsep dalam

belajar matematik. Contohnya masih banyak siswa yang kurang memahami

konsep operasi 3 x 2. Secara sepintas hal ini terlihat sederhana, namun masih

banyak siswa yang keliru dalam menyelesaikannya. Banyak siswa yang

menyelesaikan operasi 3 x 2 = 3 + 3, sementara penyelesaian yang benar dari

operasi 3 x 2 = 2 + 2 + 2. Hal ini muncul karena pelajaran matematika dianggap

sebagai suatu mata pelajaran yang sulit, membosankan, dan menakutkan. Serta

kebanyakan siswa lebih memilih untuk menghafal rumus tanpa mengetahui alur

penyelesaian atau konsep awal yang dijadikan dasar dari permasalahan yang

diberikan.

Penyebab rendahnya hasil belajar siswa pada bidang studi matematika

bukan hanya kesalahan siswa, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan

metode mengajar guru yang mengoptimalkan siswa secara penuh. Guru berperan

penting dalam pembelajaran di kelas, sehingga guru harus mampu memilih

metode atau pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran agar siswa lebih

termotivasi, aktif, tertarik dan senang mengikuti kegiatan pembelajaran, serta

siswa mampu memahami konsep pembelajaran yang disampaikan. Salah satu

pendekatan dalam pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif adalah

pendekatan Realistic Mathematic Education (RME).

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

16

Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan Realistic

Mathematics Education (RME) yang memperhatikan kondisi lokal (budaya atau

lingkungan atau konteks) memperlihatkan bahwa siswa tidak takut lagi

mengutarakan ide-idenya, sudah mulai berani memberikan penyelesaian soal yang

berbeda dengan teman-temannya, tumbuh kreativitasnya dalam menyelesaikan

suatu masalah atau di dalam melakukan pemecahan masalah (problem solving)

bersama khususnya pada materi pokok bahasan kubus dan balok.

Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk memperbaiki atau

meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran

matematika yang diajar dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan

judul: “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VIII

MTS. Al-Ilhamiyah Sidomulyo Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) pada Sub Materi Pokok Kubus dan Balok Tahun Ajaran

2016/2017”.

B. LANDASAN TEORITIS

1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

Dalam pembelajaran, pemahaman dimaksudkan sebagai kemampuan

siswa untuk dapat mengerti apa yang telah diajarkan oleh guru. Dengan kata lain,

pemahaman merupakan hasil dari proses pembelajaran. Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan

transformasi ilmu pengetahuan (Susanto, 2012: 208).

Isaack (dalam Baharuddin, 2008: 697) menyatakan bahwa konsep adalah

suatu istilah pengungkapan abstrak yang digunakan untuk mengklasifikasikan

atau mengkategorikan satu kelompok dari suatu benda, gagasan atau peristiwa.

Dengan kata lain,, maka dapat peneliti simpulkan bahwa konsep adalah suatu

ungkapan untuk mengelompokkan gagasan atau ide.

Pada petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No

506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 (Tim PPPG Matematika, 2005: 34)

tentang penilaian perkembangan anak didik SMP dicantumkan indikator dari

kemampuan pemahaman konsep sebagai hasil belajar matematika. indikator

tersebut adalah:

a) Menyatakan ulang sebuah konsep.

b) Mengklasifikasi objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan

konsepnya.

c) Memberi contoh dan non contoh dari konsep.

d) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.

e) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep.

f) Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu.

g) Mengaplikasikan konsep atau alogaritma ke pemecahan masalah.

Pemahaman konsep matematis juga merupakan salah satu tujuan dari

setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing

siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

17

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pemahaman konsep merupakan

salah satu kecakapan matematika. Dalam pemahaman konsep, siswa mampu

untuk menguasai konsep, operasi dan relasi matematis. Pembelajaran matematika

realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan

merekonstruksi konsep-konsep matematika.

2. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) diketahui sebagai

pendekatan yang telah berhasil di Nederland, Belanda. yang digagas oleh seorang

ahli matematika dari Utrect University Netherland, Prof. Hans Freudenthal

(Susanto, 2012: 205).

Suherman (2004: 206) mengatakan bahwa RME merupakan salah satu

pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, bahwa

matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara

nyata terhadap konteks keidupan sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang

berorientasi pada hal-hal yang real (nyata).

Pembelajaran dengan pendekatan RME mencerminkan cara memandang

matematika mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana

matematika harus diajarkan kepada anak. Pandangan ini tercermin pada enam

prinsip yang diturunkan dari lima kaidah yang dikemukakan Treffers (1987), yaitu

prinsip kegiatan, prisip nyata, prinsip bertahap, prinsip saling menjalin, prinsip

interaksi, dan prinsip bimbingan (Huda, 2013: 391).

Suharta & Gusti (2005: 7) mengatakan bahwa pembelajaran matematika

realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru

diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.

Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat

gambar 1) .

Matematisasi Konseptual

Interaksi dan Refleksi

Penguasaan Konsep

Pengaplikasian Konsep

Gambar 1. Skema Penemuan dan Pengkonstruksian

Konsep Menurut Van Reeuwijk

Masalah Konseptual

Strategi Informal

Formalisasi

Konsep

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

18

Suyitno (2004: 37) mengatakan bahwa RME di sekolah dapat

dideskripsikan sebagai berikut :

a) guru menyiapkan 1 atau 2 soal realistik (ada kaitannya dengan kehidupan

sehari-hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba

(karena langkah penyelesaian formal unutk menyelesaikan soal tersebut

belum diberikan).

b) guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa.

c) guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada

penghargaan terhadap keseragaman jawaban siswa dan konstribusi siswa.

d) guru dapat menyuruh beberapa siswa untuk menjelaskan temuannya di

dalam kelas.

e) dengan tanya jawab, guru baru menunjukan langkah formal yang

diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa didahului dengan

penjelasan tentang materi pendukungnya.

3. Pokok Bahasan Kubus dan Balok

a) Kubus

Gambar 2. Kubus

Kubus adalah bangun ruang yang semua sisinya berbenituk persegi dan

semua rusuknya sama panjang.

Untuk mencari luas permukaan kubus, berarti sama saja dengan

menghitung luas buah persegi yang sama dan kongruent maka:

Luas permukaan kubus = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 − 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠

= 6 x (s x s)

= 6 x 𝑠2

L = 6 𝑠2

Jadi, luas permukaan kubus dapat dinyatakan dengan rumus sebagai

berikut. 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 6 𝑠2

volume atau isi suatu kubus dapat ditentukan dengan cara mengalikan

panjang rusuk kubus tersebut sebanyak tiga kali. Sehingga:

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 × 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑢𝑘 = 𝑠 × 𝑠 × 𝑠 = 𝑠3

Jadi, volume kubus dapat dinyatakan sebagai berikut

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑠 = 𝑠3. Dengan s merupakan panjang rusuk kubus.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

19

b) Balok

Gambar 3. Balok

Bangun ruang ABCD.EFGH pada gambar tersebut memiliki tiga pasang

sisi berhadapan yang sama bentuk dan ukurannya, dimana setiap sisinya

berbentuk persegi panjang. Bangun ruang seperti ini disebut balok.

Misalkan, rusuk-rusuk pada balok diberi nama p (panjang), l (lebar), dan t

(tinggi), maka luas permukaan balok dapat dinyatakan dengan rumus sebagai

berikut.

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 2 𝑝𝑙 + 𝑙𝑡 + 𝑝𝑡

Volume suatu balok diperoleh dengan cara mnengalikan ukuran panjang,

lebar, ban tinggi balok tersebut.

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 × 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 = 𝑝 × 𝑙 × 𝑡

C. METODE PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 MTs. Al-

Ilhamiyah Sidomulyo. Pada Tahun Ajaran 2016/2017. Dengan jumlah subjek

adalah seluruh siswa kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo. Jumlah siswa

kelas VIII-1 adalah 31 orang. Beralamat di Jl. Tualang Sidomulyo kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu. Penelitian ini akan dilakukan pada semester

genap yaitu pada bulan Januari sampai Februari Tahun Ajaran 2016/2017.

Adapun materi pelajaran yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kubus dan

Balok” yang merupakan materi pada silabus kelas VIII yang sedang dipelajari

pada semester tersebut.

Menurut Kemmis (dalam Arikunto, 2010: 16) secara garis besar terdapat

empat tahap yang dilalui dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK): “(1)

perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi”. Tiap siklus

dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang akan dicapai. Pada penelitian ini jika

siklus I tidak berhasil, yaitu proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik

dan dan hasil belajar belum mencapai ketuntasan belajar maka akan dilaksanakan

siklus II.

Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu penelitian tindakan kelas maka

dalam prosedur penelitian ini memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya

seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2010: 74) secara garis besar adalah

sebagai berikut.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

20

Gambar 4. Model desain tindakan kelas Arikunto

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pra Siklus

Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 1. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Pra Siklus

Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase

75% ≤ KKM ≤ 100% Tuntas 3 9,68%

0% ≤ KKM ≤ 75% Tidak Tuntas 28 100%

Dari data tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa berada dalam kategori sangat rendah.

Dengan demikian peneliti ingin menerapkan pendekatan Realistic Mthematics

Education (RME) yang bertujuan untuk memperbaiki kemampuan pemahaman

konsep siswa yang otomatis akan meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-1

MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo.

2. Siklus I

Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 2. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I

Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase

75% ≤ KKM ≤ 100% Tuntas 15 48,39%

0% ≤ 𝐾KM ≤ 75% Tidak Tuntas 16 51,61%

Perencanaan

SISKLUS I

Perencanaan

?

Refleksi Pelaksanaan

Pengamatan

Pelaksanaan Refleksi SIKLUS II

Pengamatan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

21

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa secara klasikal belum mencapai ketuntasan

karena hanya 15 orang siswa dari 31 siswa saja yang tuntas dengan persentase

48,39%. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari hasil tes

sebelum diberikan tindakan. Meskipun terjadi peningkatan tetapi belum dapat

dikatakan tuntas dan masih dalam kategori cukup. Hal ini disebabkan karena

masih terdapat beberapa siswa yang bermain-main dalam menyelesaikan tes,

siswa juga merasa sedikit kesulitan dalam menyelesaikan tes kemampuan

pemahaman yang diberikan oleh peneliti yang bertindak sebagai guru mata

pelajaran matematika kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo. Demikian

perlua diadakan tindakan selanjutnya (siklus II) untuk memperbaiki kesulitan

yang dihadapi siswa dan untuk memperbaiki kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa agar mencapai ketuntasan klasikal yaitu sebesar 85%.

3. Siklus II

Berdasarkan perhitungan ketuntasan tes kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa secara individu dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 3. Tabel Deskripsi Tingkat Ketuntasan Hasil Belajar Siklus II

Ketuntasan Belajar Siswa Kategori Banyak Siswa Persentase

75% ≤ 𝐾KM ≤ 100% Tuntas 27 87,10%

0% ≤ 𝐾KM ≤ 75% Tidak Tuntas 4 12,90%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil tes kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa secara klasikal sudah meningkat dan telah

mencapai ketuntasan klasikal yaitu 85% atau sebanyak 27 orang siswa dari 31

orang siswa telah tuntas dengan persentase 87,10% dengan perolehan nilai rata-

rata 69,42. Dengan demikian, tidak perlu lagi dilakukan tindakan selanjutnya dan

berhenti pada siklus II.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa kelas

VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah yang diajar dengan pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) dilihat dari hasil tes diperoleh rata-rata pemahaman konsep

siswa siklus I 59,83, dan rata-rata pemahaman konsep siswa siklus II 69,42. Dari

data tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan pemahaman konsep siswa

dengan selisih 12,59. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan grafik

berikut:

Tabel 4 Peningkatan Ketuntasan Hasil Belajar Siswa

Ketuntasan

Belajar Siswa

Jumlah

Siswa

Nilai Rata-rata

Pemahaman Konsep

Persentase

Ketuntasan Klasikal

Pra Siklus 3 siswa 36,01 9,68%

Siklus I 15 siswa 59,83 48,39%

Siklus II 27 siswa 69,42 87,10%

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

22

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan

Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan pemahaman konsep

matematika siswa dilihat dari hasil belajar siswa yang telah mencapai rata-rata dan

telah mencapai ketuntasaan klasikal.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a) Sebelum diterapkan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

dalam pembelajaran diperoleh data bahwa tingkat kemampuan

pemahaman konsep siswa masih tergolong rendah, dan siswa yang tuntas

hanya 3 orang siswa dengan prersentase 9.68%. Artinya hanya 3 orang

siswa yang mampu memahami dan menyelesaikan soal dengan baik, siswa

mampu menentukan volume dan luas permukaan kubus dan balok, siswa

mampu mengklasifikasikan kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai

dengan konsepnya, siswa mampu membedakan contoh dan non-contoh

dari kubus dan balok dan siswa mampu menggunakan, memanfaatkan dan

memilih prosedur atau operasi tertentu untuk menyelesaikan soal yang

diberikan. Namun masih terdapat beberapa kesalahan, diantaranya:

terdapat beberapa kesalahan perhitungan pada hasil akhir tes siswa dan

siswa tidak mampu menjawab semua soal. Sedangkan jumlah siswa yang

tidak tuntas sebanyak 28 orang siswa dengan presentase 90,32%. Siswa

dikatakan belum tuntas karena siswa belum mampu memahami dan

menyelesaikan soal dengan baik, siswa belum mampu menentukan volume

dan luas permukaan kubus dan balok, siswa belum mampu

mengklasifikasikan kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai dengan

konsepnya, dan siswa belum mampu menggunakan, memanfaatkan dan

memilih prosedur atau operasi tertentu dalam menyelesaikan soal yang

diberikan terkait dengan materi kubus dan balok dan siswa belum mampu

menjawab semua soal yang diberikan, serta siswa hanya menuliskan hasil

akhir jawabannya saja tanpa menguraikan langkah penyelesaian secara

lengkap, dan hasil akhir jawaban yang ditulis siswa tidak semuanya benar.

Dan dari data hasil observasi diperoleh rata-rata keaktifan siswa dalam

proses pembelajaran yaitu hanya 22%, artinya hanya 7 orang siswa yang

aktif dalam proses pembelajaran. Dan sebanyak 24 orang siswa lagi masih

belum fokus dan kurang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini

disebabkan karena cara mengajar guru yang monoton, siswa yang tidak

fokus dalam pembeajaran, seperti: siswa masih banyak yang sibuk sendiri

dengan aktivitasnya, banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan

dari guru, banyak siswa yang masih malu-malu untuk bertanya atau

menjawab pertanyaan dari guru, dan siswa tidak berperan aktif selama

proses pembelajaran.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

23

b) Berdasarkan penelitian pada siklus I dengan menerapkan pendekatan

Realistic Mathematics Education (RME) dalam pembelajaran diperoleh

data dari hasil tes siswa yang telah tuntas sebanyak 15 orang siswa dengan

persentase 48,39%, hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam

menyatakan ulang sebuah konsep, artinya siswa mampu menyelesaikan

soal yang diberikan sesuai dengan konsepnya. 15 orang siswa tersebut

dikatakan tuntas juga terlihat dari siswa mampu menggunakan,

memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu dalam

menyelesaikan soal yang diberikan, siswa mampu mengklasifikasikan

kubus dan balok menurut sifat-sifatnya sesuai dengan konsepnya dan

siswa mampu memahami contoh dan non-contoh dari kubus dan balok.

Sedangkan siswa yang belum tuntas sebanyak 16 orang siswa dengan

persentase 51,61%. Sebanyak 16 orang siswa tersebut dikatakan belum

tuntas karena siswa belum mampu menyelesaikan dan memahami soal

dengan baik, siswa belum mampu menyatakan ulang sebuah konsep, siswa

belum mampu membedakan contoh dan non-contoh dari sifat-sifat kubus

dan balok dan siswa belum mampu menggunakan, memanfaatkan dan

memilih prosedur atau operasi tertentu dalam menyelesaikan soal yang

diberikan. Dari data tersebut terlihat bahwa pembelajaran siswa

mengalami peningkatan dari sebelumnya. Sedangkan dari data observasi

diperoleh bahwa aktivitas siswa sudah mulai membaik dan meningkat. Hal

ini dilihat dari persentase keaktifan siswa yang meningkat sebesar 63,89%.

Artinya sebanyak 20 orang siswa yang telah aktif mengikuti proses

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME). Hal ini dapat dilihat dari respon siswa yang semakin

baik, mayoritas siswa memperhatikan penjelasan dari guru, sebagian besar

siswa berperan aktif selama proses pembelajaran, dan siswa tidak malu-

malu lagi untuk bertanya ataupun menjawab pertanyaan dari guru.

c) Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II diperoleh bahwa pembelajaran

yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep

matematika siswa kelas VIII-1 MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo materi

kubus dan balok. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi keaktifan siswa

dalam proses pembelajaran mengalami peningkatan sebesar 87,50%.

Artinya hampir seluruh siswa atau sebanyak 27 siswa telah aktif dalam

proses pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan pendekatan

Realistic Mathematics Education (RME). Hal ini dapat dilihat dari respon

siswa yang baik dan antusias siswa dalam pembelajaran matematika serta

hasil tes siswa yang mengalami peningkatan sebesar 87,10% atau

sebanyak 27 siswa yang telah tuntas dan mencapai nilai KKM matematika

yang ditetapkan oleh sekolah yaitu ≥75. Sebanyak 27 orang siswa dari

jumlah seluruh siswa yaitu 31 orang dikatakan tuntas karena siswa mampu

memahami dan menyelesaikan soal dengan baik dan benar, siswa mampu

menyatakan ulang sebuah konsep dalam menyelesaikan soal yang

diberikan, siswa mampu mengklasifikasikan kubus dan balok menurut

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

24

sifat-sifatnya sesuai dengan konsepnya, siswa mampu membedakan

contoh dan bukan contoh dari kubus dan balok, siswa mampu

menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu

dalam menyelesaikan soal dan siswa mampu mengaplikasikan konsep atau

algoritma dalam menyelesaikan soal tes pemahaman konsep matematika

yang diberikan. Sedangkan 4 orang siswa sisanya tidak tuntas, hal ini

dikarenakan 4 orang siswa tersebut tidak hadir ketika pemberian tes

pemahaman konsep siklus II. Jadi peneliti tidak bisa melihat sejauh mana

tingkat pemahaman konsep 4 orang siswa tersebut, karena otomatis 4

orang siswa tersebut tidak mampu mencapai semua indikator pemahaman

konsep, dimana indikator pemahaman konsep tersebut dapat dilihat dari

hasil tes pemahaman konsep matematika siswa yang diberikan secara

individu.

2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan

saran-saran sebagai berikut:

a) Bagi guru pembelajaran matematika, disarankan untuk memperhatikan

kemampuan pemahaman konsep siswa dalam proses pembelajaran,

sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajarannya dan

siswa tertarik dan termotivasi dalam belajar. Maka dari itu sebaiknya guru

mata pelajaran, khususnya kepada guru mata pelajaran matematika

menerapkan berbagai strategi dan metode dalam mengajar. Salah satunya

yang dapat disarankan oleh peneliti adalah pendekatan Realistic

Mathematics Education (RME) dapat menjadi salah satu alternatif untuk

meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.

b) Kepada siswa MTs. Al-Ilhamiyah Sidomulyo peneliti sarankan untuk lebih

aktif dalam pembelajaran, seperti: tidak malu-malu dalam bertanya

ataupun menjawab pertanyaan dari guru, berani menyampaikan ide-ide

yang dimiliki dan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran, sehingga

siswa aktif dan siswa ikut terlibat dalam proses pembelajaran.

c) Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dapat

mempertimbangkan penerapan pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) pada materi kubus dan balok ataupun materi lainnya dan

dapat juga dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi, 2010, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Aksara.

BSNP, 2006, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta

Gusti Putu I, Suharta, 2005, Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana ?,

Singaraja: FMIPA IKIP Negeri Singaraja.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

25

Huda Muhammad Anwarul, 2013, Jurnal Pendidikan Sains, Vol. 1, Nomor 4

Susanto Ahmad, 2012, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Suyitno A., 2004, Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika, Semarang:

FMIPA UNNES

Tim PPPG Matematika, 2005, Materi Pembinaan Matematika SMP di Daerah,

Yogyakarta: Depdiknas

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

26

PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

PADA MATERI LINGKARAN DI KELAS VIII SMP YAYASAN

PENDIDIKAN ISLAM DELI TUA T.A 2016/2017

Oleh:

Nisa Cahya Pertiwi Lubis* Fibri Rakhmawati**

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

**Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

Jl.Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

Email: *[email protected], **[email protected]

Abstract:

The purpose of this research is to know: (1) mathematical communication

ability of students in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua

before applied realistic mathematics approach, (2) process of realistic

mathematical approach implementation to improve students' mathematical

communication ability in circle material in class VIII SMP Yayasan

Islamic Education Deli Tua, (3) improvement of students' mathematical

communication ability in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli

Tua after applied realistic mathematics approach. This type of research is a

classroom action research. The subjects of this study are the students of

class VIII-2 SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua which amounts to

24 students and the object of this research is the application of realistic

mathematical approach to improve students' mathematical communication

skills in the circle material in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam

Deli Tua TA 2016/2017 . Data analysis shows that in learning by applying

realistic mathematical approach can improve students' mathematical

communication ability. The percentage of students' mathematical

communication ability level is classified as an improvement in the initial

test of 29.17%, in the first cycle of 66.67%, and in cycle II increased to

87.50%. Observations on the process of applying a realistic mathematical

approach done by teachers also increased, the result of observation in

cycle I is 2.7 which means good and in cycle II is 3.1 which means good.

This shows that the application of realistic mathematical approach can

improve students' mathematical communication ability in learning

mathematics in class VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A

2016/2017.

Keywords: Mathematical Communication Skill, Realistic Mathematical

Approach

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan

kemampuan berpikir dan berargumentasi (Susanto, 2013: 185). Matematika yang

dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan cara berpikir dan berargumentasi

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

27

tersebut memberikan konstribusi dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.

Konstribusi tersebut membuat matematika menjadi ilmu yang universal. Menurut

Begle (1979), sasaran atau objek penelaahan matematika adalah fakta, konsep,

operasi dan prinsip. Objek penelaahan tersebut menggunakan simbol-simbol yang

kosong dari arti. Ciri ini yang memungkinkan matematika dapat memasuki

wilayah bidang studi/cabang ilmu lain (Hudojo, 2005: 38).

Di Indonesia, peran matematika diaktualisasikan dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalmenyebutkan,bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa (Trianto, 2010: 1). Menurut Wardhani (2008: 15) matematika

yang dijadikan sebagai alat untuk mengembangkancara berpikir dan

berargumentasi tersirat pada tujuan pembelajaran matematika di sekolah agar

siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

(1)Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep

dan mengaplikasikan konsep dan algoritma, secara luwes, akurat, efisien,

dan tepat dalam pemecahan masalah,(2) Menggunakan penalaran pada

pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika, (3)Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan

memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan

model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengkomunikasikan

gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk

memperjelas keadaan atau masalah, (5)Memiliki sikap dalam menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,

perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan

percaya diri dalam pemecahan masalah

Di Indonesia fenomena matematika tidak mudah diminati berdampak

pada hasil Programme for International Student Assessment (PISA) terbaru tahun

2015, kemampuan literasi matematika siswa Indonesia dinyatakan masih rendah.

Indonesia menempati peringkat ke 69 dari 76 negara peserta (Survey PISA, 2015).

PISA adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang

kemampuan siswa usia 15 tahun dalam membaca (reading literacy), matematika

(mathematics literacy), dan sains (scientific literacy).

Fenomena semakin sedikitnya peminat matematika yang disebabkan

keabstrakan matematika itu sendiri dan kondisi persekolahan saat ini dapat

diminimalisir dengan menciptakan proses pembelajaran yang melibatkan

keaktifan siswa sehingga mereka mampu mengkonstruksi pengetahuan yang

mereka dapatkan. Siberman berpendapat bahwa banyak cara yang bisa membuat

siswa belajar secara aktif yang disebut dengan perlengkapan belajar aktif. Cara

pelaksanaan hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, strategi,

pendekatan, model pembelajaran yang dapat menjadikan siswa aktif dalam belajar

(Rusman, 2012: 399-400).

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

28

Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan

realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses

pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika

secara lebih baik dari pada yang lalu. Maksud realitas yaitu hal-hal yang nyata

atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat

membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan

tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun

masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.Lingkungan dalam hal ini disebut

juga kehidupan sehari-hari.

Pendekatan matematika realistik dipilih karena pendekatan ini telah

terbukti berhasil diberbagai negara, bahkan Erman Suherman dalam Irawati

(2013):

Suatu studi yang dilakukan di sebuah sekolah di Puerto Rico, dengan

jumlah murid 570 siswa. Sekolah ini dijadikan sebagai tempat uji coba

penelitian realistik. Tempat ini terpilih sebagai sampel penelitian

berdasarkan pertimbangan bahwa meskipun menurut standar Amerika

daerah ini tergolong miskin, namun guru-guru, personel sekolah dan

orangtua siswa menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap

sekolah. Secara dramatis dan mengagumkan siswa yang belajar

menggunakan pendekatan realistic (matematik in context)tercatat oleh

dapartemen pendidikan hasil skornya meningkat secara tajam.

Ansari (2016: 11) mengatakan komunikasi matematis terdiri atas,

komunikasi lisan (talking), dan tulisan (writing). Adapun aspek komunikasi

bentuk lisan (talking) seperi membaca (reading), mendengar (listening), dan

diskusi (discussing), sedangkan aspek komunikasi tulisan (writing) seperti

representasi (representation) dan menulis (writing). Lebih lanjut Ansari (2016: 5)

mengatakan, alasan mengapa komunikasi dalam matematika perlu ditumbuh

kembangkan di kalangan siswa, yaitu:

Pertama, mathematics as language; artinya matematika tidak hanya

sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk

menemukan pola,menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan,

tetapi matematika juga sebagai suatu alat yang berharga untuk

mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua,

mathematics learning as social activity; artinya, sebagai aktivitas sosial

dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana

interaksi antara siswa, dan juga komuikasi antara guru dan siswa. Hal ini

bagian terpenting untuk mempercepat pemahaman matematika siswa.

