vol ii. no 2. september 2014 issn : 2337-5310 - ulmeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf ·...

113

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item
Page 2: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI

Terbit setiap Maret dan September

PENGELOLA JURNAL DENTINO

Pelindung :

Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)

(Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)

Pembina :

Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS

(Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)

dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd

(Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)

dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes

(Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)

Penasehat :

Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS

(Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Ketua :

drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Sekretaris :

drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Penyunting :

drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit

Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral -

Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas

Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.

M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra

Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas

Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);

Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;

drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)

Administratif :

Hastin Atas Asih, AMKg

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Page 3: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI

DAFTAR ISI

1. Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil Dengan Perilaku Kesehatan Gigi

Dan Mulut Di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru

Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana ….…………………. 110-114

2. Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok Di Lingkungan Batalyon Infanteri

621/Manuntung Barabai Hulu Sungai Tengah

Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil …………………… 115-119

3. Perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan Pasta gigi non herbal terhadap

penurunan indeks plak Pada siswa SDN angsau 4 pelaihari

Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo …………………..……… 120-124

4. Perbandingan Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol Jahe Putih Kecil (Zingiber

Officinale Var. Amarum) 30% Dengan Chlorhexidine Glukonat 0,2% Terhadap

Candida Albicans In Vitro

Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly ………. 125-129

5. Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal Dan Berjejal Rahang Bawah Pada Bentuk

Lengkung Narrow Rahang Bawah

Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo …………………………… 130-133

6. Deskripsi Gigi Impaksi Molar ke tiga Rahang Bawah Di RSUD Ulin Banjarmasin

Tinjauan pada bulan juni-agustus 2013 Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo …………………………………………..….. 134-137

7. Gambaran Pola Kehilangan Gigi Sebagian Pada Masyarakat

Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar

Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya ………………….……… 138-143

8. Efektivitas Metode Peragaan Dan Metode Video Terhadap Pengetahuan

Penyikatan Gigi Pada Anak Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7 Martapura

Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto …..……..……….. 144-149

9. Efektivitas Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical Dan Roll Terhadap

Penurunan Plak Pada Anak Usia 9-11 Tahun

Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi … 150-154

10. Tingkat nursing mouth caries anak 2-5 tahun Di puskesmas cempaka banjarmasin Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto …… 155-161

11. Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica Papaya) 100% Terhadap Waktu

Penyembuhan Luka Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana …………………….……. 162-166

12. Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih (Piper Betle Linn) 50% dan 100%

Sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan Ph Dan Volume Saliva

Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah ..………………………. 167-173

13. Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi Di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin

Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri………………………….….……….. 174-178

Page 4: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

14. Perbandingan Efektifitas Obat Kumur Bebas Alkohol Yang Mengandung

Cetylpyridinium Chloride Dengan Chlorhexidine Terhadap Penurunan Plak Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana ………………..………………. 179-183

15. Gambaran Klinis Xerostomia Pada Wanita Menopause Di Kelurahan Sungai

Paring Kecamatan Martapura Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah ………………….………... 184-188

16. Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna

Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri … 189-195

17. Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa Dengan Pemakaian Protesa

Di RSUD Ulin Banjarmasin Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana …...……………... 196-199

18. Insidensi Karies Gigi Pada Anak Usia Prasekolah Di TK Merah Mandiangin

Martapura Periode 2012-2013

Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil ……………………………… 200-204

19. Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan Yang

Direndam Dalam Klorheksidin Dan Effervescent (Alkaline Peroxide) Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF ………..... 205-209

20. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa Sp) Terhadap Sel

Fibroblas BHK (Baby Hamster Kidney) 21

Maharani Laillyza Apriasari, Rosihan Adhani, Diah Savitri......................

210-214

Page 5: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA HAMIL DENGAN PERILAKU

KESEHATAN GIGI DAN MULUT

DI POLI KANDUNGAN RSUD BANJARBARU

Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Pregnant women are one of the group whose oral health vulnerable to oral disease. The

research have claimed that level of knowledge, attitudes, and behavior of pregnant women can affect their dental

oral health. Some dental oral problem that can occur in pregnant women are pregnancy gingivitis, periodontitis

pregnancy, pregnancy tumor, dental erosion, dental caries and teeth mobility. Purpose: The purpose of this

research was to determine the correlation between knowledge level of pregnant women with dental oral health

behaviors in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru. Methods: This study used quantitative

methods. Samples were taken by purposive sampling method with total 60 pregnant women. Results: The

categorization result of dental oral health knowledge in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD

Banjarbaru were obtained that there was no subject (0%) that in low category, 53 person subject (88,33%) in

moderate category and 7 person subject (11,67%) in high category. The categorization result of dental oral

health behavior in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru were obtained that there was no

subject (0%) that in bad category, 44 person subject (73,33%) in moderate category and 16 person subject

(26,67%) in good category. The correlation knowledge level of pregnant women with dental and oral health

behaviors with Spearman statistical test were obtained p value = 0.029 (p <0.05). Conclusion: Based on the

results of this study concluded that there was a significant correlation between knowledge level of pregnant

women and dental oral health behavior.

Keywords : pregnant women, knowledge, behavior, dental and oral disease

ABSTRAK

Latar Belakang: Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan akan penyakit gigi dan

mulut. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku wanita hamil dapat

mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Adapun efek kehamilan pada kesehatan rongga mulut, antara lain:

gingivitis kehamilan, periodontitis kehamilan, tumor kehamilan, erosi gigi, karies gigi, dan mobilitas gigi.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku

kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD Banjarbaru. Metode: Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 60 orang wanita hamil. Hasil: Hasil

kategorisasi pengetahuan kesehatan gigi dan mulut wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru

didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori rendah, 53 orang subjek (88,33%) kategori sedang dan

7 orang subjek (11,67%) berada pada kategori tinggi. Hasil kategorisasi perilaku kesehatan gigi dan mulut

wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori

buruk, 44 orang subjek (73,33%) kategori sedang dan 16 orang subjek (26,67%) berada pada kategori baik.

Hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut diperoleh nilai p=0,029

(p<0,05). Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut.

Kata-kata kunci: wanita hamil, pengetahuan, perilaku, penyakit gigi dan mulut

Korespondensasi: Muhsinah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

Laporan Penelitian

110

Page 6: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item
Page 7: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

PENDAHULUAN

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2001, 60% penduduk Indonesia

menderita penyakit gigi dan mulut, dan salah

satunya adalah penyakit periodontal sebesar

87,84%.1 Menurut Riskesdas tahun 2007, penduduk

bermasalah gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan

Selatan 29,2% dan khusus untuk kota Banjarbaru

yang mengalami masalah gigi dan mulut sebesar

15,9%.2 Peningkatan prevalensi ini terjadi seiring

dengan meningkatnya usia dan gejala yang

dijumpai pada seluruh populasi, dan salah satu

kelompok yang rentan terhadap masalah ini adalah

kelompok wanita hamil. Kehamilan adalah suatu

proses alamiah, yang melibatkan perubahan

fisiologi, anatomi dan hormonal. Efek perubahan

hormonal pada wanita hamil akan mempengaruhi

hampir semua sistem organ, termasuk rongga

mulut.1,3

Beberapa studi menyatakan bahwa efek

perubahan hormonal akan mempengaruhi kesehatan

gigi dan mulut wanita hamil, 27-100% wanita

hamil mengalami gingivitis dan 10% mengalami

granuloma piogenik. Lesi mukosa oral lebih sering

terjadi pada wanita hamil daripada wanita yang

tidak hamil.4 Penelitian yang dilakukan Apriasari

dan Hasbullah. di poli kebidanan RSUD Banjarbaru

tahun 2012, melaporkan wanita hamil dengan

gingivitis gravidarum 30,2 % dan epulis

gravidarum 7,5 % dari 53 wanita hamil.5 Pada

penelitian Wirawan pada tahun 2012 di RSUD

Banjarbaru, dilaporkan prevalensi gingivitis pada

wanita hamil sebesar 40,5% dari total 42 wanita

hamil.6 Hal ini disebabkan karena perubahan

hormonal dan vaskular yang menyertai dengan

kehamilan akan memperberat respon gingiva

terhadap plak bakteri. Pemeliharaan kesehatan gigi

dan mulut akan mengurangi insidensi gingivitis

selama kehamilan.4,7 Menurut penelitian yang

dilakukan Santoso dkk. tahun 2009, penyakit

periodontal seperti gingivitis yang tidak dirawat

pada wanita hamil merupakan salah satu faktor

resiko bayi berat badan lahir rendah (BBLR)

kurang bulan. Hasil analisis data menunjukkan

bahwa responden dengan kebersihan mulut kurang,

mempunyai risiko 2,55 kali melahirkan bayi BBLR

kurang bulan dibandingkan dengan responden

dengan kebersihan mulut baik.8

Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil

di Iran tahun 2008 didapatkan hanya 5,6% sampel

yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi,

30% sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan

dan 34,4% sampel yang memiliki perilaku

kesehatan yang baik (3). Hasil penelitian Diana di

Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa hanya

sedikit (38%) wanita hamil yang mengetahui

hubungan antara kehamilan dengan kesehatan gigi

dan mulut. Selebihnya (43%) wanita hamil

menjawab tidak ada hubungan antara kehamilan

dengan kesehatan gigi dan mulut. Seluruh wanita

hamil pada penelitian ini, semuanya tidak ada yang

mengubah cara membersihkan dan memelihara

kesehatan gigi dan mulut.9 Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan dan

perilaku wanita hamil terhadap pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut. Kurangnya pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut akan menyebabkan

terjadinya penyakit gigi dan mulut.3Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengetahuan wanita

hamil mengenai kesehatan gigi dan mulut,

mengetahui perilaku kesehatan gigi dan mulut dan

mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita

hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Poli

Kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan Juli-

Agustus 2013. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh wanita hamil yang datang ke poli

kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan Juli-

Agustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan

secara Purposive Sampling. Sampel yang

digunakan adalah 60 orang wanita hamil yang

berkunjung pada periode Juli-Agustus 2013.

Kriteria inklusi dalam penelitan ini adalah wanita

hamil pengunjung Poli Kandungan RSUD

Banjarbaru dan wanita hamil yang bersedia mengisi

kuesioner.

Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada

penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item yang

telah dinyatakan valid dan reliabel untuk tingkat

pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut

wanita hamil sebanyak 20 item dan jumlah item

untuk perilaku kesehatan gigi dan mulut wanita

hamil 24 item. Penilaian skala pengetahuan dan

perilaku menggunakan pengukuran skala Likert,

yang dimodifikasi menjadi empat alternatif

jawaban. Skor untuk pernyataan positif adalah

SS=3, S=2, TS=1, STS=0, sedangkan skor

pernyataan negatif SS=0, S=1, TS=2, STS=3.

Alat ukur diuji validitas dan reliabilitas

sebelum penelitian. Uji validitas alat ukur skala

pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan perilaku

kesehatan gigi dan mulut pada penelitian ini

menggunakan Corrected Item- Total Correlation

dan uji reliabilitas skala pengetahuan kesehatan gigi

dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut

menggunakan Alpha Cronbach. Uji validitas dan

reliabilitas kuesioner dilakukan dengan bantuan

program komputer. Subjek penelitian mengisi

informed concent sebelum mengisi kuesioner.

Pengisian kuesioner oleh subjek didampingi oleh

peneliti. Kuesioner yang terkumpul kemudian

dilakukan pengolahan dan analisis data. Analisis

data yang digunakan untuk mengetahui hubungan

tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku

Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil 111

Page 8: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

112

kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD

Banjarbaru menggunakan uji kolerasi Spearman.

HASIL PENELITIAN

Hasil kategorisasi data variabel

pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan variabel

perilaku kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat

pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Kategorisasi Data Variabel

Pengetahuan Kesehatan Gigi dan

Mulut

Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 1,

maka didapatkan tidak ada subjek (0%) yang

memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut

berada pada kategori rendah, 53 orang subjek

(88,33%) memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan

mulut kategori sedang dan 7 orang subjek (11,67%)

memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut

berada pada kategori tinggi. Pengetahuan

dikategorikan rendah jika skor (x ≤ 24,95), sedang

jika skor (24,95< x ≤47,97), dan tinggi jika skor

nilainya (35,05≤ x).

Gambar 2. Kategorisasi Data Variabel Perilaku

Kesehatan Gigi dan Mulut

Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 2,

maka didapatkan tidak ada subjek (0%) memiliki

perilaku kesehatan gigi dan mulut berada pada

kategori buruk, 44 orang subjek (73,33%) memiliki

perilaku kesehatan gigi dan mulut kategori sedang

dan 16 orang subjek (26,67%) memiliki perilaku

kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori baik.

Perilaku dikategorikan buruk jika skor (x ≤ 25,03),

sedang jika skor (25,03< x ≤47,97), dan tinggi jika

skor nilainya (47,97≤ x).

Hasil uji normalitas menggunakan

Kolmogorov-Smirnov Test untuk pengetahuan

sebesar 0,001 (p<0.05) dan perilaku 0,033 (p<0,05).

Disimpulkan bahwa data pada variabel pengetahuan

kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan

gigi dan mulut tidak berdistribusi normal.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan

menggunakan uji korelasi Spearman karena data

tidak berdistribusi normal. Hasil analisis Spearman

(r) menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat

pengetahuan wanita hamil dengan perilaku

kesehatan gigi dan mulut sebesar r = 0,283 dengan

p = 0,029 (p<0,05). Data menunjukan adanya arah

yang positif (nilai r positif) yang berarti semakin

tinggi pengetahuan wanita hamil maka semakin

baik perilaku kesehatan gigi dan mulut. rendahnya

pengetahuan wanita hamil akan diikuti perilaku

kesehatan gigi dan mulut yang buruk pula.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan wanita hamil dengan perilaku

kesehatan gigi dan mulut di Poli Kandungan RSUD

Banjarbaru. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori

yang dipaparkan oleh Notoatmodjo tahun 2007

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

pengetahuan dan perilaku seseorang. Penelitian

Hajikazemi pada tahun 2008, juga menunjukan

adanya kolerasi antara pengetahuan dengan

perilaku kesehatan gigi dan mulut. Perilaku mulai

dibentuk dari pengetahuan atau ranah (domain)

kognitif. Subjek atau individu mengetahui

rangsangan yang berupa materi atau objek dari luar

dirinya, kemudian terbentuk pengetahuan baru.

Pengetahuan baru ini akan menimbulkan tanggapan

batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek

yang diketahuinya. Setelah rangsangan diketahui

dan disadari sepenuhnya, akan timbul tanggapan

lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap

rangsangan. Pada kenyataannya, rangsangan yang

diterima subjek dapat langsung menimbulkan

tindakan terhadap rangsangan. Artinya seseorang

tidak harus mengetahui makna dari rangsangan

terlebih dahulu, dengan kata lain untuk bertindak

tidak harus dilandasi dengan pengetahuan dan sikap

terlebih dahulu. Hal itu didukung oleh beberapa

penelitian mengenai pengetahuan dan perilaku.3,10,11

Perilaku yang dilandasi oleh pengetahuan

lebih langgeng dibandingkan yang tanpa dilandasi

pengetahuan. Pengetahuan kesehatan gigi dan

mulut diperoleh secara alami maupun secara

terencana yaitu melalui pendidikan kesehatan gigi

dan mulut. Beberapa faktor yang mempengaruhi

pengetahuan antara lain: usia, intelegensi,

lingkungan, sosial budaya, pendidikan, informasi

dan pengalaman. Seseorang yang memiliki tingkat

pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan

dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga

akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup

sehat.11

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114

Page 9: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

113

Banyak orang yang keliru memilih cara

pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak

tahu tentang penyebab penyakit dan upaya

pencegahannya. Pengetahuan yang rendah terhadap

kesehatan gigi dan mulut dapat menjadi faktor

predisposisi timbulnya penyakit gigi dan mulut.

Pada kenyataannya, informasi yang diterima subjek

dapat langsung menimbulkan tindakan terhadap

rangsangan itu. Artinya wanita hamil tidak harus

mengetahui makna dari rangsangan itu terlebih

dahulu untuk melakukan suatu tindakan. Perilaku

kesehatan gigi dan mulut wanita hamil merupakan

respon terhadap stimulus yang berhubungan dengan

konsep sehat, sakit dan penyakit.11,12

Hubungan perilaku yang berupa tindakan

dengan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi

dijelaskan oleh Rosenstock pada tahun 1974 dalam

Health Belief Model bahwa kepercayaan seseorang

terhadap timbulnya penyakit dan potensi penyakit,

akan menjadi dasar seseorang melakukan tindakan

pencegahan atau pengobatan terhadap penyakit

tersebut. Pada saat hamil gigi menjadi mudah

mengalami kerusakan, ibu hamil dapat melakukan

pencegahan dengan mengosok gigi minimal 2 kali

sehari, berkumur-kumur sehabis muntah dan

kontrol ke dokter gigi minimal 1 kali selama masa

kehamilan.11 Upaya agar masyarakat berperilaku

atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara

persuasi, bujukan, himbauan ajakan, pemberian

informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya.

Dampak yang timbul dari cara ini terhadap

perubahan perilaku masyarakat terutama wanita

hamil akan memakan waktu lama, namun bila

perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat

maka perilaku sehat selama hidup dilakukan.13

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara tingkat pengetahuan wanita

hamil dengan perilaku kesehatan rongga mulut di

Poli Kandungan RSUD Banjarbaru. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan

mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut

pada masa kehamilan, supaya wanita hamil tidak

hanya memperhatikan janin yang ada pada

kandungannya tetapi juga memperhatikan

kesehatan tubuh termasuk kesehatan gigi dan

mulut. Pada umumnya kehamilan berhubungan

dengan rongga mulut, karena apabila kesehatan

rongga mulut tidak diperhatikaan pada masa

kehamilan maka akan terjadi kelainan-kelainan

rongga mulut seperti gingivitis kehamilan,

periodontitis, epulis gravidarum, karies, dan bayi

lahir BBLR akibat terjadinya ketidakseimbangan

hormon wanita dan adanya faktor-faktor iritasi

lokal dalam rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ekaputri N dan Sjahruddin FLD. Hubungan

perilaku wanita hamil dalam membersihkan

gigi dan mulut dengan kedalaman poket

periodontal selama masa kehamilan. M I

Kedokteran Gigi. 2005; 62: 90-2.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Kalimantan Selatan. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. 2007. p.

116,119.

3. Hajikazemi E, Fateme O, Shoaleh HM, Soghra

N, and Hamid H. The relationship between

knowledge, attitude, and practice of pregnant

women about oral and dental care. Euro J,

2008; 24 (4): 556-61.

4. Sarifakioglu E, Gunduz C, and Gorpelioglu.

Oral mucosa manifestations in 100 pregnant

versus non-pregnant patients: an

epidemiological observational study (abstract).

EDJ. 2006; 16 (6): 674.

5. Apriasari, ML dan Irnamanda DH. Prevalensi

gingivitis dan epulis gravidarum pada wanita

hamil trimester ke tiga di RSUD Banjarbaru

(Januari-Juni 2012). Dentino. 2013;1(3): 129-

125

6. Wirawan, P. Prevalensi gingivitis pada wanita

hamil di rumah sakit umum daerah Banjarbaru

bulan Juni-Agustus 2012. Skripsi.

Banjarmasin: FK Unlam.2012. p.26

7. Habashneh, Guthmiller JM, Levy S, Jonhson

GK, Sequier C, Dawson DV, and Fang Q.

Factors related to utilization of dental services

during pregnancy. J Clin Periodontal, 2005;

32(7): 815-6.

8. Santoso O, Wildam ASR dan Dwi

Retroningrum. Hubungan kebersihan mulut

dan gingivitis ibu hamil terhadap kejadiaan

bayi berat badan lahir rendah kurang bulan di

RSUP Dr. Kariadi Semarang dan jejaringanya.

Media Medika Indonesiana. 2009; 43: 288-

293.

9. Diana, D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku

wanita hamil pengunjung poli ibu hamil (PIH)

RSUD dr. Pirngadi Medan terhadap kesehatan

gigi dan mulut selama masa kehamilan periode

November-Desember 2009. Skripsi. Medan:

FKG USU. 2009. p: 42-47.

10. Kholid, A. Promosi kesehatan: dengan

pendekatan teori perilaku, media dan

aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2012. p. 17-26.

11. Notoatmodjo S,1900 dalam Budiharto.

Pengantar ilmu perilaku kesehatan dan

pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC.

2010. p. 1-2,6,7,24.

Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil

Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil

Page 10: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

114

12. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan

kesehatan gigi-mulut pada masa kehamilan.

Medan: USU digital library. 2004. p.1-6.

13. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.p.13.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114

Page 11: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

115

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

PREVALENSI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PEROKOK DI LINGKUNGAN

BATALYON INFANTERI 621/MANUNTUNG BARABAI HULU SUNGAI TENGAH

Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Periodontal disease is a periodontal tissues disease of the teeth characterized by the

presence of inflammatory gingival, periodontal pockets, and gingival recession. Plaque, calculus and bacteria

accumulation is a major cause of periodontal disease, while the predisposing factors are smoking, stress, and

alcohol. Smoking can cause damage of periodontal tissues and affect to the salivary antibodies (IgA) against the

bacteria causing neutralize disruption the bacteria in the mouth. The heat from the burning cigarette can cause

vascularization disruption and secretion of salivary. Cigarettes contain danger toxic that interfere with health.

Purpose: This study was to determine the prevalence of periodontal disease of smokers in the infantry battalion

621/manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Methods: This study was an observational descriptive study

obtained from the history and clinical examination of the teeth 16, 21, 24, 36, 41, 44 and account with

Periodontal disease index method. Screening was done to 45 samples that have been adapted to the inclusion

criteria. Results: The results were obtained as 16 people or 35,6% were normal, 27 people or 60% with

gingivitis, and 2 people or 4,4% with periodontitis. Based on the group of age at 20-30 years old was high

gingivitis which is 46,7% (21 people), while the condition periodontitis in the group of age at 30-40 years old

4,4% (2 people). Conclusion: The research concluded the prevalence of periodontal disease of smoker in the

infantry batalyon 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah more gingivitis than periodontitis.

Keywords: prevalence, periodontal disease, smoking, periodontal disease index

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit periodontal adalah suatu penyakit pada jaringan pendukung gigi yang

ditandai dengan adanya inflamasi gingiva, poket periodontal, dan resesi gingival. Plak, akumulasi kalkulus dan

bakteri merupakan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal, sedangkan faktor predisposisinya yaitu

merokok, stres, dan mengkonsumsi alkohol. Merokok dapat menyebabkan kerusakan periodontal. merokok dapat

mempengaruhi antibodi dalam saliva (IgA) terhadap bakteri sehingga terjadi gangguan dalam menetralisir

bakteri di dalam mulut. Panas yang ditimbulkan dari pembakaran rokok dapat menyebabkan gangguan

vaskularisasi dan sekresi saliva. Kandungan yang terdapat di dalam rokok mengandung toksik yang berbahaya

yang mengganggu kesehatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit

periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang diperoleh dari hasil anamnesa dan

pemeriksaan klinis pada gigi 16, 21, 24, 36, 41, 44 dan dihitung dengan indeks penyakit periodontal.

Pemeriksaan ini dilakukan pada 45 sampel yang sudah disesuaikan dengan kriteria inklusi. Hasil: Hasil

penelitian diperoleh sebanyak 16 orang atau 35,6% normal, 27 orang atau 60% mengalami gingivitis, dan 2

orang atau 4,4% mengalami periodontitis. Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia 20-30 tahun lebih

banyak mengalami gingivitis yaitu 46,7% (21 orang), sedangkan kondisi periodontitis ada di golongan usia 30-

40 tahun yaitu 4,4% (2 orang). Kesimpulan: Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi

penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai

Tengah lebih banyak mengalami gingivitis dibandingkan periodontitis.

Laporan Penelitian

Page 12: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

116

Kata-kata kunci: prevalensi, penyakit periodontal, merokok, indeks penyakit periodontal

Korespondensi: Zuhda Febrina Ramadhani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Jaringan periodontal adalah suatu jaringan

yang mengelilingi dan mendukung gigi. Struktur

jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen

periodontal, tulang alveolar dan sementum. Gingiva

adalah bagian mukosa rongga mulut yang menutupi

tulang alveolar dan berfungsi melindungi jaringan

di bawahnya. Gingiva normal memiliki warna

merah muda, konsistensi yang kenyal dan tekstur

stippling atau seperti kulit jeruk. Ligamen

periodontal adalah jaringan konektif yang

mengelilingi gigi dan mengikatnya ke tulang.

Ligamen periodontal berfungsi melindungi

pembuluh darah dan saraf, perlekatan gigi terhadap

tulang dan pertahanan benturan keras akibat

tekanan oklusal. Tulang alveolar adalah jaringan

keras yang tersusun dari lapisan-lapisan tulang

yang berfungsi sebagai penyangga gigi. Sementum

adalah bagian yang menyelimuti akar gigi, bersifat

keras, tidak memiliki pembuluh darah dan

berfungsi sebagai perlekatan ligamen periodontal.1,2

Gingivitis dan periodontitis merupakan

penyakit periodontal yang sering ditemui.

Gambaran klinis dari gingivitis atau inflamasi

gingiva yaitu gingiva berwarna merah sampai

kebiruan dengan pembesaran kontur gingiva karena

edema dan mudah berdarah jika diberikan stimulasi

seperti saat makan dan menyikat gigi.3 Periodontitis

adalah suatu infeksi campuran dari mikroorganisme

yang menyebabkan infeksi dan peradangan jaringan

pendukung gigi, biasanya menyebabkan kehilangan

tulang dan ligamen periodontal. 4

Plak dan akumulasi kalkulus serta bakteri

merupakan penyebab utama terjadinya penyakit

periodontal. Faktor predisposisi penyakit

periodontal yaitu merokok, sering mengkonsumsi

alkohol, dan stres.5,6 Penelitian sebelumnya

menyatakan bahwa peradangan pada peridodontal

akan semakin parah jika kondisi oral hygiene

buruk, dan mempunyai riwayat penyakit sistemik

seperti diabetes mellitus.7,8

Kebiasaan merokok menyebabkan

perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva akibat

panas yang dihasilkan oleh asap rokok. Perubahan

vaskularisasi akibat merokok menyebabkan dilatasi

pembuluh darah kapiler dan infiltrasi agen-agen

inflamasi sehingga dapat terjadi pembesaran pada

gingiva. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya

jumlah limfosit dan makrofag. Tar yang terkandung

dalam rokok dapat mengendap pada gigi dan

menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar,

sehingga mudah dilekati plak dan bakteri. Invasi

kronis bakteri plak di bawah margin gingival

mengakibatkan terjadinya gingivitis yang dapat

berlanjut menjadi periodontitis. Kondisi

periodontitis yang parah ditandai dengan hilangnya

perlekatan gingiva dengan gigi sehingga terjadi

resesi gingiva serta kehilangan tulang alveolar dan

gigi yang diakibatkan akumulasi sel-sel inflamasi

kronis.9

Berbagai jenis rokok dan seringnya

frekuensi merokok telah terbukti mempunyai

hubungan kuat dengan status jaringan gingiva,

kerusakan jaringan periodonsium serta tingkat

keparahan periodontitis.9 Hasil penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa perokok lebih

rentan mengalami gingivitis dan periodontitis atau

kerusakan jaringan periodonsium 2-7 kali lebih

besar dibanding yang bukan perokok. Risiko ini

ditemukan lebih tinggi terjadi pada kelompok

perokok dewasa muda berusia 20-33 tahun.6

Berdasarkan Riset Kesehatan di Kalimantan Selatan

(RISKESDAS,2007) menyatakan bahwa perokok

lebih banyak ditemukan pada pekerja dan jumlah

rokok yang dikonsumsi lebih tinggi di perdesaan

dibandingkan di perkotaan.10

Tomar dan Asma (1999) dari National

Health and Nutrition Examination Survey III

(NHANES) menyatakan bahwa perokok yang

mengisap lebih dari 9 batang rokok per hari

kemungkinan untuk menderita periodontitis lebih

besar 2,8 kali dibandingkan bukan perokok.

Menurut Sitepoe (2000) berdasarkan dari jumlah

rokok yang dikonsumsi setiap hari, perokok dibagi

menjadi empat bagian7:

1) Perokok ringan adalah seseorang yang

mengkonsumsi rokok antara 1-10 batang per

hari

2) Perokok sedang adalah seseorang yang

mengkonsumsi rokok antara 11-20 batang per

hari

3) Perokok berat adalah seseorang yang

mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per

hari

4) Perokok sangat berat adalah perokok yang

mengkonsumsi lebih dari 30 batang per hari

Ketergantungan terhadap tembakau menjadi

epidemiologi secara global yang dapat

menyebabkan penyakit dan kematian. Menurut

World Health Organization (WHO) sepertiga dari

1,3 milyar perokok di dunia berasal dari populasi

berusia 15 tahun ke atas. Konsumsi rokok di

Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat tajam,

pada tahun 1970 pemakaian rokok berkisar 33

miliar batang per tahun dan menjadi 230 miliar

batang pada 2006. Tingkat konsumsi rokok di

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119

Page 13: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

117

Indonesia menempati urutan lima besar dunia.12,13

Berdasarkan Riset kesehatan (RISKESDAS) tahun

2007 laki-laki perokok di Kalimantan Selatan

mencapai 54,5% dengan jumlah konsumsi rokok

yang lebih tinggi pada kalangan pekerja dan daerah

perdesaan. 10

Sampai sekarang belum terdapat data

mengenai angka kejadian penyakit periodontal

akibat merokok pada usia dewasa muda di daerah

Kalimantan Selatan. Berdasarkan beberapa

penelitian sebelumnya maka peneliti merasa tertarik

untuk melakukan penelitian di kalangan pekerja

usia muda. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran angka kejadian penyakit

periodontal akibat merokok di kalangan pekerja

usia dewasa muda. Menurut hasil dari studi

pendahuluan yang telah dilakukan diketahui

beberapa prajurit dengan rentang usia 20-40 tahun

di Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu

Sungai Tengah memiliki kebiasaan merokok.

Beberapa diantaranya pernah ada yang

mengeluhkan gingivanya terkadang bengkak.

Kondisi tersebut mungkin ada kaitannya dengan

kebiasaan merokok yang sering dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

prevalensi penyakit periodontal pada perokok di

Lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung

Barabai, Hulu Sungai Tengah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif

observasional. Data diperoleh dari hasil anamnesa

dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut perokok

di lingkungan Batalyon Infanteri 621/ Manuntung

Barabai, Hulu Sungai Tengah. Populasi dalam

penelitian adalah laki-laki perokok di lingkungan

Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu

Sungai Tengah. Sampel pada penelitian ini diambil

dengan purposive sampling. Sampel adalah

sebagian laki-laki perokok di lingkungan Batalyon

Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai

Tengah. Kriteria inklusi : Laki-laki perokok berusia

20-40 tahun, perokok ringan (dengan ketentuan

merokok lebih dari 9 batang per hari) – Perokok

sedang, merokok selama ≥ 2 tahun, merokok jenis

filter dan menggosok gigi minimal 2 kali sehari.

Kriteria ekslusi: menggunakan gigi tiruan,

mengkonsumsi minuman beralkohol,

mengkonsumsi obat tertentu (phenytoin,

cyclosporine A) dan memiliki penyakit sistemik.

Penelitian ini menggunakan perhitungan

dengan periodontal disease index. Indeks ini

digunakan untuk memeriksa keparahan inflamasi

gingiva dan hilangnya perlekatan jaringan

pendukung gigi. Penilaian menggunakan enam gigi

yang disebut Ramfjord’s teeth yaitu, 16, 21, 24, 36,

41, dan 44. Skor indeks periodontal tiap individu

didapat dengan menambah semua skor gigi kemudian dibagi dengan jumlah gigi yang

diperiksa. Jika hasil akhir menunjukkan berada

pada 1-3 maka dikategorikan gingivitis dan jika

berada pada 4-6 maka dikategorikan periodontitis.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat

diagnostik (kaca mulut, sonde half moon,

ekskavator, dan pinset), probe periodontal (WHO)

yang memiliki kalibrasi dalam millimeter,

nierbekken, alkohol, tisu, dan larutan klorin.

Sebelum penelitian dilaksanakan terlebih

dahulu dilakukan studi pendahuluan di Batalyon

Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai

Tengah, kemudian dilakukan proses perizinan.

Prosedur selanjutnya subyek penelitian akan

berkumpul di tempat yang telah disediakan. Peneliti

memberikan penjelasan tentang manfaat dan

prosedur penelitian dan melakukan anamnesa serta

memberikan lembar informed consenst sebagai

tanda persetujuan menjadi subjek penelitian.

Kemudian dilakukan pemeriksaan menggunakan

periodontal disease index. Data yang didapat dari

hasil pemeriksaan menggunakan periodontal

disease index kemudian dicatat. Data yang telah

didapatkan kemudian ditabulasi atau dimasukkan

ke dalam tabel serta disajikan dalam persentase.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang prevalensi penyakit

periodontal pada perokok di Lingkungan Batalyon

Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai

Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase penyakit periodontal pada

perokok di lingkungan batalyon infanteri

621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah

No Kondisi Klinis Frekuensi

(orang)

Persentase

(%)

1 Normal 16 35,6

2 Gingivitis 27 60,0

3 Periodontitis 2 4,4

Jumlah 45 100

Berdasarkan Tabel 1 diketahui angka

kejadian penyakit periodontal pada perokok di

lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung

Barabai, Hulu Sungai Tengah berupa gingivitis

yaitu 27 orang atau sebesar 60%. Jumlah yang

mengalami periodontitis yaitu 2 orang atau sebesar

4,4% dan jumlah yang normal yaitu 16 orang atau

sebesar 35,6%. Hal ini menunjukkan dari sejumlah

sampel yang diperiksa lebih dari setengahnya

masuk dalam kategori gingivitis setelah dilakukan

pemeriksaan dan perhitungan skor akhir.

Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok

Page 14: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

118

Tabel 2 Persentase penyakit periodontal terhadap

usia di lingkungan Batalyon Infanteri

621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah

Kondisi

periodontal

Usia Total

20-30

tahun

31-40

tahun

n % n % N %

Normal 16 35.6 0 0 16 35.6

Gingivitis 21 46.7 6 13.3 27 60

Periodontitis 0 0 2 4.4 2 4.4

Total 37 82.2 8 17.8 45 100

Berdasarkan Tabel 2 diketahui pada usia 20

sampai 30 tahun terdapat besar sampel sebanyak

82,2% (37 orang) dengan persentase normal yaitu

35,6% (16 orang) dan persentase gingivitis 46,67%

(21 orang). Pada usia 31 sampai 40 tahun terdapat

besar sampel sebanyak 17,8% (8 orang). Penyakit

periodontal pada kelompok umur tersebut terdiri

dari gingivitis dengan persentase 13,3% (6 orang)

dan periodontitis dengan persentase 4,4% (2 orang).

PEMBAHASAN

Menurut Tomar dan Asma (2000) dan Eddie

Kasim (2001) hubungan antara merokok dengan

terjadinya penyakit periodontal tergantung pada

dosis dan selang waktu merokok. Perokok yang

merokok 9 batang per hari beresiko 3 kali lebih

besar untuk terjadinya penyakit periodontal di

banding yang bukan merokok. Pada perokok yang

merokok lebih dari 30 batang per hari beresiko 6

kali lebih besar dibanding bukan perokok, sehingga

dapat dikatakan efek negatif dari merokok terhadap

jaringan periodontal dipengaruhi jumlah rokok

yang dikonsumsi.15

Dalam penelitian ini yang mengalami

periodontitis terdapat pada kisaran usia 31 sampai

40 tahun yakni sebanyak 4,4% atau 2 orang. Hal ini

dapat dihubungkan dengan lama dan jumlah

merokok yang lebih besar.15 Berdasarkan hasil

anamnesa responden yang mengalami periodontitis

mengkonsumsi rokok lebih dari satu kotak per hari

atau kira-kira berkisar antara 16 hingga 20 batang

per hari dan merokok dalam jangka waktu lebih

dari 5 tahun.

Dalam jurnal Mullaly (2004) memuat

tentang penelitian yang dilakukan oleh Hujoel

menyatakan bahwa terjadinya kasus penyakit

periodontal akibat merokok di Amerika lebih sering

terjadi pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun.

Arowojolu dan Nwokorie menemukan prevalensi

terjadinya penyakit periodontal di Nigeria berupa

periodontitis adalah sebanyak 1,6% pada usia 34

tahun. Mullaly juga menyatakan pada kasus

inflamasi gingiva karena merokok selain karena

rokok dapat merubah vaskularisasi gingiva yang

pada akhirnya menyebabkan inflamasi, ternyata

merokok juga dapat menyebabkan perlekatan plak

lebih mudah sehingga memicu terjadinya inflamasi

gingiva. Pada penelitiannya, Mullaly (2004)

menemukan perokok muda lebih banyak

mengalami gingival bleeding dibanding bukan

perokok, selain karena faktor merokok hal ini juga

disebabkan oleh tingginya level kalkulus dan plak

yang ditemukan pada perokok. Penelitian terdahulu

oleh Mullaly di Northen Ireland menemukan dari

82 responden perokok di kisaran usia 21 sampai 33

tahun, 41% diantaranya mengalami gingivitis, hal

ini dikaitkan dengan penumpukan akumulasi plak

dan kalkulus akibat kebiasaan merokok.16

Hasil yang serupa juga terdapat dalam

penelitian prevalensi penyakit periodontal di

lingkungan Batalyon Infanteri 621/manuntung

Barabai, Hulu Sungai Tengah untuk kasus

gingivitis didapatkan sebanyak 46,7% atau 21

orang di kisaran usia 20 sampai 30 tahun dan

13,3% atau 8 orang di kisaran usia 31 sampai 40

tahun. Responden yang mengalami gingivitis

mengkonsumsi rokok antara 10 hingga 16 batang

per hari atau kira-kira satu kotak per hari dan dalam

jangka waktu 2-3 tahun. Pada beberapa responden

lainnya gejala klinis gingivitis tampak pada satu

atau dua daerah gingiva saja sementara ada daerah

gingiva lain respon peradangannya hilang dan

mulai terjadi resesi gingiva.

Mullaly menyatakan periodontitis karena

merokok dapat terjadi akibat konsumsi rokok

dengan dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang

lama. Tidak ditemukan kasus periodontitis pada

perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 5

batang per hari dan memiliki kebiasaan merokok

kurang dari 3 tahun. Periodontitis mungkin terjadi

jika konsumsi rokok lebih dari 15 batang per hari

dan dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun.16

Pada 16 orang lainnya atau sebesar 35,6% di

Batalyon Infanteri 621/Manuntung tidak termasuk

dalam kategori gingivitis dan periodontitis.

Berdasarkan hasil anamnesa yang dilakukan hal ini

dapat dihubungkan dengan jumlah atau dosis dari

rokok yang dikonsumsi tidak melebihi 10 batang

per hari. Faktor lain yang mungkin berpengaruh

adalah penjagaan oral hygiene seperti

menggunakan obat kumur. Beberapa responden

lainnya juga menyatakan pernah beberapa kali

memeriksakan giginya ke dokter. Menurut

Gunsolley obat kumur atau mouthwash dapat

digunakan untuk meningkatkan kebersihan rongga

mulut. Juga mampu membunuh bakteri penyebab

karies, gingivitis, dan bau mulut.17

Selain faktor penjagaan oral hygiene yang

baik, ada kemungkinan faktor dari jenis rokok

berpengaruh dalam kondisi jaringan periodontal.

Berdasarkan dari hasil anamnesa masing-masing

responden menyatakan mengkonsumsi rokok

dengan merek yang berbeda. Dalam penelitiannya

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119

Page 15: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

119

berkaitan dengan studi kadar nikotin dan tar oleh

Kusuma Ali dkk (2012) menemukan kadar nikotin

dan tar yang berbeda pada setiap merek rokok jenis

filter.25 Menurut Kusuma (2010) menyebutkan

bahwa nikotin adalah salah satu bahan dari rokok

yang berkaitan dengan jaringan periodontal.14

Menurut Tirtosastro S dan Murdiyati (2010) dalam

penelitiannya mengenai kandungan kimia dan

tembakau dan rokok juga menyatakan bahwa jenis

tembakau yang digunakan juga mempengaruhi

kadar nikotin yang terkandung di dalamnya.19

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan

bahwa prevalensi penyakit periodontal pada

perokok di lingkungan batalyon infanteri

621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah

paling banyak mengalami gingivitis yakni 60% (27

orang), kemudian diikuti periodontitis yakni 4,4%

(2 orang), sedangkan yang tidak mengalami

penyakit periodontal yakni 35,6% (16 orang).

Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia

20-30 tahun yang tidak mengalami penyakit

periodontal atau normal yakni 35,6% (16 orang),

gingivitis sebanyak 46,7% (21 orang) dan tidak ada

yang mengalami periodontitis atau 0 %. Pada

golongan usia 30-40 tahun kondisi periodontal

normal adalah 0% atau tidak ada, gingivitis

sebanyak 13,3% (6 orang) dan periodontitis

sebanyak 4,4% (2 orang).

DAFTAR PUSTAKA

1. Newman M.G, Takei H.H, Klokkevoid P.R

and Carranza F.A. Carranza’s Clinical

Periodontology, 10th. St.Louis Missouri:

Saunders Elsevier, 2006: p 46-7, 68, 72-75,

116-120.

2. Campbell N.A, Reece J.B and Mitchell L.G.

Biology 5th ed vol.3. Jakarta: Erlangga. 2004 .

p81-2.

3. Marcuschamer E, Hawley C.E, Israel S,

Romero D.M.R and Molina M.J. A Lifetime

of Normal Hormonal Events and Their

Impact on Periodontal Health. Perinatol

Reprord Hum. 2009; 23:53.

4. Carranza F.A, Newman M.G and Takkei H.H.

Carranza’s Clinical Peridontology. 10th ed.

Philadelphia: Saunders. 2008. p495-9.

5. Sham A, Cheung L, Jin L and Corbet E. The

Effects of Tobacco Use on Oral Health.

Hongkong Med J. 2003; 9:271-77.

6. Dewi N.M. Peran Stres Terhadap Kesehatan

Jaringan Periodontal. Jakarta: EGC. 2010. p3-

4.

7. Alamsyah R.M. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan

Hubungannya Dengan Status Penyakit

Periodontal di Kota Medan. Skripsi. Medan:

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara. 2007.

8. Mealey L.B and Ocampo L.G. Diabetes

Mellitus and Periodontal Disease. Journal

Compilation 2007; 44:127-153.

9. Pejcic A, Obradovic R, Kesic L and Kojovic

D. Smoking and Periodontal Disease: A

review. Medicine and Biology 2007. 14(2): 53

– 9.

10. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).

Kalimantan Selatan: Laporan Hasil Kesehatan

Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. 2007.

11. Eley B.M and Manson J.D. Periodontics.

USA: Philadelphia. 2004. p10-11,124-5.

12. Gondodiputo S. Bahaya Tembakau dan

Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau. Bandung:

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.

2007.

13. Curry C.M. Tobacco Use and Periodontal

Disease. JCCC Honours Journal 2010; 1: 4-6.

14. Kusuma A.R.P. Pengaruh Merokok Terhadap

Kesehatan Gigi dan Mulut. Jurnal Sultan

Agung Unissula 2010; (online), jilid 1, 1-6,

(http// www.unissula.ac.id, diakses 25

Februari 2013).

15. Kasim E. Merokok Sebagai Faktor Risiko

Terjadinya Penyakit periodontal. Skripsi.

Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut.

Jakarta: Fakultas Trisakti. 2001.

16. Mullaly BH. The Influence of Tobacco

Smoking on the Onset of Periodontitis in

Young Person. Divisi of Periodontics.

Queen’s University of Belfast. North Ireland.

2004.

17. Gunsolley. A Meta Analysis of Six Month

Studies of Antiplaque and Antigingivitis

Agent. American Dental Association Journal

2006; 137:1-4.

18. Kusuma Ali D, Yuwono S.S dan Wulan N.S.

Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk

Rokok Kretek Filter yang Beredar di Nganjuk.

Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

Malang: Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya. 2012.

19. Tirtosastro S dan Murdiyati A.S. Kandungan

Kimia Tembakau dan Rokok. Skripsi.

Malang: Universitas Tribuana Tunggadewi

Malang. 2010.

Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok

Page 16: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

120

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PASTA GIGI HERBAL DENGAN

PASTA GIGI NON HERBAL TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK

PADA SISWA SDN ANGSAU 4 PELAIHARI

Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Plaque control is an attempt to remove and prevent the plaque accumulation on the tooth

surface. Brushing teeth is an effective method in controlling plaque. Plaque control is equipped by additional

active ingredients in toothpaste form. The addition of herbal ingredients in toothpaste expected to inhibit the

growth of plaque because it has the ability to inhibit the growth of microbes Purpose: The purpose of this study

was to compare the effectiveness of herbal toothpaste and non herbal toothpaste in reducing plaque index.

Methods: This study was a quasi experimental design and used a nonrandomized control group pretest-posttest

design. Sampling was conducted by purposive sampling. Treatment was conducted by subject brushed their teeth

with non-herbal toothpaste twice a day for 5 days, then underwent washing periods for 7 weeks, and re-treated

brushed with herbal toothpaste for 5 days. Index plaque in each treatment was recorded by Patient Hygiene

Performance (PHP) methods. Results: The mean plaque index before treatment was 2.78 and the mean plaque

index after brushing the teeth with non-herbal toothpaste and herbal toothpaste respectively 2.19 and 1.47.

Mann-Whitney statistical test showed p=0.000 (p<0.05) that indicated a significant difference between the

reduction of plaque index after brushing with non herbal toothpaste and after brushing with herbal toothpaste.

Conclusion: Based on the research it can be concluded that there was differences in the effectiveness between

herbal toothpaste and non herbal toothpaste. Herbal toothpaste was more effective to reduce plaque index.

Key words: toothpaste, herbal, non-herbal, plaque index

ABSTRAK

Latar belakang: Pengendalian plak adalah upaya membuang dan mencegah penumpukan plak pada

permukaan gigi. Menyikat gigi merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak. Kontrol plak

dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif dalam bentuk pasta gigi. Penambahan herbal pada pasta gigi

diharapkan dapat menghambat pertumbuhan plak karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan

mikroba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan

pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental

dan menggunakan rancangan nonrandomized control group pretest posttest design. Pengambilan sampel

dilakukan dengan purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah menyikat gigi menggunakan pasta gigi

non herbal dua kali sehari selama 5 hari, kemudian subjek penelitian menjalani washing periode selama 7

minggu, dan kembali diberi perlakuan menyikat gigi dengan pasta gigi herbal selama 5 hari. Indeks plak

masing-masing perlakuan dicatat dengan metode Patient Hygiene Performance (PHP). Hasil: Rerata indeks

plak sebelum perlakuan adalah 2,78 dan rerata indeks plak sesudah diberi perlakuan menyikat gigi dengan

pasta gigi non herbal dan pasta gigi herbal masing-masing 2,19 dan 1,47. Pada uji Mann-Whitney didapatkan

hasil p=0,000 (p<0,05) yang menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan indeks plak sesudah

menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal dan sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi herbal. Kesimpulan:

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non

herbal, yaitu pasta gigi herbal lebih efektif menurunkan indeks plak

Kata Kunci : pasta gigi, herbal, non herbal, indeks plak

Laporan Penelitian

Page 17: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

121

Korespondensi: Rizki Yulita Rahmah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Tingkat kebersihan rongga mulut merupakan

salah satu indikator kesehatan gigi dan mulut.

Kebersihan rongga mulut dapat dilihat dari ada

tidaknya deposit-deposit organik, seperti pelikel,

materi alba, sisa makanan, kalkulus, dan plak gigi.1

Saat ini prevalensi tertinggi penyakit gigi dan mulut

adalah karies dan penyakit periodontal yang

disebabkan adanya plak gigi.2 Plak merupakan

deposit lunak yang membentuk lapisan biofilm dan

melekat erat pada permukaan gigi dan gusi serta

permukaan keras lainnya dalam rongga mulut.3

Angka kejadian masalah kesehatan gigi dan

mulut di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun

2007, prevalensi nasional masalah gigi-mulut

adalah 23,4%. Terdapat 1,6% penduduk yang telah

kehilangan seluruh gigi aslinya. Penduduk yang

menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga

kesehatan gigi hanya 29,6% dari total penduduk

dengan masalah gigi-mulut.4

Penelitian Kazemnejad et al (2008)

menunjukkan 88,7% siswa di Tehran, Iran memiliki

tingkat kesehatan periodontal yang buruk.5

Penelitian Chuckpaiwong et al (2000) di Laos

menunjukkan dari 2453 responden, hanya 0,5%

yang memiliki gingiva yang sehat, dan ditemukan

deposit kalkulus pada 90% responden sejak

berumur 12 tahun.6 Carneiro et al (2012)

melaporkan bahwa dari 785 siswa pada suatu

sekolah di Tanzania, 74% memiliki plak

supraginggival dan 56,9% memiliki kalkulus.7

Prevalensi penyakit periodontal menurut kelompok

umur pada tahun 2004 di dua kecamatan di kota

medan yakni 97,62% pada usia 15-24 tahun,

93,88% pada usia 23-34 tahun, 94,64% pada usia

34-44 tahun, dan 100% pada usia 45-65 tahun.8

Pengendalian plak adalah upaya membuang

dan mencegah penumpukan plak pada permukaan

gigi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara

mekanis maupun kimiawi. Penyingkiran secara

mekanis merupakan metode yang efektif dalam

mengendalikan plak dan gingivitis. Penyingkiran

mekanis dapat meliputi penyikatan gigi dan

penggunaan benang gigi. Saat ini kontrol plak

dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif

yang mengandung bahan dasar alami ataupun

bahan sintetik sebagai bahan anti mikroba. Bahan

anti mikroba tersebut tersedia dalam bentuk larutan

kumur dan pasta gigi.9,10,11

Penelitian Almajed (1994) menunjukkan

pembersihan plak dengan menyikat gigi

menggunakan pasta gigi lebih efektif dibandingkan

dengan menyikat gigi tanpa pasta gigi.12 Pasta gigi

yang digunakan pada saat menyikat gigi berfungsi

untuk mengurangi pembentukan plak, memperkuat

gigi terhadap karies, membersihkan dan memoles

permukaan gigi, menghilangkan atau mengurangi

bau mulut, memberikan rasa segar pada mulut serta

memelihara kesehatan gusi.13

Pasta gigi yang beredar di pasaran umumnya

mengandung fluor yang efektif dalam mencegah

dan mengendalikan karies gigi.14 Fluor dapat

menghambat demineralisasi email dan

meningkatkan remineralisasi. Flour sangat berperan

penting terhadap peningkatan kesehatan gigi.15

Pasta gigi pada umumnya mengandung bahan

abrasif, air, pelembab, bahan perekat, bahan

penambah rasa, bahan terapeutik, bahan

desensitisasi, bahan anti-tartar, bahan pemutih,

bahan pengawet, serta bahan antimikroba seperti

triklosan dan klorheksidin yang berperan sebagai

bahan aktif yang dapat memberikan efek inhibisi

secara langsung pada pembentukan plak.16

Estafan et al (1998) melaporkan bahwa

pasta gigi herbal lebih unggul dibandingkan pasta

gigi konvensional dalam pengurangan plak.17

Penambahan herbal pada pasta gigi dapat

menghambat pertumbuhan plak, karena beberapa

jenis herbal memiliki kemampuan menghambat

pertumbuhan mikroba. Bahan antimikroba pada

ekstrak daun sirih dan siwak berperan sebagai

bahan aktif dan mampu membunuh bakteri yang

menjadi penyebab terbentuknya plak. Selain itu,

karena herbal berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka

bahan tersebut aman dan alami.18,19

Berdasarkan latar belakang di atas, maka

peneliti melakukan penelitian mengenai

perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan

pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks

plak pada siswa SDN Angsau 4 Pelaihari. Tempat

penelitian dipilih karena rendahnya persentase

berperilaku benar dalam menyikat gigi di daerah

tersebut, serta pelaksanaan kegiatan UKGS yang

tidak sesuai dengan semestinya. Penelitian ini

diharapkan dapat berfungsi sebagai pendataan

status indeks plak pada siswa di sekolah tersebut,

sehingga plak yang merupakan salah satu sumber

permasalahan pada gigi dapat dicegah sedini

mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk

membandingkan efektivitas pasta gigi herbal

dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan

indeks plak

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan metode

quasi eksperimental dengan rancangan penelitian

nonrandomized control group pretest posttest

design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa

kelas V dan VI di SDN Angsau 4 Pelaihari. Sampel

diambil dengan teknik purposive sampling. Besar

sampel yang diambil sebanyak 30 orang dan

Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal

Page 18: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

122

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria

inklusinya antara lain siswa kelas V dan VI SDN

Angsau 4 Pelaihari Kalimantan Selatan Tahun

Ajaran 2013/2014, bersedia untuk berpartisipasi

dan dijadikan responden penelitian, minimal

memiliki seluruh gigi yang diperlukan dalam

pemeriksaan, yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31 dan 46.

Kriteria eksklusinya antara lain terdapat karies pada

gigi yang diperlukan dalam pemeriksaan dan

memakai alat ortodonti.

Penelitian ini dilakukan di SDN Angsau 4

Pelaihari Kalimantan Selatan dengan prosedur

pasien dijelaskan tentang manfaat dan prosedur

penelitian dan diberikan lembar informed consent.

Peneliti menyiapkan alat dan bahan yang meliputi

kaca mulut (dental mirror), pinset, nierbeken, sikat

gigi, alat tulis, masker, sarung tangan, handuk putih

dan model peraga rahang atas dan rahang bawah.

Bahan penelitian yang digunakan antara lain

disclosing solution, alkohol 70%, air mineral, pasta

gigi herbal, pasta gigi non herbal, dan kapas.

Pengukuran indeks plak indeks pertama pada

responden dengan menggunakan larutan pewarna

plak/disclosing solution. Penggunaannya dengan

cara mengoleskan kapas yang telah ditetesi

disclosing solution pada permukaan gigi-gigi yang

menjadi indeks penelitian, yaitu permukaan labial

pada gigi anterior atas dan bawah, permukaan bukal

gigi posterior rahang atas, dan permukaan lingual

gigi posterior rahang bawah. Responden diminta

berkumur dengan air mineral. Pemeriksaan Indeks

plak menggunakan metode PHP (Patient Hygiene

Performance) yang dilakukan pada permukaan

mahkota gigi bagian fasial atau lingual dengan

membagi tiap permukaan mahkota gigi menjadi

lima subdivisi, yaitu distal, 1/3 servikal (gingival),

mesial, 1/3 tengah, 1/3 insisal/oklusal. Gigi yang

diperiksa adalah gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46.