Namun, dalam proses pembelajaran kemampuan komunikasi belum

sepenuhnya dikembangkan secara tegas, padahal sebagaimana diungkapkan oleh

para matematikawan, kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu

kompetensi yang perlu diupayakan peningkatannya sebagaimana kompetensi

lainnya, seperti bernalar dan pemecahan masalah. Permasalahan ditemukan oleh

peneliti saat melakukan wawancaradengan seorang guru matematika kelas VIII di

SMPYayasan Pendidikan Islam Deli Tua. Berdasarkan hasil wawancara guru

matematika SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua di kelas VIII, guru

menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa saat proses pembelajaran

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

29

matematika. Siswa kesulitan dalam merepresentasikandan menulis apa yang

mereka telah ketahui dan solusi atau ide untuk menyelesaikan soal cerita. Dalam

mengerjakan soal cerita siswa sulit merepresentasikan informasi yang ada pada

soal ke dalam bahasa atau simbol matematis untuk membantu menyelesaikan

persoalan tersebut.

Saat melakukan wawancara, guru juga menyampaikan bahwa saat proses

pembelajaran siswa hanya menggunakan LKS sebagai sumber belajar. LKS

tersebut tidak disusun sendiri oleh guru namun dibeli dari pihak luar sekolah. LKS

yang dipakai oleh siswa hanya berisi rumus, contoh soal, dan soal. Peneliti

akhirnya melakukan observasi di sekolah tersebut, peneliti pun menemukan saat

proses pembelajaran guru mengajarkan matematika dengan pemberitahuan

defenisi, rumus, contoh soal, dan soal sesuai dengan isi LKS yang dijadikan

sumber belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa terlihat kurang aktif dan pada

akhirnya mereka bosan dengan situasi tersebut.

Selanjutnya, apabila siswa secara terus menurus merasa bosan dengan

pembelajaran matematika, maka fenomena semakin sedikitnya peminat

matematika akan semakin bertambah. Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul:“Penerapan Pendekatan Matematika

Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada

Materi Lingkaran di Kelas VIII SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua T.A.

2016/2017”.

B. LANDASAN TEORITIS

1. Hakikat Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang

mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah

belajar dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi

suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa

dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran

matematika sedang berlangsung (Susanto, 2013: 187).

Cara dan pendekatan dalam pembelajaran matematika sangat dipengaruhi

oleh pandangan guru terhadap matematika dan siswa dalam pembelajaran. Adams

dan Hamm dalam Wijaya (2012: 15) menyebutkan empat macam pandangan

tentang posisi dan peran matematika, yaitu:

a. Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir

b. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan

(pattern and relationship)

c. Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool)

d. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi

2. Pendekatan Matematika Realistik PMR merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang

berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan

matematika harus di hubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

30

hari siswa ke pengelamaan belajar yang berorientasi pada hal-hal yang real

(nyata).

Menurut Suherman (2003: 206) dalam Ahmad, dalam pembelajaran

matematika yang menggunakan model PMR ini menganut prinsip-prinsip, sebagai

berikut:

a. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu

sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.

b. Perhatikan kepada pengembang model-model, situasi, skema, dan

simbol-simbol.

c. Sumbangan dari para siswa, sehingga dapat membuat pembelajaran

menjadikonstruktif dan produktif.

d. Interaksi sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.

e. Intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan atau

antar strand

Shoimin (2014: 150) menguraikan bahwa pembelajaran matematika

dengan pendekatan PMR meliputi langkah-langkah berikut:

a. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk

memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah

dengan memberikan petunjuk/ sasaran seperlunya (terbatas) terhadap

bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa.

b. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada

buku siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan

jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi

siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh

penyelesaian soal.

c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban

mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu

dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini

dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian mengemukakan

pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan

gurunya.

d. Menarik kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan,

guru mengarahkan siswa untuk menemukan tentang konsep, defenisi,

teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah

kontekstual yang baru diselesaikan.

3. Hakikat Komunikasi Matematis

Ansari (2016: 11) mengatakan bahwa komunikasi matematis terdiri

ataskomunikasi lisan (talking) dan tulisan (writing). Menurut Ross dalam Fitriyani

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

31

(2015) indikator kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis adalah

sebagai berikut:

a. Siswa dapat menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi

dengan gambar, tabel/bagan dan secara aljabar

b. Siswa dapat menyatakan hasil dalam bentuk tertulis

c. Siswa dapat menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan

suatu konsep matematika dan solusinya

d. Siswa dapat membuat situasi matematika dengan menyediakan ide

dan keterangan dalam bentuk tertulis

e. Siswa dapat menggunakan bahasa dan simbol matematika dengan

tepat

Beberapa kriteria yang dipakai dalam melihat seberapa besar kemampuan

siswa dalam memiliki kemampuan matematis pada pembelajaran matematika

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh NCTM (1987), sebagai berikut:

a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan,

tuliasan dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara

visual.

b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-

ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya.

c. Kemampuan menggunakan istilah, notasi matematika dan struktur-

strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan dan

model situasi.

Dalam penelitian ini, bentuk komunikasi yang ditelitiadalah bentuk

komunikasi tulisan (writing) yaitu aspek representasi dan menulis. Untuk Aspek

representasi indikator yang digunakan adalah menurut Baroody dan indikator

untuk aspek menulis yang digunakan adalah menurut Ross.

C. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (classroom action

research) karena peneliti bertindak secara langsung dalam penelitian ini (mulai

dari awal sampai akhir tindakan). Penelitian Tindakan. Kelas (Classroom Action

Research) dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menerapkan pendekatan

matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

siswa.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-2 SMP Yayasan

Pendidikan Islam Deli Tua T.A2016/2017 yang berjumlah 28 siswa. Penelitian ini

dilaksanakan di SMP Yayasan Pendidikan Islam Deli Tua yang beralamat di Jl.

Setia Kec. Deli Tua, Kab. Deli Serdang Sumatera Utara. Penelitian ini

dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.

Prosedur penelitian tindakan kelas terdiri dari beberapa tahapan yang

terus berulang membentuk siklus sesuai dengan permasalahan yang ingin

dipecahkan. Apabila permasalahan belum dapat dipecahkan maka penelitian

dilanjutkan ke siklus II dan seterusnya.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

32

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada siklus I dapat

dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Tingkat Penguasaan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Siklus I

No Tingkat

Penguasaan Kriteria

Banyak

Siswa

Presentase

Jumlah Siswa

1 90 – 100 Sangat Tinggi 0 0%

2 80 – 89 Tinggi 4 16,67%

3 65 – 79 Sedang 12 50,00%

4 56 – 64 Rendah 4 16,67%

5 0 – 55 Sangat Rendah 4 16,67%

Jumlah 24 100%

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa terdapatperubahan hasil tes

awal dengan hasil tes pada siklus ini. Pada hasil tes awal, siswa hanyatergolong

pada kriteria kemampuan komunikasi matematis sedang, rendah, dan sangat

rendah. Pada hasil tes siklus ini, terdapat siswa yang memiliki kriteria

kemampuan komunikasi tinggi yaitu 4 dari 24 siswa (16,67%). Setengah dari

jumlah siswa yaitu 12 siswa (50,00%) memiliki kriteria kemampuan komunikasi

matematis sedang. Untuk kriteria kemampuan komunikasi matematis rendah dan

sangat rendah masing-masing adalah 4 siswa (16,67%). Adapun rata-rata nilai

kelas dari tes kemampuan komunikasi matematis awal ini adalah 68,33.

Berikut ini disajikan gambaran tingkat kemampuan komunikasi

matematis siswa secara klasikal.

Tabel 2. Tabel Deskripsi Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siklus

I

Tingkat

Penguasaan Kriteria

Banyak

Siswa Presentase

0 ≤ KK<65 Belum Mampu Berkomunikasi 8 33,33%

65 ≤ KK ≤ 100 Mampu Berkomunikasi 16 66.67%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi

matematis siswa secara klasikal masih 66,67% dari seluruh siswa yang mampu

berkomunikasi atau hanya 16 siswa dari 24 siswa yang mampu berkomunikasi

matematis. Dengan demikian perlu dilakukan perbaikan pembelajaran pada siklus

II yang mungkin dapat mencapai presentase ketuntasan klasikal yang ditetapkan

yakni terdapat minimal 85% siswa yang mencapai nilai 65 ≤ KK ≤ 100.

Analisis tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada siklus II

dapat dilihat Berdasarkan Tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Tingkat Penguasaan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Siklus II

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

33

No Tingkat

Penguasaan Kriteria

Banyak

Siswa

Presentase

Jumlah Siswa

1 90 – 100 Sangat Tinggi 0 0%

2 80 – 89 Tinggi 12 50,00%

3 65 – 79 Sedang 9 37,50%

4 56 – 64 Rendah 3 12,50%

5 0 – 55 Sangat Rendah 0 0%

Jumlah 24 100%

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa terdapatperubahan hasil tes

siklus I dengan hasil tes pada siklus ini.Pada hasil tes siklus I, masih terdapatsiswa

yang memiliki kriteria kemampuan komunikasi matematis sangat rendah,

sedangkan pada sikulus ini tidak terdapat siswa yang memiliki kemampuan

komunikasi matematis sangat rendah. Pada hasil tes siklus ini, setengah dari

keseluruhan siswa yaitu 12 siswa (50,00%) memiliki kriteria kemampuan

komunikasi matematis tinggi. Untuk kriteria kemampuan komunikasi matematis

sedang terdapat 9 siswa (37,50%), sedangkan siswa yang masih memiliki

kemampuan komunikasi matematis rendah terdapat 3 siswa (12,50%). Adapun

rata-rata nilai kelas dari tes kemampuan komunikasi matematis awal ini adalah

76,46.

Berikut ini disajikan gambaran tingkat kemampuan komunikasi matematis

siswa secara klasikal.

Tabel 4. Tabel Deskripsi Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siklus

II

Tingkat

Penguasaan Kriteria

Banyak

Siswa Presentase

0 ≤ KK<65 Belum Mampu Berkomunikasi 3 12,50%

65 ≤ KK ≤ 100 Mampu Berkomunikasi 21 87,50 %

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi

matematis siswa secara klasikal telah mencapai indikator keberhasilan karena dari

24siswa, terdapat 21 siswa yang telah mampu berkomunikasi matematis

(87,50%). Dengan demikian penelitian ini tidak perlu dilakukan perbaikan

pembelajaran pada siklus II karena telah mencapai presentase kemampuan

komunikasi matematis klasikal 85% siswa yang mencapai nilai 65 ≤ KK ≤ 100.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a) Hasil tes kemampuan komunikasi matematis awal atau sebelum

diterapkanpendekatan matematika realistik, persentase siswa mampu

berkomunikasi matematis secara klasikal yaitu 29,17% (7siswa),

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

34

persentase siswa belum mampu berkomunikasi matematis secara klasikal

yaitu 70,83%, dan nilai rata-rata kelas 49,58. Dari data tersebut kelas VIII-

2 SMP Yayasan Pendidikan Islam belum dapat dikatakan mampu

berkomunikasi matematis karena persentase siswa mampu berkomunikasi

matematis secara klasikal belum mencapai 85%.

b) Proses penerapan pendekatan matematika realistik dilihat dari hasil

observasi aktivitas guru, dimana terdapat 8 indikator yang dilihat saat guru

menerapkan pendekatan matematika realistik saat proses pembelajaran.

Pada siklus I yang dilaksanakan 2 x pertemuan, rata-rata hasil

observasinya yaitu 2,7 yang termasuk kriteria baik. Pada siklus II yang

dilaksanakan 2 x Pertemuan juga mengalami peningkatan hasil observasi

aktivitas guru menjadi 3,1 yang termasuk kriteria baik.

c) Kemampuan komunikasi matematis siswa setelah tindakan

1) Kemampuan komunikasi matematis siswa siklus I setelah peneliti

memberikan tindakan dengan menerapkanpendekatan matematika

realistik nilai persentase siswa mampu berkomunikasi matematis

secara klasikal yaitu 66,67% (16siswa), persentase siswa belum

mampu berkomunikasi matematis secara klasikal yaitu 33,33%

(8siswa) dan nilai rata-rata kelas 68,33. Persentase kelulusan klasikal

pada siklus I belum dapat dikatakan tuntas karena persentase siswa

mampu berkomunikasi matematis secara klasikal belum mencapai

85%.

2) Hasil belajar siswa pada siklus II memperoleh persentase siswa

mampu berkomunikasi matematis secara klasikal sebesar 87,50%

(21siswa), persentase siswayang belum mampu berkomunikasi

matematis secara klasikal yaitu 12,50% (3 orang), dengan rata-rata

kelas 87,50. Ini berarti persentase siswa mampuberkomunikasi

matematis klasikal sudah tercapai karena sudah lebih dari 85%,

sehingga penelitian tidak diteruskan pada siklus berikutnya.

2. Saran

a) Bagi Guru

Dalam mengajarkan matematika hendaknya guru dapat menerapkan

pendekatan matematika realistikyang sesuai dengan materi, sehingga

siswa lebih aktif dalam pembelajaran, memberikan kesempatan kepada

siswa untuk memahami masalah kontekstual dan menyelesaikannya,

saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling

tepat, kemudian menarik kesimpulan. Selain itu, juga mendorong siswa

mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari siswa.

b) Bagi Siswa

Diharapkan kepada siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran melalui

proses pembelajaran yang menghubungkan materi dengan kehidupan

sehari-hari siswa ke pengalaman belajar.

c) Bagi Peneliti Selanjutnya

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

35

Kepada peneliti yang berminat melakukan penelitian dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran yang sama dengan peneliti ini,

disarankan untuk mengembangkan penelitian ini dengan kemampuan

penguasaan kelas yang lebih baik dan dapat menganut prinsip dan

karakteristikpendekatan pembelajaran ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, Bansu I. (2016).Komunikasi Matematik, Strategi Berpikirdan Manajemen

Belajar: Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: PeNa.

Fitriyani, Harina dkk. (2015). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Investigasi. ISBN: 978-

602-361-045-7

Hudojo, Herman.(2005). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika.

Surabaya: Universitas Negeri Malang.

Irawati, Ria. (2013). Pengembangan Bahan Ajar Matematika melalui Pendekatan

Matematika Realistik Berbasis Kurikulum 2013 untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa di Kelas VII SMP Tri Jaya

Medan. Skripsi. Universitas Negeri Medan.

Rusman, (2012). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme

Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Shoimin, Aris.(2014).68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Susanto, Ahmad. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran di sekolah

Dasar.Jakarta: Kencana.

Trianto.(2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,

Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.

Wardhani,Sri. (2008). Analisis SI Dan SKL Mata Pelajaran Matematika

SMP/MTs Untuk Optimalisasi Pencapaian Tujuan.Yogyakarta: Pusat

Pengembangan Dan Pemberdayaan PendidikDan Tenaga Kependidikan

Matematika.

Wijaya,Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif

Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Survei PISA tahun 2015 yang dirilis bulan November 2015

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

36

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA

SISWA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

JIGSAW PADA MATERI BANGUN DATAR PERSEGI DAN PERSEGI

PANJANG KELAS VII-2 MTSN BINJAI T. A. 2016/2017

Oleh:

Agus Tianto*, Asnil Aidah Ritonga**

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FITK UIN-SU Medan

**Dosen Tetap FITK UIN-SU Medan

Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

Email: *[email protected], **[email protected]

Abstract:

This type of research is a classroom action research. The purpose of the

research is 1) To know how the communication ability of students before

applied mathematics jigsaw type cooperative learning. 2) Describe the

students' mathematical communication skills after implementing jigsaw

type cooperative learning. 3) To know whether there is improvement of

students' mathematical communication ability after doing jigsaw type

cooperative learning. The study was conducted in two cycles with the

subjects of all students of class VII-2 MTs Negeri Binjai which amounted

to 40 students. To obtain data in this research used post test, observation

sheet of student mathematics communication, interview and

documentation. After the data collected and analyzed it is obtained: 1) The

result of the initial ability of students' mathematics communication

through the post test obtained 31 students or 77.50% of learning

completeness level did not reach KKM (≥ 75), while only 9 students or

22.50 % Of learning completeness level reached KKM (≥ 75). 2) The

improvement of students' mathematical communication ability is seen

from the percentage of learning result that is on the pre cycle of 22,50%,

increase in cycle I become 67,50%, and in cycle II increase to 87,50%. 3)

The result of observation of student mathematics communication in cycle I

obtained 51,12% with "Good" criteria, and increase in cycle II with

percentage 71,16% with "Very Good" criteria. Based on the results of this

classroom action research it can be concluded that the application of

cooperative learning model jigsaw type can improve students'

mathematical communication skills on square and rectangular building

materials in class VII-2 MTs Negeri Binjai T.A. 2016/2017.

Keywords: Student Mathematics Communication Skills, Jigsaw Type Cooperative

Learning.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

37

A. PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai pondasi dalam mengembangkan manusia yang

berkualitas. Pendidikan senantiasa berkenaan dengan manusia, dengan pengertian

sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dasar manusia seoptimal

mungkin sesuai dengan kapasitasnya.

Selanjutnya untuk menjalankan pendidikan tersebut perlu dilakukan

pembelajaran matematika karena matematika merupakan salah satu ilmu

pengetahuan yang berperan penting dalam kehidupan, antara lain dalam

pembentukan keterampilan berkomunikasi serta mampu bekerjasama. Matematika

bukan hanya sekedar alat bagi ilmu, tetapi lebih dari itu matematika adalah

bahasa. Matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkain makna

dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Hal ini sesuai dengan tujuan

pembelajaran matematika menurut Permendiknas No. 22 yaitu:

mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah (BNSP, 2006: 3).

Dalam meningkatkan pembelajaran matematika yang dilaksanakan maka

perlu dilakukan komunikasi matematika dalam proses belajar mengajar.

Komunikasi ini dapat dilakukan antara guru dengan siswa maupun siswa dengan

siswa itu sendiri. Melalui komunikasi dapat mengungkapkan apa yang dirasakan

serta dapat menerima pernyataan maupun pengungkapan dari individu lain. Proses

komunikasi ini dapat menumbuhkan saling pengertian di antara individu-individu

yang berinteraksi. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) dalam

(Nasa, 2014: 36) menyatakan bahwa:

Komunikasi matematika merupakan: (1) Kekuatan sentral bagi siswa

dalam merumuskan konsep dan strategi matematika; (2) Modal

keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian

dalam eksplorasi dan investigasi matematika; (3) Wadah bagi siswa

dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh

informasi, membagi pikiran dan penemuan, bertukar pendapat,

menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VII-2 MTsN Binjai ketika

dilaksanakan proses pembelajaran matematika terdapat beberapa masalah yaitu:

Kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh guru, siswa kurang berani

memberikan pendapat dan menaggapi pertanyaan dari teman lainnya, siswa

terlihat bingung ketika dihadapkan dengan rumus-rumus dalam bentuk lambang

atau notasi matematika sehingga tidak mampu mengkomunikasikannya.

Masalah-masalah seperti ini sering terjadi dalam proses pembelajaran

matematika. Sebagaimana diungkapkan oleh Nugroho (2010: 20) bahwa proses

pembelajaran matematika cenderung berpusat pada guru dan siswa kurang mampu

dalam mengkomunikasikan matematika tersebut baik itu komunikasi dengan guru

maupun komunikasi dengan siswa lainnya. Selain itu hal yang sama juga

dikatakan Nisa (2014: 6) bahwa proses pembelajaran matematika yang terjadi saat

ini yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) bukan pada

siswa (student centered).

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

38

Berdasarkan berbagai pemikiran yang telah disampaikan di atas, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa dengan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Jigsaw pada Materi Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang

Kelas VII-2 MTsN Binjai T. A. 2016/2017”.

B. LANDASAN TEORITIS

1. Komunikasi Matematika

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communication” terbentuk dari

kata “com” bahasa latin “cum” artinya dengan atau bersama dengan dan “unio”

bahasa latin “union” artinya bersatu dengan. Dengan demikian, komunikasi dapat

diartikan dengan union together atau union with artinya bersama dengan atau

bersatu dengan. Arti kata ini dapat bermakna bahwa komunikasi itu bersatu

dengan orang lain atau bersama dengan orang lain untuk melakukan kontak atau

hubungan.

Menurut Kholil (2013: 1) komunikasi dalam bahasa arab dikenal dengan

istilah al-ittisal yang berasal dari akar kata wasola yang berarti “sampaikan”. Lebih lanjut Sanjaya (2012: 79) mengemukakan bahwa komunikasi dapat

diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima pesan

dengan maksud untuk mempengaruhi penerima pesan.

Ansari (2016: 15) mengatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang

sangat penting pada matematika. Komunikasi merupakan cara berbagai ide dan

memperjelas pemahaman. Melalui komunikasi ide dapat dicerminkan, diperbaiki,

didiskusikan dan dikembangkan. Proses komunikasi juga membantu membangun

makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat

mempublikasikan ide.

Proses komunikasi pembelajaran menurut Majid (2012: 90) digambarkan

pada bagian berikut ini:

Gambar 1. Komunikasi Langsung

Gambar 2. Komunikasi Dengan Media

Banyak pendapat yang mengemukakan tentang indikator-indikator

komunikasi matematika. Misalnya, indikator komunikasi matematika menurut

NCTM antara lain:

Pengirim Pesan Pesan Penerima Pesan

Pengirim Pesan Penerima Pesan Pesan Media

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

39

a) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tulisan,

dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.

b) Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide

matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.

c) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika

dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan

hubungan-hubungan dengan model-model situasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

indikator-indikator komunikasi matematika yang dipakai untuk mengukur tingkat

komunikasi matematika siswa adalah sebagai berikut:

a) Kemampuan mengungkapkan suatu ide, situasi, kedalam bentuk gambar,

grafik, atau diagram.

b) Kemampuan menjelaskan suatu situasi, ide dengan uraian tertulis.

c) Kemampuan menjelaskan gambar, grafik, atau diagram kedalam uraian

tertulis yang mengilustrasikan ide, situasi.

d) Kemampuan menyatakan peristiwa sehari-hari ke dalam simbol atau

bahasa matematika.

e) Mengekspresikan, melukiskan ide secara visual dengan cara yang berbeda.

2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan

oleh Aronson pada tahun 1975. Model pembelajaran kooperatif tipe ini memiliki

dua versi tambahan, jigsaw II dikembangkan oleh Slavin tahun 1989 dan jigsaw

III dikembangkan oleh Kagan tahun 1990. Model pembelajaran kooperatif tipe

jigsaw ini dapat diterapkan untuk materi-materi yang berhubungan dengan

keterampilan membaca, menulis, mendengarkan ataupun berbicara. Ia

menggabungkan aktivitas membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara.

Dalam jigsaw guru harus memahami kemampuan dan pengalaman siswa dan

membantu siswa mengaktifkan skema ini agar materi pelajaran menjadi lebih

bermakna. Guru juga memberi banyak kesempatan pada siswa untuk mengolah

informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi (Huda, 2014: 204).

Kunandar (2007: 365) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe

jigsaw memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kelompok awal

a. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil 3-6 siswa.

b. Bagikan wacana atau tugas akademik sesuai dengan materi yang

diajarkan.

c. Masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan wacana atau tugas

yang berbeda-beda dan memahami informasi yang ada di dalamnya.

2. Kelompok ahli

a. Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana atau tugas yang

sama dalam satu kelompok sehingga jumalah kelompok ahli sesuai

dengan wacan atau tugas yang telah dipersiapkan oleh guru.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

40

b. Dalam kelompok ahli ini ditugaskan agar siswa belajar besama untuk

menjadi ahli sesuai dengan wacana atau tugas yang menjadi tanggung

jawabnya.

c. Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat

menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana atau tugas yang telah

dipahami kepada kelompok awal.

d. Apabila tugas sudah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli, masing-

masing siswa kembali ketempat kelompok awal.

e. Beri kesempatan secara bergiliran bergiliran masing-masing siswa untuk

menyampaikan hasi dari tugas dikelompok ahli.

f. Apabila kelmpok sudah menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan

maka masing-masing kelompok melaporkan hasilnya dan guru memberi

klarifikasi.

3. Materi Bangun Datar Persegi dan Persegi Panjang

Segi empat adalah suatu bidang datar yang dibentuk atau dibatasi oleh

empat garis lurus sebagai sisinya (Sukino & Simangunsong, 2006: 284). Bangun

datar segi empat yang akan dibahas meliputi persegi dan persegi panjang. Berikut

gambar persegi dan persegi panjang.

P Q A B

R S D C

Persegi Persegi panjang

Gambar 3. Contoh – Contoh Segi Empat

Sukino & Simangunsong (2006: 289) mengatakan bahwa persegi adalah

segi empat yang keempat sisinya sama panjang. Sifat-sifat persegi panjang, yaitu

(a) sisi-sisi yang berhadapan sama panjang dan sejajar, (a) setiap sudutnya siku-

siku, (c) mempunyai dua buah diagonal yang sama panjang dan saling

berpotongan di titik pusat persegi panjang. Titik tersebut membagi diagonal

menjadi dua bagian sama panjang, (d) mempunyai 2 sumbu simetri yaitu sumbu

vertikal dan horizontal.