Dicatat indeks plak dari setiap sampel yang

diperiksa.

Langkah selanjutnya adalah penyuluhan

mengenai cara menyikat gigi yang baik dan benar,

kemudian dilakukan pengukuran indeks plak kedua

pada seluruh responden setelah 5 hari. Hal ini

dilakukan untuk mengidentifikasi adanya

penurunan indeks plak setelah menyikat gigi

dengan pasta gigi non herbal. Indeks plak pada

setiap sampel yang diperiksa dicatat. Seluruh

responden diinstruksikan menyikat gigi dua kali

sehari dengan pasta gigi yang biasa digunakan di

rumah. Responden kemudian diistirahatkan dari

pemakaian pasta gigi non herbal (washing periode)

selama 7 minggu.20 Responden diinstruksikan untuk

menyikat gigi 2 kali sehari dengan menggunakan

pasta gigi herbal. Pemeriksaan dan perhitungan

indeks plak dilakukan kembali pada responden

setelah 5 hari. Hasil pemeriksaan dicatat dalam

formulir penilaian indeks plak. Hasil penilaian

indeks plak pada responden sebelum dan setelah

menyikat gigi dengan pasta gigi herbal

dibandingkan dengan pasta gigi non herbal.

HASIL PENELITIAN

Hasil pemeriksaan indeks plak dengan

menggunakan PHP (Patient Hygiene Performance)

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata indeks plak sebelum diberi

perlakuan, sesudah penggunaan pasta gigi

non herbal, dan sesudah penggunaan

pasta gigi herbal.

Penurunan indeks plak pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan diuji dengan

menggunakan uji T berpasangan. Hasil penurunan

indeks plak pada penggunaan kedua pasta gigi yaitu

0,000 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan terjadi

penurunan indeks plak yang signifikan pada

penggunaan pasta gigi herbal dan pasta gigi non

herbal. Perbedaan efektivitas pasta gigi herbal

dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan

indeks plak diuji dengan Mann Whitney dan

didapatkan hasil 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan

terdapat perbedaan signifikan antara penggunaan

pasta gigi herbal dan pasta gigi non herbal terhadap

penurunan indeks plak.

PEMBAHASAN

Lingkungan fisik meliputi anatomi dan

posisi gigi, dan anatomi jaringan sekitarnya, serta

friksi atau gesekan oleh makanan yang dikunyah

dapat mempengaruhi proses pembentukan plak

gigi. Pemeliharaan kebersihan mulut dapat

mencegah atau mengurangi penumpukan plak pada

permukaan gigi.16 Pengaruh diet terhadap

pembentukan plak telah diteliti dalam dua aspek,

yaitu pengaruhnya secara fisik dan pengaruhnya

sebagai sumber makanan bagi bakteri di dalam

plak. Jenis makanan, yaitu keras dan lunak,

mempengaruhi pembentukan plak pada permukaan

gigi. Plak banyak terbentuk jika kita lebih banyak

mengkonsumsi makanan lunak, terutama makanan

yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa, karena

akan menghasilkan dekstran dan levan yang

memegang peranan penting dalam pembentukan

Indeks Plak

Rata-rata

Penggunaan

Pasta Gigi

Non Herbal

Penggunaan

Pasta Gigi

Herbal

Sebelum

diberi

perlakuan

2.78 2.78

Sesudah

diberi

perlakuan

2.19 1.47

Penurunan 0.59 1.31

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124

Page 19: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

123

matriks plak. Kariogenitas makanan tergantung

pada beberapa faktor, misalnya konsentrasi sukrosa,

sifat perlekatan makanan pada permukaan gigi,

kecepatan pembersihan rongga mulut dan kualitas

pembersihan.16

Penyikatan gigi dengan menggunakan pasta

gigi non herbal dapat menurunkan indeks plak

secara bermakna. Hal tersebut disebabkan terdapat

bahan abrasif yang dapat membersihkan dan

memoles permukaan gigi tanpa merusak email.

Pasta gigi juga mengandung bahan pembersih

(detergent) yang fungsinya menurunkan tegangan

permukaan dan melonggarkan ikatan debris dengan

gigi yang akan membantu gerakan pembersihan

sikat gigi. Adanya kandungan bahan abrasif dan

detergent menyebabkan pembuangan plak, debris,

material alba, dan sisa makanan menjadi lebih

mudah.16,21

Komposisi pasta gigi non herbal pada

penelitian ini antara lain: Calcium Carbonate

sebagai bahan abrasif, water sebagai bahan pelarut,

sorbitol sebagai bahan pelembab, Sodium Lauryl

Sulfate sebagai bahan deterjen, Flavor, Cellulose

Gum, Pottasium Citrate, Sodium Silicate, Sodium

Saccobarin, serta Sodium Monofluorophosphate

sebagai bahan fluoride yang dapat mencegah

demineralisasi pada gigi sekaligus sebagai bahan

aktif dalam pasta gigi tersebut. Pasta gigi dengan

kandungan herbal dapat digunakan sebagai terapi

tambahan untuk penyakit periodontal dan

pencegahannya yang dapat digunakan secara rutin,

terutama untuk pasien yang menginginkan produk

alami.22

Penelitian ini menggunakan pasta gigi herbal

dengan komposisi utama siwak dengan berbagai

bahan tambahan lain seperti Calcium Carbonate

sebagai bahan abrasif yang dapat membersihkan

permukaan gigi tanpa merusak email, water sebagai

bahan pelarut, sorbitol sebagai bahan pelembab,

Sodium Lauryl Sulfate sebagai bahan deterjen yang

dapat melonggarkan ikatan debris dengan gigi dan

akan membantu gerakan pembersihan sikat gigi,

Sodium Carboxyl Methyl Cellulose, Fumed Silicium

Dioxide, flavor peppermint, Sodium

Monofluorophosphate, Salvadora persica powder

yang dapat membantu pembersihan sisa makanan

pada sela-sela gigi, sodium saccharine, titanium

dioxide, clove oil (Eugenia Caryophyllus), dan

metyl paraben. Efek terapeutik dan profilaktik

siwak diakibatkan adanya pembersihan mekanis

dan pelepasan zat kimia aktif yang terdapat

didalamnya. Substansi silica pada Salvadora

persica (siwak) diduga membantu aksi mekanis

siwak terhadap pembersihan plak.10,23

Penelitian ini menggunakan pasta gigi

dengan komposisi utama siwak dengan kandungan

kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium

Bikarbonat, Fluor, Silika, Sulfur, Vitamin C,

Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa

mineral lainnya yang berfungsi untuk

membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan

gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak

sebagai bahan penyusun pasta gigi. Minyak aroma

alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang

dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau

tidak sedap. Enzim dapat mencegah pembentukan

plak yang merupakan penyebab radang gusi dan

penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.

Anti Decay Agent (zat anti pembusukan) dan

Antigermal System bertindak seperti Penicilin yang

menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah

terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut

merangsang produksi saliva. Saliva merupakan

organik mulut yang melindungi dan membersihkan

mulut.23

Siwak dapat menghambat pertumbuhan dan

perkembangan bakteri rongga mulut terutama

spesies Streptococcus. Tannin (asam tanan) yang

terkandung di dalam siwak dapat mengurangi

perlekatan bakteri pada permukaan gigi.

Mekanisme tannin dalam menghambat dan

mengurangi terbentuknya plak adalah dengan cara

menghambat enzim glukosil transferase yang

diproduksi oleh Streptococcus mutans.

Streptococcus mutans dapat membuat polisakarida

ekstraseluler dari sukrosa salah satunya glukan

(dekstran) yang tidak larut dalam air yaitu perekat

pelikel yang disintesis oleh glukosil transferase.

Glukan ini berperan dalam menimbulkan koloni

bakteri pada permukaan gigi. Terhambatnya enzim

glukosil transferase akan menghambat proses

perlekatan bakteri ke pelikel gigi, sehingga

mencegah proses kolonisasi awal pada

pembentukan plak gigi.19

Penelitian lain dengan menjadikan serbuk

siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi

menunjukkan prosentase hasil terbaik bagi

kesehatan gigi secara sempurna, karena mampu

menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan

mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih

berkumpul pada sela-sela gigi. Hal ini yang

mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di

dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk

pasta gigi mereka. World Health Organization

(WHO) turut menjadikan siwak sebagai salah satu

komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan

dibudidayakan.23

Hasil penelitian menyatakan terdapat

perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta

gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak.

Penggunaan pasta gigi herbal dapat menurunkan

indeks plak lebih besar. Penggunaan pasta gigi

yang mengandung herbal disarankan untuk

disebarluaskan sebagai alternatif dalam

menurunkan akumulasi plak, serta dapat dijadikan

alternatif formulasi konvensional untuk individu

yang tertarik pada produk alami.

Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal

Page 20: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

124

DAFTAR PUSTAKA

1. Ambarwati FE, Utami DF dan Pramono D.

Pengaruh pemberian larutan ekstrak jeruk nipis

(Citrus aurantifolia) terhadap pembentukan

plak gigi. Jurnal Media Medika muda 2012; 3-

18.

2. Fontana M and Zero DT. Assessing patients’

caries risk. J Am Dent Assoc 2006; 137(9)

:1231-1239.

3. Haake SK: Periodontal microbiology. Dalam

F.A.Carranza dan M.G.Newman. Clinical

Periodontology. 9th Ed. Philadelphia: W.B.

Saunders. 2002. Hal. 96-113.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI, 2008. Hal.176

5. Kazemnejad A, Zayeri F, Rokn AR and

Kharazifard MJ. Prevalence and risk indicators

of periodontal disease among highschool

students in Tehran. Eastern Mediterranean

Health Journal 2008; 14(1) :119-125.

6. Chuckpaiwong S, Ngonephady S,

Dharmbhibhit J, Kasetsuwan J and Sirirat M.

The Prevalence of Periodontal Disease and

Oral Hygiene Care in Savannakhet Province,

Lao People’s Democratic Republic. Southeast

Asian J Trop Med Public Health 2000; 31(4)

:775-779.

7. Carneiro LC and Kabulwa MN. Dental Caries,

and Supragingival Plaque and Calculus among

Students, Tanga, Tanzania. International

Scholarly Research Network ISRN Dentistry

2012; 1-6.

8. Tampubolon NS. Dampak Karies Gigi dan

Penyakit Periodontal terhadap Kualitas Hidup.

Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi

Pencehagan/Kesehatan Gigi Masyarakat pada

Fakultas Kedokteran Gigi 2005; 1-30.

9. George J, Shashikant Hegde, KS Rajesh and

Arun Kumar. The efficacy of a herbal-based

toothpaste in the control of plaque and

gingivitis: A clinico-biochemical study. Indian

J Med Res 2009; 20 :480-482.

10. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap

Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi

yang mengandung herbal. J Dent 2005; 38 :64–

67.

11. Morgana S, Carneiro T, Silva SL, Morais O

and Ximenes M. Effect of a dentifrice

containing aloe vera on plaque and gingivitis

control: a double-blind clinical study in

humans. J Appl Oral Sci 2008; 16(4) :293-296.

12. Zanatta FB, Antoniazzi RP, Pinto TM and

RÖsing CK. Supragingival Plaque Removal

with and without Dentifrice: A Randomized

Controlled Clinical Trial. Braz Dent J 2012;

23(3) :235-240.

13. Pannuti CM, Mattos JP, Ranoya PN, Jesus

AM, Lotufo RFM and Romito GA. Clinical

effect of a herbal dentifrice on the control of

plaque and gingivitis: a double-blind study.

Pesqui Odontol Bras 2003; 17 :1517-1522.

14. Damle SG, Deoyani D, Bhattal H, Yadav R

and Lomba A. Comparative efficacy of

dentifrice containing sodium

monofluorophosphate + calcium

glycerophosphate and non-fluoridated

dentifrice: A randomized, double-blind,

prospective study. Dental Research Journal

2012; 9(1) :68-73.

15. Davies R, Scully C and Preston AJ. Dentifrices

- an update. Med Oral Patol Oral Cir Bucal

2010; 15(6) :976-982.

16. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N.

Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC, 2010.

Hal.56-77, 98-121.

17. Wright AA, Agbelusi GA, Dayo AF and

Olunuga OJ. Oral and peri-oral signs and

symptoms of herbal dentifrices in patients in

two oral medicine clinics in Lagos—A

preliminary study. Open Journal of

Stomatology 2012; 2 :27-32.

18. Nalina T and Rahim ZHA. Effect of Piper

betle L. Leaf Extract on the Virulence

Streptococcus mutans-An in vitro Study.

Pakistan Journal of Biological Sciences 2006;

9(8) :1470-1475.

19. Adriyati P dan Santoso O. Pengaruh Pemberian

Larutan Ekstrak Siwak (Salvadora persica)

terhadap Pembentukan Plak Gigi [Karya Tulis

Ilmiah]. Semarang. Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro 2011, 1-12.

20. Senn S. Cross-over trials in clinical research.

2nd Ed. England: Wiley, 2002. P.13-14.

21. Storehagen S and Shilpi Midha OS. Dentifrices

and Mouthwashes Ingredients and Their Use.

Oslo University of andidatus/candidate Odonto

degree quide to Clinic. 2003; 1-44.

22. Maldupa I, Brinkmane A, Rendeniece I and

Mihailova I. Evidence based toothpaste classifi

cation, according to certain characteristics of

their chemical composition. Stomatologija,

Baltic Dental and Maxillofacial Journal 2012;

14(1) :12-22.

23. Ahmad H and Ahamed N. Therapeutic

properties of meswak chewing sticks: A

review. African Journal of Biotechnology

2012; 11(83) :14850-7.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124

Page 21: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

125

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL

JAHE PUTIH KECIL (Zingiber officinale Var. AMARUM) 30%

DENGAN Chlorhexidine glukonat 0,2% TERHADAP Candida albicans IN VITRO

Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: One of many medicinal plants used by the Indonesian people and has been known long time

ago that is small white ginger ( Zingiber officinale var. Amarum), a small white ginger has antifungal activity,

one of them is Candida albicans. The chemical composition of small white ginger acts as the other antifungal

compounds such as phenol; gingerol, shogaol, and zingeron. Purpose: The Purpose of this research was to

determine differences in the antifungal activity of ethanol extract of small white ginger ( Zingiber officinale var.

Amarum ) 30% and Chlorhexidine gluconate 0.2% to the growth of Candida albicans. Method: The method of

this research was a true experimental design and completely randomized post-test-only design using 2

treatments, the treatment group was given a small white ethanol extract of ginger ( Zingiber officinale Var.

amarum ) 30% and a positive control group Chlorhexidine gluconate 0.2%. Antifungal activity of each group

was tested on cultures of Candida albicans using by a diffusion method and assessed from the diameter of the

radical zone or clear zone around the paper disk. Result: The result is average of radical zone in a given culture

treated with ethanol extract small white ginger was 12 mm, while Chlorhexidine gluconate given 0.2% was

14.875 mm. Conclusion: The results of research was showed the antifungal activity of 0.2% Chlorhexidine

gluconate greater than the antifungal activity of ethanol extract of white small ginger 30%, but the antifungal

activity of white small ginger extract good enough to inhibit the growth of Candida albicans.

Key words: Candida albicans, 0.2% Chlorhexidine gluconate, ethanol extract small white ginger ( Zingiber

officinale var. Amarum ) 30% , antifungal activity

ABSTRAK

Latar Belakang: Salah satu tanaman obat yang banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah

lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum), jahe putih kecil ini memiliki

aktivitas sebagai antijamur, salah satunya pada Candida albicans. Kandungan kimia jahe putih kecil yang

berperan sebagai antijamur antara lain senyawa fenol seperti; gingerol, shogaol, dan zingeron. Tujuan: Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber

officinale var. amarum) 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap pertumbuhan Candida albicans.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan rancangan penelitian post test-only

design dengan rancangan acak lengkap menggunakan 2 perlakuan, yaitu kelompok yang diberikan perlakuan

berupa ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber officinale Var amarum) 30% dan kelompok control positif

Chlorhexidine gluconate 0,2%. Aktivitas antijamur dari masing-masing kelompok pada biakan Candida albicans

diuji dengan menggunakan metode difusi dan dinilai dari diameter zona radikal atau zona bening disekitar paper

disk. Hasil: Rata-rata zona radikal pada biakan yang diberikan perlakuan dengan ekstrak etanol jahe putih kecil

adalah 12 mm, sedangkan yang diberikan Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah 14,875 mm. Kesimpulan: Hasil

penelitian menujukan aktivitas antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih besar daripada aktivitas antijamur

ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, namun aktivitas antijamur ektrak jahe kecil cukup tinggi menghambat

pertumbuhan Candida albicans.

Kata kunci : Candida albicans, Chlorhexidine gluconate 0,2%, ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber

officinale Var. amarum) 30%, aktivitas antijamur

Laporan Penelitian

Page 22: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

126

Korespondensi: Haluanry Doane Santoso, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Candida albicans merupakan mikroflora

normal rongga mulut yang seringkali menyebabkan

infeksi opurtunistik pada pasien yang mengalami

penurunan pertahanan tubuh akibat penuaan,

penyakit diabetes dan AIDS, serta faktor

iatrogenik.1,2,3 Spesies tersebut seringkali

berkolonisasi dalam rongga mulut yaitu sebesar

30% - 60% dan permukaan gigi tiruan yang tidak

pas sebesar 60% - 100%.4,5 Invasi C. albicans pada

jaringan lunak rongga mulut, dapat menyebabkan

terjadinya Kandidiasis oral.

Prevalensi kandidiasis oral di Indonesia pada

pasien yang dirawat di RSCM sebesar 84% sampai

tahun 2009.5 Terapi yang diberikan pada lesi

rongga mulut akibat infeksi tersebut adalah berupa

pemberian obat – obatan antijamur, tetapi saat ini

banyak dilaporkan beberapa jamur yang resisten

terhadap obat – obatan antijamur tersebut, sehingga

perlu dilakukan penelitian mengenai terapi

antijamur alternatif. Salah satu obat topikal umum

yang digunakan sebagai terapi antijamur alternatif

dalam rongga mulut adalah Chlorhexidine

gluconate.6

Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah

antiseptik bisbiguanida yang aktif melawan bakteri

dan jamur.7,8 Obat ini digunakan untuk

meningkatkan kebersihan mulut dan penyembuhan

luka secara topikal dalam rongga mulut.

Chlorhexidine gluconate 0,2% terbukti dapat

mengurangi pertumbuhan mikroorganisme secara

signifikan serta mempunyai daya hambat yang

sama dengan nistatin terhadap beberapa spesies

jamur terutama terhadap Candida albicans.6,9

Penggunaan Chlorhexidine dapat menimbulkan

rasa tidak nyaman pada pemakainya. Rasa tidak

nyaman tersebut diakibatkan karena iritasi mukosa,

ulserasi, perubahan indra perasa, dan perubahan

warna gigi dan lidah.10, karena penggunaan

Chlorhexidine menimbulkan rasa yang tidak

nyaman pada pemakainya maka dilakukan

penelitian tanaman obat tradisional yang mampu

melawan pertumbuhan C. albicans yang nantinya

dapat menjadi obat alternatif yang lebih murah,

mudah didapat, dan banyak terdapat di masyarakat.

Tanaman obat dapat menghasilkan metabolit

sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas

biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi

yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat

berbagai penyakit. Menurut perkiraan badan

kesehatan dunia WHO 80% penduduk dunia masih

menggantungkan kesehatan pada pengobatan

tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal

dari tanaman. Salah satu tanaman obat yang banyak

dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah

lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil

(Zingiber officinale var. amarum).11

Rimpang jahe selain berkhasiat sebagai obat

batuk, penawar racun, antitusif, laksatif, antasida,

dan sebagai antioksidan serta dilaporkan rimpang

jahe memiliki aktivitas sebagai antijamur pada

Candida albicans, sebagai agen penyebab

Kandidiasis oral.11,12,13 Pada penelitian terdahulu

didapatkan efektivitas antijamur dari ekstrak etanol

jahe putih kecil 30% terhadap T. mentagrophytes

dan C. neoforrmans lebih efektif dibandingkan

dengan ekstrak etanol jahe putih kecil 25%, 20%,

15%, dan 10%.11 Hasil penelitian tersebut menjadi

salah satu alasan peneliti menggunakan ekstrak

etanol jahe putih kecil konsentrasi 30%. Pada

penelitian lain juga disebutkan ekstrak etanol jahe

besar (Zingiber officinale) efektif melawan C.

albicans pada konsentrasi 2mg ml-1 dengan

konsentrasi dilusi 1:5.14

Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui

ekstrak etanol jahe putih kecil 30% memiliki

aktivitas antijamur terhadap C. neoforrmans, tetapi

belum diketahui apakah aktivitas antijamur ekstrak

etanol jahe putih kecil 30% sama dengan

Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida

albicans. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan

penelitian mengenai perbandingan aktivitas

antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan

Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida

albicans. Aktivitas perlakuan terhadap Candida

albicans, dapat diketahui melalui uji difusi, dengan

menghitung zona hambat yang terbentuk,

menunjukan efek dari aktivitas masing – masing

perlakuan yang diuji.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode eksperimental

laboratoris murni (true exsperimental) dengan post

test only with control group design rancangan acak

lengkap menggunakan 2 perlakuan perlakuan 1:

Ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, perlakuan 2:

Chlorhexidine gluconate 0,2%. Jumlah

pengulangan setiap perlakuan adalah 16 kali yang

diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan

rumus Federer. Alat-alat penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah neraca analitik, mortir

dan stamper, autoclave, inkubator, tabung reaksi,

cawan petri, ose bulat, lampu bunsen, kapas lidi

steril, pipet tetes, caliper (skala millimeter), gelas

beker, labu erlenmeyer, alat pengaduk, kertas

saring, aluminium foil, laminary flow. Bahan-bahan

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129

Page 23: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

127

officinale var. amarum) 30%, Chlorhexidine

gluconate 0,2%, isolat Candida albicans, media

agar darah, Sabouraud Dextrose Agar, aquades

steril, media Brain Heart Infusion (BHI), paper disk

kosong - steril, CMC-Na dan deretan larutan

McFarland.

Rimpang jahe putih kecil dicuci bersih lalu

setelah dikeringkan kemudian ditimbang. Jahe

putih kecil kemudian diiris kecil-kecil dan

dikeringkan dengan pengeringan alamiah yaitu

diangin-angin dan tidak dipanaskan di bawah sinar

matahari langsung (ditutup dengan kain hitam)

serta ditimbang. Dihaluskan dengan blender hingga

berupa serbuk halus dan ditimbang lagi.

Pembuatan Ekstrak etanol jahe putih kecil

30%. Pada penelitian ini, metode ekstraksi yang

digunakan ialah maserasi. Sebanyak 500 g sampel

serbuk dimasukkan dalam alat maserasi. Kemudian

larutan etanol 70% dituangkan secara perlahan-

lahan ke dalam alat maserasi yang berisi sampel,

lalu diaduk-aduk hingga merata. Larutan penyari

dituangkan hingga 1 cm di atas permukaan sampel.

Diaduk sekali-sekali, setiap 1x24 jam filtrat

disaring dan pelarut diganti dengan yang baru

sambil sekali-sekali diaduk. Penggantian pelarut

dilakukan hingga cairan berwarna bening. Setelah

itu ekstrak dikumpulkan dan diuapkan dengan

rotary evaporator pada tekanan rendah dengan

temperatur 40oC sampai didapatkan ekstrak etanol

yang kental kemudian diuapkan di waterbath

sehingga didapatkan bobot tetap. Ekstrak kental

kemudian dilarutkan dalam CMC-Na sehingga

didapat konsentrasi 300 mg ekstrak per ml.

Isolat Candida albicans (ATCC 10231)

ditumbuhkan pada media cair BHI selama 5-8 jam

sesuai dengan standar McFarland 0,5. Selanjutnya

dilakukan seri pengenceran suspensi dengan

ditambahkan akuades sampai kekeruhan suspensi

sebanding dengan standar McFarland 0,5 yaitu

setara dengan jumlah jamur atau ragi sebanyak 5 x

106 cfu/ml. Dilakukan kultur Candida albicans

menggunakan kapas lidi steril yang dimasukan

dalam suspense jamur dan diusapkan pada

permukaan perbenihan agar Sabouraud (SDA+,

SDA yang telah diberikan kloramfenikol) hingga

rata. Kultur diinkubasi pada suhu 37oC selama 24

jam.

Paper disk dengan diameter 5 mm disaturasi

dengan filter kemudian diambil dengan

menggunakan pinset dan direndam selama 3 jam

dalam suspensi ekstrak etanol jahe putih kecil 30%

dan Chlorhexidine gluconate 0,2%. Masing-masing

Paper disk kemudian diletakkan pada permukaan

media SDA+. Candida albicans yang telah

diinkubasi pada media SDA+ kemudian diberi

paper disk yang telah diletakkan dalam suspensi

ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan

Chlorhexidine gluconate 0,2%. Selanjutnya media

pengujian diinkubasi selama 24 jam pada suhu

37oC. Kemudian dilakukan pembacaan hasil dengan

ukuran zona hambat setelah masa inkubasi. Zona

hambat diukur dari sekeliling disk. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan calliper (dalam

satuan milimeter).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian zona hambat esktrak jahe

putih kecil dan Chlorhexidine gluconate dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rata-rata zona hambat antijamur pada

setiap perlakuan.

Hasil uji indepedent t-Test diperoleh nilai p

= 0,000 (p < 0,05) yang berarti ekstrak etanol jahe

putih kecil 30% mempunyai aktivitas antijamur

yang sama dengan Chlorhexidine gluconate 0,2%

terhadap Candida albicans (H0) ditolak, sehingga

dari hasil uji dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan bermakna pada kedua perlakuan tersebut

dengan tingkat kepercayaan 95%.

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui

bahwa konsentrasi 30% ekstrak etanol jahe putih

kecil memiliki efek antijamur terhadap Candida

albicans. Menurut Atai, ekstrak etanol jahe pada

konsentrasi 2mg ml-1 efektif terhadap jamur

Candida albicans metode uji dilusi 1:5.14

Selanjutya penelitian Gholib, mengatakan bahwa

ekstrak etanol jahe putih kecil pada konsentrasi

30% mempunyai aktivitas antijamur terhadap C.

neoformans.11 Candida albicans dan C. neoformans

termasuk ragi dengan struktur membran sel yang

sama yaitu memiliki dinding sel khamir

(Blastospora) dengan komponen utama kapsula

polisakarida berupa glukan, khitin, mannan.15

Efek antijamur dari perlakuan ekstrak etanol

jahe putih kecil disebabkan adanya kandungan

minyak atsiri yang terdiri dari senyawa aktif yaitu

gingerol, shogaol, zingeron, dan zingiberen.

Gingerol, shogaol, dan zingeron termasuk dalam

senyawa fenol, yang diketahui dapat mendenaturasi

ikatan protein membran sel Candida albicans,

sehingga membran sel menjadi lisis dan fenol dapat

Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur

Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur

Page 24: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

128

menembus ke dalam inti sel, menyebabkan jamur

Candida albicans tidak dapat berkembang.16,17,18

Letak dan jumlah kelompok hidroksil pada

kelompok fenol diduga berhubungan dengan sifat

toksiknya terhadap mikroorganisme, yang dapat

meningkatkan hasil hidroksilasi dan peningkatan

toksisitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya

inhibisi enzim oleh senyawa teroksidasi atau

interaksi nonspesifik dengan protein

mikroorganisme.19 Mekanisme kerja lain yang

dipercaya bahwa ekstrak jahe menghambat

pertumbuhan Candida albicans dengan berlakunya

efek apoptosis pada kandungan sel Candida

albicans. Sel mengalami penghambatan proliferasi,

terjadi pengerutan sel dan kondensasi pada

kromosom. Efek ini merupakan penelitian dari

ekstrak jahe terhadap Cell-line Hep-2. Oleh karena,

sel jamur termasuk sel eukaryote dan tidak berbeda

dengan sel tersebut sehingga dianalogikan untuk

mekanisme kerja terhadap sel Candida albicans.20

Senyawa antijamur lain yang terkandung

dalam ekstrak jahe diduga berasal dari komponen

minyak atsiri rimpang jahe yang mengandung

senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke

dalam golongan seskuiterpen. Senyawa turunan

yang termasuk ke dalam turunan seskuiterpen yaitu

: a-zingiberen, b-zingiberen, b-bisabolen, belemen,

b-parnesen, d-salinen, dan b-seskuiphelandren dan

senyawa turunan minyak atsiri lainnya diduga

mempunyai sifat antijamur.21 Senyawa

seskuiterpene ini diduga dapat mengganggu

metabolisme energi dalam mitokondria yaitu dalam

tahap transfer elektron dan fosforilasi.

Terhambatnya transfer elektron akan mengurangi

oksigen dan mengganggu fungsi dalam siklus sel

pada mitokondria. Akibat tidak terjadinya tahap

fosforilasi menyebabkan terhambatnya

pembentukan ATP dan ADP. Terhambatnya

pertumbuhan Candida albicans dalam penelitian

ini, karena adanya penurunan pengambilan oksigen

oleh mitokondria yang mengalami kerusakan

membran dan kerusakan krista akibat adanya

aktivitas senyawa antijamur, sehingga

menyebabkan energi ATP yang dihasilkan untuk

proses pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi

berkurang, sehingga pertumbuhannya terhambat

secara normal.21

Pada penelitian ini didapatkan bahwa

perlakuan Chlorhexidine glukonate 0,2% terhadap

Candida albicans memiliki zona hambat rata-rata

sebesar 14,875 mm. Hasil ini hampir mendekati

dengan hasil Pramitha yang meniliti tentang

efektifitas fungisidal ekstrak daun jambu mente

terhadap Candida albicans dengan menggunakan

Chlorhexidine glukonate 0,2% sebagai kontrol

positif. Pramitha menyebutkan bahwa zona hambat

rata-rata Chlorhexidien glukonate terhadap

Candida albicans sebesar 16,25 mm.22

Molekul Chlorhexidine merupakan

biguanidakationik tinggi dan mengikat permukaan

kutub negatif dengan kuat, termasuk sel-sel

epithelial dan dapat digunakan dalam konsetrasi

yang bervariasi. Chlorhexidine pada dosis yang

rendah akan menganggu transport seluler, sehingga

sel bakteri atau sel ragi mengalami kerusakan

dengan terbentuknya pori–pori pada membran

seluler. Pada penggunaan Chlorhexidine

konsentrasi yang lebih tinggi, larutan merembes ke

dalam sel bakteri dan menyebabkan terjadinya

kerusakan mikroorganisme tersebut.23 Pada

penelitian ini digunakan Chlorhexidine dengan

dosis rendah.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

tetang penggunaan Chlorhexidine terhadap

Candida spp. Menyebutkan bahwa Chlorhexidine

dapat mengkoagulasi nucleoprotein dan merubah

dinding sel ragi, sehingga menyebabkan keluarnya

komponen sitoplasma ke plasmalemma.

Mekanisme antimikroba dari Chlorhexidine

tersebut dapat mencegah pertumbuhan Candida

albicans yang berlebih, tetapi tidak dapat

menghentikan germinasi spora sel ragi tersebut,

terdapat reduksi yang cukup besar pada sel biofilm

Candida spp. Pada level makroskopis, dapat dilihat

bahwa adesi permukaan substrat dan sel juga

mengalami kerusakan.6,24

Hasil penelitian menujukan aktivitas

antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih

besar daripada aktivitas antijamur ekstrak etanol

jahe putih kecil 30%. Aktivitas antijamur ektrak

jahe kecil cukup tinggi menghambat pertumbuhan

Candida albicans. Agar dapat digunakan sebagai

obat alteranatif di masyarakat perlu dilakukan

penelitian lanjutan dengan konsentrasi optimum

dari sediaan ekstrak dan uji klinik untuk

menentukan dosis terapi, dosis toksik, efek

samping, dan efek toksik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar BV, Padshetty NS, Bai KY, Rao MS.

Prevalance of Candida in the Oral Cavity of

Diabetic Subjects. JAPI 2005; 99: 39-47.

2. Chattopadhyay A, Journ D, Caplan DJ, Slade

GD, Shugars DC, Tien H, Patton L. Incidence

of Oral Candidiasis and Oral Hairy

Leukoplakia in HIV- infected adults in North

Carolina. Oral Surg Oral Med Oral Pathol

Oral Radiol Endod 2005; 99: 39-47.

3. Nejad BS, Rafiei A & Moosanejad F.

Prevalence of Candida Species in the Oral

Cavity of Patients with Periodontitis. African

Journal of Biotechnology 2011; 10 (15): 2987-

2990.

4. Loster BW, Loster J, Wieczorek A, Ryniewicz

W. Mycological Analysis of the Oral Cavity

of Patients Using Acrylic Removable

Dentures. Gastroenterology Research and

Practice 2012; Hal: 1-9.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129

Page 25: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

129

5. Hidayat R. Efek Penambahan Glukosa pada

Sabouraud Dextrose Broth terhadap

Pertumbuhan Candida albicans (Uji In Vitro).

Jakarta. Indonesia. 2008; Hal: 1.

6. Machado FC, Portela MB, Cunha AC, Souza

IPR, Soares RM, Castro GF. Antifungal

Activity of Chlorhexidine on Candida spp.

biofilm. Rev Odontol 2010; 39 (5): 271-275.

7. Sikka G, Dodwad V & Chandrashekar KT.

Comparative Anti-plaque and Anti-gingivitis

Efficacy of Two Commercially Available

Mouthwashes - 4 Weeks Clinical Study.

Journal of Oral Health and Community

Dentistry 2011; 5(3): hal. 111.

8. Erdemir EO, Tekin US, Erdemir A. Effects of

0.2% Chlorhexidine gluconate to the Plaque

Accumulation on Silk Suture Materials in Oral

Mucosa: A Scaning Electron Microscope

Study. Arastirma 2007; 31(1): 12-18.

9. Mohammadi Z, Abbott PV. The Properties

and Applications of Chlorhexidine in

Endodontics. International Endodontic Journal

2009; Hal: 4.

10. Meechan JG, Seymour RA. Drug Dictionary

for Dentistry. USA: New York: Oxford

University Press; 2002. Hal: 77.

11. Gholib D. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol

Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum)

Dan Jahe putih (Zingiber officinale Var.

Amarum) terhadap Trichophyton

mentagrophytes Dan Cryptococcus

neoformans. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner. Bogor; 2008.

12. Supreetha S. Sharadadevi M. Simon SP, Jain

J, Tikare S. Antifungal Activity of Ginger

Extract on Candida albicans An In-vitro

Study. 2011.

13. Ficker CE, Arnason JT, Vindas PS, Alvares

LP, Akpagana K, Gbeassor M, De Souza C,

Smith ML. Inhibition of Human Pathogenic

Fungi by Ethnobotanically Selected Plant

Extract. National Center for Biotechnology

Information. 2003.

14. Atai Z, Atapour M, Mohseni M. Inhibitory

Effect of Ginger Extract on Candida albicans.

American Journal of Applied Sciences. 2009;

6 (6): 1067-69

15. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA.

Jawetz, Melnick, Adelberg's Medical

Microbiology 24th Edition.. Kentucky. USA:

McGraw-Hill. 2007; Hal: 691, 357.

16. Ali WM. et al. Evaluation of Antibacterial

Effect of Ginger Extract When Used as One

Component of the Root Canal Sealer. 2012.

8(2)

17. Arif T, Bhosale JD, Kumar N, Mandal TK,

Bendre RS, Lavekar GS, Dabur R. Natural

Products - Antifungal Agents Derived from

Plants. Journal of Asian Natural Products

Research 2009; 11(7): 621-638.

18. Sulistiyawati D, Mulyati S. Uji Aktivitas

Antijamur Ekstrak Daun Jambu Mete

(Anacardium occidantale Linn.) terhadap

Candida albicans. Biomedika 2009; 2(1): 47-

51.

19. Hernawan UE, Setyawan AD. Review:

Ellagitanin; Biosintesis, isolasi, dan Aktivitas

Biologi. Biofarmasi 2003; 1(1): 25.

20. Vadma V, A.D Cristie S, K.M Rankumar.

Journal : Induction of Apoptosis by Ginger in

Hep 2 Cell-line is Mediated by Reactive

Oxygen Species. Basic Clinical Pharmacoloy

Toxicology. India. 2007. 100(5): 302-307.

21. Griffin H.D. Fungal Physiology. New York:

John Wiley and Son, Inc. 1994.

22. Pramitha SR. Perbandingan Efek Fungisidal

Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium

occidentale L.) 12,5% dan Chlorhexidine

gluconate 0,2% terhadap Candida albicans.

2012.

23. Mathur S, Mathur T, Srivastava R, Khatri R.

Chlorhexidine: The Gold Standard in

Chemical Plaque Control. National Journal of

Physiology, Pharmacy & Pharmacology 2011;

1(2): 45-50.

24. Lorian V. Antibiotics in Laboratory Medicine,

5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Canada. USA 2005. Hal: 622.

Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur

Page 26: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

130

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

FREKUENSI SUSUNAN GIGI TIDAK BERJEJAL DAN BERJEJAL RAHANG

BAWAH PADA BENTUK LENGKUNG NARROW RAHANG BAWAH

Tinjauan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012

Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACK

Background: The size and shape of the arch is important for diagnose determine of treatment plan on

ortodontic cases, it could affect available space, aesthetics, and stability of teeth. Arch dimension is a genetic

factor that can induced crowded teeth condition. Crowded teeth is an disharmony teeth formation of the arch.

Arch dimension aspect have a big role in the occurance of crowded teeth, people with crowded teeth has bigger

width of dimension arch than uncrowded group. Purpose: The purpose of this study was to know the distribution

of teeth formation on narrow form lower jaw. Methods: It was an observational study with cross sectional

approximation. Sample were taken from Lambung Mangkurat Medical Faculty students of 2010-2012 with total

30 samples whose narrow form lower jaw. Results: The result showed that 24 samples (80%) had crowded teeth

and 6 samples (20%) had uncrowded teeth.Conclusion: It can concluded that people with narrow form lower

jaw had more crowded teeth condition than uncrowded teeth.

Keywords: arch dimension, teeth formation, crowded teeth

ABSTRAK

Latar Belakang: Ukuran dan bentuk lengkung rahang memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan

rencana perawatan kasus ortodontik, karena dapat mempengaruhi tempat yang tersedia, estetik, serta stabilisasi

dari geligi. Dimensi lengkung merupakan factor herediter yang berperan pada terjadinya gigi berjejal. Gigi

berjejal adalah tidak rapi atau tidak harmonisnya susunan gigi pada suatu lengkung rahang. Aspek dimensi

lengkung lebih berperan dalam menyebabkan gigi berjejal, dimana lebar lengkung rahang pada susunan gigi

tidak berjejal lebih besar dibandingkan susunan gigi berjejal. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui distribusi frekuensi susunan gigi pada bentuk lengkung narrow rahang bawah. Metode: Jenis

penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian terdiri dari satu

kelompok rahang bawah berbentuk narrow yang diambil dari mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin angkatan

2010-2012. Sampel penelitian ini adalah model studi gigi rahang bawah lengkung narrow yang berasal dari

mahasiswa berjumlah 30 orang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel dengan bentuk

lengkung narrow rahang bawah yang memiliki susunan gigi berjejal sebanyak 24 orang (80%) sedangkan yang

memiliki susunan gigi tidak berjejal sebanyak 6 orang (20%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa kelompok

rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan dengan susunan gigi

tidak berjejal.

Kata-kata kunci: bentuk lengkung, susunan gigi, gigi berjejal

Korespondensi: Puteri Islami Savitri, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:

[email protected]

Laporan Penelitian

Page 27: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

131

PENDAHULUAN

Ukuran dan bentuk lengkung rahang

memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan

rencana perawatan kasus ortodontik, estetik, serta

stabilisasi dari geligi. Kegagalan dalam

menyesuaikan bentuk kawat lengkung dengan

bentuk lengkung pasien dapat meningkatkan resiko

terjadinya relaps dan menyebabkan senyuman yang

tidak natural.1 Bentuk lengkung rahang merupakan

refleksi dari morfologi tulang di bawahnya.

Kestabilan bentuk lengkung adalah salah satu

tujuan dari perawatan ortodontik. Bentuk lengkung

cenderung kembali ke bentuk awalnya sehingga

bentuk lengkung pasien ketika datang pertama kali

menjadi acuan paling baik dan stabilitas bentuk

lengkung yang baru.2

Raberin (1993) melakukan penelitian pada

bangsa Perancis dan melaporkan bahwa ras

kaukasoid memiliki lima bentuk lengkung rahang

bawah, yaitu narrow, mid, wide, pointed, dan flat,

dengan presentase terbesar adalah bentuk lengkung

narrow sebanyak 23,7%.3 Novrida (2007)

membuktikan bahwa suku Melayu pada mahasiswa

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

memiliki kelima bentukan rahang berdasarkan

klasifikasi Raberin tersebut, dengan bentukan

narrow juga memiliki presentase kedua terbanyak

yaitu 20,93%, setelah wide sebagai bentuk

terbanyak dengan presentase 37,21%.4

Gigi berdesakan ditandai adanya tumpang

tindih (overlapping) gigi-gigi yang berdekatan.5

Gigi berjejal merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada pasien-pasien ortodonti dan keadaan

ini bisa menimbulkan gangguan pada penampilan

seseorang, pengunyahan, serta membersihkan gigi.6

Gigi berdesakan atau berjejal berakibat mudahnya

terjadi karies, lesi epitel interdental, lesi

periodontium dan gangguan oklusi, yang semuanya

ini saling berkaitan.7

Beberapa teori telah dicoba untuk

menjelaskan etiologi dari gigi berjejal termasuk di

dalamnya faktor herediter dan faktor lingkungan.

Ukuran gigi dan dimensi lengkung termasuk di

dalam faktor herediter yang berperan di dalam

terjadinya gigi berjejal. Howe dkk. (1983)

menunjukan bahwa dimensi lengkung lebih

berpengaruh terhadap gigi berjejal dibandingkan

dengan ukuran gigi.6 Hamid (2005) melaporkan jika

lebar lengkung rahang kelompok gigi tidak berjejal

lebih besar dibandingkan dengan kelompok gigi

berjejal.8 Pada penelitian Raiq dkk. (2007),

lengkung rahang bawah berbentuk narrow menjadi

bentuk lengkung kedua terbanyak setelah flat yang

memiliki gigi berjejal ringan (0-3mm) pada regio

anterior rahang bawah.9 Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi

susunan gigi tidak berjejal dan berjejal rahang

bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat tahun 2010-2012 yang

memiliki bentuk lengkung narrow rahang bawah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

deskriptif observasional. Bahan yang digunakan

adalah alginat dan gips stone/gips tipe III. Alat

yang digunakan adalah sendok cetak rahang bawah

bergigi no.2 dan no.3, rubber bowl, spatula, sliding

caliper merk Krisbow, sarung tangan, masker,

kapas, tisu, formulir informed consent, dan alat

tulis. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin Tahun 2010-2012.

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling sebanyak 30 hasil cetakan rahang bawah

dengan kriteria inklusi yaitu gigi permanen lengkap

(kecuali gigi 38 dan 48), tidak ada karies proksimal,

tidak ada gigi yang mengalami atrisi pada bagian

insisal dan oklusal, tidak ada gigi yang berlebih

(supernumerary teeth), belum pernah dirawat

ortodonti, memiliki bentuk lengkung rahang bawah

narrow, berumur ≥ 18 tahun, dan bersedia dijadikan

sampel dalam penelitian. Kriteria eksklusi antara

lain adanya kelainan bentuk dan ukuran gigi

(makrodontia, peg shape, fusion), memiliki riwayat

eksodontia pada masa gigi permanen.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah susunan gigi tidak berjejal dan berjejal

rahang bawah pada bentuk lengkung narrow rahang

bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM

Banjarmasin Tahun 2010-2012. Pengambilan

sampel dilakukan dengan cara pencetakan gigi

rahang bawah, kemudian segera dilakukan

pengisian cetakan dengan gips stone/stone tipe III.

Pengukuran lengkung rahang bawah dilakukan

dalam arah transversal dan sagital untuk

mengetahui bentuk lengkungnya hingga didapatkan

30 sampel hasil cetakan rahang bawah berbentuk

narrow. Dilanjutkan pengukuran mesiodistal

masing-masing gigi rahang bawah dan perimeter

lengkung untuk mengetahui susunan gigi rahang

bawah. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar

perhitungan dan dilanjutkan pengumpulan data.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah analisis deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas

Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat pada

bulan September-November 2013. Hasil penelitian

frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal

pada bentuk lengkung narrow rahang bawah

mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin Tahun 2010-

2012 dengan jumlah sampel sebanyak 30 hasil

cetakan rahang bawah berbentuk narrow. Berikut

ini merupakan diagram hasil penelitian frekuensi

susunan gigi tidak berjejal dan berjejal pada bentuk

lengkung narrow rahang bawah mahasiswa FK

UNLAM Banjarmasin Tahun 2010-2012.

Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal

Page 28: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

132

Gambar 1 Data persentase susunan gigi tidak berjejal

dan berjejal rahang bawah berbentuk

narrow pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran UNLAM tahun 2010-2012.

Gambar 2 Data persentase susunan gigi rahang bawah

berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012

dibagi sesuai klasifikasi berdasarkan

diskrepansi ukuran lengkung dengan

ukuran mesiodistal gigi.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui

bahwa presentase susunan gigi rahang bawah

berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012 yaitu 24

orang atau 80% memiliki susunan gigi berjejal dan

yang memiliki susunan gigi tidak berjejal sebesar

20% atau 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa

rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak

memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan tidak

berjejal yaitu mencapai lebih dari setengah total

sampel. Pada Gambar 2 dapat diketahui apabila

dibagi berdasarkan klasifikasi yang ada bahwa dari

24 lengkung rahang bawah berbentuk narrow yang

memiliki susunan gigi berjejal ringan yaitu

sebanyak 23 orang atau 76,66% dan yang memiliki

susunan gigi berjejal sedang yaitu sebanyak 1 orang

atau 3,33%. Sampel dengan bentuk lengkung

rahang bawah narrow, yang memiliki susunan gigi

berjejal berjumlah lebih dari setengah dari total

sampel.

Gambar 3 Salah satu subjek penelitian

Gambar 4 Hasil cetakan rahang bawah berbentuk

narrow

PEMBAHASAN

Gigi berjejal itu sendiri diartikan sebagai

sebuah ketidakharmonisan antara panjang lengkung

basal yang tersedia dengan panjang lengkung yang

diharapkan untuk letak atau barisan gigi yang

baik.10 Etiologi gigi berjejal masih belum diketahui

secara pasti. Peneliti menyatakan bahwa penyebab

gigi berjejal adalah faktor herediter (keturunan).

Peneliti lain mengatakan bahwa faktor lingkungan

(misalnya makanan lunak dan kehilangan panjang

lengkung yang disebabkan karies) lebih

berpengaruh daripada faktor herediter.6 Ukuran

gigi, panjang lengkung, lebar dimensi merupakan

beberapa dari sekian banyak faktor herediter yang

berkontribusi terjadinya gigi berjejal.11 Hamid

(2005) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa

panjang lengkung yang ditemukan antara kelompok

gigi berjejal dan tidak berjejal memiliki

perbedaan.12

Hasil penelitian Olmez (2011) menyatakan

bahwa bentuk lengkung yang memiliki frekuensi

paling tinggi terjadinya makloklusi Angle adalah

tapered atau bisa disamakan dengan bentukan

narrow13. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

yang ada bahwa lebih dari separuh (80%) dari

jumlah sampel dengan bentukan lengkung rahang

bawah narrow memiliki susunan gigi berjejal.

Berdasarkan Gambar 2, sesuai klasifikasi

berdasarkan diskrepansi ukuran lengkung, 23

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 130 - 133

Page 29: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

133

sampel (76,66%) dengan lengkung rahang bawah

berbentuk narrow memiliki susunan gigi berjejal

ringan (-0,1 mm hingga 5 mm). Hal ini sesuai

penelitian Raiq (2007) yang menyatakan bahwa

bentuk lengkung rahang narrow menduduki

peringkat kedua (22%) setelah bentukan flat (33%)

yang memiliki gigi berjejal ringan atau mild

irregularity (1-3mm) pada susunan gigi anterior

rahang bawah.9

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa susunan gigi berjejal lebih

banyak dimiliki oleh kelompok bentuk lengkung

narrow rahang bawah dibandingkan dengan

susunan gigi tidak berjejal dengan persentase 80%

(24 dari 30 hasil cetakan rahang bawah). Apabila

dibagi berdasarkan klasifikasi, maka persentase

susunan gigi terbanyak adalah berjejal ringan (0,1

mm hingga 5 mm) sebesar 76,67%. Para praktisi

sebaiknya mengetahui setiap bentuk lengkung

rahang pasiennya agara dapat lebih

memperhitungkan segala tindakan khususnya yang

berhubungan dengan cukup atau tidaknya tempat

yang tersedia sehingga hasil pewatan ortodonti

yang dapat lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thakur G, Anil S, Vivek M, HS Jaj and Vishal

S. Intercompany comparison of prefabricated

arch forms in different malocclusion groups in

Himachali population. Indian Journal of Dental

Sciences. 2012; 4(3): 012-016.

2. Anwar N and Mubassar F. Clinical

applicability of variations in arch dimensions

and arch forms among various vertical facial

patterns. Journal of the Collage of Physicians

and Surgeons Pakistan 2011; 21(11): 685-690.

3. Liang LR. Bentuk dan ukuran lengkung gigi

rahang bawah pada mahasiswa malaysia

fakultas kedokteran gigi universitas

sumaterautara. Skripsi. Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan:

2010, hal.5.

4. Novrida Z. Ukuran dan bentuk lengkung gigi

rahang bawah pada mahasiswa fakultas

kedokteran gigi universitas sumatera utara.

Skripsi. Medan: Fakultas Kedokeran Gigi

Universitas Sumatera Utara. 2007, hal.26.

5. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya:

Airlangga University Press, 2009; hal.65.

6. Wijaya S. Perbandingan ukuran gigi dan

dimensi lengkung antara gigi tanpa berjejal

dengan gigi berjejal. Skripsi. Medan: Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2011, hal.2,33.

7. Widyanto MR dan Shinta P. Piranti lunak

untuk analisis bentuk lengkung gigi dengan

jaringan saraf tiruan. Jurnal Informatika Mei

2008; 9(1): 8-14.

8. Kuswardani D, Muhammad RW dan Putu WH.

Desain template pada klasifikasi bentuk

lengkung deretan gigi manusia dengan regresi

kuadratik. Fakultas Ilmu Komputer Ilmu

Universitas Indonesia Juli-Desember 2010;

34(2): 96-103.

9. Raiq TT, Issac AYA and Dheaa HAA.

Mandibular arch form and late anterior

crowding. J Baghdad Coll Dentistry 2007;

19(1): 95-100.

10. Sun MK, Jae-Hyung K, Jin-Hyoung C, Jeong-

Moon K and Hyeon-Shik H. What determines

dental protrusion or crowding while both

malocclusions are caused by large tooth size?

Korean J Orthod 2009; 39(5); 330-336.

11. Groves MS. A comparative analysis of

crowding in class I and II malocclusions.

Thesis. Faculty of Saint Louis University,

2010, p.57.

12. Hamid MWU and Muhammad IR. Dental

crowding and its relationship to tooth size and

arch dimensions. Pakistan Oral and Dent. Jr.

2005; 25(1): 47-52.

13. Olmez S and Dogan S. Comparison of the arch

forms and dimensions in various malocclusions

of the turkish population. Open Journal of Sto

Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal

Page 30: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

134

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

DESKRIPSI GIGI IMPAKSI MOLAR KE TIGA RAHANG BAWAH

DI RSUD ULIN BANJARMASIN Tinjauan Pada Bulan Juni-Agustus 2013

Erlinda Amaliyana, Cholil, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Impaction tooth is a tooth that is preventing from its normal path of eruption in the dental

arch due to lack of space in the arch or obstruction in the eruptive pathway of the tooth. The most frequent teeth

become impacted is mandibular third molar. Banjar ethnic is the result of the mixing of the various ethnics

which can cause jaw size and teeth size is unharmonious. Those things lead to lack of space for third molar

eruption that causing impacted teeth. Purpose: The purpose of this study was to determine the characteristics of

patients with impacted mandibular third molar on Banjar ethnic at Regional General Hospital of Ulin in

Banjarmasin, June-August 2013. Methods: This research was an observational study with a descriptive cross-

sectional study design, in which every patient who came to Regional General Hospital of Ulin in Banjarmasin

with complaints of impacted mandibular third molar would been selected by interview. Results: The results from

this study showed that 23 people were found with impacted mandibular third molar. On Banjar ethnic, there

were 13 women and 10 men with impacted mandibular third molar. At age ≤ 25 years there were 10 people,

aged 26-35 years by 7 people and aged ≥ 36 years as many as 6 people. Conclusion: The conclusion was the

description of impacted mandibular third molar showed that the frequency was more common in women and age

≤ 25 year was high frequent suffer from impacted.

Keywords: impacted tooth, banjar ethnic, mandibular third molar

ABSTRAK

Latar belakang: Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan dari normalnya erupsi pada

lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi dari gigi. Gigi yang

paling sering mengalami impaksi adalah molar ke tiga rahang bawah. Suku Banjar merupakan hasil pembauran

dari berbagai suku yang bisa menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang tidak harmonis. Hal-hal

tersebut menyebabkan molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi sehingga terjadi gigi impaksi. Tujuan:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita gigi impaksi molar ke tiga rahang

bawah pada suku banjar di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. Metode: Penelitian ini

menggunakan metode observasional deskriptif dengan rancangan cross-sectional study. Setiap pasien yang

datang ke RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah akan diseleksi

dengan wawancara. Hasil: Hasil dari penelitian ini didapat 23 orang dengan gigi impaksi molar ke tiga rahang

bawah. Pada suku Banjar, terdapat penderita perempuan sebanyak 13 orang dan laki-laki sebanyak 10 orang.

Pada usia ≤25 tahun terdapat 10 orang, usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang dan usia ≥36 tahun sebanyak 6

orang. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini diambil kesimpulan deskripsi dari gigi impaksi molar ke tiga

rahang bawah terlihat frekuensi lebih banyak terjadi pada perempuan dan usia ≤25 tahun paling sering terjadi

gigi impaksi.

Kata-kata kunci: gigi impaksi, suku banjar, molar ke tiga rahang bawah

Korespondensi: Erlinda Amaliyana, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 31: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

135

PENDAHULUAN

Gigi impaksi merupakan gigi yang

menghalangi jalan normalnya erupsi pada

lengkung gigi karena kurangnya ruang pada

lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi gigi.