Keliling persegi panjang

lebarpanjangK 22

lebarpanjang 2

lp 2 Luas persegi panjang

lebarpanjangL

lp

Sifat-sifat persegi, yaitu (a) semua sisinya sama panjang dan sisi-sisi yang

berhadapan sejajar, (b) setiap sudut siku-siku, (c) mempunyai dua buah diagonal

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

41

yang sama panjang, berpotongan di tengah-tengah, dan membentuk sudut siku-

siku, (d) setiap sudutnya dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya, (e)

memiliki 4 sumbu simetri.

Keliling persegi Luas persegi

sisiK 4 sisisisiL

s 4 ss

2s

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Madrasah kelas VII-2 MTs Negeri Binjai yang

dilaksanakan pada semester genap T.A. 2016/2017, terletak di Kecamatan Binjai

Selatan Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Subjek penelitian ini adalah siswa

kelas VII-2 MTs Negeri Binjai T.A. 2016/2017.

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas.

Penelitian tindakan kelas berasal dari bahasa inggris, yaitu classroom action

research, diartikan penelitian dengan tindakan yang dilakukan di kelas (Maharani,

2014: 19). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Berikut tahapan-tahapan

dalam melakukan penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar 4 berikut:

Gambar 4. Tahapan Penelitian Tindakan Kelas

SIKLUS I Pelaksanaan

Pengamatan

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS I Pelaksanaan

Pengamatan

Refleksi

Perencanaan

SIKLUS II

Belum

terselesaikan

Siklus berikutnya

PRA SIKLUS

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

42

D. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

1. Pra Siklus

Berdasarkan hasil tes awal yang dilakukan terhadap siswa kelas VII-2 MTs

Negeri Binjai yang terlampir pada lampiran 25 diperoleh tingkat ketuntasan

belajar siswa sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Tes Awal Pra Siklus

No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase

1 ≥ 75 Tuntas 9 22,50%

2 ≥ 75 Tidak Tuntas 31 77,50%

Jumlah 40 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika

siswa di tes awal pra siklus dalam memahami materi keliling dan luas segi empat

pada bangun datar persegi dan persegi panjang masih rendah. Tes yang diberikan

kepada 40 orang siswa diperoleh 31 orang siswa atau 77,50% tingkat ketuntasan

belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan hanya 9 orang siswa atau

22,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan matematika siswa dalam memahami materi tentang keliling dan luas

segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang masih rendah. Dari

lembar jawaban siswa terlihat bahwa kelemahan yang ada pada siswa kurang

mampu dalam memahami rumus untuk menghitung keliling dan luas bangun datar

persegi dan persegi panjang.

2. Siklus I

Adapun hasil ketuntasan tes belajar siklus I dapat dilihat pada tabel berikut

ini:

Tabel 2. Hasil Tes Siklus I

No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase

1 ≥ 75 Tuntas 27 67,50%

2 ≥ 75 Tidak Tuntas 13 32,50%

Jumlah 40 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika

siswa pada tes siklus I dalam memahami materi keliling dan luas segi empat pada

bangun datar persegi dan persegi panjang sudah lebih baik dibandingkan dengan

hasil belajar pra siklus sebelum dilakukan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.

Tes yang diberikan kepada 40 orang siswa diperoleh 13 orang siswa atau 32,50%

tingkat ketuntasan belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan 27 orang

siswa atau 67,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Dari persentase hasil tes

siklus I dapat dilihat hasilnya sudah lebih baik dari hasil tes pra siklus sebelum di

lakukan pembelajaran dengan model kooperatif tipe jigsaw. Hal ini menunjukkan

bahwa ada peningkatan kemampuan matematika siswa dalam memahami materi

tentang keliling dan luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi

panjang dari hasil belajar sebelumnya.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

43

3. Siklus II

Adapun hasil ketuntasan tes belajar pada siklus II dapat di lihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 3. Hasil Tes Siklus II

No. KKM Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase

1 ≥ 75 Tuntas 35 87,50%

2 ≥ 75 Tidak Tuntas 5 12,50%

Jumlah 40 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan matematika

siswa pada tes siklus II dalam memahami materi pengertian, sifat, keliling dan

luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang sudah lebih baik

dibandingkan dengan hasil belajar pada siklus I. Tes yang diberikan kepada 40

orang siswa diperoleh 5 orang siswa atau 12,50% tingkat ketuntasan belajarnya

tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan 35 orang siswa atau 87,50% yang

mencapai nilai KKM (≥ 75). Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan

kemampuan matematika siswa dalam memahami materi tentang pengertian, sifat,

keliling dan luas segi empat pada bangun datar persegi dan persegi panjang dari

hasil belajar sebelumnya.

Secara keseluruhan peningkatan hasil belajar dan observasi komunikasi

matematika siswa dapat di lihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 4. Persentase Hasil Belajar Secara Keseluruan

No. Siklus Persesntase Ketuntasan

1 Pra Siklus 22,50%

2 Siklus I 67,50%

3 Siklus II 87,50%

Keterangan Meningkat

Tabel 5. Hasil Observasi Komunikasi Matematika Siswa pada Siklus I

dan Siklus II

Kelompok Nama

Kelompok

Jumlah Skor Perolehan

Siklus I Siklus II

1 Al-Fatihah 13,66 18,5

2 Al-Ghasiyah 12,33 17,5

3 Ar-Rahman 9,66 18

4 Al-Fath 13 17

5 Az-Zukhruf 12,66 16

6 Ad-Dhukhan 12,33 16

Total 73,64 103

Rata-rata 12,27 17,16

Persentase 51,12% 71,16%

Keterangan Baik Sangat Baik

Catatan Meningkat

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

44

Berdasarkan hasil peningkatan penelitan yang dapat di lihat pada tabel

di atas, maka penelitian ini tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya karena pada

siklus II telah mengalami peningkatan dari siklus I.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka sesuai dengan

rumusan masalah, penelitian dapat disimpulkan bahwa:

a) Kemampuan komunikasi awal matematika siswa masih rendah sebelum

dilakukan tindakan penerapanmodel pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.

Hal ini ditunjukan pada hasil tes awal yang diberikan kepada 40 orang

siswa diperoleh 31 orang siswa atau 77,50% tingkat ketuntasan

belajarnya tidak mencapai KKM (≥ 75), sedangkan hanya 9 orang siswa

atau 22,50% yang mencapai nilai KKM (≥ 75). Dengan persentase

tersebut siswa belum mampu menjawab 4 soal tes dalam bentuk uraian.

Siswa belum bisa menjawab pertanyaan tentang ciri dan sifat persegi

panjang, siswa belum bisa menjawab pertanyaan tentang menghitung

keliling dan luas persegi dan persegi panjang.

b) Kemampuan komunikasi matematika siswa meningkat setelah dilakukan

tindakan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Hal ini

ditunjukan pada persentase ketuntasan hasil belajar pra siklus, siklus I dan

siklus II. Persentase ketuntasan pada hasil belajar pra siklus 22,50%,

meningkat pada siklus I menjadi 67,50% dan pada siklus II meningkat

dengan persentase ketuntasan mencapai 87,50%. Dengan persentase

tersebut siswa sudah mampu menjawab 4 soal tes dalam bentuk uraian.

Siswa bisa menjawab pertanyaan tentang ciri daan sifat persegi panjang,

siswa bisa menjawab pertanyaan tentang menghitung keliling dan luas

persegi dan persegi panjang. Dan siswa mampu mengubah gambar

kedalam bentuk uraian.

c) Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematika siswa pada materi bangun datar

persegi dan persegi panjang. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan

dari hasil observasi kemampuan komunikasi matematika siswa pada siklus

I yaitu persentase 51,12% dengan kreteria nilai “Baik”, dengan persentase

tersebut siswa sudah mulai berani untuk bertanya kepada teman

sekelompoknya dan berani bertanya kepada guru mengenai materi yang

belum dimengerti, kemudian siswa juga mampu memberikan jawaban atas

suatu pertanyaan dari teman sekelompoknya maupun pertanyaan dari

kelompok lain. Meningkat pada siklus II dengan persentase 71,16%

dengan kreteria “Sangat Baik”. Dengan persentase tersebut menunjukan

bahwa siswa sudah mampu memberikan gagasan yang rasional mengenai

materi yang di berikan, kemudian siswa mampu mempertahankan

pendapat dan dapat menerima kritik atas pendapatnya tersebut, selanjutnya

siswa juga sudah bisa merefleksikan gambar, sketsa atau tabel kedalam

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

45

bentuk tulisan, dan pada persentase tersebut juga siswa sudah bisa

mengubah bentuk uraian kedalam model matematika. Sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

jigsaw dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa

pada materi bangun datar persegi dan persegi panjang di kelas VII-2 MTs

Negeri Binjai T.A. 2016/2017.

2. Saran Dengan memperhatikan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti

memberikan saran sebagai berikut:

a) Bagi Peneliti

Sarana untuk mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan selama

penelitan serta menambah pengetahuan dan menambah pengalaman

peneliti dalam kegiatan pembelajaran matematika.

b) Bagi Siswa

Kepada siswa diharapkan agar lebih aktif lagi dalam proses belajar

mengajar. Terutama berani untuk bertanya dan menemukakan pendapat

untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa

sehingga pembelajaran bisa berlangsung dengan baik dan tercapai tujuan

pembelajaran yang diinginkan.

c) Bagi Guru dan Sekolah

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diharapkan dapat digunakan sebagai

salah satu alternatif pembelajaran matematika di MTs/SMP, karena

pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika

siswa. Sehingga sekolah perlu menyediakan fasilitas untuk kegiatan

pembelajaran yang diperlukan sebagai sarana untuk mendukung proses

pembelajaran.

d) Bagi Kepala Sekolah

Kepada kepala sekolah MTs. Negeri Binjai agar memberikan arahan dan

bimbingan kepada guru matematika untuk menggunakan model

pembelajaran yang bervariasi dalam rangka peningkatan hasil belajar

siswa khususnya matematika.

e) Bagi Peneliti lain / Pembaca

Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian tentang

model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dapat mengadakan penelitian

lebih lanjut tentang aspek-aspek lain dalam pembelajaran dan dapat

menerapkannya pada pokok bahasan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Bansu I. Ansari. 2016. Komunikasi Matematika. Banda Aceh: Yayasan Pena.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

46

BNSP. 2006. Standar Isi : Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Jakarta: tpn.

Chairun Nisa. 2014. Perbedaan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kemampuan

Pemahaman Konsep Matematika Antara Siswa yang Diajar dengan

Strategi pembelajaran Kooperatif Tipe Co-op Co-op dan Team game

Tournament (TGT) Pada Kelas VII MTs. Negeri Lubuk Pakam Tahun

Pelajaran 2013/2014. Skripsi. FITK. Medan: UIN-SU.

Ervina Maharani. 2014. Panduan Sukses Menulis Penelitian Tindakan Kelas yang

Simpel, Cepat dan Memika., Yogyakarta: Parasmu.

Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Miftahul Huda. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta :

Pustaka Belajar.

NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. Reston. VA: Authur.

http://educare.e-fkipunla.net. 1989. (diakses pada tanggal 04 Desember

2016).

Prastya A. Nugroho. 2010. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan

Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Think-Talk-Write (TTW). Skripsi. FMIPA. Yogyakarta:

UNY.

Sukino dan Wilson Simangunsong. 2006. Matematika untuk SMP Kelas VII.

Jakarta : Erlangga.

Syukur Kholil. 2007. Komunikasi Islami. Bandung: Ctpustaka.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

47

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

MATEMATIK SISWA MELALUI PENDEKATAN

MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

Oleh:

Oktaviana Nirmala Purba*

*Dosen Tetap Universitas Asahan (UNA)

JL. Jend. Ahmad Yani Kisaran 21224 Telp. (0623) 348583

Email: [email protected]

Abstact:

The purpose of this research is to know: (1) improvement of problem

solving ability of mathematics between students taught by using realistic

mathematics approach higher than mathematical problem solving ability of

students taught by using ordinary learning (2) is there any significant

interaction between early ability of mathematics Students and learning to

improve students' mathematical problem solving skills. This research is a

quasi experimental research. The population in this study were all students

of Shafiyyyatul Amaliyah High School Medan, which amounted to 250

students, by taking two class samples, totaling 62 students through

purposive sampling technique. The instruments used consisted of:

mathematical problem-solving test with Trigonometry material. The

instrument is said to have fulfilled the terms of content validity, as well as

the realibility coefficients for pretest and posttest of 0.861 and 0.859 for

mathematical problem solving abilities. The results of this study indicate

that: (1) the calculation result using two path anava that is 12,366 whereas

the value of sig 0,001 <0,05 means the improvement of problem solving

ability of mathematics between student which is taught by using realistic

mathematics approach higher than the ability of problem solving of

student mathematic which is taught By using ordinary learning, (2) the

result of two-track anova calculation is 0.275 with sig value. 0,761> 0,05

means there is no interaction between students 'early mathematical ability

and learning to improve students' mathematical problem solving abilities.

Based on research findings, realistic mathematical approach can be

recommended to be one of the learning approaches used in the main

school to achieve the competence of problem solving ability of

mathematics.

Keywords: mathematical problem solving, realistic mathematical approach.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

48

A. PENDAHULUAN

Penguasaan matematika sangat penting dalam meningkatan mutu sumber

daya manusia dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah

sewajarnya sejak SD dan bahkan sejak TK pelajaran matematika mulai

diperkenalkan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi

tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh,

mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang

selalu berubah dan kompetitif. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah

merupakan salah satu fokus pembelajaran matematika.

Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang

sangatpenting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya siswa

dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta

keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah. Hal

ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman (2003:8) bahwa :

”Pemecahan masalah adalah aplikasi dan konsep keterampilan. Dalam

pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi

konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang

berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur

luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat.

Beberapa konsep yang terlibat adalah bujur sangkar, garis sejajar dan

sisi, dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan

mengukur, menjumlahkan dan mengalikan”.

Menurut Polya, Pemecahan Masalahmatematika adalah suatu cara untuk

menyelesaikan masalah matematika dengan menggunakan penalaran matematika

(konsep matematika) yang telah dikuasai sebelumnya. Ketika siswa menggunakan

kerja intelektual dalam pelajaran, maka adalah beralasan bahwa pemecahan

masalah yang diarahkan sendiri untuk diselesaikan merupakan suatu karakteristik

penting (Silver, 1997:53). Pemecahan masalah juga dapat dipandang sebagai

suatu seni penemuan. Mengarahkan siswa untuk menjadi problem solver, bukan

hanya terbatas pada pembelajaran matematika tetapi juga dalam kehidupan dunia

nyata.

Dengan demikian, mendidik siswa untuk menjadi pemecah masalah yang

baik merupakan hal yang sangat penting di dalam pendidikan. Pengembangan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah matematik

dipandang sebagai sebuah tujuan penting di dalam program pengajaran

matematika. Pentingnya pemecahan masalah ini dinyatakan dalam salah satu

rekomendasi National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) yaitu

bahwa pemecahan masalah harus menjadi fokus pada pembelajaran matematika

untuk setiap level sekolah.

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan atau kompetensi

strategis yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pembelajaran dan

strategi pemecahan dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Ada

beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah

matematika bergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Namun, ada strategi

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

49

pemecahan masalah yang bersifat umum yaitu yang disarankan oleh George

Polya. Menurut Polya (Ruseffendi, 1991:169), untuk memecahkan suatu masalah

ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:

1. Memahami masalah.

Kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data)

yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah

informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi,

menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih

operasional (dapat dipecahkan).

Merencanakan pemecahannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba

mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang

memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan,

mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian

(membuat konjektur).

2. Menyelesaikan masalah sesuai rencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah:

menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya

untuk mendapatkan penyelesaian.

3. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah:

menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan

dan hasil yang diperoleh benar, atau apakah prosedur dapat dibuat

generalisasinya.

Kemampuan pemecahan masalah matematik pada siswa dapat diketahui

melalui soal-soal yang berbentuk uraian, karena pada soal yang berbentuk uraian

kita dapat melihat langkah-langkah yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan

suatu permasalahan, sehingga pemahaman siswa dalam pemecahan masalah dapat

terukur. Memecahkan soal berbentuk cerita berarti menerapkan pengetahuan yang

dimiliki secara teoritis untuk memecahkan persoalan nyata/keadaan sehari-hari.

Sehingga inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa terbiasa

mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik saja,

tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah

dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi

dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara

informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat masalah

dalam hasil belajar matematika siswa. Hal ini dapat dilihat ketika siswa diberikan

masalah trigonometri. Soal tersebut diujikan kepada 30 orang siswa, terdapat,

70% siswa belum mampu menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan, 73%

siswa belum mampu merencanakan penyelesaian masalah, 84% siswa belum

mampu melakukan perhitungan dengan benar, dan 85% siswa belum bisa

memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian. Hal ini menunjukkan bahwa

rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

50

Sujono (1988:57) mengemukakan suatu masalah matematika dapat

dilukiskan sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas,

pengertian, pemikiran yang asli atau imajinasi. Masalah matematika tersebut

biasanya berbentuk soal cerita, membuktikan, menciptakan atau mencari pola

matematika, masalah tersebut harus mengandung adanya “tantangan” dan “belum

diketahui prosedur rutin” dalam memecahkan masalah. Prosedurrutin di sini

adalah soal yang penyelesaiannya sudah bisa ditebak, diketahui rumusnya, dan

dengan satu atau dua langkah soal sudah biasa diselesaikan. Tidak semua

pertanyaan merupakan suatu masalah,bagi seseorang suatu pertanyaan bisa

menjadi suatu masalah sedang bagi orang lain tidak.Menurut Gorman (1974:123)

ada tiga kategori masalah non rutin yakni :

1. modified translation problems; merupakan translasi masalah dengan

informasi yang kurang,

2. process problems; merupakan masalah non standar yang

memerlukan satu atau lebih strategi untuk memecahkannya dan lebih

memerlukan kemampuan logika, danopen-ended and project

problems; merupakan masalah terbuka dengan banyak.

Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dikuasai oleh siswa,

sementara fakta di lapangan kemampuan tersebut masih rendah dan kebanyakan

siswa terbiasa melakukan kegiatan belajar dengan metode menghafal tanpa

dibarengi pengembangan memecahkan masalah. Pembelajaran selama ini yang

digunakan oleh guru belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-

soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa

untuk mengemukakan ide dan pendapat mereka, dan bahkan para siswa masih

enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang

disajikan guru. Di samping itu juga, guru senantiasa dikejar oleh target waktu

untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan tanpa memperhatikan kompetensi

yang dimiliki siswanya. Untuk menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan

masalah dalam pembelajaran matematika, guru harus mengupayakan

pembelajaran dengan menggunakan model-model belajar yang dapat memberi

peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa. Armanto (2001:20) menjelaskan bahwa “pembelajaran selama

ini menghasilkan siswa yang kurang mandiri, tidak berani punya pendapat sendiri,

selalu mohon petunjuk dan kurang gigih dalam melakukan uji coba”.Oleh

karenanya peneliti mencoba untuk menggunakan pendekatan dalam upaya

mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini khususnya untuk

meningkatkan pemecahan masalah matematik siswa yaitu dengan menerapkan

Pembelajaran matematika realistik .

Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa

untuk menyelesaikan masalah dengan strategi sendiri. Pembelajaran matematika

realistik juga ditegaskan adanya jalur belajar yang dilalui siswa dari masalah

sehari-hari ke simbol-simbol/ aturan/ rumus/ definisi. Selain itu juga ditekankan

adanya keterkaitan dengan topik lain sehingga pelajaran yang telah dipelajari

sebelumnya dapat digunakan kembali, sehingga menjadi lebih bermakna.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

51

Melengkapi penelitan-penelitian yang terdahulu, beberapa hal yang masih

perlu diungkap lebih jauh yaitu berkaitan dengan pembelajaran matematika yang

berdasarkan kemampuan awal matematika siswa yang dibedakan ke dalam

kelompok tinggi, sedang, dan rendah terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa. Dugaan bahwa kemampuan awal

matematika siswa yang dibedakan ke dalam kelompok kemampuan tinggi,

sedang, dan rendah adanya interaksi dengan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil belajar

matematika. Disebabkan oleh pemahaman materi atau konsep baru harus mengerti

dulu konsep sebelumnya hal ini harus diperhatikan dalam urutan proses

pembelajaran. Hal ini senada dengan Russefendi (1991:93) yang mengatakan

objek langsung dalam matematika adalah fakta, ketrampilan, konsep dan aturan

(prinsipal). Berdasarkan pernyataan tersebut maka objek dari matematika terdiri

dari fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip yang menunjukkan bahwa

matematika merupakan ilmu yang mempunyai aturan, yaitu pemahaman materi

yang baru mempunyai persyaratan penguasaan materi sebelumnya.

Tes awal diberikan kepada siswa untuk mengetahui kemampuan awal

siswa sebelum siswa memasuki materi selanjutnya. Menurut Ruseffendi (1991:67)

setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda, ada siswa yang pandai, ada

yang kurang pandai serta ada yang biasa-biasa saja serta kemampuan yang

dimiliki siswa bukan semata-mata merupakan bawaan dari lahir (hereditas), tetapi

juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lingkungan

belajar khususnya model pembelajaran menjadi sangat penting untuk

dipertimbangkan artinya pemilihan model pembelajaran harus dapat

meningkatkan kemampuan matematika siswa yang heterogen.

Bagi siswa yang memiliki kemampuan sedang atau rendah, apabila model

pembelajaran yang digunakan oleh guru menarik dan menyenangkan, sesuai

dengan tingkat kognitif siswa sangat dimungkinkan pemahaman siswa akan lebih

cepat dan akhirnya dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa. Sebaliknya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi tidak

begitu besar pengaruh model pembelajaran terhadap kemampuan dalam

matematika. Hal ini terjadi karena siswa kemampuan tinggi lebih cepat

memahami matematika.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian kuantitatif ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi

experiment). Dalam quasi experiment Sugiyono (2013:114) mengatakan bahwa

desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya

untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan

eksperimen.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Shafiyyatul

Amaliyah Medan Tahun Ajaran 2016-2017 yang terdiri dari 250 siswa. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik purpose

sampling.Sukardi (2008:64) mengatakan bahwa: “purpose sampling adalah teknik

untuk menentukan seseorang menjadi sampel atau tidak didasarkan pada tujuan

tertentu”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik purpose sampling

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

52

adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pada pertimbangan tertentu sesuai

dengan tujuan yang dikehendaki.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest Postest control

group design. Rancangan penelitiannya disajikan pada tabel1:

Tabel 1. Rancangan Penelitian

Kelas Pretes Perlakuan Postes

PBM O1 X O2

PB O1 O2

Keterangan :

X : Adanya perlakuan Pembelajaran Berbasis Masalah

O1 : Pretest

O2 : Postest

C. HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan pretest dan postest kepada siswa diperoleh N-gain

masing-masing kelas untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematiksiswa yang diberi pendekatan matematika realistik dan yang diberi

pembelajaran biasa. Rata-rata N-gain kemampuan pemecahan masalah matematik

siswa pada kelas eksperimen sebesar 0,52 dan pada kelas kontrol 0,33.

Untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa yang diajar dengan menggunakan pendekatan matematika

realistik lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematik

siswayang diajar dengan menggunakan pembelajaran biasa serta untuk

mengetahui apakah terdapat interaksi yang signifikan antara kemampuan awal

siswa dan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa, digunakan anava dua jalur. Dari data N-gain kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa diketahui data berdistribusi normal dan

homogen. Berikut hasil analisis statistik:

Tabel 2. Pengujian Normalitas Indeks Gain Hasil Tes Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematik pada Kelas PMR dan Kelas PB

Tests of Normality

Pembelajaran

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

N_Gain PB .106 31 .200* .951 31 .170

PBM .065 31 .200* .979 31 .789

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

53

Tabel 3. Pengujian Homogenitas Indeks Gain Hasil Tes Kemampuan

Pemecahan Masalah pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Test of Homogeneity of Variance

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

N_Gain Based on Mean .147 1 60 .703

Based on Median .138 1 60 .712

Based on Median and with adjusted df .138 1 57.551 .712

Based on trimmed mean .137 1 60 .713

Tabel 4. Hasil Uji Anava Dua Jalur Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematik

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:N_Gain

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .180a 5 .036 5.560 .000

Intercept 12.359 1 12.359 1.911E3 .000

Pembelajaran .080 1 .080 12.366 .001

KAM .009 2 .004 .682 .510

Pembelajaran *

KAM .004 2 .002 .275 .761

Error .362 56 .006

Total 21.072 62

Corrected Total .542 61

a. R Squared = ,332 (Adjusted R Squared = ,272)

Berdasarkan tabel 4 diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar 5% atau

∝ = 0,05 dimana Sig. <∝, yaitu 0,000<0,05. Sehingga H0 ditolak dan Ha diterima.

Dengan demikian peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa

yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistic lebih tinggi daripada

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajarkan

pembelajaran biasa.

Output SPSS pada tabel di atas memberikan nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 yang

ditunjukkan pada baris KAM*Pembelajaran sebesar 0,806 pada taraf signifikasi

0,05, sehingga Sig. > 0,05 yaitu 0,452> 0,05, maka H0 diterima dan 𝐻𝑎 ditolak.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

54

Dengan demikian, tidak terdapat interaksi antara KAM dan Pembelajaran

terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

D. PEMBAHASAN PENELITIAN

1. Faktor Pembelajaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistik

lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik

siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran biasa.

Pada penelitian ini, peneliti langsung berperan sebagai pelaksana pada

kelas eksperimen dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. Secara

umum pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik

berjalan dengan baik. Semua komponen dalam pembelajaran ini dapat

dilaksanakan dengan baik, termasuk dalam pembagian masing-masing kelompok.