Gigi molar ke tiga maksila dan mandibula, kaninus

maksila dan insisif sentral maksila merupakan gigi

yang paling sering terjadi impaksi. Kebanyakan

gigi molar ke tiga yang impaksi atau tidak erupsi

dapat erupsi dengan normal dan tidak menyebabkan

masalah secara klinis.1 Gigi molar ke tiga rahang

bawah impaksi dapat mengganggu fungsi kunyah

dan sering menyebabkan berbagai komplikasi.

Komplikasi yang terjadi dapat berupa resorbsi

patologi gigi yang berdekatan, terbentuknya kista

folikular, rasa sakit neuralgik, perikoronitis, bahaya

fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan

berdesakan gigi anterior akibat tekanan gigi

impaksi ke anterior. Akibat lainnya adalah terjadi

periostitis, neoplasma dan komplikasi lainnya.2

Menurut penelitian Naosherwan dkk. yang

dilakukan di Poli Gigi Rumah Sakit Penang di

Malaysia pada tahun 2000 sampai 2005 dengan

jumlah pasien yang dirawat sebanyak 15.076 orang,

terdapat 261 kasus impaksi molar ke tiga mandibula

sedangkan pada kasus impaksi molar ke tiga

maksila hanya ditemukan 11 kasus. Pada kasus

yang didapat, impaksi gigi lebih banyak terjadi

pada laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 137

kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun, 102

kasus terdapat diantara usia 25 tahun sampai 35

tahun, dan 25 kasus terdapat pada usia diatas 35

tahun. Kebanyakan kasus impaksi molar ke tiga

yang datang ke rumah sakit mengeluhkan adanya

sakit serta bengkak, dan lainnya datang dengan

tujuan orthodonti.1

Chandha dkk melakukan penelitian pada

suku Bugis dan suku Toraja, menyimpulkan bahwa

impaksi yang terjadi dilihat secara genetik

disebabkan faktor lingkungan dan faktor keturunan.

Yang dimaksud dengan faktor lingkungan itu

sendiri adalah jenis makanan. Secara umum,

makanan suku Toraja memerlukan kekuatan

kunyah yang lebih besar. Proses evolusi sejalan

dengan berkembangannya peradaban manusia

sehingga ukuran rahang berkurang, sehingga

impaksi gigi lebih mudah terjadi. Secara faktor

keturunan, Suku Toraja yang menikah dengan suku

lain yang secara genetik memiliki rahang yang

kecil, sehingga menghasilkan keturunan yang

mengalami impaksi gigi.3

Suku Banjar memiliki kebiasaan memakan

makanan yang tidak keras dan memasak

makanannya dengan cara merebus dan berkuah

seperti gangan, dan cara yang paling khas seperti

memais dan menuup.4 Suku Banjar itu sendiri

memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak

keras sehingga lengkung rahang tidak berkembang

secara maksimal. Suku Banjar merupakan hasil

pembauran dari berbagai suku yang mana bisa

menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang

tidak harmonis. Hal-hal tersebut menyebabkan

molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi

sehingga terjadi gigi impaksi. Mengingat hal

tersebut dan belum ada data yang pasti tentang gigi

impaksi molar ke tiga, perlu dilakukan penelitian

mengenai deskripsi gigi impaksi molar ke tiga

rahang bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menggambarkan keadaaan gigi impaksi molar ke

tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada

bulan Juni-Agustus 2013.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

deskriptif observasional. Alat yang digunakan

adalah lembar pertanyaan interview, alat tulis,

masker, sarung tangan dan alat diagnostik seperti

kaca mulut. Populasi pada penelitian ini adalah

pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) Ulin di Banjarmasin

Kalimantan Selatan yang mengalami gigi impaksi

pada molar ke tiga rahang bawah. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive sampling

sebanyak 23 orang. Pengambilan sampel dilakukan

atas dasar kriteria yang telah ditentukan oleh

peneliti berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi yaitu pasien suku Banjar yang

datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Ulin yang mengalami gigi impaksi pada

molar ke tiga rahang bawah serta bersedia menjadi

responden dalam penelitian. Kriteria ekslusi yaitu

pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) Ulin yang tidak mengalami

gigi impaksi pada molar ke tiga rahang bawah yang

bukan suku Banjar serta tidak bersedia menjadi

responden dalam penelitian.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah

pada Suku Banjar berdasarkan jenis kelamin dan

usia. Penelitian ini dilakukan di Poli Gigi RSUD

Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013.

Setiap pasien yang didiagnosa memiliki gigi

impaksi molar ke tiga rahang bawah oleh dokter

gigi di Poli Gigi RSUD Ulin akan diseleksi apakah

pasien tersebut Suku Banjar dengan melakukan

wawancara pada pasien tersebut. Apabila dari

wawancara pasien tersebut merupakan suku Banjar

maka pasien tersebut dinyatakan sebagai sampel.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah menggunakan analisis deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian deskripsi gigi impaksi molar

ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin

didapatkan 23 sampel. Hasil penelitian deskripsi

Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi

Page 32: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

136

gigi impaksi molar ketiga rahang bawah di RSUD

Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013

dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Data Prosentase berdasarkan jenis kelamin

deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang

bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada

bulan Juni-Agustus 2013

Tabel 2 Data Prosentase berdasarkan kelompok

usia deskripsi gigi impaksi molar ke tiga

rahang bawah di RSUD Ulin

Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus

2013

Data dari Tabel 1 menunjukan pasien

perempuan yang mengalami gigi impaksi molar ke

tiga rahang bawah berjumlah 13 orang atau sebesar

56,5% dari keseluruhan pasien. Pasien laki-laki

yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang

bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Data

dari Tabel 2 menunjukan pasien kelompok usia ≤25

tahun berjumlah 10 orang atau sebesar 43,5% dari

keseluruhan pasien. Dilihat dari pasien kelompok

usia 26-35 tahun terdapat sebanyak 7 orang atau

sebesar 30,4%, sedangkan pasien kelompok usia

≥36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%.

Hasil yang terdapat di tabel menunjukan bahwa

usia yang sering muncul pada penelitian adalah

pasien yang berada pada usia ≤25 tahun dengan

jumlah sebesar 10 orang (39,1%).

PEMBAHASAN

Hassan (2010) menjelaskan bahwa molar ke

tiga merupakan gigi yang paling sering impaksi.

Prevalensi impaksi molar ke tiga terjadi antara

16,7% sampai 68,6%. Banyak penelitian yang

menyebutkan tidak ada predileksi jenis kelamin

pada impaksi molar ke tiga. Meskipun beberapa

penelitian menyebutkan bahwa frekuensi lebih

tinggi terjadi pada perempuan Eropa dan

perempuan Singapore-Chinese daripada laki-laki.5

Data penelitian ini menunjukan bahwa pasien

perempuan suku Banjar yang mengalami gigi

impaksi molar ke tiga rahang bawah lebih tinggi

dibanding laki-laki yaitu sebanyak 13 orang atau

sebesar 56,5%. Pasien laki-laki suku Banjar yang

mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang

bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%.

Hassan (2010) juga menjelaskan bahwa

tingginya frekuensi yang terjadi pada perempuan

dikarenakan perbedaan masa pertumbuhan antara

perempuan dan laki-laki. Perempuan biasanya

berhenti pertumbuhannya ketika molar ke tiga baru

mulai erupsi. Pada laki-laki pertumbuhan dari

rahang mereka masih berlangsung selama masa

erupsi molar ke tiga, sehingga memberikan ruang

yang lebih untuk erupsi molar ke tiga.5 Menurut

Miloro (2004) dan ADA (2005), usia pertumbuhan

molar ke tiga bervariasi, gigi molar ke tiga biasanya

mulai tumbuh pada usia antara 17 dan 21 tahun dan

erupsi molar ke tiga akan selesai antara usia 20 dan

24 tahun.1,6,7 Menurut penelitian Syed dkk. (2012)

dari 713 kasus gigi impaksi molar ke tiga sebanyak

430 kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun atau

sebesar 64,5% dari total sampel.8

Hal tersebut mendukung hasil dari penelitian

ini yang menunjukan bahwa pasien yang menderita

gigi impaksi molar ke tiga lebih banyak terdapat di

usia ≤25 tahun yaitu sebanyak 10 orang atau

sebesar 43,5%. Semakin tinggi usia maka lebih

sedikit pula angka kejadian gigi impaksi molar ke

tiganya. Hal ini dilihat dari pasien dengan

kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang atau

sebesar 30,4% dan pasien dengan kelompok usia

≥36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%.

Belum ada teori yang menjelaskan mengapa usia

≤25 tahun paling sering mengalami gigi impaksi

molar ke tiga. Beberapa penelitian hanya

menjelaskan mungkin ini dikarenakan

meningkatnya kesadaran tentang kesehatan gigi dan

mulut.9 Untuk penderita usia 26-35 dan usia ≥36

yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga, erupsi

molar ke tiga ditemukan pada rentang usia yang

luas dikarenakan perubahan posisi yang terjadi

setelah erupsi yang mana bisa menyebabkan gigi

impaksi. Hal ini bisa disebabkan kebiasaan makan,

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 134 - 137

Page 33: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

137

intensitas mastikasi dan mungkin karena latar

belakang genetik.10

Berdasarkan penelitian ini diambil

kesimpulan bahwa deskripsi gigi impaksi molar ke

tiga rahang bawah memperlihat frekuensi lebih

banyak terjadi pada perempuan dan usia ≤25 tahun

yang paling sering mengalami gigi impaksi. Saran

penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian yang

lebih lanjut mengenai gigi impaksi molar ke tiga

rahang bawah dengan sampel yang lebih variatif

dan lebih banyak. Perlu dilakukan penelitian

tentang hubungan gigi impaksi dengan lengkung

rahang dan hubungan gigi impaksi dengan

kebiasaan makan dan jenis makanan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar N, Khan AR, Narayan KA, Ab Manan

A Hj. A Six-year Review of The Third Molar

Cases Treated in the Dental Department of

Penang Hospital in Malaysia. Dental

Research Journal, 2008; 5(2): hal 53-60

2. Dwipayanti A, Adriatnoko W, Rochim A.

Komplikasi Post Odontektomi Gigi Molar

Ketiga Rahang Bawah Impaksi. Journal of the

Indonesian Dental, 2009; 58(2): hal 20

3. Chanda MH, Zahbia ZN. Pengaruh bentuk

gigi geligi terhadap terjadinya impaksi gigi

molar ketiga rahang bawah. Dentofasial

Jurnal Kedokteran Gigi, 2007; 6(2): hal 65-6

4. Sam’ani M, Rachman H AA, Sjarifuddin

H,Kusmartono VPR, Hadijah S, Kawi HD,

Anis MZA. Sejarah Banjar. Banjarmasin:

BALITBANGDA Provinsi Kalimantan

Selatan, 2007, hal 1-10

5. Hassan AH. Pattern of Molar Impaction in a

Saudi Population. Clinical, Cosmetic and

Investigational Dentistry, 2010: 2; hal 109-

113

6. Miloro M, Ghali GE, Larsen PE, Waite PD.

Peterson’s Principle of Oral and Maxillofacial

Surgery. 2nd Ed. Ontario: BC Decker Inc.

2004, hal 132

7. American Dental Association. Tooth

Eruption: The Permanent Teeth. JADA, 2006:

137. hal 127

8. Syed KB, Kota Z, Ibrahim M, Bagi MA,

Assiri MA. Prevalence of Impacted Molar

Teeth among Saudi Population in Asir

Region, Saudi Arabia: A Retrospective Study

of 3 Years. Journal of International Oral

Health, 2013:5(1). hal 43-47

9. Ayaz A, Rehman AU. Pattern of Impacted

Mandibular Third Molar in Patients Reporting

To Department of Oral and Maxillofacial

Surgery, Khyber College of Dentistry,

Peshawar. JKCD, 2012:2(2). hal 50-53

10. Qirreish E J. Radiographic Profile of

Symptomatic Impacted Mandibular Third

Molars in the Western Cape, South Africa.

Masters degree dissertation. Western Cape:

University of Western Cape. 2005.

Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi

Page 34: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

138

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

GAMBARAN POLA KEHILANGAN GIGI SEBAGIAN PADA MASYARAKAT

DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR

Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: The pattern of tooth loss was structure of tooth loss that divided into two i.e partial tooth

loss and the loss of the entire tooth. Partial tooth loss accorded to the Kennedy Classification, the classification

that be used to classify partially edentulous. Increasing age was often associated with the increasing number of

missing teeth. Low levels of education allowed more tooth loss than the higher education level, this is due to

routine of dental care to the dentist. Purpose: This study aimed to determine the pattern of tooth loss by age and

education. Methods: This study was a descriptive with cross-sectional design. The population in this study were

residents on Guntung Ujung Village of Banjar District. Total sample were 60 respondents, each group were 30

respondents in the age group of 25-65 years and >65 years which examined to record the edentulous on

respondents and then classified based on the Kennedy Classification. Results: The pattern of partial tooth loss

on community of guntung ujung village in banjar district was Class I 17 people (28,33%), Class II 17 people

(28,33%), Class III 15 people (25%) and Class IV total of 11 people (18,33%). Conclusion: Based on research,

the most common of Kennedy classification at age 25-65 years were Class III 13 people (21.67%) and at age>

65 years were Class I 15 people (25%). The most common of Kennedy classification on elementary education

were the Class I 13 people (21.67%) and on secondary education were Class III 10 people (16.67%).

Keyword: Pattern of tooth loss, Kennedy Classification, edentulous

ABSTRAK

Latar Belakang: Pola kehilangan gigi adalah struktur kehilangan gigi yang terbagi dua yaitu kehilangan

gigi sebagian dan kehilangan seluruh gigi. Kehilangan gigi sebagian sesuai dengan klasifikasi Kennedy, yaitu

klasifikasi yang digunakan untuk mengklasifikasikan edentulous sebagian. Meningkatnya usia sering

dihubungkan dengan meningkatnya jumlah kehilangan gigi. Tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan

terjadinya kehilangan gigi lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi, hal ini disebabkan

dengan rutinnya melakukan perawatan gigi dan mulut ke dokter gigi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pola kehilangan gigi berdasarkan umur dan tingkat pendidikan. Metode: Penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa

Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Sampel penelitian ini berjumlah 60 responden, masing-masing kelompok

berjumlah 30 responden pada kelompok umur 25–65 tahun dan >65 tahun dilakukan pemeriksaan untuk

mencatat kondisi edentulous pada responden kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Kennedy. Hasil:

Pola kehilangan gigi sebagian sebagai berikut Kelas I berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah 17 orang

(28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang (25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%). Kesimpulan:

Berdasarkan hasil penelitian, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada umur 25-65 tahun adalah

Kelas III berjumlah 13 orang (21,67%) dan pada umur >65 tahun adalah Kelas I berjumlah 15 orang (25%).

Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada pendidikan dasar adalah Kelas I berjumlah 13 orang

(21,67%) dan pada pendidikan menengah adalah Kelas III berjumlah 10 orang (16,67%).

Kata-kata kunci: Pola kehilangan gigi, Klasifikasi Kennedy, edentulous

Laporan Penelitian

Page 35: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

139

Korespondensi: Muhammad Fauzan Anshary, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Edentulous (kehilangan gigi sebagian atau

seluruhnya) merupakan indikator kesehatan mulut

dari suatu populasi. Hal ini merupakan cerminan

keberhasilan berbagai pencegahan dan pengobatan

yang diberlakukan oleh suatu pelayanan kesehatan.

Banyak pasien menganggap edentulous sebagai

sebuah alasan untuk mendapat perawatan gigi (1).

Weintraub dan Burt menyatakan bahwa kelompok

sosio-ekonomi yang lebih rendah mengalami

edentulous dalam tingkat yang lebih tinggi daripada

kelompok sosio-ekonomi yang lebih tinggi (2).

Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan

lepasnya satu atau lebih gigi dari soketnya atau

tempatnya. Kejadian hilangnya gigi, biasa terjadi

pada anak-anak mulai usia 6 tahun yang mengalami

hilangnya gigi sulung dan kemudian digantikan

oleh gigi permanen. Kehilangan gigi permanen

pada orang dewasa sangatlah tidak diinginkan

terjadi, biasanya kehilangan gigi terjadi akibat

penyakit periodontal, trauma, dan karies (3).

Sebagian besar penelitian menyatakan

bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan

penyebab utama terjadinya kehilangan gigi.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2007 pengalaman karies di Kalimantan Selatan

adalah 83,4% (4). Kehilangan gigi dapat

disebabkan oleh karies, penyakit periodontal,

trauma, dan atrisi yang berat. Sebagian besar

penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit

periodontal merupakan penyebab utama terjadinya

kehilangan gigi. Faktor penyakit seperti karies dan

penyakit periodontal yang menyebabkan

kehilangan gigi berhubungan dengan meningkatnya

usia. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan

faktor bukan penyakit seperti faktor sosio–

demografi, perilaku dan gaya hidup juga

berpengaruh terhadap kehilangan gigi (1).

Kehilangan gigi biasanya disebabkan oleh

karies dan penyakit periodontal yang dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Persentase keterlibatan

kehilangan gigi akibat karies dan penyakit

periodontal tergantung pada usia di mana

kehilangan gigi pada usia lanjut kebanyakan

disebabkan oleh penyakit periodontal sedangkan

kehilangan gigi pada usia muda biasanya

disebabkan oleh karies. Kehilangan gigi juga

dipengaruhi oleh merokok yang berpengaruh

terhadap terjadinya periodontitis dan karies gigi (3).

Karies gigi berasal dari bahasa latin yang

artinya lubang gigi dan ditandai oleh rusaknya

email dan dentin secara progresif yang disebabkan

oleh aktivitas metabolisme bakteri dan plak. Karies

gigi timbul karena empat faktor yaitu host yang

meliputi gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat,

serta waktu atau lamanya proses interaksi antar

faktor tersebut (5). Karies gigi adalah salah satu

penyebab kehilangan gigi yang paling sering terjadi

pada dewasa muda dan dewasa tua (6).

Karies merupakan penyakit infeksi pada gigi

Karies pada gigi yang tidak dirawat dapat

bertambah buruk, sehingga akan menimbulkan rasa

sakit dan berpotensi menyebabkan kehilangan gigi.

Walaupun secara keseluruhan karies menurun di

Amerika, tetapi penurunan ini tidak terjadi pada

kelompok usia tua (6). Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh peneliti Amerika telah

mengemukakan bahwa karies gigi merupakan

alasan utama ekstraksi gigi, dan studi lainnya yang

dilakukan di Selandia Baru, Swedia, dan bahkan di

Brasil menegaskan bahwa karies dapat

menyebabkan kehilangan gigi (7).

Penyakit periodontal banyak diderita oleh

manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai

50% dari jumlah populasi dewasa. Menurut hasil

survei kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun

1995, penyakit periodontal terjadi pada 459 orang

dari 1000 penduduk dan lebih banyak di pedesaan

daripada perkotaan. Prevalensi dan intensitas

penyakit periodontal di Asia dan Afrika terlihat

lebih tinggi dibandingkan di Eropa, Amerika, dan

Australia. Penyakit periodontal di Indonesia

menduduki urutan ke dua utama yang masih

merupakan masalah di masyarakat. Penyakit yang

menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung

gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan

apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat

mengakibatkan kehilangan gigi (8).

Faktor sosio–demografi seperti umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat

penghasilan merupakan faktor utama yang

mempengaruhi jumlah kehilangan gigi (1).

Prevalensi kehilangan seluruh gigi pada dewasa

muda di Meksiko sekitar 2,4% dan pada dewasa tua

yang berumur 65 tahun keatas sekitar 30,6% (9).

Kehilangan gigi di Brazil sangat terkait dengan

tempat tinggal di daerah pedesaan, jenis kelamin

perempuan, status sosial ekonomi yang kurang

baik, tingkat pendidikan yang kurang baik, dan

pada usia tua (10).

Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro

dalam jurnal Rusli (2012) pengelompokan usia

sebagai berikut: usia dewasa muda 18 atau 29-25

tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau

maturitas, 25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia

(geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun

(11). Meningkatnya usia sering dihubungkan

dengan jumlah kehilangan gigi yang semakin

tinggi. Marcus dkk (1996) dalam skripsi Fauza

(2011) menyatakan bahwa prevalensi kehilangan

gigi tidak berkaitan dengan jenis kelamin (6). Lain

halnya dengan Prabhu dkk (2009) menyatakan

kehilangan gigi sebagian paling tinggi dialami oleh

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

Page 36: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

140

perempuan dibandingkan laki–laki, sedangkan

kehilangan seluruh gigi paling tinggi dijumpai pada

laki–laki dibandingkan perempuan (12). Esan dkk

(2004) mengatakan apabila tingkat pendidikan dan

penghasilan rendah maka memungkinkan

terjadinya kehilangan gigi akan lebih banyak

dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan

penghasilan tinggi, hal ini disebabkan dengan

pendidikan dan penghasilan tinggi, seseorang

mengetahui serta rutin melakukan perawatan gigi

dan mulut ke dokter gigi (1).

Data dari BRFSS pada tahun 2004–2006

menunjukkan populasi yang mengalami kehilangan

lebih dari 6 gigi sebanyak 23% pada kelompok

pendidikan SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah,

15% pada pendidikan Perguruan Tinggi. Menurut

penelitian Fauza (2011) didapatkan kehilangan gigi

di rahang atas paling tinggi terjadi pada tingkat

pendidikan SD kehilangan gigi sebagian Kelas III

Kennedy yaitu 7 orang (3,5%). Kehilangan gigi di

rahang bawah paling tinggi terjadi pada tingkat

pendidikan SD adalah kehilangan gigi sebagian

Kelas III Kennedy yaitu 13 orang (6,5%) (6).

Terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan

tingkat pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan

tinggi cenderung memiliki kesadaran untuk

memperbaiki kesehatan rongga mulut,

menggunakan fasilitas kesehatan gigi dan mulut

serta gaya hidup yang lebih baik untuk

memperhatikan kesehatan rongga mulut (1).

Pola kehilangan gigi adalah struktur

kehilangan gigi yang diklasifikasikan atas

kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi

Kennedy dan kehilangan seluruh gigi (1).

Kehilangan gigi sebagian terjadi lebih banyak pada

dewasa muda, agar tercapai fungsi maksimal gigi–

geligi, pada usia dewasa harus mempunyai minimal

21 gigi di dalam rongga mulut. Penelitian di

Washington tahun 2004 dan 2006 didapatkan 5%

dewasa umur 35–44 tahun serta 38% populasi

berumur 65 tahun keatas mengalami kehilangan 6

elemen gigi atau lebih. Kehilangan seluruh gigi

terjadi lebih banyak pada usia lanjut (6).

Dr Edward Kennedy (1923) menyatakan

sebuah metode klasifikasi berdasarkan pada

hubungan ruang edentulous ke gigi penopang.

Kennedy mengklasifikasikan edentulous menjadi 4

kategori dalam urutan menurut frekuensi kejadian.

Kelas-I: Edentulous terletak di bagian posterior dari

gigi yang masih ada dan berada pada kedua sisi

rahang atau bilateral, mempunyai insiden tertinggi

pada mandibula (72%).

Kelas-II: Edentulous terletak di bagian posterior

dari gigi yang masih ada, pada 1 sisi rahang atau

unilateral (72%).

Kelas-III: Edentulous terletak di antara gigi-gigi

yang masih ada di bagian posterior maupun

anteriornya unilateral (14%).

Kelas-IV: Edentulous terletak pada bagian anterior

dan melewati garis median (8,5%) (14).

Desa Guntung Ujung merupakan salah satu

desa di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang

memiliki batas wilayah sebelah utara berbatasan

dengan Desa Guntung Papuyu, sebelah selatan

berbatasan dengan Desa Beruntung Baru, sebelah

barat berbatasan dengan Desa Keladan Baru dan

sebelah timur berbatasan dengan Landasan Ulin

Barat. Sarana pendidikan di desa ini masih kurang

yaitu SD, SMP dan Pesantren saja. Menurut

Riskesdas tahun 2007, pengalaman karies di

daerah pedesaan adalah 67,6%. Berdasarkan data

Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun

2006, jumlah kasus karies gigi adalah sebesar 5242

kasus dan untuk jumlah pelayanan dasar

pencabutan gigi permanen di daerah Kabupaten

Banjar adalah 3125 kasus. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui gambaran pola kehilangan gigi

sebagian pada masyarakat Desa Guntung Ujung

Kabupaten Banjar berdasarkan umur dan tingkat

pendidikan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif

yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk

memberikan gambaran tentang realitas pada obyek

yang diteliti secara obyektif. Dalam penelitian ini

menggunakan rancangan cross sectional yaitu

peneliti melakukan pengukuran sesaat terhadap

variabel penelitian. Populasi dalam penelitian ini

adalah penduduk Desa Guntung Ujung Kabupaten

Banjar. Penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok

sampel yang masing-masing berjumlah 30

responden pada setiap kelompok sampel, sehingga

total sampel yang diambil ada 60 orang yang atas 2

kelompok umur yaitu 25–65 tahun dan >65 tahun.

Pertama sampel diambil menggunakan teknik

simple random sampling yaitu dengan cara

melakukan pengundian anggota populasi

berdasarkan nomor rumahnya yang kemudian

disesuaikan dengan kriteria inklusinya. Hal ini

dilakukan sampai jumlah sampel memenuhi setiap

kelompok.

Kriteria Inklusinya adalah umur ≥25 tahun,

memiliki kehilangan gigi pada rahang atas dan atau

rahang bawah, bersedia untuk dijadikan sampel.

Kriteria Eksklusinya adalah responden mengalami

kehilangan seluruh gigi di rahang atas, rahang

bawah serta rahang atas dan rahang bawah Alat

yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis,

alat pengolah data (komputer dan kalkulator), alat

diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker,

baskom untuk sterilisasi alat, handuk. Bahan yang

digunakan pada penelitian ini adalah surat

pernyataan kesediaan untuk menjadi subjek

penelitian, detergen untuk sterilisasi, air.

Penelitian dilakukan di Desa Guntung Ujung

Kabupaten Banjar. Pertama yang dilakukan adalah

penetapan responden secara random. Semua

responden harus memenuhi kriteria inklusi yang

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143

Page 37: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

141

telah ditetapkan. Responden yang memenuhi

kriteria diberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden dan dibagi menjadi 2 kelompok umur.

Kelompok tersebut dibagi atas kelompok umur 25-

65 tahun dan >65 tahun. Peneliti melakukan

pengisian lembar formulir penelitian. Peneliti

melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut di

bagian rahang atas dan rahang bawah responden

dan mencatat kondisi edentulous yang terdapat di

rongga mulut responden. Hasil penelitian kemudian

diklasifikasikan berdasarkan kehilangan gigi

sebagian menurut Kennedy.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian gambaran pola kehilangan

gigi sebagian pada masyarakat Desa Guntung

Ujung Kabupaten Banjar dijelaskan pada Tabel 1.

Pola Kehilangan

Gigi Sebagian Jumlah

Kelas I 17

Kelas II 17

Kelas III 15

Kelas IV 11

Jumlah 60

Tabel 1 Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi

sebagian berdasarkan Klasifikasi

Kennedy pada masyarakat Desa Guntung

Ujung Kabupaten Banjar

Tabel 1 menunjukkan bahwa pola

kehilangan gigi sebagian pada masyarakat Desa

Guntung Ujung Kabupaten Banjar adalah Kelas I

berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah

17 orang (28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang

(25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%).

Berdasarkan kuesioner didapatkan sebanyak 49

responden mengaku tidak pernah ke dokter gigi.

Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa dari 11

orang yang mengaku pernah ke dokter gigi

didapatkan 4 orang mengalami kehilangan gigi

Kelas I, 2 orang Kelas II, dan 5 orang Kelas III.

Sebagian besar responden yaitu berjumlah 58 orang

mengatakan 141las an hilangnya gigi mereka

karena gigi yang berlubang dan 2 orang sisanya

kehilangan

gigi karena mengalami kecelakaan.

Pola

Kehilangan

Gigi Sebagian

Umur

Jumlah 25-65

Tahun

>65

Tahun

Kelas I 2 15 17

Kelas II 10 7 17

Kelas III 13 2 15

Kelas IV 5 6 11

Jumlah 30 30 60

Tabel 2 Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi

sebagian berdasarkan Klasifikasi

Kennedy berdasarkan kelompok umur

Tabel 2 didapatkan hasil pola kehilangan

gigi sebagian yang terjadi pada kelompok umur 25-

65 tahun adalah Klasifikasi Kennedy Kelas I

berjumlah 2 orang (3,33%), Kelas II berjumlah 10

orang (16,67%), Kelas III berjumlah 13 orang

(21,67%) dan Kelas IV

berjumlah 5 orang (8,33%).

Pola

Kehilangan

Gigi

Sebagian

Tingkat Pendidikan

Jumlah Pendidikan

Dasar

(Tidak

Sekolah

dan SD)

Pendidikan

Menengah

(SMP dan

SMA)

Kelas I 13 4 17

Kelas II 11 6 17

Kelas III 5 10 15

Kelas IV 9 2 11

Jumlah 38 22 60

Tabel 3 Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi

sebagian berdasarkan Klasifikasi

Kennedy berdasarkan tingkat pendidikan

Tabel 3 menunjukkan bahwa pola

kehilangan gigi sebagian yang terjadi pada tingkat

pendidikan dasar adalah pada Klasifikasi Kennedy

Kelas I yang berjumlah 13 orang (21,67%), Kelas II

berjumlah 11 orang (18,33%), Kelas III berjumlah

5 orang (8,33%) dan Kelas IV berjumlah 9 orang

(15%).

PEMBAHASAN

Hasil kuesioner menunjukkan bahwa

sebanyak 49 responden mengaku tidak pernah ke

dokter gigi. Sebanyak 11 orang yang mengaku

pernah ke dokter gigi didapatkan 4 orang

mengalami kehilangan gigi Kelas I, 2 orang Kelas

II, dan 5 orang Kelas III. Sebagian besar responden

yaitu berjumlah 58 orang mengatakan alasan

hilangnya gigi mereka karena gigi yang berlubang

dan 2 orang sisanya kehilangan gigi karena

mengalami kecelakaan.

Hasil penelitian pada kelompok umur 25-65

tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

Page 38: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

142

terjadi adalah Kelas III dan yang paling sedikit

terjadi adalah Kelas I. Penelitian pada kelompok

umur >65 tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling

banyak terjadi adalah Kelas I dan yang paling

sedikit terjadi adalah Kelas III. Hasil tersebut sesuai

dengan penelitian Fauza (2011) dan Medina – Solis

dkk (2006) yang menyatakan terdapat hubungan

antara umur dan pola kehilangan gigi sebagian

karena semakin meningkat umur, maka kehilangan

gigi akan semakin banyak pada rongga mulut. Hal

ini disebabkan adanya karies gigi dan penyakit

periodontal yang merupakan alasan hilangnya gigi,

kedua faktor tersebut akan bertambah parah dengan

meningkatnya umur (6,9). Penelitian kesehatan gigi

di Australia melaporkan bahwa pada populasi

penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, 11,4%

penduduk memiliki jumlah gigi kurang dari 21

elemen gigi. Prevalensi kehilangan gigi berkaitan

erat dengan usia, hampir tidak ada pada usia 15 –

34 tahun, namun sangat berpengaruh pada usia 75

tahun ke atas (15). Data yang didapat dari WHO

pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi

kehilangan gigi pada orang yang berusia 65 sampai

75 tahun di Prancis adalah sebesar 16,9%, di

Jerman sebesar 24,8%, dan di Amerika Serikat

sebesar 26-31% (16).

Hasil penelitian pada kelompok pendidikan

dasar, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak

terjadi adalah Kelas I dan yang paling sedikit

terjadi adalah Kelas III. Hasil penelitian pada

kelompok pendidikan menengah, Klasifikasi

Kennedy yang paling banyak terjadi adalah Kelas

III dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas IV.

Hal ini sesuai dengan penelitian Esan (2004), yaitu

terdapat hubungan antara tingkat pendidikan

dengan pola kehilangan gigi sebagian. Seiring

meningkatnya tingkat pendidikan maka

kemungkinan mempertahankan gigi di dalam mulut

menjadi lebih tinggi. Hubungan antara edentulous

dan status pendidikan mungkin sebagai pengaruh

dari meningkatnya kesadaran kesehatan gigi,

peningkatan fasilitas kesehatan mulut, kebiasaan

membersihkan mulut yang diperoleh selama proses

pembelajaran dan pengaruh kelompok sebaya (1).

Seperti di negara lain, juga ditemukan bahwa

edentulous sangat erat kaitannya dengan tingkat

pendidikan. Studi epidemiologis menunjukkan

bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang

rendah lebih rentan mengalami edentulous yang

lebih parah daripada orang-orang dengan

pendidikan yang lebih tinggi (9).

Pola kehilangan gigi sebagian yang paling

banyak terjadi pada kelompok pendidikan dasar

adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas I yang

berjumlah 13 orang (21,67%) karena Klasifikasi

Kennedy Kelas I merupakan kehilangan gigi di

bagian posterior yang terjadi pada kedua sisi rahang

dan pada kelompok pendidikan menengah pola

kehilangan gigi sebagian yang paling banyak terjadi

adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas III yang

berjumlah 10 orang (16,67%) karena Klasifikasi

Kennedy Kelas III merupakan kehilangan gigi di

satu sisi rahang antar gigi anterior dan posterior

saja. Hasil penelitian ini sesuai dengan data dari

BRFSS pada tahun 2004–2006 menunjukkan

populasi yang mengalami kehilangan lebih dari 6

gigi sebanyak 23% pada kelompok pendidikan

SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah, 15% pada

pendidikan Perguruan Tinggi (6). Penelitian ini

menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan

menyebabkan sebagian responden tidak mau

memeriksakan giginya ke dokter gigi karena

kurangnya pengetahuan responden tentang

pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut

sehingga tingkat pendidikan memiliki kaitan erat

terhadap tuntutan masyarakat untuk memperoleh

pelayanan kesehatan.

Responden yang pernah ke dokter gigi yang

berjumlah 11 orang merupakan responden yang

memiliki tingkat pendidikan menengah. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian mengatakan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka

makin tinggi pula tuntutannya untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang bermutu (17). Selain itu,

menurut Green dan Pincus yang dikutip oleh

Situmorang (2003), ditemukan korelasi kuat antara

pendidikan dengan kesehatan serta pendidikan

dengan perilaku sehat (18).

Kesimpulannya adalah hasil penelitian

menunjukkan bahwa umur mempengaruhi terhadap

tingkat keparahan hilangnya gigi karena semakin

meningkatnya umur maka resiko terkena karies dan

penyakit periodontal yang menyebabkan hilangnya

gigi akan meningkat. Penelitian menunjukkan

bahwa pada pendidikan dasar banyak mengalami

kehilangan gigi Kelas I yang merupakan kehilangan

gigi yang sudah parah, hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut dan

mereka mengatakan bahwa ke dokter gigi bukan

merupakan suatu kewajiban. Sebanyak 11

responden (18,33%) yang mengaku pernah ke

dokter gigi berasal dari tingkat pendidikan

menengah, hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula

tuntutannya untuk memperoleh pelayanan

kesehatan yang bermutu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Esan TA, Olusile AO, Akeredolu PA, Esan

AO. Socio-demographic Factors and

Edentulism the Nigerian Experience. BMC

Oral Health 2004; 4(3): 1-6.

2. Sari K. Klasifikasi Pasien Edentolous

Sebagian pada Masyarakat Pulau Kodingareng

Menggunakan Prosthodontic Diagnostic

Index. Makassar: Universitas Hasanuddin,

2011.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143

Page 39: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

143

3. Setyadi DA. Analisis Pengaruh Faktor

Hilangnya Gigi Pasien Menggunakan Metode

Regresi Logistik Berbasis Komputer. Jakarta:

Universitas Bina Nusantara, 2011.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Riskesdas Laporan Hasil Riset Kesehatan

Dasar Provinsi Kalimantan Selatan Tahun

2007. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta. 2009. Hal: 142.

5. Kusumawati R. Hubungan Tingkat Keparahan

Karies Gigi dengan Status Gizi Siswa Kelas

Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana

Kabupaten Bogor Tahun 2010. Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,

2010. Hal: 2.

6. Fauza R. Pola Kehilangan Gigi dan

Kebutuhan Jenis Gigi Tiruan Masyarakat Desa

Binaan Ujung Rambung Kecamatan Pantai

Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Januari-

Februari 2010. Medan: Universitas Sumatera

Utara, 2011. Hal: 8-13.

7. Montandon AAB, Zuza EP, de Toledo EC.

Prevalence and Reasons for Tooth Loss in a

Sample from a Dental Clinic in Brazil.

International Journal of Dentistry 2012; 2012:

1-5.

8. Wahyukundari MA. Perbedaan Kadar Matrix

Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan

Pemberian Tetrasiklin pada Penderita

Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI 2009; 58

(1): 1-6.

9. Medina-Solis CE, Perez-Nunez R, Maupome

G, Casanova-Rosado JF. Edentulism among

Mexican Adults Aged 35 Years and Older and

Associated Factors. American Journal of

Public Health 2006; 96(9): 1578-1581.

10. Silva HD, Filho PM, Piva M. Denture-related

Oral Mucosal Lesions among Farmers in A

Semi-Arid Northeastern Region Of Brazil.

Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16

(6):e740-4.

11. Rusli. Olahraga Lanjut Usia. Jurnal ILARA

2012; 3(1): 11 – 19.

12. Prabhu N, Kumar S, D’souza M, Hegde V.

Partial Edentulousness in a Rural Population

Based on Kennedy’s Classification: An

Epidemiological Study. J Prosthodont 2009; 9:

18-23.

13. Galagali G, Mahoorkar S. Critical Evaluation

of Classification Systems of Partially

Edentulous Arches. International Journal of

Dental Clinics 2010; 2(3): 45-52.

14. Islas-Granillo H, Borges-Yanez SA, Lucas-

Rincon SE, dkk. Edentulism Risk Indicators

among Mexican Elders 60-Year-Old and

Older. Archives of Gerontology and Geriatrics

53 (2011) 258–262.

15. Khazae S, Firouzei MS, Sadeghpour S, dkk.

Edentulism and Tooth Loss in Iran: Sepahan.

International Journal of Preventive Medicine,

Special Issue, 2012; 6: 42-47.

16. Fabiola I. Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Angka Kunjungan Masyarakat ke

Kinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Gajah Mada. Jurnal PDGI 2006; 56(1): 37-8.

17. Situmorang N. Perilaku Sakit: Suatu Tinjauan

Sosial Kultural. Dentika Dent J 2003; 2(8):

265.

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

Page 40: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

144

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

EFEKTIVITAS METODE PERAGAAN DAN METODE VIDEO

TERHADAP PENGETAHUAN PENYIKATAN GIGI

PADA ANAK USIA 9-12 TAHUN DI SDN KERATON 7 MARTAPURA

Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Knowledge of tooth brushing is very important to give to the children. Counseling is a

frequently used way to provide knowledge about tooth brushing. There are two types of methods in dental health

education, the first is a method in one direction (One Way Method) which focuses on active educator and the

second is method of two-way (Two Way Method) which guarantees the existence of two-way communication

between educators and the target. Purpose: The purpose of this study was to determine whether the differences

in effectiveness between demonstration method and videos method to the brushing teeth knowledges in children

aged 9-12 years in SDN Keraton 7 Martapura. Methods: This study was a quasi experimental design and using

a randomized design matched two groups. The sample were 60 children aged 9-12 years from in SDN Keraton 7

Martapura. Sampling was done by purposive sampling. Research procedure begins with giving pre-test, then do

counseling with demonstration methods and video methods in different groups, then finally giving a post-test.

Results: Demonstration method and video method could provided significant results in improving the knowledge

brushing teeth assessed from the mean pre-test and post-test and paired T test results. In the unpaired t test

results showed that there was no significant differences between the demonstration methods and video method in

improving knowledge of brushing teeth. Conclusion: The conclusion of this study showed that there was no

differences in effectiveness between demonstration methods and videos method to the brushing teeth knowledges

of children aged 9-12 years SDN Keraton 7 Martapura.

Keywords: demonstration method, the video method, knowledge, brushing teeth

ABSTRAK

Latar belakang: Pengetahuan penyikatan gigi sangat penting untuk diberikan kepada anak-anak.

Penyuluhan adalah cara yang sering digunakan untuk memberikan pengetahuan mengenai penyikatan gigi. Ada

dua jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi, yaitu metode satu arah (One Way Method) yang

menitikberatkan pada pendidik yang aktif dan metode dua arah (Two Way Method) yang menjamin adanya

komunikasi dua arah antara pendidik dan sasaran. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah

ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi

pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental

dan menggunakan rancangan randomized matched two groups design. Sampel penelitian ini adalah anak usia

9-12 tahun dari SDN Keraton 7 Martapura sebanyak 60 anak dan pengambilan sampel dilakukan dengan

purposive sampling. Prosedur penelitian dimulai dengan memberikan pre test, kemudian melakukan penyuluhan

dengan metode peragaan dan metode video pada kelompok yang berbeda, selanjutnya diakhiri dengan post test.

Hasil: Metode peragaan dan metode video dapat memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan

pengetahuan penyikatan gigi yang dinilai dari hasil rerata pre test dan post test dan hasil uji T berpasangan.

Pada hasil uji T tidak berpasangan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara metode

peragaan dan metode video dalam peningkatan pengetahuan penyikatan gigi. Kesimpulan: Kesimpulan dari

penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video

terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.

Kata-kata kunci: metode peragaan, metode video, pengetahuan, penyikatan gigi

Laporan Penelitian

Page 41: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

145

Korespondensi: Amelia Nurfalah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi dan mulut sudah

menjadi perhatian yang sangat penting dalam

lingkungan kesehatan. Salah satu sebabnya adalah

rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap

gangguan kesehatan gigi.1 Menurut Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan

oleh Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2001

terdapat 76,2% anak Indonesia pada kelompok usia

12 tahun (kira-kira 8 dari 10 anak) mengalami gigi

berlubang. SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa

prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara

85%-99%.2 Prevalensi karies aktif di Kalimantan

Selatan sendiri memiliki persentase 49,3%.3

Salah satu penyebab timbulnya masalah

kesehatan gigi dan mulut dalam masyarakat adalah

faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan

gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi dengan

kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan

mulut serta perawatannya. Kesadaran seseorang

akan pentingnya kesehatan gigi dapat dilihat dari

pengetahuan yang dimiliki. Ketika seseorang

memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi maka

perhatian untuk melakukan perawatan terhadap gigi

dan mulutnya juga tinggi.4

Tingginya tingkat karies di Indonesia

membuat pemerintah bekerja sama dengan

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk

mengantisipasi masalah kesehatan gigi di Indonesia

dengan mengupayakan penanganannya melalui

program pemeriksaan gratis enam bulan sekali.

Pemerintah juga membuat program kegiatan Usaha

Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) di setiap sekolah

untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi.

Salah satu pengajaran yang diberikan oleh UKGS

adalah teknik menyikat gigi yang baik dan benar

serta memberikan penyuluhan mengenai kesehatan

gigi dan mulut di sekolah-sekolah.5

Penyuluhan atau Pendidikan Kesehatan Gigi

(PKG) adalah suatu proses belajar yang ditujukan

kepada individu dan kelompok masyarakat untuk

mencapai derajat kesehatan gigi yang setinggi-

tingginya. Pemilihan metode yang tepat dalam

proses penyampaian materi penyuluhan sangat

membantu pencapaian usaha mengubah tingkah

laku sasaran. Secara garis besar, hanya ada dua

jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi,

yaitu metode satu arah (One Way Method) yang

menitikberatkan pendidik yang aktif sedangkan

pihak sasaran tidak diberi kesempatan untuk aktif

dan metode dua arah (Two Way Method) yang

menjamin adanya komunikasi dua arah antara

pendidik dan sasaran. Pada penyuluhan

membutuhkan alat bantu terutama untuk anak,

pemakaian alat bantu dalam merubah perilaku anak

merupakan hal yang sangat penting.6

Pendidikan kesehatan gigi biasanya

berisikan pengetahuan mengenai cara menjaga

kesehatan gigi dan mulut. Salah satu contohnya

adalah pengetahuan menenai penyikatan gigi.

Pengetahuan penyikatan gigi adalah hasil tahu

manusia mengenai penyikatan gigi.11 Anak

diharapkan dapat mengetahui jenis sikat dan pasta

gigi yang baik, metode menyikat gigi yang benar,

serta waktu dan frekuensi menyikat gigi yang tepat.

Penyuluhan kesehatan gigi ternyata dapat

memberikan hasil yang positif dalam menurunkan

indeks plak. Hasil penelitian Warni pada siswa-

siswi kelas IV dan V di dua Sekolah Dasar (SD)

Negeri Medan menunjukkan bahwa penyuluhan

dan pelatihan menyikat gigi yang dilakukan cukup

efektif untuk menurunkan indeks plak gigi-geligi.

Hal ini menunjukkan proses belajar yang mereka

dapat melalui program penyuluhan dan pelatihan

dapat dimengerti dan dipraktekkan oleh siswa-siswi

SD tersebut.7 Begitupun dengan penelitian Leal SC

dkk. pada tahun 2002 di Brazil mengenai

perbandingan efektifitas metode pengajaran cara

menyikat gigi pada anak 3-6 tahun, pengajaran

dengan menggunakan metode audiovisual ternyata

dapat menurunkan indeks plak dengan baik, ini

menunjukkan bahwa penyuluhan tersebut

merupakan metode pengajaran cara menyikat gigi

yang cukup efektif.8

Usia 9-12 tahun adalah usia efektif untuk

memberikan segala informasi yang mengarah pada

perkembangan kognitif dan motorik anak,

contohnya menyikat gigi. Menurut teori Piaget

tentang perkembangan kognitif, anak usia 9-12

tahun yang masuk ke dalam tahap operasional

konkret dan operasional formal sudah dapat

mengelompokkan setiap informasi yang diterima

dan dapat berpikir dengan logis. Perkembangan

motorik sendiri sesuai dengan perkembangan fisik

anak, pada usia 9-12 tahun fisik anak sedang

berkembang maka motoriknya pun ikut

berkembang, jadi sangat baik ketika diberikan

pengajaran seputar penyikatan gigi pada usia

tersebut.9,10

Penelitian yang membandingkan efektivitas

penyuluhan dengan metode peragaan (demonstrasi

langsung) dengan metode video pada anak sekolah

usia 9-12 tahun belum pernah dilakukan

sebelumnya di SDN Keraton 7 Martapura.

Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa

pendidikan kesehatan gigi di sekolah kurang karena

UKGS tidak aktif, sehingga kegiatan yang

Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video

Page 42: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

147

mengarah pada pendidikan kesehatan gigi dirasakan

kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

metode penyuluhan mana yang lebih efektif antara

metode peragaan dan metode video terhadap

peningkatan pengetahuan penyikatan gigi pada

anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian quasi

experimental dengan rancangan randomized

matched two groups design.11 Populasi penelitian

adalah anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7

Martapura. Sampel penelitian dipilih dengan

menggunakan purposive sampling dengan kriteria

inklusi yaitu usia 9-12 tahun, dapat membaca dan

menulis, keadaan umum anak baik, kooperatif, dan

memiliki skor tes IQ sesuai ketetapan peneliti untuk

penyetaraan kedua kelompok penyuluhan.

Berdasarkan kriteria inklusi tersebut diambil 60

anak yang dibagi dalam dua kelompok penyuluhan,

masing-masing 30 anak setiap kelompok dan

memiliki skor hasil tes IQ yang setara.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah

kuesioner yang berisi seperangkat pertanyaan

mencakup indikator pertanyaan pengetahuan

penyikatan gigi yang telah dirancang sebelumnya.

Kuesioner pre test dan post test seputar penyikatan

gigi dibuat dengan menggunakan pendekatan

bentuk paralel, yaitu dengan memberikan dua

bentuk kuesioner paralel kepada kelompok subjek

penelitian. Kemudian dilakukan uji validitas

dengan menggunakan validitas isi yaitu validitas

yang diuji dari bentuk isi kuesioner melalui

professional judgment. Validitas isi terdiri dari dua

bentuk uji validitas, validitas muka dan validitas

logik. Validitas muka yaitu validitas yang

didasarkan pada penilaian terhadap format

penampilan kuesioner, dan validitas logik adalah

validitas yang dilihat dari sejauhmana isi kuesioner

merupakan representasi indikator yang hendak

diukur dengan memanfaatkan suatu blue-print yang

memuat cakupan isi dan cakupan kompetensi yang

hendak diungkap.11,12 Alat dan bahan penelitian

yang digunakan adalah model gigi (phantom),

video penyikatan gigi, laptop, monitor, sikat gigi,

pasta gigi, tisu, air, gelas kumur, dan alat tulis.

Pada pelaksanaan penelitian kedua

kelompok penyuluhan dimasukkan ke dalam

ruangan kelas yang berbeda, pre test seputar

penyikatan gigi diberikan pada anak kelompok

peragaan maupun kelompok video. Penyuluhan

dilakukan setelah diberikan pre test pada kedua

kelompok dengan menggunakan metode sesuai

kelompok penyuluhannya. Post test seputar

penyikatan gigi diberikan setelahnya. Nilai pre test

dan post test setiap anak dicatat dihitung selisih

reratanya antar kelompok penyuluhan baik metode

peragaan maupun metode video. Analisis hasil

penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan

program statistik komputer. Uji hipotesis yang

digunakan adalah uji hipotesis T untuk melihat

apakah ada perbedaan antara metode peragaan dan

metode video terhadap peningkatan pengetahuan

penyikatan gigi dengan tingkat kepercayaan 95%

(α=0,05).

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada siswa kelas 4, 5,

dan 6 sebanyak 60 anak. Masing-masing kelompok

perlakuan terdiri atas 30 anak. Karakteristik subjek

penelitian dilihat pada Gambar 1, 2, 3.

Gambar 1. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan

jenis kelamin

Gambar 2. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan

hasil tes IQ

Gambar 3. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan

jumlah siswa setiap kelas

146 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149

Page 43: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

148

Hasil pre test dan post test dihitung rerata

skoringnya untuk melihat peningkatan pengetahuan

penyikatan gigi yang terjadi. Hasil rerata skoring

nilai pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel

1.

Tabel 1 Rerata Nilai Skoring Kuesioner

Pengetahuan Penyikatan Gigi Sebelum dan

Sesudah Diberikan Penyuluhan Dengan

Metode Peragaan dan Video Pada Anak

Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7

Martapura

Metode

Penyuluhan

Skoring

Kuesioner

Peningkatan

Pengetahuan

(Post-Pre) Pre

Test

Post

Test

Metode

Peragaan

16,27 22,37 6,1

Metode

Video

16,67 21,97 5,3

Tabel 1 menunjukkan terjadinya

peningkatan pengetahuan pada kedua kelompok

penyuluhan. Pada kelompok metode peragaan

terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 6,1 dan

pada metode video terjadi peningkatan pengetahuan

sebesar 5,3. Uji T berpasangan dilakukan untuk

mengetahui apakah ada perbedaan antara pre test

dan post test dalam peningkatan pengetahuan pada

kedua metode penyuluhan. Hasil uji T berpasangan

pada metode peragaan diperoleh nilai p = 0,001

(p<0,05) dan metode video diperoleh nilai p =

0,001 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan antara hasil pre test dan hasil post test

pada metode peragaan dan metode video. Hasil uji

T tidak berpasangan yang didapatkan nilai p= 0,365

(p>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok

penyuluhan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

metode peragaan dan metode video dapat

meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi pada

anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Warni pada siswa-siswi kelas IV dan V di dua

Sekolah Dasar (SD) Negeri Medan yang

menunjukkan bahwa penyuluhan dan pelatihan

menyikat gigi seperti metode peragaan dapat

meningkatkan pengetahuan siswa-siswi tersebut

dengan berkurangnya indeks plak gigi.1 Begitu juga

dengan penelitian Leal SC dan Bezzera pada tahun

2002 mengenai perbandingan efektifitas metode

pengajaran cara menyikat gigi pada anak usia 3-6

tahun yang diambil dari 50 anak dalam sebuah

private nursery di Brazil, pengajaran dengan

menggunakan metode audiovisual ternyata juga

dapat meningkatkan pengetahuan anak karena

indeks plak giginya pun turun.8

Hasil penelitian ini menunjukkan kedua

metode penyuluhan dapat meningkatkan

pengetahuan kepada anak yang menghasilkan nilai

post test yang lebih tinggi dari nilai pre test. Hal ini

kemungkinan berhubungan dengan otak dan

memorinya. Otak menyimpan informasi dengan

cara masukan yang diterima oleh sensor diteruskan

ke otak dan disimpan di memori jangka pendek,

beberapa informasi akan diteruskan ke memori

jangka panjang yang ditentukan oleh perhatian

terhadap masukan informasi tersebut. Perhatian,

motivasi, dan kaitan suatu informasi terhadap

pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak

adalah faktor paling berpengaruh terhadap

penyimpanan informasi di memori jangka

panjang.13 Dalam prinsip pembuatan alat peraga

dan media penyuluhan menyatakan bahwa

pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima

atau ditangkap oleh panca indra. Semakin banyak

panca indra yang digunakan semakin banyak dan

semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan

yang diperoleh.14 Metode peragaan dan metode

video membuat anak menggunakan panca indranya

lebih dari satu, sehingga pengetahuan yang

diberikan dalam metode penyuluhan baik peragaan

maupun video dapat diterima dengan baik.

Menurut Piaget, proses kognitif anak

terbentuk dari skema yang dibuat oleh anak itu

sendiri. Skema adalah konsep atau kerangka yang

eksis di dalam pemikiran individu yang dipakai

untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan

informasi. Ada dua proses yang bertanggung jawab

atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi

skema mereka yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan

pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang

sudah ada, sedangkan akomodasi terjadi ketika

anak menyesuaikan diri dengan informasi yang

baru.10 Pada pemberian pengetahuan penyikatan

gigi baik dengan metode peragaan maupun metode

video terjadi proses asimilasi pada anak. Anak

sudah dikenalkan dan diajarkan orang tuanya

tentang penyikatan gigi, sehingga anak sudah

memiliki pengetahuan tentang penyikatan gigi

sebelumnya. Pemberian pengetahuan penyikatan

gigi yang baik dan benar, akan memacu anak untuk

memasukkan pengetahuan baru tersebut ke dalam

pengetahuan yang sudah ada, dan saat itulah proses

kognitif berlangsung kemudian terjadi peningkatan

pengetahuan pada anak. Proses akomodasi pun

terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan

pengetahuan penyikatan gigi yang baru.