Hanya saja, pada pertemuan pertama, kondisi pembelajaran kurang begitu

kondusif. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : (1) waktu yang tidak

mencukupi, (2) ada beberapa siswa yang tidak merasa cocok dengan siswa lain

dalam kelompoknya hal ini berakibat penyerapan materi pembelajaran oleh siswa

kurang maksimal, (3) siswa belum terbiasa melakukan pembelajaran

menggunakan pendekatan matematika realistik.

Pada kegiatan pendekatan matematika realistik, akan diuraikan sebagai

berikut :

a) Memahami masalah kontekstual, disini siswa diarahkan dalam memahami

masalah-masalah yang terdapat pada LKS dimana proses penyelesaian

masalah menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah

matematik.Karakteristik fase ini adalah menggunakan masalah sebagai

starting point untuk menuju ke matematika formal sampai pada

pembentukan konsep.

b) Menjelaskan masalah kontekstual, disini guru memberi petunjuk atau

berupa saran seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipahami

siswa. Penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Karakteristik

fase ini adalah interaksi antara siswa dan guru

c) Menyelesaikan masalah kontekstual, memberi petunjuk pernyatan atau

saran dan siswa bekerja secara individual dengan cara mereka sendiri.

Karakteristik fase ini adalah menggunakan model

d) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, memberikan kesempatan

kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban soal

secara berkelompok, kemudian didiskusikan secara menyeluruh di dalam

kelas. Karakteristik fase ini adalah menggunakan kontribusi siswa dan

terdapat interaksi antara siswa yang satu dengan yang lain

e) Menyimpulkan, siswa menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.

f) Berdasarkan sintaks pendekatan matematika realistik jelas hal ini sangat

mempengaruhi anak dalam meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah matematik siswa.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

55

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam

menyelesaikan soal-soal non rutin, yaitu soal yang dalam proses penyelesaiannya

tidak memiliki prosedur yang tetap dan juga membutuhkan kemampuan berpikir

kritis, kreatif, dan logis.Hudojo (2001: 165) mengatakan bahwa “Adapun

pemecahan masalah, secara sederhana, merupakan proses penerimaan masalah

sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut”.Polya (1945)

menjelaskan beberapa langkah yang digunakan untuk memecahkan masalah, yaitu;

(1) understanding the problem, (2) devising a plan, (3) carrying out the plan, dan

(4) looking back.

Walaupun tidak memiliki prosedur tetap dalam proses penyelesaiannya,

tetapi ada beberapa strategi yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah masalah.

Walle (2007) mengatakan bahwa terdapat strategi yang sering digunakan dalam

penyelesaian masalah, yaitu; (1) Membuat gambar, menggunakan gambar, dan

menggunakan model, dimana menggunakan gambar akan memperluas model ke

dalam interpretasi nyata dari situasi masalah, (2) Mencari pola karena pola-pola

bilangan dan operasi memainkan peran yang sangat besar dalam membantu siswa

belajar dan menguasai fakta-fakta dasar, (3) Membuat tabel atau diagram yang

biasanya sering digabungkan dengan pencarian pola dalam memecahkan masalah,

(4) Coba versi yang sederhana dari soal karena dengan menyelesaikan soal yang

lebih mudah diharapkan akan memperoleh wawasan yang kemudian dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah, (5) mencoba dan memeriksa, salah satu

strategi yang baik digunakan ketika bingung karena cara coba-coba yang salah

sekalipun dapat membawa kepada ide yang lebih baik,.

Kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah kemampuan

siswa dalam menyelesaikan soal soal non rutin. Adapun langkah-langkah yang

harus dilakukan oleh siswa adalah; (1)memahami masalah, (2)merencanakan

langkah-langkah penyelesaian masalah, (3) melaksanakan proses pencarian solusi

berdasarkan yang telah direncanakan, dan (4) memeriksa kembali solusi yang

diperoleh. Keempat langkah tersebut akan menjadi indikator kemampuan

pemecahan masalah siswa pada penelitian ini.

Berdasarkan 4 (empat) indikator kemampuan pemecahan masalah

matematik yang disusun dalam butir soal, dari hasil pekerjaan siswa

menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan PBM lebih

unggul dibanding menggunakan pembelajaran biasa. Dari empat indikator

kemampuan pemecahan masalah matematik yang terdiri dari (1)memahami

masalah, (2)merencanakan langkah-langkah penyelesaian masalah, (3)

melaksanakan proses pencarian solusi berdasarkan yang telah direncanakan, dan (4)

memeriksa kembali solusi yang diperoleh. Terlihat bahwa pada indikator

memahami masalahrata-rata N-Gain pada kelas PBM sebesar (0,46) dan pada

kelas PB sebesar (0,24). Sedangkan untuk indikator merencanakan langkah-

langkah penyelesaian masalahrata-rata N-Gain pada kelas PBM (0,68) dan pada

kelas PB (0,42). Pada indikator melaksanakan proses pencarian solusi berdasarkan

yang telah direncanakan, rata-rata N-Gain pada kelas PBM sebesar (0,46) dan

pada kelas PB (0,35). Pada indikator memeriksa kembali solusi yang

diperoleh.pada kelas PBM sebesar (0,60) dan pada kelas PB sebesar (0,28).

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

56

Walaupun hasil evaluasi menunjukan bahwa siswa kelompok eksperimen lebih

unggul daripadasiswa kelompok kontrol, tetapi masih ada siswa kelompok

eksperimen yang melakukan kekeliruan dalam menjawab soal nomor 3 dan 4.

Selain itu, dilakukan pengujian hipotesis statistik kedua untuk mengukur

apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas

eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol. Dengan

ditolaknya 𝐻0 dan diterimanya 𝐻𝑎 menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi secara

signifikan daripada kelas kontrol.

3. Interaksi Antara Faktor Pembelajaran dengan Kemampuan Awal

Siswa Terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa

Interaksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi antar faktor

pembelajaran dan kemampuan awal siswa dalam peningkatan kemampuan

pemecahan masalah siswa. Selanjutnya, faktor pembelajaran dan kemampuan

matematika siswa tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan

kemampuan pemecahan masalah, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang

menunjukkan tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan kemampuan awal

matematika siswa dalam meningkatkan kemampuan kemampuan pemecahan

masalah. Secara teoritis interaksi terjadi karena dipengaruhi oleh pembelajaran

yang digunakan guru dalam mengeksplorasi kemampuan matematik.Sesuai

dengan pernyataan Russefendi (1991:89) bahwa prestasi belajar siswa selain

tergantung dari kepandaian siswa juga tergantung dari macam pengajaran

matematika.

Hasil penelitian rata-rata gain ternormalisasi kemampuan pemecahan

masalah berdasarkan pendekatan matematika realistik untuk kelompok tinggi,

sedang dan rendah yaitu 0,3905, 0,3401 dan 0,3186. Sedangkan untuk

pembelajaran biasa rata-rata gain ternormalisasi untuk kelompok tinggi, sedang

dan rendah yaitu 0,33, 0,36 dan 0,29. Sedangkan berdasarkan rata-rata, tampak

siswa dengan kategori KAM rendah mendapat “keuntungan lebih besar” dari

pembelajaran pendekatan matematika realistik dengan selisih skor 0,53sementara

itu skor untuk siswa berkategori KAM sedang 0,52dan berkategori KAM tinggi

0,55.Hal ini, berarti bahwa tidak terdapat peningkatan secara bersama-sama yang

disumbangkan oleh pembelajaran dankemampuan awal matematika siswa

terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

Selanjutnya, hasil penelitian kemampuan pemecahan masalah dalam

interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kemampuan awal siswa dapat

diketahui dari hasil uji ANAVA dua jalur yang diperoleh dari nilai F sebesar

0,273 dengan nilai signifikansi sebesar 0,0,761 lebih besar dari taraf signifikansi

0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat interaksi

antara pembelajaran (PMR dan pembelajaran biasa) dengan tingkat kemampuan

awal siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematik siswa. Hasil temuan ini senada dengan penelitian

yang dilakukan oleh Napitupulu (2011) dan Khayroiyah (2012:154) yang

menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dan faktor

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

57

kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik

siswa.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan. Diperoleh beberapa simpulan sebagai

berikut :

a) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

pembelajarannya menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)

lebih tinggi dari pada yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran

biasa.

b) Tidak terdapat interaksi antara pendekatanpembelajaran dengan

kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah.

c) Proses penyelesaian jawaban siswa pada kelas eksperimen lebih lengkap

dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematik dibandingkan

dengan siswa pada kelas kontrol yang kewalahan dan kesulitan dalam

menyelesaikannya.

2. Saran

Sarannya adalah sebagai berikut :

a) Bagi para guru matematika

Pendekatan PMR pada kemampuan pemecahan masalah matematik

siswa dapat diterapkan pada semua kategori KAM. Oleh karena itu

hendaknya pendekatan ini terus dikembangkan di lapangan yang

membuat siswa terlatih dalam memecahkan masalah melalui proses

memahami masalah, merencanakan pemecahan, menyelesaikan masalah,

memeriksa kembali. Peran guru sebagai fasilitator perlu didukung oleh

sejumlah kemampuan antara lain kemampuan memandu diskusi di kelas,

serta kemampuan dalam menyimpulkan. Di samping itu kemampuan

menguasai bahan ajar sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki guru.

Untuk menunjang keberhasilan implementasi pendekatan PMR diperlukan

bahan ajar yang lebih menarik dirancang berdasarkan permasalahan

kontektual yang merupakan syarat awal yang harus dipenuhi sebagai

pembuka belajar mampu stimulus awal dalam proses pembelajaran yang

dilaksanakan.

b) Bagi peneliti selanjutnya.

Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat

dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum

terjangkau saat ini.

c) Bagi lembaga terkait

Untuk lembaga terkait agar mensosialisasikan pendekatan matematika

realistik (PMR) diterapkan dalam proses pembelajaran sehingga

meningkatnya kemampuan matematika yang dimiliki oleh siswa,

khususnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

58

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak berkesulitan Belajar. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Armanto, Dian. 2001. Aspek perubahan pendidikan Dasar Matematika Melalui

Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Medan.

Gorman. 1974. The Psychology of C lassroom Learning and Inductive Approach.

Colombus. Ohoio. Charlees E. Merill Publishing.

Hudujo,H.2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.

Malang: Universitas Negeri Malang.

Khayroiyah, S. 2012.Analisis Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan

Penalaran Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran

Berbasis Masalah dan Pembelajaran Biasa Pada Siswa SMP. Tesis.

Medan : PPs Unimed. (Tidak dipublikasi)

Napitupulu, E. 2011.Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah atas

Kemamuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta

Sikap Terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi.

Bandung: PPs UPI Bandung. (Tidak dipublikasi).

Ruseffendi, E.T. 1991.Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan

CBSA. Bandung: Tarsito.

Polya, G (1985). How to Solve it. A New Aspect of Mathematical Method. New

Jersey : Princeton University Press.

________(1985) Mathematical Discovery on Understanding, Learning an

Teaching Problem Solving. New york: John Wiley & Sons.

Silver, E.A.(1997).The Nature and use of open problem in mathematics Education

Mathematical and pedagogital perspective.ZDM: International reviews

on mathematical education (1995).

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta:

Depdikbud.

Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

59

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN LOGIS DAN

KOMUNIKASI MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS)

DI SMP NEGERI 24 MEDAN

Oleh :

Siti Zahara H. Harahap*

*Dosen Universitas Quality Medan

Jl. Ringroad – Ngumban Surbakti No. 18 Medan

Email: [email protected]

Abstract:

The objectives of this study are to observe whether : (1) the improvement

of students’ logical reasoning ability thought by TPS cooperative learning

model is higher than those taught by expository learning model, (2) the

improvement of students’ mathematical communication ability taught by

TPS cooperative learning model is higher than those taught by exspository

learning model, This study was held at SMP Negeri 24 Medan by having

56 students as sample. This study used quasi-experimental method with

pretest-postest control group design. The population of this study was all

students of grade VIII taking two classes (experimental 1 class and

experimental 2 class) through random sampling technique. The instrument

had required content validity and coefficient reliability. Data were anayzed

by t test. Before it was used t test the normality and homogenity tests with

significant level 5% had been done. The result of data analysis showed

that the average of N-Gain logical reasoning ability test is 0,65 in

experiment class, while 0,5 in control class, with sig = 0,007 and

0.007 < α 0,05. Therefore, the improvement of students’ logical

reasonig ability taught by experiment class is higher than control class.

The average of N-Gain communication ability test in experiment is

0,62 in experiment class, while and 0,38 in control class, with sig =

0,000 and 0.000 < α 0,05. Therefore, the improvement of students’

communication ability taught by experiment class is higher than control

class.

Keywords:

TPS Cooperative Learning, Logical Reasoning Ability, Mathematical

Communication Ability

A. Pendahuluan

Rendahnya nilai matematika siswa ditinjau dari lima aspek kemampuan

matematika yang dirumuskan oleh NCTM (2000) yaitu kemampuan pemecahan

masalah matematis, komunikasi matematis, koneksi matematis, penalaran

matematis dan representasi matematis. Pengelompokan ini sejalan dengan

tuntutan kemampuan yang disarankan pemerintah melalui kurikulum

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

60

pembelajaran matematika tahun 2006 yang menjadi acuan penilaian secara

nasional. Namun dalam penelitian ini hanya membahas pada kemampuan

penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Keraf (1982) mengatakan

penalaran (reasoning) merupakan proses berpikir yang berusaha menghubung-

hubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju suatu kesimpulan. Aktivitas

bernalar harus dilakukan siswa, jika mereka tidak melakukan aktivitas berfikir

ketika belajar, maka yang mereka peroleh hanya sekedar hafalan dan tidak

memahami inti atau konsep dari materi yang telah dipelajari. TIMSS (Napitupulu,

2008 : 27) menilai bahwa penalaran merupakan hal yang penting sebagai bagian

dari ranah kognitif sehingga menjadikannya satu komponen penilaian dalam

evaluasinya.

Namun, dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran logus siswa

masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian observasi lapangan yang dilakukan di

SMP Negeri 24 Medan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran logis siswa

masih rendah dilihat dari soal yang diberikan kepada siswa yaitu: suatu gedung

bertingkat dapat dikerjakan 12 orang dalam waktu 48 hari. Jika gedung tersebut

harus selesai dalam waktu 36 hari. Berapakah tambahan pekerja yang dibutuhkan

untuk menyelesaikan gedung? Hasilnya menunjukkan ternyata banyak siswa yang

mengalami kesulitan untuk menentukan posisi dari nilai suatu perbandingan

apakah soal tersebut merupakan perbandingan senilai atau berbalik nilai dan siswa

mengalami kesulitan dalam proses perhitungannya.

Selain kemampuan penalaran logis, kemampuan komunikasi matematis juga

perlu dikuasai siswa karena dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari peran

komunikasi. Menurut Cole dan Chan (Ansari, 2009 : 8), yaitu keberhasilan suatu

proses belajar mengajar bergantung pada bentuk komunikasi yang digunakan oleh

guru, pada saat berinteraksi dengan siswa. Beberapa hal yang harus dilakukan

adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan

berargumentasi secara lisan dan tertulis, mangajukan atau menjawab pertanyaan

dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas. Karena itu kemampuan

komunikasi matematis siswa penting.

Namun, Setelah dilakukan observasi di SMP Negeri 24 Medan

menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah

terlihat dari soal yang diberikan pada siswa yaitu: Sebuah model pesawat terbang

panjang badannya 18 cm, lebar sayapnya 12 cm. Jika lebar sayap pesawat

sesungguhnya 8 m, buatlah model matematika dari persoalan tersebut? Setelah itu

berapakah panjang badan pesawat sesungguhnya? Hasilnya juga menunjukkan

siswa mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematisnya

secara tertulis, dapat dilihat dari penyelesaian yang dibuat siswa, siswa juga tidak

mampu menuliskan model matematika dari persoalan yang diberikan. Siswa juga

kurang membaca dan memahami persoalannya sehingga melakukan kesalahan

dalam menafsirkan soal, ini disebabkan kurangnya pemahaman konsep siswa

terhadap materi ajar yang diberikan kepadanya akibatnya kemampuan komunikasi

matematis siswa rendah.

Rendahnya kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah pembelajaran.

Umumnya proses pembelajaran yang sering dilakukan di kelas lebih terpusat

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

61

kepada guru (teacher-centered) bukan terpusat kepada siswa (student centered),

ini berarti guru yang aktif sedangkan siswa pasif selama pembelajaran. Guru

menyampaikan pelajaran secara konvensional, sementara siswa mencatatnya pada

buku catatan. Pembelajaran lebih menekankan pada latihan mengerjakan soal

dengan menghafal dan mengulang prosedur, menggunakan rumus atau algoritma

tertentu, tidak mendukung pada keterampilan berpikir tingkat tinggi dan

kreativitas siswa dalam memecahkan masalah.

Pelaksanaan pembelajaran seperti ini menimbulkan konsekuensi yang

berdampak negatif kepada siswa. Misalkan kurangnya kemampuan pemahaman

konsep matematika yang dimiliki siswa, kenyataannya kemampuan untuk

memahami suatu permasalahan matematis kemudian mengubahnya kedalam

bentuk simbol-simbol matematika merupakan kemampuan yang diperlukan dalam

komunikasi matematis. Selain itu jika siswa diberi soal yang beda dengan soal

latihan, mereka kebingungan karena tidak tahu harus memulai dari mana mereka

bekerja untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal seperti inilah yang membuat

siswa lebih banyak bergantung pada guru, sehingga sikap ketergantungan inilah

yang kemudian menjadi karakteristik siswa yang secara tidak sadar tumbuh dan

berkembang menjadi kepribadian siswa itu sendiri.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah

tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Think

Pair Share (TPS). Model pembelajaran ini merupakan perpaduan antara belajar

secara mandiri dan belajar secara kelompok. Lie (2008:43) mengungkapkan

bahwa siswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi akan mendapatkan

manfaat secara kognitif ataupun afektif dalam kegiatan pembelajaran kooperatif

dengan siswa yang berkemampuan rendah. Dengan mengajarkan apa yang

seseorang baru pelajari, dia akan lebih dapat menguasai atau menginternalisasi

pengetahuan dan keterampilan barunya.

Model pembelajaran ini selain mengacu pada aktivitas berpikir, berpasangan

dan berbagi juga dirancang untuk mengatasi pola interaksi siswa, sehingga dapat

meningkatkan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis. Selain itu

siswa dapat mempeoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya

dengan seluruh siswa sehingga ide dari masing-masing kelompok menyebar.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merasa perlu untuk mengadakan

penelitian tentang penerapan model Kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan

kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa, sebab dalam

pembelajaran ini dimulai dengan melakukan aktifitas berfikir secara individu,

kemudian secara berpasangan sehingga dapat mengkontruksikan pengetahuan

yang dipeoleh dari sebelumnya dan menggambungkan dengan pengetahuan yang

diperoleh pada saat pembelajaran berlangsung.

Disamping itu, siswa dapat saling sharing untuk menyelesaikan masala

sehingga dapat meningkatkan aktifitas dan keterampilan sosial siswa dengan

adanya saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan.

B. Metodologi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 24 Medan,

sebagai sampel dalam penelitian ini, secara acak dipilih dua kelas secara acak

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

62

maka terpilihlah siswa kelas VIII-A dan VIII-C yang kemudian secara acak

dipilih pula kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam penelitian ini terpilih kelas

VIII-C sebagai kelas eksperimen dan VIII-A sebagai kelas kontrol, dengan

masing jumlah siswa pada kelas tersebut adalah 28 siswa

Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan pretest-postest control

group design.

Tabel 1. Desain Penelitian

Kelompok Pretes Perlakuan Postest

Eksperimen O1 X1 O2

Kontrol O1 O2

Keterangan:

O1 : Tes pretes

O2 : Tes postes

X1 : Diberi perlakuan pembelajaran kooperatif tipe TPS

Instrumen pengumpulan data melalui tes kemampuan penalaran logis dan

komunikasi matematis siswa. Data yang diperoleh melalui tes, digunakan untuk

melihat peningkatan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis

siswa. Analisis statistik yang digunakan uji-t.

C. Hasil Penelitian Setelah dilakukan pretest dan postest kepada siswa diperoleh N-Gain

masing-masing kelas untuk melihat apakah terdapat peningkatan kemampuan

penalaran logis dan komunikasi matematis antara siswa yang diberi model

Kooperatif tipe TPS dan siswa yang diberi model pembelajaran ekspositori. Rata-

rata N-Gain kemampuan penalaran logis siswa pada kelas eksperimen sebesar

0,65 dan pada kelas kontrol sebesar 0,53 sedangkan rata-rata N-gain kemampuan

komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen sebesar 0,62 dan pada kelas

kontrol 0,38. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran logis dan

komunikasi matematis siswa yang diberi model Kooperatif tipe TPS dan siswa

yang diberi model pembelajaran ekspositori digunakan uji t. Dari data N-gain

kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa diketahui data

berdistribusi normal dan homogen.

Tabel 2 : Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Penalaran

Logis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Tests of Normality

KELAS

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

PENALARAN EKSPERIMEN .131 28 .200* .941 28 .117

KONTROL .138 28 .184 .970 28 .568

a. Lilliefors Significance Correction

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

63

Tabel 3 : Hasil Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Penalaran

Logis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

PENALARAN Based on Mean 1.372 1 54 .247

Based on Median 1.121 1 54 .294

Based on Median and with adjusted df

1.121 1 53.709 .294

Based on trimmed mean 1.339 1 54 .252

Tabel 4 : Hasil Uji-t Kemampuan Penalaran Logis Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. T Df Sig. (2-

tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

PENALARAN

Equal variances assumed

1.372 .247 2.828 54 .007 .12429 .04395 .03617 .21240

Equal variances

not assumed

2.828 52.811 .007 .12429 .04395 .03613 .21245

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas dengan menggunakan uji-t

pada taraf signifikasi α = 0,05 diperoleh thitung sebesar 2,828 dengan nilai

signifikansi 0,007 sedangkan pada ttabel sebesar 1,70. Karena thitung >ttabel(2,828>1,70) dan signifikansi α < 0,05 (0,007<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kemampuan penalaran logis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi

daripada kelas kontrol.

Tabel 5 : Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Tests of Normality

KELAS

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

KOMUNIKASI EKSPERIMEN .149 28 .113 .944 28 .137

KONTROL .157 28 .076 .956 28 .284

a. Lilliefors Significance Correction

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

64

Tabel 6: Hasil Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

KOMUNIKASI Based on Mean .187 1 54 .667

Based on Median .126 1 54 .724

Based on Median and with adjusted df

.126 1 50.628 .724

Based on trimmed mean .180 1 54 .673

Tabel 7 : Uji t Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t Df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

KOMUNIKASI

Equal variances assumed

.187 .667 5.068 54 .000 .24000 .04736 .14506 .33494

Equal variances not assumed

5.068 52.229 .000 .24000 .04736 .14498 .33502

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas dengan menggunakan uji t

pada taraf signifikasi α = 0,05 diperoleh thitung sebesar 5,068 dengan nilai

signifikansi 0,000 sedangkan pada ttabel sebesar 1,70. Karena thitung >ttabel(5,068>1,70) α < 0,05 (0,000<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan

kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi

daripada kelas kontrol.

D. PEMBAHASAN PENELITIAN

a. Faktor Pembelajaran

Faktor pembelajaran merupakan salah satu hal yang paling berpengaruh

terhadap kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Tiap

tahap dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS memberi kontribusi

terhadap peningkatan kemampuan siswa serta dapat memperoleh hasil yang

optimal. Keenam tahapan tersebut meliputi: tahap 1 menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswa, Tahap 2 Think (berfikir individu), Tahap 3 Pair (berpasangan),

Tahap 4 Share (berbagi/presentasi), Tahap 5 Evaluasi, Tahap 6 Memberikan

penghargaan.

Lembar aktivitas siswa (LAS) dirancang sesuai dengan tahap pada model

pembelajaran kooperatif tipe TPS, yakni: berhubungan dengan masalah

kontekstual, tidak terpisah dari proses problem solving dan dimulai dengan

pengetahuan informasi siswa serta terorganisasi secara matematis, sehingga siswa

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

65

mampu mengkonstruksikan pemikirannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang

telah dimiliki sebelumnya.

Selama aktivitas pembelajaran berlangsung akan timbulnya interaksi

antara siswa dengan siswa yang merupakan hal terpenting dalam melihat

kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis siswa. Selain itu dapat

menumbuhkan sikap saling membantu, saling menghargai, saling berbagi dan

saling diuntungkan antara siswa yang kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

b. Kemampuan Penalaran Logis

Kemampuan penalaran logis siswa adalah tingkat berpikir siswa dalam

menggunakan aturan, sifat-sifat dan logika matematika yang diukur dan dievaluasi

berdasarkan komponen kemampuan cara berpikir untuk mencari kebenaran

berdasarkan fakta analogi, generalisasi, dan kondisional sesuai dengan informasi

yang diberikan.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap rata-rata skor pretes yang

dilakukan pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui model

pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan rata-rata sebesar 5,00 dan pada

kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositrori dengan rata-rata

sebesar 4,04. Dari hasil pengujian data rerata skor pretes terhadap kedua

kelompok dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan awal

yang sama atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Setelah adanya pembelajaran dilakukan postes dan hasil rata-rata skor

postes kemampuan penalaran logis siswa yang memperoleh model pembelajaran

Kooperatif tipe TPS sebesar 12,11 dan pada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori sebesar 10,30. Kemudian N-gain kemampuan penalaran

logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar

0,65 dan pada siswa yang memperoleh pembeleajaran ekspositori sebesar 0,53.

Dari hasil N-gain tersebut diketahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran

logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih

tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan

𝛼 = 0,05 diperoleh kemampuan penalaran logis dengan nilai signifikan 0,007,

karena 0,007 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan

penalaran logis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS

lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran ekspositori.

c. Kemampuan Komunikasi Matematis

Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah konstektual secara tulisan yaitu: (a) Menyatakan

masalah kehidupan sehari-hari ke dalam bahasa atau simbol matematis. (b)

menuliskan informasi dari situasi matematika ke dalam model matematika (c)

Menginterpretasikan model atau situasi matematis dalam bentuk diagram.

Dari hasil penelitian didapat bahwa rata-rata skor pretes komunikasi

matematis yang dilakukan pada kelompok siswa yang memperoleh model

pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar 4,79 dan siswa yang memperoleh model

pembelajaran ekspositori sebesar 3,89 Setelah adanya pembelajaran dilakukan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

66

postes dan hasil rata-rata skor postes kemampuan komunikasi matematis siswa

yang memperoleh model pembelajaran Kooperatif tipe TPS sebesar 11,61 dan

pada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori sebesar 8,39. Kemudian

N-gain kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model

pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar 0,62 dan pada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori sebesar 0,38. Dari hasil N-gain tersebut diketahui bahwa

peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model

pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran ekspositori.

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan uji t pada taraf signifikan

𝛼 = 0,05 diperoleh kemampuan komunikasi matematis dengan nilai signifikan

0,000, karena 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan

kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran

kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh model

pembelajaran ekspositori.

E. Saran

Penelitian mengenai penerapan pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TPS ini, masih merupakan langkah awal dari

upaya meningkatkan kompetensi dari guru, maupun kompetensi siswa.

Oleh karena itu, berkaitan dengan temuan dan kesimpulan dari studi ini

dipandang perlu agar rekomendasi-rekomendasi berikutnya dilaksanakan

oleh guru matematika SMP, lembaga dan peneliti lain yang berminat.

1. Kepada Guru

Model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada kemampuan

penalaran logis dan komunikasi matematis siswa dapat diterapkan pada

semua kategori KAM. Oleh karena itu hendaknya model pembelajaran ini

terus dikembangkan di lapangan yang membuat siswa terlatih dalam

memecahkan masalah melalui analogi, generalisasi, kondisional dan

silogisme. Begitu juga halnya dalam mengkomunikasikan matematika siswa

melalui proses menyatakan gambar ke dalam ide matematika, menyatakan

masalah matematika dalam bentuk gambar, dan menuliskan informasi dari

pernyataan ke dalam bahasa matematika. Peran guru sebagai fasilitator perlu

didukung oleh sejumlah kemampuan antara lain kemampuan memandu diskusi di

kelas, serta kemampuan dalam menyimpulkan. Di samping itu kemampuan

menguasai bahan ajar sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki guru. Untuk

menunjang keberhasilan implementasi model pembelajaran kooperatif tipe TPS

diperlukan bahan ajar yang lebih menarik dirancang berdasarkan permasalahan

kontektual yang merupakan syarat awal yang harus dipenuhi sebagai pembuka

belajar mampu stimulus awal dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan.

2. Kepada lembaga terkait

Pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menekankan kemampuan

penalaran logis dan komunikasi matematis siswa masih sangat asing bagi guru

maupun siswa, oleh karenanya perlu disosialisasikan oleh sekolah atau lembaga

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

67

terkait dengan harapan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa,

khususnya meningkatkan kemampuan penalaran logis dan komunikasi matematis

siswa.

3. Kepada peneliti yang berminat

Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat

dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum

terjangkau saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B.I. (2009). Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh:

Pena.

NCTM. (2000). Mathematic Assesment A Practical Handbook. Virginia, The

National Council of Teacher Mathematic Inc.

Keraf, G. (1982). Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta :

Gramedia.

Lie, A. (2008). Cooperative Learning. Jakarta : PT Gramedia.

Napitupulu, E. (2008) Jurnal Pendidikan Matematika Paradigma. Vol 1 No. 1

Edisi Juni 2008.

Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan.

Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi

Matematik Siswa Sekolah Menegah Pertama Melalui Pendekatan

Matematika Realistik. Disertasi UPI : Tidak diterbitkan

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,

Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidkan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

68

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

FORMULATE-SHARE-LISTEN-CREATE (FSLC)

Oleh:

Reflina*

*Dosen Tetap Prodi Pendididkan Matematika FITK UIN-SU Medan

Jl.Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

e-mail: [email protected]

Abstract:

The research was grounded by the results of previous research which showed that

students’ mathematical representation ability is not as expected. One of learning

strategy for enhancing mathematical representation thinking ability is formulate-

share-listen-create (FSLC). This study examines the enhancement of students’

mathematical representation ability through the application of FSLC learning

strategy. Through a quasi experiment with non-equivalent control group design

involved 41 eight-grade students from a Islamic junior high school in Way Jepara.

Instrument of the study consist a set of mathematical representation ability test, and

observation. Data are analyzed by using t-test. The result obtained is the

enhancement of students’ mathematical representation ability who were

taught under FSLC learning strategy is better than those who were taught

under conventional learning.

Key Words: formulate-share-listen-create (FSLC), mathematical representation

ability.

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan cara

berpikir yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui belajar

matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan berpikir

sistematis, logis dan kritis dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam

pemecahan masalah.Kemampuan representasi merupakan suatu hal yang

dibutuhkan untuk mendukung pemahaman konsep matematika dan

keterkaitannya. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-idenya, misalnya seseorang

memerlukan representasi agar ide yang ia sampaikan dapat dengan mudah dan

jelas dipahami orang lain. Representasi bisa diwujudkan melalui gambar, grafik,

tabel, kata-kata, benda nyata maupun simbol matematika.

Jones dan Knuth (1991) mengemukakan bahwa terdapat beberapa alasan

mengenai pentingnya kemampuan representasi: pertama, merupakan kemampuan

dasar untuk membangun konsep dan berpikir matematis; kedua, untuk memiliki

kemampuan pemahaman konsep yang baik dan dapat digunakan dalam

pemecahan masalah. Dengan kata lain, penggunaan representasi yang benar oleh

siswa akan membantu siswa menjadikan gagasan-gagasan matematis lebih

konkrit. Hal ini dikarenakan untuk melakukan pemecahan masalah, terlebih

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

69

dahulu diawali oleh adanya representasi terhadap definisi masalah yang disajikan.

Pemahaman terhadap definisi masalah akan mendorong terciptanya representasi

yang mengarah pada proses pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran matematika, penggunaan simbol sebagai representasi

eksternal tentang ide-ide matematis sangat fundamental. Berdasarkan observasi di

lapangan, menunjukkan bahwa terdapat siswa yang masih merasa kesulitan

menyelesaikan soal-soal matematika terutama soal-soal cerita. Siswa sulit

mengemukakan ide-ide matematis yang termuat dalam soal cerita ke dalam

simbol atau model matematika. Pada akhirnya hanya melakukan perhitungan

tanpa memahami maknanya. Hal ini mengindikasikan rendahnya kemampuan

representasi matematis siswa dalam representasi ekspesi matematis. Selain itu,

hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudiono (2005) menunjukkan bahwa hanya

sebagian kecil siswa yang dapat mengerjakan soal yang berkaitan dengan

kemampuan representasi, sebagian besar lainnya masih lemah dalam

memanfaatkan kemampuan representasi matematis yang dimilikinya terutama

representasi visual.

Representasi merupakan salah satu kemampuan yang menunjang

kompetensi-kompetensi lainnya. Jika siswa gagal melakukan representasi dalam

berbagai bentuk (visual, ekspresi matematis, dan kata-kata), maka sangat mungkin

ia kurang paham tentang matematika. Hutagaol (2007) menyatakan bahwa

terdapat permasalahan dalam penyampaian materi yang menyebabkan kurang

berkembangnya kemampuan representasi matematis yaitu siswa tidak pernah

diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Lebih lanjut

Widyastuti (2010) menyatakan bahwa kemampuan representasi selain

menunjukkan tingkat pemahaman siswa, juga terkait erat dengan kemampuan

pemecahan masalah dalam penyelesaian tugas matematika. Suatu masalah yang

dianggap rumit dan kompleks bisa menjadi lebih sederhana jika strategi dan

pemanfaatan representasi matematis yang digunakan sesuai dengan permasalahan

tersebut. Penggunaan model matematika yang sesuai sebagai suatu bentuk

representasi akan membantu pemahaman konsep untuk mengemukakan

ide/gagasan matematis siswa. Dengan demikian, masih ada yang perlu diperbaiki

dalam hasil matematika siswa. Apalagi siswa SMP dalam masa transisi dari sense

of number ke sense of variable. Jika di SMP siswa gagal mengembangkan

representasi formal, ke depan siswa akan mengalami kesulitan untuk belajar

memahami matematika.

Salah satu penyebab rendahnya kemampuan representasi matematis siswa

adalah pembelajaran yang didalamnya jarang terdapat aktivitas untuk

mengembangkan representasi, sehingga siswa kurang mendapat kesempatan utuk

menampilakan ide-ide mereka di depan kelas. Herman (2010) juga menyebutkan,

hasil survey IMSTEP-JICA tahun 2000 menunjukkan bahwa kegiatan belajar

yang terjadi di lapangan diwarnai oleh perilaku guru yang terlalu berkonsentrasi

pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat kepada guru,

serta konsep matematika disampaikan secara informatif. Penyampaian materi

dengan cara tersebut akan membuat siswa cenderung hanya mengikuti langkah

guru. Selain itu, menurut penelitaian Risnanosanti (2010) guru jarang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

70

oleh siswa lain, sehingga interaksi yang terjadi hanya antara guru dan siswa.

Siswa terlihat lebih pasif, kurang berusaha untuk menemukan sendiri penyelesaian

masalah yang diberikan guru, bahkan hanya menyalin hasil pekerjaan temannya

yang menyelesaikan masalah di papan tulis. Padahal usia siswa SMP yang

berkisar antara 13 sampai 15 tahun menurut Piaget berada pada tahap operasi

formal yang sesuai untuk memberikan banyak kesempatan untuk memanipulasi

benda konkrit, membuat model, diagram dan lain-lain sebagai alat perantara untuk

merumuskan dan menyajikan konsep-konsep abstrak.

Penyelesaian untuk masalah ini terletak pada pemilihan model

pembelajaran yang tepat. Sesuai yang disampaikan oleh Wahyudin (2008), salah

satu aspek penting dari perencanaan bertumpu pada kemampuan guru untuk

mengantisipasi kebutuhan dan materi-materi atau model-model yang dapat

membantu para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create (FSLC)

dikembangkan oleh Johnson & Smith pada tahun 1991, dibangun dengan tujuan

memodifikasi strategi pembelajaran kooperatif think-pair-share (TPS).

Pembelajaran kooperatif tipe FSLC merupakan struktur pembelajaran kooperatif

yang memberikan siswa kesempatan untuk bekerja dalam kelompok kecil yang

beranggotakan 4 siswa. Sebelum bekerja dengan kelompoknya, siswa diberikan

waktu untuk memformulasikan hasil pemikirannya atau gagasannya secara

individu untuk kemudian disampaikan kepada partnernya. Dengan

mempertimbangkan hal tersebut, diharapkan siswa memiliki kesempatan untuk

mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan siswa memiliki keluwesan dalam

mengemukakan ide/gagasannya sehingga siswa terbiasa dalam melakukan

representasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Emay (2011) menunjukkan

hasil peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang

belajar dengan pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

Tujuan penelitian ini adalah menelaah peningkatan kemampuan

representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatf tipe

formulate-share-listen-create (FSLC) dan siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

B. HIPOTESIS PENELITIAN

Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

C. METODE DAN DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah nonequivalent control group

design.

Kelas Eksperimen : O X O

Kelas Kontrol : O O

(Ruseffendi, 2005)

1. Populasi dan Sampel Penelitian

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

71

Penelitian ini terbatas pada materi kubus dan balok pada siswa kelas VIII

SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa pada salah satu SMP IT

di Kabupaten Lampung Timur. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik

purposive sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut diambil

sampel dua kelas dan ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol secara acak.

Kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe FSLC,

sedangkan kelas kontrol menggunakan pendekatan konvensional.

2. Ragam Data dan Teknik Pengumpulan Data

Ragam data yang dikumpulkan adalah data skor pretes dan postes kemampuan

berpikir representasi matematis. Data diperoleh dari siswa, data skor pretes dan postes

diperoleh dari hasil pengerjaan soal kemampuan berpikir representasi matematis siswa

berupa soal uraian.

Penentuan skor peningkatan kemampuan berpikir representasi matematis dengan

rumus N-Gain ternormalisasi yaitu menggunakan rumus:

<g> = scorepretestscorepossibleimummax

scorepretestscoreposttest

(Meltzer, 2002).

Hasil perhitungan N-Gain kemudian diintepretasikan dengan menggunakan

kategori skor N-Gain menurut Hake (1999) disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1

Kriteria N-Gain

N-Gain Interpretasi

𝑔 ≥ 0,7 Tinggi

0,3 ≤ 𝑔 < 0,7 Sedang

𝑔 < 0,3 Rendah

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Berikut ini adalah sajian statistik deskriptif skor pretes, postes, dan N-Gain.

Tabel 2. Statistik Deskripsi Skor Kemampuan Representasi Matematis

Nilai Eksperimen Kontrol

N Xmin Xmax 𝒙 Sd N Xmin Xmax 𝒙 Sd

Pretest 19 0,00 4,00 1,42 1,12 24 0,00 3,00 1,00 0,92

Posttes 19 7,00 33,00 20,58 7,05 24 9,00 24,00 12,54 3,51

N-Gain 19 0,18 0,82 0,53 0,17 24 0,18 0,58 0,36 0,09

Skor Maksimal Ideal = 40

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa untuk aspek kemampuan

representasi matematis, rataan skor pretes kelompok eksperimen yaitu 1,42 dan

kelompok kontrol yaitu 1,00 tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Hal

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

72

tersebut bermakna bahwa kedua kelas sebelum diberi perlakuan mempunyai

kemampuan yang relatif sama. Begitu juga dengan standar deviasi skor pretes

kedua kelompok juga tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar artinya

penyebaran data pada kedua kelompok relatif sama. Hal ini tercermin dari selisih

standar deviasi dari kedua kelompok hanya sebesar 0,2, sedangkan rataan skor

posttes kelompok eksperimen dan kontrol menunjukkan perbedaan yang cukup

besar, yaitu 20,58 untuk kelas eksperimen dan 12,54 untuk kelompok kontrol.

Apabila rataan kedua kelas kita ubah ke dalam persentase skor dimana persentase

skor diperoleh dari hasil bagi skor rataan dengan skor ideal dikali 100%, maka

persentase rataan skor pretes kelompok eksperimen lebih besar 1,05%, akan tetapi

setelah diberi perlakuan persentase rataan skor posttes kelompok eksperimen

lebih besar 20,20%.

Gambar 1. Skor Rataan Kemampuan Representasi Matematis

Dari gambar 1 terlihat bahwa rataan skor pretest kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen relatif sama. Hal ini berarti siswa di kedua kelompok

memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan dengan

pembelajaran yang berbeda. Sedangkan rataan skor posttes kemampuan

representasi matematis kelompok eksperimen yang mendapatkan pembelajaran

kooperatif tipe FSLC lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang

mendapatkan pembelajaran konvensional.

Rataan N-Gain kemampuan representasi matematis kelompok eksperimen

dan kontrol berada pada kualifikasi sedang. Walaupun kedua kelompok ini

memiliki rataan N-Gain yang berbeda. Rataan N-Gain kemampuan representasi

matematis kelompok eksperimen sebesar 0,53 lebih besar dari rataan N-Gain

kelompok kontrol 0,36.

1.42 1

20.58

12.54

0

5

10

15

20

25

Eksperimen Kontrol

Re

rata

Sko

r

Kelas

Pretest

Posttest

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

73

Gambar 2. Perbandingan Skor Rataan N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis pada Kelompok Eksperimen dan Kontrol

Sekilas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan representatif

pada kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe FSLC

lebih baik dari pada kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

2. Pembahasan

a) Peningkatan Kemampuan Representasi Matemaatis Siswa

Berdasarkan perhitungan hasil nilai pretes, postes dan n-gain terdapat

peningkatan dan perbedaan kemampuan representasi matematis siswa kelas

eksperiman dan kelas kontrol. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata masing-

masing tes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil yang diperoleh

menunjukkan adanya peningkatan yang lebih baik untuk kemampuan representasi

matematis siswa pada kelas eksperimen. Jika didasarkan pada kriteria yang dibuat

oleh Hake (1999), maka mutu dari peningkatannya berada pada level sedang

untuk kelas eksperimen dan kontrol. Hasil analisis yang diperoleh juga

mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa kemampuan representasi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe FSLC lebih baik

dari siswa yang memperoleh pembelajaran konvesional. Sejalan dengan penelitian

Widyastuti (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan kemampuan representasi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran

Model-Eliciting Activities lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

Dari hasil perhitungan secara kuantitatif terlihat bahwa terdapat perbedaan

peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang belajar

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC dengan siswa yang

menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini dipengaruhi oleh

pembelajaran yang diterima siswa telah merubah paradigma pembelajaran yang

terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa

untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Johnson dan Johnson (Lie, 2007)

0.53

0.36

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

Eksperimen Kontrol

N-g

ain

Kelas

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

74

menyatakan bahwa suasana belajar mengajar kooperatif menghasilkan prestasi

yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang

lebih baik daripada suasana belajar yang penuh persaingan dan memisah-

misahkan siswa. Dari karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe FSLC,

nampak bahwa setiap siswa dilibatkan dalam suatu pencarian arti, artinya

pembelajaran memperkenalkan siswa memahami arti dari apa yang mereka

pelajari. Dengan demikian, siswa memiliki kesempatan untuk membuat idenya

sendiri, siswa mampu membuat hubungan yang menyatakan pengertian, serta

siswa memiliki kesempatan yang besar dalam memahami, mengembangkan, dan

menerapkan konsep, prosedur, dan prinsip dalam menyelesaikan masalah.

Kegiatan diskusi dalam pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk

saling berinteraksi antar siswa, berbagi ide atau gagasan, melatih siswa untuk

menyampaikan, menanggapai serta menjawab pertanyaan yang diberikan teman

sekelompok atapun guru. Menurut Trianto (2009) dengan pembelajaran kooperatif

siswa akan lebih menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling

berdiskusi dengan temannya. Berikut dokumentasi mengenai suasana diskusi

siswa dikelas.

Gambar 3. Suasana Diskusi Siswa di Kelas

Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa di kelas selama

pembelajaran ditemukan bahwa antusias siswa dalam bertanya dan mengajukan

pendapat cukup besar yaitu mencapai 66,67%. Dengan begitu siswa memiliki

kesempatan yang besar untuk memperoleh pemahaman terhadap materi yang

dipelajari secara terbuka dan mendalam.

Dalam mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe FSLC,

peneliti membuat Lembar Kegiatan Siswa (LKS) untuk kelas eksperimen. Bahan

ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini didisain agar kemampuan

representasi matematis siswa dapat berkembang secara optimal dan

memungkinkan siswa mencapai kompetensi matematika yang relevan dengan

materi yang dipelajari. LKS digunakan sebagai bahan bagi siswa untuk

membekali diri dalam menemukan dan memecahkan masalah.

Pada awalnya, dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan

model pembelejaran kooperatif tipe FSLC terdapat kesulitan-kesulitan seperti

siswa masih sulit dalam melaksanakan tahapan formulate yaitu tahapan dimana

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

75

siswa dituntut untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara individual,

karena siswa terbiasa dengan pembelajaran dimana pengetahuan mereka peroleh

langsung dari guru. Kemudian pada tahap share dan listen, setiap siswa berbagi

ide, gagasan atau pendapat dengan teman sekelompok dan kelompok lainnya.

Karena siswa tidak terbiasa berdiskusi maka untuk kedua tahap ini awalnya selalu

memakan waktu yang lama, sehingga terkadang untuk tahap create tidak

terlaksana secara maksimal karena kekurangan waktu. Tetapi setelah beberapa

kali pertemuan siswa mulai beradaptasi dengan pembelajaran ini sehingga setiap

tahapan terlaksana dengan baik. Berikut dokumentasi mengenai suasana

presentasi tugas bahan ajar di depan kelas.

Gambar 4. Presentasi Tugas Bahan Ajar

Berdasarkan hasil pengamatan, untuk kemampuan siswa dalam

mengilustrasikan ide matematis pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan

dengan kelas kontrol. Hal ini terjadi karena pada kelas eksperimen siswa belajar

menggunakan LKS yang membiasakan siswa untuk terlibat aktif dalam proses

konstruksi dan pemberian makna dengan permasalahan-permasalahan yang

diajukan dalam LKS yang membuat siswa perlu mengkaji, menduga-duga,

bertukar pendapat, saling bertanya, dan menjelaskan sebagai suatu proses dalam

mengeneralisasi suatu model matematika.

Begitupun dengan kemampuan siswa dalam menuliskan model matematis,

dengan memanipulasi benda nyata dalam mempelajari materi membantu siswa

dalam memahami konsep tentang bangun ruang kubus dan balok. Dengan benda-

benda nyata tersebut siswa mampu mempresentasikan pengalaman dunia nyata ke

dalam kelas, sehingga, siswa pada kelas eksperimen lebih banyak memiliki

kesempatam memperoleh pengetahuan konsep matematika secara langsung yang

berasal dari proses penemuannya secara individu maupun kelompok dibandingkan

dengan kelas kontrol. Sejalan dengan hasil penelitian Risnawati (2012) bahwa

kemampuan representasi dapat ditingkatkan dengan cara memberikan siswa

permasalahan dengan harapan siswa dapat menguraikan masalah tersebut sendiri,

kemudian siswa mencari bentuk umum atau modelnya untuk kemudian digunakan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

76

dalam menjawab permasalahan yang berkaitan dengan model tersebut. Pada setiap

masalah diikuti dengan beberapa pertanyaan yang dapat menuntun siswa dalam

menemukan solusinya.

E. PENUTUP

1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah

dikemukakan sebelumnya, peningkatan kemampuan representasi matematis siswa

yang memperoleh pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif

tipe FSLC lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

2. Saran

1) Berdasarkan permasalahan yang diutarakan sebelumnya, maka pembelajaran

kooperatif tipe FSLC dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan

kemampuan representasi matematis. 2) Dalam menerapkan pembelajaran

kooperatif tipe FSLC, guru harus menyediakan bahan ajar yang dirancang secara

khusus dengan berpatokan pada tahapan-tahapan pembelajaran dalam FSLC dan

pertanyaan metakognitif sehingga dapat meningkatkan kemampuan representasi

matematis siswa. 3) Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, penerapan

pembelajaran kooperatif tipe FSLC membutuhkan waktu yang cukup lama,

sehingga guru perlu perencanaan dan persiapan yang matang dalam menjalankan

proses pembelajaran agar berjalan efektif dan sistematis.

DAFTAR PUSTAKA

Emay, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif

Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Tesis. UPI Bandung. Tidak

Diterbitkan

Hake, R.R. (1999) Analyzing Change/Gain Score. [Online]. Tersedia:

http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf. [19

Oktober 2013]

Herman, T. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP. [Online]. Tersedia :

http://file.upi.edu. [ 4 Oktober 2013]

Hudiono, B.(2005). Peran Pembelajaran Diskurskus Multi Representasi terhadap

Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa

SLTP. Disertasi. UPI: TIdak diterbitkan

Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual untuk Meningkatkan

Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama.

Tesis. UPI: Tidak diterbitkan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

77

Jones, B.F dan Knuth, R.A. (1991). What does Research Say about Mathematics?.

[Online]. Tersedia:http://www.ncrl.org/sdrs/stwesys/2math.html.[ 20

November 2013]

Lie, A. (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo

Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and

Conceptual Learning Gains in Physics: A possible “Hidden Variable” in

Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics. V70 n12 p1259-68

Dec 2002. [Online]. Tersedia: www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec-

2002-Vol.70-1259-128.pdf. [6 Juni 2013]

Risnarosanti. (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy

terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam

Pembelajaran Inkuiri. Bandung. Disertasi. Doktor pada SPs UPI: Tidak

diterbitkan

Risnawati. (2012). Pengaruh Pembelajaran Dengan Pendekatan Induktif-Deduktif

Berbantuan Program Cabri Geometry Terhadap Peningkatan Kemampuan

Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis UPI.

Bandung: Tidak diterbitkan

Ruseffendi. H. E. T. ,(2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang

Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung

Widyastuti. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Model-Eliciting Activities

Terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self-efficacy Siswa.

Tesis. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

78

EFEKTIVITAS SOAL-SOAL MATEMATIKA TIPE PISA

MENGGUNAKAN KONTEKS BUDAYA SUMATERA UTARA

UNTUK MENDESKRIPSIKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP KOTA MEDAN

Oleh:

Hafni Hasanah*

*Dosen Tidak Tetap FITK UIN SU Medan

Jl.Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan

Email: [email protected]

Abstract:

This study aims to explain the efectiveness of mathematical problem type

of PISA using cultural context of North Sumatera to describe reasoning

dan komunication mathematic ability.This type of research is development

research type development study. The development model used is a model

Plomp. The questions fill efective criteria that is obtained through the

response of teacher and student. The teacher and student like and feeling

interested in the question, the questions can be used to measure the student

ability in mathematic reasoning and communication, the students are

feeling motivated to answer the questions. The result research got from

mean of result reasoning ability mathematic of student from school,high

(26.00),middle (25.85), and low (14.04). The result of mean test from

mathematic communication ability of student from school, high (26.15),

middle (22.80), and low (24.35). Finding of the research shows that the

higher the level of the questions, the lower score that student get.

Keywords :

Development research, Problems Mathematics type PISA , Cultural North

Sumatera, mathematic reasoning and communication ability

A. PENDAHULUAN

Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi

tentang program penilaian siswa tingkat internasional yang diselenggarakan oleh

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Menurut

Shiel (2007), PISA bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa yang duduk di

akhir tahun pendidikan dasar (siswa berusia 15 tahun) telah menguasai

pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk dapat berpartisipasi sebagai

warga negara atau anggota masyarakat yang membangun dan bertanggung jawab.