Pengetahuan yang didapatkan anak sebelum

diberikan penyuluhan kemungkinan belum atau

kurang tepat, dengan diberikannya penyuluhan

Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video 147

Page 44: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

149

yang benar maka anak dapat menyesuaikan diri

dengan pengetahuan yang lebih baik.

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini

ditolak. Metode peragaan dan metode video

ternyata tidak mempunyai perbedaan yang

bermakna untuk meningkatkan pengetahuan

penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun. Hal ini

tidak sesuai dengan penelitian Hermina dan Vera,

Tan Xiao Chuan yang pada penelitiannya

menyatakan bahwa metode peragaan lebih efektif

diberikan untuk penyuluhan penyikatan gigi anak

dengan rentang usia 3-11 tahun.15,16 Hal ini juga

tidak sesuai dengan penelitian dari Rani AW. yang

menyatakan bahwa metode audio-visual seperti

video, film, merupakan metode yang lebih efektif

untuk diberikan dibandingkan metode

konvensional.17

Metode peragaan dan metode video yang

berisikan pengetahuan penyikatan gigi sama-sama

menarik dan dapat diterima oleh anak. Seperti

penelitian yang dilakukan Mey Linda, metode

peragaan dan metode video memiliki efektivitas

yang sama dalam menurunkan indeks plak sampai

hari ketujuh setelah penyuluhan diberikan pada

anak Keberadaan penyuluh yang langsung memberi

penyuluhan dan pengajaran juga mempengaruhi

daya tangkap anak karena adanya kesempatan pada

anak untuk terlibat di dalam proses pengajaran. Bila

ada suatu hal yang anak belum mengerti, anak

dapat bertanya kepada penyuluh.20

Metode video dikatakan menarik karena

dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang

dimiliki siswa. Metode video dapat menyajikan apa

yang tidak dapat dialami langsung oleh siswa dan

memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara

anak dengan lingkungannya, hal ini karena media

audio visual menghadirkan situasi nyata dari

informasi yang disampaikan untuk menimbulkan

kesan yang mendalam. Selain mempercepat proses

belajar dengan bantuan media audio visual mampu

meningkatkan taraf kecerdasan dan mengubah

sikap pasif dan statis ke arah sikap aktif dan

dinamis.17

Video penyikatan gigi pada penelitian ini

dibuat dengan menyajikan gabungan gambar dan

kata-kata yang dapat dipahami oleh anak.

Rangkaian gambar dan kata-kata yang apabila

digabungkan ternyata lebih efektif untuk

mempertahankan ingatan daripada hanya

menggunakan gambar atau kata-kata saja, menurut

Mills dan Mc Mullan tahun 2009 dalam

penelitiannya tentang memori jangka pendek yang

didapat dari gambar, kata, dan gabungan gambar

dan kata. Penyajian gambar dan kata-kata yang

berwarna-warni dalam video penyikatan gigi yang

diberikan pada anak ternyata juga memiliki

pengaruh terhadap meningkatnya pengetahuan,

dimana warna berpengaruh kuat pada memori

jangka pendek dan perhatian visual.18

Rangkaian gambar kartun yang disajikan

dalam bentuk video juga dapat menarik perhatian

anak saat penyuluhan. Hal ini sesuai dengan

penelitian Reny Dwy Rahayu yang menyatakan

bahwa video yang berisikan kartun dapat

membantu meningkatkan perkembangan kognitif

anak yang dilihat dari nilai tes sebelum dan tes

sesudah diberikan video. Media pengajaran yang

dapat memotivasi minat dan tindakan anak adalah

media pengajaran yang direalisasikan dengan

teknik hiburan seperti metode video, oleh karena itu

metode video dapat meningkatkan pengetahuan

anak karena mampu meningkatkan motivasi minat

dan tindakan anak ketika penyuluhan

berlangsung.19

Menurut Piaget, tahap perkembangan

kognitif anak usia 9-12 memasuki tahap

operasional konkret dan tahap operasional formal

yang dimulai sekitar umur tujuh tahun sampai lima

belas tahun. Pada tahap ini anak sudah dapat

melakukan penalaran logika, memiliki kemampuan

untuk menggolong-golongkan sesuatu serta sudah

mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman

konkret dan memikirkannya secara lebih abstrak,

idealis, dan logis. Hal ini boleh jadi membuat

metode peragaan dan metode video dapat diterima

dengan baik oleh anak sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan penyikatan giginya.

Dengan berkembanganya aspek kognitif, anak

menunjukkan proses belajar yang mereka terima

melalui penyuluhan dan pengajaran cara menyikat

gigi yang diberikan.10,20 Dapat disimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan efektivitas antara metode

peragaan dan metode video terhadap pengetahuan

penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN

Keraton 7 Martapura, kedua metode dapat

meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat

menjadi referensi bahan penyuluhan penyikatan

gigi untuk anak usia sekolah dasar dan dapat

meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak

baik dengan menggunakan metode peragaan

maupun dengan metode video. Diharapkan pula

agar perencanaan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi

Sekolah) dapat dilakukan dengan matang untuk

setiap sekolah agar dapat memberikan motivasi

terhadap anak dalam menjaga kesehatan gigi dan

mulut. Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan

penelitian lanjut dengan membandingkan

efektivitas metode peragaan dan metode video

terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak

usia pra sekolah, mengikutsertakan peran orang tua,

atau dapat membandingkan metode penyuluhan

lainnya terhadap peningkatan pengetahuan

penyikatan gigi.

148 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149

148 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149

Page 45: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

150

DAFTAR PUSTAKA

1. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas

V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut

terhadap kesehatan gigi dan mulut terhadap

status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli

Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009.

Tesis. Medan: Program Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat FKM USU, 2009. Hal

1-3.

2. F.X. Sintawati, Indirawati TN. Faktor-faktor

yang mempengaruhi kebersihan gigi dan mu-

lut masyarakat DKI Jakarta tahun 2007.

Jurnal Ekologi Kesehatan. 2009; 8(1): 860-

873.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Kalimantan Selatan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2007. Hal 117.

4. Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang

kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian

karies anak SDN Kleco II kelas V dan VI

Laweyan Surakarta. Skripsi. Surakarta:

Jurusan Keperawatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2008. Hal 4.

5. Dewanti. Hubungan tingkat pengetahuan

tentang kesehatan gigi dengan perilaku

perawatan gigi pada anak usia sekolah di

SDN Pondok Cina 4 Depok. Skripsi. Jakarta:

Jurusan Keperawatan Universitas Indonesia,

2012. Hal 2.

6. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S.

Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2001. Hal 4-66.

7. Eley BM, Manson JD. Periodontics 5th ed.

Philadelphia: Elsevier Ltd, 2004. Hal 21-143.

8. Leal SC, Bezerra ACB. Effectiveness of

teaching methods for tooth brushing in

preschool children. Braz Dent J. 2002; 13(2):

133-136.

9. Hurlock EB. Psikologi perkembangan : suatu

pendekatan sepanjang rentan kehidupan. Edisi

5. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1999.

Hal 146.

10. Santrock, JW. Psikologi pendidikan. . Jakarta:

Kencana, 2007. Hal 46-55.

11. Seniati L, Aries Y, Bernadette NS. Psikologi

eksperimen. Jakarta: PT Indeks, 2005. Hal 37-

118.

12. Azwar S. Reliabilitas dan validitas.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Hal 39-47.

13. Yuriadi K. Visualisasi dan memori. Jakarta:

Pusat Perkembangan Bahan Ajar UMB, 2011.

Hal 5.

14. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Penerbit

Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009. Hal

47-49.

15. Hermina V. Efektifitas metode pengajaran

cara menyikat gigi terhadap penurunan indeks

plak anak usia 3-5 tahun. Dentika Dent J.

2010; 15(1): 42-45.

16. Chuan TX. Perbandingan efektifitas metode

pengajaran cara menyikat gigi terhadap

penurunan indeks plak pada anak usia 6-11

tahun di sekolah Bodhicitta Medan. Skripsi.

Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara, 2010. Hal 38.

17. Wahyuningsih RA. Efektivitas penggunaan

media audio-visual dalam pembelajaran

keterampilan menulis bahasa Prancis pada

siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Skripsi.

Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Bahasa

Prancis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri, 2011. Hal 36.

18. Susanto R. Pengaruh paparan warna terhadap

retensi short term memory penderita

hipertensi primer. Jurnal Keperawatan

Soedirman. 2012; 7(1): 47.

19. Rahayu RD. Pengaruh penggunaan video

kartun mencampur warna terhadap

kemampuan kognitif pada anak kelompok B

di TK terpadu Al-Hidayah II DS. Bakung

Kec. Udanawu Kab. Blitar 2012. Available

from

(http://ejournal.unesa.ac.id/article/4320/19/art

icle.pdf, diakses 18 November 2013).

20. Linda M. Penurunan indeks plak antara

metode peragaan dan video pada penyuluhan

kesehatan gigi anak usia 8-9 tahun. Skripsi.

Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara, 2011. Hal 28-41.

Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video 149

Page 46: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item
Page 47: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

151

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI METODE HORIZONTAL, VERTICAL

DAN ROLL TERHADAP PENURUNAN PLAK PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN

Tinjauan pada Siswa Siswi Kelas 4-6 SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin

Tahun Ajaran 2012/2013

Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Oral health of Indonesian people still be things that must have serious attention from the

health service, including dentist or dental nurse. Based on the report basic health research (RISKESDAS) 2007

The Department of health released in 2009 revealed that proportion of people with problems with the teeth and

mouth in South Borneo province as much 29.2%. Plaque have an important role to the formation caries and

plaque cannot removed by simply gargle but needs to be done by mechanical cleaning is brushing teeth. In

general population in various district province south kalimantan brush teeth every day 94,4 %. The prevalence

of the population who behaves true rubbing teeth in the province of South Borneo as many 10.3 %. Purpose:

This research aimed to find out effectivity brushing method horizontal, vertical and roll to decrease plaque

children ages 9-11 years SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Methods: The type of this research was a Quasi

Experimental with Pre-Post Test One Group Design. Using disclosing agent to identify plaque on the teeth

before and after treatment and used index measurement personal hygiene performance of modified (phpm).

Results: There was significant difference between the effectiveness brushing method of horizontal, roll and

vertical. Conclusion: Horizontal brushing method was more effective clean plaque.

Keywords: Brushing effectiveness, Plaque, Method Horizontal, Method Vertical, Method Roll.

ABSTRAK

Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang perlu

mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi. Berdasarkan hasil

laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan yang dirilis pada 2009

mengungkapkan bahwa proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan

Selatan sebanyak 29,2%. Plak sangat berperan terhadap terbentuknya karies, dan plak tidak dapat dihilangkan

hanya dengan berkumur tetapi perlu dilakukan pembersihan secara mekanik yaitu menyikat gigi. Pada

umumnya penduduk di berbagai kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan yang menggosok gigi setiap hari

94,4%. Prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di provinsi Kalimantan Selatan sebanyak

10,3%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan metode

horizontal, vertikal dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Metode: Jenis

penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.

Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.

Menggunakan disclosing agent untuk mengidentifikasi plak pada gigi sebelum dan sesudah perlakuan dan

menggunakan indeks pengukuran Personal Hygniene Performance Modified (PHPM). Hasil: Terdapat

perbedaan bermakna antara menyikat gigi metode horizontal, vertikal, dan roll. Kesimpulan: Berdasarkan

penelitian tersebut metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menghilangkan plak.

Kata-kata kunci: Efektivitas menyikat gigi, Plak, Metode horizontal, Metode vertikal, Metode roll.

Laporan Penelitian

150 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149

Page 48: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

152

Korespondesi: Destiya Dewi Haryanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:

[email protected]

PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut masyarakat

Indonesia masih merupakan hal yang perlu

mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan,

baik dokter gigi maupun perawat gigi, hal ini

terlihat bahwa penyakit gigi dan mulut masih

diderita oleh 90% penduduk Indonesia.1

Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan

mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh

empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku,

dan pelayanan kesehatan. Perilaku memegang

peranan yang penting dalam mempengaruhi status

kesehatan gigi dan mulut.2

Karies merupakan penyakit jaringan gigi

yang ditandai dengan kerusakan jaringan, mulai

dari permukaan gigi hingga meluas ke arah pulpa.3

Menurut penelitian di negara-negara Eropa,

Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia, 80%-90%

anak-anak dibawah umur 18 tahun terserang karies

gigi.4 Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan

yang dirilis pada 2009 mengungkapkan bahwa

proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi

dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak

29,2%, hasil ini tertinggi di Kabupaten Barito

Kuala dan Banjarmasin.5 Prevalensi menggosok

gigi terendah ada di Hulu Sungai Selatan.

Prevalensi penduduk yang berperilaku benar

menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan

sebanyak 10,3%.5

Menyikat gigi dengan menggunakan sikat

gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara

mekanis. Saat ini telah banyak tersedia sikat gigi

dengan berbagai ukuran, bentuk, tekstur, dan desain

dengan berbagai derajat kekerasan dari bulu sikat.

Salah satu penyebab banyaknya bentuk sikat gigi

yang tersedia adalah adanya variasi waktu menyikat

gigi, gerakan menyikat gigi, tekanan, bentuk dan

jumlah gigi pada setiap orang.6

Terdapat 5 metode menyikat gigi yaitu,

Bass, S Stillman, Horizontal, Vertical, dan Roll.

Metode Bass dan Roll yang paling sering

direkomendasikan.7 Metode yang umum digunakan

adalah meode horizontal, metode roll, dan metode

vertical. Metode horizontal dilakukan dengan cara

semua permukaan gigi disikat dengan gerakan ke

kiri dan ke kanan. Permukaan bukal dan lingual

disikat dengan gerakan ke depan dan ke belakang.8

Metode horizontal terbukti merupakan cara yang

sesuai dengan bentuk anatomis permukaan oklusal.

Metode ini lebih dapat masuk ke sulkus interdental

dibanding dengan metode lain.9 Metode ini cukup

sederhana sehingga dapat membersihkan plak yang

terdapat di sekitar sulkus interdental dan

sekitarnya.8

Metode vertical dilakukan untuk menyikat

bagian depan gigi, kedua rahang tertutup lalu gigi

disikat dengan gerakan keatas dan kebawah. Untuk

permukaan gigi belakang gerakan dilakukan dengan

keadaan mulut terbuka.10 Metode ini sederhana dan

dapat membersihkan plak, tetapi tidak dapat

menjangkau semua bagian gigi seperti metode

horizontal dengan sempurna sehingga apabila

penyikatan tidak benar maka pembersihan plak

tidak maksimal.10

Metode roll adalah cara menyikat gigi

dengan ujung bulu sikat diletakkan dengan posisi

mengarah ke akar gigi sehingga sebagian bulu sikat

menekan gusi.3 Ujung bulu sikat digerakkan

perlahan-lahan sehingga kepala sikat gigi bergerak

membentuk lengkungan melalui permukaan gigi.

Yang perlu diperhatikan pada penyikatan ini adalah

sikat harus digunakan seperti sapu, bukan seperti

sikat untuk menggosok. Metode roll

mengutamakan gerakan memutar pada permukaan

interproksimal tetapi bagian sulkus tidak

terbersihkan secara sempurna. Metode roll

merupakan metode yang danggap dapat

membersihkan plak dengan baik dan dapat

menjaga kesehatan gusi dengan baik, teknik ini

dapat diterapkan pada anak umur 6-12 tahun.10

Metode penyikatan gigi horizontal, vertical

dan roll adalah metode yang paling sering

digunakan dalam penyikatan gigi. Pada anak

sekolah dasar belum didapatkan teknik menyikat

gigi yang efektif terhadap penurunan plak.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan

penelitian untuk mengetahui efektivitas menyikat

gigi metode horizontal, vertical dan roll pada anak

usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6

Banjarmasin. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan

metode horizontal, vertical dan roll pada anak usia

9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin.

Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang

nantinya diharapkan metode menyikat gigi lainnya

dapat diterapkan pada anak-anak usia sekolah

dasar.

BAHAN DAN METODE

Alat yang di perlukan untuk penelitian ini

antara lain alat diagnosis (kaca mulut, sonde,

pinset, eksavator), nierbeken, baskom, air, kapas,

handuk putih kecil, stopwatch, model gigi, dan

senter. Bahan yang diperlukan untuk penelitian ini

antara lain disclosing agent, pasta gigi, sikat gigi

Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi 151

Page 49: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

153

berbulu halus (soft), alkohol 70% (untuk sterilisasi

alat), penelitian ini juga menggunakan lembar

pengukuran Personal Hygiene Performance

Modified (PHPM).

Metode yang dipakai Quasi Experimental,

dengan rancangan Pre-Post Test one group design.

Pengumpulan data dilakukan pada pelajar kelas 4-6

SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang

sudah memiliki gigi kaninus, premolar, dan molar

dalam keadaan baik (tidak ada karies) sebanyak 30

orang tiap kelompok. Pelajar diberi penyuluhan

cara menyikat gigi selama 10 menit dan

didemonstrasikan dengan model gigi, materi

penyuluhan tentang cara memegang sikat gigi,

posisi meletakkan sikat gigi, dan metode menyikat

gigi. Setiap 10 orang anak dalam tiap kelompok

dioleskan disclosing agent pada seluruh

permukaan gigi secara merata lalu diinstruksikan

untuk kumur-kumur, dengan menggunakan kaca

mulut dan sonde diperiksa indeks plak, dengan

indeks ukur PHPM (Personal Hygiene

Performance Modified).

Analisis data yang dilakukan adalah analisis

data parametrik. Uji normalitas dilakukan dengan

menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan uji

homogenitas menggunakan Levene Test. Analisis

parametrik dengan menggunakan uji hipotesis One

Way Annova.

HASIL PENELITIAN

Penelitian dengan judul “Efektivitas

Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical dan

Roll terhadap Penurunan Plak pada Anak Usia 9-11

Tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin”

telah dilakukan perlakuan terhadap 90 sampel yang

terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok

menyikat gigi metode horizontal, kelompok

menyikat gigi metode vertical dan kelompok

menyikat gigi metode roll.

Tabel 1 Hasil Pengukuran Rata-Rata Indeks Plak

Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Metode Sebelum

menyikat

gigi

Sesudah

menyikat

gigi

Jumlah

siswa

(orang)

Horizontal 70,83 26,82 30

Vertical 60,08 30,86 30

Roll 65,54 31,27 30

Pada tabel 1 menunjukkan hasil indeks plak

sebelum dan sesudah menyikat gigi dengan

menggunakan metode horizontal, vertical dan roll.

Berdasarkan dari hasil tabel dapat dilihat bahwa

pada semua metode menyikat gigi dapat terjadi

penuranan indeks plak. Penuruan plak tertinggi

terjadi pada menyikat gigi metode horizontal.

Selanjutnya dilakukan lagi perhitungan rata-rata

penurunan indeks plak.

Tabel 2 Hubungan Metode Menyikat Gigi dengan

Penurunan Jumlah Plak Pada Anak Usia 9-

11 Tahun di SDN Pemurus Dalam 6

Banjarmasin.

Metode

Menyikat

Gigi

Rata- rata

penurunan

plak gigi

Std.

Deviasi

Jumlah

Sampel

Horizontal 1,46 0,63436 30

Vertical 0,99 0,55781 30

Roll 1,17 0,65217 30

Jumlah 0,63462 90

Tabel 2 menunjukkan rata-rata penurunan

plak gigi pada setiap metode. Menyikat gigi metode

horizontal rata-rata penurunan plak sebesar 1,46.

Menyikat gigi metode vertical rata-rata penurunan

plak sebesar 0,99. Menyikat gigi metode roll rata-

rata penurunan plak sebesar 1,17. Penurunan plak

terjadi pada setiap metode yang dilakukan.

Penurunan plak pada metode horizontal lebih besar

dibandingkan metode vertical dan roll.

Analisis data dilakukan menggunakan uji

statistik. Uji normalitas pada setiap kelompok

didapatkan hasil kelompok horizontal 0,200,

vertikal 0,200 dan roll 0,050. Berdasarkan hasil

tersebut diketahui bahwa data terdistribusi normal

(p>0,05). Uji homogenitas didapatkan hasil 0,792

(p>0,05) yang menunjukkan data homogen.

Selanjutnya dilakukan uji One Way Anova

untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna

antar variabel yaitu horizontal, vertical, dan roll

didapatkan nilai 0,028 (p<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antar variabel yaitu menyikat gigi

metode horizontal, vertical, dan roll. Selanjutnya

dilakukan uji lanjut dengan menggunakan LSD

untuk melihat kemaknaan antar variabel.

Tabel 3 Hasil Uji LSD

Metode

Menyikat

Gigi

Horizontal Vertical Roll

Horizontal - 0,40833* 0,7867

Vertical 0,40833* 0.32967*

Roll 0,7867 0.32967*

Ket: * = terdapat perbedaan yang bermakna

(p<0,05)

Hasil LSD menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan bermakna antara menyikat gigi

horizontal dengan metode menyikat gigi vertical

didapatkan nilai 0.40833 (p<0,05). Tidak terdapat

perbedaan bermakna antara metode menyikat gigi

horizontal dibandingkan dengan metode menyikat

gigi roll dengan nilai 0,7867 (p<0,05). Berdasarkan

152 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 - 154

Page 50: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

154

hasil tersebut didapatkan kesimpulan bahwa metode

menyikat gigi horizontal lebih efektif menurunkan

plak dibangdingkan dengan metode yang lain.

PEMBAHASAN

Menyikat gigi sebagai salah satu kebiasaan

dalam upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut.

Berbagai teknik atau metode menyikat gigi yang

pernah dianjurkan, antara lain horizontal, vertical,

dan roll. Ketiga metode ini dianggap dapat

membersihkan plak dengan baik terutama pada

anak-anak pada masa sekolah.

Menyikat gigi dengan menggunkan sikat

gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara

mekanis.10 Banyak metode atau teknik menyikat

gigi yang diperkenalkan para ahli, dan kebanyakan

metodenya dikenal dengan namanya sendiri seperti

metode Bass, Stillman, Charters, atau disesuaikan

dengan gerakannya. Pada prinsipnya terdapat empat

pola dasar gerakan, yaitu metode vertical,

horizontal, roll, dan bergetar (vibrasi). Tujuan

menyikat gigi untuk menyingkirkan plak atau

mencegah terjadinya pembentukan plak,

membersihkan sisa-sisa makanan, debris atau stein.

Metode menyikat gigi yang dipakai dalam

penelitian ini yaitu, horizontal, vertical dan roll.11

Hasil penelitian tentang efektivitas menyikat gigi

metode horizontal, vertical dan roll terhadap

penurunan plak pada anak usia 9-11 tahun di SDN

Pemurus Dalam 6 Banjarmasin menunjukkan

bahwa penyikatan gigi dengan metode horizontal

dapat menurunkan indeks plak lebih besar

dibandingkan metode vertical dan roll. Dari

penelitian ini ditemukan bahwa metode menyikat

gigi horizontal lebih efektif menurunkan plak

dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil

penelitian ini didukung dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Anaise dan pendapat dari Tan

HH yang menyatakan bahwa teknik horizontal

dianggap sebagai teknik terbaik untuk

menghilangkan plak dan mudah ditiru atau

dipelajari oleh anak.3 Menurut penelitian dari Sarika

Sarma (2012) menyatakan bahwa metode menyikat

gigi horizontal cocok digunakan pada anak-anak.12

Penelitian dari Natalia Ekaputri dan Sri Lestari

tentang perbedaan efektifitas penyikatan gigi antara

metode roll dan horizontal terhadap penyingkiran

plak pada anak menunjukkan penurunan indeks

plak pada metode roll lebih besar dari teknik

horizontal.11 Metode vertical dan roll tidak dapat

menurunkan indeks plak lebih besar dibandingkan

dengan metode horizontal karena dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu kemampuan untuk melakukan

teknik menyikat gigi secara baik dan benar sesuai

yang di ajarkan pada setiap anak berbeda-beda,

tekanan yang diberikan pada saat menyikat gigi

berbeda-beda,dan kebiasaan menyikat gigi yang

berbeda.10

Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua

proses yang bertanggungjawab atas cara anak

menggunakan dan mengadaptasi skema mereka;

asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika

seseorang anak memasukkan pengetahuan baru

kedalam penetahuan yang sudah ada. Dalam

asimilasi, anak mengasimilasikan lingkungan

kedalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika

anak menyesuaikan diri pada informasi baru.

Yakni, anak menjesuaikan skema mereka dengan

lingkungannya.13

Melalui observasinya, Piaget juga meyakini

bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat

tahap. Masing-masing tahap berhubungan dengan

usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda-

beda. Tahapan Piaget terbagi menjadi empat

tahapan yaitu, fase sensorimotor, praoperasional,

operasional konkret, dan operasional formal.13

Tahap sensorimotor. Tahap ini yang

berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua tahun.

Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia

dengan mengkoordinasikan pengalaman indera

(sensory) mereka seperti melihat dan mendengar

dengan gerakan motor (otot) mereka, dari sanalah

diistilahkan sebagai sensorimotor.13

Tahap praoperasional. Tahap ini adalah

tahap kedua pada teori Piaget. Tahap ini

berlangsung kurang lebih mulai dari usia dua tahun

samapai tujuh tahun. Ini adalah tahap pemikiran

yang lebih simbolis daripada tahap sensorimotor

tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Pada

tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia

dengan kata dan gambar.13

Tahap operasional konkret. Ini adalah

tahap perkembangan kognitif ketiga dari teori

Piaget, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun

sampai sekitar sebelas tahun. Pemikiran operasional

konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran

logika, kemampuan untuk menggolong-golongkan

sudah ada, tetapi tidak bisa memecahkan problem-

problem abstrak.pada tahap ini anak kini bisa

menalar secara logis tentang kejadian-kejadian dan

mampu mengklasifikasikan objek dalam kelompok

yang berbeda-beda.13

Tahap operasional formal. Tahap ini yang

muncul antara usia sebelas tahun sampai lima belas

tahun, adalah tahap keempat menurut teori Piaget

dan tahap kognitif terakhir. Pada tahap ini, individu

sudah mulai memikirkan pengalaman dan remaja

sudah mulai berpikir secara lebih abstrak, idealistis,

dan logis.13

Penelitian ini rata-rata murid di SDN

Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang diteliti berada

pada tahap operasional konkret dengan umur 9-11

tahun. Anak sudah dapat menalar dengan

logikanya. Anak mulai dapat beradaptasi dan

mengerti pada setiap metode yang diajarkan. Jenis

kelamin pada penelitian ini tidak berpengaruh

karena pada tahap ini anak baru bisa menalar secara

logis dan masih rendahnya kesadaran akan

Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi 153

Page 51: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

155

pentingnya kesahatan gigi sehingga jenis kelamin

tidak memiliki pengaruh.

Faktor lain yang terkait disebabkan anak

lebih cepat mengerti dan cenderung lebih mudah

menyikat gigi dengan metode horizontal

dibandingkan menyikat gigi dengan metode yang

lain. Hal ini juga terkait dengan kebiasaan anak

menyikat gigi di rumah, dimana seringkali secara

tidak sadar anak-anak lebih cenderung

menggunakan metode horizontal sehingga anak-

anak lebih mengerti ketika diajarkan cara menyikat

gigi metode horizontal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan

Frekuensi Menyikat Gigi Dengan Tingkat

Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah

Dasar Negeri di Kecamatan Palaran

Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan

Timur. Maj. Ked. Gigi, 2005. hal 88.

2. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Rineka Cipta,

2003. hal 5-8.

3. Rifki A. Perbedan Efektivitas Menyikat Gigi

dengan Metode Roll dan Horizontal pada

Anak Usia 8 dan 10 Tahun di Medan. Tesis.

Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara, 2010. hal 1-9.

4. Utami NK. Indeks DMF-T pada Murid-Murid

Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah

Martapura 2010. Dentino Jurnal Kedokteran

Gigi 2010; 2(1) :1-2.

5. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan

Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan RI, 2009. hal:116-117.

6. Warni L. Hubungan Perilaku Murid SD Kelas

V dan VI pada Kesehatan Gigi Dan Mulut

Terhadap Status Karies Gigi di Wilayah

Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Tahun

2009. Tesis. Medan : USU, 2009. hal 14-20.

7. Asadoorian J. Tooth Brushing. Canada:

Canadian Journal of Dental Hygiene (CJDH),

2006;5:1-4.

8. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N.

Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan

Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC,

2010: 56-76, 107-118.

9. McDonal, Avery and Dean. Dentistry for The

Child and Adolescent 8th ed. St.Louis: Mosby,

2000.p.237-245.

10. Pintauli S dan Hamada T. Menuju Gigi dan

Mulut Sehat. Skripsi. Medan: USU, 2008: 4-6,

30-1, 74-81.

11. Ekaputri N dan Lestari S. Perbedaan

Efektivitas Penyikatan Gigi antara Teknik Roll

dan Horizintal Scrubbing terhadap

Penyingkiran Plak. Scientific Journal in

Dentistry 2003; 53: 93-7.

12. Sharma Sarika, Ramakrishna Yeluri, Amit A.

Jain and Autar K. Munshi. Effect of

toothbrush grip on plaque removal during

manual toothbrushing in children. J Oral Sci.

2012;2(54):187.

13. Santrock, JK. Psikologi Pendidikan. Jakarta:

Kencana. 2007.hal:55-60.

154 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 - 154

Page 52: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

156

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

TINGKAT NURSING MOUTH CARIES ANAK 2-5 TAHUN

DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARMASIN

Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Nursing Mouth Caries (NMC) is a caries lesion with unique pattern in infants, toddlers,

and preschool children which caused by the provision of formula milk, breastmilk or other sweet liquid in a long

period. Dental caries is still one of the most frequent problems occur in Indonesia society, not only in adults but

also in children. Purpose: The aims of this research are to investigate how the NMC level which is seen from the

age of the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and also their mother's level of education and

knowledge. Methods: This research used a purely descriptive method. Data taken by purposive sampling of 100

children aged 2-5 years old with interview procedures on the child's mother and child clinical examination of the

oral cavity. Results: The results of this research was high level NMC which reached 96%, seen from the age of

the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and mother's level of education and knowledge.

Conclusion: Based on conducted research, it can be concluded that lacking of mother's knowledge of children's

oral health was causing high rates of NMC. The higher the age of the child, tend to be higher rates of NMC

expansion that occurs in children. The children who drank formula milk have the greater risk on NMC than

children only drank breast milk exclusively. Children brushing habits were also contribute in the formation of

the NMC, while the level of education of the mother allegedly did not much contribute in the occurrence of NMC

in children.

Keywords: NMC, breastmilk, formula milk, rate of accidence.

ABSTRAK

Latar Belakang: Nursing Mouth Caries (NMC) merupakan karies dengan pola lesi yang unik pada

bayi, balita, dan anak prasekolah yang disebabkan oleh pemberian susu formula, ASI ataupun cairan manis

lainnya dalam jangka waktu yang panjang. Karies gigi masih menjadi salah satu masalah yang paling sering

terjadi pada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Tujuan:

Penelitian ini bertujuan untuk melihat terjadinya NMC yang dilihat dari usia anak, kebiasaan pemberian susu

pada anak, kebiasaan menyikat gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Metode: Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif murni. Data diambil secara purposive sampling pada 100 orang anak usia 2-5

tahun dengan prosedur wawancara pada ibu anak dan pemeriksaan klinis rongga mulut anak. Hasil: Hasil

penelitian menunjukkan tingginya NMC pada anak mencapai 96% dari 100 orang anak, yang dikelompokkan

lagi tingkat perluasan NMC berdasarkan usia anak, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan menyikat

gigi pada anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang

dilakukan dapat disimpulkan masih kurangnya tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak

yang menyebabkan tingginya tingkat NMC yang terjadi. Semakin tinggi usia anak, cenderung makin tinggi juga

tingkat perluasan NMC yang terjadi pada anak. Serta anak yang meminum susu formula memiliki resiko lebih

besar terkena NMC dibandingkan anak yang hanya meminum ASI eksklusif. Kebiasaan menyikat gigi anak juga

berperan dalam pembentukan NMC, sedangkan tingkat pendidikan ibu tidak berperan banyak dalam terjadinya

NMC pada anak.

Kata-kata kunci: NMC, ASI, susu formula, tingkat kejadian.

Laporan Penelitian

Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi 155

Page 53: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

157

Korespondensi: Rosihan Adhani, Nadya Novia Sari, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran

Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:

[email protected] [email protected]

PENDAHULUAN

Karies gigi masih menjadi salah satu

masalah yang paling sering terjadi pada masyarakat

Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi

juga pada anak-anak. Proses perkembangan karies

dapat terjadi dimulai pada saat gigi anak pertama

erupsi. Karies sangat berhubungan erat dengan

kebersihan rongga mulut, terlebih pada anak-anak.

Anak yang tidak dibiasakan melakukan penyikatan

gigi sejak dini dari orang tua dapat mengakibatkan

kesadaran dan motivasi anak kurang dalam

menjaga kesehatan dan kebersihan rongga

mulutnya. Keadaan ini memudahkan anak terkena

resiko penyakit gigi dan mulut, khususnya pada

anak usia di bawah 6 tahun .1

Karies dengan pola yang khas dan sering

terjadi pada anak usia di bawah 6 tahun biasa

disebut Nursing Mouth Caries (NMC). Definisi

NMC menurut The American Academy of Pediatric

Dentistry (AAPD) adalah adanya satu atau lebih

karies (kavitas atau non kavitas), adanya gigi yang

hilang karena karies pada gigi desidui anak usia 0-

71 bulan. Biasanya anak dengan NMC mempunyai

kebiasaan minum Air Susu Ibu (ASI) ataupun susu

botol setiap hari dalam waktu yang lama dan

kadang dibiarkan sampai anak tertidur sepanjang

malam. NMC biasanya membutuhkan perawatan

yang lama dan apabila tidak diobati dapat merusak

gigi anak dan berpengaruh pada kesehatan umum

anak.1,2 Gambaran klinis NMC adalah khas,

kerusakan yang paling parah pada jenis karies ini

biasanya terjadi pada keempat gigi insisivus atas

maksila karena posisi lidah pada saat anak

menghisap susu meluas menutupi gigi anterior

mandibula sehingga pada regio insisivus mandibula

karies ini jarang terjadi. 3

Prevalensi NMC di beberapa negara masih

cukup tinggi. Jose dan lainnya4 melaporkan di

Karala, India 44% anak usia 8-48 bulan menderita

NMC. Martens et al5 melaporkan prevalensi anak di

pedesaan Cina dengan NMC mencapai 85,5%,

sedangkan Kumar6 melaporkan 11-53% anak di

USA menderita NMC, dan 6,8-12% di UK.

Nursing Mouth Caries merupakan penyakit

multi faktorial. Faktor-faktor penyebab NMC

termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,

tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme

seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta

waktu. Nursing Mouth Caries merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang serius pada anak yang

masih berusia sangat muda, meskipun tidak

mengancam terhadap kehidupan anak NMC yang

dibiarkan dan tidak diobati dapat menyebabkan

rasa sakit pada anak, bakteremia, berkuranganya

kemampuan mengunyah anak, maloklusi pada gigi

permanen, masalah fonetik, dan kurangnya rasa

percaya diri pada anak. Selain itu karies gigi juga

dilaporkan dapat mengurangi kemampuan seorang

anak untuk menambah berat badan.7

Data statistik mengenai status NMC pada

anak usia 2-5 tahun sampai saat ini belum

ditemukan di daerah Banjarmasin Kalimantan

Selatan. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2007,

proporsi penduduk bermasalah gigi mulut di

Provinsi Kalimantan Selatan 29,2% (rentang 15,9-

35,2%), dan kota Banjarmasin menjadi salah satu

yang memiliki tingkat karies tertinggi, padahal

Banjarmasin merupakan kota yang bermasalah gigi

mulut tertinggi yang menerima perawatan atau

pengobatan dari tenaga medis yang tinggi,

sedangkan prevalensi penduduk yang berprilaku

benar dalam menggosok gigi di Provinsi

Kalimantan Selatan ini hanya sekitar 10,3%

(rentang 3,7-19,9%).8 Hal inilah yang membuat

peneliti ingin mengetahui dan menggambarkan

keadaan tersebut. Tujuan umum penelitian ini

adalah mengetahui tingkat NMC pada anak usia 2-5

tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin.

Penelitian ini dilakukan di Puskemas

Cempaka Banjarmasin dengan sasaran anak usia 2-

5 tahun. Alasan penelitian dilakukan di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin karena puskesmas ini

merupakan salah satu puskesmas terbesar di

wilayah Banjarmasin, sehingga sangat banyak

pasien anak yang datang berobat ke puskesmas ini.

Penelitian ini dilakukan pada anak 2-5 tahun karena

diasumsikan pada usia ini umumnya gigi susu anak

telah tumbuh seluruhnya, sehingga NMC yang

terjadi dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria

tingkat perluasannya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

deskriptif yang diperoleh dari wawancara dan

pemeriksaan klinis pada rongga mulut anak usia 2-5

tahun pengunjung Puskesmas Cempaka

156 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 - 161

Page 54: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

158

Banjarmasin. Bahan yang digunakan adalah alkohol

70%, kapas dan tisu. Alat yang digunakan adalah

alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker,

senter, alat tulis, formulir informed consent dan

lembar pemeriksaan untuk karies serta lembar

kuesioner untuk wawancara.

Populasi pada penelitian ini adalah ibu beserta

anaknya yang berusia 2-5 tahun pengunjung

Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Sampel pada

penelitian ini diambil dengan purposive sampling.

Sampel adalah anak berusia 2-5 tahun yang masih

mengkonsumsi ASI maupun susu formula di

Puskesmas Cempaka Banjarmasin dan memenuhi

kriteria inklusi. Kriteria inklusinya adalah anak

berusia 2-5 tahun, anak masih mengkonsumsi ASI

ataupun susu formula, bersedia menjadi responden

(kooperatif) dan menandatangani informed consent.

Kriteria eksklusinya adalah pasien yang tidak

bersedia menjadi responden (tidak kooperatif).

Variabel bebas yang diteliti pada penelitian

ini umur anak, kebiasaan menyikat gigi anak,

kebiasaan anak meminum susu, dan tingkat

pendidikan serta pengetahuan orang tua (ibu).

Variabel terikat pada penelitian ini adalah NMC.

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cempaka

Banjarmasin dengan prosedur ibu dan anak yang

berusia 2-5 tahun didatangi oleh peneliti. Pasien

dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian

yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar

informed consent sebagai tanda persetujuan

menjadi subyek penelitian, kemudian dilakukan

wawancara terhadap ibu anak terkait dengan

kebiasaan menyikat gigi anak, kebiasaan anak

meminum susu, dan pertanyaan yang akan melihat

tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu

serta dilakukan pemeriksaan klinis secara langsung

pada rongga mulut anak untuk melihat tingkat

perluasan NMC yang terjadi pada anak. Kebiasaan

menyikat gigi pada anak dibagi menjadi 2

kelompok yaitu yaitu frekuensi benar dan salah,

serta waktu menyikat gigi yang benar dan salah.

Frekuensi menyikat gigi yang benar apabila anak

menyikat gigi setiap hari sebanyak 2 atau 3 kali

sehari, frekuensi menyikat gigi yang salah apabila

anak tidak menyikat gigi setiap hari, atau menyikat

gigi hanya 1 kali sehari. Waktu menyikat gigi yang

benar apabila anak menyikat gigi setelah sarapan

dan sebelum tidur. Waktu menyikat gigi yang salah

apabila anak menyikat gigi saat mandi, sebelum

makan, atau tidak tentu kapan waktu anak menyikat

gigi.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus

2013. Hasil penelitian gambaran Nursing Mouth

Caries (NMC) pada anak usia 2-5 tahun di

Puskesmas Cempaka Banjarmasin dengan jumlah

sampel sebanyak 100 orang. Jumlah subjek

penelitian yang mengalami NMC sebanyak 96

orang dan 4 orang tidak mengalami NMC. Berikut

ini merupakan tabel hasil penelitian tingkat Nursing

Mouth Caries pada anak usia 2-5 tahun di

Puskesmas Cempaka Banjarmasin.

Tabel 1 Data Prosentase Nursing Mouth Caries

Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin (n=100)

Tabel 1 menunjukkan dari 100 orang anak

usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka

Banjarmasin, ditemukan prosentase NMC mencapai

96% atau 96 orang anak terkena NMC, dan hanya 4

orang anak yang ditemukan bebas karies. Hal ini

menunjukkan prosentase anak yang mengalami

NMC sangat tinggi, hampir mencapai 100%.

Gambar 1. Data Prosentase Tingkat Perluasan

Nursing Mouth Caries Berdasarkan Usia

Pada Anak 2-5 Tahun di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin (n=100)

Nursing Mouth

Caries Jumlah Presentase

Ada 96 96%

Tidak 4 4%

Jumlah 100 100%

Sari : Tingkat Nursing Mouth Caries 157

Page 55: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

159

Gambar 2 Data Prosentase Tingkat

Perluasan Nursing Mouth Caries

Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu

Dilihat Dari Jenis Susu yang Dikonsumsi

Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin (n=100)

Gambar 3 Data Prosentase Tingkat

Perluasan Nursing Mouth Caries

Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu

Dilihat Dari Kebiasaan Anak Meminum

Susu Sebagai Pengantar Tidur pada Anak

Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka

Banjarmasin (n=100)

Gambar 4 Data Prosentase Tingkat

Perluasan Nursing Mouth Caries

Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu

Dilihat Dari Frekuensi Anak Meminum

Susu dalam Sehari pada Anak Usia 2-5

Tahun di Puskesmas Cempaka

Banjarmasin (n=100)

Gambar 5 Data Prosentase Tingkat Perluasan

Nursing Mouth Caries Berdasarkan

Kebiasaan Menyikat Gigi pada Anak

Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka

Banjarmasin (n=100)

Gambar 6 Data Prosentase Tingkat

Perluasan Nursing Mouth Caries

Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Pada

Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin (n=100)

158 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 - 161

Page 56: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

160

Gambar 7 Data Prosentase Tingkat

Perluasan Nursing Mouth Caries

Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu

Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas

Cempaka Banjarmasin (n=100)

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 100 subjek penelitian anak usia 2-5

tahun di Puskesmas Cempaka Banrmasin, sebesar

96% (96 orang anak) mengalami NMC. Persentase

ini sangat tinggi karena hampir mencapai

keseluruhan dari total subjek penelitian. Tingginya

tingkat kejadian NMC ini bisa disebabkan oleh

banyak sekali faktor. Faktor utama penyebab karies

seperti host, bakteri, substrat dan waktu sudah pasti

berperan besar dalam penyebab terjadinya karies

pada anak ini. Faktor-faktor lain seperti tingkat

pendidikan dan pengetahuan ibu, kebiasaan

pemberian susu pada anak, kebiasaan

membersihkan gigi anak dan usia anak pun juga

dapat berperan dalam menyebabkan tingginya

angka kejadian NMC disini. Hal ini sesuai dengan

data mengenai angka karies gigi berdasarkan

RISKESDAS8 tahun 2007 yang menyatakan angka

karies gigi di Kalimantan Selatan sangat tinggi

yaitu 50,7% karies aktif dan 83,4% pengalaman

karies. Selain itu data mengenai angka kejadian

karies juga dapat dilihat pada hasil Studi Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT)8 pada tahun 2001 yang

diperoleh hasil sebanyak 81,3% anak berusia 5

tahun memiliki gigi yang berlubang. Hal ini juga

bisa terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat

untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya,

karena kesehatan gigi dan mulut masih menjadi hal

yang dianggap kurang penting bagi masyarakat

sekarang ini. 9

Nursing Mouth Caries merupakan

penyakit multi faktorial. Faktor-faktor penyebab

NMC termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,

tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme

seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta

waktu. Nursing Mouth Caries yang dibiarkan dan

tidak diobati dapat menyebabkan rasa sakit pada

anak, bakteremia, berkuranganya kemampuan

mengunyah anak, maloklusi pada gigi permanen,

masalah fonetik, dan kurangnya rasa percaya diri

pada anak. Selain itu karies gigi juga dilaporkan

dapat mengurangi kemampuan seorang anak untuk

menambah berat badan.11 Banyak faktor lain yang

mempengaruhi terjadinya NMC seperti usia anak,

kebiasaan meminum susu anak, kebiasaan menyikat

gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan

orang tua khususnya ibu anak.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat

dari Gambar 1, persentase NMC yang dilihat

berdasarkan usia anak menunjukkan semakin

bertambah usia anak cenderung semakin tinggi pula

tingkat perluasan NMC yang terjadi. Hal ini sesuai

dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Febriana Setiawati pada tahun 2012 di DKI Jakarta

yang menyatakan peningkatan usia anak

meningkatkan resiko kejadian NMC. Pada anak

yang diberikan susu lebih dini, kemungkinan

akumulasi karbohidrat dalam susu yang diberikan

akan lebih tinggi sehingga menyebabkan gigi

menjadi lebih rentan terserang karies. Makin

bertambah usia anak, makin tinggi resiko kejadian

NMC.10

Pada Gambar 2, 3 dan 4 didapatkan data

persentase NMC yang dilihat dari kebiasaan

meminum susu pada anak, dijumpai anak yang

meminum susu formula sebagian besar telah

menderita NMC, dan hanya 1 orang anak yang

ditemukan bebas karies. Begitu pula pada anak

yang meminum kombinasi ASI dan susu formula,

100% menderita NMC. Pada anak yang hanya

mengkonsumi ASI eksklusif, ditemukan 3 orang

bebas karies dan tingkat perluasan tertinggi masih

berada pada tipe II. Anak yang mengkonsumsi susu

sebagai pengantar tidur, 100% telah menderita

NMC. Dilihat dari frekuensi anak meminum susu

dalam sehari, pada anak yang mengkonsumsi susu

lebih dari 9 kali sehari tingkat perluasan karies

tertinggi sudah berada pada tipe III dan tipe IV.

Hal ini didukung oleh teori dari American

Academy of Pediatric Dentistry14 yang menyatakan

bahwa pemberian ASI sebenarnya merupakan

nutrisi yang ideal untuk anak. Pemberian ASI yang

berkepanjangan juga dapat menjadi resiko potensial

terjadinya NMC. Apabila ASI dan susu formula

beresiko besar terhadap kejadian NMC, maka hal

itu juga dapat terjadi pada anak yang

mengkonsumsi kombinasi ASI dan susu formula.

Kebiasaan pemberian susu pada anak yang

dikaitkan dengan kebiasaan anak meminum susu

sebagai pengantar tidur, dapat terlihat tingkat NMC

yang tinggi pada anak yang mengkonsumsi susu

sebagai pengantar tidur yang mana tingkat

perluasan NMC sudah berada pada tipe III

(moderate) dan tipe IV (severe), dan dari 83 anak

yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur

tidak ada anak yang bebas karies. Pada anak yang

tidak mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur

ditemukan 4 orang anak bebas karies, 5 orang

Sari : Tingkat Nursing Mouth Caries 159

Page 57: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

161

berada pada tipe I, dan 8 orang berada pada tipe II.

Menurut Berkowitz3, hal ini dapat disebabkan

karena cairan yang mengandung karbohidrat akan

mengalami stagnasi cukup lama pada permukaan

gigi, terutama apabila anak dibiarkan mengedot

selama anak tertidur. Selama anak tertidur, terjadi

penurunan aktifitas penelanan dan penurunan aliran

saliva, hal inilah yang menyebabkan cairan yang

mengandung karbohidrat stagnasi cukup lama pada

permukaan gigi dan menjadi awal terjadinya proses

karies.12 Apabila dikaitkan dengan frekuensi

pemberian susu dalam sehari, terlihat

kecenderungan meningkatnya distribusi NMC

seiring dengan seringnya anak meminum susu. Hal

ini didukung dengan penelitian dari Widyastuti di

Bandung pada tahun 2010 yang menyatakan karies

yang dipengaruhi oleh pemberian air susu

berhubungan dengan frekuensi meminum susu

setiap harinya, lama menyusui dan terutama

seberapa sering anak meminum susu pada malam

hari.12

Pada Gambar 5, diperoleh gambaran

perilaku mengenai frekuensi penyikatan gigi yang

dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu frekuensi benar

dan salah, serta waktu menyikat gigi yang benar

dan salah. Frekuensi menyikat gigi yang benar

apabila anak menyikat gigi setiap hari sebanyak 2

atau 3 kali sehari, frekuensi menyikat gigi yang

salah apabila anak tidak menyikat gigi setiap hari,

atau menyikat gigi hanya 1 kali sehari. Sedangkan

waktu menyikat gigi yang benar apabila anak

menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur.

Waktu menyikat gigi yang salah apabila anak

menyikat gigi saat mandi, sebelum makan, atau

tidak tentu kapan waktu anak menyikat gigi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa

frekuensi menyikat gigi yang dilakukan anak

sekalipun itu benar, tetapi apabila dilakukan pada

waktu yang tidak tepat juga dapat menyebabkan

tingginya resiko karies pada anak. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Anitasari15

di Samarinda (2004) yang menyatakan bahwa tidak

terdapat hubungan antara frekuensi menyikat gigi

dengan kebersihan gigi dan mulut. Ini dapat terjadi

akibat terdapat faktor lain yang berperan dalam

menentukan kebersihan rongga mulut seperti waktu

salah dalam penyikatan gigi serta metode yang

digunakan dalam menyikat gigi. Faktor waktu

merupakan faktor pokok yang mempengaruhi

perkembangan karies dan akan memperparah karies

apabila pemberian susu dilakukan pada waktu

malam hari, oleh karena anak tidak menyikat gigi

sebelum tidur maka akan mempercepat dan

memperparah tingkat NMC.13

Pada Gambar 6, didapatkan data persentase

NMC yang dilihat dari tingkat pendidikan ibu anak.

Tidak terlihat kecenderungan meningkatnya

keparahan NMC pada ibu yang memiliki tingkat

pendidikan rendah. Pemantauan peneliti selama

proses penelitian diperoleh keterangan bahwa

sebagian besar responden tidak mengetahui atau

jarang memperoleh informasi tentang cara

pemeliharaan kesehatan rongga mulut. Dapat

disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang baik

tidak mengindikasikan seseorang juga mempunyai

tingkat pengetahuan yang baik. Hal ini dapat dilihat

dari hasil penelitian, ibu dengan tingkat pendidikan

yang tinggi tetapi angka kejadian NMC pada

anaknya juga tergolong tinggi. Penelitian terdahulu

oleh Angela16 pada tahun 2005 di DKI Jakarta

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

pendidikan ibu dengan kejadian karies pada anak

usia 4-5 tahun. Pada penelitian terdahulu oleh

Suryaningrum17 juga didapatkan hasil tidak ada

hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan

ibu dengan angka kejadian karies pada balita di

PAUD Jatipurno Kartasura. Hal ini tidak sesuai

dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Kerrod B, Hallet dan Peter K.O pada tahun 2006

yang didapatkan hasil pendidikan ibu memiliki

hubungan bermakna dengan tingkat keparahan

NMC. Makin tinggi pendidikan ibu, makin rendah

rata-rata skor def-t.10

Hasil penelitian pada Gambar 7 diperoleh

data prosentase NMC yang dilihat dari tingkat

pengetahuan ibu anak. Terlihat kecenderungan

peningkatan keparahan NMC pada ibu dengan

tingkat pengetahuan buruk/kurang. Chesnut18

menunjukkan bahwa sebenarnya banyak ibu tahu

bahwa anak-anak tidur dengan botol berisi cairan

gula itu berbahaya, namun karena mereka tidak

mengerti mengapa hal itu berbahaya mereka terus

memberikan minuman manis di malam hari.

Pendidikan maupun pengetahuan tentang karies

gigi sangat penting dalam pencegahan NMC.18

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa terdapat tingkat NMC yang

sangat tinggi pada anak yaitu 96%. Anak dengan

NMC yang dilihat berdasarkan usia, menunjukkan

hasil tingkat NMC tertinggi terdapat pada anak di

kelompok usia 4-5 tahun. NMC yang dilihat

berdasarkan kebiasaan pemberian susu pada anak

juga dapat dilihat tingkat NMC tertinggi terjadi

pada anak yang mengonsumsi susu formula dan

dikonsumsi sebelum tidur, tetapi dalam penelitian

ini juga ditemukan hasil bahwa anak yang

mengonsumsi ASI eksklusif pun tidak menutup

kemungkinan anak menderita NMC meskipun tidak

separah pada anak yang mengonsumsi susu

formula. Berdasarkan kebiasaan menyikat gigi

anak, ditemukan bahwa frekuensi penyikatan gigi

tidak berpengaruh besar terhadap terjadinya NMC,

hanya saja waktu anak menyikat gigi akan

berpengaruh terhadap tingginya NMC yang dapat

terjadi pada anak. NMC yang dilihat berdasarkan

tingkat pendidikan ibu menunjukkan hasil ibu yang

memiliki tingkat pendidikan rendah sangat besar

kemungkinan anak memiliki resiko NMC yang

tinggi, sedangkan tingkat pengetahuan ibu juga

berperan sangat penting terhadap resiko karies pada

160 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 - 161

Page 58: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

162

anak, ibu dengan tingkat pengetahuan yang rendah

hampir 100% anaknya ditemukan menderita NMC.

Hal ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan

ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak sangat

perlu ditingkatkan agar ibu mengerti dampak

apabila tidak menjaga kesehatan gigi dan mulut

anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. McDonald RE, Avery DR and Dean JA.

Dentistry for The Child and Adolescent. 8th ed.

New Delhi: Elsevier, 2008. hal. 209-210.

2. Dye BA, Shenkin JD, Ogden CL, Marshall TA,

Levy SM and Kanellis MJ. The Relationship

Between Healthful Eating Practices and Dental

Caries in Children Aged 2-5 Years in the

United States 1988-1994. Journal of the

American Dental Association. 2004;135(1):55-

66.

3. Hallas D, Fernandez J, Lim L and Carobene M.

Nursing Strategies to Reduce the Incidence of

Early Childhood Caries in Culturally Diverse

Populations. Journal of Pediatric Nursing.

2011:26:248-256

4. Kramer MS, McGill J, Matush L, Vanilofich I,

Platt R, Bogdanovich N, Sevkosvskaya Z,

Dzikovich I, Shisko G and Mazer B. Effect of

Prolonged and Exclusive Breast-Feeding On

Risk Of Allergy and Asthma: Cluster

Randomised Trial. Caries Res. 2007;41:484-8.

5. Martens L, Vanobbergen J, Williems S,Aps J

and De Massener JD. Determinants of Early

Childhood Caries in a Group of Inner-City

Children. Quintessence International. Belgia.

2006;37(75):27-36

6. Kumar VD. Early Childhood Caries-an Insight.

Journal International Oral Health. 2010;2:1-9.