Orientasi PISA adalah lebih memperhatikan apa yang dapat dilakukan

siswa dari pada apa yang mereka pelajari di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan

siswa memiliki kemampuan literasi matematika.

Literasi matematika diartikan sebagai kemampuan seseoarang untuk dapat

merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks,

termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

79

konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau

memperkirakan fenomena/kejadian (OECD: 2009a).

Pengertian literasi matematika PISA di atas sejalan dengan tujuan

pelajaran matematika yang termuat di dalam Permendikbud No 58 Tahun 2014

yang menyatakan bahwa kecakapan atau kemahiran matematika merupakan

bagian dari kecakapan hidup yang dimiliki siswa terutama dalam pengembangan

penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam

kehidupan siswa. Setiap individu perlu memiliki penguasaan matematika pada

tingkat tertentu. Penguasaan individual demikian pada dasarnya bukanlah

pengusaan matematika sebagai ilmu, melainkan penguasaan akan kecakapan

matematika (mathematical literacy) yang diperlukan untukk memahami dunia

sekitarnya serta untuk berhasil dalam kehidupan atau karirnya. Ini artinya,

kemampuan literasi matematika perlu dilatih kepada siswa.

Pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi di lapangan guru lebih

sering memberikan soal-soal rutin yang tidak kontekstual dan lebih banyak

menekankan pada penghafalan rumus-rumus baku tanpa disertai penerapan

matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat evaluasi, soal yang diberikan

tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan.

Jarang sekali bertanya dengan menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana,

atau kapan, sehingga kreativitas siswa kurang tereksplorasi dan siswa tidak dilatih

untuk mengemukakan pendapat atau gagasan yang ada dalam pikiran mereka.

Berikut ini salah satu contoh soal yang digunakan guru untuk

mengevaluasi siswa dalam proses pembelajaran.

Gambar 1. Contoh Soal yang Digunakan Guru Mengevaluasi Siswa dalam

Proses Pembelajaran

Soal pada Gambar 1 menunjukkan bahwa indikator soal lebih menekankan

pada kemampuan teknis baku atau kemampuan prosedural saja, tidak membekali

siswa dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari dan tidak melatih

kemampuan literasi matematis siswa.

Terbukti dari hasil pencapaian kemampuan literasi matematis siswa

Indonesia dalam survei PISA. Hasil survei PISA dari tahun 2000 hingga 2012

yang menunjukkan bahwa pencapaian siswa Indonesia bidang matematika belum

memuaskan.

Prestasi siswa Indonesia dalam survei PISA tersebut seharusnya menjadi

cambuk bagi pemerintah untuk melakukan kaji ulang terhadap kualitas guru,

sumber belajar, sistem evaluasi, dukungan masyarakat, stakeholder atau

pemerintah itu sendiri.

Hasil literasi siswa rendah tentunya disebabkan oleh banyak faktor, salah

satunya adalah guru tidak terbiasa atau bahkan tidak pernah memberikan soal-soal

seperti soal PISA kepada siswa. Terkait dengan kontes literasi matematika guru

jarang mengikutsertakan anak-anak didiknya dalam kontes literasi tersebut.

Padahal melalui kontes literasi matematika, siswa dan guru dapat mengenal soal-

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

80

soal berkarakteristik PISA karena biasanya soal-soal yang diujikan adalah soal

matematika yang mengacu pada standar PISA.

Pentingnya sosialisasi soal-soal PISA ini telah dilakukan pemerintah

melalui Kemendikbud yang menunjuk Tim PMRI (Pendidikan Matematika

Realistik Indonesia) untuk mensosialisasikan soal PISA melalui kegiatan yang

disebut Kontes Literasi Matematika (KLM) agar guru dapat mengembangkan

kemampuan literasi siswa melalui penyelesaian soal-soal fokus dari PISA.

Guru juga kesulitan merancang soal-soal matematika menggunakan

konteks yang dekat dengan lingkungan siswa akibatnya siswa kurang memaknai

matematika dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan kehidupan sehari-hari

yang terkait penerapan matematika dapat diselesaikan menggunakan kemampuan

literasi matematika. Kemampuan literasi membantu seseorang untuk mengenal

peran matematika dalam kehidupan dan membuat pertimbangan maupun

keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD: 2010). Maka dari itu

penting untuk mengaktifkan literasi matematika siswa karena hal tersebut

merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang harus dicapai.

Dari beberapa masalah berserta solusi yang telah diungkapkan

sebelumnya, ternyata hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, solusi

yang diberikan tidak cukup hanya mengadakan kontes literasi saja tetapi perlu

mensosialisaikan kepada guru, mahasiswa, atau pihak terkait bagaimana cara

mengembangkan soal-soal kontekstual yang memenuhi karakteristik seperti soal-

soal PISA.

Lutfianto, dkk (2003) mengungkapkan bahwa soal-soal kontekstual juga

perlu dihadapkan kepada siswa. Pentingnya menyelesaikan soal matematika

menggunakan konteks langsung adalah salah satu cara yang dapat digunakan agar

siswa memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk hidup pada abad sekarang ini.

Menurut Retnowati (2010), konteks nyata yang bermakna bagi siswa di

suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lain sehingga menggunakan

konteks nyata yang tepat lebih disarankan karena membantu siswa untuk

mempersepsikan dan mengartikan informasi lebih mudah. Salah satu konteks

yang dekat dengan siswa adalah konteks budaya.

Prinsip Pelaksanaan Kurikulum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah kurikulum dilaksanakan

dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah

untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara

optimal, termasuk di dalamnya mata pelajaran matematika.

Pada penelitian ini, konteks yang digunakan adalah konteks budaya

Sumatera Utara karena subjek penelitiannya adalah siswa-siswi di kota Medan.

Konteks budaya Sumatera Utara yang digunakan adalah tari tor-tor, alat musik

gondang, kain ulos, bika ambon, patung guru patimpus, pakaian kesultanan deli,

objek wisata di Brastagi. Konteks-konteks tersebut diperoleh berdasarkan hasil

analisis karakteristik siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan pengembangan soal-soal

matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara. Walaupun

pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengembangan soal model PISA

menggunakan konteks Lampung (Putra: 2015). Namun, validasi soal hanya

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

81

dilakukan oleh pakar. Sedangkan syarat sebuah tes yang baik haruslah valid

(kualitatif dan kuantitatif), reliable, objektif, dan praktis (Purwanto: 2004).

Tujuan penelitan ini adalah menjelaskan efektivitas soal-soal matematika

tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara untuk siswa SMP. Soal-

soal yang dihasilkan tersebut digunakan untuk nendeskripsikan kemampuan

matematis siswa SMP dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA

menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran

matematis, indikator komunikasi matematis, dan level soal pada PISA.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah development research type development study.

Model pengembangan yang digunakan adalah model Plomp. Model

pengembangan Plomp (2013) terdiri dari tiga tahap yaitu, preliminary research,

prototyping phase, dan assesment phase.

Pada tahap preliminary researh, dilakukan analisis kebutuhan, analisis

siswa, analisis konteks, dan analisis kurikulum. Selanjutnya hasil dari tahap

preliminary dijadikan bahan dalam membuat perangkat soal yang meliputi kisi-

kisi soal, soal-soal dan kunci jawaban, dan rubrik penilaian. Hasil pendesainan

tersebut disebut prototipe 1. Tahap selanjutnya yaitu tahap pengembangan

(prototyping phase). Setelah perancangan prototipe 1 selesai, pengembangan

dilanjutkan dengan melakukan evaluasi formatif yang diawali dengan self-

evaluation, expert review, one-to-one evaluation, small group, dan field test

(Tessmer: 1993).

Tahap pertama yaitu self-evaluation. Pada tahap ini dilakukan penilaian

sendiri terhadap prototipe 1. Hasil revisi dari self evaluation disebut prototipe 2.

Selanjutnya dilakukan validasi oleh expert untuk menilai prototipe 2 dari segi isi,

konstruk, dan bahasa. Hasil revisi dari expert-review disebut prototipe 3.

Kemudian protitipe 3 di evaluasi melalui kegiatan one-to-one evaluation. Evaluasi

ini dilakukan untuk menilai kepraktisan soal, dari segi keterbacaan, petunjuk

penggunaan soal, kejelasan gambar, tabel, grafik, dan kesesuaian waktu. Hasil

revesi dari tahap ini disebut prototipe 4. Tahap pengembangan terakhir yaitu

ujicoba kelompok kecil (small group). Prototipe 4 di ujicobakan pada satu kelas di

luar dari subjek ujicoba pada tahap assessmet. Tujuannya untuk memperoleh soal

yang valid dan reliable secara kuantitatif. Selain itu, tahap small group juga

bertujuan untuk melihat kepraktisan dari segi waktu yang disesuaikan dengan

jumlah soal yang diberikan. Hasil dari tahap ini disebut prototipe 5.

Protitipe 5 merupakan soal-soal yang telah dinyatakan valid dan praktis.

Soal-soal tersebut diujicobakan di lapangan terhadap subjek ujicoba yang telah

ditetapkan yaitu, siswa kelas IX dari SMPN 1 Medan, SMPN 2 Medan, dan

SMPN 24 Medan. Tujuannya dalah untuk mengetahui kemampuan matematis

siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks

budaya Sumatera Utara. Pada uji lapangan juga dinilai efektivitas produk melalui

respon guru dan siswa dari masing-masing sekolah.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

82

Instrumen pengumpul data yang digunakan pada tahap preliminary

research yaitu pedoman wawancara, lembar observasi, dan daftar cek. Sedangkan

instrumen pengumpul data pada tahap prototyping phase, yaitu daftar cek (self

evaluation), lembar validasi (expert review), pedoman wawancara dan angket

(one-to-one evaluation), dan paket soal (small group).

Teknik analisis data diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan

dianalisis dengan model Miles dan Huberman. Data yang diperoleh dari daftar

cek, hasil self evaluation, saran/komentar pakar, dan pedoman wawancara

dianalisis secara deskriptif sedangkan data yang diperoleh dari lembar validasi

soal dan lembar penilaian instrumen yang diisi oleh pakar dianalisis secara

deskriptif.

Perangkat soal yang dikembangkan memperhatikan tiga keriteria yang

diambil dari kriteria yang dikemukakan oleh Nieven (1999), yaitu valid, praktis,

dan efektif. Produk dikatakan valid apabila hasil validasi dari pakar mengatakan

produk yang dikembangkan sudah valid baik dari segi isi, konstruk, dan bahasa.

Selain itu, produk dikatakan praktis apabila produk dapat digunakan oleh semua

praktisi pendidikan, dan para pakar yang menjadi validator menyatakan bahwa

produk yang dikembangkan dapat diterapkan. Menurut Akker (1999), produk

dikatakan efektif apabila pakar/praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan

bahwa produk mempunyai efek terhadap kemampuan matematis siswa yang

dalam hal ini adalah kemampuan penalaran dan komunikasi.

Menurut Kirkpatrick dan Guskey (dalam Fauzan: 2002), terdapat empat

level dalam menginvestigasi efektivitas suatu produk, yaitu reaksi siswa dan guru

(participants’ reactions), pembalajaran yang diperoleh siswa dan guru

(participant’s learning), siswa dan guru menggunakan pengetahuan dan keahlian

yang baru (participant’s use of new knowledge and skill), hasil belajar siswa

(pupils’s learning outcomes).Uji efektivitas terhadap produk ini dapat

menggunakan keempat level di atas. Namun pada penelitian ini, pengukuran

efektivitas produk terbatas pada level satu, yaitu investigasi melalui participant’s

reaction.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

a. Hasil Analisis Pendahuluan (Preliminary Research)

Tahap preliminary research dimulai dari analisis kebutuhan, analisis

siswa, analisis konteks, dan analisis kurikulum. Hasil analisis kebutuhan diperoleh

informasi bahwa yaitu kesulitan merancang soal-soal kontekstual yang memuat

indikator penalaran dan komunikasi matematis sehingga siswa lebih sering

diberikan soal-soal rutin yang lebih menekankan pada teknik baku saja.

Analisis siswa dilakukan untuk memperoleh karakteristik siswa.

Karakteristik pertama, dianalisis berdasarkan usia, yaitu siswa kelas IX yang

terdaftar pada semester II Tahun Ajaran 2016/2017 memiliki rentang usia 14-15

tahun tahun.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

83

Karakteristik kedua, dianalisis berdasarkan proses pembelajaran yang

dialami selama ini, yaitu jika guru memberikan soal-soal yang lebih banyak

menekankan penggunaan hafalan rumus, maka sebagian besar siswa tidak

termotivasi dalam mengerjakan soal dan merasa cepat jenuh. Karakteristik ketiga,

dianalisis berdasarkan lingkungan tempat tinggal, sebagian besar siswa

merupakan keturunan suku batak. Suku batak memiliki beberapa tarian dan alat

musik tradisonal yang masih populer hingga saat ini. Karakteristik ini digunakan

dalam pengembangan soal yang menggunakan konteks tari tor-tor.

Karakteristik keempat, sebagian besar siswa bertempat tinggal tidak jauh

dari pusat kota Medan. Karakteristik kelima, sebagian besar siswa mengetahui

makanan khas kota Medan, Karakteristik keenam, sebagian besar siswa memiliki

objek tujuan wisata yang sama dan sering dikunjungi pada hari libur.

Karakteristik-karakteristik yang ditemukan menjadi bahan dalam pengembangan

soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera Utara.

Analisis konteks bertujuan untuk menentukan konteks permasalahan yang

sesuai dengan karakteristik siswa yang telah ditemukan. Analisis yang terakhir

adalah analisis kurikulum. Hasil analisis kurikulum menjadi dasar bahwa soal-soal

yang dikembangkan pada umunya telah dipelajari oleh siswa. Berdasarkan hasil

analisis kurikulum tersebut, soal-soal yang telah dirancang memuat semua aspek-

aspek yang tercantum pada ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan

pendidikan SMP/MTs.

b. Hasil Tahap Pengembangan (Prototyping Phase) Pengembangan soal dilakukan berdasarkan framework PISA 2015 yang

memuat indikator kemampuan penalaran dan komunikasi matematis. Soal-soal

dirancang berdasarkan karakteristik umum siswa di Medan. Rancangan produk

awal meliputi pembuatan kisi-kisi soal, soal berbentuk selected-response

(multiple- choice) items, closed constructed-response dan open-constructed

respons item, kunci jawaban serta rubrik penilaian. Hasil rancangan awal

dinamakan prototipe 1. Selanjutnya prototipe 1 dievaluasi sendiri (self-

evaluation). Hasil revisi dari self evaluation disebut prototipe 2. Satu soal pada

produk pada prototipe 2 sebelum divalidasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Salah Satu Contoh Produk pada Prototipe 2

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

84

Expert Reviews

Tahap ini melibatkan beberapa validator yaitu, Prof. Dr. Hasratuddin

Siregar, M.Pd (UNIMED), Prof. Dr. I Made Arnawa, M.Si (UNP) , Dr. Indra

Jaya, M.Pd (UIN-SUMUT), Prof. Dr. Syahrul R, M.Pd dari UNP dan beberapa

teman sejawat.

Berdasarkan validasi oleh pakar dan teman sejawat maka dapat

disimpulkan soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera

Utara valid namun dengan beberapa perbaikan. Misalnya perbaikan terkait

kalimat perintah soal no 3 pada Gambar 2 di atas. Hasil revisi dari pakar disebut

prototipe 3.

One-to-One Evaluation

Pelaksanaan one-to-one dilakukan terhadap tiga orang siswa kelas IX yang

memiliki kemampuan matematis yang berbeda-beda dari masing-masing sekolah

sekolah yang berbeda-beda juga. Sekolah kriteria tinggi (SMPN 1 Medan), sedang

(SMPN 2 Medan), dan rendah (SMPN 24 Medan). Kriteria tersebut diperoleh

berdasarkan rata-rata nilai UN SMPN di kota Medan Tahun Ajaran 2015/2016.

Jadi pelaksanaan one-to-one dilakukan terhadap 9 siswa.

Tujuan one-to-one evaluation adalah melihat kepraktisan soal

beradasarkan penilaian siswa. Pertama, siswa diminta untuk mengerjakan 21 soal

selama 120 menit. Selanjutnya, siswa diwawancarai satu-satu untuk diminta

komentar dan saran-saran terhadap paket soal, baik dari segi petunjuk pengerjaan

soal, perintah soal, dan tempat jawaban. Namun, tidak semua saran siswa

diterima. Saran siswa ditolak jika merubah indikator soal yang telah ditetapkan.

Saran-saran dari siswa tersebut digunakan untuk memperbaiki prototipe 3. Hasil

revisi pada tahap ini disebut prototipe 4.

Small Group

Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan soal-soal yang velid dan reliabel.

Ujicoba dilakukan pada siswa kelas IX di MTs Laboratorium UIN-SU. Siswa

diminta untuk mengerjakan 21 soal dengan durasi waktu 120 menit. Hasil ujicoba

small group, diperoleh 13 soal yang valid dan memiliki koefisien reliabilitas

0,624 dengan kategori reliabilitas tinggi. Hasil dari tahap ini disebut prototipe 5.

Berdasarkan saran pakar dan guru, maka disimpulkan bahwa jumlah soal

yang digunakan pada uji lapangan (field test) pada tahap assessment yaitu

sebanyak 13 soal dengan durasi waktu 100 menit.

c. Hasil Tahap Penilaian (Assessment Phase)

Field Test

Uji lapangan di lakukan untuk melihat efektivitas produk yang telah

dikembangkan. Penilaian efektivitas produk pada penelitian ini diperoleh dari

respon guru dan siswa terhadap soal-soal yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa secara keseluruhan, tiga

guru memberi respon positif terhadap 13 soal yang dihasilkan. Guru tertarik

terhadap soal-sola matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya Sumatera

Utara ini, soal telah sesuai dengan indikator penalaran dan komunikasi matematis

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

85

yang dikenal oleh guru, permasalahan yang disajikan dekat dengan lingkungan

siswa, dan guru juga memahami penjabaran mengenai proses dan tahap yang

harus dilakukan dalam mengembangkan soal matematika tipe PISA yang

kontekstual. Hal ini membuktikan bahwa soal-soal matematika tipe PISA ini telah

valid, praktis, dan memiliki efek potensial terhadap kemampuan matematis siswa.

d. Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa dalam Mengerjakan

Soal-Soal Matematika Tipe PISA Menggunakan Konteks Budaya

Sumatera Utara

(1) Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan

Indikator Kemampuan Penalaran

Ada tiga indikator penalaran matematis yang digunakan pada soal tipe

PISA yang telah dihasilkan, yaitu 1) menduga dan memeriksa kebenaran dugaan

(conjecture), 2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu

pernyataan, 3) memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan

penalaran induksi. Berikut ini merupakan hasil penilaian terhadap jawaban siswa

berdasarkan rubrik penilaian penalaran.

Tabel 1. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 1

Tabel 2. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 2

Tabel 3. Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Indikator 3

(2) Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan

Indikator Kemampuan Komunikasi

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

86

Ada tiga indikator komunikasi matematis yang digunakan pada soal tipe

PISA yang telah dirancang, yaitu 1) mengkomunikasikan gagasan ide matematika,

2) mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap,

simbol, tabel, diagram, atau media lainnya untuk memperjelas keadaan atau

masalah, 3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan. Berikut ini merupakan

hasil penilaian terhadap jawaban siswa berdasarkan rubrik penilaian penalaran

Tabel 4.

Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 1

Tabel 5.

Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 2

Tabel 6.

Tingkat Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Indikator 3

Hasil Analisis Kemampuan Matamatis Siswa Berdasarkan Level Soal

Berdasarkan level soal yang diujikan, persentase pencapaian pada soal

level 3 mencapai skor tertinggi, yaitu 40.82 sedangkan pada soal level 4, yaitu

12.28, dan pada soal level 5, yaitu 5.60. Persentase pencapaian siswa berdasarkan

level soal PISA dapat dilihat pada Gambar 4.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

87

Gambar 4. Persentase Pencapaian Siswa Berdasarkan Level Soal Pada PISA

Pada Gambar 6 menunjukkan rerata skor tertinggi terdapat pada soal level

3 yaitu mencapai 40.82. Level soal ini adalah level soal yang lebih mudah

diselesaikan oleh siswa di masing-masing sekolah.

Dari hasil penilaian jawaban siswa juga menunjukkan pencapaian kognitif

siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks

budaya Sumatera Utara tergolong rendah. Hal ini tergambar setelah dilakukan

analisis terhadap 1235 butir jawaban siswa hanya 183 butir jawaban yang

teridentifikasi sebagai jawaban benar atau sekitar 16% dari keseluruhan butir

jawaban.

2. Pembahasan

Menurut Suryadi (dalam Yazid: 2011) menjelaskan bahwa efektivitas soal-

soal matematika tipe PISA ini diperoleh melalui respon guru. Jika guru

memberikan respon positif terhadap soal-soal yang dihasilkan maka efektivitas

produk dapat dikatakan baik. Misalnya, respon guru yang menyatakan

ketertarikan terhadap soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks

budaya Sumatera Utara dan soal-soal ini dapat digunakan untuk melatih

kemampuan literasi siswa.

Hal senada juga diungkapkan Akker (1999) yaitu, terdapat dua hal yang

harus dipenuhi untuk melihat efektivitas instrumen yaitu, 1) ahli/praktisi

berdasarkan pengalamannya menyatakan soal-soal tersebut efektif. Dalam hal ini

guru sebagai praktisi yang berpengalaman telah menyatakan soal-soal yang

dihasilkan telah efektif, 2) secara operasional memberikan hasil sesuai yang

diharapkan yaitu penjabaran proses sampai menghasilkan soal dipahami oleh guru

atau pembaca sehingga guru/pembaca dapat mempelajari/mengikuti tahap-tahap

dalam pengembangan soal tipe PISA menggunakan konteks budaya ini.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hasil tes kemampuan

matematis siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA

menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran

dan komunikasi matematis siswa dari sekolah level tinggi, sedang, dan rendah

tergolong kurang baik. Sedangkan pencapaian kemampuan matematis siswa

berdasarkan level soal menunjukkan bahwa semakin tinggi level soal maka

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

88

persentase pencapaian siswa dalam mengerjakan soal matematika tipe PISA ini

semakin rendah. Hal ini semakin mendukung fakta bahwa hanya sebagian kecil

siswa Indonesia yang mampu menyelesaikan permasalahan pada level 5 dan 6

atau sekitar 0,6% dari total peserta (OECD: 2012).

D. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan

bahwa efektivitas soal-soal matematika tipe PISA menggunakan konteks budaya

Sumatera Utara untuk siswa SMP adalah sebagai berikut.

Efektivitas produk telah memenuhi kiteria efektif yaitu guru memberikan

respon positif terhadap soal-soal yang dihasilkan serta memahami penjabaran

proses dan hasil pengembangan soal yang telah diuraikan. Guru sebagai praktisi

yang berpengalaman telah menyatakan soal-soal yang dihasilkan telah efektif.

Penjabaran proses sampai menghasilkan soal dipahami oleh guru atau pembaca

sehingga guru/pembaca dapat mempelajari/mengikuti tahap-tahap dalam

pengembangan soal tipe PISA menggunakan konteks budaya ini.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hasil tes kemampuan

matematis siswa dalam mengerjakan soal-soal matematika tipe PISA

menggunakan konteks budaya Sumatera Utara berdasarkan indikator penalaran

dan komunikasi matematis siswa dari sekolah level tinggi, sedang, dan rendah

tergolong kurang baik. Sedangkan pencapaian kemampuan matematis siswa

berdasarkan level soal menunjukkan bahwa semakin tinggi level soal maka

persentase pencapaian siswa dalam mengerjakan soal matematika tipe PISA ini

semakin rendah.

Saran

1. Bagi pemerintah khususnya dinas pendidikan kota Medan agar dapat

mengadakan sosialisasi tentang soal-soal PISA kepada guru sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan literasi matematika siswa.

2. Soal-soal matematika tipe PISA yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai

alat untuk melatih kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi

matematis siswa SMP dan menjadi contoh dalam mendesain soal-soal tipe

PISA yang memuat indikator penalaran dan komunikasi matematis siswa.

3. Hasil penelitian ini berupa hasil ujicoba lapangan diharapkan dapat membantu

siswa dan guru untuk mengetahui potensi dan kelemahan sehingga dapat

menjadi bahan refleksi terkait proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat

Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Fauzan, Ahmad. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in

Teaching Geometry in Indonesia Primary Schools. Desertasi. University of

Twenty.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

89

Lutfianto, M., Zulkardi & Hartono, Y. 2003. Unfinished Student Answer in PISA

Mathematics Contextual Problem. Joernal on Mathematics Education

(IndoMSJME), 4(2), 201-208.

Muliyardi. 2006. Strategi Pembelajaran Matematika. Padang: UNP.

Nieveen, Nienke. 1999. Design Approaches and Tools in Education and Training.

Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

OECD. 2009a. The PISA 2009 Assessment Framework-Key Competences and

Reading, Mathematics and Science.pdf.

OECD. 2012. Results in Fokus: Snapshot of Performance in Mathematics,

Reading, Science. Pdf.

Plomp, T. dan N. Nieveen. 2013. Education Design Reserch. Enshede :

Netherlands Institute For Curriculum Develompment (SLO).

Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Putra, Yudi Yunika. 2015. Pengembangan Soal Matematika Model PISA

Menggunakan Konteks Lampung. Palembang : Unsri (Tesis tidak

diterbitkan).