7. Prakash P, Subramaniam P, Durgesh BH and

Konde S. Prevalence of Early Childhood

Caries And Associated Risk-Factors in

Preschool Children of Urban Bangalore,India:

A Cross Sectional Study. Bangalore: Europan

Journal of Dentistry; 2012;Vol 6: Hal 141-150.

8. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) provinsi Kalimantan Selatan

Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan R.I. 2008; Hal 116-134.

9. Brodeur JM and Galarneau C. The High

Incidence of Early Childhood Caries in

Kindergarten-age Children. Journal De’L

Ordre Des Dentistes Du Quebec. Supplement,

2006:3-5

10. Setiawati F. Peran Pola Pemberian Air Susu

Ibu (ASI) dalam Pencegahan Early Childhood

Caries (ECC) di DKI Jakarta: Kajian Kadar

IgA Pada ASI Dan Saliva Anak Serta Aktifitas

Karies Gigi Dalam Upaya Membangun Model

Pencegahan Karies Secara Dini Bagi Anak

Usia Di Bawah Dua Tahun. [Disertasi]

Jakarta: Universitas Indonesia: 2012; hal 73-

121

11. Soesilo D, Santoso RE dan Diyatri I. Peranan

Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan

pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.

Surabaya: Majalah Kedokteran Gigi Dental

Journal Universitas Airlangga, 2005;(38). hal

21-25.

12. Avianty RS, Tedjosasongko U dan Irmawati.

Akitvitas Karies Anak Usia Prasekolah

Berdasarkan Pola Nursing Bottle Feeding.

Surabaya: Dental Journal of Airlangga

University. 2011; hal 1-7.

13. Widyastuti T. Kejadian Karies Aktif Pada

Anak Usia 3-5 Tahun Yang Tercatat di

Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas

Mohammad Ramdan Kota Bandung Tahun

2010 dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya. [Tesis] Depok: Universitas

Indonesia: 2010; hal 20-30.

14. American Academy of Pediatric Dentistry.

Symposium on The Prevention of Oral Disease

in Children and Adolescents. Chicago, Ill;

November 11-12, 2005: Conference papers.

Pediatr Dent 2006;28(2):96-198.

15. Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan

Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat

Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah

Dasar Negeri di Kecamatan Palaran

Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan

Timur. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J). 2005:

(38):88–90.

16. Angela A. Pencegahan Primer Pada Anak

Berisiko Karies Tinggi. Dent J 2005 : 38 (3):

130-134.

17. Sariningrum E. Hubungan Tingkat Pendidikan,

Pengetahuan dan Sikap Orangtua Tentang

Kebersihan Gigi dan Mulut Pada Anak Balita

Usia 3-5 tahun dengan Tingkat Kejadian

Karies di Paud Jatipurno. [Skripsi]. Surakarta:

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Muhammadiyah Surakarta. 2009.

18. Chestnut IG, Murdoch C, and Robson KF.

Parents and Carers:Choices of Drinks for

Infants and Toddlers in Areas of Social And

Economic Disadvantages. Community Dental

Health. 2004: (20): 139−14

Sari : Tingkat Nursing Mouth Caries 161

Page 59: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

163

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya) 100% TERHADAP WAKTU

PENYEMBUHAN LUKA

Tinjauan Studi pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)

Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Leaves of papaya (Carica papaya) are parts of one of the plants that can be used as a herbal

medicine that can accelerate wound healing. Papaya leaves contain saponins which are useful to trigger the

formation of collagen which plays a role in the wound healing process, papain which is useful as an anti-

inflammatory and antiedema, and the leaves also contain flavonoids and fenol which have activity as an

antiseptic, prevent the formation of free radicals and minimize injury due to oxidation reactions. Purpose: This

research aimed to find out whether the ethanol extract 100% papaya leaves could accelerate wound healing

period in the oral mucosa of mice. Methods: The type of this research was a pure experimental study which used

posttest-only with control design. This research used 27 mice as the samples and they were divided into 3

groups, treatment group was given ethanol extract 100% papaya leaves, negative control group was not given

any treatment, and positive control group was given povidone iodine. Results: The average of wound healing

period in the experimental, negative, and positive group were 7,6 days, 12,3 days and 9,5 days respectively. The

results of Kruskal Wallis and Mann-Whitney test showed significant difference among the treated, negative, and

control groups. Conclusion: Based on the results, it was concluded that ethanol extract 100% papaya leaves

was effective to accelerate the wound healing period in the oral mucosa of mice.

Keywords: ethanol extract 100 % papaya leaves, wound healing, oral mucosa.

ABSTRAK

Latar belakang: Daun pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman yang bisa dijadikan

tumbuhan obat yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Daun pepaya mengandung saponin yang berguna

untuk memicu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, papain berguna sebagai

antiinflamasi dan antiedema, serta mengandung flavonoid dan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai

antiseptik, mencegah pembentukan radikal bebas serta meminimalisir luka akibat reaksi oksidasi. Tujuan:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat

mempercepat waktu penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Metode: Jenis penelitian ini merupakan

penelitian eksperimental murni dengan rancangan posttest-only with control design. Penelitian ini

menggunakan hewan coba mencit sebanyak 27 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan

yang diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%, kelompok kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan apapun,

dan kelompok kontrol positif yang diberi povidone iodine. Hasil: Rata-rata penyembuhan luka secara berturut-

turut pada kelompok perlakuan, negatif, dan positif adalah 7,6 hari, 12,3 hari, dan 9,5 hari. Hasil uji Kruskal

Wallis dan Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol negatif. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tersebut ekstrak etanol daun pepaya 100% efektif

mempercepat lama penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

Kata-kata kunci: ekstrak etanol daun pepaya 100%, penyembuhan luka, mukosa mulut.

Laporan Penelitian

162 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 - 159

Page 60: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

164

Korespondesi: Eka Oktavia Ruswanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:

[email protected]

PENDAHULUAN

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian

jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh

benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan

hewan.1 Luka akibat trauma dalam rongga mulut

merupakan hal yang sering terjadi. Trauma ini

dapat terjadi secara disengaja maupun tidak, yang

pada akhirnya akan menimbulkan luka pada

mukosa mulut.2 Penyembuhan luka yang normal

merupakan suatu proses yang kompleks dan

dinamis, tetapi mempunyai pola yang dapat

diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi

menjadi 3 fase, yaitu : hemostasis dan inflamasi,

proliferasi, serta maturasi dan remodeling. Fase-

fase ini akan terjadi saling tumpang tindih

(overlapping), dan berlangsung sejak terjadi luka

sampai tercapainya resolusi luka. Semua luka harus

melewati proses selular dan biokimia yang

berkelanjutan ini, agar tercapai pengembalian

intergritas jaringan yang sempurna.3

Penyembuhan luka dipengaruhi oleh banyak

faktor termasuk jenis obat-obatan yang digunakan.

Penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan luka

dapat dilakukan dengan berbagai macam dan jenis,

salah satunya adalah penggunaan obat tradisional.

Penggunaan atau pengobatan secara tradisional

semakin disukai karena pada umumnya kurang

menimbulkan efek samping seperti halnya pada

obat-obatan dari bahan kimia.4,5

Salah satu tanaman yang bisa dijadikan

tumbuhan obat adalah daun pepaya. Tanaman

pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang

mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran

tinggi, banyak dijumpai di Indonesia sebagai

tanaman kaya manfaat. Tanaman pepaya memiliki

banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang,

daun, bunga dan buahnya, yaitu sebagai sumber

vitamin, mineral dan senyawa lainnya untuk

kebugaran tubuh dan berkhasiat obat dalam bidang

kesehatan. Daun yang dimakan langsung setelah

dimasak diyakini memperkuat sekresi empedu, obat

mulas, sariawan, beri-beri, asma, jerawat, obat

cacing kremi, memperbaiki pencernaan serta

menambah nafsu makan.6

Secara tradisional ekstrak daun pepaya

digunakan sebagai pengobatan untuk sakit perut.

Daun muda dapat digunakan untuk pengobatan

demam, penambah nafsu makan, keputihan,

jerawat, menambah air susu, serta mengobati sakit

gigi. Ekstrak pepaya digunakan untuk memerangi

penyakit kanker dalam beberapa dekade terakhir.6

Menurut Indrawati tahun 2008 diketahui

bahwa daun pepaya dapat digunakan untuk

pengobatan gangguan lambung seperti maag dan

masalah pada saluran pencernaan. Hal ini karena

kandungan flavonoid dan fenol yang terdapat dalam

daun pepaya dapat meningkatkan sekresi

prostaglandin di lambung, serta mencegah

pembentukan radikal bebas dan meminimalisir luka

akibat reaksi oksidasi. Jenis fitokimia lain yang

terkandung dalam daun pepaya yaitu saponin yang

berguna untuk memicu pembentukan kolagen yang

berperan dalam proses penyembuhan luka, papain

berguna sebagai antiinflamasi dan antiedema. Daun

pepaya juga mempunyai daya kerja sebagai

antimikroba. Menurut penelitian Januarsih Iwan

dan Nur Atik tahun 2010, pemberian ekstrak daun

pepaya dapat mempercepat regenerasi epidermis

dan granulasi jaringan pada luka sayat kulit mencit

(Mus musculus).3,7

Pepaya banyak mengandung substansi penting

untuk tubuh, diantaranya vitamin C dan E, serta

beta karoten yang berfungsi sebagai antioksidan

yang dapat menetralisir radikal bebas hasil

fagositosis neutrofil terhadap debris dan bakteri

pada proses penyembuhan luka (proses respiratory

burst).3 Daun pepaya yang dilarutkan dengan etanol

efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif

yang optimal sebagai obat penyembuh luka, serta

tidak mudah ditumbuhi jamur. Ekstrak etanol daun

pepaya sebagai obat luka dibuat dalam bentuk gel

akan mempermudah dalam pemakaiannya sehingga

pengobatan lebih efektif.8 Berdasarkan latar

belakang diatas, maka dilakukan penelitian untuk

mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun pepaya

(Carica papaya) 100% dalam mempercepat

penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang

nantinya diharapkan ekstrak etanol daun pepaya

100% dapat menjadi obat topikal untuk

menyembuhkan luka pada mukosa mulut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan eksperimental

murni (true experimental) dengan rancangan post

test-only with control design. Penelitian ini

menggunakan daun pepaya, etanol 70 %, bahan

anastesi (eter), povidone idodine dan hewan coba

mencit jantan galur Balb-C sebanyak 27 ekor

mencit berumur 2-2,5 bulan dengan berat badan 20-

35 gram, yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu

kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan

kelompok perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 9

mencit.

Prosedur penelitian diawali dengan

pengambilan daun pepaya dan pembuatan simplisia.

Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya 163

Page 61: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

165

Daun pepaya dicuci hingga bersih, kemudian

diangin-anginkan sampai kering, dan dihaluskan

dengan mesin penggiling. Tahap selanjutnya adalah

pembuatan ekstrak daun pepaya. Serbuk daun

pepaya sebanyak 100 gram dimasukkan wadah

berwarna gelap, ditambah etanol 70% sebanyak 750

ml aduk hingga homogen, tutup segera kemudian

disimpan dalam ruangan yang terhindar dari cahaya

matahari selama 5 hari dan sering kali dikocok.

Rendaman tersebut disaring dengan kain flanel,

ampas dicuci dengan pelarut sampai volume 750

ml. Hasil dipekatkan dengan vakum evaporator

sampai didapat ekstrak kental.

Setelah pembuatan ekstrak selesai, hewan

coba diadaptasikan selama 1 minggu dalam suasana

laboratorium. Mencit dikumpulkan dalam satu

kandang dan di ambil secara random menjadi 3

kelompok kemudian diberi nomor sesuai

kelompoknya. Anastesi dilakukan menggunakan

eter. Bulu di sekitar mukosa mulut mencit dicukur,

kemudian dilakukan insisi sepanjang 5 mm dan

dalam 1 mm pada bagian mukosa mencit dengan

menggunakan scalpel steril. Setiap kelompok diberi

perlakuan sebagai berikut:

Kelompok 1 : Kelompok kontrol negatif, luka sayat

pada mukosa tidak diberikan apapun.

Kelompok 2 : Kelompok perlakuan, luka sayat pada

mukosa diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%.

Kelompok 3: Kelompok kontrol positif, luka sayat

pada mukosa diberi povidone iodine. Perawatan

luka dan pemberian perlakuan dilakukan setiap hari

satu kali, sekitar jam 10.00 WITA sampai luka

sembuh.

HASIL PENELITIAN

Diagram hasil penelitian tentang efektivitas

ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya) 100%

terhadap waktu penyembuhan luka dapat dilihat

pada Gambar.

Berdasarkan Gambar di atas terlihat bahwa

rata-rata waktu penyembuhan luka pada kelompok

kontrol negatif 12,3 hari, kelompok perlakuan 7,6

hari, dan kelompok kontrol positif 9,5 hari. Data

tersebut selanjutnya diolah menggunakan uji

statistik. Data yang diperoleh diuji normalitas

menggunakan uji Shapiro Wilk didapatkan nilai

untuk kelompok kontrol negatif (tidak diberikan

apapun) p=0,004, kelompok perlakuan (diberikan

ekstrak etanol daun pepaya 100%) p=0,364, dan

kelompok kontrol positif (diberikan povidone

iodine) p=0,100. Nilai homogenitas menggunakan

Levene’s test dari semua kelompok p=0,029. Dapat

disimpulkan bahwa data pada kelompok kontrol

negatif tidak normal dan data pada semua

Mencit ke-

Gambar 1 Diagram Waktu Penyembuhan Luka pada

Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus) yang

Tidak Diberikan Perlakuan (Kontrol Negatif)

Mencit ke- Mencit ke-

Gambar 2 Diagram Rata-rata Waktu Penyembuhan

Luka pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus) yang

Diberikan Ekstrak Etanol Daun Pepaya 100%

Gambar 2 Diagram Waktu Penyembuhan Luka pada

Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)

Diberikan Ekstrak Etanol Daun Pepaya 100%

Mencit ke-

164 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 - 166

Page 62: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

166

kelompok tidak homogen (p<0,05). Dilakukan uji

non parametrik Kruskal Wallis untuk mengetahui

apakah data tersebut terdapat perbedaan, dan

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk

mengetahui kelompok mana yang menunjukkan

perbedaan bermakna dengan tingkat kepercayaan

95%. Hasil uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan

yang bermakna dengan nilai signifikansi 0,001

(p<0,05).

Pada uji Mann Whitney kelompok perlakuan

dan kontrol negatif terdapat perbedaan bermakna

dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang artinya ekstrak

etanol daun pepaya 100% dapat mempercepat

penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit

secara in vivo. Hasil uji statistik kelompok

perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

positif tidak terdapat perbedaan yang bermakna

dengan nilai p=0,135 (p>0,05) yang artinya ekstrak

etanol daun pepaya 100% sebanding dengan

povidone iodine yaitu obat yang dapat mempercapat

penyembuhan luka yang beredar di masyarakat.

Hasil uji statistik kelompok kontrol negatif

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif nilai

p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan

povidone iodine dapat pula mempercepat

penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

PEMBAHASAN

Penyembuhan luka pada kelompok kontrol

negatif berlangsung lebih lama daripada kelompok

perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya

100%) dan kelompok kontrol positif (diberikan

povidone iodine). Hal ini terjadi karena proses

penyembuhan pada kelompok kontrol negatif

berlangsung secara alami. Penyembuhan pada

kelompok kelompok perlakuan (diberikan ekstrak

etanol daun pepaya 100%) lebih cepat

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena daun

pepaya mengandung saponin, flavonoid, fenol, dan

papain.

Penyembuhan luka secara fisiologis terbagi ke

dalam tiga fase, yakni fase respon inflamasi,

proliferasi, dan maturasi. Penyembuhan luka pada

kelompok kontrol negatif berawal dari fase

inflamasi yang terjadi segera setelah luka dan

berakhir 3-4 hari, daerah luka tampak merah dan

sedikit bengkak. Ada dua proses utama yang terjadi

pada fase ini yaitu hematom (penghentian

perdarahan) dan fagositosis (makrofag menelan

mikroorganisme dan sel debris). Fase berikutnya

adalah fase proliferasi (regenerasi) yang

berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21

setelah pembedahan. Fibroblas (menghubungkan

sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka

mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali

dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar

yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah

terjadinya luka. Kolagen dapat menambah kekuatan

permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka

terbuka.9

Mekanisme saponin dalam menyembuhkan

luka adalah memacu pembentukan kolagen, yaitu

struktur protein yang berperan dalam proses

penyembuhan luka. Flavonoid merupakan

antimikroba yang mampu membentuk senyawa

kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta

dinding sel mikroba. Flavonoid bersifat anti

inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan

serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi

pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain

itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan

serta mampu meningkatkan kerja sistem imun

karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih

cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat

diaktifkan. Senyawa fenol memiliki kemampuan

untuk membentuk senyawa kompleks dengan

protein melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat

merusak membran sel bakteri. Enzim papain

memiliki efek antiinflamasi dan analgetik dengan

cara menetralisir mediator inflamasi seperti kinin

dan prostaglandin sehingga menghambat secara

langsung pada reseptor nyeri.3,10

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Erna

Septiningsih (2008) menyatakan bahwa gel ekstrak

etanol daun pepaya efektif menyembuhkan luka

bakar pada kulit punggung kelinci New Zealand.

Penelitian lain dilakukan oleh Januarsih Iwan dan

Nur Atik (2010) yang menyatakan bahwa

pemberian ekstrak daun pepaya dapat mempercepat

regenerasi epidermis dan granulasi jaringan pada

luka sayat kulit mencit (Mus musculus).

Penyembuhan luka pada kelompok positif lebih

cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif dan

hampir sama dengan kelompok perlakuan.

Penelitian ini menggunakan kelompok kontrol

positif (luka insisi diobati dengan povidone iodine)

dimaksudkan untuk menunjukan hasil kesembuhan

yang positif dengan menggunakan produk paten

yang umum digunakan sebagai obat luka. Povidone

iodine merupakan penggabungan senyawa yodium

dengan polivinil pirolidon (PVP) untuk

menghasilkan povidon-yodium yang digunakan

secara luas untuk antiseptik. Persenyawaan ini

merupakan zat antibakteri lokal yang efektif tidak

hanya untuk bakteri tetapi juga spora dan dapat

digunakan pada perawatan topikal dan sistemik.

Penggunaan zat povidone iodine sangat efektif

untuk mematikan mikroba, akan tetapi di sisi lain

akan menimbulkan iritasi pada luka karena zat-zat

yang terkandung dalam bahan antiseptik akan

dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena

komponen dan susunannya berbeda dengan sel-sel

tubuh.11

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak

etanol daun pepaya 100% efektif mempercepat

penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya 165

Page 63: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

167

Perlu adanya penelitian lebih lanjut dari ekstrak

etanol daun pepaya untuk melihat penyembuhan

lukanya secara histopatologi dan penelitian lain

perlu dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya

efek toksik dari daun pepaya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R dan Wim DJ. Buku ajar ilmu

bedah. Ed 3. Jakarta : EGC, 2010. hal : 95-120.

2. Ismardianita E, Soebijanto dan Sutrisno.

Pengaruh kuretase terhadap penyembuhan luka

pasca pencabutan gigi kajian histologi pada

tikus galur wistar. Dentika Dental Jurnal 2003;

8 (2):75-80.

3. Iwan J dan Nur A. Perbandingan pemberian

topikal aqueous leaf extract of Carica papaya

(ALEC) dan madu khaula terhadap percepatan

penyembuhan luka sayat pada kulit mencit

(Mus musculus). Majalah Kedokteran Bandung

2010; 42 (2): 77.

4. Priosoeryono BP, Nalia P, Adinda RL,

Vetnizah J, Ietje W, Bayu FR and Risa T. The

effect of Ambon banana stem sap (Musa

paradisiacal forma typical) on the acceleration

of wound healing process in mice (Mus

musculus albinus). Journal of Agriculture and

Rural Development in the Tropics and

Subtropics 2008: 36-39.

5. Haryanto D, Rosye HRT dan Konstantina

MBK. Pemanfaatan tumbuhan obat masyarakat

Marind yang bermukim di Taman Nasional

Wasur, Merauke. Jurnal Biologi Papua 2009; 1

(2): 59.

6. Sudjatinah, Wibowo CH dan Widiyaningrum

P. Pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya

terhadap tampilan produksi ayam broiler (the

effect of papain extract on the broiler

performance). J.Indon. Trop. Anim. Agric

2005; 30 (4): 225.

7. Indrawati Y dan Kosasih P. Telaah fitokimia

bunga pepaya gantung (Carica Papaya L) dan

uji aktivitas antioksidannya. Tesis. Bandung:

Institut Teknologi Bandung. 2002. Hal. 49.

8. Septiningsih E. Efek penyembuhan luka bakar

ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica

papaya) dalam sediaan gel pada kulit

punggung kelinci New Zealand. Skripsi.

Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2008.

hal. 7-9.

9. Morison MJ. Manajemen luka. Jakarta : EGC,

2003. hal. 131.

10. Haryani A, Roffi G, Ibnu DB dan Ayi S. Uji

efektivitas daun pepaya (Carica papaya) untuk

pengobatan infeksi bakteri Aeromonas

hydrophila pada ikan mas koki (Carassius

auratus). Jurnal Perikanan dan Kelautan 2012;

3 (3); 218.

11. Sunil KP, Raja BP, Jagadish RG, and Uttam A.

Povidone Iodine-Revisited. IJDA 2011; 3(3);

617-620.

166 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 - 166

Page 64: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

168

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSUM DAUN SIRIH (Piper betle Linn) 50% DAN 100%

SEBAGAI OBAT KUMUR TERHADAP PENINGKATAN

pH DAN VOLUME SALIVA

Tinjauan pada Mahasiswa PSKG FK Unlam Banjarmasin Angkatan 2011-2012

Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Betel leaves infusion has antibacterial contents such chavichol, fatty acids, and fatty acid

hydroxyl, so it can increase the pH of saliva. It can also increase the volume of saliva because it has a bitter

taste that will chemically stimulate salivary secretion. Purpose: The purpose of this study was to know the

differences of the effectiveness of using betel leaves infusion 50% and 100% as a mouthwash of increase in the

pH and volume of saliva. Methods: This study used a quasi-experimental method with pre-post test control

group design and statistical test Kruskal-Wallis and Mann Whitney. The treatment was given to 3 groups, the

group that rinsing with betel leaves infusion 50%, the group that rinsing with betel leaf infusion 100%, and the

control group. Saliva was collected before and after treatment in a container pot for 5 minutes. Results: The

results showed no significant differences between 3 treatment groups in increasing the pH of saliva (p=0,200),

but there were significant differences between 3 treatment groups in increasing the volume of saliva (p=0,042).

The results of Mann Whitney test showed betel leaves infusion 50% was increasing the volume of saliva

(p=0,025), and betel leaves infusion 100% was increasing the volume of saliva (p=0,405). Conclusion: It can be

concluded that there was not an increase in the pH of saliva in the group that rinsing with betel leaves infusion

50% and 100% in the fifth minute, and there was an increase in the volume of saliva in the group that rinsing

with betel leaves infusion 50%.

Keywords: Betel leaves infusion (Piper betle Linn) 50%, betel leaves infusion (Piper betle Linn) 100%,

mouthwash, pH of saliva, volume of saliva

ABSTRAK

Latar Belakang: Infusum daun sirih memiliki kandungan yang bersifat antibakteri seperti chavichol,

asam lemak, dan asam lemak hidroksil, sehingga dapat meningkatkan pH saliva. Infusum daun sirih juga dapat

meningkatkan volume saliva karena meliliki rasa pahit yang secara kimiawi akan merangsang sekresi saliva.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan air rebusan daun

sirih 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH dan volume saliva. Metode: Penelitian ini

menggunakan metode quasi experimental dengan pre-post test control group design dan uji statistik Kruskal

Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Perlakuan diberikan pada 3 kelompok, yaitu kelompok yang

berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan

kelompok kontrol. Saliva dikumpulkan sebelum dan sesudah perlakuan pada pot penampung selama 5 menit.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam

meningkatkan pH saliva (p=0,200), tetapi terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam

meningkatkan volume saliva (p=0,042). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan infusum daun sirih 50% dapat

meningkatkan volume saliva (p=0,025), sedangkan infusum daun sirih 100% tidak dapat meningkatkan volume

saliva (p=0,405). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peningkatan pH saliva pada kelompok

yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun 100% pada menit kelima, dan terdapat peningkatan

volume saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%.

Laporan Penelitian

Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya 167

Page 65: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

169

Kata kunci: Infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50%, infusum daun sirih (Piper betle Linn) 100%, obat

kumur, pH saliva, volume saliva

Korespondensi: Dea Raissa Pratiwi, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi dan mulut di

Indonesia sampai saat ini merupakan masalah

klasik, ini ditandai dengan angka prevalensi karies

gigi dan penyakit periodontal yang masih tetap

tinggi.1 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

tahun 2007 di bidang kesehatan gigi dan mulut,

prevalensi penduduk yang mempunyai masalah

gigi-mulut adalah 23,4%, prevalensi nasional karies

aktif 43,4%, dan prevalensi pengalaman karies

67,2%. Dari penduduk yang mempunyai masalah

gigi dan mulut terdapat 29,6% yang menerima

perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan

gigi. Jenis perawatan yang paling banyak diterima

penduduk yang mengalami masalah gigi dan mulut

yaitu pengobatan (87,6%), disusul penambalan,

pencabutan, dan bedah gigi (38,5%).2

Saliva merupakan salah satu komponen yang

memiliki arti yang penting bagi kesehatan gigi dan

mulut. Saliva tidak hanya membantu proses

pengunyahan, tetapi juga berperan sebagai

pelindung multidimensional dan saliva dapat

dijadikan bahan informasi untuk tingkat cairan

jaringan sesudah minum obat, status emosional,

status hormon, status immunologi, status neurologi,

status nutrisi, dan pengaruh metabolisme. Saliva

dapat dijadikan suatu media dalam mendiagnostik

dalam bidang kedokteran gigi.3,4

Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri

dari 99% air, berbagai elektrolit yaitu sodium,

potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat,

fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan

sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba,

glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida, dan

oligopeptida yang berperan dalam menjaga

kesehatan rongga mulut.4,5 Saliva sebagai penjaga

keseimbangan ekosistem rongga mulut, memiliki

beberapa peranan diantaranya sebagai protektor,

menjaga keseimbangan buffer, memelihara

integritas gigi, sebagai antimikroba, memelihara

mukosa, membantu sistem pencernaan, menjaga

oral hygiene, membantu proses bicara, membantu

keseimbangan cairan, dan sebagai pengecap rasa.6

Salah satu peran saliva adalah menjaga

keseimbangan buffer di dalam rongga mulut.

Kapasitas buffer saliva membantu melindungi gigi

dari terjadinya proses demineralisasi enamel yang

dapat disebabkan karena pH saliva yang rendah

akibat produksi asam bakteri selama metabolisme

karbohidrat berlangsung.7

Peningkatan dan pengurangan aliran saliva

dapat memberi efek pada kesehatan rongga mulut

dan kesehatan organ tubuh yang lain. Aliran saliva

dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan

gigi dan juga menaikkan tingkat pembersihan

karbohidrat dari rongga mulut. Pengurangan

volume saliva dapat menyebabkan xerostomia,

susah menelan, iritasi, dan kekeringan pada mukosa

mulut serta angular cheilitis.7,8

Berkumur dengan zat tertentu dapat

merangsang laju aliran saliva secara mekanis dan

kimiawi sehingga mampu mencegah karies melalui

efek buffer saliva dan proses remineralisasi, yaitu

proses alami ketika mineral inorganik dalam saliva

terakumulasi pada daerah yang mengalami disolusi

enamel dan menggantikan mineral yang hilang dari

gigi.9,10 Daun sirih (Piper betle Linn) adalah salah

satu jenis tanaman obat yang sering digunakan

untuk berkumur. Rasa pahit yang dimiliki daun

sirih merupakan salah satu rangsang kimiawi yang

akan merangsang sekresi saliva.11 Berkumur

dengan daun sirih dapat meningkatkan volume

saliva karena adanya stimulasi mekanis dan kimia

yang terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari

gerakan berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa

pahit.13 Belum ada penelitian tentang berkumur

dengan air rebusan daun sirih terhadap perubahan

volume saliva.

Ekstrak daun sirih melalui beberapa

penelitian terdahulu terbukti dapat bersifat

antibakteri, antioksidan, dan antifungi.12,14

Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa daun

sirih dapat menahan perdarahan, menyembuhkan

luka, menguatkan gigi, dan membersihkan

tenggorokan.15 Hidayaningtias (2008) dalam

penelitiannya, pada konsentrasi 100% dan waktu

kontak 30 detik, sirih memberi efek antibakteri

yang optimal terhadap S. mutans, bakteri penyebab

karies.16 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh

Firdausi (2011), penggunaan infusum daun sirih

konsentrasi 50% sebagai obat kumur dapat

mempercepat terjadinya peningkatan pH saliva

setelah mengkonsumsi karbohidrat.17 Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan

efektivitas penggunaan infusum daun sirih 50% dan

100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH

dan volume saliva.

168 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 - 173

Page 66: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

170

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode quasi

eksperimental dengan rancangan pre-post test

control group design. Sampel diambil dengan

teknik purposive sampling. Populasi dalam

penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi

Kedokteran Gigi Unlam angkatan 2011-2012

Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi yaitu keadaan umum dan mulut relatif

baik, bersedia menjadi sampel penelitian, tidak ada

gigi yang karies, tidak ada kalkulus, tidak merokok,

tidak menggunakan alat protesa atau ortodontik,

tidak mengkonsumsi alkohol, tidak mengkonsumsi

obat-obatan, bukan penderita sjogren syndrome,

tidak menerima terapi radiasi kanker kepala-leher,

dan tidak menderita penyakit sistemik atau

periodontal yang dapat mempengaruhi hasil

penelitian. Besar sampel diambil menurut pakar

metodologi Gay dan Diehl (1992) dalam Kasjono

dan Yasril (2009) yang menyatakan bahwa sampel

untuk penelitian eksperimental adalah 15 orang

setiap kelompok. Pada penelitian ini terdapat 3

kelompok sehingga jumlah sampel adalah 45

orang.18

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain pot penampung infusum daun sirih

(Piper betle Linn), set penangas air, kompor,

saringan, timbangan, gelas ukur, wadah untuk

berkumur, tissue, pH meter, kertas label, jam

tangan/stopwatch, alat tulis, form penelitian,

informed consent, masker, sarung tangan,

diagnostic set, dan nierbekken. Bahan yang

digunakan adalah saliva sebagai bahan

pemeriksaan, infusum daun sirih konsentrasi 50%

dan 100%, dan aquades. Infusum daun Sirih yang

digunakan pada penelitian ini merupakan

modifikasi dari metode Firdausi (2011), dibuat

dengan metode dan takaran yang sama dan

diaplikasikan sesegera mungkin setelah pembuatan

agar tidak teroksidasi.17

Cara pembuatan infusum daun sirih yaitu

sebanyak 150 gram daun sirih yang sudah dicuci

bersih dirajang dan dimasukkan ke dalam wadah

bertutup berupa kaca, porselen, atau panci yang

dicat dan ditambahkan air sebanyak 150 mL.

Wadah ini kemudian dimasukkan ke dalam

penangas air berupa wadah yang lebih besar yang

berisi air yang sedang mendidih di atas kompor.

Waktu 15 menit dihitung sejak panci kecil

dimasukkan ke dalam air mendidih. Cara ini

digunakan untuk mendapatkan infusum dengan

konsentrasi 100% dengan volume 150 mL. Cara

tersebut diulang kembali dengan 75 gram daun sirih

dan air sebanyak 150 mL untuk mendapatkan

infusum dengan konsentrasi 50% dengan volume

150 mL. Jika volume yang didapat setelah

pemanasan kurang dari 150 mL, dapat ditambahkan

air panas. Sediaan kemudian diletakkan dalam pot

penampung bertutup dan dibiarkan dingin dalam

suhu ruangan.17

Subjek diinstruksikan untuk tidak menyikat

gigi dan makan atau minum selama 1 jam sebelum

penelitian. Metode pengumpulan saliva yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode

passive drool, yaitu dengan cara mengalirkan saliva

secara pasif dari mulut ke dalam pot penampung

saliva. Metode ini adalah metode yang paling

efektif, sering digunakan dan sangat

direkomendasikan karena telah diterima oleh

banyak peneliti. Responden diminta untuk berdiri

tegak lurus dengan lantai dan tenang. Kepala harus

sedikit menunduk, condong ke depan dan mulut

harus tetap terbuka dan biarkan saliva mengalir

pada pot penampung selama 5 menit. Pada akhir

pengumpulan saliva, sisa saliva pada mulut harus

diludahkan ke dalam pot penampung. Dari pot

penampung, saliva dipindahkan ke gelas ukur yang

telah diberi label (nama subjek) untuk diukur

volume dan pH-nya dan dicatat pada form

penelitian. Volume saliva diukur dalam satuan mL.

Pengukuran pH saliva dilakukan secara langsung

(tanpa pengenceran) dengan pH meter dengan

ketelitian 1 angka di belakang koma.17

Setelah pengambilan data awal, responden

diberikan instruksi tentang perlakuan yang akan

diberikan sesuai kelompok. Kelompok 1 berkumur

dengan infusum daun sirih 50%, kelompok 2

berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan

kelompok kontrol (-) berkumur dengan aquades,

masing-masing sebanyak 10 mL selama 30 detik.

Setelah berkumur, responden diinstruksikan untuk

mengumpulkan saliva kembali dengan metode

passive drool dan dilakukan pengukuran pH dan

volume saliva seperti pada pengambilan data awal.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian Efektivitas Penggunaan

Infusum Daun Sirih (Piper betle Linn) 50% dan

100% sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan

pH Saliva dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rata-rata pH Saliva Sebelum dan

Sesudah Berkumur dengan Infusum

Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih

100%, dan pada Kelompok Kontrol

Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih 169

Page 67: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

171

Berdasarkan data pada Gambar 1 diketahui

bahwa pada kelompok yang berkumur dengan

infusum daun sirih 50% rata-rata pH saliva sebelum

berkumur adalah 6,966 dan sesudah berkumur

adalah 6,680, pada kelompok infusum daun sirih

100% rata-rata pH saliva sebelum berkumur adalah

6,855 dan sesudah berkumur adalah 6,700,

sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata pH

saliva sebelum berkumur adalah 6,960 dan sesudah

berkumur adalah 6,926. Berdasarkan data tersebut

diketahui bahwa terdapat penurunan rata-rata pH

saliva di setiap kelompok.

Data pH saliva semua kelompok perlakuan

dianalisis dengan uji statistik dengan menggunakan

SPSS 16.0 for Windows. Berdasarkan hasil

perhitungan didapatkan data tidak terdistribusi

normal dan tidak homogen, sehingga uji statistik

One Way Anova tidak dapat digunakan, sehingga

digunakan uji alternatif Kruskal-Wallis dengan

derajat kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis

didapatkan hasil p = 0,200 (p > 0,05) yang

menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna

antar kelompok perlakuan. Berarti tidak terdapat

perbedaan penurunan pH pada masing-masing

kelompok yang berkumur dengan infusum daun

sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan 100%,

maupun dengan kelompok kontrol. Dapat

disimpulkan bahwa infusum daun sirih 50%,

infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol

memiliki efek yang tidak berbeda dalam

menurunkan pH saliva.

Hasil penelitian efektivitas penggunaan

infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50% dan

100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan

volume Saliva dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Rata-rata Volume Saliva Sebelum dan

Sesudah Berkumur dengan Infusum

Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih

100%, dan pada Kelompok Kontrol

Berdasarkan data pada Gambar 2 diketahui

bahwa pada kelompok yang berkumur dengan

infusum daun sirih 50% rata-rata volume saliva

sebelum berkumur adalah 0,993 mL dan sesudah

berkumur adalah 2,246 mL, pada kelompok yang

berkumur dengan infusum daun sirih 100% rata-

rata volume saliva sebelum berkumur adalah 2,093

mL dan sesudah berkumur adalah 3,126 mL,

sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata volume

saliva sebelum berkumur adalah 2,060 dan sesudah

berkumur adalah 2,220 mL. Berdasarkan data

tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan rata-

rata volume pada masing-masing kelompok.

Hasil perhitungan analisis statistik,

menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan

tidak homogen, sehingga uji statistik One Way

Anova tidak dapat digunakan, sehingga digunakan

uji alternatif Kruskal-Wallis dengan derajat

kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis,

didapatkan hasil p = 0,042 (p < 0,05) yang berarti

bahwa terdapat salah satu perlakuan yang berbeda

di antara dua kelompok perlakuan. Untuk

mengetahui perlakuan mana yang memiliki

perbedaan, maka dilakukan analisis Mann Whitney.

Berdasarkan hasil uji Mann Whitney,

didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara kelompok kontrol dengan

kelompok yang berkumur dengan infusum daun

sirih 50% dengan p = 0,025 (p < 0,05). Tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok kontrol dengan kelompok yang berkumur

dengan infusum daun sirih 100% (p = 0,053),

demikian juga antara kelompok yang berkumur

dengan infusum daun sirih 50% dengan kelompok

yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% (p

= 0,405). Dapat disimpulkan bahwa berkumur

dengan infusum daun sirih 50% dapat

meningkatkan volume saliva secara signifikan jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan

berkumur dengan infusum daun sirih 100% tidak

dapat meningkatkan volume saliva secara

signifikan jika dibandingkan dengan kelompok

kontrol, meskipun jika dilihat dari nilai rerata

sebelum dan sesudah berkumur terdapat

peningkatan sebanyak 1,0333 mL, namun tidak

terdapat perbedaan peningkatan volume saliva

antara berkumur dengan infusum daun sirih 50%

dengan infusum daun sirih 100%.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan,

maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini

tidak sesuai dengan hipotesis peneliti karena tidak

terdapat perbedaan bermakna antara ketiga

kelompok yaitu kelompok yang berkumur dengan

infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur

dengan infusum daun sirih 100%, dan kelompok

kontrol. Dapat dipahami juga bahwa infusum daun

sirih 50% maupun infusum daun sirih 100% belum

terlihat berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva

pada saat dilakukan pengukuran pada menit ke-5.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infusum

daun sirih 50% maupun infusum daun sirih 100%

170 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 - 173

Page 68: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

172

tidak berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva

pada menit ke-5.

Berdasarkan hasil penelitian Firdausi (2011),

penggunaan air rebusan daun sirih konsentrasi 50%

sebagai obat kumur dapat mempercepat terjadinya

peningkatan pH saliva setelah mengkonsumsi

karbohidrat.17 Pada hasil penelitian tersebut, pH

saliva mengalami penurunan pada menit ke-2

setelah perlakuan, kemudian mulai meningkat

kembali pada menit ke-6 hingga menit ke-10. Pada

hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh

campuran madu dan teh hijau tehadap perubahan

pH saliva anak, pH saliva yang mulai diukur pada

menit ke-1 lebih rendah daripada menit ke 5, 15,

atau ke 30, hal ini menunjukkan bahwa waktu

berperan dalam menentukan besarnya perubahan

pH saliva yang terjadi. pH saliva relatif stabil pada

menit ke-15 karena kapasitas buffer saliva mampu

menetralisir keadaan asam sebagai proses

pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme

maupun asam-asam organik, sedangkan pada menit

ke-30 tampak penurunan pH saliva karena reaksi

kimiawi yang lebih dominan ke arah asam sudah

dapat mempengaruhi aksi buffer saliva.19 Pada

penelitian ini, peneliti hanya mengukur pH saliva

setelah menit ke-5 yaitu setelah pengumpulan

saliva, dan peneliti tidak mengukur pada menit-

menit selanjutnya hingga menit ke-10 dimana pada

periode tersebut terjadi peningkatan pH saliva. Pada

penelitian ini pH saliva yang terukur hanya di menit

ke-5 dimana pada periode tersebut pH saliva belum

meningkat secara maksimal. Hal ini dapat terjadi

karena proses kimiawi terkadang memerlukan

waktu yang berbeda-beda dan bervariasi karena

suatu reaksi kimia bisa cepat atau lambat.

Terjadinya penurunan maupun peningkatan pH

saliva yang tergantung pada waktu pengukuran

berkaitan dengan buffer saliva dan perbedaan

kecepatan proses denaturasi serta fermentasi

komponen-komponen dalam saliva.19

Buffer saliva berperan dalam mengatur

keasaman pH rongga mulut. Sistem buffer pada

saliva manusia terdiri dari sistem buffer fosfat,

bikarbonat, dan protein.11 Kapasitas buffer saliva

merupakan faktor penting yang memainkan peran

dalam pemeliharaan pH saliva dan remineralisasi

gigi. Kapasitas buffer berkorelasi dengan laju aliran

saliva, pada saat laju aliran saliva menurun

cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan

meningkatkan resiko perkembangan karies.20

Konsentrasi bikarbonat yang merupakan buffer

penting dalam saliva, tidak konstan tapi bervariasi

menurut laju aliran saliva, seperti pada saliva yang

tidak distimulasi mengandung sedikit bikarbonat,

sedangkan saliva yang distimulasi mengandung

lebih banyak bikarbonat tergantung intensitas

stimulus yang diberikan. Hal ini menyebabkan pH

saliva sangat bergantung pada laju sekresi.11

Peningkatan kecepatan aliran saliva akan

meningkatkan konsentrasi bikarbonat, fosfat, dan

kalsium, hal ini dapat menyebabkan pH saliva

meningkat.21 Dalam kondisi fisiologis, kapasitas

buffer saliva akan bekerja dengan ion kalsium dan

fosfat untuk mempertahankan kejenuhan dengan

menjaga pH agar mendekati netral di dalam

lingkungan rongga mulut.11

Setelah mengasup gula yang terkandung

dalam makanan, pH pada plak akan turun dan terus

turun hingga gula dibersihkan dari mulut dan

bakteri yang memproduksi asam ter-buffer.

Besarnya penurunan pH ditentukan oleh jumlah

asam yang diproduksi oleh bakteri dan kapasitas

buffer saliva. Berikut adalah kurva Stephan yang

menunjukkan pengaruh berkumur dengan sukrosa

terhadap pH plak.11

Gambar 3 Kurva Stephan

Berdasarkan kurva Stephan (Gambar 3),

terlepas dari kapasitas buffer saliva, pH plak akan

turun segera setelah berkumur sukrosa hingga di

bawah pH kritis, setelah itu perlahan kembali ke

garis dasar. Penurunan ini terjadi karena plak dapat

membentuk penghalang difusi (diffusion barrier)

yang mencegah difusi sistem buffer saliva kepada

plak. Sistem buffer saliva kemudian dapat

mengatasinya dan pH plak ternetralisir sehingga

dapat meningkat.11 Begitu juga dengan hasil

penelitian ini, berkumur dengan infusum daun sirih

50% dan 100% belum meningkatkan pH saliva

karena waktu pengukurannya hanya di menit ke-5.

Seharusnya dilakukan pengukuran hingga menit ke-

10 atau lebih agar peningkatan pH saliva dapat

diketahui.

Sedangkan terhadap volume saliva, pada

saat berkumur dengan infusum daun sirih, laju

aliran saliva akan meningkat dengan adanya

stimulus mekanis dan kimiawi. Laju aliran saliva

diatur oleh mekanisme yang kompleks. Saraf

otonom parasimpatis dan simpatis merupakan

faktor primer yang mempengaruhinya, faktor

lainnya adalah stimulus rasa dan taktil pada lidah

dan mukosa mulut. Stimulus pada saraf

parasimpatis akan menyebabkan pelepasan ion-ion

dan air. Sedangkan stimulus pada saraf simpatis

akan menyebabkan pelepasan protein-protein yang

terdapat di dalam sel-sel asinar. Stimulus

Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih 171

Page 69: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

173

propriseptif dari otot-otot mastikasi dan ligamen

periodontal akan mengeksitasi nuklei saliva inferior

dan superior pada otak yang juga dipengaruhi oleh

korteks serebri, sehingga sekresi saliva dapat

meningkat.22

Peningkatan volume saliva yang terjadi

sesuai dengan pernyataan Nirmaladewi (2011),

yaitu berkumur dengan zat yang memiliki rasa pahit

dan sepat seperti yang dimiliki daun sirih dapat

meningkatkan volume saliva. Hal ini disebabkan

karena stimulasi mekanis dan stimulasi kimia yang

terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari gerakan

berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa pahit dari

infusum daun sirih yang merangsang sistem saraf

pusat sehingga laju aliran saliva meningkat.13

Hartoyo (2003) menyatakan bahwa infusum

daun sirih memiliki kandungan senyawa polifenol

yang membawa sifat pahit dan sepat, sehingga

semakin tinggi konsentrasi sirih maka semakin

pahit dan sepat.23 Berdasarkan hasil uji Mann

Whitney pada penelitian ini, volume saliva pada

kelompok yang berkumur dengan infusum daun

sirih 100% tidak meningkat secara signifikan jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini

kemungkinan dapat disebabkan karena adanya

hubungan antara dosis dengan intensitas efek yang

terlihat sebagai kurva sigmoid dimana pada

pemberian dosis rendah memberikan perubahan

efek yang cepat sedangkan pada pemberian dosis

yang lebih tinggi menyebabkan perubahan efek

yang lambat terhadap peningkatan volume saliva

karena reseptor sirih sudah terikat sebagian besar,

selain itu mungkin karena adanya variasi biologis

yang besar dimana pemberian dosis tertentu

menimbulkan suatu intensitas efek tertentu.24

Keadaan ini juga dapat diakibatkan karena

banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi

kecepatan sekresi saliva. Selain pengecapan sebagai

faktor kimia dan berkumur sebagai faktor mekanis,

kecepatan sekresi saliva dapat juga dipengaruhi

oleh faktor emosi.13 Pusat saliva mengontrol derajat

pengeluaran saliva melalui saraf-saraf otonom yang

mempersarafi kelenjar saliva. Respon simpatis dan

parasimpatis di kelenjar saliva tidak saling

bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun

parasimpatis, keduanya meningkatkan sekresi

saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme

yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis,

yang berperan dominan dalam sekresi saliva,

menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam

jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis, di

pihak lain, menghasilkan volume saliva yang jauh

lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya

mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan

sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa

lebih kering daripada biasanya selama keadaan saat

sistem simpatis dominan, misalnya pada keadaan

stres.22 Nirmaladewi (2011) menambahkan bahwa

pada saat seseorang mengalami stres maka

kecepatan sekresi saliva akan menurun.13 Pada

penelitian ini, faktor emosi tidak dikendalikan,

sehingga adanya gangguan seperti stres pada

responden kemungkinan dapat mempengaruhi

volume saliva.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

peningkatan pH saliva antara sebelum dan setelah

berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun

dengan infusum daun sirih 100%, terdapat

peningkatan volume saliva antara sebelum dan

setelah berkumur dengan infusum daun sirih 50%,

dan tidak terdapat peningkatan volume saliva antara

sebelum dan setelah berkumur dengan infusum

daun sirih 100% jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut tentang pengaruh penggunaan infusum daun

sirih terhadap pH saliva dengan variasi waktu

pengukuran dari menit ke menit dengan rentang

tertentu, agar dapat diketahui peningkatan pH saliva

secara maksimal, serta perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut dengan tingkat konsentrasi infusum

daun sirih <50%, 50%, dan antara 50-100%,

sehingga dapat diketahui konsentrasi infusum daun

sirih yang optimal terhadap peningkatan pH dan

volume saliva.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia Desember,

2008.

2. Soelarso H, Roesanto HS, Achmad M. Peran

Komunikasi Interpersonal dalam Pelayanan

Kesehatan Gigi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.)

Juli–September 2005; 38(3): 124–129.

3. Rantonen P. Salivary Flow and Composition

in Healthy and Diseased Adult [Dissertation].

Kuopio, Firland: University of Helsinki, 2003.

p.12.

4. Hartini E. Serba-serbi ilmu konservasi gigi.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005.

p.69-59.

5. Del P, Maria A, Angela M, Adilson A, Reis L.

Saliva Composition and Function: A

Comprehensive Review. J Contemp Dent

Pract 2008; 9(3): 5-2.

6. Nanci A. Oral Histology Development,

Structure, and Function. St. Louis: Mosby

Elsevier 2008; 294-290: 316-313.

7. Pink R, Simek J, Vondrakova J. Saliva As A

Diagnostic Medium. Biomed Pap Med Fac

Univ Palacky Olomouc Czech Repub 2009;

153(2): 103-110.

8. Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan

Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan

pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.

172 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 - 173

Page 70: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

174

Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) Januari 2005; 38(1):

25–28.

9. Dawes C. Salivary Flow Patterns and The

Health of Hard and Soft Oral Tissues. JADA

2008; 139(suppl 2): 18S-24S.

10. Malav PN. Dissolution of Teeth Enamel as a

Result of Oral Microbial Growth. Choose,

Focus, Analyze (CFA) Exercise. Chennai,

India: Department of Biotechnology Indian

Institute of Technology Madras, 2004. p.1-10.

11. Fejerskov O, Kidd E. Dental Caries: The

Disease and its Clinical Management. 2nd ed.

Carlton: Blackwell Munksgaard, 2003.

12. Datta A, Ghoshdastidar S, Singh M.

Antimicrobial Property of Piper betel Leaf

against Clinical Isolates of Bacteria. IJPSR

2011; 2(3): 104-109.

13. Nirmaladewi A, Juni H, Regina T. Status

Saliva dan Gingivitis pada Penderita

Gingivitis Setelah Kumur

Epigalocatechingallate (EGCG) dari Ekstrak

The Hijau (Camellia sinensis). Traditional

Medicine Journal 2011; 12(Issue 40): 1-7.

14. Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik

Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap

Candida albicans. BIOSCIENTIAE Juli 2010;

7(2): 17-24.

15. Jenie BSL. Antimicrobial Activity of Piper

betle Linn Extract Towards Food Borne

Pathogens and Food Spoilage

Microorganisms. FT Annual Meeting. New

Orleans: Louisiana, 2001.

16. Hidayaningtias P. Perbandingan Efek

Antibakteri Air Seduhan Daun Sirih (Piper

betle Linn) terhadap Streptococcus mutans

pada Waktu Kontak dan Konsentrasi yang

Berbeda. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: FK

Undip, 2008.

17. Firdausi U. Pengaruh Penggunaan Air

Rebusan Daun Sirih (Piper Betle Linn)

sebagai Obat Kumur terhadap Perubahan pH

Saliva. Skripsi. Surakarta: FK UNS, 2011.

18. Kasjono HS, Yasril. Teknik Sampling untuk

Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2009. p.129-130.

19. Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan

Teh Hijau terhadap Perubahan Derajat

Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In

Vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin:

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas

Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,

2011. p.35.

20. Fenoll-Palomares C, Muñoz-Montagud JV,

Sanchiz V, Herreros B, Hernandez V,

Minguez M, et al. Unstimulated Salivary Flow

Rate, pH and Buffer Capacity of Saliva in

Healthy Volunteers. REV ESP ENFERM DIG

(Madrid) 2004; 96: 773-783.

21. Haroen ER. Pengaruh Stimulus Pengunyahan

dan Pengecapan terhadap Kecepatan Aliran

dan pH saliva. Jurnal Kedokteran Gigi UI

2002; 9: 29-34.

22. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke

Sistem. Ed.2. Jakarta: EGC, 2001. p.601 –

606.

23. Hartoyo A. Teh dan Khasiatnya Bagi

Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. p.15-

19.

24. Ganiswara SG, Setiabudy, Frans DS,

Purwantyastuti. Farmakologi dan Terapi. Ed.4.

Jakarta: UI Press, 2005. p.207-222.

Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih 173

Page 71: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

175

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

GAMBARAN PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI

DI POLI GIGI RSUD ULIN BANJARMASIN

Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri,

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Root canal treatment (RCT) is a mechanical and chemical treatment procedures that are

biologically acceptable in root canal to eliminate pulp and periradicular disease and also improve health and

repair of periradicular tissues. Purpose: This study aimed to obtain information about RCT based on the

characteristics of age, gender, socioeconomic status and which tooth were often done RCT also the most

respondents reasons who did RCT at dental poly of Regional Public Hospital of Ulin in Banjarmasin. Methods:

This was an observational descriptive study with 100 samples, with purposive sampling method. Data was

collected by interviews and direct observation to patients who did RCT. Results: The results showed the age

group 20-40 years was the most respondents did RCT (67%). Women were more frequently done RCT (65%)

than men (35%). Respondents with lower socioeconomic status was the most respondents who did RCT (41%).

Toothache was the most respondents reason who did RCT (42%). Dental elements which most often performed

RCT were first molar permanent right and left mandibular teeth (13%). Conclusion: Root canal treatment was

most often performed on women in the age group 25-34 years, lower socio-economic status, with toothache

excused at first molar permanent mandibular teeth.

Keywords: root canal treatment, age, gender, socio-economic status

ABSTRAK

Latar belakang: Perawatan saluran akar gigi (PSA) adalah suatu prosedur perawatan mekanis dan

kimiawi yang secara biologis diterima di dalam saluran akar untuk mengeliminasi penyakit pulpa dan

periradikuler serta meningkatkan kesehatan dan perbaikan dari jaringan periradikuler. Tujuan: Penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran PSA berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin,

status sosial ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA serta alasan responden melakukan PSA di poli

gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan jumlah sampel

100 orang, dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi

langsung pada pasien yang melakukan PSA. Hasil: menunjukkan kelompok umur 20-40 tahun merupakan

responden yang paling banyak melakukan PSA (67%). Perempuan lebih sering melakukan PSA (65%) daripada

laki-laki (35%). Responden dengan status sosial ekonomi agak rendah paling banyak melakukan PSA (41%).

Sakit gigi merupakan alasan terbanyak responden melakukan PSA (42%). Elemen gigi yang paling sering

dilakukan PSA adalah gigi molar 1 permanen kanan dan kiri rahang bawah sebagai elemen gigi yang paling

sering dilakukan PSA (13%). Kesimpulan: Perawatan saluran akar paling sering dilakukan pada perempuan

dengan kelompok umur 20-40 tahun, status sosial ekonomi agak rendah, dengan keluhan sakit gigi pada molar 1

permanen rahang bawah.