Retnowati, Endah. 2010. Pendidikan matematika realistik : Sebuah tinjauan

teoritik. Majalah PMRI/ vol.viii No.3/Juli 2010. Bandung : Institut

Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (IP-PMRI)

Shiel, Gerry. 2007. PISA Mathematics : A Teacher’s Guide. Dublin: Stationery

Office.

______.2010. Draft PISA 2012 Assessment Framework.. On line (Diakses pada

tanggal 15 Juni 2015).

Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tessmer, Martin.1993. Planing and ConductingFormative Evaluation. Kogan

Page Limited 120 Pentonville Road London N1 9JN. British Library

Cataloguing in Publication Data.

Van den Akker, J. 1999. Priciples and methods of development research in Akker

J.,R. Branch, K Gustavon, Nieven & T. Plomp. (Eds). Design Approaches

and Tools in Eduacational and Training (p. 1-14) London: Raoutledge.

Yazid, A. 2011. Kevalidan, Kepraktisan, dan Efek Potensial Suatu Bahan Ajar.

Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya. Di akses pada

tanggal 30 April 2016.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

90

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP NEGERI 28 MEDAN

MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI DENGAN STRATEGI REACT

Oleh:

Sehat Matua Ritonga*

*Dosen Tetap Akademi Maritim Belawan

Jl. Kapten Muslim, Kompleks Griya

Riatur Indah Blok A2/26 Simpang Gaperta Helvetia Medan 20124

E-mail: [email protected]

Abstract:

The purpose of this study was to examine: (1) improvement of problem

solving ability of mathematics between students who were given inquiry

learning model with REACT strategy with students who were given the

usual learning model; (2) improvement of mathematical communication

ability between students who are given inquiry learning model with

REACT strategy with students who are given the usual learning model.

This research was conducted in SMP Negeri 28 Medan with sample of 60

students. This study is a quasi-experimental study with pre-test-post-test

control group design. The population in this study were all students of

class VIII (eight) by taking samples of two classes (experimental class and

control class) through random sampling technique. The instrument used

consisted of mathematical problem solving test and mathematical

communication skill test. The instrument is said to have fulfilled the terms

of content validity and reliability coefficient. Data were analyzed by two-

way ANAVA test. Prior to the use of two-track ANAVA test,

homogeneity test in the study and normality in this study with 5%

significance level. Based on the results of the analysis, the research results

are obtained: (1) improvement of problem solving ability of mathematics

students who get inquiry learning model with REACT strategy is higher

than students who get ordinary learning model; (2) improvement of

students' mathematical communication ability that obtains inquiry learning

model with REACT strategy is higher than students who get ordinary

learning model. Based on the results of this study, researchers suggest that

inquiry learning model with REACT strategy can be an alternative for

teachers to improve problem solving skills and mathematical

communication.

Keywords: Inquiry Learning, REACT Strategy, Problem Solving Skills,

Mathematical Communication.

A. PENDAHULUAN

Matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah sangat diperlukan

untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis dan kritis.

Demikian pula matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

91

menunjang keberhasilan dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi, bahkan

diperlukan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Upaya meningkatkan

kualitas pendidikan terus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif.

Namun, mutu pendidikan belum menunjukkan sebagaimana hasil yang

diharapkan. Kenyataan ini terlihat dari hasil belajar yang diperoleh siswa masih

sangat rendah, khususnya mata pelajaran matematika.

Keluhan terhadap rendahnya hasil belajar matematika siswa dari jenjang

pendidikan terendah sekolah dasar sampai perguruan tinggi tidak pernah hilang.

Rendahnya hasil belajar matematika siswa tampak pada ketidaklulusan siswa yang

sebagian besar disebabkan tidak tercapainya nilai batas lulus yang telah

ditetapkan. Hal ini ditandai dengan rendahnya perolehan ketuntasan belajar siswa

kelas VIII SMP Negeri 28 Medan pada semester II tahun pelajaran 2015/2016.

Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa hasil belajar matematika siswa

masih belum mencapai kriteria ketuntasan minimal, yaitu nilai rata-rata kelas

sebesar 60 dan untuk ketuntasan belajar 65%, sementara nilai rata-rata kelas yang

diharapkan (KKM) adalah 75 dan 85% untuk ketuntasan belajar. (sumber: nilai

raport siswa). Rendahnya hasil belajar matematika dapat ditinjau dari lima aspek

dalam pembelajaran matematika secara umum yang dirumuskan oleh National

Council of Teachers of Mathematic (NCTM:2000):

“Menggariskan peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman

dan aktif membangun pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk

mewujudkan hal itu, pembelajaran matematika dirumuskan lima tujuan umum

yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi; kedua, belajar untuk bernalar;

ketiga, belajar untuk memecahkan masalah; keempat, belajar untuk mengaitkan

ide; dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika”.

Pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran

matematika. Sumarmo (1993) menyatakan bahwa pemecahan masalah

matematika merupakan hal yang sangat penting, sehingga menjadi tujuan umum

pengajaran matematika bahkan sebagai jantungnya matematika, lebih

mengutamakan proses daripada hasil (Ruseffendi, 1991), dan sebagai fokus dari

matematika sekolah dan bertujuan untuk membantu dalam mengembangkan

berpikir secara matematis (NCTM, 2000).Proses berpikir dalam pemecahan

masalah merupakan bagian penting dari prilaku intelektual individu. Hal itu akan

melatih orang berpikir kritis, logis dan kreatif yang sangat diperlukan dalam

menghadapi perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, pengambilan keputusan

yang tepat dalam masalah yang cukup kritis merupakan suatu perilaku intelektual.

Proses pengambilan keputusan ini tidaklah mudah, memerlukan strategi yang

cocok. Menentukan strategi yang cocok inilah yang merupakan langkah

pemecahan masalah. Dengan demikian pemecahan masalah sangat penting dalam

menentukan perilaku intelektual.

Untuk mendukung kemampuan pemecahan masalah ini tentu siswa harus

dapat memahami konsep yang berkaitan dalam permasalahan yang akan

dipecahkan. Pemahaman akan konsep menjadi modal yang cukup penting dalam

melakukan pemecahan masalah, karena dalam menentukan strategi pemecahan

masalah diperlukan penguasaan konsep yang mendasari permasalahan tersebut.

Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah menjadi semakin penting

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

92

karena matematika merupakan pengetahuan yang logis, sistematis, berpola,

abstrak, dan memerlukan adanya pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut

pembelajar menggunakan kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan

masalah, seperti berpikir logis dan sistematis.

Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika merupakan tujuan

yang harus dicapai. Dalam hal ini diharapkan agar siswa dapat mengidentifikasi

unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan,

merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan

strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam

atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai

permasalahan asal, menyusul model matematika dan menyelesaikannya untuk

masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful).

Sebagai implikasinya maka kemampuan pemecahan masalah hendaknya dimiliki

oleh semua anak yang belajar matematika. Pernyataan ini juga didukung oleh

Shadiq (2002: 16) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah akan menjadi hal

yang akan sangat menentukan juga keberhasilan pendidikan matematika, sehingga

pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama proses

pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan.

Namun kenyataan di lapangan proses pembelajaran matematika yang

dilaksanakan pada saat ini belum memenuhi harapan para guru sebagai

pengembang strategi pembelajaran di kelas. Kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa masing rendah. Siswa mengalami kesulitan dalam belajar

matematika, khususnya dalam menyelesaikan soal yang yang berhubungan

dengan kemampuan pemecahan masalah matematik sebagaimana diungkapkan

Sumarmo (1993) bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah

matematika pada umumnya belum memuaskan.

Dalam memecahkan masalah seharusnya dilengkapi dengan

pengembangan keterampilan memberikan penjelasan dan mengomunikasikan

hasil pemecahan masalah. Karena itu seharusnya pula siswa memecahkan masalah

matematika seakan-akan berbicara dan menulis tentang apa yang sedang

dikerjakan sehingga dalam memecahakan suatu permasalahan terjadi komunikasi

matematik.

Berkenaan dengan komunikasi matematik, menurut Sumarmo (2010 : 495)

meliputi kemampuan siswa dalam : a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan

diagram ke dalam ide matematik. b) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi

matematika secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan

aljabar. c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik.

d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. e) Membaca

dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, f) Memng dbuat

konjektur, menyusun argumen, merumuskan defenisi dan generalisasi. g)

Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari.

Membangun komunikasi matematika memberikan manfaat pada siswa

berupa: 1) Memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik, dan secara

aljabar. 2) Merefleksi dan mengklarifikasi dalam berpikir mengenai gagasan-

gagasan matematika dalam berbagai situasi. 3) Mengembangkan pemahaman

terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk peranan definisi-definisi dalam

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

93

matematika. 4) Menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan menulis

untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika. 5) Mengkaji

gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang meyakinkan. 6)

Memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan gagasan

matematika.

Komunikasi matematik memegang peranan penting sebagai representasi

pemahaman siswa terhadap konsep matematika itu sendiri dan sebagai ilmu

terapan bagi ilmu lainnya. Melalui komunikasi matematik siswa saling bertukar

ide dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses komunikasi tersebut membantu

siswa membangun makna dan memperoleh suatu generalisasi. Dalam upaya

mengeksplor dan mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa,

guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah kontekstual serta memberi

kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasannya.

Namun kenyataan di lapangan Ansari (Putri 2013: 11) menjelaskan bahwa

rata-rata siswa kurang terampil didalam berkomunikasi untuk menyampaikan

informasi, seperti menyampaikan ide dan mengajukan pertanyaan serta

menanggapi pertanyaan atau pendapat orang lain. Selain itu laporan TIMSS

Fakhrurrazi (2013 : 78) menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam

komunikasi matematik sangat jauh di bawah negara-negara lain. Sebagai contoh,

untuk permasalahan matematika yang menyangkut kemampuan komunikasi

matematis, siswa Indonesia yang berhasil benar hanya 5% dan jauh di bawah

negara seperti Singapura, Korea, dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%.

Dari hasil wawancara yang penulis adakan pada siswa kelas VIII-A SMP

Negeri 28 Medan, selama proses pembelajaran dan perbincangan lepas di luar

kelas, diketahui bahwa siswa menganggap mata pelajaran matematika merupakan

mata pelajaran yang kurang disenangi dan matematika merupakan pelajaran yang

sulit, terutama menyelesaikan soal-soal yang berbentuk masalah dalam kehidupan

sehari-hari dengan alasan soal tersebut tidak sama yang diberikan oleh guru

sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika. Hasil pengamatan

aktivitas belajar siswa hanya menjadi pendengar saja, jawaban siswa yang benar

yang diterima, sedikit tanya jawab, dan siswa mencatat dari papan tulis, dan

mengerjakan latihan dan hasilnya ditulis di papan tulis.

Hasil pengamatan terhadap proses pembelajaran yang terjadi di dalam

kelas, guru hanya memfokuskan pada penghafalan konsep, memberikan

rumus-rumus dan langkah-langkah serta prosedur matematika guna

menyelesaikan soal. Pembelajaran yang terjadi di kelas lebih tertuju pada

pemberian informasi dan penerapan rumus-rumus matematika dan mengerjakan

latihan-latihan yang ada pada buku dan guru hanya menyampaikan materi yang

ada di buku paket. Proses pembelajaran yang sering dilakukan guru membuat

siswa terlihat kurang bersemangat dalam belajar, sehingga komunikasi matematik

semakin berkurang.

Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik sangat

penting dikuasai oleh siswa, sementara temuan di lapangan bahwa kedua

kemampuan tersebut masih rendah dan kebanyakan peserta didik terbiasa

melakukan kegiatan belajar berupa menghafal tanpa dibarengi pengembangan

memecahkan masalah dan komunikasi matematika. Pola pengajaran yang selama

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

94

ini digunakan guru belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-

soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa

untuk mengemukakan ide dan pendapat mereka, dan bahkan para siswa masih

enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang

disajikan guru. Di samping itu juga, guru senantiasa dikejar oleh target waktu

untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan tanpa memperhatikan kompetensi

yang dimiliki siswanya.

Untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah dan

komunikasi dalam pembelajaran matematika, guru harus mengupayakan

pembelajaran dengan menggunakan model dan strategi belajar yang dapat

memberi peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan pemecahan

masalah dan komunikasi matematik siswa.

Model pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan dan

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa

adalah model pembelajran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri menekankan

kepada aktifitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya

inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Siti (2008 : 84) menyatakan

bahwa Metode inkuiri merupakan kegiatan proses belajar mengajar yang

menggunakan cara menyajikan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk menemukan informasi tanpa adanya bantuan informasi dari

guru. Dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas, guru mempunyai peranan

sebagai konselor, konsultan dan teman yang kritis. Guru harus dapat membimbing

dan merefleksikan pengalaman kelompok melalui tiga tahap: (1) Tahap problem

solving atau tugas; (2) Tahap pengelolaan kelompok; (3) Tahap pemahaman

secara individual, dan pada saat yang sama guru sebagai instruktur harus dapat

memberikan kemudahan bagi kerja kelompok, melakukan intervensi dalam

kelompok dan mengelola kegiatan pengajaran.

Adapun strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan

dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik

siswa adalah dengan strategi REACT, yaitu suatu pembelajaran kontekstual

gabungan dari lima aspek yang merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan

pembelajaran yaitu Crowfort (2001 : 3) yaitu: Relating (mengaitkan),

Experiencing (mengalami), Applying (Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama),

Transferring (Mentransfer). Pembelajaran dengan strategi REACT akan banyak

memberikan pengalaman belajar kepada siswa karena: (1) belajar lebih dimaknai

sebagai belajar sepanjang hayat (learning throughut of life), (2) siswa belajar

dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang

dibutuhkannya secara aktif, baik secara individu maupun berkelompok untuk

membangun pengetahuan, (3) siswa tidak hanya menguasai isi materi tetapi

mereka juga belajar bagaimana belajar (learn how to learn), melaui discovery,

inquiry, dan problem solving, dan terjadi pengembangan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengadakan

penelitian tentang model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT apakah

dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik

siswa.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

95

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan

metode eksperimen dalam bentuk jenis quasi eksperimen. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi

matematik antara siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi

REACT dengan siswa yang diberi model pembelajaran biasa.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri

28 Medan, dan yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII

yang dipilih dua kelas secara acak (Cluster Random Sampling) yang masing-

masing satu kelas sebagai kelas yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT dan yang lain sebagai kelas yang diberi model pembelajaran

biasa, kemudian terpilih kelas VIII-C sebagai kelas yang diberi perlakuan model

pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT dan kelas VIII-A sebagai kelas yang

diberi model pembelajaran biasa, dengan ketentuan kelas yang diambil bukan

kelas unggulan agar dapat mengukur parameternya dengan baik.

Peneltian ini merupakan penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperiment)

dengan desain kelompok pretest-postest kontrol (Pretest Posstest Control Group

Desain). Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random

yang dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol, seperti pada tabel

berikut menunjukkan rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebagai

berikut:

Tabel 1 Desain Penelitian

Kelompok Pretes Perlakuan Postes

Eksperimen O1 X1 O2

Kontrol O1 - O2

Keterangan:

O1 = Pretes

O2 = Postes

X1 = Perlakuan berupa model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT

Penelitian ini menggunakan satu jenis instrumen yaitu tes kemampuan

pemecahan masalah dan tes kemampuan komunikasi matematik. Dalam penelitian

ini tes dibagi atas tes awal (pretes) untuk mengetahui kemampuan pemecahan

masalah don komunikasi matematik dan tes akhir (postes) untuk mengetahui

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik setelah diberikan

perlakuan model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT.

C. HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan pretes dan postes kepada siswa diperoleh N-gain

masing-masing kelas untuk melihat apakah kemampuan pemecahan masalah dan

komunikasi matematik siswa antara siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri

dengan strategi REACT dengan siswa yang diberi pembelajaran langsung.

Berdasarkan hasil yang diperoleh tampak bahwa rata-rata indeks gain

hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen lebih

tinggi daripada kelas kontrol yaitu 0,587>0,415. Selanjutnya dilakukan pengujian

normalitas indeks gain hasil tes kemampuan pemecahan maslah matematik pada

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

96

kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tujuan untuk mengetahui apakah data

yang diperoleh dari indeks gain hasil tes kemampuan pemecahan masalah

matematik tersebut berdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan hasil yang

diperoleh bahwa pada kelas eksperimen pada taraf signifikan sebesar 5% atau α =

0,05 maka P-value > α yaitu 0,438>0,05 sehingga data berdistribusi normal.

Demikian juga pada kelas kontrol, pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05

maka P-value > α yaitu 0,789>0,05 sehingga data berdistribusi normal.

Kemudian dilakukan pengujian homogenitas indeks gain hasil tes

kemampuan pemecahan masalah matematik dengan tujuan untuk mengetahui

apakah varians hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol sama atau tidak, yaitu apakah peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen dan

kelas kontrol sama atau tidak. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pada taraf

signifikan sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,197>0,05 sehingga

H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian varians indeks gain hasil tes

kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol homogen.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas

eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hasil pengujian hipotesis statistik

tersebut dengan menggunakan rumus ANAVA dua jalan melalui spss 17.00

sebagai berikut :

Tabel 2 Pengujian Hipotesis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Nilai

Source Type III Sum

of Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.976a 5 .395 14.052 .000

Intercept 12.532 1 12.532 445.599 .000

ModelPembelajaran .402 1 .402 14.306 .000

KemampuanAwalMatematika 1.175 2 .588 20.898 .000

ModelPembelajaran *

KemampuanAwalMatematika .392 2 .196 6.964 .002

Error 1.519 54 .028

Total 18.552 60

Corrected Total 3.495 59

a. R Squared = .565 (Adjusted R Squared = .525)

Berdasarkan tabel 2 tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar

5% atau α = 0,05 maka P-value < α yaitu 0,000<0,05 sehingga H0 ditolak dan Ha

diterima. Dengan demikian peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih

tinggi daripada siswa yang diberi model pemebelajaran langsung.

Selanjutnya dilakukan pengujian indeks gain hasil tes kemampuan

komunikasi matematik. Dari hasil tersebut tampak bahwa rata-rata indeks gain

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

97

hasil tes kemampuan komunkasi matematik pada kelas eksperimen lebih tinggi

daripada kelas kontrol yaitu 0,616>0,401. Kemudian dilakukan pengujian

normalitas indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi matematik pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol bertujuan untuk mengetahui apakah data yang

diperoleh dari indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi matematik tersebut

berdistribusi normal atau tidak.

Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa kelas eksperimen pada taraf

signifikan sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,587>0,05 sehingga

data berdistribusi normal. Demikian juga pada kelas kontrol, pada taraf signifikan

sebesar 5% atau α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,839>0,05 sehingga data

berdistribusi normal. Dengan demikian data yang diperoleh indeks gain hasil tes

kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

berdistribusi normal.

Berikutnya dilakukan pengujian homogenitas indeks gain hasil tes

kemampuan komunikasi matematik dengan tujuan untuk mengetahui apakah

varians hasil tes kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan

kelas kontrol sama atau tidak, yaitu apakah peningkatan kemampuan komunikasi

matematik siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sama atau tidak.

Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar 5% atau

α = 0,05 maka P-value > α yaitu 0,204>0,05 sehingga H0 diterima dan Ha ditolak.

Dengan demikian varians indeks gain hasil tes kemampuan komunikasi

matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol homogen.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah

peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen

lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hasil pengujian hipotesis statistik tersebut

dengan menggunakan rumus ANAVA dua jalan melalui spss 17.00 sebagai

berikut :

Tabel 3 Pengujian Hipotesis Kemampuan Komunikasi Matematik

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Nilai

Source Type III Sum

of Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.043a 5 .409 13.467 .000

Intercept 12.074 1 12.074 397.972 .000

ModelPembelajaran .562 1 .562 18.524 .000

KemampuanAwalMatematikSiswa .924 2 .462 15.226 .000

ModelPembelajaran *

KemampuanAwalMatematikSiswa .472 2 .236 7.782 .001

Error 1.638 54 .030

Total 19.191 60

Corrected Total 3.681 59

a. R Squared = .555 (Adjusted R Squared = .514)

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

98

Berdasarkan tabel 3 tersebut diperoleh bahwa pada taraf signifikan sebesar

5% atau α = 0,05 maka P-value < α yaitu 0,000<0,05 sehingga H0 ditolak dan Ha

diterima. Dengan demikian peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa

yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi

daripada siswa yang diberi model pemebelajaran langsung.

D. PEMBAHASAN PENELITIAN

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata hasil pretes

kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen yaitu kelas

yang menggunakan pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT sebesar 16, 667

sedangkan pada kelas kontrol yaitu kelas yang menggunakan pembelajaran biasa

sebesar 16,867. Disamping itu rata-rata hasil postes kemampuan pemecahan

masalah pada kelas eksperimen sebesar 28,600 sedangkan pada kelas kontrol

sebesar 25,733. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks gain untuk mengukur besar

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Diperoleh rata-rata peningkatan indeks gain hasil test

kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen sebesar

0,587 sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,415 sehingga peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen lebih tiggi

daripada kelas kontrol. Selain itu dilakukan pengujian hipotesis pertama untuk

mengukur apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa

pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.

Dengan ditolaknya H0 dan diterimanya Ha menunjukkan bahwa peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen lebih

tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.

Kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki oleh siswa juga

memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini

disebabkan karena melalui kemampuan pemecahan masalah matematik yang

dimilikinya, siswa menjadi terampil dalam memecahkan permasalahan

matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki oleh siswa

dapat ditingkatkan melalui kegiatan belajar bermakna. Hal ini sesuai dengan teori

yang dikembangkan oleh David P Ausubel yang menyatakan bahwa supaya

proses pembelajaran terasa bermakna maka kita hendaknya mengaitkan suatu

pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama (shadiq, 2011). Dalam

pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT fokus utamanya adalah

pembelajaran yang menekankan pengalaman hidup, belajar dalam konteks

mengaitkan pengalaman hidup dengan pengetahuan baru. Mengaitkan informasi

baru dengan berbagai pengalaman kehidupan atau pengetahuan yang telah

dimiliki sebelumnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuniawatika (2011) menunjukkan

bahwa pembelajaran matematika dengan strategi REACT dapat membantu siswa

berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk

memahami suatu konsep dan prosedur matematika. Karena kekuatan dari

pembelajaran melalui REACT terletak pada memotivasi dan memfasilitasi siswa

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

99

belajar secara aktif. Sejalan dengan hal tersebut, hasil yang diperoleh dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi

REACT lebih tinggi daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa. Hal ini

disebabkan karena pada pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT setiap siswa

diberi kesempatan untuk membangun konsep baru dengan cara

mengkonsentrasikan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam kelas melalui

eksplorasi, pencarian dan penemuan, pengalaman ini bisa mencakup penggunaan

manipulasi, pemecahan masalah, dan aktivitas di laboratorium. Dengan demikian,

berdasakan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh bahwa rumusan masalah

pertama terjawab dan hipotesis pertama diterima yaitu peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematik yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT lebih tinggi daripada yang diberi model pembelajaran biasa.

2. Kemampuan Komunikasi Matematik

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata hasil pretes

kemampuan komunikasi pada kelas eksperimen yaitu kelas yang menggunakan

pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT sebesar 8,533 sedangkan pada kelas

kontrol yaitu kelas yang menggunakan pembelajaran biasa sebesar 8,333. Rata-

rata hasil postes mampuan komunikasi pada kelas eksperimen sebesar 14,033

sedangkan pada kelas kontrol sebesar 12,0667. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol.

Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks gain untuk mengukur besar

peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Diperoleh rata-rata indeks gain hasil test kemampuan komunikasi

matematik pada kelas eksperimen sebesar 0,616 sedangkan pada kelas kontrol

sebesar 0,401 sehingga peningkatan kemampuan komunikasi matematik pada

kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Selain itu dilakukan

pengujian hipotesis statistik kedua untuk mengukur apakah peningkatan

kemampuan komunikasi matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi

secara signifikan daripada kelas kontrol. Dengan ditolaknya H0 dan diterimanya

Ha menunjukkan bahwapeningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa

pada kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada kelas kontrol.

Dalam pembelajaran matematika kemampuan komunikasi matematik yang

dimiliki oleh siswa memegang peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan

karena dengan kemampuan tersebut siswa dapat saling bertukar ide-ide

matematika. Kemampuan komunikasi matematik yang dimiliki oleh siswa dapat

ditingkatkan melalui kegiatan belajar bermakna. Hal ini sesuai dengan teori yang

dikembangkan oleh David P Ausubel yang menyatakan bahwa supaya proses

pembelajaran terasa bermakna maka kita hendaknya mengaitkan suatu

pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama (shadiq, 2011). Dalam

pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT fokus utamanya adalah

pembelajaran yang menekankan pengalaman hidup, belajar dalam konteks

mengaitkan pengalaman hidup dengan pengetahuan baru. Mengaitkan informasi

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

100

baru dengan berbagai pengalaman kehidupan atau pengetahuan yang telah

dimiliki sebelumnya.

Menurut hasil penelitin yang dilakukan Yasmita (2011) menyatakan

bahwa melalui pembelajaran REACT siswa dapat menghubungkan

pengetahuannya dengan kehidupan sehari-hari, siswa mengalami sendiri

pembelajaran dengan melakukan kegiatan eksplorasi, inovasi dan invensi.