Kata Kunci: perawatan saluran akar gigi, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi

Korespondensi: Maya Sagita, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Banjarmasin, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

174 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 - 173

Page 72: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

176

PENDAHULUAN

Karies merupakan kerusakan jaringan

keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada

dalam karbohidrat melalui perantara

mikroorganisme yang ada dalam saliva.1 Karies

dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman

permukaan, yaitu karies email (karies superfisial),

karies dentin (karies media) dan karies akar (karies

profunda).2 Menurut Branstrom dan Lind (1965)

serta Langeland (1996), reaksi pulpa dapat terjadi

pada lesi dini karies dentin. Meskipun pulpa belum

terbuka, sel-sel peradangan dapat mengadakan

penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang

terbuka sehingga jika karies sudah meluas

mengenai pulpa, itu berarti peradangan sudah

kronis. Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan

sebagai pulpitis reversibel dan irreversibel, pulpitis

hiperplastik dan nekrosis.3

Respon iritasi pulpa adalah peradangan

dan jika tidak dirawat akan berkembang menjadi

nekrosis pulpa. Peradangan bisa menyebar ke

tulang alveolar sekitarnya dan menyebabkan

penyakit periapikal. Besarnya masalah yang

berhubungan dengan pulpa tidak boleh dianggap

remeh. Konsekuensi paling serius dari penyakit

pulpa adalah sepsis oral. Jika infeksi menyebar dari

gigi maksilaris, dapat menyebabkan sinusitis

purulen, meningitis, abses otak, selulitis orbital dan

cavernous sinus thrombosis, sebaliknya, jika infeksi

berasal dari gigi mandibula dapat menyebabkan

ludwig’s angina, abses parapharyngeal,

mediastinitis, pericarditis, emphysema dan jugular

thrombophlebitis.4

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional

menunjukkan bahwa tahun 2007, Kalimantan

Selatan merupakan provinsi ke-dua dengan

persentase pengalaman karies tertinggi, yaitu

84,7%. Kalimantan Selatan juga merupakan

provinsi dengan indeks kesehatan gigi (DMF-T)

tertinggi yaitu sebesar 6,83 meliputi gigi karies atau

decay (D-T) 1,31, gigi dicabut atau missing (M-T)

5,52 dan gigi ditumpat atau filling (F-T) 0,12.5

Dapat disimpulkan bahwa banyaknya gigi yang

ditumpat lebih sedikit daripada gigi yang missing

atau diindikasi pencabutan. Hal ini membuktikan

bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih

kurang menyadari pentingnya merawat dan

mempertahankan gigi di dalam rongga mulut.6

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

gambaran

perawatan saluran akar gigi di poli gigi

RSUD Ulin Banjarmasin.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif

observasional yang diperoleh dari wawancara dan

observasi langsung pada pasien yang melakukan

perawatan saluran akar gigi. Penelitian ini

merupakan deskriptif observasional dengan jumlah

sampel 100 orang, dengan metode purposive

sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara dan observasi langsung pada pasien

yang melakukan PSA. Penelitian ini dilakukan di

poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah alkolhol.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

inform consent, questioner, alat tulis, nier bekken,

kaca mulut, handscoon dan masker.

Penelitian ini diawali dengan meminta

kesediaan pasien yang dilakukan perawatan saluran

akar (PSA) di RSUD Ulin Banjarmasin untuk

menjadi sampel penelitian dengan memberikan

lembar persetujuan (informed consent). Kemudian

subjek penelitian diwawancara oleh peneliti. Tahap

selanjutnya peneliti melakukan observasi secara

langsung gigi yang telah dilakukan PSA.Data yang

didapat dari penelitian ini dikumpulkan dan

dikelompokkan berdasarkan tujuan, yaitu

karakteristik umur, jenis kelamin, status sosial

ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA

serta alasan responden melakukan PSA di poli gigi

RSUD Ulin Banjarmasin. Data tersebut kemudian

dianalisis dengan statistik deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1

berikut.

Gambar 1. Gambaran Perawatan Saluran

Akar Gigi (PSA) berdasarkan kelompok

umur

Gambar 1 menunjukkan sampel yang

melakukan PSA di Poli Gigi RSUD Ulin

Banjarmasin paling banyak pada kelompok umur

20-40 tahun (67%), kemudian diikuti kelompok

umur 40-65 tahun (25%), kelompok umur 10-20

tahun (8%) dan lebih dari 65 tahun (0%).

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa yang

paling banyak melakukan PSA adalah kelompok

umur 20-40 tahun (67%), sedangkan yang paling

sedikit adalah kelompok umur lebih dari 65 tahun

(0%).

Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi 175

Page 73: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

177

Gambar 2. Gambaran PSA berdasarkan jenis

kelamin

Gambar 2 menunjukkan bahwa responden

yang mendapatkan PSA paling banyak adalah

perempuan sebanyak 65 responden (65%).

Responden laki-laki mendapatkan PSA yaitu 35

responden (35%).

Gambar 3. Gambaran PSA berdasarkan Status

Sosial Ekonomi

Gambar 2. menunjukkan bahwa responden

yang melakukan PSA dengan sosial ekonomi tinggi

adalah 0 responden (0%), menengah ke atas adalah

17 responden (17%), menengah ke bawah 36

responden (36%), agak rendah 41 responden (41%)

dan rendah 6 responden (6%). Berdasarkan data

tersebut diketahui bahwa bahwa responden dengan

sosial ekonomi yang agak rendah merupakan

responden yang paling banyak melakukan PSA

(41%). Tidak ada responden dengan sosial ekonomi

tinggi yang melakukan PSA (0%).

Gambar 4. Gambaran PSA berdasarkan Alasan

Melakukan PSA

Gambar 4 menunjukkan bahwa alasan

terbanyak responden melakukan PSA karena sakit

gigi sebanyak 42 responden (42%). Kemudian

diikuti dengan alasan gigi berlubang (17%), estetik

(11 %), retreatment perawatan saluran akar (9 %),

fraktur (5%), anjuran dokter gigi karena gigi masih

bisa dirawat (5%), takut cabut gigi (4%), penyakit

sistemik (3%), karies sekunder (3%), dan tambalan

lepas (1%).

Gambar 5. Elemen Gigi yang dilakukan PSA

Gambar 5 menunjukkan bahwa elemen

gigi terbanyak yang dilakukan PSA adalah gigi

molar 1 kiri bawah dan molar 1 kanan bawah

dengan persentasi 13%, kemudian diikuti gigi

176 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 - 178

Page 74: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

178

molar 2 permanen kiri bawah (11%), molar 1

permanen kiri atas (9%), insisif sentral permanen

kanan atas (7%), insisif sentral permanen kiri atas

(6%), premolar 2 permanen kanan atas, molar 1

permanen kanan atas dan molar 2 permanen kanan

bawah (5%), premolar 1 permanen kanan atas,

molar 2 permanen kanan atas, premolar 1 permanen

kiri bawah, dan premolar 2 permanen kanan bawah

(4%), premolar 2 permanen kiri atas (3%), premolar

1 permanen kiri atas (2%), serta insisif lateral

permanen kanan, insisif lateral permanen kiri atas,

molar 2 permanen kiri atas, insisif lateral permanen

kanan bawah, dan kaninus lateral permanen kanan

bawah (1%). Kaninus permanen atas, insisif sentral

permanen bawah, insisif lateral permanen kiri

bawah, kaninus permanen kiri bawah dan premolar

2 permanen kanan bawah merupakan elemen gigi

yang tidak dilakukan PSA selama penelitian (0%).

PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa

yang paling banyak melakukan PSA adalah

kelompok umur 20-40 tahun (67%), sedangkan

yang paling sedikit adalah kelompok umur lebih

dari 65 tahun (0%). Hal ini mungkin disebabkan

karena berdasarkan RISKESDAS Provinsi

Kalimantan Selatan (2007) pada kelompok umur

35-44 tahun rata-rata kehilangan 5,09 gigi dan pada

kelompok umur 65 tahun ke atas rata-rata memiliki

kehilangan 22,73 gigi. Dapat disimpulkan bahwa

pada usia 35 tahun ke atas banyak masyarakat di

Kalimantan Selatan yang mencabut giginya dan

semakin bertambahnya umur, semakin banyak gigi

yang telah dicabut.6 Selain itu, Kalimantan Selatan

merupakan salah satu wilayah yang memiliki

potensi endapan gambut terluas.7 Daerah dengan

potensi endapan gambut memiliki pH air tanah

yang secara umum cenderung asam, yaitu 3-4,5.8

air gambut memiliki pH yang asam yang dapat

meningkatkan demineralisasi, yang nantinya akan

menyebabkan gigi mudah terkena karies karena

tidak seimbangnya proses demineralisasi dan

remineralisasi.9

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa

wanita lebih banyak melakukan PSA (65%)

daripada laki-laki (35%). Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian terdahulu oleh Hollanda et al

(2008) di Brazil dan Ahmed et al (2009) di Pakistan

bahwa perempuan lebih banyak melakukan PSA

daripada laki-laki.10,11 Hal ini mungkin terjadi

karena perempuan lebih peduli dengan kesehatan

oral.12 Hal ini didukung juga dengan pernyataan

dari Ambarwati (2012) bahwa perempuan lebih

mengutamakan estetik dibanding laki-laki, sehingga

perempuan sangat memperhatikan kesehatan

giginya.13

Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa

bahwa responden dengan sosial ekonomi yang agak

rendah merupakan responden yang paling banyak

melakukan PSA (41%). Tidak ada responden

dengan sosial ekonomi tinggi yang melakukan PSA

(0%) di poli gigi RSUD Ulin. Hal ini didukung oleh

hasil penelitian Budisuari et al (2010) bahwa status

sosial ekonomi rendah cenderung terkena karies

lebih tinggi yaitu sebesar 1.116 kali dibanding

sosial ekonomi yang lebih tinggi.14

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa

alasan terbanyak melakukan PSA adalah sakit gigi

(42%) sedangkan yang paling sedikit adalah

tambalan lepas (1%). Hal ini mungkin terjadi

karena umumnya pulpitis irreversibel dan nekrosis

diawali dengan karies gigi. Umumnya karies pada

tahap awal belum menimbulkan rasa sakit, sehingga

pasien tidak merasa perlu untuk ditambal. Bila

dibiarkan terus-menerus tanpa ditambal, proses

dapat berlanjut dan mengenai pulpa sehingga

menyebabkan sakit gigi yang berulang.15

Berdasarkan pernyataan Darwita et al (2010), sakit

gigi menurunkan produktivitas kerja seseorang.

Oleh karena hal tersebut, seseorang dengan sakit

gigi paling banyak melakukan PSA.16

Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa

elemen gigi yang paling banyak dilakukan PSA

adalah gigi molar 1 permanen kanan rahang bawah

dan molar 1 permanen kiri rahang bawah dengan

persentasi masing-masing 13%, sedangkan elemen

gigi yang selama penelitian tidak ditemukan

dilakukan PSA adalah gigi kaninus permanen

kanan rahang atas, kaninus kiri permanen rahang

atas, kaninus kiri permanen rahang bawah, insisif

sentral permanen kiri rahang bawah, insisif lateral

permanen kiri rahang bawah, insisif sentral

permanen kanan rahang bawah, dan premolar 1

permanen kanan rahang bawah (0%). Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh

Ahmed et al (2009) yang menyatakan bahwa molar

merupakan yang paling banyak dilakukan PSA

(54%) dengan persentasi molar 1 permanen rahang

bawah yang paling banyak (21.2%).11 Demikian

pula hasil penelitian Oglah et al (2011) yang

menyatakan bahwa molar permanen rahang bawah

merupakan gigi yang paling sering dilakukan PSA

(23.01%).17 Berbeda dengan hasil penelitian

Hollanda et al (2008) dan bahwa PSA paling

banyak dilakukan pada gigi premolar dan molar

permanen rahang atas, demikian pula dengan hasil

penelitian Marza dan Ranj (2009) yang menyatakan

bahwa insisif sentral dan premolar 1 permanen

rahang atas yang paling banyak dilakukan PSA.10,18

Hal ini mungkin terjadi karena gigi molar 1

permanen merupakan gigi permanen pertama yang

erupsi sehingga paling lama terpapar dengan

etiologi karies.19 Hal ini didukung dengan

pernyataan bahwa gigi molar merupakan gigi yang

beresiko mengalami karies, terutama fissure dan

permukaan proksimal, dari aspek mesial molar

kedua sampai aspek distal premolar pertama.20

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, PSA di Poli

Gigi RSUD Ulin Banjarmasin paling sering

Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi 177

Page 75: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

179

dilakukan pada perempuan (65%) dengan

kelompok umur 20-40 tahun (67%), status sosial

ekonomi agak rendah (41%), dengan keluhan sakit

gigi (42%) pada molar 1 permanen rahang bawah

(26%).

DAFTAR PUSTAKA

1. Samad F. Karies Gigi. Skripsi. Pekanbaru:

FK-UNRI, 2008. P.3.

2. Bakar A. Kedokteran Gigi Klinis. Yogyakarta:

Quantum Sinergis Media, 2012. P.27.

3. Tarigan R. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti).

Edisi 2 revisi. Jakarta: EGC, 2006. P.23-27,

35.

4. Yu C and Abbott PV. An Overview of Dental

Pulp: Its Functions and Responses to Injury.

Australian Dental Journal Endodontic

Supplement 2007; 52 (1 Suppl): S4-S16.

5. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2008. P.191.

6. Depkes RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan

Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2009. P: 114.

7. Tjahjono JAE. Kajian Potensi Endapan

Gambut Indonesia berdasarkan Aspek

Lingkungan. Jakarta: Pusat Sumber Daya

Geologi, 2006. P.4.

8. Hartatik W, Idris K, Sabiham S, Djuniwati

dan Adiningsih JS. Pengaruh Pemberian

Fosfat Alam dan SP-36 pada Tanah Gambut

yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral

terhadap Serapan P dan Efisiensi Pemupukan.

Padang: Universitas Padang, 2004. P. 13.

9. Prasetyo A. Keasaman Minuman Ringan

Menurunkan Kekerasan Permukaan Gigi. Maj.

Kedokteran Gigi 2005; 38: 2.

10. Hollanda ACB, Alencar AHG, Esterela CRA,

Bueno MR, and Estrela C. Prevalence of

Endodontically Treated Teeth in a Brazilian

Adult Population. Braz Dent J. 2008; 19(4):

313-317.

11. Ahmed H, Durr-e-S, and Munawar R.

Frequency and Distribution of Endodontically

Treated Teeth. Journal of the College of

Physicians and Surgeons Pakistan. 2009;

19(10): 605-8.

12. Nield-Gehrig JS, and Willmann DE.

Foundation of Periodontics for The Dental

Hygienist. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins, 2003. P.78.

13. Ambarwati AW. Persepsi Mengenai Tampilan

Susunan Gigi Anterior dan Kebutuhan

Perawatan Ortodonti (Pada anak usia 9-12

tahun). Skripsi. Makassar: FK UNHAS, 2012.

P.35.

14. Budisuari MA, Oktarina, dan Mikrajab MA.

Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan

Menyikat Gigi dengan Kesehatan Gigi dan

Mulut (Karies) di Indonesia. Bulletin

Penelitian Sistem Kesehatan. 2010; 13(1): 83-

91.

15. Agtini MD, Sintawati dan Murwanto T. Status

Kesehatan Gigi, Performed Treatment Index

dan Required Treatment Index Anak Sekolah

Dasar di Kabupaten Cianjur, Karawang dan

Serang. Media Litbang Kesehatan. 2005;

15(4): 26-33.

16. Darwita RR, Rahardjo A dan Amalia R.

Penerimaan Guru SDN 03 Senen terhadap

Program Sikat Gigi Bersama di Dalam Kelas

pada Murid Kelas 1 dan 2. Cakradonya Dent

J. 2010; 2(2): 159-250.

17. Oglah FS, Baidda MZ and Gholam MK.

Evaluation of Endodontic Treatment in Three

Specialized Private Clinics in Baghdad

(Retrospective Study). Mustansiria Dental

Jounal. 2011; 8(3): 233-236.

18. Marza RSA and Ranj AB. Prevalence and

Technical Quality of Root Canal Treatment in

Sulaimani Patiens (A Radiographic

Evaluation). J Bagh College Dentistry. 2009;

21(2): 54.

19. Demiburga S, Tuncay O, Cantekin K,

Cayabatmaz M, Dincer AN, Kilinc HI and

Sekerci AE. Frequency and Distribution of

Early Tooth Loss and Endodontics Treatments

Need of Permanent First Molars in a Turkish

Pediatric Population. Eur J Dent. 2013; 7(1):

S99-104.

20. Axelsson Per. Diagnosis and Risk Prediction

of Dental Caries. London: Quintessence

Publishing Co. Inc, 2000. P.23.

178 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 - 178

Page 76: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

180

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS OBAT KUMUR BEBAS ALKOHOL YANG MENGANDUNG

CETYLPYRIDINIUM CHLORIDE DENGAN CHLORHEXIDINE TERHADAP PENURUNAN PLAK

Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012

Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Mouthwash is solution used to clean the mouth, prevent dental caries and periodontal

diseases. Chlorhexidine (CHX) is potential material in inhibiting plaque, buts long-term use may be harmful

because it contains alcohol and can cause discoloration of teeth and restorations. Cetylpyridinium chloride

(CPC) is materials that inhibit plaque effectively without alcohol and has lower side effect. Purpose: This study

aimed to determine differences on the effectiveness of the use of mouthwash containing CPC compared with

CHX to decrease plaque. Methods: This study used a quasi-experimental with pretest-posttest control group

design with 60 subjects. The study on plaque index was conducted twice, initial check up and two weeks after the

treatment. This study used a disclosing agent with Quigley and Hein method by Turkesky, Gilmore, and

Glickman.Results: The study results indicated that the average reduction in plaque index of the group taking

CPC mouthwash before and after treatment was 1.25 and down to 0.63 respectively, and the group taking the

CHX mouthwash was 1.22 and down to 0.44 respectively. The result of effectiveness test in each group before

and after treatment with paired t-test was p=0,000. The test of plaque reduction between the groups with the

Mann-Whitney test showed that p=0.129. Conclusion: It could be concluded that both mouthwashes were

effective in reducing plaque index after used for 2 weeks twice a day and there was no significant difference.

Cetylpyridinium Chloride mouthwash could be used as an alternative of Chlorhexidine mouthwash to inhibit

plaque.

Keywords: Mouthwash, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), dental plaque.

ABSTRAK

Latar belakang: Obat kumur adalah larutan yang digunakan untuk membersihkan rongga mulut,

mencegah karies gigi dan penyakit periodontal. Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan yang potensial dalam

menghambat plak, namun penggunaan jangka panjang dapat berdampak buruk karena mengandung alkohol

dan dapat mewarnai gigi dan restorasi. Cetylpyridinium Chloride (CPC) bahan yang efektif menghambat plak

tanpa alkohol dan efek samping lebih rendah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan

efektifitas penggunaan obat kumur yang mengandung CPC dibandingkan dengan CHX terhadap penurunan

plak. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan pretest-posttest

control group design dengan jumlah sampel 60 orang. Penelitian terhadap indeks plak dilakukan sebanyak 2

kali, yaitu pemeriksaan awal dan 2 minggu setelah perlakuan. Penelitian ini menggunakan disclosing agent

dengan metode Quigley dan Hein yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman untuk mengukur

indeks plak. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penurunan indeks plak kelompok yang mengonsumsi

obat kumur CPC sebelum sebesar 1,25 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,63. Pada kelompok mengonsumsi

obat kumur CHX sebelum sebesar 1,22 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,44. Uji efektivitas setiap

kelompok sebelum sesudah dengan menggunakan t-test berpasangan dengan nilai p sebesar 0,000. Uji

penurunan plak antar kelompok menggunakan uji Mann-Whitney dengan nilai p sebesar 0,129. Kesimpulan:

Laporan Penelitian

Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi 179

Page 77: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

181

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kedua obat kumur tersebut efektif dalam

menurunkan indeks plak setelah pengguunaan selama 2 minggu 2 kali sehari dan tidak ada perbedaan yang

bermakna, serta obat kumur CPC dapat dijadikan alternatif dari obat kumur CHX untuk menghambat plak.

Kata-kata kunci: Obat kumur, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), plak gigi.

Korespondensi: Dian Novita Sari, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalsel, email : [email protected]

PENDAHULUAN

Karies merupakan suatu penyakit yang

disebabkan oleh interaksi antara bakteri plak, diet,

keadaan gigi-geligi dan waktu. Plak merupakan

salah satu penyebab dari karies gigi dan penyakit

periodontal. Plak didominasi oleh bakteri

Streptococcus Mutans dan Lactobacillus.1 Upaya

pencegahan karies dan penyakit periodontal dapat

dilakukan dengan peningkatan kesehatan gigi dan

mulut, salah satu caranya dengan mencegah

pembentukan plak dan pembersihan plak secara

teratur.2

Plak merupakan salah satu deposit lunak

berwarna putih keabu-abuan atau kuning yang

melekat erat pada permukaan gigi.3,4 Plak dapat

terbentuk setelah satu atau dua hari tanpa tindakan

kebersihan mulut.3 Plak biasanya mulai terbentuk

pada sepertiga permukaan gingiva dan pada

permukaan gigi yang cacat dan kasar.5

Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara

mekanis yaitu menyikat gigi dan penggunaan obat

kumur.1

Penggunaan obat kumur dalam kontrol

plak sehari-hari ditujukan sebagai tambahan dalam

penyingkiran plak secara mekanis tersebut. Hal ini

disebabkan berkumur dengan obat kumur dapat

mencapai lebih banyak permukaan-permukaan dari

rongga mulut.6 Pada umumnya obat kumur

mengandung 5-25% alkohol. Alkohol dimasukkan

dalam obat kumur untuk beberapa kegunaan, antara

lain sebagai antiseptik, memperpanjang masa

simpan obat kumur, mencegah pencemaran

mikroorganisme, dan pelarut.6 Namun kandungan

alkohol dalam obat kumur ini menyebabkan

individu-individu tertentu tidak dapat menggunakan

obat kumur yang mengandung alkohol, seperti

anak-anak, ibu hamil/ menyusui, pecandu alkohol,

pasien-pasien yang menggunakan metronidazole,

dan pasien dengan xerostomia.7 Kandungan alkohol

yang terdapat dalam obat kumur juga dapat

meningkatkan risiko kanker rongga mulut, terutama

bila pemakaian terus-menerus.8

Cetylpyridinium chloride (CPC) adalah

senyawa amonium kuartenari yang merupakan

bakterisid monokationik.9,10,11 Cetylpyridinium

chloride biasanya digunakan untuk terapi infeksi

superfisial rongga mulut dan kerongkongan.

Cetylpyridinium chloride dapat larut dalam air,

alkohol, kloroform, benzena dan eter.11 Sifat

kelarutanya tersebut menyebabkan CPC dapat

dibuat dalam sediaan bebas alkohol, sehingga lebih

menguntungkan dan cocok untuk semua individu.7,8

Cetylpyridinium chloride pada obat kumur

mempunyai kemampuan untuk mengontrol plak

dan gingivitis. Cetylpyridinium chloride

mempunyai kemampuan anti bakteri, anti plak dan

mengobati gingivitis, setelah pemakaian selama 2

minggu secara terus-menerus.12

Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan

kemoterapi yang paling potensial sebagai

antikariogenik, sehingga CHX sering digunakan

sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi

antikariogenik lainnya yang dapat menghambat

pembentukan plak (13). Chlorhexidine 0,2%

efektif sebagai anti plak dan anti gingivitis.14

Chlorhexidine tidak bersifat toksik, tetapi dapat

perubahan sensasi sementara dan meninggalkan

noda kecoklatan pada gigi, restorasi, membran

mucosa dan lidah yang sulit untuk dibersihkan.14

Proporsi penduduk Kalimantan Selatan

yang mengalami masalah gigi dan mulut adalah

sekitar (29,2%), tertinggi di Kabupaten Barito

Kuala dan Banjarmasin. Pada daerah Banjarmasin

adalah sekitar (38,2%).15 Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui perbedaan efektifitas

penggunaan obat kumur bebas alkohol yang

mengandung CPC dibandingkan dengan CHX

terhadap terhadap penurunan plak di dalam rongga

mulut mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas

Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin pada bulan Mei dan Juni 2013.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi

eksperimental, dengan rancangan pretest-posttest

control group design. Populasi dalam penelitian ini

adalah mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi

Fakultas Kedoteran Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012.

Sampel di ambil dengan teknik purposive

sampling. Penelitian ini menggunakan 60 sampel

yang dibagi menjadi dua kelompok yang masing-

180 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 - 183

Page 78: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

182

masing kelompok berjumlah 30 responden. Bahan

yang digunakan pada penelitian ini adalah obat

kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride,

obat kumur Chlorhexidine, kapas, alkohol 70%,

disclosing agent, tisu, dan air putih. Alat yang

digunakan adalah diagnostic set, gelas kumur,

nierbekken, masker, dan sarung tangan.

Informed consent diberikan kepada

responden sebelum pemeriksaan awal. Pemeriksaan

plak menggunakan perhitungan indeks plak dari

Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Turkesky,

Gilmore, dan Glickman, yaitu dengan bahan

pewarna yang berwarna merah (disclosing agent)

untuk memeriksa plak yang terbentuk pada

permukaan mahkota gigi. Gigi yang diperiksa

dipilih berdasarkan pemilihan gigi menurut

Ramford’s Periodontal Disease Indeks (PDI), gigi-

gigi 16, 21, 24, 36, 41,44. Jika gigi-gigi tersebut

tidak ada, maka dapat diganti gigi dengan bentuk

anatomi serupa dalam satu sekstan. Permukaan

gigi yang diamati meliputi enam permukaan yaitu

mesiofasial, midfasial, distofasial, mesiolingual/

mesiopalatal, midlingual/midpalatal dan

distolingual/distopalatal. Perhitungannya dengan

skala pengukuran sebagai berikut :

0 = tidak ada

1 = terdapat bercak-bercak plak yang terpisah

pada daerah leher gigi dan bagian lain di atas

servikal gigi

2 = lapisan tipis plak yang kontinyu (kira-kira

1mm) pada daerah leher gigi

3 = lapisan plak dengan lebar lebih dari 1mm

dan menutupi kurang dari 1/3 mahkota gigi

4 = plak menutupi antara 1/3-2/3 bagian

mahkota gigi

5 = plak menutupi lebih dari 2/3 bagian mahkota

gigi.

Responden tiap kelompok kemudian

diberikan perlakuan obat kumur yang mengandung

Cetylpiridinium Chloride dan obat kumur yang

mengandung Chlorhexidine. Responden diberikan

intruksi untuk menggunakan obat kumur yang

diberikan 2 kali sehari setelah sikat gigi pagi dan

setelah sikat gigi malam sebelum tidur selama 2

minggu. Setelah 2 minggu perlakuan dilakukan

pemeriksaan indeks plak dengan menggunakan

perhitungan indeks plak dari Quigley dan Hein

yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan

Glickman seperti pemeriksaan sebelum pelakuan.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan plak

setelah pemakaian kedua obat kumur selama 2

minggu. Hasil penelitian dapat dapat dilihat pada

gambar 1 dan gambar 2. Gambar 1 menunjukan

adanya penurunan nilai rata-rata indeks plak setelah

2 minggu pemakaian obat kumur yang mengandung

CPC. Pada pemeriksaan sebelum pemakaian obat

kumur yang mengandung CPC didapatkan indeks

plak rata-rata adalah sebesar 1,25 dan setelah

pemakaian obat kumur yang mengandung CPC

indeks plak rata-rata turun menjadi sebesar 0,63.

Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan nilai

rata-rata indeks plak dari pemeriksaan sebelum

pemakaian dan setelah 2 minggu pemakaian obat

kumur yang mengandung CHX. Indeks plak rata-

rata sebelum pemakaian obat kumur yang

mengandung CHX adalah sebesar 1,22 dan setelah

pemakaian obat kumur yang mengandung CHX

sebesar 0,44.

Gambar 1. Diagram penurunan rata-rata indeks plak

sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang

mengandung Cetylpiridinium Chloride

Gambar 2. Diagram penurunan rata-rata indeks plak

sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang

mengandung Chlorhexidine

Data yang didapat kemudian dianalisia

secara statistik. Hasil uji normalitas Kolomogorov

Smirnov menunjukkan p > 0,05 pada semua

kelompok. Analisis data dilanjutkan dengan t-test

berpasangan. Hasil t-test berpasangan pada

kelompok yang menggunakan obat kumur CPC

didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa obat kumur yang mengandung

CPC efektif menurunkan plak setelah pemakaian 2

Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol 181

Page 79: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

183

kali sehari selama 2 minggu berturut-turut. Hasil t-

test berpasangan pada kelompok yang

menggunakan obat kumur CHX didapatkan nilai p

= 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

obat kumur yang mengandung CHX efektif

menurunkan plak setelah pemakaian 2 kali sehari

selama 2 minggu berturut-turut.

Hasil uji normalitas Kolomogorov Smirnov

pada data penurunan indeks plak kedua kelompok

menunjukkan nilai p < 0,05. Analisis data

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil uji

Mann-Whitney didapatkan nilai p = 0,129 (p >

0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna penurunan indeks plak

kedua kelompok tersebut.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, didapatkan hasil bahwa telah terjadi

penurunan plak sebelum dan sesudah pemakaian

obat kumur CPC dan CHX selama 2 minggu. Pada

penelitian sebelumnya juga sudah diteliti tentang

efektivitas dari obat kumur yang mengandung CPC

seperti hasil percobaan klinis yang dilakukan oleh

Rawlinson dkk (2008), menunjukkan bahwa dua

obat kumur yang mengandung CPC 0,05% dan

0,1% memperlihatkan penghambatan plak secara

klinis dan statistik serta tidak menunjukan

perbedaan yang signifikan pada kedua konsentrasi

tersebut.6 Penelitian lain juga menunjukkan obat

kumur yang mengandung CPC efektif secara

signifikan menurunkan plak secara in vivo setelah

penggunaan CPC setiap 12 jam atau 2 kali sehari

secara terus menerus selama 14 hari.12,16

Penelitian Depaola LG dan Spolarich AE

tahun 2007 menjelaskan cara kerja obat kumur

yang mengandung CPC dalam menghambat plak

dengan menghambat bakteri Streptococcus mutans.

Cetylpyridinium Chloride adalah senyawa

amonium kuartenari yang bersifat antiseptik dan

dapat membunuh bakteri dan mikroorganisme.

Cetylpyridinium Chloride merupakan antimikrobial

yang berspektrum luas dan bersifat bakterisid yang

mirip dengan CHX. Cetylpyridinium Chloride

efektif terhadap bakteri gram positif seperti

Streptococcus mutans. Cetylpyridinium Chloride

mempunyai efek bakterisid dengan mengganggu

fungsi membran bakteri pada sitoplasma dan

gangguan metabolisme bakteri yang menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan sel dan akhirnya

menyebabkan kematian pada sel. Penurunanan

populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat

menurunkan indeks plak.17

Berdasarkan penelitian Fitriastuti tahun

2008 dinyatakan CHX dapat menghambat

pembentukan plak setelah pemakaian larutan 0.2%

sebagai obat kumur 2 kali sehari. Chlorhexidine

efektif dalam menghambat bakteri karena CHX

tidak hanya efektif terhadap bakteri gram negative,

tapi juga efektif terhadap bakteri gram positif

seperti Streptococcus mutans. Chlorhexidine telah

diteliti sebagai bahan kemoterapi yang paling

potensial dalam menghambat Streptococcus mutans

dan karies gigi, sehingga CHX sering digunakan

sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi

antikariogenik bahan lainnya. Chlorhexidine telah

terbukti dapat mengikat bakteri, hal ini

dimungkinkan karena adanya interaksi antara

muatan-muatan positif dari molekul-molekul CHX

dan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi

ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel

bakteri yang menyebabkan penetrasi ke dalam

sitoplasma, dan pada akhirnya menyebabkan

kematian pada mikroorganisme. Penurunanan

populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat

menurunkan indeks plak.18

Hasil uji statistik antar kelompok

menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang

bermakna penurunan indeks plak kelompok yang

menggunakan obat kumur CPC dan CHX. Dalam

jurnal Depaola LG dan Spolarich AE tahun 2007,

pada perbandingan kedua kelompok tidak terdapat

perbedaan yang bermakna tersebut kemungkinan

disebabkan efek kedua obat kumur yang

mengandung CPC dan obat kumur yang

mengandung CHX mempunyai efek yang hampir

sama terhadap bakteri gram positif. Kedua obat

kumur tersebut sama-sama bersifat bakterisid

dengan membocorkan sel bakteri dan akhirnya

bakteri tersebut mati.17

Berdasarkan hasil penelitian ini bisa

dipertimbangkan agar obat kumur yang

mengandung CPC dapat dijadikan sebagai alternatif

penggunaan obat kumur yang mengandung CHX

dalam menurunkan indeks plak dengan efek

samping yang lebih kecil dibandingkan dengan

penggunaan CHX. Banyak efek samping

penggunaan CHX dalam jangka waktu yang

panjang seperti dapat menyebabkan perubahan

sensasi rasa sementara, pewarnaan terhadap gigi,

mukosa oral, dan bahan restorasi.19 Ditambah lagi

pada jurnal Rawlinson (dkk) tahun 2008

menyatakan efek samping yang ditimbulkan oleh

kandungan alkohol yang terdapat dalam larutan

obat kumur CHX. Cetylpyridinium chloride seperti

CHX juga menimbulkan efek pewarnaan ekstrinsik

namun hanya sedikit jika dibandingkan dengan obat

kumur CHX, karena efek samping CPC terhadap

mukosa dan perwarnaan gigi itu lebih kecil, serta

CPC dapat dibuat dalam sediaan bebas alkohol

maka obat kumur yang mengandung CPC dapat

dijadikan sebagai alternatif dari obat kumur yang

mengandung CHX.6,7,8

Kendala dalam penelitian ini adalah pola

makan setiap responden tersebut berbeda-beda, hal

itu dapat mempengaruhi self cleansing pada setiap

responden. Pola makan struktur gigi setiap

responden juga berbeda yang menyebabkan

pembersihan plak setiap responden berbeda-beda.

182 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 - 183

Page 80: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

184

Ada beberapa responden yang kurang menyukai

rasa dari Chlorhexidine yang agak pahit dan

menimbulkan sensasi sementara yang kurang

nyaman pada lidah responden tersebut.

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa obat

kumur yang mengandung cetylpyridinium chloride

(CPC) dan obat kumur yang mengandung

chlorhexidine (CHX) efektif dalam menurunkan

indeks plak setelah penggunaan 2 kali sehari secara

berturut-turut selama 2 minggu. Perbandingan

penurunan plak kedua kelompok tersebut di

dapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna

pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012. Hal

ini menunjukkan bahwa obat kumur yang

mengandung cetylpyridinium chloride dapat

dijadikan alternatif dari obat kumur yang

mengandung chlorhexidine yang memiliki efek

samping yang lebih rendah dibandingkan

chlorhexidine.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap

Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi

yang mengandung herbal. Majalah Kedokteran

Gigi (Dent. J.) 2005; 38(2): 64–67.

2. Rao D. Efficacy of an alcohol-free CPC-

containing mouthwash against oral multispecies

biofilms. The Journal of Clinical Dentistry

2011; 22: 187-194.

3. Carranza FA, Newman MG and Takei HH.

Clinical periodontology. 9th Ed. Philadelphia:

WB Saunders Company. 2002. p. 110-112.

4. Cawson RA, Odell EW and Porter S. Cawson’s

essential of oral pathology and oral medicine.

7th Ed. Spain: Churchill Livingstone. 2002. p.

43-47.

5. Putri MH, Eliza H dan Neneng N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010. h.

56-77.

6. Rawlinson A, Pollington S, Walsh TF, Lamb

DJ, Marlow I, Haywood S and Wright P.

Efficacy of two alcohol free cetylpyridinium

chloride mouthwashes a randomized double-

blind crossover study. J Clin Periodontol 2008;

35: 230-5

7. Witt J, Ramji N, Gibb R, Dunavent J, Flood J

and Barnes J. Antibacterial and antiplaque

effects of a novel, alcohol- free oral rinse with

cetylpyridinium chloride. Journal Contemporary

Dental Practice 2005 ; 6(1) : 2-8.

8. Quirynen M, Soers C, Desnyder M, Dekeyser

C, Pauwels M and Steenberghe D. A 0.05%

cetylpyridinium chloride 0.05% chlorhexidine

mouth rinse during maintenance phase after

initial periodontal therapy. J Clin Periodontol 2005; 32:391–2.

9. Herrera D, santos S, Barbieri G, Trombelli L

and Sans M. Efficacy of 0.15% benzydamine

hydrochloride and 0.05% cetylpyridinium

chloride mouth rinse on 4 – day de novo

plaque formation. J Clin Periodontol

2005;32:595-6

10. Watanabe E, Tanomaru JMG, Nascimento AP,

Matoba-Junior F, Tanomaru-Filho M and Ito

IY. Determination of the maximum inhibitory

dilution of cetylpyridinium chloride-based

mouthwashes againts Staphylococcus aureus

an in vitro study, J Appl Oral Sci. 2008; 16(4):

275

11. RA Regina NS. The effect of mouthwash

containing cetylpyridinium chloride on salivary

level of streptococcus mutans. 2007 Jurnal

PDGI; 57(1): 19-24.

12. Williams MI. The antibacterial and plaque

effectiveness of mouthwashes containing

cetylpyridinium chloride with and without

alcohol in improving gingival health. The

Journal of Clinical Dentistry. 2011; 22: 179-

182.

13. Bakar A. Kedoteran gigi klinis. Yogyakarta:

Quantum Sinmergis Media. 2012. h. 134-135.

14. Eley BM and Manson JD. Periodontics. 5th Ed.

London: Wright. 2004. p. 209-222.

15. Anonimous. Riskesdas. Laporan hasil riset

kesehatan dasar provinsi kalimantan selatan

tahun 2007. Jakarta: Dapartemen Kesehatan

Republik Indonesia. 2009.

16. He S, Yin W, Xu F, Deyu H and Sreenivasan

PK. A clinical study ti asses the 12-hour

antimicrobial effects of cetylpyridinium

chloride mouthwashes on supragingival plaque

bacteria. J Clin Dent 2011; 22: 195-199.

17. DePaola LG, Spolarich AE. Safety and

efficacy of antimicrobial mouthrinse in clinical

practice. Journal of Dental Hygiene 2007: 13-

22.

18. Fitriastuti P. Kegunaan efek chlorhexidine

terhadap resiko karies ditinjau dari ph plak dan

ph saliva pada pasien yang menggunakan alat

ortodontik cekat. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Indonesia. 2008. h. 5-18.

19. Putri NSE. perbandingan efektifitas obat

kumur bebas alkohol yang mengandung

cetylpiridinium chloride (CPC) dengan

chlorhexidine (CHX) terhadap streptococcous

mutans. Skipsi. Medan: Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Sumatera Utara. 2009. h. 5-

17.

Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol 183

Page 81: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

185

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

GAMBARAN KLINIS XEROSTOMIA PADA WANITA MENOPAUSE

DI KELURAHAN SUNGAI PARING

KECAMATAN MARTAPURA

Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Menopause is a phase in woman's life that is signed by the end of menstruation period and

reproductive function. One of the changes in the physical aspects that can occur during menopause is the oral

cavity changes. The changes in oral cavity such as burning sensation, redness, swelling and bleeding gingival,

changes in sense of taste, and xerostomia. The xerostomia in menopausal women were affected by hormonal

changes that occur during menopause. Purpose: The purpose of this research was to know the clinical features

of xerostomia in women who had menopause in Sungai Paring Distric Martapura. Methods: This research was

an observational study with descriptive analysis. Samples were taken by using purposive sampling technique

with 86 menopausal women. The data were obtained by direct interview and clinical examination using a dental

mirror. Results: The results showed that loss of saliva in the base of mouth were found in 36 of menopausal

women with xerostomia 45,3% (39 women), 4,6% (4 women) were existing erythema of the oral mucosa, and

1,2% (1 woman) was presenting the tongue lobulated. The loss of saliva in the base of mouth occurred in all

respondents with xerostomia. Conclusion: Based on the research it could be concluded that the most commonly

clinical features of xerostomia in menopausal women was loss of saliva in the base of mouth.

Keywords: clinical features, xerostomia, menopause

ABSTRAK

Latar belakang: Menopause merupakan suatu fase dari kehidupan wanita yang ditandai dengan

berakhirnya menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi. Salah satu perubahan aspek fisik yang dapat terjadi

selama masa menopause adalah perubahan pada rongga mulut antara lain rasa terbakar, gingiva bengkak,

merah dan berdarah, perubahan indra perasa serta xerostomia. Xerostomia pada wanita menopause

dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi pada masa menopause. Tujuan: Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui gambaran klinis xerostomia pada wanita yang telah mengalami menopause di

Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

deskriptif observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 86 wanita

menopause. Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan

menggunakan kaca mulut dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan

bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura

adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak 45,3% (39 orang), eritema pada mukosa mulut

sebanyak 4,6% (4 orang) dan lidah berlobul-lobul sebanyak 1,2% (1 orang). Hilangnya genangan saliva di

dasar mulut terjadi pada semua subjek penelitian yang mengalami xerostomia. Kesimpulan: Berdasarkan

penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita

menopause yang paling banyak ditemukan adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut.

Kata-kata kunci: gambaran klinis, xerostomia, menopause

Korespondensi: Raudah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl.

Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

Laporan Penelitian

184 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 - 183

Page 82: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

186

PENDAHULUAN

Menopause merupakan kejadian yang

normal pada seorang wanita dan setiap wanita pasti

akan mengalami masa menopause.1 Menurut World

Population Ageing (WPA), diperkirakan jumlah

penduduk lanjut usia di negara maju dan

berkembang akan terus meningkat dari 737 juta

pada tahun 2009 menjadi lebih dari 2 milyar pada

tahun 2050 yang sebagian besar merupakan wanita

menopause.2 Usia terjadinya menopause pada

wanita di seluruh dunia antara 40-60 tahun dengan

rata-rata usia 51 tahun.3 World Health Organization

(WHO), juga memperkirakan jumlah wanita usia 60

tahun ke atas akan meningkat dari 336 juta pada

tahun 2000 menjadi lebih dari 1 milyar pada tahun

2050.4

Prevalensi wanita menopause di Asia

sebanyak 60% dari seluruh dunia.5 Menurut Depkes

RI pada tahun 2005, diperkirakan penduduk

Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6

juta jiwa dengan jumlah wanita yang hidup dalam

usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dan usia rata-

rata menopause 49 tahun.6 Badan Pusat Statistik

(BPS) pada tahun 2005 memperkirakan jumlah

wanita menopause di Kalimantan Selatan sebanyak

34.063 orang dengan jumlah terbanyak pada usia

50-54 tahun yaitu 18.388 orang.7 Berdasarkan BPS

Kabupaten Banjar pada tahun 2010, diketahui

jumlah wanita usia 50 tahun ke atas di Kelurahan

Sungai Paring Kecamatan Martapura sebanyak 628

orang.8

Menopause merupakan suatu fase kehidupan

wanita yang ditandai dengan berakhirnya

menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi.

Perempuan dinyatakan menopause bila sudah tidak

mengalami siklus menstruasi berturut-turut minimal

selama 12 bulan.9 Usia terjadinya menopause antara

45 sampai 55 tahun, dengan usia rata-rata 52,5

tahun.10 Salah satu perubahan aspek fisik yang

dapat terjadi selama masa menopause adalah

perubahan pada mulut antara lain rasa terbakar,

gingiva bengkak, merah dan berdarah, perubahan

indra perasa serta mulut kering (xerostomia).11

Xerostomia pada wanita menopause

dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi

pada masa menopause. Prevalensi xerostomia

berkisar antara 14-46%, yang secara konsisten lebih

tinggi pada wanita. Prevalensi xerostomia pada

wanita adalah 8,1% dan pada laki-laki 3,1%.12

Xerostomia merupakan keluhan subjektif berupa

kekeringan di dalam mulut yang ditandai dengan

menurunnya jumlah aliran saliva dari normal akibat

penurunan produksi saliva dari kedua kelenjar

mayor dan minor. Manifestasi berkurangnya aliran

saliva dapat ringan, tanpa keluhan atau parah

dengan banyak keluhan.13 Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui gambaran klinis

xerostomia pada wanita yang telah mengalami

menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan

Martapura.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian

deskriptif observasional. Bahan yang digunakan

adalah alkohol 70%, kapas dan tisu. Alat yang

digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken,

sarung tangan, masker, senter, alat tulis, formulir

informed consent dan lembar checklist untuk

anamnesis. Populasi pada penelitian ini adalah

wanita usia ≥ 50 tahun yang tinggal di Kelurahan

Sungai Paring Kecamatan Martapura. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive sampling.

Sampel adalah wanita usia ≥ 50 tahun yang tinggal

di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura

serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusinya adalah wanita usia ≥ 50 yang

telah mengalami menopause di Kelurahan Sungai

Paring Kecamatan Martapura, bersedia menjadi

subjek penelitian dengan menandatangani informed

consent dan sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria

ekslusinya adalah memiliki penyakit sistemik yang

menyebabkan xerostomia secara langsung,

mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang

menyebabkan xerostomia serta pernah menjalani

radioterapi daerah kepala dan leher.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah xerostomia pada wanita menopause.

Penelitian ini dilakukan pada wanita menopause di

Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura

dengan mengunjungi rumah subjek penelitian.

Subjek penelitian dijelaskan tentang manfaat dan

prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti

dan diberikan lembar informed consent sebagai

tanda persetujuan menjadi subyek penelitian.

Wawancara dilakukan secara langsung terhadap

wanita yang mengalami menopause terkait dengan

riwayat penyakit dan keluhan yang berhubungan

dengan xerostomia. Pemeriksaan klinis dilakukan

pada rongga mulut menggunakan kaca mulut.

Subjek penelitian yang mengalami xerostomia

ditandai dengan melekatnya kaca mulut pada

dinding mukosa bukal yang menunjukkan keadaan

hiposalivasi, adanya manifestasi klinis seperti

kemerahan pada mukosa, lidah yang berlobul-lobul,

dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah menggunakan analisis deskriptif.

Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia 185

Page 83: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

187

41

39

05

1015202530354045

Eritema mukosa

mulut

Lidah berlobul-

lobul

Hilangnya

genangan saliva di

dasar mulut

Ju

mla

h (

oran

g)

Manifestasi Klinis

39

47

0

10

20

30

40

50

Xerostomia Normal

Ju

mla

h (

oran

g)

Kelainan

Xerostomia

Normal (tidak xerostomia)

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Sungai

Paring Kecamatan Martapura. Hasil penelitian

menunjukkan 86 orang wanita menopause serta

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dua puluh

tujuh orang berusia 50-54 tahun, 33 orang berusia

55-59 tahun, 12 orang berusia 60-64 tahun dan 14

orang berusia >64 tahun. Wanita menopause yang

mengalami xerostomia sebanyak 39 orang (45,3%)

dan 47 orang (54,7%) tidak mengalami xerostomia

(Gambar 1).

Gambar 1 Diagram frekuensi xerostomia pada

wanita menopause

Gambar 2 Diagram distribusi manifestasi klinis

xerostomia pada wanita menopause

Gambar 2 menunjukkan bahwa manifestasi

klinis / gambaran klinis xerostomia pada wanita

menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan

Martapura yang paling banyak ditemukan adalah

hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak

39 orang (45,3%) sedangkan eritema pada mukosa

mulut sebanyak 4 orang (4,6%) dan lidah berlobul-

lobul sebanyak 1 orang (1,2%). Hilangnya

genangan saliva di dasar mulut terjadi pada semua

subjek penelitian yang mengalami xerostomia.

Gambar 3 Lidah berlobul-lobul pada pasien

xerostomia

Gambar 4 Kondisi rongga mulut pasien yang

mengalami

xerostomia

PEMBAHASAN

Menopause merupakan fase penghentian

siklus menstruasi secara permanen minimal selama

12 bulan akibat berkurangnya sekresi hormon

ovarium.14 Usia terjadinya menopause dipengaruhi

oleh keturunan, kesehatan umum, pola kehidupan,

sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, dan konsumsi

alkohol.15,16 Menopause disebabkan oleh penuaan

ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi

estrogen, gonadotropin ovarium, dan progesteron.17

Secara fisiologis menurunnya kadar estrogen darah

pada wanita menopause mengakibatkan terjadinya

perubahan kondisi rongga mulut seperti hipofungsi

kelenjar saliva dan atrofi mukosa mulut.18

Xerostomia pada wanita menopause

dipengaruhi oleh perubahan hormonal.10 Estrogen

adalah suatu hormon steroid yang mempunyai

reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut,

sehingga estrogen dapat berfungsi secara biologis

pada mulut dan kelenjar saliva. Keberadaan

reseptor estrogen di kelenjar saliva sangat berperan

terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva.18

Penurunan sekresi saliva pada wanita menopause

dapat meningkatkan kejadian karies, periodontitis

dan risiko timbulnya lesi pada mukosa mulut

seperti infeksi kandidiasis.9

186 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 - 188

Page 84: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

188

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 86 subjek penelitian wanita

menopause, 45,3% (39 orang) mengalami

xerostomia. Persentase ini cukup tinggi karena

hampir mencapai setengah dari total subjek

penelitian meskipun persentase yang normal atau

tidak mengalami xerostomia masih lebih tinggi

yaitu 54,7% (47 orang). Hasil penelitian Zoraida

tahun 2011 juga menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara menopause

dengan terjadinya xerostomia. Pada penelitian

tersebut, Zoraida membandingkan wanita

menopause dengan wanita yang tidak menopause.19

Wanita menopause yang mengalami xerostomia

hampir semua wanita tersebut mengeluhkan mulut

kering, membutuhkan cairan untuk mengunyah dan

menelan makanan, serta merasa haus terutama pada

malam hari. Banyak faktor yang mempengaruhi

terjadinya xerostomia seperti faktor psikologis

seseorang dan riwayat penyakit sistemik seperti

hipertensi.9

Manifestasi klinis xerostomia antara lain

eritema pada mukosa bukal, lidah berlobul-lobul,

dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.20

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 2) frekuensi

manifestasi klinis dari xerostomia yang paling

banyak adalah hilangnya genangan saliva di dasar

mulut. Lidah berlobul-lobul merupakan manifestasi

klinis xerostomia yang ditemukan pada 1 orang

(paling sedikit) dan eritema mukosa mulut terjadi

sebanyak 4 orang. Hasil penilitian ini sesuai dengan

teori bahwa manifestasi xerostomia pada wanita

menopause muncul secara bertahap dari ringan

sampai berat. Pada xerostomia ringan kondisi

mukosa masih normal, terjadi hilangnya genangan

saliva di dasar mulut dan pasien sering

mengeluhkan mulutnya terasa kering, sedangkan

pada kasus xerostomia berat akan terjadi perubahan

pada mukosa rongga mulut seperti eritema bahkan

lidah menjadi berlobul-lobul.21

Hormon seks steroid khususnya estrogen

berperan penting dalam fisiologi rongga mulut

manusia. Efek estrogen dimediasi oleh reseptor

estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu

reseptor estrogen α dan reseptor estrogen β.22,23

Hanya reseptor estrogen β yang berperan mengatur

pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut,

kelenjar saliva dan gingiva.22 Menurunnya kadar

reseptor estrogen β pada wanita menopause

mengakibatkan penurunan fungsi (hipofungsi)

kelenjar saliva. Wanita menopause akan mengalami

mulut terasa kering karena volume saliva berkurang

(hiposalivasi) yang biasanya sering ditandai dengan

hilangnya genangan saliva di dasar mulut.18

Mukosa rongga mulut sangat sensitif

terhadap perubahan kadar hormon dalam darah

pada perempuan. Penurunan kadar estrogen pada

wanita yang telah menopause mempengaruhi proses

maturisasi atau pematangan sel epitel pada mukosa

yang dapat menyebabkan penipisan dan atropi

epitel.22 Secara klinis, mukosa rongga mulut wanita

yang mengalami kekurangan kadar estrogen dalam

darah akan mengalami atropi, kering, mudah terjadi

iritasi serta warna mukosa mulut akan menjadi

pucat sampai terjadi eritema sedangkan pada epitel

berkeratin akan terjadi gingivostomatitis

menopause yang ditandai dengan gingiva menjadi

kering, mengkilap dan mudah berdarah pada

probing dan saat menyikat gigi.11,23

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa manifestasi klinis atau

gambaran klinis dari xerostomia pada wanita

menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan

Martapura yang paling banyak ditemukan adalah

hilangnya genangan saliva di dasar mulut

dibandingkan dengan eritema pada mukosa mulut

dan lidah berlobul-lobul. Pada pasien yang masih

bergigi tetapi mengalami penurunan aliran saliva

cukup banyak sebaiknya diberi penanganan

pencegahan yang ketat untuk membatasi

perkembangan lesi karies. Pasien sebaiknya

melakukan aplikasi flour secara profesional dan

topikal, menggunakan pasta gigi yang mengandung

flour dan obat kumur klorheksidin glukonat serta

kontrol kebersihan mulut.24

DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniwati C. Pengaruh Peran Tenaga

Kesehatan terhadap Kesiapan Wanita

Menopause dalam Menghadapi Keluhan

Menopause di Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Provinsi

Aceh. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara,

2011. p.1.

2. Zlotnik H. World Population Ageing 2009.

New York: Department of Economic and

Social Affairs Polpulation Division, 2009.

p.10.

3. Kok HS, Asselt KM, Schouw YT, Peeters

PHM, and Wijmenga C. Genetic Studies to

Identify Genes Underlying Menopausal Age.

Human Reproduction Update. 2005; 11(5):

483-484.

4. World Health Organization. Women, Ageing

and Health: A Framework for Action.

Ottawa: Department of Ageing and Life

Course (ALC), 2007. p.3.

5. Palacios S, Henderson VW, Siseles N, Tan

D, and Villaseca P. Age of Menopause and

Impact of Climacteric Symptoms By

Geographical Region. Climacteric,

International Menopause Society. 2010; 13:

419–428.

6. Departemen Kesehatan RI 2005. Terjadi

Pergeseran Umur Menopause. Available

from

(http://www.depkes.go.id/index.php?option=

Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia 187

Page 85: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

189

article&task+vieawticle&&artid=280,

diakses 9 Januari 2013).

7. Statistik Indonesia 2005. Wanita Berumur

10-54 Tahun yang Berstatus Kawin Menurut

Alasan Utama Tidak Menggunakan

Alat/Cara KB dan Golongan Umur,

Kalimantan Selatan 2005. Available from

(http://www.datastatistikindonesia.com/porta

l/index.php?option=com_supas&task=&Item

id=954, diakses 15 Januari 2013).

8. BAPPEDA-BPS Kabupaten Banjar. Profil

dan Analisa Penduduk Kecamatan Martapura

Hasil Sensus Penduduk 2010 (Penjabaran

Data Sensus Tahun 2010). Martapura: Badan

Pusat Statistik Kabupaten Banjar, 2010.

p.62.

9. Mutneja P, Dhawan P, Raina A, and Sharma

G. Menopause and The Oral Cavity. Indian

Journal of Endocrynology and Metabolism.

2012; 16(4): 548.