Kemudian siswa menerapkan konsep yang diperolehnya dengan beberapa

permasalahan yang diberikan guru secara berkelompok, serta mentransfer konsep

baru tersebut ke dalam situasi atau konteks baru. Hasil yang diperoleh dalam

penelitia ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik

siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi

daripada yang diberi model pembelajaran langsung. Hal ini disebabkan karena

pada pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT setiap siswa diberi kesempatan

untuk mengomunikasikan ide-ide matematikanya dalam membanu siswa lain

yang mengalami kesulitan dalam kelompoknya, sedangkan pada pemelajaran

langsung siswa kurang diberi kesempatan untuk mengomunikasikan ide-ide

matematikanya, sehingga kemampuan komunikasi matematik pada siswa yang

diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi daripada

yang diberi model pembelajaran biasa. Dengan demikian, berdasarkan hasil

penelitian pembahsan, diperoleh bahwa rumusan masalah kedua terjawab dan

hipotesis kedua diterima, yatu peningkatan kemampuan komunikasi matematik

siswa yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi

daripada yang diberi model pembelajaran biasa.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Pembelajaran matematika baik dengan model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT maupun dengan model pembelajaran biasa dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa. Berdasarkan

rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan seperti yang telah

dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:

a) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajarannya

menggunakan model pembelajaran biasa. Hal ini terlihat dari hasil analisis

anava dua jalan melalui SPSS yang menunjukkan bahwa nilai P-value

sebesar 0,000. Karena pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05, P-

value < α, yaitu 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan

demikian, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa

yang diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih

tinggi daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa.

b) Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT lebih tinggi dari pada yang pembelajarannya

menggunakan model pembelajaran biasa. Hal ini terlihat dari hasil analisis

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

101

anava dua jalan melalui SPSS yang menunjukkan bahwa nilai P-value

sebesar 0,000. Karena pada taraf signifikan sebesar 5% atau α = 0,05, P-

value < α, yaitu 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan

demikian, peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang

diberi model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT lebih tinggi

daripada siswa yang diberi model pembelajaran biasa.

2. Saran

Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, maka berikut beberapa saran

yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan terhadap

penerapan model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT dalam proses

pembelajaran matematika. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

a) Bagi para guru matematika

Model pembelajaran inkuiri dengan strategi REACT pada kemampuan

pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa dapat

diterapkan pada semua kategori KAM. Oleh karena itu hendaknya

model pembelajaran ini terus dikembangkan di lapangan agar

membuat siswa terlatih semakin mahir dan terlatih dalam

memecahkan masalah melalui proses memahami masalah,

merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan maslah dan

memeriksa kembali hasil penyelesain masalah. Begitu juga halnya dalam

kemampuan komunikasi matematik siswa dengan indikator menyatakan

ide matematika ke dalam bentuk gambar, menyatakan gambar ke dalam

ide matematika dan menyatakan ide matematika ke dalam model

matematika. Peran guru sebagai fasilitator perlu didukung oleh sejumlah

kemampuan antara lain kemampuan membimbing jalannya diskusi di

kelas, serta kemampuan dalam menyimpulkan materi pelajaran. Untuk

menunjang keberhasilan implementasi model pembelajaran inkuiri dengan

strategi REACT diperlukan bahan ajar yang lebih menarik dirancang

berdasarkan permasalahan konstektual yang merupakan syarat awal yang

harus dipenuhi sebagai pembuka proses pembelajaran agar mampu

membangkitkan stimulus siswa dalam proses pembelajaran yang

dilaksanakan.

b) Bagi peneliti selanjutnya.

Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat

dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum

terjangkau saat ini, seperti faktor sikap dan minat belajar siswa.

c) Bagi lembaga terkait

Untuk lembaga terkait agar mensosialisasikan model pembelajaran inkuiri

dengan strategi REACT agar diterapkan dalam proses pembelajaran

sehingga dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa, khususnya

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik siswa.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

102

DAFTAR PUSTAKA

Ammy Maisyarah, Putri. (2013). Perbedaan Kemampuan Pemahaman Konsep

Dan Komunikasi Matematik Antara Siswa Yang Diberi Pembelajaran

Kooperatif Tipe Tink Tal Write (TTW) Dengan Pembelajaran Langsung.

Tesis Magister pada PPs UNIMED Medan.

Crawfort. (2001). Teaching Contextually Research, Rationale, and Techniques for

Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and

Science. Texas : Cord.

Fahrurrazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk

Meningkatakan Kemampuan Berfikir Kritis Dan Komunikasi matematis

Siswa Sekolah Dasar. Edisi Khusus ISSN 1412-565X.

Halimah, Siti. (2008). Strategi Pembelajaran, Pola Dan Strategi Pengembangan

Dalam KTSP. Medan : Citapustaka Media Perintis.

NCTM. (2000), Principles and Standarts for Mathematics, Reaston , VA: NCTM

----------- (2000). Defining Problem Solving. (Online).

(http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_

03/sectio_03_a.html, diakses 10 September 2014).

Ruseffendi. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Mengajar Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung : Tarsito.

Shadiq, Fajar.(2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. [Online].

Tersedia:http://p4tkmatematika.org/downloads/sma/pemecahanmasal

h.pdf. Diakses 04 Januari 2014.

------------(2011). Penerapan Teori Belajar Dalam Pembelajaran Matematika SD.

Kementerian Pendidikan Nasiona. Yokyakarta:P4TK Matematika.

Sumarmo, Utari dan Asep Ikin Sugandi (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis

Masalah Dengan Setting Kooperatif Jigsaw Terhadap Kemampuan

Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Siswa SMA. Makalah

Pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2010

FMIPA UNY.

Sumarmo, Utari.(1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar

terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA

di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung : Tidak

Dipublikasikan.

Yasmita Pradani, Meisa dkk. (2011). Pembelajaran Melalui Strategi REACT

Berbanru Cabri 3D Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Dimensi

Tiga (Jarak) Siswa Kelas X Semester Genap SMA Negeri 10 Malang.

Tesis Universitas Negeri Malang.

Yuniawatika. (2011). Penerapan Pembelajaran Matematika Dengan Strategi

REACT Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Dan Refresentasi

matematis Siswa Sekolah dasar. Edisi Khusus. ISSN 1412-565X.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

103

PEMAHAMAN KONSEP BENTUK ALJABAR DAN KAITANNYA

DENGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA

SISWA KELAS VII MTsN 2 MEDAN

Oleh:

Lailatun Nur Kamalia Siregar*

*Dosen Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN-SU Medan

Jl. Williem Iskandar Psr.V Medan Estate

E-mail:[email protected]

Abstract:

The purpose of this study is to determine: (1) How does an understanding

of the concept of operations in the algebra class VII MTsN 2 Field, (2)

how mathematics learning outcomes of students in class VII MTsN 2

Field, (3 ) How is the relationship between the understanding of the

concept of operations with the algebra mathematics learning outcomes of

students in class VII MTsN 2 Field. This research is a quantitative method

decryption. The population in this study were student / I class VII MTsN 2

Field. The population in this research were 360 students / class VII I

MTsN 2 Field, while the sample in this study taking 20% of the total

student population that is 78 people. Instruments of data collection in this

research is a test. Based on these results, obtained both variables were

normally distributed research. For an understanding of the concept of form

algebraic variables (X) obtained x2hitung = -252.11 and students'

mathematics learning outcome variable (Y) obtained x2hitung = -13625.02,

while x2

tabel the significant level α = 5% is equal to 11.070. So for both

variables were obtained count x2 > x

2 table and this means that the two

variables are normally distributed research. In this study correlation

coefficient rxy = 0.974, t = 37.48 while. T value table (dk 76: α = 0.05) is

equal to 1.995 to obtain t = 37.48> t table = 1.995. While the coefficient

determinant of I = 0.94 or 94%, which means the amount of the

contribution of independent variables to the dependent variable Y X is

94%, while 6% are determined by other factors. So the conclusions of this

research are: there is a relationship between the understanding of the

concept of the algebra of the learning outcomes math class VII MTsN 2

Medan.

Keywords: Understanding Concepts and Student Results

A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pelajaran

dan pelatihan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 263).

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

104

perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara.

Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut

mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia. Hal ini

berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota

masyarakat dan kepada peserta didiknya.

Dari kedua tujuan pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses

pendidikan yang ideal adalah proses pendidikan yang dikemas dengan

memperhatikan adanya sebagai aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Apabila proses pendidikan dapat dilaksanakan dengan

memperhatikan adanya keseimbangan ketiga aspek tersebut, maka pendidikan

akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat.

Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang paling penting

dalam pengembangan proses pendidikan. Ilmu-ilmu pengetahuan lainnya tidak

akan berjalan dengan sempurna, karena matematika dapat mengembangkan

dirinya mencapai keberhasilan. Namun pada kenyataannya, masalah yang sering

muncul adalah kemampuan siswa dalam pemahaman konsep matematika masih

rendah. Siswa beranggapan bahwa matematika hanyalah kumpulan angka-angka

yang sulit dipahami. Selain rendahnya hasil belajar matematika dan perhatian

siswa pada pelajaran matematika juga dapat menghambat siswa untuk memahami

materi yang mereka pelajari.

Dalam belajar bentuk aljabar khususnya operasi bentuk aljabar, kesulitan

yang sering dialami siswa dan cenderung membuat siswa merasa bosan, bisa jadi

disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : metode mengajar yang kurang tepat,

suasana belajar yang menantang untuk membangun imajinasi anak, dan guru

kurang memotivasi kemampuan abstraksi anak. Karena hal tersebut, nilai

matematika siswa dari tahun ke tahun selalu rendah jika dibandingkan dengan

pelajaran yang lain seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan

Agama.

Belajar juga mendapatkan suatu proses internal dan kondisi lingkungan

luar yang essensial bagi berbagai macam hasil belajar dan keterampilan, terutama

belajar matematika. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar matematika adalah

faktor yang mempengaruhi belajar kognitif disamping pengetahuan umum,

kemampuan penalaran deduktif dan kemampuan keterampilan.

Berdasarkan penyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur mental

itu bukan hanya menerima informasi baru. Asimilasi dan Akomodasi merupakan

dua aspek yang sama dari proses yang sama. Kedua aspek itu adalah dua aspek

dari aktifitas intelektual yang dasarnya adalah suatu proses yang melibatkan

interaksi antara pikiran dan kenyataan serta kemampuan-kemampuan siswa dari

hasil pelajaran, ada 3 tujuan pendidikan yang mendasar, yaitu 1) Tujuan kognitif

berkenaan dengan tingkah laku dari perubahan berbagai proses mental, 2) Tujuan

efektif berkenaan dengan perubahan tingkah laku dalam sikap, dan 3) Tujuan

psikomotorik berkenaan dengan kemampuan memanipulasi secara fisik.

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, penelitian

mengidentifikasi berbagai masalah sebagai berikut : Hasil belajar matematika

siswa masih rendah, kemampuan siswa dalam penguasaan konsep matematika

masih rendah, metode yang digunakan guru dalam mengajar tidak bervariasi,

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

105

siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit, kurangnya

motivasi guru kepada siswa.

Sehubungan dengan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana pemahaman

konsep bentuk Persegi Panjang di kelas VII MTsN 2 Medan, Bagaimana hasil

belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan, Bagaimana hubungannya

antara pemahaman konsep bentuk persegi panjang dengan hasil belajar

matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui

pemahaman konsep bentuk persegi panjang di kelas VII MTsN 2 Medan. Untuk

mengetahui hasil belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan. Untuk

mengetahui hubungannya antara pemahaman konsep bentuk persegi panjang

dengan hasil belajar matematika siswa di kelas VII MTsN 2 Medan.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

Manfaat Teoritis : Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberikan

masukan pengetahuan tentang pemahaman konsep bentuk aljabar dan kaitannya

dengan hasil belajar matematika pada siswa.

Manfaat Paktis : Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah terutama

VII MTsN 2 Medan untuk bisa mengingatkan hasil belajar siswa, Sebagai bahan

masukan bagi guru dan orang tua dalam memberikan motivasi yang maksimal

tentang belajar matematika, Sebagai bahan masukan bagi siswa yang mengalami

kesulitan belajar khususnya belajar matematika, Sebagai bahan masukan bagi

penelitian dan pembaca dalam mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan

dalam bidang pendidikan.

B. LANDASAN TEORITIS

1. Pengertian Pemahaman Konsep

Pemahaman menurut Kamus Besar Indonesia (2001: 811) berarti “Proses,

Perbuatan, Cara memahami atau memahamkan”. Sudjono (2003 : 50) menyatakan

bahwa “Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk

mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan di ingat.

Dengan kata lain memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat

melihatnya dari berbagai segi”. Sedangkan menurut Amalia (2008: 20)

mengatakan bahwa pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan

yang mengharapkan siswa mampu memahami arti dalam konsep, situasi serta

fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini tes tidak hanya menghafal secara

verbalitas, tapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang dinyatakan.

Pemahaman adalah mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan

arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam

menguraian isi pokok dari suatu bacaan, mengubah data yang disajikan dalam

bentuk tertentu ke bentuk lain seperti rumus matematika ke dalam bentuk kata-

kata, membuat perkiraan tentang kecenderungan yang nampak dalam data tertentu

seperti dalam grafik (Winkel, 2004: 274). Pemahaman yaitu taraf ini mencakup

bentuk pengertian yang paling rendah, taraf ini berlangsung dengan sejenis

pemahaman yang menunjukkan bahwa siswa mengetahui apa yang sedang

dikomunikasikan dan dapat digunakan bahan pengetahuan atau ide tertentu tanpa

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

106

perlu menghubungkannya dengan bahan lain tanpa perlu melihat seluruh

implikasinya (Popham & Baker, 2003: 29).

Sudjana (2005: 24) mengatakan bahwa pemahaman dapat dibedakan ke

dalam tiga kategori yaitu :

a) Tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan

dalam arti sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa

Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengartikan Merah putih,

menerapkan prinsip-prinsip listrik dalam memasang sakelar.

b) Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan

bagian-bagian terdahulu yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan

beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok

yang bukan pokok. Menghubungkan pengetahuan tentang konjungsi kata

kerja, subjek dan possesive pronoun sehingga menyusun kalimat “My

friend is studying”, bukan My friend studying”, merupakan contoh

pemahaman penafsiran.

c) Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah pemahaman

ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang mampu melihat di

balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat

memperluas presepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun

masalahnya.

Pemahaman adalah suatu dasar bagi segala tindakan seseorang. Ia

memberikan kontribusi yang besar bagi sukses tidaknya seseorang lebih jauh,

pemahaman menjadikan seseorang saling mengerti, dan lebih lanjut lagi saling

menghargai. Pemahaman sekaligus mencegah timbulnya saling curiga dan lebih

jauh lagi mencegah timbulnya saling bentrokan (Imron, 1996: 26).

Agar pemahaman akan konsep-konsep matematika dapat dipahami oleh

anak-anak lebih mendasar harus diadakan pendekatan belajar dalam mengajar,

antara lain :

a) Anak/peserta didik yang belajar matematika harus menggunakan benda-

benda kongkrit dan membuat abstraksinya dari konsep-konsepnya.

b) Materi atau pelajaran yang akan diajarkan harus ada hubungannya atau

pengaitan dengan yang sudah dipelajari.

c) Supaya anak/peserta didik memperoleh sesuatu dari belajar matematika

harus mengubah suasana abstrak dengan menggunakan simbol.

d) Matematika adalah ilmu seni kreatif karena itu baru dipelajari dan

diajarkan sebagai ilmu seni.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah proses

sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingatnya, abstraksi dalam situasi yang

khusus atau kongkret berbentuk prosedur, gagasan umum atau metodologi yang

digeneralisasikan, ide-ide, prinsip teknis atau teori-teori yang harus diingat dan

diterapkan. Juga bisa dikatakan pemahaman adalah tingkat kemampuan siswa

memahami arti, konsep, situasi serta fakta yang diketahui, siswa tidak hanya hafal

secara verbalitas, tapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang dinyatakan,

menyerap arti bahan materi yang dipelajari sehingga dapat mengingat kembali dan

menginterprestasikan.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

107

2. Pengertian Bentuk Aljabar

Aljabar berasal dari bahasa arab “al-jabar” yang berarti “Pertemuan”,

“Hubungan” adalah cabang matematika yang dapat dicirikan sebagai generalisasi

dari bidang Aritmatika. Aljabar juga merupakan nama sebuah struktur aljabar

abstrak, yaitu aljabar dalam sebuah bidang.

Huruf-huruf dalam aljabar digunakan sebagai pengganti angka. Bentuk

aljabar sering melibatkan angka (disebut Konstanta), huruf (disebut Peubah atau

Variabel), dan operasi hitung. Hal ini penting untuk kita ketahui dan mengerti

agar penulisan singkat dalam aljabar dapat kita gunakan untuk menyelesaikan

masalah sehingga lebih mudah dipahami.

3. Pengertian Hasil Belajar Matematika

Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang

dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat nanti

(Sardiman, 1999: 1). Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dan interaksi lingkungannya

(Slameto, 2002: 49). Perubahan tingkah laku tersebut menyembut perubahan yang

bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan perubahan yang

menyangkut nilai dan sikap (afektif). Belajar juga berarti perbaikan dalam tingkah

laku dan kecakapan-kecakapan (manusia) atau memperoleh kecakapan-kecakapan

tingkah laku yang baru.

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui

kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang

berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap

(Abdurrahman, 1999: 37). Anak yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil

mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-tujuan intruksional.

4. Hasil Belajar Matematika Pada Bentuk Aljabar

Hasil belajar matematika adalah dapat membuat seorang anak berhasil

dalam belajar yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan-

tujuan interaksional. Hasil belajar yang ditunjukkan oleh siswa dapat

menunjukkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar yang

dialami oleh siswa biasanya nampak dari kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan

oleh siswa ketika proses belajar. Contohnya pada mengerjakan soal-soal latihan

yang ada pada buku matematika kelas VII yaitu mengenai operasi bentuk aljabar.

Kajian standar isi pada pelajaran semester ganjil dan semester genap di

MTs yaitu :

a) Bilangan

- Memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan penggunaannya

dalam pemecahan masalah.

b) Aljabar

- Memahami bentuk aljabar, persamaaan dan pertidaksamaan linier satu

variabel.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

108

- Menggunakan bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linier

satu variabel, dan perbandingan dalam pemecahan masalah.

- Menggunakan konsep himpunan dan diagram Venn dalam pemecahan

masalah.

c) Geometri

- Memahami hubungan garis dengan garis, garis dengan sudut, sudut

dengan sudut, serta menentukan ukurannya.

- Memahami konsep segi empat dan segitiga serta menentukan

ukurannya.

5. Materi Pokok Bahasan Bentuk Aljabar

a) Pengertian Faktor Perkalian

Pada pembahasan tentang faktor bilangan cacah dinyatakan bahwa 14 = 2

x 7, maka 2 dan 7 disebut faktor dari 14. Pengertian ini akan kita pakai sebagai

dasar untuk membahas faktor perkalian dari suatu bentuk aljabar. Bentuk aljabar

,33 axa maka a3 memiliki faktor-faktor, yaitu 3 dan a . Faktor 3 disebut

faktor angka atau faktor numerik. Faktor ini sering disebut juga koefisien dari a .

Faktor a disebut faktor huruf atau faktor alfabetik. Agar lebih mengerti,

perhatikan contoh-contoh berikut .

3 faktor

numerik

qxpxpxqp 33 2 p2 faktor huruf

q faktor huruf

Jadi, faktor dari 3p2q adalah 3, p

2, dan q. Pada p

2, bilangan 2 disebut

pangkat atau eksponen.

2 faktor

numerik

3c) (b x x 2 3c 2 aba a faktor

huruf

(b + 3c) faktor

aljabar

Jadi, faktor 3c). (bdan , 2,adalah 3c) (b 2 aa

b) Pengertian Suku dan Suku Sejenis

Perhatikan bentuk-bentuk aljabar .8663 2 pdanaa Dalam hal ini

adana 63 2 disebut suku-suku dari 8663 2 danpdanaa disebut suku-suku

dari .86 p Suku-suku dalam bentuk bentuk aljabar 6x – 7y – 3z misalnya, dapat

diubah ke bentuk 6x + (-7y) + 3z. Dengan demikian, suku-suku dari 6x + (-7y) +

3z adalah 6x, -7y, dan 3z.

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

109

Sekarang perhatikan bentuk-bentuk aljabar aa 4,3 + 7b, dan 3p – 2q – r.

bentuk-bentuk tersebut terturut-turut disebut suku tunggal, suku dua, dan suku

tiga. Pemberian nama ini bersesuaian dengan banyak suku bentuk-bentuk aljabar

tersebut. Bentuk aljabar xax 634 mempunyai suku-suku 4x, 3 a , dan 6x.

Suku-suku 4x dan 6x memuat variabel yang sama, yaitu x. Suku-suku tersebut

diberikan nama suku-suku sejenis, sedangkan 4x dan 3 a disebut suku-suku

tidak sejenis.

c) Pengertian Koefisien dan Konstanta

Perhatikan bentuk aljabar 87563 234 aaaa . Bilangan-bilangan

3,6,5,7 dan 8 disebut koefisien dari bentuk aljabar. Dalam hal dapat diterangkan

sebagai berikut :

43a mempunyai koefisien 3 a7 mempunyai koefisien 7

36a mempunyai koefisien 6 8 merupakan konstanta

25a mempunyai koefisien 5

6. Faktor yang mempengaruhi Belajar

Secara garis besar faktor yang mempengaruhi hasil belajar terbagi atas

dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah semua faktor

yang timbul dari luar diri anak itu sendiri, baik yang berkenan dengan segi

jasmani anak maupun dengan segi rohani anak. Sedangkan faktor eksternal adalah

faktor yang bersumber dari luar diri anak didik, faktor ini disebut juga dengan

faktor lingkungan.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a) Setelah dikonsultasikan dengan predikat pemahaman konsep bentuk

aljabar siswa diatas maka pemahaman konsep bentuk aljabar siswa di

kelas VII MTsN 2 Medan dapat digolongkan bahwa 3,06% termasuk

dalam katagori sangat kurang baik. Dari sudut ini sebenarnya secara

umum siswa sekolah ini telah mempunyai pemahaman konsep bentuk

aljabar siswa, sehingga mempunyai potensi untuk aktif, ulet, sedia, sabar

dan disiplin mengikuti aktifitas belajar matematika di sekolah. Namun

perlu mendapatkan perhatian, bahwa selain data ditemukan pula jumlah

31,53% tergolong kurang pemahaman atau belum mempunyai

pemahaman untuk belajar.

b) Hasil belajar siswa yang dicapai siswa disekolah ini dapat digolongkan

bahwa siswa yang prestasinya tinggi adalah 26 orang atau 33,33%, cukup

43 orang atau 55,13% kurang 8 orang atau 10,26% dan rendah 1 orang

atau 1,28%. Untuk kategori tinggi yaitu siswa memiliki skor 10-14,

sedangkan untuk kategori cukup yaitu siswa memiliki skor 4 ke bawah.

c) Ditemukan adanya hubungan yang positif antara pemahaman konsep

belajar dan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII MTsN 2

Medan. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan yang diperoleh, yaitu nilai

AXIOM: Vol. VI, No. 1, Januari – Juni 2017, P-ISSN: 2087-8249, E-ISSN: 2580-0450

110

thitung = 37,48, sedangkan nilai ttabel pada taraf signifikan α = 0,05

dengan derajat kebebasan = n-2 = 78-2 76, ttabel = 1,990. Sehingga

diperoleh thitung = 37,48 > ttabel = 1,990. Demikian Ho ditolak dan Ha

diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

pemahaman konsep bentuk aljabar dengan hasil belajar matematika

siswa.

2. Saran

a) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan

menggunakan pemahaman konsep bentuk aljabar dapat meningkatkan

hasil belajar siswa. Bagi guru yang meningkatkan hasil belajar siswa,

diharapkan agar menggunakan pemahaman konsep bentuk aljabar dalam

pembelajaran dan hasil belajar ini dapat dijadikan sebagai acuan.

b) Dalam penerapan pembelajaran dengan menggunakan konsep bentuk

aljabar yang lebih efektif, disarankan kepada guru agar mengembangkan

parangkat-perangkat pembelajaran, antara : Buku pendukung materi

pembelajaran, buku tentang pemahaman, silabus, RPP, dan lain-lain.

c) Pengalaman praktis selama merancang dan melaksakan penelitian ini

diharapkan dapat memotivasi guru untuk memperluas penggunaan

pemahaman kosnsep bentuk aljabar pada pada materi-materi lain secara

mandiri dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron, Belajar & Pembelajaran, Jakarta : Pustaka Jaya, 1996.

Irma Fitria Amalia, Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Think-Pair-Share

Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika Siswa, Bandung: Skripsi

Pada FPMIPA UPI, 2008.

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta:

Rineka Cipta, 1999.

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2005.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 2001, Edisi Ketiga.

Sardiman, Media Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka

Cipta, 2002.

W. James Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta:

Rineka Cipta, 2003.

W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.

PETUNJUK PENGIRIMAN NASKAH

JURNAL AXIOM PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)

UIN SUMATERA UTARA

KETENTUAN:

� Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah

dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain;

� Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil

penelitian, atau pemikiran tokoh, yang berkenaan dengan pendidikan

dan Matematika;

� Naskah dapat berbahasa Arab, Indonesia atau Inggris;

� Naskah yang dikirim diketik 1,5 spasi, Font: Times New Roman,

dengan panjang sekitar 12 – 18 halaman;

� Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah

dan menggunakan catatan dalam (body note) serta daftar pustaka;

� Naskah yang dikirim harus berupa hard copy dan soft copy dan

dilengkapi dengan biodata singkat penulis.

� Naskah dalam bentuk hard copy dapat dikirim ke alamat Tim Redaksi,

sementara naskah dalam bentuk soft copy dapat dikirim ke alamat e-

mail: [email protected]

FORMAT TULISAN:

� Judul;

� Nama Penulis (tanpa gelar akademik) afiliasi penulis berikut e-mail;

� Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris.

Maksimal abstrak 80-100 kata;

� Kata-kata Kunci, antara 5 – 7 konsep;

� Pendahuluan;

� Pembahasan (sub – sub judul);

� Penutup;

� Daftar Pustaka ;

� Riwayat Singkat Penulis;

Dibelakang

cover

belakang