10. Agha-Hosseini F and Mirzaii-dizgah I.

Unstimulated Whole Saliva Parathyroid

Hormone in Postmenopausal Women with

Xerostomia. The Journal of Contemporary

Dental Practice. 2011; 12(3): 196.

11. Guncu GN, Tozum TF, and Caglayan F.

Effects of Endogenous Sex Hormones on

The Periodontium Review of Literature.

Australian Dental Journal. 2005; 50(3) :142.

12. Gomez BR, Vallejo GH, Fuenta LA, Cantor

ML, Diaz M, and Lopez-Pintor RM. The

Relationship Between The Levels of

Salivary Cortisol and The Presence of

Xerostomia in Menopausal Women A

Preliminary Study. Med Oral Patol Oral Cir

Bucal. 2006; 11: 408.

13. Bhayana R, Sanadhya S, Bhayana D, and

Padiyar B. Review Article Xerostomia (an

ECR) – Effects, Causes, Remedies. Journal

of Dentofacial Sciences. 2013; 2(1): 7-8.

14. Rahman SASA, Zainudin SR, and Mun

VLK. Assessment of Menopausal Symptoms

Using Modified Menopause Rating Scale

(MRS) Among Middle Age Women in

Kuching, Sarawak, Malaysia. Asia Pacific

Family Medicine Bio Med Central. 2010;

9(5): 1-6.

15. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Jakarta:

PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

2009. p.92-130.

16. Szwejser E and Szwostek K. The Influence

of Selected Environmental Factors on The

Time of Natural Menopause in Women

Living in The Malopolskie Voivodeship.

Anthropological Review. 2012; 75(2): 118.

17. Elsabagh EEM and Allah ESA. Menopausal

Symptoms and The Quality of Life Among

Pre/Post Menopausal Women from Rural

Area in Zagazig City. Life Science Journal.

2012; 9(2): 283.

18. Joenoes H, Fatma D, dan Gultom F. Aktifitas

Enzim Peroksidase Saliva pada Wanita

Sebelum dan Sesudah Menopause. Dentika

Dental Journal. 2007; 12(1): 10-13.

19. Lubis ZS. Hubungan Menopause dengan

Terjadinya Xerostomia pada Anggota

Perwiritan Nurul Ihsan Kelurahan Payaroba

Kecamatan Binjai Barat. Skripsi. Medan:

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara. 2011. p.28-36.

20. Scully C, Almeida OPD, Bagan J, Dios PD,

and Taylor AM. Oral Medicine and

Pathology at a Glance. 1st Ed. England:

Wiley-Blackwell, 2010. p.74-75.

21. Carpenter W, Glick M, Nelson SR, Roser

SM, and Patton LL. Oral Health Care Series:

Women’s Oral Health Issues. San Francisco:

American Dental Association Council on

Access, Prevention and Interprofessional

Relations, 2006. p.14-15.

22. Hosseini FA, Dizgah IM, Mansourian A, and

Khayamzadeh M. Relationship of Stimulated

Saliva 17β-estradiol and Oral Dryness

Feeling in Menopause. Elsevier Ireland Ltd.

2008;62:197-199.

23. Haskin C and Mobley C. Women and

Health: The Impact of Women’s Oral Health

on Systemic Health. 2nd Ed. UK: Elsevier

Inc, 2013. p.1476.

24. Barnes IE dan Walls A. Perawatan Gigi

Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC, 2006.

p.33-69

188 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 - 188

Page 86: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

190

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

TINGKAT KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL

TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU

Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Periodontal diseases are the case in all ages, but the severity is more seen in elderly individuals.

Purpose: Purpose of this study was to determine the periodontal treatment needs of elderly in Tresna Werdha

Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home. Methods: Type of research was observational descriptive. Samples

consisted of 53 subjects, age range between 58-100 years old, consisted 24 males and 29 females. Samples were

selected though simple random sampling. Periodontal condition was evaluated using Community Periodontal

Index of Treatment Need (CPITN). The severity and prevalence of periodontal disease, as well as it frequency

distribution were evaluated and reported according to gender and age. Results: Result of this study based on

periodontal status were 13,2% of subjects demonstrated a healthy periodontal status, bleeding on probing were

noted in 5,7% of subjects, 37,7% of subjects showed supra or subgingival calculus, 11,3 % of subjects had

shallow and 32,1% of subjects had deep pockets. Periodontal treatment needs of elderly population in Tresna

Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home were 13,2% of subjects didn’t need periodontal treatment,

5,7 of subjects needed demonstration and instruction, 37,7% of subjects needed scaling and oral hygiene

instruction, 11,3% of subjects needed scaling and oral hygiene care, then 32,1% needed oral hygiene

instruction, scaling, root planning, and treatment for every case. Conclusion: Scaling and oral hygiene

instruction were the most needed periodontal treatment of elderly in Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing

Home.

Keywords: Community Periodontal Index of Treatment Need, elderly, periodontal treatment

ABSTRAK

Latar belakang: Penyakit periodontal merupakan kasus pada berbagai kalangan usia, tetapi bentuk keparahan

lebih terlihat pada individu usia lanjut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan perawatan

periodontal pada lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Jenis penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif observasional. Sampel terdiri dari 53 lansia berusia 58-100 tahun, terdiri atas 24

laki-laki dan 29 perempuan. Pemilihan sampel berdasarkan metode simple random sampling. Keparahan dan

prevalensi penyakit periodontal serta distribusi frekuensinya dievaluasi dengan Community Periodontal Index of

Treatment Needs (CPITN) serta dilaporkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Hasil: Hasil penelitian

berdasarkan keadaan jaringan periodontal yaitu 13,2% jaringan periodontal sehat, 5,7% perdarahan setelah

probing, 37,7% kalkulus supra dan atau subgingiva, 11,3% poket dangkal dan 32,1 % poket dalam. Kebutuhan

perawatan periodontal lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak memerlukan

perawatan, 5,7% memerlukan peningkatan kebersihan mulut melalui penyuluhan dan demonstrasi, 37,7%

memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3% memerlukan scaling yang lebih komprehensif

dan perawatan kebersihan mulut, serta 32,1% memerlukan peningkatan kebersihan mulut, scaling, root planning,

dan perawatan yang tepat untuk setiap kasus. Kesimpulan: Scaling dan peningkatan kebersihan mulut

merupakan jenis perawatan periodontal yang paling banyak dibutuhkan oleh lansia di Panti Sosial Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru.

Kata kunci: Community Periodontal Index of Treatment Need, lansia, perawatan periodontal.

Laporan Penelitian

Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia 189

Page 87: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

191

Korespondensi: Rona Permata Sari Y. H. Zein, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Proporsi penduduk lanjut usia (lansia)

bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia

lain.1 Pada tahun 2011 yang lalu United Nations

Development Programme (UNDP) telah mencatat

bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia

telah mencapai 69,4 tahun, sedangkan menurut CIA

World Factbook telah mencapai 70,7 tahun. WHO

menyatakan bahwa pada tahun 2020 jumlah

penduduk lansia Indonesia akan terus mengalami

kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun

tersebut jumlah lansia Indonesia diperkirakan akan

mencapai 11,34% dari jumlah penduduk yang ada,

atau sekitar 28,8 juta jiwa.2 Seiring dengan

meningkatnya usia harapan hidup penduduk

Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga

akan meningkat. Angka ini akan menjadikan

Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak negara

berpopulasi lansia setelah Cina, India dan Amerika.

Hal ini merupakan tantangan kepada para

perencana kebijakan kesehatan dan sosial, karena

penyakit-penyakit kronis seperti penyakit

kardiovaskular, hipertensi, kanker dan diabetes

banyak dijumpai pada lansia. Penyakit kronik dan

ketidakmampuan (disability) pada lansia banyak

terjadi di negara berkembang dan dapat dikurangi

dengan upaya health promotion untuk

meningkatkan kualitas hidup.1

Penuaan adalah suatu fenomena alami

yang terjadi di seluruh dunia.2 Proses penuaan akan

menimbulkan berbagai masalah fisik-biologik,

psikologik dan sosial. Secara biologis lansia

mengalami proses penuaan terus menerus, ditandai

dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin

rentan terhadap penyakit yang dapat menyebabkan

kematian.3 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan

dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem

organ termasuk terjadi perubahan anatomi,

morfologi dan fungsional pada rongga mulut 3,4,5,6,7

Sekitar 40% lansia mengeluh tentang mulut kering,

massa otot-otot mastikasi mengecil, yang akan

berpengaruh pada kekuatan mengunyah, banyaknya

gigi yang hilang mengakibatkan gangguan proses

komunikasi dan gangguan estetik.8 Peningkatan

persentase pasien lansia menyebabkan pentingnya

menilai jumlah perawatan yang diperlukan sebagai

strategi pencegahan dan interseptif untuk

mengurangi beban penyakit.2

Penyakit periodontal adalah salah satu

penyakit kronis yang paling umum lebih jelas

terlihat pada orang tua, terutama karena kontak

yang terlalu lama dengan faktor resiko.9,10

Periodontitis (peradangan jaringan periodontal)

akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada

tulang alveolar dan gigi akan terlepas dari

soketnya.10 Lansia dengan kelompok umur 65 tahun

ke atas mengalami kehilangan seluruh gigi

mencapai 17,6%, jauh diatas target WHO 2010

yaitu 5%.4

Usia merupakan salah satu faktor

predisposisi terjadinya penyakit periodontal.

Penelitian terhadap kelompok lansia berusia lebih

dari 70 tahun di India, 86% diantaranya mengalami

moderate periodontitis dan 25% di antaranya

mengalami kehilangan gigi.11 Pada kelompok usia

yang lebih tua (65 sampai 80 tahun), terjadi

peningkatan aliran gingival crevicular fluid (GCF)

dan indeks gingiva.6 Prevalensi dan tingkat

keparahan penyakit periodontal meningkat seiring

dengan bertambahnya usia. Perubahan degeneratif

terkait proses penuaan dapat meningkatkan

kerentanan terhadap penyakit periodontal.

Attachment loss dan bone loss terjadi akibat

seringnya terpapar faktor resiko lainnya selama

hidup. Perubahan-perubahan terkait proses penuaan

seperti pemakaian obat, penurunan fungsi imun,

dan perubahan status nutrisi serta faktor-faktor

resiko lainnya juga meningkatkan kerentanan

terhadap penyakit periodontal.1 Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan

perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan secara deskriptif

observasional dan pengumpulan data dilakukan

dengan pemeriksaan langsung kepada subjek

penelitian, kemudian diperoleh skor indeks CPITN

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat

diagnostik kedokteran gigi, probe periodontal

standar WHO, nierbekken, sarung tangan, masker,

head lamp, ceklist observasi CPITN, formulir

informed consent, dan alat tulis. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%,

sodium hypochlorite, dan kapas.

Subjek penelitian diminta untuk mengisi

surat persetujuan untuk menjadi sampel penelitian

kemudian jaringan periodontal subjek penelitian

dievaluasi dengan Indeks Kebutuhan Perawatan

Periodontal Komunitas (CPITN – Community

Periodontal Index Treatment of Needs). Pada

indeks ini rongga mulut dibagi menjadi 6 sektan.

Sektan 1 meliputi gigi 14, 15, 16, dan 17. Sektan 2

meliputi gigi 11, 12, 13, 21,22, dan 23. Sektan 3

meliputi gigi 24, 25, 26, dan 27. Sektan 4 meliputi

gigi 34, 35, 36, dan 37. Sektan 5 meliputi gigi 31,

190 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 - 195

Page 88: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

192

32, 33, 41, 42, dan 43. Sektan 6 meliputi gigi 44,

45, 46, dan 47.

Skor CPITN tertinggi di setiap sektan

setelah pemeriksaan empat sisi (labial,

lingual/palatal, mesial, dan distal) dipakai sebagai

nilai dari tiap sektan. Skor 0 berarti kondisi jaringan

periodontal sehat. Skor 1 berarti terjadi perdarahan

setelah dilakukan probing. Skor 2 terdapat kalkulus

supra atau subgingiva. Skor 3 berarti terdapat poket

periodontal dengan kedalaman 4-5 mm, dan skor 4

berarti terdapat poket periodontal dengan

kedalaman lebih dari 6 mm.

Kategori kebutuhan perawatan ditentukan

berdasarkan skor masing-masing sampel. Skor 0

artinya tidak membutuhkan perawatan periodontal.

Skor 1 artinya membutuhkan peningkatan

kebersihan mulut (melalui penyuluhan,

demonstrasi, dan sebagainya). Skor 2 memerlukan

scaling dan peningkatan kebersihan mulut. Skor 3

artinya memerlukan scaling dan perawatan

kebersihan mulut dan skor 4 artinya memerlukan

peningkatan kebersihan mulut, scaling, dan root

planning.

HASIL PENELITIAN

Penelitian telah dilakukan pada lansia di

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

Banjarbaru. Pengambilan sampel berdasarkan

metode simple random sampling dengan jumlah

sampel yang didapat sebanyak 53 orang yang terdiri

dari 24 lansia laki-laki dan 29 lansia perempuan.

Berdasarkan kelompok usia, subjek penelitian

terdiri atas kelompok usia pertengahan (middle age)

sebanyak 1 orang, lansia (elderly) sebanyak 40

orang, lansia tua (old) sebanyak 10 orang, dan

lansia sangat tua (very old ) sebanyak 2 orang.

Gambar 1. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan

Perawatan Periodontal Komunitas)

Gambar 1 menunjukkan bahwa ada 7

orang (13,2%) yang memiliki jaringan periodontal

sehat (skor 0) pada saat dilakukan pemeriksaan.

Perdarahan setelah dilakukan probing (skor 1)

terjadi pada 3 orang (5,7%). Frekuensi tertinggi

pada penelitian ini adalah skor 2, yaitu sebanyak 20

orang (37,7%) memilki kalkulus supra maupun

subgingiva. Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) terjadi

pada 6 orang (11,3%), sedangkan poket sedalam 6

mm atau lebih (skor 4) terjadi pada 17 orang

(32,1%). Data hasil penelitian di atas menunjukkan

banyaknya kalkulus supra maupun subgingiva (skor

2) serta poket yang dalam (skor 4) banyak terjadi

pada lansia, sedangkan untuk persentase lansia

yang memiki jaringan periodontal sehat (skor 0)

masih sangat sedikit yaitu hanya ada 7 orang

(13,2%).

Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan

perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah

sebanyak 7 orang (13,2%) tidak memerlukan

perawatan periodontal. Sebanyak 3 orang (5,7%)

memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara

lain melalui penyuluhan dan demonstrasi. Sebanyak

20 orang (37,7%) memerlukan scaling untuk

menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva

serta instruksi peningkatan kebersihan mulut.

Perawatan untuk menghilangkan kalkulus

subgingiva yang lebih komperehensif disertai

instruksi peningkatan kebersihan mulut diperlukan

lansia sebanyak 6 orang (11,3%) dan selebihnya 17

orang (32,1%) memerlukan perawatan periodontal

yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan

periodontal menyeluruh dan rencana perawatan

yang tepat untuk tiap kasus. Hal ini menunjukkan

bahwa perawatan periodontal pada lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

masih sangat dibutuhkan.

Gambar 2. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan

Perawatan Periodontal Komunitas)

menurut Jenis Kelamin

Gambar 2 menunjukkan distribusi sampel

berdasarkan jenis kelamin. Gambar 2 menunjukkan

bahwa jaringan periodontal sehat (skor 0) pada

lansia laki-laki sebanyak 2 orang (3,7%) dan 5

Sari : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal 191

Page 89: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

193

orang (9,4%) pada lansia perempuan. Perdarahan

setelah probing (skor 1) tidak terjadi pada lansia

berjenis kelamin laki-laki, tetapi terjadi pada lansia

perempuan yaitu sebanyak 3 orang (5,7%). Adanya

kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2)

merupakan frekuensi tertinggi pada penelitian ini

dan tidak terdapat perbedaan antara lansia laki-laki

dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak 10

orang (18,9%). Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) juga

memiliki frekuensi yang sama antara lansia laki-

laki dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak

3 orang (5,7%), sedangkan untuk poket sedalam 6

mm atau lebih (skor 4) terjadi lebih banyak pada

lansia laki-laki sebanyak 9 orang (17,0%)

dibandingkan lansia perempuan sebanyak 8 orang

(15,0%) memerlukan perawatan periodontal yang

lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal

menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat

untuk setiap kasus.

Kebutuhan perawatan periodontal

berdasarkan gambar 2 yaitu sebanyak 2 orang laki-

laki (3,7%) dan 5 orang perempuan (9,4%) tidak

memerlukan perawatan periodontal. Sebanyak 3

orang perempuan (5,7%) memerlukan peningkatan

kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan

dan demonstrasi, sedangkan lansia berjenis kelamin

laki-laki tidak memerlukannya. Scaling untuk

menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva

serta instruksi peningkatan kebersihan mulut

dibutuhkan masing-masing untuk 10 orang laki-laki

(18,9%) dan 10 perempuan (18,9%). Perawatan

untuk menghilangkan kalkulus subgingiva yang

lebih komperehensif disertai instruksi peningkatan

kebersihan mulut dibutuhkan 3 orang laki-laki

(5,7%) dan 3 orang perempuan (5,7%) serta

selebihnya 9 orang laki-laki (17,0%) dan 8 orang

perempuan (15,0%) memerlukan perawatan

periodontal yang lebih kompleks, meliputi

pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana

perawatan yang tepat untuk tiap kasus.

Gambar 3. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan

Perawatan Periodontal Komunitas)

menurut Kelompok Usia

Gambar 3 menunjukkan skor indeks

sCPITN berdasarkan kelompok usia. Kondisi

jaringan periodontal sehat (skor 0) tidak terdapat

pada kelompok usia middle age, tetapi terdapat

pada kelompok usia lain yaitu sebanyak 4 orang

(7,5%) pada kelompok usia elderly, 2 orang (3,8%)

pada kelompok usia old, dan 1 orang (1,9%) pada

kelompok usia very old. Perdarahan setelah probing

(skor 1) juga tidak terdapat pada kelompok usia

middle age, tetapi ditemukan sebanyak 1 orang

(1,9%) masing-masing pada kelompok usia elderly,

old, dan, very old. Kalkulus supra maupun

subgingiva (skor 2) merupakan frekuensi tertinggi

dengan jumlah sebanyak 16 orang (30,2%) pada

kelompok usia elderly, 4 orang (7,5%) pada

kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada

kelompok usia middle age dan very old. Poket

sedalam 4-5 mm (skor 3) terdapat pada 1 orang

(1,9%) pada kelompok usia middle age, 4 orang

(7,5%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%)

pada kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada

kelompok usia very old sedangkan untuk poket

sedalam 6 mm atau lebih (skor 4) banyak

ditemukan pada kelompok elderly sebanyak 15

orang (28,3%) dibandingkan kelompok usia lain.

Sebanyak 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old

memilki poket 6 mm atau lebih (skor 4) dan poket

sedalam ini tidak ditemukan pada kelompok usia

middle age dan very old.

Gambar 3 menunjukkan bahwa kebutuhan

perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah

sebanyak 4 orang (7,5%) pada kelompok usia

elderly, 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old,

dan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia very old

tidak memerlukan perawatan periodontal.

Peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui

penyuluhan dan demonstrasi dibutuhkan 1 orang

(1,9%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%)

pada kelompok usia old, dan, 1 orang (1,9%) pada

kelompok usia very old. Sebanyak 16 orang

(30,2%) pada kelompok usia elderly dan 4 orang

(7,5%) pada kelompok usai old memerlukan

scaling untuk menghilangkan kalkulus supra

maupun subgingiva serta instruksi peningkatan

kebersihan mulut. Perawatan untuk menghilangkan

kalkulus subgingiva yang lebih komperehensif

disertai instruksi peningkatan kebersihan mulut

diperlukan lansia sebanyak 1 orang (1,9%) pada

kelompok usia middle age, 4 orang (7,5%) pada

kelompok usia elderly dan 1 orang (1,9%) pada

kelompok usia old. Perawatan periodontal yang

lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal

menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat

untuk tiap kasus.dibutuhkan 15 orang (28,3%) pada

192 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 - 195

Page 90: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

194

kelompok usia elderly dan 2 orang (3,8%) pada

kelompok usia old.

PEMBAHASAN

Penyebab utama penyakit periodontal

adalah iritasi bakteri yang terjadi karena adanya

akumulasi plak.12,13 Apabila plak dibiarkan lebih

lama, plak akan mengalami kalsifikasi dan berubah

menjadi kalkulus.12,14 Kalkulus terbentuk dari plak

bakteri yang mengalami mineralisasi. Walaupun

akumulasi dan maturasi plak bakteri gigi

menyebabkan perkembangan inflamasi jaringan

gingiva terdekat, tetapi durasi, onset, dan intensitas

proses inflamasi sangat bervariasi antar individu.12

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 53 subjek penelitian, frekuensi

tertinggi terjadi pada skor 2 yaitu sebanyak 37,7%

(20 orang) memiliki kalkulus supra maupun

subgingiva. Banyaknya lansia yang memiliki

kalkulus, supra maupun subgingiva, dan poket yang

dalam diakibatkan dari penumpukan plak. Hasil

penelitian di atas sesuai dengan beberapa penelitian

epidemiologi yang pernah dilakukan. Di Inggris,

54% orang dewasa dengan usia di atas 45 tahun

memiliki poket periodontal yang dalam (4-6 `mm)

dan 73% tercatat memiliki kalkulus supra maupun

subgingiva (skor 2). Kerusakan jaringan ini dapat

menjadi semakin parah hingga menyebabkan

kerusakan pada jaringan ikat, perlekatan epitel

cekat bermigrasi ke arah apikal dan selanjutnya

membentuk poket. Semakin meningkat usia

seseorang, semakin meningkat pula kerusakan yang

terjadi pada jaringan periodontal.4

Hasil penelitian menunjukkan jaringan

periodontal yang sehat (skor 0) dan perdarahan

setelah dilakukan probing (skor 1) pada lansia

perempuan lebih tinggi daripada lansia laki-laki,

sedangkan poket yang dalam (skor 4) memiliki

frekuensi yang lebih tinggi pada lansia laki-laki

daripada lansia perempuan.

Data penelitian di atas sesuai dengan

penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain,

seperti Amerika Serikat, Irak dan Israel, yang

mencatat bahwa kesehatan gingiva perempuan lebih

baik dibandingkan laki-laki. Di Amerika Serikat

dan Israel kasus poket dalam (skor 4) pada laki-laki

terjadi 3 kali lebih banyak daripada perempuan,

sedangkan hasil penelitian di Irak menunjukkan

laki-laki lebih sedikit mengalami perdarahan

setelah probing (skor 1). Hal ini disebabkan

perempuan cenderung melaksanakan kebersihan

mulut dan memiliki pengetahuan serta kebiasaan

yang baik tentang kesehatan gigi dan mulut

dibandingkan laki-laki.4,12 Selain itu juga laki-laki

lebih banyak yang memilki kebiasaan buruk seperti

merokok dan mengkonsumsi alkohol dibandingkan

perempuan.15

Menurut hasil penelitian Ana et al 2007,

seorang perokok memilki poket yang dalam,

kehilangan tulang alveolar, dan peningkatan

kegoyangan gigi.16 Seorang perokok beresiko 2,6

sampai 6 kali mengalami kerusakan jaringan

periodontal dibandingkan dengan non-perokok.6

Berbagai macam rokok dan intensitas kebiasaan

merokok telah terbukti mempunyai hubungan kuat

dengan status jaringan gingiva, kerusakan jaringan

periodontal, serta ditemukan kaitan merokok

dengan perubahan sistem vaskularisasi dan imun

host.12

Sama halnya dengan kebiasaan merokok,

konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan

kerusakan pada jaringan periodontal, khususnya

konsumsi dalam jangka waktu panjang. Alkohol

mempunyai efek berkontribusi terhadap

pertumbuhan bakteri di gingival crest dan

peningkatan penetrasi bakteri sehingga

menyebabkan radang periodontal yang lama-

kelamaan akan menyebabkan kerusakan jaringan

periodontal.16,17 Beberapa keadaan biologis yang

dapat berubah akibat konsumsi alkohol antara lain

kerusakan fungsi neutrofil dan defisiensi

komplemen, gangguan mekanisme pembekuan

darah karena kerusakan aktivitas protrombin dan

vitamin K, gangguan metabolism tulang, dan

gangguan penyembuhan.12

Jika laki-laki memiliki kerentaan yang

tinggi terhadap kerusakan jaringan periodontal,

maka perempuan pun demikian. Perempuan rentan

terhadap kerusakan jaringan periodontal akibat

perubahan hormonal yang terjadi, salah satunya

diakibatkan menopause. Menopause adalah masa

berakhirnya menstruasi dan biasanya terjadi

padausia 50 tahun. Menopause dapat menyebabkan

terjadinya resorbsi tulang alveolar sehingga gigi

dapat kehilangan perlekatan pada jaringan

periodontal. 12,14 Pada perempuan yang mengalami

menopause terjadi penurunan estrogen, padahal

estrogen sangat penting untuk memelihara kekuatan

tulang dengan mengatur pengangkutan kalsium ke

dalam tulang. Penurunan kadar estrogen juga

menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan

antara sel osteoklas dan osteoblas. Kekurangan

estrogen akan menyebabkan menurunnya kalsium

darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid

untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi

osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin

(IL-I, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi

osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang

alveolar.11

Selain hal-hal yang telah disebutkan di

atas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang

dapat memicu keparahan suatu penyakit periodontal

yang tidak terkait dengan jenis kelamin seperti

faktor penuaan dan penyakit sistemik. Pada proses

penuaan terjadi perubahan anatomi, morfologi, dan

fungsional jaringan periodontal seperti

berkurangnya proses keritinisasi dan penipisan

jaringan epithelium, perubahan lokasi junctional

epithelium ke arah apikal, penurunan proliferasi sel

Sari : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal 193

Page 91: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

195

dan perubahan lebar ligament periodontal.6,7,18

Penyakit sistemik yang banyak terjadi pada lansia

dan dapat memicu terjadinya penyakit periodontal

adalah diabetes mellitus. Pada penelitian cross

sectional diketahui bahwa pada penderita diabetes

yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat

menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang

lebih parah.19

Penelitian epidemiologi yang dilakukan

David dan Seymour tahun 2006 di Amerika Serikat

juga menunjukkan bahwa pada kelompok usia

elderly merupakan kelompok usia yang paling

banyak memiliki indeks skor CPITN 2 dan mulai

menunjukkan pembentukan poket. Kelompok usia

middle age cenderung mengalami kerusakan

jaringan periodontal yang belum parah dan belum

terbentuk poket, sedangkan pada kelompok usia old

dan very old sudah banyak yang memiliki poket

yang sangat dalam hingga mengalami missing.4

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa kondisi

periodontal lansia di Panti Sosial Tresna Werdha

Budi Sejahtera adalah sebanyak 13,2% dalam

kondisi sehat, 5,7% mengalami perdarahan setelah

probing, 37,7% terdapat kalkulus supra maupun

subgingiva, 11,3% mengalami poket 4-6mm, dan

32,1% mengalami poket dengan kedalaman lebih

dari 6 mm. Kesbutuhan perawatan periodontal

lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak

memerlukan perawatan, 5,7% memerlukan

peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui

penyuluhan dan demonstrasi, 37,7% memerlukan

scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3%

memerlukan scaling yang lebih komprehensif dan

peningkatan kebersihan mulut, serta 32,1%

memerlukan perawatan periodontal yang lebih

kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal

menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat

untuk tiap kasus.

Penelitian ini hanya menguraikan secara

umum mengenai kondisi dan kebutuhan perawatan

periodontal pada lansia, oleh karena itu diharapkan

adanya penelitian lanjutan untuk melakukan

evaluasi lebih lanjut terhadap kaitan serta hubungan

antara penyakit sistemik, penuaan, kebiasaan buruk

seperti mengkonsumsi alkohol dan merokok, serta

faktor-faktor lain terhadap keparahan suatu

penyakit periodontal pada lansia. Selain itu juga

diharapkan kepada tenaga kesehatan yang ada

untuk bekerja sama dengan dokter gigi dalam

rangka meningkatkan kesehatan rongga mulut

lansia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wangsarahardja, K. Olly VD, Eddy K.

Hubungan antara Status Kesehatan Mulut dan

Kualitas Hidup pada Lanjut Usia. Universa

Medicina. 2007; 26: 186-194.

2. Sharma, S, Manjit T, Gaurav M. Prevalence of

Dental Caries and Periodontal Disease in the

Elderly of Chandigarh – A Hospital Based

Study. JIDA. 2012; 6(2): 78-82.

3. Permana, FH, Made S, Imron R. Hubungan

Penurunan Fungsi Gerak Lansia terhadap

Strategi Koping Stres Lansia di Panti Jompo

Welas Asih Kecamatan Singaparna Kabupaten

Tasikmalaya. Jurnal Keperawatan Soedirman.

2009; 4(3) : 125-130.

4. Saptorini, KK. Poket Periodontal pada Lanjut

Usia di Posyandu Lansia Kelurahan Wonosari

Kota Semarang. Jurnal Prosiding Semnas

Peran Kesehatan Masyarakat dalam

Pencapaian MDG’s di Indonesia. 2011; 4(1):

261-266.

5. Jayaputra, A. Evaluasi Program Jaminan Sosial

Lanjut Usia. Jakarta : Kementrian Sosial

Republik Indonesia Badan Pendidikan dan

Penelitian Kesejahteraan Sosial. 2009. p. 25-

27.

6. Newman, Michael G, Henry H. Takei, Fermin

A. Carranza. Clinical Periodontolgy. 9th

edition. Missouri: Elsevier. 2002. p. 58-62.

7. Hebling, E. Effects of Human Ageing on

Periodontal Tissues. Periodontal Disease - A

Clinician’s Guide. 2012; 16(1): 343-350.

8. Prawiro, MD. Usia Harapan Hidup Bertambah

Panjang. Gemari. 2012; 137: 56-57.

9. Petersen, PE, Denis B, Hiroshi O, Saskia ED,

Charlotte N. The Global Burden of Oral

Disease and Risk to Oral Health. Bulletin of

World Helath Organization. 2005; 83 (9): 661-

669.

10. Homata, EM, Vasileios M, Argy P,

Constantine O, Vassiliki T. Periodontal

Disease in Greek Senior Citizens-Risk

Indicators. Periodontal Diseases - A Clinician's

Guide. 2010; 11: 231-249.

11. Koshi, E, S. Rajesh, Philip K, PR Arunima.

Risk Assessment for Periodontal Disease.

Journal of Indian Society of Periodontology.

2012; 16(3): 324-328.

12. Gani, A dan Taufiqurrahman. Kebutuhan

Perawatan Periodontal Remaja di Kabupaten

Sinjai Tahun 2007. Dentofasial. 2008; 7(2):

132-138.

13. Yildirim, TT and Filiz AK. The Effects of

Menopause on Periodontal Tissue.

International Dental Research. 2011; 1(3.2):

81-86.

14. Putri, MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu

Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan

Jaringan Pendukung Gigi. Bandung : EGC.

2002. p. 200-203.

15. Sanei, AS and Nasrabadi AN. Periodontal

Health Status and Treatments Needs in Iranian

194 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 - 195

Page 92: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

196

Adolescent Population. Arch Iranian Med.

2005; 8(1): 290-291.

16. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat

Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Pedoman

Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam Panti.

Jakarta: Depatemen Sosial RI. 2009. p. 5.

17. Ahmet. The Situation of Elderly People in

Turkey and National Plan of Action on Ageing.

Istambul : State Planning Organization. 2007.

p. 70.

18. Ren, Y, Jaap CM, Lets S, Robert SBL, Anne

MKJ. Age-Related Changes of Periodontal

Ligament Surface Areas during Force

Application. Angle Orthodontist. 2008; 78(6):

1000-1005.

19. Tarigan, R. Kesehatan Gigi Dan Mulut.

Jakarta:

EGC. 1995. p. 23.

Sari : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal 195

Page 93: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

197

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PEMAKAIAN PROTESA

DENGAN PEMAKAIAN PROTESA

DI RSUD ULINBANJARMASIN

Tinjauan pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah di polikinik gigi RSUD Ulin

Banjarmasin

Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana

Program StudiKedokteran Gigi FakultasKedokteranUniversitasLambungMangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Tooth loss due to extraction could be a big problem, it may cause dysfunction of mastication. The

loss of mandibular firstpermanent molar has the highest prevalence. Many cases of tooth loss were not balanced

with the prostodontiatreatment. Purpose: The purpose of this research was to determine the relationship

between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction mandibular first permanent molar

and the usage of protheses at dental polyclinic ofRSUD Ulin Banjarmasin. Methods: This study was used an

observational analytic study with cross-sectional design. Samples were taken by purposive sampling technique

with 68 patients. Knowledge level was obtained through questionnare. Results: The data were analyzed using

chi-square test and obtained value p=0,006. The group with good knowledge level who used protheses were 11

patients (16,1%) and who didn’t used protheses were 20 patients (29,5%). The group with bad knowledge level

who used protheses were 3 patients (4,41%) and who didn’t used protheses were 34 patients (37%). Conclusion:

There was a relationship between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction

mandibular first permanent molar and the usage of prothesis at dental polyclinic of RSUD Ulin Banjarmasin.

Keywords: loss of mandibular firstpermanent molar, protheses, knowledge level of protheses usage

ABSTRAK

Latar Belakang: Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan masalah terbesar, dapat mengganggu

fungsi pengunyahan atau mastikasi. Kehilangan gigi molar permanen pertama bawah memiliki prevalensi yang

cukup tinggi. Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Tujuan: Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada

pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi dan mulut

RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional yang

menggunakan metode cross-sectional. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 68 orang.

Tingkat pengetahuan pasien diperoleh dengan pengisian kuesioner. Hasil: Data dianalisis menggunakan uji chi-

square dan diperoleh nilai p=0,006. Kelompok tingkat pengetahuan baik dengan responden yang memakai

protesa ada 11 orang (16,1%) dan responden yang tidak memakai protesa ada 20 orang (29,5%). Kelompok

tingkat pengetahuan buruk dengan responden yang memakai protesa ada 3 orang (4,41%) dan responden yang

tidak memakai protesa ada 34 orang (37%). Kesimpulan: Terdapat hubungan tingkat pengetahuan pemakaian

protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi

dan mulut RSUD Ulin Banjarmasin.

Kata kunci: kehilangan molar permanen pertama bawah, protesa, tingkat pengetahuan pemakaian protesa

Korespondensi: Nadya Pramasanti, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel,

email: [email protected]

Laporan Penelitian

196

Page 94: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

198

PENDAHULUAN

Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan

masalah terbesar. Efek sampingnya adalah dapat

mengganggu fungsi pengunyahan atau mastikasi,

pada kehilangan gigi yang banyak dan lama dapat

mengakibatkangangguan pada Temporomandibular

Joint (TMJ). Masalah lain yang berakibat pada

fungsi bicara dan aspekpsikologis yaitu estetika,

bahkan pada profesi tertentu yang menuntut

kesehatan gigi yang prima.1Banyak kasus

kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan

prostodonsia. Kehilangan gigi tidak hanya

mengurangi estetika, tetapi juga membuat fungsi

mengunyah menurun dan mempengaruhi asupan

nutrisi sehingga hal ini akan mempengaruhi kondisi

kesehatan umum dan kualitas hidup seseorang.2

Hasil laporan nasional RISKESDAS 2007,

lima provinsi dengan prevalensi masalah gigi-mulut

tertinggi, yaitu Gorontalo (33,1%),Sulawesi Tengah

(31,2%), DI. Aceh (30,5%), Sulawesi Utara

(29,8%), dan KalimantanSelatan

(29,2%).Persentase penduduk provinsi Kalimantan

Selatan yang mengalami masalah gigi-mulut

sebesar (29,2%), yang menerima perawatan dari

tenaga medis gigi sebesar (21,2%), dan yang

kehilangan seluruh gigi sebesar (2,5%).3Hasil

laporan RISKESDAS 2007 provinsi Kalimantan

Selatan, jenis perawatan yang diterima penduduk

yang mengalami masalah gigi-mulut di provinsi

Kalimantan Selatan adalah pengobatan gigi

(81,2%), penambalan/pencabutan/bedah gigi

(42,3%), dan konseling perawatan/kebersihan gigi

(12,5%). Pemasangan gigi tiruan lepasan/cekat

berkisar 0,6%-10,8%, tertinggi pada umur 65 tahun

keatas. Persentase penduduk Kota Banjarmasin

yang melakukan penambalan/pencabutan/bedah

gigi/mulut sebesar (49,6%) sedangkan yang

melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan/gigi

tiruan cekat hanya sebesar (3,0%).4

Kehilangan gigi molar permanen pertama

bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Pada

penelitian yang telah dilakukan oleh Janjua dkk,

persentase pencabutan molar pertama bawah kiri

sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama

bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan

disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi

molar permanen pertama bawah merupakan gigi

tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7

tahun pada periode gigi campuran. Gigi molar

permanen pertama memainkan peran penting dalam

mastikasi dan menentukan posisi erupsi gigi

posterior yang lain agar menjadi oklusi yang

benar.5Kehilangan satu gigi, terutama gigi Molar

permanen pertama bawah dapat menyebabkan

fungsi lengkung rahangmenurun sebesar 10% dan

penurunan ini akan meningkat sebesar 30% jika

penggantian gigi yang hilang tidak segera

dilakukan.6

Gigi tiruan diperlukan dalam pemenuhan

kesehatan padaumumnya serta kesehatan gigi dan

mulutkhususnya terutama untuk

mempertahankanfungsi kunyah. Gigi

tiruanyangbiasanya disebut protesa bisa dalam

bentukgigi tiruan cekat (fixed) atau pun gigi

tiruanlepasan (removable).Pembuatan gigi

tiruantersebut dapat dikatakan secara

ekonomimembutuhkan biaya tambahan yang relatif

cukupmahal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai

dari WHO2010yang juga merupakan tujuan dari

upaya peningkatankesehatan gigi danmulut di

Indonesia adalahmeminimalkan dampak dari

penyakit gigi danmulut terhadap penyakit sistemik

atau kesehatansecara menyeluruh. Terkait dengan

tujuan yang ingin dicapai tersebutperlu dilakukan

penelitian untuk mengidentifikasirerata kehilangan

gigi dan persentasepengguna gigi tiruan.1Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada pasien

post ekstraksi molar permanen pertama bawah

dengan pemakaian protesa di Poliklinik gigi RSUD

Ulin Banjarmasin.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian analitik observasional dengan rancangan

penelitian crosssectional.Pada penelitian ini sampel

diminta untuk mengisi kuesioner tentang tingkat

pengetahuan pemakaian protesa. Populasi pada

penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang

yang pernah mencabut gigi atau yang telah

kehilangan gigi di bagian Poliklinik gigi RSUD

Ulin Banjarmasin.Pengambilan sampel dilakukan

dengan teknik purposive samplingdengan kriteria

inklusi. Adapun kriteria inklusi tersebut adalah

pasien yang mencabut gigi molar permanen

pertama bawah lebih dari 1 bulan, pasien yang telah

kehilangan gigi molar permanen pertama bawah,

bersedia menjadi responden, kooperatif, dan sehat

berdasarkan anamnesis.Jumlah sampel pada

penelitian ini adalah 68 orang. Alat yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu alat tulis,

informedconsent, dan kuesioner.

Prosedur penelitian adalah sampel dari

populasi penelitian diidentifikasi sesuai dengan

kriteria inklusi yang telah ditentukan. Sampel

penelitian yang telah memenuhi kriteria kemudian

dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian

yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar

informed consent sebagai tanda persetujuan

menjadi subyek penelitian. Sampel kemudian

diukur tingkat pengetahuannya tentang gigi tiruan

atau protesa post ekstraksi dengan melakukan

pengisian kuesioner.Data yang diperoleh dari hasil

penelitian dianalisis menggunakan uji chi-

squaredengan tingkat kepercayaan 95% (α=

0,05)untuk mengetahui hubungan antara tingkat

Pramasanti : Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa 197

Page 95: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

199

pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post

ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan

pemakaian protesa.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini adalah distribusi frekuensi

sampel penelitian menurut jenis kelamin, usia,

pendidikan akhir, jenis protesa, dan alasan tidak

memakai protesa. Menurut jenis kelamin, sebagian

besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak

37 orang (54,4%) dan laki-laki sebanyak 31 orang

(45,6%).Menurut usia, pada rentangusia 61-70

tahun yang palingbanyakmemakaiprotesayaitu 9

orang (13,3%) dan pada rentangusia 31-40 tahun

yang palingbanyaktidakmemakaiprotesayaitu 28

orang (41,1%).Menurutpendidikanakhir, responden

yang berpendidikanakhir SD sebanyak 2 orang

(2,9%), yang berpendidikanakhir SMP sebanyak 3

orang (4,4%), yang berpendidikanakhir SMA

sebanyak 39 orang (57,4%), dan yang

berpendidikanakhiruniversitassebanyak 24 orang

(35,3%).Menurutjenisprotesa, responden laki-laki

dan perempuan yang menggunakan GTL masing-

masingsebanyak 1 orang dan responden yang

palingbanyakmenggunakan GTSL

adalahperempuansebanyak 7

orang.Menurutalasantidakmemakaiprotesa,

responden denganalasantidakinginsebanyak 35

orang(64,8%), tidaktahusebanyak 15 orang

(27,8%), tidakadabiayasebanyak 3 orang (5,6%),

dan tidakadawaktusebanyak 1 orang (1,8%).

Gambar 1. Hubungan Tingkat Pengetahuan

Pemakaian Protesa pada Pasien Post

Ekstraksi Molar Permanen Pertama

Bawah dengan Pemakaian Protesa di

Poliklinik GigiRSUD UlinBanjarmasin

Berdasarkan Gambar 1 responden yang tidak

memakaiprotesa dengan tingkat pengetahuan baik

ada 20 orang dan responden dengan tingkat

pengetahuan buruk ada 34 orang. Responden yang

memakai protesa dengan tingkat pengetahuan baik

ada 11 orang dan responden dengan tingkat

pengetahuan buruk ada 3 orang. Berdasarkan hasil

uji chi squarediketahui nilai signifikannya sebesar

(0,006). Karena nilai ini <0,05 maka H0 ditolak dan

H1 diterima, hal ini menunjukkan terdapat

hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan pemakaian protesa dengan pemakaian

protesa.

PEMBAHASAN

Responden yang melakukan pencabutan gigi

molar permanen pertama bawah karena karies

berjumlah 68 orang. Hasil ini didapat dari

wawancaraseluruh responden yang beralasan

mereka melakukan pencabutan gigi dikarenakan

gigi berlubang. Hasil ini sesuai dengan penelitian

yang telah dilakukan oleh Janjua dkk (2011),

persentase pencabutan molar pertama bawah kiri

sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama

bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan

disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi

molar permanen pertama bawah merupakan gigi

tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7

tahun pada periode gigi campuran sehingga

menyebabkan gigi lebih cepat terkena karies

dibandingkan gigi yang lain.5

Sampel yang melakukan pencabutan gigi

molar permanen pertama bawah tidak seluruhnya

memakai protesa. Responden yang memakai

protesa hanya berjumlah 14 orang, sedangkan yang

tidak memakai protesa berjumlah 54 orang.

Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi

dengan perawatan prostodonsia. Rendahnya

kesadaran masyarakat dapat dilihat dari paradigma

lama yang menganggap bahwa dengan mencabut

gigi tanpa mengganti dengan gigi tiruan akan

menyelesaikan masalah.2

Seluruh sampel mengetahui bahwa protesa

adalah gigi tiruan yang menggantikan gigi yang

hilang. Masyarakat yang masih belum tahu bahwa

kehilangan satu gigi belakang saja dapat digantikan

oleh protesa yaitu sebanyak 15 orang. Sebanyak 35

orang berpendapat bahwa setelah melakukan

pencabutan gigi belakang tidak mempengaruhi

pengunyahan sehingga merasa tidak perlu

dilakukan pemasangan protesa. 21 sampel mengira

protesa hanya untuk memperbaiki fungsi estetik,

padahal protesa juga dapat memperbaiki fungsi

kunyah dan bicara. Hasil ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan Pongsibidang dkk

(2013), hampir sebagian besar respondennya

memahami dampak dari kehilangan gigi terhadap

fungsi pengunyahan dan penampilan, tetapi

responden tidak menggunakan gigi tiruan.7

Berdasarkan Gambar 1meskipun responden

tidak memakai protesa, tetapi responden memiliki

tingkat pengetahuan yang baik. Menurut Silviana

198 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 196 - 199

Page 96: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

200

(2013), alasan responden tidak menggunakan gigi

tiruan lebih dikarenakan persepsi responden

terhadap perawatan gigi tiruan bukan sebagai

kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Pendapat ini

dilatarbelakangi oleh tingkat ekonomi responden

yang bisa dikatakan rendah apabila dihubungkan

dengan tingkat pendidikan. Pengalaman juga dapat

memengaruhi seseorang tidak menggunakan gigi

tiruan, dari responden yang diteliti ada yang merasa

takut menggunakan gigi tiruan karena melihat

pengalaman teman yang gigi tiruannya tertelan.

Ada juga yang merasa tidak nyaman jika

menggunakan gigi tiruan.8

Pada responden yang memakai protesa tetapi

pengetahuannya masih buruk tentang pemakaian

protesa, peneliti berasumsi bahwa ini dikarenakan

responden yang memakai protesa masih belum

memahami cara perawatan protesa yang benar dan

tidak mengetahui fungsi protesa selain

memperbaiki fungsi kunyah juga dapat

memperbaiki fungsi estetik dan bicara. Hasil ini

sesuai dengan penelitian Titjo dkk (2013) yang

menyebutkan pengetahuan masyarakat pengguna

gigi tiruan yang masih tergolong cukup ini

disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka

tentang cara pemeliharaan gigi tiruan yang mereka

gunakan serta gigi sisa dan jaringan lunak mulut

lainnya. Mayoritas responden hanya memperoleh

informasi dari mulut ke mulut berdasarkan

pengalaman orang lain tanpa menerima informasi

dan instruksi dalam menjaga kebersihan rongga

mulut pada saat pembuatan gigi tiruan mereka.9

Rendahnya kesadaran atau minat masyarakat

tentang pemakaian protesa menunjukkan peranan

tenaga medis seperti dokter gigi dan perawat gigi

masih sangat rendah dalam memberikan

penyuluhan atau informasi mengenai protesa.

Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui

bahwa kehilangan satu atau dua gigi belakang dapat

digantikan oleh protesa atau gigi tiruan. Menurut

Titjo dkk (2013), salah satu alasan seseorang

menunjukkan sikap dalam memperoleh kesehatan

adalah suatu inovasi yang dapat memotivasi

responden. Melalui inovasi atau program-program

kesehatan, responden mengadopsi nilai-nilai yang

berkaitan dengan upaya pemeliharaan kesehatan

gigi dan mulut sehingga mereka memiliki kesediaan

untuk berubah.9

Kesimpulan yang dapat diambil dari

penelitian ini adalah pemakaian protesa masih

sangat rendah menunjukkan kurangnya

pengetahuan masyarakat dalam upaya pemeliharaan

kesehatan gigi dan rendahnya kesadaran

masyarakat dalam mempertahankan fungsi gigi,

khususnya setelah melakukan pencabutan gigi

molar permanen pertama bawah. Hasilpenelitian ini

diharapkan dapat menjadi salah satu upaya

promotifuntuk meningkatkan pemakaian

protesapost ekstraksi, terutama di Kota Banjarmasin

dengan cara melakukan penyuluhan berupa

pemberian motivasidan pemberian brosur tentang

manfaat protesa pada saat sebelum atau sesudah

pencabutan gigi yang dilakukan oleh tenaga medis

yaitu dokter gigi dan perawat gigi. Penyediaan

laboratorium dan alat bahan untuk pembuatan

protesa di RSUD Ulin Banjarmasin juga diperlukan

sehingga masyarakat dapat memiliki sarana dan

prasarana untuk pembuatan protesa tanpa harus

membuatnya di tukang gigi.Perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh tingkat

usia terhadap pemakaian protesa, atau

mengidentifikasi jenis-jenis gigi tiruan yang banyak

digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. AgtiniMD. Persentase Pengguna Protesa di

Indonesia. Media Litbang Kesehatan.2010;

20(2):51.

2. JonanA. Gigi Tiruan, Kapan Anda

Memerlukannya?. Available on

(http://rspondokindah.co.id/rspi/Vol-04-Okt-

Des-2008/View-category.html). Accessed on

17 Maret 2013.

3. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) Laporan Nasional tahun

2007. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan RI.2008. Hal: 131-132.

4. Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2009.

Hal: 116, 121.

5. Janjua OS, Hassan SH, Azad AA, Ibrahim

MW, Luqman U, Qureshi SM. Reasons and

Pattern of First Molar Extraction- A Study.

Pakistan Oral & Dental Journal. 2011; 31(1):

51.

6. Oginni AO, Olusile AO, Udoye CI.

Distribution And Types of Artificial Crowns

And Bridges Prescribed At A Nigerian

Teaching Hospital. Nigerian Journal of

Clinical Practice. 2004; 7(1): 24-27.

7. Pongsibidang H, Wowor VNS, Supit A.

Alasan Masyarakat Kelurahan Sario Tumpaan

Tidak Menggunakan Gigi Tiruan. Jurnal e-

GiGi. 2013; 1(2): 1-7.

8. Silviana A, Wowor VNS, Mariati NW.

Persepsi tentang Perawatan Gigi Tiruan pada

Masyarakat Kelurahan Maasing Kecamatan

Tuminting Kota Manado. Jurnal e-GiGi.

2013;1(2): 1-8.

9. Titjo OC, Lampus BS, Juliatri. Perilaku

Masyarakat Pengguna Gigitiruan Lepasan di

Kelurahan Bahu. Jurnal e-GiGi. 2013;1(2): 1-

8.

Pramasanti : Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa 199

Page 97: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

201

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

INSIDENSI KARIES GIGI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH

DI TK MERAH MANDIANGIN MARTAPURA

PERIODE 2012-2013

Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: The main issue of children’s oral health is dental caries. Dental caries is not only happening to

permanent teeth but also to deciduous teeth. Deciduous teeth is the indicator of dental health in preschool

children when we need to know the condition of children’s dental health. TK Merah Mandiangin is located in the

suburb which is isolated from dental care and most likely it gets less attention, so that is hypothesized to raise

the risk factor of caries. Objective: The purpose of this research is to know the incidence of dental caries in TK

Merah Mandiangin Martapura. Method: The method was a descriptive survey method. The population of this

research was preschool children from where 52 samples were chosen by total sampling. Result: The result was

collected from 8 persons of 3-year old students, 19 persons of 4-year old students, and 25 persons of 5-year old

students. The def-t status for decay was 97,86%, indicated for extraction was 1,99% and for filling was 0,33%.

Mean of def-t index in this research was 5,8 which is in high category by WHO’s standard. Conclusion: The

conclusion is the incidence of dental caries in preschool children at TK Merah Mandiangin Period of 2012-2013

was high.

Keywords: preschool children,def-t index, incidence of caries

ABSTRAK

Latar Belakang: Masalah utama dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah karies gigi. Karies gigi tidak

hanya terjadi pada gigi permanen tetapi juga pada gigi sulung. Gigi sulung merupakan indikator kesehatan gigi

pada anak usia prasekolah yang diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi anak. TK Merah Mandiangin

terletak di daerah pinggiran yang jauh dari perkotaan dan perawatan kesehatan gigi cenderung kurang

mendapat perhatian, sehingga diduga meningkatkan faktor resiko terjadinya karies. Tujuan: Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi karies gigi di TK Merah Mandiangin Martapura. Metode:

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah anak

usia prasekolah sebanyak 52 sampel dipilih secara totalsampling. Hasil: Diperoleh hasil penelitian indeks def-t

pada anak usia prasekolah yang berasal dari 8 orang def-t pada anak-anak di TK Merah Mandiangin berjumlah

97,86% untuk karies, 1,99% untuk indikasi pencabutan, dan 0,33% untuk gigi yang ditambal. Rata-rata def-t

penelitian adalah 5,8 dan termasuk kategori tinggi menurut WHO. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa insidensi

karies pada anak usia prasekolah di TK Merah Mandiangin Periode 2012-2013 tergolong tinggi.

Kata kunci: anak prasekolah, indeks def-t, insidensi karies

Korespondensi: Mirna Dara Mustika, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, [email protected]

200

Laporan Penelitian

200

Page 98: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item
Page 99: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

PENDAHULUAN

Karies adalah suatu penyakit infeksi yang

dihasilkan dari interaksi bakteri. Karies gigi terjadi

karena proses demineralisasi dari interaksi bakteri

pada permukaan gigi. Bakteri bersifat asam

sehingga dalam periode waktu tertentu, asam akan

merusak email gigi dan menyebabkan gigi menjadi

berlubang. Faktor etiologi terjadinya karies yaitu

mikroorganisme plak, diet dan waktu. Karies pada

gigi sulung sering menyerang gigi molar rahang

bawah, gigi molar rahang atas, dan gigi anterior

rahang atas. Pada masa periode gigi bercampur

karies gigi sering menyerang pada gigi molar

permanen rahang bawah dibandingkan dengan gigi

rahang atas.¹,²

Menurut Meinarly Gultom di Kecamatan

Balige Sumatera Utara, sebanyak 49,33% anak

balita menderita karies botol, gigi berlubang

(24,67%), gusi berdarah (10,67%), dan gusi

bengkak (8,67%). Sebagian besar responden tidak

pernah membawa anaknya ke dokter gigi.

Kebanyakan responden membawa anaknya ke

dokter gigi jika sudah terdapat keluhan pada gigi

anak. Kalimantan Selatan sendiri, angka karies gigi

pada tahun 1995 untuk kota Banjarmasin mencapai

40,5% dan merupakan angka karies gigi tertinggi

dibandingkan kota lain. Menurut penelitian

Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang

dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)

pada tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang

diambil sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI

di wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar

Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang

dinyatakan bebas karies gigi.³,4

Tingginya angka karies gigi menunjukkan

bahwa tenaga medis pada bidang kesehatan gigi

perlu memperkenalkanpendidikan kesehatan gigi

sedini mungkin pada anak agar mereka dapat

mengetahui cara memelihara kesehatan gigi dan

mulut secara baik dan benar. Menurut Haryani

(2002), anak usia prasekolah merupakan salah satu

kelompok yang paling rentan terhadap penyakit gigi

dan mulut karena umumnya masih mempunyai

perilaku atau kebiasaan diri yang kurang

menunjang terhadap kesehatan gigi. Masalah utama

dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah

karies gigi. Gigi sulung merupakan indikator

kesehatan gigi pada anak usia prasekolah yang

diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi

anak.²,5 Indikator yang dapat digunakan untuk

menilai karies gigi pada gigi sulung adalah indeks

def-t. Indeks def-t adalah jumlah gigi sulung yang

mengalami karies, dengan menghitung d (decay)

yaitu gigi sulung yang mengalami karies, e

(indicated for extraction) yaitu terdapat karies besar

pada gigi sulung dan diindikasikan untuk

dilakukan pencabutan, dan f (filled) yaitu gigi

sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa

adanya karies sekunder

TK Merah Mandiangin merupakan TK

yang terletak di daerah pinggiran, dengan asumsi

letaknya yang cenderung jauh dari perkotaan dan

perawatan kesehatan gigi cenderung kurang

mendapat perhatian sehingga diduga meningkatkan

faktor risiko terjadinya karies. Belum pernah

dilakukan penelitian pada anak prasekolah di TK

Merah Mandiangin Martapura. Berdasarkan latar

belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian insidensi karies gigi anak

prasekolah menggunakan indeks def-t (decay

extraction filling-teeth).

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah

untuk mengetahui insedensi karies gigi pada anak

prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura

Periode 2012-2013.

METODE

Rancangan penelitian ini adalah penelitian

deskriptif dengan metode survei deskriptif. Survei

deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan

untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara

rinci suatu fenomena yang terjadi di masyarakat.

Populasi dalam penelitian ini adalah anak

prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura

Periode 2012-2013 yang berjumlah 52 orang

berdasarkan jumlah siswa di TK Merah Mandiangin

Martapura. Sampel yang digunakan pada penelitian

ini adalah total sampling, yaitu seluruh populasi

tersebut dijadikan sebagai sampel penelitian.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat

diagnosa kedokteran gigi seperti kaca mulut, pinset,

sonde, dan excavator, sikat gigi, alat tulis, handuk

dan lap putih, masker dan sarung tangan, alkohol

70%, kapas, pasta gigi, lembar persetujuan, lembar

pemeriksaan def-t.

Prosedur penelitian dilakukan dengan

langkah pertama orang tua murid TK Merah

Mandiangin Martapura mengisi lembar persetujuan

yang didampingi oleh guru dan peneliti. Kemudian,

dilakukan pemeriksaan def-t pada rongga mulut

anak TK Merah Mandiangin untuk menentukan

insidensi karies gigi anak prasekolah periode 2012-

2013. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir

pemeriksaan. Pengumpulan data diperoleh dari

hasil pemeriksaan def-t pada anak TK Merah

Mandiangin Martapura Periode 2012-2013. Data

dari hasil pemeriksaan def-t yang diperoleh

Mustika : Insidensi Karies Gigi 201

Page 100: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

206

dimasukan dalam tabel dan dilakukan penghitungan

dengan menggunakan rumus indeks def-t.

HASIL PENELITIAN

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki Perempuan

D 185 110 295

E 4 2 6

F 1 0 1

Jumlah 190 112 302

Tabel 3.1Data def-t TK Merah Mandiangin

Indeks def-t =

= = = 5,8

Berdasarkan data diatas dapat dilihat

bahwa indeks def-t pada TK Merah Mandiangin

Martapura adalah 5,8 berdasarkan standar karies

menurut WHO termasuk kategori Tinggi.

PEMBAHASAN

Indeks def-t pada siswa siswi prasekolah

di TK Merah Mandiangin Martapura sekitar 5,8.

Berdasarkan standar karies menurut WHO, indeks

def-t pada siswa siswi tersebut termasuk dalam

golongan tinggi. Hasil penelitian ini berbeda

dengan penelitian sebelumnya. Menurut

Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang

dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) pada

tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang diambil

sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI di

wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar

Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang

dinyatakan bebas karies gigi.4 Perbedaan penelitian

ini dengan penelitian sebelumnya adalah responden

penelitian yang digunakan, pada penelitian ini

menggunakan anak usia prasekolah sedangkan

penelitian sebelumnya dilakukan pada anak sekolah

dasar.

Indeks def-t menunjukan pada siswa laki-

laki lebih tinggi daripada siswa perempuan.

Berdasarkan jumlah reponden penelitian pada TK

Merah Mandiangin Martapura yang berjumlah 52

orang yang terdiri atas 32 orang siswa laki-laki dan

20 orang siswa perempuan dinyatakan semua

responden terkena karies dan tidak ada yang

dinyatakan bebas karies. Perbedaan jumlah siswa

laki-laki dan perempuan yang terkena karies

tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis

kelamin. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan oleh Fitriani (2007), jenis kelamin bukan

merupakan faktor resiko terjadinya karies sehingga

tidak mempengaruhi insiden terjadinya karies pada

gigi sulung. Faktor resiko yang dapat

mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada anak

prasekolah tersebut antara lain kebersihan gigi dan

mulut, pH saliva, kebiasaan makan makanan

kariogenik, keteraturan menggosok gigi, lamanya

substrat menempel, dan praktik ibu.15

Faktor resiko seperti kebiasaan makan

makanan kariogenik merupakan faktor yang paling

sering terjadi pada anak usia prasekolah.15 Hal

tersebut didukung oleh Rimm (2003) yang

menyatakan bahwa pada usia tersebut umumnya

anak menyukai makanan manis.16 Kebiasaan ini

terbentuk karena pengetahuan para ibu mengenai

diet yang baik bagi anak masih tergolong rendah,

sehingga mereka telah memperkenalkan makanan

manis kepada anak sejak balita. Anak menjadi

terbiasa mengkonsumsi makanan manis tersebut

dan kebiasaan itu akan berlanjut sampai mereka

dewasa.17

Semakin banyak makanan manis yang

anak konsumsi, semakin tinggi resiko anak

202 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 204

Page 101: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

mengalami karies.18 Rendahnya pengetahuan orang

tua tentang kesehatan gigi dan mulut yang masih

mengabaikan pertumbuhan dan pemeliharaan gigi

anaknya pada saat pertumbuhan gigi sulung

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya

karies, sehingga diharapkan orang tua ikut berperan

mengawasi kebersihan gigi dan mulut anak mereka

dengan cara mengajarkan cara perawatannya.19

Faktor predisposisi lainnya yang dapat

mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada

individu antara lain faktor sosial ekonomi, usia, dan

lingkungan.18,20 Faktor sosial ekonomi merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi angkat

terjadinya karies.18 Status sosial ekonomi yang

rendahdiukur berdasarkan pendidikan dan

pendapatan dan telah diasosiasikan dengan

kurangnya konsumsi serat pada individu yang

tinggal di daerah rumah tangga sosial-ekonomi

rendah.²¹,²²

Individu dengan pendidikan yang rendah

cenderung mengalami karies 1,306 kali

dibandingkan responden dengan pendidikan yang

lebih tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena

adanya program UKGS pada tingkat pendidikan

yang lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi

pengetahuan individu dan berefek pada pemilihan

makanan yang sesuai bagi kesehatan gigi

mereka.18,²³,²4 Pendapatan yang terbatas juga dapat

mempengaruhi angka kejadian karies karena

pendapatan memiliki pengaruh terhadap makanan

yang dikonsumsi oleh individu, baik pemilihan

jenis maupun jumlah makanan yang dikonsumsi.

²²,²4 Riyanti (2012) melaporkan bahwa keluarga

dengan tingkat pendapatan rendah lebih sedikit

mengkonsumsi serat buah yang berperan dalam

mengurangi akumulasi plak dan mencegah

terjadinya karies.²²,²6,²7

Sejumlah penelitian sebelumnya

memperlihatkan adanya hubungan antara status

sosial dan karies gigi. Salah satu hasil penelitian

dari Budiasuri et al (2010) menunjukkan bahwa

prevalensi karies lebih tinggi pada anak-anak yang

berasal dari status sosial ekonomi rendah.18 Hal ini

dikarenakan anak dari status ini lebih sedikit makan

makanan yang berserat dan rendahnya tingkat

pendidikan dapat menyebabkan kurangnya

pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut,

sehingga hal tersebut dapat meningkatkan angka

terjadinya karies gigi pada seseorang.18,²²,²³

Berdasarkan hal tersebut, anak-anak

prasekolah yang terdapat di TK Merah Mandiangin

dengan kondisi sosial ekonomi rendah cenderung

memiliki indeks def-t yang lebih tinggi dibanding

anak-anak prasekolah dengan kondisi sosial

ekonomi menengah ke atas. Keterbatasan penelitian

ini adalah peneliti hanya meneliti mengenai karies

gigi pada anak tanpa mengukur pengetahuan

orangtua terutama ibu, terhadap terjadinya karies

pada anak usia prasekolah. Penelitian ini juga

belum dapat menggambarkan insidensi karies pada

anak usia 3 tahun karena pada usia tersebut

orangtua masih jarang mendaftarkan anaknya untuk

bersekolah di taman kanak-kanak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hiranya M P, Eliza H, Neneng N. Ilmu

Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan

Jaringan Pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2011.

Hal: 104.

2. Haryani W, Hadi H, Hendrartini Y. Hubungan

Antara Konsumsi Kerbohidrat Dengan Tingkat

Keparahan Karies Gigi pada Anak Usia

Prasekolah di Kecamatan Depok, Sleman,

Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat.

Yogyakarta. 2002; XVIII(3):131-137.

3. Gultom M. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

Ibu-Ibu Rumah Tangga Terhadap Pemeliharaan

Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Balitanya, di

Kecamatan Balita, Kabupaten Toba Samosir

Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera

Utara; 2009. Hal: 23-29.

4. Utami NK, Hidayati S, Mu’afiro A. Efektivitas

Pelayanan Asuhan dan Penyuluhan Kesehatan

Gigi dan Mulut di SDN Sei Besar 7 Banjarbaru

Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian RSU Dr

Soetomo. 2008; 10(2):12-19.

5. Natamiharja L, Dwi NS. Hubungan

Pendidikan, Pengetahuan dan Perilaku Ibu

Terhadap Status Karies Gigi Balitanya.

Dentika Dental Journal. 2010; 15(1):37-41.

6. Angela, A. Pencegahan Primer Pada Anak

yang Berisiko Karies Tinggi. Maj. Ked. Gigi

(Dent. J). 2005;38(3):130-134.

7. Pratiwi, Rini. Perbedaan Daya Hambat

terhadap Streptococcus mutans dari Beberapa

Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Dent. J.

2005; 38(2):64-65.

8. Kellog N. Oral and Dental Aspects of Child

Abuse and Neglect. Pediatrics. 2005; 116:

1565-1568.

9. ADHS: The dental team's responsibility in

reporting child abuse and neglect - Part

4.Tersedia melalui: http://www.azdhs.gov,

2006. (diakses buln juni 2007).

10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi

Balita. Jakarta, 2000: Hal: 12-19.

11. Widayatun TR. Ilmu Prilaku M.A 104. Jakarta:

CV Sagung Seto; 2009. Hal: 145-148.

12. Mishra, R. 2010. Dental indices used in

Pedodontics. Available at

http://www.docstoc.com/docs/25098629/Denta

Mustika : Insidensi Karies Gigi 203

Page 102: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

208

l-indices-used-in pedodontics. (diakses bulan

maret 2011).

13. Imron M, dan amrul. Metode Penelitian Bidang

Kesehatan. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010.

Hal: 195-196.

14. Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian.

Bandung: Alfabeta; 2007.Hal:63.

15. Fitriani F. Faktor Risiko Karies Gigi Sulung

Anak (Studi Kasus Anak TK Islam Pangeran

Diponegoro Semarang). Semarang: Universitas

Diponegoro; 2007. Hal:3-7.

16. Rymm, SB. Mendidik dan Menerapkan

Disiplin Pada Anak Prasekolah: Pola Asuh

Anak Masa Kini. Jakarta: Gramedia; 2003.

Hal:175.

17. Prabantini, D. A to Z Makanan Pendamping

ASI. Yogyakata: CV Andi Offset; 2010. Hal:

13.

18. Budisuari MA, Oktarina, Mikrajab MA.

Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan

Menyikat Gigi Dengan Kesehatan Gigi dan

Mulut (Karies) di Indonesia. Buletin Penelitian

Sistem Kesehatan. 2010; 13(1):83-91.

19. Balatif FF, Lesmana D, Nuita R. Gambaran

Karies Gigi Siswa Kelas I sampai Kelas III

Berdasarkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan

Mulut Orangtua di SD Jayasari Kecamatan

Tanjung Sari. Bandung: Universitas

Padjajaran; 2010. Hal:6-7.

20. Lee HY, Choi YH, Park HW, Lee SG.

Changing Patterns in the Associaton Between

Regional Social-economic Context and Dental

Caries Experience According to Gender and

Age: A Multilevel Study in Korean Adults.

International. Journal of Health Geographic.

2012; 11(3):46-50.

21. Adi, R. Metodologi Penelitian Sosial dan

Hukum. Jakarta: Granit; 2004. Hal: 39.

22. Riyanti, DT. Hubungan Tingkat Pendidikan

dan Pendapatan Keluarga Terhadap Konsumsi

Serat (Sayur, Buah, Kacang) Pada Lansia Usia

60-74 Tahun di Pulau Sumatera (analisis Data

Sekunder Riskesdas). Jakarta: Universitas Esa

Unggul; 2012. Hal: 92.

23. Isrofah, NEM. Pengaruh Pendidikan Kesehatan

Gigi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Anak

Usia Sekolah di SD Boto Kembang

Kulonprogo Yogyakarta. Pena Medika Jurnal

Kesehatan. 2010; 1(1):1.

24. Trubus. Kegemukan Pergi dan Tak Kembali,

My Healthy Life. Jakarta: Trubus Swadaya;

2010. Hal: 41.

25. Celeste RK, Fritzell J, Nadanovsky P. The

Relationship Between Levels of Income

Inequality and Dental Caries and Periodontal

Disease. Cad saude Publica. 2011;27(6):1111-

1120.

26. Kidd EAM dan Bechal SJ. Dasar-dasar Karies:

Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta

EGC; 1992. Hal:96.

27. Noviana T. Perbedaan Efektivitas Pemberian

Jus Apel (Pyrus Malus) atau Jus Stroberi

(Fragaria Chiloensis L) Untuk Menghambat

Akumulasi Plak Gigi Pada Anak SDN Cibigo

Bandung. Semarang: Universitas Diponegoro.

2009. Hal: 6-19.

204 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 204

Page 103: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

PERBANDINGAN PERUBAHAN WARNA HEAT CURED ACRYLIC BASIS GIGI TIRUAN YANG

DIRENDAM DALAM KLORHEKSIDIN DAN EFFERVESCENT (Alkaline peroxide)

Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACK

Background: One type of acrylic resin which is often used as a denture base is heat cured acrylic.

Accumulation of plaque which is often form on denture resulting odor and bad taste for the users. Chemical

solution such as chlorhexidine and effervescent tablets are often used to eliminate the problem. One of the

properties of acrylic is liquid absorbed slowly including denture cleaning solution. The long-term application in

both solutions result color changes on acrylic resin. Purpose: This study was to determined the color change of

heat cured acrylic that were soaked in a chlorhexidine solution and effervescent tablets. Methods: This study

was a true experimental research design with pretest and post-test only with control group design, with acrylic

plate samples of 26 mm diameter and 0.4 mm of thickness consisting of 6 treatment groups, 3 groups soaking in

chlorhexidine for 15, 105, and 210 minutes and 3 groups in effervescent for 5, 35 and 70 minutes. Thirty samples

were used in the experiment. The color changes observation each group was measured by spectrophotometer

BPY series-47 type photo cell and digital microvolt. The statistical test used was paired T test with a significance

value 0.05. Result: The results of this study showed that the color change of heat cured acrylic after immersion

in chlorhexidine solution for 15, 105 and 210 minutes and in effervescent solution for 5, 35 and 70 minutes.

Conclusion: Chlorhexidin caused greater changes colour of heat cured acrylic resin compared to effervescent.

Keywords: color changes, heat cured acrylic, chlorhexidine, effervescent tablets.

ABSTRAK

Latar Belakang: Salah satu jenis resin akrilik yang sering digunakan sebagai basis protesa adalah heat

cured acrylic. Sering terjadi penumpukan plak dan jamur pada gigi tiruan yang mengakibatkan bau dan rasa

tidak nyaman pada pemakaian. Larutan pembersih kimia seperti klorheksidin dan tablet effervescent sering

digunakan untuk menghilangkan masalah tersebut. Salah satu sifat akrilik adalah menyerap cairan secara

perlahan-lahan termasuk larutan pembersih gigi tiruan. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama kedua

larutan tersebut mengakibatkan perubahan warna pada resin akrilik. Tujuan: Penelitian ini bertujuan

mengetahui perubahan warna heat cured acrylic yang direndam pada larutan klorheksidin dan tablet

effervescent. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian

pretest and post test only with control group design, dengan sampel akrilik berbentuk silinder berdiameter 26

mm dan tebal 0,4 mm yang terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok perendaman larutan

klorheksidin dengan waktu 15, 105, dan 210 menit dan 3 kelompok perendaman larutan effervescent dengan

waktu 5, 35 dan 70 menit. Tigapuluh sampel digunakan pada penelitian. Perubahan warna masing-masing

kelompok diukur dengan rangkaian alat spektrofotometer BPY-47 type photo cell dan mikrovolt digital. Uji

statistik yang digunakan adalah T test berpasangan dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil: Hasil dari penelitian

menunjukkan terjadinya perubahan warna heat cured acrylic setelah perendaman larutan klorheksidin pada 15,

105 dan 210 menit dan larutan effervescent pada 5, 35 dan 70 menit. Kesimpulan: Klorheksidin menyebabkan

perubahan warna yang lebih besar dibandingkan dengan effervescent.

Kata-kata kunci: perubahan warna, heat cured acrylic, klorheksidin, tablet effervescent.

Korespondensi: Yordan Kangsudarmanto, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:

[email protected]

Laporan Penelitian

205

Page 104: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

210

PENDAHULUAN

Bahan dasar basis gigi tiruan yang paling

banyak dipakai adalah resin akrilik polimetil

metakrilat jenis heat cured. Bahan basis gigi tiruan

yang ideal harus memiliki ciri-ciri fisikal yang

sesuai. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain

biokompatibilitas, estetik yang baik, radiopak dan

mudah diperbaiki. Basis gigi tiruan harus cukup

kuat agar dapat berfungsi pada beban pengunyahan

yang maksimal.1,2

Salah satu perawatan gigi tiruan dari plak

dan kuman yang menempel adalah dengan cara

melakukan pembersihan secara kimia. Perendaman

dalam larutan klorhexidin selama 15 menit dapat

menghambat virus dan aktif melawan jamur pada

gigi tiruan.6 Perendaman dalam larutan tablet

effervescent sesuai dengan aturan pemakaian

selama 5 menit, pada saat tablet effervescent

dilarutkan dalam air hangat maka sodium perborate

akan terurai dan membentuk senyawa alkaline

peroxide yang melepaskan oksigen dan terjadilah

aksi pembersihan mekanis terhadap deposit yang

menempel pada gigi tiruan.4

Klorheksidin sering dipakai dalam dunia

kedokteran gigi sebagai obat kumur. Berkumur dua

kali sehari dengan menggunakan 0,2% larutan

klorheksidin akan mengurangi jumlah

mikroorganisme dalam saliva sebanyak 80% dan

apabila pemakaian obat kumur dihentikan bakteri

akan kembali seperti semula dalam waktu 24 jam.

Klorheksidin bermanfaat untuk menghambat

pembentukan plak, juga dapat membantu

penyembuhan ulkus (sariawan).5

Tablet Effervescent (Alkaline peroxide)

adalah pembersih gigi tiruan yang sering digunakan

bagi pengguna gigi tiruan usia lanjut untuk

menghindari kecelakaan jatuh dan patahnya akrilik

gigi tiruan. Bahan pembersih gigi tiruan ini tersedia

dalam bentuk tablet dan bubuk. Alkaline peroxide

efektif untuk menghilangkan noda (stain) pada gigi

tiruan.4

Perubahan warna disebabkan oleh dua faktor

yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik

adalah perubahan kimia pada bahan itu sendiri yaitu

proses polimerisasi tidak sempurna sedangkan

faktor ekstrinsik adalah stain akibat absorpsi bahan

pewarna dari sumber-sumber eksogen seperti teh,

kopi, minuman ringan, nikotin, dan larutan kumur.

Kedua faktor ini menyebabkan terjadinya reaksi

kimia-fisik pada bahan resin. Ikatan reaksi kimia-

fisik yang terjadi adalah penyerapan perlekatan

partikel zat warna pada permukaan resin dan

penyerapan perlekatan yang masuk ke bagian

dalam melalui porositas. Konsentrasi dan lama

paparan bahan stain dalam minuman dapat

mempengaruhi pigmentasi resin.6,14 Selain itu

perubahan warna bisa dipengaruhi oleh faktor lain

diantaranya adalah kebersihan mulut, penyerapan

air dan proses polimerisasi yang tidak sempurna.6

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah true experimental

(eksperimental murni) laboratorium dengan desain

penelitian Pretest and Postest Control Grup

Design. Sampel yang digunakan berbentuk silinder

berdiameter 26 mm dan tebal 0,4 mm, yang terbuat

dari bahan akrilik jenis heat cured (merk QC).

Sampel untuk 6 kelompok masing-masing

berjumlah 5 buah, jadi total sampel ada 30 buah.

Pengukuran perubahan warna dilakukan di

Laboratorium Fisika Optik Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga.

Pembuatan lempeng akrilik dilakukan di

laboratorium basah Program Studi Kedokteran Gigi

Universitas Lambung Mangkurat dengan prosedur

sebagai berikut, Sampel malam merah dibuat

sebagai model induk dengan diameter 26 mm dan

tebal 0,4 mm sebanyak 30 buah. Gips tipe II dibuat

menjadi adonan, perbandingan gips dengan air

untuk kuvet bawah adalah 300 gram : 90ml, adonan

diaduk dengan spatula dan dimasukkan ke dalam

kuvet yang telah disiapkan diatas vibrator agar

gelembung-gelembung udara keluar dari dalam

kuvet. Wax diletakkan pada adonan gips yang mulai

mengalami pengerasan (setting) di dalam kuvet dan

diamkan gips sampai setting. Permukaan gips pada

kuvet bawah diolesi vaselin dan kuvet atas diisi

dengan adonan gips diatas vibrator agar

gelembung-gelembung udara keluar dari dalam

kuvet. Setelah gips setting, pembuangan wax

dilakukan dengan cara kuvet direndam dalam air

panas, kemudian kuvet dibuka dan wax yang masih

tertinggal dibuang. Setelah kering olesi cold mould

seal.

Polimer dan monomer diaduk dalam stelon

pot porcelain dengan perbadingan 2:1 sesuai

petunjuk pabrik sehingga adonan mencapai fase

dough. Mould yang telah diolesi separator diisi

penuh dengan adonan resin akrilik. Plastik selopan

diletakkan antara kuvet atas dan bawah, kemudian

ditutup dan ditekan perlahan dengan pres hidrolik

dengan tekanan 1.000 psi (70kg/cm2). Kuvet dibuka

kembali dan kelebihan akrilik dipotong, kemudian

kuvet ditutup kembali, dilakukaan pengepresan

dengan tekanan 2.200 psi (154kg/cm2) dan

pemberian tekanan dilanjutkan sampai sebagian

besar kuvet berkontak rapat satu sama lain

kemudian baut dipasang. Kuvet tersebut direbus

didalam air medidih 1000C selama 30 menit. Kuvet

dikeluarkan dan dibiarkan dingin pada suhu kamar,

sampel dikeluarkan dari kuvet kemudian dirapikan

untuk menghilangkan bagian yang tajam dengan

menggunakan bur fraser. Sampel diratakan dan

206 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 209

Page 105: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

dirapikan dengan menggunakan rotary grinder.

Permukaan sampel dihaluskan dengan

menggunakan bur white stone dilanjutkan dengan

menggunakan abrassive paper di bawah air hingga

dihasilkan permukaan yang benar-benar rata dan

halus. Setelah itu, semua sampel dicuci dengan air

untuk menghilangkan sisa-sisa akrilik.

Selanjutnya sampel diberi perlakuan, dengan

membagi menjadi 6 kelompok masing-masing 5

sampel untuk kelompok yang direndam selama 15

menit, 5 sampel untuk kelompok yang direndam

selama 105 menit, dan 5 sampel yang direndam

selama 210 menit dalam larutan klorhexidin 0,2%.

Lima sampel untuk kelompok yang direndam

selama 5 menit, 5 sampel untuk kelompok yang

direndam selama 35 menit, 5 sampel untuk

kelompok yang direndam selama 70 menit dalam

larutan tablet effervescent. Sampel dikeluarkan dan

dibersihkan dengan air kemudian diletakkan diatas

tisu kering pada suhu kamar dan selanjutnya sampel

siap untuk diuji stabilitas warnanya.

Pengolahan data dengan pengukuran

stabilitas warna dengan menggunakan rangkaian

alat foto sel type BPY-47 dan microvolt digital.

Pengukuran dilakukan pada sampel sebelum dan

sesudah direndam dalam larutan klorheksidin 15,

105, dan 210 menit. Pengukuran dilakukan pada

sampel sebelum dan sesudah direndam dalam

larutan tablet effervescent 5, 35, dan 70 menit.

Uji normalitas dilakukan dengan

menggunakan uji kolmogorov smirnov. Analisis

data dilakukan dengan pengujian statistik

menggunakan uji T berpasangan dengan tingkat

kepercayaan 95% (α= 0,05). Uji signifikasi

terhadap hasil dengan membandingkan tingkat

kemaknaan (p) dengan tingkat signifikan (α) 0,05.

Hipotesis diterima jika nilai tingkat kemaknaan (p)

lebih kecil dari tingkat signifikan (α).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian Perbandingan perubahan

warna heat cured acrylic basis gigi tiruan yang

direndam dalam klorheksidin dan effervescent

(Alkaline peroxide) dapat dilihat pada gambar

berikut.

Gambar 1 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

klorheksidin 15 menit.

Gambar 2 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

klorheksidin 105 menit.

Gambar 3 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

klorheksidin 210 menit.

Gambar 4 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

effervescent 5 menit.

Gambar 5 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

effervescent 35 menit.

Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan 207

Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan 207

Page 106: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

212

Gambar 6 Perbandingan perubahan warna sampel

akrilik sebelum dan sesudah perendaman

effervescent 70 menit.

Tabel 3. Rata-Rata Penurunan Nilai Perubahan

Warna Akrilik pada Larutan Klorheksidin

dan Effervescent.

Berdasarkan data pada Tabel 3, didapatkan

bahwa perubahan warna akrilik pada menit ke 15

klorheksidin adalah 2,5 mv sedangkan pada menit

ke 5 effervescent adalah 1 mv yang diasumsikan

sebagai 1 hari penggunaan. Menit ke 105

klorheksidin perubahannya sebesar 4,2 mv

sedangkan menit ke 35 effervescent 2,9 mv

diasumsikan sebagai penggunaan 1 minggu.

Klorheksidin menit ke 210 perubahan terjadi

sebesar 10,2 mv dan pada menit ke 70 effervescent

sebesar 5,2 mv yang diasumsikan sebagai

penggunaan 2 minggu.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa

hasil uji statistik T test pada perbandingan

perubahan warna akrilik sesudah perendaman

dalam larutan klorheksidin dan effervescent

(alkaline peroxide) pada menit ke 15 larutan

klorheksidin dengan menit ke 5 menit larutan

effervescent menunjukkan nilai p = 0,006, karena

nilai p < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak

karena terdapat perubahan warna akrilik setelah

perendaman. Pada menit ke 105 klorheksidin

dengan menit ke 35 effervescent (alkaline peroxide)

menunjukkan nilai p = 0,25 dan pada menit ke 210

klorheksidin dengan menit ke 70 effervescent

menunjukkan nilai p = 0,00, karena nilai p < 0,05

maka Ha diterima dan H0 ditolak sehingga sesuai

dengan hipotesis yaitu ada perbedaan perubahan

warna yang bermakna.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji T berpasangan dan rata-

rata perubahan warna akrilik setelah perlakuan pada

kedua larutan maka dapat dipahami bahwa hasil

penelitian sesuai dengan hipotesis peneliti yang

menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna

antara dua kelompok yaitu kelompok yang

direndam dalam klorhexidin dan kelompok yang

direndam dalam larutan effervescent (alkaline

peroxide). Prinsip pengukuran pada percobaan ini

adalah dengan perbedaan intensitas cahaya, dalam

hal ini disamakan dengan nilai voltmeter. Gerak

elektron dari katode ke anode merupakan sebab

adanya perbedaan intensitas cahaya pada efek foto

listrik. Bila cahaya yang dipantulkan lebih banyak

daripada cahaya yang diteruskan, maka nilai

voltmeter menurun, warna akrilik yang semula

merah merupakan spektrum warna merah yang

dipantulkan sedangkan warna lain diteruskan. Jika

warna akrilik yang semula berwarna merah dan

kemudian setelah dilakukan perendaman pada

larutan menjadi memudar atau lebih muda

(mengarah ke putih) berarti lebih banyak spektrum

yang dipantulkan daripada yang diteruskan,

sehingga nilai voltmeter menjadi turun.6

Perubahan warna akrilik yang direndam dalam

larutan klorheksidin disebabkan adanya interaksi

kation dan anion dari senyawa klor yang

terkandung dalam klorheksidin dengan akrilik

sehingga zat warna akrilik memudar. Hal yang

menyebabkan perubahan warna adalah adanya

perubahan dalam struktur polimer heat cured

acrylic dalam kandungan pigmen ( garam

cadmium, besi, Mercury sulfide (HgS), dan

pewarna organik ) bereaksi dengan klorheksidin itu

sendiri sehingga terjadi efek pemutihan terhadap

warna lempeng akrilik.13

Pigmen warna dalam akrilik heat cured dapat

bereaksi dengan ion klor karena lama kontak

dengan cairan klorheksidin dan penyerapan ion klor

yang masuk ke dalam porositas akrilik yang dapat

melarutkan pigmen akrilik karena konsentrasi yang

lebih besar.6 Ion klor memiliki sifat netral dan

merupakan basa konjugat dari asam klorida yang

merupakan asam kuat. Ion klorida membentuk

endapan dengan ion ion Ag+, Pb+, dan Hg+ berperan

dalam pembentukan kompleks melalui perubahan

warna dan melarutnya endapan atau padatan.7

Perubahan warna akrilik pada larutan effervescent

(alkaline peroxide) disebabkan oleh kandungan

sodium perborate. Ketika dilarutkan dalam air,

sodium perborate akan terurai dan membentuk

senyawa alkaline peroxide, senyawa ini akan

melepaskan oksigen dan terjadi aksi pembersihan

kimia oleh gelembung oksigen.4

Alkaline peroxide ketika terbentuk dalam air

akan menghasilkan H2O2 (hidrogen peroxide) +

alkali, 2H2O2 2H2O + 2O (nascent oxygen).

Nascent oxygen mempunyai efek pembersihan

Me

nit Klorheksidin

Meni

t

Effervescent

(alkaline

peroxide)

15 2,5 mv 5 1 mv

105 4,2 mv 35 2,9 mv

210 10,2 mv 70 5,2 mv

208 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 209

Page 107: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

kimia.3 Penyebab perubahan warna pada resin

akrilik terkait dengan properti pengoksidasi kuat

dari larutan sehingga oksigen yang dilepaskan

menyebabkan oksidasi akselerator amina tersier

atau ikatan ganda yang tidak bereaksi didalam

matriks resin.7

Salah satu faktor yang penting dalam dalam

pemutihan warna akrilik pada larutan effervescent

ini adalah penggunaan temperatur air yang

digunakan untuk merendam gigi tiruan. Devlin dan

Kaushik (2005) menunjukkan bahwa penyerapan

air pada permukaan akrilik yang disebabkan oleh

larutan 500C alkaline peroxide, mengakibatkan

pemutihan permukaan yang bersifat irreversible

ketika akrilik dikeringkan.8 Panas yang dihasilkan

oleh air pada massa resin menimbulkan difusi

berlebih dan pelepasan monomer ke permukaan

material. Sehingga penurunan kadar residu

monomer mengakibatkan tingkat oksidasi yang

lebih rendah dari pigmen dalam resin, mengurangi

perubahan kromatik intrinsik dan pembentukan

bahan degradasi warna pada akrilik.9,10

Berdasarkan penelitian Munther N. Kazanji

(2004) dalam uji pengaruh bahan pembersih

alkaline hipoklorit dan alkaline peroksida

menunjukkan terjadi pemudaran warna pada basis

gigi tiruan self cured dan heat cured setelah

dilakukan perendaman selama 7 hari.7 Pada

perlakuan kelompok perendaman klorheksidin 105

menit dan 210 menit dengan kelompok perendaman

effervescent (alkaline peroxide) 35 menit dan 70

menit menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna

lempeng akrilik. Perubahan warna lempeng akrilik

pada perlakuan klorheksidin 105 dan 210 menit

lebih besar dibandingkan perubahan warna dari

effervescent 35 menit dan 70 menit. Hal ini

dipengaruhi oleh kandungan klorin atau klor yang

terdapat pada klorhexidin lebih bereaksi dengan

lempeng akrilik sehingga menyebabkan efek

pemutihan sehingga warna akrilik menjadi lebih

muda. Selanjutnya konsentrasi dan volume

klorheksidin juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi dan merubah struktur polimer

dengan demikian akan memperbesar perubahan

warna akrilik.11

Pembersih gigi tiruan effervescent (alkaline

peroxide) buatan polident melakukan upaya dalam

mengurangi temperatur air yang digunakan dan

konsentrasi dari komposisi untuk meminimalisirkan

efek pemutihan warna yang disebabkan oleh

alkaline peroxide.12 Produk tablet effervescent

pembersih gigi tiruan sekarang sudah tidak

mengandung enzym, yang mana oksidasi dengan

kombinasi enzym dengan larutan alkaline akan

mengakibatkan kerusakan pada stabilitas warna.11

Perubahan warna yang terjadi memang tidak terlalu

nampak secara visual tetapi berdasarkan nilai

intensitas cahayanya menunjukkan perubahan nilai

dari warna akrilik sebelum perendaman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anusavice KJ. Phillips buku ajar Ilmu bahan

kedokteran gigi. Alih bahasa; Johan Arief

Budiman, Susi Purwoko. Edisi 10. Jakarta:

EGC; 2004. 29-61, 192-219.

2. Meng TR and Latta MA. Physical properties of

four acrylic denture base resins. Journal of

contemporary dental practice 2005 ; 6(4).

3. Chittaranjan B, Taruna, Sudhir and Bharath.

Material and methods for cleansing dentures.

Indian Journal of Dental Advancements 2011;

3(1): 423-426.

4. Naini A dan Soesetijo FX. Pengaruh lama

perendaman lempeng akrilik dalam alkalin

peroksida terhadap perubahan warna. IJD 2006;

13(1): 43-46.

5. Bakar A. Kedokteran gigi klinis. Yogyakarta:

KITA Junior; 2012. 205.

6. David dan Munadziroh E. Perubahan warna

lempeng resin akrilik yang direndam dalam

larutan disenfektan sodium hipoklorit dan

klorhexidin. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005;

38(1): 36-40.

7. Kazanji MN, Ahmad ZM. Evaluation of the

effect of some denture cleansers on the colour

of acrylic resin denture base materials. Al-

Rafidain Dent J 2004; 4(2): 79-86.

8. Devlin H, Kaushik P. The effect of water

absorption on acrylic surface properties. J

Prosthodont 2005; 14: 233-8.

9. Samra AP, Pereira SK, Delgado LC, Borges CP.

Color stability evaluation of aesthetic

restorative materials. Brazillian Oral Research

2008; 22: 205-10.

10. Goiato MC, Santos DM, Haddad MF,

Pesqueira AA. Effect of accelerated aging on

the microhardness and color stability of flexible

resins for dentures. Brazillian Oral Research

2010; 24: 114-9.

11. Moffa EB, Giampaolo ET, Izumida FE,

Pavarina AC, Machado AL and Vergani CE.

Color stability of relined dentures after chemical

disinfection. Journal of Dentistry 2011; 395:

e65-e71.

12. Lai Y-L, Lui H-F, Lee S-Y. In vitro color

stability, stain resistance, and water sorption of

four removable gingival flange materials. J

Prosthet Dent 2003; 90: 293-300.

13. Mathur S, Mathur T, Srivasta R, Khatri R.

Chlorhexidine: The gold standard in chemical

plaque control. National Journal of Psychology,

Pharmacy and Pharmacology 2011; 1: 45-50.

14. Prasetyo EA. Perubahan warna resin komposit

hibrid setelah direndam dalam minuman

bewarna. Jurnal ilmu konservasi gigi 2008;

1(1): 51-54.

Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan 209

Page 108: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

214

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 2. September 2014

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL BATANG PISANG MAULI (Musa sp)

TERHADAP SEL FIBROBLAS BHK (Baby Hamster Kidney) 21

Maharani Laillyza Apriasari1, Rosihan Adhani2, Diah Savitri3

1Bagian Ilmu Penyakit Mulut Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 2Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin 3Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK

Latarbelakang : Salah satu obat tradisional yang sekarang sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman

obat. Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat adalah pisang. Pisang mauli adalah pisang yang

banyak tumbuh di Banjarmasin. Beberapa penelitian membuktikan batang pisang mauli mengandung saponin,

alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang terbanyak didominasi tannin yang bersifat anti bakteri

dan antijamur. Tujuan : untuk membuktikan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang pisang mauli

dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).Metode dan

bahan : penelitian eksperimental laboratoris dengan Post Test Only menggunakan 5 perlakuan..Sampel

penelitian berupa kultur sel fibroblasBHK 21 sebanyak 5 kelompok yaitu yang diberi ekstrak metanol batang

pisang mauli 25%, ekstrak metanol batang pisang mauli 80%, ekstrak metanol batang pisang mauli 100%,

kontrol sel dan kontrol media. Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel BHK dan tahapan perlakuan. Hasil

pembacaan menggunakan Elisa Reader. Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney). Hasil penelitian :

ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, konsentrasi 80% memiliki sel

hidup 34%, dan konsentrasi mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Analisis statistik oneway Anova menunjukkan

terdapat perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok perlakuan.Kesimpulan : Ekstrak metanol batang pisang

mauli dengan konsentrasi 25% tidak toksik terhadap sel fibroblas BHK 21

Kata kunci : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Batang pisang mauli, Ekstrak metanol, Uji sitotoksisitas

ABSTRACT

Background :Herbal medicine is one of the traditional drugs that almost be used by the people. One of herbal

medicine is banana. Mauli banana is a lot of plants that growth in South Borneo. Some researches prove the

mauli banana stem that contain saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan more tanin is

having antibacterial and antifungal effect. Purpose : to prove cytotoxicity test of mauli banana stem metanol

extract with 25%,80% and 100% consentrations were gived to fibroblast cel of baby hamster kidney (BHK 21).

Material and methods : It was the experimental laboratoris with post test only using 5 treatments. The

resaearch samples are cultur of fibroblast cells BHK 21 are devided by 5 groups that was giving by metanol

extract 25% of mauli banana stem, metanol extract 80% of mauli banana stem, metanol extract 100% of mauli

banana stem,cells control, and media control. The research steps are BHK cells split and treatnent. The

research result was using elisa reader. Procentase of life cells based on Freshney theory. Research results :

methanol extract 25% of mauli banana stem was having 72% life cells, metanol extract 80% of mauli banana

stem was having 34% life cells, and methanol extract 100% of mauli banana stem was having 29% life cells. The

210

Laporan Penelitian

Page 109: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

statistic analyzes was using One Way Anova showed the difference between groups. Conclusion : Methanol

extract 25% of mauli banana stem to BHK 21 fibroblast cells are not toxic

Keywords : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Cytotoxicity test, Mauli banana stem, Methanol extract

PENDAHULUAN

Salah satu obat tradisional yang sekarang

sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman

obat. Tanaman obat adalah tanaman yang salah

satu, beberapa atau seluruh bagiannya mengandung

zat atau bahan aktif yang berkhasiat bagi kesehatan

untuk penyembuhan penyakit. Pemakaian obat

tradisional banyak diminati karena kurang

menimbulkan efek samping seperti obat-obatan dari

bahan kimia. Saat ini banyak penelitian dalam

pengembangan obat tradisional yang dapat

dijadikan sebagai obat alternatif, oleh karena

bahannya mudah didapat dan harganya terjangkau.

Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman

obat adalah pisang.

Pisang mauli adalah pisang yang banyak

tumbuh di Banjarmasin. Dari hasil data empiris,

masyarakat daerah Hulu Sungai Utara Propinsi

Kalimantan Selatan sering menggunakan batang

pisang mauli untuk mempercepat penyembuhan

luka pada kulit. Penelitian Apriasari dkk (2014)

menunjukkan bahwa kandungan ekstrak batang

pisang mauli terdiri atas saponin, alkaloid,

lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang

terbanyak didominasi tannin.1

Ekstrak batang pisang mauli mengandung

efek antiseptik dan antioksidan. Penelitian

Apriasari dan Carabelly (2013) menunjukkan

ekstrak metanol batang pisang mauli 80% mampu

membunuh bakteri Streptococcus mutans,

meskipun zona hambatnya tidak sebesar perlakuan

dengan Povidone iodine 1%. Penelitian Apriasari

(2014) menunjukkan ekstrak metanol batang pisang

mauli 100% memiliki zona hambat antijamur lebih

besar daripada ekstrak etanol batang pisang mauli

100% terhadap Candida albicans.2,3

Bahan alam tersebut secara empiris di

masyarakat tidak menimbulkan efek toksik, namun

belum dilakukan penelitian secara ilmiah untuk

membuktikan bahwa bahan alam tersebut tidak

toksik. Hal ini yang menyebabkan perlu dilakukan

uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang

mauli secara in vitro sebelum dilakukan penelitian

pada hewan coba dan manusia. Penelitian ini

bertujuan untuk membuktikan uji sitotoksisitas

ekstrak metanol batang pisang pisang mauli

dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap

kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).

METODE DAN BAHAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian eksperimental laboratoris murni

dengan Post Test Only dengan rancangan acak

lengkap menggunakan 5 perlakuan. Jumlah

minimal pengulangan untuk setiap kelompok

perlakuan adalah 5 kali dengan menggunakan

rumus Federer. Sampel penelitian berupa kultur sel

fibroblas ginjal hamster BHK 21 sebanyak 12 buah,

dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I yang

diberi ekstrak metanol batang pisang mauli 25%,

kelompok II ekstrak metanol batang pisang mauli

80%, kelompok III ekstrak metanol batang pisang

mauli 100%, kelompok IV adalah kontrol sel dan

kel V adalah kontrol media.

Pembuatan ekstrak batang pisang mauli

100% dengan cara batang pisang mauli dibersihkan

dan dikeringkan, selanjutnya diblender hingga

halus. Tahapan berikutnya adalah metode

pembuatan ekstraksi dengan maserasi. Prosesnya

pada pelarut etanol yaitu memberikan etanol 70%

dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary

evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi

larutan CMC-Na.

Apabila pelarut metanol, maka memberikan

etanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan

dengan rotary evaporator 40 derajat C, di

waterbath, dan diberi larutan CMC-Na memberikan

metanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan

dengan rotary evaporator 40 derajat C, di

waterbath, dan diberi larutan CMC-Na. Konsentrasi

80% didapatkan melalui pemberian aquades steril

dengan perbandingan aquades : ekstrak batang

pisang mauli = 20 : 80. Konsentrasi 25%

didapatkan melalui pemberian aquades steril

dengan perbandingan aquades : ekstrak batang

pisang mauli = 75 : 25

Alat penelitian yang digunakan adalah

centrifuge, laminar flow, botol ukur Roux,

microplate, inkubator 37°C, 5% CO2, multichannel

pipet 25 µL, ujung pipet steril, vial 2 mL, pipet

steril 5 mL dan 10 mL, mikroskop cahaya, shaker,

dan Elisa Reader. Bahan penelitian yang digunakan

adalah sel fibroblas dari BHK (Baby Hamster

Kidney) 21, akuades steril, media Eagles, fetal

biovine serum 10%, ekstrak metanol batang pisang

mauli 25%,80% dan 100%, PBS (Phosphate

Buffered Saline), versene trypsine, MTT (3-(4-5-

dymethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium

bromide) dan DMSO (dimethyl sulfoxide).

Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel

BHK dan tahapan perlakuan. Tahapan split sel

BHK yaitu mencairkan kultur sel induk (seed cells)

yang sebelumnya telah dibekukan di dalam akuades

steril suhu 37ºC. Setelah cair, kemudian di-

centrifuge 500 RPM selama 5 menit.Di dalam

laminar flow, membuang supernatan yang ada

sehingga tersisa endapan sel di dasar. Endapan sel

Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol 211

Page 110: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

216

tersebut diambil dan disuspensikan dengan media

Eagles dan fetal biovine serum 10%.Selanjutnya

ditambahkan media Eagles sebanyak 36 mL ke

dalam botol yang berisi serum 4 mL sehingga

didapat hasil akhir 40 mL media Eagles +

serum.Endapan sel yang telah disuspensikan

ditanam di botol Roux steril, lalu diinkubasi 37ºC,

5% CO2 sampai sel monolayer terbentuk (± 2 hari,

dilihat dengan mikroskop).Botol Roux besar yang

berisi sel BHK tersebut, kemudian medianya

dibuang dan dicuci dengan PBS 15 mL sebanyak 3-

5 kali. Botol Rouxdiisi dengan versene trypsine 1

mL.Sel-sel dalam botol tersebut akan terlihat

menggerombol kemudian dihomogenisasikan

dengan media Eagles sebanyak 10 mL.Sel yang

telah homogen dimasukkan ke dalam

microplate40well dengan kepadatan 2 x 105

sel/mL.Diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator

37°C, 5% CO2.

Tahap perlakuan meliputi pengamatan

padamicroplate yang berisi sel fibroblas yang telah

diinkubasi di bawah mikroskop cahaya, apakah sel

fibroblas yang telah ditanam dalam setiap well telah

cukup banyak untuk dibuat perlakuan.Setiap

perlakuan mempunyai 8 well. Tiap perlakuan yaitu

ekstrak batang pisang mauli diteteskan pada 8 well

dengan pelarut metanol konsentrasi 25%, 80% dan

100%, sedangkan 2 well untuk kontrol sel tidak

dilakukan penetesan dan kontrol media. Setiap well

ditetesi sebanyak 50 μL dan diinkubasi selama 24

jam dalam inkubator 37ºC, 5% CO2.

Data hasil penelitian berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan terhadap sel fibroblas

setelah penetesan ekstrak metanol batang pisang

mauli konsentrasi 25%, 80%, 100%, kontrol sel dan

kontrol media. Hasil pembacaan dengan

menggunakan Elisa Reader yaitu berupa tingkat

absorbansi atau optical density. Semakin tinggi

angka optical density, menunjukkan jumlah sel

fibroblas yang hidup semakin banyak pula.

Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney

(2000)

% sel hidup= OD perlakuan + OD media x 100%

OD kontrol sel + OD media

Keterangan:

% sel hidup : persentase jumlah sel hidup

setelah pengujian

OD perlakuan : nilai optical density fibroblas pada

setiap sampel setelah

pengujian hasil pembacaan

dengan Elisa Reader

OD media : nilaiopticaldensityfibroblas pada

media kontrol

OD kontrolsel :nilaiopticaldensityfibroblas pada

selkontrol

Hasil perhitungan dikatakan tidak toksik bila ≥ 60

% sel hidup.

Data yang sudah dikumpulkan diuji

normalitasnya dengan uji Shapiro-Wilk. Jika data

yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen (p

> 0,05) maka data akan dianalisis dengan analisis

parametrik One WayAnova dengan tingkat

kepercayaan 95% dilanjutkan uji LSD. Jika data

yang diperoleh terdistribusi normal tapi tidak

homogen atau terdistribusi tidak normal tapi

homogen dilakukan uji analisis non-parametrik

secara Mann-Whitney.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang uji toksisitas ekstrak

metanol batang pisang mauli pada sel BHK 21 ini

menggunakan rumus Freshney (2000), dengan hasil

pada ekstrak metanol batang pisang mauli

konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, ekstrak

metanol batang pisang mauli 80% memiliki sel

hidup 34%, dan ekstrak metanol batang pisang

mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Hasil

perhitungan dinyatakan tidak toksik bila ≥ 60%,

oleh sebab itu yang tidak toksik adalah ekstrak

metanol batang pisang mauli dengan konsentrasi

25%. Hal ini ditunjukkan dengan gambar 1.

Gambar 1. Hasil kultur sel BHK21 dg perlakuan

ekstrak metanol batang pisang mauli

Data ditabulasi dan dilakukan uji

normalitas dengan menunjukkan normal dan uji

homogenitas menunjukkan homogen, sehingga

menggunakan uji parametrik oneway anova dengan

tingkat kepercayaan 95% seperti tabel 1.Hal ini

menunjukkan bahwa H0 ditolak, yaitu terdapat

perbedaan bermakna pada masing-masing

kelompok.

212 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 214

Page 111: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

211

perlakuan

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups ,764 4 ,191 43,035 ,000

Within Groups ,155 35 ,004

Total ,919 39

Tabel 1. One Way Anova

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan

bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli tidak

toksik terhadap sel fibroblas yang merupakan sel

pembentuk sabut jaringan ikat terbanyak pada

tubuh makhluk hidup. Jika terbukti bahwa getah

tersebut tidak toksik, maka dapat dilanjutkan

dengan penelitian pada hewan coba dan manusia.

Penelitian ini adalah uji pendahuluan, yaitu uji

toksisitas dari bahan secara in vitro yang

dikontakkan secara langsung pada kultur sel atau

jaringan. Uji ini paling cepat. Uji sitotoksisitas

dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba

secara in vivo atau menggunakan kultur sel secara

in vitro.4

Menurut Freshney, metode yang sering

digunakan adalah metode in vitro dengan

menggunakan kultur sel. Prinsip dasar

menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang

sistem kultur agar menyerupai keadaan in vivo. Sel

yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya,

kemudian ditempatkan dalam wadah kultur untuk

mendapatkan tempat pertumbuhan dan nutrisi yang

cukup pada temperatur 37ºC dan lingkungan gas

(95% CO2/ 95% udara) pada pH 7,4-7,7. Penelitian

ini menggunakan kultur sel BHK-21 yang berasal

dari fibroblas ginjal hamster oleh karena sel BHK-

21 lebih banyak digunakan untuk menguji

sitotoksisitas bahan dan obat-obatan di kedokteran

gigi. 4,5

Pengukuran dari hasil produk pewarnaan

menggunakan bantuan dari alat spektrofotometrik.

Makin pekat warna yang dihasilkan makin tinggi

nilai absorbansinya berarti makin banyak jumlah

selnya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

ekstrak metanol batang pisang mauli pada

konsentrasi 25% tidak menimbulkan efek toksik

terhadap sel fibroblas, sedangkan ekstrak metanol

batang pisang mauli pada konsentrasi 80% dan

100% terbukti toksik. Hal ini dibuktikan dengan

persentase jumlah sel yang hidup pada konsentrasi

25% adalah lebih dari 60%. Jika persentase jumlah

sel yang hidup kurang dari 60%, maka bahan

tersebut toksik.5,6

Pemilihan metanol 70% sebagai pelarut

diharapkan dapat menarik zat-zat berkhasiat yang

terdapat dalam simplisia. Ekstrak metanol

merupakan ekstrak yang kandungan senyawanya

masih beragam, dari yang non polar sampai yang

polar. Senyawa yang dapat masuk sari metanol

diantaranyaadalah flavonoid, terpenoid dan

lipid.Berdasarkan kandungan yang ada flavonoid

merupakan senyawa polifenol yang banyak terkait

dengan efek antioksidan dan kemoprotektif dan

sitotoksik melalui mekanisme cell cycle arrest.

Adanya senyawa non polar dapat mengakibatkan

gangguan pada proses penarikan flavonoid karena

tidak adanya proses defatting. Selain menyebabkan

penurunan kadar senyawa lain yang ada

dimungkinkan dapat menyebabkan penurunan

aktivitas dari flavonoid. Adanya aktivitas sitotoksik

pada ekstrak metanol 70% kemungkinan

disebabkan karena dalam ekstrak tersebut terdapat

beragam senyawa baik yang bersifat polar, semi

polar maupun non-polar sehingga efek toksiknya

saling mempengaruhi. (Djajanegara dan Wahyudi,

2009 ; Puspitasari dan Ulfa, 2009) Dalam penelitian

ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol

batang pisang mauli tidak bersifat toksik pada sel

fibroblas BHK 21 dengan konsentrasi 25%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Apriasari M.L, Carabelly A.N, 2013. Uji

Efektivitas Ekstrak Metanol Batang Pisang

Mauli (Musa sp) 80% dan Povidone iodine

1% Terhadap Streptococcus mutans.

Dipresentasikan dalam seminar internasional

Dentisphere 7-8 Nopember 2013, Hotel

Shangrilla, Surabaya, Indonesia.

2. Apriasari M.L, Suhartono E, 2014.

Kandungan Ekstrak Metanol Batang Pisang

Mauli (Musa sp) 100%.Dipresentasikan pada

seminar ICBBB, Melbourne, Australia 4-5

Januari 2014.

3. Apriasari M.L, 2014. Aktivitas Antifungi

Ekstrak Etanol dan Metanol Batang Pisang

Mauli 100%. Dipresentasikan pada Seminar

IPAMAGI, Hotel Bumi, Surabaya 25-26 April

2014

4. Ariani W, 2012. Uji Sitotoksisitas Getah

Bonggol Pisang Ambon Terhadap Sel

Fibroblas. Skripsi Universitas Airlangga

Surabaya.

5. Freshney RI. 2000. Culture of animals cell: a

manual of basic technique. 4nd Ed. Newyork:

Wiley Liss Inc. p. 329-43

6. Fazwishni S dan Hadijono BS. 2000. Uji

sitotoksisitas dengan esei MTT. Jurnal

Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol 213

Page 112: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item

218

Kedokteran Gigi Universitas Indonesia;

7(Edisi Khusus). p. 28-32

7. Puspitasari E, Ulfa E.U. Uji Sitotoksisitas

Ekstrak Metanol Buah Buni Terhadap Sel

Hela. Jurnal Ilmu Dasar, Vol 10 No 2, Juli

2009 : 181-185

8. Djajanegara I, Wahyudi P. Pemakaian Sel

Hela Dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi

Kloroform dan Etanol Ekstrak Daun Annona

squamosa. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol 7 No 1, April 2009, hal 7-11

214 Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 214

Page 113: Vol II. No 2. September 2014 ISSN : 2337-5310 - ULMeprints.ulm.ac.id/265/1/jurnal full.pdf · Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item